Agro 14 juni 20 hal

Page 1

Mempertanyakan Visi Pertanian Capres

Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com/agro

Edisi 14/Juni 2014

Pilpres

Menatap Ulang Masa Depan Pertanian Kita




4

AGRO SWAKARSA | Edisi 14/2014

PROLOG

Pilpres dan Masa Depan Pertanian Indonesia Dua calon presiden (capres), yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, Minggu (25/5), pada kesempatan berbeda, di hadapan para peserta mereka memaparkan visi-misinya. Salah satu yang mereka sampaikan adalah soal pertanian. Menurut Jokowi, selain fokus pada energi, pangan juga mesti diperhatikan. Sumber daya manusia (SDM) harus diarahkan untuk itu. Sementara itu, Prabowo mengatakan, pertanian adalah mesin pertumbuhan utama ekonomi Indonesia.


P

ertanian memang menjadi sektor penting yang harus diperhatikan lebih serius lagi. Indonesia, selain sebagai negara maritim juga negara agraris yang bertanah subur. Kita pernah mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 1984 karena berhasil swasembada pangan. Harus diakui, ini salah satu keberhasilan pemerintah Orde Baru (Orba) pimpinan Soeharto. Namun, sejak saat itu kemampuan untuk swasembada pangan terus menurun akibat investasi pemerintah di bidang pertanian yang berkurang dari tahun ke tahun. Puncaknya terjadi saat krisis ekonomi tahun 1997 yang menghantam Asia. Para petani sebenarnya tidak mengalami krisis. Namun, karena Indonesia pada Oktober 1997 menandatangani Letter of Intent dengan IMF, petani ikut terjerumus dalam krisis. Pada 1998, Indonesia misalnya dipaksa menurunkan tarif beras sampai 0 persen. Selain itu, Indonesia dilarang memberi subsidi pupuk. Keduanya membuat petani tak berdaya bersaing dengan beras impor yang lebih murah daripada beras di dalam negeri. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mempunyai peraturan khusus tentang subsidi pertanian, yaitu Agreement on Agriculture (AoA). Dengan perjanjian AoA ini, negara-negara anggota WTO memiliki beberapa kewajiban. Pertama, membuka pasar domestiknya bagi komoditas pertanian dari luar (market access). Kedua, negara anggota WTO

Edisi 14/2014 | AGRO SWAKARSA

harus mengurangi subsidi domestik. Ketiga, mengurangi subsidi impor. Akibat perjanjian AoA ini, petani benar-benar dibuat makin jauh terpuruk karena petani yang lemah itu dibiarkan hanyut dalam terjangan arus globalisasi pasar bebas. Mengutip A Husni Malian (2011), AoA sebenarnya lebih banyak merugikan negara-negara berkembang dan menguntungkan negara-negara maju. Pertama, akses terhadap pasar bebas di negara-negara maju jauh lebih sulit dijangkau negara-negara berkembang. Itu karena begitu banyaknya hambatan nontarif serta initial tariff rate yang tinggi. Kedua, dengan kekuatan modal yang mereka miliki, negara-negara maju dapat memberikan subsidi terhadap komoditas pertanian yang mereka produksi untuk mendorong laju ekspor mereka. Ketiga, tidak adanya fleksibilitas bagi negaranegara berkembang untuk menyesuaikan tarif di dalam perjanjian ini. Negara-negara maju yang lantang menuntut penghapusan subsidi pertanian justru menggelontorkan dana besar untuk subsidi pertanian mereka. Menurut Kevin Watkins dari Oxfam, setiap tahun negara maju mengeluarkan US$ 1 miliar per hari untuk memberi subsidi pada pertanian mereka. Pada 2002 saja, 30 negara industri yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menghabiskan US$ 311 miliar untuk subsidi pertanian. Dengan subdisi ini, mereka dapat membuat jatuh harga gandum dan produk pertanian lain di dunia. Hal ini pada gilirannya merugikan petani di negara-negara yang sedang berkembang. Peraturan lain WTO yang menghimpit pertanian, terutama di negara yang sedang berkembang adalah apa yang disebut dengan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Salah satu pasalnya mengenai pertanian menetapkan hak intelektual atas tanaman dan bibitnya yang telah dikembangkan perusahaan bioteknologi. Ini menyebabkan komunitas setempat kehilangan hak atas sumber daya mereka sendiri. Selain itu, petani harus membayar

