Majalah Agro Swakarsa Edisi 02/2013

Page 1

Pertarungan Internasional Masih Panjang

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

Edisi 02 / Juni 2013 o PROLOG o TABULASI o KEBIJAKAN o EPILOG

Quo Vadis Sawit Indonesia?

SUARA:

Refleksi 2012 dan Prospek 2013 ANALISIS:

Berawal Dan Berakhir Di Penataan Ruang

4 12 14 22


Isi Edisi 02/2013

PERTARUNGAN INTERNASIONAL MASIH PANJANG

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

4

Edisi 02 / Juni 2013 o PROLOG o TABULASI o KEBIJAKAN o EPILOG

4 12 14 22

Quo Vadis Sawit Indonesia?

PROLOG

Masalah Kelapa Sawit Indonesia:

Lingkungan, Ketahanan Pangan dan Konflik

Kita harus meletakkan permasalahan pada porsinya dan melihat apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir masalah tersebut.

SUARA:

Refleksi 2012 dan Prospek 2013 ANALISIS:

Berawal Dan Berakhir Di Penataan Ruang

8 INTERNASIONAL

Di Tengah Tekanan:

Pertarungan Internasional Masih Panjang

Pukulan isu demi isu dalam rentang per sepuluh tahun ditambah pemerintah tidak terlihat aktif membela dan melawan perang urat syaraf di tingkat internasional. 12

14 Simalakama Moratorium:

Potensi Konversi Menjadi Lahan Kelapa Sawit

Kebijakan ini berpotensi mempercepat konversi lahan terutama pertanian pangan karena peluang profitabilitas sawit yang makin tinggi.

16

SUARA

Pengusaha Kelapa Sawit:

Refleksi 2012 dan Prospek 2013 CPO Indonesia Ramah Lingkungan?

Berawal Dan Berakhir Di Penataan Ruang

Dari hasil pengamatan, penemuan lapangan dan analisis mendalam, muncul keyakinan bahwa semua persoalan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit itu bersumber dari perencanaan ruang yang silang-sengketa. http://www.sawitwatch.or.id

22

Quo Vadis Sawit Indonesia?

Kelapa Sawit Indonesia

http://www.gapki.or.id

18

Cap Buruk Perkebunan Sawit:

EPILOG

Managing Director Ir. David J. Simanjorang

Melihat Luas, Produksi dan Penguasaan

KEBIJAKAN

ANALISIS

TABULASI

Managed By Opini Indonesia

10 Hal Mesti Dilakukan http://www.sawitwatch.or.id

20

ALTERNATIF

Menimbang Peran Pupuk Organik Cair

Untuk Kesuburan Tanah 21

HISTORIA

Dari Afrika Melalui Penjajahan

Para pelaku sudah berusaha dan menunjukkan keberhasilan mereka mengorbitkan komoditas yang satu ini sebagai kekuatan. Sekarang kembali pada pemerintah sebagai pengelola negara ini, apakah mau dan punya keinginan yang sama.

Menjadi Produsen Terbesar

Dewan Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi M. Mutawally Penerbit Yayasan Media Wasantara Anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri Rimson Simanjorang Bank Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 264 8030 a/n. Dominika Domingga Alamat Redaksi Jl. Yupiter Utama D10/12 Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493 Alamat Iklan/Tata Usaha Jl. Purnawirawan Raya 12/424 Bandar Lampung Telp : 0816 4063 04. Website www.opini-indonesia.com Email agro@opini-indonesia.com

Topik Edisi Depan:

Pahitnya Tebu Di Ladang Sendiri

Gula yang dihasilkan dari tanaman tebu sebenarnya sudah dikembangkan dari jaman kolonial Belanda. Tingginya permintaan konsumsi domestik secara pragmatis dijawab dengan impor dan kebijakan harga murah tanpa insentif ke petani tebu untuk memompa produktivitas. Nampaknya tebu kita terasa pahit di ladang sendiri. Anda punya pendapat? Kirimkan email ke agro@opini-indonesia.com atau melalui faksimili (021) 87716493.

Percetakan PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting)

Isi diluar tanggungjawab percetakan

Tarif Iklan 1 Halaman Berwarna • Dalam Rp. 3.000.000,• Belakang Rp. 7.000.000,-


REDAKSIONAL

Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

3

Mengurai Masalah,

Mempertahankan Keunggulan Kita

K

eunggulan Indonesia dalam hal urusan kelapa sawit tidak dapat dibantah. Dengan luas lahan perkebunan yang fantastis ditambah produktivitas yang besar, Indonesia adalah penguasa utama produksi minyak nabati dunia. Keunggulan ini akan semakin strategis karena cadangan minyak fosil dunia semakin berkurang dengan cepat seiring kebutuhan dunia akan energi. Dan minyak nabati menjanjikan bahan bakar baru yang tidak hanya ramah lingkungan, namun berkelanjutan (sustainable). Berbagai masalah memang mengiringi pencapaian gemilang tersebut. Masalah lingkungan, ancaman atas ketahanan pangan serta masalah konflik agraria dan sumber daya alam menjadi beban dan ancaman yang harus dihadapi. Tidak hanya itu, masalah eksternal berupa tekanan internasional yang tak kunjung berhenti juga ikut menggoyang industri kelapa sawit kita. Dan diplomasi luar negeri kita nampaknya selalu keok berhadapan dengan negara-negara maju. Masalah lingkungan hidup adalah fakta tak terbantahkan namun bukan berarti tidak dapat deselesaikan. Hanya saja penyelesaiannya bukan pada pembenaran masing-masing, apalagi

mengikuti keinginan pihak asing. Moratorium yang secara semangat baik untuk mengevaluasi apa yang kurang dalam pengelolaan perkebunan selama ini (termasuk perkebunan kelapa sawit) semestinya dijawab dengan pembenahan dan perbaikan. Namun nampaknya imingiming pengurangan pinjaman lebih menjadi pertimbangan ketimbang kepentingan penguatan industri perkebunan kita. Walhasil, moratorium hanya sebatas kebijakan jangka pendek tanpa proyeksi solusi jangka panjang. Demikian juga masalah ancaman ketahanan pangan. Kebijakan ketahanan pangan yang tidak berpihak pada petani ditambah dengan kemilau keuntungan kelapa sawit dan diperberat dengan moratorium membuka potensi konversi lahan pangan menjadi perkebunan kelapa sawit. Peraturan dan larangan boleh dibuat, tapi tanpa dukungan kongkrit, tidak dapat disalahkan petani memilih komoditas yang lebih menguntungkan dan dapat menopang ekonomi mereka. Masalah konflik juga tak kalah seru dan sepertinya berawal pada masalah penataan ruang dengan berbagai aturan dan ego instansi yang tumpang tindih. Kebijakan yang jalan sendiri-

sendiri dan saling menegasi tidak hanya menghabiskan energi dalam penyelesaiannya, namun mengorbankan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pengusaha terganggu dan masyarakat dirugikan. Jawaban berupa penggunaan kekerasan oleh aparat negara merupakan solusi yang meniru kolonialisme dan ironisnya dilakukan pada bangsa sendiri yang (katanya) sudah merdeka. Lagi-lagi, tokoh utama kebijakan perkelapasawitan adalah pemerintah yang nampaknya selalu absen dalam realitas namun muncul dalam kertas kebijakan. Peran pemerintah harus muncul secara nyata dalam mendukung industri ini karena inilah salah satu senjata kita di tengah ‘perang’ internasional yang sedang berlangsung. Majalah Agro edisi ini berusaha menyajikan semua sudut pandang masalah. Semua sudut pandang tersebut kami sajikan dalam konteks kepentingan nasional bangsa dan negara yang bernama Indonesia ini. Semoga menjadi bahan pemikiran untuk solusi dalam mempertahankan keunggulan kita dan harus bisa dimanfaatkan sebagai amunisi diplomasi internasional kita. Selamat membaca.

Kelompok Penerbitan BAGAIMANA KEBIJAKAN PANGAN DI 5 NEGARA ASIA?

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

Edisi 01 / Mei 2013 o PROLOG o TABULASI o KOMPARASI o EPILOG

Subscription & Advertisement: 0816 406304 www.opini-indonesia.com info@opini-indonesia.com www.opini-indonesia.com/page

Membangun (Ulang) Ketahanan Pangan TABULASI:

Indonesia Masih Impor 10 Bahan Pangan ALTERNATIF:

Diversifikasi Pangan Sama Dengan Non Beras dan Terigu?

4 6 12 22


4

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

PROLOG

Masalah Kelapa Sawit Indonesia

greenpalm.org

Lingkungan, Ketahanan Pangan dan Konflik

B

erbagai penelitian dan kajian, baik dari luar maupun dalam negeri, berbicara mengenai perkebunan kelapa sawit. Banyak pendapat kontra yang beredar dengan mengedepankan isu lingkungan dan kesehatan. Namun pendapat dan pembelaan yang pro –terutama dari pelaku perkebunan sawit- tidak kalah serunya. Kita harus meletakkan permasalahan pada porsinya dan melihat apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir masalah tersebut. Secara jujur juga diakui bahwa perkebunan kelapa sawit berdampak terhadap lingkungan hidup. Namun pernyataan bahwa perkebunan kelapa sawit menyerap tenaga kerja dan berperan dalam ekonomi kita juga merupakan fakta yang tidak bisa kita singkirkan begitu saja. Informasi yang jujur dan berimbang mesti dikedepankan agar informasi yang disampaikan bukan menjadi proses pembodohan masyarakat (baik yang pro maupun kontra), namun menjadi pertimbangan pemikiran guna menyiapkan antisipasi masalah jangka panjangnya. Bagaimanapun juga, fakta saat ini Indonesia memiliki sudah lahan sawit dengan jumlah terbesar di dunia. Indonesia

juga merupakan eksportir terbesar tidak hanya dalam komoditas minyak kelapa sawit, tapi juga pada keseluruhan komoditas minyak nabati dunia. Dari kelapa sawit ini Indonesia mendapatkan devisa yang lumayan ditambah dengan penyerapan tenaga kerja. Bahwa terdapat berbagai masalah yang ada di fakta yang ada seperti kerusakan hutan dan keanekaragaman hayati, ketahanan pangan serta konflik agraria dan sumber daya alam juga merupakan fakta yang kesemuanya harus menjadi pijakan dalam mencari solusi yang terbaik. Solusi yang dibuat haruslah berpihak pada kepentingan bersama internal nasional kita. Sebab pengusahaan perkebunan merupakan kepentingan nasional, terlebih dalam konteks kelapa sawit dimana kita merupakan penghasil terbesar dan pengekspor terbesar serta penguasa pasar minyak nabati dunia. Harus dikesampingkan dulu masalah-masalah tambahan berupa tekanan internasional karena hal tersebut tidak hanya memperumit masalah yang sudah ada, namun juga dapat merongrong kepentingan nasional kita. Toh, pemecahan beberapa masalah yang kita hadapai secara internal, masih terkorelasi dengan tekanan internasional.


Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

Kerusakan Lingkungan

Budidaya tanaman kelapa sawit menerapkan sistem monokultur yang mensyaratkan pembersihan awal pada lahan yang akan digunakan (land clearing). Secara ekologis, memang pola monokultur lebih banyak merugikan karena penganak-emasan tanaman tersebut akan berdampak pada penghilangan (atau pengurangan tanaman lain). Jika lahan baru yang dibuka berupa hutan, maka tentu saja ini akan berdampak pada berkurangnya –atau bahkan hilangnya- keanekaragaman hayati yang sudah ada sebelumnya. Keanekaragaman hayati membentuk ekosistem yang kompleks dan saling melengkapi, gangguan atas ekosistem tentu akan mengganggu keseimbangan alam, misalnya pada hilangnya aktoraktor alam yang berperan dalam rantai makanan. Kehilangan satu aktor yang ada pada rantai makanan dalam posisi lebih tinggi dari aktor lainnya akan menyebabkan peningkatan populasi aktor dibawahnya tanpa dikontrol oleh predator alami yang ada di atasnya. Bisa dibayangkan jika ledakan populasi itu merupakan ancaman bagi populasi lain. Contoh paling gampang adalah populasi yang mengganggu dan kemudian disebut hama. Pada beberapa kasus, pembukaan lahan hutan –tidak hanya lahan sawitdiikuti dengan pembakaran untuk mempercepat proses land clearing. Kasus asap yang muncul dari kebakaran (atau pembakaran) hutan sangat sering muncul beberapa waktu lalu dan kita semua sudah tahu dampaknya. Adapun untuk lahan yang sudah beroperasi, kegiatan pertanian dan perkebunan, seperti aktivitas pemupukan,

pengangkutan hasil, termasuk juga pengolahan tanah dan aktivitas lainnya, secara kumulatif telah mengakibatkan tanah mengalami penurunan kualitas (terdegradasi), karena secara fisik, akibat kegiatan tersebut mengakibatkan tanah menjadi bertekstur keras, tidak mampu menyerap dan menyimpan air. Penggunaan herbisida dan pestisida dalam kegiatan perkebunan akan menimbun residu di dalam tanah. Demikian juga dengan pemupukan yang biasanya menggunakan pupuk kimia dan kurang menggunakan pupuk organik akan mengakibatkan pencemaran air tanah dan peningkatan keasaman tanah. Tanaman kelapa sawit juga merupakan tanaman yang rakus air. Ketersediaan air tanah pada lahan yang menjadi perkebunan kelapa sawit tersebut akan semakin berkurang. Hal ini akan mengganggu ketersediaan air, tidak hanya bagi manusia namun bagi tanaman itu sendiri. Dengan berkurangnya kuantitas air pada tanah dapat menyebabkan para petani akan sulit mengembangkan lahan pertanian pasca lahan perkebunan kelapa sawit ini beroperasi. Jika dibiarkan tanpa antisipasi atas dampak jangka panjang, maka lahan demikian akan menjadi terlantar dan pada akhirnya akan menjadi lahan kering juga gersang yang terbengkalai. Dampak lingkungan tersebut memang cukup mengkhawatirkan. Namun bukan berarti tidak ada solusi yang bisa dikembangkan guna mengantisipasi dampak tersebut. Kita harus mempertimbangkan ulang pembukaan hutan, terutama pada hutan-hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan di masa mendatang diproyeksikan sebagai sumber air untuk infrastruktur pendukung pertanian seperti waduk. Namun memang diperlukan sinergi supaya semua kebijakan tersebut dapat saling topang. Konservasi hutan dalam jangka panjang akan membantu konversi balik lahan sawit menjadi lahan pertanian jika pasokan air yang mencukupi dari hutan yang terkonservasi dapat dijaga. Atau dalam konteks perkebunan kelapa sawit itu sendiri, pasokan air yang mencukupi akan membantu pertumbuhan tanaman kelapa sawit dalam hal ketersediaan air dalam jangka panjang. Demikian juga penggunaan masif pupuk kimia harus mulai dikombinasi dengan pupuk organik berbasis

5

bioteknologi yang memiliki kadar mikroba penyubur/pembenah tanah. Penggunaan pupuk kimia yang lebih berorientasi pada pertumbuhan tanaman harus dikombinasi dengan pupuk organik yang berorientasi pada kesuburan tanah dengan menjaga proses biologi dan kimia tanah tetap berlangsung. Kesuburan tanah diharapkan bisa tetap terjaga sehingga tidak hanya menguntungkan bagi tanaman, namun mencegah proses penggurunan yang terjadi.

Ancaman Ketahanan Pangan

Jika lahan yang akan digunakan bukan hutan dan merupakan lahan produktif pertanian tanaman lain terlebih tanaman pangan maka konversi lahan ini pasti akan berdampak pada ketahanan pangan. Pola perubahan lahan seperti ini sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang menunjukkan bahwa komoditas kelapa sawit merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang cukup menjanjikan karena tren konsumsi yang terus meningkat pada pasar internasional. Faktor ekonomi tersebut pada level pengusaha perkebunan skala kecil akan mendorong mereka melakukan konversi lahan karena secara modal mungkin tidak memiliki kemampuan untuk membuka lahan baru dengan cara konversi hutan. Fluktuasi harga kelapa sawit yang relatif stabil mendorong masyarakat yang memiliki lahan pertanian pangan mengalihkannya ke perkebunan sawit. Hal itu terjadi di sejumlah sentra perkebunan sawit. Jambi misalnya, saat ini telah menggantungkan pasokan berasnya ke daerah lain akibat banyaknya lahan padi yang dikonversi.


6

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

Demikian juga dengan para pengusaha dalam skala besar, konversi lahan ini akan menjadi pilihan ketika konversi hutan dihentikan sementara oleh pemerintah melalui moratorium Inpres No 10 Tahun 2011. Inpres ini berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia. Permintaan internasional yang tidak pernah turun dan mempunyai tren meningkat ditambah dengan tingginya produksi minyak kelapa sawit dibanding minyak nabati lainnya dalam hal efisiensi lahan, jalan keluar yang terlihat karena tembok moratorium adalah konversi lahan yang sudah ada saat ini. Konversi lahan pertanian pangan menjadi perkebunan termasuk kelapa sawit bisa memicu semakin tingginya harga pangan. Pasalnya, luas lahan pertanian semakin menyusut dan berimbas terhadap penurunan produksi atau bahkan hilangnya komoditas pangan di daerah tersebut. Di Sumatra Utara, beras yang selama ini menjadi andalan, beras Ramos Leidong sudah ‘menghilang.’ Dan tidak tertutup kemungkinan akan menyusul komoditas lainnya. Dalam konteks ketahanan pangan, kondisi ini akan mendorong masuknya produk impor untuk komoditas pangan. Sehingga langsung atau tidak, akan berdampak pada naiknya harga kebutuhan pangan dan ketergantungan atas pangan dari luar. Masalah ketahanan pangan memang tidak bisa hanya dibebankan pada komoditas kelapa sawit atau komoditas lain perkebunan besar saja. Masalah ini selalu saja menjadi topik ‘panas’ yang menjadi pekerjaan besar pemerintah. Masalah ini lebih pada keberpihakan pemerintah pada kesejahteraan petani tanaman pangan. Bagaimana mungkin petani menanam komoditas yang tidak bisa menopang kehidupannya? Subsidi dan insentif sangat dibutuhkan pada urusan ketahanan pangan. Subsidi bukan hanya untuk pupuk, namun juga untuk stabilitas dan kepastian harga jual petani. Bantuan permodalan harus serius diselenggarakan dan bukan hanya sebatas program kerja dan pernyataan namun benar-benar terealisasi ke bawah dan dirasakan petani sebagai bentuk perhatian negara/ pemerintah. Demikian juga infrastruktur yang memadai dan terus terpelihara. Insentif bagi perkebunan besar harus diberikan untuk mendorong penggunaan lahan-lahan ‘terbengkalai.’ Lahan tidur

yang sulit dimanfaatkan pertanian pangan dapat diinisiasi untuk lahan perkebunan dengan membuat persyaratan yang tegas mengenai tanggungjawab lingkungan. Misalkan pembukaan perkebunan yang mensyaratkan adanya reservoir air dan sebagainya. Insentif dapat diberikan dengan pengurangan pajak, memberikan kemudahan ijin dan perpanjangan HGU dan sebagainya yang bisa dikalkulasi secara ekonomi oleh pengusaha perkebunan. Tapi lagi-lagi perlu ditekankan konsistensi atas kebijakan ini. Dan seperti pada masalah lingkungan hidup, sinergi lagi-lagi diperlukan agar kebijakan ini bisa menjadi bagian dari strategi besar yang akan dilakukan. Jangan hari ini bicara insentif, tahun depan kenaikan pajak dan diversifikasi pajak dilakukan.

Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam

Perkebunan kelapa sawit menduduki peringkat pertama penyebab konflik sumber daya alam dan agraria yang terjadi di Indonesia saat ini. Menurut HuMa, dari total 232 kasus, konflik perkebunan sawit menduduki posisi pertama dengan 118 kasus. Konflik ini tidak lepas dari kurangnya sinergisitas antar instansi, kebijakan yang mementingkan peningkatan PAD oleh pemerintah setempat dan kepastian hukum atas lahan. Peta potensi kelompok yang berkonfik juga sangat beragam. Ada konflik antara masyarakat adat dengan perkebunan, karyawan dengan perusahaan dan pemilik lahan dengan pemerintah. Selain itu, konflik juga bisa melebar menjadi masyarakat dengan pemerintah, perusahaan dengan pemerintah,

masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan LSM dan LSM dengan pihak perusahaan. Variasi konflik yang sangat kompleks itu masih bisa ditambah lagi dengan konflik perusahaan dengan perusahaan jika menyangkut pemberian izin lahan yang tumpang-tindih, baik usaha perkebunan dengan perkebunan, usaha perkebunan dengan pertambangan maupun usaha perkebunan dengan kehutanan. Dan akan makin kompleks lagi jika perusahaan yang berkonflik merupakan perusahaan multinasional. Peraturan-peraturan yang berbedabeda antara pemerintah provinsi dan kabupaten dengan intepretasi yang beragam juga turut memicu munculnya konflik. Adanya peraturan di tingkat provinsi, belum lagi perda di tingkat kabupaten, kesemuanya belum tentu sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Kondisi ini jelas membuka ruang konflik. Selain itu, pengawasan pemerintah di dalam perkebunan ini relatif kurang. Yang rajin dilakukan pemerintah justru penerbitan surat izin, tapi jarang berani mencabut izin pada perkebunan yang tidak melaksanakan ketentuan. Masih dalam urusan peraturan, perubahan peruntukan lahan sering berubah juga dapat menimbulkan masalah sendiri. Misalnya lahan tersebut merupakan lahan perkebunan, tetapi muncul kebijakan baru yang menetapkan bahwa lahan tersebut adalah lahan lindung. Banyak perusahaan perkebunan juga membuat konflik itu sendiri, seperti sosialisasi tidak dilakukan dengan baik dan optimal kepada masyarakat dan pemerintah setempat. Pemahaman sosial budaya setempat dan penyelesaian masalah pembelian lahan masyarakat yang juga tidak dilakukan dengan baik. Keterlambatan pengelolaan kebun ditambah dengan pembangunan kebun plasma dimana perusahaan itu lebih memprioritaskan pembangunan


Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

kebun inti daripada plasmanya. Dari sisi masyarakat, tidak bisa dipungkiri menjadi pemicu konflik. Petani kerap melakukan penyerobotan terhadap lahan perusahaan yang masih mempunyai status HGU dengan berbagai alasan. Hal ini masih ditambah dengan pemindahtanganan kebun plasma dan masalah susulan seperti urusan hak waris dan sebagainya. Dijual oleh sang bapak, tetapi anaknya tidak tahu. Begitu bapaknya meninggal anaknya protes lagi. LSM juga kadang kala menjadi pemicu konflik di areal perkebunan. Dengan berbagai agendaagenda internasional seperti masalah emisi karbon dan global warming dibawa ke dalam arena konflik dan makin mempertajam konflik. Konflik yang terjadi secara langsung akan lebih banyak merugikan dua

pihak, yaitu masyarakat setempat dan pengusaha yang berinvestasi di daerah tersebut. Dampak lanjutannya adalah berkurangnya penerimaan negara dari apa yang seharusnya dapat diperoleh melalui kegiatan usaha tersebut. Dampak langsung ke masyarakat dapat berupa terancamnya –bahkan hilangnya- sumber-sumber produksi seperti lahan-lahan pertanian, tempat mencari ikan maupun hasil-hasil hutan baik kayu maupun non kayu, penggusuran paksa pemukiman, konflik horizontal antar warga, hilangnya situs maupun eksistensi sosial budaya setempat dan penangkapan dan kriminalisasi masyarakat dan tokoh adat maupun pencemaran lingkungan yang berdampak penyakit dan terganggunya ekosistem. Jika konflik terjadi pada saat sudah beroperasi, maka masalah baru seperti menumpuknya hutang petani PIR perkebunan kelapa sawit akibat cicilan yang tidak disetorkan perusahaan dan sebagainya. Dampak ke perusahaan adalah terganggunya operasional perusahaan yang tentu saja berdampak pada kerugian atau berkurangnya keuntungan, tekanan dari berbagai pihak yang dapat berujung pada penghentian usaha. Dan tentu saja ini tidak hanya merugikan pengusaha

itu sendiri, tetapi juga mempengaruhi banyak pihak lain. Pekerja kehilangan pekerjaan karena PHK diikuti dengan masalah kerawanan sosial yang bisa saja timbul sebagai dampaknya, lahan menjadi terlantar dan berdampak pada lingkungan tanpa pengembalian ke fungsi awal sebelum menjadi perkebunan serta hilangnya pendapatan negara baik dalam bentuk PAD maupun pajak-pajak. Akar masalah yang menjadi sumber konflik utama harus segera diperbaiki, terutama dari sisi aturan-aturan. Kebijakan tata ruang harus dipertegas pelaksanaannya sehingga tercipta kejelasan mengenai peruntukan atas tanah dan sumber daya alam yang ada. Kebijakan ini harus melihat fakta saat ini dan situasi sosial budaya yang melingkupi tanah dan sumber daya alam tersebut. Jika kebijakan tersebut belum bercermin pada kedua hal di atas, maka sudah saatnya dilakukan perbaikan agar konflik yang tidak perlu tidak terjadi. Demikian juga dengan kekuasaan daerah dalam memberikan ijin-ijin pengelolaan agraria dan sumber daya alam harus diformulasi ulang agar dan dicari solusi kompensasinya agar daerah tidak jor-joran mengeksploitasi wilayah mereka tanpa melihat kepentingan nasional yang lebih besar.

