Bahkan Benih Tergantung Impor
Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com/agro
Edisi 11/Maret 2014 o PROLOG o TABULASI o IDENTIFIKASI o epilog
3 4 7 21
Hortikultura Pecundang di Negeri Agraris
• Ironi Buah dan Sayur • Kunci Dominasi Buah Lokal dan Sayur Import • Kendala Rantai Pasokan • Hortikultura Dan Hortikultura Ketahanan Nasional
11/2014 03
04
prolog
Pecundang di Tanah Sendiri
Jelas sudah kenyataan menunjukkan kita gagal dalam membangun ketahanan pangan. Bayangkan saja sebagai negara agraris dengan musim yang lebih mendukung untuk komoditas tropis, kita justru kalah.
12
Hal ini tentu sangat disayangkan, serbuan benih impor adalah bukti bahwa pemerintah tidak punya upaya untuk memproteksi produk benih lokal. Apalagi, tidak semua benih impor lebih baik mutunya ketimbang benih lokal.
tabulasi
Impor Mendominasi Pasar Domestik Indonesia: Ironi Buah dan Sayur Lokal
14
Inti masalah sub sektor pertanian yang satu ini nampaknya tidak pernah dan sangat dikhawatirkan tidak mau diselesaikan. Seharusnya indikasiindikasi tersebut menjadi semacam peringatan serangan ke jantung ketahanan pangan kita.
07 identifikasi Kendala Rantai Pasokan
Dalam kegiatannya, pemasokan produk hortikultura memiliki banyak kendala, mulai dari ketersediaan jumlah, harga, kualitas dan kuantitas serta sarana dan prasarana dalam kegiatan transportasi.
9
Saat ini, situasi produksi hingga pemasaran hasil pertanian Indonesia dalam kondisi kacau-balau. Korban jatuh bergantian saja, suatu saat petani yang jatuh dan saat yang lain konsumen yang menjadi korban.
Diterbitkan sebagai majalah pertanian strategis yang berupaya memetakan dan mencari solusi masalah pertanian Indonesia dari berbagai sudut pandang.
Managed By
kebijakan
Politik Perdagangan Buah Impor Indonesia
Pemimpin Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Dewan Redaksi Ir. Raymond Rajaurat Ir. Anom Wibisono, Hs.
Impor komoditas hortikultura semakin menjadi bahan pembahasan selama beberapa tahun belakangan. Kebijakan terkait impor ini juga menjadi polemik.
17
19
kontemplasi
Kunci Dominasi Buah dan Sayur Import
perbenihan
Bahkan Benih Tergantung Impor
alternatif
Seimbangkan Bahan Pangan Agar Impor Dihentikan
Penerbit Yayasan Media Wasantara Anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri Rimson Simanjorang
Diakui atau tidak, kebijakan pemerintah ini khususnya kebijakan impor sangat mempengaruhi ketersediaan dan harga komoditi lokal.
Managing Director Ir. David J. Simanjorang
neraca
Bank Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 1967 957 a/n. Raymond Rajurat
Prediksi Impor Sayur dan Buah 2014: Lebih Dari Rp 23 Triliun!
Kondisi ini membuat petani hortikultura alih profesi karena hasil produksinya tidak mampu bersaing dengan produk impor.
21 epilog Aspek Hortikultura Lokal Dalam Ketahanan Nasional Kita
Staf Redaksi M. Mutawally Ronald Simarmata Andri
Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamis yang mampu memberikan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional.
Alamat Redaksi Jl. Yupiter Utama D10/12 Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493, 0811 192306 Alamat Iklan/Tata Usaha Jl. Purnawirawan Raya 12/424 Bandar Lampung Telp : 0816 4063 04. Website www.opini-indonesia.com/agro Email agro@opini-indonesia.com Percetakan PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting)
Isi diluar tanggungjawab percetakan
PROLOG
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
3
Pecundang di Tanah Sendiri Jelas sudah kenyataan menunjukkan kita gagal dalam membangun ketahanan pangan. Bayangkan saja sebagai negara agraris dengan musim yang lebih mendukung untuk komoditas tropis, kita justru kalah.
M
elihat data statistik dan fakta lapangan tidak ada yang bisa berkelit bahwa produk hortikultura berupa sayur dan buah sudah kalah dibanding produk impor. Jikapun masih ada yang bicara manis mengenai kenyataan pahit ini, hanya ada dua kemungkinan: tidak tahu tapi sok tahu atau pemain kata-kata demi laporan ABS (asal bapak senang). Data statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah menunjukkan ironi. Kalau penyakit, ini dapat dikategorikan serangan jantung melihat lonjakan impor yang fantastis. Jika lebih didalami lagi, jelas ini kerugian devisa yang mestinya bisa kita olah di dalam negeri sendiri. Dari fakta lapangan, makin lama kita lebih mengenal produk sayur dan buah impor ketimbang produk kebun sendiri. Bagaimana tidak jika kemana saja kita pergi produk impor selalu ada, entah di pasar modern maupun di pasar
tradisional. Dan lebih hebatnya lagi, produk impor lebih menjadi preferensi mengingat tampilan dan harga yang kompetitif. Itu belum ditambah semacam gengsi jika mengkonsumsi produk impor. Solusi instan impor tanpa serius membenahi masalah inti komoditas hortikultura ini mestinya segera dievaluasi. Dan solusi ini sebagian besar akan menjadi solusi di sub sektor pertanian lainnya. Perbaikan infrastruktur, pengelolaan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional dan penguatan kapasitas lokal melalui riset dan teknologi ke kalangan pelaku utama sudah menjadi kewajiban pemerintah. Di sisi perdagangan pengelolaan tata niaga dalam mengefektifkan rantai pasokan juga menjadi penting. Apalagi mengingat produk hortikultura adalah produk yang relatif cepat proses degradasi mutunya. Dan yang paling penting dari
semuanya adalah sinergisitas semua pihak terkait untuk mencapai tujuan nasional. Biasanya semua akan berkata sudah berbuat dan memang kenyataannya demikian. Namun dalam penerapan tidak ada sinergi akhirnya yang dilakukan hanya seperti pilot project tanpa berkesudahan dan menghamburkan dana yang tidak sedikit. Jelas sudah kenyataan menunjukkan kita gagal dalam membangun ketahanan pangan. Bayangkan saja sebagai negara agraris dengan musim yang lebih mendukung untuk komoditas tropis, kita justru kalah. Perlu ada evaluasi mendalam dan keberanian politik untuk urusan produk hortikultura buah dan sayuran ini. Dan kembali bola panas ada di tangan pemerintah. Atau kita memang bangga dianugerahi lokasi yang relatif subur dan mendukung untuk budidaya hortikultura namun jadi pecundang di tanah sendiri?
4
TABULASI
AGRO SWAKARSA | Edisi 11/2014
I
ndonesia merupakan daerah yang potensial bagi pengembangan hortikultura baik untuk tanaman dataran rendah maupun dataran tinggi. Sebagai negara tropis dengan variasi agroklimat yang tinggi, hal ini menguntungkan bagi Indonesia, karena musim buah, sayur dan bunga dapat berlangsung sepanjang tahun. Namun sayangnya, produktivitas tanaman hortikultura (dalam hal ini buah-buahan dan sayuran) yang masih rendah menyebabkan tingkat produksi kita terseok jauh dibandingkan kebutuhan domestik kita. Hal tersebut merupakan refleksi dari rangkaian berbagai faktor antara lain seperti pola usahatani yang kecil, mutu bibit yang rendah dan rendahnya penerapan teknologi budidaya. Data menunjukkan bahwa produksi dan luas panen produk buah dan sayur
Impor Mendominasi Pasar Domestik Indonesia
Ironi Buah dan Sayur Lokal Inti masalah sub sektor pertanian yang satu ini nampaknya tidak pernah dan sangat dikhawatirkan tidak mau diselesaikan. Seharusnya indikasi-indikasi tersebut menjadi semacam peringatan serangan ke jantung ketahanan pangan kita. kita bergerak biasa-biasa saja. Jika ada peningkatan luas, maka ada sedikit peningkatan produksi. Kalau urusan produktivitas, jelas kita kalah jauh dibanding negara raksasa hortikultura seperti China dan Thailand. Tak usah bicara menjadi pemain perdagangan dunia. Peluang pasar dalam negeri saja bagi komoditas hortikultura ini sangat besar mengingat semakin meningkat meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta timbulnya kesadaran akan gizi di kalangan masyarakat. Kebutuhan komoditas hortikultura dalam negeri, baru terpenuhi 56% dari kebutuhan total per tahun. Tidak mengherankan bahwa peningkatan impor kedua produk hortikultura terus melonjak setiap tahunnya, padahal produksi kita tidak sanggup memenuhinya. Walhasil impor besar-besaran produk ini menjadi semacam pilihan instan pemerintah yang nampaknya tidak mau repot-repot membangun ketahanan
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
pangan nasional. Jikapun diributkan, maka akan dikeluarkan berbagai kebijakan pemanis seperti proteksi. Sebagai catatan saja, proteksi yang sering dilakukan pemerintah selalu mendapat serangan balik dari negaranegara raksasa hortikultura. Dan ujungujungnya kita berkompromi dengan berbagai solusi pragmatis seperti barter kebijakan sebagaimana yang kita lakukan dengan China. Inti masalah sub sektor pertanian yang satu ini nampaknya tidak pernah dan sangat dikhawatirkan tidak mau diselesaikan. Bayangkan saja, sejak tahun 2008 sampai saat ini neraca ekspor-impor kita selalu minus. Lebih parahnya lagi secara volume defisit neraca ekspor-impor kita meningkat 2 kali lipat, sementara secara nilai meningkat lebih hebat lagi: lebih dari 3 kali lipat! Tidak mengherankan jika di pasaran produk impor beredar dengan sangat
bebas. Tidak hanya di pasar-pasar modern saja, tapi sudah secara nyata masuk ke pasar tradisional di level pedesaan. Dan bahkan masuk ke sentrasentra holtikultura kita. Harga yang lebih kompetetif, pengemasan yang apik ditambah semacam gengsi inferioritas kita menghadapi bangsa asing makin memperparah kekalahan produk domestik kita terhadap produk impor. Seharusnya indikasi-indikasi tersebut menjadi semacam peringatan serangan ke jantung ketahanan pangan kita. Sangat diperlukan terobosan secara kebijakan dan teknologi agar produksi hortikultura mampu mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri termasuk agroindustri serta jika ada surplus bisa bermain untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Ya, kita perlu fokus di dalam negeri saja dulu karena sampai saat ini daya saing komoditas hortikutura Indonesia rendah. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi
Statistik hortkultura (SAYUR DAN BUAH) 2012
Produksi dan Luas 2008-2012
SAYUR Bwg. Merah Kentang Cabe Besar Cabe Rawit Lainnya TOTAL
BUAH
PR
PV
99,519
9.69
1,094,232
65,989
16.58
954,310
120,275
7.93
702,214
122,091
5.75
7,550,021
681,536
-
11,264,972
1,089,410
-
PR
LP
PV
neraca Ekspor Impor 2008-2012 VOLUME - ton
2008 2009 2010 2011 2012 2008 NILAI 2009 2010 2012 Ekspor - US$2011 000Impor
2008 2009 2010 2011 2012
Mangga
2,376,333
219,666
10.82
Jeruk
1,611,768
51,795
31.12
Pisang
6,189,043
103,157
60
Durian
888,127
63,189
14.06
Manggis
190,287
17,852
10.66
Lainnya
7,661,173
363,390
-
18,916,731
819,049
-
TOTAL
harga yang tajam, produksi melimpah pada suatu musim dan langka pada musim yang lain, hasil panen mudah rusak (perishable) dalam pengangkutan, hasil panen memerlukan tempat yang cukup luas (voluminous), tidak dapat disimpan lama, ketergantungan pada alam masih tinggi dan iklim usaha yang kurang kondusif, usaha tani yang tidak efisien dan penguasaan lahan yang sempit. Tidak ada kata lain, kita mesti swasembada kedua produk ini. Kita negara agraris sudah seharusnya mandiri secara pangan.
Produksi - ton
LP
964,195
5
Luas PANEN - hektar 2008 2009 2010 2011 2012
Ekspor
Impor
2008 2009 2010 2011 2012 Ekspor
Impor
PR = Produktivitas, dalam ton. LP = Luas Panen, dalam hektar. PV = Produktivitas, dalam ton/ha.
EXIM Ekspor Impor NERACA
Volume (Ton)
Nilai (US$ 000)
426,576
504,538
2,138,802
1,813,405
-1,712,226
-1,308,868
Sumber: Statistik Pertanian 2013, Kemtan
2008 2009 2010 2011 2012 Chart Title Sayuran
Buah-buahan
Sumber: Statistik Pertanian 2013, Kemtan
2008 2009 2010 2011 2012 2008 2009 2010 2011 2012 Ekspor Impor Ekspor Impor 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber: Statistik Pertanian 2013, Kemtan
Ekspor Impor 2008 2009 2010 2011 2012
OPINI INDONESIA 014
3
IDENTIFIKASI
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
7
Kendala Rantai Pasokan
Dalam kegiatannya, pemasokan produk hortikultura memiliki banyak kendala, mulai dari ketersediaan jumlah, harga, kualitas dan kuantitas serta sarana dan prasarana dalam kegiatan transportasi.
P
roduk hortikultura merupakan kelompok produk pertanian yang memiliki nilai strategis. Dan itu berlaku bagi produsen, pelaku pasar dan konsumen di Indonesia. Bagi petani sebagai produsen, produk hortikultura memiliki nilai ekonomi yang relatif lebih tinggi dibanding tanaman pangan untuk setiap unit luasan produksi. Bagi pelaku pasar, produk hortikultura memiliki kapasitas permintaan yang tinggi, dengan peluang variasi jenis produk yang beragam mulai dari produk segar maupun beragam produk olahan. Sementara itu bagi konsumen, kebutuhan akan produk hortikultura semakin meningkat sejalan dengan peningkatan pengatahuan konsumen akan gizi dan kesadaran hidup sehat. Pasar produk hortikultura relatif lebih terbuka, dengan segmentasi pasar yang luas. Ditinjau dari segi permintaan, prospek permintaan domestik akan produk hortikultura cenderung meningkat. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat
serta berkembangnya pusat kota, industri dan pariwisata. Sementara itu dari segi kualitas permintaan, segmentasi produk hortikultura menjadi semakin beragam. Sejalan dengan preferensi konsumen yang semakin memahami pengatahuan akan gizi, serta berkembangnya sentra pasar dan perkembangan industri pengolahan produk berbasis hortikultura. Perubahan lingkungan strategis dalam perekonomiaan secara umum, khususnya sektor pertanian turut mempengaruhi dinamika pasar produk hortikultura. Hal tersebut bisa dilihat dari implikasi liberalisasi perdagangan dan integrasi pasar. Inilah yang mendorong pertumbuhan pasar modern menjadi semakin pesat, selain pasar tradisional. Tingkat penetrasi pasar telah sampai ke pelosok pedesaan dan arus lalu lintas produk hortikultura baik antar wilayah dalam negeri maupun ekspor impor menjadi semakin terbuka. Namun dalam kegiatannya, pemasokan produk hortikultura memiliki banyak kendala, mulai dari ketersediaan jumlah barang, harga, kualitas dan
kuantitas produk serta sarana dan prasarana dalam kegiatan transportasi. Rantai pasokan adalah jejaring organisasi yang saling tergantung dan bekerjasama dalam alur produk, informasi, layanan dan nilai dari mulai produsen sampai ke konsumen akhir. Dalam pemasokannya, produk hortikultura melewati beberapa organisasi pemasaran dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen. Permasalahan yang dihadapi oleh pedagang tidak lepas dari permasalahan yang dihadapi petani. Misalnya besar variasi harga tiap waktu yang berkaitan dengan persoalan pasokan serta permintaan produk. Pada umumnya petani hortikultura memutuskan jenis tanaman yang diusahakan berdasarkan pada situasi saat itu. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga yang luar biasa. Fluktuasi ini menyebabkan permintaan konsumen menjadi turun karena enggan membeli suatu produk dengan harga tinggi terutama buah-buahan. Sesuai dengan hukum permintaan dimana semakin tinggi harga semakin rendah permintaan.
8
AGRO SWAKARSA | Edisi 11/2014
Selain itu rantai pasokan dan aspek distribusi memiliki resiko-resiko terutama pada aspek distribusi produk menuju wilayah lain. Kondisi sarana dan prasarana yang baik akan mendukung kualitas produk hortikultura yang dikirim. Apabila kondisi tidak mendukung maka kualitas produk bisa turun dan harga jual juga menurun. Pengembangan produk yang kurang terencana pada petani juga menjadi salah satu masalah pedagang yang meyebabkan keseimbangan jumlah pasokan dan permintaan belum dapat diantisipasi dengan baik. Akibat lebih lanjut adalah fluktuasi harga antar waktu sangat tinggi. Penerapan teknologi lebih didasarkan pada apa yang diinginkan petani. Belum melihat apa yang dibutuhkan tanaman, apalagi yang terkait dengan kualitas produk yang diminta pasar. Dari aspek kelembagaan, belum dapat diidentifikasi dengan baik faktor pengikat yang dapat mempersatukan petani pada satu wadah yang solid, diversifikasi usaha belum memperhitungkan pembagian resiko namun lebih pada upaya menjaga stabilitas pendapatan. Petani juga selalu berada pada posisi yang kurang diuntungkan dalam hal informasi, terutama informasi harga. Hal tersebut masih ditambah dengan belum semua pelaku pasar menikmati keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya, dan belum ada insentif di tingkat petani untuk mengembangkan produk sesuai dengan segmentasi pasar. Adanya tingkat persaingan yang tinggi, rendahnya kualitas dan kuantitas pasokan produk hortikultura lokal serta informasi harga dan pasar yang masih belum secara transparan juga menjadi masalah-masalah pedagang dalam kegiatan pemasokan produk hortikultura. Untuk mengatasi masalah-masalah diatas diperlukan kerja sama baik dari pihak pedagang, petani maupun pemerintah. Dari pihak pemerintah diharapkan dapat membenahi pemetaan potensi utama yang menjadi andalan dalam suatu kawasan pertanian guna meningkatkan kualitas produk. Kemudian pemerintah diharapkan mau melakukan analisis terhadap peran pelaku dalam rantai pasokan. Beberapa hal yang sering ditemukan adalah masih terdapat kesenjangan dalam distribusi keuntungan di antara pelaku rantai pasokan dimana petani menjadi pihak yang paling lemah dan memiliki pengorbanan yang tinggi
dibanding dengan pelaku lainnya. Pemerintah mestinya mampu memetakan harga produk hortikultura secara serius dalam beberapa kurun waktu. Data serius mengenai fluktuasi harga tersebut bisa dijadikan pedoman untuk melihat kecederungan pergerakan harga produk hortikultura secara spesifik sehingga diperoleh pola fluktuasi harga untuk masing masing produk hortikultura. Informasi ini juga akan berguna untuk pengambilan keputusan dan perencanaan mengenai pilihan jenis dan luasan dari produk hortikultura yang akan dikembangkan pada waktu tertentu. Selain itu perlu ada transparansi terhadap informasi harga sehingga peluang semua pelaku usaha mendapatkan penghargaan/margin keuntungan sesuai dengan pengorbanan yang diberikannya. Untuk itu piihan komoditi yang diusahakan dapat
dilakukan didasarkan pada perhitungan dan perilaku harga yang ada. Sebagai contoh adalah pola tanam cabe secara monokultur pada satu luasan lahan akan lebih beresiko karena fluktuasi harga cabe yang relatif tinggi, sementara mengkombinasi tanaman cabe sebagai produk utama dengan tanaman bawang daun atau sawi yang cenderung memiliki fluktuasi harga yang relatif stabil akan mampu mengurangi resiko bila produk utama mengalami kejatuhan harga. Hal ini juga membantu pedagang dalam pengadaan produk hortikultura dengan permintaan yang reatif stabil. Sementara itu dari pihak petani diharapkan agar lebih memperhitungkan komoditi yang akan ditanam. Serta diharapkan agar ada rasa saling percaya diantara semua pihak yang terkait. issuchii
KONTEMPLASI
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
9
Perilaku Konsumen, Agresivitas Pelaku dan Adaptasi Petani:
Kunci Dominasi Buah dan Sayur Import
Saat ini, situasi produksi hingga pemasaran hasil pertanian Indonesia dalam kondisi kacau-balau. Korban jatuh bergantian saja, suatu saat petani yang jatuh dan saat yang lain konsumen yang menjadi korban. mengemas, mempromosikan hingga memasarkan produknya.
D
ari sudut pandang pasar, Indonesia adalah salah satu negera berkembang di dunia yang cukup seksi sebagai sasaran pemasaran produk apapun termasuk sayur dan buah. Penduduk yang jumlahnya terus bergerak naik merupakan potensi pasar yang besar. Faktor lainnya adalah tingkat pendapatan rata-rata yang meningkat menjadi pendorong meningkatnya daya beli masyarakat. Gaya hidup masyarakat konsumen
menengah secara sosiologis mengarah pada produk-produk bermutu, namun mereka tetap mempertimbangkan biaya hidup yang efisien. Dengan begitu para konsumen akan tetap memilih barangbarang dengan harga yang lebih murah. Gaya hidup kelompok masyarakat tersebut sangat emosional meniru gaya hidup yang masyarakat maju. Bagi pengusaha, perubahan gaya hidup masyarakat yang pendapatannya berada pada posisi transisi itu digunakan sebagai pertimbangan memproduksi,
Sebuah Pengalaman Ada contoh sederhana yang menarik. Titik Sri Wulandari, seorang ibu dari sebuah kota kecil Magelang memiliki kesukaan mengkonsumsi sayur kangkung. Bertahun-tahun Titik membeli kebutuhan dapurnya, termasuk kangkung, dari pasar Gotong Royong, salah satu pasar tradisional di kotanya. Jenis kangkung yang biasa Titik beli adalah jenis lokal yang diproduksi dari lahan sepanjang Kali Gending yang airnya mengalir sepanjang tahun. Kali Gending merupakan salah satu sungai yang airnya selain dimanfaatkan untuk irigasi juga untuk keperluan MCK bagi masyarakat sekitarnya. Tanaman kangkung di sepanjang tepian Kali Gending itu tumbuh dengan suburnya, walau tidak pernah dipupuk secara khusus. Batangnya besar-besar, tetapi panjang ruas antara daunnya juga panjang. Titik selalu mengolah kangkung itu dengan cara memotong dan membelah batangnya. Suatu ketika, dalam proses pembersihan dan pemotongan kangkung air itu Titik menemukan �kotoran� yang tersangkut dialiran kali Gending itu, sehingga hatinya merasa jijik. Seluruh sayuran kangkung yang barusan dibeli dibuang ke tempat sampah. Namun, meski mengalami peritiwa yang menjijikkan itu, tetapi kesukaan Titik terhadap sayur kangkung tidak surut. Hingga tiba suatu ketika pergi belanja gula, sabun, pasta gigi dan lainnya di sebuah supermarket di kotanya, Titik berbelok ke blok etalase sayuran yang dulu jarang dikunjunginya. Dulu Titik berfikir, sayur di supermarket tentu mahal. Tetapi demi memenuhi kesukaannya, apalagi kalau dipikir-pikir juga mampu membelinya, Titik akhirnya
10
AGRO SWAKARSA | Edisi 11/2014
