Contents Mei 2014
8 TELUK IJO Sebuah teluk yang menawan hati, surga tersembunyi diantara tebing dan jurang yang menganga di selatan pulau Jawa. Sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya bahwa itu berada di negeri ini
18
13
THE VIOLIN MAKER
KOPI KEMIREN
Sang pembuat biola lokal dari Banyuwangi bercitarasa internasional
Kopi kemiren, kopi asli banyuwangi yang cita rasanya tidak kalah dengan kopi internasional
20 PULAU MERAH Sebuah pantai di selatan Banyuwangi yang dijuluki Pantai Kuta dari Banyuwangi
2 | Wongkentir Magazine
Editor Note Wow, setelah penantian hampir 1 0 bulan, akhirnya terbit juga edisi kedua dari wongkentir magazine. Waktu yang sangat tidak singkat. Tapi apapun itu, aku harus bersyukur. Alhamdulillah. Diantara kesibukan, sempat juga membuat projek idealis ini. Sebelumnya mohon maaf jika pada edisi kedua ini tidak jadi menampilkan kisah tentang Kalimantan Selatan seperti yang sudah direncanakan dan ditulis di next edition di edisi pertama dengan alasan teknis. Sebagai gantinya, pada edisi kedua ini aku akan berkisah tentang Banyuwangi, sebuah kabupaten di ujung timur pulau Jawa yang dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi buah bibir di kalangan wisatawan baik mancanegara maupun di tanah air. Selama ini Banyuwangi dikenal hanya sebagai tempat transit bagi para wisatawan yang hendak melanjutkan perjalanan dari dan ke pulau Bali melalui jalan darat. Ironis memang. Dengan posisinya yg strategis karena dijepit dua objek wisata berskala internasional, yakni Bromo dan Bali, Banyuwangi tidak sanggup mengambil keuntungan apapun, kecuali hanya sebagai tempat transit dan pelabuhan. Tapi kini, Banyuwangi sudah berbenah. Banyuwangi sudah tidak mau dipandang sebelah mata lagi. Berbagai macam promosi wisata gencar dilakukan oleh pemerintah kabupaten pimpinan Abdullah Azwar Anas ini untuk mendongkrak popularitas Banyuwangi. Hasilnya? Anda bisa menilai sendiri. Jika rekan sekalian sudah pernah mendengar Kawah Ijen? Atau Teluk Ijo? Atau Pulau Merah? Atau Plengkung? Itu berarti promosi mulai berbuah hasil. Selamat membaca Surya Hardhiyana Putra @suryahardhiyana Wongkentir Magazine Pemimpin Perusahaan Dewi Wara Shinta Pemimpin Redaksi Surya Hardhiyana Putra
Editor Surya Hardhiyana Putra Design dan Layout Surya Hardhiyana Putra Photo Editor Surya Hardhiyana Putra
Publisher Hardhiyana Corp Office Surabaya Contact surya00[at]gmail[dot]com
Cover Senja Tak Sempurna di Pulau Merah Location : Pulau Merah, Banyuwangi Photo by Surya Hardhiyana Putra
Wongkentir Magazine | 3
Contributors
GILANG PERMANA Awak transmedia detik com Surabaya yang hobi jalan足jalan dan juga nulis tentunya (lha memang kerjaannya wartawan). Di edisi ini kita bisa membaca salah satu tulisan fiksinya yang terinspirasi dari perjalananannya ke Banyuwangi
4 | Wongkentir Magazine
Prolog
Selama ini Banyuwangi hanya dikenal sebagai daerah transit bagi pelancong dari Jawa yang hendak melanjutkan perjalanannya ke pulau Bali, ataupun sebaliknya, wisatawan dari pulau Bali yang hendak berkunjung ke Pulau Jawa. Tujuan wisata di Pulau Jawa yang menjadi tujuan para wisatawan itu antara lain Kawah Ijen, Gunung Bromo dan Malang. Lalu mereka akan terus ke barat menuju kota-kota di Jawa Tengah seperti Surakarta, Magelang hingga masuk ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Perjalanan berlanjut ke barat hingga mencapai Bandung dan akhirnya Jakarta. Banyuwangi? Sepertinya tidak ada dalam list tempat yang sifatnya wajib dikunjungi. Selama ini jika turis merasa penat dan lelah dengan kondisi Bali yang sudah sangat padat, maka pulau Lombok (atau bahkan Sumbawa dan Flores) menjadi tujuannya. 6 | Wongkentir Magazine
Hanya sedikit sekali yang melirik Banyuwangi sebagai destinasi wisata alternatif selain Bali. Hmm, ada apa dengan Banyuwangi? Atau pertanyaan bisa diganti, Memang ada apa di Banyuwangi? Semua orang mungkin sudah paham bahwa Banyuwangi adalah kabupaten yang terletak di ujung timur pulau Jawa. Tapi mungkin hanya sedikit saja yang tahu bahwa status tersebut telah memberikan konsekuensi yang luar biasa buat Banyuwangi. Di kabupaten Banyuwangi inilah, matahari menampakkan diri untuk pertama kalinya bagi penduduk pulau Jawa di setiap harinya. Barulah 1 5 menit kemudian, Surabaya dan menyusul Jakarta sekitar 45 menit berselang. Jadi tak salah kiranya jika Banyuwangi mendapat julukan The Sunrise Of Java. Lalu apalagi yang ada di Banyuwangi selain keberuntungan yang didapat dari letak
geografis sebagai kabupaten yang terletak di ujung paling timur pulau Jawa? Sebenarnya Kabupaten Banyuwangi adalah sebuah kabupaten dengan potensi wisata yang sangat lengkap. Bagi yang suka berwisata alam, banyak sekali pilihan wisata alam yang bisa dinikmati disana, mulai dari pegunungan yang tinggi menjulang dengan api biru (yang konon hanya ada dua di dunia) dan kawah belerangnya yang eksotis nan cantik hingga pantai-pantai lengkap dengan ombaknya yang spektakuler & berkelas dunia
ataupun pulau-pulau karang yang bermunculan bak jamur. Ada juga kawasan agrowisata yang menawarkan aneka buahbuahan segar dan sayur mayur yang sehat serta susu dan keju segar yang tanpa bahan pengawet. Bagi pecinta wisata budaya, ada tari Barong yang sejauh ini lebih dikenal sebagai kesenian dari Bali, padahal Banyuwangi punya tari Barong juga. Lalu bagi pecinta kopi, Banyuwangi adalah kota yang tepat untuk dikunjungi demi menambah khasanah per-kopi-an.
