ECCE HOMO
Pengantar Galeri Chris Dharmawan
E
cce Homo dalam bahasa latin berarti “Lihatlah Manusia”, hal yang sangat mendasar dalam salah satu pemahaman dan teori filsafat Nietzsche. Apakah itu persoalan mendasar tentang diri kita, atau bagaimana kita menjalani hidup ini, bahkan apa sebenarnya hakekat menjadi manusia, menurut Nietzsche kesemuanya sebenarnya berpusat pada “aku”. Dan pertanyaan soal “aku”, menjadi sangat menarik ketika dipakai sebagai dasar ide proyek pameran ini. Saya kira para seniman dalam menafsir ide pameran ini, bukanlah berkarya dengan merespon teori filsafat Nietzsche sebagai model, akan tetapi teori filsafat Ecce Homo Nietzsche dipakai sebagai cara bertanya. Karya-karya yang tercipta diharapkan bisa menjawab tentang persoalan-persoalan mendasar kehidupan sang seniman, bagaimana si seniman menjalani hidup, dan bagaimana sang seniman menjawab hakekat tentang hidupnya. Pertama kali, ide pameran ini bermula ketika Heru Hikayat berdiskusi tentang Nietzsche dengan Roy Voragen, seorang pengajar dan pengamat teori filsafat Nietszhe, yang menjadi mitra dalam memproses ide pameran ini lebih lanjut. Roy kemudian juga menulis sebuah essay yang menarik dalam katalog pameran. Sedangkan pameran ini melibatkan seniman-seniman dari Jakarta, Iswanto Hartono, dari Bandung, Amrizal Salayan, Aminudin TH “Ucok” Siregar, Diyanto, Gusbarlian, Nurdian Ichsan, Roumy Handayani Pesona, dari Jogja, Abdi Setiawan, Agus Suwage, Galam Zulkifli, Laksmi Sitharesmi, Sigit Santosa dan Sugiyo Dwiarso, dan dari Semarang Atie Krisna serta Kelompok Byar Creative Industry. Saya harus berterima kasih kepada mereka semua yang terlibat dalam pameran ini, terutama kepada kurator Heru Hikayat dan Roy Voragen sang mitra, serta semua seniman yang terlibat dalam pameran ini. Selamat berapresiasi !!
Lihatlah Manusia
kan keadilan, bahwa ada dunia lain yang lebih baik. “Tidak!” kata Nietzsche, “Tidak ada yang lain selain hidup ini, selain dunia ini.”
Heru Hikayat
Übermensch, inilah yang diserukan Zarathustra. Sebagian menerjemahkannya sebagai “adimanusia”. Ini suatu konsep tentang “manusia yang melampaui manusia”. Tapi ini bukan suatu ajaran. Ini suatu ajakan untuk menyelami diri, menjalani hidup. Übermensch bukan suatu tokoh panutan. Übermensch dicari pada diri tiap “aku”.
“Aku serukan kepadamu saudaraku, setialah kepada bumi, dan jangan percayai mereka yang mengajarkan kepada kalian harapan-harapan di luar bumi!” (Nietzsche – Sabda Zarathustra)
Ini dia persoalannya: manusia adalah suatu konsep yang perlu terus-menerus dilampaui. Manusia dibentuk dalam setiap kini, dalam setiap tindakan.
K
ita tahu kita tak bisa hidup sendiri. Lalu pertanyaannya: sesungguhnya apa arti orang lain bagi kita? Apakah mereka adalah mitra atau ancaman? Atau memang kita sebaiknya mengupayakan suatu hidup sendirian? Zarathustra dalam rekaan Nietzsche merupakan sosok pertapa yang memutuskan “turun gunung” karena ia mencintai manusia. Frasa “turun gunung” sendiri saya kira menyiratkan kepertapaan, seperti tipikal cerita-cerita silat: seorang pendekar menyendiri untuk mengupayakan pencapaian ilmu yang lebih tinggi tarafnya, lalu setelah ilmunya dirasa cukup tinggi maka ia kembali hidup di tengah orang-orang lain. Gunung tinggi adalah kesendirian, turun ke lembah adalah menuju kebersamaan dengan orang-orang lain, dan di tengah keramaian adalah pasar. Menarik, Nietzsche memilih pasar sebagai lokasi pertama Zarathustra mendapat kesempatan berbicara pada orang banyak setelah pertapaan 10 tahun. Pasar bukanlah semata tempat jual beli. Inilah ruang publik itu tempat orang-orang bisa menyatakan pendapat: di mana “aku” bertemu “aku” yang lain. Kali pertama saya berdiskusi tentang Nietzsche dengan Roy Voragen —mitra saya dalam memproses ide pameran Ecce Homo ini— pertanyaan saya adalah soal “aku”. Filsafat Nietzsche berpusat pada aku, maka pertanyaannya: bagaimana “aku Nietzscheian” memandang “aku-aku lain”? Secara sederhana, dalam pandangan Nietzscheian hanya “aku” yang berani hidup yang layak diajak bicara. “Aku” selebihnya tidak layak diajak bicara. Kredo-kredo Nietzsche sepintas memang terkesan tinggi hati: “kehendak untuk berkuasa”, “mental kawanan” dikutuk habis, bahkan moral dianggap hambatan. Tampaknya ajaran moralis dianggap bertanggung jawab atas kelalaian manusia. Manusia jadi terbuai: bahwa ada suprakuasa yang akan menega-
Ada satu film dengan judul amat menarik When Nietzsche Wept. Film ini menceritakan tahun-tahun terakhir hidup Nietzsche ketika dia mulai dirundung sakit jiwa. Film ini amat romantis dan tentu saja mendramatisasi kehidupan Nietzsche. Terlepas dari seberapa akurat kisah di film dengan kenyataannya, saya hanya mau mengambil sepenggal dialog untuk menggambarkan satu prinsip penting dalam filsafat Nietzsche: “kembalinya segala sesuatu” atau “pengulangan kekal” (eternal recurrency). Tokoh Nietzsche dalam film itu meminta lawan bicara untuk membayangkan satu kemungkinan: kita akan menjalani hidup lagi bukan hanya di dunia yang sama tapi hidup yang sama persis seperti yang kita jalani sekarang dengan segala kesusahan dan kesenangannya; tiap momen dari hidup yang kita jalani sekarang, tiap pilihan yang kita buat, tiap kesalahan yang kita sesali, tiap kebahagiaan yang kita syukuri, tiap rinci terkecilnya, segala yang banal, akan balik lagi dan lagi ke kita terus secara abadi. Saya sekarang sedang menyarankan, bukan soal apakah klaim ini benar atau tidak, apakah ini kebenaran atau bukan. Kalau kita berhasil membayangkan hidup-yang-kembali-kekita-lagi-dan-lagi-secara-abadi bukankah itu akan membuat kita hati-hati dalam menjalani hidup? Sungguh cara yang baik untuk membuat kita tetap terjaga. Maksud saya “terjaga” seperti prinsip yang diyakini oleh tokoh Musashi dalam novel Eiji Yoshikawa: “aku tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan aku sesali”. Tidak sekalipun hendaknya kita melakukan sesuatu yang akan kita sesali. Dengan membayangkan prinsip hidup-yang-kembalike-kita-lagi-dan-lagi-secara-abadi maka tidak susah untuk memahami bahwa kita harus mencintai hidup. Mencintai hidup, dengan kata lain mengatakan “Ya” pada hidup. Kita tidak punya pilihan selain mengafirmasi hidup kita sendiri. Milan Kundera memulai The Unbearable Lightness of Being dengan mengajak pembaca memikirkan apa gerangan implikasi dari konsep eternal recurrency ini. Kundera mengajak pembaca mengingat tentang
darah yang tertumpah selama Revolusi Prancis. Ini revolusi yang dianggap penting, menyebarkan kesadaraan tentang kesetaraan manusia. Barangkali benar begitu, tapi tetap saja di sisi lain, inilah peristiwa manusia membunuh manusia lain. Menurut Kundera, andai Revolusi Prancis berulang secara abadi, maka para sejarawan Prancis akan makin tidak berbangga hati akan kepahlawanan revolusi mereka. Tapi karena peristiwa itu tak kan berulang, maka darah yang tertumpah kemudian menjelma menjadi kata-kata, teori-teori, dan diskusi-diskusi, dan tak lagi menakutkan bagi siapapun, demikian Kundera. Membayangkan pilihan kita akan kembali pada kita secara abadi: betapa hal ini bisa membawa dampak yang besar. Nietzsche amat menekankan keyakinan manusia tidak dapat berpaling dari dirinya dan dunia ini. Hingga ia menekankan kepercayaan pada dogma agama serta negara membuat manusia lupa dan lalai menjalani hidup. Nietzsche punya perumpamaan yang impresif: manusia yang mengafirmasi hidup adalah manusia yang berani mengarungi lautan dengan sampan kecil dan membakar dermaga di belakangnya hingga tak ada sama sekali cara baginya untuk kembali ke daratan. Hidup ini adalah lautan yang penuh marabahaya dan karena itu harus dihadapi dengan penuh keberanian. Kenyamanan daratan adalah buaian yang membuat manusia berpaling dari hidup. Dalam prinsip Nietzsche sebenarnya salah jika dikatakan “hidup kita”. Karena tiap orang harus menjalani hidupnya masing-masing. Ini soal aku menjalani hidupku, kau jalani hidupmu: hidupku-hidupku, hidupmu-hidupmu. Setiap “Aku” harus mengupayakan “kepenuhan hidup”-nya masing-masing. St. Sunardi bilang: tujuan sejarah, menurut Nietzsche, tercapai pada setiap “kini” dari setiap kemanusiaan kita yang dibimbing oleh Übermensch. Sang Übermensch adalah sosok manusia yang lantang menyatakan “Ya” pada hidup. Manusia yang tidak takut mengarungi lautan hidup dalam sampan kecil ringkih tanpa kemungkinan kembali ke daratan kenyamanan ilusif. Inilah manusia yang layak dijadikan teladan. Secara praktis: inilah manusia yang layak diajak bicara. Dan sekali lagi, ia (Übermensch itu) bukan dicari di mana-mana, melainkan di dalam diri. Pada suatu forum diskusi di Bandung, saat saya sedang bercerita tentang pemikiran Nietzsche, tuturan di sela pertanyaan: “bagaimana dengan Nietzsche sendiri, apakah dia juga mempraktikkan teori-teorinya?”. Saat itu jawaban terbaik saya adalah: hidup Nietzsche habis dipakai untuk menyusun teori. Sekarang saya kira, bukan itu yang penting. Karena penyempurnaan hidup bukan terletak pada pencapaian tertentu, melainkan pada kekinian. Apakah kita cukup sadar dengan tiap-tiap kini hidup kita, inilah persoalannya.
Karya seni jelas-jelas merupakan bikinan manusia. Kemudian di titik tertentu rumusannya berbalik: melalui karya seni manusia memahami dunia, memahami kenyataan, juga memahami dirinya. Dengan demikian karya seni merupakan ikon dari cara berpikir yang terpusat pada manusia. Pameran ini hendak menagih postulat-postulat dari seniman mengenai manusia. Premisnya, karena manusia merupakan makhluk menjadi, maka rumusan mengenainya harus terus-menerus dipersoalkan. Karya seni kemudian menjadi wahana paling efektif persis karena sifat kemanusiawian. Apakah karya seni di lingkungan kita, pada masa kini, bisa berbunyi mengetengahkan persoalan mendasar tentang diri kita sendiri: apa hakikat menjadi manusia? Bagaimana kita menjalani hidup ini? Pemikiran Nietzsche kemudian jadi bekal saya untuk memulai diskusi dengan para seniman-seniwati mengenai hakikat menjadi manusia dan menjalani hidup. Dalam proyek ini, Nietzsche bukanlah suatu model teladan, melainkan suatu cara bertanya. Satu hal sebelum semua itu terbayangkan, seniman toh harus cukup percaya diri untuk bisa menampilkan karyanya. Ia yakin karyanya akan dianggap signifikan; seperti sosok Zarathustra yang cukup penting untuk memalingkan perhatian kumpulan orang di pasar— orang-orang yang tadinya berkumpul untuk menonton pertunjukan tari tambang. Karya adalah hasil dari suatu proses, suatu wujud yang kemudian dipertontonkan. Hal lain langsung terasa mencolok saat mendiskusikan Nietzsche di lingkungan budaya ini: moralitas. Sementara Nietzsche memandang moralitas dengan penuh kecurigaan, menuding moralitas sebagai salah satu penyebab kepicikan manusia, pejabatpejabat publik kita hari-hari ini sering melontarkan pernyataan-pernyataan yang menjunjung tinggi moralitas sambil menomor-duakan logika. Apakah sejarah sedang berulang? Atie Krisna di mata saya amat santun memperhatikan orang lain. Ia sepertinya selalu memandang apa pun yang kita lakukan buat orang lain akan menjadi cermin yang memantulkan diri kita sendiri. Lukisanlukisan still-life-nya jadi tidak melulu berkutat dengan soal kebentukan semata. Sambil menggarap rinci kebentukan ia merumuskan tautan antara objek-objek kecil itu dengan masalah-masalah berskala besar. Ia tidak membiarkan objek-objek itu terkurung oleh konteks domestik. Saat berdiskusi dengan Sugiyo Dwiarso, karena ia menampilkan lukisan potret diri, saya bertanya, bagaimana idealnya citra diri ditampilkan. Dalam logika saya, citra tentang diri punya jarak dengan diri yang
7
tampil sehari-hari. Kita punya keinginan tentang hidup kita, juga bagaimana diri kita, namun berbagai hal membuat keinginan-keinginan kita tidak seluruhnya terpenuhi. Dalam citra, keinginan-keinginan ini bisa diformulasikan. Menarik, jawaban Sugiyo adalah: telanjang. Ia merasa tampilan diri yang telanjanglah yang ideal. Barangkali soal moral jadi pertimbangan utama Sugiyo tidak menggambar potret dirinya telanjang. Terlepas dari hal apa yang kemudian membuat Sugiyo tidak menggambarkan dirinya telanjang, proyeksi tentang keidealan ini menuntun dia dalam merumuskan potret dirinya. Saya kira ini adalah kelebihan seniman: ia punya keterampilan memadai untuk menggambarkan potret diri sesuai rumusan nilai-nilai yang ia yakini. Sementara manusia telanjang dalam lukisan Sigit Santoso tampak dalam agony. Sigit mengambil sosok St. Sebastian, martir kristiani abad III. St. Sebastian biasa digambarkan terikat pada suatu tonggak sambil tubuhnya dihujami sejumlah anak panah. Dalam karya Sigit, anak panah diganti kuas. Kuas ditembakan menghujam pada tubuh telanjang tak berdaya itu. Saya kira jelas, Sigit sedang mengetengahkan “manusia seniman”. Barangkali ini juga suatu refleksi bagi semua orang: tiap-tiap kita menjalani “risiko1” masing-masing. Masih mengenai potret diri, dari awal perhatian saya pada karya Laksmi Shitaresmi bukan pada seberapa lugas ia mencitrakan dirinya, tapi soal hadirnya dua skala secara bersamaan. Dalam kanvas-kanvas Laksmi ada sosok besar, dengan properti besar dan ada sosok kecil, juga dengan properti kecil. Ia seperti yang selalu menyandingkan antara dunia kecil dan dunia besar. Keduanya bukan hanya saling memengaruhi lebih dari itu, hadir bersamaan. Ketika ia menggambarkan dirinya, sang diri berkaitan dengan dunia tempat hal-hal lain dan orang-orang lain berada. Galam Zulkifli setahu saya sering menggambar potret orang-orang terkenal. Apa yang bikin seseorang jadi terkenal? Pertanyaan ini saya dapat dari obrolan dengan Dipo Andy: apakah manusia yang lebih hebat disebabkan karena ia lebih beruntung, lebih punya kapital dan karenanya lebih terakses media? Pertanyaan Galam melampaui kehebatan individual: andai semua manusia telah menjadi “kuat” seperti dirumuskan oleh Nietzsche, lalu apa yang terjadi? Sejujurnya saya tidak tahu. Bagi saya upaya memahami konsep manusia Nietzscheian telah menelan suatu pembayangan atas dunia yang dipenuhi oleh manusia-manusia kuat. Atau barangkali implikasi yang lebih historis sifatnya dari imajinasi ini adalah fasisme. Bagaimana misalnya, dulu rejim Nazi berusaha membangun citra Ras Arya yang serba sempurna, saking sempurnanya jadi berhak menyingkirkan ras lain yang
8
(dianggap) kurang sempurna. Saya kira cara bertanya Galam menunjukan bagaimana saat ia menggubah wajah-wajah di kanvasnya, ia juga sibuk memikirkan representasi macam apa yang sedang ia merumuskan: karena wajah selalu merupakan representasi. Ngomong-ngomong soal manusia hebat, bukankah Nietzsche sendiri kita anggap hebat? Roumy Handayani Pesona, teman saya menghabiskan malammalam di kampus zaman kuliah dulu, tiba-tiba mengirimi video lewat jejaring facebook. Beberapa scene video ini menyoroti saat-saat terakhir hidup Nietzsche. Dua tahun terakhir masa hidupnya, kesadaran Nietzsche makin buruk. Ia bahkan tidak sadar dirinya makin terkenal. Dalam video itu, Nietzsche berbaring di tempat tidur, berselimut, berwajah tirus, kumis besar, dan mata yang tampak cekung. Potret-potret Nietzsche bikinan Roumy tampak menangkap wajah Nietzsche dalam keadaan ringkih. Aminudin T.H. Siregar membuat sejumlah lukisan menggambarkan Nietzsche terbaring, namun sama sekali tidak dalam keadaan tak berdaya. Selain mengimbuhi gambaran sosok Nietzsche dengan teks-teksnya yang lantang, ia juga menempatkan tubuh berselimut itu dalam sampan kayu. Nietzsche seperti sedang bersiap dilarung. Sampan kecil, dermaga, juga lautan penuh marabahaya, merupakan perumpamaan yang sering dipakai Nietzsche untuk mendiskusikan konsepnya tentang hidup dan menjadi manusia. Pada satu titik, ia mengubah idenya: dirinya lah yang digambarkan tergambar dalam perahu. Si seniman sendirilah yang sedang dilarung, dilepas menuju laut kehidupan penuh marabahaya, menyongsong takdirnya sendiri. Nietzsche makin terkenal. Ia boleh ringkih secara fisik, dan penampilannya makin dramatis, tapi konsepkonsepnya membuka pintu-pintu ke arah baru bagi generasi kemudian. Saya kira ini paradoks bagi Nietzsche sendiri: ia ringkih dan makin jadi idola. Seorang teman pernah mempertanyakan tentang konsep mencintai takdir: bagaimana bisa mencintai takdir kalau takdir begitu buruk? Dan apa di ujung semua itu kalau bukan kematian? Saat Agus Suwage menyodorkan lukisan tengkorak dengan cat air, bagaimanapun citra kematian menohok dengan kuat. Cat air, media yang lembut namun kuat, digunakan untuk menggubah sosok kepala tak berdaging, tak hidup lagi. Ini seperti keindahan dalam tragedi. Orang bisa saja menikmati keterampilan Suwage dalam mengolah media lukisan, tapi ingatan tentang kematian membayang kuat. Di salah satu dinding studionya tergantung lukisan sosok kerangka manusia tak berdaging menunggang kuda, mengibarkan bendera, mengingatkan saya pada kisah dalam bibel tentang kematian dalam wujud penunggang kuda yang pucat, dan neraka berderap bersamanya.