mencoba membeli kangkung beberapa ikat. Kangkung yang dibelinya adalah kangkung darat yang dipanen beserta akarnya dan dicuci bersih hingga akarnya nampak putih, lalu diikat dengan pita merah bertuliskan produsen dan alamatnya. Batang kangkungnya tidak seberapa besar, nampak kekar dengan ruas antar daunnya yang pendek. Daunnyapun hijau segar, tidak ada daun tuanya, tanpa cacat dan tentu bersih. Setelah dimasak dirumah, Titik merasakan sensasi tersendiri dalam mengkonsumsinya. Setelah ditumis, warna daunnya tetap hijau, rasanya lebih enak dan lebih renyah. Tidak mudah layu setelah dimasak seperti kangkung produksi Kali Gending yang ditinggalkannya. Mulai saat itu, hati Titik mulai berpindah kesukaannya ke kangkung darat, meski hati kecilnya masih ingin membeli dengan harga yang lebih murah dibanding yang kemarin dibayarkannya di supermarket. Titik sampai sekarang juga masih sering belanja sayuran ke pasar Gotong Royong di kotanya, tetapi tidak lagi membeli kangkung. Kisah Titik dengan belanja sayur agaknya tidak berhenti sampai di situ. Awal tahun ini Titik sempat dibuat was-was dengan kabar di televisi yang menggambarkan bahwa ekonomi akan susah. Bagi ibu-ibu rumah tangga seperti Titik, susah itu artinya harga barangbarang menjadi mahal. Hal itu memang terasa, paling tidak untuk belanja beras. Harga beras kelas medium atau jenis IR64, telah melambung di pasar. Tetapi kenaikan harga beras tidak diikuti sayuran seperti bawang merah, kentang
dan wortel. Bahkan, sejak beberapa bulan lalu harga ketiga produk sayur itu justru menurun tajam. Selain murah, Titik dan ibu-ibu lain agak kaget dengan jenis bawang merah yang ditemukannya di pasar. Bawangnya lebih bersih, kering dan seragam. Kentangnya dikemas bagus, seragam dan bersih. Titik yang sudah semakin cerdas dalam memilih, mencoba membeli bawang merah yang bersih itu. Ada kabar, bawang merah yang baik tetapi murah itu adalah produk import dari India. Kentangnya dari Bangladesh
dan India. Selama ini Titik hanya melihat wortel impor di gerai supermarket. Tetapi sekarang sudah banyak dijual juga di pasar tradisional. Harganya hanya sedikit lebih tinggi dari wortel Tawangmangu, tetapi mutunya jauh lebih baik. Hati Titik dan ibu-ibu rumah tangga lainpun tergoda dan berbelok untuk belanja sayur yang mutunya lebih baik itu. Lalu bagaimanakah nasib bawang merah, kentang atau wortel lokal? Sudah dapat dibayangkan. Mereka tersingkir, seperti pemain sepak bola lokal yang kalah bersaing dengan pemain asing yang dibeli atau dinaturalisasi dan masuk ke klubklub sepakbola Indonesia selalu ribut. Sementara di balik itu, jutaan petani bawang merah, kentang dan wortel kelimpungan karena rugi besar. Bahkan ada yang lebih susah lagi. Karena selain harga murah, produk kentang yang dibawa pedagang lokal sebagian tidak dibayar, alias dikemplang dengan alasan mengalami rugi besar di pasar. Agresifnya Pesaing Dari pengalaman itu, dapat dibayangkan bagaimana perilaku ibu-ibu rumah tangga di kota yang lebih besar. Selain pendapatan yang lebih besar, lingkungan konsumennya lebih cepat menyesuaikan dengan trend baru. Produk sayur dan buah lain yang penampilannya seperti kangkung air produksi Kali
Web Hosting www.cnp-webservice.com
SOLUSI ONLINE USAHA ANDA
GRATIS 1 (satu) nama domain selama berlangganan dan Host UNLIMITED domain. Harga mulai: Rp 65.000 per bulan
Nama Domain Daftar klien : t CV. Mandala Agro Swakarsa t Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) t PT. Sarana Pratama Gemilang t PT. Sumber Solusi Selaras t Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) t PT. Limas Karya Utama t Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia t Yayasan Pemantau Hak Anak Indonesia t Yayasan Saint Anna Education Center t Yayasan Media Wasantara t dll.
Pendaftaran berbagai ekstensi nama domain internasional (COM, NET, ORG, BIZ, INFO dll.) Harga mulai: Rp 119.000 per tahun
Sertifikat SSL/TSL Membangun kepercayaan pengunjung web dengan mengaktifkan SSL. Harga mulai: $ 45 per tahun
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
Gending di tempat Titik bermukim akan semakin ditinggalkan konsumen. Untuk masalah harga, para pelaku pasar yang cerdas pun semakin kreatif dan agresif dalam bersaing dengan pasar tradisional yang selama ini terkesan lebih murah. Dalam melakukan persaingan harga, para pelaku pasar produk impor begitu agresif. Memasukkan pasar barangnya saat sayur dan buah sejenis harganya mahal serta melakukan promosi masif melalui pasar modern. Tidak semua produk impor itu mutunya lebih baik dibanding produk lokal. Para pedagang pengecer dan konsumen mengakui kalau kentang dari Dieng mutunya lebih baik dibanding kentang import. Namun karena harganya lebih murah, konsumen pun memilih kentang impor. Sementara itu secara mutu wortel import memang jauh lebih baik dibanding wortel Tawangmangu atau lereng Gunung Slamet yang kecil, kotor dan berserat. Walau rasanya kurang pedas, tetapi Bawang merah dari India lebih seragam dan lebih kering dibanding bawang lokal. Petani Harus Bersaing Sejak memasuki tahun 2000 lalu, sebenarnya para petani sudah diberitahu kalau situasi perdagangan dunia telah berubah. Termasuk perdagangan sayur dan buah serta barang konsumsi rumah tangga lainnya. Tetapi para petani yang terlalu lama diproteksi masih belum percaya. Mereka pikir hanya kampungnya yang mampu menghasilkan bawang merah, kentang atau wortel. Hal ini ditambah dengan adanya pupuk, pestisida kimia yang bersifat instan dalam perlakukan budidaya.
Petani berlomba-lomba menaikkan produksi dengan tidak memperhatikan lagi batasan-batasan yang ada. Batasan yang lalu dilupakan adalah dosis pupuk, pestisida yang cenderung over dosis yang menyebabkan pemborosan dan harga pokok menjadi tinggi. Dampak lain perilaku over dosis itu adalah pencemaran lingkungan yang menyebabkan produktifitas lahan menurun. Ujung-ujungnya, biaya produksi meningkat sementara hasil produksi tidak meningkat signifikan. Hal ini mengakibatkan tingginya harga pokok di tingkat petani. Dan itu akan sangat sulit bersaing dengan produk impor dari Thailand, Vietnam dan India dengan produktivitas lahan yang tinggi. Untuk menghadapi gempuran produk impor itu, petani dan usaha pertanian Indonesia memang harus benar-benar berubah. Kalau tidak, maka kehancurannya tinggal menunggu waktu saja. Sekarang, dengan penduduk yang semakin membesar yang mestinya adalah potensi pasar yang luar biasa. Peluang pasar itu justru direbut oleh pengusaha pertanian negara lain. Sekarang komoditas-komoditas strategis seperti beras, sayur, buah, gula, daging, telur dan susu secara pelan tapi pasti pasarnya dimasuki komoditas impor. Komoditas jeruk, klengkeng, apel, anggur, bawang putih yang sudah didominasi produk impor sudah tak terlawan lagi. Celakanya, kita telah lupa apakah kita perlu melawan dengan produksi dalam negeri atau tidak. Kalau sikap itu nantinya juga terjadi pada bawang merah, kentang dan wortel, maka tamatlah usaha pertanian kita. Soekam Parwadi / Paskomnas
11
12
perbenihan
AGRO SWAKARSA | Edisi 11/2014
Bahkan Benih Tergantung Impor Hal ini tentu sangat disayangkan, serbuan benih impor adalah bukti bahwa pemerintah tidak punya upaya untuk memproteksi produk benih lokal. Apalagi, tidak semua benih impor lebih baik mutunya ketimbang benih lokal.
