11 minute read

Esei: Masa depan bersama kita

Masa depan bersama kita

Angkatan millenial di dunia seni

Advertisement

Ketika para seniman muda dari dua negara yang berbeda bertemu, mereka mungkin akan dengan cepat mengetahui kesamaan mereka dan apa yang membuat perbedaan di antara mereka. Namun, dalam seni visual mereka punya kepentingan tentang ‘visuality’, sebagai kata kunci untuk bidang ‘visual culture’ dan bahasa visual yang menyertainya.

Menurut definisi W.J.T. Mitchell, seorang peneliti terkenal didalam bidang teori media dan ‘visual culture, visualitas adalah konstruksi sosial bidang visual dan konstruksi visual bidang sosial. Mencipta image dalam pikiran adalah bagian penting dari imajinasi seniman. Jadi mereka mewujudkan sesuatu, yang tidak terlihat, sebelum terbentuk dalam rupa karya seni. Menurut definisi Mitchell, visual berfungsi di dua arah: sebuah visual membentuk sosial, tetapi sebuah sosial juga membentuk visual.

Dalam pameran yang diselenggarakan oleh Indra Dody, pemilik Badai Studio dan dirinya seorang seniman, bersama dengan Artemis Art dari Kuala Lumpur, Malaysia, sekelompok seniman muda dari Malaysia bertemu dengan kelompok seniman muda dari Indonesia.

Tentu saja, ini bukan pertama kalinya bahwa seniman Malaysia menunjukkan karya mereka di Indonesia, atau justru di Yogyakarta. Di masa lalu sudah ada pertukaran artistik dengan Malaysia. Perkembangan seni modern atau kontemporer telah mengambil jalan yang berbeda di kedua negara ini. Namun, di sisi lain, kedua negara mempunyai beberapa akar budaya yang sama, misalnya bahasa (tentu saja tidak 100 % sama tetapi masih sangat dekat satu sama lain sehingga mereka dapat berkomunikasi secara langsung dan saling memahami).

Sejarah Indonesia dan Malaysia berbeda, ditandai oleh pengaruh rezim kolonial masing-masing. Dalam kasus Indonesia, melalui pengaruh Belanda orang Indonesia berkenalan dengan seni modern. Kurator Indonesia terkenal Jim Supangkat (lht.: Turner 2005) menyatakan bahwa seni Indonesia telah “kadang-kadang beradaptasi dalam periode waktu yang lama dalam periode kolonial.” Itu menunjukkan karakteristik apa yang ia sebut sebagai “multimodernisme: salah satu ciri modernisme dilihat melalui prinsip-prinsip pluralis”.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ASRI - Akademi Seni Rupa Indonesia - didirikan pada tahun 1950 di Yogyakarta. Menurut Sarena Abdullah (2010) “ASRI mempromosikan ide bahwa pelukis lokal harus menghasilkan karya seni ‘nasional’ dan asli, yang sebagian besar berasal dari identifikasi emosional dan dogmatis mereka dengan Indonesia dan rakyatnya. ”

Pada tahun 1984 ASRI digantikan oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI Yogyakarta), dengan misinya untuk mendidik seniman “dengan sikap dan kompetensi ilmiah, yang memiliki rasa tanggung jawab, kesadaran, dan komitmen dalam mengembangkan budaya nasional, sesuai dengan layanan mereka untuk pembangunan bangsa dan karakter. “

Dalam kasus Malaysia, Inggris yang membawa seni Barat modern ke Malaysia, di samping seniman Cina yang berimigrasi, yang telah mempelajari seni Barat. Seniman Tiongkok ini membentuk inti dari Akademi Seni Rupa Nanyang yang berpengaruh dan didirikan di Singapura pada tahun 1938, dengan lima tujuan:

1. Integrasi esensi budaya dari empat ras;

2. Peleburan seni Timur dan Barat;

3. Pengembangan semangat sains dan tren pemikiran modern;

4. Ekspresi rasa tropis lokal dan penciptaan gaya seni Nanyang (Laut Selatan);

5. Penekanan pada fungsi pendidikan dan sosial seni rupa.

Asosiasi seniman Melayu penting lainnya adalah Angkatan Pelukis Semenanjung (APS), didirikan pada tahun 1956, tetapi kemudian diubah menjadi Angkatan Pelukis SeMalaysia pada tahun 1968. Pembentukan APS dapat dilihat sebagai hal yang relevan bagi banyak seniman Melayu yang hanya mencapai pendidikan Melayu. (Sarena Abdullah, 2010)

Dorongan kuat lainnya untuk pengembangan seni Malaysia yang berasal pada awal 1960an dari Wednesday Art Group (dilakukan oleh Peter Harris, seorang seniman dan pendidik seni dari Inggris) dan Dewan Seni Malaysia. Galeri Seni Nasional didirikan di tahun 1958, dan berganti nama, menjadi Galeri Seni Visual Nasional pada tahun 2011, sebagai badan nasional yang terlibat dalam pengembangan seni Malaysia.