5

untuk menanam tanam-tanaman yang sudah dipatenkan, seperti beras, gandum, kedelai, jagung, kentang, dan lain-lain. Kelembagaan Petani Dalam situasi seperti ini, langkah yang dapat dilakukan antara lain memperkuat kelembagaan petani. Ini merupakan faktor penting bagi terbukanya akses pasar bagi petani. Elizabeth dan Darwis (2003) mengatakan, agar kelembagaan petani dapat tetap tumbuh dan berkelanjutan, harus terpenuhi prinsip kemandirian lokal. Prinsip tersebut merupakan sebuah pendekatan di mana pemberdayaan harus dilakukan secara terdesentralisasi dan bukan terpusat yang cenderung menciptakan keseragaman. Prinsip ini harus terejawantahkan melalui harmonisasi antara institusi kelembagaan lokal tradisional yang dilandasi jiwa komunitas, kelembagaan pasar yang dilandasi ekonomi pasar, dan kelembagaan politik atau birokrasi. Kita sebenarnya punya KUD (Koperasi Unit Desa) yang dibentuk pemerintah Orba. Swasembada pangan yang pernah kita alami tahun 1980-an, salah satunya disebabkan adanya lembaga ini. Sayangnya, nasib koperasi sekarang ini semakin buram. Menurut Endang Thohari, anggota Majelis Pakar Dekopin, jumlah koperasi di Indonesia dari tahun ke tahun memang semakin besar, yaitu mencapai 170.411 unit dengan anggota berjumlah 29,240 juta pada 2010 dan mampu meningkatkan volume usaha mencapai Rp 82,1 triliun. Namun, di balik itu sesungguhnya 10 persen koperasi di Indonesia sudah tidak aktif lagi. Mirisnya, sebagian besar adalah KUD. Jokowi dan Prabowo punya visi-misi global untuk memajukan pertanian Indonesia. Menarik ditunggu, apakah mereka punya strategi khusus yang lebih implementatif untuk itu di tengah persaingan ekonomi dunia yang dikuasai negara-negara maju? Apakah mereka bisa memanfaatkan pusaran ekonomi pasar bebas saat ini untuk kepentingan para petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka? Bagaimana cara mereka memperkuat kelembagaan petani hingga kita bisa kembali menjadi negara swasembada seperti dulu? Jangan sampai tanah subur yang hakikatnya adalah berkah berubah menjadi kutukan karena pemerintah tak becus mengelolanya untuk kepentingan rakyat. Fajar Kurnianto Universitas Paramadina Jakarta


6

VISI CAPRES

AGRO SWAKARSA | Edisi 14/2014

Melihat Visi Pertanian Capres Kedua pasangan Calon Presiden (Capres) Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK memiliki potensi, keinginan dan tekad untuk memajukan sektor pertanian yang tangguh di Indonesia.

D

ua calon presiden yang bersaing dalam Pilpres mendatang mengungkapkan visi pertanian masing-masing. Capres Joko Widodo (Jokowi) berkesempatan menyampaikan gagasan lebih dahulu pukul 08.00 Wita. Sedangkan Prabowo yang dijadwalkan pukul 11.00 Wita baru mulai menyampaikan pidato pukul 12.00 Wita dalam sebuah acara yang digelar di Hotel Mesra Samarinda, Jl Pahlawan No 1, Kalimantan Timur, Sabtu (24/5/2014). “Problem pertanian kita saat ini tak ada irigasi yang dibangun. Dan juga halhal yang berkaitan dengan konversi lahan dari padi, ubi-ubian, dan lainya ini banyak terkonversi ke lainya seperti perumahan dan tambang,” kata Jokowi. Selain itu Jokowi pun menyampaikan soal mahalnya biaya pupuk dan pestisida impor. Menurut Gubernur DKI ini, jika menggunakan pupuk kompos dan pestisida alami, maka beban biaya petani

dapat ditekan. “Mestinya prokdutivitas kita bisa ditingkatkan dengan mengedepankan riset. Riset kita harus diperhatikan pemerintah,” ujar sarjana kehutanan UGM ini. Sementara itu di kesempatan berbeda Prabowo lebih menitikberatkan pada investasi pertanian. Menurut dia program tersebut adalah terobosan menuju ekonomi kerakyatan. Prabowo mengambil contoh salah satu rumus investasi aliran neo-liberal yang dinilainya tidak efektif. Rumus itu berbunyi bahwa 1% pertumbuhan membutuhkan investasi Rp 50 triliun dan menghasilkan 400.000 pekerja. “Kalau dalam sistem kita, saya namakan ekonomi kerakyatan. Rp 50 T sama kita, kita bangun 1 juta hektar pertanian. Satu hektar bisa enam orang pekerja. Dari hulu sampai hilir bisa menciptakan enam orang bekerja jadi dengan investasi yang sama kita bisa

hasilkan enam juta orang bekerja,” papar Prabowo. Menurut Prabowo, seharusnya sektor pangan di Indonesia diperkuat. Bukan tidak mungkin jika swasembada pangan terwujud kemudian hasil pertanian diolah menjadi bio-energy. “Indonesia adalah negara tropis. Negara tropis itu sepertiga dunia. Sedangkan kita luasnya sepertiga dari seluruh zona tropis di dunia. Kalau dengan teknologi yang baik kita bisa dua kali panen. Pangan ini kita bisa jadikan komoditas strategis. pangan adalah senjata,” ungkapnya menandaskan. Di mata Pengamat Indonesia memiliki potensi pertanian yang besar. Namun kenyataannya potensi tersebut hingga kini belum dimanfaatkan dengan baik, sehingga pangan seperti beras, kedelai dan aneka jenis buah -buahan masih sangat tergantung dari produksi negara lain, sehingga impor hasil pertanian tidak dapat dihindari Pengamat masalah pertanian dari Unud, Prof. Dr.Wayan Windia menyatakan, hal itu tergambar secara jelas dalam visi misi, kedua Cawapres. Windai yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud itu menyatakan, potensi bidang pertanian yang besar di Indonesia, diharapkan bisa diolah dalam mewujudkan pertanian yang berdaulat berbasis kesejahteraan rakyat. Untuk itu, pasangan Capres yang dipercaya rakyat untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia lima tahun ke depan, harus mampu mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian dan ketahanan pangan, sehingga Indonesia tidak lagi tergantung pada produk negara lain. ‘’Pembangunan sektor pertanian diharapkan bisa menjadi prioritas utama sesuai a manat Udang-Undang Pangan dalam mewujudkan ketiga sasaran, yakni ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan,’’ katanya. Menurutnya, untuk merealisasikan sasaran itu sangat memungkinkan, karena wilayah Indonesia sebagai daerah tropis memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan subur. ‘’Masalahnya hanya kemauan pemerintah untuk mengalokasikan dana untuk membangun sektor pertanian secara sungguh-sungguh,” tutur Prof Windia, yang juga Sekretaris Tim Penyusunan Proposal subak untuk menjadi warisan budaya dunia (WBD). SYG/PBAL/ED


