Impor Dahulu, Terjebak Kemudian
Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com
Edisi 04/Agustus 2013 o PROLOG o TABULASI o KOMPARASI o REGULASI
5 6 12 20
68 Tahun Pertanian Indonesia TATA RUANG:
INFRASTRUKTUR:
PUPUK:
AGROINDUSTRI:
Lahan Agraris Yang Terkikis Kelangkaan Yang Selalu Berulang
Terpuruk Karena Infrastruktur Buruk Membangun Industri Hilir Pertanian
Isi Edisi 04/2013 5
IMPOR DAHULU, TERJEBAK KEMUDIAN
PROLOG
Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com
Edisi 04/Agustus 2013
68 Tahun Pertanian Indonesia:
o PROLOG o TABULASI o KOMPARASI o REGULASI
68 Tahun Pertanian Indonesia
Sejarah mencatat Indonesia belum bisa mencapai kemandirian di bidang pertanian. Bahkan Indonesia mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain yang pada periode awal kemerdekaan berada setara atau di bawah posisi Indonesia.
68 Tahun Pertanian Indonesia TATA RUANG:
INFRASTRUKTUR:
PUPUK:
AGROINDUSTRI:
Lahan Agraris Yang Terkikis Kelangkaan Yang Selalu Berulang
12 KOMPARASI
Melihat Asia Selatan dan Amerika Latin:
Mereka Bisa Berhasil
Kekhawatiran akan kelangkaan pangan dan semangan kemandirian menjadi basis kebijakan. Tidak hanya bagus tapi terimplementasi menjadi kunci penting keberhasilan.
6
16
TABULASI
Potret Subsektor Pertanian Indonesia:
Giatnya Impor Sang ‘Negara Agraris’
Dari empat sub sektor pertanian, hanya perkebunan saja yang memberikan neraca eskpor-impor yang postif. 8
AGROINDUSTRI
TATA RUANG
Lahan Agraris Yang Terkikis http://www.penataanruang.net
Terpuruk Karena Infrastruktur Buruk Membangun Industri Hilir Pertanian
Diterbitkan sebagai majalah pertanian strategis yang berupaya memetakan dan mencari solusi masalah pertanian Indonesia dari berbagai sudut pandang. Managed By
Managing Director Ir. David J. Simanjorang
http://www.setkab.go.id
18
PUPUK
Kelangkaan Yang Selalu Berulang
INFRASTRUKTUR
Membangun Industri Hilir Pertanian 14
Impor Dahulu, Terjebak Kemudian
Pupuk Bersubsidi:
Terpuruk Karena Infrastruktur Buruk 11
IMPORTASI
5 6 12 20
http://www.ylki.or.id
20
Dewan Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi M. Mutawally
REGULASI
UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani:
Tidak Lindungi Hak Petani http://www.ihcs.or.id
22
Pemimpin Redaksi Ir. Raymond Rajaurat
HISTORIA
Dari Tanam Paksa ke Liberalisasi
Penerbit Yayasan Media Wasantara Anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri Rimson Simanjorang Bank Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 264 8030 a/n. Dominika Domingga
Topik Edisi Depan:
Singkong Yang Makin Kinclong
Ubi kayu alias singkong main menunjukkan peningkatan produksi. Komoditas yang satu ini memang sedang naik daun. Saking populernya, banyak petani beralih menanam singkong. Namun demikian, selain prospek pasti ada dampak dari masifnya penanaman komoditas ini. Dan tentu saja mesti ada antisipasi untuk dampak itu. Anda punya pendapat? Kirimkan email ke agro@opini-indonesia.com atau melalui faksimili (021) 87716493.
Alamat Redaksi Jl. Yupiter Utama D10/12 Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493 Alamat Iklan/Tata Usaha Jl. Purnawirawan Raya 12/424 Bandar Lampung Telp : 0816 4063 04. Website www.opini-indonesia.com Email agro@opini-indonesia.com Percetakan PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting)
Isi diluar tanggungjawab percetakan
REDAKSIONAL
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
3
Pertanian di Era Kemerdekaan:
Mesti Berbenah Untuk Perbaikan
S
Memang banyak faktor yang mempengaruhi dan sepertinya sebagai pengelola negara, pemerintah mesti banyak berbenah dan menunjukkan keberanian dalam memperbaiki situasi yang memprihatinkan ini.
aat merayakan ulang tahun, biasanya kita akan sejenak menoleh ke belakang untuk melihat apa yang sudah kita lalui sebelumnya. Dari situ kita dapat melihat keberhasilan sekaligus kegagalan. Dalam menyikapi keberhasilan, sudah pasti kita akan tersenyum bahagia dan mengucap syukur atas pencapaian tersebut. Namun terkadang kita lupa untuk menyikapi kegagalan dengan arif. Ketidak-arifan kegagalan biasanya dengan melemparkan berbagai alasan yang menyebabkan kegagalan dan menyalahkan pihak lain yang menjadi penghalang keberhasilan. Yang paling parah bila kita justru tidak pernah berlajar dari kegagalan untuk memperbaikinya dan mengubah kegagalan menjadi sebuah pengalaman yang tidak boleh terulang. Tentunya kita tidak mau jadi keledai yang jatuh pada lubang yang sama. Sama halnya dengan ulang tahun sebuah entitas bernama Republik Indonesia yang sekarang menginjak usia 68 tahun. Sudah banyak pencapaian yang kita raih, namun bukan tidak sedikit juga hal yang tidak bisa kita capai, atau bahkan menjadi kemunduran. Khusus dalam sektor pertanian, nampaknya kita semakin berat untuk mencapai kegemilangan sebuah negara agraris. Melihat data pertanian kita, hampir semua subsektor mengalami kesulitan untuk bangkit. Sebut saja subsektor tanaman pangan yang sampai saat ini sangat tergantung dengan impor. Padahal salah satu syarat kedaulatan adalah memiliki ketahanan pangan. Atau
dengan kata lain kebutuhan rakyat harus dapat dipastikan terjamin tanpa harus menggantungkan ketersediaannya pada pihak lain. Dengan luas wilayah dan tingkat kesuburan yang lebih baik dibanding negara-negara lain, seharusnya kita bisa memenuhi kebutuhan kita sendiri. Namun data dan kenyataan tidak seperti harapan. Kita lebih banyak menggantungkan ketersediaan tersebut pada impor. Hal ini saja sudah cukup menyedihkan, apalagi ditambah dengan tataniaga dan regulasi impor yang cenderung memberi peran ‘permainan’ sebagaimana yang terungkap dalam berbagai kasus hukum beberapa waktu belakangan ini. Memang banyak faktor yang mempengaruhi dan sepertinya sebagai pengelola negara, pemerintah mesti banyak berbenah dan menunjukkan keberanian dalam memperbaiki situasi yang memprihatinkan ini. Edisi kali ini mengangkat berbagai masalah yang melingkupi sektor pertanian kita sekaligus melihat kesulitan yang dihadapi. Sebagai perbandingan juga disajikan bagaimana negara-negara lain, terutama di Amerika Latin dan Asia Selatan mampu membangun sektor pertaniannya. Cukup banyak pendapat ‘miring’ yang dilontarkan kepada pemerintah. Namun kiranya pendapat dapat dimaknai secara arif sebagai sebuah kepedulian anak bangsa atas kondisi memprihatinkan di sektor pertaniannya. Selamat membaca.
Subscription & Advertisement: 0816 406304
info@opini-indonesia.com
www.opini-indonesia.com/page
www.opini-indonesia.com
4
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
Dirgahayu 68 Tahun
Republik Indonesia
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
55
Foto: acehdesign.com
PROLOG
68 Tahun Pertanian Indonesia
S
ejarah mencatat Indonesia belum bisa mencapai kemandirian di bidang pertanian. Bahkan Indonesia mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain yang pada periode awal kemerdekaan berada setara atau di bawah posisi Indonesia. Era Reformasi, yang sudah mencapai 15 tahun ternyata masih menyimpan banyak pertanyaan tentang arah langkah bangsa ini ke depan, termasuk di sektor pertaniannya.
