Antara Ancaman dan Keberpihakan
Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com/agro
Edisi 12/April 2014
Pileg & Tani Mengulang Janji,
Menyemai Harapan Semu
4
PROLOG
AGRO SWAKARSA | Edisi 12/2014
Kaum Tani
dalam Pileg 2014 Untuk melahirkan regulasi sekelas Undang Undang yang mengatur Perlindungan dan Pemberdayaan Petani saja, kita butuh waktu 68 tahun setelah Indonesia merdeka. Itu pun melalui perdebatan dan perbincangan yang cukup alot di Parlemen.
Edisi 12/2014 | AGRO SWAKARSA
D
i negara kita, tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2014 yang dalam platform perjuangannya secara khusus menyatakan sebagai partai petani. Tapi, kalau partai politik yang seolah-olah peduli dan hirau terhadap nasib dan kehidupan kaum tani, rasanya seluruh partai politik peserta Pileg 2014, mempunyai kemauan politik ke arah itu. Di masing-masing struktur partai politik, pasti ada sebuah departemen/bidang/biro/bagian yang bicara soal petani dan pertanian. Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana para Pengurus partai politik tersebut memberi perhatian yang serius terhadap nasib dan kehidupan petani itu sendiri? Secara jujur harus diakui, kepedulian dan kehirauan partai politik terhadap petani, lebih mengedepan sebagai wacana dan basa-basi semata. Bayangkan, untuk melahirkan regulasi sekelas Undang Undang yang mengatur Perlindungan dan Pemberdayaan Petani saja, kita butuh waktu 68 tahun setelah Indonesia merdeka. Itu pun melalui perdebatan dan perbincangan yang cukup alot di Parlemen. Bahkan dalam hal permodalan dan pembiayaan petani sendiri, muncul kesan dalam pembahasan Undang Undang tersebut, adanya pihak-pihak tertentu yang kurang rela kalau ada kucuran kredit khusus bagi petani. Walau dihiasi deadlock dalam pembahasan terkait permodalan dan pembiayaan petani dalam mengelola usahatani, akhirnya dicapai kata sepakat antara Pemerintah dan DPR tentang perlunya kredit perbankan bagi petani. Yang cukup memilukan lagi adalah hingga sekarang kita sebagai negeri agraris, ternyata belum memiliki Undang Undang Pertanian. Kita sendiri tidak pernah faham, mengapa setiap pemerintahan tidak ada yang berhasrat untuk melahirkan Undang Undang Pertanian. Apakah ketidakhirauan para pengambil kebijakan itu disebabkan kita telah memiliki Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman? Ataukah ada alasan lain yang hingga saat ini masih belum terungkap dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat? Yang jelas, sebuah tanda tanya besar
sebuah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata-pencaharian di sektor pertanian, malah Undang Undang Pertanian nya tidak kita miliki. Pileg 2014 adalah momentum yang sangat baik untuk mulai memberi perhatian yang lebih nyata terhadap masa depan pembangunan pertanian dan petani. Kita dituntut untuk memilih calon legislatif yang memiliki komitmen kuat dalam membangun pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petaninya. Kita dapat mencermati kiprah partai politik yang selama ini selalu gigih memperjuangkan nasib dan kehidupan petani. Mengacu pada hal yang demikian, rasanya para petani sendiri sudah memahami benar, caleg dan parpol mana yang pantas untuk dipilihnya. Petani pasti tidak akan pernah memilih orang-orang yang dalam sepak terjangnya gandrung memarginalkan nasib para petani. Pilihan petani dalam Pileg 2014 dijamin halal akan memiliki kaitan erat dengan kebangkitan sektor pertanian dalam menghadapi era global. Lemahnya komitmen Pemerintah untuk membangkitkan sektor pertanian, sebetul nya dapat dicermati dari kecil nya politik anggaran. Pemerintah, sebagaimana yang terekam dari APBN dan APBD yang dikucurkan setiap tahunnya. Secara umum, anggaran pembangunan untuk sektor pertanian, baik pusat maupun daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) berkisar antara 2%-3%
5
dari total anggaran. Bahkan ada yang lebih kecil dari angka tersebut. Beberapa kalangan berpandangan, kalau untuk pendidikan pemerintah mampu melahirkan Undang Undang dan mematok anggaran sebesar 20 %, juga untuk kesehatan ditetapkan sekitar 10 %, lalu kenapa untuk pertanian tidak ditetapkan 15 % misalnya? Hal ini akan terwujud, sekiranya Pemerintahan yang tengah manggung, benar-benar memiliki kecintaan dan keseriusan guna memartabatkan kaum tani di tanah kelahirannya sendiri. Namun jika tidak, harapan untuk menuju kebangkitan pertanian di negeri agraris ini, ujung-ujungnya ibarat kita mengejar fatamorgana. Pileg yang akan digelar 9 April 2014. Rakyat yang telah memiliki hak pilih diharapkan datang ke Tempat Pemungutan Suara untuk melaksanakan hak konstitusinya selaku warga negara. Persoalannya adalah apa yang harus dilakukan jika rakyat memilih untuk bersikap diam di rumah, atau rekreasi ke tempat wisata, ketimbang memilih para caleg dari setiap partai politik, yang di benak rakyat sendiri, tidak ada satu pun dari mereka itu yang pantas menjadi wakil takyat? Hal ini senafas dengan persepsi petani yang menganggap Pileg 2014 sebagai sebuah keniscayaan, karena petani tidak mengenal caleg yang secara rela dan ikhlas mau berjuang untuk kesejahteraan petani.
6
GELIAT PARTAI
AGRO SWAKARSA | Edisi 12/2014
Tim Ekonomi Partai Politik
Janji kesejahteraan selalu jadi menu utama yang disaji partai politik saat kampanye. Agar rakyat percaya, barisan tim ekonomi disiapkan. Seperti apa tim ekonomi parpol pemilu 2014?
