Majalah Agro Swakarsa Edisi 03/2013

Page 1

Perlu Kebijakan Tata Niaga Gula Yang komprehensif

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

Edisi 03 / Juli 2013 o PROLOG o TABULASI o KEBIJAKAN o EPILOG

Pahitnya Tebu di Ladang Sendiri SUARA:

Mimpi Buruk Dalam Sesendok Gula KOMPARASI:

Kebijakan Gula Negara Lain: Proteksi dan Subsidi Saja Tidak Cukup

SUPLEMEN

Peta Mudik Provinsi Lampung 2013

4 6 18 30


Isi Edisi 03/2013

PERTARUNGAN INTERNASIONAL MASIH PANJANG

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

4

Edisi 02 / Juni 2013 o PROLOG o TABULASI o KEBIJAKAN o EPILOG

4 12 14 22

Quo Vadis Sawit Indonesia?

PROLOG

Dari Kebun Tebu ke Tata Niaga Gula:

Jalan Panjang Menuju Swasembada Gula

Pilihan bingung antara melindungi produsen lokal dan daya beli konsumen domestik menjadikan ditambah konsumsi lebih besar dari produksi mengakibatkan pintu impor dibuka.

SUARA:

Refleksi 2012 dan Prospek 2013 ANALISIS:

Berawal Dan Berakhir Di Penataan Ruang

10 KOMPARASI

Kebijakan Gula Negara Lain:

Proteksi dan Subsidi Saja Tidak Cukup

Berbagai kebijakan dibuat oleh negara-negara produsen gula. Langkah yang diambil ternyata cukup berhasil mengangkat produktivitas.

6

18

TABULASI

http://wayansusila.wordpress.com

Lahan perkebunan tebu cenderung stagnan sementara produktivitas fluktuatif dan tidak stabil. Kontrol ketat di sisi hulu tidak diikuti dengan tata niaga yang ketat juga.

Perlu Kebijakan Tata Niaga Gula Yang Komprehensif http://www.kppu.go.id

Dewan Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi M. Mutawally Penerbit Yayasan Media Wasantara Anggota SPS No. 358/1986/03/2002

Mimpi Buruk Dalam Sesendok Gula

Pendiri Rimson Simanjorang

APEGTI:

Bank Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 264 8030 a/n. Dominika Domingga

http://www.ylki.or.id

Periksa Segera Kebijakan Impor Gula PROSPEK

Peluang Industri Gula Nasional Masih Terbuka http://istadidhblogspotcom.blogspot.com

29

Dimensi Sosial Politik Pergulaan Indonesia

SUARA

Perlindungan Konsumen:

26

ANALISA

POLITIKA

EKONOMIKA

Proteksi Sampai Kapan? 24

Kebijakan yang tidak komprehensif hulu ke hilir akan menjadi kontraproduktif dan berbahaya di masa mendatang. Tanpa tata niaga yang lebih transparan dan berimbang antara produsen dan konsumen dapat memukul balik industri itu sendiri.

14

21

http://www.unisosdem.org

30

Pahitnya Tebu di Ladang Sendiri

8

KEBIJAKAN

Kisruh Setiap Musim Giling

Lahan Tetap, Produktivitas Memprihatinkan

EPILOG

Managing Director Ir. David J. Simanjorang

Penentuan Harga Patokan Petani:

Perkebunan Tebu Indonesia:

Managed By Opini Indonesia

HISTORIA

Perjalanan Tebu Indonesia:

Mimpi Lama Swasembada Gula

Alamat Redaksi Jl. Yupiter Utama D10/12 Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493 Alamat Iklan/Tata Usaha Jl. Purnawirawan Raya 12/424 Bandar Lampung Telp : 0816 4063 04. Website www.opini-indonesia.com Email agro@opini-indonesia.com

Topik Edisi Depan:

Kemerdekaan dan Pertanian

Usia Indonesia bertambah. Ada keberhasilan, namun tidak sedikit juga kegagalan. Tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun, sudah saatnya kita melihat ke belakang dan menatap ke masa mendatang kemerdekaan dalam sektor pertanian kita. Anda punya pendapat? Kirimkan email ke agro@opini-indonesia.com atau melalui faksimili (021) 87716493.

Percetakan PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting)

Isi diluar tanggungjawab percetakan

Tarif Iklan 1 Halaman Berwarna • Dalam Rp. 3.000.000,• Belakang Rp. 7.000.000,-


REDAKSIONAL

Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

Industri Gula Nasional:

Upaya Menuju Kebangkitan

B

icara gula maka sama dengan bicara harga yang selalu naik. Di tengah tren kenaikan harga gula tersebut tersimpan masalah besar industri gula nasional. Peningkatan kebutuhan domestik yang meningkat tajam ternyata tidak diimbangi dengan produksi gula lokal kita. Tata niaga gula mengenal dua jenis pasar, industri dan non industri (konsumsi). Memenuhi salah satu kebutuhan saja (kebutuhan konsumsi) industri gula kita sudah tidak mampu. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan impor gula yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berbagai kebijakan telah diupayakan oleh pemerintah untuk mendorong kebangkitan industri yang pernah berjaya pada jaman pra-kemerdekaan ini. Upaya-upaya tersebut disertai dengan penentuan targetangka sebagai parameter keberhasilan berupa target swasembada gula. Namun sayangnya, sampai saat ini target tersebut tidak pernah tercapai. Ironisnya, target tersebut sebenarnya sudah berkali-kali direvisi namun tetap saja tidak tercapai. Jelas ada yang salah dengan asumsi-asumsi dan perhitungan. Berbeda dengan kelapa sawit yang cenderung dibiarkan bertarung sendirian, industri gula sudah menikmati proteksi pemerintah. Impor sangat dibatasi dan harga petani ditentukan selalu di atas harga gula internasional. Harapannya

semangat membangun kembali kejayaan industri gula dapat terwujud. Namun dengan segala kemudahan tersebut mengapa kebangkitan industri ini seperti jauh api dari panggang? Banyak argumen dilontarkan, mulai dari kesulitan penambahan lahan, perlunya revitalisasi pabrik gula (khususnya BUMN) dan sebagainya. Namun nampaknya yang harus menjadi perhatian utama dan segera adalah pembenahan tata niaga gula yang nampaknya menjadi penyebab meroketnya harga komoditas yang satu ini. Tata niaga gula kita memang aneh, di sisi hulu dilakukan proteksi namun di sisi hilir diserahkan ke mekanisme pasar. Majalah Agro Swakarsa edisi ini berupaya mengangkat semua sudut pandang seputar permasalahan industri gula nasional kita. Beberapa sudut pandang diharapkan memunculkan banyak ide-ide solusi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, kebijakan negara-negara lain dalam hal produksi gula juga ditampilkan sebagai bahan komparasi bahwa bukan sesuatu yang mustahil membangkitkan kembali industri gula kita. Mengingat kompleksnya permasalahan, maka selain isi di majalah ini, kami menyediakan tautan ke laman asal konten tulisan pada halaman daftar isi agar jika dibutuhkan, pembaca dapat melakukan penelusuran lebih dalam. Selamat membaca.

Kelompok Penerbitan BAGAIMANA KEBIJAKAN PANGAN DI 5 NEGARA ASIA?

Majalah Bulanan Kelompok OPINI INDONESIA www.opini-indonesia.com

Edisi 01 / Mei 2013 o PROLOG o TABULASI o KOMPARASI o EPILOG

Subscription & Advertisement: 0816 406304 www.opini-indonesia.com info@opini-indonesia.com www.opini-indonesia.com/page

Membangun (Ulang) Ketahanan Pangan TABULASI:

Indonesia Masih Impor 10 Bahan Pangan ALTERNATIF:

Diversifikasi Pangan Sama Dengan Non Beras dan Terigu?

4 6 12 22

3


4

PROLOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

Dari Kebun Tebu Ke Tata Niaga Gula

Jalan Panjang Menuju Swasembada Gula

A

Pilihan bingung antara melindungi produsen lokal dan daya beli konsumen domestik menjadikan ditambah konsumsi lebih besar dari produksi mengakibatkan pintu impor dibuka.

pabila kita melihat sejarah, Indonesia -pada saat itu masih bernama Hindia Belandapernah menjadi pengekspor gula terbesar di dunia setelah Kuba pada kisaran tahun 1930-1940. Namun sayangnya, setelah kemerdekaan, perkebunan tebu dan industri pergulaan kita seakan-akan jalan sangat perlahan dibanding negara-negara lain. Ambil saja contoh Brazil yang merupakan penguasa nomor satu pasar gula dunia saat ini atau tetangga dekat kita, Thailand, yang saat ini menempati peringkat 5 dunia. Tahun 1960, produksi gula Brazil sekitar 3,5 juta ton. Namun pada tahun 2012, produksi gula Brazil meningkat drastis menjadi 36,2 juta ton. 800% dalam

waktu 52 tahun. Sementara Thailand lebih fantastis lagi. Dari produksi ‘hanya 132 ribu ton pada tahun 1960, Thailand menjelma menjadi penguasa kelima dengan produksi mencapai 9,7 juta ton. Dalam 52 tahun saja, Thailan bisa meningkatkan produksinya sebesar lebih dari 7.000%! Bandingkan dengan Indonesia yang bertransformasi secara radikal menjadi pengimpor terbesar kedua dunia. Tahun 1960, produksi kita sebesar 1,3 juta ton dan menjadi 1,8 juta ton di tahun 2012. Peningkatan kita hanya 45% saja dalam kurun 52 tahun. Memang menyedihkan dan ironis, Kita bisa berjaya justru di masa-masa kita dijajah negara lain. Banyak masalah


greenagrofarm.blogspot.com

Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

merudung perkebunan dan industri gula nasional kita sehingga kita tidak mampu bangkit kembali. Celakanya, masalah itu justru adalah masalah yang kita buat sendiri dan bukan karena masalah eksternal. Perkebunan tebu kita tidak dihantam sekeras seperti komoditas sawit. Perkebunan tebu sisasisa peninggalan Belanda masih saja menjadi andalan dan mayoritas mayoritas terpusat di Pulau Jawa (Jawa Barat, Tengah dan Timur). Beberapa sudah tutup dan beberapa masih bertahan dengan kondisi yang memprihatinkan. Berbagai masalah internal seperti mesin-mesin dan teknologi yang tidak dimodernisasi sehingga inefisensi terjadi mulai dari perkebunan sampai pabrik gula. Perkebunan tebu masih banyak menerapkan cara-cara tradisional, sementara pabrik-pabrik gula banyak yang berstatus ‘hidup segan mati tak mau.’ Sementara itu, dari sisi tata niaga, keruwetan makin menjadi-jadi. Produk hasil perkebunan tebu berupa gula diduga kuat dikuasai kartel dan bersifat oligopoli. Ada yang menyebut para samurai, ada yang menyebut para naga yang jumlahnya berkisar 5-9 orang dan menguasai 80% tata niaga gula nasional. Secara kebijakan, terlihat bahwa

pemerintah ada niat menguatkan Industri yang satu ini. Berbagai kebijakan meskipun lebih terkesan panik, dibuat untuk melindungi industri gula nasional seperti penetapan harga patokan petani (HPP). Namun kebijakan HPP yang berpihak pada petani dihadapkan pada kenyataan bahwa HPP tersebut jauh lebih tinggi dari harga gula internasional. Sementara di sisi ketersediaan, produksi lokal tidak pernah bisa mencukupi dibanding kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan industri dan non industri (konsumsi). Pilihan bingung antara melindungi produsen lokal dan daya beli konsumen domestik menjadikan ditambah konsumsi lebih besar dari produksi mengakibatkan pintu impor dibuka. Awalnya memang impor hanya untuk kepentingan Industri, namun kenyataan dan pada akhirnya masuk juga ke pasar konsumsi non industri. Secara keberpihakan, kebijakan pemerintah melindungi produsen lokal (yang mayoritas adalah petani tebu rakyat) memang sudah sewajarnya diapresiasi. Di sisi petani memang terlihat peningkatan kemakmuran yang signifikan karena harga yang menguntungkan. Lihat saja, bagaimana para petani tebu yang sekarang cukup menikmati hasil dari perkebunan miliknya di beberapa daerah Jawa Timur. Namun dalam konteks industri gula nasional, kebijakan yang melindungi tanpa diikuti dengan kebijakan peningkatan produktivitas dan efisiensi akan menjadi bumerang dan itu sudah mulai terbukti. Jargon-jargon manis mengenai swasembada gula tetap menjadi jargon yang hanya manis di mulut namun pahit di kenyataan. Berulang kali pemerintah menyatakan target pencapaian swasembada gula, namun berulang kali juga pemerintah merevisinya. Lebih hebatnya lagi target yang direvisi tersebut tidak juga pernah tercapai sampai saat ini. Wacana revitalisasi demi efisiensi pabrik gula milik negara, juga tak henti dikumadangkan oleh para menteri yang terkait. Tapi semua nampaknya hanya sebagai bagian dari pencitraan tanpa implementasi konkrit dan seakan ingin menunjukkan bahwa mereka telah berbuat sesuatu untuk industri ini. Bagaimana mungkin melakukan revitalisasi industri gula jika para pengimpor resmi komoditas ini adalah BUMN yang juga merupakan produsen gula dan pemilik perkebunan serta pabrik

