Agro 13 mei 20 hal

Page 1

Politik Pangan Yang Memiskinkan

Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com/agro

Edisi 13/Mei 2014

Isu Koalisi Tutup Kelangkaan Pupuk




4

PROLOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 13/2014

Jelang Pilpres, Pupuk Langka

Berita tentang kelangkaan pupuk di sentra produksi pangan beberapa waktu terakhir nyaris tak terdengar. Berita ini tenggelam oleh gencarnya pemberitaan drama politik yang disuguhkan para elite partai politik Tanah Air.


B

erita tentang penggalangan koalisi sesama partai politik untuk mengusung calon presiden/ wakil presiden (capres/cawapres), nyaris tak menyisakan ruang bagi berita-berita penting lainnya. Kondisi kelangkaan pupuk ini mengindikasikan bahwa perlindungan kepada petani tidak terlihat kemajuannya. Padahal UU 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah menegaskan bahwa petani harus mendapatkan perlindungan dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, ketersediaan lahan, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi dan perubahan iklim. Tidak lama lagi, saat para capres/ cawapres melakukan ritual �menebar angin surga� pada kampanye pemilihan umum presiden (pilpres), isu-isu tentang pertanian dan petani akan menjadi jualan politik utama para capres/cawapres. Hal itu disebabkan petani merupakan entitas sosial terbesar di negeri ini sehingga menjadi sangat seksi untuk diperebutkan seluruh pasangan kandidat. Entitas petani akan menjadi lumbung suara yang sangat menentukan kemenangan capres/cawapres. Menurut Sensus Pertanian Tahun 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTP) mencapai 26,14 juta. Jika diasumsikan setiap RTP terdiri dari empat jiwa, dalam entitas sosial ini terdapat minimal 104,6 juta jiwa yang kehidupannya secara struktural bergantung pada sektor pertanian. Jika kedaulatan ada di tangan rakyat, demokrasi menjadi pilar ideologi yang dijunjung tinggi, maka sebagai entitas sosial terbesar, secara teori para petani akan menjadi pemegang kedaulatan di Republik ini. Mereka akan menempati posisi terhormat secara sosial, ekonomi, maupun politik. Menurut hitung-hitungan matematika sederhana, jika rata- rata setiap RTP punya tiga hak suara dalam pemilu presiden/ wakil presiden (Pilpres) 9 Juli nanti, maka dari entitas sosial ini akan dapat didulang sedikitnya 78 juta suara. Jumlah yang sangat signifikan untuk dapat menuju kursi RI-1 dan RI-2. Inferior Namun, realitas kehidupan tidak selamanya berjalan linier sesuai pakem dan teori-teori sosial politik. Dalam

Edisi 13/2014 | AGRO SWAKARSA

konteks perekonomian nasional, sektor pertanian sangat penting karena merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) utama dan penyedia lapangan kerja terbesar. Sebaliknya, ditinjau dari sisi sosial sektor pertanian memiliki posisi yang sangat inferior. Sektor ekonomi yang satu ini dari tahun ke tahun selalu identik dengan kantong kemiskinan. Sekitar 68,55% penduduk miskin di Indonesia tinggal di wilayah pedesaan, sebagian besar berprofesi sebagai petani (BPS, 2007). Jumlah rumah tangga petani gurem (petani yang menggarap kurang dari 0,5 hektare) pada tahun 2013 mencapai jumlah 14,25 juta rumah tangga atau sebesar 55,33% dari rumah tangga pertanian pengguna lahan. Tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke tahun mengalami stagnasi, bahkan cenderung mengalami penurunan. Angka nilai tukar petani (NTP) yang menjadi salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan petani tidak menunjukkan angka yang menggembirakan. Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang tertuang dalam laporan bertajuk �Kebijakan Ekonomi 5 tahun Mendatang: Merebut Momentum, Membalik Keadaan�, yang dipublikasikan belum lama ini menyimpulkan bahwa terjadi penurunan NTP dari 117 pada 2004 menjadi 107 pada 2013. Hal itu antara lain disebabkan sepanjang sejarah pembangunan sektor pertanian cenderung bias perkotaan (urban bias), membela kepentingan konsumen perkotaan dan industri.

5

Secara kasatmata, petani selalu dihadapkan pada dua kekuatan eksploitasi ekonomi. Pada pasar faktor produksi, seperti pupuk, benih, obatobatan, dan sarana produksi lainnya, mereka selalu dihadapkan pada kekuatan pasar monopolistis. Giliran menjual hasil panen, mereka berhadapan dengan kukuhnya tembok pasar monopsonistis. Untuk itulah, petani memimpikan hadirnya seorang capres/ cawapres yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi, memiliki rasa empati, serta rasa keberpihakan kepada petani. Kepedulian, empati, dan keberpihakan tersebut merupakan sebuah keniscayaan untuk membantu para petani dalam menghadapi kegagalan pasar (market failure) akibat tak terpenuhinya asumsiasumsi dasar pembangunan. Sosok capres/cawapres impian petani adalah sosok yang secara gigih dan tulus memperjuangkan hak-hak normatif petani. Sosok yang mau hadir di tengahtengah petani dan berusaha menjadi bagian dari solusi semua persoalan yang dihadapi. Dari kelangkaan pupuk seperti yang terjadi saat ini, mahalnya harga benih impor, terpuruknya harga jual komoditas pangan saat panen raya, rusaknya sarana infrastruktur pertanian, hingga terbatasnya akses permodalan dan pemasaran. Pendek kata, sosok capres/ cawapres impian petani adalah sosok yang mau menjadi teman abadi bagi petani. Bukan sosok yang menjadikan petani hanya teman sementara demi tercapainya tujuan politik jangka pendek semata. Toto Subandriyo


6

HASIL PILEG

AGRO SWAKARSA | Edisi 13/2014

Suara Tidak Mencapai Ambang,

Lagi-lagi Pilpres Koalisi Lengkap dengan keharusan menjalin koalisi, semua itu akan menjadikan kian muskilnya urusan pemerintahan di negara demokrasi yang terpecah, tersebar dan genting ini.

