Ansis jsi vol 2 des 2015

Page 1

ANALISIS SITUASI Tim Jaringan Survey Inisiatif

(JSI)

Edisi . 02 / Tahun I/ Desember 2015

Pro Kontra Tafsir Regulasi Penyelenggaraan Pilkada Aceh

(Kajian Potensi Konflik Dualisme Regulasi pada Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Aceh Tahun 2017) DAFTAR ISI

2

POTENSI KONFLIK DUALISME REGULASI PILKADA ACEH 2017

2 5

SYARAT DUKUNGAN CALON

SIMULASI PENGHITUNGAN JUMLAH DUKUNGAN CALON PERSEORANGAN

7

KONFLIK PERAN & FUNGSI BAWASLU ACEH

10

SYARAT PENGUNDURAN DIRI BAGI ANGGOTA LEGISLATIF DALAM PILKADA

12

REKOMENDASI

Latar Belakang

K

ehadiran Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah membuka babak baru bagi sistem politik dan tatanan demokrasi Aceh. Melalui instrumen hukum ini penguatan kapasitas politik lokal mulai mendapat tempat sekaligus menghadirkan beragam terobosan dalam sistem demokrasi Indonesia, seperti Calon Independen dan Partai Politik Lokal. Namun dibalik serangkaian terobosan yang dihadirkan UUPA dalam hal pembangunan politik dan demokrasi di Aceh, ternyata kemudian dalam perjalanan ditemukan sejumlah problematika yang mengarah kepada benturan regulasi atau dualisme hukum dalam Pemilu antara UUPA dan UU Pemilu yang berlaku secara nasional.

Pada Pilkada Langsung yang pertama kali diadakan di Aceh Desember 2006, belum ditemukan konflik regulasi terkait pelaksanaan hajatan demokrasi. Pilkada ini bisa dikatakan sebagai Pilkada Langsung Aceh yang paling sukses ditinjau dari minimnya konflik yang berkaitan dengan regulasi. Istilah ini baru populer pada pelaksanaan tahapan Pilkada Langsung Aceh yang kedua. Dimana Pilkada langsung yang kedua kali ini sempat molor dan tertunda selama setahun (harusnya dilaksanakan di tahun 2011, bukan 2012) ekses adanya perbedaan tafsir atas ayat ayat politik dalam UUPA. Dari sini kemudian istilah konflik regulasi -atau istilah lain- dualisme regulasi, mengemuka. Tercatat Aceh sempat mengalami beberapa kali konflik regulasi dalam bidang penyelenggaraan Pemilu sehingga menyebabkan terganggunya proses demokrasi di aras lokal. Sebut saja semisal Konflik Regulasi terkait Pasal 256 UUPA yang mengatur ketentuan Calon Independen di Aceh pada Pilkada 2012, konflik regulasi Kouta caleg 120 persen pada Pileg 2014, dan dualisme hukum mengenai kewenangan perekrutan Bawaslu Aceh oleh Bawaslu Pusat atau DPRA pada Pileg 2014.

HALAMAN

1


POTENSI KONFLIK DUALISME REGULASI PILKADA ACEH 2017

B

ila tidak ada aral melintang, Aceh akan melaksanakan Pilkada pada semester kedua yaitu tahun 2017. Provinsi Aceh tidak bisa mengikuti Pilkada serentak pada tahun 2015 atau semester pertama karena masa jabatan gubernur dan wakil gubernur Aceh serta jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota di Aceh baru akan berakhir pada Juni 2017. Tahapan Pilkadanya sendiri diperkirakan akan dimulai pada tahun 2016 mendatang. Berkaca dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, diperlukan analisa mendalam terhadap UUPA , Qanun Aceh dan regulasi yang mengatur tentang Pilkada serentak lainnya agar konflik regulasi seperti ketika Pilkada 2012 dan Pileg 2014 tidak terulang kembali pada Penyelenggaraan Pilkada tahun 2017 di Provinsi Aceh. Pembahasan dalam Analisis Situasi (ANSIS) ini akan mengulas perihal potensi konflik regulasi /dualisme hukum dalam Penyelenggaraan Pilkada Aceh yang akan datang. Dari hasil analisa dan kajian Tim Jaringan Survei Inisiatif (JSI) setidaknya terdapat 3 (tiga) potensi konflik regulasi/ dualisme hukum dalam pelaksanaan Pilkada Aceh Tahun 2017. Tiga potensi tersebut antara lain : 1. Syarat Dukungan Calon Perseorangan berdasarkan Jumlah Penduduk atau DPT pada Pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2017. 2. Peran dan kewenangan Bawaslu Aceh terhadap Panwaslih Kabupaten/Kota di Aceh. 3. Syarat Pengunduran diri bagi Anggota DPRA/DPRK yang hendak mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Berikut pembahasan masing masing poin diatas

