Waktu Adalah Ruang

Page 1



waktu adalah ruang

TRIENNALE ARSITEKTUR UPH 2015 Gedung Tjipta Niagat/$ \ / ] /# U Z\ t 25 juli - 8 Agustus 2015

JURUSAN ARSITEKTUR UNIVERSITAS PELITA HARAPAN


Editor dan Kurator Andreas Yanuar Fiorent Fernisia Robin Hartanto

iv

Kontributor Ahmad Djuhara Akbar Yumni Alvar Mensana Ari Widio Ary Indra Andreas Yanuar Carolina Djunaedi David Hutama Dani Hermawan Denis Indramawan Felia Srinaga Fiorent Fernisia Firman Herwanto Greg Gegana I Ketut Canadarma Jacky Thiodore Patrick Lim M. Yusni Aziz Monica Dewi Indrasari Santoni Shirleen Alvita Setiadi Sopandi Stanley Wangsadihardja Susinety Prakoso Undi Gunawan Zuardin Akbar Fotografer Karya Krisvian Ruchtiana William Sutanto Desainer Grafis Shirleen Alvita

Diterbitkan oleh Jurusan Arsitektur Universitas Pelita Harapan Š 2015

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. ISBN 978-602-72908-0-8


Daftar Isi

Daftar Isi

v

Pengantar: Pameran Sebagai Refleksi oleh David Hutama

vi

Catatan Kuratorial: Waktu Adalah Ruang oleh Andreas Yanuar

1

¤Waktu¤ dalam Ruang Kelas/ oleh Fiorent Fernisia

11

Lorong Laju

26

Suatu Waktu

42

Transisi

82

Kontinum Kota Tua

90

Ruang Luang

110

Proyek Akhir

122

Nostalghia; Sinema Sebagai Waktu Personal oleh Akbar Yumni

127

Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah oleh Robin Hartanto

137

Daftar Ilustrasi

146

v


x


catatan kuratorial:

Waktu Adalah Ruang Andreas Yanuar

1


2

A


catatan kuratorial: Waktu Adalah Ruang

Waktu adalah Ruang oleh Andreas Yanuar Memori

Setiap datang ke sebuah kota tua, kita tidak hanya merasakan atmosfer ruang, tapi juga atmosfer waktu: sejarah ratusan tahun yang terekam pada bangunan. Kita menikmati sebuah bangunan tua melalui ketidak-lengkapannya: cat yang mulai mengelotok, kusen jendela yang kehilangan kacanya, keramik retak, atap yang mulai hancur, dan elemen lain yang keadaannya sudah berubah dari kondisi awal. Hal tersebut menunjukkan bahwa selalu ada yang hilang dalam perjalanan waktu. Bangunan tua sebagai sebuah wujud fisik hanyalah jejak dari apa yang terjadi dahulu. Kita tidak dapat lagi melihat aktivitas otentiknya. Kita hanya mendapatkan fragmennya saja sebagai serpihan dari masa lalu. Justru dari ketidak-lengakapan dan serpihan itu, imajinasi kita bekerja untuk menyatukannya, membayangkan apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu. Memori yang melekat pada bangunan menjadi pemantik untuk berimajinasi. Meminjam perkataan Juhani Pallasmaa, seorang teoritikus arsitektur dari Finlandia, bahwa memori adalah tanah subur tempat tumbuhnya imajinasi, siapa yang tidak dapat mengingat, tidak dapat berimajinasi.1 Pallasmaa mengatakan bahwa bangunan menjadi alat untuk mengingat melalui tiga cara. Pertama bangunan mewujudkan/mematerikan dan mengawetkan rangkaian waktu sehingga ia dapat dilihat. Kedua, bangunan mengkonkretkan kenangan dengan memproyeksikan dan menyimpan memori. Dan ketiga, bangunan menginspirasi dan menstimulasi kita untuk mengenang sekaligus mengimajinasikannya. Bangunan sebagai alat pengingat menunjukkan hubungan antara ruang

3


catatan kuratorial: Waktu Adalah Ruang

dan waktu. Bentuk dari sebuah bangunan tua hanyalah media tapi kita mengingatnya melalu atmosfer ruangnya, dari bau, suara, tekstur dan segala hal yang menggema dari sosok fisiknya yang menunjukkan umur bangunan tersebut. Ruang dan waktu menjadi pasangan serasi untuk melahirkan memori dan imajinasi arsitektural. Namun, bila kita bertanya kembali tentang pasangan tersebut, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ruang dan waktu? Bagaimana hubungan mereka dan apa implikasinya bagi arsitektur? Temporalitas Ruang dan Spasialisasi Waktu

4

Hal paling umum yang diketahui tentang waktu adalah bahwa ia dapat diukur. Manusia modern terbiasa dengan ukuran waktu mulai dari detik, jam, hari, bulan, tahun, abad, hingga milenium. Dalam hal ini durasinya tak diperdebatkan lagi. Semua sepakat bahwa satu hari adalah 24 jam, dan satu tahun adalah duabelas bulan. Tapi kita juga tahu, dengan permainan persepsi, manusia bisa membuat waktu menunggu seolah berlangsung sangat lama dan 1 hari-yang-menyenangkan begitu sebentar. Perbedaan waktu tersebut mengisyaratkan bahwa waktu pada jam atau kalender hanyalah kesepakatan. Bayangkan peradaban manusia sebelum sistem jam ditentukan dan bila ukuran waktu ditentukan oleh durasi matahari, ketika setiap tempat di belahan dunia memiliki durasi siang dan malam yang berbeda, bagaimana manusia memaknai waktu? Dari pengandaian ini, waktu menjadi pertanyaan yang kompleks dan tak akan selesai. Melalui skalanya, waktu dapat dimengerti berdasarkan waktu yang dialami oleh manusia, waktu pada berbagai budaya, waktu geografis, sampai waktu secara kosmos. Dalam bukunya A Geography of Time (2006), Robert Levine membahas bagaimana setiap budaya memahami waktu dengan berbeda, misalnya bagaimana setiap budaya memiliki tempo dan durasi kehidupan masing-masing. Eva Hoffman


catatan kuratorial: Waktu Adalah Ruang

dalam bukunya, Time (2009), membahas waktu yang berkaitan dengan tubuh, pikiran, budaya, dan waktu kiwari ini. Perdebatan akan waktu memiliki nuansa yang lebih rumit lagi jika kita berbicara melalui sudut pandang filsafat dan sains. Ruang juga pembahasan yang tak kalah kompleks walau ia juga memiliki ukuran seperti area, volume, dan jarak. Sama seperti bagaimana waktu diukur, ruang hanya bisa diukur melalui jejak yang melekat pada hal yang terlihat seperti area yang hadir karena batas, volume yang tercipta karena bentuk, dan jarak yang muncul di antara dua benda. Dan sama seperti waktu, yang terukur dalam ruang dapat berbeda jika dibandingkan dengan pengalaman subjektif, persepsi, dan imajinasi setiap manusia. Makna pengalaman ruang bisa berbeda berdasarkan usia, gender, dan budaya. Disadari atau tidak, setiap pembahasan ruang dan waktu tak bisa dibahas terpisah. Pengukuran waktu dari detik ke detik mengandaikan adanya jarak yang sama, dan jarak itu adalah ruang. Bahkan sistem penandaan waktu seperti jam air atau jam matahari dapat dibaca karena ada ruang yang terisi oleh air atau ruang ruang yang terbentuk oleh bayangan. Begitu pula secara geografis, zona-zona waktu di dunia dibedakan oleh ruang yang tercipta karena garis bujur. Waktu dispasialkan. Gerakan dada dan kubisme dalam seni rupa berusaha menyatakan hal ini dengan memvisualkan waktu dalam gerak. Sebaliknya, sebuah ruang didefinisikan oleh waktu. Pada dunia modern, jarak antara satu tempat ke tempat lain diasosiasikan berdasarkan berapa lama perjalanan yang ditempuh, waktu seolah menjadi ukuran yang lebih mudah diterima daripada menyebutkan jarak. Perkembangan dunia transportasi menyebabkan waktu tempuh dari satu negara ke negara lain semakin cepat. Untuk menempuh perjalanan setengah lingkar bumi hanya butuh waktu tempuh sekitar sehari. Dunia (ruang) seolah-olah kecil. Nuansanya begitu berbeda pada abad 15, saat perjalanan ditempuh melalui jalur laut yang membutuhkan waktu berkali-kali lipat lebih lama. Dunia seolah sangat luas. Ruang