N

egara demokrasi ketiga terbesar di dunia membuka kotak suara pada 9 April dalam pemilihan umum legislatif. Hasil resmi dari kegiatan monumental ini baru akan diketahui awal bulan depan. Namun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, penghitungan cepat yang dumumkan sore itu juga barangkali memberikan gambaran yang cukup akurat mengenai hasil pemilihan. Meski banyak segi dari hasil pemilu ini yang sesuai dengan dugaan, ada hal yang sangat mengejutkan sehubungan dengan relatif kecilnya perolehan suara partai oposisi utama, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP. Berbagai kalangan menduga partai ini bakal memperoleh suara yang sangat besar dari ketenaran calon presidennya yang diumumkan belakangan ini, Joko Widodo, yang dikenal luas sebagai Jokowi, gubernur ibukota, Jakarta. Para pemuka

partai ini berharap memperoleh 2530% suara, tapi hasil perhitungan cepat memperlihatkan angka hanya 19%. Perolehan itu jelas bakal memuskilkan jalan bagi Jokowi dalam pemilihan presiden pada 9 Juli. Menurut aturan pemilihan umum di Indonesia yang pelik, partai harus memperoleh sedikitnya 25% suara dari pemilu legislatif ---atau 20% kursi--- untuk bisa mengajukan calon presiden. Jadi, PDIP tampaknya bakal gagal mencapai batas minimal perolehan suara, juga gagal mendapat banyak kursi. Kalau begitu, partai ini harus berkoalisi dengan satu partai lain atau lebih. PDIP mesti membentuk semacam koalisi sekalipun, misalnya, perolehan suaranya pada 9 April terbilang bagus. Namun, pencapaian PDI-P yang kurang menggembirakan menyebabkan partai kurang kuat manakala partai ini harus memastikan calon wakil presiden dan pejabat tinggi pemerintahan baru. Megawati mesti memilih Jokowi sebagai

calon presiden dari partainya mengingat ketenarannya yang sudah kentara, Kini keduanya harus berupaya sedikit lebih keras demi pemerintahan yang mereka inginkan. Partai-partai utama lainnya, yang semuanya sekuler dan nasionalis, memperoleh suara sedikit di belakang PDI-P. Golkar yang kini dipimpin oleh calon presiden Aburizal Bakrie, memperoleh sekitar 12% suara, sedangkan Gerindra, yang dipimpin oleh mantan komandan pasukan khusus Prabowo Subianto memperoleh sekitar 11,5% suara. Pecundang yang paling menonjol adalah Partai Demokrat andalan Presiden SBY. Memperoleh 21% suara pada pemilu 2009, kini anjlok dengan hanya mendapatkan 9% suara. Nampaknya pemilih menghukum Demokrat akibat serangkaian kasus korupsi yang melibatkan petinggi partai ini. Hal ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap presiden yang menjabat hingga dua kali tapi gagal menumpas korupsi yang merajalela, tidak berhasil memperbaiki infrastruktur yang buruk dan masih banyak lagi. Terpuruknya Partai Demokrat dalam pemilu legislatif kali ini adalah peringatan bagi presiden mendatang mengenai apa yang kini diharapkan oleh para pemilih dari dirinya, siapapun yang jadi presiden kelak. Beberapa di antara partai-partai kecil berhaluan Islam memperoleh suara yang lebih baik daripada yang diduga sebelumnya. Bahkan lebih banyak partai Islam yang duduk di parlemen ketimbang masa sebelumnya. Beberapa partai Islam bakal memanfaatkan tenaga baru mereka dengan membangun gabungan kekuatan buat menghadapi setiap pemerintahan yang mencoba menerapkan takaran modern melalui peraturan perundangundangan. Walhasil, lengkap dengan keharusan menjalin koalisi, semua itu akan menjadikan kian muskilnya urusan pemerintahan di negara demokrasi yang terpecah, tersebar dan genting ini.


ANALISA

Edisi 13/2014 | AGRO SWAKARSA

7

Rapuh Sejak Fondasi Potensi Indonesia harus segera didorong untuk menciptakan kedaulatan pangan dan merawat kebudayaan agrarisnya.

P

ertumbuhan ekonomi dalam dua periode pemerintahan cenderung mengorbankan pemerataan. Pembaharuan agraria secara konsisten, reformulasi distribusi modal, dan pemihakan sektor pertanian secara luas, sebagai landasan pembangunan jangka panjang, secara substansial sama sekali tidak jalan. Akibatnya, bangsa menanggung beban yang kian berat dalam transformasi masyarakat miskin menuju kesejahteraan sosial yang adil dan modern. Beban utamanya bersumber dari tiga persoalan. Pertama, kemiskinan yang tinggi dengan tingkat ketimpangan dan keparahan nyaris di ambang batas aman. Kedua, kebijakan konstitusional yang prokorporasi; liberalisasi segala unit ekonomi-politik dan fondasi pembangunan kepentingan nasional yang dibiarkan rapuh serta tak memiliki rencana visioner. Ketiga, beban historis ketimpangan penguasaan dan pemilikan

sumber daya agraria di Indonesia. Beban struktural berupa kemiskinan dan deregulasi konstitusi seperti tersebut di atas membutuhkan tidak hanya aturan fungsional, tetapi kehendak politik di level negara untuk campur tangan mengatur ruang-ruang strategis ekonomi dan politik. Tak boleh lagi ada cerita melepaskan rakyat untuk berkompetisi sendiri dengan korporasi. Target kemandirian dan kedaulatan pangan yang dicanangkan pemerintah cenderung sebatas wacana dan hanya fokus pada peningkatan produksi sesaat untuk kepentingan perdagangan. Sementara, aspek jangka panjang, seperti agenda pembaruan agraria dan penyelesaian konflik tanah, tidak pernah ditengok. Di tengah optimisme yang membumbung dari surplus ekonomi yang mungkin didapat dari paket liberalisasi perdagangan pascaputaran WTO (World Trade Organization) di Bali, penurunan angka kemiskinan nyatanya berjalan

lambat dan parah. Ibarat lagu, yang miskin makin miskin yang kaya makin kaya. Kesenjangan antar penduduk miskin kian melebar dan daya beli kelompok miskin pun kian rendah. Kurun antara Maret 2007–Maret 2013, ratarata penurunan jumlah penduduk miskin hanya 0,87 persen per tahun. Bahkan pada tahun terakhir, hanya 0,59 persen. Laju peningkatan harga-harga (inflasi) berkontribusi besar pada lambatnya penurunan kemiskinan. Ironisnya, sepanjang 2012, tingkat inflasi wilayah pedesaan lebih tinggi (5,08 persen) dibandingkan inflasi nasional (4,3 persen). Tak heran bila kemudian Sensus Pertanian 2013 menunjukkan dari total 26.135.470 jumlah rumah tangga petani, 14.248.870 adalah rumah tangga petani gurem dan miskin, apa artinya? Ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan di ambang batas aman. Rasio gini kepemilikan lahan versi Badan Pertanahan Nasional terakhir adalah 0,54, terparah sepanjang sejarah. Inilah


