Jurnal Reka Karsa ISSN: 2338-6592
© Jurusan Arsitektur Itenas | No.1 | Vol. V Januari 2018
RANCANGAN KAWASAN OBSERVATORIUM BOSSCHA DITINJAU DARI POLA TATANAN MASSA DAN VEGETASI Irfan Sabarilah H, Thalitha A. A, Wahyu S. N, Sarah H. P , Novia F. U. H Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Itenas, Bandung Email: i.s.hasim@gmail.com ABSTRAK Kawasan Observatorium merupakan bangunan yang berperan untuk meneliti Tata Surya dalam ilmu Astronomi. Observatorium Bosscha merupakan observatorium di Indonesia yang dibangun pada tahun 1923 di kota Bandung. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat observasi benda–benda luar angkasa, hal ini berpengaruh terhadap bentuk bangunan dan perancangan tapaknya. Dalam hal ini pola tata letak merupakan hal penting untuk menunjang kegiatan yang ada di dalamnya. Tatanan massa pada bangunan observatorium mengalami perubahan seiring dengan perkembangan teknologi pengamatan astronomi yang memungkinkan berbagai tatanan baru. Perancangan observatorium perlu memperhatikan kondisi alam khususnya dalam perencanaan lansekap. Proses pengamatan pada kasus ini menggunakan 2 metoda, diantaranya: Metoda Primer yang dilakukan untuk memperoleh data secara langsung dan sesuai dengan kondisi sebenarnya dengan cara observasi dan wawancara; Metoda Sekunder dilakukan untuk memperoleh teori dan informasi yang mempelajari referensi yang berkaitan dengan subyek yang akan dibahas. Referensi dapat diperoleh melalui media cetak, buku maupun media elektronik. Hasil analisis tersebut dapat menyimpulkan bahwa secara keseluruhan presentase kesan lapang pada kawasan Observatorium Bosscha sebesar 66,7% dan kesan menghimpit sebesar 33,3%. Selain itu 50% pohon pada kawasan Observatorium Bosscha berpotensi mengganggu kegiatan pengamatan, terutama pada kawasan Unitron yaitu sebesar 60%. Sedangkan kawasan Schmidt memiliki potensi terkecil dari gangguan vegetasi yaitu sebesar 11.1%. Hal ini membuktikan bahwa perlunya pertimbangan terhadap penempatan dan penentuan jenis vegetasi pada kawasan observatorium. Diharapkan ilmu lansekap dan massa bangunan yang berada di kawasan Observatorium dapat dijadikan pedoman bagi perancang. Kata kunci: observatorium, lansekap, vegetasi, tipologi
ABSTRACT Observatory area roles to examine the solar system in Astronomy. Bosscha Observatory was built in 1923 that take a place in Bandung city. This building is a place to research the solar system objects, this could react to the form of the building and site design. In this case, massing configuration is an important thing to support the activities. The massing configuration transforms along with the astronomical observations technology that allows variety of new order. Observatory design should notice the surrounding environment in particular on landscape. In this research using two methods, including; Primary Method that undertaken to obtain data directly and appropriate with the real condition by means of observatory and interview; Second Method conducted to gather theory and references that refer to subject to be discussed. Reference can be obtained through printed media, book, and electronic media. Based on data analysis can conclude that 66.7% Bosscha Observatory area has the field impressions, while 33.3% has the crushed impression. And 50% of trees in Bosscha Observatory have potential to disturb the activities of observation, especially the Unitron by 60%. While Schmidt has the smallest potential from vegetation interference only by 11%. It proves that consideration of placement and the determination of the type vegetation in observatory is necessary. Landscape and mass buildings knowledge were expected to be designer’s guidelines for Observatory planning. Keywords: observatorium, landscape, vegetation. typology
Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 1
Irfan Sabarilah Hasim dkk