Wongkentir Magazine | 7
Journey Teluk Hijau Yang Menakjubkan Text by Surya Hardhiyana Putra Photo By Surya Hardhiyana Putra
Ekspresi apa yang akan kalian lakukan jika mendapatkan kebahagiaan yang amat sangat. Berteriak, Tertawa, Melompat-lompat, Berlarian, atau malah menangis? Hari minggu, 1 2 Januari 201 4 yang lalu, aku merasakan kebahagiaan itu. Dan yang aku lakukan adalah berteriak gak jelas lanjut kemudian menangis terharu dan bersujud. Bersyukur kepada Allah telah diberi kesempatan menyaksikan salah satu tempat terindah di muka bumi ini. Subhanallah. Namanya Teluk Hijau, atau teluk ijo kalau orang-orang lokal bilang. Kalau orang-orang bule menyebutnya Green Bay. Lokasinya berada di pesisir selatan pulau jawa, tepatnya di Kecamatan Pesanggrahan, Kabupaten Banyuwangi, sekitar 90 km arah barat daya dari kota Banyuwangi, dan masuk dalam wilayah Taman Nasional Meru Betiri. Melihat Teluk Hijau, mengingatkanku pada Maya Bay, sebuah teluk yang sangat terkenal didunia yang berlokasi di gugusan kepulauan Phi-phi, di Krabi, Thailand, yang kebetulan aku sudah pernah kesana tahun 201 2 silam. Hanya saja bedanya, jika Maya Bay berada pada sebuah pulau kecil, sedangkan teluk hijau masih menjadi bagian dari pulau Jawa. Sama seperti Maya Bay, teluk hijau juga dikelilingi tebing-tebing tinggi yang menghijau. Saking miripnya, aku pernah berkicau di twitter beberapa saat setelah mengakhiri kunjungan di Teluk Hijau, “Kalau Phuket punya Maya Bay, maka Banyuwangi punya Green Bay�. Hanya saja ternyata warga disini lebih suka jika lokasi wisata ini disebut Teluk Ijo atau Teluk Hijau sesuai dengan bahasa Indonesia, sebagai identitas serta untuk menunjukkan pada dunia bahwa teluk itu berada di wilayah Indonesia. Untuk menuju teluk hijau dari kota Banyuwangi, terlebih dahulu kita harus menuju Pantai Rajegwesi. Untuk menuju Pantai Rajegwesi bisa menggunakan mobil pribadi atau menyewa mobil trooper. 8 | Wongkentir Magazine
Disarankan menggunakan mobil trooper karena medan yang akan dilalui cukup berat. Untuk menyewa trooper, bisa menghubungi dinas pariwisata Kab Banyuwangi atau juga bisa mencari informasi di situs pariwisata www.sunriseofjava.com. Perjalanan dari Kota Banyuwangi menuju Pantai Rajegwesi memakan waktu sekitar 3 jam. Di sekitar satu setengah jam awal perjalanan, jalanan relatif mulus. Setelah melewati pos perkebunan milik PTPN XII, jalanan berubah menjadi off road karena memasuki areal perkebunan. Memang rasanya kurang nyaman, tapi justru inilah serunya petualangan menuju teluk hijau.
Setelah sampai di Pantai Rajegwesi, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mencapai teluk hijau. Cara pertama adalah dengan berjalan kaki atau trekking menyusuri tebing dan lembah selama kurang lebih satu jam. Cara ini memang cukup melelahkan dan sulit. Apalagi jika kesana pada saat musim hujan seperti yang aku dan rekan-rekan dblogger alami. Jalan setapak menuju teluk hijau menjadi licin dan penuh lumpur. Jika tidak berhati-hati, maka kita bisa tergelincir. Cara pertama memang agak susah dan berat, tetapi sebagai gantinya akan sangat banyak pemandangan indah yang tersaji disana
yang membuat kita akhirnya harus berhenti untuk berfoto sejenak. Salah satu yang menarik jika melalui trekking adalah bertemu dengan sebuah pantai yang dipenuhi banyak batu. Konon dulunya pantai ini berpasir seperti pada umumnya pantai. Tapi sejak terkena tsunami di tahun 1 994, mendadak pantai ini dipenuhi oleh banyak batu yang dipercaya awalnya berasal dari dasar laut. Terus terang, saat melihat pantai batu itu, aku tidak melihat sesuatu yang istimewa pada pantai tersebut kecuali batu itu sendiri dan tebing-tebing disekitarnya yang tinggi dan curam. Wongkentir Magazine | 9
Pantainya tampak biasa saja dengan air laut yang tidak terlalu hijau. Nah, karena teluk hijau berada di balik sebuah tebing tepat di sisi barat pantai batu ini, jadinya ya aku berpikir, mungkin ya wujud teluk hijau ya tidak jauh beda dengan pantai ini. Hanya saja pantainya berpasir.