8

AGRO SWAKARSA | Edisi 13/2014

fondasi pembangunan kita yang rapuh dan absurd. Hegemoni dan Ketergantungan Kebijakan ekonomi yang kelewat liberal dalam dua periode pemerintahan terakhir telah membuat pasar domestik kebanjiran produk impor. Produsen domestik kewalahan karena kehilangan daya saing akibat banyak barang jadi dan komoditas pangan bebas bea masuk (0%) dengan kuota impor tanpa batas. Volume impor Pangan Indonesia dua tahun terakhir sangat tinggi. Pada 2012 berjumlah 13.345.737 ton dengan nilai US$6.297 juta, sementara pada September 2013 sejumlah 9.058.766 ton dengan nilai mencapai US$3.897 juta. Singkatnya hal itu berarti, bila dibanding pada 2007–2009 impor komoditas pangan kita meningkat 61 % pada periode 2011– 2013, dan itu adalah rekor impor terbesar dalam sejarah bangsa ini. Kian miris rasanya jika melihat bagaimana bangsa agraris pertumbuhan ekonominya justru bersumber dari sektor jasa dan konsumsi. Ini sama artinya modal asing menguasai dan mendominasi wilayah paling penting bangsa ini, yaitu sektor pertanian dan pangan. Jadi, ke mana keuntungan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi kita paling banyak mengalir? Liberalisasi dan ketergantungan pada asing jelas tercermin dari kebijakan nasional pangan dan pertanian yang berorientasi industri padat modal berskala besar untuk tujuan perdagangan ekspor.

Langkah ini hanya mungkin dilakukan oleh korporasi besar seperti tampak pada program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) dan koridor pangan dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang mengejar intensifikasi produksi semata-mata. Semuanya demi kebutuhan perdagangan pangan global, bukan pada kebutuhan rakyatnya sendiri.

Kemiskinan sangat erat terkait dengan sistem dan manajemen aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang gurem dan lapar. Soal tanah, nyatanya memang soal hidup dan ukuran kemakmuran rakyat . Karena itu, pembaharuan agraria lewat intervensi kebijakan negara menjadi sebuah keharusan. Jangan lagi agenda pembaharuan agraria sekadar sebagai kehendak politis ketimbang komitmen politik yang ditindaklanjuti secara nasional sebagai rencana pembangunan jangka pendek mau pun jangka panjang. Ekonomi politik Indonesia mesti segera menimbang agenda agraria khususnya pembaruan agraria sebagai agenda nasional demi mewujudkan kedaulatan pangan dan politik pertanian yang transformatif di level global. Potensi Indonesia harus segera didorong untuk menciptakan kedaulatan pangan dan merawat kebudayaan agrarisnya. Pemilihan umum sudah mulai berlangsung. Pemimpin baru sebentar lagi hadir. Kita berharap ketiga beban utama bangsa ini, baik beban struktural mau pun beban historis, mendapat perhatian dan komitmen politik yang layak dan cerdas. Jika tidak, ibarat rumah kita akan menjadi rumah absurd; yang menjalani hukuman untuk terus berkubang pada persoalan yang sama dengan beban berat yang tak kunjung berkurang.

Web Hosting www.cnp-webservice.com

SOLUSI ONLINE USAHA ANDA

GRATIS 1 (satu) nama domain selama berlangganan dan Host UNLIMITED domain. Harga mulai: Rp 65.000 per bulan

Nama Domain Daftar klien : t CV. Mandala Agro Swakarsa t Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) t PT. Sarana Pratama Gemilang t PT. Sumber Solusi Selaras t Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) t PT. Limas Karya Utama t Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia t Yayasan Pemantau Hak Anak Indonesia t Yayasan Saint Anna Education Center t Yayasan Media Wasantara t dll.

Pendaftaran berbagai ekstensi nama domain internasional (COM, NET, ORG, BIZ, INFO dll.) Harga mulai: Rp 119.000 per tahun

Sertifikat SSL/TSL Membangun kepercayaan pengunjung web dengan mengaktifkan SSL. Harga mulai: $ 45 per tahun


POLITIK PANGAN

Edisi 13/2014 | AGRO SWAKARSA

9

Politik Pangan Yang Memiskinkan

Pada dasarnya Indonesia tidak mengalami keterbatasan lahan pertanian, justru lahan pertanian di Indonesia tersedia sangat luas. Oleh: Salahudin, MSi / Dosen Univ. Muhammadiyah Malang

S

emua anak bangsa terheranheran dengan minimnya ketersediaan pangan di negara yang kaya akan sumber daya alam. Ketergantungan kebutuhan pangan Indonesia terhadap negara-negara lain dinilai sangat tinggi. Dari tahun ke tahun Indonesia membutuhkan bahan pangan impor yang sangat tinggi. Tingginya kebutuhan bahan pangan impor menunjukkan negara Indonsia tidak memiliki kemandirian untuk menyediakan bahan pangan dalam negeri. Padahal negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris, memiliki tanah

pertanian yang luas dan subur, dan memiliki kondisi iklim yang kondusif untuk pertumbuhan bidang pertanian. Banyak ilmuwan pertanian menjelaskan persoalan di atas diakibatkan oleh terbatasnya luas lahan pertanian sehingga masyarakat tani tidak memiliki tempat untuk memproduksi bahan pangan, dan pengolahan pertanian masih alat tradisional sehingga modal pengeluaran untuk pengelolaan produksi bahan pangan lebih besar dibandingkan penghasilan yang didapatkan oleh para tani. Kondisi ini mengakibatkan para tani beralih profesi pada bidang lain, bahkan

