Egi 2013 single rev

Page 1

MENENTANG

BANJIR BADAN INFORMASI GEOSPASIAL


2

Badan Informasi Geospasial


AREA RAWAN BANJIR DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

3


Sambutan Kepala Badan Informasi Geospasial

KODRAT GEOGRAFI JAKARTA

J

akarta seolah telah menjadi sebuah ikon sebagai kota banjir. Jakarta selayaknya menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan oleh seluruh masyarakat Indonesia karena sebagai Ibu Kota Negara. Namun apa yang terjadi, kota ini telah menanggung beban persoalan yang sangat kompleks, jumlah penduduk yang sangat besar, Kemacetan yang sangat akut, polusi, sampah yang tidak pernah dapat diatasi dan yang paling parah adalah masalah banjir. Secara Ilmu hidrologi sesungguhnya fenomena banjir adalah sekedar “surface runoff” yang melimpah dan membentuk genangan atau dikenal sebagai “flooding area”. Jakarta ditinjau dari aspek morphologis memang merupakan dataran aluvial yang dilalui oleh 13 sungai, sehingga “by design” atau secara kodrat geografis dipastikan tidak mungkin terhindar dari banjir, karena Jakarta pada dasarnya meru­pakan kota yang menempati ekosistem lahan basah. Jadi persoalan utama bukan terle-

tak pada banjirnya, tetapi pemukiman, industri serta infrastruktur yang secara sadar telah meng”okupasi” wilayah “flooding”. Problema Banjir Jakarta sudah sejak lama disadari oleh berbagai pihak dan telah banyak juga para pemikir telah melontarkan gagasan bagaimana menyediakan lingkungan permukiman yang ideal dengan dengan menawarkan konsep seperti “river side” water front city” “lake side”, tetapi hasilnya justru membuat permukiman-permukiman baru dengan cara mengokupasi bantaran sungai, dataran banjir, dataran rawa belakang, teras sungai, serta menguruk situ. Pertanyaannya adalah, kenapa tidak menciptakan kawasan lingkungan perkotaan ideal yang berlandaskan keseimbangan kooperatif antara pemukiman dengan ruang terbuka hijau di kawasan ekosistem yang sebenarnya sangat rawan terhadap bencana banjir. Banjir di JAKARTA sesungguhnya sebuah berkah, karena air banjir masih bersedia untuk mudik ke kampung halamannya yaitu ekosistem lahan basah. Air banjir menjadi liar karena kita tidak lagi menyediakan ruang yang cukup untuk singgah. Ruang singgah yang telah tersimpan dalam database Si Banjir berupa

Peta daerah Rawamangun pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia yang banyak dipenuhi dengan xxxxx dan perubahannya pada masa kini yang berganti menjadi xxxx

Rawa, sawah 4

Badan Informasi Geospasial

Permukiman


Peta daerah Rawasari pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia yang banyak dipenuhi dengan xxxxx dan perubahannya pada masa kini yang berganti menjadi xxxx

kumpulan data toponimi beserta koordinatnya telah disusun secara sistematis menjadi bagian dari rangkaian siklus hidrologi. Oleh karena itu, ketika Si Banjir telah memprogram untuk pulang kampung ke Rawasari, Rawamangun, Rawabuaya, Rawabelong, Muara Angke maupun rawa yang telah diubah menjadi Sawah Besar, Kampung Sawah, dan Kampung Pulau menjadi tidak terkendali karena telah ditempai oleh pemukiman. Seharusnya kita bersyukur, layaknya ketika orang tua mengharapkan anaknya mudik ke kampung halamanya. Pasti orang tua yang baik akan sangat bergembira dan menyiapkan ruang cukup untuk pesta pora ketika anak-anak, menantu dan cucu datang singgah menengok kampung halamanya. Justru yang menjadi persolan adalah ketika Bajir tidak lagi mau mampir ke kampung halamannya maka suatu saat akan terjadi KEKERINGAN DI LAHAN BASAH. Inilah yang merupakan bencana sesungguhnya, karena akan dipastikan bahwa kita tidak mungkin lagi mampu menjamin ketersediaan air baku.

Memahami persoalan yang sangat rumit terkait dengan Banjir Jakarta, Badan Informasi Geospasial terpanggil untuk berkontribusi dalam mempelajari bajir melalui Ekspedisi Geografi Indonesia 2013 dalam perspektif keruangan. Ekspedisi ini mengambil tema Selamatkan Jakarta dari Banjir dan Menjamin Ketersediaan Air Baku�. Kegiatan EGI 2013 ini melibatkan pakar yang menguasai Aspek Abiotik, Biotik, dan Culture, yang telah bersinergi untuk memahami fenomena banjir secara komprehensif. Selamat membaca. Dr. Asep Karsidi, M.Sc Kepala Badan Informasi Geospasial

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

5


SEKILAS EGI 2013 Adalah serangkaian perjalanan pengamatan fenomena geografi : abiotik, biotik, budaya serta lingkungan pada suatu trase tertentu (misalnya dari pegunungan sampai daerah pantai) di suatu wilayah melalui metode integrated rapid survei. EGI bertujuan menyediakan informasi fenomena geografi suatu wilayah baik yang bersifat potensi maupun permasalah terkini. Hasil-hasil EGI disajikan dalam bentuk publikasi dalam bahasa ilmiah populer sehingga mudah dipahami masyarakat luas. EGI merupakan agenda rutin setiap tahun, yang kini telah memasuki tahun ke-9. Acara pelepasan EGI 2013 oleh Kepala BIG, Asep Karsidi telah dilaksanakan pada pada 6 April 2013 bertempat di Kawasan Hutan Kota Sangga Buana. Hadir dalam acara pelepasan tersebut adalah Bang “Idin� sapaan akrab H. Chaerudin, seorang praktisi lingkungan, juga tuan rumah dari Sangga Buana, Anggota Watimpres, Prof. Meutia Hatta, Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik (IGT) BIG, Priyadi Kardono dan sejumlah pejabat BIG lainnya, juga Kepala Dinas Tata Ruang PemProv DKI dan jajarannya, serta para tim yang akan melaksanakan EGI. Tim EGI merupakan gabungan dari para peneliti dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, militer dan swasta yaitu BIG, BNPB, LIPI, UI, UGM, ITB, Unisma, Waindo, dan Koppasus dan Ditopad TNI AD bersama dengan kelompok masyarakat Sangga Buana.

6

Badan Informasi Geospasial

DAFTAR ISI 4

Sambutan Kepala BIG

8

HIGHLIGHT

8

Penataan Pola Pikir Dalam Menghadapi Banjir Di Dki

18

Bang Idin Jawara Kali

25

Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur 2008-2013 : Perlu Penegakan Peraturan

32

KOMPONEN ABIOTIK

34

Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Perspektif Geospasial

39

Perkembangan Mega Urban di Dataran Banjir

42

Daerah Aliran Sungai: Salah Kelola

48

Situ/Embung Semakin Menyusut

52

Sungai Ciliwung: Sumberdaya Air yang Terlupakan

58

Pengelolaan Banjir Terintegrasi : Suatu Keharusan


64

KOMPONEN BIOTIK

66

Pertanian Kota

74

Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana

80

Pengelolaan Fitogeografi Untuk Penanganan Banjir Jakarta

90

Potret Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Di DAS Cisadane Hulu

98

KOMPONEN KULTURAL

100

Sejarah Peradaban Jakarta

108

Kearifan Lokal Dalam Pengendalian Banjir Di Jakarta

119

Banjir Sebagai Bencana Sosial

122

Manggarai : Sering disebut tapi Tak pernah Tersentuh

128

Potret Komunitas Kelompok Peduli Ciliwung (KPC)

132

Air Adalah Tanda Kehidupan

142

Kunci Pengelolaan Banjir dan Persediaan Air Baku

146

Genangan Banjir

150

ARTIKEL ILMIAH

152

Pendekatan Penanggulangan Bencana Banjir Rob Pesisir Jakarta

156

Amblesan Mengancam Jakarta

167

Alih Fungsi Lahan Semakin Tidak Terkendali

176

Kata Penutup

177

Daftar Pusaka

182

Tim EGI 2013

183

Peta Ekspedisi EGI 2013

18 34 55 106

117

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

7


Highlight Highlight

PENATAAN POLA PIKIR DALAM MENGHADAPI BANJIR DI DKI Prof. DR. Meutia F Hatta Swasono Anggota Dewan Pertimbangan Presiden

8

Badan Informasi Geospasial


Highlight

Dalam tiap kampanye pilkada DKI, termasuk yang terakhir pada setahun lalu, biasanya ramai dibicarakan dan dipertanyakan oleh masyarakat mengenai rencana-rencana yang telah disiapkan oleh para calon gubernur dan wakil gubernur untuk menanggulangi banjir yang tiap tahun melanda Jakarta. Reaksi para calon gubernur dan wakil gubernur pun bermacammacam. Sebagian bersikap merendah untuk tidak sesumbar dalam menjelaskan rencana mereka untuk menanggulangi banjir, namun ada juga pasangan pilkada yang sangat bersemangat, penuh keyakinan dan percaya diri menawarkan rencananya. Entah karena masukan apa dan dari mana, yang jelas ada pasangan calon yang merasa yakin bahwa banjir di Jakarta dapat diselesaikan sebelum masa jabatan mereka berakhir kelak. Rakyat yang mendengar bersorak, namun pasangan kontestan yang bersemangat ini pun tidak menang pilkada. Mengapa? Apakah karena terlalu meyakinkan, sehingga masyarakat tidak dipercaya?

M

ungkin saja unsur ketidak percayaan menjadi alasan utama masyarakat untuk tidak memilih pasangan kontestan gubernur DKI itu. Namun mungkin mereka juga belum pernah melihat adanya Gubernur DKI yang berhasil mengatasi banjir sepenuhnya, walaupun mereka mengakui, dengan terbukanya Kanal Banjir Timur pada tahun 2010, daerah sekitarnya telah tidak mengalami banjir seperti dulu lagi, ketika kanal ini belum dibuka. Ada 13 buah sungai yang melewati Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta. Berkenaan dengan itu, ada hal yang paling perlu dipertanyakan: apakah banjir di DKI yang datang di musim hujan akan dapat sepenuhnya diatasi? Apakah ada formula baru tentang manajemen banjir untuk menekan tingkat keparahan banjir di Jakarta? Untuk menjawab hal diatas, kiranya kondisi lingkungan alam Jakarta perlu dilihat dan dipahami lebih dahulu.

LINGKUNGAN ALAM JAKARTA Jakarta telah diteliti dari segi fisiografi, geomorfologi, geologi maupun dari kondisi sosialbudaya dan pola pembangunan yang diterapkan di kota ini dari waktu ke waktu, sebelum hingga sesudah Indonesia merdeka. Pakar dari Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional LIPI, Bandung, Suwijanto, menggambarkan

proses itu dalam tulisannya mengenai geologi daerah Dataran Jakarta dan sekitarnya (1977: 63-81). Ia mulai dengan mengacu pada penelitian Van Bemmelen (1949) yang menyatakan bahwa jalur fisiografi Jakarta diwakili oleh tiga jalur, yaitu dataran pantai Jakarta, jalur Bogor dan jalur Bandung. Khusus untuk alur dataran pantai Jakarta, dikatakannya bahwa jalur itu terbentang dari Serang hingga Cirebon yang mencapai lebar sekitar 50 km, ditempati oleh endapan-endapan alluvium sungai, pantai, dan aliran lahar dari gunung api di daerah tanah burit. Ditambahkannya bahwa potret LANDSAT pada ketiga jalur fisiografi dataran Jakarta-Bogor mempertegas kekhasan ciri penampakan muka bumi ini, terutama dilihat dari distribusi air permukaan, pelapukan dan bentuk endapan kipas alluvial gunung api Bogor, yang kontras sekali dengan daerah sekitarnya. Selanjutnya dijelaskannya bahwa berdasarkan bentuk, ekspresi topografi dan batuan penyusun, dataran Jakarta-Bogor digolongkan ke dalam satuan morfologi yang terdiri dari: (a) dataran pantai; (b) kipas gunung api Bogor; (c) daerah perbukitan bergelombang; dan (d) kelompok gunung api muda. Ada beberapa hal menarik dari tulisan Suwijanto mengenai kondisi Jakarta pada era sebelum

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

9


Highlight

1980an itu, yang dikemukakan seperti berikut: daerah pantai berciri permukaan datar, ketinggian dari 0-15 meter dari permukaan laut, dan di sekitar Jakarta, lebar laut mencakup 7 km dan daerah delta mencapai sekitar 17-40 km. Dalam sejarah pematang pantai di sekitar Jakarta, terdapat garis pantai tua dan garis pantai pada saat itu. Garis pantai tua tidak semua tampak karena timbunan yang dialami. Ada kelompok pematang pantai di sebelah barat dan di sebelah timur. Dalam penyebarannya, sebagian besar endapan pematang pantai terdapat di sebelah timur dataran delta. Suwijanto mengacu pada studi para pakar yang mengkaji daerah ini seperti Verstappen (1953) dan Tjia et al. (1968) yang menyatakan bahwa sebagian besar sedimen yang dibawa oleh sungai, terutama selama musim hujan, diangkut dan diendapkan di sebelah timur oleh pengaruh arus laut dan angin barat yang berlangsung pada saat itu.

gai Citarum, yaitu 100.000 ton lumpur yang diangkut pada satu periode banjir. Material kasar ini kemudian diendapkan di sepanjang daerah alirannya dalam bentuk tanggul sungai yang disebut natural levee. Sementara itu, material yang lebih halus dihanjutkan ke laut atau melimpah melalui levee yang membentuk rawa-rawa. Oleh penduduk, sebagian rawarawa pantai dijadikan empang ikan. Sedimen ini pada umumnya terperangkap oleh tumbuh-tumbuhan yang terdapat di daerah itu (rumput spartina dan pohon bakau). Jakarta tentu tidak terlepas dari pengaruh dataran berbentuk kipas yang lazim disebut Kipas Gunung api Bogor. Dataran ini mencakup Bogor, Tangerang dan Cikarang, yang dari potret LANDSAT jelas sekali bentuk kipasnya. Bentuk kipas yang lebih kecil sebagai satuan tersendiri meliputi Citeureup, daerah Bandara Halim Perdanakusuma dan Cikarang. Arah aliran sungai-sungai yang melalui daerah ini membelok tajam ke arah timur laut mengikuti penyebarannya. Ditambahkannya pula bahwa garis lurus yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta kira-kira merupakan poros dari kipas gunung api ini, yang memiliki kemiringan lereng kurang dari 1째 dengan ketinggian maksimal 450 meter diatas permukaan laut. Sungai-sungai yang mengalir pada daerah ini menyebar sepanjang arah penyebarannya dengan meninggalkan lembah yang lebar.

Apakah ada formula baru tentang manajemen banjir untuk menekan tingkat keparahan banjir di Jakarta?

Dijelaskannya pula bahwa pada dasarnya Jakarta diapit oleh dua sungai besar yang memiliki ciri khas, yaitu Sungai Cisadane di bagian barat dan Sungai Citarum di sebelah timur, yang keduanya aktif mengangkut sedimen dalam airannya, mengendapkannya dalam bentuk delta. Perkembangan kedua delta itu telah menyebabkan bentuk cekung dari Teluk Jakarta.

Dalam perjalanan waktu, sebelum tahun 1970an, aliran Sungai Cisadane cukup dinamis, dan menyebabkan sejumlah perubahan dalam aliran sungai. Ada bagian yang merupakan rawa-rawa, dan terjadi pula penambahan daratan di bagian utara. Sama halnya, dinamika Sungai Citarum memberikan corak dan peninggalan bekas alur-alur sungai tua di dataran yang dilewatinya. Pembentukan delta di Sungai Citarum berjalan lebih lambat dan kurang intensif mengingat luasnya dataran delta yang dihasilkan. Suwijanto mengacu pada studi Tjia et al. mengenai material klastik halus yang lebih banyak diangkut oleh Sun-

10

Badan Informasi Geospasial

Masih ada satu daerah perbukitan bergelombang dari jalur Bogor yang diutarakan Suwiyanto, yang memisahkan dataran pantai dengan jajaran gunung api. Sungai-sungai yang mengalir pada daerah ini pada umumnya bermula dari kompleks gunung api di bagian selatan, mengalir sepanjang daerah cekungan antar gunung api ke utara. Setiba di daerah jalur Bogor, arah alirannya sering diatur oleh struktur dengan membuat kelokan tajam. Bahan rombakan dari daerah yang dilaluinya di-


Highlight

angkut dalam alirannya dan dari sungai-sungai inilah dataran pantai Utara Jawa terbentuk. Selain itu ditambahkannya bahwa deretan gunung api muda di daerah tanah burit dataran Jakarta terdiri dari jajaran Gunung Salak, Pangrango dan Gunung Gede. Perkembangan dataran Jakarta masih dipengaruhi oleh hasil rombakan dari dataran tinggi Bandung seperti kelompok Gunung Malabar dan Burangrang yang diangkut oleh Sungai Citarum. Sungaisungai di sebelah utara daerah pembagi aliran ini (Sungai Citarum, Bekasi, Ciliwung, dan Cisadane) merupakan sungai yang berperanan penting dalam membawa bahan-bahan rombakan dari daerah tanah burit Jakarta sebagai bahan utama dalam pembentukan dataran rendah utara. Pengandapannya di muara menuju Teluk Jakarta dipengaruhi oleh dinamika ombak, pasang-surut, dan arus laut. Sementara itu perkembangan delta sungai dipengaruhi oleh pergantian musim yang menghasilkan bentuk daratan dan distribusi pematang pantai yang berkembang di bagian timur dari dataran delta. Uraian Suwijanto menunjukkan bahwa kondisi alam Jakarta harus selalu dilihat dalam kaitan dengan dataran pantai hingga ke kelompok gunung api muda. Pengaruhnya juga tampak pada terjadinya akresi dan abrasi yang dialami pantai Jakarta dari waktu ke waktu, seperti tersebut dibawah.

AKRESI DAN ABRASI DI PANTAI UTARA JAKARTA Berdasarkan penelitiannya pada dekade 1970an, D. Pardjaman, Kepala Jawatan Hidro-Oseanografi Markas Besar TNI Angkatan Laut dalam artikelnya mengenai akresi dan abasi menyatakan bahwa faktor lingkungan fisik dan sosial sangat berperan atas terjadinya kedua kondisi itu (Pardjaman 1977:83-106). Mengacu pada penelitian Verstappen pada tahun 1950, dikatakan bahwa pantai Bina Ria (kini Taman Impian Jaya Ancol) dan Pelabuhan Sunda Kelapa mengalami abrasi kurang dari satu meter setiap tahunnya. Di Muara Angke

dan Tugu Putih di sebelah timur Bina Ria, rata-rata abrasi adalah 1,69 meter per tahun. Di Tanjung Pasir, dalam survei pada tahun 1974, abrasi dalam periode dua tahun menunjukkan intensitas abrasi yang makin besar, yaitu antara 26–41 meter. Daerah dekat Kali Kresek mengalami abrasi rata-rata menjadi 0,15 meter per tahun, sedangkan daerah Cilincing ratarata mencapai 0,76 meter per tahun. Survei hidro-oseanografi yang dilakukan antara tahun 1951-1975 di bagian timur Teluk Jakarta menunjukkan bahwa abrasi di pantai Cilincing sudah meningkat, semula 0.76 meter per tahun menjadi 24 meter per tahun. Daratan makin berkurang sampai sekitar 1,39 km2. Selain abrasi, terjadi akresi (penambahan pantai) di bagian timur pantai Tanjung Pasir. Di Kaloran Tua, pantai bertambah sebesar 1 meter per tahun, di Muara Kamal sebesar 3.53 meter dan di Muara Aluran 12,30 meter per tahun. Di Muara Angke akresi mencapai 7,15 meter per tahun, di Muara Karang 9,23 meter dan di Kali Baru menjadi 4,61 meter per tahun. Temuan Pardjaman menjelaskan bahwa antara tahun 1950an-1970an, abrasi pantai di Cilincing yang semula kurang dari 1 meter per tahun telah melonjak menjadi 85 meter per tahun. Sebabnya jelas, yaitu karena pembangunan Jakarta sebagai ibukota negara membutuhkan banyak pasir laut yang diambil dari kawasan CIlincing dan sekitarnya serta berkurangnya vegetasi penutup dataran pantai yang berguna untuk menahan abrasi. Dalam penelitian antropologi yang saya lakukan di tahun 1980-1982 di Kampung Marunda Pulo, Kecamatan Cilincing, penduduk yang mengalami penggusuran akibat abrasi dan pembangunan kawasan di pantai utara Jakarta mengalami pemiskinan, tidak sanggup membeli bahan bakar dan terpaksa mengambil kayu bakau sebagai kayu bakar keperluan masak di rumah tangga, padahal kayu bakau ditanam dengan tujuan mencegah abrasi. Pardjaman juga menjelaskan tentang terjadi­ nya akresi sebagai akibat dari pengendapan lumpur-lumpur sungai, misalnya akumulasi lumpur di Sungai Bekasi dan Sungai Cikarang,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

11


Highlight

sehingga dalam kurun waktu 25 tahun akresi meningkat, semula mencapai 15 meter per tahun, menjadi 50 meter per tahun. Penambahan akumulasi lumpur di muara-muara kedua sungai itu akibat pengundulan hutan-hutan di daerah hulu sungai menjadi penyebab utamanya.

PEMBANGUNAN KOTA METROPOLITAN JAKARTA DARI WAKTU KE WAKTU Artikel Suwijanto dan Pardjaman ditulis pada masa ketika Pemerintahan Orde Baru mulai tumbuh. Dapat dibayangkan, seberapa besarnya perubahan yang terjadi dan dampaknya pada lingkungan fisik Jakarta, pada periodeperiode pemerintahan Orde Baru selanjutnya, maupun pada periode-periode pemerintahan berikutnya hingga saat ini. Menjelang periode akhir Pemerintahan Orde Lama, Gubernur Ali Sadikin telah merintis pembangunan Jakarta menjadi kota yang lebih dinamis dan lebih “bercahaya” dalam penampilannya. Merespon Presiden Sukarno yang telah membangun di Jakarta seperti

12

Badan Informasi Geospasial

Monas, Gelora Bung Karno, Kompleks Stadion Senayan, Ali Sadikin mulai membuat Jakarta berpenampilan “modern”, yang terutama diukur dari penampilan fisik Jakarta sebagai ibukota negara. Memasuki era Orde Baru, masih pada periode Gubernur Ali Sadikin dan gubernur-gubernur DKI sesudahnya, Jakarta makin dihias dengan adanya berbagai kawasan. Wajah “modern” masih tetap menjadi pilihan, yang diisi dengan berbagai hal yang mewakili konsep modern secara fisik. Secara bertahap dalam perjalanan waktu muncullah berbagai kawasan, seperti kawasan gedung-gedung bertingkat untuk perkantoran dan perhotelan, kawasan hiburan yang makin canggih dan menarik, jalan-jalan tol, yang memperkaya bangunan-bangunan mercusuar di masa Orde Lama. Proses itu tidak berhenti hingga kini, bahkan makin bertambah dengan tumbuhnya lebih banyak kawasan, diantaranya kawasan pemukiman, kawasan perdagangan, kawasan industri, kawasan pelabuhan, kawasan olahraga (golf, dll), kawasan hiburan, kawasan cagar budaya dan kawasan pemerintahan.


Highlight

Sebagian dari kawasan pemukiman sendiri telah berkembang menjadi bangunan-bangunan apartemen menjulang tinggi yang dibangun oleh berbagai pengembang/pengusaha properti. Penambahan kawasan tentu juga menuntut penyediaan lahan untuk kegiatan masing-masing kawasan itu. Khusus untuk gedung-gedung bertingkat bagi pemukiman dan perniagaan misalnya, jika pada era Orde Lama gedunggedung bertingkat itu hanya terkonsentrasi di kawasan Jalan M. Husni Tahunamrin dan Jenderal Sudirman, kini gedung-gedung tinggi telah tumbuh menjamur ke bagian utara Jakarta, antara lain di Kemayoran, Sunter, Glodok, Ancol, Gunung Sahari, Pluit, Cilincing, Pantai Indah Kapuk, di Jakarta Barat seperti di Grogol, Daan Mogot, berbagai daerah di Jakarta Selatan, dari Jalan Gatot Subroto, Senayan, ke arah selatan, diantaranya di Lebak Bulus, Karang Tengah, di sebagian daerah Jakarta Timur. Demikian pula di Ciputat di Tangerang, Provinsi Banten. Khusus di Jakarta Utara dan Jakarta Barat yang berbatasan dengan Teluk Jakarta, tidak hanya abrasi dari arah laut yang mengancam penduduk di kedua wilayah ini, melainkan juga penggalian pasir pantai dan material lain untuk membangun ibukota sejak era Gubernur Ali Sadikin hingga beberapa dekade sesudahnya. Sering pula diberitakan tentang penurunan tanah dan merembesnya air laut ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Kebutuhan air bagi perkantoran, hunian (apartemen) dan sumur-sumur pompa rumah-rumah penduduk yang tidak atau belum terjangkau oleh PAM, tak dapat disangkal, telah menyebabkan terjadinya penyedotan air tanah. Beberapa waktu yang lalu media ramai membicarakan abrasi di Jakarta Utara, khususnya yang berbentuk amblesnya Jalan R.E. Martadinata, dan beberapa kali terjadinya rob. Ada pula penelitian dari ITB dan LIPI yang menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan tanah sekitar 12-26 cm per tahun di Jakara Utara. Salah satu kemungkinan amblesnya jalan, menurut pihak Kementerian PU, adalah akibat adanya rongga di antara lapisan tanah dan konstruksi jalan beton. Demikian juga adan-

ya kendaraan dengan tonase berat yang tidak kunjung henti melewati jalan itu (Kompas, 17 September 2010). Peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan peningkatan kegiatan industri sejak tiga-empat tahun terakhir telah menyebabkan jalan tol yang melingkar Jakarta, khususnya di Jalan Gatot Subroto dan di jalan tol Cawang menuju Tanjung Priok sampai ke Bandara SukarnoHatta mengalami kepadatan luar biasa oleh kendaraan bertonase berat, serta kemacetan di jalan tol maupun jalan raya dibawahnya. Pada jam-jam sibuk tertentu, kendaraan bertonase berat bersama muatannya yang juga berat untuk beberapa kali harus berhenti, tidak dapat bergerak akibat kemacetan lalu lintas yang luar-biasa di mulut jalan tol. Beban berat yang harus didukung oleh jalan tol dari kendaraan berat yang berhenti tentu berbeda dengan beban berat kendaraan yang berjalan. Apakah kondisi ini tidak lebih berdampak pada penurunan tanah di Jakarta, khususnya di wilayah Jakarta Utara? Bagaimana pula dampaknya pada kemacetan di jalan tol pada saat banjir besar sedang melanda Jakarta?

POLA PIKIR DALAM PEMBANGUNAN JAKARTA DAN IMPLEMENTASINYA KINI Membandingkan Jakarta di tahun 1930an hingga kondisinya kini, tampak bahwa Jakarta telah berkembang semakin besar, makin padat, dan kehidupan masyarakatnya pun semakin kompleks. Dari segi kependudukan, dapat dilihat adanya peningkatan yang pesat dari penduduk. Jika pada tahun 1930 tercatat sebesar 533.000 jiwa, pada tahun 1960an telah naik menjadi 4 juta jiwa, pada tahun 2008 menjadi sekitar 9 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2010, berdasarkan Sensus Penduduk, Badan Pusat Statistik tercatat jumlah penduduk mencapai 9.604.329 jiwa. Saat ini laju pertumbuhan penduduk adalah 1.06% (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta). Dari segi sosial, Jakarta telah menjadi sebuah ibukota negara yang sangat padat penduduknya. Jakarta juga menjadi ibukota dengan wa-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

13


Highlight

jah fisik yang “modern” atau “metropolitan” yang sejak lama diartikan sebagai “bertaburan gedung-gedung tinggi”, kawasan-kawasan dengan berbagai fungsi, dan aneka fasilitas canggih. Berbagai wacana telah dilontarkan: menjadi kota seperti apa yang diinginkan dari Jakarta? Kota perdagangan? Kota pemerintahan? Kota budaya? Kota industri? Dalam kenyataan, semuanya ibarat disatukan dalam “sebuah kotak”, yang membuat Jakarta menjadi sempit dan sesak oleh kepentingan-kepentingan berbagai pihak. Tumpang-tindih sejumlah fungsi tak jarang merusak aset-aset publik. Kawasan pemukiman, baik yang sudah ada sejak lama maupun yang baru telah tercampur dengan kepentingan lain, misalnya daerah perumahan sekaligus menjadi daerah perdagangan. Gedunggedung perkantoran dan apartemen dibangun dalam satu wilayah dengan kawasan perumahan yang sudah ada sejak tahun 1950an atau 1960an, atau pun di areal perkantoran pemerintahan. Pola pikir membangun yang tumpang-tindih ini tampaknya makin marak dan tercermin dalam pembangunan kota Jakarta masa kini. Sejarah perkembangan kota telah menjadi tidak tertata rapi dan sistematis, landasan budaya dari pembangunan kota sejak dahulu tidak mudah terlihat karena di beberapa bagiamana telah memudar atau hilang. Banyak peninggalan dan corak budaya kota dari masa lalu tidak dilihat sebagai aset yang berharga yang perlu dipertahankan, diantaranya bagi kepentingan sejarah dan industri pariwisata. Berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Tahunailand yang menghormati kebudayaan kota dan sejarah masa lalunya dengan memelihara kawasan pelabuhannya dan mengembangkan wisata air yang mengangkat pamor negara mereka, bagian dari kota Jakarta yang memiliki sejarah sebagai daerah yang juga dikelilingi air sejak ratusan tahun yang lalu, telah menjadi terabaikan, tak menampakkan lagi sisa-sisa kejayaan perdagangan lautnya dari masa lalu. Berkenaan dengan terjadinya banjir besar di Jakarta pada awal tahun 2013 yang lalu, tiga bulan setelah terjadinya banjir, hingga kini penanganan banjir masih belum selesai sepe-

14

Badan Informasi Geospasial

Sampah yang menyangkut pada pepohonan dan ranting-ranting bambu di sungai Pesanggrahan.

nuhnya. Penanganan banjir dan dampak banjir (termasuk tentang penanganan sampah banjir) belum menunjukkan koordinasi yang efektif, utuh (solid), bahkan cenderung lebih bersifat sektoral. Karena ketiadaan pemantauan banjir yang terintegrasi dan dipahami secara menyeluruh, maka pada beberapa tahun terakhir, banjir tidak saja melanda perkampungan kumuh yang sudah setiap tahunnya mengalami banjir, namun juga telah merambah ke kawasan elit tanpa antisipasi sejak awal. Demikian pula, pada awal tahun 2013 ini terjadi pula banjir di salah satu kawasan perumahan masyarakat kelas menengah dan bawah yang sudah dibangun sejak tahun 1960an, yang sebelum tahun 2013 tidak pernah terkena banjir. Sumber malapetaka bagi penduduk daerah itu adalah pembangunan dua gedung bertingkat baru di atas daerah resapan air, yang juga tidak memikirkan perlunya memban-


Highlight

pembangunan di berbagai daerah di Jakarta. Sampah merupakan permasalahan yang paling berat dalam terjadinya banjir di Jakarta, tidak saja ketika banjir melanda Jakarta di saat hujan sedang turun, melainkan juga ketika cuaca Jakarta sedang terang namun daerah Bogor dan sekitarnya sedang dilanda hujan lebat. Sekali lagi, perencana dan pengembang seakan-akan mengabaikan kajian ahli-ahli geologi mengenai hubungan antara Jakarta dan Bogor, khususnya jalur fisiografi dataran Jakarta-Bogor. Menelusuri bagian hulu sungai-sungai, diantaranya Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung, antara lain di Kecamatan Citeureup di Kabupaten Bogor, sejumlah perumahan elit dibangun di sempadan sungai. Dugaan yang lebih kuat adalah terjadinya pengabaian atas hasil analisis amdal, bukannya mematuhinya.

“Pada kondisi tidak banjir, sampah yang masuk ke Jakarta dan menumpuk di pintu air dan di sungai-sungai yang melewati Jakarta mencakup kira-kira 150 ton� gun tempat pembuangan air secara seksama. Selokan berukuran sedang yang berada dekat pemukiman setempat, selama pembangunan dua gedung bertingkat dari delapan yang telah direncanakan itu, tidak ikut dikeruk sehingga pada musim hujan terakhir, terjadi banjir setinggi lutut pada rumah-rumah di dekatnya. Ini hanya merupakan satu contoh dari puluhan atau ratusan kondisi yang dialami penduduk Jakarta. Amanah Konstitusi UUD 1945) yang menyiratkan agar pembangunan bersifat manusiawi dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, tidak tercermin dalam banyak pola

Sampah rumah tangga pun sering dikelola secara tidak tuntas. Kesan yang diperoleh, tidak cukup tersedia relawan atau bahkan pemulung, untuk menangani sampah Jakarta. Di kawasan elit dan menengah, baik di daerah Bogor maupun Jakarta, sampah nonorganik yang telah dibungkus plastik diambil untuk dibuang oleh para tukang sampah dalam gerobak sampah mereka. Pada daerah-daerah tertentu yang tidak dilalui truk sampah, sejumlah tukang sampah yang juga berperan sebagai pemulung, tidak mampu menjangkau tempat pembuangan sampah terakhir dengan gerobak mereka. Akibatnya sampah-sampah rumah tangga yang telah terbungkus kantong plastik mereka buang ke sungai terdekat, sedangkan yang mempunyai nilai ekonomis mereka jual. Demikian pula di sejumlah tempat rekreasi dan di desa-desa, sangat banyak sampah plastik dibuang di sungai atau selokan besar, sehingga menimbulkan pemandangan yang tidak sedap. Pada banjir di Jakarta di awal tahun 2013 ini, bahkan kasur yang terkena banjir dan “bangkai� lemari es pun, terlihat dibuang ke sungai di tengah kota. Dengan pola pembuangan sampah plastik ke sungai seperti itu di kawasan Bogor dan sekitarnya yang sangat luas, tidaklah heran jika pada awal tahun ini, dilaporkan oleh Pemda DKI

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

15


Highlight

bahwa sampah yang terbawa oleh banjir dari hulu (Bogor dan sekitarnya) melalui sungaisungai yang melintasi Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta mencakup sekitar 1.076 ton setiap hari, karena antara tanggal 19-23 Januari 2013, sampah banjir di Jakarta mencapai 8.609 ton. Pada kondisi tidak banjir, sampah yang masuk ke Jakarta dan menumpuk di pintu air dan di sungai-sungai yang melewati Ja-

“Pembangunan harus mengenal batas, dan memenuhi kaidahkaidah pembangunan, mempertimbangkan daya dukung lingkungan terhadap berbagai macam bangunan yang berbeda-beda fungsinya, dan banyak hal lainnya lagi. “ karta mencakup kira-kira 150 ton, diantaranya yang paling besar jumlahnya adalah di Kali Manggarai, yaitu sebanyak 50 ton dan di Kali Pesanggrahan sebanyak 30 ton. Dalam survei tim EGI di kawasan Karang Tengah, sempadan Sungai Pesangrahan sangat kotor oleh sampah yang menyangkut di pepohonan dan ranting-ranting bambu sekitar 3-5 meter di atas permukaan sungai. Sampah itu pun sulit dijangkau, sehingga masih tersangkut di sana walaupun banjir telah terjadi lewat dari tiga bulan. Demikian pula di daerah sekitar Condet. Bahkan ada pula penduduk Condet yang belum mendapatkan santunan perbaikan rumahnya ketika dilanda banjir pada tahun 2006. Kini dalam usia lanjut ia hanya dapat tinggal di gubuk kecil yang kumuh buatan sendiri yang seadanya, tepat di tepi sungai yang telah mengalami abrasi pula akibat tertabrak arus banjir yang keras akibat kelokan tajam sungai.

PERLUNYA PENATAAN POLA PIKIR Masalah banjir memang harus diatasi, namun manajemen banjir tidak akan berhasil dengan baik dan hanya akan bersifat tambal-sulam jika manajemen itu tidak diawali dengan penataan kembali pola pikir, yang seharusnya melihat kondisi alam Jakarta sebagai suatu kawasan resapan air dan selalu menerima kiri-

16

Badan Informasi Geospasial

man banjir dari hulu, yang telah berlangsung berabad-abad. Kajian mengenai kondisi alam Jakarta telah dihasilkan oleh ilmuwan di bidang oseanografi, geologi, geomorfologi, dll. Sesuai dengan kajian itu, Jakarta juga perlu dilihat dalam satu perangkat dengan kawasan di hulu, ialah Bogor, sebagai bagian dari dataran kipas gunung api Bogor. Oleh karena itu, dari segi budaya perlu disosialisasikan penataan pola pikir untuk memahami sifat alamiah Jakarta sebagai wilayah resapan air, sehingga kota ini tidak dapat dibangun dengan mengabaikan sifat alamiah itu. Karena itu pula, Jakarta tidak dapat dibangun berdesakan memenuhi segala kepentingan. Pembangunan harus mengenal batas, dan memenuhi kaidah-kaidah pembangunan, mempertimbangkan daya dukung lingkungan terhadap berbagai macam bangunan yang berbeda-beda fungsinya, dan banyak hal lainnya lagi. Sebagai kota yang dalam sejarahnya adalah daerah resapan air dan selalu menerima banjir, Jakarta seharusnya diperlakukan berbeda dengan wilayah yang bukan merupakan daerah banjir. Pola pembangunan Jakarta seharusnya dilandasi oleh pola pikir membangun selaras dengan kondisi alam, khususnya kondisi geografi yang ada, dan bukan dalam pola menguasai alam yang bertentangan dengan kodrat geografinya. Sayangnya belum semua pihak telah memahaminya dengan baik. Dalam pola membangun yang selaras dengan alam tersebut, lahan peruntukan harus dijaga keutuhannya dan tidak dirubah secara drastis dan semena-mena tanpa perhitungan dan amdal. Diperlukan kepatuhan dalam penetapan berbagai kawasan dan lahan pemukiman. Namun tumpang-tindih pemukiman, kepadatan penduduk yang di luar ambang batas, pola perilaku dan gaya hidup tidak disiplin dan bersih, bahkan yang tidak bertanggungjawab terhadap kepentingan umum maupun kepentingan diri sendiri, masih mendominasi kehidupan sosial di Jakarta. Sering pula terjadi semacam pembiaran dari masyarakat maupun dari pengelola daerah (kepala kelurahan dan kecamatan) terhadap pola perilaku yang buruk, seperti merusak aset-aset kota, mengotori aliran


Highlight

sungai dan selokan besar di kota dengan limbah rumah tangga, atau pun melakukan penutupan sungai, drainage ke sungai atau pun memutus jaringan sungai ke muara.

Keberhasilan untuk mensosialisasikan hidup yang bersih, tertib, disiplin dan perilaku baik lainnya juga akan merupakan bagian dari upaya meningkatkan harkat dan martabat bangsa, yang tidak kalah penting dibandingkan dengan pembangunan fisik Jakarta.

Berkenaan dengan banjir di awal tahun 2013 ini, korban jiwa dan material telah menunjukkan peningkatan dari tahun 2012 yang lalu, areal banjir juga makin luas pada tahun 2013 ini. Hal ini harus diatasi pada saat bencana banjir tiba tahun depan. Caranya bukan dengan melakukan perbaikan atas kerusakan fisik akibat banjir saja, namun juga pada sikap dan cara hidup masyarakat, untuk memberikan kesadaran pada mereka bahwa perilaku tidak disiplin, cara hidup tidak bersih dan tidak tertib akan memperparah kondisi banjir.

Sesuai pertanyaan di awal tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa hal seperti yang tersebut dibawah: Pertama, banjir di DKI Jakarta dan dampaknya akan dapat diatasi dengan lebih dahulu mensosialisasikan penataan pola pikir bahwa menjalani kehidupan di Jakarta sebagai daerah resapan air adalah menjalani kehidupan yang selaras dengan sifat alamnya. Pembangunan kota perlu disesuaikan dengan pola pikir ini, maka sudah seharusnya penduduk Jakarta memperbaiki sikap mentalnya, agar walaupun Jakarta adalah daerah resapan air, kota ini tidak perlu mengalami banjir besar yang mengganggu aktivitas kehidupan sosial masyarakat.

Banjir tentu harus dikuasai, namun melakukan penanggulangan fisik secara besar-besaran akan makan biaya besar dan belum tentu bijaksana, mengingat masih banyaknya kebutuhan pembangunan fisik dan nonfisik ibukota yang masih harus dipenuhi dan dibiayai. Karena itu, seperti tersebut diatas, pola keselarasan dalam pembangunan wilayah Jakarta merupakan pilihan yang perlu dipertimbangkan dan dilandasi oleh kepedulian dan kecintaan kepada rakyat Jakarta. Dalam kaitan dengan perlunya penataan sikap mental dan perilaku masyarakat dalam menjalani kehidupan di kota Jakarta tersebut diatas, yang menekankan pada sikap disiplin, kebersihan dan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari, perlu pula diperhatikan bahwa sebagian dari penduduk Jakarta adalah pendatang musiman. Mereka memiliki nilai-nilai yang berbeda mengenai cara dan gaya hidup di Jakarta, dibandingkan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh penduduk asli Jakarta, atau penduduk kelahiran Jakarta yang memiliki keterikatan batin dengan Jakarta. Karena itu diperlukan sosialisasi dari sejumlah program pendidikan lingkungan bagi berbagai segmen masyarakat sesuai kondisi sosial-budaya masing-masing kelompok masyarakat tersebut dan kemampuan nalar mereka yang satu sama lain sering berbeda. Perlu pula pendidikan anak sejak usia dini tentang cara-cara memperlakukan sampah yang menjadi permasalahan utama dalam menghadapi banjir.

Kedua, berkaitan dengan kondisi Jakarta sebagai kota resapan air tersebut, maka perencanaan dari berbagai program pembangunan Jakarta perlu diawali dengan pertimbangan yang bijak dan manusiawi serta penyediaan sarana-sarana pendukung upaya mengatasi banjir. Kiranya kita harus memulainya dari sekarang, sebelum kita tertinggal oleh bangsa lain di negara-negara tetangga kita di ASEAN atau pun di Asia dan di dunia.

Tulisan yang diacu adalah dari R.W. Bemmelen. (1949). Tahune Geology of Indonesia vol. 1A. Tahun Hague: Martinus Nijhoff, hlm. 25-28¸7-111.

1

Tulisan yang diacu adalah dari H. Tahun. Verstappen. (1953). Djakarta Bay, a Geomrphological Sudy on Shoreline Development.Proefschrift Rijksuniversiteit te Utracht. ‘s-Gravenhage: Trio: 101 pp.

2

Tulisan yang diacu adalah dari H.D. Tjia, Sukendar Asikin dan R. Soeriaatmadja. (1968). “Coastal Accretion in Western Indonesia�, Bulletin of National Insitute of Geology Mining 1 (1): 15-45.

3

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

17


Highlight Highlight

BANJIR DI JAKARTA, HAL YANG BIASA sebuah kodrat geografi Nurwadjedi (Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik, BIG) Fandy Tri Admajaya (Staf Bidang Pemetaan dan Integrasi Tematik Darat, BIG)

Jakarta sekarang ini tidak lagi hanya identik dengan Tugu Monas (Monumen Nasional) dan Kemacetan. Jakarta juga identik dengan banjir. Kejadian banjir di Jakarta bukan merupakan sesuatu yang baru, sejak zaman kerajaan Tarumanegara, pemerintahan kolonial Belanda sampai dengan dengan saat ini, banjir tetap melanda. Secara umum periodesasi banjir besar yang melanda Jakarta adalah 5 tahunan, tiga periodesasi banjir besar yang terjadi di Jakarta adalah tahun 2002, 2007 dan baru-baru ini adalah ditahun 2013. Semakin pendeknya periodesasi banjir besar Jakarta merupakan tanda bahwa penanggulangan dan pengelolaan banjir menjadi prioritas. Belum lagi dengan adanya banjir tahunan dan bahkan setiap hujan deras sebagian tempat di Jakarta terlanda banjir, tak heran bila warga sebagian Jakarta yang terdampak banjir menganggap peristiwa banjir merupakan hal yang wajar.

18

Badan Informasi Geospasial


Highlight

U

saha untuk mengatasi ataupun mencegah banjir sejak lama digulirkan, namun usaha tersebut belum mampu mengatasi/mengurangi banjir secara menyeluruh. Usaha rekayasa penanggulangan banjir yang terus digenjot dan dimaksimalkan dengan usaha rekayasa teknologi kekinian, akan tetapi usaha ini dirasa tidak memperhatikan watak dasar/karakteristik dari suatu wilayah sehingga penanggulangan masalah banjir tidak optimal dan cenderung parsial. Oleh karena itu, untuk dapat mengurai permasalahan banjir secara mendasar hendaknya diperlukan pemahaman terhadap karakteristik/kodrat geografis suatu wilayah. Pengenalan terhadap karakter alami suatu wilayah dapat ditinjau dari pengenalan bentanglahan (landscape) dengan unit analisis berupa bentuklahan (landform).

Grogol; 5). Krukut; 6). Kali Baru Barat; 7).Ciliwung; 8). Kali Baru Timur; 9). Kali Cipinang; 10). Kali Sunter; 11). Kali Buaran; 12). Jatikramat; dan 13). Kali Cakung. Belum termasuk sungai-sungai kecil. Hal ini semakin menegaskan bahwa Jakarta merupakan daerah yang erat kaitannya dengan aktivitas sungai. Perlu diingat bahwa, ketika berbicara mengenai aktivitas sungai, patut kita mengingat 3 aktivitas utama sungai, yaitu erosi (pengikisan), transportasi (pengangkutan), dan sedimentasi (pengendapan). Ketiga aktivitas ini erat kaitannya dengan pembentukan bentanglahan (landscape) di Jakarta dan sekitarnya. Aktivitas sungai ini membawa material vulkanik yang melimpah dari atas. Keberadaan material vulkanik yang dibawa aktivitas sungai/fluvial material vulkanik gunung api yang kaya akan unsur hara yang penting bagi kesuburan tanah. Maka dalam perkembangannya Jakarta termasuk daerah yang subur sehingga menarik bagi pengembangan areal pertanian, khususnya persawahan. Selain dipengaruhi oleh aktivitas fluvial/sungai, bentanglahan Jakarta juga dipengaruhi oleh aktivitas proses marin (pantai), dimana di bagian utara Jakarta, terdapat penutup lahan/penggunaan lahan berupa bakau, nipah, tambak, dan serta bentuklahan lainnya seperti beting gisiik pantai (coastal beach ridges) dan rawa belakang (swale). Identifikasi bentanglahan di Jakarta dapat di ekstrak dari peta sistem lahan.

Karakteristik wilayah Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ini jika ditinjau dari aspek geomorfologi yang ditekankan pada genesa (asal pembentukanya) erat kaitannya dengan proses kegiatan vulkanik, sungai/fluvial, dan marin. Istilah lainnya adalah pembentuk bentanglahan Jakarta adalah material vulkanik dari Gunung Salak dan Gede Pangrango, yang material vulkanik tersebut dibawa oleh sungai. Selain proses sungai yang dominan dalam pembentukan bentanglahan Jakarta, kegiatan marin juga mempengaruhi bentanglahan Jakarta, yang secara umum membentuk Jakarta bagian utara. Oleh karenanya aktivitas rezim sungai yang dominan dan marin dalam pembentukan bentanglahan Jakrta sudah melekat dan akan terus berlangsung sampai dengan saat ini dan kedepannya.

PETA SISTEM LAHAN

Bentuk lahan asal proses fluvial/sungai adalah bentuk lahan yang terbentuk dari proses sedimentasi karena aliran air sungai. Beberapa bentukan dari aktivitas sungai diantaranya adalah dataran aluvial (alluvial plain), dataran banjir (floodplain), gosong sungai (point bar), dan rawa belakang (backswamps). Keberadaan Kota Jakarta yang tidak dapat dilepaskan dari aktiviatas rezim sungai, dan sudah diketahui oleh khalayak. Kota Jakarta dibelah oleh 13 sungai besar yaitu Ke-13 sungai atau kali yang melewati Jakarta adalah 1). Kali Mookevart; 2). Kali Angke; 3). Kali Pesanggrahan; 4). Kali

Penyusunan peta sistem lahan merupakan salah satu teknik pemetan karakteristik tentang fisik lahan pada skala 1:250.000 dengan unit pemetaan disebut sistem lahan. Sistem lahan dipergunakan sebagai satuan pemetaan pada skala 1:250.000 atau yang lebih kecil. Menurut konsep dari Christian dan Stewart (1968), Land System atau sistem lahan didefinisikan sebagai daerah yang memiliki pola pengulangan dalam topografi, tanah, vegetasi, dan iklim yang relatif seragam. Peta sistem lahan ini menggambarkan karakteristik fisik lahan pada suatu bentanglahan (landscape). Peta sis-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

19


Highlight

tem lahan sangat diperlukan dalam usaha memahami karakteristk alami atau kodrat geografi suatu wilayah. Peta sistem lahan merupakan peta sumberdaya alam yang mencakup berbagai data dan informasi. Informasi yang terkandung dalam peta ini dapat diturunkan menjadi peta tematik lainnya, oleh karena itu peta sistem lahan merupakan peta tematik dasar. Peta sistem lahan ini memuat satuan lahan mengenai kondisi fisik lahan berupa karakteristik lahan, yang terdiri dari sifat fisik dan kimia tanah, geologi, iklim, penggunaan lahan, dan fisiografi. Informasi dasar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dapat digunakan untuk mendukung perencanaan tata ruang, kebencanaan, pengelolaan lingkungan hidup, evaluasi sumberdaya lahan untuk berbagai peruntukan, diantaranya pertanian, perkebunan, kehutanan, permukiman, industri, lokasi pariwisata, dan lain sebagainya. Peta ini dapat digunakan berbagai tujuan pemetaan maupun pihak yang berkepentingan (multi purpose/multi user). Data sistem lahan menunjukkan bahwa terdapat 4 sistem lahan di Jakarta : yaitu 1). Sistem Lahan Jakarta (JKT); 2). Sistem Lahan Kajapah (KJP); 3). Sistem Lahan Makassar (MKS); dan 4). Sistem Lahan Ujung Petang (UPG).

rain/medan pada sistem lahan ini adalah datar hingga berombak, amplitudo relief 2-10 meter, dengan variasi rendah. Sistem lahan Jakarta dengan tipe lahan dataran aluvial vulkanik tersusun oleh bentukan daerah dataran berombak 65%, dataran banjir 30% dan lembah 5 %. Sistem lahan Jakarta berada di sebelah selatan Jakarta. Sistem lahan ini sebagaian besar terdapat di Kota Jakarta Selatan dan Kota Jakarta Timur, sebagian kecil di sebelah tenggara Kota Jakarta Pusat dan sebagian kecil di sebelah selatan Kota Jakarta Barat. Sistem lahan ini sering disebut sebagai bentuklahan fluviovulkanik, bentuklahan yang berasal dari proses fluvial dan vulkanik, material vulkanik yang dibawa oleh aktivitas sungai. Sistem lahan kedua adalah sistem lahan Kajapah (KJP). Sistem lahan ini merupakan sistem lahan dengan tipe lahan daerah pasang surut berlumpur (inter-tidal mudflats). Daerah pasang surut dengan material berupa lumpur ini mempunyai kakteristik berupa : berbatuan sedimen, dengan tipe batuan aluvium, material marin baru. Vegetasi/penggunaan lahan berupa: hutan pasang surut, tanaman halophytic (tanaman yang tumbuh di air dengan salinitas tinggi), dan tidak terdeferinsiasi. Memiliki tanah (asosiasi) hidraquents dan sulfaquents. Kondisi terrain/medan pada sistem lahan ini adalah datar, beramplitudo relief < 2 meter, dengan variasi rendah. Sistem lahan Kajapah tersusun oleh bentukan daerah dataran pasang surut 95% dan saluran 5%. Sistem lahan ini berada di barat laut Kota Jakarta, tepatnya di sebelah utara Kota Jakarta Barat. Sistem lahan ini merupakan sistemlahan asal proses (genesa) marin.

“Informasi dasar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dapat digunakan untuk mendukung perencanaan tata ruang, kebencanaan, pengelolaan lingkungan hidup.� Sistem Lahan Jakarta (JKT) merupakan sistem lahan dengan tipe lahan dataran aluvial bermaterial vulkanik tertoreh ringan (slightly dissected coalescent volcanic alluvial fans) Dataran aluvial ini mempunyai karakteristik berupa : berbatuan vulkanik, dengan tipe batuan aluvium dan batuan vulkanik baru. Vegetasi/penggunaan lahan berupa tanaman dataran tinggi, sawah irigasi, dan tidak terdeferensiasi. Memiliki tanah (asosiasi) Paleudults, Tropaquepts, dan Dystropepts. Kondisi ter-

20

Badan Informasi Geospasial

Sistem lahan ketiga adalah sistem lahan Makassar (MKS). Sistem lahan ini merupakan sistem lahan dengan tipe lahan estuari/dataran wilayah tepi sungai di daerah kering. (coalescent estuarine/riverine plains in dry areas). Sistem lahan Makassar ini mempunyai karakteristik berupa : berbatuan sedimen, dengan tipe batuan aluvium, material estuari-marin baru. Daerah ini mempunyai risiko banjir yang tinggi dengan penggenangan pada musim penghujan. Vegetasi/penggunaan lahan berupa sawah


Highlight

irigasi, perkebunan kelapa, dan permukiman. Memiliki tanah (asosiasi) Tropaquepts, Fluvaquents, dan Ustropepts. Kondisi terrain/ medan pada sistem lahan ini adalah datar, amplitudo relief 2-10 meter, dengan variasi rendah. Sistem lahan Makassar ini tersusun oleh bentukan berupa daerah dataran estuari 75%, area tanggul sungai 20%, dan rawa 5%). Sistem lahan makassar dapat dijumpai di sebelah utara Jakarta, membentang dari timur dan barat. Sistem lahan ini merupakan sistem lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas fluviomarin. Aktiviatas pembentuk bentuklahan yang dipengaruhi oleh aktivitas fluvial dan marin. Sistem lahan keempat adalah sistem lahan Ujung Petang (UPG). Sistem lahan ini merupakan sistem lahan dengan tipe lahan berupa

beting gisik pantai dan swale di daerah kering (coastal beach ridges and swale in dry areas). Sistem lahan Ujung Petang ini mempunyai karakteristik berupa : berbatuan sedimen, dengan tipe batuan aluvium, material marin baru. Vegetasi/penggunaan lahan berupa sawah irigasi, perkebunan kelapa, permukiman, dan pesisir. Memiliki tanah (asosiasi) Ustipsamments dan Tropaquents. Kondisi terrain/medan pada sistem lahan ini adalah datar, beramplitudo relief 2-10 meter, dengan variasi rendah. Sistem lahan Ujung Petang ini tersusun oleh bentukan berupa beting gisik 60%, swale 40%. Sistem lahan ini berada di sela-sela sistem lahan Makassar (MKS). Sistem lahan ini merupakan sistem lahan yang berasal dari bentukan marin.

Gambar 1. Peta Sistem Lahan di Provinsi DKI Jakarta

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

21


Highlight

Jakarta (JKT) 46.13 % Gambar 2. Persentase Luas Sistem Lahan di Provinsi DKI Jakarta

Ujung Petang (UPG) 2.09 % Kajapah (KJP) 1.52 % Tidak ada data 1.46 % Makassar (MKS) 48.79 %

Dari keempat data sistem lahan tersebut menunjukkan bahwa Sistem Lahan Jakarta (JKT) dan Makassar (MKS) merupakan daerah yang rentan bahaya banjir yang berasal dari luapan air sungai, sedengkan Sistem Lahan Kajapah (KJP) dan Ujung Petang (UPG) menunjukkan daerah yang rentan banjir akibat pasang air laut. Terdapat 2 sistem lahan yang mendominasi bentanglahan di Jakarta, yaitu sistem lahan Jakarta (JKT) dan Makassar (MKS) dengan persentase 94,92 % atau 62.022,03 Ha. Sistem Lahan Jakarta (JKT) menempati luas terbesar yaitu sebesar 48,79 % atau sebesar 318.80,00 Ha; kemudian disusul oleh sistem lahan Makassar (MKS) dengan luas 46,13 % atau sebesar 30.142,03 Ha. Sistem lahan lainnya yaitu Ujung Petang (UPG) 2,09 % dan Kajapah (KJP) 1,52 %. Sedangkan Tidak ada data merupakan data sistem lahan yang belum diidentifikasikan/dideskripsikan yaitu di Kepulauan Seribu.

KEJADIAN DAN LOKASI BANJIR Kejadian dan lokasi banjir yang terjadi belakangan ini tidak terlepas dari bentuklahan asal proses fluvial. Berikut merupakan kejadian banjir yang terjadi di daerah floodplain. Penggunaan lahan di daerah ini sebagian besar berupa permukiman. Menurut penuturan beberapa warga yang tinggal didaerah ini bahwa sebelum daerah ini berubah menjadi

22

Badan Informasi Geospasial

permukiman, penggunaan lahannya adalah berupa sawah dan empang. Hasil pemetaan banjir yang dilaksanakan pada bulan Januari 2013, menemukan bahwa lokasi banjir memang berada di daerah floodplain (dataran banjir). Bentukan natural levee (tanggal alam) juga dapat diidentifikasi di lapangan. Area lokasi banjir ini dahulunya merupakan area persawahaan. Seiring waktu areal persawahan ini berubah penggunaan lahannya menjadi area permukiman. Berdasarkan bentuklahannya, maka daerah ini mempunyai kemungkinan besar untuk terus terkena banjir. Kejadian dan lokasi banjir di atas adalah sebuah contoh dimana kejadian dan lokasi banjir yang ada di permukiman sebenarnya menempati bentuklahan berupa dataran banjir. Fenomena ini (permukiman yang ada di daerah dataran banjir) terdapat di sepanjang sungai yang ada di Jakarta, sehingga tidaklah mengherankan jika permukiman yang menempati bentuklahan ini akan selalu kebanjiran. Selain bentuklahan floodplain di Jakarta terdapat bentuklahan rawa dan rawa belakang. Bentuklahan ini sangat erat kaitannya dengan air (yang menggenang). Banyak nama tempat di Jakarta yang menggunakan awalan kata rawa. Semisal Rawamangun, Rawasari, Rawabuaya, dan lain sebagainya. Nama tempat/ toponimi dapat dijadikan indikator awal untuk mengidentifikasi bentanglahan dan karakteristik wilayahnya.


Highlight

PENANGGULANAGAN BANJIR BERDASARKAN KARAKTERISTIK WILAYAH ALAMI / KODRAT GEOGRAFI Pengenalan karakteristik wilayah alami/ kodrat geografi suatu wilayah untuk penganggulangan banjir harus menjadi dasar. Hal ini menjadi penting karena suatu wilayah yang memang seharusnya daerah itu basah/terganang oleh banjir akan memiliki sifat semisal, drainase buruk, kualitas air kurang baik, sehingga daerah ini jangan digunakan sebagai area permukiman, namun dijadikan wilayah pengembangan perikanan darat atau ruang terbuka hijau. Usaha lain yang dapat dilakukan untuk menanggulangi banjir berdasarkan karakteris-

tik wilayah alami, adalah semisal pembuatan sumur-sumur resapan. Pembuatan sumursumur resapan dapat dilaksanakan/dibuat di sistem lahan Jakarta (JKT). Sistem lahan ini mempunyai material berupa vulkanik baru dan aluvium. Dengan material ini maka drainase/pegatusan akan baik (well drainage), sehingga dapat mengurangi limpasan air. Jika sumur resapan dibuat di sistem lahan Makassar (MKS) maka akan mendapatkan hasil yang berbeda. Sistem lahan ini mempunyai drainase jelek (imperfect, poor). Sehingga jika dibuat sumur resapan maka drainase/pengatusan tidak maksimal. Mari kita kenali karakteristik wilayah alami/ kodrat geografi untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Gambar 2. Peta Genangan Banjir yang terjadi di daerah dataran banjir (flood plain) di daerah Gunung Putri, Kab. Bogor dan Kec. Jatiasih, Kab. Bekasi.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

23


Highlight Highlight

MENENTANG BANJIR DENGAN GERAKAN SUMUR RESAPAN DAN KOLAM RETENSI Naik Sinukaban

24

Badan Informasi Geospasial


Highlight

Dampak kerusakan lingkungan seperti bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan masih sering dialami di berbagai wilayah dan belum teratasi sepenuhnya hingga kini. Salah satu contoh bencana banjir yang menyebabkan kerugian ekonomi hingga triliun rupiah adalah banjir yang terjadi di Jakarta.

