Ketukangan: Kesadaran Material

Page 1

1


3


Indonesia Pavilion 14th International Architecture Exhibition la Biennale di Venezia

First Published in Venice on June 6, 2014 Publisher: Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta Jakarta Design Center lt. 7 Jl. Gatot Subroto Kav. 53 Jakarta Pusat 10260 Indonesia Phone: +62 215304719 Fax: +62 215304711 http://iai-jakarta.org Editors: Avianti Armand, Setiadi Sopandi, David Hutama, Robin Hartanto, Achmad D. Tardiyana Graphic Design: LeBoYe Printer: Indonesia Printer Printed on Prima Smoth White 100 gsm Speckletone Bluestone 216 gsm Paperina Š Curatorial Team of Indonesia Pavilion 14th International Architecture Exhibition. All rights reserved. No part of this book may be photocopied, scanned, digitized, or otherwise reproduced, aside from rare exceptions, as stipulated by copyright law. The scanning or digitizing of the book, even the personal or home use, by a third party is also strictly prohibited under copyright law. Printed in Indonesia ISBN 978-602-14210-2-4

Ketukangan: Kesadaran Material Craftsmanship: Material Consciousness

5


7


Daftar Isi Contents

12

Pengantar

12

Preface

14

Ketukangan

14

Craftsmanship

20

Pavilun Indonesia

20

Indonesia Pavilion

Eksposisi

Exposition

23 Kayu 49 Batu 67 Bata 83 Baja 103 Beton 127 Bambu

23 49 67 83 103 127

Esai

Essay

148

Ketukangan, Tradisi, Kriya, dan Desain di Indonesia

150

Timber Stone Brick Steel Concrete Bamboo

Craftsmanship, Tradition, Craft, and Design in Indonesia

Membuat dan Merancang

48 1 150

Penutup: Seratus Tahun Arsitektur di Indonesia

152 1914-1945 152 1945-1966 154 1966-1998 158 1998-2014

Penutup: Seratus Tahun Arsitektur di Indonesia

152 1914-1945 152 1945-1966 154 1966-1998 158 1998-2014

174

Komite dan Kurator Paviliun Indonesia

174

Committee and Curators of Indonesia Pavilion

Making and Designing

176 Narasumber

176 Resource

178

Daftar Pustaka

178 Bibliography

180

Daftar Gambar

180

List of Images

9


11


Pengantar Preface

Berbeda dari sebelumnya, Pameran Arsitektur Internasional Ke-14 – la Biennale di Venezia tahun 2014 menekankan kesejarahan dalam tema paparannya untuk Paviliun Nasional: Absorbing Modernity: 1914 – 2014. Kurator Utama, Rem Koolhaas, mengajak tiap negara untuk melakukan sebuah napak tilas, menelusuri dan menggali kejadian-kejadian, informasi-informasi, serta pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam khazanah arsitektur masing-masing. Ini merupakan pertama kalinya Indonesia turut serta dan langsung dihadapkan pada beberapa tantangan. Tantangan besar pertama adalah bahwa penulisan sejarah arsitektur nasional masih berada dalam tumbuh kembang yang sangat lambat. Upaya mewacanakan arsitektur – terutama di ranah publik – masih merupakan perjalanan setengah hati yang dilakukan para pelakunya, baik arsitek, kritikus, akademisi, maupun awam. Penelitian dan pembahasan tentang sejarah arsitektur Indonesia, terutama yang mencakup masa awal kemerdekaan hingga kini, masih merupakan upaya sporadis yang dilakukan segelintir peneliti dan kebanyakan masih berupa perbincangan yang samar. Tantangan besar kedua adalah bahwa, di tengah minimnya kepustakaan mengenai sejarah arsitektur, banyak praktisi maupun akademisi arsitektur di Indonesia senantiasa terjebak pada pemahaman tentang “sejarah” dan konsepsi yang sempit mengenai bagaimana kita memandang arsitektur. Seringkali orang menyalahkan represi kebebasan berpikir dan berpendapat selama masa Orde Baru (1966-1998) sebagai biang keladi ketidakkreatifan kita dalam memandang dan memahami wacana kebudayaan sendiri. Sejarah seringkali dianggap sebagai kepingan yang disimpan sebagai bukti kehebatan yang telah lewat. Kepingan masa lalu tersebut seakan beku, mati, dan tidak bergerak selama ratusan tahun – seperti massa lembam yang enggan bereaksi dan berinteraksi dengan berbagai perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Sementara sebuah entitas abstrak berlabelkan “Arsitektur Modern” mewakili sebuah ideal yang “asing” dan dianggap membahayakan dan berpotensi menyeragamkan sejarah kita menjadi sebuah singularitas yang menghancurkan yang lokal dan partikular. Pandangan seperti di atas mudah menjerumuskan kita pada sebuah model pemahaman mengenai sejarah sebagai sebuah pertempuran dua kubu. Seringkali penulisan dan wacana arsitektur di Indonesia hanya menceritakan gambaran mengenai pertentangan antara masa lalu dan masa kini, ataupun bersifat apologetik dengan menyesali berbagai ketelanjuran. Model pemahaman lain yang populer adalah pandangan bahwa ada dikotomi antara “Timur” dan “Barat” yang perlu didamaikan dan dipertemukan. Jebakan lain, yang menjadi tantangan besar ketiga yang harus dihindari, adalah cara memandang sejarah dari dinamika kacamata pengkubuan pengaruh dan dinamika politik. Pandangan ini sudah usang namun entah kenapa masih populer. Sejarah dilihat sebagai produk langsung dari pemikiran-pemikiran politik dan gagasan-gagasan besar. Sejarah “kecil” masih lazim dipandang sebagai “bukan sejarah”. Tantangan keempat adalah tentang Modernitas. Menandai kapan awal terjadinya gejala modernisasi di Indonesia adalah problematik. Modernitas, terutama di Asia, punya bias