tidak sedikit di antara mereka mencari penghidupan di daerah perkotaan, dan pada gilirannya ketersediaan bahan pangandalamnegeri sangat terbatas sehingga pemerintah menerapkan kebijakan impor bahan pangan. Dialektika pemikiran dalam memahami keterbatasan bahan pangandalamnegeri seperti tersebut perlu dikaji secara dalam. Dikaji secara komprehensif sehingga menemukan persoalan-persoalan mendasar yang membuat keterbatasan bahan pangan dalam negeri. Pada dasarnya Indonesia tidak mengalami keterbatasan lahan pertanian, justru lahan pertanian di Indonesia tersedia sangat luas. Namun belum diberdayakan dengan baik. Lahan pertanian di daerah Indonesia Timur, misalnya, masih banyak yang belum diberdayakan dengan baik seperti di daerah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan di Papua. Bahkan beberapa daerah di pulau Jawa masih tersedia lahan yang luas dan belum diberdayakan dengan baik. KINERJA BURUK SEKTOR PERTANIAN Pada intinya Indonesia terhampar lahan yang sangat luas yang belum diberdayakan secara baik. Karena itu, keterbatasan lahan dianggap sebagai faktor keterbatasan bahan pangan tidak dapat dijadikan sebagai alasan utama. Persoalan utama yang membuat Indonesia mengalami keterbatasan bahan pangan sehingga mengimpor bahan pangan luar negeri, adalah minimnya keseriusan pemerintah untuk memberdayakan sektor pertanian sebagai sektor unggulan untuk memproduksi bahan pangan dalam negeri. Pemerintah belum terlihat serius untuk memberdayakan sektor pertanian. Bahkan pemerintah menjadikan sektor pertanian sebagai obyek politik yang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu seperti para pejabat negara dan


10

AGRO SWAKARSA | Edisi 13/2014

ke-38 dengan skor 62,5, Thailand ke-45 dengan skor 57,9, Vietnam ke-55 dengan skor 50,4, dan bahkan Filipina yang berada di urutan ke-63 dengan skor 47,1 (Global Food Security Index, 2012).

pengusaha. Memasuki era reformasi pemerintah semakin nampak ketidakseriusannya, justru menjadikan sektor pertanian sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan golongan. Pemerintah dinilai lebih senang menerapkan kebijakan impor bahan pangan daripada memberdayakan sektor pertanian untuk memproduksi bahan pangan dalam negeri. Data Bappenas tahun 2014 menunjukkan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor. Sepanjang periode 2010-2013, rata-rata impor besar pada periode ini meningkat 482,6 persen, cabai 141 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen. Pertanyaanya, kenapa pemerintah senang dengan kebijakan impor daripada menerapkan kebijakan yang betul-betul dapat memproduksi bahan pangan dalam negeri? Pertumbuhan impor pangan sekaligus menunjukkan buruknya kinerja sektor pertanian Indonesia. Kesemuannya itu dilatarbelakangi buruknya politik pangan Indonesia. Politik pangan Indonesia bukannya meberdayakan sektor pertanian, justru politik pangan dibangun berdasarkan kepentingan para pemilik kekuasaan dan kewenangan, bukan kepentingan bangsa dan masyarakatnya. Politik pangan yang demikian merusak sektor pertanian sebagai sektor utama dalam memproduksi bahan pangan. Dalam politik pangan, pemilik kekuasaan dan kewenangan akan menerapkan kebijakan impor karena mereka akan mendapatkan keuntungan dari para pihak yang terkait dengan kebijakan impor. Pemilik kekuasaan dan

kewenangan membangun komunikasi kolutif dengan para importir. Komunikasi kolutif adalah komunikasi yang melahirkan kesepakatan bersama yang saling menguntungkan kedua belah pihak (pemerintah-importir). Pemerintah (pemilik kekuasan dan kewenangan yang terkait) akan membuat kebijakan-kebijakan impor yang dapat mempermudah importir dalam menjalankan bisnis yang menguntungkannya. Dari situ pihak importir akan mengeluarkan sejumlah fee untuk para pemilik kekuasaan dan kewenangan yang membuat kebijakankebijakan itu. Pemerintah membuat kebijakan impor dilandasi kepentingan-kepentingan pragmatis sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat bukan melindungi dan memberdayakan sektor pertanian dalam negeri, justru melindungi dan memberdayakan pihak pengusaha importir dan negara-negara lain. Dampak dari kebijakan-kebijakan pragmastis itu adalah memburuknya kinerja sektor pertanian Indonesia. Akibatnya indeks ketahanan pangan Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga. Di antara 105 negara yang dinilai, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan ke-64 dengan skor 46,8 yang jauh di bawah Malaysia yang berada diperingkat ke-33 dengan skor 63,9, China

KORUPSI KEBIJAKAN PANGAN Kondisi pangan Indonesia diperburuk lagi dengan adanya korupsi kebijakan anggaran pangan. Jika pada kebijakan impor pemerintah mendapat keuntungan fee dari pengusaha dan negara-negara importir, namun pada kebijakan pangan pemerintah mendapat keuntungan melalui kebijakan anggaran untuk sektor pertanian dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (korupsi pangan). Pasca reformasi, pemerintah dinilai cukup aktif membuat kebijakan anggaran yang berpihak kepada sektor pertanian. Namun pada periode reformasi juga kinerja sektor pertanian semakin memburuk sebagaimana yang dipaparkan di atas. PÂŹada konteks ini terdapat korelasi positif antara kebijakan anggaran pangan dan perilaku korupsi pejabat negara sehingga menghasilkan kinerja buruk sektor pertanian. Melalui anggaran yang besar tersebut selayaknya tidak terdapat keterbatasan bahan pangan, penerapan kebijakan impor pangan, lahan yang tidak produktif, keterbatasan modal para tani, tradisionalistik pengolahan pangan, pengalihan profesi para tani, dan rendahnya daya jual para tani. Besarnya kebijakan anggaran pangan mestinya diikuti ketersediaan bahan pangan yang cukup dan bahkan lebih untuk diekspor. Politik kebijakan pangan di Indonesia belum menghendaki terwujudnya kemandirian bahan pangan dan terbentuknya daya saing sektor pertanian dalam negeri. Rupanya pemerintah masih ingin menikmati hasil dari kebijakan impor pangan, dan korupsi kebijakan anggaran sektor pertanian. Jika hal ini terus berlangsung bukan tidak mungkin negara kaya akan sumber daya alam ini akan menjadi pengemis di negara sendiri dan negara-negara lain.


KETAHANAN

Edisi 13/2014 | AGRO SWAKARSA

11

Pangan dan Ancaman Keamanan Dalam perspektif pertahanan dan keamanan, pangan masuk dalam kategori ancaman nonkonvensional. Sebelumnya, ancaman keamanan suatu negara hanya dilihat hal-hal yang bersifat militeristik atau hard power seperti perang, invasi dan tindakan militer.