Selamat Ulang Tahun Ke 331

Kota Bandar Lampung Semoga Makin Maju dan Berkembang bersama Masyarakatnya Kelompok Penerbitan OPINI INDONESIA : THE POINT INDONESIA

7


8

INTERNASIONAL

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

Di Tengah Tekanan

Pertarungan Internasional Masih Panjang Pukulan isu demi isu dalam rentang per sepuluh tahun ditambah pemerintah tidak terlihat aktif membela dan melawan perang urat syaraf di tingkat internasional.

Tekanan Internasional: Serangan Tanpa Henti Dalam tiga puluh tahun terakhir, jumlah konsumsi minyak nabati di seluruh dunia meningkat tiga kali lipat. Diantara komoditas utama minyak nabati, minyak kelapa sawit jauh meraih tingkat pertumbuhan paling tinggi. Produksinya mencapai hingga sepuluh kali lipat, sehingga besarnya jumlah konsumsi minyak kelapa sawit diantara minyak nabati lainnya telah mencapai 34 persen yang tadinya hanya 11 persen. Bahkan kalau produksi minyak biji sawit ikut dihitung, maka besarnya mencapai 38 persen. Minyak kelapa sawit dapat diperoleh dari daging buah kelapa sawit itu sendiri atau dari perasan biji sawitnya yang disebut dengan minyak biji sawit. Tekanan internasional menjadi hal logis jika kita melihat bagaimana minyak nabati dari kelapa sawit mengambil alih pangsa pasar minyak nabati tanaman lain dan menjadi penguasa pasar minyak nabati dunia padahal kenaikan kebutuhan minyak nabati dunia terus meningkat. Apalagi kenaikan tersebut seiring dengan kebutuhan minyak nabati sebagai sumber energi. Menjadi sebuah kewajaran jika muncul kecurigaan bahwa produsen minyak nabati dari negara-negara maju merasa terganggu dengan kehadiran minyak kelapa sawit tersebut dan memanfaatkan isu lingkungan, antara lain merusak hutan tropis, emisi CO2,

Produksi minyak nabati dunia, 1980-2009 140

120 Semua minyak nabati

100

Juta Ton

S

erentetan masalah nampaknya terus menghambat industri kelapa sawit Indonesia. Masalah-masalah tersebut datang dari luar dan dalam negeri yang dapat menganggu laju pertumbuhan industri kelapa sawit kita. Dalam rentang waktu jangka panjang akan mengancam posisi kita sebagai produsen dan penguasa pasar minyak kelapa sawit dunia. Masalah dari luar meliputi berbagai tekanan internasional melalui serangkaian isu-isu seputar lingkungan hidup seperti perubahan iklim dan sebagainya. Sementara masalah dari dalam yang dihadapi berupa kebijakan yang kurang memperhatikan masyarakat dan memanjakan para pemilik modal besar sehingga memunculkan bahaya laten konflik sosial berupa konflik sumber daya alam dan agraria. Masalah yang muncul berupa ancaman harus disikapi sebagai tantangan untuk pencarian solusi agar industri sawit kita tetap berjaya, menghasilkan devisa yang cukup signifikan dan -bukan tidak mungkindapat menjadi daya tawar diplomasi internasional. Namun harus tetap mengedepankan kemakmuran warganegara yang terlibat dalam pengelolaan industri ini, baik pemilik maupun pekerjanya. Berikut beberapa masalah yang menjadi isu internasional seputar industri kelapa sawit Indonesia.

80

60

40

20

1980

1990

2000

2009

Minyak kedelai

Minyak bunga matahari

Minyak kelapa sawit

Minyak biji sawit

Minyak lobak/rapa

Minyak nabati lain

Cheng Hai Teoh, International Finance Corporation WB (Oil World)

mengancam keanekaragaman hayati dan sebagainya untuk menghantam komoditas minyak kelapa sawit. Dengan pembentukan citra negatif tersebut, sepertinya diarahkan berujung pada keenganan pengguna (terutama di negara maju) untuk menggunakan produk minyak


9

ptpn6.com

Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

Luas areal vs produksi dunia, 2009-2010

0 8.9% 26.5% Minyak bunga matahari

8.8% 10.6% 16.5%

Minyak lobak/rapa Minyak kelapa sawit & biji sawit

13.4% 38.2% 5.6% 27.6%

Minyak kedelai

Hasil / Produksi

43.9% Penggunaan Lahan

Sumber: Bambang Drajat, Lembaga Riset Perkebunan Nusantara (Oil World)

kelapa sawit dan turunannya sehingga pasar minyak nabati bisa direbut kembali. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengamati pergerakan isu terstruktur yang menghantam kelapa sawit tiap dekade. Mereka curiga, kampanye negatif budidaya kelapa sawit itu dibekingi pemilik-pemilik komoditas serupa yang tak mau digeser dominasinya dalam peta perdagangan dunia. Tahun 1980 muncul isu bahwa minyak kelapa sawit mengandung kolesterol yang paling banyak membunuh manusia. Kelapa sawit dituding sebagai biang

kerok dan kambing hitam atas serangan stroke dan jantung koroner. Tahun 1990, serangan kedua datang. Isu bergeser menjadi kelapa sawit dianggap sebagai penyebab polusi dan perusak lingkungan di dunia. Tema baru itu dilakukan, setelah uji klinis dan medis menyebutkan bahwa sinyalemen kelapa sawit sebagai penyebab jantung itu tidak terbukti secara empiris. Tahun 2000, makin gencar tudingan bahwa kelapa sawit itu sebagai tersangka habisnya orang utan dan hilangnya bio-diversity (keanekaragaman hayati). Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2010, temanya masih berkisar soal lingkungan, kelapa sawit disebut sebagai penyebab climate change, perubahan iklim dunia. Pukulan isu demi isu dalam rentang per sepuluh tahun masih terus dirasakan dan masih berlangsung sampai saat ini. Dan yang menjadi masalah adalah pemerintah tidak terlihat aktif membela dan melawan perang urat syaraf dan cenderung manut membuat regulasi yang menurut GAPKI menyusahkan. Hal ini terlihat dengan moratorium ijin baru perkebunan yang ikut mempersulit. Bahwa pertimbangan lingkungan menjadi isu sentral moratorium, seharusnya hal tersebut tidak dilakukan karena tekanan dan iming-iming bantuan dari Norwegia, Bantuan berupa restrukturisasi utang negara sebesar 1 milyar dolar AS atau setara dengan 9 triliun rupiah lebih dan cairnya mungkin dalam 3–5 tahun.

Moratorium atau apapun bentuknya harus melihat kepada kebutuhan dan strategi kita sendiri dalam mengelola sumber daya alam yang kita miliki. Benarkah kelapa sawit seperti yang didengungkan? Tanaman kelapa sawit ternyata lebih efisien menggunakan lahan, dibanding minyak tumbuhan lain. Kelapa sawit hanya memanfaatkan 5 persen dari lahan. Sementara kedelai 41,2 persen, rapeseed dan kapuk sama-sama 12,7 persen. Bunga matahari dan kacang tanah, 9,8 dan 9,2 persen. Minyak nabati dari kedelai melakukan ekspansi dalam 2 tahun sebesar 3 juta hektar di Amerika Latin. Rapeseed menambah luas lahan 4 juta hektar. Rapeseed dan biji bunga matahari di Eropa terus dikembangkan. Kelapa sawit yang mayoritas ada di Indonesia dan Malaysia seakan terus menerus diganggu dari luar. Di Indonesia sendiri masih ditambah peraturan rumit dalam negeri. Mengenai masalah emisi CO2, Indonesia bukanlah 10 terbesar penyumbang emisi CO2 dunia. Data World Bank menunjukkan dari total sekitar 30 milyar ton emisi CO2 tahun 2009, Indonesia menempati urutan 13 dengan emisi sekitar 451 juta ton, atau hanya sekitar 1,5% dari total dunia. Coba bandingkan dengan negara-negara lain yang selama ini vokal dengan masalahmasalah lingkungan.


10

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

Ranking Negara Pengemisi C02, 2009 Rank

Negara

Emisi (kiloton)

%

1

RRC

7,687,113.77

25.56%

2

AS

5,299,563.07

17.62%

3

India

1,979,424.60

6.58%

4

Rusia

1,574,386.11

5.24%

5

Jepang

1,101,134.09

3.66%

6

Jerman

734,599.11

2.44%

7

Iran

602,055.39

2.00%

8

Kanada

513,937.38

1.71%

9

Korea Selatan

509,375.64

1.69%

10

Afrika Selatan

499,016.36

1.66%

13

Indonesia

451,781.73

1.50%

Sumber: World Bank

Demikian juga jika dihitung emisi per kapita, dari jumlah penduduk yang 250 juta, Indonesia masih tergolong pengemisi terendah di dunia. Menjadi pertanyaan mengapa pemerintah mau ditekan negara lain yang lebih banyak merusak atmosfer ketimbang kita. Berbagai inisiatif untuk pengurangan emisi juga lebih banyak didominasi tekanan negara maju tanpa mereka menurunkan secara signifikan emisi mereka. Nampaknya tekanan internasional masih akan menghadang sawit kita.

Faktor lingkungan hidup dipastikan masih akan menjadi isu sentral beberapa tahun ke depan dan diperkirakan akan diwarnai dengan isu-isu tambahan hak asasi manusia. Masalah domestik bisa jadi isu internasional Selain tekanan internasional, masalah domestik yang dipicu oleh berbagai kebijakan pemerintah juga ikut menjadi ancaman. Konflik sosial yang selama ini laten satu demi satu mulai muncul seiring dengan ekspansi besar-besaran industri kelapa sawit berbasis modal dari para investor yang melilhat sektor ini sebagai ladang emas. Menjadi wajar ketika terjadi perubahan signifikan kebijakan alokasi plasma untuk kebun rakyat pada masa orde baru menjadi 20% pada masa sesudah reformasi. Akibatnya pengembangan kebun milik perusahaan lebih diutamakan daripada kebun plasma. Padahal dengan skema plasma seharusnya distribusi kue profit bisa dinikmati juga oleh petani plasma. Perkebunan kelapa sawit menduduki peringkat pertama penyebab konflik sumber daya alam dan agraria yang terjadi di Indonesia saat ini. Data HuMa menunjukkan adanya 232 konflik sumber daya alam dan agraria. Dan konflik

perkebunan kelapa sawit menduduki posisi pertama dengan 118 kasus. Pembukaan yang selama ini bisa diberikan ijinnya langsung oleh pemerintah daerah mesti dikontrol agar lahan yang digunakan tidak hanya sesuai dengan tata ruang nasional namun bisa sinergis dan tidak saling menegasi dengan rencana program strategis lainnya seperti waduk, produksi pangan dan konservasi lingkungan. Hal ini akan membuat program unggulan kelapa sawit dapat berjalan tanpa mengganggu harmoni sosial, ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini mesti dilakukan untuk meminimalisir tekanan tambahan dari internasional dengan menggunakan kelemahan pada kebijakan dan dampak ikutan dari kebijakan tersebut. Selain itu, mendorong pembangunan industri hilir kelapa sawit juga penting dilakukan untuk dapat menyerap produksi kelapa sawit kita secara optimal. Misalnya penguatan industri bio-energi yang menggunakan CPO sebagai bahan baku utamanya. Dengan kebijakan penguatan industri pendukung lokal kita dapat mengurangi ketergantungan kita pada pasar ekspor yang selalu bermasalah dan mendapat peluang baru untuk penguatan ketahanan energi kita. Dan tentu saja membuka lapangan pekerjaan baruyang bisa menyerap tenaga kerja.

Saatnya Berperang Menggunakan Sawit

I

ndonesia tidak perlu merasa minder dengan negara maju seperti Amerika serikat (AS) dan Jepang, karena sebenarnya bisa melawan mereka. Bagaimana caranya? Ibrahim Pidie, Ketua Bidang Advisory & Grievances Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sangat bersyukur karena kelapa sawit hanya bisa berkembang di wilayah tropis dan tidak bisa ditanam di negara maju seperti AS maupun di Jepang. Melihat hal tersebut maka sebenarnya Indonesia bisa melawan negara maju melalui sawit. Caranya dengan

memasukan produk-produk berbasis crude palm oil (CPO). “Jika AS ataupun Jepang bangga dengan produk-produk teknologi, sehingga (barang-barang) mereka bisa masuk ke Indonesia, maka kita bisa memasukan minyak goreng atau produk berbasis CPO berbentuk (produk) rumah tangga ke mereka,� saran Ibrahim. Sebab, kata Ibrahim, produk turunan CPO itu sendiri tidak hanya dapat diolah menjadi minyak goreng saja. Tapi juga bisa diolah menjadi mentega, sabun, shampoo, bahkan bisa menjadi bahan bakar nabati atau biodiesel. Lebih dari itu melalui peredaran produk turunan dari CPO Indonesia dapat menambah pemasukan negara hasil dari hasil ekspor. Namun untuk itu semua Indonesia harus menambah produk turunan sehingga tidak hanya melakukan ekspor dalam bentuk CPO saja. “Maka secara otomatis dengan bertambahnya pasar dari produk turunan CPO bisa meningkatkan kesejahteraan petani,� pungkas Ibrahim. Yuwono Ibnu Nugroho [sawit-center.com]


Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

11

OPINI INDONESIA 014

3


12

TABULASI

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

MELIHAT LUAS, PRODUKSI DAN PENGUASAAN

Kelapa Sawit Indonesia Dengan perkebunan terluas di dan produksi terbesar dunia, komoditas kelapa sawit Indonesia juga menguasai pasar ekspor dunia. Komoditas ini menjadi penyumbang terbesar devisa sektor perkebunan dan penyerap tenaga kerja yang besar.

P

erkebunan kelapa sawit saat ini tersebar hampir di seluruh wlayah di Indonesia dan didominasi oleh 2 kepulauan besar, Sumatra dan Kalimantan. Pada tahun 2012, Sumatra menjadi pengguna lahan 62,5% dari total lahan kelapa sawit nasional (5,913,585 hektar) dan penyumbang produktivitas sebesar 73,6% dari total produksi nasional (17,317,295 ton). Sementara Kalimantan menjadi pengguna lahan terbesar kedua yaitu 31% (2,814,782 hektar) dengan produktivitas 23,5% (5,520,207 ton). Dominasi Sumatra pada urusan persawitan tidak mengherankan karena perkebunan sawit yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial Belanda memang dimulai dari pulau ini setelah sebelumnya bibit sawit dari Afrika dikembangkan di Kebun Raya Bogor. Namun jika awalnya dimulai dari bagian utara pulau Sumatra, sekarang lahan kelapa sawit terbesar berada di bagian tengah, yang meliputi Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatra Barat dengan total luas mencapai hampir 3 juta hektar atau sekitar 50% dari lahan yang ada di Sumatra (2,943,209 hektar), hampir sama dengan total luas lahan kelapa sawit di seluruh Kalimantan (2,814,782 hektar). Potensi pengembangan terlihat dari untuk kelapa sawit ini tidak tanggungtanggung. Dalam beberapa tahun ke depan pemerintah berencana untuk memperluas perkebunan kelapa sawit dengan target produksi pada tahun 2020 mencapai 52 juta ton per tahun. Salah satu alasan untuk memperluas perkebunan dan produksi kelapa sawit karena prediksi peningkatan permintaan khususnya di pasar internasional atas minyak nabati dari kelapa sawit, yang

bukan hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan industri pangan dan industri kosmetik seperti selama ini, namun telah meluas untuk kebutuhan energi. Untuk memenuhi target produksi sebesar itu, maka pemerintah dengan gencar melakukan pembukaan areal-areal perkebunan baru, termasuk di daerah yang selama ini belum ekstensif dalam menanam sawit seperti di Sulawesi dan Papua. Direncanakan pada tahun 2020 luasan kebun kelapa sawit kita dapat mencapai sekitar 20 juta hektar. Namun demikian, nafsu ini masih ditahan dengan kebijakan moratorium, yang baru saja diperpanjang Mei 2013 yang lalu sampai 2 tahun ke depan. Devisa dan Penyerapan tenaga Kerja Perluasan perkebunan ini dipandang akan meningkatkan pendapatan negara dan juga meningkatkan tenaga kerja dari sektor perkebunan. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tahun 2008 perkebunan kelapa sawit mempekerjakan 3,06 juta orang dimana 3,047 juta bekerja di perkebunan besar, 308.000 di PTPN. Sementara itu terdapat 1.920.000 petani sawit skala kecil. Sedangkan dari 470 pabrik pengolahan kelapa sawit yang ada di Indonesia, atau yang tercatat di GAPKI, mempekerjakan 63.450 orang. Perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia saat ini hanya dimiliki oleh beberapa orang. Tercatat 10 perusahaan menguasai 67 persen perkebunan sawit Indonesia, yaitu Raja Garuda Mas, Wilmar, Sinar Mas Grup, Astra Agro Lestari, London Sumatra Grup, Bakrie Grup, Guthrie (eks Salim), Socfindo Grup, Cilandra Perkasa Grup dan Kurnia Grup, melalui anak-anak perusahaannya

masing-masing. Jika dilihat dari devisa negara yang diperoleh dari industri ini juga tidak kecil dan menempati urutan pertama sumbangan devisa dari sektor perkebunan. Tahun 2010 devisa dari perkebunan mencapai USD20 miliar yang berasal dari kelapa sawit USD15,5 miliar, karet USD7,8 miliar dan kopi USD1,7 miliar. Peranan penting perkebunan dalam penyerap tenaga kerja tentu saja menjadi strategis bagi pemerintah dalam konteks mengurangi kemiskinan. Dan di tengah ‘kebingungan’ pemerintah mengurangi angka statistik pengangguran, maka sektor ini dapat didorong menjadi solusi untuk mengurangi jumlah sekaligus menunjukkan kinerja positif pemerintah dan pemimpin yang sedang berkuasa. Itu mungkin yang menjadi dasar ambisi perluasan lahan secara besar-besaran Selama ini nampaknya nilai strategis devisa dan penyerapan tenaga kerja itu jugalah yang membuat perkembangan


13

Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

7,840

Luas Lahan terhadap Nasional

7,500

[ Total Nasional 2012 : 9,074,621 ha ]

Produksi terhadap Nasional

[ Total Nasional 2012 : 23,521,071 Ton ]

5,914

Luas Lahan 2012 [ribu hektar] Proyeksi Lahan 2020 [ribu hektar]

73,6%

2,815

23,5%

3,000

1,500

2,1%

261

0,6% 60

62.5%

0,2%

31%

2,9%

0% 0,7%

0,3%

0%

Luas Areal Kelapa Sawit Menurut Provinsi di Indonesia 2008 - 2012 (Ha) No

Wilayah

1

Sumatera

2

Jawa

3

Kalimantan

4

Sulawesi

5

Bali - Nusra

6

Maluku - Papua Indonesia

Sumber :

Produksi Kelapa Sawit Menurut Provinsi di Indonesia 2008 - 2012 (Ton)

Tahun 2008

2009

2010

2011

5,029,822

5,415,371

5,641,367

5,867,176

No

2012*)

Wilayah

5,913,585

1

Sumatera

26,425

27,163

28,057

25,687

26,112

2

Jawa

2,070,167

2,537,015

2,462,207

2,782,929

2,814,782

3

Kalimantan

178,632

211,380

196,302

257,955

260,588

4

Sulawesi

-

-

-

-

-

5

Bali - Nusra

58,801

57,398

57,462

59,077

59,554

6

Maluku - Papua

7,363,847

8,248,328

8,385,394

8,992,824

9,074,621

Direktorat Jenderal Perkebunan

luas lahan kelapa sawit menjadi sangat cepat. Jika tahun 1970 luas lahan kelapa sawit kita hanya sebesar 133,298 hektar, hanya dalam waktu 30 tahun sudah mencapai 8,385,394 hektar. Demikian juga dengan hasil produksi dari 216,827 ton di tahun 1970 menjadi 21,985,120 ton pada akhir tahun 2010. Kontribusi dan Pasar Internasional Produksi minya kelapa sawit

Indonesia

Tahun 2008

2009

13,745,566

2010

15,159,156

2011

16,445,142

2012*)

16,994,805

17,317,295

44,385

49,631

49,759

42,749

43,731

3,114,243

3,518,634

4,853,001

5,430,410

5,520,207

526,958

500,107

475,263

490,072

498,680

-

-

-

-

-

108,636

96,766

134,955

138,506

141,158

17,539,788

19,324,294

21,958,120

23,096,541

23,521,071

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan

Indonesia mayoritas diarahkan untuk ekspor. Pada tahun 2012, hanya sekitar 25% (7 juta ton) saja yang digunakan untuk kebutuhan domestik. Dengan besarnya porsi ekspor tersebut, saat ini Indonesia menjadi penguasa pasar minyak kelapa sawit dunia. Tidak hanya itu, dalam kelompok minyak nabati dunia (bersama dengan komoditi lain penghasil mintak nabati seperti kedelai, bunga matahari dll) Indonesia tetap menjadi penguasa pasar menggeser Malaysia.

Adapun Indonesia dan Malaysia menjadi negara produsen lebih dari 80% produksi kelapa sawit dunia. Dan nampaknya dominasi Indonesia masih akan bertahan. Kalaupun tidak, hanya Malaysia saja yang berpotensi menggeser dominasi Indonesia jika kebijakan yang mendukung industri kelapa sawit kita tidak jelas. Minyak sawit Indonesia sampai saat ini diekspor ke berbagai negara. Ekspor terbesar dilakukan ke India, Eropa dan China.


AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

KEBIJAKAN

rawa-pitu.blogspot.com

14

Simalakama Moratorium

Potensi Konversi Menjadi Lahan Kelapa Sawit Moratorium lahan baru perkebunan harus dicarikan solusi cepat mengingat kebutuhan akan minyak kelapa sawit yang terus dan akan meningkat seiring pertambahan populasi. Kebijakan ini berpotensi mempercepat konversi lahan terutama pertanian pangan karena peluang profitabilitas sawit yang makin tinggi.

B

eberapa tahun terakhir luas areal pertanian terutama pertanian pangan seperti sawah mulai menurun. Banyak lahan dikonversi ke non pertanian dan perkebunan termasuk tanaman kelapa sawit. Pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit tidak terlepas dari tingkat keuntungan yang komoditas ini. Tingkat penghasilan petani perkebunan kelapa sawit yang jauh lebih besar dari komoditas pertanian lainnya diduga menyebabkan tidak sedikit petani komoditas lain yang beralih ke perkebunan kelapa sawit. Fakor Penyebab Pada usaha tani tanaman padi pendapatan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan usaha tani kelapa sawit. Produktifitas tanaman padi hanya 3.74 ton/ha, sedangkan biaya yang dibutuhkan dalam pembudidayaannya tinggi sehingga pendapatan yang diperoleh menjadi sangat rendah. Hal ini masih

ditambah dengan harga yang rendah dan berfluktuatif serta pertarungan dengan produk impor. Berbeda dengan kelapa sawit, produktifitas kelapa sawit cukup tinggi yaitu 24 ton/ha/tahun. Sedangkan biaya yang dibutuhkan relatif rendah. Tanaman padi rentan terhadap kegagalan panen atau fuso hal ini dapat disebabkan oleh hama dan penyakit serta faktor alam. Sedangkan pada tanaman kelapa sawit resiko kegagalan panen relatif kecil dan harga relatif stabil sehingga resiko yang dihadapi petani kelapa sawit tersebut menjadi kecil. Selain itu padi sawah membutuhkan biaya yang cukup besar, dimana kebutuhan akan sarana produksi (pupuk, pestisida) dan biaya tenaga kerja sangat tinggi. Sedangkan pada usaha tanaman kelapa sawit biaya yang cukup besar hanya dibutuhkan pada saat awal pelaksanaan budidaya, selanjutnya setelah produksi biaya yang dibutuhkan cukup rendah. Dari sisi teknis, daerah yang selama ini merupakan sentra produksi beras, lahan sawah banyak dikonversi karena sulitnya mendapatkan air. Hal ini disebabkan oleh banyaknya saluran-


Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

15

Analoginya, tentara diperintahkan berperang di garis depan tetapi tidak diberikan logistik yang memadai untuk melakukan peperangan. Petani diminta mempertahankan fungsi lahan namun di sisi lain kebijakan yang berpihak pada mereka tidak ada.

saluran air irigasi yang rusak dan berkurangnya penanganan sarana irigasi dan partisipasi masyarakat dalam menjaga saluran irigasi yang telah ada. Pada masyarakat yang kurang mengerti teknologi pertanian, lahan sawah hanya digunakan menaman padi atau hanya sebagian menanam palawija. Lahan sawah mestinya bisa dibudidayakan untuk tanaman semusim dengan nilai ekonomis yang tinggi. Namun karena keterbatasan pada teknologi atau karena menghitung tinggi rendahnya resiko, maka mereka sangat berpeluang mengkonversi lahan pertanian mereka. Degradasi kesuburan lahan ikut membantu kecenderungan konversi lahan ini. Penggunaan masif pupuk kimia untuk meningkatkan produktivitas ternyata tidak selaras dengan peingkatan kesuburan tanah. Akibatnya, makin tidak subur maka dosis pupuk ditambah dan ini memperparah degradasi lahan dan akan menurunkan kemampuan alami produktif lahan. Penurunan kemampuan ini, membuat masyarakat tani mengkonversi lahan pertaniannya menjadi perkebunan ketimbang menambah biaya untuk memacu produktivitas dengan menggunakan pupuk. Selain itu, penguasaan lahan yang semakin sempit menyebabkan pendapatan petani tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Sistem warisan yang membagi lahan kepada turunan menyebabkan penyempitan penguasaan lahan dan akhirnya mendorong terjadinya konversi lahan dengan alasan ekonomi. Jika tetap ditanami padi hasil yang didapat tidak bisa menopang ekonomi mereka, bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga petani itu sendiri. Lahan sawah tersebut akhirnya dikonversi menjadi lahan untuk budidaya tanaman kelapa sawit agar lebih mudah dalam perawatan dan dapat dijadikan usaha sampingan. Secara ekonomis memang budidaya tanaman kelapa sawit memang sangat menguntungkan akan tetapi hal tersebut hanya pada jangka pendek karena kelapa sawit optimal sampai pada umur 15 tahun. Setelah itu, bila lahan tersebut akan dikonversi balik menjadi lahan pertanian maka masalah besar akan timbul. Pada lahan yang sudah ditanami kelapa sawit membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mengembalikan kepada produktivitas lahan seperti semula. Secara struktur tanah sudah rusak dan kandungan unsur haranya sudah menjadi tanah gersang. Hal ini dipengaruhi oleh sistem perakaran serabut pada tanaman kelapa sawit. Jadi, walau masih bisa dikonversi balik, akan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan biaya yang tinggi. Subsidi: Insentif bagi Petani Terjadinya konversi lahan pertanian ke perkebunan yang dilakukan para petani sebenarnya bisa dimaklumi. Namun dalam konteks ketahanan pangan, lahan yang memang cocok untuk tanaman padi atau bahkan menjadi kawasan sentra produksi beras, harusnya dijaga agar tidak dikoversi. Larangan koversi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan dan sebagainya telah diatur melalui UU 41/2009 dengan ancaman hukuman pidana dan denda. Kebijakan yang dibuat untuk mempertahankan kelangsungan produksi ini baik adanya namun perlu dikritisi karena faktanya kebijakan ini tidak diikuti

dengan kebijakan lain yang menjadi insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan fungsi lahannya seperti semula. Analoginya, tentara diperintahkan berperang di garis depan tetapi tidak diberikan logistik yang memadai untuk melakukan peperangan. Petani diminta mempertahankan fungsi lahan namun di sisi lain kebijakan yang berpihak pada mereka tidak ada. Kalaupun ada hanya sekedar aturan-aturan di atas kertas yang tidak terimplementasi ke bawah. Pemerintah harus turun tangan dengan kebijakan ketahanan pangan yang tidak hanya berpihak pada kepentingan petani namun yang dengan tegas dan memiliki ukuran nyata terimplementasi ke bawah. Salah satunya adalah subsidi yang tidak bisa tidak harus diberikan kepada petani. Harga sarana produksi seperti pupuk dan pestisida mahal ditambah bekerja keras sementara hasil gabah mereka jual dengan harga murah di pasaran. Subsidi yang dilakukan pemerintah seharusnya tidak hanya pada sarana pertanian belaka, namun juga dengan membeli hasil produksi pertanian tanaman pangan dengan harga mahal dari petani dan kemudian dijual dengan harga murah. Potensi Simalakama Moratorium Lahan Perkebunan Di sisi lain, mengingat kelapa sawit merupakan produk unggulan ekspor kita yang menguasai pasar dunia, maka kebijakan yang mendukung harus juga terimplementasi dengan baik namun tetap dengan pertimbangan multi sektoral seperti lingkungan hidup dan agraria. Moratorium lahan baru perkebunan yang berlaku juga untuk kelapa sawit menjadi kendala yang harus dihadapi pengusaha industri kelapa sawit dan harus dicarikan solusi cepat mengingat kebutuhan akan minyak kelapa sawit yang terus dan akan meningkat seriring pertambahan populasi. Stagnannya produksi kita akan berdampak pada kenaikan harga minyak kelapa sawit dan –tentu saja- makin meningkatkan profitabilitas komoditas ini. Peningkatan profitabilitas akan merangsang kembali petani untuk menghitung ulang apakah tetap mempertahankan lahan pertanian atau mengkonversinya ke lahan kelapa sawit yang lebih menguntungkan. Jadi moratorium akan efektif menghentikan pembukaan areal baru perkebunan, terutama kelapa sawit bagi perkebunan skala besar, namun akan menjadi pukulan balik pada ancaman konversi lahan menjadi lahan kelapa sawit oleh masyarakat. Pada sisi industri kelapa sawit, konversi lahan akan meningkatkan total produksi minyak kelapa sawit karena mereka pasti akan menerima pasokan dari petani karena permintaan dunia yang tinggi dan secara statistik terus meningkat. Industri kelapa sawit tidak bisa disalahkan, karena hukum supply and demand berlaku dan mereka dapat memenuhi permintaan tanpa melanggar aturan yang ada. Jika konversi dengan alasan ekonomi kembali terjadi, maka kebijakan sehebat apapun dengan subsidi sebesar apapun tidak akan dapat menahan laju konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dan hal ini tidak hanya berlaku pada tanaman padi sawah saja namun pada komoditas lainnya, terutama komoditas dengan kerentanan fluktuasi harga.


16

SUARA

AGRO AGRO SWAKARSA SWAKARSA | | Edisi Edisi 02/Juni 02/Juni 2013 2013

matafajar.wordpress.com

Catatan redaksi: Siaran pers ini dikeluarkan tanggal 8 Januari 2013 dan pada saat dimuat, moratorium sudah diperpanjang oleh pemerintah. Namun point lain dari pernyataan sikap tersebut masuh relevan untuk dicermati sebagai masukan.

Pengusaha Kelapa Sawit:

Refleksi 2012 dan Prospek 2013

T

ahun 2012 yang baru berlalu, industri kelapa sawit mengalami tekanan yang cukup berat ditandai dengan penurunan harga yang cukup signifikan di satu sisi, dan stagnasi volume ekspor di sisi lain. Menurut data yang diolah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) total produksi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia 2012 dan turunannya 26.503.511 ton. Untuk total ekspor CPO dan turunannya 2012 tercatat 18.148.795 ton. Produk turunan yang dimaksud adalah olein dan biodiesel. Sementara itu, sepanjang tahun 2012, harga rata-rata CPO 999,78 dollar Amerika Serikat (AS) per ton (Cif Rotterdam). Dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2011 maka bisa disimpulkan industri sawit mengalami tekanan yang cukup berat ditandai dengan penurunan harga yang cukup signifikan (kurang lebih 12%) disertai stagnasi dalam volume ekspor. Penyebabnya adalah perlambatan permintaan dan peningkatan pasokan

CPO di pasar internasional. Sisi lainnya, nilai ekspor CPO dan turunannya pada tahun 2012 per November sebesar 19,668 miliar dollar AS, dan per Desember diperkirakan 20,786 miliar dollar AS. Angka sebelumnya, di tahun 2011 tercatat 21,665 miliar dollar AS. Artinya nilai ekspor CPO dan turunannya pada tahun 2012 turun sekitar 4,2% dibanding tahun 2011. Di tahun 2012 sejumlah masalah yang dihadapi industri sawit nasional adalah kepastian hukum, infrastruktur dan moratorium. Kepastian Hukum menyangkut lahan/tata ruang. Masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) belum juga tuntas di banyak Propinsi dalam penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah. Bahkan beberapa perkebunan yang sudah beroperasi puluhan/ratusan tahun, sampai hari ini masih dinyatakan berada pada kawasan hutan. Infrastruktur belum mengalami kemajuan. Sampai saat ini 60% ekspor

CPO Indonesia masih tetap menggunakan 4 pelabuhan utama yang telah ada sebelumnya. Hal ini menyebabkan naiknya biaya transportasi yang berakibat pada kurangnya daya saing CPO Indonesia. Moratorium ijin baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Sejak ditetapkannya kebijakan moratorium, ekspansi perkebunan sawit di Indonesia melambat hingga 50%. Menurut data yang diolah GAPKI, ekspansi oleh perusahaan pada tahun 2012 sekitar 220.000 hektar. Tidak sampai di situ, ada potential loss yang seharusnya bisa menjadi sumber peningkatan ekonomi Indonesia. Sekitar 120 ribu tenaga kerja kehilangan kesempatan memperoleh pekerjaan. Selain juga hilangannya peluang dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB) yang diperkirakan mencapai US$4 miliar. Dampak penting lainnya adalah hilangnya kesempatan pembangunan kebun plasma bagi masyarakat. Diperkirakan 30.000 KK petani tertunda mendapatkan kebun plasma. Prospek Tahun 2013 Industri sawit nasional masih menjadi andalan sekaligus motor perekonomian di masa mendatang. Di tahun 2013 industri sawit tetap cerah dan menjanjikan. Menurut para ahli di tahun 2013 permintaan minyak nabati akan meningkat. Momen ini menjadi peluang bagi minyak sawit untuk berperan lebih besar. Namun demikian masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. 1. Penyelesaian tata ruang. Kepastian hukum tentang tata ruang mutlak dibutuhkan agar rencana usaha dapat dilakukan dengan baik dan berkelanjutan. GAPKI berharap agar soal RTRWP bisa diselesaikan secepat mungkin. Penyelesaian tata ruang, khususnya penetapan kawasan hutan seharusnya dipedomani oleh putusan MK No 34 dan 45 tahun 2012. 2. Review atas regulasi pajak ekspor


Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

sebagai antisipasi kebijakan Malaysia. Terkait dengan respon terhadap langkah yang dilakukan Malaysia yang merevisi Pajak Ekspor (PE) CPO nya mulai Januari 2013. Bila Indonesia tidak melakukan langkah serupa yakni merevisi PE CPO, GAPKI mengkhawatirkan daya saing Indonesia menjadi terancam dan pangsa pasar Indonesia menjadi tergerus terutama pada pasar CPO India. Karenanya GAPKI menghimbau kiranya pemerintah dapat melakukan evaluasi dan revisi terhadap Pajak Ekspor CPO ini. 3. Tidak memperpanjang berlakunya moratorium ijin baru pada hutan

primer dan lahan gambut. GAPKI mengusulkan agar moratorium tidak diperpanjang karena moratorium akan menghambat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Untuk tujuan mengurangi deforestasi yang dibutuhkan adalah kejelasan tata ruang sehingga juga akan memberi kejelasan terhadap ekspansi sawit. Pemberlakuan moratorium saat ini dinilai kurang efektif dan tidak sesuai dengan semangat Inpresnya bahkan seharusnya pemerintah fokus pada substansi masalah, yaitu penuntasan tata ruang. 4. Mendorong penggunaan dalam negeri melalui percepatan implementasi

CPO Indonesia Ramah Lingkungan?

10 Hal Mesti Dilakukan

K

einginan Kementerian Perdagangan untuk mengusulkan kembali crude palm oil (CPO) masuk dalam environmental goods list pada KTT APEC yang digelar Oktober 2013 di Bali dirasa perlu dipertimbangkan kembali. Fakta menunjukkan masih banyak tingkah laku pengusaha perkebunan sawit yang tidak bisa dikategorikan sebagai ramah lingkungan. Misalnya pembangunan perkebunan sawit di lahan gambut hingga membuka perkebunan sawit di lahan pangan masyarakat. Masalah lingkungan masih kerap terjadi dalam industri perkebunan kelapa sawit. Pada prinsipnya Sawit Watch tidak pernah menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit, asalkan sistem yang dijalankan tidaklah memberikan dampak buruk bagi lingkungan baik fisik maupun sosialnya. Komoditas kelapa

sawit bukanlah masalah utamanya, namun sistem pembangunan perkebunan kelapa sawit yang besar-besaranlah yang menjadi masalah utama dari semua permasalahan yang ada. Sawit Watch mencatat ada 10 hal yang mungkin bisa dilakukan agar perkebunan kelapa sawit bisa dikategorikan komoditas yang ramah lingkungan: 1. Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit tidak melakukan pembakaran pada saat membuka lahan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. 2. Pabrik yang dibangun sesuai dengan tata ruang yang berlaku di lokasi dan tidak mencamari lingkungan disekitarnya. 3. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dibangun di wilayah yang memiliki serapan karbon rendah, seperti savana (padang rumput, alang alang). Tidak di hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi dan gambut. 4. Pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak mengkonversi lahan pangan yang sudah ada. 5. Perkebunan kelapa sawit dalam melakukan pembukaan lahan tidak memilik konflik dengan masyarakat, terutama konflik dengan masyarakat adat.

17

bahan bakar nabati nasional. Pengembangan industri hilir sawit yang sangat potensial bisa diserap oleh pasar domestik adalah biodiesel. Oleh karena itu pemerintah harus mempercepat peningkatan dan penggunaan biodiesel sehingga bahan bakar nabati nasional menjadi program mandatory. Maka hilirisasi industri minyak sawit dalam negeriFoto: adalah sawitwatch.or.id mutlak. Mengingat pengembangan industri hilir dengan biodiesel pun memang mempunyai pasar potensial di dalam negeri. Untuk itu percepatan implementasinya sangat penting. Siaran Pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

6. Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit tidak melakukan pelanggaran HAM dari mulai proses pembukaan lahan hingga proses produksi CPO. 7. Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit menggunakan transportasi yang ramah lingkungan untuk mengangkut hasil panen dan hasil produksi CPO nya. 8. Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit mempunyai sistem kemitraan yang transparan dan terukur, sehingga masyarakat yang ikut dalam sistem inti-plasma tidak merasa dirugikan. 9. Pemerintah tidak membuat aturan atau undang undang yang bertentangan dengan ramah lingkungan. Seperti halnya Permentan No. 14/2009, yang membolehkan membuka lahan gambut dengan maksimal kedalaman 3 meter untuk perkebunan kelapa sawit. 10. Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit tidak mempraktekan sistem-sistem perbudakan kepada pekerja dan buruhnya. Menurut sawit watch jika kesepuluh hal diatas dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit dengan di dukung oleh sistem penegakan hukum yang kuat dari pemerintah, dirasa sangat memungkinkan jika komoditas perkebunan kelapa sawit ini menjadi salah satu komoditas yang ramah lingkungan. Pernyataan Sikap Sawit Watch


18

ANALISIS

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

Cap Buruk Perkebunan Sawit

Berawal Dan Berakhir Di Penataan Ruang Google Earth

Pelaksanaan UU Penataan Ruang

M

eski diakui minyak sawit memiliki beberapa keunggulan dibanding jenis minyak nabati lainnya, seperti bebas rekayasa genetika, produktivitas per hektarnya 10 kali lebih banyak dibanding kacang kedelai, rapeseed atau sunflower. Kelapa sawit memproduksi lebih dari 34% (minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit) dari 8 minyak nabati utama dengan menggunakan lahan yang lebih sempit dibanding tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Namun ada banyak persoalan yang muncul dibalik semua keunggulan tadi. Secara global keberadaan kebun sawit sering dituding melakukan deforestasi, pengeringan lahan gambut, pembakaran lahan yang mengakibatkan kabut asap dan perubahan iklim serta pemanasan global serta penghilangan keanekaragamanhayati yang seharusnya dilindung. Selain itu, di tempatnya berada pun, perkebunan sawit juga dicap jelek karena melakukan perampas lahan dan kriminasilisasi terhadap kelompok rentan (masyarakat adat/lokal, petani dan buruh) ketika memperjuangkan hakhaknya. Setiap tahun masalah besar yang muncul dibalik gemericik keuntungan bisnis sawit tadi semakin membesar dan mengeras. Apabila tidak segera diselesaikan bisa dipastikan ia akan menjadi faktor kuat untuk menghancurkan bisnis sawit itu sendiri bahkan akan berimplikasi kuat terhadap ketahanan negeri ini. Dari hasil pengamatan, penemuan lapangan dan analisis mendalam, muncul keyakinan bahwa semua persoalan yang terjadi di perkenan kelapa sawit itu bersumber dari perencanaan ruang yang silang-sengketa dan penegakan Undang Undang (UU) payung serta pembuatan peraturan teknis terkait perkebunan sawit sendiri yang lemah dan carut-marut.

Dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang disebutkan beberapa hal pokok soal perencanaan dan pengaturan wilayah demi penentuan arah pembangunan Indonesia yang memperhatikan pertambahan penduduk dan daya dukung alam. Salah satu bagian penting yang tertulis dalam UU tersebut adalah penyediaan ruang konservasi (lindung) di setiap wilayah yang besarannya mencapai 30% dari luas suatu kawasan itu. Artinya harus segera dibuat rencana tata ruang wilayah secara nasional sebagai rencana induk (master plan). UU inilah yang seharusnya menjadi UU payung bagi penyelesaian semua konflik keruangan dan juga dasar dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Apabila rencana tata ruang wilayah nasional ini tidak segara dibuat, bisa dipastikan di masa depan akan terjadi banyak benturan yang berujung pada konflik menahun, berupa: a. Pertumbuhan penduduk vs ketersediaan pangan. Tingkat kelahiran yang masih tergolong tinggi dan faktor migrasi penduduk dari wilayah lain ke suatu wilayah tertentu dipastikan akan menyebabkan ketidakseimbangan ketersediaan pangan dan kebutuhan orang yang mengonsumsinya. b. Pengangguran vs lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran yang semakin meningkat sepanjang tahun 2008 akibat krisis global membuat banyak tenaga kerja kembali ke kampung asal mengadu nasib dengan bertani/kebun sekedarnya. Kepulangan para pekerja ini diyakini memunculkan benturan, baik dengan perusahaan atau dengan pengelola kawasan konservasi, karena kelompok buruh ini juga membutuhkan lahan garapan setelah terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). c. Pemenuhan kebutuhan dasar vs krisis air dan energi. Penyempitan areal pertanian akibat konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar menyebabkan sumber air untuk kebutuhan hidup rumah tangga dan energi mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. d. Kebutuhan lahan antara masyarakat vs dunia usaha. Kebijakan pemerintah yang terus memacu pertumbuhan ekonomi makro dengan memberikan kemudahankemudahan bagi dunia bisnis untuk berinvestasi


Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

19 19

Tabel Konflik Internal Pemerintah dalam Penataan Ruang menyebabkan sebagian besar lahan-lahan produktif dikuasai dunia bisnis (perkebunan, HTI, migas). e. Perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi atau lindung. Dampak langsung penyempitan lahan kelola masyarakat menyebabkan kawasan-kawasan konservasi atau lindung menjadi terancam karena menjadi sasaran ekspansi pertanian/perkebunan masyarakat juga dunia industri. Selain konflik antar manusia, konflik dengan satwa juga semakin tinggi dan rentan terhadap bencana alam. Untuk mengantisipasi potensi konflik besar di atas, setidaknya ada beberapa kementerian yang mesti duduk bersama membangun sinergisitas dalam pembuatan tata ruang wilayah nasional tersebut. Tentu saja dibutuhkan niat, kerja keras dan yang kuat antar dan inter kementerian tadi dalam pembuatan tata ruang nasional. Khusus di sektor perkebunan sawit, pembuatan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional yang dimulai dari tingkat wilayah dan pemerintahan terendah sampai tertinggi, terutama bupati, akan membuat aparat pemerintah (khususnya yang berkoordinasi di bawah Kementerian Dalam Negeri) akan lebih berhati-hati dalam memberikan ijin lokasi kepada dunia usaha di wilayah kekuasaannya. Apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap tata ruang tersebut, maka dia bisa dikenakan sanksi pidana dan perdata. Selama ini ketiadaan peta tata ruang kabupaten, provinsi dan nasional menyebabkan mutu, cara pemanfaatan dan pengendalian ruang yang tersambung dengan daya dukung keruangan itu sendiri membuat pola pembangunan dan pengelolaan negeri ini carut-marut. Selain itu, benturan kepentingan sektoral di internal pemerintah menyebabkan kaburnya substansi pengendalian pembangunan. Juga tak terselesaikannya berbagai masalah-masalah seputar keruangan. Setelah menyelesaikan pembuatan perencanaan tata ruang wilayah nasional di atas, tugas lanjutan bagi pemerintah adalah segera membuat peraturan teknis terkait pelaksanaan dan pengawasan jalannya UU tersebut, sebagaimana yang telah diamanatkannya. Hal ini sangat penting dan mendesak demi menghindari multitafsir dan kebingungan di masyarakat soal hak dan kewajibaan berkenaan dengan penataan ruang. Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Setelah membuat dan melakukan sinergisitas terkait penataan ruang, hal strategis yang harus segera dilakukan pemerintah adalah menerapkan pelaksanaan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada pengantar UU 32/2009 disebutkan bahwa hal yang dipertimbangkan sehingga peraturan hukum ini mesti segera diimplementasikan. Demi pencapaian tersebut, undang-undang tersebut jelas-jelas mensyaratkan dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sangat mendukung dan bertalian erat dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. KLHS untuk perkebunan sawit sendiri, sebenarnya sudah digagas dan direkomendasikan oleh beberapa kementerian terkait yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional kepada Kementerian Pertanian. Proses pembuatan KLHS Perkebunan Sawit diawali dengan membahas isu-isu kunci di perkebunan sawit dan merekomendasikan hal-hal penting, diantaranya:

Instansi

Dasar Aturan

Kepentingan Objektif

Subjektif

Kehutanan

UU 41/1999 PP 10/2010

Pelestarian hutan

Kewenangan eksklusif pengelolaan kawasan hutan

Kemen PU

UU 26/2007 PP 26/2008 PP 15/2010

Koordinasi penataan ruang

Kemudahan pengembangan infrastruktur jalan (tol)

BPN

UU 5/1960 PP 11/2010

Reforma Agraria

Mempertahankan kewenangan terpusat hak guna tanah

Bappenas

UU 25/2004

Koordinasi sistem perencanaan nasional

Superioritas kebijakan sistem perencanaan nasional, termasuk yang berdimensi spasial

PEMDA

UU 32/2004

Pembangunan daerah

Otonomi lebih luas tata kelola SDA daerah dan meningkatkan PAD

KLH

UU 32/2009

Pembangunan berwawasan lingkungan

Kewenangan perencanaan dan pengendalian yang lebih luas dalam pengelolaan SDA, lingkungan dan wilayah

Pertanian

UU 41/2009

Ketahanan pangan

Mencegah alih fungsi lahan sawah dan perlindungan usaha agribisnis (perkebunan)

Pembangunan energi & sumber devisa nasional

Akses penambangan di kawasan lindung dan hak eksklusif kawasan tambang

ESDM

1. Kawasan Hutan: • Percepatan penyelesaian Perda RTRW semua tingkatan. • Mempercepat sertifikasi lahan perkebunan rakyat. • Percepatan penentuan kawasan hutan dan padu serasi antara TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) dengan RTRW semua tingkatan. 2. Kebijakan penerapan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan: • Pengakuan dan perlindungan terhadap areal bernilai konservasi tinggi. • Kebijakan pengawasan dan implementasi GAP (good agriculture practice). • Perundangan tata ruang, kehutanan, dan lingkungan hidup. 3. Perkebunan kelapa sawit dalam bingkai pembangunan berkelanjutan: • Memanfaatkan lahan-lahan marginal/terlantar yang telah disepakati dan disahkan oleh peraturan hukum. • Menyusun RTRW dan pemanfaatan lahan sesuai RTRW. • Penyelesaian sosialisasi tata batas lahan. • Analisis mengenai dampak lingkungan dan sertifikat AMDAL. Dari uraian sampai rekomendasi KLHS di atas, didapati bahwa akar persoalan sekaligus solusi dari pelbagai persoalan yang muncul di perkebunan sawit adalah penataan ruang secara nasional yang mempertimbangkan pertumbuhan penduduk dan daya dukung alam. Tentu saja demi keberlanjutan sosial dan lingkungan. Jefri Gideon Saragih Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch


20

ALTERNATIF

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

Perbedaan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dengan Pupuk Kimia Perbedaan mendasar antara Pupuk Organik Cair MASAGRI® dan pupuk kimia adalah pada perlakuan terhadap tanah.

Menimbang Peran Pupuk Organik Cair

Untuk Kesuburan Tanah

Pupuk kimia memasok nutrisi langsung ke tanaman dengan memberikan unsur yang dibutuhkan tanaman baik unsur makro maupun mikro. Dengan pasokan langsung, maka tanaman mendapatkan unsur yang dibutuhkan tanpa melalui proses biologis dan kimia dalam tanah. Hal ini menyebabkan tanah hanya menjadi tempat ‘meletakkan’ akar tanaman dan tidak memiliki fungsi lain. Masalah yang akan timbul kemudian adalah pupuk kimia yang diberikan tidak semua akan diserap oleh tanaman, karena sebagian (>70%) akan terikat (terakumulasi) ke dalam liat tanah, sehingga tanah menjadi liat/keras serta dalam jangka panjang akan bersifat toksik memacu berkembangnya penyakit dalam tanah dan sebagian lainnya pupuk kimia akan hilang karena terbawa aliran air atau menguap.

Pupuk Organik Cair MASAGRI® adalah pupuk organik dan bio fertilizer yang memberikan pasokan nutrisi kepada tanaman dan juga kepada tanah. Dengan kandungan unsur makro maupun mikro pada Pupuk Organik Cair MASAGRI®, tanaman dapat menerima pasokan unsur eberapa ahli kesuburan tanah yang dibutuhkan, sementara kandungan telah berkali-kali menyampaikan mikroorganisme (mikroba) pada Pupuk fenomena kelelahan (soil Organik Cair MASAGRI® bergunatanah sebagai fatigue). Upaya pemberian pupuk nutrisi tanah guna meningkatkan kesu-hayati (biofertilizer) dan kompos pun masih buran tanah. menghadapi banyak kendala sehingga makin lama bahan organik Kebutuhan akankandungan pangan menyebabkan tanah makin menurun. Penurunan penggunaan pupuk kimia menjadi saini dominan makin intensif ketika petani ngat untuk mengejar kuantitas mengusahakan lahannya secara terusproduksi (produktivitas). Namun tanpa menerus. Padahal, fungsi bahan organik disadari tidak adanya perlakuan yang cutanah ini sangatlah vital bagi kesehatan kup bagi tanah akan menyebabkan tanah tanaman sehingga dapat berproduksi menjadi jenuh dan semakin tidak subur. secara ekonomis dan berkelanjutan. Bahan organik tanah tidakkimia saja Penggunanaan kombinasi pupuk menjamin proses fisika-kimia-biologi dan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat berlangsung tetapi produkjuga menjadi solusi optimal, meningkatkan menyediakan lingkungan pertumbuhan tivitas tanpa mengorbankan kesuburan/ tanaman yang produktif. Kegagalan kita kesehatan tanah. mempertahankan kadar bahan organik tanah minimal 2% berakibat kebutuhan tanaman akan pupuk kimia yang makin hari makin meningkat. Salah satu faktor yang memegang kunci akan hal ini Telp/Faks: 021-87716493 adalah menurunnya aktivitas biologi HP/SMS: 0812-7953816 tanah yang secara aktif berperan dalam Email:efisiensi mas@masagri.com menjaga penggunaan pupuk kimia. Mikroba yang berperan penting dalam penyediaan nutrisi dan perbaikan

B

PEMESANAN

sifat tanah di dalam tanah, antara lain, biaya produksi, maka peningkatan margin adalah penambat N, pelarut fosfat, dan keuntungan petani bisa meningkat 9-18%. pemantap agregat. Keuntungan tidak kasat mata Berbagai upaya untuk mengatasi (intangible benefits) diperoleh dari rendahnya bahan organik tanah telah berkurangnya potensi pencemaran banyak dilakukan, dan yang paling lingkungan akibat penggunaan pupuk umum adalah dengan aplikasi kompos. kimia dan pestisida. Dampak berantai Namun, upaya ini sering terbentur pada (multiplier effects) lebih lanjut adalah sulitnya penyediaan dan biaya aplikasi terhindarnya kondisi kelelahan tanah kompos di lapangan karena volume yang pada gilirannya menjamin yang perlu diberikan jauh lebih besar keberlanjutan kapasitas produksi lahandari dosis pupuk kimia biasa (10-50 kali lahan pertanian kita. lipat, tergantung jenis tanamannya). Oleh Suatu nilai yang cukup besar yang karena itu beberapa peneliti, termasuk dapat diperoleh melalui teknologi penulis, mencoba merakit teknologi yang pemupukan hayati yang sekaligus ekonomis dan praktis untuk mengatasi mengatasi beban pemerintah dalam masalah kelelahan tanah tersebut melalui penyediaan subsidi terbatas kepada pendekatan biologi. pabrikan pupuk. Manfaat lain yang dapat Pada prinsipnya, aktivitas mikroba dinikmati oleh petani adalah peningkatan tanah dapat ditingkatkan untuk kurun produksi akibat penggunaan pupuk hayati waktu tertentu dan bermanfaat bagi sebagai input ekstra. Dengan strategi tanaman melalui introduksi mikroba aplikasi ini biaya pemupukan lebih besar, unggul ke dalam tanah. Mikroba unggul tetapi karena peningkatan produksi cukup yang dimaksud secara khusus diisolasi nyata (mencapai 30%), maka kenaikan dari tanah Indonesia asli dan dikemas biaya ini tertutupi dan keuntungan bersih dalam bahan pembawa (carriers)pada yang Kementerian lebih besar. Pupuk terdaftar Pertanian Republik Indonesia mampu menjaga dalam Tidak dapat disangkal lagi bahwa No.reaktivitasnya L905/ORGANIK/DEPTAN-PPVTPP/VI/2011 periode yang memadai. Jenis yang sudah peran pupuk sangat menentukan dalam dimanfaatkan, antara lain, Azospirillum budidaya tanaman pertanian dalam lipoverum dan Azotobacter beijerinckii rangka mencapai tingkat produksi yang untukTanaman penambat N dari udara tanpa ekonomis. Dalam kenyataannya, aspek Pangan Jagung, Singkong, harusPadi, bersimbiosis denganKedelai, tanaman pupuk dan pemupukan ini tidak hanya dll.meningkatkan sertaKacang-kacangan sekaligus mampu terkait dengan masalah teknis semata, kelarutan P sukar larut. tetapi juga hal-hal yang bersumber pada Tanaman Satu tujuanPerkebunan utama dari pembaharuan kebijakan pemerintah. Sawit, Tebu, Cokelat, Cengkeh, dalam teknologi pemupukan adalah Ketidakmampuan petani memiliki Kelapa, Karet, Vanili dll. menawarkan alternatif penghematan akses yang optimal terhadap sarana biayaTanaman dibandingkan teknologi produksi ini terkait dengan masalah Buah dengan dan Hortikultura pemupukan konvensional. Dengan dll), pembiayaan, ketersediaan pasokan pada Buah-buahan (Mangga, Rambutan Biofarmaka (Jahe Sayuran (Sawi, Cabe dll) waktu yang diperlukan, dan sosialisasi kata lain, teknologi inidll), harus mampu menciptakan margin keuntungan yang teknologi yang belum maksimal. Dengan lebih Tanaman besar. Hias dan Taman makin luasnya gejala kelelahan tanah, Anthurium, Adenium, Aglaonema, Untuk mencapai produksi yang Sansevieria,maka teknologi pemupukan hayati Rumput taman dll. sama dengan teknologi konvensional, seharusnya menjadi pilihan strategis bagi penggunaan teknologi pupuk hayati/ petani dalam upaya mempertahankan Tanaman Kehutanan / Penghijauan pupuk organik cair dapat menghemat tingkat produksi yang ekonomis dengan Sengon, Pinus, Jati, Akasia, Angsana, penggunaan pupuk kimia menikmati keuntungan yang lebih Mahoni, Meranti dll. hingga 50% dan biaya pemupukan sekitar 15 hingga 46%, baik serta secara tidak langsung ikut tergantung jenis tanamannya. Dengan berpartisipasi dalam program pelestarian asumsi biaya pemupukan adalah 60% dari fungsi lingkungan hidup.

www.masagri.com


HISTORIA

T

kelapa sawit (Elaeis pupuk Pupuk Organikanaman Cair MASAGRI® merupakan guineensis) yang dan berasal dari organik berbasis mikrobiologi bioteknologi Afrika Barat ini merupakan yang dihasilkan melalui proses fermentasi dan penghasil minyak nabati dengan disempurnakan dengan teknologi pengayaan/ produktivitas lebih tinggi dibandingkan penambahan nutrisi.

Edisi 02/Juni 02/Juni 2013 2013 || AGRO AGRO SWAKARSA SWAKARSA Edisi

21 21

KADAR * PH C-organik Total N N-organik N-NH4 N-NO3 P2O5 K2O Fe Mn Cu Zn B Co Mo As, Hg, Pb, Cd

4,47 5,82 % 0,09 % 0,03 % 0,04 % 0,02 % 1,14 % 0,37 % 62 ppm 7 ppm 4 ppm 2 ppm 0,2 ppm <0,02 ppm <0,7 ppm - (td)

tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Tanaman ini dikenal di Pupuk Organik Cair MASAGRI® sudah melewati uji dunia barat setelah orang Portugis mutu di Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian berlayar ke Afrika tahun 1466. RI dan ujiDalam terapperjalanan di Fakultaske Pertanian Institut Pertanian Pantai Gading (Ghana), setempat Bogor. Selain itu,penduduk Pupuk Organik Cair terlihat MASAGRI® adalah menggunakan kelapa sawit untuk pupuk pada Kementerian Pertanian RI nomor L 905/ DARi afrika melalui penjajahan MENJADI memasak maupun untuk bahan ORGANIK/DEPTAN-PPVTPP/VI/2011. kecantikan. Kelapa sawit pertama kali MANFAAT DAN KEGUNAAN PUPUK ORGANIK CAIR diperkenalkan di Indonesia (yang MASAGRI® waktu itu masih bernama Hindia Mikroba pathogen ** Belanda) oleh pemerintah Belanda E. coli 0 MPN/mL t Memperbaiki, danitu meningkatkan pada tahunmenjaga 1848. Saat ada 4 batang Salmonella sp. 0 MPN/ML Pada awal 1970 luas lahan kelapa sawit hanya 133.298 hektar kesuburan tanahsawit sertayang memperpanjang bibit kelapa ditanam di siklus * Analisis Lab. Balittanah DEPTAN Kebun unsur hara Raya dalamBogor, tanah.dua berasal dari dengan produksi 216.827 ton. Pada tahun 2010 lahan kelapa No. 2643/2010 dan No. 3178/2010 ** Analisis Lab. Biologi & Kesehatan Bourbon pencemaran (Mauritius) dan dua lainnya t Mengurangi lingkungan oleh residu sawit Tanah, Balittanah DEPTAN sudah mencapai lebih dari 8,3 juta hektar dengan No. 324/PH/10/2010 Hortus Botanicus, Amsterdam kimiadari sintetis. produksi mencapai 22 juta ton. (Belanda). Awalnya tanaman kelapa t Meningkatkan mutu dan bobot hasil panen, sawit dibudidayakan sebagai tanaman t Menekan pertumbuhan bakteri penyakit (E.Coli dan Salmonella), hias, sedangkan pembudidayaan terus mendorong pembukaan lahan sawit. t Meningkatkan daya tahan tanaman terhadap hama/penyakit, baik pada tanaman tanaman untuk tujuan komersial baru untuk perkebunan. Sampai pada Pada masa pendudukan Belanda, maupun (tanah). baru media dimulaitanam pada tahun 1911. Hasil tahun 1980, luas lahan mencapai perkebunan kelapa sawit maju pesat t Memperbanyak jumlah,dari dayatanaman serap dan kekuatan akar, merangsang pertumbuhan perkembangbiakan induk 294.560 Ha dengan produksi CPO sampai bisa menggeser dominasi pucuk baru serta pertumbuhan di Kebun Rayamemacu Bogor yang kemudian daun, bunga/buah. (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. ekspor negara Afrika waktu itu. menjadi cikal bakal perkebunan t Menghemat penyerapan hara/nutrisisawit dan menjaga ketersediaan NPK dan unsur lain. Sejak itu lahan perkebunan kelapa Memasuki masa pendudukan pertama di keragaman Sumatra. Benih indukmikroorganisme dari sawit Indonesia berkembang pesat Jepang, perkembangan kelapa sawit t Meningkatkan populasi yang bermanfaat bagi tanah Raya Bogor ini jugalah yang terutama perkebunan rakyat. Hal ini mengalami kemunduran. Lahan dan Kebun tanaman kemudian ke Malaysia, sebagai pupuk didukung oleh kebijakan Pemerintah perkebunan mengalami t Menekan biayadibawa produksi dan penggunaan kimia sampai dengan penyusutan 50%. awal perkebunan kelapa sawit di yang melaksanakan program sehingga produksi minyak mengalami Malaysia. Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan penurunan. Adapun perintis usaha perkebunan (PIR – BUN). Pada awal tahun 80-an, Pada tahun 1957, setelah Belanda kelapa sawit di Indonesia adalah tanaman kelapa sawit digelari sebagai dan Jepang meninggalkan Indonesia, Adrien Hallet (orang Belgia), kemudian komoditi primadona karena memberi pemerintah -dengan alasan politik budidaya yang dilakukannya diikuti keuntungan yang melimpah. Perluasan dan keamanan- mengambil alih oleh K. Schadt yang menandai lahirnya areal yang secara linier berdampak perkebunan. Untuk mengamankan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada peningkatan produksi dilakukan jalannya produksi, pemerintah mulai berkembang. Perkebunan kelapa dengan cepat. meletakkan perwira militer di setiap sawit pertama berlokasi di Pantai Pada awal 1970 luas lahan kelapa jenjang manejemen perkebunan. Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas sawit hanya 133.298 hektar dengan Pemerintah juga membentuk BUMIL areal perkebunan saat itu mencapai produksi 216.827 ton. Pada tahun 2010 (Buruh Militer) yang merupakan kerja 5.123 Ha. lahan kelapa sawit sudah mencapai sama antara buruh perkebunan dan Perkebunan kelapa sawit pertama lebih dari 8,3 juta hektar dengan militer. Perubahan manajemen dalam dibangun di Sumatra oleh Socfindo, produksi mencapai 22 juta ton. perkebunan dan kondisi sosial politik perusahaan dari Belgia. Sejak awal Berdasarkan data yang dirilis serta keamanan dalam negeri yang sawit memang tanaman yang United Nations Conference on Trade tidak kondusif, menyebabkan produksi ditujukan untuk kebutuhan ekspor, and Development, produksi minyak kelapa sawit terus menurun dan posisi karena penduduk Indonesia pada masa sawit Indonesia pada tahun 2011 Indonesia sebagai pemasok minyak itu belum memanfaatkan minyak sudah mencapai merupakan 43% sawit dunia terbesar tergeser oleh sawit, umumnya penduduk Indonesia dari produksi dunia. Minyak sawit Malaysia. masih memanfaatkan minyak kelapa Indonesia pada tahun 2010 sudah Pada masa pemerintahan Orde untuk kebutuhan sehari-hari. Daerah menguasai 45% pasar dunia. Dan Baru, pembangunan perkebunan tujuan pemasaran minyak sawit nampaknya penguasaan ini akan diarahkan dalam rangka menciptakan ialah Eropa dan Amerika Serikat. bertahan lama mengingat perluasan kesempatan kerja, meningkatkan Baru belakangan negara-negara Asia lahan yang masih akan terus dilakukan kesejahteraan masyarakat dan sektor menjadi pasar tujuan ekspor kelapa sampai 2020. penghasil devisa negara. Pemerintah

Produsen Terbesar


22

EPILOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013

Quo Vadis Sawit Indonesia?

D Raymond Rajaurat

Para pelaku sudah berusaha dan menunjukkan keberhasilan mereka mengorbitkan komoditas yang satu ini sebagai kekuatan. Sekarang kembali pada pemerintah sebagai pengelola negara ini, apakah mau dan punya keinginan yang sama.

alam globalisasi saat ini, keterkaitan dan saling ketergantungan antar negara dan bangsa tidak mungkin bisa dihindari. Untuk itu, maka disusunlah berbagai standar yang dijadikan acuan bersama atas suatu hal yang dianggap mempengaruhi globalisasi. Dalam konteks kelapa sawit, standar yang sering digunakan adalah standar lingkungan hidup. Secara konseptual, standar tersebut baik dalam kaitannya menjaga dunia sebagai sebuah ekosistem besar dan kompleks. Namun standar tersebut sangat kental dengan kepentingan di luar kepentingan lingkungan hidup itu sendiri. Jika bicara lingkungan hidup, mesti dilihat dalam sebuah kerangka besar lingkungan hidup dan faktor yang mempengaruhi dan bukan hanya masalah parsial seperti urusan kelapa sawit dan kerusakan hutan tropis belaka. Lihat saja Protokol Kyoto yang dulu dibuat bersama-sama untuk masalah lingkungan ternyata tidak diikuti dengan tindakan kongkrit dari negara-negara penggagas yang utamanya adalah negara maju seperti Amerika Serikat. Mengapa demikian? Tidak lain karena penerapan protokol tersebut akan mengganggu industri dan ekonomi mereka, yang tentu saja akan berdampak pada berkurangnya dominasi pada sektor tersebut. Atau ketika semua bicara emisi CO2. Negara lain yang berteriak, tapi hebatnya mereka juga pengemisi terbesar dan tidak terlihat upaya penurunan emisi yang signifikan dari mereka. Kondisi tidak imbang dalam globalisasi ini adalah realitas yang kita hadapi dan mesti kita sikapi. Namun penyikapan itu tidak mungkin bisa dilakukan tanda adanya daya tawar yang cukup kuat dalam ‘pertarungan’ terutama di bidang ekonomi. Di sinilah kelapa sawit mesti dilihat sebagai salah satu daya tawar yang harus dioptimalkan. Tidak hanya bagi industri kelapa sawit itu sendiri, namun juga bagi kepentingan nasional kita. Tentu saja akan banyak pihak yang mencoba mengganggu penguatan daya tawar ini dan hal tersebut sah-sah saja dalam kompetisi bebas sekarang ini. Masalahnya, apakah kita mau ditekan tanpa memiliki daya tekan balik? Kebutuhan dunia akan minyak nabati

untuk berbagai kebutuhan terus meningkat dan peningkatan tersebut dapat dengan cepat dijawab oleh minyak kelapa sawit ketimbang minyak nabati lainnya. Akan lebih menarik lagi jika kita melihat bahwa minyak nabati ini dapat menggantikan minyak fosil sebagai bahan bakar yang makin berkurang dan akan habis. Dan bahan bakar nabati adalah bahan bakar ramah lingkungan serta dapat diperbaharui. Jelas bahwa kelapa sawit kita memiliki daya tawar tidak hanya untuk saat ini, namun dalam jangka panjang. Dan ini harus dimanfaatkan untuk kepentingan kita. Namun demikian, berbagai masalah yang mengganggu industri ini mesti terus menerus diperbaiki dan disempurnakan solusinya. Selain itu, perbaikan dan penyempurnaan tersebut harus juga memperhatikan sektor lain yang terkait. Hal ini dilakukan agar penguasaan kita tidak juga mengorbankan kepentingan lain kita, baik internal maupun eksternal. Kepentingan dimaksud adalah kepentingan akan kelestarian alam yang berdampak pada kemampuan alam memberikan sumber dayanya kepada kita, ketahanan pangan berupa ketersediaan pangan domestik dan penguatan komoditas pertanian atau produk lain, baik dalam memenuhi kebutuhan domestik maupun pada perebutan pasar internasional. Pengembangan riset dan teknologi terkait kelapa sawit seperti pemanfaatan lahan terlantar dan pembangunan industri hilir yang dapat menyerap produksi merupakan salah satu solusi yang mesti diambil. Selain mengurangi berbagai dampak seperti lingkungan, ancaman ketahanan pangan dan konflik, semua hal tersebut dilakukan dalam upaya kita bersama mempertahankan sawit sebagai salah satu kekuatan kita sembari membuka peluang menghasilkan kekuatankekuatan baru di masa mendatang. Para pelaku sudah berusaha dan menunjukkan keberhasilan mereka mengorbitkan komoditas yang satu ini sebagai kekuatan. Sekarang kembali pada pemerintah sebagai pengelola negara ini, apakah mau dan punya keinginan yang sama. Jika tidak, menjadi pertanyaan mau dibawa kemana industri kelapa sawit kita?


Edisi 02/Juni 2013 | AGRO SWAKARSA

Sugar Group Companies

Mengucapkan

Selamat Ulang Tahun Ke 331

Kota Bandar Lampung

Semoga Makin Maju dan Berkembang bersama Masyarakatnya

23


24

AGRO SWAKARSA | Edisi 02/Juni 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.