Fermentasi Kakao: Menjadi Keharusan?
Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com/agro
Edisi 09/Januari 2014 o PROLOG o TABULASI o IDENTIFIKASI o REGULASI
Kakao Jangan sampai KO • Kebijakan Bea Keluar: Dorong Industri Hilir • Konsumsi Rendah Lumbung Coklat
• Kembangkan Teknologi Mikrografting • SNI Kakao Fermentasi: Diberlakukan 2015
3 4 7 9
09/2014 03
04
Peluang Indonesia untuk merebut pasar dunia sangat luas. Pasalnya, beberapa negara produsen kakao Seperti Papua New Guinea, Vietnam, Malaysia dan Filipina masih jauh di bawah Indonesia. TABULASI
#6
07
Terbesar Kedua Dunia #1
11
PROLOG
Kakao, Jangan Sampai KO
#3
#4
14 #2
#5
Kakao Indonesia memiliki kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending, sehingga pasar kakao Indonesia memiliki peluang yang cukup terbuka bagi ekspor maupun pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Selain kebiasaan, faktor lain yang turut mempengaruhi kecilnya konsumsi coklat domestik kita adalah sedikitnya produksi coklat dalam negeri. SERTIFIKASI
SNI Kakao Fermentasi: Akan Diberlakukan 2015
Tidak cukup disitu, dari kakao ber SNI tersebut, harus dilengkapi dokumen Surat Keterangan Asal (SKA) .
Banyak anggapan dan pernyataan yang selama ini mengungkapkan bahwa Indonesia adalah penghasil kakao yang tidak terfermentasi dan dengan mutu yang kurang baik.
19
20
REgulasi
Menurut data Kementerian Perindustrian, pasca penerapan kebijakan Bea Keluar (BK) biji kakao, dari total 15 perusahaan industri cocoa processing yang ada di tanah air, jumlah perusahaan yang kini beroperasi telah bertambah dari semula lima perusahaan menjadi 7 perusahaan.
KONSUMSI
Konsumsi Rendah Lumbung Coklat
Masalah Kakao Indonesia
Kebijakan Bea Keluar Kakao: Dorong Industri Hilir
www.opini-indonesia.com/agro
Edisi 09/Januari 2014
DINAMIKA
09
Majalah Bulanan Pertanian Strategis
o PROLOG o TABULASI o IDENTIFIKASI o REGULASI
15
IDENTIFIKASI
Banyak masalah yang harus dihadapi komoditas kakao di Indonesia. Masalah-masalah tersebut dari hulu sampai hilir. Hal tersebut membutuhkan kejasama semua pihak untuk menjalankan keseluruhan manajemen kakao yang sangat rumit ini.
FERMENTASI KAKAO: MENJADI KEHARUSAN?
22
Fermentasi Kakao: Menjadi Keharusan?
LAMPUNG
Nilai 5,5 Juta Dolar AS: Lampung Ekspor Kakao Kakao merupakan salah satu ekspor andalan sektor perkebunan ini selain kopi, lada, karet, dan sawit.
HISTORIA
Dari Bangsa Indian Untuk Dunia
Bubuk cokelat yang merupakan hasil ekstraksi biji kakao telah dikenal sebagai pencampur minuman oleh bangsa Indian suku Maya di Amerika Tengah sejak abad sebelum Masehi. TEKNOLOGI
BPPT Kembangkan Teknologi Mikrografting Kakao
Mikrografting adalah penyambungan batang bawah dan atas dari dua pohon berbeda pada usia yang sangat dini di bawah empat bulan dan dilakukan secara in vitro secara aseptik (steril).
3 4 7 9
Kakao Jangan sampai KO Í Kebijakan Bea Keluar: Dorong Industri Hilir Í Konsumsi Rendah Lumbung Coklat
Í Kembangkan Teknologi Mikrografting Í SNI Kakao Fermentasi: Diberlakukan 2015
Diterbitkan sebagai majalah pertanian strategis yang berupaya memetakan dan mencari solusi masalah pertanian Indonesia dari berbagai sudut pandang.
Managed By
Pemimpin Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Dewan Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi M. Mutawally Ronald Simarmata Andri Penerbit Yayasan Media Wasantara Anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri Rimson Simanjorang Managing Director Ir. David J. Simanjorang Bank Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 1967 957 a/n. Raymond Rajurat Alamat Redaksi Jl. Yupiter Utama D10/12 Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493, 0811 192306 Alamat Iklan/Tata Usaha Jl. Purnawirawan Raya 12/424 Bandar Lampung Telp : 0816 4063 04. Website www.opini-indonesia.com/agro Email agro@opini-indonesia.com Percetakan PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting)
Isi diluar tanggungjawab percetakan
PROLOG
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
3
Peluang Indonesia untuk merebut pasar dunia sangat luas. Pasalnya, beberapa negara produsen kakao Seperti Papua New Guinea, Vietnam, Malaysia dan Filipina masih jauh di bawah Indonesia.
Kakao, Jangan Sampai KO
K
akao atau cokelat merupakan tanaman industri perkebunan. Pohon yang dikenal di Indonesia sejak tahun 1560 ini baru menjadi komoditi yang penting sejak tahun 1951. Pemerintah mulai menaruh perhatian dan mendukung industri kakao pada tahun 1975, setelah PT Perkebunan VI berhasil menaikkan produksi kakao per hektar melalui penggunaan bibit unggul Upper Amazon Interclonal Hybrid, yang merupakan hasil persilangan. Tanaman tropis tahunan ini berasal dari Amerika Selatan. Penduduk Maya dan Aztec dipercaya sebagai perintis pengguna kakao dalam makanan dan minuman. Sampai pertengahan abad ke XVI, selain bangsa di Amerika Selatan, hanya bangsa Spanyol yang mengenal tanaman kakao. Dari Amerika Selatan tanaman ini menyebar ke Amerika Utara, Afrika dan Asia. Biji buah kakao yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang disebut sebagai coklat bubuk. Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk makanan dan minuman. Buah kakao tanpa biji dapat difermentasi untuk dijadikan pakan ternak. Biji kakao dapat diproduksi menjadi empat jenis produk kakao setengah jadi seperti cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, cocoa powder dan cokelat. Pasar cokelat merupakan konsumen terbesar dari biji kakao dan produk setengah jadi jadi seperti cocoa powder dan cocoa butter. Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Data FAO tahun 2011 menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading. Secara umum terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65 persen kakao dunia, Asia sekitar 20 persen dan Amerika latin sekitar 15 persen. Sedangkan dari sisi
industri, Indonesia berada di nomor tujuh dunia di bawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat dalam kurun 10 tahun terakhir. Dengan demikian seharusnya peluang peningkatan produksi terbuka luas termasuk penambahan nilai tambah produk-produk dari kakao. Biji kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi yang diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Untuk pengembangan dan peningkatan daya saing produk kakao, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen
olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Peluang Indonesia untuk merebut pasar dunia sangat luas. Pasalnya, beberapa negara produsen kakao Seperti Papua New Guinea, Vietnam, Malaysia dan Filipina masih jauh di bawah Indonesia. Untuk dapat meraih peluang pasar tersebut, diperlukannya peningkatan produktivitas, penggunaan varietas unggul, perlakuan fermentasi dengan benar penanganan gangguan OPT (Organisma Pengganggu Tanaman) di sektor on farm. Sedangkan di sektor off farm, perlu perbaikan industri pengolahan sehingga dalam perdagangan internasional produk Indonesia diakui dan dihargai bahkan mampu memperoleh harga premium. Peluang ini sudah semestinya diambil agar kita tidak KO dalam mempertahankan dominasi yang tidak hanya di sektor hulu namun sampai ke sektor hilir.
4
TABULASI
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014
Terbesar Kedua Dunia Kakao Indonesia memiliki kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending, sehingga pasar kakao Indonesia memiliki peluang yang cukup terbuka bagi ekspor maupun pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
I
stilah kakao sebenarnya merujuk pada bahan tanam, tanaman, buah dan biji kakao. Tanaman kakao akan menghasilkan buah kakao yang di dalamnya terdapat biji-biji kakao dan melalui proses pascapanen yang meliputi proses pengolahan dan pengeringan, akan dihasilkan biji-biji kakao kering yang siap dikirim ke pabrik pengolah. Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia, setelah Pantai Gading dengan luas areal 1,709,050 ha dan produksi 833,310 ton. Produksi kakao terbesar berasal dari Pulau Sulawesi yang menyumbang 64 persen total produksi nasional Indonesia. Selama periode tahun 1992-2012, luas panen dari komoditas kakao Indonesia mengalami tren yang terus meningkat, sedangkan total produksi komoditas kakao Indonesia cenderung stabil. Luas panen komoditas kakao
cenderung semakin bertambah dari tahun 2012 sebesar 1,709,050 ha, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1,677,254 ha. Rata-rata peningkatannya sebesar 1,9 persen. Sementara itu, total produksi kakao Indonesia selalu fluktuatif. Jika pada tahun 2010 produksi kakao sebesar 837,918 ton, terjadi penurunan 15 persen menjadi 712,231 ton pada tahun 2011. Tahun 2012, ada peningkatan produksi menjadi 833,310 ton atau meingkat 17 persen jika dibandingkan tahun 2011. Namun jika dibandingkan tahun 2010, maka yang terjadi adalah penurunan produksi 0,6 persen.