P
artai incumbent, Demokrat, menunjuk Ikhsan Modjo sebagai tim ekonominya. Pria 43 tahun ini merupakan komisaris independen di beberapa perusahaan dan Direktur Eksekutif Financial Reform Institute Indonesia. Di Demokrat, Ikhsan merupakan Ketua Departemen Keuangan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, sekaligus Juru Bicara Resmi DPP Partai Demokrat. Tim ekonomi partai ini menjanjikan beberapa program uggulan. Anggaran infrastruktur akan dinaikkan dari 10 persen menjadi 15-20 persen di APBN. Demokrat juga ingin mengurangi ketergantungan terhadap BBM dan beralih ke gas. Pemanfaatan gas akan ditingkatkan dari 2 triliun kaki kubik menjadi 4 triliun kaki kubik. Sementara PDI Perjuangan menunjuk Hendrawan Supratikno. Sebelum terjun ke politik praktis, pria 44 tahun ini merupakan akademisi tulen. Pernah menjabat Direktur Sekolah Pascasarjana Institut Bisnis Indonesia (IBI) (Tahun 2004) dan dosen Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI). Sri Adiningsih, ekonom dan dosen Fakultas Ekonomi UGM, juga digadang-gadang bakal masuk
ke tim ekonomi. Platform ekonomi PDI Perjuangan dibumbui xenophobia. Menjanjikan kedaulatan ekonomi dengan jargon “Indonesia Hebat”. “Ini yang akan kami perjuangkan,” kata Arif Budimanta, politisi PDI Perjuangan, seperti dikutip dari Kontan, Rabu (2/4/14). Partai berlambang banteng moncong putih ini berjanji akan mewujudkan kedaulatan pangan, menggenjot konversi dari BBM ke BBG, serta pengelolaan sumber energi diberikan kepada pemda. “Energi jangan diurus pusat terus,” kata Nazaruddin Kiemas, politisi PDI Perjuangan. Isu energi juga diusung Partai Golkar yang menunjuk Harry Azhar Azis dan Airlangga Hartarto sebagai tim ekonominya. Keduanya merupakan anggota senior yang sudah lama membidangi urusan ekonomi. Golkar berjanji akan mengurangi subsidi BBM yang dinilai menggerogoti APBN. Subsidi dialihkan untuk membangun ifrastruktur. “Meningkatkan harga bahan bakar, namun secara perlahan, akan menjadi salah satu opsi. Kami akan membiarkan orang memilih, harga bahan bakar rendah tapi jalanan jelek atau harga bahan bakar tinggi dan
jalanan membaik,” ujar Harry Azhar Azis, anggota senior tim ekonomi Golkar. Partai Gerindra tak mau ketinggalan menjagokan tim ekonominya. Tim ekonomi partai berlambang kepala burung garuda ini dikomandoi Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI). Rombingan BI lainnya di tim ekonomi Gerindra adalah Sudrajat Djiwandono. Tim ekonomi Gerindra diisi pula oleh Hasim Djojohadikusumo, kakak Prabowo, serta Thomas Muliatna Djiwandono, anak Sudrajat Djiwandono. Gerindra akan meningkatkan subsidi BBM untuk transportasi publik dan subsidi pertanian. Program unggulan partai ini terbilang cukup nyata. Mereka mematok target membangun 3.000 km jalan baru dan rel kereta api, kemudian menyediakan 3 juta lapangan pekerjaan. Terakhir, PAN menunjuk ekonom seniornya Drajad Wibowo, untuk memimpin tim ekonominya. Wakil Ketua Umum PAN ini pernah menjabat Direktur Indef (Institute for Development of Economics & Finance) dan Komisaris BNI. PAN juga ingin mengurangi subsidi BNM melalui pola subsidi tidak langsung. Isu pangan juga diusung dengan janji alokasi 10 persen untuk pertanian pangan di APBN.
POWER SHARE
Edisi 12/2014 | AGRO SWAKARSA
7
Kementerian Pertanian, Partai Politik
Dan Realita Wajah Pertanian Indonesia
Menteri Pertanian adalah pembawa warna dan berperan sangat besar dalam mempengaruhi visi, misi, strategi dan kebijakan-kebijakan Kementerian Pertanian. Sehingga adalah hal yang mutlak diperhatikan oleh partai politik untuk dapat menempatkan kader terbaiknya dalam Kementerian Pertanian.
P
artai politik dapat merealisasikan platform pertaniannya secara konkret hanya jika partai tersebut berhasil menempatkan kadernya dalam Kementerian Pertanian. Jabatan menteri adalah jabatan politik yang dapat berubah sewaktuwaktu dan ada tenggat waktu yang pasti dalam masa kerja sebuah kabinet. Meskipun demikian menteri inilah yang membawa warna dan berperan sangat besar dalam mempengaruhi visi, misi, strategi dan kebijakan-kebijakan Kementerian Pertanian. Sehingga adalah hal yang mutlak diperhatikan oleh partai politik untuk dapat menempatkan kader terbaiknya dalam Kementerian Pertanian.