10 | Wongkentir Magazine
Tapi ternyata aku salah. Begitu meninggalkan area pantai batu untuk kemudian menyaksikan Teluk Hijau dari balik jalan setapak yang berada di punggungan tebing, seketika itu aku seperti disergap kebahagiaan yang luar biasa. Its amazing beach!!! Aku merasa seperti bukan berada di Indonesia. Cara kedua, yakni cara tercepat adalah dengan naik perahu selama sekitar 1 5 menit. Tetapi naik perahu ini juga bukan sesuatu yang mudah, karena butuh nyali besar. Coba bayangkan, naik perahu menyusuri pantai selatan yang terkenal akan keganasan ombaknya serta cerita-cerita yang mistis yang mengiringinya. Jika naik perahu, dijamin sesampainya di teluk hijau, pakaian akan basah oleh air laut, karena terguyur ombak yang kadang bisa mencapai dua hingga tiga meter. Hmm, dijamin, 1 5 menit akan terasa sangat lama, seperti yang aku rasakan kemarin. Memang jalan yang ditempuh untuk mencapai teluk hijau relatif tidak mudah. Tapi ketika sampai di sana, semuanya akan terbayar lunas. Betul memang ada pepatah, semakin susah kita meraih sesuatu, berarti sesuatu itu pastinya lebih indah daripada sesuatu yang bisa diraih dengan mudah. Aku sendiri saat mengunjungi teluk hijau menggunakan kedua cara, yakni berangkatnya menggunakan cara yang pertama, sedangkan ketika pulangnya menggunakan cara yang kedua. Biar adil, he he.
pastinya akan lebih licin. Apapun itu, mari berkunjung ke Teluk Ijo. Bagi teman-teman yang ingin berkunjung ke luar negeri untuk sekedar bermain air di pantai seperti ke Phuket, Thailand, ataupun Boracay, Philipina, urungkanlah niatnya dulu. Mending datang ke Teluk Hijau, karena Teluk Hijau jauh lebih indah dan tentunya biaya yang dibutuhkan jauh lebih murah. Ayo ke Banyuwangi!!!
Kalau boleh memilih, sepertinya aku lebih memilih cara pertama saja, karena sungguh, naik perahu 1 5 menit menyusuri pantai selatan itu bikin adrenalin naik. Ngerinya mengalahkan kengerian saat naik perahu kora-kora ataupun roller coaster di dufan. Tapi karena saat itu awan sudah menghitam dan hujan gerimis sudah mulai turun, apa boleh buat. Lagipula jika aku memaksakan diri untuk naik ke bibir tebing lagi akan lebih berbahaya, karena jalanan disana Wongkentir Magazine | 11
Cullinary
Text by Surya Hardhiyana Putra Photo By Surya Hardhiyana Putra
Secangkir cairan hitam pekat tersaji di depanku. Tampak kabut tipis menari-nari dia atas permukaannya. Semerbak aroma harum serta merta menembus syarafku ketika beberapa helai dari kabut itu sampai ke poripori hidungku. Hmm, batinku “Silahkan diminum, dan setelah itu ceritakan
apa yang kamu rasakan”, ujar seorang pria dihadapanku “Terima kasih pak.” Semakin banyak helaian kabut yang hinggap ke hidungku, semakin liar keinginan syarafku untuk segera menikmati rasanya. Dengan kekuasaanya, dia perintahkan seluruh organ tubuhku untuk segera bekerja Wongkentir Magazine | 13
Kupegang gagang cangkir itu lalu kuangkat. Kudekatkan ke arah mulutku perlahan lahan. Semakin dekat, semakin terasa keharumannya. Namun bersamaan dengan itu semakin terasa pula hawa panas yang bergolak di dalamnya. Meski begitu, aku tidak gentar. Konon di saat masih kondisi panas itulah, kita bisa merasakan kenikmatan maksimal dari si cairan hitam itu. Semakin dekat, dekat dan akhirnya beberapa tetes tumpah ke mulutku. Hawa panasnya langsung seperti membakar rongga mulutku. Lidahku berjingkat. Selang beberapa detik mulutku membuka menutup untuk memberikan ruang bagi udara untuk bisa keluar masuk ke dalam rongga mulut dan menurunkan suhu didalamnya. Setelah suhunya sudah pas, mulutku pun menyesap habis cairan itu dan meratakannya keseluruh permukaan lidah. Selang beberapa detik, syaraf-syaraf indera di mulutku mulai bekerja keras menganalisa rasa. Entah karena memang bukan penggemar dan penikmat, sekeras apapun analisa yang dilakukan otakku, tetap saja, aku tidak menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan rasa itu.
14 | Wongkentir Magazine
Ingin sekali ada sebuah kamera yang bisa memotret bagaimana bentuk sebuah rasa. “Bagaimana mas?” tanya pria yang memberiku secangkir minuman tadi. “Saya tidak bisa menggambarkannya pak. Yang pasti saya belum pernah merasakan ini sebelumnya,” “Pahit gak?” “Tidak terlalu pak” “Lalu apa yang bisa kamu rasakan sekarang? Setelah semua yang ada di mulut sudah habis” “Enak pak,” ujarku sambil mengecapkan mulut. “Seperti ada rasa manis dan asam di lidah dan langit-langit” “Itulah yang dinamakan after taste, atau jejak rasa yang tertinggal. Itulah kenikmatan kopi.” Namanya lengkapnya Setiawan Subekti. Oleh orang-orang di sekitarnya biasa dipanggil Pak Iwan, seorang pecinta dan penikmat kopi yang namanya sudah termahsyur hingga mancanegara. Sudah beberapa kali dia diundang untuk menjadi juri kopi baik tingkat nasional maupun internasional. Salah satu misinya saat ini adalah menjadikan Banyuwangi sebagai kota kopi dengan salah satu kopi yang ingin
diangkatnya adalah Kopi Using, kopi yang berasal dari desa Kemiren, Banyuwangi. Saat ini aku tengah berada di Sanggar Genjah Arum yang berlokasi di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Sanggar ini bisa dibilang sebagai pusat kebudayaan dari desa Kemiren. Selain sebagai tempat workshop kopi bagi warga desa Kemiren, banyak kegiatan kesenian yang diselenggarakan disana. Saat kami tiba di Sanggar beberapa menit yang lalu, sebuah pertunjukan Othek menyambut kedatangan kami. Othek adalah pertunjukan seni musik yang dilakukan oleh para wanita tua desa kemiren. Para pemainnya memukul mukul lesung dengan tongkat yang biasanya digunakan sebagai penumbuk padi atau kopi. Dari situ muncul sebuah irama yang sangat indah. Hmm, keren juga. Selain Othek, kami juga disuguhi oleh pertunjukan tari Barong Kemiren. Mendengar kata Barong, selalu yang teringat adalah Bali, padahal Banyuwangi juga mempunyai Tari
Barong. Bagi masyarakat Kemiren, Barong adalah sebuah simbol kebersamaan seluruh warga desa. Kembali ke Kopi, hal yang paling utama dari pengolahan biji kopi adalah saat menyangrai. Jika cara menyangrai salah, maka dijamin cita rasa kopinya pasti akan hilang. Mitos yang beredar bahwa kopi selalu berwarna hitam pekat itu sebenarnya mitos yang tidak benar. Kopi berwarna hitam pekat itu karena sangrainya yang salah sehingga kopinya menjadi gosong. Apapun yang gosong, pastilah rasanya pahit. Makanya itu kopi identik dengan pahit. Karena itulah saat pertama kali tiba di Desa Adat Kemiren, kami tidak langsung dibawa ke Sanggar Genjah Arum, tetapi terlebih dahulu singgah di salah satu rumah yang digunakan sebagai pusat pengolahan dan produksi kopi Kemiren. Di sana kami mendapatkan penjelasan (sekaligus praktek bagi beberapa rekan blogger) bagaimana cara mengolah biji kopi yang benar, utamanya menyangrai. Wongkentir Magazine | 15
Mas Tuki dan Mas Haidi dari Pathok (Paguyuban Tholek Kemiren) dalam keterangan menjelaskan sebelum menyangrai, kegiatan yang terlebih dahulu dilakukan adalah mengayak biji kopi. Tujuannya adalah memisahkan antara biji kopi yang besar dan yang kecil. Jadi nantinya, biji kopi yang kecil disangrai dengan sesama yang kecil, sedangkan yang besar juga dengan sesama yang besar, agar diperoleh tingkat kematangan yang sama saat sangrai. Setelah biji kopi sudah terpisah secara dimensi, saat sangrai pun tiba. Sangrai dilakukan di atas wajan yang terbuat dari tanah liat dengan suhu mencapai 220 derajat celcius. Sebanyak maksimal 6 ons biji kopi disangrai dalam satu waktu selama 1 5 – 20 menit.
rasa di dalamnya tidak hilang. Setelah dingin, diamkan biji kopi selama minimal 3 hari. Baru setelah itu ditumbuk. Setelah menjadi bubuk, kopi siap untuk diseduh dan disajikan. Untuk menyeduh kopi, juga ada caranya agar cita rasa kopi terjaga. Pertama jerang air hingga mendidih. Setelah mendidih, diamkan dulu setengah menit agar suhunya turun hingga sekitar 90 derajat celcius. Kemudian masukkan satu sendok makan kopi ke dalam cangkir. Masukkan air yang sudah didiamkan tadi ke dalam cangkir hingga cukup sampai setengah cangkir dulu, lalu aduk perlahanlahan.Nantinya ampas dari kopi akan terangkat dan mengapung di permukaan. Ampas ini akan menahan cita rasa kopi agar tidak keluar. Kopi akan lebih nikmat rasanya jika keluar busa pada air kopi tadi.
Lima menit pertama, lakukan sangrai dengan pelan. Lalu selanjutnya, kecepatan ditambah setiap selang lima menit. Saat disangrai bobot dari biji kopi akan susut 1 5% karena kadar airnya menguap. Setelah 1 5 – 20 menit, biji kopi tersebut diangkat dari wajan, lalu dikipasi, agar cita
Setelah itu, tuang air secara perlahan hingga cangkir penuh. Aduk sebentar. Tambahkan gula secukupnya sesuai selera dan kopi siap untuk dinikmati. Biji Kopi Kemiren ini dari jenis kopi robusta yang berasal dari seluruh perkebunan kopi yang tersebar di daerah Banyuwangi.
16 | Wongkentir Magazine
omzet sekitar 20 kg per minggu (dihitung dari berat biji mentah sebelum disangrai). Tapi dengan promosi pariwisata yang besarbesaran dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, aku optimis dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, Kopi Using Kemiren tidak lagi menjadi kopi yang asing di telinga para penikmat dan pecinta kopi, dan diterima baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Dan nama Banyuwangi akan termahsyur sebagai salah satu penghasil kopi terbaik di dunia yang ada di Indonesia seperti Toraja di Sulawesi ataupun Gayo di Aceh. Semoga. Kopi Kemiren, sekali seduh kita saudara, dua kali seduh yo bayaro rek :-) – Setiawan Subekti.
Jadi biji kopi yang digunakan adalah biji kopi lokal Banyuwangi. Tapi meski dengan hanya biji kopi lokal, Mas Haidi optimis bahwa cita rasa yang dihasilkan tidak kalah dengan kopikopi lainnya. Kopi-kopi yang dihasilkan oleh Pathok ini dikemas dalam sebuah kantong plastik dan diberi nama Jaran Goyang. Harga yang dipatok juga cukup murah dan terjangkau sehingga tak heran teman-temanku langsung memborong kopi-kopi tersebut hingga stoknya habis. Senyum tersungging di wajah Mas Tuki, Mas Haidi dan rekan-rekannya melihat kami semua yang seperti kesetanan berebut kopi, he he he. Sampai dengan saat ini, pemasaran kopi Kemiren masih di tingkat lokal saja dengan
Profile
HAIDI BING SLAMET SANG MAESTRO BIOLA BANYUWANGI Text by Surya Hardhiyana Putra Photo By Surya Hardhiyana Putra
Pertunjukan Barong baru saja selesai dipentaskan. Sanggar Genjah Arum yang sebelumnya riuh dengan berbagai macam suara serta kilatan lampu flash dari kamera, menjadi sedikit tenang kembali. Para pemain Barong tengah beristirahat sejenak, bersiap untuk pertunjukan selanjutnya. Sedangkan para penonton kembali ke rutinitas semula. Ada yang meneruskan membuat artikel di Laptop, makan aneka gorengan yang sudah disediakan Sanggar, bermain ponsel ataupun melanjutkan diskusi tentang kopi bersama Pak Iwan. Aku sendiri masih terpaku di tempatku berdiri menyaksikan tari Barong tadi. Masih terngiang di kepalaku ternyata Tidak hanya Bali saja yang punya Barong, Banyuwangi juga. 18 | Wongkentir Magazine
Tiba-tiba, dari keheningan itu, menyeruak sebuah melodi yang menggetarkan gendang telingaku. Alunan nada yang sangat merdu dan syahdu. Untaian suara yang sangat khas dari sebuah alat musik gesek yang biasa dimainkan Henri Lamiri ataupun Sharon The Corrs. Biola. Yak itu tadi adalah suara Biola. Bola mataku langsung bergerak, mencari dari mana sumber suara berasal. Dan, aku mendapatkannya. Pemain biola itu tengah duduk di atas sebuah bangku. Seorang pria berpakaian hitam dengan tubuh yang cukup subur. Matanya terpejam sambil sesekali terbuka. Tampak dia sangat menikmati alunan musik yang tengah dimainkannya. Wajahnya, ah, aku sepertinya mengenalnya. Tapi aku kurang yakin, karena dia menunduk, sehingga wajahnya kurang begitu terlihat. Begitu pria itu telah menyelesaikan satu lagu, aku langsung mendatanginya. “Lho, mas Haidi ya. Yang tadi ada di workshop mengolah kopi tadi kan?” ujarku. “Iya mas,” ujar Pria itu tersenyum. “Yang tadi ngajari cara menyangrai, menumbuk, hingga menyeduh kopi itu kan?” tanyaku lagi. “Iya mas.” “Wah, selain jago mengolah kopi, pandai main biola juga ya ternyata.” “He he, kebetulan saja itu mas” “Ha ha ha, ini mah bukan kebetulan mas, tapi keren mas. Lagunya barusan asyik mas.” Sungguh, sangat beruntung aku bisa berkunjung ke Desa Kemiren, Banyuwangi ini. Disini aku bertemu dengan orang-orang hebat yang mempunyai idealisme. Setelah tadi berkenalan dengan ahli kopi bernama Iwan, sekarang aku bertemu dengan Haidi bing Slamet, 32 tahun, maestro biola dari Dusun Krajan, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Permainan biola Mas Haidi ini biasanya dipergunakan untuk mengiringi tarian Gandrung Banyuwangi ataupun tari Barong yang baru saja kusaksikan ini. Dari kemampuannya bermain biola, Mas Haidi tidak hanya pernah tampil di tingkat lokal kabupaten atau nasional saja, tetapi
dia pernah berkesempatan untuk menunjukkan kebolehannya di dunia internasional, yakni di benua biru Eropa tahun 201 0 yang lalu. Tepatnya di Prancis selama sekitar 1 6 hari. Selama lebih dari dua minggu di negeri asal Pemain Sepakbola Zinedine Zidane itu, dia bersama tim berkunjung ke 5 kota, diantaranya Paris, Lyon dan Marseille untuk mempromosikan kesenian Banyuwangi ke dunia internasional. “Sungguh pengalaman yang luar biasa bisa berkunjung ke Eropa mas,” ujarnya dengan penuh bahagia. Selain kemampuan memainkan alat musik, Mas Haidi ternyata juga punya kemampuan lain yang tergolong istimewa, yakni membuat biola. Hebatnya lagi, dia belajar cara membuat biola tersebut secara otodidak tanpa seorang guru. Biola-biola ini dibuat berdasarkan pesanan, terutama bagi mereka yang sudah pernah menginjakkan kaki di Desa Kemiren. Kebanyakan memang dibuat untuk pajangan, meski tidak sedikit pula yang memang membeli untuk memainkannya. Dalam sebulan Mas Haidi bisa mengerjakan 5 hingga 6 buah biola. Meski dikerjakan dengan menggunakan manual alias handmade, Mas Haidi berani menjamin, kualitas biola buatannya tidak kalah dengan biola buatan pabrik. “Harga satu buah biola berapa mas?” “Ya bervariasi mas, tergantung bahan dan tingkat kerumitannya. Ya antara 600 ribu hingga 3 jutaan,” “Tiga juta mas. Wow,” ujarku terbelalak. “Iya mas, waktu itu yang pesan turis Perancis yang datang ke sini mas.” “Wah, sudah menembus pasar Eropa ya mas. Kereeennn.” “Alhamdulillah mas. Masih merintis. Doakan ya.” Dengan kemampuan seninya yang sangat mumpuni tak heran jika di dalam komunitas Pathok (Paguyuban Tholik Kemiren), Mas Haidi didapuk jadi ketua bidang kesenian. Jadi, tidak salah juga kan jika aku menyebutnya seorang Maestro? Berbicang-bincang dengan Mas Haidi sungguh telah memberikan inspirasi tersendiri bagiku.
Keinginannya untuk mempertahankan dan melestarikan seni budaya daerah asalnya patut dicontoh oleh generasi-generasi muda yang saat ini lebih banyak meniru kebudayaan asing. Selain demi keberlangsungan seni budaya itu sendiri, banyak fakta yang menunjukkan bahwa kesenian adalah salah satu jalan yang bisa membawa kita berkeliling dunia gratis, selain menjadi diplomat, politikus atau mendapatkan beasiswa pendidikan. Lalu keuletan, ketekunan dan kerja kerasnya dalam belajar dan berkarya, meskipun tiada guru yang mendampingi sungguh membuatku seperti tertampar. Terkadang kita yang hidup di kota, yang bergelimpangan materi dan kesempatan, cenderung menyianyiakan itu semua dan hanya menjadi pemalas dan penikmat saja. Uang ada, guru bertebaran dimana-mana, informasi tinggak klak klik saja, fasilitas serba ada. Sedangkan yang hidup di desa, yang semuanya serba terbatas, mampu mengatasi keterbatasan itu dan mengeluarkan kemampuannya hingga maksimal. Memang benar apa yang pernah dikatakan seorang ilmuwan besar, Thomas Alva Edison, bahwa dalam sebuah keberhasilan, bakat hanya punya peranan 1 persen saja, sisanya adalah kerja keras. Dan hari ini aku belajar akan sebuah ketekunan dan kerja keras dari sosok bernama Haidi Bing Slamet.
Wongkentir Magazine | 19
Journey
Sore
itu langit tampak mendung. Awan gelap berarak menggumpal-gumpal di ufuk barat. Langit menghitam. Hanya menyisakan sedikit saja ruang untuk warna lain berpendar. Wajarlah sebenarnya. Bulan ini memang bulan dimana musim penghujan datang. Bahkan katanya di musim ini curahnya paling tinggi. Januari. Orang sering memplesetkannya dengan hujan berhari-hari. Beberapa jam yang lalu pun hujan baru saja mengguyur daerah ini. Tapi saat ini sudah reda, tinggal menyisakan rintiknya saja. Dibawah senja kelabu, aku terduduk di bawah pohon. Entahlah pohon apa namanya, aku belum mengenal spesiesnya. Di sekitarku berserakan pasir berwarna kecokelatan, terbentang sejauh lebih dari 3 km. Di hadapanku laut terhampar. Ombaknya tampak riang. Mereka menari-nari dan bergulung-gulung hingga setinggi sekitar 2 meteran menjelang bibir pantai. Nun jauh di sana, samar-samar tampak beberapa tebing batu berserakan muncul ke permukaan laut. 20 | Wongkentir Magazine
Buih ombak mengaburkan sedikit keberadaan mereka. ‘Hmm, cantik sekali pantai ini’, batinku. Tapi bukan ombak itu yang membuatku terpesona. Di Bali, Lombok ataupun di pantaipantai lainnya, banyak ditemui ombak besar dan kuat seperti itu. Tidak pula gugusan tebing batu yang berserakan itu, karena jaraknya cukup jauh dari bibir pantai, sehingga tidak begitu terasa kecantikannya. Justru pemandangan sebuah bukit berbentuk kerucut yang seolah-olah tumbuh menjulang dari bibir pantai itulah pesona dari pantai ini. Orang-orang sekitar pantai ini menyebut bukit itu Pulau Merah. Dari sejak masuk ke kawasan objek wisata berjarak sejauh sekitar 80 km di selatan kota Banyuwangi, Pulau Merah sudah terlihat. Bahkan nun jauh di pusat kota Banyuwangi, gambaran akan cantiknya Pulau Merah sudah bisa ditemui. Tentu saja bukan Pulau Merah yang asli, melainkan berupa brosur, pamflet maupun poster yang tersebar di
seluruh penjuru Kabupaten Banyuwangi. Pulau Merah kini memang menjadi salah satu andalan pariwisata Kabupaten Banyuwangi, disamping Kawah Ijen. Konon, sudah cukup banyak wisatawan mancanegara yang datang ke Pulau Merah. Mereka sering menyebutnya Red Islands. Tetapi, sama seperti di Teluk Hijau, penduduk lokal lebih suka jika menyebutnya Pulau Merah, sesuai dengan nama dalam Bahasa Indonesia. Respon para turis terhadap Pantai Pulau Merah cukup positif. Bahkan mereka memberikan penilaian, suasana pantainya hampir sama seperti suasana Pantai Kuta Bali di tahun 80an dan 90an, ketika wisatawan di Bali belum sedahsyat sekarang. Salah satu pertanyaan yang menggelitiku adalah mengapa bukit itu dinamakan Pulau Merah? Saat kupandangi lekat-lekat, tidak nampak warna merah di bukit itu. Justru warna hijau yang dominan. Warna yang menunjukkan lebatnya pepohonan yang tumbuh di atasnya. Dari beberapa referensi di internet yang kubaca, nama pulau merah berasal dari warna pasir dipantainya yang kalau dilihat dari udara, tampak seperti berwarna merah. Ada juga yang mengatakan bahwa nama itu berasal dari warna asli dari bukit kerucut itu, yaitu merah. Konon, jika musim kemarau tiba,