ANALISA

Edisi 14/2014 | AGRO SWAKARSA

Indonesia Butuh

Presiden Pertanian Presiden baru Indonesia harus punya komitmen yang besar terhadap kemajuan dan masa depan pertanian Indonesia, jika tetap menginginkan terjadinya stabilitas politik dan pangan.

B

icara soal pembangunan tidak bisa dilepaskan dari pembangunan pertanian. Namun yang menarik perhatian publik dunia dan para praktisi pembangunan pertanian kaitanya dengan masalah pangan. Pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang signifikan khususnya di Asia memberikan pengaruh besar terhadap permintaan pangan. Tidak hanya dari aspek jumlah dan jenisnya, namun pangan juga harus memenuhi kualitas asupan gizi dan ketahananya.Isu pangan juga menjadi agenda Indonesia yang memiliki potensi besar untuk mensupply permintaan dunia. Namun, yang menjadi permasalahan utama Indonesia justru menjadi pengimpor produk pangan

yang sangat besar padahal realitasnya Indonesia mampu memproduksi sendiri. Permasalahan pertanian terkait aspek impor akan berujung pada rendahnya kapasistas cadangan devisa dan selalu melemahnya nilai tukar khsusnya petani karena pertanian dan petani tidak memilki produktivitas tinggi dan selalu memiliki nilai tukar rendah akibat gempuran produk produk impor yang semakin tinggi. Jika hal ini tidak diantisipasi dan ditangan secara sistematis, maka akan berakibat fatal terhadap masa depan pertanian dan petani Indonesia, yaitu negara agraris yang 60 % penduduknya bekerja disektor pertanian namun miskin dinegaranya sendiri akibat lemahnya posisi petani dalam berhadapan dengan pasar dan daya saing didalamnya.

7

Isu dan wacana kedaulatanpertanian dan pangan menjadi relevan untuk menjadi opsi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Namun harus disadari dalam upaya mewujudkan tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena menyangkut keinginan baik presiden dan mentalitas birokrasi, pengusaha dan karakter politik Indonesia. Selama ini pemerintah belum sepenuhnya memiliki keperpihakkan penuh terhadap sektor pertanian yang berakibat melemahnya sektor pertanian dari berbagai dimensi. Kedaulatan Pertanian dan Pangan Tantangan memujudkan kedaulatan pertanian secara umum menyangkut beberapa hal sebagai berikut: (1) Tekanan jumlah penduduk yang semakin tinggi, (2) Perubahan iklim dan anomali cuaca, (3) Krisis energi ketika pembangunan pertanian harus dipercepat, (4) Infrastruktur pertanian yang belum memadai dan bermasalah yaitu bendungan dan saluran irigasi/drainase, (5) Globalisasi dan keterbukaan yang meyangkut kerjasama ekonomi kawasan, (6) Berkurangnya cadangan air dan manajemen pemanfaatan air, dan (7) alih fungsi lahan & land-grabbing yang tak terbendung oleh pemodal & negara maju. Kemudian upaya kedaulatan pertanian dan pangan Indonesia juga


8

AGRO SWAKARSA | Edisi 14/2014

dihadapkan pada tantangan yang bersifat spesifik dan krusial, yaitu: (1) Kondisi rumahtangga petani berkurang secara signifikan akibat urbanisasi dan kurang menariknya sektor pertanian sebagai mata pencaharian, (2) Tumpuan melewayi middle-income trap, (3) Prilaku kebijakkan yang hanya menghandalkan target politis swasembada pangan dibandingan pencapaian pembangunan pertanian yang sesungguhnya, (4) Aspek keberlanjutan dan keterpaduan pembangunan sektor pertanian dengan sektor lainya yang belum optimal bahkan mengalami distorsi, (5) Semakin melemah dan berkurangnya kapasitas sumberdaya insani pertanian, (6) Tantangan terkait governansi pengembangan biioteknologi yang sangat mempengaruhi produktivitas pangan, dan (7) Semakin kristisdan agresifnya konsumen terhadap permintaan produk produk pangan. Nampaknya upaya mewujudkan kedaulatan pangan tidak akan melewati jalan mulus jika melihat berapa aspek yang harus dilalui. Pertanian tidak bisa dipandang sebelah mata jika tidak ingin menjadi beban jangka panjang Indonesia. Oleh sebab itu pendekatan pewujudtan kedaulatan pertanian dan pangan tidak bisa dilepaskan dari aspek politik dan keinginan baik dari pemerintah. Presiden dan Kabinet Pertanian Pemilu 2014 merupakan momentum terbaik untuk menggapai mimpi dan cita cita tersebut, yaitu melalui kabinet dan komitmen yang kuat presiden baru RI. Tentu dibutuhkan presiden yang sangat memahami aspek apsek pembangunan khususnya sektor pertanian sehingga upaya memuwujudkan kedaulatan

