Koreana Spring 2018 (Indonesian)

Page 1

MUSIM SEMI 2018

SENI & BUDAYA KOREA

FITUR KHUSUS

FOTOGRAFI

FOTOGRAFI DI KOREA Menikmati Kebebasan Bahasa Visual Fotografi di Korea: Menikmati Kebebasan Bahasa Visual; Foto Dokumenter Disertai dengan Sejarah Korea Modern; Homo Photocus dan Dua Sisi Foto Digital

Bangsa Maniak Fotografi

VOL. 7 NO. 1

2287-5565 SENI & BUDAYA ISSN KOREA 39


CITRA KOREA

Upacara Masuk Sekolah Ketika Musim Semi Tiba Kim Hwa-young Äą Kritikus Sastra; Anggota Akademi Seni Nasional


S

ebuah panggung dihiasi spanduk dan balon warna-warni. Guru, siswa baru dan orang tua mereka berkumpul. Semua orang hiruk-pikuk dan terlihat sibuk. Di mana kelas anak saya? Siapa gurunya? Kecemasan juga terlihat pada wajah anak-anak. Mereka berpegang erat pada ibu mereka. Beberapa dari mereka bahkan menangis. Maret masih terasa dingin di semenanjung Korea. Walaupun angin sangat menggigit, musim semi sudah diantisipasi. Awal bulan ini merupakan tahun ajaran baru. Dan bagi kebanyakan orang, upacara masuk bagi siswa baru itu melambangkan kedatang­ an musim semi. Bagi anak-anak yang telah mencapai usia enam tahun, waktunya telah tiba untuk mengawali kehidupan komunal yang dikenal sebagai wajib belajar. Mereka sekarang harus belajar bagaimana berdiri di atas kedua kaki mereka sendiri tanpa bantuan ibu mereka, bangun pagi dan berpakaian sendiri, dan mempelajari rahasia dunia melalui ejaan dan angka. Sejarah pendidikan dasar modern di Korea sudah melampui seratus tahun lalu. Sejak pembukaan Sekolah Dasar Umum Gyodong di Seoul pada tahun 1894, upacara masuk sekolah telah berubah secara signifikan. Sebelumnya, anak-anak kecil yang masih ingusan akan tegang karena ketakutan, saputangan disematkan ke dada mereka seperti medali. Hari ini, salah sebagian anak-anak memakai mahkota, dan anak-anak lain menuliskan mimpinya di atas pesawat kertas dan menerbangkannya. Guru meletakkan setumpuk perlengkapan sekolah di tangan siswa baru, dan siswa kelas enam memeluk pendatang baru dan menyematkan mawar di tangan mereka. Lagu pop “Aku Seekor Kupu-Kupu” mendorong setiap anak mengembangkan sayapnya dan memenuhi impian me­reka, bermain di latar belakang. Namun ada juga sisi gelap kisahnya. Industrialisasi yang pesat dan pertumbuhan ekonomi yang mempesona telah mengakibatkan urbanisasi dalam skala besar, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan jumlah keluarga pedesaan. Beberapa dekade pertumbuhan populasi yang lamban telah menurunkan tajam jumlah anak usia sekolah. Tak pelak lagi, banyak sekolah dasar terpaksa tutup atau bergabung dengan sekolah lain. Pada tahun 2017, ada 2,67 juta siswa sekolah dasar, atau 30 persen kurang dari 3,83 juta pada tahun 2007 dan 53 persen lebih rendah dari 5,66 juta pada tahun 1980. Hal utama yang memerlukan perhatian khusus adalah bagaimanapun anak-anak yang tidak bersalah ini, telah mengenakan mahkota dan menerbangkan pesawat kertas pada hari pertama mereka bersekolah, tanpa menyadari bahwa mereka memasuki kompetisi tanpa akhir di “neraka pendidikan” Korea.


Dari redaksi

Pemimpin Umum

Lee Sihyung

Harapan di musim semi

Direktur Editorial

Park Sang-bae

Pemimpin Redaksi

Koh Young Hun

Saat bulan Maret berakhir tanda-tanda musim semi pun tiba. Suhu yang ringan dan segar membuat musim semi ini menjadi musim yang dinanti-nantikan untuk menyaksikan bunga sakura memutih bermekaran, juga bu­­ngabunga lain yang tak kalah cantik dan menarik: bunga Forsythia, bunga Azaleas, bunga Magnolias dan Lilacs. Musim Semi selalu menerbitkan harapan di setiap hati. Di musim semi taman-taman akan banyak dikunjungi, demikian pula taman-taman di sepanjang sungai Han. Para muda dan orang-orang tua berkumpul menyaksikan keindahan alam berupa bunga-bunga. Tak ketinggalan mereka akan selalu berfoto dan berswafoto. Mereka akan mengabadikan setiap momen yang dilalui. Sungguh, mereka ini maniak fotografi. Koreana kali ini melaporkan secara apik, akurat, dan lengkap tentang fotografi di Korea sebagai ekspresi kebebasan dalam bahasa visual. Foto-foto tersebut bukan hanya menyimpan kenangan, namun juga memancarkan harapan. Harapan juga terjadi untuk masa depan semenanjung Korea. Harapan untuk terciptanya sebuah semenanjung yang damai. Direncanakan pada akhir April 2018 akan ada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) antara Korea Selatan dan Korea Utara. Semoga KTT membuahkan kesepakatan damai yang indah, seindah musim semi yang sedang berlangsung. Sambil menikmati misi Jeseon ke Jepang, sepak terjang penari Kim Ki-min, pengalaman spiritual pelukis Jerman Ingo Baumgarten, memancing sebagai gaya hidup, dan sebagainya, nikmati pula keindahan musim semi di Korea yang memancarkan keindahan dalam setiap diri. Selamat membaca.

Dewan Redaksi

Han Kyung-koo

Benjamin Joinau

Jung Duk-hyun

Kim Hwa-young

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Charles La Shure

Song Hye-jin

Song Young-man

Yoon Se-young

Direktur Kreatif

Kim Sam

Editor

Ji Geun-hwa, Noh Yoon-young,

Park Do-geun

PENATA aRTISTIK

Kim Do-yoon

Desainer

Kim Eun-hye, Kim Nam-hyung,

Yeob Lan-kyeong

Penata Letak

Kim’s Communication Associates

dan Desain

44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu

Seoul 04035, Korea

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia

www.gegd.co.kr

Tel: 82-2-335-4741

Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan. Informasi Berlangganan: The Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea Percetakan Edisi Musim Semi 2018 Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5 © The Korea Foundation 2018 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation.

seni & budaya korea Musim Semi 2018

Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea http://www.koreana.or.kr

“Tujuh Tahun Usiaku: Nasi Rebus Azalea dan Sup Krisan” Won Seoung-won 2010. Cetak Kromogenik. 140 x 140 cm.


FiTur KHuSuS

Fotografi di Korea: Menikmati Kebebasan Bahasa Visual

04

FITUR KHUSUS

Fotografi di Korea: Menikmati Kebebasan Bahasa Visual

14

FITUR KHUSUS 1

Foto Dokumenter Disertai dengan Sejarah Korea Modern Lee Lee Kyu-sang Kyu-sang

26

FOKUS

50

KISAH DUA KOREA

Catatan Misi Joseon ke Jepang dalam Daftar Memori Dunia UNESCO

Membangun Harapan di Negeri Nenek Moyang

Suh Kyung-ho

Kim Hak-soon

32

56

WAWANCARA

Menari Agar Terus Bergema di Hati Penonton

BUKU DAN & LAINNYA

‘‘Pohon Pinus di Korea: Estetis dan Simbolisme’

Yoon Ji-young

Pohon Pinus Berbicara Volume melalui Lensa Fotografer

38

‘Cerita Pendek Kontemporer Korea – pilihan dari Majalah KOREANA’

JATUH CINTA PADA KOREA

Gegar Budaya Karena Kesamaan Ciri

Harta Karun dari Kekayaan Gudang Sastra Korea

Choi Sung-jin

‘Nostalgia’

42

DI ATAS JALAN

Uijuro: Jalur Keliling Dunia yang Sudah Berusia 500 Tahun Lee Chang-guy

Musik Fusion Yang Mengingat Kembali Masa Lalu Orkestra Gayageum

20

FITUR KHUSUS 2

Homo Photocus dan Dua Sisi Foto Digital Choi Choi Hyun-ju Hyun-ju

62

HIBURAN

Setelah 60 Tahun, Akhirnya Ia Bicara Song Hyeong-guk

64

ESAI

BUDAYA KOREA DALAM PERSEPSI MASYARAKAT INDONESIA: Sebuah Tinjauan Terhadap Gelombang Halyu di Indonesia Dr. M. Yoesoef, S.S., M.Hum

66

GAYA HIDUP

Memancing: Apa yang Menjadikannya sebagai Hobi Nasional? Choi Byung-il

Charles La Shure

58

SATU HARI BIASA

Membangunkan Lingkungan Sekitar Selama Dua Dekade Kim Heung-sook

70

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Sebuah Dunia Yang Rumpang, Kosong, Dan Tak Lengkap Choi Jae-bong

Sebuah Sudut Yoon Sung-hee


FITUR KHUSUS

“Pohon Apel” Kim Gwang-su, 2016. Cetak warna, 112 x 17 cm.


Fotograf i di Korea

Menikmati Kebebasan Bahasa Visual Š Kim Gwang-su


Kang Woon-gu Seniman dan Karyanya Saya sangat tertarik dengan negara ini. Di sinilah saya dilahirkan; tempat saya tinggal sampai sekarang; dan di mana saya akan terus berdiam. Tanah ini merupakan takdir saya. Cinta saya untuk negara dan menjelajahinya secara alami, meluas ke masyarakat dan kehidupan yang mereka alami. Mataku tidak menyimpang ke yang lain. Sebaliknya, mereka jatuh pada hal-hal yang umum, mencari sumber keindahan dan makna batin mereka. Di mata pengunjung, negara ini tampak eksotis, sama seperti lanskap tanah asing yang eksotis bagi saya. Bila terjadi perubahan dari masyarakat pertanian ke industri, tibalah saatnya untuk melakukan percepatan. Dalam prosesnya, lanskap umum menjadi tidak biasa. Sebagai fotografer tanah ini, sekarang saya menganggap “layanan” saya selesai. Setelah sampai pada titik ini, saya lebih senang mengambil foto.

Garis waktu • Lahir pada tahun 1941 di Mungyeong, Provinsi Gyeongsang Utara • BA dalam Sastra Inggris, Universitas Nasional Kyungpook • Bekerja sebagai fotografer untuk harian Chosun Ilbo dan Dong-A Ilbo

© Gwak Myeong-u

• Pameran tunggal “Desa: Trilogi” (Museum Seni Kumho, Seoul, 2001); “Lanskap Klasik: Makam Kerajaan, Memorabilia Tiga Kerajaan, dan Gunung Nam di Gyeongju” (Museum Fotografi GoEun, Busan, 2011); “Gunung Nam di Gyeongju: Hitam dan Putih” (Ryugaheon, Seoul, 2016); “Bayangan Empat Sisi” (Museum Fotografi, Seoul, 2017) • Pameran kelompok “Fotografi Hari Ini” (Museum Artsonjae, Gyeongju, 1995); “Warisan Budaya Kita: Dari Perspektif Hari Ini” (Museum Seni Sungkok, Seoul, 1997); “Fajar Awal” (Galeri HowArt, Seoul, 2001) • Kang telah menulis buku dan monografi, termasuk “Esai Fotografi” (Youlhwadang, 2010); “Lanskap Klasik: Makam Kerajaan, Memorabilia Tiga Kerajaan, dan Gunung Nam di Gyeongju” (Youlhwadang, 2011); dan “Gunung Nam di Gyeongju: Edisi Hitam dan Putih” (Youlhwadang, 2016).

6 Koreana Musim Semi 2018


“Gwangyang” Kang Woon-gu, 1983. © Kang Woon-gu

seni & budaya korea 7


8 Koreana Musim Semi 2018


“Gunung Nam (Namsan) di Gyeongju: Dataran Lembah Yongjang dan Pagoda Batu Bertingkat Tiga” Kang Woon-gu, 1987. © Kang Woon-gu

seni & budaya korea 9


Won Seoung-won Bicara Mengenai Karya Saya Secara singkat, karya saya dapat disebut sebagai ‘Foto Instalasi’. Saya mengumpulkan dan menyunting foto-foto yang saya ambil dari berbagai tempat di dunia yang saya kunjungi dengan komputer, lalu mengubah gambar-gambar yang memiliki waktu dan tempat yang berlainan tersebut menjadi suatu gambar baru. Prosesnya memang rumit dan butuh ketelitian, namun ruang diskontinu dan objek yang tumpang tindih dapat menciptakan perasaan yang fantastis. Karya saya, yang merupakan perpaduan antara realita dan imanjinasi, membangkitkan sensibilitas analog walaupun merupakan karya digital, sehingga dapat menghasilkan berbagai narasi. Saya ingin menghasilkan tema yang mendalam dan berat mengenai manusia dan masyarakat dengan cerdas melalui karya kolase.