1. PENDAHULUAN Observatorium Bosscha merupakan Observatorium yang digunakan untuk penelitian benda luar angkasa dalam skala nasional hingga internasional. Selain untuk penelitian beda luar angkasa, juga memiliki peran sebagai modal dasar pengembangan penelitian dan pendidikan Astronomi di Indonesia. Kedudukan Observatorium Bosscha dilihat dari jumlah dan persebaran observatorium di dunia sangat strategis. Bosscha merupakan observatorium terbesar di Asia Tenggara dan merupakan satu-satunya teropong bintang yang terletak di garis khatulistiwa. Dengan demikian peranannya dalam mengamati benda-benda angkasa di kedua belahan langit utara dan selatan. Observatorium Bosscha merupakan promotor dari lingkungan yang hijau. Pola konfigurasi massa bangunan serta lansekap pada kawasan observatorium merupakan hal penting untuk menunjang kelangsungan aktivitas, terutama dalam kelangsungan pengamatan teropong bintang. Setiap observatorium memiliki penyikapan pola massa bangunan hingga lansekap yang berbeda, sesuai kondisi tapak tertentu. Menurut A.A. Waumans, tatanan massa pada bangunan observatorium mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan teknologi pengamatan astronomi yang memungkinkan berbagai tatanan baru (Waumans: The Typology of Astronomical Observatories, 2013). Bosscha yang sudah berdiri hingga 90 tahun lamanya, akan terdapat beberapa transformasi mulai secara fungsional maupun kondisi tapaknya. Maka dari itu perlunya pengetahuan perkembangan lebih jauh mengenai tatanan massa bangunan dari waktu ke waktu di suatu kawasan observatorium. Kelangsungan Bosscha sebagai lembaga penelitian juga sepatutnya tetap dipertahankan agar dunia astronomi di Indonesia tetap terlestarikan dari pembangunan perumahan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kami mencoba untuk melakukan kegiatan penelitian untuk melihat potensi yang tersisa pada kawasan Observatorium Bosscha. Lingkup penelitian yang dipilih merupakan kawasan Observatorium Bosscha, dimana kawasan tersebut dapat dilihat kondisi dan dampak lingkungan sekitar dengan pengaruhnya terhadap konfigurasi massa bangunan dan lansekap saat ini. Serta pola penataan dan orientasi massa bangunan-bangunan Observatorium yang mampu mempengaruhi pengamatan peneropong bintang dan memberikan pengetahuan seputar lansekap dan pola tata massa bangunan dalam bidang Arsitektur. Ruang lingkup yang akan dipilih yaitu elemen lansekap pada Observatorium Bosscha yang berpotensi mempengaruhi konfigurasi massa bangunan pada kawasan Observatorium Bosscha.
2. METODOLOGI Pola konfigurasi massa bangunan serta lansekap pada kawasan observatorium merupakan hal penting untuk menunjang kelangsungan aktivitas, terutama dalam kelangsungan pengamatan teropong bintang. Setiap observatorium memiliki penyikapan pola massa bangunan hingga lansekap yang berbeda, sesuai kondisi tapak tertentu. Tatanan massa pada bangunan observatorium mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan teknologi pengamatan astronomi yang memungkinkan berbagai tatanan baru.[1] Untuk mendapatkan kesan dan persepsi ruang dalam melakukan pengamatan pada satu lingkungan, dapat digunakan sistem skala, yaitu membandingkan unsur atau elemen ruang dengan salah satu unsur yang ada yang dapat dijadikan sebagai unsur pembandingnya. Selubung bangunan melalui ketinggian bidangnya dengan lebar ruang yang terjadi diantara selubung-selubung bangunan tersebut dapat memberikan atau menciptakan kesan dan persepsi tertentu. Selain itu, perbandingan skala juga dapat menghasilkan sudut pandang tertentu dan kejelasan dari objek pengamatan.[2] Bosscha merupakan observatorium pertama di kawasan Asia Tenggara yang mengawali dilakukannya penelitian di langit selatan. Letaknya yang dekat dengan garis khatulistiwa membuat jangkauan pengamatan di sini dapat diperluas hingga ke langit utara. Bosscha merupakan satu kawasan Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 2
Rancangan Kawasan Observatorium Bosscha Ditinjau dari Tipologi Pola Tatanan Massa dan Vegetasi
observatorium yang terdiri dari 5 bangunan utama dengan berbagai teleskop berbeda di dalamnya. Bosscha adalah tempat penelitian bintang ganda karya arsitek terkenal yaitu K. C. P. Wolf Schoemaker.