pertanian dan pangan dapat menjadi kenyataan. Fenomena berkurangnya rumah tangga petani berdasarkan sensus peratnian 2013, dimana SP 2013 RTP (Rumah Tangga Petani) dari 26,14 jutamenurun 5 juta (1,75 %) dariSP 2013, di Jawa tengah menurun 1,5 juta, Jawa Timur 1,3 juta dan Jawa Barat 1,3 juta. Ini salah satu tantangan riil yang akan dihadpi oleh kabinet/pemerintahan berikutnya. Jika tidak ditangani dan kelola dengan baik akan berakibat pada penurunan PDRB sektor partanian dan pendapatan petani kemudian

berujung pada kemiskinan perdesaan. Akibat berikutnya pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk sektor pertanian jauh lebih besar dibandingkan dengan memberikan anggaran untuk meningkatkan produksi dan produktivitas petani. Presiden baru Indonesia harus punya komitmen yang besar terhadap kemajuan dan masa depan pertanian Indonesia, jika tetap menginginkan terjadinya stabilitas politik dan pangan. Saefudin Sae Peneliti & Aktivis Kemasyarakatan





12

VISI VS REALITA

AGRO SWAKARSA | Edisi 14/2014

Mempertanyakan Visi Pertanian Capres Secara umum, tidak banyak solusi yang jelas yang ditawarkan oleh kedua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kita. Semoga saja ini karena memang dokumen visi misi yang dikumpulkan sekarang tidak cukup untuk menampung pembahasan tentang ini hingga tuntas.

P

ertanian adalah sektor yang penting, sehingga setiap calon presiden harus memiliki visi yang jelas tentang sektor ini. Di sektor ini, permasalahan yang ada begitu kompleks, mulai dari kurangnya lahan, berlebihnya tenaga kerja, kurangnya pembiayaan, irigasi, pemasaran hasil panen, pengolahan hasil pertanian, hingga soal harga komoditas pertanian yang ideal bagi petani dan konsumen serta beragam masalah yang lain. Bagaimana Jokowi-JK dan PrabowoHatta akan menjawab persoalanpersoalan ini?

Untuk mengatasi kurangnya lahan Prabowo dan Jokowi sama-sama ingin menciptakan lahan pertanian baru. Prabowo ingin menambah 2 juta hektar lahan pertanian baru untuk tanaman pangan seperti beras, jagung, sagu, kedelai dan tebu yang diklaim mampu menciptakan lebih dari 12 juta lapangan kerja. Selain itu Prabowo juga akan membuat 2 juta hektar lahan untuk tanaman lainnya seperti aren, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sorgum, kelapa, dan kemiri yang lagi-lagi diklaim dapat menciptakan lebih dari 12 juta lapangan kerja baru. Prabowo juga menjanjikan reforma

agraria untuk menjamin kepemilikan tanah rakyat. Sementara itu, Jokowi bertekad melakukan land reform atas kepemilikan 9 juta hektar tanah dan menciptakan 1 juta hektar lahan pertanian baru di luar Jawa. Jokowi juga berjanji akan menghentikan konversi lahan produktif untuk usaha lain seperti industri, perumahan dan pertambangan. Solusi yang ditawarkan kedua calon presiden tersebut bisa dibilang kurang realistis. Selama ini Kementerian Pertanian hanya mampu menambah paling banyak 40.000 hektar lahan pertanian baru setiap tahunnya. Padahal kecepatan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mencapai 100.000 hektar per tahun, dalam lima tahun mencapai 500.000 hektar. Artinya ada penyempitan lahan pertanian 60.000 hektar per tahun. Melihat fakta ini sangat wajar jika kita bertanya bagaimana cara kedua calon presiden ini merealisasikan janji mereka tersebut. Jokowi memang berjanji menghentikan konversi lahan produktif, tapi bagaimana caranya? Apakah demi memenuhi kebutuhan pangan kita, lalu kita akan melarang petani menjual lahannya kepada manufaktur atau pengembang perumahan yang berani membayar mahal? Land reform seperti apa yang diinginkan Jokowi? Reforma agraria seperti apa yang dimaksud Prabowo? Pertanyaan-pertanyaan “bagaimana� tersebut belum tergambar dengan baik. Persoalan berikutnya di sektor pertanian adalah terlalu banyaknya jumlah tenaga kerja. Sektor pertanian menyerap sekitar 34 persen total tenaga kerja nasional, namun kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 14 persen. Artinya uang 14 persen harus dibagi kepada 34 persen tenaga kerja tersebut. Tidak heran sektor pertanian menjadi sektor yang paling


Edisi 14/2014 | AGRO SWAKARSA

banyak orang miskinnya. Ini adalah fenomena umum di seluruh negara berkembang, di mana porsi sektor pertanian dalam pembentukan PDB terus mengecil. Oleh karena itu, untuk menjaga tingkat pendapatan tenaga kerjanya, jumlah tenaga kerja pun harus dikurangi. Menurut teori modernisasi, fase berikutnya setelah pertanian adalah industri, seharusnya tenaga kerja di sektor pertanian bergerak kesana. Industri ini jangan selalu dibayangkan sebagai industri besar. Industri kecil yang mengolah hasil pertanian di pedesaan juga termasuk industri. Prabowo sama sekali tidak berbicara soal ini. Sementara itu, Jokowi menjanjikan pembangunan gudang dengan fasilitas pengolahan pasca panen di tiap sentra produksi. Hal ini sangat baik, karena dengan demikian tenaga kerja dari desa tidak perlu pindah ke kota. Industrialisasi di sekitar sektor pertanian adalah langkah awal yang tepat. Tenaga kerja bisa berpindah dari sektor pertanian, namun tidak menambah beban wilayah perkotaan dengan urbanisasi, sekaligus mengolah hasil pertanian sehingga nilai tambah produk pertanian bisa masuk ke pedesaan. Persoalan berikutnya di sektor pertanian adalah soal pembiayaan. Kredit perbankan untuk sektor pertanian hanya sekitar 5-6 persen. Bagaimana Prabowo dan Jokowi mengatasi hal tersebut? Prabowo mengatakan akan membuat Bank Tani dan Nelayan, sementara Jokowi akan membangun Bank Petani dan UKM. Apakah ini solusi untuk meningkatkan kredit kepada sektor pertanian? Menurut Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardoyo, bank khusus pertanian tidak perlu ada. Bank, selain membutuhkan modal yang besar, juga membutuhkan jaringan yang luas. Menurut Agus lebih baik mengoptimalkan perbankan yang sudah ada dan mendorong mereka untuk menyalurkan kredit lebih banyak ke sektor pertanian. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang selama ini dijalankan sudah cukup baik, dengan KUR pemerintah membantu perbankan dan usaha kecil untuk memitigasi risiko dengan memberikan asuransi atas kredit yang dikucurkan oleh perbankan. Pemerintah cukup membayar premi kepada Askrindo dan Jamkrindo, selanjutnya mereka yang akan menjamin kredit yang dikucurkan oleh perbankan. KUR telah terbukti sukses tanpa mengarahkan kredit perbankan kepada usaha rakyat tanpa harus membuat bank baru yang bersifat khusus. Anehnya

tidak ada satu pun calon presiden yang menyinggung hal ini untuk mendorong kredit pertanian. Selain itu tidak ada satu pun calon presiden yang membicarakan soal asuransi pertanian yang sangat penting untuk menolong petani menghadapi ketidakpastian hasil panen. Masalah berikutnya di sektor pertanian adalah irigasi. Menurut Menteri Pertanian, tahun lalu tingkat kerusakan saluran irigasi sudah mencapai 52 persen dan membutuhkan dana sekitar Rp 21 triliun. Lahan irigasi menyumbang 85 persen dari total produksi padi nasional, sehingga perbaikan terhadap saluran irigasi sangat penting bagi peningkatan produksi pertanian. Namun sayangnya tidak ada satu pun calon presiden yang berbicara soal perbaikan saluran irigasi ini. Harga yang ideal bagi produsen dan konsumen juga sangat penting. Karena biar bagaimana pun hasil produksi sektor pertanian adalah kebutuhan pokok masyarakat banyak, karena itu harganya harus bisa menguntungkan produsen namun tetap terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Selama ini kita sudah punya Bulog untuk urusan tersebut, walaupun kinerjanya kerap dipertanyakan. Terkait hal ini, Prabowo berjanji akan menjamin harga pangan yang menguntungkan petani melalui sinergi kebijakan harga dan stok. Sementara itu, Jokowi tidak bicara apa pun tentang hal ini. Selain hal-hal yang sudah disebutkan diatas, Prabowo juga berjanji akan membangun pabrik pupuk urea dan NPK milik petani berkapasitas 4 juta ton. Pertanyaannya, apakah kita butuh membangun pabrik pupuk lagi? PT Pupuk Indonesia adalah pabrik pupuk terbesar di Asia Tenggara, selama ini kesulitan petani

13

mengakses pupuk karena kurangnya anggaran subsidi pupuk yang diberikan pemerintah sehingga stok pupuk yang sudah diproduksi menumpuk di gudang, perusahaan tidak mungkin menjual rugi pupuk kepada petani tanpa ada penggantian subsidi dari pemerintah. Yang harus dilakukan hanyalah menambah anggaran subsidi pupuk, bukan membangun pabrik baru, apalagi dengan embel-embel milik petani.Selain itu Prabowo menjanjikan penambahan anggaran riset pertanian sebesar Rp 10 triliun dalam lima tahun. Ini hal positif karena selama ini anggaran riset pertanian Indonesia hanya sekitar Rp 1 triliun per tahun, salah satu yang terendah di Asia Tenggara. Sementara itu, Jokowi menjanjikan memperbaiki kesuburan tanah yang saluran irigasinya tercemar limbah industri dan rumah tangga. Ini merupakan langkah yang baik, tentunya dengan menghentikan sumber limbahnya terlebih dahulu. Karena limbah dapat mengurangi produktivitas lahan, bahkan menimbulkan kegagalan panen. Petani yang sangat bergantung dari irigasi tentu harus dilindungi dari limbah tersebut. Secara umum, tidak banyak solusi yang jelas yang ditawarkan oleh kedua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kita. Semoga saja ini karena memang dokumen visi misi yang dikumpulkan sekarang tidak cukup untuk menampung pembahasan tentang ini hingga tuntas. Karena itu, menjadi tanggung jawab kita, masyarakat yang akan memilih, untuk memaksa mereka memaparkan program-program di sektor pertanian ini dengan lebih jelas. Setelah itu, mari kita pilih yang terbaik! (Dwiyanto Indiahono)


