EPA II Perspektif dari Mandar

Page 1

EPA II

PERSPEKTIF DARI MANDAR MUHAMMAD RIDWAN ALIMUDDIN

DIPRESENTASIKAN DALAM INTERNATIONAL SEMINAR “THE HISTORY OF MACASSAN SEAFARER IN AUSTRALIA” 10 JANUARI 2013, UNIVERSITAS HASANUDDIN, MAKASSAR


BIRU LANGIT


Sandeq Korpala Unhas saat ikut serta di Sandeq Race 2006 (Foto: M. Ridwan)

Pada tahun 1996, berlayar dua perahu sandeq dari Mandar, namanya “Aina” (akronim: Anak Indonesia) dan “Sabang Subik” (nama kampung di Mandar, tempat perahu berasal), berlayar di Selat Makassar kemudian menyisir pesisir timur Pulau Kalimantan, menuju utara berlayar pesisir Malaysia dan Brunai Darussalam terus ke pesisir barat Pulau Kalimantan, memasuki Laut Jawa menuju Jakarta. Di atas sandeq berwarna putih tersebut ada beberapa mahasiswa. Mereka adalah Muhammad Taufik, Harahap Mansur, Apriano Muhammad, Erniati, Nuning Setiawati, Andi Indra Wahyudi, Sarhan, dan Reo Andi Taufan. Dan seorang pelaut Mandar, Arifuddin. Walau dua sandeq tersebut tidak sampai kembali ke Makassar, Sabang Subik rusak hingga terpaksa dilabuhkan di Pontianak dan Aina tenggelam dalam pelayaran Jakarta – Makassar, Ekspedisi Pelayaran Akademis I Korpala Unhas telah mencatatkan diri sebagai ekspedisi kelautan yang dilakoni korsp pecinta alam, baik mahasiswa maupun umum, Indonesia sebagai yang pertama dan terhebat. Total perjalanan enam bulan tidak hanya diisi dengan pelayaran saja, tapi juga dialog kemaritiman di Malaysia dan Brunai Darussalam.

2


Diskusi sandeq dan rute pelayaran nelayan Sulawesi ke Marege, sekretariat Korpala Unhas, Makassar, 12 Januari 2010. (Dokumentasi penulis)

Satu dekade kemudian, Pelayaran Akademis II digagas. Rencananya ke utara Australia. Tepatnya Darwin. Nenek moyang kita menyebutnya Marege. Saya pertama kali mendengar ide tersebut waktu Sandeq Race 2006. Kala itu ada satu anggota Korpala Unhas mulai mempelajari teknik pelayaran sandeq. Sebagai koordinator lomba, teman dari Unhas tersebut saya libatkan sebagai relawan di kepanitiaan. Kemudian pada Sandeq Race 2007, Korpala mulai menggunakan sandeq dan mengirim tim khusus. Keseriusan mempelajari sandeq mulai meningkat. Ya,

mereka ikut serta berlayar di sebagian besar rute Sandeq Race. Di atas sandeq Korpala ikut serta satu turis berkebangsaan Rusia. Rentang 2007 sampai akhir 2009 saya tak mendengar kabar akan aktivitas yang dilakukan Korpala berkaitan rencana ekspedisi. Sekilas rencana itu mungkin ditunda. Belakangan ada kabar, Korpala mengadakan riset dan melakukan diskusi dengan beberapa kalangan guna mempersiapkan lebih matang ekspedisi mereka. Dan pada awal 2010, saat saya baru datang berlayar 3


