KUMPULAN CERPEN
RIFAT KHAN
SURAT KEPADA LELAKI Oleh : Rifat Khan Kepada lelaki yang selalu menghujaniku dengan segala perhatian di tiap pesannya. Hari ini kuluangkan sedikit waktu menulis untukmu. Lewat tinta yang mengalir dari hati. Aku berucap, terima kasih. Kau sudah memberi warna indah dan meyakinkanku bahwa ada orang yang sungguh menyayangiku. Bahwa ada orang yang masih peduli dan mengikuti setiap detik kisahku. Bahwa ada seseorang yang paling tidak bisa menyamai kasih-sayang yang kudapat dari seorang Bapak. Kau tuang segenap madu namun sekian kali kuberi perih. Kau tak henti memberi semua apa yang kubutuh. Walau aku terkadang jenuh. Kau tukar semua tawamu untukku dan senantiasa tersenyum padaku. Walau aku terdiam dan terkadang jemu. Memandangmu kelu. Ingatkah kau, pertama kali bertemu. Aku yang mencoba menawarkan perkenalan. Kuambil handphone-mu yang terdiam terlentang diatas meja kerjamu. Kupahat namaku di dalam phonebook-nya dan kusimpan 12 digit nomerku. Angka yang berbulan-bulan lamanya kau dekap dalam kepingan hatimu. Angka yang tiap hari selalu kau pencet untuk menghubungiku berkali-kali. Angka yang membuatmu sering menitip rindu pada bait-bait puisimu tentangku. Angka yang kemudian menjadi luka terdalam disepanjang cerita perasaanmu. Terkadang aku menyesal, kenapa harus bertemu ditanggal 8 Oktober itu. Kenapa kau harus menitip perasaan sebesar ini. Perasaan berkabut seperti ombak besar yang setiap saat mencubit ujung jari kakiku. Ombak nan biru yang sama sekali tak kutangkap indahnya. Yang sama sekali tak mampu membuatku menitip satu pertanyaan saja. Kenapa harus aku?. Aku tak mau bertanya karena kutau kau pasti akan menjawab seperti biasa. “Cinta datang dengan sendiri, menetes di sela-sela rambut, keluar dari ujung jemari dan bermuara pada sebuah hati. Cinta adalah perasaan tiba-tiba dan berkekuatan lebih cepat melebihi udara. Cinta adalah senyum pagi hari setelah menghirup kopi dan memberi salam pada kekasih tercinta. Cinta, ya cinta adalah kamu
yang dengan melihatmu sedetik saja aku akan tersenyum dan hatiku bergetar. Itulah cinta, maka jangan pernah tanyakan lagi kenapa aku mencintaimu�. Seperti itulah jawabanmu, aku senang mendengarnya. Aku senang melihatmu mengucapnya dan aku benci dengan hatiku yang tak bisa sedikitpun memberi mu ruang hanya untuk sekedar berteduh atau mengeringkan bajumu selepas hujan di ujung Nopember. Kepada lelaki yang sungguh-sungguh mencintaiku dengan hati. Telah kau korbankan perasaan dan waktumu hanya untuk memikirkanku. Walau aku tak pernah membuka hati sedetikpun memikirkanmu. Taukah kau, saat gerimis dan hujan disini. Kau selalu datang menawarkan pelangi. Berwarna-warni, namun tak mampu kulihat kebesaran hatimu. Kau selalu berkata, aku mencintaimu dengan caraku sendiri. Cara yang indah dan membuatku jadi perempuan seutuhnya. Perempuan yang bingung, dan tak mampu mencintaimu. Perempuan yang dewasa namun memiliki hati yang sempit. Berulang kali, aku tegaskan padamu, jangan pernah berharap hanya kepada satu orang saja. Sebab nantinya kau terluka dan menyesali. Namun kau pun menjawab, “Bukankah cinta konsekuensinya adalah luka, dan bukankah luka adalah proses kedewasaan. Aku tak pernah luka, aku tulus mencintaimu, maka tatkala kebetulan kita berjumpa dan kau sedang merajut cerita cinta, berbaring dipeluknya, maka aku mencoba tersenyum, menggaruk-garuk kepala atau mungkin meniti malam sepi di ranjang dan bermain boneka�. Begitulah, begitu ringan kau menafsirkan kekecewaanmu, namun aku tau matamu tak mampu berbohong. Matamu berair jauh dikedalamannya. Walau senyum kau tebar, ku tau kan memendam luka dalam. Namun itulah kau, sebisa mungkin kau terlihat tegar di depanku. Kau seperti tak pernah merasa sedih atau lemah. Walaupun sesekali aku tau kau sering menangis dalam kamarmu. Tatkala hujan enggan membawa wajahku atau disaat angin menerbangkannya jauh dari penglihatanmu. Kau akan berteriak sekeras-kerasnya dalam hati dan akan mengirim seratus pesan yang sama dan tak mampu kubalas. Karena aku pun enggan terlalu jauh memberi harapan yang kelak bias menghancurkan dan menenggelamkanmu ke laut yang terdalam. Kepada lelaki yang selalu memuji-muji dan membanggakanku disetiap bait puisinya. Ya, puisi, kau memang terlalu sering berpuisi. Dan ku tau setiap puisi itu
sebagian besar adalah perasaanmu bahkan sesekali rasa kesalmu terhadapku. Aku memang bukan pembaca yang baik. Aku memang tak pernah sekalipun membahas bahkan menilai puisimu. Tapi secara tidak langsung aku faham makna dan inti setiap puisimu. Ada satu puisi yang begitu membuatku sedikit terdiam dan memikirkanmu sejenak, kira-kira seperti ini penggalan baitnya :
Dia seperti malaikat, membelai dan menunggui pagimu Menyeka air mata dan menenteramkan sakitmu, selalu Jarum jam yang kupunya terbatas, meniti pada kesibukan Untuk segala mimpi-mimpiku tanpa harus mengabaikanmu Andai saja jarum jam yang kau beri bisa lebih, mungkin aku bisa Paling tidak hanya untuk sekedar menyamai apa yang ia beri untukmu
Aku mengerti, ini kau buat disaat pertama kali kau melihatku sedang lelap dalam peluknya, meniti sakit yang panjang dan kau berniat menjenguk. Membawa sekantong buah yang kau bungkus dengan keikhlasan. Menyisakan sedikit waktu dalam kesibukanmu. Meninggalkan pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajibanmu. Hanya untuk melihatku yang sedang terbaring kaku. Namun apa yang kau dapat. Bulan yang kau damba sedang begitu dekat dengan lelakinya. Namun kau begitu tegar, seakan yang kau temui hanya aku. Tanpa peduli Ia masih disana menemaniku. Aku tau kau begitu terpukul melihat kenyataan bahwa ada lelaki lain yang selalu dsisiku. Namun lagi-lagi kau tersenyum. Aku menangis waktu itu, bukan tangis kepedihan karena sakit yang menderaku, tapi aku menangis menyalahkan waktu. Karena ku yakin kau pun tau sendiri bahwa dilema terbesar bagi seorang perempuan adalah disaat ia bersama diantara dua orang lelaki. lelaki yang mencintainya dan lelaki yang ia cintai. Dan malam itu kau pun berlalu dan merangkul tanganku. Dingin sekali. Kepada lelaki yang pernah mengantarkan sebuah kue dihari ulang tahunku. Sebuah kejutan di malam yang beku. Saat lampu dirumahku gelap dan menyisakan
embun dalam perjalananmu. Maaf, terlalu banyak pengorbanan yang tak bisa kubalas. Entah dengan apa membalas. Karena hati tak mungkin bisa dibagi atau pun diiris menjadi dua potongan kecil. Dan kusuapkan masing-masing kepada kalian. Malam itu kau mengantar hatimu penuh. Terbungkus rapi nan utuh. Kau tak pernah sadar dan tak pernah mau tau, ia telah berkuasa penuh dihatiku. Kau tawarkan hatimu berulang kali. Namun, terlalu sering kubuang hatimu percuma, bahkan kurobek dan kucampakkan di halaman rumah. Dan terinjak-terinjak oleh kucing berkalung sekian bulan. Kucing yang malam itu ikut menangis menatapmu. Namun kau begitu tulus, tak letih, tak penat dan tak henti memberiku segenap rindu dan berbagai pelajaran hidup. Walau kau tau, aku lama hidup bersamanya. Walau kau tau, aku merajut cinta dengannya dan sering membuatmu terluka dan bahkan terhina. Hanya ada kata maaf, karena hidup tak selalu dan tak selamanya harus meraih apa yang kita angan-angankan. Terima kasih banyak.
Nopember 2011
SEPOTONG SENJA RASA ES KRIM Oleh : Rifat Khan Setiap senja, beberapa pedagang menjajakan dagangannya. Memakai rombong dan sepeda. Langit kian mendung dan mentari enggan tersenyum. Menanti gerimis disini, membuka kisah dulu. Saat kau tersenyum menikmati es krim yang banyak menempel di bibir dan bahkan dipipimu. Membuatku tertawa dan sesekali menjepret gambarmu dengan handphone. Dan kau berkata, “Jangan foto, aku lagi jelek”. Namun aku tak peduli, tetap ku jepret ribuan kali. “Kenapa sih difoto terus ?” Kamu nampak jengkel. Ku jawab saja, “Aku senang memotretmu, aku senang melihat gambarmu dalam kondisi apapun, karena kau tetap akan cantik dan senyummu selalu mampu membuatku tersenyum tatkala sepi merajut hari-hariku”. Namun senja sore ini beku, aku termenung sendiri melihat beberapa album foto di handphone-ku. Ada banyak fotomu disini. Dengan berbagai gaya dan berbagai rupa. Aku hanya tersenyum sendiri sembari mengisap eskrim yang lama membeku dan tak sempat kumakan sedari tadi. Es krim yang selalu kau titip saat aku pulang kerja. Es krim yang menjadi awal pertemuan kita dulu. Semuanya memang berawal dari es krim. Aku begitu ingat sekita satu tahun lalu, tepat dibangku ini kau lagi asyik menikmati es krim. Dan aku pura-pura tak melihat. Kemudian aku sengaja menabrak tanganmu. Es krim itu jatuh, mencair dan menghilang dibawah kakimu. Aku sengaja melakukannya karena aku ingin mengenalmu. Karena sudah tiga hari, setiap sore aku selalu melihatmu sendiri duduk dibangku ini, memegang buku yang sama dan tangan kananmu memegang sebuah eskrim. Matamu selalu tampak kosong, seakan titik-titik air mata menggantung dan enggan untuk jatuh dan menetes di pipimu yang putih. Betapa marahnya kamu saat itu. Matamu melotot memandangku, “Buta ya mas? Belum aku sempat menjawab, kamu langsung berkata, “Kalau jalan makanya hati-hati, lihat depan, jangan asyik aja nelpon sambil jalan mundur kayak badut. Nih lihat akibatnya, es krim ku jatuh, mau ganti pake apa, ini es krim favorit ku lho, pedagangnya juga sudah pergi. Bisa saja saya tuntut mas…!!!” Perkataannya bertubi-tubi, nampak
marah sekali. Sementara aku hanya tersenyum. Ia bengong melihatku tersenyum. Pipinya memerah, “Lho, ni orang aneh, dimarahin kok malah tersenyum?”. Aku masih tersenyum kecil, “Mbak nampak manis kalau marah, lihat pipi mbak, merah merona, kalau saja saya seorang fotografer, saya pasti memotret mbak dan akan saya promosikan jadi model internasional”. Ia sama sekali ga peduli dengan leluconku. ‘Udah ah mas, ga lucu, sekarang saya mau pulang, mood saya hilang ketemu sama mas”. Ia pun berlalu dengan sepeda mininya. Meninggalkanku yang masih ingin lebih lama menatapnya. Yah, betapa senja telah mengantar senyumnya utuh kepadaku. Menitip semua wajahnya disetiap cerita mimpiku. Membuatku sering melamun dan senyumsenyum sendiri. Ia adalah bunga yang mekar dan hadir dihidupku disaat kekasih yang lama hidup denganku meninggalkanku dan menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih mapan dan lebih segala-segalanya ketimbang aku. Aku menemukan sosoknya, sebuah sosok yang mirip dan dengan senyum yang hampir sama. Hanya saja Ia jauh lebih lincah dibanding pacarku yang dulu. Karena pacarku yang dulu sifatnya keibu-ibuan dan sangat patuh terhadap perintah orang tuanya. Sampai akhirnya Ia dijodohkan dengan anak kolega bapaknya yang sedang memimpin sebuah perusahaan maju dan sukses. Inilah takdir. Begitulah kata seorang teman mencoba menghiburku disaat aku terdiam sepi dalam kamar dan mulai malas beraktivitas. Tenang kawan, hidup tak berakhir disini, masih banyak perempuan lain yang bias menerima kita apa adanya. Jomblo bukanlah akhir segalanya. Kata-kata itu membuatku sedikit membuka fikiran dan tak mau berlarut-larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Sejak itu aku mulai mencoba semangat untuk bekerja dan mencari hal-hal baru, salah satunya memotret. Karena aku yakin, waktu yang bisa merubah segalanya. Waktu pula yang bisa menghilangkan bayangan mantan pacarku dan waktu jua yang kini mempertemukanku dengan gadis itu. Keesokan harinya, senja masih sama seperti kemarin. Aku menyempatkan diri ke taman itu. Memotret orang-orang yang ingin dipotret, memotret bunga yang pantas dipotret, dan memotret senja yang masih beku dan mendung yang mulai mengintip dari sela dedaunan. Dari balik lensa kameraku, pandanganku tertuju pada gadis itu. Gadis kemarin yang sempat menitip marah dan jengkelnya serta menghardikku dengan ribuan kata marah. Bagaimana caranya mendekatinya lagi. Aku mulai berfikir dalam hati.