14

KENDALA KLASIK

AGRO SWAKARSA | Edisi 14/2014

Kondisi Pertanian Indonesia

Hadapi Masalah Klasik Petani sebagai aktor utama dalam penyediaan pangan dalam arti beras saat ini juga mengalami kondisi yang menyedihkan.

P

etani sebagai obyek akan politik pangan harus ditempatkan sebagai mitra dalam penentuan kebijakan pangan. Selama ini petani hanya menerima kebijakan tanpa adanya keterlibatan dalam menentukan arah kebijakan pangan nasional. Adanya Bulog, Kementan, Kementrian Perdagangan sering membuat arus kebijakan tidak sinkron, kadang malah berbenturan satu dengan yang lain. Fakta yang tak mungkin bisa kita hindari pada hari ini adalah kenyataan bahwa hampir 90 persen rakyat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari. “Selama hampir tujuh dekade Indonesia merdeka, secara dramatis kebijakan pemerintah telah menjadikan beras sebagai pengganti keragaman bahan makanan pokok rakyat Indonesia. Tak hanya sebagai makanan pokok, beras

menjadi simbol dari kesejahteraan dan kestabilan sosial di dalam masyarakat,” kata Ketua Umum Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA IPB) Bambang Hendroyono. Ia menjelaskan, berdasarkan data Biro Pusat Statistik 2013 menyebut bahwa sekitar 20,4 juta orang terlibat dalam pertanian pangan. Dari kisaran tersebut, sekitar 18 juta orang kemungkinan terlibat dalam kegiatan pertanian padi. “Dalam kegiatan pasca panennya,

pertanian padi melibatkan tidak kurang dari 200.000 pabrik penggilingan yang tersebar di seluruh Indonesia. Ironisnya, dari jumlah penduduk miskin Indonesia yang 28,07 juta, hampir separuhnya adalah mereka yang bekerja sebagai petani miskin (sekitar 13 juta orang). Sementara itu, nilai tukar petani Indonesia dari tahun ke tahun berada pada kisaran 103 sampai dengan 105,” ujar Bambang. Ia mengatakan, sektor pertanian sampai hari ini masih menghadapi persoalan klasik untuk bisa meningkatkan produktivitas beras nasional. “Persoalan tersebut antara lain, konversi lahan yang setiap tahunnya mencapai 100.000 hektar. Kecenderungan perilaku generasi muda di pedesaan yang tidak lagi tertarik ikut serta dalam kegiatan pertanian padi karena dianggap tidak menarik,” ungkapnya. Sedangkan menurut Data BPS menyebut, pada tahun 2004, ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke atas bekerja di sektor pertanian. Sementara pada tahun 2013, angkanya menyusut menjadi 39, 96 juta orang. “Dukungan infrastruktur pertanian seperti bendungan, irigasi, saluran pertanian primer sampai tersier bagi peningkatan produktivitas pertanian nasional masih sangat minim. Kerusakan saluran irigasi di berbagai wilayah kurang mendapat perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Rendahnya produktivitas pertanian memperlihatkan satu potret marjinalisasi pertanian dan petani Indonesia dalam kebijakan nasional dan daerah. Kesalahan-kesalahan kebijakan ini yang kemudian senantiasa menjadi pembenar untuk melakukan kebijakan impor pangan, terutama beras, jagung, kedelai dan daging,” pungkas Bambang.


MARITIM

Edisi 14/2014 | AGRO SWAKARSA

15

Politik Pangan Kelautan

Kini momentumnya politik pangan Indonesia beralih pada sumberdaya kelautan. Hal ini penting agar memperkokoh ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional.

P

angan jadi soal serius di negeri ini. Hampir setiap hari media menurunkan berita soal impor pangan. Mulai dari sayuran, beras, garam, buah hingga kacang-kacangan. Terakhir soal impor beras ilegal yang menuai polemik antar kementerian/lembaga. Situasi ini menandai carut marutnya politik pangan nasional tanpa akhir. Pemerintah kerap berdalih dan mencari kambing hitam. Pemerintah lupa, impor pangan itu bukan solusi mujarab mengatasi ancaman krisis pangan. Lalu mengapa pemerintah doyan impor setiap tahunnya? Seolah mati langkah. Jawabnya, sederhana. Pemerintah hanya mengandalkan sumber pangan terestrial. Pemerintah belum mendayagunakan sumber pangan lautan. Sumber pangan lautan separuhnya diekspor. Utamanya ke Negara-negara

semacam Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa. Rakyat Indonesia cuma mengonsumsi pangan lautan kelas dua. Pangan kelas satunya diekspor. Contohnya udang, lobster, tuna, dan telur ikan terbang yang bernilai gizi tinggi. Kultur Konsumsi Pangan Negara Indonesia yang berbasis terestrial hingga pesisir dan kepulauan mempengaruhi kultur konsumsi pangannya. Orang Indonesia yang bermukim di daratan, pengunungan, pesisir hingga kepulauan lazimnya mengomsumsi beras, umbi-umbian, kacang – kacangan, sayuran dan daging. Meski demikian, ada pembeda antara orang yang bermukim di pesisir dan terestrial. Orang daratan dan pengunungan umumnya doyan mengosumsi daging dan jenis unggas.