Selain itu untuk memperkuat dan mendukung arah kebijakan dari Menteri Pertanian diperlukan staf ahli, pejabat eselon dan pegawai yang memiliki kecenderungan yang positif terhadap platform pertanian partai bahkan bukan hanya platform pertanian tetapi juga keseluruhan ide yang diperjuangkan oleh partai yang bukan hanya untuk satu periode kabinet berlangsung. Dalam perjalanannya fungsi partai sebagai penyalur aspirasi konstituennya harus terus ditajamkan dan saling bersinergi dengan kebijakan Kementerian Pertanian yang telah dipimpin oleh kadernya. Hal ini mutlak dilakukan agar jangan sampai kebijakan yang dijalankan oleh Kementerian ternyata
berseberangan dengan kebijakan partai yang bersangkutan. Kebijakan yang dihasilkan oleh Menteri Pertanian juga tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Presiden Republik Indonesia. Kebijakan Presiden seharusnya diarahkan untuk menjadikan pertanian sebagai leading sector pembangunan sehingga dapat memacu Kementerian Pertanian untuk membuat langkah-langkah terobosan yang signifikan berdampak kepada petani dan kondisi pertanian Indonesia. Kebijakan Presiden juga seharusnya dipengaruhi oleh usulan-usulan dari Menteri Pertanian itu sendiri. Disinilah sebenarnya peran dari Menteri Pertanian untuk dapat memperjuangkan platform
8
AGRO SWAKARSA | Edisi 12/2014
pertanian partainya. Disamping kebijakan Presiden ternyata kebijakan dari KementerianKementerian yang terkait dengan sektor pertanian juga sangat mempengaruhi bagaimana kebijakan Menteri Pertanian dapat berjalan secara efektif. Sehingga yang terjadi saat ini adalah Menteri Pertanian hanya dapat mebuat kebijakan pertanian yang terfokus pada on-farm saja. Untuk infrastruktur, penyediaan sarana produksi pertanian, pengolahan
pasca panen, pemasaran, permodalan dan perdagangan internasional masih sangat tergantung pada kebijakan KementerianKementerian yang lain. Sinergisitas dan ketegasan sikap Menteri Pertanian untuk membangun agreement lintas Kementerian yang memperjuangkan nasib petani haruslah terus diupayakan. Sinergisitas yang perlu dibangun lagi adalah dengan Kementerian dan instansi terkait lainnya, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum, BULOG,
PTPN, LIPI dan BPPT yang dapat memperkuat pertanian Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan petani. BULOG dan PTPN seharusnya diarahkan untuk dapat terus meningkatkan produktivitas kerjanya yang bukan hanya sekedar menghasilkan devisa bagi Negara tetapi juga dapat memberikan perhatian bagi kesejahteraan petani. Begitupula dengan LIPI dan BPPT yang sebaiknya memfokuskan penelitian dan pengembangan pada benih, teknologi dan alat-alat pertanian (mekanisasi) untuk meningkatkan produktivitas pertanian Indonesia. Semuanya itu dapat diwujudkan oleh Menteri Pertanian dalam rapat-rapat koordinasinya dengan mengedepankan persamaan persepsi tentang realita dan tantangan pertanian Indonesia kedepannya. Apabila partai politik tidak mendapatkan kesempatan untuk mendudukan kadernya menjadi Menteri Pertanian maka untuk memperjuangkan platform pertaniannya partai dapat melakukan program-programnya seperti pemberdayaan petani, membangun jaringan dengan LSM dan elemen petani, pendidikan politik bagi petani, advokasi kepada petani dan aksi-aksi simpatik lainnya yang dapat mengopinikan kepada Kementerian Pertanian untuk dapat memperhatikan isu-isu yang partai ketengahkan bersama elemen petani. Dan terus mengawal follow up dari aksiaksi yang ada tersebut.
ANALISA
Edisi 12/2014 | AGRO SWAKARSA
9
Partai Politik dalam Dunia Pertanian Indonesia Konstituen yang memiliki suara terbesar di Indonesia adalah berada di pedesaan dan berprofesi sebagai petani (18,5 juta keluarga). Oleh: Hendra Hidayat / Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Politik Pertanian
B
eberapa aspek yang berhubungan dengan partai politik dan kebijakan pembangunan pertanian antara lain konstituen, petani, partai politik, visi misi, platform partai, formulasi advokasi, dan kebijakan pertanian dengan sistem agribisnis. Tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa hingga menjadi sebuah kebijakan karena masyarakat adalah konstituen riil dari partai politik. Dalam masyarakat modern pendapat dan aspirasi seseorang atau
suatu kelompok akan ditampung dan digabung dengan pendapat lainnya yang dinamakan “penggabungan kepentingan� (interest aggregation). Sesudah digabung pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan “perumusan kepentingan� (interest articulation) yang menghasilkan sebuah arahan kebijakan pertanian yang tergambar dari visi dan misi pertanian partai politik. Semua kegiatan di atas dilakukan oleh partai terhadap petani. Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijakan yang tercantum
dalam platform partai. Usul kebijakan ini dimasukan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga dapat membuat perangkat-perangkat hukum yang berpihak kepada petani dan memperkuat pertanian Indonesia. Partai politik juga dapat melakukan advokasi kepada petani dengan melakukan rencana aksi dan formulasi kebijakankebijakan alternatif bersama berbagai elemen petani sebagai umpan balik dari adanya kebijakan-kebijakan DPR dan pemerintah yang merugikan petani. Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat pertanian disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik. Di lain pihak partai politik berfungsi juga untuk mensosialisasikan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada konstituen mereka. Terjadinya arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas menyebabkan partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dengan yang diperintah. Antara pemerintah dengan warga masyarakat. Partai politik memiliki banyak sekali fungsi dan peran. Salah satunya adalah mewujudkan aspirasi yang berasal dari konstituennya menjadi sebuah kebijakan aplikatif yang dapat langsung dirasakan. Kebijakan aplikatif tidak akan terwujud begitu saja tanpa ada sebuah proses di internal partai. Partai politik menggariskan keinginan konstituennya dalam sebuah platform. Dalam penelitian ini lebih detil kepada platform pertaniannya. Platform pertanian yang sudah diformulasikan ini kemudian diperjuangkan oleh kaderkader partai politik yang duduk dalam DPR/DPRD dan apabila partai politik berhasil mendudukkan kadernya pada suatu jabatan strategis pemerintahan maka partai politik akan dengan leluasa
