Uncrc shadow report bahasa indonesia

Page 1

LAPORAN ALTERNATIVE ATAS LAPORAN PERIODE KETIGA DAN KEEMPAT PELAKSANAAN KONVENSI HAK ANAK OLEH PEMERINTAH INDONESIA (MELINGKUPI PERIODE DARI TAHUN 1997 HINGGA 2012)

Disampaikan oleh Koalisi NGO Nasional Pemantau Konvensi Hak anak

Disupport oleh: Save The Children, Terre des Hommes-Netherlands, ChildFund, World Vision International dan Plan Indonesia

1


Koalisi NGO Nasional Pemantau Konvensi Hak Anak Alamat sekretariat : Jl Stella III No. 88, Medan, Indonesia, 20135, Telp. +62 61 8367438, Fax. +62 61 8367412 Contact Person: 1. Nama : Muhammad Jailani Email : Muhammad.jailani2011@gmail.com Mobile: +62 81370212644 2. Nama : Ahmad Taufan Damanik Email : taufandamanik@yahoo.com Mobile: +62 811659718

2


PENDAHULUAN Laporan Alternatif ini merupakan respon Nasional NGO Koalisi Pemantau Hak Anak pada laporan periodic ke tiga dan keempat atas implementasi Konvensi Hak Anak yang dilakukan pemerintah Indonesia, yang sudah diterima oleh Komite Hak Anak PBB pada 18 Oktober 2012. National NGO Coalition selanjutnya disebut dengan NGO menyusun laporan alternative menggunakan empat sumber data utama yakni; Laporan periode ketiga dan keempat pemerintah per 12 Oktober 2012, Konvensi Hak Anak, Concluding Observations (oleh Komite Hak Anak) atas laporan periodik II Indonesia (KHA/ C/15/Add.223, 26 February 2004), Laporan Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak di Indonesia untuk Periode 1997-2009. dan update data desk research yang bersumber dari data sekunder. Penting diketahui bahwa Laporan tinjauan pelaksanaan KHA pada awalnya dimaksudkan sebagai laporan alternative. Namun ketika laporan diterbitkan pada tahun 2010, pemerintah Indonesia belum juga menyerahkan laporan periode ketiga dan keempat (masih berupa draft) maka NGO Koalisi kemudian merubah untuk sementara menjadi laporan tinjauan pelaksanaan KHA di Indonesia. Pengumpulan data dalam mendukung laporan alternative dilakukan dengan tiga kegiatan yakni: 1. Konsultasi Anak-anak. Konsultasi anak, adalah rangkaian kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi langsung dari anak baik anak secara individu maupun secara secara kelompok dengan menerapkan standar praktik partisipasi anak dan kebijakan perlindungan anak.3 Untuk menyempurnakan laporan konsultasi anak dilakukan juga penelitian tentang cerita hidup anak dan juga latar belakang sosial kelompok anak yang dikonsultasi. Anak-anak yang terlibat langsung dalam konsultasi anak berjumlah 377 orang. Anak-anak ini berasal dari 14 kelompok anak yang berbeda yakni: Anak drop out dari sekolah, Anak dari kelompok minoritas suku asli dan agama, Anak korban kekerasan seksual, Pengungsi Anak dalam Negeri (Internally Diplaced Children) dan lintas batas negara (Refugee Children), Anak yang menjadi korban konflik, Anakanak pelajar, Anak yang diperdagangkan, Anak yang berkonflik dengan hukum, Anak-anak dengan kebutuhan khusus (Disable Children), Anak jalanan, Anak korban eksploitasi seksual komersial, Anak korban penyalahgunaan obat terlarang, Anak dengan HIV/AIDS, Buruh anak pabrik dan konveksi serta Pembantu Rumah Tangga Anak Konsultasi anak dilakukan di 14 kota di Indonesia yakni: Banda Aceh, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Palu, Pontianak, Sambas, Mataram, Kupang, Ambon dan Jayapura. yang mencakup 12 (dua belas) provinsi di Indonesia. Konsultasi anak melibatkan 14 (empat belas) organisasi pelaksana dan 51 organisasi non pemerintah pendukung. 2. Penelitian tentang situasi anak-anak. Penelitian adalah rangkaian kegiatan dalam mengumpulkan dan menganalisis data situasi dan kebijakan programatik khususnya yang berkenaan dengan hak anak atas pendidikan dan kesehatan. Penelitian situasi anak menganalisis lebih dalam hak anak atas pendidikan dan kesehatan dengan subjek analisa khusus adalah kelompok anak korban konflik bersenjata dan korban bencana alam, anak yang diperdagangkan, dan anak yang berkonflik dengan hukum.

3


3. Tinjauan Hukum Ini adalah rangkaian kegiatan untuk menganalisis legislasi Indonesia apakah mematuhi Konvensi Hak Anak PBB, menindaklanjuti Kesimpulan Pengamatan Komite Hak Anak PBB dan juga instrumen lain yang berhubungan. Tinjauan hukum ini melihat pokok isi dan struktur legislasi Indonesia mulai dari konstitusi, perundang-undangan hingga peraturan daerah. Tinjauan hukum menganalisis seluruh undang-undang dan peraturan dalam seluruh klaster KHA. Laporan alternative atas laporan periodic ke tiga dan keempat atas implementasi Konvensi Hak Anak yang dilakukan pemerintah Indonesia, yang selanjutnya disebut laporan alternative dipresentasikan menurut cluster KHA dan merujuk pada rekomendasi UN CRC komite di conluding observation 2004 serta concern NGO Koalisi. Laporan alternative ini dapat dijadikan referensi UN CRC komite dalam membuat bandingan dengan laporan periodic pemerintah Indonesia untuk mendapatkan gambaran sesungguhnya pelaksanaan Konvensi Hak Anak di Indonesia pada tidak saja pada periode 1997 – 2007 namun hingga tahun 2012. Laporan alternative ini juga berguna bagi pihak mana saja; pemerintah, praktisi, akademisi, orang tua anak tidak saja dalam melihat situasi pelaksanaan konvensi hak anak di Indonesia, namun juga dalam mengambil langkah-langkah perbaikan pelaksanaan Konvensi hak anak. Dalam memperkuat fakta dan informasi dari laporan alternative ini, maka turut dilampirkan laporan tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak di Indonesia untuk Periode 1997-2009 dan video presentasi laporan tinjauan. Seluruh proses penyusunan laporan alternative ini didukung oleh Konsorsium INGO: Child Fund Indonesia, Plan Internasional, Save the Children in Indonesia, Terre des Hommes Netherland dan World Vision Indonesia. Penyusunan laporan ini juga didukung oleh seluruh anggota Koalisi NGO Nasional dan jaringan organisasi non pemerintah di Indonesia. Laporan ini kami dipersembahkan bagi anak Indonesia agar hidup mereka menjadi lebih baik.

4


Fokus Utama dan Rekomendasi Cluster I: Langkah-langkah Implementasi Umum Reservasi 1. NGO Koalisi menghargai laporan pemerintah Indonesia yang mencabut sebagian reservasinya atas pasal 1,14,16,17,21,22 dan 29 KHA pada 11 January 2005 2. Namun NGO Koalisi menyoroti bahwa pencabutan reservasi tujuh pasal KHA tidak diikuti dengan pencabutan paragraph pertama dari deklarasi Indonesia untuk reservasi yang menyatakan KHA dapat dilaksanakan sepanjang sesuai dengan Konstitusi. Hal ini membuat KHA tidak dapat sepenuhnya dipatuhi. Misalnya dalam hal persetujuan berhubungan seksual, UU perkawinan mengatur anak perempuan diperbolehkan menikah pada usia 16 tahun, yang jelas-jelas melanggar pasal 1 KHA. Demikian pula UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang dikatakan

merupakan implementasi dari KHA telah mereduksi prinsip untuk mendengar pandangan dan pendapat anak menjadi hak anak untuk berpartisipasi asalkan sesuai dengan kesusilaan dan kepatutan (pasal 10 UUPA) 3. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk menarik reservasi pada paragraph pertama deklarasi (reservasi) yang menyatakan KHA dapat dilaksanakan sepanjang sesuai dengan Konstitusi Indonesia. Legislasi 4. NGO Koalisi menghargai pemerintah yang meratifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa, Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum diperbolehkan bekerja , Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, optional protocol UN CRC menyangkut prostitusi, pornography dan penjualan anak serta optional protocol UN CRC tentang pelibatan anak dalam konflik bersenjata pada tahun 2012. 5. Namun NGO Koalisi sangat menyayangkan bahwa pemerintah Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma tentang International Criminal Court , konvensi on the reduction of stalessness, Konvensi status refugee 6. NGO Koalisi menyoroti bahwa pemerintah Indonesia tidak menurunkan ketentuan tentang kerja paksa seperti yang diatur dalam Konvensi ILO No. 105 dalam undang-undang domestik. 7. NGO Koalisi juga menyoroti bahwa ketentuan tentang penjualan anak dan prostitusi tidak diatur secara memadai lebih lanjut dalam undang-undang domestik. Bahkan dalam banyak peraturan daerah anak korban eksploitasi seksual komersial dikriminalkan 8. NGO koalisi menyesalkan bahwa pemerintah tidak mengambil langkah-langkah implementasi dari dua optional protokol UN CRC yang di ratifikasi pada tahun 2012 9. NGO Koalisi juga menyesalkan bahwa pemerintah menolak ratifikasi optional protokol UN CRC tentang prosedure komunikasi yang merupakan Koalisi merekomendasikan UN komite atas laporan periodik Universal hak azasi manusia 10. NGO koalisi juga sangat menyesalkan bahwa pemerintah menolak untuk meningkatkan status ratifikasi KHA dengan Undang-Undang. Penolakan ini dilakukan saat dengar pendapat pembahasan 5


peningkatan status ratifikasi KHA dan ratifikasi dua optional protokol antara masyarakat sipil dengan pemerintah Republik Indonesia. 11. NGO Koalisi juga menyoroti bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki mekanisme untuk mengharmonisasi perundangan-undangan tentang anak yang saling bertentangan satu sama lain dengan mematuhi KHA. Contohnya pertentangan usia anak pada UU perlindungan anak no 23 tahun 2002 dengan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan 12. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) meratifikasi protokol tambahan UN CRC tentang prosedure komunikasi sekaligus juga ratifikasi Statuta Roma, konvensi mengurangi statelessness dan Konvensi International Status Pengungsi b) Indonesia harus meningkatkan status ratifikasi KHA dari keputusan presiden menjadi setingkat Undang-Undang. c) Membuat undang-undang baru yang belum tersedia di Indonesia menyangkut implementasi hak anak seperti undang-undang yang mengatur tentang penjualan anak serta pemidanaan orang yang mempergunakan anak untuk prostitusi d) melakukan review dan harmonisasi seluruh perundang-undangan dan peraturan daerah yang berlaku dengan tunduk pada prinsip-prinsip dan pasal-pasal KHA seperti UU perlindungan anak, UU perkawinan no. 1 tahun 1974, UU ketenagakerjaan, UU sistem pendidikan nasional dan undang-undang lain yang tidak sesuai dengan pasal-pasal KHA. e) Membuat langkah-langkah implementasi dari dua optional protocol un CRC yang baru diratifikasi; kebijakan implementasi, diseminasi, program dan budgeting, Decentralization 13. NGO Koalisi menghargai laporan pemerintah Indonesia yang menyebutkan bahwa kementrian dalam negeri memiliki mekanisme untuk memastikan semua kebijakan di daerah harus konsisten dengan konvensi dan atau peraturan nasional 14. Namun NGO Koalisi menyoroti bahwa praktiknya pemerintah melakukan pembiaran dengan peraturan daerah bertentangan dengan KHA dengan cara pemerintah tidak aktif dalam pemantauan ataupun peninjauan atas peraturan daerah-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip KHA atau peraturan nasional 1 1