Adapun tingkat produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 844.625 ton. Menurut usahanya, perkebunan kakao Indonesia dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan negara, dan perkebunan swasta. Perkebunan kakao Indonesia didominasi
ProduKSI BIJI KAKAO 2011 • Pantai Gading
#1
#6
#4
#2
#5
#3
1,559,441
34%
• Indonesia
712,200
15%
• Ghana
700,020
15%
• Nigeria
400,000
9%
• Kamerun
272,000
6%
• Brazil
248,524
5%
• Ekuador
224,163
5%
• Togo
100,000
2%
• Peru
56,500
1%
• Dominika • Lainnya DUNIA
1. Pantai Gading
2. Indonesia
3. Ghana
4. Nigeria
5. Cameroon
6. Brazil
54,279
1%
280,994
6%
4,608,121
100%
Sumber: FAO, 2011 - dalam ton
5
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
Produksi oleh perkebunan rakyat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia yang pada tahun 2010 mencapai 1.651.539 Jenis tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Luas perkebunan ini sekitar 57 persen dari keseluruhan perkebunan kakao di Indonesia. Disamping itu, juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar milik negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kakao Indonesia memiliki kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending, sehingga pasar kakao Indonesia memiliki peluang yang cukup terbuka bagi ekspor maupun pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Namun, masih terdapat berbagai masalah kompleks yang dihadapi oleh perkebunan kakao Indonesia, diantaranya mutu produk masih rendah, produktivitas kebun masih termasuk rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Untuk urusan produktivitas, kakao Indonesia bisa dibilang kalah jauh. Pantai Gading produktivitasnya sudah mencapai 1,5 ton/ha, sementara indonesia baru mencapai 804 kg/ha. Rendahnya produktivitas, selain karena faktor cuaca yang mempengaruhi saat menjelang panen, di sisi lain serangan hama yang mendadak menyerang serta tingkat kesuburan tanaman utamanya untuk pemberian pupuk belum sepenuhnya dilakukan, sehingga sangat berdampak pada tingkat capaian produksi. Selain itu juga bentuk pengelolaan usaha tani yang dilakukan masih bersifat tradisional, sehingga produktivitas dan
Areal
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
Produksi
Produktivitas
mutu hasil panen. Salah satu akibat dari rendahnya mutu biji kakao Indonesia yakni pengenaan penahanan secara otomatis (automatic detension) di Amerika Serikat yang berakibat pada terjadinya pemotongan harga dan biaya penanganan kembali. Hal ini tidak dapat dihindari karena 80 persen lebih biji kakao kering yang dihasilkan hanya dijemur dengan sinar matahari tanpa melalui proses fermentasi terlebih dahulu. Lembaga pengawas makanan dan obat Amerika (USFDA) mengkategorikan biji kakao Indonesia sebagai produk makanan yang mutu dan kesehatannya perlu diawasi secara ketat. Di dalam negeri, hingga saat ini industri pengolahan kakao Indonesia masih mendapatkan proteksi dengan adanya instrumen tarif bea masuk bagi input (bahan baku) berupa biji kakao dan output (hasil olahan) berupa cocoa butter, cocoa powder, dan cocoa cake sebesar 5 persen. Di sisi lain, negara tujuan ekspor Indonesia melakukan diskriminasi terhadap biji kakao yang berasal dari Indonesia sehingga mereka menetapkan bea masuk yang cukup besar. Malaysia mengenakan tarif bea masuk sebesar 25 persen, China sebesar 10 persen, Uni Eropa sebesar 20 persen, dan India sebesar 38 persen. Padahal terhadap komoditas kakao dari negara lain mendapatkan previlege atau dikenakan tarif bea masuk yang rendah, bahkan nol persen, misalnya Uni Eropa membebaskan bea masuk atas komoditas kakao dari Pantai Gading, Ghana, Nigeria, dan Kamerun.
- ton
• Sulsel
169,081
20%
• Sulra
142,156
17%
• Sulteng
113,326
14%
• Sulbar
98,036
12%
• Sumut
63,725
8%
• Sumbar
48,032
6%
• NAD
39,384
5%
• Lampung
25,948
3%
• Jatim
25,306
3%
• Kaltim
13,744
2%
• Lainnya
94,575
11%
INDONESIA
833,310
100%
Luas Lahan
- hektar
• Sulsel
285,032
17%
• Sulra
260,458
15%
• Sulteng
229,320
13%
• Sulbar
195,845
11%
• Sumbar
106,931
6%
• Sumut
105,738
6%
• NAD
89,869
5%
• Jatim
62,015
4%
• Lampung
51,332
3%
• NTT
48,488
3%
274,022
16%
1,709,050
100%
• Lainnya INDONESIA
Produktivitas
- kg/ha
• Sumbar
974
• Sumut
963
• Lampung
949
• Sulbar
916
• Papua
895
• Jatim
884
• Gorontalo
861
• Sulteng
830
• Jambi
825
• Bengkulu
810
• Lainnya
<800
INDONESIA
804
Sumber: Ditjenbun. angka sementara 2012.
IDENTIFIKASI
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
7
Masalah Kakao Indonesia
Banyak masalah yang harus dihadapi komoditas kakao di Indonesia. Masalah-masalah tersebut dari hulu sampai hilir. Hal tersebut membutuhkan kejasama semua pihak untuk menjalankan keseluruhan manajemen kakao yang sangat rumit ini.
V
arietas kakao yang umumnya ditanam di perkebunan kakao di Indonesia adalah varietas Criolo (Fine Cocoa), Forastero (Bulk Cocoa) dan Trinitario (Hybrid). Dari ketiga jenis tersebut, yang memiliki tingkat produksi tinggi adalah varietas Forastero. Hasil produksi tanaman yang tinggi dapat dimungkinkan dengan memenuhi semua syarat tumbuh, pengadaan bibit yang berkualitas tinggi dan manajemen lahan yang baik. Beberapa tahapan harus dilewati dalam pembudidayaan kakao. Dimulai dengan pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan panen. Selanjutnya adalah pascapanen yang terdiri atas pemeraman, pemecahan buah, fermentasi, perendaman dan
pencucian, penyortiran dan penyimpanan. Tahapan tersebut menggambarkan bahwa industri kakao di Indonesia berpotensi meluas bahkan sampai ke industri hilir dan pengolahan kakao lebih lanjut menjadi produk siap pakai. Masalah Kakao Indonesia Banyak masalah yang harus dihadapi komoditas kakao di Indonesia. Masalahmasalah tersebut dari hulu sampai hilir. Masalah utama pertama adalah sumber daya manusia yang kurang. Kebanyakan petani kakao hanya mendapatkan keahlian bercocok tanam kakao yang diwariskan secara turun temurun. Padahal perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat. Sumber daya manusia yang minim
dapat menyebabkan manajemen yang tidak optimal. Penyuluhan dengan materi bercocok tanam saja juga tidak begitu berpengaruh, sehingga dibutuhkan penyuluhan terpadu yang dapat menggeliatkan masyarakat kakao secara keseluruhan. Masalah lainnya adalah masalah permodalan. Kekurangan modal membuat rentetan masalah yang panjang. Hal ini diperparah dengan sulitnya menerima pinjaman bank, naiknya harga pupuk dan pestsida dan hal ini makin diperparah jika terjadi penurunan harga kakao di tingkat petani. Mengingat bahwa komoditas yang satu ini lebih banyak diekspor, maka fluktuasi harga dunia akan berimbas pada harga lokal. Seperti tahun 2008 terjadi
8
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014
penurunan harga kakao di Indonesia mengalami penurunan. Penyebab utama adalah anjloknya harga kakao dunia. Perlu Peningkatan Mutu Biji kakao Indonesia kurang diminati karena mutu kakao Indonesia rendah. Selama ini, biji kakao Indonesia merupakan batas standar mutu eksporimpor biji kakao. Bahkan di Amerika Serikat, biji kakao Indonesia mendapatkan automatic detention kerena sering ditemukan jamur, kotoran, serangga dan benda-benda asing lainnya. Rendahnya mutu kakao Indonesia ini disebabkan oleh beberapa hal seperti faktor usia tanaman dimana kebanyakan kakao di Indonesia telah menua. Dari sisi pascapanen, teknologi yang
digunakan masih sederhana dan mesin pengolahan tua. Demikian juga sarana dan prasarana pendukung yang kurang, seperti gudang; pasokan listrik yang kurang; transportasi dari, ke dan di dalam kebun, tempat pengolahan dan menuju negara pengekspor yang masih buruk. Mutu kakao Indonesia yang cenderung tidak membaik ini menyebabkan persepsi pasar dunia terhadap kakao Indonesia sulit membaik. Selain automatic detention yang dilakukan Amerika Serikat, beberapa negara ekspor memberikan tarif yang lebih tinggi. Permasalahan ini sulit dipecahkan, kecuali Indonesia meningkatkan mutu kakaonya dan adanya campur tangan pemerintah.