Sering disebut dan menyebut diri negara agraris, subur, gemah ripah loh jinawi dan sebagainya, dalam kenyataannya menyediakan pangan bagi seluruh warga negara kita masih tergantung dari luar negeri. Ya, impor produk pertanian kita -terutama produk pangan- sudah sangat mengkhawatirkan. Ada beberapa komoditas yang menunjukkan kekuatan pertanian kita, perlu berbagai cara untuk tetap mempertahankan kekuatan tersebut. Selain nilai ekonomi, ada daya tawar internasional yang dapat digunakan
untuk sektor lain jika kita kuat. Memang ada berbagai masalah tumpang tindih melingkupi sektor pertanian Indonesia, namun kemauan, sinergi dan keberanian tentunya mampu membuat kita bangkit kembali. Tidak perlu muluk-muluk, kita harus mampu menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh anak bangsa. Dengan demikian kita bisa mandiri dan memiliki ketahanan pangan. Jika terpenuhi, maka aspek ketahanan nasional kita sebagai bangsa akan lebih kuat.
6
TABULASI
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
Potret Subsektor Pertanian Indonesia:
P
redikat sebagai negara agraris nampaknya harus ditinjau ulang. Dari empat sub sektor pertanian, hanya perkebunan saja yang memberikan neraca eskpor-impor yang postif. Itupun hanya signifikan disumbang oleh komoditas kelapa sawit dan karet. Komoditas lainnya mayoritas memberikan neraca negatif. Artinya kita lebih giat melakukan impor daripada menggenjot produktivitas lahan yang kita miliki. Padahal, dengan musim yang lebih mendukung ketimbang negara empat musin, seharusnya kita bisa lebih produktif. Brazil dan Thailand adalah contoh nyata negara yang secara iklim sama dengan Indonesia. Tanaman Pangan Ekspor (Ton)
Impor (Ton) 15,363,009
11,456,509
10,504,604
9,398,384 7,414,293
7,788,215 861,219 996,537 812,290 786,627 892,454 807,265 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Pusdatin Kemtan, diolah
‘
Foto: dhkangmas.wordpress.com
Giatnya Impor Sang ‘Negara Agraris’ Predika t se nampak bagai negara a gra ny ulang. D a harus ditinjau ris ar pertania i empat sub sek to n, saja yan hanya perkebu r n g memb erikan n an eskporeraca im Itupun h por yang postif . anya sig nifikan disumb ang oleh ko kelapa s awit dan moditas karet.
Dengan total impor lebih dari 15 juta ton pada tahun 2011, tanaman pangan merupakan subsektor pertanian yang paling banyak melakukan impor. Komoditas yang paling banyak melakukan impor adalah gandum (6,4 juta ton), jagung (3,3 juta ton), beras (2,7 juta ton) dan kedelai (2,1 juta ton). Dengan besarnya impor ketimbang ekspor, neraca perdagangan kita di subsektor ini defisit lebih dari 6,4 juta dolar atau sekitar 64 triliun rupiah. Ketahanan pangan ternyata baru sampai pada tataran wacana karena tren impor kita terus meningkat tajam dalam beberapa tahun belakangan ini. Ironisnya, beras adalah makanan pokok mayoritas masyarakat dan kedelai sebagai merupakan bahan baku tempe sebagai makanan tradisional populer.
Hortikultura Ekspor (Ton)
Impor (Ton) 2,052,271
1,300,345
1,429,967
1,560,808 1,524,666
923,867 393,895
524,485 447,609
364,139 381,648
45,689 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Pusdatin Kemtan, diolah
Tidak jauh berbeda dengan tanaman pangan, subsektor hortikultura juga
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
mengalami peningkatan impor yang tajam dan menunjukkan tren naik. Pada tahun 2011, dengan total impor lebih dari 2 juta ton, komoditas yang berjaya dalam hal impor adalah berbagai jenis bawang (total 653 ribu ton), berbagai jenis jeruk (238 ribu ton) dan apel (212 ribu ton). Khusus mengenai buah-buahan, secara kasat mata kita dapat melihat kalahnya buah lokal kita menghadapi masuknya buah impor terutama dari China dan Thailand. Adapun neraca perdagangan di subsektor hortikultura defisit 1,2 juta dolar atau sekitar 12 triliun rupiah.
n Neraca Volume Ekspor Impor Produk Pertanian Indonesia
Perkebunan Ekspor (Ton)
Impor (Ton)
21,378,189
25,182,681
27,017,306
2006
4,272,615
2007
2008
2009
2010
2011
Ekspor (Ton)
22,894,70
23,955,03
27,154,76
29,572,22
28,768,08
29,959,65
Impor (Ton)
15,036,98
15,921,86
12,593,23
13,401,15
16,874,99
22,917,89
Neraca (Ton)
7,857,724
8,033,176
14,561,52
16,171,08
11,893,08
7,041,764
Sumber: Pusdatin Kemtan, diolah
n Neraca Nilai Ekspor Impor Produk Pertanian Indonesia
22,105,773
1,776,174
2006
27,863,746
27,864,811
7
4,311,982
2,683,739 2,963,532
3,578,061 2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Pusdatin Kemtan, diolah
Kalau ada yang sedikit membuat kita lega adalah subsektor perkebunan. Subsektor ini merupakan satu-satunya subsektor yang neraca perdagangannya positif di tengah keterpurukan subsektor pertanian Indonesia lainnya. Dengan total ekspor hampir mencapai 28 juta ton pada tahun 2011, subsektor ini membukukan neraca perdagangan sebesar 31,85 ton atau sekitar 31,9 triliun rupiah. Komoditas yang berjaya di subsektor ini pada tahun 2011 adalah sawit (21 juta ton), karet (2,6 juta ton) dan kelapa (1,2 juta ton). Dengan besaran ekspor tersebut, Indonesia adalah negara eksportir terbesar untuk komoditas sawit, karet dan kelapa. Untuk sawit, pencapaian tersebut dapat diraih meskipun gempuran internasional seputar isu kesehatan dan lingkungan hidup atas kelapa sawit yang terus menerus dilontarkan sampai saat ini. Namun sayangnya di subsektor ini masih ada satu komoditas yang menjadi kebalikan dari komoditasi ekspor di atas. Indonesia justru menjadi salah negara importir terbesar kedua untuk komoditas tebu/gula. Pada tahun 2011 kita masih mengimpor lebih dari 2,7 ton tebu/gula dengan nilai sebesar 18,7 juta dolar.
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Ekspor (US$ 000)
14,863,22 21,240,26 29,300,33 23,037,58 32,522,97 43,365,00
Impor (US$ 000)
5,961,331 8,615,566 11,341,13 9,897,316 13,983,32 20,598,66
Neraca (US$ 000)
8,901,890 12,624,69 17,959,19 13,140,26 18,539,64 22,766,34 Sumber: Pusdatin Kemtan, diolah
Peternakan Ekspor (Ton)
Impor (Ton) 1,231,525
950,518
1,190,630
1,065,235 906,997
1,124,737 635,304 473,182
494,186
458,834
198,407 88,043 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Pusdatin Kemtan, diolah
Dari sisi ekspor, peternakan merupakan subsektor yang paling fluktuatif dibanding subsektor lainnya.
Peningkatan tajam ekspor di tahun 2011 ditandai dengan kenaikan sebesar 84% dibanding tahun sebelumnya. Namun demikian tetap saja subsektor yang satu ini memberikan neraca defisit lebih dari 1,4 juta dolar atau sekitar 14 triliun rupiah. Impor terbesar dari subsektor ini adalah komoditas sapi dan produk turunannya. Pada tahun 2011, impor mencapai lebih dari 391 ribu ton. Masalah subsektor peternakan ini makin menjadi sorotan ketika terungkap adanya dugaan kongkalikong impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Menjadi pertanyaan besar mengenai komoditas impor lainnya yang bukan mustahil mempunyai pola yang sama dengan masalah komoditas daging sapi tersebut.
8
INFRASTRUKTUR
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
Terpuruk Karena Infrastruktur Buruk Lemahnya penguatan infrastruktur di sektor pertanian pun menjadi salah satu penyebab ancaman terhadap stok pangan nasional. Swasembada pangan semakin jauh dari cita-cita jika masalah infrastruktur tak segera dipecahkan.