Contoh-contoh peraturan daerah yang justru cenderung melanggar Hak Anak adalah; (1) Perda Kabupaten Lampung Selatan No 4/2004 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan Perjudian serta Pencegahan Perbuatan Maksiat dalam Wilayah Kabupaten Lampung Selatan, (2) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No 15/2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung, Perda Kota Padang Panjang No 3/2004 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat yang pasal enamnya secara lengkap menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap perempuan dilarang memakai atau mengenakan pakaian yang dapat merangsang nafsu birahi laki-laki yang melihatnya di tempat umum atau di tempat-tempat yang dapat dilalui/ dilintasi oleh umum kecuali pada tempat-tempat yang telah ditentukan. (2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini mempunyai ciri-ciri: a. memperlihatkan bagian tubuh mulai dari lutut sampai dada; dan b. ketat atau transparan sehingga memperjelas lekukan tubuh. Serta peraturan daerah propinsi Sumatera Utara No. 4 tahun 2008 tentang pergelandangan dan pengemis yang memidana orang termasuk anak-anak yang melakukan pergelandangan dan menjadi pengemis

6


15. NGO Koalisi meminta pada Komite Hak Anak untuk merekomendasikan pada pemerintah Indonesia: a) Menciptakan mekanisme nasional agar dalam seting desentralisasi pelayanan terhadap anakanak di tingkat kabupaten dapat menjadi lebih baik. b) Membuat mekanisme nasional agar undang-undang dan peraturan daerah - peraturan daerah Indonesia yang tidak sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip KHA dapat dicabut. Koordinasi dan Rencana Aksi Nasional 16. NGO koalisi menghargai pemerintah Indonesia yang telah menandatangani sejumlah rencana aksi nasional untuk anak, namun pada praktiknya rencana aksi nasional sebagian besar tidak dilaksanakan termasuk oleh propinsi dan kabupaten/kota. Sebagai contoh, propinsi Sumatera Utara sejak tahun 2005 tidak lagi memiliki rencana aksi propinsi tentang penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuh untuk anak. Dari 33 kabupaten kota propinsi Sumut tidak ada satupun kabupaten kota yang memiliki rencana aksi daerah dalam penghapusan the worst form of child labour ataupun rencana aksi daerah dalam penghapusan perdagangan anak dan rencana aksi daerah untuk daerah kota layak anak 17. NGO Koalisi menyoroti bahwa tidak diimplementasikannya rencana-rencana aksi nasional karena tidak adanya koordinasi antar department pemerintah dalam mengimplementasikan setidaknya 10 rencana aksi nasional sehingga setiap rencana aksi nasional. 18. NGO Koalisi menyoroti bahwa pemerintah membentuk begitu banyak tas force untuk setiap rencana aksi nasional namun tidak terkoordinasi antar satu task force dengan task force lainnya 19. NGO Koalisi concern pada kenyataan bahwa kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tidak mampu menjalankan fungsi koordinasi dari berbagai rencana aksi nasional dan juga mengimplementasikan berbagai kebijakan strategis yang dibuat kementrian tersebut. Hal ini karena KPPPA tidak memiliki kewenangan dan kemampuan dalam mengkoordinasi dan menginstruksi pelaksanaan berbagai rencana aksi pada kementrian lain atau struktur pemerintahan yang berada di propinsi dan kabupaten kotadan juga bukan kementrian teknis yang dapat mengimplementasikan setiap kebijakan strategis yang dibuatnya. .

20. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk:: a) Membuat kebijakan yang memastikan bahwa kebijakan strategis pelaksanaan KHA, termasuk rencana aksi nasional untuk anak, yang dibuat oleh pemerintah harus dilakukan oleh seluruh department pemerintah. b) Membuat satu kebijakan mekanisme koordinasi termasuk prosedure komunikasi antar lembaga pemerintah dan lembaga indepedent dalam pelaksanaan setiap rencana aksi nasional yang berkenaan dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak. c) Menyediakan sumber daya manusia dan sumber pembiayan yang memadai untuk pelaksanaan setiap rencana aksi nasional maupun rencana aksi daerah yang berkenaan dengan pemenuhan hak anak

7


Monitoring Independen 21. Merespon laporan periodik ketiga dan keempat pemerintah, NGO koalisi menyayangkan ketidak akuratan dalam laporan yang menyatakan telah ada National Commission fo the Elimination of the Worst Form of Child Labour, padahal komisi ini tidak pernah terbentuk. Adapun yang dibentuk pemerintah adalah national Action Committee for the Elimination of the Worst Form of Child Labour2 22. NGO Koalisi menyoroti bahwa laporan pemerintah yang menyatakan bahwa KPAI dan KNBPTA melakukan kerjasama investigasi yang pada praktiknya tidak terjadi. Bukan saja karena KPAI tidak memiliki mandat investigasi namun juga tidak ada mekanisme koordinasi dan cooperasi antar lembaga nasional hak azasi manusia. 23. NGO Koalisi juga menyesalkan bahwa banyak komite aksi pemerintah contohnya KNBPTA di tingkat daerah tidak berfungsi sama sekali, sementara kasus-kasus anak bekerja di tempat terburuk ataupun kasus kekerasan terjadi di propinsi atau kabupaten kota. Berbagai kasus perbudakan anak di berbagai situasi kerja diantaranya kasus perbudakan pekerja anak di Tangerang 3 atau kasus perbudakan anak di kabupaten Kerinci propinsi Riau pada tahun 2013 4 tidak tertangani oleh KNPBTA atau KPAI dengan baik 24. NGO Koalisi menghargai pemerintah telah membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003 sebagai lembaga independen. Namun, pada kenyataannya berdasarkan Kepres dan UU sendiri KPAI bukan lembaga independen karena kewenangan yang diberikan pemerintah kepada KPAI sangat terbatas dimana KPAI tidak memiliki kewenangan melakukan investigasi.

25. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) Membuat mekanisme Evaluasi pada setiap komite atau komisi nasional dan daerah yang dibentuk untuk melihat efektivitas dan fungsi yang dijalankan dengan melibatkan unsur pemerintah dan masyarakat. b) Memperkuat fungsi KPAI dengan memberikan kewenangan untuk melakukan investigasi dan legal standing untuk melindungi anak yang berada dalam situasi tidak menguntungkan. Pengumpulan Data 26. NGO Koalisi menghargai usaha pemerintah yang mulai membangun system data dalam laporannya namun sangat disayangkan Laporan ini bertentangan dengan pernyataan pemerintah sendiri dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 yang menyatakan bahwa tidak adanya data yang komprehensf dan terintegrasi merupakan tantangan dalam membuat kebijakan dan program perlindungan anak. Sejak tahun 1997 – 2007 tidak ada upaya yang dilakukan 2

Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 12 tahun 2001 Komite aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak

3

Perbudakan di pabrik Kuali Tangerang, Polisi temukan lima anak di bawah umur, http://news.detik.com/read/2013/05/05/054536/2238186/10/?nd772204topnews 4

10 remaja kisaran jadi korban perbudakan di Kerinci – Riau , http://harianandalas.com/Berita-Utama/10-Remaja-Kisaran-Jadi-KorbanPerbudakan-di-Kerinci-Riau

8


untuk membangun sistem data terpusat untuk anak Indonesia. Pengumpulan data dan informasi di berbagai departemen pemerintah tidak saling terkait dan sistematis. Contoh, departemen dalam negeri berwenang dalam mengumpulkan data tentang kelahiran dan pencatatan sipil, Biro Pusat Statistik mengumpulkan data untuk keperluan sensus penduduk dan survey untuk pembangunan, namun kedua sistem data tersebut tidak terkait satu sama lain. Situasi ini diperparah dengan standard yang berbeda-beda dalam pendataan di setiap department berkenaan dengan data anak. 27. NGO Koalisi menyoroti bahwa sejak tahun 1997 sampai 2013 pemerintah Indonesia tidak memiliki data komprehensif tentang situasi anak Indonesia khususnya data anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Pemerintah hanya mengandalkan data kasus di Kepolisian RI atau data dari INGO maupun UN agency. 28. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk membuat sistem pengumpulan dan dokumentasi data anak terpusat dengan sistem vital statistik dan terpilah, termasuk membuat sistem data bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan terintegrasi dengan sistem survey nasional.

Disseminasi Konvensi 29. NGO Koalisi menghargai laporan pemerintah yang menyatakan telah mendiseminasi KHA , concluding observation pada semua stakeholder termasuk anak. NGO Koalisi juga menghargai laporan pemerintah yang menyatakan telah melakukan TOT tentang KHA di 33 propinsi. 30. NGO Koalisi menyayangkan bahwa pelatihan TOT tentang KHA hanya dilakukan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah melalui dana dekonsentrasi, namun tidak pernah dilakukan oleh pemerintah daerah, propinsi dan kabupaten kota pada stakeholder di wilayahnya termasuk anak. Ini karena tidak ada mekanisme yang memastikan pemerintah daerah harus mendiseminasi atau melatih stakeholder tentang KHA. 31. NGO Koalisi menemukan fakta bahwa dari 377 anak yang mengikuti konsultasi anak di 10 provinsi, dimana salah satu kelompok anak dari ethnic minority, hanya 16 anak yang mengetahui KHA. Dari 16 anak yang mengetahui KHA hanya 2% yang menyatakan mengetahuinya dari pemerintah. Diketahui pula bahwa dari 377 anak hanya 0,1% yang mengetahui bahwa pemerintah harus membuat laporan berkala pelaksanaan Konvensi Hak Anak pada PBB. Ini menunjukkan pemerintah tidak melakukan upaya yang cukup untuk mendiseminasi KHA di Indonesia. 32. NGO Koalisi juga sangat menyesalkan bahwa pemerintah tidak melibatkan seluruh komponen anak khususnya anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus dalam penyusunan laporan pemerintah yang merupakan pelanggaran dari prinsip non diskriminasi (pasal 2 dan pasal 12) Dari 377 anak yang dikonsultasi oleh NGO koalisi tidak satupun yang dilibatkan pemerintah dalam pembuatan laporan periode ketiga dan keempat pemerintah.

33. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) Mendiseminasi KHA kepada anak-anak, termasuk anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak-anak kelompok minoritas dan anak-anak suku terasing. 9


b) Indonesia harus membuat kebijakan yang memastikan keterlibatan seluruh perwakilan komponen anak-anak dalam proses pelaporan pemerintah kepada Komite Hak Anak terutama anak-anak yang tergolong dalam perlindungan khusus dan anak-anak vulnarable lainnya.