B

anjir besar yang terjadi di Jakarta pada musim hujan 2012/2013 yaitu pada tgl 22, 23 Des 2012 dan 15-17 Jan 2013, banjir tersebut disebabkan oleh curah hujan harian maksimum yang puncaknya terjadi pada tanggal 17 Januari 2013 yaitu sebesar 193 mm/ hari. Hal ini diperparah oleh kondisi pengelolaan DAS Jabodetabek yang sangat buruk. Seluruh DAS yang sungainya mengalir melalui Jakarta sering disebut sebagai DAS urban (urbanize watershed) yang dicirikan oleh koefisien aliran permukaan yang tinggi sampai sangat tinggi (0,65 – 0,95). Hal ini disebabkan oleh luasnya areal permukiman bahkan pusat bisnis/perdagangan. Kedua banjir tersebut diakibatkan oleh luapan air sungai karena kapasitasnya tidak mampu mengakomodasi aliran air didalamnya akibat menurunnya kapasitas sungai dan/atau air yang mengalir terlalu banyak. Menurunnya kapasitas sungai dapat disebabkan oleh sedimentasi, tumpukan sampah dan/atau menyempitnya sungai akibat banyaknya bangunan. Terlalu banyaknya air mengalir ke sungai dapat disebabkan oleh tingginya curah hujan/ intensitas hujan dan/atau tingginya koefisien aliran permukaan daerah aliran sungai (DAS). Perhatian terhadap banjir tersebut cukup tinggi baik di kalangan masyarakat maupun pemerintah. Hal ini dicirikan oleh banyaknya diskusi, dialog, debat dan pembicaraan tentang banjir dan saran untuk mencegah banjir pada masa yang akan datang. Dari berbagai saran tersebut beberapa diantaranya telah disampaikan dalam media komunikasi oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta, antara lain perbaikan gorong gorong diberbagai ruas jalan, percepatan normalisasi sungai, penyempurnaan Banjir Kanal Barat dan Timur, gagasan pembangunan multi fungsi terowongan dalam dengan biaya sekitar 16 Triliun rupiah

serta pembangunan waduk Ciawi. Selain itu Pemerintah Pusat juga mengungkapkan Master Plan drainase di setiap sungai untuk mengatasi banjir. Pemerintah Pusat pun sudah menunjukkan komitmen untuk mengatasi masalah banjir. Disamping itu, berbagai pakar juga telah menyampaikan pandangan untuk mengatasi banjir Jakarta. Semua program dan gagasan yang disampaikan didominasi oleh pendekatan engineering yang meliputi peningkatan kapasitas saluran dan mempercepat air mengalir ke laut. Program dan gagasan tersebut sebenarnya sudah sangat lama dilakukan tetapi metoda itu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah banjir Jakarta karena pendekatan tersebut baru menangani aliran air agar secepat mungkin mengalir ke laut. Sesungguhnya hal ini selain menyebabkan hilangnya air ke laut juga menyebabkan menurunnya jumlah air segar (fresh water) dan tekanan air segar di dalam tanah yang pada gilirannya akan mempercepat masuknya air asin ke daratan Jakarta (intrusi air laut). Lebih jauh pendekatan tersebut telah mengakibatkan kehilangan air ke laut dalam jumlah yang sangat besar. Analisis tren data perubahan penggunaan lahan tahun 1990-1996 dan pengaruhnya terhadap peningkatan koefisien aliran permukaan menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan DAS Ciliwung dari hulu sampai stasiun pengamat Manggarai pada tahun 2012 adalah 0,65. Kalau data ini diekstrapolasikan ke 13 sungai yang mengalir melalui Jakarta maka prediksi jumlah kehilangan air melalui banjir mencapai 1,3 - 1,5 milyar m3 per tahun (Sinukaban and Kadri, 2006). Berdasarkan data tersebut (Tabel 1) ternyata kontribusi setiap bagian (hulu, tengah, dan hilir) dari DAS tidak bisa diabaikan. Hasil simulasi

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

25


Highlight

Tabel 1. Hasil Simulasi Karakteristik Hidrologi DAS Ciliwung Simulasi Penggunaan Lahan Stasiun Katulampa

Stasiun Ratujaya

Stasiun Manggarai

1990

1996

2012

1990

1996

2012

1990

1996

2012

Luas sub catchment (ha)

15112

15112

15112

9565

9565

9565

7903

7903

7903

Qp (m3/dt)

100,3

205,4

280,1

167,8

320.8

487,0

191,3

383,1

576,5

Vol (juta m3)

3.1

5,1

6,4

3,4

5,3

6,6

3,8

5,0

5,6

Kontribusi sub catchment (%)

30,1

32,9

34,4

33,0

34,2

35,5

36.9

32,2

30,1

Hasil perhitungan berdasarkan simulasi yang dibuat Fakhrudin (2003)

perkembangan penggunaan lahan menunjukkan bahwa kontribusi terbesar (35,9 %) terhadap volume banjir adalah dari bagian tengah DAS (dari stasiun Ratujaya, Depok s/d stasiun Katulampa) disusul oleh bagian hulu (dari stasiun Katulampa ke puncak gunung) sebesar 34.4 % dan terkecil dari bagian hilir (dari stasiun Manggarai ke stasiun Ratujaya) sebesar 30,1 %. Oleh sebab itu upaya penanggulangan banjir tidak bisa hanya difokuskan pada salah satu bagian dari DAS tetapi harus secara menyeluruh. Anggapan sebagian masyarakat bahwa resapan air suatu DAS hanya di bagaian hulu adalah kurang tepat; semua bagian DAS harus berfungsi sebagai daerah resapan air. Dengan demikian penanggulangan banjir di Jakarta tidak hanya dengan mengalirkan kelebihan air di musim hujan ke laut tetapi harus dilakukan dengan cara yang cerdas agar kelebihan air tersebut tersimpan di dalam tanah lalu mengalir secara perlahan-lahan ke sungai dan akan tersedia bagi penduduk di musim kemarau. Oleh sebab itu cara penanggulangan banjir di Jakarta harus keluar dari kotak lama ke cara baru yang lebih konseptual, komprehensif, holistik dan partisipatif, sejalan dengan PP No 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Peraturan Pemerintah tersebut mengamanatkan agar DAS dikelola dengan memandang DAS secara utuh dari hulu sampai hilir (komprehensif, holistik) secara rasional (konseptual) dengan melibatkan stakeholders dalam semua tahapan (partisipatif) agar semua sumberdaya dalam

26

Badan Informasi Geospasial

DAS dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Apabila pendekatan pengelolaan DAS yang dipakai dalam penanggulangan banjir di musim hujan, maka minimal 390 - 520 juta m3 air setahun atau 30 - 40 % dari kehilangan air setahun dapat disimpan di dalam DAS dan dipakai pada musim kemarau untuk air minum, irigasi, ternak dan kebutuhan industri. Teknik yang dipakai untuk menurunkan koefisien aliran permukaan adalah teknik konservasi tanah dan air (KTA) yang mampu meningkatkan laju infiltrasi air ke dalam tanah. KTA itu dibagi dalam tiga kelompok yaitu (1) penerapan teknik KTA yang memadai di daerah pertanian tegalan, (2) pembangunan bangunan penahan air (water retardance structure, embung, kolam retensi) di daerah paling hulu setiap alur dan (3) pembangunan sumur resapan di setiap rumah, sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, kantor kantor pemerintah, swasta, LSM, tempat parkir, maupun industri dan perdagangan, dan ruang terbuka. Penerapan teknik konservasi tanah dan air di pertanian tegalan dilaksanakan secara bertahap dan dikoordinasikan oleh instansi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan permukiman di setiap kabupaten/ kota. Pembangunan embung dan kolam retensi di lahan tegalan bagian hulu setiap alur yang jumlahnya bisa mencapai 500.000 - 600.000


Highlight

“... harus dilakukan dengan cara yang cerdas agar kelebihan air tersebut tersimpan di dalam tanah lalu mengalir secara perlahan-lahan ke sungai dan akan tersedia bagi penduduk di musim kemarau.� buah dengan kapasitas tampung setiap embung/kolam retensi berkisar dari 50 - 250 m3 air. Selain kolam retensi di lahan tegalan, pembangunan sumur resapan yang berkapasitas 4,0-5,0 m3 atau lebih perlu dibangun di setiap rumah tinggal, rumah sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, dan kantor-kantor pemerintah maupun swasta baik di daerah pemukiman, perdagangan maupun industri. Jumlah sumur resapan dapat mencapai 3,0-5,0 juta buah di seluruh Jakarta Pembangunan kolam retensi dan sumur resapan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri karena DAS dari 13 sungai yang mengalir melalui Jakarta berada di tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Oleh sebab itu penerapan KTA di atas harus dikoordinasikan dalam kerja sama antar Pemprov DKI, Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten. Dimensi setiap embung/kolam retensi berkisar dari 5 x 5 x 2,5 m s/d 10 x 10 x 2,5 m. Dalam keadaan tidak terisi air (pada awal musim hujan) setiap embung dengan dimensi tersebut dapat menampung berturut-turut 60 sampai 250 m3 air dan sumur resapan dapat menampung 4,0-5,0 m3 air; dengan impact vector yang dapat mencapai 10-20 tergantung pada kedalaman tanah tidak jenuh, maka kemampuan embung/ kolam retensi/ sumur resapan meresapkan air ke zone tanah tidak jenuh dapat mencapai 10-20 kali volume embung tersebut. Dalam musim kemarau air yang tersimpan bergerak secara perlahan ke daerah hilirnya. Dengan demikian embung/kolam retensi dapat berfungsi sebagai penyangga hidrologi (mengurangi risiko banjir pada musim hujan dan risiko kekeringan pada musim ke-

marau). Pelaksanaan pembangunan setiap embung/ kolam retensi dilaksanakan oleh petani pemilik/penggarap lahan dimana embung dibangun sedangkan pembiayaannya dibebankan kepada Pemda atau kerja sama antara petani dan Pemda.

Pembangunan sumur resapan berdiameter 80-90 cm dengan kedalaman 2,5-5,0 m di setiap rumah, sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, dan kantor-kantor perlu dilakukan oleh pemilik dan pengelola lahan dan fasilitas yang ada di atasnya. Seperti halnya kolam retensi, sumur resapan akan meningkatkan daya sangga suatu DAS terhadap banjir dan kekeringan. Daya penyangga air sumur resapan ditentukan oleh volumenya serta tingkat kejenuhan tanah di sekelilingnya. Kapasitas serapan tanah yang tidak jenuh bisa jauh lebih tinggi dari volume sumur resapan itu sendiri dengan impact vector dapat mencapai 10-20 kali. Ketiga kelompok KTA (penerapan teknik konservasi tanah di daerah pertanian, kolam retensi/embung dan sumur resapan) ini harus dilaksanakan secara massal diseluruh DAS, dikordinasikan dan diawasi oleh Pemda dan Forum DAS di setiap daerah. Dengan demikian, solusi yang bersifat konseptual ini melibatkan lebih satu juta keluarga masyarakat DAS dan tiga pemerintah provinsi terkait. Solusi tersebut selain dapat menyelesaikan masalah banjir juga menyediakan air di musim kemarau dan mencegah masuknya air asin melalui proses intrusi air laut ke daratan. Hal ini dimungkinkan karena masuknya air ke dalam tanah tersebut akan meningkatkan tekanan air segar (fresh water) di dalam tanah sehingga mempunyai pengaruh yang signifikan untuk menekan intrusi air asin dari laut. Kasus yang terjadi di Jakarta, sesungguhnya dapat terjadi di semua daerah di Indonesia apabila tidak memperhatikan kaidah-kaidah KTA. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan pengaturan penerapan KTA dalam sebuah undang-undang.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

27


Komponen Abiotik

28

Badan Informasi Geospasial


Komponen Abiotik

KOMPONEN ABIOTIK Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Perspektif Geospasial Perkembangan Mega Urban di Dataran Banjir Daerah Aliran Sungai: Salah Kelola Situ/Embung Semakin Menyusut Sungai Ciliwung: Sumberdaya Air yang Terlupakan Pengelolaan Banjir Terintegrasi : Suatu Keharusan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

29


Komponen AbiotikAbiotik Komponen

Dr. Asep Karsidi, M.Sc.

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DALAM PERSPEKTIF GEOSPASIAL 30

Badan Informasi Geospasial


Komponen Abiotik

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

31


Komponen Abiotik

Sumber daya air menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah: air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Sesuai kodratnya air bisa terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.

U

ntuk mengenal sebaran sumber daya air tersebut bagi berbagai kepentingan pengelolaan air, tentunya data dan informasi yang diperlukan tidak terbatas pada data dan informasi statistik, namun juga informasi geospasial. Informasi geospasial ini akan menginformasikan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya air seperti: potensi air tanah, keberadaan situ atau embung, danau, wilayah DAS, limpasan air, pola sungai, genangan banjir, dlsb. dalam perspektif spasial. Artinya berbagai informasi sumber daya air tersebut selain sebaran di bumi, juga bisa diidentifikasi koordinat geografisnya. Visualisasi data sumber daya air secara spasial tersebut akan memberikan peluang untuk analisis keruangan dengan unsur-unsur lainnya seperti: kondisi lereng, jenis batuan, jenis tanah, tutupan hutan, morphologi tanah, kepadatan penduduk, dlsb. Ada interaksi antara unsurunsur keruangan tersebut. Berbagai informasi unsur-unsur keruangan yang divisualisasikan dalam bentuk informasi spasial dan dituangkan dalam peta dasar yang baku, akan mempermudah sistem pengelolaan sumber daya air. Banjir di wilayah Jakarta, yang merupakan Kota Delta, merupakan kejadian yang biasa ditinjau dari sudut pandang ilmu geografi. Biasa karena dalam konteks keruangan lokasi Jakarta memang merupakan wilayah hilir dimana tidak kurang dari 13 sungai berakhir di Kota Jakarta. Jakarta merupakan bagian dari suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada dalam satu kawasan yang disebut Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Kawasan Jabodetabekpunjur ini merupakan satu ekosistem. Bagian hulu, tengah, dan hilir, mempunyai fungsi sendiri-sendiri, meskipun saling terkait. Masing-masing fungsi harus dikembangkan sesuai karakteristik wilayahnya. Pengembangan wilayah hulu, tengah, dan hilir yang tidak sesuai karakteristik wilayahnya akan berakibat buruk bagi wilayah yang be-

32

Badan Informasi Geospasial

rada di bawahnya. Sebagai contoh, wilayah hulu yang berlereng curam, seharusnya tetap dipertahankan sebagai hutan lindung. Sehingga hutan tersebut tetap bisa berfungsi sebagai wilayah tangkapan hujan dan sekaligus sebagai penyimpan air. Jika fungsi tersebut hilang atau berkurang maka limpasan air permukaan (run-off) baik di bagian tengah maupun hilir akan meningkat. Kemampuan tanah menyimpan air akan menurun, sehingga genangan air cepat terjadi. Karena pentingnya wilayah Jabodetabekpunjur, untuk Penataan Ruangnya ditentukan melalui Perpres No. 54 Tahun 2008. Wilayah Jabodetabekpunjur merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari 76 KSN yang ada. Berdasarkan sejarah Kota Jakarta, baik pada masa Kerajaan Tarumanegara, Pemerintahan Kolonial Belanda, maupun masa Pemerintahan Indonesia, Jakarta selalu dilanda banjir. Dengan perkembangan jumlah penduduk yang saat ini mencapai sekitar 10 juta dan berbagai bangunan dan infrastruktur semakin padat, maka banjir menjadi masalah yang besar bagi Kota Jakarta. Apalagi pada akhirakhir ini banjir semakin sering dan menjang-

Karena dinamika pembangunan di wilayah Jabodetabekpunjur begitu cepat maka informasi geospasial tentang air harus terus diperbarui sesuai dengan dinamika perubahan tersebut.


Komponen Abiotik

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Maecenas molestie. Ut pretium eros. Ut non nunc ut leo interdum convallis. Curabitur

kau wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak pernah banjir. Pembangunan di Jakarta telah meninggalkan aspek spasial, khususnya bagi air yang memang sesuai dengan hakekatnya harus berhenti pada tanah yang rendah. Demi pembangunan banyak tempat-tempat air berlabuh diurug atau ditinggikan sehingga air mengalir dan mencari sendiri tempat-tempat yang rendah. Dari sisi toponimi (nama-nama geografi) seperti : Rawasari, Rawamangun, Rawabelong, sejatinya adalah tempat-tempat air yang berwujud rawa. Namun nama-nama tersebut saat ini telah berubah menjadi pemukiman, pertokoan, perkantoran, sekolah, pasar, dlsb. Oleh karena itu, jika banjir yang terjadi di Jakarta saat ini juga melanda wilayahwilayah yang sebelumnya tidak pernah banjir adalah hal yang wajar atau lumrah. Kondisi topografi Jakarta cepat sekali berubah sesuai dengan derap pembangunan yang merubah landskap kota Jakarta. Peran informasi geospasial tentang sumber daya air yang akurat dan mutakhir di wilayah Jabodetabekpunjur dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi upaya pengendalian banjir di wilayah ini. Informasi geospasial tersebut antara lain mencakup: pola aliran sungai dan sifat-sifatnya, debit masing-masing sungai, potensi air bawah tanah, air limpasan (run-off), kapasitas situ atau embung, wilayah genangan/ potensial tergenang, jaringan drainase kota, dlsb. Dengan informasi geospasial tersebut dapat menunjukkan seberapa besar volume

air permukaan dan yang meresap ke dalam tanah, berapa besar daya tampung sungai dan sistem drainase mengalirkan air, dan dimana saja genangan air bisa terjadi. Karena dinamika pembangunan di wilayah Jabodetabekpunjur begitu cepat maka informasi geospasial tentang air harus terus diperbarui sesuai dengan dinamika perubahan tersebut. Adanya informasi geospasial tentang air tersebut akan menjadi bahan analisis dan sekaligus mencari solusi, sehingga air yang meresap dalam tanah semakin hari akan semakin besar, dan sebaliknya air limpasan ditekan sekecil mungkin. Langkah berikutnya adalah perlunya pembatasan-pembatasan penggunaan lahan yang berakibat pada menurunnya kapasitas tanah menyimpan air. Pemerintah Daerah Jabar, Banten, dan DKI perlu membicarakan secara serius untuk mengatasi banjir Jakarta. Sebagai salah satu bahan kajian dan acuan adalah informasi geospasial sumber daya air yang akurat dan mutakhir sebagaimana dijelaskan di atas.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

33


Highlight

U

ntuk mengenal sebaran sumber daya air tersebut bagi berbagai kepentingan pengelolaan air, tentunya data dan informasi yang diperlukan tidak terbatas pada data dan informasi statistik, namun juga informasi geospasial. Informasi geospasial ini akan menginformasikan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya air seperti: potensi air tanah, keberadaan situ atau embung, danau, wilayah DAS, limpasan air, pola sungai, genangan banjir, dlsb. dalam perspektif spasial. Artinya berbagai informasi sumber daya air tersebut selain sebaran di bumi, juga bisa diidentifikasi koordinat geografisnya. Visualisasi data sumber daya air secara spasial tersebut akan memberikan peluang untuk analisis keruangan dengan unsur-unsur lainnya seperti: kondisi lereng, jenis batuan, jenis tanah, tutu pasial dan dituangkan dalam peta dasar yang baku, akan mempermudah sistem pengelolaan sumber daya air.

NO TEXT

Banjir di wilayah Jakarta, yang merupakan Kota Delta, merupakan kejadian yang biasa ditinjau dari sudut pandang ilmu geografi. Biasa karena dalam konteks keruangan lokasi Jakarta memang merupakan wilayah hilir dimana tidak kurang dari 13 sungai berakhir di Kota Jakarta. Jakarta merupakan bagian dari suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada dalam satu kawasan yang disebut Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Kawasan Jabodetabekpunjur ini merupakan satu ekosistem. Bagian hulu, tengah, dan hilir, mempunyai fungsi sendiri-sendiri, meskipun saling terkait. Masing-masing fungsi harus dikembangkan sesuai karakteristik wilayahnya. Pengembangan wilayah hulu, tengah, dan hilir yang tidak sesuai karakteristik wilayahnya akan berakibat buruk bagi wilayah yang berada di bawahnya. Sebagai contoh, wilayah hulu yang berlereng curam, seharusnya tetap dipertahankan sebagai hutan lindung. Seh-

34

Badan Informasi Geospasial

ingga hutan tersebut tetap bisa berfungsi sebagai wilayah tangkapan hujan dan sekaligus sebagai penyimpan air. Jika fungsi tersebut hilang atau berkurang maka lim pasan air permukaan (run-off) baik di bagian tengah maupun hilir akan meningkat. Kemampuan tanah menyimpan air akan menurun, sehingga genangan air cepat terjadi. Karena pentingnya wilayah Jabodetabekpunjur, untuk Penataan Ruangnya ditentukan melalui Perpres No. 54 Tahun 2008. Wilayah Jabodetabekpunjur merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari 76 KSN yang ada.

TEXT

NO

Berdasarkan sejarah Kota Jakarta, baik pada masa Kerajaan Tarumanegara, Pemerintahan Kolonial Belanda, maupun masa Pemerintahan Indonesia, Jakarta selalu dilanda banjir. Dengan perkembangan jumlah penduduk yang saat ini mencapai sekitar 10 juta dan berbagai bangunan dan infrastruktur semakin padat, maka banjir menjadi masalah yang besar bagi Kota Jakarta. Apalagi pada akhir-akhir ini banjir semakin sering dan menjangkau wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak pernah banjir. Pembangunan di Jakarta telah men-


Highlight

inggalkan aspek spasial, khususnya bagi air yang memang sesuai dengan hakekatnya harus berhenti pada tanah yang rendah. Demi pembangunan banyak tempat-tempat air berlabuh diurug atau ditinggikan sehingga air mengalir dan mencari sendiri tempat-tempat yang rendah. Dari sisi toponimi (nama-nama geografi) seperti : Rawasari, Rawamangun, Rawabelong, sejatinya adalah tempat-tempat air yang berwujud rawa. Namun nama-nama tersebut saat ini telah berubah menjadi pemukiman, pertokoan, perkantoran, sekolah, pasar, dlsb. Oleh karena itu, jika banjir yang terjadi di Jakarta saat ini j uga melanda wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak pernah banjir adalah hal yang wajar atau lumrah. Kondisi topografi Jakarta cepat sekali berubah sesuai dengan derap pembangunan yang merubah landskap kota Jakarta.

NO TEXT

Peran informasi geospasial tentang sumber daya air yang akurat dan mutakhir di wilayah Jabodetabekpunjur dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi upaya pengendalian banjir di wilayah ini. Informasi geospasial tersebut antara lain mencakup: pola aliran sungai dan sifat-sifatnya, debit masing-masing sungai, potensi air bawah tanah, air limpasan (run-off), kapasitas situ atau embung, wilayah genangan/potensial tergenang, jaringan drainase kota, dlsb. Dengan informasi geospasial tersebut dapat menunjukkan seberapa besar volume air permukaan dan yang meresap ke dalam tanah, berapa besar daya tampung sun-

gai dan sistem drainase mengalirkan air, dan dimana saja genangan air bisa terjadi. Karena dinamika pembangunan di wilayah Jabodetabekpunjur begitu cepat maka informasi geospasial tentang air harus terus diperbarui sesuai dengan dinamika perubahan tersebut. Adanya informasi geospasial tentang air tersebut akan menjadi bahan analisis dan sekaligus mencari solusi, sehingga air yang meresap dalam tanah semakin hari akan semakin besar, dan sebaliknya air limpasan d itekan sekecil mungkin. Langkah berikutnya adalah perlunya pembatasan-pembatasan penggunaan lahan yang berakibat pada menurunnya kapasitas tanah menyimpan air. Pemerintah Daerah Jabar, Banten, dan DKI perlu membicarakan secara serius untuk mengatasi banjir Jakarta. Sebagai salah satu bahan kajian dan acuan adalah informasi geospasial sumber daya air yang akurat dan mutakhir sebagaimana dijelaskan di atas.

TEXT

NO

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

35


Highlight

U

ntuk mengenal sebaran sumber daya air tersebut bagi berbagai kepentingan pengelolaan air, tentunya data dan informasi yang diperlukan tidak terbatas pada data dan informasi statistik, namun juga informasi geospasial. Informasi geospasial ini akan menginformasikan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya air seperti: potensi air tanah, keberadaan situ atau embung, danau, wilayah DAS, limpasan air, pola sungai, genangan banjir, dlsb. dalam perspektif spasial. Artinya berbagai informasi sumber daya air tersebut selain sebaran di bumi, juga bisa diidentifikasi koordinat geografisnya. Visualisasi data sumber daya air secara spasial tersebut akan memberikan peluang untuk analisis keruangan dengan unsur-unsur lainnya seperti: kondisi lereng, jenis batuan, jenis tanah, tutu pasial dan dituangkan dalam peta dasar yang baku, akan mempermudah sistem pengelolaan sumber daya air.

NO TEXT

Banjir di wilayah Jakarta, yang merupakan Kota Delta, merupakan kejadian yang biasa ditinjau dari sudut pandang ilmu geografi. Biasa karena dalam konteks keruangan lokasi Jakarta memang merupakan wilayah hilir dimana tidak kurang dari 13 sungai berakhir di Kota Jakarta. Jakarta merupakan bagian dari suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada dalam satu kawasan yang disebut Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur). Kawasan Jabodetabekpunjur ini merupakan satu ekosistem. Bagian hulu, tengah, dan hilir, mempunyai fungsi sendiri-sendiri, meskipun saling terkait. Masing-masing fungsi harus dikembangkan sesuai karakteristik wilayahnya. Pengembangan wilayah hulu, tengah, dan hilir yang tidak sesuai karakteristik wilayahnya akan berakibat buruk bagi wilayah yang berada di bawahnya. Sebagai contoh, wilayah hulu yang berlereng curam, seharusnya tetap dipertahankan sebagai hutan lindung. Seh-

36

Badan Informasi Geospasial

ingga hutan tersebut tetap bisa berfungsi sebagai wilayah tangkapan hujan dan sekaligus sebagai penyimpan air. Jika fungsi tersebut hilang atau berkurang maka lim pasan air permukaan (run-off) baik di bagian tengah maupun hilir akan meningkat. Kemampuan tanah menyimpan air akan menurun, sehingga genangan air cepat terjadi. Karena pentingnya wilayah Jabodetabekpunjur, untuk Penataan Ruangnya ditentukan melalui Perpres No. 54 Tahun 2008. Wilayah Jabodetabekpunjur merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari 76 KSN yang ada.

TEXT

NO

Berdasarkan sejarah Kota Jakarta, baik pada masa Kerajaan Tarumanegara, Pemerintahan Kolonial Belanda, maupun masa Pemerintahan Indonesia, Jakarta selalu dilanda banjir. Dengan perkembangan jumlah penduduk yang saat ini mencapai sekitar 10 juta dan berbagai bangunan dan infrastruktur semakin padat, maka banjir menjadi masalah yang besar bagi Kota Jakarta. Apalagi pada akhir-akhir ini banjir semakin sering dan menjangkau wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak pernah banjir. Pembangunan di Jakarta telah men-


Highlight

inggalkan aspek spasial, khususnya bagi air yang memang sesuai dengan hakekatnya harus berhenti pada tanah yang rendah. Demi pembangunan banyak tempat-tempat air berlabuh diurug atau ditinggikan sehingga air mengalir dan mencari sendiri tempat-tempat yang rendah. Dari sisi toponimi (nama-nama geografi) seperti : Rawasari, Rawamangun, Rawabelong, sejatinya adalah tempat-tempat air yang berwujud rawa. Namun nama-nama tersebut saat ini telah berubah menjadi pemukiman, pertokoan, perkantoran, sekolah, pasar, dlsb. Oleh karena itu, jika banjir yang terjadi di Jakarta saat ini j uga melanda wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak pernah banjir adalah hal yang wajar atau lumrah. Kondisi topografi Jakarta cepat sekali berubah sesuai dengan derap pembangunan yang merubah landskap kota Jakarta.

NO TEXT

Peran informasi geospasial tentang sumber daya air yang akurat dan mutakhir di wilayah Jabodetabekpunjur dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi upaya pengendalian banjir di wilayah ini. Informasi geospasial tersebut antara lain mencakup: pola aliran sungai dan sifat-sifatnya, debit masing-masing sungai, potensi air bawah tanah, air limpasan (run-off), kapasitas situ atau embung, wilayah genangan/potensial tergenang, jaringan drainase kota, dlsb. Dengan informasi geospasial tersebut dapat menunjukkan seberapa besar volume air permukaan dan yang meresap ke dalam tanah, berapa besar daya tampung sun-

gai dan sistem drainase mengalirkan air, dan dimana saja genangan air bisa terjadi. Karena dinamika pembangunan di wilayah Jabodetabekpunjur begitu cepat maka informasi geospasial tentang air harus terus diperbarui sesuai dengan dinamika perubahan tersebut. Adanya informasi geospasial tentang air tersebut akan menjadi bahan analisis dan sekaligus mencari solusi, sehingga air yang meresap dalam tanah semakin hari akan semakin besar, dan sebaliknya air limpasan d itekan sekecil mungkin. Langkah berikutnya adalah perlunya pembatasan-pembatasan penggunaan lahan yang berakibat pada menurunnya kapasitas tanah menyimpan air. Pemerintah Daerah Jabar, Banten, dan DKI perlu membicarakan secara serius untuk mengatasi banjir Jakarta. Sebagai salah satu bahan kajian dan acuan adalah informasi geospasial sumber daya air yang akurat dan mutakhir sebagaimana dijelaskan di atas.

TEXT

NO

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

37


Highlight Highlight

Bang Idin Negara kita dikodratkan secara geografis memiliki ekosistem lahan basah yang sangat luas. Hampir 20 persen dari total luas daratan di Indonesia merupakan ekosistem lahan basah, baik berupa lahan basah alami (rawa payau, rawa air tawar, hutan mangrove) maupun lahan basah buatan (sawah, tambak, empang, embung, situ). Persoalannya, kondisi ekosistem lahan basah di Indonesia semakin memprihatinkan.

K

onversi lahan basah semakin tidak terkendali. Apabila di banyak negara yang telah meratifikasi konvensi ramsar 1971 berhasil mengurangi atau bahkan menghentikan laju konversi ekosistem lahan basah, kenyataan di Indonesia terjadi sebaliknya. Laju konversi lahan basah semakin meningkat terutama pada periode dua dasawarsa terakhir. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima ketika strategi pembangunan lebih berorientasi pertumbuhan dibanding pembangunan pro-ekologi.

KONTROVERSI PERATURAN Sebenarnya, Negara Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati yang menegaskan bahwa ekosistem lahan basah dimasukkan kedalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Pada tataran teknis pemerintah menerbitkan keppres nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, yang memasukkan lahan basah menjadi kawasan yang dilindungi. Komitmen pemerintah dalam melakukan

38

Badan Informasi Geospasial


Highlight

Sebuah Perjalanan Panjang Dalam Mengelola Bantaran Kali Pesanggrahan Suprajaka dan Khaeruddin

Jawara Kali perlindungan ekosistem lahan basah semakin tinggi ketika telah meratifikasi konvensi ramsar melalui surat keppres nomor: R.09.PRD/ PU/X/1991, tanggal 19 Oktober 1991. Undangundang dan peraturan tersebut jelas berpihak pada konservasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia. Namun ketika terbit keppres RI nomor 82 tahun 1995 tentang pengembangan lahan gambut untuk pertanian tanaman pangan di Kalimantan Tengah dan undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang serta undang-undang nomor 27 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil muncul kontroversi antara ingin melakukan konversi atau konservasi terhadap ekosistem lahan basah. Undang-undang dan peraturan tersebut memberi ruang untuk melakukan proses konversi lahan bahkan diperbolehkannya reklamasi wilayah pesisir sebagai upaya untuk mendukung pembangunan wilayah. Kontroversi lain adalah ketika pemerintah mendorong munculnya undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup serta diterbitkannya Inpres nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Selain itu pemerintah juga memiliki komitmen terhadap pengamanan lahan pertanian pangan, dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan peraturan pemerintah nomor 12 tahun

2012 tentang insentif perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Namun usaha pemerintah menjadi sia-sia ketika secara bersamaan pemerintah juga mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 32 tahun 2011 tentang masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Pembangunan infrastruktur Pantai Utara Jawa untuk mendukung program MP3EI diperlukan lahan kurang lebih 5.060, 46 hektar, sehingga konversi lahan pasti tidak dapat dihindari. Program ini jelas secara sadar akan mengakibatkan ekosistem lahan basah di pantai utara Pulau Jawa menjadi semakin terdesak keberadaannya.

MELANGGAR KODRAT GEOGRAFI LAHAN BASAH Pada masa lampau paradigma ekosistem lahan basah merupakan ruang marginal yang tidak bermanfaat bahkan dikonotasikan negatif berupa rawa-rawa sebagai tempat sarang penyakit. Stigma tersebut mengakibatkan ekosistem lahan basah harus dikeringkan secara masif dengan tujuan untuk memanfaatkan ekosistem ini menjadi lebih baik. Turner et al. (2003) menegaskan bahwa cara pandang demikian mendorong adanya proses konversi lahan ke bentuk pemanfaatan lain yang tidak mempertimbangkan sifat dan karakter ekosistem lahan basah. Konversi lahan basah dengan cara ini ternyata menimbulkan masalah ketika ekosistem ini diubah menjadi ruang yang sangat berbeda dengan karakter atau sifat alamin-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

39


Highlight

ya, yaitu dengan cara pengerukan dan pengeringan. Berdasarkan data RePPRroT tahun 1985, luas lahan basah di Indonesia sekitar 41 juta hektar atau sebesar 20 persen dari luas daratan. Data lain seperti yang dilaporkan oleh Kelompok Kerja Mangrove Nasional 2009, bahwa lahan basah dalam bentuk kawasan hutan mangrove di Indonesia seluas sekitar 32 juta hektar. Sampai saat ini luas ekosistem lahan basah hampir setiap tahun terus berkurang sebagai akibat dari meningkatnya jumlah penduduk serta pembangunan, sehingga mempengaruhi laju konversi lahan basah. Pulau Jawa merupakan daerah yang mengalami konversi lahan basah ke penggunaan lain dengan tingkat pertumbuhan tertinggi bila dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Lahan basah alami terus mengalami peningkatan konversi untuk mencetak sawah dan tambak baru. Sementara itu, tambak dan sawah yang sudah ada dikonversi menjadi lahan non-pertanian dan nontambak untuk pengembangan kawasan pemukiman, industri dan infrastruktur. Kejadian bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan pada ekosistem lahan basah kemungkinan tidak separah seperti di Indonesia saat ini, jika wilayah ini dibiarkan atau dibuka secara terbatas untuk keperluan lahan pertanian, perikanan yang memiliki sifat-sifat fisik masih mirip dengan ekosistem lahan basah alami. Konversi lahan basah alami maupun buatan untuk pengembangan pemukiman, industri, infrastruktur yang tidak memperhatikan aspek ekologi bentang lahan baik oleh masyarakat maupun pemerintah telah menimbulkan tekanan ekosistem lahan basah dan gejalanya terus semakin meningkat. Banjir pada ekosistem lahan basah sesungguhnya merupakan hal yang wajar, sehingga tidak perlu dirisaukan karena memang bukan bencana. Banjir di ekosistem lahan basah sekedar meminta habitatnya yang saat ini di dihuni oleh permukiman. Masalahnya adalah kita telah berlaku tidak adil terhadap ekosistem lahan basah. Secara sadar dan terencana, kita merubah karakter alami ekosistem lahan basah yang dilakukan secara besar-besaran dan masih hampir terjadi di seluruh perkotaan In-

40

Badan Informasi Geospasial

donesia. Proses konversi ekosistem lahan basah buatan dan alami dilaksanakan dengan mengabaikan “design primordial�nya. Bagaimana mungkin sebuah ekosistem berpredikat basah ditinggalkan oleh kerabat terdekatnya yaitu air, sehingga kita selalu mengalami kekeringan di ekosistem lahan basah.

BERMULA DARI RASA KESAL Ketika berada di bantaran Kali Pesanggrahan kita tidak merasa berada di Kota Jakarta yang panas, gersang, dan penuh dengan hiruk–pikuk. Bantaran sungai yang pada umumnya telah disesaki dengan pemukiman penduduk dan tidak jarang terkesan kumuh, sama sekali tidak nampak seperti itu di bantaran Kali Pesanggrahan. Yang ada adalah kehijauan oleh berbagai pohon besar dan kecil yang membentuk hutan kota. Pada hal bantaran Kali Pesanggrahan tersebut masih menjadi bagian


Highlight

Pendaratan Penyusuran Sungai Pesanggarahan

Penyusuran Kali Pesanggrahan bersama dengan tim Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) 2013

dari Kota Jakarta, dan terletak sekitar 4 kilometer dari Terminal Lebak Bulus. Persisnya terletak di Karang Tengah, wilayah Jakarta Selatan, dan mencakup luas sekitar 120 hektar. Berbagai jenis bambu, nangka, rambutan, mlinjo, belimbing, sukun, menjadi penghuni Hutan Kota tersebut. Tentu keteduhan dan kehijauan pohon-pohonan dengan berbagai satwa burung yang berkicau, yang mencakup wilayah yang cukup luas tersebut bukan hasil kerja sehari dua hari, atau sebulan dua bulan, atau bahkan setahun

dua tahun, tetapi merupakan hasil kerja dari tahun 1980 an. Dan yang lebih mengagumkan lagi terbentuknya Hutan Kota seluas 120 hektar tersebut dimotori oleh seorang Jawara Betawi asli yang sekolah SD pun tidak lulus. Kearifan terhadap sungai dan lingkungannya sebagian besar dia peroleh dari alam dan masyarakatnya. “Kampus yang sebetulnya paling dahsyat adalah alam dan masyarakat” katanya. “Itu saya sebut menejemen kearifan lokal” lanjutnya. “Keseharian yang kita lihat, kita raba, kita rasa, itulah kampus sebenarnya, yang nggak ada batas akademisnya” kata

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

41


Highlight

Bang Idin untuk mencoba meyakinkan bahwa pengertian kampus tidak selalu identik dengan pendidikan formal yang selama ini kita kenal sebagai Perguruan Tinggi, dimana kita mencari gelar. Menurut dia kalau orientasinya sekedar pintar itu bisa diperoleh di bangku sekolah atau perguruan tinggi. Dalam hal ini Bang Idin mempunyai pendapat “Orang pintar belum tentu paham, sedangkan orang paham itu sedikit pintar�. Apa yang dia katakan

dengan ungkapan orisinil dan dikemukakan secara jujur mempunyai makna yang dalam. Banyak orang yang pandai berbicara, namun sedikit sekali mempraktekan apa yang dia bicarakan. Bagi Bang Idin apa yang dia ucapakan adalah hasil dari apa yang dia kerjakan terlebih dulu. Oleh karena itu setiap apa yang dia ucapkan selalu mengandung kebenaran yang telah teruji sebelumnya dengan berbagai praktek kehidupan yang dijalaninya. Selalu berpakaian khas Betawi yaitu peci, celana dan kaos atau baju khas Betawi, dan ikat pinggang berdompet , merupaka ciri khas Bang Idin. Pakain khas Betawi tersebut selalu melekat di tubuh Bang Idin dimanapun dia be-

42

Badan Informasi Geospasial


Highlight

rada, baik di acara yang resmi maupun tidak resmi. Berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri telah dia terima, termasuk penghargaan Kalpataru Tahun 1998. “Kalau dipasang semua, panjangnya bisa sampai 300 meter” kata Bang Idin tentang penghargaan yang diterimanya. Namun dia tidak memajang penghargaan tersebut. “Itu bukan tujuan saya” kata Bang Idin tentang berbagai penghargaan tersebut. Bagi Bang Idin kesuksesan membangun Hutan Kota Pesanggrahan, Sangga Buana seluas 120 ha, tanpa harus menjadi pemiliknya adalah hal luar biasa, di tengah tata nilai orang kota yang masih senang menyerobot tanah milik orang lain, memperlakukan lingkungan sungai sesuka hatinya, dan egoisme yang berlebihan sehingga berakibat rusaknya lingkungan hidup. Bang Idin berpandangan sebagai seorang Betawi menjadi Jawara berarti harus : lurus, lempeng, bening, ikhlas, berani, benar, tawaduk, serta menghargai setiap perbedaan. Tata nilai Jawara itulah yang diterapkan un-

tuk menghutankan bantaran Kali Pesanggrahan sehingga sekarang dikenal sebagai Hutan Kota tersebut. Terbangunnya hutan kota ini bermula dari rasa kesal Bang Idin tahun 1980. Dia merasa kesal karena Kali Pesanggrahan tempat bermainnya, waktu itu airnya semakin kotor, sampah menumpuk, dan gersang. Kekesalan Bang Idin tidak diwujudkan dengan demonstrasi di bundaran Hotel Indonesia, tetapi diungkapkan dengan menyusuri Kali Pesanggrahan dari hulu sampai hilir. Selama menyusuri sungai dia mencatat tumbuhtumbuhan dan hewan apa yang masih ada di sekitar kali tersebut. Gerakannya dilakukan mulai dari yang sederhana, yaitu mengumpulkan sampah yang dibuang ke kali oleh “orang gedongan” yang tinggal di pinggir kali. Singkatnya membangun kepedulian terhadap Kali Pesanggrahan dan sekaligus menanam berbagai pepohonan di bantaran sungai Kali Pesanggrahan. Setelah sekitar 30 tahun hasilnya dapat kita nikmati bersama yaitu Hutan Kota Kali Pesanggrahan, Sangga Buana. “Siapa yang menanam, dia yang menuai !“ kata pepatah. Itulah Bang Idin “Sang Jawara” dengan kemampuan kepemimpinan yang tinggi berlandaskan kearifan lokal.

“Secara sadar dan terencana, kita meru­ bah karakter alami ekosistem lahan basah yang dilakukan secara besar-besaran dan masih hampir terjadi di seluruh perkotaan Indonesia.” Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

43


Highlight Highlight

44

Badan Informasi Geospasial


Highlight

KAWASAN STRATEGIS NASIONAL JABODETABEKPUNJUR, PERLU PENEGAKAN HUKUM Al. Susanto Anggota Ikatan Ahli Geografi Indonesia

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, atau dikenal dengan singkatan Jabodetabekpunjur merupakan wilayah yang saling terkait bukan hanya karena jaraknya berdekatan, tetapi kondisi ekosistemnya mempunyai interaksi dan interdependensi.

W

ilayah Jabodetabekpunjur terletak dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dari 3 sungai besar yang bermuara di daerah Puncak. Sungai besar tersebut adalah Cisadane, Ciliwung, dan Bekasi dengan beberapa anak sungainya mengalir ke wilayah sebagian Provinsi Banten yaitu Kabupaten Tangerang, Provinsi DKI, dan sebagian wilayah Jawa Barat yaitu Bogor, Depok , Bekasi, dan Puncak. Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, merupakan kota dengan beban penduduk mencapai sekitar lebih dari 10 juta orang. Sementara Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur dari sisi jumlah penduduk juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bertambahnya penduduk tentu saja membutuhkan berbagai keperluan seperti air bersih, transportasi, tempat tinggal, pembuangan limbah rumah tangga, fasilitas umum, infrastruktur, dlsb. yang memerlukan lahan yang tidak sedikit. Desakan kebutuhan lahan ini akan menyebabkan terjadinya kon-

versi lahan yang begitu cepat. Konversi lahan dari penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya tentu saja memerlukan pertimbanganpertimbangan kewilayahan dan keruangan yang sesuai dengan karakteristik geografisnya. Pengalihan fungsi kawasan hutan lindung di wilayah-wilayah yang mempunyai kemiringan lebih dari 40% menjadi hutan produksi atau pemukiman tentulah bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan wilayah yang baik. Demikian juga pemanfaatan sepadan sungai untuk pemukiman, merupakan contoh yang tidak baik bagi pengelolaan wilayah yang berwawasan lingkungan. Penataan wilayah Jabodetabekpunjur harus bersifat menyeluruh, terpadu, dan saling bersinergi dengan memperhatikan keterkaitan antara wilayah hulu, tengah, dan hilir. Wilayah hulu yang didominasi perbukitan dengan lereng lebih dari 40% perlu dipertahankan sebagai wilayah hutan lindung. Sementara wilayah tengah dengan lereng kurang dari 40% dapat digunakan seba-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

45


Highlight

Rumah-rumah di sepanjang bantaran sungai Ciliwung yang ditelusuri oleh Tim EGI.

gai areal budidaya, seperti pemukiman dengan tingkat kepadatan yang rendah atau sedang. Pada wilayah ini juga dapat dikembangkan pertanian atau perladangan. Sementara pada wilayah hilir yaitu Jakarta dengan topografi yang relatif datar, dikembangkan menjadi pemukiman sedang sampai padat. Di Jakarta yang merupakan wilayah hilir dari Sungai Ciliwung seharusnya wilayah sepadan sungai dibebaskan dari bangunan pemukiman. Penataan Tata Ruang Wilayah Jakarta saja yang merupakan wilayah hilir, tanpa memperhatikan penataan wilayah Puncak dan Bogor sebagai wilayah resapan air akan berakibat pada peningkatan wilayah banjir di Jakarta. Banjir di Jakarta harus diatasi secara komprehensif dari wilayah hulu, tengah, dan hilir secara sinergis. Kemampuan teknis dalam mengurangi banjir Jakarta yang semakin meningkat harus dipadukan dengan kemampuan manajerial yang berkaitan dengan koordinasi, integrasi,

46

Badan Informasi Geospasial

dan sinkronisasi antara pemerintah Provinsi DKI, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten. Nampaknya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi 3 pemerintah daerah ini tidak sepenuhnya berjalan dengan baik, setidaknya terlihat dalam pengelolaan wilayah Jabodetabekpunjur. Rencana Tata Ruang Wilayah Jabodetabekpujur yang telah ditetapkan, dalam kenyataan di lapangan banyak yang dilanggar. Para pengembang pemukiman, ternyata banyak membangun perumahan di wilayah bantaran sungai. Demikian juga banyak bangunan-bangunan liar di wilayah lindung atau wilayah yang seharusnya tidak boleh ada bangunan, dibiarkan saja tanpa ada upaya pencegahan. Kelemahan penegakan hukum menjadi masalah besar dalam upaya mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah Jabodetabekpunjur yang telah disyahkan melalui Perpres No. 54 Tahun 2008 tersebut.


Highlight

Jabodetabekpunjur yang mencakup luas sekitar 2.027 km² (Djakapermana RD, 2008) merupakan wilayah yang strategis karena Ibu Kota Negara yaitu Jakarta terletak di bagian wilayah ini. Jakarta dan wilayah sekitarnya terus berkembang baik dari kegiatan ekonomi maupun jumlah penduduknya. Berdasarkan data tahun 2006, sekitar 70% investasi nasional berada di Jawa-Bali, dan sebagian besar berada di kawasan Jabodetabekpunjur, yaitu Provinsi DKI 22%, Banten 11%, dan Jawa Barat 27% (Djakapermana RD, 2008 ). Ibu Kota Negara di negara manapun merupakan simbol identitas

gulangi. Peningkatan kesadaran masyarakat adalah satu cara. Kesadaran masyarakat dan efektifitas pemerintah untuk mengatur upayaupaya pencegahan banjir harus dilakukan secara bersama-sama dan bersinergi sehingga ancaman banjir terhadap Jakarta semakin mengecil. Jakarta sebagai kota delta dan kondisi topografisnya yang relatif datar dan bahkan dibeberapa tempat yang dekat dengan pesisir terjadi penurunan permukaan tanah, memang rawan banjir. Sementara itu dari sisi penggunaan lahannya hampir seluruhnya tertutup dengan bangunan. Ruang terbuka hijau yang dipersyaratkan untuk suatu kota setidaknya mencakup 30% dari wilayah tersebut, ternyata saat ini tidak bisa dipenuhi. Dari data yang ada ternyata hanya sekitar 10% saja ruang terbuka hijau yang ada. Lahan yang ada telah dikuasai oleh para pemilik dengan sertifikat kepemilikan. Bagi pemerintah DKI, untuk menambah ruang terbuka hijau adalah dengan membeli lahan dari pemiliknya. Tentu hal ini tidak mudah karena harga tanah di Jakarta sangat tinggi. Sementara itu kota-kota sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur sebagai kota-kota satelit juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kota-kota sekitar Jakarta ini menjadi pensuplai tenaga kerja di wilayah Jakarta. Oleh karena itu jumlah penduduk Jakarta pada malam hari dan siang hari mengalami perbedaan yang cukup besar. Jalan darat ke arah Tangerang, Bekasi, dan Bogor baik pada pagi hari maupun sore hari semakin dipadati kendaraan pergi dan pulang kerja. Kemacetan menjadi problem yang sulit diatasi di Kota Jakarta. Integrasi pengelolaan transportasi Jabodetabekpunjur merupakan suatu keharusan disamping integrasi pengelolaan wilayah Jabodetabekpunjur untuk mengatasi masalah banjir Jakarta. Penataan wilayah Jabodetabekpunjur sebetulnya telah dimulai sejak tahun 1985 dengan Perpres No. 79 Tahun 1985 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur, dan kemudian diperbaharui melalui Keppres No. 114 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur.

“...dalam kenyataan di lapangan banyak yang dilanggar. Para pengembang pemukiman, ternyata banyak membangun perumahan di wilayah bantaran sungai. “ dan kewibawaan suatu negara. Ibu Kota Negara yang nyaman, teratur, dan bersih merupakan cermin bagaimana suatu negara dikelola dengan baik. Sayang kondisi Ibu Kota Negara Indonesia masih jauh dari kesan nyaman, teratur, dan bersih. Kondisi tersebut diperparah dengan masalah banjir yang semakin sering terjadi pada musim hujan. Banjir tidak saja disebabkan oleh kondisi wilayah hulu yang semakin rusak tetapi juga kondisi penataan ruang baik di hulu, tengah, dan hilir yang semakin jauh dari Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah disepakati. Kondisi tersebut menjadi semakin sulit ketika kesadaran masyarakat kota akan perlunya upaya-upaya pencegahan banjir juga masih rendah. Sebagai contoh pembuangan sampah ke kali atau saluran drainase mestinya sejak awal harus dicegah. Pengamatan Tim EGI, melalui penelusuran Sungai Pesangrahan, Ciliwung, dan Sungai Bekasi, menemukan berbagai macam sampah yang volumenya sangat tinggi. Dari rumah-rumah sepanjang sungai yang ditelusuri oleh Tim Egi, hampir semua limbah rumah tangga dibuang ke sungai. Sungai bagaikan bak sampah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pintu air penuh dengan sampah. Harus dicari cara bagaimana masalah sampah ini bisa ditang-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

47


Highlight

PENATAAN RUANG KAWASAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, DAN CIANJUR

48

Badan Informasi Geospasial


Highlight Legenda: KODE ZONA

NAMA ZONNING

LINDUNG

a. Tidak diperkenankan bagi kegiatan budidaya b. Kegiatan budidaya yang telah terlanjur dalam jangka panjang harus dikeluarkan dari zona ini. c. Hutan Lindung (HL) d. Riset e. Hutan sepadan sungai, danau, laut, dan lereng terjal f. Hutan perlindungan badan air g. Hutan Bakau

HUTAN KONSERVASI/ CAGAR ALAM/ TAMAN NASIONAL/ TAMAN WISATA ALAM/ SUAKAMARGASATWA/ BUDIDAYA/PENINGGALAN SEJARAH

a. Tidak diperkenankan bagi kegiatan budidaya b. Wisata Alam c. K awasan preservasi dan konservasi budaya, flora dan fauna d. Riset

N-1

N-2

ARAHAN PENGELOLAAN DAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

KODE ZONA

ARAHAN PEMANFAATAN

B-1

a. Perumahan hunian padat (Perkotaan) b. Perdagangan dan Jasa c. Industri ringan non polutan dan berorientasi pasar

B-2

a. Perumahan hunian sedang (Pedesaan) b. Pertanian / Ladang c. Industri berorientasi tenaga kerja

B-3

a. Perumahan Hunian Rendah (Intensitas lahan terbangun rendah dengan rekayasa teknis) b. Pertanian / Ladang

B-4

a. Perumahan Hunian Rendah b. Pertanian lahan basah/kering (dengan teknologi tepat guna) c. Perkebunan, Perikanan, Peternakan Agroindustri, Hutan Produksi

B - 4/HP

B-5

Zona B4 yang telah ditetapkan sebagai kawasan produksi tetap atau hutan produksi terbatas sesuai peraturan perundang-undangan

Pertanian Lahan Basah (irigasi teknis) a. Perumahan Hunian Rendah dengan KZB maksimum 50 persen b. Daya dukung lingkungan rendah c. Pemanfaatan ruangnya harus disetujui oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional

B-6

a. Perumahan Hunian Rendah dengan KZB maksimum 40 persen b. Daya dukung lingkungan rendah. Hutan Produksi c. Pemanfaatan ruangnya harus disetujui oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional

B-7

B - 7HP

Zona B7 yang telah ditetapkan sebagai kawasan Hutan produksi tetap atau hutan produksi terbatas sesuai dengan peraturan perundang-undangan

ZONA P1

Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk mencegah abrasi, intrusi air laut, pencemaran dan kerusakan dari laut Pemanfaatan diarahkan untuk menjaga fungsi zona N1

ZONA P2

Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk refernsi banjir mencegah abrasi, intrusi air laut, pencemaran dan kerusakan dari laut Pemanfaatan diarahkan untuk menjaga fungsi zona N1 dan zona P5

ZONA P3

Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mendukung zona dengan intensitas penfaatan tinggi dan tingkat aksesbilitas tinggi Pemanfaatan diarahkan untuk menjaga fungsi zona B1

ZONA P4

Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah Pemanfaatan diarahkan untuk menjaga fungsi zona B2 dan B4

ZONA P5

Zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk mencegah abrasi, retensi air intrusi air laut, dan konservasi hutan bakau dengan daya dukung lingkungan rendah Pemanfaatan diarahkan sebagai penyangga zona N1 dengan zona B1

Sumber: 1. 2. 3. 4. 5.

Peta Dasar Rupabumi Skala 1: 25.000 - Bakosurtanal tahun 2000 Hasil Rapat Tim Sektoral, Pemerintah Daerah dan BKSP Keppres nomor 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur Peta Pola Pemanfaatan dan Struktur Ruang hasil konsultasi dengan Daerah Peta Kawasan Hutan dan Perairan Jabodetabek-Punjur, Baplan Kehutanan tahun 2007

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

49


Highlight

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, wilayah Jabodetabekpunjur ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari 76 Kawasan Strategis Nasional yang ada. Sebagai salah satu KSN, Rencana Tata Ruang Wilayahnya ditentukan dengan Peraturan Presiden. Penataan ruang Jabodetabekpunjur selanjutnya ditetapkan

daerah-daerah hilir direncanakan hunian padat (perkotaan), dengan perdagangan dan jasa, serta industtri ringan non polutan dan berorientasi pasar. Untuk daerah diatasnya diatur untuk perumahan hunian sedang (perdesaan), dengan pertanian/ladang, dan industri berorientasi tenaga kerja. Pada wilayah tertentu dikembangkan perumahan hunian rendah (intensitas lahan terbangun rendah dengan rekayasa teknis) dan pertanian/ladang. Pada wilayah dengan kondisi geografis tertentu dikembangkan Kawasan Hutan Produksi Tetap atau Hutan Produksi Terbatas. Untuk wilayah-wilayah mendekati pesisir dan wilayah pesisir dikembangkan untuk kawasan pertanian lahan basah; perumahan hunian rendah; kawasan yang berfungsi untuk konservasi hutan bakau, mencegah banjir, abrasi, pencemaran, dan kerusakan laut.

“Kelemahan pene­gakan hukum menjadi masalah besar dalam upaya mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah Jabodetabekpunjurâ€? melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Tujuan penetapan Jabodetabekpunjur sebagai KSN adalah: mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antardaerah dengan memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan; mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan; dan mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakter wilayah. Sesuai dengan struktur dan pola ruang pada Peta Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur yang disyahkan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, wilayah Puncak dan wilayah pegunungan dengan lereng lebih dari 40% merupakan zona N-1 yaitu zona lindung dan N-2 yaitu zona hutan konservasi/cagar alam/ taman nasional/taman wisata alam/suaka margasatwa/ budaya/peninggalan sejarah. Pada zona N-1 dan N-2 tidak diperkenankan bagi kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang sudah terlanjur dalam jangka panjang harus dikeluarkan dari zona ini. Selanjutnya pada

50

Badan Informasi Geospasial

Rencana Tata Ruang Wilayah Jabodetabekpunjur sebagai tindak lanjut dari Perpres, No.54 Tahun 2008 telah ditetapkan melalui koordinasi dan sinkronisasai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten, Provinsi DKI, dan Provinsi Jabar melalui rapat Tim Sektoral Pemerintah Daerah dan BKSP. Penuangan peta Rencana Tata Ruang Wilayah juga telah memakai Peta Dasar Rupabumi skala 1 : 25.000. Demikian juga kaidah-kaidah penentuan pola dan struktur ruang telah sesuai dengan prosedur dan kajian yang komprehensif. Sangat diharapkan bahwa dalam pelaksanaannya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat Rencana Tata Ruang Wilayah Jabodetabekpunjur tersebut dapat ditaati. Bagaimanapun juga Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan panduan untuk perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang suatu wilayah. Kesadaran masyarakat untuk taat terrhadap peraturan perundangan yang ada perlu terus diingatkan dan penegakkan hukum terus dijalankan secara konsisten. Sehingga tertib pemanfaatan ruang dapat terwujud, peningkatan kesejahteraan dan terpeliharanya lingkungan dapat berjalan beriringan. Untuk mengurangi beban Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang semakin tidak terkendali, sebai-


Highlight

Dari rumah-rumah sepanjang sungai yang ditelusuri oleh Tim EGI, hampir semua limbah rumah tangga dibuang ke sungai, bagaikan bak sampah besar.

knya beberapa pertanyaan ini bisa dijadikan bahan kajian atau setidaknya renungan, yaitu: 1. B erapa daya tampung maximal jumlah penduduk yang bisa ditampung di Jakarta ? 2. A kankah Jakarta dikembangkan menjadi Ibu Kota Negara dan sekaligus kota perdagangan/ industri ? 3. Peran/fungsi apa untuk kota Jakarta dan kota satelit Bodetabekpunjur sebagai satu wilayah ekosistem agar bisa saling mengisi ? 4. Apakah tidak sebaiknya Jabodetabekpunjur menjadi satu wilayah Provinsi ?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan sebagian pertanyaan yang sekaligus permasalahan kota Jakarta yang semakin lama semakin akut. Permasalahan semakin membesar dan ruang penyelesaiannya semakin menyempit. Kompleksitas permasalahan Jakarta semakin rumit, sedangkan kapasitas penyelesaian masalah oleh Sang Gubernur DKI tidaklah sepadan. Diperlukan cara yang luar biasa, diantaranya adalah mengurai dan menemukan jawaban terhadap beberapa pertanyaan diatas. Mengelola Jakarta saat ini ibarat merawat pasien yang sedang menderita sakit karena komplikasi. Perlu kesabaran dan jika perlu ada kebijakan-kebijakan yang di luar kebiasaan/ terobosan.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

51


Komponen AbiotikAbiotik Komponen

52

Badan Informasi Geospasial


Komponen Abiotik

PERKEMBANGAN MEGA URBAN DI DATARAN BANJIR Dr. Priyadi Kardono, M.Sc.

Jakarta sebagai ibu kota negara telah berkembang menjadi kota yang besar karena kawasan sekelilingnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari ibu kota tersebut. Beberapa kota sekitar Jakarta secara administratif berbeda yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, tetapi dalam kenyataannya telah menjadi bagian dari Kota Jakarta tersebut. Wilayah tersebut dikenal dengan sebutan wilayah Jabodetabek.