10 Koreana Musim Semi 2018


1

“Tujuh Tujuh Usiaku: Laut di Kampung Halaman Ibuku” Won Seoung-won, 2010. Cetak kromogenik, 125 × 195 cm.

2 1. “Tujuh Tahun Usiaku: Burung Camar dan Pohon Pir yang Mekar” Won Seoung-won, 2010. Cetak kromogenik, 125 × 195 cm. 2. “Jaringan Tumbuhan Air dari Spesialis IT” Won Seoung-won, 2017. Cetak kromogenik, 178 x 297 cm. © Won Seoung-won & GALERI ARARIO

Biografi • Lahir di Goyang, Gyeonggi-do, tahun 1972. • Lulus S1 dari jurusan seni patung, fakultas seni, Universitas Chung-Ang dan S2 dari Kunstakademie Düsseldorf, Kunsthochschule für Medien Köln. • Menggelar pameran karya pribadinya bertajuk <1978 Usia 7 Tahun> (Seoul Gana Contemporary, 2010), <Character Episode I> (Seoul Artside Gallery, 2013), <Sceptical Orgy> (독일Podbielsky Contemporary, 2014), <Pemandangan Orang Lain> (Seoul Arario Gallery, 2017), dan lainnya. • Karyanya juga disimpan di Museum Nasional Seni Kontemporer, Museum Seni Seoul, Museum Seni Mori Tokyo, Museum Osthaus Jerman, Museum Seni Santa Barbara dan lainnya.

seni & budaya korea 11


Gwon O-sang Bicara Mengenai Karya Saya Karya saya sedikit berbeda. Misalnya saja, saya memotret seseorang dari ujung kepala hingga ujung kaki dan membaginya menjadi beberapa bagian. Kemudian, saya menyusun foto-foto yang sudah saya ambil tadi pada sebuah patung seukuran manusia yang terbuat dari isopink. Pada tahun 1998 saya memperkenalkan karya seperti ini dengan nama ‘Tipe Deodo­ ran’, namun orang-orang menyebutnya dengan nama ‘patung fotografi’. Saya yang sempat bertanya-tanya ‘Apakah bahan untuk membuat patung harus berat seperti batu atau perunggu?’, ingin terlepas dari seni patung yang tradisional dan menciptakan karya dengan bahan yang ringan. Karena itulah saya memadukan seni fotografi dengan seni patung. Sejak saat itu hingga sekarang saya, sebagai seorang fotografer, selalu mem­ bawakan tema ‘Apakah yang dimaksud patung? Bagaimana cara menunjukkannya dalam bentuk yang sudah berevolusi?’.

Biografi • Lahir di Seoul pada tahun 1974. • Lulus S1 dari jurusan seni rupa Universitas Hongik dan S2 di universitas yang sama. • Berpartisipasi dalam pameran seperti <Peppermint Candy : Korean Contemporary Art Travelling Exhibition in Latin America> (Museum Seni Kontemporer Santiago Chili, 2007∙·Museum Seni Nasional Argentina, 2008∙·Museum Seni Kontemporer Nasional Gwacheon, 2009), <Prospek Fotografi Kontemporer Korea: 1999~2008> (Museum Seni Kontemporer Taiwan, 2010), <Tech 4 Change> (Norway Best Posen Art Laboratory, 2015)dan sebagainya. • Mengadakan pameran karya pribadi seperti <New Structure and Relief> (Seoul Arario Gallery, 2016), <The Sculpture> (Shanghai Arario Gallery, 2016)dan lainnya. • Karya-karyanya juga disimpan di Museum Seni Samsung Leeum, Museum Seni Singapura, Asano Curatorial Institute Jepang, The Zabludowicz Collection London, Universal Music UK dan lainnya. “Blouson & Albino” Gwon O-sang, 2016. Cetak kromogenik, media campuran, 195 × 47 × 125 cm.

12 Koreana Musim Semi 2018


1

1. “Fender” Gwon O-sang, 2012. Cetak Kromogenik, media campuran, 207 × 194 × 110 cm. 2. “Struktur dan Relief Baru” Gwon O-sang, 2016. (Dipasang di GALERI ARARIO Seoul)

2

© GALERI Gwon O-sang & ARARIO

Seni & budaya Korea 13


FITUR KHUSUS 1 Fotografi di Korea: Menikmati Kebebasan Bahasa Visual

14 Koreana Musim Semi 2018


Foto dokumenter disertai dengan sejarah Korea modern Inti dari fotografi adalah, di atas segalanya, lapangan dan keterjangkauan. Fotografer dokumenter Korea juga menjadi saksi dan kesaksian dalam sejarah dunia yang berdenyut. Titik awal fotografi modern Korea, di mana satu foto mengubah arus sejarah, berada di tahun 1945, terbebas dari penjajahan Jepang.

A

Lee Kyu-sang ı CEO Penerbit Noonbit

wal fotografer Korea modern sama persis dengan tanggal 15 Agustus. Para fotografer yang tidak dapat memotret di luar lanskap karena represi dan kontrol imperialisme Jepang mulai melihat bangsa dan bangsa dengan mata warga Korea yang mendapatkan kembali kebebasan, bukan dari pandangan terkendali di bawah pemerintahan kolonial pada hari itu pada tanggal 15 Agustus 1945. Dalam hal ini, ini juga merupakan “Hari Kemerdekaan” foto-foto Korea. Tidak seperti lukisan yang bisa Anda bayangkan di kanvas Anda, Anda tidak bisa memotret kecuali Anda berada di lapang­an. Banyak fotografer membuat suara mereka melalui foto-foto di bidang sejarah. Lee Kyung-mo (Lee Kyung-mo Lee 1926 ~ 2001), seorang fotografer berusia 19 tahun dari Gwangyang, Provinsi Jeolla Selatan, Pemisahan Divisi dan Perang Korea Itu adalah kakeknya yang memberikan kamera pertama­

“Anak-anak Bermain di Lorong Kecil, Haengchon-dong, Seoul” Kim Ki-chan, 1972. © Choi Gyeong-ja. Sumber foto: Noonbit Publishing Co.

nya kepada Lee Kyungmo. Pada saat itu, dia bermimpi untuk menjadi pelukis, tapi dia adalah seorang fotografer seumur hidup berkat Rompi Minolta, yang ia dapatkan sebagai pintu masuk sekolah menengah pertama. Pada hari dia dibebaskan, dia mengeluarkan kamera dan mengambil gambar kerumunan yang senang bisa keluar di jalan. Inilah saat ketika fotografi modern Korea muncul. Pada awal September 1945, Lee Kyung Mo melihat pemandangan aneh di pintu masuk Myeong-dong, sebuah daerah pusat kota Seoul, dan segera memasukkannya ke dalam sebuah foto. Alih-alih tentara Jepang, tentara AS yang berkeliaran di Seoul sedang duduk di depan sebuah department store dan mengendarai becak. Periode tiga tahun militer AS menimbulkan kontroversi tentang pembebasan atau penduduk­ an negara asing lain, dan inilah saat tragedi pembagian tersebut tersirat. Itu terbebaskan, namun situasi saat ini di bawah pemerintahan militer AS tampak tidak pantas di mata fotografer muda tersebut. Lee Kyung-mo meninggalkan banyak foto Korea pada periode bergolak yang melewati Perang Korea, termasuk insiden Yeosu-Suncheon, yang diciptakan oleh konfrontasi antara sayap kiri dan kanan. Sukacita pembebasan juga untuk sementara waktu, dan semenanjung itu harus menderita karena perpecahan. Fotografer mulai melihat kenyataan ini dan menghadapi

seni & budaya korea 15


ma­salah pembagian. Fotografer Han Chi-gyu (1929 ~ 2016), seorang perwira intelijen militer, memotret medan akut divisi antar-Korea di zona demiliterisasi, yang tidak dapat diakses oleh warga sipil. Dia pergi ke Korea Selatan dengan kapal nelayan di Korea Utara dan berpartisipasi dalam Perang Korea dengan tentara Korea. Sampai ditangkap sebagai kolonel pada tahun 1979, dia menekan rana setiap kali dia mengunjungi unit DMZ atau bawahan, dan memotret anak-anak Seoul, Aku bertaruh Jadi foto-foto yang dia tinggalkan melihat kembali luka-luka divisi tersebut dan penampang budaya militer yang telah membentuk kehidupan orang Korea pada saat itu. Kenyataan yang memilukan adalah bahwa kedamaian yang tidak nyaman antara zona demiliterisasi ini tetap merupakan pekerjaan rumah yang tidak dapat dipecahkan orang Korea. Orang miskin berpenghasilan rendah di balik industrialisasi yang brilian Terlepas dari biru perang dan pembagian, Korea telah mencapai pertumbuhan ekonomi komparatif yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia. Fotografer dokumenter Korea telah menghangatkan mata mereka kepada tetangga yang terabaikan dalam proses pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini. Choi Min-shik Choi, Min-shik (1928 ~ 2013) adalah seorang fotografer representatif yang mencatat kehidupan sehari-hari orang miskin. Pada tahun 1957, ia lulus dari Jurusan Desain Akademi Seni Rupa di Tokyo, Jepang, dan mulai memotret orang saat ia belajar foto sendiri. Sepanjang hidupnya, ia me­ nerbitkan 14 buku, “Manusia”, yang ia tangkap secara intrinsik dan secara intrinsik adalah orang miskin dan penderitaan ma­­ syarakat. “Saya telah mencurahkan semua kasih sayang saya kepada orang miskin yang telah ditinggalkan dari tanah. Selama lebih dari 50 tahun, hanya mereka yang berada di daerah yang gelap dan sulit dibawa masuk ke lensa. Saya tidak pernah meragukan kebenaran mereka sebagai manusia sambil menekan tombol shutter.” Dia sendiri miskin dalam hidupnya, dan dia tidak meng­ anggap hanya orang miskin sebagai subyek. Dia sangat mencintai sebagian besar tetangga termiskin di dunia, dan de­­ ngan jelas mencatat penampilan mereka di balik perkembangan ekonomi yang pesat pada tahun 1960an dan 1970an. Ada fotografer lain yang menyadari bahwa industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi tidak serta merta membawa kebahagiaan bagi manusia. Kim Ki-chan (Kim Ki-chan Kim, 1938 ~ 2005) berkunjung setiap bulan dalam seminggu di Seoul, di mana dia bertemu dengan orang-orang miskin. Dia bekerja di sebuah stasiun televisi dan berkata, “Gang Jangrim-dong memang rumah hatiku. Ketika saya pertama kali memasuki gang, atmosfir gang

16 Koreana Musim Semi 2018

aneh mengingatkan saya pada gang kecil Sajikdong masa kecil saya, dan saya segera memutuskan bahwa tema foto saya adalah kasih sayang orang-orang di gang, tema di gang dan tema hidup saya.” Kenang saya. Kim Ki-chan menerbitkan koleksi foto-foto bertema 'The Landscape of the Alley' ke buku keenamnya. Dia juga meninggalkan koleksi rekaman yang menunjukkan orang-orang yang mengunjungi desa di depan Stasiun Seoul dan pemandangan yang berubah dari daerah pedesaan yang mereka tinggalkan. Foto-fotonya terus dievaluasi ulang sebagai catatan lama di ruang sempit yang disebut gang berdasarkan keintiman de­­ ngan orang-orang di gang. Sebagai imbalan atas perkembangan ekonomi yang keras, orang-orang Korea kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan tetangga mereka. Tapi pada hari-hari ketika miskin, tapi didorong, dihibur, dan tinggal di gang yang hangat, gambar orang-orang kecil masih hidup dalam foto-fotonya. Keinginan untuk demokrasi Masyarakat Korea telah berkembang dengan panas­ nya demokratisasi sejak meninggalnya mantan Presiden Park Chung-hee, yang memimpin ekonomi terencana dan memegang kekuasaan jangka panjang. Para siswa keluar ke jalan sambil menangis keluar dari rezim diktator militer baru dan bergabung dengan warga yang diam. Namun, karena media dikendalikan oleh pemerintah, warga negara tidak sepenuhnya memahami keseluruhan kebenaran gerakan demokratisasi dan bahkan tidak dapat membayangkan apa yang dikoordinasikan oleh kediktatoran militer. Namun, meski dalam informasi terbatas, siswa yang menyadari bayangan gelap tragedi dan kediktatoran di Gwangju pada bulan Mei 1980 telah mulai memimpin gerakan demokratisasi. Kwon Joo-hun (1943 ~ sekarang), seorang fotografer yang terakhir pensiun dari tugas aktif di Newsweek pada tahun 2015, telah berjalan di tempat kejadian selama 47 tahun dan bersaksi sampai sekarang. Sekitar pukul 2 siang pada tanggal 20 Mei 1986, dia meliput edisi Mei Acropolis Square, Universitas Nasional Seoul. Tema hari itu adalah “Kebangkitan seja­ rah pemberontakan Gwangju.” Pendeta Moon Ik-hwan (1918 ~ 1994), seorang aktivis anti-pemerintah yang terkenal saat itu, sedang berpidato di depan para siswa. Tiba-tiba, seorang siswa dari lantai empat ruang siswa meneriakkan bantuan, disemprotkan lebih tipis ke tubuhnya, menyalakan api, dan melepaskan­ nya di langkan lantai dua 7m di bawahnya. Murid-murid di sekitar saya mencoba mematikan lampu, tapi tidak mematikannya dengan mudah. Meski nyaris tidak berevolusi membawa alat pemadam api kecil untuk mobil, Lee Dong-soo meninggal tak lama setelah dipindahkan ke rumah sakit. Di bawah darurat militer saat itu, tidak ada media domestik yang berani mengeposkan gambar dari adegan mengejutkan


“Tentara Amerika Mengendarai Becak, Myeong-dong, Seoul” Lee Kyung-mo, 1945. © Lee Seung-jun. Sumber foto: Noonbit Publishing Co.