M

asalah krisis pangan seringkali diletakkan dalam perspektif ekonomi semata seperti bagaimana menggenjot produktivitas pangan, mitigasi inflasi volatile foods dan mewujudkan swasembada pangan. Padahal masalah pangan tidak hanya sebatas itu. Ada dimensi lain yang juga sangat penting namun kurang mendapat perhatian yakni pangan sebagai ancaman keamanan. Dalam perspektif pertahanan dan keamanan, masalah pangan ini masuk dalam kategori ancaman non-konvensional (non-conventional security threat). Sebelumnya, ancaman keamanan suatu negara hanya dilihat secara konvensional dimana hal-hal yang bersifat militeristik atau hard power

seperti perang, invasi dan tindakan militer suatu negara terhadap negara lain. Pasca berakhirnya perang dingin, lanskap ancaman keamanan dan pertahanan global telah berubah. Ancaman yang awalnya lebih bersifat militer berubah menjadi cenderung nir militer. Hal ini terjadi karena dunia semakin terglobalisasi, terkoneksi satu sama lain dan interdependensi antar negara semakin menguat sebagai akibat dari adanya triple T revolution (teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi). Kondisi ini menyebabkan ancaman non konvensional seperti cyber security, krisis keuangan global, perdagangan manusia, virus epidemik, krisis energi, perubahan iklim dan juga krisis pangan menempati posisi terdepan di pangung

isu keamanan global pada saat ini dan masa-masa mendatang. POLITIK KEAMANAN PANGAN Bukan hal yang baru jika krisis pangan menjadi stimulus terjadinya gangguan instabilitas politik dan keamanan suatu negara. Jika kita baca sejarah, perang di zaman Majahpahit seperti perang Paregreg dan perang Diponegoro juga terpicu oleh konflik pangan dengan pemerintah kolonial Belanda. Di zaman Orde Lama, melangitnyanya harga-harga bahan makanan menjadi salah satu pendorong utama masyarakat dan mahasiswa untuk turun ke jalan menurunkan pemerintahan Soekarno dengan tiga tuntutan rakyatnya. Fakta sejarah yang sama kita dapatkan dari revolusi Mesir dimana gejolak harga pangan telah mendorong terjadinya gejolak sosial politik hingga menjadi kekuatan bola salju revolusi penggulingan kekuasaan rezim Husni Mubarok yang sudah tiga dekade memimpin mesir. Pemerintah Amerika Serikat mengerti benar arti penting pangan sebagai ketahanan keamanan sebuah negara, dalam pidatonya, George W. Bush (2001) pernah mengatakan, “ It’s important for our nation to build-to grow foodstuff, to feed our people. Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation subject to international pressure. It would be a nation at risk. So when we’re talking about American Agriculture, we’re really talking about a nation security”. Amerika Serikat tidak memandang pangan secara sempit. Mereka melihat pangan dalam konteks politik dan keamanan. Bahkan dalam sejarahnya, mereka juga menggunakannya sebagai senjata ampuh untuk menaikan posisinya sebagai negara adidaya untuk menekan negara yang tidak sejalan dengannya. Jepang sudah pernah merasakan ketika diembargo kedelai pada tahun 1974.


12

AGRO SWAKARSA | Edisi 13/2014

Uni Soviet saat itu pun harus mengalami gejolak krisis pangan di negaranya karena pemerintah Amerika Serikat tidak mau lagi mengekspor gandum ke Uni Soviet, padahal kebutuhan gandum domestik Uni Soviet sebagian besar bergantung pada Amerika Serikat. Sejumlah negara seperti Libya, Iran dan Irak meskipun mereka bergelimang minyak, tapi juga pernah mengalami krisis pangan akibat embargo pangan dari Amerika Serikat. REVITALISASI PERAN Pemerintah harus melakukan revitalisasi peran strategis pangan. Krisis pangan global sudah di depan mata. Semua negara sekarang sedang mempersiapkan badai krisis itu dengan kondisi siaga. Jika tidak ada langkahlangkah terobosan dalam melakukan revitalisasi peran strategis pangan ini, saya khawatir republik ini akan kembali jatuh dalam pusaran krisis yang mengkhawatirkan. Revitalisasi itu minimal meliputi tiga hal. Pertama, revitalisasi ideologis. Pangan adalah hak asasi manusia setiap warga negara bukan sekedar komoditas perdagangan yang mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Pemerintah dalam konteks ini berkewajiban menjaga bukan hanya ketahanan pangan nasional tapi juga kedaulatan pangan nasional. Harus ada keberpihakan yang nyata bagi para petani dan masyarakat. Pangan tidak boleh diserahkan dalam mekanisme pasar bebas, memperdagangkan nasib kehidupan masyarakat adalah pelanggaran terhadap HAM. Karena itu, menjaga kedaulatan pangan sama pentingnya dengan menjaga kedaulatan terotorial bangsa ini. Kedua, revitalisasi ekonomi. Pangan

dimana sektor pertanian sebagai penumpu utamanya harus menjadi lokomotif utama pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Lebih dari 40 persen masyarakat kita bekerja di sektor pertanian, sekitar 60 persen rumah tangga miskin menggantungkan kehidupannya di sektor ini dan lebih dari 70 persen pengeluaran masyarakat miskin hanya untuk pangan. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat selama ini ternyata tidak diimbangi dengan pertumbuhan yang tinggi di sektor ini. Hal ini terlihat dimana pertumbuhan ekonomi nasional 2011 melaju hingga mencapai 6,5% namun sektor pertanian hanya tumbuh 3%. Lompatan transformasi struktural dari sektor pertanian ke sektor jasa telah menjadikan perekonomian timpang dan decoupling. Pertumbuhan sektor keuangan yang semakin pesat ternyata tidak berimpilkasi positif terhadap pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Ketiga, revitalisasi keamanan. Ketahanan dan kedaulatan pangan harus menjadi salah satu pilar penting pertahanan dan kemananan nasional.

