Rindu Kematian

Page 1

Rindu Kematian

Rifat Khan


TANYAKU *‘Kapan lagi kutulis untukmu. Tulisan-tulisan indahku yang dulu. Pernah warnai dunia, Puisi terindahku hanya Untukmu’. Antara baris lagu itu. Terselip beberapa tanya untukmu. Pertama, adakah kau tersenyum mengenangku? Atas luka yang kau hidang di bola mataku. Sejak kau menangis dipeluknya. Menghadirkan cemas yang ganas. Benci yang caci. Kedua, kapan lagi kau mencintaiku? Mengusap ribuan sesal dan bara di dadaku. Mengeringkan mata dengan pesona senyummu. Bibir merah yang indah. Garis senyum yang ranum. Ketiga, maukah kau menjadi bait-bait puisiku lagi? Menjadi telaga dalam kering imaji. Menjadi awan saat mentari berpijar menyinari. Atas panas yang beringas. Sejuk yang peluk. *Mungkinkah kau kan lembali lagi. Menemaniku menulis lagi. Kita arungi bersama. Puisiku terindahku hanya Untukmu’. Jika kau diam tak bergumam. Ini tanya terakhir, dariku yang mencintaimu penuh khawatir. Sudikah menikah denganku?. Menyatukan mimpi tanpa tepi. Memupuk cinta yang lapuk. Mewarnai hidup yang redup. Membagi kasih tak letih. Memadu hati hingga mati. Sekali lagi, Sudikah menikah denganku? Juni 2012 * Petikan Lagu Jikustik ‘Puisi’


PUTRI NELAYAN Di mata gadis itu, aku melihat laut Di tangannya ratusan layar terkembang Ribuan ikan terjaring pada kelopaknya Pesisir pantai indah terhampar di wajahnya Senyum bapak yang letih tergambar Pada setiap hela teriaknya, “Bapak, tangkap yang banyak, kita hadiahkan Kepada Tuhan, atas laut luas yang memberi puas, Atas ikan-ikan segar penyambung hidup yang tegar”. Keringat mengucur di pipi bapak yang uzur Senyum tipis menebar seperti bunga mekar “Nak, ikan ini adalah rezeki sang khalik, Atas seragam sekolahmu yang menarik, Atas tawa manjamu bersepeda di bawah terik,” Sepuluh langkah gadis kecil itu mendekat Memeluk sang bapak semakin erat Tangannya masih memegang puluhan karang Suara ombak begitu damai jauh dari irama perang 05 Juni 2012


PETA HIDUP Aku memberimu peta hidup Tergambar di dalamnya aku dan kamu. Garis-garis bujur yang selalu tak mujur. Mencintaimu tak letih hingga uzur Daerah bukit yang cukup rumit Kasihku padamu takkan berpamit Lewat peta hidup aku mulai mengajarimu Membangun rumah dengan cinta yang ramah Pekarangan dua are sebagai tempat hidup Menyala-nyalakan asmara yang kian redup Suatu saat, jika langkahmu goyah Tersesat dan hendak menyerah Kau buka kembali peta itu, yakinlah aku masih disitu Biarkan lembaran-lembarannya lusuh Karena mencintaimu aku tak pernah jenuh Juni 2012


SEBUAH PERBINCANGAN TENTANG PEREMPUAN DAN MASA LAJANG Kita masih berbincang Tentang perempuan dan kelam masa lajang Nama-nama itu terselip antara deretan bungkus rokok Satu-persatu hilang seiring kokok ayam bangkok Segelas kopi susu hilang separuh Cerita pertama tentang kau yang berteduh Menunggu perempuan yang kau cinta sungguh Perempuan yang membawamu pada kata rapuh Sesekali matamu melirik lemari tanpa pintu Sepertinya kau menemu jalan buntu Perempuan itu harus dilupakan secepat waktu Dengan memikirkannya jarum jam akan beku Tinta yang kau gores diam membatu Tak bergerak, dan enggan menutur kembali Tentang perempuan kedua, ketiga yang mulai hilang Saat rintuk hujan diam-diam mengetuk pintu kamar Membuatmu tertidur pulas dengan puluhan luka memar Juni 2012


SEMACAM KERINDUAN PADAMU Aku memendam perasaan yang dalam. Pada gadis bermata tajam. Gadis yang mengikat mimpi dan citanya diatas dendam. Nyala-nyala lilin kian temaram. Di kamar kost ia selalu menangisi malam. Atas masa lalu yang kelam. Kisah cinta dan hati yang perlahan karam. Hari esok yang mungkin cerah atau kian padam. Aku menitip rindu seperti laut. Kepada semangat dan senyumnya yang tak surut. Walau air mata senantiasa bermain di hatinya berkabut. Ia tak henti bersujud lutut. Sebaris do’a di bibirnya terpaut. ‘Tuhan, berikan hidup indah tanpa rasa takut. Berikan perasaan ikhlas tanpa harus menuntut’. Demikian aku menaruh cinta sepenuh hati. Kuhadiahkan dengan sekotak peti. Untukmu yang tak kan terganti. Walau jiwa hampir mendekati mati. Kucoba bangun, perlahan kau kudekati. Sungguh, aku memikirkanmu hari ini dan nanti. Meski rindu terkadang seperti belati. Menikam dan mencabik segenap isi hati. Namun kau tetap harum bagai melati. Semoga kau berkenan. Belajar mencintaiku perlahan. Pelan dan sangat pelan. Rifat Khan, Juni 2012


PEDAGANG KOPI DI JOBEN Aku tutur kembali. Cerita yang jatuh dari matamu. Kerudung yang mendung melepas gerimis. Hatimu yang redup kian teriris. Dara belia kelas tiga SMA. Di ujung Joben aku memahamimu. Tentang mimpimu di bangku kuliah. Tentang citamu yang mungkin sederhana. Tentang mukamu yang pilu melihat nyata. Kau terlalu muda untuk dewasa. Sembari kau mengaduk dua gelas kopi dengan air mata. Nenek tua disampingmu terlalu cepat membatas khayalmu. Tentang penghasilan paspasan. Tentang bapak yang pulang mencari surga. Tentang Ibu yang menghitung butiran rindu di Kalimantan. Matamu diam-diam menyimpan air. Sebuah mimpi kecil sederhana. Namun nyata, selalu berbeda dari asa. Nenek tua disampingmu hanya tertegun dengan mata yang sama denganmu. Berair. Joben, 06 Mei 2012


SORE DI HARI YANG FITRI Seperti mengurung semua rindu. Denting jarum jam beku. Di iringi lagu merdu, Bapak bertutur sendu. ‘Nak, bawa Bapak ke sebuah pulau dimana cinta adalah sebuah peluru, membinasa menusuk utuh’. Lamunku terbangun seperti jatuh dalam lubang. Mata Bapak masih biru, sejak kutinggal berbulan lalu. Cinta mana yang ia tuju. Ia menangis tersedu. ‘Nak, bawakan untukku sebuah hati. Hati yang jernih tanpa dengki. Hati yang putih tanpa secuil buih’. Lalu ia memejam mata sedetik. Di mata itu pernah kutanam berbagai luka dan tawa. Di mata itu pula, sejumlah baris cinta dan puisi pernah kudapatkan. Aku diam. Sudah saatnya aku membawa hati perempuan sebagai anaknya. Yang membuat tawanya merekah saat lelah. Perempuan yang memasakkannya nasi putih dan menyuapinya. Perempuan yang membuatnya hidup kembali dalam raga seorang cucu. Dalam hati aku berucap, ‘Bapak, perempuan itu akan segera kubawa’. 2012


Sebuah Foto di Belakang Pintu Dik, mendekatlah sedetik. kuceritakan kau tentang sebuah foto tua yang masih menempel dibelakang pintu sosok tegar selalu tersenyum binar wajah manis tak pernah menangis ia adalah Ibu, wanita satu antara seribu wanita hebat dengan rambut terurai lebat Mendekatlah Dik, air matamu jangan menitik sembilan belas tahun silam ia melahirkanmu diujung malam melepas tangismu dalam kelam ia kemudian berpamit dengan senyum rumit bayi perempuan itu adalah kamu ia bungkus dengan madu dan sejuta rindu ia doakan dengan cinta kepada sang Pencipta ia tanamkan sayang tanpa saling menyerang Dik, tersenyumlah Kau terlalu cantik untuk menangis Juni 2012


MENGUTUK SEBUAH TANGGAL :AA Jika saja nyata berjalan seperti ingin. Aku telah memiliki anak di perutmu. Membangun rumah dua kamar bersanding telaga di depan. Mencium keningmu saat pekerjaan membuat kita terpisah pada jarak. Kau cium pula tanganku, sebagai kenangan yang kurendam dilaci kantor. Sebelum lapar dan rindu memaksaku pulang menggenggam senyummu. Jika saja rindu kau balas dengan ikhlas. Jangan kau cemas. Hati akan terpadu dalam irama merdu. Notasi-Notasi beda kita satukan pada sebuah rumah yang kita sebut keluarga. Tak berjarak, dekat seperti malaikat. Tangis bayi yang setia mengganggu tidur kita. Sayu sendu matamu terbangun pukul tiga. Kita jaga erat jangan sampai hitam berkarat. Namun, gerak kalender yang tersisa tuk menjemputmu. Membawaku pada angka tiga di bulan kedua. Kau di ambil diam-diam sebelum angka empat menjelma menimbul petaka. Maaf mungkin aku hanya lupa berdo’a dan terlalu enggan mengeja berbagai mantra. Sebab menyinggahi rumahku di tanggal itu adalah tangis terdalam sepanjang umurmu. 23 April 2012


Kepada Perempuan Yang Lupa Menitip Cinta di Kedalaman Hatiku Kepada perempuan yang lupa Menitip cinta di kedalaman hatiku Di simpang tiga sebelum telaga Mataku pernah tersesat mencarimu Sisa gerimis membasahi ujung baju Namun hati terus cepat melaju Harus menemui matamu sore itu Mengintip atau beradu temu Namun, angin lupa menjejak langkahku Menuju teras rumahmu Sebelum air telaga meluap Mencipta gelombang pasang di dadaku Kepada perempuan yang lupa Menitip cinta di kedalaman hatiku Aku pernah mencurimu malam itu Membawamu menyinggahi rumahku Memaksa hatimu berwarna sama denganku Atas baju pengantin yang kusiapkan di lemari Mahar yang kupendam dalam peti Cicilan rumah yang belum terlunasi Namun gerimis terlanjur menari dimatamu Memaki-maki hatiku yang dalam mencintamu Aku masih menatapmu dengan cinta yang pelan Hatimu yang tak sempat ku eja shubuh-shubuh Dan kau memilih menghilang bersama lelaki di mimpimu April 2012


Gadis Yang Lupa Menangis : Yang Tak Bisa Ku sebut dan Ku eja Namanya Mata itu kah ? Sayu mendung seperti beban Menggantung kering tak berair Hidung itu kah? Menyimpan beberapa tanya Mengendus sejumlah rindu lama Bibir itu kah? Menjelma merah basah Seperti mengundang berbagai resah Dagu itu kah ? Kujumpai di kala mimpi Merasuk menari-nari sepi Leher itu kah ? Putih jenjang nan panjang Dalam sisa pagi lengang Tangan itu kah ? Serupa tali pengikat Memegangku erat usir penat Kaki itu kah ? Kau langkahkan menuju pintu Berlari, berputar membunuh waktu Lalu, apalagi yang kau ragukan Jika semua tubuh dan jiwamu Kugaris dalam bait puisi Tergambar dalam angan Sore ini di bundaran taman Taman Kota, 14 April 2012 05:45


Pengakuan Perempuan di Malam Pengantin Sampaikah kita ke puncak itu ? Lalu ranum senyummu menjawab Cinta akan membawa kita berjalan Tertatih atau mungkin merangkak Menggapai dan menangis diatasnya Biarkan saja, matamu terbuka dan enggan menitik air hujan Karena dalam hatiku hujan terlampau deras Hujan itu adalah kamu Bisakah mengalir seperti hujan? Saat cinta tertawa, menangis dan bahkan terhina Kepakkan saja, biar angin berhembus pelan Membawa dan menyisa kenangan Mengalir melewati bebatuan Membawa kita bermuara dalam hening Lantas, bukan pula suaramu menyuarakannya Tapi hatimu adalah pesona terdalam Kerinduan akan membuncah perlahan Lalu, ragu itu apakah mukamu yang lugu? Apa lagi yang kau tunggu, sesempurna apakah keyakinan itu Ketika kita telanjang dan tubuh beraroma satu Dapat kau hitung berapa tai lalat menempel dibadanku Tiga atau empat. Jangan menghitung cepat Pelan-pelan saja biar ragu itu hilang seiring irama lagu Rahasia-rahasia terbuka dalam lembaran baju Pelan-pelan nafasmu berbisik, seperti inikah? Cinta itu merapat, erat dan pekat Maka akan kau tau maknanya Matikan lampu, dekatkan dirimu padaku Hingga dalam shubuh kau mampu berkata pasti, Inilah cinta Inilah cinta Inilah cinta Hakiki tanpa ragu Bahagia tanpa sendu Mati dalam senyum Februari 2011-2012


Sebuah Harap :Murni Pada tempat yang entah, aku menitip satu tanya dalam-dalam hatimu yang gamang dan merah Jawaban yang kau bawa bersama debur ombak karena ku yakin, bendera perahu yang berkibar tak lantas membuatmu sejenak memikirkanku maka, aku biarkan dedaunan dirumahmu menghijau seiring kepakkan akhir bulan yang memaksamu kembali entah mengapa, aku terkadang berharap bisa mengantarmu pergi dari balik jendela atau menunggu senyummu selepas perahu kembali menepi 15 Februari 2012


MENGENANG 3 FEBRUARI lalu, pernah ku ajar kau menangkap angin pada sisa malam nan dingin angin yang sama setahun silam saat matamu menitip rintik hujan pernah pula ku ajar kau menyulam luka pada malam tiga februari dalam redup cahya bulan kita belajar mengeja cinta yang beda kemana arah angin malam ini? kerumah ku, rumahmu atau jalan yg belum kita ketahui aku tak mampu menjawab sebab cuaca tak bisa ku baca 03 Februari 2012


Pada Garis Tawa dan Kulitmu : Seorang yang baru kutau namanya Seperti menemukan waktu tertawa. aku lantas mengurung diriku hanya pada satu tawa. ialah garis tawamu. sebatas pandang, gerak bibir mu tipis. hidung sedikit mancung, dagu yang tajam. leher putih nan jenjang aku menangkap sebutir tawa yang kau simpan berbulan dalam keras lemari baja. aku harus menatapmu lama-lama. menangkap bola matamu dan pelan-pelan mengusik hatimu dengan berjuta peluru pelor. Sebelum lelaki di sampingmu mengambil matamu dan menulis namanya di ujung-ujung hatimu Perempuan dengan tatapan tipis. Pipi yang agak tebal. Aku memikirkanmu. Terlanjur kau merebut mimpi dan tidurku malam ini. Setelah sentuhan tanganmu berisyarat, aku perempuan surga, semaikan cinta terdalammu dan kubawa kau pada bahagia.

