Majalah Agro Swakarsa Edisi 01/2013

Page 1

BAGAIMANA Kebijakan Pangan DI 5 Negara Asia?

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

Edisi 01 / Mei 2013 o PROLOG o TABULASI o KOMPARASI o EPILOG

Membangun (Ulang) Ketahanan Pangan TABULASI:

Indonesia Masih Impor 10 Bahan Pangan ALTERNATIF:

Diversifikasi Pangan Sama Dengan Non Beras dan Terigu?

4 6 12 22


Isi Edisi 01/2013

BAGAIMANA KEBIJAKAN PANGAN DI 5 NEGARA ASIA?

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

Edisi 01 / Mei 2013 o PROLOG o TABULASI o KOMPARASI o EPILOG

4 PROLOG

Membangun (Ulang) Ketahanan Pangan Nasional

Ketahanan pangan merupakan benteng pertahanan utama di tengah gejolak dunia, perubahan iklim global dan peningkatan populasi.

4 6 12 22

Membangun (Ulang) Ketahanan Pangan TABULASI:

Indonesia Masih Impor 10 Bahan Pangan ALTERNATIF:

Diversifikasi Pangan Sama Dengan Non Beras dan Terigu?

12 KOMPARASI

Kebijakan Pangan 5 Negara Asia

Bagaimana Pakistan, India, China, Thailand dan Vietnam membangun sektor pertanian dan ketahanan pangannya? http://kedaulatanpangan.net

IDENTIFIKASI

8

5 Masalah Membelit Pembangunan Pertanian Pertanian

Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi. http://www.setkab.go.id

6

http://beranda.miti.or.id

http://kedaulatanpangan.net

SUARA

http://www.spi.or.id

POLITIKA

EPILOG

22

Politik Pangan dan Kedaulatan

18

Kedaulatan Pangan: Jalan Keluar Krisis Pangan Indonesia 16

Kedaulatan Pangan Indonesia, dengan orientasi pada penguatan ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal dan mengembangkan pangan tradisional secara terkelanjutkan.

Pertanyaan besarnya bagi kita kemudian adalah apakah kita ingin berdaulat di negara kita sendiri atau kita hanya ingin menjadi bangsa pedagang semata?

KEBIJAKAN

Harga Pembelian Pemerintah dan Kesejahteraan Petani 14

Analisis Kedaulatan Pangan

TABULASI

Indonesia Masih Impor 10 Bahan Pangan 11

ANALISIS

10

ALTERNATIF

Diversifikasi Pangan Sama Dengan Non Beras dan Terigu? http://www.mwaconsultant.com

21

HISTORIA

From Rice Importer to Self-Sufficiency

Mempertanyakan Kembali Ketahanan Pangan Indonesia http://www.politik.lipi.go.id

Managed By Opini Indonesia Managing Director Ir. David J. Simanjorang Dewan Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi M. Mutawally Penerbit Yayasan Media Wasantara Anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri Rimson Simanjorang Bank Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 264 8030 a/n. Dominika Domingga Alamat Redaksi Jl. Yupiter Utama D10/12 Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493 Alamat Iklan/Tata Usaha Jl. Purnawirawan Raya 12/424 Bandar Lampung Telp : 0816 4063 04. Website www.opini-indonesia.com Email agro@opini-indonesia.com

Topik Edisi Depan:

Quo Vadis Sawit Indonesia?

Komoditas sawit dapat membantu pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Asumsi tersebut bisa berubah mengingat harganya tergantung pada internasional. Di sisi lain, perkebunan sawit mengubah fungsi alam sebagai penyangga kehidupan dan air. Anda punya pendapat? Kirimkan email ke agro@opini-indonesia.com atau melalui faksimili (021) 87716493.

Percetakan PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting)

Isi diluar tanggungjawab percetakan

Tarif Iklan 1 Halaman Berwarna • Dalam Rp. 3.000.000,• Belakang Rp. 7.000.000,-


REDAKSIONAL

Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

3

Sekali Lagi Tentang

Ketahanan Pangan Nasional Kita

I

Dengan keberpihakan pada penguatan internal, maka kekuatan internal bisa dibangun sebagaimana pada contoh komparasi di 5 negara Asia. Jika negara lain bisa, kenapa kita tidak?

ndonesia sampai saat ini kita masih melakukan impor dalam jumlah besar berbagai komoditas pangan. Bahkan secara kasat mata terdapat kecenderungan menghadapkan produk lokal kita dengan produk impor dengan pertarungan harga yang tidak imbang. Salah satunya adalah beras. Hal ini ironis mengingat kita pernah berhasil mewujudkan swasembada beras (terlepas dari berbagai polemik politik seputar Presiden Soeharto). Dari ekportir kepada importir, mungkin itu kiasan yang tepat untuk kondisi perberasan kita kini. Dan dalam konteks beras tersebut, jika sulit mengulang swasembada, menjadi pertanyaan lanjutan adalah apa strategi kita mensiasati kebutuhan makanan pokok? Selama ini nampaknya kekhilafan terbesar pengelola negara ini adalah ‘memaksakan’ beras menjadi makanan pokok, padahal tidak semua wilayah di negara ini merupakan penghasil beras dan tidak semua penduduk negara ini dalam perjalanan sejarahnya mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Di Maluku dan Papua, lebih populer dengan sagu, sementara Madura populer dengan jagung. Demikian juga dengan umbi-umbian dan komoditas lain pemasok karbohidrat bagi tubuh manusia Indonesia. Ya. Diversifikasi adalah sebuah pilihan yang mesti dipersiapkan secara matang dan tersosialisasi secara baik. Jika hanya bicara diversifikasi tanpa persiapan dan sosialisasi maka dapat menjadi masalah tambahan di masa mendatang seperti kurangnya gizi dsb. Majalah AGRO pada edisi ini berusaha

menampilkan semua sudut pandang berbagai pihak guna memberikan pemetaan masalah yang diharapkan dapat memberikan ‘gambar besar’ masalah ketahanan pangan bangsa ini. Beberapa sumber informasi didapatkan melalui laman internet yang menyediakan informasi publik. Tautan ke sumber asli bisa dilihat pada halaman isi majalah ini sebagai referensi lanjutan. Kami juga coba menyajikan komparasi dengan negara-negara lain yang memiliki tipe mirip dengan Indonesia, diharapkan bisa membuka ruang inovasi kebijakan. Tentu saja inovasi kebijakan harus jelas keberpihakannya. Keberpihakan merupakan kata kunci pada kebijakan. Dengan keberpihakan pada penguatan internal, maka kekuatan internal bisa dibangun sebagaimana pada contoh komparasi di 5 negara Asia. Jika negara lain bisa, kenapa kita tidak? Presiden Soekarno mengingatkan untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah. Kita perlu melihat ke belakang melihat pencapaian dan dengan arif mengakui kegagalan agar dapat merencanakan masa depan. Tentu saja dalam konteks ketahanan pangan nasional Indonesia. Sebagai catatan khusus, tokoh utama dalam kebijakan ketahanan pangan adalah pemerintah, maka seluruh ‘peluru’ evaluasi dan kritik seakan terarah kepada pemerintah. Namun hal tersebut merupakan kerinduan atas kehadiran pemerintah sebagai representasi negara dalam membela dan mendukung warganegaranya dalam memperjuangan penghidupan yang layak di negaranya sendiri. Selamat membaca.

Kelompok Penerbitan BAGAIMANA KEBIJAKAN PANGAN DI 5 NEGARA ASIA?

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

Edisi 01 / Mei 2013 o PROLOG o TABULASI o KOMPARASI o EPILOG

Subscription & Advertisement: 0816 406304 www.opini-indonesia.com info@opini-indonesia.com www.opini-indonesia.com/page

Membangun (Ulang) Ketahanan Pangan TABULASI:

Indonesia Masih Impor 10 Bahan Pangan ALTERNATIF:

Diversifikasi Pangan Sama Dengan Non Beras dan Terigu?

4 6 12 22


4

PROLOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013

Membangun (Ulang) Ketahanan Pangan Nasional

W

acana ketahanan pangan nasional kita merupakan topik yang tidak akan pernah selesai selama Indonesia tidak bisa mengamankan pasokan kebutuhan pangan domestiknya. Sudah banyak kajian dibuat, kebijakan disusun, aksi implementasi dilakukan serta menyekolahkan para pegawai negara sampai pada level tertinggi dalam dunia pendidikan dengan menggunakan anggaran negara yang tidak sedikit. Namun tetap saja masalah ini sebagai masalah krusial yang tidak pernah selesai. Carut marut ketahanan pangan nasional -tidak bisa tidak- mesti menjadi perhatian utama para pengelola negara. Akan menjadi tidak berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kekuatan militer yang mumpuni tanpa adanya kemampuan mengamankan ‘perut’ rakyatnya. Ketahanan pangan merupakan benteng pertahanan utama di tengah gejolak dunia, adanya perubahan iklim global yang masih ditambah dengan peningkatan populasi. Sudahkah Pemerintah Berusaha?

Ketahanan pangan adalah masalah jangka panjang dan membangun (ulang) ketahanan pangan menjadi penting untuk eksistensi bangsa Indonesia di masa mendatang.

Banyak kritik yang ‘ditembakkan‘ kepada pemerintah atas berbagai hal terkait dengan pengelolaan negara, termasuk dalam sektor pertanian yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Namun harus diakui secara jujur bahwa pemerintah sudah berupaya untuk menjawab, meskipun terkadang dengan kebijakan yang tidak tepat sasaran, tidak memiliki keberpihakan penguatan internal, kebijakan yang tidak bersinergi, bahkan kebijakan blunder. Dalam konteks pertanian, pemerintah sudah membuat berbagai kebijakan yang cukup ‘njlimet’ untuk dipahami dalam mendorong peningkatan produktivitas semisal subsidi pupuk, bantuan peralatan pertanian dsb. Namun kenyataan di lapangan banyak ketidaktepatan sasaran, bahkan penyalahgunaan di level eksekusi teknis, baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi end-user, yaitu petani. Terlepas dari masalah di atas, sinergisitas antar instansi juga terlihat tidak baik dan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Kita bisa saksikan betapa infrastruktur pendukung roda ekonomi di sektor pertanian sangat memprihatinkan. Pembangunan waduk sebagai reservoir air irigasi teknis sangat minim dibangun, sementara waduk yang ada kekurangan


Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

debit air karena pada hulu sungai yang menyuplai air ke waduk hutannya sudah terkikis habis. Ironi lain pada memompa peningkatan produktivitas adalah kondisi pendukung transportasi seperti jalan yang selalu saja bermasalah, baik pada penambahan jalan baru maupun pemeliharaan jalan lama. Akibatnya pergerakan barang menjadi sangat terhambat dan tentu saja akan mengganggu rantai distribusi, baik dari sisi waktu maupun perawatan perangkat transportasi. Demikian juga dengan kekhawatiran akan penurunan kualitas lahan pertanian akibat penggunaan masif pupuk kimia sebenarnya sudah diperlihatkan oleh pemerintah. Namun dukungan untuk menggunakan pupuk organik guna membantu mengembalikan kesuburan tanah belum mendapat prioritas. Kebijakan yang terus dirubah seputar pupuk organik seakan memberi sinyal bahwa pupuk organik tidak boleh berkembang karena dianggap mengancam pupuk kimia. Keberpihakan Kebijakan dan Nasib Ketahanan Pangan Kita Kebijakan lain yang tidak berpihak pada penguatan internal bahkan menjadi blunder adalah membuka keran impor pada komoditas yang masih dapat kita hasilkan sendiri. Impor buah, impor gula pasir, impor garam, impor beras dan lain sebagainya. Memang secara harga, produk impor tersebut memberikan harga yang lebih murah dibanding produk lokal dan membuat daya beli masyarakat konsumen akan tertolong. Namun bagaimana dengan petani sebagai produsen? Inilah bundernya kebijakan tersebut. Dengan persaingan harga yang tidak imbang, tentu saja petani tidak akan memiliki minat melanjutkan usaha taninya karena harga jual yang didapat tidak lagi menguntungkan karena ditekan dengan harga produk impor sejenis. Pilihan yang dilakukan akhirnya adalah alih usaha dari pertanian ke bidang lain atau bahkan bergerak ke kota untuk menjadi buruh pabrik dan pegawai. Jikapun masih bertahan berusaha di sektor pertanian, maka komoditas lain yang lebih menguntungkan akan menjadi pilihan yang diambi ketimbang menanam komoditas yang tidak bisa memberikan keutungan ekonomis tersebut. Kita bisa melihat alih lahan besar-besaran seperti

di Lampung dimana lahan-lahan yang ada dikonversi menjadi lahan singkong. Ironisnya lagi, singkong tersebut bukanlah untuk kepentingan pangan, namun lebih kepada kepentingan energi bio etanol. Atau di Sumatera Utara petani beramairamai beralih dari tanaman jeruk ke komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti coklat, vanilli dan kopi. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin kita tidak memiliki komoditaskomoditas yang diunggulkan dan memiliki produktivitas stabil bahkan meningkat yang minimal sanggup memenuhi kebutuhan domestik kita. Petani kita hanya menjadi pengikut tren pasar dan menghindari kompetisi dengan produk impor. Jika musim ini tanam pepaya dan ternyata kalah harga dengan pepaya impor, maka musim depan ganti tanam jagung. Begitu seterusnya sehingga akhirnya tidak ada kepastian stabilitas produksi atas sebuah komoditas. Itupun jika tetap berprofesi sebagai petani. Menjadi petani seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah biaya produksi tinggi, terkadang pendukung produksi seperti pupuk langka dan sulit didapatkan masih ditambah dengan harga jual yang sangat merugikan dibanding biaya produksi. Dalam konteks ketahanan pangan nasiional, maka pola pengikut tren seperti ini akan membahayakan karena bisa saja pada satu musim kita swasembada, namun pada musim lain kita menjadi importir yang paripurna. Di sinilah keberpihakan kebijakan menjadi kunci. Dan keberpihakan tersebut dilakukan oleh negara-negara lain untuk mengamankan pasokan domestik mereka. Penentuan harga, strategi beli pada saat panen kelebihan produksi, kemudahan pinjaman permodalan dan sebagainya sudah diambil negara-negara tersebut dan kini saatnya merek memetik hasil, yaitu ketahanan pangan yang ujungujungnya adalah penguatan kedaulatan dan eksistensi negara. Alternatif Strategi Perlu Persiapan dan Sosialisasi Pesimisme kita akan kemampuan meningkatkan produksi, terutama pangan pokok beras membuat banyak pihak terutama pemerintah menggaungkan perlunya divesifikasi pangan pokok. Sebenarnya ketergantungan akan beras ini adalah buah dari kebijakan

5

blunder yang dibuat di masa Presiden Soeharto dan mematikan pangan pokok lokal yang sudah ada di beberapa wilayah di Indonesia. Dan pemerintah saat ini nampaknya melihat harus mengembalikan keanekaragaman pangan pokok sebagai antisipasi ketahanan pangan kita. Masalahnya kemudian adalah apakah divesifikasi sudah dipersiapkan tersosialisasi dengan baik. Persiapan dimaksud adalah strategi pencapaian produksi yang disesuaikan dengan target penurunan konsumsi beras nasional. Berapa target penurunan konsumsi dan bagaimana strategi kita meningkatkan komoditas pangan yang menjadi substitusi beras tersebut? Nampaknya belum ada persiapan ke arah sana. Demikian juga komoditas yang akan dipilih perlu dipertimbangkan dengan kecukupan gizi konsumen. Kita sudah punya standar gizi minimal dan tentunya standar itulah yang digunakan untuk memberi rekomendasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang produk yang akan mensubtitusi beras. Nampaknya hal ini juga belum terlihat. Yang ada justru ‘kehebohan’ wacana pengurangan konsumsi beras, tanpa melihat standar kecukupan gizi tersebut. Lihat saja program ‘One Day No Rice’ yang digagas walikota Depok. Apakah dengan pengurangan konsumsi beras, maka tidak berdampak ketimpangan kebutuhan gizi? Sekali lagi, perlu persiapan dan sosialisasi. Jangan bertindak reaktif atas kondisi karena pangan bukanlah urusan statistik dan solusi jangka pendek. Perlu persiapan matang dan sosialisasi dan hal itu mesti dilakukan di tingkat nasional supaya berdampak pada ketahanan pangan nasional bukan hanya berdampak pada satu wilayah saja atau bahkan hanya berdampak pada polularitas personal belaka. Berbagai masukan tentunya sudah diketahui pemerintah sebagai aktor utama. Berbagai kebijakan sudah pernah digulirkan dan dilakukan meski belum sesuai harapan. Hal itu sudah menunjukkan adanya kemauan. Namun kemauan tanpa keberanian serta mengurangi ego masing-masing pihak yang terlibat hanya akan menjadi solusi jangan pendek. Ketahanan pangan adalah masalah jangka panjang dan membangun (ulang) ketahanan pangan menjadi penting untuk eksistensi bangsa Indonesia di masa mendatang.


6

TABULASI

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013

Indonesia Masih Impor

10 Bahan Pangan Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir beberapa media online, terdapat beberapa komoditas pangan yang selalu diimpor Indonesia.

1. Beras

3. Kedelai

Sepanjang tahun 2012, impor beras mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 945,6 juta. Negara terbesar yang memasok beras ke tanah air adalah Vietnam dengan total 1,1 juta ton senilai US$ 564,9 juta. Selain itu, Thailand yang telah mengimpor 315,4 ribu ton dengan nilai US$ 186,2 juta sepanjang tahun 2012. Kemudian, India dengan total beras impor 259 ribu ton dengan nilai US$ 122,2 juta, Pakistan 133,1 ribu ton dengan nilai US$ 52,5 juta, China sebanyak 3.099 ton dengan nilai US$ 11,2 juta dan beberapa negara lainnya.

Impor kedelai sepanjang tahun 2012 mencapai 1,9 juta ton dengan nilai US$ 1,2 miliar. Negara asal kedelai impor terbesar datang dari Amerika Serikat dengan jumlah impor mencapai 1,8 juta ton dengan nilai mencapai US$ 1,1 miliar. Selain itu, ada Malaysia yang mengimpor 56 ribu ton kedelai impor dengan nilai US$ 47,5 ribu, Afrika Selatan sebanyak 31,5 ribu ton dengan nilai US$ 17,3 juta, Uruguay sebanyak 7,6 ribu ton dengan nilai US$ 5,2 juta dan Kanada sebanyak 7,6 ribu ton dengan US$ 4,6 juta.

2. Jagung

4. Biji Gandum

Pada tahun 2012, impor jagung mencapai 1,7 juta ton dengan nilai US$ 501,9 juta. Negara asal jagung impor terbesar adalah India dengan total impor 1,1 juta ton dengan nilai US$ 319 juta sepanjang tahun lalu. Kemudian Argentina, dengan total impor jagung ke Indonesia sebesar 286,3 ribu ton dengan nilai US$ 89 juta. Impor jagung dari Pakistan sebesar 146,2 ribu ton dengan nilai US$ 46 juta, Brazil sebanyak 74,4 ribu ton dengan nilai US$ 23 juta, dan Amerika Serikat sebanyak 44,2 ribu ton dengan nilai US$ 15,8 juta.

Sepanjang tahun 2012, impor biji gandum mencapai 6,3 juta ton dengan nilai US$ 2,3 miliar. Australia merupakan negara pemasok gandum terbesar dengan total impor gandum sepanjang tahun lalu mencapai 4,4 juta ton dengan nilai US$ 1,5 miliar. Sementara itu, Kanada memasukkan gandum hingga 930,6 ribu ton dengan nilai US$ 389,5 juta. Impor gandum dari Amerika Serikat sebanyak 686,4 ribu ton dengan nilai US$ 256,4 juta, Ukraina sebanyak 30,5 ribu ton dengan nilai US$ 66 juta, dan India sebanyak 107,5 ribu ton dengan nilai US$ 34,3 juta.


Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

7

7. Daging Sapi dan Daging Ayam Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah impor daging sapi yang dilakukan Indonesia menurun menjadi 40.338 ton di tahun 2012, dari 102.850 ton di tahun 2011. Negara asal daging sapi yakni Australia dengan volume 29,4 ribu ton nilainya 113,8 juta dolar AS. Lalu, Selandia Baru dengan nilai impor daging 35,5 juta dolar AS (9,61 ribu ton), kemudian Amerika Serikat mencapai 6,6 juta dolar AS (1,3 ribu ton), Kyrgyzstan 9.671 dolar AS (1,075 ton), dan Singapura 1.553 dolar AS (227 kg). Tidak hanya daging sapi dan sejenisnya yang diimpor RI, dari catatan BPS terdapat impor daging ayam sebanyak 6.797 kg dengan nilai US$ 34,8 ribu sepanjang tahun 2012. Negara pemasok daging ayam impor ini hanya dua yaitu Malaysia dengan total impor sebesar 6.461 kg yang nilainya US$ 29,2 ribu, serta Belgia dengan besaran impor 336 kg senilai US$ 5.593.