Amrizal Salayan pernah membuat seri patung figur manusia dengan bentuk realis bermetamorfosis ke bentuk serupa kepompong. Kali ini patung yang ia tampilkan serupa daun membentuk kepompong saja. Suatu wadah kosong yang menanti kita isi, kelak di ujung hidup. Kematian dijelang oleh kita semua, sikap kita menghadapinya menentukan cara kita hidup. Bagi Nietzsche, prinsipnya bukan bahwa nanti akan ada kehidupan yang lebih baik di alam sana, ada keadilan yang mutlak dan lain-lain, tapi pada saat ini juga, di dunia ini juga kita menjalani hidup kita sendiri. Iswanto Hartono mengemukakan sosok Pramoedya Ananta Toer. Gambar sosok Pram dan berbagai propertinya diimbuhi teks-teks macam nomor “641”. Ini nomor “induk” saat Pram jadi Tahanan Politik. Saya sendiri punya cara memaparkan sosok Pram: ia dipenjarakan gara-gara karyanya oleh rezim Belanda, rezim Soekarno, dan kemudian oleh rezim Soeharto. Gambaran Iswanto merujuk pada rezim terakhir yang memenjarakannya. Silakan bayangkan, dalam keadaan kurang manusiawi dalam pembuangan di Pulau Buru, Pram mampu menulis karya-karya fiksi berbasis sejarah, juga memoar dengan sejumlah data penyerta. Keterkenalan dia di satu sisi menyelamatkan nyawanya, di sisi lain ia memang membuktikan dirinya: betapa ia setia pada profesinya. Bukankah ia telah menjalani takdirnya, walau takdir tersebut begitu buruk? Takdir buruk tentu bukanlah satu-satunya kemungkinan. Nurdian Icshan, sudah beberapa lama menggubah sosok manusia dalam suatu skala ruang. Ia menggunakan potongan dinding berbata merah sebagai perbandingan bagi besaran ruang yang ditempati sosoknya. Manusia-manusia itu tidak menatap, berbaring, atau berinteraksi dalam berbagai cara lain dengan potongan dinding-dinding tersebut. Lebih dari itu, manusia didefinisikan kehadirannya oleh dinding-dinding bata merah. Ini gambaran subtil tentang manusia dan ruang. Diyanto juga bergulat dengan perihal manusia dan ruang. Apakah kita di dalam ruang atau ada bersamanya, atau ruang hanya kita perlakukan sebagai latar belakang? Saya melihat dalam lukisan-lukisan Diyanto ada tegangan antara sosok dan ruang. Saya perlu mengemukakan dulu satu pendapat saya tentang fotografi. Ada sebentuk “kejahatan” fotografi: segala keindahan alam diperlakukan hanya sebagai latar belakang dalam foto—kita tidak lagi hidup di dalamnya melainkan bergerak untuk sekadar menggonta-ganti latar belakang. Manusia-manusia di sana di satu sisi tampak berada dalam ruang tersebut, tapi di sisi lain ruang seperti didorong hanya jadi latar belakang. Diyanto tampaknya sedang bergulat dengan
hubungan manusia dan “ruang-dan-latar-yang-salingmenggantikan” ini. Tentu saja hal ini menggelisahkan, karena, seperti juga pada karya Icshan, ruang mendefinisikan kehadiran manusia. Gusbarlian menampilkan hubungan sosok dan ruang dengan cara lebih abstrak. Sosok penggayaan kelinci yang dibuatnya berhadapan dengan sebongkah bola kecil menunjukan hubungan yang tidak definitif sama sekali. Patung lainnya berbeda. Patung yang menggambarkan pelindung kepala berkesan militer dengan “tanduk” berupa tetumbuhan. Ada satu hal yang mengikat kedua karya ini dibanding karya-karya Gusbarlian sebelumnya: kejenakaan. Patung-patung Abdi Setiawan selain mengandung kejenakaan juga menonjolkan sisi yang kasual. Bahkan kali ini ia menampilkan sosok kanak-kanak dalam kesehariannya. Perhatian kita lebih mudah tertarik pada hal-hal luar biasa. Itulah kenapa fiksi akan selalu mendramatisir karena walaupun dibuat berdasar kejadian nyata, kisah (tepatnya bahasa) selalu merumuskan ulang semua alur yang banal. Dalam keadaan yang sangat biasa, bukankah hidup tetap berharga? Sama berharganya antara saat penandatanganan prasasti penting yang akan memengaruhi hidup orang banyak dengan saat seorang anak memakan es krim? Satu hal terakhir tentang Nietzsche adalah kekhasannya. Ia khas “produk” Eropa abad XIX2. Tekanan lain dari soal penerimaan atas takdir: pembentukan diri adalah sesuatu yang historis. Byar Creative Industry, kelompok anak-anak muda Semarang dari awal saya ajak berdiskusi mengenai konstruksi historis. Saya membidik keaktifan dan ketertarikan mereka pada soal budaya urban. Saya membayangkan, jika para seniman-seniwati lain dalam pameran ini menjelajahi soal kemanusiaan dengan berbagai kemungkinan latar, maka Kelompok Byar bisa menjelajahi dalam sebuah ruang bernama Semarang. Latar historis dibayangkan berhubungan resiprokal dengan perkembangan individual. Saya menunggu dikejutkan oleh hasil riset mereka. Di atas semua itu, kegelisahan saya dalam hal ini adalah: apakah deretan karya-karya dalam pameran ini cukup memprovokasi pelihat hingga, sejenak saja, bisakah ia diajak untuk bertemu dengan dirinya sendiri? Sebagai penutup, seorang sahabat pernah mengomentari judul “Ecce Homo” dengan sebuah imajinasi. Bayangkan makhluk-makhluk selain manusia sebenarnya punya kemampuan berfilsafat selayaknya manusia. Mereka juga berwacana. Lalu mereka memandangi kita dan berkata, “lihatlah manusia...”. Apa kira-kira yang akan dikatakan oleh mereka? Bandung, 2 Februari 2010 9
1Dalam Bahasa Sunda, kata “reisiko” dalam frasa
“risiko dapur” merujuk pada pengertian beban keseharian-harian, bahwa tiap-tiap manusia harus menafkahi dirinya sendiri: ini adalah risiko alamiah dari hidup. 2Lihat Esai Roy Voragen “Takdir Tragis sebagai Sebuah Mahakarya Hidup”.
Daftar Bacaan: • Anton Tukiran, Seni sebagai Pemuasan atas Hasrat dan Jiwa—Nietzsche, Freud, dan Christopher Caudwell dalam Mudji Sutrisno dkk Teks-teks Kunci Estetika Filsafat Seni, Galangpress, Yogyakarta, 2005. • Friedrich Nietzsche, Ecce Homo (terjemahan Walter Kaufmann), Random House, New York, 1969. • Friedrich Nietzsche, Sabda Zarathustra (terjemahan Sudarmaji & Ahmad Santoso), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. • St. Sunardi, Nietzsche, LKiS, Yogyakarta, 2006.
10
Takdir Tragis Sebagai Sebuah Mahakarya Keagungan Hidup Roy Vorageni
Sebuah Telaah Reflektif tentang Otobiografi Friedrich Nietzsche Ecce Homo Art and nothing but art, we have art in order not to die of the truth. – Friedrich Nietzsche If the world were clear, art would not exist. – Albert Camus
P
ada mulanya adalah hampaii. Saya –sebagai sang penulis –mulai dengan kehampaan, dengan kertas kosong. Tidak akan pernah ada makna apapun selama kertas yang ada di hadapan saya tetap kosong-melompong (demikian halnya dengan sang pelukis yang memandangai kanvas putih kosongnya). Pada titik ini semuanya sama pentingnya; dan ketika segalanya menjadi sama penting maka tidak ada yang menonjol (signifikan). Di sini, sang penulis memerlukan rangkaian kemungkinan, elaborasi ide, kepiawaian, ketekunan, kesabaran, kontekstualisasi, narasi dan rasa percaya diri untuk dapat menciptakan makna. Maka dari itu, bagi saya menulis adalah sebuah aktivitas tanpa henti saat saya mencoba merangkai dan merangkai ulang kata-kata, kata-kata yang tidak pernah akan ada kata “selesai” (apalagi esai ini saya tulis bukan dalam bahasa ibu saya, bahasa Belanda, sebuah bahasa yang buat saya sebagai penutur aslinya lebih lentur dan gemulai, sebuah bahasa yang nyaris saya kuasai sampai ke lapisan-lapisan terdalam). Sekarang, bagaimanakah cara memahami karya besar Nietzsche sekaliber Ecce Homo? Dimanakah posisi Ecce Homo bila disandingkan dengan karyakarya besar Nietzsche lainnya? Bagaimanakah kaitan antara karya tersebut dengan kisah hidup sang penulisnya? Seberapa besar pengaruh karakter khas (idiosinkratik) Nietzsche terhadap karya tersebut? Dan tentu saja yang lebih penting lagi, bagaimana menyambungkan semua itu dengan saya, sebagai orang yang mencoba menelaah karya ini dan lalu menuliskannya di atas kertas? Kata “Aku” (“I” dalam Bahasa Inggris) –yang sudah pasti merupakan sebuah kata yang paling singkat
dalam bahasa manapun dan juga merupakan pemicu perdebatan terpanjang dalam sejarah filsafat –adalah sasaran tembak Nietzsche, baik dalam tulisantulisannya maupun dalam kehidupannya. Dan bukan omong kosong, dia punya sebuah argumen yang sangat kuat untuk menghadang “Aku” sebagai sebuah asumsi, yang tidak lain adalah sebuah “Aku” yang a priori. Menurutnya, kepercayaan terhadap “Aku” sebagai sebuah kehendak absolut berawal dari “false introspection which believes in ‘thinking’: first an act is imagined which simply does not occur, ‘thinking’, and secondly a subject-substratum in which every act of thinking, and nothing else, has its origin: that is to say, both the deed and the doer are fictionsiii.” Sebuah jatidiri perlu diciptakan lewat tindakan-tindakan aktual. Ecce Homo adalah sebuah otobiografi intelektual yang diproklamasikannya sendiri. Tidak terkecuali, seandainya pun kita mau menulis sebuah biografi tentang Nietzsche, maka mau tak mau kita mesti berhadapan dengan ketiga ragam kehidupan yang dilakoni oleh setiap penulis atau seniman: ruang publiknya, ruang privatnya dan kamar-kamar rahasianya. Selanjutnya, saat seorang penulis atau seniman mengangkat wilayah privat dan rahasia pribadinya (dalam naskah asli digunakan kata his-penerjemah) sebagai sebuah mahakarya (oeuvre) maka wilayah publiknya lantas bergeser ke skala mitis, sebagaimana yang kita temui dalam Ecce Homo, yang merupakan salah satu contoh yang paling pas tentang hal ini. Itu berarti bahwa mustahil bagi kita untuk menghasilkan sebuah biografi yang paling mendekati kenyataan sebenarnya. Namun tidaklah tepat untuk menyalahkan sang penulis atau seniman atas tindakan pemistifikasian diri tersebut, karena bila demikian maka kita akan terjebak dalam interpretasi yang keliru tentang karya Nietzsche tersebut, yang memang tidak dibangun di atas pondasi kebenaran-kebenaran logis. Dan itu berarti pula bahwa sebuah otobiografi, dibandingkan dengan genre-genre lainnya, adalah sebuah ragam yang paling pelit dalam mengungkapkan kebenaran, karena sang pengarang merasa perlu untuk membela mitos yang diciptakannya sendiri. Karya Jean-Jaques Rousseau, Confessions, adalah sebuah contoh yang tepat untuk mengilustrasikan kecenderungan ini. Sayangnya kita tidak dapat merangkum riwayat hidup Nietzsche seperti ini: ia lahir (15 Oktober 1844), ia berpikir, ia menulis dan ia mati (25 Agustus 1900). Dalam dunia akademik biografi seorang filsuf bukanlah sesuatu yang dianggap penting. Justru argumentasi ad-hominemiv yang merupakan bagian esensial dari Ecce Homo, saat sang penulis menjadi bagian dari teks-nya sendiri, justru itulah yang umumnya dianggap sebagai “dosa” akademis. Ecce Homo adalah sebuah wujud usaha Nietzsche untuk menyatu dengan tulisannya. Filsafat dapat diotentikasi hanya apabila filsafat dapat dirunut balik ke kehidupan itu sendiri.
Sementara bagi Nietzsche, berfilsafat bukan ditujukan pada teori, malah kehidupan itu sendirilah yang menjadi tujuannya. Dia menulis dalam kata pengantar Ecce Homo: “Philosophy […] means […] seeking out everything strange and questionable in existence, everything so far placed under a ban by morality.”v Psikologi adalah sebuah bagian yang tidak terpisahkan pada saat kita berbicara filsafat sebagai sebuah wujud kehidupan. Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf yang mengingatkan kita bahwa ketidakpastian ontologis menyebabkan kegelisahan, dan bahkan kekerasan. Bagaimanapun juga, mau tak mau kita mesti berhadapan dengan ketaktentuan (contingency), ketaksepahaman, indeterminasi, inkonsistensi, ketidaksinambungan, keganjilan (incongruity), ambivalensi, heterogenitas, multiplisitas, opasitas, paradoks, resiko dan ketidakpastian. Dan meskipun demikian, Nietzsche mengklaim bahwa “[n]ot doubt, certainty is what drives one insanevi.” Tambah lagi, menurut Albert Camus mengklaim bahwa kegelisahan dapat membawa seseorang pada kemerdekaan atau sebaliknya mati bunuh diri. Untuk dapat mengerti dan memahami Nietzsche, kita perlu menilik pada cara dia mengintegrasikan (atau mencoba mengintegrasi) kehidupan dan pekerjaannya menjadi sebuah karya cipta: hidup dan pekerjaannya dapat dianggap sebagai sebuah mahakarya dengan sebuah narasi yang melingkupi keduanya. Bila melihat dari perspektif ini maka kita dapat mengatakan bahwa kehidupan Nietzsche itu sendiri adalah sebuah karya seni. Camus menganggap Nietzsche sebagai seorang seniman paling akbar yang menegasi “dunia-dunia” yang lain dan berkutat bermain dengan riangnya dengan di sini dan sekarangvii. Dengan demikian, meskipun Nietzsche tidak hidup sebagaimana dengan “dia” hidup dalam tulisannya, dan bahkan jika bangun teks-nya jadi fiksi semata, maka karyanya tersebut masih bisa unjuk kekuatan dalam hal performativitasnya, atau dengan kata lain bahwa kata-katanya adalah perbuatan itu sendiri. Michel Foucault sendiri jelas dipengaruhi oleh Nietzsche saat dia mengatakan: “From the idea that the self is not given to us, I think that there is only one practical consequence: we have to create ourselves as a work of art […]. Why should the lamp or the house be an art object, but not our life?”viii Apa jadinya pada mahakarya dari Nietzsche tersebut apabila kita berandai-andai bahwa dia tidak dilahirkan di Prusia (yang sekarang merupakan bagian dari Jerman) akan tetapi di Persia (yang sekarang disebut dengan Iran) –tempat lahirnya Zarathustra; hidup bukan pada abad kesembilanbelas, melainkan pada abad keduapuluhsatu; bukan sebagai seorang Kristen, melainkan seorang muslim (hingga kita bisa berandai mungkinkah dia akan berargumen lantang tentang Nabi Muhammad? Atau akankah dia men-
ganggap peristiwa 11 September (9/11) sebagai sebuah karya seni?)ix; bukan sebagai seorang lakilaki melainkan seorang perempuan (mungkinkah dia akan menjadi seorang feminis?)? Jalan pikiran Nietzsche pada dasarnya sangat khas Eropa, sehingga seandainya dia dilahirkan di tempat lain maka dia akan menulis buku-buku yang berbeda pula. Aktivitas membaca dan menulis pada dasarnya adalah aktivitas-aktivitas yang dapat mengubah hidup seseorang. Sehingga saya dapat mengatakan bahwa tidak seorang pun yang tetap tidak terpengaruh setelah membaca teks Nietzsche. Bagaimana mungkin mahakaryanya tersebut mengubah kebudayaan kita? Tentu saja pertanyaan ini mengasumsikan bahwa membaca karyanya membawa dampak dalam diri kita, akan tetapi, bagaimana karya itu bisa mengubah kita? Seorang penyair Belanda pernah berkata bahwa perlu waktu satu abad sebelum kita mulai memahami dan mengerti karya Nietzsche, dan mungkin memang demikian. Sebagaimana hidup di Indonesia telah mengubah diri saya, demikian pula dengan membaca Nietzsche. Dia telah menjadi rekan seperjalanan saya dalam melewati jalan panjang berliku-liku yang disebut hidup ini. Saya bertemu dengan “Nietzsche” untuk pertama kalinya saat saya berada di sana pada pertengahan dasawarsa sembilanpuluhan. Seorang gadis dari Dresden memperkenalkan saya padanya. Dan pada saat itu saya tidak terlalu memahaminya. Sebagaimana kata pengantar yang ditulis oleh Ludwig Wittgenstein untuk Tractatus Logico-Philosophicus: “Perhaps this book will be understood by someone who has himself already had the thoughts that are expressed in it –or at least similar thoughtsx.” Saat itu saya belum siap, dan saya memang belum berpikir sejalan dengan dia. Beberapa tahun yang terbilang ganjil kemudian, saya kembali lagi ke Nietzsche. Membaca teks-teks Nietzsche bagaimanapun tetap sebuah perjuangan, dan menulis tentang Nietzsche bahkan lebih menantang lagi. Karya-karya Nietzsche sendiri memang kompleks pada dasarnya, karena hidup dijejali oleh lapisan-lapisan yang membuatnya kompleks (multifarious). Bila sang “I” adalah sesuatu yang multifarious, sebagaimana yang diklaim oleh Nietzsche, maka demikian pula dengan tulisan-tulisannya. Jebakan yang biasa kita temui saat membaca Nietzsche adalah saat seseorang mencoba mereduksi teks-nya menjadi sesuatu yang terkesan sederhana dengan membacanya secara selektif, hanya mengambil beberapa aporisma yang disukai dan lantas mengabaikan yang lain. Bahkan Nietzsche sendiri sudah mencoba memperingatkan: “Whoever thought he had understood something of me, had made up something out of me after his own image […]xi.”Dan juga: “I want no ‘believers’ […]. I have a terrible fear that one dayI will be pronounced holy […]. I do not want to be a holy man; sooner even a buffoon.”xii 13
Nietzsche mengklaim bahwa “all evaluation is made from a definite perspective […]xiii.”Hal ini berhubungan dengan evaluasi karyanya. Dia kemudian mengatakan: “I am one thing, my writings are another matter.”xiv Tracy B. Strong menyimpulkan bahwa: “The consequence is that the unity of the texts is to be found in the reader and there is no authorival unity imposed on the text, any more than the subject might impose a unity in the world.”xv Meskipun demikian ini tidak berarti bahwa semuanya akan bermuara pada regresi tak berhingga dari sebuah interpretasi. Bahkan pada kita memerlukan sebuah interpretasi, tidaklah berarti bahwa apapun sesuai dengan yang kita butuhkan, yang dengan kata lain: finitisme. (Dengan demikian subjektivitas juga adalah sesuatu yang mustahil, karena “subyek”-nya sendiri adalah pertanyaannya.) Maka, sebuah interpretasi hanya berlaku bagi sebuah kelompok tertentu, sebagaimana semua pembacaan komprehensif manapun bersifat kontekstual. Demikian pula dengan Elizabeth Nietzsche yang dapat mengubah citra saudara laki-lakinya menjadi seorang proto-fasis. Lewat bacaan-bacaan yang dia pilih secara selektif, saudara perempuan Nietzsche tersebut dapat mereposisi karya-karya Nietzsche sebagai karya-karya yang nasionalis dan anti-semitis: seorang filsuf yang bersenjatakan sebuah godam yang hidup di luar batas-batas aman, tepat untuk dijadikan sebagai justifikasi dari tindakan brutal partai Nazixvi. Padahal interpretasi saudaranya tersebut mengabaikan fakta bahwa Nietzsche menentang semua mentalitas kawanan; dan bukankah berjalan bak kawanan di belakang seorang Führer jelas-jelas menunjukkan mentalitas tersebut? Mulai dari Blut und Boden, selanjutnya Lebensraum, dan lalu Endlösung der Judenfrage. Tentu saja semua ini tidak dapat dijustifikasi oleh Nietzsche. Karya-karya Nietzsche juga telah diberi tanda kutip oleh pragmatisme (Richard Rorty), postmodernisme (Foucault dan Jacques Derrida) dan eksistensialisme (Camus dan Jean-Paul Sartre). Pada umumnya interpretasi-interpretasi mereka cukup menarik. Interpretasi yang dapat dikatakan sebagai kurang menarik adalah pendapat yang menafsirkan karya-karya Nietzsche sebagai karya yang mengarak posisi sang filsuf sebagai seorang hedonis romantis. Sebagaimana pembacaan dari Elisabeth Nietzsche membuat mahakarya Nietzsche sebagai sebuah justifikasi kekerasan dan rasa sakit, terutama saat ditimpakan pada orang lain, demikian pula dengan interpretasi ala hedonisme romantis yang hanya mengeksploitasi sisi kesenangan semata. Begitu banyak buku-buku psikoterapi diri populer yang terjejer rapi di areal pameran, rak demi rak, toko buku demi toko buku. Para “guru” spiritual pun dengan antusias mengklaim bahwa mereka dapat mengajarkan kita untuk menemukan kebahagiaan.
14
Banyak pembeli yang mencari buku seperti ini, dengan harapan yang tergolong rapuh untuk dapat menemukan “Cawan Suci.” Pada titik ini kebahagiaan direduksi menjadi sesuatu yang gampangan, semua tragedi dalam hidup manusia dapat diatasi jika seseorang menginginkannya. Namun demikian, kita semestinya tidak menjejali kepala kita dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebahagiaan. Sebaliknya, kita mesti menaruh perhatian pada kehidupan kita di dunia ini, lebih pada cara mendapatkan makna. Yang lebih berarti sebenarnya adalah bagaimana menciptakan hidup yang penuh makna. “Pleasure and displeasure are mere consequences […]xvii. Whether it be hedonism or pessimism or utilitarianism [yang merupakan teori dari J.S. Mill, yang mengatakan bahwa hanya konsekuensi-konsekuensi tertentu yang masuk hitungan untuk meningkatkan “statistik” kebahagian masyarakat secara keseluruhan] atau eudamonisme [teori dari Aristoteles yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan terakhir dari hidup manusia]: all these modes of thought which asses the value of things according to pleasure and pain […] are foreground modes of thought and naiveties which anyone conscious of creative powers and artist’s conscience will look down on with derision, though not without pity. […] In man, creature and creator are united […].”xviii Apabila kita menempatkan Nietzsche sebagai seorang guru spiritual, maka kita hanya akan membuat karya-karyanya menjadi steril. Meskipun demikian, kita bisa juga menempatkannya sebagai seorang pendidik (sebagaimana Sokrates adalah seorang pendidik –dan perusak –generasi muda). Sepuluh tahun lalu saya dipukul sampai pingsan di trem 14, di sebuah perhentian dekat sebuah sinagoga Portugis di pusat kota Amsterdam (sinagoga yang sama yang mengekskomunikasi filsuf besar Baruch Spinoza). Saya dihajar tanpa alasan sama sekali. Dan bukan karena saya tidak bisa menemukan alasan mengapa tinju mengarah ke wajah saya, tetapi mungkin karena oknum pelakunya mungkin juga sama sekali tidak punya alasan –baik atau buruk –untuk sebuah serangan agresif –terhadap saya atau terhadap siapapun juga. Terus terang hal itu membuat saya syok. Sebagai seorang Kantian, saya melihat segala sesuatu di dunia ini –entah kebaikan ataupun kejahatan –terjadi karena ada alasannya. Meskipun demikian, dunia ini ternyata tidaklah rasional. “Whatever has value in our world now does not have value in itself, according to its nature […] and it was we who gave and bestowed it.”xix Kita mencoba mencari jawaban dibalik semua peristiwa. Dengan demikian makna adalah sesuatu yang diciptakan dan bukan merupakan sesuatu yang melekat pada sesuatu. Tinju tersebut meretakkan rahang bawah saya di tiga tempat. Sebagai konsekuensinya, saya terpaksa makan semuanya lewat sedotan selama bermingguminggu. Setidaknya saya berdiet, demikian komentar
yang sampai ke telinga saya, meski ironis karena berdiet adalah hal terakhir yang saya butuhkan. Saya memblender semua makanan yang dengan susu krim, mentega dan gula. Khusus untuk situasi ini, ternyata McDonald’s hadir dengan produk sedotannya yang paling pas buat kondisi saya waktu itu. Kejadian mengerikan lain yang menimpa saya adalah saat saya berhadapan dengan oknum antah-berantah di sebuah trem –setelahnya darah saya mengucur deras sementara oknum yang menyerang saya kabur –selanjutnya yang terekam dalam ingatan saya adalah rumah sakit dan kantor polisi. Dari peristiwa itu saya bertanya, apakah layak mendapatkan belas-kasihan? Rasa iba? Pengertian? Beberapa hari kemudian, saya keluar dari rumah sakit, kemudian saya cuti kuliah buat sementara waktu supaya saya bisa segera pulih kembali. Setelahnya, saya lantas menyadari bahwa koleksi bekas luka saya bertambah banyak. Rasa takut dan gelisah –Angst –meliputi saya saat berjalan-jalan di jalanan kota Amsterdam. Ketakutan dan kegelisahan tersebut tidak bisa sirna begitu saja. Pada masa itu pula saya menulis lusinan sajak. Saya mulai dengan sebuah puisi yang merekonstruksi ulang “fakta-fakta” yang terdapat di dalam catatan kepolisian. Walau bagaimanapun juga, ada banyak hal, yang dalam istilah Wittgenstein –yang saya temukan sejalan dengan waktu –yang tidak dapat diekspresikan. Ketakutan dan kegelisahan barangkali adalah sesuatu yang sangat personal. Sajak-sajak tersebut perlahan-lahan beralih, ke sebuah titik tempat saya mulai: memandangi sebuah kertas kosong, memandangi sang labirin. Memang pada suatu titik garis-garis putih adalah bagian dari bentuk yang ikut berperan dalam usaha untuk memberi makna pada sebuah puisi; namun, bila yang ada hanya kertas putih kosong belaka, maka kita dapat mengatakan bahwa puisi pun tidak ada–apalagi puisi yang sarat makna. Ya, itulah yang waktu itu terjadi. Namun kejadian itu juga yang menjadikan saya seperti sekarang ini. Sehingga yang terjadi adalah kebalikannya. “kesialan” tersebut bukan lagi sebuah kesialan –meskipun kejadian itu tetap tidak terlupakan, tidak termaafkan, tidak ada keinginan balas dendam dan tidak ada kebencian. Peristiwa itu adalah sebuah bagian penting dari diri saya. Saya telah menerima takdir saya dan saya bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang mesti saya alami.xx Sebagaimana sebuah buku dapat diberi tanda kutip, maka pengalaman seseorang juga dapat ditafsirkan sedemikian pula –hingga dapat dikatakan bahwa belas kasihan adalah sebuah kata yang tepat untuk memaklumkan sebuah “kesialan”. Bahasa Jerman untuk belas kasihan (pity) adalah Mitleid –yang berarti untuk menderita, yang dapat diartikan sebagai sebuah penderitaan ganda: penderitaan awal dan penderitaan
setelahnya. Akan tetapi, pemaknaan sedemikian lebih merupakan sebuah permainan kata dari unsur-unsur etimologis kata tersebut. Nietzsche paham betul bahwa makna kata tersebut tidaklah demikian pada awalnya. Karena itu, Nietzsche menunjukkan bagaimana kata itu berubah seiring dengan berjalannya waktu, lewat sebuah metode yang dikenal sebagai metode genealogis. Dengan cara ini kita dapat menggunakan kata yang sama dengan cara yang berbeda-beda dan dalam konteks yang berbeda-beda pula, dan penggunaan kata tersebut dalam konteks itulah yang memberikan makna pada kata itu. Maka genaplah, “meaning is a practical affair.”xxi Sesuatu hanyalah sesuatu dan kita memaknainya lewat sebuah proses (re-) interpretasi dan (re-)valuasi yang berlangsung terus menerus. Kegiatan praktis pemberian makna tersebut adalah sesuatu yang bukan saja manusiawi, akan tetapi sesuatu yang sangat manusiawi, dan hal itu adalah sesuatu yang dilakukan secara ekstrinsik. Nilai pada dasarnya tidak terdapat dalam tataran intrinsik, tidak ada esensi apapun yang akan kita temukan, dan inilah yang dikenal sebagai pandangan anti-esensialis. Belas-kasihan membuat rasa sakit menjadi universal dan trivial, dan selanjutnya membuatnya menjadi sesuatu yang sekadar kecelakaan belaka. “Our personal and profoundest suffering,” kata Nietzsche, “is incomprehensible and inaccessible to almost everyone; […] whenever people notice that we suffer, they interpret our suffering superficially. It is the very essence of the emotion of pity that it strips away from the suffering of whatever is distinctively personal. […] When people try to benefit someone in distress, the intellectual frivolity with which those moved by pity assume the role of fate is for the most part outrageous; one simply knows nothing of the whole inner sequence and intricacies that are distress for me or for you. […T]hey wish to help and have no thought of the personal necessity of distress […]. It never occurs to them that, to put it mystically, the path to one’s own heaven always leads through the voluptuousness of one’s own hell. […I] f you experience suffering and displeasure as evil, hateful, worthy of annihilation, and as a defect of existence, then it is clear that besides your religion of pity you also harbor another religion in your heart that is perhaps the mother of the religion of pity: the religion of comfortableness. How little you know of human happiness, […] for happiness and unhappiness are sisters and even twins that either grow up together or, as in your case, remain small together.”xxii Belas-kasihan adalah sebuah bentuk pemakluman. Saat seseorang merasa membutuhkan penderitaan orang lain adalah saat ada ketidak-berkecukupan dalam diri orang itu. Menurut Nietzsche, it is a virtue to overcome pityxxiii. Kalau begitu, mengapa saya memerlukan rasa belas-kasihan? Tentu saja karena saya belum dapat menguasai diri saya sepenuhnya. Walaupun demikian, untuk menjustifikasi bahwa rasa
15
sakit yang saya alami adalah tidak sewajarnya dimaklumi, maka tidak berarti bahwa saya dapat berkeliling-keliling di jalanan sambil memberi tahu khalayak untuk menerima kejadian-kejadian mengerikan atau penyakit segawat kanker dalam hidup mereka. ‘Saya menjadi sebagaimana saya adanya’ –demikian salah satu sub-bab dari Ecce Homoxxiv –yang dapat diamini bukan karena semata hal-hal baik yang pernah saya lakukan juga karena kesalahan-kesalahan, kegagalan-kegagalan dan penderitaan saya. Bahkan sebuah kesalahan fatal pun dapat menjadi sesuatu yang bermakna.xxv Saya, lebih lanjut, tidak dapat memilih secara acak semata hanya hal-hal yang menyenangkan saya dan menolak mengalami hal-hal yang menyakiti saya. Sebuah tragedi menunjukkan wajah dunia yang sesungguhnya dan bukan dunia yang semestinya, karena realitas duniawi tidaklah dijejali dengan ideal-ideal yang ilusioner semata. Menurut Nietzsche, kita semestinya menaruh perhatian kita pada tragedi yang kita alami, karena itulah yang akan mengajarkan kita seni berkehidupan lewat penerimaan kita terhadap seluruh aspek kehidupan, termasuk penderitaan yang kita alami. Apabila seseorang mau menghindar dari nihilisme, maka dia mesti menghadapi peristiwa-peristiwa tragis dan absurd yang ada di luar batas ketakutan dan balasdendam (meskipun hidup melampui keinginan untuk balas dendam dapat dipertimbangkan sebagai bentuk paling tinggi dari balas-dendam itu sendiri, demikianlah ironi permainan takdir). Kita kerap berpikir tentang takdir sebagai sesuatu yang mempunyai konotasi negatif. Namun jangan lupa, kita tidak bisa memilih kecelakaan yang kita alami, sebagaimana kita tidak memilih keberuntungan yang kita dapati. Kita percaya terlalu dalam akan otonomi kita. Misal, seandainya saja pelukis R.E. Hartanto bukan tetangga saya di Amsterdam, maka saya tidak akan pernah pindah ke Bandung. Memang takdir saya, takdir keberuntungan saya. Amor fati, fatum brutum buat Nietzsche berarti bahwa seseorang mesti menerima realitas sebagaimana sehingga kebebasan dan kebutuhan dapat direkonsiliasi. “My formula for greatness in a human being is amor fati: that one wants nothing to be different, not forward, not backward, not in all eternity. Not merely bear what is necessary, still less conceal it […] but love it.”xxvi Kita tidak perlu menutup diri dari takdir kita yang tragis, tapi kita bahkan mesti merangkulnya. Penderitaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan, dan bukan sesuatu yang sama dengan kejadian yang mesti diadakan atau dirayakan; dengan demikian, kita tidak perlu mengadakan atau merayakannya. Kita tidak bisa memilih ragam kepingan dari hidup kita yang kita sukai, kita juga mesti merangkul bagian-bagian dari hidup kita yang sebelumnya kita tidak –atau kita tidak dapat –pilih.
16
Nietzsche menolak klaim kaum fatalis yang mengatakan bahwa semuannya sudah ditentukan oleh takdir. Apabila takdir yang memang menguasai hidup kita, maka itu berarti bahwa tindakan kita menolak takdir merupakan bagian dari takdir. Nietzsche, selanjutnya, tidak mengatakan bahwa kita dapat mengubah apapun yang kita inginkan, tapi lebih kepada sikap yang tidak menerima kehidupan secara pasif. Fatalisme ekstrim adalah sebuah bentuk kemalasan; desakan Nietzsche bahkan sampai ke titik ini –titik perfeksionis duniawi (bahkan sekalipun perfeksionisme adalah sesuatu yang tidak mungkin dicapai). Pernyataan Nietzsche, amor fati, adalah sebuah afirmasi tanpa sarat yang merupakan unsur mutlak dalam membentuk diri seseorang. Kesendirian adalah sesuatu yang juga mesti diafirmasi, meski tidak berarti bahwa eksistensi hanya dapat diperoleh dalam keadaan terisolasi; akan tetapi, yang penting adalah pertemuan seseorang dengan dirinya sendiri. Kesendirian dan kejamakkan hadir pada saat yang sama. Ketika masyarakat atau humanitas tidak terganggu eksistensinya tanpa keberadaan saya, saya mesti hidup untuk menjadi sebagaimana adanya saya. “The uniqueness which makes the individual individual is a uniqueness of event, which is apprehended in a certain consciousness of eternity.”xxvii Dan di dalam karyanya Beyond Good and Evil, Nietzsche menulis: “the ideal of the most exuberant, most living and world-affirming man, who has not only learned to get on and treat with all that was and is but who wants to have it again as it was and is to all eternity […].”xxviii Menjadi diri sendiri adalah sebuah tugas yang melampui batas takat kebaikan dan kejahatan, sehingga individu yang mau menjadi dirinya sendiri tidak dapat bersembunyi di dalam atau di belakang institusi-institusi. Ada distingsi di antara individu-individu, orang-orang yang pada dasarnya memang berbeda tidak bisa dilebur menjadi satu –sebagai negara, ataupun dalam kerangka humanitas –dan individu yang berjarak ini juga dapat mengalami konflik. Agar keterpisahan ini selalu tetap eksis, maka individu-individu mesti mengenali singularitas mereka. Kita selalu didesak untuk selalu menjadi perfeksionis, sementara kesempurnaan ada di luar jangkauan kita, demikianlah yang diajarkan Nietzsche pada kita. Baik idealisme (entah religius atau filsafati) atau buku-buku psikologi populer tidak akan mampu untuk memberikan solusi untuk keluar dari tegangan ini. Kondisi ini malah membuat karya-karya Nietzsche begitu sulit untuk dicerna oleh para pembaca yang tergesagesa dan tidak sabaran. Proses penciptaan diri pada dasarnya tidak akan pernah selesai. Ecce Homo tidak dimaksudkan untuk menjadi buku terakhir yang ditulis oleh Nietzsche. Akhirnya, setelah bergulat bertahuntahun dengan penyakit migrennya yang tergolong parah, dia mengalami kerusakan mental parah pada tanggal 3 Januari 1889, dan tidak pernah pulih
kembali sejak saat itu. Sebagai mahluk yang tidak abadi, kita mesti menciptakan diri kita dalam batasbatas cakrawala tertentu. Kita tidak mesti memiliki mimpi-mimpi agung untuk meninggalkan gua –yang merupakan sebuah metafor terkenal dari Plato untuk mendukung gagasan idealismenya. Itulah yang menjadi gagasan sentral dari dunia idea Plato, sebuah dunia yang memungkinkan kita untuk memalingkan perhatian kita dari mortalitas, kerapuhan, ketaktentuan dan perubahan dari tampilan realitas duniawi; dan dari titik itu orang mencoba untuk mencari stabilitas yang tidak pernah akan berubah, kejelasan dan ketepatan. Sebuah tindakan untuk bergerak dari yang serba jamak ke sesuatu yang tunggal. “Plato is a coward before reality, consequently he flees into the ideal […].”xxix Padahal hanya karena kemortalitasan kitalah maka kita dapat menjustifikasi proses pencarian diri kita kapan pun dalam rentang waktu sekarang, dan bukan di masa depan yang jauh yang mungkin tidak pernah akan tiba.xxx Nietzsche tidak hanya mengkritik Plato –atau Kristianitas sebagai salah satu bentuk Platonisme –akan tetapi dia juga melontarkan pandangan-pandangan kritisnya terhadap Immanuel Kant. Kant mengklaim bahwa kita semua sudah diberi sesuatu yang disebut intisari dari segala proses argumentasi (essence of reason). Maka dengan demikian motto Kant yang terkenal adalah Sapere Aude! (yaitu “Berani untuk menjadi bijak!”) Pernyataan Kant tersebut hanyalah sebuah bentuk lain atau terjemahan dari sesuatu yang ada di luar dunia ini: yang kudus. Tapi sekalipun memang ada sesuatu di sana, di luar dunia indra kita, tetap saja sesuatu itu tidak berguna buat kita karena kita tidak mungkin meraihnya. Bila kita hanya berbicara tentang sebuah dunia yang lebih baik dan lebih agung maka apa yang kita lakukan adalah sebuah dekadensi. Sebaliknya, Nietzsche mengklaim bahwa dorongan terbesar yang menggugah kita adalah kehendak untuk berkuasa (will to power) yang ada dalam diri kita yang tidak dapat dilepaskan dari realitas duniawi. Kita tidak mungkin memisahkan pemikiran rasional kita dari naluri-naluri dan gairah-gairah yang ada di dunia yang dapat kita indrai ini.xxxi Ketimbang mengikuti transendentalisme Kant, Nietzsche lantas menawarkan konsep etika perbedaan. Kritik Nietzsche terhadap kehendak bebas kaum Kantian adalah bahwa konsep Kant tersebut melebih-lebihkan tingkat kesadaran manusia berkaitan dengan maksud dan motif manusia saat melakukan sebuah tindakan. “The subject: this is the term for our belief in a unity underlying all the different impulses of the highest feeling of reality.”xxxii Dan dia melanjutkan “our habit of regarding all our deeds as consequences of our will – so that the ego, as substance, does not vanish in the multiplicity of change.”xxxiii Dia juga bereaksi kritis terhadap dikotomi kebaikan dan kejahatan yang biasa kita kenal, karena menurutnya kita tidak bisa
berat sebelah karena keduanya sama pentingnya. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa mustahil bagi kita untuk menerapkan prinsip-prinsip abstrak dalam situasi-situasi konkret. Nietzsche lantas mengganti teori moral abstrak dengan penekanan pada ethos, atau karakter, dan adalah tugas Übermensch untuk mengejawantahkannya.xxxiv Übermensch pada dasarnya adalah semacam manusia super yang masih manusia tulen, yang tercipta dalam sebuah kondisi saat manusia sanggup mengatasi kungkungan kemanusiaan-nya. Adalah takdir kita untuk menciptakan. Dan untuk menghadapi takdir kita, kita mesti menghilangkan rasa takut. Bernhard Welte mengklaim bahwa “the image of the [Übermensch] appears at the point of the death of God.”xxxv Kemunculan sang Übermensch adalah kemunculan sebuah karya cipta berupa identitas diri manusia yang paling otentik. Sang Übermensch sanggup berada di luar ranah keterasingan yang biasa menimpa manusia berkat otonomi mutlak yang ada dalam genggamannya. Di sini identitas adalah pertanyaan terbesarnya, maka dari itu kita mesti menginterogasi diri kita sendiri dan masa lalu (jejak-jejak kebudayaan) kita, termasuk agama di dalamnya. Nietzsche mengkritik konsep diri yang transenden, karena konsep diri yang transenden tersebut memerlukan titik pijakan konsep diri yang tidak berubah, diri yang eksistensinya tidak tergantung dari kehidupan yang dijalani seseorang. Kritik yang dilancarkan Nietzsche terhadap konsep diri yang transendental pada dasarnya adalah kritik terhadap kaum esensialis dan diri yang tunggal. Dengan demikian, Nietzsche lebih menekankan pada kata “apa” daripada “siapa” dalam konteks yang sedang menjadi. Sama seperti tidak ada perspektif tunggal dan final yang dari titik itu kita bisa mengetahui dunia ini, maka itu berarti perspektif tunggal dan final tentang diri juga tidak pernah ada. Perpektivisme Nietzsche tidak serta-merta menuntut adanya subjektivisme, karena sekali lagi itu berarti mengandaikan keberadaan sang subjek, yang tidak lain adalah sebuah fiksi yang sengaja diciptakan. Dengan demikian, konsep diri yang diajukan Nietzsche bukanlah sebuah unitas melainkan sebuah multiplisitas, dan diri yang demikian dikarakterisasi oleh “continual transitoriness and fleetingness.”xxxvi Perspektivisme memang diperlukan sebagai sebuah landasan untuk menciptakan nilai, yang tanpanya horison kehidupan tidaklah mungkin ada. Jelas bahwa kita perlu kehendak untuk berkuasa sebagai prinsip penggerak agar perspektivisme dapat berjalan dengan baik. Ecce Homo memang ditulis dari satu perspektif, yaitu perspektif Nietzsche. Dengan demikian, dia memang tidak menggunakan perspektif universal yang umum digunakan di dunia akademis (dalam hal ini dia serupa dengan Søren Kierkegaard). Ecce Homo adalah
17
sebuah proklamasi sepihak lewat pemikiran sepihak pula. Dia berkata pada dirinya sendiri –dan juga pada siapapun yang mau mendengarnya –“Ya, aku adalah seorang manusia. Akulah yang menjadikan diriku manusia.” Dalam Ecce Homo, Nietzsche sebagai sang penulis berinteraksi dengan tulisan-tulisannya sebelumnya. Konsep Nietzsche “ ‘I’ is situated somewhere between the self and the text.”xxxvii Nietzsche menciptakan dirinya sendiri dalam teks yang dia tulis. Nietzsche semacam menciptakan “Nietzsche” sebagai sebuah karya seni. Dan karya seni “Nietzsche” tersebut adalah sosok ideal dari Nietzsche sendiri. Dia menggubah dirinya sendiri lewat tulisan yang dia hasilkan. Salah satu sub-judul dari Ecce Homo –How One Becomes One Is –dapat diinterpretasikan sebagai motto hidupnya, adagionya, personal imperatifnya sendiri yang berdasarkan itu dia mesti menjalani hidupnya. Dan Ecce Homo juga merupakan semacam media untuk menilik dirinya sendiri, menilik seberapa benarkah dia telah hidup sejalan dengan prinsip yang dianutnya. Kata “siapa” mengacu pada otobiografi diri, dan kata “apa” mengacu pada diri yang tekstual, proses penciptaan diri sebagai sebuah seni berkehidupan. Ecce Homo adalah sebuah presentasi pribadi, yang dengannya dia mempertanyakan nasibnya. Oleh karena itu, Ecce Homo juga dapat dikatakan sebagai sebuah proyek perenungan tentang dirinya sendiri: karena bagi Nietzsche mempertanyakan nasibnya adalah sebuah cara tersendiri untuk menciptakan nasibnya sendiri. Nietzsche menjadi narator bagi dirinya sendiri dengan cara mengakurkan karya-karya awalnya. Proses menjadi diri sendiri membutuhkan pengetahuan tentang diri sendiri, namun demikian, terlalu banyak tahu tentang diri sendiri juga membahayakan: ìKnowledge kills action, action requires the veil of illusion – it is this lesson that Hamlet teaches, […] from too much reflection, from a surplus of possibilities, never arrives at action at all.”xxxviii Atas alasan itulah Nietsche mengkritik Sokrates (dan memang bukan kebetulan bahwa Sokrates, sang jawara perenung, tidak menuliskan apapun juga). Refleksi diri juga dapat membuatmu menjadi orang lain dan bukan dirimu sendiri. Nietzsche mengkritik otoritas aliran filsafat klasik dan pencarian besar-besarnya akan obyektivitas transendental. Selain itu dia juga mengkritik klaim filsafat klasik bahwa sebuah perspektif teoretis memuat segalanya, dan dengan demikian dapat dikatakan sebagai sesuatu yang final. Dia memalingkan perhatiannya dari kebenaran ke kejujuran sebagai ekspresi personalnya, dan juga menghubungkan antara kegiatan berpikir dengan tema-tema keberadaan dalam tulisan-tulisannya. Kejujuran yang terdapat dalam tulisan otobiografis Ecce Homo mau tak mau mesti dibuktikan lewat kekuatan yang dia tunjukkan untuk menjadi apa yang diinginkan oleh Nietzsche.
18
Dan dalam usahanya ini dia mesti menghindari segala bentuk idealisme, karena jebakan idealisme akan menyeret seseorang ke dalam delusi diri, yang di dalamnya seseorang terpaksa harus mengubah dirinya sejalan dengan model ideal tersebut. Salah satu bentuk usaha menghindari idealisme adalah menghindar dari jebakan-jebakan narsisme, karena seorang narsisis menghindari interaksi dengan dunia dan dia sudah memiliki idea terbaik tentang dirinya sendiri. Nietzsche juga mengamini bahwa tidak ada tulisan apapun yang bisa disebut selesai. Dalam Ecce Homo sub-judul “siapa” diganti dengan “apa”, karena “siapa” lebih mengacu pada agenagen abstrak dan “apa” mengacu pada ke-diri-an yang menyatu. Perubahan ini juga merefleksikan tentang penekanan pada proses menjadi diri sendiri, atau dengan kata lain, kata “bagaimana” lebih sesuai daripada upaya pencarian ke titik akhir tertentu. Dengan mengekspresikan “bagaimana” dalam tulisan-tulisannya Nietzsche telah memberi isyarat akan keinginannya akan kehendak untuk berkuasanya, sebuah keinginan kuat untuk menjadi dirinya apa adanya. Nietzsche mendefinisikan hidupnya sebagai sebuah kehendak untuk berkuasa.xxxix Penciptaan jati diri ternyata sebegitu mendunianya. Ini berarti bahwa otobiografi Nietzsche yang sesungguhnya ternyata bukanlah hidupnya, melainkan tulisan-tulisannya. Di dalam otobiografinya dia menyuarakan multiplisitasnya dan saat menerapkannya dalam tulisan dia mengontrolnya sedapat mungkin, tidak memberi kesempatan bagi multiplisitas untuk menjadi kekacauan yang tanpa makna. Lewat tulisan mengenai dirinya dan mengenai tulisan-tulisannya, dia menciptakan dirinya sendiri dan memberi makna pada diri-nya. Nietzsche hidup dan berkarya saat Eropa mengalami gejolak perubahan kultural dan pelbagai krisis besar: industrialisasi, pembentukan nation-state, ilmu pengetahuan yang sedang naik daun, peperangan dan kolonialisme, dan kelahiran demokrasi, liberalisme dan komunisme. Inti dari gejolak dan krisis ini adalah kematian Tuhanxl. “Tuhan sudah mati” tidak berarti kematian dari sebuah eksistensi yang kudus, akan tetapi kepercayaan kultural akan Tuhan yang sebenarnya mati. Sepanjang karyanya, Nietzsche berhadapan dengan krisis-krisis semacam ini; dan dia tidak hanya menganalisa, Nietzsche menawarkan beberapa jalan keluar yang berupa: perspektivisme yang beralih menjadi kehendak untuk berkuasa, kehendak untuk berkuasa yang beralih menjadi perulangan siklus hidup yang terjadi tanpa henti –yang merupakan afirmasi kekal dari perbedaan apapun. Kematian Tuhan dapat saja menjadi bencana, sebagaimana yang terjadi dengan nihilisme, bila kita tidak menyambut tantangan dan tugas untuk menciptakan nilai-nilai baru dan merevaluasi nilai-nilai lama. Bagi Nietzsche kematian Tuhan berarti kematian manusia dan kelahiran sang Übermensch. Kematian Tuhan berarti berakhirnya transendensi; dan sebaliknya, sang Übermensch hidup di dunia ini.
Nihilisme pada dasarnya berarti “[t]hat the highest values devaluate themselves.”xli Yang lebih parah dari nihilisme, menurut Nietzsche, adalah manusia yang menginginkan ketiadaan dibanding dengan manusia tidak punya keinginanxlii. Bagi Nietzsche, kreativitas dan nihilisme tak ubahnya bagai dua sisi mata uang: keduanya adalah proses interpretatif. Nihilisme adalah pengalaman tentang ketiadaan dan sebagai konsekuensinya nihilisme sudah pasti menyangkal eksistensi dari dan kemungkinan untuk menciptakan nilai dan makna. “What the experience of nihility denies is not simply a meaningful life, but all that, creatively, makes life meaningful.”xliii Kritik Nietzsche terhadap Kristianitas sama sekali jauh dari maksud untuk menghapus Kekristenan dari halaman sejarah, yang pada dasarnya memang tidak mungkin dilakukan. Dia hanya ingin menciptakan sedikit ruang gerak, sehingga nilai-nilai baru punya kesempatan untuk tampil; maka dari itu, dia tidak terlalu peduli dengan devaluasi karena dia sendiri sudah berbekal revaluasi. Kritiknya adalah hanya untuk menunjukkan betapa (non)Kristennya dia, betapa barunya dia, yang konsekuensi berarti dia mesti memberi penekanan terhadap hal-hal yang bukan dirinya lagi. Kebebasan adalah sesuatu yang historis dan bukannya kehendak universal yang tidak tergantung pada waktu yang historis. Bagi Nietzsche, kebenaran dalam lingkup sempit dan filsafat secara umum dalam lingkup luas adalah permasalahan-permasalahan yang praktis, atau dengan kata lain adalah sebuah ketaktentuan historis. Kematian Tuhan ada hubungannya dengan bagaimana manusia berkutat dengan kebenaran dan bagaimana kita dapat menampilkan diri kita. Dengan kematian Tuhan, kebenaran metafisis tidak lagi mungkin, karena Tuhanlah kebenaran sejatinya. Dengan demikian, sebuah pemahaman metafisik tidak lagi mungkin. Kita sekarang mesti memandang sejarah dari sudut pandang historis. Kondisi semacam ini memerlukan sebuah ethos yang baru, sebuah cara baru untuk hidup. Dan ethos ini memerlukan nilai-nilai baru yang menunggu untuk diciptakan dan nilai-nilai lama yang perlu direvaluasi. Sekarang kita mesti berhadapan dengan kehampaan, sebuah ketiadaan yang ditinggalkan Tuhan yang telah mati. Manusia tidak lagi dapat menciptakan dirinya di mata Tuhan –menjadi serupa dengan Tuhan. Manusia tidak lagi menjadi mahluk subordinat dari sesuatu yang supernatural. Nietzsche tidak membunuh Tuhan, tetapi kita semua, kita yang menyebut diri sebaga manusia modern yang membunuhnya. Apa yang dilakukan Nietzsche hanyalah “to think the age philosophically, that is, from the roots of the truth of the age.”xliv Era pencerahan modern menghambakan dunia ke atas pangkuan teknologi, bahkan yang berhubungan dengan tubuh kita sendiri (mulai dari manipulasi genetik sampai ke pembesaran penis, dari doping
darah buat para atlit sampai ke kasus semacam kasus Michael Jackson, dari viagra sampai ke penyuntikan silikon). Kita mengontrol dan mendominasi dunia ini. Kita mencoba untuk mengkolonisasi masa depan kita. Dan semua ini hanya mungkin terjadi apabila kita benar-benar menganggap bahwa Tuhan sudah mati. Dengan demikian, diri manusia modern menurut Nietzsche tidak mungkin direkonsiliasi dengan agama. Kita menciptakan makna dari sebuah kekosongan makna. Dan menurut Nietzsche, makna dan kehendak untuk berkuasa adalah dua sisi dari keping mata uang yang sama. Kehendak untuk berkuasa tidak lain adalah perspektif kita sendiri tentang dunia yang membuat dunia ini menjadi sebuah tempat yang sarat makna. Kealpaan seseorang untuk menciptakan makna adalah sebuah indikasi bahwa seseorang tidak punya kekuatan. Absennya kekuasaan ini dapat membawa manusia ke kejengkelan (ressentment), yang selanjutnya akan menyeret manusia masuk ke dalam lingkaran setan saling menyalahkan satu sama lain, yang disebut oleh Nietzsche sebagai ressentiment, yang tidak lain adalah ressentmentxlv. Ressentiment ini hanya akan dapat dimaknai lewat berbelas-kasihan dengan orang lain, akan tetapi, sikap ini malah menjadi sebuah bukti kuat dari ketidakmampuan seseorang untuk menguasai diri.xlvi Tentu saja, kekuasaan tidak dapat diperoleh dalam kesendirian; karena kekuasaan adalah sesuatu yang relasional: “The properties of a thing are effects on other ‘things’: if one removes other ‘things’, then a thing has no properties, i.e., there is no thing without other things, i.e., there is no ‘thing-in-itself’.”xlvii Penciptaan jatidiri hanya mungkin dilakukan di dalam sebuah masyarakat yang menghargai tujuan semacam ini. Di sini masyarakat berperan menawarkan horison untuk menjadi dirinya sebagaimana adanya. Meskipun demikian, horison-horison semacam ini tidak pernah tetap dan selalu mengalami ketaktentuan secara historis. Sang Übermensch akan menekan balik semua garis pembatas dengan cara apapun juga, akan tetapi itu tidak berarti bahwa dia akan sanggup melakukannya tanpa garis-garis pembatas tersebut. Seseorang hanya akan terlihat bedanya dengan orang lain hanya apabila ia disandingkan dengan orang lain yang kontras dengan dirinya. Proses menjadi diri sendiri memerlukan narasi orang itu sendiri. Kita menciptakan seluruh pencapaian dan kegagalan kita dalam sebuah narasi diri yang terus menerus dan secara retrospektif, dengan tujuan untuk menghindari kesewenang-wenangan. Pada titik ini makna diciptakan untuk mengarahkan dan menyusun struktur narasi kita. Salah satu penyebab instabilitas yang terutama adalah bahwa setiap orang mesti berhadapan dengan tragedi di dalam hidupnya. Penciptaan jatidiri membutuhkan afirmasi dari hal-hal yang tragis –sebuah ethos yang tragis. Tragedi tidak
19
dapat dihindari, sehingga dengan demikian cukup logis bila kita memandangnya dari kacamata penciptaan jatidiri apabila kita tidak berusaha menyangkalnya. Dengan demikian maka rasa sakit adalah sebuah bagian yang integral dari proses menjadi diri sendiri. Untuk menjadi sebagaimana adanya kita maka kita perlu untuk mencintai kehidupan, termasuk mencintai kegagalan-kegagalan dan juga kebetulan-kebetulan yang membuat hidup kita terasa berguna. Kita hanya akan sanggup menjalani hidup kita dalam kepenuhan apabila kita mencintai setiap bagian darinya. Lagipula, kita dapat menjadi individu yang berbeda-beda lewat berbagai cara. Nietzsche mengatakan bahwa kita dapat mencintai hidup kita dengan berbagai macam cara yang berbeda-beda, sehingga ada berbagai macam bentuk kehidupan. Tentang hal itu Wittgenstein mengatakan: “the world of the happy man is a different one from that of the unhappy man.”xlviii Nietzsche melihat dirinya sebagai sebuah koleksi dari berbagai macam tindakannya dan juga akibatakibat yang terjadi di dunia ini karena tindakannya (dan mungkin juga pengaruh pasca kematiannya). Penciptaan secara umum dan penciptaan jatidiri secara khusus ditandai oleh perubahan konstan, atau dengan kata lain yang ada hanyalah kata menjadi. Dengan demikian, menjadi adalah sesuatu yang ditandai oleh multiplisitas. Sebagaimana komentar dari Alexander Nehemas: “each subject is constituted not simply by the fact that it thinks, wants and acts but also by what it thinks, wants and does. And once we admit contents, we also admit conflicts.”xlix Sang diri adalah sebuah hasil dari apa yang dipikirkan, dimaui dan dikerjakan, dan bukan sebaliknya. Di sisi lain, tubuh memberikan takat-takat koherensi tertentu.l Sang “Aku”, dengan demikian, bukanlah sebuah tujuan dan bukan pula titik mula. Menjadi sang “Aku” membutuhkan penguasaan diri, tekad baja, dan kehendak untuk berkuasa. Dengan demikian, tujuan dari menjadi diri sendiri adalah untuk menggamit semua multiplisitas tersebut ke dalam sebuah narasi yang koheren. Hal ini berarti, walau bagaimanapun, bahwa kata menjadi bagi Nietzsche tidak sanggup untuk memberi tahu hasil akhir dari sebuah keberadaan. Menjadi adalah sebuah proses yang berlasung terus-menerus. Selain itu, masa lalu perlu untuk dikaji ulang dalam kerangka pengalaman yang lebih baru. Keberadaan pun dapat dikatakan sebagai sebuah jalan pintas semata yang mengacu ke titik tertentu yang menyiratkan arah gerak dari proses menjadi yang dialami seseorang. Teori Nietzsche tentang siklus tanpa akhir tidaklah sama dengan teori kosmologi alam semesta; karena pada dasarnya, teorinya adalah sebuah teori psikologis. Semua kejadian saling terhubung satu dengan yang lain, dan apabila sebuah kejadian diubah, maka hal itu akan mengubah seluruh tatanan; dan atas alasan itulah maka kita harus sanggup menerima
20
semuanya atau tidak sama sekali, dan dalam siklus tersebut semuanya atau sebaliknya tidak satupun yang akan kembali lagi. Kita mesti membaca siklus eternal tersebut sama seperti kita membaca sebuah pernyataan bersyarat, sebuah pernyataan “sebagaimana jika”. Dan seandainya hidup kita berulang kembali, maka segalanya akan kembali sama persis seperti yang kita alami sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan menerima hidup secara total. Lagipula, saya yang sekarang adalah hasil dari apa yang saya pikirkan, maui dan kerjakan. Bila hal itu diubah, maka seseorang akan menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. Dan dengan menjadi seseorang yang sama sekali berbeda berarti mengubah dunia, karena semuanya terhubung satu dengan yang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa siklus tanpa akhir tersebut tidak hanya terjadi pada level perorangan akan tetapi pada tingkat dunia. Mengafirmasi siklus hidup yang persis sama dan berlangsung terus tanpa akhir adalah sebuah tindakan penerimaan diri yang paling luhur, dan berdasarkan itu pula maka menjalani hidup dalam ketaktentuan adalah sesuatu yang perlu dilakukan. Masa lalu tidak dapat diubah, namun masa lalu dapat direinterpretasi, untuk melihat hal-hal apa yang menjadi signifikan saat disinggungkan dengan pengalaman-pengalaman baru. Memikirkan ulang masa lalu adalah sesuatu yang berlangsung sampai kapan pun, sehingga interpretasi akhir adalah sesuatu yang mustahil (karena dengan fakta yang sama orang dapat mengkonstruksi narasi yang berbeda-beda). Dengan demikian, kesempurnaan tidak akan pernah dapat diraih, demikian pula dengan sang Übermensch. Bahkan sosok Nietzsche yang sesungguhnya pun tidak dapat disebut sebagai sang Übermensch. Charles Altieri menunjukkan titik-titik elemen pathos dalam Ecce Homo.li Nietzsche bergantung pada retorika untuk menegaskan gagasannya, dan pada momen ini kehendak untuk berkuasanya boleh dibilang gagal. Penggunaan ironinya yang berlebihan kadang terkesan sebagai usaha untuk melarikan diri. Bila demikian, apakah dia memang mengidealisasikan dirinya lewat penggunaan retorika? Apakah ironi ternyata bukan cara lain untuk lari dari tanggungjawab seseorang pada dirinya sendiri? Nietzsche ingin menjadi orang yang berbeda –be(come) –sebaliknya, pada saat yang bersamaan, dia ingin dimengerti; kedua hal itu pada dasarnya membutuhkan sesuatu yang serupa. Bagaimanapun, rupa tetap memegang peranan penting. Wujud ragawi-lah yang menyatakan identitas seseorang. Nietzsche menolak pemisahan sastra dari filsafat-nya Plato –atau yang biasa dikenal sebagai pemisahan antara bentuk dengan isinya. Plato dengan gaya berfilsafatnya yang khas –berfilsafat lewat dialog –barangkali punya pengaruh yang lebih hebat
ketimbang gagasan-gagasan aktual Plato sendiri. Sama seperti kritiknya pada konsep Kartesian tentang dualisme tubuh-jiwa, Nietzsche mengklaim bahwa adalah mustahil untuk memisahkan bentuk dari isinya. Kita memberi makna saat kita menampilkan sesuatu lewat cara tertentu dan bukan lewat cara yang lain. Susan Sontag mengatakan: “By reducing the work of art to its content and then interpreting that, one tames the work of art.”lii Perwujudan ragawi, menurut Susan Sontag, bukan semata bersifat dekoratif, dan selanjutnya dia menambahkan: “In place of a hermeneutics we need an erotic’s of art.”liii Kebalikannya, penggunaan sebuah bentuk atau wujud ragawi semata tanpa menyertakan keinginan untuk menampilkan perspektif hidup seseorang adalah sesuatu yang bersifat nihilistik. Lalu, apakah para seniman ambil pusing soal mendefinisikan seni? Atau bila mereka memang mau bersusah-payah, apakah mereka memang mesti melakukannya? Apakah para pecinta seni juga ambil pusing soal definisi seni? Sekali lagi, jika memang, mestikah? Apa jadinya kalau kita mengklaim bahwa seni adalah melulu tentang keindahan, atau sesuatu itu dapat disebut seni kalau ditempatkan dalam konteks tertentu (misalnya dipajang di museum)? Saya sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan definisi seni. liv Sebaliknya, saya berpendapat bahwa seni semestinya tidak diintelektualisasi secara berlebihan. Sekarang kelihatannya para filsuf rela turun gunung untuk berjibaku menyelamatkan seni, menjustifikasikannya dengan istilah-istilah dan teori-teori khas menara gading dalam esai kuratorial. Mengacu ke Foucault dan Derrida dalam katalog sekarang seakan sudah menjadi suatu kewajiban. Pada dasarnya, seni dapat menyampaikan sesuatu yang tidak dapat diartikulasikan oleh filsafat. Seni dapat menunjukkan apa yang tidak mungkin dimuat dalam bahasa proposisional. Kita semestinya terlibat dengan karya seni. Keterlibatan ini adalah sebuah keterlibatan langsung yang memicu pengalaman sublim –untuk mengalami seni dari hati. Tepat saat kita mencoba menanyakan maksud dari sebuah karya seni, kita mesti menyadari bahwa karya seni tersebut tidak terlalu berhasil berinteraksi. Bila seni sampai butuh justifikasi pemanis setelah kegagalannya menyentakkan pengalaman sublim pada diri seseorang, maka seni dapat dikatakan gagal mengatasi kefanaan temporal. Sebuah karya seni yang baik tidak membuat seseorang bertanya “kenapa?”. Pertanyaan tentang goresan kuas dan sudut pemotretan adalah pelengkap. Menaruh perhatian terlalu besar pada detil membuat keterlibatan langsung jadi mustahil. Sebuah karya seni agung dirasakan dari hati. Saat-saat terbaik saya mengalami seni adalah saat saya terlalu lelah untuk berpikir. Pertama kali saya alami pengalaman itu pada tahun 1996 ketika saya
mengunjungi Louisiana Museum of Modern Art yang berada tak jauh dari Copenhagen, Denmark, saat baru saja tiba dari perjalanan nonstop dari Umeå, yang berada di sebelah utara Swedialv. Satu dekade kemudian, saya melihat –atau lebih tepatnya: mengalami –dalam kelelahan karena tidak sempat tidur, sebuah karya yang berjudul “the heart is a lonely painter, chapter 13” karya Chatchai Puipia (1964, Thailand) di Singapore Biennalelvi. Saya mengalami karya itu secara ragawi, dan bukan dengan pikiran saya. Tidak terbesit sedikit pun di benak saya untuk bertanya-tanya tentang masalah teknik melukis Puipia, karena lukisannya memang luar biasa, dan sublim. Nietzsche mengklaim bahwa kita dapat belajar dari seniman hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan dari kaum cerdik-cendekia. Sang seniman bisa menunjukkan pada kita bahwa orang biasa bisa tampil sebagai pahlawan: “only they [artists] have taught us to esteem the hero that is concealed in everyday characters; only they have taught us the art of viewing ourselves as heroes […].”lvii Nietzsche memandang seni sebagai sebuah perlawanan, perlawanan terhadap ilmu pengetahuan dengan ideologinya tentang kejujuran dan kebenaran yang dapat bermuara pada sebuah keputusan bunuh diri. Seni adalah senjata yang sanggup balik menyerang. “As an aesthetic phenomenon existence is still bearable for us, and art furnishes us with eyes and hands and above all the good conscience to be able to turn ourselves in such phenomenon.”lviii Kita dapat belajar dari seni bahwa rupa adalah sesuatu yang diperlukan dan bukan sekedar dekorasilix; kita dapat belajar dari seniman bahwa “be poets of our life – first of all in the smallest, most everyday matters.”lx “As a poet,” lanjut Nietzsche, kita “continually fashion something that had not been there before: the whole eternally growing world of valuations, colors, accents, perspectives, scales, affirmations, and negations.”lxi Sang seniman adalah adalah pilar yang menyangga kata ya dengan semangat membara, dia adalah orang yang berkata ya pada kehidupan. Para seniman “let a harmony sound forth from every conflict […]: they express their innermost experience in the symbolism of every work of art they produce – their creativity is gratitude for their existence.”lxii Dan mereka “give a single form to the multifarious and disordered […].”lxiii Saat mereka mencipta, “their reason pauses.”lxiv Setiap kali saya menulis tentang Nietzsche saya berharap bahwa tulisan saya tersebut menjadi yang terakhir. Sebagaimana Wittgenstein mengatakan bahwa sang pembaca “must, so to speak, throw away the ladder after he has climbed up it.”lxv Apakah sekarang waktu yang tepat untuk membuang tangganya? Gaya berkreasi seseorang adalah perspektif orang itu tentang dunia. Dengan demikian, cara seseorang berkreasi bergantung pada jejak ketaktentuan yang mengisi hidup seseorang. Gaya seseorang
21
menyuarakan kehidupannya yang unik dan khas pula. Itulah mengapa setiap penulisan ilmiah dapat dikatakan datar dan membosankan. Dengan dalih netralitas, objektivitas, kepentingan masyarakat yang lebih luas –apalagi KEBENARAN –sang pengarang mesti menahan diri dalam diam dan sang pembaca terbius buaian obat penenang. Bagaimanapun juga, membaca adalah bagian dari seni berkehidupan. Tanpa membaca dengan lahapnya –lucunya, nama belakang saya, Voragen, yang berarti “makan dengan lahap” –kemampuan seseorang untuk menyuarakan pendapatnya tidak akan berkembang. Saya tidak akan bisa melulu menjadi seorang murid. Tahap selanjutnya? Saya mesti bersuara. Diterjemahkan oleh Mardohar B.B. Simanjuntak Catatan Akhir i Roy Voragen dosen di Fakultas Filsafat Universitas Katholik Parahyangan Bandung; dapat dikontak di fatumbrutum.blogspot.com. Lihat juga Roy Voragen, “In the Face of Fatality: Amor Fati, Fatum Brutum,”dalam katalog pameran : Amor Fati (Bandung: Selasar Senaryo ArtSpace, 2007); this essay can be downloaded from my blog. ii See also Genesis 1.2. iii Friedrich Nietzsche, Will to Power, ed. Walter Kaufmann, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1968), section 477, 264. iv Of course, the ad hominem argument can be a fallacy. For example: I disagree with Michel Foucault’s The Order of things: An Archeology of the Human Sciences, because Foucault was homosexual, it is well known that homosexuals cannot be good philosophers since they are immoral and irrational. AIDS, of which Foucault died, is an example of this. Not only is this an example of the ad hominem fallacy, it is also discriminatory against homosexuals. This example appeals to prejudice. However, I agree with Nietzsche that when the writer disappears from the text that then the reader will be sedated to believe in an universal valid truth. v Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, How One Becomes What One Is, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1969), preface, section 3, 218. vi Nietzsche, “Why I am so clever,” section 4, 246. vii Albert Camus, The Myth of the Sisyphus (Harmondsworth: Penguin, 1980), 123. viii Quoted in Alexander Nehemas, The Art of Living, Socratic Reflections from Plato to Foucault (Berkely: University of California Press, 2000), 177. ix Susan Sontag writes: “Where is the acknowledgement that this was not a ‘cowardly’ attack on ‘civilization’ or ‘liberty’ or ‘humanity’ or ‘the free world’ but an attack on the world’s self-proclaimed superpower, undertaken as a consequence of specific American alliances and actions? […] In the matter of courage (a
22
neutral virtue): Whatever may be said of the perpetrators […], they were not cowards.” Susan Sontag, “Talk of the Town,” The New Yorker, 24-9-2001. It is questionable whether courage is a neutral virtue. Aristotle claims in the Nicomachean Ethics that the deficiency of courage is cowardice and that the excess is rashness, i.e. a display of too much courage at the wrong place in the wrong time directed at the wrong people using the wrong means (bombs instead of words). It is also problematic that Sontag puts the responsibility of the attack on the side of the people working in those WTC towers. x Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, intro. Bertrand Russell, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1999), 3. xi Nietzsche, Ecce Homo, “Why I write such good books,” section 1, 261. xii Nietzsche, “Why I am a destiny,” section 1, 326. xiii Nietzsche, Will to Power, section 259, 149. xiv Nietzsche, Ecce Homo, “Why I write such good books,” section 1, 259. xv Tracy B. Strong, “Texts and Pretexts: Reflections on Prespectivism in Nietzsche,” in The Self and the Political Order, ed. Tracy B. Strong (New York: New York University Press, 1992), 174. xvi So writes Nietzsche: “the secret for harvesting from existence the greatest fruitfulness and the greatest enjoyment is – to live dangerously!” Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), book 4, section 283, 228 (see also section 154). xvii Nietzsche, Will to Power, section 702, 373. xviii Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, Prelude to a Philosophy of the Future (Harmondsworth: Penguin, 1979), section 225, 135-6. xix Nietzsche, The Gay Science, book 4, section 331, 242. xx Nietzsche, Ecce Homo, “Why I am so wise,” section 1, 223, and section 6, 231. xxi M.J. Bowles, “The practice of meaning in Nietzsche and Wittgenstein,” The Journal of Nietzsche Studies 26 (2003), 12. xxii Nietzsche, The Gay Science, book 4, section 338, 269-70. xxiii Nietzsche, Ecce Homo, “Why I am so wise,” section 4, 228. xxiv In The Gay Science Nietzsche writes ‘who’ instead of ‘what’: “We […] want to become those we are – human beings who are new, unique, incomparable, who give themselves laws, who create themselves.” Nietzsche, The Gay Science, book 4, section 335, 266 (Nietzsche refers here to Pindar). xxv Nietzsche, “Why I am so clever,” section 9, 253-4. xxvi Nietzsche, section 10, 258. Also Nietzsche, The Gay Science, book 4, section 276, 233: “I want to learn more and more to see as beautiful what is necessary in things; then I shall be one of those who make things beautiful. Amor fati [love of fate]: let that be my love henceforth! […] And all in all and on the whole: some day I wish to be only a Yes-sayer.”
xxvii Raymond Duval, “The Uniqueness of the Individ-
xlvi Walter Kaufmann writes: “Anyone lacking that
ual and the Solitude of Self Becoming,” in Nietzsche and Christianity, eds. Claude Geffré and Jean-Pierre Jossua (New York: The Seabury Press, 1981), 26. xxviii Nietzsche, Beyond Good and Evil, section 56, 64. Also Nietzsche, The Gay Science, section 341, 273-4. xxix Friedrich Nietzsche, “Twilight of the Idols,” in The Portable Nietzsche, ed. and trans. Walter Kaufmann (Harmondsworth: Penguin Books, 1985), “What I owe to the ancients,” section 2, 558-9. And in Beyond Good and Evil Nietzsche writes: “It is no more than a moral prejudice that truth is worth more than appearance; it is even the worst-proved assumption that exists. […T]here would be no life at all if not on the basis of perspective evaluations and appearances; and if […] one wanted to abolish the ‘apparent world’ altogether […] nothing would remain of your ‘truth’ either.” Nietzsche, Beyond Good and Evil, section 34, 47. xxx Nietzsche, Will to Power, section 708, 377. xxxi Peter Fritzsimons, “The ‘End’ of Kant-in-Himself: Nietzschean difference,” Educational Philosophy and Theory 39, no.5 (2007), 566. xxxii Nietzsche, Will to Power, section 485, 268-9. xxxiii Nietzsche, section 488, 270. xxxiv I do not translate Übermensch, available translations are either comical (‘superman’) or just sound too academic (‘overman’). xxxv Bernhard Welte, “The Ambiguity of Nietzsche’s Superman,” in Nietzsche and Christianity, 54. xxxvi Nietzsche, Will to Power, section 490, 270-1. xxxvii Hugh J. Silverman, “The Autobiographical Textuality of Nietzsche’s Ecce Homo,” Boundary 2: A Journal of Postmodern Literature 9, no.3 and Vol. 10, no.1 (Spring-Fall 1982), 143. xxxviii Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy (New York: Dover, 1995), section 7, 23. xxxix Nietzsche, Will to Power, section 254, 148. xl It certainly requires another essay on how Nietzsche deals with God in general and Christianity in particular. xli Nietzsche, Will to Power, section 2, 9, see also sections 1 and 55. xlii Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R.J. Holingdale (New York: Vintage Books, 1969), third essay, section 28, 163. xliii Alessandro Tomasi, “Nihilism and Creativity in the Philosophy of Nietzsche,” Minerva, an Internet Journal of Philosophy 11 (2007), 153-4, <http://www.mic. ul.ie/stephen/vol11/nietzsche.pdf> (25 March 2009). xliv Javier A. Ibanez-Noe, “Truth and ethos, The philosophical foundations of Nietzsche,” Philosophy Today 38, no.1 (Spring 1994), 76. xlv For an elaboration on Nietzsche’s use of ressentiment see Walter Kaufman, “ Editor’s Introduction,” in On the Genealogy of Morals and Ecce Homo, Friedrich Nietzsche (New York: Vintage Books, 1969), 5-10.
[self-sufficiency] tends to project into other needs and conditions of distress that he can then exert himself to alleviate. Having no project of his own, he can thus give his life some purpose.” Friedrich Nietzsche, The Gay Science, n48, 118. xlvii Nietzsche, Will to Power, section 557, 302. xlviii Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, section 6.43, 72. xlix Alexander Nehemas, “How One Becomes What One Is,” The Philosophical Review 92, no.3 (July 1983), 398. l Nietzsche, Will to Power, sections 492, 271, and 518, 281; and Nietzsche, The Gay Science, preface, section 3, 35-6. li Charles Altieri, “Ecce Homo: Narcissism, Power, Pathos, and the Status of Autobiographical Representation,” Boundary 2, no.9 and 10 (1981), 402. lii Susan Sontag, “Against Interpretation,” in Against Interpretation (London: Vintage, 1994), 8. liii Sontag, 14. liv However, if you do, here is a good essay: http:// plato.stanford.edu/entries/art-definition/#Oth. lv See http://www.louisiana.dk/. lvi See http://www.singaporebiennale.org/ and see here for the painting: http://fatumbrutum.blogspot. com/2007/01/heart-is-lonely-painter.html. lvii Nietzsche, The Gay Science, book two, section 78, 132-3. lviii Nietzsche, book two, section 107, 163-4. lix Nietzsche, book 4, section 290, 232. lx Nietzsche, book 4, section 299, 239-40. lxi Nietzsche, book 4, section 331, 241-2. lxii Nietzsche, Will to Power, section 852, 450-1. lxiii Nietzsche, section 964, 506. lxiv Nietzsche, The Gay Science, book one, section 3, 77-8. lxv Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, section 6.54, 74. Bibliography Charles Altieri, “Ecce Homo: Narcissism, Power, Pathos, and the Status of Autobiographical Representation,” Boundary 2, no.9 and 10 (1981). M.J. Bowles, “The practice of meaning in Nietzsche and Wittgenstein,” The Journal of Nietzsche Studies 26 (2003). Albert Camus, The Myth of the Sisyphus (Harmondsworth: Penguin, 1980). Raymond Duval, “The Uniqueness of the Individual and the Solitude of Self Becoming,” in Nietzsche and Christianity, eds. Claude Geffré and Jean-Pierre Jossua (New York: The Seabury Press, 1981). Peter Fritzsimons, “The ‘End’ of Kant-in-Himself: Nietzschean difference,” Educational Philosophy and Theory 39, no.5 (2007). Javier A. Ibanez-Noe, “Truth and ethos, The philosophical foundations of Nietzsche,” Philosophy Today 38, no.1 (Spring 1994). 23
Alexander Nehemas, “How One Becomes What One Is,” The Philosophical Review 92, no.3 (July 1983). Alexander Nehemas, The Art of Living, Socratic Reflections from Plato to Foucault (Berkely: University of California Press, 2000). Friedrich Nietzsche, Will to Power, ed. Walter Kaufmann, trans. Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1968). Friedrich Nietzsche, Ecce Homo, How One Becomes What One Is, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1969). Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann and R.J. Holingdale (New York: Vintage Books, 1969). Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, Prelude to a Philosophy of the Future (Harmondsworth: Penguin, 1979). Friedrich Nietzsche, “Twilight of the Idols,” in The Portable Nietzsche, ed. and trans. Walter Kaufmann (Harmondsworth: Penguin Books, 1985). Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy (New York: Dover, 1995). Alessandro Tomasi, “Nihilism and Creativity in the Philosophy of Nietzsche,” Minerva, an Internet Journal of Philosophy 11 (2007), 153-4, <http://www.mic.ul.ie/ stephen/vol11/nietzsche.pdf> (25 March 2009). Hugh J. Silverman, “The Autobiographical Textuality of Nietzsche’s Ecce Homo,” Boundary 2: A Journal of Postmodern Literature 9, no.3 and Vol. 10, no.1 (Spring-Fall 1982). Susan Sontag, “Against Interpretation,” in Against Interpretation (London: Vintage, 1994). Susan Sontag, “Talk of the Town,” The New Yorker, 24-9-2001. Tracy B. Strong, “Texts and Pretexts: Reflections on Prespectivism in Nietzsche,” in The Self and the Political Order, ed. Tracy B. Strong (New York: New York University Press, 1992). Roy Voragen, “In the Face of Fatality: Amor Fati, Fatum Brutum,” in: Amor Fati, exhibition catalogue (Bandung: Selasar Senaryo ArtSpace, 2007). Bernhard Welte, “The Ambiguity of Nietzsche’s Superman,” in Nietzsche and Christianity, eds. Claude Geffré and Jean-Pierre Jossua (New York: The Seabury Press, 1981). Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, intro. Bertrand Russell, trans. D.F. Pears and B.F. McGuinness (London: Routledge, 1999).
25
26
Amrizal Salayan Melihat Daun Melihat Diri (left)
Nurdian Ichsan Man on The Center (top)
polyester t.165 x 50 x 40 cm, 2009
ceramic, brick, cement 111 x 111 x 87.5 cm, 2010
27
Agus Suwage The Beginning (top)
The End (right)
watercolor & tobacco juice on paper 67 x 57 cm, 2009
watercolor & tobacco juice on paper 67 x 57 cm, 2009
28
29
Atie Krisna Damn You (top)
In Between (right)
acrylic on canvas 170 x 125 cm, 2009
acrylic on canvas 100 x 170 cm x 2 panels, 2010
30
31
Galam Zulkifli Ilusi Bab 3 #7 (top)
Sigit Santoso A Portrait of The Artist as a Holy Man (right)
acrylic on canvas 200 x 200 cm, 2009/2010
oil on canvas 195 x 150 cm, 2010
32
33
Laksmi Shitaresmi Hello, itâ&#x20AC;&#x2122;s me (top) acrylic on canvas 135 x 250 cm, 2010 (on progress)
Balancing Pig (middle) bronze 32 x 18 x 65 cm, 2009
Abdi Setiawan Es Lilin (right) wood 130 x 40 x 120 cm, 2009
34
35
Sugiyo Dwiarso Distance (top)
The Beginning (right)
mixed media 3 x 60 x 40 cm, 2009
acrylic on canvas 250 x 150 cm, 2009
36
37
38
Gusbarlian Same Old Story (top-left) resin, metal spike 30 x 45 x 85 cm, 2010
Kelinci Putih & Sebuah Bola (bottom-left)
Diyanto Nicht Fish Nicht Fleish/ Bukan Ikan Bukan Daging (top)
resin, metal spike 35 x 70 x 22 cm, 2010
acrylic on canvas 268 x 390 cm (tryptich), 2010
39
40
Iswanto No. 641 (left)
Saya Lebih Suka Pram Daripada Nietzche (top)
monotype on paper, typewriter variable dimension, 2010
oil, pencil on canvas 200 x 300 cm, 2010
41
Roumy Handayani Pesona Timelessness & Reality of Fate (left) asphalt on canvas 70 x 80 cm, 2010 Listen & Attention to What Being Said (bottom-left) asphalt on canvas 60 x 80 cm, 2010 The Absolute Being (bottom-right) asphalt on canvas 70 x 80 cm, 2010
Byar Creative Industries Semarang (right) instalasi respon ruang 2010
42
43
E.H. Boat #1 (top-right) watercolor on paper 57 x 76 cm, 2010
Aminudin TH Siregar Mengapa Aku Adalah Takdir? (top)
Mengapa Aku Demikian Cerdas? (bottom-right)
watercolor on paper 57 x 76 cm, 2010
watercolor on paper 57 x 76 cm, 2010
44
45
Aminudin TH Siregar E.H. Boat #2 original boat, wood 120 x 230 cm, 2010
46
47
Artist Profile
2007 • “Anti Aging” Gaya Fusion, Art Space Bali • “Boeng Ajo Boeng 100th Affandi” Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta • “Quota” Gallery National Jakarta Penghargaan 2001 : Finalis Philip Morris Art Award AGUS SUWAGE Purworejo, Jawa Tengah 1959
ABDI SETIAWAN Sicincin, Pariaman 29 Desember 1971 Pendidikan 1993 – 2003 ISI, Yogyakarta Pameran Tunggal 2007 “The Flaneur” Nadi Gallery, Jakarta 2004 “Gairah Malam” France Cultural Center, Yogyakarta Pameran Bersama 2009 • Jogja Biennalle X JogjaJamming, Yogyakarta • “Higher Ground”, Metis Galleri, Amsterdam, Nederland • XYZ, Edwin Gallery , Jakarta • SOUTH ASIA PROJECT, KKF, Pameran SOUTH ASIA PROJECT, KKF, Yogyakarta • From 2D to 3D, Summer Exhition, Sin Sin Gallery, Hongkong • “Poli [ Chromatic ]“, V-Art & Bentara Budaya Yogyakarta • “In Rainbow“, Galeri Sunaryo Sampoerna, Surabaya • “GRIP” Young Contemporary Artists from Indonesia & China, Vanessa Art Link, Art District 798, Beijing • “The Spirit of Interaction“ Erasmus Huis, Jakarta 2008 • “SELF PORTRAIT – Famous Living Artists of Indonesia”, Jogja Gallery, Yogyakarta •”LAMPU MERAH” Kelompok SEMOET, Bika Galery, Jakarta •”Bentuk-bentuk: contemporary indonesian art in 3D, Melbourne Art Fair, Australia • “Contemporary Apaan Tuh?” heART Space, Bali • “Res Publicum”Canna Gallery”Canna Gallery, Jakarta • “MANIFESTO “ Galeri Nasional Jakarta • “KITA” Japanese Artists Meet Indonesia, Organized by The Japan Foundation, LIP Yogyakarta • “Ivaa Book Aid Volume 2” Edwin’s Gallery Jakarta • “China International Gallery Exposition” Beijing, Chinna • “Strategies Towards The Real: S.Soedjojono and Contemporary Indonesian Art” NUS Museum, Singapore
48
Pendidikan 1979 – 1986 : Desain Grafis, ITB, Fakultas Seni Murni dan Desain, Bandung, Indonesia 1996 : Seniman Residensi di QUT, Brisbane, Australia 1999 – 2000 : Seniman Residensi di “Sai-no-kuni” Saitama, the Museum of Modern Art, Koshigaya-shi, Saitama, Jepang. 2003 : “Brito International Artists Workshop” Tepantor, Dhaka, Bangladesh 2009 : Seniman Residensi di STPI, Singapura Pameran Tunggal 2009 “Still Crazy After All These Years” Jogja National Museum, Yogyakarta & Selasar Sunaryo Art Space, Bandung “CIRCL3” Singapore Tyler Print Institute, Singapura 2008 “Beauty in the Dark”, Avanthay Contemporary Gallery, Zurich, Switzerland 2007 “I/CON”, Nadi Gallery, Jakarta Pameran Bersama 2009 • “Kado #2”, Nadi Gallery, Jakarta • “Broadsheet Notations: Projecting artworks on paper”, Tang Contemporary Art, Bangkok, Thailand • “Group” Galerie Christian Hosp, Berlin • “Post-Tsunami Art” Primo Marella, Gallery Milano, Italia • “Simple Art of Parody” Museum of Contemporary Art, Taipei, Taiwan • “The Golden Age” Ark Galerie, Jakarta • “Milestone” Vanessa Art Link, Jakarta • “Hibridization” North Art Space, Jakarta 2008 • “Allegorical Bodies~ Indian Contemporary Art” A Art Contemporary Space, Taipei, Taiwan • “Dari Penjara ke Pigura” Galeri Salihara, Jakarta • “ShContemporary 08” The Asia Pasific Contemporary Art Fair, Beyond Art Space, Shanghai Exhibition Center, Shanghai, China • “Passions” ShContemporary 08, The Asia Pasific Contemporary Art Fair, Galeri Canna, Shanghai Exhibition Center, Shanghai, China
• “Bentuk-Bentuk” by Valentine Willie Fine Art & Nadi Gallery, Melbourne Art Fair, Melbourne, Australia • “Loro Blonyo Kontemporer”, Magelang • “Merti Bumi”, Lerep Kampung Seni, Ungaran, Jawa Tengah • “Space/Spacing” Galeri Semarang, Semarang • “Coffe, Cigarettes and Pad Thai” Eslite Gallery, Taipei, Taiwan • “Manifesto” Galeri Nasional, Jakarta • “CIGE”, Nadi Gallery, Beijing, China • “Inanimate Performance” Soka Art Center, Taipei, Taiwan • “The Scale of Black” Valentine Willie Fine Art, Singhapore • “Animal Kingdom” Jogja Galery, Yogyakarta 2007 • “Biennale Jogja IX 2007 ”Neo-Nation”, Jogjakarta National Museum • “Ar[t]chipelago Alert”, Tonyraka Art Gallery, Bali • “Luar Biasa”, Galeri Biasa, Yogyakarta • “Art Paris-Abu Dhabi”, Abu Dhabi, Uni Emirates Arab • Asian International Art Exhibition 22nd “Imagining Asia”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung • “Shanghai Contemporary Art 2007”, Shanghai, China • “Celebr’art’e Fire Boar”, Kupu-Kupu Art Gallery, Jakarta / Griya Santrian, Bali • “On Appropriation”, Galeri Semarang, Semarang • “Fetish Art Object”, Biasa Art Space, Kuta, Bali • “Thermocline of Art” New Asian Waves, ZKM, Kalsruhe, Germany • “Anti-Aging”, Gaya Art Space, Ubud, Bali • “Imagined Affandi”, Galeri Semarang, Semarang • “China International Gallery Exposition” Langgeng Gallery & Vanessa Art Link, Beijing, China • “The Past – The Forgotten Time”, The Hague, Artoteek Den Haag / the Netherlands Institute for War Documentation (NIOD), Amsterdam / Cemeti Art House, Yogyakarta / Erasmushuis,Jakarta / Rumah Seni Yaitu, Semarang / Bizart, Shanghai • “Beautiful Dead”, Bentara Budaya, Yogyakarta • “Indonesian Contemporary Artnow”, Nadi Gallery, Jakarta • “Jogja Sketsavagansa”, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta AMINUDIN TUA HAMONANGAN SIREGAR Jakarta, July 29, 1973 Pendidikan 1993 – 1997 : Studied Graphic Art /Printmaking at Bandung Institute of Technology, Fakultas Seni Murni dan Desain 2004-2006 : Master Program-fakultas Seni Murni dan Desain, ITB. Topic: Discourse of Indonesian Modern Art
Pameran Tunggal 2006 Ich Kann Keine Kunst Mehr Sehen, Gallery Klinkhammer, Dusseldorf-Jerman 2004 “Assalamu’alaikum, I’m Fine!”, Klinkhammer Und Metzner Gallery, Dusseldorf-Jerman 2003 “Counting Crows”, Klinkhammer Und Metzner Gallery, Dusseldorf-Jerman Pameran Bersama 2001 • “Refleksi” Galeri Edwin, Jakarta • “Traditionelle und Zeitgenössische Kunst aus Java”, Berlin-Jerman 2000 • Youth Bandung Artists Exhibition, NuArt Park Gallery Bandung • Different Space, CCF Bandung • Half a Century of Indonesian Printmaking, Bentara Budaya Jakarta, Jakarta • Pameran Perupa Muda di Griya Seni Popo IskandarBandung Penghargaan 1997 : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat 1998 : Nominasi 100 seniman oleh The Indonesia Fine Art Foundation, Jakarta Minister of Tourism, Art and Culture 1999 : Indonesia Art Award: Top ten painters by The Indonesia Fine Art Foundation, Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat 2000 : Embassy of Republic Indonesia for Germany AMRIZAL SALAYAN ST. PARPATIH Bukittinggi, 8 Oktober 1958 Pendidikan 2001 – 2004 1984 – 1988 Bandung. 1979 – 1980
: MA, Seni Murni, ITB, Bandung. : BFA Seni Murni, Patung, FSRD ITB, : FKSS IKIP, Padang, West Sumatra.
Pameran Tunggal 2004 “Kefanaan” (Final Project, MA, Fine Arts, ITB), Galeri Soemardja, Bandung. Pameran Bersama 2009 • “XYZ Exhibition 2009” Edwin’s Gallery Jakarta. 2008 • Bandung initiative: A Cabinet of Signs, Roemah Roepa,Jakarta • “Manifesto “ ; Pameran Besar Seni Rupa indonesia. Mei-Juni.Galeri Nasional,Jakarta. 2007 • “Amorfati” ( love and fate) Visual Art Exhibition Featuring the Works of Amrizal Salayan,Diyanto and Ristyo Eko Hartanto,Selasar Sunaryo Art Space. Bandung.
49
ATIE KRISNA Semarang, 27 Maret 1951 Pendidikan S1 – Teknik Arsitektur Pameran 2010 • Pameran bersama ECCE HOMO, Semarang Contemporary Art Gallery, SEMARANG. 2009 • Pameran bersama BOROBUDUR INTERNATONAL FESTIVAL, Candi Borobudur, MAGELANG. • Pameran bersama DIFFERENCE, Semarang Contemporary Art Gallery, SEMARANG 2008 • Pameran bersama AFTER FOURTY, Sangkring Art Space, YOGYAKARTA • Pameran bersama ArsiTEKStur KOTA SENJA, Gedung Bank Indonesia, SEMARANG • Pameran bersama Galeri Milenium, JAKARTA 2007 • Pameran bersama HUBEI ART COLLEGE – Kota Wuhan, CHINA • Pameran bersama OAP di B’OK gallery, SEMARANG • Pameran bersama TRIBUTE TO ARIE SETIAWAN, Galeri Bu Atie, SEMARANG BYAR CREATIVE INDUSTRY Berdiri di Semarang 24 Desember 2006. Fokus akan kajian untuk memberikan dukungan terhadap perkembangan senirupa. Kajian melalui pendataan, dokumentasi, riset, penulisan, workshop, perpustakaan, diskusi, residensi, dan pertukar seniman. Mengembangkan seni melalui pameran, laboratorium eksperimen, promosi, serta manajemen seni. Dengan visi aktif dalam mengumpulkan data, mengadakan proyek seni, dan membangun jaringan kerja dengan organisasi seni sejenis. Misinya agar membuka lebar peluang kesenimanan skala lokal, nasional, dan internasional. Pameran 2010 • Riset dan Kajian Arsip Sejarah Kota bersama BYAR Creative Industry Direspon Melalui Seni Visual Pameran Ecce Homo, Semarang Contemporary Art Gallery, Indonesia. • Sponsor dan Partner Pameran Komunitas Kotak Gila, Seni Rupa Untuk Publik, Dahara Gallery Semarang Indonesia. 2009 • Sponsor dan Partner Klinik Budaya Rupa Maros Visual Culture Initiative Dahara Gallery Semarang Indonesia. • Sponsor dan Partner Pameran Tunggal Singgih Adhi Prasetyo, Dahara Galery Semarang Indonesia.
50
• Sponsor dan Partner Pameran Fragmen Personal Fragmen Renungan, Galeri Bu Atie Semarang Indonesia. • Rancang Strategi Program Tiga Tahun (Bertahan) Merintis Jalan BYAR Creative Industry 2009 Semarang Indonesia. • Undangan Workshop Penulisan Kritik Senirupa Ruangrupa Jakarta Indonesia. • Sponsor dan manajerial Hertz Subsonic Sonar #2, Retro Creative House Semarang Indonesia. 2008 • Pameran Senirupa Goro Goro Art Project Pra Solo Biennale Galeri Senirupa TBJT Solo Indonesia. BYAR Creative Industry sebagai media partner. • Pameran Senirupa Kontemplastik, Sewindu Komunitas Pintu Mati Galeri Senirupa TBJT Solo Indonesia. • Dukung Kreatif Industri Indonesia. Kerjasama BYAR Creative Industry dengan Pemda Propinsi Jawa Tengah Jateng Expo 2008 Semarang Indonesia. • Sponsor dan Partner Japan Foundation, “MoshiMoshi” Pameran foto Ukiyo–e, workhshop origami, pemutaran film, dan komik strip. BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Sponsor dan Partner Panggung Visual Akademi Samali Jakarta, BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Undangan Workshop Penulisan Kritik Senirupa Ruangrupa Jakarta Indonesia. • Sponsor Magang Mahasiswa UNNES Fakhrudin Fatkhurohim, BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Sponsor Magang Mahasiswi UNNES Lia Irawati, BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Sponsor Magang Mahasiswi UNNES Anadiani Djayanti, BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Sponsor Pembuatan Film Dokumenter Kota Lama Semarang “Little Netherland” Srikandi Production, BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Sponsor Pameran INFLUENZA kolaborasi Moch Sofwan Zarkasi “Kipli” dan Nahyu Rahma F, BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Sponsor Pameran BANALITAS URBAN kolaborasi M. Rofikin dan Wibowo Adi Utama, BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Sponsor, LAJAR TANTJAP : “Dari Bandoeng Dengan Tjinta Di Semarang Saja Djatoeh Tjinta” Kolaborasi Irfan Fatchu Rahman dan Video Lab Bandung , BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Sponsor Riset I Ngurah Suryawan analisis pergolakan wacana, aktivitas, strategi seniman Semarang menulis sejarahnya. BYAR Creative Industry Semarang Indonesia. • Rancang Strategi Program ISYARAT 2008, Indonesia Semarang Young Artist, Semarang Indonesia. • Partner HIVOS People Unlimited (Netherland) program sponsor untuk seniman. • Manejemen Organisasi Budaya Yayasan Seni Kelola Jakarta Indonesia.
• Artists Talk Kos to Kos Project “Yang Muda Yang Mengalami ke Indonesiaan Kini” di Sangkring Art Space Yogyakarta Indonesia. • Biennale Jogja IX NEO-NATION Jogja National Museum, Yogyakarta Indonesia. 2007 • Festival Tanda Kota Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta Indonesia. • Artists Talk Kos to Kos Project di Radio BBC London Jakarta Indonesia. • Manejemen Organisasi Budaya Yayasan Seni Kelola Cipayung Bogor Indonesia. • Pembicara Festival Tanda Kota Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta Indonesia. • Pembicara Seminar Nasional 2007 Dinamika Senirupa Indonesia Galeri Nasional Jakarta Indonesia.
• “Seni Rupa 8012345”, Gallery Seni Rupa Taman Budaya Jawa Barat, Bandung. 2008 • “E-motion”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. • “Rendezvous”, CG.Art Space, Jakarta. • “Manifesto”, Gallery Nasional Indonesia, Jakarta. • “Sensi”, Philo Art Gallery, Jakarta. 2007 • “22nd Asian International Art Exhibition”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. • “Amorfati”. Selasar Sunaryo Art Space, Bandung • “Keruh”, Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Bandung.
DIYANTO Kadipaten,Majalengka,Jawa Barat, 23 Pebruari 1962
Pameran Tunggal 2007 “Comouflage” Bika Gallery Jakarta 2006 “Herstory” Gallery Mondecor Jakarta 2005 “ Potret” Edwin Gallery 2001 “Mempertimbangkan Perjanjian” Nadi Gallery, Jakarta 2000 “9 Taman Seni” Gelaran Budaya, Yogyakarta
Pendidikan 1987 : Mengikuti Bengkel Kerja Pelukis Muda ASEAN di Nan Yang Academy, Singapura, arahan, Tang Da Wu. 1991 : Lulus Seni Rupa ITB. 1992 : Mendalami Tata Pentas Teater di Augsburg, Jerman, arahan Wolf Wanninger, Sponsor Goethe Institute. 1999 : Artist In Residence (Curtin University) di Perth, Australia. 2001 : Wind of Artist In Residence. Fukuoka Asian Art Museum, Jepang. Pameran Tunggal 2008 “Minima Moralia”, Canna Gallery, Jakarta. 2002 “Sosok/Tubuh”, Mondecor Gallery, Jakarta. “Halaman Terbakar”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. 2001 “Zeroretorika”, Café Modernekunst Museum Pasau, Jerman. 2000 “Undangan Lalat”, Koong Gallery, Jakarta. 1999 “Lukisan dan Instalasi”, Milenium Gallery, Jakarta. 1998 “Batu yang tak sampai padamu”, Bandung Gallery, Bandung. 1994 “Put-Not”, Lukisan Instalasi dan Performance, Galeri Seni Rupa Taman Budaya, Surakarta. 1990 “Kasidah Izrail”, Alliance Francaise, Bandung. Pameran Bersama 2009 • “Middelbare akte” galeri Soemardja ITB,Bandung • “Janos”,T-art space,ubud,bali • “art (i) culation”,Hanna art space,ubud,Bali • “Megatruh Kambuh”, Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung • “Kado # 2”, Nadi Gallery, Jakarta. • “Happiness 9”, Philo Art space, Jakarta. • “Up and Hope”, D’ Peak Art space, Jakarta.
GALAM ZULKIFLI Sumbawa, 1971.
Pameran Bersama 2009 • “ Pop Ghoes” Avanthay Contemporer Gallery Zurick Swiss • “ Reborn” H2 Galeri Semarang • “Hybridization” Pasar Seni Ancol” Jakarta by Galeri Semarang • “Ilustrasi Cerpen Kompas” Bentara Budaya Jakarta dan Yogyakarta“ 2008 • “ Space/Spacing “ Galeri Semarang, Semarang • “ Wedding 2” Magelang • “Jogja art fair” Taman Budaya Yogyakarta. • “Manifesto” Galeri Nasional, Jakarta • “100 thn Kebangkitan Pers” GOR, Semarang • “Biennale Yogyakarta” Taman Budaya Yogyakarta. 2007 • “Imagined Affandi” Gedung Arsip” Jakarta By Galeri Semarang • “Global warming” Garuda Wisnu Kencana, Bali • “On Appropriation” Galeri Semarang, Semarang • “Singapore art fair, Singapore • “Ilustrasi Cerpen Kompas” Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali • “100 Th Affandi” Gedung arsip Nasional, Jakarta • “IVAA” Nadi Gallery, Jakarta • “Artcare” Komunitas Soboman, Yogyakarta GUSBARLIAN Jakarta, 2 Agustus 1972 Pendidikan 1998 : S1 Seni Patung - Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB
51
Pameran Tunggal 1999 “Disorder Adapter”, Barak Gallery, Bandung 2001 “To Steal and Provoke”, Cemeti Art House, Yogyakarta 2003 “Gusbarlian dan Ramla Istibar”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung 2004 “in between”, Common Room, Bandung “Follow the Rabbit”, Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta Pameran Bersama 2008 • “Manifesto”, National Gallery, Jakarta, Indonesia • “Ten Years Revisited – A Decade of Dedication”, Selasar Sunaryo Art Space”, Bandung, Indonesia 2009 • “Bandung Art Now”, National Gallery, Jakarta Indonesia • “XYZ”, Edwin Gallery, Jakarta 2010 • “Magainin”, Galeri AGSI, Jakarta ISWANTO HARTONO Purworejo ,1972 Pameran Tunggal 2009 MOOD INDIGO, Gasatelier Landeshaupstadt, Dusseldorf, Jerman 2008 VOID, Maruki Museum, Saitama, Jepang 2007 MELLOW, Gallery K, Tokyo BLUE, Galeri Soemardja, ITB, Bandung Pameran Bersama 2009 • Next Nature, Vanessa ArtlLink/National Gallery of Indonesia, Jakarta • Parcours Interdit, Malkasten Park, Dusseldorf, Jerman • ARENA: JAKARTA BIENNALE XIII 2009. FLUID ZONE, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta 2008 • What Game Shall We Play Today? Tokyo Wonder Site, Shibuya, Tokyo, Japan • Labyrinth, with Hamad Khalaf, Gaya Fusion Gallery, Ubud, Bali 2007 • KUOTA INBOX 2008, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta • Demi Massa, National Gallery of Indonesia, Jakarta Penghargaan 2003-2004 : Freeman Asian Award Full Fellowship 2003/2004, Freeman Foundation, USA 2000-2002 : General Cultural Scholarship Scheme, Indian Council for Cultural Relationship, New Delhi,India
52
LAKSMI SHITARESMI 9 Mei 1974 Pendidikan 1992-1998
: ISI, Yogyakarta
Pameran Tunggal 2009 “NAKEDNESS REVEALS LIFE” Bentara Budaya, Jakarta 2007 “TUNGGAL” Gedung Gading Indah, Jakarta Pameran Bersama 2009 • “Pelita Budaya 2009” Depo Pelita Sokaraja, Central Java • “Drawing Contemporary Indonesia” Andi’s Art Gallery Jakarta • Sariwangi Golden Selection Art Appresiation “Woman on Woman” Niko Hotel Jakarta • “Drawing Contemporary Indonesia” Galeri Nasional Indonesia Jakarta • “Ilustrasi Cerpen KOMPAS” Bentara Budaya Jakarta & Bentara Budaya Yogyakarta • “Wong Jowo Ilang Jowone” Bentara Budaya Balai Soedjatmoko and Gedung Danarhadi Solo, Jawa Tengah • Contemporary Art Fair, C-Art Show, Grand Indonesia • “Komedi Putar” Bentara Budaya Jakarta • The third anniversary of V-Art Gallery “Monochromatic” Bentara Budaya Yogyakarta • Grand Opening “New Born” H2 Art Gallery Semarang, Central Java • “Soft Opening” de-Sava Art Gallery Yogyakarta • “Gasing Komedi Putar” Bentara Budaya Yogyakarta • “Seniku Tak Berhenti Lama” Taman Budaya Yogyakarta • “Refleksi Ruang Dan Waktu” V-Art Gallery Yogyakarta 2008 • “Visual Art Exhibition of South–East Asia Artists” Thailand,Vietnam, Indonesia and Malaysia • Grand Opening “Indonesia Contemporary All Star” Tujuh Bintang Art Space Yogyakarta •”Indonesia and The Mainstream” CIGE Beijing, China • Jogja Art Fair # 1” Taman Budaya Yogyakarta •”CITY : Anggar & Laksmi” Canna Art Gallery, Jakarta • “Loro Blonyo” Gedung Tribakti Magelang, Centra Java • “Manifesto” Galeri Nasional Indonesia Jakarta • “Res Publicum” 7th Anniversary Canna Art Gallery 2007 • “Biennale Exhibition Jogja IX : Neo Nation” Yogyakarta • “BUZER dot com” Taman Budaya Yogyakarta • “100th Affandi” Yogyakarta
• 25th Anniversary of Bentara Budaya “Boeng Ajo Boeng” Bentara Budaya Yogyakarta • “Ekspresi Seni” Joglosemar 2007 Taman Budaya Solo, Central Java •”Interntional Literary Biennele” Langgeng Art Galery Magelang, Central Java • HUT IKASSRI Benteng Vredeburg Yogyakarta • “Intimate Distance” Galeri Nasional Indonesia Jakarta • “Sketsavaganza” Taman Budaya Yogyakarta • Art exhibition 5 kota “Beautiful Death” Bentara Budaya Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang & Bali Penghargaan 2009 : “Distinc Uniquenness” Golden Selection Women Artist Art Awards Indonesia 1999 : Finalis Nokia Art Awards Nominasi The Phillip Morris Awards Indonesia 1997 : Nominasi The Phillip Morris Awards Indonesia NURDIAN ICHSAN Bandung, 1971 Pendidikan 1997 : BFA, Fine Art Department (Ceramic Studio), ITB 2002 : MFA, Fine Art Department, Fakultas Seni dan Desain, ITB Pameran Tunggal 2009 • “(di)stance”, Sigiarts Gallery, Jakarta • “Nowhere Man”, Hall The Japan Foundation, Jakarta Pameran Bersama 2010 • “Halimun; the Mist”, Lawangwangi’s inaugural exhibition, Lawangwangi Art and Science Estate, Bandung • “Human Ecletic”, Mondecor Art Space, Jakarta 2009 • “Bandung Art Now”, National Gallery, Jakarta, Indonesia • “The Contemporary Ceramic Asia Network’09”, Penang State Art Gallery, Penang, Malaysia • “Milestone”, Vanessa Art Link, Jakarta • “New Friends, Art and Adventure: A Ceramic Art Exhibition”, Japan Foundation Gallery, Sidney, Australia • “Reach Art Project: Unlimited Portrait”, Plaza Indonesia org. by Edwin’s Gallery, Jakarta • “Nextnature”, National Gallery, org. by Vanessa Art Link, Jakarta • “XYZ”, Edwin’s Gallery, Jakarta • “In Between”, Jakarta Contemporary Ceramic Biennalle #1, North Art Space, Jakarta 2008 • “Manifesto”, National Gallery, Jakarta, Indonesia
• “Conversation Piece”, Bandung Initiative #1, Roemah Roepa Gallery, Jakarta • “No Where Men”, The Shigaraki Ceramic Cultural Park, Koka City, Deux Poissons, Tokyo, Jepang 2007 • “Where Have All Monkeys Gone?”, World Environment Day 2007, Cordillera Green Networks Inc., Victor Oteyza Community Art Space, Baguio, Philippines • “International Contemporary Ceramic Exhibition”, Asian Ceramic Network and Selsius, National Art Gallery Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia ROUMY HANDAYANI PESONA Bandung - Indonesia, 20 Juli 1972 Pendidikan 1994 - 2000 : Bandung Institute of Technology / Bachelor of Art, Fine Art, Printmaking Pameran 2007 • Petisi Bandung 2# , Langgeng Galeri, Magelang 2008 • ( 5 + 4 ) Nine, A showcase of Emerging Artists From Bandung & Yogyakarta, Galeri Roemah Roepa, Jakarta 2009 • Bandung Art NOW, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta • Survey #2 , Edwin Galeri Jakarta . • One Galeri, Jakarta. • Middelbare Akte,Galeri Soemardja SIGIT SANTOSO Ngawi, 1964 Pendidikan 1993 ISI, Yogyakarta Pameran Tunggal 2003 : “PainThink”, Edwin’s Gallery, Jakarta 2005 : “Paradoks Batas”, Edwin’s Gallery, Jakarta Pameran Bersama 2009 • “Kado #2”, Nadi Gallery, Jakarta • “Biennale Jogja X, Sangkring Art Space, Yogyakarta • “Common Sense”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta • Art Taipei 2009, Taiwan • “Rai Gedheg”, Bentara Budaya, Yogyakarta – Jakarta • “jejak-jejak Drawing”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta • “Objective Border”, Srisasanti Art House, Jakarta • “Distance”, Tony Raka Gallery, Bali • “In Rainbow”, Esa Sampoerna Art House, Surabaya • Art Hongkong 2009, Hongkong • “Reborn”, H2 Art Gallery, Semarang
53
2008 • “Allegorical Bodies”, A Art Contemporary Space, Tai Pei, Taiwan • “ Dari Penjara Ke Pigura”, Salihara, Jakarta • “Self-Portrait”. Joja gallery, Yogyakarta • “Highlight”, Jogja National Museum, Yogyakarta • “Refleksi Ruang Dan Waktu”, V- Art Gallery, Yogyakarta • “Contemporary Heroes, Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta • “New Age – New Blending”, New Age Gallery, Beijing, China • “Strategies Towards the Real: S. Sudjojono and Contemporary Indonesia Art”, NUS Museum, Singapore • “Merti Bumi”, Kampung Seni LEREP, Ungaran • “A New Force In Southeast Asia”, Asia Art Center, Beijing, China • “Manifesto”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta • “Perang Kembang”, Bentara Budaya, Yogyakarta 2007 • “Jogja Biennial”, Sangkring Art Space, Yogyakarta • “Indonesian Contemporary”, 1918 Art Space, Shanghai, China • “The 2007 Sovereign Asian Art”, Hong Kong • “Boeng Ajo Boeng!”, Bentara Budaya, Yogyakarta • “Imagined Affandi”, Gedung Arsip Nasional, Jakarta • “Gendakan”, Bentara Budaya, Yogyakarta • “Domestic Art Objects & Stillife, Jogja Gallery, Yogyakarta Penghargaan 2007 : Finalis “The 2007 Sovereign Asian Art Prize”, Hong Kong 2006 : Finalis “The 2006 Sovereign Asian Art Prize”, Hong Kong 1994 : 10 lukisan terbaik “The Phillip Morris Group Indonesian Art Awards” Karya Terbaik Biennale IV Yogyakarta 1992 : Karya Terbaik Festival Mahasiswa Seni seIndonesia, Yogyakarta 1990 : Karya Terbaik Dies Natalis ISI V, Yogyakarta SUGIYO DWIARSO Magelang, Jawa Tengah, 19 Mei, 1968 Pendidikan 1997 : Graduated from Indonesia Institute of Art (ISI), Yogyakarta Pameran Tunggal 2005 Paradoks Batas, Edwin’s Gallery, Jakarta Pameran Bersama 2009 • “Reborn”, H2 Art Gallery, Semarang • “Biennale Jogja X – Jogja Jamming”, Taman Budaya Yogyakarta, Jogjakarta, Indonesia 2008
54
• “Manifesto”, National Gallery of Indonesia, Jakarta • Indonesia 69, Jogja Gallery, Jogja • “New Age-New Blending: New Generation Chinese & Indonesian Artists Exchange”, New Age Gallery, Beijing, China • “Allegorical Bodies”, A Art Space, Taipei, Taiwan 2007 • “ Imagined Affandi”, Semarang Gallery, Semarang • “Conscience Celebrate-September Art Events, Fine Art Exhibition, organized by Edwin’s Gallery, Gandaria City, Jakarta • Indonesian Contemporary, 1918 ArtSpace, Shanghai, China
55
In conjunction with the group exhibition of ECCE HOMO Semarang Gallery February 19-25, 2010 Curator Heru Hikayat Exhibition Organizer Semarang Gallery Published by Semarang Gallery, 2010 Semarang Gallery Jl Taman Srigunting no 5-6 Semarang 50174 Indonesia T. 62.24.3552099 F. 62.24.3552199 galeri_semarang@yahoo.com www.galerisemarang.com Catalogue Production Graphic Design: Chris Dharmawan Photography: Artist, Henrycus Napitsunargo, Ferintus Karbon, Rikki Zulkarnaen Color separation & print: Buana Printing Copyright Š 2010 Semarang Gallery All rights reserved. No part of this catalogue may be reproduced in any form or means without written permission from the publisher.