Cluster II: Defenisi Anak 34. Persoalan definisi anak dapat dilihat dari system hukum yang berlaku di Indonesia. Konstitusi Indonesia (UUD 1945 amandemen), meski pun mengakui beberapa hak anak, namun tidak mencantumkan siapa kah anak tersebut dna bats usia anak. Sementara UU No. 39/1999 tentang HAM pasal 1 ayat 5 menyatakan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. 35. NGO Koalisi menyayangkan banyak masalah muncul karena definisi anak di undang-undang No. 39/1999. Persoalan pertama dimana perkawinan dapat menyebabkan anak tidak akan diakui lagi sebagai anak berdasarkan undang-undang tersebut, walaupun usia mereka masih di bawah 18 tahun. Ini berarti bahwa perkawinan dapat menyebabkan seorang anak kehilangan kesempatan menikmati hak-haknya sebagai anak-anak. Persoalan kedua adalah mengenai apa argumen yang melatarbelakangi bayi di dalam kandungan disebut sebagai anak baik dalam undang-undang no atau undang-undang No. 23/2002. Pengaturan tersebut berbeda dengan standart dalam definisi internasional. 36. NGO Koalisi menyoroti adanya fakta bahwa pemerintah tidak mereview dan merevisi undangundang nomor 1/1974 tentang perkawinan. Undang-undang tersebut memberlakukan secara diskriminasi usia boleh menikah yakni 16 tahun kepada perempuan dan 19 tahun kepada laki-laki . Ini menyebabkan banyak anak akan kehilangan hak-haknya karena pernikahan dini yang dibenarkan oleh UU. Pemerintah belum menunjukkan usaha yang serius untuk mengubah regulasi belum cukup berani menegaskan pandangannya mengenai batas usia kedewasaan mau pun batas usia perkawinan. 37. Meski pun UU PA sudah diterapkan yang mengatur usia anak sama dengan KHA, namun dalam prakteknya masih terdapat berbagai perbedaan di dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia mengatur secara berbeda batas usia anak, yakni: a) Usia minimum persetujuan hubungan seksual yakni 12 tahun bagi anak perempuan berdasarkan KUHAP atau 16 tahun bagi anak perempuan dan 19 tahun bagi anak laki-laki menurut UU Perkawinan; usia 18 tahun bagi anak perempuan dan laki-laki menurut UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan begitu konsen seksual diatur dalam range 12-18 tahun di dalam system hukum Indonesia yang tentu saja masih sangat rendah dan rawan eksploitasi b) Usia Minimun untuk Dapat Bekerja. Koalisi menghargai upaya pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 138 dan Konvensi ILO 182 dan telah memasukkan kedua konvensi ini sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Meski pun di dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan 10


definisi anak dikatakan berusia di bawah 18 tahun (Pasal 1 ayat 26) dan pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68). Namun undang-undang ini masih membenarkan pengusaha mempekerjakan anak berumur 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat 1) serta ketentuan tambahan mengenai izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, adanya hubungan kerja yang jelas; dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta ayat 3 yang mengecualikan anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Ketidakcermatan kemudian berlanjut karena setelah diteliti lebih lanjut,dalam semua aturan dalam undang- undang ini tidak ditemukan aturan secara spesifik untuk anak-anak antara usia 16-17 tahun. Muncul pertanyaan kemudian apakah ini berarti bahwa anak-anak 16-17 tahun boleh bekerja untuk pekerjaan apapun kecuali bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak ataukah ini berarti bahwa anak usia 16-17 tahun sama sekali tidak boleh bekerja, tidak ditemukan jawabannya dalam peraturan perundang-undangan ini. Mungkinkah artinya anak-anak dalam rentang usia 16-17 tahun juga boleh bekerja untuk pekerjaan ringan seperti yang juga diatur untuk anak usia 13-5 tahun, tidak juga ditemukan aturan mengenai hal itu. Tidak adanya aturan mengenai anak usia 16-17 tahun memberi celah hukum bagi siapa saja untuk menggunakannya dan membuat departemen pengawas, yakni departemen tenaga kerja kesulitan untuk mengawasi. c) Usia minimum dihadapkan di muka pengadilan Komite Hak-Hak Anak PBB menegaskan di dalam Pengamatan Komite Hak-Hak Anak PBB paragraf 77 bahwa: Komite kembali menyatakan keprihatinannya secara serius bahwa usia minimum bagi pertangung-jawaban tindak pidana, sesuai ketentuan yaitu usia 8 tahun adalah terlalu rendah. Indonesia semula mengacu pada UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak, dimana batas usia anak disebutkan yang bisa diajukan ke depan sidang pengadilan sebagai tersangka perkara pidana adalah minimal 8 (delapan) tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 4 ayat 1) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. Bahkan seorang anak yang belum berumur 8 tahun diduga melakukan tindak pidana maka anak tersebut dapat diperiksa oleh penyidik. Hal itu tertuang di dalam pasal 5 yaitu: (1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. 11


(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Kementerian Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Aturan usia minimum pertanggungjawaban pidana 8 tahun ini jelas membawa anak kepada situasi yang sangat berbahaya. Apalagi melihat kenyataan dari hasil konsultasi anak kepada anak-anak mantan dan yang masih berkonflik dengan hukum di Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIy hampir semuanya mendapatkan kekerasan fisik, bahkan kadangkadang penyiksaan dari penyidik, sipir atau pun petugas penjara. Belum lagi ketentuan tambahan yang menyatakan bahwa bahkan anak di bawah 8 tahun akan juga disidik kalau disangka atau diduga melakukan tindak pidana. Tidak ada jaminan bahwa penyidik memiliki teknik-teknik penyidikan selain yang diterapkan kepada anak usia 8 tahun ke atas untuk anak usia kurang dari 8 tahun. Namun Koalisi menghargai langkah maju pemerintah Indonesia yang telah merevisi dan mengeluarkan UU No. 11 tahun 2012 tertanggal 30 Juli 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dengan usia anak antara 12-18 tahun. Meski pun begitu, UU baru ini baru akan entry into force 2 tahun setelah UU ini disyahkan. d) Usia Minimum Mengonsumsi Alkohol KUHP pasal 300 ayat 1 (2); “Barang siapa dengan sengaja membikin mabuk seorang anak yang umurnya belum cukup enam belas tahun Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah� Perumusan pasal ini membuatnya dapat ditafsirkan bahwa barang siapa sudah berumur 16 tahun ke atas siapapun boleh membikinnya mabuk. Ketentuan ini sebenarnya sudah melanggar UUPA 22/2003 yang mengakui hak anak atas tumbuh dan berkembang secara maksimal. Demikian juga ketentuan dan prinsip- prinsip KHA yang melindungi anak umur kurang dari 18 tahun dari segala bentuk kekerasan ataupun keadaan bahaya yang mengancam tumbuh kembangnya.

38. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: 12


a) menaikkan usia anak perempuan untuk bisa menikah/dinikahkan minimal sama dengan usia anak laki-laki, yakni 19 tahun dan mengamandemen UU No. 1/1974 yang memperbolehkan orang tua atas ijin dari lembaga pernikahan yang sah mengawinkan anak-anaknya dalam usia berapapun. b) menaikkan usia dianggap cakap untuk memberi persetujuan untuk berhubungan seksual dari 12 tahun di KUHP dan 16 tahun di UU No. 1/1974 menjadi 18 tahun. c) mereview UU Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003) untuk patuh kepada Konvensi IlO terkait usia anak diperbolehkannya bekerja yakni 15 tahun dan membuat UU Ketenagakerjaan ini juga memuat aturan tegas dan jelas tentang boleh atau tidaknya anak-anak dengan rentang usia 16-17 tahun bekerja. d) menaikkan usia minimum konsumsi alkohol di KUHP dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Indonesia masih harus menaikkan usia pertanggungjawaban kriminal menjadi paling tidak 16 tahun dari 12 tahun menurut UU 11/2012

Cluster III: Prinsip-Prinsip Umum 39. Prinsip-prinsip umum, yakni non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pandangan anak merupakan dasar yang harus diterapkan dalam semua putusan politik, yudisial dan administratif serta dalam program-program dan kegiatan layanan dan rekonstruksi yang berdampak pada anak untuk menjaga dan memenuhi hak-hak anak. 40. Koalisi menghargai bahwa prinsip-prinsip umum tersebut telah dimasukkan ke dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945, amandemen kedua tahun 2000) namun belum sepenuhnya. Dengan mencermati pasal 28 B ayat 2, hanya diakui tentang hak anak (a) atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, (b) perlindungan dari kekerasan & diskriminasi. Tidak ada pengakuan dalam Konstitusi terhadap hak anak untuk didengar dan prinsip demi kepentingan terbaik anak. Sedangkan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan pelaksanaan hak anak untuk didengar/penghargaan terhadap pendapat anak asal sesuai kesusilaan dan kepatutan. Non-diskriminasi 41. Koalisi menghargai bahwa prinsip-prinsip umum tersebut telah dimasukkan ke dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945, amandemen kedua tahun 2000) namun belum sepenuhnya. Dengan mencermati pasal 28 B ayat 2, hanya diakui tentang hak anak (a) atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, (b) perlindungan dari kekerasan & diskriminasi. Tidak ada pengakuan dalam Konstitusi terhadap hak anak untuk didengar dan prinsip demi kepentingan terbaik anak. Sedangkan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan pelaksanaan hak anak untuk didengar/penghargaan terhadap pendapat anak asal sesuai pada moralitas dan kepatutan.

13


42. Koalisi menyambut baik upaya Indonesia untuk mewujudkan prinsip non-diskriminasi pada anak warga Negara cina dengan mencabut instruksi presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang kebijakan pokok mengenai agama, kepercayaan dan adapt istiadat masyarakat cina dengan menerbitkanKeputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000; dan mengundangkan UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan yang menghilangkan diskriminasi anak-anak warga Negara Indonesia keturunan Cina dan anak-anak hasil perkawinan beda kebangsaan. 43. Namun Koalisi menyayangkan bahwa masih berlaku UU No. 1/1974 yang oleh Komite Hak Anak telah disebut diskriminatif dalam menetapkan batasan minimal usia untuk menikah (16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki). Selain itu, praktik kebijakan di tingkat menteri sampai dengan di bawahnya masih mendiskriminasi terutama anak-anak dari kelompok yang seharusnya mendapatkan perlindungan khusus. Konsultasi Anak terhadap anak jalanan, anak dengan HIV/AIDS, anak berkebutuhan khusus (anak cacat), anak berkonflik dengan hukum, anak kelompok minoritas agama ataupun etnik, anak korban eksploitasi seksual dan komersial, anak korban perdagangan anak, buruh anak, anak korban penyalahgunaan obat dan zat adiktif menunjukkan bentuk-bentuk diskriminasi terjadi karena status mereka. 44. Perlakuan diksriminatif dapat mengancam hak-hak anak lainnya. Pada kasus anak-anak Ahmadiyah merupakan contoh nyata pelanggaran prinsip non-diskriminasi dan hak hidup, bertahan hidup dan perkembangan secara maksimal. Status mereka sebagai anak-anak pengikut Ahmadiyah menyebabakan mereka diancam untuk dibunuh, kehilangan akses pada pendidikan, terpisah dari orang tua dan mengalami trauma. Negara, melalui aparat kepolisiannya, tidak melakukan tindakan, dimana seharusnya bertindak untuk mencegah penyerangan dan seharusnya menghukum dan menangkap para penyerang. Sebagai tindak lanjut dari pembiaran ini, hak-hak anak ahmadiyah sebagai korban yakni reparasi, rehabilitasi dan recovery sudah dilanggar. Penghargaan terhadap pandangan anak 45. Koalisi menghargai langkah-langkah untuk membuka ruang bagi anak untuk menyampaikan pandangannya, dengan pembentukan forum-forum anak, penyelenggaraan forum-forum nasional, pemberian penghargaan terhadap pemimpin muda, dan pelibatan anak melalui konsultasi anak khususnya di dalam pembahasan draft Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak. 46. Namun NGO Koalisi menyayangkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya melibatkan anak-anak dalam penyusunan laporan pelaksanaan KHA, setidaknya dengan melibatkan anak-anak dari berbagai forum anak yang sudah terbentuk di berbagai wilayah Indonesia dan juga anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. 47. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) mengamandemen Konstitusi 1945 dan memasukkan prinsip-prinsip hak anak secara sepenuhnya, termasuk hak anak untuk didengar/penghargaan pada pendapat anak serta kepentingan terbaik anak untuk keputusan yang menyangkut hidupnya. 14


b) mengamandemen UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak agar benar-benar menjamin dan melaksanakan prinsip penghargaan atas pandangan anak/hak anak untuk didengar dan agar setiap keputusan legislatif, administratif, dan pengadilan yang menyangkut dan berpengaruh terhadap hidup anak adalah demi kepentingan terbaik anak. c) mencabut UU No. 1/1965 yang menjadi dasar dari kebijakan pemerintah setingkat menteri yang mendiskriminasi agama-agama yang dianggap tidak resmi d) mengamandemen UU No. 1/1974 yang menjadi dasar anak yang lahir dari pernikahan agamaagama tidak resmi atau dari pasangan berbeda agama kehilangan hak mereka untuk mengenal ayah mereka karena kutipan akta kelahiran mereka hanya mencantumkan nama ibunya. e) menegakkan prinsip non-diskriminasi yang juga telah diakui dalam konstitusi Indonesia dengan cara memproses hukum para pelaku tindak kekerasan terhadap anak-anak golongan Ahmadiyah dan anak-anak lain serta memberikan hak-hak mereka atas reparasi, pemulihan, dan rehabilitasi.