Ekspor Ke Penguasa Hilir Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Brazil, Prancis dan China menjadi pengimpor terbesar biji kakao Indonesia. Pada tahun 2009 menguasai sekitar 83,11% dari total ekspor biji kakao Indonesia
E
kspor biji kakao Indonesia selama ini ditujukan ke sekitar 20 negara. Namun dari jumlah itu, terdapat enam negara, yaitu Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Brazil, Prancis dan China yang menjadi pengimpor terbesar biji kakao Indonesia. Keenam negara tersebut pada tahun 2009 mengimpor 444.798,97 ton biji kakao Indonesia atau menguasai sekitar 83,11% dari total ekspor biji kakao Indonesia yang mencapai 535.191 ton. Negara-negara tersebut memang
selama ini dikenal sebagai penghasil produk akhir coklat walaupun mereka tidak memiliki sumber bahan baku biji kakao yang mencukupi. Dalam industri kakao olahan, di kawasan Asia saja Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga, Malaysia yang telah memiliki industri hilir kakao yang lebih maju. Data Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) menunjukkan bahwa pada tahun 2009 Malaysia yang memiliki 10 industri cocoa processing dengan total kapasitas
Banyaknya masalah yang menimpa kakao Indonesia, membutuhkan kejasama semua pihak untuk menjalankan keseluruhan manajemen kakao yang sangat rumit ini. Kerjasama yang terpadu dapat meningkatkan potensi keberlanjutan industri kakao di Indonesia. Mungkin pada kahirnya bisa menjadi nomor satu dunia.
produksi terpasang sebesar 400.000 ton per tahun, diperkirakan berhasil mencapai tingkat realisasi produksi sebesar 294.000 ton atau dengan tingkat utilisasi industri sebesar 74%. Sementara Indonesia dengan 15 industri cocoa processing yang memiliki total kapasitas produksi terpasang sebesar 345.000 ton per tahun, diperkirakan hanya mencapai tingkat realisasi produksi sebesar 130.000 ton atau dengan kata lain tingkat utilisasi industrinya hanya sebesar 38%. Singapura dan Thailand yang samasama tidak memiliki sumber bahan baku biji kakao, memiliki industri cocoa processing dengan tingkat utilisasi industri yang jauh lebih baik dari Indonesia, yaitu masing-masing 84% dan 75%. Singapura dengan dua perusahaan cocoa processing memiliki kapasitas produksi terpasang sebesar 95.000 ton per tahun dan realisasi produksi tahun 2009 diperkirakan sebesar 80.000 ton. Sementara Thailand yang hanya memiliki satu perusahaan cocoa processing dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 20.000 ton per tahun, pada tahun 2009 berhasil mencapai realisasi produksi sebesar 15.000 ton. Sungguh ironis memang, negara yang tidak memiliki sumber bahan baku biji kakao justru menguasai pasar produk hilir kakao (coklat) dunia, sementara Indonesia yang memiliki sumber bahan baku biji kakao melimpah sampai kini belum dapat mengembangkan industri hilirnya secara optimal. Indonesia justru hanya menjadi penonton, bahkan menjadi importir produk akhirnya. (Media Industri)
REGULASI
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
9
Kebijakan Bea Keluar Kakao:
Dorong Industri Hilir Menurut data Kementerian Perindustrian, pasca penerapan kebijakan Bea Keluar (BK) biji kakao, dari total 15 perusahaan industri cocoa processing yang ada di tanah air, jumlah perusahaan yang kini beroperasi telah bertambah dari semula lima perusahaan menjadi 7 perusahaan.
P
ada tahun 2009 Indonesia tercatat sebagai negara produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah dua negara Afrika, yaitu Pantai Gading dan Ghana. Tahun 2010 produksi biji kakao Indonesia mampu menggeser posisi Ghana sebagai produsen biji kakao terbesar kedua di dunia. Volume ekspor biji kakao Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Pada tahun 2008 volume ekspor biji kakao mencapai 515.539 ton, naik dibanding volume ekspor tahun 2007 yang mencapai 503.523 ton. Pada tahun 2009 volume ekspor kembali meningkat menjadi 535.191 ton dari total produksi biji kakao nasional pada tahun 2009 sebesar 577.000 ton. Dengan demikian, dari total produksi biji kakao Indonesia lebih dari setengahnya diekspor ke mancanegara. Sayangnya ekspor biji kakao lebih banyak dalam bentuk mentah ketimbang
dalam bentuk produk olahan. Bahkan sekitar 90% dari total ekspor adalah biji yang belum difermentasi. Karena itu, harga ekspor biji kakao Indonesia selalu didiskon karena harga yang tercantum di terminal New York adalah harga untuk biji kakao yang telah difermentasi. Sementara itu, volume ekspor kakao olahan masih relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan volume ekspor biji kakao, apalagi jika dibandingkan dengan volume produksi biji kakao nasional. Data BPS yang diolah Kementerian Perindustrian menunjukkan volume ekspor kakao olahan Indonesia pada tahun 2009 hanya mencapai 115.170 ton. Masih tingginya ekspor biji kakao mentah dan masih relatif kecilnya produksi dan ekspor kakao olahan menunjukkan bahwa proses nilai tambah produk kakao di dalam negeri selama ini masih sangat rendah. Selama berpuluhpuluh tahun Indonesia hanya dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao
mentah yang tidak difermentasi. Rendahnya ekspor produk olahan kakao juga menunjukkan bahwa Indonesia selama ini hanya berperan sebagai penyedia bahan baku bagi industri hilir kakao (coklat) di luar negeri. Industri hilir coklat justru berkembang di negara-negara yang relatif tidak memiliki sumber bahan baku biji kakao, seperti negara-negara Eropa, Amerika Serikat, China, Malaysia dan Singapura. Ironisnya, selama ini Indonesia juga terpaksa harus mengimpor kakao dari luar negeri. Pada tahun 2009, Indonesia mengimpor biji kakao (fermented cocoa bean) sebanyak 27.230 ton, impor produk olahan kakao antara sebanyak 12.426 ton dan produk akhir kakao olahan (coklat) sebanyak 8.593 ton. Jika dilihat dari volume ekspor produk kakao antara yang mencapai 83.642 ton pada tahun 2009, maka dari total produksi produk kakao antara sebesar 130.000 ton pada tahun 2009, sekitar 64,34%-nya
10
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014
diekspor ke mancanegara. Sementara itu, untuk produk akhir kakao olahan (coklat), dari total produksi produk akhir kakao olahan sebesar 190.303 ton pada tahun 2009, sebagian besar (83,43%) dikonsumsi di dalam negeri dan sekitar 16,57%-nya diekspor ke mancanegara. Kebijakan Bea Keluar Upaya pengembangan industri pengolahan kakao sebetulnya sudah dilakukan pemerintah sejak awal dekade tahun 2000-an. Namun baru pada tahun 2007 terbit kebijakan pro industri pengolahan kakao dengan dihapuskannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dalam perdagangan biji kakao di dalam negeri. Sedangkan kebijakan Pajak Ekspor yang kemudian disebut dengan kebijakan Bea Keluar (BK) baru terbit pada tahun 2010. Penghapusan PPN 10% dimaksudkan untuk memperlancar pasokan biji kakao kepada industri pengolahan kakao di dalam negeri, sedangkan kebijakan BK ditujukan untuk menghambat ekspor biji kakao dan mendorong pasokan biji kakao ke industri domestik. Kebijakan penghapusan PPN 10% pada tahun 2007 tampaknya belum mampu menciptakan iklim usaha industri pengolahan kakao yang kondusif. Dari 40 industri pengolahan kakao yang ada sebelumnya, hanya 15 perusahaan yang mampu bertahan pasca penghapusan PPN. Dari 15 perusahaan itu, ternyata tidak semuanya dapat beroperasi dengan baik. Hanya lima perusahaan saja yang dapat beroperasi dengan baik, sisanya 10 perusahaan berhenti operasi. Selanjutnya tahun 2010 pemerintah menerapkan kebijakan BK secara progresif terhadap ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Di dalam PMK itu ditetapkan bahwa untuk harga referensi biji kakao sampai dengan US$ 2,000 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar 0%. Untuk harga referensi di atas US$ 2,000 sampai dengan US$ 2,750 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar 5%. Untuk harga referensi di atas US$ 2,750 sampai dengan US$ 3,500 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar 10%. Sedangkan untuk harga referensi di atas US$ 3,500 per ton, maka tarif BK yang
berlaku adalah sebesar 15%. Kebijakan BK sudah mulai dirasakan oleh industri pengolahan kakao di dalam negeri. Menurut data Kementerian Perindustrian, pasca penerapan kebijakan BK biji kakao, dari total 15 perusahaan industri cocoa processing yang ada di tanah air, jumlah perusahaan yang kini beroperasi telah bertambah dari semula lima perusahaan menjadi 7 perusahaan. Direktur Industri Makanan Kementerian Perindustrian Faiz Ahmad mengatakan fenomena beroperasinya kembali perusahaan cocoa processing itu menunjukkan bahwa penerapan kebijakan BK biji kakao berdampak positif terhadap upaya pengembangan industri hilir pengolahan kakao di dalam negeri. Menurutnya, selain mendorong beroperasinya kembali industri pengolahan kakao di dalam negeri, penerapan BK biji kakao juga telah mendorong sejumlah investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. (Media Industri)
Web Hosting www.cnp-webservice.com
SOLUSI ONLINE USAHA ANDA
GRATIS 1 (satu) nama domain selama berlangganan dan Host UNLIMITED domain. Harga mulai: Rp 65.000 per bulan
Nama Domain Daftar klien : t CV. Mandala Agro Swakarsa t Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) t PT. Sarana Pratama Gemilang t PT. Sumber Solusi Selaras t Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) t PT. Limas Karya Utama t Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia t Yayasan Pemantau Hak Anak Indonesia t Yayasan Saint Anna Education Center t Yayasan Media Wasantara t dll.