“Tentara Korea Patroli di Jalur Demarkasi Militer” Han Chi-gyu, 1972. © Han Seung-won. Sumber foto: Noonbit Publishing Co.

seni & budaya korea 17


“Keruntuhan Lee Han-yeol” Chung Tae-won, 1987. © Chung Tae-won. Sumber foto: Noonbit Publishing Co.

18 Koreana Musim Semi 2018


Selalu ada fotografer di bidang sejarah modern Korea. Mereka menolak kediktatoran militer dengan kamera, dan dengan hangat menyelimuti mereka yang jatuh dari barisan industrialisasi. Fotografer dokumenter mengingatkan saya pada kenangan bahwa kendali telah dihapus dari catatan publik dan sejarah.

ini. Dua hari kemudian, koran yang dikunjungi Kwon hanyalah artikel kecil di dalam kotak. Pada akhirnya, foto ini dilaporkan di negara asing dan kemudian dikenal negara ini mundur. Adegan bencana menyelam di sekujur tubuh memberi tahu kita betapa putus asa keinginan siswa untuk didemokratisasikan. Seorang pemuda yang terkejut dengan foto ini mengaku telah mengubah jalannya untuk menjadi hakim dan seorang wartawan untuk mengatakan yang sebenarnya. Fotografer yang mencatat bentrokan antara rezim diktator dan kamp demokrasi, yang telah berkembang menjadi konfrontasi ekstrem, bukanlah satu-satunya reporter. Tony Jung, seorang fotografer veteran yang menjabat sebagai direktur departemen foto Reuters Korea, juga memotret pemberontakan Gwangju pada tahun 1980 dan pemberontakan pada bulan Juni 1987, di seluruh dunia, dan juga aktris Jung Tae-won. Secara khusus, pada tanggal 9 Juni 1987, sebuah foto Lee Han-yeol, yang ditembak di depan Universitas Yonsei selama demonstrasi, menjadi katalis bagi pemberontakan pada bulan Juni dan untuk waktu yang lama menarik perhatian sebagai ikon gerakan demokratisasi. Ketika foto-fotonya dilaporkan melalui surat kabar, yang jatuh tertumpah oleh kekuatan kejam, api amarah berkecamuk di kalangan warga biasa. Menurut retrospektif Jeong Taewon, seorang siswa mengarahkan tangannya ke bagian belakang kepalanya di tempat gas air mata berkembang seperti kabut. Dia mengambil foto closeup dari murid lain di kamera. Dia merasa bahwa dia adalah seorang fotografer penting, dan dia kembali ke perusahaan di belakang seorang siswa yang dibawake rumah sakit, mencetak foto-fotonya dalam kegelapan dan mengirim mereka ke seluruh dunia. Lalu, saya bertanya kepada dokter yang bertanggung jawab atas rumah sakit yang merawat pertolongan pertama Ilhyeolryun, dan saya bertanya kepadanya tentang kondisinya melalui telepon. Sebenarnya, dia tidak sadar dan meninggal pada 5 Juli. Para pemrotes mengambil close-up dari sisi siswa selama demonstrasi berlangsung. Kami memotret kejadian di mana peluru tersebut menabrak sisi milisi selama kerusuhan Gwangju.

Dengan demikian, selalu ada fotografer di bidang sejarah modern Korea. Mereka mengkritik kediktatoran militer dengan kamera dan memeluk mereka yang jatuh dari barisan industrialisasi dengan mata yang hangat. Fotografer dokumenter mengingatkan saya pada kenanganbahwa kendali telah dihapus dari catatan publik dan sejarah. “Mereka selalu mengejar yang lebih lemah dari pada yang lebih kuat, korban lebih dari pelaku, pecundang lebih dari pemenang, demokratis ketimbang kekuatan,� katanya. Foto demokratisasi, dan revolusi lilin Sejak tahun 1945, sejarah kontemporer masyarakat Korea, di mana politik, ekonomi, dan masyarakat tidak terputus, telah dicatat oleh banyak fotografer yang telah menjaga lokasi kejadian. Di sisi lain, ‘Candlelight Revolution’, yang dimulai pada bulan Oktober 2016, merupakan kesempatan untuk menyadari bahwa warga beralih ke usia fotografer dalam foto-foto yang berpusat pada seniman. Di era fotografi analog, fotografer mengemas peralatan mereka dan menembak dan memotret kejadian dan kejadian kecelakaan tersebut, namun di era fotografi digital, tidak ada keahlian khusus, namun setiap orang di tempat kejadian berfoto dengan mata kepala sendiri. Ini karena fungsi kamera builtin ponsel semakin membaik dan lebih baik. Subjek foto itu juga terdemokratisasi seperti ini. Pada tanggal 16 April 2014, banyak siswa yang terjebak dalam sebuah kapal saat danau itu tenggelam mengeluarkan ponsel mereka, meninggalkan momen putus asa mereka seperti gambar dan video, dan mereka meneriakkan banyak orang. Hal yang sama juga terjadi pada nyala lilin Gwanghwamun pada musim dingin tahun 2016. Pada saat itu, banyak warga di tempat kejadian bisa berpose bersama keluarga atau kolega mereka dan sering melihat foto yang diambil, sehingga akan ada banyak foto yang diambil saat ini. Mereka akan ingat untuk waktu yang lama mereka masing-masing mengambil foto-foto ini dan bergabung dalam gairah demokrasi pada hari kemarahan rezim korupsi.

seni & budaya korea 19


FITUR KHUSUS 2 Fotografi di Korea: Menikmati Kebebasan Bahasa Visual

Homo Photocus

dan Dua Sisi Foto Digital Dengan meluasnya penggunaan kamera digital dan smartphone, fotografi telah dinilai ulang dalam konteks yang sangat berbeda. Sebagai sarana untuk mengabadikan momen keseharian, bukan hanya acara-acara khusus, fotografi kini menjadi sarana komunikasi yang tersedia bagi siapa saja. Sekarang ini, mengambil “foto bukti (injeung shot)” dan membaginya melalui situs jejaring sosial (SNS) telah menjadi bagian integral dari rutinitas kehidupan manusia sehari-hari. Choi Hyun-ju ı Penulis Lepas dan Esais Foto

“Flâneur di Museum, Louvre” Kim Hong-shik, 2016. Karya timbul; uretan, tinta dan layar sutra pada baja tak berkarat; 120 × 150 cm (termasuk bingkai). © Kim Hong-shik

20 Koreana Musim Semi 2018


seni & budaya korea 21


1

D

ewasa ini semua orang mengambil foto di mana-mana. Mengapa orang-orang itu begitu bersemangat mengambil foto? Kalau di­­ pikirkan baik-baik, mengambil foto berarti seseorang tidak ingin melupakan momen saat objek foto tersebut dibidik dan ingin mengabadikannya. Dengan kata lain, foto bersangkutan dengan perihal “kepemilikan”. Sama halnya dengan kenangan dan ingatan, bukankah keduanya juga merupakan salah satu bentuk kepemilikan dalam arti luas? “Buat apa memotret orang yang sudah tua keriput?” Nenek-nenek sering berkata demikian ketika hendak difoto. Kata-kata tersebut mencerminkan pikiran bahwa foto bertujuan mencetak hal-hal yang indah. Mengapa orang-orang berpendapat hal-hal yang indah harus difoto? Kalau bukan karena materi dokumentasi atau sebuah karya dengan konsep yang khusus, kita memang tidak perlu menyorotkan kamera ke objek yang mengerikan atau pemandangan yang tidak layak dilihat. Tidak akan ada orang yang ingin menyimpan hal-hal buruk seperti itu. Demi Selembar Foto “Seumur Hidup” Setelah munculnya kamera digital, segudang fotografer amatir telah menghasilkan lanskap serupa lukisan batu. Me­­ ngapa demikian? Pernah suatu ketika saya mengunjungi sebuah

22 Koreana Musim Semi 2018

kuil tua yang berdiri di ujung tebing dan merasa kecewa akan pemandangan kuil yang tidak terlihat karena tertutup kabut. Ah, tepat di sini dengan sudut ini seharusnya saya mengambil foto kuil itu! Foto yang saya lihat di buku panduan wisata terbayang-bayang di dalam benak saya. Meskipun saya menunggu cukup lama, kabut tidak memudar dan ketika itu pemandu wisata saya berkata sambil tersenyum, “Saya punya ide bagus. Coba cari tempat ini di google setelah sampai di rumah!” Banyak wisatawan yang kembali dari perjalanan mereka dengan gambar yang hampir identik dari tempat yang mereka kunjungi karena itu bagaikan bukti yang dimiliki untuk menunjukkan apa yang mereka alami atau rasakan di sana. Karena materi bukti harus mudah dimengerti oleh semua orang, maka materi tersebut harus berbentuk serupa dengan yang lain­nya daripada terlihat berbeda dan unik. Mungkin karena alasan ini jugalah para wisatawan rela mengantre panjang-panjang di lokasi wisata dan mengambil foto yang sama. Karena dengan memotret pemandangan indah yang mereka lihat langsung dan dengan kamera sendiri, mereka merasa memiliki pemandangan tersebut dan ingin diakui orang lain bahwa mereka telah memiliki pemandangan tersebut. Orang-orang menyebut foto ini “foto bukti”. Bisa jadi 30 tahun kemudian para sejarawan foto mengklasifikasikan foto bukti sebagai sebuah genre seperti foto dokumenter atau potret.


2

Setelah melewati Homo faber yang berarti manusia pembuat perkakas, Homo habilis manusia pengguna tangan, dan Homo ludens manusia bermain, kini di tahun 2010-an telah lahir manusia baru yang dapat kita sebut sebagai Homo photocus. Homo photocus tidak membedakan laki-perempuan maupun tua-muda. Bahkan orang-orang tua yang kikuk di depan mesin berteknologi canggih pun terlihat biasa dan alami di depan kamera. Walaupun ada orang yang tidak mema­hami penggunaan kamera DSLR, tetapi semua orang tahu cara pemakaian kamera smartphone. Dengan smartphone yang tergenggam dalam satu genggaman tangan, kita dapat mengambil hampir segala jenis foto. Kita juga tidak perlu meminta tolong kepada orang asing untuk memotret kita karena dengan tongkat selfi (selfie stick) kita dapat memotret foto sendiri dengan sudut yang diinginkan. Manusia baru abad ke-21, disibukkan dengan pengambilan foto bukti, dengan mengangkat smartphone me­­ reka di seluruh dunia. “Foto bukti” merupakan Istilah baru yang tercipta di lingkungan yang menggabungkan kamera digital, smartphone dan media sosial. Foto bukti merupakan frase yang tepat yang menggambarkan manusia baru ini. Beberapa tahun terakhir ini terlihat pemandangan baru yang tidak pernah terlihat sebelumnya di beberapa tempat se­perti istana Gyeongbok yang terletak di tengah kota Seoul, desa Hanok (rumah tradisional Korea) Bukchon, dan di desa

1. Di Istana Changgyeong Seoul, para wanita

muda berselfie dalam akaian tradisional Korea. Mereka lebih tertarik untuk mendapatkan “bukti potret” khusus daripada menghargai situs bersejarah tersebut. © Chosun Ilbo