5

gula. Dengan disparitas harga antara produksi lokal dan impor, secara ekonomis akan lebih menguntungkan memasukkan gula impor dan mempertahankan status quo produksi gula sehingga harga bisa dijaga dan keuntungan besar tetap terjamin. BUMN yang di satu sisi diminta memberikan keuntungan, namun di sisi lain diminta menjalankan programprogram pemerintah. Hal ini belum ditambah dengan kecurigaan adanya deal politik yang tidak terlihat tapi dirasakan dampaknya. Nampaknya pihak swasta yang selama ini tidak terlalu diperhatikan, justru muncul sebagai kekuatan dalam peta industri gula nasional. Mereka bisa efisien dalam pengelolaan industri ini dan sudah menerapkan penguatan huluhilir. Hal ini menjadi sinyal positif, bahwa industri gula nasional kita masih dapat bangkit. Jika swasta dapat menjadi kekuatan setelah sekian lama dikuasai oleh pemain-pemain BUMN menunjukkan ada yang salah dalam pengelolaan industri gula nasional selama ini. Kebijakan selama ini terlalu memanjakan para pihak yang terlibat dalam industri ini dan tidak dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong peningkatan produktivitas. Harusnya kebijakan tersebut dapat menjadi insentif untuk mempercepat perkembangan industri ini dan mengejar ketertinggalan kita dibanding negaranegara lain. Karena tidak adanya kewajiban balik peningkatan produksi sebagai konsekuensi logis, akhirnya mulai dari petani, pabrik gula, importir dan distributor besar selalu sibuk dengan penetapan harga lelang gula setiap musim giling. Kesibukan ini masih ditambah dengan berbagai keriuhan protes dan demonstrasi serta opini-opini para opinion leader untuk mempengaruhi kebijakan seputar harga lelang gula Akhirnya mereka-mereka saja yang ‘sangat’ menikmati manisnya gula, namun menyisakan kepahitan terhadap industri gula nasional kita. Produksi tidak meningkat, impor bertambah tapi harga di pasaran tetap tinggi. Sudah saatnya para pembuat kebijakan dan pelaku industri ini -yang notabene selama ini dimanja oleh negarabelajar pada pihak swasta nasional dalam pengelolaan industri gula yang efisien sehingga kebangkitan industri gula nasional bukan hanya manis di mimpi, pahit di kenyataan.


6

TABULASI

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

Perkebunan Tebu Indonesia

Lahan Tetap, Produktivitas Memprihatinkan perkebunan rakyat memiliki luasan lahan yang terbesar, mengikuti perkebunan BUMN dan swasta. Namun, perkebunan tebu dan pabrik gula Indonesia sepertinya selalu mengalami masalah internal yang tidak kunjung selesai. Berbagai kebijakan telah dibuat, namun sampai saat ini kita masih belum bisa mandiri. Jangankan untuk ekspor, memenuhi kebutuhan domestik saja kita tidak sanggup. Dalam 5 tahun terakhir, produktivitas perkebunan tebu kita cenderung menurun. Dibandingkan dengan produktivitas tahun 2008 sebesar 6.113 kg/ha, produktivitas di tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 5.307 kg/ ha atau turun 13%. Demikian juga dengan produksi ikut mengalami penurunan 8% dalam periode yang sama. Hal ini tidak sebanding dengan pertambahan areal sebesar 5%. 6,113

P

erkebunan dan pabrik gula Indonesia terkonsentrasi di 3 pulau utama, Jawa, Sumatra dan Kalimantan dengan luas lahan terbesar berada di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar nasional diikuti oleh Provinsi Lampung. Kedua provinsi ini menyumbang lebih dari 3/4 total produksi gula nasional. Perkebunan terdiri dari perkebunan rakyat, perkebunan BUMN dan perkebunan swasta. Sementara pabrik gula terdiri dari pabrik milik BUMN dan pabrik gula swasta. Secara umum

5,952

5,292

5,030

5,307

2,668

2,517

2,290

2,268

2,438

437

441

454

452

461

2008

2009

2010

2011

2012

Produksi (000 ton)

Areal (000 ha)

Produktivitas (kg/ha)

Sumber: Ditjenbun

Cerita lama revitalisasi pabrik gula yang terus didengungkan oleh semua instansi mulai dari Kementrian Pertanian, Kementrian Perindustrian sampai Kementrian BUMN nampaknya hanya manis di bibir namun pahit di kenyataan. Berbagai justifikasi dibuat untuk ‘menutupi’ kegagalan demi kegagalan. Bayangkan saja, rencana swasembada dari tahun 2002 sampai detik ini masih tidak tercapai. Meskipun besaran target swasembada berkali-kali direvisi namun


2,668,428 2,517,374 2,290,116 2,267,887 2,438,198

Edisi 03/Juli 03/Juli 2013 2013 || AGRO AGRO SWAKARSA SWAKARSA Edisi

77

Produksi Tebu Indonesia, 2008-2012 Sumber: Ditjenbun

Sumatra 910,127 1,029,585 857,160 816,336 821,886

Sulawesi 61,257 58,215 54,653 51,731 58,688

Jawa 1,697,044 1,429,574 1,378,303 1,399,820 1,557,624

INDONESIA

tetap saja tidak tercapai. Berbagai faktor dijadikan biang keladi kegagalan. Mulai dari rendemen rendah sampai anomali iklim. Padahal jika melihat kondisi di negara produsen lain, faktor tersebut tidak signifikan menganggu produksi mereka. Tidak saja gagal dalam swasembada gula. Seiring dengan kecilnya produksi dibanding konsumsi domestik, maka tidak ada pilihan untuk membuka keran impor guna pemenuhan kebutuhan. Dan untuk urusan impor ini, kita benar-benar hebat karena tren impor kita terus meningkat. Dalam kurun 11 tahun dari tahun 1990sampai 2011, impor gula kita meningkat lebih dari 700%! 2,371,250 1,980,487

1,538,519 1,382,525

400,920

280,978

544,300

-

4,354 -

8

17,163

5,385

965

581

686

1980

1985

1990

1995

2000

2005

2010

2011

Ekspor (ton)

Impor (ton)

Sumber: Ditjenbun

Ironisnya, gula merupakan salah satu komoditas yang dikontrol secara ketat

oleh pemerintah, Kebijakan proteksi dan promosi komoditas yang satu ini termasuk yang paling gencar dilakukan. Penentuan HPP/HDG yang tinggi diterapkan untuk melindungi petani tebu, sementara harga internasional terpaut jauh di bawah HPP/HDG tersebut. Sayangnya, proteksi tersebut tidak diikuti dengan tata niaga gula yang terkontrol sehingga menyebabkan harga gula selalu meningkat. Lebih ironis lagi melihat kenyataan bahwa kebijakan proteksi dan promosi yang diterapkan tidak juga mampu membangkitkan industri yang satu ini. Peningkatan HPP/HDG yang signifikan tidak diikuti dengan peingkatan produksi secara signifikan. Bahkan lebih parahnya, peningkatan HPP/HDG justru diikuti dengan kenaikan volume impor. Namun demikian, kenaikan volume impor ini lebih disebabkan kenaikan kebutuhan domestik yang tidak sebanding dengan produksi lokal kita. Nampaknya, alih-alih peningkatan produksi secara signifikan terhadap kebutuhan, para pelaku industri ini lebih sibuk memperdebatkan HPP/HDG dan kuota impor gula. Kedua isu tersebut memang terkait dengan besarnya margin keuntungan yang dapat diperoleh di tengah kebijkan proteksi dan promosi.

2008 2009 2010 2011 2012*)

Kita patut khawatir, bahwa modus keuntungan besar justru mengorbankan industri gula itu sendiri dan tentu saja pada akhirnya adalah membebani konsumen. 8,100 6,350 5,000

2,668

984 2008

7,000

5,350

2,517

2,290

1,374

1,383

2009 HPP/HDG (Rp.)

2010 Produksi (ribu ton)

2,268

2,438

2,371

2,400

2011

2012 Impor (ribu ton)

Sumber: Ditjenbun

Jika melihat pengalaman bahwa kita pernah berjaya meskipun masih dalam suasana penjajahan, maka bukan tidak mungkin kita bisa bangkit. Berbagai negara produsen gula sudah membuktikan hal tersebut. Tidak usah muluk-muluk menjadi penguasa pasar dunia. Dengan pemenuhan seluruh kebutuhan domestik saja sudah merupakan prestasi karena dengan begitu kita tidak lagi tergantung pada impor gula dan tentu saja berdampak langsung pada penguatan ketahanan pangan nasional kita.


8

ANALISA

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

Perlu Kebijakan Tata Niaga Gula Yang Komprehensif

muliapasee.blogspot.com

Kebijakan perlindungan petani tetap diwujudkan antara lain melalui pembatasan pasokan sesuai dengan permintaan masyarakat. Namun kebijakan tersebut harus dilengkapi dengan tata niaga secara utuh yang dilengkapi dengan kebijakan pembatasan harga eceran (tidak menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar).

D

engan diterbitkannya SK 527 pada tahun 2004, pemerintah mencoba untuk mengatasi permasalahan rendahnya harga gula dengan cara melindungi petani. Konsep kebijakan tersebut mengarahkan pasar pada kondisi dimana supply sama dengan demand. Supply tidak ditoleransi melebihi demand karena akan membuat harga rendah dan merugikan petani seperti yang terjadi sebelum tahun 2004. Demikian juga supply tidak ditoleransi berada jauh di bawah demand karena akan merugikan konsumen dengan terciptanya harga mahal. Kebijakan yang ada sekarang nampaknya lebih mengarah kepada harga yang menguntungkan petani gula dengan adanya konsep supply yang tidak boleh melebihi demand. Dalam hal ini perlindungan produsen terutama petani, cenderung lebih menjadi prioritas.

Beberapa hal utama yang diatur dalam kebijakan tersebut diantaranya terkait dengan konsep dana talangan dan entry barrier alternatif pasokan gula lainnya seperti impor dan gula rafinasi yang dilarang masuk pasar gula konsumsi. Konsep Dana Talangan Konsep dana talangan mulai berlaku pada tahun 2004. Konsep ini memang menguntungkan petani gula. Namun seiring perkembangannya, konsep dana talangan sepertinya menjadi salah satu kekuatan investor dalam industri gula nasional. Faktanya, hanya investor yang memiliki dana besar yang mampu untuk memberikan dana talangan tersebut sehingga mereka memiliki peran yang penting dalam industri gula secara keseluruhan.


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

Pabrik gula hakikatnya hanya menerima bagi hasil penggilingan tebu dengan petani. Para petani melalui asosiasi dan pabrik gula mengundang investor. Apabila harga di bawah harga dasar, menjadi kewajiban investor untuk menalangi. Apabila harga ada di atas atas harga dasar, maka kelebihan harganya dibagi dengan proporsi 60% untuk petani dan 40% untuk investor. Konsep dana talangan seharusnya tidak diperlukan karena melalui pembatasan pasokan (tidak boleh masuknya gula impor dan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi), harga lelang gula senantiasa selalu berada di atas harga dasar gula (HDG). Kebijakan dana talangan justru menjadi bagian dari ekonomi biaya tinggi, mengingat ada 40% bagian dari harga lelang gula di atas HDG yang tidak menjadi bagian petani tetapi menjadi keuntungan pedagang. Dalam kebijakan yang kondusif menjaga harga dasar bagi petani, seharusnya kebijakan yang diambil adalah dengan meniadakan dana talangan, tetapi petani bisa segera mendapatkan uang hasil pelelangan. Antara lain dengan melakukan lelang secara langsung setelah proses giling dilaksanakan. Entry Barrier Alternatif Pasokan Gula Lainnya Pasca kebijakan di tahun 2004, kondisi industri gula domestik semakin membaik dengan meningkatnya produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun ketika harga gula dunia sempat menembus angka tertinggi yaitu US$ 800/ton, produktivitas pabrik gula mengalami penurunan yang signifikan, sehingga menurunkan produksi gula secara keseluruhan. Sementara dari sisi demand tidak menunjukkan perkembangan yang menurun bahkan terus meningkat. Kondisi kurangnya pasokan, tidak direspon pemerintah dengan melakukan impor untuk melakukan stabilisasi harga. Pemerintah justru tetap membatasi impor gula dan pembatasan gula rafinasi masuk ke dalam pasar gula konsumsi, sekalipun gula tersebut sebenarnya aman untuk dikonsumsi masyarakat. Akibatnya, pasokan gula konsumsi ke pasar sangat terbatas. Inilah yang mendongkrak harga cukup signifikan. Baru setelah melalui berbagai perdebatan, pemerintah membuka impor gula di tahun 2009, karena pada saat itu terjadi kenaikan harga gula dalam negeri yang cukup pesat, yang diduga diakibatkan oleh rendahnya pasokan sehingga impor menjadi solusi untuk melakukan stabilisasi harga. Pengaruh Kebijakan Di Jalur Distribusi Di sisi hulu, supply selalu diusahakan sama/tidak boleh melebihi demand. Seharusnya mekanisme distribusi hanya untuk menyalurkan gula yang telah diatur secara ketat jumlahnya, dari produsen dan importir ke konsumen. Menjadi pertanyaan besar ketika mekanisme distribusi gula yang digunakan adalah mekanisme pasar di tengah supply yang sepenuhnya ada di tangan pelaku usaha/distributor yang cenderung oligopolis. Akibatnya, pelaku usaha distribusi gula yang memiliki kekuatan dominan untuk mendistorsi pasar, akan membuat harga bergejolak dengan kecenderungan harga yang terus naik. Pemerintah dalam beberapa kesempatan, pernah mencoba mengatasi kenaikan harga dengan kebijakan penetapan harga eceran tertinggi (HET) melalui surat edaran Menteri Perdagangan. Namun kebijakan tersebut tidak efektif. Harga