Pendaftaran berbagai ekstensi nama domain internasional (COM, NET, ORG, BIZ, INFO dll.) Harga mulai: Rp 119.000 per tahun
Sertifikat SSL/TSL Membangun kepercayaan pengunjung web dengan mengaktifkan SSL. Harga mulai: $ 45 per tahun
KONSUMSI
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
Konsumsi Rendah
Lumbung Coklat
Selain kebiasaan, faktor lain yang turut mempengaruhi kecilnya konsumsi coklat domestik kita adalah sedikitnya produksi coklat dalam negeri.
S
ebagai salah satu negara penghasil kakao terbesar dunia ternyata tidak serta merta diikuti dengan tingginya tingkat konsumsi coklat nasional. Hanya sedikit masyarakat umum yang faham bahwa coklat yang mereka makan selama ini bahan bakunya berasal dari Indonesia. Padahal biji kakao sebagai bahan baku coklat merupakan salah satu komoditi andalah perkebunan Indonesia. Konsumsi kakao ( coklat ) dalam negeri mencapai 0,3 kg per kapita dari sebelumnya yang hanya sebesar 0,016 kg per kapita. Meski mengalami kenaikan, konsumsi kakao Indonesia masih tergolong rendah. “Ini sudah naik 2 kali lipat, jadi ini cukup menggairahkan. Tapi jauh beda
dengan Swiss yang mencapai 15 kg per kapita atau Malaysia dan Singapura yang hampir mendekati 1 kg per kapita,” ujar Ketua Asosiasi Kakao Indonesia Zulhefi Sikumbang. Ia mengatakan, seharusnya konsumsi kakao di dalam negeri ditingkatkan. Seiring dengan banyaknya investor asing di sektor pengolahan kakao yang masuk ke Indonesia. “Banyak industri yang mau buka di Indonesia karena dia lihat industri setengah jadi dan industri makanan jadi, karena konsumsi dan demand kita naik terus. Ekonomi kita cukup bagus di antara negara lain dengan growth 6%,” tambahnya. Zulhefi menjelaskan, sejak tahun 2009, bahan baku kakao menurun. “Kami mendorong kementerian terkait
11
mendukung supaya pasokan bahan baku bisa ditingkatkan. Kami juga mendorong, bagaimana industri makanan coklatnya tidak setengah jadi lagi. Bagaimana home industry bisa mencampurkan coklat di produk tradisional kita, seperti serabi, dodol, sehingga bisa mengangkat penjualan produk nasional dan produk coklat,” katanya. Konsumsi coklat memang tergantung sekali dengan kebiasaan. Indonesia dikatakan dia tergolong rendah untuk kebiasaan mengkonsumsi coklat di dunia. coklat masih dianggap suatu makanan mahal, sehingga bukan termasuk makanan yang sering dibeli. Coklat biasanya hanya dibeli pada waktu tertentu dan maksud tertentu misalnya saat valentine, ataupun sebagai hadiah ulang tahun. Memang kadang coklat dibeli untuk mengobati penyakit galau kalangan muda. Banyak kaum perempuan menghindari makan coklat karena khawatir gemuk. Coklat memang makanan ringan dengan kandungan kalori dan gula yang cukup tinggi. Kalori dan gula memang identik dengan kegemukan. Apalagi bila tidak diikuti dengan kegiatan olahraga rutin, maka konsumsi coklat berlebihan memang rawan untuk kegemukan. Namun mengkonsumsi coklat ternyata tidak selamanya identik dengan kegemukan. Menurut Beatrice Golomb, peneliti dari Universitas San Diego, Amerika mengemukakan bahwa orang-orang yang mengkonsumsi coklat dengan frekuensi cukup sering memiliki indeks massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan orang-orang yang jarang mengkonsumsi coklat . Selain hal tersebut coklat sangat kaya antioksidan yakni polifenol yang dapat mengurangi kolesterol dan gula darah. Walau demikian konsumsi coklat harus cerdas dan dalam jumlah yang tepat. Untuk menghindari resiko kegemukan, mungkin anda bisa mengkonsumsi coklat yang lebih tinggi kandungan kakao mass-nya seperti dark chocolate dan rendah kandungan susu dan gulanya. Selain kebiasaan, faktor lain yang turut mempengaruhi kecilnya konsumsi coklat domestik kita adalah sedikitnya produksi coklat dalam negeri. Selain itu, faktor lain yang tak kalah penting adalah sedikitnya produsen yang bermain di pasar coklat. Hal itu yang kemudian menjadi faktor utama yang mempengaruhi konsumsi coklat di tanah air.
20
AGRO SWAKARSA | Edisi 04/Agustus 2013
ADVETORIAL
Pupuk Organik Cair MASAGRI®
www.masagri.com
S
eiring pertambahan populasi penduduk, kebutuhan akan pangan dan hasil pertanian lainnya meningkat. Guna memenuhinya, dilakukan upaya untuk dapat meningkatkan produktivitas, salah satunya penggunaan pupuk. Namun berdasarkan hasil penelitian, penggunaan pupuk kimia menimbulkan dampak negatif terhadap merosotnya daya dukung lingkungan yaitu meningkatkan kandungan kimia sintetis di perairan dan lapisan tanah (top soil). Tingginya kandungan kimia tersimpan/terakumulasi dalam tanah bersifat toksik terhadap perakaran tanaman, sehingga kesuburan tanah akan terus menurun dan produktivitas menjadi makin rendah. Seringkali penurunan produktivitas karena kesuburan tersebut dijawab dengan penambahan dosis penggunaan pupuk kimia sehingga makin memperparah kondisi lahan. Pada akhirnya mengarah pada proses penggurunan, dimana lahan pertanian memiliki kesuburan sangat rendah. Pemerintah sudah berupaya membantu petani dengan memberikan subsidi pupuk. Namun pertambahan kebutuhan pupuk akan memperbesar subsidi yang pada akhirnya berdampak pada keuangan negara dan program pembangunan yang lain. Karenanya itu, dilakukan pembatasan subsidi pupuk kimia. Dengan keterbatasan subsidi, maka kebutuhan kebutuhan pupuk kimia mau tidak mau harus dipenuhi dengan menggunakan pupuk non subsidi yang harganya lebih mahal sehingga menambah beban produksi petani yang pada akhirnya mengurangi pendapatan petani dari hasil pertanian yang dikelolanya. Faktor biaya ini masih diperparah dengan dengan kelangkaan pupuk kimia, baik karena keterbatasan produksi maupun tata niaga. Hal
Pupuk terdaftar pada Kementerian Pertanian Republik Indonesia
No. L905/ORGANIK/DEPTAN-PPVTPP/VI/2011
ini dapat dilihat dari pemberitaan mengenai kelangkaan pupuk yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah menggalakkan penggunaan pupuk organik, baik dalam bentuk padat maupun dalam bentuk cair. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang juga akan lebih melestarikan lingkungan karena pupuk organik merupakan pupuk ramah lingkungan dan mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan dengan berkurangnya kandungan residu bahan kimia sintetis pada hasil pertanian yang dikonsumsi oleh manusia. MENGAPA MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK CAIR MASAGRI®? Pupuk Organik Cair MASAGRI® merupakan produk pupuk yang tidak hanya mengandung unsur hara esensial, namun juga berbagai mikroorganisme bermanfaat yang mampu meningkatkan dan menjaga kesuburan tanah, menekan pertumbuhan bakteri penyakit, sehingga akar, daun, batang dan bunga akan tumbuh dan berkembang secara baik dan optimal. Pada Pupuk Organik Cair MASAGRI® juga terdapat senyawa-senyawa organik yang bermanfaat bagi tanaman, seperti asam humik, asam fulvat, dan senyawa organik lainnya. Nutrisi yang terkandung sebagian besar terdiri atas gugus gula sederhana dan protein dengan reaksi lanjutan berupa asam amino, asam organik, vitamin, hormon pertumbuhan (auxin giberilin) unsur makro-mikro. Unsur tersebut sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan dan kesehatan tanaman yang optimal dan berkelanjutan, hingga dapat meningkatkan hasil panen. Pemakaian Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat membantu memperbaiki struktur tanah yang rusak akibat pemakaian pupuk kimia yang masif selama bertahun-tahun dan
Demplot D p M
Ujicoba pada tanaman singkong (ubi kayu) di daerah Way Pengubuan dan Kota Gajah (Lampung Tengah). Pertumbuhan vegetatif jauh lebih cepat dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (penghematan pupuk) sampai 50%.