2. Di sebuah restoran, pelanggan muda memo-

tret diri mereka dengan bir dan makanan yang baru saja disajikan sebelum minum. Kaum muda telah menciptakan budaya baru untuk memotret kegiatan mereka sehari-hari dan mengunggahnya melalui media sosial. © GettyimagesBank

seni & budaya korea 23


Manusia baru abad ke-21, disibukkan dengan pengambilan foto bukti, dengan mengangkat smartphone mereka di seluruh dunia. “Foto bukti” merupakan Istilah baru yang tercipta di lingkungan yang menggabungkan kamera digital, smartphone dan media sosial. Foto bukti merupakan frase yang tepat yang menggambarkan manusia baru ini. Hanok Jeonju yang bernuansa kuno. Di lokasi-lokasi wisata terkenal ini pemuda-pemudi berumur belasan hingga dua puluhan tahun mengenakan hanbok (pakaian tradisional Korea) sewaan dan mengambil foto bukti. Hanbok yang hanya dikenakan pada hari-hari khusus seperti upacara pernikahan dan nyaris terlupakan keberadaannya di kehidupan sehari-hari ini muncul kembali ke jalanan. Satu hal yang menarik, tren ini muncul bukan karena terkait dengan restorasi tradisi atau sejarah, melainkan “murni karena foto”. Pemuda-pemudi itu memakai hanbok demi menghasilkan selembar foto yang memuat diri mereka dalam busana indah tradisional yang jauh berbeda dengan pakaian modern. Foto bukti tersebut kemudian akan langsung diunggah ke SNS. Mereka tidak segan-segan memperlihatkan foto mereka kepada teman nyata di dunia realitas dan dunia maya secara online . Bahkan generasi muda sekarang menamai foto buktinya yang terbaik sebagai “foto seumur hidup (insaeng shot)”. Demi mendapatkan selembar foto seumur hidup, mereka meminjam dan memakai baju tradisional yang mewah, dan rela sibuk be­pergian ke jalanan bersuasana bagus, istana-istana kuno, kafe, dan lokasi-lokasi wisata terkenal. Foto di Pusat Komunikasi Foto membuat orang-orang berkumpul. Postingan internet yang hanya terdiri dari teks tanpa foto sulit mendapat perhatian. Karena itulah orang yang memiliki media sosial individu seperti blog berusaha sepenuh hati demi mengunggah foto yang dapat menarik perhatian pengunjung situsnya. Terutama untuk pengelola situs yang peranan fotonya sangat penting seperti blog makanan atau fesyen tidak dapat diragukan lagi. Mereka dilengkapi dengan kamera digital canggih dan memperlihatkan kemampuan memotret yang tidak kalah dari fotografer profesional. Kamera digital dan smartphone mengubah banyak hal. Dahulu orang memotret foto, mencetaknya, membingkainya, dan memajangnya di tembok atau di atas meja. Dan kadangkadang mereka menikmati kenangan masa lalu sambil melihat foto tersebut. Kini semua itu tidak selesai hanya dengan memotret foto, tetapi juga memilih, menghapus foto yang

24 Koreana Musim Semi 2018

akan di­buang, kemudian diedit dengan photoshop atau dengan aplikasi foto yang sederhana. Kemudian foto tersebut diunggah di SNS. Kegiatan-kegiatan ini berlangsung secara beruntun. Bisa dikatakan foto tersebut baru menjadi utuh bukan pada saat foto itu diambil, melainkan setelah diunggah di SNS. Di bawah foto yang diunggah di SNS, terdapat banyak komentar. Berbagai macam cerita dan penilaian berlangsung dalam komentar tersebut. Jika foto diandaikan sebagai sebuah pribadi, foto di zaman analog akan beranggapan bahwa nasib terbaiknya adalah saat dirinya dicetak, dibingkai, dan dipajang di dinding ruang tamu suatu rumah. Sebaliknya di zaman digital, foto jarang dicetak. Sebagai gantinya foto tersebut terbuka dan tersebar luas di dunia maya. Nasib foto digital tergantung pada seberapa baik ia diedit dan seberapa banyak tanda jempol “luka ” yang ia dapat. Berdasarkan pengamatan saya, tulisan yang paling ba­nyak mendapat reaksi bukanlah tulisan mengenai isu politik, isu sosial, ataupun pengalaman dan masalah pribadi. Foto selfie dan foto buktilah yang paling banyak mendapat respons. Foto-foto sejenis ini menggerakkan lebih banyak orang dan bahkan membuat orang yang biasanya pendiam mengungkapkan pendapat mereka. Daripada tulisan, foto membuat orangorang lebih mudah tertawa dan tersentuh, menarik manusia satu dengan lainnya dengan kekuatan magnet dan membuat mereka saling menanyakan kabar, bersapa, dan berbagi cerita. Jadi, foto adalah sebuah motivasi bagi seseorang untuk menjalin hu­­ bungan dan berkomunikasi secara mendalam dengan yang lainnya. Foto zaman digital yang terbang di atas sayap bernama SNS menjadi bentuk komunikasi yang paling berguna. Foto Bukti: Bukan Fakta Tetapi Hasrat Jumlah foto yang diambil dari tahun 2010-an mungkin telah melampaui jumlah foto yang diambil selama 180 tahun terakhir ini sejak ditemukannya kamera. Memang perkem­ bangan teknologilah yang membuat semua ini memungkinkan, tetapi di sisi lain foto juga merefleksikan hasrat kita yang hidup di era digital. Profesor Ilmu Konsumen Universitas Nasional Seoul, Kim Ran-do, menyebut “kecanduan bukti” dan “pamer


keseharian” sebagai salah satu tren perilaku tahun 2015 dalam bukunya yang berjudul Trend Korea. Hal ini menunjukkan bahwa kini kita hidup di masa penuh kecurigaan, di mana kita tidak mudah dipercayai tanpa memperlihatkan bukti dan hanya dengan bukti yang dapat dipastikan dengan bola matalah kita bisa mendapatkan sorotan perhatian. Profesor Kim menganalisis bahwa dalam dunia di mana “retweets ” dan “likes ” di SNS menjadi dasar keberadaan seseorang, memamerkan sesuatu telah menjadi keseharian mereka dan keseharian mereka pun menjadi sebuah pameran. Di masa “membuktikan diri” seperti ini, foto bukti memegang peranan penting. Tapi apakah tidak aneh? Bukankah bukti seharusnya merupakan sesuatu yang tidak bertentangan de­­ ngan kenyataan? Sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan tidak dapat dijadikan sebagai bukti. Tetapi foto bukti merupakan realitas dan juga bukan realitas secara bersamaan. Sebagai contohnya, selfi tidak memperlihatkan sosok mereka apa ada­ nya, melainkan sosok ideal yang jauh dari kenyataan yang telah diperbaiki dan dipercantik. Begitu banyak aplikasi smartphone yang dapat mengedit wajah menjadi lebih cantik, menghilangkan kerutan wajah, memperhalus kulit muka, dan memperbesar mata. Betapa ironisnya hal ini karena foto yang hanya meng­

Pantai Sehwa di Pulau Jeju selalu ramai dengan pasangan dan orang berbulan madu mengambil foto-foto di depan pemandangan laut yang indah. Keinginan orang untuk menangkap momen spesial dalam kehidupan mereka di foto dan meng­ unggahnya di media sosial telah mengubah setiap sudut tersembunyi pulau itu menjadi tujuan wisata yang terkenal. © jejuguree

ambil sepotong kenyataan dan diedit agar lebih enak dipandang menjadi foto bukti identitasnya. Sejak dulu orang menggunakan foto untuk membuktikan identitas dirinya. Tetapi kini sulit untuk mengenali orang hanya dengan melihat foto di Surat Izin Mengemudi atau surat lamaran kerja. Sekarang sudah jarang ada orang yang memakai foto yang tidak diedit. Foto selfi atau foto bukti yang telah dipercantik pada akhirnya bukanlah bukti identitas, melainkan bukti hasrat mereka. Pada akhirnya, memotret foto bukti dengan menaikkan smartphone tinggi-tinggi adalah usaha untuk menunjukkan hasrat mereka kepada orang lain. Di zaman kontradiksi di mana orang-orang tidak ingin percaya maupun berkomunikasi dengan orang lain, tetapi sekaligus ingin mendapat pengakuan dari banyak orang, foto zaman digital seperti ini merupakan dua buah sisi keberadaan kita.

seni & budaya korea 25


fokus

Catatan Misi

Joseon ke Jepang dalam Daftar Memori Dunia UNESCOÂ

26 Koreana Musim Semi 2018


Dari tahun 1592 sampai tahun 1598, tiga negara bertetangga di Asia Timur Laut terlibat dalam perang militer yang sengit, dengan bergabungnya Ming dari Cina untuk membela Korea melawan penjajah Jepang. Perang meninggalkan reruntuhan di sepanjang semenanjung, namun dua abad berikutnya Korea dan Jepang memulihkan hubungan mereka melalui jalur diplomasi aktif. Pada bulan Oktober 2017, catatan misi diplomatik Dinasti Joseon ke Jepang ditulis dalam Daftar Memori Dunia UNESCO, dengan nama resmi “Dokumen tentang Joseon Tongsinsa/ Tsushinshi: Sejarah Pembangunan Perdamaian dan Pertukaran Budaya antara Korea dan Jepang dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-19”. Suh Kyung-ho ı Profesor Emeritus, Universitas Nasional Seoul; Mantan Anggota Komite Penasihat Internasional, Program Memori Dunia UNESCO

“Perahu “Perahu yang yang Membawa Membawa Surat Surat Mandat Mandat Pengadilan Pengadilan Joseon Joseon MelinMelintasi tasi Sungai Sungai di di Jepang” Jepang” (Detail), (Detail), Periode Periode Edo. Edo. Artis Artis tidak tidak diketahui. diketahui. Tinta Tinta dan dan warna warna di di atas atas kertas, kertas, 58,5 58,5 xx 1524 1524 cm. cm. Lukisan Lukisan tersebut tersebut menggambarkan menggambarkan sebuah sebuah kapal kapal yang yang berlayar berlayar menyu­ menyu­ suri suri Sungai Sungai Yodogawa Yodogawa di di Osaka, Osaka, Jepang, Jepang, dengan dengan sebuah sebuah misi misi Korea Korea yang yang membawa membawa surat surat mandat mandat dari dari raja raja Joseon. Joseon. Berangkat Berangkat dari dari Busan Busan dalam dalam sebuah sebuah kapal, kapal, utusan utusan tersebut tersebut dipindahkan dipindahkan ke ke sebuah sebuah kapal kapal mewah mewah yang yang disiapkan disiapkan oleh oleh Keshogunan Keshogunan Tokugawa Tokugawa saat saat sampai sampai di di muara muara sungai. sungai. Perahu Perahu dihiasi dihiasi dengan dengan bendera bendera yang yang menampilkan menampilkan lambang lambang keshogun­ keshogun­ an an Tokugawa, Tokugawa, dan dan musisi musisi Joseon Joseon terlihat terlihat di di tengah tengah memainkan memainkan alat alat musik musik mereka. mereka. © © Museum Museum Nasional Nasional Korea Korea

seni & budaya korea 27


P

engadilan Dinasti Joseon mengirimkan misi pertamanya ke Jepang pada tahun 1607, kurang dari 10 tahun sejak berakhirnya perang tujuh tahun yang menghancurkan dan dipicu oleh invasi Jepang. Setelah kematian Toyotomi Hideyoshi, yang memimpin perang tersebut, Shogun Tokugawa meminta Joseon mengirim misi diplomatik untuk memperbaiki hubungan kedua negara dan saling menjaga perdamaian. Meskipun perang hampir menghancurkan seluruh semenanjung Joseon, Dinasti Joseon memenuhi permintaan tersebut. Utusan tersebut, yang disebut tongsinsa (secara harfiah berarti “utusan untuk komunikasi”), melakukan perjalan­ an panjang yang memakan waktu lebih dari enam bulan dari Hanseong (alias Hanyang, hari ini Seoul) sampai Edo (Tokyo sekarang). Hal tersebut merupakan usaha berskala besar, setiap misi terdiri atas 400-500 orang. Para delegasi disambut de­­ ngan hangat kemanapun mereka pergi, dan keshogunan Jepang menghabiskan banyak uang untuk menerima mereka sehingga hal itu menyebabkan kesulitan keuangan. Pada tahun 1811, Joseon telah mengirimkan 12 misi, yang secara signifikan memberikan kontribusi untuk membangun perdamaian di antara kedua negara dan berfungsi sebagai saluran pertukaran budaya bersama. Catatan perjalanan tersebut baru-baru ini ditempatkan pada Daftar Memori Dunia UNESCO yang terdiri atas 111 artikel (333 item), termasuk 5 dokumen diplomatik (51 item), 65 catatan perjalanan (136 item), dan 41 catatan pertukaran budaya (146 item). Catatan tersebut saat ini disimpan pada beberapa institusi di kedua negara: 63 artikel (124 item) di Korea dan 48 artikel (209 item) di Jepang. Permohonan tersebut diajukan oleh Yayasan Kebudayaan