10
AGRO SWAKARSA | Edisi 12/2014
mengartikulasikan platform tersebut dalam kebijakan-kebijakan yang lebih aplikatif. Partai politik yang memiliki kejelasan visi, misi, dan kebijakan-kebijakan pertanian akan mendapatkan sebuah kepercayaan dengan sendirinya dari konstituennya. Konstituen yang memiliki suara terbesar di Indonesia adalah berada di pedesaan dan berprofesi sebagai petani (18,5 juta keluarga). Sebuah kewajaran bagi partaipartai politik untuk menaruh perhatian yang besar dalam hal ini yaitu memiliki kedekatan secara politis dengan para petani. Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan menjadikan pertanian sebagai leading sector pembangunan ekonomi Indonesia menjadi jargon-jargon utama partai saat berkampanye. Programprogram dan aksi-aksi peduli petani pun dilakukan dengan tujuan penjagaan dan penambahan kader politik. Petani bukan hanya sebagai obyek tetapi juga subyek dari pertanian itu sendiri. Partai politik yang telah mengubah paradigma mereka tentang posisi petani dalam pembangunan Indonesia dari obyek menjadi subyek akan dengan sendirinya memiliki program-program kerja yang mendukung pemikiran tersebut. Sistem kerja petani yang terpusat pada sektor produksi akan mulai melebar sampai dengan bidang pemasaran. Tatanan masyarakat yang ada akan berubah dari inti-plasma menjadi mitra kerja. Ke semuannya itu akan mengarah
pada peningkatan kesejahteraan petani dan perbaikan produktivitas sektor pertanian Indonesia. Agribisnis adalah masa depan Indonesia. Bukan hanya masa depan pertanian. Sebab, agribisnis memiliki multiplier effect yang luas pada seluruh bidang kehidupan. Partai politik sudah seharusnya concern dengan agribisnis dan dapat menjadikan agribisnis sebagai garapan serius partai politik dalam
mengubah kondisi pertanian Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) tetapi tertinggal dalam hal inovasi dan kompetisi global (competitive advantage). Peran nyata partai politik bisa dalam hal legislasi sebuah payung hukum dan regulasi sebuah kebijakan. Salah satu kelemahan petani saat ini adalah dalam hal kelembagaan. Pelembagaan petani dalam sebuah perhimpunan adalah sebuah keniscayaan untuk dapat menyuarakan kepentingan mereka. Dan, saat ini yang terjadi adalah kelembagaan yang terbentuk menjadi elitis dan tidak dapat menyuarakan nasib para petani kepada pihak-pihak yang terkait. Partai politik dapat menginisiasi penguatan kelembagaan petani ini mulai dari kelompok-kelompok tani tingkat desa, kecamatan, kotamadya/kabupaten, provinsi dan nasional. Tahapan-tahapan pembentukan kelembagaan petani ini sangat penting untuk diperhatikan sehingga basis massa yang dibentuk jelas keanggotaannya. Tata aturan organisasi, kepengurusan, dan program-program kerja kelembagaan petani juga haruslah diperhatikan. Partai politik dapat mengambil peran sebagai fasilitator dalam hal ini. Sehingga, basisbasis kelembagaan petani yang ada dapat menjadi basis-basis massa partai di masa yang akan datang.
Web Hosting www.cnp-webservice.com
SOLUSI ONLINE USAHA ANDA
GRATIS 1 (satu) nama domain selama berlangganan dan Host UNLIMITED domain. Harga mulai: Rp 65.000 per bulan
Nama Domain Daftar klien : t CV. Mandala Agro Swakarsa t Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) t PT. Sarana Pratama Gemilang t PT. Sumber Solusi Selaras t Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) t PT. Limas Karya Utama t Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia t Yayasan Pemantau Hak Anak Indonesia t Yayasan Saint Anna Education Center t Yayasan Media Wasantara t dll.
Pendaftaran berbagai ekstensi nama domain internasional (COM, NET, ORG, BIZ, INFO dll.) Harga mulai: Rp 119.000 per tahun
Sertifikat SSL/TSL Membangun kepercayaan pengunjung web dengan mengaktifkan SSL. Harga mulai: $ 45 per tahun
KEBIJAKAN
Edisi 12/2014 | AGRO SWAKARSA
11
Partai Politik dan Kebijakan Pedesaan Dalam kebijakan publik, para pembuat kebijakan amat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkunganlah yang telah mempengaruhi kondisi psikis dan logika pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan.
D
emokrasi yang dikembangkan di Indonesia dengan amat terbuka menunjukkan bahwa publik telah menentukan wakilwakilnya untuk menyuarakan aspirasinya di dewan perwakilan rakyat secara langsung melalui pemilihan umum. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam dewan perwakilan rakyat dalam sistem politik yang berlaku sekarang kebanyakan dari partai politik. Sehingga partai politik
secara pasti ditunjuk sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah. Selain hal tersebut, dalam konteks kebijakan publik, publik merupakan pihak yang paling berhak untuk menentukan arah, tujuan dan proses dari sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan mereka sendiri. Sehingga, jika dalam sistem politik Indonesia mempercayai sistem perwakilan sebagai sistem yang