W

ilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, merupakan perluasan wilayah ibu kota (Extended Metropolitan Region) dari Jakarta. Dalam istilah lain Jabodetabek menjadi konurbasi (conurbation) yang berarti suatu kawasan yang terbentuk karena bergabungnya beberapa kota. Jabodetabek juga bisa disebut sebagai Wilayah Pedesaan Besar (Mega Urban Region). Sebagai suatu Mega Urban Region dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah luas tentu menyimpan berbagai permasalahan dan sekaligus potensi pengembangan yang besar. Jakarta mempunyai sejarah yang panjang. Pada abad 16 sebuah kota bernama Kalapa, menjadi bandar utama sebuah Kerajaan Hin-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

53


Komponen Abiotik

du bernama Sunda, beribu kota di Pajajaran. Pajajaran sendiri berada di pedalaman dekat Kota Bogor sekarang. Orang Portugis merupakan rombongan besar orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota bandar ini diserang oleh Fatahilah, seorang dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahilah kemudian mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal ini dijadikan hari kelahiran Kota Jakarta. Pada akhir abad ke-16 orangorang Belanda datang dan menguasai Kota Jayakarta dan menganti namanya kota tersebut menjadi Batavia. Kota ini kondisi alamnya berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda. Maka merekapun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Mereka membangun pusat pemerintahan. Proses waktu membuat Kota Batavia berkembang ke arah selatan. Sementara itu gerakan kebangsaan untuk memerdekakan diri, dari waktu ke waktu semakin bergelora dalam jiwa dan badan bangsa Indonesia. Sebelum tahun 1945, dalam waktu yang relatif singkat Indonesia dijajah oleh Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, Batavia diganti namanya menjadi Jakarta. Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Setelah kemerdekaan, dengan berbagai proses administrasi negara, akhirnya mengesyahkan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan dikukuhkan sebagai Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jakarta yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-486 pada tahun 2013 ini memang bertambah maju. Namun juga harus diakui beban kota yang dipikulnya semakin berat dan kompleks. Salah satu masalah besar yang dihadapi Jakarta adalah banjir. Meskipun banjir di Jakarta berdasarkan catatan sejarah telah lama ada. Banjir Jakarta dari waktu ke waktu semakin meluas dan frekuensinya semakin sering terjadi. Sebagai contoh banjir awal tahun 2013 yang lalu telah menyebabkan 20 orang tewas dan 45.954 orang mengungsi. Menurut beberapa sumber, kerugian akibat banjir tersebut sekitar 20 trilyun. Tentu saja menyelesaikan atau mengurangi banjir Jakarta tidak terlepas dari beberapa wilayah seki-

54

Badan Informasi Geospasial

tarnya yang saat ini telah menyatu dengan Jakarta. Wilayah lainnya tersebut adalah Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Disamping itu kawasan Puncak dan Cianjur yang merupakan daerah hulu Daerah Aliran Sungai yang mengalirkan 13 sungai yang bermuara di Jakarta mempunyai peran penting bagi pengendalian banjir di Jakarta. Begitu pentingnya kawasan Jabodetabekpunjur bagi kepentingan nasional maka wilayah ini ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN). Sebagai wilayah yang ditetapkan sebagai KSN, maka Rencana Tata Ruang Wilayahnya ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Untuk wilayah Jabodetabekpunjur rencana tata ruangnya ditetapkan dengan Perpres No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Wilayah ini secara administratif berada pada 3 provinsi yaitu, DKI, Banten, dan Jabar. Sekalipun Rencana Tata Ruang Wilayahnya telah ditetapkan oleh Presiden, namun dalam kenyataannya rencana tersebut di lapangan tidak bisa berjalan sesuai dengan rencana tata ruangnya. Banyak terjadi alih fungsi lahan baik di bagian hulu, tengah, maupun hilir. Penegakan peraturan di lapangan menemui kendala yang sulit ditembus oleh para penegak hukum. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kawasan hulu yang menjadi resapan air menjadi rusak, bantaran sungai menyempit karena telah dihuni pemukiman, ruang terbuka hijau menjadi semakin menyempit dan tidak proporsional lagi, timbunan sampah ada di mana-mana dan menyebabkan tidak berfungsinya sistem drainase kota, dlsb. Permasalahan tersebut tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus ada penyelesaian oleh seluruh pemangku kepentingan. Memang Jakarta dengan kota-kota sekitarnya yang saat ini telah membentuk Mega Urban Region dengan penduduk sekitar 22 juta (data tahun 2010), telah kelebihan beban untuk memberikan pelayanan kepada penduduknya. Daya dukung lingkungannya seolah-olah sudah tidak mampu memberikan dukungan terhadap penduduk dengan segala aktifitasnya. Sementara pertambahan jumlah penduduk baik secara alami maupun akibat urbanisasi tidak terbendung lagi. Jumlah penduduk yang demikian besar yang membawa budaya masing-mas-


Komponen Abiotik

ing tentu tidak mudah untuk diubah menjadi budaya yang tertib, tidak merusak lingkungan, apalagi mempunyai inisiatif untuk melakukan upaya-upaya secara swakarsa untuk pencegahan banjir. Walaupun sulit, tugas pemerintahlah untuk mengajak, mengambil inisiatif, dan memotivasi masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi banjir Jakarta. Pada tingkat aparatur pemerintah perlu ada kerjasama yang sinergis antara pemerintah daerah di kawasan Jabodetabekpunjur. Sebagai acuan kerjasama antar pemerintah daerah adalah bagaimana Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan oleh Presiden melalui Keppres No. 54 Tahun 2008 dapat berjalan dengan baik. Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) yang telah dibentuk perlu direvitalisasi. Kapasitas kelembagaan, peningkatan fungsi dan peran, peningkatan tata laksana, peningkatan kemampuan SDM, merupakan beberapa contoh untuk merevitalsasi peran BKSP. Demikian juga peningkatan kewenangan dalam rangka kerjasama antar daerah sehingga sinergi antar daerah dalam mengatasi banjir dapat terwujud.

Mega Urban Jakarta hanya bisa menjadi Kota Metropolitan yang nyaman bagi penghuninya jika dihuni oleh warganya yang juga peduli terhadap ketertiban, kebersihan, dan keindahan. Kepedulian warga harus terus ditumbuhkan secara terus menerus baik oleh masyarakat sipil maupun oleh pemerintah. Pemerintah juga harus berupaya keras untuk memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat, terutama sekali dengan menyediakan berbagai infrastruktur dasar seperti transportasi umum, penyediaan air bersih, pelayanan kesehatan yang terjangkau, dan pendidikan yang berkualitas.

“Mega Urban Jakarta hanya bisa menjadi Kota Metropolitan yang nyaman bagi penghuninya jika dihuni oleh warganya yang juga peduli terhadap ketertiban, kebersihan, dan keindahan.�

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

55


Komponen AbiotikAbiotik Komponen

DAERAH ALIRAN SUNGAI: SALAH KELOLA DR. Yayat Hidayat

Sungai Ciliwung merupakan sungai terbesar yang melintasi kota Jakarta. Bagi warga Jakarta sungai tersebut merupakan sumber harapan yang sekaligus menjadi sumber keputusasaan. Air sungai tidak pernah lagi jernih, tercemar berat limbah rumah tangga (detergen dan E. Coli) dan limbah industri (logam berat) yang menyebabkan air sungai menjadi tidak layak pakai sebagai sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

K

etika musim kemarau tiba aliran sungai berhenti (mengering). Aliran sungai pada musim kemarau tidak lain adalah aliran air limbah yang dibuang dari kakisu (kanan-kiri sungai). Sebaliknya pada musim hujan sungai Ciliwung merupakan sumber bencana. Setiap hujan turun banjir selalu mengikutinya. Bagi sebagian warga Jakarta, banjir Ciliwung merupakan fenomena rutin yang tak terhindarkan, walaupun menyebabkan kerugian material yang sangat besar, hingga saat ini belum ada solusi jitu untuk mengatasinya. Fenomena tersebut juga berlaku untuk seluruh sungai yang melintasi kota Jakarta seperti kali Angke-Pesanggrahan, Cipinang dan Sunter.

56

Badan Informasi Geospasial

Tingginya fluktuasi debit aliran sungai antara musim penghujan dan musim kemarau merupakan indikasi fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) terdegradasi. DAS bukan kakisu melainkan wilayah tangkapan air (catchment) yang secara fisik dibatasi oleh batas-batas topografi (punggung bukit) dan berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh pada wilayah tersebut menuju satu titik aliran pembuangan (outlet). Tinggi rendahnya debit aliran air sungai dan baik buruknya kualitas air sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik DAS. Kondisi biofisik DAS yang baik mampu menjamin ketersediaan air yang merata sepanjang tahun (kuantitas dan kualitas) dan terdistribusi merata pada selu-


Komponen Abiotik

ruh bagian DAS, sehingga tidak terjadi banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Walaupun demikian banjir Jakarta juga disebabkan karena sebagian (Âą40%) wilayah Jakarta berada dibawah permukaan air laut (cekungan) (Bappeda DKI Jakarta, 2001), tidak berfungsinya/tidak cukupnya saluran drainase, kebiasaan masyarakat menjadikan selokan/sungai sebagai tempat pembuangan limbah, dan menyempitnya badan sungai akibat pembangunan permukiman dan perkantoran pada sempadan dan sebagian badan sungai.

tidak banjir bukan kota Jakarta. Mengapa banjir Jakarta sulit diatasi?

ALIH FUNGSI LAHAN

Sebagian besar penggunaan lahan pada DAS Ciliwung dan DAS lainnya di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya telah terkonversi (beralih fungsi) menjadi lahan permukiman. Hasil analisis citra landsat 2010 menunjukkan lahan permukiman di DAS Ciliwung meliputi areal seluas 31.805 hektar atau menempati sekitar 61.2% areal DAS Ciliwung. Luas permukiman menjadi sangat dominan di DAS Sunter (75,42%), Cakung (70.36%) dan Angke (62.46%). Luas permukiman yang masih cukup seimbang terdapat di DAS Cisadane yaitu menempati areal seluas 15 574 hektar (11.27%). Untuk DAS Sunter, AngkePesangrahan dan Cakung hampir tidak ditemukan hutan sebagai vegetasi permanen, sehingga wilayah hulunya sudah berubah menjadi kompleks permukiman. Luasnya lahan permukiman yang sebagian besar permukaan tanahnya telah mengalami pemadatan dan atau tertutup oleh lapisan beton menyebabkan sebagian besar air hujan akan segera berubah menjadi aliran permukaan yang selanjutnya akan segera masuk ke dalam parit atau selokan dan akhirnya menuju sungai atau laut. Apabila parit/selokan tertimbun tumpukan sampah maka air hujan akan segera berubah menjadi genangan yang apabila terakumulasi dengan air dari wilayah permukiman lain maka genangan tersebut berubah menjadi genangan banjir.

“Aliran sungai pada musim kemarau tidak lain adalah aliran air limbah yang dibuang dari kakisu (kanan-kiri sungai).� Kegiatan pengelolaan DAS sudah dilakukan sejak sebelum kemerdekaan. Pengelolaan DAS Ciliwung khususnya ditujukan agar sungai Ciliwung tidak menyebabkan banjir di ibu kota Jakarta. Sebagai antisipasi terhadap penanganan banjir di wilayah Jakarta, pada awal tahun 1990-an Prof. H. van Breen telah merencanakan membuat Banjir Kanal Barat mulai dari pintu air Manggarai sampai Muara Angke (Suara Publik, 2001). Kegiatan pengelolaan DAS yang telah dilakukan antara lain kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT), program kali bersih (PROKASIH), jabotabek water resources management (JWRM) (Departemen Kehuatanan, 1997), penanggulangan pencemaran kabupaten DT II Bogor, dan pengelolaan ruang kawasan (PRK) Bopunjur, kegiatan-kegiatan pemda DKI Jakarta untuk menanggulangi banjir di wilayah DKI Jakarta, serta gerakan nasional rehabiltasi hutan dan lahan (GN-RHL) yang akhir-akhir ini sering menjadi pusat perhatian dan pertanyaan masyarakat publik. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan tetapi hasilnya masih jauh dari memuaskan. Banjir Jakarta terus meningkat (besaran dan frekuensinya) sehingga muncul anekdot kalau

Laju konversi lahan di DAS Ciliwung Hulu sangat ekstensif. Lahan hutan terkonversi menjadi lahan pertanian yang kemudian terkonversi lagi (konversi turunannya) menjadi lahan permukiman, pertokoan dan perkantoran. Berdirinya berbagai vila mewah, resort dan hotel (milik orang berduit dari Jakarta) pada lahan pertanian berlereng curam merupakan fakta tak terbantahkan tingginya konversi lahan di DAS Ciliwung Hulu (Cisarua, Puncak dan sekitarnya). Pada kurun waktu 1985-2010 telah menyebabkan hilangnya lahan hutan dan sawah masing-masing seluas 2408 dan 2988

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

57


Komponen Abiotik

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAS CILIWUNG HULU (1985-2010)

PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 2010 Permukiman 14636.2 Tegalan/ ladang 696.7

-3000

-2000

-1000

0

1000

Kebun Campuran 2919.4 DAS Sunter

Sawah 135.4

Hutan

Bandara/ Pelabuhan 973.4 Semak Belukar 46.5

Semak Belukar

Perkebunan/ Kebun 100.7

Kebun Campuran

Tegalan/ ladang 1335.6 Hutan Mangrove Sekunder 64.7 Sawah 4811.1 DAS AngkePesanggrahan

Karet

Hutan Tanaman 1.1 Kebun Campuran 12830.1 Semak Belukar 137.8

Kebun Teh

Tubuh Air 165.7 Bandara/ Pelabuhan 195 Permukiman 32722.8

Lahan Terbuka

Permukiman Kebun Campuran 328.4 Tubuh Air 22.3 Sawah 6459 DAS Cakung

Sawah

Bandara/Pelabuhan 3.1 Tambak 282.2 Semak Belukar 54.2 Permukiman 16974.1

Tegalan

1985 - 1990

2001 - 2010

1990 - 1994

1985 - 2010

1994 - 2001

58

Badan Informasi Geospasial

2000 3000


Komponen Abiotik

Kegiatan pertanian pada lahan berlereng curam DAS Ciliwung Hulu (atas) dan Cisadane Hulu (bawah)

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

59


Komponen Abiotik

Debit aliran sungai Ciliwung di bendung Katulampa pada saat kondisi normal dan musim kemarau

hektar, serta meningkatnya lahan pemukiman seluas 2473 hektar yang diikuti oleh lahan tegalan (1356 ha), kebun campuran (947 ha), kebun teh (891 ha) dan semak belukar (424 ha).

SISTEM PERTANIAN TIDAK RAMAH LINGKUNGAN Terbatasnya lahan yang relatif datar telah menyebabkan pengembangan lahan pertanian pada lahan berlereng curam. Pengembangan pertanian pada lahan demikian tidak sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan (land capability & land suitability), sehingga dapat menyebabkan kerusakan sumberdaya lahan dan lingkungan baik ditempat dimana kegiatan pertanian tersebut dilakukan (on site effect) maupun di tempat lain yang dipengaruhinya (off site effect). Pengembangan pertanian pada lahan tersebut tidak sustainable karena penurunan kualitas lahan (fisik, kimia dan biologi tanah) harus selalu diimbangi dengan penambahan input pertanian (khususnya pupuk) yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan sebagai akibatnya pendapatan usaha tani akan semakin menurun. Kalau tidak, tanaman yang diusahakan tidak akan berproduksi dengan baik sehingga kegiatan usaha tani tidak memberikan keuntungan. Memburuknya kualitas tanah secara linier berkorelasi dengan semakin rendahnya kemampuan tanah meresapkan air dan semakin tingginya aliran permukaan dan erosi tanah yang dihasilkan dari lahan-lahan pertanian. Menurunnya luas lahan hutan akibat alih fungsi lahan yang disertai dengan meningkatnya lahan pertanian dan pengelolaan la-

60

Badan Informasi Geospasial

Tutupan lahan perkebunan teh (atas) dan lahan yang dihutankan (bawah)

han pertanian tidak ramah lingkungan serta berkembang pesatnya wilayah pemukiman telah menyebabkan fluktuasi debit aliran sungai Ciliwung Hulu yang sangat tinggi antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada puncak musim hujan debit aliran sungai di Bendung Katulampa dapat mencapai sekitar 350 m3/dt dan sebaliknya pada puncak musim kemarau debit alirannya turun drastis hingga 0.5 m3/dt sehingga koefisien regim sungainya (KRS) sangat tinggi (>200) yang mengindikasikan DAS Ciliwung berkualitas buruk. Nilai KRS yang sangat tinggi terjadi dimulai sejak tahun 1998 sebagai akibat tingginya konversi lahan pada era awal reformasi di Indonesia


Komponen Abiotik

tersebut menunjukkan bahwa 73% hujan yang jatuh di DAS Ciliwung Hulu akan berubah menjadi aliran sungai yang kemudian mengalir ke wilayah DKI Jakarta sebagai banjir kiriman. Koefisien runoff meningkat dengan semakin bertambah luasnya areal permukiman di wilayah hilir. Pada outlet pintu air Manggarai koefisien runoff DAS Ciliwung adalah 0.83 (Hidayat, 2009).

KAWASAN LINDUNG

Pembangunan hotel di tebing sungai Ciliwung (atas) dan perumahan di tepi kali Pesanggrahan (bawah)

(Hidayat, 2005). Tingginya fluktuasi debit aliran sungai juga merupakan kondisi umum di Indonesia saat ini. Debit aliran sungai Citarum pada inlet waduk Saguling (Nanjung) berfluktuasi antara 654 m3/dt pada musim penghujan hingga 3 m3/dt pada puncak musim kemarau (Hidayat et al., 2013). Aliran permukaan yang masuk kedalam sungai Ciliwung bagian hulu juga bersumber dari lahan perkebunan teh di wilayah puncak yang saat ini meliputi areal seluas 4057 ha atau menempati sekitar 27.2% wilayah DAS Ciliwung Hulu. Walaupun aliran permukaan dan erosi dari lahan perkebunan teh dewasa relatif rendah, praktek pengelolaan lahan yang membiarkan jalan petik yang relatif terbuka menyebabkan jalan petik tersebut berubah menjadi saluran pengumpul air hujan yang akan mempercepat aliran permukaan masuk ke dalam sungai. Tingginya laju konversi lahan dan praktek pengelolaan usahatani tidak ramah lingkungan juga telah menyebabkan meningkatnya koefisien runoff DAS Ciliwung Hulu. Pada tahun 1985 koefisien runoff (direct runoff) DAS Ciliwung Hulu sebesar 0.59 meningkat menjadi 0.73 pada tahun 2010 (Oktaviana, 2012). Hal

Meskipun kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak, Cianjur) telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional yang memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu (PP 26 tahun 2008), pemanfaatan ruang di kawasan tersebut (khususnya kawasan puncak) meleset dari rencana tata ruang wilayah kabupaten/provinsi yang telah ditetapkan. Hilangnya kawasan hutan dan berkembang pesatnya pembangunan vila dan resort pada kawasan lindung merupakan indikasi ketidakberdayaan aparatur pengendali pemanfaatan ruang. Hal lain yang sangat mencolok adalah pembangunan hotel, rumah mewah dan perkantoran pada sempadan sungai. Fenomena tersebut terlihat umum pada berbagai sempadan sungai yang terdapat di wilayah Jabodetabek yang notabene mendapatkan perizinan dari pemerintah daerah setempat. Bila memperhatikan kondisi biofisik DAS yang semakin memburuk dan berbagai kegiatan pembangunan yang tidak terkendali maka solusi pengendalian banjir Jakarta menjadi semakin kompleks. Solusi pengendalian banjir tidak hanya dilakukan melalui pembangunan kanal banjir (Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur) dan terowongan multi fungsi (deep tunnel) tetapi harus dikombinasikan dengan pengendalian banjir di daerah hulu dan wilayah DAS secara terintegrasi. Penerapan teknik konservasi tanah dan air di wilayah hulu, pembangunan simpanan retensi (dam penahan, dam pengendali, dan revitalisasi situ), peresapan air pada wilayah permukiman, penatan sempadan sungai dan peningkatan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan (hutan kota) mutlak harus dilakukan.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

61


Komponen AbiotikAbiotik Komponen

SITU/EMBUNG YANG MENYUSUT Jaka Suryanta, M.Sc

Tercatat 204 situ dan embung di Jabodetabek dengan daya tampung volume air mencapai hampir 16,3 juta meter kubik. Namun berdasarkan pengamatan tim EGI 2013 kondisi situ banyak yang menyusut, rusak dan terganggu. Jika fungsi Situ ini dimaksimalkan akan membantu menurunkan debit puncak banjir, sebaliknya kalau dibiarkan akan berkurang fungsinya dalam menurunkan debit puncak banjir Jakarta dan sekitarnya.

S

itu merupakan suatu wadah atau genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari air tanah maupun air permukaan, berukuran relatif kecil dibandingkan danau, tergolong kedalam ekosistem perairan tawar terbuka dan dinamis, sebagai siklus hidrologis yang potensial dan merupakan salah satu bentuk kawasan lindung (Perpres No 54 tahun 2008). Fungsi situ dapat berupa sistem ekologi dan sistem tata air wilayah sekitarnya, daerah tampungan air, pada kondisi tertentu dapat menjadi pembangkit listrik, pengimbuh (recharge) air pada cekungan air tanah serta penahan intrusi air asin (KLH, 2007), sumber air baku, irigasi, pengendalian banjir dan fungsi ekonomi lainnya berupa rekreasi, perikanan, dll (PSDA, 2003). Pada kegiatan ekspedisi geografitahun 2013 ini dilakukan pengamatan situ seluruh Jabodetabek melalui data satelit. Dari pengamatan citra

62

Badan Informasi Geospasial

satelit jumlah situ mencapai 200-an dan untuk mengetahui kondisinya dilakukan pengecekan lapangan terhadap beberapa sampel terpilih. Kondisi dinilai berdasar badan situ apakah ada penyusutan luas, batas-batas situ apakah ada sempadan yang berubah fungsi, bangunan air berupa cek dam dan pintu air, vegetasi air dan kualitas air. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh informasi kondisi situ yaitu 74 situ buruk, 46 situ terganggu dan 73 situ kondisi baik dan 11 tidak jelas (kering/menjadi daratan). Jumlah situ di Kab. Bogor seluruhnya ada 99. Data tahun 1990 luasnya mencapai 500,27 ha, tahun 2000 turun menjadi 437,35 ha (NSAD Spasial daerah Kabupaten Bogor) dan data tahun 2010 menjadi 438,66 ha. Situ di DKI yang tercatat mencapai 21 situ dengan luas 176,6 ha. Menurut BPLHD DKI tahun 2010 luasnya turun menjadi 137,1 ha atau turun sekitar 22,3 %. Penurunan luas tentu disertai pendangka-


Komponen Abiotik

lan atau secara umum disebut terjadi penyusutan/penurunan volume yang berakibat daya tampung air menurun.

DAMPAK KERUGIAN BANJIR JAKARTA 2007

55 MENINGGAL

Pada prinsipnya situ merupakan waduk kecil yang bisa berperan sebagai pengendali aliran/ limpasan permukaan yaitu dengan spillway dan pintu air yang ada. Bila terjadi penyusutan dan penurunan daya tampung ditambah rusaknya pintu air maka aliran permukaan tidak bisa di kendalikan dan pada saat musim hujan efek pengendalian banjirnya akan berkurang. Terkait peristiwa banjir yang pernah terjadi di Jakarta, dampak kerugian akibat banjir sangat besar sebagai contoh tahun 2007 telah menyebabkan 55 orang meninggal dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang. Nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung, dan 3,6 trilyun rupiah merupakan kerugian tidak langsung. Menjadi sangat penting untuk dipikirkan apakah situ bisa berperan dalam mengurangi banjir, dan berapa jumlah yang harus ada pada suatu daerah Aliran Sungai Jabodetabekpunjur agar perannya optimal? Menarik untuk digaris bawahi beberapa situ Jabodetabek berdasar pengamatan dilapangan, ada beberapa kasus diantaranya sebagai berikut: Situ Pagam di Kabupaten Tangerang. Perencanaan bangunan pelimpah (spillway) kurang cermat dimana posisi air tertinggi menggenangi beberapa rumah penduduk, sehingga dibongkar oleh masyarakat yang kebanjiran. Hal ini tidak akan terjadi jika perencanaan bangunan pelimbah dilakukan secara partisipatif dengan menyertakan seluruh masyarakat terkait. Kasus Situ Cibeureum, di Bekasi, sempadan situ menjadi arena wisata atau tempat bermain namun tersamar digunakan sebagai lokasi operasi atau bertemunya para PSK. Untuk menghindari danpak negatif ini pemanfaatan sempadan danau perlu melibatkan partisipasi masyarakat sekitarnya untuk ikut mengawasi pemanfaatan situ.

320.000 MENGUNGSI Rp

-8.8 TRILYUN

Situ Antap di Tangerang merupakan salah satu dari banyak kasus situ yang berkurang luasnya oleh pengembang untuk permukiman. Hampir sama kondisinya misalnya situ Rorotan di Jakarta Utara sebagian besar menjadi daratan bahkan ada beberapa situ yang sudah kering sama sekali misalnya rawa kendal dan rawa penggilingan di Jakarta timur. Kasus Situ Citatah dan Situ Gedong, yang terpelihara dengan baik akan tetapi operasi situ belum menunjang pengendalian banjir, setelah diketahui bahwa pintu air dikunci hingga berkarat yang menandakan tidak difungsikannya pintu air.Pada saat musim hujan, muka air situ dibiarkan mencapai muka air tertinggi dan air keluar melalui pelimpah. Untuk pengendalian banjir seharusnya diberi ruang untuk antisipasi hujan lebat yang akan datang. Perlu disusun dan disosialisasikan Standard Operating Procedure (SOP) agar situ dapat digunakan untuk pengendalian banjir secara optimal. Dalam kaitannya pengurangan debit puncak banjir Jakarta maka semua situ yang ada pintu airnya secara signifikan harus difungsikan melalui sebuah standar operasi yang dilakukan secara bersama sehingga volume yang tertahan atau dilepas secara bersama cukup mempengarui debit puncak yang mengalir ke kota Jakarta. Pada DAS Ciliwungada ada 15 titik luapan banjir, diantaranya di Bukit Duri,

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

63


Komponen Abiotik

Situ Citata Cibinong (citraquickbird 2010) Outlet situ Citata (pengamatan lapangan april 2013)

Kebon Baru, Bidara Cina, Kampung Melayu, Pangadegan, Gang Arus, Rawa Jati, Kalibata, Teluk Betung, Kebon Kacang, Tomang, Rawa Kepa, Jelambar, Pluit, dan Kapuk Muara. Dari 13 sungai yang memasuki Jakarta, daerah aliran sungai yang terbesar adalah Cisadane 140.046 ha, kemudian DAS Bekasi 51.785 ha, Ciliwung 37.472 ha, Angke 23.975 ha, Krukut dan Grogol 22.199 ha dan beberapa DAS lain-

64

Badan Informasi Geospasial

“Bila terjadi penyusutan dan penurunan daya tampung, ditambah rusaknya pintu air, maka aliran permukaan tidak bisa di kendalikan dan pada saat musim hujan efek pengendalian banjirnya akan berkurang.�


Komponen Abiotik

rang telah terjadi beberapa kali hujan melampaui kapasitas Ciliwung. Dari informasi data teknis kapasitas saluran sungai di Jakarta khususnya Ciliwung didesain hanya 570 m3/det dan hampir setiap 2 tahun sekali akan terlampaui, sehingga dengan demikian daerah hulu Ciliwung perlu mendapat perhatian yang serius, karena tanpa perbaikan daerah hulu Ciliwung, pembuatan kanal di Jakarta tidak akan mampu mengurangi banjir yang ada. Seberapa besarkah debit yang harus ditahan situ untuk sementara dengan skenario hujan seperti tersebut (lebih dari 200mm/jam) agar debit puncak masih dibawah 570 m3/det ? Perhitungan kasar, harus tersedia sejumlah situ yang mampu menahan air sementara selama 5 jam (rata2 durasi hujan maksimal) hujan lebat di hulu. Berdasar debit puncak dan kapasitas tampung sungai Ciliwung maka terdapat selisih debit 200 m3/det, atau menahan 3.600.000 m3 selama 5 jam, dan selanjutnya dilepas kembali secara bertahap, maka Ciliwung hilir pada titik2 luapan relatif aman. Situ di DAS Ciliwung yang berjumlah sekitar situ yang bisa menampung 3,28 juta m3 (atau sekitar 1,1 juta m3 yang bisa diatur) tentu tidak mampu menahan air sementara, jika tidak ditambah usaha yang lain misalnya biopori atau sumur resapan.

nya yang luasnya lebih kecil. Namun yang menarik kenapa Ciliwung menjadi topik utama terkait banjir Jakarta. Berdasarkan hasil kajian hidrograf pada tanggal 6 Januari 1996 debit S. Ciliwung di Katulampa telah mencapai 740 m3/det, dan berada di kisaran diatas 400 m3/det selama lebih dari 10 jam sehingga Jakarta mengalami banjr yang hebat. Saat kejadian itu di Ciliwung hulu yang tercatat di daerah Gadog curah hujan mencapi 250 mm. Dengan curah hujan 230 mm di tahun 1998, debit Ciliwung di Katulampa sebesar 651 m3/det, dan tahun 1999 dengan curah hujan 220 mm debitnya mencapai 610 m3/det, demikian juga tahun 2002, 2007 hingga seka-

Demikian penting peran situ terhadap banjir Jakarta, maka sebaiknya pemerintah dalam hal ini Kementrian Pekerjaan Umum segera melanjutkan revitalisasi situ-situ yang lainnya agar bisa berfungsi maksimal. Dari sisi operasional fungsi situ dalam menahan air permukaan, segera disusun SOP secara terintegrasi sehingga ketika hujan lebat pintu air difungsikan secara bersama sama. Status kewenangan pengelolaan situ yang masih mengambang segera diperjelas. Dalam RPP Waduk, Danau, Embung dan Situ dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan situ tergantung keberadaan situ di DAS nya dan kewenangannya mengikuti kewenangan pengelolaan DAS. Disamping itu kesepakatan 3 Gubernur tentang Kerjasama Dalam Rangka Perlindungan dan Pelestarian Situ Terpadu di Wilayah Jabodetabekpunjur secara berkelanjutan sangat mendesak untuk direalisasikan.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

65


Komponen AbiotikAbiotik Komponen

SUNGAI CILIWUNG, SUMBERDAYA AIR YANG TERLUPAKAN DR. Eko Kusratmoko

Sungai merupakan sumber daya air permukaan yang melimpah yang tersedia di Indonesia. Dokumentasi sejarah memperlihatkan peran sungai yang begitu besar dalam perkembangan aktivitas manusia. Sungai sebagai sumber air mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Sungai Ciliwung yang mengalir melewati Kota Jakarta merupakan sebuah contoh tersebut. Sampai akhir abad ke-19 air sungai Ciliwung menjadi sumber air yang penting bagi kehidupan penduduk di Bogor, Depok dan Batavia pada masa itu.

S

ejalan dengan waktu, fungsi sungai yang serba guna dirasakan makin menurun seiring dengan makin bertambahnya jumlah penduduk dan berubahnya penggunaan lahan pada daerah aliran sungai tersebut. Saat ini, jika kita menyebut nama Ciliwung, Pesanggrahan, dan sungai lainnya yang mengalir ke Jakarta, mungkin sebagian masyarakat di Jakarta, apalagi yang berdiam di sepanjang alirannya, mungkin tidak akan lagi mengatakan sebagai sumberdaya air permukaan yang penting, tetapi menjadi penyebab bencana banjir pada musim hujan. Sungai kini menjadi tempat pembuangan limbah yang paling efektif bagi sebagian besar penduduk yang berdiam di dekatnya.

66

Badan Informasi Geospasial

Kondisi lingkungan abiotik dan biotik sebuah sungai yang terlihat saat adalah hasil dari perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang panjang terhadap sungai dan daerah alirannya. Urbanisasi atau disebut juga proses pengkotaan, yang secara kuantitatif dapat diukur dengan perkembangan luas daerah terbangun [1], merupakan faktor utama yang menjadi penyebab perubahan proses hidrologi dalam sebuah daerah aliran sungai (DAS). Hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di dunia telah menunjukkan bahwa perluasan daerah terbangun dalam sebuah DAS dapat menyebabkan disatu sisi kenaikan debit banjir dan volume debit aliran dan disisi lain menurunkan debit aliran dasar [2]. Fenomena


Komponen Abiotik

ini diduga menjadi penyebab bencana banjir di musim hujan dan krisis air pada musim kering. Peningkatan debit maksimum di satu sisi dan penurunan debit aliran dasar di sisi lain, dari sebuah sungai berpotensi terhadap peningkatan erosi, penurunan mutu kualitas air dan habitat akuatik, dan merubah bentuk alur sungai [3].

PERKEMBANGAN LUAS DAERAH TERBANGUN DI DAS CILIWUNG Luas DAS Ciliwung mulai dari hulu sampai hilir sekitar 317 km2 dengan panjang sungai 122 km. Puncak tertinggi dari DAS Ciliwung adalah Gunung Pangrango dengan ketinggian 3019 m dari permukaan laut (mdpl) di bagian Selatan, kemudian beberapa Gunung di bagian timur dan utara seperti Gunung Megamendung (1881 mdpl) di bagian timur, dan Gunungn Kencana (1803 mdpl), Halimun (1631 mdpl), Luhur (1745 mdpl) di bagian utara. Seperti diperlihatkan pada gambar 1, perbedaan tinggi dari puncak tertinggi Gunung Pangrango sampai dengan Bendung Katulampa (240 m dpl) di bagian tengah dengan jarak sekitar 23 km adalah 2800 m, yang menunjukkan topografi DAS yang sangat curam. Selanjutnya mu-

Keadaan Sungai Ciliwung sekarang yang penuh dengan sampah dan Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Maecenas molestie. Ut pretium eros. Ut non nunc ut leo interdum convallis. Curabitur turpis nibh, vulputate a, venenatis eu, egestas sit amet, leo.

lai dari Bendung Katulampa sampai Kota Jakarta, topografi alur Sungai Ciliwung relatif landai. Di DAS bagian hulu, aliran utama sungai Ciliwung mendapatkan suplai dari lebih 10 sungai, seperti sungai Ciseusepan, Cisarua, Cisukabiru, Cisampai, Ciesek, Cibogo Cisampai dari sisi selatan, dari sisi utara mendapatkan suplai dari aliran sungai Ciesek, Cilember, Cimegamendung, dari Citamiang. Luas daerah terbangun di DAS bagian hulu dalam kurang waktu 100 tahun meningkat secara signifikan dari 439 ha (2,9% dari luas DAS bagian hulu) tahun 1900 menjadi 26.45 ha (17,4 % dari luas DAS) pada tahun 2006. Begitu pula untuk tutupan vegetasi lahan kering, yang di lapangan dapat berupa tegalan, kebun campu-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

67


Komponen Abiotik

Gambar 1. Profil penampang Sungai Ciliwung dari Hulu ke Hilir

Tabel 1. Perkembangan luas Tutupan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu periode tahun 1900- 2006

Jenis Tutupan

1900

1938

1982

1993

2006

Ha

%

ha

%

ha

%

Ha

%

Ha

%

1

Hutan

8.440

55,8

53.50

35,3

4.691

31,0

4.928

32,5

4.191

27,7

2

Vegetasi lahan basah

3.207

21,1

4.006

26,4

3.892

25,7

1.363

9,0

1.904

12,6

3

Vegetasi lahan kering

3.069

20,2

5.173

34,1

5.560

36,7

6.788

44,8

6.332

41,8

4

Daerah terbangun

439

2,9

549

3,6

933

6,2

2.026

13,4

2.645

17,4

5

Perairan

-

-

76,8

0,5

78,9

0,5

50,0

0,3

82,8

0,5

6

Luas DAS Bagian Hulu

15.155

100

15.155

100

15.155

100

15.155

100

15.155

100

Sumber: Pengolahan data Lab Geografi Fisik dan Suprayogi [5]

Tabel 2. Rerata Curah hujan bulanan dari stasiun pengukur hujan yang ada di DAS Ciliwung Stasiun

Periode data

Tinggi (mdpl)

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Juni

Juli

Ags

Sep

Okt

Nov

Des

Tahun

1

Gunung Mas

1980-2009

1100

617

532

360

324

232

127

109

104

161

231

345

441

3583

2

Citeko

1986-2010

920

511

497

361

272

197

120

84

102

138

214

304

351

3149

3

Katulampa

1981-2009

250

485

445

418

357

326

207

170

190

271

369

427

369

4035

4

Citayam

1980-2000

125

421

277

269

281

202

170

179

175

173

193

284

281

2904

5

Halim

1980-2000

25

372

265

207

187

142

111

89

101

65

139

209

221

2107

Sumber: Hasil Pengolahan Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

68

Badan Informasi Geospasial


Komponen Abiotik

Penyusuran Sungai Ciliwung oleh Tim Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) 2013.

ran dan perkebunan, meningkat proporsinya dari 20,2% dari luas DAS menjadi 41,8% pada tahun 2006 (lihat Tabel 1). Sementara tutupan hutan tahun 2006 berkurang separuhnya dibandingkan kondisi tahun 1900. Saat ini luas tutupan hutan tinggal menyisakan sekitar 41.000 ha atau 27% dari luas DAS bagian hulu atau hanya sekitar 13,2% saja dari luas DAS Ciliwung keseluruhan.

KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR SUNGAI CILIWUNG Besaran debit aliran air dari sebuah sungai ditentukan secara umum oleh iklim, yang utama dalam hal ini adalah oleh curah hujan dan sebaran waktunya dalam daerah aliran sungai. Setiap aliran air sungai dicerminkan oleh adanya pertukaran periode aliran air tinggi dan rendah, yang polanya sesuai dengan kejadian cuaca dalam daerah aliran sungai tersebut. Seperti diperlihatkan pada Tabel 2, DAS Ciliwung dianugerahi dengan curah hujan yang

relatif tinggi setiap tahunnya. Untuk DAS bagian hulu sampai bagian tengah DAS (mulai dari Depok sampai ke puncaknya), hujan jatuh dalam setahun lebih dari 3000 mm, sementara untuk bagian hilirnya, mulai dari Depok sampai ke Jakarta, curah hujannya berada pada kisaran antara 2000 sampai 3000 mm. Namun sayangnya, curah hujan yang jatuh tidak merata sepanjang tahun seperti yang kita inginkan. Di DAS bagian hulu, lebih dari 50% curah hujan jatuh pada bulan musim angin barat (Desember, Januari, Februari dan Maret), sementara pada bulan musim angin timur (Juni, Juli, Agustus dan September) proporsinya hanya 15%. Seperti karakter dari curah hujan di daerah tropik pada umumnya, dominan curah hujan adalah hujan konvektif dengan intensitas hujan yang tinggi. Hasil studi yang dilakukan penulis, menunjukkan bahwa dominan hujan terjadi dalam waktu yang relatif singkat (kurang dari 2 jam) dan intensitas hujan per jam relatif sama, walaupun hujan yang terjadi berlangsung dalam waktu yang lama [2]. Intensitas hujan yang tinggi mengakibatkan pengikisan tanah yang kuat pada lahan-lahan terbuka. Pola aliran Sungai Ciliwung selama periode tahun 1990-2005 yang tercatat di lokasi pengukuran di Kp. Kelapa, Citayam, Depok, diperlihatkan seperti pada Gambar 2. Debit

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

69


Komponen Abiotik

aliran tertinggi terjadi di Bulan Februari dan terendah pada bulan Agustus. Karakter aliran Ciliwung ini selaras dengan karakter pola curah hujannya, dimana maksimum hujan terjadi di bulan Januari dan minimum pada bulan Juli. Seperti diperlihatkan pada Tabel 2, perbedaan antara rerata debit harian maksimum dengan debit harian minimum hampir 40 kali lipat. Perbedaan itu akan menjadi lebih besar lagi pada saat El Nino mempengaruhi iklim Indonesia, seperti kejadian tahun 1997, dimana ratio tersebut mencapai 200 kali lipat.

Memasuki kota Depok, besarnya debit harian Ciliwung rata-rata sekitar 15,11 m3/detik. Angka tersebut sama dengan 2045 mm/tahun atau 60% dari besarnya rerata curah hujan wilayah yang besarnya 3413 mm per tahun. Besarnya rerata debit aliran dasar (base flow) selama periode tersebut adalah 8,16 m3/detik atau 1104 mm/tahun (54% dari total aliran) dan debit aliran langsung (direct runoff) sebesar 940 mm/ tahun (46% dari total aliran).

Gambar 2. Pola aliran Sungai Ciliwung periode tahun 1990-2005 pada lokasi pengukuran di Kp. Kelapa, Citayam, Depok (Luas DAS 233 km2). (Sumber: Data Debit diperoleh dari BBWS Ciliwung-Cisadane, KemenPU.)

Tabel 2. Karakteristik statistik debit harian Sungai Ciliwung periode Tahun 1990-2005 Parameter Debit Aliran

1990 – 1999

2000 – 2005

1990 – 2005

RQmax_harian

93,79

146,90

111,43

RQmin_harian

3,59

1,33

2,84

RQ_harian

16,32

13,54

15,02

RQ_Januari –Maret

24,4

25,8

24,6

RQ_ Apr-Juni

14,2

14,0

14,0

RQ_Juli - september

7,2

7,4

7,0

RQ_Oktober - Desember

15,0

11,9

13,9

Sumber: Hasil pengolahan data debit yang dikeluarkan oleh BBWS Ciliwung-Cisadane , KemenPU

70

Badan Informasi Geospasial


Komponen Abiotik

Makin meluasnya daerah terbangun dan berkurangnya luas hutan menyebabkan kemampuan tanah untuk meresapkan dan menyimpan air menurun. Akibatnya adalah aliran permukaan (overland flow) meningkat atau menjadi lebih cepat dan sebaliknya pembentukan air tanah (groundwater flow) makin berkurang. Fenomena ini secara nyata terlihat untuk Sungai Ciliwung. Seperti diperlihatkan pada Tabel 2, jika dibandingkan dengan periode tahun 1990–1999, maka debit aliran harian sungai Ciliwung selama periode 20002005 menurun. Hal yang menarik dari Tabel angka statistik tersebut menunjukkan rerata debit harian maksimum (RQMax) meningkat, sementara rerata debit harian minimum (RQMin) menurun. Ini berarti debit aliran banjir sungai Ciliwung meningkat pada musim hujan, sementara pada musim kering aliran air mengering. Lebih rinci diperlihatkan bahwa di satu sisi rerata debit harian Sungai Ciliwung untuk bulan musim hujan (Januari sampai Maret) cenderung bertambah (24,4 m3/detik menjadi 25,8 m3/detik), sementara pada bulan Oktober sampai Desember menurun cukup drastis, yaitu dari rerata 15,2 m3/detik menjadi 11,9 m3/detik. Perubahan tutupan lahan atau

penggunaan lahan secara tidak langsung dapat menjadi faktor penyebab perubahan karakteristik debit aliran sungai Ciliwung saat ini. Kecenderungan perubahan karakteristik aliran sungai Ciliwung saat ini tentunya tidak dapat diabaikan, apalagi jika kita kaitkan dengan isu perubahan iklim yang terjadi. Studi pendahuluan untuk melihat ada tidaknya kecenderungan perubahan curah hujan di DAS bagian hulu telah dilakukan dengan menggunakan metode uji statistik Mann-Kendall Test [4]. Hasil analisis untuk stasiun pengukur hujan di Gunung Mas dan Citeko, memperlihatkan kecenderungan bertambahnya curah hujan secara signifikan pada musim hujan, terutama bulan Februari. Sementara pada bulan musim kering menunjukkan kecenderungan negatif akumulasi hujan, khususnya pada bulan September. Perkembangan ini tentunya sangat tidak menguntungkan karena akan meningkatkan risiko banjir di Jakarta pada musim hujan, dan memperparah kekurangan air pada musim kemarau, yang keduanya tentu akan memberikan dampak sosial, ekonomi dan kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang berdiam di sepanjang aliran sungai.

Perubahan debit aliran Sungai Ciliwung yang terekam dari stasiun pengukur duga air di Kota Depok dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dapat ditelusuri dengan makin meningkatnya rerata debit maksimum, dan sebaliknya menurunnya rerata debit minimum. Kejadian ini dapat dijelaskan dengan kecenderungan perubahan curah hujan yang terjadi dan makin berkembangnya daerah terbangun di DAS bagian hulu. Keberlanjutan ketersediaan sumber daya air sungai Ciliwung hanya dapat dilakukan melalui strategi yang berorentasi pada slogan “menahan air selama mungkin di daratan�. Pembangunan embung-embung dalam skala luas, sumur resapan, renaturisasi sempandan sungai merupakan contoh tindakan yang perlu secara masif dilaksanakan. Tentu yang tidak boleh dilupakan adalah melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan sungai, terutama mereka yang tinggal di sepanjang aliran sungai.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

71


Komponen AbiotikAbiotik Komponen

PENGELOLAAN BANJIR TERINTEGRASI: SUATU KEHARUSAN Waluyo Hatmoko,

Peneliti Utama bidang Konservasi dan Tata Air Balai Hidrologi dan Tata Air, Puslitbang Sumber Daya Air Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum

PERGESERAN PARADIGMA PENGENDALIAN BANJIR MENJADI PENGELOLAAN BANJIR

reaktif; dan 3) Upaya struktural umumnya lemah dalam koordinasi dan komunikasi, partisipasi masyarakat masih sangat terbatas.

Dataran banjir atau flood plain memiliki daya tarik untuk kehidupan manusia dan kegiatan perekonomiannya; memberikan banyak manfaat bagi manusia karena aksesnya yang dekat dengan sungai; tanah yang subur, pasokan air melimpah dan sarana transportasi. Banjir juga memberi pasokan air di lahan basah, resapan air tanah, dan mendukung kegiatan perikanan dan pertanian. Namun demikian fakta mengenai besarnya manfaat dataran banjir ini sering tenggelam dengan kenyataan lain yang sangat bertolak-belakang, yaitu bahwa banjir sangat merusak perekonomian dan kehidupan masyarakat. Banjir termasuk bencana alam yang paling merusak, dalam hal jumlah orang yang terkena dampak dan kerugian ekonomi yang terjadi.

Pada dasawarsa terakhir ini, upaya-upaya struktural pengendalian banjir telah dilengkapi dengan upaya-upaya non-struktural seperti peramalan banjir, dan peraturan penggunaan lahan, yang menunjukkan adanya pergeseran paradigma perjuangan manusia terhadap banjir dari pengendalian banjir menuju pengelolaan banjir, untuk mengurangi dampak negatif banjir dengan tetap memetik manfaat dari dataran banjir.

Upaya pengendalian banjir telah ada seiring dengan sejarah permukiman manusia, dan telah berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup manusia dari banjir. Namun demikian sejarah telah mencatat banyak kegagalan upaya pengendalian banjir pada masa lalu, yang antara lain disebabkan karena: 1) Upaya struktural umumnya mengganggu keseimbangan ekosistem; 2) Dampaknya tidak mengurangi resiko banjir, akan tetapi hanya memindahkan banjir ke tempat lain atau menunda menjadi banjir yang lebih merusak; 3) pengendalian banjir merupakan respons yang

72

Badan Informasi Geospasial

PENGENDALIAN BANJIR DAN PENGELOLAAN BANJIR Pengendalian banjir, yang biasa dilaksanakan pada masa lalu adalah dengan membangun dan mengoperasikan bangunan air yang dirancang untuk menghilangkan atau meminimalkan dampak banjir yang merusak, dengan cara menahan, menghambat atau mengalihkan aliran banjir hingga batas desain yang berbasis ekonomi. Pengelolaan banjir merupakan keseluruhan proses dalam mencegah dan mengurangi banjir dan mengurangi resiko banjir secara holistik. Resiko banjir terdiri atas faktor-faktor: a) besaran bahaya banjir, yang dinyatakan dalam frekuensi dan tingkat keparahan; b) kegiatan manusia yang terpengaruh oleh banjir; dan c) kerentanan unsur resiko. Untuk dapat seratus persen bebas ban-


Komponen Abiotik

jir adalah hampir tidak mungkin, tidak praktis dan tidak ekonomis. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan banjir memberikan tingkat perlindungan yang wajar terhadap resiko banjir dengan biaya ekonomi yang layak, melalui gabungan upaya-upaya structural dan nonstruktural.

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR TERINTEGRASI Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan taraf kehidupan masyarakat, maka meningkat pula kebutuhan akan air, sedangkan di lain pihak jumlah air yang tersedia terbatas, yang menyebabkan munculnya krisis akan air. Hal ini telah mendorong adanya pendekatan Pengelolaan Sumber Daya Air Terintegrasi atau Integrated Water Resources Management (IWRM), yang sejak konferensi internasional tentang masalah air dan lingkungan di Dublin dan Rio de Janeiro pada tahun 1992 mulai diterima oleh masyarakat dunia sebagai kriteria dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Pendekatan ini menekankan perlunya kelembagaan partisipatif yang berkaitan dengan air, dan pada tahun 1996 lahirlah Global Water Partnership (GWP), suatu jaringan internasional yang

terbuka untuk semua organisasi yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya air. IWRM adalah suatu proses yang meningkatkan pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumber daya terkait secara terkoordinasi, demi tercapainya kesejahteraan ekonomi dan sosial yang maksimum, dengan cara yang adil dan secara mutlak mempertahankan keberlanjutan ekosistem yang vital. Selanjutnya, GWP menyatakan bahwa pendekatan IWRM dalam pengelolaan sumber daya air terdiri atas beberapa unsur, yaitu: pendekatan terpadu, memandang kebutuhan masyarakat akan air secara lintas sektoral; pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, untuk menjamin bahwa sumber daya air digunakan secara berkelanjutan untuk generasi mendatang; memandang bahwa air adalah sumber daya yang sangat berharga, dan nilainya harus dicerminkan dari bagaimana penggunaannya; pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan partisipatif, dengan menyertakan pemegang kepentingan untuk menjamin penggunaan air yang adil dan efisien. IWRM dapat dimaknai sebagai suatu proses membangun persepsi dan komitmen untuk menyikapi secara kolektif yang dilandasi kesamaan pemahaman darimana datangnya air, bagaimana memanfaatkannya, dan kemana perginya air.

CROSS-SECTORAL INTEGRATION Principles: Equity, Environmental Sustainability, Economic Efficiency, Redress, Participation

Enabling Environment

Water for People

Water for Food

Water for Environment

Water for Industry and other

Institutional Roles Management Instruments Integrated Water Resources Management (IWRM) terfokuspada penggunaan air, pengelolaan banjir belum terlihat secara jelas (GWP, 2000) dalam http://www.dwaf.gov.za/

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

73


Komponen Abiotik

Dengan demikian Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu memiliki karakteristik: Memadukan sistem alam (sumber daya air dan sumber daya terkait lainnya; hulu hilir, air tanah air permukaan, flora fauna) dan sistem manusia (antar sektor, antar wilayah administrasi, antar tujuan); Berbasiskan satuan wilayah hidrologis; dan memberdayakan masyarakat, menggunakan pendekatan partisipatif dalam pengambilan keputusan. IWRM memiliki tiga sasaran utama, yaitu kemakmuran (economic efficiency), keadilan (equity), dan keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability), untuk mencapai keseimbangan antara air untuk kehidupan dan air sebagai sumber daya, memerlukan tiga aspek pengelolaan, yaitu: Instrumen pengelolaan (management instrument), yang terdiri atas: penilaian, informasi, dan instrumen alokasi; Lingkungan yang mendukung, berupa kebijaksanaan dan peraturan; serta kerangka kelembagaan, yaitu: kelembagaan di tingkat pusat dan daerah, kelembagaan di tingkat wilayah sungai, serta unsur masyarakat dan swasta.

PENGELOLAAN BANJIR TERINTEGRASI Kenyataan menunjukkan bahwa IWRM lebih berorientasi pada pengelolaan ketersediaan dan kebutuhan air, masih belum mmenyentuh permasalahan yang terkait dengan banjir. Associated Programme on Flood Management (APFM) dari World Meteorological Organization (WMO) dan GWP pada tahun 2001 memperkenalkan konsep Integrated Flood Management (IFM) yang merupakan bagian dari IWRM yang memandang bahwa Daerah Aliran Sungai sebagai suatu kesatuan sistem yang dinamis. Lazimnya, pengelolaan banjir hanya terfokus pada upaya bertahan terhadap banjir. Dirasa perlu adanya perubahan dari tindakan defensif untuk pengelolaan resiko yang proaktif. Pengelolaan banjir terintegrasi dirancang untuk mengintegrasikan pengembangan sumber daya tanah dan air diwilayah sungai dalam konteks pengelolaan sumber daya air terpadu. Mengelola banjir untuk memaksimalkan man-

HORIZONTAL INTEGRATION among sectors Integrated Water Resources Management

urban water supply

HydroPower

Irrigation & Drainage

Integrated Flood Management

Integrated Drought Management Ecological Flows

Commercial Navigation

Integrated River Basin (Watershed) Management

Pengelolaan Banjir Terintegrasi dan Pengelolaan Sumber Daya Air Terintegrasi, Pengelolaan Daerah Tangkapan Air, dan Pengelolaan Banjir (Stakhiv, 2008)

74

Badan Informasi Geospasial


Komponen Abiotik

Water resources management

Integrated flood management Land use management

Coastal zone management

Hazard management

Pengelolaan banjir terintegrasi, pengelolaan lahan dan air, pantai, dan bahaya (WMO, 2009)

faat dataran banjir dataran, dan meminimalkan korban dan kerugian akibat banjir. Pendekatan Pengelolaan Banjir Terintegrasi atau Integrated Flood Management (IFM) ini bertujuan memaksimalkan manfaat dataran banjir, mengurangi korban banjir, kerentanan dan resiko banjir, serta melestarikan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang terkait dalam kerangka pengelolaan sumber daya air terpadu atau Integrated Water Resources Management (IWRM). Konsep IFM ini menyadari manfaat pentingnya dataran banjir, dan tuntutan pengembangan yang dihadapi. Banjir memberikan manfaat yang nyata, akan tetapi pada saat yang sama perilaku merusak dari banjir memerlukan intervensi manusia yang dapat memadukan antara: upaya struktural dan non-struktural; pengelolaan lahan dan air; pelestarian ekosistem dan tuntutan pembangunan; serta upaya pengelolaan banjir jangka pendek dan jangka panjang. Pengelolaan banjir terintegrasi menggunakan pendekatan partisipatif untuk menumbuhkan rasa memiliki dan mengurangi kerentanan; pendekatan daerah aliran sungai untuk perencanaan secara multi-disiplin dan lintas-sektoral untuk mengurangi kerentanan

dan resiko banjir serta melestarikan ekosistem. Pendekatan ini juga akan memperkuat kapasitas adaptasi terhadap variabilitas perubahan iklim. Agar pengelolaan banjir berada dalam konteks pengelolaan sumber daya air terpadu, maka daerah aliran sungai harus dipandang sebagai suatu sistem yang utuh dan terpadu. Pengelolaan banjir bersifat multi-disiplin yang melibatkan beragam sektor ekonomi dan berbagai lembaga yang berkaitan dengan banjir, dan pelaksanaan upaya pengelolaan banjir. Keterkaitan antar berbagai sektor terkait menjadi sangat penting, dan kunci terpenting adalah kerjasama serta koordinasi antar lembaga. Sementara wewenang dari banyak lembaga mungkin hanya mencakup bagian dari wilayah sungai atau satu sektor, yang lain mungkin meluas melewati batas daerah aliran sungai. Komunikasi yang efektif melintasi batas-batas kelembagaan dan disiplin merupakan inti dari integrasi, yang hanya dapat terjadi jika ada pemahaman yang sama tentang tujuan bersama. Titik berat pengelolaan banjir terintegrasi terletak pada penerapan strategi yang luwes dan cocok untuk masing-masing daerah rawan banjir, yang ditandai dengan situasi fisik, sosial, budaya dan ekonomi. Langkah penting selanjutnya adalah mengevaluasi berbagai pilihan upaya dengan manfaat dan kerugiannya.

STRATEGI PENGELOLAAN BANJIR Ada empat strategi utama pengelolaan banjir untuk mengurangi resiko banjir, yaitu: 1) memodifikasi karakteristik banjir; 2) mengurangi kerentanan masyarakat terhadap kerusakan banjir; 3) mengurangi kerugian akibat banjir perkapita; dan 4) strategi terakhir adalah menerima serta menanggung kerugian yang telah terjadi. Modifikasi karakteristik banjir bertujuan mengubah volume limpasan, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak, lama kejadian banjir, luasnya daerah yang rentan terhadap banjir, kedalaman genangan, serta jumlah sedimen dan polutan yang dibawa banjir.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

75


Komponen Abiotik

Rumah panggung - adaptasi masyarakat hidup harmonis dengan air. Kolam pemancingan yang juga berfungsi sebagai kolam retensi banjir

Metode ini memberi perlindungan terhadap banjir dengan cara pengendalian fisik seperti bendungan, tanggul, normalisasi saluran, alih aliran dan konservasi daerah tangkapan air. Tindakan untuk mengurangi kerentanan aktivitas ekonomi terhadap kerusakan akibat banjir di dataran banjir antara lain adalah dengan bangunan dan lingkungan tahan banjir (flood proofing), pengaturan tata guna lahan, peramalan banjir dan peringatan bahaya banjir. Mengurangi beban kerugian akibat banjir pada prinsipnya merupakan upaya untuk memperkecil kejadian kerugian perkapita, dengan menyebarkannya kemasyarakat luas, atau menyebarkan lebih merata secara waktu. Sasarannya untuk membantu individu dan masyarakat yang terkena banjir pada tahap persiapan, kejadian banjir, dan pemulihan pasca banjir. Upaya-upaya ini antara lain adalah kesiapan menghadapi banjir, evakuasi, penanggulangan banjir (flood fighting), pemulihan pasca banjir, dan program asuransi banjir. Alternatif terakhir, jika bencana banjir sulit dan relative sangat mahal untuk ditanggulangi, maka kita sebaiknya dapat menerima dan menanggung kerugian akibat banjir, atau dengan lain perkataan adalah “hidup harmonis dengan banjir� atau living in harmony witahun water.

76

Badan Informasi Geospasial

Pengembangan kebijakan, strategi dan rencana untuk memerangi resiko yang terkait dengan banjir dan bencana alam lainnya harus didasarkan pada penilaian yang komprehensif dari semua resiko yang terkait. Jadi dibutuhkan suatu pendekatan terintegrasi, dimana semua upaya pengelolaan banjir harus dipertimbangkan. Hal ini diperlukan untuk melihat situasi menyeluruh, membandingkan alternatif yang tersedia dan memilih strategi yang paling tepat untuk kondisi tertentu. Kombinasi yang sesuai antara berbagai upaya-upaya structural dan non-struktural perlu dievaluasi, diadopsi dan diimplementasikan. Sebagai contoh, pembangunan tanggul perlu dibarengi dengan pengaturan penggunaan lahan didaerah sempadan sungai.

Situ yang dilengkapi dengan pintu air dan bangunan pelimpah dapat berfungsi sebagai pengendali banjir, disamping mendukung kehidupan masyarakat sehari-hari dan manfaat lingkungan serta estetika.


Komponen Abiotik

Pengendalian banjir secara struktural ini tetap harus dipertimbangkan dengan kombinasi upaya non-struktural lainnya antara lain mengubah budaya masyarakat agar mendukung pengelolaan yang berkesinambungan

Papan duga air dengan warna yang menunjukkan tingkat bahaya banjir merupakan sistem peringatan dini yang tepat guna

Untuk dapat menyelamatkan Jakarta dari banjir, berbagai upaya, baik struktural maupun non-struktural, semuanya perlu dilaksanakan secara terpadu, dalam kerangka pengelolaan banjir terintegrasi. Pembangunan sistem polder yang canggih tidak akan efektif jika kebiasaan masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai belum membudaya. Demikian pula sebaliknya, tanpa adanya bangunan pengendali banjir, jangan harap banjir akan berkurang secara nyata walaupun masyarakat telah tertib menjaga kebersihan dan membuat sumur resapan. Sudah tidak jamannya lagi penyelesaian masalah secara dilaksanakan secara sektoral. Sesuai dengan tema Hari Air Dunia 2013 yaitu “kerjasama air�, maka perlu kita tingkatkan kerjasama antar berbagai komponen masyarakat, pemerintah dan swasta dalam menyelamatkan Jakarta dari banjir, dengan pendekatan pengelolaan banjir secara terintegrasi atau Integrated Flood Management.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

77


Komponen Biotik

78

Badan Informasi Geospasial


Komponen Biotik

KOMPONEN BIOTIK Pertanian Kota Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana Pengelolaan Fitogeografi Untuk Penanganan Banjir Jakarta Potret Penggunaan Lahan Berbasis Konservasi Sumber Daya Air Di DAS Cisadane Hulu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

79


Komponen Biotik biotik Komponen

PERTANIAN KOTA Suprajaka, Yusuf Wibisono, S.Si, Arif Aprianto, S.Si

Usaha Mempertahankan Ruang Terbuka Hijau Yang Dipandang Sebelah Mata

80

Badan Informasi Geospasial


Komponen Biotik

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

81


Komponen Biotik

K

ebanyakan kota di negara berkembang termasuk Indonesia mempunyai kesulitan besar dalam mengatasi problema pembangunan, salah satunya adalah ketidakmampuan dalam menciptakan peluang pekerjaan yang cukup formal bagi golongan miskin. Oleh karena itu, pertanian perkotaan merupakan cara pendekatan yang holistik bagi memenuhi keperluan penduduk miskin perkotaan, disamping dapat meningkatkan ketahanan pangan dan kualitas lingkungan perkotaan. Pertanian perkotaan sebenarnya bukan hal yang baru dan kondisinya terus meningkat sesuai dengan perkembangan kota. Bagaimanapun, saat ini pertanian perkotaan di Indonesia masih belum dianggap sebagai suatu strategi yang penting dalam pengelolaan ruang perkotaan sehingga kebijakan yang memihak kepada pertanian perkotaan belum tersedia. Petani kota sebenarnya merupakan penjaga dan benteng terakhir dalam mempertahankan ruang terbuka hijau di daerah perkotaan yang saat ini terus semakin terdesak oleh proses alih fungsi lahan akibat dari laju pertumbuhan penduduk dunia yang semakin tidak terkedali.

POPULASI MEGAKOTA Pada tahun 2050, berdasarkan laporan PBB, diprediksikan bahwa penduduk di negaranegara berkembang di benua Asia dan Afrika akan memimpin laju pertumbuhan penduduk di perkotaan. Populasi penduduk warga kotakota di Kawasan Asia dari 1,9 miliar menjadi 3,3 miliar orang, sedangkan di benua Afrika populasi penduduk kota dari 414 juta menjadi 1,2 miliar. Dengan demikian kedua benua ini secara global akan mengalami pertumbuhan penduduk kota sekitar 86 persen dari penduduk dunia. Diperkirakan pada tahun 2050 diperkirakan sekitar 25 kota besar di dunia akan mempunyai populasi sekitar 15 juta atau lebih. Untuk memberi makan suatu kota besar dengan populasi sebesar itu, sedikitnya 6000 ton makanan harus diimport untuk tiap-tiap hari (FAO-SOFA, 2000). Pada tingkat dunia, sekitar 800 juta orang terlibat dalam pertanian kota yang berperan memberi makan penduduk kota (Smit et al. 1996; FAO 1999). Jakarta sebagai salah satu

82

Badan Informasi Geospasial

megakota berupa wilayah metropolitan yang merupakan gabungan dari beberapa wilayah yang bergabung menjadi sebuah konurbasi, metropolis, atau metropleks. Jakarta telah menempati posisi 15 besar di dunia dan 11 besar di Asia dengan jumlah penduduk lebih dari 15 juta. Saat ini penduduk di benua Asia dan Afrika sekitar 40-45%nya merupakan penduduk miskin, dimana sebagian besar bertumpu di perkotaan. Kebanyakan kota di negara berkembang mempunyai kesulitan besar untuk mengatasi problema pembangunan terutama tidak mampu menciptakan peluang ketenaga-kerjaan yang formal bagi golongan miskin. Berasarkan laporan Bank Dunia, bahwa permasalahan peting yang menimbulkan persolaan adalah sampah dan air limbah perkotaan serta pemeliharaan mutu air sungai dan udara. Saat ini minimal terdapat 360 juta penduduk perkotaan di negara-negara berkembang mengalami kekurangan gizi kronik. Bank Dunia mencarat bahwa lima dari enam keluarga kota di India membelanjakan 70% dari pada pendapatannya untuk membeli makanan. Di Jakarta, antara 45-50% penghasilan penduduk digunakan untuk mencukupi keperluan makan, atau dua kali dibanding yang berlaku di Eropa. Akibatnya, penduduk berpenghasilan rendah di kota-kota Asia lebih sering kekurangan gizi dibandingkan dengan penduduk berpendapatan rendah di pedesaan. Penduduk perkotaan berpendapatan rendah telah membelanjakan antara 40% dan 60% dari pendapatan mereka untuk makanan per tahun (IDRC/UN-HABITA, 2003).