28 Koreana Musim Semi 2018

Busan di Korea dan Dewan Penghubung Semua Tempat yang Terkait dengan Chosen Tsushinshi di Jepang. Sebuah inskripsi yang memiliki arti penting sebagai hasil usaha bersama kedua negara. Sangat Penting dalam Sejarah Dunia Daftar itu datang ketika Komite Penasihat Internasional UNESCO (KPI) menemui kesulitan. Dua set dokumen yang saling bertentangan yang melibatkan Korea dan Jepang—misi diplomatik Joseon dan para perempuan serta para gadis yang dipaksa melakukan perbudakan seksual oleh Imperial militer Jepang selama Perang Dunia II—keduanya telah dinominasikan sebagai inskripsi. Pemerintah Jepang, seperti yang telah diketahui, sangat menentang dokumen inskripsi tentang “perempuan penghibur”, yang telah diajukan bersama oleh 15 organisasi kemasyarakatan dari delapan negara, termasuk Korea dan Jepang. Panitia Penasihat Internasional akhirnya memutuskan untuk menunda daftar tentang dokumen kontroversial kesalahan Kekaisaran Jepang di masa perang dan merekomendasikan prasasti dokumen kontak diplomat Korea-Jepang kepada direktur jenderal UNESCO. Dialog tersebut mendesak para nominator dokumen terakhir dan pihak-pihak yang berkepentingan, KPI pada dasarnya menyatakan bahwa mereka hanya akan mempertimbangkan nominasi bersama yang disepakati oleh semua pihak terkait untuk inskripsi, seperti dalam kasus Dokumen Joseon Tongsinsa Dalam proses penyaringan Program Memori Dunia, berbagai kriteria seleksi diterapkan, seperti nilai sosial, keadaan pelestarian dan kelangkaan warisan dokumenter yang dinominasikan. Kriteria yang paling penting adalah signifikansi dalam


sejarah dunia, khususnya apakah warisan yang diusulkan me­nyangkut peristiwa atau prestasi budaya yang mempengaruhi sejarah kemanusiaan di luar negara dan wilayah yang bersangkutan. KPI merekomendasikan inskripsi Memori Dunia untuk dokumen yang memenuhi kriteria tersebut, dan menyarankan pendaftaran sebagai warisan regional atau nasional untuk yang tidak sangat penting. Dengan menegaskan bahwa dokumen tertentu memiliki arti global yang harus didukung dengan perspektif yang luas dalam menafsirkan peristiwa historis yang dimaksud. Dalam hal ini, Program Memori Dunia memberikan momentum perspektif baru dan berbeda dalam studi sejarah. Oleh karena itu, inskripsi catatan misi diplomatik Joseon ke Jepang memberikan sebuah interpretasi segar mengenai konteks historis mereka.

Jalan Misi Joseon ke Jepang Seoul

Eastsea

Munkyoung

Nikko

joseon

JEPANG Busan

Tsushima

Kyoto Shimokamagari

Shimonoseki

Tokyo Hakone

Ogaki

Osaka

Ushimado

Arai

Shizuoka

Ainoshima Samudra Pasifik

Sebuah Jendela Asia Timur Laut Abad ke-17 Untuk menentukan signifikansi sejarah global dari catatan utusan Joseon pada era Tokugawa Jepang, keadaan historis pada saat mereka diproduksi harus dipertimbangkan. Antara tahun 1607 dan tahun 1811, ketika Pengadilan Joseon mengirim misi diplomatik ke Jepang, Eropa yang telah memulai Abad Penemuan di awal abad ke-16 berada di tengah globalisasi melalui perdagangan maritim. Kapal dagang Eropa telah melakukan jalur perdagangan yang luas, mencapai Samudra Hindia dengan mencapai Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika, dan terus dari Aden di Jazirah Arab ke India dan Asia Tenggara, juga ke Indonesia dan Kepulauan Pasifik di Selatan. Tujuan akhir pelayaran besar adalah Cina, dan pada pertengahan abad ke-18, perdagangan dengan Cina oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda dan Inggris Raya telah diperhitungkan oleh sebagian besar perdagangan dunia. Namun, pemerintah Cina lebih tertarik pada tatanan politik Asia Timur Laut daripada berdagang dengan Eropa. Daerah ini yang jauh dari sentuhan berbagai peristiwa di belahan dunia lain memiliki tatanan tersendiri. Ketika Dinasti Ming runtuh setelah invasi Jepang ke Korea, hubungan diplomatik antara Cina dan Jepang terputus. Cina menghentikan perdagangan dengan Jepang dan Jepang mempertahankan kebijakan pintu tertutup. Namun, karena ikatan budaya yang ditempa melalui “Iringan-iringan Utusan ke Istana Edo” (Detail), dipersembahkan kepada Kim Myeong-guk, Periode pertengahan Joseon. Warna di atas kertas, 30,7 x 595 cm. Lukisan tersebut menggambarkan utusan Joseon memasuki Kastil Edo pada tahun 1636. Di atas lukisan dituliskan posisi mereka, menunjukkan peran mereka. Lukisan tersebut dianggap sebagai karya Kim Myeong-guk (1600-?), yang mendampingi delegasi tersebut sebagai pelukis pengadilan Joseon. © Museum Nasional Korea

seni & budaya korea 29


Dalam hubungan Korea-Jepang secara keseluruhan pada saat itu, pengiriman utusan hanya mewakili satu segmen kegiatan diplomatik yang lebih luas oleh Pemerintahan Joseon. Namun, misi tersebut memainkan peran kunci dalam membangun perdamaian di antara kedua negara dan memungkinkan Korea untuk memfasilitasi kontak tidak langsung antara Cina dan Jepang. penggunaan karakter Cina secara umum dan pengaruh Konfusianisme, ruptur tersebut tidak berarti penghentian kontak secara keseluruhan. Apalagi Cina dan Jepang saling membutuhkan dalam perdagangan. Jepang membutuhkan barang-barang Cina, terutama buku, dan Cina harus mengimpor perak untuk mata uangnya dari Jepang yang sangat berlimpah. Ketika ketegangan politik mengganggu perdagangan Cina-Jepang, Korea, berkat lokasi geografisnya yang strategis, berfungsi sebagai fasilitator transaksi secara tidak langsung antara kedua negara. Dalam tatanan politik, ekonomi dan budaya di Asia Timur Laut pada awal abad ke-17, catatan yang dikumpulkan tidak hanya pada misi diplomatik Joseon yang dikirim ke Jepang tetapi juga pada utusannya ke Cina, disebut yeonhaengnok . Oleh karena itu, menganalisis kumpulan kedua dokumen secara bersama-sama berguna untuk memahami bagaimana Asia Timur Laut mempertahankan tatanan independennya sebelum Perang Opium yang membuka jalan bagi kekuatan barat untuk mempercepat kolonisasi di wilayah tersebut. Dokumen-dokumen ini juga menyoroti latar belakang sejarah advokasi Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun akhir-akhir ini untuk ‘peran menyeimbangkan’ Korea di wilayah tersebut. Dengan kata lain, dokumen misi Joseon ke Jepang dan Cina pada saat itu bukan sekadar catatan sejarah namun warisan penting dengan relevansi langsung untuk analisis kejadian terkini di wilayah tersebut. Selanjutnya, terdapat kebutuhan untuk memperhatikan kekhasan Asia Timur Laut dalam aliran sejarah dunia. Selama Abad Penemuan, orang-orang Eropa membangun koloni di seluruh penjuru dunia, kecuali Asia Timur Laut, yang kemudian muncul sebagai sumbu penting dalam sejarah dunia. Situasi sejak Perang Sino-Jepang Pertama, berjuang untuk mendapatkan supremasi di wilayah tersebut pada akhir abad ke-19 sampai akhir Perang Pasifik pada tahun 1945 memiliki implikasi luas untuk tatanan internasional yang baru muncul. Dalam Perang Dingin yang terjadi berikutnya, konfrontasi antara Timur dan Barat menghasilkan perang perwakilan dan ketegangan yang berkepanjangan di semenanjung Korea. Menjelang akhir abad ke-20, kebangkitan Cina menarik perhatian

30 Koreana Musim Semi 2018

“Koleksi Catatan Perjalanan” (Haehaeng chongjae) adalah kumpulan catatan yang ditulis oleh anggota misi diplomatik Korea ke Jepang selama dinasti Goryeo dan Joseon. Ini terdiri atas 28 judul, kebanyakan berasal dari abad 1718 selama periode Joseon. Telah dikompilasi oleh Hong Gye-hui (1703-1771), seorang sarjana yang bertugas di bawah pemerintahan dua raja Joseon, Yeongjo dan Jeongjo. © Museum Nasional Korea

lebih lanjut di Asia Timur Laut. Dalam konteks ini, catatan misi Joseon ke Jepang adalah bukti historis tentang akar kepentingan strategis kekuatan besar di Asia Timur Laut pada hari ini. Dengan demikian, mereka memegang signifikansi di luar nilai mereka sebagai sumber studi hubungan Korea-Jepang. P a n d a n ga n o r a n g ko r e a t e r h a d a p J e p a n g Pra-modern Selain nilai historisnya, catatan misi Joseon ke Jepang memiliki keunikan dalam hal isi dan organisasinya. Terdiri atas dokumen diplomatik, rekening perjalanan dan catatan pertukaran antar cendekiawan, dan ilustrasi yang menyertainya, catatan tersebut dapat dianggap sebagai kompilasi pengalaman keseluruhan orang Korea di Jepang pada saat itu. Biasanya, isi yang bervariasi seperti itu mungkin dikategorikan secara terpisah, namun catatan ini menggabungkan berbagai jenis dokumen untuk menciptakan kumpulan bahan sumber yang komprehensif. Ini menunjukkan bahwa cendekiawan Korea dan Jepang pada periode itu berusaha menarik gambaran lengkap tentang negara masing-masing, secara alami menyusun bagian-bagian untuk dilihat secara keseluruhan. Yang sangat menarik adalah masuknya dialog tertulis antar intelektual dari kedua belah pihak. Terlepas dari hambatan bahasa, mereka melakukan per-


cakapan yang baik dengan menggunakan karakter Cina dan filsafat Konfusianisme sebagai sarana komunikasi bersama mereka. Sebenarnya, percakapan tersebut merupakan pertukaran pribadi, namun kedua Korea dan Jepang memperlakukan rekaman pertukaran tersebut sebagai dokumen resmi, percaya bahwa mereka mewakili tren utama bagi masing-masing masyarakat. Joseon dapat terus mengirimkan misi berskala besar selama dua ratus tahun karena kesadaran para intelektual bahwa dialog mereka tidak hanya berkontribusi untuk bertukar informasi yang bermanfaat bagi kedua negara, tetapi juga membantu menjaga perdamaian melalui saling pengertian mengenai situasi masing-masing. Sebenarnya, masuknya dialog ini ke dalam dokumen resmi merupakan protokol unik dari pertukaran diplomatik dan budaya di Asia Timur Laut. ilustrasi Berperan Penting dalam Penyampaian informasi Catatan tentang misi Joseon juga penting untuk menjelaskan bagaimana mereka memproses dan menyampaikan informasi. Joseon memiliki tradisi pencatatan yang ketat, tidak hanya berdasarkan tulisan tapi juga pada gambar visual, yang dibuktikan dengan “Uigwe Dinasti Joseon,” yang mendokumentasikan upacara dan seremonial kenegaraan dalam teks dan ilustrasi, yang ditulis pada Memori Daftar Dunia. Catatan tentang misi Joseon adalah contoh bagus dari tradisi ini.

“Iring-iringan Misi Korea di Edo” oleh Hanegawa Toei. 1748. Tinta dan warna di atas kertas, 69,7 x 91,2 cm. Setelah menyerahkan surat kepercayaan dari raja Joseon ke shogun saat tiba di Edo, misi tersebut melewati kota dalam perjalanan ke tempat tinggal mereka di Kuil Honganji di Asakusa. © Museum Kota Kobe / DNPartcom

Untuk merekam persinggahan misi diplomatik, seniman dibawa bepergian dengan delegasi atau pelukis lokal dipekerjakan untuk menghasilkan ilustrasi. Praktik ini menunjukkan betapa seriusnya materi visual yang dipertimbangkan dalam merekam dan menyampaikan informasi. Dalam keseluruhan hubungan Korea-Jepang pada saat itu, pengiriman utusan hanya mewakili satu segmen kegiatan diplomatik yang lebih luas oleh pemerintah Joseon. Namun, misi tersebut memainkan peran kunci dalam membangun perdamaian di antara kedua negara dan memungkinkan Korea untuk memfasilitasi kontak tidak langsung antara Cina dan Jepang. Dokumen-dokumen yang sekarang ada di Daftar Memori Dunia UNESCO adalah bukti nyata peran mediasi Korea di Asia Timur Laut. Mereka mendapat pengakuan sebagai sumber utama yang sangat penting dalam sejarah diplomasi dan hubungan internasional, dan sebagai sebuah kesaksian tentang asal mula dan evolusi geopolitik di belahan dunia ini, yang mana perdamaian dan konflik silih berganti terjadi sepanjang abad ke-20, situasi yang mudah berubah dan berlanjut hingga hari ini.