5


catatan kuratorial: Waktu Adalah Ruang

ditemporalitaskan. Dalam arsitektur ruang dapat dipahami dengan bagaimana manusia bergerak di dalamnya. Ruang-Waktu dua sisi mata uang yang sama. Seorang matematikawan dari Jerman bernama Hermann Minkowski (1908) menyatakan, “Ruang saja atau Waktu saja hanya akan membuat mereka meredup dalam bayangan, hanya bila mereka menjadi satu, mereka akan eksis.�

6

Bagaimana manusia memaknai ruang-waktu berpengaruh pada kehidupannya. Seorang filsuf dari Amerika, Marshall Berman (1982) menyetarakan modernitas dengan beberapa mode manusia dalam mengalami ruang dan waktu. David Harvey seorang antropolog dan geografer dalam The Condition of Posmodernity (1990) berargumen bahwa posmodernisme terjadi melalui perubahan makna akan ruang dan waktu yang dialami secara sosial. Dalam arsitektur, isu ruangwaktu menjadi isu sentral dalam buku berjudul Space, Time and Architecture (1941) oleh Sigfried Giedion. Sekarang, kita hidup pada dunia digital dengan sistem informasi yang sangat cepat. Sebuah surat tidak perlu benar-benar mengarungi samudra agar dapat dibaca. Tak sampai hitungan menit, surat elektronik dapat dibaca oleh seseorang di manapun mereka berada. Semua orang dapat bekerja di mana saja asalkan mereka bisa terkoneksi melalui internet. Manajemen ruang berubah menjadi menajemen waktu (Paul Virilio, The Overexposed City, 1991) Hal ini menyebabkan kita hidup di zaman yang serba cepat di mana ruang-waktu mengalami pemampatan. David Harvey menulis tentang hal ini, “Sudah selama dua dekade terakhir kita telah mengalami pemampatan ruang-waktu yang sangat intens yang menyebabkan disorientasi dan kekacauan yang berimbas pada praktik politikekonomi, keseimbangan kekuatan kelas seperti juga yang dirasakan pada kehidupan sosial dan budaya.� Dalam bukunya Understanding Architecture, Pallasmaa menyebutkan bahwa keruntuhan waktu ini juga tercermin pada arsitektur, terutama


catatan kuratorial: Waktu Adalah Ruang

pada proyek arsitektur kontemporer yang seolah meniadakan elemen pengalaman waktu dalam pengertian temporalitas dan durasi. Hilangnya pengalaman mewaktu dalam arsitektur diperburuk dengan dominasi visual dalam budaya digital. Tampilan seolah menyelesaikan masalah pengalaman meruang dibandingkan mengalaminya secara sekuensial. Padahal selain masalah tampilan, bagi Pallasmaa, “Arsitektur juga memiliki arti sebagai eksternalisasi struktur mental manusia dan perpanjangan dari memori individu dan kolektif. Bangunan adalah instrumen untuk meraih dan mempertahankan sejarah dan waktu yang analog dengan pemahaman sosial dan budaya.� Waktu adalah Ruang

“Great building are not mere historical remains, symbol or metaphor: they are also museums of time.� Juhani Pallasmaa 7

Konsep pameran Waktu adalah Ruang berangkat dari gedung Tjipta Niaga sebagai tempat pamernya. Melihat gedung ini sebagai jejak sejarah, kami tidak ingin hanya menjadikannya sebuah tempat pamer, tapi kami juga ingin memamerkannya. Intensi ini menentukan arah kuratorial kami. Pameran akademik selalu berbicara tentang proses, tidak hanya produk. Maka, untuk menanggapi Tjipta Niaga sebagai tempat pamer, kami ingin menjadikannya sebagai studi kasus. Tapi kami tidak ingin terbatas sekadar membahas memori atau kenangan yang melekat di bangunan atau kawasan Kota Tua ini. Seperti kita tahu bahwa memori berkaitan dengan ruang dan waktu; pameran ini akan membahas hubungannya. Pameran ini ingin menggaris bawahi tentang waktu karena dua hal. Pertama karena dunia digital menekankan manajamen waktu dibanding manajemen ruang. Kedua karena zaman ini didominasi oleh visual sehingga dalam arsitektur kita hanya menyadari tentang ruang dibanding waktu. Maka pameran ini ingin mengangkat waktu ke


catatan kuratorial: Waktu Adalah Ruang

permukaan untuk menyadarkan peran waktu dalam kaitannya dengan proses dan produk arsitektur.