Saluran irigasi yang umumnya merupakan warisan zaman Belanda, atau paling tidak dibangun semasa Orde Baru, saat ini kondisinya mengenaskan. Menteri Pertanian menyebutkan bahwa tingkat kerusakan saluran irigasi di Indonesia sekarang telah mencapai 52 persen. Kerusakan infrastruktur pertanian tersebut meliputi kerusakan berat, sedang, dan ringan. Akibatnya, fungsi irigasi tidak optimal sehingga mempengaruhi produksi hasil pertanian. Ketersediaan sarana irigasi merupakan salah satu persyaratan penting untuk meningkatkan produktivitas, kuantitas
dan kualitas pertanian. Buruknya infrastruktur dasar pertanian mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah. Hal ini juga tampak dari kebijakan anggaran pemerintah yang sangat minim. Selama ini, pemerintah hanya menganggarkan Rp 3-5 triliun untuk membuat irigasi. Hal ini menunjukan pemerintah kurang perhatian dalam mengembangkan sektor pertanian. Lemahnya penguatan infrastruktur di sektor pertanian pun menjadi salah satu penyebab ancaman terhadap stok pangan nasional. Swasembada pangan semakin jauh dari cita-cita jika masalah
Foto: ciptakarya.pu.go.id
S
alah satu penyebab terpuruknya sektor pertanian kita adalah minimnya sarana irigasi. Daerah kesulitan membangun infrastruktur pertanian dan pembangunan waduk baru terganjal anggaran. Revitalisasi sektor pertanian pun hanya sekadar wacana yang selalu diulang-ulang, hampir tak ada realisasinya di lapangan. Sementara, impor kebutuhan pangan terus meningkat yang menandai negara ini semakin jauh dari kemandirian pangan.
Edisi Edisi 04/Agustus 03/Juli 2013 2013 || AGRO AGRO SWAKARSA SWAKARSA
infrastruktur tak segera dipecahkan. Menjadi persoalan klasik jika penguatan infrastruktur terbentur masalah anggaran yang terbatas. Tidak adanya komitmen bersama, antara pihak penyusunan APBN maupun pemerintah, khususnya menyangkut pembiayaan menjadikan pembangunan sektor pertanian kian tertinggal. Ketersediaan infrastruktur sebagai penunjang pertanian merupakan sesuatu yang mendesak untuk dibenahi. Selama ini pembangunan waduk serta pengembangannya dinilai minim. Total areal sawah di Indonesia baru sekitar 11 persen yang berasal dari waduk. Revitalisasi waduk sesungguhnya harus menjadi prioritas karena tidak hanya untuk mengatasi kekeringan, tetapi juga untuk menambah layanan irigasi nasional. Adapun untuk infrastruktur yang sudah tua dan rusak, perlu diperbaiki. Perbaikan mutlak dilakukan agar dapat mendorong percepatan peningkatan produksi. Hasil pertanian seperti beras dapat ditingkatkan, tidak saja menanam sekali dalam musim tanam, namun dapat tiga kali menanam padi apabila sarana irigasi memadai. Anggaran subsidi yang selama ini kurang tepat sasaran harus lebih diarahkan lagi untuk pembangunan sarana pertanian. Waduk sebagai penampung air yang selama ini mengalami pendangkalan, perlu dilakukan revitalisasi untuk menjamin ketersediaan air bagi petani dalam rangka mengoptimalkan produksi tanaman. Pembangunan sarana infrastruktur pertanian masih terfokus di Jawa. Untuk di luar Jawa masih minim pembangunan infrastruktur pertaniannya. Hal ini menimbulkan kesenjangan pembangunan sektor pertanian antara Jawa dan Non-Jawa. Ke depan pemerintah sudah semestinya fokus di luar Jawa yang selama ini dikenal sebagai sentra penghasil beras. Perlu Revitalisasi Perlu dilakukan revitalisasi struktural khususnya mencakup perbaikan dan pembangunan sarana dan prasarana, termasuk di dalamnya saluran drainase, bangunan pengendali banjir, waduk dan sarana irigasi, pengembangan teknologi pascapanen, rehabilitasi wilayah, perluasan lahan baru dan menghentikan konversi lahan pertanian. Jika mengandalkan APBN, pendanaan
9 9
k 52% Saluran Irigasi Rusa
M
ono enteri Pertanian Susw usakan ker a hw ba an tak nya me a esi on Ind saluran irigasi di sen per 52 i pa nca sekarang telah me ut memengaruhi sehingga kondisi terseb . produksi hasil pertanian dibutuhkan Ia mengatakan bahwa erkirakan dip g yan ar dana cukup bes 21 triliun r esa seb ran gga an menelan salah tingkat ma , rupiah. Namun, kata dia ominasi did ut seb ter kerusakan irigasi ab Kementerian menjadi tanggung jaw n sebagian oleh Pekerjaa Umum (PU) da n. nia Kementerian Perta t saluran yang “Kami mendata tingka n da menjadi mengalami kerusakan
infrastruktur pertanian akan jauh tertinggal. Sementara kebutuhan pangan nasional bergerak cepat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Mengingat terbatasnya anggaran, pemerintah perlu melakukan terobosan dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Misalnya, dengan melakukan kerja sama dengan pihak swasta dengan pemberian jaminan dari pemerintah serta kemudahan birokrasi. Selain meringankan beban pembiayaan pemerintah, kerja sama dengan swasta dalam proyek-proyek yang memenuhi skala ekonomis membuat anggaran pemerintah dapat difokuskan untuk membangun infrastruktur dasar. Setidaknya ada dua model kerjasama pemerintah dan swasta yang mungkin dapat dilakukan. Model pertama, swasta membiayai sepenuhnya dengan izin
nterian PU tanggung jawab Keme esar 18 triliun seb na da an hk utu memb saluran i an rupiah. Kami menang usakan dan ker mi ala ng tersier yang me esar 3 triliun membutuhkan dana seb rupiah,� katanya. usakan Menurut dia, apabila ker i, dapat aik erb dip ah tel asi saluran irig pertanian, ksi du meningkatkan hasil pro anyak 9,1 seb ng gili ing seperti gabah ker juta ton per tahun. semua “Kami optimitis setelah i, target aik erb dip t saluran irigasi dapa ton a jut 10 r esa seb produksi beras ai,� cap ter t pa da 4 201 un pada tah katanya. [Ant]
pemerintah. Model ini digunakan untuk proyek dengan tingkat kelayakan finansial tinggi, manfaat ekonomi tinggi, dan tarifnya terjangkau masyarakat. Model kedua adalah patungan yang digunakan untuk proyek yang tingkat pengembalian proyeknya rendah. Dengan begitu, pemerintah harus membantu investor secara fisik. Dengan hanya bermodalkan kesuburan tanah dan profesi petani turun temurun tidak akan bisa menciptakan sektor pertanian yang kuat dan mandiri. Perlu adanya dukungan kebijakan yang memihak kepada petani, termasuk semua departemen harus sinergi menciptakan sistem pertanian terintegrasi. Pemerintah harus segera mengerahkan semua sumber daya yang ada guna memulihkan dan meningkatkan kinerja sektor pertanian.
10
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
Sugar Group Companies
Segenap Pimpinan dan Karyawan Sugar Group Companies mengucapkan
Selamat Idul Fitri 1434 H Mohon Maaf Lahir dan Batin
AGROINDUSTRI
Edisi Edisi04/Agustus 04/Agustus2013 2013||AGRO AGROSWAKARSA SWAKARSA
11 11
Membangun Industri Hilir Pertanian Berbagai komoditas unggulan dijual dalam bentuk mentah dengan nilai tambah rendah. Ironisnya, setelah diolah produk jadi itu membanjiri pasar kita. Yang meraih keuntungan tentu importir pengolah bahan mentah itu.
