Matra inspirasi setiyo bardono

Page 1

41 Puisi Setiyo Bardono

maTR41Nspirasi

41 Rasa Puisi dalam Ruang Kereta

Setiyo Bardono

maTR41Nspirasi

i


41 Puisi Setiyo Bardono

Diterbitkan dan diedarkan oleh: Setiakata Publishing Kampung Kekupu RT 02 RW 04 No. 103 Kelurahan Rangkapan Jaya - Pancoran Mas Kota Depok email: setiakata@yahoo.com

maTR4 1Nspirasi, 41 Rasa Puisi dalam Ruang Kereta Penulis : Setiyo Bardono Editor : Paijo Keretarekasa Tata Letak Isi : Setiyo Bardono Cetakan I : Oktober 2016

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG ! Dilarang keras menerjemahkan, menyalin, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta.

ii maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Puisi yang Tak Sempat Mencatat Kata Pengantar Di pagi yang istimewa, puisi membangunkan penulisnya. “Kami ingin naik kereta keliling melihat kota.” Penulis mengantar 41 puisi hingga beranda, menyisipkan bekal seadanya, tentang rasa, semangat, keceriaan, juga kenangan. “Mengapa tak bilang dari semalam, hingga bisa lebih sempurna kurencanakan perjalanan.” Kami cukup dewasa untuk mengejar kereta, kata puisi percaya diri. “Kamu di rumah saja, merenungi makna usia.” Penulis mengantar keriuhan puisi, sementara dirinya kembali dalam sepi. Depok, 15 Oktober 2016

maTR41Nspirasi

iii


41 Puisi Setiyo Bardono

DAFTAR PUISI Inspirasi Rasa 1. Asongan Susu 2. Gandaria 3. Tahu Sumedang 4. Pepes Kembung 5. Ongol-Ongol Fantasi 6. Bakwan Fantasi 7. Gerbong Lontong 8. Tahu Bulat 9. Serpihan Kamir di Sudut Bibirmu 10. Kue Lumpur 11. Kelengkeng 12. Lontong Kereta 13. Kulit Tahu Sumedang 14. Ranum Tomat Semerah Pipi 15. Analogi Daun Pandan 16. Pepes Tahu 17. Salak Pondoh 18. Serabi Pemanasan Global 19. Permen Asem 20. Gudeg Gondangdia Inspirasi Semangat 21. Asongan dan Anaknya 22. Ranjang Ibu 23. Sekeranjang Pisang di Sudut Gerbong 24. Pedagang Pernak-Pernik 25. Pedagang Buah di Beranda Stasiun 26. Buku Mewarnai 27. Bukan Asongan Biasa 29. Lelaki Muda Pedagang Tisu 30. Senja di Kereta 31. Kamus Bahasa

iv maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Inspirasi Keceriaan 32. Celana Kereta 33. Celana Jojon 34. Arisan Para Ular 35. Kereta Jarak Jauh 36. Tongsis 37. Penumpang Kencing Berdiri, Kereta Kencing Berlari 38. Gangguan Sinyal Penumpang Kesal 39. Kresek-Kresek Laju Kereta 40. Riwayat Jemuran Celana 41. Lamunan Kereta di Hari Literasi

maTR41Nspirasi

v


41 Puisi Setiyo Bardono

Inspirasi Rasa

vi maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

ASONGAN SUSU Dari puting gunung mengalir susu kemasan plastik aneka rasa. Tak kau jajakan sejumput asam, sebab kecut terlanjur lekat di badan. Dingin mengalir dalam jabat tanganmu, serupa abrasi merayap sunyi menyusupkan asin laut merusak kemurnian air tanah. Sementara kereta tak henti mendamparkan ratusan ribu mimpi bersama riak gelombang membuncah. Di belanga besar ibukota, pergulatan nasib mempertemukan kita. Jika hidup sekedar mampir minum dan naik kereta, telah kau tawarkan penawar dahaga dengan harga sekedarnya. Selagi menyeruput kesegarannya di tengah sesak kereta, akankah risau meneteskan tanya, bagaimana bisa murah? Mungkin kita terkadang lupa, ibu tak pernah mengharap imbalan walau sepanjang hayat menyusui kita dengan kasih berlimpah. Depok-Dukuh Atas, 11/10/12

maTR41Nspirasi

1


41 Puisi Setiyo Bardono

Gandaria Seberapa lapang ingatan kita akan Gandaria? Buah yang jarang bahkan mungkin tak pernah naik kereta. Tapi sesak kereta menyemaikan bunga keringat dari sela ketiak dengan bau menyengat semasam buah Gandaria. Namun kita tak pernah jera, walau sesak kereta serupa wanita hamil tujuh bulan. Kenyataan sekecut Gandaria tertumbuk menjadi sepiring rujak, menjelma rangkaian upacara menyambut tangis kelahiran dan doa-doa penuh harapan. Sambil bersulang sirup Gandaria, kita berharap sekian kilometer rel yang tercuri menjelma bidadari dengan sepasang selendang panjang yang mengeras menjadi rel ganda, mengantar kereta melaju lebih leluasa. Gandaria City, 14 Juni 2016