23 April 2012


RUMAH 1/ Di tempat ini. Waktu kecilku. Kau terlalu sering memaksaku meminum susu sebelum tidur. Agar tubuh kuat, otak encer dan jiwa sehat. Terimakasih. Atas air mata kecil yang kau ganti dengan mainan-mainan mesin yang berjejer di lantai kamar. Atas kue-kue keju yang tak habis ku makan dan kusembunyikan di bawah ranjang. Atas baju-baju baru yang kau hadiahkan setiap minggu dan malam lebaran. Atas Tuhan yang kau tanam dihatiku terdalam. 2/ Di tempat ini. Kini. Tak jarang kau merenung. Mengingat sejumlah pesan kakek, ‘Jika Tuhan memberi rezeki. Pilar-pilar lapuk ini kau ganti dengan beton tinggi menjulang. Genteng kuat dan tahan lama. Tembok yang bercat cerah dengan motif bunga’. Sembari kau menatap ruang-rung dan tembok yang mulai kosong. Kursi sofa, buffet, lemari dan spring bed empuk yang menghilang satu persatu sejak kau putuskan berdiam di rumah. Dengan rutinitas segelas kopi pagi hari dan sembahyang lima kali sehari. Atas kaki yang mulai rapuh mendekati lumpuh. Batuk yang tak sembuh-sembuh. Sakit gigi yang tak jarang kambuh. Uban-uban di rambut yang memilih tumbuh. Panas meriang yang memaksamu mengeratkan selimut. Namun bibirmu tak henti berucap hamdalah di samping Ibu yang melipat mukenah. 3/ Maka, tatkala aku terlalu jauh. Satu janji ku pegang utuh. ‘Aku pasti pulang’. Pancor, 15 Mei 2012


Kepadamu Aku Berpuisi : Syaidatul Fitria Malini Kepadamu. Lantas aku coba berpuisi. Memain-mainkan kata di lidahmu. Berkhayalkhayal manja di hatimu. Maka tak urung aku jatuh berdiam di matamu. Mencari-cari sisa cahaya yang belum pudar. Menyeka-nyeka air yang hanyut di pipi. Menyungging senyum-senyum terbasah di bibirmu. Aku sejenak hening menatap wajahmu. Tanganmu menuntunku menggerak-gerak pena. Melukis-lukis malam yang bening ditatapmu. Mengeja-eja beberapa bait indah yang tertulis di tiap langkah-langkah kakimu. Sesekali tatapmu berair. Seperti rindu-rindu yang tak pernah kering. Secepat-cepat kilat kau mengurungku pada satu bait. Mengejawantahkan segala-segala tuturmu. Menterjemahkan segala-segala rupamu. Diam-diam, aku memilih puisi untuk mengenalmu. Karena kau terlalu sering berpuisi dan pelan-pelan kau pun kulepas dengan puisi. Februari-Mei 2012


Sebuah Nama dan Mimpi Di antara yang paling temaram. Gadis itu menjelma dewasa. Memegang sisa-sisa kebenaran yang dititip bunda. Terbungkus do’a dan berbagai belasnya. Aida. Nama yang ia bawa selepas adzan dikumandangkan di telinga. Ia genggam erat serat-eratnya. Menjaga harum dan pesonanya. Tiada terjamah suci ditatapnya. Dengan nama itu pula, ia tumbuh dalam berbagai buliran rindu. Lepas dari berjuta belenggu dan tangis sendu. Senyumnya memberi berbagai penjelasan tentang hidup. Mimpi yang nyata tergambar dalam tidurnya. Pendamping yang perkasa yang kerap-kerap mengusik sedikit hatinya. Atau surga yang selalu menjadi tanya dalam langkahnya. Dalam Shalat Sore Ini “Surga itu ditelapak kaki Ibu, Aida”. Buka sedikit kelopak mata dan sujudlah tanpa rasa lelah. Biarkan angin membisik tepat ditelinga, “Berjalanlah, surga itu nyata dihadapmu”. Maka, dalam rakaat-rakaat suci. Air mata itu jatuh tanpa sebab. Pada sajadah ia bersimpuh luruh. Hati bergemuruh, keringat bersimbah peluh. “Aku rindu kau, Ibu. Yang biasa menggendong dan mendongeng tentang Tuhan padaku. Yang tak letih membisikku dengan doa’-do’a sebagai pengantar tidurku. Yang ikhlas menanam berbagai benih cinta diladang hatiku yang senantiasa gersang. Yang memberi semangat hingga ku kuat melawan berbagai batu dan karang”. Sesaat mata itu tergenang dalam telaga rindu yang dalam. Maka dalam sujud, tangan itu memeluk dan menenangkannya.


SENYUMMU Kembangkan senyummmu semekarnya Biar pelangi bermunculan warna-warni Burung dara terbang kejaran tak henti Bunga-bunga mekar manja merekah Kala bibir itu mengurai senyum Kulihat pula sejuta genangan tawa Mengalir, bersahutan, menengadah Semanis apa senyum itu, Jika rindu yang mengepul Tak lantas membuatku berhenti mendambamu Jika sejuta embun tak lantas membasahi raga Yang bertahun menggerutu menyebut namamu Pada senyummu, aku mulai bisu Tak bisa mengukir cinta yang meraja Mengelu-elukan wajahmu adalah sebuah kenyamanan terpahit hari ini Maret 2012


SURAT CINTA YANG BELUM TERKIRIM : Gadis di Kamar 4 x 4 Saat bulan redup. Aku terlalu sering bermimpi. Meniti malam bersamamu. Membelai wajahmu dengan segenap cinta yang rasa. Menghitung-hitung jantung di detakmu, mengambar-gambar wajah di wajahmu. Bahkan mereka-reka air di air matamu. Aku terlalu senang. Diam-diam merindumu. Saat pagi menari. Aku terlalu sering mengingatmu. Suaramu yang sering menggeser telingaku. Tatapmu yang membuat lumpuh di tatapku. Mungkin pula, senyum mu yang melingkar senyum termanis di senyumku. Dan irisan-irisan lembut pipimu yang memberi rindu yang getar di rinduku. Maka setelah itu. Aku habis dalam kata. Karena dengan mendeskripsikanmu. Lantas aku mengurung diri dalam satu kalimat. Aku memang mencintaimu. Itu saja. Rifat Khan - Selong, 02 Mei 2012


KETIKA ADAM DI FIRDAUS Sebelum rencana Aku telah mendiam di surga Kenapa aku bimbang merugi Sendiri tak ada raga berbagi Tuhan, dadaku berbulu Aku lelaki segala perkasa Kejantananku untuk apa jika tak berguna Seiring gemuruh menggelegar Aku butuh raga lain Tuhan Menemani sebelum sepi Menikam-nikam merobek jantung Membunuhku Hujan petir menampar Dalam sesaat, tubuh perempuan hadir telanjang tanpa mahkota Terbaring tanpa baju dan celana Dadanya busung pinggangnya ramping Kudekap dan kutiduri saja sebelum aku terlanjur diturunkan ke bumi Atas nama Tuhan dan cucuku nanti Hawa, aku ingin menghempasmu berkali-kali Di ranjang ini April 2012


TELEVISI SEBUAH RUMAH Pada layar televisi. Hidup mulai berwarna. Tak hitam putih seperti dulu. Teringat bapak selalu menghabis waktu berjam di depannya. Sehabis sholat isya dan makan malam. Ia sempatkan menonton DuniaDalam Berita. Sesekali ia berkata, ‘Jakarta, Medan, Papua, seakan tak ada jarak. Kita tau apa yang terjadi disana’. Tak jarang pula ia terbangun dari duduk membenarkan antena saat pasir-pasir datang tak di undang. Menutup berbagai wajah model cantik yang dilapis bedak dan gincu lima senti. Pada televisi pagi tadi. Berbagai demo memasak ditampilkan. Ibu sesekali berdecak kagum mencoba mengambil kertas dan pensil. ‘Kalau ada rezeki berlebih esok, kita buat jajan seperti ini dengan susu dan keju’. Sembari Ibu melirik ke samping. Melihat persediaan minyak yang tipis dan beras yang cukup untuk sehari. Ia tersenyum kecil membayang di hati membuat kue untuk anak-anaknya. Layar televisi malam ini. Mataku tajam tiga puluh senti menatapnya. Film-film manca dengan pemain pirang dan dada bidang. ‘Mataku berair Mak’ sesekali berucap pada Ibu di samping yang mulai lelap. Entah karena radiasi tivi atau cerita yang tersaji. Ibu berucap, “Matikan tivi-nya Nak, bayar listrik sekarang tinggi. Jangan siksa mata dan airnya. Simpan saja, masih banyak hal lain yang layak ditangisi kelak’. Aku pun diamdiam mematikan dan lelap dalam mimpi. 28 April 2012


PETUAH SEORANG IBU Sejuta tombak yang dilemparkan. Cukup membuat mata air tumbuh di mata itu. Mata air yang menarikku harus menghela lelah dan nafas disana. Menceritakan duka sebelum senja. Memberi bahagia sebelum uban-uban datang menjelma. Pada kerut dahinya, jalanan menuju surga lurus dipinggirnya dedaunan melati terjejer. ‘Ini surga Nak, orang baik disini, orang jujur, taat, patuh dan murah senyum dibuatkan rumah dengan baja.’ Begitulah ia memaparkan surga senja itu. Bibirnya masih merona, seperti saat dihinggap cinta pertama. Pada matanya, aku menemu lagi yang bernama cinta. ‘Cinta itu seperti kapas. Ringan. Putih tanpa pamrih. Seperti kasih Tuhan yang maha segala. Cinta itu perasaan yang mencipta nyaman dan aman’. Gerak bibirnya terhenti, menatap teras rumah yang tak berubah berpuluh tahun lalu. Tembok yang rapuh. Atap yang lemah dan jendela yang patah. Tangganya masih menggenggam sejuta amanah. Petuah yang belum terbaca dan terlaksana. ‘Nak, kau lelaki. Kelak, kau sendiri memperbesar diri. Buka hati. Jelajahi bumi dengan berani. Sebab kerikil, batu dan jerami jangan kau kiut nyali. Langkahi. Buka mata yang lebar Nak. Tuhan maha pengasih. Ia masih menggendongmu dengan tangan putihnya.’ Air mata putih mengalir disela senyumnya. Seperti aliran sungai di surga ketujuh yang membuatku teguh. ‘Aku tak ingin rapuh’. 22 April 2012


Perjalanan Waktu Yang Mungkin Tak Sempat Kau Baca ‘Sebentar saja, waktu itu berlari Cepat melebihi detak jantungmu sendiri’ Selalu, waktu adalah rindu menggebu Ia datang bergegas pergi tak disadari Waktu membuatku mengenalmu Menukar namamu dengan namaku Mengurai senyummu dengan senyumku Mendetakkan jantungmu dengan jantungku Sebentar saja, hanya sebentar saja hiruplah setengah cangkir kopiku Sisakan setengah untukku sebelum waktu membawamu Jangan menangis kawan Waktu tak perlu kau kutuk dengan sejuta sesal gerutu Maknai ia dengan senyum bibirmu yang ranum Langkahkan kakimu kepakkan tanganmu Sebab di simpang empat Pringgasela Kita akan terpisah, memburu waktu Yang singkat untuk kita saling menatap Sebentar saja, pandang aku Dengan mukamu yang lugu Mungkin esok, lusa atau lain hari Mata, hidung, mulut dan senyummu Sulit kugambar pada ruang-ruang hatiku Kawan, mimpi yang kita rancang Saat purnama menitip senyum jangan kau lupa Karena sungguh, waktu tak kan bisa menukar hatiku Yang selalu rindu akan canda tawamu Sebuah songket merah kuberi sebagai kenangan Kau gambar saja sesuka hati, jangan kau tangisi Berbahagialah, Biarkan waktu membuat kita dewasa Bertemu kembali dalam rindu yang sama Karena, ‘Sebentar saja, waktu itu berlari Cepat melebihi detak jantungmu sendiri’ Rifat Khan, 15 April 2012


RINDU KEMATIAN Nisan-nisan bergantungan Di sudut-sudut kamar, di sudut matamu dan tiap jengkal garis tangismu Kita akan berjalan menuju kematian Seiring nyanyian burung sepanjang jalan Daun-daun akan jatuh dalam angan-angan Aku terkadang rindu bertemu Tuhanku Ingin membelai dan menangis dihadapanNya Ingin melihat bentuk dan pesonaNya Di ujung jalan, aku akan bersimpuh Meskipun tanganmu jauh tak menuntun Karena lama kelamaan hidup terlalu riuh Omongan-omongan sumbang bernyanyi Jantung-jantung pendusta terbungkus rapi Di atas meja kerja dan disetiap simpang jalan Aku muak mendengar detak jantung mereka Tuhan Matikan saja, diamkan mereka dibawah kamboja Biar kutabur setiap Jum’at pagi dengan bunga Bunga dari tangis sejuta Nabi dan malaikat Pada akhirnya, kereta akan menepi dan kematian menyelimuti pasti. 6 Desember 2011


