Larik Manifestasi Puisi Dalam Majalah
Edisi Terbatas
Satu Kata Satu Rasa Salam Puisi!
S
etiap gambar punya cerita, barangkali, itulah kata yang tepat untuk mengartikan halaman demi halaman pada majalah ini. Kali ini, saya mencoba mengeksplorasi gambar yang sekiranya bisa mewakili kata dan rasa. Semula saya bermaksud untuk membukukan puisi-puisi yang ada di dalam majalah ini, akan tetapi, setelah melewati proses kurasi, pikiran saya berubah. Saya ingin membuat kumpulan puisi tidak dalam bentuk seperti buku biasanya, oleh karena saya berkecimpung dalam dunia fotografi dan olah gambar secara digital (digital imaging), juga menataletak (layout) media cetak, maka saya mencoba mengkolaborasikan gambar, kata dan rasa ke dalam permainan estetika puitik yang berkonsep kepada tataletak—majalah modern minimalis. Tidak bisa dipungkiri, beberapa halaman dalam majalah ini mendapat pengaruh dari berbagai jejaring sosial, seperti: Tumblr, SoundCloud, instagram dan Instamag. Namun, dalam bentuk apa pun, sebaiknya membaca puisi tidak dimulai dengan tekad dan upaya keras untuk memahaminya. Jangan pernah menghadapi sebuah puisi seperti menghadapi sebuah karangan ilmiah atau falsafi. Biarkan puisi merasuk ke dalam alam sadar kita tanpa ketegangan apa pun. Karena, yang terpenting dalam membaca puisi tidak hanya memahaminya, akan tetapi apa yang terjadi dalam
diri kita ketika kita sedang dan selesai membaca puisi itu. Akan tetapi, uraian di atas bukan semata penilaian mutlak untuk mengartikan puisi, karena, hanya pembaca yang berhak membentuk prasangka dan ketepatan arti dari sebuah puisi. Beberapa puisi dalam majalah ini saya tulis ketika saya “mengembara kata� dari kota ke kota yang ada di nusantara, seperti Medan, Bangka Belitung, Jakarta dan Serang. Atau lebih tepatnya sebagai perjalanan rasa. Dimana dalam perjalanan rasa itu, banyak sekali saya menemukan hal-hal baru, meski masih tentang kehilangan, penantian dan kerinduan, yang sepertinya sayang bila tidak saya riwayatkan dalam bentuk puisi. Seperti satu cerpen dan beberapa puisi dalam majalah ini yang pernah dimuat oleh salah satu koran lokal Bangka Belitung. Sebagian besar kata-kata dalam majalah ini, saya menggunakan gaya bahasa yang naratif, pengandaian yang seperlunya dan pola kalimat yang tidak terlalu banyak bermain akrobatik kata, namun masih terkesan sebagai puisi modern, tanpa mengabaikan kaidah sastra Indonesia yang ada.
Tidak lupa juga, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada putri terkasih saya Dyumna Indira Pramantha, Febri NC, Bram Persada, Desi Puji Lestari, Mufidah Tahir, teman-teman di Belitung Timur: Setia Budi, Andrea Hirata, temanteman tumblr yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, kalian sangat menginspirasi, tidak lupa juga untuk teman-teman di Medan dan Serang, kalian hebat! Dan kepada semua yang telah membaca juga mengunduh majalah ini. Sukses milik bersama, Teman.
Pada akhirnya, saya mengajak para pembaca untuk selalu mengeksplorasi kata dan rasa dalam bentuk apa pun. Dan jangan pernah behenti untuk menulis, sebab, hanya dengan menulis kita menemukan cinta.
Sampul, Tataletak, Grafis: Satu Kata Satu Rasa | Foto: www.sxc.hu
Pada akhirnya, yang terulang hanyalah kesunyian, berdenting hening demi hening, hingga rindu tak pernah mengering.
“
“
Ternyata, hidup ini masih membutuhkanmu. Kembalilah.
Suratku Kepadamu
Jika ini yang bisa kukatakan kepadamu; memang, aku memang pernah mencintaimu setiap hari. Namun itu dulu, ketika detik arloji, bukan yang kutafsirkan sebagai suara langkah kanak-kanak sunyi. Memang, aku memang pernah merindukanmu setiap hari. Namun itu dulu, ketika kerlip gemintang, dan risik angin di ilalang, bukan yang kulihat sebagai kecemasan gamang. Kelak, jika kita bertemu kembali, barangkali, aku hanya mampu bicara di luar kata yang kerap ditulis oleh penyair picisan. Sebab, aku telah kehabisan kata-kata untuk meninabobokan segala luka yang kautinggalkan. Dan di dinding malam, kesunyian ini semakin menghijau, sehijau lumut yang dituakan waktu. Jika ini yang bisa kukatakan kepadamu; memang, hingga saat kutulis surat ini, aku masih mencintaimu; setabah daun-daun yang gugur dipelukan tanah, setulus Semesta yang memberi udara.