8. Garam

5. Tepung Terigu Impor tepung terigu yang masuk sepanjang tahun 2012 sebanyak 479,7 ribu ton dengan nilai US$ 188,8 juta. Srilanka merupakan negara pemasok utama tepung terigu dengan besaran impor 175,3 ribu ton dengan nilai US$ 80,4 juta. Selain Srilanka, impor tepung terigu juga berasal dari negara Turki sebanyak 231 ribu ton dengan nilai US$ 80,1 juta, Ukraina sebanyak 34,4 ribu ton dengan US$ 12 juta, Belgia sebanyak 9,7 ribu ton dengan nilai US$ 4,3 juta, dan Australia sebanyak 9,8 ribu ton dengan nilai US$ 4 juta.

6. Gula Pasir Pada tahun 2012, impor gula pasir mencapai 91,1 ribu ton dengan nilai US$ 62 juta. Negara asal gula pasir impor terbesar adalah Thailand dengan total impor 60,7 juta ton dengan nilai US$ 39,1 juta sepanjang tahun lalu. Kemudian Australia, dengan total impor gula pasir ke Indonesia sebanyak 9,3 ribu ton dengan nilai US$ 8 juta. Impor gula pasir dari Korea Selatan sebanyak 6.440 ton dengan nilai US$ 5 juta, Malaysia sebanyak 5.800 ton dengan nilai US$ 4 juta, dan Selandia Baru sebanyak 2.900 ton dengan nilai US$ 2,3 juta.

Sepanjang tahun 2012, RI telah mengimpor garam sebanyak 2,2 juta ton dengan nilai yang mencapai US$ 108 juta. Negara pemasok garam utama adalah Australia dengan berat garam impor sebanyak 1,6 juta ton dengan nilai US$ 80,9 juta. Selain itu, India juga memasukkan garam impornya sebanyak 566 ribu ton dengan nilai US$ 25,4 juta, Selandia Baru sebanyak 1.574 ton dengan nilai US$ 596 ribu, China sebanyak 5.981 ton dengan nilai US$ 475 ribu, dan Jerman sebanyak 429 ton dengan nilai US$ 362 ribu.

9. Singkong Sepanjang tahun 2012, impor singkong tercatat 13,3 ribu ton atau senilai US$ 3,4 juta. Hanya tiga negara yang diketahui aktif melakukan ekspor ke Indonesia di tahun lalu. Thailand memasukkan singkong ke tanah air sebanyak 6.185 ton dengan nilai US$ 1,6 juta, China sebanyak 5.057 ton dengan nilai US$ 1,3 juta, dan Vietnam sebanyak 2.048 ton dengan nilai US$ 519 ribu.

10. Kentang Pada tahun 2012 lalu, total impor kentang sebesar 54,1 ribu ton dengan nilai US$ 36,4 juta. Negara Australia merupakan pemasok kentang terbesar dengan jumlah impor sebanyak 13,3 ribu ton dengan nilai US$ 9,9 juta. Kentang impor dari Amerika Serikat sebanyak 8.695 ton dengan nilai US$ 7,5 juta, China sebanyak 10,8 ribu ton dengan nilai US$ 6 juta, Kanada sebanyak 9,3 ribu ton dengan nilai US$ 5,8 juta, dan Saudi Arabia sebanyak 2.740 ton dengan nilai US$ 1,5 juta.


5 8

IDENTIFIKASI

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013

MASALAH Membelit Pembangunan Pertanian

masih akan terlambat sehingga kinerja produksi pangan tak sebaik tahun 20082009. Secara hakikat, sejarah tak akan pernah dapat diulang secara sama persis sehingga respons kebijakan yang harus segera diambil pemerintah juga perlu lebih inovatif. Benar bahwa Kementerian Pertanian telah melakukan rapat koordinasi dengan seluruh kepala dinas pertanian. Begitu pula konsep dan strategi telah disusun dengan sejumlah perencanaan akan menambah jumlah anggaran produksi pangan, membuka akses pada daerah-daerah yang terisolasi, serta meningkatkan pendapatan para petani. Namun langkah nyata dan pelaksanaan kebijakan di tingkat lapangan sangat ditunggu segera karena ancaman krisis pangan tidak akan dapat diselesaikan hanya di ruang rapat. 5 (lima) Masalah Pembangunan Pertanian

P

embangunan pertanian di Indonesia dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberlanjutan eksistensi bangsa dalam mengatasi ancaman kelangkaan pangan dunia yang dampaknya semakin terlihat nyata. Tema krisis pangan kembali mengemuka setelah jumlah penduduk dunia diperkirakan akan melonjak menjadi 9 miliar pada tahun 2050, naik sebelumnya 7 miliar pada tahun 2011. Perhatian terhadap masalah tersebut semakin bertambah menguat akibat ancaman krisis pangan kini semakin membesar, terutama setelah Organisasi Pangan dan Pertanian pada Agustus lalu

mengeluarkan laporan kenaikan hargaharga pangan dan Departemen Pertanian Amerika Serikat kembali merevisi angka estimasi penurunan produksi pangan, terutama biji-bijian. Bahkan, FAO secara serius mengingatkan Indonesia tentang ancaman krisis pangan ini. Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman yang baik dalam merumuskan respons kebijakan dalam meredam dampak krisis pangan global 2008-2009. Kebetulan juga musim hujan cukup bersahabat sehingga produksi beras, sebagai pangan pokok, juga meningkat bahkan di atas 6 persen. Perum Bulog juga mampu melakukan manajemen logistik beras dan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin). Kini, musim hujan di Indonesia diperkirakan

Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi, masalah Pertama yaitu penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian. Dari segi kualitas, faktanya lahan dan pertanian kita sudah mengalami degradasi yang luar biasa, dari sisi kesuburannya akibat dari pemakaian pupuk an-organik. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan produksi Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai 65,76 juta ton dan lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Berbagai hasil riset mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif di Indonesia, terutama di Pulau Jawa telah menurun produktivitasnya, dan mengalami degradasi lahan terutama akibat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah yaitu kecil dari 2 persen. Padahal, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan kandungan C-organik lebih dari 2,5 persen atau kandungan bahan organik tanah > 4,3 persen. Berdasarkan kandungan C-organik tanah/ lahan pertanian tersebut menunjukkan


Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

lahan sawah intensif di Jawa dan di luar Jawa tidak sehat lagi tanpa diimbangi pupuk organik dan pupuk hayati, bahkan pada lahan kering yang ditanami palawija dan sayur-sayuran di daerah dataran tinggi di berbagai daerah. Sementara itu, dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa memiliki kultur dimana orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya turun temurun, sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan bangunan dan industri. Masalah kedua yang dialami saat ini adalah terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian yang juga penting namun minim ialah pembangunan dan pengembangan waduk. Pasalnya, dari total areal sawah di Indonesia sebesar 7.230.183 ha, sumber airnya 11 persen (797.971 ha) berasal dari waduk, sementara 89 persen (6.432.212 ha) berasal dari nonwaduk. Karena itu, revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara 19 waduk masih berstatus normal. Selain itu masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab infrastruktur pertanian menjadi buruk. Selanjutnya, masalah ketiga adalah adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Produk-produk pertanian kita baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan harus menghadapi pasar dunia yang telah dikemas dengan kualitas tinggi dan memiliki standar tertentu. Tentu saja produk dengan mutu tinggi tersebut dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar. Indonesia menghadapi persaingan yang keras dan tajam tidak hanya di dunia tetapi bahkan di kawasan ASEAN. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda

1 2 3 4 5

9

Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian. Lahan dan pertanian kita sudah mengalami degradasi yang luar biasa, Terbatasnya ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian yang penting seperti pembangunan dan pengembangan waduk, Adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan, Terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan. Kemampuan sangat terbatas sehingga produktivitas tidak optimal, Panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik dari hasil penjualan.

dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian Hal lainnya sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangkan dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya,

pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 Triliun untuk bisa diserap melalui tim Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus Kredit Bidang Pangan dan Energi. Yang terakhir menyangkut, masalah kelima adalah masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan. Pada dasarnya komoditas pertanian itu memiliki beberapa sifat khusus, baik untuk hasil pertanian itu sendiri, untuk sifat dari konsumen dan juga untuk sifat dari kegiatan usaha tani tersebut, sehingga dalam melakukan kegiatan usaha tani diharapkan dapat dilakukan dengan seefektif dan seefisien mungkin, dengan memanfaatkan lembaga pemasaran baik untuk pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahannya. Terlepas dari masalahmasalah tersebut, tentu saja sektor pertanian masih saja menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat dan penyumbang devisa bagi negara. Oktavio Nugrayasa Kabid Ketahanan Pangan dan PDT Sekretariat Kabinet RI


10

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013

Analisis

Kedaulatan Pangan Ir. Anom Wibisono, HS.

P

emantapan kedaulatan pangan merupakan prioritas dari pembangunan bangsa dan negara yang berdaulat atas tanah, air dan rakyatnya. Pangan merupakan kebutuhan paling dasar bagi hidup dan kehidupan manusia. Ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada sektor pertanian, terutama dalam hal penyediaan pangan. Disamping itu sektor pertanian juga merupakan salah satu sektor penyumbang devisa negara yang cukup besar. Hal lain seiring dengan jumlah penduduk di Indonesia setiap tahun semakin bertambah mengakibatkan permasalahan kebutuhan pangan juga semakin besar. Kedaulatan Pangan Indonesia, dengan orientasi pada penguatan ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal dan mengembangkan pangan tradisional secara terkelanjutkan minimal membutuhkan lima hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, pengembangan teknologi tepat guna, tepat sasaran

ANALISIS

dan ramah lingkungan untuk usaha- usaha peningkatan produktivitas pertanian yang sehat dan berkelanjutan, serta usaha-usaha meningkatkan daya saing produk pertanian umumnya dan produk pangan khususnya. Kedua, penerapan transfer inovasi teknologi dan sistem manajemen untuk peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, fungsi maupun keamanan terhadap produk pangan dan lingkungan. Ketiga, peraturan standar dan perundangundangan yang terkait dengan komoditas pangan dan atau pertanian, dalam kaitannya dengan daya saing, pemasaran dan perdagangan produk pangan sebagai proses keberpihakan pada komoditas strategis. Keempat, kebijakan pangan; yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pangan bagi pemerintah (pusat dan daerah) maupun swasta. Kelima, proteksi pangan, melalui pendekatan teknologi, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan. Pada tahun-tahun mendatang sistem pangan nasional akan tetap menjadi kendala besar, hal ini juga akan berlaku bagi negara-negara lainnya. Krisis pangan nasional sangat berhimpitan erat dengan sistem perberasan sebagai komoditas pokok rakyat Indonesia. Hal ini dapat terlihat pada masih tingginya laju konversi area sawah di jawa dan luar Jawa; sistem budidaya (teknologi, pupuk, benih dan sarana prasarana) yang relatif tidak bergerak dan berakibat pada penurunan produktivitas areal sawah; pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi per kapita yang juga terus meningkat; serta faktorfaktor lain seperti yang terlihat pada skema diagram sebab akibat kedaulatan pangan (diagram sebab akibat). Mengacu pada diagram sebab akibat di atas, maka dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa kebijakan melakukan impor beras adalah realistis untuk saat ini (1 hingga 5 tahun kedepan) melihat belum adanya kebijakan pemerintah yang bersifat visioner di sektor pertanian dan tingkat konversi lahan sawah serta konsumsi per kapita yang masih tinggi. Namun pembebasan bea masuk komoditas strategis (pangan) adalah sangat ceroboh, sekalipun atas dasar perekonomian negara (menekan laju inflasi). Hal ini justru menambah beban negara di masa mendatang terkait dengan AFTA dan kemandirian pelaku pertanian. Demikian juga dengan pembukaan lahan baru di luar Jawa namun tidak mengendalikan laju konversi sawah akan menjadi sebuah kebijakan dan aksi yang tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini makin diperparah dengan kecenderungan monopoli kebijakan sektor pertanian berdasarkan pembagian area kekuasaan, sehingga keberpihakan pemerintah terhadap petani tidak murni dan cenderung lebih bersifat politis. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menetapkan daerah konservasi pangan, melalui area sawah abadi, penghidupan, penyuburan dan penyehatan area sawah yang penggunaannya lebih dari 10 tahun (bio rebuild) dengan penerapkan pupuk organik secara utuh melalui pola proteksi, empowering dan enabling di setiap kawasan produksi tanaman pangan.


KEBIJAKAN

Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

11

W

alaupun memiliki tujuan yang sama, namun HDG dan HPP berbeda dalam fungsi dan operasionalisasinya. HDG adalah instrumen insentif harga yang digunakan pada masa pemerintahan orde baru sampai dengan tahun 2002. Dengan HDG pemerintah berusaha untuk melindungi petani dari anjloknya harga pada musim panen. Dengan membeli kelebihan pasokan dalam jumlah besar sedemikian hingga petani ketika menjual gabahnya akan mendapatkan harga minimal tidak dibawah HDG yang ditetapkan. Dengan kata lain ada konsekwensi kewajiban dari pemerintah untuk menjamin harga gabah petani diatas HDG. Sementara untuk HPP pemerintah tidak menjamin bahwa harga gabah yang diterima petani selalu berada diatas HPP yang ditetapkan. Artinya, pemerintah tidak melakukan upaya ekstensifikasi dalam penyerapan gabah petani untuk mengamankan harga sebagaimana seperti penetapan HDG. HDG bisa diterapkan manakala Bulog sebagai instansi pelaksana pembelian gabah petani diberikan kewenangan, dukungan dan fasilitas pendanaan dalam menjalankan fungsinya baik sebagai agen penyedia stok pangan nasional maupun stabilisasi harga gabah/beras. Namun sejak 1998, karena tekanan IMF dan keterbatasan anggaran (minim komitmen politik), peranan Bulog semakin terbatas. Proses liberalisasi pertanian khususnya sektor perberasan mengalami percepatan ditandai dengan pencabutan berbagai subsidi pertanian, penerapan tarif impor beras nol persen dan likuidasi kewenangan monopoli impor beras oleh Bulog. Praktis, sejak stabilisasi harga gabah tidak efektif untuk dilakukan. Sampai dengan tahun 2002, Inpres Perberasan mendampingkan istilah harga dasar dengan HPP menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP). HDPP tentu saja tidak memiliki tanggungjawab stabilisasi harga gabah. Pada tahun 2004, terjadi perubahan status Bulog dari lembaga pemerintah non departemen (LPND) menjadi perusahaan umum. Hal ini membuat berbagai unsur penopang dan fasilitasi pendanaan yang melekat dalam institusi ini semakin berkurang. Dalam situasi tersebut, melalui Inpres Nomor 3 Tahun 2005 istilah harga dasar resmi ditinggalkan diganti menjadi HPP. Sejak dikenalkan tahun 2005 sampai

Harga Pembelian Pemerintah dan

Kesejahteraan Petani Sejak tahun 2005, pemerintah mengakhiri instrumen kebijakan harga dasar gabah (HDG) menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). sekarang pemerintah telah mengeluarkan enam Inpres kebijakan perberasan. Setiap tahun pemerintah melakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap nilai HPP terutama dikaitkan dengan perkembangan ekonomi seperti inflasi dan kenaikan BBM. Pada tahun 2005 pemerintah menaikkan HPP sebanyak dua kali merespon kenaikan harga BBM. Pada kenaikan BBM pertama bulan Maret 2005, satu hari berselang pemerintah langsung menaikkan HPP. Namun ketika kenaikan harga BBM kedua pada Oktober, pemerintah justru menunda hingga awal tahun berikutnya. Penundaan ini banyak mendapat kritikan dari publik karena menimbulkan peluang spekulasi pedagang dalam menahan beras dan tidak sensitif terhadap kepentingan petani. Pada tahun 2008 kenaikan BBM pada bulan Mei tidak langsung direspon dengan kenaikan HPP namun kenaikan justru terjadi pada akhir

tahun bersamaan dengan penurunan BBM sebanyak tiga kali. Dari pengalaman tersebut muncul pertanyaan mendasar, apa yang sesunggguhnya menjadi pertimbangan dalam penetapan HPP? Dengan ketidakjelasan basis argumen dalam perumusan kebijakan tersebut maka ada dugaan bahwa faktor-faktor politis yang lebih kuat dibandingkan dengan argumentasi teoritis sesuai kaidah-kaidah perumusan kebijakan. Jika melihat proses perumusan HPP maka bisa dilihat bahwa sangat sedikit ruang untuk keterlibatan petani dan organisasi masyarakat sipil dalam penetapannya. Sebagai sebuah kebijakan publik yang diklaim untuk melindungi petani, proses perumusan HPP tidak mencerminkan partisipasi publik yang mewakili dari para pihak di sektor pertanian. Policy Paper KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan)


12

KOMPARASI

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013

Kebijakan Pangan

5 Negara Asia

India

Thailand

ndia merupakan salah satu produsen dan eksportir beras penting di dunia dan menjadikan padi sebagai komoditas andalan. Pada 2007 India memproduksi 144.570.000 ton beras dan menduduki posisi ke-2 produsen terbesar beras di dunia setelah China. Strategi pembangunan pertanian mencakup paket kebijakan intervensi pasar, yang salah satunya dilakukan melalui harga dukungan minimum untuk 24 komoditas termasuk beras. Bentuk intervensi pasar lainnya adalah dengan distribusi pangan tersubsidi, retribusi penggilingan padi, pengaturan praktek perdagangan dalam negeri seperti pelarangan menimbun. Beragam pendekatan ini dianggap berkontribusi terhadap pertumbuhan pertanian. Pemerintah India memberikan harga minimum yang diterapkan pada saat pada musim tanam yang buruk, untuk mendorong penjualan petani kepada pemerintah, biasanya akan diberikan bonus tambahan. Hal lain yang juga dilakukan pemerintah di India untuk memperbesar pengadaannya adalah dengan memperpanjang periode penerapan harga pemerintah. Penentuan perpanjangan tergantung pada masingmasing negara bagian.

hailand adalah produsen dan eksportir beras di Asia Tenggara. Kurang-lebih 50% komoditas padi dimanfaatkan untuk keperluan domestik, dan kelebihannya diekspor ke pasar luar negeri. Pada tahun 2003, ekspor beras Thailand mencapai 27% dari pasar dunia. Strategi yang dinilai kontroversial adalah strategi yang menyangkut stabilisasi harga beras. Pemerintah kini kembali terlibat dalam pasar beras, meskipun sebelumnya pernah menarik diri dari pasar domestik beras pada 1980-an. Pada 2001, Pemerintah memperkenalkan kebijakan jaminan harga beras. Kebijakan harga minimum ini berfungsi sebagai program gadai di mana petani dapat memperoleh pinjaman berbunga rendah dari pemerintah. Harga beras ditentukan berdasarkan kombinasi permintaan lokal dan persediaan beras, termasuk permintaan dari wilayah minus dan permintaan ekspor. Permintaan lokal dan persediaan beras dianggap sebagai faktor penentu utama harga beras, karena sekitar 67% beras yang dihasilkan dikonsumsi di wilayah penghasilnya. Dengan demikian, harga berbeda setiap waktu dan berbeda pula di tiap lokasi. Harga juga dipengaruhi intervensi pemerintah, dengan pertimbangan fluktuasi harga beras dunia dan nilai tukar uang.

I

T

Pakistan

K

ebijakan investasi publik seperti pada pembangunan irigasi, memainkan peran sangat penting dalam pembangunan pertanian di Pakistan. Pada tahun 1960-an hingga pertengahan 1980an, hasil pertanian melejit pesat sebagai output dari adopsi revolusi hijau. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan nasionalisasi industri dan membentuk asosiasi eksportir perdagangan beras ke luar negeri. Pemerintah juga memonopoli skema pengadaan dalam negeri. Liberalisasi terjadi pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, dengan


Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

China

M

berkurangnya tarif dan pajak serta keterlibatan pemerintah dalam pasar hasil pertanian. Pengadaan wajib tidak digunakan lagi semenjak musim panen 1986. Pengadaan sukarela dengan harga pemerintah tetap berlanjut hingga 2001. Di awal 2003, pemerintah mengumumkan harga indikatif untuk padi tetapi pengadaan tetap minim. Komisi Harga Pertanian mempunyai kebijakan dalam menentukan harga dukungan untuk komoditas pertanian guna melindungi petani dari harga rendah yang tidak wajar. Ide dasarnya adalah untuk menjamin tingkat minimum keuntungan sehingga menjamin ketertarikan investasi untuk memperbaiki teknologi. Harga dukungan diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan, produktivitas, pengembangan pertanian dan untuk menjamin persediaan bagi konsumen. Pada tahun 2004, harga dukungan untuk gandum, kapas, beras dan tebu tetap berlanjut, tetapi namanya akan berganti menjadi harga penyelamat, agar memberikan kejelasan kepada petani bahwa pengadaan oleh pemerintah bukan sebuah keharusan, melainkan hanya berlaku ketika harga jatuh di luar batas bawah yang diharapkan.

eskipun bukan eksportir beras nomor satu di dunia, secara kuantitas China merupakan negara penghasil beras nomor satu di dunia. Dengan kapasitas produksi 197 juta ton padi pada tahun 2009. Pemerintah China menerapkan standar kualitas pada akhir tahun 1990-an dan memberikan harga perlindungan (protektif) yang berbeda. Harga protektif berlaku di provinsi penghasil beras. Petani China juga menerima subsidi bahan bakar, pupuk, benih dan mesin. Kebijakan ini dilakukan agar wilayah tanam tanaman padi-padian tidak jatuh di bawah 100 juta hektar. Pemerintah pusat China mengeluarkan kebijakan pembelian beras berkontrak. Pada tahun 2004 pemerintah China mengeluarkan kebijakan untuk mendorong produksi beras, liberalisasi pasar dan deregulasi, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Kebijakan terkait dengan pengenalan subsidi tanah dan pengurangan pajak pertanian merupakan perubahan yang besar. Pelarangan pedagang swasta untuk memasuki pasar beras berkualitas tinggi juga dihilangkan. Akibat resesi ekonomi, pada 2009 pemerintah China mengeluarkan peraturan terkait asistensi pedesaan untuk enam tahun ke depan, memprioritaskan pada pembangunan pertanian untuk meningkatkan pendapatan petani dan menekan kesenjangan antara pendapatan desa dan kota serta untuk membatasi urbanisasi. Pemerintah China tidak lagi menyebutkan harga perlindungan dalam kebijakannya, akan tetapi lebih memperkenalkan apa yang disebut sebagai harga dasar untuk beras. Harga dasar tersebut ditentukan oleh pemerintah dan berlaku ketika harga pasar lebih rendah dari harga dasar. Harga dasar berlaku hanya di wilayah yang surplus beras dan bagi perusahaan yang memenuhi syarat untuk pembelian cadangan pangan.

13

Vietnam

I

nternational Food Policy and Rice Institute (IFPRI) mengidentifikasi ada empat kebijakan yang sangat memengaruhi produksi beras Vietnam saat ini, yaitu kebijakan institusi dengan reformasi agraria, kebijakan pasar, kebijakan harga dan kebijakan ekspor. Program reformasi agraria di Vietnam dimulai pada 1981 dan baru efektif pada 1986 ketika Partai Komunis mengeluarkan resolusi yang memberikan kepada petani hak atas tanah mereka. Hal ini kemudian diikuti oleh alokasi ulang tanah-tanah pertanian kolektif dan aset pertanian kepada rumah tangga. Insentif pasar merupakan sumber utama pertumbuhan produksi padi di Vietnam. Liberalisasi ekspor dan depresiasi mata uang Vietnam pada 1988-1992 memperkuat pasar ekspor dan mencegah harga yang diterima petani jatuh saat ekspansi produksi. Pada masa ini programprogram pemerintah mempunyai dua tujuan, yaitu untuk meningkatkan produksi padi dan stabilisasi harga. Kebijakan ekspor merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk menjual kelebihan beras yang terjadi pada September 1989. Ketika kebutuhan lokal terpenuhi, maka surplus beras dialokasikan sejalan dengan kebijakan ekspor untuk menjamin permintaan dalam negeri. Harga beras di Vietnam bergantung pada tingkat harga beras internasional. Tindakan pemerintah untuk menaikkan harga dasar terjadi pada saat panen melimpah, seperti yang terjadi pada 2008. Petani menanam lebih banyak padi akibat harga musim semi dan gugur yang baik. Akibat panen yang melimpah, semenjak bulan Agustus dilaporkan harga sudah berada di bawah tingkat biaya produksi petani, yang berarti petani akan mengalami kerugian. Untuk membalik proses penurunan tersebut, pemerintah meminta BUMN membeli satu juta ton padi pada Februari 2009.


14

SUARA

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei /Mei 2013

Kedaulatan Pangan:

Jalan Keluar Krisis Pangan Indonesia Dalam jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan sebenarnya terkait dengan 3 hal yakni produksi pangan, luasan lahan dan tata niaga pangan.

K

risis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya naik tak terkendali. Namun harus diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukanlah sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan, pengangguran). Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi—sebagai inti dari Konsensus Washington. Privatisasi; Akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan

industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel)—seperti yang sudah terjadi saat ini. Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negaranegara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaanperusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita. Deregulasi; beberapa kebijakan sangat

dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng. Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwasanya tesis tentang pasar bebas itu tidak berlaku untuk keselamatan umat manusia—terutama dalam hal pangan. Bahkan sejak aktifnya perdagangan bebas ini dipromosikan


Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

15

Hidupkan Tanah Mati KH. Said Aqil Siroj WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007). Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia (SPI), dan di tingkat internasional La Via Campesina sudah dengan tegas menyatakan agar WTO keluar dari pertanian (1996-sekarang). Dan untuk jangka panjang, petani menuntut dilaksanakannya pembaruan agraria dalam rangka basis kebijakan agraria dan pertanian. Dalam jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan sebenarnya terkait dengan 3 hal—yakni (1) produksi pangan; (2) luasan lahan; dan (3) tata niaga pangan. Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut, maka petani menuntut solusi jangka pendek kepada pemerintah: 1. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen 2. Memberikan insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri. 3. Mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi harus dengan intervensi yang kuat dari Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan. 4. Menambah produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan, dengan segera meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk pertanian pangan. 5. Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan kepastian beli 6. Memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok tani, koperasi, dan ormas tani. Konsepsi Serikat Petani Indonesia (SPI)

Ketua Umum PBNU

Indonesia sat ini dianggap tengah mengalami penurunan ketahanan pangan nasional. Di mata Kang Said, demikian Kiai Said masyhur disapa, indikasinya terletak pada peningkatan tajam jumlah penduduk yang berbanding terbalik dengan potensi petani. “Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Indonesia terus bertambah, tapi banyak cerita petani yang justru mengalami gagal panen. Artinya potensi petani belum tergarap maksimal, bahkan belakangan menurun dari apa yang sebelumnya sudah dihasilkan,� kata Kang Said di Jakarta, Kamis, 8 September 2011. PBNU menyikapi masalah ketahanan pangan mengimbau Pemerintah memanfaatkan puluhan ribu tanah mati untuk dihidupkan menjadi lahan pertanian. Pembukaan daerah transmigrasi baru disebut sebagai salah satu penerapan nyata yang bisa dilakukan, dimana selain meratakan penyebaran penduduk, juga bisa meningkatkan ketahanan pangan nasional. “Islam sendiri mengajarkan ihyau ardl al mawat. Hidupkan tanah mati untuk dimanfaatkan secara nyata. Di Indonesia ada puluhan ribu hektar, dan bahkan bisa jutaan hektar tanah mati yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional,� urai Kang Said. [kangsaid.net]

Fungsikan BULOG Kwik Kian Gie

Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Pemerintah harus menjamin harga yang memadai bagi petani untuk dapat mencukupi kehidupannya. Caranya memfungsikan BULOG yang dalam hal beras dan komoditi pertanian yang penting lainnya, kebijakannya mempertahankan harga yang cukup tinggi guna memberi pendapatan yang memadai kepada para petani. Bagaimana mekanisme kerja BULOG untuk mencapai semua tujuan ini sudah dirumuskan sejak awal BULOG didirikan, dan disempurnakan terus. Intinya, untuk komoditi strategis seperti beras, minyak goreng, gula dan kebutuhan pokok lainnya BULOG membentuk dana egalisasi yang dipakai untuk melakukan operasi pasar melalui mekanisme pasar yang ada. BULOG menggunakan kekuatan modalnya untuk melakukan penjualan dan pembelian dengan maksud menjaga kecukupan pangan dan kebutuhan pokok, dan menjaga stabilitas harga. Karena itu BULOG memang diperbolehkan merugi. Biasanya, kerugian dan keuntungannya berimbang dalam melakukan operasi pasar. [kwikkiangie.com]


16

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013

Mempertanyakan Kembali

Ketahanan Pangan Indonesia

T

ahun 2010, Indonesia kembali dihadapkan pada persoalan ketahanan pangan. Pada pertengahan 2010, pemberitaan di media massa cetak maupun elektronik dihiasi dengan isu keresahan masyarakat akibat kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok, seperti beras, gula, rempah-rempah dan kebutuhan pokok lainnya. Faktor anomali cuaca yang terjadi disebut-sebut sebagai biang kerok dibalik melonjaknya harga kebutuhan pokok tersebut. Pemerintah pun menggelar operasi pasar sebagai langkah taktis untuk menekan kenaikan harga. Lagi-lagi, pemerintah hanya mampu membuat solusi jangka pendek bak pemadam kebakaran. Wacana ketahanan pangan kembali dibicarakan karena memang isu ini hanya menjadi isu berulang yang selalu muncul di sela krisis pangan yang melanda Indonesia. Ketahanan pangan masih sekedar wacana di Indonesia dan belum menjadi solusi jangka panjang, sebagai strategi utama.

POLITIKA

Pengantar Redaksi: Artikel ini merupakan artikel lama yang dimuat di website Pusat Penelitian LIPI. Redaksi menilai isi artikel ini masih relevan dengan situasi saat ini dan dapat menjadi sudut pandang peneliti politik terhadap isu ketahanan pangan yang menjadi tema utama edisi ini

Masih segar di ingatan kita awal tahun 2008 lalu juga harus diawali dengan krisis kedelai yang diikuti dengan demonstrasi pedagang tahu-tempe. Kenaikan harga kedelai saat itu juga diikuti kenaikan harga bahan pangan lainnya, seperti tepung terigu dan minyak goreng. Rakyat kecil menjadi korban, sebut saja penjual gorengan yang terimbas secara langsung. Kini tahun 2010 kembali isu pangan menjadi masalah. Benarkah hal ini semata-mata karena faktor anomali cuaca?. Tak dapat dipungkiri, anomali cuaca akhir-akhir ini yang ditandai dengan intensitas hujan yang masih tinggi meskipun saat itu sudah memasuki bulan Juli, yang biasanya adalah pertengahan musim kemarau, telah meningkatkan resiko serangan wereng juga tikus terhadap tanaman pangan tersebut, belum lagi pengaruhnya terhadap transportasi/ pengangkutannya ke sejumlah daerah di tanah air. Namun, ini bukanlah melulu salah alam, bukan?. Ini adalah potret ketahanan pangan Indonesia yang memang masih rentan. Jika dirunut lebih jauh, penyebab krisis pangan di Indonesia, baik di tahun 2008 lalu maupun tahun 2010 ini ataupun di masamasa sebelumnya dan mungkin di masa mendatang adalah konsekuensi dari pilihan bangsa Indonesia sendiri yang selama ini terlalu menggantungkan penyediaan pangannya pada impor. Ini terbukti dari angka impor pangan Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2007, pemerintah memutuskan mengimpor komoditi pangan, meliputi 1,5 juta ton beras dan 1,5 juta ton kedelai. Untuk beras, angka tersebut naik sekitar 78,5% dari tahun 2006 yang hanya sebesar 840 ribu ton. Sedangkan untuk kedelai, angka tersebut naik 25 % dari tahun 2006 yang berjumlah 1,2 juta ton. (berdasarkan Catatan Tahun 2007 Serikat Petani Indonesia). Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kemandirian dan ketahanan pangan Indonesia, karena ketahanan pangan dicirikan oleh kemandirian pangan yang kuat. Kemandirian pangan Indonesia sudah lama berada di titik yang memprihatinkan. Ratifikasi Indonesia atas Perjanjian World Trade Organization (WTO) tahun 1995 telah membawa konsekuensi bahwa Indonesia wajib meliberalisasi pasarnya secara bertahap. Namun, krisis ekonomi yang menghantam Indonesia tahun 1997 membawa Indonesia pada proses yang lebih cepat. Indonesia yang semula di cap sebagai “a good boy” oleh IMF (International Monetary Fund), kemudian harus menjadi “pasien” IMF lewat LoI (Letter of Intent) yang ditandatangani Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia diwajibkan mengadopsi SAP (Structural Adjustment Program) sebagai “resep” yang harus diikuti Indonesia, salah satunya adalah liberalisasi perdagangan komoditas pertanian, khususnya pangan. Liberalisasi pangan kemudian dimulai tahun 1998 dengan mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, dan menghapus pembiayaan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia),


Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

termasuk membuka kran impor beras seluas-luasnya, yang tidak lagi dimonopoli BULOG (Badan Urusan Logistik) serta penerapan tarif impor nol persen. Ketika pada periode sebelum tahun 1994 Indonesia pernah tercatat sebagai negara pengekspor pangan, bahkan telah berswasembada beras tahun 1984, maka periode setelah tahun 1994, Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor pangan, tidak hanya beras, tetapi juga gula, kacang kedelai, dan lain sebagainya. Inilah benih ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan dari luar negeri hingga kini. Tidak hanya itu, terhitung mulai 1 Januari 2010, secara resmi diimplementasikan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN, yang menjadi pihak dari perjanjian tersebut, tentu harus menaati perjanjian ACFTA ini. Pelaksanaan ACFTA sebenarnya sudah lebih dahulu berjalan dalam bentuk Early Harvest Program (EHP), sedangkan pelaksanaan sejak 1 Januari 2010 ini merupakan bentuk normal track. Masuknya sektor pertanian sebagai salah satu fokus dalam FTA dengan China ini tentu akan semakin membuat membanjirnya bahan pangan impor dan terpuruknya sektor pertanian Indonesia. Menurut prinsip-prinsip yang tercantum dalam kerangka perjanjian, kedua pihak harus secara bertahap menurunkan tarif produk yang kompetitif secara global lebih cepat daripada produk yang sensitif. Konsekuensinya, Indonesia harus menghapuskan secara progresif semua hambatan tarif dan nontarif dalam semua perdagangan barang. Jika pada 2004, tarif bea masuk ke Indonesia dalam skema ACFTA masih sebesar 9,9%, maka pada 2010 ini sudah turun drastis menjadi 2,9%. Tak pelak, produk-produk China kini semakin membanjiri pasar Indonesia. Melihat fenomena saat ini, kita harus berpikir bahwa sudah waktunya kita mandiri. Kemandirian pangan ini justru harus dimulai dari pemerintah. Harus ada perubahan mind-set pemerintah Indonesia bahwa impor hanya bersifat pelengkap, namun bukan menjadi komponen pertama dan utama. Juga, bahwa impor harus terus-menerus dikurangi sehingga suatu saat nanti bisa mandiri, dan bukan malahan bertambah tiap tahunnya. Bila tidak demikian, wacana yang digembar-gemborkan pemerintah mengenai peningkatan target produksi, tidak akan bermakna banyak bagi kemandirian pangan Indonesia. Dalam kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Karawang Februari 2008, diserukan bahwa “kita tidak boleh terusmenerus menggantungkan pada impor. Produksi harus terus dipacu untuk mengimbangi kebutuhan seiring meningkatnya jumlah penduduk�. Seruan ini hanya terasa sebagai wacana jika pemerintah tidak sungguh-sungguh memberikan insentif nyata yang membantu petani untuk berproduksi secara maksimal serta stimulasi untuk mendapat insentif keuntungan dari berproduksi tersebut. Pemerintah harus sungguh-sungguh mampu menghasilkan kebijakan yang propetani bila memang ingin melepaskan atau mengurangi ketergantungan terhadap impor. Kebijakan itu tentu saja adalah kebijakan yang komprehensif, dari hulu hingga ke hilir, dan bukan melulu membebankan kepada rakyat untuk beradaptasi dengan kenaikan harga dunia. Pemerintah harus mampu memberikan solusi sebagai bentuk tanggung jawabnya. Saat ini kita menyaksikan, tidak ada solusi jangka panjang dari pemerintah untuk mengatasi krisis pangan ini. Dalam kasus kedelai 2008, misalnya, pemerintah hanya menurunkan bea masuk dari 10% menjadi 0%, memperbanyak negara asal impor

17

kedelai dan importir, termasuk BULOG. (TEMPO, 27 Januari 2008). Ini hanya solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, bukan mendorong petani lokal untuk berproduksi secara maksimal. Dalam wawancara penulis dengan salah satu serikat petani di Indonesia tahun 2007, diungkapkan bahwa ada tiga hal yang telah lepas dari petani saat ini, yaitu input (asupan), produksi, dan distribusi. Input pertanian saat ini sudah berbasiskan pada modal. Petani harus membeli pupuk, benih, pestisida, dan alat-alat pertanian sementara di sisi lain, subsidinya telah dicabut oleh MoU (Memorandum of Understanding) dengan IMF. Apalagi, sejak Indonesia terlibat aktif dalam WTO tahun 1995 yang menelurkan Agreement on Agriculture (AoA) yang telah mengubah cara pemerintah mengatur pertaniannya, baik di masa kini maupun masa yang akan datang. AoA sendiri dengan tiga pilarnya, yaitu perluasan akses pasar, pemotongan subsidi ekspor, dan pengurangan dukungan domestik telah melanggengkan masuknya bahan pangan impor ke dalam negeri. Tak heran, supermarket besar di tanah air saat ini dibanjiri oleh produk pangan murah, terutama buah-buahan. Hal ini cepat atau lambat akan membunuh petani lokal Indonesia. WTO memang tidak mewajibkan kita untuk mengimpor, tetapi di WTO sendiri ada kewajiban untuk menghilangkan hambatan, baik tarif maupun nontarif. Demikian pula halnya dengan produksi. Lahan bagi produksi pertanian semakin tidak mencukupi akibat tingginya alih fungsi lahan, baik untuk industri, perumahan, dan properti. Kondisi ini semakin diperparah dengan mahalnya harga asupan pertanian, sementara harga jual produk pertanian tersebut cenderung rendah, belum lagi dengan kasus maraknya benih palsu akhirakhir ini. Biaya produksi sama sekali tidak terjangkau oleh harga penjualan, sementara di sisi lain harga pangan impor dipandang lebih murah. Dari aspek distribusi juga demikian. Hasil produksi petani tidak lagi sepenuhnya dapat dikendalikan oleh petani, termasuk jalur distribusinya. Kondisi ini sungguh memprihatinkan bagi negara yang notabene masih merupakan negara agraris seperti Indonesia. Padahal, ketahanan pangan hanya bisa dicapai jika ada kecukupan lahan bagi produksi pangan, distribusi yang baik atas produksi pangan, serta ketersediaan pangan yang dikonsumsi. Hal ini merupakan “pekerjaan rumah� bagi pemerintah yang tidak boleh ditunda lagi. Masalah pangan adalah masalah hakiki bagi rakyat. Pemenuhan hak rakyat atas pangan adalah tanggung jawab negara. Pemerintah perlu menyadari bahwa komitmen Indonesia terhadap liberalisasi perdagangan tidak serta merta meninggalkan tanggung-jawabnya untuk melindungi warga negaranya dari dampak negatif liberalisasi perdagangan itu sendiri. Kasus ini pasti akan berulang lagi di tahun-tahun mendatang jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menjadikan pertanian sebagai prioritas pembangunan nasional. Ketahanan pangan pun hanya akan menjadi mimpi dan berakhir sebagai wacana yang terus menerus dipertanyakan ketika kejadian serupa muncul. Sektor pertanian jangan lagi dianaktirikan karena Indonesia masih lah sebuah negara agraris di mana tenaga kerja paling banyak masih berada pada sektor ini. Lidya Christin Sinaga Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


18

ALTERNATIF

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013

Diversifikasi Pangan Sama Dengan Non Beras dan Terigu? Jika pemerintah salah kaprah mengampayekan ganti/substitusi beras dengan umbi-umbian dan anjuran tersebut diikuti tanpa perhitungan yang jelas, akibatnya skor PPH wilayah justru akan turun. Padahal Standar Pelayanan Minimal (SPM) Ketahanan Pangan menyebutkan bahwa skor PPH harus tercapai 90 pada tahun 2015. Hati-hati.

D

iversifikasi atau penganekaragaman pangan jika kembali pada definisi adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Penjabaran gizi seimbang adalah anjuran susunan makanan yang sesuai kebutuhan gizi seseorang atau kelompok orang untuk hidup sehat, cerdas, dan produktif berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Untuk dapat hidup sehat dan aktif, setiap harinya individu harus mengonsumsi pangan sumber karbohidrat, sumber protein, dan sumber vitamin mineral dengan komposisi yang tepat seperti divisualisasikan dalam bentuk Tumpeng Gizi Seimbang (TGS). Variasi jumlah tersebut berbeda-beda berdasarkan umur, aktivitas dan jenis kelamin. Jelas menurut konsep diversifikasi berarti mengonsumsi anekaragam makanan tersebut, bukan hanya beranekaragam dari sumber pangan pokok saja. Disinilah, banyak terjadi salah kaprah konsep yang beredar di masyarakat, baik dari tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga ibu-ibu PKK. Karena konsumsi beras kita sangat tinggi, langsung saja dengan semenamena dikampanyekan pengurangan konsumsi beras (dan terigu) serta beralih ke pangan lokal (umbi-umbian). Pertanyaannya adalah seberapa banyak kita mengurangi konsumsi beras, lalu dengan apa kita menggantinya dan berapa banyak jumlahnya? Hal tersebut tidak pernah jelas tersampaikan ke masyarakat. Malah muncul slogan “One Day No Rice,� seakan-akan jika sehari tidak makan nasi sudah menjadi panutan dan turut berperan serta menurunkan

tingkat konsumsi beras di Indonesia. Padahal kandungan protein pada umbi-umbian tidak setara dengan beras. Jika kita mengganti konsumsi beras secara radikal dengan umbiumbian, maka skor Pola Pangan Harapan (PPH) justru akan turun drastis. Akibatnya jika pemerintah salah kaprah mengampayekan ganti/substitusi beras dengan umbi-umbian dan anjuran tersebut diikuti tanpa perhitungan yang jelas, akibatnya skor PPH wilayah justru

akan turun. Padahal Standar Pelayanan Minimal (SPM) Ketahanan Pangan menyebutkan bahwa skor PPH harus tercapai 90 pada tahun 2015. Hati-hati. Berikut simulasi kebutuhan konsumsi pangan wanita usia 19-29 tahun dalam sehari: • Jika sang wanita tersebut makan makanan pokok yang berasal dari padi-padian (beras) saja maka dengan lauk pauk dan sayur buah dalam sehari dia mengonsumsi 1987,5 kkal dan skor


19

Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

19-29 th wanita Jenis Pangan Padi-padian

Ideal porsi

Kkal

Beras

%AKE

PPH

porsi

Kkal

Non-Beras

%AKE

PPH

Porsi

Kkal

Non Beras-terigu (jagung-umbi2an)

%AKE

PPH

Porsi

Kkal

%AKE

PPH

3.5

612.5

30.8

15.4

4.5

787.5

39.6

19.8

0

0

0

0

3

525

26.4

13.2

Umbi-umbian

1

175

8.8

2.5

0

0

0

0

4.5

787.5

39.6

2.5

1.5

262.5

13.2

2.5

Lauk

3

285

14.3

24

3

285

14.3

24

3

285

14.3

24

3

285

14.3

24

Pauk

3

240

12.1

10

3

240

12.1

10

3

240

12.1

10

3

240

12.1

10

Sayur

3

150

7.5

30

3

150

7.5

30

3

150

7.5

30

3

150

7.5

30

5

200

10.1

5

200

10.1

5

200

10.1

2.5

100

5

2.5

2.5

100

5

2.5

2.5

100

5

2.5

Buah

5

200

10.1

2.5

100

5

2.5

Minyak

4

180

9.1

4.5

4

180

9.1

4.5

4

180

9.1

4.5

4

180

9.1

4.5

Buah/biji berminyak

1

45

2.3

1

1

45

2.3

1

1

45

2.3

1

1

45

2.3

1

1987.5

100

89.9

1987.5

100

91.8

1987.5

100

74.5

1987.5

100

87.7

Gula

Jumlah

PPH 91,8 • Jika dia mengganti sepenuhnya konsumsi padi-padian dengan umbiumbian maka dia akan memperoleh AKE (Angka Kecukupan Energi) 1987,5 namun skor PPH-nya anjlok menjadi 74,5 • Jika dia mengonsumsi 3,5 porsi padipadian (beras) dan 1 porsi umbiumbian (singkong) maka dia akan memperoleh AKE 1987,5 kkal dan skor PPH 89,9 • Jika dia mengonsumsi 3 porsi padipadian (beras) dan 1,5 porsi umbiumbian maka dia akan memperoleh

AKE 1987,5 kkal dan skor PPh 87,7 Dari simulasi tersebut diketahui bahwa tidak bisa konsumsi padi-padian (beras, jagung dan terigu) diganti secara radikal dengan konsumsi umbi-umbian (ubi, singkong, talas, ganyong dll) karena meskipun AKE nya sama namun skor PPH yang menunjukkan keragaman pangan akan anjlok. Dengan menggunakan contoh simulasi kebutuhan konsumsi pangan si wanita di atas, mudah saja dikatakan dalam kampanye bahwa subsitusi 20% konsumsi pangan pokok berasal dari kelompok umbi-umbian, 80% konsumsi

pangan pokok tetap berasal dari padipadian, jangan hanya makan beras, konsumsilah juga jagung (jika tidak mau mengonsumsi terigu karena alasan impor). Jangan lupa konsumsi pangan dari kelompok pangan yang lain dalam jumlah yang tepat. Pesan diversifikasi harus disampaikan kepada masyarakat dengan tepat dan jelas, jangan hanya pesan kualitatif yang membingungkan. Marina Noor Prathivi, STP Direktur MWA, Lembaga Konsultan Ketahanan Pangan

Diversifikasi Pangan Dapat Kurangi Konsumsi Beras

M

enteri Pertanian Suswono mengatakan diversifikasi pangan harus segera dilaksanakan untuk dapat mengurangi konsumsi beras. “Saat ini, konsumsi masyarakat terhadap bahan makanan pokok beras cukup tinggi,” kata Suswono saat dihubungi usai melakukan kunjungan ke Kabupaten Lebak. Karena itu, diversifikasi pangan mesti dilakukan untuk mengurangi konsumsi beras. “Kita punya umbi-umbian, talas, ganyong, jagung, dan sukun bisa dijadikan makanan pengganti beras,” kata Suswono saat membuka semiloka ternak kerbau tingkat nasional di Kabupaten Lebak, Rabu. Suswono mengatakan, jika Indonesia mampu diversifikasi pangan tentu akan mengurangi konsumsi beras antara 90 sampai 100 kilogram per kapita per tahun. Selama ini, konsumsi

beras rata-rata mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Angka itu, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara dan Asia lainnya. Dia mencontohkan, masyarakat Thailand produksi beras sebanyak 20 juta ton, namun konsumsi beras hanya 70 kilogram per kapita per tahun. Begitu pula negara Vietnam produksi beras sebanyak 17 ton, namun kebutuhan konsumsi hanya sembilan ton per kapita per tahun. Pemerintah terus akan menggalakan kepada anak-anak agar membiasakan makanan umbi-umbian, seperti talas, ganyong, jagung, sukun sebagai pengganti beras,” Bahkan, makanan ganyong memiliki kadar protein yang cukup tinggi dibandingkan beras. “Kita yakin bisa mengganti makanan pokok dari beras ke umbi-umbian,” katanya. Menurut dia, diversifikasi pangan terus digalakan sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras. “Saya berharap bisa turun antara dua sampai tiga persen per tahun,” katanya. [ROL]


20

SINERGI

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Juni 01/Mei 2013

Dukungan Inovasi

Wujudkan Ketahanan Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Oleh karena itu, kebutuhan pangan di dalam suatu negara merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. Bagi Indonesia, ketahanan pangan masih sebatas konsep. Pada prakteknya permasalahan ketahanan pangan di Indonesia masih terus terjadi.

K

epala BPPT, Marzan A. Iskandar menegaskan permasalahan ketahanan pangan di Indonesia sebetulnya tidak perlu menjadi masalah. Mengapa? Hal demikian dikarenakan, Indonesia sebagai negara agraris memiliki lahan yang sangat banyak dan subur, maka seharusnya pangan kita terbilang surplus, katanya. Menurutnya, langkah awal untuk menyelesaikan kendala ketahanan pangan harus diketahui apakah upayaupaya untuk menjaga dan mempertahankan ketahanan pangan sudah dilakukan dengan baik. Kunci langkah strategi penerapan dalam menyelesaikan ketahanan pangan pada total luas lahannya, upaya untuk fertilizer/pemupukan dan bibit unggulnya. Luas lahan yang merupakan konversi dari sawah harus diperhatikan masalah tata ruangnya. Sementara itu, pada sistem pemupukannya harus menggunakan bahan organik dan harus diperhatikan formulanya, jelasnya. Ia juga menambahkan, Indonesia masih tertinggal kemampuannya dalam menghasilkan dan mengembangkan bibit-bibit unggul dibandingan industri-industri di luar, sehingga selama ini bibit unggul di Indonesia masih impor. Sementara itu, permasalahan lain pada pandangan pemerintah dan masyarakat terhadap petani yang masih rendah. Petani memiliki peran yang sangat penting dalam ketahanan pangan di Indonesia. Namun, tingkat perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pertanian dinilai masih kurang. Hal itu menyebabkan ketahanan pangan di Indonesia tidak stabil dan masih rendah. Jika kita mengidentifikasi masalah-masalah yang harus diatasi, saya yakin Indonesia tidak perlu khawatir menghadapi permasalahan ketahanan pangan. Masalahnya hanya kita belum mengenali potensi-potensi yang dimiliki, ungkapnya. Dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan tersebut,

katanya dibutuhkannya sinergitas dari para pihak terkait. Selama tahun 2011, BPPT berkontribusi pada penguatan fondasi Sistem Inovasi Nasional (SIN) dan pengembangan kisah sukses dalam pengembangan inovasi. Dengan mengacu pada tata kerja SIN, kita harus saling bekerjasama antara lembaga riset, Perguruan Tinggi, Pemerintah serta Industri untuk saling memenuhi kebutuhan kita akan teknologi, ungkap Marzan. Marzan menyampaikan jika masalah ketahanan pangan dikaitkan dengan teknologi, sebenarnya sudah banyak teknologi terapan yang dapat mengelola jauh lebih bermanfaat untuk menambah nilai guna dan daya saing suatu produk. Hanya saja masalahnya kebanyakan masyarakat membandingkan antara produk lokal dan impor. Sedangkan produk dalam negeri kebanyakan tidak terkonsolidasi, sehingga harus bersaing dengan produk impor yang mendapat dukungan penuh dari negara asing. Menurutnya, disinilah tugas dan peran pemerintah untuk menjaga produk dalam negeri agar teknologi pasca panen yang dikembangkan inovator-inovator Indonesia dapat digunakan. Dengan cara itulah, maka inovasi semakin membaik. Karena bila produk pertama tidak digunakan bagaimana dapat memperbaikinya?, tambahnya. Permasalahan ketahanan pangan di Indonesia hanya pada masalah penduduk semakin bertambah sedangkan lahan semakin berkurang. Selain itu terkait dengan permasalahan regulasi, teknologi serta SIN. Saya optimis dan yakin untuk kasus ketahanan pangan di Indonesia relatif aman karena Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, hanya saja tinggal bagaimana kita mengelola dan mengatur ulang pemanfaatannya saja, tutup Marzan. Humas BPPT OPINI INDONESIA 014

3


HISTORIA

Edisi 01/Mei 01/Mei 2013 2013 || AGRO AGRO SWAKARSA SWAKARSA Edisi

21 21

From Rice Importer to

Self-Sufficiency Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.

S

etelah naik ke tampuk kekuasaan, Presiden Soeharto, mengawali masa-masa pemerintahannya dengan bertumpu pada sektor agraria. Berbagai aturan diberlakukan melalui program intensifikasi massal, bimbingan massal untuk meningkatkan produksi pertanian. Bibit unggul padi diberikan, teknologi tanam juga diterapkan sehingga jika secara tradisional sawah-sawah biasanya hanya menghasilkan satu kali panen dalam setahun, kini panen padi bisa berlangsung dua hingga tiga kali dalam setahun. Puncaknya adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton. Bagaimana pemerintah sat itu bisa menggalang para petani untuk bekerjasama melakukan revolusi pangan? Untuk meningkatkan produksi pangan dengan memperluas lahan garapan adalah sangat sulit karena memerlukan dana yang besar, disamping keterbatasan lahan di sejumlah lumbung padi seperti Jawa, Bali dan Sumatra. Kebijakan yang ditempuh kemudian adalah menitikberatkan kepada usaha intensifikasi, dengan menaikkan produksi

terutama produktivitas padi pada areal yang telah ada. Waktu itu rata-rata petani hanya memiliki setengah hektar lahan dan kemampuan penguasaan teknologi tanam juga belum banyak dikuasai kecuali bercocok tanam secara tradisional. Pemerintah pun mencetak sejumlah tenaga penyuluh pertanian, membentuk unit-unit koperasi untuk menjual bibit tanaman unggul, menyediakan pupuk kimia dan juga insektisida untuk membasmi hama. Sistem pengairan diperbaiki dengan membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak sawah yang semula hanya mengandalkan air hujan, kini bisa ditanami pada musim kemarau dengan memanfaatkan sistem pengairan. Lahan-lahan percontohan pun dibangun, kelompok petani dibentuk di setiap desa untuk mengikuti bimbingan dari para penyuluh pertanian yang disebut Intensifikasi massal (Inmas) dan Bimbingan massal (Bimas). Bukan hanya lewat tatap muka, tetapi juga disiarkan melalui radio dan televisi bahkan juga sejumlah media cetak menyediakan halaman khusus untuk koran masuk desa dengan muatan materi siaran yang khas pedesaan, membimbing petani. Keberhasilan ini telah membuat Edouard Saouma, Direktur Jenderal FAO, mengundang Presiden Soeharto untuk bicara pada forum dunia, pada tanggal 14 November 1985. Organisasi pangan dan pertanian PBB itu, meminta Soeharto untuk berbicara tentang pengalaman

Indonesia dalam upaya menaikan tingkat produktivitas dengan mencapai tingkat berswasembada pangan tersebut. Soeharto menyatakan, bahwa negara-negara maju mempunyai tanggungjawab dan kemampuan untuk memberi kesempatan kepada negara-ngara yang sedang membangun untuk ikut maju dan sejahtera dalam menggalakkan pembangunan ekonomi dunia yang lebih adil dan merata. “Dari pada kemampuan dan modal besar yang tersedia digunakan untuk adu kekuatan senjata yang menjurus kepada kesengsaraan dan penderitaan manusia, lebih baik dipergunakan untuk memenuhi tanggungjawab (kemanusiaan) itu, sehingga terwujud suatu tatanan hubungan dan kerjasama internasional yang mendatangkan keadilan sosial yang merata di seluruh dunia. Itulah yang menjadi idaman semua umat di dunia,” ujar Soeharto saat itu. Pada Juli 1986, Eddouard Saouma menyebut Soeharto sebagai lambang perkembangan pertanian Internasional. Ia tiba di Jakarta untuk menyerahkan penghargaan berupa medali emas FAO. Medali yang terdiri dari dua jenis, yakni yang berukuran kecil dan satunya lebih besar, berukiran timbul bergambar Soeharto dengan tulisan “President Soeharto Indonesia” dan sisi lain bergambar seorang petani yang sedang menanam padi, bertuliskan “From Rice Importer to Self-Sufficiency.”


22

EPILOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013

Politik Pangan dan Kedaulatan

K Raymond Rajaurat

Dan dalam diplomasi internasional, setiap tindakan pasti akan ada pamrih di belakangnya dan ini wajar-wajar saja. Jangan berharap ada ketulusan jika berbicara dalam entitas bernama negara, entah karena persamaan rumpun/ras, agama maupun persamaan lainnya.

etahanan Pangan (dalam istilah internasional disebut food security) merupakan sebuah elemen penting dalam ketahanan nasional sebagai jaminan terjaganya kedaulatan sebuah negara baik dari ancaman internal maupun ancaman ekternal. Kebutuhan pangan warga negara harus dijamin tersedia agar tidak terjadi permasalahan, baik berupa gejolak sosial, bencana kemanusiaan serta intervensi eksternal. Gejolak sosial dapat dipicu karena langkanya bahan pangan yang secara linier diikuti dengan tingginya harga. Masyarakat dengan daya beli rendah kesulitan mendapatkan makanan. Kesulitan ini jika terakumulasi akan menjadi frustasi yang berujung pada kerawanan sosial dan kerentanan terhadap konflik sosial. Bencana kemanusiaan dapat disebabkan oleh ketidaktersediaan pangan bagi masyarakat dengan berbagai penyebab yang berujung pada tragedi kelaparan dan meningkatnya tingkat malnutrisi atau kekurangan gizi pada wilayah yang terkena bencana tersebut. Indonesia dalam sejarahnya memang belum mencapai gejolak sosial yang disebabkan oleh kelangkaan pangan, namun bencana kemanusiaan berupa kelaparan mulai menghantui dan sudah terjadi di beberapa tempat dengan akses minim seperti Yakuhimo, Papua. Demikian juga dengan kejadian malnutrisi atau kekurangan gizi yang muncul melalui berita-berita di media massa baik cetak maupun elektronik. Meskipun belum mencapai gejolak sosial, namun tingkat ketergantungan pangan kita terhadap impor dan kemampuan produksi yang tidak imbang dengan populasi yang terus bertambah harus diwaspadai dan mulai dilakukan antisipasi secara sistematis dan dengan ukuran pencapaian target yang jelas. Meskipun terlambat, mesti dilakukan untuk menghadapi kondisi ke depan, baik di dalam maupun di luar negeri. Peningkatan populasi yang tidak hanya terjadi di Indonesia tentu akan mempengaruhi perebutan bahan pangan impor dari negara eksportir pangan. Dan daya tawar negara eksportir akan meningkat seiring dengan keterdesakan negara importir

akan kebutuhan lokalnya. Transaksi yang akan terjadi tidak hanya pada urusan jual-beli produk pangan, namun akan diikuti dengan transaksi lain, baik ekonomi maupun politik. Dan pada titik ini, intervensi ekternal harus menjadi ancaman serius pada kedaulatan negara. Intervensi ekonomi bisa berupa syarat pembukaan pasar Indonesia untuk produk lain yang dimiliki negara eksportir. Pembukaan pasar ini akan menyebabkan masalah tambahan baru, karena jika produk yang akan masuk juga memiliki produsen lokal maka dapat dipastikan persaingan pasar akan semakin menyulitkan produsen lokal jika mereka tidak mendapatkan dukungan penuh dari negara dalam melakukan persaingan di pasar. Dukungan tidak harus berupa proteksi, namun juga dukungan dalam meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu serta dukungan riset dan teknologi. Intervensi politik dapat berupa perubahan beberapa regulasi dan kebijakan yang berujung pada keleluasaan negara eksportir untuk masuk melakukan penetrasi baik secara sosial (dengan infiltrasi budaya) maupun secara ekonomi (dengan keunggulan bersaing yang didukung kebijakan yang diubah sebelumnya). Kepentingan negara-negara eksportir tersebut bukan merupakan sesuatu yang aneh dan haram. Justru sudah seharusnya seperti itulah peran sebuah negara dalam mendukung kekuatan dan daya tawar nasionalnya terhadap negara lain. Dan dalam diplomasi internasional, setiap tindakan pasti akan ada pamrih di belakangnya dan ini wajar-wajar saja. Jangan berharap ada ketulusan jika berbicara dalam entitas bernama negara, entah karena persamaan rumpun, ras, agama maupun persamaan lainnya. Pertanyaan besarnya bagi kita kemudian adalah apakah kita ingin berdaulat di negara kita sendiri atau kita hanya ingin menjadi bangsa pedagang semata? Pertanyaan ini mesti dijawab oleh pemerintah sebagai pelaksana harian negara ini. Jangan berharap petani memikirkannya, karena memikirkan hidup sehari-hari di tengah gempuran produk impor saja sudah cukup memusingkan.


Edisi 01/Mei 2013 | AGRO SWAKARSA

23

Perbedaan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dengan Pupuk Kimia Perbedaan mendasar antara Pupuk Organik Cair MASAGRI® dan pupuk kimia adalah pada perlakuan terhadap tanah.

P o y d p

Pupuk kimia memasok nutrisi langsung ke tanaman dengan memberikan unsur yang dibutuhkan tanaman baik unsur makro maupun mikro. Dengan pasokan langsung, maka tanaman mendapatkan unsur yang dibutuhkan tanpa melalui proses biologis dan kimia dalam tanah. Hal ini menyebabkan tanah hanya menjadi tempat ‘meletakkan’ akar tanaman dan tidak memiliki fungsi lain. Masalah yang akan timbul kemudian adalah pupuk kimia yang diberikan tidak semua akan diserap oleh tanaman, karena sebagian (>70%) akan terikat (terakumulasi) ke dalam liat tanah, sehingga tanah menjadi liat/keras serta dalam jangka panjang akan bersifat toksik memacu berkembangnya penyakit dalam tanah dan sebagian lainnya pupuk kimia akan hilang karena terbawa aliran air atau menguap. Pupuk Organik Cair MASAGRI® adalah pupuk organik dan bio fertilizer yang memberikan pasokan nutrisi kepada tanaman dan juga kepada tanah. Dengan kandungan unsur makro maupun mikro pada Pupuk Organik Cair MASAGRI®, tanaman dapat menerima pasokan unsur yang dibutuhkan, sementara kandungan mikroorganisme (mikroba) pada Pupuk Organik Cair MASAGRI® berguna sebagai nutrisi tanah guna meningkatkan kesuburan tanah. Kebutuhan akan pangan menyebabkan penggunaan pupuk kimia menjadi sangat dominan untuk mengejar kuantitas produksi (produktivitas). Namun tanpa disadari tidak adanya perlakuan yang cukup bagi tanah akan menyebabkan tanah menjadi jenuh dan semakin tidak subur. Penggunanaan kombinasi pupuk kimia dan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat menjadi solusi meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kesuburan/ kesehatan tanah.

PEMESANAN

Telp/Faks: 021-87716493 HP/SMS: 0812-7953816 Email: mas@masagri.com

P m R B p O

M M

t

t

t t t

t

t t

t

Pupuk terdaftar pada Kementerian Pertanian Republik Indonesia

No. L905/ORGANIK/DEPTAN-PPVTPP/VI/2011

Tanaman Pangan Padi, Jagung, Singkong, Kedelai, Kacang-kacangan dll. Tanaman Perkebunan Sawit, Tebu, Cokelat, Cengkeh, Kelapa, Karet, Vanili dll. Tanaman Buah dan Hortikultura Buah-buahan (Mangga, Rambutan dll), Biofarmaka (Jahe dll), Sayuran (Sawi, Cabe dll) Tanaman Hias dan Taman Anthurium, Adenium, Aglaonema, Sansevieria, Rumput taman dll. Tanaman Kehutanan / Penghijauan Sengon, Pinus, Jati, Akasia, Angsana, Mahoni, Meranti dll.

www.masagri.com


24

AGRO SWAKARSA | Edisi 01/Mei 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.