Jantan Dan Futuristik
DIGITAL NE WS PA PER
hal
Spirit Baru Jawa Timur surabaya.tribunnews.com
SURYA Online - Reformasi membuat Indonesia benarbenar seperti negara yang tak bermoral. Bahkan olahragapun seperti sudah tidak mengenal makna sportifitas lagi. Yang ada adalah siapa yang berkuasa itulah yang menang dan singkirkan lawan-lawanmu sampai ke akar-akarnya. Jelas ini adalah situasi yang sudah jauh melenceng dari filosofi sportifitas. Situasi inilah yang tidak kita kehendaki bersama, apalagi terhadap tim kebanggaan arekarek Suroboyo, Persebaya. Realitanya, Persebaya kini memiliki dua kesebelasan yang berbeda kubu, Persebaya IPL dan Persebaya DU. Itu karena kelengahan dari kita sendiri sebagai insan-insan bola Surabaya dan sesepuh-sesepuh Persebaya, tidak lagi berani bicara, tidak berani hanggar beni berbicara yang benar. Bahkan justru ikutikutan masuk kotak-kotak yang terjadi. Kondisi ini tentu saja membuat Persebaya semakin tidak bersatu, rawe-rawe rantas malang-malang putung mengangkat prestasi seperti halnya jaman keemasan yang ditorehkan Abdul Kadir dkk. Langkah yang pas untuk mengatasi dualisme Persebaya dan menyatukan kembali roh Persebaya adalah serahkan kembali kepada klub-klub pendiri Persebaya. Jangan ada intervensi politik lagi didalamnya. Pengalaman ikut hanggar beni Persebaya di Liga Indonesia I sampai III, tidak sesulit yang ada sekarang. Bahkan keberadaan Wali Kota Surabaya di dalamnya, menjadi pemersatu sekaligus donatur yang tidak ada lawannya. Karena Wali Kota memang mempunyai tanggungjawab moral terhadap pembinaan warganya, tak terkecuali Persebaya, tanpa mengecilkan arti cabang-cabang olahraga yang lain. Pada Liga Indonesia, Persebaya juga tidak nyanggong dana dari APBD tetapi semuanya bisa lancar-lancar saja karena kepedulian Wali Kota. Jika demikian adanya, aksi para pendukung Persebaya 1927 alias Bonek menuntut larangan bermain untuk Persebaya yang bermain di Divisi Utama (DU) ISL di Surabaya, Senin (15/4/2013),
surya.co.id
2 | SELASA, 16 APRIL 2013 | Terbit 2 halaman
edisi pagi
tidak akan terjadi. Keputusan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini melalui Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Surabaya, Sigit Sugiharsono, yang langsung mengetik surat bernomor 426/2375/436.6.17 yang isinya tidak mengijinkan Persebaya DU bertanding di Surabaya dan meminta PSSI mengakui Persebaya 1927, tidak perlu dilakukan. Karena sebenarnya kedua Persebaya itu adalah tim kebanggaan masyarakat Surabaya, jika Wali Kota melarang Persebaya DU, tidak boleh main di Surabaya, sama halnya Wali Kota terjebak kotak-kotak yang terjadi di Persebaya. Disamping itu, yang dilarang bermain di rumahnya sendiri itu juga warga Surabaya yang mestinya juga harus mendapatkan dukungan dan pembinaan dari Wali Kota sebagai pemimpin warga Surabaya. Tidak ada kata terlambat dalam membawa sebuah perbaikan, yang diperlukan adalah tekad untuk berbuat yang lebih baik. Viva Persebaya. (wahjoe harjanto)
join facebook.com/suryaonline
Kembalikan Persebayaku! follow @portalsurya