Cluster IV: Hak Sipil dan Kebebasan Akte Kelahiran dan Hak atas Kewarganegaraan Birth 48. NGO Koalisi menghargai langkah pemerintah dalam menandatangani UU No. 23 / 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang meminta warganegara mencatatkan peristiwa kependudukan yang dialami (lahir, mati, pindah, kawin dan cerai), namun sayangnya UU ini menerapkan birokrasi panjang untuk pencatatan kelahiran khususnya bagi anak yang berusia di atas 1 tahun. Baru pada tahun 2012 Mahkamah konstitusi membatalkan pencatatan kelahiran anak-anak di atas usia satu tahun melalui penetapan pengadilan, namun cukup melalui dinas kependudukan dan catatan sipil 5 49. NGO koalisi mengapresiasi pemerintah Indonesia dengan dicabutnya UU No. 62 / 1958 dan diganti oleh UU No. 12 / 2006 tentang Kewarganegaraan yang merupakan langkah maju karena undangundang yang baru ini telah menghapus diskriminasi terhadap anak-anak yang ayahnya berkebangsaan asing dalam bentuk dimungkinkannya anak-anak tersebut ditolak hak kewarganegaraan-Indonesianya. 50. NGO Koalisi menyoroti bahwa tidak ada mekanisme dan petunjuk pelaksana yang cukup bagi pejabat pemerintahan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota untuk memastikan diimplementasikannya UU No. 12 tahun 2006. Situasi ini diperparah dengan lemahnya sumber daya manusia pemerintah di propinsi dan kabupaten kota dalam implementasi UU serta tidak memadainya langkah-langkah pemerintah dalam mendiseminasi UU kewarganegaraan.

5

Constitutional court signed circular letter no.1/2013 regarding abandoning circular letter of minister of interior number no. 6/2012 regarding the guideline in signing birth registration over one years old by state court order

15


51. NGO koalisi menyayangkan bahwa subtansi UU No. 23/2003 berkenaan dengan pencatatan kelahiran menempatkan kewajiban mencatatkan kelahiran pada warganegara, bukan sebagai kewajiban pemerintah, sehingga dalam implementasi undang-undang ini warga Negara yang aktif melaporkan peristiwa kelahiran, sementara pemerintah bertindak pasif. 52. NGO Koalisi juga menyayangkan bahwa pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya mengamandemen undang-undang dan peraturan daerah untuk adalah hak azasi manusia dan bukan kewajiban. UU administrasi kependudukan nomor 23/2006 menunjukkan bahwa pencatatan kelahiran tidak sepenuhnya gratis bagi warganegara. Pasal 90 ayat 1 point a menegaskan sanksi denda bagi penduduk yang melaporkan peristiwa kelahiran lebih dari 60 hari setelah kelahiran. 53. Dalam setting desentralisasi, pemerintah daerah juga masih dapat membuat suatu peraturan daerah yang mengenakan tarif terhadap akta kelahiran misalnya yang terjadi di propinsi DKI Jakarta. Data Survey Sosial Ekonomi nasional tahun 2011 menunjukkan 37% masyarakat yang disurvey menyatakan bahwa biaya mahal pengurusan akta kelahiran merupakan alasan utama masyarakat tidak mengurus akta kelahiran. 54. Pencatatan kelahiran 100 % pada tahun 2015 sulit dicapai karena tahun 2011 Indonesia baru mencapai 59% pencatatan kelahiran. Lebih dari itu NGO Koalisi menyoroti kesenjangan antar propinsi dalam kuantitas anak yang tercatat kelahirannya 6 55. NGO Coalition juga menyesalkan bahwa sangat kecil perubahan kemajuan dalam mencapai 100% pencatatan kelahiran sebelum dan setelah undang-undang administrasi kependudukan ditanda tangani. Pada tahun 2005, anak-anak usia di bawah empat tahun yang teregistrasi adalah 42,82%. Ini adalah masa sebelum undang-undang administrasi kependudukan ditanda tangani. Sementara pada tahun 2011 persentase anak-anak berusia di bawah 4 tahun yang teregistrasi adalah 59%, dimana undang-undang telah ditandatangani. 7 56. NGO koalisi menyesalkan bahwa anak dari golongan agama atau suku asli tertentu tetap tidak tercatat kelahirannya, misalnya anak Ahmadiyah, Jehovah, Merapu, dan Boti, demikian juga, terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan tidak sah juga tidak dicatat kelahirannya atau bila dicatat dengan membubuhkan nama ibunya saja 8

6

Data Susenas tahun 2011 menunjukkan kesenjangan jumlah anak yang terctat kelahirannya antar propinsi. Misalnya jumlah anak yang tercatat kelahirannya di propinsi Yogyakarta adalah 89 ,9% sementara propinsi Nusa Tenggara Timur baru mencapai 29,9%. 7

2005 national survey was conducted by Statistic center agency and 2011 national social economic survey was also conducted by the same agency. 8

Anak-anak yang dilahirkan dari Suku Boti berjumlah kurang lebih berjumlah 200 orang anak dari 97 keluarga (data lapangan Plan Indonesia Program Unit Soe) belum bisa dicatatkan kelahirannya sehubungan perkawinan orangtua mereka tidak dicatatkan pada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil. Ini mengingat ikatan perkawinan orang tua mereka hanya berdasarkan adat semata. Selain itu pula mereka tidak memiliki Surat Keterangan Lahir karena kebanyakan kelahiran mereka tidak dibantu oleh petugas penolong persalinan atau tidak dilakukan di fasilitas kesehatan untuk persalinan (Penelitian Plan Indonesia, 2013)

16


57. NGO Koalisi menyoroti masih banyak terdapat anak-anak yatim yang dilahirkan dari ibu warganegara Indonesia dan ayah dari warganegara Lain yang sedang mencari suaka dan transit di Indonesia tidak mendapatkan perlindungan yang cukup dari pemerintah. 9 58. NGO Koalisi juga concern pada kenyataan bahwa Indonesia tidak memiliki mekanisme redress bagi anak-anak yang dirampas hak atas identitasnya di antaranya dengan dipalsukannya identitas usia, nama dan alamat sebagai elemen identitas. Ini khususnya terjadi terhadap anak-anak yang menjadi korban eksploitasi maupun yang diperdagangkan. 59. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) memastikan seluruh kebijakan pencatatan kelahiran serta standart operasioanl procedurenya tidak diskriminatif termasuk terhadap kelompok agama dan kepercayaan yang tidak diakui oleh pemerintah, anak-anak yang lahir di luar nikah dan anak-anak yang dipalsukan identitasnya b) melakukan langkah-langkah diseminasi yang luas pada masyarakat termasuk anak-anak dan pelatihan pegawai pemerintah tentang UU no. 12 tahun 2006 serta membuat petunjuk implementasi UU tersebut. c) mengamandemen UU No. 23 tahun 2006 khususnya: - pasal denda dalam pencatatan kelahiran serta menghentikan praktek pemungutan biaya pembuatan kutipan akte kelahiran oleh pemerintah daerah dengan cara melakukan pencabutan seluruh peraturan daerah yang tidak harmonis dengan ketentuan KHA dan hukum nasional yang menggratiskan akta kelahiran. -

tentang Administrasi Kependudukan berikut peraturan pemerintah di bawahnya supaya anak yang lahir di luar nikah dijamin haknya untuk mengenal ayahnya, anak-anak dari kelompok minoritas adat dan agama tercatat peristiwa kelahirannya dan negara aktif dalam mencatat peristiwa kelahiran

Kekerasan pada Anak 60. NGO Coalition menghargai laporan pemerintah yang menjelaskan bahwa pemerintah telah mengguarantees the right of every child to be protected from violence, discrimination, harassment, and mistreatment under Law No. 39 of 1999 regarding Human Rights, Law No. 23 of 2002 regarding Child Protection and Law No. 23 of 2004 regarding Elimination of Domestic Violence 61. NGO Koalisi menyayangkan langkah pemerintah dalam membentuk Integrated Service Unit for the Empowerment of Women and Children (P2TP2A) yang dimaksudkan untuk penanganan anak dan 9

http://www.theaustralian.com.au/news/features/children-desperate-and-born-stateless/story-e6frg6z6-1226619233368

17


perempuan korban kekerasan di tingkat propinsi dan kabupaten kota tidak diikuti oleh banyak kabupaten/kota di Indonesia. P2TP2A yang dibentuk juga tidak diikuti dengan penyediaan sumber daya manusia dan dana yang cukup untuk memastikan layanan pemulihan, perlindungan dan reintegrasi bagi anak korban kekerasan diberikan dengan baik. 62. NGO Koalisi menghargai pemerintah Indonesia melalui kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang mengadopsi standart pelayanan minimum dan standard operasonal procedure penanganan anak dan perempuan korban kekerasan pada tahun 2010, walau minimum standard dan SOP tidak dipergunakan oleh instansi terkait lainnya seperti department kesehatan, dinas social, department tenaga kerja, kepolisian dalam pelayanan minimum dan standard operasional di department masing-masing. SPM dan SOP ini juga tidak terdiseminasi dengan baik di seluruh propinsi dan kabupaten/kota. 63. NGO Koalisi menghargai laporan pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa pemerintah telah membangun system pencatatan dan pelaporan peristiwa kekerasan dari nasional hingga level kabupaten. Namun pada praktiknya NGO Koalisi menyesalkan bahwa system tersebut tidak berjalan di hampir semua kabupaten/kota. Pemerintah bahkan tidak memiliki satu mekanisme pengumpulan data kekerasan pada anak di berbagai situasi. 64. NGO Koalisi menyoroti bahwa masih terdapat kasus-kasus kekerasan anak berada di institusi khususnya pada masa peradilan dan di penjara anak. Penjara menjadi tempat kursus kejahatan bagi anak-anak. Anak-anak yang ditahan kepolisian dalam peradilan disatukan dengan tahanan 10 dewasa . Hasil dari konsultas anak yang dilakukan NGO koalisi, dari 33 anak yang berkonflik dengan hukum 24 diantaranya menyatakan ditahan oleh kepolisian dan dicampur dengan orang dewasa. 65. NGO Koalisi menyoroti layanan pemulihan dan reintegrasi anak korban kekerasan masih sangat lemah, hal ini terbukti dengan tidak adanya satu penetapan pengadilan yang memberi hak kepada anak korban kekerasan akan pemulihan, reintegrasi dan reintegrasi. 66. NGO Koalisi concern pada UU perlindungan anak yang tidak mengatur tentang bagaimana negara menciptakan sistem dan mekanisme untuk melaksanakan kewajibannya melindungi anak-anak korban kekerasan ini berkaitan dengan hak mereka untuk mendapatkan pemulihan 67. NGO koalisi menghargai laporan pemerintah Indonesia yang mengakui tantangan-tantangan dalam memenuhi hak anak dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan. Namun NGO koalisi menyayangkan pengakuan ini, sampai laporan dikirimkan, tidak diikuti dengan upaya yang maksimal pemerintah dalam melindungi anak dari kekerasan dalam berbagai setting situasi. 68. Walau tidak ada dalam kesimpulan pengamatan UN CRC committee pada tahun 2004, namun masuk dalam kesimpulan pengamatan pada tahun 1994, Koalisi Ornop sangat prihatin dengan kenyataan adanya kekerasan dari masyarakat sipil terhadap para pemeluk agama tertentu seperti Ahmadiyah, yang tentu saja adalah anak-anak kelompok ini yang terjadi secara berturut-turut di tahun 2001, 2002, 2004, 2007 dan 2010 di antaranya adalah di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat dan juga pemeluk agama Islam Syiah di Jawa Timur pada tahun 2010 – 2013 yang juga berakibat pada anakanak mereka, seperti pelarangan bersekolah. 10