Kemudian aku berlari ke arah pedagang es krim. Aku putuskan membeli dua buah es krim. Setelah mendapat es krim tersebut, aku mendekatinya. Pandangannya sama sekali tak tertuju padaku. Ia asyik membaca buku yang masih setia ia bawa. “Ehem…” sembari aku duduk disampingnya, “Kok cuek mbak, aku bawain es krim lho, enak banget”. Ia sama sekali tak merespon. “serius ne ga mau”. Sambil kulahap es krim di depannya. Ia menolehku, bibirnya tampak menahan rasa ingin. “Ini ada satu lagi buat mbak, itungitung sebagai ganti es krim yang kemarin saya jatuhin”. Tak kuasa menahan, Ia tersenyum dan mengambil es krim yang kutawarkan. “Makasih ya…” Suaranya nampak lembut, sangat berbeda dari kemarin. Aku menatapnya melahap es krim itu. Diam-diam aku mulai menaruh hati padanya. Hari-hari pun berlalu. Ribuan sore kami lalui di taman itu. Sesekali mengajaknya mencicipi bakso, bahkan nonton. Ia begitu baik, dan sangat mengerti. Kami pun merajut hubungan, hampir selama satu tahun, kami hanya menuai tawa, bahagia dan sama sekali tak ada masalah dalam cerita kami. Ia begitu hafal apa yang ku suka dan apa yang tak ku suka. Ia begitu mengerti dan tak pernah memaksa keluar disaat aku harus menyelesaikan beberapa tugas kantor. Aku simpulkan, aku bangga mengenalnya karena ia selalu memberi tawa dan senyum disaat dunia memkasaku untuk mengeluh. Dia adalah segalanya. Namun hanya satu tahun, sebelum semuanya berubah menjadi tangis yang menyesakkan dadaku. Bahkan sampai sekarang, disaat aku duduk dibangku ini. Memandang gambarnya di handphone-ku, aku sering menitikkan air mata. Betapa aku merasa kehilangannya. Seakan seperti jiwaku setengah telah dibawa olehnya. Semua berawal ketika ada sedikit yang mengganjal dihatiku. Melihat perubahan di dalam dirinya. Betapa tidak, sebagai seorang pacar melihat kekasihnya dalam kondisi seperti itu, aku merasa sedih. Bibirnya tampak pucat sore itu, sepucat senja yang lupa mengantongi sisa-sisa sinar mentari. Sepucat wajah Ibu yang terbaring lemas di pembaringan. Suaranya sangat lemah dan langkahnya kian gontai. Berkali-kali aku menanyakan ada apa sebenarnya. Sejuta kali aku anjurkan periksa ke dokter, Ia hanya tersenyum dan berkata, “Cuma kecapean kok, ntar istirahat, tidur, pasti semuanya membaik”. Ia selalu berusaha tegar sampai akhirnya Ia jatuh terkapar di taman,
rambutnya terlepas. Sejak itu aku tau kalau selama ini Ia menggunakan rambut palsu. Kepalanya botak. Ya, botak. Selama ini aku tak pernah membelai rambutnya. Karena memang aku bukan termasuk orang yang romantis. Tangisku tak tertahankan menunggunya di ruang dokter. Sejak saat itu aku tau, kalau Ia ternyata telah lama mengidap leukemia. Penyakit yang sebagian besar membawa kepada kematian. Ia telah lama melakukan kemoterapi. Dan tinggal menunggu detikdetiknya saja. Aku terdiam kaku mendengar penjelasan dokter itu. Langkahku gontai, seperti tak menginjak tanah. Kepalaku berat bukan main. Aku diam menangis dibalik tembok ruang rumah sakit. Semua waktuku sejak itu kuberi untuknya. Sebisa mungkin aku menemaninya melihat bunga-bunga yang layu di halaman rumah sakit, menyuapi tatkala ia malas makan atau membawakannya film-film kartun yag Ia suka di laptop dan nonton bersama dikamar rumah sakit.. “Kenapa tak pernah bercanda Mas?” Tiba-tiba ia berkata demikian. “Mas sedih ya?”. Aku hanya terdiam melihat ketegaran hatinya menunggu maut. “Jangan sedih Mas, bukankah hidup adalah menunggu mati. Hidup hanya sementara dan maksimalkan untuk membuat orang yang kita sayang bisa tersenyum. Jikalau kita sudah bisa berbagi kepada orang lain. Apalagi yang kita takuti jika maut itu datang menjemput.” Air mataku jatuh mengalir deras dan menetes di bahunya. Aku rangkul dengan sangat erat. “Bukannya mas sedih, hanya saja mas tak tau bagaimana mengarungi hidup ini. Jika kamu harus pergi”. “Mas takut. Takut sekali. Pada siapa harus membagi senyum dan tangis ini. Pada siapa harus berbagi es krim. Siapa yang akan menemani mas duduk dibangku taman setiap senja. Siapa yang akan mas becandain.” Aku tak mampu melanjutkan ucapanku. Nafasnya serasa tak berhembus. Kulitnya dingin. Dan bibirnya masih tampak mengurai senyum. Pukulan yang sangat besar dalam hidupku. Ia pergi selama-lamanya meninggalkanku dalam kesendirian. Menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukanku. Air mataku jatuh. Kumatikan handphone-ku setelah lama menatap photonya. Maghrib sudah mau menjelang. Taman sudah sepi dan aku masih duduk dalam hening. Mengenangnya. Merasakan cintanya seperti menikmati bisikan angin sepoi yang berhembus di telinga. Bunga-bunga di taman ini mulai mekar dan selalu menitip
wajahnya pada setiap langkahku. Aku bahagia mengenalmu dan belajar banyak darimu. Belajar tentang hakikat hidup yang sebenarnya dan menghargai kehidupan. Membuat sesuatu yang berarti selama kita mampu. Aku harus pulang. Setiap hari selalu kusempatkan ke taman ini. Hanya untuk mengenang dan bukan untuk menyesali.
Desember 2011
RISALAH HATI Oleh : Rifat Khan Serentak tangannya mengepal rokok ditangan. Raut mukanya begitu kasar dan kian geram. Andi, ya demikian nama pemuda itu. Pemuda yang sehari-harinya sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta itu tampak marah. Ia kecewa mendengar keputusan kekasihnya yang berniat pergi meninggalkannya. Gadis itu bernama Ayuni. Gadis yang dua tahun terakhir ini masih setia bersamanya. Dan hampir tidak ada masalah yang begitu besar dalam hubungan mereka. Bahkan teman-teman dikampus menganggap mereka adalah pasangan paling romantis. Bagaimana tidak, selama dua tahun berpacaran, Andi sangat setia mengantar jemput gadis itu ke kampus, dan mereka sangat romantis dalam keseharian. Selalu terlihat senyum dan tawa dari pasangan ini. Sehingga temantemanya menjadi iri dan ingin seperti mereka. Namun kali ini badai besar tampaknya menerpa jiwa Andi. Setelah membaca sebuah pesan kekasihnya di inbox handphone-nya. Pesan yang membuat Andi terdiam sejenak. Pesan itu
berbunyi, “Andi, terima kasih banyak untuk semua waktu dan
pengorbananmu. Terima kasih telah menemani selama ini. Tapi jalan kita terlalu jauh. Maaf, aku harus pergi meninggalkanmu. Mohon mengerti, karena kelak Tuhan pasti mengirim seorang yang jauh lebih baik menjadi jodohmu dan menemani hidupmu selamnya‌�. Andi tak berniat membalas pesan tersebut. Ia langsung meluncur ke rumah Ayuni kekasihnya. Siang, sekitar jam dua belas lebih, Andi sudah sampai didepan rumah Ayuni. Jalanan sepi, kebanyakan orang lebih senang menghabiskan waktu waktu dengan istirahat dikamar. Karena beberapa minggu terakhir ini cuaca begitu panas dan menyebabkan orang malas bepergian dan keluar rumah. Rumah Ayuni siang itu tampak lengang, tak ada seorangpun diluar. Andi mengeluarkan HP dari kantong dan mencoba menghubungi nomer kekasihnya. Alhasil, setelah beberapa kali ditelepon, nomer itu tak aktif. Andi semakin bingung. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah itu. Setelah beberapa kali diketuk, barulah seorang perempuan dengan sarung muncul membuka pintu. Perempuan itu adalah Ibunda Ayuni.
“ Assalamu’alaikum Bu…” Andi mencoba memulai percakapan. “Wa’alaikumsalam Nak…” Tampak suara Ibu itu kurang sehat. Andi tersenyum kecil dan mencium tangan Ibu Ayuni. Seperti biasa, Ibu separuh tua itu mengusap kepala Andi dan bibirnya komat-kamit seperti mendo’akan. “Silahkan masuk Nak…” Ibu itu tampak membuka pintu lebar-lebar dan masuk duluan ke rumah. Andi pun mengikuti dan duduk di sebuah karpet yang memang sudah tersedia di ruang tamu. Andi sedikit kelelahan, karena cuaca begitu panas dan juga jadwalnya jam kuliah dari pagi hari. Ibu Ayuni masuk ke dapur. Dan seseaat keluar dengan segelas air putih. Ia begitu hafal kalau Andi nampaknya kehausan dan butuh segelas air. “Silahkan diminum dulu Nak…!!! Suara seorang ibu yang begitu lembut sambil menyodorkan segelas air ke tangan Andi. “Makasih Bu…” Balas Andi sambil mengambil gelas dan meminumnya secukupnya. Ia kemudian menghela nafas dan sepertinya bingung harus memulai percakapan dari mana. “Bu, Ayuni-nya ada…?” dengan sedikit tersenyum, Andi langsung bertanya. Ibu separuh baya itu hanya terdiam. Seakan ingin berkata, namun begitu berat sekali. Beberapa saat Ia terdiam dengan air mata menggantung dimatanya. Tampak berat sekali masalah menderanya. Tak seperti biasa, Ibu yang selalu ceria dalam kesehariannya. Ibu yang selalu menenangkan hati Andi tatkala ia ada masalah kecil dengan anaknya. Andi semakin bingung, ia juga terdiam melihat sang Ibu dengan tatapan kosong. Setelah beberapa saat, Ia kembali bertanya. “Sebenarnya ada apa Bu?” dengan wajah penasaran dan ingin tahu sebenarnya apa yang menimpa kekasihnya sampai ia pergi meninggalkannya. Karena terakhir kali bersama empat hari lalu hubungannnya sangat baik. Bahkan mereka sempat keluar makan bakso bersama di warung bakso depan kampus, dan Ayuni tampak bahagia malam itu.
Ibu itu mencoba tersenyum dan menjawab, “Tidak ada apa-apa Nak, semua adalah jalan Tuhan dan Ibu yakin seberat apapun masalah, kamu pasti bisa tegar dan ikhlas menerimanya”. Kali ini Andi menghela nafas panjang dan rintik-rintik hujan mulai menetes dimatanya. Fikirannya berkecamuk dan hatinya begitu remuk. Ia masih tak mengerti apa yang diucapkan Ibunda Ayuni. Ia menunggu Ibu Ayuni mengucapkan sesuatu lagi. Perkataan yang mungkin bias membuatnya menangis atau mungkin mengutuk takdirnya. “Nak…” Ibunda Ayuni tampak melanjutkan ucapannya, “Ibu tau, Kamu begitu sayang sama Ayuni. Kamu selalu ada buat Ayuni. Bahkan, Ibu sendiri sangat sayang sama kamu Nak. Ibu sudah anggap kamu sebagai anak sendiri. Kamu sedikitpun tidak pernah menyakiti Ayuni. Sedikitpun kamu tidak pernah membuatnya kecewa. Ibu tau, karena apapun dan kemanapun kalian pergi, Ayuni selalu cerita dan curhatnya kepada Ibu. Jadi Ibu tau semuanya. Bagaimana kamu meninggikan Ayuni dihatimu. Walaupun terkadang kamu sedikit agak kecewa dengan sikapnya Ayuni yang agak sedikit manja dan suka kekanak-kanakan. Jadi, Ibu mohon, tolong kamu maafkan semua kesalahan yang pernah Ia perbuat, karena bagaimanapun Ia juga begitu menyayangimu. Ia begitu menjaga hubungannya dengan kamu. Sekian banyak cowok yang Ibu lihat dating bertau kerumah. Sedikitpun Ia tak pernah memberi hati. Karena satu-satunya yang sangat Ia harapkan adalah kamu Nak”. Air mata mulai tak terbendung dari mata sang Ibu. Air mata yang begitu dalam seperti musim penghujan yang datang ditengah kemarau. Air mata seorang Ibu yang begitu sayang sama anaknya. Andi juga tak mampu membendung air matanya ditengah penasaran apa sebenarnya yang dialami kekasihnya. Apa sebenarnya yang terjadi, ia dihantui beribu pertanyaan. Pertanyaaan yang seakan membuat jantungnya berhenti sejenak. Pertanyaan yang seakan mengiris satu kepingan hatinya. Yah, betapa Ia begitu menyayangi Ayuni. Ia sedikitpun tak pernah membuatnya sakit hati. Ia selalu mengalah jika ada perdebatan kecil ditengah hubungan mereka. Andi bersandar sejenak dan menghela nafas panjang dan pandangannya tak henti menatap mata seorang Ibu yang duduk tak jauh didepannya. Mata yang sudah terbungkus dan digenangi air mata. Mata yang persis seperti dua tahun lalu. Ketika Ibu
Andi menangis sebelum menemui ajalnya. Ia begitu melihat jelas Ibunya sendiri dalam mata Ibu Ayuni. “Bu, apapun yang terjadi kepada Ayuni, aku akan tetap menyayanginya. Sedikitpun perasaan ku tak akan berubah. Tolong Bu, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi !” Ibu separuh baya itu menyeka air matanya dengan sebuah tisu. Ia nampak tak kuat untuk memberi tahu Andi apa sebenarnya yang terjadi. Ia begitu sadar hati Andi akan terpukul mendengar kenyataan ini. Tapi melihat ketegaran dan bola mata yang begitu tajam dari pemuda itu, akhirnya Ibu Ayuni mencoba menceritakan keadaan sebenarnya. “Nak, Ibu sebenarnya sangat berat menceritakan semua ini. Karena Ayuni juga menitip pesan kepada Ibu untuk tidak menceritakanmu apa yang terjadi. Tapi Ibu juga tak tega melihat kamu dilanda kebingungan seperti ini. Begini Nak, tiga hari lalu. Tepatnya hari Selasa. Ketika Ayuni pergi dengan pamannya. Mereka mengalami musibah dan…” perkataan Ibu itu terhenti, Ia tak kuasa menahan air matanya yang mengalir deras dan membentuk muara kesedihan di pipinya. Kulitnya yang sedikit keriput seakan dibalut sejuta kesedihan. Begitupun dengan Andi, Ia nampak kaget mendengar ucapan sang Ibu. “Astagfirullahalazim,
terus
dimana
Ayuni
sekarang?