beragam – tidak seperti bangsa Eropa dan Amerika yang terhubung dalam sebuah rajutan narasi besar. Setiap bangsa di benua Asia memiliki narasinya sendiri yang bisa jadi tidak bersinggungan sama sekali dengan bangsa lainnya. Sehingga menentukan awal dan bagaimana modernitas di Indonesia terjadi adalah sebuah masalah sendiri. Merle Calvin Ricklefs, penulis dan peneliti sejarah Indonesia, menggunakan dokumentasi dan kearsipan dalam menandai terjadinya modernisasi ini. Baginya, sejarah modern Indonesia dimulai sejak hadirnya beragam rupa bukti tertulis (yaitu sekitar tahun 1200). Pendapat umum lain dalam wacana modernitas adalah dari posisi pandang pengaruh bangsa Eropa dan Amerika pada peradaban lokal. Hal ini yang kemudian berimbas pada lahirnya wacana Poskolonial pada pembahasan modernitas, misal; model Timur dan Barat. Tantangan kelima adalah mengenai skala. Bentang alam dan waktu yang jatuh pada menu kuratorial begitu lebar, luas, dan dalam. Keragaman isu dan keluasan persoalan menuntut kurator untuk menentukan sebuah landasan – platform – di mana kita bisa mulai membincangkan sesuatu sembari menyajikannya bagi masyarakat (arsitektur) internasional. Landasan tersebut harus bisa menyatukan awam, arsitek, dan manusia dari berbagai belahan dunia agar masing-masing dari mereka bisa melakukan refleksi terhadap kisah-kisah yang mereka bawa. Dengan membludaknya informasi dan banyaknya tantangan di atas, kurator harus merancang sebuah pendekatan yang segar dan membuka celah kemungkinan untuk melakukan kilasan (glimpse) yang berbeda terhadap khazanah sejarah arsitektur di Indonesia. Kilasan ini tidak hanya harus berguna bagi masyarakat dunia namun juga bagi para pelaku arsitektur dan masyarakat di Indonesia untuk menyadari kekuatan, potensi, dan berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia. Kilasan ini harus cukup sederhana namun tajam untuk membelah kompleksitas yang ada hingga menyoroti elemenelemen yang mendasar. Paviliun Indonesia dengan bertajuk “Ketukangan: Kesadaran Material” merupakan kilasan yang menampilkan dinamika wacana dan praktik arsitektur di Indonesia selama seratus tahun. Irisan kuratorial yang diambil akan melintang menerobos periodisasi dan berbagai konteks sosial politik, termasuk memotong sejarah wacana budaya dan arsitektural, dan diharapkan dapat memperlihatkan sejarah arsitektur di Indonesia dengan lebih frontal. Tim Kurator Pavilion Indonesia Pameran Arsitektur Internasional ke-14 la Biennale di Venezia Avianti Armand, Setiadi Sopandi, David Hutama, Robin Hartanto, & Achmad D. Tardiyana

Unlike the previous exhibitions, the 14th International Architecture Exhibition – la Biennale di Venezia puts an emphasis on historicity as its main theme for National Pavilion: Absorbing Modernity: 1914 – 2014. Main Curator, Rem Koolhaas, incited each participating nation to conduct a retrospective, to retrace and to examine events, information, and experiences found in the history of their own architectural legacy. This is Indonesia’s first-ever participation at the event, and we had to face a series of challenges from the outset. Our first major challenge was presented by the sluggish growth of written archives/records of Indonesia’s national architectural history. Attempts to create architecture discourses – especially in the public sphere – remains a half-hearted journey by its actors, be they architects, critics, academicians, or the public itself. Historical records of Indonesian architecture, especially from the early days of its independence until today, emerge only as sporadic attempts by small groups of researchers, and even then, most of them are still in the talking stages. The second major challenge emerged because, in the midst of a dearth of literature on Indonesia’s architecture history, many academicians and practitioners are still trapped in particular perceptions of “history” and conceptions of how we look at architecture. People would often blame the repression of individual freedom of thought and expression by the New Order regime (1966-1998) as the culprit of Indonesia’s lack of creativity in looking at, and understanding, its own cultural discourses. History is often seen as pieces of the past, to be kept under glass, as proofs of past glory. These pieces of the past are kept as frozen, dead, and inanimate objects for hundreds of years - some rigid/inflexible matters that are reluctant to react and interact with various socio-economic and cultural changes, amongst others. Meanwhile, an abstract entity known as “Modern Architecture” is looked upon as a “foreign” and dangerous idea. Modern Architecture is considered as an agent of infinite standardization, destroyer of anything local and particular, thus potentially leveling our history into [obscure] singularity. A view such as this can easily mislead us into a model of understanding that looks at history as a battle of two opposing sides. Often, texts and discourses on architecture in Indonesia will only speak about the tension between the past and the present, or act as apologias for various irrevocable actions. Another popular model of understanding perceives a kind of dichotomy between the East and West that must be reconciled and brought together. The third challenge was for us to explore or see various dynamics from the eyes of political ones and factional influence. This approach is already outdated, but it is still surprisingly popular. History is seen as a direct product of political thoughts and grand ideas. “Small” history is often seen as “not history”. The fourth challenge was of Modernity. There’s a problem in trying to pinpoint the beginning of modernity [in Indonesia]. Determining the parameters of Indonesia’s modernity is a problem in itself. Modernity, especially in Asia, has diverse, distinct [and dissimilar] biases, unlike that of Europe and America which is connected by a grand narrative. Each Asian nation has a narrative that follows its own individual trajectory.

A writer and researcher of Indonesian history, Merle Calvin Ricklefs used documentation and archival records as parameters to determine modernity. According to him, the beginning of Indonesia’s modern history is marked by the presence of written records in its various forms, thus pegging it to be around 1200 AD. Other generally-accepted opinion in discourses on modernity is to see it through the perspective of European- and American-influences on local civilization. This discourse led to the birth of post-colonial nuances within discussions of modernity, for instance, an East-West (OrientalOccidental) model. The fifth challenge was that of scale. The amount of territory and time falling within the curatorial framework are wide, vast, and deep. The diversity of issues and the vastness of inquiry demanded the curators to determine a platform where we could begin to discuss something while also providing a suitable exposition to the international (architecture) community. This platform must be able to connect the lay public, architects, and people from various parts of the world, to allow them to make their own reflections against their own stories. With a veritable information overflow and heavy challenges, the curators felt that they should design an approach fresh enough and suitably capable to provide a glimpse into the strengths found in Indonesian architectural legacy. This glimpse should not only be globally useful, but also able to facilitate reflection amongst the actors and public in Indonesia in order to appreciate the strength, potential, as well as the problems faced by architecture in Indonesia. This glimpse needs to be simple yet sharp enough to cut through existing complexities to be able to highlight fundamental elements. The Indonesian Pavilion, with the theme Ketukangan: Kesadaran Material [lit. Craftsmanship: Material Consciousness] is a glimpse into the dynamics of architecture practice and discourse in Indonesia occurring in the past one hundred years. The curatorial approach will dissect transversely through the periods, and through a variety of socio-political contexts, including the history of cultural and architectural discourse. We hope that it will be able to show Indonesia’s architecture history in a more forward way. The Curatorial Team, Indonesia Pavilion 14th International Architecture Exhibition la Biennale di Venezia Avianti Armand, Setiadi Sopandi, David Hutama, Robin Hartanto, & Achmad D. Tardiyana