Jadi di kedua negara ini, perkembangan seni modern dan kontemporer dikaitkan dengan pencarian identitas nasional, itu juga mau diekspresikan dalam seni. Malaysia sebagai negara multi-rasial dengan kelompok minoritas dan imigran dari Cina dan India yang lebih besar harus menemukan jawaban yang berbeda untuk pertanyaan ini daripada Indonesia, yang telah menuliskan “Binekha Tunggal Ika” sebagai prinsip dasar dalam konstitusinya.

Generasi seniman baru di dua negara ini dihadapkan pada hari ini dengan lingkungan dan teknologi yang sama sekali berbeda dari generasi sebelumnya. Globalisasi dan digitalisasi adalah salah satu tantangan paling serius. Ini mengakibatkan eksplorasi tema artistik melalui seni media baru dan instalasi (media itu menjadi lebih umum sejak tahun delapan puluhan, di Indonesia sudah sedikit lebih awal), dengan meninggalkan seni tradisional beserta medianya yang dulu berfungsi sebagai penanda identitas budaya. Kanon seni visual bergeser, itu telah dirusak oleh agenda postmodern baru-baru ini yang telah menantang wacana dominan sebelumnya dan kecenderungan gaya (diwakili, misalnya, melalui gerakan modernis seperti ekspresionisme abstrak).

Seni mau tidak mau harus mencerminkan sesuatu dengan cara tertentu, realitas yang berubah, dan karya seni selalu dapat dibaca sebagai kritik sosial dan komentar. Transformasi ekonomi dan teknologi, sama dengan globalisasi, urbanisasi dan industrialisasi juga berdampak besar pada seniman.

Jadi, siapa seniman muda dari Indonesia dan Malaysia yang akan menunjukkan kepada kita sekilas dan kesan masa kini dan, mungkin, masa depan? Semua seniman yang berpartisipasi di pameran ini lahir antara awal 1980-an dan pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an. Jadi mereka dapat dikategorikan sebagai bagian dari generasi yang disebut milenial.

Para peserta dari Malaysia:

Ajim Juxta (Raja Azeem Idzham), born in 1983 – a proficient artist with a long track record of exhibitions in Malaysia and abroad (Taiwan, India, Indonesia and Singapore). Ajim Juxta is painting, but as well making installations. The painted works are inspired by architectural forms, but in a state of distortion. It’s an almost abstract painting that he did for a while. The approach is conceptual, reflecting a heightened consciousness of social reality. The main characteristic for a certain period of Ajim Juxta are strong and accentuated lines.

Aleff Ahmad (Mohd Aliff Bin Ahmad), born in 1990 – exhibiting artworks since 2010 (Malaysia, Indonesia, Philippines and Australia). Aleff Ahmad refered to traditional painting objects like water-buffalo or depictions of landscapes in a figurative style with abstract elements, using industrial paint for indicating the ecological and economical changes which affect the Malaysian environment. His newer works are more focussed on forms.

Bibichun (Khor Zew Wey), born in 1983 – exhibition experience in Malaysia, and abroad in USA, Indonesia, Myanmar and Austria, participating in art events and festivals. He is interested in public reactions to his work, doing murals and discarded objects. His style is figurative and uses elements from mythological tales and pop art.

Blankmalaysia – the artist name adopted by Adam Jay Robert, born in 1988. He has studied in England, and exhibited in Malaysia since 2014. Working mainly with paper, he wants to speak about mortality and timelessness in the contemporary era. His approach is based on philosophy. He preferes paper because of its versatile usability. It’s a bit like conjuring what he means, everything is possible.

Caraok (Cara Ngeu), born in 1997, has a background in graphic design and has exhibited in Malaysia. The thematic context for her works are deconstruction and reconstruction, refering according to her own words to her childhood in a troubled family. A characteristic colouring with red blue enhances the contrasts that she subconsiously feels. She is committed to Dadaism and Brutalism with its clear and sharp lining. Her more personal collages look like a broken mirror, representing a broken and refigured soul.