9

selalu cenderung naik. Potensi tingginya harga sudah dimulai sejak lelang. Peserta lelang yang juga menjadi penyedia dana talangan memiliki keunggulan bersaing yang tidak bisa diikuti oleh peserta lelang lain. Hal ini menyebabkan merekalah yang kemudian lebih menguasai peredaran gula. Mengingat model distribusi, yang diatur secara ketat pasokannya, maka para pelaku usaha ini kemudian mengetahui dengan pasti bahwa hanya merekalah yang dapat memasok gula ke seluruh Indonesia. Pilihan Kebijakan Berdasarkan pengalaman, pemerintah telah mengambil dua kebijakan dengan dampak yang saling bertentangan dan memiliki dampak negatif yang signifikan. Kebijakan yang diambil selalu memunculkan konsekuensi. Apabila pasar gula dibebaskan, maka akan muncul jalur distribusi baru yang akan menjadi alternatif selain pelaku usaha yang saat ini sehingga gula menjadi murah bagi konsumen. Akan tetapi pilihan ini akan menyebabkan petani dirugikan dan terancam kelangsungannya apabila harga gula dunia lebih rendah dibanding harga gula nasional. Apabila regulasi seperti saat ini terus dilakukan, harga di tingkat petani akan terjaga. Namun distorsi pasar akan terus terjadi dengan kecenderungan harga gula yang terus naik karena pasokan terbatas pada sekelompok pelaku usaha saja. Akibatnya harga akan melambung. Dengan kondisi seperti ini konsumen akan kembali dirugikan. Solusi kebijakan yang paling ideal untuk menyelesaikan permasalahan industri gula adalah dengan kebijakan yang mendorong biaya produksi gula di Indonesia bergerak ke arah yang lebih efisien, sehingga mampu bersaing dalam tingkat persaingan seketat apapun, termasuk saat pasar menjadi terbuka yang terintegrasi dengan pasar internasional melalui kebebasan impor. Kebijakan ini hanya dapat dicapai apabila dilakukan secara komprehensif, mengingat kebijakan terkait industri gula ada di beberapa instansi pemerintah yakni Kementrian Pertanian (industri gula berbasis perkebunan/petani), Kementrian Perdagangan (khusus untuk perdagangan gula) dan Kementrian Industri (khusus untuk industri gula rafinasi). Persoalan inefisiensi, terjadi dari mulai budidaya tanam, proses produksi serta biaya distribusi. Melalui industri yang efisien, maka tidak akan ada lagi keraguan saat industri ini terbuka bagi pelaku usaha manapun, termasuk impor gula. Sebagai jalan tengah sebelum kebijakan komprehensif tersebut bisa diwujudkan, maka kebijakan tata niaga yang saat ini berlaku sebaiknya disempurnakan untuk menghindari distorsi pasar yang terjadi. Kebijakan perlindungan petani tetap diwujudkan antara lain melalui pembatasan pasokan sesuai dengan permintaan masyarakat. Namun kebijakan tersebut harus dilengkapi dengan tata niaga secara utuh yang dilengkapi dengan kebijakan pembatasan harga eceran (tidak menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar). Bahkan bila diperlukan, di setiap jalur distribusi harga diatur secara rigid. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari eksploitasi konsumen yang disebabkan oleh tingginya bargaining position pedagang gula akibat tata niaga yang sangat membatasi pasokan yang dikuasai oleh beberapa pelaku usaha saja. Position Paper, Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI


10

KOMPARASI

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

Kebijakan Gula Negara Lain

Proteksi dan Subsidi Saja Tidak Cukup

45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0

Produksi Konsumsi Domestik Ekspor

1960 1970 1980 1990 2000 2010 2011 2012 2013 2014

Impor

Brazil merupakan negara penghasil gula terbesar dunia yang mempunyai sejarah paling panjang sekitar 5 abad. Pengalaman panjang tersebut merupakan pijakan yang sangat kokoh untuk mengembangkan agribisnis gula, baik bagi pemerintah, swasta maupun para petani tebu. Satu hal yang menjadikan industri gula di Brazil sangat efisien karena industri pengolahan tebu seluruhnya dikelola oleh swasta. Hal tersebut diperkuat dengan dukungan yang sangat besar dari pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur transportasi,

irigasi, pergudangan dan pelabuhan. Dukungan kebijakan lain yang cukup penting adalah penyediaan kredit usaha dengan bunga yang relatif rendah. Pemerintah Brazil menyediakan bantuan kredit kepada petani maupun pengusaha gula dengan tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah dari suku bunga pasar. Dalam budidaya tanaman tebu, dukungan kebijakan berupa tersedianya bibit unggul tebu yang dapat diakses oleh petani dengan mudah. Pemerintah Brazil mengembangkan teknologi budidaya tebu melalui lembaga The Brazilian Agriculture Research Corporation, suatu badan di bawah Kementerian Pertanian yang bertugas melakukan berbagai penelitian dan pengembangan dalam bidang bioteknologi pertanian. Hampir seluruh pabrik gula di Brazil, selain menghasilkan gula juga memproses tebu menjadi alkohol. Alkohol kemudian diproduksi juga menjadi bahan bakar nabati yang didistribusikan oleh Petrobras. Dengan kondisi seperti ini maka industri berbahan baku tebu di Brazil dapat memperkecil ketergantungannya terhadap pasar gula internasional. Industri gula dan alkohol Brazil saat ini merupakan yang paling efisien di dunia. Oleh karena itu, pemerintah Brazil saat ini memfokuskan diri pada upaya menciptakan perdagangan internasional yang adil, bebas dari proteksionisme yang berlebihan. Upaya yang dilakukan pemerintah Brazil adalah selain melalui perundingan bilateral maupun multilateral termasuk WTO untuk membuka pasar negara-negara yang selama ini cukup protektif.

India (#2)

35000 30000

Produksi

25000 20000 15000

Konsumsi Domestik

10000

Ekspor

5000 0

Impor 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2011 2012 2013 2014

Brazil (#1)

#1

Kontribusi industri gula terhadap pendapatan pemerintah pusat dan negara bagian mencapai cukup besar. Luas lahan tebu di India (termasuk yang diairi irigasi) dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah India antara lain penetapan harga minimum (harga dasar) tebu yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, dan negara bagian. Dengan adanya harga dasar ini, para petani tebu mendapat jaminan harga minimum tertentu dari tebu yang dihasilkan. Selain itu,


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

11

40,000 35,000 30,000

#4

Market Year 2013

25,000

(dalam ribu ton)

20,000 15,000 10,000

#12

5,000 0

#5 #17

pemerintah juga memberikan dukungan melalui pembangunan infrastruktur jaringan irigasi dan sarana perhubungan untuk memperlancar mobilitas tebu dari lahan petani ke pabrik gula. Berkaitan dengan kebijakan kredit, pemerintah India menerapkan kebijakan khusus agar dapat membayar pengeluaran untuk transportasi internal dan ongkos angkut pengapalan ekspor gula dan memberikan pinjaman dengan suku bunga rendah bagi proyek pengembangan yang menggunakan hasil industri berbahan baku tebu. Kebijakan pemasaran gula di dalam negeri India ada dua, yaitu gula untuk masyarakat berpendapatan rendah dan gula untuk masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Untuk mendukung kebijakan gula murah, pemerintah mengharuskan kepada setiap pabrik gula untuk menyisihkan sekitar 10 persen dari total gula yang dihasilkan. Untuk mendorong ekspor gula, pemerintah India memberikan subsidi ekspor terhadap jumlah gula yang diekspor. Pemerintah pusat juga memberikan pengurangan pajak pembelian tebu untuk gula yang akan diekspor. Dukungan kebijakan pemerintah terhadap agribisnis gula yang terkahir adalah pembentukan buffer stock yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 2 juta ton. Semua biaya penyimpanan ditanggung oleh pemerintah, sehingga pemerintah dapat mengatur jumlah gula di pasar dalam negeri India dan dengan demikian stabilitas harga dapat dengan mudah dicapai.

Brazil

China

India

Indonesia

Filipina

Thailand

Produksi

38,600

13,977

27,430

1,970

2,450

9,900

Konsumsi

11,200

15,400

25,500

5,130

2,200

2,650

Ekspor

27,650

44

550

0

250

8,000

Impor

0

2,800

1,300

3,565

0

0

China (#4)

18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0

Produksi Konsumsi Domestik Ekspor Impor 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2011 2012 2013 2014

#2

Pada tahun 1991-1993 China sempat mengalami surplus gula dan pada saat itu untuk pertama kalinya China melakukan ekspor gula. Namun perkembangan konsumsi yang lebih tinggi dari produksi, menyebabkan saat ini China termasuk sebagai negara pengimpor gula yang cukup besar. Melihat pentingnya komoditas gula, pemerintah China mengambil kebijakan untuk mengendalikan pengembangan agribisnis gula nasional. Beberapa instansi pemerintah dan organisasi terlibat dalam perumusan kebijakan agribisnis gula di

China dengan kewenangan yang spesifik dan tidak tumpang tindih. Pemerintah China menerapkan serangkaian kebijakan untuk mendukung dan mengembangkan agribisnis gula. Pertama, menerapkan sistem tanggung jawab produksi keluarga di wilayah pedesaan yang membangkitkan antusiasme para petani tebu untuk meningkatkan produksi tebu. Kedua, memberikan insentif berupa pangan beras atau serealia lain untuk petani tebu, sehingga menjamin kecukupan pangan para petani tebu dan menjaga petani tebu untuk tetap menanam tebu. Dan yang ketiga, memberikan subsidi berupa pembangunan irigasi pada lahan-lahan yang ditanami tebu, menyediakan traktor dan pupuk serta teknik budidaya tebu yang optimal. Kebijakan lain yang cukup penting adalah pembukaan lahan kering dataran tinggi untuk dijadikan lahan perkebunan tebu, membuka kawasan baru untuk memproduksi gula dan melakukan modernisasi peralatan pada pabrik gula serta meningkatkan skala produksinya. Pemerintah China juga sudah tidak memberikan lagi subsidi langsung kepada para petani tebu, bahkan menerapkan pajak pendapatan yang cukup tinggi terhadap pabrik gula. Kebijakan proteksi yang dilakukan oleh pemerintah China dengan cara menerapkan kuota impor dengan tarif yang berbeda untuk gula putih dan gula mentah. Adapun impor di luar kuota yang telah ditetapkan diperbolehkan dengan catatan dibebankan tarif impor yang sangat tinggi.


12

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

Thailand (#5)

memenuhi kewajiban melaksanakan dua kuota sebelumnya. Untuk melindungi petani dan industri gula dalam negeri, pemerintah Thailand melakukan proteksi dengan menerapkan kuota dan tarif impor. Untuk kuota tarif ditentukan cukup tinggi untuk, sementara di luar kuota ditentukan tarif yang sangat tinggi hampir 100%.

Filipina (#12) 12000 Produksi

10000 8000

Konsumsi Domestik

6000 4000

Ekspor

2000 0 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2011 2012 2013 2014

Impor

3000 Produksi

2500 2000

Konsumsi Domestik

1500 1000

Ekspor

500 0

Data statistik diolah dari USDA

Impor 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2011 2012 2013 2014

Selama kurun waktu 1930-1935, produksi gula Thailand sangat kecil, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri harus mengimpor gula yang berasal dari Indonesia, India dan lain-lain. Perubahan drastis dimulai sejak tahun 1937, ketika pabrik gula modern mulai dibangun di Thailand. Sejak saat itu, produksi gula Thailand terus berkembang hingga saat ini. Suksesnya agribisnis tebu di Thailand disebabkan oleh antara lain karena memadainya harga tebu yang diterima petani, lingkungan industri yang mendukung, dan dukungan pemerintah dalam memperluas dan merealokasi pabrik gula ke beberapa wilayah perkebunan tebu. Kebijakan agribisnis gula di Thailand dijalankan oleh badan khusus yang anggotanya terdiri dari para wakil petani, pabrik gula dan pemerintah. Pemerintah juga memberikan subsidi suku bunga kredit usahatani bagi petani tebu. Di sisi tataniaga, pemerintah menetapkan kebijakan pemasaran gula di pasar domestik dan luar negeri berdasarkan sistem kuota. Ada 3 jenis kuota yang telah ditetapkan selama ini: kuota gula pasir yang diperuntukan bagi konsumsi domestik, kuota gula mentah yang ditujukan untuk keperluan ekspor dan kuota yang ditetapkan untuk perusahaan swasta yang akan mengekspor gula setelah pabrik gula

bentuk raw sugar agar dapat memberikan keuntungan pada refiners. Impor gula didasarkan atas keputusan Presiden atas rekomendasi Departemen Pertanian, untuk kemudian ditenderkan. Pemerintah Filipina juga membuat kebijakan harga yang melindungi petani tebu sekaligus juga melindungi konsumen gula. Pemerintah Filipina melakukan intervensi pasar agar stabilitas harga terjamin, walaupun tetap juga memperhatikan fluktuasi harga gula di pasar internasional. Kebijakan lain yang cukup penting adalah dukungan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur pertanian, seperti pembangunan jalan, pembangunan jaringan irigasi dan peralatan pendukung untuk mendorong peningkatan produktivitas tebu. Selain itu, melalui Philippine Sugar Research Institute (Philsurin), Filipina juga mengembangkan bibit varietas unggul tebu dan teknologi budidaya yang dapat mendorong peningkatan produktivitas dan rendemen tebu. Berkaitan dengan perdagangan internasional, pemerintah Filipina menetapkan tarif impor gula yang cukup tinggi.

Dengan pencanangan program swasembada gula, agribisnis gula Filipina mendapat perhatian utama pemerintah. Institusi independen yang menangani pergulaan nasional dibentuk dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga ini didukung oleh kebijakan setara undang-undang, sehingga mempunyai kemampuan untuk mengikat semua institusi yang terlibat dalam agribisnis gula di Filipina. Ada 3 kebijakan umum industri gula di Filipina. Pertama, membebaskan penduduk lokal maupun asing berpartisipasi dalam perdagangan gula selama mempunyai kapabilitas keuangan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, gula yang diproduksi di dalam negeri diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik, dan prioritas berikutnya adalah memenuhi kuota ekspor gula ke Amerika Serikat. Dan ketiga, impor gula diusahakan dalam

www.cnp-webservice.com

SOLUSI ONLINE USAHA ANDA Daftar klien : t CV. Mandala Agro Swakarsa t Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) t PT. Sarana Pratama Gemilang t PT. Sumber Solusi Selaras t Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) t PT. Limas Karya Utama t Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia t Yayasan Pemantau Hak Anak Indonesia t Yayasan Saint Anna Education Center t Yayasan Media Wasantara t dll.


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

13

Perbedaan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dengan Pupuk Kimia Perbedaan mendasar antara Pupuk OrHipotesis Tentang Keunggulan ganik Cair MASAGRI® dan pupuk kimia adalah pada perlakuan terhadap tanah. land

Industri Gula Thai-

Pupuk kimia memasok nutrisi langsung ke tanaman dengan memberikan unsur Studi pendahuluan yangbaik telahunsur dilakukan Perhimpunan Ekonomi yang dibutuhkan tanaman Pertanian Indonesia (Perhepi) menunjukkan setidaknya terdapat makro maupun mikro. Dengan pasokan 4 (empat) faktor yang mendapatkan dapat menjadi faktor penentu keunggulan langsung, maka tanaman industri Thailandtanpa sedemikian unsur yanggula dibutuhkan melaluisehingga Thailand menjadi salahbiologis satu eksportir di Asia Tenggara termasuk proses dan kimiaterbesar dalam tanah. kekurangan Halmemasok ini menyebabkan tanahkebutuhan hanya men-Indonesia. jadi tempat ‘meletakkan’ akar tanaman 1) tidak Skalamemiliki usaha. fungsi lain. Masalah dan yang akan timbul kemudian adalah puDi kimia Thai, pabrik gula umumnya sudah berkisar antara 8-10 TCD puk yang diberikan tidak semua (ton-caine-perday), beberapa sudah akan diserap oleh tanaman, karena se- 18.000TCD. Di Indonesia hanya PG di Lampung beberapa PG swasta yang memiliki bagian (>70%) akan terikatdan (terakumuskala sebesar itu. sebagian lasi) ke dalam liat tanah, sehinggabesar tanahPG di Jawa hanya berskala 2000anliat/keras TCD. Dari aspek skalajangka usaha saja industri gula Thailand menjadi serta dalam sudah akan unggul dalamtoksik hal efisiensi. panjang bersifat memacu berkembangnya penyakit dalam tanah 2) sebagian Teknologilainnya Carbonatasi dan pupuk kimia akan hilang karena terbawa aliran air atau Semua Pabrik Gula (PG) di Thailand, seperti hampir di semua PG menguap. yang ada di dunia, teknologinya berbasis carbonatasi yang lebih efisien dan berkualitas. Sementara Pupuk Organik Cair MASAGRI® adalah itu di Indonesia hanya PG di Lampung beberapa pupuk organik dan dan dibio fertilizer tempat yang lain yang menggunakan teknologi tersebut. BUMN masih dengan sulfikasi, memberikan pasokan Banyak nutrisi PG kepada teknologi sama dengan 100 tahun lalu di jaman Belanda. tanaman dan yang juga kepada tanah. Dengan Dengan teknologi lama ini sulit untuk mendapat kualitas gula kandungan unsur makro maupun mikro yangPupuk baik dengan tinggi. pada Organikproduktivitas Cair MASAGRI®, tanaman dapat menerima pasokan unsur 3) Teknologi Integrasi Proses yang dibutuhkan, sementara kandungan mikroorganisme (mikroba) pada Pupuk Di Thailand, seperti berguna hampir seluruh Organik Cair MASAGRI® sebagai industri gula yang ada di dunia, penggilingan (milling) digabung dengan nutrisi tanahproses guna meningkatkan kesupenghalusan (refine). Di Indonesia sistem proses produksi Pupuk terdaftar pada Kementerian Pertanian Republik Indonesia buran tanah. industri gulanya masih memisahkan proses Milling (PG) No. L905/ORGANIK/DEPTAN-PPVTPP/VI/2011 dengan refining (rafinasi) kecuali PG yang berada di Lampung Kebutuhan akan pangan menyebabkan dan 2 pabrik lainnya. penggunaan pupuk kimiaHarusnya menjadi tebu sa- digiling, hasilnya gula cairdominan dan gula kasar, lalu di’refine’ untuk mendapat kualitas yg ngat untuk mengejar kuantitas Tanaman Pangan dibutuhkan. Dengan melakukan integrasi proses maka diperoleh produksi (produktivitas). Namun tanpa Padi, Jagung, Singkong, Kedelai, penghematan biaya yang signifikan disadari tidak adanya perlakuan yang cu- dan diperoleh produksi Kacang-kacangan dll. kualitas yang lebih terjamin. tanah kup bagi tanah akan menyebabkan menjadi jenuh dan semakin tidak subur. Tanaman Perkebunan 4. Management. Sawit, Tebu, Cokelat, Cengkeh, Penggunanaan kombinasi pupuk kimia Kelapa, Karet, Vanili dll. Industri gula di Thailand sangat menekankan efisiensi, dan dan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat Tanaman menjadikan biaya overhead sebagai kunci daya Buah dan Hortikultura menjadi solusi minimisasi meningkatkan produkBuah-buahan (Mangga, Rambutan dll), saing. tivitas tanpa mengorbankan kesuburan/ Biofarmaka (Jahe dll), Sayuran (Sawi, Cabe dll) kesehatan tanah. Tesis diatas tentu membutuhkan pengkajian lebih mendalam Tanaman Hias dan Taman untukbenar benar dapat dibuktikan secara ilmiah. Namun Anthurium, Adenium, Aglaonema, Sansevieria, memahami kondisi di Indonesia, tampaknya tesis diatas patut Rumput taman dll. diduga kuat sebagai faktor kekuatan industri gula Thailand dibandingkan Indonesia. (GRG) Tanaman Kehutanan / Penghijauan Telp/Faks: 021-87716493

PEMESANAN

HP/SMS: 0812-7953816 Email: mas@masagri.com

Sengon, Pinus, Jati, Akasia, Angsana, Mahoni, Meranti dll.

www.masagri.com

P o y d p

P m R B p O

M M

t

t

t t t

t

t t

t


14

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

POLITIKA

pg-soedhono.blogspot.com

Dimensi Sosial Politik Pergulaan Indonesia Industri gula tetap memiliki dimensi sosial politik yang penting, meskipun sumbangannya dalam perekonomian nasional menyusut secara signifikan

I

ndustri gula nasional telah lebih dari seabad memberi warna bagi kehidupan sosial politik kita. Pada masa Belanda, pertumbuhan industri ini mampu mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi rakyat, khususnya yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perkebunan tebu, bahan baku utama industri gula. Perkembangan industri gula juga membentuk karakter masyarakat yang khas perkebunan. Dimensi sosial politik industri gula bersifat signifikan, karena gula adalah salah satu sumber penghasilan utama pemerintah kolonial. Dalam masa pemerintahan RI, hingga dekade 1970an, industri gula tetap memiliki dimensi sosial politik yang penting, meskipun sumbangannya dalam perekonomian nasional menyusut secara signifikan pula. Gula bukan lagi primadona industri perkebunan. Kini, kita diwarisi persoalan sisa-sisa kekuatan raksasa industri gula pada masa lampau. Masih ada lebih dari seratus ribu pekerja langsung di sektor ini, yang bekerja di pabrik-pabrik gula milik pemerintah dan swasta, maupun di manajemen industrinya yang bernaung di bawah BUMN (PTPN) atau swasta. Selain itu, secara nasional, perkebunan rakyat maupun TS (tebu sendiri, milik pabrik gula) masih menyerap sekitar 15 juta tenaga kerja dan keluarga mereka. Pada masa-masa situasi politik yang kritikal, misalnya sewaktu pemilu, jumlah pemilih yang mencapai itu jelas sangat berarti. Sebagai contoh, wilayah Tapal Kuda dan eks Karesidenan Madiun, keduanya di Jawa Timur, yaitu sentra produksi tebu dan gula nasional. Kawasan Tapal Kuda secara kultural didominasi oleh komunitas NU, sementara wilayah Madiun dan sekitarnya lebih dicoraki oleh kultur abangan. Dari sudut afiliasi kepartaian, mudah ditebak bahwa di wilayah timur Jatim (Tapal Kuda) masyarakat petani tebu dan karyawan pabrik gula cenderung menjadi pendukung PKB,

sementara di Madiun menjadi pendukung PDI-P. Peningkatan kesejahteraan mereka akan memiliki dampak langsung terhadap derajat kepuasan dan loyalitas partai yang mereka dukung. Sebaliknya, kebijakan pemerintah yang dipersepsikan sebagai merugikan kehidupan mereka akan langsung maupun tidak langsung meningkatkan delegitimasi partai dan pemerintah. Mereka mungkin melakukan perlawanan sekuatnya, mencari patronase politik baru (misalnya, menjadi pendukung partai lain), atau melakukan resistensi kultural-politik, seperti mengambil sikap golput dalam pemilu mendatang. Reaksi negatif dalam bidang politik dari kalangan buruh pabrik gula dan petani tebu lebih kuat dibandingkan dengan reaksi serupa yang bisa muncul dari sektor lain, misalnya petani padi. Masa tanam padi hanya sekitar tiga bulan. Jika harga beras memburuk, petani dapat menghentikan sementara pekerjaan bertani padi, dan beralih ke okupasi lain. Satu musim tanam terlewati belum merupakan kiamat bagi kehidupan mereka. Sebaliknya, menanam tebu memerlukan siklus satu tahun. Harga gula yang anjlok tidak serta merta membuat petani tebu bisa segera mengalihkan usaha mereka ke jenis pertanian lain, seperti padi atau sayur mayur, yang masa tanamnya jauh lebih pendek. Petani tebu harus memutuskan, terus berusaha di bidang yang sama atau menghentikannya sama sekali. Tidak ada kata sementara di sini. Kalau petani tidak lagi mau menanam tebu, maka pabrik gula akan dua kali kekurangan bahan baku tebu. Ditambah hasil tebu rakyat saja, pabrik gula sudah kekurangan tebu. Apalagi tanpa ketersediaan tebu rakyat sama sekali. Dampak sosial lebih jauh, tenaga kerja pabrik gula menjadi idle, dan industrinya hancur. [Concern]


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

Sugar Group Companies

Mengucapkan

Selamat dan Sukses kepada

KABUPATEN TULANG BAWANG Bupati Ir. Hanan A. Razak dan Wakil Bupati Heri Wardoyo, SH.

Atas Diraihnya Penghargaan Adipura Kategori Kota Kecil dari Kementrian Lingkungan Hidup RI yang Diserahkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada Senin, 10 Juni 2013

15


16

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

17


18

KEBIJAKAN

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

Penentuan Harga Patokan Petani

Kisruh Setiap Musim Giling HPP menimbulkan semacam kegaduhan ekonomi tebu yang melibatkan petani tebu yang diwakili oleh APTR, pemerintah, importir dan juga industri makanan dan minuman. berusaha mempertimbangkan biaya produksi gula di tingkat petani, harga gula di pasar internasional (harga paritas impor), dan kisaran harga di tingkat konsumen yang dinilai wajar. Sepanjang dalam mempertimbangkan ketiga faktor tersebut tidak baku dan transparan, maka akan ada ruang tarik-menarik antar pihak yang berkepentingan sehingga masalah penentuan HPP akan selalu muncul setiap awal musim giling. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa serta negara berkembang seperti Thailand dan India telah berhasil membuat penentuan harga yang baku dan transparan sehingga terhindar dari masalah tarik-menarik dalam penentuan HPP. Pilihan Pendekatan Penentuan HPP Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam penetuan HPP secara baku dan transparan. Pendekatan biaya produksi petani.

Pendekatan ini dilandasi pemikiran bahwa negara tersebut memang bermaksud tetap mempertahankan atau mengembangan industri gulanya, terlepas dari tingkat efisiensi industri gulanya. Dengan demikian, HPP didasarkan pada biaya produksi ditambah marjin keuntungan yang dinilai wajar. India merupakan salah satu negara yang sangat jelas menggunakan pendekatan ini. Kelebihan utama pendekatan ini adalah produsen mendapat kepastian harga yang menjamin tingkat keuntungannya. Rata-rata biaya produksi gula dunia. Pendekatan ini dilandasi pemikiran bahwa negara hanya memberi peluang industri yang cukup efisien dengan tingkat efisiensi diatas rata-rata dunia, untuk berkembang. Industri yang tingkat efisiensinya dibawah rata-rata dunia yang dicerminkan oleh biaya produksi, tidak akan berkembang di negara tersebut. Dengan pendekatan ini, HPP didasarkan pada rata-rata biaya produksi dunia

mediakaryamandiri.wordpress.com

S

etiap tahun menjelang musim giling tebu, petani tebu, pabrik gula, pedagang, pemerintah, bahkan para politisi, hampir selalu tarik ulur dan bersitegang dalam menentukan harga gula patokan petani (HPP). HPP juga merupakan signal bagi importir untuk melakukan impor, sebab impor gula baru dapat dilakukan jika petani tebu menerima harga minimal sama dengan HPP yang ditetapkan pemerintah melalui Menteri Perdagangan. HPP menimbulkan semacam kegaduhan ekonomi tebu yang melibatkan petani tebu yang diwakili oleh APTR, pemerintah, importir dan juga industri makanan dan minuman. Petani dan juga pabrik gula tentunya mengharapkan HPP cukup tinggi, sedangkan pemerintah dan industri makanan dan minuman mengharapkan HPP yang lebih rendah. Penentuan HPP selalu diwarnai benturan kepentingan yang melibatkan lobi-lobi yang cukup alot. Dalam menentukan HPP, pemerintah


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

ditambah dengan marjin yang dinilai wajar. Pendekatan paritas impor/pasar internasional. Pendekatan ini dilandasi pemikiran bahwa pasar gula di pasar internasional diberi ruang untuk mempengaruhi pasar gula di dalam negeri, dengan derajat keterbukaan sesuai dengan pertimbangan pemerintah. Dengan demikian, HPP didasarkan pada harga di pasar internasional ditambah dengan biaya CIF dan berbagai bentuk tarif, pajak, biaya distribusi sampai tingkat pedagang besar. Besarnya pengaruh pasar internasional akan tercermin dari distorsi di border dalam bentuk tarif ataupun non-tarif. Jika hambatan tarif dan non-tarif pada tingkat minimal, maka kebiajakn HPP pada dasarnya mengacu pada harga di pasar internasional. Target harga konsumen/pasar domestik. Pendekatan ini lebih berorientasi pada jaminan harga di tingkat konsumen (stabilitas harga di pasar domestik). Landasan pemikiran pendekatan ini adalah bahwa pemerintah ingin mencapai stabilitas harga dan tingkat harga yang wajar pada tingkat konsumen. Dengan demikian, HPP diturunkan dari target kisaran harga di tingkat konsumen yang ingin dicapai pemerintah.

Kombinasi pendekatan. Pendekatan ini menggabungkan beberapa pendekatan karena pemerintah menggunakan beberapa pertimbangan secara simultan. Thailand misalnya, mengkombinasikan pendekatan harga gula di pasar domestik dan pasar internasional dengan membuat rata-rata harga dari kedua pasar tersebut. HPP Indonesia Indonesia cenderung menggunakan kombinasi pendekatan biaya produksi domestik, harga paritas impor, dan harga di tingkat konsumen, namun belum dirumuskan secara baku dan transparan sehingga berpotensi menimbulkan tarik-ulur antar stakeholder. Untuk mencegah hal ini terjadi pada masa-masa mendatang, maka pemerintah perlu segera merumuskannya secara baku dan transparan. Dalam merumuskan hal ini, maka pendekatan yang akan diterapkan seyogyanya sesuai dengan arah pengembangan industri gula nasional serta peran gula sebagai salah satu kebutuhan bahan pokok. Mempertimbangkan upaya pemerintah untuk mencapai swasembada gula, maka jelas bahwa pemerintah akan mendorong terus pengembangan industri gula nasional. Menggunakan pendekatan

19

rata-rata biaya produksi gula domestik dinilai kurang fair karena jelas masih banyak PG dan petani yang tidak efisien. Jika HPP didasarkan pada rata-rata biaya produksi domestik berarti pemerintah membiarkan sebagian industri gula yang tidak efisien untuk terus berkembang. Kebijakan ini tentu akan menimbulkan beban pada ekonomi nasional. Berdasarkan kelebihan danFoto: sawitwatch.or.id kekurangan dari masing-masing pendekatan, maka pendekatan untuk HPP di Indonesia tampaknya perlu kombinasi dari beberapa pendekatan. Di samping itu, penentuan HPP yang lebih baku dan transparan memerlukan pentahapan untuk memberikan kesempatan pada produsen melakukan penyesuaian (adaptasi). Untuk menghindari terjadinya gejolak tahunan berkaitan dengan penentuan HPP pada setiap awal musim giling, pemerintah perlu menerapkan suatu cara penentuan HPP yang baku dan transparan. Dengan demikian, petani, PG, industri makanan dan mimuman, serta importir/pedagang, memiliki suatu kepastian atau perkiraan HPP dan juga harga eceran. Wayan R. Susila Lembaga Riset Perkebunan Indonesia

HPP Dipertahankan di Harga Rp. 8.100/kg

P

emerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 27/M-Dag/Per/6/2013 tentang Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih Tahun 2013. Peraturan tersebut untuk mempertahankan harga patokan petani

gula kristal putih (HPP) 2013 sebesar Rp8.100 per kilogram (kg), atau sama dengan patokan harga yang berlaku pada 2012. “Peraturan Menteri ini berlaku mulai pada tanggal 17 Juni 2013,� bunyi Pasal 5 Permen yang ditandatangani Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pada 14 Juni 2013 itu seperti dikutip dari laman Setkab, Selasa (25/6/2013). Dalam Permen itu disebutkan, bahwa penetapan harga patokan gula putih kristal itu mempertimbangkan usulan Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan Gula Indonesia dan rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait. Sebelumnya dalam Menteri Pertanian Suswono selaku Ketua Dewan Gula Indonesia mengusulkan agar Harga Patokan Petani (HPP) gula pada 2013 ini menjadi Rp8.900 per kilogram atau

naik 9,87 persen dibanding 2012 sebesar Rp8.100 per kilogram. “Usulan dari Dewan Gula Indonesia pada rapat terakhir, HPP adalah Rp8.900 per kilogram,� ujar Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan pada media massa bulan lalu. Namun Rusman menyebutkan, bahwa keputusan HPP gula putih kristal pada musim giling tahun ini ada di tangan Menteri Perdagangan. Data yang ada pada Dewan Gula Indonesia menunjukkan, HPP gula sepanjang 5 tahun terakhir terus mengalami kenaikan. Pada 2009, HPP gula adalah Rp5.350 per kilogram, lalu naik menjadi Rp6.350 pada 2010, menyentuh angka Rp7.000 per kilogram pada 2011 dan Rp8.100 per kilogram pada 2012. [Sindonews.com]


20

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

OPINI INDONESIA 014

3


EKONOMIKA

Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

21

Proteksi Sampai Kapan? Kenyataannya, tidak semua pabrik gula nasional mempunyai kinerja yang buruk. Produksi gula yang terintegrasi ternyata dapat berproduksi secara efisien.

U

ntuk melindungi petani tebu, pemerintah melakukan intervensi di pasar gula dengan mekanisme kuota dan tarif. Kebijakan itu tentu tidak untuk membiayai inefisiensi produksi gula nasional. Perlu pula disadari bahwa ada biaya yang harus ditanggung oleh konsumen gula berupa harga yang lebih mahal. Industri gula dalam negeri terbukti sangat tidak efisien. Karena rendemen tebu dan efisiensi produksi di pabrik gula yang rendah, biaya produksi gula nasional menjadi mahal. Dari 36 pabrik gula (PG) yang ada, hanya 10 PG yang efisien (secara teknis dan ekonomi), 20 PG tidak efisien teknis dan ekonomis, dan 6 PG tidak efisien secara ekonomis. Persoalan inefisiensi produksi gula semakin diperparah dengan adanya sistem tata niaga. Dalam sistem tata niaga, pasokan dibatasi hanya sebesar kebutuhan, jumlah distributor dibatasi, sehingga muncul kekuatan oligopoli yang berpotensi untuk berperilaku kartel. Sekitar 90% distribusi dikuasai oleh sekelompok pelaku usaha tertentu. Importasi gula konsumsi hanya boleh dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) yang notabenenya adalah pabrik gula sehingga memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat digunakan untuk melakukan praktik-praktik usaha yang tidak sehat. IT yang ditunjuk itu ternyata tidak memiliki pengalaman dan kemampuan finansial untuk melakukan importasi sehingga memberi peluang bagi masuknya ‘delapan samurai gula’ untuk menjadi ‘rekanan’ dalam impor gula. ‘Delapan samurai’ itu berperan penting dalam menyediakan dana talangan dalam pembelian tebu petani. Masing-masing IT biasanya mempunyai rekanan tetap, sehingga proses lelang diduga tidak transparan

dan rawan persekongkolan. Kenyataannya, tidak semua pabrik gula nasional mempunyai kinerja yang buruk. Produksi gula yang terintegrasi ternyata dapat berproduksi secara efisien. Sebagai contoh, produktivitas lahan dan rendemen tebu PT Sweet Indolampung lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Gula yang dihasilkan per hektar lahan dengan demikian menjadi lebih tinggi. Dengan kata lain, masih terbuka kemungkinan untuk melakukan efisiensi dalam produksi gula nasional. Perlu diperhatikan, gula merupakan salah satu komoditas yang banyak dibutuhkan masyarakat. Gula dibutuhkan sebagai sumber pasokan karbohidrat yang penting dan dibutuhkan oleh industri sebagai bahan pemanis. Industri makanan dan minuman misalnya, 30%-50% dari biaya produksinya dikontribusikan oleh gula. Dengan demikian, kenaikan harga gula akan menyebabkan kenaikan harga produk industri makanan yang cukup besar. Peluang untuk memperbaiki efisiensi produksi dan distribusi masih terbuka. Pasar gula nasional belum mencapai pareto optimum, perlindungan terhadap salah satu pihak (industri gula) tidak harus mengorbankan pihak lainnya (konsumen gula). Efisiensi di tingkat produksi dan distribusi masih dapat diperbaiki. Dengan liberalisasi perdagangan gula dalam negeri, efisiensi distribusi dapat ditingkatkan. Konsumen gula tidak perlu dipaksa membayar lebih mahal dengan alasan melindungi petani tebu, padahal inefisiensi terjadi dimana-mana. Kebijakan proteksi seyogianya diberikan dengan time table yang jelas, sehingga ada tekanan bagi produsen untuk memperbaiki kinerjanya. Pengenaan tarif yang tinggi akan membebani masyarakat dan menghambat laju pertumbuhan industri pemakai gula. Tanpa ada perencanaan dan pengawasan ketat, kebijakan protektif hanya akan menjadi beban bagi ekonomi nasional, menciptakan biaya tinggi dan penurunan daya saing industri nasional. Mengingat bahan baku gula rafinasi (raw sugar) seluruhnya berasal dari impor, tidak ada alasan untuk melakukan proteksi. Pengenaan tarif impor gula rafinasi hanya mendorong impor (raw sugar) dan tidak melindungi petani dan membebani industri pemakai gula. Insentif semacam itu perlu ditinjau kembali mengingat industri pemakai gula rafinasi sangat bervariasi, di dalamnya juga terdapat industri menengah dan kecil. Sebaliknya, produksi gula rafinasi nasional merupakan peluang untuk meningkatkan pasokan gula nasional. Masalahnya, menurut peraturan gula rafinasi hanya boleh digunakan untuk bahan baku industri. Sementara itu, impor gula meningkat dari tahun ke tahun. Dari pada harus impor, tidakkah lebih baik memakai gula rafinasi untuk kebutuhan rumah tangga? Faisal H. Basri, Ekonom UI


22

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

SUPLEMEN KHUSUS Kelompok Penerbitan OPINI INDONESIA

Peta Mudik Lebaran 2013

Provinsi Lampung

Ke Baturaja

NOMOR TELEPON DARURAT Polisi: 110, 112 Ambulan : 118 Pemadam Kebakaran: 113 SAR: 115 RUMAH SAKIT BANDAR LAMPUNG • RSU ABDUL MOELOEK Jl. Dr. Rivai Telp. (0721) 702455 • RS ADVENT Jl. Teuku Umar Telp. (0721) 703459 • RS IMMANUEL Jl. Soekarno Hatta Telp. (0721) 704900 • RS NATAR MEDIKA Jl. Raya Natar Telp. (0721) 92521 • RS. URIP SUMOHARJO JL. Urip Sumoharjo Telp. (0721) 771322-24, 707990 • RS BUMI WARAS Jl. WR Mongonsidi Tel. (0721) 254589, 263851

PRINGSEWU • RSU PRINGSEWU Jl. Kesehatan Telp. (0729) 21006 • RS WISMARINI Jl. Jendral Sudirman Telp. (0729) 22768 • RS MITRA HUSADA Jl. Jendral Ahmad Yani Telp. (0729) 23836

Ke Manna

Ba

Batas Kota Batu Pg. Dewa

Lemong Melesom Pg. Tampak

LIWA

Lombok

Sukabumi

Pd. Tambak

Sumb

Mutar Alam

P. Pisang

KRUI Suoh

Biha Marang

ER

Pekoman Ngaras

A IN DO

SUKADANA • RSU SUKADANA Jl. Adnan Sanjaya Telp. (0725) 625022, 625326

Giham

UD

LIWA • RSU LIWA Kompleks RSU Liwa Telp. (0728) 21651

PROVINSI BEN G K U LU

m

MENGGALA • RSU MENGGALA JL. Magupak Telp. (0726) 21090

KOTABUMI • RSU RYACUDU Jl. Jendral Sudirman 224 Telp. (0724) 21035 • RS HANDAYANI Jl. Soekarno Hatta Telp (0724) 328399

Sp.Emp

SA

KALIANDA • RSU KALIANDA JL. Kedaton Telp. (0727) 2159

METRO • RSU AHMAD YANI Jl. Jendral Ahmad Yani Telp. (0725) 41010 • RS ISLAM METRO Jl. Jendral Sudirman Telp. (0725) 41883 • RS MARDI WALUYO Jl. Jendral Sudirman Telp. (0725) 42512, 44980

Sp. Way Tuba

N

ThE POINT INDONESIA

Subscription & Advertisement: 0816 406304 www.opini-indonesia.com info@opini-indonesia.com www.opini-indonesia.com/page

Kota/Kecamatan Jalan Lintas Tengah Lintas Timur Lintas Pantai Timur Lintas Barat Feeder Road

IA

Ibukota Kabupaten

ES

Ibukota Propinsi

Bengku


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA PERKIRAAN

Ke Palembang

WIRALAGA Sp.Pematang

Mesuji Pematang Panggang

PROVINSI SUm AT R A SEL ATA N

Sp.Mesuji B Sp.Mesuji D

Mesuji E

Sp. Asahan Gd. Aji Baru

Sp. Penawar Pakuan Ratu

Sp.Unit VIII

Serupa Indah Panaragan

BLAmBANGAN UmPU

mENGGALA

Sp. Panaragan

PANARAGAN JAYA

Bj. Tenuk

Sp.Tujok

pat

Gn. Batin

Negara Ratu Kasui

Baradatu Banjarnegara

Gn. Labuan Bonglay

KOTABUmI

Pura Mekar

m

Sp.Kuripan Tl.Jukung

Wates

Wonosobo

Tegineneng

Sukoharjo

KOTA AGUNG

Jatimulyo Natar

Way Halim

GEDONG TATAAN Kedondong

Putih Doh Sp.Kuripan

kunat Lab.Wayharu Kr. Berak

TELUK SEmANGKA

Tiram

Teluk Betung

Hanura

Tampang

Paku Kelumbayan

P. Tabuan

44

Simpang Empat - Batas Prov Sumsel

40

Bukit Kemuning - Liwa

69

Liwa - Krui

38

Bandar Lampung - Gedong Tataan

21

Gedong Tataan - Rantau Tijang

31

Rantau Tijang - Kota Agung

43

Kota Agung - Wonosobo

10

Wonosobo - Sanggi

12

Sanggi - Bengkunat

55

Bengkunat - Krui

73

Bakauheni - Ketapang

34

Ketapang - Labuhan Maringgai

30

SUKADANA

Sp. Sribawono Pg.Raharjo

Lab. Maringgai Wana

Gn. Agung

Sp. Kemuning Tj. Aji

Panjang

Jabung Asahan Sp. Babatan

Pd. Cermin Jatiringin

Tj. Sari Sidomulyo

TELUK LAmPUNG

Napal

Kiluan

Batu Lunik Belimbing

Pertiwi Umbar

Bukit Kemuning - Simpang Empat

Way Galih

Wates Way Nipah

42

Sribawono

BANDAR LAmPUNG

Gd. Rejo

Pardasuka

40

Kotabumi - Bukit Kemuning

Sp.Tj. Kari

Kibang

Bandara Radin Inten II

Sukamara

Terbanggi Besar - Kotabumi

Metro - Tegineneng

Gj Agung Bantul Trimurjo

Branti

Bdg. Baru

Sanggi

21

mETRO

Air Naningan

Rt.Tijang

61

Simpang Pematang - Pematang Panggang

Bumi Jawa Gdg. Dalam

Punggur Hadimulyo

Bangunrejo

Tl. Padang

Bujung Tenuk - Simpang Pematang

Gedung Dalam - Metro

Rmn.Raya

Padang Ratu

PRINGSEWU

50

Purbolinggo

Kota Gajah

Kalirejo

Tekad

13

Terbanggi Besar - Bujung Tenuk

Sukadana - Gedung Dalam

Raman Utara

Bungin

Ulu Semung

Gunung Sugih - Terbanggi Besar

Sukadana - Simpang Menggala

GUNUNG SUGIh

Taman Sari

28

Labuhan Maringgai - Sukadana

Terbanggi Besar Bandar Jaya

Selagai

Sp. Tebu

21

Tegineneng - Gunung Sugih

Sedewa

Spt. Mataram

Kelapa Tujuh

Bukit Kemuning

Bandar Lampung - Tegineneng

Rumbia

Sp.Kotabumi

Aji Kagungan

berjaya

Mandala

Bdr.Abung

Sp. Asem

anjit

65

Spt. Surabaya

Daya Murni

Ketapang

30

Simpang Kalianda - Bandar Lampung

Bawang Soka

P. Siuncal

Kt. Dalam

Palas

Bunut

Ketapang

KALIANDA Blambangan Gayam Kunyir

P.Legundi

Way Baka Toto Harjo

P. Sebuku P. Sebesi

SEL AT SUNDA

Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni

BAKAUhENI

L AU T JAWA

Sri Rejeki

Gd. Aji

Sp. Tl. Randu

Tajab

Bakauheni - Simpang Kalianda

Rawa Jitu

Sp.Gd.Aji

Mesir Hilir

23 JARAK

43 85 16 9 16


24

SUARA

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

Perlindungan Konsumen

ews.kemendag.go.id

rawa-pitu.blogspot.com

Mimpi Buruk dalam Sesendok Gula

Ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi gula ini membuatIndonesiamenjadi pasar yang menguntungkan bagi perdagangan gula. Peluang penyelewengan, penyelundupan, dan fluktuasi harga gula, merupakan situasi yang tidak menguntungkan bagi konsumen.

A

da gula ada semut; Siapa yang tidak mengenal pepatah ini? Bagi spekulan-spekulan penyengsara rakyat, bisnis gula memang merupakan bisnis yang menggiurkan. Dengan permintaan nasional yang mencapai 3,2 juta ton per tahun, perkiraan kue bisnis ini mencapai 13- 15 trilyun rupiah. Sayang, nilai bisnis yang besar tersebut tidak dinikmati oleh petani kita, ataupun menguntungkan masyarakat konsumen. Nilai bisnis tersebut menguap bersamaan dengan carut-marutnya produktivitas dan tata niaga gula kita. Untuk mengurai benang kusut permasalahan tersebut, maka YLKI

melakukan studi yang memetakan situasi pergulaan di Indonesia dan dampak dibukanya pasar bebas bagi sistem produksi gula di Indonesia dan dampak bagi konsumen. Dibawah ini adalah ringkasan hasil studi tersebut. Produksi dan Konsumsi Gula Nasional Meninjau nilai impor gula sekarang, siapa yang menyangka bahwa tahun 1931 Indonesia adalah penghasil gula no. 2 terbesar di dunia? Begitulah kenyataannya. Produksi yang besar tersebut terjadi karena pemerintah kolonial Belanda menerapkan pemanfaatan maksimum lahan rakyat

dan eksploitasi buruh murah. Jadi yang untung adalah pemilik modal besar (perusahaan Belanda). Setelah merdeka, industri gulaIndonesia tidak pernah bangkit menjadi penghasil gula terbesar. Jangankan untuk ekspor, untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja sudah megap-megap. Padahal sistem yang digunakan hampir sama, yaitu berdasarkan pemanfaatan tanah secara maksimal dan ekploitasi tenaga kerja dan murah dan melimpah. Eksploitasi ini berlanjut hingga masa orde baru, dimana tekanan produksi diperparah dengan pendistribusian dan perdagangan yang dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Gejala penurunan jumlah dan mutu produksi gula ini memang terlihat sejak tahun 1997/1998. Beberapa faktor penyebabnya antara lain adalah teknologi pertanian dan pengolah tebu yang tidak memadai, serta tidak adanya sistem insentif yang cukup bagi petani untuk meneruskan sistem penanaman tebu ini. Sementara itu, dari sisi konsumsi, juga menunjukkan peningkatan konsumsi yang cukup signifikan. Diperkirakan konsumsi gula nasional meningkat rata-rata 3,9% pertahun, dengan 25% penyerapan konsumsi oleh industri pengolahan pangan. Ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi gula ini membuatIndonesiamenjadi pasar yang menguntungkan bagi perdagangan gula. Peluang penyelewengan, penyelundupan, dan fluktuasi harga gula, merupakan situasi yang tidak menguntungkan bagi konsumen. Sementara faktor distribusi dan perdagangan gula juga menunjukkan ketidakefisienan. Hal ini dapat dilihat dari rantai harga yang diterima petani, harga jual ke pedagang penyalur hingga sampai ke tangan konsumen umumnya terdapat selisih harga sekitar 55 – 105%. Diantara selisih harga ini terdapat bagian keuntungan untuk pemerintah, yaitu selisih harga yang menjadi bagian Bulog, pajak-pajak dan berbagai pungutan yang besarnya sekitar 19-26%. Akibatnya, harga jual produk dalam negeri selalu lebih tinggi dari harga gula impor, yaitu berkisar antara 32% hingga 215% – bahkan pernah mencapai sekitar 565%! Dampak terhadap Konsumen Selama ini, keuntungan konsumen


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

selalu dijadikan alasan dibukanya akses pasar bebas. Konsumen akan mendapat harga yang lebih murah, pilihan yang banyak, dan kontinuitas ketersediaan produk di pasar. Tetapi benarkah? Permasalahan gula dapat dijadikan contoh. Untuk masalah akses dan ketersediaan gula misalnya. Dengan ketergantungan pada impor yang tinggi, maka jika kurs rupiah anjlok, akan terjadi kelangkaan gula. Ataupun jika ada, harganya akan membumbung tinggi. Selain itu, perbedaan harga yang tinggi antara dalam negeri dan internasional memang membuat penyelundupan gula semakin besar. Penyelundupan ini jarang ditangani dengan penegakan hukum yang benar. Masalah impor yang tinggi ini juga membuktikan bahwaIndonesiamemang tidak serius menangani ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan yang berkelanjutan oleh rakyat. Lingkaran setan dampak masalah ini adalah impor yang semakin tinggi, atau selundupan gula yang semakin banyak sehingga gula produksi dalam negeri semakin tidak mampu bersaing, dan jutaan petani semakin mengalami penurunan kualitas hidup, yang akhirnya berujung pada pertambahan kemiskinan. Sedangkan masalah keterjangkauan gula bagi konsumen, hal inipun belum terbukti. Harga berfluktuasi naik. Spekulan gula sering bermain disini. Agar harga tetap tinggi, maka tidak jarang spekulan ini ‘sengaja’ menahan gula. Sehingga ketika terjadi kelangkaan gula dan harga meroket, baru gula sedikit demi sedikit dilepas ke pasar. Untuk ‘permainan’ ini, spekulan meraih untung yang luar biasa. tanpa memerah keringat apapun, kecuali hanya ‘menahan’ gula tersebut (belum termasuk marjin keuntungan harga impor dengan jual di dalam negeri). Dan apakah terdapat penegakan hukum disini? Permainan spekulan tersebut kerap terjadi tentu karena hukum juga kayaknya bisa dibeli disini. Kesimpulan setelah panjang lebar diatas: marilah kita membeli gula lokal. Lihat di kemasan apakah gula tersebut lokal atau impor. Atau jika dikemasan tidak tertulis, bertanya saja kepada petugas yang menjual apakah gula tersebut lokal atau impor. Ilyani S Andang Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

25

APEGTI:

Periksa Segera Kebijakan Impor Gula

A

sosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) meragukan kebijakan Menteri Perdagangan dalam memenuhi kebutuhan gula kristal putih (GKP) sebagai konsumsi masyarakat di perbatasan. Apegti terutama memprotes jatah impor raw sugar sebesar 240.000 ton yang diberikan Kemdag kepada tiga importir. Ketua Apegti Natsir Mansyur menguraikan, tiga perusahaan yang ditunjuk merupakan industri gula berbasis tebu dan bukan berbasis raw sugar. “Kalau begini sama saja malah memperbanyak industri gula rafinasi,” ujar Natsir melalui keterangan tertullis pada Minggu (26/5/2013). Persoalan lain, lanjut Natsir, adalah menyangkut jumlah kuota impor gula kristal putih untuk komsumsi masyarakat di perbatasan. Menurutnya, kuota yang dibuka Kemdag melebihi kebutuhan. Ia menghitung kebutuhan gula di perbatasan hanya 99.000 ton. Oleh karena itu, Natsir meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengauditnya. Bahkan ia juga ingin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa masalah impor gula ini supaya tidak terjadi penyimpanan dan moral hazard. “Ketiga perusahaan itu tidak berpengalaman dalam mengelola distribusi, biaya tranportasi, sarana pergudangan dll, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan gula diperbatasan,” ungkap Natsir. Ia menilai Menteri Perdagangan

Gita Wirjawan tidak menyelesaikan masalah dan cenderung cuci tangan terhadap pergulaan di wilayah perbatasan. Di sisi lain, pengusaha daerah setempat memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gula di daerahnya, hanya saja terkendala oleh kebijakan pusat yang tidak berpihak terhadap mereka. Natsir memaparkan, masalah pokok yang tidak tertangani adalah disparitas harga gula di Jawa dan wilayah perbatasan yang begitu tinggi. Harga gula dari Jawa mencapai Rp 14.500/kg. Harga ini berlaku, jika ada ketersediaan gula. Sementara, harga gula impor di perbatasan dari negara tetangga hanya Rp 9.500/kg. Tentu saja, konsumen akan membeli gula dengan harga yang lebih murah. “Jika terus dibiarkan seperti ini, masalah penyelundupan gula di perbatasan akan tetap tinggi, dan pemerintah seolah melakukan pembiaran. Padahal potensi pendapatan negara dari pajak bea masuk hilang,” kata Natsir. Karena itu, lanjut Natsir, Apegti meminta kepada Kemendag agar masalah gula ini transparan. Apegti juga mempertanyakan kebijakan impor ini untuk kepentingan rakyat atau kepentingan kelompok tertentu. “Masalah pergulaan ini sudah sering terjadi di Kemendag tapi tidak ada perbaikan. sangat disayangkan, kasus impor raw sugar saja oleh BUMN tahun lalu belum tuntas, ini buat lagi kebijakan yang sama” ucap Natsir


PROSPEK

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

sylvianitawidyawati.blogspot.com

26

Peluang Industri Gula Nasional Masih Terbuka Dalam penataan industri gula nasional perlu komitmen yang kuat, konsisten dan bijaksana dari pemerintah demi untuk kepentingan semua pihak baik petani, konsumen maupun pabrik gula.

M

embicarakan industri gula nasional akan lebih pas jika dimulai dari masa kejayaannya tempo dulu (sekitar tahun 1930–an) dimana produksi gula mencapai 3 juta ton pertahun dan menduduki rangking dua dunia sesudah Kuba. Gambaran produksi gula dunia saat itu adalah: India 1,0 juta ton, Filipina 0,9 juta ton, Australia 0,9 juta ton, Brazil 0,7 juta ton, Thailand dibawah 0,5 juta ton dan China dibawah 0,5 juta ton pertahun. Tetapi, data setengah abad kemudian (tahun 2007) ternyata telah menjadi berbalik. Brazil 29 juta ton (naik 4.000%), India 14 juta ton (naik 1.300%), China 11 juta ton (naik 2.100%), Australia 5,5 juta ton (naik 500%), Filipina 2,0 juta ton (naik 230%), Thailand 5 juta ton (naik 900%). Sementara Indonesia justru menjadi 2,4 juta ton pertahun atau turun 20%. Melihat perkembangan data produksi diatas, kita memang cukup prihatin dengan perkembangan pergulaan nasional kita. Harapan semula meningkatkan produksi gula melalui pembangunan pabrik baru ternyata juga masih terkendala oleh kesulitan memperoleh lahan tebu. Target produksi gula tahun 2014 sebesar 3,57 juta ton akhirnya juga direvisi oleh pemerintah menjadi 2,9 juta ton. Angka 2,9 juta ton ini cukup realistis jika melihat kenaikan produksi gula dari 2,3 juta ton tahun 2011 menjadi 2,58 juta ton tahun 2012 atau mengalami kenaikan sebesar 12%. Sebaiknyalah dalam membuat rencana ke depan pemerintah berpegang pada angka-angka yang realistis, ketimbang membuat rencana yang terlalu muluk tetapi selalu direvisi. Produksi gula tahun 2012 sebesar 2,58 juta ton juga tergolong istimewa karena merupakan produksi tertinggi yang pernah dicapai selama ini (setelah masa kejayaannya tempo dulu). Salah satu faktor yang menunjang membaiknya kinerja pabrik gula tahun 2012 tersebut adalah naiknya rendemen tebu dari rata-rata 7,0% menjadi 7,7%. Kenaikan ini bisa akibat dari pengaruh cuaca, bongkar


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

ratun maupun sebab yang lain. Tetapi jika melihat hampir semua pabrik gula mengalami kenaikan rendemen, nampaknya pengaruh cuaca yang paling dominan terhadap kenaikan rendemen. Sebenarnya rendemen 7,7% pernah dicapai pada masa TRI yaitu pada tahun 1992 dan bahkan tahun 1985 bisa mencapai rata-rata 8,14%. Dalam sistem tebu rakyat seperti sekarang, kunci sukses pabrik gula berada pada rendemen tebu. Pabrik-pabrik gula di negara lain seperti Brazil dan India bisa berkembang pesat juga karena rendemen tebu mereka yang tinggi (di atas 10%) sehingga biaya produksinya bisa ditekan rendah. Kelemahan pabrik gula kita terhadap pabrik gula di luar negeri adalah karena rendemen tebu yang rendah, sedang untuk bobot tebu kita sebenarnya tidak kalah. Oleh karena itu ke depan program peningkatan rendemen tebu tentunya akan menjadi prioritas pertama. Program bongkar ratun dan penggantian varietas tebu yang telah mulai dilaksanakan memang merupakan langkah tepat. Tetapi karena program ini berkaitan erat dengan kepentingan petani tebu, maka langkah berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana agar petani bisa merasakan peningkatan rendemen dari hasil bongkar ratun tersebut secara individual, adil dan transparan sehingga dapat memotivasi petani untuk selalu berupaya meningkatkan rendemen tebunya. Di sini pabrik gula dituntut untuk bisa melakukan analisa rendemen individu (analisa rendemen per truk tebu), yang ditunjang dengan sistem pengambilan contoh nira yang akurat serta sistem administrasi tebu rakyat yang memadai. Sebenarnya saat ini banyak pabrik gula yang sudah melakukannya, tetapi mungkin perlu penyempurnaan agar hasilnya bisa memuaskan petani. Memang di sini konsekuensinya diperlukan penambahan biaya untuk peralatan laboratorium dan tenaga kerja. Dari hitungan sederhana saja bisa dilihat bahwa peningkatan produktivitas tebu memang memegang peran utama. Jika saat ini lahan tebu di Indonesia sekitar 400.000 hektar, maka jika produktivitas tebu bisa naik menjadi 8 ton gula/ha saja, produksi gula nasional akan menjadi 3,2 juta ton, sehingga pemerintah tidak terlalu dipusingkan mencari tambahan lahan tebu. Kemudian harapan lain untuk peningkatan produksi gula nasional seperti telah disinggung di depan adalah dari pembangunan pabrik gula baru di Jawa atau di luar Jawa. Untuk pabrik gula baru yang memiliki lahan tebu sendiri (9.00015.000 ha), mencapai target produksi 8 ton gula/ha dengan minimum rendemen 8% tidaklah terlalu sulit. Yang perlu adanya transparansi di sini adalah langkah investor dalam mengatasi kesulitan lahan. Nampaknya ada beberapa investor yang mengambil langkah kurang transparan, yaitu dengan membangun model pabrik gula (plantation white sugar) yang memiliki kekuatan tersembunyi bisa makan banyak raw sugar, bukan hanya sekedar mengisi idle capacity. Jika asumsi ini benar artinya pabrik tersebut memang dilengkapi dengan instalasi pengolah raw sugar menjadi gula putih. Adanya model pabrik baru demikian tentunya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat dengan pabrik-pabrik gula yang ada, di samping juga akan memicu demo dari para petani tebu. Langkah ini dipilih investor karena mengolah raw sugar menjadi gula putih maupun menjadi gula rafinasi jauh lebih murah ketimbang mengolah tebu menjadi gula putih. Hal ini adalah karena biaya produksi gula di luar negeri baik raw sugar maupun refined sugar sangat rendah. Di Brazil misalnya, biaya produksi gula hanya sekitar $18 cent/kg (sekitar Rp 1.600/kg) untuk raw sugar dan sekitar

27

$25 cent/kg (Rp 2.200,-/kg) untuk refined sugar. Itulah pula mungkin sebabnya banyak investor yang tetap bersemangat untuk membangun pabrik gula baru di beberapa wilayah di Jawa walaupun sebenarnya dari sisi kelayakan bahan baku tebunya kurang memenuhi syarat. Jika yang tumbuh berkembang nanti pabrik gula rafinasi dan pabrik gula tebu yang juga mengolah raw sugar, maka walaupun peningkatan produksi gula dapat tercapai, tetapi ketergantungan kebutuhan gula terhadap negata lain (impor raw sugar) akan terus berlanjut. Munculnya pabrik gula (tebu) baru memang sangat dibutuhkan, tetapi harus dipastikan bahwa bahan bakunya 100% hanya dari tebu. Dalam penataan industri gula nasional perlu komitmen yang kuat, konsisten dan bijaksana dari pemerintah demi untuk kepentingan semua pihak baik petani, konsumen maupun pabrik gula. Proteksi terhadap pabrik gula yang ada sekarang memang masih perlu karena menyangkut nasib ribuan bahkan ratusan ribu petani tebu dan karyawan pabrik. Tetapi dari pihak pabrik gula sendiri juga harus mengimbangi dengan peningkatan kinerja dan efisiensinya, sehingga proteksi secara bertahap bisa dikurangi. Dalam program revitalisasi pabrik gula juga perlu dibarengi dengan langkah dan strategi baru yang lebih kreatif dan inovatif. Di Taiwan ada sebuah pabrik gula tua kecil memiliki pabrik bioetanol dari tetes yang dihasilkan. Limbah dari unit bioetanol kemudian diolah menjadi makanan ternak. Pabrik juga memiliki usaha pemeliharaan ternak babi dan udang. Kotoran ternak yang dihasilkan dimanfaatkan untuk pupuk tanaman tebu, dimana mereka juga mereklamasi pantai berpasir untuk disulap menjadi lahan tebu. Di Brazil banyak pabrik gula yang produknya mengikuti tren perkembangan pasar. Pada saat pasar bioetanol membaik mereka langsung memproses tebu menjadi bioetanol, tetapi saat pasar bio etanol mengalami kejenuhan, mereka kembali mengolah tebu menjadi gula. Inilah barangkali contohcontoh langkah inovatif yang bisa dilakukan oleh pabrik gula kita terutama yang ada di Jawa. Di lingkungan BUMN Gula, PTPN X (Pesero) yang saat ini mulai membangun pabrik bioetanol dari tetes, bisa dinilai sebagai langkah inovatif dalam upaya mencari terobosan baru sehingga mampu berperan sebagai motivator. Demikian pula rencana membangun pabrik gula di Madura, merupakan langkah kreatif yang cukup berani dari PTPN X dalam strategi pengembangan perusahaan. Langkah-langkah tersebut tentunya akan membawa konsekuensi terhadap perubahan mindset manajemen perusahaan. Membangun pabrik gula di lokasi baru seperti Madura, membutuhkan perencanaan yang matang terutama dari sisi bahan baku, aspek lingkungan dan kesiapan SDM nya. Demikian pula membangun pabrik bioetanol yang cukup padat teknologi itu tentunya juga akan merupakan tantangan baru bagi pabrik gula terutama dalam hal penguasaan teknologi dan pemasaran produknya. Tetapi bagi BUMN Gula nampaknya memang tidak ada pilihan lain kecuali melakukan langkah besar demikian. Mungkin manajemen perlu melakukan penataan ulang tentang visi, misi,budaya kerja, pengelolaan terhadap perubahan lingkungan usaha dan lain-lain. Kesimpulannya, dalam mengembangkan industri gula nasional peluangnya terbuka lebar tinggal tergantung bagaimana cara mengelola dan menyikapinya. Untuk itu seyogyanya langkah pabrik gula ke depan adalah kerja, kerja dan kerja. Istadi DH Praktisi Gula dan Dosen Itenas, Malang


28

ALTERNATIF

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

Menimbang Peran Pupuk Organik Cair

Untuk Kesuburan Tanah

B

eberapa ahli kesuburan tanah telah berkali-kali menyampaikan fenomena kelelahan tanah (soil fatigue). Upaya pemberian pupuk hayati (biofertilizer) dan kompos pun masih menghadapi banyak kendala sehingga makin lama kandungan bahan organik tanah makin menurun. Penurunan ini makin intensif ketika petani mengusahakan lahannya secara terusmenerus. Padahal, fungsi bahan organik tanah ini sangatlah vital bagi kesehatan tanaman sehingga dapat berproduksi secara ekonomis dan berkelanjutan. Bahan organik tanah tidak saja menjamin proses fisika-kimia-biologi berlangsung optimal, tetapi juga menyediakan lingkungan pertumbuhan tanaman yang produktif. Kegagalan kita mempertahankan kadar bahan organik tanah minimal 2% berakibat kebutuhan tanaman akan pupuk kimia yang makin hari makin meningkat. Salah satu faktor yang memegang kunci akan hal ini adalah menurunnya aktivitas biologi tanah yang secara aktif berperan dalam menjaga efisiensi penggunaan pupuk kimia. Mikroba yang berperan penting dalam penyediaan nutrisi dan perbaikan sifat tanah di dalam tanah, antara lain, adalah penambat N, pelarut fosfat, dan

pemantap agregat. Berbagai upaya untuk mengatasi rendahnya bahan organik tanah telah banyak dilakukan, dan yang paling umum adalah dengan aplikasi kompos. Namun, upaya ini sering terbentur pada sulitnya penyediaan dan biaya aplikasi kompos di lapangan karena volume yang perlu diberikan jauh lebih besar dari dosis pupuk kimia biasa (10-50 kali lipat, tergantung jenis tanamannya). Oleh karena itu beberapa peneliti, termasuk penulis, mencoba merakit teknologi yang ekonomis dan praktis untuk mengatasi masalah kelelahan tanah tersebut melalui pendekatan biologi. Pada prinsipnya, aktivitas mikroba tanah dapat ditingkatkan untuk kurun waktu tertentu dan bermanfaat bagi tanaman melalui introduksi mikroba unggul ke dalam tanah. Mikroba unggul yang dimaksud secara khusus diisolasi dari tanah Indonesia asli dan dikemas dalam bahan pembawa (carriers) yang mampu menjaga reaktivitasnya dalam periode yang memadai. Jenis yang sudah dimanfaatkan, antara lain, Azospirillum lipoverum dan Azotobacter beijerinckii untuk penambat N dari udara tanpa harus bersimbiosis dengan tanaman serta sekaligus mampu meningkatkan kelarutan P sukar larut. Satu tujuan utama dari pembaharuan dalam teknologi pemupukan adalah menawarkan alternatif penghematan biaya dibandingkan dengan teknologi pemupukan konvensional. Dengan kata lain, teknologi ini harus mampu menciptakan margin keuntungan yang lebih besar. Untuk mencapai produksi yang sama dengan teknologi konvensional, penggunaan teknologi pupuk hayati/ pupuk organik cair dapat menghemat penggunaan pupuk kimia hingga 50% dan biaya pemupukan sekitar 15 hingga 46%, tergantung jenis tanamannya. Dengan asumsi biaya pemupukan adalah 60% dari biaya produksi, maka peningkatan margin keuntungan petani bisa meningkat 9-18%.