Jadi asupan protein dan lemak bergantung dari daging sapi dan unggas. Kendati ada juga yang mengkonsumsi ikan sungai dan danau semacam bili, jelawat, baung dan patin. Umumnya, mereka bermukim di pulau Sumatera, dan Kalimantan. Berbeda dengan di Jawa yang penduduknya melebihi separoh penduduk Indonesia. Secara kuantitatif penduduk non-pulau Jawa hanya Âź-nya ketimbang pulau Jawa termasuk Madura. Mereka lebih doyan mengkonsumsi tahu, tempe, daging sapi dan unggas. Meski masyarakat pesisir pantai utara dan selatan juga mengkonsumsi ikan. Tapi tetap saja daging sapi dan unggas masih favorit. Lain lagi di wilayah Indonesia timur dan barat yang daerahnya berbasis kepulauan. Orang-orang Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara, Bali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan pulau-pulau kecil (PPK) paling doyan mengkonsumsi ikan. Buktinya mereka punya jenis kuliner khas berbasis ikan. Umpamanya, ikan asap, asin dan ikan


16

AGRO SWAKARSA | Edisi 14/2014

kayu. Menariknya lagi kuliner ikan ini dikombinasikan dengan pangan lokal terbuat dari sagu, jagung dan ubi kayu. Dari gambaran ini setidaknya kultur pangan masyarakat Indonesia amat dipengaruhi, pertama, tipe ekologi. Masyarakat yang bermukim di pesisir dan pulau kecil cenderung dominan mengkonsumsi pangan bersumber dari lautan. Kekurangannya, mereka jarang mengkonsumsi sayuran. Lain halnya masyarakat yang bermukim di pegunungan, ladang/kebun dan sawah. Umumnya mengkonsumsi pangan bersumber dari ruminansia besar dan kecil hingga melimpah sayuran. Orang Sunda di Jawa Barat amat senang mengkonsumsi sayuran mentah alias lalapan. Kurang mengkonsumsi pangan dari lautan. Pelajaran menarik yaitu masyarakat pulau Palue, di NTT mampu memandirikan dan menjaga ketahanan pangannya karena tak bergantung beras. Sebab pulau mereka tak cocok ditanami padi. Pulau mereka bermukim hanya cocok ditanami umbu-umbian. Jenis pangan inilah yang jadi konsumsi utama mereka yang ditemani ikan. Kedua, letak geografis. Masyarakat yang bermukim di pulau besar yang didominasi dataran rendah (terestrial) pengunungan, hingga kawasan hutan cenderung mengkonsumsi ruminansia (besar dan kecil) dan kacang-kacangan (kedelai). Jenis ini dikombinasikan dengan nasi sebagai pangan pokok. Amat jarang mengkonsumsi ikan atau pangan lautan lainnya. Kalau pun ada, mereka mengkonsumsi ikan air tawar jenis tawes, mas, nilai, dan mujair.

Kedua hal inilah yang mengakibatkan pangan lautan Indonesia kelas satu dilego di pasar ekspor. Buktinya tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia cuma 33,89 kg per kapita tahun 2012 dan 35,14 kg per kapita tahun 2013. Amat jauh dari Jepang yang mencapai hingga 100 kg per kapita setiap tahunnnya (KKP, 2013). Sebagai Negara kepulauan situasi ini mestinya tak perlu terjadi. Apabila pemerintah tak memaksakan ikan-ikan kelas satu di ekspor. Apalagi ikan itu diolah dahulu hingga bernilai tambah secara ekonomi. Politik pangan yang mengabaikan komoditas lautan ini berimbas pada rendahnya konsumsi per kapita ikan rakyat Indonesia. Pangan Kelautan Kini momentumnya politik pangan Indonesia beralih pada sumberdaya kelautan. Hal ini penting agar memperkokoh ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Politik pangan pro kelautan ini tak hanya melalui kampanye. Melainkan, kebijakan politik yang mengupayakan untuk mengurangi ekspor jenis ikan kelas satu. Lalu, menjalankan perintah UU Perikanan yang memprioritaskan pemenuhan konsumsi domestik. Kebijakan berikut, yaitu pemerintah mendorong dan menggalakan perusahaan domestik, dan UMKM agar mengolah ikan laut maupun darat sebagai jenis pangan cepat saji. Pasalnya,