[3] Tipologi berasal dari bahasa Yunani, “tipo” yang berarti pengelompokan dan “logos” yang mempunyai arti ilmu atau bidang keilmuan. Secara harfiah tipologi adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang tipe. Menurut ahli. Budi A. Sukada mengatakan bahwa tipologi adalah penelusuran asal-usul terbentuknya objek-objek arsitektural yang terdiri dari tiga tahap.Tipologi digunakan sebagai alat analisis objek. Dengan tipologi, suatu objek arsitektural dianalisa perubahan-perubahannya dan menempatkannya secara benar dalam klasifikasi tipe yang sudah ada. Penyebaran titik pohon pada kawasan observatorium disesuaikan dengan lokasi bangunan observasi dan keadaan kontur pada kawasan Observatorium Bosscha. Pada pernyataan Gubernur Jawa Barat H.A Kunaefi dalam Berita Bandung Pos 14 Maret 1984 menyebutkan kebijaksanaan dari pemerintah terhadap Observatorium Bosscha, diantaranya adalah pelarangan mendirikan bangunan dalam radius 5 Km di sekitar bangunan observatorium selain bangunan untuk fasilitas observaorium dan di hentikan penggalian bahan galian C (carbon) dari sungai dan tanah. Pendekatan studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui studi kasus. Studi kasus dilakukan pada kawasan Observatorium Bosscha, Peneropong Bintang, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 40391. Kawasan ini dipilih dengan pertimbangan karena Observatorium Bosscha merupakan satu-satunya kawasan penelitian dan pengamatan benda-benda angkasa di Indonesia.. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan di lapangan, dokumentasi, wawancara dan dari referensi yang diperoleh melalui berbagai media, baik media cetak, buku maupun media elektronik. Proses pengamatan dan dokumentasi lapangan dilakukan pada setiap bangunan observatorium (terdiri dari 5 bangunan observatorium). Data pendukung didapat melalui wawancara dengan pihak terkait. kisi-kisi penelitian meliputi library research terfokus pada pola tatanan massa bangunan dan lansekap kawasan observaorium dan field research karena data yang ada dalam tulisan ini menggunakan prosedur observasi lapangan. Data dianalisis dengan menggunakan metoda analisis kualitatif dan kuantitatif deskriptif. (1) Tahap kualitatif menganalis pada sisi normatif khususnya mengenai perancangan pola tatanan massa kawasan observatorium.(2) Tahap kuantitatif deskriptif, data yang telah diperoleh dari perhitungan selanjutnya diolah dan disajikan dalam bentuk yang lebih mudah dimengerti oleh pengguna data tersebut yang berupa angka-angka maupun gambar-gambar grafik.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Lokasi Observatorium Bosscha Ada beberapa syarat lokasi untuk mendapatkan pemandangan terbaik dalam observatorium menurut Perda No. II tahun 1989 pasal 7, yaitu (1) Tempat yang tinggi (relatif) (2) Terpisah dari daerah kota (3) Curah hujan rendah (4) Keadaan lokasi dapat menjamin kestabilan lensa agar tidak berubah kedudukannya. Lembang adalah kota dengan curah hujan yang signifikan. Suhu di sini rata-rata 20.0oC dengan curah hujan rata-rata 3047 mm. Observatorium Bosscha berada pada ketinggian 1300 meter (4000 kaki) di atas permukaan laut atau pada ketinggian 630 m dari dataran tinggi Bandung dan 12 km dari Kota Bandung.
Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 3
Irfan Sabarilah Hasim dkk
Gambar 1. Grafik Curah Hujan dan Lokasi Observatorium Bosscha
Curah hujan rata-rata pada kawasan Observatorium Bosscha saat ini (3047 mm) sudah melebihi kriteria curah hujan rata-rata maksimal menurut Perda No II Tahun 1989 Pasal 7 (3000 mm). Lokasi observatorium yang berada di dataran tinggi Bandung (1300 meter di atas permukaan laut atau pada ketinggian 630 m dari dataran tinggi Bandung) membuat daerah ini terpisah dari daerah Kota Bandung, sehingga dapat meminimalisir terjadinya polusi cahaya lampu-lampu kota maupun polusi udara. 3.2 Analisis Pola Tata Massa
Gambar 2. Perletakan Massa dan Sirkulasi pada Kawasan Observatorium Bosscha
Setelah dianalisis bangunan dan sirkulasi yang terdapat di kawasan Observatorium Bosscha diletakkan mengikuti kontur dan tidak terdapat bangunan utama. Teleskop-teleskop diletakkan pada bangunan yang berada kontur yang lebih tinggi secara terpisah, sedangkan fungsi lainnya diletakkan berdekatan satu sama lain di kontur yang lebih rendah. Hal inilah yang menjadikan Observatorium Bosscha termasuk ke dalam organisasi cluster complete split. 3.3 Bangunan Observatorium Bosscha Bosscha merupakan satu kawasan observatorium yang terdiri dari 5 bangunan utama dengan berbagai teleskop berbeda di dalamnya. Keunikan yang dimiliki oleh bangunan-bangunan di Observatorium Bosscha terdapat pada bagian atapnya. Seluruh atap di sini menggunakan sistem retractable-roof atau atap geser. Atap ini dipilih berdasarkan fungsi utamanya yaitu untuk melakukan pengamatan bendabenda di langit selatan. Bentuk dan besar bukaan atap tiap bangunan pun berbeda, disesuaikan dengan besar sudut pengamatan dari masing-masing teleskop yang ada di dalamnya.
Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 4
Rancangan Kawasan Observatorium Bosscha Ditinjau dari Tipologi Pola Tatanan Massa dan Vegetasi
Horizontal
Tabel 1. Besaran Bidang Pengamatan Bidang Pengamatan Vertikal
Kupel
30° 360° 30°
Unitron
45° 270°
45°
GOTO
45° 270°
45°
Bamberg
45° 270°
45°
Schmidt
45° 270° 45°
Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 5
Irfan Sabarilah Hasim dkk
3.4 Analisis Jarak Antar Bangunan
Kesan Ruang
B
H/D
Sudut Pandang
A
01-41
Kupel
R Pegawai
33,45 m
5m
1:11
5°
Lapang
01-42
Kupel
R Pegawai
43 m
5m
1:14
4°
Lapang
42-49 02-49 02-03 02-06 03-51 03-58 04-59
R Pegawai Unitron Unitron Unitron GOTO GOTO Bamberg
13 m 2,7 m 4,65 m 15,2 m 1,6 m 22 m 13,4 m
5m 5m 6m 5m 6m 8m 6m
1:2 2:1 2:1½ 1:3 3:1 1:3 1:2
21° 62° 52° 18° 75° 20° 24°
Lapang Menghimpit Menghimpit Lapang Menghimpit Lapang Lapang
04-52
Bamberg
11,5 m
4m
1:3
19°
Lapang
51-52
Kantor GOTO
GAO GAO GOTO Bengkel Kantor GOTO Menara Meteor Tugu R Gudang Kebun R Gudang Kebun
3,85 m
4m
1:1
46°
Menghimpit
55-60
Schmidt
54,3 m
5m
1:11
6°
Lapang
R Daftar Kunjungan
Jarak
No. Bangunan
Tinggi
Zona 3
Zona 2
Zona 1
Tabel 2. Analisa Kesan Ruang Ditinjau dari Jarak Antar Bangunan Menurut Teori Mc Cluskey Nama Bangunan
Jarak antar bangunan pada zona 1 menghasilkan kesan ruang lapang karena perbandingan H/D paling besar pada 1:11 dan paling kecil pada 1:14. Sudut pandang yang dihasilkan pun paling besar adalah 5° dan paling kecil adalah 4°. Jarak antar bangunan pada zona 2 rata-rata menghasilkan kesan ruang menghimpit karena perbandingan H/D paling besar pada 3:1 dan paling kecil pada 1:3. Sudut pandang yang dihasilkan pun paling besar adalah 75° dan paling kecil adalah 18°. Jarak antar bangunan pada zona 3 menghasilkan kesan ruang lapang karena perbandingan H/D 1:2½. Sedangkan sudut pandang yang dihasilkan adalah 6°. Maka, keadaan ruang pada kawasan Observatorium Bosscha menurut teori Mc Cluskey sebanyak 66,7% memiliki kesan yang lapang, sedangkan 33,3% di antaranya masih terkesan menghimpit dan hal tersebut dapat menimbulkan potensi mengganggu kegiatan pengamatan yang terjadi di dalamnya. 3.5 Analisis Lingkungan Ditinjau dari Vegetasi terhadap Bangunan Pengamatan Pada kasus ini diperlukan analisis lingkungan ditinjau dari persebaran dan tata letak vegetasi, guna untuk mengetahui kenyamanan visual pengamat tata surya terhadap vegetasi terdekat pada sekitar bangunan pengamatan. Pada radius sejauh 50 m dibagi dalam 3 zona radius diantaranya 20 m, 35 m, serta 50 m dari titik poros pengamatan. 3.5.1 Zona Bebas Zona tersebut dapat mengetahui kriteria tanaman yang seharusnya ditanam ditinjau dari ketinggian optimal dibawah garis bidang pengamatan. Apabila terdapat tanaman yang melebihi ketinggian optimal dalam suatu radius, maka radius tersebut berpotensi memasuki zona bebas. Zona Bebas merupakan kawasan bebas pohon tinggi yang melebihi garis bidang pengamatan. Berikut zona-zona yang terdapat zona bebas.
Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 6
Rancangan Kawasan Observatorium Bosscha Ditinjau dari Tipologi Pola Tatanan Massa dan Vegetasi
Tabel 3. Analisis Zona Bebas
Schmidt
Bamberg
Unitron
GOTO
Kupel
Nama Bangunan
Zona
Zona Bebas
Radius Zona Bebas Zona bebas hingga radius ke-2 (35 meter)
A
Menurut data yang diperoleh pada bangunan kupel (30°) , jarak pohon terjauh yang memasuki zona bebas yaitu berkisar 30 meter dari titik pengamatan.
Zona bebas hingga radius ke-2 (35 meter)
Menurut data yang diperoleh pada bangunan GOTO (45°) , jarak pohon terjauh yang memasuki zona bebas yaitu berkisar 27 meter dari titik pengamatan.
Zona bebas hingga radius ke-2 (35 meter)
Menurut data yang diperoleh pada bangunan Unitron (45°) , jarak pohon terjauh yang memasuki zona bebas yaitu berkisar 30 meter dari titik pengamatan.
Zona bebas hingga radius ke-2 (35 meter)
Menurut data yang diperoleh pada bangunan Bamberg (45°) , jarak pohon terjauh yang memasuki zona bebas yaitu berkisar 30 meter dari titik pengamatan.
Zona bebas hingga radius ke-1 (20 meter)
Menurut data yang diperoleh pada bangunan Schmidt (45°) , jarak pohon terjauh yang memasuki zona bebas yaitu berkisar 20 dari titik pengamatan.