2 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Tahu Sumedang Ketika gejolak kehidupan kau rasa hanya mematangkan kulit permukaan, diam-diam ia bekerja menciptakan rongga ruang renung menekuri makna mencari tahu dibalik peristiwa hingga kita senantiasa sedia mengecap gurih menelan pedas sampai perjalanan menjemput tandas. Stasiun Gondangdia, 17 April 2008

maTR41Nspirasi

3


41 Puisi Setiyo Bardono

Pepes Kembung Keringat ini bumbu, terasa pedas makimu. Bantu saja Ibu, haluskan di batu. Ingat pupuk lempuyang? di kening kecilmu terbayang. Jangan lupa balsem di pusar, perut kembung tak akan gusar. Lekas berdiri layaknya laki-laki. Jangan duduk seperti udang bungkuk. Daun kemangi semerbak nangka bertabur cempedak. Takut bertukar rasa? tusuk saja lidi dua. Depok-Gondangdia, 23 Des 2008

4 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Ongol-ongol Fantasi Diterpa angin, bunga jambu berguguran memenuhi permukaan situ. Senja perlahan turun membeku. Di tepian pagi, cermin duka mengapungkan wajah lelaki tua. Sepotong rupa bertabur uban. Waktu mengendapkan keping lupa luluh tubuh melegitkan rasa. Pisau siapa mengiris luka? Selalu ada rahasia di permukaan usia walau dalamnya loyang bisa diterka. Depok - Thamrin, 12 Februari 2008

maTR41Nspirasi

5


41 Puisi Setiyo Bardono

BAKWAN FANTASI Kenyataan seperti tajam gunting, mengoyak tubuh jatuh berkeping. Telah kuserahkan serpihan raga, sebelum tepung merangkum kita. Luka mengaduh serpihan kaca, meleleh kuah merah air mata. Ketika kehidupan berderak rapuh, kita tak bisa mencerna utuh. Stasiun Depok Lama, 20 April 2010

6 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Gerbong Lontong Ingatkah engkau pada setangkai daun pisang yang memasrahkan rapuh tubuhnya mengarungi deras hujan? Laksana hujaman ribuan alu, tak hanya lembaran tubuhnya yang terkoyak basah, tubuh kita lumat merangkum sekian resah dalam gerbong-gerbong yang tak henti disesaki berbagai persoalan. Sementara kehangatan perjalanan cinta terlunta mencari kematangan pemikiran, ampas sisa ilmu pengetahuan riuh berjejalan menghimpit ringkih rongga dada, seperti hembusan nafas yang tersengal. Tapi selalu terselip serangkaian doa dalam serpihan makna yang tercerna: semoga gairah yang merah menggoda tak melunturkan putih niatan kita. Stadela, 23 April 2010

maTR41Nspirasi

7


41 Puisi Setiyo Bardono

Tahu Bulat Tak sudi dikatakan bermental lembek dan terkungkung dalam kotak-kotak sempit pemikiran, tahu membulatkan tekad sebelum terjun di panas minyak. Kulit yang mengeras menciptakan rongga, di mana engkau bisa singgah untuk menghayati nikmat yang bertaburan di semesta kehidupan. Walau lelah jangan menyerah, seperti pedas rawit yang membakar lidah: sesaat sudah. Dan engkau akan kembali dalam rengkuhan-Nya. Stadela, 23 April 2010

8 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Serpihan Kamir di Sudut Bibirmu Dengan pompa batang ketela, jemari daun menggelembungkan selidi akar yang terlelap dibekap subur tanah. Selalu ada hembusan harapan ketika berdesakan disekap gelap. Karena itu, haruskah aku berulang menjawab pertanyaanmu: bagaimana aku bisa setia berdesakan dalam gerbong pengap ini? sementara kulihat tawa kecil hinggap di lengkung bibirmu. Jika kemudian kubisikkan sebait puisi tentang duka, apakah engkau akan peduli? bahkan ketika ragi di sekujur badan kereta melumatkan tubuh ini. Engkau terdiam seraya mengecilkan api tungku yang memanggang sederet wajah rembulan. Aroma wangi separuh gosong berhembus dari balik jeruji peron menyihir seisi gerbong. Dari buram kaca, kulihat air matamu perlahan menetes menjatuhi adonan. Seketika bimbang menghampiri selembar tissu, entah mana yang harus segera diseka: air mata di sudut matamu atau serpihan kamir di sudut bibirmu. Sementara laju kereta tak henti menderakkan ngilu. Tebet - Gondangdia, 10 Mei 2010

maTR41Nspirasi

9


41 Puisi Setiyo Bardono

Kue Lumpur

: DM

Apa yang terbenam dalam pekat adonan, irisan sayuran beserta kampung halaman? Tepian waktu mengeras terpanggang, tetes air mata belum tuntas berlinang. Ingatkah cahaya bulan kuning bundar? di sana angan kita pernah melingkar. Nasi telah menjadi bubur, nasib lelah berkubang lumpur. Hidup seperti permainan dadu, tak tahu kemana kehendak menuju. Depok, 30 Mei 2010