HALAMAN

2

Syarat Dukungan Calon Pertama, Terkait perihal Syarat dukungan Calon Perseorangan berdasarkan Jumlah Penduduk atau DPT pada Pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2017. Sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 tanggal 29 September 2015 menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK mengubah aturan persyaratan pencalonan kepala daerah bagi calon perseorangan. Permohonan uji materi ini diajukan oleh Fadjroel Rachman, Saut Mangatas dan Victor Santoso. Menurut pemohon, undang-undang yang mengatur persyaratan calon tunggal telah mempersempit peluang pemohon untuk dicalonkan dalam pilkada. Secara spesifik, kerugian hak konstitusinal terjadi atas kepastian hukum, perlakuan yang sama, dan hak yang sama dalam memeroleh jabatan dalam pemerintahan.Yang diuji materi ialah Pasal 41 ayat (1) dan (2). Bunyi pasal tersebut ialah sebagai berikut : Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 1. Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: • Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015


• Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); • Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); • Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan • jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud. 2. Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen); • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan • Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud

Mahkamah dalam keputusannya mengatur bahwa syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilu sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan masyarakat di suatu daerah. Menurut MK, persentase syarat dukungan tidak dapat didasarkan pada jumlah penduduk, karena tidak semua penduduk punya hak pilih. Keterpilihan kepala daerah bukan ditentukan jumlah penduduk keseluruhan, tapi yang sudah punya hak pilih. Selain itu, meski tidak bisa dikatakan diskriminatif, Pasal 41 ayat (1) dan (2) dinilai menghambat seseorang memperoleh hak yang sama dalam pemerintahan.

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015

Persyaratan perseorangan berbeda dengan syarat calon yag didukung parpol, di mana syarat pencalonan ditentukan melalui perolehan suara berdasarkan daftar pemilih tetap. Dengan demikian, bunyi pasal tersebut harus dimaknai jumlah penduduk yang sudah memiliki hak suara yang tetap. Meski demikian, putusan tersebut tidak berlaku pada pilkada serentak 2015 yang tahapannya telah berjalan. Putusan tersebut mulai berlaku pada pilkada serentak gelombang kedua, pada 2017. Selengkapnya Amar Putusan MK Nomor 60/PUUXIII/2015 menyatakan bahwa point dan substansi sebagai berikut :

HALAMAN

3


Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d adalah : • Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya • Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 41 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d adalah : • Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya • Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya Dengan demikian dari putusan MK diatas jelas bahwa basis pengumpulan dukungan bagi calon perseorangan pada Pilkada tahun 2017 adalah menggunakan basis persentase DPT Pemilu terakhir (Pilpres 2014) tidak lagi menggunakan ketentuan persentese dari Jumlah Penduduk yang dinilai memberatkan dan diskrimintif oleh MK. Namun terkait dengan Putusan MK tersebut, terdapat Potensi konflik regulasi bagi pelaksanaan Pilkada Aceh Tahun 2017. Hal demikian karena pengaturan persyaratan dukungan bagi calon perseorangan dalam UUPA masih menggunakan basis Persentase Jumlah penduduk. HALAMAN

4

Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 68 ayat (1) UUPA, dimana disebutkan : “Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/ kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota.”

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015


Ditinjau dari segi dampak bagi Calon perseorangan pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, dari hasil analisa perhitungan ternyata persyaratan dukungan bagi calon perseorangan dengan menggunakan basis persentase jumlah penduduk dalam UUPA, lebih berat daripada persyaratan sebagaimana Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 yang mensyaratkan dukungan melalui basis DPT Pemilu terakhir. Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menetapkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Provinsi Aceh (23 kabupaten/kota) pada Pemilu Tahun 2014 sebanyak 3.337.545 jiwa, dengan suara sah Pilpres Tahun 2014 sebanyak 2.002.599 suara. Sedangkan Jumlah Penduduk di Provinsi Aceh berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2014 yang dilakukan BPS Aceh sebanyak 4.906.835 jiwa (BPS dalam Angka 2015). Apabila Calon perseorangan pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh menggunakan UUPA maka 3 % dari Jumlah penduduk Aceh adalah 147.205 pemilih. sedangkan apabila menggunakan mekanisme basis dukungan DPT Pemilu terakhir sebagaimana Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 calon perseorangan hanya cukup mengumpulkan dukungan sebanyak 100.126 pemilih. Artinya terdapat perbedaan selisih suara yang sangat signifikan sebesar 47.079 pemilih antara ketentuan UUPA yang menggunakan basis dukungan Jumlah Penduduk dengan Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 yang memerintahkan menggunakan Basis DPT Pemilu terakhir .