B
B
B
C
Keterangan
Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 7
Irfan Sabarilah Hasim dkk
Hasil data analisis Zona Bebas dilihat dari secara keseluruhan bahwa zona yang termasuk pada zona bebas hingga radius ke-1 hanya mencapai 20%, sedangkan yang memasuki zona bebas hingga radius ke-2 hingga mencapai 80%. 3.5.2 Perhitungan Ketinggian Optimal Vegetasi terhadap Bangunan Pengamatan Ketinggian pohon sangat mempengaruhi operasional bangunan pengamatan, sehingga diperlukan vegetasi yang sesuai ketinggiannya pada sekitarnya. Untuk menentukan kriteria vegetasi yang akan ditanam, maka harus mengetahui ketinggian optimal vegetasi (H) terhadap zona radius yang telah ditentukan. Berikut perhitungan ketinggian optimal vegetasi (H).
h
β
Gambar 3. Perhitungan ketinggian optimal vegetasi (H)
Dimana apabila kontur yang lebih tinggi dari muka tanah bangunan++ maka ∆h = h₁ - h₂. Sedangkan apabila kontur yang lebih rendah dari muka tanah bangunan maka ∆h = h₂ + h₁. Zona radius yang dibagi dalam 50 meter yaitu sejauh 20 meter, 35 meter serta 50 meter dari titik pengamatan. Secara keseluruhan terdapat 70 pohon yang teridentifikasi dalam zona radius 50 meter tersebut. Gambar 4. 1 Tabel Hasil Perhitungan Ketinggian Vegetasi Maksimum (H) Tabel 4. Hasil Analisis Ketinggian Optimal Vegetasi Hasil Perhitungan Nama Bangunan (A)Kupel (B) GOTO (B) Bamberg (B) Unitron (C)Schmidt
Jarak Horizontal (x) Ketinggian Maksimum (H)
Persentase
0m – 20m
20m – 35m
35m – 50m
Aman
Tidak Aman
16.81 m - 20.4 m 18,6 m - 23,3 m 20,8 m - 23,2 m
20.4 m - 28.41 m 23,3 m - 39,9 m 23,2 m - 39 m
28.41 m - 36 m 39,9 m - 56,3 m 39 m - 54,6m
36.8% 53.3% 50%
63.2% 46.7% 50%
9,42 m - 22,9 m 21,7 m - 23,5 m
22,9 m - 39,3 m 23,5 m - 42,1 m
39,3 m - 55,7 m 42,1 m - 61,3 m Total Persentase
40% 88.9% 50%
60% 11.1% 50%
Menurut hasil data analisis yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa sebesar 50% pohon pada kawasan Observatorium Bosscha berpotensi mengganggu kegiatan pengamatan, terutama pada kawasan bangunan unitron yaitu sebesar 60%. Sedangkan kawasan Schmidt memiliki potensi terkecil dari gangguan vegetasi yaitu sebesar 11.1%. Hal ini membuktikan bahwa perlunya pertimbangan terhadap penempatan dan penentuan jenis vegetasi pada kawasan observatorium.
Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 8
Rancangan Kawasan Observatorium Bosscha Ditinjau dari Tipologi Pola Tatanan Massa dan Vegetasi
4. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis lokasi Observatorium Bosscha telah memenuhi kriteria lokasi Obserfatorium, namun curah hujan pada lokasi tersebut sudah melebihi kriteria. Pola Tatanan Massa pada Observatorium Bosscha menurut beberapa teori yang disebutkan termasuk ke dalam cluster complete split karena bangunan observatorium berada pada kontur yang lebih tinggi dibandingkan fungsi lainnya, untuk mendapatkan pengamatan yang maksimal dan meminimalisir terhalangnya jangkauan pengamatan. Jadi, keadaan ruang pada kawasan Observatorium Bosscha sebanyak 66,7% memiliki kesan yang lapang, sedangkan 33,3% di antaranya masih terkesan menghimpit dan hal tersebut dapat menimbulkan potensi mengganggu kegiatan pengamatan yang terjadi di dalamnya. Menurut data vegetasi yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa 50% pohon pada kawasan Observatorium Bosscha berpotensi mengganggu kegiatan pengamatan, terutama pada kawasan bangunan unitron yaitu sebesar 60%. Sedangkan kawasan Schmidt memiliki potensi terkecil dari gangguan vegetasi yaitu sebesar 11.1%. Hal ini membuktikan bahwa perlunya pertimbangan terhadap penempatan dan penentuan jenis vegetasi pada kawasan observatorium.