P
emulihan ekonomi Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) masih jauh dari memadai. Daya beli masyarakat di dua benua itu merosot. Padahal, Uni Eropa dan AS selama ini menjadi pasar tradisional tujuan ekspor Indonesia, terutama produk primer seperti kopi, kakao, minyak sawit mentah (CPO), teh dan karet. Anjloknya komoditas andalan ekspor ini tidak hanya menekan perekonomian nasional, tapi juga memukul perekonomian rakyat dan ekonomi perdesaan. Krisis ekonomi di Uni Eropa dan AS diperkirakan masih akan lama. Ini menjadi pukulan telak bagi negara-negara yang mengandalkan pasar ekspornya di dua benua itu. Menggeser pasar ekspor ke negara lain menjadi keniscayaan. Akan tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan segera. Perlu diplomasi ekonomi yang cerdas. Para perunding, diplomat dan atase perdagangan bisa menjadi ujung tombak dalam diplomasi dagang ini. Namun, pengalaman menunjukkan, para diplomat kita masih belum bisa bekerja optimal. Oleh karena itu, bersamaan dengan memperkuat diplomasi ekonomi, percepatan mendorong industri hilir produk primer tidak bisa ditawar-tawar. Berbagai usaha dilakukan pemerintah untuk mendorong dan mengembangkan industri hilir, khususnya industri berbasis komoditas pertanian. Namun, industri hilir berbasis komoditas pertanian belum begitu berkembang. Berbagai komoditas unggulan, seperti minyak sawit, karet, kopi, kakao, teh, rempahrempah dan produk biji-bijian, dijual dalam bentuk mentah dengan nilai tambah rendah. Ironisnya, setelah diolah produk jadi itu membanjiri pasar kita. Yang meraih keuntungan tentu importir pengolah bahan mentah itu. Sampai kini industri (hilir) produk primer pertanian jauh panggang dari api. Untuk mendorong industri hilir komoditas pertanian diusulkan menerapkan bea ekspor atau menutup ekspor bahan mentah (baku). Pemberlakuan bea ekspor diusulkan untuk kelapa, kelapa sawit (CPO), dan kakao. Sedangkan penutupan ekspor bahan mentah diusulkan untuk rotan. Alasan klasik selalu mengiringi usulan ini: bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah akan menjamin pasokan bahan
baku bagi industri domestik. Hal ini akan mendorong perkembangan industri hilir. Pertanyaannya, benarkah bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah langkah tepat mendorong industri hilir? Bahan baku merupakan unsur penting bagi berkembang tidaknya industri hilir. Ketika bahan baku tersedia berkesinambungan industri hilir akan mendapatkan kepastian pasokan berproduksi sepanjang tahun dengan harga rendah. Masalahnya, bahan baku bukan satu-satunya penentu berkembang-tidaknya industri hilir. Di luar bahan baku ada lembaga keuangan (perbankan), ketersediaan infrastruktur pendukung, ekonomi biaya tinggi akibat pelbagai pungutan, beban pajak yang memberatkan, dan berbagai insentif yang tidak mendukung. Tanpa dukungan memadai dari semua faktor itu, ketersediaan bahan baku tidak akan menjamin industri hilir berkembang. Bahan baku pun sia-sia. Oleh karena itu, perlu ditelisik terlebih dahulu secara saksama apakah benar biaya bahan baku jadi penyebab tidak berkembangnya industri hilir produk primer pertanian. Selama ini kita sering melakukan generalisasi, seolah-olah semua produk primer sama. Tantangan paling penting dari usaha mendorong industri hilir produk primer komoditas pertanian adalah kejelian memetakan masingmasing komoditas. Solusi tak bisa dipukul rata. Tiap komoditas memiliki karakteristik persoalan berbeda. Untuk mendorong industri hilir, kebijakan mustinya diarahkan untuk mengatasi masalah riil yang menjadi penyebab lambatnya industri hilir pertanian. Pertama, memudahkan industri hilir menembus pasar yang didominasi perusahaan multinasional, seperti kebijakan tarif, promosi dan kerja sama bilateral/multilateral. Kedua, menurunkan tarif bea masuk untuk mesin dan bahan penolong industri hilir perkebunan. Ketiga, melakukan harmonisasi tarif yang belum harmonis. Keempat, memberikan insentif investasi dalam bentuk keringanan pajak (tax holiday), kemudahan izin investasi, dan dukungan infrastruktur yang memadai. KHUDORI Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
12
AGRO AGRO SWAKARSA SWAKARSA || Edisi Edisi 04/Agustus 04/Agustus 2013 2013
Kisah sukses Kuba adalah pertanian kota atau sering disebut dengan istilah organoponicos. Keberhasilan Kuba berawal dari krisis bahan makanan dan terperosok dalam kelaparan pada tahun 1993. Saat itu, rakyat Kuba yang terdidik revolusi mengambil inisiatif menanam sayur dan buah di balkonbalkon, pot-pot kosong, dan atap-atap rumah.
KOMPARASI
Melihat Asia Selatan dan Amer
Mereka Bisa
Lima negara dari dua benua yang bukan merupa pertaniannya. Kekhawatiran akan kelangkaan pa basis kebijakan. Tidak hanya bagus tapi terimple
Pemerintah merespon inisiatif rakyat itu dan segera mengorganisasikan pertanian keluarga itu. Tak hanya itu, pemerintah juga menyediakan lahan, menyiapkan bibit, dan pusat-pusat konsultasi pertanian. Berdirilah organoponicos di seluruh negeri dalam bentuk pertanian skala kecil dan koperasi. Pertanian kota telah membuat Kuba tak melulu bergantung pada impor. Saat ini, Kuba punya lebih 7.000-an organoponicos. Selain itu, pertanian kota menempati 3,4% lahan perkotaan. Hal ini disebabkan 75% rakyat Kuba tinggal di perkotaan. Di Havana yang merupakan ibukota, ada 8% lahan yang diperuntukkan untuk pertanian. Hasilnya, organoponicos menyuplai 90% kebutuhan sayuran di Havana. Mungkin Havana satu-satunya kota di dunia yang bisa melakukan itu.
Brasil tumbuh sebagai negara yang kuat dalam sektor pertanian yang menopang perekonomian negara tersebut. Hanya Amerika Serikat dan Eropa yang bisa mengalahkan Brasil sebagai eksportir hasil pertanian. Brasil boleh dikata telah berswasembada pangan. Produksi pangan mereka sangat melimpah dan bervariasi. Andai terjadi krisis pangan dunia, Brasil merupakan negara yang selamat dari krisis pangan. Tidak hanya itu, andaipun terjadi krisis energi dunia, Brasil kemungkinan bisa selamat. Negara ini telah mengembangkan bahan bakar hayati dengan mengkonversi gula menjadi etanol. Etanol ini yang kemudian digunakan untuk bahan bakar kendaraan. Kunci sukses pembangunan sektor pertanian Brazil terletak pada kebijakan pemerintah yang berpihak kepada para petani, pembangunan pusat riset pertanian serta zonasi pertanian berdasarkan jenis tanaman. Dengan tegas Pemerintah Brazil menggariskan kebijakan pengembangan sektor pertanian yang melarang perusakan hutan, penggusuran terhadap penduduk asli serta mempertimbangkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan.
India yang d pangan imp Kemandiria karena jum 1,1 miliar jiw itu diawali d berpihak pa
Anggaran besar-besaran dialokasikan untu irigasi dan pabrik pupuk. Pabrik pupuknya Kebijakan terasa kuat dalam pengembang India juga dibangun institut tiap jenis komo beras, gandum, dan pisang.
Dalam 15 tahun terakhir, perekonomian In Tahun 2009 bahkan 9,5 persen. Salah satu besar adalah pertumbuhan ekonomi pedes
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
rika Latin:
Berhasil
akan negara maju berhasil membangun sektor angan dan semangan kemandirian menjadi ementasi menjadi kunci penting keberhasilan.
dulu sangat bergantung pada por kini benar-benar mandiri. an pemenuhan pangan penting mlah penduduk India mencapai wa.Peningkatan produksi India dengan kebijakan makro yang ada sektor pertanian.
uk pembangunan jaringan terbesar kedua setelah China. gan sumber daya manusia. Di oditas, seperti institut jagung,
ndia tumbuh di atas 8 persen. u yang memberikan kontribusi saan, yang didominasi pertanian.