10 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

KELENGKENG Ranting menyerpih di pembuangan sampah, lelaki muda mengemas butiran-butiran resah. Setelah terlempar jauh dari tanah asing, di peron kau pasrahkan nasib pada tajam gunting. Seperti kelereng yang terkumpul di apek kaos kaki, engkau telah belajar menghimpun harapan sejak dini. Walau kenyataan kadang mencongkel butiran mata, tak lelah kau tawarkan manis sepanjang lorong kereta. Depok Lama, 14 Juli 2010

maTR41Nspirasi

11


41 Puisi Setiyo Bardono

LONTONG KERETA Di usia belia, harapan selembar daun pisang pupus tercabik terik. Air mata menggenang di baju lusuh perempuan tua, bercak telutuh tak akan pernah bisa diseka. Di telapak tanganmu, hijau sapu tangan membungkus sekepal penat. Seperti deru kereta yang berderak memasuki peron mata: kenyang dalam penglihatan, hanyalah kesan. Engkau tidak akan pernah mengendurkan langkah. Sebab engkau tahu, bagaimana gerbong kereta serupa perut yang selalu bisa diisi. Meski sesak, mulut pintu selalu menyediakan sela bagi siapapun yang mau merangsek ke dalamnya. Serpihan ampas pengetahuan, akan menggenangi tubuhmu dalam merah kenangan. Hingga suatu saat engkau pasti akan kembali mencicipi manis getir perjalanan. Serupa sengatan pedas membakar lidah. Engkau pasti menggerutu saat itu, tapi kembali kau siapkan tubuh terlumat deru. Sudirman - Depok - Thamrin, 5-9 Agustus 2010

12 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Kulit Tahu Sumedang Sepagi ini pasti ayah sedang sibuk menumpuk mentah batu bata dalam gubuk bambu beratap jelaga, dan menjajarkan kayu-kayu untuk dijejalkan ke lubang tungku. Serupa meracik bara api penyambung nafas lokomotif tua, tapi tetap perkasa mengelilingi kebun tebu di pekarangan pabrik gula. Semoga malam menghadirkan purnama hingga tipis aroma dupa menyengatkan wangi doa, “Matanglah semerah kulit kereta.� Ayah, ingatkah engkau pada garpu injak yang pernah kupatahkan giginya? sekarang, garpu dengan gigi tinggal dua, setia menemaniku menapaki riuh kota. Aku memang tak seulet engkau mengolah tanah, kerja berbasah keringat tapi dihargai upah yang payah. Dalam permukaan tahu, selalu kutemukan keriput tanganmu. Seperti kasar tubuh kereta, tapi selalu tersedia ruang hangat di relungnya. Tempat aku singgah, ketika perjalanan terasa begitu lelah. Depok Lama, 19 Januari 2011

maTR41Nspirasi

13


41 Puisi Setiyo Bardono

RANUM TOMAT SEMERAH PIPI Ranum tomat dalam peti semerah pipi pujaan hati yang mengintip dari sela terali besi. Sebelum dipajang dalam keranjang, dibersihkannya kotoran yang mengotori pandang. Seperti menyeka rintih air mata, dalam rongga dada belahan jiwa. Sebab lemah tubuh kekasihnya dipenuhi merah cairan cinta, tidak sekeras hati buah salak. Itu pula alasan, kenapa tidak ada kecup hangat perpisahan, ketika peluit kereta menyalak. Sepertinya gadis itu lebih suka menyusupkan doa dalam kubangan air mata. Dalam kepungan buah tomat, diiringi derak kereta mengusung penat, lelaki muda belajar memilah segar busuk, menimbang baik buruk. Sebab ia harus meneguhkan degup, agar tak hanyut dalam persaingan hidup. Depok Lama, 28 Februari 2011

14 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

ANALOGI DAUN PANDAN Dalam dekapan apek gerbong, seikat pandan setia menghembuskan aroma harum tubuh. Pasti engkau tidak akan pernah mempersoalkan di mana mereka tumbuh. Sebab ketika sulursulur akar menyerap bacin comberan atau menenggak cairan sebening air kemasan, daun pandan akan meronakan hijau yang sama, meruapkan wangi yang setara. Menyerpih di puding lezat perjamuan istana atau terperosok dalam kubangan bubur encer di gubuk pinggir rel kereta, kehadirannya selalu memberi nilai lebih sebuah rasa. KRL Ekonomi, 06 Juni 2011

maTR41Nspirasi

15


41 Puisi Setiyo Bardono

PEPES TAHU Ketidakpastian menyuburkan jamur di sepanjang bangku tunggu. Keingintahuan mengendapkan ampas serapah di lantai keretaku. Keringat sewangi kemangi mencumbu irisan cabai merah bibirmu. Kebersamaan merangkum serpihan duka dalam dekapan gurih bumbu. Thamrin, 22 Juni 2011