P
erlindungan terhadap hak paten produk pertanian di Indonesia bisa dikata masih rendah kendati undang-undang yang mengatur itu telah ada, yaitu UU 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Banyaknya temuan varietas, baik bibit padi dan tanaman lainnya, tidak banyak yang kemudian dilanjutkan pada pengurusan hak ciptanya. Akibatnya hasil temuan benih yang berasal dari kebijakan lokal itu, tidak bisa dikembangkan. Petani pun harus bergantung pada benih impor. Meningkatnya hasil produksi bukan ditopang oleh benih dari negeri sendiri. Ironis memang, masyarakat Indonesia yang punya sejarah pertanian amat panjang, untuk benih saja mesti mengimpor dari negara lain. Hal ini terjadi karena tidak adanya kemauan yang kuat dari pemerintah. Berbagai aturan yang ada pun pada akhirnya lebih ditujukan untuk kepentingan industri
besar. Tercatat puluhan perusahaan asing menguasai industri pertanian mulai dari hulu hingga hilir, termasuk dalam hal perbenihan. Adanya keleluasaan impor barangbarang pertanian, termasuk benih sebetulnya telah dikritik berbagai pihak. Impor benih akhirnya membuat petani tergantung pada pihak luar dan tidak mampu mengembangkan benih sendiri. Kalau pun ada yang bisa, hasilnya dianggap ilegal atau kualitasnya kalah saing dengan produk luar. Sebetulnya, telah muncul berbagi tuntutan agar pemerintah menerapkan regulasi untuk membatasi bahkan melarang impor benih. Tapi usulan itu dianggap angin lalu karena dianggap tidak menguntungkan. Sebetulnya, bukan saja karena pemerintah cuek. Memang, sejak diberlakukannya AC-FTA atau Asean China Free Trade Agreement (kebijakan
pasar bebas Asean China) 1 Januari 2010 silam, tidak hanya produk elektronik, tesktil dan produk tekstil (TPT) yang menyerbu Indonesia. Benih sayuran dan buah-buahan impor juga ikut-ikutan menyerbu, khususnya dari China dan Thailand. Hal ini tentu sangat disayangkan, serbuan benih impor adalah bukti bahwa pemerintah tidak punya upaya untuk memproteksi produk benih lokal. Apalagi, tidak semua benih impor lebih baik mutunya ketimbang benih lokal. Sebut saja misalnya, seorang petani lokal di Jawa Timur yang mencoba mendatangkan benih jagung dari luar negeri untuk ditanam, ternyata tidak berbuah, padahal tanaman jagung itu terlihat subur sekali. Ini tidak sekali dua kali terjadi. Masalah utamanya, tidak semua benih yang di negara asal unggul, cocok dengan iklim dan kondisi tanah di Indonesia. Memang, membangun agroindustri benih bukanlah pekerjaan mudah karena akan menelan biaya investasi yang sangat besar. Agroindustri benih bukan sekadar ladang atau kebun tanaman sayuran yang dibiarkan berbunga, berbuah lalu dipetik dan dikeringkan untuk diambil bijinya. Kunci keberhasilan agroindustri benih adalah pada upaya pemuliaannya. Upaya pemuliaan ini bisa dilakukan melalui seleksi, penyilangan, perlakuan dengan zat kimia, radiasi, bahkan juga melalui rekayasa genetika. Itu semua memerlukan biaya investasi yang sangat tinggi. Tapi, untuk negeri yang sebagian besar penduduknya petani ini, tidak ada alasan yang pantas bagi pemerintah untuk tidak mengeluarkan investasi bagi
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
pengembangan benih lokal ini. Sebetulnya, bukanlah dana dan kemampuan yang tidak kita punya. Yang tidak dipunyai pemerintah kita adalah keberpihakan terhadap petani. Sehingga pemerintah lebih memilih impor ketimbang repot-repot membangun pabrik pembenihan lokal. Buktinya, Departemen Pertanian selalu memberikan kemudahan bagi pihak asing untuk mengelola benih dan varietas pertanian dengan cara impor. Banyak alasan untuk menolak impor benih, di antaranya karena akan menciptakan ketergantungan yang tinggi, serta terjadinya pemborosan devisa nasional. Ketergantungan, dalam hal apa pun tentu bakal menimbulkan kerugian, kalau tidak sekarang parti di masa yang akan datang. Dari 12 perusahaan, sebanyak 9 perusahaan yang bergerak di bidang benih sayuran. Sedangkan tiga perusahaan lainnya bergerak di bidang benih tanaman pangan seperti jagung dan padi. Tak dapat dipungkiri, di sektor pangan, tidak kurang dari 65% kebutuhan pangan dalam negeri tergantung dari impor. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir Mansyur di Jakarta beberapa waktu lalu mengungkapkan, dari impor garam, beras, kedelai, jagung, terigu, buahbuahan, sayur mayur hingga ikan, hampir sebagian besar ditangani importir. Selayaknya petani diberi kesempatan untuk mengembangkan produksi pertaniannya melalui berbagai temuan bermanfaat. Dalam hal pemuliaan misalnya, meskipun memerlukan jangka waktu yang sangat lama, petani kita sebetulnya dapat menciptakan cabai keriting yang baik melalui proses persilangan beberapa induk. Dengan produktivitas rata-rata 1 kg per tanaman dengan panjang buah rata-rata 30 cm dengan warna merah yang sangat terang, dengan rasa pedas yang tinggi. Di daerah seperti Brebes, para petani sudah biasa memproduksi benih sendiri meskipun dengan tingkat produktivitas yang rendah, yakni hanya sekitar 6 hingga 7 ons per tanaman per musim
panen. Namun jika pemerintah memiliki political will untuk membimbing dan mengajarkan mereka secara bertahap, bukan tidak mungkin para petani lokal bisa mewujudkan pemenuhan kebutuhan benih di dalam negeri tanpa harus bergantung pada impor. Salah satu pihak yang dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan produksi pertanian di Indonesia adalah kalangan akdemisi. Perguruan tinggi sebagai tempat penelitian bibit varietas diharapkan dapat menciptakan inovasi baru. Melalui pengetahuan yang dimilikinya, lembaga penelitian dan pengembangan di perguruan tinggi diharapkan dapat menyelenggarakan pendidikan keahlian yang berkualitas dan profesional dalam bidang teknologi industri benih tanaman. Selain itu, juga melaksanakan penelitian terapan dalam bidang teknologi benih untuk mendukung pengembangan industri pertanian. Tujuannya tak lain untuk mewujudkan pengabdian kepada masyarakat melalui penyebarluasan teknologi terapan dalam bidang industri benih tanaman. Tentu dengan tenaga ahli yang berintegritas tinggi, diharapkan akan memiliki jiwa wirausaha dan berkompeten dalam
13
kegiatan pertanian. Namun sayang, acap kali penelitian banyak dilakukan, serta menelan biaya yang tak tanggung besarnya, tapi hasil penelitaian itu hanya menjadi dokumentasi ilmiah di kampus-kampus dan perpustakaan. Petani, atau minimal penyuluh pertanian seringkali tidak menerima informasi atau pengetahuan mengenai hasil-hasil penelitian mengenai perbenihan yang dilakukan para akademisi. Para peneliti lupa, bahwa setelah penelitian selesai, ada tugas yang menanti yaitu menyosialisasikan hasil penelitiannya itu ke tingkat petani sebagai pelaku pertanian. Dan ini banyak tidak dilakukan. Tak dapat dipungkiri, Indonesia harus segera mengejar ketertinggalan dengan nagara lain seperti Jepang, Thailand dengan menciptakan produk-produk yang inovatif dan dapat bersaing secara kompetitif. Demikian pula agar petani kita dapat memiliki keterampilan untuk melakukan kegiatan dalam industri benih, mulai produksi, pengolahan, penyimpanan, pengujian mutu, hingga pemasaran benih bermutu tanaman pertanian. Tapi apakah itu bisa tercapai, jika melepas ketergantungan impor saja kita sulitnya minta ampun.