13 13
Vietnam berkembang dari negara yang mengalami kekurangan pangan 30 tahun menjadi eksportir beras kedua terbesar di dunia setelah Thailand. Pemerintah Vietnam telah melakukan berbagai kebijakan untuk menciptakan pertanian berkelanjutan. Investasi dilakukan dengan membangun infrastruktur untuk mendukung produksi beras berupa irigasi. Selain dukungan infrastruktur, pemerintah Vietnam juga memberikan berbagai bantuan kepada petani. Bantuan tersebut, antara lain berupa sistem perbankan untuk petani. Ini dilakukan agar petani mendapat pinjaman dengan lebih mudah. Kebijakan ini dilakukan agar petani mau lebih banyak investasi untuk menambah produksi pangan. Langkah Pemerintah Vietnam ini terbukti bisa membawa mereka melewati krisis pangan. Ke depan, Vietnam akan terus meningkatkan produksi berasnya baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Sehingga beras asal Vietnam bisa kompetitif dan akhirnya memberi keuntungan berupa pendapatan lebih tinggi bagi petani.
Thailand saat ini merupakan salah satu negara pengekspor terbesar produk pertanian dunia. Negara ini sangat menyadari aspek strategis produk pertanian dan mengelola sektor ini secara sangat serius, bahkan didukung riset dan rekayasa teknologi dengan melibatkan para ahli dan pakar dunia. Melalui hasil riset dan rekayasa teknologi ini Pemerintah Thailand telah mengambil kebijakan untuk mengembangkan satu produk pada satu wilayah dengan memperhatikan aspek keterkaitan dengan sektor lain, skala ekonomi dan hubungannya dengan outlet (pelabuhan). Akibatnya, tumbuh cluster-cluster (kelompok-kelompok) bisnis, sehingga masing-masing wilayah memiliki kekhasan sesuai dengan potensi wilayahnya. Pemerintah Thailand memproteksi produk pertanian dengan memberikan insentif dan subsidi kepada petani. Kebijakan ini telah mendorong masyarakat memanfaatkan lahan kosong dan tak produktif untuk ditanami dengan tanaman yang berprospek ekspor.
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
TATA RUANG
Foto: masagri.com
14
Lahan Agraris Yang Terkikis Konversi lahan pertanian tidak hanya menyebabkan kapasitas produksi turun, tetapi merupakan salah satu bentuk kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, serta menyebabkan semakin sempitnya luas garapan usaha tani.
S
ektor pertanian mempunyai peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini menyebabkan lahan pertanian menjadi faktor produksi pertanian yang utama dan unik karena sulit digantikan dalam sebuah proses usaha pertanian. Secara filosofis, lahan memang memiliki peran dan fungsi sentral bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Ini karena di samping memiliki nilai ekonomis, lahan juga memiliki nilai sosial, bahkan religius. Akan tetapi, lahan pertanian menghadapi permasalahan konversi lahan subur pertanian dan degradasi lahan yang
kian masif. Sementara, keberlanjutan lahan subur yang ada tidak terjamin dan pencetakan lahan sawah baru pun relatif kecil. Padahal, ketersediaan lahan dalam usaha pertanian merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan peran sektor pertanian yang berkelanjutan, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan secara nasional. Alih Fungsi Lahan Pertanian Tanaman Pangan (Sawah) Ada beberapa permasalahan yang dihadapi lahan pertanian. Yang utama adalah pertambahan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1,3 sampai dengan 1,5
% per tahun. Dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi ini, diperkirakan pada tahun 2035 penduduk Indonesia akan mencapai 440 juta jiwa. Masalah lain adalah kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor yang semakin ketat dan rencana alih fungsi lahan sawah. Berdasarkan RTRW kabupaten/kota seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah menjadi permukiman, perindustrian, dan lainlain. Meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan dukungan dinamika dan kebutuhan pembangunan di setiap daerah secara langsung atau tidak langsung memaksa terjadinya perubahan penggunaan lahan-lahan pertanian,
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
khususnya sawah. Selain itu, lahan sawah itu sendiri memiliki masalah, yaitu tingkat produktivitas yang mendekati levelling off sehingga ada tendensi total produksi relatif stagnan jika tidak diimbangi dengan teknologi. Konversi lahan pertanian terutama lahan sawah tidak hanya menyebabkan kapasitas produksi pangan turun, tetapi merupakan salah satu bentuk kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, serta menyebabkan semakin sempitnya luas garapan usaha tani. Hal ini merupakan salah satu sebab turunnya kesejahteraan petani karena kegiatan usaha tani tidak lagi dapat menjamin tingkat kehidupan yang layak bagi para petani. Tantangan untuk menekan laju konversi lahan pertanian ke depan adalah bagaimana melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata ruang, meningkatkan optimalisasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk. Di lain pihak, secara sistematis pemerintah daerah melalui RTRW Kabupaten/Kota akan merencanakan alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukan lain yang sangat dahsyat. Fenomena ini terlihat di ketujuh pulau besar di Indonesia. Seluas Âą3 juta ha dari total luas lahan sawah yaitu Âą8,9 juta ha (42,4% dari total luas lahan sawah) akan diubah peruntukannya (lihat boks). Strategi Penyediaan Lahan Secara garis besar ada tiga strategi yang diterapkan untuk menambah ketersediaan lahan pertanian. Yang pertama adalah dengan melakukan ekstensifikasi. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan cara pembukaan lahan baru, pemanfaatan lahan HGU yang belum diusahakan, pemanfaatan lahan terlantar, pemanfaatan kawasan hutan serta rehabilitasi dan konservasi lahan kritis dan dimanfaatkan untuk peruntukan tanaman pangan. Strategi yang ke dua adalah intensifikasi lahan dengan meningkatkan produktivitas tanah melalui optimalisasi lahan, pengembangan pertanian pangan metode SRI, dan peningkatan kesuburan
15
Luas Saw Pulau Sumatera
Jawa Bali
Kalimanta
Sulawesi
n
NTT & Maluku Papua
ah dan Re n Menurut R cana Alih Fungsi TRWKK
Luas Saw
ah
Ha 2,036,690
3,933,370
1,253,130 982,410 566,100 131,520
Total Sumber : B
PN, 2004
8,903,220
% 23.9 44.2 14.1 11 6.4 1.5
100
Nonirigasi Ha 414,780 542,120 375,200 124,270 67,050 65,060 1,588,480
tanah melalui fasilitasi penyediaan pupuk organik. Lalu yang terakhir adalah dengan mengeluarkan kebijakan pengendalian lahan yaitu Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) yang terdiri dari KP2B Nasional yang diatur dalam PP RTRWN, KP2B provinsi yang diatur dalam Perda RTRWP dan penetapan KP2B Kabupaten/Kota yang diatur dalam Perda RTRW Kabupaten/ Kota. Kawasan pertanian termasuk ke dalam kawasan budidaya yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan pertanian termasuk salah satu bentuk pengembangan kawasan perdesaan yang berada di dalam wilayah kabupaten, sesuai dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan, penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan di wilayah kabupaten, dapat berbentuk kawasan agropolitan, dan diarahkan salah satunya untuk pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan. Pemerintah pusat sangat berkepentingan dalam melindungi lahan pertanian pangan saat ini, khususnya lahan sawah yang mencapai 7,9 juta ha. Perlindungan lahan yang ada menjadi sangat penting mengingat kebutuhan pangan akan terus meningkat. Diprediksi pada tahun 2025, dengan asumsi alih fungsi lahan tetap sebesar 110.000 ha per tahun, maka lahan pertanian Indonesia
Irigasi
Dirubah (R
Ha 1,621,910
3,391,250 877,930 858,140 499,050 66,460 7,314,740
% 22.2 44.4 12 11.7 6.9 0.9
82.2
TRW)
Ha 710,230
1,669,600 58,360 414,290 180,060 66,460 3,099,000
% 43.8 49.2 6.7 48.3 36.1 100
42.4
sudah kurang dari 5 juta ha. Oleh sebab itu, selain menambah luas baku lahan, perlu juga mempertahankan lahan pertanian pangan yang sudah ada saat ini. Sementara itu pemerintah dan daerah harus mewujudkan perlindungan lahan pertanian pangan dari alih fungsi semaksimal mungkin, mengingat sumber daya lahan untuk pertanian pangan (sawah) di Jawa sangatlah potensial dan tidak tergantikan oleh pulau manapun di Indonesia. Di sisi lain laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang pesat memerlukan lahan-lahan baru menimbulkan kompetisi penggunaan lahan. Pemerintah daerah harus tegas menangani permasalahan ini. Setiap rencana pembagunan yang membutuhkan lahan harus direncanakan secara akuntabel dan transparan serta dengan hitungan angka kebutuhan lahan dan lokasi yang jelas pada setiap periode perencanaan pembangunan. Di atas semua kebijakan dan strategi tadi, pencegahan alih fungsi lahan pertanian merupakan tanggung jawab semua pihak. Maka perlu adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya lahan pertanian demi keberlangsungan dan keberlanjutan atas ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional di masa yang akan datang. Ir. Tunggul Iman Panudju, M.Sc Dir. Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Kementerian Pertanian
16
IMPORTASI
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
Impor Dahulu, Terjebak Kemudian
Foto: fuzudhoz.blogspot.com
Jebakan pangan (food trap) pada tahap awal ditandai dengan membanjirnya produk pangan impor dengan harga murah di pasaran. Ketidakmampuan bersaing dengan harga murah menyebabkan banyak pelaku bisnis dan pengambil kebijakan melakukan jalan pintas secara jangka pendek, yaitu melakukan impor.