maka pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Merah akan meranggas dan mengering. Saat itulah terlihat warna asli si bukit yang berwarna merah. Aku berjalan menyusuri garis pantai. Langkahku tampak berat karena hujan telah membuat pasir pantai menjadi menggumpal dan lengket di sandal. Sesekali aku mengambil foto sang pulau beserta laut dan ombaknya yang terus menerus berdebur. Sesekali aku memungut sampah yang berserakan di bibir pantai. Tidak banyak memang sampah terlihat, tapi tetap saja, yang sedikit itu mengganggu pemandangan. Dengan kondisi wisatawan yang belum seramai Kuta, kondisi sampah bisa disebut mulai mengkhawatirkan. Sayang sekali, dengan potensinya yang besar ini, kondisi Pulau Merah malah terbengkelai karena sempat terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaannya. Konflik ini membuat para wisatawan yang akan mengunjungi Pulau Merah untuk sementara dibebaskan dari kewajiban membayar retribusi. Mungkin hal inilah yang menyebabkan adanya ceceran sampah di pantai. Meskipun begitu, fasilitas penunjang seperti toilet, warung makan, musholla hingga homestay sudah tersedia dengan cukup memadai. Penduduk sekitar tampak
Wongkentir Magazine | 21
sudah paham akan potensi pertumbuhan ekonomi yang akan didapat dari semakin ramainya pariwisata di Pulau Merah. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat bahwa sepertinya Pulau Merah dan Pulau Jawa itu belum terpisah, masih satu kesatuan. Hanya saja, ketika laut pasang, air laut seolah-olah memisahkannya. Waktu terus berjalan, dan tak terasa langit pun semakin beranjak gelap. Malam mulai merayap di bumi Banyuwangi. Beberapa orang kawanku mulai mengajak kembali ke mobil trooper untuk bersiap pergi menuju kecamatan Genteng, untuk kemudian berlanjut ke stasiun KaliSetail dan pulang kembali ke Surabaya. Kebanyakan dari mereka tampak kecewa karena awan gelap di ufuk barat telah menghalangi pemandangan matahari terbenam atau sunset sore hari ini. 22 | Wongkentir Magazine
‘Hmm, sepertinya aku tidak sependapat’ Aku coba mengabadikan beberapa frame lagi dari kameraku. Kali ini aku mengambil dari sudut yang berbeda. Aku mencoba agak menjauh dari bibir pantai, dengan mengambil kursi kursi pantai berpayung merah yang berjajar di tepi pantai sebagai foreground dari Pulau Merah. Hasilnya? Hmm, cantik. Bagiku sendiri, senja hari ini tetaplah sempurna. Kalaupun memang tak sempurna, terkadang ketidaksempurnaan itulah yang membuatnya sempurna. Dan yang pasti, kamu tidak akan pernah menemukan senja yang sama persis seperti hari ini di hari-hari selanjutnya.
Story SUNRISE HERE I AM A Story by Gilang Permana From http://soepolenk.wordpress.com/2014/01/20/sunrisehereiam/
"Tidak ada kalimat yang sempurna, sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna" S e b u a h ku ti p a n b u ku ya n g ku b a ca s e ca ra ke b e tu l a n ke ti ka m a s i h m a h a s i s wa d a n j a u h d i ke m u d i a n h a ri a ku b a ru m e m a h a m i m a kn a ka l i m a t te rs e b u t. S e ti d a kn ya , ku a n g g a p ka l i m a t i tu s e b a g a i ka ta -ka ta p e n g h i b u r. Aku s e l a l u d i l a n d a o l e h ra s a p u tu s a s a ke ti ka m e l a ku ka n p e rj a l a n a n u j u n g ti m u r p u l a u j a wa d e n g a n m e m p e rs i a p ka n b e rb a g a i a l a s a n u n tu k m e n o l a k p e rg i . Aku te ru s b e rku ta t d e n g a n d i l e m a s e p e rti i tu s e l a m a d u a p u l u h ta h u n . D u a p u l u h ta h u n , s u n g g u h wa ktu ya n g l a m a u n tu k p e n a n ti a n . S e b u a h j a wa b a n b e ra d a d a l a m ta s s e l e m p a n g b e rwa rn a co kl a t, ta s p e n i n g g a l a n b a p a k ke ti ka m e n j a d i a b d i d e s a . S o s o k l e l a ki u s i n g ya n g b a n g g a m e n g a b d i ka n d i ri p a d a d e s a te m p a t d i l a h i rka n . M e l e s ta ri ka n a d a t tu ru n te m u ru n ya n g p a d a a kh i rn ya h a ru s re l a m e re n g g a n g n ya wa a ki b a t p e n g a b d i a n . Tu b u h n ya d i te m u ka n d i p i n tu a i r d e n g a n d u a b e l a s tu s u ka n , s e b u a h ke m a ti a n ya n g ti d a k m e n j a d i p e rm a s a l a h a n p e n ti n g ta k u b a h n ya s e m a s a h i d u p b a p a k d a ri a n a k u s i a d e l a p a n ta h u n . Aku , 2 8 ta h u n , s a a t i n i s e d a n g d u d u k d i d a l a m ke re ta a p i m a l a m M u ti a ra Ti m u r m a l a m . D e re ta n g e rb o n g h e n d a k b e rh e n ti m e n yu s u p d i a n ta ra g e l a p , m e n a m b a h g e l a p ce ri ta s ta s i u n ya n g m e n j a d i s a ks i p e rj u a n g a n m a s ya ra ka t s e te m p a t m e l a wa n p e n j a j a h . Ri n ti k h u j a n ti d a k b e ra tu ra n d i b u l a n J a n u a ri a wa l ta h u n 2 0 1 4 , p e tu g a s b e rj a s hujan m e n g a m b i l p o s i s i m e n g a ra h ka n p e n u m p a n g m e n u j u p i n tu ke l u a r, d e re ta n p a p a n i kl a n p a ri wi s a ta d e n g a n wa rn a m e n yo l o k s e a ka n m e m p e rl i h a tka n b u a ta n s i s wa ya n g b a ru b e l a j a r te n ta n g d i s a i n . Ke re ta p u n b e rh e n ti , d a ri p e n g e ra s s u a ra d i l a n g i t-l a n g i t te rd e n g a r u ca p