16 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Salak pondoh Tangan penuh duri, bisa melindungi dan melukai. Tak rela anaknya tergores luka, ibu merajut keringat air mata. Serupa jalinan atap sirap, mengayomi penghuni rumah dari angin kalap. Panen raya mengundang derak kereta, melelehkan langgam lara. Usia beranjak dewasa, saatnya melepas anak mengembara. Tercerai berai, berpondoh-pondoh menuju kota. Seorang diri atau sepasang. Mengendong beban atau melenggang. Gerbong-gerbong seperti menebarkan jala nelayan. Merangkum segala rasa dalam satu ikatan. Mengecap kecut, sepet dan manis kehidupan. Hingga suatu saat, dalam transaksi pelelangan ikan, nasib akan merengutmu. Roda kereta menggelindingkan keras hatimu, menjadi teman setia gumpalan batu. Depok Lama, 28 Juni 2011

maTR41Nspirasi

17


41 Puisi Setiyo Bardono

Serabi Pemanasan Global Di tanah lapang bekas gusuran, airmata perempuan tua mengencerkan putih gumpalan awan. Terpanggang di atas ceruk tanah seliat kesabaran, langit matang berlubang-lubang. Nek, inikah sebab mengapa udara semakin panas? Seulas senyum mengembang dalam guyuran encer gula. Nak, nikmati saja manis hidup, selagi kita dianugerahi degup. Stasiun Depok Baru, 30 April 2013

18 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Permen Asem Si mungil manis mendesah dalam pangkuan, “Cukup seribu lumatlah kehangatan tubuhku.” Kantuk mata seketika tergoda, “Inikah pelajaran mengeja rasa?” Si mungil manis mendesah dalam pangkuan, “Tabahku remah digulai, wangiku rempah digilai.” Seribu saja telanjangi gemulaiku sejuta rasa telan nikmat gemuruhku. 23 Juni 2011

maTR41Nspirasi

19


41 Puisi Setiyo Bardono

Gudeg Gondangdia Pada sebuah jeda, kereta memesan lajunya :gudeg... gudeg... gudeg...gudeg... Sepenggal lelah berkerecek di persambungan kata. Disekap panas, keringat menggerus keluh sehalus bumbu. Keras batu pun luluh dibungkam manis sepiring rindu. Gondangdia, 27 Mei 2011

20 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Inspirasi Semangat

maTR41Nspirasi

21


41 Puisi Setiyo Bardono

ASONGAN DAN ANAKNYA Nak, ketiadaan sepasang kakimu tidak lantas mencacatkan jiwa Bapak, hingga mengais rejeki dari duka. Nak, tidak sempurnanya sepasang tanganmu tidak lantas melemahkan tangan Bapak, hingga menengadah meminta-minta. Nak, kita tunjukkan pada dunia, derita tak harus ditangisi semata. Sweetriver, 26 Juli 2005

22 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

RANJANG IBU Berderit sekujur lorong rahimmu, disesaki sepasang ranjang bambu. Menyibak tubuh-tubuh sepenuh ngilu, kutafsir mimpir buruk di pagi laju. Lamat kudengar rintih ibu, terjebak di ruas-ruas bambu. Ada yang meraut harapan diseok langkah, serapi bilah-bilah membaringkan lelah. Samar-samar kubaca selarik puisi cinta, meruapkan sesuap pencarian tak kenal tua. Seperti menimang resah tiada terkira, harusnya ibu lelap dengan senyum bahagia. Stasiun Depok-Gondangdia, 12 Mei 2009

maTR41Nspirasi

23


41 Puisi Setiyo Bardono

SEKERANJANG PISANG DI SUDUT GERBONG Ketika tumbuh kembang tubuhmu mengeringkan lembaran daun pisang, jangan menangis! Sebab diam-diam ia sedang menyiapkan selimut hangat untuk mendekap sisir-sisir tubuhmu ketika tercerai dari tandan tali pusar dimana engkau mengantungkan harapan hidup pada ibu. Ketika tumbuh kembang tubuhmu mengeringkan lembaran daun pisang, jangan menangis! Sebab diam-diam ia sedang bersiap menemani dan menjaga perjalananmu agar tetap utuh menuju ranum tubuh, dimana engkau menjadi harapan hidup bagi lelaki renta yang tertidur di sudut gerbong itu. Gebong3 KRL Ekonomi, 18 November 2009