14
kebijakan
AGRO SWAKARSA | Edisi 11/2014
Politik Perdagangan Buah Impor Indonesia
Impor komoditas hortikultura semakin menjadi bahan pembahasan selama beberapa tahun belakangan. Kebijakan terkait impor ini juga menjadi polemik.
T
idak dapat dipungkiri bahwa komoditas hortikultura menjadi kebutuhan penting dalam masyarakat. Walaupun tergolong negara yang agraris, pada kenyataannya Indonesia masih harus tergantung pada impor sejumlah komoditas hortikutura. Salah satu yang paling banyak menarik perhatian adalah impor buah-buahan. Jika melihat signifikansi buahbuahnya dalam pola konsumsi masyarakat indonesia tentunya tidak begitu besar mengingat sebagian besar penduduk indonesia masih tidak lazim mengkonsumsi buah-buahan. Akan tetapi
hal ini tetunya juga menjadi ladang besar bagi para importir dan pengusaha dengan melihat jumlah penduduk indonesia yang sangat besar yang akan menjadi target pasar mereka. Dalam hal ini, sebagaimana pertarungan kepentingan dalam perumusan kebijakan terkait sektor pertanian, akan ada jurang pemisah yang besar antara kepentingan petani sebagai penghasil buah lokal dan pengusaha atau importir buah. Di indonesia, sebagian besar buah impor didatangkan dari Amerika Serikat, Kanada, Australia, China, Thailand, dan Eropa. Dari negara-negara tersebut, buah impor berlabuh di kota-kota besar di
Indonesia seperti Jabodetabek (Bandara Soekarno Hatta dan Tanjung Priok), Medan (Pelabuhan Belawan), Makasar, dan Surabaya (Tanjung Perak) untuk kemudian didistribusikan ke kota-kota besar lainnya seperti Semarang dan Yogyakarta. Menurut laporan dari Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia, impor produk hortikultura (buah dan sayur) yang dilakukan oleh Indonesia terhitung besar. Saat ini 85% dari seluruh produk hortikultura yang beredar dan dinikmati oleh konsumen di Indonesia merupakan produk impor. Selain itu, jumlah impor produk tersebut selalu meningkat setiap tahunnya. Menanggapi lonjankan impor buah tersebut, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan pemerintah sangat serius membatasi masuknya buah dan sayur impor. Salah satu penyebab
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
utama karena sudah ditemukan 19 jenis pelanggaran mikro organisme selama 1,5 tahun terakhir, terutama berasal dari produk holtikultura impor yang masuk ke Indonesia. Selain itu, Kementerian Pertanian pada pertengahan Januari 2012 lalu mengeluarkan 2 Permentan. Permentan yang pertama yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42 Tahun 2012 tentang persyaratan teknis dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan buah-buahan atau sayuran buah segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Sedangkan Permentan yang kedua adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2012 tentang revisi Permentan Nomor 16 Tahun 2012 tentang persyaratan dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Oleh karena alasan-alasan diatas dan mengingat kondisi pelabuhan Tanjuk Priok sendiri yang dianggap sudah overload dan crowded karena setiap hari volume barang yang masuk kurang lebih antara 1000-1500 kontainer, pemerintah kemudian memutuskan untuk menutup pintu pelabuhan Tanjung Priok per 19 Juni 2012 dan mengurangi jumlah pintu masuk buah impordari 8 pintu menjadi 4 pintu saja. Hal ini tentunya mengundang protes dari berbagai pihak terutama importir buah. Alasan utama yang dikemukakan pemerintah terkait kebijakan ini adalah untuk melindungi pasar buah domestik dan petani buah lokal. Pemerintah secara berkala akan mengurangi pasokan buah impor. Akan tetapi kebijakan pemerintah ini dianggap tidak maksimal. Kebijakan ini pada kenyataannya tidak hanya merugikan importir dan pengusaha akan tetapi juga merugikan petani. Masih rendahnya akuntabilitas dan transparansi dalam mekanisme ekspor impor telah menjadikan implemetasi yang tidak efektif. Masih banyak pihak yang mengambil keuntungan sepihak dengan melakukan kecurangan. Terlebih lagi jika kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan rencana jangka panjang yang jelas. Hingga saat ini petani buah tidak diberi insentif yang cukup dan tidak dibekali dengan pengetahuan teknologi dalam mengembangkan produksi mereka. Sebagian besar petani buah masih sangat tergantung dengan musim sehingga produksi buah juga tidak dapat berkembang dengan signifikan.
Yang juga menjadi masalah kemudian adalah ketika petani buah lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik dan terjadi pengurangan buah impor maka peredaran buah di pasaran akan berkurang. Akibatnya harga buah akan naik sehingga yang dirugikan kemudian adalah konsumen buah. Dalam melihat mekanisme pengambilan kebijakan ini sendiri tentunya harus dimulai dengan melakukan pemetaan terhadap aktor dan kepentingan yang menyertainya. Dalam hal ini tentunya melibatkan pemerintah dan birokrasi, pengusaha dan importir buah serta kelompok atau LSM yang mewakili petani lokal. Aktor-aktor yang berperan dalam pengambilan kebijakan ini tentunya menjadi instrumen penting untuk dikaji. Dengan melihat fakta bahwa kebijakan pemerintah justru mendatangkan kerugian baik bagi importir, petani maupun konsumen
15
maka penting untuk melihat kepentingan yang ada di balik pengambilan kebijakan tersebut. Tidak adanya pengawasan dan lemahnya aturan menjadi poin penting dalam hal ini. Aturan yang tidak disertai dengan mekanisme yang jelas sehingga sangat mudah untuk dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab juga patut untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan kontrol atas pengimplementasian kebijakan. Aturan seharusnya diterapkan sinergis dengan konsep yang ada. Untuk sesuai dengan peran dan fungsinya, pemerintah seharusnya meletakkan kepentingan rakyat baik dalam perumusan maupun pengimplementasian kebijakan, tidak hanya dengan membawa kepentingan golongan tertentu. Nurun Nisa Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM
alternatif
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
17
Seimbangkan Bahan Pangan
Agar Impor Dihentikan Diakui atau tidak, kebijakan pemerintah ini khususnya kebijakan impor sangat mempengaruhi ketersediaan dan harga komoditi lokal.