Ujicoba pada tanaman padi sawah di daerah Jasinga (Bogor), Palas (Lampung Selatan) dan Kota Gajah (Lampung Tengah). Pertumbuhan lebih cepat dan hasil bisa dipertahankan dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (penghematan pupuk) sampai 50%.
U Uj jic icob oba ba pa pad da ttan da anam aman an ssingkong ingkon in kong g di di d dae era rah h Kot K ota ta G Ujicoba pada tanaman daerah Kota buhan tanaman yang berbeda jauh dengan perlak Ujicoba dilakukan pada hamparan lahan singkong g di lahan seluas 2 hektar. Gambar di atas adalah ko o menggunakan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dan n biasa. Tanaman lebih subur dan sehat.
Edisi 04/Agustus 2013 | AGRO SWAKARSA
Perbedaan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dengan Pupuk Kimia Perbedaan mendasar antara Pupuk Organik Cair MASAGRI® dan pupuk kimia adalah pada perlakuan terhadap tanah. Pupuk kimia memasok nutrisi langsung ke tanaman dengan memberikan unsur yang dibutuhkan tanaman baik unsur makro maupun mikro. Dengan pasokan langsung, maka tanaman mendapatkan unsur yang dibutuhkan tanpa melalui proses biologis dan kimia dalam tanah. Hal ini menyebabkan
menggemburkan tanah kembali. Selain itu berbagai mikroba yang terdapat dalam pupuk ini akan mampu melarutkan dan mengikat zatzat yang dibutuhkan tanah. Pupuk Organik Cair MASAGRI® sudah melewati berbagai uji mutu yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian RI baik kandungan unsur hara maupun keamanan dari mikroba patogen yang merugikan seperti E Coli dan Salmonella. Juga telah lulus uji terap (efektivitas) yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pupuk Organik Cair MASAGRI® terdaftar dan resmi memiliki ijin peredaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian RI sehingga merupakan pupuk resmi yang legal untuk diedarkan di seluruh wilayah Republik Indonesia.
MASAGRI®, tanaman dapat menerima pasokan unsur yang dibutuhkan, sementara kandungan mikroorganisme (mikroba) pada Pupuk Organik Cair MASAGRI® berguna sebagai nutrisi tanah guna meningkatkan kesu-buran tanah. Kebutuhan akan pangan menyebabkan penggunaan pupuk kimia menjadi sa-ngat dominan untuk mengejar kuantitas produksi (produktivitas). Namun tanpa disadari tidak adanya perlakuan yang cukup bagi tanah akan menyebabkan tanah menjadi jenuh dan semakin tidak subur. Penggunanaan kombinasi pupuk kimia dan Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat menjadi solusi meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kesuburan/kesehatan tanah.
fermentasi. Perbedaannya pada bahan baku dan mikroba yang digunakan. Pupuk Organik Cair MASAGRI® menggunakan bahan baku alami non limbah guna meminimalisir potensi kontaminasi mikroba patogen/merugikan seperti E Coli dan Salmonella dari proses awal produksi. Hal ini untuk meminimalisir adanya kemungkinan penyebaran mikroba patogen seiring dengan penyebaran/distribusi produk Pupuk Organik Cair MASAGRI®. Selain itu, Pupuk Organik Cair MASAGRI® menggunakan mikroba alami asli Indonesia. Hal ini ditujukan untuk mempermudah penyesuaian mikroba tersebut dengan kondisi tanah dan iklim Indonesia sehingga efektivitas pupuk akan lebih baik. Dari sisi ekologi (keanekaragaman hayati), penggunaan mikroba alami asli Indonesia akan melestarikan mikroba bermanfaat yang memiliki tempat hidup di Indonesia.
• Tanaman Pangan: Padi, Jagung, Singkong, Kedelai, Kacang-kacangan dll. • Tanaman Perkebunan: Sawit, Tebu, Cokelat, Cengkeh, Kelapa, Karet, Vanili dll. • Tanaman Hortikultura: Sayuran, Buahbuahan, Biofarmaka • Tanaman Hias dan Taman: Anthurium, Adenium, Aglaonema, Sansevieria, Rumput taman dll. • Tanaman Kehutanan: Sengon, Pinus, Jati, Akasia, Angsana, Mahoni, Meranti dll.
PUPUK ORGANIK CAIR MEREK LAIN APLIKASI TANAMAN Secara umum Pupuk Organik Cair MASAGRI® memiliki persamaan dengan pupuk organik cair merek lain yang memproduksi dengan pola
21
tanah hanya menjadi tempat ‘meletakkan’ akar tanaman dan tidak memiliki fungsi lain. Masalah yang akan timbul kemudian adalah pupuk kimia yang diberikan tidak semua akan diserap oleh tanaman, karena sebagian (>70%) akan terikat (terakumulasi) ke dalam liat tanah, sehingga tanah menjadi liat/keras serta dalam jangka panjang akan bersifat toksik memacu berkembangnya penyakit dalam tanah dan sebagian lainnya pupuk kimia akan hilang karena terbawa aliran air atau menguap. Pupuk Organik Cair MASAGRI® adalah pupuk organik dan bio fertilizer yang memberikan pasokan nutrisi kepada tanaman dan juga kepada tanah. Dengan kandungan unsur makro maupun mikro pada Pupuk Organik Cair
Pupuk Organik Cair MASAGRI® dapat diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman:
PEMESANAN
Telp/Faks: 021-87716493 HP/SMS: 0812-7953816 Email: mas@masagri.com
M MASAGRI®
ajjah h ((Lampung Lampun Lamp ung g Teng TTengah) engah h) me menu nunjjukk kkan p ert rtum tum-Gajah G menunjukkan pertumkuan bisa tanpa Pupuk Organik Cair MASAGRI®. g dengan aplikasi Pupuk Organik Cair MASAGRI® o ondisi tanaman pada umur 3 bulan. Di sebelah kiri n di sisi kanan menggunakan pupuk kimia seperti
Ujicoba pada tanaman sawi (caisim) di daerah Tenjolaya (Bogor), Cipanas dan Pacet (Cianjur). Pertumbuhan dan produktivitas (jumlah daun dan berat) tanaman lebih tinggi dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (penghematan pupuk) sampai 50%.
Ujicoba pada tanaman jagung di daerah Tenjolaya (Bogor). Pertumbuhan lebih cepat, tanaman lebih sehat dan hasil bisa dipertahankan dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia (penghematan pupuk) sampai 50%.
14
SERTIFIKASI
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014
SNI Kakao Fermentasi:
Diberlakukan 2015 Tidak cukup disitu, dari kakao ber SNI tersebut, harus dilengkapi dokumen Surat Keterangan Asal (SKA) .
P
emerintah akan memberlakukan Standar Nasional Wajib (SNI) wajib bagi komoditas kakao yang beredar di Indonesia. Selama ini, sekitar 80% produksi kakao masih berbentuk biji mentah. “SNI kakao fermentasi akan kita wajibkan baik yang di ekspor maupun yang diperdagangkan di dalam negeri,” ujar Plh Dirjen Pengolahan dan Pemasaran (P2HP) Kementrian Pertanian (Kementan) Taufik Yazid di Jakarta, Agustus 2013 lalu.