KONSEP PERTANIAN KOTA DALAM PERSPEKTIF EKONOMIS, EKOLOGIS DAN KULTURAL Pertanian perkotaan (urban farming) adalah kegiatan pertanian yang memanfaatkan lahan perkotaan. Kegiatan ini bukan hal yang baru di Indonesia, tetapi sudah sangat lama diperkenalkan. Kegiatan urban farming mencakup kegiatan produksi, distribusi, hingga pemasaran produk pertanian yang dihasilkan. Pada prinsipnya urban farming dilakukan sebagai kegiatan untuk menghasilkan pendapatan ba-


Komponen Biotik

PERINGKAT 15 MEGAKOTA DUNIA BERDASARKAN JUMLAH PENDUDUK #1. Tokyo, Japan (Asia)

34.000.000 0.6 % #2. Chongking, China (Asia)

24.200.000 4.0 % #3. Seoul, Korea Selatan (Asia)

24.200.000 1.4 % #4. Mexico, Mexico (Amerika Utara)

23.400.000 2.0 % #5. Delhi, India (Asia)

23.200.000 4.6 % #6. Mumbai, India (Asia)

22.800.000 2.9 % #7. New York, AS (Amerika Utara)

22.200.000 0.3 %

# Peringkat

Jumlah Penduduk Tingkat pertumbuhan Sumber: xxxxxxxxxxxxxxxx

#8. Sao Paulo, Brazil (Amerika Selatan)

20.900.000 1.4 % #9. Manila, Filipina (Asia)

19.600.000 2.5 % #10. Shanghai, China (Asia)

18.400.000 2.0 % #11. Los Angeles, AS (Amerika Utara)

17.900.000 1.1 % #12. Osaka, Japan (Asia)

16.800.000 0.15 % #13. Kalkuta, India (Asia)

16.300.000 2.0 % #14. Karachi, Pakistan (Asia)

16.200.000 4.9 % #15. Jakarta, Indonesia (Asia)

15.400.000 2.0 %

gi petani, namun terdapat juga sebagai kegiatan rekreasional saja. Konsep urban farming sebenarnya sangat luas, karena memiliki dimensi ekonomis, ekologis dan kultural. Pertanian perkotaan dari sudut pandang ekonomis mampu menghasilkan sumber mata pencaharian. Pertanian perkotaan saat ini terus meningkat dan menjadi suatu kegiatan yang penting dalam perekonomian perkotaan dan dapat mendukung tingkat kesejahteraan petani perkotaan dan warganegara yang lain, apabila diatur dengan baik. Saat ini, secara umum pertanian kota di Jakarta hanya tersebar secara sporadis berada di beberapa bagian kota. Padahal pertanian kota memainkan peranan yang penting dalam meningkatkan ketahanan pangan penduduk kota ketika biayabiaya untuk penyediaan dan pendistribusian makanan ke kawasan perkotaan bertumpu kepada ketergantungan dari pedesaan diseki-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

83


Komponen Biotik

Foto Sementara dari internet. Maecenas in mauris. Curabitur mattis, dui eget tempus faucibussapien. In eget nulla eget eros egestas rutrum. Fusce congue quam nec odio.

tarnya yaitu wilayah Bogor, Cianjur, Bekasi, Tangerang yang saat ini semakin tinggi biaya aksesibilitasnya. Pertanian kota dalam perspektif ekologis yaitu dengan munculnya isu global warming bahwa selain tanaman untuk pangan pertanian kota juga menyediakan tanaman hias yang memiliki fungsi ekologis yang tinggi sebagai penyuplai oksigen dalam jumlah yang besar. Permasalahannya bahwa pertanian kota yang ada di Jakarta dan sekitarnya tidak didesign dengan baik dan merupakan bagian yang integral dari pembangunan ruang terbuka hijau. Seandinya Kota Jakarta mampu mempertahan ruang yang tersisa untuk mendukung “urban farming” tentunya merupakan langkah komplementer untuk mengurangi ketidak selamatan makanan dan kemiskinan kota. Hal ini mampu meningkatkan dalam optimalisasi ruang perkotaan. Pertanian di pinggiran perkotaan dapat diatur sebagai koridor hijau atau ‘greenbelt’ untuk menghindari pengembangan tidak terkontrol serta penurunan kualitas tanah. Hal ini dapat digabungkan dengan fungsi rekreasi dan fungsi pemuliharaan alam seperti penampungan air, penahan banjir dan lain-lain. Pertanian perkotaan memperbaiki iklim mikro (microclimates) dan menyediakan tempat bagi daurulang sampah organik serta air limbah perkotaan. Dalam masa krisis dan ‘masa miskin’

84

Badan Informasi Geospasial

“Penggunaan tanah secara majemuk, sekaligus untuk tempat tinggal dan kegiatan produktif seperti pertanian perkotaan merupakan cara paling murah dan terjangkau bagi golongan miskin.” seperti sekarang ini sampai satu dasawarsa ke depan, tentunya pertanian perkotaan merupakan sumber pangan perekotaan terjangkau dan makin penting kedudukannya. Bagi warga miskin khususnya hal ini dapat menjamin ketercukupan pangan dan memberikan sumber pendapatan tambahan. Dalam tataran kultural, sistem pertanian kota juga sudah mulai terlihat wujud dan kecenderungan di Jakarta dan sekitarnya, bahwa pertanian perkotaan membuka peluang integrasi sosial melalui kerjasama lintas warga dari kelompok sosio-ekonomi berbeda. Sudah saatnya zonasi kawasan (tata ruang) direvisi untuk kepentingan rakyat kecil, dan bukannya memihak kepentingan swasta yang ingin mendapatkan lebih luas tanah pertanian perkotaan bagi kepentingan pembangunan mall, apartemen dan aktivitas komersial bernilai tinggi lainnya. Sekarang ini ada cukup alasan untuk melakukan revisi terhadap kebijakan tata guna tanah yang semestinya dapat dirumuskan agar lebih berpihak kepada ekologis, kultural dan ekomis. Penggunaan tanah secara majemuk, sekaligus untuk tempat tinggal dan kegiatan produktif seperti pertanian perkotaan merupakan cara paling murah dan terjangkau bagi golongan miskin. Sebenarnya secara tradisional, menurut sejarah ribuan tahun, memang demikianlah seharusnya perkembangan perkotaan.


Komponen Biotik

Perancangan perkotaan ‘modern’ yang telah merusak kemudahan ini. Tata guna tanah campuran dengan pertanian perkotaan sebagai salah satu komponennya adalah usaha bersama dengan penyertaaan masyarakat dalam mengelola ruang perkotaan publik dapat mengurangi biaya pemeliharaan yang dilakukan oleh pemerintah kota. Konsep ini memang perlu kajian yang mendalam dan perlu diatur dalam tata kelola pemerintahan yang komprehensif, agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih rumit. Hal minimal dapat mengatasi masalah yang terkait dengan urbanisasi yang cepat telah menyebabkan kemiskinan kota dan ketidak-selamatan (food insecurity) makanan perkotaan meningkat dengan cepat. Pada saat ini, sekitar 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan (Brook & Davila 2000).

INTEGRASI RTAHUN DENGAN KONSEP PERTANIAN KOTA SEBUAH KEHARUSAN DI KOTA RAWAN BANJIR Masalahnya saat ini pertanian perkotaan masih sekedar sebagai pelengkap dari sistem pertanian pedesaan, sehingga belum dapat dijadikan strategi untuk meningkatkan sistem ketersediaan makanan nasional. Hal ini terlihat bahwa kebijakan mempertahankan ruang terbukan hijau (RTAHUN) di Jakarta dan sekitarnya sangat tidak didukung oleh para pengambil keputusan, meskipun tata ruang telah mengamanatkan hal tersebut. Sebenarnya kondisi ini juga tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain di Indonesia. Sebagai gambaran, di dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) Jakarta tahun 2005 sebenarnya pernah diakui secara resmi tanah pertanian perkotaan beribu-ribu hektar. Misalnya di Cengkareng/Kapuk, Koja dan Cibubur. Dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tahun 2010 peruntukan tanah pertanian yang diakui merosot menjadi 200 hektar di kawasan Cengkareng/Kapuk. Perkembangan pertanian perkotaan sebenarnya mempunyai hubungan kuat dengan optimalisasi ruang kota terutama Ruang Terbuka Hijau (RTAHUN). Dari data diperoleh target keluasan RTAHUNK (Ruang Terbuka Hi-

jau Kota) dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta yang idealnya 30% dari total luas Jakarta 650 km2, masih jauh dari harapan. Penetapan target keluasan RTAHUNK dalam RUTR Jakarta 1965-1985, RUTR 19852005 dan terakhir RTRW 2000-2010 tidak pernah tercapai. Bahkan cenderung merosot hanya 13% target yang dicapai. Pertanian perkotaan terus meningkat dan menjadi suatu kegiatan yang penting dalam perekonomian perkotaan dan dapat mendukung dengan mantap kesejahteraan petani perkotaan dan warga negara yang lain, apabila diatur dengan baik. Sesungguhnya praktik pertanian perkotaan telah menjadi bagian dari perkotaan, tetapi kebijakan dan perencanaan perkotaan kurang memberi perhatian tentang pengintegrasian pertanian perkotaan kedalam sistem ekonomi perkotaan. Perencanaan perkotaan dikebanyakan negara membangun mempunyai karakteristik cenderung merupakan perancangan komprehensif jangka panjang. Perancangan model ini adalah kaku dan kurang merespon isu sosial, sehingga mempunyai dampak negatif kepada pertanian perkotaan. Ini berarti bahwa keputusan mereka tidaklah selalu direspon oleh pemerintah, sehingga rancangan mereka sering ditangguhkan. Makin cepat suatu kota mengakui dan memasukkan pertanian perkotaan ke dalam perencanaan zonasi kawasan (tata ruang),

Foto Sementara

Foto Sementara dari internet. Maecenas in mauris. Curabitur mattis, dui eget tempus faucibus

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

85


Komponen Biotik

Foto Sementara

Pintu Air Manggarai Foto Sementara dari internet. Maecenas in mauris. Curabitur mattis, dui eget tempus faucibusvel metus. Maecenas in mauris. Curabitur mattis, dui eget tempus faucibus. Pintu Air Manggarai

formalkan ke dalam kebijakan perencanaan tata ruang perkotaan. Pintu Air Manggarai

maka makin cepat mereka merasakan manfaatnya. Kini pertanian perkotaan dihubungkan dengan cara-cara kota menanggulangi masalah ekologi, membantu keluarga miskin menambah penghasilan dan makanan segar, serta meningkatkan keselamatan makanan di sebagian besar kota. Pertanian perkotaan juga menghasilkan tanaman hias serta memanfaatkan tanah-tanah terlantar di perkotaan. Pertanian perkotaan dapat menjadi sarana pembangunan modal sosial melalui pemberdayaan petaninya. Pertanian perkotaan perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan rencana tata ruang kerana mempunyai manfaat yang besar kepada peningkatan ketahanan pangan rumah tangga dan Ruang Terbuka Hijau, aspek ekonomi, sosial dan ekologi perkotaan. Kegiatan pertanian perkotaan perlu diakui dan di-

86

Badan Informasi Geospasial

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, pertanian perkotan mempunyai banyak keuntungan, meskipun di dalam praktiknya, kegiatan pertanian perkotaan ini menimbulkan pula beberapa persoalan antara lain: Pertama, polusi yang melanda perkotaan Jakarta dalam beberapa hal mempunyai dampak negatif pada kegiatan pertanian perkotaan. Penulis menemukan beberapa titik pertanian perkotaan seperti kawasan di depan Kawasan Kebon Jeruk, Kebon Nanas, dlll................................................ Tanaman yang ditanam berdampingan jalur jalan yang padat tersebut kemungkinan akan menyerap kandungan metal dari udara di sekitarnya. Kedua, penggunaan pestisida yang tidak terkontrol kemungkinan berdampak negatif kepada kesehatan penduduk perkotaan bahkan dapat mencemari sumber-sumber air bersih perkotaan. Ketiga, kegiatan pertanian perkotaan berati juga mengurangi kesempatan untuk memanfaatkan tanah tanah perkotaan bagi kegiatan komersial yang tinggi. Sebagai contoh, tanah-tanah kosong di Jakarta akan sangat menguntungkan apabila dimanfaatkan untuk kegiatan komersial (mall, perkantoran, hotel, apartment) berbandingkan dengan kegiatan pertanian perkotaan.


Komponen Biotik

Foto Sementara

Foto Sementara dari internet. Maecenas in mauris. Curabitur mattis, dui eget tempus faucibuscenas in mauris. Curabitur mattis, dui eget tempus faucibus.

Beberapa persoalan yang telah djelaskan diatas tentunya harus dicarikan jalan keluarnya hal ini karena pertanian perkotaan mempunyai potensi besar. Di sisi lain, pertanian perkotaan mempunyai banyak hambatan bagi pengembangan lebih lanjut. Beberapa hambatan tersebut misalnya: Pertama, kehadiran dan potensi pertanian perkotaan belum diakui oleh para perancang perkotaan dan pemerintah. Mereka justru sibuk membangun mall dan apartement. Hal ini menyebabkan tidak adanya perhatian dan dukungan kepada pertanian perkotaan. Oleh karena itu, kegiatan pertanian perkotaan ini seringkali menempati tanah-tanah ilegal, tanah-tanah publik, dipinggiran sungai dan di sepanjang rel keretapi yang sewaktuwaktu dapat tergusur, seperti yang terdapat di ............................

tetapi mereka tidak mempunyai akses kepada tanah-tanah kosong di perkotaan. Oleh karena itu, mereka terhalang bagi membangkitkan kegiatan pertanian perkotaan. Keempat, ketiadaan kebijakan pengembangan perkotaan yang dapat memberi dukungan kepada pertanian perkotaan. Pertanian perkotaan belum menjadi bagian dari zonasi tata ruang kawasan perkotaan (tata ruang kota). Oleh karena itu, kegiatan ini tidak dapat berkembang dengan baik. Kelima, tanah di Jakarta sangat terbatas dan mahal harganya. Pengembangan pertanian perkotaan perlu dicari solusi lain, misalnya menanam tanaman di atap rumah, sekolahan, perkantoran, rumah sakit, taman-taman umum, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya.

Kedua, kekurangan dokumentasi dan informasi tentang kegiatan pertanian perkotaan, sehingga tidak banyak masyarakat yang dapat mencontoh dan ikut terlibat dalam kegiatan yang sebenarnya sangat potensial ini. Ketiga, ketiadaan akses kepada sumber daya tanah dan air, input pertanian dan dukungan kewangan dari pemerintah. Banyak penduduk miskin perkotaan yang sebenarnya mampu melakukan kegiatan pertanian perkotaan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

87


Komponen Biotik biotik Komponen

KELOMPOK TANI LINGKUNGAN HIDUP SANGGA BUANA “alam bukan warisan nenek moyang tapi titipan dari anak cucu� Meisya, KTLH Sangga Buana

K

elompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana (KTLH Sangga Buana) berdiri pada tahun 1998 dengan beranggotakan 80 orang yang diketuai oleh Chaerudin alias Bang Idin. KTLH Sangga Buana didirikan dengan tujuan penyelamatan alam yang telah rusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di sekitar bantaran sungai pesanggerahan, namun masih ada sisa-sisa yang dapat diselamatkan, maka motto yang diikrarkan pada saat berdirinya KTLH Sangga Buana adalah menyelamatkan yang tersisa. Makna dari nama Sangga Buana yaitu, Sangga adalah tiang yang berfungsi untuk menyangga atau menopang serta menunjang sesuatu benda yang ada diatasnya. Buana adalah Bumi atau dunia yang didalamnya terdapat udara, tumbuhan, air, manusia, satwa dan lain-lain yang harus dijaga dan dirawat serta dilestarikan. Bang Idin mengaku belajar langsung dari alam dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para generasi sebelumnya. Penyelamatan yang dilakukan melalui penanaman pohon, perlindungan satwa liar, pelarangan membuang sampah disekitar bantaran kali. Pelestarian kobak mata air dan makam-makam tua, serta benda-benda bersejarah, semua itu dilakukan melalui pendekatan sosial-budaya berupa proses sosialisasi kepada masyarakat, agar

88

Badan Informasi Geospasial

masyarakat memahami pentingnya menjaga kelestarian alam. Pada awalnya, latar belakang bang Idin mendirikan KTLH Sangga Buana karena ia merasa tidak nyaman dengan lingkungan dimana ia tinggal dan hidup, sungai yang merupakan tempat bermainnya di masa kecil itu rusak parah di tahun 1980-an. Sampah bertebaran di sepanjang bantaran yang tandus atau di aliran sungai yang warnanya kehitaman, seiring maraknya pembangunan perumahan mewah tidak jauh dari daerah aliran sungai tersebut. Bang Idin melihat rumah dibangun membelakangi sungai, sungai dijadikan tempat pembuangan sampah, sehingga tidak ada lagi cerita dari generasi sebelumnya yang memiliki makna untuk menjaga kelesestarian sungai di jaman kerajaan dulu, yang menyebutkan bahwa ‘jangan suka mengotori sungai, karena sungai tempat mengenal Tuhan’. Hal ini bermakna bahwa sungai pada jaman dahulu merupakan sumber kehidupan dimana seluruh mahkluk hidup bergantung padanya. Pada Awalnya, Bang Idin menelusuri sungai Pesanggrahan dengan jalan kaki dan naik rakit dari hulunya di kaki Gunung Pangrango hingga ke muaranya di kawasan utara Jakarta sejauh kira-kira 136 kilometer. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk keprihatinan yang


Komponen Biotik

Sampah yang terus menerus muncul dari pemukiman elit di sekitar KTLH Sangga Buana

mendalam atas apa yang terjadi di daerahnya, dimana Hutan kota di kawasan bantaran sungai Pesanggrahan di Kampung Tengah, Jakarta Selatan, dijadikan tempat pembuangan sampah. Dalam perjalanan itu, dia juga mencatat pepohonan, jenis-jenis ikan, serta satwa apa saja yang hilang akibat perilaku manusia. Sepulang dari perjalanan tersebut, Bang Idin dan kelompoknya melakukan hal yang paling sederhana, yaitu mengangkut sampah dari aliran sungai dan bantarannya ke tempat pembuangan sampah dengan sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat di sekitarnya. Dalam perjalanan KTLH Sangga Buana, Bang Idin dan kelompoknya mulai mengusahakan bibit (yang didapat dari berbagai pihak) pohon-pohon yang cocok ditanam di pinggiran sungai, dan kemudian menanamnya secara berkelanjutan hingga sekarang.

Bang Idin ketua KTLH Sangga Buana

Dia juga berhasil meyakinkan warga setempat untuk membawa bibit pohon dan menanamnya secara bersama-sama. Kerjasama ini, yang melibatkan berbagai pihak, kemudian melahirkan berbagai usaha seperti peternakan kambing, kelinci, serta usaha lainnya seperti budidaya madu, pembuatan pupuk dan pakan ternak, peternakan ikan, penangkaran pohon bambu, serta pengelolahan sampah. Melalui beberapa dan penjelasan di atas, maka perancangan pembangunan wilayah, khususnya untuk menangani permasalahan banjir di DKI Jakarta, tidak akan mungkin berhasil tanpa dikaitkan dengan pendekatan sosial-budaya sebagai suatu prasyarat tercapainya pola pikir dari aparat pemerintah, pengusaha propeti dan seluruh element masyarakat tentang

Pemanfaatan hasil alam sekitar untuk pakan ternak dan alat membuat pakan ternak hasil kreativitas KTLH Sangga Buana dalam memanfaatkan alam secara arif

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

89


Komponen Biotik

konsep hidup yang selaras dengan lingkungan alam. Ketidakbiasaan dan ketidaksiapan dalam penanganan banjir sebagai masalah sosial di DKI Jakarta untuk melibatkan pendekatan sosialbudaya menjadi penyebab banjir di DKI Jakarta tampaknya tidak kunjung mendapat penyelesaian. Kesalahan Pola pikir dalam penanganan banjir ini terus berlanjut, sehingga menjadi suatu proses yang dianggap paling benar bahwa infrastruktur yang lebih baik yang dapat mengatasi permasalahan banjir di Jakarta. Perubahan pola pikir melalui pendekatan sosial budaya adalah proses yang tidak sederhana. Para perencana dan perancang pembangunan dan tata ruang Indonesia pada umumnya mengandalkan pengetahuan ‘objektif’ dalam menghasilkan rencana-rencana expert-designed yang diimplementasikan melalui birokrasi modern dan sangat terstruktur. Namun, perlu disadari bahwa konsep-konsep kearifan budaya masyarakat seringkali memiliki prinsip-prinsip yang telah lama mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam, bahkan sebelum bidang kelimuan itu sendiri ada. Sebelum para ilmuwan, birokrat atau perencana atau dengan bidang keilmuan yang mereka kuasai tentang alam dan lingkungannya, maka sistem nilai dan konsep tradisional mengenai tata ruang sudah terlebih dahulu ada, maka dari itu, seharusnya pendekatan sosial-budaya tersebut harus menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan terhadap suatu wilayah. Oleh karena itu, pendekatan sosial-budaya merupakan faktor penting yang juga harus dipertimbangkan dalam suatu perencanaan pembangunan khususnya penyelesaian permasalahan banjir di DKI Jakarta.

Pemanfaatan lingkungan dengan memisahkan air limbah untuk usaha pemancingan dan pemanfaatan lingkungan untuk kebun dan peternakan oleh KTLH Sangga Buana

90

Badan Informasi Geospasial


Komponen Biotik

1

2

Sampah pada DAS dan Pintu Air dekat pemukiman padat : Normalisasi tanpa hasil Normalisasi Kali Pesanggrahan (Pendekatan Teknis-Spasial) yang tanpa hasil karena dijadikan TPS dan terus menerus mengurai sampah dari hulu karena mengabaikan Pendekatan Sosial Budaya untuk mengubah pola-pikir dan perilaku terhadap kelestarian sungai.

3

5

4

1. P ola pikir membuang sampah di bantaran sungai pesanggrahan. 2, 3, 4. Normalisasi Kali Pesanggrahan 5. P endangkalan Sungai Ciliwung akibat pola pikir terhadap sungai yang dijadikan TPS.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

91


Komponen Biotik

Kondisi DAS dan pintu air yang memprihatinkan

6

Rekaya Teknis-Spasial untuk normalisasi DAS tanpa menggunakan pendekatan sosialbudaya mengubah pola pikir masyarakat hanya akan menjadi ajang mengumpulkan sampah di DAS dan Pintu Air.

7

8

9

10

11

12

6. Pemancingan sampah sebagai respon terhadap DAS yang tercemar oleh sampah. 7. Normalisasi DAS di Pintu Air Manggarai. 8. Pintu Air Manggarai yang tertutup oleh sampah. 9. Kondisi Pintu Air Karet dengan sampah yang menumpuk. 10. Pintu Air Manggarai yang rentan rusak akibat tumpukan sampah. 11. Pintu Air Manggarai yang lama tidak berfungsi akibat tumpukan sampah.

92

Badan Informasi Geospasial

12. Sampah pada Saluran Air dipemukiman padat penduduk, bukti lemahnya kesadaran masyarakat terhadap penyebab banjir sebagai bencana sosial, Tenggulun Manggarai. 13. Alih fungsi lahan bantaran sungai menjadi lahan parkir serta penambahan tinggi tanggul sebagai solusi teknis-spasial temporer yang pada akhirnya tidak dapat menangani banjir karena luapan DAS Ciliwung. Tenggulun Manggarai. 14. Kampung Hijau RT 13, RW 06, Kelurahan Pegangsaan, kecamatan menteng juara II kampung hijau DKI yang mendapat penyuluhan aparat Pemda DKI dan LSM.


Komponen Biotik

13

14

15

16

17

18

19

20

15. P ara ketua tim penggerak penghijauan dan kebersihan di Kampung Hijau yang saat ini sudah tidak dapat penyuluhan, akibat tidak berkelanjutan yang justru dianggap menjadi ajang proyek bagi masyarakat dari pada sebagai upaya menumbuhkan kesadaran kelestarian dan kebersihan alam melalui pendekatan sosial-budaya. 16. A neka tanaman obat yang ditanam masyarakat di Kampung Hijau.

17. Pola Pikir masyarakat terhadap Sungai sebagai sumber kehidupan dan warga Kampung Ciwaluh, Desa Wates, Kecamatan Cigombong. 18. DAS di hulu yang masih bersih karena dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan warga Kampung Ciwaluh, Desa Wates, Kecamatan Cigombong. 19. Masyarakat yang memanfaatkan aliran sungai untuk irigasi pertanian sebagai sumber mata pencaharian. 20. Sosialisi pemanfaatan alam yang arif dalam dunia pendidikan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

93


Komponen Biotik biotik Komponen

PENGELOLAAN FITOGEOGRAFI UNTUK PENANGANAN BANJIR JAKARTA MEMUTUS BANJIR JAKARTA DENGAN VEGETASI

DR. Sumaryono

94

Badan Informasi Geospasial


Komponen Biotik

HUTAN KOTA DI TENGAH LAJU PEMBANGUNAN KOTA METROPOLITAN Pembangunan kota Metropolitan Jakarta sangat identik dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik berupa jalan raya, gedung pencakar langit, bangunan perumahan elit, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Pembangunan dengan karakteristik tersebut berkonsekwensi terjadinya perubahan fungsi lahan yang sangat masif. Hal ini terjadi karena setiap pengembangan sarana fisik, secara pasti memerlukan lahan. Padahal, ketersedian lahan yang secara ‘layak’ dapat digunakan untuk pengembangan sarana fisik tersebut semakin sempit dan terbatas. Akibatnya, lahan-lahan yang dianggap “tidak produktif” atau memiliki “opportunity cost” yang rendah menjadi sasaran utama konversi lahan. Rawa-rawa yang tersebar luas di Jakarta dan sekitarnya dengan cepat berubah menjadi kawasan pusat bisnis, perkantoran, permukiman, jalan raya, dan lain-lain. Bantaran sungaipun tak lepas dari serbuan konversi lahan untuk berbagai pembangunan, terutama permukiman penduduk, baik yang resmi maupun yang tidak. Kawasan hijau semakin lama semakin terdesak dan tinggal menunggu waktu untuk dapat giliran disulap menjadi hutan beton. Namun demikian, Jakarta beruntung masih memiliki secuil tanah yang masih hijau sebagai salah satu benteng lingkungan yang dengan mati-matian dipertahankan agar tetap lestari. Bang Iding (nama panggilan Pak Haji Chaeruddin) dan segenap komunitasnya tiada pernah lelah mengurusi kawasan ini dengan kearifan lokal yang dipahami dan dipraktekkan untuk kelestarian kawsan secara turun menurun. Komunitas ini menyebut kawasan tersebut dengan “Hutan Kota Pesanggrahan Sangga Buana Karang Tengah”. Hutan kota dengan luas total 42 hektar terletak memanjang di sebelah kanan-kiri sungai pesanggrahan di Kampung Karangtengah, Desa Lebak Bulus, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Secara teknis, hutan kota tersebut dibangun di atas kawasan dataran banjir Sungai Pe-

Gambar 1. Lahan dengan kemiringan curam yang masih ditanami oleh penduduk dengan tanaman pertanian semusim

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

95


Komponen Biotik

sanggrahan yang setiap kali sungai tersebut meluap, kawasan hutan kota inipun sebagian wilayahnya ikut terendam air. Akibatnya, lumpur dan sampahpun menjadi pemandangan yang biasa dilihat selepas banjir. Sedikit ke atas kawasan hutan kota ini, langsung berbatasan dengan kawasan pemukiman yang padat, baik perkampungan tradisional maupun komplek perumahan real estate mewah. Bisa dibayangkan betapa terancamnya hutan kota ini dari deru pembangunan yang masif yang lokasinya tidak jauh dari hutan kota ini.

KEARIFAN LOKAL DALAM MANAJEMEN KEANEKARAGAMAN HAYATI Keberadaan hutan kota ini secara yuridis dan geografis sebenarnya sangat “vulnerable”. Keberadaan hutan kota ini ternyata tidak memiliki suatu kekuatan hukum apapun yang dapat dijadikan sebagai dasar ekistensinya. Secara geografis, hutan kota inipun sangat rentan terhadap desakan arus urbanisasi yang semakin haus akan lahan kosong yang “murah”. Namun demikian, secara de facto, hutan kota ini tetap lestari dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun sampai sekarang. Hal ini tentu saja tidak terjadi dengan sendirinya. Ada kekuatan dahsyat yang berperan dalam keberhasilan manajemen hutan kota pesanggrahan ini. Kekuatan dahsyat yang mendasari dan menggerakkan pengelolaan kelestarian hutan ini adalah adanya kearifan lokal yang dipahami dan dipraktekkan secara nyata. Kearifan lokal merupakan kumpulan pengetauan yang diketahui, dipahami dan dipraktekkan secara nyata dan turun temurun sehingga menjadi “common understanding” dari masyarakat lokal tertentu tentang suatu masalah tertentu. Dalam kaitannya dengan pengelolaan keanekaragaman hayati, kearifan lokal memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam kelestariannya. Kearifan lokal telah memberikan nilai-nilai yang kuat dan dijadikan dasar pijakan dan “belief system” masyarakat yang melembaga. Kearifan lokal yang telah melembaga ini membentuk suatu komunitas “Masyarakat Pesanggrahan” yang khas, di tengah kultur metropolitan Jakarta.

96

Badan Informasi Geospasial

Secara kultural, masyarakat Pesanggrahan dipimpin oleh seorang pemimpin nonformal yang keberadaannya sangat diakui masyarakat. Meskipun tanpa surat keputusan apapun, ternyata kepemimpinan tersebut berjalan secara efektif, terbukti masih lestarinya hutan kota hingga puluhan tahun lamanya hingga saat ini. Kondisi Tutupan Vegetasi dan Dilema Pengelolaan Lahan Jakarta dan Daerah Hulunya Seorang geolog berkebangsaan Belanda bernama Van Bamelen (1949) pernah menyatakan dalam bukunya berjudul The Geology of Indonesia Vol. IA: General Geology of Indonesia, bahwa tanah Jawa merupakan tanah yang subur, namun sedang menuju pada kematian (the dying land). Hal ini terjadi karena tanah jawa yang kaya akan gunung aktif memiliki mekanisme pengkayaan unsur hara tanah melalui letusan gunung api. Tanah yang kaya akan unsur hara memberikan potensi yang besar untuk berbagai pengelolaan yang bersifat produktif, terutama produksi pertanian. Namun demikian, kondisi iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi dan erosif cukup mengancam kelestarian produktifitas tanah tersebut. Jika tidak ada usaha-usaha konservasi tanah, kondisi iklim yang destruktif akan menjadi ancaman kelestarian produktifitas tanah dan pada kondisi terburuk dapat menyebabkan kematian lahan. Inilah yang dimaksud oleh Van Bamelen sebagai “the dying land”. Penyebutan Tanah Jawa sebagai “the dying land” harus menggugah kita untuk bersikap arif dalam pengelolaan lahan dan konservasinya dalam proporsi yang seimbang. Pengelolaan yang melebihi kapasitas dan daya dukung lahan serta metode pemanfaatannya yang tidak tepat akan mempercepat proses kematian lahan. Lahan yang sudah terlanjur mati akan membutuhkan usaha yang luar biasa besar untuk dapat mengembalikan pada kondisi semula. Tanah Jakarta dan hulunya dapat dianggap cukup mewakili untuk disebut sebagai “The dying land”. Betapa besar massa lapisan tanah subur daerah hulu Jakarta yang terus menerus dikikis air hujan dan dikirim ke Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari warna air sungai yang sangat keruh penuh dengan sedimen


Komponen Biotik

yang terbawa. Sedimen tersebut tentu saja diangkut oleh air hujan dari hulu sungai yang mengalir di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah hulu, kondisi tanah yang ada sangat miskin akan sistem pertahanan yang dapat mengelola air limpasan hujan dan erosi tanah. Tidak kuatnya sistem pertahanan air limpasan dan erosi di hulu menyebabkan seringnya terjadi banjir di Jakarta yang sekaligus membawa sejumlah besar massa tanah subur yang mudah tererosi. Karena minimnya vegetasi yang melindungi tanah, kekuatan air hujan yang turun dengan mudahnya mengkikis lapisan tanah subur untuk kemudian air mengalir deras ke hilir tanpa halangan dan resapan yang berarti. Akibatnya hampir bisa dipastikan jika air hujan mengguyur deras di hulu dengan volume tertentu, maka Jakarta akan banjir. Kejadian seperti ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada perbaikan sistem pertahanan tanah di daerah hulu, bahkan sebaliknya semakin buruk keadaanya. Sistem pertahanan air hujan di hulu dapat dibangun dengan perbaikan sistem penutup vegetasi. Kondisi penutup vegetasi yang ada sekarang sungguh sangat memprihatinkan dan menunjukkan kecenderungan yang semakin buruk dari tahun ke tahun. Bertumbuhnya perumahan dan vila-vila di daerah puncak telah mengurangi daerah tutupan vegetasi secara masif. Informasi ini dapat diketahui dengan analisis peta penutup lahan time series (multi-waktu). Peta penutup lahan dihasilkan dengan metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan citra satelit penginderaan jauh. Peta ini dapat dibuat secara berkala untuk tujuan pemantauan dinamika perubahan penutup lahan. Gambar ..... menunjukkan perbedaan peta penutup lahan tahun..... dan peta penutup lahan tahun...... Sedangkan Tabel.... menunjukkan perbedaan luas tutupan vegetasi yang dihitung dari peta penutup lahan tersebut. Dari data perubahan penutup lahan tersebut menunjukkan bahwa semakin lama kondisi tutupan vegetasi kawasan hulu semakin rusak. Benturan kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan terus terjadi dengan kecenderungan selalu mendahulukan kepentingan

ekonomi. Hitung-hitungan ekonomi biasanya lebih menarik karena langsung dapat dirasakan manfaatnya secara cepat, misalnya manfaat pendirian hotel, komplek perumahan, vila, tanah pertanian, dan lain-lain. Sebaliknya, hitung-hitungan manfaat lingkungan sifatnya tidak langsung dinikmati dan kadang jangka panjang, misalnya manfaat pengendalian banjir dan erosi, manfaat keanekaragaman hayati, manfaat micro-climate, dan lainlain. Meskipun demikian, dampak kerugian yang diakibatkan hilangnya fungsi pelestarian dan perlindungan dapat berkali-kali lipat besarnya daripada manfaat yang diperoleh. Banjir Jakarta bulan Februari 2013 saja telah menyebabkan kerugian sebesar 23 triliun rupiah. Dilema pengelolaan lahan ini harus secepatnya diselesaikan agar dapat dicapai kondisi ideal yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dilema pengelolaan lahan sangat terasa terjadi di hulu sungai cisadane, desa.....kecamatan..... kabupaten Bogor. Masyarakat desa tersebut sangat tergantung kehidupannya dari hasil peneglolaan lahan pertanian yang sangat subur untuk berbagai jenis komoditi tanaman komersial antara lain cabe, jagung, kacang panjang, dan berbagai jenis sayuran lainnya. Masyarakat sering menanami daerah dengan kelerengan yang curam dengan tanaman pertanian semusim yang memiliki sifat perlindungan tanah dan air yang minim. Gambar ...... memperlihatkan lahan pertanian penduduk dengan tanaman semusin pada area berlereng curam. Secara teknis, daerah-daerah dengan kelerengan lebih dari .....derajat seharusnya dijadikan area lindung dengan ditanami tanaman pepohonan yang memiliki sifat perlindungan tanah dan air misalnya rasamala, puspa, akasia, mahoni, dan lain-lain. Namun demikian, melarang penduduk begitu saja untuk mengusahakan tanah tersebut sebagai tanah pertanian bukanlah tindakan yang produktif dan solutif. Perlu pendekatan yang arif dan tepat agar dapat dicapai perlindungan alam yang lestari dengan tetap mengakomodir kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

97


Komponen Biotik

Gambar 2. Kondisi umum tutupan lahan di hulu DAS Ciliwung (Puncak), yang terdiri dari pemukiman, pertanian lahan kering semusim, dan kebun campuran.

Secara teknis, penutupan vegetasi di daerah hulu Jakarta sangat mutlak untuk ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Secara kualitas, penutupan vegetasi yang ada perlu ditingkatkan dengan mengganti jenis tanaman yang kurang sesuai dengan yang lebih tepat sesuai dengan kondisi wilayahnya. Secara kuantitas, luas cakupan daerah bervegetasi perlu untuk ditingkatkan dalam rangka pengendalian air limpasan dan erosi tanah. Cakupan tutupan vegetasi Daerah Aliran Sungai Ciliwung dan DAS lain yang masuk ke Jakarta secara umum masih jauh dari mencukupi. Gambar....... memperlihatkan kondisi umum tutupan vegetasi di DAS Ciliwung. Gambar....memperlihatkan betapa minimnya tutupan vegetasi DAS Ciliwung. Vegetasi berupa pohon dengan tajuk besar hanya tumbuh secara sporadis di antara permukiman dan daerah pertanian. Pepohonan yang ditanam penduduk pada umumnya pohon-pohon yang menghasilkan buah atau kayu untuk diambil hasilnya, antara lain durian, mangga, rambu-

98

Badan Informasi Geospasial

tan, jati, sengon, akasia, kelapa, dll. Pembangunan perumahan menunjukkan intensitas yang terus meningkat dengan mengkonversi tutupan vegetasi pada daerah-daerah dengan ketinggian mendekati puncak-puncak bukit dan gunung. Perumahan berupa vila pada umumnya terdiri dari rumah dengan selingan jalan, halaman rumput dan pepohonan yang ditanam secara sporadis, seperti terlihat pada Gambar...... Tutupan lahan seperti pada Gambar ..... dapat dikatakan masih belum bersahabat dengan program pencegahan banjir. Pola tutupan lahan seperti itu relatif sedikit kapasitasnya dalam menahan air hujan agar tidak mengalir menjadi air limpasan. Jika kawasan hulu sudah penuh sesak dengan tipe penutup lahan seperti itu, maka tidak dapat dihindari lagi akan terjadi arus air limpasan yang dahsyat ke Jakarta jika terjadi curah hujan tinggi pada daerah puncak (hulu). Akibatnya, Jakarta akan terus menerus terancam banjir selama kondisi hulunya tidak diperbaiki.


Komponen Biotik

Gambar 3. Menjamurnya villa di kawasan hulu DAS Ciliwung menyisakan tutupan lahan yang memiliki daya tangkap air hujan yang minim.

MANAJEMEN TUTUPAN VEGETASI MELALUIU SUSTAINABLE SOCIAL FORESTRY Secara faktual, manajemen tutupan vegetasi dengan hanya mengandalkan hutan yang dikelola negara tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Hutan yang dikelola negara di DAS Ciliwung luasnya sangat terbatas dan hanya terkonsentrasi di daerah hulu. Sebaliknya, sebagian besar lahan sepanjang DAS Ciliwung dikuasai oleh masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya manajemen dengan pendekatan baru agar dicapai tutupan vegetasi ideal yang lestari dalam rangka mencegat banjir Jakarta. Manajemen lestari yang dimaksud disini tentu saja sangat erat kaitannya dengan penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan tiga aspek penting yaitu aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Penanaman vegetasi pada tanah-tanah penduduk yang kosong perlu didorong dengan diiringi pemberian pemahaman yang mendalam sehingga dapat diterima secara sosial, ekonomi

dan lingkungan dalam rangka penanganan banjir. Ini adalah pekerjaan yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak sebentar, namun harus dimulai sesegera mungkin. Tanpa pemahaman dan peran serta masyarakat, manajemen tutupan vegetasi tidak akan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Aspek Sosial Secara sosial, menggerakkan peran serta masyarakat dalam penanaman pohon harus disesuaikan dengan kultur dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Beberapa nilai yang ada di masyarakat yang harus dipahami untuk manajemen lestari antara lain: - Menanam pohon merupakan suatu bentuk ibadah. - Pohon-pohon tertentu dianggap memiliki nilai kultural yang kuat, sehingga harus dijaga - Kultur penanaman tanah pekarangan menentukan jenis tanaman yang ditanam

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

99


Komponen Biotik

Aspek Ekonomi Tidak dapat dipungkiri bahwa penanaman tanaman pekarangan dan kebun masyarakat terkait langsung dengan tujuan-tujuan ekonomi masyarakat. Masyarakat sangat membutuhkan masukan income dari tanah pekarangan dan kebun yang dimilikinya. Sebagai contoh, tanaman jati ambon (jabon) ditujukan sebagai tabungan masa depan untuk biaya melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan pohon jabon memiliki masa panen yang lama, tetapi harganya cukup tinggi. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan jangka pendek, penduduk menanami lahan yang dimilikinya dengan tanaman semusim dan palawija. Dengan memahami motif-motif ekonomi dalam pengelolaan lahan masyarakat, diharapkan dapat dirumuskan pola terpadu yang optimum dalam rangka penanggulangan banjir Jakarta. Aspek Lingkungan Aspek lingkungan adalah aspek yang sering dilupakan baik karena kurangnya pemahaman masyarakat ataupun karena desakan aspek ekonomi. Terlebih lagi, aspek lingkungan tidak dapat memberikan hasil yang dapat diambil secara langsung oleh masyarakat. Untuk itu diperlukan usaha yang tepat dan terus menerus dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya memperhatikan aspek lingkungan. Berdasarkan prinsip sustainable social forestry, maka Jenis-jenis vegetasi yang memiliki keunggulan untuk dikembangkan sebagai vegetasi pengendalian banjir dan konservasi tanah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bambu Bambu merupakan tanaman yang sangat mudah ditemui karena penyebarannya yang sangat luas dan menjadi tanaman dan komoditi penting bagi masyarakat di Indonesia. Bambu dapat tumbuh di daerah dengan iklim yang beragam, dari pegunungan dingin untuk daerah tropis yang panas, antara lain di seluruh Asia Timur, dari 50 째 N lintang di Sakhalin sampai Australia Utara, dan barat ke India dan Himalaya. Bambu juga dapat ditemui di sub-Sahara Afrika, dan di Amerika dari pertengahan-At-

100

Badan Informasi Geospasial

lantik Amerika Serikat selatan ke Argentina dan Chile, mencapai titik paling selatan mereka di mana saja, pada garis lintang 47 째 S. Benua Eropa tidak diketahui memiliki spesies asli bambu. Terdapat 150-200 jenis bambu yang tumbuh di Indonesia dengan beragam manfaat antara lain daya serapnya yang tinggi terhadap gas rumah kaca (antara lain CO2) dibandingkan tanaman lain dan memiliki kemampuan untuk menahan banjir dan tanah longsor. Di sisi lain, bambu dapat mengangkat ekonomi masyarakat terutama perajin dan semua pihak yang terlibat dalam industri kreatif dari tumbuhan tersebut, bahkan produsen mobil Mercedez-Benz dan BMW mengunakan bambu untuk sebagian panel interiornya. Bambu adalah komoditi hutan terbaik dalam mengamankan curah hujan yang tinggi dan memasukkannya ke perut bumi dan bambu adalah tanaman tercepat dalam mengembangkan permukaan tangkapan air hujan di banding hutan kayu-kayuan. Tanaman bambu mampu tumbuh merumpun dengan kecepatan 3,92 m2 pada usia 7 tahun, sedangkan pada kayu-kayuan hanya 0,87 m2, di hitung dari luas tempat tumbuh akar yang menutupi permukaan di sekitar tegakan sedangkan untuk panjang garis resapan pada aliran batang di permukaan dengan tahun yang sama bambu memiliki garis resapan 34 kali lebih panjang di banding kayu-kayuan. Setelah berumur tujuh tahun terdapat 183 pohon dalam satu rumpun dengan diameter rata-rata 6,3 centimeter. Hal ini berarti panjang garis resapan 34,587 meter sedang pada kayu-kayuan hanya 0,911 meter. Tingkat kegemburan di bawah pohon bambu lebih tinggi di banding di bawah pohon kayu dengan kata lain porositas hutan bambu lebih baik di banding hutan kayu. Dari hasil angka-angka yang didapat di pastikan dengan membangun hutan bambu akan mampu menyerap hampir seluruh curah hujan yang turun di tahan dan dimasukkan kedalam perut bumi. Hasil studi menunjukkan bahwa bambu menambah 240 % air bawah tanah lebih besar dibanding hutan pinus. (Bareis, 1998 dalam Garland 2004) Bambu sebagai pilihan utama untuk reboisasi pada daerah aliran sungai terutama pada


Komponen Biotik

lokasi sumber tangkapan air, karena memiliki kemampuan mempengaruhi retensi air dalam lapisan topsoil yang mampu meningkatkan aliran air bawah tanah sangat nyata. Manfaat lain dari bambu yaitu memiliki keunggulan untuk memperbaiki sumber tangkapan air yang sangat baik, sehingga mampu meningkatkan aliran air bawah tanah secara nyata. Selain itu bambu merupakan tanaman yang mudah di tanam, tidak membutuhkan perawatan khusus, dapat tumbuh pada semua jenis tanah (baik lahan basah/kering), tidak membutuhkan investasi besar, pertumbuhannya cepat, setelah tanaman mantap (3-5 tahun) dapat di panen setiap tahun tanpa merusak rumpun dan memiliki toleransi tinggi terhadap gangguan alam dan kebakaran. Bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang baik dan menghasilkan banyak oksigen sehingga dapat ditanam di pusat pemukiman dan pembatas jalan raya. Dari perpaduan hasi-hasil penelitian di atas dapat simpulkan bahwa untuk pencegahan banjir di butuhkan populasi bambu yang lebih banyak, karena bambu memiliki area resapan air hujan lebih dari 4 kali luas dari hutan kayu pada umur yang sama 7 tahun. Pada garis resapan untuk aliran batang hampir bambu memiliki 35 kali lebih panjang dibandingkan dengan pohon kayu pada usia hutan yang sama (7 tahun). Pada hutan bambu mampu menyimpan air sebanyak 3 ½ kali lipat dari hutan cemara (Lee-peng, 1987) dari kesimpulan ini di harapkan pemerintah daerah yang memiliki potensi banjir yang tinggi seperti Jakarta dapat mengembangkan populasi bambu sebagai antisipasi banjir, baik ditanam di Jakarta maupun di hulu DAS di atasnya. 2. Rasamala Penyebaran geografis Rasamala (Altingia excelsa Noronha) cukup luas, bermula dari Himalaya melalui Burma, menuju Semenanjung Malaysia, Sumatra dan Jawa. Di Indonesia dikenal dengan nama daerah: rasamala, mala, tulasan dan mandung. Di Birma dinamai Nantayok, Laos Sop dan Thailand Sop, Hom ser-

ta Satu. Pohon ini biasanya tumbuh di hutan bukit dan pegunungan lembab. Di Sumatera, Rasamala tersebar di Bukit Barisan. Mereka tumbuh secara alami terutama pada lokasi yang lembab dengan curah hujan lebih dari 100 mm per bulan dan tanah vulkanik yang subur. Di Jawa, pohon ini hanya ditemukan di bagian barat dengan ketinggian antara 500 1500 m dpl. Sehingga tidak sedikit Rasamala merupakan tanaman lokal Jawa Barat. Ciri botani pohon rasamala adalah selalu hijau sepanjang tahun tanpa kenal musim. Tingginya dapat mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m. Diameter bisa mencapai hingga 80-150 cm. Kulit kayunya halus, berwarna abu-abu. Kayunya berwarna merah. Pohon yang masih muda bertajuk rapat dan berbentuk pyramid. Bentuk ini berangsur menjadi bulat seiring bertambahnya umur. Dengan ciri botani yang demikian, ditambah dengan manfaat ekonominya yang tinggi, jenis ini banyak digunakan sebagai tanaman penghijauan dan reboisasi terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Biasanya ditanam pada jarak rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak sinar matahari. Pohon ini bernilai ekonomi karena kayunya yang kuat dan menghasilkan getah berbau harum dan menjadi bahan campuran parfum. Kayu Rasamala dikenal sangat awet dan cocok untuk kerangka jembatan, tiang, konstruksi, tiang listrik dan telpon, serta penyangga rel kereta api. Katu Rasamala juga dapat digunakan untuk konstruksi berat, rangka kendaraan, perahu dan kapal, lantai, rakit, vinir, dan plywood. Di Jawa Barat, daun yang masih muda berwarna merah sering untuk dikonsumsi sebagai sayur atau lalap. Daun yang ditumbuk halus biasa juga digunakan sebagai obat batuk. Getahnya berbau aromatik dapat digunakan sebagai pengharum ruangan. 3. Sengon Laut (Paraserianthes falcataria) Pohon ini sering juga dengan nama lain antara lain Jeungjing, albazia, tedehu pute, seka, dan lain-lain. Tanaman sengon laut dapat tumbuh pada tanah dengan tingkat kesuburan yang tidak subur dan agak sarang, tanah kering maupun becek. Tanaman muda tahan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

101


Komponen Biotik

kekurangan zat asam sampai 31,5 hari. Sengon laut cocok tumbuh pada iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah hingga pegunungan sampai ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut. 4. Akasia Akasia adalah vegetasi tropis dengan daerah tumbuh yang sangat luas. Vegetasi jenis pohon cepat tumbuh ini banyak ditanam oleh masyarakat sebagai tanaman pekarangan dan penghijauan. Secara geografis, tanaman akasia dapat tumbuh pada ketinggian tempat yang variatif, mulai dari pantai sampai perbukitan dan pegunungan. Namun demikian, tempat yang ideal untuk penanaman vegetasi akasia adalah pada ketinggian 0 – 400 m di atas permukaan laut. Tanaman ini termasuk tanaman pionir dan dapat tumbuh pada tanah marjinal dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah. Secara klimatologis, tanaman ini dapat tumbuh pada iklim kering dengan curah hujan tahunan 1.080 – 2100 mm (Khaerudin, 1993). Tanaman akasia dapat tumbuh mencapai tinggi pohon 15 m dengan diameter batang 50 cm. Pertumbuhan tanaman muda sangat cepat, dengan bentuk batang umumnya tidak lurus dengan percabangan yang rendah, banyak dan mudah patah. Warna kayu menyerupai warna kayu jati, sehingga sering digunakan sebagai kayu substitusi jati pada pertukangan. Tajuk tanaman sangat lebar dengan kerapatan sedang sampai tinggi. Dengan karakteristik seperti tersebut di atas, tanaman akasia sangat potensial digunakan sebagai tanaman konservasi tanah dan pengendali banjir. Tanaman akasia dapat ditanam pada kawasan hutan sebagai reboisasi maupun ditanam di luar kawasan sebagai penghijauan. Dengan demikian, gerakan penanaman akasia dapat dilakukan melalui program pemerintah dalam kawasan hutan maupun dengan melibatkan peran serta masyarakat pada tanah-tanah milik masyarakat. Melibatkan masyarakat dengan pola social forestry sangat penting artinya karena secara faktual, tanah milik masyarakat secara total luasnya jauh lebih besar daripada tanah negara. Saat ini cukup banyak dijumpai tanaman akasia ditanam

102

Badan Informasi Geospasial

oleh masyarakat pada tanah pekarangannya. Disamping sebagai fungsi konservasi tanah dan pengendali banjir, tanaman akasia dapat memberikan tambahan penghasilan ekonomis karena kayunya yang memiliki nilai komersial cukup tinggi dan dapat dipanen pada waktu yang tidak terlalu lama (5-8 tahun). 5. Puspa 6. Pala (Myristica fragrans) 7. Suren Suren ( Toona sureni ) dikenal dengan berbagai nama sesuai dengan daerah tempat tumbuh, seperti surian (Sumatra); surian wangi ( Malaysia ); danupra ( Philippina); ye tama (Myanmar); surian ( Thailand) dan nama perdagangannya yaitu limpaga. Kayunya berbau harum sehingga tahan terhadap serangan rayap maupun bubuk kayu dengan warna kemerahan. Tanaman ini tumbuh pada daerah bertebing dengan ketinggian 600-2.700 m dpl dengan suhu 22ÂşC. Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan selain kayunya sebagai bahan bangunan, furniture, veneer, panel kayu dan juga kulit dan akarnya dimanfaatkan untuk bahan baku obat diarrhoea dan ekstrak daunnya dipakai sebagai antibiotik dan bio-insektisida; sedangkan kulit batang dan buahnya dapat disuling untuk menghasilkan minyak esensial (aromatik). Tajuk tidak terlalu lebar sehingga pohon suren biasa digunakan sebagai tanaman pelindung atau pembatas di ladang dan sebagai winbreak di perkebunan Deskripsi Pohon Pohon Surian menyebar secara alami di Sumatera, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Selatan, Maluku, Bali, Nusa Tenggara Barat serta Papua. Sifat pohon surian dapat tumbuh baik di tempat-tempat terbuka dan mendapat cahaya langsung (<1200 m dpl). Jenis ini menghendaki iklim agak kering dengan tipe curah hujan A sampai C. Jenis tanah yang dikehendaki meliputi tanah-tanah berlempung yang dalam, subur, berdrainase baik serta menyenangi tan-


Komponen Biotik

ah basa. Pohon surian termasuk jenis yang tumbuh cepat, dengan batang lurus, bertajuk ringan, berakar tunggang dalam dan berakar cabang banyak. Pada umur 10-12 tahun sudah dapat menghasilkan kayu untuk tiang-tiang rumah. 8. Damar 9. 10. dll Kihujan, Manglit,

MATERI BELUM LENGKAP Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

103


Komponen Biotik biotik Komponen

POTRET PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS KONSERVASI SUMBERDAYA AIR DI SUB DAS CISADANE HULU Dwi Maryanto M.Si Staf PITD – Badan Informasi Geospasial

Kondisi penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu dalam upaya konservasi sumber daya air saat ini sudah mengkhawatirkan. Empat indikator yang mempengaruhi kondisi hidrologi yaitu Indeks Penutup Lahan, koefisien limpasan dan kandungan sedimen (Total Suspended Solid/TSS) termasuk kelas “Sedang”, sedangkan erosi aktualnya sudah termasuk kelas “Buruk”. Bagian DAS Cisdane yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan bagi seluruh DAS tersebut sedang menuju kerusakan.

S

ungai Cisadane merupakan salah satu sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sungai dengan panjang kurang lebih 140 km ini mempunyai fungsi antara sebagai sumber air bersih, sumber air irigasi pertanian, sumber air untuk kebutuhan industri, sarana transportasi, pariwisata, pemeliharaan sungai dan mencegah banjir di dalam Daerah Aliran Sungai Cisadane. Sebagai sumber bahan baku air bersih, air Sungai Cisadane juga melayani masyarakat pada lintas DAS, yaitu DAS-DAS yang berada di Provinsi DKI Jakarta. Oleh sebab itu upaya konservasi sumberdaya air di DAS Cisadane merupakan hal yang wajib dilakukan untuk menjaga ketersedian dan keberlanjutan sumberdaya air tersebut.

maupun daerah tengah dan hilirnya. Daerah hulu mempunyai karakteristik antara lain topografinya lebih kasar, posisinya lebih tinggi, kemiringan lereng yang lebih besar, curah hujan lebih tinggi, erosi lebih intensif dan seluruh proses yang terjadi di bagian hulu akan mempengaruhi bagian hilirnya. Daerah tengah merupakan peralihan antara daerah hulu dengan hilir. Adapun bagian hilir mempunyai fungsi pemanfaatan karena karakteristik fisiknya seperti kemiringan lahan lebih kecil, kerapatan drainase rendah, topografi relatif halus, ketersediaan air lebih banyak. Itulah sebabnya mengapa Sub DAS Cisadane Hulu menjadi penting untuk difokuskan sebagai daerah yang pemanfaatan ruangnya bernilai konservasi tinggi.

Upaya konservasi sumber daya air di suatu DAS biasanya difokuskan pada daerah hulunya, karena daerah hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah hulu itu sendiri

Saat ini Sub DAS Cisadane Hulu kondisi penggunaan lahan dan hidrologi di Sub DAS Cisadane Hulu semakin mengkhawatirkan. Kondisi tersebut tentu sangat mempengaruhi

104

Badan Informasi Geospasial


Komponen Biotik

Gambar 1. Penggunaan lahan sawah pada lereng terjal

tata airnya, sehingga dapat mengganggu pemanfaatan-pemanfaatan tersebut diatas. Dari sisi temporal, gangguan tata air menyangkut distribusi yang tidak merata sepanjang tahun. Curah hujan yang turun pada bulan-bulan basah, dengan karakteristik periode singkat namun intensitasnya tinggi dapat menimbulkan bencana banjir, sedangkan pada kondisi sebaliknya akan mengakibatkan kekeringan. Dari sisi spasial, gangguan tata air dapat menyangkut kuantitas dan kualitas air yang bervariasi jumlah dan mutu air di berbagai lokasi, sehingga kesesuaian airnya juga bervariasi untuk berbagai pemanfaatan.

POTRET PENGGUNAAN LAHAN TERKINI Hasil interpretasi terhadap citra ALOS dengan resolusi 10 m tahun perekaman 2010 menunjukkan bahwa di sub DAS Cisadane Hulu terdapat 11 bentuk penggunaan lahan yang se-

cara umum dapat dikelompokkan ke dalam penggunaan lahan bervegetasi dan tidak bervegetasi. Kelompok penggunaan lahan bervegetasi beserta presentase luasnya yaitu sawah (27,45%), hutan (18,29%), semak belukar (17,40%), kebun campuran (12,73%), ladang (7,83%), padang rumput/lapangan olah raga (0,29%), perkebunan (1,90%), sedangkan untuk kelompok tidak bervegetasi terdiri dari permukiman (13,08), tubuh air (0,84%), dan lahan terbuka (0,19%). Pola umum yang terdapat di Sub DAS Cisadane hulu adalah sawah dan permukiman banyak terdapat pada lereng datar hingga landai, adapun ladang, perkebunan campuran perkebunan sejenis, dan semak belukar umumnya terdapat pada lereng landai hingga curam, sedangkan hutan mendominasi daerah berlereng curam. Jenis tanaman yang banyak dibudidayakan pada lahan ladang antara lain ubi kayu/ jalar, jagung, kacang tanah, kacang kedelai. Se-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

105


Komponen Biotik

dangkan jenis tanaman penutup tanah tinggi atau pohon yang banyak ditanam pada kebun campuran antara lain manggis, mangga, durian, pisang, melinjo, mahoni, manii (afrika) dan sengon, adapun tanaman penutup sedang atau sejenis perdu yang banyak diusahakan adalah antara tanaman sayuran, obat-obatan dan tanaman pakan ternak, atau dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah yang rendah antara lain berbagai jenis rumput-rumputan dan tumbuhan merambat atau menjalar seperti ubi jalar, kacang tanah, paria/peria, talas atau keladi. Permukiman yang ada sebagian besar berupa pemukiman jarang, sedangkan permukiman padat padat hanya berada di kota Bogor dan sekitarnya. Perkebunan monokultur yang ada yaitu perkebunan teh dan kelapa sawit. Kebun teh yang berada di 2 lokasi terpisah tersebut berada pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Hasil pengamatan di lapangan diperoleh bahwa masih banyak budidaya pertanian yang kurang memperhatikan aspek konservasi tanah dan air. Pembuatan bedengan dan penanaman tanaman tegak lurus kontur, pembuatan teras yang kualitasnya kurang baik atau teras bangku tradisional, pergiliran tanaman yang dominan row crops, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya masih banyak ditemui terutama pertanian lahan kering atau pada kebun campuran pada lereng yang lebih dari 15%. Kondisi inilah yang dapat meningkatkan jumlah aliran permukaan dan erosi.

