RESEARCH BY DESIGN Agustinus Sutanto
RESEARCH BY DESIGN Agustinus Sutanto e-book
`Imaginasi adalah bentuk tertinggi dari sebuah Riset` Albert Einstein
Foto cover : Kowloon Walled City
RESEARCH BY DESIGN
Agustinus Sutanto
Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Program Studi Arsitektur Universitas Tarumanagara Jakarta 2020
“Jika saya memiliki waktu satu jam untuk menyelesaikan masalah, saya akan menghabiskan 55 menit pertama untuk menentukan pertanyaan yang tepat…. dengan pertanyaan yang tepat, saya dapat menyelesaikan masalah dalam waktu kurang dari lima menit.” (Albert Einstein)
in my imagination Sofie, Afira dan Winiera
PENGANTAR Riset itu milik semua manusia, karena semua manusia memiliki daya imaginasi. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk membayangkan (ber-imaginasi), yang berarti merepresentasikan tanpa mengarahkan hal-hal sebagaimana adanya, saat ini, dan secara subyektif. Ketika Albert Einstein menyatakan“Imaginasi adalah bentuk tertinggi dari sebuah Riset.” Albert Einstein ingin mengajak kita semua untuk berani menstimulasi objek-objek baru dengan cara membayangkan. Seseorang dapat menggunakan imajinasi untuk mewakili kemungkinan selain dari yang aktual, untuk mewakili waktu selain dari saat ini, dan untuk mewakili perspektif selain dari miliknya sendiri. Ber-imaginasi adalah inti sebuah riset yang sebenarnya. Adalah tidak tepat bila yang beranggapan bahwa menulis itu hanya milik kalangan akademik, karena banyak tulisan arsitektur dikeluarkan oleh lingkungan universitas. Sedangkan, membangun adalah milik kalangan praktisi, karena melalui kantor arsitektur banyak desain yang diciptakan. Tetapi, dua kondisi ini adalah sebuah dunia arsitektur yang tampak didepan kita. Garis antara riset dan praktis menjadi sangat tegas, sehingga ada semacam `dunia baru` bahwa kalangan akademik menghindari pekerjaan praktis dan praktisi mengelak untuk menuliskan pemikiran dalam tulisan akademik. Mungkin, debat paling menarik yang pernah terjadi dalam perjalanan pengetahuan arsitektur dalam 40 tahun ini, adalah debat antara Christopher Alexander dengan Peter Eisenman pada tahun 1982 dengan : Contrasting Concepts of Harmony in Architecture: An Early Discussion of the "New Sciences" of Organised Complexity in Architecture. Debat ini menjadi menarik bukan karena menampilkan dua tokoh terkenal, tetapi dalam debat ini dihasilkan sebuah perbedaan dalam cara melihat arsitektur. Christopher Alexander yang mewakili kalangan akademik dan sebagai periset serta Peter Eisenman dari lingkungan praktisi, ternyata keduanya memang tidak dapat disatukan dalam cara melihat arsitektur. Melalui debat ini, ada pembelajaran dikotomi pola pikir antara dunia teori dan praksis. Tetapi, debat ini hanyalah sebuah contoh dari bagaimana arsitektur memainkan perannya dalam membangun pengetahuan, dan bahwa kondisi pengetahuan arsitektur selalu dapat dilihat dalam dua pandangan yaitu dunia akademik dan praktis. Research by Design, barangkali adalah sebuah cara yang lebih halus dan lembut, untuk memposisikan daya tawar dari kalangan akademik dan praktisi. Buku yang akan anda baca ini, merupakan tulisan arsitektur yang memberikan dimensi teori-praksis, akademik-praktisi, menulis-menggambar, serta berpikirbertindak. Research by Design, bukanlah diskursus baru dalam wacana arsitektur, tetapi pengetahuan ini, masih menjadi bahan yang jarang didiskusikan di dunia arsitektur di Indonesia. Visi buku ini, adalah ingin membangun pengetahuan baru yang menggabungkan antara teori dan praksis dengan cara menempatkan cara berpikir arsitektur yang lebih berfokus menemukan pengetahuan baru melalui desain arsitektural. Arsitektur melalui gambar (drawing) dan bangunan (building) adalah laboratorium pengetahuan arsitektur yang sangat kaya dan laboratorium ini adalah tempat dimana semua `imaginasi` disemaikan. Tentunya merupakan kehormatan bagi saya, melalui tulisan yang anda baca sudah dapat menjadi sebuah diskursus arsitektur serta dapat bersumbang ide demi kemajuan pengetahuan arsitektur di Indonesia. Jakarta, Mei 2020 Agustinus Sutanto
DAFTAR ISI PENGANTAR PENDAHULUAN
……….
1
Tulisan Pertama : KONSTRUKSI TEORI
……….
3
Tulisan Kedua : RISET – DESAIN – PENGETAHUAN
……….
17
Tulisan Ketiga : PENULISAN AKADEMIK
……….
25
Tulisan Kempat : MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR SANGAT PENTING ?
……….
38
Tulisan Kelima : RESEARCH BY DESIGN
……….
48
Referensi
……….
56
……….
59
Proyek Kedua
: SPIRIT OF LOCALITY - Venice Biennale 2014 ……….
78
Proyek Ketiga
: THE SEVEN SACRAMENTS
97
PROYEK RISET DENGAN DESAIN Proyek Kesatu : THE NEW PASSER BAROE
……….
PENDAHULUAN Research by Design atau Riset dengan Desain bukanlah sebuah kajian yang hanya terfokus tentang nilai kepragmatisan dari arsitektur atau pemikiran ilmiah dari pengetahuan desain dalam arsitektur. Tetapi sebuah diskursus yang menekankan hubungan penting antara riset dan desain sebagai sebuah cara menghasilkan desain yang lengkap secara teori dan praksis. Teori (sebagai teks) adalah sebuah `cara melihat` yang dibangun melalui desain dan praksis adalah sebuah `gambar` yang dihasilkan dalam desain. Antara `teks` dan `gambar` membangun dialog pengetahuan dalam diri mereka, sehingga menghasilkan pengetahuan bagi arsitektur. Mengimajinasikan `riset dengan desain` sama seperti membayangkan `riset dengan laboratorium`. Dalam sebuah laboratorium uji darah akan melakukan tes laboratorium memantau komposisi darah, urin, dan cairan tubuh lainnya serta jaringan untuk tanda-tanda deteksi dini penyakit, atau sebuah laboratorium kesehatan dapat mengukur kolesterol darah dan gula darah, tes untuk anemia, memeriksa protein urin, mengidentifikasi bakteri radang tenggorokan, mempersiapkan darah untuk transfusi, dan rontgen. Bila `riset dengan laboratorium` menempatkan laboratorium sebagai alat ukur untuk data dan menemukan obat untuk menyembuhkan penyakit, maka dalam `riset dengan desain`, desain adalah laboratorium untuk menemukan pengetahuan baru bagi arsitektur. Desain sebagai laboratorium memiliki tiga alat utama didalamnya, yaitu gambar, bangunan dan konstruksi teori. Ketiga alat ini dipakai dalam melakukan uji coba, penyelidikan, kegiatan kerja dan eksperimen, dimana nantinya digunakan untuk melihat bagaimana arsitektur dapat ditelusuri kedalamannya sebagai produk keruangan yang berkaitan dengan desain itu sendiri. Desain sebagai sebuah `laboratorium` untuk riset arsitektural, merupakan sebuah tempat yang `kaya` dengan berbagai macam konfik, kreatifitas dan dinamikanya yang dapat dikembangkan sebagai sebuah pengetahuan. Gambar – bangunan dan konstruksi teori merupakan `mata pisau` yang tajam untuk membedah kedalaman desain, sehingga dapat ditemukan `cahaya` dan `sinar` terang dari keindahan desain itu sendiri. Buku Research by Design ini, merupakan kumpulan tulisan penulis yang sebagian sudah pernah dipublikasikan dalam forum arsitektur dan sebagian merupakan tulisan baru, dirangkai menjadi kesatuan untuk membuatnya menjadi mudah dibaca dan dipelajari. Berbagai referensi yang dipakai penulis adalah informasi sekunder, sehingga berbagai interpretasi penulis dan pandangan penulis ada dalam buku ini. Bagi penulis, hal yang menarik dari diskursus research by design ini adalah bahwa desain dalam arsitektur tidak dilihat hanya sebagai sebuah pekerjaan pragmatis tetapi pekerjaan yang melibatkan teks arsitektur sebagai penyeimbang antara dunia praksis dan teori. Isi buku ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama terdiri dari lima tulisan sebagai tatakan dasar untuk memposisikan pengetahuan riset dalam arsitektur. Tulisan pertama adalah Konstruski Teori memaparkan cara berpikir teori dalam arsitektur dan menyajikan sebuah pemikiran tentang cara mengkonstruksi sebuah teori arsitektur. Tulisan kedua berisi diskusi tentang pengertian Riset, Desain dan Pengetahuan sebagai dasar-dasar penting untuk mengetahui posisi epistemologi dari masing-masing terminologi tersebut. Tulisan ketiga adalah Penulisan Akademik berisi panduan cara-cara menuliskan riset secara terstruktur dan tersimtematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual. Tulisan keempat adalah Mengapa Riset Dalam Arsitektur Sangat Penting ? mendiskusikan bagaiman peran riset dalam arsitektur serta memaparkan betapa pentingnya riset dalam arsitektur. Tulisan kelima adalah Research by Design 1
yang memberikan gambaran tentang penelitian melalui desain dengan berbagai macam sudut pandang didalamnya. Kelima tulisan ini merupakan rangkaian yang saling mengisi dan bertautan serta berfokus pada pembahasan riset dengan desain, menempatkan desain sebagai sebuah laboratorium riset. Tulisan pada bagian kedua ini adalah kolaborasi antara penulis dengan Adelia Andani, seorang penulis arsitektur berbakat dari Universitas Tarumanagara. Bagian kedua dari buku ini, adalah contoh-contoh tentang bagaimana kajian research by design diaplikasikan dalam kegiatan perancangan, yang dikerjakan penulis dengan tim arsitek dari PT MiMa Archilab (sebelumnya adalah GAK architects). Ada tiga contoh yang dipaparkan dalam bagian ini, Proyek Pertama adalah The New Passer Baroe – The Heritage with Sout – A Great Civic Space (2014) sebuah kompetisi arsitektur tentang Penataan Kawasan Pasar Baru. Melalui proyek ini, berbagai diskursus arsitektur dipaparkan seperti teori : pattern language ( bahasa pola), landscape urbanism (membaca struktur layer-layer ruang kota), everydayness (membaca arsitektur keseharian), typology (tipologi), keempat teori ini dipakai sebagai sebuah cara menganalisis konfigurasi keruangan dari Pasar Baru. Proyek Kedua adalah Spirit of Locality – Paviliun Indonesia untuk Venice Biennale 2014. Dalam proyek ini dipaparkan basis teoritikal tentang lokalitas serta bagaimana lokalitas sebagai sebuah konsep desain dapat berperan dalam merepresentasikan citra dan guna dalam desain paviliun Indonesia di Venice Biennale. . Proyek Ketiga adalah sebuah Bangunan Gedung Gereja Katolik Santa Maria di Paroki Kota Bukit Indah, Cikampek yang selesai dibangun 2015 mempersembahkan sebuah tema : The Seven Sacraments – Spirit of Space dimana hasil rancangan ini merupakan dialog antara simbol, bentuk, dan sacred space. Melalui ketiga proyek dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui gambar – bangunan dan konstruksi teori dapat menjelaskan kekuatan desain arsitektur dalam kompleksitas teori dan praksis. Mendiskusikan sebuah desain selalu menarik dan dapat berkembang dalam berbagai sudut pandang, karena mendiskusikan desain bukanlah hanya berkaitan dengan suka atau rasa, tetapi bagaimana desain itu dapat berfungsi dengan baik. Seperti yang diungkapkan Steve Jobs : "Design is not just what it looks like and feels like. Design is how it works." Melalui riset dengan desain diharapkan desain sebagai sebuah laboratorium pengetahuan dapat memberikan kegunaan yang hakiki yaitu bagaimana sebuah desain dapat bekerja demi kebaikan umat manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan. (as)
2
TULISAN PERTAMA
KONSTRUKSI TEORI
3
KONSTRUKSI TEORI
“ Teori adalah jaring yang dilemparkan untuk menangkap apa yang kita sebut 'dunia', untuk merasionalisasi, menjelaskan, dan menguasainya. Kita berusaha untuk membuat jaring ini semakin halus dan halus.” (Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery , p. 59)
PENGANTAR Kita mengenal teori-teori yang banyak berkembang di masyarakat seperti : teori gravitasi yang menjelaskan mengapa apel jatuh dari pohon, astronot melayang di angkasa, atau teori evolusi yang meminjam dari catatan fosil, mengungkapkan mengapa begitu banyak tumbuhan dan hewan, yang ada di bumi sekarang dan di masa lalu, beberapa sangat mirip serta beberapa lainnya sangat berbeda. Keduanya, teori gravitasi maupun evolusi merupakan teori untuk menjelaskan tentang aspek dunia alami yang dapat menggabungkan hukum, hipotesis dan fakta. Sebuah teori tidak hanya menjelaskan fakta yang diketahui, juga memungkinkan ilmuwan membuat prediksi tentang apa yang harus mereka amati. Teori ilmiah dapat diuji dan bukti baru harus sesuai dengan teori. Jika tidak, teori itu perlu disempurnakan atau ditolak. Semakin lama elemen sentral teori bertahan semakin banyak pengamatan yang diprediksi, semakin banyak tes yang dilalui, semakin banyak fakta yang dibentenginya, maka semakin kuat posisi teori tersebut. Dalam arsitektur, misalnya Vitruvius (15 SM) mengidentifikasikan tiga prinsip arsitektur, firmitas, utilitas, venustas, yang diterjemahkan secara konvensional sebagai integritas struktural, utilitas, dan keindahan. Apa yang dikenal sebagai Trilogi Vitruvius ada dalam The Ten Books on Architecture (Buku I, Chap.III, point 2) : “All these must be built with due reference to durability (fimitas), convience (utilitas), and beauty (venustas). Durability will be assured when foundations are carried down to the solid ground and materials wisely and liberally selected; Convenience, when the arragement of the apartement is faultless and presents no hindrance to use, and when each class of building is assigned to its suitable and 4
appropriate exposure; and Beauty, when the work apprence of the work is pleasing and good taste, and them its members are in due proportion according to correct principles of symmetry.” Prinsip Vitruvian (`tiga keyakinan Vitruvian - Trilogi Vitruvius`) dalam teori arsitektural telah mendorong pemikiran untuk dapat memahami prinsip-prinsip (kekuatan/firmitas - kegunaan/utilitas dan keindahan/vernutas) sebagai pembentuk arsitektur yang baik. Sejak Jaman Vitruvius sampai sekarang ini, teori arsitektur terus berkembang. Perkembangan teori dalam arsitektur dapat ditelusuri, sebagai contoh : Gerakan modernis (arsitektur modern) dalam dunia arsitektur diumumkan secara luas, melalui pernyataan dari Louis Sullivan (1896) yang menciptakan motto fungsional dalam ungkapannya "bentuk mengikuti fungsi" - `Form Follow Function` ; Adolf Loos (1913), yang mengecam ornamen sebagai "penjahat" - `Ornamen is Crime`; Le Corbusier (1923), yang menyatakan bahwa karakter arsitektur harus dibentuk oleh kemungkinan teknologi zaman ini - `A House is a machine for living in`. Mies Van Der Rohe (1947) mengungkapkan bahwa kesederhanaan (simplicity) dan kejelasan (clarity) akan mengarahkan kepada desain yang baik -. `Less is More` . Dalam perkembangan lebih lanjut, ada banyak teori arsitektur lainnya yang cukup mempengaruhi dunia arsitektur, misalnya : a) `The Formal Basis of Modern Architecture` (1963) oleh Peter Eisenman yang memfokuskan pada pembahasan bahwa pertimbangan logis dan obyektif dapat memberikan sebuah konseptual bentuk formal. Ketertiban yang berpedoman pada kekuatan geometri dapat menjadi titik acuan untuk segala bentuk arsitektur. b) `Notes on Synthesis of Form` (1964) oleh Christopher Alexander, mengungkapkan pada proses penemuan hal-hal yang menampilkan tatanan fisik, organisasi, bentuk baru, sebagai tanggapan terhadap fungsi. Sebuah bentuk harusnya muncul disesuaikan dengan keperluan dan tuntutan kebutuhan manusia. Teori ini menggambarkan elemen dasar desain dalam bentuk dan konteks, yaitu bentuk adalah solusi untuk masalah serta konteks mendefinisikan masalah. c) `Complexity and Contradiction in Architecture`(1966) oleh Robert Venturi merupakan salah satu teks yang dipakai sebagai sumber dari arsitektur post-modern. Buku ini menekankan bahwa komunikasi arsitektural membutuhkan kompleksitas bukan simplisitas dan bahkan memerlukan kontradiksi. Perlu memperkenalkan kembali sejarah ke dalam wacana arsitektur kontemporer. Slogan dari kaum modernis "less is more" akan menjurus pada "less is a bore". Pendekatan gaya modernis dan pendekatan sosial yang seragam, teknokratik, dan solusi top down telah ditinggalkan. d) `The Language of Post Modern-Architecture` (1977) oleh Charles Jencks, didalam bukunya telah mengalihkan istilah Postmodern dari sastra ke arsitektur. Melalui berbagai kajian tentang arsitektur postmodern, buku ini telah menjadi sumber inspirasi terkuat dalam kajian teoritikal yang berhubungan dengan gaya atau langgam. Bahkan dapat dikatakan bahwa arsitektur mempunyai peran yang penting dalam pergerakan Postmodern sebagai fenomena abad XX e) `Delirious New York : A Restroactive Manisfesto for Manhattan` (1978) oleh Rem Koolhaas menceritakan `perayaan` dan analisis Rem Koolhaas tentang New York, menggambarkan kota ini sebagai metafora untuk berbagai perilaku manusia yang luar biasa. Pada akhir abad kesembilan belas, populasi, informasi, dan ledakan teknologi membuat Manhattan menjadi laboratorium untuk penemuan dan pengujian gaya hidup metropolitan. f) `The Architecture of the City` (1984) oleh Aldo Rossi membahas kota sebagai tempat penyimpanan 'memori kolektif manusia' perlu menjadi bagian penting dari perkembangan arsitektur dan peradaban. Buku ini mencoba untuk tidak berfokus pada sterilitas bentuk atau penolakan terhadap citra gaya dalam arsitektur modern, tetapi melihat sebuah ruang kota sebagai bagian penting dari kemajuan arsitektur. 5
g) `The Philosophy of Symbiosis` (1994) oleh Kisho Kurukawa menempatkan posisi arsitektur dalam cara baru menafsirkan budaya masa kini. Sebuah filosofi yang mengambil namanya dari konsep ekologis dan biologis, ia mengemukakan cita-cita yang dikembangkan dari filsafat dan budaya tradisional Jepang, sambil terus-menerus mengakui kehadiran dunia kontemporer yang multivalen. Berbagai Teori Arsitektur telah banyak berkembang, banyak teori sudah tidak berdiri atas bahasanbahasan tunggal dan terfokus pada diskursus arsitektur. Studi dari ilmu disiplin lain misalnya studi sosiologi dari Henri Lefebvre (The Production of Space) dan studi filsafat dari Martin Heidegger (Being inTime) sangat mempegaruhi pada beberapa pemikiran tentang teori arsitektur keseharian. Pemikiran teori Amos Rapoport dalam House form and Culture sebagai studi budaya banyak dipinjam untuk memperdalam pengetahuan arsitektur dalam hubungannya dengan budaya menghuni. Studi Semiotika sebagai Ilmu tentang tanda berbasis pada Rolland Barthes dan Umberto Eco turut mempengaruhi bahasan tentang peran arsitektur, dimana melihat tanda sebagai bagian kehidupan sosial. Filsafat fenomenologi Arsitektur yang dikembangkan oleh Juhaini Palllasma turut memperkuat hubungan antara persepsi dan arsitektur. Bahkan programming komputasi turut menciptakan hubungan yang kuat terhadap pengetahuan teori arsitektur digital dan studi parametric dalam arsitektur.
TEORI Teori adalah adalah generalisasi (dari hubungan berbagai variabel untuk membangun sistematika) yang menghasilkan pemikiran yang koheren dan teori selalu bekerja dalam konteksnya. Teori mencoba untuk menemukan fakta tetapi bukan untuk mencapai tujuan. Sebagai sebuah `badan `pengetahuan`, teori yang satu dengan teori yang lain dapat saling `mendukung` atau `menjatuhkan` untuk membangun teori baru lainnya. Pernyataan teori umumnya hanya diterima secara "sementara" dan bukan merupakan pernyataan akhir yang konklusif. Hal ini mengindikasikan bahwa teori berasal dari penarikan kesimpulan yang memiliki potensi kesalahan, berbeda dengan penarikan kesimpulan pada pembuktian matematika. Kata ‘teori” secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theorea, yang berarti melihat, theoros yang berarti pengamatan. Melihat dan mengamati berbagai variabel dan melihat bagaimana mereka saling berhubungan untuk melihat fenomena yang ada (misalnya fenomena alam atau sosial). Setelah melihat dan mengamati berbagai variabel tersebut, kita harus mampu untuk menjelaskan, mengendalikan dan memprediksikan berbagai kemungkinan untuk dibangun hubungan yang koheren. Kerlinger mengartikan teori sebagai seperangkat ide, konstruk atau variabel, definisi, dan proposisi yang memberikan gambaran suatu fenomena atau peristiwa secara sistematik dengan cara menentukan hubungan antar-variabel.1 Sementara itu menurut Stephen P. Borrgatti (1996) Sebuah teori adalah penjelasan tentang sesuatu. Ini biasanya merupakan penjelasan tentang kelas fenomena, bukan satu peristiwa tertentu. Teori sering diungkapkan sebagai rantai kausalitas.2 Teori dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode ilmiah. Kerlinger, F. N. (1986). Foundations of behavioral research (3rd ed.). New York: Holt, Rinehart, & Winston. Kerlinger (1986) “a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that presents a systematic view of phenomena by specifying relationships among variables, with the purpose of explaining and predicting phenomena” (p. 9). 2 Bogatti, Stephen P. (1996), Thinking Theoretically, http://www.analytictech.com/mb870/handouts/theorizing.htm ``A theory is an explanation of something. It is typically an explanation of a class of phenomena, rather than a single specific event. Theories are often expressed as chains of causality`` 1
6
Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu (misalnya, benda-benda mati, kejadiankejadian di alam, atau tingkah laku hewan). Sering kali, teori dipandang sebagai suatu model atas kenyataan (misalnya : apabila kucing mengeong berarti minta makan). Sebuah teori membentuk generalisasi atas banyak pengamatan dan terdiri atas kumpulan ide yang koheren dan saling berkaitan. Istilah teoretis dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang diramalkan oleh suatu teori namun belum pernah teramati. Sebagai contoh, sampai dengan akhir-akhir ini, lubang hitam dikategorikan sebagai teoretis karena diramalkan menurut teori relativitas umum tetapi belum pernah teramati di alam. Terdapat kesalahan konsepsi yang menyatakan apabila sebuah teori ilmiah telah mendapatkan cukup bukti dan telah teruji oleh para peneliti lain tingkatannya akan menjadi hukum ilmiah. Hal ini tidaklah benar karena definisi hukum ilmiah dan teori ilmiah itu berbeda. Teori akan tetap menjadi teori, dan hukum akan tetap menjadi hukum. 3 Dalam tulisannya tentang Thinking Theoretically, Stephen P. Borgatti 4 mengungkapkan bahwa untuk membangun teori yang baik harus memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Mechanism or Process : Teori yang baik memiliki elemen dinamis yang memberikan pemahaman tentang proses, mengapa suatu situasi atau kondisi beralih ke situasi atau kondisi lain. Teori yang baik didukung oleh proses yang baik dalam arti sebuah teori bukan hanya sebuah kesimpulan pengamatan tetapi merupakan hubungan kausal yang terintegrasi. 2) Generality : Teori yang baik memiliki nilai keuniversalan untuk diterapkan pada berbagai peristiwa, orang atau situasi tertentu. Teori yang baik bersifat umum sehingga dapat diaplikasikan pada lingkup situasi atau kondisi yang lebih luas. 3) Truth : Pada hakekatnya teori tidak dapat dibuktikan kebenarannya, karena dua alasan: (1) Tidak masalah seberapa teliti kita menguji teori terhadap data, selalu ada kemungkinan bahwa besok akan ada beberapa data yang bertentangan dengan teori. Tidak pernah ada yang dinamakan pengujian terakhir, karena kesempatan pengujian sebenarnya tidak terbatas, dan setiap hasil pengujian berikutnya mungkin saja membuahkan hasil yang berbeda dengan pengujian sebelumnya. (2) Teori hanyalah deskripsi tentang fakta, dan dalam kenyataan suatu fakta tidak hanya dapat dijelaskan oleh satu teori, tetapi oleh beberapa alternatif teori yang memiliki validitas sama. Karena itu, keberlakuan suatu teori selalu bersifat terbatas, relatif dan sementara. Selalu ada cara lain untuk menggambarkan fakta yang sama-sama valid. Dalam pengertian ini, kebenaran bukanlah konsep yang masuk akal. Semua yang tersedia bagi kita adalah deskripsi yang tidak bertentangan dengan fakta yang ada saat ini. 4) Falsifiability : Setiap teori yang dikemukakan oleh manusia tidak seluruhnya sesuai dengan hasil percobaan atau observasi. Teori yang baik memberikan kesempatan untuk `dipersalahkan` artinya Teori yang baik dapat dibuktikan keberlakuannya (tes) melalui eksperimen atau pengumpulan data yang berpotensi bertentangan dengan teori. Tes terhadap teori bukan mencari pendukung kebenaran suatu
3 4
Lihat : https://id.wikipedia.org/wiki/Teori Op.cit
7
teori tetapi tes yang dilakukan dengan prinsip falsifikasi adalah untuk membuka celah, menyangkal, menolak atau membantah teori tersebut. 5 5) Parsimony : Teori yang baik mempunyai rumusan keterkaitan yang jelas, sederhana dan fokus. Teori yang baik mencoba melakukan penghindaran hubungan yang kompleks ketika ada alternatif yang lebih sederhana. Teori seringkali disebut sebagai model, di mana seluruh gagasan yang terkandung di dalamnya dikemas secara sederhana dengan cara menanggalkan hal-hal yang dianggap tidak penting. Kuncinya adalah melalui kesederhanaannya mencoba merepresentasikan bagian-bagian penting dan meninggalkan yang tidak penting dibelakang. 6) Fertility : Teori yang baik mampu membangkitkan banyak implikasi pada berbagai bidang, sehingga dapat melahirkan pengetahuan baru atau cara pengujian teori yang baru. Implikasi terhadap bidang lain bertujuan untuk membangun pengetahuan baru dan memberi kesempatan untuk mewakili kemungkinan untuk menguji teori tersebut dalam pandangan lain. 7) Surprise : Mengacu pada kemampuan teori untuk membuat hal tak terduga dan tak terprediksi. Teori yang baik harus menarik dan membawa cara pemahaman baru. Teori yang baik harus mampu memberikan nilai kejutan sekaligus memberikan kesenangan yang bernilai. Proses teorisasi adalah cara kerja berkesinambungan yang terintegrasi dari : cara berproses - nilai universal - kreasi - falsifikasi - kesederhanaan - berelasi dan kejutan yang pada akhirnya bertujuan untuk dapat menghasilkan teori yang baik. Teori yang baik bukan hanya baik dari segi materi yang dihasilkan, tetapi juga indah dan menyenangkan dalam membuat teori tersebut. Eksplorasi dan eksperimen juga dapat membuat sebuah teori tumbuh subur dan dapat terus berkembang dalam perannya sebagai ilmu pengetahuan yang berguna bagi masyarakat.
PENALARAN TEORI Membangun sebuah teori harus direncanakan secara hati-hati dan teliti, karena ini sangat berkaitan dalam membangun hubungan antara variabel. Pandangan yang sistematis tentang sebuah fenomena yang ditelaah dari berbagai macam variabel memiliki kekuatan untuk dapat : menjelaskan, mengendalikan serta meramalkan suatu gejala. Setiap pernyataan tentang bagaimana suatu teori itu dikonstruksi, sangat disederhanakan, dan hanya mewakili dalam keadaan umum. Ada dua metode penalaran yang dikenal yaitu : Metode Deduktif dan Metode Induktif. 6 Metode Deduktif Metode ini bekerja dari atas ke bawah, artinya adalah cara analisis dimulai dari sebuah kesimpulan umum (generalisasi) lalu diuraikan melalui contoh-contoh kongkrit atau fakta untuk menjelaskan kesimpulan umum
Karl Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji. Teori hanya sebuah hipotesa (dugaan sementara) yang akan terus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak takut menghadapi bantahan, penyangkalan, kritik, penolakan terhadap hipotesa yang dikemukakannya. Bahkan seorang ilmuwan sejati selalu membangun teorinya atas sanggahan dan mengharapkan pembalikan teori yang dibangunnya agar tercapai kebenaran `sejati` 6 http://rahmatsuharjana.blogspot.co.id/2012/09/penjelasan-teori-dan-konstruksi-teori_2.html 5
8
tersebut. Biasanya ada tiga tahapan yang dilalui yaitu : a. Tahapan spekulasi b. Tahapan observasi dan klasifikasi c. Tahapan perumusan hipotesis. Kesimpulan umum terlihat sangat logis didasari oleh apriori (asumsi tentang segala sesuatu), sebelum bertemu dengan pengalaman dan akhirnya mengambil kesimpulan. Kemudian teori itu diuji dengan melakukan eksperimen-eksperimen yang sifatnya ditentukan oleh teori tersebut. Dalam teori semacam ini, mula-mula dirumuskan sekumpulan asumsi-asumsi dasar atau postulat-postulat, dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu yang telah dikenal. Dari asumsi dasar (postulat) ini kemudian dikeluarkan hipotesis atau teorema. Hipotesis ini kemudian diuji, dan hipotesis yang terbukti benar, dipertahankan. Penalaran deduktif selalu berada dalam proses koreksi, dan karena itu meminta banyak dilakukan riset. Masalahnya dengan penalaran semacam ini adalah bila sebagian besar dari asumsi dasar (postulat-postulat) itu tidak benar atau cocok, teori akan menyebabkan dilakukannya risetriset yang sedikit tidak berguna. Berikut contoh untuk memberikan gambaran tentang cara kerja Metode Deduktif `` Masyarakat Indonesia Konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial `` 7 `` Keberhasilan dunia teknologi internet berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat (umum). Teknologi saat ini tidak hanya untuk mempermudah setiap aktivitas manusia (khusus), tetapi secara langsung juga berdampak bagi perekonomian (khusus). Sekarang mau belanja bisa lewat toko online, mau pesan tiket juga bisa secara online, dan mau naik ojek bahkan juga bisa dengan online.`` 8 Cara kerja Metode Deduktif adalah menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku khusus berdasarkan fakta-fakta yang bersifat umum. Kesimpulan Deduktif dibentuk dengan hal-hal umum menuju kepada hal-hal khusus atau yang lebih rendah, atau dari suatu dalil atau hukum kepada hal-hal kongkrit. 9 Metode Induktif Metode Induktif adalah kebalikan dari Metode deduktif. Menurut cara ini, teori-teori menjadi generalisasi generalisasi dari fakta-fakta empiris. Contoh-contoh kongkrit dan fakta-fakta diuraikan terlebih dahulu, baru kemudian dirumuskan menjadi suatu kesimpulan atau generalisasi. Pada metode induktif, data dikaji melalui proses yang berlangsung dari fakta. Penalaran Induktif bekerja dari bawah ke atas, menyusun sistem-sistem (dapat disebut teori-teori mini) yang memperhatikan hasil-hasil riset yang telah berkali-kali diuji. Lalu menyusun sistem-sistem yang lebih tinggi tingkatnya sebagai generalisasi dari teori-teori mini itu, dan akhirnya merumuskan suatu teori yang dapat mencakup semua pernyataan yang lebih rendah tingkatannya. Pendekatan semacam ini mempunyai satu keuntungan, yaitu orang yang merekonstruksi teori itu tidak pernah jauh dari pernyataan-pernyataan yang ‘kebenarannhya’ cukup tinggi. Tetapi ada masalah yang dihadapinya, yaitu cara ini kerap kali menyebabkan timbulnya teori-teori yang rendah tingkatnya. Di antaranya ada yang tidak khas, fungsinya tumpang tindih satu dengan yang lain. Kelebihan dari metode induktif adalah sebagai berikut : 10 1. Metode induktif lebih dapat menemukan kenyataan yang kompleks yang terdapat dalam data. 2. Metode induktif lebih dapat membuat hubungan antara peneliti dengan responden menjadi eksplisit, https://rismarhaesa15.wordpress.com/2015/03/28/pengertian-penalaran-deduktif-dan-induktif-beserta-contoh-dan-ciri-cirinya/ http://caramembedakan.blogspot.com/2016/04/perbedaan-paragraf-deduktif-dan.html 9 Op.cit 10 https://makalah-update.blogspot.co.id/2012/12/pengertian-metode-induktif-dan-metode.html 7 8
9
dapat dikenal dan dipertimbangkan. 3. Metode induktif lebih dapat memberikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada latar lainnya. 4. Metode induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. 5. Metode Induktif memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik. Berikut contoh untuk memberikan gambaran tentang cara kerja Metode Induktif `` Pada saat ini remaja lebih menyukai tari-tarian dari barat seperti breakdance, shuffle, salsa atau modern dance (khusus). Begitupula dengan jenis musik seperti rock, blues atau jazz (khusus). Tarian dan kesenian tradisional mulai ditinggalkan dan beralih mengikuti tren barat (umum). Penerimaan terhadap bahaya luar yang masuk tidak disertai dengan pelesyarian budaya sendiri. Kesenian dan budaya luar pelahan-lahan menggeser kesenian dan budaya tradisonal. ``11 `` Jangan makan saat hendak tidur (khusus), begitulah orang tua dulu menasihati kita. Nampaknya nasihat orang tua dulu memang ada benarnya. Jangan pula banyak ngemil saat sedang sendirian, dan jangan makan dengan berlebihan, serta berhentilah makan sebelum kenyang (khusus). Itulah tips agar tidak mengalami kegemukan (umum).12 Cara Kerja Metode Induktif adalah diawali dengan memaparkan permasalahan-permasalahan khusus (biasanya diiringi dengan pembuktian atau contoh contoh fakta) dan diakhiri dengan kesimpulan yang merupakan penyataan umum.