5. DAFTAR PUSTAKA [1] Waumans, AA., (2013).”The Typology of Astronomical Observatories”, Doctorate Thesis, Delft University of Technology [2] Jim Mc, Cluskey., (1979).”Road Form and Townscape” [3] Puspahati, MP., (2012).”Pengembangan Kawasan Observatorium Bosscha di Bandung dengan Konsep Arsitektur Metafora”, Tugas Akhir, Program Studi Arsitektur Jurusan Arsitektur., UNS
Jurnal Arsitektur Reka Karsa– 9
Repository Jurnal Tugas Akhir Arsitektur ISSN:
Š Jurusan Arsitektur Itenas | No.1 | Vol. III Juli 2018
Penerapan Earthquake Resilient Bulding pada Bangunan Prabawa Bandung Railway Station Sarah Heriyanti Putri Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Itenas, Bandung Email: sarahheriyantip@gmail.com ABSTRAK Perencanaan Stasiun Kereta Api merupakan salah satu perencanaan sarana pelayanan transportasi umum untuk memudahkan dan meningkatkan mobilitas antar kota khususnya untuk masyarakat Kota Bandung. Salah satu visi Kota Bandung yang akan dikembangkan yaitu mengembangkan kota yang berbasis Transit Oriented Development (TOD) untuk menunjang kebutuhan penduduk dalam beberapa waktu mendatang. Lokasi Kota Bandung berada di wilayah yang berpotensi terjadi gempa bumi akibat sesar lembang dan faktor lainnya. Sarana pelayanan transportasi Kereta Api yang mewadahi ribuan pengguna harus dapat melindungi dan meminimalisir korban jiwa pengguna dari segala bencana khususnya bencana gempa. Latar belakang kondisi wilayah Kota Bandung ini menjadi dasar permasalahan dari proyek Stasiun Kereta Api yang bertema Earthquake Resilient Design. Resilient Design sedang digalakkan dalam Sustainable Development Goals ke-11 pada sektor infrastruktur yang berlaku hingga 20 tahun ke depan. Penerapan desain utama yang digunakan pada proyek Prabawa Bandung Railway Station ini dilihat dari aspek struktur. Tema desain yang diangkat bertujuan agar bangunan dapat bertahan dan kuat dari ancaman bencana gempa. Diharapkan selain untuk melindungi pengguna dalam menghadapi bencana, tentunya dapat dijadikan sebagai salah satu pionir Resilient Design di Kota Bandung. Kata kunci: Stasiun Kereta Api, Gempa Bumi, Resilient Design.
ABSTRACT Railway Station Planning is a public transportation service plan to facilitate and improving intercity mobility especially for Bandung citizens. One of Bandung City’s visionary that will be developed is developing a City based on the Transit Oriented Development (TOD) to support resident needs for the next few years. Bandung City is located in an earthquake-potential territory due to Sesar Lembang and other factors. Railway Station service plan that providing a thousand user should have able to protect and minimize the casualties from any disaster especially from the earthquake. The background of Bandung city conditions will become the primary issue from the theme itself. Resilient Design is being encouraged on the 11th of Sustainable Development Goals (SDGs) for the next 20 years. The application which used on Prabawa Railway Station project can be refer to structure and utilities aspect. Apart from protecting users in encountering disaster it is certainly expected to be the pioneer of Resilient Design in Bandung Keywords: Railway Station, Earthquake, Resilent Design.
Repository Jurnal Tugas Akhir Arsitektur – 1
Sarah Heriyanti Putri
1. PENDAHULUAN Stasiun Kereta Api Bandung merupakan salah satu stasiun kereta api terbesar yang terletak di Jawa Barat. Stasiun Kereta Api Bandung merupakan salah satu bangunan cagar budaya atau konservasi yang dipertahankan keadaannya. Adanya kawasan Stasiun Kereta Api Bandung dapat dipotensikan sebagai salah satu gerbang (gateway) lalu lintas nasional di Kota Bandung yang menjadikan prioritas utama dalam rangka peningkatan pelayanan Kereta Api. Latar belakang kondisi wilayah Kota Bandung menjadi dasar permasalahan dari proyek Stasiun Kereta Api yang menurut pembagian seismisitas (Beca Carter, 1976) berada pada Zona III dengan skala I-IV Modified Mercale Intensty (MMI) [1]. Kondisi alam Kota Bandung dan sekitarnya terdapat lereng patahan yang mempunyai sejarah gempa. Salah satu fokus Resilient Design dapat memungkinkan untuk Stasiun Kereta Api yaitu dapat menanggulangi dan mengurangi resiko bencana alam yang akan terjadi dan dialami oleh masyarakat. Upaya untuk penanggulangan tersebut dapat diterapkan dengan program Resilient Design, dimana bangunan diharapkan merespon aktivitas dan bahaya resiko bencana alam [2]. Resiliensi terhadap potensi bencana gempa bumi diperlukan pada penerapannya terhadap bangunan Stasiun Kereta Api karena potensi bencana alam yang paling umum terjadi dengan waktu yang tidak diperkirakan. Fungsi bangunan Stasiun Kereta Api adalah public space, maka apabila terjadi bencana dengan buruknya dapat menimbulkan resiko dan kerugian yang cukup besar. Dengan demikian, selama tidak terjadi bencana bangunan beserta penggunanya harus tetap siaga terhadap ancaman luar dengan penerapan Earthquake Resilient Design.
2. EKSPLORASI DAN PROSES RANCANGAN 2.1 Pemahaman Stasiun kereta api Bandung adalah tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang dan barang yang menggunakan jasa transportasi kereta api yang berlokasi di Kota Bandung. Prabawa Bandung Railway Station dengan tema Resilient Design mencerminkan bahwa rancangan Stasiun Kereta Api Bandung yang diusung merupakan stasiun yang durable terhadap ancaman luar sebagaimana potensi bencana alam yang berada di Kota Bandung. 2.2 Deskripsi Proyek
Gambar 1. Peta Lokasi -
Nama Proyek Sifat Proyek Owner/Pemilik Sumber dana Lokasi Luas lahan Jenis Bangunan Tipologi Fungsi Lahan GSB
: Stasiun Kereta Api Bandung : Fiktif : PT. Kereta Api Indonesia : PT. Kereta Api Indonesia : Jl. Stasiun Barat, Kebon Jeruk, Andir, Kota Bandung, Jawa Barat : ¹4,4 Ha : Low Rise : Public Service : Stasiun Kereta Api : 1/2 dari Lebar Jalan atau Minimum 15m Repository Jurnal Tugas Akhir Arsitektur – 2
Penerapan Earthquake Resilient Bulding pada Bangunan Prabawa Bandung Railway Station
-
KDB/BCR KLB /FAR KDH Ketinggian Batas Site Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat
: 70% : 3,50 (Zona C2) 2,10 (Zona SPU5) : 40% RTBL atau 20% RDTR : 5 - 8 Lantai : Jl. Kebon Kawung, (Kawasan Pertokoan) : Bengkel Induk Damri, (Kawasan Pergudangan Kargo) : Jl. Stasiun Barat, (Kantor PT. KAI Daop II Bandung) : Kawasan Perdagangan/Pertokoan
Lokasi Stasiun Kereta Api berada di salah satu kawasan konservasi kota Bandung. Terdapat 2 stasiun diantaranya yang berada di Jalan Kebon Kawung No. 43 (pintu utara) dan Jalan Stasiun Timur No. 1 (pintu selatan). Luas tanah keseluruhan sebesar ±60 hektar. Namun, kini sebagian besar telah menjadi kawasan komersil dan rumah penduduk. 2.3 Elaborasi Tema Penerapan Earthquake Resilient Design merupakan desain dengan konsep yang mampu merespon bencana saat terjadi bencana gempa hingga penangulangannya pada pasca bencana. Dengan begitu, desain tersebut dapat meminimalisir jumlah korban dan tetap memberikan kenyaman dalam kondisi darurat.
Gambar 2. Elaborasi Tema Pada Gambar 2 dipaparkan 4 konsep yang akan diterapkan pada proyek Prabawa Bandung Railway Station, yang diantaranya (1) Intensive Light-Well pada sepanjang atap utama Stasiun Utara dan Skybridge agar meminimalisir pemakaian listrik untuk penerangan dan mampu membuat pengguna tidak terlalu merasa panik mencari area luar saat terjadi bencana. (2) Water Harvesting System pada sistem utilitas air hujan agar tampungan air hujan dapat dipakai kembali untuk kebutuhan tanaman dan toilet. Serta kebutuhan air cadangan selama post-earthquake. (3) Earthquake Resistant Structure pada sistem struktur bangunan yang ramah terhadap bencana gempa untuk melindungi pengguna dari kecelakaan reruntuhan bangunan. (4) Seperated Roof System, sistem atap yang terpisah dari bangunan sehingga bangunan tidak terlalu berat untuk menerima beban atap, serta dapat menerima aliran udara yang lancar pada bangunan bentang lebar tersebut. Repository Jurnal Tugas Akhir Arsitektur - 3
Sarah Heriyanti Putri
3. HASIL RANCANGAN 3.1 Gubahan Massa dan Tapak
1 Konsep massa kubism yang memperkuat bentuk dasar sebagai massa bangunan. Bentuk persegi syarat konfigurasi massa pada bangunan tahan gempa yaitu bentuk sederhana dan simetris.
2
3
Bentuk Massa diberi penutup yang terpisah agar udara tetap mengalir
4
Bentuk massa diberi aditif menjadi persegi panjang yang dipertimbangkan dengan fungsi skybridge
5
Diberi pola atap bergaris dengan fungsi pencahayaan alami masuk pada bangunan.
Pola Atap diberi hirarki yang terbentuk oleh beberapa void didalamnya
Gambar 3. Proses Gubahan Massa Prinsip bangunan tahan gempa yaitu memiliki konfigurasi massa yang berbentuk sederhana dan simetris. Bentuk dasar konfigurasi massa yang dipilih untuk Prabawa Bandung Railway Station ini adalah persegi. Bentuk persegi merupakan bentuk dasar yang paling sederhana dan simetris sesuai dengan kriteria bangunan tahan gempa [3]. Solusi agar sirkulasi udara yang lancar maka atap utama pada Stasiun Utara menggunakan sistem yang terpisah dari bangunan utama. Solusi pencahayaan alami diberikan bukaan cahaya pada atap dengan pola horizontal agar cahaya alami masuk secara maksimal.
Gambar 4. Proses Peletakkan Massa Proses perletakkan massa bangunan dalam site dipengaruhi oleh regulasi serta axis yang terbentuk oleh Bangunan cagar budaya Stasiun Selatan. Bentuk massa persegi panjang yang linear membantu mempertegas axis yang menghubungkan stasiun utara dengan stasiun selatan.