paling dipercaya dapat menyuarakan aspirasi publik. Maka, dewan perwakilah rakyat (DPR/D) diharuskan mendengarkan saran, kritik, masukan dan aspirasi dari publik yang mereka wakili. Sistem demokrasi yang berlaku demikian menyebabkan partai politik menjadi institusi yang paling bertanggung jawab atas kelahiran setiap kebijakan di negeri ini, termasuk kebijakan pembangunan pedesaan. Kebijakan publik dengan demikian menjadi ranah yang tidak bebas nilai karena terkait dengan banyak aspirasi dan kepentingan. Kebijakan publik dapat diterjemahkan menjadi proses tarik ulur kepentingan: desa versus kota, pasar modern versus pasar tradisional, pemilik modal versus buruh dan lain sebagainya. Sehingga, jika publik mengharapkan kebijakan pembangunan pedesaan yang benarbenar berpihak kepada desa maka ada dua hal yang patut diperhatikan: Pertama, adalah sistem kebijakan yang berpihak kepada desa. Sistem kebijakan yang berpihak kepada desa adalah sistem yang memiliki komitmen untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan desa dan berpihak kepada kepentingan orang desa. Dalam kebijakan publik, para pembuat kebijakan amat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkunganlah yang telah mempengaruhi kondisi psikis dan logika pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan. Lingkungan kebijakan harus dapat mempengaruhi sistem pengambilan
12
AGRO SWAKARSA | Edisi 12/2014
kebijakan. Untuk itulah kelahiran sistem kebijakan yang berpihak kepada desa menunjuk adanya pressure kepada sistem kebijakan publik dalam hal ini DPR untuk lebih berpihak kepada desa dan orang desa. Kelahiran sistem kebijakan yang berpihak kepada desa ini dalam ranah teknis mengalami kendala karena berada dalam aktivitas politik praktis yang rentan dengan konflik. Hal ini disebabkan, pressure kepada DPR untuk berpihak kepada pembangunan desa dapat menstimulan resistensi dari kelompok kepentingan lain yang tidak sependapat dengan keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan desa. Kedua, adalah menstimulan lahirnya partai politik yang berkomitmen kepada pembangunan pedesaan. Lahirnya partai politik yang berkomitmen kepada pembangunan pedesaan menunjuk: menekan partai politik untuk memiliki platform yang jelas terhadap pembangunan pedesaan dan memilih partai-partai politik yang memiliki platform pembangunan pedesaan. Kelahiran partai politik yang memiliki komitmen kepada pembangunan pedesaan setidaknya menjadi garansi tersampaikannya aspirasi orang desa dalam parlemen dan memberikan garansi kesempatan yang lebih besar untuk menciptakan pembangunan pedesaan yang lebih terpadu. Partai politik yang memiliki platform pembangunan pedesaan setidaknya memberikan kesempatan yang lebih besar terhadap kebijakan pedesaan yang lebih sesuai dengan aspirasi tingkat lokal. Partai politik yang berplatform pembangunan pedesaan akan
sangat sadar bahwa kondisi tiap desa di Indonesia amat beragam dan tidak mungkin tergambarkan secara sempurna dan homogen. Sehingga, dari pemahaman
ini pengambil kebijakan dalam hal ini partai politik akan sangat memperhatikan aspirasi tingkat lokal untuk menentukan kebijakan. Selain hal tersebut juga dapat melahirkan pembangunan pedesaan yang terpadu karena dilihat dari level yang lebih atas atau lebih makro. Kebijakan yang dilahirkan sebisa mungkin tidak menimbulkan pembangunan pedesaan yang bersifat trade off. Pembangunan pedesaan yang bersifat trade off bermakna pembangunan desa satu menimbulkan kerugian pada pembangunan di desa lain. Kebijakan yang dilahirkan oleh partai politik dan sistem politik yang berpihak kepada pembangunan pedesaan seharusnya dapat melahirkan kebijakan yang win win solution, atau kebijakan pembangunan di desa satu juga memberikan manfaat atas pembangunan di desa yang lain. (Dwiyanto Indiahono)
PLATFORM POLITIK
Edisi 12/2014 | AGRO SWAKARSA
13
Platform Pembangunan Pedesaan:
Antara Ancaman dan Keberpihakan
Partai politik yang memiliki platform pembangunan pedesaan setidaknya memberikan kesempatan lebih besar terhadap kebijakan pedesaan yang sesuai dengan aspirasi tingkat lokal.
J
ika dilihat dari sejarah pembangunan pedesaan di Indonesia, sampai saat ini belum ada partai politik yang secara terbuka memberikan jargon-jargon politik yang pro kepada pembangunan pedesaan. Meskipun demikian, kesempatan untuk melahirkan partai politik yang pro kepada pembangunan pedesaan tidaklah mustahil. Kemenangan Bibit Waluyo dan Rustriningsih dalam pemilihan kepala daerah gubernur dan wakil gubernur secara langsung di Jawa Tengah dengan mengangkat jargon politik: �Bali Ndeso, Mbangun Deso�, setidaknya memberikan dua bukti penting. Bukti pertama menunjukkan bahwa menantikan aktor politik dengan platform pembangunan pedesaan bukanlah sekedar utopis. Adapun bukti kedua,
adalah bahwa jargon pembangunan pedesaan merupakan jargon politik yang cukup menjanjikan saat kampanye. Jargon politik pembangunan pedesaan merupakan isu baru yang sangat strategis bagi para politisi, sebab sampai detik ini mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat pedesaan. Namun, jargon politik yang marketable ini janganlah sekedar pemanis bibir saat kampanye saja. Lebih dari itu, partai politik atau politisi harus benar-benar serius dan berkomitmen memikirkan masalah pembangunan pedesaan yang kian terhimpit dengan modernisasi dan pasar bebas. Partai politik yang membawa jargon pembangunan pedesaan menjadi sulit untuk ditemukan disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, partai politik Indonesia sampai saat ini belum mampu
berdiri secara independen dalam melakukan aktifitas politiknya. Partai politik amat rentan untuk dibiayai dan disponsori oleh pihak ketiga dan hampir dipastikan itu bukan dari golongan masyarakat pedesaan yang mayoritas penduduk miskin. Kebanyakan yang mensupport para politisi melalui sumbangan untuk aktifitas politik partai adalah orang-orang bisnis dari kota yang memiliki modal kuat. Jika demikian kejadiannya, dapat dipastikan bahwa partai politik tidak akan menyuarakan aspirasi masyarakat pedesaan. Kedua, sebagai imbas dari poin pertama adalah isu-isu yang terkait dengan pembangunan pedesaan bukanlah menu utama yang akan menjadi isu strategis partai politik. Menu pembangunan pedesaan amat sensitif bagi kekuatan pasar dan modal yang selama ini menjadi penyumbang partai politik. Setidaknya, isu pembangunan desa versus kota masih kental dan dikotomis.
14
AGRO SWAKARSA | Edisi 12/2014
Bentuknya adalah trade off, jika tidak memihak kota maka harus memihak desa. Bukan win-win solution, misalnya: pembangunan kota untuk masyarakat desa, atau kota untuk desa, atau desa untuk kota, yang lebih mengedepankan saling ketergantungan dan saling menguntungkan. Pembangunan pedesaan sebenarnya bukanlah sekedar platform saat kampanye untuk meraup suara terbanyak saja seperti yang selama ini dilihat dalam isu-isu lain saat kampanye partai-partai politik di Indonesia. Pembangunan pedesaan haruslah lahir dari sebuah komitmen untuk berpihak dan membela masyarakat pedesaan sebagai komunitas mayoritas. Keberpihakan ini lahir dari sebuah ide untuk memberikan hak publik yaitu untuk disejahterakan. Sehingga, menstimulan lahirnya komitmen partai politik untuk pro kepada pembangunan pedesaan mencakup pendidikan politik, dan komunikasi politik yang baik antara partai politik dengan masyarakat pedesaan. Selama ini dalam praktek politik, masyarakat pedesaan amat sulit mengakses parlemen karena masyarakat pedesaan tidak mengenal wakil-wakil mereka di parlemen. Hal ini dikarenakan partai politik sendiri masih amat sentralistis dan menghegemoni. Caloncalon anggota parlemen boleh jadi adalah orang asing yang tidak dikenal dan tidak sensitif-responsif atas aspirasi masyakat desa yang diwakilinya. Partai sendiri amat miskin untuk dapat melahirkan warga desa sebagai
anggota parlemen, karena ongkos politik untuk menjadi anggota parlemen yang harus dibayar amatlah mahal dan itu tidak mungkin dari warga desa. Sehingga, jika demikian halnya maka partai harus mau menciptakan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat desa. Anggota dari partai politik yang duduk di parlemen harus mau turun ke desa, melepaskan baju kebesarannya sebagai anggota DPR(D) dan duduk sederajat, senasib sepenanggungan, duduk sama rata berdiri sama tinggi dihadapan para pemilihnya. Komunikasi politik ini bukan sekedar formalitas rutin menyerap aspirasi dari warga desa, tapi jauh dari itu, ini merupakan wujud akuntabilitas seorang anggota parlemen kepada konstituennya. Selain itu, masyarakat desa pun harus mulai dididik menjadi aktor yang cerdas dalam berpolitik. Masyarakat desa harus mulai diajarkan bahwa mereka adalah warga negara yang berhak
untuk disejahterakan, berhak memilih dan berpendapat serta memiliki hak untuk ikut serta dalam aktitifas politik merancang kebijakan. Warga desa harus disadarkan bahwa mereka punya hak untuk menuntut secara elegan kepada wakil-wakilnya atas pembangunan yang ada di desa. Warga desa sendiri harus mulai mandiri dalam mengidentifikasi permasalahan dan mencari solusinya, sehingga, hubungan antara warga desa, parlemen dan pemerintah merupakan gerakan yang sinergi, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Partai politik juga diharapkan mampu menjadi agent of change di desa. Artinya, partai politik harus mampu memberikan pencerahan bagi pembangunan pedesaan melalui aktifitas non-politiknya. Partai politik harus mampu memberdayakan masyarakat desa sebagai konstituennya melalui kegiatan-kegiatan sosial budaya dan ekonomi. Kegiatan sosial budaya partai politik diarahkan kepada penguatan kemampuan untuk berkembang (achievement abilities), pengembangan percaya diri (self confidence development), pengembangan motivasi tinggi (building motivation) dan menjadi masyarakat pembelajar (rational society). Kegiatan ekonomi diarahkan kepada penguatan ekonomi melalui aktifitas ekonomi riil yang memungkinkan berjalan secara kontinyu di desa. Untuk dapat melakukan itu semua, partai politik harus memiliki kader yang cerdas, handal, kreatif dan berkomitmen untuk membangun desa. Kader-kader seperti ini akan lahir dari warga desa yang dikader secara baik oleh partai politik. Oleh karena itu, kaderisasi dalam partai politik sendiri harus menjadi perhatian penting. Kaderisasi yang baik dalam partai politik akan melahirkan kader pembangunan pedesaan yang baik juga. (Dwiyanto Indiahono)
KENDALA
Edisi 12/2014 | AGRO SWAKARSA
15
Kecilnya Luas Lahan Petani,
Sektor Pertanian Tertinggal Bila dibandingkan di Indonesia, 36 persen pendudukan bekerja sebagai petani, tetapi yang menikmati hasilnya hanya 14 persen dari produk domestik bruto (GDP).
K
ecilnya luasan lahan pertanian yang dimiliki oleh petani menjadi salah satu faktor masih tertinggalnya sektor pertanian Indonesia dibanding negara maju. “Meningkatkan luasan lahan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah tidak memperbanyak jumlah petani tetapi memaksimalkan petani yang ada,” ujar Wakil Rektor bidang Sumberdaya dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor, Prof Hermanto Siregar, saat ditemui usai acara forum ambasador dengan tema “Kebijakan perdagangan pertanian” bersama Duta Besar New Zealand di IPB Convention Center, Kota Bogor, Senin. Hermanto mengatakan, selama ini banyak pihak beranggapan memperbanyak jumlah petani dengan regenerasi dapat meningkatkan sektor pertanian. Namun situasi tersebut justru memperkecil luas lahan yang ada. Ia mencontohkan, rata-rata petani di
Indonesia memiliki lahan 0,3 hektar per petani khususnya di Pulau Jawa. Jika satu petani memiliki anak dua sampai tiga orang, dan semuanya memilih menjadi petani, maka luas lahan pertanian yang dimiliki petani semakin kurang dengan pembagian warisan. “Tetapi jika anak petani ini diarahkan melalui peningkatan pendidikan, kuliah dan bekerja di sektor lain di luar pertanian, tetapi masih berkaitan dengan pertanian misalnya infrastruktur, pemupukan. Maka potensi menyempitnya luasan lahan pertanian bisa diantisipasi,” ujar Hermanto. Dengan mengoptimalkan jumlah petani yang ada dan memberikan kesempatan anak-anak petani mengeyam pendidikan yang layak, hingga mampu bekerja di sektor non pertanian, memberikan peluang untuk pengembangan sektor agraria dengan adanya anak-anak petani yang memperkuat ekonomi orang tuannya.
