Majalah Agro 15/2014

Page 1

IMPERIALISME EKONOMI MODEL BARU: IMPORIALISME

Majalah Bulanan Pertanian Strategis www.opini-indonesia.com/agro

Edisi 15/Juli 2014 o PROLOG o fakta o analisa o EPILOG

4 7 11 18

Bawang, Tak seindah akhir legendanya

• Antara Legenda dan Fakta

• Pelajaran dari • Harga Bawang Merah

• Tergantung Atau Digantung Impor?

• Mengatasi Jatuhnya Harga Bawang Merah




4

PROLOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 15/2014

Kisah Sinetron Ekonomi Indonesia:

Bawang Merah Bawang Putih

Bawang merah dan bawang putih menjadi pemberitaan banyak media dan menjadi trending topic dalam perbincangan seharihari, baik oleh politikus maupun pejabat dan terutama ibu-ibu

B

awang merah dan bawang putih, ini adalah kisah legendaris yang mungkin pernah kita dengar waktu sekolah dasar dulu. Sementara dijaman serba elektronik seperti saat ini, kisah ini juga masih tetap eksis dalam bentuk tayangan sinema elektronik. Namun yang terkini, lebih heboh lagi. Bawang merah dan bawang putih menjadi pemberitaan banyak media dan menjadi trending topic dalam perbincangan sehari-hari, baik oleh

politikus maupun pejabat dan terutama ibu-ibu. Sama persis ketika mereka membincang tentang alur cerita sinetron bawang merah bawang putih yang hampir setiap hari disuguhkan televisi. Kehebohan terjadi harga bawang merah dan bawang putih melejit tak terkendali. Harganya sangat fantastis. Untuk bawang putih di beberapa daerah menembus angka 100.000,- rupiah per kilogram. Pada ketika harga pada kisaran 60.000,- rupiah per kilogram saja banyak orang yang sudah menjerit. Demikian juga untuk harga bawang merah, meskipun

lebih murah daripada bawang putih, namun harganya juga ikut-ikutan melejit mengiringi harga bawang putih. Kenaikan harga bawang merah dan bawang putih ini ditengarai karena musim panen raya yang belum datang dan/atau juga karena banyaknya petani yang mengalami kegagalan panen. Di samping itu, seperti yang diberitakan berbagai media akhir-akhir ini, ada yang menyebutkan bahwa kenaikan harga ini disebabkan oleh permainan harga yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Siapa orang-orang yang tidak bertanggungjawab ini? Tentu saja mereka-mereka yang memiliki uang, barang dan gudang karena mereka bisa mengendalikan jumlah komoditas ini di pasaran dengan cara menimbun di gudang. Kondisi seperti ini tentu saja menyebabkan masyarakat, terutama ibu-ibu yang setiap hari bersinggungan dengan dua komoditas ini semakin keras menjerit. Entah bagaimana caranya, yang pasti mereka harus merevisi Anggaran Pendapatan Belanja Rumah Tangga (APBRT). Jika pendapatan tetap, mau tak mau masyarakat akan mengurangi


Edisi 15/2014 | AGRO SWAKARSA

jumlah yang dikonsumsi atau membuat alokasi dan skala prioritas baru untuk barang-barang yang akan dibeli. Mendorong Inflasi Secara ekonomi, dampak dari kenaikan harga bawang merah dan bawang putih ini biasanya akan diikuti oleh kenaikan harga ‘saudaranya’ semacam cabai, tomat dan sebagainya. Inilah yang bisa menimbulkan terjadinya gejolak ekonomi atau inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri telah merilis inflasi yang terjadi pada bulan Februari lalu yaitu sebesar 0,75 persen akibat dari kenaikan harga beberapa komoditas. Salah satunya adalah kenaikan harga untuk komoditas bawang putih, yaitu memberikan andil sebesar 16 persen terhadap inflasi. Perubahan harganya mencapai 30,25 persen, dan bahkan di beberapa kota angkanya mencapai sekitar 60 persen, sementara di tingkat pengecer atau penjual sayur keliling bisa berlipat-lipat lagi. Masih menurut data BPS, komoditas lain yang mengalami kenaikan yaitu bawang merah dimana harganya rata-rata mengalami kenaikan 14,11 persen. Kenaikan bawang merah ini juga memberikan kontribusi terjadinya inflasi di bulan Februari lalu yaitu sebesar 9,33 persen. BPS sendiri menengarai terjadinya hal seperti ini karena adanya keterbatasan pasokan di pasar dan masih dibatasinya impor. Adanya kebijakan pemerintah yaitu pembatasan produk holtikultura yang masuk ke Indonesia menyebabkan sejumlah komoditas menjadi langka, termasuk bawang merah dan bawang putih ini. Disamping itu, pengenaan pajak dan biaya transportasi juga sangat mahal

menyebabkan importir berpikir ulang jika akan mendatangkan barang. Menabung Bawang Sekali lagi kenaikan harga bawang merah dan putih ini membawa dampak yang serius terhadap konsumen/masyarakat luas. Untuk mengantisipasinya tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh keseriusan semua terutama dalam kebijakan produksi pertanian komoditas semacam ini. Memang untuk komoditas pertanian semacam ini seringkali terjadi dilema. Disaat terjadi kelangkaan seperti ini harganya bisa melambung sangat fantastis. Namun disaat panen raya harganya bisa terjun bebas, sementara permintaan konsumen cenderung stabil, nyaris tak ada peningkatan. Pemecahan yang terbaik memang kita harus mampu memproduksi sendiri. Entah melalui berbagai kebijakan dan

5

stimulus pemerintah untuk mendorong masyarakat tani menaman komoditas ini. Atau bisa juga bagi konsumen rumah tangga di pedesaan yang tingkat konsumsinya tak terkalu banyak, namun secara reguler dan terus menerus, secara individu menanam sendiri, meski dengan skala kecil dan memang untuk dikonsumsi sendiri. Kita bisa belajar dari orang-orang (desa) terdahulu, yaitu dengan menabung bawang. Dengan kata lain mereka seringkali ketika panen raya dan harganya relatif murah membeli dalam jumlah besar untuk komoitas bawang merah dan bawang putih. Kemudian mereka menyimpannya di dekat atau di atas tungku masak (para-para) sehingga tiap hari selalu terkena asap. Akibatnya bawang merah dan bawang putih lebih tahan lama karena tak terserang ulat busuk ataupun sejenis ngengat, sehingga cukup untuk menghadapi masa paceklik atau masa menunggu panen berikutnya. Disamping itu, biasanya mereka juga menanam bawang merah dan bawang putih, juga beberapa tanaman bumbu dapur lainnya dalam skala kecil. Kadang di lahan pekarangan kadang juga di dalam pot-pot yang sekaligus sebagai hiasan. Bibit-bitnya diperoleh secara sederhanan dengan mentisihkan atau menyisakan ketika memasak. Mungkin ini terlalu kecil dan sedikit merepotkan, tetapi tak ada salahnya model atau semangat mereka kita kembangkan lagi. Daripada kita dibuat repot oleh kelangkaan dan mahalnya harga seperti saat ini, sepertinya lebih baik kita sedikit repot menanam sendiri, dan jangan sampai menjadi kisah klasik ekonomi Indonesia yang terus berulang terjadi! Junaedi Jun