Kepada kamu; hanya ini yang bisa kusampaikan kepadamu, penantianku telah menua, dan jika segala debar yang kupunya masih ada dalam beberapa tahun ini, tentu aku akan menyuratimu kembali. Barangkali saja kau ingin tahu tentang suasana pinggir jalan yang dulu kita jadikan tempat sembunyi dari kejaran rindu yang bertubi-tubi. Dan jika ini yang bisa kukatakan kepadamu; Ternyata, hidup ini masih membutuhkanmu. Kembalilah.
Ketika Senja Sedang Terluka Kau selalu bercerita; tentang senja dan segala keremangannya, tentang bahagia dan duka; tentang suatu yang dinamakan cinta. **** …sedang dirimu serupa sumbu, detik demi detik lesap terbakar waktu, meski telah beribu kali kautebas sepi, namun takpernah mati, **** diam-diam kulayangkan doa; untukmu, tentang hujan yang tak reda di mata, tentang kesunyianmu yang kian menua dan renta, hingga tawa dan luka tiada beda. **** Untukmu; merebahlah pada dadaku yang debar, pada nadiku yang getar, biarkan senja tetap merona bersama kepak camar, hingga empas dukamu yang memar. Belitung, 2 September 2014
Sebagai
Cinta
Puisiku selalu menuliskan aksara sederhana hanya ada dirimu di awalnya dan tertulis nama kita pada akhirnya maukah kau membacanya sebagai cinta?
DAPATKAN Buku Kumpulan Puisi
Kotak Perak Berpita Ungu Bahagia dan Duka yang Terbungkus Indah
Satu Kata Satu Rasa Sebaris catatan kecil tentang rindu, tentang kenangan dan tentang cinta yang masih tersisa
Keterangan lebih lanjut: satukatasaturasa@gmail.com
Melupakan Hanyalah Cara Untuk Mengelabui Kesedihan
Pada pagi buta, dia mengubur masa lalunya di tempat yang siapa pun tak pernah tahu letaknya Hingga senja tiba, duka masih menyayat-nyayat sadis ingatan, mengiris-iris tipis kenangan. Ternyata, melupakan hanyalah cara untuk mengelabui kesedihan.
Pada ingatanku, adalah kau; yang tak lekang oleh tangan-tangan waktu, yang masih terkekang pada bilik rindu. Hingga pada akhirnya aku mengerti; mengenangmu; hanyalah denyut-denyut nyeri yang rela tau terpaksa aku nikmati. Sebab cinta akan selalu ada, meski dengan cara yang tak lagi sama.
Secangkir Cappuccino Kita
Sebuah Cerita Pendek
“Mau ditambah lagi kopinya?” Tegur pelayan kedai kepada pria yang menempati meja tepat di pojok dekat jendela, tempat biasa pria itu bercengkerama dengan kekasihnya. TIba-tiba saja, seperti ada yang menyendat di dadanya, ia pun menjawab lirih. “Cukup, secangkir saja sudah membuat kenanganku berhamburan ke mana-mana.” Kemudian, dengan sangat hati-hati, pria itu memunguti remah-remah kenangan yang berhamburan dari sudut ingatannya, sambil sesekali ia menyeka kesedihannya. “Mbak, cappuccino ini sudah sesuai dengan pesanan saya?” “Betul, Pak, cappuccino ini sudah sesuai dengan yang bapak pesan, cappuccino dengan sedikit potongan cokelat di atasnya.” Pria itu tertegun, matanya masih berkaca-kaca ketika melihat secangkir cappuccino yang berada di hadapannya. Kali ini, ada yang tidak biasa pada cappuccino pesanannya, padahal, lidahnya hafal betul dengan cappuccino di kedai ini, cappuccino kesukaan ia dan kekasihnya, rasanya tidak seperti dulu saat ia dan kekasihnya duduk saling berhadapan, persis di meja yang saat ini ia duduki. Rasanya ada ada yang hilang, dingin dan hambar, bukan seperti dulu saat ia dan kekasihnya saling bertukar debar. Malam mulai menua, ia dan kenangannya masih duduk satu meja, sedang tamu-tamu kedai kopi lainnya satu per satu mulai beranjak pulang.
