MASIH DIANGGAP KOMODITAS NOMOR DUA
Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com/agro
Edisi 05/September 2013 o PROLOG o TABULASI o PROFIL o EPILOG
3 4 18 22
Singkong Indonesia
Produsen Besar Sekaligus Importir Besar
• Singkong Dihadang Empat Kendala • Lampung: Produsen Terbesar Indonesia
• Singkong dan Ketahanan Pangan • Bioetanol dan Mimpi Ketahanan Energi
05/2013 03
PROLOG
Raksasa Tidur itu Bernama Singkong
11
TABULASI
Produksi Besar, Tapi Impor Tak Kalah Besar 16
6%
14%
39%
Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com
Edisi 05/September 2013 o PROLOG o TABULASI o PROFIL o EPILOG
Bioetanol dan Mimpi Ketahanan Energi
Pemanfaatan singkong sebagai bahan baku bioetanol jelas sudah memiliki landasan yang jelas. Dilihat dari segi potensi, Indonesia merupakan negara yang memiliki produksi singkong cukup besar dibanding negara-negara lain.
Produksi singkong Indonesia menempati urutan ketiga dunia setelah Nigeria dan Brazil. Namun pada saat yang sama menduduki posisi importir terbesar kedua setelah China.
04
ENERGI
MASIH DIANGGAP KOMODITAS NOMOR DUA
14%
4%
Data FAO makin menguatkan posisi ubi kayu yang nampak perkasa tapi loyo. Indonesia merupakan pengimpor produk berbasis ubi kayu berupa tepung terbesar kedua setelah China dengan nilai lebih dari 2,11 triliun rupiah!
06
08
Singkong dan Ketahanan Pangan
Strategi upaya peningkatan singkong dimulai dengan cara pengolahan singkong untuk menjadi berbagai produk olahan yang bernilai tambah dan bernilai jual tinggi.
18
IDENTIFIKASI
Peningkatan Produksi dan Produktivitas: Dihadang Empat Kendala KEBIJAKAN
Yang Masih Dianggap Sebagai Komoditas Nomor Dua Nampaknya sejauh ini peran pemerintah masih minim dan komoditas singkong masih dianggap belum terlalu penting ketimbang komoditas lainnya.
21 22
Singkong Indonesia
Produsen Besar Sekaligus Importir Besar
Í 4 Kendala Menghadang Singkong Indonesia
Í Singkong dan Ketahanan Pangan
Í Produksi Meningkat dengan Pupuk Organik
Í Bioetanol dan Mimpi Ketahanan Energi
Diterbitkan sebagai majalah pertanian strategis yang berupaya memetakan dan mencari solusi masalah pertanian Indonesia dari berbagai sudut pandang.
Managed By
PANGAN
9% 4%
5 6 18 22
PROFIL
Produsen Terbesar Singkong Indonesia HISTORIA
Dari Brazil Yang Tak Lagi ‘nDeso
Pemimpin Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Dewan Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi M. Mutawally Ronald Simarmata Andri Penerbit Yayasan Media Wasantara Anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri Rimson Simanjorang Managing Director Ir. David J. Simanjorang
EPILOG
Dilema Singkong Indonesia: Pangan atau Energi?
Ini memang situasi dilematis. Namun kedua sektor tersebut mesti dapat dijawab sekali jalan tidak bisa satu persatu.
Bank Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 1967 957 a/n. Raymond Rajurat Alamat Redaksi Jl. Yupiter Utama D10/12 Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493, 0811 192306 Alamat Iklan/Tata Usaha Jl. Purnawirawan Raya 12/424 Bandar Lampung Telp : 0816 4063 04. Website www.opini-indonesia.com/agro
Topik Edisi Depan:
Kopi Lokal di Era Global
Kopi sudah menjadi gaya hidup. Munculnya banyak kedai kopi di perkotaan menunjukkan komoditas yang satu ini benar-benar naik kelas dan bergengsi. Namun apa kabar petani dan pengusaha kopi kita? Sudahkah makin naik tarafnya? Anda punya pendapat? Kirimkan email ke agro@opini-indonesia.com atau melalui faksimili (021) 87716493.
Email agro@opini-indonesia.com Percetakan PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting)
Isi diluar tanggungjawab percetakan
PROLOG
Edisi 05/September 2013 | AGRO SWAKARSA
3
Produksi singkong Indonesia menempati urutan ketiga dunia setelah Nigeria dan Brazil. Namun pada saat yang sama menduduki posisi importir terbesar kedua setelah China.
RaKSaSa TIDuR ITu BERNaMa
S
SINGKONG
ingkong saat ini mulai menjadi primadona. Tidak hanya jadi bahan pangan tradisional, tapi juga untuk industri baik makanan maupun pakan ternak bahkan pembuatan biofuel. Di pasar internasional, produk yang berbasis singkong ini dalam bentuk olahan untuk kebutuhan berbagai industri, baik industri makanan maupun industri lainnya. Beberapa tahun terakhir ini singkong segar mulai diperdagangkan dari Amerika Latin dan Afrika ke berbagai negara maju, seperti Amerika Utara dan Eropa. Singkong segar dapat eksis di pasaran dengan berbagai upaya dan penelitian untuk mempertahankan tingkat kesegaran singkong. Adapun produksi singkong Indonesia menempati urutan ketiga dunia setelah Nigeria dan Brazil. Tapi produksi tersebut masih jauh dari angka kebutuhan
pertahun untuk industri pakan ternak dan pangan. Meskipun banyak diekspor ke negara China, Taiwan, Malaysia, dan Jepang namun kita secara rutin mengimpor pati singkong (cassava starch) dari Thailand sebagai eksportir utama singkong dunia yang menguasai 80% pasar singkong internasional. Tingkat impor ini terus meningkat tiap tahunnya. Pada World Tapioca Conference 2013, Office of Agricultural Economics Thailand merilis data bahwa terjadi
peningkatan ekspor ke Indonesia dari 12% untuk native starch dan 7% untuk modified starch pada tahun 2008 menjadi 28% dan 9% pada tahun 2012. Indonesia bahkan merupakan negara tujuan ekspor terbesar Thailand untuk native starch dan pada saat yang sama menjadi importir terbesar dunia kedua setelah China. Mengingat komoditas ini dapat diarahkan sebagai produk pangan maupun non pangan ditambah dengan besarnya impor kita, maka komoditas ini sangat memiliki potensi dikembangkan. Tidak perlu menguasai pasar dunia, namun dengan swasembada saja sudah merupakan prestasi. Swasembada tersebut --jika bisa dicapai-tidak hanya mengurangi defisit perdagangan, namun secara nyata akan memutar roda ekonomi lokal yang diharapkan akan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang berusaha di komoditas ini.
Foto: tropicalfoodonline.com
4
TaBuLaSI
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013
Produksi Besar, Tapi Impor Tak Kalah Besar Data FAO makin menguatkan posisi ubi kayu yang nampak perkasa tapi loyo. Indonesia merupakan pengimpor produk berbasis ubi kayu berupa tepung terbesar kedua setelah China dengan nilai lebih dari 2,11 triliun rupiah!
T
anaman ubi kayu tersebar di seluruh propinsi di Indonesia, namun penyebarannya terbanyak di pulau Sumatra dan Jawa, masing-masing 47% dan 41% dari total luas panen ubi kayu di Indonesia. Sebelumnya pulau Jawa merupakn penghasil terbesar, namun setelah penanaman yang masif di Propinsi Lampung, maka pulau penghasil komoditas ini diambil alih oleh pulau Sumatra. Di Sumatra komoditas ini
6%
terbanyak ditanam di Provinsi Lampung (39%), di Jawa terbanyak di jawa Timur dan Jawa Tengah ( masingmasing sekitar 14%). Luas panen lahan yang ditanami ubi kayu di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001, namun produksi umbi ubi kayu tetap mengalami peningkatan. Dengan demikian,
14%
39%
14% 9% 4%
4%
produktivitas tanaman ubi kayu di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini kemungkinan disebabkan tersedianya bibit yang lebih baik serta teknik budidaya yang lebih baik juga.
Edisi 05/September 2013 | AGRO SWAKARSA
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber: Kemtan
Lampung merupakan propinsi dengan luas lahan tanaman ubi kayu, produksi umbi dan produktivitas ubi kayu tertinggi di Indonesia. Luas panen, produksi dan produktivitas ubi kayu di propinsi ini pada tahun 2013 diperkirakan masing-masing mencapai 325.047 hektar, 9.148.597 ton dan 25,987 ton/ha.