29 - 31 July 2015 Grand City Convex Surabaya INDONESIA

THE 10th INDONESIA’S NO.1 LIVESTOCK, FEED, DAIRY AND FISHERIES INDUSTRY SHOW

PT. NAPINDO MEDIA ASHATAMA Jl. Kelapa Sawit XIV Blok M1 No.10 Kompleks Billy & Moon, Pondok Kelapa Jakarta 13450, Indonesia Tel: 62-21 8650962, 8644756/85 Fax: 62-21 8650963 E-mail: info@indolivestocko.com


FAKTA

Edisi 15/2014 | AGRO SWAKARSA

7

Bawang Merah-Bawang Putih:

Antara Legenda dan Fakta Pemerintah harus berani secara tegas menindak para spekulan dan pedagang nakal yang berusaha untuk menikmati rente yang tinggi karena fakta menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat.

L

egenda bawang merah dan bawang putih menjelma menjadi satu permasalahan serius yang menyita banyak perhatian publik. Keluhan para ibu yang berbelanja di pasar hingga perhatian khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk turun langsung mengatasi gejolak harga yang di luar batas kewajaran. Bawang merah dan bawang putih tidak sebatas kebaikan versus kebatilan, kesabaran versus ketamakan, tetapi lebih dari sekadar persoalanpersoalan itu. Apa yang salah de ngan bawang merah dan bawang putih? Fakta dan Masalah Berikut digambarkan fakta terkait dengan komoditas bawang merah dan bawang putih. Produksi bawang merah Indonesia selama kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkan produksi yang relatif stabil di atas 800 ribu ton. Artinya bahwa sisi pasokan tidak

pernah mengalami gejolak yang dapat mengakibatkan guncangan di sisi harga apabila terjadi perubahan di sisi permintaan. Untuk memenuhi pasokan dalam negeri, produksi domestik juga belum mencukupi sehingga pemerintah membuka keran impor bawang merah. Data juga menunjukkan terdapat kecenderungan kenaikan impor bawang merah dari waktu ke waktu dengan pertumbuhan rata-rata per tahun mencapai hampir 27%. Keran impor itu diharapkan menjadi salah satu katup pengaman apabila terjadi kekurangan pasokan dalam negeri yang bisa mengakibatkan gejolak harga. Namun, apakah demikian halnya dengan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini? Interaksi antara sisi permintaan dan penawaran akan menentukan titik keseimbangan yang pada gilirannya akan me nentukan harga. Gejolak harga yang terjadi dianggap sebagian kalangan

merupakan fenomena biasa, terkait dengan produksi komoditas pertanian yang dipengaruhi oleh faktor alam sehingga akan mengganggu pasokan. Argumen itu dengan mudah akan terbantahkan apabila melihat fakta dan data terkait dengan harga bawang merah selama 5 tahun terakhir. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, harga bawang merah di pasar menunjukkan tidak adanya satu pola yang berulang dari tahun ke tahun. Artinya bahwa tidak ada bukti yang sahih bahwa kenaikan harga bawang saat ini merupakan siklus tahunan. Fakta dan fenomena yang menarik untuk kemudian dicermati lebih lanjut dari komoditas bawang merah ini ialah kenaikan harga seyogianya dinikmati seyogianya dinikmati petani. Benarkah petani menikmati harga yang tinggi di pasar? Analisis yang dilakukan penulis memberikan indikasi terjadi perubahan


8

AGRO SWAKARSA | Edisi 15/2014

yang cukup drastis terkait dengan siapa yang menikmati keuntungan dari harga bawang merah yang tinggi. Sederhananya kita dapat membandingkan antara harga yang terjadi di tingkat produsen dan harga yang terjadi di tingkat grosir/ eceran. jadi di tingkat grosir/eceran. Pada 2009, fluktuasi harga di tingkat produsen memiliki pola yang sama dengan fluktuasi harga di tingkat grosir/ eceran dan tidak memiliki selisih yang tinggi. Artinya mekanisme transmisi harga terjadi relatif sempurna antara harga di produsen dan konsumen. Dengan demikian, petani menikmati keuntungan dari perubahan harga di tingkat kon sumen. Berbeda dengan situasi ketika 2011, harga yang relatif stabil di tingkat produsen dengan kisaran Rp4.000­ Rp8.000 per kg ternyata tidak sebanding dengan harga yang terjadi di tingkat konsumen. Fluktuasi harga di tingkat konsumen jauh lebih tinggi dengan kisaran Rp6.000Rp19.000 per kg. Produsen, dalam hal ini petani, benarbenar tidak menikmati gejolak tingginya harga. Menjadi pertanyaan penting, siapa yang bermain? Salah satu dugaan yang bisa kita lihat bersama dari fenomena perbandingan dua periode waktu tersebut ialah tiga tahun terakhir struktur pasar bawang merah telah berubah. Petani berhadapan dengan para pembeli bawang merah yang mampu mengontrol harga. Para pedagang itulah yang kemudian juga mampu mengontrol harga di tingkat konsumen. Terlebih bahwa dengan margin keuntungan yang relatif lumayan tinggi, para spekulan juga tergerak untuk meramaikan pasar bawang merah. Lagi-lagi petani sebagai produsen

sekaligus konsumen akan menjerit karena tidak ada keberpihakan untuk menyejahterakan mereka. Impor bawang merah juga ternyata cukup memberikan ruang tersendiri bagi para pemburu rente untuk ikut bermain. Harga impor bawang merah yang selalu di bawah US$1 per kg, ternyata ketika sampai di pasar domestik lebih tinggi dari US$1 per kg. Berbeda dengan komoditas bawang merah, komoditas bawang putih hampir 80% lebih tergantung pada impor. Harga komoditas bawang putih juga setali tiga uang dengan bawang merah melambung tinggi yang seolah-olah ialah siklus harga. Hal itu tidaklah benar apabila lonjakan harga bawang putih sebagai akibat fenomena biasa siklus tahunan. Impor bawang putih yang menunjukkan kecenderungan semakin meningkat dari waktu ke waktu dengan rata-rata kenaikan per tahun sekitar 20,2% dengan nilai yang semakin meningkat hingga mencapai US$272 juta. Lagi-lagi pasar impor bawang putih yang menganga lebar mendorong berbagai kecurigaan adanya permainan dan kartel yang gilirannya mampu mengontrol

harga. Terlebih Indonesia sangat-sangat tergantung pemenuhan domestik dari pasokan impor. Pelajaran dan Solusi Kondisi itu mau tidak mau harus segera diatasi. Tujuannya agar permasalahan-permasalahan tersebut tidak berulang setiap tahun tanpa ada solusi yang jelas dan menyalahkan satu pihak dengan pihak lainnya. Pemerintah harus secara tegas mampu berdiri untuk kepentingan masyarakat luas dalam hal ini petani dan juga konsumen. Petani harus sejahtera, sedangkan konsumen tidak tergerus pendapatannya akibat infasi yang disebabkan komponen bahan pangan. Jalur distribusi yang acapkali ditengarai menjadi kambing hitam juga harus segera diperbaiki sehingga hambatan pasokan tidak akan terjadi. Pemerintah harus berani secara tegas menindak para spekulan dan pedagang nakal yang berusaha untuk menikmati rente yang tinggi karena fakta menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Ketergantungan impor memberikan pelajaran penting, bahwa harga dalam negeri akan sangat rentan apabila terjadi guncangan di pasar internasional. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita harus mampu meningkatkan produksi bawang merah dan bawang putih. Impor diperlukan hanya sebatas menjaga pasokan dalam negeri