SIMULASI PENGHITUNGAN JUMLAH DUKUNGAN CALON PERSEORANGAN Persentase dukungan Berdasarkan Jumlah Penduduk Provinsi Aceh

Jumlah Penduduk

Jumlah

4.906.835 Jiwa

Suara Sah

2.002.599

Total Kursi

81 Kursi

Jalur Partai Politik 15% Kursi 12 Kursi

15% Suara Sah 300.389 = 3% Jumlah Penduduk

Perseorangan 3% dari jumlah penduduk 147.205

Catatan

Antara Calon Perseorangan dengan Partai Politik hanya selisih 2 % (dua persen) namun perseorangan harus mengumpulkan sendiri dukungan, sedang calon Partai Politik tidak perlu bersusah payah karena dibiayai negara dalam Pileg

Persentase dukungan Berdasarkan Jumlah DPT Pemilu Terakhir ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015

Provinsi Aceh

Jumlah

Jalur Partai Politik

Perseorangan 3% dari

HALAMAN

Catatan

5


Suara Sah

2.002.599

Total Kursi

81 Kursi

Persentase dukungan Berdasarkan Jumlah DPT Pemilu Terakhir Provinsi Aceh

Jumlah

Jumlah DPT

3.337.545 Pemilih

Suara Sah

2.002.599

Total Kursi

Jalur Partai Politik 15% Kursi 12 Kursi

15% Suara Sah 300.389 = 3% Jumlah DPT

Perseorangan 3% dari jumlah DPT 100.126

Catatan

Terdapat selisih jumlah Dukungan sebanyak 47.079 dukungan pemilih dibanding menggunakan mekanisme basis persentase jumlah penduduk

81 Kursi

Disisi lain Mahkamah dalam pertimbangan Nomor 35/PUU-VIII/2010 Keterangan : SuaraKonstitusi Sah yang digunakan dalam simulasi perkara ialah suara sah dalam Pilpres 2014 di Mahkamah dengan tegas menyatakan bahwa Calon perseorangan tidaklah termasuk dalam satu kekhususan Aceh. Mahkamah dalam perkara Nomor 35/PUU-VIII/2010 menyatakan :

,“....calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk didalam keistimewaan Pemerintah Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh� dengan demikian dapat diambil konklusi bahwa persyaratan dukungan melalui persentase keseluruhan jumlah penduduk sebagaimana tercantum dalam Pasal 68 ayat (1) UUPA bukanlah merupakan bagian dari kekhususan Aceh sehingga pasal ini sangat dimungkinkan untuk dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 68 ayat (1) UUPA berpotensi memicu konflik regulasi dalam tahapan pencalonan Pilkada Aceh tahun 2017 dikarenakan memiliki muatan materi yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 . Materi dalam UUPA memuat ketentuan dukungan berdasarkan persentase jumlah penduduk sedangkan MK sudah membatalkan materi yang sama dalam UU No. 8 Tahun 2015, dan memutuskan Pilkada setelah tahun 2015 bagi calon perseorangan harus menggunakan basis dukungan DPT Pemilu terakhir.

HALAMAN

6

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015


peran dan fungsi bawaslu aceh kan fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap Panwaslih Kabupaten/Kota di Aceh.

Kedua, Terkait Peran dan kewenangan Bawaslu Aceh terhadap Panwaslih Kabupaten/Kota di Aceh, Regulasi yang berpotensi menimbulkan perdebatan hukum dan multitafsir diantaranya kewenangan Bawaslu Aceh dalam melaku-

Diantaranya Pasal 78 dan Pasal 79 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Tata Kerja Dan Pola Hubungan Badan Pengawas Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi, Dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapangan, Pengawas Pemilihan Umum Luar Negeri Dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara.

Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015 Pasal 78 Dalam menyelenggarakan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam, Bawaslu Provinsi melakukan: a. pengawasan pelaksanaan tugas-tugas pengawasan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota; dan b. mengawasi ketaatan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota terhadap ketentuan Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan peraturan perundang- undangan mengenai Pemilu. Pasal 79 Dalam menyelenggarakan fungsi evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal, Bawaslu Provinsi melakukan penilaian pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota dalam UUPA pasal 62 huruf (d) menjelaskan bahwa Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan dilakukan melalui pengaturan hubungan koodinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan. Namun dalam Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu di Aceh tidak diatur mengenai kewenangan Bawaslu Aceh dalam hal pengawasan dan evaluasi Panwaslih Kabupaten Kota. ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015

Tampaknya Perancang aturan Qanun Aceh Nomor 7 / 2007 melihat kedudukan Panwaslih Kabupaten Kota bersifat semi otonom sehingga antara satu dengan yang lain tidak bisa melakukan fungsi pengawasan karena Panwaslih tidak dilantik oleh Bawaslu Aceh., oleh karena itu Panwaslih dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tidak bertanggung jawab kepada Bawaslu Aceh. HALAMAN

7


Satu satunya hubungan kordinasi antara Panswaslih Kabupaten/Kota dengan Bawaslu Aceh adalah berkenaan dengan penyampaian laporan kepada Bawaslu Aceh terhadap dugaan tindakan yang menganggu tahapan penyelenggaraan Pilkada. Penyampaian laporan ini diperlukan sebagai dasar pengeluaran rekomendasi oleh Bawaslu Aceh.

Qanun Aceh Nomor 07 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh Pasal 39 ayat (1) huruf f : Tugas Panwaslu kabupaten/kota adalah menyampaikan laporan kepada Panwaslu Aceh sebagai dasar untuk pengeluaran rekomendasi Panwaslu Aceh yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu di kabupaten/kota; Kedepan aturan dalam Qanun Aceh Nomor 07 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh perlu dilakukan semacam revisi yang memuat aturan dan mekanisme hubungan dan pola tata kerja yang jelas antara Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/ Kota di Aceh, dalam rangka menghindari perdebatan dan multitafsir terhadap sejauh mana kewenangan Bawaslu Aceh dalam hubungannya dengan Panwaslih Kabupaten/Kota. Apakah hubungan kewenangan Bawaslu Aceh kepada Panwaslih Kabupaten/Kota bersifat asistensi/kordinasi atau memiliki kewenangan fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja Panwaslih sebagaimana diatur dalam Perbawaslu Nomor 07 Tahun 2015.

Selain itu terdapat potensi konflik regulasi lainnya. Yaitu berkenaan dengan mekanisme perekrutan Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota yang agak rumit dibandingkan perekrutan Bawaslu di daerah lain oleh Bawaslu Pusat. Apabila di daerah lain Bawaslu Pusat melakukan mekanisme perekrutan sekaligus pengangkatan terhadap Anggota Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh Bawaslu pusat dinilai hanya memiliki kewenangan dalam hal penetapan dan pengangkatan Anggota Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/ Kota. Sedangkan kewenangan dalam hal penjaringan Anggota Bawaslu Aceh dilakukan oleh DPRA dan Panwaslih Kabupaten/Kota dilakukan oleh DPRK setempat.

UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Kewenangan Pengusulan Pembentukan Panwaslu Aceh Pasal 23 ayat (1) huruf L : • DPRA mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan; Kewenangan Pengusulan Pembentukan Panwaslih Kabupaten/kota Pasal 24 ayat (1) huruf i : • DPRK mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pembentukan KIP kabupaten/kota dan membentuk Panitia Pengawas Pemilihan HALAMAN

8

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015


Kewenangan Pembentukan dan • Pasal 42 ayat (6) : Bawaslu mengesahPengangkatan Bawaslu Aceh dan Panwaslih kan 5 (lima) nama calon yang diusulkan Kabupaten/Kota oleh DPRA menjadi anggota Panwaslu Aceh paling lambat 40 (empat puluh) hari UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerinsebelum tahapan pertama penyelenggaran tahan Aceh pemilu dimulai • Pasal 60 ayat (1) : Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota Panwaslih Kabupaten/kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat • Pasal 43 ayat (5) : DPRK menetapkan nasional dan bersifat ad hoc. 5 (lima) nama peringkat teratas dari 15 • Pasal 60 ayat (3) : Anggota Panitia Pen(lima belas) nama calon anggota Panwaslu gawas Pemilihan sebagaimana dimaksud kabupaten/kota untuk diusulkan kepada pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing Bawaslu. sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan • Pasal 43 ayat (6) : Bawaslu mengesaholeh DPRA/DPRK. kan 5 (lima) nama calon yang diusulkan oleh DPRK menjadi anggota Panwaslu Qanun Aceh Nomor 07 Tahun 2007 Tenkabupaten/kota paling lambat 40 (empat tang Penyelenggara Pemilu di Aceh puluh) hari sebelum tahapan pertama penyelenggaraan pemilu dimulai Bawaslu Aceh • Pasal 42 ayat (5) : DPRA menetapkan Pemberhentian Bawaslu Aceh dan Panwas5 (lima) nama peringkat teratas dari 15 lih Kabupaten/kota (lima belas) nama calon anggota Panwas- Pasal 46 ayat (1) : Pemberhentian anggota lu Aceh untuk diusulkan kepada Bawaslu. Panwaslu Aceh dan Panwaslu kabupaten/kota dilakukan oleh Bawaslu.