24 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

PEDAGANG PERNAK-PERNIK Jalan pikirannya seperti kereta yang terlambat memahami amanat, “Jangan pernah menyakiti hati perempuan, karena Ibu juga seorang perempuan.” Setiap kali menatap wajah lelah penumpang kereta, ia menemukan sorot mata kekasihnya yang setia dengan pertanyaan: “Sampai kapankah aku harus menunggu kepastian.” Entah mengapa, bimbang terasa begitu lekat, hingga tak jua terangkai sekuntum jawab. Serupa kereta tua yang termangu di pintu kandang, “Badan ini tak lagi sehat, namun sejuta keresahan menunggu terangkat.” Begitu melihat kereta yang tetap bersemangat menanggung ribuan penat, kembali didorongnya kereta kecil yang digelayuti aneka pernakpernik yang menghiasi sekujur tubuh perempuan. Dengan jalan inilah, ia merasa menyusuri lorong menuju selarik senyum kekasih hatinya. Depok Lama - Thamrin, 12 Januari 2010

maTR41Nspirasi

25


41 Puisi Setiyo Bardono

Pedagang Buah di Beranda Stasiun Di beranda stasiun negeri ini, buah-buahan asing laris manis, sementara buah lokal memandangnya sambil meringis. Di sudut suram gerbong hatiku, engkau pernah membisikkan perihbahasa tua, “Buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya.� Nyatanya, mereka bertebaran ke seluruh penjuru dunia, seperti Laksamana Cheng Ho dengan ribuan bahtera menjelajah samudera. Ingatkah engkau pada pohon kecapi tua di tepi kuburan, yang tak lelah merontokkan buah, kadang membusuk karena tidak terpungut tangan bocah, kadang terlunta karena diinjak sepatu hingga kulit pecah. Mungkin karena dalam ingatan belia, kecapi selalu mengecoh lidah, menerbitkan cengiran masam tak sudah-sudah. Sementara kita kadang terlalu yakin, selepas senja orangtua pulang membawa sekantong jeruk Sunkist atau kadang apel Washington yang dibeli setelah turun dari kereta. Mengapa sesuatu yang asing di lidah, membuat kita menelan ludah? Padahal di kebun belakang rumah kita, Kesemek selalu bersolek, tapi tak jua terlihat molek. Mungkin karena Kesemek, nama yang kurang seksi, padahal nama asingnya Dyospiros kaki. Asal-usulnya dari Eropa pula, mampir ke negeri ini karena ulah pedagang Belanda. Atau sesuatu yang menggoda di luar rumah, membuat kita bergairah? Ah, kita sudah terlalu tua untuk sembunyi-sembunyi merencanakan perbuatan nakal. Sudah tak pantas rasanya, kalau ketahuan mencuri rambutan, jambu atau mangga di kebun tetangga. Tapi sudahlah, karena cinta tak kenal batas-batas negara, aku ingin meminjam tangan petani untuk menyemai benihnya di lahan ibu pertiwi. Hingga buah dari cucuran keringatnya membanjiri beranda stasiun negeri ini. Stasiun Depok Baru, 12 Januari 2011

26 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Buku Mewarnai Di sepanjang laju hari, kau tawarkan buku mewarnai. Di gerbong gelap pengap ini, bagaimana warna bisa kukenali? Padahal, berpuluh superhero di lembarannya perlu baju, sayap, dan tentu saja celana. Ya, agar mereka terbang membebaskan dirinya dan menebarkan cahaya kebenaran untuk kita. Manggarai, 18 Nop 2008

maTR41Nspirasi

27


41 Puisi Setiyo Bardono

Bukan Asongan Biasa Merasa tak bisa membahagiakan dan memenuhi semua permintaan kekasihnya, seorang perempuan yang separuh hidupnya terperangkap dalam kaca, lelaki itu mempertaruhkan pundaknya, memikul beban berat pernak-pernik yang menghiasi tubuh perempuan. “Dalam keadaan terjepit jangan pernah menyerah, seperti rambut perempuan, ketika terjepit makin indah.” Maka dari peron ke peron, pernak-pernik yang dijajakannya selalu dikerubuti penumpang kereta. Pada saat itu ia merasa bisa membahagiakan perempuan yang dikasihinya. “Aku bukan asongan biasa. Aku pemuja wanita.” Depok, 25 Juli 2007

28 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Lelaki Muda Pedagang Tisu Setiap kali menawarkan tisu dagangannya, lelaki muda itu selalu teringat dambaan jiwa: gadis dengan kerak air mata di seputar sumur netra, seakan duka begitu karib menyertai perjalanan hidupnya. Di stasiun tua yang sekarang sudah tidak lagi disinggahi kereta, dengan selembar tisu ia menghapus lelehan air mata dan mengecup hangat bibir kekasihnya. Cinta yang begitu muda harus terpisahkan hasrat kembara. Peluit kereta menjeritkan lenguh perpisahan, seiring derak lantunan lagu lama di mana desa tidak lagi menarik bagi jiwajiwa muda, dan gemerlap kota selalu saja menggoda. Atas nama harapan, atas nama perbaikan nasib yang harus diperjuangkan. Setiap kali menawarkan tisu dagangannya, lelaki muda itu selalu teringat pujaan hatinya: gadis yang telah mengembalikan sepotong tulang rusuknya, terbungkus sepenggal kata, “kenyataan telah perih menggoyak keutuhan gerbong cinta kita.� Sepanjang lorong kereta, ia selalu merasakan getar duka yang diisyaratkan kekasihnya. Dan dengan selembar tisu, lelaki muda itu berharap kembali bisa menyeka lelehan air matanya. Depok Lama, 14 Januari 2011