Seni & budaya Korea 31


WAWANCARA

mENARI

agar terus Bergema di Hati

PENoNtoN

Pada November tahun lalu, Kim Ki-min memerankan Pangeran Siegfried dalam pertunjukan “Danau Angsa (Swan Lake)” yang dimainkan oleh Grup Balet Mariinsky Rusia di Pusat Kesenian Seoul (Seoul Art Center). Dalam Grup Balet Mariinsky yang memiliki sejarah gemilang, Kim Ki-min merupakan penari asing pertama yang mendapat peran utama. Pada tahun 2016 ia meraih penghargaan penari laki-laki terbaik di festival tari yang paling bergengsi “Benois de la Danse” dan mengukuhkan reputasi internasionalnya. Yoon Ji-young mewawancarai Kim Ki-min melalui telepon. Yoon Ji-young ı Kolumnis Tari

32 Koreana Musim Semi 2018


Kaya ekspresif, lompatan Kim yang menawan dan luar biasa, melayang dalam tempo panjang mengasyikkan penonton. Foto ini diambil oleh fotografer bergengsi Park Gwiseop (juga dikenal sebagai BAKi) di studionya, untuk sebuah pameran yang menandai ulang tahun ke 20 Jurusan Seni tari, Universitas Seni Nasional Korea, pada tahun 2015. Š BAKi

Seni & budaya Korea 33


K

im Ki-min memulai balet saat berumur sepuluh tahun bersama kakaknya, Kim Ki-wan, yang ketika itu sedang aktif sebagai solois di grup Balet Nasional Korea. Ia memasuki Universitas Seni Nasio­nal Korea (Korea National University of Arts) seusai pendidikan Sekolah Menengah Pertamanya sebagai penari balet jenius, dan langsung bergabung dengan Grup Balet Mariinsky begitu lulus dari universitas ini. Ia merupakan penari laki-laki Asia pertama yang diterima oleh grup balet yang memiliki sejarah sepanjang hampir 300 tahun ini. Ketika itu ialah tahun 2011, saat ia berumur 19 tahun. Percaya Akan Potensi Penari Yoon Ji-young (Yoon): Apakah ada alasan khusus mengapa Anda memilih Rusia sebagai panggung pertunjukan Anda? Kim Ki-min (Kim): Sewaktu saya belajar di bawah bim­ bingan dua guru yang dulunya merupakan penari unggulan di Grup Balet Mariinsky – yaitu Vladimir Kim dan Margarita Kulik – selama hampir sepuluh tahun, saya terpikat dengan balet gaya Rusia. Saat Grup Balet Mariinsky mengunjungi Korea pada tahun 2011, saya bertemu dengan ketua grup balet ini, yaitu Yuri Fateyev, atas rekomendasi Vladimir Kim. Enam bulan selepas itu saya bergabung dengan grup balet ini melalui audisi, dan dari tahun 2015 hingga sekarang saya aktif di sini sebagai penari utama. Memang saya telah berusaha keras, namun mungkin usaha itu akan sia-sia jika tidak ada guru-guru yang mendukung dan mempercayai saya. Sekarang saya sedang menikmati kehidupan musim panas yang romantis dan malam musim dingin yang sedikit lebih panjang daripada Korea di Sankt Peterburg. Yoon: Setahu saya, di antara 200 penari dalam Grup Balet Mariinsky hanya terdapat dua orang penari asing. Menurut Anda, apa keunggulan grup balet ini? Kim: Di Korea ada kecenderungan para penari dengan kondisi fisik yang lebih unggul mengambil tokoh utama. Tetapi di sini seberapa kecil pun tinggi badan atau sekurang apa pun kondisi fisik seseorang, jika dianggap sebagai penari berbobot yang mampu mengekspresikan tokoh peranannya, maka penari itu akan berdiri di panggung sebagai pemeran utama. Grup ini memiliki kemampuan melihat potensi para penarinya. Bagian inilah yang ingin saya banggakan sebagai anggota Grup Balet Mariinsky. Selain itu Grup Balet Mariinsky mampu mengekspresikan warna asli tiap-tiap karyanya, sehingga pada umumnya grup balet ini tidak membatasi atau menghalangi tafsiran dan akting para penarinya yang beragam. Saya ambil adegan upacara kedewasaan Pangeran Siegfried dalam “Danau Angsa” sebagai contohnya. Ketika memerankan adegan ini, apresiasi dan ekspresi yang berbeda bisa muncul tergantung pada siapa penarinya dan bagaimana kondisinya saat itu. Bahkan akting

34 Koreana Musim Semi 2018

Kim menari sebagai Aminta di “Sylvia” Ballet Mariinsky di Teater Mariinsky pada tahun 2015. Dengan musik oleh Léo Delibes dan koreografi oleh Frederick Ashton, ini adalah karya balet klasik dari periode Romantis abad ke-19, yang menceri­ takan kisah cinta antara sang gembala Aminta dan peri Sylvia. © Teater Mariinsky. Foto oleh Valentin Baranovsky

tersebut dapat berbeda-beda berdasarkan suasana hati sang penari. Kalau saya, saya tidak menunjukkan gerakan tertentu untuk memperlihatkan bahwa saya adalah pangeran karena para penonton telah mengetahui tokoh yang saya perani. Sebagai gantinya, saya berusaha untuk mengekspresikan sisi batin sang pangeran secara alami. Saya sering mendengar komentar bahwa pangeran yang saya tokohi “tersenyum dari luar namun terdapat kesepian yang tidak dapat diketahui”. Meskipun rincian halus sepertinya tidak terlihat dari kursi penonton, namun sebenarnya semua itu tersampaikan. Yoon: Menurut Anda, kira-kira apa keunggulan Grup Balet Mariinsky dan lebih luasnya lagi keunggulan balet Rusia? Kim: Pertama, saya pikir lingkungan balet seperti sekarang ini dapat terbentuk karena balet mendapat dukungan negara sejak Rusia masih dalam bentuk Uni Soviet. Teater Mariinsky


juga mengalami perkembangan yang signifikan karena balet merupakan bagian utamanya. Teater ini memiliki fasilitas lengkap yang membuat para penarinya ingin menari. Tetapi yang paling membuat saya terkejut saat saya pertama kali berdiri di panggung adalah tingginya kualitas apresiasi para penontonnya. Pernah suatu kali seorang penonton menelepon saya dan menyampaikan pendapatnya mengenai kostum dan gerak-gerik saya satu per satu secara mendetail. Memang mendapat telepon dari penonton merupakan pengalaman yang baru, tetapi saya terkejut karena pendapat yang ia ajukan itu cukup profesional. Tingginya apresiasi para penonton di sini sudah pasti dikarenakan oleh dukungan kebijakan yang penuh. Tetapi hal ini juga akan mustahil tercapai jika tidak ada peran aktif para penari dunia yang mewakili masa itu seperti Vaslav Nijinsky, Rudolf Nureyev, dan Mikhail Baryshnikov. Bahkan saya saja

akan mengantre di depan teater untuk menonton pertunjukan mereka. Saya pikir berbagai macam syarat yang dapat memperluas dasar budaya berbaur menjadi satu sehingga wadah para penonton juga meluas dan kualitas mereka pun ikut meluas. Memperkaya Apresiasi Penonton Yoon: Di Korea, balet bukan kesenian yang umum. Usaha apa yang diperlukan untuk mengembangkan balet di Korea? Kim: Saya merasakan adanya perbedaan antara budaya balet di Korea dan Rusia. Contohnya di Korea kalau penari laki-laki jatuh atau menjatuhkan penari perempuan saat pertunjukan, para penonton cenderung menilai kemampuan penari tersebut berdasarkan kesalahan tersebut. Tetapi penonton di Rusia menerima kesalahan hanya sebagai kesalahan saja dan terus memperhatikan apa yang akan diperlihatkan oleh sang penari selanjutnya. Kemudian begitu pertunjukan selesai, para

seni & budaya korea 35


penonton akan memberikan penilaian mereka secara keselu­ ruhan. Jadi mereka tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang terjadi seketika dalam pertunjukan dan menilai keselu­ruhan pertunjukan atau kemampuan penari melalui kesalahan itu. Yoon: Secara luas, menurut Anda dari mana para penonton mendapatkan kemampuan melihat nilai kesenian seperti yang Anda jelaskan tadi? Kim: Ada perbedaan besar ketika melihat gambar “Mona Lisa” karya Leonardo da Vinci tanpa pengetahuan apa-apa dan dengan mendengar penjelasan mengenainya dari pemandu museum. Balet juga demikian. Seperti kata-kata “hanya dapat melihat sedalam apa yang kita ketahui”, saya berpendapat bahwa menggugah rasa ingin tahu para penonton dan membuat mereka belajar juga merupakan tugas penari. Untuk itu penari harus menari yang dapat menarik perhatian penonton. Pertun­jukan harus menarik dari sudut pandang para penonton, sehingga dapat memancing rasa penasaran dan membuat mereka belajar mengenai pertunjukan yang mereka tonton. Dengan kata lain, pada akhirnya bukan hanya teknik mewah saja yang penting. Memang balet Korea telah mencapai kelas dunia dari segi teknik, tetapi untuk dapat berkembang lebih jauh lagi Korea harus fokus pada apa yang disebut dengan “kultura (кульtўра)” dalam bahasa Rusia yang berarti energi budaya dan sejarah. Korea memiliki sejarah balet yang pendek. Oleh karena itu belajar dari jejak para guru dan senior yang telah membangun dasar dalam sejarah balet Korea sangatlah penting. Rusia menempatkan sejarah sebagai nilai yang paling utama. Mikhail Baryshnikov menjadi tokoh yang kita kenal sekarang berkat gurunya yang tidak kita kenal. Bisakah kita benar-benar mengenali Baryshnikov tanpa mengetahui gurunya dan guru dari gurunya? Dalam bidang apapun, saya pikir kekuatan sejati akan muncul ketika kita mengakui nilai sejarah yang dimilikinya. Itulah alasan mengapa penari Korea, termasuk saya, harus merenungkan dalam-dalam prestasi yang dicapai oleh senior-senior kami di masa-masa sulit dan merintis masa awal balet Korea. Abadi dalam Kenangan Penonton Yoon: Saya ingat Anda pernah mengatakan ingin membangun sekolah balet suatu hari nanti. Apakah Anda memiliki se­ suatu yang ingin Anda lakukan atau rencana dan cita-cita untuk masa depan Anda? Kim: Saya memiliki alasan mengapa saya ingin mendirikan sekolah balet. Di Korea, baik itu Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, maupun universitas, kita harus menyesuaikan diri kita dengan gaya sekolah masing-masing untuk dapat masuk ke sekolah yang kita inginkan. Untuk itu kita harus melupakan apa yang telah kita pelajari di sekolah atau tempat kursus sebelumnya dan memulai balet dengan

36 Koreana Musim Semi 2018

Kim tampil sebagai prajurit Solor di “La Bayadère” Ballet Mariinsky di Teater Mariinsky pada tahun 2013. Pada tahun 2015, dia memainkan peran yang sama dengan American Ballet Theater dalam versi Natalia Makarova di Metropolitan Opera House di New York, debutnya sebagai orang Amerika. Penampilannya dalam produksi Opéra de Paris pada tahun 2015 membuatnya mendapatkan hadiah penari terbaik Benois de la Danse tahun berikutnya. © Teater Mariinsky. Foto oleh Natasha Razina

gaya baru dari awal. Kenyataannya, saya telah sering melihat murid-murid yang mendapat banyak tekanan karena faktor lingkungan ini dan bahkan berhenti sekolah. Pernah suatu ketika seorang penari muda bertanya kepada saya, “Sampai sekarang saya pernah belajar dari lima orang guru dan mereka semua mengajarkan balet dengan gaya yang berbeda-beda. Gaya mana yang benar?”. Alasan mengapa begitu sedikit penari Korea di luar negeri yang telah menyelesaikan pendidikan hingga universitas di Korea adalah karena sistem pendidikan yang tidak rasional seperti di atas. Sayangnya, Korea masih belum memiliki kondisi yang baik bagi para penarinya untuk fokus pada balet. Oleh karena itu saya ingin membangun sekolah balet untuk penari-penari muda agar mereka dapat belajar balet secara logis dan sistematis. Yoon: Sebagai penari yang telah diakui oleh panggung dunia, apa cita-cita tertinggi Anda sebagai seorang artis? Kim: Saya memiliki mimpi yang saya impikan sejak kecil. Ketika saya duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, saya menonton “Putri Tidur (The Sleeping Beauty)” yang dimainkan oleh grup Balet Nasional Korea, dengan Bapak Lee Won-guk sebagai pemeran utamanya. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi saya tidak dapat tidur hari itu. Ketika itulah saya memutuskan untuk dapat menjadi seorang penari yang mampu menggerakkan hati orang seperti beliau. Jika ada orang yang bertanya kepada saya mengenai tarian apa yang ingin saya tunjukkan, saya akan menjawab begini, “Saya ingin orang-orang yang menonton panggung saya terus teringat akan tarian saya dan tidak dapat tidur selama kira-kira enam bulan”. Selain itu saya ingin memiliki kemampuan untuk dapat menyembuhkan dan menghibur hati seseorang. Pernah suatu kali ketika saya keluar dari teater seusai pertunjukan, seorang nenek mendekati saya dan berkata, “Setahun yang lalu saya menonton pertunjukan ‘La Bayadere’ yang Anda mainkan. Sampai sekarang musik itu masih terngiang di telinga saya dan bayangan tarian Anda masih terlihat setiap saya mau tidur.” Meski hanya seorang diri, saya berharap penonton dapat mengingat tarian dan karya-karya yang saya mainkan. Jika saya tidak dapat mencapai impian ini sebagai seorang penari, saya berharap impian tersebut masih dapat tercapai dengan menjadi koreografer atau melalui anak didik saya.


Meski hanya seorang diri, saya berharap penonton dapat mengingat tarian dan karya-karya yang saya main­ kan. Jika saya tidak dapat mencapai impian ini sebagai seorang penari, saya berharap impian tersebut masih dapat tercapai dengan menjadi koreografer atau melalui anak didik saya. seni & budaya korea 37


JATUH CINTA PADA Korea

Gegar Budaya karena Kesamaan Ciri

Sebagian besar pengunjung lokal pameran Ingo Baumgarten barangkali bertanya-tanya tentang tema lukisannya. Mereka meninggalkan pameran dengan mengingat-ingat pemandangan yang sudah lama terlupakan atau memberi makna baru dari suasana lama yang sudah sangat dikenal. Choi Sung-jin ı Editor Eksekutif, Korea Biomedical Review Ahn Hong-beom ı Fotografer

Ingo Baumgarten menganggap arsitektur sebagai produk budaya yang mewujudkan sejarah lokal dan karakteristik humanistik. Dia membawa minatnya terhadap perumahan “Barat” kelas menengah Korea yang dibangun selama industrialisasi bangsa pada tahun 1970-an sampai 1990-an, yang mempelopori pertumbuhan ekonomi yang pesat, ke dalam kanvas.

38 Koreana Musim Semi 2018


A

walnya Ingo Baumgarten tidak terlalu suka tinggal di Korea. Profesor sekaligus pelukis berkebang­ saan Jerman ini jarang bergaul, baik dengan warga Korea maupun dengan orang asing. Keengganannya ini mung­ kin merupakan rangkaian pengalaman pertamanya berkunjung ke Korea pada tahun 1993, ketika ia sebagai mahasiswa seni mengunjungi Daejeon Expo. Saat itu ia tidak terkesan. “Sebagian besar merupakan bangunan baru dan besar. Ukur­ an dan kesamaan bentuknya mengingatkan saya pada bebera­ pa negara Eropa Timur, seperti Hongaria,” kenangnya. “Sama anehnya dengan banyaknya mobil produksi dalam negeri yang memenuhi jalan-jalan di sini. Hanya ada sedikit mobil asing.” Perasaan Baumgarten berubah setelah ia menikah dengan seorang perempuan Korea, kemudian mulai mengajar di sebuah universitas dan menetap di Seoul pada tahun 2008. Laki-laki yang tidak merokok dan hanya sesekali minum ini senang meng­ asingkan diri, dan menghabiskan waktunya bersama istri dan anak laki-lakinya. Namun, kini ia menyukai banyak hal tentang Korea, dari alam hingga makanannya. Baumgarten menyebut infrastruktur di Seoul “sangat bagus,” dan ia merasa hidupnya “sangat nyaman, walaupun penduduknya sangat padat.” Dan, walaupun ada ancaman perang dengan Korea Utara, ia merasa aman karena tingkat kejahatan dan kekerasan yang rendah, ber­ beda dari sebagian negara di Eropa dan Amerika Serikat. Keamanan pekerjaan, keamanan publik dan kenyamanan pribadi adalah faktor penting ketika menentukan tempat ting­ gal. Namun, ada hal lain selain syarat-syarat itu yang membuat seniman dan pakar teori seni seperti Baumgarten betah tinggal di Korea lebih dari satu dekade. Baginya, budaya dan karakter­ istik sejarah Korealah yang paling penting. Baumgarten tinggal di dekat Hongik University, tempat­ nya mengajar melukis sebagai asisten dosen. Daerah di seke­ liling universitas ini disebut “Hongdae,” akronim dalam baha­ sa Korea untuk nama universitas itu. Wilayah ini merupakan wilayah di Seoul yang banyak dikunjungi oleh anak muda dan orang asing. Namun, yang membuat pelukis pendiam yang ber­ bicara dengan suara pelan dan punya pemikiran mendalam ini menetap di daerah ini adalah kenyamanan pergi dan pulang ke tempat kerjanya, bukan daya tarik tempat ini di mata turis dan publik pada umumnya yaitu banyak tempat hiburan. Memanja­ kan minat artistik jauh lebih penting untuknya. Yangok (“rumah bergaya Barat”) adalah rumah berdin­ding beton, berlantai satu atau dua, yang sebagian besar diba­ngun antara tahun 1970an dan 1990an. Dengan tiga sampai lima kamar tidur, yangok mewakili rasa percaya diri dan optimisme keluarga kelas menengah Korea selama pertumbuhan ekonomi pascaperang yang sangat pesat. Sekarang, yangok merupakan pengingat akan masa-masa itu. Yangok sering kali ditemukan di wilayah residensial lama — dan kadang-kadang kumuh —

seperti Distrik Mapo di bagian barat kota Seoul, yang sangat berbeda bukan hanya dari hanok, rumah tradisional Korea, tapi juga dari lingkungan kelas atas ibukota dan apartemen mewah di Distrik Gangnam. Mengapa Yangok? Baumgarten punya banyak alasan mengapa ia memilih yangok. Alasan terpenting adalah prinsip artistiknya: memakai ba­han-bahan dari kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya ia hanya punya sedikit ketertarikan terhadap rumah tradisional dan kuil Korea terkenal, atau landmark arsitektur modern. Ia berjalan berkeliling lingkungannya di Seogyo-dong, dan sekitar Hap­ jeong-dong dan Sangsu-dong, melihat-lihat dandok jutaek, atau rumah keluarga yang berbeda dari rumah susun yang banyak ditemui di kota-kota di Korea. Ketika ada struktur bangunan — bukan hanya rumah tapi juga jembatan, sekolah atau stasiun kere­ ta bawah tanah — yang memberinya inspirasi estetik, ia mengam­ bil foto atau menggambarnya untuk kemudian dituangkan dalam lukisannya. Alasannya yang lain terdengar agak ironis. Sebagian besar orang Korea menganggap yangok sebagai rumah dengan gaya Barat. Namun, di mata Baumgarten, rumah-rumah itu sangat ken­ tal bergaya Korea. “Ya, pengembang dan pemilik rumah ingin memperkenalkan elemen Amerika, seperti beranda dan kebun,” katanya. “Sebagian besar yangok masih mempertahankan elemen arsitektur tradisional Korea, termasuk garis lengkung dan pintu gerbang utama.” Mereka sering kali melebur dua gaya, atau sama sekali tidak menunjukkan kedua gaya itu. Sementara ba­nyak kri­ tikus lokal menganggap rumah-rumah itu tidak mewakili gaya Amerika dan Korea, Baumgarten berpendapat sebaliknya. Orang Korea sering dianggap buta dalam segala sesuatu yang beras­ al dari asing, dan mengabaikan aset budaya mereka sendiri. Baumgarten percaya yangok adalah contoh bentuk kekaguman yang salah. Antropologi Visual Selain estetik murni, ada konteks yang berbeda — dan lebih dalam — mengenai kepakaran Baumgarten. Konsep utama yang membuat karirnya bertahan selama beberapa dekade — ia belajar dan bekerja di Jerman, Perancis dan Ing­ gris dan kemudian Jepang, Taiwan dan Korea — adalah “antro­ pologi visual.” Wikipedia menggambarkannya sebagai “bagian dari antro­ pologi sosial yang berkaitan, di antaranya, dengan kajian dan produksi fotografi etnografi, film, dan sejak pertengahan tahun 1990an, dengan media baru. Konsep ini kini sudah memasuk­ kan juga kajian antropologi semua representasi visual.” Baumgarten mendefinisikan dengan lebih tepat dan jelas: “Antropologi visual adalah eksplorasi kehidupan sehari-hari,

seni & budaya korea 39


“Jika rumah-rumah dalam lukisan saya bisa menghadirkan kembali kenangan di mata pengunjung Korea, atau jika lukisan-lukisan itu mampu mengubah pandangan mereka mengenai rumah-rumah itu, saya puas.” 1 2

1. “Tanpa Judul” (balkon kuning belerang, Seogyo-dong, Seoul), 2012-2013, minyak di atas kanvas, 100 x 120 cm. © Ingo Baumgarten

2. “Tanpa Judul” (dinding jutaek, pintu, Seogyo-dong, Seoul), 2011, minyak di atas kanvas, 80 x 100 cm. © Ingo Baumgarten

40 Koreana Musim Semi 2018


budaya dan masyarakat melalui observasi partisipatoris dan transformasinya ke dalam gambar dan karya seni.” Selama ia belajar dan bekerja lebih dari 30 tahun, Baumgarten mengatakan ia mencoba tetap “relevan” dengan menghubungkan pekerjaannya dengan masyarakat dan realitas. “Antropologi mempelajari segala sesuatu mengenai manusia, tapi antropologi visual berfokus pada artifak dan efek visual kemanusiaan.” Ia menekankan bahwa dengan mengamati dan menga­ nalisis tema lukisan-lukisannya dari “jarak” tertentu, sebagai penikmat tanpa terlibat langsung, Baumgarten mencoba mendeskripsikan dan menyajikannya tanpa menghakimi. Namun, itu tidak sepenuhnya bisa dilakukan. “Saya sangat sadar bahwa bersikap objektif sepenuhnya ada­ lah sebuah ilusi, sehingga saya tidak menyembunyikan perasaan saya mengenai arsitektur yangok. Namun, saya tidak ingin luki­ san saya terlihat seolah memohon belas kasihan, atau penyela­ matan dan pelestarian,” jelasnya. “Jika rumah-rumah dalam luki­ san saya bisa menghadirkan kembali kenangan di mata pengun­ jung Korea, atau jika lukisan-lukisan itu mampu mengubah pan­ dangan mereka mengenai rumah-rumah itu, saya puas.” Baumgarten pernah merasakan pengalaman dengan ma­­ syarakat dan budaya yang berbeda, dan kini ia ingin memahami nilai sosio-kultural yang ada di rumah-rumah pribadi itu beserta konsep arsiteturnya. Bagi seniman ini, bangunan urban bukan hanya sebuah struktur; tapi juga mewakili individu, kelom­ pok atau budaya. Sebuah rumah lebih dari sekadar ruang untuk tinggal; rumah juga mencerminkan gaya hidup dan nilai peng­ huninya. Tiga Elemen yang Hilang Seperti yang dilihat pengunjung pamerannya, lukisan Baumgarten tidak menampilkan tiga elemen: judul, sosok manusia dan pesan (secara eksplisit). “Saya tidak suka menampilkan sosok manusia dalam lukis­ an saya karena sosok itu akan mendominasi kesan secara ke­­ seluruhan,” kata Baumgarten. “Jika saya memasukkan sosok manusia, sosok ini akan membuat hubungan dengan ling­ kungannya menjadi elemen utama, bukan membantu pengun­ jung merasakan realitas yang saya angkat.” Ia menambahkan, “Saya tidak ingin karya seni saya men­ jadi edukasional atau instruktif secara eksplisit. Dalam karya saya, saya mempertahankan jarak dan menyisakan ruang untuk opini atau interpretasi yang berbeda.” Lukisan-lukisannya tidak bergaya abstrak atau figuratif. Ia mengatakan bahwa karyanya bisa diklasifikasikan sebagai “seni resistensi” dalam teori seni kontemporer Barat. “Untuk menciptakan sesuatu yang baru, seseorang bisa