Hal ini juga mendorong orang tuanya yang sudah menjadi petani tetap mempertahankan luasan lahan pertaniannya. Bahkan jika memiliki kelebihan dana bisa berpotensi untuk memperluas lahan pertaniannya. “Agar petani tidak tergiur menjual lahan pertaniannya, perlu ada regulasi tegas tentang tata ruang agar lahanlahan pertanian dipertahankan tidak tergerus konfersi lahan,” ujar Hermanto. Beberapa negara maju seperti New Zealand, Inggris, Jepang dan Taiwan, kepemilikan lahan pertanian masingmasing petani cukup besar, satu petani bisa memiliki 2,5 hektar bahkan 45 hektar dan lebih. Struktur pertaniannya juga sudah bagus, di mana para petani sudah berbentuk korporasi gabungan dari sejumlah petani-petani lain sehingga lebih kuat baik dalam produksi maupun pemasaran. Bila dibandingkan di Indonesia, 36
16
AGRO SWAKARSA | Edisi 12/2014
berkurang, akibat banyaknya jumlah pertanian, adanya sistem warisan, sehingga lahan pertanian menjadi semakin mengecil,” ujar Dodik. Menurut Dodik, jika jumlah petani diperkecil, dapat mendorong luasan lahan pertanian. Karena luas lahan petani saat ini yang masing-masing memiliki 0,3 hektar dapat dipertahankan oleh petani karena tidak perlu mewariskan ke anak-anaknya yang sudah mapan.
persen pendudukan bekerja sebagai petani, tetapi yang menikmati hasilnya hanya 14 persen dari produk domestik bruto (GDP). Tingkat kemakmuran petani di Indonesia hanya 1/3 persen, artinya masih banyak petani miskin-miskin. “Ini harus diubah, kita harus melakukan transformasi melalui tahapan-tahapan pertama membenahi dulu pertaniannya, mulai dari kebijakan pemasaran. Kita harus mentransfer petani, pendidikannya,” ujar Hermanto. Menurut Hermanto, mendidik anak-anak petani menjadi pengusaha pengelolaan hasil pertanian, melalui beasiswa pendidikan dapat menjadi salah satu solusi. Kondisi demikian telah dilakukan oleh Jepang dan Taiwan, dengan mengecilkan jumlah petani, tidak ada fregmentasi warisan tanah. Sehingga jumlah petani berkurang namun kualitas meningkat baik jumlah lahan maupun mutu petani. “Pemerintah juga harus mengatur kepemilikan lahan, tidak boleh diturunkan lagi dari 0,3 hektar diwariskan ke anak. Transformasi, anak-anak petani harus digiring masuk sektor formal,” ujarnya. Senada dengan Profesor Hermanto, Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB, Dr Dodik R Nurrochmat menyebutkan, kegalauan pertanian yang semakin sedikit tidak perlu dirisaukan. “Tetapi yang harus dirisaukan adalah luas lahan pertanian yang semakin
“Anak-anak petani harus ditingkatkan kualitas pendidikannya diarahkan untuk bekerja di luar petani tetapi tetap di sektor pertanian seperti mengelola hasil pertanian,” ujarnya. Dodik menambahkan, ada banyak beasiswa yang bisa dimanfaatkan anak-anak petani untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Salah satunya IPB yang siap mencetak anak-anak petani menjadi pengusaha di sektor pertanian.
LINTAS WAKTU
Edisi 12/2014 | AGRO SWAKARSA
17
Lahan Pertanian Indonesia dari Waktu ke Waktu Barangkali, inilah yang menjadi penyebab kenapa Indonesia kini menjadi salah satu negara importir produk pangan terbesar di dunia. Semuanya karena sektor pertanian yang tidak diurus dengan benar dan luas lahan pertanian yang begitu-begitu saja. Oleh: Kadir Ruslan / Pemerhati masalah sosial-ekonomi
L
ahan pertanian adalah modal yang sangat penting dalam menggenjot produksi pangan. Tanpa perluasan lahan—yang lazim disebut ekstensifikasi— upaya peningkatan produksi pangan hanya bertumpu pada inovasi teknologi atau peningkatan produktivitas (intensifikasi). Bila hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas, pada titik tertentu, produksi pangan bakal tak mampu memenuhi permintaan terhadap pangan yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Karena itu, meski perekonomiannya ditopong oleh sektor industri dan jasa atau bukan sektor pertanian, tak satu pun negera-negara maju di dunia ini yang mengabaikan perluasan lahan pertaniannya. Australia, negara tetangga yang suka “menyadap karet” itu, misalnya, kini memiliki lahan pertanian seluas 50 juta hektar. Padahal, jumlah penduduknya hanya 19 juta jiwa. Artinya, setiap orang
Australia menguasai lahan pertanian seluas 2,63 hektar. Belakangan ini bahkan ada tren baru dalam soal ketahanan pangan. Negaranegara kaya yang tak memiliki lahan pertanian yang cukup memilih untuk menyewa atau membeli lahan pertanian di negara lain. Arab Saudi, negara gurun namun kaya minyak, misalnya, kini telah membeli lahan pertanian di sejumlah negara, seperti Sudan, Pakistan, Ethiophia, Philiphina, Kazakhtan, Thailand dan Tanzania untuk mengamankan ketahanan pangannya. Organisasi Pangan Dunia (FAO) bahkan menyebutkan, dalam 5 tahun terakhir ada 2,5 juta hektar lahan pertanian di lima negara sub sahara yang telah dibeli atau disewa dalam jangka panjang. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dalam sepuluh tahun terakhir, luas lahan pertanian di Indonesia tak banyak berubah, masih sekitar 25 juta hektar. Padahal, jumlah penduduk terus bertambah dan kebutuhan pangan terus
meningkat. Kini, rasio lahan pertanian terhadap jumlah penduduk hanya sebesar 0,1. Itu artinya, setiap orang Indonesia rata-rata hanya menguasai lahan pertanian seluas 0,1 hektar. Sangat jauh bila dibandingkan dengan Australia. Padahal, negeri ini wilayah daratannya amat luas, mencapai 188 juta hektar dan hampir seluruhnya bisa fungsikan sebagai lahan pertanian. Tidak membikin heran bila kemudian jumlah petani gurem, yakni petani yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, di negeri ini bukan main banyaknya. Pada tahun 2009, misalnya, sekitar 65 persen rumah tangga usaha tani padi mengusahakan sawah dengan luas kurang dari 0,5 hektar. Itulah sebabnya, kemiskinan tak pernah beranjak dari sektor pertanian. Bagaimana mungkin petani bisa sejahtera bila hanya mengusahakan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Yang ada adalah pemiskinan petani. Kerena pendapatan dari usaha tani tak lagi mencukupi untuk menyambung hidup, banyak petani yang memilih untuk menjual lahannya kemudian menjadi buruh tani. Sebagian lagi memilih merantau ke kota dan bergulat di sektor informal. Ujung-ujungnya mereka tetap miskin. Celakanya, konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian terus mengancam. Seolah tak bisa direm. Padahal, aturan perundangannya sudah ada, tinggal dilaksnakan. Di Pulau Jawa, misalnya, setiap tahun ribuan hektar sawah produktif dikonversi menjadi pabrik, kawasan industri, pemukiman, real estate, bahkan lapangan golf. Padahal, lahan-lahan pertanian di Jawa suburnya bukan main. Tongkat kayu pun bisa jadi tanaman. Salah tempat ketika “buang air” pun bisa tumbuh tanaman. Barangkali, inilah yang menjadi penyebab kenapa Indonesia kini menjadi salah satu negara importir produk pangan terbesar di dunia. Semuanya karena sektor pertanian yang tidak diurus dengan benar dan luas lahan pertanian yang begitu-begitu saja.