Aku Menunggumu di Titik Itu : Amril Ayuni Menunggumu tak lepas dari janji. Semai rindu kian menari dan hati tak berdegup sepi. Hanya gemerincik hujan membasuh sunyi. Yah, menunggumu di titik itu, dalam padang ribuan pilu. Dalam kicauan burung di puncak Rinjani dan pada batas-batas mimpi yang kian terbunuh pasti. Berharap kau datang. Dengan rambut terurai basah. Pada hidungmu yang mulai samar tak bisa kugambar nyata. Tapi menunggumu ribuan musim, aku mulai jenuh. Aku akan berujung pada rindu. Rindu yang tak berlagu dan merintih kelu. Oktober 2011


Selepas Lebaran Sehari selepas lebaran. Senjaku mendung menanti hujan. Bibir tipismu tak lagi basah dan matamu kering tak lagi berair. Kau bahagia. Aku simpulkan itu. Bersama lelaki yang menjadi pendampingmu. Berucap janji didepan Ibumu. Aku memandang ranting-ranting pohon yang kian bersemi dan berbunga. Sedang ranting pohon dirumahku kering menyisakan luka. Gelap. Tak berapi, sebab lilin telah kau bawa dan menyalakannnya lekat diujung matanya. Tak ada bayang, tak ada masa lalu dan pasti tak ada aku. Nopember 2011


Setangkai Bunga di Ujung Rindu : Amril Ayuni Perempuan. Sebagai bunga mekar dalam ranjang. Sebagai degupan jantung tatkala sepi. Ia kupandangi lekat. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis dan matanya bening. Lembut. Suaranya kali ini gemetar. Sementara pipinya memerah memendam tanya. Kemana setangkai bunga yang kuberi seminggu lalu. Pada sisa-sisa rindu di penghujung musim hujan. Bunga mawar merah bertangkai sayu. Apakah ia sudah mekar atau layu kian terabaikan. Ia menghela nafas. Sorot matanya sama seperti Ibu dua hari lalu yang memintaku meminum segelas susu sebelum kuterlelap di atas ranjang. Bunga itu telah jauh menari. Bunga itu kian mekar. Bunga itu tumbuh dengan penuh warna dalam cinta dan keindahan. Kemudian Ia terdiam tanpa senyum dibibirnya. Hanya matanya tak mampu berbohong. Karena aku tau pasti Ia telah lama mekar bersama lelaki itu. Nopember 2011


Perempuan Berpayung Hujan

(1) Gerimis disini. Perempuan berpayung hujan melambaikan tangan. Ia berdiam sendu tak bergerak. Aliran darahnya beku. Ketika seorang lelaki mencoba menghampiri dan bertanya. Kamu mencari siapa?. Aku mencari setengah hatiku. Setengah hatiku pergi setahun lalu dan bernaung dibawah kamboja. Ia betah dan berdiam disana. Air matanya menggenang bercampur aroma hujan. Lantas Ia genggam setengah hatinya lagi dan mencelupkannya dalam secangkir kopi. Berharap bisa menjadi manis. Ia hanya menangis tipis.

(2) Tok Tok Tok. Suara pintu terketuk. Perempuan berpayung hujan berdiri dibalik pintu meminta berteduh. Menawarkan rokok satu biji. Sementara mulutnya masih dipenuhi asap. Bibirnya beku tak bergerak. Kucoba tawarkan segelas kopi hangat. Ia meminumnya dengan bibir tergetar. Rokok ditangannya tak lagi menyala. Hendak kemana, aku coba membuka sebuah obrolan kecil. Ia hanya menyungging senyum. Tiba-tiba Ia terbangun dan melepas jaket yang menempel ditubuhnya. Berjalan pelan ke tepian jendela dan menghilang sia-sia.

(3) Pagi subuh-subuh. Nyanyian hujan masih dalam gerimis. Dengan melodi yang begitu kental dan seirama dengan degup jantung seorang kakek di ruang operasi. Ia sendiri berdiam melamun sepi. Perempuan berpayung hujan masih menitik gerimis diwajahnya. Matanya kosong tak berarah. Dalam hati ia bernyanyi, kemana dia lelaki sore itu yang mengambil dengan pelan segumpal hatiku dan membuangnya pagi-pagi sebelum shubuh. Entah dimana aku akan melihat wajahnya yang telah membisikku pelan dengan cinta dan nafsunya. Hatinya tak lagi bersuara dan mati dibawah cemara.

(4) Di kamar tiga kali tiga. Ia mulai membuka sepatu lusuh dan baju yang lama terguyur hujan. Baju warna putih yang kusam kecoklatan. Ia duduk dalam sudut ranjang mengambil boneka kenangan. Boneka yang diberi tiga hari lalu. Ia menatap kaca jendela yang basah tersapu hujan. Tanpa tau, sepasang mata lelaki mengintip dibalik kaca. Sepasang mata yang tak asing. Sepasang mata yang tajam seperti elang. Yang sudah lama memburu dan jauh hari sudah mengintainya. Ya, sepasang mata lelaki yang beberapa hari telah menghilang dan masih memendam rindu yang dalam. Alunan lagu terdengar dan perempuan berpayung hujan mati pelan-pelan di dalam mimpi.


(5) Di sebuah toko buku. baju telah Ia keringkan dari sisa hujan siang tadi. Ia berdiam menatap rak-rak buku. Mulai dari buku cerita sampai pada buku dilema. Dibalik rerapian buku, Ia melihat jelas sepasang mata itu. Mencoba berlari mengejarnya. Namun tiada. Ia telah lupa akan warna matanya. Mata yang pernah begitu lekat dipandangannya. Mata yang pernah membuatnya sadar akan makna cinta. Ia pun pergi dan merebahkan tubuhnya. Ia terkoyak pasrah. Di atas kuburan. Gerimis mulai berjatuhan. Sembari menangis sendu berucap do’a dan menutup mata. Nopember 2011


Percakapan dengan Hati

(1) Tembok-tembok rapuh. Seutas senyum tersirat dalam lukisan. Perempuan cantik dengan kebaya di badan. Rambutnya lurus hitam dan harum. Dibalik jendela, aku bisa menangkap raut mukanya. Menggenggamnya sesaat dan membiarkannya terbang lepas. Aku lelah. Aku muak dengan segala rindu yang kian tak berujung. Aku penat dengan segala mimpi yang berujung sepi. Lantas kututup jendela, bayangnya mulai menjelma disudut-sudut kamar. Mengajak menari dan bernyanyi la la la. Sesaat kami terdiam. Dan angin membisik tepat ditelinga. Aku adalah nyata, aku adalah kerinduan bukan semu belaka. Dekap aku dan lantas kau akan bahagia. Sekilat cahaya mulai memudar dibalik jendela, dan Ia menghilang dalam malam.

(2) Di warung kopi. Kopi akan kutuang dalam segelas air. Menatap jalanan sepi dimatamu. Tiba-tiba hatiku berbisik, aku lelah sebenarnya. Aku tak peduli apa yang ia katakan. Kuteguk kopi yang mulai harum. Sembari menatap gadis berbaju kuning. Bodinya bohai melenggok ke kiri ke kanan. Wajahnya ayu dan bibirnya sejuk dipandang pun tak jemu. Tiba-tiba hatiku melompat, dan tepat berdiri di depan hidungku dan menunjuk kemataku. Ia berkata, sudahlah, jangan memandang gadis itu. Aku sudah penuh, tak ada ruang baginya. Aku sudah terisi oleh perempuan Otak kokok itu. Hmmmmm, aku sulit membungkam mulutnya. Hatiku terdiam, sementara tatapku sendu. Kopi di meja hilang dan aku berjalan melepasnya.

(3) Alunan lagu sendu terdengar. Di kamar, nyanyian Hungaria yang berjudul Gloomy Sunday menembus dinding telinga. Iramanya pelan dan begitu sedih. Sementara jam di dinding menunjuk angka dua. Anjing melonglong. Bayang itu muncul lagi di sudut kamar. Melompat-melompat. Bayang itu adalah hatiku. Ya, ia mulai menatapku, mengajakku berdiskusi. Kutawarkan sebiji rokok, ia hanya diam tak mengambilnya. Ia duduk bersila di depanku. Kenapa kau terdiam ? Ia mulai bertanya. Aku hanya tersenyum membalasnya. Lantas ia berdiri dan memegang pundakku dan berucap, perempuan itu sudah lama menetap disini. Ia membangun rumah sederhana dengan bunga-bunga yang bermekaran. Apakah kau mau mengganti dia? Tiba-tiba Ia bertanya seperti itu. Aku memejamkan mata dan merapikan bantal. Ah, biarlah saja, biar waktu dan hujan yang akan menghapusnya. Kemudian Ia pun pergi dan berkata, “Dasar Bodoh, kau hanya bermimpi�.


(4) Pada sebuah sisi jalanan, aku duduk tak berteman. Jalanan basah menitip rindu pada semangkok mie yang biasa dimasak Ibu. Aku tak berniat untuk pulang dan merajut sepi pada kamar yang sudah dua malam tak ku kunjungi. Tak mau lagi berdiskusi atau bertengkar kecil dengan hati. Lantas, tanpa menunggu atau memberi waktu. Kugenggam sepotong hati itu. Kuiris tipis-tipis dengan sebilah pisau. Kemudian kucecerkan di sepanjang jalan Pancor sampai menuju Joben. Berharap jika nanti perempuan itu berjalan keluar rumah. Ia akan memungutnya satu persatu dan memberikan utuh lagi padaku. Aku tertawa bisa mengalahkannya, Ayuni. Namun ragaku seakan berjalan menuntun pada kematian. Nopember 2011


Jika Api Menjadi Air Itu mustahil. Suara itu terdengar keras di setiap sudut jalanan. Kueratkan saja pegangan tanganku dihatimu. Kau tersenyum memaknainya. Kita akan berjalan ke arah Tuhan. Tuhan yang sama. Kau sering berkata demikian. Aku membenarkan, Tuhan yang sama dan tempat yang berbeda. Tapi do’a kita sama. Kau menjelaskan. Aku pun tersenyum membasuh muka dengan wudhu sembari berdo’a. Permudah Tuhan. Karena sekian rasa kau yang mencipta. Dan kau enggan sekedar membalas amien. Nopember 2011


Lampu Sudah Padam : Annisa Lampu sudah padam. Kita diam dan merangkak. Hanya percaya pada cahaya mata yang sesekali memberi terang. Sekilas matamu berair. Namun belum aku berucap, kau mengisyaratkan ku untuk diam. Aku memahamimu dalam diamku. Sementara tanganmu begitu hangat. Mendekapku sebelum shubuh. Dan bibirmu tak henti memaki-maki hatiku yang terlalu dalam memendam cinta padanya. Nopember 2011


Teriakkan Kata Itu Lagi teriakkan kata itu lagi, saat ranting-ranting kamboja berjatuhan saat anak tujuh tahun menangis dikuburan meratapi ibunya yang mati siang tadi teriakkan kata itu lagi, ketika sunyi menari ditepian hati dan ribuan setan mulai singgah dikepala dan bernyanyi-nyani dengan satu mata teriakkan kata itu lagi, saat bapak menghamili janda muda saat seorang yatim piatu kian teraniaya dan makan ayam hanya sekali setahun teriakkan kata itu lagi, saat ribuan ummat sujud tanpa masalah saat tonggakan dibank terlupa oleh lebaran dan seorang peminta masih terlelap diteras mesjid teriakkan kata itu lagi, ketika ayam berkokok dipagi hari ketika segelintir perempuan mulai menjual diri untuk membeli baju dan sepatu hak tinggi Sungguh hanya ingin mendengar kata itu dari cerobong mesjid atau dari bising jalan raya bergumam, berdegup, bersuara dan berteriak lantang Allahu Akbar,,, Allahu Akbar,,, Allahu Akbar,,, dalam lelap malam dan dingin pagi

Lombok Timur, 1 Syawal 2011


Kabar di Terminal ada bayi menangis lagi dalam kantong plastik, dalam bak sampah bayi yang berumur lima hari dengan tai lalat manis di kening bayi yang tak mau diakui bapaknya bayi yang malu dibawa pulang Ibunya tanpa seorang lelaki yang menghamilinya sepuluh bulan lalu Hari ini ada bayi menangis lagi tangisnya begitu perih dan takut sementara seorang nenek memainkan serulingnya berirama tentang cinta dan kesedihan Lombok Timur, Agustus 2011


Menjelang Maghrib di Bangle : Amril Ayuni Menjelang Maghrib di Bangle Tuhan menamparku pada bocah yang masih ingusan Rok merah seragam sekolah masih ia kenakan Tampak debu dan keringat di pipi Mulutnya tak henti memakan bakso tusuk harga lima ratus tak peduli hidup besok akan membuatnya menangis Di bangle, sebelum Joben burung-burung bernyanyi dengan nada dua perempat sesekali singgah di atas genteng sekolah sekolah dasar dengan kelas sederhana dan begitu minim tak ada halaman dengan bunga-bunga tak ada ukiran indah dan tembok yang bercat rapi Berdiam disini. angin seakan berbisik memaksa tuk menapak lebih jauh lagi tentang seorang Ibu dengan tujuh anak dan suami telah lama membeli sebuah rumah di bawah kamboja atau seorang kakek tua yang masih menjadi kuli sawah walau kaki dan tangan sudah tak kuat berpegang kemana anak-anaknya? anak-anak yang harusnya memberi makan dan memberi mimpi indah sebelum ajalnya menjelang. Di Bangle Hidup berwarna hitam putih Hidup sulit dipikul dan terlalu berat untuk ditinggalkan Bangle, 03 Nopember 2011


Saat Penguasa Berjalan dikotaku Gigi emasnya terpancar terkena mentari raut senyumnya begitu mempesona dengan mobil mewah dan pengawal baja serta senjata dan rombangan berjuta menapaki jalan-jalan kumuh dikotaku menjilati rakyat-rakyat yang sedang kelaparan bahkan menyerempet pedagang kaki lima dan memberikan debu bising bagi peminta-minta Senyum-senyum itu seperti pahit seperti roti usang belasan tahun dan kita semua terpaksa menelannya atas nama pejabat dan para penguasa

Lombok Timur, 12 Juli 2011


Dua Buah Surat Bunuh Diri dari Dua Perempuan Malang Surat Pertama, maaf ayah maaf ibu suara terlalu berat tuk diucap biarlah surat ini jadi penjawab mungkin hari ini kalian menangis bahkan mengutuk tapi derita harus segera ditutup ini adalah hidup dan aku tak sanggup lihatlah betapa sehari-hari jantungku berdegup dan hari ini sebuah cerita harus berakhir lembut ketika sore dipemakaman, biarkan ibu guru ku berlutut menyesali atau memuji dirinya yang begitu kejam menghina dan memaki tatkala uang SPP tak mampu ku lunasi dan cicilan sumbangan perpisahan tak pernah kupenuhi begitu berat jalan hidup ini bapak, Ibu maaf aku harus pergi meninggalkan kalian terlebih dulu Surat Kedua, kemana lelaki itu pergi, hanya ini pertanyaan yang kutitip sekian rindu berlalu dan ia tak jua datang saat kehamilan menyerang dan batin dihujat ribuan mulut ia pergi dengan wanita yang baru sebulan ia kenal mendaki malam dan mewarnai siang tanpa peduli deritaku sampaikan pada lelaki itu kupilih ini bukan untuk menangisi atau menyesalinya namun karena hidup tak mampu lagi untuk ku raba hidup tak mampu lagi untuk ku bahas dan hidup tak mampu lagi untuk ku bercerita

Lombok Timur, 2 Februari 2011


Lukisan Pertiwi : diantara yang bergigi dan terinjak masih terdengar dalam tidur pulasku jeritan bayi belum makan semalam wewangian darah manusia yang baunya melebihi mayat wanita telanjang diperkosa kopi, gula, beras, minyak terpampang di toko mewah sepatu lusuh usang bongkang masih terpakai ditengah penguasa dengan kaki berlapis emas tertawa-tawa menggumam tak jelas dasi mereka penuh dengan motif bunga bermekaran mencekik urat leherku antara senyum-senyum palsu penjilat bahkan sampai pada lidah nenekku yang sekarat Indonesiaku, dengarlah bisikan : Sondang siang ini terbakar depan istana Atas nama rakyat, asasi, dan hak-hak yang mati Atas nama cinta, dan suara hati yang beku sepi masjid disana penuh luka, gereja bahkan teraniaya semua terbayang dikedua bola mataku memaksa bibirku untuk berucap negeriku sedang dimakan rayap negeriku sedang diperkosa pendusta rabunkah matamu anak-anakku tulikah telingamu wahai cucuku genggamlah tangan mereka dan rangkul rangkul dengan segenap jiwa dan kebesaran hatimu katakan pada mereka, bahwa kita adalah bangsa beradab

Lombok Timur, 2012


Tuhan Mencubitku Pelan Tuhan mencubitku pelan saat bayi-bayi kelaparan kurang gizi saat sang perempuan tersakiti dan ternodai saat gunung-gunung meletus mengeluarkan api Tuhan mencubitku pelan saat kehormatan diabaikan dan direndahkan saat para penguasa menindas dengan ganas saat si anak malang menangis putus sekolah Tuhan mencubitku pelan saat omongan dijalan lebih berharga dari renungan saat sang majikan menyiksa budaknya dengan kejam saat dunia dijadikan surga bagi para pendosa Yah, Tuhan tak lagi mencubitku saat ku terlelap dalam pelukanNya dan berzikir menyebut-nyebut namaNya Lombok Timur, Februari 2011


Cerita-Cerita Malam Aku memintamu bercerita, Tentang malam, Tentang cinta yang tak lagi kau punya tanganmu beku, perempuan malang di warung kopi Kau mengangkat muka, bibirmu bergetar Membuka suara sebelum petir menggelegar Tentang Ibumu yang pergi setahun lalu Tentang bapakmu yang enggan memberimu senyum Waktur berputar, ceritamu menampar Menampar pipi sesekali mengusik hati Perempuan yang terlantar di jalan Mencari detak jantung yang jauh mengembara Ayah yang sering kehilangan hati Ibu yang pergi setelah memberi hati Hati ini adalah pisau, kau mulai bergumam Hati ini adalah racun, hati ini terkadang madu Maka, ketika pagi ayam berkokok Di halaman depan sebuah koran fotomu terpajang dengan manis Membunuh ayah dan kau mati di tengah rel kereta Maret 2010


SONDANG TERBAKAR DI DEPAN ISTANA NEGARA Tubuhmu yang terbakar adalah sebuah teguran Tentang hak-hak manusia yang mulai terinjak Tentang beras yang mulai langka di pasar Tentang hujan yang mulai menitikkan tangis Tubuhmu yang gosong termakan api Adalah sebuah nyanyian dari hati Nyanyian kala malam sedang purnama Dan mereka asyik berbaring di hotel bintang lima Tubuhmu yang telah kehilangan Nyawa Adalah luka bagi negeri tercinta Luka bertahun-tahun yang lama terbungkus Dan tak pernah keluar di berita Hanyut dan hilang di atas meja kantor Terselip di antara agenda kunjungan ke luar negeri Atau tentang pernikahan yang maharnya seratus gram Oh, berapa banyak anak kehilangan seragam Berapa banyak kuli yang tak merima upah layak Berapa banyak pengemis yang mencoba jadi pengemis Aku hanya ingin menulis Aku hanya ingin menulis Walau aku terlampau sering menangis Lombok Timur, 12 Desember 2011


DI NEGARA INDONESIA TERCINTA Hari ini tak seperti biasa Jalan-jalan sepi Gunung menggelegar Longsor dan rumah-rumah terkapar Nyawa pun terbang dibalik awan Di ujung sana, aku mendengar jelas Jeritan bayi dan nenek meronta Banjir dimana-dimana Angin sedang marah-marahnya Laut pun kehilangan kasihnya Di ujung sana, ribuan pekerja Malas membeli beras Menjadi pencuri dirumah sendiri Tentang Freeport yang mulai hilang Tentang rakyat Papua yang mulai jenuh Semua hilang, Langit pun tak mau diam Nopember 2011


Sajak : Sesaat Kita Sama Dimana lembaran-lembaran sajakku. Yang pernah kutulis saat hujan menitip gerimis. Dibawah meja, dalam lemari, sajakku tak jua kutemui. Entah kenapa, aku menemukannya di tatapan matamu. Sajakku mengalir bagai air mata. Sajakku tersembunyi di raut wajahmu. Wajahmu yang teduh dan seakan berbisik. “Tenggelamkan saja, apakah kau lupa kita sesaat sama, menanti hujan dan berteduh di halte, bernyanyi lagu biru yang sama dan merangkai pelangi di dalam kaca�. Aku terdiam sesaat dan berkata, “Sajak itu adalah senja yang kekuningan, sajak itu adalah kecemasan dalam wajah yang bisu, dan sajak itu adalah kerinduan yang tergetar dan pilu menantimu�. Bibirmu tak bergerak, senyum dan tangis kian menjauh. Bunga diatas meja berubah warna dan kita tenggelam dalam rindu dan asa yang sama. Nopember 2011


Gadis Cantik di Atas Danau Dimana dia, Putri Nyale yang menenggelamkan diri dan mati. Disaat setiap pangeran berhasrat memiliki. Cerita itu mengaung-ngaung ditelinga. Aku cantik, aku indah, aku sexy, aku ramah. Kurang apa aku ? Setiap lelaki datang dan menaruh hati. Namun hanya kugantung dipintu lemari dan kubenamkan dikolong laci. Beku, aku tak jua membalas angan mereka. Aku bingung Ibu, kenapa kau memberi rambut seindah ini. Kenapa kau menitip wajah dengan pesona secantik ini. Sekali kutatap mata mereka, mereka akan datang menyerahkan hati dan hartanya yang dibungkus rapi dalam kotak-kotak emas. Kata-kata itu terus bermain dalam hatinya. Sembari tanggannya masih memegang gunting dan memotong-motong rambutnya tanpa arah. Sesekali menatap cermin, rambutku tak lagi indah. Aku tak ingin memegang cinta, aku hanya ingin bahagia. Ia melompat ke dalam danau dan menghilang percuma. Maka ribuan mata lelaki akan menitikkan hujan. Karena rindu yang lama tak akan berbalas. Desember 2011


SEUMPAMA PAGI : Amril Ayuni Dapat kutangkap senyummu pada fajar dipagi hari. Seiring ayam-ayam tetangga berkokok menyeru-nyeru nama Tuhannya. Seumpama pagi, akan kutitip pula rinduku pada dedaunan yang menyisakan embun. Karena rindu telah lama kusimpan dalam kantong-kantong baju yang masih tergantung dalam kamar. Rindu yang menggetar dan sesekali menampar. Rindu yang masih sama, putih dan terbungkus rapi. Rindu yang kerap kulantunkan sembari memuja-muja asmaNya. Karena pada pagi, engkau akan bermain dalam imaji. Menyeruak dan menembus penjuru hati. Pasti. 30 Nopember 2011


Do’a Tengah Malam Tuhan. Malam ini aku memeluk-Mu. Tak begitu erat, namun enggan juga melepas-Mu. Tuhan, lewat malam, pagi dan siang. Cinta telah kugaungkan pada cerobong-cerobong mesjid. Kuniatkan pada gemercik air yang membasuh mukaku, utuh. Tuhan, kelak hati ini akan kau genggam, walau terkadang kau pun enggan untuk meminta dan memaksanya memuja-Mu berkali-berkali. Maka Tuhan, Jikalau hati adalah sebuah raja, sematkan Ia pada mahkota-Mu yang suci dan agung. Bimbing Ia untuk selalu tersenyum dan patuh menerima takdir-Mu. Itu pun jika Kau berkenan, karena sesungguhnya aku pun malu untuk terlalu banyak meminta. Nopember 2011


Inaq Huniah Ia masih duduk dalam sudut kamar. Sarungnya sudah lama berubah warna. Anaknya sudah beranjak dewasa. Seiring pohon mangga jatuh dihalaman rumah. Hujan kali ini menyisakan Lumpur. Namun cinta dan sayangnya tak luntur. Kali ini, ia menyalakan kompor. Tak lupa mengisi minyak tanah yang dibeli tadi di pasar. Senyum dibibirnya tak pernah kabur. Walau keringat terus mengucur Ibu nampak manis, aku akan selalu berkata demikian. Karena dengan itu Ia akan tersenyum. Setelah kakinya lelah menapak jalan-jalan di Solong. Dan sesekali memberi makan kucing berkalung yang bengong. Kucing setahun lalu yang ditinggal anakanaknya kawin. Dan mulai menyendiri memaknai hidupnya Di ruang depan sederhana dengan TV dan sebuah meja. Foto suaminya terpajang dengan gagah. Ini dia Bapakmu, sambil menunjuk tangan. Dan membimbing anak lelakinya yang masih SMP. Dia ganteng kan ? Dia gagah kan? Kelak kau akan menemuinya, jangan lupa cium kakinya. Dan katakan padanya, terima kasih untuk hidup yang bapak beri. Anaknya hanya mengangguk dan mencoba tersenyum. Walau ia sebenarnya tak mengerti semua. Bertahun-tahun hanya melihat foto yang diam sunyi Nopember 2011


Rokok Yang Tak Jadi kau Bakar Senjamu kali ini menitip rindu. Pada sekuntum bunga dua hari lalu. Bunga yang mekar dan kau tak sempat membawanya menemui ibumu dan keluargamu. Bunga yang senantiasa tersenyum dan memenuhi otakmu. Ia telah pergi. Kau bergumam sendiri. Rokok ditanganmu masih utuh, seakan lupa kau bakar. Karena rindumu juga meleleh tanpa ujung. Rindu yang sempat kau ukir dalam malam-malam hening. Rindu yang bertahun-tahun kau semai dalam relung hati terdalam. Kini rokok kau remas, dank au terbaring lemas.