*** Para pelayan tengah sibuk membereskan meja-meja kedai kopi, tanda telah ditutupnya kedai itu, tak lama berselang, lelaki itu pun beranjak pergi meninggalkan kedai kopi, ditelusurinya jalan-jalan yang pernah dilalui dengan kekasihnya dulu, tiap-tiap sudut kota seakan menggugah ingatan masa silamnya, masa ketika cinta sedang merekah. Tepat di seberang sekolah musik, ia menghentikan laju kendaraannya, dahulu, saat masih bersama kekasihnya, pria itu selalu berhenti di tempat itu, sekadar bertukar tatap dengan kekasihnya. Tanpa kata, mata mereka seakan saling bicara. “Apakah kau bahagia malam ini?” “Aku bahagia, sebahagia kau mencintaiku” jawabnya dengan sedikit sungging senyum dari bibirnya. Lalu, pria itu mencium kening kekasihnya sepenuh kelembutan, dan digenggamnya jemari kekasihnya, sampai mereka benar-benar berpisah untuk sementara waktu. Tiga hari setelah malam lalu, kembali pria itu mengunjungi kedai kopi yang sama, ini kali, ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu senja tenggelam untuk bisa menikmati secangkir cappuccino pesanannya. Sembari menunggu malam menggantikan senja, pada selembar tisu, ia menuliskan puisi tentang senja yang sedang terluka. Sebab bagi dia dan kekasihnya, senja adalah kecemasan yang sementara, serupa cinta, katanya.
Kau selalu bercerita; tentang senja dengan segala keremangannya, tentang bahagia dan duka; tentang suatu yang dinamakan cinta. * …sedang dirimu serupa sumbu, detik demi detik lesap terbakar waktu, meski telah beribu kali kautebas sepi, namun takpernah mati, * diam-diam, kurapal doa—untukmu, tentang hujan yang tak reda di mata, tentang kesunyianmu yang kian renta dan menua, hingga tawa dan luka tiada beda. * Untukmu; merebahlah pada dadaku yang debar, pada nadiku yang getar, biarkan senja tetap merona bersama kepak camar, hingga empas dukamu yang memar. *** Malam pun tiba, para pelayan yang berbaju putih dengan lengan panjang mengenakan rompi, berdasi kupu-kupu dan rambutnya yang terisir rapi, diamdiam memperhatikan satu demi satu para pelanggan yang telah berdatangan di kedainya. Dan seperti malammalam dulu, ia memesan secangkir cappuccino dengan sedikit potongan cokelat di atasnya, pelayan di kedai kopi ini pun telah hafal akan pesanan pria yang kerap duduk tepat di pojok dekat jendela, tempat biasa pria itu bercengkerama dengan kekasihnya. Namun sekali lagi, rasa cappuccino pesanannnya tidak seperti dulu saat
ia dan kekasihnya duduk saling berhadapan, persis di meja yang saat ini ia duduki. Rasanya ada yang hilang, kelam dan legam, bukan lagi seperti masa silam. *** Sambil menyeruput cappuccinonya yang masih mengepul, pria itu bergumam. “Barangkali, tidak akan ada lagi secangkir cappuccino dengan sedikit potongan cokelat yang bisa membawaku pergi ke masa lalu.” Pria itu hanya sekali meneguk pesanannya, lalu bergegas pergi meninggalkan meja dan selembar tisu yang telah bertuliskan puisi tentang senja yang sedang terluka. Tak lama, seorang pelayan sigap merapikan meja yang tadi ditempati oleh pria itu, dikemasnya cangkir bekas cappuccino dan tanpa sengaja, pelayan itu membaca puisi tentang senja yang sedang terluka, dibacanya larik demi larik, hingga titik terakhir, pelayan itu seperti sedang menyaksikan kerapuhan hati yang sedang berduka oleh sebab cinta, dalam hatinya berkata. “Biar kusimpan saja puisi ini, kelak jika pria itu kembali, akan kuberikan kepadanya.” ***
Wanita itu bukan tidak tahu, bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian bagi para pelayan, tapi tidak dipedulikannya, ia hanya memandangi secangkir cappuccino yang masih dipenuhi busa putih, baginya, ia seakan sedang melihat sesuatu yang tidak seperti yang ia lihat, seperti masa lalunya saat menikmati secangkir cappuccino dengan kekasihnya. Telah tiada, namun masih mendetakkan denyut dada. Hingga di penghujung malam, di bawah keremangan lampu kedai, wanita itu hanya duduk memandangi cappuccino pesanannya, tiada sedikitpun diminumnya, tanpa sadar, sudut matanya telah membasah, sebab ia paham benar, bahwa cappuccino ini tak lagi sama rasanya, rasa ketika musim cinta menebar bahagia, bukan mengurai luka. “Maaf, Bu, sebentar lagi kedai kami akan tutup.” “Ya, saya tahu jam berapa kedai ini akan tutup.” “Mas, sebelum saya memesan cappuccino ini, apakah ada orang lain yang memesan cappuccino yang sama dengan pesanan saya?” “Ada, Bu. Seorang pria, beberapa minggu yang lalu”
Hari berganti hari, pria yang ditunggu pun tidak datang seperti biasanya, tapi puisi itu tetap disimpan oleh pelayan kedai kopi. Sebab pelayan itu yakin, suatu hari nanti pria itu pasti kembali ke sini.