ALOKASI PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR Konservasi air pada DAS pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk berbagai keperluan seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir dan tersedia cukup air pada waktu musim kemarau (Arsyad 2006). Usaha konservasi air sangat dipengaruhi oleh perlakuan terhadap tanah dan setiap perubahan perlakuan terhadap tanah maka akan mengubah pula tata airnya. Oleh sebab itu upaya konservasi air tidak dapat dipisahkan dengan upaya konservasi tanah, sedangkan konserva-

106

Badan Informasi Geospasial

si tanah sangat erat dengan penggunaan dan pengelolaan lahannya. Penggunaan lahan yang baik untuk mendukung konservasi sumber daya air sekaligus tanah adalah penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahannya. Kemampuan lahan memberikan gambaran potensi lahan untuk penggunaan lahan secara umum untuk dapat berproduksi secara optimal, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu yang lama. Oleh sebab itu analisis terhadap kemampuan lahan berarti mengoptimalkan lahan baik dari sisi ekonomi maupun ekologi, berdasarkan karakteristik fisik lahannya. Peta Kemampuan Lahan dapat diperoleh dari analisis karakteristik fisik lahan. Peta tersebut dihasilkan dari overlay peta karakteristik lahan yang di daerah ini antara lain peta tanah, kemiringan lereng dan curah hujan. Di Sub DAS Cisadane hulu, nilai karakteristik lahannya sangat bervariasi, misalnya untuk kemiringan lereng yang ada kisarannya mulai dari kelas datar hingga sangat terjal, tanahnya terdiri atas 11 jenis, intensitas hujannya juga berbeda secara keruangan, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan unit pemetaan yang dihasilkan juga variasinya tinggi. Di Indonesia terdapat beberapa metode yang sering digunakan untuk penyusunan peta kemampuan lahan. Salah satunya adalah metode yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian melalui SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan SK Mentan No. 683/Kpts/Um/8/1981 tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi . Kriteria yang digunakan sebagai penentu kemampuan lahan adalah kemiringan lereng, jenis tanah menurut kepekaan terhadap erosi, dan intensitas hujan rata-rata. Setiap parameter tersebut dibagi dalam lima kelas dan setiap kelas diberi skor. Hasil overlay menghasilkan peta kemampuan lahan dan penjumlahan skornya menghasilkan kelas kemampuan lahan yang lebih dikenal dengan Fungsi Kawasan. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap Sub DAS Cisadane Hulu dengan menggunakan model Arc View Generalized Loading Function (AVGWLF), menunjukkan bahwa metode


Komponen Biotik

alokasi penggunaan lahan berdasarkan Fungsi Kawasan tersebut menghasilkan effort paling tinggi dalam usaha konservasi sumberdaya air, dibandingkan metode evaluasi Kemampuan Lahan dari FAO, dan bahkan pola ruang RTRW kabupaten/kota saat ini (Maryanto, 2013). Tingkat kinerja metode alokasi lahan tersebut dinilai berdasarkan 4 parameter yaitu indeks penutup lahan (IPL) koefisien limpasan

nau/waduk, ketinggiannya lebih 2.000 m dpal, atau daerah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung. Kawasan Fungsi Penyangga merupakan daerah yang dapat digunakan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya dengan syarat tertentu, seperti hutan produksi terbatas, perkebunan (tanaman keras), kebun campuran, dan lain-lainnnya. Suatu lahan ditetapkan sebagai kawasan penyangga apabila besarnya nilai skor kemampuan lahannya sebesar 125-174, atau memenuhi kriteria seperti: memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara ekonomis, mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga, dan tidak merugikan secara ekologi.

“Hasil pengamatan di lapangan diperoleh bahwa masih banyak budidaya pertanian yang kurang memperhatikan aspek konservasi tanah dan air.� (C), indeks bahaya erosi (IBE) dan kadar sedimen (Sc). Alokasi penggunaan lahan setiap metode disusun dalam suatu skenario, sehingga totalnya terdapat 3 skenario. Hasil perbandingan terhadap 3 skenario menunjukkan bahwa alokasi penggunaan lahan menggunakan metode Fungsi Kawasan menghasilkan IPL yang paling besar (49%), C paling kecil (0,191), IBE paling rendah (0,87) dan Sc juga paling rendah (375,03 gr/l). Hasil analisis faktor fisik menggunakan metode Kemampuan Lahan dari Deptan yang diolah dengan SIG menghasilkan bahwa Sub DAS Cisadane Hulu terbagi menjadi Kawasan Fungsi Lindung, Kawasan Fungsi Penyangga, Kawasan Fungsi Tanaman Tahunan, dan Kawasan Fungsi Tanaman Semusim. Kawasan Fungsi Lindung merupakan suatu wilayah yang keadaan sumberdaya alam air, flora dan fauna seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sekitar sumber mata air, alur sungai dan kawasan lindung lainnya sebagaimana diatur dalam Kepres 32 tahun 1990. Suatu satuan lahan ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung, apabila besarnya skor kemampuan lahannya > 175, atau memenuhi salah satu atau beberapa syarat seperti lerengnya > 40%, tanahnya sangat peka erosi, daerah sempadan sungai, sekitar mata air/da-

Kawasan Fungsi Budidaya Tanaman Tahunan adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman tahunan seperti Hutan Produksi Tetap, Hutan Tanaman Industri, Hutan Rakyat, Perkebunan (tanaman keras), dan tanaman buah-buahan. Suatu lahan ditetapkan sebagai Kawasan fungsi Budidaya tanaman Tahunan bila skor kemampuan lahannya < 124 dan mempunyai kemiringan lahann 15-40%. Kriteria umumnya mirip dengan kawasan fungsi penyangga. Kawasan Fungsi Budidaya Tanaman Semusim/ Permukiman adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman semusim seperti padi, palawija atau sayuran dan dapat juga digunakan untuk lahan permukiman. Suatu lahan ditetapkan sebagai Kawasan Fungsi Budidaya Tanaman Tahunan bila skor kemampuan lahannya < 124 dan mempunyai kemiringan lahan 0-15%, sedangkan untuk kawasan permukiman kemiringannya tidak lebih dari 8%. Untuk mendapatkan komposisi penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu yang memberikan kontribusi terhadap konservasi sumber daya air, maka disusun skenario alokasi penggunaan lahan berdasarkan Fungsi Kawasannya. Skenario Fungsi Kawasan ini pada dasarnya juga mengevaluasi penggunaan lahan yang ada saat ini. Skema alokasi penggunaan lahan pada skenario fungsi kawasan ini adalah : a. Permukiman, sawah, perkebunan besar dan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

107


Komponen Biotik

hutan pada semua kawasan tetap dipertahankan. b. Penggunaan lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka pada kawasan lindung diubah menjadi hutan. c. Penggunaan lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka pada kawasan penyangga diubah menjadi hutan, sedangkan perkebunan campuran dipertahankan. d. Penggunaan lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka pada kawasan budidaya tanaman tahunan diubah menjadi perkebunan campuran. e. Penggunaan lahan semak belukar, lahan terbuka pada kawasan budidaya tanaman musiman diubah menjadi sawah. f. Penggunaan lahan semak belukar, lahan terbuka pada kawasan budidaya tanaman musiman/permukiman diubah menjadi permukiman. Hasil analisis menggunakan skenario tersebut menghasilkan peta alokasi penggunaan lahan seperti disajikan pada Gambar 2.

POTRET PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS KONSERVASI SUMBER DAYA AIR Setelah diperoleh alokasi penggunaan lahan secara keruangan seperti tersebut diatas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bentuk penggunaan lahan tersebut agar mempunyai nilai konservasi terhadap sumber daya air yang maksimal di Sub DAS Cisadane Hulu. Uraian mengenai potret penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air di bawah ini merupakan arahan penggunaan lahan ke depan agar menghasilkan DAS dengan respon hidrologi yang terbaik. Agar arahan penggunaan lahan lebih operasional, maka untuk penggunaan lahan yang perlu dipertahankan dengan berbagai alasan seperti hutan, sawah, perkebunan besar atau permukiman tidak direkomendasikan untuk dirubah menjadi penggunaan lahan lainnya meskipun lokasinya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya.

Gb. 2 Peta alokasi penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air berdasarkan skenario Fungsi Kawasan.

Gambar 2. Peta alokasi penggunaan lahan berbasis konservasi sumber daya air berdasarkan skenario Fungsi Kawasan

108

Badan Informasi Geospasial


Komponen Biotik

PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN FUNGSI LINDUNG

PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN FUNGSI PENYANGGA

Jika dilihat dari karakteristik fisik alamnya, daerah ini umumnya mempunyai lahan dengan kemiringan lereng yang semakin curam, curah hujan yang semakin tinggi atau kepekaan erosinya semakin tinggi. Dari sisi lereng maka daerah ini penggunaan lahannya harus selain budidaya tanaman pangan / intensif, dari sisi curah hujan daerah tersebut diarahkan menjadi daerah resapan, dan dari sisi kepekaan erosinya daerah tersebut penggunaan lahannya harus ditanami dengan pohon yang mampu mengurangi energi kinetik hujan atau daya daya rusak air.

Pada Kawasan Fungsi Penyanga, selain permukiman, sawah, dan perkebunan besar, serta kebun campuran penggunaan lahannya diarahkan menjadi hutan sekunder. Hutan sekunder, selain memberikan fungsi konservasi juga memberikan keuntungan secara ekonomi. Salah satu penggunaan lahan yang dipertahankan adalah kebun campuran. Syarat yang harus dipenuhi untuk penggunaan lahan hutan sekunder dan kebun campuran yaitu bahwa secara ekologi dibuat sedemikian rupa mirip dengan hutan primer. Cirinya, secara vertikal penggunaan lahan tersebut terdiri dari layer kanopi yang bersusun, mulai tanaman berkayu, semak, belukar, dan di atas permukaan tanah ditanami rumput atau diperbanyak serasahnya, dan secara horizontal tanamannya rapat sehingga kanopinya bersinggungan.

Beberapa Kriteria Kawasan Lindung yang perlu diperhatikan di DAS Cisadane ini adalah a. Kawasan Perlindungan Kawasan di Bawahnya yang meliputi Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Resapan Air. b. Kawasan Perlindungan Setempat, yang meliputi sempadan sungai, sempadan waduk/ setu. c. Kawasan Pelestarian Alam, yang meliputi Kawasan Taman Nasional Halimun-Salak dan Gede Pangrango. Kawasan ini seharusnya di gunakan untuk hutan primer. Selain bernilai konservasi air dan tanah, hutan juga berfungsi menjaga iklim mikro di daerah sekitarnya. Untuk lahanlahan permukiman, sawah, dan perkebunan besar (teh) meskipun tidak diarahkan menjadi hutan primer, namun penggunaan lahan yang dipertahankan tersebut tetap harus dikelola dengan menganut kaidah konservasi yang tinggi. Hal ini karena, hasil pengamatan dilapangan, menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang ada belum banyak menerapkan metode konservasi tanah maupun air. Namun demikian terdapat perkebunan teh yang telah menerapkan metode konservasi yaitu dengan penanaman tanaman berkayu diantara tanaman teh. Hal ini menambah layer kanopi sehingga dapat mengurangi daya rusak air hujan yang menyebabkan erosi. Metode lain yang dapat ditambahkan adalah penanaman rumput atau memperbanyak seresah dipermukaan tanahnya.

Pada daerah miring, selain metode konservasi secara vegetatif, dapat dilakukan secara mekanik yaitu dengan membuat teras yang sesuai. Teras bangku sesuai untuk lahan dengan kemiringan lereng 10-40%, solum tanah > 60 cm dan kondisinya stabil. Adapun teras gulud cocok untuk lahan dengan solum tanah agak dangkal (> 20 cm), kecepatan infiltrasi/permeabilitas tinggi, dengan kemiringan lereng 10-30%. Untuk lahan yang kemiringan lerengnya 15-60% atau lebih curam, asalkan solum tanahnya dalam dapat digunakan teras individu. Teras individu sangat cocok untuk tanaman keras atau tanaman tahunan. Selain mengurangi erosi, teras individu dapat meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman/pohon yang bersangkutan.

PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN FUNGSI BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN Metode konservasi yang diterapkan seharusnya sama dengan yang direkomendasikan pada Kawasan Fungsi Penyangga, karena jenis tumbuhannnya hampir sama. Yang menjadi kendala adalah adanya persepsi masyarakat terhadap Kawasan Budidaya, bahwa di kawasan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

109


Komponen Biotik

Gambar 3. Perkebunan teh yang berbasis konservasi sumberdaya air.

tersebut aspek ekonomi menjadi faktor terpenting dalam pemilihan penggunaan lahan, disusul kemudian aspek sosial dan terakhir aspek ekologi. Hal ini menyebabkan masyarakat memilih sawah sebagai jenis penggunaan lahan yang paling optimal. Menurut mereka, sawah dapat memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi dibanding hutan dan kebun campuran.

PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN FUNGSI BUDIDAYA TANAMAN SEMUSIM/ PERMUKIMAN. Penggunaan lahan yang sangat intensif di kawasan ini mensyaratkan metode konservasi yang diterapkan menjadi lebih ketat. Pada lahan-lahan yang miring, metode konservasi gabungan antara mekanik dan vegetatif harus diterapkan untuk konservasi air lebih optimal.

110

Badan Informasi Geospasial

Pada lahan berombak dan bergelombang, metode konservasi secara mekanik yang baik digunakan adalah pembuatan teras sering dan pengolahan tanah menurut kontur, penanaman juga menurut kontur. Pembuatan teras sering dapat berupa teras tangga, ataupun teras guludan. Secara vegetatif dapat dilakukan dengan metode penanaman dalam strip, tanaman penutup tanah, dan pergiliran tanaman. Selain itu pada daerah tanaman lahan kering teknik yang digunakan adalah dengan pemberian mulsa jerami sebanyak 4 ton/ha pada lahan pertanian sebagai penutup lahan selama belum dimanfaatkan. Upaya lain untuk mengendalikan air permukaan yang mengalir secara berlebihan diatas permukaan tanah dengan membuat kolam, dam penghambat, rorak dan tanggul (Arsyad, 2006). Bangunan-bangunan tersebut selain mengurangi jumlah dan kecepatan air permukaan, juga berfungsi sebagai daerah pere-


Komponen Biotik

sapan air. Kolam dapat pula berfungsi untuk menampung air bagi berbagai keperluan lain seperti perikanan, irigasi, minuman ternak dan keperluan manusia. Saat ini berkembang teknik untuk meningkatkan air resapan terutama di daerah permukiman. Selain sumur resapan terdapat pula teknik biopori (lubang resapan). Fungsi utama kedua teknik tersebut adalah sama yaitu untuk memperbesar air untuk diresapkan dalam

tanah, bedanya jika sumur dapat pula berfungsi untuk menampung air hujan sebelum diresapkan sedangkan biopori berfungsi untuk memperluas bidang permukaan peresapan. Keduanya juga berfungsi menjadi media bagi kehidupan fauna tanah, karena diisi dengan sampah organik. Kehidupan fauna tanah inilah yang diharapkan dapat membuat poripori dalam tanah, sehingga dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi.

Konservasi sumber daya air menurut UU No. 7 tahun 2004 dilakukan melalui kegiatankegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Tujuan ini tidak akan berhasil jika mengabaikan pendekatan sosial, budaya dan ekonomi. Kegiatan konservasi sumber daya air harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat. Penerapan dilapangan mengenai alokasi penggunaan lahan dan metode konservasinya, seperti diuraikan diatas, harus disosialisasikan ke masyarakat sekaligus untuk menyerap aspirasi masyarakat, sehingga diperoleh jalan tengah mengenai jenis penggunaan lahan dan metode konservasi yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan masyarakat.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

111


Komponen Kultural

112

Badan Informasi Geospasial


Komponen Kultural

KOMPONEN KULTURAL Sejarah Peradaban Jakarta Kearifan Lokal Dalam Pengendalian Banjir Di Jakarta Banjir Sebagai Bencana Sosial Manggarai : Sering disebut tapi Tak pernah Tersentuh Potret Komunitas Kelompok Peduli Ciliwung (KPC) Air Adalah Tanda Kehidupan Kunci Pengelolaan Banjir dan Persediaan Air Baku Genangan Banjir

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

113


Komponen KulturalKultural Komponen

SEJARAH PERADABAN

JAKARTA Dr. Jajang Gunawijaya, MA Antropolog Universitas Indonesia

114

Badan Informasi Geospasial

KONDISI GEOGRAFIS MASA LALU Wilayah yang termasuk Jakarta sekarang ini, telah dihuni penduduk secara teratur berbasis pada peradaban agraris sejak jaman Kerajaan Taruma Negara, kira-kira pada abad ke 5 Masehi. Sebagai pendukung atas peradaban agraris, penguasa waktu itu telah berhasil membangun saluran irigasi dan sekaligus berfungsi sebagai pencegah banjir kanal buatan yang dikenal dengan nama sungai Gomati, yang merupakan sodetan dari sungai Chandrabaga yang sering banjir bila musim hujan. Keterangan tersebut dapat dilihat pada prasati Tugu yang ditemukan di Desa Tugu sekarang,


Komponen Kultural

kelurahan Tugu di dekat aliran Kali Cakung. Prasasti tugu sekarang dapat dijumpai di Museum Nasional Jakarta. Kata Chandrabaga berasal dari kata chandra dan baga. Chandra berarti bulan; bulan berarti sasih, maka chandrabaga berarti sasihbaga, bila dibalik berarti bagasasih yang dekat dengan kata Bekasih. Kemungkinan Sungai Chandrabaga adalah kali Bekasi karena, batu tulis tersebut berada di rezim Kali Cakung yang mengalir dari Bekasih. Keberadaan komunitas teratur di wilayah itu disebabkan oleh letaknya yang kondusif untuk perekonomian terutama perdagangan, juga disebabkan oleh suburnya tanah di wilayah tersebut. Kesuburan tanah tidak dapat dipisah-

kan dari peranan sungai-sungai yang mengalir dari selatan ke utara yang selalu membawa mineral-minaral subur dari wilayah pegunungan vulkanik di pedalaman. Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Ciliwung di sebelah timur dan Sungai Cisadane di sebelah barat. Selain itu, keberadaan Sungai Cikeas tidak kalah pentingnya dalam memberikan kesuburan tanah di bagian timur wilayah tersebut. Keberadaan Kepulauan Seribu di pantai utara menyebabkan ombak dari laut lepas tertahan oleh kepulauan tersebut, sehingga ombak di sekitar pantai menjadi relatif tenang dan pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Sunda Kelapa. Ombaknya lebih tenang dibandingkan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

115


Komponen Kultural

dengan pelabuhan-pelabuhan lain di pantai utara Pulau Jawa. Keadaan ini menjadi sangat kondusif bagi pelayaran lokal, regional maupun internasional, itulah sebabnya Pelabuhan Sunda Kelapa sejak ratusan tahun yang lalu, ramai di kunjungi oleh berbagai kapal dagang. Sejak jaman Sunda Kelapa sebelum 1527 daerah yang sekarang menjadi bagian dari Jakarta telah menjadi kota “Perdagangan Internasional” .

DARI SUNDA KELAPA HINGGA BATAVIA Membahas Sunda Kelapa dan Jakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Pajajaran yang wilayahnya meliputi Cirebon, Banten dan Jakarta sekarang. Untuk memperjelas posisi Jakarta dari segi sejarah, maka perlu dibahas sekilas mengenai riwayat kerajaan tersebut yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan sejarah peradaban Jakarta. Dari sumber-sumber yang berhasil dihimpun disebutkan bahwa salah seorang raja yang terkenal pada Kerajaan Sunda bernama Sri Baduga Maharaja, merupakan raja kelima yang bertakhta dalam Kerajaan Sunda sekitar tahun 1482-1521. Raja tersebut tidak lain dari Prabu Siliwangi (Sutaarga, 1984 : 43-44; Adimihardja, 1992: 15). Suryaningrat (1982:7) menyebutkan bahwa salah satu raja yang berkuasa di Kerajaan Galuh (sebelum pindah ke Pajajaran, Bogor) bernama Niskala Wastu Kencana, kirakira tahun 1357-1461. Selanjutnya Suryaningrat (1982:8) mengungkapkan bahwa Prabu Wangi alias Niskala Wastu Kencana di ganti atau disilih oleh putranya yang bernama Prabu Dewa Niskala (1461-1468). Oleh karena Raja ini adalah pengganti (panyilih) ayahnya yaitu Prabu Wangi, maka Dewa Niskala disebut Prabu Silih Wangi I. Selanjutnya Prabu Silihwangi I diganti oleh putranya yang bernama Jayadewata (14681507). Prabu Jayadewata juga seorang raja yang disebut Prabu Silih Wangi, yaitu yang ke II. Menurut Sutaarga (1984) kata sili (h) wangi memiliki makna yang menggantikan Prabu Wangi atau Prabu Niskala Wastu Kancana,

116

Badan Informasi Geospasial

Raja Sunda ke IV yang bertakhta pada tahun 1474-1484. Sutaarga juga mengacu pada naskah Carita Prabu Anggalaran yang mengisahkan bahwa Prabu Siliwangi tidak langsung memerintah, tetapi melalui masa perantara, yaitu Prabu Gerbamenak. Dari Sumber lain yaitu dalam ”Carita Parahyangan” yang ditulis oleh Aca (1968) diungkap­ kan bahwa pengganti Dewa Niskala yang memerintah Galuh (1475-1482) adalah Ratu Purnama, yang biasa pula disebut Ratu Jaya Dewata yang identik dengan Sri Baduga Maharajadiraja. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan Siliwangi. Dalam naskah tersebut Sri Baduga Maharaja dilukiskan sebagai berikut: ‘Purbajat, mana mo kadatangan musu (h) ganal, musu (s) alit. Suka kreta tang lor, kidul, kulon, wetan, kena kreta rasa. Tan kreta ja laki (bi) dina urang reja, ja loba di Sanghyang Siksa ‘Semua peraturan dijalankan dengan tertib, maka tidak akan kedatangan musuh dari luar maupun dari dalam. Tenteram dan bahagia di utara, selatan, barat, dan timur’(Adimihardja, 1992: 16). Kerajaan Pajajaran mencapai Puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Jaya Dewata atau Parabu Siliwangi II yang memerintah pada tahun 1468-1507. Pada masa pemerintahannya pula dia memindahkan Ibukota Pajajaran dari Galuh Ke Pakuan, Bogor (Surianingrat, 1982:8-11). Pada masa pemerintahanya itu kekuasaan Pajajaran meliputi seluruh provinsi Jawa Barat, Banten dan Sunda Kelapa yang sekarang berada dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta. Masa itu Islam telah berkembang di Pesisir Utara terutama di Cirebon dan Banten. Perkembangan Islam itu pada mulanya berlangsung secara damai oleh karena penyebar Islam di Cirebon adalah anak dan cucu Prabu Jaya Dewata sendiri yaitu: Pangeran Cakra Buana atau Pangeran Walang Sungsang dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Menurut Babad Tanah Cirebon, Sejarah Cianjur dan sumber-sumber lain, Prabu Jaya Dewata memiliki putra dan putri dari Selir yang bernama Subang Larang, mereka adalah Pangeran Walang Sungsang, Putri Larasantang dan Pangeran Kean Santang. Syarif


Komponen Kultural

Hidayatullah adalah Putra dari Lara Santang dari perkawinan dengan salah seorang Raja Mesir. Demikian pula halnya dengan perkembangan Islam di Banten yang disebarkan oleh Syarif Hidayatullah itu pun berlangsung secara damai dan sama sekali tidak dihalangi oleh pihak Pajajaran. Namun, karena terjadi suatu “konspirasi� antar komuniti muslim di Cirebon dan Banten dengan kerajaan Demak di Jawa maka ketegangan dengan pihak Pajajaran mulai terasa, lebih-lebih setelah Banten dan Cirebon memisahkan diri dari Pajajaran. Ketegangan tersebut menyebabkan Pajajaran meminta bantuan Portugis di Malaka untuk menghadapi pengaruh Kerajaan Demak. Pada tahun 1522 Portugis diberi ijin oleh Raja Sunda untuk mendirikan benteng pertahanan, namun sebelum hal itu terjadi Sunda Kelapa telah lebih dahulu direbut oleh aliansi Kerajaan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten (dua wilayah Kerajaan Pajajaran yang memberontak) di bawah pimpinan Fatahillah yang diangkat sebagai panglima perang Kerajaan Demak (Michrob, 1993). Sejak itulah Sunda Kelapa diubah namanya menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527 (masyarakat internasional waktu itu menyebutnya dengan nama Jacatra). Tanggal inilah yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi kota Jakarta. Jatuhnya Sunda Kelapa sangat melemahkan Kerajaan Pajajaran baik secara militer, ekonomi, maupun politik. Setelah kehilangan ketiga wilayah dan kota pelabuhan terbesar milik Pajajaran, yaitu Sunda Kelapa, Cirebon, dan Banten, kekuatan Pajajaran di pedalaman semakin lemah dan mengalami berbagai pemberontakan. Di pihak lain, permusuhan dengan Banten tidak pernah surut karena kedua kerajaan itu saling curiga-mencurigai. Pada tahun 1535 Surawisesa atau Guru Gantangan atau Mundinglaya Dikusuma meninggal dunia, selanjutnya Pajajaran tidak lagi memiliki raja-raja yang kuat seperti sebelumnya. Raja-raja berikut tidak lagi memperhatikan kesejahteraan rakyat bahkan kekuatan pertahanan pun menjadi sangat lemah. Kelemahan itu dimanfaatkan oleh Banten untuk menyerang secara besar-besaran ke pusat pertahanan Pajajaran (Michrob, Halwany dan A.

Mudjahid Chudari, 1993). Atas bantuan dua orang bersaudara Tentara Pajajaran yang membelot ke Banten yaitu Ki Jungju dan Ki Jongjo Pasukan Banten yang dipimpin oleh Maulana Yusuf berhasil menerobos pertahanan terakhir Kerajaan Pajajaran di Bogor pada tahun 1567 tepat pada larut malam ketika personel para Pasukan Pajajaran sedang berisitrahat bahkan para penghuni istana tertidur lelap (Surianingrat, 1982:11). Istana kerajaan dihacurkan dan dibakar, tentara atau sipil, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa yang tidak tahu apa yang tejadi tiba-tiba menjerit meregang nyawa dan tewas mengenaskan. Sang Nilakenda raja yang berkuasa saat itu berhasil meloloskan diri, demikian pula Putra Mahkota yang bernama Raga Mulya berhasil meloloskan diri dan bertahan di pengasingan di puncak gunung Pulosari, Pandeglang hingga akhirnya berhasil ditaklukan oleh Hasanudi (Raja Banten) dan berakhirlah riwayat Kerajaan Pejajaran. Sebagian kerabat kerajaan yang lain mengasingkan diri ke wilayah Gunung Halimun lalu bermukim di sana dan membentuk komunitas hingga sekarang yang disebut Kasepuhan Gunung Halimun. Meskipun secara fisik kerajaan tersebut telah runtuh, namun sebagian orang Sunda terutama warga masyarakat masih memiliki ikatan emosional dengan kerajaan Pajajaran percaya bahwa kerajaan tersebut masih ada dalam bentuk gaib atau ngahiang yaitu menghilang dari pandangan mata (Gunawijaya, 2011). Jayakarta selanjutnya menjadi kota dagang yang berada di bawah kendali Kerajaan Banten, kota tersebut pada tahun 1618 dikelilingi oleh sungai. Di Utara dan Selatan terdapat dua anak sungai, di sebelah barat terdapat anak sungai lainnya dan disebelah timur terdapat sungai Ciliwung. Ketiga anak sungai tersebut bermuara ke sungai Ciliwung. Pada masa itu telah terdapat pengelompokkan pemukiman berdasarkan kelompok etnisitas dan status kebangsawanan. Namun sayang jaman keemasan Jayakarta itu harus berakhir pada tahun 1619, karena kealfaan para pemimpin negeri kota itu, maka Jayakarta harus jatuh ke tangan VOC dan Hindia Belanda hingga tahun 1942.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

117


Komponen Kultural

118

Badan Informasi Geospasial


Komponen Kultural

Pada jaman VOC, Penguasa Belanda mengatur tata kota, menentukan tempat tinggal berdasarkan golongan dan status sosial tertentu. Oleh karena kurangnya tenaga kerja yang amat dibutuhkan untuk membangun kota Batavia, maka penguasa Belanda waktu itu mendatangkan tenaga kerja yang diduga merupakan tawanan perang dari berbagai daerah lain di nusantara seperti orang Bali, Bugis, Makassar, Manggarai, Madura, Ambon, India Selatan (orang Moors), Palembang, dan lain-lain. Untuk kepentingan politik dan keamanan, penguasa setempat waktu itu membuatkan pemukiman untuk mereka yang didasarkan pada etnisitas, seperti Kampung Bali, Kampung Makassar, Kampung Ambon, dan lain sebagainya. Lokasi pemukiman orang Belanda dan Eropa lainnya berada di lokasi yang paling strategis serta dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai, sedangkan pemukiman penduduk lokal terdapat dibelakang gedung-gedung milik orang Belanda dengan kondisi yang kumuh. Setelah berada dibawah kekuasaan Belanda, kota Batavia berkembang relatif lebih cepat. Luasnya menjadi tiga kali lipat dari luas semula. Berbagai aktivitas ekonomi terkonsekonsentrasi di sepanjang sungai Ciliwung. Perkembangan selanjutnya model kota Batavia mengikuti model kota Belanda yang kaya dengan kanal-kanal sebagai sarana kegiatan, demikian pula halnya dengan jalan-jalan di dalam kota, juga mengikuti model di Belanda. Batavia pada tahun pada abad 17 dikeliling oleh benteng dan hanya warga Belanda yang diperbolehkan tinggal didalamnya. Pengusaha-pengusaham Cina diijinkan menempati wilayah Barat tembok kota.

dung-gedung bergaya Belanda terutama gaya barok yang dilengkapi dengan halaman belakang berupa taman-taman milik pribadi. Sejak masa itu, Batavia menjadi daya tarik yang kuat bagi penduduk di pedalaman untuk bermigrasi dan mengadu nasib di Batavia apakah sebagai pedagang, kuli kontrak, penjaja jasa, pegawai murahan, ataupun sebagai pegawai rumahan. Kebanyakan mereka tinggal di perkamupungan-perkampungan. Migrasi dari pedalaman sepanjang masa terus bertambah, sehingga penduduk pribumi di Batavia yang tinggal di perkampungan semakin banyak jumlahnya. Mereka bergaul satu sama lain selama bertahun-tahun dan dari generasi-ke generasi menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pergaulan dan pada dasarnya memiliki nasib yang sama sebagai kaum pribumi yang menduduki posisi terrendah dalam struktur masyarakat versi kolonial. Mereka dan keturunannya itulah yang kemudian dikenal sebagai kaum Betawi. Status mereka sebagai kaum Betawi atau golongan pribumi baru diakui secara hukum oleh Pemerintah Hindia Belanda, setelah tokoh mereka yaitu MH. Thamrin, memperjuangkannya di Volksraad (dewan kota) pada tahun 1905.

Pada awal abad ke 18, mulai terjadi perpindahan penduduk ke luar tembok kota yang diawali oleh pindahnya gubernur jenderal dan petinggi-petinggi kolonial. Lokasi itu pada awalnya merupakan tempat peristirahatan, yang lama-kelamaan berubah menjadi pemukiman tetap para pembesar Belanda. Lokasi pemukiman itu terletak di sepanjang Jalan Pangeran Jayakarta sekarang dan sepanjang Molenvliet (Harmoni). Di sepanjang sepadan jalan dan sungai Ciliwung itu dibangun ge-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

119


Komponen Kultural

a t r a k a J r i j n A B DULU & KINI

Jalan Gajah Mada

Jalan Gajah Mada

120

Badan Informasi Geospasial


Komponen Kultural

Merdeka Barat

Jalan Gajah Mada

Menteng Raya

Glodok

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

121


Komponen KulturalKultural Komponen

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGENDALIAN BANJIR DI JAKARTA Dr. J. Gunawijaya, MA.

SUNGAI SEBAGAI SUMBER PERADABAN Dari sejarah singkat Jakarta masa lalu, nampak bahwa Sungai terutama sungai Ciliwung sangat menentukan sejarah peradaban wilayah sekitar Jakarta dari masa kemasa. Sejarah peradaban duniapun di berbagai kawasan ditentukan oleh keberadaan lembah sungai, misalnya peradaban Mesir berada di lembah sungai Nil, peradaban Babilonia di lembah sungai Tigris, peradaban Cina di lembah sungai Yang Tse, peradaban India di lembah sungai Indus, peradaban Jawa kuno di lembah sungai Bengawan Solo, dan lain sebagainya. Demikian pula halnya sejak jaman Kerajaan Taruma Negara, Sunda kelapa, Jayakarta, Batavia hingga Jakarta, fungsi sungai Ciliwung dan sungai-sungai lainnya sangat menentukan keberadaan peradaban di kawasan itu. Pada masa lampau sungai-sungai tersebut setiap detik mensuplai air untuk berbagai kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan, perekonomian hingga kepentingan domestik lainnya, selain itu, sungai yang mengalir dari daerah pegunungan berapi, membawa partikel-partikel vulkanik yang menyuburkan lahan pertanian, hingga kawasan itu menjadi kawasan pertanian yang selalu subur dan tidak pernah kekurangan air hingga penduduk dapat bertani sepanjang tahun tanpa keurangan air. Maka tidak heran bila kawasan

122

Badan Informasi Geospasial

itu sejak lampau menjadi kawasan pemukiman yang teratur, terorganisir dan dinamis secara ekonomi, lebih-lebih kondisi pantai yang sangat bersahabat terhadap pedagang-pedagang antar pulau dan antar negara sehingga menjadikannya sebagai salah satu pusat peradaban di nusantara. Tiada sungai di dunia ini yang tidak mengalami banjir, demikian pula halnya dengan sungai Ciliwung dan sungai sungai lainnya, pengusa pada masa lampaupun telah melakukan berbagai tindakan untuk mengatasi banjir di kawasan itu seperti yang diberitakan pada prasasti Tugu tersebut. Banjir pada masa lampau tidak terlalu merugikan manusia dibandingkan dengan manfaat sungai-sungai tersebut terhadap peradaban, karena penduduk yang berada di kawasan itu masih sedikit dan rezim (lembah) sungai tersedia dengan sangat terbuka dalam kondisi hijau, sehingga banjir yang meluap hanya menutupi rezim sungai. Saat ini rezim sungai yang tersedia di Jakarta disamping sudah sangat terbatas juga telah dijadikan pemukiman hingga menjadi sasaran amukan banjir bila saatnya tiba. Dengan demikian banjir yang seharusnya merupakan kondisi alamiah, telah menjadi bencana yang sangat merugikan harta maupun nyawa, bahkan akibanya tidak hanya diderita oleh mereka yang tinggal di sepanjang rezim sungai tetapi diderita oleh mereka yang jauh dari sungai tersebut.


Komponen Kultural

Banjir jelas tidak dapat dicegah, tetap pasti dapat dikendalikan, sepanjang kita memperlakukan sungai dan �hak� alir sungai itu dengan sebaik-baiknya. Bila kita tidak mengganggu DAS, rezim sungai dan tidak memperlakukannya sebagai tempat sampah, maka sifat sungai akan kembali sebagai sumber peradaban dan tidak menjadi ancaman atau sumber bencana. Di Jakarta saat ini, terdapat 3 sungai utama yang dahulu memberikan prakondisi terbentuknya peradaban di Jakarta, yaitu Sungai Cisadane; Sungai Ciliwung; dan Kali Pesanggrahan. Sungai Ciliwung sejak masa lampau berfungsi sebagai urat nadi perekonomian masyarakat. Selain sebagai sumber pemasok air dan material vulkanik untuk pertanian atau sumber penghidupan bagi nelayan sungai atau warga sekitar, juga sebagai jalur perdagangan utama melalui air antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir. Hal yang sama juga berlaku bagi sungai Cisadane. Agak berbeda dengan ke dua sungai itu, Sungai Pesanggerahan lebih memiliki nilai kultural dibandingkan dengan nilai-nilai ekonomis. Menurut tokoh masyarakat Jakarta yang mengelola sungai itu Bapak Khoerudin Atau lebih akrab disebut Bang Idin (60 tahun), sungai Pesanggerahan sebagai jalur inspeksi pembesar-pembesar Pajajaran dalam mengkontrol wilayah Sunda Kelapa dan sekitarnya yang masih merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran.

SITUS-SITUS SEJARAH DI KALI PESANGGRAHAN Kata Pesanggarahan berarti penginapan atau tempat istirahat atau tempat persinggahan para pembesar. Menurut Bang Idin, memang di sepanjang sungai itu terdapat disitus-situs sejarah masa lalu, ia sendiri telah menemukan benda-benda sejarah, mulai dari batu bertulis, berbagai jenis senjata dan perkakas lainnya. Benda-benda temuannya itu telah disimpan di suatu tempat di tepi sungai tersebut. Berdasarkan temuan-temuan itu Bang Idin sang juru kunci sungai telah menentukan aliran sungai berdasarkan blok-blok atau titik-titik tertentu, seperti: (1) Markas Sangga Buana. Markas ini berada di rezim sungai Pesanggarahan, beru-

Gambar 1: Tugu Kawasan Hutan Kota yang dikelola oleh Sangga BuanaPimpinan H. Khoerudin (Bang Idin)

pa lahan terbuka, lapangan tempat bermain, lapangan parkir, penghijauan, perpustakaan anak-anak, mushola, toilet, posko tempat berumusyawaran berupa panggung, tuggu peringatan keberadaan perkumpulan Sangga buana. Properti tersebut berada di bagian atas rezim sungai. Lahan terbuka yang tersedia selain ditutupi dengan rumpu hijau yang tertata rapi dengan pepohonan rindang, juga ditutup oleh conblock yang berpori-pori, sehingga dapat meresap air. Pada bagian bawah, terdapat pepohonan yang padat yang didominasi tanaman bambu, kolam-kolam ikan yang airnya dari selokan-selokan di jalan dan mata air. Kolam-kolam tersebut berfungsi sebagai tempat pemancingan ikan, juga sebagai konservasi air sebelum dialirkan kembali ke sungai. Lahan terbuka hijau seluas kira-kira 4 ha itu berfungsi sebagai tempat warga berrekreasi secara gratis atau melakukan aktivitas-aktivitas kemasyarakatan lainnya seperti olahraga, selamatan-selamata, atau kegiatankegiatan lainnya. Selain dari markas tersebut, perkumpulan Sangga Buana mengelola tanah sepanjang rezim Pesanggrahan di sekitar itu seluas kira-kira 42 ha. (2) Blok Sembung, berupa lembah sungai Pesanggarahan yang sangat lebar, di situ terdapat posko pemantau aliran sungai, penghijauan berupa tanaman-tanaman konservasi di antaranya beringin, tanaman-tanaman bernilai ekonomis, seperti pohon melinjo, sukun, jengkol, nangka, dan lain-lain termasuk tanaman obat. Tanaman-tanaman itu disamping berfungsi sebagai konservasi tanah sepanjang DAS Pesanggrahan, tetapi juga penyumbang

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

123


Komponen Kultural

Tikungan Sungai Kedung Melati dan Tempat Penyimpanan Artefak Temuan Bang Idin di Blok Kedung Melati

ekonomi masyarakat sekitar dengan cara memanfaatkan hasil dari tanaman tersebut tanpa dipungut bayaran. Nasihat Bang Idin bagi masyarakat: “bila kita memperlakukan sungai dengan baik, ia akan memberikan peradaban pada kita, tapi bila kita merusaknya, ia akan memberikan bencana atau murka, maka perlakukanlah sungai dan garis sepadannya dengan baik, jangan kotori dia dengan sampah apalagi merusak garis sepadannya.� (3)Kedung Melati yang masih termasuk Blok Sembung, berupa belokan sungai atau tikungan sungai yang menghasilkan palung sungai atau kedung sedalam 5 meter dalam keadaan normal. Diatas kedung itu ditumbuhi pohon melati besar yang akarnya mengikat tanah tebing kedung, sehingga tidak longsor. Pada tempat itu terdapat bagunan kecil tempat menyimpan artefak penemuan Bang Idin berupa keris, kujang, berbagai batu-batuan, yang di-

124

Badan Informasi Geospasial

duga peninggalan masa Pajajaran. Rezim sungai itu selain berupa lahan terbuka hijau juga berupa tebing yang curam. Tebing tersebut diturap dengan batu, namun dibuat goa-goa kecil tempat bersarang atau berkembang biak burung-burung endemik yang sudah langka seperti: burung raja udang, kutilang, angsrit. Keberadaan burung angsrit sebagai indikator bahwa kualitas udara dikawasan itu masih cukup baik. (4) Makam Kumpi Amba. Makam ini berada diatas rezim sungai Pesanggrahan bersatu dengan pemakaman umum, terletak di tepi sungai, berupa bangunan tertutup dan diatas dindingnya terdapat bendera merah putih. Dalam bangunan makam itu terdapat tumbak, jubah perang dan lain-lain. Kumpi Amba adalah panglima laskar Pengeran Diponegoro Divisi Kulon (Wilayah Banten, Bogor dan Jakarta) (5) Blok Intiland (Perumahan Rerenia Resort). Pada blok ini, rezim sungai berada dibawah Rerenia Resort. Rezim sungai cukup lebar, melebihi 80 meter hingga batas perumahan elit tersebut. Seperti juga garis sepandan sungai Pesanggrahan lainnya, di blok itu ditumbuhi tanaman bambu yang berfungsi sebagai penahan erosi tanah disamping sebagai peng-


Komponen Kultural

Tebing Batu dan Goa-Goa Kecil untuk Sarang Burung di Kedung Melati.

hijauan. Garis sepandan sungai itu agak landai dan ditumbuhi tanaman bibit pohon bambu berfungsi sebagai parkir air bila musim hujan tiba, sehingga banjir sedikit terkendali. Meskipun berbatasan dengan resort perumahan elit, tetapi terjadi kesepakatan antara diveloper dangan Bang Idin sebagai pengelola rezim sungai yaitu pada garis batas itu tidak dibuat peumahan untuk di jual, tetapi hanya untuk fasilitas olah raga dan masih terdapat ruang terbuka. (6) Situs Wan Pangeran, disekitar kali tengah. Pada situs itu terdapat batu yang mirip menhir bertulisan huruf kuno. Tidak jelas bentuk tulisannya karena batu tersebut telah dicuri orang, yang ada hanya bekas lokasinya saja. Disebut situs Wan Pangeran karena dipercaya sebagai tempat peristirahatan pembesar-pembesar Pajajaran (termasuk Parabu Siliwangi) ketika melakukan inspeksi ke Sunda Jelapa. Rezim sungai dikawasan ini terbuka hijau dengan tanama-tanaman keras dan bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis bambu, gaharu, melinjo, rengas, kayu benda, dan lainlain. Termasuk tanaman-tanaman obat seperti pohon patah tulang untuk mengobati patah tulang. Berada di kawasan ini, seperti berada di hutan belantara meskipun berbatasan langsung dengan pagar dan jalan utama resort pe-

Makam Umpi Amba.

Monumen Penanda Resort Serenia Hill.

rumahan elit milik PT. Intiland. Terpeliharanya DAS Pesanggrahan sehingga menjadi hutan kota yang bernilai sejarah dan termanfaatkan oleh masyarakat sekitar adalah buah perjuangan perkumpulan Sangga Buana yang dipimpin oleh Bang Idin seorang jawara (pendekar utama) yang memanage kawasan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

125


Komponen Kultural

itu dengan mamajemen hati. Prinsip manajemen hati di antaranya adalah memperlakukan sungai bagaikan merawat mahluk bernyawa, perlakukan sungai dengan baik, maka dia juga akan memberikan yang terbaik buat manusia; memimpin teman-teman seperjuangan dengan perlakuan saling menghargai, sederajat, terbuka dan adil; berani menghadapi lawan apapun risikonya demi sesuatu yang diyakini benar; berbuat sesuatu yang bermanfaat nyata buat masyarakat sekitar; merubah lawan menjadi kawan yang dapat membantu perjuangan. Perjuangan Bang Idin dan kawan-kawan dalam mempertahankan garis sepanjang sungai menjadi ruang terbuka hijau dan bermanfaat langsung bagi masyarakat sekitar tidaklah mulus. Kerap kali risikonya ditanggung sendiri bahkan nyawa taruhannya, terutama menghadapi orang-orang maupun perusahaan yang mengkleim garis sepanjang sungai sebagai miliknya. Dengan keberanian yang luar biasa ia merampas dan mempertahankan garis sepanjang sungai itu untuk tetap menjadi lahan terbuka hijau yang termanfaatkan secara langsung oleh masyarakat dan rezim sungai yang terkonservasi dengan baik, meskipun kerap kali ia harus berhadapan dengan kekuatan lawan, termasuk dengan pihak aparat yang pro kepada pihak yang dilawannya. Pendekar utama atau jawara seperti yang disandangnya harus berjiwa sabar dan tabah, maka berkat perjuanganya, ia terbebas dari acaman-acaman itu bahkan ia dapat bekerjasama dengan para pengusaha yang menjadi lawannya itu. Apa yang ia perjuangkan bukan untuk kepentingannya sendiri tapi untuk kepentingan alam itu sendiri dan warga masyarakat yang menghuninya, kini bahkan pihak yang dulu menjadi lawannya, malah memberikan dana untuk konservasi lingkungan sekitar, dipihak lain para pengusaha itu pun mendapat manfaat karena lingkungan sekitar propertinya terpelihara dan tidak rusak. Kelompok Sangga Buana saat ini, telah mendapat dukungan dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat setempat, Badan Hukum Milik Negara, perusahaan raksasa, media massa, perguruan tinggi, hingga badan-badan internasional. Yang dikonservasi oleh Bang Idin tidak hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan budaya seperti kesenian, olah-

126

Badan Informasi Geospasial

raga pencak silat, ritual-ritual, dan nilai-nilai budaya masa lalu (berkaitan dengan Kerajaan Pajajaran) yang perlu dilestarikan dan masih relevan dengan kebutuhan jaman melalui oral story yang dia sampaikan sendiri pada berbagai kesempatan, Atas upayanya itu Bang Idin dikenal masyarakat luas, dan sumber inspirasi kelompok lain yang sejalan dengan perjuangannya, Bang Idin juga menjadi pembina komunitas-komunitas peduli Ciliwung mulai dari Depok hingga kawasan Condet. Bahkan, Ia pun menjadi pembina pada komunitas hulu sungai Cisadane di kaki Gunung Pangrango.

KOMUNITAS PEDULI CILIWUNG Langkah-langkah Bang Idin dalam mengurus rezim sungai dan konservasi alam, menjadi tauladan bagi kelompok-kelompok sosial yang peduli sungai Ciliwung. Mereka yang peduli sungai tersebut menbentuk kelompok-kelompok yang mereka beri nama Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) dan menempatkan Bang Idin sebagai Pembinanya. Hingga saat ini terdapat sejumlah kelompok tersebut diantaranya: adalah KPC Lenteng Agung pimpinan Sarmili; KPC Tanjung Barat pimpinan Sarmuli; KPC Rindam; KPC Pejaten Timur; KPC Bale Kambang pimpinan Kodir; KPC Buluh pimpina H. Bahtiar; KPC Tanjungan Pimpinan Jumari; KPC Kramat: KPC Rawa Jati; KPC MATPECI; KPC Cawang dan lain-lain. KPC-KPC tersebut berupaya menyelamatkan rezim Ciliwung menjadi tempat terbuka hijau dan termanfaatkan oleh masyarakat sekitar meskipun cuma sekedar beraktivitas sosial. Namun, mereka kerap kali tidak berdaya mana kala dihadapkan pada kenyataan bahwa rezim sungai atau garis sepanjang sungai telah dijadikan pemukiman padat penduduk, atau telah ditembok permanen oleh para pemilik modal, seperti yang terdapat di kawasan Kampung Pulo di Cawang dan kawasan-kawasan lain di hilir Ciliwung. Akibat perlakuan seperti itu, maka Ciliwung ketika banjir menjadi bencana bagi masyarakatnya. Dari sekian KPC itu, yang ditinjau agak mendalam adalah KPC Tanjungan yang diketuai oleh Jumari. Lokasinya terletak di Jl. Kramat Ciliwung I RT.09/06 Kelurahan Cililitan Ke-


Komponen Kultural

Penghijauan di Areal KPC Tanjungan dan Sosok Bang Jumari Ketua KPC Tanjungan

camatan Kramat Jati. Didirikan tahun 2009 setelah bencana besar tahun 2007 dan dibina oleh Mang Idin. Luas tanah di sekitar KPC ini sekitar 1 ha yang ditumbuhi oleh berbagai vegetasi yang cukup padat hingga betul-betul menjadi hutan kota. Berkat pengaruh Bang Idin, KPC ini mendapat bantuan dari PT Astra berupa sejumlah uang dan 2 buah perahu karet berkapasitas 8 dan 12 penumpang Bantuan lain datang dari Pemda DKI berupa mesin penghancur sampah plastik, bibit tanaman dan 2 buah gerobak motor. Selain itu kelompok ini mendapat bantuan dari salah satu bank pemerintah berupa 2 buah gerobak motor . Jumari (44 tahun) adalah penduduk asli Condet, alasan menjadi relawan karena ingin agar kali Ciliwung bersih sepert tahun 1982 yang lalu, selain airnya jernih juga member penghidupan bagi masyarakat sekitarnya dengan menyediakan ikan yang dapat dipancing atau dijala seperti, ikan tawes, lele, brood, baung, dan lain-lain, hingga masyarakat pun dapat memperloleh uang dari hasil tangkapan itu. Kini ikan-ikan itu sudah punah akibat diracun oleh penduduk yang tidak bertanggung jawab. Adanya kenyataan itu, timbul rasa sedih dalam hatinya dan tergerak untuk menyelamatkan Ciliwung bersama kawankawannya. Atas upayanya itu, Ciliwung telah

menjadi hutan kota yang berudara relatif segar. Namun tanah yang dikelola itu adalah tanah milik perorangan yang dipercayakan kepadanya, bila suatu saat dijual oleh pemiliknya dan dijadikan bangunan, maka akan sia-sialah upaya perjuangannya selama ini. Ancaman potensial adalah rezim sungai di belakang Rindam, Condet. Lahan terbuka seluas kira-kira 4 ha yang langsung bersentuhan dengan badan sungai diklaim sebagai milik sorang Syeh yang tinggal tidak dikawasan itu. Berdasarkan informasi, ia memiliki sertifikat hak guna bangunan atas lahan tertsebut, hingga saat ini sebagian lahan itu telah dibangun rumah-rumah permanen dan semi permanen oleh warga yang tinggal di lokasi itu atas perintah Syeh tersebut. Mereka tinggal di lokasi itu ada yang sejak tahun 1970-an ada pula yang baru beberapa tahun saja. Mata pencaharian mereka cukup beragam ada yang karyawan swasta, penganguran dan ada pula yang menjadi pemulung. Pihak Rindam Jaya ingin

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

127


Komponen Kultural

mengelola lahan itu agar tetap menjadi ruang terbuka hijau dan sesuai fungsinya sebagai sepadan sungai, tetapi tidak dapat berbuat banyak karena Syeh tersebut lebih memiliki perlengkapan administratif yang dianggap cukup, bila suatu saat pihak Syeh tersebut membangun sepadan sungai itu secara fisik, maka dapat dibayangkan bencana yang akan timbul bila Ciliwung mengalami banjir,

TANPA KEARIFAN LOKAL, SUNGAI CIKEAS DAN CILEUNGSI MENGALIR LIAR Hulu sungai Cikeas dan Cileungsi berada di kawasan Gunung Pancar dan Hambalang, Kawasan itu saat ini telah menjadi zona industri dan permukiman di Kabupaten Bogor bagian timur. Sebagian besar lahan sekitar DAS adalah milik industri apakah yang telah digunakan maupun yang dibiarkan gundul dan terbuka. Industri yang dimaksud adalah industri manufaktur seperti pabrik obat, garmen, semen, kimia, dan lain-lain. Industri lainnya adalah industri jasa dan pariwisata seperti kawasan pemandian air panas di Gunung Pancar, real estate, pertokoan modern, hotel, golf, convention center, sirkuit dan lain-lain. Selebihnya adalah perumahan rakyat yang dibangun oleh pengembang maupun yang dibangun secara tradisional dan lahan pertanian rakyat. Tanah yang masih terbuka adalah milik perusahaan swasta yang selama belum digunakan oleh pemiliknya dimanfaatkan oleh penduduk untuk menanam tanaman komoditi seperti singkong, kacang atau tanaman palawija lainnya tanpa ditanami tanaman-tanaman tahunan yang berakar kuat, luas lahan tersbut secara keseluruhan mencapai ribuan hektar. Kondisi ini sangat rawan erosi, longsor dan pendangkalan sungai disamping merusak sumbersumber mata air. Beruntung penduduk setempat yang masih memiliki tanah pribadi yang luasnya masih signifikan masih menanami tanaman keras seperti cengkeh, mahoni, jengkol, mangga, rambutan dan lain-lain, sehingga suasana hijau dan teduh masih terasa. Akan tetapi pemukiman penduduk yang rapat menjadi potensi untuk terjadinya longsor dan rusaknya sumber air.

128

Badan Informasi Geospasial

Tembok Pabrik Yang Menyita Rezim Sungai CikeasWilayah Citeureup-Cibinong.

Tiada pihak yang peduli terhadap rezim sungai di kawasan tersebut, bahkan tidak sedikit industri yang memagari arealnya hingga langsung berhimpitan dengan badan sungai. Tiada orang seperti Bang Idin di kawasan itu, bahkan pemerintah setempat seakan-akan tidak tahu atau tidak mau tahu. Oleh karena kondisi ini, maka Jakarta dan Bekasi akan selalu terancam banjir melalui luapan sungai Cikeas atau Cileungsi. Mengamuknya kedua sungai tersebut adalah buah dari ketidak pedulian kita terhadap sungai yang sesunggunya sangat berharga bagi kita.


Komponen Kultural

Tanah Semi Kritis Di DAS Cikeas Dan Cileungsi Bagian Hulu.

gat dihargai oleh masyarakatnya baik secara lokal, nasional maupun internasional. Hal itu menyebabkan ia sangat berpengaruh, tidak hanya di kalangan masyarakat Pesanggerahan, tetapi juga masyarakat Jakarta lainnya, bahkan Tangerang hingga wilayah Bogor di lereng Gunung Pangrango. Kemampuannya mengelola lingkungan sekitar dan memimpin secara manusiawi kawankawannya hingga dipatuhi oleh masyarakat sekitar tidak hanya karena kapasistas dirinya sebagai jawara yang mempunyai kekuatan fisik dan mental yang kuar biasa, tetapi juga karena kemampuannya menggali dan memanfaatkan ilmu pengetahuan serta melakukan inovasi-inovasi dan menginvensi tradisi yang oleh orang lain tidak terpikirkan sama sekali. Ini berarti Bang Idin mempunyai kemampuan intelejensi yang luar biasa disamping berhati mulia hingga dapat mempelajari gejala-gejala alam, dengan tentu saja tidak mengabaikan sisi lemah beliau sebagai manusia biasa.

INVENSI TRADISI DAN LEGITIMASI KONSERVASI Bang Idin dengan perkumpulan Sangga Buana yang dipimpinnya memang tidak dapat mencegah banjir di Jakarta dan siapapun tidak dapat melakukannya karena banjir adalah hukum alam yang merupakan bagian dari kuasa Tuhan. Akan tetapi upaya Bang Idin dan kawan-kawan sungguh sangat berharga bagi manusia dan lingkungan alam, karena ia dapat mensejahterakan warga di garis sepadan sungai dan memperlakukan sungai sesuai dengan hak sungai itu sendiri, sehingga dampak banjir di sepanjang rezim sungai yang dirawatnya dapat diminimalisir, disamping tetap terbuka hijau, indah dan alami. Upaya Bang Idin san-

Berbagai aktivitas sosial yang dihidupkan kembali olehnya yang dapat mempererat ikatan-ikatan sosial di antara warga antara lain: sedekah bumi, sedekah barit; sedekah kali; seni tutur; seni beladiri, pemeliharaan situs dan benda-benda sejarah serta kegiatan menam pohon. Sedekah bumi adalah kegiatan makan bersama yang didahului oleh doa-doa dan ditutup dengan ucapan syukur kepada Tuhan, atas rejeki yang diberikan dan alam yang subur. Upacara ini dilaksanakan di persimpangan jalan atau di tempat terbuka, dilaksanakan pada bulan Juni bertepatan dengan peringatan hari jadi Kota Jakarta. Dana yang digunakan untuk kepentingan upacara itu diambil dari kas Sangga Buana dan bantuan berbagai pihak yang menjadi mitranya. Setelah prosesi acara tersebut dilaksanakan, maka pada sore atau malam hari diadakan pertunjukan wayang kulit Betawi dipersembahkan untuk warga masyarakat setempat agar mereka tetap mencintai kesenian leluhurnya. Sedekah Barit mirip dengan sedekah bumi dan dilakukan selang-seling dengan sedekah

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

129


Komponen Kultural

Kelompok Pencak Silat Cimacan Binaan Bang Idin.

130

Badan Informasi Geospasial


Komponen Kultural

bumi. Kegiatan ini dilakukan dengan cara makan bersama secara berbaris. Lauk pauk dan nasi yang dimakan diletakkan diatas daun pisang secara memanjang, peserta selamatan saling berhadap-hadapan membentuk barisan menikmati hidangan yang diletakkan diatas daun pisang tersebut. Sedekah kali adalah kegiatan melepaskan sejumlah ikan lele ke kali Pesanggrahan agar ketersediaan ikan di kali tersebut tidak berkurang dan warga dapat memancing ikan di kali itu secara gratis. Kegiatan ini dilakukan setiap bulan oleh Bang idin dan kawan-kawan. Bang Idin pada berbagai kesempatan memberikan seni tutur kepada anak-anak, pemuda, dan orang dewasa yang menjadi anggota kelompok binaannya. Seni tutur yang dimaksud adalah menceritakan secara lisan kisah kekesatriaan para pangeran dan pembesar Pajajaran. Hal itu ditujukan agara masyarakat terutama generasi muda tidak melupakan akar sejarah dan dapat meniru suri tauladan tokoh-tokoh yang dari kisah yang diceritakan itu. Selain itu, Bang Idin juga membina dan menggerakan seni bela diri pencak silat yang merupakan warisan nenek moyang, agar generasi muda menjadi kuat, sehat, dan berbudi luhur. Pemeliharaan situs dan artefak sejarah dan menanam pohon bersama dilakukan secara rutin agar kesadaran masyarakat untuk peduli sejarah dan lingkungan terus terpelihara. Berbagai aktivitas sosial yang sengaja di ciptakan kembali oleh Bang Idin dan kawan–kawan itu, menurut Hobsbawm (1992: 1) disebut sebagai invention of tradition, yaitu seperangkat praktik-praktik yang berlangsung wajar, sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku umum, melalui pembentukan dan penanaman nilai-nilai, norma-norma dalam perilaku tertentu yang berlangsung melalui pengulangan-pengulangan yang berhubungan dengan sejarah masa lalu. Proses invention tradition adalah suatu proses formalisasi dan ritualisasi yang karakteristiknya merujuk pada masa lalu yang terjadi dan dilakukan secara berulang-ulang (repetisi). Proses ini berlangsung secara terus-menerus dan berkembang secara luas. Invention of tradition juga merespon situasi yang baru meskipun dibawa

dari referensi situasi lama melalui proses pengulangan-pengulangan tersebut (Hobsbawm, 1992: 2). Tradisi tersebut dibentuk atau dikonstruksi oleh seorang inisiator. Inisiator yang dimaksud dalam hal ini adalah Bang Idin. Literatur yang dapat digunakan untuk mengkaji tradisi diantaranya adalah yang ditulis oleh Sahab (2004) tentang raka cipta tradisi Masyarakat Betawi yang menyebakan bangkitnya kesadaran identitas etnik kelompoknya. Gunawijaya (2011), mengkaji masyarakat Gunung Halimun yang menggunakan Tatali Paranti Karuhun sebagai legitimasi adat untuk penguasa lokal dalam mengakses sumber daya di lingkungan sekitar. Tatali Paranti karuhun itu selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan diperbaharui secara berulang-ulang dan dikemas dengan simbol-simbol lama, sehingga dilaksanakan serta diyakini secara ada. Berbagai upacara kesultanan di Yogyakarta dan Surakarta dilakukan secara berulang-ulang menggunakan simbol tradisi leluhur namun pelaksanaannya disesuaikan dengan kehidupan jaman modern. Pelaksanaan upacara yang secara berulang-ulang itu menyebabkan tradisi keraton akan tetap hidup dan selama itu pula kekuasaan Sultan secara adat tetap terlegitimasi. Efek dari invention of treadition atau invensi tradisi ini adalah: memperkokoh keberadaan atau “kekuasaan� inisiatornya di hati masyarakat pendukungnya, mengkukuhkan identitas suatu golongan atau kelompok, mempererat ikatan-ikatan sosial anggota kelompok dan memberikan legitimasi adat bagi pemimpin kelompok untuk memimpin anggotanya dan mengakses atau memanfaatkan sumber daya alam, meskipun sumberdaya alam itu belum tentu menjadi pemiliknya. Beruntunglah bagi kita bahwa kemampuan atau kapasistas Bang Idin baik kapasistas bawaan lahirnya maupun kemampuannya melakukan invensi tradisi hingga dapat mengakses sumber daya rezim kali itu bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi justru untuk kepentingan masyarakat dan alam itu sendiri.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

131


Komponen KulturalKultural Komponen

132

Badan Informasi Geospasial


Komponen Kultural

BANJIR SEBAGAI BENCANA SOSIAL M Reza Husain

PENDEKATAN SOSIAL-BUDAYA SEBAGAI SOLUSI Perancangan pembangunan wilayah (Regional Development Planning) adalah suatu kegiatan manipulasi sebuah ruang atau wilayah secara terencana dan terarah untuk mendapatkan kondisi wilayah yang lebih baik. Kondisi yang lebih baik adalah suatu situasi yang bersifat subjektif. Namun, dalam kerangka kajian lingkungan-perilaku (environment-behavior study) kondisi ini didefinisikan sebagai ruang, atau secara spesifik, lingkungan bermukim yang selaras terhadap budaya setempat (local culture). Dalam pengertian adanya tingkat keselarasan yang tinggi antara lingkungan bermukim sebagai system of setting dengan manusia serta kebudayaannya. Dengan demikian perancangan pembangunan wilayah berusaha menciptakan kondisi ideal interaksi antara manusia dengan kebudayaannya dan lingkungan. Oleh karena itu, perancangan pembangunan wilayah tidak hanya sebuah proses teknis-spasial, namun juga bersifat sosio-kutural untuk menciptakan lingkungan bermukim yang mendukung bagi kelangsungan kehidupan manusia. Perancangan pembangunan wilayah diawali dengan penetapan wilayah perancangan yang disebut juga unit perancangan wilayah. Unit perancangan wilayah ini selanjutnya digunakan sebagai basis dalam pengumpulan data

hingga analisis, dan penetapan rancangan atau desain. Oleh karena itu, suatu unit perancangan wilayah secara normatif harus memenuhi kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan diterapkannya analisis spasial, yaitu 1) memiliki luasan teritorial yang cukup; 2) memiliki kegiatan dan jaringan sosial-budayaekonomi; dan 3) mempunyai jumlah populasi yang substansial. Jadi, unit perancangan pembangunan wilayah adalah suatu kawasan dengan batas-batas yang jelas dengan segenap aspek sosial-budaya-ekonomi-fisik didalamnya dimanipulasi sesuai dengan skenario pembangunan kawasan untuk jangka waktu tertentu (sesuai UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, dalam rentang 5-10 tahun) dalam suatu kegiatan perancangan. Dengan demikian, segenap hasil rancangan pada umumnya berupa Rencana Tata Ruang Kota dalam pengertian sempit yang akan diterapkan dan hanya berlaku pada unit perancangan tersebut. Pada saat ini, penetapan unit perancangan wilayah yang berlaku dalam sistem perencanaan kota di Indonesia dilaksanakan melalui pendekatan wilayah administratif, seperti misalnya Kelurahan, Kecamatan, dan Kota/ Kabupaten. Pada kasus-kasus tertentu, penetapan dilakukan berdasarkan pendekatan wilayah fungsional perkotaan seperti misalnya kawasan pusat kota (central business district), kawasan industri, kawasan bersejarah, dan sebagainya. Walaupun UU No.26/2007 men-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

133


Komponen Kultural

gakui masyarakat sebagai salah satu stakeholder dalam penataan ruang (unit sosio-kultural), namun dalam prosesnya, masyarakat sering kali tidak dilibatkan sebagai bagian dari suatu unit perancangan kota. Dengan demikian, penataan ruang tidak hanya direduksi menjadi sekedar proses teknis-spasial, namun juga menjadi birokratis-administratif. Dalam konteks proses penataan ruang, maka pola pikir dan kinerja suatu unit penataan ruang menjadi krusial dalam menjamin tercapainya tingkat keselerasan yang tinggi antara lingkungan bermukim dan manusia beserta kebudayaannya. Pemilihan unit perancangan yang sensitif terhadap aspek spasial dan sosiokultural setempat, terutama elemen-elemen kebudayaan yang erat kaitannya dengan pola-pikir, adalah titik tolak yang diyakini akan memudahkan analisis atas hubungan manusia berserta kebudayaannya dengan lingkungan dimana mereka hidup dalam suatu proses perancangan ruang di suatu wilayah demi terwujudnya keselarasan antara pembangunan dan lingkungan. Namun, apabila analisis sosio-kultural berupa hubungan manusia berserta kebudayaannya dengan lingkungan diabaikan dalam suatu proses perancangan tata ruang, melalui model pola pikir pembangunan dan perancangan tata ruang yang tidak lagi selaras dengan alam karena hanya berorientasi pada kepentingan ekonomis sesaat. Akibatnya, pada musim hujan di kota besar seperti DKI Jakarta maupun di daerah yang mengalami deforestasi hutan selalu saja identik dengan ancaman banjir. Hingga kerap tidak lagi dianggap sebagai menjadi Tuhan, melainkan musibah. Banjir sebagai musibah bencana alam juga kerapkali menjadi kesan pada pemberitaan-pemberitaan di berbagai media. Konstruksi pemikiran seperti ini, diperkuat juga dalam analisis-analisis dari berbagai ahli yang juga kerapkali menihilkan adanya faktor sosio-kultural yang menyertai bahwa manusialah sebagai faktor utama penyebab yang mengubah hujan sebagai rahmat menjadi musibah. Kesadaran pun baru muncul ketika banjir sebagai bencana sosial sudah terjadi, saat kejadian menimpa dan korban materi-jiwa sudah

134

Badan Informasi Geospasial

banyak. Para perencana kota dan pejabatnya saling menyalahkan satu sama lain seperti yang kerapkali muncul di berbagai media saat musibah banjir datang di DKI Jakarta. Menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir merupakan bentuk pelarian tanggung jawab dan menutup mata dari penyebab utamanya yang lebih merupakan faktor sosial-budaya.