a n “ S e l a m a t D a ta n g d i S ta s i u n Ka ra n g As e m ” . P a ra p e n u m p a n g m u l a i m e n u ru n ka n ta s h i n g g a b a wa a n n ya d a ri ka b i n , a ku d a ri b a l i k j e n d e l a ke re ta m e n e n g o k ke a ta s m e m a n d a n g l a n g i t g e l a p ya n g d i ri n g i ri n ti ka n h u j a n , ke m u d i a n m e re n u n g ka n s e g a l a s e s u a tu ya n g te l a h h i l a n g d a l a m p e rj a l a n a n h i d u p ku h i n g g a ki n i . Wa ktu ya n g h i l a n g , o ra n g -o ra n g ya n g te l a h ti a d a a ta u p e rg i , p e ra s a a n ya n g ta k p e rn a h ke m b a l i s e j a k m e n i n g g a l ka n ko ta i n i . D u a p u l u h ta h u n te l a h b e rl a l u , a ku m a s i h b i s a m e n g i n g a t d e n g a n j e l a s p e m a n d a n g a n d i p i n tu a i r. M a ta h a ri m u l a i m e n a m p a kka n s i n a r te ra n g , l a n g i t g e l a p m e n u j u te ra n g m e n g h i a s i ca kra wa l a . P e ta k s a wa h te rb e n ta n g ta k b e ru j u n g , a n g i n m e n g g o ya n g p u cu k p u cu k i l a l a n g ke s a n a ke m a ri . P i n tu a i r b e rka ra t ya n g ko ko h , tu b u h m a n u s i a b e rs e l i m u t d a u n p i s a n g . D a ra h m e m b a s a h i ta n a h re ru m p u ta n , ta n g i s a n wa n i ta m e ru s a k h a rm o n i ki ca u a n b u ru n g – b u ru n g s a wa h . I n g a ta n i tu m e ru p a ka n s e s u a tu ya n g a n e h . Wongkentir Magazine | 23
Ke ti ka a ku b e n a r-b e n a r a d a d i s a n a , a ku h a m p i r ti d a k m e m p e rh a ti ka n p e m a n d a n g a n i tu . Aku ti d a k m e ra s a p e m a n d a n g a n i tu m e n ye d i h ka n , j u g a ti d a k te rp i ki r b a h wa m u n g ki n s e te l a h l e wa t d u a p u l u h ta h u n p u n a ku d a p a t m e n g i n g a tn ya s a m p a i h a l ya n g s e ke ci l - ke ci l n ya . J u j u r s a j a , b a g i ku p e m a n d a n g a n s a a t i tu b u ka n l a h s e s u a tu ya n g d i p i ki rka n . L a n g ka h ka ki s i l i h b e rg a n ti b e rs a h u ta n b u n yi ri n ti k h u j a n j a tu h ke ta n a h . Aku m e n u j u u j u n g b a n g u n a n m e n ca ri j a l a n ke l u a r d a ri p e n j a ra i n g a ta n ya n g a n e h , m e n g e j a r ke n ya ta a n d e n g a n b e rl a ri te rg e s a u n tu k te rb i tn ya m a ta h a ri . S o s o k l e l a ki m e n ye b u t n a m a ku b e rka l i ka l i d i p i n tu ke l u a r s ta s i u n ke p a d a s e ti a p o ra n g ya n g d i l a l u i . L e l a ki i tu b e rn a m a P a rj o , s o p i r s u ru h a n d a ri p a ra p e j a b a t ka b u p a te n . M o b i l Tro o p e r m u l a i m e l a j u , a ku d u d u k d i b e l a ka n g s o p i r d a n m e n ya n d a rka n ke p a l a p a d a ka ca j e n d e l a m o b i l d e n g a n m e m a n d a n g j a tu h n ya b u l i ra n h u j a n ke j a l a n . “ Ke P a n ta i B o o m � m e n j a wa b p e rta n ya a n P a rj o , tu j u a n p e rta m a d i B u m i B l a m b a n g a n m e n j a d i a wa l d a ri b e ri b u tu j u a n ya n g d i te m p u h d a l a m p e n e b u s a n m a s a l a l u b a p a k.
H a ri e s o k m e ru p a ka n a wa l ke h i d u p a n ya n g te rtu n d a , m e n e b u s h i l a n g n ya d u a p u l u h ta h u n p a d a b e b e ra p a l e m b a r ke rta s p e n g e s a h a n ke p a l a d e s a d a l a m ta s s e l e m p a n g co kl a t tu a . Aku ti d a k p e rn a h b e rd o a u n tu k ke m b a l i d a l a m b a ya n g a n ke m a ti a n b a p a k, Aku ti d a k b e rh a ra p m e n a ta p m a s a d e p a n d i te m p a t ke l a h i ra n n ya , s e a ka n ti d a k p e rca ya e s o k d i a n g ka t m e n j a d i p i m p i n a n a b d i d e s a . Ke n ya ta a n p a h i t ya n g h a ru s d i ra s a ka n n a m u n p e rl a h a n te ra s a m a n i s p a d a a kh i rn ya . Aku Ki n i a ku s u d a h b e rd i ri d i h a m p a ra n p a s i r h i ta m , d i b a ta s s u a ra o m b a k m e n ye n tu h b i b i r p a n ta i , l a n g i t te m a ra m m e n u j u te ra n g m e n ya m b u t p a g i . P e ra h u n e l a ya n m e m b e l a h l a u ta n m e n g u s i k l a m u n a n , m e n e rj a n g o m b a k m e n ca ri a s a d e m i h a ri e s o k. M e m u l a i h a ri d e n g a n m e m a n d a n g ke a g u n g a n -N ya d a ri u j u n g ti m u r P u l a u J a wa . Aku a ka n m e n j a d i ke p a l a d e s a , m e n j a d i p i m p i n a n a b d i d e s a ya n g d i a g u n g ka n o l e h b a p a k s e m a s a h i d u p . D i te m p a t b a p a k d i l a h i rka n j u g a d i ku b u rka n d e n g a n d u a b e l a s tu s u ka n . S e j e n a k m e m a n d a n g m a ta h a ri te rb i t ya n g te rtu tu p a wa n , d e n g a n s u a ra l i ri h b e ru ca p “ Aku s u d a h d i s i n i p a k ! � . 24 | Wongkentir Magazine