LuaS PaNEN
2% 4% 1%
3% 4%
SUMATERA • Sumut
China
867,821
451,294
2
Indonesia
435,419
211,254
3
Taiwan
340,145
170,662
4
Malaysia
182,041
92,674
5
Japan
133,966
73,582
Statistik FAO, impor dalam metrik ton.
merupakan importir terbesar produk berbasis ubi kayu dari negeri gajah putih itu. Tambah miris lagi, bahwa impor 2001 2006 2011 tersebut terus meningkat. Jika pada tahun 2008 kita mengimpor 12% Nigeria 32,068,000 45,721,000 52,403,455 native starch dan 7% modified starch Brazil 22,577,100 26,639,013 25,349,088 dari total ekspor Thailand, maka Indonesia 17,054,600 19,986,640 24,009,624 pada tahun 2012 impor Indonesia bertambah menjadi 28% native Thailand 18,395,801 22,584,402 21,912,416 starch dan 9% modified starch. Kongo 15,435,700 14,989,440 15,569,138 Data FAO 2011 makin Statistik FAO, produksi dalam metrik ton. menguatkan posisi ubi kayu yang nampak perkasa tapi loyo. Indonesia Tapi nanti dulu. Besarnya produksi merupakan pengimpor produk berbasis ternyata tetap tidak imbang dengan ubi kayu berupa tepung terbesar kedua kebutuhan. Tahun 2012, Indonesia setelah China dengan total impor 435,419 melakukan impor dari Thailand berupa ton dengan nilai lebih dari 211 juta US tepung pati (native & modified starch). dollar atau lebih dari 2,11 triliun rupiah! Tidak tanggung-tanggung, Indonesia
PRODuKSI
PRODuKTIVITaS
2%
9%
39%
47%
10.756
41%
1
26.139
5%
Nilai ($000)
43%
11,111,163
47.0%
SUMATERA
1,322,301
5.60%
• Sumut
425,075
14.186
Luas Panen
Volume
18.635
Produktivitas
Negara
15.716
Produks i
PRODUSEN BESAR DUNIA YANG TETAP IMPOR Berdasarkan data FAO, pada tahun 2010 Indonesia merupakan negara produsen ubi kayu nomor 3 terbesar di dunia setelah Nigeria dan Brazil. Dengan total produksi sekitar 25 juta metrik ton, Indonesia menggeser posisi Thailand yang pada tahun 2001 sampai dengan 2009 menempati posisi 3 dunia (dan sempat posisi 2 pada tahun 2009). Dengan data tersebut kita patut bangga.
20.861
Statistik menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas tinggi dicapai oleh pulau Jawa dan Sumatra. Sementara daerah lainnya menunjukkan produktivitas yang lebih rendah meskipun walaupun luas panen dan produksinya masuk termasuk tinggi.
5
38.9%
SUMATERA
26.139
• Sumut
30.812
42,915
3.93%
• Lampung
352,047
32.24%
• Lampung
25.987
470,342
43.1%
JAWA
20.861
• Lampung
9,148,597
38.72%
JAWA
9,811,691
41.5%
JAWA
• Jabar
2,172,924
9.20%
• Jabar
99,941
9.15%
• Jabar
21.742
3,398,454
14.38%
• Jateng
156,709
14.35%
• Jateng
21.686
942,880
3.99%
61,227
5.61%
• DIY
15.400
• Jatim
3,209,028
13.58%
• Jatim
146,472
13.41%
• Jatim
21.909
LAINNYA
2,705,101
11.4%
LAINNYA
196,529
18.0%
LAINNYA
13.764
868,285
3.67%
• NTT
86,707
7.94%
• NTT
10.014
23,627,955
100%
1,091,946
100%
INDONESIA
21.638
• Jateng • DIY
• NTT INDONESIA
Diolah dari data BPS - Angka ARAM 1 2013, dalam ton.
• DIY
INDONESIA
Diolah dari data BPS - Angka ARAM 1 2013, dalam ton.
Diolah dari data BPS - Angka ARAM 1 2013, dalam ton.
6
IDENTIFIKaSI
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013
Peningkatan Produksi dan Produktivitas
Kendala itu meliputi kendala fluktuasi (baik produksi maupun harga), kendala kemitraan antara petani dan industri, kendala inovasi teknologi serta kendala skala ekonomi.
S
ebagaimana komoditas pertanian lainnya, singkong juga menghadapi beberapa kendala dalam peningkatan produksi dan pengembangannya. Kendala itu meliputi kendala fluktuasi (baik produksi maupun harga), kendala kemitraan antara petani dan industri, kendala inovasi teknologi serta kendala skala ekonomi. Fluktuasi produksi dan harga pada singkong masih terjadi. Harga terendah terjadi pada saat panen raya. Pada saat ini petani dirugikan dan sebaliknya di luar periode tersebut harga cukup baik tetapi produksi terbatas dan dalam hal ini pihak industri dirugikan. Hal ini terjadi karena tidak adanya pengaturan waktu tanam dan panen yang merata setiap bulan dikarenakan sebagian besar pertanaman singkong
ditanam di lahan kering di mana kebutuhan air sepenuhnya tergantung dari curah hujan, dan pada umumnya petani telah terbiasa menanam pada musim hujan. Di samping itu, adanya tekanan ekonomi pada petani maka petani sering menjual secara ijon atau panen muda sehingga pendapatan petani rendah. Kemitraan usaha antara petani dan industri belum berjalan dan berkembang dengan baik. Belum adanya kesepahaman untuk menampung hasil dengan harga yang wajar dan berkelanjutan menjadi masalah. Padahal kemitraan ini penting dalam upaya memberikan kepastian usaha, baik dari sisi petani maupun dari sisi industri. Petani termotivasi untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi, sementara di sisi industri dapat memperoleh kepastian dan kelangsungan
penyediaan bahan baku. Sebagai mitra, sebaiknya Industri yang tumbuh dan berkembang harus rela berbagi secara jujur. Aktualisasinya adalah penetapan harga yang layak yang ditentukan oleh ke dua belah pihak. Dengan harga yang layak tersebut diharapkan akan menggairahkan petani untuk menerapkan teknologi baru dalam upaya meningkatkan produktivitas dan pengembangan produksi. Hubungan kemitraan yang baik tersebut tidak hanya menjamin ketersediaan namun juga meningkatkan level kepercayaan yang pada akhirnya akan berdampak pada usaha yang berkelanjutan dan aman (sustainable). Pada aspek inovasi, faktor produktivitas menjadi catatan penting. Tingkat produktivitas singkong nasional masih berkutat pada angka 21 ton/ha
Foto: istimewa
Foto: singkonggajah.files.wordpress.com
Foto: matlingindustrial.com
Foto: istimewa
Dihadang Empat Kendala
Edisi 05/September 2013 | AGRO SWAKARSA
dengan pertumbuhan produktivitas hanya sebesar 1,1%. Padahal potensi hasil seharusnya berkisar antara 25-50 ton/ha (sesuai standar internasional). Memang ada beberapa daerah yang sudah bisa melewati angka 25 ton/ha tersebut dan kesemuanya berada di Pulau Sumatra seperti Sumatra Barat 41,4 ton/ha, Sumatra Utara 30,8 ton/ ha, Lampung 26 ton/ha dan Riau 25,7 ton/ ha. Diduga hal ini sebagai akibat penerapan teknologi produksi oleh petani khususnya pupuk dan penggunaan varietas unggul belum sepenuhnya diterapkan, dan adanya panen muda mengakibatkan kualitasnya rendah khususnya pada kandungan patinya. Petani singkong belum menerapkan pemupukan sesuai anjuran, bahkan seringkali tanaman tidak dipupuk sama sekali. Rendahnya penggunaan pupuk dikarenakan belum adanya jaminan pasar dan harga yang menguntungkan atau layak dan kondisi
sosial-ekonomi petani singkong yang pada umumnya marginal. Dari sisi skala ekonomi, sebagian besar petani singkong mengusahakan lahan yang relatif sempit dengan pemilikan lahan kurang dari satu hektar. Hal ini menyebabkan banyak usahatani singkong tidak dapat dikatakan ekonomis karena petani sulit meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Hal ini masih ditambah dengan keterbatasan dalam modal usaha. Kredit yang tersedia belum dapat dimanfaatkan secara optimal dikarenakan keterbatasan akses untuk memperolehnya dan belum adanya kemudahan memanfaatkan modal tersebut. Meskipun banyak bank dan lembaga keuangan gencar mensosialisaikan masalah kredit pertanian, namun nyatanya tidak demikian dengan kinerjanya. Dari total kredit perbankan, Bank Indonesia mencatat porsi kucuran ke sektor pertanian hanya sebesar 5,5%, atau senilai Rp 147,9 triliun.