13


Ketukangan Craftsmanship

Mari mulai, seperti Sokrates, dengan kekaguman pada Sang Pencipta: “… Karena sang tukang inilah yang mampu menciptakan tidak hanya segala jenis perabot, melainkan juga semua tanaman yang tumbuh di bumi, semua binatang, termasuk juga dirinya sendiri, dan bumi dan langit dan dewa-dewa, segala hal di surga dan segala hal di Hades di bawah bumi. Dialah, sesungguhnya, sesama yang cerdas dan hebat.” Filsuf ini takjub pada yang “luar biasa”, tepat setelah ia diperkenalkan pada seorang tukang “biasa” yang membuatkan tempat tidur untuknya. Pada saat itu bisa kita bayangkan percikan di kepala Sokrates: bagaimana sebuah kerja yang sederhana – misalnya membuat tempat tidur – membawanya ke pembicaraan tentang lahirnya semesta. Dengan kata lain, setiap proses penciptaan, juga penciptanya, selalu ada dalam paradoks: biasa – luar biasa. “Dia” yang cerdas dan hebat, pada saat yang sama adalah “sesama” kita. Tampak bagaimana “ketukangan” mengambil tempat yang fundamental – tempat di mana segala sesuatu berasal. --Absorbing Modernity: 1914-2014, tema Paviliun Nasional pada Pameran Arsitektur Internasional Ke-14 – la Biennale di Venezia, memaksa kita untuk melihat seratus tahun sejarah arsitektur “kita” dalam “persinggungan”nya dengan modernitas. Pada pengantarnya, Rem Koolhaas meminta tiap peserta pameran untuk menunjukkan, dengan caranya masing-masing, proses terkikisnya “karakter nasional” ketika sifat universal sebuah bahasa modern diadopsi dan sebuah repertoar tunggal lahir dari kancah tipologi yang beraneka ragam. Kita langsung dihadapkan pada beberapa pertanyaan sekaligus. Siapakah “kita” dalam sejarah (arsitektur)? Bagaimana bentuk “persinggungan” dengan modernitas yang terjadi? Jika memang modernitas mengikis “karakter (arsitektur) nasional” kita, benarkah “kita” memiliki “karakter (arsitektur) nasional”? Dan di dasar semua pertanyaan itu, apa gerangan yang “fundamental” dalam perjalanan seratus tahun arsitektur di Indonesia yang berurusan dengan modernitas? Menjawab semua itu tidak mudah. Ada beberapa pendapat yang saling tidak bersepakat dalam melihat bagaimana relasi modernitas dan pengaruhnya dalam keseharian Indonesia, khususnya arsitektur. Yang paling umum adalah pandangan (“orientalistis”) yang menganggap yang “tradisional” dan yang “modern”, “barat” dan “timur”, sebagai identitas yang punya sifat-sifat esensial yang langgeng, bukan dikotomi yang dibentuk oleh wacana sosial-politik dalam sejarah. Pendapat yang lain melihat bahwa modernitas di Indonesia – atau dalam skala yang lebih luas: Asia – sebagai sebuah proses alih-alih produk yang terjadi secara evolutif dan wajar pada satu medium yang bertumbuh di sebuah ruang yang tidak beku. Dalam pandangan yang pertama, modernitas datang di Indonesia dengan wajah dari “luar”. Lebih tajam lagi, wajah

penjajah. Sejak itu, sejarah bicara dalam suara sumbang, dengan kaca cembung. Meminjam metafor Pramoedya Ananta Toer, bangsa yang terjajah hidup bagaikan sebuah preparat yang diletakkan dalam “rumah kaca”. Tetapi sebenarnya memakai preparat sebagai perbandingan tidak tepat. Dalam “rumah kaca” itu kita berada dalam dua posisi sekaligus: sebagai yang dipandang dan yang memandang. Sebagai yang dipandang oleh tatapan kolonial, kita diletakkan seakan-akan dalam kurun waktu yang lain. Dalam tatapan itu ada “denial of coevalness”, meminjam kata-kata antropolog Jonathan Fabian dalam Time and the Other. Ada sikap menampik kenyataan bahwa yang dijajah hidup sebaya atau dalam kurun waktu yang sama dengan yang menjajah. Dengan kata lain, yang terjajah diletakkan sebagai Yang-Lain yang masih hidup di dunia yang lampau: bukan “modern”, yang hampir sinonim dengan “baru”, melainkan “tradisional”, yang maknanya hampir sama dengan “lama”, bahkan “terkebelakang”. Dalam tatapannya, pemerintah penjajahan juga mereduksi semua anggota masyarakat kolonial ke dalam satuan-satuan yang bisa dikategorikan, dibungkus dan dipisahkan oleh indeks atau label yang ditentukan oleh yang berwenang. Indeks atau label itu seakan-akan merupakan esensi mereka. Tetapi di dalam “rumah kaca”, seperti disebut di atas, posisi kita tidak hanya pasif. Kita juga memandang, baik memandang ke luar maupun ke dalam. Dengan kata lain, ada ambiguitas dalam melihat. Karakter kaca yang opasitasnya bisa berubah dari transparansi ke refleksi – tergantung dari intensitas cahaya di kedua sisinya – memungkinkan the ambiguity of seeing itu.

Let’s begin, just like Socrates, with the admiration for the creator: “... For this same craftsman is able to make not only all kinds of furniture but all plants that grow from the earth, all animals including himself, and the earth and the heavens and the gods, all things in the heavens and all things in Hades below the earth. He is, indeed, a wonderful, clever fellow.” Socrates was amazed at the “extraordinary” after he was introduced to the “ordinary” craftsman who made a bed for him. We can imagine the sparks in Socrates’ head at that time: how a simple work like making a bed could take him to the discussion about the creation of the universe. In other words, every creation process and the creator are always in a paradox of ordinary and extraordinary. “He” who was clever and wonderful was also our “fellow.” This shows “craftsmanship” had a fundamental place— where everything came from. --Absorbing Modernity: 1914-2014, the theme of the National Pavilion in 14th International Architecture Exhibition – la Biennale di Venezia, forces us to see the past 100 years of “our” architectural history in its “encounter” with modernity. In the prologue, Rem Koolhaas asked every exhibition participant to show, in their own ways, the erosion process of “national characteristics” when the universal characteristics of a modern language has been adopted and a single repertoire was born out of diverse typologies.

