BUTON BUTON adalah satu suku-bangsa yang biasa juga disebut dengan nama Wolio. Nama ini terkait pula dengan Kesultanan atau kerajaan yang pernah ada di masa lalu. Wilayah asal suku-bangsa ini juga bernama Buton , sebuah pulau besar yang terletak di sebelah tenggara jazi rah Sulawesi Tenggara, di manajazirah ini sekaligus menjadi wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Pulau Buton ini dikelilingi oleh sejumlah pulau, teluk , selat dan Iaut. Di sebelah barat pulau ini ada Selat Buton yang menjadi penghubungnya dengan pulau Muna. Di arah selatan ada pulau-pulau kecil seperti pulau Kadatuang dan pulau Siumpu, yang sudah berada di Laut Flores. Di bagian timur sampai tenggara berjejer pulau pulau dalam rangkaian Kepulauan Wakatobi, yang pada masa lalu dikenal pula dengan nama Kepulauan Tukangbesi. Kepulauan ini berada pada pertemuan Laut Flores dan Laut Maluku. Di sebelah utara pulau Buton ini terletak pulau Wowoni dan ujung tenggara jazirah Sulawesi Tenggara sebagai bagian wilayah Kabupaten Kendari .
pulau Kabaena, ujung selatanjazirah Sulawesi Tenggara dan pulau kecil sekitarnya merupakan wilayah Kabupaten Buton dengan ibu kotanya Baubau . Pulau Buton sendiri merupakan daerah asal dari sejumlah kelo mpok etnik. Paroh utara pulau Buton yang menjadi bagian wilayah Kabupaten Muna tadi merupakan kediaman kelompok Muna dan kelompok Waeonii atau Kalisusu. Buton paroh selatan terbagibagi sebagai wilayah asal kelompok Muna yang menyatu dengan bagian utara tadi. kelompok Wolio, kelompok Cia-Cia, dan kelompok Kamaru (Lasalimu). Berdasarkan pemetaan kelompok-kelompok tersebut di atas, wilayah orang Wolio itu tampak merupakan yang tersempit (lihat Lakebo et al, 1984). Sumber lain meny ebutkan bahwa sejumlah kelompok atau sub kelompok etnik di Buton adalah pemekaran dari satu kelompok induk yang disebut Wolio. Ceritera rakyat Buton mengimformasikan bahwa timbulnya pemeri ntahan dan kerajaan Buton diawali dengan datangnya Mia Patamiana, artinya em pat orang
f MII .\ rii!II N ti\WrWIJ
Ma la uanR kampua di Kerajawr Butmr
Dilihat dari wilayah administratif, pulau Buton terbagi menjadi bagian dua kabupaten. Pulau itu seolah diparoh dua. Paroh utara dan ditambah paroh utara pulau Muna serta pulau-pul au kecil sekitarnya menjadi wilayah Kabupaten Muna dengan ibu kota Raha. Pulau Buton paroh selatan beserta paroh selatan pulau Muna, pulau
202
pemimpin rombongan orang Melayu dari Tanah Melayu. Keempat orang itu adalah Sipanjonga, Sitamanajo, Simalue, dan Sijawangkati. Rombongan pertama di bawah pimpinan Sipanjonga dan Sijawangkati sebagai wakilnya mendarat di Kalampa tidak jauh dari kota Baubau sekarang. Disana mereka mengibarkan bendera,
Kerajinan perak orang Bulon. den11a11 motif hiaswJ daun dtm bull/ill
yang disebut Loga-loga yang kemudian menjadi bendera kerajaan Buton. Rombongan kedua dipimpin oleh Simalue dan Sitamanajo sebagai wakilnya mendarat lebih ke utara di Telum Bumbu, Kecamatan Wakarumba, yang kini termasuk Kabupaten Muna Akhirnya kedua rombongan menyatu. Akhirnya mereke mnencari tempat yang lebih baik dan aman disatu tempat yang harus diramba (welia). Kata itu kemudian berubah nama menjadi Wolio yang menjadi nama resmi kerajaan dan tempat itu menjadi pusat kerajaan Buton (Lakebo et al, 1984) Menurut R. Kennedy ( 1942), dalam pengelompokan penduduk Sulawesi, orang Buton dimasukkan ke dalam kelompok Mori-Laki (Mori-Laki Group), yang dalam kelompok ini termasuk juga orang Bela, Bungku , Kabaena, Kinadu, Laki, Lambatu, Maronene, Matano, Mekongga, Mori, Mowewe, Muna, Tambe'e, Wanji, dan Waowoni. Jumlah anggota keseluruhan kelompok ini pada tahun 1930 adalah 200.000 jiwa. Kini jumlah orang Buton itu tidak dapat diketahui lagi , apalagi dalam berbagai sumber tertulis diketahui orang Buton telah tersebar di berbagai daerah di Indonesia, terutama di daerah-daerah Indonesia bagian Timur. Namun tidak begitu jelas yang disebut orang Buton itu, apakah orang Wolio atau orang-orang yang berasal dari pulau Buton umumnya. Data sensus penduduk tahun 1990 di kedua Kabupaten wilayah asal orang Buton tadi menunjukkan, penduduk Kabupaten Muna beljumlah 226.933 jiwa, dan penduduk Kabupaten Buton berjumlah 394.484 jiwa (Biro Pusat Statistik, 1991 ). Dalam jumlah ini termasuk berbagai anggota suku-bangsa tersebut di atas serta pendatang dengan berbagai Jatar be1akang etniknya. Bahasa yang digunakan penduduk adalah bahasa Wolio, Wapacana, Cia-cia, dan Wakatobi. Bahasa-bahasa tersebut mempunyai 22 dialek. Pada masa 1alu bahasa Wolio menjadi bahasa resmi kerajaan, sehingga tersebar luas di seluruh wilayah kekuasaan kerajaan itu.
Di masa lalu, Pulau Buton merupakan penghasil rempah-rempah. Letaknya yang strategis menjadikan pulau itu berfungsi sebagai pintu gerbang bagi kapal kapal dagang yang membawa rempah-rempah dari dan ke Maluku. Hingga kini, sebagian penduduk Buton hidup dari perdagangan dan pelayaran, menjadi pengrajin benda-benda dari besi, kuningan, emas, perak, serta kayu. Mata pencaharian lain adalah pertanian dengan tanaman pokok jagung, ubi, dan padi . Para wanitanya bertenun. Hasil pertanian dan barang dagangan lainnya mereka distribusikan ke Maluku, Irian Jay a, pulau Jawa, dan lain lain. Kabupaten ini juga menghasilkan kayu cendana, kayu bayam, suwele semacam kayu besi dan kayu jati. Kesatuan masyarakat terkecil adalah keluarga batih atau sawitinai. Namun, merekajuga mengenal keluarga besar yang disebut powitinai. Prinsip keturunan mereka bilateral, dengan kecenderungan kepada sistem patrilineal. Hal yang bersangku t paut dengan per kawinan termasuk hukum waris pemah ditulis dengan rinci oleh Zahari (1981). Sebelum penjajahan Belanda, telah ada sistem pemerintahan tradisional yang berbentuk kerajaan . Kerajaan itu didirikan para pendatang dari Tanah Melayu. Sehubungan dengan itu, terbentuk pula tiga lapisan sosial , yaitu lapisan bangsawan, rakyat jelata, dan hamba. Tiap tiap lapisan sosial dapat dirinci lagi menjadi beberapa sublapisan lagi. Walaupun penduduk Buton umumnya penganut agama Islam, unsur-unsur kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan roh-roh lain masih tetap ada. Banyak yang masih memberi sesaji kepada roh-roh di pohon beringin, sesaji untuk jin, dan sebagainya. Di daerah ini berkembang seni berpantun yang disebut Kabanti dan seni tari. Seni mengukir kayu, besi, kuningan, emas, dan perak telah dikenal sejak abad ke8. Motif flora, fauna, dan kaligrafi diukirkan pada berbagai bangunan rumah, mesjid, dan keraton.
203
Ruj ukan Biro Pusat Statistik 1991 Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 1990, Jakarta: Biro Pusat Statistik. Kennedy, R. 1942 The Ageless Indies, Noew York: John Day Lakebo, B. eta!
204
Upacara Tradisional ( Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: lnventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Depdikbud. Zahari, A.M. 1981 Adat dan Upacara Perkawinan Wolio, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984