Kredit Tani Cuma 147,9 Triliun
B
Per Januari 2013, kredit pertanian hanya 5,5% dari total kredit
ank Indonesia (BI) mencatat porsi kucuran kredit ke sektor pertanian hanya sebesar 5,5% dari total kredit, atau sebesar Rp147,9 triliun. Dari jumlah tersebut, mayoritas kredit dikucurkan terkait dengan kelapa sawit. “Per Januari 2013, kredit pertanian sebesar Rp147,9 triliun, hanya 5,5% dari total kredit,” ujar Asisten Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam uji kepatutan dan kelayakan calon Deputi Gubernur BI di Gedung DPR-RI, Jakarta, Kamis, 14 Maret 2013. Ia memaparkan, sebesar 63% dari total kredit pertanian atau sekitar Rp93,1 triliun disalurkan untuk kelapa sawit, sedangkan posisi kedua sebesar Rp49 triliun atau sekitar 33% dari kredit pertanian disalurkan ke sektor terkait dengan holtikultura. “Jika dibedah lagi yang holtikultura itu paling banyak untuk jeruk, yang lain masih kecil sekali,” tukasnya. Menurutnya, BI sendiri tidak bisa mengandalkan kebijakan suku bunga untuk masuk ke sektor pertanian.
Namun, ruang gerak bank sentral bisa leluasa masuk ke sektor pertanian bila menggunakan kebijakan makro prudensial. “Ini kita petakan dan bicarakan dengan instansi terkait, untuk menyelesaikan masalah-masalah untuk meningkatkan penyaluran kredit. Jadi instrumen-instrumen makro prudensial dilakukan untuk ke situ,” katanya. Bank sentral sendiri, lanjutnya, akan menyelidiki kenapa kucuran kredit ke sektor holtikultura masih kecil dan tidak begitu beragam. Perry mengatakan, pihaknya memiliki beberapa hipotesa mengenai persoalan ini. “Permasalahn bisa karena produksi, bisa kelayakan pengusaha pertanian, dan kemampuan bank menilai risiko kredit di sektor pertanian. Kami kaji terus perbankan dan pertanian, kendala-kendalanya apa saja, apakah pertanian tidak bankable. Lalu dari banknya, apakah dari sisi risiko kreditnya. Atau itu aturan pertanian terlalu ketat,” tutupnya. (infobank)
7
Hal ini tidak terlepas dari faktor resiko kredit mengingat kemampuan ekonomis petani serta belum dapat dipastikannya kestabilan harga panen yang disebabkan beberapa kendala sebelumnya.
8
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013
KEBIJaKaN
Yang Masih Dianggap Sebagai
Komoditas Nomor Dua
Foto: visitbanteaychhmar.org
Nampaknya sejauh ini peran pemerintah masih minim dan komoditas singkong masih dianggap belum terlalu penting ketimbang komoditas lainnya.
u
ntuk menjawab kendalakendala yang muncul dalam usahatani singkong, strategi yang ditempuh setidaknya mesti mencakup peningkatan produksi dan produktivitas, dukungan permodalan yang mesti dipayungi oleh hadirnya peran penuh pemerintah dalam kebijakan yang disertai implementasi yang terukur. Peningkatan produksi dilakukan dengan membuka areal baru di wilayah-wilayah yang potensial dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian dan peruntukan lahan terhadap tanaman ini. Menjadi penting bahwa pembukaan areal baru tidak mengorbankan komoditas unggulan atau strategis yang sudah ada
atau sektor lain di luar sektor pertanian seperti sektor kehutanan dengan mengorbankan areal hutan. Upaya perluasan areal tanam dapat dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan dan pemanfaatan lahan terlantar atau yang tidak dimanfaatkan. Selain itu peningkatan produksi juga harus dibarengi dengan peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas mesti dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan menerapkan rekayasa sosial dan teknologi yang didukung oleh alat dan mesin pertanian. Rekayasa teknologi juga mesti mempertimbangkan peruntukan hasil produksi mengingat komoditas yang satu ini bisa digunakan sebagai produk pangan
atau produk non pangan. Produksi yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan produk non pangan seperti bio etanol, sudah saatnya pemanfaatan rekayasa genetika untuk menggenjot produktivitas. Namun untuk produk pangan mesti dilakukan penelitian tersendiri yang berupaya menghindari rekayasa genetis guna menghindari dampak yang tidak diinginkan selain memenuhi standar mengenai pangan transgenik yang sering menjadi isu internasional. Adapun dukungan permodalan diperlukan dalam upaya penerapan teknologi sesuai anjuran seperti penggunaan/pergantian varietas yang berpotensi produksi tinggi, pemberian
Edisi 05/September 2013 | AGRO SWAKARSA
pupuk dan saprodi lain. Untuk itu perlu diupayakan adanya kemudahan petani di dalam mengakses kredit/permodalan dengan persyaratan yang lebih mudah dengan bunga rendah. Sumber pembiayaan dapat berasal dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Dan untuk menarik minat kalangan perbankan dan lembaga keuangan terjun ke mendukung permodalan komoditas ini, maka usaha memperkecil profil resiko kredit terkait dengan fluktuasi harga dan kepastian pembelian menjadi penting. Kemitraan antara petani dan industri mesti difasilitasi pemerintah secara berjenjang dengan membuat kebijakan dan dengan serius mengimplementasikan kebijakan secara terukur. Misalnya -namun tidak terbatas pada-- menjadikan singkong sebagai komoditas strategis (karena menyangkut tidak hanya pangan namun juga energi), memberikan insentif bagi para pelaku baik dari sisi petani, industi maupun dari perbankan, memberikan insentif ekspor (jika surplus), atau melakukan proteksi impor atau minimal pengenaan tarif impor guna mencegah impor murah yang mengganggu stabilitas harga domestik. Memang ada catatan khusus mengenai tarif impor ini. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/ Pmk.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Asean-China Free Trade Area (ACFTA) menatapkan tarif impor sebesar 0% untuk semua produk berbasis singkong. Padahal kita mengimpor dari Thailand yang sejauh ini lebih kompetitif ketimbang Indonesia. Selama ini peningkatan produksi lebih memunculkan peran kalangan petani dan industri meskipun dalam beberapa aspek menjadi sangat berbahaya dalam konteks nasional. Seksinya komoditas ini mendorong banyak petani mengalihkan komoditas yang ditanam menjadi singkong. Alih komoditas ini secara ekonomis memang menguntungkan petani. Namun secara strategis akan menganggu rantai pasokan kebutuhan akan komoditas yang ditinggalkan, terutama di wilayah tersebut. Demikian juga produktivitas juga lebih memunculkan peran kalangan petani dan industri, baik industri hilir maupun industri pendukung seperti pupuk dengan melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan produktivitas. Nampaknya sejauh ini peran pemerintah masih minim dan komoditas singkong masih dianggap belum terlalu penting ketimbang komoditas lainnya.
9
Jadikan Singkong Komoditas andalan!
H
impunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) meminta pemerintah untuk menjadikan ubi kayu atau singkong sebagai komoditas andalan nasional. Nilai gizi singkong sebagai sumber karbohidrat lebih tinggi dibanding beras, meski memang nilai protein dan lemaknya lebih rendah. Selain itu, ubi kayu ternyata bersifat multi guna, yaitu sebagai makanan, pakan, lem, obat, bedak, pestisida dan sumber pendapatan yang meyakinkan. Pemerintah diingatkan untuk segera berperan dalam mengklasifikasi berapa banyak porsi ubi kayu yang digunakan untuk pangan, pakan dan industri. Apalagi komoditas ini dapat diproses lebih lanjut menjadi produk yang bernilai jual lebih tinggi, seperti biofuel dan tepung tapioka, yang prospektif laku di pasar internasional. Tentunya, dengan ketersediaan lahan yang terjamin dan penerapan teknologi pemicu produktivitas, Indonesia bisa bersaing dengan
Thailand dan Vietnam. Memang singkong tidak dapat dipersaingkan dengan kelapa sawit, karet atau kakao. Tetapi singkong juga bisa menguntungkan jika ada komitmen membangun industri terintegrasi. Indonesia banyak menghasilkan dan membutuhkan ubi kayu. Bahkan ke depan, kebutuhan ubi kayu dalam negeri akan meningkat dan peranannya semakin strategis sebab terkait dengan penyediaan sumber karbohidrat untuk pangan dan bahan baku aneka industri yang terus berkembang. Kini telah tersedia teknologi inovatif untuk mendukung pengembangan dan peningkatan produksi maupun produktivitas ubi kayu hingga 30-40 ton/ha umbi segar. Nigeria, saat ini menjadi produsen ubi kayu terbesar di dunia dengan angka produksi sekitar 99,1 juta ton, sementara Thailand memasok hampir 70% pangsa pasar internasional. (ant)
Web Hosting www.cnp-webservice.com
SOLUSI ONLINE USAHA ANDA
GRATIS 1 (satu) nama domain selama berlangganan dan Host UNLIMITED domain. Harga mulai: Rp 65.000 per bulan
Nama Domain Daftar klien : t CV. Mandala Agro Swakarsa t Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) t PT. Sarana Pratama Gemilang t PT. Sumber Solusi Selaras t Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) t PT. Limas Karya Utama t Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia t Yayasan Pemantau Hak Anak Indonesia t Yayasan Saint Anna Education Center t Yayasan Media Wasantara t dll.
Pendaftaran berbagai ekstensi nama domain internasional (COM, NET, ORG, BIZ, INFO dll.) Harga mulai: Rp 119.000 per tahun
Sertifikat SSL/TSL Membangun kepercayaan pengunjung web dengan mengaktifkan SSL. Harga mulai: $ 45 per tahun
Sugar Group Companies
Mengucapkan selamat atas dilantiknya
Letkol. Pnb. M. Satriyo Utomo, SH. menjadi Komandan Lanud Astra Ksetra
dan terimakasih kepada
Letkol. Nav. Insan Nanjaya, SH, M. Avn. Mgt. atas kebersamaannya dalam membangun Tulang Bawang Semoga selalu sukses dalam menjalankan tugas di tempat yang baru
ENERGI
Edisi 05/September 2013 | AGRO SWAKARSA
11
Bioetanol dan Mimpi Ketahanan Energi Pemanfaatan singkong sebagai bahan baku bioetanol jelas sudah memiliki landasan yang jelas. Dilihat dari segi potensi, Indonesia merupakan negara yang memiliki produksi singkong cukup besar dibanding negara-negara lain.
Foto: gizmodo.com.au
K
onsumsi bahan bakar minyak di Indonesia yang sangat tinggi dan semakin meningkat per tahunnya. Oleh karenaya diperlukan sumber energi alternatif untuk menjaga ketahanan energi nasional. Apalagi kebutuhan tersebut diproyeksikan terus meningkat seiring meningkatnya permintaan masyarakat. Bila dibandingkan dengan negara tetangga, konsumsi minyak Indonesia delapan kali lipat lebih besar daripada Malaysia. Tetapi konsumsi tersebut tidak imbang dengan tingkat produksinya. Indonesia merupakan salah satu pengimpor minyak dunia. Hal ini masih ditambah dengan kenyataan bahwa cadangan minyak dalam negeri hanya 0,3 persen dari cadangan terbukti dunia. Sehingga tidak bijaksana apabila Indonesia terus bergantung kepada energi dari bahan bakar minyak. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diversifikasi energi melalui bahan bakar nabati (BBN). Salah satunya dalam bentuk pemanfaatan singkong sebagai sumber energi baru sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini mengingat kondisi Indonesia yang merupakan negara agraris dan memiliki produksi singkong yang tinggi. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan energi nasional. Secara regulasi kita sudah sangat siap menghadapai ancaman krisis energi. Peraturan Presiden nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional berisi strategi untuk menjamin keamanan energi di Indonesia. Kebijakan ini telah merumuskan bauran energi di tahun 2025 untuk mengurangi konsumsi energi fosil dan menggantinya dengan energi baru terbarukan. Kebijakan lainnya adalah UU 30/2007 tentang Energi yang mengarah kepada terwujudnya kemandirian energi, PP
70/2009 tentang Konservasi Energi, serta Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Sayangnya implemetasi dari regulasi yang ada tidak sesuai dengan harapan. Pemanfaatan singkong sebagai bahan baku bioetanol jelas sudah memiliki landasan yang jelas. Sekarang tinggal bagaimana komitmen masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaannya. Dilihat dari segi potensi, Indonesia merupakan negara yang memiliki produksi singkong cukup besar dibanding negara-negara lain. Namun implementasi dari singkong untuk menjadi bahan baku bioetanol tetap memiliki permasalahan. Walaupun berdasarkan data yang ada potensinya sangat besar, produksi singkong sebagai kebutuhan pangan jelas akan menjadi pertimbangan untuk mengkonversi singkong menjadi bioetanol. Hal ini akan berbenturan dengan kebijakan ketahanan pangan nasional, sehingga dibutuhkan strategi peningkatan produksi singkong tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan pangan dan sebagai bahan baku bioetanol. Selain itu dibutuhkan standardisasi harga bioetanol singkong untuk melancarkan proses pemasaran bioetanol tersebut. Produk bioetanol singkong harus dapat memberi dampak positif secara ekonomi dengan menjadi solusi untuk meningkatkan penghasilan petani singkong. Secara umum diperlukan integrasi dari semua komponen mulai dari pemerintah sampai petani singkong untuk mewujudkan kesinambungan pemanfaatan bioetanol singkong yang merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan visi roadmap energi 2025 dimana pemanfaatan bioetanol diharapkan mencapai 15 % konsumsi premium nasional.
20
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
ADVETORIAL
Pupuk Organik Cair MASAGRI®
www.masagri.com
S
eiring pertambahan populasi penduduk, kebutuhan akan pangan dan hasil pertanian lainnya meningkat. Guna memenuhinya, dilakukan upaya untuk dapat meningkatkan produktivitas, salah satunya penggunaan pupuk. Namun berdasarkan hasil penelitian, penggunaan pupuk kimia menimbulkan dampak negatif terhadap merosotnya daya dukung lingkungan yaitu meningkatkan kandungan kimia sintetis di perairan dan lapisan tanah (top soil). Tingginya kandungan kimia tersimpan/terakumulasi dalam tanah bersifat toksik terhadap perakaran tanaman, sehingga kesuburan tanah akan terus menurun dan produktivitas menjadi makin rendah. Seringkali penurunan produktivitas karena kesuburan tersebut dijawab dengan penambahan dosis penggunaan pupuk kimia sehingga makin memperparah kondisi lahan. Pada akhirnya mengarah pada proses penggurunan, dimana lahan pertanian memiliki kesuburan sangat rendah. Pemerintah sudah berupaya membantu petani dengan memberikan subsidi pupuk. Namun pertambahan kebutuhan pupuk akan memperbesar subsidi yang pada akhirnya berdampak pada keuangan negara dan program pembangunan yang lain. Karenanya itu, dilakukan pembatasan subsidi pupuk kimia. Dengan keterbatasan subsidi, maka kebutuhan kebutuhan pupuk kimia mau tidak mau harus dipenuhi dengan menggunakan pupuk non subsidi yang harganya lebih mahal sehingga menambah beban produksi petani yang pada akhirnya mengurangi pendapatan petani dari hasil pertanian yang dikelolanya. Faktor biaya ini masih diperparah dengan dengan kelangkaan pupuk kimia, baik karena keterbatasan produksi maupun tata niaga. Hal
Pupuk terdaftar pada Kementerian Pertanian Republik Indonesia
No. L905/ORGANIK/DEPTAN-PPVTPP/VI/2011
ini dapat dilihat dari pemberitaan mengenai kelangkaan pupuk yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah menggalakkan penggunaan pupuk organik, baik dalam bentuk padat maupun dalam bentuk cair. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang juga akan lebih melestarikan lingkungan karena pupuk organik merupakan pupuk ramah lingkungan dan mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan dengan berkurangnya kandungan residu bahan kimia sintetis pada hasil pertanian yang dikonsumsi oleh manusia. MENGAPA MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK CAIR MASAGRI®? Pupuk Organik Cair MASAGRI® merupakan produk pupuk yang tidak hanya mengandung unsur hara esensial, namun juga berbagai mikroorganisme bermanfaat yang mampu meningkatkan dan menjaga kesuburan tanah, menekan pertumbuhan bakteri penyakit, sehingga akar, daun, batang dan bunga akan tumbuh dan berkembang secara baik dan optimal. Pada Pupuk Organik Cair MASAGRI® juga terdapat senyawa-senyawa organik yang bermanfaat bagi tanaman, seperti asam humik, asam fulvat, dan senyawa organik lainnya. Nutrisi yang terkandung sebagian besar terdiri atas gugus gula sederhana dan protein dengan reaksi lanjutan berupa asam amino, asam organik, vitamin, hormon pertumbuhan (auxin giberilin) unsur makro-mikro. Unsur tersebut sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan dan kesehatan tanaman yang optimal dan berkelanjutan, hingga dapat meningkatkan hasil panen. Pemakaian Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat membantu memperbaiki struktur tanah yang rusak akibat pemakaian pupuk kimia yang masif selama bertahun-tahun dan
Demplot D p M
Ujicoba pada tanaman singkong (ubi kayu) di daerah Way Pengubuan dan Kota Gajah (Lampung Tengah). Pertumbuhan vegetatif jauh lebih cepat dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (penghematan pupuk) sampai 50%.
Ujicoba pada tanaman padi sawah di daerah Jasinga (Bogor), Palas (Lampung Selatan) dan Kota Gajah (Lampung Tengah). Pertumbuhan lebih cepat dan hasil bisa dipertahankan dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (penghematan pupuk) sampai 50%.
U Uj jic icob oba ba pa pad da ttan da anam aman an ssingkong ingkon in kong g di di d dae era rah h Kot K ota ta G Ujicoba pada tanaman daerah Kota buhan tanaman yang berbeda jauh dengan perlak Ujicoba dilakukan pada hamparan lahan singkong g di lahan seluas 2 hektar. Gambar di atas adalah ko o menggunakan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dan n biasa. Tanaman lebih subur dan sehat.
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
Perbedaan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dengan Pupuk Kimia Perbedaan mendasar antara Pupuk Organik Cair MASAGRI® dan pupuk kimia adalah pada perlakuan terhadap tanah. Pupuk kimia memasok nutrisi langsung ke tanaman dengan memberikan unsur yang dibutuhkan tanaman baik unsur makro maupun mikro. Dengan pasokan langsung, maka tanaman mendapatkan unsur yang dibutuhkan tanpa melalui proses biologis dan kimia dalam tanah. Hal ini menyebabkan
menggemburkan tanah kembali. Selain itu berbagai mikroba yang terdapat dalam pupuk ini akan mampu melarutkan dan mengikat zatzat yang dibutuhkan tanah. Pupuk Organik Cair MASAGRI® sudah melewati berbagai uji mutu yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian RI baik kandungan unsur hara maupun keamanan dari mikroba patogen yang merugikan seperti E Coli dan Salmonella. Juga telah lulus uji terap (efektivitas) yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pupuk Organik Cair MASAGRI® terdaftar dan resmi memiliki ijin peredaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian RI sehingga merupakan pupuk resmi yang legal untuk diedarkan di seluruh wilayah Republik Indonesia.
tanah hanya menjadi tempat ‘meletakkan’ akar tanaman dan tidak memiliki fungsi lain. Masalah yang akan timbul kemudian adalah pupuk kimia yang diberikan tidak semua akan diserap oleh tanaman, karena sebagian (>70%) akan terikat (terakumulasi) ke dalam liat tanah, sehingga tanah menjadi liat/keras serta dalam jangka panjang akan bersifat toksik memacu berkembangnya penyakit dalam tanah dan sebagian lainnya pupuk kimia akan hilang karena terbawa aliran air atau menguap. Pupuk Organik Cair MASAGRI® adalah pupuk organik dan bio fertilizer yang memberikan pasokan nutrisi kepada tanaman dan juga kepada tanah. Dengan kandungan unsur makro maupun mikro pada Pupuk Organik Cair
MASAGRI®, tanaman dapat menerima pasokan unsur yang dibutuhkan, sementara kandungan mikroorganisme (mikroba) pada Pupuk Organik Cair MASAGRI® berguna sebagai nutrisi tanah guna meningkatkan kesu-buran tanah. Kebutuhan akan pangan menyebabkan penggunaan pupuk kimia menjadi sa-ngat dominan untuk mengejar kuantitas produksi (produktivitas). Namun tanpa disadari tidak adanya perlakuan yang cukup bagi tanah akan menyebabkan tanah menjadi jenuh dan semakin tidak subur. Penggunanaan kombinasi pupuk kimia dan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat menjadi solusi meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kesuburan/kesehatan tanah.
fermentasi. Perbedaannya pada bahan baku dan mikroba yang digunakan. Pupuk Organik Cair MASAGRI® menggunakan bahan baku alami non limbah guna meminimalisir potensi kontaminasi mikroba patogen/merugikan seperti E Coli dan Salmonella dari proses awal produksi. Hal ini untuk meminimalisir adanya kemungkinan penyebaran mikroba patogen seiring dengan penyebaran/distribusi produk Pupuk Organik Cair MASAGRI®. Selain itu, Pupuk Organik Cair MASAGRI® menggunakan mikroba alami asli Indonesia. Hal ini ditujukan untuk mempermudah penyesuaian mikroba tersebut dengan kondisi tanah dan iklim Indonesia sehingga efektivitas pupuk akan lebih baik. Dari sisi ekologi (keanekaragaman hayati), penggunaan mikroba alami asli Indonesia akan melestarikan mikroba bermanfaat yang memiliki tempat hidup di Indonesia.
• Tanaman Pangan: Padi, Jagung, Singkong, Kedelai, Kacang-kacangan dll. • Tanaman Perkebunan: Sawit, Tebu, Cokelat, Cengkeh, Kelapa, Karet, Vanili dll. • Tanaman Hortikultura: Sayuran, Buahbuahan, Biofarmaka • Tanaman Hias dan Taman: Anthurium, Adenium, Aglaonema, Sansevieria, Rumput taman dll. • Tanaman Kehutanan: Sengon, Pinus, Jati, Akasia, Angsana, Mahoni, Meranti dll.
PUPUK ORGANIK CAIR MEREK LAIN APLIKASI TANAMAN Secara umum Pupuk Organik Cair MASAGRI® memiliki persamaan dengan pupuk organik cair merek lain yang memproduksi dengan pola
21
Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman:
PEMESANAN
Telp/Faks: 021-87716493 HP/SMS: 0812-7953816 Email: mas@masagri.com
M MASAGRI®
ajjah h ((Lampung Lampun Lamp ung g Teng TTengah) engah h) me menu nunjjukk kkan p ert rtum tum-Gajah G menunjukkan pertumkuan bisa tanpa Pupuk Organik Cair MASAGRI®. g dengan aplikasi Pupuk Organik Cair MASAGRI® o ondisi tanaman pada umur 3 bulan. Di sebelah kiri n di sisi kanan menggunakan pupuk kimia seperti
Ujicoba pada tanaman sawi (caisim) di daerah Tenjolaya (Bogor), Cipanas dan Pacet (Cianjur). Pertumbuhan dan produktivitas (jumlah daun dan berat) tanaman lebih tinggi dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (penghematan pupuk) sampai 50%.
Ujicoba pada tanaman jagung di daerah Tenjolaya (Bogor). Pertumbuhan lebih cepat, tanaman lebih sehat dan hasil bisa dipertahankan dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (penghematan pupuk) sampai 50%.
14
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013
PRODuKTIVITaS
Foto: pond5.com
Produksi Meningkat dengan Pupuk Organik
Kurangnya pemberian bahan organik, dan tidak dikembalikannya sisa-sisa tanaman juga menyebabkan menurunnya aktivitas organisme tanah dan menurunkan kemantapan struktur tanah sehingga tanah menjadi padat.
P
roduksi singkong di Indonesia dapat meningkat dengan menambahkan bahan organik ke dalam tanah. Bahan organik (kompos) yang ditambahkan ke dalam tanah berfungsi sebagai sumber unsur hara dan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Demikian disampaikan DR. Ir. Basuki Sumawinata dari Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam sebuah seminar yang diselenggarakan BPPT di Jakarta beberapa tahun lalu. Organisme tanah, menurut
Basuki, memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Lalu, melalui asam humiknya, organisme ini dapat mempertahankan struktur tanah, sehingga sifat fisik tanah seperti infiltrasi dan drainase baik untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu, asam humik juga memegang peranan penting dalam menonaktifkan senyawa racun seperti aluminium. Sehingga walaupun tanah berjenis masam (seperti di Bogor), dengan bahan organik yang cukup tinggi, ternyata tanaman singkong dapat berproduksi dengan tinggi.
Masih menurut Basuki, pada umumnya di kalangan petani berkembang pendapat bahwa singkong merupakan tanaman yang boros mengambil unsur hara. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian Kanapathy (1974). Penelitian ini menunjukkan bahwa unsur hara yang keluar dari siklusnya di tanah sebagai akibat dari proses pemanenan pada tanaman singkong, lebih tinggi dibandingkan tanaman lahan kering lainnya seperti kelapa sawit, karet, atau jagung. Akan tetapi menurutnya, data penelitian tersebut sangat sulit diambil
Edisi 05/September 2013 | AGRO SWAKARSA
sebagai kesimpulan. Mengingat total unsur hara yang terangkut saat pemanenan sangat tergantung pada kesuburan tanah dan jumlah singkong yang diproduksi. Lalu Howler (1981), mengumpulkan informasi tentang kandungan unsur hara yang diangkut per ton singkong yang dihasilkan. Informasi itu menunjukkan bahwa jumlah unsur hara yang terangkut, erat hubungannya dengan produktivitas. Sehingga jika bagian tanaman lainnya selain umbi dikembalikan lagi ke tanah, maka unsur hara yang hilang sebenarnya jauh lebih kecil daripada tanaman seperti padi dan jagung. Apabila ampas dari proses pembuatan tepung juga dikembalikan, maka unsur hara yang hilang akibat proses produksi singkong ini sangat kecil. Hasil penelitian Nijholt (1933) juga menunjukkan bahwa produksi singkong mencapai 52 - 64,6 ton umbi. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi singkong di sekitar Bogor saat ini yang hanya berkisar 15-20 ton/hektar. Mengingat usaha budidaya singkong selalu menambahkan pupuk buatan dalam bentuk urea, TSP/SP 36, dan kadangkadang KCL, maka tentunya penurunan unsur hara tanah tidak terlalu nyata. Satu-satunya kemungkinan yang dapat menjadi dasar perbedaan produktivitas singkong yang sangat nyata di Bogor menurut Basuki adalah penurunan kandungan bahan organik. Sementara itu dijelaskannya lagi, produktivitas lahan rata-rata di Thailand meningkat 15 ton per hektar pada 1995 menjadi 20,3 ton per hektar pada 2005. Hal ini juga memastikan peranan pemberian bahan organik ke dalam lahan budidaya singkong sangat nyata meningkatkan produktivitas. Di mana pengusaha tepung singkong di Khorat dan daerah lainnya mengkombinasikan usaha tepung singkong dengan usaha biogas dan pengembalian bahan organik hasil dekomposisi dari sistem biogas. STRATEGIS HASILKAN zAT TEPUNG Peningkatan produksi singkong merupakan tindakan yang sangat strategis. Pemenuhan zat tepung untuk konsumsi masih kekurangan. Sementara itu kebutuhan zat tepung sebagai bahan baku untuk biofuel juga sangat besar. Sebagai salah satu tanaman penghasil zat tepung utama selain beras, singkong merupakan tanaman yang sangat besar menghasilkan tepung per tahun. Selain itu dapat tumbuh di lahan kurang subur.
Satu-satunya kemungkinan yang dapat menjadi dasar perbedaan produktivitas singkong yang sangat nyata di Bogor menurut Basuki adalah penurunan kandungan bahan organik. Walaupun singkong merupakan tanaman yang relatif dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan-lahan yang marginal dan telah dikenal luas di Indonesia, namun data produksi singkong di Indonesia lebih rendah daripada Thailand. Hasil ini menjadi lebih nyata bila dibandingkan dengan data rendemen zat tepung terhadap singkong. Di Indonesia, rendemen zat tepung pada singkong berkisar 16 persen – 17 persen. Sedangkan di Thailand dapat mencapai rata-rata 19 persen. Padahal varietas singkong yang ditanam umumnya sama yaitu Kasesat 4 dan UJ 4 dan 5. IKLIM DAN TANAH BERvARIASI Singkong dapat tumbuh pada berbagai kondisi iklim dan tanah yang cukup bervariasi. Umumnya, para peneliti yakin dengan suhu tanah rata-rata di atas 18 derajat Celcius. Sedangkan kebutuhan curah hujan minimum harus di atas
15
1000 mm. Meski demikian ada juga yang berpendapat bahwa singkong dapat tumbuh dengan baik pada lahan bercurah hujan lebih rendah dari 1000 mm asalkan dua bulan pertama dari penanaman tidak mengalami kekurangan air. Sebagai tanaman umbi-umbian, singkong membutuhkan drainase tanah yang baik seperti tanah bertekstur lempung berpasir sampai lempung berliat. Akan tetapi beberapa data menunjukkan bahwa tanaman singkong masih dapat berkembang baik pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi. Singkong juga jauh lebih toleran terhadap kemasaman tanah dan keracunan aluminium daripada tanaman lahan kering lainnya seperti jagung dan kedelai. Tapi, kondisi yang paling optimum adalah bila singkong berkembang pada tanah ber-pH 6 - 7. Hasil penelitian CIAT pada 1976 menunjukkan bahwa pada tanah masam, umumnya singkong mengalami hambatan pertumbuhan. Itu disebabkan keracunan aluminium atau mangan, kekurangan fosfor dan kalsium. Kurangnya pemberian bahan organik, dan tidak dikembalikannya sisa-sisa tanaman juga menyebabkan menurunnya aktivitas organisme tanah dan menurunkan kemantapan struktur tanah sehingga tanah menjadi padat. Sebagai akibatnya, akar tanaman menjadi kurang berkembang. Terlebih lagi pupuk kimia menjadi sangat beracun dan menurunkan produktivitas.
16
PaNGaN
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013
Singkong dan Ketahanan Pangan Foto: istimewa
Strategi upaya peningkatan singkong dimulai dengan cara pengolahan singkong untuk menjadi berbagai produk olahan yang bernilai tambah dan bernilai jual tinggi.
K
omoditi singkong saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan kurang mendapat perhatian. Sebenarnya singkong bisa diolah menjadi aneka makanan sebagai sumber pangan bagi keluarga. Singkong mestinya bisa didayagunakan seoptimal mungkin sebagai bahan pangan lokal. Pemanfaatkan singkong berkaitan dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi dalam penyediaan pangan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Meskipun luas panennya cenderung mengalami penurunan selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Tapi produksi singkong naik rata-rata 4,3 persen per tahun. Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan produktivitas per hektar dari 12,9 menjadi 19,5 ton per tahun. Indonesia pun tercatat sebagai negara terbesar ketiga pengekspor produk singkong dunia. Memang masih jauh dari eksportir terbesar Thailand yang memasok 80% pasar singkong dunia. Atau dengan Nigeria, produsen singkong terbesar di dunia. Sayangnya, di Indonesia singkong masih dianggap makanan kelas dua yang hanya dikonsumsi oleh penduduk desa. Padahal sebagai sumber karbohidrat, singkong memiliki kandungan yang lebih tinggi dibandingkan beras. Hanya saja, nilai protein dan lemaknya lebih rendah. Namun kalau diolah dengan pangan lain yang mempunyai nilai gizi lebih tinggi, maka sangat bermanfaat sebagai bahan pangan yang multiguna. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan menjawab semakin tingginya permintaan pangan, salah satu upaya yang dilakukan adalah diversifikasi konsumsi pangan berbasis lokal. Caranya mengurangi konsumsi beras dengan produk pangan lain, temasuk singkong. Hal ini bisa memperbaiki pola konsumsi pangan masyarakat yang lebih beragam, bergizi
seimbang dan aman. Hal ini penting karena hingga kini Indonesia merupakan bangsa yang mengkonsumsi beras sangat tinggi, yaitu 139,15 kilogram setiap orang per tahunnya. Angka itu sangat jauh dengan negara lainnya dengan rata-rata di dunia hanya 60kg/orang/tahun. Diversifikasi pangan dengan meningkatkan gengsi singkong sebagai produk pangan alternatif dinilai mempunyai peranan utama sebagai bahan pangan dan sebagai bahan industri. Untuk mengurangi tingkat konsumsi beras kita harus mengalihkan ke produk pangan lainnya seperti singkong untuk dijadikan produk pangan. Salah satunya dengan memperkenalkan produk olahan singkong itu sendiri untuk meningkatkan konsumsi singkong oleh masyarakan. Sebagai bahan pangan, singkong merupakan sumber karbohidrat terpenting ketiga setelah beras dan jagung. Dengan demikian singkong dapat dijadikan sebagai pangan pokok atau cadangan pangan. Saat ini dibeberapa daerah di Indonesia singkong sudah dijadikan sebagai bahan pangan seperti dalam bentuk blok, chips, gaplek yang tahan disimpan lama. Strategi upaya peningkatan singkong dimulai dengan cara pengolahan singkong untuk menjadi berbagai produk olahan yang bernilai tambah dan bernilai jual tinggi. Strategi tersebut tak lepas dari strategi 4P yaitu product (produk), price (harga), promotion (promosi), dan place (distribusi). Selain menjadikan sebagai sumber pangan alternatif, singkong juga merupakan pakan ternak, sumber energi, bio ethanol, bahan pupuk organik. Singkong juga sangat dibutuhkan sebagai bahan produksi berbagai industri. Namun demikian, besarnya potensi ini harus dibarengi dengan peningkatan produktivitas guna menjamin ketersediaan dan mengantisipasi peningkatan kebutuhan.
18
PROFIL
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013
Produsen Terbesar Singkong Indonesia Tidak hanya produksi singkong segar semata, Lampung juga tercatat memiliki banyak parbik pengolahan singkong menjadi tapioka. Dan beberapa tahun belakangan marak didirikan pabrik bioetanol uantuk menyerap hasil panen komoditas ini.
dan hanya kalah dengan provinsi Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Riau. Tak heran jika singkong merupakan salah satu produk pertanian andalan provinsi ini selain jagung. Bahkan sudah dibuat panduan road map Pengembangan Industri Unggulan Provinsi Lampung oleh Menteri Perindustrian dengan Peraturan Menteri nomor 95/M-IND/PER/8/2010. Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menyatakan rasa syukurnya bahwa dalam tiga tahun terakhir Provinsi Lampung mampu meningkatkan hasil produksi beberapa komoditas dengan kontribusi terhadap nasional sebesar 4,55 persen. Hal tersebut disampaikan pada upacara mingguan, Senin (2/9). Menurutnya, untuk komoditas ubikayu, Foto: masagri.com
P
rovinsi Lampung merupakan sentra produksi singkong terbesar di Indonesia. Hal ini didukung oleh keadaan iklim dan lahan yang cukup strategis untuk penanaman singkong. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas Lampung cenderung meningkat. Tercatat sejak tahun 2006 baik produksi, luas lahan panen dan produktivitas menunjukkan tren meningkat. Tahun ini, Lampung diperkirakan akan memasok 39% dari total produksi singkong nasional dengan luas lahan panen meliputi 32% dari luas lahan nasional. Produktivitas singkong Lampung lebih tinggi dari produktivitas singkong nasional
19
32%
39% 61%
21.638
25.987
Edisi 05/September 2013 | AGRO SWAKARSA
68% LAMPUNG INDONESIA
PRODUKSI
LUAS PANEN 2006
Produksi (ton) Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha)
2007
2008
PRODUKTIVITAS
2009
2010
2011
2012
2013 1)
5,499,403
6,394,906
7,721,882
7,569,178
8,637,594
9,193,676
8,387,351
9,148,597
283,430
316,806
318,969
309,047
346,217
368,096
324,749
352,047
19.40
20.18
24.20
24.49
24.95
24.98
25.83
25.99
Diolah dari data BPS
kontribusi Lampung terhadap nasional sebesar 38,72 persen pada tahun 2013, yang berarti produksi ubikayu nasional tergantung dari produksi Lampung. Tidak hanya produksi singkong segar semata, Lampung juga tercatat memiliki banyak parbik pengolahan singkong menjadi tapioka. Dan beberapa tahun belakangan marak didirikan pabrik bioetanol uantuk menyerap hasil panen komoditas ini. Bahkan Lampung akan menjadi daerah percontohan untuk mengembangkan komoditas singkong sebagai sebagai sumber energi listrik di Indonesia. PLN menyatakan pengembangan pembangkit listrik tenaga gas metana berbahan baku singkong itu merupakan yang pertama di Indonesia. Jika rencana di atas berhasil dikembangkan secara tepat dan terencana maka diharapkan tidak ada lagi daerah --terutama yang ada di pedalaman-- yang tak teraliri arus listrik. Selain meningkatkan rasio elektrifikasi tersebut, dari sisi efisiensi, bagi PLN peluang ini akan membuat PLN lebih hemat dalam mendapatkan pasokan listrik. Jika menggunakan tenaga diesel, maka biaya beli listrik dari pembangkit swasta didapat dengan harga Rp2.800 per kWh. Sementara apabila menggunakan pembangkit listrik tenaga singkong, PLN hanya akan membeli sebesar Rp975 per kWh sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2012 tanggal 31 Januari 2012.
MENGGUSUR KOMODITAS LAIN Terus naiknya pamor singkong ditambah dengan didirikannya berbagai industri hilir pendukungnya menjadi semacam magnet yang kuat bagi kalangan petani. Banyak petani di Lampung beralih menanam singkong menyusul makin tingginya harga jual komoditas ini. Di sejumlah kawasan sentra pertanian seperti Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Timur, singkong makin mendominasi lahan warga. Singkong menggusur komoditas andalan lainnya, seperti jagung, kakao, dan pisang. selain itu, petani yang menggusur tanaman lada dan coklat yang kena penyakit, lalu beralih ke singkong. Atau bahkan menggusur komoditas kelapa sawit yang harganya sempat terjun bebeas beberapa waktu lalu. Yang membuat lebih menarik minat petani adalah bahwa selain cepat dipanen, singkong membutuhkan modal yang tidak terlalu besar jika dibandingkan komoditas lain. Modal untuk tanaman singkong per hektar adalah sekitar Rp 4 juta. Sementara, petani bisa mendapatkan
keuntungan setidaknya Rp 15 juta. SINGKONG MENYEJAHTERAKAN? Keperkasaan produksi Lampung nampaknya belum cukup menyejahterakan banyak masyarakat Lampung yang menggantungkan hidup dari berkebun singkong. Hal ini diungkapkan Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Lampung Bidang Keuangan dan Perbankan Mahrizal Sinaga, dalam Diskusi Kadin Lampung bertema Petani Singkong Bersinergi Membangun Lampung April lalu Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Kadin Bidang UKM dan Industri Yuria Putra Tubarad. Dia mengatakan bahwa para petani masih kesulitan secara ekonomi. Salah satunya disebabkan tidak stabilnya harga singkong ditambah dengan harga naiknya kebutuhan pokok. Apalagi lahan yang dimiliki para petani itu untuk ditanami singkong umumnya tidak lebih dari 1 hektar. Sehingga hasil panen tidak banyak dan ketika pascapanen sudah habis untuk membayar utang. Ketidakstabilan harga ini memang dikeluhkan banyak petani, seperti
20
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013
halnya yang terjadi di Kecamatan Sungkai Utara, Kabupaten Lampung Utara sebagaimana dilansir Antara. Menurut mereka harga singkong masih diatur oleh perusahaan atau pabrik besar pengolah singkong dan bukan berdasarkan mekanisme pasar sehat. Menurut para petani di kecamatan itu, mereka sering dikenai potongan harga (rafaksi) oleh perusahaanperusahaan pembeli dengan alasan kualitas hasil panen di bawah standar (kadar kotoran, kadar air, dsb) mencapai 10--12 persen. Potongan harga yang dikenakan perusahaan pembeli singkong sangat merugikan petani karena mengurangi keuntungan yang seharusnya diterima. LAMPUNG MENENTANG IMPOR SINGKONG Lampung menolak peningkatan impor singkong dan bahan olahannya oleh pemerintah pusat. Pasalnya, itu dikhawatirkan akan menjatuhkan harga jual singkong di tingkat petani. Petani di Lampung merasa resah dengan kebijakan impor singkong oleh pemerintah pusat. Mereka khawatir harga jual singkong akan turun seiring membanjirnya singkong impor di industri dan pasar. Ketua DPRD Provinsi Lampung Marwan Cik Asan mengatakan bahwa penolakan itu didasari pengalaman pengalaman yang ada, yaitu impor kedelai, garam, dan lain-lain. Kebijakan impor singkong dikhawatirkan akan merugikan petani dimana harga (singkong) akan terjun bebas seperti sawit. Apalagi produksi singkong di Lampung saat ini melimpah, yaitu mencapai 9 juta ton per tahun yang menjadikan Lampung sebagai produsen singkong terbesar di Tanah Air.
PaSaNG IKLaN? Hubungi Email : agro@opini-indonesia.com
Kebijakan Harga Singkong
Jangan Mengulang Sawit
Foto: muklason.wordpress.com
H
arga komoditas singkong biasanya naik seiring semakin meningkatnya kebutuhan singkong sebagai bahan baku tepung (aci) dan etanol di sejumlah pabrik. Permintaan singkong dari pabrik yang begitu banyak, menyebabkan harga semakin naik. Namun demikian, harga singkong di setiap pabrik yang ada berbeda-beda, yang bergantung pada kebijakan yang diterapkan. Ada pabrik yang membeli singkong dengan harga tinggi, namun seleksi pasokan cukup ketat dan ada juga pabrik yang menerima singkong asalan, namun dibeli dengan harga lebih rendah dari pasaran. Di Lampung, permintaan komoditas singkong memang sangat tinggi, sebab sejumlah pabrik menaikkan target produksinya. Saat ini banyak pabrik pengolah singkong yang menaikan target produksi. Pabrik singkong itu selain memproduksi singkong juga memproduksi bahan bakar ethanol. Di Lampung Timur misalnya, jumlah pabrik singkong mencapai 15-an, sehingga persaingan harga cukup ketat. Apalagi kebutuhan akan bahan baku singkong semakin meningkat tiap tahunnya. Kalangan petani berharap harga singkong dapat stabil sehingga memacu petani untuk menanam singkong kembali dan melakukan upaya
peningkatan produktivitas. Hal ini seharusnya dapat diwujudkan melalui kemitraan dan dialog dengan kalangan industri karena di Lampung terdapat pabrik pengolah singkong yang secara rutin membutuhkan pasokan singkong tersebut. Peran pemerintah untuk mendorong proses kemitraan ini masih sangat ditunggu. Namun peran tersebut tidak hanya berupa kebijakan berupa keputusan seperti yang sebelumnya terjadi dengan komoditas kelapa sawit. Pada kebijakan sawit, harga yang ditetapkan pemerintah tidak dapat dipenuhi oleh kalangan industri. Padahal dengan dialog, mungkin dapat dicari solusi yang menyelamatkan, tidak hanya petani namun juga industri hilirnya. Bukan tidak mungkin pemerintah memberikan insentif khusus seperti pengurangan pajak dan lain-lain. Intinya mesti ada upaya langsung ke bawah untuk memahami dan mendorong proses. Jika tidak, kejayaan singkong Lampung mungkin akan pudar seiring dengan menurunnya minat petani karena nilai ekonomis komoditas tersebut tidak sesuai harapan. Hal ini juga akan berdampak pada industri hilirnya. Akhirnya cerita serta pidato keunggulan Lampung menjadi hanya sejarah seperti halnya lada dan kopi yang sudah terlebih dahulu redup.
Edisi 05/September 2013 | AGRO SWAKARSA
21
Foto: istimewa
HISTORIa
Dari Brazil Yang Tak Lagi ‘nDeso
u
bi kayu atau yang di Indonesia lebih dikenal sebagai singkong berasal dari Brazilia. Ilmuwan yang pertama kali melaporkan hal ini adalah Johann Baptist Emanuel Pohl, seorang ahli botani asal Austria pada tahun 1827. Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba, tanaman ini telah dibudidayakan di daerah tropis Amerika. Tanaman ini selanjutnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, terutama negara-negara di Asia dan Afrika. Ubi kayu/singkong merupakan makanan pokok di beberapa negara Afrika. Di samping sebagai bahan makanan, ubi kayu juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Tanaman singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 ke Nusantara dari Brasil. Singkong merupakan tanaman yang mudah tumbuh, sekalipun di daerah tandus yang tanahnya miskin akan hara (cukup dengan menancapkan bagian batang dengan ukuran tertentu). Tanaman ini tidak memerlukan perawatan dan biasanya
memiliki hasil panen cukup besar setelah 9 bulan masa tanam. Selain itu, potensi pemanfaatan semua bagian dari tanaman ini juga besar. Daunnya kaya akan zat besi dan sering dijadikan sayuran. Bagian utamanya yaitu umbi, memiliki kalori yang lebih tinggi dari nasi, sehingga tujuan Portugis membawa tanaman ini ialah untuk menjadikan singkong sebagai makanan pokok rakyat Indonesia. Terbukti di beberapa daerah, singkong merupakan makanan pokok. Umbi akar singkong banyak mengandung sianida pada keadaan mentah. Umbi yang rasanya manis paling sedikit mengandung 20 mg HCNdan 50 kali lebih banyak daripada umbi yang rasanya pahit, per kilogran umbi akar yang masih segar Untuk menurunkan kadar racunnya perlu memerlukan proses pemasakan yang baik. Pada masa pra kemerdekaan, produk turunan singkong seperti tiwul adalah makanan pokok pengganti nasi yang dulu sering dikonsumsi. karena tiwul dengan bahan dasar singkong atau ketela pohon, cukup
membuat perut kenyang dengan harga relatif murah. Meski kandungan kalorinya masih berada dibawah beras, namun cukup bisa digunakan sebagai pengganti beras. Tidak hanya sebagai makanan poko, namun singkong juga diolah menjadi penganan atau jajanan pada masa itu. Singkong sering disebut-sebut sebagai makanan kampung. Namun demikian saat ini beraneka ragam usaha makanan yang berbahan dasar singkong mulai menjamur. Dengan impor beras yang sangat besar akibat kebijakan di era orde baru, maka pemerintah dan masyarakat, singkong kini dianggap sebagai bahan makanan lokal yang perlu digalakkan sebagai bahan makanan pokok alternatif. Istilah bahan makanan lokal juga perlu dicermati, sebab tanaman singkong ternyata bukan berasal dari Indonesia. Kini, saat sejarah tersebut terabaikan, singkong menjadi bahan makanan yang merakyat dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan tidak hanya menjadi makanan ‘ndeso, tapi sudah merambah ke kehidupan urban perkotaan.
22
EPILOG
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013
Dilema Singkong Indonesia
Pangan atau Energi? D Raymond Rajaurat
Ini memang situasi dilematis karena dua sektor ketahanan nasional tersebut samasama penting karena sama-sama dibutuhkan dan kebutuhan itu terus meningkat seiring pertambahan penduduk. Artinya kedua sektor tersebut mesti dapat dijawab sekali jalan tidak bisa satu persatu.
alam konteks strategi nasional. masalah singkong sebenarnya bukan hanya pada keributan kita akan impor dari Thailand. Impor tersebut bisa dikurangi atau dinihilkan dengan kebijakan strategis yang diimplementasikan dalam upaya riil di lapangan. Bahwa impor singkong merugikan petani, jawabannya sudah pasti. Tarif impor untuk produk singkong dan turunannya dari negara-negara ASEAN dan China sudah diatur pemerintah sebesar 0%. Artinya, singkong kita bertarung bebas dengan singkong Thailand. Silakan lihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/Pmk.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Asean-China Free Trade Area (ACFTA). Lantas kenapa takut bersaing dengan singkong Thailand? Jawabannya adalah efisiensi produksi dan dukungan teknologi. Dan hal tersebut tidak lepas dari peran aktif pemerintahnya dalam mendukung sektor pertanian (termasuk singkong) sebagai andalan devisa. Jadi jangan dibandingkan dengan Indonesia. Katakanlah kita bisa meningkatkan produksi dengan perluasan lahan dan peningkatan produktivitas lahan baik dengan bibit unggul maupun penggunaan pupuk organik yang ramah lingkungan dan menjaga kesuburan tahah jangka panjang. Apakah lantas kita bisa berhenti mengimpor? Di sini letak masalahnya. Impor kita untuk produk turunan singkong dilakukan untuk kebutuhan industri pangan karena produksi domestik kita tidak mampu memenuhinya. Jadi kita perlu meningkatkan produksi singkong bukan hanya dalam jumlah banyaknya ton singkong segar saja, namun harus spesifik untuk terlebih dahulu memenuhi kebutuhan industri pangan domestik kita. Logikanya, kalau sudah terpenuhi maka tidak perlu impor. Lebih bagus lagi kalau surplus dan bisa melakukan ekspor. Namun belum juga jelas upaya ke arah itu, kita juga sibuk dengan masalah ketahanan energi dan menggagas kebijakan energi terbarukan yang salah satunya berasal dari tumbuhan/nabati. Singkong jelas memiliki potensi besar berdasar kandungan yang ada dalam umbinya sebagai salah satu sumber bahan baku bioetanol. Dan upaya mengkonversi singkong menjadi bioetanol sudah mulai berjalan.
Walhasil, terjadi perebutan peruntukan dalam urusan persingkongan ini. Satu mau ke arah pangan dan mendukung ketahanan pangan, di sisi lain mau ke arah energi guna mendukung ketahanan energi. Perebutan inilah yang akan mengancam kita langsung dari dua sektor ketahanan nasional: pangan dan energi. Dari sisi petani, tentu saja mau ke arah mana peruntukan singkong ini tidak menjadi penting selama secara ekonomis mampu menopang dan menyejahterakan. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Di sinilah peran pemerintah mesti jelas mulai dari strategi, implementasi hingga insentif atas dukungan implementasi strategi tersebut. Ini memang situasi dilematis karena dua sektor ketahanan nasional tersebut samasama penting karena sama-sama dibutuhkan dan kebutuhan itu terus meningkat seiring pertambahan penduduk. Artinya kedua sektor tersebut mesti dapat dijawab sekali jalan tidak bisa satu persatu. Lalu bagaimana menjawabnya tantangan tersebut? Sebenarnya tidak terlalu sulit kalau saja kita tidak memandang sebelah mata komoditas yang satu ini. Singkong yang selama ini dianggap komoditas ‘ndeso sudah saatnya dengan tegas dinyatakan sebagai produk strategis unggulan dan diperlakukan sama atau bahkan lebih dari komoditas strategis lainnya. Dengan status sebagai komoditas strategis, singkong akan mendapat perhatian besar. Perhatian tidak hanya dari kalangan pertanian namun juga dari kalangan industri dan perbankan. Perhatian tersebut diharapkan akan memacu peningkatan produksi, luas panen dan produktivitas dengan peruntukan jelas untuk pangan atau non pangan. Jadi tidak ada yang dikorbankan baik ketahanan pangan maupun ketahanan energi. Semua dilakukan sejalan seiring. Hanya saja tetap harus menjadi perhatian, jangan karena mengejar target lantas alih fungsi lahan baik dari subsektor pangan lain maupun dari hortikultura dan perkebunan masif terjadi dan justru membahayakan ketahanan kita di komoditas lain. Apalagi sampai membuka hutan yang sudah semakin sedikit. Kita menunggu kehadiran nyata pengelola negara kita untuk komoditas yang satu ini.
Pertumbuhan untuk Masa depan yang lebih baik PGN senantiasa mencapai kinerja pertumbuhan terbaik bagi kepentingan Bangsa dengan selalu memenuhi komitmen kami kepada stakeholder, masyarakat dan lingkungan PGN adalah perusahaan yang bergerak di bidang transmisi dan distribusi gas bumi, yang menghubungkan pasokan gas bumi Indonesia dengan konsumen beberapa daerah Nusantara. Seiring meningkatnya kebutuhan energi yang bersih dan terjangkau, PGN akan terus menggunakan keahlian dan pengalamannya untuk mendapatkan sumber energi baru melalui pemanfaatan berbagai moda transportasi demi memenuhi kebutuhan jangka panjang konsumen.
24
AGRO SWAKARSA | Edisi 05/September 2013