FAKTOR SOSIAL-BUDAYA PENYEBAB BANJIR Perusakan lingkungan dan pengabaian tata lingkungan yang seimbang dalam pembangunan berakar dari faktor sosial-budaya berupa pandangan dan perlakuan manusia terhadap alam yang merupakan faktor sosial-budaya. Semenjak zaman renaissance, ketika manusia semakin memperlihatkan keangkuhan dirinya di hadapan alam semesta, melalui keserakahan untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang semakin tidak terbendung. Rasionalisme dan positifisme yang muncul di zaman tersebut dimaknai dengan yang penaklukan alam untuk tunduk dan berlutut di hadapan manusia. Keluruhan nilai-nilai ekologis yang ada dalam berbagai kearifan budaya dianggapnya sebagai faktor penghambat pembangunan yang hanya berorientasi pada ekonomi (economic oriented). Alam dipandang sebagai objek yang harus dikuasai dan dapat dieksploitasi oleh manusia. Tanpa disadari, pola pikir seperti ini jugalah yang bersemayam pada perancang dan pengambil kebijakan pengembangan kewilayahan dengan hanya melihat sisi ekonomis pembangunan, sehingga merusak keselarasan hubungan antara manusia berserta kebudayaannya dan lingkungan dimana mereka tinggal dan hidup. Pola pikir pembangunan seperti ini membuat daerah resapan air sudah hampir habis akibat diubah menjadi pemukiman dan kawasan komersial, daerah aliran Sungai (DAS) dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah, pola pikir pembangunan seperti ini menutup mata terhadap dampak aspek sosiokultural dan ekologis, sehingga pembangunan menjadi proses dehumanisasi. Banjir di Ibu Kota Jakarta sudah menjadi siklus menahun. Setiap musim hujan apalagi dengan intensitas tinggi dipastikan akan membuat Ja-


Komponen Kultural

karta nyaris lumpuh. Bukan kali pertama Jakarta di landa banjir hebat. Sejarah mencatat Jakarta pernah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan 1918. Selanjutnya banjir besar juga terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002, dan 2007. Sekarang baru saja memasuki tahun baru, kembali ibukota negara lumpuh akibat air bah tumpah dimana-mana, bahkan hingga ke istana negara. Ada beberapa faktor sosial-budaya penyebab banjir diantaranya alih fungsi daerah resapan air hujan untuk pemukiman-pemukiman baru atau kawasan komersial. Perusahaan properti yang paling masif mengalihfungsikan lahan resapan. Lebih dari 90 persen kawasan resapan air di wilayah DKI Jakarta telah berubah fungsi menjadi perkantoran maupun perumahan. Dengan mudahnya, banyak pengembang yang mengiklankan bahwa kawasan perumahan mereka bebas banjir karena sudah meninggikan tanah atau menanggul sungai. Perumahan yang dibangun itu barangkali benar bebas banjir. Namun, wilayah sekelilingnya yang semula tak pernah kebanjiran kini mengalami banjir. Pesatnya pembangunan infrastruktur dalam 20 tahun terakhir menyebabkan menurunnya jumlah ruang terbuka hijau di Jakarta. Padahal, ruang hijau ini digunakan sebagai daerah resapan air. Areal hijau di Jakarta saat ini hanya 6,6 persen, padahal 15 tahun lalu areal hijau mencapai 28 persen. Hal yang sangat memperihatinkan adalah produksi sampah di DKI Jakarta setiap hari secara fluktuatif sebesar 5.300 ton hingga 6.300 ton per hari, sekitar 2.000 ton sampah tersebut masuk ke dalam saluran air. Hal ini menjadi salah satu penyebab banjir di Jakarta. Bahkan pada 19-26 Januari 2013 sampah yang diakibatkan bencana banjir di Ibu Kota mencapai 8.609 ton. Artinya rata-rata 1.076 ton per hari yang menumpuk di bantaran sungai dan pintu-pintu air sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) yang juga menyebabkan pendangkalan sungai. Melalui hal diatas terlihat penyebab banjir jelas merupakan faktor sosial-budaya, akibat kesalahan orientasi pola pikir dan perilaku dari

manusia baik aparat maupun masyarakat terhadap lingkungan dimana mereka hidup dan tinggal. Namun, upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan banjir tampaknya tidak sejalan dengan apa yang diharapkan, rekayasa yang sifatnya teknis seperti normalisasi daerah aliran sungai, membuat sodetan dan gorong-gorong raksasa tampak terlihat begitu dominan sebagai penyelesaian dibandingkan dengan rekayasa sosial yang lebih pent-

Menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir merupakan bentuk pelarian tanggung jawab dan menutup mata dari penyebab utamanya yang lebih merupakan faktor sosial-budaya. ing untuk dilakukan. Seperti kesadaran aparat pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya ruang terbuka hijau, bantaran sungai bukan sebagai lokasi hunian dan tempat pembuangan sampah nampak belum mendapat prioritas. Rekayasa teknis spasial sehebat apapun tidak akan menyelesaikan masalah banjir tanpa adanya pendekatan sosio-kultural untuk membentuk kesadaran pengambil kebijakan, pengembang dan masyarakat itu sendiri untuk hidup selaras dengan lingkungannya. Semegah apapun infrastruktur yang dibangun untuk menyelesaikan permasalahan banjir tidak akan berhasil tanpa adanya perubahan orientasi pola pikir dari aparat pemerintah dan masyarakat terhadap pentingnya menjaga DAS disekitar mereka yang lama dirusak pola pikir pembangunan yang mengabaikan pendekatan sosio-kultural. Untuk itu, pada tulisan ini akan dipaparkan secara singkat beberapa foto beserta penjelasan yang menggambarkan bagaimana pendekatan sosial-budaya merupakan faktor penentu dalam pembangunan agar manusia beserta kebudayaannya hidup selaras dengan lingkungan dimana manusia tersebut hidup dan tinggal, sehingga penyelesaian masalah banjir di DKI Jakarta sebagai bencana sosial dapat ditangani dengan lebih baik sebagaimana yang diharapkan.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

135


Komponen KulturalKultural Komponen

MANGGARAI : SERING DISEBUT TAPI TAK PERNAH TERSENTUH Meisa Yudono

136

Badan Informasi Geospasial


Komponen Kultural

S

emenjak pembangunan pintu air Manggarai di tahun 1920 oleh pemerintah Kolonial Belanda atas gagasan seorang ahli asal Belanda, Prof. H van Breen dari Burgelijke Openbare Werken (cikal bakal Kementerian Pekerjaan Umum), daerah Manggarai bersama daerah Karet menjadi daerah pengontrol air untuk kawasan Jakarta. Fungsi pintu air Manggarai sebagai pengontrol aliran air sungai Ciliwung menambah vitalnya daerah Manggarai bagi Jakarta, dikarenakan pusat transportasi kereta api/listrik dari Jakarta berada di Stasiun Manggarai. Daerah Manggarai pun menjadi pusat “lalu lintas� manusia dan alam (sungai). Memasuki dekade 90-an, meningkatnya jumlah penduduk dan kurangnya lahan perumahan di Jakarta mendorong masyarakat untuk menempati lahan-lahan kosong maupun milik negara. Fenomena yang terlihat di sepanjang daerah Bantaran dan Daerah aliran sungai (DAS) sungai Ciliwung di Manggarai, dimana desakan kebutuhan penduduk akan rumah mengalahkan DAS yang seharusnya bebas dari peruntukkan bangunan usaha maupun rumah tinggal. Dampaknya adalah penyempitan DAS Ciliwung dan pendangkalan Sungai, berikut pernyataan warga Manggarai; “Pak, dahulu dalam ini sungai sebatang bambu panjang tenggelam, yah itu sekitar 3 meter lebih, sekarang paling hanya 2 meter saja, gampangnya ukur pake bambu pas bikin dapur sama jamban nah bambu 3 meter masih dapat kelihatan, memang ada pendangkalan karena lumpur dari hulu enggak dapat dikeruk�

DARI BANJIR DAS KE BANJIR LOKAL Penyempitan dan pendangkalan DAS Ciliwung mengakibatkan terjadinya banjir di daerah Manggarai yang mencakup Manggarai sampai Bukit Duri. Banjir terjadi pada daerah pemukiman yang berada di DAS, namun sejak banjir besar 2002 dan 2007 banjir tidak hanya terjadi di daerah DAS Ciliwung. Banjir lokal pun mulai sering terjadi. Bahkan sejak tahun 2007, daerah banjir lokal semakin hari semakin bertambah luas. Penyebab dari

Pintu Air Manggarai

banjir lokal di kawasan Manggarai berdasarkan informasi warga berasal dari tiga faktor utama yaitu; pertama penyempitan DAS oleh pembangunan pemukiman; kedua, tidak terawatnya drainase dan pembangunan infrastruktur oleh pemprov yang tidak memperhatikan fasilitas umum lainya dan ketiga adalah alih fungsi saluran pembuangan dan kali-kali menjadi fasilitas lainnya. Salah satu contoh adalah pengalihan fungsi kali menjadi empang pemancingan, seperti yang ditunjukkan oleh gambar dibawah ini: Dampak dari banjir lokal adalah setiap kali hujan dengan intensitas lebat dan lama maka perumahan di daerah Manggarai Utara menjadi banjir. Walaupun daerah hulu sungai Ciliwung tidak mengalami hujan. Berubahnya fasilitas jalan menjadi saluran air menuju Sungai Ciliwung menjadi hal yang biasa terjadi jika banjir lokal mapun banjir DAS terjadi. Menurut penuturan warga dalam hitungan kurang dari satu jam apabila hujan deras turun maka banjir lokal akan terjadi. Warga mengetahui bahwa penyebab banjir lokal tidak hanya berasal dari perubahan fungsi fasilitas umum yang diakibatkan pembangunan infrastrukur yang sembarangan namun juga berasal dari pembangunan fisik yang dilakukan oleh warga. Berikut pernyataan warga RT 02 Kelurahan Manggarai Selatan (daerah DAS Ciliwung) :

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

137


Komponen Kultural

“Nah iya pak, tempat saya sampai tahun 2007 itu enggak pernah kebanjiran, eh sekarang ini malah kebanjiran,...tuh airnya dari RT dia hahahaha,....tapi karena got tuh ditimbun pak, ini di depan ditimbun sama beton,...yang bikin malah PU,...haduuh, airnya itu ngalir terus ke RT 02 masuk ke kalinya lewat jalan warga pak,....nanti kita liat pak”.

DAS Ciliwung di Manggarai

“Nah kan got yang didalam ditimbun pak, pas hujan datang, gak usah deres dah pak pasti air keluar dari saluran pembuangan pak, jadi kebalik yang harus kebuang malah kebalik, nah itu bentar lagi banjir pak, itu sekarang makin sering pak”. Meluapnya air mengakibatkan jalan protokol dan lingkungan tergenang air, bahkan jalan setapak akan menjadi saluran air ke aliran sungai Ciliwung. Seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut:

Jalan = Saluran air

“Pak, selain got yang mampet karena sampah sama pembangunan jalan dibeton, ada saluran yang ditimbun sama warga, jadi dia kan dapat rejeki, nah dia bangun tambahan di rumahnya, yang tadinya kecil sekarang nambah, nah pas bangun itu ada saluran-saluran yang ketimbun sama beton, nah airnya kan tetap ngalir lewat tuh got, eh saluran itu tapi kan pastinya ada sampah, yah kalo enggak ada paling tanah, nah itu susah dibersihin. Kalo dibuka harus dibobok dulu. Hehehe, padahal ada yang jadi warung, dapur malah ada yang jadi kamar tidur pak”. Tidak berjalannya drainase membuat air hujan maupun air buangan limbah warga tidak berjalan dengan lancar. Saluran drainase dipenuhi oleh sampah dan perbaikan jalan yang tidak memperhatikan saluran air. Warga pun memiliki pengetahuan akan tanda-tanda terjadinya banjir lokal yaitu dengan meluapnya air di kamar mandi di saluran pembuangan air. Akumulasi limpahan air tersebut tak tertampung dan akhirnya melebar ke daerahdaerah yang tidak seharusnya kebanjiran. Berikut pernyataan warga RT 14 Kelurahan Manggarai Selatan;

138

Badan Informasi Geospasial

Dari pernyataan-pernyataan warga dan kondisi yang ditemukan di masyarakat maka wilayah Manggarai yang berada di DAS Ciliwung merupakan wilayah yang rentan atas bencana banjir dikarenakan wilayah yang ditempati adalah wilayah DAS. Akan tetapi seiring perilaku dan persepsi masyarakat dalam membangun serta tidak maksimalnya perawatan fasilitas umum maka wilayah Manggarai menjadi wilayah yang sangat rentan akan bencana banjir lokal.

NORMALISASI DARI MASA KE MASA Pada subbab terdahulu telah disebutkan bahwa pintu air Manggarai merupakan upaya pemerintah Kolonial Belanda atas gagasan seorang ahli asal Belanda, Prof. H van Breen dari Burgelijke Openbare Werken (cikal bakal Kementerian Pekerjaan Umum) untuk mengontrol air di wilayah Jakarta (Batavia). Pendorong munculnya gagasan ini adalah Jakarta (Batavia) kerap kali mengalami banjir, tercatat pada tahun 1878 Jakarta terlanda banjir karena hujan selama 40 hari. Pada bulan JanuariFebruari 1918 terjadi banjir Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang, karena kali Ciliwung meluap. Hanya pada pe-


Komponen Kultural

riode antara 1892-1918, daerah kota lama jarang kebanjiran. Berkaca pada bencana banjir yang selalu melanda Jakarta maka pada tahun 1919 pemerintah Kolonial Belanda memulai upaya-upaya untuk mengatasi banjir. Dan dibangunlah pintu air Manggarai dan Karet serta beberapa kanal-kanal, inti konsepnya adalah pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta untuk kemudian dialirkan ke laut. Dan mulai sejak masa itu wilayah Manggarai pun menjadi pusat kegiatan normalisasi sungai-sungai yang melintasi Jakarta. Setelah dibangunnya pintu air Manggarai di tahun 1920 dan kanal-kanal tidak membuat daerah Jakarta terhindar dari banjir. Tercatat pada tahun 1923, Desember 1931, Januari 1932 dan Maret 1933, Jakarta mengalami banjir dan efek psikologis bagi masyarakat Jakarta adalah banjir menjadi suatu hal yang biasa. Program normalisasi DAS Ciliwung dan kanal-kanal di wilayah Jakarta selama terjadinya perang dunia ke-2 dan perang kemerdekaan RI tidak berjalan. Akibatnya pada Januari 1952, 1953, November 1954, 1956, banjir kembali melanda Jakarta. Pada tahun 1950-1960 tercatat bahwa banjir terjadi di daerah hilir kali Ciliwung. Pada bulan Februari 1960 Jakarta mengalami banjir besar, yang terparah terjadi di daerah Grogol. Baru pada tahun 1963 pemerintah kota Jakarta masalah banjir ditangani oleh tim khusus yag dibentuk pemerintah. Pada pemerintahan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) dibuatlah “Master Plan for Drainase and Flood Control of Jakarta� dengan bantuan Netahunerlands Engineering Consultants di tahun 1973, dan disempurnakan oleh Nippon Koei pada tahun 1997, termasuk pembuatan waduk dan penempatan pompa pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut. Salah satu kebijakan yang paling terkenal adalah pembangunan Kanal Banjir Timur yang dimulai dari hilir Kelurahan Marunda dan tembus ke laur pada akhir Desember 2009. Pembangunan dibiayai oleh APBD DKI Jakarta dan APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum. Sebelum tahun 2003, pemprov DKI hanya memfokuskan pada kebijakan perawatan kanal-kanal dan situ-situ di

dalam dan sekitar Jakarta tanpa memperhatikan implikasi sosial akan kebijakan perawatan terhadap lingkungan sosial warga yang tinggal di DAS, terutama daerah semacam Manggarai.

DISEBUT TAPI TAK TERSENTUH Seperti yang telah dibahas dalam subbab-bab terdahulu bahwa daerah Manggarai saat ini menjadi daerah yang rawan banjir baik banjir akibat meluapnya air dari Sungai Ciliwung dan banjir lokal yang disebabkan oleh tidak berfungsinya drainase, kali, dan perilaku masyarakat. Dan program normalisasi yang dilaksanakan oleh pemprov DKI Jakarta dan berbagai instansi terkait belum menyentuh dari inti permasalahan masyarakat yang mendiami DAS Ciliwung. Program normalisasi DAS Ciliwung di daerah Manggarai menjadi hanya kegiatan rutin dan tidak memberikan manfaat, pengerjaan yang terlihat hanyalah pengambilan sampah dari pintu air Manggarai dan pengerukan kanal-kanal Ciliwung di daerah pusat Jakarta. Sementara lokasi Manggarai sebagai pusat kendali air tidak tersentuh. Program normalisasi DAS Ciliwung di daerah Manggarai dengan melakukan relokasi penduduk yang tinggal di DAS Ciliwung terlaksana pada tahun 2006-2007 setelah hampir 5 tahun menemui hambatan. Hal tersebut yang diungkapkan oleh warga; “Ada program normalisasi pak, itu ditahun 2007 atau 2006, pokoknya setelah banjir besar, nah sebagian warga yang tinggal di daerah DAS direlokasi ke daerah lain, kalo tidak salah ke daerah Bojong Gede dan Citayam�. Pengetahuan akan bahaya untuk tinggal di daerah DAS Ciliwung pun dimiliki oleh Manggarai, dengan tidak menentang program-program normalisasi, akan tetapi masih ada hambatan-hambatan dari warga. Hambatan yang berupa daerah relokasi merupakan daerah yang jauh dari tempat mencari nafkah warga saat ini, dikarenakan warga Manggarai bermata pencarian di sektor informal yang mengandalkan keberadaan pasar, sehingga kepindahan ke lokasi pemukiman

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

139


Komponen Kultural

baru harus memperhatikan lokasi mereka bekerja, berkenaan dengan daerah Manggarai masyarakat DAS banyak berprofesi sebagai penjual makanan, penjahit, pemulung, kuli pasar dan lain-lain. Terdapat kedekatan lokasi antara daerah pemukiman Manggarai dengan pasar di sekitar daerah tersebut, seperti pasar Rumput, pasar Jatinegara, pasar Bukit Duri, dan pasar Kampung Melayu. Hambatan berikutnya adalah kebijakan normalisasi yang belum jelas dari pemprov DKI, sehingga menimbulkan keresahan. Rasa ketidaknyamanan didasari dari pengalaman warga yang terkena program normalisasi DAS di tahun 2007. Dampak dari lokasi relokasi yang jauh dari tempat mencar nafkah dan transportasi mendorong para warga penerima program normalisasi untuk kembali ke Manggarai dan membuat rumah-rumah sementara. Bahkan membuat usaha empang pemancingan di pinggir dan mengambil sebagian DAS kali menuju Sungai Ciliwung. Berikut pernyataan dari ketua RT 02 dan RW 10 kelurahan Manggarai Selatan : “Kalo warga sih pak tidak menentang normalisasi kali, karena sejak pak Jokowi kampanye memang itu programnya, cuman pak sekarang ini warga sedang resah karena belum jelas kapan dilaksanakannya dan warga melihat efek program relokasi tahun 2007 kurang bagus karena ada warga yang balik lagi ke Manggarai, karena sudah tidak ada rumahnya akhirnya mereka bikin rumah-rumah sementara yah kayak bedeng-bedeng itu pak, kan jadi masalah lagi”. “Nah memang jadi banyak warga yang sudah pergi sekarang balik lagi nah tinggalnya di deket kali lagi, ada juga udah bersihin sama PJKA (PT.KAI) rumahnya karena dekat kali, tapi karena enggak ada yang ngawasin yah balik lagi, malah pake empang pemancingan, rame malah”. Menghadapi hambatan-hambatan tersebut, warga pun berinisiatif untuk melakukan pembenahan dan usulan kepada pemprov. Terdapat dua usul yang terungkap yaitu untuk merelokasi warga sebaiknya memperhatikan lokasi dan tranportasi warga dari dan ke

140

Badan Informasi Geospasial

tempat bekerja, jika pemprov tidak memiliki lokasi relokasi yang tepat dengan usulan maka warga lebih menerima santunan berupa uang, sehingga mereka dapat mengatur prioritas dan memilih sesuai dengan kemauan mereka dan tentang penanggulangan banjir, warga mengusulkan solusi bank sampah dan pengangkutan sampah karena selama ini warga bingung membuangnya kemana. Tidak ada tempat penampungan sementara yang memadai. Usulan-usulan tersebut terungkap dalam pernyataan RT 02 dan RW 10 berikut : “Pak, kalo boleh usul untuk pak Jokowi nih, kita dari warga lebih menerima santunan berupa uang, bukan karena ingin punya banyak uang pak, berkaca dari warga-warga yang udah di relokasi kok mereka menjadi lebih susah dari pada yang dulu, nah lebih baik kami saja yang mengaturnya biar kami dapat memilih mana yang lebih penting pak, contohnya di daerah RT 02 yang makin banyak warga yang datang, nah mereka warga sini dulunya paling gampang yang punya empang, dia enak rumahnya dulu di sini ada dua”. “Kalo sampah pak, warga masih buang ke kali soalnya bingung ni pak mau dibuang kemana karena bak TPS enggak ada, gerobak pengangkut aja tidak ada jadi yah pada buang sampah di kali, kita pernah usulin bikin bank sampah dan minta gerobak sampah tapi sampai sekarang belum ada tuh”. Mengikuti cerita dan kenyataan yang berkembang di masyarakat maka wilayah Manggarai sebagai daerah pusat kendali air di di Jakarta seakan-akan daerah yang hanya berhak menyandang nama dan tidak dirawat sebagaimana mestinya. Program normalisasi DAS Ciliwung masih memfokuskan pada normalisasi fisik saja dan tidak mengubah cara pandang masyarakat tentang daerah DAS di Manggarai. Program relokasi yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan sosial ekonomi dan pengetahuan warga yang mendapat relokasi. Yang terjadi adalah unintended consequences dari normalisasi dan relokasi warga sekitar DAS yaitu kembalinya warga ke Manggarai dan menimbulkan masalah baru yaitu pemukiman sementara di DAS.


Komponen Kultural

Normalisasi yang bersifat fisik pun tidak diikuti oleh pengawasan dan pemeliharaan dari instansi terkait yaitu pemprov DKI dan Kementerian PU. Drainase dan kanal-kanal yang seharusnya mampu mengalirkan air hujan dengan lancar tidak berfungsi. Lemahnya pengawasan dan pengetahuan yang belum mapan akan cara hidup berdampingan dengan DAS terakumulasi dengan perilaku masyarakat terhadap Sungai Ciliwung dan kanal-kanal disekitarnya, yaitu penutupan saluran drainase untuk kepentingan pembangunan rumah (kamar mandi, teras dan warung) dan pembuatan kolam pemancingan di pinggir kanal (kali kecil) bahkan mengambil lebar kanal untuk kolam pemancingan. Pola kebijakan yang berada diatas awan dan tidak menyentuh warga serta periaku dan pengetahuan warga yang belum selaras dengan kondisi DAS menempatkan daerah Manggarai sebagai daerah yang selalu disebut namun tidak tersentuh. Suatu ironi karena setiap kali banjir melanda Jakarta maka setiap media akan menampilkan “dua bintang” yaitu pintu air Katulampa dan pintu air Manggarai. Keduanya pun selalu diimingi bahwa akan dirawat dan masyarakat di sekitar akan dibantu melalui kebijakan-kebijakan normalisasi. Semua masterplan untuk Manggarai hanya menjadi penghias pusat arsip di kantor pemerintahan, sehingga semua kebijakan belum menyentuh kebutuhan dan karakteristik dari daerah DAS dan bersifat reaksi tanpa solusi. Tak dapat dipungkiri bahwa daerah Manggarai merupakan daerah vital dalam pengendalian air di daerah Jakarta. Ironinya daerah tersebut hanya penghias kebijakan normalisasi DAS. Banjir besar tahun 2002 dan 2007 hanya “mencolek” sedikit para pengambil kebijakan dan masyarakat untuk bersikap arif terhadap DAS Ciliwung di Manggarai. Masalah kepadatan penduduk seakan-akan menjadi masalah terbesar dalam program normalisasi DAS.

sumber kehidupan membuat daerah Manggarai tidak dapat lari dari bencana banjir akibat air dari daerah hulu maupun banjir lokal. Dari pihak pengambil kebijakan pun ada upaya “normalisasi” sudut pandang pengelolaan air, selama ini pengelolaan DAS menitikberatkan pada kebijakan fisik. Padahal sungai sebagai sumber kehidupan masyarakat memerlukan pengelolaan yang mempertimbangkan aspek sosial budaya. Kejadian kembalinya warga relokasi ke tempat tinggalnya dahulu merupakan unintended consequences karena kebijakan hanya didasari kebutuhan fisik, yang akibatnya daerah Manggarai menjadi semakin kumuh.

Para pengambil kebijakan dan masyarakat haruslah duduk bersama dan bekerja sama dalam mengatasi banjir, karena banjir bukanlah bencana alam namun banjir merupakan bencana sosial. Untuk mengatasi bencana sosial ini khususnya di Jakarta, para pengambil kebijakan dan masyarakat di daerah ( Prov. DKI Jakarta, Kab Bogor, Kota Bogor, Kab. Bekasi, Kota Bekasi, Kab Tangerang Selatan, Kab Tangerang) DAS Ciliwung harus duduk bersama dan bersama-sama mencari solusi bagi kehidupan masyarakat. Hikmah dari Ekspedisi Geografi Indonesia 2013 terungkap bahwa bencana banjir di Jakarta lebih disebabkan oleh perilaku dan pola pengetahuan masyarakat yang tidak selaras dengan hakekat daerah Jakarta yang daerah air. Kita harus memulainya dengan normalisasi pengetahuan dan perilaku kita untuk lebih menghormati air sebagai sumber kehidupan manusia.

Hal yang mendesak untuk dilakukan adalah adanya upaya “normalisasi” pengetahuan masyarakat bagaimana hidup dan bersikap arif di daerah DAS. Pengetahuan dan pola perilaku yang tidak menghormati Sungai sebagai

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

141


Komponen KulturalKultural Komponen

POTRET KOMUNITAS PEDULI CILIWUNG (KPC) M Yulianto Anggota Ikatan Geografi Indonesia (IGI)

D

i sepanjang Ciliwung, paling tidak dikenal beberapa Komunitas sebagai pemerhati lingkungan Ciliwung dengan nama-nama antara lain : • Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) • Komunitas Bantaran Ciliwung (KBC) • Masyarakat Peduli Ciliwung (MATPECI) Meskipun berbeda dalam penamaan kelompoknya, namun umumnya memiliki cita-cita (visi) yang sama yakni Ciliwung sebagai tempat wisata, dan taman bermain lingkungan. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut pernah ada program wisata murah yang diperuntukkan bagi anak-anak murid SD dan SLTP, khususnya pada hari Sabtu dan Minggu. Dari hasil sarasehan Tim EGI 2013 yang berlangsung di KPC Tanjungan, yang terletak di ujung jalan Ciliwung Condet, bersama 9 KPC lain pada tanggal 9 April 2013 lalu, terungkap banyak fakta, permasalahan dan kegiatan yang dilaksanakan. Pembentukan KPC pada umumnya terinspirasi kondisi Ciliwung dan bantarannya pada tahun 1982 an, dimana

142

Badan Informasi Geospasial

air sungai masih terlihat jernih, jenis ikannya masih sangat beragam, seperti keting, baung, berot, singgawang bahkan sili masih dapat dijumpai. Demikian pula kondisi flora yang menjadi unggulan khas Condet masih dengan mudah didapatkan seperti salak yang konon kabarnya memiliki banyak varietas, disamping buah duku yang kualitasnya lebih manis dari duku asal Palembang. Kondisi kini telah berubah 180 derajat, ikan yang masih ada hanya jenis sapu-sapu yang paling tahan terhadap pencemaran limbah dan sampah, sehingga meragukan apabila dikonsumsi. Salak dan duku meskipun dibeberapa spot masih dapat ditemui, namun jumlah panenan dan varietasnya juga sudah sangat terbatas. Penetapan daerah Cagar Budaya bagi kawasan Condet di tahun 70 an, dipahami hanya sebatas proteksi budayanya, semestinya mencakup perlindungan terhadap floranya. Sebenarnya pembentukan KPC, semakin dipicu dengan banyaknya permasalahan yang dari ke-hari terasa sangat membebani masyarakat yang tinggal tidak jauh dari Ciliwung, terutama saat musim penghujan.


Komponen Kultural

Kelompok Masyarakat Peduli Ciliwung (MAT PECI), di Kampung Pengadegan Jaksel

Dampak banjir yang pertama dirasakan tahun 1996, telah menggugah kelompok masyarakat Condet pemerhati lingkungan untuk segera saling bahu membahu membentuk Komunitas Peduli Ciliwung pertama di Balekambang, pimpinan bapak Kodir. Kemudian dari tahun ketahun telah berkembang menjadi beberapa kelompok. Permasalahan utama yang telah ditengarai oleh Komunitas ini adalah bantaran kali sering dijadikan tempat pembuangan sampah. Mereka sangat menyadari bahwa kebersihan lingkungan pada kenyataannya tidak dapat hanya mengandalkan kepada Pemerintah Daerah, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Dan jika hal tersebut dibiarkan dalam jangka waktu lama, akibatnya proses pendangkalan sungai semakin cepat berlangsung. Pada akhirnya daya tampung air menjadi berkurang, sehingga banjir pun mudah terjadi. Kehadiran KPC pun semakin terlihat peranannya, diantaranya sebagai polisi sampah, yang siap sewaktu-waktu memberikan teguran kepada masyarakat yang masih membandel membuang sampah kekali. Bahkan KPC di Depok telah berperan mempelopori dalam mempertahankan fungsi bantaran sungai dari penyerobotan lahan oleh Pengembang untuk mendirikan bangunan perumahan,

Prof. Dr. Meutia Hatta dan Tim EGI 2013, sebelum saresehan di KPC Tanjungan.

Bincang-bincang dengan ketua KPC Tanjungan, bapak Jumhari

“Permasalahan utama yang telah ditengarai oleh Komunitas ini adalah bantaran kali sering dijadikan tempat pembuangan sampah.� Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

143


Komponen Kultural

apalagi dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Diantaranya dengan melakukan penimbunan bantaran sungai, namun tidak berlangsung lama telah terjadi longsor, yang mengakibatkan pencemaran dan menambah pendangkalan. Salah satu agenda kegiatan rutin KPC yang perlu mendapat dukungan adalah adanya arisan rutin bulanan untuk membersihkan sampah-sampah di sungai, dengan lokasi sesuai tuan rumah penyelenggaranya (artinya secara bergiliran). Sebagaimana yang telah dilaksanakan pada bulan Januari membersihkan sampah di KPC Lenteng Agung, Februari di

KPC Tanjungan, Maret di KPC Buluh, April di KPC Kampung Kramat dan Mei bertempat di KPC Tanjung Barat. Namun semuanya tidak terlepas dari kendala yang sering dihadapi. Pada kenyataannya belum semua KPC memiliki sarana kapal, untuk dapat secaa rutin membersihkan sampah. Pernah diperoleh bantuan biaya dari suatu perusahaan, meskipun hanya berlangsung selama 1 (satu) tahun. Sarasehan diakhiri dengan acara penanaman pohon oleh Prof. Dr. Meutia Hatta selaku peneliti Tim EGI 2013, dan pembelajaran kepada anak-anak agar lebih memperhatikan kebersihan lingkungan, dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat khususnya sungai. Berikut daftar Kelompok Peduli Lingkungan di sepanjang Ciliwung.

No

Menanam pohon di areal KPC Tanjungan.

Komitmen Tim EGI 2013 dan KPC, bebaskan banjir Jakarta, seusai menanam pohon.

Pembelajaran kepada anak-anak, agar peduli kebersihan lingkungan.

144

Badan Informasi Geospasial

Kelompok

koordinator

1

KPC Cisarua

Tejakusuma

2

KPC Bogor

Haryanto

3

KPC Bogor

Een

4

KPC Bojong Gede

Hasanudin

5

KPC Bojong Gede

Maulana

6

KPC Depok

Sahrul

7

KPC Depok

Bambang

8

KPC Depok

Sutisna

9

KPC Lenteng Agung

Sarmili

10

KPC Tanjung Barat

Sarmuli

11

KPC Pejaten Timur

H.Royani

12

KPC Rindam

?

13

KPC Bale Kambang

Kodir

14

KPC Buluh

H.Bahtiar

15

KPC Tanjungan

Jumhari

16

KPC Kampung Kramat

Agus Salim

17

KBC Rawajati

Usman

18

MAT PECI

Usman

19

KPC Muara

Bang Jack

20

KPC Cawang

?


Komponen Kultural

Kompas, 8 Juni 2011

Kompas, 6 Juni 2011

Warga keturunan Jerman, antusias mengikuti saresehan dengan Tim EGI 2013.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

145


Komponen KulturalKultural Komponen

AIR ADALAH TANDA KEHIDUPAN

Rudy Agusyanto

Hujan adalah sebuah berkah karena air merupakan salah satu kebutuhan dasar kehidupan manusia. Sepanjang sejarah manusia, air merupakan tanda adanya sebuah kehidupan.

146

Badan Informasi Geospasial


Komponen Kultural

S

ejak jaman manusia purba, manusia mengembara mengikuti pergerakan binatang buruan, di mana binatang buruan tersebut mengikuti keberadaan air (sungai atau danau) agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kehidupan manusia purba Sangiran yang dikenal dengan homo erectus hidup secara berkelompok, dan masih sangat bergantung kepada alam lingkungan yang menyediakan sumber kehidupan. Kebanyakan mereka hidup di sepanjang sungai atau di dekat danaukarenaair dianggap sebagai sumber utama kehidupan bagi semua mahkluk di dunia ini termasuk binatang-binatang (yang merupakan obyek buruan). Mereka hidup secara berpindah-pindah (nomaden) mengikuti arah binatang-binatang mengembara mencari makanan (Anjarwati, Kehidupan Manusia Purba di Kubah Sangiran, 2009, hal. 27). Huruf tebal dari penulis. Oleh karena itu pula dalam banyak kebudayaan, ketika terjadi musim kemarau panjang sehingga masyarakat di daerah yang bersangkutan mengalami kekurangan air (keringnya sumber air atau persediaan air), mereka akan mengadakan ritual untuk mendatangkan air. Sumber air yang diharapkan pada umumnya adalah dalam bentuk turunnya hujan. Hujan (air dari langit) akan mengisi bumi/tanah tempat mereka hidup dan tinggal, juga akan mengairi/mengisi bumi/tanah, danau, atau sungai-sungai (tempat-tempat persediaan air) sehingga mereka tak lagi kesulitan air, baik untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia mau pun untuk pengairan sawah dan ladang serta ternak. Maka dari itu, ritual-ritual yang dilakukan untuk meminta air, biasanya berwujud ritual “minta hujan” (turunnya hujan). Sebagai contoh adalah ritual “Ujungan”, di Desa Gumelem Wetan, Banjarnegara, Jawa Tengah; ritual “becekan” di lereng gunung Merapi, Sleman, Yoyakarta; ritual “Cingcowong” di Kuningan, Jawa Barat; ritual “Cowongan” di Banyumas, Jawa Tengah dan banyak lagi di berbagai daerah di nusantara; bahkan di India pun juga ada ritual meminta hujan, yaitu ritual “pernikahan kodok”. Selain itu juga ada tarian yang diciptakan khusus sebagai bagian dari ritual minta hujan seperti “tarian Tiban” di daerah

Kediri, Jawa Timur. Dengan kata lain, hujan atau datangnya hujan berarti datangnya rakhmat Illahi yang menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia. Dan, sebaliknya, tidak satu masyarakat pun di dunia yang memohon “kekeringan”.Tapi, mengapa masyarakat Indonesia saat ini – di perkotaan, khususnya kota Jakarta – memahami dan memaknai hujan sebagai “bencana”?. Sementara itu, dalam kenyataan yang lain, kita juga sering melihat slogan-slogan dan tayangan layanan publik di berbagai media justru menghimbau masyarakat Indonesia untuk “hemat air”. Ini sebuah fenomena kehidupan yang kontradiktif. Di satu sisi, manusia menghindari banjir, dan di sisi yang lain menunjukkan bahwa kita sedang mengalami kekurangan air (air sedang langka keberadaannya). Kondisi kontradiktif inilah (masalah air dalam kehidupan manusia) yang melanda hampir di semua kehidupan masyarakat perkotaan di Nusantara – termasuk masyarakat Jakarta – saat ini.

BANJIR ADALAH MASALAH SOSIAL Banjir memang seolah-olah merupakan fenomena alam murni. Apalagi, terjadinya banjir selalu didahului dengan terjadinya fenomena alam, yaitu curah hujan dengan debit yang besar dan dalam waktu yang relatif lama. Oleh karenanya, banjir selalu terjadi pada saat musim hujan sehingga banyak pihak memahami dan memaknai “banjir” sebagai “bencana alam”. Banjir adalah sebuah kondisi meluap atau melubernya air dari “wadah” yang menampungnya, dan air yang tumpah tersebut membentuk genangan. Kondisi ini terjadi bila volume air yang datang/masuk melebihi daya tampung dari wadah yang tersedia sehingga air keluar/ meluap dari wadahnya dan menggenangi daerah/area sekitar wadah tersebut. Wadah penampung air ada dua jenis. “Wadah yang tidak mengalir” seperti waduk atau setu dan danau serta tanah/bumi itu sendiri; sedangkan “wadah yang mengalir“ adalah sun-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

147


Komponen Kultural

gai dan drainage (saluran pembuangan air). Bagi “wadah yang mengalir”, banjir akan terjadi ketika debit air yang masuk/datang lebih besar dari debit air yang bisa dialirkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa banjir terjadi ketika: 1. Danau, waduk atau setu, dan bumi/tanah tidak mampu lagi menampung air yang masuk/datang; 2. Daya alir sungai dan drainage lebih kecil dari air yang masuk (perbedaan debit air yang datang dan pergi/mengalir). Sedangkan mengenai seberapa luas genangan air yang terjadi, hal ini tergantung pada volume air yang luber atau debit air yang terus mengisi wadah yang tersedia tersebut. Dan, air yang datang/masuk yang dimaksud adalah “air hujan” sebab dalam kondisi tidak hujan, air yang datang berasal dari pembuangan tidak penah menyebabkan banjir. Oleh karena itu, selama ini bencana banjir dipahami sebagai fenomena alam akibat dari debit hujan yang melebih daya tampung dan melebihi daya alir “wadah” yang tersedia. Berdasarkan kedua kondisi terjadinya banjir di atas maka dapat diasumsikan seolah-olah telah terjadi: (1) terjadi peningkatan debit atau volume hujan secara tajam dan (2) terjadi penurunan daya tampung tanah/bumi, danau atau setu dan sungai serta drainage terhadap air yang datang/masuk (curah hujan). Namun, dalam kenyataan, meski turun hujan hanya berlangsung satu jam saja (sebentar) atau berjam-jam tetapi dengan curah hujan relatif tidak “lebat”, Jakarta sudah mengalami genangan air (banjir) di beberapa lokasi – baik di jaringan jalan raya mau pun di pemukiman. Hal ini menunjukkan bahwa ketidak mampuan “wadah” menerima curah hujan bukan dikarenakan oleh curah hujan (debit) yang berlebihan atau telah terjadi peningkatan volume curah hujan setiap tahunnya sebab volume curah hujan dari tahun ke tahun tidak ada perbedaan yang signifikan. “…curah hujan bulanan pada 2007 tinggi karena hujan terkonsentrasi di satu titik, yaitu Jakarta Selatan, 340 milimeter. Sedangkan tahun ini, curah hujan tersebar merata di seluruh wilayah Jakarta. “Pantauan kami, sejak No-

148

Badan Informasi Geospasial

vember 2012 sampai Januari ini, curah hujan bulanan Jakarta tidak pernah mencapai angka itu. Maksimal 150 sampai 180.” (http://www. tempo.co/read/news/2013/01/18/214455243/Beda-Curah-Hujan-Jakarta-2007-dengan-2013). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan wadah menampung curah hujan adalah akibat terjadinya “penurunan daya tampung” dari wadah itu sendiri”. Hasil dari penelitian lapangan atau dari data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa penurunan daya tampung ini justru merupakan akibat dari: (1) berkurangnya wadah itu sendiri (jumlah wadah yang tersedia terus berkurang); (2) penyusutan volume wadah karena telah terjadi pendangkalan dan penyempitan; dan (3) penurunan daya alir dari “wadah yang mengalir” (sungai dan drainage). Semua ini terjadi karena: 1. B erkurangnya jumlah wadah yang tersedia, yang disebabkan oleh: a. berkurangnya permukaan tanah terbuka b. berkurangnya jumlah area-area resapan c. “ hilangnya” (ditutup/ditimbun) beberapa drainage, terutama di lokasi-lokasi pemukiman dan fasilitas publik. Demikian juga ditemui sungai yang menjadi “empang”. S emua ini terjadi karena adanya alih fungsi wadah penampung air menjadi atau untuk fasiltas publik, ruang aktivitas ekonomi dan aktivitas manusia lainnya, serta pemukiman. 2. Pendangkalan dan penyempitan wadah (penurunan daya tampung/volume wadah): a. banyak sungai kehilangan area sempadan dan lebar sungai terus berkurang karena ditimbun untuk kepentingan ruang bagi aktivitas manusia dan pemukiman (tak hanya oleh warga kelas bawah, tetapi juga terjadi pada warga kelas menengah dan atas – dibangun real estate). b. tidak hanya air hujan atau air pembuangan, tetapi juga limbah/sampah dari aktivitas manusia yang masuk ke sungai atau drainage semakin hari terus bertambah volumenya.


Komponen Kultural

“Secara berat, Jakarta tiap hari menghasilkan 6 ribu ton sampah. Kalau dihitung secara volume, 1 hari sekitar 28 ribu m3 (meter kubik). Nah, volumenya Candi Borobudur itu 50 ribu m3. Jadi kalau itu dikumpulkan dalam 2 hari saja bisa jadi bangunan Borobudur,” ujar Hendra Aquan, dari komunitas pemerhati lingkungan Transformasi Hijau, saat ditemui disela-sela acara diskusi ‘Menjadi Bagian dari Generasi yang Gemar Mengelola Sampah untuk Menjaga Bumi’ di GOR Bulungan, Jl Bulungan, Jakarta, Senin (4/2/2013).

3. Penurunan daya alir wadah: a. sampah/limbah aktivitas manusia pada poin 2b pada akhirnya juga menghambat atau mengurangi daya alir sungai dan drainage, bahkan tidak jarang menyumbat (buntu/ mampet). “Tidak berfungsinya drainase di pinggir jalan, sebagai penyebab utama terjadinya banjir yang merendam sebagian besar jalan raya Cipanas ini. Air hujan meluap ditengah jalan tidak masuk ke dalam saluran air, kata Saeful,

Tabel 1. DATA CURAH HUJAN BULANAN JAKARTA TAHUN 1976-2006

Tahun 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Jan 719 503 191 451 539 274 356 343 351 357 436 536 466 257 398 286 299 429 350 322 402 497 163 233 592 286 694 111 224 392 406

Feb 122 580 223 224 349 90 234 205 245 195 451 283 207 418 249 250 319 275 265 683 616 98 356 291 29 297 659 499 409 350 273

Mar 427 463 284 146 124 169 123 263 331 156 164 103 191 114 102 310 229 225 282 145 180 61 322 48 4 173 176 109 233 417 302

Apr 98 176 68 110 84 261 52 157 93 278 138 99 76 139 135 281 207 207 105 292 159 77 134 48 115 111 144 66 343 115 369

Mei 71 42 134 135 121 297 32 139 224 225 53 111 181 202 64 78 237 139 170 100 12 124 151 95 169 67 69 72 111 57 98

Jun 21 258 161 74 9 66 101 16 20 160 84 58 42 134 97 1 24 122 9 187 40 1 130 45 82 138 2 4 48 116 31

Jul 0 0 102 77 9 70 24 68 92 136 153 2 11 88 71 28 83 17 2 125 88 0 113 182 29 30 117 0 51 174 43

Sumber data: http://thesis.binus.ac.id/doc/LampiranNoPass/2007-2-00552-STIF-Lampiran.pdf

Ags 170 36 85 43 10 48 38 5 103 8 321 5 55 24 270 0 152 155 53 2 136 0 161 0 34 79 0 0 0 39 10

Sep 73 14 117 164 194 89 0 0 129 40 195 6 1 32 12 0 106 30 13 37 61 0 101 77 29 10 0 23 0 30 0

Okt 80 108 123 130 76 89 49 195 76 147 58 81 186 26 64 2 281 131 6 103 202 0 162 186 33 134 3 227 39 200 0

Nov 95 69 241 168 140 211 5 109 115 26 93 170 109 113 77 146 170 171 87 214 136 95 43 265 174 125 49 189 78 102 28

Des 166 329 257 322 103 380 182 228 192 172 193 332 286 383 205 167 231 125 73 104 115 52 66 300 84 92 109 430 209 92 112

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

149


Komponen Kultural

“Dalam konteks banjir Jakarta, justru lebih tepat jika banjir adalah fenomena sosial. Banjir lebih banyak sebagai akibat dari aktivitas atau ulah manusia.” 38, salah seorang warga Cipanas…“Setiap kali turun hujan, dapat dipastikan air dari drainase meluap ke ruas-ruas jalan karena saluran air penuh dengan sampah yang tidak pernah dibersihkan,” katanya dengan nada kesal.” (http://www.metrotvnews.com/metronews/ read/2013/05/08/6/152254/Banjir-Rendam-Belasan-Toko-di-Cipanas-). Menurut, Ahmad, Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cianjur: “jika drainase di pinggir jalan tersebut banyak dipenuhi tumpukan sampah dan bahan material yang turun dari galian pasir. Akibatnya air tidak mengalir lancar ketika hujan deras terjadi”. (http://www.tribunnews. com/2013/05/08/puluhan-pemilik-toko-dicipanas-panik). Derajat kemiringan. Hal yang juga penting adalah memahami sifat air, di mana air akan mengalir menuju permukaan yang lebih rendah. Berdasarkan sifat air ini maka derajat kemiringan antara drainage yang satu dengan lainnya dan antara drainage dengan sungai, setu atau danau menjadi sangat penting. Banyak dijumpai bahwa drainage di area pemukiman dan di sepanjang fasilitas jalan atau fasilitas publik tidak mempunyai derajat kemiringan yang signifikan untuk membuat air tetap mengalir. b. Penurunan permukaan tanah. Air memang harus dialirkan agar tidak terjadi genangan yang mengganggu aktivitas atau kehidupan manusia. Namun, air tetap dibutukan manusia. Manusia juga perlu memikirkan cadangan atau persediaan kandungan air di daerah ia hidup dan tinggal. Jika tidak, maka manusia akan mengalami kekurangan sumber air. Pengambilan air tanah yang relatif lebih besar dibandingkan air yang masuk/meresap ke dalam tanah (permukaan tanah tiap tahun terus ditutup sehingga air pembuangan dan air hujan langsung

150

Badan Informasi Geospasial

terbuang ke laut). Akhirnya, menciptakan ruang kosong untuk diisi oleh air laut seperti banyak kasus bahwa dulu air tanah bisa hanya dengan menggali sedalam 4 meter, sekarang bisa mencapai kedalaman 30-40 meter untuk bisa memperoleh air tawar. Bahkan, air laut sudah meresap sampai di jalan Sudirman-Thamrin pada awal tahun 1990 an). Akibat lainnya adalah permukaan tanah terus mengalami penurunan sehingga banyak kasus di mana rumah-rumah yang tadinya lebih tinggi dari jalan dan sungai sekarang menjadi lebih rendah dari sungai dan jalan; banyak pula terjadi turunnya lantai rumah. Selain itu, juga seringkali dilakukan perbaikan jalan, tetapi dengan cara menambah ketebalannya sehingga jalanan menjadi lebih tinggi dari lantai rumah atau wilayah pemukiman. Akibatnya, genangan air (banjir) akhirnya juga terjadi pada daerah yang permukaannya lebih rendah akibat penurunan permukaan tanah (perubahan derajat kemiringan), yang “mampu” menjadi penampung lubernya air. Oleh karena itu, daerah-daerah yang kontur tanahnya berubah menjadi lebih rendah - membentuk cekungan - genangan air akan menjadi relatif lama bertahan. Semua ini pada akhirnya menambah potensi ruang bagi genangan air. Akibat dari kondisi ini, tak hanya terjadi banjir/genangan air di daerah sekitar sungai, tetapi juga terjadi di sekitar selokan/drainage (pemukiman dan fasilitas jalan serta ruang-ruang kegiatan ekonomi). Oleh karena itu pula, belakangan ini sering terjadi “banjir lokal” di daerah pemukiman atau sarana publik seperti jalan raya meskipun pada kenyataannya sungai masih mampu menampung volume air (curah hujan) yang datang. Berdasarkan kenyataan di atas, ternyata banjir bukanlah fenomena alam. Dalam konteks banjir Jakarta, justru lebih tepat jika banjir adalah


Komponen Kultural

fenomena sosial. Banjir lebih banyak sebagai akibat dari aktivitas atau ulah manusia. Selain itu, dalam kehidupan manusia, genangan air (banjir) tidak selalu mengganggu aktivitas atau kehidupan manusia, bahkan dalam kenyataan yang lain lubernya air justru diharapkan seperti gambar di bawah ini (kasus menampung air hujan untuk kebutuhan mandi, masak, cuci, transportasi dan lain-lain).

Artinya, turunnya hujan pada waktu atau konteks-konteks tertentu dan di daerah-daerah/area-area tertentu sangat diharapkan; sementara di waktu/konteks dan daerah/area lainnya sangat tidak diharapkan. Berdasarkan hal ini maka banjir yang dimaksud perlu diluruskan sebab meskipun manusia membutuhkan air tetapi manusia tetap tidak mengharapkan genangan air di tempat-tempat dan waktu/ konteks tertentu. Artinya, di satu sisi, air tetap dibutuhkan tetapi banjir harus ditanggulangi atau disingkirkan. Dengan demkian, dalam konteks banjir kota Jakarta adalah masalah bagaimana mengatasi atau menanggulangi banjir/genangangenangan air di daerah-daerah/area-area yang tidak diharapkan seperti genangan air di area rumah tinggal, di jalan-jalan transportasi atau di area-area aktivitas manusia lainnya (ruang-ruang kegiatan ekonomi). Hujan menjadi “bencana” bagi manusia karena menyebabkan genangan air di tempat-tempat yang tidak diharapkan - mengganggu kehidupan/aktivitas manusia. Oleh sebab itu pula, banjir dalam konteks “bencana banjir Jakarta” merupakan

“masalah sosial” sehingga “banjir” lebih tepat jika disimpulkan sebagai “bencana sosial” (bukan bencana alam). Artinya, bencana banjir yang selama ini menimpa kota Jakarta adalah “bencana sosial” (bukan bencana alam). Banjir yang harus diatasi oleh masyarakat Jakarta adalah “banjir yang merupakan masalah sosial”, yaitu genangan air yang mengganggu aktivitas/kehidupan masyarakat kota Jakarta (yang secara rutin menimpa kota Jakarta), yang disebabkan juga oleh ulah/ aktivitas manusia. Akhir kata, air tetap merupakan “tanda kehidupan” sehingga keberadaannya tetap dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Dengan demikian, air harus dikelola demi kelangsungan hidup manusia. Di satu sisi. banjir di tempat dan konteks kehidupan tertentu yang tidak diharapkan harus ditanggulangi; dan di sisi lain, hujan diperlukan untuk kebutuhan bahan baku air bersih bagi manusia (minum, masak, mandi dan cuci) dan ternak, irigasi, untuk mengatasi kebakaran (pemadam kebakaran) serta untuk kepentingan kehidupan lainnya.