maTR41Nspirasi

29


41 Puisi Setiyo Bardono

SENJA DI KERETA :episode koran sore

Terkantuk dalam himpit sesak Ketika gemuruh kereta berderak Kudengar suara lantang menyeruak “Pembaruan... Pembaruan...” Oh, inikah secercah harap dari rasa was-was yang kudekap “Pembaruan... Pembaruan...” Apakah angin segar itu akan tiba Usir derita anak bangsa kelas tiga “Pembaruan... Pembaruan... Terbit seribu Harapan” KRL Depok - Cawang, suatu senja

30 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

KAMUS BAHASA Menyusuri lorong gerbong, lelaki tua tak lelah membopong tumpukan kamus beragam bahasa. Ia bermimpi tubuh kereta tak hanya dipenuhi makian, sebab ada bermilyar pilihan kata. Tapi ia ragu karena hanya sedikit orang yang menghentikan langkahnya, sekedar bertanya atau menawar dengan harga rendah. Depok Lama, 20 September 2011

maTR41Nspirasi

31


41 Puisi Setiyo Bardono

Inspirasi Keceriaan

32 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

CELANA KERETA Mengapa kereta larinya cepat? Sebab ia tidak pakai celana. Kalau kamu tidak percaya, cobalah lari telanjang bulat, pasti lajumu secepat kilat. Kalau kereta pakai celana, jalannya santai sambil bergaya. Tapi mengapa kereta kadang lambat jalannya, padahal ia jelas tak pakai celana? Pasti kamu mengajukan tanya. Sebenarnya, ia sedang mengamati jemuran di pinggir rel kereta, barangkali ada celana yang pas untuknya. Sewaktu bocah, kereta pernah dibelikan celana, di pasar malam sepuluh ribu tiga, tapi ibu lupa menyimpan di mana. Kata ayah, celananya sudah tak muat, kereta tumbuh terlalu cepat, kalau dipaksa kolornya putus mencelat. Jika kereta berjalan mondar-mandir saja, ia sedang mencari celana masa kecilnya. Stasiun Cawang, 29/1/2014 22:34

maTR41Nspirasi

33


41 Puisi Setiyo Bardono

CELANA JOJON Di stasiun tua, juru tawa menggumamkan kata, “kasihan kereta, mondar-mandir tanpa celana.” Juru tawa menyerahkan celananya pada kereta, “Pakailah celanaku, agar bahagia hidupmu.” Hidup tanpa celana, bagai taman tak berbunga, Oh begitulah dendang juru tawa. Tanpa celana, juru tawa meninggalkan kereta, “Maaf, saya tinggal dulu. Ada panggilan ke Surga.” Akhirnya, kereta mencoba celana juru tawa. “Baru kali ini ada celana yang pas,” katanya sambil bergaya. Sepanjang jalan, kereta tersenyum bahagia. Ia terkenang celana masa kecilnya yang hilang entah kemana. Kerinci, 7 Maret 2014

34 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

ARISAN PARA ULAR Sepanjang perjalanan, ular besi memikirkan tawaran Sanca, yang ditemuinya sedang ngemil tikus penyet di pinggir rel kereta. “Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sesekali ikutlah arisan bersama sosialita para ular.” Sebenarnya ular besi ingin ikut arisan, tapi ia risau tak bisa menjawab banyak pertanyaan. Masalah asal usul hanya membuat hati masygul. Kalau ular biasa lahir dari telur, apakah ia menetas dari telur besi? Entahlah, ular besi merasa sebatang kara tak pernah kenal siapa orangtuanya. “Kamu lahir dari tong sampah, tumbuh dewasa disusui serigala,” ejek cecurut butut sambil tertawa terkentut-kentut. Ah, jangan-jangan ajakan Sanca hanya jebakan. Sanca mungkin ingin balas dendam karena ular besi pernah menggilas putus ekornya. Selain asal-usul, ular besi juga tak pernah terang jenis kelaminnya: jantan atau betina. Kemanapun pergi, ular besi melenggang tanpa celana. Sewaktu arisan, pasti ia jadi bahan olok-olok saja. “Kamu lahir cesar dari rahim peradaban,” hibur burung gereja yang membangun sarang di sela-sela atap stasiun kereta. Ah, sepertinya ia harus pulang kampung, barangkali di laci lemari masih tersimpan akta kelahiran. Mudah-mudahan rumah masa kecilnya tak hanyut diterjang banjir bandang. Depok, 26/1/2014

maTR41Nspirasi

35


41 Puisi Setiyo Bardono

KERETA JARAK JAUH Kereta jauh melempar sauh, Sekian jenak tak jua beranjak. Mengapa ragu, tanya ibu. Doaku pasti menyertaimu. Kenapa belum beranjak, kata Bapak. Apa uang saku kurang banyak. Ada gangguan sinyal, kata penumpang kesal. Perjalanan jadi tersengal. Tabahkan hatimu sobat, kata tong sampah berkarat. Kalau sampai tujuan jangan lupa kirim surat. Ah, perjalanan masih jauh, kereta mengaduh. Rindu terlanjur melepuh. Stasiun Gondangdia, 24/1/2014, 19:50