http://www.unicef.org/indonesia/id/reallives_19909.html

18


69. NGO Koalisi menyoroti bahwa tidak ada upaya maksimal pemerintah dalam melindungi anak dari kekerasan akibat keterbukaan informasi baik di media cetak ataupun elektronik. Pelibatan anak dalam menentukan mekanisme perlindungan dan informasi yang sesuai bagi anak juga tidak pernah dilakukan 70. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) mengamandemen UU perlindungan anak No. 23 tahun 2002 untuk mengatur tentang bagaimana negara menciptakan sistem dan mekanisme untuk pemulihan dan reintegrasi anak-anak korban kekerasan dengan prinsip hak anak dan keadilan. b) membuat system pendataan kekerasan pada anak yang terintegrasi baik pada seluruh propinsi dan kabupaten/kota namun juga diterapkan oleh seluruh satuan aparatur pemerintahan pusat maupun daerah yang diikuti dengan penyediaan infrastruktur, dan sumber daya yang memadai. c) menghentikan praktek kekerasan termasuk hukuman fisik yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, memberi kepada korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual perlindungan yang diperlukan yakni suatu sistem nasional yang menerima, memantau dan menyelidiki keluhan-keluhan, menindaklanjuti kasus-kasus secara hukum dengan menjamin hak kerahasiaan pribadi korban serta menyediakan bantuan konseling,pemulihan dan reintegrasi. d) menjamin kebebasan anak beragama dan berkeyakinan dengan cara mencabut seluruh peraturan yang menghalangi kebebasan itu dan menghentikan praktek kekerasan oleh masyarakat sipil yang dialami oleh pemeluk agama yang dianggap minoritas dan keyakinan tidak resmi lain dengan cara mengriminalkan para pelaku kekerasan tersebut.

Hukuman Phisik 71. NGO Koalisi menyoroti bahwa pemerintah sejak tahun 1997 tidak mengaddress corporal punishment dalam hukum Indonesia walau dalam laporan pemerintah menyebutkan bahwa pemerintah telah menggaransi perlindungan anak dari kekerasan melalui UU No. 39 of 1999 tentang hak azasi manusia, UU No. 23 of 2002 tentang perlindungan anak dan UU No. 23 of 2004 tentang penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga 72. NGO Koalisi menyoroti bahwa pasal di UU perlindungan anak yang mengatur tentang perlindungan anak dari kekerasan di sekolah tidak diikuti dengan kebijakan operasional seperti mekanisme pencegahan, komplain dan penanganan peristiwa kekerasan di sekolah. Konsultasi Anak terhadap anak pelajar dan anak putus sekolah di Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jawa Tengah, DIY, NTB, NTT, AMBON, Palu dan Papua menunjukkan dari semua anak yang dikonsultasi 42% (empat puluh dua persen) menyatakan pernah mendapatkan kekerasan fisik oleh guru di sekolah. 73. NGO Koalisi menyoroti sejak tahun 1997 tidak ada upaya pemerintah untuk mengintegrasikan disiplin yang positif dan anti kekerasan di sekolah serta tidak ada pendidikan dan atau pelatihan 19


tersistematis bagi tenaga pendidik untuk dapat menerapkan pendidikan tanpa kekerasan bagi anak di sekolah

74. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) membuat kebijakan dan petunjuk pelaksana pencegahan dan penanganan corporal punishment pada sekolah-sekolah dalam b) melakukan langkah sistematis dalam penerapan disiplin positif dan pendekatan anti kekerasan di sekolah termasuk peningkatan kemampuan tenaga pendidik untuk menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah.

Cluster V. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti Tanggung jawab Pengasuhan 75. NGO Koalisi menghargai pemerintah yang menandatangani pasal 26 paragraph (1) UU No. 23 / 2002 menjelaskan bahwa mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak adalah kewajiban dan tanggung orang tua. Namun demikian NGO Koalisi menyayangkan bahwa tidak ada langkah-langkah administrative, programatik dan budgeting yang memadai untuk pelaksanaan dari pasal 26 tersebut. 76. NGO Koalisi menyoroti pemerintah yang tidak melakukan langkah maksimal dalam membuat kebijakan dan program pengasuhan anak pada periode 1997 sampai 2010. Baru pada tahun 2011 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Sosial RI No 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak serta piloting Standart Nasional Pengasuhan Anak (SNPA) bekerjasasama dengan Save the children Indonesia . Walau demikian

NGO Koalisi menyesalkan bahwa kemensos tidak memiliki system dan strategi dalam melakukan pendampingan teknis penerapan SNPA

77. NGO koalisi menegaskan bahwa program keluarga berencana tidak memiliki strategi khusus untuk membantu orang tua dalam menjalankan tanggung jawabnya dalam mengasuh, mendidik dan melindungi anak-anaknya. NGO Koalisi juga menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki kebijakan untuk menguatkan pengasuhan berbasis keluarga. Malahan, kebijakan dan intervensi pemerintah melalui Departemen Sosial sangat kuat mengarah kepada pengasuhan berbasis institusi/panti asuhan.

78. NGO Koalisi menyoroti bahwa pemerintah belum pernah membuat kerangka kebijakan satupun yang menarget pengasuhan anak di keluarga besar yang bukan ayah atau ibu kandung, padahal 20


dalam faktanya data Survey Sosial Ekonomi Nasional 2009 menunjukkan 8, 3 juta anak Indonesia tidak tinggal dengan orang tuanya dan 88% di antaranya diasuh di keluarga besar mereka. 11 79. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) fokus pelayanan pengasuhan sehingga benar-benar berbasis keluarga, dengan cara memperkuat kerangka kebijakan pengasuhan berbasis keluarga dan melakukan diseminasi luas termasuk penguatan sumber daya manusianya. b) membangun system perlindungan anak that focused to strengthening Government sectors to response child protection and care issues serta mengintegrasikan perlindungan anak dengan perlindungan social menyeluruh bagi masyarakat. c) Memperkuat sektor-sektor dan profesi kesejahteraan sosial yang memegang peranan penting dalam merespon pengasuhan dan perlindungan anak. Reunifikasi dalam Keluarga 80. Koalisi NGO menghargai pengakuan pemerintah tentang masih belum berhasilnya berbagai upaya pemulangan anak-anak dari eks provinsi Timor-Timur untuk penyatuan dengan keluarganya di Timor Leste. 81. NGO Koalisi menghargai pernyataan pemerintah yang akan tetap berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan pemenuhan hak-hak dan perlindungan anak-anak pengungsi, serta mendorong UNHCR untk membantu proses penetapan status hukum bagi pengungsi eks Timor-Timur, termasuk anak-anak. 82. Namun, NGO Koalisi menyayangkan bahwa tidak ada langkah-langkah kebijakan dan program yang dilakukan pemerintah dalam memastikan proses pengintegrasian eks pengungsi Timor-Timur dan keluarganya Anak-anak yang kehilangan Lingkungan Keluarga 83. Koalisi NGO menghargai jaminan pemerintah terhadap hak anak untuk mendapat asuhan dari orang tuanya sendiri, sedangkan pengasuhan institusi adalah pilihan terakhir, seperti yang tertuang dalam UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. 84. Koalisi NGO menyayangkan bahwa, hingga laporan ini disusun, kenyataanya siapapun dapat mendirikan panti asuhan tanpa harus menujukkan kebutuhan, kapasitas atau sumber daya untuk melaksanakankan pelayanan tersebut. 85. NGO Koalisi menyoroti tidak dikembangkannya suatu standar minimal dan supervisi terhadap pantipanti asuhan tersebut sehingga kekerasan-kekerasan sering terjadi di panti asuhan ataupun rumah singgah sementara.. Tidak juga dikembangkan suatu sistem data yang memadai dan terpilah tentang anak-anak yang ditempatkan di panti asuhan sehingga tidak ada data akuntabel tentang kondisi anak-anak di panti asuhan. 11

(Modul Sosial Budaya dan Pendidikan) (dikutip dari profil Anak Indonesia 2011, diterbitkan oleh KPPPA, halaman 23 – 29) menunjukkan bahwa di Indonesia, 10, 25 % tidak tinggal dengan kedua orangtua, baik bapak maupun ibu kandungnya, baik orangtuanya masih hidup maupun meninggal (anak yang tinggal dengan keluarga lain). Di Nusa tenggara Barat, 22,13 % anak tidak tinggal dengan keduaorangtua

21


86. Koalisi NGO menghargai pengakuan pemerintah terkait masih banyaknya permasalah seputar panti asuhan. 87. Koalisi NGO menyesalkan bahwa pemerintah belum menyadari tentang masalah yang muncul dari besarnya alokasi anggaran pemerintah yang dialirkan kepada institusi panti Asuhan.Sementara itu hampir tidak ada anggaran yang ditujukan untuk memberi dukungan bagi keluarga-keluaraga miskin dalam rangka mempertahankan anak mereka untuk tetap dalam asuhan keluarga. Keadaan ini kemudian membuat banyak orang/badan berinisiatif mendirikan panti asuhan sebagai sarana untuk mengakses dana pemerintah. 88. Koalisi NGO menghargai upaya pemerintah (Depsos, bekerjasama dengan Save the Childern) dalam mengembangkan data dasar yang dapat menjamin semua keputusan yang diambil pemerintah didasarkan pada pengetahuan dan pengertian tentang situsi panti asuhan dan alternative lain 89. Koalisi Ngo menghargai rencana-rencana pemerintah sebagaimana dimuat dalam laporan periodic, untuk melakukan upaya perbaikan terkait pengasuahan berbasis institusi 90. Koalisi NGO menekankan pentingnya pemerintah memperhatikan bahwa banyak anak-anak yang ditempatkan di panti asuhan oleh karena orang tua mereka tidak mampu membiayai pendidikan anaknya. Fokus pelayanan panti asuhan bukan pada kebutuhan pengasuhan tetapi akses pendidikan dengan jangka waktu berkisar antara 5 sampai 17 tahun (Sekitar 90% dari anak-anak yang dipanti asuhan masih memiliki orang tua lengkap). 12 Pengangkatan Anak 91. Koalisi NGO menghargai niat baik pemerintah untuk menjamin hak-hak anak yang diadopsi, sebagai perwujudan pasal 39 ayat 1 Undang-undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak : “Pengangkatan anak hanya bisa dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku� 92. Koalisi NGO meyesalkan tidak ada peraturan pemerintah yang telah dikembangkan untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU No 23/2002 tersebut diterjemahkan dalam kebijakan dan dalam suatu aturan untuk memandu pelayanan-pelayanan yang diberikan kepda anak-anak. 93. Koalisi NGO meyesalkan masih tingginya tingkat adopsi illegal, baik di dalam negeri, maupun lintas Negara. 94. Koalisi NGO menghargai rencana pemerintah ke depan terkait perbaikan mekanisme pengangkatan anak seperti yang dinyatakan dalam laporan perodik 95. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) membuat suatu sistem supervisi dan standar minimal bagi pengasuhan berbasis institusi sehingga penyimpangan dan praktek kekerasan dihentikan dan membuat pengasuhan itu sebagai alternatif terakhir dan menyediakan bagi mereka yang membutuhkan perlindungan khusus. 12