Waktu adalah Ruang merupakan sebuah kaitan terbuka yang ingin mencari tahu peran waktu dalam setiap karya arsitektur. Secara sekuensial, pameran ini terdiri dari zona Lorong Laju, Suatu Waktu, Transisi, Kontinum Kota Tua, Ruang Luang, dan Proyek Akhir. Dengan menyebut bahwa waktu adalah ruang, kami ingin mengingatkan lagi peran waktu dalam ber-arsitektur khususnya dalam dunia akademik, di mana waktu terwujud dalam proses belajar. Melalui karya pamer dari mahasiswa semester awal sampai akhir, kita dapat melihat beragam peran waktu yang tercermin dari pemahaman mereka akan ruang. 8

Pallasmaa, Juhani dan Robert McCarte, Understanding Architecture, Phaidon Press,2012, Hal.329 1


9

B


136


Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah Robin Hartanto

137


138

AT


Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah

Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah oleh Robin Hartanto Lewat X VS[S[ gathuk-gathukan, kita dapat menemukan beda kentara antara sejarah dan memori. Kata “history”, yang berarti “sejarah” di bahasa Inggris, mengandung awalan “his” yang merupakan kata kepemilikan untuk orang ketiga. Sementara, kata “memory”, yang berarti “memori” atau “ingatan”, dimulai oleh “me” yang merupakan kata kepemilikan untuk orang pertama. Singkat kata, dari kebetulan yang diada-adakan saja itu, sejarah adalah kepunyaan “dia”, sedangkan memori adalah kepunyaan “saya”. Kedua awalan itu rupanya cukup jitu dalam menerangkan beda arti sejarah dan memori. Sejarah, sebagai suatu rekonstruksi masa lalu, disusun oleh para sejarahwan dengan seobjektif dan secermat mungkin. Sebab itulah sejarah lalu dapat dianggap sahih dan universal— milik semua orang. Tetapi di saat bersamaan, jarak yang tercipta akibat objektivitas dan rasionalitas dalam merekonstruksi masa lalu membuat sejarah bukan milik siapa-siapa. Ia menempel pada waktu-waktu, tetapi ia tidak menubuh (embodied) pada individu-individu. Sebaliknya memori, yang subjektif, kontekstual, dan partikular, dimiliki oleh masing-masing orang yang mengakunya. Itu sebabnya memori terasa personal sekaligus intim. Ia organik, bertumbuh terus-menerus setiap kali pemiliknya mengingat, melupa, dan mengingat lagi. Memori juga berakar pada hal-hal konkret—tempat, benda, gambar, dan lainlain—yang dicerapi melalui pengalaman inderawi, sehingga ia menubuh. Tetapi memori tidak serta-merta individual. Maurice Halbwach, dalam bukunya On Collective Memory (1992), menerangkan bahwa memori individu tidak bisa dikurung di dalam diri individu itu sendiri. Ia akan selalu bersinggungan dengan memori-memori individu lainnya sehingga mewujud menjadi memori kolektif. Memori lantas menjadi terikat pada “saya” sekaligus pada komunitas tertentu yang berbagi memori serupa.