Tim Korpala Unhas sedang mengecek sandeq yang akan digunakan dalam EPA II, Pambusuang, Oktober 2010 (Foto: M. Ridwan)

dalam rangka Ekspedisi Garis Depan Nusantara bersama Wanadri, teman-teman Korpala Unhas meminta saya berdiskusi mengenai sandeq dan rute pelayaran ke Australia di sekretariat Korpala, di Unhas. Kurang lebih satu tahun kemudian, suatu waktu di 2011, tanda-tanda Korpala Unhas betul-betul akan berlayar ke Australia mulai terlihat. Mereka meminta saya untuk mencarikan sandeq yang bisa mereka gunakan dalam berekspedisi. Bayangan pertama saya adalah, sandeq yang ha-

rus mereka gunakan adalah sandeq berukuran besar. Atau, sandeq tua. Jangan sandeq yang dibuat belakangan, yang dipakai ber-Sandeq Race. Bisa dipastikan sandeq jenis itu tak bisa digunakan berlayar jauh dengan membawa logistik banyak. Mencari sandeq tua tak begitu sulit saya lakukan. Kebetulan saya tinggal di Pambusuang, satu-satunya kampung nelayan di Mandar (Sulawesi Barat) yang masih banyak menyisakan sandeq tua; yang juga kampung halaman man4


Sandeq “Biru Langit” dalam proses perbaikan. Tampak isteri penulis yang sedang hamil berada di buritan, sebagai salah satu bentuk “ussul”, agar nantinya sandeq memiliki rezeki (selamat) dalam pelayaran. (Foto: M. Ridwan)

tan rektor Unhas, Basri Hasanuddin. Saya memilih sandeq milik Pua’ Lia. Beberapa waktu sebelumnya sandeqnya itu masih dia gunakan berlayar. Tapi karena iparnya yang sering menemani dia berlayar pergi merantau ke Kalimantan, sandeq-nya jadi “monro” (menganggur). Sandeq tua, ukuran besar menganggur lama itu berarti menunggu ajal. Pelaut atau nelayan Mandar dewasa ini lebih memilih menggunakan kapal motor. Bisa cepat, enak di laut (tidak panas, tidak kena hujan bila deras), dan bisa menjangkau wilayah yang jauh dalam waktu cepat. Apalagi anak-anak muda, mereka lebih memilih kapal motor dibanding sandeq. Itu sebab, sawi sandeq semakin jarang. Jika pun ada, itu anak dari si pemilik sandeq. Kalau musim berburu telur ikan terbang, asal sawi cukup, kadang sandeq digunakan lagi. Tapi tak begitu dengan sandeq Pua’ Lia. Tak berharap “mati” (baca: dijual ke penambang pasir lalu papan-papan bagian atas diolah menjadi bahan baku untuk membuat dinding rumah atau ranjang atau kursi) dengan percuma,

5


Tukang Seuwwa (Foto: M. Ridwan)

Salah satu anggota Korpala beristirahat di atas lepa-lepa. Foto samping, perbaikan sandeq Biru Langit, Pambusuang, 15 Juli 2010. (Foto: M. Ridwan)

saya memilih sandeq Pua’ Lia agar digunakan Korpala Unhas ke Australia. Walau tua, tapi kekuatannya masih bisa diandalkan. Baku tabrak dengan sandeq-sandeq angkatan baru, sandeq Pua’ Lia mungkin lecet-lecet saja dibanding lawannya yang akan pecah. Saat berpindah ke tangan Korpala Unhas, sandeq Pua’ Lia berganti nama menjadi “Biru Langit”. Sebelumnya bernama “Salihin”. Sebenarnya Pua’ Lia adalah orang ketiga yang memiliki sandeq tersebut. Sebelumnya, dua ta-

hun sebelum dibeli Korpala Unhas, Pua’ Lia membeli Salihin dari Raga, orang Galetto, sekitar dua kilometer dari Pambusuang ke arah barat. Adapun Raga diwarisi dari kerabatnya. Adapun kerabatnya tersebut atau pemilik pertama mempercayakan pembuatan sandeq (Salihin) kepada Tukang Seuwwa, sepupu satu kali dengan kakek saya. Adapun Tukang Seuwwa saat ini adalah tukang perahu tertua di Mandar. Sandeq Salihin dibuat sudah sangat lama, termasuk angkatan terakhir sandeq besar yang pernah dibuat. Tu-