Someone that matters, UNICEF and Save the Children, kemsos, 2009

22


b) memprioritaskan kembali pengasuhan keluarga melalui kampanye secara nasional dan besarbesaran. Harus dibuat kebijakan nasional yang focus dengan pendekatan terintegrasi yang melibatkan sector-sektor kunci, termasuk kesehatan, pendidikan dan hukum sehingga kampaye dilakukan secara serius. c) memasukkan Pelayanan anak dan keluarga bukan hanya bantuan finansial tetapi juga bantuan psiko-sosial kepada keluarga untuk memastikan bahwa mereka mampu memenuhi peran sebagai orang tua dan pengasuh secara efektif dan tepat.Itu harus dilakukan selain untuk mencegah pemisahan keluarga, juga membantu pengembalian ratusan ribu anak-anak yang telah diinstusionalkan. d) memberikan Skema bantuan langsung untuk keluarga-keluarga rentan yang secara spesifik bertujuan untuk memperkuat kapasitas keluarga untuk mengasuh anak-anak mereka harus diteruskan dan diperbesar oleh Pemerintah, termasuk bantuan yang ditujukan untuk orang tua tunggal, keluarga yang diampu oleh oleh para kakek/nenek dan keluarga yang mengasuh anak-anak yang telah tidak diasuh oleh orang tua kandung. Demikian juga perlu diciptakan skema bantuan tindak lanjut kepada keluarga anak-anak yang telah disatukan kembali di antara mereka.

Cluster VI: Basic Health and Welfare Anak-anak Penyandang Disabilitas 96. Koalisi NGO (setuju dengan Komnas HAM) menilai bahwa Undang-undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat lebih bercirikan social base daripada human right base. Oleh karena itu Kolaisi NGO menyambut baik atas disahkannya Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabelitas oleh pemerintah melalui UU N0.19 tahun 2011. 97. Koalisi NGO menyayangkan belum tersedianya data yang akurat dan komprehensif tentang karakteristik kehidupan dan penghidupan para penyandang disabelitas yang beraneka jenis kecacatan tersebut. Data resmi yang tersedia dan digunakan pemerintah sejauh ini adalah data yang diolah dari beberapa survey (susenas). Data seperti ini sangat global dan kegunaannya terbatas untuk kepentingan analisis dan pelaporan, belum bisa dijadikan dasar bagi intervensi atau untuk merancang program-program yang diarahkan untuk menangani persoalan. 98. Koalisi NGO menghargai Rencana Aksi Nasional Penyandang Cacat Indonesia 2004 – 2013 yang diantaranya tentang pembentukan Asosiasi Keluarga dan Orang Tua Penyandang cacat, dan tentang Deteksi Dini, Intervensi dan Pendidikan. Akan tetapi Ngo Koalisi menyangkan RAN tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan karena tidak jelasnya pihak mana yang berfungsi sebagai leading sector. 99. Koalisi NGO menghargai disahkannya UU 36 tentang Kesehatan pada akhir tahun 2009.Dinyatakan bahwa Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Akan tetapi sangat disayangkan Undang-undang ini belum memiliki aturan pelaksanaannya. 23


100. Koalisi NGO menilai Pemerintah belum melaksanakan secara sungguh-sungguh rekomendasi komite hak anak berkenaan dengan kesempatan kerja yang sama bagi penyandang disabelitias. Walau telah diatur dalam pasal 28 UU 4/1997 berkenaan dengan sanksi pidana bagi perusahaan negara atau swasta bila tidak memberikan kesempatan dan perlakuan sama bagi penyandang disabelitas, namun tidak satupun perusahaan negara maupun swasta yang dihukum karena menolak penyandang disabelitas menjadi karyawannya. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar 101. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 44 ayat 3 menyatakan bahwa pemerintah menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan dan pelayanan gratis bagi orang tua dari anak yang kurang mampu. Meski demikian, Ngo Koalisi menyesalkan tidak jelasnya ketentuan sanksi bagi pelanggar hak anak atas kesehatan dalam Undang-undang ini. 102. Kolaisi NGO menghargai UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang di dalamnya dinyatakan beberapa hal penting: Upaya kesehatan ibu, pemberian ASI, penyediaan waktu dan fasilitas khusus yaitu bagi bayi di tempat kerja dan tempat sarana umum. Dinyatakan juga bawa Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.Secara tegas juga UU ini menyatakan setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya. 103. Koalisi NGO menghargai program Imunisasi yang merupakan salah satu program Depkes yang cukup populer sebagai upaya preventif untuk penurunan angka kematian. Akan tetapi hingga tahun 2009 masih terasa lemahanya capaian program ini. Contoh kasus imuniasasi Campak, target pada 2010 secara nasional berdasarkan Universal Child Immunization (UCI) 90 persen balita di Indonesia harus mendapatkan imunisasi campak. Kenyataan yang terjadi adalah, cakupan imunisasi campak pada bayi di Provinsi DKI Jakarta (ibukota Negara) saja baru mencapai 60 persen pada tahun 2009. (Kompas,7 Sep 2009) 104. Koalisi NGO menyambut baik penurunan Angka kematian Ibu (AKI), di mana pada tahun 1991 mencapai 425 per 100.000 kelahiran hidup, menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia-SDKI- 2007). 13 105. Namun, Koalisi NGO menyayangkan masih tingginya Angka kematian Bayi (AKB) yaitu sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup.Selain itu Angka Kematian Balita (AKABA) juga masih cukup tinggi yaitu 44 per 1000 kelahiran hidup (SKDI 2007).Hasil SDKI 2012 menunjukkan tidak adanya kemajuan berarti, di mana AKA masih berada di angka 32 (hanya turun 2 point dari 2007) dan AKABA 40 (hanya turan 4 poin dari 2007). 106. Angka tersebut merupkan angka secara nasional, masalahnya ada kesenjangan yang serius antar provinsi. 13 provinsi memiliki AKB yang lebih buruk dari AKBA nasional. AKB di Sulawesi Barat adalah 74. Demikian pula dengan AKBA, hanya ada 7 provinsi yang memiliki AKABA yang lebih baik dari nasional, Sulawesi Barat memiliki AKABA 96.

13

Meski demikian angka tersebut (228) masih sangat jauh dari target Millenium Development Goals yang menetapkan target 110 per 100.000 kelahiran hidup.

24


107. Koalisi NGO menghargai upaya pemerintah dalam mengurangi penyakit dan gizi buruk, melalui kampanye inisiasi menyusui dini dan ASI ekslusif, dan lain lain. Ngo Koalisi menekankan agar upaya-upaya tersebut tidak hanya berfiat kuratif, melainkan juga berupa program prefentif, misalnya dengan pemberdayaan ekonomi keluarga. 108. Koalisi NGO menyayangkan masih tingginya penyakit-penyakit berbasis lingkungan, yang menyumbang lebih 80% dari penyakit yang diderita oleh bayi dan balita (Susenas 2006). Demikian pula dengan angka kematian Balita yang disebabkan oleh diare, ternyata masih cukup tinggi, yaitu 75 per 100.000 penduduk (Direktorat Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, 2001). Kesehatan Remaja 109. Koalisi NGO menghargai usaha pemerintah mengeluarkan peraturan presiden no.75 tahun 2006 tentang Komisi Perlindungan AIDS Nasional di mana di dalamnya mengatur perlindungan terhadap anak dengan HIV/AIDS. Demikian pula, NGO Koalisi melihat adanya usaha peningkatan programprogram penanganan HIV/ AIDS. 110. Koalisi NGO menyayangkan bahwa jumlah kasus AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2000 hingga Juni 2009, sebagai mana dilaporankan Surveilans AIDS Depkes RI Tahun 1987 – Juni 2009. Dalam konsultasi anak yang diselenggarakan di Papua untuk anak-anak yang beresiko terkena HIV/AIDS atau pun telah hidup dalam HIV/AIDS, tergambar dengan jelas tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk melakukan pencegahan maupun pengobatan terhadap anak yang terkena HIV/AIDS. Seperti yang diketahui bahwa Papua adalah daerah dengan prevalensi paling tinggi HIV/AIDS. 111. Terkait dengan bahaya tembakau, Koalisi NGO menghargai pemerintah yang telah menyatakan kejahatan kandungan rokok yang tertuang dalam pasal 2 ayat(1) UU No 19 tahun 2007 tentang cukai. Dalam konsideran menimbang huruf a PP No 19 2007 dinyatakan “Bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi individu dan masyarakat, oleh karena itu diperlukan upaya pengamanan”.Meski demikian Koalisi NGO menyayangkan belum adanya langkah-langkah nyata untuk melindungi remaja dan anak-anak dari bahaya rokok terebut, termasuk iklan rokok. 112. Koalisi NGO menghargai UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (yang disahkan Nopember 2009) mulai mengatur tentang tembakau.Meski demikian karena UU ini masih relatif baru dan belum ada aturan pelaksanaannya, sehingga belum operasional. 113. Kolaisi NGO menghargai dikeluarkannya Surat Edaran Dirjen Kesehatan Masyarakat No.HK00.07.1.31047a tahun 2006 yang melarang para medis dan kelompok profesi kesehatan untuk melakukan praktik female genital mutilation. 114. Di Indonesia ada praktik kultural/keagamaan yang disebut “sunat perempuan” yakni tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris. Praktik ini dinilai berbeda dengan praktik female genital mutilation karena tidak menyebabkan kerusakan pada alat kelamin perempuan.Meski demikian NGO Koalisi menyayangkan pemerintah yang mengeluarkan Peraturan Menkes no 1636 tahun 2010 tentang sunat perempuan yang berarti melegalisasi sunat

25


perempuan. Keputusan ini juga bertentangan dengan surat edaran Dirjen Kesehatan masyarakat pada tahun 2006 Sistem Jamin Sosial 115. Pemerintah sudah memiliki undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No. 40/2004).Akan tetapi, Koalisi NGO menyayangkan bahwa ternyata undang-undang tersebut membatasi jaminan social hanya pada anak-anak yang orangtuanya bekerja pada sector formal dan/atau menjadi peserta program jaminan social seperti Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes.Dengan demikian, mengacu pada undang-undang ini maka anak-anak yang orangtuanya bekerja disektor informal seperti pedagang kecil, pemulung, petani, dan lain-lain, tidak mendapatkan jaminan sosial. 116. Koalisi NGO menghargai program Askeskin, semacam jaring pengaman kesehatan khusus masyarakat miskin yang dijalankan pemerintah dalam menghadapi masa krisis. Namun, seperti diakui sendiri oleh pemerintah, bahwa program ini masih mengalami hambatan dan salah sasaran akibat lemahnya pendataan dan kurangnya sosialisasi.

117.

NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a)

b) c)

d)

menghentikan diskriminasi terhadap anak-anak penyandang disabilitas dengan cara memberi kesempatan dan layanan yang setara kepada mereka atas hak-hak anak termasuk hak atas kesehatan, pendidikan dan pelayanan social. membuat sistem jaminan sosial dan jaminan kesehatan dapat diakses oleh semua anak, tanpa kecuali. membuat perundang-undangan tentang kesehatan anak menjadi lebih “operasional�, melalui penyusunan peraturan pelaksanaan bagi undang-undang yang belum memilikinya, mencabut undang-undang yang tidak relevan lagi (UU Kesejahteraan Anak), merevisi UU yang diskriminatif khususnya pada anak yang memiliki kebutuhan khusus, serta memastikan bahwa disain layanan kesehatan dan kesejahteraan dasar juga tidak mendiskriminasi anak-anak. merumuskan mekanisme koordinasi antara berbagai lembaga yang terkait dengan isu kesehatan anak, demikian pula antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan programprogram kesehatan.Terkait dengan desentralisasi upaya kesehatan dan paradigma kesehatan yang berbasis promotif dan preventif juga harus dipahamai secara benar oleh setiap pelaksana di tingkat pusat dan daerah. Usaha-usaha promotif kesehatan, seperti HIV/AIDS misalnya, harus dilakukan secara sistematis hingga menyentuh level anak pada tingkat dasar.

Cluster VII: Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya 26


Pendidikan yang universal dan bebas biaya 118. NGO Koalisi mengapresiasi Pemerintah Indonesia telah memasukan hak anak atas pendidikan di dalam Undang – Undang Dasar 1945 dan Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, meratifikasi Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 2005; dan mengesahkan Undang – Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

119. Namun Koalisi menyayangkan bahwa di dalam peraturan perundangan, Pemerintah Indonesia tidak sungguh – sungguh mengintegrasikan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan. Undang – Undang memberikan akses pendidikan hanya kepada warga negara, bukan kepada setiap anak/orang14. Sehingga anak – anak yang tidak mempunyai akta kelahiran maupun anak – anak pengungsi dari negara lain seperti pengungsi anak Rohingya, Burma tidak bisa mendapatkan akses pendidikan. 120. Meskipun Pemerintah Indonesia di dalam undang – undang memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah namun pendidikan dasar yang bebas biaya masih jauh dari harapan15, bahkan bertentangan dengan konstitusi. 121. Namun Koalisi menghargai Laporan Pemerintah yang mengakui bahwa masalah yang dihadapi terkait dengan tujuan pendidikan di dalam Laporan menyebutkan diantaranya adalah pengalokasian anggaran yang belum sesuai dengan konstitusi dan tingginya biaya pendidikan. 122. NGO Koalisi masih menyayangkan tidak ada kebijakan khusus terkait perlindungan terhadap siswi hamil untuk menghindari putus sekolah, padahal hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan telah diamanatkan oleh KHA, kovenan ekonomi sosial dan budaya maupun konstitusi Indonesia. 123. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk:

14

UU Dasar 1945 Pasal 31 (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, UU Sisdiknas Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. 15

Hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2006 di 10 kabupaten/kota di Indonesia, orang tua siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tidak langsung. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional sendiri pada 2003 telah mempublikasikan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar 63,35 - 87,75 persen dari biaya pendidikan total. Adapun porsi biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/siswa) adalah antara 12,22 persen dan 36,65 % dari biaya pendidikan total. Data Susenas tahun 2010, diketahui bahwa sebagian besar anak berumur 7-17 tahun belum bersekolah atau tidak sekolah lagi dikarenakan tidak ada biaya yaitu sebesar 56,18 persen.

27


a) meninjau kembali konstitusi Negara (UUD 1945) dan UU Sisdiknas untuk menegaskan bahwa hak mendapatkan pendidikan adalah hak setiap orang, bukan hanya menjadi hak warga Negara Indonesia. Namun juga hak setiap anak yang berada di Indonesia. b) segera merumuskan kebijakan yang memastikan pendidikan di Indonesia memenuhi standar HAM dan Hak Anak. Sehingga bisa selaras dengan standar KHA maupun instrument HAM lainnya.

Kualitas Pendidikan 124. NGO Koalisi mengapresiasi Pemerintah Indonesia untuk memberikan materi di dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah mengenai pengenalan hak asasi manusia telah mulai diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan di tingkat SD, SLTP dan SLTA. Sementara untuk pengenalan hak anak diberikan pada siswa SD pada semester I. 125. Namun bila ditelaah lebih lanjut terjadi kekeliruan dalam kurikulum pendidikan hak asasi. Ruang lingkup pelajaran siswa SD semester 2 kelas 1 misalnya adalah mengenal hak dan kewajiban anak. Padahal dalam perspektif hak asasi manusia, tidak dikenal hak dan kewajiban. Maka hal tersebut akan menyebabkan siswa belajar akan memiliki pengetahuan yang keliru tentang hak asasi manusia dan hak anak khususnya. 126. Ujian Nasional yang dimaksudkan untuk mengukur standar dan kualitas pendidikan, ternyata justru melanggar hak anak atas pendidikan. Bahkan Pemerintah tidak melaksanakan hasil Keputusan Mahkamah Agung tahun 2009 16 yang menyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. 127. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) meninjau kembali kurikulum pendidikan hak asasi manusia dan hak anak di sekolah. b) Memastikan pelaksanaan ujian-ujian sekolah tidak menjadikan anak kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan. Ujian Nasional yang standarnya dipaksakan pada prinsipnya adalah pelanggaran hak anak. Kekerasan di sekolah 128. Secara eksplisit, perlindungan anak dari tindakan kekerasan di sekolah diatur di dalam ketentuan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 54. Namun NGO Koalisi menyayangkan sampai dengan periode yang dilaporkan, Pemerintah Indonesia tidak memiliki kebijakan yang 16

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2596 K/PDT/2008 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI Jo. 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST.

28


mengatur pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan khususnya di lembaga pendidikan17. 129. NGO Koalisi juga menyayangkan sampai dengan periodic laporan tidak ada tinjauan kembali maupun perubahan terhadap Kode Etik profesi Guru yang dimiliki sejak tahun 1973 18. Sejalan dengan ratifikasi instrument internasional dan pengesahan peraturan/kebijakan nasional terkait dengan perlindungan anak khususnya pendidikan, Guru juga dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman mengenai hak anak serta kemampuan menggunakan metode yang menghargai prinsip – prinsip hak anak, salah satunya tidak menggunakan metode kekerasan. Namun NGO Koalisi sangat menyesali kejadian kekerasan/penguhukuman fisik oleh guru masih tinggi19. 130. Bahkan meskipun setelah periode laporan ini, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan kebijakan terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak, namun kekerasan di sekolah terus terjadi20, termasuk kejadian tawuran antar pelajar21 131. NGO Koalisi juga menyayangkan proses sertifikasi guru tidak mencakup kepada pencegahan dan perlindungan anak dari kekerasan yang dilakukan oleh Guru. Proses sertifikasi dilakukan hanya untuk uji kompetensi guna memperoleh sertifikat pendidikan. Uji kompetensi dimaksud dengan melakukan penilaian portofolio yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang antara lain mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, prestasi akademik, keikutsertaan dalam forum ilmiah dan sebagainya22. 17

Kebijakan baru disahkan setelah periode laporan ini, yaitu Permeneg PP & PA No.2 tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak. Selanjutnya pada tahun 2011, disahkan Permeneg PP & PA No. 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, masyarakat dan Lembaga Pendidikan. 18

Perbaikan dan penyempurnaan Kode Etik profesi Guru baru dilakukan setelah periode laporan ke-empat, yaitu tahun 2008 yang selanjutnya ditetapkan untuk dilaksanakan dan ditegakan mulai 1 januari 2013. 19

Hasil survei UNICEF dan Universitas Atmajaya (2006) menyatakan bahwa di Jawa Tengah, sebanyak 80% guru mengaku pernah menghukum anak-anak dengan berteriak kepada mereka di depan kelas, 55% guru mengaku pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas sebagai hukuman. Di Sulawesi Selatan, 90% guru mengaku pernah menghukum murid dengan berdiri didepan kelas, 73% pernah berteriak kepada murid di depan kelas dan 54% pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet. Di Sumatera, 90% guru mengaku pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas sebagai hukuman dan 80% pernah berteriak kepada murid dengan kasar di depan kelas. 20

Hasil temuan KPAI pada tahun 2012 mencatat dari 1026 responden anak (SD/Madrasah Ibtidaiyah(MI), SMP/MTS (Madrasah Tsanawiyah), dan SMA/MA (Madrasah Aliyah) di sembilan propinsi, 87,6 persen anak mengaku mengalami tindak kekerasan baik kekerasan fisik dan psikis di sekolah. 21

Data KPAI Tahun 2012, tawuran di Jabodetabek tercatat sebanyak 53 kali dengan korban meninggal sebanyak 19 orang.

22

Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18/2007 tentang Sertifikasi Bagi guru Dalam jabatan.

29


132. Namun NGO Koalisi menghargai terhadap Laporan Pemerintah yang mengakui bahwa masalah yang dihadapi di dalam pencapaian tujuan pendidikan adalah keterbatasan kualitas dan kuantitas tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan. 133.

NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) menerapkan secara sistematis metode pendidikan yang berbasis hak-hak anak. Demikian juga lingkungan pembelajaran di sekolah dan kebijakan pencegahan kekerasan di sekolah harus dibangun dan diimplementasikan secara sungguh-sungguh. b) membuat prosedur dan mekanisme pengaduan dan penanganan agar anak-anak sekolah dapat mengadu dan tertangani jika terjadi kekerasan ataupun hukuman fisik di sekolah.

Cluster VIII: Langkah-Langkah Perlindungan Khusus Anak dalam Situasi Darurat Anak Pengungsi 134.

135. 136.

137.

Koalisi memberikan penghargaan terhadap langkah pemerintah Indonesia untuk melaksanakan Koalisi merekomendasikan Komite tentang jaminan repatriasi segera dan aman bagi anak-anak dari eks provinsi Timor-timur ke Timor Leste. Sayangnya, informasi tidak menunjukkan langkahlangkah yang telah dilakukan dan data yang disampaikan masih menunjukkan besarnya jumlah pengungsi yang masih berada di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Koalisi menyayangkan tidak adanya informasi memadai mengenai penanganan terhadap Internally Displace Children di wilayah-wilayah yang mengalami konflik bersenjata, konflik etnis dan ketegangan social di Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi tengah dan Maluku. Koalisi menghargai perhatian dan langkah-langkah legislasi serta upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap Internally Displace Children anak-anak pengungsi akibat korban bencana alam. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk melaksanakan kewajibannya secara sungguh-sungguh untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak di pengungsian. Diperlukan efektivitas kerja dari instansi-instansi yang berwenang, termasuk dalam koordinasi antar instansi yang selama ini belum berjalan baik, serta menjalin kerjasama dengan lembaga lain di luar pemerintahan secara lebih efektif. Upaya tersebut harus juga disertai dengan memperhatikan pendapat anak (partisipasi anak) sebagai bagian yang tidak terpisah dari keseluruhan program.

Anak dalam konflik bersenjata, termasuk Pemulihan Fisik dan Psikologis dan Re-integrasi Sosial 138.

Indonesia telah menjamin hak anak untuk tidak dilibatkan dalam konflik bersenjata. Diakui adanya berbagai peristiwa konflik yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Maluku, 30


139.

140.

