Edisi
2
Buletin
PMII adalah Jiwaku, Al-Faruq adalah Darahku, “Radikal” adalah Pemikiranku
GERAKAN LITERASI DAN REKONSTRUKSI PEMIKIRIN MAHASISWA PERGERAKAN Buku dan mahasiswa, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.Membaca merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh semua orang khususnya mahasiswa sebagai seorang akademisi, dan menuntut mahasiswa untuk mencari literature lain yang tersedia di perpustakaan atau toko buku. Oleh karena itu, pentingnya membaca selain menambah pengetahuan dan wawasan juga melatih nalar kritis mahasiswa atas fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya. Namun bagaimana jadinya jika seorang mahasiswa, lebih-lebih seorang aktifis pergerakan mulai enggan untuk membaca ?. B e b e r a p a s t u d i menyebutkan, tingkat minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Misalnya, Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyebutkan bahwa bangsa Indonesia menempati urutan ke-56 dari 60 negara dalam hal minat baca. Studi terkait minat baca yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 juga masih menempatkan Indonesia di urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei. Demikian pula hasil survei yang dilakukan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Peserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dimana tingkat minat baca bangsa Indonesia menempati posisi kedua terendah dari 61 negara yang disurvei. Data-data yang telah dipaparkan menunjukkan bagaimana sangat memprihatinkannya kondisi bangsa Indonesia pada saat ini, dan perlu adanya kerja keras dan kerja cerdas dari semua golongan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang berperadaban. Penanggung Jawab Redaksi Kantor Media
Mahasiswa Pergerakan Zaman Now...!! Dunia mahasiswa pergerakan saat ini mulai kehilangan ruhnya. Jejak-jejak pemikiran kritis dan gerakan pembebasan mulai pudar, budaya membaca dan diskusi juga mulai hilang dari peradaban kampus. Orientasi kita saat ini adalah bagaimana caranya mendapat nilai A, IPK tinggi, cepat lulus, cepat mendapat pekerjaan yang layak, dan kemudian menempati status sosial strategis di masyarakat. Pola pikir demikian inilah yang merasuk ke dalam ruang kesadaran mahasiswa. Kuliah bukan lagi sebuah aktivitas akademis yang menggerakkan kekuatan kritis dan tempat munculnya gagasan-gagasan baru, melainkan ritual yang diulang-ulang tanpa memberikan penyegaran gagasan, mengerjakan tugas dan memprentasikan makalah hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban tanpa ada nilai plus yang bisa diambil. Jika dahulu Karl Marx berkata “agama adalah candu” yang mana merupakan respon atas dinamika sosio-kultur dan sosio-politik yang mengungkung masyarakat kelas bawah. Kiranya perkataan itu cocok jika sedikit diubah dan menyesuaikan keadaan mahasiswa zaman sekarang, yaitu“gadget adalah candu”. Disadari atau tidak jika kita melihat fenomena yang terjadi di warung kopi atau setiap perkumpulan mahasiswa maka gadget/smartphone tak akan pernah terlepas dari genggaman tangan. Jika sudah duduk di warung kopi dengan kondisi baterai terisi penuh dan koneksi internet lancar, berjam-jam kita lalui pun tak akan terasa.Kita lebih sibuk membaca status facebook daripada -
: Sahabat A iq Faqih : Bung Jau-Caw, Bung Faid, Bung Syahrul, Bung Almas : Jl. Mertojoyo Selatan Gg. 1 No. Kota Malang : pmiialfaruq.or.id @radikal_alfaruq