K
ebijakan impor yang diyakini oleh pemerintah mampu menekan harga dan ketersediaan bahan makanan pokok kini terus menjadi sorotan. Bagimana tidak, impor bahan makanan pokok terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari data BAPENAS tahun 2006, defisit neraca perdagangan bidang pertanian sebesar US$28,03 juta, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi US$ 5.509 miliar atau setara dengan 5 triliun lebih. Itu artinya dalam waktu 5 tahun, impor bahan makanan pokok telah naik hingga 200 kali lipat. Tiga kebijakan strategis terkait dengan impor komoditi pangan telah diterbitkan oleh Pemerintah melalui kementrian perdagangan, dimana menetapkan kebijakan terhadap kedelai, daging sapi, dan buah ataupun sayuran, seperti cabai dan bawang merah. Pertama, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai dalam
Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai. Kedua, Permendag Nomor 47 Tahun 2013 tentang Perubahan Permendag Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Ketiga, Permendag Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan. Penetapan kebijakan impor oleh pemerintah, lebih ditujukan dalam penyelematan perekonomian nasional melalui pengendalian harga, dan ketersediaan komoditi untuk menekan inflasi, karena perekonomian nasional akan stabil jika konsumsinya juga stabil. Disamping itu, produksi dalam negeri juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan untuk satu wilayah sekalipun. Pemerintah mengharapkan agar ketersedian tetap terjaga, harga barang terkendali, stabilitas harga tercapai, dan inflasi bisa ditekan karena konsumsi atau daya beli tetap tinggi, dengan cara tetap memperlancar arus impor mengimpor ini. Kebijakan impor yang telah ditetapkan
pemerintah bukannya menguntungkan negara, malah sebaliknya. Harga bahan makanan pokok naik, pasar dipenuhi komoditi impor, dan akhirnya merugikan petani lokal. Diakui atau tidak, kebijakan pemerintah ini khususnya kebijakan impor sangat mempengaruhi ketersediaan dan harga komoditi lokal, akibatnya harga kedelai dan sapi impor naik karena produksi lokal berkurang, namun jika tidak dilaksanakan maka harga komoditi lokal akan anjlok karena produksi lokal berlebihan. Jadi akar masalahnya lebih kepada ketidak seimbangan antara ketersediian dan pengaturan harga oleh pemerintah. Mau tidak mau pemerintah harus menetapkan kebijakan “kurangi impor�, siapkan rencana swasembada pangan berkelanjutan dengan menstabilkan dan menyeimbangkan ketersediaan, kulitas, dan harga bahan makanan pokok, dan akhirnya bisa menetapkan kebijakan “stop impor�, tidak pada tahun 2014, namun bisa saja diatas 2020 karena semua itu
18
AGRO SWAKARSA | Edisi 11/2014
butuh proses. Solusinya, pemerintah mulai saat ini harus bisa memulai rencana swasembada pangan dengan menyeimbangkan ketersediaan, kualitas, dan harga bahan makanan pokok, serta perlahan mengurangi jumlah komoditi impor dengan terus mendorong penggunaan hasil pertanian lokal sebagai sebuah kebutuhan dan menguatkan ketahanan pangan nasional. Pemerintah bisa menetapkan suatu daerah sebagai penghasil komoditi tertentu yang cocok dengan daerah tersebut, memanfaatkan lahan “tidur”, memasang target produksi, dan menjamin ke petani bahwa apa yang telah mereka usahakan akan “dibeli”
oleh pemerintah dengan harga tinggi, disamping itu pemerintah juga harus mau “meminjamkan dana” untuk bidang pertanian dengan cara seperti ini mulai dari produksi, panen, distribusi, hingga masuk ke pasar di seluruh indonesia, sehingga dengan begitu ketersediaan pangan terkendali, kulitas terjamin, dan kita dapat mulai kebijakan “stop impor” tersebut tanpa merugikan pihak manapun. Harusnya baik pemerintah mupun petani harus tahu potensi daerah masing masing. Para petani juga harus dibekali dengan pengetahuan yang lebih unggul dan mau keluar dari kebiasaan kebiasaan lama mereka, dan disinilah peran sarjana pertanian kedepan yang harus
punya target dan mampu mewujudkan dan membantu pemerintah dalam swasembada pangan. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus terus mengevaluasi dan mengawas langsung agar tidak terjadi praktek yang tidak diinginkan oleh oknum oknum tertentu. Dibutuhkan kerjasama semua pihak, baik pemerintah, sarjana, masyarakat, dan petani dalam mewujudkan semua itu sesuai dengan peran masing masing karena swasembada pangan adalah tujuan kita bersama bukan tujuan pemerintah saja. Sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai media baik cetak maupun elektronik hingga jejaring sosial. Memang cara yang tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam melakukannya, oleh karena itu semuanya butuh proses dan harus dimulai dari sekarang juga. Kita tidak akan bisa melakukannya dengan cepat, namun pasti bisa mencapainya dikemudian hari dengan penerapan yang konsisten dan berkelanjutan tentunya. Hasil akhir yang dapat dicapai adalah ketersediaan dan harga pangan yang stabil, kualitas komoditi terjamin, swasembada pangan terwujud, lepas dari kebijakan impor, dan yang paling menjadi kebanggaan adalah suatu saat negara kita adalah negara pengekspor yang ternama bagi negara negara lainnya.. Maulyadi Salasanto, SP
neraca
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
19
Prediksi Impor Sayur dan Buah 2014:
Lebih Dari Rp 23 Triliun!
Kondisi ini membuat petani hortikultura alih profesi karena hasil produksinya tidak mampu bersaing dengan produk impor.
P
emerintah gagal meningkatkan produksi hortikultura. Pasalnya, nilai impor produk tersebut diprediksi tembus Rp 23 triliun pada tahun ini. Dewan Hortikultura Indonesia memperkirakan nilai impor sayuran dan buah mencapai 2 miliar dolar AS atau setara Rp 23,8 triliun. Angka ini naik dibanding 2013 sebesar 1,7 miliar dolar AS atau Rp 20,2 triliun. Ketua Dewan Hortikultura Indonesia Benny Kusbini mengatakan, berbagai kondisi di Indonesia membuat negara ini sulit melepaskan ketergantungan terhadap produk impor. “Ini lebih karena peningkatan produksi tidak terjadi sementara konsumsi naik dan adanya iklim kebanjiran saya yakin pasti naik,” ujar dia. Benny mengaku, sistem pertanian di Indonesia masih sangat kurang. Terbukti pada musim banjir ini, pasokan sayuran dan buah nasional berkurang. Ketergantungan impor ini terjadi
karena Indonesia tidak memiliki teknologi pertanian yang baik. Kemudian pendukung pertanian seperti pasokan pupuk, infrastruktur tak mampu memberikan kekuatan bagi petani untuk meningkatkan produksi. Padahal, banyak negara lain yang juga mengalami banjir seperti Indonesia. Namun, karena sistem pertaniannya baik sehingga tidak perlu khawatir tentang pasokan pangan seperti sayur dan buah dan lainnya. Bahkan, mereka mampu membuat sistem pertanian tidak terimbas terlalu besar dari bencana banjir. Sebab itu, Benny meminta pemerintah serius membenahi sistem pertanian dengan segera. Apalagi bisa dilihat nilai impor pangan nasional tak kunjung turun, justru terus bertambah tiap tahunnya. Sementara Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim realisasi impor komoditas buah dan sayur tahun 2013 turun hingga 31,25 persen menjadi 1,1 juta ton dibanding realisasi tahun 2012
yang mencapai 1,6 juta ton. Kepala Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementan Banun Harpini mengungkapkan, realisasi impor produk hortikultura tahun 2013, terutama untuk buah dan sayur menunjukkan tren penurunan. Ini diduga sebagai dampak kebijakan pemerintah untuk membatasi pintu masuk impor hortikultura. “Kebijakan itu membuat permintaan yang luar biasa dari negara mitra dagang Indonesia untuk masuk melalui Tanjung Priok. Mereka minta terus menerus. Kami menduga, ada kesulitan-kesulitan karena mereka harus masuk dari Surabaya,” ungkapnya. Data yang dilansir Barantan Kementan menyebutkan, hingga Desember 2013, impor buah mencapai 459.318,5 ton dan sayur 630.367,2 ton. Total impor buah dan sayur sepanjang 2013 mencapai 1.089.685,7 ton (1,1 juta ton). Untuk total impor buah dan sayur sepanjang 2012 mencapai 1.601.111,1 ton (1,6 juta ton) dengan rincian untuk buah sebanyak 826.579,5 ton dan sayur sebanyak 774.531,5 ton. Deputi Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS) Adi Lukmasono mengatakan, tingginya impor hortikultura disebabkan produk lokal kalah bersaing dengan produk impor mulai dari harga maupun kualitasnya. Diakuinya, kualitas buah dan sayur luar negeri lebih bagus dan harga lebih murah. Jadi masyarakat lebih memilih membeli produk buah dan sayur. “Kalau mau melindungi petani ada kebijakan, misalnya pembatasan impor sehingga petani ada keinginan untuk peningkatan di sektor hortikultura,” jelasnya. Kondisi ini juga membuat petani hortikultura alih profesi karena hasil produksinya tidak mampu bersaing dengan produk impor. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Suhardiyanto menyayangkan tingginya nilai impor hortikultura. Sebab itu, pihaknya tetap mengawal upaya pemerintah untuk menciptakan swasembada pangan. RMOL
epilog
Edisi 11/2014 | AGRO SWAKARSA
21
Aspek Hortikultura Lokal Dalam
Ketahanan Nasional Kita Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamis yang mampu memberikan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional. Produksi hortikultura lokal harus mampu bertahan dari ancaman buah impor yang semakin deras.
P
angan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia dalam mempertahankan hidup. Masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh masyarakat menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan di suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduknya besar juga menghadapi masalah tersebut. Salah satunya adalah hortikultura -berupa sayur dan buah- yang sebenarnya melimpah tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Permasalahan ini sangat berkaitan
dengan ketahanan nasional. Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamis yang mampu memberikan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional. Produksi hortikultura lokal harus mampu bertahan dari ancaman buah impor yang semakin deras. Ketahanan Hortikultua Lokal Keberadaan produk hortikultura lokal semakin menurun sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam ketahanan nasional bidang hortikultura. Indonesia memiliki bentuk ketahanan nasional Astagatra, yaitu delapan aspek yang terdiri atas Pancagatra dan Trigatra. Dalam konteks ketahanan hortikultura lokal yang berpengaruh adalah Trigatra atau tiga aspek alamiah antara lain geografi, kependudukan dan sumber daya alam. Aspek Trigatra yang pertama adalah aspek geografis. Aspek ini berhubungan erat dengan persentase lahan perkebunan yang mempengaruhi ketersediaan produk hortikultura lokal di Indonesia. Luas lahan pertanian di Indonesia pada tahun 2011 ada sekitar 13 juta ha dengan jumlah petani sebanyak 30 juta orang. Angka tersebut semakin berkurang seiring dengan beralih fungsinya lahan perkebunan menjadi pemukiman penduduk dan lokasi industri. Berkurangnya lahan mempengaruhi tingkat produksi. Penurunan ini mempengaruhi tingkat ketersediaan dalam negeri. Secara tidak langsung,
lahan pertanian yang terus menerus berkurang merupakan ancaman bagi kelangsungan produk pertanian termasuk hortikultura di Indonesia. Aspek berikutnya adalah kependudukan yang berkaitan erat dengan sumber daya manusia. Sebagian besar petani tidak memiliki bekal pengelolaan yang baik mulai dari pra panen hingga pasca panen. Penyebabnya adalah taraf pendidikan dan kurangnya pembinaan. Pemerintah kurang menaruh perhatian lebih dalam produksi hortikultura dalam negeri. Terlihat jelas tidak adanya pembekalan teknologi bagi petani lokal. Akibatnya, petani lokal menghasilkan buah lokal dengan kualitas buah yang tidak terlalu baik bahkan membuat kepercayaan konsumen lokal menurun. Terakhir dalam aspek Trigatra adalah sumber daya alam. Tidak cukup berbekal melimpahnya sumber daya alam, Indonesia harus mampu mengelola dan mempertahankan sumber daya alam untuk kepentingan produksi pertanian. Pengelolaan yang baik mampu menjadi modal dalam mempertahankan eksistensi produk pertanian dari ancaman impor. Ancaman Pada Produk Lokal Ketersediaan produk hortikultura lokal merupakan hak masyarakat dan kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya. Produk hortikultura merupakan komoditas pertanian yang memiliki banyak manfaat dan sekaligus ancaman dalam penyediaannya. Penggolongan berdasarkan sumber ancamannya, yaitu ancaman yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Ancaman dari dalam negeri antara lain rendahnya pengetahuan pertanian di kalangan petani secara umum, kurangnya sarana dan prasarana pertanian mulai dari pra panen hingga pasca panen, kurangnya penyuluhan, berkurangnya lahan, perubahan iklim, alih fungsi lahan dan kurangnya pengawasan serta rendahnya peran pemerintah dalam melindungi produk lokal. Ancaman terbesar dari dalam negeri adalah adanya anggapan bahwa dengan
22
AGRO SWAKARSA | Edisi 11/2014
mengonsumsi atau membeli produk impor merupakan hal yang keren atau berkelas. Ancaman dari luar negeri meliputi perdagangan bebas, tingginya mutu produk dari luar negeri, penggunaan teknologi canggih dan ketersediaan produksi yang melimpah. Hal tersebut masih ditambah dengan efisiensi pengelolaan pertanian sehingga harga produk impor lebih kompetitif dibanding produk pertanian lokal Indonesia. Peran Pemerintah Menangani Impor Melimpahnya produk impor yang diperdagangkan di kota-kota besar menjadikan produk pertanian lokal terpuruk dan makin sulit untuk diperoleh. Penyebab utama tidak bisa bersaing adalah kebijakan yang tidak memihak pada produksi lokal. Selama produk impor masih membanjiri pasar lokal, maka produk lokal tak akan mampu bersaing. Indonesia tidak membatasi peredaran dimana produk pertanian impor bisa beredar sampai ke pedesaan. Bahkan sampai ke sentra produksi dengan harga yang sangat kompetitif. Peranan pemerintah masih terbilang plinpan. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Permendag 30/2012 menyatakan bahwa import hortikultura harus melalui importir terdaftar dan tidak bisa lagi langsung ke pengecer. Demikian pula, importir terdaftar tidak bisa menjual produk impornya ke konsumen atau pengecer secara langsung. Meski penerapannya ditunda beberapa bulan, Permendag 30/2012 akan sangat berperan dalam menumbuhkan gairah bisnis buah dan sayur lokal. Permendag Nomor 30 tahun 2012 akan meningkatkan bisnis hortikultura lokal melalui dua hal. Pertama, hanya produk hortikultura impor berkualitas yang akan masuk. Produk berkualitas memiliki harga yang relatif mahal. Dengan hilangnya produk
hortikultura impor, maka terbukanya pasar bagi produk lokal untuk mengisinya. Dan kedua, pasal 3 secara jelas mensyaratkan impor hanya bisa dilakukan jika produk lokal tidak bisa memenuhi konsumsi. Artinya pasar untuk produk lokal akan terjamin. Pada periode Januari sampai Juni 2013, Pemerintah melarang impor untuk enam jenis buah lokal, empat jenis produk sayuran dan tiga jenis bunga. Alasan utama yang disampaikan pemerintah adalah produksi dalam negeri masih cukup untuk memenuhi permintaan produk hortikultura yang terus berkembang. Enam jenis buah yang dilarang masuk ke Indonesia yakni durian, nanas, melon, pisang, mangga dan pepaya. Selain itu, empat jenis sayuran yang dilarang diimpor ke Indonesia adalah kentang, kubis, wortel dan cabe. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan buah tropis di tanah air perlu memerlukan perhatian dari semua pihak. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk kelompokkelompok petani buah-buahan, diarahkan untuk menanam bibit bermutu dan seragam serta diusahakan agar terkait dengan kegiatan agroindustri. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam pengembangan kawasan agroindustri buah-buahan terpadu. Hal ini dimaksudkan agar dapat menjamin dari
segi mutu dan jumlah buah-buahan yang diperlukan sesuai permintaan konsumen. Untuk menjamin pengadaan bibit unggul yang bermutu/ kualitas unggul maka pemerintah perlu meningkatkan kerjasama dengan kebun-kebun bibit swasta. Pemerintah mesti mengawasi pengadaan bibit yang terjamin mutunya. Pemerintah harus melakukan pembenahan teknologi pembenihan modern dengan bioteknologi atau rekayasa genetika untuk menghasilkan bibit unggul yang sesuai dengan tuntunan pasar dan harga bibit terjangkau oleh petani. Selain itu, pemerintah juga harus memperkenalkan teknik usaha tani yang modern kepada petani. Caranya melalui peningkatan kualitas penyuluh pertanian melalui pendidikan dan latihan. Peningkatan kualitas penyuluh pertanian lapangan (PPL) sangat penting karena berhubungan langsung dengan petani, dengan demikian pengetahuan penyuluh langsung dapat ditularkan kepada petani. Juga penting dilakukan adalah penelitian tentang komoditas yang prospektif untuk dikembangkan agar dapat menghasilkan produk yang mempunyai kualitas baik, produktivitas tinggi dan dapat diatur waktu panennya. Hal ini untuk menjaga agar pada waktu-waktu tertentu tidak terjadi kelebihan atau kekurangan produksi.