EKSPERIA

Edisi 15/2014 | AGRO SWAKARSA

9

Pelajaran dari Harga Bawang Merah Semua ikhtiar harus dibarengi komitmen, konsistensi dan kerja keras dari semua pihak agar cita-cita ketahanan dan kemandirian pangan bisa benar-benar tercapai. Oleh: Oki Oktaviana / BPPD Banten

G

onjang-ganjing melambungnya harga bawang merah sempat menjadi topik pembicaraan mulai level ibu rumah tangga sampai ibu negara. Keresahan masyarakat akan naiknya harga komoditas bawang merah bahkan membuat presiden Susilo Bambang Yudhono memarahi bawahannya yang dianggap lamban merespon kondisi ini. Menteri Perdagangan dan menteri Pertanian yang dianggap orang yang paling bertanggung jawab terhadap penyediaan stok bawang merah nasional mendapat teguran keras dari Presiden. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian yang bertanggung jawab sebagai lembaga yang mengatur tataniaga impor bawang merah, produksi

dan kelayakan ijin imporir seolah tidak mampu berbuat banyak. Sekarang setelah harganya kembali turun dan mengarah ke harga normal, seolah kita lupa bahwa manajemen negara ini terkait pengelolaan bawang merah masih lemah. Ketahanan pangan kita masih jauh dari kondisi kemandirian karena masih menggantungkan pada pasokan impor. Karena itu melalui tulisan ini mudahmudahan dapat mengingatkan kembali terutama bagi para pemegang kebijakan agar kejadian serupa tidak terjadi dimasa yang akan datang. Jika melihat data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, hampir seluruh provinsi di Indonesia melakukan usaha budidaya bawang merah. Hanya beberapa provinsi saja yang tidak tercatat sebagai

produsen bawang merah yakni Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Sedangkan provinsi penghasil utama bawang merah, yang ditandai dengan luas areal panen di atas 1.000 hektar per tahun adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Meskipun data BPS terkait produksi dan konsumsi bawang merah masih menunjukan surplus, pemerintah masih memandang perlu melakukan kebijakan impor untuk menjamin kelangsungan ketersediaan bawang merah di pasar domestik. Impor bawang merah Indonesia terutama berasal dari Thailand, Filipina, Myanmar dan Malaysia. Pemberlakuan Peraturan menteri Pertanian nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dianggap sebagai awal terjadinya permasalahan melonjaknya harga bawang merah. Regulasi yang membatasi pintu masuk dan pengurangan kuota impor produk hortikultur ini memang ditentang banyak pihak termasuk negaranegara yang tergabung dalam World Trade Organization. Kebijakan untuk melindungi produsen bawang merah dalam negeri justru menimbulkan efek negatif ketika sentrasentra produksi bawang merah belum mampu mensuplai kebutuhan secara keseluruhan. Beberapa pihak malah menuding keluarnya kebijakan yang berimplikasi pada peningkatan harga bawang merah secara tidak terkontrol merupakan salah satu bentuk perburuan rente oleh para pengusaha yang menginginkan keuntungan berlipat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan sejumlah indikasi kuat permainan kartel pengimpor bawang sehingga harga di dalam negeri menembus rekor tertinggi dalam sejarah. Memang untuk bawang merah belum ditemukan penumpukan kontainer di


10

AGRO SWAKARSA | Edisi 15/2014

pelabuhan sebagaimana yang terjadi pada komoditi bawang putih, namun kejadian serupa tidak menutup kemungkinan terjadi. Peran pemerintah tanpa dibarengi dengan evaluasi pasar dan pengkajian terhadap kemampuan produksi bawang merah dalam negeri akan dimanfaatkan para importir untuk meraup keuntungan dengan mempengaruhi stok barang yang ada di pasaran. Permasalahan kelangkaan bawang merah sebenarnya bukan barang baru mengingat sebelumnya kejadian serupa terjadi juga pada komoditas cabai merah atau pun daging sapi. Perhatian utama kita harus ditujukan pada pengkajian yang lebih mendalam terhadap data yang dimiliki terkait total produksi dan kebutuhan dalam negeri beserta data fluktuatif dimasing-masing waktunya. Apakah data yang kita miliki sudah benar dan dapat dijadikan rujukan untuk pengambilan kebijakan. Jika data yang disajikan sebelumnya sudah benar, maka langkah efektif yang dapat dilakukan adalah bagaimana kita menjamin keberadaan stok bawang melalui pembangunan gudang-gudang penyimpanan di sentra-sentra produksi bawang. Jika melihat data yang ada total produksi dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan pasar, sehingga Kementerian Pertanian pun mengklaim bahwa negara ini tergolong negara yang mampu berswasembada bawang merah dengan total impor tidak lebih dari sepuluh persen saja. Gudang-gudang berpendingin yang dialokasikan di sentra-sentra produksi ini diharapkan akan mampu menampung

berlimpahnya stok saat panen raya sehingga harga jual tidak jatuh serta mampu memasok ketika kondisi cuaca yang kurang menguntungkan yang berakibat produksi bawang merah dalam negeri berkurang. Program intensifikasi pertanian bawang merah juga harus benar-benar dilakukan agar mampu menarik minat petani untuk turut serta melakukan budidaya. Berbeda dengan bawang putih, komoditas bawang merah tidak memerlukan klasifikasi lahan yang lebih selektif. Karena itu tak heran hampir seluruh wilayah di indonesia mampu membudidayakannya. Namun keuntungan ini harus diikuti dengan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia untuk lebih mampu mengelola lahan, proses produksi dan penanganan pasca panen. Bawang merah sangat rentan dengan hama penyakit dan perlu asupan unsur hara yang banyak, karena itu penggunaan pestisida dan pupuk akan lebih membutuhkan biaya yang relatif lebih banyak. Perlu diupayakan pemberian subsidi pestisida dan pupuk yang diikuti dengan

introduksi pestisida organik (pengendali hama hayati) serta pupuk organik dan berimbang untuk menurunkan biaya produksi. Dukungan infrastruktur fisik berupa irigasi dan jalan di sentra produksi bawang merah harus lebih ditingkatkan. Pemerintah pusat dan daerah harus menjamin ketersediaan irigasi primer dan sekunder. Petani secara swadaya membuat sumur di lahan garapannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pengairan. Keterbatasan dukungan infrastruktur fisik ini sangat berpengaruh terhadap biaya produksi per satuan bawang merah yang pada akhirnya juga akan menentukan tingkat keunggulan komparatifnya. Jika keberpihakan pemerintah mampu diimplementasikan di lapangan, bukan tidak mungkin harga bawang merah dalam negeri tidak lagi berada diatas bawang merah impor. Peningkatan proses adopsi inovasi yang dihasilkan lembaga-lembaga penelitian akan lebih meningkatkan produksi bawang merah dalam negeri. Telah banyak hasil penelitian yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau lembaga penelitian lainnya untuk mendukung pengembangan agribisnis bawang merah di Indonesia. Beberapa komponen teknologi budidaya tanaman bawang merah yang telah dihasilkan diantaranya seperti varietas unggul (potensi hasil 21-25 t/ha, padahal varietas yang ditanam masyarakat dewasa ini hanya mampu menghasilkan rata-rata 10 ton/ hektare), teknik budidaya, komponen PHT (pengendalian hama terpadu), atau pun teknologi pasca panen. Semua ikhtiar diatas harus dibarengi komitmen, konsistensi dan kerja keras dari semua pihak agar cita-cita ketahanan dan kemandirian pangan bisa benarbenar tercapai. Semoga kedepan tidak ada lagi babak baru melonjaknya harga bawang merah.


ANALISA

Edisi 15/2014 | AGRO SWAKARSA

Tergantung Atau Digantung Impor? Untuk jangka pendek, agaknya impor masih perlu dilakukan. Ini demi memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen yang sudah kadung jatuh cinta dengan kedele biji besar, umbi bawang putih siung besar. Namun bersamaan dengan itu, perlu penyediaan benih kedelai biji besar dan bibit bawang putih siung besar.

S

ejak awal 2013, Indonesia diberi pelajaran sangat berharga oleh beberapa bahan pangan seperti kedelai, daging sapi dan bawang merah. Sebenarnya termasuk pula beberapa bahan pangan pokok seperti beras, gula dan garam, namun issunya tidak terlalu besar. Pelajaran pertama tentang kedelai, yang harganya meningkat. Penyebabnya tentu karena pasokan dari jenis kedelai yang disenangi konsumen berkurang. Kedelai yang disenangi para produsen tahu tempe adalah kedelai impor yang bijinya besar – atau kedelai biji besar yang sekarang masih tergantung impor. Pelajaran kedua tentang daging sapi, yang harganya juga meningkat.

Penyebabnya karena pasokan dari produk lokal kurang, lalu impor masuk dan dijual dengan harga yang tinggi oleh pedagang. Pelajaran ketiga, tentang dua komoditi sekaligus yaitu bawang putih dan bawang merah. Dalam kejadian terakhir ini bawang merah sebagai komoditi, mungkin merupakan kejadian pertama kali terjadi sejak ratusan tahun terakhir, bahkan sejak bawang merah menjadi makanan manusia di Indonesia, terutama tentang perubahan harga yang sangat drastis. Agaknya bawang merah mengikuti cabe yang menjadi saudara sayurnya yang beberapa tahun lalu juga mengalami fluktuasi sangat tajam. Untuk bawang merah, ada beberapa penyebab, antara

11

lain karena sebagian petani malas menanam karena habis kejatuhan harga tahun lalu; musim penghujan resiko menanam bawang merah dimusim hujan besar; petani lebih senang menanam padi dimusim hujan. Akibatnya pasokan ke pasar kurang dan harga naik fantastis. Sedangkan kenaikan harga bawang putih yang menggila disebabkan oleh pasokan ke pasar kurang. Penyebabnya bawang impor terlambat masuk pasar disebabkan oleh berbagai hal. Padahal kontainer yang penuh bawang putih itu sudah menumpuk di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Bawang putih itu tidak dapat dibongkar lalu masuk pasar kabarnya karena para pengimpor kurang dalam melengkapi syarat administrasi. Mengapa itu dapat terjadi? Barangnya bisa masuk dan kontainernya ditumpuk di pelabuhan padahal surat pengantarnya tidak lengkap. Mengapa bisa begitu? Komoditas kakak-adik/kembar ini memang merupakan komoditas strategis karena sangat dibutuhkan oleh segala resep masakan bagi ibu-ibu. Pelajaran yang dapat ditarik dari ketiga komoditas yang mengegerkan media itu sebenarnya banyak. Tetapi yang menyedihkan adalah adanya pernyataanpernyataan dari pejabat kita yang mengatakan bahwa Indonesia tidak cocok untuk budidaya bawang putih, sehingga harus melakukan impor. Pernyataan itu sangat disayangkan. Negara yang luas ini, memiliki banyak spesifikasi agronomis yang mampu menghasilkan berbagai komoditi yang ada di dunia ini, termasuk bawang merah dan bawang putih. Secara umum, Bawang merah dapat ditanam dengan baik di dataran rendah dengan elevasi antara 1 – 300 m dari permukaan laut (dpl). Akan lebih baik lagi mutu hasil produksinya bila ditanam pada tanah dengan tekstur lempung berpasir dengan kandungan kalsium yang cukup. Tanah seperti itu tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTB, NTT hingga Irian Jaya. Demikian pula dengan komoditi bawang putih. Tanaman umbi bersiung ini paling baik bila dibudidayakan di dataran tinggi dengan elevasi 800 – 2.200 m dpl. Mutu produk bawang putih akan bagus kalau tanahnya subur dan gembur plus kondisi kimia dan biologi yang sesuai dengan syarat tumbuhnya. Tanah seperti itu tersebar mulai dari kawasan Brastagi, Bukit Tinggi, Solok, Agam dan sekitarnya di Sumatera. Di kawasan Modoending Manado yang luasnya lebih dari 12.000 ha merupakan


12

AGRO SWAKARSA | Edisi 15/2014

dataran tinggi yang sangat baik untuk budidya bawang putih. Kalau ditambah kawasan dataran tinggi lain di Bolmong ke selatan hingga Sulteng, Sulbar hingga Sulsel, mungkin ada puluhan ribu yang sangat baik untuk penghasil Bawang Putih. Di Jawa, Lereng gunung yang terhampar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan tanah terbaik untuk budidya bawang Putih. Dekade 1980 – 1990an semua masih ingat kalau daerah Tawang ManguKaranganyar dan lereng Sumbing Kabupaten Magelang merupakan sentra penghasil bawang putih jenis Gombloh, Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning. Produksinya dipasarkan ke mana-mana di seluruh Indonesia. Mutu dan aromanya sangat disenangi ibu-ibu si jago masak. Namun karena siung umbinya yang kecil, bawang putih asli Indonesia itu lalu kalah di pasar oleh masuknya bawang putih impor (terkenal dengan sebutan bawang putih kating) yang suing umbinya besar-besar. Aroma bawang putih kating impor itu sebenarnya kalah dengan bawang putih Gombloh atau Lumbu Hijau, tetapi ibu-ibu itu agaknya lebih jatuh cinta dengan siung yang berukuran besar. Apalagi Bawang putih kating itu harganya murah, maka habislah pertanaman Bawang putih Gombloh & Lumbu Hijau/ kuning yang diperiode 80 – 90 memenuhi hampir seluruh lereng G. Sumbing bagian timur dan semua lereng G. Lawu. Kalau semua kawasan yang potensial untuk budidaya bawang putih di Sumatra, Sulawesi, Jawa masih kurang, bisa dikembangkan di sekitar danau Bedugul, Kintamani, Singaraja - Bali. Irian Jaya yang luas dan bergunung, tentu masih menyimpan potensi sebagai penghasil bawang putih. Begitu pula dengan kabupaten So’e di NTT, mungkin juga potensial untuk bawang putih. Tetapi agaknya para peneliti pertanian kita lebih suka sibuk di sekitar Jakarta yang serba nyaman itu. Apa yang mesti dilakukan ? Mestinya ada upaya jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang di negara ini. Untuk jangka pendek, agaknya impor masih perlu dilakukan. Ini demi memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen yang sudah kadung jatuh cinta dengan kedele biji besar, umbi bawang putih siung besar. Namun bersamaan dengan itu, perlu penyediaan benih kedelai biji besar dan bibit Bawang putih siung besar. Karena Indonesia belum punya, benih kedelai dan bibit bawang putih itu dapat

diimpor, lalu diadakan ekstensifikasi & intensifikasi budidayanya. Untuk daging sapi, karena ternyata peternak Indonesia belum mampu menyediakan sapi potong dalam jumlah sesuai permintaan, agaknya juga perlu impor. Tetapi bersamaan dengan itu, perlu impor bibit sapi dan perbanyakan pembibitan sapi di dalam negeri. Tanah di Indonesia dmanapun merupakan lahan yang sangat bagus untuk pengembangan hijauan makanan ternak (HMT), sehingga tak ada alas an untuk mengatakan Indonesia tidak cocok untuk beternak. Untuk jangka menengah dan panjang, ada banyak yang harus dilakukan, namun dapat difokuskan pada beberapa hal. Pertama, penataan dikementerian bidang pertanian, yaitu Dirjen PPHP, karena tugas-tugas yang ada di dalamnya sama dengan tugas yang ada di Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Kementerian Pertanian sebaiknya fokus di kegiatan budidaya hingga produknya siap ‘di pinggir jalan’. Setelah itu, kalau produknya akan dijual ke pasar dalam bentuk segar biar ditangani oleh Kementerian Perdagangan. Kalau produknya akan diolah, biar menjadi tugas Kementerian Perindustrian, yang pemasarannya juga diserahkan pada Kementerian Perdagangan. Kementerian Pertanian sebaiknya fokus pada penelitian untuk menghasilkan benih/bibit unggul, penelitian teknologi terapan dan mengembangkannya dalam budidaya. Kasus bawang putih dan

kedelai impor yang akhirnya dicintai konsumen sebaiknya distop dan tidak terjadi di bawang merah. Kedua, adalah penataan sentra produksi, penataan pola tanam dan pola panen. Istilah panen raya harus diganti dengan panen teratur sesuai dengan kebutuhan pasar. Kalau sentra produksi dan pola tanam/panen sudah dibuat, kelembagaan petaninya harus kuat berbentuk korporasi formal disetiap sentra produksi. Kebebasan petani dalam memilih komoditi dan waktu tanam harus diarahkan sesuai dengan program. Bersamaan dengan itu, kalau korporasi petani sudah layak ekonomi (akuntable dan bankable), harus ada skema investasi di usahatani dengan memanfaatkan modal masyarakat melalui bank. Ketiga, adalah penataan distribusi. Kota-kota tempat konsentrasi penduduk harus dikenali kebutuhan komoditinya perhari. Data ini digunakan sebagai basis distribusi komoditi iu sehingga pasokan ke pasar tidak melampaui kebutuhan. Bersamaan dengan itu perlu penataan pelaku distribusi produk itu dalam sebuah system logistik nasional. Hal ini untuk menghilangkan distribusi tak terarah yang selama ini dilakukan oleh para pelaku dengan dasar kira-kira. Dengan sistem ini, diharapkan kebutuhan masyarakat konsumen terpenuhi dan harga tidak berfluktuasi sehingga produsen tidak mengalami harga jatuh. Soekam Parwadi


ANTISIPASI

Edisi 15/2014 | AGRO SWAKARSA

13

Mengatasi Jatuhnya Harga Bawang Merah Karena waktu panen yang tak teratur, pasokan ke pasar terlambat dan harga menjadi mahal. Waktu itu yang agaknya dimanfaatkan oleh pedagang untuk memasukkan bawang merah impor. Kemudian, setelah bawang impor masuk, berbenturan dengan panen raya, harga menjadi jatuh.

S

etelah musibah jatuhnya harga kentang mereda, sekarang berganti dengan jatuhnya harga bawang merah. Lagi-lagi, dalam kejadian carut-marutnya pemasaran produk pertanian, khususnya sayur dan juga buah Indonesia akhir-akhir ini, korban yang menderita paling sakit adalah masyarakat tani. Padahal, dalam proses usaha pertanian yang menjadi basis perekonomian sebagian besar masyarakat Indonesia, petani merupakan pelaku paling menentukan terhadap adanya produk itu. Selain perannya yang penting, dalam proses pengadaan produk, petani harus menjalani proses yang makan waktu paling lama. Petani memulai membudidayakan bawang merah dengan membuka tanah, mengolahnya hingga

siap tanam membutuhkan waktu sekitar 20 hari. Proses penanaman –perawatan– hingga panen butuh waktu rata-rata 65 hari atau dua bulan. Setelah panen, bawang merah dikeringkan hingga siap dibawa ke pasar butuh waktu sekitar 1015 hari. Jadi total waktu yang dibutuhkan petani untuk menyiapkan bawang merah hingga siap dipasarkan butuh waktu sekitar 100 hari. Setelah itu, bawang merah berpindah ke tangan pedagang lokal dan pedagang besar di pasar induk, membutuhkan waktu sekitar lima hari. Bawang merah lalu dibawa pedagang pengecer hingga ke tangan konsumen butuh waktu sekitar lima hari pula. Artinya, bawang merah berada di dunia perdagangan hanya sekitar 10 hari saja atau sepersepuluh dari waktu yang dibutuhkan petani

dalam berproduksi. Kalau semisal dalam proses perjalanan bawang merah itu timbul masalah, maka penderitaan petani derajatnya sepuluh kali lebih berat dibanding deritanya para pedagang. Bahkan, sampai saat ini, semua masalah yang ada diperdagangan bawang merah itu, oleh pedagang dibebankan kepada petani dengan cara membeli bawang merah lebih murah. Pedagang akan tetap untung saja, walau harga naik atau turun. Petanilah yang harus menderita rugi. Dalam seratus hari berbudidaya, petani tidak boleh sakit dan harus punya uang. Setelah bibit ditanam, harus menyediakan sekitar 1 ton pupuk pabrik yang terdiri dari delapan jenis. . Kalau terlambat memupuk, tanaman tidak akan normal perkembangannya. Mulai saat itu pula, petani harus bergelut dengan alam agar proses produksi berjalan lancar hingga berhasil panen dengan baik. Pada musim kemarau, petani berhadapan dengan hama dan kekurangan air. Dimusim penghujan, petani menghadapi masalah penyakit jamur dan banjir. Untuk mengatasi hama dan penyakit itu, petani harus memiliki uang untuk menjinakkannya. Untuk keperluan pupuk dan obat-obatan itu, kebanyakan petani berhutang kepada toko sarana produksi yang ada disekitarnya. Beruntung ada pengusaha toko yang mau meminjaminya walau petani harus membayar biaya bunga tinggi yang dibebankan pada peminjaman tersebut. Untuk mengatasi kekeringan, petani harus memiliki uang untuk membeli dan mengoperasionalkan pompa air. Sedangkan kalau kebanjiran, petani hanya dapat pasrah pada takdir. Kalau dihitung dengan uang, petani yang masih belum tentu memperoleh harga bagus nantinya harus menyediakan modal yang besar. Seperti dituturkan oleh


14

AGRO SWAKARSA | Edisi 15/2014

Wawan, Hj. Sri dan Habib dari Kendal, setiap hektar pertanaman bawang merah membutuhkan biaya sekitar 45 hingga 50 juta rupiah. Harga jatuh Apakah setelah semua masalah dalam proses budidaya dapat diatasi, dan petani dapat panen bawang merahnya, lalu tidak ada masalah lagi? Jawabnya belum tentu. Para petani tentu menanam bawang merah dengan tujuan untuk dijual. Proses penjualan inilah yang sangat menentukan apakah petani itu untung (laba) atau malah buntung (merugi). Nilai hasil (output) yang diperoleh petani ditentukan oleh jumlah produksi dan harga penjualan. Seperti produk lainnya, harga penjualan bawang merah sangat ditentukan oleh banyaknya pasokan kepasar dan kebutuhan konsumen dalam waktu tertentu. Sampai saat ini, belum ada yang mampu mengendalikan jumlah pasokan ke pasar untuk tiap hari, tiap minggu atau tiap bulannya. Yang terjadi, kalau petani panen bersamaan, mereka secara bersamaan pula menjualnya ke pasar sehingga harga turun. Kondisi turunnya harga itu saat ini diperparah dengan masuknya bawang merah impor ke pasar. Sudah lama berlangsung bahwa setiap menjelang petani bawang merah di Brebes panen, bawang impor ke Pasar Bawang Brebes melalui pelabuhan Cirebon. Bawang impor dijual murah untuk ukuran Brebes, sehingga menciptakan suasana harga rendah. Dampaknya, begitu petani Brebes memanen bawang merahnya, harga pasar sudah berada pada posisi murah,

sehingga harga menjadi jatuh lebih rendah lagi. Mengapa harga jatuh? Dalam kondisi normal, artinya, pasokan bawang merah ke pasar hanya berasal dari bawang merah dalam negeri, paling turunnya harga di tingkat petani berada pada posisi sekitar Rp 5.000,-/ kg. Hal itu terjadi biasanya saat panen raya di bulan-bulan Agustus – Oktober. Setelah panen raya berlalu, pasokan ke pasar berkurang, harga naik lagi hingga Rp6.000–7.000,-/kg. Pada kondisi itu petani masih merasa nyaman, walau beberapa petani akan berada pada posisi �break-event� saat harga sedikit di bawah Rp5.000,-. Tetapi kalau harga penerimaan petani Rp5.300,-/kg saja, petani sudah untung

walau sedikit. Tetapi dengan masuknya bawang merah impor yang dijual di pasar induk dengan harga Rp3.000 – 4.000,-/ kg, para pedagang pasar induk tentu akan kebingungan, sehingga bawang lokalnya kalah bersaing. Tetapi, kebingungan para pedagang itu hanya sebentar. Harga bawang lokal di pasar induk akan ikut diturunkan menyesuaikan dengan harga bawang merah impor. Para pedagang lalu membebankan penurunan harga itu kepada petani dengan harga pembelian di bawah harga pasar induk. Para pedagang seperti tidak mau mengerti dengan penderitaan petani dan harga pembeliannya diturunkan hingga Rp3.000,- /kg bahkan lebih rendah lagi. Pedagang tidak mau tahu atau tidak berbuat apa-apa walau tahu, kalau untuk memproduksi bawang merah sekitar 10 ton selama 100 hari itu, petani harus mengeluarkan biaya Rp50 juta/ ha. Artinya, harga pokok bawang merah adalah Rp5.000,-/kg. Dengan harga pokok itu, petani tidak rugi, tetapi juga tidak untung. Kalau harga lalu diturunkan menjadi Rp4.000,-/kg atau lebih rendah lagi, maka petani akan sangat merugi. Bagaimana menghadapi perang bawang merah di pasar? Cara pertama adalah dengan menyetop masuknya bawang impor, sehingga yang masuk pasar hanya bawang merah dari sentra-sentranya di Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB atau Jawa Barat. Tetapi kalau cara itu dilakukan, harga akan menjadi tinggi dan ada hal-hal kurang baik yang selama ini berlangsung di proses budidaya bawang


Edisi 15/2014 | AGRO SWAKARSA

merah ditingkat petani. Proses yang kurang baik itu bersifat pemborosan, yang juga perusakan dan pencemaran lingkungan yang membahayakan petani itu sendiri dan pencemaran produk yang membahayakan konsumen. Untuk itu maka perlu ditempuh cara kedua, yaitu mengurangi pemborosan dalam proses budidaya bawang merah yang terletak pada pengeluaran biaya pupuk dan pestisida. Di Kendal, Habib mengeluarkan biaya pupuk kimia sebesar Rp8.240.000,-/ha untuk membeli delapan jenis pupuk dengan jumlah dua ton! Sementara di Brebes, yang pembudidayaan bawang merah telah berlangsung puluhan tahun, biaya pupuk buatan itu jauh lebih besar lagi karena faktor kemampuan lahan yang semakin berkurang. Perlu diketahui bahwa, dari sekitar dua ton pupuk kimia, kandungan kadar unsur haranya hanya sekitar 45% atau 900 kg saja. Sementara yang 55% atau sekitar 1.100 kg merupakan bahan pembawa (carier) yang akan tertinggal didalam tanah, tidak dapat terurai dan menjadi bahan pencemar fisik dan kimia tanah, serta merusak kehidupan biologi tanah. Dengan begitu, daya produksi tanah semakin tahun akan semakin menurun. Misalnya, pada musim lalu dipupuk kimia dua ton, menghasilkan produksi bawang merah 10 ton. Kalau tahun ini dipupuk lagi dua ton, maka produksi bawang merah tidak kurang dari 10 ton. Untuk memperbaiki kerusakan tanah itu, maka pemupukan harus diubah. Dosis pupuk kimia harus dikurangi secara

bertahap dan sebagian harus digantikan dengan pupuk organik. Pemupukan yang baik dan meningkatkan kesuburan tanah bila telah tercapai penggunaan pupuk kimia maksimal 25% dari dosis sekarang dan lainnya digantikan dengan pupuk organik. Agar juga efisien, para petani harus mampu membuat pupuk organik sendiri sehingga harga pokoknya lebih murah. Pupuk organik limbah ternak yang dikombinasi dengan sisa hasil panen, harga pokoknya hanya sekitar Rp500,-/ kg. Penggunaan pupuk organik dapat dimulai dengan dosis 5 ton/ha + 50% dari dosis pupuk kimia sekarang. Pupuk organik akan mampu memperbaiki kondisi dan kesuburan fisik,

15

kimia dan biologi tanah. Tanah akan lebih gembur mudah diolah, menahan air bila musim kering dan membentuk granula tanah saat musim hujan, aerasi tanah baik, akar dapat bernafas dengan baik sehingga penyerapan hara dapat optimal. Secara kimia, karena bahan organik pula, kandungan Al dan Fe yang selama penggunaan pupuk kimia akan berperan sebagai racun yang menyerap unsur phosphat akan tercuci sehingga zat-zat makanan menjadi tersedia bagi tanaman lebih banyak. Kehidupan mikro biologi tanah menjadi baik, akan mengubah bahan-bahan organik tanah menjadi zat makanan bagi tanaman. Tanaman akan sehat secara alami sehingga lebih tahan terhadap hama dan


16

AGRO SWAKARSA | Edisi 15/2014

Untuk pengaturan waktu panen, perlu kesepakatan antar sentra produksi. Di Indonesia, sentra produksi yang besar pada 2010 terlihat ada di Jawa Tengah (45.538 ha), Jawa Timur (26.507 ha), Jawa Barat (12.168 ha) dan NTB (10.159 ha). Produksi nasional bawang merah ditahun 2010 sebesar 1.048.934 ton, dengan kebutuhan bawang merah 769.958 ton maka sebenarnya masih surplus sebesar 278.000 ton lebih dalam setahun. Namun karena waktu panen yang

penyakit. Dengan begitu, nantinya akan menghemat penggunaan pestisida kimia yang membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan manusia itu. Dengan cara perbaikan budidaya, khususnya penggunaan pupuk organik dan pengurangan pupuk kimia dan pestisida kimia, biaya produksi dapat ditekan, sehingga harga pokoknya dapat ditekan pula. Kalau nantinya sudah normal alami kembali, harga pokok bawang merah di tingkat petani dapat turun hingga dibawah Rp3.000,-/kg. Pada kondisi itu, bawang merah kita yang sebenarnya lebih mampu bersaing dengan bawang impor yang rasanya kurang itu. Pengaruh lainnya, konsumen akan diuntungkan. Pertama, akan memperoleh bawang merah yang sehat dan murah. Petani telah memperoleh laba atau untung yang memadai. Perlu diketahui bahwa, kalau sekarang petani senang dengan harga penjualan Rp6.000,-/ kg, lalu dieceran konsumen membeli dengan harga Rp8.000,-/kg, sebenarnya konsumen susah dan pasrah saja dengan keadaan. Karena itu begitu ada bawang merah impor yang dijual eceran Rp5.000,konsumen akan beralih membelinya. Walau rasanya kurang, tetapi dapurnya bisa tetap ‘ngebul’. Cara lain mengatasi harga bawang merah jatuh itu adalah dengan melakukan pengaturan waktu panen dan pengaturan pemasokan ke pasar induk.

tak teratur, kadang pasokan bawang ke pasar terlambat dan harga menjadi mahal di pasar eceran. Waktu itu yang agaknya dimanfaatkan oleh pedagang untuk memasukkan bawang merah impor. Kemudian, setelah bawang impor masuk, berbenturan dengan panen raya, harga menjadi jatuh. Peran jaringan pasar induk untuk mengatur besarnya pasokan tiap bulan atau tiap minggu menjadi penting disini. Soekam Parwadi


KEBIJAKAN

Edisi 15/2014 | AGRO SWAKARSA

17

Impor Komoditas:

Kuota Bakal Dihapus

Kebijakan importasi itu tidak sebatas pada komoditas yang rentan mengalami kenaikan harga seperti cabai rawit dan bawang merah. Beberapa komoditas hortikultura yang berisiko terkena dampak anomali cuaca juga bisa dimasukkan dalam daftar.

S

etelah bakal tidak ada lagi kuota impor daging, pemerintah juga berencana menghapus sistem kuota impor pada beberapa komoditas hortikultura pada tahun depan. Sebagai gantinya, pemerintah akan menggunakan indikator paritas harga dalam membuka atau menutup keran impor. Impor dihentikan apabila harga sudah kembali normal. Menteri Perdagangan tahun lalu mengatakan langkah ini ditempuh untuk meredam lonjakan harga pada saat salah satu komoditas terkendala pasokan. “Semangatnya untuk menjaga stabilitas harga,” kata Gita, akhir pekan lalu. Dalam Permendag No. 16/M-DAG/ PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, terdapat 39 jenis produk hortikultura impor yang diatur. Produk itu di antaranya kentang, bawang, wortel, lobak, sayuran polong, buah dari genus cap sicum atau pimenta, cabai, pisang, anggur dan jeruk. Gita menjelaskan pihaknya akan

menggunakan batasan di kisaran 10%15% dari harga paritas sebagai patokan. Apabila harga di pasaran melebihi batasan tersebut, keran impor akan langsung dibuka sampai harga kembali stabil. Kebijakan importasi itu tidak sebatas pada komoditas yang rentan mengalami kenaikan harga seperti cabai rawit dan bawang merah. Beberapa komoditas hortikultura yang berisiko terkena dampak anomali cuaca juga bisa dimasukkan dalam daftar. “Kami segera membahas dalam 2-3 bulan ke depan untuk mengantisipasi kondisi ini supaya tidak terjadi lagi kenaikan harga seperti pada cabai dan bawang merah. Hal yang sama juga sedang kami kembangkan untuk impor daging sapi,” ujarnya. Kebijakan ini, lanjutnya, bisa berhasil apabila proses perizinan impor juga dipercepat untuk menciptakan efisiensi dan transparansi serta penyederhanaan mekanisme impor. Nantinya, Kementerian Pertanian hanya menetapkan alokasi

tahunan, sedangkan yang menentukan siapa saja importir dan izin impor ada di Kemendag. Gita mengatakan agar kebijakan mekanisme paritas harga bisa berhasil, pihaknya akan menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN). Ketua Dewan Hortikultura Nasional (DKN) Benny Kusbini tidak sependapat dengan kebijakan tersebut. Dia menilai rencana itu berisiko melemahkan daya saing produk pertanian nasional. “Dalam jangka pendek memang bisa menyelesaikan masalah, tetapi bagaimana dengan jangka panjang. Sampai kapanpun negara ini tidak bisa mencapai swasembada pangan,” katanya saat dihubungi sebagaimana dikutip Bisnis, akhir Juli tahun lalu. Pihaknya menuturkan penentuan paritas harga juga harus menyesuaikan dengan tingkat kesejahteraan petani. Selain itu, pemerintah juga harus bertanggung jawab apabila komoditas mengalami penurunan harga. Daripada membuka keran impor, katanya, pemerintah lebih baik mulai memikirkan peningkatan produktivitas dalam negeri. Pemerintah bisa melakukan pembenahan infrastruktur, pemberian subsidi kepada petani, dan peningkatan teknologi pangan. Jika anomali cuaca menjadi alasan melakukan impor, katanya, pemerintah bisa membangun glass house dengan biaya Rp250.000 per meter2. Selain itu menyediakan cold room sebagai media penyimpan hasil tani seperti bawang merah dan berbagai buah-buahan. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi Thomas Sembiring menilai kebijakan pemerintah yang akan menggunakan paritas harga sebagai pemicu untuk melakukan impor daging sapi salah kaprah. “Kalau menunggu harga naik di atas 15%, sudah terlambat untuk membuka impor. Ketika barang tersebut didatangkan, harga bisa saja sudah naik hingga 30%. Harga bisa naikkan karena tidak ada stok,” katanya.


18

EPILOG

AGRO SWAKARSA | Edisi 15/2014

Imperialisme ekonomi di negeri ini makin mengakar. Salah satu bentuk penjajah ekonomi itu adalah imporialisme, yaitu ketergantungan terhadap impor.

Imperialisme Ekonomi Model Baru:

S

Imporialisme

iapa sangka bawang bakal menjadi barang mewah. Hasil pertanian yang digunakan bumbu masak tersebut harganya sering naik namun jarang turun. Bawang merah dan bawang putih harganya melangit. Bahkan, bisa lebih mahal dari harga daging sapi di pasar. Bawang tampaknya mengikuti komoditas pertanian lainnya, yang sempat langka dan melambung harganya. Kontan, masyarakat resah, marah, dan gelisah. Maklum saja, komoditas tersebut merupakan bahan konsumsi seharihari. Meski bawang atau cabe sekadar pelengkap dari satu masakan, namun dampak sosial dari kenaikan harga komiditas tersebut sangat besar. Solusinya? Lagi-lagi pemerintah memutuskan impor. Bahkan, bawang impor illegal (tidak berdokumen lengkap) yang tertumpuk di sejumlah pelabuhan Indonesia diijinkan untuk masuk, dan menjadi komoditas impor resmi. Dan harga bawang mulai terkendali ketika barang-barang impor illegal yang jadi resmi itu didistribusikan ke pasar-pasar. Realita ini mengundang sejumlah tanya. Adakah kelangkaan bawang di pasar-pasar ini merupakan permainan mafia impor agar bisa memasukkan barang-barang impor yang tidak berijin lengkap? Mungkinkah ini merupakan sebuah modus disaat Indonesia mulai mengurangi keran impor? Yang pasti, modus yang terjadi selama ini hampir sama. Dan solusinya pun begitu. Komoditas langka, solusinya impor.

Ironis memang bila negeri agraris yang pemerintahnya mengklaim sudah swasembada pangan, masih harus impor beras dan komoditas-komoditas lainnya. Tidak hanya komoditas pertanian, negeri bahari dengan hamparan laut yang sangat luas ini pun mengimpor garam. Tanah yang subur, sumber daya laut yang kaya, dan iklim tropis yang dianugerahi musim hujan dan musim kemarau yang seimbang, seakan-akan tidak ada artinya. Semua kekayaan yang dimiliki Indonesia itu seperti tidak berguna. Petani dan peternak yang menghasilkan komoditas-komoditas kebutuhan hidup sehari-hari itu juga nasibnya tidak pernah menjadi lebih baik. Kencenderungan para petani hidupnya lebih miskin, dan ujung-ujungnya. Mereka pun dengan berat hati harus melepas sawah, ladang, dan lahan pertaniannya kepada investor untuk dijadikan pabrik, mal, atau perumahan. Mereka terpaksa melakukannya, karena terdesak kebutuhan ekonomi akibat komoditas pertanian yang dikembangkan di lahannya tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Anehnya, pemerintah tidak melakukan kebijakan mendasar untuk mengatasi persoalan ini. Indonesia memiliki sumber daya (resources) yang besar. Dan mestinya mampu menjadi negeri agraris yang mandiri, bahkan bisa menjadi pengekspor komoditas pertanian terbesar di dunia. Namun, itu dapat terwujud bila kebijakan ekonomi dan politik ekonomi nasional Indonesia berorientasi pada kepentingan rakyat. Bukan lagi berorientasi kepada kepentingan investor, negara besar, atau kepentingan-kepentingan lainnya. Seringkali pemimpin negeri lebih peduli terhadap kondisi dan kepentingan asing, ketimbang pada rakyatnya sendiri. Seringkali pula kebijakan itu hanya untuk memperoleh pujian dunia atau penghargaan berupa award dari lembagalembaga internasional. Perlu disadari kebijakan ekonomi Indonesia saat ini telah memakmurkan imperialisme ekonomi. Indonesia memang sudah merdeka secara negara sejak tahun 1945. Namun, secara politik kerapkali juga dipengaruhi asing. Dan secara ekonomi, dengan kasat mata dan dirasakan langsung masyarakat negeri ini tidak memiliki kebijakan kemandirian yang jelas. Nyatanya, imperialisme ekonomi di negeri ini makin mengakar. Salah satu bentuk penjajah ekonomi itu adalah imporialisme, yaitu ketergantungan terhadap impor, bahkan untuk komoditas komoditas yang sebenarnya dapat dan mampu diproduksi sendiri bangsa ini. Guntur Subaja Mahardika

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Ir. Raymond Rajaurat Dewan Redaksi: Ir. Raymond Rajaurat, Ir. Anom Wibisono, Hs. Staf Redaksi: M. Mutawally, Ronald Simarmata, Andri Penerbit: Yayasan Media Wasantara, anggota SPS No. 358/1986/03/2002 Pendiri: Rimson Simanjorang Direktur Utama Kelompok Media: Ir. David J. Simanjorang Bank: Bank Central Asia (BCA) No. Rek. 166 1967 957 a/n. Raymond Rajaurat Alamat Redaksi: Jl. Yupiter Utama D10/12, Bogor 16914 Telp/Faks: (021) 87716493, 0811192306 Alamat Iklan/ Tata Usaha: Jl. Pagaralam 28 Bandar Lampung 35141 Telp: (0721) 701704 , 0816406304 Website: www.opini-indonesia.com/agro Email: agro@opini-indonesia.com Percetakan: PT. Lampung Visitama Ganda (DavPrinting) Isi diluar tanggungjawab percetakan




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.