6


Secara tradisional, calon sawi terlibat dalam pembuatan sandeq agar mereka memiliki hubungan emosional dengan perahu yang akan mereka gunakan. Demikian halnya persiapan yang dilakukan anggota tim yang akan berlayar ke Australia (Foto di atas dan foto-foto berikutnya: M. Ridwan)

kang Seuwwa sendiri tak ingat lagi kapan dia membuat sandeq tersebut. *** Pambusuang, 15 Juli 2011, lima anggota Korpala sedang mengecat bagian-bagian perahu sandeq, yang diberi nama, “Biru Langit”. Beberapa hari sebelumnya, mereka berlayar dari Makassar. Saat berada di Teluk Mandar, tiang layar perahu mereka patah. Sebelumnya, waktu mengadakan latihan di perairan Pulau Selayar pada Mei 2011, peloang-nya patah. Korpala juga melakukan latihan berlayar di perairan Kepulauan Spermonde. Menariknya, saat latihan berlayar Korpala tak membawa serta pelaut asli. Kecuali di latihan-latihan awal. “Kami belum mahir membelokkan perahu dan membaca tanda-tanda alam. Makanya ada beberapa bagian perahu yang rusak. Pernah juga kandas”, ungkap salah seorang anggota Korpala ketika ditanyakan tingkat kemahiran mereka melayarkan sandeq. Tujuan utama ke Mandar adalah untuk memperbaiki beberapa bagian perahu yang rusak, seperti bagian dasar lambung diberi “sapatu”, semacam tambalan di 7


dasar perahu bagian luar dan mengganti baratang. Beberapa bagian lambung juga ditambal sebab ada bagian yang lapuk dimakan semut. Anggota Korpala yang akan tergabung dalam tim Ekspedisi Pelayaran Akademis II terdiri dari tujuh orang, yaitu Lukman (Ketua Tim, mahasiswa S2 Ekonomi), Abdul Djalal (Pimpinan Operasi, mahasiswa Teknik Sipil 2008), Ahmad (mahasiswa Hukum 2006), Fadli (mahasiswa Peternakan 2007), Assalam Maulana (mahasiswa Arkeologi 2006), Rusmin NGK (mahasiswa Teknik Sipil 2008), dan Guswan (mahasiswa Sospol 2006). Menurut Guswan, “Anggota tim adalah hasil seleksi yang pernah dilakukan Korpala. Dalam penyeleksian diadakan beberapa tes, diantaranya tes fisik dalam hal ini renang dan jogging serta dan wawancara, khususnya psikologi dan komitmen mereka�. *** Ada banyak ekspedisi pelayaran perahu tradisional ke luar negeri, tapi amat jarang itu di-idekan dan dilakoni oleh orang Indonesia sendiri. Dalam dua dekade terakhir, setahu saya, seti8


daknya ada lima ekspedisi pelayaran dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat ke luar negeri (Jepang, Thailand, Malaysia, dan Australia). Ada yang menggunakan perahu padewakang, pinisi, sandeq, dan pakur. Tapi itu semua dirancang dan diikuti pelayar asing dan pribumi. Oleh orang Indonesia? Oleh orang Sulawesi Selatan sendiri? Ada satu! Itu terjadi tahun 1996. Ya, pada tahun 1996, ketika EPA I. Bila pelayaran 1996 semacam napak tilas pelayar-pelayar orang Sulawesi waktu lampau dalam rangka perdagangan dan pelayaran politik dan perdagangan, 2010 ini napak tilas rute pelayaran orang Sulawesi di masa bahari untuk mencari teripang. Sandeq milik Korpala Unhas di depan Benteng Rotterdam, 29 Juli 2006 (Foto: M. Ridwan)

Menariknya, EPA II memiliki kekhasan: di atas perahu mereka tak ada pelaut atau pelayar asli! Ya, itu berbeda dengan ekspedisi-ekspedisi lain, termasuk EPA I. Artinya, ada keberanian yang patut diacungi jem-

9


Perahu bercadik jenis olanmesa, salah satu jenis perahu tertua di Mandar yang punah pada tahun 70-an. Foto diambil oleh Joekes, L. V. di salah satu pantai di Majene pada 10 Maret 1937 (Koleksi KITLV Belanda)

pol, sekaligus dikhawatirkan. Bukan apa-apa, sandeq perahu layar yang relatif sulit dilayarkan. Tapi kalau ada dukungan mesin, kesulitan itu bisa diatasi. Mengapa sandeq? ”… Sampan itu mampu mengarungi laut dalam selama berhari-hari; digunakan untuk ekspedisi penangkapan ikan terbang di tengahtengah Selat Makassar dan sebagai wahana pengangkutan barang ke Jawa Timur dan Kalimantan Timur pulang pergi.” demikian deskripsi Christian Pelras tentang perahu sandeq dalam buku ”Manusia Bugis”, hal. 311. Mengapa perahu sandeq (Mandar) yang digunakan dalam Ekspedisi Pelayaran Akademis (I dan II) oleh Korpala Unhas? Mengapa bukan pinisi atau perahu jenis lain di Sulawesi Selatan? Kan sekarang ini sandeq itu ada di Mandar, Sulawesi Barat. Bukan Sulawesi Selatan lagi? Sebelum memberi jawaban praktis, saya mengemukakan bahwa sahsah saja Korpala Unhas menggunakan sandeq. Meski Korpala atau Unhas letaknya di Sulawesi Selatan, tak berarti mereka tak bisa menggunakan perahu dari provinsi lain. Apalagi dari Sulawesi Barat yang nota10


Salah satu jenis perahu bercadik yang ada di Galesong pada tahun 2002. Saat ini (2012), perahu sejenis yang berbahan kayu sudah tidak ada lagi, digantikan perahu yang terbuat dari fiberglass. (Foto: M. Ridwan)

bene menjadi bagian dari sejarah Unhas. Selain pernah tergabung di Provinsi Sulawesi Selatan dan ada orang Mandar yang pernah menjabat sebagai rektor Unhas (Basri Hasanuddin), dari aspek kebudayaan maritim, Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar) tak bisa dipisahkan dengan Sulawesi Barat (Mandar). Sehingga, wajar saja Korpala menggunakan sandeq. Dengan kata lain, kita jangan berpikiran sempit, yang merasa suatu budaya hanya ada di suku mereka, bahwa yang lain tak ada alasan ”menggunakan” budaya ”itu”. Bagaimana dengan jawaban praktis? Jawabannya sangat gampang. Sekarang ini baik di Indonesia secara umum atau Sulawesi Selatan secara khusus, tak ada (lagi) perahu berukuran kecil yang bisa digunakan berlayar jauh dalam waktu lama. Sehingga saya menduga, Korpala Unhas ”terpaksa” menggunakan perahu sandeq. Sebab, sepengetahuan saya, tinggal perahu

sandeq-lah, perahu tradisional dari Nusantara, yang saat ini masih bisa berlayar jauh dan berlama-lama di lautan. Apakah ada perahu lain? Bagaimana perahu jenis lain? Entahlah. Memang ada perahu tradisional berlayar jauh, tapi semuanya perahu berlambung besar dan bermesin. Yang mengandalkan layar, lambung kecil, bercadik hanya sandeq. Ya, itu yang saya amati dalam riset kemaritiman saya satu dekade terakhir. Dari Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Bali, perairan NTT dan Maluku Selatan, hingga Selat Malaka. Sekali lagi, ada banyak perahu bercadik-berlayar, tapi bisa diandalkan berlayar jauh-berhari-hari sepertinya sandeq saja. Oleh sebab itu, perkiraan saya, Korpala Unhas memilih sandeq sebab ekspedisi pelayaran yang bisa mengesankan keunikan, eksotik, ada

11


Suasana pantai Makassar pada tahun 30-an. Tampak beberapa perahu bercadik yang pernah digunakan di Makassar (Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda)

tantangan, dan mengandalkan ilmu navigasi tradisional haruslah menggunakan perahu kecil, pakai layar dengan tetap bisa memuat logistik awak. Ya, bisa saja dilakukan penelitian untuk mencari tahu jenis perahu bercadik apa yang ada di Sulawesi Selatan yang dulunya digunakan berlayar jauh. Untuk kemudian membuatnya. Masalahnya, jika perahu itu selesai, apakah masih ada yang bisa mengajarkan teknik berlayarnya? Oleh karena itu, dalam ekspedisi The Sea Great Journey Mandar – Jepang (berlangsung selama 3 tahun, 2008 – 2011) menggunakan perahu buatan Mandar dan dilayarkan pelaut Mandar. Sebab, dalam riset yang dilakukan oleh orang Jepang di beberapa tempat di Indonesia yang dikenal di situ ada pelaut ulungnya, apa yang mereka cari hanya mereka temukan di Mandar. Di Jawa, Madura, NTT, Selayar, Bulukumba, Kalimantan, Gorontalo tak mereka temukan komunitas yang masih bisa membuat perahu nenek moyang mereka sekaligus bisa melayarkan jauh sampai ke Jepang. Apa memang sandeq pernah ke Australia?

12


Perahu bercadik dari Mandar jenis pakur yang digunakan dalam ekspedisi The Sea Great Journey Mandar - Jepang, saat melintas di utara Malaysia, 23 Juni 2009. Pelayaran menggunakan perahu layar kuno hanya memanfaatkan kekuatan manusia (dayung) dan angin (layar), tanpa pernah menggunakan mesin. (Foto: M. Ridwan)

Sandeq Race 2007 diikuti beberapa pelayar Australia. Ada tiga orang yang melayarkan sandeq bersama pelaut Mandar. Kabarnya, setelah Sandeq Race, sandeq yang mereka gunakan dibeli lalu dibawa ke Australia. Apakah dilayarkan atau dikapalkan, saya kurang tahu persis. Saya belum mendapatkan informasi terpercaya tentang perjalanan sandeq ke Australia. Kalau pelayaran di waktu lampau? Saya juga kurang tahu. Tapi bila menganggap sandeq terlibat dalam pelayaran pencarian tripang oleh orang-orang Sulawesi di Marege, saya pastikan tidak. Sebab sandeq baru muncul tahun 1930-an, sedang pencarian tripang berlangsung ratusan tahun sebelumnya. Alasan lain, sandeq tak bisa memuat banyak barang. Jadi, bila pun ada orang Mandar yang juga ke sana, mereka akan gunakan perahu jenis lain. Misalnya ba’go, lambo, padewakang, dan pakur (belakangan, evolusi pakur itu melahirkan sandeq). Maka, kesimpulan untuk pertanyaan satu ini, sandeq digunakan EPA sebab saat ini di Indonesia atau di Sulawesi, hanya sandeq-lah perahu layar tradisional yang bisa berlayar jauh dan tahan di lautan. Teknologi perahu dan teknik navigasi pun tak jauh beda dengan ilmu-ilmu yang digunakan ratusan tahun lalu.

13


Jejeran sandeq di pantai Ujung Lero (Pinrang) di Teluk Pare-pare pada tahun 70-an. Saat ini (2012), tak ada lagi sandeq di lokasi yang sama. (Foto: Adrian Horridge dalam buku “The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia)

Intinya, walau sandeq tak pernah digunakan pelaut-pelaut Sulawesi ke Australia, tapi dia lebih bisa membawa peserta ekspedisi merasakan masa lampau. Saat diterpa panas, saat lama di laut sebab tak ada angin mendorong layar, saat hujan. Sandeq bukan milik Mandar (saja), tapi milik dunia. Sandeq adalah ”world heritage” (warisan dunia). Tak ada pihak lain yang berhak mempatenkannya! Sandeq adalah perahu bercadik yang ”kebetulan” saja dinamakan ”sandeq” (runcing dalam bahasa Mandar); sandeq ”kebetulan” saja ada kekhasan pada beberapa bagian. Sebagian besar teknik/konstruksi pada teknologi sandeq juga dimiliki perahu jenis lain di Nusantara dan kawasan lain di dunia, khususnya kawasan Austronesia. Jadi, bila pun mahasiswa perguruan tinggi di Sulawesi Selatan menggunakan sandeq, tak ada salah. Yang salah ada pada orang yang sampai-sampai memiliki pemikiran sempit bin kolot bahwa ”orang lain” tak berhak pakai sandeq. Siapa pun di dunia ini sangat berhak memakai sandeq! Dengan syarat dalam proses penggunaannya tidak ada pengaburan sejarah atau bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. Seperti ekspedisi Yamamoto beberapa tahun lalu. Dia menggolongkan perahu bercadik yang dia gunakan sebagai perahu