KLASIFIKASI TEORI ARSITEKTUR 13 Pada bahasan ini, penulis meminjam tulisan Iwan Sudrajat dalam sebuah bahasannya mengenai Teori Arsitektur Nusantara (1999) adalah sebagai berikut : “ Arsitektur sebagai unsur budaya yang bersifat universal mudah ditemukenali, tetapi sangat sulit untuk diteorisasikan. Terminologi “arsitektur” merujuk pada seni / ilmu merancang dan membangun, kualitas formal dan estetik bangunan, sistem konstruksi, metafora dan simbol, dll. Karena itu seperti diungkapkan oleh Hanno Walter Kruft, definisi yang abstrak dan normatif tentang teori arsitektur sangat tidak bermanfaat dan secara historis tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Perdebatan tentang teori arsitektur mudah sekali terjerumus menjadi polemik yang berkepanjangan.” Meskipun demikian, berdasarkan lingkup problematisasinya, teori arsitektur menurut Edward Robbins dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yakni :
https://rismarhaesa15.wordpress.com/2015/03/28/pengertian-penalaran-deduktif-dan-induktif-beserta-contoh-dan-ciri-cirinya/ http://caramembedakan.blogspot.com/2016/04/perbedaan-paragraf-deduktif-dan.html 13 Iwan Sudrajat, Membangun Sistem Teori Arsitektur Nusantara: Mengubah Angan Angan Menjadi Kenyataan, Kumpulan Naskah Terbaik Lomba Penulisan Teori Arsitektur (Ngawangun Ki Nusantara), Arsitektur UNPAR , Bandung. 1999. 11 12
10
1. Theory in Architecture : Kebanyakan teori arsitektur tergolong ke dalam kelompok ini. Theory in Architecture umumnya mengamati aspek-aspek formal, tektonik, struktural, representasional, dan prinsip-prinsip estetik yang melandasi gubahan arsitektur, serta berusaha merumuskan dan mendefinisikan prinsip-prinsip teoritis dan praktis yang penting bagi penciptaan desain bangunan yang baik. Teori yang tergolong dalam kolompok ini cenderung bersifat superfisial, deskriptif dan preskriptif, kurang dilandasi oleh interpretasi dan pemahaman yang kritis dan mendalam. 2. Theory of Architecture : Teori yang tergolong dalam kelompok ini berusaha menjelaskan bagaimana para arsitek mengembangkan prinsip-prinsip dan menggunakan pengetahuan, teknik dan sumbersumber dalam proses desain dan produksi bangunan. Isu pokok di sini bukanlah prinsip-prinsip umum yang memandu desain, tetapi bagaimana dan mengapa arsitek mendesain, menggunakan media, dan bertindak; serta mengapa di antara mereka bisa terjadi keragaman historis maupun budaya. 3. Theory about Architecture : Teori yang tergolong dalam kelompok ini bertujuan menjelaskan makna dan pengaruh arsitektur, mendudukkan arsitektur dalam konteks sosial budayanya, memberikan bagaimana arsitek bekerja sebagai produser budaya, atau memahami bagaimana arsitektur digunakan dan diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, teori ini berusaha menjelaskan bagaimana arsitektur berfungsi, dipahami dan diproduksikan secara sosial dan budaya. Teori yang pertama dan kedua menuntut para teoritikus agar menguasai isu-isu tentang gubahan bentuk, struktur, material, metoda riset dan komunikasi, ekonomi, proses produksi bangunan, dll. Walaupun pengetahuan yang berkaitan dengan pengetahuan tentang arsitektur sebagai proses penciptaan tersebut cukup penting, namun tidak mampu memberikan wawasan yang memadai tentang bagaimana arsitektur berfungsi secara sosial dan budaya, seperti yang ingin diungkapkan oleh teori ketiga. Para pemikir teori yang ingin menjelaskan peran arsitektur dalam realitas kehidupan masyarakat harus menguasai metode untuk meneliti praktek sosial dan budaya, serta menyadari bahwa pengetahuan tentang arsitektur dari perspektif “orang dalam” saja tidak mampu menjelaskan bagaimana arsitektur didefinisikan dan dipahami oleh masyarakat luas.
RAGAM UMUM TEORI ARSITEKTUR 14 Dalam Tulisan yang sama tentang Teori Arsitektur Nusantara (1999), Iwan Sudrajat mengadaptasi pemikiran dari Denis McQuail (1987), Mass Communication Theory: An Introduction tentang Ragam Umum posisi teori yang dapat dipakai sebagai kerangka berpikir tentang arsitektur. Iwan Sudrajat memaparkan : Apabila teori arsitektur dipahami sebagai seperangkat gagasan yang bermaksud menjelaskan atau menafsirkan berbagai fenomena arsitektural, maka secara umum kita dapat membedakan 4 (empat) jenis teori arsitektur, yakni : 1. Teori Sosial Ilmiah (Social Scientific Theory) : Teori Sosial Ilmiah umumnya berupa pernyataanpernyataan (statements) tentang sifat, fungsi dan pengaruh arsitektur dalam rona kemasyarakatan dan nilai sosial budaya tertentu, yang diturunkan secara sistematis dari pengamatan obyektif dan bukti-bukti empiris, dan seringkali berkaitan erat dengan teori sosial ilmiah dari disiplin keilmuan yang lain, seperti: antropologi, arkeologi, sosiologi, sastra, dan lainnya.
14
ibid
11
2. Teori Normative (Normative Theory) : Teori Normatif mempertanyakan tentang bagaimana seharusnya arsitektur berperan dalam rona kemasyarakatan serta nilai sosial budaya tertentu, sehingga pada gilirannya akan mampu mempengaruhi kepekaan apresiasi, evaluasi dan antisipasi terhadap fenomena arsitektur di masa lampau, masa kini dan masa mendatang. 3. Teori Kerja (Working Theory) : Teori kerja sekaligus bersifat praktis dan normatif, berfungsi sebagai pedoman untuk memandu cara kerja mereka yang terlibat dalam proses produksi arsitektur, agar sejalan dan tetap konsisten dengan prinsip-prinsip dan tujuan ideal yang ingin dicapai. Teori kerja bisa dituangkan dalam bentuk tradisi, praktek profesional, norma, rules of thumb, metoda dan teknik. 4. Teori Akal Sehat (Commonsense Theory) : Teori Akal Sehat merujuk pada pemikiran dan gagasan subyektif yang diturunkan dari pengalaman individu, terutama para arsitek, dosen, kritikus dan sejarawan. Teori Akal Sehat umumnya tidak diartikulasikan, tetapi secara implisit mendasari berbagai pandangan, penilaian dan tindakan aktor yang bersangkutan. Keempat Ragam Teori ini menjadi semacam jembatan untuk kita dapat melihat posisi arsitektur dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan lain. Berbagai ragam teori ini memberikan panduan serta batasan untuk cara mmeposisikan teori arsitketur serta menentukan lingkup kerja teori yang akan dibangun.
WILAYAH TEORI ARSITEKTUR Dalam Tulisannya dengan judul The Future Isn`t What It Used To Be 15 , Victor Papanek menjelaskan bahwa dalam sebuah proses desain, seorang arsitek akan bekerja dalam dua cara yang berbeda yaitu: Pertama adalah proses desain dilakukan dengan cara yang sistematis, saintifik, terprediksi juga dapat terkomputerisasi. Pada Proses ini ada prinsip untuk merasionalisasikan desain dengan mengembangkan aturan main (rules), pengelompokan (taxonomies), klasifikasi (classifications) dan prosedur (procedurs). Proses desain mengacu pada cara berpikir secara saintifik, didukung dengan latar belakang teoritikal dan pendekatan ini merespek pada alasan (reason), logika (logic) dan intelektualitas (intellect). Kedua adalah proses desain yang dilakukan dengan cara mengandal perasaan, sensasi dan inspirasi. Proses desain mengacu pada cara berpikir secara seni. Pada proses ini ada prinsip untuk men-subyektifikasikan desain dengan cara mengembangkan intuisi (intuition), romantis (romantism), naluri (insting). Proses desain lebih mengandalkan uji coba (trial and error) dan intuisi dengan mempertimbangkan nilai estetika (subyektifitas) sebagai tujuan utama. Dari pemaparan ini, terlihat bahwa proses desain, baik yang bergerak dalam lingkup saintifik maupun instuisi memberikan konsekwensi yang secara spesifik harus didukung oleh kajian teoritis yang bergerak dalam Wilayah Saintifik dan Wilayah Seni. Arsitektur sebagai sebuah ilmu pengetahuan dan arsitektur sebagai produk desain telah menjadi bagian besar dalam membangun sebuah Lingkungan Binaan. Hubungan antara arsitektur dan lingkungan menjadi bagian penting dari perkembangan arsitektur itu sendiri, karena berkaitan dengan membangun perilaku manusia dalam lingkungan melalui arsitektur. Gary T Moore dalam tulisannya dengan topik New Directions for Enviroment Behavior Research Architecture, 16 memaparkan bahwa ada beberapa acuan penting yang diperlukan untuk membangun hubungan arsitektur terhadap lingkungan, antara lain : a) Kualitas Lingkungan dan kualitas kehidupan. b) Isu tempat yang berkaitan dengan tatanan bangunan dan manusia
Margolin, Victor dan Buchanan, Richard (2000), The Idea of Design - A Design Issues Reader, The MIT Press, London, hal. 56-69. 16http://sydney.edu.au/architecture/documents/staff/garymoore/49.PDF 15
12
sebagai pengguna c) Isu Sosial dan Perilaku. Gary T Moore mengungkapkan bahwa arsitektur mencakup lebih banyak daripada sekedar fungsi. Fungsi dalam arsitektur lebih banyak mengacu pada masalah dimensional, sistem sirkulasi, hubungan kegiatan antar ruangan ataupun jenis kegiatan. Akan tetapi, jangkauan perilaku, psikologi pemakai, kebutuhan dan hubungan dengan masyarakat, perbedaan budaya dan makna dari bangunan, menjadi cara kita dalam memproduksi arsitektur. Dari penjelasan ini, terlihat bahwa arsitektur dalam hubungan dengan lingkungan bukan hanya sekedar arsitektur sebagai bangunan tetapi ada kajian lain yang perlu diperhatikan yaitu dalam Wilayah Perilaku dan Wilayah Environmental. Melalui pemaparan diatas didapat kesimpulan bahwa pengetahuan arsitektur (baca : melalui proses desain maupun arsitektur sebagai bagian dari lingkung bina) memiliki 4 (empat) buah wilayah besar yang bergerak dalam wilayah : 1) Wilayah Teori Saintifik yaitu sebuah wilayah teori yang bergerak dalam kerangka saintifik atau ilmiah. sebagai contoh : teori shape grammar, space syntax, parametric, matematika-geometri, rekayasa teknologi atau teori lainnya yang dibangun atas dasar logika, alasan, sistematis, terprediksi. 2) Wilayah Teori Seni yaitu sebuah wilayah teori yang dibangun berdasarkan subyektifitas perasaan (mengandalkan nilai estetika - intuisi). Sebagai contoh : teori yang berkaitan dengan eksperimental, utopis, collage, painting, paranoid critical method atau teori lainya yang dikembangkan berdasarkan nilai sensasi (perasaan), intuisi dan kreatifitas estetika. 3) Wilayah Teori Perilaku yaitu sebuah wilayah teori yang berpijak pada nilai-nilai perilaku (behavior) manusia dan komunitas. Sebagai contoh : pendekatan partisipasi, bahasa pola, keseharian, fenomenologi, humaniora atau teori lainnya yang berhubungan dengan psikologi arsitektur, persepsi, sosial komunitas. 4) Wilayah Teori Environmental yaitu sebuah wilayah teori yang berhubungan dengan lingkungan. Sebagai contoh : teori green architecture, landscape urbanism, kontekstual atau teori lainnya yang berhubungan dengan nilai lokalitas-globalitas, regionalitas serta spatial urban structure. Keempat wilayah sains, seni, perilaku dan environmental merupakan basis besar pada kajian bidang teori arsitektur. Dalam lingkup kecil sebagai fokus pengetahuan, misalnya teori fenomenologi yang lebih menekankan pada cara melihat fenomena dan mempertanyakan fenomena yang tampak sebagai cara pandang sesorang (sebagai orang pertama). Fenomenologi dapat dikategorikan sebagai sebuah teori yang berhubungan dengan perilaku atau tubuh seseorang. Maka, fokus pengetahuan ini dapat mengembangkan dan memperkuat dirinya sendiri berdasarkan wilayah yang ditempati
PENDEKATAN ANALOGI UNTUK TEORI ARSITEKTUR Wayne O Attoe dalam tulisannya tentang Teori, Kritik dan Sejarah Arsitektur 17 mengungkapkan bahwa dalam memandang arsitektur . para ahli teori seringkali mengacu pada analogi. Berikut ini adalah beberapa analogi yang berulang-ulang digunakan oleh para ahli untuk menjelaskan arsitektur :
17
Snyder, James.C dan Catanese, Anthony J. (1984), Pengantar Arsitektur, Penerbit Airlangga (terjemahan), hal 36-73.
13
1) Analogi Matematis : berkaitan dengan angka-angka (ilmu hitung) dan formasi geometri sebagai contoh adalah` penampang emas` atau `nomor emas` yang sering dipakai sebagai panduan yang tepat untuk rancang arasitektur, yaitu perbandingan 1 : 1,618 2) Analogi Biologis : berhubungan dengan bagaimana sebuah bentuk berhubungan dengan bentuk lain dan tumbuh dan tumbuh dalam hubungan sebagai organisme. Tumbuh secara Organik menjadi kata kunci untuk analogi jenis ini 3) Analogi Romantik : membangun hubungan emosional dari mata pemakai dan pengamat. Untuk membangun rasa emosional ini dapat dilakukan dengan cara menimbulkan asosiasi atau melalui pernyataan yang dilebih-lebihkan. 4) Analogi Linguistik : berkaitan dengan arsitektur sebagai sebuah bahasa. kata-kata yang diatur dalam sistem gramatikalnya akan menjadi sebuah kalimat yang mengandung pengertian. Arsitektur sebagai sebuah bahasa memberikan kesempatan untuk menyampaikan identitasnya melalui elemen-elemen pembentuknya sehingga dapat mengungkapkan ekspresi, karakter, tanda dan kesan yang ingin ditampilkan. 5) Analogi Mekanik : “a home is machine to living in” (rumah adalah sebuah mesin untuk dihuni) oleh Le Corbusier menjadi dasar untuk analogi ini. Bangunan seperti sebuah mesin yang menyatakan apa yang sesungguhnya ada didalamnya. Bangunan harusnya tidak menyembunyikan fakta-fakta ini dengan hiasan hiasan yang tak relevan. 6) Analogi Pemecahan Masalah : berhubungan dengan analisis yang seksama terhadap sebuah kondisi yang dihadapi dan prosedur-prosedur khusus dirumuskan untuk menyelesaikannya. Nilai rasionalitas dan logika menjadi standar yang digunakan dalam membantu proses analisis yang dilakukan. 7) Analogi Adhocis : berkaitan dengan elektisisme yaitu berhubungan dengan menggunakan bahanbahan yang mudah diperoleh untuk menghasilkan arsitektur. Kewajiban arsitek adalah mengkreasikan yang sudah ada menjadikannya sebagai yang terbaik. 8) Analogi Bahasa Pola : mengacu pada pola-pola yang terbentuk dalam sebuah masyarakat dan membaca pola tersebut sebagai sebuah bahasa. Pola-pola yang berulang akan membangun bahasa keruangan dan hubungan perilaku didalam arsitektur. 9) Analogi Dramaturgi : lingkungan buatan adalah sebuah panggung dan arsitek melalui bangunan dan manusia penggunanya mengisi panggung tersebut. Arsitek dapat menyebabkan orang bergerak ke suatu arah atau dari arah lain dengan memberikan petunjuk-petunjuk visual. Kesembilan Analogi diatas, merupakan sebuah cara sederhana untuk mendekatkan diri kepada pendekatan teoretis dan melihat hasil karya arsitektur yang terjadi. Tentunya, kit masih bisa memberikan analisis analogi lainnya diluar sembilan analogi diatas, misalnya Analogi Tektonik berkaitan dengan keindahan hubungan konstruksi, Analogi Poetic berhubungan dengan spatial perception, Analogi Narasi mengacu pada kemampuan membangun cerita keruangan bangunan, Analogi Notasi berkaitan dengan kemampuan membaca diagram dan keruangan. Analogi Data berkaitan dengan kekuatan data sebagai pembentuk keruangan. Analogi social yang memberikan analisis – sintesis terhadap keseharian, Analogi kontekstual yang berkaitan dengan studi tempat dan lingkungan, dll. Tambahan berbagai analogi ini, merupakan sebuah cara untuk melakukan kategori dan alur berpikir dalam membangun konsistensi pembahasan walaupun ruang untuk melakukan interdisipliner dengan berbagai alur lainnya. Kemampuan menyusun kerangka berpikir dengan alur analogi, akan membuka peluang untuk menyusun teoresasi arsitektur serta membantu membuka variabel-variabel yang menyusun arsitektur itu sendiri. 14
KONSTRUKSI TEORI ARSITEKTUR Bagian ini merupakan kesimpulan tentang cara untuk meng-konstruksi sebuah teori arsitektur. Diagram dibawah ini memperlihatkan alur-alur yang harus dilalui untuk dapat mengkonstruksi sebuah teori arsitektur: Diagram Konstruksi Teori Arsitektur Diagram disamping menunjukkan cara kerja menyusun sebuah Kerangka Teori Arsitektur dapat dijelaskan sebagai berikut : Langkah pertama adalah : menentukan metode penalaran yang akan kita pilih : Deduktif atau Induktif. Langkah kedua adalah : memilih problem teori yang ingin kita bahas : Theory IN / OF / ABOUT Architecture. Langkah ketiga adalah : menentukan Ragam Teori yang dapat menunjang keputusan Langkah pertama dan Kedua. Langkah keempat adalah : memilih Wilayah Teori Arsitektur yang sesuai dengan Teori yang akan dikembangkan. Langkah Kelima adalah melihat peluang apakah pendekatan Analogi dapat membantu keputusankeputusan diatas.
Setelah semua tersusun, Langkah keenam adalah melakukan Uji Coba (Test) apakah hasilnya sudah memenuhi kriteria sebuah teori yang baik yaitu : mechanism/process - generality - truth - falsifiability parsimony - fertility - suprise. Diagram diatas adalah panduan untuk membangun sebuah basis teoritikal dalam urutan yang terstruktur, tetapi teori sebagai sebuah cara melihat atau memandang harus diikuti oleh dukungan berbagai macam literatur dan diskusi yang ketat, serta menerima masukan dari berbagai pihak sehingga mampu membuat teori yang disusun, menuju ke diskursus intelektual yang lebih halus atau mendalam. 15
Contoh Diagram Konstruksi Teori
KESIMPULAN Mengkonstruksi sebuah Teori Arsitektur merupakan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan membaca kompleksitas fenomena yang terjadi pada ataupun diluar arsitektur. Perubahan paradigma arsitektur dewasa ini, yang mendoronganya membangun hubungan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, akan memberikan kesempatan untuk membangun sebuah teori arsitektur yang lebih dinamis dan multi disiplin. Mengkonstruksi teori arsitektur menjadi eksplisit dalam aturan main yang konsisten, akan membuat teori tersebut memiliki kekuatan. Kesadaran akan limit (batas) dan nilai prediksi dari kedudukan sebuah teori, secara alami akan menempatkan teori pada posisi yang menguntungkan. Teori yang baik selalu membuka peluang untuk di uji coba (test). Sebuah teori perlu memiliki kejelasan serta menyediakan hubungan yang memiliki kejelasan logika satu dengan lainnya. Teori arsitektur harus memberikan nilai tambah sebagai sebuah sistem reproduksi ilmu pengetahuan, budaya serta memiliki semangat jamannya. Teori arsitektur harus dapat membuka diri, memberikan `celah` bagi pengetahuan lainnya untuk berpartisipasi didalamnya. Teori arsitektur harus bersifat pluralistik dan secara konsisten tampil untuk tidak menyandang label atau identitas tertentu. Seperti diungkapkan oleh Nicholas M. Graham: “Theory is not a luxury, it is a necessity”. (as) 16
TULISAN KEDUA
RISET – DESAIN - PENGETAHUAN
17
RISET - DESAIN dan PENGETAHUAN
Three of knowlegde
` Semua pengetahuan kita dimulai dengan indera, lalu ke pemahaman, dan berakhir dengan akal. Tidak ada yang lebih tinggi dari alasan. ` Immanuel Kant
Kata 'penelitian' - `riset` telah digunakan untuk mencakup berbagai kegiatan, dengan konteks yang sering terkait dengan bidang studi; istilah ini digunakan di sini untuk mewakili studi atau investigasi yang cermat berdasarkan pada pemahaman sistematis dan kesadaran kritis terhadap pengetahuan. Kata ini digunakan secara inklusif untuk mengakomodasi berbagai kegiatan yang mendukung karya orisinal dan inovatif di seluruh jajaran akademik, bidang profesional dan teknologi, termasuk humaniora, serta seni kreatif tradisional, pertunjukan, dan lainnya. Ini tidak digunakan dalam arti terbatas, atau hanya berkaitan dengan 'metode ilmiah' tradisional. 1 Riset dalam arsitektur telah menjadi bagian penting bagi arsitektur untuk membangun dirinya berbasis pada pengetahuan. Hubungan antara riset (sebagai aksi) dan pengetahuan (sebagai reaksi) adalah saling mengikat dan berkolaborasi dan para peneliti arsitektur yang secara langsung menggunakan atau membangun riset dalam konteks desain, memiliki kewajiban untuk mempelajari dengan seksama hal-hal yang berkaitan dengan nilai intelektual yang terkandung dalam pengetahuan arsitektur (dan intedispliner) lainnya. Untuk memperkuat diskursus tentang riset dalam arsitektur, ada tiga pengertian yang perlu diketahui yaitu : riset, desain dan pengetahuan. 2
1 2
https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf lihat : hal 189 Ibid, hal 2 – 7. Disertasi dari Onur Yuncu (doctoral in architecture) yang berjudul Research by Design in Architectural Design Education ( 2008) menjadi sumber utama dalam bagian ini, dengan beberapa tambahan dari penulis.
18
RISET Kata riset atau riset atau research dalam bahasa Inggris, secara etimologis berasal dari kata Prancis kuno "recercher" yang berarti mencari, mencari dengan cermat, mencari kembali, pergi mencari, melakukan perjalanan. Kata ini juga dapat didekati sebagai re-search (re+search) yang memiliki arti `mencari ulang` atau memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu. Meskipun kata tersebut berasal dari akhir abad keenam belas, makna penyelidikan ilmiah terkait dengan kata "riset" mulai ramai dilaksanakan pada pertengahan abad ketujuh belas. Sebagai contoh, Leonardo da Vinci, studinya tentang anatomi, awalnya mengejar pelatihannya sebagai seorang seniman, telah tumbuh pada 1490-an menjadi bidang riset independen (an independent area of research). Ketika matanya yang tajam mengungkap struktur tubuh manusia, Leonardo da Vinci menjadi terpesona oleh figura istrumentale dell 'omo ("figur instrumental manusia").3 Dalam kondisi modern sampai saat ini, bidang riset telah berkembang di berbagai faktor kehidupan bergerak dari bidang kesehatan, mekanikal, sosial, lingkungan, AI, robotic, dll., semua ini terkait dengan gagasan penyelidikan dan akurasi yang bertujuan membangun pengetahuan dan untuk kesejahteraan manusia. Dari kamus kita dapat melihat pengertian riset, sebagian besar digunakan untuk menunjukkan penyelidikan ilmiah atau ilmiah dari suatu subjek. re·search n. 1. Scholarly or scientific investigation or inquiry. 2. Close, careful study. v. intr. To engage in or perform research. v. tr. 1. To study (something) thoroughly so as to present in a detailed, accurate manner. 2. To do research for. re-search – verb (used with object), verb (used without object) to search or search for again. Dalam bahasa Itali , kata riset adalah `ricercar` (juga dieja `ricercare`), yang berarti mencari, berbagi akar etimologis dengan "re-search". Ricercar juga merupakan nama untuk bentuk musik yang menonjol pada abad keenam belas dan ketujuh belas yang sekarang dikenal sebagai `fugue`. `Fugue` pertama dimainkan di Well-Tempered Clavier, adalah pengenalan yang indah untuk dunia musik oleh Johann Sebastian Bach. Sebuah fugue adalah komposisi musik dimana theme (melodi) diperkenalkan, dan kemudian diulang dengan suara lain. Hal ini didasarkan pada eksplorasi motif tunggal yang sebagian besar dilakukan melalui peniruan motif awal. "Persembahan Musik" karya Johann Sebastian Bach dapat dianggap sebagai satu motif, salah satu contoh terbaik `ricercar`. Ricercar menjadi pencarian kemungkinan yang melekat dalam satu motif melalui permainannya. Selanjutnya, ricercar menjadi riset tentang musik melalui melodi. Riset sebagai proses mencari ulang adalah proses penyelidikan sistematis dan mempelajari bahan dan sumber untuk membangun fakta dan mencapai kesimpulan baru. Riset merupakan proses `pemeriksaan yang rajin` untuk menjawab pertanyaan yang diajukan, riset adalah proses mencari jawaban atas pertanyaan spesifik dengan cara yang terorganisir, obyektif, dan andal. Ini berkaitan dengan proses yang sistematis, formal, ketat dan tepat yang digunakan untuk mendapatkan solusi dari masalah atau untuk menemukan dan menafsirkan fakta dan hubungan baru.
3
https://www.britannica.com/biography/Leonardo-da-Vinci/Anatomical-studies-and-drawings
19
DESAIN Kata desain dalam bahasa Inggrisnya `design`, biasanya digunakan sebagai kata kerja dan kata benda. Secara etimologis, kata ini diturunkan dari kata kerja Latin `designare` yang berarti menandai, merancang, mendeskripsikan de + signare yang berarti menandai. Meskipun, dalam penggunaan modern, "desain" memiliki beberapa konotasi sebagai kata kerja atau kata benda, konotasi ini terutama berfokus pada aktivitas perencanaan atau memahami bentuk dan struktur objek dan gagasan niat dalam berpikir. Ketika "desain" dianggap sebagai kata kerja, penekanan pada penciptaan ditambahkan pada gagasan perencanaan dan niat. Dengan afiliasi yang kuat dengan gagasan niat, desain berarti proyeksi menuju masa depan. Meskipun secara umum diterima secara etimologis berasal dari bahasa Latin "de + signare," yang berarti untuk menandai, awalan Latin "de" umumnya menunjukkan pembalikan (seperti dalam menonaktifkan, mencairkan dll). Oleh karena itu, kata desain memperoleh konotasi `kelicikan` dan `penipuan` karena menunjukkan pembalikan penandaan. Setelah membahas makna "desain" dan kata-kata terkait seperti seni dan teknologi dalam beberapa bahasa, Vilem Flusser, dalam The Shape of Things: A Philosophy of Design berpendapat bahwa tujuan dari kegiatan desain adalah "untuk menipu alam melalui teknologi" melalui penciptaan benda-benda buatan. Dia juga menyatakan bahwa, menurut argumen Platonis, mendesain berarti memindahkan bentukbentuk (ide) yang secara teori dapat dipahami ke dunia material. Menurut Plato, selama transfer ini, para seniman dan teknisi `mengkhianati` dan `membelokkan` gagasan. Meskipun penafsiran Flusser tentang gagasan-gagasan Plato dalam karya seniman dan pengrajin tidak secara langsung terkait dengan ruang lingkup riset ini, diskusi ini sangat penting untuk membuka dimensi yang berbeda. dalam pemahaman kata `desain`. Untuk lebih tepatnya, hubungan antara ide-ide dan aktivitas membuat melekat dalam `desain` cukup signifikan untuk memahami apa itu desain. Dari kamus dapat kita temukan definisi desain sebagai sebuah rencana untuk melakukan sesuatu, setiap rencana yang dijalankan harus memiliki tujuan. de·sign, v. tr. a. To conceive or fashion in the mind; invent … b. To formulate a plan for; devise … 2. To plan out in systematic, usually graphic form … 3. To create or contrive for a particular purpose or effect … 4. To have as a goal or purpose; intend. 5. To create or execute in an artistic or highly skilled manner. v. intr. 1. To make or execute plans. 2. To have a goal or purpose in mind. 3. To create designs. n. a. A drawing or sketch. b. A graphic representation, especially a detailed plan for construction or manufacture. 2. The purposeful or inventive arrangement of parts or details … 3. The art or practice of designing or making designs. 4. Something designed, especially a decorative or an artistic work. 5. An ornamental pattern. See Synonyms at figure. 6. A basic scheme or pattern that affects and controls function or development: … 7. A plan; a project. See Synonyms at plan. a. A reasoned purpose; an intent … b. Deliberate intention … 9. A secretive plot or scheme. Often used in the plural. Desain adalah rencana atau spesifikasi untuk menghasilkan objek, sistem, untuk implementasi suatu kegiatan, hasil dari rencana, spesifikasi itu dalam bentuk prototipe, serta produk. Kata kerja untuk mendesain mengekspresikan proses pengembangan suatu desain. Dalam beberapa kasus, konstruksi langsung suatu objek tanpa rencana sebelumnya yang eksplisit (seperti dalam kerajinan, beberapa teknik, pengkodean, dan desain grafis) juga dapat dianggap sebagai kegiatan desain. Desain biasanya harus memenuhi tujuan dan kendala tertentu, dapat mempertimbangkan pertimbangan estetika, fungsional, 20
ekonomi, atau sosial-politik, dan diharapkan berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Contoh utama desain termasuk cetak biru arsitektur, gambar teknik, proses bisnis, diagram sirkuit, dan pola menjahit.4 Gunawan Tjahjono dalam bukunya Metode Perancangan : Sebuah Pengantar untuk Arsitek dan Perancang 5. Kata desain yang dalam bahasa Inggrisnya `design` berasal dari kata latin `signum` yang berhubungan dengan `sec` yang berarti memotong (dengan alat yang bergerigi). `Signum` itu adalah hasil pembuatan takikan dengan alat gergaji diatas sebatang kayu. Dari `signum` berkembang kata kerja `designare` yang berarti menandai – menamai. Kata ini beralih ke kata Perancis Pertengahan `designer` yang berarti merancang.6 Jonathan Hill, dalam artikelnya yang berjudul `Hunting the Shadow - Immaterial Architecture` berpendapat bahwa kata `desain` berasal dari kata Italia disegno yang berarti menggambar. Menurut Jontahan Hill, `diinformasikan oleh teori neo-Platonis yang umum dalam Renaisans Italia, disegno menyiratkan hubungan langsung antara ide dan sesuatu (produk).` Dalam bahasa Itali, desain atau disegno memiliki arti lain yakni sebagai gambar. Dengan demikian, kata desain setidaknya memiliki dua arti; sebagai kata kerja, desain berarti aktivitas mempersiapkan instruksi untuk membuat objek atau bangunan; dan sebagai kata benda, yang bisa berarti instruksi – yang secara khusus berupa gambar – atau karya hasil penerapan instruksi tersebut. Ini menunjukan bahwa desain mengimplikasikan hubungan antara ide dan benda. Jonathan Hill mengutip Giorgio Vasari, yang menggunakan kata disegno ketika mendefinisikan aktivitas pelukis, pematung dan arsitek sebagai desain aktivitas pada abad keenam belas. Menurut Vasari, `desain tidak lain adalah ekspresi dan pernyataan yang terlihat dari konsepsi batin kita dan apa yang orang lain bayangkan dan berikan bentuk pada ide mereka.` Desain = disegno seperti yang diungkapkan oleh Vasari sebagai “seni-seni yang dihasilkan dari pikiran.” Vasari menggambarkan bahwa seni-seni yang dimaksud tersebut berhubungan dengan lukisan, patung, dan arsitektur sebagai arte del disegno. Seni-seni (lukisan, patung, dan arsitektur) ini digambarkan oleh Cesare Ripa sebagai `benda-benda menarik yang memberikan nilai tambah.` Kelihatannya segala bentuk produksi yang berkaitan dengan desain atau disegno selalu mengimplikasikan sebuah pekerjaan seni, sebuah pekerjaan yang berkaitan dengan keinginan manusia untuk menghasilkan benda yang indah melalui kemampuan artistik. Vasari menggambarkan bahwa disegno sebagai sebuah bentuk dalam pikiran dan sebuah bentuk yang sudah terealisasi dalam tangan. Desain atau disegno memberikan pengertian bahwa ada sebuah produk – benda yang dihasilkan melalui olah pikir manusia yang berkaitan dengan keindahan. Disegno digunakan dalam Renaissance untuk mendefinisikan aktivitas pelukis, pematung dan arsitek dan untuk membedakan pekerjaan mereka dari karya pengrajin. Disegno (menggambar) adalah aktivitas utama para seniman dan arsitek sejak zaman Renaissance. Sejak diperkenalkannya kata ini, profesi arsitektur telah berkembang dari menjadi aktivitas kerajinan menjadi aktivitas desain. Kerajinan terikat dengan tradisi sementara desain terkait erat dengan konsepsi. Apa yang penting dalam disegno adalah kata denotasi tautan langsung di antaranya menggambar dan konsepsi. Suatu gagasan dikonstruksi dan disajikan melalui aktivitas menggambar. Dalam definisi ini, kata `desain` digunakan dalam riset ini sebagai kata kerja
4 5
6
https://en.wikipedia.org/wiki/Design
Lihat buku Gunawan Tjahjono yang berjudul Metode Perancangan : Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang, hal.19-22
Lihat : Tulisan keempat dari buku ini : Mengapa Riset dalam Arsitektur Sangat Penting ?
21
yang menunjukkan aktivitas intelektual yang secara sengaja menghasilkan skema sistematis untuk masa depan produksi suatu objek yang diharapkan dapat memenuhi tujuan tertentu. Richard Buchanan dalam Wicked Problems in Design Thinking mengatakan bahwa untuk mendapatkan beberapa gagasan tentang bagaimana desain secara luas mempengaruhi kehidupan kontemporer, ada empat bidang area dimana desain dapat dieksplorasi 7 adalah : (a) Desain dalam area komunikasi simbolik dan visual. Ini termasuk karya desain grafis, seperti tipografi dan iklan, produksi buku dan majalah, dan ilmiah ilustrasi, tetapi telah berkembang menjadi komunikasi melalui fotografi, film, televisi, dan tampilan komputer. (b) Desain dalam area sebagai benda material. Ini termasuk kepedulian terhadap bentuk dan tampilan visual sehari-hari produk-pakaian, benda-benda domestik, alat, instrumen, mesin, dan kendaraan - tetapi telah berkembang menjadi lebih menyeluruh dan beragam penafsiran fisik, psikologis, sosial, dan hubungan budaya antara produk dan manusia. (c) Desain dalam area kegiatan dan layanan terorganisir, yang mencakup kepedulian untuk logistik, menggabungkan sumber daya fisik, peralatan, dan manusia dalam urutan dan jadwal yang efisien untuk mencapai tujuan yang ditentukan. (d) Desain dalam area sistem atau lingkungan yang kompleks untuk hidup, bekerja, bermain, dan belajar. Ini termasuk rekayasa sistem, arsitektur, dan perkotaan perencanaan atau analisis fungsional dari bagian-bagian keutuhan kompleks dan terintegrasi secara keseluruhan. Melalui area yang dilingkupi oleh desain, kita dapat melihat bahwa desain memilki kapasitas yang luas dan menjangkau hampir selulruh perkembangan kehidupan (baca : modern) ini. Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa desain berkaitan dengan menandai, merencanakan dan menggambarkan. Dalam sebuah diskusi perkuliahan dengan Gunawan Tjahjono mengatakan bahwa mendesain itu berkaitan dengan `operasi mental` yaitu bahwa penalaran desain adalah (a) melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran (b) Desain sebagai sebuah rencana harus dikaji, direnungkan dan dipertimbangkan sebelum dilakukan aksi. (c) Desain harus memiliki `ruang` untuk diperdebatkan dan diskusikan.(d) Desain harus memiliki kesimpulan logis. Desain sebagai sebuah aktifitas untuk menandai, merencanakan dan menggambarkan, mengimplikasikan sebagai sebuah tindakan intelektual yang dilakukan dengan hati-hati serta memberikan`ruang` untuk diperdebatkan dengan tujuan akhirnya yang memberi guna dan dapat diterima secara logis.
PENGETAHUAN Kata pengetahuan berasal dari bahasa Inggris `knowledge` secara etimologis berasal dari kombinasi kata kerja bahasa Inggris kuno “cnawan” + `ledge`. Awalan `cnawan` tidaklah jelas pengertian sedangkan akhiran `ledge` memiliki konotasi sebagai kata `aksi – proses`. Pengetahuan adalah hasil dari tindakan mengetahui. Dari kata dasar `tahu`, kata mengetahui mengandaikan aktivitas bertanya, mencari jawaban, mencari informasi. Wujud akhir dari serial aktivitas itu ialah tersedianya informasi-informasi yang terpilih (selected), relevan, berarti (meaningful), berguna (useful), dan melegakan karena menang itu yang dicari dan diinginkan (giving insight or insightful). Kata `knowledge` digunakan sebagai keadaan mengetahui dan produk dari proses belajar, belajar, menyelidiki, atau memahami. Karena ini merupakan bentuk kata benda
Richard Buchanan dalam Wicked Problems in Design Thinking, Design Issues, Vol. 8, No. 2 (Spring, 1992), pp. 5-21, The MIT Press
7
22
dari kata kerja `to know` definisi kata kerja ini sangat penting untuk mendefinisikan `pengetahuan`. Pengetahuan dan tindakan mengetahui adalah subjek dari bidang penyelidikan luas yang disebut epistemology. Definisi kamus dari kamus `to know` dan `knowledge` memberikan landasan di mana diskusi lebih lanjut dapat dilakukan. Secara harfiah, "mengetahui" terkait erat dengan penilaian subjek yang mengetahui tentang kebenaran suatu pernyataan. Ini juga digunakan untuk kenalan kemampuan praktis. know v. v. tr. 1. To perceive directly; grasp in the mind with clarity or certainty. 2. To regard as true beyond doubt. 3. To have a practical understanding of, as through experience; be skilled in. 4. To have fixed in the mind. 5. To have experience of. 6. To perceive as familiar; recognize. 7. To be acquainted with. 8. To be able to distinguish; recognize as distinct. 9. To discern the character or nature of. v. intr. 1. To possess knowledge, understanding, or information. 2. To be cognizant or aware. Kata benda “knowledge” terutama digunakan untuk menunjukkan kondisi mengetahui dan hasil dari proses mengetahui. Dengan kata lain, itu adalah bentuk kata benda dari kata kerja “to know” dan objek dari kata kerja ini, yaitu, apa yang diketahui. Know-ledge n. 1. The state or fact of knowing. 2. Familiarity, awareness, or understanding gained through experience or study. 3. The sum or range of what has been perceived, discovered, or learned. 4. Learning; erudition. 5. Specific information about something. Apa yang umum bagi banyak definisi kamus dari `mengetahui` dan `pengetahuan` adalah bahwa `mengetahui` atau mendapatkan `pengetahuan` adalah suatu proses. Meskipun sumber-sumber pengetahuan adalah masalah utama epistemologi sejak awal filsafat, terbukti bahwa dalam penggunaan umum kata itu, `mengetahui` terkait erat dengan suatu proses, apakah itu pemahaman, pengalaman, penemuan, atau persepsi sederhana . Dalam studi ini, kata kerja `tahu` digunakan dalam dua arti. Pertama, itu adalah pembenaran kebenaran pernyataan tentang sesuatu melalui proses lain seperti persepsi, kesadaran, pemahaman, penyelidikan, pembelajaran, atau pengalaman. Kedua, nilai kepraktisan yaitu kemampuan / keterampilan untuk melakukan sesuatu. Dalam pemahaman ini, kata benda `pengetahuan` digunakan sebagai hasil dari proses mengetahui baik dalam bentuk pembenaran kebenaran atau dalam bentuk kemampuan untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks ini, `pengetahuan` digunakan dalam riset ini dalam arti luas untuk menggabungkan berbagai bentuk proses mengetahui. Dalam sebuah diskusi dengan seorang sahabat – Romo A. Sutiono tentang : Apa itu pengetahuan ?, dia memberikan catatan sebagai berikut : “ Dalam sambutannya pada saat mengawali pendirian universitas di Eropa, Kaisar Karel Agung mengatakan: `Doing what is right is better than knowledge`. Ungkapan ini mengandung kebenaran yang hakiki. Mereka yang mengenyam pendidikan tinggi memang mendapatkan pengetahuan-pengetahuan di berbagai bidang. Tetapi memiliki pengetahuan saja tidaklah terlalu berguna jika orang tidak bisa melakukan apa yang benar, artinya melakukan sesuatu hal yang tepat pada situasi dan kebutuhan yang memang diharapkan untuk dilakukan. Yang terakhir ini berbicara mengenai righteousness, yang pertama berbicara soal akumulasi hal-hal informatif. Yang kedua mengandaikan adanya pengertian atau understanding atau verstehen dalam istilah teknisnya. Jadi bisa dirumuskan 23
demikian: ada yang lebih baik lagi daripada berpengetahuan atau mampu melakukan apa yang benar, yakni berpengertian. Karena pengertian, orang mempunyai daya tahan, berdaya juang, mengerti hidup yang bermakna, berguna dan mendatangkan kebaikan. Karena pengertian, orang bisa “functioning well” dalam segala keadaan: berpikir, merasa, memutuskan dan melakukan secara tepat dan benar. Berpengertian sama dengan memiliki practical knowledge. Bahasa lainnya wisdom atau kebijaksanaan. Itulah tujuan tertinggi yang diharapkan dari orang- orang yang mencari pengetahuan. Jelaslah, tahu saja tidak cukup. Bagaimana kita bisa menghasilkan pengetahuan? Bagaimana menghasilkan practical knowledge?” Romo A. Sutiono melanjutkan : “Pengetahuan bisa dihasilkan dengan melalui studi literatur atau membaca referensi, berdiskusi, mendengarkan ceramah. Practical knowledge didapatkan dari refleksi pribadi, match and link antara kenyataan dan teori-teori. Telah ada upaya untuk mendekatkan keduanya, yakni mendapatkan pengetahuan melalui ekperimen dan riset lapangan melalui metode kualitatif dan kuantitatif. Metodologi yang sangat familiar dalam dunia sosiologi dan antropologi ini disempurnakan dengan prinsip hermeneutik, penafsiran realitas. Memang metode ini identik dengan riset di bidang humaniora. Clifford Geertz mengatakan bahwa paduan metode-metode itu menghasilkan pengetahuan otentik yang mencerminkan kearifan-kearifan setempat, yang tidak lain adalah pengetahuan praktis yang mencerminkan jiwa, roh dan pandangan hidup masyarakat setempat. Jadi, pengetahuan memang bernilai, perlu dicari, perlu strategi. Tetapi ada yang lebih bernilai lagi yakni practical knowledge.”8 Tulisan Onur Yuncu Research by Design in Architectural Design Education ( 2008) ( yang menjadi sumber utama dalam tulisan di bab ini) mengungkapkan bahwa Riset dengan desain (research by design) dipahami sebagai bentuk pengetahuan. Sebagai proses generasi pengetahuan, itu harus dibahas dalam hal hubungan antara kegiatan desain, riset, dan pengetahuan. Dalam konteks riset ini, konsepsi yang berbeda dari ketiga istilah ini merupakan titik awal untuk menyelidiki hubungan antara desain, riset, dan pengetahuan. Ketika penggunaan umum dan definisi istilah desain, riset dan pengetahuan dipertimbangkan, dapat dilihat bahwa tidak perlu untuk mendekati masing-masing sebagai kegiatan yang berbeda dengan dinamikanya sendiri. Kegiatan desain tidak hanya mencakup tindakan membuat tetapi juga konseptualisasi tindakan ini. Riset, di sisi lain, memiliki konotasi yang kuat dengan pembuatan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengeksplorasi lapisan umum dari pengetahuan di antara kegiatankegiatan ini. Riset dengan desain dipahami sebagai bentuk pengetahuan. Sebagai proses menghasilkan pengetahuan, harus dibahas dalam hal hubungan antara kegiatan desain, riset, dan pengetahuan. Konsepsi yang berbeda dari ketiga istilah ini merupakan titik awal untuk menyelidiki hubungan antara desain, riset, dan pengetahuan. Ketika penggunaan umum dan definisi istilah desain, riset dan pengetahuan dipertimbangkan, dapat dilihat bahwa tidak perlu untuk mendekati masing-masing sebagai kegiatan yang berbeda dengan dinamika sendiri. Kegiatan desain tidak hanya mencakup tindakan membuat tetapi juga konseptualisasi tindakan ini. Riset, di sisi lain, memiliki konotasi yang kuat dengan pembuatan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengeksplorasi lapisan umum dari pengetahuan di antara kegiatankegiatan ini. (as)
Romo Agustinus Sutiono ini adalah seorang biarawan yang tinggal di Malang, seorang Doktor Teologi yang sering menjadi teman diskusi saya untuk hal-hal yang bersifat filosofis. Diskusi ini dilakukan tanggal 11 Mei 2020.
8
24
TULISAN KETIGA
PENULISAN AKADEMIK
25
PENULISAN AKADEMIK
“Jika kita tahu apa yang sedang kita lakukan, itu tidak akan disebut riset, bukan?” Albert Einstein
Panduan ini merupakan tulisan untuk melengkapi tradisi penulisan akademik yang sudah ada di lingkungan program studi arsitektur di seluruh Indonesia serta di Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Prodi Arsitektur - Universitas Tarumanagara. Tulisan ini merupakan ringkasan dari dua tulisan utama yaitu: pertama tulisan dari Prof. Billier Hillier yang berjudul WRITING UP and how to go about it (2003) dan kedua tulisan dari Prof. Julienne Hanson dan Prof. Laura Vaughan yang berjudul Notes on How to Write an Academic Paper : MSc Advanced Architectural Studies (revisi 2005) dari The Bartlett School of Architecture University College London. Tulisan ini juga meminjam beberapa referensi untuk mendukung isi tulisan secara keseluruhan, dan diharapkan dapat menjadi tambahan untuk panduan dalam melakukan riset – riset bidang arsitektur dan perencanaan.
PENGANTAR Julienne Hanson dan Laura Vaughan dari Space Syntax Lab – UCL 1 dalam pengantarnya tentang Riset Akademik mengungkapkan bahwa riset bersifat kooperatif, dan semua pihak bergantung pada satu sama lain untuk menghasilkan kemajuan. Gagasan bersifat bebas dan diberikan secara cuma-cuma, sehingga semua memiliki tanggung jawab untuk saling memperlakukan kekayaan intelektual dengan hormat. Oleh karena itu, ada tanggung jawab (moral dan intelektual) pada setiap orang untuk mematuhi peraturan perilaku tertentu, terutama saat menuliskan gagasan dalam bentuk makalah akademik. “Kebiasaan baik yang didapat sekarang akan bertahan seumur hidup,” pesan yang dikemukakan oleh Julienne Hanson dan Laura Vaughan, ini dapat menjadi bagian penting untuk pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan dan riset di lingkungan kita. Julienne Hanson dan Laura Vaughan dalam Notes on How to Write an Academic Paper : MSc Advanced Architectural Studies (revisi 2005) dari The Bartlett School of Architecture- University College London
1
26
Ada banyak jenis penulisan akademik termasuk catatan kuliah, logbook, catatan riset, draft esai, laporan ilmiah, laporan manajemen, laporan periodikal, laporan proyek, artikel jurnal dan buku. Setiap jenis tulisan memiliki tujuan yang berbeda, ditujukan untuk khalayak yang berbeda, serta menggunakan bahasa yang berbeda. Sebagai contoh, garis besar laporan proyek akan ditulis dengan gaya yang berbeda dari sebuah tesis; atau Informasi yang dikandung sebuah artikel jurnal akan berbeda dengan informasi dalam disertasi akhir. Kita sering mendapatkan draft tulisan dari berbagai tingkatan pendidikan (S1-Skripsi; S2-Thesis; S3Disertasi) 2 dengan hasil karya yang baik tetapi belum dipaparkan dengan sempurna. Hal ini disebabkan karena penulisan ini tidak mengikuti peraturan sederhana dalam penulisan akademik. Dampak dari kondisi ini adalah peneliti akan bekerja keras untuk melakukan revisi-revisi terhadap tulisan tersebut. Tentunya, penulisan dalam setiap tingkatan pendidikan memiliki cara pendekatan, gaya intelektual, maupun isi dengan kadar yang berbeda. Tetapi ada beberapa peraturan umum dalam penulisan yang dapat membantu peneliti untuk mempermudah pembaca memahami isi tulisan, dan memberikan fokus pada topik yang diangkat. Menurut Julienne Hanson dan Laura Vaughan, setiap karya riset akademis dalam lingkungan universitas (skripsi - tesis - disertasi) yang diajukan untuk penilaian, perlu dipaparkan secara formal dari segi bahasa, struktur dan pendekatan ilmiahnya. Sumber informasi yang digunakan perlu dilacak dan dipastikan valid secara akademis. Kunci dari riset akademis adalah adanya proses analisis-sintesis yang kritis dalam menanggapi informasi, dan tidak hanya menerima informasi pada nilai minimal. Isi tulisan tersebut juga perlu disusun dan dipaparkan secara konsisten dan holistik. Hal inilah yang mengangkat tulisan ke tingkatan yang lebih tinggi. Kondisi akademis ini akan menghasilkan tulisan yang melampaui tataran deskriptif dan narasi, dan menampilkan sebuah tulisan akademik yang berbobot. Tulisan ini berfokus pada kaidah-kaidah penting yang perlu dilakukan dalam sebuah riset (yang berlanjut pada penulisan akademik) dalam lingkungan Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Universitas Tarumanagara. Secara garis besar, tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberi informasi panduan praktis tentang cara melakukan riset – riset dari sebuah subjek.
APA ITU RISET ? Kata riset atau riset atau research dalam bahasa Inggris, secara etimologis berasal dari kata Prancis kuno "recercher" yang berarti mencari, mencari dengan cermat, mencari kembali, pergi mencari, melakukan perjalanan. Kata ini juga dapat didekati sebagai re-search (re+search) yang memiliki arti `mencari ulang` atau memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu.3 Skripsi dijadikan syarat kelulusan di program S-1 dengan maksud memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan bahwa dia dapat menerapkan langkah-langkah pendekatan ilmiah untuk memperoleh pengetahuan dan melaporkannya secara tertulis. Biasanya, dalam skripsi tidak dituntut adanya sintesis baru atau penemuan baru. Thesis dijadikan syarat kelulusan di program S-2 dengan maksud memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan bahwa dia dapat membuat suatu sintesis baru atau penerapan pengetahuan yang sudah ada, dan melaporkannya secara tertulis. Disertasi dijadikan syarat kelulusan di program S-3 dengan maksud memberikan kesempatan kepda mahasiswa untuk menunjukkan bahwa dia memahami (mengikuti) perkembangan mutakhir pengetahuan ilmiah di bidang ilmunya dan memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu itu melalui penemuan baru yang orisinal yang dilaporkannya secara tertulis. https://dosen.perbanas.id/perbedaan-skripsi-thesis-dan-disertasi/ (diakses penulis pada tanggal 24 February 2018). 3 Pengertian kata riset, dapat dilihat pada Tulisan Kedua buku ini. 2
27
Sebuah tulisan akademik (skripsi - tesis – disertasi) adalah bentuk tertulis dari sebuah riset-riset, karena tulisan akademik adalah sebuah prosedur yang mencoba mencari tahu jawaban atas suatu masalah secara sistematis dan dengan didukung oleh fakta. Meminjam dari tulisan C.R Kothari, riset dalam bahasa umum mengacu pada pencarian pengetahuan, 4 yang berarti berupa penelusuran ilmiah yang sistematis untuk informasi terkait pada topik tertentu. Penyelidikan ini harus dilakukan dengan cermat dalam usaha pencarian fakta baru dalam bidang pengetahuan apa pun (termasuk di dalamnya pengetahuan bidang Arsitektur dan Perencanaan). Beberapa catatan menggambarkan bahwa riset adalah ‘pelayaran’ penemuan, yaitu berkaitan dengan gerakan menyelidiki untuk mencapai pemahaman penuh tentang hal yang tidak diketahui. Upaya untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa pun yang tidak diketahui, dapat disebut sebagai riset. Keingintahuan ini adalah ‘ibu’ dari semua pengetahuan. Beberapa manfaat yang mungkin didapat dalam melakukan riset antara lain : 5 a. Meningkatkan pengetahuan melalui topik tertentu dan pemahaman terhadap sebuah subyek b. Kemampuan mengklarifikasi fakta-fakta untuk mencari gagasan tentang fakta baru dalam rangkaian pengembangan pengetahuan itu sendiri. c. Mengembangkan permasalahan dan menempatkan metode yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi. d. Menghargai kekayaan intelektualitas dari karya-karya riset yang sudah diterbitkan. e. Belajar bekerja secara individual, dalam network (kolaborasi) serta kemungkinan melibatkan masyarakat umum (partisipasi) f. Karena riset adalah sebuah proses `penyelidikan` yang diperluas, maka peneliti mendapat kesempatan untuk mempelajari konsep awal, mengembangkannya melalui hipotesis dan menemukan sesuatu yang berguna bagi ilmu pengetahuan. g. Riset harus memberikan kegunaan bagi kemajuan peradaban manusia, karena sebuah riset harus memiliki visi dan misi yang jelas bagi manusia dan ilmu pengetahuan itu sendiri. h. Sebuah kebenaran memiliki nilai yang relatif tetapi melalui riset nilai kebenaran dapat dibangun. i. Riset akan selalu melibatkan kemajuan teknologi, karena peran teknologi akan sangat membantu dalam memperkuat kemajuan sebuah riset. j. Riset mengajarkan untuk membuat manusia menjadi fokus, konsisten dan sistematis dalam cara berpikir. k. Riset selalu berkaitan dengan sebuah keputusan atas gagasan yang dilontarkan, sehingga pengambilan keputusan yang tepat menjadi sebuah pembelajaran penting dalam sebuah riset. Riset atau penelitian sebagai sebuah proses investigasi yang ketat merupakan penyelidikan intelektual yang memiliki visi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban manusia. Setiap kontribusi yang diberikan pada sebuah karya riset yang berkaitan dengan fakta-fakta, informasi, interpretasi data, peristiwa, tingkah laku subjek, teori, metode dan hukum harus membuka peluang bagi pengembangan penerapan praktis dari pengetahuan itu sendiri
Kothari, C.R. (2004), Reseach Methodology – Method and Techniques, New Age International Publishers. Manfaat dari sebuah riset telah menjadi bagian penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya semua ini harus memberikan kegunaan pada kehidupan manusia.
4 5
28
Tulisan dibawah ini merupakan dua bagian yang mengambil referensi utama dari: pertama adalah tulisan yang mengacu pada Prof. Bill Hillier, dan kedua adalah tulisan oleh Prof. Julienne Hanson dan Prof. Laura Vaughan.
BAGIAN PERTAMA 6 RISET DIMULAI DENGAN PERTANYAAN
Sebuah pertanyaan riset adalah inti yang paling fundamental dari sebuah proyek riset, studi, atau tinjauan literatur. Pertanyaan akan membantu peneliti dalam memfokuskan riset, menentukan metodologi, memandu semua tahap penyelidikan, analisis, dan pelaporan. Bill Hillier mendeskripsikan bahwa hal yang paling penting tentang riset akademik adalah semua riset harus diawali dari sebuah pertanyaan atau pertanyaan-pertanyaan. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah: menjelaskan apa pertanyaannya dan mengapa dipertanyakan. Peneliti tidak perlu mengatakan apa pertanyaan itu dalam kalimat pertama meskipun itu sering merupakan ide bagus - tetapi harus melakukan tugas pertama dalam penulisan, yakni menjelaskan pertanyaan riset kepada pembaca. 'Menjelaskan' pertanyaannya tidak sama dengan hanya mengatakan apa pertanyaannya. 'Menjelaskan' berarti menetapkan pertanyaan dalam konteks akademisnya, sehingga pembaca mengerti mengapa pertanyaan itu menarik. Dalam sebuah riset, pertanyaan riset dapat mulai dimunculkan dalam Pendahuluan (introduction). Pendahuluan dapat dibangun dengan menjelaskan secara singkat keadaan pengetahuan saat ini seputar pertanyaan yang diajukan dan apa masalah utama yang muncul. Sering kali terjadi dalam bab pendahuluan, peneliti mencoba untuk menjelaskan kajian teoritikal dalam lingkup kesenjangan pengetahuan, konflik yang muncul, serta memaparkan metodologi yang digunakan sebagai alat untuk membantu menjawab pertanyaan dengan ‘cara yang baru’. Hal ini lebih sesuai jika dilakukan dalam ringkasan bab tinjauan literatur, karena pendahuluan bukan ditujukan sebagai pengganti untuk tinjauan literatur. Bill Hillier memaparkan, setelah pertanyaan riset diposisikan dalam pendahuluan, maka peneliti perlu menjelaskan gagasan di balik pertanyaan itu sendiri, dan memberi gambaran bagaimana jawabannya dapat ditelusuri. Pertanyaan ini bisa menjadi hipotesis formal atau bisa jadi hanya satu atau lebih dugaan, atau bisa juga diantaranya; bahkan bisa menjadi pertanyaan yang jauh lebih terbuka dan memiliki (sedikit) gagasan mengenai kemungkinan jawaban. Jika ini masalahnya, maka peneliti harus menyatakannya. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah ketika peneliti tertarik dengan sebuah pertanyaan, biasanya ia memiliki beberapa gagasan tentang jawaban seperti apa yang mungkin ia cari, dan jika demikian, ini adalah aspek untuk menjelaskan pertanyaan riset. Tapi jika peneliti belum mengetahui apa jawabannya, maka hal ini tidak menjadi masalah selama ia menyatakannya.
TENTANG PENDAHULUAN
Hal berikutnya yang harus dilakukan dalam Pendahuluan adalah menjelaskan pekerjaan yang telah dikerjakan, misalnya: desain riset, studi kasus dan/atau strategi pengumpulan data, metode analisis dan sebagainya. Semuanya dijelaskan sedemikian rupa untuk membangun relevansi dengan pertanyaan riset agar menjadi jelas. Dengan kata lain, peneliti harus menjelaskan riset-riset yang telah dikerjakan secara jelas dan terstruktur. Jika metodologi yang digunakan sangat inovatif atau menarik, mungkin peneliti memerlukan sebuah bab tentang metodologi dalam tulisan akademiknya (ini sangat mungkin dalam skripsi - tesis - disertasi yang lebih ilmiah, yang cenderung memiliki bagian metodologi 6
Bill Hillier dalam tulisannya yang berjudul WRITING UP and how to go about it (2003), University College London - UK
29
yang terpisah). Sebagai tambahan, dalam sebuah tulisan akademik berbasis ilmu sosial seringkali hal ini dapat dimasukkan ke dalam bab empiris yang relevan. Tetapi, terlepas dengan cara apa peneliti menyajikan hal ini, sebuah pemaparan singkat yang beralasan tentang metode yang digunakan harus disertakan dalam Pendahuluan, dan perujukkan ke bagian selanjutnya dalam teks, di mana nantinya akan terdapat lebih banyak detail, dapat dilakukan seperlunya. Hal terakhir yang harus dilakukan dalam Pendahuluan adalah menjelaskan struktur laporan atau tulisan akademik kepada pembaca, biasanya dengan menulis satu paragraf atau lebih sehingga menjelaskan setiap bab secara bergantian. Penjelasan tersebut meliputi : • Menjelaskan pertanyaan riset dan latar belakangnya, • Menjelaskan gagasan / ide tentang pekerjaan yang dilakukan, • menjelaskan apa yang telah dilakukan, dan • menguraikan struktur (skripsi-tesis-disertasi) secara keseluruhan (bab per bab)
RISET AKADEMIK ADALAH SATU ARGUMENTASI KESELURUHAN
Setelah peneliti menyajikan keseluruhan struktur argumentasi (Pendahuluan) dan satu argumentasi keseluruhan, maka peneliti perlu membangun serangkaian argumentasi dan bukti-bukti yang lebih rinci (melalui bab-bab selanjutnya). Inilah sebabnya mengapa sangat penting bahwa argumentasi keseluruhan ini, dan juga pertanyaan yang diajukan, serta keadaan pengetahuan terkini yang membentuk latar belakang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, semuanya harus dijelaskan dengan jelas dari bagian awalnya. Bukan hanya mengatakan masalah apa yang akan dibicarakan, peneliti juga harus menguraikan bentuk argumentasi sebenarnya yang akan dikerjakan, serta memberi gagasan yang jelas kepada pembaca tentang bagaimana hal itu akan berkaitan dengan isi materi secara terperinci yang dimaksudkan dalam bab per bab. Membangun keseluruhan struktur argumentasi bukanlah hal yang mudah, dan peneliti harus terus menjaga konsistensinya hingga akhir tulisan. Jika pembaca tidak memiliki gambaran tentang bentuk keseluruhan argumentasi sejak awal, maka pembaca akan merasa jauh lebih sulit untuk memahami perkembangan masing-masing bab, dan peneliti sendiri akan merasa kesulitan untuk menyusunnya secara internal. Seperti membaca ruang kota [mengacu pada tata ruang], bagian per bagian tersebut menjadi terangkai sesuai dengan keseluruhannya (part and whole relationship). Hal yang paling vital adalah bahwa di mana pun pembaca berada dalam teks, dia perlu mengetahui bagaimana bagian yang dibaca berhubungan dengan keseluruhan argumentasi. Peneliti harus memastikan hal ini terjadi, dan terkadang perlu juga menambahkan sedikit pengingat untuk pembaca tentang bagaimana kaitan atara yang sedang dibaca dengan keseluruhan narasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Peneliti kemudian harus meninjau literatur (studi literatur), dalam hal ini ada dua hal yang perlu diperhatikan: Pertama, tinjauan literatur harus disusun berdasarkan pertanyaan riset, sehingga pada setiap tahap hubungan antara literatur yang dikaji dan pertanyaan risetnya benar-benar jelas. Kedua, salah satu efek dari literatur harus mengklarifikasi dan bahkan mungkin mengembangkan pertanyaan riset. Jadi pada akhir kajian literatur, pembaca sepenuhnya yakin bahwa memang pertanyaan riset yang diajukan adalah bagus, dimana literatur yang ada tidak memberikan jawabannya, sehingga pembaca sepenuhnya siap mental untuk riset yang akan diikuti.
30
BAB UTAMA
Setelah membuat keseluruhan struktur sejak awal (sangat awal) dalam riset ini, hal berikutnya adalah pembaca harus mengerti bagaimana bab selanjutnya berhubungan dengan keseluruhan. Cara termudah untuk melakukan ini adalah dengan menulis sebuah pendahuluan untuk memulai setiap bab yang menjelaskan secara singkat isi bab ini kepada pembaca: sub-pertanyaan apa yang akan dibahas, bagaimana hal itu sesuai dengan keseluruhan argumentasi (terutama bab sebelum dan sesudahnya), materi apa yang akan dibawa ke dalam bab ini, mengapa mereka dipilih, jenis kesimpulan apa yang akan dicapai, dan seterusnya. Peneliti juga perlu membuat sebuah ringkasan singkat di akhir setiap bab untuk melihat hubungannya dengan sub-pertanyaan / sub pertanyaan-pertanyaan yang dibahas dalam bab ini, serta menjelaskan bagaimana mereka berhubungan dan seterusnya. Hal ini penting dilakukan untuk membantu menjaga pikiran pembaca dalam mengikuti perkembangan logis dari pada argumentasi yang dibangun. Adalah penting untuk tidak menampilkan argumentasi secara berulang-ulang. Peneliti harus berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam menghubungkan argumen dengan pertanyaan. Bab terakhir perlu mencakup ringkasan dan kesimpulan dari seluruh riset, yang mengumpulkan berbagai temuan yang disajikan dalam bab analisis. Peneliti harus dapat menunjukkan bagaimana mereka menjelaskan masalah yang diangkat dalam bab tinjauan literatur. Peneliti harus menyoroti dan memaparkan temuan inovatif atau baru yang didapat, serta menunjukkan bagaimana riset ini dapat dilanjutkan pada proyek-proyek masa depan.
HINDARI MENGGUNAKAN JUDUL YANG BERLEBIHAN
Salah satu perangkat yang sering menghalangi argumentasi yang jelas adalah penggunaan judul yang berlebihan. Judul dapat membantu menyusun dokumen, dan harus digunakan untuk membantu penulis mengetahui bagian mana yang tidak sesuai dengan keseluruhan argumentasi. Memecah argumentasi dengan judul dapat membantu membangun kejelasan, namun teks tidak boleh bergantung pada judulnya. Judul dapat dibantu dengan subteks sejauh untuk menambah kejelasan, tetapi subteks yang berlebihan harus dihindari. Kuncinya adalah jangan dahulukan judul, prioritaskan keterhubungan argumentasi dalam teks, tetapi jadikan judul sebagai alat bantu bagi pembaca untuk menemukan posisinya di dalam tulisan secara keseluruhan.
FOTO – GAMBAR – SKETSA SEBAGAI ALAT BANTU PENJELASAN
Penting untuk diingat bahwa semua foto - gambar - sketsa dan bahan ilustrasi lainnya, secara akurat harus terkait dengan teks, memiliki keterangan penjelasan, dan penjelasan pada bagian yang sesuai dalam teks. Dalam beberapa kasus, cara ini membantu untuk menggambarkan apa yang ditunjukkan oleh sebuah ilustrasi (ini juga membantu pembaca memahami mengapa foto - gambar - sketsa ini disertakan). Peneliti dapat menggunakan foto-gambar-sketsa untuk menambahkan kejelasan pada teks, dan untuk mempermudah pembaca dalam memahami apa yang ingin dijelaskan. Tapi, gambar - foto - sketsa tidak boleh diharapkan untuk membuat argumentasi, hanya untuk memberi contoh dan mengklarifikasi apa yang ada dalam teks. Bila menggunakan gambar - foto - sketsa, peneliti harus mampu menyeleksinya dengan baik agar memiliki hubungan dengan teks secara keseluruhan, dan penempatannya disesuaikan dengan bahasan yang dimaksud. Dengan kata lain, foto - gambar atau sketsa tidak menumpuk disatu halaman, yang membuat pembaca harus bolak balik.
KUTIPAN
Hal yang sama berlaku untuk kutipan. Kutipan tidak boleh digunakan untuk membuat argumentasi, yang harus dilakukan adalah membuat argumen dengan kata-kata sendiri, namun bisa digunakan untuk mengklarifikasi dan memberikan bukti bahwa apa yang peneliti katakan adalah masalahnya. Setiap kali 31
peneliti menggunakan kata-kata atau gagasan orang lain, peneliti harus menjelaskannya di dalam teks yang ditampilkan. Catatan kaki atau referensi saja tidak cukup. Pembaca harus tahu pada saat membaca, kata-kata siapa yang dibaca dan gagasan siapa yang dibaca.
TABEL
Menyajikan sebuah tabel dengan jelas sangat diperlukan dalam sebuah laporan riset. Umumnya, dalam keperluan analisis diperlukan satu tabel data untuk setiap jenis unit analisis. Misalnya tabel kebutuhan ruang seperti standar dan ukuran besaran; tabel energi atau karbon dioksida dalam riset lingkungan; atau tabel analisis bentuk pada kajian tipologi bangunan. Hampir selalu, peneliti harus memberikan pembaca ringkasan data tabel yang mencakup ukuran dan kategori yang digunakan dalam teks. Pembaca akan ingin melihat keseluruhan pola, dan jika peneliti tidak menyajikan keseluruhan tabel, pembaca mungkin menduga bahwa peneliti tidak ingin pembaca melihat terlalu banyak. Peneliti harus mengenalkan dan menjelaskan tabel data, menyajikan tabel data, memilih tabel data kecil untuk menunjukkan poin tertentu. Namun sekali lagi masing-masing harus dijelaskan secara lengkap dalam teks sehingga dasar kesimpulan menjadi jelas.
MENGACU KE DEPAN dan KE BELAKANG
Terkadang dalam tulisan akademik (skripsi - tesis – disertasi), peneliti perlu menyentuh gagasan atau materi yang sama lebih dari satu kali. Bila ini dilakukan, peneliti harus selalu merujuk ke belakang dan ke depan seperlunya untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa semua tahapan analisis merupakan satu kesatuan dalam argumentasi. Jika peneliti tidak melakukan ini, pembaca akan merasa bahwa peneliti tidak dapat mengendalikan semua materinya.
BUATLAH DRAFT SEBAIK dan SELENGKAP MUNGKIN
Dalam lingkungan akademik Universitas, terkadang peserta didik (program sarjana, magister dan doktoral) ‘termotivasi’ untuk meminta pembimbing mereka membaca tulisan riset (skripsi - tesis - disertasi) yang ditulis selama proses pembelajaran, dengan mengatakan : “katakan saja kepada saya jika saya berada di jalur yang benar.” Ini terkadang menimbulkan ‘problem’ bagi pembimbing, karena tugas pembimbing adalah memahami sepenuhnya pekerjaan serta penanganan materi yang terperinci, berkaitan dengan keseluruhan argumentasi. Jadi tidak ada yang namanya bacaan yang cepat, mudah dan santai. Peneliti harus memeriksa draft pekerjaan dengan hati-hati sehingga tidak membebani pembimbing terhadap ‘kesalahan-kesalahan kecil’ yang peneliti lakukan, yang sebenarnya dapat diminimalisir sendiri oleh peneliti. Ada baiknya, pembimbing bertindak sebagai orang yang memeriksa dan pemberi saran tentang kesuksesan strategi dan taktik dari hasil riset yang sudah dilakukan.
PEMBIMBING BENAR-BENAR PERLU MEMBACA DRAFT LENGKAP
Peserta didik (sebagai peneliti) selalu sangat ingin mendapat umpan balik mengenai draft tersebut bab demi bab. Dalam beberapa kasus hal ini mungkin terjadi, namun yang lebih umum ini membuat tugas pembimbing menjadi lebih berat dan kurang efektif, karena tidak mungkin pembimbing membuat keputusan akhir tentang bab-bab di luar konteks keseluruhan tulisan (skripsi - tesis - disertasi). Membaca berdasarkan bab demi bab mengharuskan pembimbing untuk membaca kembali bab-bab sebelumnya untuk membahas bab selanjutnya dalam konteks keseluruhan. Yang penting adalah, bahwa pada tahap tertentu pembimbing mampu bertindak efektif sebagai pemeriksa pertama tulisan peserta didik, dan ini perlu dilakukan untuk melihat keseluruhan tulisan akademisnya. Hal lain lagi, peserta didik memerlukan ‘atasan’ (orang yang kompeten) untuk membantu membacakan tulisannya, dan hampir tidak mungkin untuk pembimbing membaca karya yang sama lebih dari satu kali 32
dengan tingkat perhatian yang sama. Jadi dalam meminta ‘atasan’ (orang yang kompeten) untuk membaca tulisan akademis dapat menjadi jalan tengah yang baik, selama ‘atasan’ tersebut dapat memberikan masukan yang terbaik untuk tulisan akademik ini.
MENDAKI BUKIT
‘Memulai Menulis’ adalah tahap yang paling sulit dalam pembuatan tulisan akademik (skripsi - tesis disertasi). Menulis bukan hanya perihal mengedit berbagai bagian terpisah yang telah ditulis. Tetapi penulis harus fokus mendefinisikan pertanyaan riset, dan benar-benar menganalisis - mensintesiskan semua bagian menjadi narasi intelektual koheren tunggal. Ini sulit, mungkin hal tersulit yang pernah dilakukan. Bill Hilllier menggunakan istilah 'Mendaki Bukit', artinya isi keseluruhan tulisan adalah milik dan tanggung jawab peneliti, setiap tulisan memerlukan upaya intelektual yang serius. Inilah yang membuat skripsi – tesis - disertasi menjadi sulit. Jika tulisan dikerjakan dengan usaha intelektual yang tepat pada saat menulis, maka kemungkinan besar akan sedikit penulisan ulang yang harus dilakukan setelah draft. Jika tidak, maka menulis ulang bisa menyulitkan dan menyita waktu. Cepat atau lambat, BUKIT HARUS DIDAKI!!
CEK AKHIR
Perlu dilakukan Cek Akhir sebelum menyerahakan tulisan akademik yang sudah dilakukan. Seringkali, sedikit lebih banyak pekerjaan di awal dan akhir setiap bab dapat menghasilkan keajaiban, dan ini mungkin akan membantu. Jadi tanyakan pada diri sendiri: “Sudahkah saya membuat keseluruhan narasi intelektual sejelas mungkin? Sudahkah saya menghubungkan materi di setiap bab dengan cukup jelas? Sudahkah saya menghabiskan cukup waktu untuk menjelaskan gagasan orang lain dan relevansi gagasan mereka terhadap tulisan akademik ini?” Dan “apakah saya benar-benar memeriksa semuanya secara detail dan terstruktur secara koheren?”
BAGIAN II 7 Dibawah ini ada beberapa catatan penting yang dikemukakan oleh Julienne Hanson dan Laura Vaughan sebagai cara untuk membuat tulisan akademik agar menjadi terfokus dan terarah.
ARGUMENTASI YANG BERNILAI
Buatlah struktur argumentasi yang jelas, kuat dan konsisten pada saat awal. Setiap Tulisan Akademik mengandung pendahuluan, argumentasi utama, diskusi, serta sebuah kesimpulan. Garis bawahi argumentasi dalam pembukaan, katakan apa yang akan dikerjakan dan katakan apa yang sudah dikerjakan. Ini berarti, secara pasti peneliti memiliki posisi yang sama dengan pembaca serta dapat berinteraksi dengan berbagai gagasan dan mengerti darimana argumentasi itu diajukan.
HINDARI LORONG GELAP
Jangan membawa pembaca berada dalam `lorong gelap` dari setiap gagasan dan argumentasi serta memaksa pembaca untuk menginterpretasikan ulang dari setiap tahapan yang penulis katakan. Ini seperti sebuah sulap, 'menarik seekor kelinci keluar dari topi’ di akhir yang artinya, mengajak pembaca untuk menebak beberapa gagasan atau konsep yang telah disimpan, dan baru akan dikeluarkan pada akhir
Julienne Hanson dan Laura Vaughan dalam tulisannya yang berjudul Notes on how to write an academic paper – MSc. Advanced Architectural Studies (2005 – revision) – The Bartlett School of Architecture-University College London, UK.