Bagaimana
keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” rentetan pernyaan secara spontan keluar dari bibir yang agak pucat itu. Pertanyaan yang begitu lazim terucap disaat seseorang shock mendengar kabar mengharukan dari seorang yang Ia sayangi. “Ayuni sekarang berada di Rumah Sakit Nak, sudah tiga hari ini dia opname. Dia mengalami koma selama dua hari, itu sebabnya Ia tak pernah menghubungimu. Itu juga sebabnya kenapa handphen-nya tak pernah aktif. Baru tadi pagi Ia sadarkan diri, dan mencoba memberi kabar kepadamu. Ia sangat sedih dengan apa yang Ia alami. Pertama kali tersadar pun Ia tak henti menyebut namamu sambik menangis. Yang sabar ya Nak”
Air mata mengalir dari mata pemuda itu. Ia seakan tak mampu berkata apaapa. Ia mengingat apa yang dikatakan kekasihnya saat terakhir bersamanya. Ayuni mengajaknya untuk menikah. Namun Ia tidak menjawab apapun, dikarenakan Ia masih kuliah dan belum mepunyai pekerjaan tetap. “Lantas kenapa Ayuni harus berkata meninggalkanku Bu? Kenapa Ia harus berkata seperti itu?” Pertanyaan terucap lagi dari bibir pemuda itu. “Nak, kecelakaan siang itu hampir merenggut nyawanya. Syukur dia bias selamat dan tersadar dari komanya. Namun, kenyataan pahit harus Ia terima Nak, kakinya lumpuh karena tergilas mobil truk dalam kecelakaan itu. Salah satu kakinya sudah tidak berfungsi. Dokter menyarankan amputasi untuk menghindari penyebaran ke anggota tubuh yang lain. Kalau keluarga sudah menyetujui, insyaAllah operasinya akan dilaksanakan dua hari lagi setelah lebaran” Tubuh Andi lemas mendengar pernyataan itu. Seperti dihujam badai yang beitu besar. Tubuhnya yang perkasa itu seakan roboh dan tak kuat menahan terpaan. Matanya kosong, hambar dan tak berwarna. Gadis yang Ia sayangi harus menerima kenyataan seperti ini. Gadis yang riang dan selalu bercita-cita tinggi. Selepas mendengar penjelasan sang Ibu, Andi langsung beranjak dan bergegas ke Rumah Sakit. *** Sesampainya di Rumah Sakit, tepatnya diruang IGD, Ia melihat tubuh Ayuni terbaring tak berdaya. Ia langsung menggemgam erat tangan gadis itu dan mencium keningnya. “Kenapa Ayuni? Kenapa harus seperti ini? Kenapa bukan aku saja yang mengalaminya? Aku menyesal, seandainya hari itu aku yang mengantarmu pergi, mungkin keadaan tak seperti ini. Maafkan Aku sayang, Aku penyebab semuanya. Aku tak bias menjagamu. Padahal aku berjanji akan selalu menjaga dan mewujudkan semua keinginanmu”. Sambil terisak-isak Ia terus mendekap kekasihnya. Sementara Ayuni hanya terdiam kaku melihat kekasihnya yang terus menangis dipelukannya. Hanya matanya yang berkaca-kaca. Seakan menangis dengan jeritan yang dalam dihatinya.
Tangis yang dahulu pernah membawanya ke pelukan Andi. Tangis yang dulu sempat membuatnya mengerti betapa hidup memang tak selalu seperti apa yang kita inginkan. Andi kembali melanjutkan perkataanya, “Ingatkan sayang, terakdir kali kita bertemu. Kamu meminta aku untuk menikahimu. Sekarang aku siap sayang, aku siap lahir bathin untuk menjadi pendamping hidupmu. Lelaki yang akan selalu menjaga dan melindungi kehormatanmu. Lelaki yang akan lebih dulu menangis sebelum kau menangis. Lelaki yang akan selalu membuatmu tertawa dalam keadaan apapun. Apakah kau mau menjadi istriku saying?� Andi menatap dalam-dalam mata kekasihnya. Sementara Ayuni terdiam sesaat dan menatap mata Andi, dan dengan terbatabata ia bericap, “Ia sayang, aku mau dan siap lahir bathin menjadi istrimu�. Andi tersenyum bahagia mendengar ucapan kekasihnya dan memeluknya dengan segenap kasih saying yang dalam. Sementara sang Ibu yang dari tadi berdiri dibelakang mereka tersenyum sambil menitikkan air matanya.
Oktober 2011
SIMPHONI KUCING MALANG Oleh : Rifat Khan Namaku Lina. Aku adalah seekor kucing betina. Hidupku biasa saja seperti kucing lainnya. Baru dua hari ini aku melahirkan seorang anak. Namun entah apa yang terjadi sehingga anakku kini tak lagi bersamaku. Begitulah, sejak Ia menghilang aku selalu termenung disini sendiri. Menikmati hari-hariku dalam kesepian. Entah bagaimana caranya aku bisa menemukan anakku. Tak ada satu pun surat kabar yang mau mengiklankan beritanya. Setiap sudut kota ini kudatangi. Namun tak pernah ada titik jelas dimana Ia berada. Pagi ini gerimis sudah menghilang. Mentari diam-diam mulai mengintip. Ayam-ayam tetangga mulai keluar mencari makan. Yah, ayam adalah seorang teman baikku. Ia selalu perhatian terhadap apa yang menderaku. Tapi sayang, Ia tak bisa membantu lebih banyak. Ia hanya turut berbela sungkawa atas apa yang menimpaku. Aku mengerti, karena mereka pun sibuk mencari makan dan menyelesaikan urusan mereka sendiri. Dari balik pintu, Nyonya Erna keluar membawa sejumlah koper besar. Matanya kosong, kesedihan menyelimutinya sama sepertiku. Nyonya Erna adalah majikan ku yang sudah lama mengurus dan membiarkanku tinggal dirumahnya. Tapi setelah hari ini, beliau akan pergi meninggalkanku. Ia digugat cerai oleh suaminya. Putusan sidang sudah keluar dan hasilnya adalah mereka cerai. Betapa remuk batinnya pagi ini, sama seperti batinku. Ia diceraikan lantaran tak bisa mempunyai keturunan. Mereka sudah berumah tangga selama 10 tahun. Aku sadar, selama aku berada dirumah itu. Yang sering terjadi adalah pertengkaran antara suami istri itu. Hal-hal sepele bisa berujung menjadi masalah yang besar dan mengharuskan mereka beradu mulut sampai mengumpat dengan kata-kata kasar. Kalau menurut kesimpulanku sih, semua berawal dari itu. Setelah beberapa bulan lalu melakukan tes, ternyata Nyonya Erna dinyatakan mandul. Dua adiknya yang lain pun dikabarkan demikian, tidak bisa mempunyai anak. Nyonya Erna berkali-kali memberi alternative kepada suaminya untuk mengadopsi seorang anak. Namun suaminya yang
memiliki beberapa perusahaan maju selalu menolak usul tersebut. “Aku hanya butuh keturunan yang berasal dari darah dagingku sendiri. Aku butuh seorang anak yang bisa meneruskan dan memimpin perusahaan-perusahaanku kelak. Buat aapa aku susah-susah bekerja dari pagi ampe malam kalau toh akhirnya aku tak punya keturunan�. Begitulah, dia selalu berkata demikian dan ujung-ujung Nyonya Erna akan menangis lirih dan begitu dalam. “Apa yang bisa kuperbuat Tuhan, apa yang bisa kulakukan agar suamiku bisa mengerti dan faham bahwa engkau masih belum memberiku anak?� pertanyaan it uterus berulang terdengar dari bibirnya yang sesekali terkena tetesan air mata yang jatuh dari mata dan menetes dari pipi dan sampai ke bibirnya. Setelah koper-koper diangkat oleh sopir ke dalam mobil. Nyonya Erna menghampiriku. Ia tersenyum dan membelai-belai rambutku. Ia tampak sedih karena harus kehilanganku. Ia akan kembali ke rumah Ibunya diluar daerah dan mungkin ini adalah terakhir kali kami saling melihat. Aku pun hanya terdiam. Betapa beban dan masalah-masalah ini begitu berat. Nyonya Erna memintaku untuk ikut dengannya. Tapi aku berniat untuk menemukan anakku terlebih dahulu. Ia pun begitu mengerti betapa kehilangan anak begitu sangat menyakitkan walaupun Ia sama sekali tak bisa mempunyai anak. Setelah lama memelukku, Ia pun masuk ke dalam mobil. Desiran angin membawa mobil itu melaju dan perlahan menghilang dari tatapanku. Majikan yang teramat baik sudah pergi, kini saatnya aku bangkit. Harus berjuang untuk hidup dan menemukan anakku. Anakku yang terlahir dari perutku. Betapa aku merindukannya. Entah siapa yang telah merampas dan membuatku terpisah dengannya. Bayangkan saja, kurang dari satu hari aku bisa melihat matanya, aku belum bisa memberi makan. Ia sudah menghilang. Hari menjelang siang. Matahari tepat berada di atas kepala. Ayam-ayam mulai berdiam dibawah pepohonan beristirahat. Pohon anggur di depan tampak kering. Sesekali menjatuhkan daunnya yang sudah tak mampu lagi berdiam di dahannya. Adzan zuhur tampak menggema dari cerobong-cerobong masjid. Aku melangkah pelan keluar dari gerbang rumah. Hari ini aku bertekad harus menemukan kabar tentang anakku. Siang itu aku berjalan dan terus mencari. Kota ini ramai juga, siang-siang masih banyak orang
yang melakukan aktivitasnya. Ada yang asyik menjaga took boneka. Ada yang menjaga took sepeda. Bahkan sekilas ada yang tertidur karena kelelahan. Begitulah manusia, mereka memiliki kesempatan luas untuk memenuhi kebutuhannya. Pekerjaan terlampau banyak buat mereka. Tapi kenapa dikoran-koran selalu diberitakan tentang banyaknya sarjana yang pengangguran. Tentang banyaknya remaja yang bunuh diri lantaran susah mencari kerja dan kebutuhan hidup tak terpenuhi. Entahlah, mereka mempunyai jalan fikiran masing-masing. Aku hanya bisa menyimak dari Koran yang kebetulan berserakan di Meja saat Nyonya Erna mulai enggan membaca. Tapi kenapa, untuk memasukkan iklan pencarian sebuah kucing tak pernah termuat. Apa manusia itu sudah tak peduli dengan kehidupan kami. Atau mereka menganggap kami tak pantas memiliki hidup. Di depan sebuah toko buku, tanpa sengaja aku bertemu dengan Leo. Leo adalah seekor anjing tetangga yang begitu jahat. Ia berulang kali ingin mencelakanku. Bahkan pernah pula dia menggigit kakiku yang membuatku harus berdiam dan istirahat selama seminggu. Siang itu Leo tampak kebingungan, aku menatapnya dari jejauhan. “Sialan, semoga Ia tak melihatku�. Aku terus berucap do’a dalam hati. Namun akhirnya dia mendekati juga. Mungkin bau ku sudah tak begitu asing tercium oleh hidungnya. Leo adalah seekor anjing rakus. Ia selalu masuk ke dalam rumah majikanku dan memakan apa saja yang bisa dimakan. Leo tak pernah peduli meskipun akhirnya ia sering kena lempar oleh para pemilik rumah. Kami pun berhadapan kurang dari satu meter. Matanya terlihat begitu buas dan nafasnya tak teratur terengah-engah. Seperti baru saja berlari menghindari kejaran Tuan rumah yang telah ia selinapi untuk mencari makan. “Kamu kemana Lina?� Aku hanya terdiam. Kenapa harus bertemu saat ini. Kenapa harus bertemu Leo disaat aku harus mencari anakku.
“Aku mencari sesuatu” “Sesuatu ? apakah itu?” “Tak penting kamu tau” “ayolah Lina, siapa tau aku bisa membantumu” Sorot matanya mulai beku. Entah kenapa, tumben hari ini ia tak galak. Tumben hari ini ia mau berdiskusi. Karena biasanya ia langsung menerkam dan mengejarku sampai aku kabur terbirit-birit. Akhirnya aku pun mencoba mengatakan semuanya padanya. “Aku mencari anakku Leo” Ia terkaget mendengar ucapanku. Matanya bening seperti ada air menggantung. Aku hanya terdiam melihat perubahan Leo setelah mendengar ucapanku. Baru aku tersadar dan mengingat. Beberapa bulan lalu Leo juga pernah kehilangan anaknya. Ia menemukan bangkai anaknya terkujur di dekat selokan rumah. Darah mengucur dari telinga dan matanya. Ia nampak terpukul setelah kejadian itu. Oleh sebab itulah ia mulai menjadi brutal. Ia seakan tidak terima dengan takdir yang menimpa anaknya. Ia mulai memangsa siapa saja. Ia mulai sering bikin onar di dalam rumah-rumah warga. Beribu cacian setiap hari terucap untuknya. Tapi hari ini aku melihat sosok berbeda dari dirinya. Ia hanya terdiam, sembari debu-debu jalanan menghampiri bulu-bulu ditubuhnya. Tanpa berucap lagi, ia pun melengok membalik arah meninggalkanku. Aku masih tak bergeming, karena kakiku sudah mulai pegal menyusuri kota. Dan malam sudah menyapa. Rembulan bersinar pucat. Angin-angin bertiup segala arah. Para pedagang mulai menutup toko dan pulang beristirahat. Aku termenung sendiri. Perutku hanya terisi makanan seadanya. Sambil berlagu dalam hati, aku pun terlelap didepan sebuah toko mainan. Tak peduli dingin menyelimuti. Dan sesekali nyamuk membuatku terjaga dimalam hari. ****
Keesokan harinya, mentari sudah mulai keluar dari peraduan. Ayam-ayam terdengar berkokok dan jalanan sudah mulai terisi oleh lalu lalang kendaraan. Aku membuka mata dan terkaget. Disekelilingku, di rolling dor-rolling dor toko, dipersimpangan jalan, di setiap batang pohon tertempel iklan pencarian kucing. Lengkap dengan ciri-ciri dan alamat yang bisa dihubungi. Aku melihat beberapa kawanan anjing sibuk menempel iklan itu. Salah satu diantaranya adalah Leo. Aku tersenyum dan tak menyangka Leo sebaik ini. Aku pun berlari mendekatinya dan mengucap beribu terima kasih padanya. Leo hanya menjawab, “Terus berjuang kawan, kau harus bisa menemukan anakmu”. Ia pun tersenyum dan meninggalkanku. Aku bersyukur ada yang mau peduli denganku. Aku bersyukur dan lebih semangat lagi untuk mencari. Aku mulai memasuki kawasan elit. Disana pun ribuan iklan itu sudah terpampang. Di pusat-pusat kota dan disetiap halte bis. Nampak seorang petugas kebersihan mulai mencabut iklan-iklan itu. Iklan yang mungkin menurut mereka bisa merusak pemandangan kota. Aku kecewa melihatnya. Betapa lelah kawanan Leo menempelnya dan dia tanpa merasa berdosa seenaknya mencabut dan membuang ke tong sampah. Air mataku menitik. Betapa mereka tak mau peduli. Apalagi membantuku. Aku berjalan lagi. Tampak di samping kiriku seorang anak kecil dan Ibunya memandang poster iklan itu. “Bu, Lihat, kucing ini cantik sekali” sembari tanggan anak itu menunjuk poster itu. “Cantik? Biasa aja, apanya yang cantik, ayo jalan!” Ibu itu menarik tangan anaknya dan anak itu masih saja menengok poster itu meskipun ibunya memaksanya jalan. Selama satu jam berjalan. Aku melihat kerumunan aparat berjaga-jaga. Memegang senjata lengkap dengan mobil-mobil baja. Ada apa sebenarnya, ribuan orang dari kejauhan menonton. Warga yang juga penasaran sama sepertiku. Setelah mendengar gonjang-ganjing warga yang berduyun-duyun dating. Ternyata hari itu terjadi baku tembak antara aparat dengan seorang yang diduga teroris. Seorang yang membawa bom dibadannya dan berniat mengebom istana Negara. Orang itu diseret beserta dua kawannya yang nampak sudah tewas. Darah mengucur.