139


Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah

140

Meskipun saling bahu-membahu dalam membangun narasi pengetahuan masa lalu—sejarah memberikan validasi pada memori, sementara memori menambahkan kedalaman pada sejarah—keduanya, tulis Pierre Nora, sejarahwan Perancis, dalam esainya “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire” (1989), tidak selalu akur. Memori, yang cenderung spontan dan naluriah, di satu sisi sulit untuk diiyakan kesahihannya, tetapi di sisi lain melekat rekat pada individu maupun komunitas. Kemewahan itu tidak dimiliki oleh sejarah. Itu sebabnya, menurut Nora, sejarah kerap mengsubordinasi memori dan memunculkan lieux de mémoire (sites of memory). Memori dimaterialisasi menjadi penanda ingatan masa lalu, tetapi di bawah kendali sejarah. Hari peringatan dan monumen, misalnya, adalah situs memori yang dibebani kewajiban untuk mengingat masa lalu, tetapi ingatan yang lalu tidak lagi spontan dan naluriah. Demikian juga obsesi-obsesi pengarsipan, yang mendelegasikan kewajiban mengingat pada rekaman-rekaman teks, gambar, audio, dan lainnya, adalah lieux de mémoire dan bukan milieux de mémoire (real environments of memory). Di sini poin penting Nora: “semakin sedikit memori diresapi dari dalam, semakin banyak ia hadir melalui penyangga-penyangga eksterior dan penanda-penanda luar... Apa yang kita lantas sebut memori pada akhirnya adalah gudang gigantis berisikan stok material yang membuat kita mustahil untuk mengingat.” Ditambah teknologi alat rekam yang semakin canggih, obsesi untuk mengingat itu membuat kuantitas materialisasi memori yang kita miliki semakin berlipat ganda. Ambil contoh saat kita bertamasya. Semakin ke sini, kita semakin tidak bisa tidak mengambil gambar. Dengan maksud mengabadikan memori, kita terus-menerus memotret dengan kamera digital dan ponsel pintar. Kita tak lupa pula meng-update lini kini laman macammacam media sosial. Akhirnya sudah demikian sulit bagi kita untuk menghayati perjalanan dengan utuh dan tanpa beban untuk merekam. Hasrat mengabadikan memori itu di satu sisi menghasilkan berjubel dokumen gambar dan teks di komputer yang entah kapan mau kita tengok lagi, sementara di sisi lain hanya menyisakan sesuwir memori


Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah

yang sesungguhnya. Saya bukan orang yang tepat untuk menceritakan sejarah Kota Tua. Namun setidaknya saya bisa menceritakan memori saya yang campur aduk mengenai tempat ini, terutama mengenai Taman Fatahillah yang saban-saban saya lewati dan kunjungi. Saya ingat betul, ketika pertama kalinya melihat Taman Fatahillah di awal tahun 2007, tempat itu sedang berbenah. Saya hanya sekadar lewat karena hendak naik kereta dari Stasiun Kota menuju Depok. Saat itu, saya tidak terlalu tertarik dengan tempat itu, karena memang saya tidak tahu apa-apa soal Kota Tua dan tidak memiliki kenangan apapun di tempat tersebut. Semasa kuliah, saya semakin sering melewati Taman Fatahillah untuk bepergian, baik ketika hendak naik kereta atau Bus Transjakarta. Rupanya pascarevitalisasi di masa Sutiyoso itu, Kota Tua menjadi ruang publik yang cukup asyik, terutama berkat konversi jalur mobil menjadi jalan untuk pedestrian. Taman Fatahillah ketika itu masih tidak ramai orang berjualan. Saya mulai sering duduk-duduk di sana untuk sekadar santai sejenak sambil mengamati orang-orang yang bersepeda, bermain bola, hingga memadu cinta dengan latar bangunan-bangunan tua. Di tengah sesaknya ibukota, taman ini sungguh segelas jus buah yang melegakan dahaga. Ia celah kecil tempat saya bisa menikmati waktu berlalu di tengah kota di mana waktu berlalu sedemikian cepatnya hingga tak mungkin bisa dinikmati dengan selow. Di masa Fauzi Bowo, Taman Fatahillah berkembang jadi ruang berdagang yang tak keruan. Seisi taman itu diisi tenda-tenda biru yang menjual macam-macam barang: makanan, baju, cincin, sepatu, telepon, tato, dan segalanya. Setiap kali saya mau menuju stasiun, saya mesti berliku-liku untuk bisa melewati taman tersebut. Pernah satu kali saya berhenti untuk makan malam dan saya dihampiri oleh setidaknya lima pengamen, satu di antaranya meneriaki saya karena saya tidak memberi apa-apa. Taman Fatahillah agak membaik semasa Jokowi jadi gubernur. Taman itu ditata ulang. PKL tetap diizinkan berjualan, tetapi di titik-titik

141


Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah

yang telah ditentukan. Jakarta Old Town Revitalization Corp (JOTRC), konsorsium swasta yang bertujuan mengembangkan Kota Tua sebagai Zona Ekonomi Khusus, didirikan. Konsorsium ini menginisiasi revitalisasi bangunan-bangunan tua di Kota Tua. Lantai dua Gedung Kantor Pos, misalnya, dijadikan Galeri Fatahillah (2014). Pada 2015, Tjipta Niaga dan Dharma Niaga, tempat pameran Waktu Adalah Ruang berlangsung (2015), juga akan direvitalisasi oleh konsorsium ini. Kafe-kafe baru, seperti Kedai Seni Djakarte, Historia Food and Bar, dan Bangi Kopitiam, satu persatu bermunculan, sehingga Cafe Batavia, yang tak begitu ramah dengan dompet saya, tidak lagi sendirian.