14


Searah jarum jam: Salah satu jenis pakur yang digunakan nelayan keturunan Mandar di Kepulauan Kangean, Jawa Timur pada tahun 2002 (Foto: M. Ridwan), salah satu perahu yang digunakan dalam ekspedisi The Sea Great Journey saat melintas di Teluk Mandar, 13 April 2009 (Foto: M. Ridwan), perahu pakur tahun 20-an di Majene (Foto: Nootebom)

”sandeq”, tapi koq tiang layarnya dua dan ada pahatan bergaya Taiwan di lambungnya? Sebelum pelayaran berlangsung, saya sangat yakin perahu sandeq bisa menjalani misi napak tilas dalam EPA II. Pelayaran ke Australia hanya beda arah. Sebagian dari rute yang dilalui pun dalam sejarah pelayaran orang-orang Mandar telah pernah dilalui. Berdasarkan pelayaran saya menggunakan pinisi ke kawasan timur Indonesia dari Makassar – Maumere – Yamdena, (90% rute pencarian tripang melalui rute yang sama), kon-

disi laut sama sekali bukan masalah. Ada puluhan pulau di rute yang dilalui. Jika sandeq-nya berlayar terus dalam kecepatan normalnya, sebagian besar antar pulau bisa dijangkau dalam satu hari. Adapun rute terjauhnya (dan juga terakhir) adalah dari Pulau Letti atau Pulau Moa ke utara Australia. Untuk sandeq, bisa ditempuh 2-3 hari. Dua tiga hari di laut, bagi sandeq dan pelaut Mandar bukan masalah. Itu makanan hari-hari mereka di Selat Makassar. Passandeq (pelayar 15


Salah satu peserta Sandeq Race 2006 saat menempuh rute Majene - Polewali. Sandeq yang digunakan dalam berlomba ukurannya lebih ramping, tipis, panjang, layar lebih besar. Sandeq demikian sangat cepat, tapi tak bisa digunakan melaut untuk kegiatan ekspedisi berharihari. (Foto: M. Ridwan)

sandeq) saat sekarang minimal bermalam tiga hari di laut. Lalu pada musim perburuan telur ikan terbang, bisa sampai setengah bulan. Waktu lampau, bisa dua bulan. Tapi ada perbedaan besar. Menuju Australia harus berlayar terus (mengemudikan perahu). Jadi, 3 x 24 jam (tergantung lama pelayaran) harus ada yang mengemudi. Kapasitas sandeq dengan ukuran panjang 9m, dalam dan lebar lambung 1m juga mampu memuat logistik banyak. Bisa sampai dua ton. Kesimpulannya, sandeq milik kita semua. Anda orang Mandar, orang Bugis, orang Makassar, orang Jawa, orang Eropa, orang Jepang berhak menggunakan sandeq! Tak ada masalah. Tapi harus diingat, perahu bercadik ini puncak evolusinya berproses di Mandar, tepatnya pesisir Teluk Mandar, meliputi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Majene. Artinya, perahu bercadik yang juga merupakan perahu layar tradisional tercepat di Nusantara itu asalnya dari Mandar, Sulawesi Barat. * Muhammad Ridwan Alimuddin, tinggal di Mandar, Sulawesi Barat, peneliti dan pendokumetasi kemaritiman Nusantara, email: sandeqlopi@gmail.com, website: www.ridwanmandar.com

16


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.