pangan cepat saji didominasi daging sapi dan unggas. Di sinilah pentingnya mengciptakan inovasi dan kreasi-kreasi baru dalam pengolahan pangan lautan. Tentu bukan hanya ikan. Melainkan hasil laut lainnya yang bernilai gizi tinggi semacam gonad bulu babi, gurita, cumi-cumi/sotong, kerang-kerangan, hingga ikan-ikan karang. Ini amat membantu masyarakat perkotaan dan sub-urban yang tak punya waktu luang mengolah dan memasak lagi. Berkembangnya aktivitas semacam ini akan memunculkan “gera-gerai� ikan dan produknya sebagai arena baru bisnis di perkotaan. Bukan tidak mungkin di datang akan berkembang mini market yang khusus memasarkan ikan dan produk olahannya. Bahkan tempat pelelangan ikan (TPI) yang selama ini dianggap kumuh, kotor dan bau. Amat mungkin disulap jadi arena pasar ikan dan produk olahahnya yang membuat masyarakat beta berbelanja sekaligus berwisata kuliner. Politik pangan semacam ini akan menaikan gengsi hasil-hasil laut sebagai “makanan kelas satu�. Bukankah telur kaviar yang bersumber dari ikan terbang jadi makanan bergensi di Paris? Bahkan zaman dahulu sebagai makanan para bangsawan. Persis sama dengan kepiting hasil molting yang kerapasnya lunak jadi makanan raja-raja di masa lampau sebelum lahirnya Indonesia. Pertanyaannya, mengapa pangan kelautan bisa bergengsi di Negara maju dan dahulu kala, tapi kini di Indonesia bak ditelan bumi? Inilah PR kita untuk mendorong hasil laut sebagai agenda utama politik pangan nasional tanpa mengabaikan dari terestrial. Muhamad Karim Universitas Trilogi Jakarta


Edisi 14/2014 | AGRO SWAKARSA

17


18

EPILOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 14/2014

Pilihan yang tepat akan memberi energi besar pada kemajuan petani dan sektor pertanian.

Pemimpin untuk Petani

M

endekati hari besar Pilpres suhu politik semakin panas. Intrik politik telah berubah menjadi persaingan dan pertarungan untuk memperebutkan pengaruh dan dukungan, yang ujungnya diharapkan bisa berubah menjadi suara untuk meraih kursi kekuasaan. Tragisnya, pertarungan nampaknya sudah berubah menjadi pertempuran yang menghalalkan segala cara untuk menang. Salah satu senjata yang digunakan adalah fitnah, tuduhan palsu dan penistaan. Media masa dan media sosial menjadi sarana efektif untuk

menebarkan senjata mematikan itu. Kita semua tentu berharap Pilpres akan berjalan lancar, aman dan melahirkan pemimpin yang lebih baik. Kita semua tidak berharap pesta demokrasi akan berubah menjadi anarki atau kebrutalan yang pada akhirnya merugikan seluruh masyarakat. Kita semua berharap Pilpres menjadi jalan terbaik menuju kebaikan bagi seluruh rakyat dan bangsa. Bagi para petani dan semua pihak yang terkait dengan kehidupan pertanian, Pilpres kali ini bisa menjadi jalan untuk berkontribusi pada masa depan pembangunan pertanian. Pilihan yang

tepat pada capres dan cawapres yang peduli pada nasib petani dan kemajuan sektor pertanian tentu akan membawa perubahan banyak pada nasib petani dan sektor pertanian. Pilihan yang tepat akan memberi energi besar pada kemajuan petani dan sektor pertanian. Namun bila pilihan justru jatuh pada figur sebaliknya maka bisa berarti petaka dan bencana bagi petani dan sektor pertanian. Pengalaman dan fakta menunjukkan, kekuasaan legislasi yang kuat ada di genggaman lembaga perwakilan rakyat bisa menjadi penentu nasib petani dan kemajuan sektor pertanian. Peraturan dan perundangan yang dibuat para wakil rakyat bisa seketika mengubah gerak langkah dan arah perkembangan sektor pertanian. Bila yang terpilih sebagai wakil rakyat sama sekali tidak memahami dunia pertanian dan kehidupan para petani maka mereka tidak akan peduli sama sekali dengan nasib para petani dan perkembangan dunia pertanian. Mereka justru bisa menjadi monster yang menghancurkan masa depan petani dan pertanian negeri ini. Demikian juga dengan presiden sebagai pemimpin tertinggi negeri ini. Komitmen, kepedulian dan perhatiannya pada nasib para petani dan kemajuan sektor pertanian akan sangat menentukan masa depan petani dan pertanian negeri ini. Kekuasaan besar yang ada di tangannya akan menjadi penentu warna dan arah kemajuan sektor pertanian dan masa depan para petani. Presiden yang tidak peduli kepada para petani dan sektor pertanian akan mengantarkan negeri ini pada kehancuran. Bukankah pertanian menjadi sandaran hidup utama negeri ini? Bukankah petani menjadi penghuni terbesar negeri ini?

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Ir. Raymond Rajaurat Dewan Redaksi: Ir. Raymond Rajaurat, Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi: M. Mutawally, Ronald Simarmata, Andri Penerbit: Yayasan Media Wasantara, anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri: Rimson Simanjorang Managing Director: Ir. David J. Simanjorang Bank: Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 1967 957 a/n. Raymond Rajaurat Alamat Redaksi: Jl. Yupiter Utama D10/12, Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493, 0811192306 Alamat Iklan/Tata Usaha: Jl. Purnawirawan Raya 12/424, Bandar Lampung Telp: 0816406304 Website: www.opini-indonesia.com/agro Email: agro@opini-indonesia.com Percetakan: PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting) Isi diluar tanggungjawab percetakan




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.