KELANGKAAN RUANG DAN TRADISI BANJIR JAKARTA Jakarta, sejak dulu memang dikenal daerah yang subur karena daerah ini adalah daerah resapan air. Pada jaman kerajaan Taruma Negara, Jakarta dimanfaatkan sebagai daerah persawahan/pertanian karena merupakan daerah yang subur (karena kandungan airnya). Selain itu, Jakarta juga mempunyai pantai yang ideal sebagai pelabuhan karena terdapatnya kepulauan seribu yang mampu menahan ombak dari laut. Oleh karena itu, sejak jaman kerajaan Taruma Negara, Jakarta merupakan daerah yang banyak mengundang aktivitas manusia. Manusia berbondong-bondong menuju Jakarta untuk mengadu nasib atau mencari rejeki (sumber kehidupan) hingga hari ini. Populasi

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

151


Komponen Kultural

penduduk Jakarta terus meningkat, tak hanya karena kelahiran, tetapi juga akibat derasnya migrasi (bahkan pertumbuhannya lebih besar dari pertambahan penduduk akibat kelahiran) – apalagi setelah menjadi Ibukota Negara. Konsekuensinya, kebutuhan akan ruang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah populasi. Akibatnya, “kelangkaan ruang” bagi aktivitas manusia semakin hari semakin terasa. Tak hanya masalah kelangkaan ruang, tetapi juga terus meningkatnya beban limbah/ sampah dari aktivitas manusia. Kelangkaan ruang dan beban limbah dari aktivitas manusia di Jakarta ini, pada akhirnya menyebabkan: • Terus berkurangnya (penyusutan) luas area terbuka yang berfungsi sebagai resapan air dan wadah-wadah (penampung hujan) lainnya untuk kepentingan hunian, kegiatan ekonomi dan infrastruktur (dikorbankan atau alih fungsi). • Terabaikannya pengetahuan tentang pengelolaan air yang selama ini dimiliki generasi-generasi sebelumnya akibat “industrialisasi”, yang menyebabkan terjadinya masalah kelangkaan ruang (dilema antara kepentingan untuk ruang aktivitas manusia dengan

152

Badan Informasi Geospasial

kepentingan untuk pengelolaan air). • Meningkatnya limbah dari aktivitas manusia (populasi terus bertambah pesat), yang akhirnya juga menyebabkan kesulitan ruang untuk menampung limbah/sampah dari aktivitas manusia, termasuk kesulitan ruang untuk pembuatan drainage. • Penyempitan dan pendangkalan sungai dan drainage dan “wadah-wadah penampung air” lainnya. • Sulit mengatur derajat kemiringan setiap saluran pembuangan air limbah (selokan – artifisial) dan memelihara/menjaganya agar tetap mengalir, serta tetap mengalir menuju sungai. Dalam perjalanan waktu, Jakarta sebagai Ibukota Negara juga mendorong daerah sekitarnya sebagai penyangga atas serbuan manusia (migrasi) karena semakin langkanya ruang di kota Jakarta. Tumbuhlah kota-kota penyangga seperti Bekasi, Depok, Tangerang dan Bogor. Dengan demikian, Jakarta semakin hari semakin menurun “ambang batas” (daya tampung) terhadap curah hujan sebagai akibat dari kebutuhan ruang bagi aktivitas manusia, baik akibat dari aktivitas manusia di kota Jakarta mau pun sekitar kota Jakarta (kota penyangga). Kota-kota penyangga mengalami peruba-


Komponen Kultural

han serupa dengan kota Jakarta. Oleh karena itu pula, jika kita perhatikan “bencana” banjir ini seolah-olah rutin sehingga berkembang istilah “banjir lima tahunan”, “banjir tahunan” dan “banjir kiriman” (dari kota penyangga yang juga mengalami menurunnya daya tampung atas curah hujan seperti Jakarta); dan sekarang lahir kategori banjir yang baru, yaitu “banjir lokal”. Dengan terus semakin menurunnya daya tampung volume air (ambang batas) kota Jakarta untuk menerima curah hujan dan banjir kiriman maka rentang waktu “bencana banjir” ini terasa semakin pendek dan semakin besar volume banjir yang dialaminya. Bencana banjir yang terjadi secara berkala ini (banjir lima tahunan, satu tahunan) mendorong lahirnya “pengetahuan” untuk mengatasinya (respons adaptasi). Oleh karena banjir ini secara rutin/ berkala dan sudah berlangsung terus menerus dalam rentang waktu yang panjang (berlangsung terlalu lama dan terus-menerus) maka tanpa disadari penduduk yang mengalami bencana banjir secara rutin ini akhirnya lebih fokus pada pemecahan masalah (budaya bencana banjir): • Penyelamatan diri atau penyelamatan korban banjir • Penyelamatan harta benda mereka ketimbang mengatasi “banjirnya” itu sendiri, dalam arti sebuah upaya agar tidak terjadi banjir pada tempat-tempat yang tidak diharapkan. Hal ini mungkin disebabkan bahwa selama ini tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengatasinya atau mencegahnya (terjadi secara rutin), apalagi banjir kiriman juga secara rutin terjadi dan semakin langkanya ruang. Kondisi ini akhirnya juga mempengaruhi kerangka pikir pihak pemerintah atau organisasi-organisasi sosial/kemasyarakatan (lembaga swadaya masyarakat) dalam merespons bencana banjir, yang juga lebih fokus pada “pertolongan kepada korban banjir” (bukan mengatasi banjir yang tidak diharapkan atau mengelola banjir/air untuk kehidupan manusia). Solusi lain yang terpikirkan adalah “pemindahan” (relokasi) kepada mereka yang tinggal di daerah-daerah “langanan” banjir. Solusi yang

ditawarkan inipun sebenarnya tidak banyak menolong sebab “banjir” tersebut tetap hadir di Jakarta meskipun mereka direlokasi (secara tidak langsung, asumsi dasar dari kebijakan relokasi ini tujuannya adalah agar tidak “menelan korban” atau untuk mengurangi “korban banjir” serta mengurangi “kerugian” akibat banjir). Apalagi masyarakat daerah banjir sadar akan kelangkaan ruang kota Jakarta sehingga mereka “takut” kehilangan ruang yang sudah dimilikinya. Pada akhirnya, kelangkaan ruang ini memperkuat mereka (masyarakat dan pemerintah) tidak terfokus pada inti permasalahan, yaitu mengatasi bencana banjir sebab upaya pengelolaan air tidak pernah dilakukan secara holistik (terintegrasi satu sama lain). Bencana banjir itu sendiri tanpa disadari dianggap seolah-olah memang sudah demikian adanya – sebagai “bencana alam” layaknya gunung meletus. Manusia hanya mampu menghindar karena tidak mungkin mencegah terjadinya bencana alam.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan kenyataan yang ada, di satu sisi, daya tampung (ambang batas) kota Jakarta untuk menerima curah hujan dan banjir kiriman terus semakin menurun sehingga rentang waktu “bencana banjir” ini terasa semakin pendek dan semakin besar volume banjir yang dialaminya, padahal debit curah hujan dari tahun ke tahun tidak ada perubahan volume yang signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa bencana banjir adalah merupakan akibat dari aktivitas atau ulah manusia (banjir adalah fenomena sosial atau masalah sosial). Sementara itu, di sisi lain, kodrat geografis kota Jakarta sebagai daerah resapan air. Meskipun demikian, bukan berarti kita hanya bisa pasrah menerima bencana banjir (banjir sebagai bencana alam). Pemerintah dan masyarakat Jakarta harus mampu mengatasi atau menanggulangi bencana banjir lima tahunan, banjir tahunan, banjir kiriman dan banjir lokal (banjir sebagai bencana sosial) tetapi tetap tidak kekurangan air. Artinya, kita harus mampu mengelola air demi kehidupan manusia yang hidup dan tinggal di Jakarta. Dengan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

153


Komponen Kultural

demikian, altenatif solusi pengelolaan air yang harus dilakukan a.l.: 1. Merubah paradigma dalam memahami dan mengatasi bencana banjir. Banjir bukanlah “bencana alam” layaknya bencana gunung meletus sehingga manusia hanya sanggup menghindar tanpa bisa diatasi. Bencana banjir adalah “bencana sosial” yang merupakan akibat dari ulah manusia, yang menyebabkan terjadinya “genangan air” di tempat-tempat yang tidak diharapkan (mengganggu aktivitas/kehidupan manusia). Dengan paradigma “banjir sebagai bencana sosial” diharapkan dalam upaya untuk mengatasinya lebih memfokuskan diri pada solusi atas masalah-masalah sosial (respons dari kondisi kelangkaan ruang seperti kebiasaan/aktivitas yang “negatif” - membuang sampah di saluran air (selokan) atau sungai dll - yang menyebabkan menurunnya kemampuan/daya tampung sungai dan drainage kota Jakarta; menghilangkan drainage atau menimbun sungai untuk kebutuhan ruang bagi aktivitas manusia dan pemukiman dll. 2. Inventarisasi jaringan saluran pembuangan air (drainage), pembuatan peta sungai dan drainage seperti selokan, gorong-gorong, sungai-sungai buatan lainnya, serta hubungan satu saluran dengan saluran pembuangan lainnya dan hubungan drainage dengan sungai, sehingga bisa diidentifikasi: a. A liran air itu dari saluran yang satu menuju ke saluran lainnya sehingga relatif lebih mudah memantau/mengkontrol (mitigasi) saluran yang tidak mengalir dan bisa segera diatasi jika terjadi masalah. b. Selain memudahkan identifikasi “terhambatnya aliran”, juga bermanfaat untuk pemeliharaan agar jika ada kerusakan/gangguan (pendangkalan, keretakan dinding, bocor dll) bisa segera diperbaiki. Beberapa kasus seperti jebolnya situgintung, dinding sungai di Jl Latuharhary). c. Pemeliharaan secara berkala pada sungai dan drainage. Beberapa kali memang sudah dilakukan normalisasi sungai (pengerukan dan penguatan dinding sungai), tetapi normalisasi drainagesepertinya terabaikan atau belum pernah menjadi program dari pemerintah. Dalam kasus pengerukan sungai, se-

154

Badan Informasi Geospasial

lain hal ini tidak dilakukan secara rutin atau berkala, tanah dari pengerukan biasanya juga diletakkan di pinggir sungai sehingga jika hujan turun maka tanah tersebut akan kembali masuk ke sungai. 3. Derajat kemiringan masing-masing saluran. Saluran-saluran pembuangan air tersebut harus diupayakan tetap mengalir (derajat kemiringan sangat penting sebab sering terjadi banjir akibat kembalinya aliran sungai ke selokan-selokan pemukiman dan fasum/jalan umum; banjir lokal akibat saluran air di pemukiman dan fasum tidak mengalir karena masalah derajat kemiringan), bahkan ada yang mampet (sama sekali tidak mengalir – ada kasus anak sungai yang sekarang telah menjadi empang, kasus pembangunan saluran air dengan tutup mati (beton) sehingga sulit untuk membersihkan sampah yang masuk, akibatnya selokan tersebut justru menyebabkan banjir lokal). 4. Pemerintah harus memfasilitasi atau membantu mengatasi masalah kelangkaan ruang seperti menyediakan layanan atau fasilitas tempat pembuangan serta pengakutan sampah (seperti kasus pemukiman padat sekitar bantaran sungai di mana mereka membuang sampah ke sungai karena kesulitan/tidak ada ruang untuk tempat penampungan sampah, apalagi petugas pengangkut sampah jarang menjalankan tugasnya). 5. Mempertahankan atau memelihara “luas area resapan” yang “tersisa” (tidak menutup semua area untuk fasilitas/prasarana/jalan-jalan di pemukiman dengan aspal atau semen di kemudian hari, misalnya bisa dilakukan dengan konblok atau teknologi lain sehingga prasarana/fasum – jalan-jalan di wilayah pemikiman - bisa bersih (tidak becek) tetapi tetap mampu berfungsi sebagai area resapan (biofori); bahkan bila memungkinkan adalah menambah luas area resapan (mengganti teknologi penutup jalan yang bisa berfungsi sebagai resapan, atau pengembalian alih fungsi lahan bagi pemanfaat ruang yang sudah tidak sesuai lagi dengan lingkungan sekitarnya – seperti pom bensin di tengah jalan protokol menjadi taman kota dll). Bagaimanapun juga air adalah kebutuhan dasar bagi kehidupan sehingga tidak


Komponen Kultural

benar jika air hujan hanya numpang lewat, langsung dibuang ke laut hanya untuk menghindari bencana banjir. 6. Berkaitan dengan poin 5, kearifan lokal/cultural knowledge masih dipandang sebelah mata - “teknologi” dan “konservasi” – yang bermanfaat untuk mengatasi banjir dan masalah persediaan air tanah (pengetahuan pengelolaan air). Di daerah agraris, membuat rumah umumnya: a. mendekati daerah resapan air (yang ditandai dengan adanya bambu) misalnya seperti yang diceritakan oleh Mang Idin) dan jika tidak, maka akan dibuat saluran irigasi. b. membuat halaman rumah seperti yang telah diadopsi oleh Belanda untuk membangun pemukiman di daerah menteng, Jakarta di mana rumah harus mempunyai halaman (resapan) dan drainage yang baik. c. pentingnya saluran air/drainage atau parit pada tepi kanan-kiri fasilitas jalan yang dibuat. Sebagai contoh dari kearifan lokal yang sudah dilakukan pengkajian dan diterapkan untuk kepentingan saat ini, seperti Rumah Panggung sebagai respons adaptif terhadap wilayah nusantara yang merupakan daerah gempa, resapan air, dan binatang liar/buas (diversitas flora dan fauna yang tinggi) Saat ini diterapkan dalam pembangunan gedung-gedung bertingkat anti gempa oleh negara-negara industri. Selain itu, juga cultural knowledge mengenai pengobatan herbal dan tanaman obat dalam dunia kedokteran dan farmasi oleh negara-negara industri. Namun, sayangnya justru selama ini tidak/belum ada ilmuwan kita (Indonesia) yang mengkaji “cultural knowledge” ini untuk kepentingan saat ini dan masa yang akan datang (tidak hanya cultural knowledge yang berhubungan dengan masalah pengelolaan air).

erti larangan membuang sampah di saluran air (selokan) atau sungai; setiap rumah harus mempunyai saluran air yang mengalir, juga berlaku bagi pengembang perumahan. 8. Penegakkan hukum. Jika pihak pemerintah sudah membantu atau memfasilitasi kendala-kendala yang dihadapi masyarakat, maka sudah saatnya dilakukan proses penegakan hukum untuk mendidik masyarakat agar memiliki tindakan-perilaku-sikap positif terhadap upaya peningkatan ambang batas/ daya tampung kota Jakarta (sungai, selokan, gorong-gorong atau sungai-sungai buatan lainnya) terhadap curah hujan. Dalam konteks ini, juga diperlukan system Kontrol-MonitoringKoordinasi (KMK) yang memadai, jika tidak maka bisa terjadi seperti pada kasus petugas sampah di atas . 9. Tak hanya Jakarta, saat ini juga memerlukan pengaturan ruang dan aktivitas manusia di kota-kota penyangga Jakarta dan sudah saatnya pula melakukan pengaturan bersama (Jakarta dan kota-kota penyangganya) – kontrol-monitoring-koordinasi bersama dengan kota-kota penyangga agar bisa meningkatkan kembali ambang batas (daya tampung) terhadap curah hujan. Dengan demikian, seluruh komponen masyarakat Jakarta dan kota-kota penyangga Jakarta bisa memelihara dan bila perlu meningkatkan daya tampung (kemampuan menampung) terhadap debit air yang datang, baik yang berasal dari curah hujan maupun dari limbah/sampah aktivitas manusia, serta mampu mengantisipasi air kiriman dari luar Jakarta (kota-kota penyangga) serta banjir lokal sehingga kota Jakarta bisa bebas banjir yang mengganggu aktivitas kehidupan (bencana sosial), tetapi tidak kekurangan bahan baku air (cadangan air dalam tanah dan di sungai) untuk kehidupan.

7. Jakarta memerlukan pengaturan – UU/Perda sebagai payung hukum - atas pengelolaan ruang untuk aktivitas manusia (pemanfaatan ruang); dan aktivitas manusia sebagai respons untuk mengatasi “tradisi banjir” (banjir berkala) – termasuk aktivitas yang “negatif” sep-

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

155


Komponen KulturalKultural Komponen

KUNCI PENGELOLAAN BANJIR DAN PERSEDIAAN AIR BAKU Boy S Hakim, M.Si. dan M Yulianto Tim EGI-2013

B

erbagai produk hukum di Negara Republik Indonesia terkait pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam dirasakan sudah mencukupi, sehingga semestinya peluang untuk terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan dan ketersediaan sumberdaya alam tidak boleh berakibat fatal. Dimulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Peratur­an Menteri, hingga Peraturan Daerah, telah mengatur bagai­mana mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup agar dapat tetap terjaga kelestariannya. Sebut saja: • Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, tentang Sumberdaya Air. • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Tata Ruang. • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. • Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2011, tentang sungai. Berbicara tentang banjir yang tak kunjung berkurang, jika kita perhatikan sejak 15 tahun terakhir (1996) memperlihatkan trend yang semakin meningkat baik dari sisi intensitas maupun cakupannya. Apa sebenarnya yang telah terjadi ? Memang, para ahli sepakat bahwa banjir merupakan fenomena alam yang terjadi sebagai akibat beberapa faktor, yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagi-

156

Badan Informasi Geospasial

an yakni alami maupun manusia. Faktor alami seperti curah hujan, kemiringan lereng, tanah dan batuan, merupakan variabel yang stabil atau perubahannya memerlukan waktu yang sangat lama. Sedangkan manusia tidak dapat dipungkiri sesuai dengan kodratnya selalu dinamis seiring sejalan dengan kebutuhan dan aktivitasnya. Pada zaman pra sejarah, dimana pemenuhan kebutuhan hidup manusia masih sebatas mengambil langsung dari alam yang ada, seperti berburu dan memancing ikan, sehingga keutuhan alam dan lingkungannya masih sangat terjaga dengan baik. Demikian pula ketika manusia sudah mulai mengenal pertanian tradisional, belum banyak terjadi kerusakan alam, karena mereka sesungguhnya telah menerapkan konsep kearifan lokal, seperti membuat terasering untuk pertanian didaerah pegunungan, guludan dsb, yang secara tidak langsung merupakan usaha konservasi. Namun apa yang terjadi ketika jumlah manusia sudah semakin bertambah besar, sementara lahan yang ada tidak bertambah. Kebutuhan tidak lagi hanya sebatas terhadap pemenuhan perut dan tempat tinggal seadanya. Pemba­ ngunan perumahan mewah, real estate hingga perumahan sederhana, villa, bungalow, hotel, tidak lagi memperhatikan ketentuan yang ada. Daerah yang semestinya dicadangkan sebagai areal resapan, sempadan sungai, tidak lagi dipedulikan. Bahkan di beberapa lokasi dijumpai bangunan permanen berdiri diatas badan sungai, diantaranya dengan melakukan penimbunan terlebih dahulu. Belum lagi apabila dalam pembangunannya tidak mempersiapkan sarana dan prasarana pendukungnya


Komponen Kultural

seperti tempat sampah, dan kemana pembuangan terakhirnya. Jika tidak diperhitungkan, dampak yang timbul pasti sungai menjadi sasaran tempat pembuangan sampah dan limbah rumah tangga lainnya. Jadi apa yang salah dalam hal ini, benarkah peraturan terkait dengan hal ini telah ada ? Atau jika telah ada, kenapa masih saja terjadi pelanggaran ? Atau mungkin tidak sadar bahwa apa yang dilakukan telah melanggar aturan ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya perlu dikaji beberapa peraturan terkait dengan banjir dan masalah pengelolaan sumberdaya air, antara lain :

UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. Undang-undang ini merupakan landasan berbagai ketentuan dan peraturan mengenai masalah pengelolaan lingkungan hidup, seperti perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, analisa mengenai dampak lingkungan (amdal), baku mutu lingkungan dan lain-lain. Secara tegas telah diatur ancamannya jika terjadi pelanggaran terhadap undang-undang diantaranya;

tinggal hanya biota yang tahan terhadap sungai yang sudah tercemar (ikan sapu-sapu, yang mungkin tidak ada konsumennya). Buah Duku di daerah Condet yang lebih enak dibandingkan duku dari Palembang, sudah mulai susah ditemui, demikian pula salak Condet. Bahkan dalam UU Nomor 18/Tahun 2004, tentang Perkebunan, khususnya pada bagian ke-enam telah diatur Perlindungan Geografis Wilayah Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi. Pasal 24, ayat (1) Undang-Undang ini menyebutkan Wilayah geografis yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis. Selanjutnya ayat (2) Wilayah geografis yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang dialih fungsikan. (3) Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi berupa wajib membatal-alihkan fungsi yang bersangkutan dan wajib mengembalikan wilayah geografis kepada fungsi semula. Memang untuk kasus salak dan duku Condet, nampaknya belum dapat langsung menjerat dengan Undang-Undang tersebut, oleh karena belum ada penetapan lebih lanjut sebagai produk perkebunan yang bersifat spesifik lokasi.

Pada Ketentuan Pidana pasal 22 telah diatur : Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara selama lamanya 10 (sepuluh) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,-(seratus juta rupiah). Nah, apakah pada kasus diatas tidak cukup jelas bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap keberadaan Undang-Undang No. 4 tahun 1982. Lingkungan sungai telah mengalami perubahan, kodrat alami sungai telah diubah, pencemaran air sungai pun sudah tidak dapat dihindari, sehingga flora dan fauna (biota) aslinya sudah dapat dikatakan punah, yang

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

157


Komponen Kultural

UNDANG-UNDANG NO.7/TAHUN 2004, TENTANG SUMBERDAYA AIR Bagaimana Undang-Undang Sumberdaya Air memandang kesalahan manusia atau oknum yang telah mengakibatkan terjadinya daya rusak air dan pengelolaan sumberdaya air. Daya rusak air diantaranya terjadi sebagai akibat upaya pelurusan aliran sungai didaerah meandering, seperti kita jumpai di Kali Pesanggrahan (blok Agung Sedayu) atau Ciliwung (Kampung Pulo, pada saat pembangunan jalan Bypass MT Haryono). Pelurusan sungai dipastikan mengakibatkan bertambahnya kecepatan aliran sungai. Pada pasal 52, telah diatur bahwa; Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air. Apabila terdapat indikasi terjadinya kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya air, masyarakat atau pemerintah dapat mengajukan gugatan, sebagaimana telah termasuk dalam pasal 90 dan 91. Ancaman pidananya sebenarnya cukup dapat membuat bulu roma berdiri, yakni pidana paling lama 9 tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta), bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No. 7/Tahun 2004, mengingat pentingnya masalah konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai, maka telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai. Dalam peraturan ini diatur mengenai ruang sungai, pengelolaan sungai, perizinan, sistem informasi, dan pemberdayaan masyarakat. Dimulai dari pengertian sungai, siapa pemilik, siapa yang harus mengelola, bagaimana mengelola. Dalam PP No.38/2011, yang dimaksud dengan sungai adalah alur atau wadah air alami dan/ atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air didalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Tentang pengertian sempadan bagaimana mengukurnya, terdapat pada pasal-pasal berikutnya.

158

Badan Informasi Geospasial

Pasal 3 (1). Menyebutkan bahwa sungai dikuasai oleh negara dan merupakan kekayaan negara. Pasal 4. Pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Kegiatan pengelolaan sungai termasuk di dalamnya kegiatan konservasi baik terhadap pencegahan pencemaran sungai maupun perlindungan aliran sungainya. Dalam hal ini perlindungan sungai dilakukan terhadap ruang: a. palung sungai; b. sempadan sungai; c. danau paparan banjir; dan d. dataran banjir. Pendek kata Peraturan Pemerintah ini telah cukup banyak mengakomodasi aturan main tentang sungai, dari kewenangan dalam pengelolaan, pemanfaatannya hingga pengendalian daya rusak sungai, dimana apabila diterapkan secara maksimal sudah barang tentu dapat mengurangi permasalahan dan bahkan memberi manfaat bagi masyarakat disekitarnya. Namun demikian khusus untuk sungai-sungai yang melewati kota-kota besar nampaknya diperlukan suatu driving force, mengingat kehadirannya agak sedikit terlambat. Apalagi jika peraturan pelaksanaan yang bersifat lebih opersional belum ada yang mendukung, maka permasalahan sungai masih akan terus menjadi sumber pemberitaan media yang empuk. Secara keseluruhan dapat dikatakan semua aturan diatas bermuara kepada menjaga kelestarian dan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang kita miliki. Namun apa yang terjadi, eksploitasi dan pelanggaran-pelanggaran terus berlangsung, seolah tidak pernah ada produk hukum yang pembuatannya telah melalui proses panjang dan berdarah darah.

P


Pengurukan sempadan awal 2011 Komponen Kultural

TAPI, PEMBANGUNAN JALAN TERUS!

Tapi, Pembangunan Jalan Terus ! Sempadan Ciliwung Diuruk. Awal 2011

gurukan sempadan , awal 2011 Pengurukan sempadan Ciliwung,

Mei 201

Pengerukan sempadan Ciliwung, awal 2011

PS Warga Longsor, 20 Mei 2011

TPS Warga Longsor, 20 Mei 2011 Pengurukan sempadan Ciliwung, Mei 2011

Pengurukan lanjutan pasca longso TPS warga longsor, 20 Mei 2011

Pengurukan lanjutan pasca longsor

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

159


Komponen KulturalKultural Komponen

GENANGAN BANJIR Boy S Hakim, M.Si

Berdasarkan catatan sejarah, masa pemerintahan Belanda pada dahulu kala telah beberapa kali terjadi banjir yang menyebabkan tergenangnya Batavia, yaitu pada tahun 1621, 1654 dan beberapa tahun kemudian terjadi genangan akibat banjir bandang, pada masa sebelumnya yaitu pada zaman sunda kelapa dan Jayakarta dataran pantai Jakarta ini telah pula menjadi langganan banjir dan terjadi genangan.

T

erjangan banjir dari beberapa kali atau sungai awal tahun 2013 di Jakarta pada waktu yang lalu adalah genangan air yang mendatangkan becana terhadap kehidupan yang telah merendam lebih kurang 90 kelurahan diseputar kota Jakarta. Banjir atau genangan banjir akan melanda apapun dan siapapun dengan tidak memandang atau membedakan pangkat, kedudukkan dan status sosial seseorang. Banjir yang telah merupakan genangan air tersebut. menerjang Istana Presiden, lingkungan hunian disekitar Pluit, Muara Karang, Kelapa Gading, Kampung Melayu, Kebun Jeruk, Bintaro dan diseputar Kramat Pela serta dibanyak tempat lainnya di Jakarta. Banjir atau genangan banjir ini bukanlah sesuatu yang baru di Jakarta, kejadian kejadian banjir yang serupa yang cukup besar terjadi pada waktu yang lalu tercatat pada Tahun 16211

160

Badan Informasi Geospasial

1654. 19791 19961 19991 20021 20071 dan yang terakhir awal tahun 2013; kalau dilihat dari catatan sejarah masa lalu tentang terjadinya banjir, jelaslah Kota Jakarta sangat akrab dengan Banjir dan genangan banjir. Kanal kanal yang ada dibelakang istana Presiden, dan kanal yang ada diseputar Taman Fatahilah serta seputar kota Batavia lainnya merupakan peninggalan sejarah banjir zaman dahulu. Dari zaman kemerdekaan dulu sampai sekarangpun penanggulangan banjir dan genangan air tetap masih dilakukan, penanggulangan banjir yang terakhir yang telah dilakukan adalah terbangunnya BANJIR KANAL TIMUR dan sistim lainnya, namun demikian banjir dan genangnnya masih tetap saja terjadi. Oleh karenanya penyelesaian banjir ini masih tetap dilakukan dengan Berbagai cara dan pendekatan, baik oleh Pemerintah maupun oleh pihak pihak lain bukan pemerintah.


Komponen Kultural

Penyusuran Sungai Pesanggrahan oleh Tim EGI pada 7 April 2013

Menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Bahasa Indonesia; BANJIR adalah BERAIR BANYAK DAN DERAS KADANG KADANG MELUAP DAN KEBANJIRAN, TERENDAM AIR KARENA BANJIR. Meluapnya air menjadikan kebanjiran dan terendam air, sebagaimana disampaikan oleh Wjs Poerwadarminta yang perlu diketahui adalah apa penyebabnya. Susur sungai dalam rangka pengamatan terjadinya genangan banjir yang dilakukan oleh team EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2013 terhadap Kali Pesanggrahan, Ciliwung, dan Bekasi yang mewakili 13 (tiga belas) Kali/ Sungai yang mengalir meliwati Kota Jakarta ini dimulai dengan mengamati badan kali/ sungai untuk mengetahui, apakah telah terjadi gangguan arus pada penggalan-penggalan sungai/kali yang mengalir tersebut, dan secara garis besar dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) sketsa profil melintang dari badan kali/sungai Pesanggrahan, Ciliwung dan Bekasi. Kondisi yang ada ini sering menyebabkan terganggunya aliran air banjir yang tumpah menjadi genangan air. Badan kali yang menjadi tempat pembuangan sampah, memperkecil atau menimbun sebagian aliran banjir atau air dan Membangun rumah atau lainnya pada badan kali/sungai atau prilaku lain yang mempengaruhi aliran air pada kali/sungai adalah

salah satu faktor yang dominan di Jakarta penyebab tumpah dan terjadinya genangan, disamping faktor lain seperti curah hujan. Ketiga sketsa profil melintang badan kali/sungai yang disebutkan diatas tadi adalah sebagai mana gambar berikut. Bahwa penyebab banjir atau genangan air sering pula dikaitkan dengan curah hujan; Kenyataannya tidak selalu demikian. Sebagai contoh pada tanggal 6 dan 7 April 2013 telah terjadi genangan banjir di wilayah Kedoya selatan, dibarat kota Jakarta, dan pada sa’at yang bersamaan dihulu Kali Pesanggrahan Ekspedisi Geografi Indonesia 2013 sedang melakukan susur Kali; ketinggian air Kali/sungai terlihat rata rata normal dan tidak ada hujan, tapi di Kedoya Selatan yang merupakan bagian hilir Kali Pesanggrahan ternyata terjadi genangan air 0,5 sampai dengan 1 meter akibat dari terjangan banjir Kali Pesanggrahan; Dan Media meneriakkan pada Minggu pagi 7 April 2013 telah terjadi banjir di Kedoya selatan (Koran KOMPAS terbitan 8 April 2013) Dengan mengacu batasan pengertian Banjir dari WJS Poerwadarminta tentang Banjir, maka banjir di Kedoya Selatan, adalah hal biasa karena aliran banjir tersebut adalah sebuah fenomena alam yang biasa. Benarkah kejadian banjir atau genangan air di Jakarta seperti ini bisa dikatagorikan semata mata sebagai bencana alam?.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

161


Komponen Kultural

Fenomena-fenomena alam, seperti tingginya curah hujan adalah faktor penting lainnya untuk jadi perhatian penyebab genangan dan banjir, disamping prilaku manusia seperti yang telah dijelaskan diatas. Jebolnya tanggul kali/sungai di satu sisi dan tumpahnya air dari badan kali/sungai karena volume yang melebihi maksimum pada sisi lain adalah dua hal yang berbeda walaupun ada kesamaan tentang terjadinya genangan. Dari fakta kejadian banjir dan genangan, maka secara umum dapat diketahui ada 3 (tiga) penyebab, dan ketiga penyebab tersebut adalah; 1. Genangan air akibat meluapnya air dari badan kali/sungai karena volume air yang dialirkan sudah meliwati batas maksimum dan atau alira banjirnya terganggu oleh sesuatu. 2. Genangan air akibat jebolnya dinding kali atau sungai. 3. Genangan air akibat meluapnya kali atau sungai yang bersamaan dengan terjadinya ROB. Genangan air akibat meluapnya air dari badan kali atau sungai pada awal Januari 2013 yang lalu terjadi di wilayah-wilayah; Cileduk PKPN, Kampung Melayu, Cipinang, Kelapa Gading. Sedangkan genangan yang terjadi di Kapuk Muara, Pantai Indah Kapuk, Pademangan dan Sebagian Cengkareng di perparah bersamaan dengan terjadinya ROB. Genangan air diseputar JI Blora, JI Thamrin hingga Istana Presiden dan sekitarnya terjadi akibat jebolnya tanggul Kali Malang di sekitar .II Latuharhari. Beberapa contoh diatas menggambarkan bahwa terjadinya genangan air tersebut dapat bermacam macam. Perlu pula diketahui bahwa dari ke 3 (tiga) Kali yang di Susur oleh Team EGI 2013, ternyata Kali Pesanggrahan mempunyai karakteristik a/iran yang berbeda dibanding Kali Ciliwung dan Bekasi. Hal ini dapat diketahui bahwa aliran Kali Pesanggrahan alirannya belum

162

Badan Informasi Geospasial

diatur dengan pintu pintu air yang mengatur karakteristik alirannya, sebagai mana Kali Ciliwung dan Kali Bekasi, dengan demikian prilaku alirannya sulit untuk diprediksi. Kemungkinan terjadinya genangan banjir di Kedoya Selatan sebagai mana telah dije/askan pada bagian terdahulu, tidak ditutup kemungkinan, akibat tidak dapat dikontrolnya aliran banjir yang mengalir pada Kali Pesanggrahan. Pertanyaan selanjutnya adalah; Apakah aliran banjir dapat dikendalikan baik arus maupun volumenya, hingga tidak menyebabkan terjadinya genangan air yang mematikan?, Dan sampai pada batasan tertentu Negeri Belanda telah membuktikannya dengan proyek DELTA WORKS dan kota Jakarta dalam masalah kejadiaan banjir yang berbeda telah mencoba menyelesaikannya dengan pembangunan kanal-kanal dan sistem polder. Apakah usaha di Jakarta ini dapat menyelesaikan genangan banjir tetap merupakan pertanyaan. Untuk wilayah daratan arus banjir pada badan kali/ sungai adalah suatu fenomena alam aliran air permukaan dari hulu ke hilir yang tidak bisa dicegah dan tidak boleh dicegah. Terlampir sketsa tipologi badan kali/sungai di Jakarta yang diperoleh dari penelusuran Ekspedisi Geografi pada waktu yang lalu terlihat prilaku merusak badan kali/sungai oleh masyarakat penduduk dengan membangun dan atau merusak badan kali yang merupakan jalan air adalah salah satu faktor penyumbang terkuat terjadinya tumpahan banjir menjadi genangan air yang mengganggu.


Komponen Kultural

Meluapnya air menjadi banjir

Permukaan air banjir

Permukaan normal air kali/sungai

Meluapnya air menjadi banjir

Permukaan air banjir

Permukaan normal air kali/sungai

Meluapnya air menjadi banjir

Permukaan air banjir Permukaan normal air kali/sungai

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

163


Artikel Ilmiah

164

Badan Informasi Geospasial


Artikel Ilmiah

ARTIKEL ILMIAH Pendekatan Penanggulangan Bencana Banjir Rob Pesisir Jakarta Amblesan Mengancam Jakarta Alih Fungsi Lahan Semakin Tidak Terkendali

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

165


Artikel Ilmiah Artikel Ilmiah

PENDEKATAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR ROB PESISIR JAKARTA ANALISIS MORFOMETRI DAS UNTUK DETEKSI POTENSI BANJIR DI DAS CILIWUNG, Sebuah studi Pendahuluan Dr.rer.nat. Muh. Aris Marfai, M.Sc1. dan Henky Nugraha, S.Si1. (1Fakultas Geografi UGM)

D

aerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem jaringan yang didalamnya terdapat berbagai macam proses biogeofisik yang saling berinteraksi dalam bentuk ekosistem mulai dari hulu, tengah dan hilir. DAS memiliki fungsi yang kompleks mulai menangkap, menampung dan menyalurkan air hujan yang jatuh ke permukaan bumi dari bagian hulu hingga ke bagian hilir yaitu daerah pesisir. DAS dapat diibaratkan sebagai suatu sistem jaringan seperti tubuh manusia yang memiliki fungsi menangkap, menyalurkan dan mengeluarkan. DAS juga dapat diibaratkan sebagai suatu pohon yang rimbun. Tangkai-tangkai pohon sebagai anak-anak sungai yang mengalirkan air ke batang pohon utama hingga sampai ke permukaan tanah. DAS Ciliwung merupakan DAS yang melingkupi sebagian besar wilayah DKI Jakarta. DAS ini memanjang mulai dari daerah Bogor hingga Jakarta Utara. DAS ini memiliki sejarah

166

Badan Informasi Geospasial

yang panjang terkait dengan dinamika banjir di Jakarta. Sejak zaman pendudukan Belanda, permasalahan penangangan dan pengelolaan air serta sistem drainase sudah menjadi salah satu program dalam penanggulangan banjir pada saat itu. Salah satu bukti hasil pembangunan pada masa itu adalah adanya Bendung Katulampa yang telah difungsikan sejak tahun 1895 sebagai tampungan air untuk irigasi pertanian. Banjir merupakan suatu fenomena geomorfologis dan hidrologis yang mencirikan suatu daerah aliran sungai (DAS). Pada kondisi DAS yang berbeda akan memiliki karakteristik banjir yang berbeda pula. Begitu juga di DAS Ciliwung. Karakteristik banjir di DAS Ciliwung tentu akan berbeda dengan karakteristik banjir di DAS Cisadane dan DAS Pesanggrahan walaupun lokasinya berdampingan dengan DAS Ciliwung baik dari segi intensitas maupun magnitudenya.


Artikel Ilmiah

Salah satu cara deteksi awal potensi banjir pada suatu DAS adalah melalui analisis morfometri DAS. Morfometri merupakan ukuran dan analisis matematis konfigurasi permukaan bumi baik bentuk, dimensi maupun bentuk lahannya (Tahunornbury, 1969). Kajian morfometri DAS Analisis kuantitatif dari sistem DAS penting untuk dilakukan agar karakteristik DAS dapat diketahui. Dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS, analisis morfometri dapat dimanfaatkan untuk mengetahui karakteristik banjir suatu DAS. Contoh morfometri DAS yang memiliki pengaruh dengan karakteristik banjir adalah bentuk DAS. Bentuk DAS yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda pula terhadap banjir. Hubungan antara bentuk DAS dengan debit banjir dapat diketahui dari bentuk hidrograf limpasan. Hidrograf limpasan merupakan grafik yang menunjukkan hubungan antara debit puncak dengan waktu konsentrasi aliran sungai. Hubungan antara bentuk DAS dengan hidrograf limpasan disajikan pada Gambar 1. Bentuk DAS yang membulat

akan memberikan respon banjir yang berbeda dengan DAS yang memanjang. DAS Ciliwung merupakan DAS yang bentuknya memanjang. Bentuk DAS memanjang memiliki karakteristik debit puncak yang lebih rendah dibandingkan DAS membulat. Hal ini terkait dengan waktu untuk mencapai puncak banjir akan lebih lama. Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi tidak langsung secara cepat dibawa oleh jaringan sungai menuju outlet. Namun, air hujan tersebut akan dibawa dari sungai-sungai orde 1 masuk dalam aliran sungai utama yang kemudian dibawa ke outlet. Selain itu, bentuk DAS Ciliwung memiliki bentuk seperti buah labu yaitu lebar dibagian hulu kemudian menyempit pada bagian tengah dan melebar kembali ke arah hilir. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya dua puncak banjir pada waktu yang berbeda. Puncak banjir pertama akan membentuk puncak banjir akibat akumulasi air dari bagian tengah DAS kemudian debit banjir akan mengalami penurunan. Puncak banjir kedua terjadi selang beberapa waktu setelah penurunan pada puncak banjir

Gambar 1. (a) Hubungan antara bentuk DAS dengan hidrograf yang dihasilkan (Seyhan, 1990). (b) Bentuk DAS Ciliwung dan hidrograf limpasan yang dihasilkan.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

167


Artikel Ilmiah

yang pertama. Pada saat terjadi puncak banjir pertama, air hujan yang sudah terkumpul dari bagian hulu sedang dalam perjalanan menuju ke hilir sehingga puncak banjir tidak terjadi dalam waktu yang bersamaan. Puncak banjir kedua di DAS Ciliwung dapat lebih besar dari puncak banjir yang pertama karena bagian hulu memiliki tangkapan air yang cukup besar, sehingga air yang masuk dalam sistem sungai juga banyak. Parameter morfometri DAS lain yang terkait dengan banjir adalah kerapatan drainase. Kerapatan drainase merupakan perbandingan antara panjang sungai pada suatu DAS dengan luas DAS. Semakin tinggi kerapatan drainase suatu DAS maka kerawanan banjirnya juga lebih tinggi. Kondisi kerapatan drainase DAS Ciliwung tergolong tinggi terutama pada bagian hulu DAS. Hal ini mengakibatkan air hujan yang jatuh ke permukaan bumi dapat dengan mudah teratuskan melalui jaringan sungai. Air hujan yang masuk pada jaringan sungai akan terbawa ke daerah hilir dengan resapan ke air tanah relatif sedikit. Selain resapan ke airtanah yang relatif sedikit, hal ini juga akan berpengaruh terhadap lama waktu konsentrasi aliran. Lama perjalanan air menjadi lebih singkat dan potensi banjir akan menjadi lebih besar. Jika digambarkan pada hidrograf, jeda waktu antara puncak banjir yang pertama dengan kedua lebih singkat dengan puncak banjir kedua akan lebih tinggi dari puncak banjir pertama akibat adanya suplai air yang cukup besar. Banjir pertama akan segera disusul oleh banjir yang kedua dalam waktu yang tidak lama. Hal ini perlu mendapatkan perhatian baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Dapat saja banjir dianggap sudah selesai padahal banjir selanjutnya segera menyusul. Jika hal ini tidak diwaspadai maka dikhawatirkan dapat memunculkan korban terutama bagi masyarakat yang tinggal di dekat Sungai Ciliwung. Ditinjau dari parameter morfometri DAS yang lain yaitu panjang sungai utama, sungai utama yang ada di DAS Ciliwung tergolong cukup panjang. Panjang sungai utama merupakan panjang sungai pengumpul aliran air dari hulu hingga hilir. Sungai utama dapat diibaratkan sebagai urat nadi dan vena pada tubuh manusia yang berfungsi menyalurkan darah dari jan-

168

Badan Informasi Geospasial

tung ke seluruh tubuh hingga kembali ke jantung. Begitu pula dengan sungai utama, sungai utama akan menyalurkan air dari sungai-sungai penangkap air dari hulu ke hilir (outlet). Semakin panjang sungai utama berarti sungai tersebut terletak pada DAS yang memanjang. Kemudian, jika dikaitkan dengan karakteristik aliran maka air akan sampai dihilir dalam waktu yang cukup lama tidak seperti pada sungai-sungai yang pendek. Panjangnya sungai mengakibatkan debit puncak banjir tidak setinggi sungai-sungai yang pendek. Parameter lain yang tidak kalah cukup penting dalam kaitannya dengan karakteristik banjir adalah kemiringan DAS. Kemiringan DAS merupakan gambaran kondisi fisiografik DAS secara menyeluruh dari hulu hingga hilir. Kemiringan DAS dapat dibedakan menjadi dua yaitu terjal dan landai. Pada panjang dan bentuk DAS yang sama namun dengan kemiringan lereng yang berbeda akan menghasilkan karakteristik hidrograf limpasan yang berbeda pula (Gambar 2 menyajikan contoh kemiringan DAS Ciliwung). Pada kemiringan DAS yang terjal puncak banjir akan lebih tinggi dan lebih cepat terjadi. Namun, pada kemiringan DAS yang landai hidrograf yang dihasilkan memiliki puncak banjir yang lebih rendah dibandingkan dengan DAS yang terjal serta waktu konsentrasi untuk menuju puncak yang lebih lama. Kemiringan DAS Ciliwung tergolong kemiringan yang terjal (Gambar 2). Waktu konsentrai untuk menuju puncak banjir dapat lebih cepat. Perbedaan ketinggian yang signifikan antara daerah hulu dengan hilir adalah penyebab kondisi kemiringan DAS menjadi terjal. Ketinggian pada daerah hulu mencapai lebih dari 2000 mpal sedangkan pada bagian hilir memiliki ketinggian 0 mdpal. Berdasarkan data tersebut sangat jelas dapat diketahui bahwa terdapat diferensiasi ketinggian yang nyata pada DAS Ciliwung. Kemiringan DAS yang terjal terutama berada pada bagian hulu. Perbedaan ketinggian pada bagian hulu perbatasan antara Kota Bogor dengan Kabupaten bogor mencapai 1700 mdpal. Hal ini berarti bahwa dalam jarak yang relatif tidak jauh sekitar 18 km perbedaan ketinggian begitu signifikan. Air hujan yang tertangkap pada bagian hulu dapat


Artikel Ilmiah

dengan cepat mencapai puncak di Kota Bogor yang kemudian dialirkan ke outlet di Jakarta.

tidak dirugikan dan risiko dapat diminimalisir.

Berdasarkan analisis awal kondisi morfometri DAS Ciliwung dapat diketahui bahwa aspek morfometri memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap banjir yang terjadi di Jakarta. Sering sekali didengar istilah “banjir kiriman dari Bogor�, hal ini jika dikaitkan dengan analisis morfometri DAS cukup relevan yaitu berkumpulnya air pada bagian hulu DAS Ciliwung begitu cepat dengan debit puncak yang tinggi kemudian air yang terdapat pada sungai dialirkan menuju Jakarta. Peristiwa transportasi air yang begitu besar dari bagian hulu ini yang kemudian menjadi masalah di bagian hilir, yaitu Jakarta. Kondisi Jakarta dengan morfologi yang relatif datar mengakibatkan air dalam jumlah besar tersebut tidak dapat langsung dialirkan ke laut, sehingga si air harus “parkir� terlebih dahulu pada bagian sisi kanan maupun kiri sungai. Tentu hal ini menjadi masalah karena sekarang ini bagian kanan dan kiri sungai telah menjadi permukiman maupun industri. Penanganan yang tepat perlu untuk dilakukan agar semua elemen

Analisis morfometri DAS ini adalah suatu analisis awal dalam deteksi rawan banjir khususnya di DAS Ciliwung. Berdasarkan analisis awal ini tampak jelas bahwa terdapat hubungan yang kuat antara banjir dengan morfometri DAS. Beberapa paramater morfometri DAS yang lain dan penting untuk dikaji adalah Indeks Percabangan Sungai (Rb), Frekuensi Sungai (Fs), Rasio Tekstur (T), Relief DAS (Bh), Rasio Relief (Rh), Angka Kekasaran (Rn), Faktor Bentuk (Rf), Panjang Limpasan Permukaan (Lof), dan Konstanta Pemeliharaan Sungai (C). Untuk itu, kajian yang lebih mendalam tentang morfometri DAS penting untuk dilakukan agar penanganan dan penanggulangan banjir di Jakarta dapat komprehensif dan tepat sasaran. Lebih jauh, analisis morfometri dapat digunakan untuk membantu untuk menentukan lokasi-lokasi pembuatan situ, dam dan kolam-kolam retensi di daerah hulu dan tengah dari DAS sebagai bagian dari program pengendalian banjir Jakarta.

Gambar 2. Kemiringan DAS Ciliwung

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

169


Artikel Ilmiah Artikel Ilmiah

AMBLESAN MENGANCAM JAKARTA Ir. Marsono Julianto TP Badan Informasi Geospasial

PEMANFAATAN JARING KONTROL GEODESI (JKG) DI WILAYAH DKI JAKARTA UNTUK PENENTUAN REFERENSI TINGGI DAN PEMANTAUAN PENURUNAN PERMUKAAN TANAH (LAND SUBSIDENCE) SERTA PEMANTAUAN KENAIKAN PERMUKAAN AIR LAUT.

PENDAHULUAN Berdasarkan Undang Undang No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, Badan Informasi Geosipasial (BIG) sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrerian yang menyelenggarakan Informasi Geospasial Dasar (IGD). Sesuai pasal 5 dan 6 salah satu bagian dari IGD adalah Jaring Kontrol Geodesi (JKG) yang terdiri atas Jaring Kontrol Horisontal Nasional (JKHN), Jaring Kontrol Vertikal (JKVN) dan Jaring Kontrol Gayaberat Nasional (JKGN). Dengan amanah undang-undang tersebut maka peranan JKG sangat besar dalam mewujudkan satu referensi tunggal atau single reference dalam pelaksanaan kegiatan baik pembangunan informasi geospasial dasar maupun tematik di Indonesia. Jaring Kontrol Geodesi tersebut telah mulai diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) sebelum berubah menjadi BIG untuk memenuhi kebutuhan skala menengah dan kecil, dengan adanya undang-undang tentang informasi

170

Badan Informasi Geospasial

geospasial tersebut maka BIG bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penyelenggaraan IGD dari skala kecil sampai skala besar. Namun demikian dalam rangka percepatan dan keterbatasan sumberdaya di BIG, instansi atau lembaga pemerintah lain masih dapat membangun JKG untuk memenuhi kebutuhannya sendiri serta berperan sebagai kontributor dalam pembangunan dan pengelolaan JKG dengan koordinasi, kerjasama dan supervisi BIG berdasarkan pedoman atau panduan yang telah dituangkan dalam beberapa SNI maupun SOP diantaranya adalah SNI Jaring Kontrol Horisontal Nasional, SNI Jaring Kontrol Vertikal Nasional, SNI Jaring Kontrol Gaya Berat Nasional, SNI Pembangunan stasiun pasut dan SNI pembangunan stasiun CORS. Sesuai dengan tanggung jawab BIG untuk penyelenggaraan JKG di seluruh wilayah NKRI, spesifikasi dan pedoman dalam SNI serta anggaran yang tersedia, maka pembangunan pilar Jaring Kontrol Geodesi tersebut khususnya pilar JKVN orde 1 dan 2, dibangun hanya dengan kedalaman sekitar 1m dibawah permukaan tanah.


Artikel Ilmiah

Pilar pilar JKG dibangun menyebar di seluruh wilayah Indonesia yang dipergunakan sebagai acuan referensi baik horizontal dan vertikal, untuk target penyebaran JKG diseluruh Indonesi belum dapat tercapai 100 % khususnya untuk JKVN baru sekitar 5911 titik dari 10000 titik yang direncanakan karena keterbatasan anggaran pemerintah pusat, apalagi untuk menyelenggarakan updating terhadap kondisi dan data JKG di seluruh wilayah Indonesia masih belum dapat dilaksanakan secara keseluruhan. Kondisi wilayah Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng-lempeng aktif dunia dengan arah dan besar pergerakan yang berbedabeda serta pengaruh dari daerah busur gunung api (ring of fire) yang mempengaruhi kestabilan posisi di permukaan bumi baik horizontal dan vertical. Untuk wilayah khususnya kotakota besar di wilayah pantai seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya sangat rawan terhadap perubahan arah vertikal permukaan tanah karena aktifitas pembangunan dan eksploitasi sumber daya air di kota-kota besar tersebut.

Oleh karena itu, pilar-pilar JKG khususnya Jaring Kontrol Vertikal Nasional yang biasanya di sebut pilar Tanda Tinggi Geodesi (TTG) menjadi tidak valid nilai informasi tingginya.

JARING KONTROL GEODESI DI WILAYAH DKI JAKARTA Jaring Kontrol Horisontal Nasional terdiri atas Jaring Kontrol Horisontal Nasional yang berupa pilar (Titik GPS) dan Stasiun Tetap GPS/ GNSS atau Continuously Operating Reference Station (CORS). Di wilayah DKI Jakarta pilar JKHN BIG ada 3 titik yakni BCOL dan BM Priok di Jakarta Utara, N1.0298 di Pulau Hantu Timur Kepulauan Seribu. Stasiun CORS ada 2 stasiun yakni di Kantor Telkom Tanjung Priok dan Stasiun Pasut Kolinlamil. Tahun 2012 PJKGG BIG membangun 2 titik JKHN baru masing-masing di BM Stasiun Pasut Kolinlamil dan Sunda Kelapa. Sebaran JKHN di wilayah DKI dan sekitarnya adalah sebagai berikut:

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

171


Artikel Ilmiah

Untuk wilayah DKI Jakarta Koordinat Titik JKHN tersebut adalah sebagai berikut: NO

NAMA TITIK

KOORDINAT

LOKASI

LINTANG

BUJUR

TINGGI (ELLIP)

1

BCOL

Ancol Jakarta Utara

06º 07’ 16,06” S

106º 51’ 45,75” T

22,295 m

2

BM PRIOK

Tanjung Priok Jakarta Utara

06º 07’ 05,28” S

106º 51’ 53,66” T

22,621 m

3

N1.0298

Pulau Hantu Timur Kepulauan Seribu

05º 31’ 46,52” S

106º 32’ 29,05” T

21,129 m

Stasiun CORS yang ada di Tanjung Priok bersama dengan beberapa stasiun CORS lainnya baik yang dikelola oleh BIG seperti di BSD Tangerang dan Cibitung Bekasi maupun institusi lainnya seperti Perusahaan, BPN dan lainnya yang berada di DKI Jakarta dan sekitarnya seperti stasiun CORS milik Leica /PT Almega di Pulau Gadung, Trimble di Jakarta Pusat, BPN, BIG dapat dipergunakan sebagai refer-

ensi dalam penyelenggaraan JKG baik untuk kebutuhan post processing maupun untuk pelayanan RTK di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Selain untuk pemeliharaan kerangka referensi stasiun CORS tersebut dapat dimanfaatkan untuk pemantauan deformasi baik horizontal dan vertikal dalam kegiatan mitigasi bencana.

Sebaran stasiun CORS di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya adalah sebagai berikut:

172

Badan Informasi Geospasial


Artikel Ilmiah

Stasiun CORS BIG di Wilayah DKI Jakarta ada 2 stasiun yang keduanya berada di daerah pantai Tanjung Priok. Stasiun CORS untuk keperluan Jaring Kontrol Horsiontal dan Geodinamika terletak di Kantor Telkom Tanjung Priok dengan pilar antena yang terletak diatas gedung seperti gambar berikut:

Koordinat stasiun CORS Tanjung Priok adalah sebagai berikut: Lintang : 6 ° 06’ 36.39661” S Bujur : 106 ° 53’ 04.30834” E Tinggi : 32.2504 m (ell). Sedangkan stasiun CORS yang terletak di Stasiun Pasut Kolinlamil merupakan salah satu peralatan GPS yang di pasang di Stasiun Pasut GFZ untuk keperluan Jaring Kontrol Horsion-

tal dan pemantauan kenaikan permukaan air laut serta pemantauan penurunan permukaan tanah (Land Subsidence). Untuk referensi horizontal nilainya masih valid dan relatif masih dapat dipergunakan apalagi tersedia titik JKHN lain di sekitar wilayah DKI Jakarta yang dapat juga dipergunakan sebagai referensi pengukuran horizontal di wilayah DKI Jakarta seperti di Tangerang, Stasiun CORS di Cibitung, BSD dan Cibinong. Jaring Kontrol Vertikal terdiri atas Jaring Kontrol Vertikal yang berupa pilar atau Tanda Tinggi Geodesi (TTG) dan Stasiun Pasang Surut (Stasiun Pasut). Di wilayah DKI ada sekitar 60 an pilar TTG yang kondisinya sudah banyak yang hilang karena terkena pembangunan dan tinggal sekitar 12 pilar yang masih ada dan baik, akan tetapi untuk sebagian wilayah DKI nilai TTG tersebut sudah tidak valid karena adanya penurunan permukaan tanah. Pilar JKVN di wilayah DKI Jakarta adalah bagian dari JKVN pulau Jawa yang pembangunan dan pemgukurannya dilaksanakan pada tahun 1982 sampai 1984 atau lebih dari 30 tahun keberadaanya. Titik atau pilar yang relatif stabil kondisinya berdasarkan kajian penurunan permukaan tanah dari citra adalah titik TTG 177 yang terletak di Kantor PDAM Pasar Rebo Jakarta Timur. Sebaran JKVN BIG di wilayah sekitar DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

173


Artikel Ilmiah

12 titik JKVN (TTG) yang masih terpantau ada dan dalam kondisi baik adalah: LOKASI

NILAI TINGGI DIATAS MSL

NO

NO TTG

1

161

Cakung Jakarta Utara

8,634 m

2

165

Klender Jakarta Timur

5,921 m

3

177

Pasar Rebo Jakarta Timur

40.136 m

4

179

Pasar Rebo Jakarta Timur

45,592 m

5

180

Pasar Rebo Jakarta Timur

52,916 m

6

182

Pasar Rebo Jakarta Timur

62,203 m

7

246

Tanjung Priok Jakarta Utara

3,162 m

8

253

Penjaringan Jakarta Utara

0,711 m

9

257

Tambora Jakarta Barat

2,055 m

10

273

Cengkareng Jakarta Barat

3,960 m

11

275

Cengkareng Jakarta Barat

4,399 m

12

276

Cengkareng Jakarta Barat

6,133 m

Tahun 2012 PJKGG menambah 2 titik JKVN di BM Pasut baru yang juga diukur dengan GPS sebagai JKHN yakni di Stasiun Pasut Kolinlamil dan Sunda Kelapa. Stasiun Pasut BIG yang ada di wilayah DKI Jakarta berjumlah 3 stasiun yakni stasiun Pondok Dayung, Kolinlamil dan Sunda Kelapa. Stasiun Pondok Dayung adalah stasiun paling lama di bangun sehingga mempunyai data pasut yang paling baik dan dari stasiun Pondok Dayung yang lama nilai MSL dipergunakan dalam penetapan nilai tinggi MSL JKVN di Jawa bersama dengan nilai MSL stasiun Tanjung Perak Surabaya. Khusus stasiun pasut di

174

Badan Informasi Geospasial

KET

Dari Stasiun pasut Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya

Kolinlamil yang pembangunannya dilaksanakan oleh GFZ Jerman dalam rangka program Tsunawi Early Warning System dengan nama GITEWS dan dilanjutkan dengan program PROTECT telah dipasang alat receiver GPS di stasiun pasut tersebut untuk keperluan studi kenaikan muka air laut dan pemantauan penurunan permukaan tanah (Land Subsidence). Pemda DKI Jakarta juga mempunyai 1 stasiun pasut di Pasar Ikan dan rencananya akan membangun 1 stasiun lagi. Sebaran stasiun pasut di wilayah DKI Jakarta adalah sebagai berikut:


Artikel Ilmiah

Gambar ketiga stasiun pasut BIG di DKI Jakarta dapat dilihat sebagai berikut:

Stasiun Pasut Sunda Kelapa

Stasiun Pasut Pondok Dayung

Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika pada tahun 2013 melaksanakan pembangunan JKHN dan JKVN di satu titik atau pilar yakni di BM Pasut seluruh Indonesia untuk kebutuhan referensi pemetaan dan verifikasi pembuatan geoid Indonesia sebagai datum vertikal masa depan. Di wilayah DKI Jakarta yang terdapat 3 stasiun pasut telah di bangun 2 pilar baru JKHN dan sekaligus JKVN karena pada titik BM Pasut baru tersebut dilakukan pengukuran leveling teliti dari stasiun pasut melalui BM pasut lama dan pengukuran GPS selama 24 jam lebih di setiap BM baru tersebut.

Stasiun Pasut & Gps Kolinlamil

Hasil pengukuran BM pasut baru di stasiun pasut Kolinlamil dan Sunda Kelapa tersebut dapat dipergunakan dalam verifikasi pembuatan geoid lokal DKI Jakarta serta penentuan referensi tinggi di DKI Jakarta serta pemantauan penurunan permukaan tanah di lokasi tersebut. Gambar pilar BM Pasut baru di 2 lokasi yakni di halaman Kantor PT. Pelindo Cabang Tanjung Priok dan halaman Kantor PT. Pelindo cabang Sunda Kelapa dapat dilihat dibawah ini.

BM Pasut di halaman kantor Pelindo Cab. TanJung Priok

BM Pasut di halaman kantor Pelindo Cab. Sunda Kelapa

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

175


Artikel Ilmiah

Jaring Kontrol Gaya Berat di wilayah DKI Jakarta pada dasarnya adalah sama dengan jumlah dan titik JKVN karena dipergunakan dalam penghitungan beda tinggi JKVN, tetapi pada tahun 2012 BIG melaksanakan pengukuran gaya berat secara teristris sebanyak 530 titik untuk perapatan data gaya berat DKI Jakarta dengan tujuan untuk pembuatan geoid

lokal DKI Jakarta. Proses pembuatan geoid DKI Jakarta sudah sampai tahap finalisasi, geoid DKI Jakarta ini akan lebih baik ketelitiannya apabila ada penambahan data gaya berat di sekitar wilayah DKI Jakarta khususnya di daerah selatan.

Sebaran 530 titik gaya berat di DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

PERUBAHAN NILAI REFERENSI TINGGI DI DKI JAKARTA Referensi Tinggi menjadi perhatian utama khususnya di wilayah DKI Jakarta setelah beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir banjir besar melanda wilayah DKI Jakarta, terjadinya fenomena penurunan permukaan air tanah serta pengaruh kenaikan muka air laut yang melanda seluruh dunia. Berdasarkan fenomena tersebut, nilai referensi tiinggi di DKI Jakarta perlu untuk di kaji dan diperbarharui sesuai dinamika perubahan atau deformasi permukaan tanah serta kenaikan permukaan air laut. Sebelum undang-undang no 4 tahun 2011 disahkan, pemerintah daerah DKI Jakarta adalah satu-satunya instansi pemerintah di Indonesia yang mampu menyelenggarakan pembangu-

176

Badan Informasi Geospasial

nan IGD termasuk JKG untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di wilayahnya. Sistem referensi yang dibangun pemda DKI Jakarta bahkan sudah mulai dilaksanakan sejak penjajahan Belanda termasuk referensi tinggi yang mengacu pada suatu BM Pasang surut yang disebut Peil Priok. Pemerintah DKI Jakarta juga terus melaksanakan kajian terhadap sistem referensi tinggi yang dapat dipergunakan terus menerus tidak terpengaruh oleh perubahan atau deformasi dari permukaan tanah dan dapat untuk memantau perubahan permukaan tanah tersebut. Sampai saat ini pemda DKI telah membangun 6 titik BM khusus dengan kedalaman lebih dari 200m untuk mengantisipasi perubahan permukaan tanah dan dianggap sebagai titik referensi yang stabil sebagai acuan rerefensi baik horisontal dan vertikal dan lebih dari 600 titik BM tinggi terhadap peil Priok di wilayah DKI Jakarta sebagai referensi ting-


Artikel Ilmiah

gi bagi pembangunan di DKI Jakarta. Sesuai ketentuan undang-undang no.4 tahun 2011, sisten referensi tinggi DKI Jakarta juga diikatkan dengan sistem tinggi JKVN BIG yakni di BM Stasiun Pasut Pondok Dayung dan TTG 177 di Pasar Rebo Jakarta Timur. Salah satu sistem sistem yang dapat dipergunakan sepanjang masa dan sesuai untuk diimplementasikan pada daerah kota besar adalah penggunaan geoid lokal yang mempunyai hubungan matematis dengan sistem tinggi muka air laut rata-rata (MSL). Kendala pengukuran sipat datar teliti di daerah perkotaan dengan kepadatan lalu lintas yang tingggi dapat diatasi dengan penggunaan metoda penentuan tinggi ortahunometrsi dengan metoda GPS Leveling (GNSS Heighting) apalagi didukung dengan ketersediaan geoid lokal hasil pengukuran gaya berat secara teristris di wilayah DKI Jakarta.

PENURUNAN PERMUKAAN TANAH Penurunan permukaan tanah di kota-kota besar khususnya di daerah pantai menjadi suatu tantangan bagi penelitian dan pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi informasi geospasial. Dengan pendekatan berbagai metoda pemantauan penurunan permukaan tanah dapat dilaksanakan. Beberapa metoda pemantuan permukaan tanah dapat dilaksanakan dengan antara lain adalah: • Pengukuran tinggi dengan GPS/GNSS pada titik-titik kontrol tinggi secara berkala pada daerah yang rawan terjadi penurunan permukaan tanah • Pemantauan secara kontinyu dengan stasiun CORS • Pengukuran Leveling dengan sipat datar teliti • Pengukuran Leveling dengan GPS/GNSS Heighting • Pemantaun deformasi vertikal dengan mempergunakan citra satelit.

KENAIKAN MUKA AIR LAUT Kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global berdampak bagi semua

wilayah pantai di dunia khususnya di daerah selatan ekuator dengan beragam parameter yang ikut mempengaruhinya seperti cuaca, arus laut dan karakteristik wilayah pantai masing-masing. Beberapa metode dapat dipergunakan untuk menganalisa dan mempridiksi kenaikan air laut antara lain: • • • • •

ata pasang surut dari stasiun pasut yang d kontinyu data altimetry dari satelit modeling asimilasi data pasut dan altimetry data citra satelit Data GPS di stasiun Pasut dan BM Pasut

PERAN SINERGI PEMANFAATAN DATA JKG BIG DAN PEMDA DKI JAKARTA DALAM PENENTUAN REFERENSI TINGGI DAN PEMANTAUAN PENURUNAN PERMUKAAN TANAH Berdasarkan status JKG baik yang dikelola BIG maupun Pemda DKI Jakarta maka pemanfaatan data JKG di wilayah DKI Jakarta akan lebih optimal khususnya dalam pemanfaatan pembangunan infrastruktur maupun pemantauan penurunan permukaan tanah di wilayah DKI Jakarta. Jumlah stasiun pasut di wilayah DKI Jakarta yang cukup banyak akan dapat dimanfaatakn dalam analisis penentuan MSL yang lebih akurat dan akan diikatkan ke jaring kontrol vertikal baik yang dikelola oleh DKI Jakarta maupun JKVN BIG dengan menggunakan berbagai metode yang paling efektif dan sesuai dengan kondisi di DKI Jakarta khususnya diikatkan pada BM khusus DKI Jakarta yang kedalamannya lebih dari 200 m. Pengukuran secara berkala dengan berbagai metode baik leveling maupun dengan GPS pada titik-titik Jaring Kontrol Vertikal serta peningkatan infrastruktur seperti penambahan stasiun CORS pada daerah tertentu, penambahan data gaya berat di daerah sekitar DKI Jakarta akan bermanfaat bagi pengembangan dan implemtasi penggunaan teknologi GNSS untuk pengukuran tinggi maupun pelayanan pengukuran posisi RTK.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

177


Artikel Ilmiah

Pemasangan peralatan GPS pada stasiun pasut Kolinlamil oleh GFZ pada tahaun 2012 akan sangat bermanfaat dalam menganalisa perubahan referensi tinggi di DKI Jakarta berkaitan dengan fenomena kenaikan permukaan air laut karena pemansana global.

dioptimalkan dengan telah disepakatinya rencana kerjasama antara BIG, GFZ dan ITB untuk memperpanjang program PROTECT yakni suatu program kerjasama antara BIG dan GFZ dalam bidang peningkatan SDM yang akan berakhir pada tahun 2014.