Kelompok Penerbitan Opini Indonesia
Saat ini, pihaknya tengah menyusun regulasi standarisasi mutu kakao berbentuk Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Menurut Yazid, public hearing sudah dilakukan melibatkan sejumlah dinas di daerah yang merupakan produsen kakao. Pembahasan Permentan itu diharapkan dapat dituntaskan pada Agustus-September mendatang. “Saat ini, draft permentan itu sudah di biro hukum. Kita ingin mutu kakao petani ditingkatkan,” ujar Yazid. Direktur Standarisasi dan Mutu
Gardjita Budi mengatakan, kunjungan kerja dibebarapa tempat, sambung Yazid, memiliki kesimpulan,dalam rentang dua tahun ke depan para petani dan pelaku usaha mampu membenahi usaha perkebunan dengan orientasi nilai tambah. Direktur Pemasaran Luar Negeri Mesa Tarigan mengatakan, selisih harga biji kakao dengan kakao fermentasi sekitar Rp 1.500 kilogram (kg). Budi kembali menjelaskan, pengujian kakao diantaranya meliputi kadar air, kadar biji. Menurutnya,rasa coklat baru akan mungemuka melalui cara fermentasi. Saat ini, produksi kakao nasional berkisar 900.000 ton. “Namun,baru 20% kakao fermentasi yang beredar di Indonesia,” terang dia. Mengenai pengawasan apabila SNI wajib diterapkan, menurutnya, dapat dilakukan pada unit fermentasi biji kakao. Hal itu dapat dilakukan baik para petani, koperasi maupun pengumpul. Setiap penyerahan kakao yang diterima dan dijual harus memiliki SNI wajib. Tidak cukup disitu, dari kakao ber-SNI tersebut, harus dilengkapi dokumen Surat Keterangan Asal (SKA). Dengan begitu, dapat diketahui darimana komoditas itu berasal. “Ini supaya kualitas kakao terjamin,” terang dia. Apabila pelaku usaha atau petani tetap melakukan kakao non SNI, menurutnya, Permentan akan mengenakan sanksi maksimal pencabut izin usaha. (KB)
DINAMIKA
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
15
Fermentasi Kakao:
Menjadi Keharusan? Banyak anggapan dan pernyataan yang selama ini mengungkapkan bahwa Indonesia adalah penghasil kakao yang tidak terfermentasi dan dengan mutu yang kurang baik. Namun ternyata saat ekspor biji kakao Indonesia dibebani bea keluar, banyak industri yang memilih membangun pabriknya di dalam negeri.
Firman Bakri Anom SH. Direktur Eksekutif Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO)
S
elama ini perdebatan terkait kualitas mutu kakao Indonesia selalu dikaitkan dengan tidak (belum) terfermentasikannya kakao Indonesia oleh petani. Asumsi dasar yang slalu melatarbelakangi para pihak yang pro fermentasi kakao Indonesia adalah karena faktor citarasa. Namun selama ini sejumlah fakta menunjukkan bahwa kakao Indonesia masih memiliki daya saing meski tidak terfermentasi. Dalam standar mutu kakao Indonesia dan dalam sejumlah literatur bahwa definisi biji kakao adalah kakao yang terfermentasi. Sehingga kakao Indonesia yang tidak terfermentasi dianggap sebagai produk dari proses yang belum lengkap, karena ada satu tahapan fermentasi yang terlewatkan. Arah kebijakan pemerintah terkait dengan kakao fermentasi sudah sangat terasa pada saat ditetapkannya SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk biji kakao. Meskipun belum menjadi sebuah
keharusan, namun nuansa pentingnya fermentasi sudah terasa. Di tingkat internal Kementerian Pertanian sejumlah daraft peraturan menteri yang bermuatan wajib fermentasi seolah datang tiap tahun silih berganti. Secara konseptual draft regulasi yang bermunculan tersebut tidak banyak berubah, hanya berganti rumahnya saja. Awal tahun 212 lalu, Kementerian Pertanian mewacanakan menerbitkan wajib perdagangan kakao fermentasi. Targetnya tidak sampai satu tahun, pada akhir 2012 sudah harus terbit permentan tersebut. Alih-alih diterbitkan, draft yang menyimpan sejumlah permasalahan tersebut penulis duga gugur di tengah jalan. Pada tahun 2013 kembali lagi, wacana wajib kakao fermentasi masuk lagi dalam draft rancangan peraturan menteri pertanian yang berbeda. Namun permasalahan yang sama seputar tanggung jawab fermentasi yang hanya dibebankan kepada petani,
mengakibatkan fokus kebijakan pengawasan dan sanksi hanya untuk sektor hulunya. Jika melihat pada semangat kementerian pertanian untuk mewajibkan fermentasi kakao, maka dapat disimpulkan bahwa fermentasi kakao pasti sangat dibutuhkan baik oleh petani maupun usernya (industri). Dalam praktik perdagangannya, kakao Indonesia yang tidak terfermentasi selalu identik sebagai kakao dengan mutu yang lebih rendah. Sehingga dianggap harganya harus lebih rendah dari harga kakao yang terfermentasi. Ditingkat petani ada yang menjanjikan harga kakao fermentasi selisih Rp. 3.000,-/Kg. Jumlah ini tidak berlaku mutlak, karena banyak yang masih menghargai selisihnya di bawah Rp. 2.000,-/Kg. Adapula kalanya harga kakao non fermentasi dari pembeli yang lain harga hampir atau bahkan sama. Dalam konteks ini persaingan harga tidak hanya belaku antara kakao
16
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014
fermentasi dengan non fermentasi, tetapi antar pembelinya. Pada akhirnya harga kakao fermentasi menjadi tidak menarik dan kurang menguntungkan. Karena itu asumsi awal mengenai fermentasi merupakan upaya peningkatan nilai tambah bagi petani, terbukti kurang tepat. Karena pada akhirnya pembelilah yang menentukan harga, dan karena kakao non fermentasi masih dibutuhkan harga kakao non fermentasi bisa menekan harga kakao fermentasi. Pertanyaan lebih lanjut, apabila kemudian perdagangan kakao fermentasi diwajibkan apakah akan meningkatkan daya saing harga kakao non fermentasi? Dalam konteks kekinian dan kedepan kakao Indonesia akan habis terolah di dalam negeri. Sehingga tidak ada lagi peluang bagi ekspor biji kakao. Untuk harga kakao meskipun akan mengacu pada harga internasional (New York Market), namun pengaruh industri dalam negeri akan sangat kuat sekali. Sebagai gambaran, dalam pasar saat ini masih ada perbedaan kualitas antara kakao fermentasi dan non fermentasi, sehingga ada potensi harga premium. Namun manakala sudah tidak ada perbedaan kualitas, apalagi peluang untuk melakukan ekspor sudah tidak ada maka harga yang berlaku adalah harga yang dianggap efisien oleh industri. Sehingga mekanisme penentuan harga bisa saja sama dengan penentuan harga pada kakao non fermentasi saat ini. Perkembangan industri pengolahan kakao Indonesia menyimpan sebuah cerita yang nantinya turut mempengaruhi kebutuhan kakao fermentasi. Saat ini Indonesia adalah salah satu penghasil kakao terbesar di dunia. Secara tradisonal Indonesia juga dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao. Namun sejak tahun 2010 Indonesia mengalami transformasi dari negara pengekspor biji kakao menjadi negara pengolah kakao.
Transformasi perkakaoan Indonesia meskipun menjadi tekad pemerintah dengan dukungan kebijakan hilirisasi, namun perubahan yang begitu cepat tersebut benar-benar diluar dugaan. Program hilirisasi yang utamanya ditopang dengan kebijakan penetapan bea keluar ekspor biji kakao, ternyata sangat efektif dalam memaksa sejumlah industri besar untuk membangun pabrik di Indonesia. Disisi lain sejumlah industri yang eksis di dalam negeri juga mendapatkan limpahan manfaat dengan menambah kapasitas mereka. Dengan kebijakan yang hampir serupa di komoditi pertanian lainnya, ternyata efeknya tidak sedasyat pada hilirisasi kakao. Dari perkembangan tersebut, penulis melihat ada satu faktor dimana tidak pernah kita perhitungkan yaitu daya saing kakao Indonesia ternyata cukup tinggi. Banyak anggapan dan pernyataan yang selama ini mengungkapkan bahwa Indonesia adalah penghasil kakao yang tidak terfermentasi dan dengan mutu yang kurang baik. Namun ternyata saat ekspor biji kakao Indonesia dibebani bea keluar, banyak industri yang memilih membangun pabriknya di dalam negeri. Fenomena ini setidaknya menggambarkan bahwa kakao Indonesia memiliki kekhasan tersendiri yang bisa dikatakan tidak tergantikan dengan kakao dari negara manapun. Setidaknya fenomena ini menjelaskan bahwa kakao Indonesia meskipun tidak terfermentasi ternyata tetap memiliki daya saing karena adanya factor kekhasan pada kakaonya. Dari sejumlah fenomena di atas, jelas
bahwa anggapan kakao non fermentasi Indonesia tidak berdaya saing dan bernilai lebih rendah telah terbantahkan. Karena belum tentu ketika semua kakao Indonesia telah terfermentasi harga menjadi meningkat. Begitu pula dengan kenyataan bahwa kakao Indonesia sejak masa masih diekspor dalam bentuk raw material hingga telah diolah di dalam negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa kakao non fermentasi sangat diminati, utamanya oleh industri olahan kakao. Dengan adanya kewajiban fermentasi kakao, maka secara tidak langsung pemerintah akan menutup/menghapus pasar kakao non fermentasi. Digantikan dengan pasar kakao Indonesia yang terfermentasi. Namun apakah pasar baru ini akan memiliki daya saing yang lebih kuat, atau sama atau bahkan mungkin lebih tidak berdaya saing dibanding pasar yang sudah ada saat ini. Dalam konteks permasalahan tersebut kembali muncul pertanyaan dasar apakah kakao Indonesia harus terfermentasi? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, idealnya pemerintah terlebih dahulu melakukan kajian secara menyeluruh dan menghitung cost and benefit masing-masing pilihan yang ada. Penulis secara pribadi tidak menyarankan apakah harus maupun tidak. Namun sangat berharap bahwa pemerintah yang sudah â&#x20AC;&#x153;pastiâ&#x20AC;? mengarah pada kakao wajib fermentasi, bisa memastikan manfaatnya atas kebijakan tersebut. Serta berharap bahwa kebijakan ini tentunya tidak malah menimbulkan efek negatif bagi perkakaoan Indonesia.
