Masa depan bersama kita Angkatan millenial di dunia seni Ketika para seniman muda dari dua negara yang berbeda bertemu, mereka mungkin akan dengan cepat mengetahui kesamaan mereka dan apa yang membuat perbedaan di antara mereka. Namun, dalam seni visual mereka punya kepentingan tentang ‘visuality’, sebagai kata kunci untuk bidang ‘visual culture’ dan bahasa visual yang menyertainya. Menurut definisi W.J.T. Mitchell, seorang peneliti terkenal didalam bidang teori media dan ‘visual culture, visualitas adalah konstruksi sosial bidang visual dan konstruksi visual bidang sosial. Mencipta image dalam pikiran adalah bagian penting dari imajinasi seniman. Jadi mereka mewujudkan sesuatu, yang tidak terlihat, sebelum terbentuk dalam rupa karya seni. Menurut definisi Mitchell, visual berfungsi di dua arah: sebuah visual membentuk sosial, tetapi sebuah sosial juga membentuk visual. Dalam pameran yang diselenggarakan oleh Indra Dody, pemilik Badai Studio dan dirinya seorang seniman, bersama dengan Artemis Art dari Kuala Lumpur, Malaysia, sekelompok seniman muda dari Malaysia bertemu dengan kelompok seniman muda dari Indonesia. Tentu saja, ini bukan pertama kalinya bahwa seniman Malaysia menunjukkan karya mereka di Indonesia, atau justru di Yogyakarta. Di masa lalu sudah ada pertukaran artistik dengan Malaysia. Perkembangan seni modern atau kontemporer telah mengambil jalan yang berbeda di kedua negara ini. Namun, di sisi lain, kedua negara mempunyai beberapa akar budaya yang sama, misalnya bahasa (tentu saja tidak 100 % sama tetapi masih sangat dekat satu sama lain sehingga mereka dapat berkomunikasi secara langsung dan saling memahami). Sejarah Indonesia dan Malaysia berbeda, ditandai oleh pengaruh rezim kolonial masing-masing. Dalam kasus Indonesia, melalui pengaruh Belanda orang Indonesia berkenalan dengan seni modern. Kurator Indonesia terkenal Jim Supangkat (lht.: Turner 2005) menyatakan bahwa seni Indonesia telah “kadang-kadang beradaptasi dalam periode waktu yang lama dalam periode kolonial.” Itu menunjukkan karakteristik apa yang ia sebut sebagai “multimodernisme: salah satu ciri modernisme dilihat melalui prinsip-prinsip pluralis”. Setelah kemerdekaan Indonesia, ASRI - Akademi Seni Rupa Indonesia - didirikan pada tahun 1950 di Yogyakarta. Menurut Sarena Abdullah (2010) “ASRI mempromosikan ide bahwa pelukis lokal harus menghasilkan karya seni ‘nasional’ dan asli, yang sebagian besar berasal dari identifikasi emosional dan dogmatis mereka dengan Indonesia dan rakyatnya. ” Pada tahun 1984 ASRI digantikan oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI Yogyakarta), dengan misinya untuk mendidik seniman “dengan sikap dan kompetensi ilmiah, yang memiliki rasa tanggung jawab, kesadaran, dan komitmen dalam mengembangkan budaya nasional, sesuai dengan layanan mereka untuk pembangunan bangsa dan karakter. “ Dalam kasus Malaysia, Inggris yang membawa seni Barat modern ke Malaysia, di samping seniman Cina yang berimigrasi, yang telah mempelajari seni Barat. Seniman Tiongkok ini membentuk inti dari Akademi Seni Rupa Nanyang yang berpengaruh dan didirikan di Singapura pada tahun 1938, dengan lima tujuan: 6