Pemodelan sistem banjir dengan pemanfaatan data informasi geospasial yang akurat di wilayah DKI dimungkinkan dalam pembangunan sistem peringatan dini banjir DKI yang sedang menjadi salah satu kegiatan di Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika. Sistem ini perlu didukung dengan peningkatan kualitas SDM dalam bidang mitigasi bencana. Pemantauan deformasi maupun pemanfaatan data meteorologi stasiun CORS untuk studi ionosfir dan cuaca direncanakan untuk lebih

Data time series koordinat GPS dalam 3 komponen sumbu koordinat utara-selatan, barattimur dan atas-bawah (vertikal) yang dapat dipergunakan dalam analisis pergerakan permukaan tanah karena pergeseran lempeng dan penurunan permukaan tanah karena deformsi vertikal atau land subsidence dapat dilihat dalam contoh data gps dari stasiun CORS Tanjung Priok periode tahun 2010 sampai 2013 dari Laboratorium Geodinamika PJKGG sebagai berikut:

Dari data time series posisi koordinat tersebut yang dapat diproses lebih lanjut dan dianalisa agar dapat diketahui percepatan dan arah vektor pergerakan posisi titik stasiun CORS dalam kurun waktu tertentu baik arah horisontal dan vertikal untuk mengetahui besaran dan arah pergerakan lempeng bumi serta penurunan permukaan tanah pada suatu lokasi, apabila

jumlah stasiun CORS atau titik pantau GPS di suatu area diperbanyak maka akan diketahui model deformasi permukaan bumi pada daerah tersebut.

178

Badan Informasi Geospasial

PENGGUNAAN TEKNOLOGI RTK UNTUK PENGUKURAN POSISI DAN TINGGI SECARA CEPAT DI DKI


Artikel Ilmiah

JAKARTA KHUSUSNYA PADA SAAT BANJIR Penggunaan teknologi koreksi RTK pada pengukuran posisi GPS di daerah sebaran stasiun CORS yang kerapatannya kurang dari 50 km seperti di daerah DKI Jakarta sudah dapat dioperasikan seperti pada pengukuran kembali (stakeout) kapling koperasi BIG dan pengukuran posisi batas genangan banjir pada banjir DKI awal Januari 2013. Pengukuran GPS dengan metode RTK dengan alat GPS single frekuensi tipe RTK ready mampu menerima koreksi RTK walaupun single base atau DGPS dengan memanfaatkan jaringan internet berbasis GSM dalam waktu kurang dari 1 menit dengan ketelitian kurang dari 30 cm dan untuk lokasi yang unsolved posisinya (float) No.

Lintang

ketelitiannya sub meter. Teknologi RTK GPS ini telah diaplikasikan pada pemetaan cepat (Rapid Mapping) tim BIG dalam aksi tanggap darurat pemetaan genangan banjir DKI di daerah Jatiasih Bekasi dan Pluit Jakarta Utara. Dengan memanfaatkan geoid lokal DKI Jakarta maka tinggi hasil pengukuran GPS dapat dikonversi menjadi tinggi di atas MSL atau tinggi orthometrik dengan menghitung undulasi geoid di titik tersebut dengan ketelitian yang lebih baik dari model global geoid seperti EGM 2008. Koordinat hasil pengukuran GPS RTK dengan koreksi single base RTK dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tinggi (Ell)

HRMS

1

-6

19

24.047

-5.677

106

Bujur 58

34.879

106.976

45.736

0.185

VRMS 0.352

2

-6

19

23.937

-5.677

106

58

35.082

106.976

47.986

0.288

0.542

3

-6

19

24.121

-5.677

106

58

35.326

106.976

47.238

0.164

0.296

4

-6

19

24.508

-5.677

106

58

35.026

106.976

46.272

0.225

0.442

5

-6

19

24.155

-5.677

106

58

35.260

106.976

46.976

0.006

0.011

6

-6

19

23.333

-5.677

106

58

34.165

106.976

44.993

0.394

0.855

7

-6

19

23.001

-5.677

106

58

33.549

106.976

47.059

0.191

0.352

8

-6

18

42.462

-5.688

106

58

20.932

106.972

45.186

0.493

0.948 0.487

9

-6

18

42.398

-5.688

106

58

21.137

106.973

45.484

0.305

10

-6

18

42.558

-5.688

106

58

21.468

106.973

45.570

0.202

0.355

11

-6

18

41.920

-5.688

106

58

22.416

106.973

44.885

0.478

0.870

12

-6

18

41.919

-5.688

106

58

22.406

106.973

44.022

0.459

0.832

13

-6

18

41.426

-5.688

106

58

22.582

106.973

44.579

0.208

0.374

14

-6

18

41.706

-5.688

106

58

22.719

106.973

44.750

0.179

0.333

15

-6

18

41.081

-5.689

106

58

22.374

106.973

44.136

0.175

0.309

16

-6

18

56.088

-5.684

106

58

47.971

106.980

44.767

0.297

0.571

17

-6

18

56.121

-5.684

106

58

47.972

106.980

44.085

0.149

0.274

18

-6

18

57.843

-5.684

106

58

45.405

106.979

47.928

0.395

0.711

19

-6

18

57.824

-5.684

106

58

45.388

106.979

47.334

0.432

0.944

20

-6

18

53.524

-5.685

106

58

45.350

106.979

44.907

0.284

0.588

21

-6

7

52.391

-5.869

106

47

32.130

106.792

16.740

0.497

0.913

22

-6

7

52.405

-5.869

106

47

32.110

106.792

16.459

0.497

0.907

24

-6

7

48.689

-5.870

106

47

32.416

106.792

26.643

0.850

1.937

25

-6

7

48.577

-5.870

106

47

32.406

106.792

18.607

0.885

1.658

26

-6

7

32.297

-5.874

106

47

31.576

106.792

14.849

1.222

1.610

27

-6

7

32.082

-5.874

106

47

31.567

106.792

14.634

1.022

1.831

28

-6

7

31.197

-5.875

106

47

31.772

106.792

17.772

0.452

1.121

29

-6

7

31.129

-5.875

106

47

31.773

106.792

16.162

0.654

1.488

30

-6

7

20.265

-5.878

106

47

17.564

106.788

22.742

0.612

0.853

31

-6

7

20.248

-5.878

106

47

17.519

106.788

20.408

0.620

0.865 0.696

32

-6

7

20.243

-5.878

106

47

17.500

106.788

20.263

0.499

33

-6

7

20.236

-5.878

106

47

17.500

106.788

20.646

0.584

0.815

34

-6

7

20.085

-5.878

106

47

17.598

106.788

17.195

0.791

1.124

35

-6

7

30.448

-5.875

106

48

34.334

106.810

17.620

0.708

1.233

36

-6

7

30.500

-5.875

106

48

34.124

106.809

17.213

0.479

0.871

37

-6

7

30.388

-5.875

106

48

34.365

106.810

20.621

1.408

2.452

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

179


Artikel Ilmiah

Hasil pengeplotan posisi batas genangan banjir dengan teknologi receiver RTK GPS dapat dilihat sebagai berikut:

PENUTUP Dengan telah ditanda tangani MOU antara BIG dan Pemda DKI Jakarta pada tahun 2013 ini, maka diharapkan pemanfaatan JKG di wilayah DKI Jakarta akan lebih optimal dan sinergi serta berbagi pakai data JKG untuk

180

Badan Informasi Geospasial

berbagai kebutuhan khususnya pembangunan sipil, pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana di wilayah DKI Jakarta dan daerah lainnya akan lebih cepat efektif dan efisien serta memberikan nilai tambah bagi data JKG tersebut.


Artikel Ilmiah

Artikel Ilmiah

ALIH FUNGSI LAHAN SEMAKIN TIDAK TERKENDALI (ASPEK DEMOGRAFI SEBAGAI PEMICU)

Prof. Aris Poniman1, DR. Suprajaka2, Sri Hartini, M.Sc3, Sony Nugratama M.Si.4 1,2,3 Badan Informasi Geospasial, 4UNISMA

SURVEI CEPAT PENGINDERAAAN JAUH GEOGRAFIS TERINTEGRASI UNTUK PEMANTAUAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGATASI BENCANA BANJIR DI SUNGAI BEKASI

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode survei penginderaan jauh geografis secara cepat dan terintegrasi untuk pemantauan dan pengambilan keputusan dalam mengatasi bencana banjir. Lokasi penelitian difokuskan di sepanjang Sungai Bekasi sampai Sungai Cikeas sebagai bagian dari DAS Bekasi. Peta Rupabumi dan peta citra penginderaan jauh tegak multi resolusi digunakan sebagai informasi geospasial utama, dilengkapi dengan survei lapangan meliputi susur sungai menggunakan perahu karet, dan survei darat serta wawancara dengan penduduk di sekitar bantaran sungai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di sepanjang bantaran Sungai Bekasi di DAS hilir dan Sungai Cikeas di DAS tengah dan hulu telah banyak digunakan untuk berbagai penggunaan lahan, yaitu permukiman, kawasan industri, pemakaman, lapangan golf, gedung perkantoran, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya. Dengan semakin berkurangnya lahan bervegetasi di wilayah DAS hulu dan tengah, memperbesar aliran permukaan, dan berakibat seringnya terjadi banjir di sepanjang sempadan sungai Bekasi bagian hilir. Kata kunci: penginderaan jauh, multi resolusi, banjir, survei cepat terintegrasi, pengambilan keputusan

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

181


Artikel Ilmiah

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Kejadian banjir semakin sering terjadi di berbagai wilayah baik Indonesia maupun di berbagai negara, dan banyak menimbulkan korban dan kerugian. Berbagai penelitian dengan berbagai sudut pandang telah dilakukan mulai dari sosial, ekonomi dan lingkungan. Banjir merupakan salah satu fenomena alam, oleh karenanya banjir bisa terjadi dimana saja terutama pada daerah yang dikenal sebagai dataran banjir. Sepanjang tidak ada manusia yang tinggal di dataran banjir, maka bahaya banjir tidak akan berubah menjadi bencana. Bencana banjir terjadi karena penggunaan lahan yang kurang tepat. Ketika penduduk masih sedikit, penduduk dapat memilih lokasi permukiman pada wilayah yang nyaman dan aman sesuai dengan persepsi penduduk terhadap suatu bahaya. Semakin padat penduduk, lokasi yang cocok untuk permukiman. Semakin padat penduduk, sebagai akibat urbanisasi, lokasi yang cocok untuk pemukiman semakin semakin terbatas, dan daerah rawan banjirpun ditempati. Urbanisasi yang sangat cepat mengakibatkan banjir tidak lagi karena faktor alami, namun juga karena faktor kegiatan manusia (Zhang et al, 2008). Disamping itu, penggunaan lahan yang kurang tepat juga dapat mengakibatkan perubahan perilaku sungai, misalnya sering banjir diwaktu musim hujan, dan kekeringan diwaktu musim kemarau. Penggunaan lahan yang kurang tepat misalnya pembukaan hutan di wilayah DAS hulu untuk penggunaan lahan non vegetasi. Begitu juga penggunaan lahan yang tidak tepat di sekitar sempadan sungai pada wilayah DAS bagian hilir yang rawan banjir. Dengan demikian semakin banyak daerah yang berisiko banjir. Untuk memperoleh pemahaman dan gambaran kondisi tersebut diatas diperlukan informasi geospasial yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam mengatasi bencana banjir. Permasalahan banjir merupakan permasalahan yang harus dikaji secara spasial karena kejadian banjir melibatkan faktor-faktor fisik dan manusia. Dari faktor fisik, kejadian banjir melibatkan faktor cu-

182

Badan Informasi Geospasial

rah hujan sebagai sumber banjir, serta tanah, jaringan sungai dan penggunaan lahan. Dari faktor manusia, perilaku, persepsi, dan adaptasi manusia dalam menghadapi banjir sangat berpengaruh pada kejadian banjir. Perilaku manusia ini seringkali tercermin dari bentuk dan pola penggunaan lahan. Meskipun tidak keseluruhan faktor penyebab banjir dapat dilihat secara langsung dan tercermin dalam bentuk penggunaan lahan, namun bentuk penggunaan lahan merupakan faktor utama yang dapat diidentifikasi dengan relatif mudah dan cepat. Seiring dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, citra penginderaan jauh menyajikan gambaran penggunaan lahan dengan semakin baik dengan resolusi spasial yang semakin tinggi, hingga kurang dari 1 meter. Dengan citra resolusi tinggi ini, identifikasi faktor penyebab banjir dari bentuk dan pola penggunaan lahan dapat dilakukan dengan semakin mudah. Kemajuan teknologi ini akan memudahkan para pengambil kebijakan untuk melakukan penilaian terhadap suatu wilayah secara komprehensif, terlebih jika digabungkan dengan informasi yang diperoleh dari pengamatan di lapangan. Untuk itulah perlu dikembangkan metode survei penginderaan jauh geografis cepat dan terintegrasi dengan memanfaatkan data dan informasi geospasial yang tersedia. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode survei penginderaan jauh geografis cepat terintegrasi untuk dapat memperolah informasi geospasial tematik yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan pengambilan keputusan dalam upaya mengatasi bencana banjir. LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian difokuskan pada sungai Bekasi yaitu pada bagian hilir DAS Bekasi sampai bagian tengah dan hulu DAS Sungai Cikeas (Gambar 1).


Artikel Ilmiah

Gambar 1. Lokasi Penelitian DAS Bekasi

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

183


Artikel Ilmiah

METODE PENELITIAN DATA Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: peta RBI skala 1:250.000 dan 1:25.000, peta citra penginderaan jauh multi resolusi yang diperoleh dari situs web http:// www.tanahair.indonesia.go.id, atau http:// www.maps.ina-sdi.or.id, peta tematik lainnya serta data sekunder dan literatur terkait. METODE Metode survei cepat terintergrasi dengan menggunakan data penginderaan jauh, informasi geospasial dan survei lapang dilakukan untuk mengenali bahaya banjir dari faktorfaktor, abiotik, abiotik dan budaya (kultur) yang dikembangkan dengan prinsip sebagai berikut: a. Disebut survei cepat karena dilaksanakan hanya beberapa hari dengan berbekal data dan informasi geospasial yang tersedia. b. Analisa citra penginderaan jauh secara visual menggunakan data penginderaan jauh tegak multi resolusi yang tersedia dalam situs web http://www.tanahair.indonesia.go.id atau http://www.maps.ina-sdi.or.id. Sedangkan peta citra google http://www.google. map.com dipakai sebagai review dan pelengkap. c. Informasi penutup lahan dan penggunaan lahan berbasis citra penginderaan jauh untuk perencanaan lokal (Danoedoro, 2009) dipakai sebagai referensi utama. d. Pendekatan geografi yang diterapkan meliputi gabungan pendekatan keruangan (struktur dan pola), kelingkungan (abiotic, biotic, culture) dan kompleks wilayah (DAS hilir, tengah dan hulu). e. Survei lapangan terfokus pada tema banjir sepanjang sungai dan sekitarnya. Dalam hal ini survei susur sungai pada segmen tertentu menggunakan perahu karet, dilengkapi GPS, kamera dan video kamera. Disamping itu dilakukan juga survei lapangan darat dan wawancara. f. Kelompok diskusi terfokus (Focus Group Discussion, FGD) dilakukan dengan melibatkan beberapa ahli terkait banjir, pengelolaan DAS, analisis dinamika penutup lahan dan penggunaan lahan berbasis penginderaan jauh dan SIG, serta pengelolaan sumber

184

Badan Informasi Geospasial

daya air g. Hasil akhir berupa deskripsi geografi yang berguna untuk pengambilan keputusan dalam mengatasi bencana banjir.

HASIL DAN PEMBAHASAN DAS BEKASI BAGIAN HILIR Kombinasi pendekatan spasial, kelingkungan, dan kompleks wilayah yang dapat ditafsirkan dari peta rupabumi, citra penginderaan jauh multi resolusi yang tersedia, peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi dan RTRW Kota Bekasi, serta menyusuri sebagian Sungai Bekasi bagian hilir, dideskripsikan secara terperinci dimulai dari DAS Bekasi bagian hilir yang mengalami banjir. Komponen Abiotik: Bentuk Lahan Sepanjang Sungai Bekasi Hilir Ditinjau dari bentuk lahan, Sungai Bekasi sebagai bagian DAS hilir merupakan meander sungai, dataran banjir, tanggul alam dan rawa belakang. Survei susur sungai menggunakan perahu karet dimulai pada lokasi setelah bendung Bekasi ke arah hilir. Lebar sungai di atas permukaan air pada saat survei sekitar 20 meter. Masih banyak sisa-sisa sampah organik dan plastik yang tersangkut di pohon dan semak sepanjang sungai, yang dapat digunakan sebagai indikator tingginya air sungai pada saat banjir yang meluap di bantaran sungai. Pada beberapa lokasi ditemukan tebing sungai yang longsor, sementara di sisi yang lain terjadi sedimentasi yang berkembang menjadi dataran banjir. Komponen Biotik: dinamika penutup lahan bervegetasi dan non vegetasi Citra penginderaan jauh merekam penutup lahan yang mencerminkan kondisi vegetasi dan non vegetasi sesuai dengan waktu perekamannya. Kondisi vegetasi di sepanjang Sungai Bekasi hilir boleh dikatakan tinggal sisa-sisa vegetasi alami. Vegetasi di sepanjang sungai yang tersisa berupa pohon-pohon besar yang cukup kuat akarnya, yang mampu menahan erosi air sungai. Rumpun bambu jarang dijumpai di sepanjang sungai. Penduduk


Artikel Ilmiah

Gambar 2. Rumah terancam longsor

Gambar 3. Perahu tambang yang tertimbun akibat banjir

yang tinggal di sepanjang sungai mengatakan bahwa bambu tidak cukup kuat menahan erosi sungai.

bagian besar sampah berupa sampah plastik yang tak mudah terurai dan mengalir ke sungai. Sejauh ini belum ada kelompok-kelompok peduli lingkungan seperti yang telah berkembang di sepanjang Sungai Ciliwung. Demikian juga dengan tokoh masyarakat seperti Bang Idin yang mengelola Sungai Pasanggrahan dengan melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal.

Beberapa bangunan turap telah didirikan pada lokasi-lokasi yang mengalami erosi sungai dan banjir dengan tujuan untuk melindungi pemukiman yang ada di sekitar bantaran sungai. Beberapa tanah longsor masih dijumpai di tebing-tebing sungai, dan masih nampak jelas rumah-rumah yang fondasinya terancam longsor (Gambar 2) Komponen Budaya: berkembangnya pemukiman sepanjang sungai Penduduk masih membuang sampah di sepanjang bantaran sungai. Memang telah ada kesadaran dari masyarakat, antara lain beberapa penghuni perumahan memberi pengganti ongkos memisahkan plastik dan sampah lainnya kepada pemulung sebelum dibuang ke bantaran sungai. Sampah yang dibuang ke sungai tidak hanya berasal dari penduduk yang tinggal di sepanjang sungai, tetapi juga berasal dari perumahan yang jauh dari sungai. Sampah dari perumahan diangkut dengan gerobak ataupun truk. Para pemulung telah dapat mengurangi jumlah sampah yang dibuang dengan memungut sampah yang bisa didaur ulang dan membakar sampah. Namun jumlahnya masih sangat sedikit dibanding volume sampah secara keseluruhan terlihat dari gundukan sampah yang ada di tepi sungai. Se-

Walapun begitu, kesadaran masyarakat lokal tentang risiko banjir bila tinggal di bantaran sungai telah dimiliki. Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa banjir yang terjadi diawali dengan naiknya permukaan sungai melebihi kebiasaannya. Pada batas tertentu, ketika air mendekati halaman rumahnya yang menghadap ke sungai, penduduk mulai mengungsi ke rumah orang tua, saudara, atau tetangga yang lokasinya lebih tinggi. Memang pada awal pertumbuhan pemukiman penduduk asli lokasinya lebih tinggi dan agak jauh dari sungai. Namun dengan bertambahnya penduduk, keturunan mereka terpaksa membuat rumah lebih mendekati sungai. Demikian juga pendatang, mereka membuat rumah bertingkat dua dengan pintu menghadap ke sungai dan membelakangi sungai. Sebagai masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai, perahu tambang digunakan untuk penyeberangan. Gambar 3 memperlihatkan perahu tambang yang tertimbun sedimentasi tanah akibat banjir yang terjadi 2013.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

185


Artikel Ilmiah

Gambar 4. Sungai Bekasi hilir dengan meander dan rawa belakang (backswamp) yang rawan banjir dan erosi mulai dimanfaatkan untuk pemukiman, yang sebenarnya lebih cocok untuk lahan pertanian

Dengan kebutuhan perumahan yang semakin meningkat, pengembang perumahan mencari lahan yang relatif lebih murah, diantaranya adalah lahan di sekitar sempadan sungai. Padahal sempadan sungai di kiri-kanan sungai sebaiknya tidak digunakan untuk pemukiman. Namun kenyataannya, pengembang perumahan masih terus membuka lahan baru di sempadan Sungai Bekasi seperti yang terlihat pada peta citra (Gambar 4). Dari peta citra tersebut menunjukkan beberapa penggunaan lahan yang dijumpai di sempadan Sungai Bekasi bagian hilir yang berbentuk meander yang rawan banjir dan erosi. Pada saat susur sungai dan survei lapangan, antara lain teridentifikasi adanya tanggul alam lebih ditinggikan dengan menguruknya dengan tanah di sekitarnya (Gambar 5 dan 6). Disamping itu, masih ditambah lagi tembok

186

Badan Informasi Geospasial

pemisah antara tanggul alam yang ditinggikan tersebut dengan areal pemukiman yang sedang dibangun. Beberapa rumah juga sudah mulai dibangun. Namun sepintas perumahan ini masih rawan banjir dan akan menanggung risiko banjir di kemudian hari. Informasi yang diperoleh dari penggarap bangunan menyatakan bahwa lokasi tersebut dulunya rawa, yang kemudian dikeringkan. Sedangkan pihak pengembang mengatakan bahwa daerah tersebut dulunya berupa kebun. Perumahan yang sedang dibangun ini di masa yang akan datang mempunyai risiko banjir yang tinggi, baik dari luapan Sungai Bekasi, atau genangan air akibat hujan lokal. Apalagi jika tanggul yang dibangun tidak kuat menahan terjangan banjir, maka akan memperparah risiko banjir. Lokasi perumahan tersebut merupakan rawa belakang (backswamp) yang biasa dijumpai di belakang tanggul alam sepanjang sungai yang berme-


Artikel Ilmiah

Gambar 5. Perumahan yang sedang dibangun berbatasan langsung dengan Kali Bekasi

Gambar 6. Tanggul untuk menahan aliran dari sungai

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

187


Artikel Ilmiah

ander. Peristiwa tanggul jebol yang memperparah dampak banjir dapat terulang lagi dan dapat terjadi di tempat lain. Kualitas tanggul, pengaturan pintu air, saluran air yang tersumbat sampah perlu mendapat perhatian khusus.

nerapkan prinsip zero delta Q policy ini antara lain dengan membuat areal resapan air hujan, lubang resapan biopori, modifikasi lansekap, penampungan air hujan, rain garden, sumur injeksi, dan sumur resapan.

DAS HULU DAN TENGAH: ALIRAN PERMUKAAN MENINGKAT AKIBAT BERTAMBAHNYA PENUTUP LAHAN NON VEGETASI.

Salah satu penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan yang dapat dijadikan percontohan, yaitu wisata kuliner di sempadan Sungai Cikeas, Sentul yang dikombinasikan dengan Ecoartpark. Sungai juga dibendung, sehingga dapat digunakan untuk wisata air, sekaligus dapat mengurangi debit sungai dibawahnya. Kolam pemancingan yang banyak diminati penduduk merupakan penggunaan lahan yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai upaya mengurangi aliran permukaan dan menambah infiltrasi air kedalam tanah.

Dalam penelitian DAS Bekasi hulu dan tengah ini difokuskan pada Sub DAS Cikeas yang memang banyak mengalami perubahan penggunaan lahannya. Curah hujan yang tinggi dan bertambahnya penutup lahan non vegetasi menyebabkan peningkatan aliran permukaan. Kondisi tersebut menyebabkan debit air sungai meningkat sehingga banjir menjadi lebih sering terjadi dengan frekuensi, keluasan, dan ketinggian banjir yang semakin parah pada DAS Bekasi hilir. Bahkan banjir juga meluas ke wilayah DKI Jakarta. Disamping karena perubahan penutup lahan dari lahan bervegetasi hutan menjadi lahan non vegetasi, banyak ahli menyatakan bahwa telah terjadi kecenderungan global, yaitu perubahan iklim sebagai dampak pemanasan global. Peningkatan frekuensi dan keluasan banjir juga terjadi Eropa, Amerika Serikat dan beberapa negara lain. Pemukiman dan penggunaan lahan lainnya di sepanjang bantaran Sungai Cikeas juga semakin meningkat. Banyaknya permukiman baru dan penggunaan lainnya perlu diimbangi dengan upaya penerapan zero delta Q policy untuk menghambat peningkatan besaran debit banjir. Prinsip “zero delta Q policy� dimaksudkan sebagai suatu kebijakan untuk mempertahankan besaran debit banjir supaya tidak bertambah dari waktu ke waktu (Anshori, 2010). Dalam Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional telah diatur keharusan agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Beberapa teknik atau metode yang dapat digunakan untuk me-

188

Badan Informasi Geospasial

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil survei cepat penginderaan jauh terintegrasi untuk mengatasi bencana banjir di Sungai Bekasi dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut: Metode survei penginderaan jauh geografis cepat terintegrasi dapat dilaksanakan dengan standar dan fleksibilitas sesuai dengan kondisi daerah survei dengan memanfaatkan data dan informasi geospasial yang tersedia pada situs web http://www.tanahair.indonesia.go.id. Hasilnya dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman kondisi geografi dalam mengatasi banjir dengan pendekatan lingkungan, kewilayahan, dan keruangan. Sepanjang bantaran Sungai Bekasi sebagai bagian dari DAS Bekasi hilir sebagian besar telah digunakan untuk berbagai penggunaan lahan non vegetatif. DAS Cikeas yang kondisi penutup lahan vegetatif banyak berubah menjadi non vegetatif, dan sebagai bagian dari DAS Bekasi, memberikan kontribusi meningkatnya kejadian banjir, karena meningkatnya aliran permukaan yang memperbesar debit air.


Artikel Ilmiah

Saran Untuk lebih memberikan hasil lebih bersifat kuantitatif, disarankan untuk (1) Menambahkan survei penginderaan jauh, misalnya dengan menggunakan sensor 6 kamera, yang dipasang pada perahu karet untuk memperoleh data kondisi sempadan sepanjang sungai secara kuantitatif; dan (2) untuk mengetahui ketinggian dari permukaan sungai yang lebih teliti, dapat ditambahkan survei penginderaan jauh Lidar. Dengan demikian dampak banjir dapat diketahui dengan lebih teliti. Untuk mengontrol perubahan penggunaan lahan di sepanjang bantaran sungai disarankan untuk (1) menerapkan moratorium izin baru pembangunan sepanjang sempadan Sungai Bekasi; (2) melakukan evaluasi penggunaan lahan yang ada berbasis RTRW Kabupaten dan RTRW Kota. Beberapa alternatif kebijakan yang dapat ditempuh: (a) pembongkaran bangunan sepanjang bantaran Sungai Bekasi;(b) memperkuat tanggul pengaman untuk perumahan yang telah memiliki izin mendirikan bangunan; (c) memperbaiki tata kelola air sepanjang sungai Bekasi dan Sungai Cikeas khususnya, DAS Bekasi pada umumnya; (d) pengembangan budaya lokal adaptasi terhadap banjir, antara lain kolam pemancingan, kolam ikan, menanam pohon rambutan di setiap rumah; (e) kombinasi keempat alternatif; (f) studi banding pengembangan wilayah berbasis tata kelola air dan kearifan lokal -- yang pernah ada atau yang masih eksis – baik di Indonesia maupun di luar negeri (khususnya di Asia Tenggara).

tengah dan hulu dan dikombinasikan dengan sistem terminal air, sumur resapan, kolam ikan/pemancingan, dan biopori; (2) mengembangkan wisata alam yang dikombinasikan dengan wisata kuliner dan ecoartpark seperti yang telah ada dengan inovasi sistem pengelolaan air yang lebih baik; (3) menerapkan prinsip zero delta Q policy dalam pengelolaan sumber daya air dalam DAS harus terimplementasi dalam dinamika penutup lahan dan penggunaan lahan.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapkan terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Deputi Informasi Geospasial Tematik dan Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Ekspedisi Geografi Indonesia 2013. Demikian juga kepada tim survei susur sungai dari UNISMA dan survei lapangan di darat dan wawancara yang telah bersama-sama melakukan penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada para responden yang telah memberikan informasi pada saat wawancara.

Untuk mengurangi dampak perubahan penggunaan lahan di DAS Cikeas disarankan untuk (1) mempertahankan pemukiman dengan kebun buah-buahan yang masih ada pada DAS

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

189


Artikel Ilmiah Artikel Ilmiah

BANJIR, LANGKA AIR (BAHAN BAKU AIR BERSIH) DAN KEMACETAN LALU-LINTAS AKAN MELANDA SELURUH KOTA DI INDONESIA: TINGGAL MENUNGGU WAKTU Ruddy Agusyanto

Indonesia adalah daerah “resapan air”, yang ditandai dengan banyaknya sungai, anak sungai dan danau. Hal ini dikarenakan secara geografis Indonesia terletak di wilayah yang beriklim tropis sehingga air tetap dalam wujudnya yang cair (mendapat suhu sinar matahari yang pas/ideal). Air dalam suhu yang terlalu panas akan menguap dan sebaliknya ia akan membeku jika terlalu dingin.

S

ungai dan anak sungai melintasi hampir seluruh bagian dari daratan yang ada. Oleh karena itu, sangatlah wajar bila pada jaman dulu (ratusan atau ribuan tahun yang lalu), sungai menjadi prasarana transportasi utama leluhur nusantara. Mereka membangun hunian di sisi kanan-kiri sepanjang sungai dan anak sungai (sebab air adalah tanda kehidupan) sehingga masing-masing hunian terkoneksi satu sama lain oleh sungai atau anak sungai tersebut. Dalam perjalanan waktu, interaksi antar kebudayaan semakin intens sejalan dengan perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi (informasi). Tanpa disadari, Indonesia telah mengadopsi “paradigm continent” (Eropa Barat dan Amerika Serikat) – yang bukan daerah resapan air (miskin sungai dan anak sungai) dalam merumuskan design pembangunan. Oleh karena itu pula, daratan

190

Badan Informasi Geospasial

non-resapan air seperti Eropa dan Amerika mengembangkan “transportasi darat”. Tanpa disadari, Indonesia merubah paradigma tansportasi – dari transportasi air menjadi transportasi darat. Berdasarkan hal ini maka dampak yang signifikan adalah: 1. Sungai dan anak sungai (serta danau) beralih fungsi, “dari prasarana utama trasportasi menjadi drainage”. Akibatnya, sungai dan anak sungai serta danau dalam mindset (budaya) masyarakat menjadi “tempat pembuangan limbah/sampah”. Akibatnya, terjadi penyempitan dan pendangkalan sungai, anak sungai dan danau (turunnya daya tampung air). 2. Dampak selanjutnya adalah “pemborosan ruang” sebab prasarana trasportasi yang sudah ada, tidak dipergunakan lagi (dimatikan) sehingga harus menyediakan ruang/


Artikel Ilmiah

Foto Sementara

lahan baru untuk membangun prasarana transportasi darat. 3. Konsekuensi dari prasarana trasportasi yang baru ini adalah juga diperlukannya ruang/ lahan baru di sepanjang prasarana trasportasi darat (jalan raya) tersebut untuk hunian dan aktivitas lainnya. Dengan demikian, ruang/lahan baru yang diperlukan tak hanya untuk keperluan prasarana trasportasi, tetapi juga ruang untuk hunian dan untuk aktivitas lainnya di sepanjang “jalan darat” yang dibangun. Akibatnya, kelangkaan ruang semakin cepat seiring dengan pembangunan yang dilakukan. 4. Dengan kebutuhan ruang/lahan untuk prasarana transportasi darat dan hunian atau ruang untuk aktivitas lainnya maka semakin banyak lahan terbuka yang hilang (resapan air). Pada akhirnya, persediaan air (bahan baku air bersih) semakin hari semakin langka dan permukaan tanah semakin turun sebagai akibat dari tak seimbangnya antara “masuknya air dengan konsumsi air”. Tak hanya itu, perembesan air laut juga semakin jauh masuk kedalam wilayah daratan. Hal ini membuat bahan baku air bersih (tawar) menjadi semakin langka. 5. Dengan semakin banyaknya pembangunan

prasarana transportasi darat dan hunian atau ruang untuk aktivitas manusia maka semakin banyak diperlukan drainage. Seiring perkembangan pembangunan tersebut, pada akhirnya mengakibatkan semakin sulitnya mengatur “derajat kemiringan drainage” (air mengalir menuju permukaan yang lebih rendah). Akibatnya, terjadi genangan di banyak drainage karena kesulitan mengatur derajat kemiringan agar air tetap mengalir. Oleh karena itu, ketika turun hujan sebentar saja bisa terjadi “banjir lokal” – yaitu air menggenangi prasarana trasportasi/jalan raya dan kompleks hunian atau ruang aktivitas lainnya – padahal permukaan sungai, anak sungai dan danau tidak naik atau meluap. Kalau sudah demikian maka kemacetan lalu-lintas tak bisa dihindari. Jadi, banjir tidak hanya sebagai akibat meluapnya sungai, anak sungai atau danau tetapi juga akibat tidak mengalirnya drainage. Dengan demikian, jika Negara/Pemerintah tidak segera menyadari bahwa karakter geografis Indonesia adalah “daerah resapan air” dan tidak merubah paradigm pembangunannya (paradigma continent dan non-resapan air) maka “kemacetan lalu-lintas, banjir tetapi kekurangan/langka air (bahan baku air bersih)” akan melanda seluruh kota di Indonesia. Hanya menunggu waktu.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

191


PENUTUP BOY S. HAKIM

B

anjir adalah suatu fenomena alam dari aliran atau arus air pada badan sungai dengan ketinggian maksimal atau lebih. Dari penelusuran dan Susur Sungai atau Kali oleh Tim EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2013, BANJIR yang menerjang rumah atau hunian dan dimana akibat banjir dan TUMPAHAN BANJIR atau genangan air dari badan kali tadi yang menggenangi pemukiman dan atau lainnya yang berhubungan dengan kehidupan manusia, adalah suatu masalah lain yang lebih penting untuk dipikirkan adalah penyelesaiannya. Jika sebuah kejadian merupakan BENCANA ALAM, kita hanya bisa berdoa karena ada kekuatan alam yang belum mampu diselesaikan dan atau tidak mampu diselesaikan oleh manusia. Banjir sebagai fenomena alam sebenarnya BUKANlah suatu BENCANA ALAM, karena aliran air atau banjir yang mengalir dari hulu ke hilir tersebut adalah sebuah proses hukum grafitasi yang biasa dan lumrah. Terjadinya TSUNAMI atau GUNUNG MELETUS dapat disebut BENCANA ALAM, karena kejadiannya yang tidak dapat terkontrol dan tidak dapat dicegah atau dikendalikan oleh manusia. Jangan membangun rumah di dalam badan kali, jangan membuang sampah kedalam kali, jangan mempersempit dan mendangkalkan kali, jangan merusak tebing-tebing kali, IKUTI dan PATUHI ATURAN-ATURAN YANG TELAH DIBUAT PEMERINTAH, LESTARIKAN BUDAYA SETEMPAT (kearifan lokal), dan kalau saja konsep ini tidak dimulai dari sekarang untuk dilaksanakan maka tidak ditutup kemungkinan terjadinya bencana alam dan bencana kemanusiaan yang lebih besar, tinggal menunggu waktu dan pada akhirnya adalah BENCANA KEMANUSIAAN. EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2013 menemukan tanda-tanda penurunan kualitas lingkun-

192

Badan Informasi Geospasial

gan disekitar wilayah aliran diseputar Jakarta sangat memprihatinkan. Banjir dan Genangan banjir atau Tumpahan banjir yang terjadi awal tahun 2013 yang lalu, dapat juga dijadikan sebagai indikasi awal dari tanda-tanda penurunan kualitas lingkungan Abiotik, Biotik dan Kultural. Komunitas masyarakat asli betawi yang berada dihulu Kali Pasanggrahan wilayah DKI Jakarta dengan nama SANGGABUANA di bawah pimpinan oleh sang Jawara H. Iding dan atau KPC-KPC (Komunitas Peduli Ciliwung) lainnya di aliran Kali Ciliwung telah membuktikan bahwa menghindari atau mempersempit wilayah genangan banjir Jakarta, sudah dimulai dengan memanfaatkan aliran banjir menjadi kolam ikan disatu sisi dan menanam pohon di dataran banjir ataupun lerang/turap kali, adalah salah satu usaha dari banyak usaha oleh komunitas-komunitas tersebut dalam usaha menanggulangi masalah banjir dan meningkatkan kualitas lingkungan untuk kehidupan sisi lain; Bantuan-bantuan data teknis serta konsep-konsep tata cara menanggulangi banjir telah banyak disediakan oleh Pemerintah, Badan-badan, Lembaga-lembaga Pemerintah lainnya atau Non Pemerintah dalam penyelesaian masalah banjir ini dan atau menghindari atau memanfaatkan banjir bagi kehidupan, sehingga banjir tidak dianggap sebagai sebuah malapetaka atau bencana tapi jauh di ujung masalah tersebut di atas sungai di Jakarta, harus mempunyai prilaku memandang lingkungan sebagai bagian dari kehidupan; Alam dan lingkungan dimana kita berada ini janganlah dipandang sebagai alat untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan.


DAFTAR PUSTAKA Anshori, I. 2010. Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Menyeluruh dan Terpadu, Dewan Sumber Daya Air Nasional. http://www.dsdan.go.id. Anshori, I. 2010. Penerapan Hak Guna Air di Indonesia dan Implikasinya, Dewan Sumber Daya Air Nasional, http://www.dsdan.go.id. Bappeda DKI Jakarta. 2001. Jakarta Membangun. Informasi Perencanaan Program Kegiatan Pemda DKI Jakarta. Barredo, José I.; Engelen, G. 2010. Land Use Scenario Modeling for Flood Risk Mitigation, Sustainability, vol. 2, no. 5: 1327-1344. Bidang Geodinamika . 2013. Dokumen Basisdata Logshet stasiun CORS. PJKGG: BIG Bidang Geodinamika. 2013. Sistem Operasional RTK Trimble Pivot. PJKGG: BIG. Bidang Jaring Kontrol Gaya Berat dan Pasang Surut . 2013. Dokumen Basis Data Stasiun Pasang Surut. PJKGG: BIG Bidang Jaring Kontrol Gaya Berat dan Pasang Surut . 2013. Dokumen Laporan Survey Pengukuran Geoid Jakarta. PJKGG : BIG Bidang Jaring Kontrol Horisontal dan Vertikal. 2012. Sistem Informasi Geodesi BIG (SIGEOB). PJKGG: BIG. Brinkman, JanJaap, 2013. Towards a safe Jakarta, Integrated Management for Jakarta Rain Floods and tahune Rob, Integrated GOI-GON Approach, Deltares, Tahune Netahunerlands. Citra Satelit Ikonos tahun 2010, Produsen data siapa ? Danoedoro, P. 2009. Land-use Information from the Satellite Imagery: Versatility and Contents for Local Physical Planning, Lambert Academic Publishing AG & Co. KG. Data Teknis Situ, Embung dan Waduk Provinsi Jawa Barat tahun 2010, Penerbit ? Data Teknis Situ DKI tahun 2010, BPLHD Provinsi DKI Jakarta Departemen Kehutanan. 1997. Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Jakarta. Galster, J. C., F. J. Pazzaglia, B. R. Hargreaves, D. P. Morris, S. C. Peters and R. N. Weisman. 2006. Effects of urbanization on watershed hydrology: Tahune scaling of discharge witahun drainage area. Geology, vol. 34, no. 9, p. 713-716. Gilles, D. 2012. Inundation Mapping Initiatives of the Iowa Flood Center: Statewide Coverage and Detailed Urban Flooding Analysis, Water vol. 4, no. 1: 85-106. Global Water Partnership (GWP). 2000. “Integrated Water Resources Management”. Stockholm, Sweden. Gunawan, T. 2005. Pedoman Survei Cepat Terintegrasi Wilayah Kepesisiran, Pusat Survei Sumber Daya Alam Bakosurtanal-Puspics UGM. Hidayat, Y., K. Murtilaksono, E. D. Wahyunie, dan D. R. Panuju. 2013. Karakteristik debit aliran sungai Citarum Hulu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (dalam proses penerbitan). Hidayat, Y. 2009. Karakteristik debit aliran sungai dan pemodelan hidrologi DAS Ciliwung Hulu (tidak dipublikasikan). Hidayat, Y. 2005. Problem kontemporer pengelolaan DAS di Indonesia (tidak dipublikasikan). Huang, G. 2012. From Confining to Sharing for Sustainable Flood Management, MDPI, Sustainability, vol. 4, no. 7, 1397-1411, http://www.mdpi.com/2071-1050/4/7/1397 diunduh 27 April 2013. Kusratmoko, E. 1999. Beziehungen zwischen Niederschlagsstruktur und Abflussverhalten, am Beispiel des Ci Liwung auf West Java, Indonesien. Dissertation der Universitaet Mainz, Deutschland Kusratmoko, E. Djoko Harmantyo, dan Sobirin. 2013.Perubahan Iklim dan Ketersediaan Air Daerah Aliran Sungai di Jabodetabek. Laporan Kemajuan, Hibah Riset BOPTN (unpublished) Leopold. L. B. 1968. Hydrology for urban land planning - a guidebook on tahune hydrologic effects of urban land use: U.S. Geological Survey Circular 554, 18. Marfai, M. A. 2012. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal, Gadjah Mada Univ. Press. Neraca Sumberdaya Alam Spasial Kabupaten Bogor tahun 2000, Penerbit Neraca ? Nugratama, Sony. 2013. Menyelamatkan Kali Bekasi, http://www.radar-bekasi.com/?=123938. Oktaviana, A. 2012. Analisis karakateristik hujan dan penggunaan lahan terhadap debit aliran sungai DAS

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

193


Ciliwung Hulu [skripsi]. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Othman, A.A.; Gloaguen, R. 2013. River Courses Affected by Landslides and Implications for Hazard Assessment: A High Resolution Remote Sensing Case Study in NE Iraq–W Iran. Remote Sensing. vol.5 no.3, 1024-1044. Pardjaman, Djamhir. 1977. Akresi dan Abrasi Pantai Tluj Jakarta disebabkan oleh Kondisi Fisik dan Sosial”, dalam Teluk Jakarta: Sumber Daya, Sifat-sifat Oseanologis serta Permasalahannya (Malikusworo Hutomo, Kasijan Romimohtarto, Burhanuddin, red. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, hlm. 83-106. Ramadhan K.H. 1992. Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977. Jakarta Pustaka Sinar Harapan. Saudi, Ridwan. 1994. Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta. Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan. Suwijanto. 1977. “Geologi Dataran Jakarta dan Sekitarnya”, dalam Teluk Jakarta: Sumber Daya, Sifat-sifat Oseanologis serta Permasalahannya (Malikusworo Hutomo, Kasijan Romimohtarto, Burhanuddin, red. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, hlm 63-82. BBC,Indonesia, Februari, 2013, Bang Idin, pendekar Sungai Pesanggrahan, www.bbc.co.id/indonesia. Djakapermana, RD, Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur : Upaya Menyeimbangkan Pertumbuhan Ekonomi Dengan Kelestarian Lingkungan Hidup, Buletin Tata Ruang, Edisi Juli-Agustus 2008. Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4833. Presiden Republik Indonesia, UU No.24 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum. Brook, R & Davila, J. 2000 Tahune Peri-urban interface: A tale of two cities. Betahunesda,Wales: Gwasg Ffrancon Printers. FAO. 1999. Urban and peri urban agriculture. Report to Tahune FAO Committee on Agriculture (Coag). Meeting from January 25-26. Rome: FAO FAO-SOFA. 2000. Urban food security: Urban agriculture a response to crisis? UA Magazine 1(1) IDRC/UN-HABITAT. 2003. Guidelines for municipal policymaking on urban agriculture. Urban agriculture: Land management and physical planning. 1(3) Mbaye, A. & Moustier, P. 2000. Market oriented urban agricultural production in Dakar. Dlm. Bakker, N., Dubbeling, M., Guendel, U., Sabel-Koscheller, S., & Zeeuw, H. (eds). In growing cities, growing food: Urban agriculture on tahune policy agenda, hlm. 235-256. Feldafing: DSE Mougeot, L. J. A. 1994. African city farming from a world perspective. Dlm. Egziabher, A. G. et al. (eds). In Cities Feeding People: An examination of urban agriculture in East Africa, hlm. 1-24. Ottawa: International Development Research Centre RUAF. 2008. Why is urban agriculture important? http//www.ruaf.org/node/513 [2 April 2008] Smit, J., Nasr, J. & Ratta, A. 1996. Urban agriculture: A neglected resource for food,jobs and sustainable cities. New York: UNDP Suprajaka and Ratnawati, YS (2007) Inequitable Land Usage In East Java (1971-2005) Impact On Tahune Socio-Cultural Livelihood Of Farmers. Tahune Tahunird International UKM-MAHIDOL Conference on Soutahun East Asian Studies Mahidol University Tahunailand, 29-30 November 2007 Suprajaka, dkk (2008). Kajian dinamika spasial lahan basah untuk mendukung analisis strategi ketahanan pangan, Laporan Antara Program Riset Insentif, Kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta. World Bank. 2000. World Development Report. New York: Oxford University Press. Gunawan, Restu. 2010. “Gagalnya Sistem Kanal : Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa”. Jakarta: Kompas. Sasmekto, Adji. 2005. “Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan”. JogJakarta: Pustaka Pelajar. Sen, Amartya. 1999. “Development as Freedom”. London: Oxford University Press. Suparlan, Parsudi. 2004. “Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi Perkotaan”. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. http://www.aktual.co/sosial/144850akibat-banjir-jumlah-sampah-di-Jakarta-meningkat-sekitar-1000-ton-perhari http://www.antaranews.com/berita/355698/sampah-sisa-banjir-Jakarta-capai-8609-ton http://regional.kompas.com/read/2013/01/25/02324435/Sampah.Sumbat.Kanal http://lipsus.kompas.com/gebrakan-jokowi basuki/read/xml/2013/01/21/03364772/Belajar.dari.Banjir.Jakarta. Seyhan, E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

194

Badan Informasi Geospasial


Tahunornbury, W.D.1969. Principles of Geomorphology. John Wiley and Sons, New York Bidang Jaring Kontrol Horisontal dan Vertikal. 2012. Sistem Informasi Geodesi BIG (SIGEOB). PJKGG: BIG. Bidang Geodinamika. 2013. Sistem Operasional RTK Trimble Pivot. PJKGG: BIG. Bidang Geodinamika . 2013. Dokumen Basisdata Logshet stasiun CORS. PJKGG: BIG Bidang Jaring Kontrol Gaya Berat dan Pasang Surut . 2013. Dokumen Basis Data Stasiun Pasang Surut. PJKGG: BIG Bidang Jaring Kontrol Gaya Berat dan Pasang Surut . 2013. Dokumen Laporan Survey Pengukuran Geoid Jakarta. PJKGG : BIG Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika. 2013. TOR Rencana Kegiatan Kerjasama PJKGG dengan Pemda DKI Jakarta. PJKGG. BIG. Tim survey pemetaan cepat (Rapid mapping). 2013. Plotting Survey RTK GPS Daerah Genangan Banjir DKI Jakarta. BIG. Anshori, I. 2010. Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Menyeluruh dan Terpadu, Dewan Sumber Daya Air Nasional. http://www.dsdan.go.id. Anshori, I. 2010. Penerapan Hak Guna Air di Indonesia dan Implikasinya, Dewan Sumber Daya Air Nasional, http://www.dsdan.go.id. Barredo, José I.; Engelen, G. 2010. Land Use Scenario Modeling for Flood Risk Mitigation, Sustainability, vol. 2, no. 5: 1327-1344. Danoedoro, P. 2009. Land-use Information from the Satellite Imagery: Versatility and Contents for Local Physical Planning, Lambert Academic Publishing AG & Co. KG. Gilles, D. 2012. Inundation Mapping Initiatives of the Iowa Flood Center: Statewide Coverage and Detailed Urban Flooding Analysis, Water vol. 4, no. 1: 85-106. Gunawan, T. 2005. Pedoman Survei Cepat Terintegrasi Wilayah Kepesisiran, Pusat Survei Sumber Daya Alam Bakosurtanal-Puspics UGM. Huang, G. 2012. From Confining to Sharing for Sustainable Flood Management, MDPI, Sustainability, vol. 4, no. 7, 1397-1411, http://www.mdpi.com/2071-1050/4/7/1397 diunduh 27 April 2013. Marfai, M. A. 2012. Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal, Gadjah Mada Univ. Press. Nugratama, Sony. 2013. Menyelamatkan Kali Bekasi, http://www.radar-bekasi.com/?=123938. Othman, A.A.; Gloaguen, R. 2013. River Courses Affected by Landslides and Implications for Hazard Assessment: A High Resolution Remote Sensing Case Study in NE Iraq–W Iran. Remote Sensing. vol.5 no.3, 1024-1044. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Permen PU. No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota. Schuetze, T. and Chelleri. L. 2013. Integrating Decentralized Rainwater Management in Urban Planning and Design: Flood Resilient and Sustainable Water Management Using the Example of Coastal Cities in The Netherlands and Taiwan, Water, vol.5 no.2:593-616 Undang-undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Undang-undang No. 32 Tahun 2009. tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Zhang, H., Ma, Wei-chun and Wang, Xiang-rong. 2008. Rapid Urbanization and Implications for Flood Risk Management in Hinterland of the Pearl River Delta, China: The Foshan Study. Sensor, vol.8 no.4: 22232239. Aca. 1970. Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sejarah. Adimihardja, Kusnaka. 1992. Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh, Bandung. TarsitoAli, Moh. et.al. 1975. Sejarah Jawa Barat: Suatu Tanggapan. Bandung: Pemda Tk I Jabar. Ayatrohaedi. “Masyarakat Sunda Sebalum Islam,” Data Naskah. Laporan Penelitian untuk Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Ayatrohaedi. 2003. “ Ngajang ka Kalanggengan Agama Orang Sunda Pra-Islam Menurut Naskah,” Tulak Bala, seri Sundalana 1 Pusat Studi Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.Danasasmita, Saleh. Ayatrohaendi. 1981. Pola Pemukiman Pedesaan di Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

195


Darsa, Undang A., dan Edi S. Ekadjati. 2003. “Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan,” Tulak Bala, seri Sundalana 1 Pusat Studi Sunda. Bandung: yayasan Pusat Studi Sunda. Ekadjati, Edi S. 1974. “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat,” Sejarah Jawa Barat: Dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Islam. Bandung: Proyek Penunjang Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat. Ekadjati, Edi S.2001. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung LPUP the Toyota Foundation. Ekadjati, Edi S.1995. Kebudayaan Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya. Ekadjati, Edi S. 2003. “Tulak Bala Sistim Pertahanan Tradisional Kasus Desa Karangtawang Kabupaten Kuningan, Jawa Barat,” Tulak Bala, seri Sundalana 1 Pusat Studi Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda. Garna, Yudistira. 1984. “Gambaran Umum Daerah Jawa Barat dan Pola Kampung Sunda,” Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya.Jakarta: Girimukti Pasaka. Michrob, Halwany dan A. Mudjahid Chudari. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: SUDARA Rosidi, Ajip. 1984. Manusia Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Girimukti Pusaka. Salmun, M.A.1958. Kandaga Kasusastran Sunda, Bandung: Ganaco Setiawan, Hawe. 2003. “Sastra Sunda bari Ngelmu Sastra: Pangjurung Pikeun Nyusun Panyungsi Sastra Sunda Keur Mahasiswa ,” Tulak Bala, seri Sundalana 1 Pusat Studi Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda. Surianingrat, Bayu. 1982. Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur. Cianjur: Rukun Warga. Wibisana, Wahyu. 2000. Lima Abad Sastra Sunda: Sebuah Antologi , Jilid I, Bandung: Geger Sunten. WH, Sulyana. 2006. Siliwangi adalah Rakyat Jawa Barat Rakyat Jawa Barat adalah Siliwangi. Bandung: BPC. Gunawijaya, Jajang. 2005. “Pertanian dan Kelestarian Hutan,” Ekspedisi Geografi Indonesia. Cibinong: Bakosurtanal. Gunawijaya, Jajang. 2005. “Pertanian Ladang Vs Pertanian Sawah: Leuit Sijimat,” Ekspedisi Geografi Indonesia. Cibinong: Bakosurtanal. Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger. 1992. Tahune Invention of Tradition. Cambridge: University Press. Setiawan, Yudi. 2005. “Interaksi Manusia dengan Lingkungan,” Ekspedisi Geografi Indonesia. Cibinong: Bakosurtanal Shahab, Yasmine Zaki. 2003. Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi, Depok: Laboratorium Antropologi FISIP-UI. Herliyani Suharta dan Soni Solistia Wirawan,”DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAGI JAKARTA, IBUKOTA NEGARA KEPULAUAN TERLUAS DIDUNIA, INDONESIA”, JITE Vol. 1 No. 16 Edisi Februari 2013. Henricus, Hans dkk. 2013. “Kisah Van Breen dan Warisan Kanal Jakarta”.http://majalahdetik.info/2013/01/08/ kisah-van-breen-dan-warisan-kanal-Jakarta/diakses 21 Mei 2013. Rahmatullah. 2013. Sejarah Banjir di Jakarta. http://rohmatullahh.blogspot.com/2013/01/sejarah-banjir-diJakarta.html, diakses 21 Mei 2013. Kutipan Wawancara dengan pengurus RT 01-14/ RW 10 Keluruhan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan Agusyanto, Ruddy.2007. Jaringan Sosial Dalam Organisasi. Jakarta: Raja grafindo. Agusyanto, Ruddy . 2012. “Kelangsungan Hidup dan Teritori Sumberdaya”, dalam NKRI Dari Masa Ke Masa (Karsidi dkk., ed.). Bogor: Sains Press. Anjarwati, Elfrida. 2009. Early Man Civilization in Sangiran Dome (Kehidupan Manusia Purba di Kubah Sangiran). Sragen: Pemerintah Kabupaten Sragen. Burns, Tom R., dkk. 1987. Manusia, Keputusan, Masyarakat: Teori dinamika antara aktor dan sistem untuk ilmuwan sosial. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Dove, Michael R (ed.). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ducummon, LS. 2011. Ecological And Economic Importance of Bats, Bat Conservation International, Inc, Austin, Texas Ekspedisi Geografi Indonesia. 2012. Selamatkan Kawasan Karst di Selatan Jawa Timur. Cibinong: Badan Informasi Geospasial. Haviland, William A. 1988. Antropologi, jilid 1 dan 2 (terj.). Jakarta: Penerbit Erlangga. http://pajsindonesia.wordpress.com/2012/08/31/diversitas-lingkungan-kawasan-karst-malang-selatan-dandiversitas-etnostrategi/

196

Badan Informasi Geospasial


http://www.komunitasbelokkiri.com/seni-tiban-tarian-meminta-hujan-dalam-perspektif-filsafat-ketuhanan. htm http://iannnews.com/ensiklopedia.php?page=budaya&prov=2&kota=81&id=376 Sumber: http://iniunic.blogspot.com/2011/10/upacara-adat-minta-hujan.html http://inpo-aneh.blogspot.com/2012/09/upacara-pernikahan- kodok-untuk-meminta.html http://www.indosiar.com/ragam/ritual-minta-hujan-dengan-beragam-pantangan_88606.html http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/19/10004077/Banjir.di.Kampung.Pulo.Tak.Ganggu.Aktivitas. Warga?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign= http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/05/12185433/Banjir.Lagi.Warga.Kp.Pulo.Tetap. Beraktivitas?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign= http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/12/12164613/Akan.Direlokasi.Warga.Kampung.Pulo.Bangun. Rumah.3.Lantai http://www.tempo.co/read/news/2013/01/18/214455243/Beda-Curah-Hujan-Jakarta-2007-dengan-2013 http://thesis.binus.ac.id/doc/LampiranNoPass/2007-2-00552-STIF-Lampiran.pdf http://health.detik.com/read/2013/02/04/161543/2160755/763/2-hari-saja-tumpukansampah-di-jakarta-bisa-dibangun-candi-borobudur http://www.tribunnews.com/2013/05/08/puluhan-pemilik-toko-di-cipanas-panik http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/05/08/6/152254/Banjir-Rendam-Belasan-Toko-diCipanasPeraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Permen PU. No. 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota. Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika. 2013. TOR Rencana Kegiatan Kerjasama PJKGG dengan Pemda DKI Jakarta. PJKGG. BIG. Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah Jabodetabekpunjur , Departemen Kehutanan Tahun 2007. Schuetze, T. and Chelleri. L. 2013. Integrating Decentralized Rainwater Management in Urban Planning and Design: Flood Resilient and Sustainable Water Management Using the Example of Coastal Cities in The Netherlands and Taiwan, Water, vol.5 no.2:593-616 Seyhan, E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Stakhiv, Eugene Z. 2008. “SD = IWRM + IRBM + IFM.”, Proceeding of ICHARM International Symposium, Local Practices of Integrated Flood Risk Management Under Changing Natural and Social Conditions. Tokyo, Japan. Suara Publik. 2001. Sudetan Ciliwung-Cisadane, Mengatasi Banjir Jakarta. Edisi Perdana, September 2001. Suprayogi. 2008. Perubahan Pola Meander CiLiwung Tahun 1900 – 2006. Tesis pada Program Magister Geografi, FMIPA UI (unpublished). Survei lapangan Tim EGI, April tahun 2013, Badan Informasi Geospasial. Tahunornbury, W.D.1969. Principles of Geomorphology. John Wiley and Sons, New York Tim survey pemetaan cepat (Rapid mapping). 2013. Plotting Survey RTK GPS Daerah Genangan Banjir DKI Jakarta. BIG. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang No. 32 Tahun 2009. tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. WMO, Associated Programme on Flood Management (APFM), and Global Water Partnership (GWP). 2009. Integrated Flood Management Concept Paper. World Meteorological Organization, Geneva, Switzerland. WMO. 2009. Guide to Hydrological Practices, Vol II., World Meteorological Organization, Geneva, Switzerland. Zhang, H., Ma, Wei-chun and Wang, Xiang-rong. 2008. Rapid Urbanization and Implications for Flood Risk Management in Hinterland of the Pearl River Delta, China: The Foshan Study. Sensor, vol.8 no.4: 22232239.

Ekspedisi Geografi Indonesia 2013

197


TIM EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2013 Pengarah Dr. Asep Karsidi (Kepala Badan Informasi Geospasial) Dr. Priyadi Kardono, M,Sc. (Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BIG) Penganggung Jawab Dr. Nurwadjedi M.Sc. (Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik BIG) Penanggung Jawab Teknis Dr. rar net. Sumaryono M.Sc. (Kepala Bidang Kebencanaan dan Perubahan iklim) Kelompok Abiotik Dr. Eko Haryono (Fak. Geografi UGM) Dr. Budi Brahmantyo (Fak. Geografi UGM) Kurniawan Sigit Wicaksono, SP, MSc (Fak. Geografi UGM) Bagus Yulianto (Fak. Geografi UGM) Kelompok Biotik Dr. Lies Rahayu Faida (Fak. Kehutanan UGM) Dr. Cahyo Rahmadi (Puslit Biologi – LIPI) Dr. Karuniawan (Fak. Pertanian Univ. Brawijaya) Ir. Medha Baskara M.T. (Fak. Pertanian Univ. Brawijaya) Kelompok Sosial Budaya Prof. Dr. Meutia Hatta (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI) Dr. Yanuarius Koli Bau (Staf Wantipres) Rudy Agusyanto, MA (Staf Wantipres) M. Reza Husain (Staf Wantipres) Yudhanti Parana Santi (Staf Wantipres) Maisa Yudono (Staf Wantipres) Dr.Jajang Gunawijaja (Fak. Geografi UGM) Drs. J. Susetyo Edy Yuwono, M.Si. (Fak. Geografi UGM) Ahfi Wahyu Hidayat (Fak. Geografi UGM) Iwan Nurhadi, S.Sos, MA (Fak. Geografi UGM) Drs. Sukendra Martha M.App.Sc (Fak. Geografi UGM)

Kelompok Penginderaan Jauh Prof. Dr. Aris Poniman (BIG) Yusuf Wibisono (BIG) Murdaningsih (BIG) Fitri Nurcahyani (BIG) Kelompok Sistem Informasi Geografi Fandi Triadmajaya (BIG) I Gde Wisnu SR (BIG) Rahmat Susanto (BIG) Tim Editor : Al. Susanto (BIG) Budiman (BIG) Al. Susanto (BIG) Budiman (BIG) Al. Susanto (BIG) Budiman (BIG)

Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia Oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor KM. 46Cibinong 16911 Telp.: 021 875 2062 e-mail: e-mail info@bakosurtanal.go.id Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2

Hak cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Ekspedisi Geografi Indonesia 2013 Menentang Banjir Cetakan pertama Cibinong: Badan Informasi Geospasial viiii + 182 halaman, 18 cm x 27 cm ISBN: 000-000-0000-00-0

198

Badan Informasi Geospasial

1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyaK ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).


PETA JALUR PENJELAJAHAN EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2013



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.