7
33
argumen. Ini berarti untuk bisa mengerti tentang isu yang peneliti angkat, pembaca harus membaca secara berulang kali.
BUKAN DIMULAI DENGAN TEORI AGUNG
Mulailah riset dari masalah atau pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya, bukan dari teori `agung`. Salah satu kesalahan yang paling sering diulang adalah dengan menetapkan gagasan teoritis pada awalnya sebagai kerangka kerja umum untuk pekerjaan penulisan ini. Hal ini meningkatkan harapan pembaca bahwa peneliti akan membuat kemajuan dengan masalah teoritis utama ini. Padahal, kemungkinannya adalah penulis tidak akan berinovasi pada tingkat ini, jadi ketika mulai membongkar ide tulisannya, peneliti kesulitan menghubungkannya dengan kerangka yang telah disiapkan. Jika memulai dengan masalah sederhana, peneliti tidak hanya memiliki kesempatan untuk membuat kemajuan dengannya, namun dapat mengejutkan dan menyenangkan pembaca dengan membawa gagasan teoritis untuk dipergunakan untuk menjelaskan masalah yang dimunculkan. Ini adalah penggunaan terbaik untuk teori agung. Ingatlah untuk mengingatkan pembaca kepada fakta bahwa peneliti akan menafsirkan temuannya melalui perspektif teoretis yang dipilih.
SATU IDE
Peneliti hanya perlu satu ide bagus untuk menulis makalah, tetapi untuk itu penulis terlebih dahulu memerlukan suatu ide atau hipotesis. Menyajikan karya orang lain secara deskriptif saja tidak cukup. Peneliti harus menambahkan beberapa pemikiran asli dari dirinya sendiri. Di sisi lain jangan mencoba memecahkan terlalu banyak masalah yang berbeda dalam satu tulisan. Jika peneliti bertujuan untuk mendiskusikan lebih dari satu gagasan di latar depan karya mana pun, kemungkinan besar akan berakhir dengan kekacauan. Jadi, peneliti harus memilih jalur penyelidikan terbaik dan berharap dapat mengangkat masalah relevan lainnya ke permukaan melalui pencariannya.
EMPAT POKOK
Setiap tulisan membutuhkan masalah (yang berbeda di setiap bidang atau area riset), kumpulan data, sekumpulan literatur dan hipotesis. Peneliti tidak bisa mengelola riset tanpa keempatnya. Keempatnya perlu dirancang agar argumen bekerja dengan selaras dan tidak saling bertentangan satu sama lain. Inilah yang disebut desain riset.
IDENTIFIKASI MASALAH
Sebuah bidang studi adalah bidang yang luas – misalnya studi tentang : `hubungan antara segregasi dan kemiskinan`akan berisi banyak kemungkinan bidang riset. Karena itu penting untuk fokus pada apa yang sebenarnya akan dilakukan, dan bagaimana cara peneliti akan memberikan kontribusi terhadap topik tersebut. Peneliti perlu mengidentifikasi masalah secara spesifik dan berharap dapat membuat kemajuan, misalnya dengan membuat sebuah pertanyaan : “Sejauh mana intervensi pemerintah dalam perencanaan dan perancangan berdampak pada tingkat kemiskinan di kota-kota kumuh?” Pada kondisi ini, peneliti akan tahu kapan ia telah mengidentifikasi sebuah masalah, atau lebih tepatnya sebuah pertanyaan, karena pada saat itu peneliti akan dapat melihat bagaimana cara untuk menemukan jawabannya dengan mengacu pada kumpulan beberapa data.
MEMILIH DATA
Jangan pernah mencoba menulis tentang sesuatu tanpa data yang baik, cermat dan representatif untuk menguji gagasan. Misalnya, dalam mengambil data tentang : “tingkat kepuasaan pemakai pada sebuah 34
proyek perumahan.” Maka data yang masuk akan memiliki tingkat variabel yang berbeda. Ada seni dalam pemilihan data guna menguji gagasan, dan penulis harus mengetahui pilihan data seperti apa yang cocok. Jangan memilih data untuk menyamarkan argumentasi yang menjadi fokus tulisan. Jadilah orang pertama yang menemukan kesulitan dalam pilihan data, bukan yang terakhir. Ketidaktelitian dalam analisis data, yang hanya bertujuan menopang gagasan, adalah sebuah ‘kecurangan’ dan bahkan bila tulisan itu lolos begitu saja, peneliti sebenarnya sedang menipu diri sendiri.
STATE OF THE ART
Peneliti selalu harus mencoba mengacu pada tingkat perkembangan ilmu pengetahuan terbaru , seperti perangkat, teknik, atau bidang ilmiah yang dicapai pada waktu tertentu. Ini juga mengacu pada tingkat perkembangan, seperti yang dicapai pada waktu tertentu serta sebagai hasil dari metodologi umum yang digunakan pada saat itu. Sebelum mempresentasikan gagasan, peneliti harus menetapkan pekerjaan dalam konteks, dan menunjukkan bahwa peneliti mengetahui kaitan risetnya dengan orang lain yang bekerja di bidang ini serta pengetahuan yang berkembang saat ini.
HIPOTESIS
Peneliti perlu mengembangkan sebuah hipotesis yang akan diuji. Sebuah makalah sebaiknya dimulai dengan asumsi-asumsi yang masuk akal - katakanlah, bahwa ‘bahwa gereja-gereja bulat lebih progresif dan liberal daripada gereja tradisional persegi panjang yang terorganisir dalam sumbu (axis)’ - ini bukanlah kegagalan, jika selanjutnya peneliti menemukan bahwa bentuk bulat sebenarnya sangat terbatas dan formal dalam penggunaannya. Hal ini justru berhasil, karena peneliti telah menemukan sesuatu yang tidak terduga. Laporkanlah hasil `negatif` atau `samar` tersebut (berarti kedudukan hipotesa mengalami kesalahan setelah diuji).
POSISIKAN DIRI SEBAGAI ORANG KETIGA
Peneliti harus menduduki posisi sebagai orang ketiga, sebagai contoh 'Makalah ini mengacu kepada ..........' bukan 'Saya menulis makalah ini karena ...' Ini mungkin tampak bertele-tele, tapi tujuannya adalah menjauhkan posisi peneliti dengan tulisan itu dengan membuat tulisan tersebut semandiri mungkin. Tulisan-tulisan yang ditulis harus merupakan struktur gagasan independen yang tidak mengharuskan peneliti campur tangan dengan memberikan pendapat, mengungkapkan keyakinan, atau menambahkan klarifikasi.
EVALUASI GAGASAN
Paparkan gagasan sebelum peneliti mengevaluasinya. Dalam tahap awal, peneliti harus berasumsi bahwa pembaca belum mengenal karya yang diacu. Peneliti harus mampu mempresentasikan karya orang lain (sebagai sumber) dengan jelas, sehingga pembaca dapat memberikan penilaian independen mengenai kegunaan dan keterbatasannya. Evaluasi yang peneliti paparkan boleh disetujui atau tidak oleh pembaca, tetapi inti dari semuanya adalah untuk mengendalikan perdebatan dan tidak memberikan pandangan yang bias.
KATAKAN SUMBER IDE
Jika ada sebuah sumber tulisan yang layak disebutkan, itu perlu dikatakan dengan benar. Tidak mengakui sumber adalah bentuk keangkuhan intelektual. Penulis harus selalu mengakui sumber ide dan pengaruhnya terhadap karya tulisan yang dibuat, meskipun terkadang sulit sekali mengatakan dari mana ide berasal, terutama bila bersumber dari sintesis beberapa karya orang lain. Namun peneliti harus berusaha untuk tidak mencuri kekayaan intelektual dari peneliti lain yang tidak dikenal. Hal yang paling 35
buruk adalah menyalin karya orang lain dan berpura-pura itu adalah milik sendiri. Ini adalah plagiarisme dan inilah satu hal yang secara otomatis membuat seorang peneliti gagal. Bahkan, pada titik yang ekstrem peneliti akan mendapatkan sanksi sosial-intelektual. Ini berlaku umum, terutama jika peneliti mengunduh materi dari Internet.
REFERENSI
Setiap peneliti harus bisa memberikan referensi dengan benar, lengkap dengan penulis, judul, penerbit, tempat publikasi, tanggal publikasi dan nomor halaman. Biasakan mencatat referensi pada saat membaca referensi. Salah satu tugas paling menjengkelkan yang dapat dibayangkan adalah mencoba menyusun daftar referensi beberapa saat setelah menyelesaikan semua pekerjaan dan harus mencari kembali ke perpustakaan atau sumber literatur.
GAGASAN BERSIFAT SEMENTARA
Ingatlah bahwa semua gagasan bersifat sementara. Setelah menjelaskan masalah ini, memeriksa literatur, dan menganalisis data, peneliti perlu mendiskusikan temuannya dan menafsirkannya berdasarkan apa yang telah ia katakan sampai saat ini. Bila telah melakukan semua ini, peneliti mungkin bisa mencapai sebuah kesimpulan, tapi mungkin saja, tidak akan pernah bisa membuktikan apapun dan tidak ada yang benar. Peneliti mungkin bisa menunjukkan sebuah hubungan, menyarankan beberapa temuan, menunjukkan kelemahan dalam penulisan (yang harus selalu diakui dan juga termasuk kekuatannya) serta tunjukkan apa yang tampaknya merupakan garis paling menjanjikan untuk riset lebih lanjut.
HINDARI KATA SIFAT dan JARGON
Tujuan tulisan akademik harus meyakinkan dengan argumentasi beralasan bukan dengan perangkat jurnalistik atau penggunaan kata sifat. Peneliti seharusnya tidak mengajukan pertanyaan retoris seperti “siapakah yang seharusnya tidak menjadi orang Indonesia?” Peneliti seharusnya tidak mengganggu pembaca dan mengatakan kepadanya apa yang harus dipikirkan. Sebaiknya peneliti berhenti dan berpikir ulang ketika hendak memperkenalkan gagasan normatif, jangan mempertontonkan kata-kata sulit seperti : 'sukses', 'baik', 'gagal', 'tidak pantas', dan seterusnya, serta jangan gunakan jargon. Sebuah gagasan tidak diukur dengan panjang kata yang perlu diekspresikannya. Seringkali ide terbaik bisa dikatakan dengan sederhana, ini seperti ketika kita meminta sesuatu kepada ibu kita, harus jelas, sederhana serta dimengerti.
BERIKAN CONTOH
Memberikan contoh-contoh dalam tulisan akademik adalah hal baik. Selalu lebih baik berdebat melalui kasus daripada secara abstrak, karena contoh akan memberi pembaca sesuatu yang konkret untuk didiskusikan, sehingga penjelasan tepat sasaran. Hal ini berlaku untuk banyak figur dan gambar mengenai kasus-kasus. Selalu tafsirkan diagram yang digunakan dalam teks, dan sebaliknya jangan pernah membiarkan ruang untuk ketidakcocokan penafsiran muncul antara penulis dan pembaca karena belum dikemukakan semuanya. Peneliti tidak dapat mengasumsikan bahwa pembaca akan melihat sesuatu dengan cara yang sama seperti dirinya.
HOLISTIK TAPI SEKUENSIAL
Argumentasi yang dipaparkan peneliti seharusnya tidak mengandung keraguan, tidak ada pengulangan dan tidak ada penyimpangan dari subjek. Menulis makalah adalah tindakan mengambil jaringan atau matriks ide yang maksimal, dan memotong semua tautan hingga minimum ke hal-hal yang terpenting, untuk merangkai serangkaian gagasan bersama, sehingga jaringan berubah menjadi sekuens. Perlu 36
diingat, meskipun riset sebagai kegiatan dan praktik cenderung bersifat holistik dan parallel - olahan, bacaan merupakan kegiatan sekuensial.
MEMILAH ARGUMENTASI
Tulisan Akademik (skripsi-tesis-disertasi) sebagai kumpulan mata rantai gagasan terkadang banyak yang sulit diikuti, telihat bagus tetapi tidak memiliki hubungan yang jelas antar argumentasi. Memilah atau menyeleksi rangkaian argumentasi yang ada, dan menghilangkan yang tidak perlu akan membuat tulisan akademik menjadi fokus, jelas dan terkendali. Sebagai akhir catatan diatas, Julienne Hanson dan Laura Vaughan mengatakan : “Inilah aturan yang harus kita ingat saat menulis makalah akademik. Mengingat semua catatan diatas, mungkin tidak menghasilkan Hadiah Nobel untuk Sastra, atau bahkan sepotong jurnalistik berharga, tapi mungkin memberi anda kepuasan untuk membuat kontribusi kecil namun sempurna untuk pengetahuan”.
KESIMPULAN Riset adalah bidang pengembangan pengetahuan terpenting dalam sejarah kemajuan peradaban manusia. Ada beberapa prinsip penting yang menjadi landasan sebuah riset, seperti: membangun pengetahuan baru melalui pertanyaan, mengembangkan gagasan yang konsisten, mengkonstruksi dasar-dasar teoritikal serta memilih metode yang tepat serta menghasilkan temuan-temuan riset. Semua ini, menjadi kata kunci yang perlu diterapkan dalam setiap langkah riset. Penulisan Akademik merupakan sebuah laporan tertulis yang merangkum semua kegiatan riset yang telah dilakukan. Sebagai sebuah laporan, penulisan akademik haruslah mengikuti prosedur – prosedur dan aturan dalam penulisan ilmiah, ditulis secara fokus, informatif serta tidak memberikan kebingungankeraguan kepada pembaca, mengikuti standar penulisan dengan kaidah bahasa (Bahasa Indonesia) yang baik dan benar, serta dicetak dalam format (grafis) yang sedap dipandang mata . Tujuan utama dari setiap penulisan akademik adalah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menuliskan hasil pekerjaan risetnya secara terbuka dengan tetap menjunjung kaidah dan etika sebagai peneliti. Ketika peneliti membuatkan laporan risetnya, peneliti memiliki tanggung jawab penuh terhadap hasil seluruh pekerjaannya dan memiliki kepastian bahwa apa yang sudah dikerjakan memberikan kegunaan bagi pembaca. Penulisan Akademik adalah sebuah pekerjaan yang menuntut prosedur yang jelas, karenanya sebuah penulisan akademik memiliki standar-standar operasional umum yang harus diikuti oleh para peneliti. Penulisan Akademik yang baik akan dihasilkan melalui pekerjaan riset yang konsisten, original dan mengusung gagasan baru serta berguna bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Setiap pemaparan dalam penulisan akademik memiliki kekuatan intelektualitas yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara `moral` karenanya penulisan akademik juga menuntut kejujuran dan keaslian dari pemikiran oleh pelaku riset. (as)
37
TULISAN KEEMPAT
MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR SANGAT PENTING ?
38
MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR SANGAT PENTING? 1
‘‘ Hidup tanpa penyelidikan, tidak layak dijalani oleh manusia “ Socrates
PENGANTAR Pada sebuah kata pengantar dalam tulisan akademik `How Architects Use Research – Case Studies From Practice` yang diterbitkan RIBA (Royal Institute of Bristish Architects) di tahun 2014,2 dipertanyakan beberapa hubungan penting antara arsitek dan riset, seperti: Apa yang dipahami para arsitek tentang riset? Bagaimana arsitek menggunakan riset? Kapan dan bagaimana arsitek melakukan riset dalam praktik mereka? Pengetahuan riset apa yang dibutuhkan oleh arsitek dalam merancang? Bagaimana riset memberi nilai bagi arsitek dan klien mereka? Dalam pertanyaan-pertanyaan ini terkandung premis bahwa riset dapat menjadi bagian yang memberikan nilai tambah kepada arsitek dalam olah rancangnya. Sebuah karya arsitektur merupakan sebuah proses berpikir dan mencipta dalam tautan analisis – sintesis – evaluasi yang berkesinambungan, dengan hasil akhir berupa produk arsitektur.3 Proses tautan ini merupakan proses yang dapat ditemui dalam berbagai kegiatan riset, sehingga secara sederhana,
Tulisan ini pernah dipresentasikan pada hari Kamis, 22 Agustus 2019 di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta dalam acara Forum ARCHINESIA#53: `Why Research in Architecture is Essensial`. 2 RIBA Architecture. (2017, Agustus 30). How Architects Use Research. Dipetik Agustus 17, 2019, dari RIBA Architecture.com 3 Lihat Groat, Linda N. dan Wang, W. (2013), Architectural Research Methods (2nd ed.). John Wiley & Sons, inc. hlm. 29 – 32. 1
39
tindakan berarsitektur dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan meriset. Tetapi apakah benar bahwa setiap tindakan berarsitektur adalah kegiatan melakukan riset? Dalam terbitan RIBA lainnya di tahun yang sama, dikatakan bahwa “arsitek, lebih dari profesi lain, menerima keunggulan "pengetahuan dalam praktik", …. Sikap terhadap riset dan pertukaran pengetahuan tampaknya berakar pada pendidikan arsitektur, gaya belajar dan metode komunikasi yang dipilih, terutama visual dan peer-to-peer.”4 Arsitektur harus dapat dilihat sebagai sebuah model produksi yang komprehensif dengan kemampuan menggabungkan teori dengan praksis, bertindak intuitif, dan berpikir saintifik. Arsitektur akan menjadi lebih integratif dan interaktif ketika memiliki keterbukaan terhadap pengetahuan lain. Riset harus dipahami sebagai penyelidikan awal yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pengetahuan bagi arsitektur itu sendiri. Tetapi tentunya hubungan antara riset dan arsitektur tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Untuk semua ini, ada tiga pertanyaan yang akan diajukan dalam tulisan ini, yaitu: (1) Apa itu riset arsitektural? (2) Apa perbedaan dan kesamaan antara: merancang dan meriset? (3) Model pengetahuan seperti apa, yang memberikan peran signifikan terhadap riset arsitektural? Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, gambaran tentang bagaimana riset bekerja dalam arsitektur dapat menjadi bahan kajian dalam merancang arsitektur.
APA ITU RISET ARSITEKTURAL? Untuk mengerti Riset Arsitektural, ada dua kata yang perlu ditelusuri yaitu Riset dan Arsitektur. Kata Riset 5 berasal dari bahasa Perancis re-cercher yang memiliki arti ‘pergi mencari’ – ‘melakukan perjalanan’ – ‘memeriksa dengan cermat’. Kata ini juga dapat didekati sebagai re-search yang memiliki arti `mencari ulang` atau memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu. Selain itu, kata Arsitektur berkaitan dengan pelakunya yang adalah arsitek. Kata arsitek berasal dari bahasa Latin architectus dan bahasa Yunani arkhitektōn, yang berakar pada dua kata yaitu arkhi (chief) – artinya ‘kepala’ – dan tektōn (builder) artinya ‘tukang’. Melalui etimologinya, arsitek memiliki arti sebagai `kepala tukang’, sehingga arsitektur adalah produk yang dihasilkan oleh ‘kepala tukang’. Sebagai seorang ‘kepala tukang’ arsitek menunjukkan status dengan kemampuan memimpin dan memproduksi. Bila kedua kata ini digabung, maka Riset Arsitektural dapat diartikan sebagai produk yang dihasilkan oleh kepala tukang melalui proses mencari. Bagaimana proses mencari tersebut dilakukan? Proses mencari (re-search) ini berkaitan dengan tiga fase penting yaitu: (1) Menemukan masalah dan pertanyaan (Exploratory); (2) Meletakkan kajian teoritikal dan metodologi, serta menyiapkan solusi atas masalah dan pertanyaan (Constructive); (3) Menguji kelayakan suatu solusi menggunakan bukti empiris (Empirical).6 Dalam proses ‘mencari’ ini, teori dan praksis senantiasa bertautan, di mana teori mempersiapkan tatakan awal untuk arsitek memproduksi lewat praksis dan menghasilkan karya arsitektur.7 Lihat RIBA Architecture. (2017, Mei 10). Architects and Research-Based Knowledge: A Literature Review of Knowledge Management Practices. Hlm. 4. 5 Kata Riset telah dibedah dalam dibagian Tulisan Kedua yang berjudul Riset – Desan dan Pengetahuan. 6 Secara Umum sebuah riset berkaitan dengan mengidentifikasikan masalah dan membuat pertanyaan untuk mempersiapkan tahapan teori dan metodologi sebagai basis analisis-sintesis bekerja didalamnya. 7 Theoria (teori) sebagai pengejaran kebenaran dan pengetahuan melalui proses kontemplasi, dan Praxis (praksis/praktik), sebagai pengejaran untuk pengetahuan dan penciptaan melalui tindakan 'membuat'. 4
40
Dalam sebuah kesempatan, Bryan Lawson mencoba melakukan riset observasi kepada dua kelompok mahasiwa pasca sarjana dari bidang saintifik (ilmuwan) dan bidang arsitektur. Kedua kelompok ini diberi kesempatan untuk mengkomposisi pecahan balok kayu modular yang sudah diberikan tanda dan warna.8 Yang menarik dari hasil eksperimen ini, masing-masing grup memiliki cara dan strategi pemecahan masalah yang berbeda. Kelompok saintifik umumnya mengadopsi strategi secara sistematis dalam menjelajahi kemungkinan kombinasi balok, untuk menemukan aturan mendasar yang dapat menciptakan kemungkinan kombinasi. Kelompok arsitek lebih cenderung mengusulkan serangkaian solusi (melalui uji coba), sampai mereka dapat menemukan kombinasi yang dapat diterima. Riset observasi ini menunjukkan bahwa para saintis (ilmuwan) memecahkan masalah dengan analisis, sedangkan arsitek memecahkan masalah dengan uji coba untuk menyelesaikan solusi. Mahasiswa sains belajar melalui teori dan riset yang sifatnya metodik, sehingga hasilnya dapat diterima dengan logika yang bersifat umum dan digunakan oleh orang lain. Tanpa metolodogi yang jelas, solusi yang ditawarkan akan menjadi tidak valid. Sementara mahasiswa arsitektur belajar melalui proses membuat – menerima kritik – memperbaiki, sehingga hasilnya adalah solusi yang spesifik. Seringkali, dalam proses pembelajaran arsitektur di studio, proses mencapai solusi tersebut tidak dipersoalkan. Selama solusi yang ditawarkan dapat menjawab persoalan, maka hasil desain tersebut dapat diterima. Hal ini mencerminkan bagaimana sebuah proses ‘mencari’ dapat dicapai melalui berbagai arah pendekatan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Victor Papanek dalam tulisannya The Future Isn’t What It Used To Be. Dalam wilayah arsitektur (desain), arsitek atau desainer memiliki cara pandang dan kerja yang berbeda dalam menghasilkan produknya. Victor Papanek mengungkapkan bahwa ada dua karakter yang diperlihatkan desainer dalam menghasilkan produknya. Pertama adalah desainer yang berproses secara lebih sistematik, saintifik, terprediksi serta terkomputasi. Para desainer ini mencoba merasionalisasikan desain oleh pengembangan aturan main, taksonomi, klarifikasi dan sistem prosedur, sehingga membuatnya lebih mengarah terhadap kajian saintifik. Pedekatannya lebih berpegang pada hal-hal logika, alasan dan intelektualitas. Kedua adalah desainer yang bekerja mengikuti perasaan, sensasi, kejutan dan intuisi. Produk yang dihasilkan memberikan kedinamisan, nuansa romantis, serta menimbulkan sifat sentimental.9 Kedua karakter ini memberikan gambaran bahwa dunia arsitektur (desain) merupakan sebuah wilayah yang memiliki tautan kerja dalam dimensi yang berbeda. Perbedaan karakter ini merupakan sumber kekayaan intelektual yang dapat memberikan nilai tambah bagi perkembangan ilmu pengetahuan arsitektur itu sendiri. Dalam sebuah tulisannya, Yasraf A. Piliang mempertegas perbedaan mendasar antara dunia sains (ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan dunia desain (arsitektur dan seni), di mana dunia sains mempunyai satuan keilmuan dan objek kajian yang relatif lebih koheren sedang dunia desain adalah bidang yang memiliki satuan keilmuan yang lebih terbuka dan dinamis.10 Meminjam Plato, seni adalah usaha kreatif untuk menghasilkan bentuk yang harmonis, sedangkan matematika menghasilkan kebenaran, dengan kata
Lihat buku Bryan Lawson dalam How Designers Think: The Design Process Demystified. Oxford: Architectural Press. hlm. 4144. 9 Lihat tulisan Victor Papanek dalam The Future Isn`t What It Used To Be, dalam The Idea of Design – A Design Issues Reader, Victor Margolin dan Richard Buchanan (eds.). MIT Press. hlm. 56. 10 Lihat tulisan Yasraf A. Piliang pada Pendekatan dalam Riset Desain: Pelbagai Perkembangan Paradigma, dalam buku Desain, Sejarah, Budaya – Sebuah Pengantar Komprehensif (terjemahan), Karangan John A. Walker. Jalansutra. hlm. vi. 8
41
lain seni adalah Keindahan sedangkan matematika adalah Kebaikan.11 Dirskursus tentang dunia saintifik dan seni merupakan sebuah diskusi panjang, dan Riset Arsitektural menduduki wilayah di antara dua kutub ini. Berpikir secara seni dan saintifik menjadi kata kunci penting untuk dapat mengembangkan pengetahuan riset dalam arsitektur. Dalam pandangan Yasraf A. Piliang, ada dua epistemology dalam desain yang berkaitan dengan riset. Pertama, riset murni yang keluarannya adalah pengetahuan itu sendiri. Kedua, riset terapan atau riset desain yang keluarannya adalah sebuah produk atau objek, yang di dalamnya terkandung pengetahuan secara implisit. Berdasarkan dua keluaran itu, dapat dikatakan bahwa riset dalam desain dapat mempunyai dua tujuan yang berbeda, yaitu memahami (understanding) dan menciptakan (creating).12 Proses memahami (understanding) adalah sebuah proses kontemplasi yang memberikan ruang bagi spekulasi. Proses ini adalah theoria, melihat sesuatu untuk menghasilkan pengetahuan. Sementara, proses menciptakan (creating) berkaitan dengan produk yang dihasilkan yang di dalamnya terkandung nilai kepraktisan. Riset arsitektural memiliki kesempatan terbaik untuk menempatkan diri dalam dunia teori dan praksis melalui arsitek sebagai aktor utamanya, sehingga arsitektur tidak hanya mengambil posisi sebagai sekadar aktivitas produksi, tetapi memberikan ruang bagi arsitektur untuk membangun ilmu pengetahuan.
APA PERBEDAAN DAN KESAMAAN ANTARA MERANCANG DAN MERISET ? Kata merancang memiliki kedekatan dengan kata desain (design). Dua kata ini telah dibedah dan ditelusuri oleh Gunawan Tjahjono dalam bukunya Metode Perancangan: Sebuah Pengantar untuk Arsitek dan Perancang.13 Kata desain yang dalam bahasa Inggrisnya `design` berasal dari kata latin `signum` yang berhubungan dengan `sec` yang berarti memotong (dengan alat yang bergerigi). `Signum` itu adalah hasil pembuatan takikan dengan alat gergaji diatas sebatang kayu. Dari `signum` berkembang kata kerja `designare` yang berarti menandai – menamai. Kata ini beralih ke kata Perancis Pertengahan `designer` yang berarti merancang. 14 Kata perancangan berasal dari kata rancang yang berarti setangkai kayu yang berujung runcing dan mencucukkannya kedalam tanah sebagai tanda, batas atau untuk mengetahui sesuatu yang ada didalam tanah. Merancang berarti memastikan suatu keadaan, untuk itu dalam meruncingkan sebuah kayu diperlukan alat dan cara yang tepat agar keruncingan sebuah kayu sebelum dicucukkan kedalam tanah dapat digunakan dengan baik dalam proses menandai dan membatasi sebidang tanah.
‘Art as the creation of harmonious form whose mathematical relationships participated in the true. The Good and the Beautiful.’ Meminjam artikel jurnal dengan judul: On the Differences between Scientific and Artistic Approaches to Qualitative Research, Elliot W. Eisner, Visual Arts Research, Vol. 29 No. 57, Special Issue Commemorating Our 30th Anniversary (2003), hlm. 5-11. 12 Op.cit 13 Lihat buku Gunawan Tjahjono (2000) yang berjudul Metode Perancangan : Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang. Universitas Indonesia. hlm.19-22. 14 Pengertian desain telah dibahas dibagian Tulisan Kedua : Riset – Desain dan Pengetahuan 11
42
Ilustrasi Rancang : Tanda Hipotetis dan makna kata sumber : buku karangan Gunawan Tjahjono – Metode Perancangan (digambar ulang)
Kata meriset merupakan sebuah kata kerja yang berkaitan dengan melakukan kegiatan penyelidikan dan pencarian. Kata riset telah didefiniskan dengan cara yang berbeda, seperti Kamus Merriam-Webster yang mendefiniskan riset sebagai penyelidikan atau pemeriksaan yang teliti yang ditujukan pada penemuan dan penafsiran fakta; John W. Creswell yang menyatakan bahwa riset adalah proses pencarian dengan mengumpulkan dan menganalisis informasi untuk meningkatkan pemahaman tentang suatu topik atau masalah. Prosesnya terdiri dari tiga langkah: mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan, serta menyajikan jawaban untuk pertanyaan tersebut;15 atau Leedy yang menyatakan bahwa riset adalah sebuah proses yang tersusun secara sistematis meliputi pengumpulan data dan analisis data atau informasi dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai fenomena yang menjadi perhatian atau yang sedang diamati.16 Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa meriset adalah sebuah proses penyelidikan untuk menjawab pertanyaan atas masalah yang dihadapi, dan dilakukan dalam tautan analisis-sintesis yang tersusun secara sistematis, dengan tujuan penemuan pengetahuan. Merancang dan meriset memiliki dimensi yang bergerak dalam wilayahnya masing masing. Meminjam tulisan Gunawan Tjahjono,17 ada beberapa perbedaan yang dapat ditemui yaitu: Merancang adalah kegiatan yang menghasilkan rangkaian instruksi (dalam bentuk denah, notasi musik, spesifikasi, dst.) untuk dilaksanakan, yang dalam pelaksanaannya akan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Merancang J.W. Creswell (2008). Educational Research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research (3rd ed.).Pearson. 16 Paul D. Leedy, Jeanne E. Ormrod (2005). Practical Research: Planning and Design a Research. (8th ed.). Pearson. 17 Lihat buku Gunawan Tjahjono (2000) hlm.21-28. Saya mencoba mengganti posisi Ilmu Pengetahuan sebagai hasil dari meriset, karena secara mendasar tindakan meriset memiliki tujuan untuk menghasilkan pengetahuan. 15
43
adalah kegiatan yang bisa berulang tetapi selalu harus menghasilkan sesuatu yang baru. Merancang berkaitan dengan dunia ide yang harus diimplementasikan menjadi produk. Merancang berhubungan dengan masalah yang sulit terdefiniskan (ill-defined) dan pelik (wicked). Merancang berhadapan dengan dunia ‘tiruan’ yaitu sebuah tumpukan kompleksitas masalah yang dihadapi. Sementara meriset adalah kegiatan yang menjawab pertanyaan atas permasalahan yang diangkat dan hasilnya berupa pengetahuan. Meriset adalah kegiatan yang berbasis pada prosedur yang jelas yaitu langkah-langkah metodis dan logis sehingga menghasilkan sesuatu yang objektif. Kegiatan meriset berhubungan dengan fakta dan melakukan penyelidikan atas fakta yang dihadapi. Riset berhadapan dengan fenomena (sesuatu yang terlihat) dalam dunia yang alami dengan masalah yang dapat diujicobakan. Di antara perbedaan ini, terdapat kesamaan antara merancang dan meriset, yakni bahwa kedua kegiatan ini dilakukan dengan sadar, memiliki tujuan dan perhitungan sehingga di dalamnya perlu melibatkan berbagai pengetahuan untuk memperkuat tindakan yang dilakukan. Riset arsitektural adalah kegiatan yang berjalan dalam dua wilayah ini, dimana tindakan berarsitektur tidak hanya terfokus pada olah rancang tetapi memiliki semangat olah riset didalamnya. Kondisi ini dapat dibayangkan sebagai dialog antara ‘baru’ dengan ‘bagus’. Merancang tidak harus baru, tetapi harus memberikan sesuatu yang bagus sehingga memiliki nilai guna. Meriset tidak harus bagus, tetapi harus memberikan nilai kebaruan untuk kemajuan pengetahuan. Ketika dua wilayah ini bertemu dan memainkan perannya dalam produk arsitektur, maka olah rancang harus mampu menghasilkan ide-ide baru, dan pada titik yang sama, olah riset akan memecahkan masalah yang dihadapi. Keduanya berpadu dan saling bergerak secara koheren untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan bagus.
MODEL PENGETAHUAN SEPERTI APA YANG MEMBERIKAN PERAN SIGNIFIKAN TERHADAP RISET ARSITEKTURAL? Dalam artikelnya Architectural Research: Three Myths and One Model 18, Jeremy Till mengungkapkan bahwa ada tiga ‘mitos’ yang berkembang di sekitar riset arsitektur, dan telah menghambat kemajuan riset di bidang arsitektur, yaitu : Mitos 1 - ARSITEKTUR HANYA ARSITEKTUR: adalah anggapan bahwa arsitek dengan arsitekturnya adalah sebuah dunia intelektual yang tidak dapat digugat oleh yang lainnya, semacam pendapat bahwa: “Anda tidak dapat memahami bagaimana kami bekerja.” Mitos ini sudah terlalu lama digunakan sebagai alasan untuk menghindari riset dan secara bersamaan membangun ketergantungan pada kekuatan kreativitas. Mitos bahwa arsitektur hanyalah arsitektur, dibangun atas pengertian bahwa seorang arsitek adalah jenius dan memiliki otoritas penuh terhadap olah rancangnya, pada akhirnya, ini akan mengarahkan pada marginalisasi arsitektur. Mitos 2 – ARSITEKTUR BUKAN ARSITEKTUR: Mitos kedua bekerja bertentangan dengan yang pertama dan berpendapat bahwa untuk memantapkan dirinya sebagai pengetahuan yang kredibel dan 'kuat', arsitektur harus beralih ke disiplin yang lain sebagai sebuah otoritas. Riset arsitektur telah mengklamufasekan diri dalam wacana lain yang terbentang sepanjang garis seni, sains dan sosial budaya dalam usaha melegitimasi diri di belakang wacana lain tersebut.
18
Lihat Jeremy Till (2007). Architectural Research: Three Myths and One Model. Dipetik Agustus 17, 2019, dari Jeremy Till
44
Mitos 3 – MERANCANG BANGUNAN ADALAH RISET: Mitos ini percaya bahwa mendesain bangunan adalah sebuah riset, ini memiliki arti bahwa pengetahuan arsitektur berada pada objek yang dibangun. Arsitektur melebihi bangunan sebagai objek, sama seperti seni melebihi lukisan itu sebagai objek. Oleh karena itu riset arsitektur harus memiliki wilayah yang lebih luas. Bangunan ‘baik’ belum tentu merupakan hasil riset yang baik, dan riset yang baik mungkin mengarah ke bangunan ‘buruk’. Arsitektur sering digambarkan sebagai 'baik' karena cocok, sesuai selera, serta menjawab berbagai kebutuhan. Arsitektur melalui bangunannya, harus menghasilkan energi bagi pengetahuan, diperlukan pemahaman atas proses produksinya serta melihat bagaimana produk ini bekerja setelah selesai. Tentang tiga mitos ini, Jeremy till mengatakan bahwa arsitektur memiliki basis pengetahuan dan prosedur tertentu. Kemampuannya dalam menentukan konteks, ruang lingkup dan mode riset adalah hal yang penting. Seperti yang telah terlihat, kedudukan arsitektur harus memberikan nilai tambah bagi pengetahuan dan praktik arsitektur, sehingga menjadi integratif dan melintasi batas-batas epistemologis. Bangunan sebagai produk fisik berfungsi dalam sejumlah cara yang independen tetapi interaktif – mereka adalah entitas struktural, mereka bertindak sebagai pengubah lingkungan, mereka berfungsi secara sosial, budaya, politik dan ekonomi. Oleh karena itu, riset arsitektural harus sadar akan interaksi ini, melintasi bidang intelektual lainnya serta menempatkan arsitektur untuk dapat bernegosiasi dengan kondisi yang dihadapi. Christopher Frayling mengembangkan tiga lingkup riset untuk mengatasi hubungan spesifik antara desain dan riset. Tiga lingkup ini adalah research into design, research through design, research for design. Riset 'into' adalah praktik riset paling mudah, yaitu dengan mengambil arsitektur sebagai subjeknya. Misalnya dalam riset sejarah, atau studi penjelasan tentang kinerja bangunan. Riset 'through' adalah praktik riset berbasis pada proses desain, apa yang dicapai dan dikomunikasikan melalui aktivitas desain sebagai bagian dari metodologi riset itu sendiri. Riset 'for' adalah praktik riset tentang produk yang dihasilkan dan manfaat produk tersebut. Hasilnya ditujukan khusus untuk masa depan, termasuk pengembangan bahan, tipologi, dan teknologi baru.19 Pembagian lingkup dalam hubungan antara riset dan desain telah menunjukkan posisi pengetahuan yang jelas dalam memaknai hubungan meriset dan berarsitektur (mendesain). Sebuah makalah yang diterbitkan oleh RIBA, memaparkan cara bagaimana arsitek memahami riset. Arsitek sebagai Praktisi dapat terlibat dengan riset dalam sejumlah melalui sejumlah cara: 20 - Pengetahuan riset (research knowledge) – adalah subyek dari riset, misalnya pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) atau pengetahuan tentang bahan yang akan digunakan dalam sebuah konteks yang spesifik. - Proses Riset (research processes) – adalah cara meriset untuk menemukan pengetahuan, misalnya : data tapak, kunjungan proyek, preseden proyek dan percobaan material. - Sumber-Informasi riset (research resources) - adalah cara mengakses pengetahuan misalnya : artikel jurnal, preseden karya, buku dan situs web.