Haris Rashid, born in 1992, has already shown his artworks in China, Singapore and Indonesia, besides participating in numerous exhibitions in Malaysia. He studied illustration, and after his graduation he decided to become a professional full-time artist, working with various media, for example wood and textured pressed paper. His favorite objects of painting are wild animals, expressing his concerns about nature, that is threatened through humans and their exploitation of the natural environment. Haris finds human features in animals, and sometimes he believes that animals possess more humanity than mankind itself. Humans should realize that they are part of nature and better protect it. In this sense his concept can be called ‘anthropocenic’.

Lee Sydney, born in 1993. She has studied in England, exploring very different media, from video to photography, installations, collages and painting, and exhibited in England, Greece, and Malaysia. She is interested in Othering and the notion of gaze, for finding out about social identity. Her series of “pieces” showed forms taken from nature. “Is that what we see really

real?”, is the disconcerting question behind her collages. Her artistic process is an attempt to connect again with lost memories of childhood.

Sattama (Satria Utama), born in 1986, has exhibited in Malaysia and Korea. The name is composed of the words satria and utama, its meaning in Sanskrit according to Sattama is transcendence, something beyond the range of human experience. Sattama is a musician, a designer and performing artist. The former paintings were painted on wood, with a cartoon-like style, depicting symbols, traditional and modern items (for example TV-test cards), geometric forms and figures of nude males and females, in sometimes desparate situations. It is a narrative work, but everything could change fast again.

Para peserta dari Indonesia:

Diana Puspita Putri, lahir pada tahun 1996, karya seninya dipamerkan terutama di Yogyakarta, tetapi juga di beberapa tempat lain di Indonesia. Lukisan-lukisannya berwarna-warni dan penuh perhatian, jeli dan mencerminkan dirinya dan lingkungannya. Diana tidak takut mengungkapkan saat-saat kelamnya dalam seninya - ketakutan, depresi, dan frustrasi. Subjek penting lainnya dalam lukisannya adalah kesulitan komunikasi antara orang-orang di masyarakat modern. Dia melakukan eksperimen dengan kain dan benang di kanvas, untuk menemukan kemungkinan visualisasi lainnya dan memperluas jangkauan lukisan tradisional. Karyanya subyektif, memberitahu pemirsa tentang wawasan dan perasaannya.

I Putu Adi Suanjaya “Kencut”, lahir pada tahun 1994, I Putu Adi Suanjaya “Kencut”, lahir pada tahun 1994, dan telah dipamerkan di Indonesia (Bali, Jakarta, Yogyakarta), tetapi juga di Selandia Baru. Ia melukis secara figuratif dengan teknik realis, tetapi benda-benda yang dilukisnya berasal dari dunia imajinasi. Boneka, seperti mainan anak-anak, digambarkan dalam situasi manusia, dengan mata dalam bentuk kancing. Kelihatan tubuh mereka mirip dengan manusia, mereka berpakaian dengan kemeja dan celana panjang berwarna-warni. Dengan teknik melukisnya yang tepat, I Putu Adi Suanjaya menimbulkan ilusi tekstil yang sempurna, tetapi itu hanyalah cat.

Laksamana Ryo, lahir pada tahun 1993, punya pengalaman pameran di Indonesia, terutama Yogyakarta. Laksamana mengatakan bahwa seni telah menjadi hal yang alami baginya, seperti naluri. Ia terpesona oleh kebebasan yang bisa ia capai dalam karya seninya. Dalam melukis ia telah menemukan elemen ‘magic’, karena itu melukis adalah cara yang lebih dia sukai untuk membuatnya. Tetapi, bagaimanapun, ia ingin disebut seorang seniman daripada seorang pelukis, karena ada begitu banyak kemungkinan lain selain melukis yang belum ia coba. Dia menggunakan bahasa visual seni populer, yang lebih dekat dengan generasinya sendiri, namunya milenium. Mungkin suatu hari budaya populer semacam ini akan menjadi pola dasar dari generasi ini, katanya. Lukisan-lukisannya menggambarkan suasana sureal, sering

memvisualkan gadis-gadis muda di lingkungan dan bentuk yang tidak biasa.