Aku berlari ke pinggir jalan, menyelinap masuk dan dibalik gerbang itu aku menemukan sosok yang kucari. Yah, anakku, anak yang selama ini begitu kurindukan. Aku terkujur mendekapnya. Ia pun hanya tergeletak. Tak ada nafas. Darah juga mengucur dari teling dan matanya. Dadanya tertembus peluru. Aku meraung-raung menangis sekeras-kerasnya sambil mendekapnya. Badannya dingin kaku. Betapa aku merindukanmu Nak, dan aku menemukanmu dalam keadaan seperti ini. Manusia-manusia itu berlalu lalang. Mereka masih saja tak peduli. Aparat-aparat yang berjuta mulai acuh dan sesekali kakinya menyenggol badan kami. Sebuah peluru menembus dadanya. Peluru nyasar atau apapun namanya, yang pasti anakku telah tiada. Hujan pun menetes membawa perlahan darah yang masih mengucur dari badannya. Awan tampak mulai gelap dan aku pulang membawa bangkainya. Petir bergelegar. Aku terbangun dari mimpi. Mimpi yang teramat panjang. Mimpi yang mungkin bisa menjawab pertanyaanku tentang siapa yang membunuh anakku. Tanpa sadar, sudah sehari penuh aku tertidur pulas di atas kuburannya. Aku pun terbangun dan merapikan kembang-kembang diatas kuburannya. Desember 2011
AKU CINTA KAU PELACUR Oleh : Rifat Khan “Dasar pelacur, cuiiiih…!!!!” seraya mulut pemuda itu meludah tepat di muka Marni. Sembari ia melempar selembar uang lima puluh ribu. Marni hanya menangis, entah apa kesalahannya terhadap pemuda itu. Berulang kali aku melihat kejadian seperti itu menimpa Marni. Pernah juga seorang Om-om menampar pipinya lantaran Marni mengeluh tak mau lagi menemaninya tidur. Dikarenakan Marni sedang dating bulan. Berbagai penjelasan dia ucap, namun Om-om itu tak peduli dan menyangka Marni mulai tidak berminat padanya. Begitulah sehari-hari apa yang dikerjakan Marni. Ia berangkat dari desa meninggalkan bapak Ibunya yang sudah renta. Ia ke kota dengan alasan mencari kerja yang layak untuk bisa memenuhi kebutuhan Ibu, Bapak dan dua orang adiknya yang masih duduk di bangku sekolah. Aku memang tak terlalu mengenal Marni secara dekat. Aku lebih senang menatapnya tiap malam sambil meminum sebotol bir di meja lain. Sebelum para tamu berduit datang dan membawa Marni pergi menghabiskan malam dan merajut surga sampai shubuh. Seperti malam itu, badanku sudah remuk dan gontai. Beberapa botol minuman sudah kuteguk dengan teman-temanku. Mataku menyala-nyala. Aku mendekati Marni yang sedang dibujuk oleh seorang pemuda. Aku memperhatikan mereka dari setengah jam tadi, Marni tampak enggan dan tak mau meladeni pemuda itu. Namun pemuda itu terus membujum Marni, sesekali mengelus rambut Marni. Namun apa daya, Marni hanya terdiam dan tak ingin melawan. Ia tak mau ada keributan lagi. I amalu sudah terlalu sering membuat keributan ditempat ini. Aku memegang tangan pemuda itu, Ia pun menyingkirkan tanganku dan melawan. “ada apa bung?” Ia melotot menatapku. “Tolonglah, jangan ganggu Marni” Aku mencoba memberi saran. “Apa urusannya dengan anda” Pemuda itu mulai nyolot dan seakan tidak menerima apa yang kuperbuat padanya.
“Hei Bung, bukankah Marni ini adalah pelacur, dan aku berhak merayunya, aku punya banyak uang� Ia mulai berdiri dan membusungkan dadanya tepat didepanku. “Sekarang saya minta anda pergi, Marni tak butuh uangmu� aku pun mulai berbicara lantang. Sembari kukeluarkan sebuah pisau kecil mengancamnya. Pemuda itu tampak gemetar. Para pengunjung sekeliling yang memperhatikan kami mencoba melerai dan akhirnya semua pun berhasil di amankan. Aku dipaksa keluar oleh security. Begitulah kejadian malam itu. Aku paling tidak suka jika ada seorang yang memaksakan kehendaknya. Bukankah pelacur adalah manusia yang juga punya hak dan kebebasan untuk menolak atau pun menerima pelanggannya. Namun disisi lain, aku bingung. Gerangan apa yang membuatku begitu peduli sama Marni. Bukankah Ia hanya pelacur biasa, sama seperti si Siti atau Aminah yang biasa menemaniku tiap malam. Menghamburkan uang yang kudapat dari malak di pasar setiap hari. Bukankah Marni juga sudah tidur dengan ratusan pria, bukankah Marni juga pernah tidur bersama abangku. Yah, abangku. Sosok yang begitu kuat dan tak pernah putus asa. Sosok yang membuatku terinspirasi. Demi memenuhi permintaan istrinya membeli sebuah rumah sederhana. Ia nekad merampok di sebuah bank. Sebelum akhirnya timah panas membuat nafasnya berhenti berhembus. Dua peluru menembus dadanya. Aku kecewa melihatnya mayatnya yang dikirim kerumah. Aku kecewa dan prihatin terhadap nasib istri dan anaknya. Begitulah kehidupan kami, kehidupan yang keras dan penuh menantang bahaya. Malam ini, aku masih bertanya-tanya dalam hati sembari menatap wajah Marni. Sudah dua hari perempuan ini ku ikat kaki dan tangannya di sebuah gudang yang jauh dari warga. Ia kupenjarakan disini. Tapi tetap kuberi makan seperlunya. Entah kenapa, aku mengikat dan membiarkan dia disini. Aku tak mengerti. Apakah aku mencintainya? Apakah aku mencintainya sehingga aku tak rela Ia dihujam dan diperlakukan tak senonoh oleh beberapa pelanggannya. Ga mungkin aku jatuh cinta sama Marni. Aku terus melawan-lawan dan menjawab sendiri pertanyaan itu.
Setiap pagi aku meninggalkannya untuk mencari uang dan siangnya aku kembali membawa sejumlah makanan dan minuman untuk kami makan bersama. Berulang kali Ia mencoba melawan. Namun, Ia hanya perempuan dan badannya tak setangguh lelaki. Ia hanya bisa meronta-ronta dan sesekali meludahiku disaat aku mencoba menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Bahkan ketika aku mencoba mengganti pakaiannya, Ia menendang dadaku. Dengan keras sekali sembari mencacimaki. “Dasar penjahat, apa yang kamu mau?” “Apa yang kamu ingin dariku, kenapa kau terus mengikatku disini” “Apakah kau akan membiarkanku mati disini” “Apa kamu seorang gila??” Berkali-kali pertanyaan dan cacian itu terlontar dari mulutnya. Seperti gerimis hujan yang tak henti jatuh dan menetes dari genteng gudang yang bocor. Maklum, gudang ini berumurlebih lima puluhan tahun. Dan konon juga dijadikan tenpat pembantaian PKI saat peristiwa tanggal 30 September. Gudang ini tak pernah terpakai. Pemiliknya pun seperti enggan menjual atau menyewakannya. Pemiliknya sibuk berbisnis tembakau di luar kota. Gudang ini biasanya kami gunakan ngumpul sambil minum-minuman bersama beberapa teman. Saat hasil palak di pasar memenuhi target. Kami menghamburkannya dengan berbotol-botol minuman dan sesekali bermain judi hingga pagi. Uang hanya sesaat berdiam di kantong dan akhirnya lenyap dalam waktu sesaat. Orang bilang, uang panas. Tidak akan bisa bertahan lama. “Kenapa kamu diam?” “Jawab, apa kamu mulai bisu?” “Apa kamu sudah tak mampu berkata apa-apa di depanku”
Marni nampak mulai geram. Sesekali ia berteriak, menjerit sekeras apa yang Ia bisa. Angina, gemuruh, badai mulai menerpa. Hujan besar terus menyeruak. Langit gelap. Musim hujan terlalu akrab dengan desa ini. Setiap tahun hujan lebih sering membasahi disbanding panas. Desa yang dulu pernah membuat usaha tembakau bakap bangkrut dan menelan kerugian beratus-ratus juta. Sebelum akhirnya bapak menggantung dirinya di dalam gudang ini. Mayatnya ditemukan sudah kaku dan diperkirakan sudah meninggal berminggu-minggu sebelum akhirnya ditemukan warga setempat. Sejak saat itu, warga mulai takut dan menjauhi gudang ini. Yah, gudang ini memiliki berbagai kenangan. Banyak orang berkata tenpat banyak setannya. Tapi aku tak pernah takut berdiam disini. Aku sering menghabiskan waktu disini sendiri. Menikmati malam sepi dan jauh dari hingar-bingar dan sorak sorai warga. Tempat ini sangat bersahabat denganku. Tempat yang juga membuatku mendapat inspirasi penuh dalam menulis. Aku lumayan gemar menulis. Menulis tentang hidup, mimpi, darah dan berbagai ketidak keseimbangan dalam kehidupan. Aku masih saja terdiam menatap Marni. Bibir tipisnya tampak gemetar menahan dingin. Matanya berair dan pipinya tampak layu. Aku membuka jaket yang kupakai dan mengenakan dibadannya. Aku menyentuh keningnya. Sedikit terasa panas dan seperti sakit akan menimpanya. Aku memeluknya erat, Ia sama sekali tak menolak. Ia juga mendekapku. Merasakan kehangatan di badanku. Sudah dua hari kami tidak makan apa-apa. Disebabkan hujan tak pernah berhenti. Hujan badai yang besar. Disertai gemuruh angin. Sedangkan pemukiman penduduk terlalu jauh. Orang-orang yang jualan di pasar enggan untuk keluar berdagang. Mereka lebih memilih menyimpan barang dagangannya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri selama hujan badai melanda. Karena baisanya diperkirakan selama seminggu hujan tak akan berhenti. Marni kelihatan lemah sekali. Aku membuka semua ikatan ditubuhnya. Tubuhnya terbaring lemas. Sakit sudah tiga hari menderanya. Panas badannya drastic meningkat kian hari. Sementara aku hanya menahan lapar. Tubuhku kosong sehingga
tenagaku pun habis terkuras. Aku juga hanya bisa terbujur lemas disampingnya. Aku mendekatkan bibirku ditelinganya. Membisikinya kata yang sangat lama ingin kuungkapkan. Kata yang juga membuat bertindak senekad ini. “Marni, satu hal yang sangat ingin kukatakan padamu. Terlalu lama aku memendamnya. Karena aku masih ragu, sebenarnya perasaan apa yang kumiliki padamu. Aku ragu, apakah aku hanya mengagumi keindahan tubuhmu yang biasa terbungkus dengan pakaian serba mini atau aku hanya menaruh simpati padamu atas perlakuan kasar dari pemuda-pemuda yang mengaku langgananmu. Aku bingung Marni, selama hidup aku pernah berucap takkan pernah jatuh hati pada siapapun. Karena dunia terlanjur menjerumuskan kami ke dalam hidup yang penuh dengan kekerasan dan kebencian. Hidup yang sehari-hari hanya terisi dengan omongan kotor dan sesekali diwarnai darah para musuh yang membangkang. Musuh, ya kami menyebutnya sebagai musuh. Adalah orang-orang yang menentang dan tak mematuhi peraturan kelompok kami. Orang-orang yang malas memberi kami uang. Orang yang merasa kami adalah pencuri. Kami adalah buronan Marni, beberapa kasus di desa ini. Si Udin terbunuh di dekat jembatan, Si Amang dipenggal kepalanya shubuh-shubuh, bahkan Bu Maniah yang harus kehilangan suaminya lantaran ia membangkang. Semua kami binasakan dengan bersih dan tanpa cacat. Para polisi tak henti mengendus langkah kami. Namun aku begitu yakin Marni, aku begitu tak punya rasa takut. Aku santai saja menikmati hidup, berpoya-poya dan bahkan mengelar pesta minum dan judi setiap malam. Ditemani wanita-wanita cantik yang rela memberi kehormatannya hanya untuk selembar uang�. Aku terdiam sejenak. Kutatap Marni, matanya tak berkedip. Air matanya menetes pelan. Ia menatap mataku. Ia seperti ingin tersenyum, berkata dan mungkin ingin mencaciku dengan ribuan kata kasar. Entahlah, Entah apa yang Ia ingin ungkap ditengan kesakitan yang menimpanya. “Marni, terlalu banyak penyesalan dan kesedihan yang harus ditangisi. Membuatku enggan dan malas hanya untuk sekedar menitik air mata. Bagaimana bapakku meninggal gantung diri saat aku masih berumur tujuh tahun. Bagaimana abangku tertembak polisi di saat aku harus membutuhkan banyak dana melanjutkan
sekolahku selepas tamat di SMP. Aku enggan menangis. Aku enggan menangisi hanya untuk sekedar menangisi hidup. Tapi lihat malam ini Marni, air mataku menetes dengan derasnya. Lihatlah air mataku yang sesekali jatuh ke pipimu. Hangat bukan?. Aku tak tau kenapa ia sampai jatuh,aku tak tau kenapa aku harus membawa mu ke tempat ini dan meniti berbagai penderitaan. Tanpa makan, tanpa minum. Mungkin kau akan membunuhku, menyiapkan rencana untuk menghabisi nyawaku. Mungkin kau akan mencincan-cincang tubuhku dan memberi kepada anjing-anjing diluar sana. Terserah Marni, tapi taukah engkau. Aku hanya ingin melihatmu Marni, aku ingin melihatmu lebih lama. Aku hanya ingin menatapmu sebagai orang pertama tatkala aku terbangun. Maaf marni, jauh dikedalaman hatiku, aku berucap, aku begitu mencintaimu. Aku begitu mencintai dan menyayangimu. Meskipun aku tak pernah tau apa yang dinamakan cinta. Meskipun bapak enggan membahas dan mengajariku arti cinta. Aku hanya bias merabaraba arti sebuah cinta, tatkala abangku harus meninggal demi memenuhi keinginan istrinya. Mungkin itu arti cinta, atau tatkala kau tidur dengan ratusan lelaki setiap malam. Entahlah, aku tak bias mendefinisikannya. Tapi, aku sadar. Sejak pertama menatapmu, ada semacam keinginan yang menarikkku untuk ingin kembali melihat senyummu. Ingin mendengar suaramu dan bahkan mencium aroma tubuhmu yang sesekali menerpaku saat kau berjalan dengan seorang pemuda melewatiku. Itulah kenapa aku selalu menyempatkan diri duduk dan minum di tempat mu kerja. Marni, aku mencintaimu�. Marni meneteskan air mata lagi. Hujan tak pernah reda. Di luar sana, jejak-jejak kaki mulai terdengar. Sebuah tembakan melesat di udara. Tubuh Marni bergetar memelukku. Nampaknya polisi sudah mulai mengendus tempat ini. Aku ingin mati disini. Desember 2011
PERCAKAPAN SINGKAT DI LOBI BANDARA Oleh : Rifat Khan “Jenggotmu sudah panjang, cukur saja” Begitulah temanku mencoba bercanda pagi itu. Saat pelanggan mulai berdatangan di toko yang saya kelola bersama istri. Kami sudah tinggal hampir selama sepuluh tahun di Negara ini. Saya memiliki seorang anak yang masih berumur tujuh tahun. Anak yang sangat lucu dan menjadi penenang di saat galau. Menjadi tawa disaat air mata harus menetes. Setiap hari aktivitasku hanyalah menunggu sebuah toko. Lebih tepatnya sebagai manager di toko sendiri. Pegawai kami lumayan banyak, maklum toko yang saya rintis sepuluh tahun lalu ini lumayan berkembang pesat. Dan alhamdulillah saya makmur hidup dan menetap disini. Kami memiliki sebuah rumah di kota ini, California, USA. Orangorang disini sangat ramah. Tetangga-tetangga satu komple biasanya berkumpul sore-sore. Selalu ada aja hal menarik yang dibahas. Seperti sore itu, ada seorang tetanggaku, namanya Mr. Robert, lelaki setengah baya yang masih giat dalam lembaga sosial. Ia adalah seorang yang alim. Selalu menenteng kitab sucinya kemana pun ia pergi. Berkata seperti Nabi, hampir tak ada cacat dalam setiap perkataannya. Selalu sabar, apapun masalah yang menimpanya. Sore itu cuaca masih menyisakan panas. Jalanan berdebu, Mr. Robert berjalan disekitar komplek rumah. Ia memelihara due ekor kelinci. Kelinci lucu yang masing-masing bernama Alan dan Johnson. Ia memelihara dua kelinci itu sekian lama. Ia nampak begitu sayang dengan kelinci-kelincinya. Rutinitas sehari-harinya hanya mengurus kelinci itu setelah beribadat di gereja. Tapi alangkah kagetnya dia sore itu melihat satu ekor kelincinya meninggal sore itu. Wajahnya pucat sore itu, tubuhnya gemetar, jenggotnya seakan gugur satu-satu. Ia menangis mendekap bangkai kelinci itu. Melihat keadaan itu aku mendekatinya. “Kenapa Pak?” “Kelinciku meninggal”
“meninggal kenapa?” “Aku juga tak tahu, tiba-tiba aku menemukannya dalam kondisi begini” Hidungnya tak henti mencium kelinci itu. Sesekali ia batuk karena memang Mr. Robert sudah lama mengidap penyakit batuk dan ashma. Ia tampak sedih sore itu. “Apakah tuan mau melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib” aku mencoba bertanya. Karena disini binatang juga berhak mendapatkan perlindungan. Ia menatapku dan perlahan beranjak berdiri. Ia memegang pundakku. “Mr. Ahmad, segala sesuatu kejadian sudah ada dalam fikiran Tuhan. Ia telah lama merancang segalanya. Tuhan itu penyayang. Tuhan itu penyabar. Ia mungkin sedang menguji kesabaranku jua. Yakinlah, Tuhan selalu memberi yang terbaik. Tuhan tak pernah salah. Akan ada rancangan terbaik untuk kita. Termasuk pula untuk kelinci ini.” Begitulah Mr. Robert menjelaskanku, betapa Ia adalah seorang yang baik. Ia sekali pun selama sepengetahuanku tak pernah membuat orang sakit hati. Ia sangat rukun dalam bertetangga. Segala sesuatu yang terjadi selalu Ia yakini adalah keinginan Tuhan. Sehingga dengan itu ia bisa ikhlas dan selalu tersenyum. Begitu pula dengan tetangga-tetangga yang lain. Semua baik-baik saja, semua sangat ramah dan tak pernah menggunjing atau pun memberi perlakuan berbeda kepada kami sekeluarga. Meskipun kami adalah pendatang dan sendirian seorang muslim disini. Mereka tak pernah menyinggung dan menyepelekan masalah agama. Mereka berfikiran Tuhan itu satu dan Tuhan amatlah baik. Tapi semua berubah. Orang di sini tak lagi ramah kepada kami. Orang di sini mulai mengernyitkan dahi setiap melihat kami. Orang di sini mulai enggan dan menjauh dari kami. Semua berawal dari tragedi 11 September. Tragedi yang merenggut ribuan nyawa dan sebagian besar orang beranggapan penyebab itu adalah orang muslim. Orang muslim yang dianggap sebagai teroris. Dan teroris adalah musuh Negara. Sebuah tuduhan
yang mungkin berlebihan. Mungkin, tapi inilah kenyataannya. Sebagian besar warga trauma setelah kejadian itu. Dendam tertanam dalam hati mereka. Bahwa semua orang muslim adalah musuh. Pendiskriminasian mulai terjadi. Dimana-mana. Semua serba sulit. Di setiap tempat umum, pemeriksaan berulang terjadi. Apalagi aku menyandang nama Ahmad. Jenggotku pun lumayan panjang. Aku enggan menyukur dan karena hampir lima belas tahun aku berjenggot. Jadi ada yang berbeda jika aku harus mencukurnya. Tak apalah. Toh aku bukan teroris meskipun aku seorang muslim. Istriku sore itu begitu khawatir melihat perubahan-perubahan orang-orang sana. “Apa ga sebaiknya mencukur jenggot aja mas!” Ia menyarankanku berulang kali. Aku hanya tersenyum dan menjawab, “Ga apa-apa dek, Mas pasti baik-baik saja”. Istriku pun mencoba tersenyum, walau ku tau kegelisahan masih menetes deras di wajahnya. Karena bagaimana pun seorang istri pasti gelisah melihat pendirianku yang tak ingin mecukur jenggot. Karena di berbagai berita di televisi selalu memberitakan tentang ada seorang muslim dikeroyok sampai harus opname dirumah sakit. Bahkan seorang wanita dipaksa melepas jilbabnya. Berita-berita itu terus menumbuhkan kekhawatiran dan sedikit ketakutan dalam diriku. Ketakutan terhadapat keselamatan anak dan istriku. Apalagi anakku sempat bercerita sepulang sekolah. Bahwa ada tiga orang temannya mengolokngolok dan mengatakan dia seorang anak teroris. Dikarenakan ada nama Ahmad dibelakang namanya. Anakku mulai takut ke sekolah sendiri. Ia mulai malas. Aku berfikir lama malam itu. Apakah aku harus pergi dan kembali ke Indonesia. Omset penjualan toko menurun drastis. Pelanggan yang biasa berdatangan tampak mulai sepi. Mereka sudah tak mau lagi berbelanja. Sempat juga aku mendengar obrolan seorang pelanggan kami, “buat apa beli di toko seorang musuh. Ia telah banyak membunuh warga kita, cuiiiiih” Ia pun meludah di depan toko dan pergi. Sampai suatu malam, jalanan nampak sepi, hanya terlihat seorang tua renta mengais-ngais sampah. Aku dan istriku berniat untuk nutup. Tiba-tiba sebuah botol melayang dan tepat mengenai
etalase toko. Tepatnya tiga buah lemparan datang, aku mendekap istriku supaya Ia tak terkena pecahan kaca. Para pelaku kabur setelah melempar toko kami. Akhirnya, setelah kejadian mengerikan itu aku berfikir harus segera pindah ke Indonesia. Karena bapak dan ibu di rumah juga selalu khawatir dengan keadaan kami. Pagi-pagi sekali aku mengantar istri dan anakku ke bandara. Mereka harus balik duluan. Karena aku harus mengurus tentang pemindah sahaman toko dan masalah sekolah anakku yang harus pindah. Air mata istriku jatuh deras saat ku peluk di bandara. “Hatihati Ya Mas, secepatnya mas juga harus pulang”. Aku hanya tersenyum dan memeluk mereka. Setelah beberapa hari, urusan semuanya selesai. Kebetulan ada teman yang mau membayar toko itu. Dengan syarat Ia harus mengganti nama toko yang semula menggunakan namaku. Aku pun akhirnya berniat pulang. Di bandara. Izin dan passport tambah ribet. Perlakuan mereka tak adil. Orang asli warga sana semudahnya saja keluar masuk. Sementara aku harus melalui berpuluh-puluh peneyelidikan. Semua badanku diperiksa. Polisi-polisi berbadan besar dan tegap. Mulai banyak Tanya. Aku pun menjawab seadanya. Sampai akhirnya aku dipersilahkan ke lobi bandara. Orang-orang disekitar melihatku dengan wajah sinis dan banyak yang memperhatikan jenggotku. Aku fikir dalam hati mereka berkata, “Dasar teroris, kau sudah banyak membunuh warga kami, jenggotmu ingin kubakar saja”. Aku tak menanggapi mereka, aku hanya membaca sebuah buku yang dari tadi kupegang. Sampai beberapa menit akhirnya seorang perempuan duduk disampingku. Perempuan kulit putih dengan tinggi sedikit lebih dari badanku. Rambutnya berwarna hitam tebal, matanya lebar dan bibirnya agak tipis. Aku seksama memperhatikannya karena Ia duduk hanya beberapa senti saja disebelahku. Ia tersenyum tatkala pandangan kami tepat berhadapan. Senyumnya manis sekali. “Hello” Ia menyapaku. Aku pun tersenyum dan membalas “Hello”. Kami pun mulai berbincang-bincang dengan bahasa Inggris. Ia orang prancis dan nampaknya juga masih belum bisa berbahasa Inggris dengan baik.
“Mau kemana Tuan?” “Mau balik ke Indonesia” “Ow, kenapa harus balik?” “Emang saatnya saya harus balik. Kebetulan istri sama anak sudah menunggu disana. Kalo Nona mau kemana?” aku mencoba bertanya. “Saya mau balik ke Prancis. Saya seorang wartawan yang ditugaskan disini. Saya baru sebulan disini. Amerika memberi banyak hal baru” Ia hanya tersenyum. “Jenggot” Ia menunjuk jenggotku. Aku bingung kenapa ia menunjuk jenggotku. “Kenapa?” Aku mencoba bertanya. “Aku suka sama pria berjenggot” Ia nampak polos dalam berbicara. “Apa kau seorang muslim?” Aku kaget mendengar pertanyaanya.”Iya, kenapa Nona? “Pacarku adalah seorang muslim. Ia sangat baik. Dia sudah lima tahun berkerja di sebuah perusahaan di Perancis. Tapi, dua bulan kemarin Ia dipindah bekerja di cabang perusahaan di sini. Ia meninggal dua minggu kemaren. Dibantai oleh dua orang pemuda yang sedang mabok. Karena ia berjenggot. Setelah pemuda itu tertangkap. Ternyata Ia menyimpan dendam dikarenakan Bapaknya juga meninggal dalam kejadian 11 September itu. Begitulah orang di sini. Terlalu cepat menyimpulkan. Apakah setiap muslim teroris dan patut dibunuh? Apakah setiap orang berjenggot adalah pengikut Bin Laden?. Apakah setiap orang muslim adalah musuh?. Aku selalu bertanya seperti itu. Bahkan aku pernah membuat artikel seperti itu di koran. Aku dikritik oleh banyak pihak. Tapi sesungguhnya aku hanya mencari sebuah kebenaran. Kebenaran yang sulit sekali
disini. Kebenaran yang mungkin hanya dimiliki Tuhan. Itulah sebabnya aku mengajukan untuk pindah ke sini. Aku ingin mencari jawaban tuntas untuk masalah ini.” Aku hanya tertegun mendengar penjelasannya. Matanya berkaca-kaca. Ia nampak sedih harus kehilangan kekasihnya yang dibantai dengan sadis. Apa salah mereka, apa daging mereka halal untuk di bantai dan di makan di negeri ini. Ia pun melanjutkan pembicaraannya, “Buat apa agama kalo toh pada akhirnya perpecahan terjadi karena agama. Apa lebih baik tidak ada saja agama tersebut. Cukup kita meletakkan tuhan dihati kita dan berdo’a dalam kamar sendiri. Mengunci pintu rapatrapat. Saya selalu mendapatkan pelajaran agama dari semenjak kecil. Kebetulan ayah saya adalah seorang yang taat. Ia selalu menjunjung tinggi Tuhan. Ia selalu mengajarkan bahwa Tuhan itu baik, Tuhan itu selalu tersenyum dan Tuhan tak pernah diam. Lantas apakah dengan ada kejadian seperti ini kita lantas menyalahkan satu agama. Karena saya pun begitu tau tentang Islam. Saya banyak belajar membaca di buku-buku. Islam itu agama yang baik. Semua agama juga baik. Hanya ada beberapa pihak saja yang berkepentingan dan melakukan itu. Jadi tak sepantasnya kita mendeskriminisaikan sebuah agama dan berstatemen, Islam itu Teroris. Islam itu agama yang paling keras dan menghalalkan segala macam tindakan sadis. Itu sangat tidak benar. Karena sesungguhnya Tuhan hanya satu dan kita menyembah dengan berbagai cara. Tapi tujuan kita hanya satu. Memuji dan mengagungkan Tuhan. Menjalankan perintah Tuhan dengan penuh ikhlas.” “Lihatlah beberapa kejadian, pembantaian, perang antar agama yang banyak terjadi di setiap belahan dunia, apa motivasi mereka? Apakah mereka ingin membuktikan agama mereka lah yang paling benar. Apa mereka ingin membuktikan Tuhan mereka yang paling kuat. Sehingga agama lain harus dimusnahkan. Tuhan tak perlu di bela. Tuhan itu segala maha. Ia tak perlu dibela dan diperjuangkan dengan kekerasan. Tuhan itu di hati kita. Ia selalu menunggu dan menemani kita. Puji Tuhan”. Matanya berkaca-kaca, waktu pun harus memisahkan kami. Pesawat akan berangkat dan dia memberikan kartu identitasnya kepadaku. Sungguh sosok yang begitu tegar dan berpandangan luas. Seandainya setiap orang berfikiran seperti Nona ini dan
berkelakuan seperti Mr. Robert. Tentunya dunia ini akan damai dan tak ada perang dan ketakutan lagi. Tak ada tangis yang akhirnya merobek hati. Semua saling rangkul dan mendukung. Pasti hidup terasa indah. Aku pun berjalan meninggalkan nona itu dan berharap semoga usahanya tak ada yang sia-sia. Semoga jawaban yang selama ini dia cari bias didapatkan. Dan semoga ia baik-baik saja. *SELESAI*
AKU BUKAN PEMBUNUH BAYARAN ??? Malam legam di desaku. Aku hanya terdiam berbaring dalam kamar. Setiap malam begitu sunyi, ngeri dan mencekam. Warga lebih banyak memilih menghabiskan waktu dalam rumah. Bercengkerama dengan keluarga sambil nonton TV. Adapula yang asyik bermain kartu di Pos Ronda. Nama desaku adalah Desa Rembung Papan. Aku juga tidak begitu mengerti kenapa namanya seperti itu, dan apa arti nama itu. Tapi disinilah aku besar, disini aku mulai mengenal hidup. Hidup yang bisa dikatakan keras dan penuh dengan kecurangan. Para pengusaha kaya seenaknya saja mengambil tanah warga dan membayar dengan harga relative rendah. Kemudian memperkerjakan warga sebagai kuli. Kuli yang sehari penuh bekerja dan tersengat mentari. Hanya mendapat upah yang begitu minim dan terkadang harus pula berhutang kepada para tengkulak. Tapi apa boleh buat, warga di sini sebagian besar hanya berpendidikan rendah. Tidak mempunyai fikiran luas untuk melawan pihak yang kaya. Mereka hanya pasrah dan cukup tersenyum saat dibagikan uoah sore harinya. Upah yang hanya cukup untuk makan. Upah yang membuat mereka sering sakit-sakitan karena pekerjaan yang berat dan uang berobat yang lumayan tinggi. Ujung-ujung mati tanpa pernah mendapat pelayanan yang maksimal. Yah, Uang. Uang adalah segalanya. Uang adalah Tuan. Uang begitu dipuja dan diagung-agungkan. Demikian juga dengan aku, apapun akan kulakukan demi uang. Apapun itu. Aku masih saja termenung. Mak ku di kamar sebelah sakit-sakitan. Batuknya berdentang sepanjang malam. Yah sudah bertahun-tahun batuk itu semakin menjadi-jadi. Batuk yang terkadang membuatku takut. Batuk yang membuatku selalu berfikir apa aku harus kehilang begitu cepat sosok seorang Ibu. Ibu adalah satu-satunya yang kupunya setelah bapak dan kakakku meninggal tertabrak kereta dua tahun lalu. Waktu aku masih duduk di kelas tiga SMA. Aku kehilangan beliau. Aku terguncang waktu itu, betapa tidak, Beliau adalah satu-satunya penopang keluarga. Sementara tekad ku saat itu adalah menyelesaikan SMA dan hendak kuliah di luar kota. Kuliah, demi semua cita-citaku untuk meningkatkan taraf hidup keluarga. Jujur saja, aku bosan dengan kemiskinan. Aku
bosan dengan segala kekurangan. Aku bosan mendengar ibu dan bapak bertengkar hanya karena masalah ekonomi. Namun apa daya, sejak bapak meninggal. Kehidupan keluargaku semakin sulit. Ibu harus bekerja siang dan malam. Sampai akhirnya ia hanya diam kaku dirumah menikmati sakitnya. Selepas SMA, aku putuskan untuk bekerja di pasar. Menjadi kuli tepatnya. Mengandalkan tenaga mengangkat berkintal-kintal beras setiap harinya dengan upah yang begitu minim. Aku hanya ingin melihat Ibuku sehat dan bahagia sehingga apa pun akan kulakukan demi dia. Dia adalah kekuatan yang membuat saya bertahan mengarungi semua ini. Tiba-tiba desa ini tak lagi sunyi. Suara warga riuh di luar. Seperti sedang ada pembagian beras atau zakat dari orang-orang berduit. Ibuku yang lagi sakit pun berusaha keluar kamar mencari tau ada apa sebenarnya diluar. Aku hanya membuka tirau jendela dan melihat keluar. Kebetulan kamarku terletak pas di pinggir jalan. Begitu dekat dengan kumpulan warga yang ricuh. Aku melihat dengan jelas seorang satpam menggelatakkan sekujur tubuh. Tubuh seorang lelaki yang nampak kekar. Kacamatanya masih terpasang. Bercampur darah. Tubuh yang sudah kehilangan nyawa. Dengan lubang peluru tepat dikeningnya. Memang kejam. Para tetangga mulai sibuk bertanya dan menerka-nerka. Setelah sekian lama diketahui mayat itu adalah mayat seorang pengusaha yang sekian tahun menguasai pasar. Semua warga mengambil stok barang dari dia. Mendapat upah minim sedang dia mendapat upah sekian lipat dari barangnya. Tubuh itu diam. Malam semakin gelap. Warga semakin berduyun melihat kejadian. Aku hanya melihat dari balik jendela. Aku hanya termenung melihat kejadian itu. Sontak, dusun ini menjadi ngeri. Semakin ngeri sejak penemuan mayat itu. Orang-orang bertanya-tanya. Siapa yang membunuhnya?. Pertanyaan it uterus mengalir beberapa hari. “Ah, paling dibunuh sama saingan bisnisnya�
Yang lain berkata, “Mungkin ada yang tidak suka dengan sikapnya selama hidupnya. Biasalah, orang ini kan pelit. Selalu makan dari keringat warga. Wajarlah ada berbagai pihak yang dendam dan membunuhnya.” Begitulah obrolan sehari-hari yang kudengar. Mulai di warung kopi, ibu-ibu yang lagi asyik ngumpul. Bahkan di pasar, semua membicarakan hal itu. Aku seperti biasa hanya terdiam tak pernah menanggapi apa pun. Aku memilih untuk tidak berkata apaapa. Sementara di rumah, ibuku mulai sakit-sakitan. Batuknya tambah parah. Aku memutuskan mengajak meriksa ke puskesmas. Ibu semula menolak, “Biarlah, uang itu pakai aja membeli beras, besok juga baikan kok”, Ia selalu berkata demikian. “Ada uang lebih Bu” Aku mengeluarkan sejumlah uang dikantongku. Ibu ku nampak heran melihat uang dalam jumlah lumayan banyak. “Uang dari mana nak?” tanyanya. “Kebetulan tadi pagi banyak kerjaan, lumayanlah dapat banyak”. Ibu diam, ia tak bertanya lagi, ia tak pernah terlalu bertanya. Karena Ia sadar aku sudah dewasa. Akhirnya Ibu pun mau kubawa ke puskesmas. Sepulang dari puskesmas, aku menyempatkan diri ke took. Membeli spring bed, dikarenakan aku tak tahan melihat Ibu hanya beralaskan tikar dalam keadaan sakit begini. Ibu hanya tersenyum, “Makasih Nak, mudah-mudahan Gusti Allah selalu melimpahkan rezekinya untukmu” Ibu seakan ingin menetes air mata. Tangannya masih mengusap rambutku. Aku senang dan bahagia melihat Ibuku juga tersenyum. Hari itu kami makan enak, aku membeli dua bungkus nasi di warung makan sebelah. Tanpa sengaja di warung tersebut, aku bertemu dengan Pak Sulaiman. Pak Sulaiman adalah seorang pengusaha tembakau yang kaya raya. Tanahnya di manadimana dan bahkan Ia sering ke luar kota mengurus bisnis-bisnisnya. Aku pernah bekerja setahun lalu di kebunnya. Mengurus kebun dan beberapa binatang piaraannya. Ia memberiku sebungkus rokok dan mengajakku ngobrol sebentar. Hari itu ia nampak galau. Seperti ada beban dalam kepalanya, seperti ada urusan yang harus ia selesaikan
dengan meminta bantuanku. Setelah mengobrol, aku pun pulang membawa dua bungkus nasi untuk ku makan bersama ibu. Ibu tampak lahap makan siang ini. Dikarenakan lapar atau mungkin tumben makan dengan menu seenak ini. Dengan daging, paha ayam dan cumi goring. Aku tersenyum memandang Ibu. “Kamu gak makan Nak?”. Ia menyapaku karena melihatku yang hanya diam tidak menyuapkan nasi sedari tadi. Aku pun tersenyum dan mulai menyuapkan nasi. Ibu istirahat sehabis makan, ia tampak lelah karena lumayan jauh perjalan ke puskesmas tadi. Aku masuk ke kamar, membuka sebuah lemari yang selalu ku kunci rapat. Aku mengeluarkan sebuah kotak kecil dan mulai berfikir. Sambil mulutku tak henti megisap rokok yang terus menyala mengeluarkan asap. Asap putih yang terbang dan keluar dati balik jendela. Aku akhirnya keluar dan pamit sama Ibu. Ibu sangat ikhlas melepasku maghrib itu. Suasana desa mulai sepi lagi. Mendung menyelimuti. Gumpalan awan tebal seakan enggan memberi sedikit saja celah untuk sinar bulan. Hanya ada dua orang satpam yang mulai bermain kartu dan berjaga di pos ronda. Aku pun menyapa mereka. “Permisi bapak-bapak, asyik kayaknya main kartunya”. “Eh, mas Ilham, mau kemana?” satpam yang agak kurus menyapaku. “mau nyari kopi Pak, dingin…” “Oalah dingin, makanya buruan kawin” Mereka seperti biasa mencandaiku. “Kalo Jodoh mah pasti datang kalo dah waktunya” “Ya kalo ga dicari mana bisa dating” mereka serempak tertawa. Aku hanya tersenyum. Mereka selalu mencandaiku seperti itu. Selalu nyuruh kawin. Padahal umurku baru 22 tahun. Aku rasa belum saatnya memikirkan itu. Aku harus bias membuat Ibuku bahagia dan paling tidak bias membeli sebuah rumah yang layak untuk kami tempati. Baru berani ngawinin anak orang. Begitulah pola pikirku.
Meskipun banyak teman sebayaku sudah kawin dan malahan banyak yang sudah punya anak satu. Tak sedikit pula yang harus cerai karena terbelit masalah ekonomi. Itulah yang sangat aku takutkan. Sangat kutakutkan. Akhirnya aku pun permisi kepada kedua satpam itu. Mereka melanjutkan lagi permainannya. Malam pun semakin gelap. Hujan besar membasahi penjuru dewasa. Petir menggelegar dan sesekali menyambar. Membuat sebagian orang mengunci pintu rumah rapat-rapat. *** Tepat jam satu malam aku pulang. Ibu ku keluar membukakan pintu. Seperti biasa, Ia tak pernah bertanya sudah dari mana. Ia hanya tersenyum dan berkata, “makanan ada di dapur Nak, Ibu masak telur hari ini. Kebetulan masih ada sisa uang kematin yang kamu kasi”. Aku hanya tersenyum dan langsung masuk ke kamar. Melihat tetesan hujan yang sesekali menyelinap dari genteng rumah yang bocor. Petir bergemuruh, lagi-lagi warga riuh. Ada yang berteriak dan ada pula yang berlari. Pak satpam lagi-lagi menemukan mayat. Seperti biasa ia geletekkan di pinggir jalan. Persis di dekat jendela kamar. Aku hanya membuka jendela dan mulai memperhatikan dengan seksama. Seonggok badan kurus. Dengan rambut ikal dan sudah beruban. Sebuah peluru menembus dadanya. “Saya temukan dipinggiran sungai, saya waktu itu mau buang air, eh, ketemu mayat lagi” Begitulah pengakuan satpam itu. Aku mendengarkan dengan seksama. Petugas mulai berdatangan menyelidiki. Hujan menetes membawa darah yang mengucur ditubuh mayat itu. Para warga mulai terbiasa dengan kondisi itu. “Ah, mayat lagi. Pak Idris ya?” Nampak seorang warga bertanya. “Biasalah, saingan bisnis, pak Idris baru saja mendapat kontrak oleh Bupati untuk beberapa proyek.”. “Ga usah berkata begitu, ga baik” nampak seorang menegurnya. Tangis pilu dari keluarganya pun terdengar. Mayat itu dibungkus rapi, namun darah masih tampak mengucur menembus kain tipis yang menutupi tubuh itu. Beberapa kejadian mulai banyak terjadi. Beberapa mayat sering ditemukan dimalam itu. Polisi terus mencari apa penyebab kematian itu. Apa mungkin penjahatnya
begitu professional hingga jejaknya belum bias diendus. Atau mungkin ada sosok pembunuh yang bekerjasama dengan jin. Begitulah opini-opini warga. Karena masyarakat sini masih sangat percaya dengan hal-hal yang berbau tahayul. *** Sekian malam, keadaan semakin mengerikan. Aku memutuskan untuk keluar. Ibu ku nampak khawatir malam itu. Biasanya dia melepasku dengan senyuman manis di bibirnya. Tapi entah kenapa malam ini Ia hanya terdiam, bibirnya datar tak menyungging senyum. Aku mencium tangannya dan ia hanya berkata, “Cepet pulang ya Nak”. Aku pun beranjak dan melangkah jauh dari teras rumah. Hujan mulai deras. Hamper setiap malam hujan turun dan lampu pasti mati. Maklum, dusun ini belum mendapat aliran listrik yang layak. Dan setiap malam selalu bergantian mati dengan dusun tetangga. Kadang-kadang jatahnya sama-sama seminggu. Begitulah setiap malamnya. Malam pun semakin lurut. Ibu sendirian di rumah. Mungkin ia sedang asyik bertasbih atau berdo’a tak henti-henti untuk keselamatan anaknya. Atau mungkin juga sedang terbaring lesu dengan kesakitannnya. Entahlah, ia hanya sendiri di rumah. Aku meninggalkannya sejak maghrib tadi. Riuh warga mulai terdengar. “ada mayat lagi..!!”. Sorak sorai warga menembus malam. Ibuku terkaget dan keluar ditemani lampu senter yang redup. Ia nampak mulai masuk di kerumunan warga yang sedang ramai. Betapa kagetnya ia, melihat sekujur tubuhku tergeletak dengan dada ditembus dua peluru. Jerit tangisnya menyeruak membelah malam. Matanya bening dan pipinya merah merekah. Aku bisa melihatnya sebelum aku benar-benar menghembuskan nafas terakhir. “Ia ditembak polisi”. Begitulah warga menjelaskan. *SELESAI*
AKU SEORANG SAKSI YANG DILEMA Oleh : Rifat Khan Tepat jam sembilan pagi. Aku sudah berada di ruang sidang. Menjadi saksi. Sebuah hal baru dalam hidupku. Karena sampai saat ini aku belum pernah sama sekali berurusan dengan yang namanya hukum. Tapi hari ini, mau tak mau aku harus duduk di sini dan berbicara sejujur mungkin tentang apa yang menimpa kakakku. Satu-satunya kakak lelaki yang terbunuh beberapa hari lalu. Dan aku berada di sana pada saat itu. Sebuah kejadian yang selalu membuatku menitik air pada sampai pada hari ini. Kakakku bernama Toni, seorang mahasiswa semester akhir. Ia lumayan cerdas dan sering mendapat beasiswa beberapa tahun terakhir. Bahkan Ia akan direkomendasikan untuk mendapatkan beasiswa S2 dan melanjutkan sekolah ke luar negeri. Namun apa daya, malam Kamis yang begitu na’as. Ia menghembuskan nafas terakhir setelah beberapa botol lebur menghujam kepalanya. Sangat perih. Aku hanya terdiam melihat nafasnya terengah dan sakit menahan sekarat. Ruang sidang masih sepi dan sang hakim baru saja duduk ditempatnya. Para pengunjung sudah mulai nampak berdatangan. Dapat kulihat dengan jelas, Bapak, Ibu dan seorang adikku yang duduk berjejer di deretan bangku depan. Bapak mulai sakitsakitan sejak kematian Toni. Pukulan yang sangat berat bagi seorang bapak seperti dia. Betapa Toni adalah seorang anak kebanggaan bapak. Anak yang cerdas dan sangat rajin membantu orang tua. Bagaimana tidak, sehabis pulang kuliah, ia selalu menyempatkan diri ke pasar membantu bapak untuk berjualan. Dan pada malam hari ia bekerja disebuah toko untuk mencari uang jajan sendiri. Ia tak pernah merepotkan orang tuanya. Betapa kuliahnya pun sama sekali tak pernah minta uang kepada bapak. Bahkan sesekali ia memberi adiknya uang jajan jika ada uang lebih ia dapatkan. Aku masih ingat jelas, setiap pagi bapak selalu memarahiku setiap aku telat bangun, “Lihat kakakmu si Toni. Ia selalu bangun shubuh-shubuh ke musholla, adzan, kamu ini apa, cewek kok bangun seginian, rezekimu duluan dipatok ayam. Dasar anak cewek, maunya dimanjain aja� Begitulah ayah selalu dan hampir membanding-
bandingkan anak-anaknya. Selalu ia menyuruh kami mencontoh pada Toni. Sama sekali tak ada celanya di mata ayah. Karena memang demikian, menurutku juga Ia sosok yang sangat baik. Ia selalu peduli dan jauh mementingkan kebutuhan adik-adiknya ketimbang kebutuhannya sendiri. Ia sangat jarang jajan di luar dan ia juga memang tidak merokok. Sebagian besar uang yang ia peroleh digunakan untuk biaya kuliah, biaya adik-adiknya dan sebagian mungkin di tabung. Namun terkadang ada hal yang tidak ku suka darinya. Ia selalu mengurus masalah ku. Dengan siapa aku pacaran, bagaimana sikap pacarku dan siapa pacarku. Aku sadar, semua ia lakukan karena ia sayang padaku. Ia tak ingin aku memilih seorang pacar yang menurutnya tidak baik. Ruang sidang sudah mulai penuh. Para jaksa penuntut dan seorang pengacara sudah memasuki bangku persidangan. Dan yang ditunggu-tunggu tampak berjalan pelan menuju ruang sidang. Tersangka, begitulah ia disebut. Namanya Aldi. Nama yang begitu dekat denganku beberapa bulan terakhir ini. Kami pacaran selama 7 bulan dan Aldi merupakan teman sekelasku dan kami sedang menginjak kelas dua di bangku SMA saat ini. Aldi, sebagian orang di ruangan ini mungkin membencinya. Sebagian lagi mungkin mencaci dan menghujatnya. Matanya tampak beku. Ia sesaat menatapku, tatapannya kosong namun dapat kurasakan kasih sayangnya masih sama seperti kemarin-kemarin. Sedetik ia mencoba tersenyum padaku. Aku hanya bisa memandangnya, mukanya pucat dan sebuah goresan luka dipipinya yang masih mengandung darah. Ia nampak tegar. Seorang yang begitu pernah mengisi kekosonganku selama ini. Beberapa kali ia pernah ribut dengan para preman di jalan. Lantaran si preman terlampau sering menggodaku. Aku ingat dengan jelas, malam itu Aldi meneleponku memintaku menemuinya ditempat ia biasa nongkrong dengan teman-temannya. Tempat yang tak begitu jauh dari rumahku. Ia bilang ia begitu kangen dan belum berani ke rumah dikarenakan mas Toni, kakakku yang sudah meninggal, tak pernah ramah padanya. Karena mas Toni sudah mengenal betul siapa Aldi. Mas Toni sering berkata, “Dek, tolonglah kakak minta untuk tidak terlalu dekat dengan Aldi. Bukannya kakak sok ikut campur mengurus semuanya. Tapi kakak hanya ingin adek mendapat yang jauh lebih
baik. Aldi tidak begitu baik. Setiap malam sehabis dari toko, kakak selalu melihat mereka ngumpul dengan botol-botol minuman berserakan dengan beberapa temannya. Ada yang sampai pungsan dan terkujur di jalan. Ada yang ngoceh sembarangan dan teriak-teriak. Cobalah berfikir dek, sesayang apapun kita sama seseorang. Jikalau sifat dan perilakunya seperti itu. Kakak yakin, rasa sayang itu bisa hilang. Apa yang bisa diandalkan dari lelaki seperti itu. Apakah ia bisa menjadi seorang pemimpin kelak bagi kamu dan anak-anakmu kalau setiap malam ia hanya mabok-mabokan. Paling-paling adek hanya jadi pelampiasan marahnya. Dengarlah kakak sekali saja�. Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapannya. Aku tak pernah melawan tapi tak pernah juga berhenti menyayangi Aldi. Ia terlampau baik bagiku. Ia selalu ada kapan pun di saat aku butuh. Di depanku ia begitu sopan dan ramah, meskipun kebanyakan orang berkata ia hanya sampah masyarakat. Dan sampah sepatutnya ada di bak samapah. Aku tak peduli. Aku sayang sama dia. Toh, walaupun dia sering mabuk, tapi ia selalu tak pernah bohong dan tak pernah menyakiti. Begitulah, selain bertemu di sekolah, kami selalu bersembunyi tiap kali ketemu dari penglihatan mas Toni, aku selalu menemuinya kapan pun ia minta. Terkadang aku berlasan keluar motocopy atau mungkin pergi membeli jajan. Ayah selalu curiga dan selalu ngomel tiap aku minta izin. Tapi itulah kekuatan cinta yang kami miliki, aku selalu tak peduli dan terlanjur sangat sayang padanya. Sedikit pun tak ada keburukan darinya. Yang ia tanam hanya senyum. Senyum yang begitu berbeda kulihat di ruangan ini. Aldi nampak memakai sehelai kemeja putih. Dengan rambut yang mulai agak gondrong. Dan nampaknya berhari-hari tak disisir. Aku bisa menangkap keresahan dan ketakutan yang menggantung dibenaknya. Sesekali ia memandangku. Aku pun sesekali memandangnya. Namun aku sangat bingung. Aku berada di sidang ini sebagai musuhnya. Sebagai seorang saksi yang akan menjerumuskannya ke penjara. Beberapa tahun atau mungkin bisa saja seumur hidupnya. Fikiranku begitu kosong, di pihak lain keluargaku berharap aku mengatakan sejujur-jujurnya tentang kejadian itu. Sehingga pembunuh kakak ku bisa merasakan balasan yang setimpal dengan apa yang di dapat anaknya. Di sisi lain lagi aku harus membuat orang yang begitu kusayang dan juga sangat mencintaiku mendekam di dalam
jeruji besi. Namun kebenaran tetap akan menjadi kebenaran. Kebenaran akan terkuak sejauh mana pun orang menyembunyikannya. Kebenaran adalah sebuah kebenaran. Tibalah saatnya, seorang hakim meminta menghadirkan seorang saksi tunggal. Aku pun berjalan ke tengah ruang sidang. Duduk di sebuah kursi dengan detak jantung berdegup tinggi. Aku memandang semua keluargaku yang masuh duduk sedari tadi kemudian mengalihkan pandanganku ke arah Aldi. Ia hanya menunduk dan pandangannya tak tertuju padaku. Air mataku menitik sesaat sebelum seseorang mangangkat sebuah Al-quran tepat di atas kepalaku. Bibirku gemetar dan tanganku serasa berat. Aku pun berbicara. “Malam itu, tepatnya malam Kamis. Aku meminta izin kepada bapak untuk membeli sebuah buku. Bapak enggan memberiku izin. Namun aku terus merengek meminta izin pada Bapak. Dan ia mengizinkanku keluar paling lama hanya setengah jam. Aku sangat bahagia keluar teras rumah. Dikarenakan aku berhasil membohongi bapak. Aku berkali-kali membohongi beliau. Maafkan aku Pak.� Sambil aku menoleh bapak yang masih duduk kaku dibangku paling depan.Bapak pun memandangku dengan tajam. Mata itu tampak berair. Aku pun melanjutkan pembicaraan. “Aku pun berjalan, karena tujuanku sebenarnya adalah menemui kekasihku. Kekasihku adalah Aldi, yang kini menjadi tersangka. Aldi, kekasih yang sangat baik dan selalu memenuhi semua keinginanku. Namun sayang, kakakku yang kini jadi korban, Toni, selalu memandangnya sinis. Selalu beranggapan bahwa Aldi hanya seorang pemabuk dan tak pantas sama sekali dekat denganku. Karena kami dari keturunan baikbaik. Mengingat ayah kami adalah seorang imam Masjid. Begitulah, mas Toni tak pernah memandang kebaikan kepada tersangka Aldi.� Para pengunjung sidang mulai riuh mendengar setengah penjelasanku. Ada yang mulai keluar karena sidang tidak menarik atau memang ada kewajiban yang harus dikerjakan. Hakim memintaku melanjutkan penjelasanku. Dengan gemetar aku pun berucap, “Mas Toni seperti biasa berjualan di Toko setiap malam dan pulang sekitar jam
setengah sepuluh malam. Mungkin bapak dan dan Ibu dirumah sangat khawatir karena sampai jam segini aku belum pulang jua. Biasanya aku hanya setengah jam bertemu dengan Aldi. Tapi malam itu entah kenapa sudah hampir dua jam aku masih bersamanya. Aldi malam itu bercerita masalah orang tuanya yang sering bertengkar. Bapaknya sering meninggalkan Ibunya dan pulang pagi. Ibu nya selalu menuduh bapaknya selingkuh. Sehingga orang tuanya selali ribut dan berujung pada pertengkaran. Sebagai seorang pacar, aku mendengar curhatnya malam itu. Sesekali menjawab dan memberi masukan. Berharap ia bisa sedikit tenang. Aldi, malam itu seperti biasa habis menenggak berbotolbotol minuman keras. Namun malam itu Ia sendiri. Teman-temannya tak ada satu pun. Karena biasanya mereka selalu kumpul. Kami hanya berdua malam itu. Malam sangat sepi sekali. Aku sesekali mengelus rambutnya memberinya perhatian. Karena aku sadar dia hanya bisa bercerita padaku. Menceritakan segala keluh kesahnya karena ia hanya percaya padaku.” “Bagaimana pun orang bilang, Aldi adalah seorang yang super baik terhadapku. Seorang yang bisa disebut sebagai pacar sebenarnya. Ia mampu melindungiku dan menjaga harga diriku sebagai seorang wanita. Meskipun tampangnya agak ugal-ugalan. Meskipun cemo’oh warga tak henti menghina dan merendahkannya. Ia selalu senyum walau jauh dikedalaman hatinya ia sedih dan menangis sekeras-kerasnya. Malam itu, sudah jam sembilan lebih, aku sebenarnya sangat ingin pulang. Namun apa dayaku.
Aldi
sangat
membutuhkanku
malam
ini.
Aku
tak
kuasa
untuk
meninggalkannya.” “Dari kejauhan aku melihat sebuah lampu sepeda motor. Hal yang kutakutkan benar-benar terjadi. Mas Toni lewat sepulang dari toko. Tepat sekali, lampu sepeda motornya mengarah pada kami yang lagi duduk berdua dalam kondisi Aldi memelukku. Sepeda motor itu berhenti. Mas Toni beranjak turun dari motornya”. “Apa-apain ini” mas toni berteriak dan menarik tanganku. “Pulang kamu…!!!” sementara Aldi langsung terbangun memegang tubuhku. “Santai aja Mas” Aldi mencoba melerai tangan mas Toni. Mas Toni tak kuasa menahan marahnya. Gumpalan tangan kanannya menonjok pipi Aldi. Aldi tersungkur. Mas Toni terus
menarik tanganku sekuat-kuatnya. Aldi beranjak bangkit dan memegang sebuah botol. “Dasar anak nakal, malam-malam gini masih bersama bajingan, bajingan selamanya bajingan. Lihat keluarga pacarmu itu. Bapak sama anak semuanya ga bermoral. mau jadi apa kamu?” mas Toni terus ngomel dan mencaci sembari menarik tanganku untuk naik di motornya. Dan tiba-tiba dari belakang, aldi sudah memegang dua buah botol minuman. Dalam hitungan detik aku hanya mendengar suara botol pecah di kepala mas Toni. Aku terkaget dan coba melerai aldi. Namun apa dayaku sebagai perempuan, tangan Aldi terlalu kuat dan Ia terus memukul kepala mas Toni. Hampir lima pukulan dengan dua buah botol. Mas Toni tergeletak, tubuhnya yang tegap jatuh dengan darah mengalir keras di kepalanya. Aldi hanya terdiam melihat kejadian itu. Sementara aku menangis sekeraskerasnya melihat tubuh kakak ku terbaring tak berdaya. Dan warga mulai berdatangan. Sebelum sampai dirumah sakit mas Toni menghembuskan nafas terakhirnya karena terlampau kehilangan banyak darah.” “Begitulah Pak Hakim cerita sebenarnya”. Aku mengusap air mataku yang mulai jatuh dengan sebuah tisu. Aldi tertunduk lesu memandangku. Aku lega bisa mengatakan kejadian sebenarnya dan resah menanti hukuman apa yang diberi kepada Aldi. Desember 2011 *SELESAI*
INGATANTENTANGPEREMPUANYANG MENCINTAI PUISI Sore ini, aku seperti biasa pergi untuk menginap di masbagik bersama seorang kawan. Mungkin setiap satu kali dalam seminggu aku membiasakan diri ke masbagik setelah merasa penat dengan kondisi di Pancor. Paling tidak di sana aku bisa merasakan suasana sunyi dan sedikit suasana persawahan. Perjalanan kali ini tak seperti biasanya, karena sama sekali tidak diiringi gerimis atau pun hujan. Karena mungkin kebetulan atau apa, biasanya setiap ke Masbagik selalu diiringi hujan atau pun gerimis. Mungkin pula karena sore tadi gadis itu menyempatkan diri berkunjung dan ngobrol disampingku selama kurang lebih setengah jam. Ah, kenapa aku mengingat gadis itu. Ya, aku harus mengingatnya dalam perjalanan ini. Sore tadi, ia berbicara tentang kecintaanya terhadap menulis. Khususnya puisi. Karena beberapa tahun terakhir ini pun aku merasakan perasaan cinta yang tulus terhadap puisi. Cinta yang mungkin bisa memberi nyaman, tanpa sakit hati dan cemburu. Aku mencintai segala hal tentang puisi. Mungkin demikian pula dengan gadis itu. Ia mulai giat menulis dan bertanya tentang puisi. Kepada siapa saja yang ia rasa cukup mampu menjawab segala tanyanya. Aku menamakan gadis itu Aida. Entahlah, mungkin terlalu jauh dari kebiasaan orang memanggilnya. Gadis yang begitu mencintai puisi. Gadis yang seringkali menunggu gerimis jatuh dikamarnya, bahkan sering juga menatap bulan yang mengintip dari jendela sembari ia menggores pena pada selembar kertas. Menulis tentang perasaan cinta, sedih, rindu, benci bahkan tentang kesepian yang seringkali mengetuk-ngetuk hati dan mengisi jiwanya. Kesepian ? Gadis secantik itu bisa kesepian ? mungkin pertanyaan ini akan muncul dari kamu atau siapa saja yang pernah secara langsung menatap gadis ini. Matanya yang tajam dan indah. Alisnya yang tumbuh beriring. Hidung dan bibirnya yang serasi dalam satu garis. Atau mungkin dagunya yang tajam
dengan wajah yang manis. Senyum yang ramah dan tutur yang agak lembut. Pasti banyak lelaki yang ikhlas mengemas seluruh cintanya dalam kotak-kotak emas dan dipersembahkan utuh untuknya. Mungkin saja, karena ia pun pernah bertutur tentang sekian banyak lelaki yang menaruh hati padanya. Di antara sekian lelaki itu, ada yang menyatakan cintanya dengan biasa saja dan sewajarnya. Tak jarang pula yang melakukan pendekatan berlebihan, dengan mengisikan pulsa setiap hari, mentraktir makan di setiap kesempatan, bahkan menelpon hampir di setiap menit. Dengan pertanyaan-pertanyaan umum, lagi apa ? Sudah makan ? apa kabar ? sudah mandi?. Paling tidak pertanyaan seperti itu. Namun seperti biasa, gadis itu hanya tersenyum dan berucap terima kasih kepada siapa saja yang menaruh perhatian kepadanya. Ia tak mau terlalu jauh memberi harapan atau pun menanam benih cinta kepada salah satunya. Mungkin ia enggan membuka hati terhadap lelaki. Mungkin pula ia mempunyai janji untuk fokus terhadap kuliah dan menjadikan cinta dan pacaran bukan sebagai prioritas utama sebelum mencapai wisuda dan memberi senyum terindah di wajah ayahnya. Entahlah, yang pasti saat ini ia selalu sendiri dan tetap sendiri. Lumayan lama mengingat gadis itu. Tidak terasa perjalanan sudah sampai ke masjid Dasan Lekong. Ingatan-ingatan tentangnya masih membias. Gadis yang mulai suka menyanyikan lagu Adele yang judulnya Someone Like You. Mungkin sebagian besar cewek sedang mengganderungi lagu ini. Dan dia salah satunya. Aku tak pernah mendengarnya bernyanyi secara langsung. Mungkin karena ia terbiasa agak sedikit malu. Bibirnya kadang kelu jika di suruh bernyanyi langsung. Entah kenapa ia suka dengan lagu ini. Apakah karena lagu ini lumayan mellow atau karena sura khas penyanyinya yang awalnya dia mengira bahwa yang menyanyikannya adalah seorang cowok. Someone like you berarti seseorang yang sepertimu. Jika dilihat arti lagu ini secara umum menceritakan tentang bagaimana seorang perempuan mencoba bertahan
setelah ditinggal kekasihnya menempuh hidup baru bersama perempuan lain. Dan ia mempunyai satu harapan suatu saat nanti akan menemukan seorang yang mirip atau mungkin sama dengan kekasihnya tersebut. Mungkin karena ceritanya pula ia menggemari lagu ini. Atau teringat dengan cinta pertamanya waktu di bangku sekolah dulu. Mungkin saja, karena ia pernah berucap kalau ia hanya pernah sekali pacaran waktu SMA. Ia pernah tersakiti karena ditinggal sama kekasihnya itu. Sehingga sampai sekarang ia masih tak mau lagi mengikat janji hati dengan seorang lelaki. Aku hanya menebak, mungkin pula ia masih mencari lelaki yang paling tidak mirip dengan kekasihnya dulu. Lelaki yang mungkin dia anggap menyerupai nabi. Seperti yang sering ditulis di beberapa puisinya. Karena aku juga sering membaca puisi-puisinya. Ia sosok wanita yang cukup tegar. Ia tak pernah takut sendiri meski jauh dari kedua orang tuanya. Namun sesekali ia pun kadang lemah dan menangis. Ini sangat wajar karena ia wanita. Pernah juga ia berkata untuk berhenti menulis. Dikarenakan ia merasa tulisan-tulisannya hanya sebuah sampiran, tidak mempunyai makna yang pasti. Tanpa pernah Ia sadari bahwa setiap tulisan yang muncul dari hati pasti mempunyai makna. Paling tidak bagi si penulisnya sendiri. Seperti aku, aku merasa menulis puisi adalah salah satu cara mengingat sejarah tentang diri kita sendiri. Karena aku yakin, sebagian besar penulis menulis apa yang sedang ia rasakan saat itu. Namun keputusasaannya tentang menulis terjawab sudah setelah pesannya masuk di handphoneku berbunyi, “Puisi ku hari ini berjudul Aku menunggumu di jendela ini�. Aku hanya berucap dalam hati, alhamdulillah ia menulis lagi. Karena terus terang saja. Aku sangat menyukai seorang yang suka menulis. Apalagi ia perempuan. Mungkin aku juga merasa telah salah mencintai seseorang yang sama sekali tak pernah membaca dan menghargai puisiku. Padahal sudah berpuluh-puluh puisi yang ku tulis tentangnya. Mungkin ini adalah kesalahan sejarah seperti yang sering diucap oleh seorang kawan. Sudahlah, lupakan tentang perempuan yang satu ini. Aku mulai lagi menutur
tentang gadis pencinta puisi ini. Satu hal lagi yang sering membuat aku terkesan adalah ketika tiba-tiba dia mengirim pesan ke handphone ku. Ia terlalu sering mengirim kata-kata yang ada dalam puisiku. Itu merupakan sebuah penghargaan yang luar biasa. Paling tidak ada yang membaca dan mengingat beberapa larik puisiku. Aku tak pernah sekalipun mengunjungi tempat kostnya. Walaupun ia sesekali menyuruh berkunjung disana. Mungkin di dinding kamar kostnya banyak tertempel beberapa lembar puisi. Puisi tentang Ibu atau mungkin puisi tentang rindu yang sering mengganggu. Aku terlalu takut terkurung dalam definisi puisi yang sampai sekarang aku tak tau definisi pastinya. Aku terlalu takut jika tak mampu menjawab berbagai pertanyaan tentang tulis menulis. Karena jujur saja, teori yang kufahami masih sangat minim. Aku pun terlalu takut lama memandangnya sehingga aku tak bisa mengelak untuk selalu mengingat dan menuangkannya dalam berbagai puisi yang akan kutulis nantinya. Ketakutan semacam ini sudah pula kualami beberapa bulan lalu. Ketakutan yang terus kutuang dalam berbagai puisi dan mendeskripsikan setiap geraknya melalui bait-bait yang mungkin menurut beberapa orang indah. Mungkin pula menurut beberapa orang hanya sebuah tulsian tanpa makna. Perjalanan kali ini sudah sampai di perempatan masbagaik. Di sana kami putuskan untuk berhenti sejenak mencari warung untuk membeli lauk makan malam. Akhirnya kami pun berhasil menemui sebuah warung dengan menu sederhana dan pastinya juga dengan harga yang bisa terjangkau. Karena beberapa bulan terakhir keuangan di kantong sangat minim. Hehehe. Aku menyempatkan diri mengirim sebuah pesan kepada gadis ini. Pesan itu berbunyi, “Aku menggambar wajahmu di perempatan masbagik�. Beberapa saat kemudian datanglah sebuah pesan balasannya, “Hehehe, asal jangan digambar di tempat parkir�. Begitulah ia membalas dengan sederhana. Tentunya diawali dengan ketawa yang terbiasa ia tulis di setiap awal pesan. Aku tak mungkin menggambarnya di tempat parkir. Dan jika pun mungkin, tempat apa pun tak
akan bisa menghalangi. Bisa saja jika tempat parkir itu memberi kenyamanan dan lantas membuat hati bahagia. Sehingga kita memperoleh surga disana. Yah surga, lagi-lagi pertanyaan yang sering ia ucap. Apa surga itu, bagaimana bentuknya dan apa warnanya. Pertanyaan yang satu orang pun belum bisa menjawab dengan pasti. Dan aku hanya mendeskripsikan surga itu adalah suatu kebahagiaan. Jika semua kebahagiaan hati dan jiwa sudah bisa kita dapat. Maka surga itu sudah ada dalam diri kita. Itu menurutku. Bagi orang lain, mungkin akan banyak definisi-definisi tentang surga itu. Akhirnya tepat pukul tujuh lewat lima belas menit kami pun sampai dirumah. Sembari menghela sedikit nafas menunggu hidangan makan malam. Selepas makan malam aku lantas menulis tulisan ini. Hingga saat menulis paragraph terakhir ini, hujan deras berjatuhan di atas genteng. Rasadingin yang harus dilawan dengan segelas kopi hangat. Karena cuaca di daerah ini lumayan dingin. Tapi aku harus menuntaskan tulisan ini. Dengan segenap rasa yang rasa. Dengan segenap ketulusan aku menulis untuknya sebagai penghargaan atas segala tutur dan tegar sifatnya. Atas segala kecintaan hati dan keikhlasannya menulis. Aku hanya bisa menghargainya dengan tulisan ini pula. Semoga setiap mimpi dan harapnya menjadi nyata. Semoga apa yang dipesan bunda dan ayahnya bisa terwujud. Semoga kebahagiaan selalu mewarnai setiap langkahnya. Karena aku percaya, semua tak ada yang sia-sia. Semangat dan tetap menulis. Paling tidak setiap apa yang tertulis bisa bermanfaat bagi diri sendiri. Dan alhamdulillah jika bisa pula bermanfaat bagi orang-orang sekitar. Tersenyumlah karena aku terlalu bahagia menatap senyumanmu.
Selesai__
BIODATA PENULIS
RIFAT KHAN. Lahir pada tanggal 24 April 1985 di Pancor, Lombok Timur, NTB. Menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Selong pada tahun 2004. Menulis puisi dan cerpen sejak kelas 1 SMP dan Aktif di Komunitas Menulis Rumah Sungai Lombok Timur. Beberapa karyanya pernah dimuat di Majalah Lokal seperti Buletin Embun Lombok Timur. Puisinya juga pernah dimuat di Blog Penyair Nusantara dan salah satu puisinya dimuat dalam buku antologi puisi Kado Untuk Padang. Sekarang Bermukim di Lombok Timur, NTB. Email : rifatkhan21@ymail.com Blog
: rifatkhanblog.blogspot.com
HP.
: 087763151315