Lihat Christopher Frayling (April 1993) dalam Research in Art and Design, Royal College of Art Research Papers 1 No.1. Lihat RIBA Architecture. (2017, Agustus 30). How Architects Use Research. Dipetik Agustus 17, 2019, dari RIBA Architecture.com
19 20
45
Ilustrasi Diagram : hubungan antara pengetahuan, proses dan sumber informasi
Dari diagram ini, terlihat hubungan antara: subyek riset untuk membangun pengetahuan; proses untuk menemukan pengetahuan; serta sumber informasi sebagai jalan mengakses pengetahuan akan memberikan jalan bagi para praktisi arsitek untuk mendekatkan diri pada dunia riset. Dunia Riset arsitektural adalah sebuah wilayah yang memberikan kesempatan kepada pelaku arsitektur – yang dalam hal ini adalah arsitek – untuk menentukan taktik dan strategi dalam meriset, menempatkan dirinya sebagai subjek utama dalam membangun pengetahuan-pengetahuan arsitektur ke depan, serta secara cermat mengomposisikan pengetahuan-pengetahuan lainnya untuk mendukung proses mencipta dalam arsitektur.
MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR SANGAT PENTING? Riset dalam arsitektur (desain) akan memberi garis batas bahwa pekerjaan yang dilakukan arsitek akan bergerak dalam wilayah teori dan praksis. Teori memberi kesempatan untuk arsitek membangun pengetahuan arsitektur, sedangkan praksis memberikan kesempatan arsitek untuk memproduksi karya sebagai tujuan berarsitektur. Keduanya harus berjalan seimbang, terintegratif dan interaktif, sehingga arsitektur yang dihasilkan memiliki kekuatan sebagai sebuah produk yang memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan arsitektur. Untuk itu, ada beberapa kesimpulan penting yang dapat ditarik dalam melihat pentingnya Riset dalam Arsitektur: 1. Riset harus dipahami sebagai penyelidikan dan pencarian awal guna mendapatkan berbagai informasi, posisi bertindak, pemahaman, serta sumber pengetahuan. Melalui penyelidikan dan pencarian akan muncul nilai-nilai originalitas, taktik-strategi, signifikansi, serta fokus pengetahuan, yang berguna untuk menghasilkan karya arsitektur yang baik. 2. Bila bangunan berperan sebagai produk akhir dalam arsitektur, maka produk ini memiliki peran besar terhadap lingkungannya. Pada titik ini, arsitektur berfungsi secara sosial, budaya, politik dan ekonomi. Masing-masing jenis fungsi ini dapat dianalisis secara terpisah untuk melihat bagaimana mereka bekerja dalam nilai keruangannya. Oleh karena itu, riset dalam arsitektur harus sadar akan interaksi ini, melintasi berbagai bidang intelektual dan membangun rajutan keruangan dari arsitektur itu sendiri. 46
3. Riset Arsitektural tidak harus berfokus pada penemuan solusi yang tepat, tetapi diharapkan menghasilkan solusi yang ‘memuaskan’ untuk menjawab permasalahan. Setiap solusi harus merupakan rangkaian atau tautan analisis dan sintesis yang kuat, serta didukung oleh teori dan metodologi yang sesuai. 4. Dalam riset arsitektural, teori dan praksis adalah kunci dari pencarian yang dilakukan. Riset harus dirancang dengan mempertimbangkan tindakan praksis yang cermat, dengan teori dan metodologi sebagai sentral yang menyeimbangkannya. Dengan demikian, riset arsitektural memiliki kesempatan untuk terangkum dan terwujudkan dalam satu tindakan yang koheren dan saling mendukung. 5. Riset arsitektural memberikan kesempatan bagi arsitek mengeksplorasi cara-cara baru untuk mengembangkan pengetahuan arsitektur. Proses ini akan memicu produk-produk yang inovatif dengan hasil akhir adalah bentuk pengetahuan teori dan praksis yang akan memberikan sentuhan terhadap arsitektur itu sendiri. (as)
47
TULISAN KELIMA
RESEARCH BY DESIGN
48
RESEARCH BY DESIGN 1
“ Jika anda tahu apa yang anda cari, mengapa anda mencarinya?” Plato
Secara epistemologis ada perbedaan yang mendasar antara riset dan desain, tetapi ketika dua kata ini disandingkan akan memberikan pertanyaan mendasar : “Bagaimana pengetahuan baru arsitektur dapat dihasilkan melalui riset dengan desain?” “Sejauh mana desain dapat memberikan peranan penting dalam riset? “Bila desain sebagai `alat`, hal-hal apakah yang perlu menjadi perhatian didalam sebuah riset ?” Onur Yuncu dalam disertasi doctoral in architecture yang berjudul Research by Design in Architectural Design Education ( 2008) menjelaskan bahwa Research by Design adalah riset dengan desain yang mengacu pada riset dari desain arsitektur sebagai bagian integral dari proses desain arsitektur. Pada 1980an, riset dalam arsitektur muncul sebagai cara ketiga dalam riset desain yang sebelumnya banyak didominasi oleh metode ilmu alam dan humaniora. Dengan formulasi baru riset desain ini, terjadi transformasi metodologis dan epistemologis, yang mengarah pada integrasi pengetahuan praktis ke dalam riset arsitektur. Pertanyaan epistemologis utama berubah dari `mengetahui apa itu desain` dan `mengetahui bagaimana mendesain` menjadi `mengetahui apa melalui tindakan desain`. Integrasi tindakan desain dalam riset mengubah status desain dalam riset desain dari menjadi objek penyelidikan 1
Tulisan ini ingin memposisikan Riset dengan Desain atau Riset melalui Desain dalam diskursus arsitektur. Tulisan ini memakai beberapa referensi untuk memberikan gambaran tentang diskursus reseach by design dan sebagian pendapat dari tulisan ini adalah pengalaman pribadi penulis ketika mengikuti program Doctoral in Architectural Design (PhD. By Design) dibawah bimbingan Prof. Sarah Wigglesworth dan Prof. Jeremy Till (2003-2009) di University of Sheffield, UK
49
menjadi pendekatan riset. Riset dengan desain diperkenalkan dalam program riset di Universitas Teknologi Delft pada akhir 1990-an dan diadopsi dalam riset ini untuk merujuk pada jenis riset khusus ini. Ini adalah istilah yang tepat untuk diskusi karena membantu menghubungkan riset dan desain secara epistemologis dan metodologi untuk menunjukkan aktivitas intelektual tunggal. 2 Menurut definisi konvensional, para ilmuwan melakukan riset bertujuan untuk memahami fenomena yang ada, sedangkan desainer melakukan riset bertujuan untuk membuat kegunaan dari obyek. Sementara aktivitas ilmuwan adalah aktivitas analitis, aktivitas desainer adalah aktivitas generatif, keduanya memiliki cara berbeda dalam memahami riset. Oleh karena itu, analisis konseptual diperlukan untuk membangun bidang riset yang dilakukan melalui kegiatan desain. Ini akan membantu untuk menentukan posisi disiplin desain di antara disiplin ilmu ilmiah. Adalah perlu untuk merumuskan dasar epistemologis di mana refleksi melalui aktivitas desain dimungkinkan sehingga dapat menjadi tindakan mengetahui. Analisis konseptual ini mau tidak mau harus dimulai dengan makna riset, desain , dan pengetahuan. 3 Jørgen Hauberg dalam artikelnya Research by Design – a research strategy 4 mengatakan bahwa research by design = riset dengan desain adalah riset melalui desain memiliki tujuan membangun kerjasama desain dan riset untuk menghasilkan pengetahuan baru tentang diskursus arsitektur melalui tindakan mendesain. Menurut Jorgen Hauberg ada beberapa kesepakatan yang telah dibuat oleh EAAE (The European Association of Architect Educations) untuk mengerti definisi tentang research by design, yaitu : (1). Research by design = riset dengan desain adalah segala jenis penyelidikan dimana desain merupakan bagian penting dari proses riset. Dalam riset dengan desain, proses desain arsitektur membentuk jalur dimana wawasan, pengetahuan, praktik, dan produk baru muncul. Riset dengan desain menghasilkan penyelidikan kritis melalui pekerjaan desain yang dapat mencakup proyek yang direalisasikan, proposal, kemungkinan realitas dan alternatif. (2). Research by design = riset dengan desain menghasilkan bentuk-bentuk keluaran dan wacana yang sesuai dengan praktik disiplin, verbal dan non-verbal yang membuatnya dapat didiskusikan, dapat diakses, dan bermanfaat bagi penggunanya. (3). Research by design = riset dengan desain divalidasi melalui peer review oleh panel ahli yang secara kolektif mencakup berbagai kompetensi disiplin yang ditangani sesuai bidangnya. Seringkali, proses riset dimulai dengan pertanyaan riset, melewati penalaran metodologis dan kemudian tiba pada jawaban atau solusi baru. (4). Research by design = riset dengan desain menunjukkan praktik yang agak berlawanan arah, dimana riset dapat muncul dari desain - dari proposal, model atau percobaan hingga generalisasi dan rasionalisasi dengan secara sadar mengekstraksi aturan tentang objek proses riset - riset nomotetik (sebab akibat). (5). Research by design = riset dengan desain bermaksud untuk membawa alat yang ekspresif dan sistematis dalam proses riset, ini menyangkut hubungan langsung dalam kerangka usulan dan analisis. 2 3 4
https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf lihat : hal iv Ibid 2 Untuk pengerrtian apa itu Riset? Apa itu Desain? dan Apa itu Pengetahuan? Sudah dibahas pada Tulisan Kedua https://revistas.ulusofona.pt/index.php/revlae/article/view/2680/2043 lihat hal : 51 - 53
50
Berusaha untuk menggabungkan dan mengembangkan metode kerja arsitek - pencarian sketsa spasial dalam materi tertentu - dalam lingkungan riset dan pengembangan akademik. Melalui riset dengan desain, urutan daftar penting (konkordansi) yang ditemukan berasal dari metode riset dan desain praktis yang dilalui. (6). Research by design = riset dengan desain adalah riset yang menghasilkan pengetahuan melalui alat dan metode kerja arsitek. Ini menyelidiki temuan riset dari metode praktisi dan mengakui praktik sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan baru. (7). Research by design = riset dengan desain tidak mengasumsikan pemisahan subjek dan objek dan tidak mengamati jarak antara peneliti dan praktik. Sebaliknya, praktik artistik itu sendiri merupakan komponen penting dari proses riset dan hasil riset (8) Research by design = riset dengan desain menunjukkan kesepakatan antara praktik arsitektur dan proses serta metodologi riset, karena keduanya secara fundamental dapat dikatakan terdiri dari unsurunsur berikut: (a) Persepsi dasar: persepsi filosofis, etis dan teoretis, norma dan nilai-nilai mengenai dunia di sekitarnya, peran arsitektur dan objek itu sendiri (arsitektur). Ini adalah prasyarat (paradigma) untuk proses riset dan mungkin didiskusikan dan, sebagian, dianjurkan mungkin sebagai riset dasar. (b) Investigasi: analisis, kritik, seleksi, perumusan masalah, yaitu proses standar dalam melakukan riset. (c) Program: masalah aktual, definisi penugasan parsial dan tujuan dalam keseluruhan program (aturan dan norma). Ini dapat mengambil bentuk riset strategis. Proposal - pekerjaan pengembangan (produk): proposal spasial yang konkret sebagai kemungkinan jawaban terhadap program; ini adalah aspek eksperimental dan sebagian independen dari analisis. Rasionalisasi berikutnya: argumentasi, penjelasan teoretis proposal dan pengujian selanjutnya dalam praktik. (d) Komunikasi: menyajikan materi dalam bentuk teks, gambar, model atau contoh yang menjelaskan korelasi antara komponen-komponen metodologi dengan cara yang konsisten, beralasan, dibuat mungkin dan tidak dapat dipertentangkan. Jeremy Till dalam tulisannya Too Many Ideas melihat research by design (riset dengan desain) dapat ditinjau dalam dua posisi. Pertama tindakan desain adalah tindakan riset sintetis dimana bentuk-bentuk pengetahuan baru dibuat. Desain bangunan, karena kebutuhan, harus mengatasi berbagai kondisi intelektual, fisik, sosial, dan politik. Keterlibatan berbagai faktor ini dapat dilibatkan dan mengambil bentuk riset. Kedua, riset dengan desain adalah bahwa tindakan desain selalu berada dalam kondisi `ambang` (contingency) dan arsitektur selalu terbuka untuk ketidakpastian serta `diterpa` oleh kekuatan di luar kendalinya. Dalam melihat posisi riset dengan desain, Jeremy Till berpendapat bahwa setiap tindakan riset (dalam arsitektur) tidak pernah tunggal artinya banyak faktor yang harus dilihat dan dikaji. Bagi Jeremy Till arsitektur selalu berada dalam titik `ambang` (contingency) yang berarti selalu bergantung terhadap kondisi yang dihadapinya. Jeremy Till mencoba mengutip apa yang dikatakan Ben Van Berkel yang menyatakan bahwa hal yang paling penting bukanlah riset itu sendiri tetapi apa yang anda temukan - pelajaran yang harus dilakukan untuk dapat memposisikan arsitektur kedepan.5 Jonathan Hill direktur pogram PhD. by Design dari The Bartlett School of Architecture, UK dalam sebuah wawancaranya mengatakan bahwa research by design sebagai riset dengan desain adalah kombinasi `project` dan `text` sebagai kombinasi dalam tindakan dan produktifitas melalui riset. Sebuah riset dengan
5
https://jeremytill.s3.amazonaws.com/uploads/post/attachment/39/2001_Too_Many_Ideas.pdf
51
desain bukanlah murni tentang desain atau fokus pada kajian teoritikal, karena ini akan mengimplikasi pekerjaan arsitektur yang hanya berbasis pada teks. Bagi Jonatahan Hill, basis pengembangan teori dalam tindakan riset adalah berfokus pada gambar (drawing) dan bangunan (building). Gambar dan Bangunan adalah basis utama dan kunci penting untuk pengembangan alur teoretis. Tulisan arsitektural memiliki nilai yang sama seperti menggambar, yang berarti research by design adalah sebuah kombinasi antara text dan drawing. Jonathan Hill mengatakan bahwa sebagai :” design through words as it is to design through drawings” 6
Research by Design Riset DENGAN Desain Riset MELALUI Desain
Konstrusksi Teori
Alat
Drawing – Gambar Building - Bangunan
Produk
Text + Project Ilustrasi : diagram berpikir research by design
Christopher Frayling mengembangkan tiga lingkup riset untuk mengatasi hubungan spesifik antara desain dan riset. Tiga lingkup ini adalah research into design, research through design, research for design. Riset 'into' adalah praktik riset paling mudah yaitu mengambil arsitektur sebagai subjeknya misalnya dalam riset sejarah, atau studi penjelasan tentang kinerja bangunan. Riset 'through' adalah praktik riset berbasis pada proses desain, apa yang dicapai dan dikomunikasikan melalui aktivitas desain sebagai bagian dari metodologi riset itu sendiri. Riset 'for' adalah praktik riset tentang produk yang dihasilkan dan manfaat produk tersebut. Hasilnya ditujukan khusus untuk masa depan, termasuk pengembangan bahan, tipologi, dan teknologi baru. 7 Pembagian lingkup ini dalam hubungan antara riset dan desain, telah menunjukkan posisi pengetahuan yang jelas dalam memaknai hubungan cara meriset dalam pekerjaan berarsitektur (mendesain). Rob Roggema dalam artikelnya Research by Design: Proposition for a Methodological Approach mengutarakan bahwa riset dengan desain adalah metode, yang menggunakan desain untuk meneliti solusi spasial untuk area tertentu, mengakomodasi proses desain, yang terdiri dari fase pra-desain, fase desain dan fase pasca-desain, dengan ini memberikan dasar filosofis dan normatif untuk proses desain,
Lihat tulisan Jontahan Hill : Design Research, An Eye on the past and the future dalam InterVIEWS: Insights and Introspection on Doctoral Research in Architecture (2020), editor Federica Goffi 7 Lihat : Christopher Frayling dalam Research in Art and Design, Royal College of Art Research Papers 1 No.1 (April 1993) 6
52
memungkinkan untuk menyelidiki kualitas dan masalah lokasi dan menguji potensi (spasial), sementara itu menciptakan kebebasan untuk bergerak dengan proposal di wilayah yang belum dipetakan, dan menghasilkan wawasan dan pengetahuan baru yang menarik dan berguna untuk khalayak luas. Riset dengan desain adalah studi desain dan proses produksi pengetahuan yang terjadi melalui tindakan desain Riset dengan desain melibatkan penyelidikan strategi, prosedur, metode, rute, taktik, skema dan mode di mana orang bekerja secara kreatif. 8 Dalam tulisannya Does Research Equal Design, Linda Grout dan David Wang mengatakan bahwa riset dan desain bukan merupakan hal yang berlawanan dan juga setara. Hubungan keduanya memiliki nilai nuansa intelektual, saling mengisi dan melengkapi dan memiliki keunikannya masing-masing. Menurut Linda Grout dan David Wang, bahwa secara eksplisit Stephen Kieran menggambarkan hubungan antara desain dan riset pada dasarnya berbeda, tetapi saling melengkapi: “Riset membawa ilmu ke dalam seni kita. . . . Untuk memajukan seni arsitektur, kita perlu melengkapi intuisi dengan sains.”. Beberapa pendapat tentang hubungan riset riset juga diungkapkan oleh beberapa ahli, misalnya Matt Powers mengatakan sejak riset mewujudkan model ilmiah pengetahuan sebagai "kebenaran" dan "fakta" berdasarkan data kuantitatif, setiap integrasi desain dan riset "mengurangi aspek paling penting (baca: estetika sebagai nilai kualitatif) dari setiap kegiatan desain itu sendiri." BD Wortham mengatakan bahwa riset dan desain memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat serta melalui model yang lebih tepat riset berbasis desain akan berfungsi untuk melayani dan membentuk kembali masyarakat. David Solomon mengungkapkan bahwa konsep riset arsitektur yang lebih pluralistik mencakup metode kualitatif dan kuantitatif, menghasilkan ‘ fiksi pribadi ’ dan ‘ kebenaran obyektif ’ baik desain dan riset, sebagai ‘ hibrida yang dibuat dengan baik.’ 9 Linda Grout dan David Wang mencoba melihat pandangan ahli mengenai definisi desain. Misalnya, Herbert Simon dan Donald Schon mengungkapkan bahwa desain adalah tindakan yang ditujukan untuk mengubah situasi yang ada menjadi yang lebih disukai, atau sebagai sebuah usaha untuk mengubah situasi tak tentu menjadi sesuatu yang menentukan. Nigel Cross bahwa berpendapat bahwa desain berkaiatan dengan pekerjaan (desainer) menyediakan sesuatu produk, bagi mereka yang akan membuat artefak baru. Bryan Lawson dan Kees Dorst menggambarkan bahwa desain adalah seperangkat keterampilan yang memiliki kejelasan dan tujuan untuk menghasilkan produk. Dalam hubungannya antara riset dan desain, Linda Grout dan David Wang mengungkapkan bahwa riset dan desain adalah kegiatan yang biasanya dimulai untuk mencapai sebuah tujuan dalam konteks yang sudah ditetapkan tetapi konten spesifik untuk masing-masing tujuan sedikit berbeda. Dalam riset, dorongan biasanya dibingkai dalam hal "pertanyaan" yang harus dijawab setidaknya sebagian dengan memeriksa bukti saat ini atau masa lalu. Dalam hal desain, dorongan biasanya disebut sebagai "masalah" (mis., Kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk bangunan atau produk baru) yang mendorong pengembangan dari artefak yang dirancang sebagai solusi yang dapat dicapai di masa depan. Bagi Linda Grout dan David Wang riset dapat menginformasikan desain dalam banyak cara dan pada banyak waktu dalam proses desain; dan proses desain dan artefak yang dirancang akhirnya dapat menghasilkan banyak pertanyaan yang cocok untuk berbagai bentuk penyelidikan.
https://www.researchgate.net/publication/308037775_Research_by_Design_Proposition_for_a_Methodological_Approach Linda Grout dan David wang dalam buku Architectural Research Methods (2013), Wiley and Sons, Hoboken, New Jersey, hal 21-61
8 9
53
Diskusi antara riset dan desain merupakan hal yang menarik untuk dipelajari karena arsitektur memiliki visi untuk menempatkan dirinya sebagai bagian besar perkembangan penegtahuan di dunia. Onur Yuncu meminjam artikel David Wang, dalam bab berjudul “Design in Relation to Research” dari buku Architectural Research Methods, yang diedit bersama dengan Linda Groat, 10 membahas hubungan antara desain dan riset dengan ikhtisar kesulitan dalam hubungan ini dan cara-cara yang memungkinkan untuk menghubungkan kedua kegiatan ini. Menurut Onur Yuncu, diskusi David Wang tentang hubungan antara desain dan riset dapat dianggap sebagai titik awal untuk tinjauan umum tentang evolusi hubungan ini. Selain itu, tulisannya memberikan pandangan keseluruhan tentang pokok-pokok diskusi tentang riset dengan desain sambil menyajikan berbagai paradigma dalam riset desain dan dianggap bahwa riset dengan desain telah berevolusi dari dalam tradisi riset desain. Menurut pandangan Onur Yuncu, bahwa David Wang berpendapat ada dua kesulitan utama dalam hubungan antara desain dan riset. Pertama, menunjuk pada perbedaan filosofis antara aktivitas desain yang `generatif` dan aktivitas riset yang `analitik`. David Wang membedakan gagasan `desain sebagai riset` dan `riset tentang proses desain` dan berpendapat bahwa proses desain tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh deskripsi yang menentukan, itu dinyatakan dalam domain akal - logika. Oleh karena itu, meskipun ada bentuk khusus dari mengetahui yang melekat dalam kegiatan desain, jenis pengetahuan ini tidak dianggap sebagai ilmiah, karena pengetahuan ilmiah terdiri dari proposisi yang diuji dan berdasarkan aturan. Onur Yuncu mengatakan, bahwa David Wang dengan jelas membedakan `desain sebagai riset` dan `meneliti tentang proses desain`, dan berpendapat bahwa mereka `sama-sama berharga` tetapi mereka memiliki `fungsi yang berbeda`. Perbedaan epistemologis antara kedua aktivitas ini menjadikannya berharga untuk mencari cara di mana aktivitas desain itu sendiri menjadi alat untuk menghasilkan pengetahuan. Jika desain dan riset hanya dapat hidup berdampingan tetapi tidak pernah berintegrasi, maka kebutuhan akan area riset muncul untuk mendefinisikan kembali situasi disiplin desain itu sendiri. Namun, ini hanya mungkin ketika definisi riset ditransformasikan dan diperluas ke kisaran yang lebih luas daripada "riset ilmiah. Transformasi ini dapat dimungkinkan dengan klarifikasi dasar epistemologis riset dengan desain. Riset adalah sebuah pekerjaan visioner yang mencoba melihat dunia dalam sebuah pandangan serta perspektif dunia yang baru serta memiliki tujuan untuk kebaikan umat manusia. Sesuatu yang didepan mata anda terlihat `kacau` atau `berantakan` perlu untuk ditelusuri, diimaginasikan dan dicari jawabannya untuk membuat dunia ini lebih `terlihat` teratur, dengan mengedepankan semangat untuk tidak menyederhanakan apa yang tampak didepan mata kita. Riset harus menjadi sebuah jalan yang memberikan banyak manfaat, perubahan dan menjawab tantangan yang signifikan dari sebuah kondisi dan memberikan kegunaan bagi manusia. Kejelasan sebuah riset menjadi kunci utama dalam membangun ketelitian, relevansi dan kualitas untuk menghadapi semua masalah yang dihadapinya, dengan kejelasannya maka setiap riset dapat menempatkan topik-topik pertanyaan yang dapat memberikan`revolusi` pengetahuan yang baru. Penelitian dengan desain adalah segala jenis penyelidikan dimana desain menjadi sentral pengetahuan dan merupakan bagian penting dari seluruh rangkaian dalam proses riset. Dalam penelitian dengan desain,
Disertasi dari Onur Yuncu (doctoral in architecture) yang berjudul Research by Design in Architectural Design, hal 10-11 lihat : https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf 10
54
proses desain arsitektur membentuk dan membuka peluang agar berbagai wawasan, pengetahuan, praktik atau produk baru muncul, dan menjadi `literatur baru` bagi perkembangan ilmu pengetahuan arsitektur. Setiap penelitian dengan desain diharapkan menghasilkan penyelidikan kritis melalui pekerjaan desain yang dapat mencakup proyek yang direalisasikan, proposal, kemungkinan realitas atau alternatif yang dapat mendukung berkerja desain sebagai sumber pengetahuan. Riset dengan Desain atau Riset melalui Desain (Research by Design) memberikan sebuah cara untuk menyusun pengetahuan baru berbasis pada gambar (drawing), bangunan (building), Konstruksi teori, dengan kekuatan text (teks) dan drawing (gambar) sebagai produk akhirnya. Seperti layaknya sebuah riset, mempertanyakan (research questions) menjadi kunci dalam research by design. Pertanyaan – pertanyaan yang penuh `imaginasi` dapat diajukan sebagai tatakan untuk bekerja serta mendapatkan pengetahuan baru bagi kajian arsitektur desain. Sebagai kesimpulan, dibawah ini adalah sebuah diagram yang diajukan penulis untuk melihat cara dan alur bekerjanya research by design :
RESEARCH by DESIGN
DESAIN SEBAGAI LABORATORIUM 1. Gambar 2. Bangunan 3. Konstruksi Teori
RISET Proses kerja
1. 2. 3. 4.
Pertanyaan Riset Tujuan dan objektifitas Metode Dukungan Teoretis
PRODUK TEKS + PROYEK
Melalui diagram ini, sangat jelas bahwa desain menjadi sebuah laboartorium (sentral dari aktifitas research by design) untuk bekerjanya riset. Standar dasar operasional riset harus dijalani sebagai sebuah tatakan dan proses pencarian. Desain sebagai sebuah laboratorium menjadi tempat dimana pengetahuan tentang arsitektur disemaikan, baik melalui gambar – bangunan untuk membangun konstruksi teori serta menghasilkan hasil akhirnya adalah sebuah teks dan proyek. Dengan bekerja secara ketat, diharapkan teks dan proyek yang merupakan hasil dari berprosesnya research by design dapat memberikan pengetahuan baru yang memposisikan antara teori dan praksis yang terintegrasi. (as) 55
REFERENSI TULISAN BAGIAN PERTAMA : KONSTRUKSI TEORI 1. Bogatti, Stephen P. (1996), Thinking Theoretically, http://www.analytictech.com/mb870/handouts/theorizing.htm 2. Jenks, Charles and Kropf Karl (editor) (1997 ), Theories and Manifestoes of Contemporary Architecture, Willey Academy, Great Britain. 3. Margolin, Victor dan Buchanan, Richard (2000), The Idea of Design - A Design Issues Reader, The MIT Press, London. 4. Kerlinger, F. N. (1986). Foundations of behavioral research (3rd ed.). New York: Holt, Rinehart, & Winston. 5. Sudrajat, Iwan, Membangun Sistem Teori Arsitektur Nusantara: Mengubah Angan Angan Menjadi Kenyataan, Kumpulan Naskah Terbaik Lomba Penulisan Teori Arsitektur (Ngawangun Ki Nusantara), Arsitektur UNPAR , Bandung. 1999. 6. Snyder, James.C dan Catanese, Anthony J. (1984), Pengantar Arsitektur, Penerbit Airlangga (terjemahan).
TULISAN BAGIAN PERTAMA : RISET – DESAIN – PENGETAHUAN 1. Disertasi dari Onur Yuncu (doctoral in architecture) yang berjudul Research by Design in Architectural Design lihat : https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf 2. Hill, Jonathan (2006), Immaterial Architecture, Routledge, London new York 3. Groat, Linda dan Wang, David (2013), Architectural Research Method, John Wileys and Sons inc, Haboken - New Jersey, Canada. (referensi lanjutan) 4. Richard Buchanan dalam Wicked Problems in Design Thinking, Design Issues, Vol. 8, No. 2 (Spring, 1992), The MIT Press 5. Tjahjono, Gunawan (2000). Metode Perancangan: Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang. Universitas Indonesia.
TULISAN BAGIAN KETIGA : PENULISAN AKADEMIK 1. Groat, Linda dan Wang, David (2013), Architectural Research Method, John Wileys and Sons inc, Haboken - New Jersey, Canada. (referensi lanjutan) 2. Hanson. Julienne dan Vaughan, Laura (2005 – revision), Notes on how to write an academic paper – MSc. Advanced Architectural Studies – The Bartlett School of Architecture-University College London, UK. (referensi utama) 3. Hillier, Bill (2003), WRITING UP and how to go about it, University College London – UK. (referensi utama) 4. Kothari, C.R. (2004), Reseach Methodology – Method and Techniques, New Age International Publishers. (referensi tambahan) 5. Laurel, Brenda (editor) (2003), Design Research – Method and Prespectives, The MIT Press, Cambridges Massachusetts, London-England. (referensi lanjutan)
TULISAN BAGIAN KEEMPAT : MENGAPA RISET DALAM ARSITEKTUR SANGAT PENTING? 1. 2. 3. 4.
Creswell, J. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches. SAGE. Frayling, C. (1993/4). Research in Art and Design. Royal College of Art Research Paper Vol. 1 No.1. Groat, Linda, & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods (2nd ed.). John Wiley & Sons, inc. Lawson, B. (2005). How Designers Think: The Design Process Demystified (4th ed.). Oxford: Architectural Press. 56
5. Leedy, P. D., & Ormrod, J. E. (2016). Practical Research: Planning and Design. Pearson. 6. Papanek, V. (1995). The Future Isn't What It Used To Be. Dalam V. Margolin, & R. Buchanan, The Idea of Design (hal. 56-69). London, Cambridge: The MIT Press. 7. RIBA Architecture. (2017, Mei 10). Architects and Research-Based Knowledge: A Literature Review of Knowledge Management Practices. Dipetik Agustus 1, 2019, dari RIBA Architecture.com: https://www.architecture.com/-/media/gathercontent/architects-and-research-based-knowledge/additionaldocuments/architectsandresearchbasedknowledgeliteraturereviewpdf.pdf 8. RIBA Architecture. (2017, Agustus 30). How Architects Use Research. Dipetik Agustus 17, 2019, dari RIBA Architecture.com: https://www.architecture.com/-/media/gathercontent/how-architects-useresearch/additional-documents/howarchitectsuseresearch2014pdf.pdf 9. Till, J. (2007). Architectural Research: Three Myths and One Model. Dipetik Agustus 17, 2019, dari Jeremy Till: https://jeremytill.s3.amazonaws.com/uploads/post/attachment/34/2007_Three_Myths_and_One_Model.pdf 10. Tjahjono, G. (2000). Metode Perancangan: Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang. Universitas Indonesia.
TULISAN BAGIAN KELIMA : RESEARCH BY DESIGN 1. Disertasi dari Onur Yuncu (doctoral in architecture) yang berjudul Research by Design in Architectural Design, lihat : https://etd.lib.metu.edu.tr/upload/12610061/index.pdf 2. Frayling, C. (1993/4). Research in Art and Design. Royal College of Art Research Paper Vol. 1 No.1 3. Jørgen Hauberg dalam artikelnya Research by Design – a research strategy https://revistas.ulusofona.pt/index.php/revlae/article/view/2680/2043 4. Lihat tulisan Jontahan Hill : Design Research, An Eye on the past and the future dalam InterVIEWS: Insights and Introspection on Doctoral Research in Architecture (2020), editor Federica Goffi 5. Tjahjono, G. (2000). Metode Perancangan: Suatu Pengantar untuk Arsitek dan Perancang. Universitas Indonesia. 6. Till, Jeremy dalam Too Many Ideas https://jeremytill.s3.amazonaws.com/uploads/post/attachment/39/2001_Too_Many_Ideas.pdf
57
THE PROJECTS RESEARCH by DESIGN
58
THE NEW PASSER BAROE THE HERITAGE WITH SOUL - A GREAT CIVIC PLACE PENATAAN KAWASAN PASAR BARU 2014
Pimpinan Tim Penulis Naskah Tim Arsitek Produk Rancangan Luas Proyek Kriteria Lokasi Penyelenggara Tahun Hasil
: Agustinus Sutanto : Adelia Andani : Benny Suryadi, Vincent Heryanto, Silvia Adityavarna, Esther Prawira, Adelia Andani : Masterplan : 820.000 m2 : Sayembara Penataan Kawasan Pasar Baru : Jakarta : PT. Trikarya Idea Sakti bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta : 2014 : Finalis Tiga Besar
59
PENGANTAR Kawasan Pasar Baru merupakan kawasan perbelanjaan tertua di Jakarta yang berlokasi di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, diperkirakan berdiri sejak tahun 1820 dalam bentuk jalan pertokoan (sekarang disebut mall pedestrian). Menurut pakar perkotaan, kawasan ini tumbuh secara organik, mengikuti area pasar yang telah ada sebelumnya. Pasar Baru dulu juga dikenal sebagai kawasan perbelanjaan elit karena berada tidak jauh dari kawasan Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun pemerintah Belanda untuk orang-orang kaya di Batavia. Disamping perdagangan, kawasan Pasar Baru juga merupakan salah satu titik peleburan kebudayaan di Jakarta. Sejak awal berdirinya, komposisi pedagang di Pasar Baru didominasi oleh pedagang dari India, Cina, dan Melayu, yang masih bertahan hingga sekarang. Beberapa toko di Pasar Baru telah berkembang menjadi bisnis berskala industri, beberapa masih bertahan dengan sistem kekeluargaan. Bangunanbangunan toko yang masih bertahan telah diresmikan sebagai situs peninggalan bersejarah, sebagian besar di antaranya didominasi gaya arsitektur Tiongkok dan Eropa. Setelah 1,5 abad berdiri, Pasar Baru kini mulai kehilangan pesonanya di mata penduduk Jakarta, terutama karena banyaknya keluarga muda yang kini tinggal di daerah pinggiran kota, yang lebih tertarik dengan budaya berbelanja di mall. Kondisi fisik Pasar Baru sendiri kini sudah mulai nampak tergerus usia; tidak tertata dan terawat, menjadi 'civic space' yang kehilangan 'spirit of heritage'. Hilangnya bangunan tua bersejarah, rusaknya struktur keruangan yang asli, dan memudarnya kehidupan budaya serta tradisi tertentu membuat sebuah ruang kota kehilangan masa lalunya. Kini, pesona Pasar Baru yang khas hendak dihadirkan kembali sesuai dengan tuntutan jaman, dengan menemukan kembali morfologi struktur lapisan fisik, sosial dan ekonomi di kawasan Pasar Baru dan membedah pola-pola reproduksi ruang yang terjadi di dalamnya. Tujuannya, agar fungsi pasar baru sebagai kawasan perdagangan usaha kecil dan menengah, sekaligus ruang sosial dan kebudayaan yang kaya bisa bertahan bersaing dengan pusat perbelanjaan modern, tanpa merubah ciri khasnya sebagai mall pedestrian, tanpa menghilangkan memori kolektif yang terkandung di dalamnya, atau mengekang kemungkinan perkembangannya.
PERTANYAAN RISET 1. Aspek-aspek apa saja yang menyusun struktur keruangan Pasar Baru? 2. Seberapa jauh pola-pola baru dapat ditanamkan ke dalam ruang yang lama tanpa mengganggu struktur koheren sebelumnya? 3. Dapatkah ruang yang sudah ada menerima intervensi tanpa kehilangan memori kolektif yang sudah terkandung di dalamnya? 60
TUJUAN DAN SASARAN Revitalisasi kawasan Pasar Baru tidak semata-mata bertujuan memperbaiki kondisi fisik Pasar Baru. Dalam proses ini, ada nilai-nilai yang ingin ditanamkan untuk kelestarian Pasar Baru sebagai sebuah ruang budaya yang berbasis komersil. Karena itu eksplorasi ruang menjadi sarana penting untuk memahami sistem yang telah berjalan, dan menyusun strategi untuk memperbaiki sistem tersebut. Sedangkan yang menjadi sasaran utama dalam proses eksplorasi ini antara lain : • Melestarikan bangunan peninggalan yang terdapat di kawasan Pasar Baru dan mempertemukannya dengan budaya kontemporer, sehingga dapat menjadi bagian dari daya tarik Pasar Baru. • Menata kembali kawasan Pasar Baru menjadi kawasan perbelanjaan yang nyaman dan aman tanpa merubah ciri khasnya sebagai mall pedestrian serta memori kolektif yang terkandung di dalamnya, atau mengekang kemungkinan perkembangannya. • Memberikan kesempatan terciptanya ruang sosial dan budaya yang kaya dan produktif sekaligus dapat menjadi sarana edukasi mengenai kekayaan budaya di Jakarta.
KONTEKS Tidak diketahui pada tahun berapa tepatnya kawasan ini disebut Pasar Baru, namun dokumentasi tertua menunjukan setidak-tidaknya kawasan Pasar Baru sudah berdiri sejak tahun 1820. Menurut beberapa pakar perkotaan kawasan ini tidak direncanakan sebagai area perdagangan namun tumbuh secara organik sebagai kawasan komersil, mengikuti area pasar yang telah ada sebelumnya di sekitar kawasan ini. Pasar Baru dulu juga dikenal sebagai kawasan perbelanjaan elit karena berada tidak jauh dari kawasan Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun pemerintah Belanda untuk orang-orang kaya di Batavia. Pasar Baru kini mengalami banyak tantangan dalam perkembangannya dengan meningkatnya jumlah pedagang dan kendaraan bermotor yang parkir di Pasar Baru. Jalan-jalan di sepanjang Pasar Baru diramaikan dengan berjejernya pedagang kaki lima yang memperdagangkan makanan dan barang, tanpa ada penataan yang jelas. Dengan tingginya angka kendaraan bermotor yang ada di Pasar Baru, beberapa ruas jalan seringkali menjadi macet atau digunakan sebagai tempat parkir. Bertemunya jaringan pedestrian dan kendaraan bermotor seharusnya menguntungkan bagi pusat perbelanjaan berkonsep mall pedestrian, namun dalam kasus Pasar Baru, kurangnya penataan yang baik justru mengganggu kenyamanan dan keamana pengunjung. Masalah lain yang terjadi di Pasar Baru sebagai mall pedestrian adalah buruknya sebagian besar kondisi bangunan, terutama pada bagian lantai atas. Karena mayoritas pengunjung berada di level lantai dasar, hanya ruang-ruang yang terjangkau pandangan di lantai dasar yang ditata, sedangkan fasade lantai dua dan tiga dimanfaatkan sebagai bidang iklan. Hal ini menimbulkan kontestasi visual di sepanjang jalan Pasar Baru dan membuat tampilan lorong di Pasar Baru tidak harmonis dan cenderung membingungkan. The New Passer Baroe adalah bentuk intervensi yang berusaha menata kembali kawasan Pasar Baru tanpa merubah karakter fundamental yang sudah ada di dalamnya karena komposisi elemen di Pasar Baru dianggap sudah stabil dan hanya memerlukan penataan. Untuk memahami komposisi itu, dilakukan 61
pembedahan lapisan-lapisan fisik dan non-fisik di Pasar Baru melalui studi pola pada setiap lapisannya. Dan intervensi yang dilakukan berupa subtitusi bagi elemen yang sudah ada, atau penambahan elemen yang sifatnya fungsinya merangsang pengembangan fungsional Pasar Baru.
TINJAUAN PUSTAKA Sejak awal peradaban Yunani Kuno, pedagang memiliki kecenderungan untuk mengikutsertakan dirinya dalam koloni dan mengambil tempat di pusat keramaian kota, yang mana di Yunani terdapat di Agora 1. Kebiasaan untuk berkumpul di satu tempat ini diduga didasari faktor keamanan dan kemudahan bertransaksi. Dan karena hal ini pula, pusat perdagangan akhirnya memiliki relasi yang kuat dengan aktivitas manusia dalam suatu peradaban. Pola demikian berulang hingga saat ini, terutama pada pusatpusat perdagangan yang tumbuh secara organik pada suatu kota. Dimana ada keramaian, disana pedagang berkumpul dan membangun pasarnya. Pada dasarnya, sebuah tempat perdagangan atau pasar mencerminkan dua wajah; yang pertama adalah sebagai cerminan dari industri yang lebih besar, yang terikat pada perekonomian negaranya; sedangkan yang kedua adalah tempat terjadinya aktifitas dasar manusia seperti mengonsumsi dan memperdagangkan. 2 Karena itu sebuah pasar merupakan cermin kondisi ekonomi sebuah negara, baik kemampuan produksinya, maupun kemampuan konsumsi warganya. Sebuah pasar juga mencerminkan gaya hidup terkini masyarakatnya. Sebagai tempat berkumpul masyarakat dengan kebutuhan sejenis, sebuah pasar juga memegang peran sebagai ruang sosial dan tempat terjadinya persebaran informasi dalam suatu komunitas. Fungsi sosial yang dimiliki sebuah pasar menumbuhkan fungsi lain yang tidak dimiliki pasar swalayan maupun mall, yakni ruang sosial yang kaya. Henri Lefebvre menyebutkan, "social space is a social product," yang artinya ruang sosial merupakan produk atau akibat dari seperangkat aktivitas sosial.3 Berbeda dengan konsep produk dan produksi dalam konsep industrial, dalam konsep Lefebvre, produksi bukan bentuk operasional dan produknya bukanlah objek. Ruang sosial bukanlah ruang dalam paham Euclidian, melainkan suatu kerangka yang mengatur perilaku manusia, yang mengijinkan terjadinya tindakan-tindakan baru; mengusulkan atau membatasinya. 4 Maka dari itu, ruang sosial tidak dapat langsung terlihat dari tatanan fisik sebuah ruang. Ia nampak ketika ruang itu ditempati, diisi, dan digunakan oleh manusia dalam kesehariannya.
Agora merupakan sebuah plaza terbuka pada masa Yunani Kuno yang memiliki arti tempat berkumpul. Letaknya dikelilingi bangunan pemerintahan dan bangunan-bangunan penting lainnya dan digunakan sebagai tempat pertemuan sehari-hari maupun untuk kepentingan politik, spiritual, dan olahraga. 2 Coleman, Peter (2006). Shopping Environments: Evolution Planning and Design. Architectural Press. Oxford. halaman 3 3 Lefebvre, Henri (1974). The Production of Space. Diterjemahkan oleh Donald Nicholson-Smith. Blackwell. 4 Ibid. Hlm. 73 1
62
Dalam keseharian (everydayness), manusia akan berinteraksi dengan manusia lain dan benda, kemudian dengan sendirinya membentuk ruang-ruang baru, ruang-ruang sosial, di dalamnya. Ruang sosial dapat terbentuk dalam beragam skala. Masing-masing kondisi tersebut dapat menghasilkan ruang-ruang sosial yang berbeda di dalamnya; yang lebih kecil dan 'lemah' 5 secara arsitektur, tergantung dari aktivitas manusia serta benda yang dihadirkan di antaranya. Semakin rendah intensitas interaksi sosial yang terjadi, semakin lemah ruang sosial yang terbentuk. Jika demikian, maka dapat dikatakan bahwa pusat perbelanjaan tradisional memiliki fungsi sosial yang lebih tinggi di dalamnya, dibandingkan pusat perbelanjaan modern seperti mall, department store atau pasar swalayan. Namun di sisi lain, pusat perbelanjaan modern seperti mall dan pasar swalayan juga memiliki kontribusi penting bagi perkembangan dan perbaikian ruang kota. 6 Bermula dari kanopi yang dibuat para pemilik toko untuk menjadi naungan yang dapat digunakan pejalan kaki, pemilik toko juga memperjuangkan jalan dengan kualitas perkerasa yang baik agar nyaman dilalui kendaraan, jalur pedestrian yang terpisah dari jalur kendaraan agar pejalan kaki merasa aman berbelanja, juga penerangan jalan yang cukup. Meskipun semua ini dilakukan demi memepermudah usaha dagang, namun manfaatnya mempengaruhi kualitas ruang kota.
METODOLOGI 1. Studi visual melalui observasi untuk mendefinisikan Bahasa Pola yang terjadi di Pasar Baru. Observasi dilakukan di tengah waktu operasional Pasar baru, yakni pada siang hari, sehingga kondisi terkompleksnya nampak. Studi ini didasari oleh metode Pattern Language oleh Christopher Alexander. Pola-pola yang didefinisikan antara lain: pola bangunan, pola ruang luar, dan pola transportasi. Hasilnya akan digunakan untuk menentukan intervensi desain yang dapat diterapkan agar karakter yang sudah ada tidak berubah. 2. Mempelajari struktur jaringan di Pasar Baru. Tahapan ini didasari pendekatan landscape urbanism oleh Charles Waldheim, di mana bagian-bagian kota dilihat sebagai bentuk kolektif, bukan individualis. Lapisan-lapisan yang dibedah antara lain: konfigurasi solid-void bangunan, ketinggian bangunan, tata fungsi lahan, hierarki struktur jalan, lokasi bangunan konservasi, serta hardscape dan softscape. Hasil dari pembedahan lapisan ini menjadi dasar dalam merancang konfigurasi jalur pedestrian dan kendaraan bermotor serta alur sirkulasinya. 3. Membedah lapisan ruang sosial yang bereproduksi secara organik di Pasar Baru. Dipicu oleh kegiatan ekonomi, ruang-ruang sosial hadir dalam keseharian Pasar Baru, dan hilang sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Ruang sosial ini menjadi menjadi lapisan penting yang tidak Weak Architecture (arsitektur yang 'lemah') dikemukakan oleh Ignasi de Sola-Morales pada tahun 1987, yaitu sebuah paham akan arsitektur yang memiliki postur yang tidak agesif dan dominan, namun tangensial dan lemah. Morales menganalogikan sifat monumental yang dimiliki weak architecture seperti bunyi lonceng yang terasa gemanya tanpa terlihat fisiknya. 6 Jan Hein Furnee, Cle Lesger (penyunting) (2014). The Landscape of Consumption: Shopping Street and Cultures in Western Europe, 1600-1900. Palgrave McMillan. Halaman 6. 5
63
dapat 'ditertibkan' begitu saja. Margareth Crawford menyebutnya sebagai Everyday Urbanism. Hasil dari pembedahan ini akan digunakan untuk menentukan sejauh apa intervensi desain dapat diterapkan pada ruang keseharian di Pasar Baru. 4. Studi tipologi fasade pada bangunan di Pasar Baru. Sebagai sebuah ruang komersil, informasi visual merupakan elemen yang dominan hadir sebagai alat promosi. Hal ini menimbulkan kontestasi visual di mana masing-masing toko berusaha menonjolkan dan menarik perhatian pengunjung. Tidak jarang informasi visual komersil ‘mengalahkan’ tampilan informasi pokok seperti papan petunjuk dan rambu lalu lintas. Maka untuk menyelaraskan informasi visual yang dihadirkan, perlu dipahami tipologi fasade yang terjadi di Pasar Baru.
PEMBAHASAN 1. Pola Ruang Pasar Baru Hingga saat ini, masih nampak ketidak-teraturan bentuk dan fungsi bangunan di Pasar Baru akibat pertumbuhannya yang tidak terencana. Ketidak-teraturan juga nampak pada ruang luar dimana pengunjung, kendaraan bermotor, dan pedagang kaki lima berbaur dalam satu ruang terbuka. Meski demikian, dalam ketidak-teraturan selalu ada pola yang teratur yang tidak dapat langsung terlihat. Untuk menemukan pola-pola ini, digunakan basis metode Pattern Language dengan mengumpulkan seluruh elemen pembentuk keruangan yang ada, dan memilahnya ke dalam kelompok yang lebih besar. Elemenelemen ini bersifat seperti kata yang tersusun membentuk kalimat dan memiliki arti dan menyampaikan pesan. Pola yang didapati dari studi ini adalah tampak bangunan, ruang luar, dan jaringan transportasi. Komponen bangunan di kawasan ini memiliki beragam bentuk bangunan, dengan fungsi dan ketinggian, bahkan status ketetapan yang berbeda-beda. Sedangkan komponen ruang luar di Pasar Baru tersusun atas berbagai pembentuk ruang, elemen penunjang dan utilitas, serta pengguna yang menggunakan ruang. Dan komponen jaringan transportasi terdiri dari moda transportasi pribadi dan publik, dilengkapi dengan areaarea parkir dan tempat perhentian sementara. Jalan-jalan di sepanjang Pasar Baru diramaikan dengan berjejernya pedagang kaki lima yang memperdagangkan makanan dan barang, tanpa ada penataan yang jelas. Dengan tingginya angka kendaraan bermotor yang ada di Pasar Baru, beberapa ruas jalan seringkali menjadi macet atau digunakan sebagai tempat parkir. Bertemunya jaringan pedestrian dan kendaraan bermotor seharusnya menguntungkan bagi pusat perbelanjaan berkonsep mall pedestrian, namun dalam kasus Pasar Baru, kurangnya penataan yang baik justru mengganggu kenyamanan dan keamana pengunjung. Tingkat kompleksitas pola-pola yang sudah ada ini menunjukan bahwa kawasan ini memiliki peluang besar untuk dikembangkan secara maksimal, termasuk di dalamnya elemen-elemen pembentuk tambahan baru yang membangun struktur bahasa pola yang baru, tetapi struktur lama yang membentuk karakter keruangan yang ada tetap harus menjadi referensi dari sistem keruangan yang ada secara keseluruhan. 64
Ilustrasi : Studi Pattern Language dari Kawasan Pasar Baru
Masalah lain yang terjadi di Pasar Baru sebagai mall pedestrian adalah buruknya sebagian besar kondisi bangunan, terutama pada bagian lantai atas. Karena mayoritas pengunjung berada di level lantai dasar, hanya ruang-ruang yang terjangkau pandangan di lantai dasar yang ditata, sedangkan fasade lantai dua dan tiga dimanfaatkan sebagai bidang iklan. Hal ini menimbulkan kontestasi visual di sepanjang jalan Pasar Baru dan membuat tampilan lorong di Pasar Baru tidak harmonis dan cenderung membingungkan. 65
2. Lansekap Urban Kawasan Pasar Baru Konsep landscape urbanism lahir sejak akhir abad ke-20 sebagai bingkai yang lebih besar dalam memahami kota; bukan melalui bangunannya secara individual, melainkan melalui tatanan kolektifnya dalam lansekap kota. Dengan berbasis pada teori ini, analisa kawasan Pasar Baru dimulai dengan melihat kawasan sebagai tumpukan lapisan, dan membukanya satu persatu. Dengan demikian, membongkarnya maka muncul kesempatan untuk melihat sesuatu yang tersembunyi di antara lapisan tersebut. Analisa ini dimulai dengan membuka ketujuh lapisan yang ada dengan model pemetaan dua dimesi (2D), lapisan tersebut antara lain: (1) void-solid, (2) ketinggian bangunan, (3) fungsi bangunan, (4) hierarki jalan, (5) bangunan peninggalan, (6) elemen softscape. Meskipun dipisahkan ke dalam lapisan-lapisan berbeda, lapisan ini terkait satu dengan yang lain, membentuk sistem lansekap kawasan.
Ilustrasi : Landscape Urbanism dari struktur keruangan Pasar Baru
66
Pasar Baru memiliki hierarki dalam struktur ruangnya. Kawasan ini didefinisikan dengan ruas jalan raya di sekelilingnya, dan sungai di sisi timur dan selatan. Di bagian dalam batasan tersebut, struktur kawasan didefinisikan dengan sebuah sumbu tegas dari utara ke selatan yang membelah kawasan menjadi dua bagian, dan oleh sebuah garis diagonal dari pusat ke arah selatan kawasan. Fungsi dan ketinggian bangunan nampak merespon bentuk kawasan ini, dengan bangunan tertinggi berada di tepian kawasan, dan fungsi komersil di sekeliling dan di sekitar sumbu kawasan. Bagian dalam kawasan yang tidak berhadapan langsung dengan batas luar didominasi bangunan berketinggian 2-3 lantai. Daerah di sekitar jalan lokal padat dengan bangunan sehingga berdampak pada tingginya intensitas aktivitas dalam kawasan. Karena kawasan ini mula-mula tumbuh secara organik, area terbuka hijau pada kawasan ini tidak berkembang seimbang dengan pertokoan, akibtnya lingkungan di Pasar Baru minim area resapan dan minimnya serapan polutan. 3. Everyday Urbanism di Kawasan Pasar Baru Kota tidak hanya terbentuk dari jaringan kompleks jalanan dan bangunannya, ada aktivitas sosial yang turut membentuk ruang-ruang sosial dalam ruang kota, yang menurut Margaret Crawford, membentuk jaringan kinetik (kinetic fabric) dan merupakan ruang yang paling dekat dengan kita untuk kita alami sehari-hari (everyday space). 7 Margaret Crawford memperkenalkannya sebagai everyday urbanism. Pendekatan ini bertujuan untuk menemukan makna dalam kehidupan sehari-hari (Mehrotra, 2004), yang terjalin dari relasi antar individu, kehidupan sosial dan ruang kota. Untuk melihat everyday urbanism, yang pertama-tama harus diidentifikasi adalah everyday space; tempat terjadinya interaksi sosial, 'ruang sosial', yang adalah 'produk sosial'.
Ilustrasi : Studi arsitektur keseharian pada Kawasan Pasar Baru
Mehrotra, Rahul (penyunting) (2004). Everyday Urbanism: Margareth Crawford vs. Michael Speaks. Michigan Debates on Urbanism I. halaman 18. 7
67
Dalam studi ini terdeteksi beberapa kelompok pelaku ekonomi yang beroperasi di luar bentuk formal, diantaranya: pedagang kaki lima, valuta asing, lalu lalang pengunjung dari berbagai etnis, dan penjual makanan tradisional. Karakter-karakter ini berkembang karena keberadaan koridor di Pasar Baru yang cukup luas dan menjadi akses utama menjelajah Pasar Baru. Koridor menjadi ruang yang menarik bagi pedagang karena dapat menyediakan pasar bagi mereka. Arsitektur keseharian dalam ruang Pasar Baru menunjukkan realitas sosial yang dipengaruhi oleh desakan ekonomi, yang lebih kuat dibandingkan tuntutan estetika ruang, sehingga keberadaan para pedagang nonformal ini tidak dapat dihilangkan begitu saja. Mereka ada karena ada pasar yang siap merespon kehadiran mereka. Menghilangkan ruang-ruang ini dapat berakibat fatal pada kelangsungan aktivitas di Pasar Baru karena [1] lapisan ruang yang sudah tertanam dalam ingatan masyarakat tentang Pasar Baru akan hilang bersama dengan para pedagang non-formal, juga bersama [2] fungsi yang dibawa para pedagang nonformal. Maka dari itu, Setiap respon arsitektur yang akan dibentuk nanti harus dapat mempertahankan kehidupan sosial yang sudah berlangsung di Pasar Baru. Arsitekturnya harus bersifat sosial, kongkrit, responsif, kontekstual, dan orisinil. 4. Tipologi Fasade di Pasar Baru Ruang sosial adalah produk sosial, yang merepresentasikan kehidupan sosial yang terjadi di dalamnya. Ruang disebut produk karena di dalamnya terkandung jaringan pertukaran dan arus 'bahan mentah' dan energi yang membentuk sebuah ruang dan menentukan kelangsungannya . Ketika produksi ruang sosial ini direplika terus menerus, yang terjadi bukan lagi produksi ruang sosial melainkan reproduksi ruang sosial (Lefebvre, 1994). Reproduksi ruang ini tumbuh sedikit demi sedikit hingga kemudian membentuk satu tipologi yang mewakili apa dikandungnya.
Ilustrasi : Studi Tipologi pada strip Pasar Baru
68
Dalam kasus Pasar Baru, tipologi yang menjadi dominan adalah tipologi fasade bangunan. Dengan morfologi sebuah arcade, fasade bangunan menjadi media informasi yang sangat kuat bagi pengunjung karena berada tepat dalam jangkauan visualnya. Tampak atau wajah yang mewakili kawasan Pasar Baru ini didominasi oleh shopping window yang memiliki beragam karakter serta papan penanda (nama toko) yang terpasang dengan tidak teratur. Secara umum, melalui studi ini dapat dilihat bahwa karakter awal bangunan telah mengalami berbagai perubahan bentuk yang disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan jaman, studi ini juga menemukan bahwa masih ada tampak atau wajah bangunan asli (sebagai bangunan peninggalan) yang tersisa. Sehingga peluang untuk mempertahankan originalitas tampak bangunan menjadi target penting dalam penataan kawasan ini. Dengan ide untuk penataan wajah kawasan yang mengedepankan keserasian dan keseimbangan serta nilai estetika sebagai sebuah shopping arcade. Dari keempat poin pembahasan di atas diketahui bahwa kasawan Pasar Baru memiliki elemen-elemen yang lengkap namun dengan pola yang tidak tertata. Elemen ini saling berbenturan dan tumpang tindih satu sama lain dalam satu ruang kota, yang mengakibatkan ketidak-nyamanan bagi pengunjung, baik dalam aspek fisik maupun visual. Namun elemen-elemen yang ada di pasar baru hadir karena kebutuhan yang tidak mampu dipenuhi secara formal, sehingga tidak satu elemenpun dapat ditiadakan. Peluang bagi kawasan ini untuk dikembangkan terletak pada penataan polanya tanpa merubah komposisi elemennya; merubah tampilan fisiknya tanpa merubah morfologinya. Demikian pula pada penataan pada fasade bangunan. Tipologi dimana lantai dasar adalah pusat informasi visual tetap dipertahankan, sedangkan lantai dua dan tiga diseragamkan untuk memberikan ruang bagi visual pengungjung sehingga informasi visual yang dierima tidak berlebihan. Kekayaan akan signage juga tidak direduksi, hanya diselaraskan, sehingga persaingan menarik atensi pengunjung beralih ke bentuk window shopping.
JAWABAN RISET Aspek-aspek apa saja yang menyusun struktur keruangan Pasar Baru? Sebagai sebuah pusat perbelanjaan berupa arcade, elemen ruang Pasar Baru kental dengan shopfront, ruang luar, dan jaringan pergerakan di dalam kawasan. Elemen-elemen lain yang muncul seiring perkembangannya, antara lain: [1] hunian tua di tepi-tepi kawasan, dan bangunan peninggalan berupa toko yang penting untuk dipertahankan; [2] ruang sosial di tengah aktivitas komersilnya, sehingga Pasar Baru berkesempatan membentuk komunitas antar pedagang dan pembeli yang tetap. Hal tersebut dikarenakan Pasar Baru masih sisa-sisa memiliki karakter pusat perbelanjaan tradisional; [3] aspek ekonomi non-formal yang membuat Pasar Baru menjadi tempat yang ‘serba ada’, mulai dari toko grosir, toko retail, hingga pedagang kaki lima. Masing-masing dengan kualitas dan harga yang berbeda. Lapisan-lapisan inilah yang membangun keruangan sekaligus citra Pasar Baru. 69
Seberapa jauh pola-pola baru dapat ditanamkan ke dalam ruang yang lama tanpa mengganggu struktur koheren sebelumnya? Secara umum, struktur keruangan Pasar Baru yang dapat dideteksi meliputi lapisan bangunan, lapisan ruang luar, transportasi, lansekap kawasan, kegiatan ekonomi, dan lapisan sosial. Lapisan-lapisan ini adalah elemen yang membentuk struktur keruangan Pasar Baru, sehingga untuk mempertahankan struktur koheren pada Pasar Baru, elemen-elemen ini tidak dapat dihilangkan. Masing-masing dari lapisan di atas memiliki komponen-komponen. Komponen inilah yang dapat ditambah, dikurangi, dirubah visualnya, atau dipindahkan untuk menata kawasan Pasar Baru menjadi lebih baik. Kemudian penambahan atau perubahan komponen harus mengacu pada pola keruangan yang sudah terbentuk sebelumnya. Hal ini ditujukan untuk menjaga karakter keruangan Pasar Baru yang familiar bagi pengguna ruang, baik pengunjung maupun pedagang. Dengan demikian, ruang di Pasar Baru dapat kembali beroperasi dengan pola yang sama, namun dalam kerangka yang lebih tertata. Ruang sosial juga dapat terus bereproduksi tanpa terhambat intervensi pola asing. Dapatkah ruang yang sudah ada menerima intervensi tanpa kehilangan memori kolektif yang sudah terkandung di dalamnya? Jawaban dari pertanyaan ini berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Memori kolektif dapat terbentuk dari aktivitas sosial yang kuat yang terjadi pada suatu tempat yang spesifik. Pada kawasan bersejarah seperti Pasar Baru, memori kolektif ini sangat berkaitan dengan karakter ruang yang bertahan sejak lama dan dikenal banyak orang. Dengan demikian, struktur keruangan hasil dari reproduksi ruang yang memberikan pengalaman khas pada Pasar Baru turut berperan dalam pembentukan memori kolektif. Memori kolektif dapat dipertahankan jika lapisan yang sudah ada dapat dihargai dalam menghadirkan intervensi. Lapisan ini merupakan pembentuk karakter keruangan Pasar Baru yang dalam perkembangannya membentuk pola yang tumpang tindih. Sehingga untuk mempertahankan memori ini, pola-pola keruangan dapat menerima intervensi dengan diperkaya, ditata atau bahkan direduksi sejauh tidak merombak struktur lapisan yang membentuk karakter keruangan Pasar Baru.
VISI RANCANGAN The New Passer Baroe: The Heritage With Soul - A Great Civic Space merupakan warisan budaya dan tempat bertemu banyak orang, ia memiliki ambisi sebagai: (1) Tempat yang memberikan identitas bagi kotanya. (2) tempat yang memberikan keuntungan secara ekonomi melalui penataan strip, selubung bangunan serta usulan program baru. (3) Tempat yang mengedepankan lingkungan berkelanjutan melalui pembatasan kendaraan pada koridor utama, serta permainan 'green' pada fasade bangunan, dan penataan landscape lingkungan. (4) Tempat terjadinya kegiatan sosial dan budaya, dengan memberi tempat berbagai aktifitas komunal dan bermacam kegiatan budaya. (5) Tempat yang menjadi tujuan pariwisata, melalui penataan yang efektif serta didukung dengan program-program baru. 70
Pada rancangan yang diusulkan, arsitektur hanya berperan sebagai bibit yang baru akan tumbuh jika menerima 'nutrisi' yang cukup dari segala elemen pendukungnya. Artinya, masing-masing elemen pengguna Pasar Baru harus turut merespon rangsangan yang diberikan untuk bibit ini dapat bekerja, sehingga vitalitas Pasar Baru dapat berkembang dari dalam, dengan arsitektur sebagai pemicunya.
DESKRIPSI RANCANGAN 1. Rancangan pada Skala Kawasan Penataan pada skala kawasan berorientasi pada pejalan kaki untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman bagi pengunjung, serta meminimalisir emisi gas kendaraan yang terjadi di kawasan. Jalur dan gerbang utama ditujukan untuk akses pejalan kaki dengan kendaraan umum. Kemudian pada simpul-simpul jalan yang dilalui pejalan kaki diadakan ruang publik sebagai focal point. Jalur utama bagi pejalan kaki juga dilengkapi dengan penghijauan berupa vertical garden untuk menjaga iklim mikro tetap rendah, mengingat Pasar Baru merupakan kawasan perbelanjaan yang terbuka.
Ilustrasi : Analisis berbagai elemen pembentuk kota, untuk melihat hubungan spasial secara keseluruhan
71
Ilustrasi : Rencana Tapak Micro pada Kawasan Pasar Baru
72
2. Rancangan pada Skala Distrik Pada skala distrik, perbaikan dilakukan pada infrastruktur jalan, selubung bangunan, dan kanopi. Sistem pada jalan menggunakan paving untuk meningkatkan resapan air hujan. Pola lantai pada jalan juga dirancang agar dapat memberikan informasi terkait simpul-simpul pada ruang terbuka dan penunjuk bagi difabel. Selasar di level lantai kedua dirancang dengan jembatan-jembatan penghubungnya untuk memicu aktivitas di lantai dua pertokoan. Tangga menuju selasar lantai dua diletakkan di setiap simpul jalan, sedangkan jembatan antar kedua selasar diletakan di sisi kanan dan kiri pada setiap bangunan situs peninggalan. Sebagai bentuk pelestarian dan penghargaan terhadap bangunan peninggalan, koridor lantai dua di depan bangunan peninggalan ditiadakan, dan digantikan dengan jembatan. Di sudut-sudut jembatan dirancang kantong-kantong untuk menjadi simpul berkumpul pengunjung sehingga dapat dengan jelas melihat fasade bangunan peninggalan. Deretan kolom kanopi yang berjajar linear dibentuk zigzag hanya pada bagian depan bangunan peninggalan sehingga tidak menghalangi pandangan ke arah fasadenya.
Ilustrasi : Gambar potongan sky bridge di tengah strip
Untuk mengimbangi kurangnya penghijauan di Pasar Baru, bangunanbangunan yang bukan merupakan bangunan peninggalan diselubungi dengan taman vertikal sebagai penghijauan pada kawasan Pasar Baru, dengan selasar di antara selubung dengan bangunan. Taman vertikal juga membantu menetralisir kontestasi visual yang terjadi di Pasar Baru. Dengan keseragaman yang diterapkan melalui taman vertikal, masing-masing toko dapat fokus menata area shopfrontnya. Hal ini dapat dibantu dengan penetapan regulasi mengenai papan tanda yang boleh digunakan oleh pemilik toko. Sehingga fasade bangunan dapat dengan selaras membentuk ruang di Pasar Baru.
73
Elemen lain yang mendominasi ruang di Pasar Baru adalah kanopi. Kanopi berperan sebagai langit dari kawasan ini. Rancangan kanopi yang diajukan berperan bukan hanya sebagai naungan, namun juga menjadi bidang tangkapan air untuk irigasi taman vertikal. Dari situ air hujan dialirkan langsung ke sistem pengairan taman vertikal, sehingga taman vertikal tidak memerlukan banyak campur tangan manusia untuk merawatnya. Sedangkan tiang-tiang penopang kanopi difungsikan sebagai penanda area pedagang kaki lima. Dengan demikian, keberadaan pedagang kaki lima dapat ditata tanpa menghilangkannya, atau merubah perannya dalam struktur keruangan Pasar Baru.
Ilustrasi : Sky Bridge yang menghubungkan pengunjung dengan bangunan heritage
Meskipun memiliki kekurangan lahan untuk ruang terbuka hijau, Pasar Baru dilalui sebuah sungai yang dulunya memiliki fungsi sebagai ruang terbuka biru. Sungai ini hendak kembali dihidupkan dengan memfungsikan tepiannya sebagai promenade dan area komersil. Di sepanjang tepian promenade dirancang sebagai pertokoan, sedangkan atap-atap promenade dimanfaatkan sebagai bidang iklan. Pemanfaatan ini bertujuan untuk menjadikan ruang terbuka biru sebagai sarana rekreasi yang produktif dan tidak lagi ruang yang terabaikan, sekaligus menambah pemasukan pengelola dan Pemerintah Daerah dengan adanya ruang 74
komersil. Bangunan komersil di sepanjang sisi promenade dirancang sebagai food court, dengan ruang yang luas dan pedagang yang dapat berubah-ubah. Promenade juga merupakan ruang budaya, yang dapat digunakan untuk festival-festival kebudayaan pada waktu-waktu tertentu.
ilustrasi : Visualisasi Suasana Area Publik Pinggir Sungai Ciliwung 75
THE NEW PASSER BAROE THE HERITAGE WITH SOUL - A GREAT CIVIC PLACE
76
REFERENSI Alexander, Christopher (1997). Pattern Language : Towns, Buildings, Construction. Oxford University Press. New York. Coleman, Peter. Shopping Environments: Evolution Planning and Design. Architectural Press. Oxford. 2006. Lefebvre, Henry (1994). The Production of Space. Blackwell. Oxford. Mehrotra, Rahul (Ed.) (2004). Everyday Urbanism: Margareth Crawford vs. Michael Speaks. Michigan Debates on Urbanism I. Michigan. Miles, Steven dan Miles, Malcolm (2004). Consuming Cities. Palgrave McMillan. New York. de Solà-Morales, Ignasi (1997). Differences : Topographies of Contemporary Architecture. MIT Press. USA.
77
SPIRIT OF LOCALITY PAVILIUN INDONESIA – VENICE BIENNALE 2014
Pimpinan Tim Penulis Naskah Tim Arsitek Produk Rancangan Luas Proyek Kriteria Lokasi Penyelenggara Tahun Hasil
: : : : : : : : : :
Agustinus Sutanto Adelia Andani Benny Suryadi, Vincent Heryanto, Silvia Adityavarna, Esther Prawira Instalasi Paviliun 1.000m2 Sayembara Paviliun Indonesia – Venice Biennale 2014 Venezia Biennale Foundation 2014 Finalis Tiga Besar
78
PENGANTAR Pada Venice Biennale 2014, isu ini diangkat dengan mengusung tema Fundamentals, sedangkan untuk Paviliun Indonesia diusung tema Absorbing Modernity : 1914-2014. Rem Koolhaas (sebagai Kurator utama) pada prolognya dalam Venice Biennale 2014 for Architecture mengungkapkan bahwa Identitas Nasional tampaknya telah dikorbankan dengan modernitas. Melalui rentang 100 tahun (1914 -2014), di dalam pengaruh rezim politik, pembangunan besar besaran, perkembangan teknologi, perkembangan sistem informasi dan universalisasi arsitektur telah membuat arsitektur yang dulunya spesifik dan lokal telah berubah dan menjadi global. Arsitektur dalam posisi ini telah mencapai status hegemonisnya, tidak kaya warna dan watak, bercorak monoton, positivistik, teknosentrik dan rasionalistik. Isu globalisasi sudah sejak lama berkembang di Indonesia. Sebagian membawa dampak positif seperti meningkatkan kecepatan distribusi informasi dan logistik, tingkat produktivitas, pembangunan kota, dan lain sebagainya. Namun dalam beberapa aspek, globalisasi membuat lubang besar yang secara tidak langsung menenggelamkan kebudayaan, seperti melunturkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokaldengan rasionalitas dan logika. Dalam arsitektur, kekuatan globalisasi menggusur keahlian ketukangan dan nilai-nilai tektonika dengan sistem dan material industrinya yang ‘mudah’ dan ‘cepat’. Dalam membahas isu lokalitas-globalitas, ada banyak sudut pandang yang dapat digunakan sebagai landasan, meskipun dengan tujuan akhir yang sama berupa produk arsitektur. Dalam jurnal ini, untuk menelusuri makna dibalik nilai-nilai dan idealisme lokal dan global, pembahasan akan lebih banyak menggunakan 'kaca mata' filosofis ketimbang kaca mata sosial maupun teknis. Meskipun dalam proses perancangannya, keterlibatan faktor teknis tidak dapat diabaikan, justru menjadi penting untuk menunjukan konsistensi dalam mengusung arsitektur lokal yang kaya akan ilmu ketukangan. Ada beberapa hal yang menjadi strategi dalam perancangan Paviliun Indonesia : [1] menampilkan spirit lokal melalui arsitektur, material, dan nilai tektonikanya. [2] Kemudian mengkolaborasikannya dengan unsur modern melalui penggunaan material dan program keruangannya. Pengkolaborasian ini bertujuan mencari dan menemukan dimana nilai-nilai modernitas seharunya berdiri ketika harus bersanding dengan nilai lokalitas. Dengan demikian, diharapkan kedua nilai ini dapat berjalan tanpa saling memusnahkan.
PERTANYAAN RISET Dalam menelaah dua kebudayaan berbeda dan peleburannya, ada kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh sebagai media pnelusuran, salah satunya adalah sejarah. Ada beberapa fokus pertanyaan diajukan untuk menggaris-bawahi pencarian nilai lokalitas melalu sejarah, diantaranya : 1. Mampukah arsitektur menjadi sangat nasional ketika gempuran globalisasi menjadi sangat dominan? 2. Bagaimana arsitektur lokal dan global diartikulasikan secara bersamaan tanpa menghilangkan nilai-nilai lokalitas yang ingin dicapai? 3. Bila sebuah bagian sejarah dipinjam dan dibangun kembali dalam versi yang berbeda, dapatkah sejarah itu memberikan wacana dan dimensi baru dalam arsitektur? 79
TUJUAN DAN SASARAN Keikut-sertaan Indonesia pada Venice Biennale memiliki tujuan atau agenda, baik dalam aspek politis, maupun dalam aspek pengembangan seni dan budaya. Khususnya melalui Paviliun Indonesia, arsitektur Indonesia memiliki agenda untuk menunjukan jati dirinya kepada dunia. Dalam Venice Biennale 2014, perancangan Paviliun Indonesia memiliki beberapa tujuan diantaranya : • Sebagai bentuk partisipasi Indonesia dalam ajang seni internasional, sekaligus menunjukan eksistensi arsitektur lokal Indonesia kepada dunia. • Mendefinisikan makna lokalitas dan modernitas dalam konteks ruang dan waktu di Indonesia. • Memicu kembalinya semangat lokalitas dalam arsitektur Nusantara.
ilustrasi : Model Paviliun Indonesia
KONTEKS Venice Biennale 2014 Venice Biennale merupakan ajang pameran seni yang diselenggarakan setiap dua tahun, termasuk di dalamnya Venice Biennale for Architecture yang merupakan pameran arsitektur dari berbagai negara. Venice Biennale for Architecture telah diselenggarakan sejak tahun 1980, namun keikut-sertaan Indonesia dalam ajang ini baru dimulai sejak tahun 2014.
80
Pada Venice Biennale 2014 for Architecture, diusung sebuah tema bertajuk Absorbing Modernity : 19142014 yang meneropong 100 tahun perjalanan arsitektur Nusantara bersandingan dengan modernitas. Bentang waktu 100 tahun ini dianggap sebagai rentang waktu dimana dialog dan intervensi antara lokal dan global terjadi secara intens, dan menantang landasan arsitektur Nusantara. Menelaah bentang waktu ini diharapkan dapat mendefinisikan kembali makna lokalitas dan eksistensinya di Indonesia. Spirit Lokal Indonesia Indonesia diakui sebagai sebuah negara yang berdaulat selama hampir 70 tahun, dan peradaban di tanah Indonesia sudah berkembang menuju modern selama lebih dari 100 tahunsetelah dijejaki bangsa Eropa. Namun sebelum berdaulat, semangat di tanah ini sudah terlebih dahulu ada dalam kepingan-kepingan yang tidak menyatu; kemerdekaan adalah sarana yang dicita-citakan menjadi pemersatu kepingan ini menjadi Indonesia. Meski demikian spirit yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk adalah yang membangun Indonesia hingga hari ini, membentuk kebudayaan dan kehidupan di dalamnya; spirit yang lahir murni dari interaksi manusia dengan alam. Spirit ini yang melahirkan kearifan lokal serta berbagai keahlian dalam mengolah dan mengelola alam, dan yang mendasari berbagai bentuk kebudayaan dan kepercayaan yang kini mungkin disebut 'primitif'.
TINJAUAN PUSTAKA MEMAKNAI RUANG DAN DWELLING Kata 'ruang' atau 'space' berakar pada bahasa Jerman, 'raum', yang berarti tempat yang dibebaskan atau dibersihkan untuk menetap, yang berada dalam sebuah batasan, untuk sesuatu memulai keberadaannya. Penggunaan kata 'ruang' pada terminologi modern sering kali direduksi maknanya hingga merujuk kepada sebuah tempat yang dibatasi secara fisik oleh empat bidang, sedangkan batasan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah batasan yang abstrak, yang belum ditetapkan wujudnya. Sedangkan Mircea Eliade memaknai ruang ke dalam dua sifat, ruang yang sakral dan ruang lainnya yang tidak sakral (profan); ruang yang sakral adalah ruang yang nyata ke'ada'annya dan memiliki nilai eksistensial, sedangkan ruang diluar ruang sakral adalah ruang yang homogen dan tidak berkarakter 1. Ruang dapat menjadi sakral ketika penghuninya mengulangi tindakan ketuhanan dengan membangun 'dunia' mikro di dalamnya sebagai representasi dari 'dunia' makro yang abstrak. Salah satu tindakan 'membangun dunia' adalah dengan menetap dan menghuni. Keputusan untuk menghuni (to dwell) merupakan keputusan untuk menempatkan eksistensinya pada sebuah 'ruang'. Menghuni (to dwell) suatu ruang memberikan orientasi kepada manusia, dengan ruang tempat menetapnya (dwelling) sebagai pusat (yang sakral). Untuk itu, tidak semua yang dibangun manusia adalah dwelling. Heideggermendeskripsikan dwelling sebagai "sesuatu yang dekat dan bertetangga, ini mengimplikasikan sesuatu yang bersahabat dan melindungi, menjaga, dan memperhatikan." 2 Kata 'membangun' (building) juga memiliki makna yang serupa.Dalam bahasa Jerman, 'membangun' disebut sebagai 'bauen' yang artinya 'to dwell'atau untuk menetap di suatu tempat. Meskipun memiliki arti membangun, dalam pengertian ini, kata 'bauen' memiliki makna mempertahankan, menghargai, dan 1 2
Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. halaman 13 Heidegger, Martin (1971). Poetry, Language, Thought. Harper Colophon Books. New York. halaman 143
81
merawat; spesifiknya dalam hal mengolah dan menggarap bumi.Maka dari itu, membangun seharusnya memiliki makna menjaga dan merawat, bukan membuat atau menciptakan sesuatu.Karena sifat yang timbal balik ini, lebih lanjut lagi, Heidegger mengatakan bahwa dwelling adalah karakter dasar dari sesuatu yang ada, berelasi dengan manusia di dunia. Dwelling memberikan memberikan energi terhadap ke'ada'an manusia di dunia.
ilustrasi : Model Paviliun Indonesia
MEMAHAMI WAKTU HISTORIS Selain berorientasi pada ruang, manusia juga meletakan pusaran dunianya pada orientasi waktu. Pengulangan tindakan ketuhanan dilakukan bukan hanya melalui pensakralan ruang, tetapi juga pada pensakralan waktu; misalnya melalui penciptaan durasi kosmik (maya) dalam bentuk kalender tahunan. Seperti halnya ruang, Eliade membagi waktu ke dalam dua sifat; durasi profan dan waktu sakral. Waktu sakral adalah penghadiran kembali waktu mitos, yakni waktu yang berulang pada setiap periodenya, sedangkan durasi profan adalah jarak diantara waktu sacral 3. Pergantian tahun melambangkan berakhirnya periode kehidupan lama dan dimulainya siklus kehidupan yang baru. Karena itu, kalender mitos mengulangi perayaan yang sama setiap tahunnya, misalkan pada perayaan-perayaan spiritual atau bentuk-bentuk peribadatan lainnya. Waktu sakral mengulang kembali 'waktu mitos' penciptaan sehingga melalui pengulangan waktu sakral, pesertanya menemukan kelahiran kembali. Sedang durasi profan diantara waktu sakral digunakan sebagai waktu persiapan menjelang tibanya waktu sakral. Dalam berbagai 3
Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. halaman 65
82
kepercayaan, durasi profan jugadimanfaatkan sebagai waktu untuk memantaskan diri agar pengulangan waktu sakral dapat berjalan dengan sempurna. Selain waktu mitos yang menggambarkan 'pada permulaan', ada pula waktu historis yakni waktu yang dapat ditandai kehadirannya sebagai bagian dari sejarah. Waktu historis ini dapat pula ditandai sebagai waktu sakral jika ada manifestasi mitos di dalamnya. Misalnya seperti kelahiran Yesus atau Yahwe, yang menjadi titik tolak bagi penganut Kristiani, namun kelahirannya juga dapat ditandai dalam sejarah yaitu ketika pemerintahan Pontius Pilatus. Dengan demikian, waktu mitos kelahiran Yahwe memiliki sifat historis yang juga sakral. Namun dalam konteks sosial, Marcel Mauss dan Henry Hubert mengutarakan, bahwa sakral bukan lagi terbatas mengenai agama maupun mitos, melainkan produk dari tindakan kolektif 4. Sehingga waktu sakral dapat bermanisfestasi pada event yangmemiliki nilai spirit atau semangat yang menyeluruh, yang merubah sebuah kondisi dan tatanan yang ada secara fundamental. Maka dapat dikatakan bahwa sejarah dapat menjadi bagian dari waktu historis sakral dalam kehidupan manusia. Michael Foucault mengungkapkan bahwa sejarah yang 'efektif' akan muncul dari kondisi hidup yang stabil dan alami. Menurut Foucault, kebanyakan pengetahuan tidak lagi dibuat untuk dimengerti, tetapi dibuat terpenggal-penggal demi kepentingan pemenggalnya. Foucault telah melihat sejarah yang 'efektif' sebagai bagian yang tidak terpenggal-penggal, tetapi sebuah pengetahuan yang merepresentasikan dirinya (sejarah itu sendiri) dan pengetahuan lainnya (diluar sejarah itu sendiri) untuk membangun guna dan citra bagi kepentingan manusia.5 Namun sejarah secara mendasar tidak dapat mengubah struktur simbolisme kuno. Sejarah secara terus-menerus menambah arti-arti baru, namun mereka tidak menghapus struktur dari simbol6. Sejarah hanya dapat memberikan wajah yang baru, sedangkan spirit yang sama tetap ada di dalam. PERGERAKAN PERADABAN Menurut Alfin Toffler, peradaban dunia dimulai sejak gelombang pertama dimulai, yakni peradaban petani. Ketika gelombang pertamamendominasi dunia, manusia mulai dikategorikan ke dalam kelompok "beradab" dan "primitif". Kelompok beradab adalah kelompok para petani yang menggarap bumi, sedangkan kelompok primitif adalah kelompok yang masih menggantungkan keberlangsungan hidupnya pada kegiatan mengumpulkan makanan; kelompok petani inilah yang menjadi akar berkembangnya kebudayaan di berbagai belahan dunia 7, termasuk di Indonesia. Dari peradaban, lahir banyak aspek-aspek baru dalam kehidupan manusia termasuk sistem hierarki dalam tatanan sosial dan kebudayaan. Dalam bahasa Inggirs, kata 'budaya' diterjemahkan sebagai 'culture', dan 'cultura' dalam bahasa Latin. Kata 'cultura' muncul dalam bahasa latin pada pertengahan abad ke-15, yang berarti 'cultivation' atau 'penanaman' (pengolahan, pengembangan, pemeliharaan, dll.). Relasi ini menunjukan bagaimana kebudayaan lahir dari adanya kepentingan untuk menanam di bumi atau mengolah bumi.
Gomez, Liliana dan van Herck, Walter (2012). The Sacred in the City. Bloomsbury. New York. Foucault, Michel (1971). Nietzsche - Genealogy - History (essay). halaman 88 6 Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. halaman 141 7 Toffler, Alvin (1988). Gelombang Ketiga. PT. Pantja Simpati (diterjemahkan). Jakarta. halaman 39 4 5
83
Dari kebutuhan untuk menanam di bumi pula muncul figur-figur lambang kesuburan atau lambang penjaga kehidupan Bumi (di Indonesia misalnya figur Dewi Padi yang disebut Dewi Sri di tanah Jawa); Bumi dianggap sebagai Ibu (Mother Earth) yang memberikan kehidupan. Lahirnya kepercayaan kemudian mendesak diadakannya ritual penyembahan dan upacara-upacara religius. Upacara menjadi upaya mendekatkan diri dengan dewa-dewa atau makhluk setengah dewa, agar yang profan menjadi sebaya dengan yang sakral8, yang mana saat ini lebih dimaknai sebagai kegiatan seni yang bernilai estetis. Wilayah-wilayah yang berakar pada budaya pertanian memiliki kekayaan budaya yang berorientasi pada kemurahan figur feminin Ibu Bumi (Mother Earth), termasuk Indonesia; berbeda dengan negara-negara Barat yang mayoritas berorientasi pada kekuasaan figur maskulin Bapak Langit (Father Sky). Segala yang digunakan dan dikonsumsi adalah pemberian Ibu Bumi, baik untuk kebutuhan membangun naungan maupun untuk pangan. Dan karena apa yang diambil dari Bumi adalah pemberian, maka harus dikembalikan, dirawat, dan dihormati. Dengan demikian, masyarakat gelombang pertama hanya menggunakan sumber alam yang dapat terbarukan, dan penggunaannya berdasar pada pemenuhan kebutuhan hidup, bukan kebutuhan ekonomi. Orientasi Ibu Bumi ini juga dimanifestasikan dalam banyak aspek keseharian masyarakat di Nusantara sebagai masyarakat agraris, termasuk dalam arsitektur. Salah satunya adalah tipologi rumah panggung yang dimiliki sebagian besar bangunan vernakular di Nusantara, yang menggambarkan bagaimana kaum adat menghargai Bumi dan hanya 'menumpang' kepadanya. Dengan menghargai Bumi, arsitektur vernakular menjadi sangat responsif terhadap perilaku alam dan karenanya harmonis dengan lingkungannya.
ilustrasi : Model Pavilun Indonesia
8
Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. halaman 89
84
ilustrasi : Model Paviliun Indonesia
MELIHAT MODERNITAS Modernitas merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada satu masa paska medieval di Eropa dan seluruh dunia. Kelahiran masa ini ditandai dengan meledaknya gerakan industri pada abad ke-19 yang secara esktrim merubah pola produksi kota-kota di dunia; yang efeknya turut merubah gaya hidup, pola pendidikan, arsitektur kota, dan akhirnya merubah wajah seluruh peradaban. Alfin Toffler menandai masa ini sebagai gelombang kedua; gelombang peradaban yang muncul dan berkembang setelah gelombang pertama yakni peradaban para petani. Revolusi industri digambarkan Toffler sebagai gelombang yang 'menghancurkan masyarakat lama dan menciptakan peradaban yang seluruhnya baru'. Dikatakan 'menghancurkan' karena revolusi industri merubah tatanan paham yang tadinya bersifat kosmis dan mistis menjadi rasionalis, dan mengosongkan muatan religiusnya; dikatakan 'menghancurkan' karena tidak jarang bentrokan antar gelombang terjadi, bahkan saling berusaha memusnahkan. Pembangunan yang terjadi selama gelombang kedua berbasis pada perkembangan teknologi dan ekonomi. Orientasi pembangunan pada masa ini tidak lagi pada asas'culture' atau 'cultivation' yang sifatnya merawat dan menghargai, melainkan pada asas 'construction' yang sifatnya mendirikan atau menumpuk diatasnya, dan memisahkan kegiatan membangun dari makna kosmik kegiatan itu sendiri. Tatanan tidak lagi berlandas pada pemaknaan morfologi kosmik melainkan pada pembagian fungsi di dalamnya yang menjaga keteraturan peradaban ini.
85
Gelombang kedua atau peradaban modern sampai ke Indonesia ketika diperkenalkan oleh bangsa Eropa sekitar abad ke-16, dan seolah-olah kembali membagi peradaban ke dalam dua kelompok, 'yang lebih primitif' dan 'yang lebih beradab'. Sejak saat itu perkembangan bergerak menuju ke arah 'yang lebih beradab' dengan mengadaptasi cara hidup bangsa Eropa, bahkan setelah Indonesia menyatakan dirinya berdaulat. Gerakan ini serta merta meredupkan pola-pola peradaban lama dan menggantikannya dengan kota-kota modern berkarakter internasional, yang orientasinya berlandaskan nilai-nilai ekonomis dan fungsionalis. MEMAKNAI LOKALITAS Lokalitas bukanlah sebuah gerakan baru dalam dunia arsitektur.Kemunculannya menjadi terasa seiring dengan gencarnya gerakan modernitas di dunia.Lokalitas telah dianggap sebagai senjata yang tepat untuk menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang berkembang pesat di kehidupan manusia modern (di gelombang kedua) saat ini. Ruang-ruang kapitalis ini berkembang bukan hanya di ruang fisik kota, melainkan juga di ruang budaya dan kemanusiaan. Dan yang mampu mengimbanginya adalah semangat lokalitas. Meminjam Lewis Mumford ada beberapa aspek dalam memandang nilai kelokalitasan:(1) Lokalitas bukan hanya terpaku dari kebesaran sejarah. Sebuah kekeliruan ketika mencoba meminjam sejarah dari sebuah tradisi dan langsung menstransfernya ke dalam sebuah ruang yang kosong – ruang yang dihasilkan adalah ruang yang tidak memiliki jiwa.Tugas arsitek bukan hanya membuat imitasi arsitektur pada masa lampau tetapi mencoba mengerti dan memahaminya; bukan hanya meminjammaterial atau menduplikasisebuah contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi harus mulai mengetahui tentang diri dan lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.(2) Lokalitas adalah tentang
ilustrasi : diagram konsep inside-outside Paviliun Indonesia
86
bagaimana melihat bahwa seharusnya sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak terduga. Yang terpenting dari semua yang dilakukan lakukan adalah membuat penikmatnya merasa seperti di rumah dalam lingkungannya.Lokalitas harus dimunculkan karena memang dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan manusia. Ada kebutuhan sosial – ekonomi bahkan politik serta lingkungan dalam jiwa lokalitasitu sendiri.(3) Lokalitas dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun sebuah tradisi baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini, sebuah tradisi harus selalu ditempatkan dalam konteks tentang hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal kenangan apabila tradisi itu tidak dapat bernegosiasi dengan mesin-mesin teknologi. Membuat lokalitas menjadi pintar adalah membuat lokalitas yang dapat berkelanjutan dalam teknologi yang tepat guna.(4) Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap penggunanya, modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji dalam nilai keteraturannya, kooperatif, kekuatannya, kesensitifitasannya, juga terhadap karakter dari komunitas di mana lokalitas ingin ditempatkan.(5) Global dan lokal bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan tetapi mereka saling melengkapi. Mumford menekankan perlu adanya keseimbangan di antara mereka. Keseimbangan di mana global mencetak mesin-mesin kapitalis sedang lokal mencetakkomunitas. Lokalitas perlu menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang utama dalam nilai ke-universal-an. Eko Prawoto menamakan arsitektur lokal sebagai 'arsitektur kampungan', yang artinya bahwa lokalitas sebuah kampung membentangkan sebuah diskursus yang ketat untuk memahami realitas kampung sebagai ide untuk membahasakan objek yang disebut sebagai arsitektur. Bagi Eko Prawoto, kampung adalah sumber inspirasi untuk menjawab persoalan-persoalan antara ruang dan manusia; "ada kehangatan, kreativitas, kejujuran, dan (tentu) tentang manusia." Lebih lanjut, Eko Prawoto mengutarakan bahwa arsitektur kampung memiliki kebebasan yang tidak dimiliki aliran-aliran arsitektur lainnya; tidak harus mengikuti warna, bentuk, atau langgam tertentu; apa yang digunakan datang dari apa yang ada dan diinginkan atau dibutuhkan. Menurut Eko Prawoto, beberapa aspek penting dalam membahasakan arsitektur lokal antara lain dengan memahami bahwa (1) arsitektur bukanlah suatu entitas yang lepas dan mandiri, keberadaanya haruslah menjadi kesatuan integral dengan sekitarnya baik secara sosial, spasial, maupun lingkungan. Kemudian, (2) berarsitektur adalah membuat desain yang terbuka atau open-ending, yang merupakan perwujudan nilai-nilai dan sikap menghargai ekspresi identitas budaya sebagai cerminan nilai-nilai transenden. Bagi Eko Prawoto, kearifan lokal mengajarkan tentang bagaimana 'membaca' potensi alam dan 'menuliskannya' kembali sebagai tradisi gubahan arsitektur. Memaknai lokalitas artinya memaknai tentang bagaimana memahami sejarah bangunan,memori - persepsi – identitas, material - tektonik, latar belakang sosial budaya, isu-isu konservasi serta keseharian, yang pada akhirnya keseimbangan hasil dan proses menjadi kata kunci untuk mewujudkan arsitektur.
METODOLOGI Studi lokalitas dan modernitas sebagai bagian dari sejarah melalui pandangan filosofis. Dalam studi ini, lokalitas dan modernitas dibaca sebagai bagian dari sejarah, dimana keduanya direntangkan dalam dua dimensi : ruang dan waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dimana makna lokalitas dan modernitas berperan dalam membentuk apa yang hari ini disebut sebagai spirit berbudaya. 87
Dalam pembedahan ini, digunakan sudut pandang filosofis yang didasari pada studi literatur, khususnya untuk memahami nilai filsafat budaya Timur dan Barat. Memahami gerakan modernitas dan lokalitas serta dialog yang terjadi di Indonesia. Gerakan lokalitas dan globalitas muncul dan berkembang di Indonesia dengan dialog intens diantara keduanya. Dialog ini menunjukan nilai-nilai dari kebudayaan yang lebih dominan, ada pula nilai yang dikalahkan karena harus menyesuaikan. Maka untuk kembali mendialogkan keduanya dalam rancangan, perlu dipahami masing-masing karakter yang dikandung, serta bagaimana sifat dan watak yang direpresentasikan oleh masing-masing gerakan. Sehingga dialog baru yang terjadi dapat menjadi dialog yang kaya akan makna dan seimbang. Menerapkan implikasi budaya, modernitas dan lokalitas terhadap arsitektur ke dalam rancangan. Karena penelusuran dilakukan dari sudut pandang filosofis, maka penerapan rancangan juga dilakukan secara filosofis. Nilai filosofis ini bukan hal yang mudah ditangkap oleh pengunjungnya, sehingga nilai ini akan disampaikan dengan suasana keruangan yang puitis namun mampu menyampaikan dan dimaknai sebagai suatu simbol. Penyampaian makna keruangan ini disampaikan melalui bentuk, material dan tektonika, warna dan cahaya.
JAWABAN RISET Mampukah arsitektur menjadi sangat nasional ketika gempuran globalisasi menjadi sangat dominan? Arsitektur yang nasional bukanlah arsitektur yang nostalgik, yang mengulang bentuk lama di tengah-tengah konteks yang baru, melainkan arsitektur yang mampu menampung dan merespon spirit dan karakter kolektif bangsa dalam konteksnya. Sedangkan karakter muncul karena interaksi yang jujur dan natural antara manusia dengan lingkungannya. Karakter Nusantara lahir dari budaya agrikultur, yakni dari desakan untuk mengolah bumi, sehingga karakter ini dapat menjadi kuat ketika ada kemampuan untuk jujur pada keadaan dan lingkungannya. Sedangkan globalisasi tidak harus diletakkan sebagai oposisinya, bahkan seharusnya dapat menjadi faktor yang memperkuat karakter lokal jika arsitektur mampu mewujudkan kejujuran tersebut. Bagaimana arsitektur lokal dan global diartikulasikan secara bersamaan tanpa menghilangkan nilainilai lokalitas yang ingin dicapai? Lokalitas dan globalitas bukanlah sesuatu yang harus bertentangan. Keduanya adalah ‘kendaraan’ netral yang berfungsi bergantung pada pemakainya. Menghargai lokalitas tidak berarti menolak keberadaan modernitas, tetapi bijaksana dalam memanfaatkannya. Pada Paviliun Indonesia, hal ini dicapai melalui aplikasi konsep inside – outside. Penerapan konsep ini bukan hanya pada bentuknya, melainkan pada penghargaan akan nilai-nilainya. Inside yang adalah lokal, memiliki sifat memberi, sehingga material yang ada dipandang sebagai ‘pemberian’ dari Bumi, yang harus diperlakukan dengan layak dan dieksplorasi kemampuannya. Bukan diletakkan sebagai objek ornamental dan mengerdilkan potensinya. 88
Sedangkan outside adalah dunia yang selalu bergerak, yang dalam konteks ini adalah modernitas. Outside bukanlah yang inti, ia adalah latar belakang dari yang inti (inside). Outside tidak hadir untuk mendominasi, melainkan melengkapi dan memberikan apa yang diperlukan untuk menghidupi dan merawat inside. Bila sebuah bagian sejarah dipinjam dan dibangun kembali dalam versi yang berbeda, dapatkah sejarah itu memberikan wacana dan dimensi baru dalam arsitektur? Sejarah membentuk ruangnya dalam kontinuitas waktu.Meminjam sejarah berarti merekonstruksi sebuah ruang dan waktu historis. Makna dari karakter sejarah muncul pada masanya karena terjadi secara alami; muncul karena interaksi spirit manusia dan spirit lingkungannya.Ketika direkonstruksi tanpa ada faktor kemanusiaannya, ruang historis hanya merupakan imitasi; tidak ada karakter baru yang dimunculkan, dan tidak dapat memicu wacana maupun dimensi baru. Sebaliknya, ruang historis dapat menjadi wacana baru ketika dipinjam untuk dimaknai kembali dalam konteks kemanusiaan saat ini. Sehingga ruang historis tersebut dapat beradaptasi dan menjadi ruang-ruang yang baru.
KESIMPULAN Paviliun Indonesia berupaya menggali spirit lokalitas yang kontemporer, yakni spirit lokalitas yang mampu dengan bijaksana memilah kepentingan lokal dengan modernitas sebagaiunsur komplementernya. Dalam hal ini, cara yang ditempuh adalah melalui penghargaan akan nilai dan makna filosofisnya dan ditunjukan melalui material dan tektonikanya. Material, yang adalah pemberian Bumi, dieksplorasi untuk menemukan potensinya, bukan hanya menjadi objek ornamental. Sedangkan material industri sebagai lambang modernitas, dimanfaatkan untuk melengkapi unsur lokalitas tersebut, bukan menggantikannya. Lapisan lain yang hendak dijelajahi dalam mendefinisikan lokalitas dan modernitas adalah melalui aspek sejarah.Sejarah dalam Paviliun Indonesia dimanfaatkan sebagai media menelusuri nilai-nilai lokalitas dan mengikuti pergeserannya. Sejarah memberi jalan untuk menemukan spirit lokalitas yang tersembunyi dibalik ‘hingar-bingar’ modernitas.
89
ilustrasi : Skema pendirian paviliun
ANALISIS DAN SINTESIS Ruang dan waktu sebagai orientasi bagi kehidupan manusia. Jika dilihat dari aspek keruangannya, Nusantara merupakan sebuah dwelling raksasa bagi puluhan juta jiwa. Eksistensi yang dikandungnya bermanifestasi dalam lapisan-lapisan yang kaya dan berelasi dengan eksistensi lainnya di Bumi.Budaya lokalitas dan modernitas adalah salah satu produknya. Gerakangerakan ini lahir dari eksistensial manusia yang berkembang seiring dengan berjalannya peradaban dalam suatu bentangan waktu. Karena berangkat dari bibit eksistensial yang sama, antara lokalitas dan modernitas terdapat ruang untuk didialogkan, dan dialog-dialog ini yang merangkai perjalanan arsitektur di Indonesia selama 100 tahun terakhir. Dialog-dialog ini ikut menjadi bagian dari sejarah dan mengisi durasi profan dalam rentang waktu diantara waktu-waktu historis. Waktu historis ini dapat terjadi pada berbagai skala, mulai dari skala kawasan, skala kota, hingga nasional. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki waktu historis sakral yang memberikan pengaruh secara signifikan kepada ranah arsitektur Nusantara. Pengaruh ini kemudian melakukan penyesuaian (berdialog) degan kondisi budaya dan iklim setempat hingga titik waktu historis berikutnya dan terekam sebagai bagian dari perjalanan mencari arsitektur Indonesia. Durasi profan juga menjadi sebuah rentang yang penting untuk ditelaah, karena pencapaian arsitektur hari ini berangkat dari dialog-dialog yang terjadi selama rentang waktu tersebut. Mengkaji dialog-dialog yang terjadi dalam rentang durasi profan, membantu arsitek menemukan apa yang dicari untuk membentuk karakter arsitektur berikutnya; entah itu menjadi semakin fungsionalis dan berorientasi pada kepentingan kapital; atau kembali ke bentuk-bentuk vernakular dan tropis; atau dialog keduanya.
90
ilustrasi : Model Paviliun Indoensia Misalnya ketika Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Sesaat setelahnya, pembangunan di Indonesia berakselerasi secara agresif dengan mengacu kepada modernism, untuk menunjukan kekuatannya kepada dunia. Meski demikian, nyatanya pembangunan ini berpusat di Jakarta, sedangkan di Timor Timur dan Papua Barat justru sebaliknya. Ketimpangan kehidupan sosial dan ekonomi terjadi sehingga terjadi usaha untuk memisahkan diri. Sebagai contoh, Timor Timur yang memisahkan diri, mengakibatkan pembangunan mengalami koreksi, bahkan peninggalan budaya dapat lenyap dan arsitektur harus dilahirkan kembali sebagai imitasi objek lama. Proses ini tidak terjadi secara singkat, melainkan tahap demi tahap dalam durasi profan. Demikianlah nampak bagaimana sejarah mampu berdialog dengan arsitektur pada suatu waktu dan menandai suatu perubahan. Memang pemicu perubahan ini adalah waktu historis yang sakral, namun dampak-dampak yang terjadi paska proklamasi kemerdekaan terjadi dalam rentang durasi profan. Durasi profan mampu menceritakan lebih banyak ketika berbicara mengenai sebuah proses, karena pada durasi inilah perubahan terjadi tahap demi tahap. Inside – Outside Menetap di suatu tempat di dunia memberikan manusia nilai eksistensial. Nilai eksistensial menjadi ada dan kuat jika ketika manusia mendefinisikan 'dunia'nya diatas dataran Bumi yang tidak berujung. Dataran 91
bumi terdiri dari hamparan lansekap dan objek-objek natural yang ada di atasnya. Ketika manusia membangun diatasnya, objek-objek kultural yang dibangun manusia berelasi dengan objek natural dan menjadikan baginya sebuah 'tempat' atau dwelling. Dengan mendefinisikan dwellingnya, manusia telah memiliki nilai inside (enclosure) terhadap outside (extensions). Figur inside dan outside berelasi merangkai figur permukaan Bumi, dengan figur inside menjadi fokusnya. Inside adalah apa yang lahir dari keberadaan manusia di masa primordialnya, sedang outside adalah kontinuitas ruang dan waktu. Perlakuan manusia pada Bumi melahirkan karakter, baik pada inside maupun outside. Sehingga, berbeda manusia, berbeda perlakuan, berbeda pula karakternya. Karakter inilah yang menjadikan manifestasi spirit manusia pada sebuah batasan wilayah berbeda satu dengan yang lainnya. Pada masyarakat primordial, relasi inside dan outside adalah sesuatu yang sakral untuk dijaga, termasuk pada perkampungan vernakular di Indonesia. Relasi antara perwujudan spirit manusia dan spirit alam dijaga agar tetap seimbang dan sinergis. Sedangkan pada peradaban modern, rasionalitas membuat sinergi inside-outside terputus, dimana dwelling tidak lagi menjadi naungan manusia, melainkan naungan bagi ego manusia. Dan nilai kosmologis pada inside-outside bertransformasi menjadi nilai praktis dan komersil. Pada Paviliun Indonesia, ada upaya untuk mendefinisikan kembali relasi inside-outside dan mengartikannya ke dalam konteks-konteks yang baru. Secara fisik, inside-outside didefinisikan sebagai dwelling dan dunia di luarnya. Namun secara abstrak, inside-outside dapat dilihat sebagai ideologi 'yang di dalam' dan 'yang di luar'. Ideologi merupakan kumpulan ide dan gagasan yang melandasi suatu tujuan hidup. Ideologi inside lahir murni dari interaksi masyarakat lokal dengan alam, yang kemudian menghasilkan kearifan lokal dan petuah yang diwariskan turun temurun. Sedangkan ideologi outside adalah hasil pencarian akan yang lebih dan yang baru. Ideologi outside dapat datang dari segala arah; pencariannya berkembang dengan pesat dan belum selesai. Ia senantiasa berdialog dengan inside dan menyalurkan pengaruhnya. Merespon Lokal dan Global Perkembangan arsitektur di Indonesia yang menuju ‘kebarat-baratan’ dimulai sejak jaman pemerintahan Belanda dengan gaya arsitektur Neo-Klasiknya. Kemudian paska kemerdekaan, Indonesia mulai meletakan orientasi pembangunannya pada bentuk-bentuk modern seperti pada pembangunan Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, dan poros Thamrin-Soedirman yang digagas oleh Presiden Soekarno. Namun datangnya pengaruh modern (yang datang pada era gelombang kedua) tidak lantas menyapu bersih peradaban sebelumnya, tetapi 'terselip' dan 'saling silang' dengan budaya yang ada. Sejak era 1950-an, praktisi-praktisi arsitek-arsitek mulai mencari makna dan bentuk regionalisme arsitektur Indonesia. Dan menghasilkan beberapa versi arsitektur dari hasil pencarian tersebut, termasuk versi arsitektur lokal yang humanis dari karya-karya Romo Mangun, atau versi arsitektur Indonesia pada gedung Rektorat Universitas Indonesia. Hingga saat ini, pencarian ini tidak pernah menemukan satu jawaban yang mutlak benar, yang ada hanya argumen demi argumen mengenai seperti apa gaya arsitektur yang mencerminkan Indonesia.
92
ilustrasi : Model Paviliun Indonesia
Ditengah dualisme ini (lokal dan global), Paviliun Indonesia berupaya ambil bagian dalam mendefinisikan makna lokal dengan prinsip kembali ke dasar. Kembali ke dasar adalah strategi untuk melihat kembali, bagian mana yang dapat ditata ulang, dan bagian mana yang harus dibiarkan demikian adanya. 'Kembali ke dasar' memberikan manusia kesempatan untuk melihat ke'ada'an dengan jernih dan tanpa manipulasi atau rekayasa. Sehingga keindahan arsitektur dapat muncul dari kejujurannya, dan dinilai dengan apa adanya. Prinsip 'kembali ke dasar' diterapkan pada Paviliun Indonesia dalam aspek ruang maupun material. Dengan bentuk-bentuk dasar dan material sederhana, Paviliun Indonesia dirancang untuk menjadi sebuah ruang yang memberikan kebebasan bagi penggunanya melengkapi sendiri paviliun ini. Semakin sederhana bentukannya, semakin besar peluang penggunanya untuk meruang di dalamnya, dan menciptakan maknanya sendiri. Dengan kembali ke dasar, justru ada lebih banyak peluang pengembangan yang mungkin terjadi dan lebih banyak makna-makna baru yang mungkin muncul kemudian. 93
ilustrasi : Denah paviliun dalam babakan sejarah
PROPOSAL DESAIN Paviliun Indonesia : Inside-Outside Proyek Paviliun Indonesia ini merupakan sebuah proyek yang merepresentasikan tentang semangat lokalitas dalam perjalanan totalitas kehidupan modern pada komposisi keruangan yang ditampilkan. Komposisi keruangan yang ada merupakan dialog dua buah spirit yaitu spirit modernitas dan spirit lokalitas. Oposisi biner dari lokal-modern merupakan jawaban tentang bagaimana kita membangun ‘dwelling’ bagi kehidupan keseharian kita sekarang ini dan ideologi kita sebagai sebuah bangsa. Proyek ini mencoba mendialogkan komposisi Inside – Outside dalam gubahan arsitekturnya. Inside adalah apa yang lahir dari manusia primordial, khususnya di Indonesia; inside adalah karakter keIndonesiaan yang lahir dari kebutuhan manusia akan dwelling di Nusantara; Inside adalah spirit primordial yang selalu ada di dalam, tumbuh sebagai dirinya sendiri; Inside adalah lokalitas. Lokalitas bersifat di dalam, tumbuh sebagai dirinya sendiri, menjadi utama bagi sebuah identitas serta pusat dari perhatian yang perlu dirawat dan dijaga. Outside adalah kontinuitas dunia yang senantiasa bergerak dalam ruang dan waktu; outside adalah keIndonesia-an yang berinteraksi dengan budaya-budaya baru; outside adalah spirit yang dinamis dan agresif; outside adalah modernitas. Modernitas bersifat di luar, berusaha untuk masuk, mengelilingi dan mengintervensi sebuah kondisi.