Problemnya adalah meski dalam regulasi sudah jelas diatur mekanisme penjaringan dan pengangkatan Anggota Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota namun kerap ketika Pemilu tiba timbul problem ego sektoral antar lembaga terkait mekanisme penjaringan dan pengangkatan tersebut.

diatur dalam UUPA. Dalam UU Nasional kewenangan perekrutan dan pengangkatan Bawaslu Provinsi sepenuhnya merupakan kewenangan Bawaslu Pusat. Sedangkan Panwaslu Kabupaten Kota merupakan hasil seleksi dari Bawaslu Provinsi.

Hal ini karena dalam UU Pemilu yang berlaku secara nasional mekanisme perekrutan Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/ Kota berbeda dengan yang ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015

HALAMAN

9


UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum • Pasal 73 ayat (4) : Dalam melaksanakan tugasnya, Bawaslu berwenang membentuk Bawaslu Provinsi UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015) • Pasal 24 ayat (2) : Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi. • Pasal 24 ayat (3) : Penetapan anggota Panwas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah melalui seleksi oleh Bawaslu Provinsi Meski pada tataran Bawaslu Aceh polemik perekrutan tersebut telah diselesaikan sementara pada Pileg 2014 lalu dengan metode win win solution, sebagian direkrut oleh Bawaslu Pusat dan sebagian lagi oleh DPRA. Namun problem kedepan yang tampak nya akan terulang kembali ialah terkait mekanisme perekrutan Panwaslih Kabupaten/kota. Akan timbul kembali ego sektoral terkait kewenangan perekrutan terhadap Anggota Panwaslih. Memang perekrutan dilakukan oleh DPRK namun pengangkatannya dilakukan oleh Bawaslu Pusat. Problemnya bagaimana seandainya Bawaslu Pusat menilai hasil seleksi dari DPRK setempat ternyata tidak sesuai dengan kriteria dan penilaian Bawaslu Pusat? Lantas siapa yang akan melantik Panwaslih Kabupaten/Kota kedepan seandainya Bawaslu Pusat enggan melantik?

SYARAT PENGUNDURAN DIRI BAGI ANGGOTA LEGISLATIF DALAM PILKADA Ketiga, Syarat Pengunduran diri bagi Anggota DPRA/DPRK yang hendak mencalonkan diri menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah berpo-

tensi menuai konflik regulasi sebagaimana yang pernah diulas pada Analisis Situasi (Ansis) Jaringan Survei Inisiatif Vol. 1 Tahun 2015 (http:// www.jsithopi.org) . berkaitan dengan hal tersebut Kemendagri telah mengeluarkan Surat Kawat (Telegram) Nomor : 160/5953/sj pada tanggal 20 Oktober 2015 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia. Berikut isi surat kawat tersebut :

HALAMAN

10

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015


Kawat Kemendagri Nomor : 160/5953/sj pada tanggal 20 Oktober 2015

Dalam rangka Pemenuhan Syarat calon dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil KepalDaerah serentak Tahun 2015, dengan hormat disampaikan hal sebagai berikut :

a. di dalam ketentuan Pasal 68 Ayat (1) Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 ditegaskan bahwa bagi Calon yang berstatus Anggota DPRD wajib menyampaikan Keputusan Pejabat yang berwenang tentang pemberhentian sebagai Anggota DPRD paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkan sebagai calon; b. sehubungan dengan itu, dan dengan memperhatikan batas waktu tersebut diatas, diharapkan : 1. Para Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi segera memfasilitasi proses pengusulan pemberhentian Anggota DPRD Provinsi kepada Menteri Dalam Negeri untuk penetapan Keputusan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi yang menjadi Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah; 2. Para Bupati/Walikota dan Ketua DPRD Kab/Kota segera memfasilitasi Proses Pengusulan Pemberhentian Anggota DPRD Kab/Kota kepada masing masing Gubernur untuk penetapan Keputusan Pemberhentian Anggota DPRD Kab/Kota yang menjadi Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah; c. Keterlambatan Penetapan Keputusan Pemberhentian Anggota DPRD tsb dapat berimplikasi terhadap Pembatalan yang bersangkutan sebagai Calon Kepala Daerah atau Calon Wakil Kepala Daerah.