Dalam memandang ke luar maupun ke dalam, mau tak mau kita membanding-bandingkan diri. Kita terpukau oleh apa yang disebut Bennedict Anderson, yang mengutip kata-kata novelis dan tokoh nasionalisme Filipina, Jose Rizal, sebagai “the spectre of comparisons.” Ketika memandang Indonesia, mau tak mau kita berpikir tentang dunia Barat, dan ketika memandang dunia Barat mau tak mau kita berpikir tentang Indonesia. Anderson mengambarkannya sebagai “kesadaran ganda yang baru dan resah,” a new, restless doubleconsciousness.

We are then faced with several questions at once.

Kesadaran kebangsaan (nationhood) bermula dari situ. Tetapi tidak hanya itu. Dalam pukauan “spectre of comparison” itu, juga tumbuh pandangan baru tentang dunia, nilai-nilai, selera, gaya hidup, dan pola konsumsi. Semua didorong oleh dua kehendak: (1) kehendak mengukuhkan “beda” atau “keunikan diri” (dengan sebutan, misalnya, “karakter nasional”) atau sebaliknya (2) kehendak mengadopsi yang “modern”, yang “baru”, dan meninggalkan yang “lama”.

There are contradicting opinions in seeing how the relationship between modernity and the impacts of modernity in the everyday life in Indonesia, especially in architecture.

Dalam bahasa yang umum dikenal di Indonesia, seperti kita dapatkan dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an, dari “rumah kaca” itu, dari “spectre of comparison” itu, ada persoalan “menolak Barat” atau “mengikuti Barat”. Kedua kehendak itu sebenarnya sama: keduanya melihat bahwa baik yang menegaskan “karakter nasional” maupun yang “mengikuti (mengadopsi) Barat” bertolak dari pengukuhan identitas. Dengan kata lain: “yang Barat” dan yang “nasional” atau “Timur” diperlakukan sebagai identitas yang sudah transparan dan final.

Who are “we” in the history (of architecture)? How did the “encounter” with modernity happen? If modernity did erode our “national (architectural characteristics”), is it true that “we” have “national (architectural characteristics”)? And underlying all these questions is this: what is considered fundamental in the 100-year journey of architecture in Indonesia which relates to modernity? Answering all these questions was not a simple task.

The most common view, with an “orientalist” slant, sees the “traditional” as well as the “modern”, “the west” as well as the “orient,” as a pair of identities with essential, unchanging qualities, not as a dichotomy constructed by a socio-political prescript. The other view is more historical; it sees modernity in Indonesia – or in Asia, for that matter – as an evolutionary process of adoption taking place in a fluid space. To the first view, modernity came to Indonesia with an “outsider’s” face. Or worse, with a colonialist posture. Since then, the discourse has been a history of grating voices and captious looks. Pramoedya Ananta Toer, the novelist, uses the metaphor of a “glass house”: a modern edifice in which the life of the colonial subjects is exhibited and observed as a specimen.

However, using prepared mount as a metaphor isn’t necessarily correct. In the “glass house” we are in two different positions at once: the spectator and the spectacle. As the one seen through a colonial point of view, it seems that we are placed in a different time frame. From this point of view there is a “denial of coevalness,” borrowing anthropologist Jonathan Fabian’s phrase in Time and the Other. It’s denying the fact that the colonised lived in the same time frame as the colonisers. In other words, the colonised is placed as the Other who still lives in a past world: not “modern”, almost synonymously with “new”, but they are “traditional” which is almost synonymously with “old” or even “backward.” In Fabian’s view, the colonial government also reduced all members of colonial society to units that could be categorised, wrapped in and separated by index or label which was determined by the authority. It was as if the index or label became their essence. However in the glass house, as mentioned above, our position isn’t only a passive one. We also view, to the outside or inside. In other words, there is an ambiguity in seeing. One characteristic of glass is that it can change its opacity, from transparent to reflective—depending on the intensity of light from both sides—enabling the ambiguity of seeing. In seeing both outside and inside, we can’t help but compare ourselves. We are dazed by what Bennedict Anderson called the spectre of comparisons, which quoted the novelist and Filipino nationalist figure Jose Rizal. When seeing Indonesia, we can’t help thinking about the western world and when seeing the western world we can’t help thinking about Indonesia. Anderson explained it as “a new restless doubleconsciousness.” Nationhood starts from there. However, it doesn’t stop there. In the charm of the “spectre of comparisons”, there’s a new view about the world, values, taste, lifestyles and consumption pattern. Everything is driven by two desires: 1) the desire to establish “differences” or “self-uniqueness” (with a name, such as, “national characteristics”) or on the contrary 2) the desire to adopt what’s “modern”, “new”, and leave the “old.” In terms generally understood in Indonesia, like the ones we received in the Cultural Polemics in the 30s, there was an issue of “refusing the West” or “following the West”, coming out from the “glass house” and the “spectre of comparisons”. Both actions, refusing (emphasizing national characteristics) or following (adopting) the West, stemmed from the same thing, which was identity establishment. In other words, “the West” and “the Nationalist” or “East” were treated as transparent and final identities.

15


Sementara itu, dalam perjalanan waktu, yang terjadi hari demi hari dari dan di dalam “rumah kaca” adalah praksis yang tidak sepenuhnya mengikuti gagasan mengenai identitas dan tak bisa dibatasi oleh proyek-proyek pengukuhan identitas.

Meskipun demikian, sependapat dengan Sennett, kita tetap melihat bahwa “ketukangan”, bahkan juga “seni” (fine arts) dan juga arsitektur, merupakan campuran antara berbagai jenis kerja – tetapi tetap dengan dasar “kesadaran material”.

Dalam hal ini, arsitektur merupakan contoh yang baik. Di antara harapan dan kecemasan yang jadi ciri penghuni “rumah kaca” yang terus berlangsung sampai hari ini – kita bisa menyebutnya sebagai “post-colonial anxiety” – usaha memproduksi dan mencipta telah, selalu, dan akan terkait dengan tenaga, keterampilan, informasi dan bahan yang ada.

Kesadaran material, atau “material conciousness”, adalah kesadaran bekerja melalui dan dengan “perkakas” yang ada pada kita. Dengan kata lain, kesadaran seorang craftsman untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas disertai kepekaan kepada apa yang terpaut dengan “perkakas” itu, yaitu: kepekaan kepada tenaga manusia, bahan, lingkungan alam, dan semua yang konkret, berubah, dan majemuk.