Keuntungan tidak kasat mata (intangible benefits) diperoleh dari berkurangnya potensi pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Dampak berantai (multiplier effects) lebih lanjut adalah terhindarnya kondisi kelelahan tanah yang pada gilirannya menjamin keberlanjutan kapasitas produksi lahanlahan pertanian kita. Suatu nilai yang cukup besar yang dapat diperoleh melalui teknologi pemupukan hayati yang sekaligus mengatasi beban pemerintah dalam penyediaan subsidi terbatas kepada pabrikan pupuk. Manfaat lain yang dapat dinikmati oleh petani adalah peningkatan produksi akibat penggunaan pupuk hayati sebagai input ekstra. Dengan strategi aplikasi ini biaya pemupukan lebih besar, tetapi karena peningkatan produksi cukup nyata (mencapai 30%), maka kenaikan biaya ini tertutupi dan keuntungan bersih lebih besar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa peran pupuk sangat menentukan dalam budidaya tanaman pertanian dalam rangka mencapai tingkat produksi yang ekonomis. Dalam kenyataannya, aspek pupuk dan pemupukan ini tidak hanya terkait dengan masalah teknis semata, tetapi juga hal-hal yang bersumber pada kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan petani memiliki akses yang optimal terhadap sarana produksi ini terkait dengan masalah pembiayaan, ketersediaan pasokan pada waktu yang diperlukan, dan sosialisasi teknologi yang belum maksimal. Dengan makin luasnya gejala kelelahan tanah, maka teknologi pemupukan hayati seharusnya menjadi pilihan strategis bagi petani dalam upaya mempertahankan tingkat produksi yang ekonomis dengan menikmati keuntungan yang lebih baik serta secara tidak langsung ikut berpartisipasi dalam program pelestarian fungsi lingkungan hidup. Anom Wibisono, HS.


HISTORIA

Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

29 29

Perjalanan Tebu Indonesia:

Mimpi Lama Swasembada Gula

Puncak kegemilangan perkebunan tebu dan pabrik gula dicapai pada awal 1930-an, dengan 179 pabrik pengolahan dan produksi tiga juta ton gula per tahun.

T

ebu yang memiliki nama Latin Saccharum officinarum L. ini merupakan tanaman yang asal muasalnya masih menjadi perdebatan. Beberapa ahli mengatakan bahwa berasal dari Papua New Guinea dan menyebar Kepulauan Solomon dan Kaledonia Baru serta ke Indonesia, Filipina dan India. Namun ada juga ahli yang berpendapat bahwa sentrum utama asal tanaman ini adalah India dan Indo-Malaya. Di Indonesia, sentrum penanaman tebu di Indonesia mulanya terpusat di Pulau Jawa, yang dirintis waktu kolonialisasi Belanda. Pada waktu itu, penanaman tebu diberlakukan secara paksa dan perdagangan gulanya dimonopoli oleh Belanda. Eksploitasi kolonial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 disebabkan oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat sebagai dampak dari adanya pembukaan lahan perkebunan terutama perekebunan kopi dan tebu. Pertumbuhan ekonomi sesungguhnya sudah mulai nampak sejak pemerintah Hindia Belanda melaksanakan

kebijakan Sistem Tanam Paksa. Pada masa tanam paksa terdapat beberapa jenis tanaman pasar yang komoditasnya laku di pasar Eropa diantaranya adalah gula yang menjadi primadona setelah kopi dan teh dikenal oleh masyarakat Eropa pada masa monopoli oleh VOC, hal ini pun memaksa pemerintah Belanda untuk memperluas perkebunan yang ada. Dalam jangka waktu yang sepuluh tahun gula telah berhasil diusahakan di 13 karesidenan. Pusatnya terutama di Jawa Timur, yaitu karesidenankaresidenan Surabaya, Pasuruan, dan Basuki (dalam tahun 1840 produksi dari wilayah ini mencapai hampir 65%). Selain itu terdapat gula pula dikaresidenankaresidenan Jepara, Semarang, Pekalongan, dan Tegal dan Cirebon. Puncak kegemilangan perkebunan tebu dicapai pada tahun-tahun awal 1930-an, dengan 179 pabrik pengolahan dan produksi tiga juta ton gula per tahun. Hindia Belnda menjadi eksportir gula nomor dua dunia. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 pabrik-pabrik gula

banyak yang tidak terurus. Tahun 1957, perusahaan-perusahaan peninggalan Belanda dinasionalisasi. Nasionalisasi tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958, bahwa pabrikpabrik gula di Jawa kepengurusannya diserahkan kepada Pusat Perkebunan Negara. Pada masa Orde Baru perkebunanperkebunan di Indonesia dibagi atas wilayah-wilayah, dengan nama Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Status pabrik gula-pabrik gula tersebut merupakan unit produksi yang dipimpin oleh seorang administratur. Semenjak 31 Desember 1973 bentuk Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) dibuah menjadi PT Perkebunan (Perseroan). Sejak 1967 hingga sekarang Indonesia kembali menjadi importir gula karena produksi gula nasional mengalami penurunan. Jikalau terjadi peningkatan, tetap saja tidak sebanding dengan kebutuhan domestik. Macetnya riset pergulaan, pabrikpabrik gula yang ketinggalan teknologi, dan tingginya tingkat konsumsi (termasuk untuk industri minuman ringan) menjadi penyebab sulitnya swasembada gula. Pada tahun 2002 dicanangkan target Swasembada Gula 2007. Untuk mendukungnya dibentuk Dewan Gula Indonesia pada tahun 2003 (berdasarkan Kepres RI no. 63/2003 tentang Dewan Gula Indonesia). Demikian juga tahun 2009 dicanangkan kembali Swasembada Gula 2014. Untuk mendukung swsembada, pemerintah melakukan proteksi kepada perkebunan dan pabrik gula agar dapat mengejar ketertinggalan. Namun nampaknya proteksi tidak juga mampu mendorong perekmbangan industri gula, justru impor yangterusmenerus meningkat. Berbagai kebijakan nampaknya masih belum menunjukkan arah yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari target swasembada yang diundur terus-menerus sampai saat ini.


30

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013

EPILOG

Pahitnya Tebu di Ladang Sendiri

G Raymond Rajaurat

Kebijakan yang tidak komprehensif hulu ke hilir akan menjadi kontraproduktif dan berbahaya di masa mendatang. Tanpa tata niaga yang lebih transparan dan berimbang antara produsen dan konsumen dapat memukul balik industri itu sendiri.

ula merupakan komoditas yang mendapat kontrol ketat pemerintah mengingat sumbangan fluktuasi harga gula cukup mempengaruhi tingkat inflasi. Kontrol ketat dilakukan pada sektor hulu dimana proteksi diberlakukan untuk melindungi industri gula nasional kita. Kebijakan yang mulai diimplementasikan tahun 2004 tersebut secara konseptual sangat baik. Selain memiliki semangat untuk membangkitkan kembali industri lokal dan swasembada gula nasional, kebijakan tersebut jelas sangat berpihak pada sektor pertanian pada umumnya dan petani tebu pada khususnya. Perlindungan berupa harga dasar gula yang ditetapkan pemerintah menunjukkan keberpihakan tersebut. Bayangkan saja, di tengah harga gula internasional yang relatif rendah, harga dasar gula lokal kita tetap jauh lebih tinggi. Namun menjadi catatan penting juga bahwa seiring dengan kebijakan tersebut, harga gula di tingkat konsumen menjadi terus meningkat. Padahal kemampuan atau daya beli masyarakat kebanyakan bukannya meningkat tapi terus menurun seiring dengan fluktuasi harga berbagai kebutuhan lainnya. Ini belum lagi ditambah dengan peningkatan akibat kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan bahan bakar minyak (BBM). Lalu apa yang salah dengan industri gula kita? Nampaknya permasalahan utama adalah tidak komprehensifnya kebijakan seputar pergulaan. Proteksi di hulu tidak diiukti dengan kontrol ketat di hilir yaitu di distribusi. Proteksi seharusnya memberikan kesempatan industri gula untuk memperbaiki dan menyiapkan diri guna bersaing dengan kompetitor dari negara lain. Persaingan yang harus dimenangkan terutama adalah penguasaan atas pasar domestik kita. Dengan proteksi sudah sewajarnya ada peningkatan dan penguasaan pasar lokal. Namun apa hendak dikata, sampai saat ini tidak terlihat tanda-tanda kebangkitan industri gula kita. Justru yang ada adalah keributan-keributan seputar harga dasar dan kuota impor. Masalah keinginan untuk mandiri sepertinya menjadi tidak begitu diperhatikan.

Secara bisnis, pasar lokal yang begitu besar pasti mampu menyerap produksi gula lokal. Ditambah dengan kebijakan proteksi, daya tawar produsen menjadi sangat tinggi dan memiliki kemampuan mempengaruhi harga. Hal ini masih ditambah dengan kebijakan dana talangan yang memasukkan aktor baru dengan modal besar dalam kekisruhan penentuan harga gula. Dengan kekuatan modal yang entah direncanakan atau hanya insidensiil dengan kalangan petani, pembentukan harga dimulai dengan harga lelang yang selalu di atas harga dasar. Hebatnya lagi, para distributor ini mendapatkan 40% dari selisih harga lelang terhadap harga dasar. Dengan harga lelang selalu lebih tinggi dari harga dasar akan mendongkrak harga eceran gula. Tahun 2009 sampai 2011, harga eceran gula selalu lebih tinggi di atas 40% dari harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Memang menggiurkan secara keuntungan. Sementara itu diterapkannya proteksi tidak juga mendongkrak produksi gula dan produktivitas lahan perkebunan tebu. Rendemen yang tetap rendah di bawah 10% menjadi salah satu faktor selain tidak bertambahnya lahan perkebunan tebu secara signifikan. Kebijakan yang tidak komprehensif hulu ke hilir akan menjadi kontraproduktif dan berbahaya di masa mendatang. Tanpa tata niaga yang lebih transparan dan berimbang antara produsen dan konsumen dapat memukul balik industri itu sendiri. Kenikmatan proteksi yang dibiarkan tanpa upaya peningkatan produksi dan produktivitas serta efisiensi akan meninabobokan pihak produsen sementara kebutuhan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi. Jika tidak segera bangkit, bukan tidak mungkin kehancuran industri gula terutama petani tebu dan pabrik gula BUMN akan datang. Dalam situasi tersebut, bukan tidak mungkin potensi konflik akan terbuka antara pemerintah vs produsen di satu sisi dan pemerintah vs konsumen di sisi lainnya. Akhirnya impor akan menjadi pilihan dan kita hanya bisa merasakan pahitnya tebu di ladang sendiri.


Edisi 03/Juli 2013 | AGRO SWAKARSA

31

Pertumbuhan untuk Masa depan yang lebih baik PGN senantiasa mencapai kinerja pertumbuhan terbaik bagi kepentingan Bangsa dengan selalu memenuhi komitmen kami kepada stakeholder, masyarakat dan lingkungan PGN adalah perusahaan yang bergerak di bidang transmisi dan distribusi gas bumi, yang menghubungkan pasokan gas bumi Indonesia dengan konsumen beberapa daerah Nusantara. Seiring meningkatnya kebutuhan energi yang bersih dan terjangkau, PGN akan terus menggunakan keahlian dan pengalamannya untuk mendapatkan sumber energi baru melalui pemanfaatan berbagai moda transportasi demi memenuhi kebutuhan jangka panjang konsumen.


32

AGRO SWAKARSA | Edisi 03/Juli 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.