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
Fermentasi Biji Kakao Sebagian besar petani melakukan proses fermentasi selama 1 sampai dengan 3 hari di dalam karung plastik dengan cara membalikan dilakukan setiap hari dengan cara menggulingkan karung.
F
ermentasi merupakan tahapan penting dalam proses pengolahan primer kakao untuk menghasilkan bahan baku makanan dan minuman cokelat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Fermentasi bertujuan untuk membentuk cita rasa khas cokelat dan mengurangi rasa pahit serta sepat yang ada di dalam biji kakao. Pada umumnya petani kakao melakukan proses fermentasi dengan sarana dan metode yang beragam
sehingga mutu produk akhir yang dihasilkan rendah dan tidak konsisten. Selain itu, tingginya kemasaman biji kakao rakyat dapat disebabkan oleh tebalnya kandungan pulpa yang menyelimuti biji kakao basah. Pemanfaatan limbah pulpa kakao menjadi produk samping yang lebih bermanfaat dan bernilai ekonomis tinggi akan memberikan peningkatan pendapatan, dan peluang usaha di sektor perkebunan kakao rakyat.
17
Sebagian besar petani melakukan proses fermentasi selama 1 sampai dengan 3 hari di dalam karung plastik dengan cara membalikan dilakukan setiap hari dengan cara menggulingkan karung. Kemudian petani menyimpan biji hasil panen di dalam kantong plastik selama 2 sampai dengan 3 hari sebelum dijual ke pedagang pengumpul. Biji kakao tanpa atau kurang fermentasi biasanya memiliki warna permukaan biji yang bagus, tetapi citarasa cokelatnya sangat rendah disertai cacat citarasa bitter dan stringent. Biji â&#x20AC;&#x153;slatyâ&#x20AC;? (warna ungu agak keabuanabuan) umumnya dihasilkan dari proses fermentasi yang terlalu singkat (kurang dari 3 hari). Sedang biji rapuh dan berbau kurang sedap atau kadang berjamur adalah produk dari proses fermentasi yang terlalu lama (lebih dari 5 hari). Biji kakao berjamur atau hitam tidak memiliki citarasa cokelat yang baik, dan disertai cacat citarasa musty, mouldy atau earthy. Biji dengan waktu fermentasi tepat 5 hari mempunyai warna belahan coklat agak tua dan tekstur berongga. Sebaliknya, biji â&#x20AC;&#x153;slatyâ&#x20AC;? mempunyai tekstur pejal. (Ir. Azri, MSi./BPTP Kalbar)
Kelompok Penerbitan Opini Indonesia
Mengucapkan
Selamat Tahun Baru Imlek 2565 31 Januari 2014 Semoga rejeki, kesehatan dan kebahagiaan senantiasa bersama kita.
18
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014
LAMPUNG
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
19
Nilai 5,5 Juta Dolar AS:
Lampung Ekspor Kakao Kakao merupakan salah satu ekspor andalan sektor perkebunan ini selain kopi, lada, karet, dan sawit.
memaksimalkan perawatan guna meningkatkan produksi kakao agar lebih baik dari bulan lalu,” kata M. Ikhwani, petani kakao di Desa Tulung Pasik,
Produksi
Areal
Produktivitas
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
Pertumbuhan Produksi, Areal dan Produktivitas Kakao Lampung
2002
P
rovinsi Lampung mengekspor kakao ke berbagai negara tujuan sebesar 2.055 ton pada Desember 2013 dengan nilai 5,5 juta dolar Amerika Serikat. Lampung merupakan salah satu produsen kakao di Indonesia yang menyumbang 3 oersen produksi nasional. “Ekspor kakao cukup tinggi pada periode itu,” kata Kepala Dinas Koperindag Provinsi Lampung Choiria Pandarita didampingi Kabid Perdagangan Luar Negerinya Ratna Dewi di Bandarlampung. Ia menyebutkan, saat ini produksi kakao petani terus meningkat seiring harga jualnya yang cukup tinggi. Kakao merupakan salah satu ekspor andalan sektor perkebunan di daerah ini selain kopi, lada, karet, dan sawit. Sementara itu, produksi kakao petani Lampung Timur terus meningkat, seiring harga jual kakao yang tinggi dalam tiga pekan terakhir sehingga petani giat memaksimalkan perawatan tanaman kakao di daerah itu. “Para petani di wilayah kami berupaya
Kecamatan Mataram Baru, Lampung Timur. Menurutnya, hasil panen kakao mengalami kenaikan cukup signifikan dalam bulan ini, hal tersebut didukung curah hujan yang mencukupi. “Jika bulan lalu kebun kakao kami hanya bisa menghasilkan 0,5 kuintal per hektare dalam sekali panen. Jika sebelumnya menghasilkan 15 kuintal lebih per hektare/bulan, bulan ini panen meningkat hingga mencapai 35 kuintal per hektare,” katanya. Dengan peningkatan produksi tersebut, jelas berpengaruh terhadap pendapatan para petani, apalagi harga kakao saat ini cukup tinggi di mana harga di tingkat petani mencapai Rp19.000 per kilogram (kg) dan harga di tingkat agen pengumpul sudah mencapai Rp24.000/ kg. Untuk meningkatkan produksi kakao, para petani di daerahnya berupaya memberikan perlakuan dan perawatan secara intensif pada tanaman mereka. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lampung Timur menyebutkan luas areal perkebunan kakao di kabupaten tersebut mencapai 9.585,75 hektare dengan produksi 5.828.203 ton per tahun. (Ant)
20
HISTORIA
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014
Dari Bangsa Indian Untuk Dunia Bubuk cokelat yang merupakan hasil ekstraksi biji kakao telah dikenal sebagai pencampur minuman oleh bangsa Indian suku Maya di Amerika Tengah sejak abad sebelum Masehi.
B
ejana keramik yang digunakan untuk mengkonsumsi minuman cokelat di temukan dalam makam bangsawan dari suku Maya, bukti kuat bahwa mengkonsumsi cokelat adalah simbol status penting. Selain itu, biji kakao juga digunakan sebagai alat pembayaran seperti terlihat pada relief bangsa Meksiko, keranjang berisi 8000 biji kakao yang menggambarkan angka 8000. Penguasaan terhadap daerah â&#x20AC;&#x201C; daerah utama penghasil biji kakao menjadi tujuan utama dalam perang antar suku pada beberapa abad berikutnya. Perang Cokelat antar suku di Amerika terjadi sekitar tahun 1200â&#x20AC;&#x201C;1500. Dengan menundukkan suku Chimimeken dan Maya, suku Aztec memperkuat supremasi mereka di Meksiko. Kekaisaran Aztec mengambil alih daerah penghasil kakao terkaya di
Mesoamerika, Chiapas modern (Mexico, Guatemala). Suku Aztec menyebut cokelat sebagai â&#x20AC;&#x153;xocalatlâ&#x20AC;? yang berarti hangat atau cairan pahit. Kontak pertama orang Eropa dengan biji kakao pada tahun 1502 melalui pelayaran keempat yang dilakukan oleh Christopher Columbus. Namun nilainya belum disadari. Baru abad ke-15 cokelat mulai diperkenalkan di belahan dunia lain. Dengan kegunaannya sebagai upeti atau alat barter bernilai tinggi, cokelat sebagai pencampur minuman diperkenalkan kepada bangsa Spanyol. Usaha pengembangan pertanaman kakao dirintis oleh bangsa Spanyol ke benua Afrika dan Asia. Di Afrika, kakao diperkenalkan pada abad ke-15 dengan daerah penanaman terutama di Nigeria, Pantai Gading dan Kongo. Pada waktu yang bersamaan kakao juga diperkenalkan di Asia, terutama daerah-daerah yang berdekatan dengan kawasan Pasifik. Kakao di Indonesia Kakao yang diperkenalkan pada tahun 1560 di Sulawesi Utara berasal dari Filipina. Jenis yang pertama
kali ditanam adalah Criollo, yang oleh bangsa Spanyol diperoleh dari Venezuela. Produksi kakao ini relatif rendah dan peka terhadap serangan hama dan penyakit, tetapi rasanya enak. Pada tahun 1806, usaha perluasan kakao dimulai lagi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penanaman dilaksanakan di sela-sela areal pertanaman kopi. Pada tahun-tahun selanjutnya didatangkan lagi jenis kakao yang lain, mengingat kelemahan jenis kakao Criollo. Dr. C.J.J. Van Hall, MacGillvray, Van Der Knaap adalah peneliti-peneliti yang giat melakukan seleksi guna mendapatkan bahan tanam unggul maupun klon induk pada awal pertanaman kakao di Indonesia. Pada tahun 1914,
Edisi 09/2014 | AGRO SWAKARSA
MacGillvray telah menulis buku mengenai kakao, kemudian dituliskannya lagi pada tahun 1932 sebagai edisi kedua. Tahun 1888 diperkenalkan bahan tanam Java Criollo asal Venezuela yang bahan dasarnya adalah kakao asal Sulawesi Utara tadi, sebagai bahan tanam tertua untuk mendapatkan bahan tanam unggul. Sebelumnya, pada tahun 1880 juga diperkenalkan bahan tanam jenis Forestero asal Venezuela untuk maksud yang sama. Dari hasil penelitian saat itu, direkomendasikan bahan tanam klon-klon DR, KWC dan G dengan berbagai nomor. Sejalan dengan itu, pengembangan tanaman kakao di Indonesia, khususnya di Jawa berjalan dengan pesat. Pada tahun 1938 telah terdapat 29 perkebunan kakao. di Jawa. Perkembangannya juga didorong oleh meluasnya penyakit karat daun pada tanaman kopi. Sesudah kemerdekaan Pengalihan usaha perkebunan menjadi milik negara pada awal kemerdekaan menjadikan usaha pengembangan pertanaman kakao menjadi semakin mantap. Daerah-daerah di Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan hasil pertanaman kakao yang kemudian berkembang dengan pesat. Perkembangan
pertanaman kakao dengan demikian telah meluas ke Indonesia bagian barat. Sejalan dengan itu, program pemuliaan untuk mendapatkan bahan tanam unggul terus giat dilaksanakan. Tahun 1973 diperkenalkan kakao jenis Bulk melalui seleksi yang dilakukan oleh PT Perkebunan VI dan Balai Penelitian Perkebunan (BPP) Medan. Kakao jenis Bulk pada tahun berikutnya memperkecil kemungkinan untuk memperluas penanaman kakao jenis Criollo. Kakao jenis Bulk dikenal sebagai jenis kakao yang relatif tahan akan hama dan penyakit, produksinya tinggi walaupun rasnya sedang. Program pemuliaan PT Perkebunan VI dan BPP Medan itu, yang tetuanya terdiri dari biji-biji campuran Na, Pa, Sca, ICS, GG, DR, Poerboyo dan Getas, menghasilkan biji yang dikenal dengan nama varietas sintetik 1, 2, dan 3. Tetua tersebut berupa biji illegitim hibrida F1 dari Malaysia, yang ditanam sebanyak 150.000 pohon. Pada tahun 1976, BPP Jember juga melakukan program pemuliaannya dalam rangka untuk mendapatkan bahan tanam hibrida. Pemuliaan ini bertujuan untuk menghasilkan bahan tanam biji hibrida dengan efek heterosis. Sejumlah persilangan dari klon-klon ICS, Sca, dan DR telah diuji untuk maksud itu. Secara bersamaan usaha untuk mendapatkan bahan tanam klon yang dapat di jadikan sebagai induk maupun bahan tanam praktek juga dilaksanakan di kebun Kaliwining Jember dan Malangsari. Di Sumatera Utara, penelitian
21
yang sama terus dilaksanakan dalam rangka pengembangan kakao. Beberapa PT Perkebunan mulai melakukan penanaman kakao Bulk, seperti PT Perkebunan IV dan II. PT Perkebunan II bahkan melakukan perluasan penanaman kakao di Irian Jaya dan Riau serta membangun kebun benih kakao di Maryke, Medan. Pembangunan kebun benih kakao tersebut dilaksanakan bersama P4TM (Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa) Medan yang saat ini telah
menghsailkan bahan tanam biji hibrida, dengan tetua klon-klon Sca, ICS, Pa, TSH, dan IMS. Biji-biji hibrida yang dihasilkan kebun benih kakao masih dalam tahap pengujian. Perkembangan yang pesat menyebabkan peningkatan produksinya secara cepat. Dengan kebutuhan dunia berkisar 3 juta ton, maka prospek Indonesia sebagai penghasil kakao masih sangat baik. Tergantung bagaimana kita membuat strategi meningkatkan produktivitas.
22
TEKNOLOGI
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014
BPPT Kembangkan Teknologi
Mikrografting Kakao Mikrografting adalah penyambungan batang bawah dan atas dari dua pohon berbeda pada usia yang sangat dini di bawah empat bulan dan dilakukan secara in vitro secara aseptik (steril).
B
adan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan teknologi Mikrografting untuk pohon kakao dalam upaya meningkatkan produktivitas serta mampu menahan berbagai penyakit. “Kita akan uji coba untuh lahan di Sulawesi Selatan yang selama ini sebagai sentra produksi kakao nasional,” kata Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT Listyani Wijayanti kepada pers usai berbicara dalam Seminar Nasional Kakao, di Makassar, November 2013 lalu. Mikrografting adalah penyambungan batang bawah dan atas dari dua pohon berbeda pada usia yang sangat dini di
bawah empat bulan dan dilakukan secara in vitro secara aseptik (steril). Dikatakan, pihaknya terus melakukan upaya terkait peningkatan kualitas dan Teknologi Penyediaan bibit unggul, perbaikan teknik produksi, serta pengolahan pasca panen kakao,
akan diupayakan untuk meningkatkan produktivitas. Menurutnya, teknologi tersebut bisa menjadi solusi bagi petani kakao yang selama ini mengeluhkan produktivitas rendah, serangan hama, hingga berpenyakit. “Kita sudah memadukan antara dua pohon kakao yang baik dan diharapkan bisa memberi solusin,” katanya. Untuk mengembangkan teknologi tersebut, katanya, BPPT membentuk konsorsium dengan instansi lain dengan harapan agar bisa digunakan oleh petani. “BPPT khan selama ini hanya bertugas melakukan penelitian dan pengembangan. Kalau untuk digunakan oleh petani bukan wewenang kita,” kata Listyani. Sekretaris utama BPPT Jumain Appe mengatakan pengembangan industri dan agribisnis kakao memerlukan upaya dan komitmen yang serius. BPPT berupaya mengembangkan teknologi untuk menghasilkan kakao yang berkualitas. “Satunya dengan meningkatkan penerapan teknologi budidaya dan teknologi pengolahan yang baik dan benar dan bisa dilaksanakan oleh semua petani kakao,” katanya Jumain. Sulawesi memiliki sumberdaya lahan kakao sebesar 838.087 hektare atau 58 persen dari total luas lahan di indonesia sehingga Sulawesi menjadi pilihan dalam koridor ekonomi MP3EI sebagai daerah pengembngan kakao di indonesia. Tanaman kakao sendiri merupakan salah satu komoditi unggulan Sulsel, sayangnya saat ini produktivitas kakao tengah mengalami penurunan, yakni 0,40,6 juta ton per ha, dibandingkan potensi produktivitasnya yang harusnya mencapai 1-1,5 juta ton per ha. (Ant)
Pertumbuhan untuk Masa depan yang lebih baik PGN senantiasa mencapai kinerja pertumbuhan terbaik bagi kepentingan Bangsa dengan selalu memenuhi komitmen kami kepada stakeholder, masyarakat dan lingkungan PGN adalah perusahaan yang bergerak di bidang transmisi dan distribusi gas bumi, yang menghubungkan pasokan gas bumi Indonesia dengan konsumen beberapa daerah Nusantara. Seiring meningkatnya kebutuhan energi yang bersih dan terjangkau, PGN akan terus menggunakan keahlian dan pengalamannya untuk mendapatkan sumber energi baru melalui pemanfaatan berbagai moda transportasi demi memenuhi kebutuhan jangka panjang konsumen.
24
AGRO SWAKARSA | Edisi 09/2014