142

Saya juga berkenalan dengan orang-orang dari Local Working Group (LWG) – Destination Management Organization Kota Tua, sebuah organisasi yang diinisasi Kementerian Budaya dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 2011. Organisasi ini membuat jejaring antar komunitas setempat seperti penjaja sepeda onthel dan komunitas manusia batu agar mereka dapat bersinergi. Salah satu kontribusi positif mereka adalah membuat Perpustakaan Taman Fatahillah (2014) yang memiliki koleksi masif buku-buku mengenai Kota Tua dan sejarah Jakarta. Perpustakaan itu dijalankan oleh mereka secara swadaya, diadakan di bawah struktur tenda yang temporer setiap hari libur. Berbagai acara yang diadakan di Kota Tua semakin beragam. Jakarta Endowment For Art and Heritage (JEFORAH), mengadakan Fiesta Fatahillah, sebuah festival kuliner, pada 2014 di Taman Fatahillah, dan pameran-pameran seni di Galeri Fatahillah. Indonesia Diaspora Network mengadakan Kota Tua Creative Festival dengan memanfaatkan bangunan-bangunan tua yang tidak terpakai serta membuat instalasi publik di Taman Fatahillah (2014). WatchdoC mengadakan pemutaran “Yang Ketu7uh�, film dokumenter mengenai Pilpres 2014, juga di Taman Fatahillah (2014). Ruangrupa mengadakan Jakarta32oC, pameran tahunan karya seni rupa mahasiswa se-Jakarta, di beberapa titik di Kota Tua (2014). UNESCO membuat pameran Kisah Konservasi yang mengulas karya-karya arsitektur indonesia pemenang UNESCO AsiaPacific Awards for Cultural Heritage Conservation (2014).


Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah

Hal-hal yang saya sebut di atas tentu saja penuh bias subjektif. Acaraacara yang saya sebut memang pernah saya datangi langsung; banyak acara lain seperti konser musik, pertunjukan wayang, dan perayaan macam-macam yang berada di luar ingatan saya. demikian juga dengan kafe-kafe baru yang saya utarakan adalah tempat yang cukup nyaman bagi saya untuk menghabiskan waktu, tidak termasuk warung nasi padang atau soto ayam yang luput dari jejak kaki saya. Tetapi, memang demikianlah modus operandi dari memori: tidak ada memori satu individu yang akan sama persis dengan individu lainnya. Bahkan memori bisa begitu berlawanan. Hal ini kentara ketika beberapa kali saya mengajak teman ke Kota Tua. Bayangan mereka mengenai Kota Tua adalah tempat yang tidak nyaman, sumpek, kumuh, panas, dan segala macam yang membuat mereka enggan datang. Jika Kota Tua dikehendaki menjadi ruang publik yang nyaman, maka hal itu jelas masih jauh dari memori kolektif warga Jakarta. Semangat menata Kota Tua sendiri seperti pasang surut. Belakangan ketika saya ke Kota Tua, pedagang-pedagang kembali marak lagi di titik-titik yang sebetulnya padat sirkulasi pedestrian, sehingga mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Padahal, peran memori dalam arsitektur dan kota tidak remeh. Dalam konteks Jakarta, misalnya, Abidin Kusno, dalam buku Ruang Publik, Identitas & Memori Kolektif, menyebut pentingnya memori menakutkan tentang jalan di ibukota untuk mempercepat perkembangan pusat-pusat perbelanjaan di dalam gedung yang memerdekakan pengunjung dari pengalaman di jalan Jakarta yang kata banyak orang itu “keras, bung!� Mal-mal lalu sukses melenggang menjadi memori kolektif bagi sebagian besar warga Jakarta: generasi muda, pembantu-pembantu, ibu-ibu rumah tangga, supir-supir, dan penjaga toko. Baik tidaknya hal demikian memang perlu dikaji dengan kritis dan sebaiknya dibahas di lain tulisan. Sebagai ruang publik, Kota Tua memiliki peran strategis dalam membentuk memori kolektif warga Jakarta. Apalagi tempat (place) memang memiliki relasi yang kental dengan memori. Di satu sisi, memori begitu menjangkar pada tempat. Metode mengingat yang