Dari surat Kemendagri diatas, konsisten dengan hasil Ansis JSI Vol. 1 Tahun 2015 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 (“Rujukan terhadap Pencalonan Pelaksanaan Pilkada Aceh�)* akan urgensitas untuk dilakukan Judicial Review (JR) atau peninjauan kembali terkait persyaratan pemberitahuan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK kepada pimpinan DPRA/DPRK sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 91 Ayat (4) Huruf I UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh kepada Mahkamah Konstitusi. apabila tidak dilakukan JR, maka calon yang bersangkutan akan dikenakan pembatalan sebagai calon kepala daerah dan tidak akan dilantik sebagai kepala daerah apabila yang bersangkutan menjadi pemenang dalam Pilkada Aceh Tahun 2017. ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015

HALAMAN

11


rekomendasi jsi Berdasarkan hasil Analisa Situasi diatas, JSI merekomendasikan kepada pengambil kebijakan dan stakeholder untuk : 1. Melakukan Uji Materi (Judicial Review) terhadap Pasal 68 ayat (1) UUPA bagi pihak yang merasa dirugikan, dimana dalam pasal tersebut memuat ketentuan dukungan berdasarkan persentase jumlah penduduk sedangkan MK sudah membatalkan materi yang sama dalam UU No. 8 Tahun 2015 melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015. MK memutuskan Pilkada setelah tahun 2015 bagi calon perseorangan harus menggunakan basis dukungan DPT Pemilu terakhir. Ketentuan persyaratan menggunakan basis dukungan data penduduk dalam UUPA lebih memberatkan calon perseorangan dibandingkan menggunakan basis dukungan data DPT pemilu terakhir. 2. Terkait Peran dan kewenangan Bawaslu Aceh terhadap Panwaslih Kabupaten/Kota di Aceh, perlu dilakukan revisi/perubahan terhadap Qanun Aceh Nomor 07 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh dalam rangka memperjelas hubungan dan pola tata kerja yang jelas antara Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota di Aceh . termasuk mempertegas fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja masing masing. 3. Merekomendasikan kepada DPRA untuk: • melakukan legislative review kepada DPR RI untuk mengubah ketentuan dalam pasal pasal 23 ayat (1) huruf l UUPA, semula berbunyi : DPRA mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan diubah menjadi : DPRA mempunyai

tugas dan wewenang mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Badan Pengawas Pemilihan Aceh. Implikasi dari perubahan nama dari Panitia Pengawas Pemilihan menjadi Badan Pengawas Pemilihan Aceh adalah perubahan terhadap semua pasal yang terkait dengan Panitia Pengawas Pemilihan tingkat provinsi dan bersifat tetap. Sedangkan di tingkat Kabupaten/ Kota masih bersifat panitia Pengawas Pemilihan. • Mempertegas pasal pasal yang terkait dengan kewenangan terhadap rekrutmen dan pengangkatan Bawaslu Aceh dan Panwaslu Kabupaten/kota. • segera dilakukan revisi/perubahan melalui Legislative Review (LR) atau Judicial Review (JR) /Peninjauan Kembali terkait persyaratan pemberitahuan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK kepada pimpinan DPRA/ DPRK sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 91 Ayat (4) Huruf I UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Karena implikasi apabila ayat ini tetap digunakan dalam Pilkada Aceh tahun 2017 mendatang maka calon yang memenangkan Pilkada 2017 yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK yang tidak mengundurkan diri sebagaimana amanat putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon kepala daerah. Eksesnya calon tersebut meski menjadi pemenang dalam Pilkada Aceh Tahun 2017 tetap tidak dapat dilantik oleh Kemendagri sebagai Kepala Daerah.[] Analisis : Aryos Nivada, MA & Tim JSI Desain Grafis : Teuku Harist Muzani

Jaringan Survey Inisiatif®

HALAMAN

12

Jl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang, Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127 Telp. (0651) 6303 146 Web: www.jsithopi.org Email: js.inisiatif@gmail.com

ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.