Di Ruang Operasi Dikematian. Aku merindukan senyummu. Merambah lewat jendela atau sela-sela pintu ruang operasi. Yang asing, kau akan kukenali walau mata lama terpejam. Tentang kita ditaman, memetik bunga dan merangkainya berpuluh tahun. Membimbing anak-anak kita belajar membaca dan mengeja iqra’. Kutau kau tak pernah mengeluh tentang mereka atau tentangku yang setiap pagi harus kau buatkan kopi manis setengah cangkir. Maaf. Sering marah atau mengeluh kepadamu. Saat kau lupa menyiram kembang atau jarang memberi makan burung kecial yang kutinggal pergi. Dikematian. Kau mungkin tak tau. Baju telah kurapikan dalam lemari. Warisan yang tak sempat kutulis karena memang tak ada. Tapi, anak kita cukup sebagai pertanda. Bahwa kita pernah mengukir cinta dan menyerukannya pada dunia. Ajarkan kepada mereka dan penuhi hatinya dengan Tuhan. Sebab tatkala lupa dan sendiri, mereka akan sadar Tuhan masih menuntun dan menina bobo’kannya. Dalam kasihNya. Nopember 2011


Jam Tiga Malam Ting ting ting. Tiga kali jarum waktu itu berbunyi. Kau masih bersembunyi dalam tubuhku. Masih mencium aroma nafasku. Kau terkadang gemetar dan lupa bertanya. Bahwa waktu sudah terlampau jauh untuk kita bercerita dan bercinta. Waktu sudah mendekap kita dalam ribuan detik. Jangan tanya hari esok, sebab esok kita akan terpisah lagi. dan nafas kita akan saling mencari. Pada jam-jam lainnya dan pada jalan-jalan yang dulu pernah mempertemukan kita. Nopember 2011


Kutatap Luka dimatamu Alunan lagi itu mulai terdengar. Sebuah lagu lama. Dengan penyanyi yang nyentrik dan badannya kurus tak berisi. Lagu itu sering kau nyanyikan. Ketika kekasihmu hilang dalam senja. Matamu terlalu berair, sering aku berkata demikian. Keringkan dan lantas kau akan berkata, aku kan perempuan, jadi pantas menangis. Sesaat kau akan tersenyum walau rintik-rintiknya masih menetes dipipi. Aku suka memandang luka dimatamu. Berair, memang. Karena kau tak mampu mengeringkannya setiap tahun. dan aku akan selalu menatapnya hingga senyum itu kau tuang dalam segelas air. Akan kuminum, kuhabiskan segera. Tak bersisa. Nopember 2011


Menunggu Hujan Tiga bocah dua lelaki satu perempuan. Aku pernah menyapa dan memandang lekat bola mata mereka. Ya, mereka menunggu hujan dengan do’a masing-masing. Bocah pertama, berharap hujan membawa bapaknya yang lima tahun lalu meninggalkannya dalam perut Ibunya. Ia tak menangis dan hanya tertawa menunggunya. Pohon anggur sesaat diterpa gerimis. Bocah kedua menadah tangan dan berdo’a. Hujan, Ibuku lama meninggalkanku. Bawa dia kepadaku walau beberapa menit saja. Lantas ia memejamkan mata dan hujan mulai menetes dipipinya. Jalanan mulai basah, sementara bocah ketiga yang satu-satunya perempuan membuka ikat rambutnya dan menari. Seraya hatinya berdo’a. Tuhan, aku ingin sebuah boneka. Boneka dengan rambut panjang dan akan kupajang diranjang. Sebagai teman berbagi saat hujan datang disudut kamarku. Nopember 2011


Di Musim Hujan Matamu akan kukenang. Pada gemerincik hujan atau pada air yang menggenang. Pada daun-daun yang basah dan pada nyanyian kodok seusai hujan. Matamu akan kubaca. Pada sapaan petir dan mendungnya awan, dan pada jalanan basah disepanjang luka. Sebab matamu adalah arah. Aku akan berjalan menujunya dan berhenti berpijak dikelopaknya. Matamu bisa kusebut rindu yang menyala. Yang menggonggong serta memanggil hatiku. Karena dalam matamu, aku melihat diriku. Jauh sebelum kau terlelap dan hidup bersamanya. Nopember 2011


Kereta yang Membawamu Sebelum sore, aku akan menata kamar ini. Menyambutmu datang. Dengan bunga-bunga melati dan hiasan indah di ranjang. Sebab kereta akan membawamu kembali. Sehabis singgah di Banyuwangi, rehat di Bali, dan kau akan kembali ke kamar ini. Melepas ransel dan membuka sepatu yang dua minggu tak kau ganti. Sebelum sore, aku akan berdiam dan menyiapkan sesajen. Agar kau mengingat, bahwa hidup memang seperti ini. Nopember 2011


Malam Senandung Hujan Berdiam dikamar. Aku mulai tak peduli tentang jalanan yang riuh. Atau tentang temanteman yang menikmati kopi diguyuran hujan. Aku akan berdiam membuat puisi. Sebab puisi-puisiku telah lama mati. Sejak kau tinggal pergi dengan air mata. Subuh-subuh sebelum kubuka pintu dan jendela. Nopember 2011


Kepada Perempuan di Pemakaman Aku tahu. Perempuan yang diam tadi pagi adalah kamu Anggraeni. Perempuan yang kuat dan enggan menitik air mata. Saat di pemakaman. Bibirmu bergetar berucap do’a. Wajahmu terpancar indah disela dedaunan kamboja. Aku tahu. Lelaki yang terbaring itu adalah kekasihmu. Lelaki yang sering kau sebut sebagai Nabi. Yang selalu menggariskan senyum di wajahmu. Lelaki yang senantiasa memberi warna dan seikat kembang di setiap kelam jiwamu. Anggraeni, kau akan terbangun dan menyadari dia telah tiada, ia terbang bersama awan mendung sore ini. Awan yang kemudian menitip hujan dan membasuh mimpi dan menyegarkan pagimu. Apakah kau tahu Anggraeni, hujan akan reda dan mendung tak lagi berlagu. Akan ada cahaya dan kau tak selamanya tertegun sepi dan bernyanyi lirih. Akan terulang lagi kenangan, menunggu hujan reda dibawah pohon anggur, menikmati hijau rerumputan di Bukit Sembalun, atau bernyanyi riang memandang malam di Taman Kota Selong. Tentunya dengan lelaki lain yang mungkin juga menyerupai Nabi. Nopember 2011


Perempuan Penunggu Halte Aku sempat mengenalmu. Lima menit dan sepuluh menit di pertemuan kedua. Aku memang mengenalmu walau tak tau lantas memanggilmu apa. Nama apa yang pantas untuk membuatmu menoleh dan memberi setitik senyum. Atau kata apa yang tepat untuk membuka obrolan di halte ini. Pagi ini sepi, kita tertegun dan diam tak pasti. Menunggu hujan dan menanti kereta yang akan menjemput. Kereta yang akan membuat kita terpisah atau mungkin mengenal lebih dekat. Tapi taukah engkau, wajahmu telah kulukis di setiap halte dikota ini. Matamu telah kuukir disepanjang jalan ini, dan bau parfummu akan tetap harum di setiap sapaan angin. Kereta pun datang, dan aku berlalu meninggalkanmu. Oktober 2011


Selagi Purnama Selagi purnama. Kita akan berjalan tanpa nama. Memungut hati yang lama terjatuh. Meresapi belaian angin disela peluh. Anakmu masih kau gendong teguh. Sementara tanganku dingin tak tersentuh. Selagi purnama, kau bernyanyi dengan sendu. Matamu nanar memegang sebuah mainan yang dibeli di pameran tadi pagi. Pada sudut jalan kita bertemu. Dua meter di depan warung yang biasa jualan sampai pagi. Anakmu lelap dan senyumnya manis. Hendak kemana Bu? Penunggu warung bertanya. Kau tersenyum dan mengeluarkan foto seorang lelaki. Yah, Lelaki tampan yang pergi setelah menitip anak dirahimmu. Sekian menit kau terdiam dan mencelupkan foto itu ke mangkok mie yang masih mendidih. Desember 2011


Puisi Tak Sempurna Sesempurna sajak yang kutulis sore hari Senyummu rapi tak bersisa resah Rambutmu terurai lepas tak lagi gundah Semanis kopi hitam di pagi hari Garis tawa, hidung dan bibirmu menyatu padu Berirama tanpa pernah berlawan tak sumbang Seindah pelangi senja sehabis hujan Tuturmu lembut dan nafasmu harum terbaca Pipimu merah padam menahan derai tawa Namun, puisiku tak akan bisa sempurna Sejak kau hidup dan berniat mati bersamanya 6 Desember 2011


Surat Kepada Lelaki Kepada lelaki yang selalu menghujaniku dengan segala perhatian di tiap pesannya. Hari ini kuluangkan sedikit waktu menulis untukmu. Lewat tinta yang mengalir dari hati. Terima kasih. Kau sudah memberi warna indah dan meyakinkanku bahwa ada orang yang sungguh menyangiku. Kau tuang segenap madu namun sekian kali kuberi perih. Kau tak henti memberi semua apa yang kubutuh. Walau aku terkadang jenuh. Kau tukar semua tawamu untukku dan senantiasa tersenyum padaku. Walau aku terdiam dan terkadang jemu. Kepada lelaki yang sungguh-sungguh mencintaiku dengan hati. Telah kau korbankan perasaan dan waktumu hanya untuk memikirkanku. Walau aku tak pernah membuka hati sedetikpun memikirkanmu. Taukah kau, saat gerimis dan hujan disini. Kau selalu datang menawarkan pelangi. Berwarna-warni, namun tak mampu kulihat kebesaran hatimu. Kau selalu berkata, aku mencintaimu dengan caraku sendiri. Cara yang indah dan membuatku jadi perempuan seutuhnya. Perempuan yang bingung, dan tak mampu mencintaimu. Kepada lelaki yang pernah mengantarkan sebuah kue dihari ulang tahunku. Maaf, terlalu banyak pengorbanan yang tak bisa kubalas. Sering kubuang hatimu percuma, bahkan kurobek dan kucampakkan di halaman rumah. Dan terinjak-terinjak oleh kucing berkalung sekalian bulan. Namun kau begitu tulus, tak letih, tak penat dan tak henti memberiku segenap rindu dan berbagai pelajaran hidup. Walau kau tau, aku lama hidup bersamanya. Walau kau tau, aku merajut cinta dengannya dan sering membuatmu terluka dan bahkan terhina. Desember 2011


Aku Lantang Aku terlalu lantang Menebar rindu pada mu nona Sebab musim terlalu dingin dan cinta lalu lalang dalam batin Sementara malam masih menggunjing Hatimu dingin tak panas kering Aku memuja dan berdo’a di setiap dinding Aku tak mau mengiba Bersimpuh dan menangis dalam hening Berucap cinta sejuta kali Mengais luka berkali-kali Menggaris-garis mimpi kian tak pasti Dan mati kecil dalam sekarat pilu Pada hati yang tak lagi berkeping Pada rindu yang sia-sia dan lengang Dan pada kisah cinta di malam semu Ah, Ayuni, aku ingin bernyanyi Sampai luka-luka hilang terobati Sebab ku yakin, angin yang menyapa sore nanti Adalah bisikan pertamamu berucap cinta padaku 7 Desember 2011


Bagaimana Rasanya Menjadi Nabi Bagaimana rasanya menjadi Nabi Aku akan senyum dalam abadi Walau para kafir tertawa lebar Melempar tai-tai ke badanku gemetar Bagaimana rasanya menjadi Nabi Ketika semut-semut merah menghinggapi Akan kuajak berbicara dan diskusi Tentang dunia dan manusia yang tersakiti Bagaimana rasanya menjadi Nabi Memegang sebuah tongkat sakti Membelah laut menaklukkan api Menerjang fir’aun menghantarnya mati Bagaimana rasanya menjadi Nabi Senyum Zulaiha terbayang sunyi Tangis Maria memelukku kasih Keringat air mata Bilal menetes perih Bagaimana rasanya menjadi Nabi? Bagaimana rasanya menjadi Nabi? Bagaimana rasanya menjadi Nabi? Aku hanya tertegun lirih di bawah gerimis Desember 2011


TENTANG AIRA 1) Lautku Sayang Dari mana mengenal laut Airnya biru bersimbah peluh Kita sesekali menjamah asalnya Sesekali semakin mengeruk hasilnya Laut ini berasal dari darah Darah pergulatan manusia Tentang Aira, yang menjaga laut Tentang sarung lembutnya yang basah Menjaga laut semesta dan isinya Sampai musim terlalu musim Dan dedaunan semakin gugur Mukanya polos, hatinya bening Bercampur sampah menjadi keruh 2) Lagu Lama “Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya� Lagu lama itu terdengar dari radio Kau memandang aku memandang Kita terbias, kau sudah dewasa Tak lagi jadi boneka lucu Dadamu busung hidungmu mancung Berbeda dari waktu dulu kau sering menangis Sesekali aku bertanya, lihatlah Aira, Jari-jemari tanganku ada berapa? Kau tersenyum karena jawabmu sudah kuduga Kau hafal tanpa perlu berucap Lantas, apakah kau masih tau Berapa kali detak jantungku berdenyut setiap detiknya Kau tak mampu menjawab seperti tempo dulu, Karena aku pun tau detak kita memacu sekencang-kencangnya Sampai kita tak bisa menghitung, Yah, semuanya dikarenakan cinta 3) Perasaan Berkabut Lirih gemuruh runtuh di kotaku Pepohonan tumbang dan sajak mulai mati Ia gagu, tak berbicara sepatah kata Gadis kecil itu bernama Aira. Bisa kuterka namanya dari gerak jemarinya


Atau dari bibirnya yang mulai kering, Kemana Ibu yang kemarin menyusuiku? Ia berkata sepuluh kali tanpa henti Dan berjalan memegang boneka kucing Berwarna ungu’ Rambutnya kering Ibunya mulai menghilang ditelan reruntuhan Termakan air dan tercabik dalam biru Aku diam termangu 4) Ruang Dendam Pada sekelumit dendam Gadis itu tumbuh dewasa Pada darah yang lupa tersapu ombak Pada gunung yang meluap ganas Ia gadis penunggu, aku seorang pemuja Lewat sesajen dan dupa Padamkan segala amarah Lupakan segenggam dendam Rangkul dan gendonglah dia Namun wajahmu terlampau asing Kau menyeruak meronta-ronta Sekelumit dendam kian kau bawa Aira. Ada surga ada neraka Kau tinggal berjalan dan memilih yang mana 5) Sekilas Pundak Maka, lampu kian memudar warna Lilin tak jua menyalakan bara Kau menggenggam sebuah dilema Pada sebuah pundak Aku menitip rindu amarah Pada sekilas pundak Kau akan pergi dalam malam Aku lupa memberimu sebuah nama Maka kulekatkan sebuah tulisan dalam pita Ketempel erat di sebelah kiri jantungmu Aira, nama itu akan kau bawa Terus kau bawa sampai menemukan surga


6) Berbulan Duka Ada gumpalan air mata di sela tawamu Warna merah di pipi kian merona Aku tak bisa menduga Kau terharu atau bahagia Lelaki itu erat memegang namamu Aira. Kala api telah kau genggam Air pun akan kau kantongi Lautan menjadi biru, pepohonan tumbuh haru Gunung-gunung senyum melambai Nikahilah dia. Jangan fikirkan aku Sebab berbulan duka Atau berabad tangis Aku akan menahan tak kan menyesali 7) Di Ujung Nopember Ujung Nopember, ‘you will be the dead of me’ Kematian, ruang kosong tanpa udara Mendekap langit tanpa cahaya Gemulai hujan memudarkan rupa Kau tak kukenali sebagai perempuan Tak kukenali pula sebagai Ibu Tak pula kubaca gerak bibirmu Aku hampa kau tinggal tiada Aira, aku rindu rupa 8) Pada Musim yang Musim Pada musim yang terlalu musim Pada rindu yang terlalu rindu Aku memandang langit dalam malam Merangkai-rangkai senyummu diantara bintang Melukis-lukis wajahmu dihening malam Sesekali berpejam menyebut namamu Aira. Kita sudah tak bisa bercinta Kita sudah tak bisa merangkul selangkah Kau kian menjauh arah Jauh. Tak bisa kutangkap Dan sulit kudekap


9) Menderu Biru Baiknya kau putar ulang langkahmu Berkali aku mengingatkan itu Bismillah seratus kali Kukemas barang dalam lemari Namun di atas ranjang, kau mulai berbaring telanjang Sedang pintu lama kututup Jendala rapat kututup Angin apa yang membawamu Kau hanya berbisik, “Aku Aira. Jangan pergi Aku enggan sendiri� 19 Desember 2011


LORONG SEBUAH MASJID Mata perempuan itu tercermin dimatamu Menarik-narik kelopaknya hingga kau jatuh Matanya berbinar, kau berkata demikian Namun kerap tangannya membawamu Menyusuri jalan-jalan kecil Ini rumahku, ini pintunya Ini ibuku, ini mertuaku Seraya tangannya menunjuk Maka ketika pintu terbuka, Seorang lelaki lelap diranjangnya Tanpa baju tanpa celana Tatkala malam, kau akan bernyanyi Berteriak sesekali menendang tembok kamar Menyesali waktu yang terlampau cepat Waktu yang enggan untuk sekedar berputar kembali Ah, aku lelaki bodoh, memendam cinta yang dalam Sedang dirimu sudah lama membeli tulang rusuk lelaki lain 20 Desember 2011


Bimbang Kita sama-sama tak mampu membaca gerak angin. Bahasa angin yang samar. Yang kerap membawa debu dan menerbangkan kita. Sebelum nenek tua bercerita tentang hidup, mati, jodoh dan anak. Kau terdiam mengkerut dahi. Anakku, kelak hidup ada ditanganmu. Jangan dilepas. Sebaiknya kau ikuti dengan hati. Kau berkata, aku akan menjadi ibu dengan bayi cantik hidup diperutku. Lantas aku dan kamu berkelana. Mencari hati yang sempat di dongengkan nenek. Hati yang katanya penuh dengan cinta. Tanpa cacat dan cela. Tanpa luka dan tanpa duka. Pada lampu gelap dijalan. Pada redup mentari tertutup mendung. Aku lelah, padukan saja hatimu. Aku mulai mengiba. Darah kita memang sama berwarna merah. Tapi cinta terlalu kuat dan tak pernah mati. Desember 2011


Jum’at Malam Jenggot itu sudah beruban Tatkala ribuan warga menganiaya Si pemuka agama Berita hanya bertulis Tentang rintih sepi nan bengis Tanpa ada tindakan Yang ada hanya kesewenangan Aku enggan menutup mata Meski para pejabat terbiasa tidur Namun aku berharap Ada sedikit kepedulian Terlintas manis dalam setiap dengkurannya Si pemuka agama tak berdaya Tuhan kini mulai pudar cahayaNya Lombok Timur, 2011


Pada Kening Ibu Pada kening Ibu Laut itu masih berwarna biru Pada kening Ibu Langitpun biru jua Pada kening Ibu Warna itu berubah warna Menjadi merah sebab darah Darah ratusan umat Darah penindasan keji Penghinaan dan aniaya Dalam kitab-kitab suci agama Dalam kereta yang terbiasa Menghantar jenazah Tepat di depan muka Ibu Lombok Timur, 2011


Mimpi Bocah Malang “ Hidup ini terlalu berat, mohon jangan kau penat” Sesekali aku teringat nasehat kakek kepada nenek Saat bapak masih dalam gendongan Dan makan hanya menjadi satu harapan Sarung itu hanya satu, Rumah itu tak terbuat dari batu Atapnya sesekali membuat gerimis hujan menari Dan menjatuhkan rintiknya tepat dimukanya Sejak itu, aku terlalu sering bermimpi Aku senang dengan mimpi itu Bermain dengan nenek di ilalang Bernyanyi dengan kakek yang lantang Maka sesekali, senyum nenek terhampar Tawa kakek pun tak jua pudar Aku merindukan bapak, aku ingin berkata demikian Tapi nenek berisyarat diam, dan berkata ‘Lihat cucuku. Badannya gempal dan hidungnya sedikit mancung Alisnya tipis. Kantongnya tebal. Tak seperti kita menangis di ujung jalan Mencari sesuap nasi tuk makan. Sesekali, bawa kami ke simpang depan masjid lama Menikmati makanan warung yang kata orang lauknya melimpah jauh melebihi nasinya Atau menikmati jus-jus segar yang kerap membuat gigiku bergetar’ Aku tak menimpali dan tak jua berkata Karena nenek hanya mengisyaratkanku diam… 22 Desember 2011


Sajak Untuk Ayuni (1) Mendung. Wujudmu adalah rimba Tak kutebak tak jua ku tau Tapi cinta mengalir, menyusup Dan ingin membelai dengan nafas Dengan segala (2) Alis matamu. Adalah pasir Berbaris seiring Seiring dan kian rapi Aku menamakannya rindu Kala kau hadir di mimpi Atau singgah beribu kali (3) Maka aku ingin berucap, Ketika cinta seperti pedang Tancapkan saja Menembus jantung Biar darah ku mengucur menulis namamu (4) Matamu adalah jalan Jalan pulang menuju surga Saat lilin enggan menyala Atau nafas berhembus sia-sia (5) Gerakmu. Aku ingin bermanja Sesekali mencium harummu Dan berkata, Biar waktu berhenti saja Karena memandangmu Adalah mimpi yang terindah (6) Karena jantung hanya satu Bernyanyi menjunjung namamu Maka lekatkan irama hatimu Biar kukenali Jangan sembunyi, Aku takut mati sebelum menyentuhmu


(7) Lalu, kuselipkan selembar hatiku Kau warnai saja sesukamu Karena ku yakin, Aku akan tersenyum Walau kau beri warna terkelam Sekalipun‌ (8) Rambutmu. Aku memandang Seperti laut terhampar Lalu ingin kusibak tirai jendela Mengendus bayangmu Menelusup warnamu Melihat wajahmu tersapu gerimis (9) Malam. Sudut kamar kau menari Cahaya yang mengendap Tak kutangkap hitam dan putihnya Aku ingin menjemputmu Menggambar wajahmu di dinding Dan menghitung detak-detak jantung Yang kian merindumu (10) Kita terkadang bicara Seperti meraba dan bisu Bibirmu sesekali beku Aku enggan menjauh Karena cinta tertanam jauh Sebelum kau melangkah pergi Dan angin lupa membawa jejakmu 18 Desember 2011


Kalau Aku Tak Pulang Ayuni. Jikalau lama aku tak pulang Aku mungkin sedang bermain, Bertamasya, Memegang cahaya bulan, Merangkai bintang, dan menari sunyi dimatamu Desember 2011

Menanam Cinta Aku sudah menanamnya sekian lama Cahaya bulan yang terang, Bunga yang mekar merekah, Tawa yang melelapkan pagimu, Ya, aku lama menanam semuanya dihatimu Ayuni Semuanya yang lama kusebut cinta Desember 2011

Rinduku Ingin melihatmu Ayuni Menatap bola matamu, Memegang erat tanganmu, Membagi semua tawaku dalam irisan-irisan kecil aku ingin larut dalam air matamu sekali lagi‌ Desember 2011


Pada Kematian Kematian ini. Meninggalkan semua kenangan Membuka semua tangisan Melepas pelukanku sayang Menitip sehelai rambutmu Harum, aku akan merindu Bertahun-tahun sendu 2011

Tuan Guru Sesekali, aku ingin membuka topi putih ini Melepas jubah yang lama tak kulepas Mengganti dengan dasi dan sebuah jas Duduk dikursi dan meja yang lumayan panas Aku ingin tertawa saja Desember 2011

Aku Pemujamu Ke bagian itu, kita akan melupa Saling tak mengenal, Cahaya kita berbeda Karena aku pemuja Dan kau Ayuni Wanita yang lupa menitip cinta Di kedalaman hatiku Desember 2011


Kala Sore Kala sore, aku ingin menunggu di rerumputan Memain-mainkan gerak jari, Menikmati perih desir angin dan bertanya-tanya dalam hati, Ayuni, Benarkah rindu adalah kesakitan yang tak mampu kutukar dan kuungkap dalam beberapa bait puisi? Desember 2011

Puisi Sunyi Kala Siang Mendung Aku mulai bosan, Ayuni Bermain dan berjalan dihatimu Aku hanya menemukan jurang, Sebuah jalan berlubang Penuh lumpur dan pengap tanpa udara Dihatimu, aku terkadang menjumpai sebuah nisan Yang terpahat dan bertulis namaku sendiri 15 Desember 2011

Melupakanmu Rokok ini kuhisap lagi Asapnya kian jauh masuk ke dalam jantung Perlahan menggeser posisimu di hatiku dan melarutkanmu jauh Sebelum malam melelapkanku dan mulai tersadar kehilanganmu Desember 2011


Sebab Air Mata Pada kedalaman hati yang dalam Air matamu jatuh Cahaya itu sembunyi Dibawa jauh Oleh lelaki yang meminang perempuan lain Dan kau hanya menyesali Desember 2011

Fajar Yang Kurindu Aku bukan manusia utuh Bukan pula lelaki sempurna Semenjak hatiku kau bawa setengahnya Berlayar meniti surga Meninggalkanku sendiri dalam dingin Sebelum fajar membawaku kepangkuannya Desember 2011

Aku Ingin Mencari Surga Aku ingin mencari surga Pada gerak lunglai jemari ibu Pada telapak kakinya yang mulai sayu Atau pada uban yang hinggap dirambutnya Aku ingin mencari surga, Merangkak ke tepian hatimu, meniti sepi Tapi aku enggan untuk hanya memasuki hatimu Desember 2011


Bencana Kedua Aku ingin menitip tangis pada perempuan Perempuan yang meminang mataku Perempuan yang meminjam darahku Sebelum bencana datang lagi Sebelum fajar tak mau berganti Aku hanya ingin menitipnya Satu tetes air mata yang dulu Air mata yang pernah kau jaga sebelum ia menetes sampai di pipi Desember 2011

Pada Sebuah Meja Aduk saja kopi itu Biarkan air mata dan luka Terlarut jua di dalamnya Ayuni, Minum saja setengahnya, Sisakan setengahnya untukku Karena hanya lewat harum bibirmu Yang menempel di ujung cangkir Aku bisa mengenangmu Sebelum kau pergi berlayar Mencari surga Desember 2011

Di Dahi Ayah Di dahi ayah, aku mengenal hidup Sebuah jalan bersimpang dan lautan nan dalam Terhampar, seperti buaian dan rayuan manja pohon kelapa Setia menitip rindu sebelum ku lelap Di dahi ayah, cahaya itu seperti surga Bersinar dan memberiku jalan berlindung Saat dunia terlalu asing dan kian menenggelamkanku Desember 2011


Seumpama Lemari Aku mengenalnya sebagai lemari Menyimpan segala suka dan terkadang luka Aku menyebut hatinya, seperti lemari Akan kubuka dan kulekatkan erat Sebelum pintu-pintunya tertutup Dan kunci yang lama kugenggam hilang Tersapu angin dan tengelam bersama malam Desember 2011

Sebilah Pisau Hanya ada pisau, kupajang erat dihatimu Sewaktu-waktu bisa melindungimu Saat lelaki lain mencoba masuk Atau saat hatimu terserang hujan Hanya ada pisau, akan pula kulekatkan dihatiku Saat hatiku enggan dan benci terlalu lama merindumu Desember 2011

Satu Tetes Hujan Satu tetes hujan kerap kau genggam Berbisik dan bercerita padanya, Sesekali ia jatuh terlepas dari genggammu Namun kau tak bosan menanti hujan datang lagi Kau akan setia menggengam satu tetesnya saja Hanya untuk meminta, “Hujan, sesekali bawa wajahnya, Hanya untuk kupajang di dinding kamar. Saat rindu terlalu berat ku genggam sendiri�. Desember 2011


Pada Mata Ibu Pada mata ibu, aku menemukanmu Membelai rambutku sebelum tidur Menina bobokanku hingga lelap Pada mata ibu, aku mulai merindu Dan bertanya kemana perempuan itu, Perempuan yang selalu memaknaiku dengan sebuah senyuman Desember 2011

Haruskah Kau Kusebut Puisi ? Saat melihat matamu lentik, beriring Hidungmu mancung menggurat senyum Bibirmu tipis, menanti gerimis Senyummu manis, bersisa embun Wajahmu sunyi menyimpan rindu Ayuni, Haruskah kau kusebut puisi ? Berulang memuja atau mati kian mendamba. Desember 2011 Surat Cinta Untuk Ayuni Dik, jikalau lama malam tak datang Akan kuijinkan ia melukis wajahmu di setiap hamparannya Menyanyikan lantunan cinta yang lama kupendam Atau membiarkannya menitik hujan dari matamu Dik, akan kugenggam setiap tetesnya Kubaca setiap maknanya dan kupahat di dinding hatimu Kupanjatkan do’a atas yang menciptamu Kepada wajah dan santun tuturmu Dik, aku hanya ingin mengenangmu Saat purnama lelap kunjung tak bersinar Saat irama pilu setia meraung-raung dan gemetar Berulang dan berulang menyebut namamu Desember 2011


Lukisan Malam Jika mati adalah keharusan Akan kubuang jauh wajahmu Sebab gerimis takkan membuatmu nyaman Saat aku enggan berkata, Saat cahaya itu memudar dan saat mati memisahkan kita terpaksa Desember 2011

Aku Lupa Menyebut Namamu Ayuni, namamu adalah pujian Bahkan sesekali kutukan Namun terkadang aku lupa Menyebutnya saat malam gulita Sebab namamu adalah mantra Yang sesekali membuatku terjaga dan sulit memejamkan mata Desember 2011

Kepada Annisa Titip satu senyum saja Sebelum kau melangkah Sebab bajumu masih utuh Tak kupegang tak pula kusentuh Sebab rindu adalah tangisan Yang sering membuatku lupa Kita pernah bersama merajut cinta Pada malam yang jauh dan redup cahaya Desember 2011


Langit itu Biru Laut itu biru, seperti matamu Yang sering menenggelamkanku Awan itu putih, seperti hatimu Membawaku pergi mencari diriku sendiri Namun kenapa langit mesti biru Kenapa ia tak hijau saja Atau sesekali berwarna ungu Sebab kau kini mulai asing Tak bisa kubaca dan kukenali warnamu Desember 2011

Natal Hari Ini Aku Tuhan dengan segala Tuhan Aku janji dengan segala janji Sebab nadi akan berhenti dan nafas bergelombang sepi Sebelum mendung menggelapkan langit Salib ini terlampau jauh mengikatku Memaku pergelangan tangan dan darahku Memijat jantung dan membeku ragaku Oh, Eli… Eli… lama sabakhtani ? Tuhan, Tuhan, kenapa kami kau terlantarkan? Desember 2011

Do’a Malam Natal Aku akan senantiasa tersenyum Kepada manusia dan kepadamu Tuhan Atas nafas dan malam yang dingin Atas cinta dan pagi yang sunyi Sebab, aku tak ingin terlalu lama lupa dan enggan memberimu sebuah senyum Puji Tuhan… Desember 2011


Di Bangku Gereja Burung mulai bernyanyi di atas mimbar Bibir-bibir berucap memuja Tuhannya Dalam meja rapuh, seorang Ibu menangis Mengucap dosa dan segala rasa Seirama lonceng yang berbunyi gemetar Doa’-do’a terucap dalam rahimnya Allah Tuhan bagi segala manusia “Sebab bagi Allah tak ada yang mustahil’ Dalam Lukas selalu didengung-dengungkan Yeremia dan Efesus pun kian membenarkan Dalam sembahyang dan segala bentuk nyanyian Air mata akan padam, dan senyum kian tertanam Desember 2011

Jantung Seorang Pendeta Jama’at, hari ini Tuhan menitip sebungkus nasi Menghidupi anak dan bekal sang istri, Nyalakan sebuah lilin dan kembang api Nyanyikan puja puji dan segala bentuk rindu Maka dijantungku, Tuhan sering berkata ‘Tuhanmu adalah rindu tatkala kau lupa Tuhanmu adalah cahaya tatkala gulita Tuhanmu adalah mimbar putih tanpa api Tuhanmu adalah jiwa yang kelak kau bawa mati’ Semua jama’at terdiam hikmat Karena di jantung mereka Tuhan telah lama terpahat Desember 2011


SEBUAH PATUNG DEPAN GERBANG Patung ini memakai kalung Dari ribuan gram mutiara Yang indah dan mahal harganya Di depan gerbang sebuah istana Kepalanya botak dengan tangan mengadah Dengan hidung besar dan berjubah Ia hanya terdiam tak menyungging gerak Maka pagi-pagi di koran dan televisi Seorang Ibu setengah baya masuk bui Sebab semalam ia mencongkel kalung si patung Untuk membeli popok dan sebuah rumah megah Desember 2011


Kasih Yang Kasih Yang terbesar adalah kasih Atas nama Tuhan, Bapa dan bunda Biarkan tubuh bersimpuh Sebelum lonceng berbunyi sunyi Tuhan ku yang maha tinggi Meguasai laut dan segala isi Kasihmu tak bertepi Sampai kelak aku mati Desember 2011


Gadis Berjilbab Ungu Gadis berjilbab ungu. Telah banyak pertemuan yang kita semai tanpa tau nama. Semilir angin kian menerpa wajahmu. Matamu tajam dan alismu tersusun rapi. Aku sering berharap angin membawa langkahmu beradu ke ruang ini. Atau sesekali mendengar suara mu agar ku bisa menerka dan pelan-pelan membaca hatimu. Apakah masih kosong atau terpenuhi oleh sekian lelaki yang hatinya telah dipersembahkan dengan rapi. Gadis berjilbab ungu. Derai-derai langkahmu bersisa embun. Yang kerap membasuh dan sedikit berdiam tak jenuh. Elok pinggangmu kala berjalan, semampai kakimu tak luntur oleh ribuan zaman. Sedikit ponimu keluar memberi kabar. ‘Aku si gadis burung camar, tangkap aku, sebelum kau mati terkapar’. Desember 2011

Gadis Berjilbab Ungu (2) Kilauan cahaya kerap menyinar diwajahmu. Putih, lembut dan suci dimataku. Gadis berjilbab ungu mulai dewasa. Kerap kali langkahnya letih terasa. Surga di bibirnya kali ini berkata, Aku gadis. Hatiku masih utuh terbungkus. Belum terukir atau terpahat sebuah nama. Belum juga berwarna dan tak diberi warna. Aku gadis dalam siang yang gerimis. Menanti lelaki berkuda putih nan manis. Membawa sepotong hatinya utuh tak beriris. Pandanganku tertuju lekat dimatamu. Namun matamu hanya kosong membeku. tak jua kudapat maknanya, aku masih gadis. Desember 2011

Gadis Berjilbab Ungu (3) Bergaris kotak-kotak. Sehelai baju menempel dibadanmu. Lekuk tubuh dan jenjangnya jelas tergambar. Ada jalan-jalan pulang. Ada awan-awan mendung. Ada pula lelaki bertopi hitam menunggu. Semua tergambar jelas dihatimu. Bibirmu merah dan pipimu merekah. Bisakah kita bercinta dalam mimpi dan dalam hati. Sebab dalam mimpi aku jauh mencumbumu dan dalam hati aku akan mati mendambamu. Kau berpaling. Menggenggam angin dan terbang sejauhnya. Angin yang keesokan hari akan membawa harummu. Angin yang sesekali menerbangkan jilbab ungumu. Maka, aku akan senang berdiam disini. Melihat tanpa meraba. Menyadari hatimu pelan-pelan hilang setengahnya. Desember 2011


Senja di Taman Kota Gelas-gelas kopi itu tak lagi berair Kita duduk seirama dan satu getaran Di kejauhan kau mulai memandang langit Biru. Kau berucap sendiri Senja di taman kota Aku lama mencarimu Setelah setahun kutinggali Tak jua kutemui langitmu yang biru Seperti dulu Oktober 2011


Tentang Ayuni dan Beberapa Kerinduan Mendung. Betapa semilir angin kian kunanti Seraya kutuliskan beberapa larik isi hati Pada selembar kertas hampa dan sepotong roti Tentang kerinduan dan pesona matamu Tentang mimpi dan cintamu yang dulu Ayuni, bukankah kerinduan adalah kutukan Bait pertama yang kutulis tanpa emosi dan tekanan Lalu tanganmu memegang pena dan menggores Rindu adalah titik hujan yang sering menetes Kopi ini kuminum jua, bukankah cinta adalah sebuah rasa Bukankah cinta adalah perasaan yang menuntunku tanpa memaksa Gerak bibirmu menari, pena kian berjalan dan kau menulis Cinta adalah batas pandang dari hati yang enggan teriris Cinta adalah lembaran kosong yang tak sempat kau tulis Ayuni, ketika api dan air mulai berpadu, awan menghitam Langit kelam, burung mati dan diam dalam peraduan malam Lantas apa yang akan kau ucapkan pada malam yang kian temaram Matamu menatapku, kau tersenyum beberapa detik Lalu berucap, aku akan membiarkan air mataku jatuh menitik Seirama dengan lantunan gitar yang tak pernah jadi kau petik Aku hanya terdiam mendengar jawaban bibirmu Di bait terakhir, aku mencoba mulai menerka hatimu Ayuni, apakah degupan di jantung ini tak kau sebut cinta Apakah tatapan mataku yang tajam tak kau tangkap sebagai cinta Kau tersenyum dan berucap, coba lihat dedaunan yang menyimpan embun Coba kau ingat senyum Ibu dan dahinya mengkerut saat melamun Coba kau baca setiap buku yang sering kau bawa dan kau tuntun Itulah hatiku, fahami ia dan belajarlah membacanya dengan santun Kelak, waktu dan kerinduan yang akan menuntun kita tuk betemu Selong, 3 Januari 2012


PUISI TERAKHIR Kini aku berjalan, Ayuni Meninggalkan hati dan namamu Merambahi malam lewat kabut kecut Sebab pintu hatimu hanya tertutup Tak jua terbuka dan terhampar Sepanjang jalan Joben menuju Pancor Aku tak ingin memungut hati itu lagi Aku bosan, Ayuni Aku tak ingin hanya bermimpi Tentang malam sunyi dan kau menemani Tentang rindu basi yang kutangisi Tapi dalam senja dan malam kelam Aku tak akan pernah menyebut namamu Namamu akan kusimpan tak kusentuhi Taukah engkau, Ayuni Memendam rindu seperti ini Lebih sakit dari sekedar menunggu mati 6 Januari 2012


KEMATIAN SUNYI Hitam. Kematian adalah ruang hampa. Gonggongan anjing tetangga atau mungkin sajadah lusuh di bak sampah. Kematian, aku bisa mendekapmu dalam lembaran sejarah. Tentang peluru yang mengancam menguliti kulit dan darah. Bahkan tentang ribuan pekerja mati lapar di serang kolera. Kematian, wujudmu adalah sebuah bayang. Aku tak bisa mengeja dan merabamu dalam remang. Namun setia menunggumu datang. Kematian. Kita bicara dalam kamar sepanjang dua meter. Tentang kaki yang nakal berjalan. tentang tangan yang terlalu keras memegang. Tentang mata, hidung dan hati yang kerap lupa. Kematian. Di dalam lemari aku titipkan pakaian dan sebuah kenangan. Di belakang pintu kuselipkan sebuah selendang. Di laci kantor bisa jelas kau lihat beberapa surat cinta yang tak jadi kukirim padanya. Surat lusuh lima buah dalam amplop tak berwarna. Kematian. Pada urat leher dan detak-detak jantung. Kau akan menyeruak masuk memaksa. Tak peduli tentang mimpi bocah yang belum menaikkan Ibunya haji. Tak peduli tentang janji suami yang belum membeli rumah mewah dengan kolam untuk sang istri. Kau sungguh tak peduli. Kematian. Bisakah kau mampir sebentar. Duduk di atas sofa dan berdiskusi sebentar. Teh hangatkah atau kopi jahe kah yang kau mau. Akan kusiapkan sekejap saja. Tapi tunggu, aku belum menulis surat untuk istriku. Belum jua membeli baju baru untuk lebaran anakku. Aku belum menyikat gigi sehabis sarapan tadi pagi. Mohon menunggu. Aku pasti menyambutmu tersenyum. 06 Desember 2012


Labuhan Haji Barangkali disini aku bisa menemu wujudmu Pada ukiran pasir sehabis tersapu hujan Pada tiang-tiang rapuh perahu di Labuhan Angin ini, lima tahun lalu aku sempat mendekapnya Sempat mencium dan meraba aroma tubuhmu Sembari kau celupkan sedikit pemanis pada secangkir kopi Kopi segelas dua ribu dan kau meminumnya ragu ‘Angin ini tak sama, karena kita lama tak bersama’ Bisikkan suaramu disampaikan angin ke telingaku Sembari kupandang pasir yang lama-lama terkikis Wujudmu hilang dan berganti dengan kerinduan ‘Lalu, apakah pantas ku menggambar sendiri mukamu?’ Kusampaikan pula tanya itu pada dua ekor burung pipit Burung yang dulu sering mengintai saat cinta terhimpit Antara helai rambut, ujung kaki, dada, dan hidungmu Tak ada jawaban, tak pula kau bisikkan satu suara Aku terdiam dan memilih pulang tanpa makna Februari 2012


HIJAU YANG MENJAUH Ranting telah punah. Rotan-rotan hilang sia-sia Nenek itu kembali sedih. Satu titik air mata ia muntahkan Hiks. Belanting, berpuluh tahun lalu serupa hijau Kini kian hambar dan indah alam memudar Seiring lantunan irama sendu sang camar Maka dalam senja, seorang gadis memotong rambut Menyiapkan sesajen dibawah naungan kabut Menghitung-hitung jumlah air yang hitam Bergetar-getar bibirnya seperti sembahyang Membiarkan aroma rambut terbakar mengalir riang Di ujung malam, bocah sepuluh tahun tenggelam Air deras mulai menebar marah padam Rumah, kios, harta terhujam gelombang Ribuan dedaunan sujud memohon do’a-do’a Batang-batang pohon tumbang kehilangan tenaga Pagi sebelum subuh, nenek itu kembali merenung matanya menghujan, ribuan air mata tak bisa terbendung mengenang cintanya berpuluh tahun lalu, berteduh di bawah pohon pisang yang ranum yang tak pernah ia jumpai hijaunya seperti dulu yang tak pernah ia bayangkan cucunya menghilang menghilang dalam malam, malam penuh benci dan kerinduan. Januari 2012


Hari Fitri Aku melihat senyum Jibril. Seperti berabad tahun lalu. Sebelum Adam berteriak meminta Hawa. dan mereka terdiam memakan Huldi. Di sini ada surga, hari ini sudah jauh dari waktu itu. Tapi surga itu nyata. Berulang kali Ibu bercerita. Masih tersisa nafas Bilal menggumam adzannya. Gemang Allahu Akbar terniang ditelingaku. Pagi ini, surga itu nyata. Ibu kembali menegaskan. Seraya aku memeluk dan mencium tangannya. Namun pagi ini, tangannya terasa hangat. Yah, surga ada. Aku pun bergumam dalam hati. 2011


Kau Muhammad Ada mu’jizat dalam langkahnya. Serupa awan mendung dalam panas nan terik. Bagai terang dalam goa tergelap. Dia adalah pesona dalam dunia yang hampa. Dia adalah cinta dalam hati yang gersang. Maka dimatamu, aku merindukan cerita itu. Cerita yang lama tak kudengar dan kubaca. Aku rindu bocah lagi, inginkan cerita itu terucap dimulut Ibu menemani lelapku. 2012

Pada Kitab Suci Demikian, kau melantunkan sebuah surat. Suaramu menembus dinding-dinding kulit. Annisa. jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang wanita saja. Suaramu terserak. Sebab luka dihatimu terbuka. Lembaran kitab suci kau tutup. Tetes itu mengalir. Teringat perlakuan seorang suami yang menyisakan luka. Suami yang membawamu serumah dengan istri mudanya. ‘Ini tak adil’. Kau terus bergumam dalam hati dan mencoba melanjutkan ke surat berikutnya. 2012


Kepada Susanti Sepatu merah Cinderella menempel dikakimu. Dengan sweater kuning cerah tak beraroma darah. Seirama warna kulitmu kuning bercahaya. Kau berjalan tergesa dibawah gerimis kecil. Gerimis yang berpadu dengan jantungku. Suaramu bening menyapu hening. Senyumu tipis berair tak kering. Tatap matamu adalah panah fajar yang menyingsing. Genggam aku, sekali saja biar kurasa lembut kulit dan harum sejuk tatapmu. Karena melihatmu sedetik saja, aku terlupa bagaimana sakitnya menunggu mati. 9 Januari 2012 Kepada Susanti (2) Bagaimana aku tak mengatakan aku jatuh cinta, jika pesona matamu adalah mimpi berturut selama seminggu. Semampai badanmu adalah jelmaan sejuk di musim panas. Gerak senyum dan tawamu adalah cahaya di malam gelap. Maka biarkan aku jatuh cinta, sekali, dua kali atau berkali. Sebab dengan merindumu, ujung jemariku bergerak cepat menuntunku menulis beberapa bait tentangmu. Tentang rindu dan mimpi sendu. Karena ku yakin, di wajahmu tersimpan begitu banyak puisi. 9 Januari 2012 Kepada Susanti (3) Siang ini. Sakit kepala mendera. Itu kau ucap lewat sebait pesan. Namun seperti biasa ada tawa disela perihmu. Hahahaha. Seperti itu. Selalu kau sempatkan tertawa. Namun dari balik jendela, aku mulai tak mengenal angin. Entah dari mana ia datang. Dari rambutmu kah atau dari ujung hidungmu yang sedikit mancung. Maka sejak ini, aku terbiasa dengan hampa. Menunggu pesan atau sekedar membuka pintu. Berharap hadirmu adalah kerinduan terdalam sepanjang waktu. 9 Januari 2012 Kepada Susanti (4) Sejak kapan nama itu mulai mengusik perlahan nan pasti. Susanti. Sebuah nama singkat yang kian lekat dihati. Nama itu adalah sekuncup bunga diujung belati. Nama yang tak mampu kuraba atau kudekati. Nama yang sering terucap dalam gemetar bibir. Nama yang tak ubahnya seperti hujan nan petir. Menggelegar dan terus menyita sedikit waktuku berfikir. Namun dengan mengenal nama itu. Angin senantiasa menerpaku semilir. Mengantar senyum pagi di bibir. Ah, aku ingin mencintaimu saja. Cukup itu saja. 2012


Di Bawah Ranjang Di bawah ranjang. Ada luka menganga. Darah mengucur. Lidah beku tak bergerak. Di bawah ranjang. Ada sejumlah kematian. Gelap. Ruang kosong dan kucing bengong. Dibawah ranjang. Anjing menggonggong. Ribuan cicak matanya melolong memandang seekor tikus ompong. Di bawah ranjang. Ragamu terbaring. Matamu menangis. Hatimu perih teriris. Di bawah ranjang. Aku tak temui lelaki. Hanya beberapa lembar surat cerai. Berserakan berwarna darah. Namun di atas ranjang. Aku masih diam tenang. Membaca buku yang lama kupegang. Buku tentang penindasan dan sejumlah ketidakharmonisan. 2012

WARNA HITAM Kau mulai merangkai kata Menyulap bunga dan pelangi Menjadi sebaris puisi cinta Menyelipkan Adam dan Hawa Bahkan memahat Romeo dan Juliet Seiring tetes hujan jatuh di atap rumah Lantas kau ciptakan warna biru Menggores dinding kamar dan tersenyum Namun wanita itu diam Seperti diamnya perut yang memiliki kehidupan itu Diam-diam, warna itu kau sulap hitam Seiring luka dan harapmu yang kelam 2012


MALAM DALAM GULITA Malam buta. Selimut gelap temaram. Annisa. Kau berjalan dalam bimbang. Rok mini dan sehelai tanktop menutup tubuh. Ribuan mata lelaki mulai membelalak. Mencicipi keringat dan manja tubuhmu. Sesekali membiarkanmu lupa dan menjerit ke surga. Air mata. Mulai mengucur di sepanjang jalan pipi ke bibir. Bermuara hening ke samudra rindu. Pelacur !!! Beberapa dari mereka mencaci. Setelah tubuhmu lemas dan lembaran uang kertas dilempar ke wajahmu. Terbayang senyum adikmu di sekolah Atas kewajiban SPP yang akan terlunasi dan beras yang memperpanjang hidup orang tuamu maka dalam malam gulita jarum jam di angka dua kau mulai bersujud berteman air mata memohon do’a kepada sang kuasa atas hidup, cinta dan semua kepedihan yang terasa Pelacur !!! Kata itu mulai kabur Seiring sujud dan tafakkur Lombok Timur, Januari 2012


Sebuah Pengakuan ‘Lihatlah Nak, Ibu mu adalah seorang Ibu Sejati. Membesarkanmu dengan keringat suci Setelah sang Bapak pergi subuh-subuh Ia mulai bekerja bersimbah peluh’ ‘Bacalah Nak, jalan hidup tertempuh Ibu dulu adalah seorang wanita pendosa Setiap lelaki memaksa jalang Di kamar 102 tubuhku telanjang tanpa celana dan mereka menikmati tanpa dosa. Hanya Pahala’ ‘Dengarlah Nak, pegang teguh nasehat Ibu Junjung tinggi Tuhanmu dengan segala puja-puja Tapaki jalan yang lurus tanpa batu dan cela’ Ibu itu kemudian memeluk anak perempuannya Air matanya menggantung tak terjatuh Sang anak tersenyum, dan berkata, ‘Ibu. Hari ini ulang tahun Ibu. Ada sepotong kue sisa jualan dan sebuah lilin putih nan suci Kita bakar saja dan panjatkan do’a’ ‘Ibu. Aku melihat sorot mata Mariam di mata Ibu Aku melihat senyum Khadijah di bibir Ibu dan aku menangkap kecantikan Zulaiha Dalam setiap tutur dan perilaku Ibu’ Ibu itu kemudian memeluk anak perempuannya Air matanya menggantung tak terjatuh Sang anak tersenyum. Lombok Timur, Januari 2012


Mendung Siang Ini Selamat tinggal bangunan sederhana Sebuah aula dan sendu kicau burung Dua hari kunikmati dengan melepas hati Sering kopi kuhirup berselang mimpi Selamat tinggal pula sebuah nama Ketika laju-laju kereta tak bercerita Tentang jalanan basah dan lubang kerinduan Pada seonggak jembatan musim penghujan Pada dedaunan yang lupa tersapu embun Seorang lelaki mulai mengasah diri Memahami gerak awan dan nada alam Melepaskan segala jubah kala sembahyang Maka, pada setiap helai lambaian tangan Angin kembali membuka cerita Tentang dara riang selalu tertawa Namun senyumnya sepi siang ini Sebab shubuh tadi, ia lupa bermimpi Tentang perpisahan sebelum dinanti Toya, 4 Maret 2012


LAJANG INI PETAKA KITA* : Fatih Kudus Jaelani Haruskah kita minum kembali Sebotol bir dalam-dalam malam Menceritakan kembali, mengurai, Menyesali gagalnya rencana itu Mungkin pula menghisap sejuta racun agar terbang menjauh dari ingatan itu saat petang sendu lolong anjing tumpah, mengutuk malam yang tak bisa menumbuhkan bulan selalu menyisa jejak luka air mata Gumammmu tak cukup merapikan hatiku Detaknya beribu cecak kelaparan Menghantar tidurku pada kicauan burung Yang gagal membujuknya menyinggahi rumahku Kita susun lagi sedemikian rupa kah bila tak seperti rencana tergambar di kertas Kau tersenyumlah, gumamkanlah ‘Aku lelaki tak pernah gagah apalagi perkasa’ 2012 *Kutipan Puisi Fatih Kudus Jaelani


YANG KUINGAT DARIMU KETIKA KAU MEMBACA SEBUAH PUISI SEBELUM MALAM MENARI-NARI SUNYI DIMATAMU : Laila Zarwini Yang kuingat darimu Pipi merah, Senyum Buncah, Gigi rapi tak patah, membaca beberapa bait indah Sebelum detik mengurai menit, menemui jam menyapa petang Katakan saja kau membencinya Bulan yang muncul terlalu dini Sebagai pertanda datangnya malam Malam yang memaksamu harus pulang mengunci rapat pintu rumah terbaring dan menyadari diri Kau adalah perempuan Taman Kota, Maret 2012


MEMINANGMU Tak cukup bibir komat-kamit Dengan mantra-mantra langit Sesekali semburan ludah amis Tak jua buatmu mengangguk manis Senggeger sunyi dari bebatuan Hilang mentah tak bertuan Malam ini, aku putuskan meminangmu Aroma kembang tujuh rupa Berbalut doa beribu cinta Dengan luka masih menganga Sebab esok pagi rindu ini membeku Jika peluk, cium dan mukamu tak kutemu Di atas ranjang tepat pukul telu 2 April 2012


Gadis Sekarteja : Fatih Kudus Jaelani Angin yang tiba-tiba diam Mengiring perjalanan ke Montong Ancak Petang itu Sebelum kau menunjuk sebuah surga Di sisi jalan lengang Gadis berkerudung tipis nan manis Seketika kau hentikan laju roda dua “Gadis itu harus kita temui, Dengan berpura mengenali Atau mencari-cari pertanyaan bingung” Kita sepakat memutar arah kembali Mengenal gadis itu adalah kewajiban Petang ini Sebelum hujan memaksa kita Menyinggahi teras rumahnya Melirik perempuan Yang mengintip di balik tirai Mengaduk dua gelas kopi pahit Menunggu air mendidih dihatinya Seminggu berikutnya, dentuman bibirmu Berucap, “Perempuan itu biasa saja” Tak ada tai lalat manis yang membuatmu Gelisah mengurung diri di kamar Tak ada tatap mata tajam Yang mengharuskanmu memimpinya Berturut selama seminggu Kita pun sepakat, “Perempuan itu biasa saja” April 2012


Sudikah Kau Mencintaiku? Satu Aku putuskan, aku harus menemuimu. Sebelum ingatan tentang matamu menarik mengikatku erat. Pada hati yang karat. Menjelma-jelma ia, membias di hangat mentari pagi ini. Membuatku terjaga dari mimpi. Lalu, sisa harum tubuhmu merasuk lembut dalam rindu berkabut. Jelmaan halus kulitmu menepis semua ragu. Buatku hening tak berlagu. Aku putuskan, aku harus menemuimu. Hanya untuk berucap, Aku cinta padamu. Dua Perkenankan hatimu menemuiku dengan langkah malu. Pungut saja semua kepingan yang kutingal sepanjang jalan menuju rumahmu. Dalam keranjang putih tanpa raut sedih. Basuh semua rinduku yang ranggas. Isi warnamu dalam rongga tubuh bergemuruh. Semaikan senyummu dalam palung hati sunyi tak bernyanyi. Perkenankan hatimu menemuiku. Hanya untuk mendengar bisikku, Sudikah kau mencintaiku?. April 2012


Tunggu aku lima menit saja Sebab bergulung-gulung ombak Berderai-derai tusukan hujan Tak lantas buatku takut menemuimu Rindu-rindu lama ini terkumpul Seperti ribuan asap mengepul Hari ini, kau harus kurangkul Tatap dalam-dalam mataku Ada kamu, bermain riang Penuh, terlalu sering kau jatuh dimataku Terlalu sering kau mengambil Setiap detik pandangku Maka, ketika di matamu Kulihat lelaki lain erat memegangnya Aku biasa saja, aku terlalu sering kau beri luka


BIODATA PENULIS

RIFAT KHAN. Lahir pada tanggal 24 April 1985 di Pancor, Lombok Timur, NTB. Menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Selong pada tahun 2004. Bergiat di Komunitas Rumah Sungai (KmRS) Lombok Timur. Beberapa karyanya pernah dimuat di Majalah Lokal seperti Buletin Embun, Kapass, dan Narariawani Lombok Timur. Metro Riau. Puisinya tergabung dalam Buku Antologi Puisi Kado Untuk Padang (IADB, 2012), Antologi Puisi Tentang Pelacur (Gladakan, 2012), Narasi Tembuni (KSI, 2012) dan Menyirat Cinta Hakiki (Numera, 2012). Sekarang Bermukim di Lombok Timur, NTB. Email : rifatkhan21@ymail.com Blog : rifatkhanblog.blogspot.com H.P. : 087763151315


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.