143


Sebuah Pertanyaan untuk Sejarah

paling banyak digunakan para juara dunia olimpiade memori adalah dengan menggunakan memory palace, yaitu memvisualisasi tempat di dalam pikiran lalu menempatkan hal-hal yang hendak diingat di tempat tersebut. Di sisi lain, memori adalah salah satu aspek krusial dalam pembentukan tempat (placemaking). Memori kolektif yang positif akan membuat warga memiliki rasa kepemilikan yang kuat akan tempat tersebut. Tak heran, dalam The Seven Lamps of Architecture (1849), John Ruskin, kritikus seni, menyebut memori, dan bukan sejarah, sebagai satu dari tujuh prinsip fundamental untuk menciptakan arsitektur yang yahud.

144

Tetapi Kota Tua juga adalah lieux de mémoire . Sejarah masa kolonial yang kental pada tempat ini membuat kita membebani fisik Kota Tua untuk mengingat masa lalu. Setidaknya 80 bangunan di Kota Tua diberi label cagar budaya demi menjaga keutuhan sejarahnya. Beberapa memiliki label cagar budaya kelas A, yang artinya bangunan itu sama sekali tidak boleh berubah baik fisik maupun organisasi ruangnya. Upaya konservasi dengan mengembalikan fisik bangunan seperti sedia kala menjadi fokus orientasi dari hampir setiap upaya konservasi di Kota Tua, semenjak zaman Ali Sadikin (“Kompleks Taman Fatahillah Akan Berwadjah Abad XVIII”, Kompas 20 Februari 1971) hingga Basuki Tjahaja Purnama (“Ahok Sebut 27 Gedung di Kota Tua Direvitalisasi Seperti Wujud Awal”, Kompas.com, 17 April 2015). Kecuali perubahan jalur mobil menjadi jalur pedestrian pada 2007, maka konservasi Kota Tua dapat dikatakan minim inovasi. Kita sesungguhnya tidak lupa untuk melestarikan sejarah. Tetapi,/R V/ XQ/saya kira \ U/U V R penting dari S\]t/\ \ S/U Z /V] ]\t/adalah memikirkan memori apa yang R XO U kita hadirkan/OS/[ X . Dengan begitu, ][ R /pelestarian warisan-warisan sejarah T][\Z]/dapat dilakukan dengan kritis¡/N]U X sekadar [ N Q S/ W X]R X U _ TSN X/ ]X\]U mengingat/ XQ/[]O R/V _ \, melainkan sebagai/N QS X/]\]R/ O ZS/] /W X S \ U X/[S\][/ XQ/V U/N QS/memori U V U\SP/kita/USXS/ O X/U V Uºmilieux de mémoire.


145

AU



Daftar Panitia TRIENNALE ARSITEKTUR UPH 2015 Gedung Tjipta Niaga, Kota Tua Jakarta 25 Juli-8 Agustus 2015 Penanggung Jawab David Hutama

K

Penasihat Alvar Mensana Felia Srinaga I Ketut Canadarma Stanley Wangsadihardja Susinety Prakoso Undi Gunawan Kurator Andreas Yanuar Fernisia Richtia Robin Hartanto Sekretariat Andrisa Artati Ingvania Kaeren Lea Dara Tim Desain Pameran Santoni Dhania Yasmin Leonardy Joshua Raharjo Sheena Danny K. Teddie Tim Logistik Sara Naftali Christian Arden Joanna Pradigta Clarissa Elvaretta Prahanggar Satya Tim Desain Grafis Shirleen Alvita Angie Dewi Halim Eunike Nathania Robin Ang Teresia Hanna William Sutanto

Tim Acara Pameran Andraya Claudia Charlene Jesslyn Silviana Saputra ANABATA (www.anabata.com) Tim Publikasi Denna Fascia Dhitya Yulitasari Hanna Christina Ignatia Candice Sherly Andriani Tim Kompetisi Jesica Gunadi Kevin Oswari Tim Dokumentasi Ivan Gunadi Adrin Maulana Ariel Yofi Krisvian Ruchtiana Tim Film Amanda Gracia Evan Kriswandi Tatyana Kusumo Tim Konsumsi Winda Faustina Elizabeth Amadea Felicia Kunardi Gerry

153


154


155


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.