Kita harus belajar dari negara-negara maju bagaimana mereka membangun pangan mereka. Dalam laporan OECD (2001) ‘The Uruguay Round Agreement on Agriculture: An Evaluation of Its Implication in OECD Countries’ dinyatakan bahwa sekitar 80 persen pendapatan petani negaranegara maju di OECD termasuk Amerika Serikat adalah dari bantuan subsidi pemerintahannya. Padahal jika kita lihat secara obyektif, masyarakat negara maju sangat sedikit yang berprofesi sebagai petani. Di Amerika Serikat saja jumlah petani tidak lebih dari 10.000 orang, di Jepang tidak lebih dari 3 persen dari jumlah penduduknya. Negara-negara maju ini menerapkan kebijakan tarif dan kuota yang sangat tinggi untuk sektor pertaniannya. Hal yang paradoks jika kita lihat di negara-negara berkembang termasuk Indonesia dimana sektor pertaniannya justru di serahkan ke pasar bebas sehingga sangat tergantung dengan gejolak krisis pangan dunia. Hal yang sulit kita pahami adalah bagaimana mungkin kita sebagai bangsa agraris yang mayoritas penduduknya petani harus menggantungkan kebutuhan pemenuhan 30 persen daging, 53 persen garam, 60 persen kedelai dan 70 persen susu dari negara lain? Tidakkah kondisi ini menempatkan bangsa kita dalam risiko kemananan yang sangat mengkhawatirkan? Coba kita bayangkan apa yang akan terjadi jika nantinya hantaman krisis pangan dunia menerjang sehingga sektor perdagangan mengalami guncangan dan disaat bersamaan produksi domestik masih jalan di tempat? Oleh karena itu, sudah saatnya kita berpikir serius untuk memcahkan permasalahan terkait pangan ini, bukan hanya untuk kita, tapi untuk anak cucu generasi kita nanti.


SOLUSI

Edisi 13/2014 | AGRO SWAKARSA

13

Masa Depan Pertanian Indonesia

Hal yang paling mendasar adalah komitmen dan goodwill segenap komponen bangsa untuk mengembalikan momentum pembangunan pertanian sebagai penggerak ekonomi bangsa.

B

Oleh: Subejo / Dosen UGM

anyak kalangan pesimis akan masa depan pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia. Dunia pertanian seolah-olah menunggu lonceng kematian karena gagalnya berbagai kebijakan pembangunan terkait yang tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan petani. Problematika pembangunan pertanian memang sangat rumit dan saling berkaitan. Kebijakan yang tidak tepat akan berakibat sangat fatal dan bisa memperburuk kondisi petani sehingga akan lebih menderita lagi. Dengan mempertimbangkan kekayaan potensi sumber daya baik fisik maupun manusia kita sebenarnya bisa cukup optimis menuju kebangkitan dan kejayaan pertanian yang akhirnya akan membawa peningkatan taraf hidup pelaku utamanya yaitu petani. Hal yang paling mendasar adalah

komitmen dan goodwill segenap komponen bangsa untuk mengembalikan momentum pembangunan pertanian sebagai penggerak ekonomi bangsa. Kemauan politik dan keberpihakan negara dan politisi menjadi salah satu penentu kebangkitan pertanian. PANGAN DAN PERSOALANNYA Dalam konteks pembangunan pertanian umum Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan coklat kita mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5 persen atau 51 juta ton (Rice Almanac, 2002). China dan India sebagai produsen utama

beras berkontribusi 54 persen. Vietnam dan Thailand yang secara tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi 54 dan 3,9 persen. Rerata produksi beras Indonesia 4,3 ton/hektar. Produktivitas tersebut sudah melampaui India, Thailand, dan Vietnam. Meskipun masih di bawah produktivitas Jepang dan China (rerata di atas 6 ton/ hektar). Lalu, kenapa Indonesia hampir setiap tahun selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan. Utamanya yaitu beras? Ada beberapa persoalan serius yang perlu dicermati dan dicarikan solusinya. Salah satu sebab utama adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa. Makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi luar biasa besar. Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg


14

AGRO SWAKARSA | Edisi 13/2014

(IRRI, 1999). Hal itu juga menunjukkan bahwa program diversifikasi pangan di Indonesia masih jauh dari berhasil. Namun, sepanjang kita masih mengkonsumsi beras dengan jumlah sebanyak itu maka problem pangan masih akan sulit diatasi. Persoalan yang lain adalah transformasi struktural yang kurang berjalan. Di mana pun di dunia ada pola bahwa peran pertanian dalam perkonomian nasional akan semakin menurun dan ada pergerakan angkatan kerja ke sektor industri dan jasa. Di Indonesia lahan pertanian semakin dipenuhi oleh angkatan kerja baru karena tidak ada alternatif lain untuk mencari pekerjaan. Tentu hal ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan efisiensi produksinya. Dalam tahap tertentu tesis Clifford Geertz tentang agricultural involution nampaknya telah berlaku. Mencari Jalan Keluar Penyelesaian persoalan pertanian juga bergantung pada sektor-sektor yang lain. Pertanian sendiri tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri. Perlu keterpaduan lintas sektoral untuk mengatasi persoalan karena saling berkaitan. Kebijakan diversifikasi pangan terkait pengolahan pangan. Sektor perindustrian dan perdagangan akan memainkan

peran penting. Penganekaragaman pangan harus dimulai dengan serius dengan melakukan tindakan nyata untuk menggali kembali bahan pangan lokal terutama umbi-umbian yang tersedia melimpah. Perlu dikampanyekan dengan sistematis sebagai substitusi beras sampai tataran tertentu. Pengalaman Jepang yang mengkampanyekan bahan pangan lokal dan gandum ketika terjadi kelangkaan pangan/beras awal kekalahannya dalam Perang Dunia II dengan menyediakan makanan untuk anak sekolah terbukti sangat efektif mempengaruhi perilaku konsumsi pangan. Saat ini konsumsi beras orang Jepang hanya 90 kg per orang per tahun dan cenderung semakin menurun. Persoalan akses petani terhadap lahan juga menjadi isu yang sangat serius. Sebagian besar petani kita adalah petani gurem (kepemilikan kahan kurang dari 1.000 meter), jumlah tuna kisma meningkat terus menerus. Kebijakan land reform yang dicetuskan sejak awal pemerintahan SBY nampaknya juga belum memberikan hasil yang jelas. Selain implementasi nyata land reform yang memberi akses lahan pada petani. Masalah petani gurem juga terkait dengan transformasi struktural pedesaan dan pertanian. Dalam transformasi struktural penciptaan industri pedesaan melalui

pengolahan bahan pangan lokal nampaknya akan membuka lapangan kerja baru baik dalam hal produksi, pengolahan, maupun distribusi dan pemasarannya. Pertanian yang sehat dan produktif (viable) seyogyanya memiliki luasan yang cukup. Sebagian petani gurem dan tuna kisma dapat beralih profesi ke industri pedesaan jika kesempatannya diciptakan. Secara tidak langsung ini juga memberikan kesempatan sebagian petani untuk mengelola lahan dengan skala ekonomi baik melalui sistem persewaan maupun bagi hasil sehingga diharapkan produktivitasnya meningkat nyata. Perlu dilakukan berbagai kebijakan yang mampu memberi insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Investasi yang besar baik investasi sumber daya manusia maupun sumber daya fisik di bidang pertanian sangat perlu menjadi prioritas. Penelitian dan pengembangan teknologi serta penyuluhan pertanian baik skala nasional, regional, dan lokal menjadi sangat urgen. Penelitian yang serius tentang benih-benih baru dengan produktivitas tinggi melalui pendekatan bioteknologi menjadi solusi yang baik. Saat ini petani semakin sulit memperolah benih yang berkualitas karena umumnya diproduksi oleh perusahaan multinasional yang profit oriented sehingga harganya menjadi sangat mahal. Lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai penyedia public goods perlu didukung penuh sehingga mampu menghasilkan teknologi dan inovasi alternatif yang bisa diakses secara murah oleh public utamanya petanipetani kecil di pedesaan. Pembangunan infrastruktur pertanian seperti saluran irigasi, jalan desa, pasar desa, dan lain-lain menjadi vital untuk menggairahkan petani. Jika berbagai kebijakan dapat berjalan dengan baik dan mampu memberikan insentif bagi petani maka harapan dan optimisme keberhasilan pembangunan pertanian akan semakin nyata. Keberpihakan dan waktu yang akan membuktikan apakah pertanian kita akan bangkit atau justru akan semakin terkubur..


ANALISA

Edisi 13/2014 | AGRO SWAKARSA

15

Memahami Tiga Sisi Pangan:

Ketersediaan, Kualitas dan Fungsi

P

angan bisa dilihat dari tiga sisi, yaitu ketersediaan, kualitas dan fungsi. Jika dilihat dari ketersediaan harus dalam posisi surplus sehingga akan memenuhi tingkat permintaan dan daya beli yang terjangkau. Jika pangan mengalami keterbatasan ketersediaan, maka akibat yang ditimbulkan adalah kenaikan harga dan terbatasnya jumlah konsumsi. Untuk itu peran dan upaya pemerintah untuk selalu dan terus menciptakan surplus produsen menjadi kepastian. Jika tidak, akan terjadi instabilitas harga dan memepengaruhi harga harga komoditas lain. Langkah spekulasi saat terjadi kekurangan pangan adalah melakukan tambahan kuantitas melalui impor. Jika harga impor lebih murah dan ketersediaan devisa kita memenungkinkan, maka impor menjadi mendesak untuk dilakukan, apalagi jika didukung oleh factor nn teknis yang

menyebabkan produksi menurun akibat bencana atau serangan hama. Pangan dilihat dari sisi kualitas berkaitan erat dengan daya saing jika dihadapkan dengan pasar. Pasar selalu menginginkan ketersediaan pangan dan kualitasnya. Untuk itu pangan dengan kualitas yang baik selalu identik dengan membaiknya nilai tambah yang diterima produsen dan memberi manfaat tinggi terhadap konsumen. Untuk itu kualitas pangan menjadi hal yang sangat penting setelah ketersedaiaan yang memenuhi permintaan. Pangan yang berkualitas akan mampu meningkatkan devisa negara. Kemudian devisa menjadi faktor untuk insentif terhadap proses produksi untuk meningkatkan produksi kembali. Disinilah peran penting dan intervensi pemerintah dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas produksi, harga dan pasar. Kemudian pangan dilihat dari fungsinya memberikan makna, bahwa

pangan adalah identitas kekuasaan yang melekat pada kebijakan yang digulirkan. Kepemimpinan yang mampu menjaga dan meningkatkan produksi dan kualitas pangan secara tidak langsung identik dengan perlindungan dan pelayanannya terhadap rakyat. Jika pangan mengalami masalah terbatasnya konsumsi, juga akan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi melalui mekanisme harga yang tinggi. Dan yang lebih ekstrim adalah jika pangan langka atau sulit diakses di pasar, maka pangan akan merambah instabilitas dan krisis politik serta kepemimpinan. Oleh sebab itu bicara soal pangan bukan hanya terkait soal teknis dan jumlah supplynya tapi juga menyangkut eksistensi suatu bangsa dan kepemimpinan. Pentingnya penciptaan ketahanan pangan sebagai wahana penguatan stabilitas ekonomi dan politik, jaminan ketersediaan pangan dengan harga


16

AGRO SWAKARSA | Edisi 13/2014

yang terjangkau dan menjanjikan untuk mendorong peningkatan produksi. Pemenuhan pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama

dalam pembangunan ekonomi. Permintaan pangan yang meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, mendorong percepatan produksi pangan dalam rangka terwujudnya stabilisasi harga dan ketersediaan pangan, sehingga ketahanan pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilisasi penyediaan pangan serta daya dukung sektor pertanian. Namun kepadatan penduduk yang diperkuat dengan penyusutan areal tanam, khususnya penurunan luas lahan pertanian produktif akibat konversi lahan untuk kepentingan sektor non-pertanian. Ditambah

kecilnya margin usaha tani yang berkonsekuensi pada rendahnya motivasi petani untuk meningkatkan produksi, serta adanya kendala dalam distribusi pangan sebagai akibat keterbatasan jangkauan jaringan sistem transportasi, ketidaktersediaan produk pangan sebagai akibat lemahnya teknologi pengawetan pangan. Dan masih diperkuat lagi dengan kakunya (rigid) pola konsumsi pangan sehingga menghambat upaya pencapaian kemandirian/ketahanan pangan. Kondisi yang demikian tersebut makin memperpanjang fenomena kemiskinan dan ketahanan pangan yang dihadapi.


SISI PELAKU

Edisi 13/2014 | AGRO SWAKARSA

17

Petani dan Politik Pangan Petani sebagai aktor utama dalam penyediaan pangan dalam arti beras saat ini juga mengalami kondisi yang menyedihkan.

P

etani sebagai obyek akan politik pangan harus ditempatkan sebagai mitra dalam penentuan kebijakan pangan. Selama ini petani hanya menerima kebijakan tanpa adanya keterlibatan dalam menentukan arah kebijakan pangan nasional. Adanya Bulog, Kementan, Kementrian Perdagangan sering membuat arus kebijakan tidak sinkron, kadang malah berbenturan satu dengan yang lain. Sebagai contoh kebijakan Impor beras telah ditetapkan oleh pemerintah sebesar 1,5 juta ton beras tahun 2011. Namun menteri perdagangan akan menambah impor beras menjadi 1,7 juta ton beras. Posisi ini BULOG dan Kementan tidak bisa berbuat banyak, walaupun kementan menyampaikan surplus beras tahun 2011 berkisar 15 – 16 juta ton beras. Melihat kondisi masih lemahnya kordinasi dan sinkronisasi antardepartemen, munculnya ego sektoral serta rendahnya implementasi

kebijakan politik pangan nasional rasanya sulit bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan secara nasional. Melihat masalah di atas pemerintah harus kembali kepada kebijakan politik pangan yang berorientasi kepada kesejahteraan petani dan kemandirian pangan nasional. Untuk mencapai itu politik pangan dikembalikan sebagai soko

guru politik nasional melalui pendekatan dalam berbagai perspektif yang utuh. Pertama, politik pangan sebagai pilar kesejahteraan nasional. Artinya bahwa politik harus mengembalikan urusan pangan sebagai masalah pokok yang harus segera diselesaikan. Urusan pangan yang meliputi pemenuhan kebutuhan sehari–hari masyarakat seperti beras, jagung, lauk pauk harus mendapatkan dukungan yang penuh. Sebagai contoh lahirnya UU Perlindungan Petani untuk melindungi petani dan usaha pertanian agar tidak hancur oleh kebijakan luar. Perspektif politik pangan sebagai penyelamatan dan optimalisasi potensi pertanian. Potensi pertanian Indonesia ibarat laut yang tidak pernah habis airnya, artinya bahwa kekayaan alam pertanian Indonesia selalu mampu memberikan pangan kepada rakyat selama potensi ini dipelihara secara berkelanjutan. Kalau politik pangan sebagai pilar kesejahteraan nasional menghadirkan regulasi yang berpihak kepada petani, maka perspektif penyelamatan dan optimalisasi adalah upaya memanfaatkan kekayaan alam pertanian untuk petani, bukan hanya dinikmati oleh pemodal saja. Keberadaan dunia pertanian nasional merupakan asset anak negeri yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang. Pertanyaannya adalah apakah dunia pertanian 100 tahun ke depan akan bisa menjawab tantangan kebutuhan pangan dunia? Tergantung saat ini apa yang kita lakukan, jika kita menghancurkan pertanian sendiri maka generasi ke depan akan selalu mengingat bahwa penyebab kelaparan dan kemiskinan adalah kita saat ini yang mengeksploitasi pertanian secara tersistem dan terencana.


18

EPILOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 13/2014

Siapa pun pemimpin yang terpilih nanti, kita hanya menuntut dia mampu mengelola potensi besar pertanian negeri ini menjadi kekuatan yang menyejahterakan petani dan rakyat.

Presiden yang Dicintai Petani

P

emilu anggota legislatif telah berakhir. Hasil hitung cepat beberapa lembaga survey menunjukkan tidak ada partai politik yang dominan menguasai jagad politik negeri ini. PDI Perjuangan, Golkar dan Gerindra menduduki tiga peringkat pertama, dengan perolehan angka yang tidak memungkinkan ketiganya mencalonkan presiden tanpa koalisi. Artinya, mereka harus berkoalisi untuk membentuk pemerintahan yang kuat dan dapat menguasai suara parlemen. Sekarang semua menunggu loby-loby politik antar partai untuk menentukan sosok dan arah kepemimpinan nasional. Siapapun yang akan menjadi pemimpin negeri ini, yang pasti dia akan dihadapkan banyak persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Selain penyakit korupsi yang belum tuntas diberantas, negeri ini juga tersandera berbagai persoalan yang membuat kemajuan, kesejahteraan dan tujuan mulia sebagai bangsa dan negara seolah sulit dicapai.

Kedaulatan pangan yang sangat ringkih, kedaulatan energi yang makin kritis, kedaulatan budaya yang semakin rapuh dan berbagai persoalan besar lainnya akan menjadi pekerjaan besar presiden terpilih. Oleh karena itu, negeri ini membutuhkan pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan, taktis menyelesaikan masalah, kuat mengelola politik dan memiliki komitmen untuk menyejahterakan rakyat. Untuk sektor pertanian, kita berharap akan muncul pemimpin yang tahu, paham, serta benar-benar menjiwai denyut dan detak hidup para petani. Siapa pun pemimpin yang terpilih nanti, kita hanya menuntut dia mampu mengelola potensi besar pertanian negeri ini menjadi kekuatan yang menyejahterakan petani dan rakyat. Perlu terobosan besar untuk bisa mendudukkan kembali sektor pertanian sebagai poros kebijakan ekonomi nasional. Perlu keberanian dan komitmen tinggi untuk menjadikan sektor pertanian

sebagai pilar utama perekonomian nasional. Bukankan penghuni terbesar negeri ini adalah para petani? Agar seluruh rakyat, terutama para petani bisa memilih dengan cerdas dan tepat calon pemimpin negeri ini, maka sudah sepantasnya mulai saat ini para calon pemimpin dan partai pendukungnya mulai menggelar dengan gamblang dan rinci program dan sasaran kerja yang ditawarkan. Kita berharap ada pemikiran besar untuk memacu pertumbuhan dan kemajuan sektor pertanian dari para kandidat presiden. Kita berharap mereka menawarkan program yang luar biasa yang kemudian bisa diwujudkan untuk kebangkitan pertanian dan para petani di negeri ini. Kita berharap memiliki presiden yang mampu membuat jutaan petani hidup lebih sejahtera dan tertawa bahagia. Siapapun presidennya, apapun partainya, kita hanya berharap akan terpilih presiden yang mencintai dan dicintai petani.

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Ir. Raymond Rajaurat Dewan Redaksi: Ir. Raymond Rajaurat, Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi: M. Mutawally, Ronald Simarmata, Andri Penerbit: Yayasan Media Wasantara, anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri: Rimson Simanjorang Managing Director: Ir. David J. Simanjorang Bank: Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 1967 957 a/n. Raymond Rajaurat Alamat Redaksi: Jl. Yupiter Utama D10/12, Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493, 0811192306 Alamat Iklan/Tata Usaha: Jl. Purnawirawan Raya 12/424, Bandar Lampung Telp: 0816406304 Website: www.opini-indonesia.com/agro Email: agro@opini-indonesia.com Percetakan: PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting) Isi diluar tanggungjawab percetakan




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.