36 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

TONGSIS Sudah lama kereta ingin melipir ke Mall Mangga Dua, beli handphone pintar dengan kamera bermata tajam agar penampilannya elok saat ber-selfie ria. Tak lupa mencari tongkat narsis, agar di sepanjang jalur bisa eksis. Kereta sering menguping pembicaraan manusia yang berdesakan di perutnya. Kata mereka, memotret diri sendiri salah satu obat penghilang galau pengusir duka. Sesekali angin menyangkalnya, merenungi diri membawa kita pada langkah lebih bijaksana. Memang handphone pintar tak lantas membuatnya jadi cerdas. Tapi setidaknya, ia bisa menjalani hidup dengan gembira, menghadapi semua persoalan dengan jepretan kamera. Sebab keluh kesah tak bisa menghentikan batu-batu yang melayang mendera tubuhnya. Sebab himbuan tak mempan menyeret manusia menuju jalan kepedulian. Jika kemudian ia tak bisa meneruskan perjalanan, akan disebarkan foto dirinya ke penjuru dunia, dengan sebaris kata: Tak perlu kau tangisi luka kereta. KRL Commuterline, 25 Agustus 2014

maTR41Nspirasi

37


41 Puisi Setiyo Bardono

PENUMPANG KENCING BERDIRI, KERETA KENCING BERLARI Penumpang kencing berdiri, kereta kencing berlari. Penumpang kencing jongkok, kereta tetap kencing berlari. Mungkin kereta meniru perihbahasa, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Tak peduli penumpang itu murid yang akan menuntut ilmu, atau guru yang sedang dituntut ilmu. Kereta memang seharusnya berlari ketika dikencingi, agar bau tak sedap tak menyergap. Jika kereta berhenti, bau pesing akan berhamburan menyerbu indra penciuman. Karena itu tahan kencingmu ketika kereta berhenti. Kencinglah ketika kereta berlari. Tak perlu kau risaukan, kemana air kencingmu lari. Biarkan kencingmu menyiram rel atau batu-batu, daripada ditahan menganggu kerja ginjal atau mengendap jadi kencing batu. Kencing mengajari kita bagaimana mengeluarkan sesuatu dengan ikhlas. Walau habis minum air biasa atau minuman berkelas, kita akan kencing dengan gaya seperti biasa, dengan tekanan yang sama. Semua diperlakukan sama, tak ada beda. Apakah sehabis menenggak coca-cola, kita akan kencing salto sambil bilang “Wow”. Tentu saja tidak. Itu sama saja, “Bermain air kencing terpercik muka sendiri.” Kereta Kutojaya Utara, November 2013

38 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

GANGGUAN SINYAL PENUMPANG KESAL Penumpang kereta sering kesal, gara-gara kerap gangguan sinyal. Bentuk sinyal seperti apa? Tak semua tahu jawabnya. Sinyal itu alat vital kereta, makanya disembunyikan dalam celana. Kalau penasaran intip saja. Kereta perlu panduan sinyal, agar jalannya tidak tersengal. Sinyal memberi kode warna-warni. Merah berhenti, kuning hati-hati. Alhamdulillah hijau berarti jalan lagi, lho kok merah lagi, ada apa ini. Ealah, sekarang gangguan wessel, jadi harus ngantri. Sinyal gangguan kereta ragu jalan. dipaksa jalan pakai petak jalan, penumpang terkena petaka jalan. Sinyal peot bikin repot, apa perlu panggil mak erot? Alat vital rusak jadi gawat penumpang telat gaji disunat. Gangguan sinyal di malam hari, bikin istri kesal menanti, sampai di rumah dipunggungi.

maTR41Nspirasi

39


41 Puisi Setiyo Bardono

Sinyal tua perlu peremajaan, tapi butuh dana trilyunan. Semoga jadi handal kinerjanya, bukan tambah galau banyak gaya. Depok-Cawang, 01 Maret 2014