E
ra globalisasi dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat dan bebas. Ditambah dengan perubahan lingkungan strategis domestik yang sangat cepat akan membawa implikasi terhadap upaya peningkatan daya saing produk pertanian strategis nasional. Dan bersaing melalui proses produksi yang efisien dan kualitas yang baik serta harga murah merupakan pijakan utama bagi kelangsungan hidup usaha produk pertanian. Partisipasi dan kemampuan pelaku usaha berbasis produk pertanian merupakan faktor kunci keberhasilan dalam peningkatan daya saing produk pertanian. Ada 2 (dua) strategi yang dapat dilakukan untuk mendukungnya. Memperkuat kebijakan makro dengan
arah terciptanya sistem perdagangan yang kondusif melalui berbagai instrumen kebijakan seperti kebijakan fiskal dengan memberikan insentif bagi usaha bidang pertanian dan pengalokasian APBN/APBD yang memadai untuk pengembangan sektor pertanian dan pangan, serta dukungan kebijakan perdagangan yang kuat melalui pemberian proteksi dan promosi bagi produk-produk pertanian yang strategis. Kondisi sistem perdagangan produk pertanian nasional sering kali disoroti dan ditanggapi mengenai kinerja selama ini yang kurang memuaskan berbagai pihak. Bahkan media massa selalu mengangkat berita sebagai topik utamanya mengenai berbagai persoalan dan permasalahan yang menyangkut produk pertanian domestik serta membanjirnya produk
pertanian impor yang semakin banyak beredar di pasaran. Disadari bahwa sorotan ini sangat erat kaitannya dengan usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas dan daya saing produk pertanian, pemberian modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal. Jebakan Pangan (Food Trap) Salah satu isu penting yang mengemuka dan perlu dicermati bersama, adalah peluang Indonesia jatuh ke dalam jebakan pangan (food trap), jika pilihan kebijakannya semata-mata bermuara pada penyediaan yang bertumpu pada impor saja. Jebakan pangan yang dimaksud, yaitu kondisi dimana negara
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
mempunyai ketergantungan yang sangat kuat terhadap impor produk pangan. Jebakan pangan juga mengandung pengertian ketidakmampuan sarana dan prasarana produksi pangan dalam negeri bersaing dengan pangan impor. Pada tingkat yang ekstrim, jebakan pangan akan menyebabkan hilangnya keleluasaan dalam menentukan kebijakan pangan nasional, karena beban biaya melepaskan dari ketergantungan terhadap impor semakin besar. Jebakan pangan (food trap) pada tahap awal ditandai dengan membanjirnya produk pangan impor dengan harga murah di pasaran. Ketidakmampuan bersaing dengan harga murah menyebabkan banyak pelaku bisnis dan pengambil kebijakan melakukan jalan pintas secara jangka pendek, yaitu melakukan impor. Kondisi demikian tentu saja mengakibatkan semakin tidak efisiennya sistem produksi pangan dalam negeri, dan pada gilirannya akan menyebabkan tidak terpakainya sarana dan prasarana produksi selama beberapa masa siklus produksi. Yang kemudian terjadi adalah kemandekan produksi di dalam negeri. Sebenarnya Indonesia memiliki bahan melimpah untuk bahan-bahan pembuat produk pangan (food ingredients). Namun sejauh ini masih sedikit pihak wirausaha dan masyarakat yang tertarik untuk berinvestasi. Ingredients adalah bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi pangan. Bahan-bahan itu bisa berupa bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong. Bisa dibayangkan bahwa dengan makin banyaknya produk pangan masuk ke Indonesia, akan terjadi proses pembelajaran masyarakat untuk menyukai produk pangan impor serta akan semakin tergesernya produk pangan asli dan terabaikannya keragaman sumber daya bahan pangan lokal serta akan semakin jauh dari jangkauan selera masyarakat Indonesia. Bicara mengenai jebakan pangan, sebagai bangsa kita harus kembali kepada kepercayaan diri untuk bisa menghindari jebakan pangan tersebut. Kita harus punya kemampuan dan kapasitas membangun kemandirian dalam hal pangan secara luas. Pada tatanan nasional, kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduk memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman dan halal didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan
berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator yang dapat mengukur kemandirian pangan adalah besaran ketergantungan impor terhadap ketersedian pangan nasional. Secara umum potensi dan peluang dalam mewujudkan peningkatan daya saing produk pertanian strategis nasional, adalah besarnya jumlah penduduk dan terus bertambah sekitar 1,34% per tahun. Penduduk ini juga merupakan agen pelaku usaha di bidang pangan yang menggerakkan perekonomian daerah maupun nasional. Sebagian besar PDB (Produk Domestik Bruto) setelah periode krisis dibangkitkan dari komsumsi domestik lebih dari 65% dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kegiatan ekonomi pangan masyarakat memiliki peran penting dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Inti persoalan dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional terkait dengan pertumbuhan permintaan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan pangan meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat serta perkembangan selera. Dinamika sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan pangan secara nasional meningkat dengan cepat, baik dalam jumlah, mutu, dan keragamannya. Sementara, kapasitas produksi pangan
17
nasional terkendala oleh kompetisi pemanfaatan lahan dan penurunan sumberdaya alam. Apabila persoalan ini tidak diatasi, maka kebutuhan akan impor pangan terus meningkat dan ketergantungan terhadap pangan impor semakin tinggi. Selain itu, persoalan efisiensi dan peningkatan produksi hasil pertanian tergantung pada ketersediaan infrastruktur yang memadai serta kebijakan pemerintah yang disusun untuk mendukung hal tersebut. Karenanya, perlu ada penataan ulang terhadap orientasi kebijakan bidang pertanian. Bahkan, melihat skala dan lingkup dampaknya, kebijakan bidang pertanian tidak lagi bisa diserahkan kepada Kementerian Pertanian saja tetapi harus melibatkan secara sinergis kementeriankementerian terkait, seperti: Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan dan beberapa badan negara yang lain. Jika perlu, di masa-masa yang akan datang, kementerian-kementerian tersebut dijauhkan dari adanya tarik menarik atas kepentingan ego sektoral demi memprioritaskan kepentingan dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan di negeri tercinta Indonesia. Oktavio Nugrayasa Kabid Ketahanan Pangan dan PDT Sekretariat Kabinet RI
Kelompok Penerbitan OPINI INDONESIA :
18
PUPUK
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
Pupuk Bersubsidi:
K
ebijakan pupuk bersubsidi bertujuan meringankan beban petani agar ketika mereka memerlukan untuk tanaman pangannya, pupuk tersedia dengan harga terjangkau. Argumentasi utama kebijakan ini adalah pemanfaatan teknologi pupuk sampai saat ini diakui sebagai teknologi intensifikasi pertanian untuk meningkatkan hasil pangan dan petani Indonesia umumnya kurang mampu membeli pupuk sesuai harga pasar. Untuk itulah pemerintah yang berkepentingan dengan peningkatan produktivitas hasil pangan demi ketahanan pangan nasional, kemudian memilih opsi memberikan subsidi harga pupuk untuk petani. Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi ditataniagakan dengan memakai ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET). Pupuk bersubsidi diperuntukkan untuk sektor pertanian yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, hijauan pakan ternak, dan budidaya ikan dan/ atau udang. Sasaran pengguna pupuk bersubsidi adalah petani, pekebun, peternak yang mengusahakan lahan paling luas 2 (dua) hektar setiap musim tanam per keluarga petani. Sementara untuk pembudidaya ikan dan/atau udang
Foto: jogja.antaranews.com
Kelangkaan Yang Selalu Berulang
Masalah subsidi pupuk berpulang pada kebijakan yang diambil pemerintah. Sangat diharapkan kebijakan tersebut bukanlah kebijakan jangka pendek saja, namun memiliki dimensi strategis jangka panjang untuk kemandirian sektor pertanian itu sendiri.