Maluku Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah, namun pelibatan anak dalam konflik dinyatakan pemerintah Indonesia belum memiliki cukup bukti. Menurut laporan yang dikumpulkan oleh Yayasan KKSP, Yayasan Anak Bangsa (YAB), People Crisis Centre (PCC), Jesuit Refugee Service (JRS) tahun 2004 dalam Child Soldier Report tahun 2008, terdapat anak-anak di bawah 18 tahun yang pernah digunakan baik oleh GAM maupun TNI sebagai informan atau mata-mata, penjaga, penyedia logistik, bahkan pejuang atau prajurit bersenjata (combatan) dalam konflik bersenjata NAD sejak tahun 1976. Namun, jumlahnya tidak pernah diketahui dengan pasti. Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata juga diungkap oleh peserta Konsultasi Anak yang berasal dari wilayah konflik yakni Aceh, Sulawesi Selatan dan Maluku. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: merespon secara cepat setiap persoalan yang berkembang di masyarakat agar tidak terjadi konflik atau ketegangan sosial atau tidak menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan antar kelompok masyarakat seperti antar etnis, agama, dan kelompok-kelompok masyarakat sipil, namun dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia dan atau hak-hak anak. b) Memberikan jaminan perlindungan terhadap anak-anak agar tidak dilibatkan dalam konflik, dan memberikan hukuman kepada pihak-pihak yang melakukan perekrutan terhadap anak-anak c) Memberikan jaminan kepada anak-anak yang menjadi korban dari konflik bersenjata ataupun ketegangan sosial agar dapat menikmati hak-haknya dengan memberikan atau mempermudah akses untuk mendapatkan bantuan dari pihak manapun a)

Anak yang Berkonflik dengan Hukum 141. Koalisi menyatakan keprihatinan terhadap penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, yang dinilai cenderung mengedepankan penahanan dan pemenjaraan, dan praktek penanganan dari keseluruhan tahapan proses hukum tidak mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dan cenderung tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku yang berarti pula terjadi banyak pelanggaran terhadap hak-hak anak. 142. Berdasarkan hasil Konsultasi anak yang melibatkan 39 anak di lima wilayah menunjukkan pengalaman buruk dari anak-anak yang berkonflik dengan hukum, mulai dari proses penangkapan hingga pemenjaraan, yang menyalahi prosedur yang berlaku dan mengabaikan hak-hak anak. 143. Koalisi menyayangkan bahwa hingga saat ini belum ada strategi dan kebijakan untuk pemulihan dan reintegrasi anak yang berkonflik dengan hukum. 144. Namun Koalisi menghargai pemerintah Indonesia telah memberikan laporan jujur tentang situasi dan hambatan-hambatan yang dihadapi terkait dengan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. 145. Koalisi menyambut gembira atas disahkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1997. Pada UU ini, batas kematangan pertanggung jawaban pidana telah dinaikkan dari delapan (8) tahun menjadi 12 tahun, dan mengedepankan pendekatan restorative justice. 146. NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untukmeneguhkan dan melaksanakan ketentuan pasal 37 (a) bahwa tidak seorang anakpun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman anak akan dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk masa 31


yang paling singkat dan pelanggaran-pelanggaran oleh aparat penegak hukum di dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, harus ditindaklanjuti dengan menyeret para pelanggar hak anak tersebut ke dalam proses hukum. Anak dalam situasi Eksploitasi, Termasuk Pemulihan Fisik dan Psikologis dan Reintegrasi Sosial Eksploitasi Ekonomi Anak, Termasuk Tenaga Kerja Anak (Pasal 32) 147. Koalisi menghargai upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi pekerja anak terutama yang berada dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Kendati demikian Koalisi menyayangkan aturan mengenai pekerja anak dalam UU No. 13 tahun 2007 tidak bersikap tegas. Pada pasal 68 dinyatakan pengusaha dilarang mempekerjakan anak, namun pada pasal 69 dinyatakan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. 148. Koalisi masih menyatakan keprihatinan terhadap anak-anak yang terlibat dalam underground economy atau anak yang terlibat dalam putting out system atau yang dipekerjakan sebagai Pekerja Rumah Tangga, yang tidak terpantau keberadaannya sehingga tidak ada pelayanan dan perlindungan terhadap mereka. 149.

NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: menyusun strategi pencegahan agar anak tidak masuk pada lingkungan kerja yang membahayakan salah satunya melalui penyediaan akses pendidikan gratis bagi semua anak dan penyediaan akses pendidikan bagi pekerja anak yang akan kembali ke sekolah; b) Memperkuat penegakan hukum yang ada yang melindungi anak-anak dari pelaku eksploitasi ekonomi anak dengan mengintensifkan pengecekan dan pengawasan pada perusahaan, agen pekerja maupun rumah tangga yang mempekerjakan pembantu rumah tangga a)

Anak Jalanan 150. Koalisi menyayangkan pemerintah Indonesia tidak memberikan laporan tentang situasi anak jalanan dan langkah yang telah dilakukan untuk melaksanakan rekomendasi komite. 151. Koalisi menyatakan keprihatinan tentang masih tingginya anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi atau bahkan tinggal di jalanan. Walaupun berbagai program pencegahan dan pemulihan telah dilakukan, namun pendekatan yang terkandung dalam peraturan daeran di berbagai wilayah di Indonesia masih menempatkan anak jalanan sebagai pelaku �kriminal� dan penanganan melalui razia masih kental dengan kekerasan. 152. Koalisi memberikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi DIY, yang telah berinisiatif mengembangkan dan mengesahkan peraturan daerah (Perda Nomor 6 Tahun 2011) dengan menggunakan paradigma baru, yakni pendekatan perlindungan dan berbasis pada hak-hak anak dalam pencegahan dan penanganan anak jalanan. 153.

NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: 32


a) mencabut atau melakukan perubahan terhadap Peraturan Daerah di berbagai wilayah Indonesia, khususnya yang terkait dengan anak jalanan, yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia atau Hak Anak dan peraturan perundangan yang berlaku. b) menghapus pendekatan kekerasan terhadap penanganan anak jalanan. Razia-razia sama sekali tidak memberikan kontribusi terhadap upaya mengatasi persoalan anak jalanan, maka sebaiknya tidak digunakan sebagai model penanganan. c) mempertahankan dan mengembangkan program-program pencegahan dan penanganan dengan memperkuat ketahanan keluarga, memberikan dukungan dan kemudahan bagi anak untuk mendapatkan akses pendidikan gratis, dan terus mengupayakan agar anak-anak yang sudah di jalan dapat keluar dari kehidupan jalanan. Penyalahgunaan Obat Terlarang 154. Koalisi menyatakan keprihatinan atas semakin tingginya anak-anak dijerumuskan untuk mengkonsumsi narkoba. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), dalam tahun 20012006 tercatat jumlah kasus narkoba meningkat dari 3.617 kasus menjadi 17.355 kasus. Dengan kata lain dalam kurun waktu lima tahun naik sebanyak lima kali lipat. Berdasarkan hasil survei Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba BNN tahun 2007, lebih dari 22 ribu kasus narkoba terjadi dikalangan siswa SMA, 6.000 kasus siswa di SMP, 3.000 kasus di siswa SD. Bahkan, pada hari peringatan Hari Narkoba sedunia 26 Juni 2008, dirilis jumlah pengguna narkoba di Indonesia mencapai 4 juta orang dan 70 persen diantaranya anak sekolah. (http://www.republika.co.id/berita/65565/Pelajar_Dominasi_Pengguna_Narkoba ). 155. Koalisi juga menyatakan keprihatinan terhadap fakta bahwa anak-anak yang mengkonsumsi narkoba masih dianggap sebagai pihak yang dihukum, sebagaimana terlihat pada laporan pemerintah Indonesia. 156. Koalisi memberikan apresiasi tinggi terhadap pemerintah Indonesia tentang kebijakan Kepala Kepolisian RI yang memberlakukan diskresi bagi para pemakai narkoba dan menempatkan anakanak bukan sebagai tersangka melainkan sebagai korban. Hal mana, dilanjutkan dengan perubahan undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2009, dengan ketentuan salah satunya adalah menempatkan para pengguna narkoba bukan sebagai pelaku criminal melainkan sebagai korban yang memerlukan rehabilitasi. 157.

NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk a) mengembangkan langkah pencegahan secara efektif dengan memberikan pendidikan tentang bahaya narkoba terutama kepada anak-anak dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga sekolah Menengah Atas (SMA), b) menyediakan fasilitas pemulihan bagi anak korban narkoba dengan pengelolaan yang memegang prinsip-prinsip hak anak, c) memberikan hukuman berat bagi siapapun yang menjerumuskan anak-anak untuk mengkonsumsi narkoba.

Eksploitasi Seksual dan Pelecehan Seksual 158. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, telah disusun oleh Pemerintah Indonesia. Sayangnya, hal ini sama sekali belum ditindaklanjuti di tingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten sehingga langkah-langkah pencegahan dan penanganan anak korban ESKA dinilai tidak efektif. 33


159. Pada kenyataannya, Koalisi sangat prihatin terhadap anak-anak korban ESKA, walaupun data tidak tersedia, namun diyakini jumlahnya semakin meningkat dengan pola dan modus kegiatan yang telah mengalami perubahan atau perkembangan yang berbasis individu atau dalam kelompokkelompok kecil. 160. Keprihatinan Koalisi pula bahwa sejauh ini belum ada peraturan atau kebijakan yang tegas yang dapat menjerat “pelaku� kejahatan ESKA. Bahkan, anak-anak korban ESKA yang masih ditempatkan sebagai “pelaku� kejahatan. 161. Koalisi memberikan penghargaan atas telah diratifikasinya Optional Protocol KHA tentang penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak, pada Januari 2012.

162.

NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: Menempatkan korban eksploitasi seksual maupun korban kekerasan sebagai korban, bukan pelaku kriminal. Untuk maksud itu, mengingat kembali rekomendasi pada bagian langkah-langkah umum, agar mencabut semua peraturan daerah yang telah mengriminalkan anak-anak korban eksploitasi seksual dan membuat peraturan perundangan yang mengkriminalkan pengguna dari para anak yang dilacurkan. b) berusaha keras untuk meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum agar memiliki teknik-teknik investigasi yang menjunjung tinggi diri dan martabat korban, mengalokasikan budget agar unit-unit khusus di kepolisian pada tingkat kabupaten menyediakan ruang yang ramah anak dan memiliki sumber daya untuk itu. c) mengalokasikan anggaran yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan, penanganan, pemulihan dan reintegrasi social bagi anak yang menjadi korban ESKA a)

Penjualan, Perdagangan dan Penculikan 163. Ngo Koalisi menyatakan penghargaan terhadap pemerintah Indonesia yang telah berupaya mengatasi persoalan penjualan dan perdagangan orang dengan meratifikasi Protocol Palermo dan telah mengesahkan Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), yang diikuti dengan kebijakan-kebijakan pendukung, dan langkahlangkah membangun kerjasama bilateral dengan berbagai Negara.. 164. Hal yang patut disayangkan adalah pada UU PTPPO tidak memasukkan definisi mengenai perdagangan anak, sehingga dikhawatirkan akan banyak kasus perdagangan anak namun tidak ditempatkan sebagai kasus perdagangan anak (mengingat definisi yang digunakan adalah definisi perdagangan orang, sehingga harus memenuhi seluruh unsur, termasuk cara-cara yang digunakan). 165. NGO Koalisi menyayangkan bahwa task force anti perdagangan manusia yang dibentuk oleh pemerintah tidak bekerja secara efektif baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten. Bahkan masih banyak kabupaten dan kota yang tidak memiliki task force. 166.

NGO Koalisi meminta komite hak anak merekomendasikan pada pemerintah Indonesia untuk: a) mengamandemen UU No. 2 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya untuk memberikan definisi tentang perdagangan anak b) Dengan latar desentralisasi, Pemerintah Indonesia perlu menciptakan mekanisme agar koordinasi antar badan, termasuk aparat penegak hukum dari kabupaten satu dan lainnya terjadi mulai dari level pencegahan, penyidikan maupun pemenuhan hak-hak anak sebagai korban; reintegrasi dan pemulihan. 34


c)

membalik paradigma dari memandang anak korban perdagangan sebagai kriminal menjadi korban, termasuk dengan cara memidanakan para pelaku yang memalsukan identitas para korban dan mulai mengidentifikasi pihak-pihak yang potensial melakukan perdagangan anak.

35


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.