Ujar pelayan sambil menjelaskan ciri-ciri pria yang memesan secangkir cappuccino dengan sedikit potongan cokelat di atasnya.
Hari belum beranjak malam, namun telah datang pelanggan, seorang wanita. Wajahnya Nampak tidak asing lagi bagi pelayan kedai ini, wanita yang biasa datang dengan kekasihnya. Dia langsung memilih meja di pojok dekat jendela dan memesan secangkir cappuccino dengan sedikit potongan cokelat di atasnya, pesanannya sama seperti pria yang biasa datang ke kedai ini. Pelayan pun tertegun oleh pesanan wanita tersebut, sebab, semenjak kedai ini berdiri Sembilan tahun yang lalu, tidak ada yang pernah memesan cappuccino dengan sedikit potongan cokelat di atasnya, selain pria yang kerap datang ke sini bersama kekasihnya.
“Ah, pasti pria itu adalah dia, pria yang dulu pernah mencintaiku setiap hari”
“Cappuccino, sedikit potongan cokelat, satu!” Teriak pelayan kepada peracik kopi. Tak lama, pesanan telah siap diantar ke meja di pojok dekat jendela. “Ini pesanannya, Bu, secangkir cappuccino dengan sedikit potongan cokelat di atasnya. Selamat menikmati.” “Terima kasih.”
Dalam hatinya berkata.
“Apakah dia meneguk habis cappuccino-nya?”
“Tidak, Bu, pria itu hanya meminum seteguk saja, terkadang pria itu hanya memandangi pesanannya, tanpa meminum sedikitpun. Katanya, rasa cappuccino ini tidak lagi sama seperti saat ia masih bersama kekasihnya dulu.” Pelayan itu langsung teringat puisi yang ditulis oleh pelanggannya beberapa minggu yang lalu, sambil memberikan selembar tisu yang telah bertuliskan puisi, pelayan itu berkata. “Beberapa minggu yang lalu, pria yang saya ceritakan tadi, meninggalkan puisi di meja ini, Bu.” Pelan dan perlahan, larik demi larik dibacanya, tanpa terasa dari matanya yang indah, menetes tangis, tangis yang seakan mencoba memunguti masa lalunya yang telanjur beku. Hingga di akhir puisi itu, ia merasakan maut begitu dekat dengan nadinya. Di kedai itu tidak ada pengunjung lagi selain dirinya, beberapa lampu telah dipadamkan, suasana di kedai itu membuat kesunyiannya kian jelata. Sebelum bergegas meninggalkan kedai, wanita itu menitipkan pesan kepada pelayan yang berdiri di hadapannya. “Simpan baik-baik airmata saya, jika suatu hari nanti pria itu datang ke sini lagi, buatkan saja pesanannya seperti biasa, tapi tolong, kali ini tambahkan bulir airmata saya di cappuccino-nya, agar ia mengerti, bahwa kehilangan adalah sesuatu yang tidak bisa dibagi. Dan perpisahan; serupa kematian yang berkali-kali.” *** Lihatlah, betapa cinta bisa membuat segala benda dan peristiwa menjadi lebih bermakna. Sebab, cinta adalah segala yang tak pernah terselesaikan.
Adalah aku; kemarau panjang penuh ketabahan, ketika kau enggan menjadi hujan.
Selamat istirahat, Kamu, selamat meninabobokan segala kesedihan yang ada sebab, cinta terasa lebih nyata, ketika kita memejam mata. Berbahagialah...
Untuk memahami kesunyian malam ini, telah kutafsirkan teduh matamu sebagai Cinta, sebagai yang tak luput dari debar dada.
Kerinduan ini; serupa langkah maut, berderap dari sudut-sudut ruang, dan hanya kita yang tahu, riwayat apa yang harus kita kenang.
“
“
Akan kupinjamkan semua yang ada, atau, bawalah sesuka-hatimu, bila itu sebaik-baik cinta yang kau mau.
Akan Kupinjamkan Akan kupinjamkan mataku kepadamu, agar kautahu, sehangat apa airmata yang berlinang karenamu. Akan kupinjamkan hariku kepadamu, agar kautahu, serapuh apa aku tanpamu. Akan kupinjamkan hatiku kepadamu, agar kautahu, sedingin apa jantungku tatkala kumerindukanmu. Akan kupinjamkan semua yang ada, atau, bawalah sesuka-hatimu, bila itu sebaik-baik cinta yang kau mau.