paling luas 1 (satu) hektar. Meskipun sudah dilakukan kebijakan komprehensif pupuk bersubsidi seperti pembangunan industri pupuk untuk pemenuhan kebutuhan domestik, rayonisasi pasar, pemberlakuan HET sesuai rayon dan subsidi gas kepada pabrik pupuk, nyatanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Peningkatan ekspor pupuk ilegal seiring peningkatan margin antara harga pupuk urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik diduga menjadi penyebab ketimpangan pelaksanaan kebijakan pupuk tersebut. Ironisnya, pupuk urea yang diekspor secara ilegal tersebut kebanyakan adalah pupuk bersubsidi. Ekspor pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhanpelabuhan kecil milik individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Selain itu perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi juga sering terjadi. Perembesan ini
terjadi terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan perkebunan besar. Sejak ditetapkan kebijakan harga pupuk, telah menyebabkan pasar pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu pasar bersubsidi dan pasar nonsubsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan sistem pengawasan pupuk yang telah dibentuk pemerintah. Belum lagi adanya perembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi). Demikian juga banyak produsen pupuk dan distributor yang ditunjuk tidak mempunyai gudang penyimpanan pupuk di lini III pada beberapa daerah diduga juga turut berkontribusi terhadap kelancaran pendistribusian pupuk yang pada akhirnya menyebabkan kelangkaan pupuk di tingkat pengecer atau petani. Pemberian subsidi pupuk dalam jangka panjang dapat meningkatkan jumlah konsumsi pupuk. Peningkatan tersebut di dapat meningkatkan produksi pertanian, namun juga meningkatkan anggaran subsidi. Selain itu penggunan pupuk yang berlebihan juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Pemerintah lalu berusaha mengurangi jumlah anggaran subsidi pupuk dari tahun ke tahun. Krisis yang terjadi sebelum tahun 1998 memaksa subsidi pupuk dihapuskan
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
pada Desember 1998. Baru pada tahun 2001 subsidi pupuk dilakukan kembali namun dibatasi hanya untuk tanaman pangan sedangkan untuk tanaman perkebunan mengikuti harga pasar. Kebijakan penyediaan pupuk bersubsidi di tingkat petani diusahakan memenuhi azas enam tepat yaitu: tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu dan harga yang layak sehingga petani dapat menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Untuk mendukung itu, pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk ke petani melalui pabrik pupuk yaitu berupa subsidi gas sebagai bahan baku utama produksi pupuk, dengan harapan harga pupuk yang diterima petani sesuai HET yang ditetapkan pemerintah. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa sistem pendistribusian pupuk yang diterapkan selama ini belum cukup efektif dalam upaya memenuhi enam azas tepat yang selama ini menjadi target pemerintah dalam mendistribusikan pupuk ke tingkat petani. Sehingga dapat dikatakan tujuan kebijakan subsidi pupuk yang
pada intinya untuk kesejahteraan petani serta kesinambungan usahataninya, masih terkendala pada ketidaktepatan azas enam tepat di lapangan dan sistem distribusi pupuk yang masih belum teratur dan konsisten. Subsidi pupuk masih sangat diperlukan oleh petani meski banyak faktor yang mempengaruhinya. Sebagian besar faktor tersebut membutuhkan koordinasi antar instansi pemerintah. Penentuan HET akan ditentukan oleh harga gas dan kurs yang membutuhkan koordinasi kebijakan antara Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Selain itu perlu ketegasan pemerintah untuk mengenakan sanksi kepada produsen/distributor jika gagal melaksanakan kewajiban untuk mencukupi sediaan pupuk di kios pengecer sesuai HET. Ketegasan bisa dengan mencabut haknya untuk memperoleh subsidi gas dan pemutusan izin ekspor pupuk. Alternatif lain yang juga sudah
19
mulai dilakukan pemerintah seperti penggunaan pupuk organik untuk mengurangi ketergantungan pupuk subsidi perlu makin digencarkan. Selain dapat mengurangi beban subsidi, penggunaan pupuk organik memberikan keuntungan perbaikan struktur tanah yang semakin jenuh karena penggunaan pupuk konvensional dan pestisida. Pupuk organik yang berbasis mikrobiologi biasanya sudah mengandung banyak mikroba alami yang dapat membantu mengembalikan kesuburan tanah. Sudah banyak penelitian yang mendukung asumsi alternatif tersebut dan mayoritas menyimpulkan bahwa penggunaan pupuk organik dengan kombinasi pupuk konvensional dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan produktivitas tanaman. Masalah subsidi pupuk ini kembali pada kebijakan yang akan diambil pemerintah. Namun sangat diharapkan bukanlah kebijakan jangka pendek saja, namun memiliki dimensi strategis jangka panjang untuk kemandirian sektor pertanian itu sendiri.
Pendistribusian Pupuk Subsidi Tidak Efektif Ada beberapa hal yang diduga sebagai penyebab terjadi pendistribusian pupuk tidak sesuai dengan rencana.
1
Pemakaian pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan urea yang dianjurkan pemerintah hanya sebanyak 250 kg/ha, akan tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakan pupuk jenis ini berkisar 350-500 kg/ha. Penggunaan pupuk berlebih terjadi karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea merupakan pupuk pokok dan mutlak diperlukan, sementara pupuk lainnya seperti SP36 dan KCl hanya merupakan pupuk pelengkap. Sehingga seringkali dijumpai banyak petani yang tidak menggunakan pupuk KCl di samping karena harganya memang relatif mahal.
2
Pemilikan lahan yang sempit (< 0.3 ha) juga menyebabkan penggunaan pupuk kalau dikonversi ke dalam satu hektar menjadi sangat tinggi.
3
Tidak adanya ketepatan dalam menghitung luas pertanaman komoditas pangan (padi).
Jumlah rencana kebutuhan pupuk yang ditetapkan Departemen Pertanian yang merupakan usulan Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten secara umum lebih rendah dari luas pertanaman sesungguhnya, sehingga jumlah permintaan pupuk selalu melebihi dari yang dialokasikan.
4
Adanya ketidakdisiplinan petani dalam menentukan pola tanam. Sebagai contoh, pada daerah tertentu yang biasanya menanam padi dua kali, ketika begitu masih ada persediaan air yang mencukupi pada gadu dua (MK II) petani pada umumnya menanam padi lagi, sehingga terjadi lonjakan permintaan pupuk. Kebutuhan pupuk pada tanaman hortikultura juga sangat sulit untuk dihitung, mengingat jenis komoditas yang ditanam petani tidak pasti dan selalu berubah-ubah sesuai permintaan pasar.
5
Terjadi penggunaan pupuk di tingkat petani untuk kebutuhan yang bukan bersubsidi.
REGULASI
AGRO SWAKARSA SWAKARSA || Edisi Edisi 04/Agustus 04/Agustus 2013 2013 AGRO
Foto: presidenri.go.id
20
UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani :
Tidak Lindungi Hak Petani Pertanyaan kritisnya semenjak masih berupa RUU adalah sejauh mana undang-undang tersebut melindungi dan memberdayakan petani? Persoalan lahan pertanian atau lebih tepatnya tanah yang dimiliki adalah permasalahan utama dari petani Indonesia.