94
Ambisi membangun spirit modernitas dan lokalitas merupakan refleksi dari perjalanan ‘sejarah’ dan bagaimana isu-isu keruangan terjadi dalam kehidupan keseharian kita. Spirit modernitas dituangkan dalam wujud tangga yang melingkar dengan menggunakan material modern yang diwakili oleh produk industri, yaitu kaca dan baja. Komposisi kaca dan baja merepresentasikan tentang bagaimana bahan-bahan ini menguasai dunia dengan kekuatan dan kepraktisannya. Di sisi yang lain, spirit lokalitas yang menjadi pusat dari komposisi yang ada, diwakili oleh sebuah bentuk yang berkarakter `vernakular` dimana penggunaan bahan bamboo menjadi material utamanya. Bambu dipilih untuk mewakili ide bagaimana material lokal dan menghasilkan efek yang 'hangat' dan 'ramah', juga dekat dengan alam. Proyek ini berusaha untuk tetap konsisten dan menampilkan semangat kelokalannya dalam nuansa keruangannya. Pemilihan nuansa redup (traditional atmosphere) dengan permainan material dan tektonik yang bersifat lembut seperti kain batik, bambu yang bersifat lentur, kaca yang transparan dan kerangka baja yang bersifat keras diharapkan dapat membangun imaginasi tentang sebuah Paviliun Nasional Indonesia – sebuah paviliun yang beraroma `kekampungan`, penuh `dialog`, antara `global dan spesifik` serta memberikan persepsi yang mendalam. 95
REFERENSI Eliade, Mircea (2002). Sakral dan Profan. Fajar Pustaka (diterjemahkan). Jogjakarta. Foucault, Michel (1971). Nietzsche - Genealogy - History.essay. Gomez, Liliana dan van Herck, Walter (2012). The Sacred in the City.Bloomsbury. New York. Heidegger, Martin (1971). Poetry, Language, Thought. Harper Colophon Books. New York. Jung, Carl Gustav (1958). Psychology and Religion : West and East. Pantheon Books. New York. Manguwijaya, Yusuf Bilyarta (1988). Wastu Citra : Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendirsendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Norberg-Schulz, Christian (1979).Genius Loci : Towards a Penomenology of Architecture. Rizzoli. Edinburg Pangarsa, Galih Widjil (2008). Arsitektur Untuk Kemanusiaan : Teropong Visual Culture atas Karya-Karya Eko Prawoto. PT. Wastu Lanas Grafika. Surabaya Toffler, Alvin (1988). Gelombang Ketiga. PT. Pantja Simpati (diterjemahkan). Jakarta.
96
THE SEVEN SACRAMENTS SPIRIT OF SPACE GEDUNG GEREJA SANTA MARIA - PAROKI KOTA BUKIT INDAH, CIKAMPEK 2015
Prinsipal Arsitek Pengarah Penulis Naskah Arsitek Tim Desain Produk Rancangan Luas Bangunan Luas Lahan Kriteria Kategori Lokasi Klien Tahun Biaya
: : : : : : : : : : : : : :
Agustinus Sutanto Romo Mikael Adi Siswanto Adelia Andani Vincent Heryanto dan Silvia Adityavarna Benny Suryadi, Esther Prawira. Bangunan, Interior, Lansekap 4800 M2 5000 M2 Terbangun Bangunan Religius Kota Bukit Indah, Cikampek Keuskupan Bandung 2015 Rp. 17.000.000.000,97
PENGANTAR Gereja Santa Maria berlokasi di Kota Bukit Indah yang merupakan kawasan industrial, sebagian wilayahnya masuk ke dalam Kabupaten Purwakarta dan sebagian lagi masuk ke Kota Cikampek. Kawasan ini dilalui dua jalur tol antar kota, yakni Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Tol Cipularang, sehingga aksesnya cukup strategis. Tapak Gereja Santa Maria bahkan dapat terlihat jelas dari Jalan Tol Cikampek menuju Jakarta. Gereja Santa Maria merupakan bagian dari Keuskupan Bandung, yang memiliki luas wilayah 23.315,31 km2. Gereja Santa Maria - Paroki Kota Bukit Indah merupakan percabangan dari Gereja Kristus Raja Paroki Karawang, yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Bukit Indah. Dengan jarak antar Paroki yang cukup jauh, umat Katolik yang tinggal dalam radius Paroki Kota Bukit Indah saat ini terbilang sedikit, hanya berkisar 1500 jiwa (bandingkan dengan jarak antar Paroki di Keuskupan Agung Jakarta yang hanya berkisar antara 4-12km dengan jumlah umat mencapai 5000-10.000 jiwa per Paroki). Tetapi, untuk mengantisipasi potensi pembangunan kawasan dalam radius Paroki, bangunan gereja dituntut untuk mampu menampung kapasitas 700-1000 umat dalam satu kali ibadat. Sehingga jika dalam tahun-tahun mendatang kepadatan umat bertambah, Paroki hanya perlu menambah jadwal ibadat tanpa memperbesar atau membangun gedung baru.
ilustrasi : Suasana pembangunan sistem struktur bangunan
Dengan lokasi yang strategis bangunan gereja berkesempatan untuk menjadi icon dari kawasannya melalui skala dan proporsi yang tepat. Bangunan gereja juga dintuntut untuk 'berumur panjang', baik dari segi tampilan, fungsi, maupun kekokohan bangunan, sehingga dalam pemilihan bentuk, langgam, dan material, aspek-aspek ini perlu menjadi perhatian. Sebagai dasar perancangan gedung gereja, konsep immaterial diusung untuk menghadirkan citra dari semangat kerohanian Bunda Maria, mengikuti nama Paroki yang telah dipilih. Ada tiga strategi utama yang digunakan, yaitu rencana bentuk dasar, material dan tektonika, dan puitisasi cahaya. Melalui strategi tersebut, rancangan Gereja Katolik Santa Maria mencoba menghasilkan karya arsitektur dengan pemaknaan iman Katolik yang mendalam serta menjawab tantangan masa kini serta masa yang akan datang. 98
PERTANYAAN RISET 1. Nilai-nilai keruangan seperti apa yang dapat menghadirkan kesan sakral dalam Gereja Katolik? 2. Susunan keruangan seperti apa yang mampu memberikan citra spasial gereja dalam tatanan yang fungsional dan menjawab kebutuhan ruang pada masa kini? 3. Konsep seperti apakah yang perlu diciptakan pada ruang dalam bangunan gereja untuk menghadirkan ‘spirit of space' pada bangunan gereja ?
TUJUAN DAN SASARAN The Seven Sacraments – Spirit of Space berusaha untuk menciptakan imajinasi keruangan yang baru tentang sebuah gereja kontemporer dan mengeksplorasi elemen-elemen arsitektur yang membentuk ruang di dalam maupun luar bangunan. Adapun eksplorasi-eksplorasi ini dilakukan dengan tujuan : - Menemukan tatanan keruangan yang mampu mencerminkan nilai-nilai spiritual Gereja masa kini. - Menemukan susunan bentuk dan ruang yang dapat memenuhi kebutuhan liturgis secara simbolis maupun fungsional, sesuai dengan tuntutan jaman. - Menghadirkan pengalaman ruang yang puitis dan sakral di dalam bangunan gereja melalui permainan bentuk dan tektonika.
KONTEKS Konteks Keuskupan Bandung Berlokasi di Kota Bukit Indah, Cikampek, Gereja Santa Maria merupakan bagian dari Keuskupan Bandung. Dengan luas wilayah 23.315,31 km2, Keuskupan Bandung mencakup Kota dan Kabupaten Bandung, kabupaten Purwakarta dan Karawang di sebelah barat; Subang, Pamanukan, Indramayu di sebelah utara; Cirebon, Kuningan, Tasikmalaya-Ciamis di sebelah Timur, dan Garut di sebelah selatan. Gereja Keuskupan Bandung memiliki visi untuk menjadi komunitas yang hidup, mengakar, mekar, dan berbuah bersama masyarakat Jawa Barat. Serta berkomitmen untuk bersama-sama komunitas lintas agama, ras, suku, dan bahasa yang hadir di Jawa Barat, membangun suatu masyarakat yang bermartabat dan manusiawi. Semangat ini dilandasi dengan kemurahan hati dan kerelaan berbagi sehingga dapat berperan aktif dalam peningkatan kesejahteraan material dan spiritual masyarakat. Citra ini adalah gambaran yang harus dapat disampaikan melalui rancangan bangunan dan komplek gereja, sehingga gereja dapat diterima setiap kalangan dan memberikan sumbangsihnya demi kepentingan bersama.
99
Konteks Paroki Kota Bukit Indah Gereja Santa Maria - Paroki Kota Bukit Indah merupakan percabangan dari Gereja Kristus Raja - Paroki Karawang, yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Bukit Indah. Dengan jarak antar Paroki yang cukup jauh, umat Katolik yang tinggal dalam radius Paroki Kota Bukit Indah saat ini terbilang sedikit, hanya berkisar 1500 jiwa (bandingkan dengan jarak antar Paroki di Keuskupan Agung Jakarta yang hanya berkisar antara 4-12km dengan jumlah umat mencapai 5000-10.000 jiwa per Paroki). Tetapi untuk mengantisipasi potensi pembangunan kawasan dalam radius Paroki, bangunan gereja dituntut untuk mampu menampung kapasitas 700-1000 umat dalam satu kali ibadat. Sehingga jika dalam tahun-tahun mendatang kepadatan umat bertambah, Paroki hanya perlu menambah jadwal ibadat tanpa memperbesar atau membangun gedung baru. Artinya, gereja juga diharapkan dapat menjadi bangunan yang 'berumur panjang', baik dari segi tampilan, fungsi, maupun kekokohan bangunan. Sehingga dalam pemilihan bentuk, langgam, dan material, aspek-aspek ini perlu menjadi perhatian. Konteks Lokasi Kawasan Kawasan Kota Bukit Indah merupakan kawasan industrial yang sebagian wilayahnya masuk ke dalam Kabupaten Purwakarta dan sebagian lagi masuk ke Kota Cikampek. Kawasan ini dilalui dua jalur tol antar kota, yakni Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Tol Cipularang. Berdiri di kawasan ini, Gereja Santa Maria memiliki lokasi yang strategis untuk diakses. Tapak Gereja Santa Maria bahkan dapat terlihat jelas dari Jalan Tol Cikampek menuju Jakarta. Hal ini memberikan kesempatan bagi bangunan gereja untuk menjadi icon dari kawasannya melalui skala dan proporsi yang tepat.
ilustrasi : tampak samping gereja dengan permainan lengkungan atap dan roster dinding
100
TINJAUAN PUSTAKA Gereja sebagai sebuah bangunan sakral memiliki dua perspektif mengenai fungsinya. Yang pertama adalah gereja sebagai Domus Dei (Rumah Tuhan), di mana gereja berperan sebagai sebuah icon sakral. Dalam perspektif ini, diartikan sebagai gambaran relasi vertikal antara Tuhan dengan umatnya. Perspektif gereja inilah yang membuat Gereja kaya akan simbol dan ikon. Perspektif yang kedua adalah gereja sebagai Domus Ecclesiae (Rumah Umat Tuhan), di mana gereja dilihat sebagai tempat berkumpulnya umat beriman, baik kaum awam maupun tertahbis. Dalam perspektif ini, digambarkan relasi yang sifatnya horizontal (sosial) dan berorientasi pada nilai-nilai komunitas Kristiani. Sebagai Domus Dei, klien utama bangunan gereja adalah sakramen. Sakramen berasal dari bahasa Latin, 'sacer', yang berarti sakral. Ada tujuh sakramen dalam Gereja Katolik: [1] Sarkamen Baptis, [2] Sakramen Krisma (Penguatan), [3] Sakramen Ekaristi, [4] Sakramen Tobat (Pengakuan Dosa), [5] Sakramen Perkawinan, [6] Sakramen Imamat, dan [7] Sakramen Perminyakan (Pengurapan Orang Sakit). Dari ketujuh sakramen ini, seseorang akan melalui setidaknya 6 sakramen, karena orang yang sudah menerima sakramen Perkawinan tidak diperkenankan menjadi imam dengan menerima sakramen imamat. Ada tiga sakramen yang memiliki pengaruh besar terhadap tata ruang dalam gereja antara lain sakramen Ekaristi dan sakramen Baptis. Sakramen Ekaristi merupakan sakramen yang paling sering dilakukan di dalam gedung gereja, melibatkan upacara pengorbanan (atau perjamuan) dan pewartaan. Sakramen Baptis adalah lambang masuknya seseorang menjadi anggota Gereja, sehingga bak air baptis seringkali diletakkan di dekat pintu masuk gereja. Pada gereja-gereja yang dibangun sesudah Konsili Vatikan II, peletakan bak air baptis sudah lebih bervariasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan penggunaannya. Sebagai Domus Ecclesiae, klien utama bangunan gereja adalah anggota Gereja, sehingga bangunan ditata dalam zonasi berdasarkan hierarki. Ada area-area yang terbuka untuk umum (profan), ada pula area-area yang sangat terbatas yang hanya boleh diakses oleh golongan tertahbis (sakral). Area narthex sebagai area profan, biasanya merupakan area terbuka seperti plaza atau taman pada bagian luar gedung gereja, namun masih menjadi bagian dari kompleks gereja. Area nave (badan gereja) adalah bagian dari area sakral gereja, sehingga sebelum memasuki area ini, biasanya akan terdapat selasar dengan wadah air suci (atau air baptis) yang harus diambil umat sebelum memasuki bagian dalam gereja sebagai simbol inisiasi atau pembersihan diri. Area nave berisikan kursi umat serta ruang pengakuan dosa. Kedua area ini (narthex dan nave) adalah area yang dapat dengan bebas diakses awam, meskipun pada area nave terdapat norma-norma tertentu yang harus dihormati. Area sanctuary adalah area paling sakral dalam bangunan gereja. Maka dari itu, biasanya area ini dipisahkan dari area nave dengan ditandai perbedaan peil atau kanopi. Pada gereja-gereja yang dibangun sebelum Konsili Vatikan II (1962-1965), pemisahan ini bahkan dibuat lebih solid dengan pagar rendah yang mengelilingi area sanctuary. Ada dua bentuk ritual yang mempengaruhi morfologi posisi umat dan imam dalam gereja, yaitu ritual pengorbanan dan ritual pewartaan (Stegers, 2008). Ritual pengorbanan berpusat pada altar. Karena berupa perjamuan, karakternya ruangnya memiliki kemiripan morfologi dengan sebuah ruang makan yang axial. Sedangkan ritual pewartaan berpusat pada meja ambo, tempat sabda dibacakan. Karakter ruangnya 101
memiliki kemiripan morfologi dengan sebuah ruang kuliah yang radial dengan pusat di mimbar. Berangkat dari kedua karakter ini, gedung gereja dari masa ke masa memiliki beragam variasi penataan ruang; dari yang mengambil bentuk sirkulasi murni hingga gabungan keduanya. Salah satu faktor penentunya adalah paham liturgi yang berlaku pada masa itu, secara fungsional maupun filosofis.
Ilustrasi : Visualisasi "Gereja sebagai Tubuh Kristus" Sebagai Landasan Pembagian Hierarki pada Denah Berbentuk Salib Sebelum Konsili Vatikan II Sumber : Schloeder, Steven J. (1998). Architecture in Communion : Implementing the Second Vatican Council through Liturgy and Architecture. Ignatius Press. San Fransisco.
Setelah Konsili Vatikan II, keterlibatan umat dalam prosesi ibadat menjadi suatu keharusan. Hal ini mempengaruhi tipologi layout gedung gereja, di mana posisi umat semakin mendekat dengan altar, sehingga dapat menciptakan visibilitas dan interaksi yang lebih baik antara umat dengan imam. Karenanya, bentuk-bentuk sirkulasi axial semakin memendek, dan sirkulasi berbentuk radial menjadi umum digunakan.
Ilustrasi : Skema Rencana Sirkulasi yang Menunjukkan Perkembangan dari Bentuk Axial Menuju Radial Konsentris Sumber : Stegers, Rudolf (2008). Sacred Buildings : A Design Manual. Birkhauser. Jerman.
102
ilustrasi : Bangunan Gereja dari view mata burung
METODOLOGI Studi Keruangan pada Gedung Gereja. Studi ini mencakup pemahaman pada bentuk dan layout gereja yang mungkin untuk diaplikasikan, serta sesuai dengan kebutuhan liturgis saat ini. Studi ini juga bertujuan melihat kaitan antara layout ruang dengan sakralitas ruang dalam gereja, yang meliputi hierarki dan zonasi ruang, skala, dan proporsi. Simbolisasi Sebagai Upaya Membentuk Identias Gedung Gereja Katolik Bangunan gereja maupun bangunan keagamaan lainnya selalu memiliki ciri simbol pada bangunannya sebagai bentuk identifikasi. Simbol ini dapat berupa simbol yang secara eksplisit melambangkan aliran agama (seperti bentuk salib atau bulan sabit) maupun simbol yang dihadirkan secara implisit. Simbol yang dimunculkan secara implisit seringkali dibentuk dari suatu tipologi tertentu yang sudah melekat dalam persepsi masyarakat setempat, seperti bentuk kubah yang identik dengan bangunan masjid. Akibat konflik antar agama yang seringkali terjadi di Indonesia, gereja sebaiknya menghindari simbolsimbol Kristen yang terlalu mendominasi, ataupun bentuk-bentuk yang terlalu mewah. Maka simbolisasi melalui cara implisit adalah jalan lain yang dapat ditempuh dalam menampilkan identifikasi bangunan gereja.
103
Studi Aplikasi Filosofi Immaterial - Material dalam Konsep Arsitektural. Studi ini dilakukan berdasarkan hasil kajian literatur mengenai filosofi immaterial dan material. Berdasarkan kajian tersebut, telah diketahui aspek-aspek apa saja yang perlu dan dapat diterapkan ketika mengusung konsep immaterial. Aspek-aspek tersebut dipilah dan dirangkai berdasarkan kesesuaiannya dengan konsep dan massa gedung gereja, serta aspek tektonika dan kesan tampilan yang ingin dihasilkan.
ilustrasi : Amphiteater didepan entrance Gereja.
104
PEMBAHASAN 1. Gereja sebagai Domus Dei Perancangan gereja Santa Maria berupaya menjaga kualitas sakral melalui rancangan arsitektur yang puitis dan kaya akan simbolisme Gereja Katolik. Simbol, menurut Thomas Barrie, digunakan manusia sebagai alat dalam mengekspresikan hal yang tidak dapat diekspresikan dalam konteks mitologi dan religi.1 Simbol merupakan jembatan antara sosok dengan makna. Maka dari itu, dalam konteks bangunan gereja, simbol merupakan ungkapan pemujaan kepada Tuhan melalui bentuk-bentuk fisik ciptaan manusia. Dalam perancangan gereja Santa Maria ada tiga hal utama yang hendak disimbolisasikan dalam rancangan keruangan. Pertama, perspektif teologi mengenai Bunda Maria sebagai Bunda Perantara untuk sampai kepada Allah. Kedua, perspektif teologi ketujuh sakramen sebagai sarana yang diberikan kepada manusia untuk mencapai yang Ilahi. Ketiga, perspektif filosofis immaterial pada arsitektur bangunan sakral. Elemen-elemen simbolik ini berperan dalam pembentukan karakter khusus yang menunjukan hakekat dan falsafah Gereja Katolik. Elemen simbolik ini juga memberikan makna yang secara sadar dan tidak sadar turut membentuk nuansa sakral pada gereja sebagai rumah Allah. a. Simbolisasi Immaterial Bunda Maria Sesuai dengan namanya, gereja ini mengambil figur Maria sebagai figur panutan dalam mencapai kepada yang Ilahi. Dengan moto "Per Mariam ad Christum", yang artinya "Melalui Maria Sampai Kepada Kristus", Gereja ini berupaya meneladani figur feminin Maria, serta kualitas spiritual yang dimilikinya. Kesan feminin ditampilkan lewat bentuk yang elegan dan tidak agresif. Bentuk ini ditampilkan dengan figur lengkung yang lembut dan luwes, garis-garis yang halus, dan detil tektonika yang mempercantik sudutsudut gereja. Sedangkan kualitas immaterial ditekankan keberadaannya lewat material. Kualitas immaterial diterapkan pada bagian tubuh bangunan, lambang dari tubuh Gereja itu sendiri. Selubung tubuh bangunan dibuat dari material bata roster yang disusun berjarak, massa bangunan jadi terkesan ringan, cahaya dapat menembus ke dalam bangunan melalui celah-celah roster dan menghasilkan siluet yang terus bergeser sepanjang hari. Dari situ diharapkan terbaca puitisasi cahaya yang mendukung suasana sakral di dalam bangunan gereja. b. Simbolisasi Ketujuh Sakramen Tujuh sakramen yang terdapat pada Gereja Katolik merupakan tanda dan sarana kehadiran Allah dalam babakan hidup manusia, dari lahir, tumbuh dan menjadi dewasa, hingga meninggal. Gambaran babakbabak kehidupan ini hendak disampaikan dalam desain gereja, baik sebagai identitas terhadap kawasannya, maupun dalam suasana ruang bagi umat di dalamnya.
1
Barrie, Thomas (1996). Spiritual Path, Sacred Place : Myth, Ritual, and Meaning in Architecture. Shambala. Boston
105
Terinspirasi dari lukisan karya Rogier van der Weyden, Seven Sacraments Altarpiece (1445-1450), gereja Santa Maria dirancang dengan mengadaptasi estetika bentuk pada lukisan tersebut. Seven Sacraments Altarpiece menggambarkan ketujuh sakramen dalam potongan melintang pada selasar gereja Gotik. Namun, jika gereja Gotik dirancang dengan selasar yang tinggi di bagian tengah dan rendah di kanan dan kirinya, maka gereja Santa Maria dibentuk dengan selasar yang berjenjang ketinggiannya. Atap yang berundak dan berjenjang ini menggambarkan Sakramen-Sakramen yang ada pada babakan kehidupan manusia dan proses perjalanan iman yang bertahap, satu per satu, dan tidak statis.
ilustrasi - Seven Sacraments Altarpiece (1445-1450). Karya Rogier van der Weyden. Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/File:Seven_Sacraments_Rogier.jpg
Tampak samping bangunan Gereja sebagai representasi The Seven Sacraments 106
Gambar 1 - Diagram komposisi Ketujuh Sakramen ke Dalam Bentuk Arsitektural Sumber : Bangkit : Buletin Paroki Salib Suci Purwakarta. Edisi 2014 September - Oktober - 72 \ Tahun XVII
107
2. Gereja sebagai Domus Ecclesiae Dalam perancangan gereja Santa Maria, bentuk dasar yang dipilih mengambil bentuk persegi mengikuti bentuk tapak yang tersedia. Bentuk memanjang ini memberi peluang yang lebih besar untuk membangun nuansa sakral melalui sekuens linear. Namun, koneksi visual antara umat dan imam menjadi terbatas, terutama pada titik-titik terjauh kursi umat dari altar.
Gambar 2 - Bentuk Denah yang Diambil dari Figur Salib Sumber : Bangkit : Buletin Paroki Salib Suci Purwakarta. Edisi 2014 September - Oktober - 72 \ Tahun XVII
Bentuk Salib, yang memiliki nilai Filosofi gereja sebagai 'tubuh Allah', dapat menjadi solusi dari permasalahan ini. Bagian kepala salib difungsikan sebagai area sanctuary, area paling sakral pada gereja. Sedangkan bentang pendek (tempat meletakkan tangan) dan bentang panjang (tempat meletakkan kaki) digunakan untuk area nave atau tempat duduk umat, lambang umat sebagai bagian dari tubuh Gereja dan Allah. Secara keruangan, bentuk salib memiliki jarak pandang yang lebih baik dibandingkan bentuk axial tunggal, karena memiliki bentang panjang dan pendek yang proporsional. Pada gereja-gereja yang dibangun sebelum Konsili Vatikan II, bentangan pendek pada denah berbentuk salib seringkali dirancang untuk area sanctuary, sehingga mengurangi kapasitas tempat duduk umat di dalam gereja. Pada gereja 108
masa kini, kaki salib berbentang pendek dapat digunakan untuk tempat duduk umat, sehingga dapat mengurangi jarak terjauh pada bentang panjang bangunan. Selain itu, penambahan level pada tempat duduk umat menjadi dapat memaksimalkan penggunaan ruang secara vertikal. Penambahan level ini disesuaikan dengan kenyamanan jarak pandang umat di dalam ruangan, serta tidak mengganggu skala megah pada area altar. Area ruang luar pada gereja merupakan area narthex, perlambangan transisi dari 'dunia' ke 'rumah Allah', ruang liminal, ambang menuju perubahan dan hidup yang baru. Begitu pula dengan pintu gereja yang melambangkan titik perubahan atau konversi dalam keseluruhan proses perjalanan.2 Ketika memasuki area ini, seseorang seharusnya sudah dapat menangkap adanya perjalanan yang akan dimulai melalui bentuk transisi dan hierarki yang jelas. Namun, dengan luasan tapak yang terbatas, area narthex ini tidak dapat dibuat luas, sehingga proses transisi harus bergantung pada jarak antara kualitas ruang dalam dan luar, ketimbang jarak fisiknya. Ruang luar pada gereja juga mengemban fungsi non-liturgis dan kegiatan sosial lainnya. Narthex, sebagai area paling profan, merupakan area yang paling potensial untuk dieksplorasi fungsi keruangannya sehingga dapat menghasilkan bentuk-bentuk baru dari tipologi yang sudah ada. Rupa area narthex dapat ditentukan berdasarkan fungsinya, dan aktivitas apa saja yang mungkin ditampung di area ini. Dalam kasus gereja Santa Maria, area narthex juga memiliki peran perantara secara teknis, yakni antara jalan yang peil nya lebih rendah, dan area gereja yang memiliki peil lebih tinggi. Dengan memahami kondisi ini, area narthex dapat dikembangkan menjadi ruang perantara yang bukan hanya estetis, tetapi juga fungsional.
ilustrasi : Suasana Malam Schloeder, Steven J. (1998). Architecture in Communion : Implementing the Second Vatican Council through Liturgy and Architecture. Ignatius Press. San Fransisco. Hal. 138
2
109
Ilustrasi : Amphitheater sebagai area narthex Sumber : Dokumentasi Paroki
JAWABAN PERTANYAAN RISET 1. Nilai-nilai keruangan seperti apa yang dapat menghadirkan kesan sakral dalam Gereja Katolik? Pertama, melalui hierarki ruang maupun massa bangunan. Meski gereja-gereja masa kini menipiskan jarak antar hierarki demi kesatuan antara umat dengan imam, namun hierarki itu tetap ada, terlihat dan terasa. Ada satu pusat, orbit, beserta dengan isi semestanya. Dengan demikian kesan sakral tetap ada dan terpusat kepada 'Yang Tunggal'. Kedua, melalui simbolisasi. Simbol memberikan asosiasi antara yang materi dengan yang immateri. Tidak seperti ikon religius yang menandai kesakralan secara tersurat, penerapan simbol dalam arsitektur memberikan kualitas sakral dalam bentuk pengalaman tersirat. 2. Susunan keruangan seperti apa yang mampu memberikan citra sakral gereja melalui tatanan spasial yang fungsional dan menjawab kebutuhan ruang pada masa kini? Sebuah gereja harus dirancang dengan kaidah-kaidah liturgi yang berlaku. Kaidah-kaidah ini memiliki sifat seperti kerangka yang menjaga agar gereja tidak kehilangan sakralitas serta fungsi utamanya sebagai sebuah tempat ibadah. Gereja tidak lagi memiliki kewajiban terhadap style tertentu selama mampu mewadahi ritual-ritualnya dan mampu mencerminkan simbol-simbol Kristiani. Penataan massa bangunan dapat disesuaikan dengan bentukan tapak dan efisiensi ruang yang digunakan, mengingat kebutuhan ruang luar yang juga cukup luas. Yang penting untuk diperhatikan adalah 110
[1] ada sumbu dan orientasi yang jelas untuk menggambarkan perjalanan menuju yang sakral; [2] pengaturan jarak pandang agar altar dapat terlihat dari segala arah, serta dilengkapi dengan penataan akustik yang memadai. Isolasi visual atau akustik dapat menyebabkan konsentrasi umat terpecah selama perayaan berlangsung. Perancangan gereja juga harus memperhatikan kebutuhan ruang untuk kegiatan non-liturgis. Saat ini, Gereja didorong untuk terus membangun program pewartaan kreatif diluar ritual-ritual liturgis. Hal ini guna membangun Gereja yang memiliki relasi 'vertikal' yang baik, namun juga relasi 'horizontal' yang kokoh. Dengan demikian, ruang-ruang tempat umat berkumpul menjadi penting dalam membangun sebuah Gereja sebagai kesatuan umat Allah. 3. Konsep seperti apakah yang perlu diciptakan pada ruang dalam bangunan gereja untuk menghadirkan ‘spirit of space' pada bangunan gereja Santa Maria? Pertama, berangkat dari ide mengenai Maria, gedung gereja dapat dirancang dengan karakter yang feminim, sesuai dengan figur Maria sebagai seorang ibu. Figur feminim ini dapat dikembangkan melalui garis-garis lengkung, figure yang ringan, material yang membumi, serta nuansa keruangan yang hangat. Kedua, konsep tujuh Sakramen diterapkan dalam rancangan untuk menggambarkan perjalanan spiritual yang panjang dan berjenjang. Penerapan konsep ini mengadaptasi tipologi gereja Gotik, seperti dalam lukisan Seven Sacraments Altarpiece (1445-1450), dalam konfigurasi yang berbeda. Simbolisasi sakramen dihadirkan lewat ketujuh lengkungan pada langit-langit dan atap gereja, yang semakin mendekati altar semakin tinggi.
ilustrasi : Tampak bangunan Gereja dari kejauhan
111
VISI RANCANGAN Dalam skala kawasan, rancangan ini hendak berperan sebagai icon kawasan, melihat potensi tapaknya yang strategis. Sedangkan untuk rancangan gedung gereja Santa Maria memiliki visi untuk menjembatani fungsi gereja sebagai Domus Dei dan Domus Ecclesiae. Sehingga gedung gereja menyediakan kualitas ruang sakral sekaligus memenuhi fungsinya mewadahi peribadatan dan aktivitas sosial lainnya. Konsep bentuk Gereja Santa Maria meminjam sebuah karya seni dan nilai filosofi Kristiani dalam aplikasinya. Bentuknya terinspirasi dari sebuah lukisan karya Rogier van der Weyden yang berjudul The Seven Sacraments Altarpiece (1445-1450). Imajinasi bentuk lengkungan yang menaungi event dan moment ketujuh Sakramen mengilhami tujuh lengkungan pada atap bangunan. Susunan ini membangun gradasi ruang dari skala manusia hingga skala megah. Altar, dengan permainan dinding vertikal, ditempatkan sebagai puncak sekaligus klimaks dari urutan susunan tujuh lengkungan yang terjadi pada ruang dalam gereja.
DESKRIPSI RANCANGAN Tuntutan program untuk gereja Santa Maria terdiri dari gedung gereja, ruang luar atau plaza, taman doa, pastoran, dan kafetaria. Besarnya kebutuhan ruang dan luasan tapak yang terbatas mendorong program ditata secara vertikal, dengan upaya-upaya untuk mempertahankan skala megah yang hendak dicapai. Begitu pula dengan ruang luar; luas yang terbatas membuat ruang luar perlu mengambil bentuk yang signifikan dan tepat sasaran, untuk itu, bentuk amphitheater dipilih untuk area narthex. Sedangkan bangunan gereja dan pastoran dirancang mengikuti bentuk tapak untuk efisiensi ruang. Bangunan gereja terdiri dari dua lantai utama, untuk kafetaria di lantai bawah dan untuk gereja di lantai atas. Bangunan gereja sendiri memiliki lantai podium di ketiga sisi area umat, pada sudut-sudut denah yang berbentuk salib. Pada level lantai gereja juga terdapat taman doa Santa Maria, dan sebuah jembatan yang menghubungkan gedung gereja dan gedung pastoran.
Gereja Kafetaria ilustrasi : Potongan Memanjang Gereja Santa Maria
112
Bangunan gereja terdiri dari tiga zona. Di bagian paling luar terdapat selasar dan foyer yang termasuk area narthex, sebagai perantara bagi ruang sakral dan ruang non-sakral. Memasuki badan gereja atau area nave yang berbentuk salib, terdapat jajaran kursi umat dan kursi paduan suara di sepanjang kaki salib. Sedangkan kepala salib merupakan area sanctuary, yakni altar dan panti imam yang merupakan area paling sakral dan pusat dari kegiatan peribadatan. Dengan penataan program yang cenderung vertikal, ruang perantara menjadi aspek yang perlu diperhatikan, terutama antara gedung gereja dan area di sekitarnya. Di bagian depan bangunan gereja terdapat sebuah amphitheater yang berfungsi sebagai ruang transisi dari jalan ke level gereja, sekaligus ruang publik bagi umat. Tidak jauh dari amphitheater juga terdapat sebuah taman dan playground untuk anak-anak. Sebuah tangga dan foyer memisahkan area drop-off dan pintu masuk gedung gereja, di situ ditempatkan bak air suci dan sebauh patung Pieta. Selasar luas juga memisahkan memisahkan tangga menuju kafetaria dengan pintu samping gereja. Selasar menjadi cara untuk mempertahankan kesan “berada di level dasar” dari ruang dalam. Ruang-ruang transisi ini ditujukan untuk membentuk gradasi skala yang nyaman bagi manusia ketika beraktivitas di sekitar bangunan gereja yang sangat tinggi.
ilustrasi : Suasana ruang dalam Gereja
113
Bagian tubuh gereja merupakan ruangan berbentuk memanjang dengan sirkulasi linear menghadap altar. Sisi kanan dan kirinya dibatasi dinding 'bernafas' yang terbuat dari susunan roster dan glass block hingga ke langit-langit, membentuk lubang-lubang cahaya dan udara. Langit-langit gereja memiliki ketinggian yang berundak, berupa tujuh lengkungan yang semakin mendekati altar ketinggiannya semakin bertambah, tujuh melambangkan ketujuh sakramen dalam Gereja Katolik, dan undakan-undangan melambangkan babakan kehidupan manusia hingga kembali kepada Tuhan. Di ujung badan gereja, terdapat altar yang membelakangi jajaran bidang vertikal berlapis travertine. Di sela setiap bidang terdapat lubang cahaya yang membiarkan cahaya matahari masuk pada waktu-waktu tertentu. Detail dan permainan cahaya pada bangunan membuat ruang dalam gereja terlihat hangat.
114
REFERENSI Barrie, Thomas (1996). Spiritual Path, Sacred Place : Myth, Ritual, and Meaning in Architecture. Shambala. Boston Stegers, Rudolf (2008). Sacred Buildings : A Design Manual. Birkhauser. Jerman. Schloeder, Steven J. (1998). Architecture in Communion : Implementing the Second Vatican Council through Liturgy and Architecture. Ignatius Press. San Fransisco.
115
RESEARCH BY DESIGN Percaya bahwa : “ Arsitektur merangkai konflik melalui kecerdasannya, mempertautkannya dalam batas material dan immaterial; bumi, ruang, manusia adalah jawabannya.”
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H Mohon Maaf Lahir dan Batin Terima kasih sudah membaca seluruh rangkaian tulisan ini.
Agustinus Sutanto adalah Dosen Tetap Program Studi Arsitektur - Universitas Tarumanagara, Jakarta menyelesaikan Pendidikan S - 1 (Ir.) di Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara. Pendidikan S - 2 (M.Arch.) di Bartlett School of Architecture, UK. Pendidikan S - 2 (MSc.) di Bartlett School of Architecture, UK. Pendidikan S - 3 (PhD. by Design) di Sheffield University, UK. Prinsipal Arsitek pada PT. MiMa Archilab – Jakarta. Anggota TABG-AP DKI Jakarta. Profesi sekarang adalah sebagai Pendidik, Arsitek dan Penulis / WA 08787-707-1400
2020