18
EPILOG
AGRO SWAKARSA | Edisi 12/2014
Mengapa mereka melupakan para petani? Apakah mereka tidak membaca potensi besar suara petani sebagai pengisi kotak suara mereka?
D
Wakil untuk Petani
engan dihiasi foto ‘narsis’ yang kadang lucu, para calon wakil rakyat berusaha berebut simpati rakyat. ‘Berantas korupsi’, ‘Membela rakyat kecil’, ‘Peduli wong cilik’, ‘Berjuang untuk kesejahteraan rakyat’, dan ribuan slogan lain setiap hari kita jumpai di sepanjang jalan dan tempat umum. Slogan itu masih lumayan karena masih ada ‘bumbu’ kalimat yang berjanji untuk berjuang membela rakyat kalau nanti terpilih. Yang lucu, banyak juga slogan ‘gombal’ yang jauh dari bermutu. ‘Pilih saja yang ayu’, ‘Pilih tetangga sendiri’, ‘Coblos kumisnya’, dan sejumlah slogan lain yang sama sekali tidak menunjukkan kualitas sebagai calon wakil rakyat. Dalam beberapa hari ini rakyat memang dibuat pusing untuk menentukan pilihan politiknya. Seperti memilih kucing dalam karung, rakyat dibuat tidak dapat memilih dengan rasional karena hampir seluruh calon anggota legislatif tidak menjelaskan dengan gamblang dan lengkap siapa dirinya, program apa yang diusung, dan dia akan melakukan apa ketika nanti dipilih. Kampanye yang seharusnya menjadi media promosi pengenalan visi dan program justru lebih banyak diisi dengan goyang dangdut, orasi omong kasong, dan saling serang di antara kandidat wakil rakyat dan presiden.
Tidak banyak yang menyentuh substansi kehidupan masyarakat, terutama tentang kesejahteraan, kemiskinan, kedaulatan ekonomi dan berbagai permasalahan mendasar lainnya. Yang mengherankan, semua calon wakil rakyat itu tentu tahu kalau negeri ini dihuni rakyat berstatus sebagai petani dalam jumlah paling banyak. Mereka juga tahu, semua rakyat negeri ini makan dan mengeyangkan perutnya dengan produk pertanian hasil jerih payah para petani. Mereka juga paham bahwa permasalahan pertanian dan kehidupan petani setiap hari selalu muncul dan perlu mendapat perhatian. Namun mengapa tidak banyak
calon wakil rakyat yang peduli atau memberi porsi lebih banyak pada masalah pertanian dalam kampanyenya? Mengapa mereka melupakan para petani? Apakah mereka tidak membaca potensi besar suara petani sebagai pengisi kotak suara mereka? Ada beberapa asumsi bisa dikemukakan untuk menjawab pertanyaan itu. Yang pertama, karena karakter petani yang cenderung sederhana, lugu dan tidak fanatik, bisa saja petani memang tidak perlu ‘didekati’ dengan bahasa petani. Mungkin mereka bisa ‘digarap’ dengan pendekatan politik primordial, kedaerahan, organisasi keagamaan, atau bahkan tembak langsung dengan ‘amplop’. Namun bisa juga, petani lebih efektif didekati dengan bahasa ‘goyang dangdut’, atau hura-hura lainnya. Artinya, petani memang tidak membutuhkan program atau apapun yang menyangkut kepentingan mereka. Yang penting mereka gembira dan joget bersama. Yang terakhir itu tentu mengkhawatirkan bahkan mungkin berbahaya, karena bisa ditafsirkan petani sudah tidak peduli dengan nasibnya sendiri. Tapi yang sesungguhnya juga berbahaya kalau para wakil rakyat memang benar-benar tidak memahami petani dan dunia pertanian sehingga mereka dengan sengaja tidak ‘menggarap’ para petani. Kalau hal ini yang terjadi maka para wakil rakyat yang terpilih nanti benarbenar tidak memahami dan mengerti para petani dan pertanian. Masa depan petani akan semakin suram dan terpuruk.
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Ir. Raymond Rajaurat Dewan Redaksi: Ir. Raymond Rajaurat, Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi: M. Mutawally, Ronald Simarmata, Andri Penerbit: Yayasan Media Wasantara, anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri: Rimson Simanjorang Managing Director: Ir. David J. Simanjorang Bank: Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 1967 957 a/n. Raymond Rajaurat Alamat Redaksi: Jl. Yupiter Utama D10/12, Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493, 0811192306 Alamat Iklan/Tata Usaha: Jl. Purnawirawan Raya 12/424, Bandar Lampung Telp: 0816406304 Website: www.opini-indonesia.com/agro Email: agro@opini-indonesia.com Percetakan: PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting) Isi diluar tanggungjawab percetakan