40 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

KRESEK-KRESEK LAJU KERETA Dalam kresek-kresek laju kereta, lelaki itu setia mendekap kresek hitam berisi kain pesanan pelanggan. Sebagai penjahit yang telah menjahit ribuan baju dan celana, ia kasihan melihat kereta yang berjalan telanjang. Ia ingin sekali menjahit celana untuk kereta, sayang kereta tak jelas jenis kelaminnya. Ia juga ingin menghadiahi baju, tapi bagaimana mengukurnya, ia tidak tahu dimana letak ketiak kereta. Kereta hanya punya kepala dengan leher sangat panjang. Mungkin sarung pilihan tepat. Apalagi di musim penghujan, agar kereta tidak kedinginan dan tidur nyenyak di stasiun peristirahatan. KRL Commuter Line, 13 November 2013

maTR41Nspirasi

41


41 Puisi Setiyo Bardono

Riwayat Jemuran Celana Pada suatu pagi yang cerah, jemuran di tepi jalur kereta gelisah. Sudah beberapa hari, sahabat karibnya, celana tak berjemur mengeringkan tubuhnya yang basah. Burung kecil yang hinggap di dahan memberi kabar, “selepas subuh celana sudah pergi ke stasiun kereta.� Jemuran besi tergoda untuk menyusul celana. Ia pun berjalan menyusuri rel kereta. Sampai di stasiun, jemuran bertemu banyak celana yang sedang menunggu kereta. Namun ia tidak menemukan celana karibnya. Ketika hendak masuk kereta, langkahnya dihadang penjaga. Saat hendak keluar stasiun, ia tak bisa membayar denda karena tak punya tiket kereta. Di peron stasiun, jemuran memutuskan untuk menunggu celana karibnya. Hari berganti hari, jemuran tetap setia menanti. Namun celana karibnya tak juga menghampiri. Tapi jemuran bahagia karena banyak celana-celana bersandar di tubuhnya. “Begitulah Nak, awal mula kenapa ada jemuran celana di stasiun kereta,� kata seorang nenek sambil mengusap rambut cucu lelakinya. Keduanya menunggu kereta sambil duduk di lantai stasiun. Sementara kereta yang datang selalu disesaki celana-celana. Depok, 10 April 2016

42 maTR41Nspirasi


41 Puisi Setiyo Bardono

Lamunan Kereta di Hari Literasi Sesekali kereta ingin menghabiskan waktu bersama buku. Membaca atau menulis sepenggal kisah. Namun sepulang kerja tubuhnya selalu kalah disergap lelah. Mungkin ia harus mencari ketenangan di kedai kopi pojok stasiun. Duduk di sudut sambil melamun. Mengeja menu-menu asing, merenungi makna perjalanan yang kian bising. Tapi kereta takut ada penumpang memergokinya, “Lihat, penumpang menumpuk di stasiun, kamu malah enak-enak ngopi sambil melamun.� Kereta hanya bisa berharap, ada penumpang membaca keresahan dirinya dan menuliskannya menjadi kisah yang terus terbaca. KRL Commuterline, 8 September 2016

maTR41Nspirasi

43


41 Puisi Setiyo Bardono

tentang penulis SETIYO BARDONO. TRAINer (penumpang kereta) kelahiran Purworejo, 15 Oktober dengan rute stasiun Depok Baru-Gondangdia. Penulis tiga buku antologi puisi tunggal: Mengering Basah (Aruskata Press 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Publishing, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Enterprise Malaysia, 2012) serta dua novel remaja: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014) Puisi karyanya singgah dalam beberapa buku antologi bersama beberapa penyair seperti Dian Sastro For President #2: Reloaded (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003), Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (AWG 2005), Jogja 5.9 Skala Richter (Bentang 2006), e-book Antologi Puisi Fordisastra 2007: Kemayaan dan Kenyataan, Peta Kamasurta (Alvabet, 2009), Kakilangit KESUMBA (Kopisisa, 2009), Antologi Puisi G 30 S (Sokobuku, 2010), Resonansi (Dewan Kesenian Purworejo, 2010), Empat Amanat Hujan (Dewan Kesenian Jakarta, 2010), dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan (Pasar Malam Publishing, 2011), Tuah Tara No Ate (Bunga Rampai Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan Indonesia ke-IV, 2011), Karena Aku Tak Lahir dari Batu (Antologi 100 Puisi Tema Ibu seIndonesia, Sastra Welang, 2011), The Beauty of Indonesia Railways (Kereta Anak Bangsa, 2012), Cinta Gugat (Pasar Malam Publishing, 2013), Sendaren Bagelen (Paguyuban Penulis Purworejo, 2013), Negeri Abal-Abal, Antologi Puisi dari Negeri Poci 4 (Kosa Kata Kita, 2013), Negeri Langit, Antologi Puisi dari Negeri Poci 5 (Kosa Kata Kita, 2014), Bersepeda Ke Bulan (Indopos, 2014), Pengantin Langit, Puisi Menolak Terorisme (KSI dan BNPT, 2014), dan Negeri Laut, Antologi Puisi dari Negeri Poci 6 (Kosa Kata Kita, 2015). Penulis bisa dihubungi via email: setiakata@yahoo.com

44 maTR41Nspirasi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.