A: Entrance Gate B: Exit Gate C: Stasiun LRT D: Pedestrian E: Parkir Bus dan Taxi F: Gedung Parkir G: Area Servis H: Stasiun Utara I: Peron J: Stasiun Selatan Cagar Budaya K: Cargo
Gambar 5. Block Plan Hirarki bangunan dibentuk dari pola atap yang mengikuti pola void pada denah ruang dalam yang terbentuk pada sepanjang bangunan Stasiun Utara hingga Skybridge. Repository Jurnal Tugas Akhir Arsitektur – 4
Penerapan Earthquake Resilient Bulding pada Bangunan Prabawa Bandung Railway Station
3.2 Rancangan Fasad
Gambar 6. Tampak Site Fasad bangunan memakai konsep dinamis, dan kubisme yang dikembangkan dari elemen vertikal gaya art-deco Stasiun Selatan untuk mencapai kesan bangunan yang futuristik. Fasad bangunan menyesuaikan dengan tema Earthquake Resilient Design sehingga material yang diterapkan menggunakan customized perforated metal yang ringan dan ramah terhadap guncangan. Perforated metal dipasang secara praktis dengan menggunakan rangka hollow, serta lebih aman tidak meninggalkan kepingan saat beda terjatuh sehingga disarankan untuk bangunan terutama bangunan publik yang tahan gempa.
Customized Perforated Metal, White
Customized Perforated Metal, Brown
Gambar 7. Perspektif birdeye view Stasiun Utara dan komponen fasad Stasiun Selatan merupakan bangunan konservasi sehingga redesign bangunan non-konservasi mengambil elemen vertikal yang dapat membiaskan fasad dengan bangunan cagar budaya. Sehingga karakter pada Stasiun Selatan masih dapat terjaga. Adanya bangunan Skybridge yang terletak di belakang Stasiun Selatan memberikan vocal point pada entrance Stasiun Selatan cagar budaya.
Gambar 8. Perspektif man eye view Stasiun Selatan Repository Jurnal Tugas Akhir Arsitektur - 5
Sarah Heriyanti Putri
3.3 Rancangan Interior Terkait tema Earthquake Resilient Design ini menerapkan desain ruang dalam yang tidak terlalu tertutup dan terdapat bukaan agar pengguna tidak merasa terkurung di dalam bangunan. Interior dengan konsep clean dan simplicity mampu membuat pengguna berada di ruang yang luas dengan menggunakan material yang berwarna putih dan penggunaan material kaca untuk railing maupun bukaan.
Gambar 9. Interior Skybridge Zona 3 dan Zona 2 dipisah dengan void innercourt sehingga membentuk 2 jalur untuk jalur kedatangan dan keberangkatan. Selain untuk memisahkan zona, fungsi lain void innercourt ini sendiri untuk mengalirkan udara yang dihasilkan dari kereta diesel.
Gambar 10. Interior Innercourt 3.4 Rancangan Struktur Sistem struktur pada proyek ini memakai beberapa elemen struktur Earthquake-Proof pada sistem rangka serta memakai struktur bentang lebar.
Gambar 11. Konsep Struktur Repository Jurnal Tugas Akhir Arsitektur – 6
Penerapan Earthquake Resilient Bulding pada Bangunan Prabawa Bandung Railway Station
Elemen struktur dan konstruksi yang dikategorikan Earthquake-Proof ini diantaranya (1) Dinding bPanel, material dinding ringan agar mampu menghindari kecelakaan akibat kerusakan dinding; (2) Rainwater Harvesting, kebutuhan cadangan air sebanyak 50% untuk toilet dan penyiraman tanaman yang sewaktu-waktu dapat dipakai untuk kegiatan darurat; (3) Damper System, penyangga antara kolom dan balok yang dapat menjadikan bangunan bergerak elastis; (4) Base Isolation System merupakan isolator yang diterapkan pada sambungan antar struktur vertikal yang mampu menjadikan bangunan mudah bergerak dan tidak kaku; (5) Bracing System, sistem yang mengkakukan bangunan dan memperkuat bagian luar bangunan agar tidak menyentuh bangunan yang ada didekatnya.
4. SIMPULAN Proyek Prabawa Bandung Railway Station merupakan proyek yang dirancang khusus untuk meningkatkan kualitas pelayanan kereta api untuk masyarakat khususnya di Kota Bandung. Dengan tema Earthquake Resilient Design maka diharapkan memberikan edukasi kepada pengguna dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk tetap waspada terhadap bencana sekitar. Demikian pula, agar dapat dijadikan sebagai salah satu pionir Resilient Design di Kota Bandung.
DAFTAR PUSTAKA [1] Pemerintah Kota Bandung, (2017). “Penyusunan RTBL dan Raperwal”, Bandung: P.T. Bina Kreasi Nusantara [2] European Union’s Seventh Framework Programme, (2014), “DESURBS Urban Resilient Design Guidelines”, 7FP, Bezalel. [3] Charleson A., (2012). “Seismic Design For Architects.” Routledge, Architectural Press.
Repository Jurnal Tugas Akhir Arsitektur - 7