Hal inilah yang diamati sejarawan Johannes Widodo, yang membedakannya dari pandangan orientalisme. Dalam tulisannya mengenai modernitas di Asia, dalam Masa Lalu Dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, ia melihat bahwa modernisasi telah menjadi karakteristik permanen arsitektur di Indonesia, baik dengan transformasi dari dalam tradisi tertentu, maupun pengaruh dari luar yang mendominasi kepulauan Indonesia dalam berbagai periode sejarah. Secara sederhana, ia membagi periodisasi sejarah kita ke dalam lima tahap: pra-modern, proto-modern, modern awal, modern yang baru lalu, dan modern kiwari. Jika “modern” dapat dikonsepsikan dalam cara yang iteratif untuk periode sejarah yang berbeda, pendekatan ini haruslah sama-sama valid untuk “tradisi”. Dalam perspektif Widodo ini, modernisasi adalah sebuah proses sosial budaya yang terus menerus dalam bentuk transplantasi, penyesuaian, adaptasi, akomodasi, asimilasi, hibridisasi, dan materialisasi – yang terwujud dalam bentuk karya-karya arsitektur yang sangat beragam. Kebinekaan, keragaman, dan keserbamungkinan memang merupakan ciri dasar arsitektur di zaman ketika interaksi kebudayaan makin mudah dan makin intens: apa yang kuno dan yang datang kemudian, yang datang dari luar dan yang berasal dari dalam, bercampur dan melebur. Juga di Indonesia. Di sini semua hal yang terdapat dalam modus produksi pra-industrial dan industrial, bahkan kemudian juga pasca-industrial, berbareng di satu kurun waktu: adanya tenaga kerja yang surplus, tradisi kerja tangan yang kuat, waktu kerja yang lebih longgar, masih bertahannya kebiasaan kerja kolektif, banyaknya bahan-bahan yang langsung diambil dari alam, kuatnya peran perkakas (tools) – tetapi juga diterapkannya manajemen konstruksi modern, masuknya kapitalisme, dan kemudian, di abad ke-21, teknologi digital. Dalam pengalaman kerja arsitektur Indonesia, hal-hal tersebut kita geluti dalam praksis sehari-hari, yang seringkali tak ada hubungannya dengan gagasan mengenai identitas dan tak bisa dibatasi oleh proyek-proyek pengukuhan identitas maupun ide-ide besar lainnya. Kita bisa menjumpai sesuatu yang fundamental di dalam proses kerja itu, kerja memproduksi dan menciptakan arsitektur, yaitu: “ketukangan”. --Dalam sejarahnya, “ketukangan”, kerja yang dilakukan dengan tubuh dan tangan – yang berbeda dengan kerja mendesain – pada akhirnya berkembang menjadi kerja yang bersifat canggih. Jika kita mengikuti ulasan Richard Sennett dalam The Craftsman, “ketukangan” ditandai oleh komitmen untuk mengerjakan sesuatu sebaik-baiknya. Artinya, “ketukangan” tidak terbatas pada keterampilan kerja tangan saja.

Dalam “ketukangan” di Indonesia, arsitek hadir sebagai salah satu pelaku dalam proses kerja dan dengan segara terlibat dengan material yang tersedia di negeri ini. Ia hadir bukan sebagai subyek yang otonom, melainkan sebagai “tukang” yang bergulat dan menempatkan dirinya dalam menghadapi dan bereaksi terhadap keberlimpahan maupun keterbatasan sumber daya. Dalam hal ini, arsitek adalah variabel sejarah. Ia terlibat di dalam proses, tapi bukan yang menentukan sepenuhnya. Mengapa ketukangan yang berdasar pada “kesadaran material” menjadi sesuatu yang fundamental untuk arsitektur hari ini? Indonesia, seperti dunia pada umumnya, berhadapan dengan pilihan-pilihan sulit dalam mengikuti dorongan kemajuan. Jelas bahwa kemajuan, terutama dalam teknologi, membantu manusia untuk mencapai pelbagai hal, juga dalam membebaskan dirinya; itu sebabnya “the idea of progress” memberi inspirasi kepada para pendiri Republik ini. Tetapi kemajuan juga ibarat “taufan” – dan alegori terkenal Walter Benjamin tetap evokatif, ketika ia memakai citra “malaikat sejarah” yang terbang dihembus taufan menuju ke masa depan seraya menyaksikan timbunan puing-puing kerusakan yang makin menggunung. Dalam alegori lain, kemajuan adalah ibarat kotak Pandora, “hadiah yang pahit dari dewa-dewa” – karena, sebagaimana dikisahkan dalam mitologi Yunani Kuno itu, ketika Pandora, perempuan pertama, membuka kotak ajaibnya, maka “bertebaranlah kesakitan dan kejahatan di antara manusia”. Orang Yunani Kuno seakan-akan memberi isyarat kepada kita semua: benda-benda ciptaan manusia mengandung risiko mencelakakan manusia. Dalam dekade belakangan ini kita telah mengikuti suara kecemasan makin keras dan makin bergema. Para arsitek secara aktif terlibat dalam produksi arsitektur. Dengan niat mendesain lingkungan hidup yang lebih baik, tetap tak bisa dihindari, metode produksi modern, dengan tuntutannya akan efektivitas dan efisiensi, telah membagi proses ini ke dalam dua domain besar: “desain” yang merepresentasikan ide dan “konstruksi” yang merepresentasikan pekerjaan-pekerjaan lapangan. Seperti sistem ban berjalan yang rapi, spesialisasi ini membuat arsitek bekerja di dalam petak-petak yang spesifik dengan fokus pada masalah-masalah yang spesifik pula. Dalam proses ini, yang kemudian hilang adalah kontak dengan keseluruhan kerja. Dengan demikian juga semakin menipis kesadaran akan materialitas dari arsitektur.

In this case, architecture is a good example. Between hope and anxiety –we can call it post-colonial anxiety—which is the trait of “glass house” people to the present day, the effort to produce and create has always been and will always relate to human resources, skills, information and available materials. This was observed by historian Johannes Widodo, who differentiated it from orientalism. In his essay on modernity in Asia, in Masa Lalu Dalam Masa Kini: Arsitektur Indonesia, he saw that modernisation has become a permanent architectural characteristic in Indonesia. It influenced through a transformation in a certain tradition or it came as an external influence that dominated the archipelago in different historical periods. To simplify, he divided our historical periodization into five phases: pre-modern, proto-modern, early modern, recent modern and contemporary modern. If “modern” can be perceived iteratively for different historical periods, this approach must also be valid for “tradition.” In Widodo’s perspective, modernisation is a socio-cultural process that happens continuously in forms of transplantation, adjustment, adaptation, accommodation, assimilation, hybridisation and materialisation—materialised in very diverse architectural works. Varieties, diversities and multi-possibilities are the basic characteristics of architecture when cultural interaction is easier and more intense: the old and the new, the external and the internal things are mixed and fused. The same thing also happens in Indonesia. Here, everything that is included in the pre-industrial and industrial production modes, and later in post-industrial mode, exists together in the same time period: surplus human resources, strong craftsmanship tradition, flexible working time, the surviving habit of collective work, the abundant natural resources, the significant role of tools—and their opposites: the implementation of modern construction management, the arrival of capitalism and then in the 21st century, the presence of digital technology. In architectural work experience in Indonesia, the abovementioned things are what we are dealing with in our daily praxis, which are often unrelated to the idea of identity and cannot be limited by projects to establish identity or other big ideas. We can see a fundamental thing in the process of producing and creating architecture, which is: craftsmanship. --Historically, “craftsmanship”, the work that is done by one’s body and hands—different to design—eventually developed into a sophisticated work. If we read the analysis by Richard Sennett in The Craftsman, “craftsmanship” was signified by a commitment to do something at best. It means that “craftsmanship” is not only limited to handwork. Nevertheless, relevant to Sennet’s other sentiment, we still see that craftsmanship and even fine art and architecture are a mix of different kinds of works but still retains “material consciousness.” Material consciousness is a form of working consciousness through and with the “tools” that we have. In other words, a craftsman’s consciousness to produce good quality things is accompanied with the awareness that is attached to

the “tools”, which include the sensibility in human resources, materials, natural environment and every concrete, changing and compound thing. In “craftsmanship” in Indonesia, architects are one of the players in the working process that will involve themselves immediately with the available materials. Architects are not autonomous subjects, but they are the “craftsmen” who struggle and prepare themselves to face and respond to the abundant or limited resources. In this sense, architects are a historical variable. They are involved in the process, but they don’t determine everything. Then why does craftsmanship that is based on “material consciousness” become a fundamental thing for modern architecture? Indonesia, like any other countries, faces difficult choices in following the drive of progress. It’s clear that progress, especially technological progress, helps humans to achieve different things, including liberating themselves; that’s the reason “the idea of progress” has inspired the Republic’s founders. However, progress is similar to a “typhoon”—and the famous allegory from Walter Benjamin remains evocative, when he used an image of the Angel of History who was blown by a typhoon to the future while he watched the mounting debris of destruction. In a different allegory, progress is compared to the Pandora’s box, “a bitter present from the gods”, from the ancient Greek mythology about Pandora, the first woman, who opened her gifted box and “releasing all diseases and evil of humanity.” It seems that the ancient Greek had signalled to us all: human’s creations would have the potential to hurt themselves. In the recent decade, we have been following the sound of anxiety, which is growing louder and echoing. Architects are actively involved in the production of architecture. With the intention of designing a better environment, modern production method is unavoidable. Since there’s a demand for effectiveness and efficiency in modern production method, the process then is divided into two big domains: “design” that represents ideas and “construction” that represents onsite works. This separation will neatly deliver architects, like on a conveyer belt, into specific fields focusing in specific problems. In this process, the contact between the architects with the whole work will disappear, and similarly with the consciousness of the architecture’s material.

17


Menipisnya kesadaran material membuat kita memandang semua sumber daya – baik manusia maupun alam – hanya sebagai instrumen dalam garis produksi, sebuah elemen yang gunanya hanyalah untuk mewujudkan ide. Dalam keadaan itu, arsitek, bersama klien, pemesan dan pemilik, bukan bersikap sebagai gembala, melainkan sebagai penguasa, proses kerja dan lingkungannya. Karena itu, mengangkat ketukangan kembali ke dalam wacana arsitektur adalah sebuah upaya yang penting. Dalam sikap ini ada juga pertimbangan tentang masa kini dan masa depan. Di Indonesia di hari ini modus produksi pra-industrial dan industrial, bahkan juga pasca-industrial, berbareng di satu kurun waktu. Ada tenaga kerja yang surplus. Ada tradisi manual yang kuat. Waktu juga lebih longgar, bersama dengan masih kuatnya kerja beramai-ramai. Bahanbahan juga masih banyak yang langsung diambil dari alam, dan peran perkakas (tools) masih menonjol. Tetapi, bersamaan dengan itu semua, telah diterapkan manajemen konstruksi modern dan kemudian, di abad ke-21, teknologi digital. Last but not least, makin berperannya hubungan-hubungan kerja kapitalistis. Sudah umum diakui, kapitalisme mengubah kerja menjadi komoditi. Yang dituntut adalah efektivitas dan efisiensi yang optimal dengan sasaran yang tertentu. Cepat atau lambat, jarak menjadi jauh antara sang tukang – sebagai pekerja ataupun pencipta – dan karyanya. Makin tidak penting hubungan khusus antara kerja dan bahan. Nilai-nilai yang lazim disebut “estetis” juga tidak lagi diutamakan. Yang “estetis” yang dimaksudkan di sini lebih luas dari sekedar apik dan sedap dipandang. Nilai “estetis” menyangkut kualitas yang lahir dari kerja yang akrab, asyik, tekun, dan merdeka dalam proses produksi dan kreasi. Hanya dengan terlibat secara mendalam dengan kehidupan dan kerja yang erat bertaut dengan material (ada yang menyebutnya material culture), arsitek akan lebih peka terhadap ketukangan. Sebab memberi perhatian kepada ketukangan bukan saja membuka diri untuk menjawab kondisi sosial-ekonomi Indonesia, tetapi juga menyegarkan kembali sikap etis dan estetis dalam arsitektur dewasa ini.

The disappearing material consciousness makes us see all resources—human or natural—just as instruments in the production line, an element to materialise ideas. In this state, the architect, along with the client, customer and owner, are working together as the controller of the working process and environment. Thus, placing craftsmanship back into the architectural discourse is an important effort. In this manner, there is a consideration about the present and future. In Indonesia today, the pre-industrial, industrial, and post-industrial production modes exists together in the same time period. There are surplus human resources. There is strong tradition of craftsmanship. There is a strong manual labour tradition. There is flexible working time, and people still do collective work. There are many materials that are taken straight from nature and tools have a significant role. However, at the same time, there has been an implementation of modern construction management, and later in the 21st century, digital technology. Last but not least, capitalistic works are becoming more significant. It is generally acknowledged that capitalism changes work into commodities. The demands in this system are optimal efficiency and effectiveness with specified targets. Sooner or later, the distance between the craftsmen—as workers or creators—and their work will become wider. The special connection between the work and material becomes irrelevant. The values that are commonly regarded as “aesthetic” are no longer becoming a priority. What is considered “aesthetic” here is wider than just pretty and nice to look at. The “aesthetic” value involves the quality that is born from a production and creation process that is familiar, fun, diligent and free. Only by getting involved deeply with the life and work that is heavily related to materials (some called it the material culture), architects will have more sensitivity towards craftsmanship. Since giving attention towards craftsmanship is not only going to open one’s self to respond to the Indonesia’s socio-economy conditions, but also refreshing the ethics and aesthetics in architecture in this present time.

19


Paviliun Indonesia Indonesia Pavilion

“Sesungguhnya (pameran ini) betul-betul tak bermakna, buangbuang tenaga, melelahkan, suram dan membosankan. Pameran ini bukan lagi tentang diskusi dan kritik yang penuh semangat tentang arsitektur kontemporer, melainkan cuma cangkang populis yang kosong dan konservatif yang dibebani oleh makna yang palsu.” – Wolf D. Prix Pernyataan di atas dilontarkan oleh Wolf D. Prix dua tahun lalu terhadap Pameran Arsitektur Internasional ke-13 – la Biennale di Venezia. Prix mempertanyakan esensi dari pameran ini. Sebuah pameran dagangkah? Sebuah festival budaya? Hiburan yang canggih? Paguyuban “who is who” dalam konstelasi arsitektur dunia? Bukankah sudah seharusnya ia, seperti yang disarankan oleh Prix, menjadi sebuah landasan kritik? Mungkin itu sebabnya, pada Pameran Arsitektur Internasional ke-14 di Venezia di tahun 2014 ini, Rem Koolhaas, kurator utama, mengubah subjek kuratorialnya; dari “arsitek” menjadi “arsitektur” – dengan penekanan pada aspek kesejarahan. Pada pameran kali ini juga, Indonesia diundang untuk pertama kalinya berpartisipasi dalam ajang pameran arsitektur yang cukup berpengaruh di Eropa dan Amerika. Atas undangan ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia menyelenggarakan sebuah kompetisi untuk memilih kurator Paviliun Indonesia pertama di ajang ini. Dari 8 proposal yang masuk, tiga tim terpilih untuk mempresentasikan gagasannya dalam sebuah penjurian terbuka pada tanggal 3 September 2013. Kuratorial berjudul: “Ketukangan: Kesadaran Material” (Craftsmanship: Material Consciousness) terpilih sebagai tema untuk Paviliun Indonesia yang pertama. Kuratorial “Ketukangan: Kesadaran Material” berusaha menjawab judul dan tema yang diusung dalam biennale kali ini dengan membedah sejarah arsitektur Indonesia, bukan sebagai evolusi tipologi bangunan melainkan evolusi dari elemen-elemen yang membuat arsitektur bertumbuh, berkembang dan berubah. Dengan posisi pandang ini, diharapkan terkuak sebuah paparan sejarah arsitektur Indonesia yang lebih jernih: bagaimana arsitektur itu menjadi dan mewujud. Pada Paviliun ini, “ketukangan” dipandang bukan sekadar keterampilan, melainkan sebuah nilai hidup dalam berkarya guna menggapai sebuah kesempurnaan kualitas. “Ketukangan” selalu dekat dengan tubuh dan kehidupan karena tidak berhenti pada sebuah hasil akhir tetapi juga proses yang dilaluinya. Bagaimana memilih dan memilah material, menyiapkan tubuh dan pikiran dalam mengolah material untuk menjadi sebuah bentukan lain yang menaungi kehidupan manusia lain. Oleh karena itu, dalam berbagai tradisi bertukang di Indonesia, membangun sebuah naungan tidak seperti membangun sebuah objek tak bernyawa. Mereka melihat material dan tukang sebagai sebuah proses reproduksi untuk menghasilkan sebuah “kehidupan” baru. Dalam rentang 100 tahun, sikap, nilai, dan cara pandang “ketukangan” berkembang dan tanggap terhadap perubahan. Dalam rentang itu, gelombang modernitas masuk dalam bentuk pengenalan teknologi membangun dan bahan bangunan yang baru. Walau demikian, hal ini tidak mereduksi atau membuat “ketukangan” tadi hilang. Apa yang terjadi adalah sebuah dialektika yang terus membuka peluang-

peluang baru dalam berarsitektur – yang mungkin di luar dari kesepakatan atau standar apapun, tapi tetap berkualitas baik. Paviliun Indonesia akan memaparkan 100 tahun perjalanan arsitektur di Indonesia dengan mengajak para pengunjung untuk mengikuti perjalanan 6 (enam) material yang secara lugas berkontribusi pada terjadinya dialektika “ketukangan” tadi. Keenam material tersebut adalah: kayu, batu, bata, baja, beton, dan bambu. Dalam paparan ini, akan diperlihatkan bagaimana evolusi dari masing-masing material tersebut dalam wacana ketukangan di Indonesia selama 100 tahun. Instalasi Paviliun Indonesia sendiri akan berupa sajian gambar bergerak yang diproyeksikan pada bidang-bidang kaca transparan. Gambar bergerak diyakini masih merupakan medium yang efektif untuk menyampaikan gagasan kuratorial yang berupa cerita yang lebar, sekaligus sebuah sajian visual yang menarik. Tidak ada objek fisik lain yang dihadirkan dalam ruang paviliun selain medium proyeksinya. Gambar-gambar di kaca transparan tadi akan melayang, seperti hologram, dalam ruang kosong di Arsenale. Materialmaterial tersebut lantas hadir sebagai wujud yang immaterial, yang terlepas dari bobot dan tekstur, dan terbebas dari representasi fisiknya. Dengan demikian, sebuah jarak, yang memungkinkan kita memandang material tersebut dengan kritis sebagai suatu wacana, akan tercipta. Penggunaan kaca di Paviliun Indonesia, dari perspektif lain, adalah sebuah paradoks. Kaca dan baja merupakan dua material yang menjadi jiwa dan memberi bentuk pada Arsitektur Modern, terutama semenjak pertengahan abad ke-19. Kehadiran kaca secara masif telah mengubah bukan saja cara kita membangun, tapi juga wajah kota-kota besar dunia. Menariknya, sebagai material industrial yang juga digunakan secara masif di Indonesia, kaca tidak memiliki kisah sekaya keenam material lain yang ditampilkan di Paviliun Indonesia. Kurator membaca bahwa para arsitek dan pembangun belum sepenuhnya melibatkan kaca ke dalam upaya intensif dalam menerjemahkan atau merespons wacana sosial budaya yang berkembang. Sejauh ini, kaca masih dianggap sebagai unsur yang “asing” di dalam karya-karya arsitektur di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kritik yang dilontarkan pada proposal Paviliun Indonesia ini. Di Indonesia, kaca hadir bersama makna universalnya sebagai material transparan yang memisahkan luar dan dalam. Meski begitu, penggunaan kaca di kawasan tropis lembap selalu akan mengandung persoalan. Kaca menahan panas dalam ruangan dan menghalangi aliran udara sejuk. Seringkali, ketidaknyamanan akibat penggunaan kaca dalam volume besar akhirnya ditanggulangi dengan penggunaan pendingin udara yang berlebihan. Dengan kondisinya yang paradoksal itu, kaca di Paviliun Indonesia dihadirkan dengan kegamangan, dalam sebuah situasi yang genting. Melalui paparan ini, kurator Paviliun Indonesia menyatakan bahwa Indonesia punya cara bergerak, bertumbuh, dan berkembang yang unik. Di sini “ketukangan” bukan sebuah sikap yang hadir karena ketidakmampuan ketrampilan atau keterbelakangan teknologi, namun sebuah pilihan sadar yang erat dengan kondisi dan nilai-nilai kehidupan di Indonesia.

“In truth it is all hollow, arduous, exhausting, bleak and boring. It is no longer about lively discussion and criticism of topics in contemporary architecture, but rather about empty, conservative and perhaps populist shells that are charged with feigned meaning.” – Wolf Prix The above statement expressed, two years ago, by Wolf D. Prix, towards the 13th International Architecture Exhibition – la Biennale di Venezia. Prix questioned the quintessence of the exhibition. A trade show? A cultural festival? A sophisticated entertainment? A “who is who” community in the world architecture constellation? Shouldn’t the biennale be, as suggested by Prix, a ground for criticism? It is probably the reason why Rem Koolhaas, the main curator of the 14th International Architecture Exhibition in 2014, change the curatorial subject; from “architect” to “architecture” – with an emphasis on the historical aspect. Also in this exhibition, Indonesia is invited for the first time, in this prominent architecture event in Europe and America. In response to this invitation, the Indonesian Ministry of Tourism and Creative Economy (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) launched a competition to find a curatorial team for the first-ever Indonesia Pavilion for the Biennale. From eight proposals, three teams were shortlisted to present their ideas to a panel of judges in an open presentation on 3 September 2013 . The curatorial Ketukangan: Kesadaran Material (Craftsmanship: Material Consciousness) was chosen as the theme. The curatorial attempts to respond to the title and theme of the biennale, by exploring Indonesia’s architecture history not as an evolution of structural typology, but as an evolution of elements that allow architecture to grow, flourish, and change. From this viewpoint, we hope to uncover a clearer picture of wits history: how the architecture is being and becoming. In this Pavilion, craftsmanship is considered not merely a skill, but also a set of life values to be applied in our work toward excellence. Craftsmanship is always closely related to the physical body and to life itself, because it is not merely about the end result but also about its process; how to choose and select materials, to prepare the body and mind to cultivate materials into other forms that provide shelter for other human lives. As such, in the Indonesian craftsmanship tradition, building a shelter is not about building an inanimate object. They view materials and the craftsman—the actor of this act of craftsmanship—as engaging in a reproductive process to create new “life”. Within the span of a hundred years, attitudes, values, and viewpoints on “craftsmanship” have developed and responded to change. Modernity arrived to introduce new building technologies and new building materials. However, the wave of modernity did not diminish or extinguish “craftsmanship values”. Instead, it has fostered a dialog that continues to open new opportunities in architecture—perhaps something that exists outside of a general consensus or standard, and yet remains of exemplary quality. The Indonesia Pavilion will explore 100 years of architecture in Indonesia, by inviting the audience to follow the journey of six materials that have contributed to the interwoven dialog of “craftsmanship”. The six materials are: timber, stone, brick, steel, concrete, and bamboo. The story of each material will

be projected onto a stretch of glass surface, highlighting the material’s evolution through the past one hundred years of craftsmanship discourse in Indonesia. The installation of the pavilion will be a presentation of motion picture projected on transparent glass planes. Motion picture, while delivering an attractive visual presentation, is an effective medium to convey the curatorial notion which contains a long story. No other physical objects are presented in the pavilion space, other than the projection medium itself. The images in the transparent planes will be floating, like a hologram, in the empty space of Arsenale. The materials are then presented as immaterial, unrestrained from its weight and texture, and freed from the physical representation. Thus, a distance, which allows us to critically view such materials as a discourse, will be created. The use of glass in the Indonesia Pavilion, on the other perspective, is a paradox. Glass and steel are the two materials which give shapes and souls to Modern Architecture, especially since the 19th century. The massive presence of glass has changed not only the way we build, but also the faces of the world’s cities. Interestingly, as industrial material which is also used massively in Indonesia, glass does not have stories as rich as other six materials which are presented in Indonesia Pavilion. Architects and builders haven’t fully engaged in intensive efforts to translate and respond the evolving socio-cultural discourse. So far, glass is still considered as something “foreign” in the architectural works in Indonesia. It can be seen from the many criticisms which have been directed to this Indonesia Pavilion proposal. In Indonesia, glass comes with its universal meaning as a transparent material which separates the outside and inside. Even so, the use of glass in the humid tropics will always contain problems. Glass retains heat in the room and blocks the flowing fresh air. Often, the inconvenience which occurs from the utilization of glass in large volumes should be overcome by the excessive use of air conditioners. With the paradoxical condition, glass in the Indonesia Pavilion is presented in a nervous, precarious situation. Through this exposition, the Indonesia Pavilion wishes to open up a pathway by making a statement of Indonesia’s unique approach to progress, growth, and evolution, which is deeply rooted in culture and locality. “Craftsmanship” is not an attitude that appears due to lack of ability, skill or technology. Instead, craftsmanship is a conscious decision/choice that enjoys a close relationship with the quality of life in Indonesia.

21


147


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.