Oky Antonius, lahir tahun 1994, sering berpartisipasi dalam pameran di Yogyakarta dan beberapa kota lain di Jawa dan Sumatra. Sosoknya mungkin terlihat lucu atau aneh dan menggelikan, tetapi mereka menceritakan tentang visinya yang serius tentang masyarakat. Ada keserakahan, ada permainan, ada persaingan, semua jenis kegiatan yang bisa ditemukan dalam kehidupan manusia. Beberapa lukisan menunjukkan hewan dalam pose antropomorf. Lukisanlukisan lain menggunakan gaya yang sama sekali berbeda, mengarah pada bentuk semiabstrak dengan cara yang jauh lebih rinci dan penuh warna. Ini adalah eksplorasi dan dalam perkembangannya di masa depan akan terlihat ke mana perjalanannya akan membawanya.

Rangga Anugrah Putra, lahir pada tahun 1995, telah berpartisipasi dalam pameran di Yogyakarta, tetapi juga di Jakarta, Solo dan Bandung. Rangga ingin lepas dari kendali dan melawan aturan. Gaya lukisan abstraknya bervariasi, ada yang lebih ekspresif, dengan warna yang pada dasarnya lebih gelap, karya-karya lain termasuk elemen lukisan figuratif, tetapi dalam gaya abstrak dan diminimalkan. Angka-angka dan kata-kata tertulis juga diperkenalkan dalam lukisannya. Teksturnya memperlihatkan kualitas cat yang solid atau sangat kental, seperti bitumen yang ia sindir dalam salah satu lukisannya.

Rizal Hasan, lahir pada tahun 1992, telah memamerkannya di Indonesia sejak 2013. Dunia Rizal adalah seperti alam mimpi yang sureal, dilukis dengan warna-warna lembut dan dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang mengingatkan pada gaya komik. Monster dengan tiga mata muncul, atau hanya kepala seorang gadis dengan mata yang mengkristal di sisi kolam kecil. Alien, atau makhluk aneh muncul di lingkungan tropis. Mata yang jadi ikon adalah kunci untuk membaca karya Rizal. Mata dapat dilihat dalam berbagai bentuk yang aneh. Dan tentu saja mata adalah pusat seni visual. Apa yang dilihat, itu tergantung pada masing-masing individu.

Kelompok seniman muda ini cukup beragam, dengan berbagai latar belakang pendidikan dan budaya, dengan prioritas masing-masing dalam memilih mata pelajaran dan media yang mereka gunakan. Tetapi mereka semua memiliki keinginan berbagi untuk melanjutkan pendekatan eksploratif, sampai mereka menemukan apa yang mereka cari. Mereka semua ingin berkontribusi pada dunia seni dengan karya-karya individual yang inovatif dan signifikan yang mewakili identitas mereka. Ini adalah proses menemukan diri mereka sendiri, dan perjalanan yang benar-benar artistik. Sebagai anak milenial, mereka mewakili generasi mereka dengan sikap dan konsep yang lebih bergeser ke individualitas masing-masing seniman yang terlibat. Milenial dikarakteristikkan sebagai generasi yang sangat berorientasi ke konsumerisme, tetapi mereka juga produktif dan mereka akan memutuskan masa depan sejak dini. Meskipun mereka adalah generasi pertama yang telah mendasar hampir sepenuhnya dengan teknologi digital ini di sekitar mereka, mereka masih ingat bahwa manusia harus diprioritaskan. Yang pasti, cara mereka berkomunikasi, mengumpulkan informasi dan memecahkan masalah dibentuk oleh teknologi baru.

Karya-karya seni dalam pameran ini membuktikan bahwa kaum milenial tidak berkomitmen pada konsumerisme - walaupun kebanyakan dari mereka tentu menyukai budaya populer - tetapi mereka memiliki minat untuk mengalami lebih dalam. Pertemuan ini, para seniman muda dari Indonesia dan Malaysia membangun jembatan antara dua sejarah dan budaya yang berbeda, dengan bertukar dan berbagi pengalaman dalam seni. Masa depan akan bersama mereka.

Anton Larenz, Penulis Seni

Catatan:

Abdullah, Sarena: Absenteeism of Malaysian Identity in Art in the Early Years of Independence. In: JATI, Vol 15, Issue 1; Kuala Lumpur, Universiti Malaya, 2010)

Turner, Caroline: Art and Social Change: Contemporary Art in Asia and the Pacific. Pandanus Books, The Australian National University, Canberra, Australia, 2005

This article is from: