Politik (dalam) identitas

Page 1

Politik (dalam) Identitas* TM. Dhani Iqbal** “Orang Jakarta memandang prajurit-prajurit Dayak itu tengah mempersembahkan kesetiaan kepada suatu keseluruhan yang besar, sementara orang setempat melihatnya sebagai pernyataan identitas setempat yang tak dapat disingkirkan lagi.” Kalimat di atas ditulis oleh Gerry Van Klinken dalam “Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan” (Antara Daerah dan Negara, 2011). Saat itu, Sukarno sedang datang ke Palangkaraya – usai meyakinkan Rusia untuk membangun jalan menembus hutan rimba beberapa kilometer jauhnya dari Palangkaraya. Kedatangan Soekarno membuat penduduk setempat keluar rumah. Mereka hanya pernah melihat dia dari potret yang dijual di perahu-perahu sungai. Pada saat yang sama, dia pun disambut dengan bunyi genderang dari prajurit-prajurit Dayak, yang melingkarkan biduk mereka di depan kapal sang presiden. Meski peristiwa bersejarah ini berlangsung semarak, namun sebetulnya hadir dua cara pandang di waktu yang sama. Dan itu menyiratkan adanya konstelasi kekuatan etnis dan negara. Tapi, apa konteks Gerry mengatakan hal demikian? Sebelum Perang Dunia II, orang Dayak tidak pernah memiliki teritori yang jelas. Pedalaman yang didominasi oleh orang Dayak sebelum perang dunia itu adalah bagian dari pemerintahan Borneo Tenggara yang luas, dengan ibu kota di Banjarmasin. Mereka mulai bergerak menuju identitas teritorial ketika gubernur Belanda untuk Borneo, B. J. Haga, mulai menunjukkan beberapa wilayah sebagai reservasi khusus untuk Dayak di rawa-rawa Buntok dan Pegunungan Meratus di timur laut Banjarmasin. Di waktu yang sama ini, yakni sebelum perang, Gerry mencatat reservasi-reservasi serupa juga dilakukan untuk menampung suku-suku asli di negeri-negeri lain, seperti di Afrika Selatan (1913 dan 1936) atau Amerika Serikat (tahun 1934). Hal ini terkait dengan peraturan kolonial, dimana otonomi teritori adalah bagian dari sistem pemerintahan tak langsung. Ini membuat satuan-satuan pra-kolonialnya mempertahankan sebagian hidupnya sendiri. Namun, peraturan tentang Pemerintahan Sendiri yang dibuat pada 1938 itu baru terwujud usai Perang Pasifik. Peraturan itu dimaksudkan untuk memperkuat satuansatuan politik tradisional, yang telah dirongrong oleh modernisasi dan sentralisasi. Konsepsi tersebut memang buyar seiring masuknya negara Kerajaan Jepang yang mendepak negara Kerajaan Belanda di Borneo. Pada saat yang sama, masuknya Jepang juga menjadi petaka bagi bumiputera. Pada 1944, Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat, yang memang dekat dengan Belanda dan Inggris, dihancurkan oleh Kerajaan Jepang – yang sudah masuk ke Kepulauan Melayu pada 1906. Serangkaian penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan massal diarahkan terhadap ribuan orang Pontianak, seperti Sultan Syarif Muhammad beserta keluarga, petinggi-petinggi negeri, pemuka-pemuka adat, cerdik-cerdik pandai, dan tokoh-tokoh masyarakat lain, pun para sultan lain di Kalimantan Barat. Tragedi ini disebut sebagai “Peristiwa Mandor”. Ketika Belanda kembali ke Borneo, setelah Jepang kalah perang, mereka mengalami masalah pembangunan negara yang serius. Republik Indonesia yang punya kaitan dengan Jepang masuk ke Borneo dan meledakkan sentimen republik. Belanda lantas mengajak satuan-satuan etnis Borneo untuk berunding, dimana satuan-satuan itu sebenarnya sudah dibubarkan lewat kebijakan kolonial mereka 50 tahun lalu. Di antara perundingan itu adalah Konferensi Malino di Sulawesi Selatan, yang bertujuan merumuskan bentuk federasi Indonesia di bawah pimpinan Belanda. Di sini, Sultan Pontianak menuntut secara keras suatu hak istimewa untuk negerinya, yang kemudian diikuti oleh satuan-satuan lain. Alhasil, konsepsi Belanda untuk Borneo dalam satu negara tunggal menjadi tak tercapai.


Di Konferensi Malino itu, macam-macam pendapat mengemuka. Orang Dayak berdiri di ujung spektrum yang pro Belanda, bersama orang Toraja dan Papua. Mereka disebut oleh Gerry sebagai ‘minoritas yang mencari perlindungan’. Spektrum lain adalah pro Republik, dimana berdiri para pemimpin Banjar di Borneo Selatan. Dan di antara kedua kutub ini ada berbagai pendirian yang bersifat kompromi. Konferensi Malino menghasilkan rekomendasi untuk membagi Borneo menjadi tiga daerah otonom: Borneo Barat, Borneo Selatan, dan Borneo Timur. Di Borneo Barat dan Borneo Timur, Kesultanan Pontianak dan Kesultanan Kutai memiliki pengaruh besar. Sedangkan di Borneo Selatan ada Dewan Banjar. Salah satu wakil delegasi Dayak dalam konferensi tersebut adalah Raden Cyrillus Kersanegara. Cyrillus mengatakan akan bekerjasama dengan usul Belanda manapun asalkan orang Dayak memperoleh daerah administratif sendiri. Namun, pendapat Cyrillus kurang dihiraukan. Akan tetapi, ketika kekuatan republik meningkat di Borneo, Belanda akhirnya memperbaiki tawarannya. Orang Dayak akhirnya mendapatkan apa yang mereka usulkan tadi melalui instrumen Dekrit 1946 (Februari), yakni Dayak Besar (Groot Dajak). Status konstitusionalnya berada di bawah negara federal, dengan tujuan menjadi negara sendiri. Pusat demografinya berada di utara Banjarmasin, di daerah aliran tengah Sungai Barito dan Kahayan. Dekrit 1946 tersebut membolehkan wilayah-wilayah pemerintahan langsung dimasukkan ke dalam wilayahwilayah otonom dengan cara memperlakukan wilayah-wilayah itu sebagai wilayah tradisional dan berpemerintahan sendiri, seperti dirumuskan dalam Peraturan tahun 1938 – yang tampak sebagai suatu sambungan yang terputus karena kedatangan Jepang. Komunitas politik kemudian terbentuk, yang sesuai dengan konsepsi adat pada 1946. Dewan pemerintah Dayak Besar (Groot Dajakraad) pun kemudian terbentuk pada Desember 1946. Namun, pada pertengahan 1947, serangan yang terorganisir dengan baik dari faksi republiken tak kuasa dibendung oleh Dewan Dayak Besar. Meski demikian, pada Desember 1948, pemilihan umum berhasil digelar untuk memilih anggota Dewan Dayak Besar. Akan tetapi, Gerry mencatat bahwa sentimen etnis dan keislaman yang timbul secara artifisial lebih mengemuka ketimbang wacana republiken itu sendiri. Ancaman dari orang Banjar Islam, yang republiken, justru memperkuat perasaan ‘Dayak Kristen’ melalui apa yang dinamakan Tentara Lawong/Laung. Pukulan serius terhadap Dewan Dayak Besar diberikan oleh Hasan Basry, tokoh gerilyawan republik asal Banjar, yang bersekolah di Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan (Kalimantan Selatan) dan meneruskannya di pondok modern Islam di Ponorogo (Jawa Timur). Pada Agustus 1949, dia menawarkan dua orang, masing-masing dari Dewan Dayak Besar dan Dewan Banjar, untuk duduk di dalam Komite Nasional Republik di Jakarta. Pada 17 Agustus 1949, dia pun membubarkan kedua dewan tersebut dan menggantinya dengan Dewan Nasional. Ketika negara-negara dan daerah-daerah otonom yang bergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat dibubarkan, beserta Republik Indonesia Serikat itu sendiri pada 1950 oleh Negara Republik Indonesia di Yogyakarta, Borneo menjadi satu provinsi dengan ibu kota di Banjarmasin. Tak lama setelah pembubaran itu, kembali muncul tuntutan untuk memiliki daerah sendiri. Tapi itu tak digubris. Baru setelah meletus dua pemberontakan, Jakarta akhirnya memberikan respon. Pemberontakan pertama itu adalah Darul Islam (Aceh, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Borneo Selatan) dan yang kedua adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sumatera dan Sulawesi. Di Borneo Selatan, gerakan terkait Darul Islam itu dinamakan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas (KRJT), yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Pusatnya di Hulu Sungei, wilayah Banjar. Faksi sejenis juga muncul di tanah Dayak, termasuk di dekat Sampit yang dipimpin oleh Suriansjah.


Pada Juli 1953, Serikat Kaharingan Dajak Indonesia (SKDI) menuntut dibentuknya Provinsi Dayak – ketika provinsi Kalimantan sudah terbentuk pada 1950. Slogan self-determination yang dahulu digunakan Indonesia kini digunakan oleh orang Dayak. Suratkabar berhaluan sosialis Indonesia Berdjuang, pada 26 Februari 1954, pun menggunakan istilah self-determination mengenai Kalimantan Tengah, yang harus berlaku ‘di Republik Indonesia yang merdeka’. Karena desakan yang kuat, pada Februari 1954, Jakarta pun mengatakan akan membagi Kalimantan menjadi tiga provinsi, persis sebagaimana perjanjian Malino yang diinisiasi Belanda. Dan orang Dayak lagilagi mengatakan empat, bukan tiga. Dan seperti dulu juga, penguasa (Jakarta) tidak menggubris. Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, yang kerap digambarkan sebagai ‘sebuah rumah Dayak’, memang selalu menemui medan yang sulit. Perjuangan ini harus berhadapan dengan partai-partai besar di Jakarta yang mengkampanyekan bahaya ‘daerahisme’ dan ‘sukuisme’. Gubernur Jawa yang ditempatkan di Borneo, Murdjani, seorang anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), pun menyayangkan adanya pembagian Borneo menjadi tiga provinsi. Dia mengatakan bahwa perbedaan etnis akan hilang jika perdagangan dan lalu lintas tumbuh kembang secara intensif. Kuatnya kampanye bahaya ‘sukuisme’ atau ‘daerahisme’ tersebut membuat pembicaraan tentang etnis menjadi tabu – jika mau didengar Jakarta. Karena itu, sebagaimana Gerry mencatat, suratkabar Banjarmasin, Indonesia Berdjuang, selalu menampilkan isu politik daerahnya tanpa menggunakan bahasa identitas, tetapi demokrasi liberal. Dengan maksud yang sama, beberapa partai kecil atau partai lokal pun berbicara tentang perlunya memberikan “kesempatan hidup kepada unit-unit hidup di daerah-daerah”. Begitu juga dengan sejumlah tokoh yang mengeluarkan pernyataan dengan bahasa bahwa mereka yang paling menderita di bawah Belanda pantas mendapat perhatian khusus. Di antara tokoh itu adalah Bupati Kotawaringin (sejak 1951), Tjilik Riwut, yang menggunakan bahasa perlunya Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk demi membawa pelayanan pemerintah ke pedalaman terpencil. Hanya saja, seperti sebelumnya, pandangan ini tidak didengar. Sikap dan situasi yang dialami tokoh macam Riwut ini kembali mengingatkan orang pada sosok Cyrillus. Meski demikian, perjuangan membentuk ‘rumah’ sendiri itu terus dilakukan, baik dengan teknik lobi langsung dengan Jakarta maupun kekuatan milisi di rimba Borneo. Milisi ini menambah bobot tuntutan Provinsi Dayak dengan memperlihatkan loyalitas, bahwa mereka melawan kelompok anti-Jakarta. Saat itu, gerakan-gerakan anti-Jakarta memang sedang marak, seperti Kesatuan Rakjat Jang Tertindas, Darul Islam, dan Tentara Islam Indonesia. Untuk meyakinkan loyalitasnya, Tentara Lawong yang dipimpin Christian Simbar bahkan kemudian disebutkan mengubah namanya menjadi ‘Mandau Telabang Pantjasila’. Mandau adalah senjata Dayak, dan telabang adalah perisai. Ditambahkan juga dengan pernyataan “siap mati” untuk Pancasila. Saat itu, serangan Darul Islam pimpinan Kahar Muzakar terhadap orang-orang Toraja Kristen di Sulawesi Selatan memang meningkat, dan telah menyebarkan ketakutan ke gereja-gereja seluruh Indonesia. Dalam gerilyanya pada 1956, yang menyerang kantor-kantor militer dan polisi, kelompok Simbar ini bahkan meninggalkan selebaran yang berisi: mendesak pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, komitmen Dayak terhadap Soekarno, dan menentang Indonesia yang Islam. Di tahun yang sama, di belahan wilayah lain, terjadi juga “perang dingin” antara Sumatera dengan Jakarta, seiring mundurnya Hatta dari posisi wakil presiden. Kelak, perang meletus pada awal 1958, yang melibatkan Sumatera dan Sulawesi dalam persekutuan dan memutuskan ikatan politik dengan pemerintah pusat di Jakarta.


Sama seperti ketika Belanda mendapati kekuatan republiken meningkat dan menjadi ancaman, maka kali ini kekuatan tersebut datang dari Darul Islam, PRRI, dan Permesta. Akhirnya, pada 1956 itu juga, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa prioritas utama kabinetnya adalah memecahkan masalah daerah-daerah. Strategi politiknya adalah dukungan untuk menciptakan provinsi-provinsi baru, meski tidak memperoleh status otonomi yang signifikan. Di masa yang kusut ini, Tjilik Riwut, untuk kesekian kali, kembali mengingatkan Jakarta akan urgensi pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Dan Jakarta kali ini mendengar – yang membuat dirinya sendiri heran. Dukungan terhadap pendirian Provinsi Kalimantan Tengah langsung mengalir dari partai-partai politik di Jakarta. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dekat dengan Soekarno, yang biasanya paling alergi dengan kesukuan, kali ini mendukung gagasan provinsi keempat tesebut – sebuah sikap yang dilatarbelakangi untuk menyingkirkan musuh bebuyutannya, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sikap PKI ini kemudian diikuti oleh Partai Nasional Indonesia (PNI). Dan pada 17 Juli 1957, Presiden Indonesia, Soekarno, pun datang ke Borneo Tengah. Dia menyusuri Sungai Kahayan untuk meletakkan batu pertama Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Bukan Fragmentasi Fenomena Kalimantan Tengah ini dibaca oleh Gerry bukan sebagai fragmentasi negara, juga bukan pemberontakan yang sesungguhnya dari bawah. Sebaliknya, penyebaran atau pembentukan provinsi itu merupakan gerakan pengapit dari negara yang lemah untuk melawan pemberontakan regional yang disintegratif. Ia menjadi sarana perekrutan loyalis yang telah menampilkan diri sebagai ‘minoritas yang mencari perlindungan’ dalam menghadapi pembangkang lain. Pembentukan provinsi dari negara disebabkan oleh tarikan dari daerah pinggiran yang sekaligus didorong oleh pusat. Dan ini bukanlah modus baru. Gerry melihat ini sebagai mirip kolonialisme, dimana negaranegara kolonial ditarik ke luar oleh kepentingan-kepentingan keamanan atau pertempuran-pertempuran yang terjadi di daerah yang bersangkutan. Diam-Diam Saling Genggam Kampanye betapa bahayanya ‘sukuisme’, ‘etnisisme’, atau ‘daerahisme’ dari macam-macam partai politik, yang digemakan oleh media-media massa Jakarta yang juga terkait dengan politik pusat Indonesia, tak surut seiring jatuhnya Soekarno. Peringatan bahaya itu diteruskan oleh Soeharto, penggantinya. Soeharto, yang mendakwa rezimnya sebagai Orde Baru, mengkristalkan pesan bahaya ‘daerahisme’ atau ‘sukuisme’ itu sebagai sebuah tabu yang dikenal dalam apa yang disebut SARA. SARA merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan. Ia mengandaikan elemen-elemen itu sebagai suatu tabu yang harus dihindari. Karena itu, yang terbaca adalah bahwa tak ada suku, agama, ras, dan antar-golongan yang boleh muncul selain Golongan Karya. Dalam sejumlah sumber, disebutkan bahwa istilah SARA dibuat pada 21 September 1983 oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Disebutkan pula bahwa saat itu panglima dari lembaga yang dibentuk pada Oktober 1965 ini adalah Laksamana Sudomo. Akan tetapi, harus menjadi catatan bahwa Sudomo menjabat panglima dari 17 April 1978 sampai 29 Maret 1983. Adapun pengganti Sudomo adalah Jenderal L.B. Moerdani (29 Maret 1983 – 5 September 1988). Sebelum istilah SARA diciptakan, rezim Soeharto sudah melakukan upaya untuk memperkuat uniformitas negara. Di antaranya adalah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang ini menjadikan daerah-daerah yang ada sepenuh-penuhnya tergantung pada pusat. Praktis, segala keunikan struktur dan landasan di seluruh Indonesia menjadi tak berfungsi. Taufik Abdullah, sejarawan asal Minangkabau, mengatakan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah itu menjadi strategi untuk meniadakan keragaman etnis. Karena itu, tulisnya di


dalam buku Antara Daerah dan Negara (2011), bisa dipahami mengapa semboyan ‘persatuan dan kesatuan’, dua konsep yang menurutnya berbeda, semakin nyaring dikumandangkan. Dan konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang dibuat pada zaman Republik Indonesia Serikat, kian tinggal menjadi hiasan di lambang Garuda Pancasila. Akan tetapi, seperti halnya Soekarno, jatuhnya Soeharto tak membuat pikiran-pikiran rezimnya lenyap. Pasca-Soeharto, istilah SARA yang dilekatkan sebagai tabu masih digunakan dan rasanya kian menghebat di media-media massa. Tak pelak, ajaran keseragaman selama puluhan tahun kemudian membuat orang gagap dalam memandang perbedaan. Bahkan, ketika sesuatu yang berbeda, atau faksi, muncul, ia justru dianggap mengganggu “kebhinekaan”. Dalam sebuah pemilihan umum gubernur, misalnya, suatu etnis memasang spanduk yang berisi dukungan terhadap salah satu kandidat. Kandidat yang didukung itu memang berasal dari puaknya. Tapi, spanduk itu kemudian diturunkan karena dianggap SARA (meski ada juga kemungkinan karena tidak mendapat izin dari otoritas pertamanan). Ini tentu saja membuat logika menjadi terbalik. Jika menggunakan perspektif “SARA”, yang diskriminatif justru tindakan penurunan spanduk tersebut. Sebab, kebebasan berekspresi adalah hak dasar yang harus dilindungi, termasuk hak menampilkan identitas secara bebas. Ia hanya boleh dihalangi oleh kebebasan kedaulatan identitas lain. Suatu tindakan oleh suatu etnis/puak/faksi dapat dianggap diskriminatif manakala ia menyerang puak lain di luar dirinya. Yang menjadi hak yang seharusnya dihormati adalah, misalnya: “pilih pemimpin dari puak A karena A baik hati, jujur, memberikan perlindungan, kooperatif, dan seterusnya”. Sedangkan yang menjadi diskriminatif adalah ketika dikatakan: “pilih pemimpin dari puak A karena puak B tidak baik hati, tidak jujur, jahat, rampok, dan seterusnya”. Kegagapan serupa juga terjadi pada pemaknaan primordialisme. Mereka yang membela kepentingan kaumnya, etnisnya, teritorinya, mudah sekali dicap sebagai primordial. Ia seolah menjadi lawan dari “nasional”. Padahal, jika Indonesia dikatakan negeri yang plural, maka primordial ini sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan. Yang disebut ‘nasional’ tentu adalah kumpulan atau keseluruhan dari primordialprimordial (Bhinneka Tunggal Ika). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), primordial diartikan sebagai bentuk atau tingkatan yang paling awal; paling dasar. Sedangkan menurut Kamus Oxford (2000), pengertian primordial tak jauh beda, yakni (1) existing at or from the beginning of the world; (2) very basic. Sementara, dalam bahasa aslinya, Latin, primordialisme berasal dari kata primus yang berarti ‘pertama’ dan ordiri yang artinya ‘tenunan’ atau ‘ikatan’. Dengan pengertian di atas, apa yang salah dengan primordial? Dan mengapa hal-hal dasariah hendak digusur? Jika primordial ditolak, maka orang tak bisa percaya pada apapun, termasuk gerakan feminis atau Pancasila. Ia menjadi semacam “layang-layang putus”. Sebab, Pancasila disebut-sebut juga bersifat dasar. Pun, kita juga menjadi tak bisa percaya pada keilahian atau agama atau spiritualitas karena ia mengandung prinsip prima kausa, the unmoved mover, dasar dari segalanya? Ataukah penolakan terhadap primordialisme datang dari primordialisme lain? Labelisasi primordial sebagai sesuatu yang tidak baik juga disinggung oleh Taufik Abdullah. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 itulah yang mengakibatkan tatanan masyarakat yang intim dan primordial menjadi rusak. Undang-undang itu telah membuat penetrasi kekuasaan negara menjadi kian jauh ke dalam jantung masyarakat. Masyarakat dipisahkan dari sistem kelembagaan tradisional mereka dan menjadikan kampung-kampung yang ada menjadi sebuah desa yang seluruhnya seragam. Desa-desa itu dipandang tak lebih dari sekadar titik yang sama dengan yang lain dalam tatanan kenegaraan.


Poinnya tentu bukan menjadikan primordial tetap di tempatnya. Semua harus berubah jika hendak bertahan hidup. Hanya saja, perubahan itu semestinya datang dari dalam puak masing-masing. Jika perubahan itu datang dari luar, itu namanya invasi, bukan modernisasi. Contoh modernisasi barangkali bisa diambil pada rumah panggung. Dahulu, rumah panggung berbentuk kayu. Hari ini, di banyak wilayah, bentuk semacam itu menjadi tampak kurus dan kusam. Modernisasi di sini tentulah tidak menggantinya dengan rumah-rumah Italia, Perancis, atau Inggris, tetapi, katakanlah, memberi sentuhan semen, besi, cat, atau meninggikan rumah panggung tersebut menjadi dua atau tiga lantai. Primordialisme dikampanyekan sebagai bahaya karena dapat menimbulkan ego. Padahal, bagaimanapun, ego adalah sesuatu yang niscaya. Persoalannya tentu bukan menenggelamkan ego tersebut, tetapi bagaimana ego-ego yang ada itu dapat berkomunikasi dalam derajat yang sama dan memiliki peluang tumbuh yang sama (multikulturalisme). Dalam sebuah diskusi, Thaha Alhamid, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua, memberikan contoh. Pada orang Papua, dia bertanya tentang pengetahuan dan seleranya terhadap kebudayaan Jawa. Orang yang ditanya menjawab tahu kebudayaan Jawa namun tidak menyukainya. Begitu juga orang Jawa, yang mengaku tahu kebudayaan Papua tetapi tidak menyukainya. Artinya, kata Thaha, masing-masing puak memiliki dunianya sendiri, yang tak bisa dicampurkan atau diseragamkan begitu saja. Yang diperlukan, kata Thaha, adalah saling mengenal, saling memahami, dan saling membutuhkan secara natural. Kalau identitas-identitas kultural itu dicampurkan begitu saja, kata antropolog Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari (LenteraTimur.com, 7/12) dalam kesempatan terpisah, ia justru berpotensi menciptakan segregasi. Akan tetapi, meski istilah-istilah yang membenamkan faksi-faksi yang ada masih dikumandangkan oleh media-media massa di Jakarta ke seluruh Indonesia, fakta di lapangan berbicara lain. Dan hal ini membuat kontradiksi antara ‘bacaan nasional’ dengan ‘bacaan kedaerahan’ mendadak menjadi “senyap”. Kita dapat melihat, sesudah Soeharto jatuh, pimpinan-pimpinan daerah yang sebelumnya berasal dari luar, yakni Jawa-militer, mulai menghilang. Hari ini, secara terang benderang kita dapat melihat adanya komposisi etnis/adat/teritori kampong/pribumi dalam pemilihan umum untuk gubernur dan bupati atau walikota di banyak wilayah. Di Nusa Tenggara Barat, komposisi kepemimpinannya terbagi dalam etnis-etnis yang ada. Gubernur Nusa Tenggara Barat adalah orang Melayu Sasak (Lombok), wakil gubernurnya orang Melayu Samawa (Sumbawa), dan sekretaris daerah adalah orang Melayu Mbojo (Bima). Hal serupa juga terjadi di Sumatera Utara. Gubernur Sumatera Utara (terlepas dari kasus pemberhentiannya) adalah orang Melayu Sumatera Timur, wakilnya orang Jawa, dan sekretaris daerahnya orang Batak (yang kemudian pensiun dan digantikan oleh orang Mandailing). Di Kalimantan Barat, gubernurnya adalah orang Dayak Kanayatn, wakilnya orang Cina, dan sekretaris daerahnya orang Melayu Pontianak. Di Sulawesi Tenggara, gubernurnya orang Melayu Tolaki, wakilnya orang Melayu Muna, dan sekretaris daerahnya orang Melayu Bugis. Di Sulawesi Selatan, gubernurnya orang Melayu Makassar, wakilnya orang Melayu Bugis, dan sekretaris daerahnya orang Melayu Bugis. Namun demikian, tak semuanya berkomposisi demikian. Pada wilayah yang nyaris homogen, komposisinya tidak seperti di atas. Di Riau, gubernurnya orang Melayu Mandah, wakilnya orang Melayu Rengat, dan sekretaris daerahnya orang Melayu Selat Panjang. Di Jawa Timur, gubernurnya orang Jawa Madiun, wakilnya orang Jawa Pasuruan, dan sekretaris daerahnya orang Jawa Madiun. Hal serupa juga terjadi di Gorontalo. Namun, pola berbasis etnis bisa terjadi andai laju pendatang kian massif. Dalam pemilihan umum, dukungan berdasarkan etnis ini sebetulnya menjadi yang utama. Partai-partai politik selalu membaca komposisi suatu etnis di suatu wilayah sebelum mengusung suatu nama. Dan ini


sebetulnya mengantarkan etnis, yang umumnya sudah kawin dengan agama-agama tertentu, sebagai faksi paling utama dalam kehidupan politik bernegara. Sebagai catatan, pola ini tak dapat disebut sebagai pola Indonesia, barangkali. Tulisan ini tak hendak menjadi naif dengan hanya menengok beberapa wilayah namun kemudian menggeneralisirnya sebagai Indonesia, sebuah negara yang panjangnya setara dari Inggris sampai Kuwait, atau setara dari Eropa Barat sampai Asia Tengah. Nuansa etnisitas atau teritori kampung menjadi keniscayaan dalam komposisi kepemimpinan suatu wilayah. Bahkan, sebetulnya orang tak begitu mengindahkan dari partai politik mana seseorang maju. Yang lebih mengemuka adalah apakah ‘orang kita’ ada yang maju sebagai pimpinan? Jika ya, maka pertanyaan yang pertama ‘hanya’ bersifat strategi, yakni ‘dari partai mana jalannya dan berapa biayanya’, dan yang kedua, ‘apakah sentral partai di Jakarta setuju’. Dalam banyak pertemuan, orang membutuhkan waktu untuk menjawab ketika ditanya apa partai seseorang yang maju sebagai calon pimpinan. Namun, orang yang sama dapat sigap menjawab ketika ditanya berasal dari mana calon pemimpin itu. Dalam bahasa yang sarkas, partai politik (mungkin tak semua) mulai disebut-sebut orang hanya berfungsi layaknya angkutan umum. Ia menjual jasa untuk mengantarkan si A dengan sekian uang untuk menjadi pimpinan rakyat di wilayah si A sendiri. Bahkan, meski orang yang diusung adalah bukan kadernya, pun bukan dari teritorinya, semua bisa diatur sepanjang Jakarta menghendaki. Partai politik di Indonesia, kecuali sejumlah partai di Aceh, memang menginduk pada satu muara. Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, tempat berkumpulnya partai-partai politik Jakarta itu, punya cerita unik tersendiri. Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) mencatat, pada pemilihan umum legislatif 2009, 312 dari 560 anggotanya bukanlah orang dari daerah yang diwakili. Mereka adalah orangorang yang ditentukan oleh sentral partai di Jakarta untuk kemudian dibuat mewakili rakyat mana saja melalui mekanisme pemilihan umum. Dari jumlah orang yang dibuatkan daerah pemilihannya (dapil) itu, 95,5 persen di antaranya berdomisili di regional Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Pada pemilihan umum legislatif sebelumnya, 2004, jumlah orang tak sesuai wilayahnya adalah 311 orang. Di luar Dewan Perwakilan Rakyat, ada lembaga negara lain yang bernama Dewan Perwakilan Daerah. Tapi, ini adalah lembaga yang dimandulkan. Praktik pemandulan ini tentu saja bisa dilacak dari keengganan menjunjung marwah daerah-daerah yang beragam ini – yang ruhnya sudah (coba) dilumpuhkan di masa silam. Orang memetakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat merupakan perwakilan partai (meski namanya perwakilan rakyat) dan Dewan Perwakilan Daerah adalah perwakilan teritorial. Jika reformasi berarti desentralisasi, maka keberadaan kedua dewan ini sejatinya berpunggungan. Dewan yang pertama diisi oleh wakil-wakil partai yang tersentral, yang berada di bawah kuasa dan kendali partai politik, sedangkan dewan yang kedua diisi oleh utusan-utusan daerah (yang di dalamnya berdiam segala macam kepentingan rakyatrakyat) tanpa ada daerah pusat. Mendua Seperti dalam kasus Provinsi Kalimantan Tengah di atas, demikian juga halnya yang terjadi di banyak wilayah. Orang-orang di banyak daerah memiliki perasaan mendua, yakni menjadi bagian dari bangsa Indonesia sekaligus tetap berdiri terpisah darinya. Maraknya kemunculan daerah-daerah baru, baik provinsi maupun kabupaten/kota, mengkonfirmasi hal ini. Dalam perspektif pusat, fenomena ini digambarkan sebagai pemekaran yang sedang terjadi dimana-mana. Akan tetapi, dari perspektif penduduk, yang terjadi bukanlah suatu tindakan pemekaran, tetapi tindakan


pemisahan diri untuk meneguhkan identitasnya. Manusia, menurut cerdik-cerdik pandai, memang tak hanya homo economicus, tetapi juga animal symbolicum. Hal serupa juga terjadi pada orang-orang partai politik di sejumlah daerah. Kadang-kadang, sebagaimana ditulis Gerry, mereka bicara antusias seperti orang-orang nasionalis di Jakarta. Tetapi, kadang-kadang mereka juga bicara seperti seorang pejuang etnis/teritori, yang dilakukan untuk merekrut atau mengambil hati pengikut-pengikut baru, sembari tulus mengiklankan keunikan mereka sendiri dan memperjuangkan hak-hak wilayahnya. Fenomena ini membuat sesuatu yang kemudian jamak di hari ini, sebagaimana yang juga dibaca oleh Gerry Van Klinken, yakni pembangunan negara dengan cara desentralisasi diwarnai wacana tentang tradisi dan etnisitas, dan sebaliknya, sentralisasi diwarnai wacana modernitas dan nasionalisme. Hari ini, masa setelah Soeharto berkuasa, yang juga dapat dirujuk pada wacana yang amat marak pada periode 1950-an, tarik menarik antara dua kutub tersebut terus mewarnai apa yang disebut Indonesia. Dan hingga penghujung 2012 ini, “tabu� warisan itu pun masih memainkan peran signifikan dalam tarik menarik tersebut. * Dimuat pertama kali di LenteraTimur.com (http://www.lenteratimur.com/politik-dalam-identitas-sebuahcatatan-akhir-tahun/) ** Pemimpin Redaksi LenteraTimur.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.