P
ada tanggal 9 Juli 2013, di DPR RI telah mengesahkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (RUU Perlintan) menjadi undangundang. Kini undang-undang tersebut tinggal menunggu tandatangan Presiden. Semenjak Republik Indonesia didirikan sudah dibangun kerangka hukum agar kekayaan alam yang salah satunya adalah tanah bisa untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itulah kemudian pasal 33 UUD 1945 memberikan mandat tentang perlunya Hak Menguasai Negara (HMN) atas kekayaan alam guna melindungi tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) yang menjadi operasionalisasi dari pasal 33 UUD 1945 adalah basis regulasi untuk merubah secara revolusioner hukum agraria yang
berwatak kolonial menjadi hukum agraria nasional yang anti terhadap kolonialisme dan feodalisme. Dengan mengatur soal landreform, sesunggunya UUPA 1960 bermaksud mengakhiri ketidakadilan agraria dan mewujudkan tanah bagi mereka yang benar-benar menggarap tanah. Di dalam klausul ‘Menimbang’ RUU Pertanahan dinyatakan: “bahwa dalam perkembangan pelaksanaan kebijakan pembangunan yang cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi, telah memungkinkan terjadinya penafsiran yang menyimpang dari tujuan dan prinsip-prinsip Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dengan berbagai dampaknya”. Dampak dari pengingkaran UUPA 1960 adalah semakin banyaknya petani gurem dan buruh tani, konflik agraria, alih fungsi lahan pertanian,
dan lain-lain. Namun sayangnya justru di ‘Menimbang’ UU Perlintan tidak muncul sebagai permasalahan yang dihadapi petani. Walhasil tidak terlihat upaya komprehensif dalam melakukan redistribusi tanah kepada petani. Hal ini terlihat dari hanya konsolidasi tanah, tanah pertanian terlantar dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusikan kepada petani, itupun bukan menjadi hak milik, melainkan hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU Perlintan. Pengingkaran Terhadap Hak Menguasai Negara (HMN) Hak sewa, dalam artian petani penggarap membayar sewa terhadap negara adalah melanggar prinsip dari HMN , karena berarti menjadikan negara menjadi pemilik tanah yang
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
tanahnya disewa oleh petani, dan adalah bentuk dari tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi telah menjelaskan makna pasal 33 UUD 1945, yang pada intinya adalah HMN bukan berarti tanah milik negara dan landreform sebagai kewajiban negara dalam rangka sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan: â&#x20AC;&#x153;Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatâ&#x20AC;?. Dalam rumusan tersebut terdapat kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi dan karena itu penting ditegaskan adanya penguasaan oleh negara. Kepentingan yang hendak dilindungi oleh konstitusi adalah kemakmuran rakyat dalam kaitannya dengan pemanfaatan bumi, air, kekayaan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, sepanjang menyangkut tanah, maka atas dasar adanya kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi itulah dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat. Di antaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Inilah yang antara lain dilakukan melalui UUPA 1960 dan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Pembatasan Luas Tanah Pertanian. Dengan adanya pembatasan dan pendistribusian demikian berarti sumber ekonomi akan tersebar pula secara lebih merata dan pada akhirnya akan tercapai tujuan pemerataan kemakmuran rakyat. Hak sewa tanah negara juga menimbulkan ketidakpastian hukum sebab bertentangan dengan UUPA 1960 yang menyatakan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai yang bukan sewa menyewa (Pasal 41 UUPA 1960). Petani menyewa tanah kepada negara, menjadikan feodalisme hidup kembali, di mana negara menjadi tuan tanah dan petani menjadi penggarap, yang mana kesulitan petani membayar sewa akan mebawa petani dalam perangkap lintah darah dan sistem ijon. Sisa-sisa penghisapan feodalisme inilah yang sesungguhnya hendak diberantas
oleh UUPA 1960. Korporatisme negara masa lalu yang dilakukan oleh Orde Baru, yaitu dengan pemberlakukan organisasi tunggal yang dikooptasi oleh negara. Artinya rakyat hanya diberikan kesempatan berorganisasi dalam wadah yang sudah ditentukan. Hal tersebut persis sama dengan pengaturan kelembagaan petani dalam UU Perlintan pasal 69 dan 70. Model kelembagaan yang sudah ditentukan Pemerintah ini menjadi kewajiban petani untuk bergabung dan berperan aktif sebagaimana diatur dalam pasal 71 UU Perlintan.
21
Tidak Jelasnya Hak yang Dilindungi
dari tidak adanya hak-hak petani yang akan memunculkan kewajiban negara dalam perlindungan dan pemenuhan hakhak petani dalam undang-undang ini. Ironi tersebut di atas disebabkan karena tidak adanya upaya pemajuan (promosi) dari Komnas HAM atas hak-hak petani. Komnas HAM berpartisipasi sewaktu berbagai ormas tani merumuskan Deklarasi Hak Asasi Petani. Selain itu juga disebabkan rendahnya koordinasi antara DPR dengan pemerintah khususnya Kementerian Luar Negeri, mengingat Indonesia berpartisipasi dalam Dewan HAM PBB yang pada salah satu sidangnya memutuskan perlunya diadakannya deklarasi tentang hak petani.
Boleh dibilang sesungguhnya, problematika dari UU Perlintan bersumber
Gunawan Ketua Eksekutif IHCS
Dirgahayu 68 Tahun
Republik Indonesia
Kelompok Penerbitan OPINI INDONESIA :
22
HISTORIA
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
istimewa
Dari Tanam Paksa ke Liberalisasi
M
elihat ke belakang perjalanan pertanian Indonesia, mau tidak mau kita melihat pada era penjajahan, khususnya penjajahan Belanda. Salah satu awal kebijakan pertanian pada waktu itu adalah tanam paksa (cultuur stelsel). Setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC. Jika pada jaman VOC petani wajib menjual komoditi tertentu, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Tahun 1870 lahir hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870 yang dipengaruhi dan atas desakan kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan besar di negeri jajahannya. Jika pada masa tanam paksa hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah, dengan aturan baru tersebut, pengusaha swasta Belanda memiliki hak yang kuat atas tanah, bahkan dapat dijadikan agunan bank. Aturan
inilah kemudian yang mendorong terbentuknya perkebunan-perkebunan besar yang di kemudian hari menjadi BUMN perkebunan milik Indonesia. Pasca kemerdekaan, Indonesia disibukkan dengan hiruk pikuk politik setelah keluarnya Maklumat X oleh Wakil Presiden Moh. Hatta yang menyebabkan bermunculannya banyak kekuatan politik beserta ideologi masing-masing. Berbagai gesekan politik menyebabkan energi pemerintah lebih terkuras ketimbang mengurusi pembangunan ekonomi. Pada awal masa Orde Baru pemerintah menerima beban perekonomian Orde Lama. Pemerintah menempatkan sektor pertanian, terutama pertanian tanaman pangan sebagai fokus. Dalam rangka untuk mendukung program pertanian pangan, pemerintah membuat cukup banyak pembangunan infrastruktur pendukung. Misalnya seperti pembangunan irigasi, pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian tanaman pangan. Sayangnya, keseluruhan saran dan prasarana pendukungnya masih difokuskan pada jenis tanaman beras. Ada kebijakan menarik pada masa Orde Baru, yaitu Program Keluarga
Berencana (KB) yang tidak lain adalah program kontrol populasi. Pemerintah saat itu nampaknya sudah melihat bahwa keberhasilan pembangunan sektor pangan akan sulit berhasil jika populasi sebagai variabel demand tidak dikontrol. Paska kejatuhan Soeharto di tahun 1998 akan menjadi penanda babak baru kebijakan di sektor pertanian. Liberalisasi di sektor pertanian sudah mulai resmi diterapkan sejak tahun 1998. Harga-harga kebutuhan pokok pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator atau mengatur tata kelolanya, tetapi tidak memiliki kewenangan lagi untuk mempengaruhi secara langsung atas harga-harga kebutuhan pokok. Pemerintah pasca Orde Baru kemudian lebih banyak terkungkung dengan Letter of Intent (LOI) IMF yang memangkas wewenang pemerintah untuk melakukan kontrol (intervensi) langsung atas harga komoditi-komoditi utama pangan. Kita memasuki babak baru liberalisasi. Tidak ada kebijakan signifikan yang membangun sektor pertanian karena semua presiden pasca reformasi sangat berhati-hati untuk tidak melanggar LoI IMF tersebut.
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
23
OPINI INDONESIA 014
3
24
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013