saja menolak konvensi dan tradisi,” katanya. “Saya tidak ingin melukis gambar indah dari subjek konvensional seperti makhluk hidup, pemandangan atau potret, untuk memuaskan keingin­an yang konservatif. Saya juga tidak ingin mengikuti aliran avant-garde. Saya mencoba membangun posisi saya di luar kecenderungan itu, berdasarkan pada ketertarikan personal dan orisinal saya.” Baumgarten mendapatkan gelar sarjana dari Akademi State Academy of Fine Arts Karlsruhe (Staatliche Akademie der Bildenden Kunste Karlsruhe) di Jerman dan gelar master dalam seni dari Tokyo University for the Arts. Kemudian, ia melanjut­ kan belajar ke Perancis dan Inggris. Mahasiswa di Hongik Uni­ versity belajar bagaimana mengembangkan ide di kelas “Persa­ maan dan Perbedaan.” “Saya mencoba mengajarkan kepada mahasiswa Korea mengenai akar budaya Eropa dan pemikiran filosofis,” kata Baumgarten. “Mahasiswa Korea memiliki bakat dan ketrampil­ an yang bagus, tapi kadang-kadang mereka tidak tahu apa yang ingin mereka ekspresikan.” “Saya tertarik memahami dan menganalisis, dari sudut pan­ dang orang Eropa, bagaimana orang Korea menyerap budaya dan industri Barat dan merefleksikannya dalam budaya dan gaya hidup,” jelas Baumgarten. Misalnya, ia melihat perbedaan besar antara pendekatan Jerman dan Korea dalam hal arsitek­ tur. “Di Jerman, mereka tidak membangun banyak rumah baru, apalagi bangunan yang tidak selaras dengan lingkungannya. Di lingkungan saya, saya pernah melihat beberapa rumah diroboh­ kan dan dibangun kembali kurang dari satu dekade. Banyak rumah yang relatif baru, termasuk yangok, yang disesuaikan modelnya karena adanya fenomena gentrifikasi.” Gaya Baru Perumahan Urban Lukisan-lukisan Baumgarten menjelaskan pemikiran­ nya mengenai apa yang oleh orang Korea sebagai gaya baru perumahan urban. Lukisan-lukisan ini juga menyebabkan orang Korea mengalami semacam “gegar budaya” ketika me­­ reka melihat seniman asing memberikan sentuhan baru pada lingkungannya. Mereka berterima kasih kepadanya karena melestarikan apa yang ditampilkan oleh sedikit seniman Korea dalam gaya yang unik dan menawan. “Dalam lukisan saya, baik yang menampilkan bangunan atau tidak, saya mencoba mengamati arus aktual kota kontem­ porer,” kata Baumgarten. “Seperti halnya kota ini, tema lukisan saya berkembang, dan semoga tema-tema ini merefleksikan kehidupan kota dengan kontras, harmoni dan kombinasinya.” Itulah mengapa Baumgarten mencintai negeri tempatnya tinggal sekarang. Dan, orang Korea sepertinya harus siap de­­ ngan gegar budaya berikutnya dalam waktu dekat.

seni & budaya korea 41


DI ATAS JALAN

Dua ukiran batu Buddha, berdiri setinggi 17,4 meter di lereng gunung di Yongmi-ri, Paju, terbentang sebuah desa di bawahnya. Tokoh-tokoh kembar Maitreya, yang dirancang sebagai Treasure No. 93, diciptakan pada abad ke-11 selama Dinasti Goryeo. Terlihat jelas dari kejauhan, pada masa dahulu kala mereka hadir sebagai penanda bagi para pelancong di jalan di sepanjang Uijuro.

42 Koreana Musim Semi 2018


Uijuro

Jalur Keliling Dunia yang Sudah Berusia 500 Tahun

“Do [jalan] adalah jalur yang harus dilalui dari suatu tempat ke tempat lain.” Definisi lugas ini terdapat dalam buku “Membaca Doktrin Manusia” (Jungyong jajam), karya Jeong Yak-yong (1762– 1836). Jika Anda melihat kesederhanaan cendekiawan besar pengikut Konfusius dari periode Dinasti Joseon, itu artinya Anda memahami keadaan pada waktu itu. Membaca buku ini lebih dekat akan membuat Anda memahami kegelisahan dan kesedihannya. Lee Chang-guy ı Penyair dan Kritikus Sastra Ahn Hong-beom ı Fotografer

seni & budaya korea 43


D

alam karya klasik Konfusius, do (dao dalam bahasa China), atau “jalan,” secara ambigu diartikan sebagai sifat bawaan manusia (“Dok­ trin Manusia”), atau nilai luhur (“Ajaran Agung”). Menurut Zhu Xi (1130–1200), kata itu berarti “ajaran yang harus dijalankan.” Apa yang ingin dicapai kaum neo-Konfusianis adalah sesuatu yang absolut dan transendental yang ada di seti­ ap manusia dan benda. Jalan Hidup dan Jalan Keduanya menjadi prinsip dasar Dinasti Joseon (1392– 1910). Namun, para pengikut Konfusius dari Dinasti Joseon ini tidak berhasil membendung politik kekuasaan, dan sistem kelas yang kuat memperburuk ketidakseimbangan dan ketimpangan sosial. Kemudian, invasi Jepang dan Manchu melumpuhkan negara ini. Jeong Yak-yong, seorang cendekiawan serba bisa yang hidup dari abad ke-18 sampai 19, menginterpretasi ulang kata “do ” ini. Berbeda dari definisi metafisiknya, ia memandang “ajaran” sebagai proses menjalani hidup dari lahir sampai mati, atau proses pengembangan sosial. Tujuannya adalah untuk membuka mata para penguasa akan perlunya reformasi. Jeong dan para penggagas reformasi lain mempelajari Sil­ hak (“Pembelajaran Praktis”), sebuah pemikiran dan gerakan reformasi sosial yang muncul di paruh akhir abad ke-17 yang

menekankan pada hal-hal praktis. Mereka mengesampingkan ajaran Konfusianisme dan kerangka berpikir yang kaku me­­ ngenai disiplin diri untuk memperjuangkan reformasi tanah dan kehidupan yang stabil untuk para petani sebagai pilar neg­ ara. Mereka juga mengupayakan perdagangan dan distribu­ si sebagai mata pencaharian baru. Ketika gagasan ini diter­ ima oleh kaum monarki yang brilian seperti Raja Yeongjo (berkuasa tahun 1724–1776) dan Raja Jeongjo (berkuasa tahun 1776–1800), perubahan terjadi di jaman Joseon. Gerakan ini mendesak lahirnya kebijakan yang beragam. Di antaranya ada­ lah “Survei Rute dan Jalan” (Dorogo ), sebuah terobosan dalam antropo-geografi, karya Shin Gyeong-jun (1712–1781) yang diterbitkan pada tahun 1770. Atlas jalan ini menggambarkan rute darat dan laut dan bahkan rute yang dilalui oleh prosesi kerajaan. Bukan hanya itu saja. Buku ini juga memuat lampiran semua pasar resmi, yang disebut gaesi (“pasar terbuka”), sebuah lokasi perdagang­ an di perbatasan. Dalam pengantarnya, penulis mengatakan bahwa negara terikat kepada manajemen yang sistematik me­­ ngenai tata jalan. Ia mengatakan bahwa meningkatnya jumlah dan tipe pengguna jalan, termasuk rakyat biasa dan para pe­­ dagang, menyebabkan perluasan dan diversifikasi pasar. Dalam pengantar buku itu juga tercantum: “Jalan-jalan ini tidak ada pemiliknya; mereka yang ada di jalanlah pemiliknya.” Shin jelas percaya bahwa jalan-jalan itu adalah alat praktis untuk

1

44 Koreana Musim Semi 2018


mewujudkan pemikiran Konfusianisme yang mengenai manu­ sia. Memanfaatkan sumber daya dan membuka jalur distribusi adalah tujuan dibuatnya “jalan,” yang tentu akan membuka juga “jalan hidup” mereka. Napak Tilas Jalur Misi ke Cina Dalam bukunya, Shin Gyeong-jun mengelompokkan sistem jalan negara menjadi enam arteri utama, dengan kelom­ pok pertamanya Uijuro. Diawali di Seoul, lalu diberi nama Hanyang, jalan itu kemudian menuju utara ke Uiju di sepan­ jang sisi Sungai Amnok (Yalu) melewati Kaesong, Hwangju, Pyongyang, Anju, dan Jeongju. Uijuro dianggap sebagai jalan pertama karena difungsikan sebagai jalan resmi yang meng­ hubungkan ibukota ke Pyongyang, tempat kantor pemerintah propinsi Pyongan berada dan juga sebagai jalan perdagangan dan hubungan dengan China. Hubungan Joseon dengan China sebagai negara bawahan yang memerlukan upacara resmi dari kaisar China untuk rajanya berlangsung hingga lima abad sam­ pai tahun 1894. Uijuro adalah satu-satunya jalan yang digu­ nakan untuk keperluan ini. Selama periode Kekaisaran Daehan (1897–1910), keti­ ka negara Korea melakukan langkah awal yang sulit menuju mo­dernisasi dan ketika berada di bawah pendudukan Jepang (1910–1945), Uijuro kemudian digantikan dengan jalan baru. Kemudian, ketika negara ini terbagi menjadi Utara dan Selatan setelah Perang Dunia II, sebagian besar kota yang dilewati Uiju­ ro berada di bawah kendali Korea Utara. Jarak antara Hanyang dan Uiju di perbatasan antara Korea dan China adalah 1.080 li (424 km). Sekarang, jarak antara Seoul dan titik terdekat di sisi selatan DMZ tempat warga bebas berkunjung adalah 45 kilo­ meters, atau dengan biaya sekitar 40.000 won jika ditempuh dengan taksi. Namun, tentu saja sopir taksi tidak mau memakai jalan lama. Selama periode Joseon, misi diplomatik dengan China memakan waktu empat hari untuk jarak 45 kilometer. Dan, di akhir abad ke-16, Raja Seonjo menempuhnya dalam satu hari, ketika ia bergegas meninggalkan ibukota setelah men­ dengar Jepang menduduki kota Chungju di dataran utama.

1. Gerbang Kemerdekaan (Dongnimmun), berdiri di jalan yang sibuk di Seodaemun, Seoul, didirikan pada tahun 1897 dengan dana publik sebagai ekspresi keinginan orang-orang Korea untuk melin­ dungi bangsanya dari kekuatan eksternal. Hal ini terletak di situs asli Yeongeunmun, gerbang di mana utusan Cina diterima selama Dinasti Joseon. Dianggap sebagai lambang pengabdian kepada yang berkuasa, pintu gerbang dirobohkan oleh para reformis. 2. Peninggalan bawah tanah Hyeeumwon, sebuah penginapan yang dikelola negara dari Dinasti Goryeo untuk pejabat yang melakukan perjalanan melalui Hyeeumryeong, sebuah jalan pintas utama di jalan dari Kaesong ke Hanyang (Seoul hari ini), di Gwangtan-myeon, Paju. Lokasi penginapan dikonfirmasi pada tahun 1999 ketika sebuah genteng bertuliskan Hyeeumwon-nya ditemukan di sini.

2

Hari Pertama: Dari Donuimun ke Byeokjegwan “Setelah sarapan, ketika saya sampai di Hongjewon bersa­ ma ayah saya, puluhan orang dari beragam kelas keluar untuk melepas kami. Kami berpesta dengan makanan dan minuman yang khusus disediakan oleh Raja untuk kami. Ketika hari makin gelap, ayah saya berangkat kembali dan kami menuju Goyang. Kami sampai di Goyang larut malam dan tidur.” — Dari “Memoar Yanjing” (Yeongi) oleh Hong Dae-yong

Uijuro berawal dari Donuimun, gerbang barat kota Hanyang. Tidak ada sisa-sisa yang masih tersisa dari pintu ger­ bang ini karena diluluhlantakkan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1915, tapi lokasinya diketahui berada di sebuah bukit memanjang dari Istana Gyeonghui ke Dongnimmun (Gerbang Kemerdekaan). “Perpisahan di Seogyo” (Seogyo jeonuido), sebuah lukisan karya Jeong Seon (1676–1759) dari tahun 1731, menampilkan sebuah rombongan dari China setelah jamuan perpisahan. Prosesi itu melewati Yeongeunmun, pintu gerbang di depan Mohwagwan, tempat rombongan disambut oleh tuan rumah. Tempat ini berlokasi tepat di luar gerbang barat kota di wilayah yang dikenal dengan Seogyo, yang artinya “pedalaman barat.” Setelah Perang Sino-Jepang pada tahun 1895, pemim­ pin reformasi berpendidikan Amerika Suh Jai-pil menyatakan bahwa Korea harus mengakhiri ikatan dengan Qing China dan mengadopsi peradaban Barat. Ia memimpin kampanye peng­ galangan dana dan menghancurkan Yeongeunmun, dan pada bulan November 1897 mendirikan Dongnimmun di tempat itu sebagai simbol kemerdekaan Korea dari China. Kesan yang terasa dalam “Memoar Yanjing,” catatan per­ jalanan ke Qing China yang ditulis oleh Hong Dae-yong (1731–1783), adalah kebanggaan dan malu. Pada saat yang ber­ samaan, China sedang menikmati hari-hari akhir masa keemas­ an Kaisar Qianlong. Setelah lebih dari satu abad berlalu sejak

seni & budaya korea 45


1

Joseon menyerah kepada Qing, Joseon menetapkan posisinya dalam “membedakan antara kaum yang beradab dan yang bar­ bar” dan menganggap Manchus dari Qing sebagai kaum bar­ bar, yang menyebabkan lahirnya kebijakan anti-Qing. Kebija­ kan ini mengabaikan dinasti yang sudah berkembang menjadi kekaisaran dengan pengaruh globalnya mealui keterbukaan. Hong Dae-yong dan para cendekiawan lain dari Aliran Utara (Bukhakpa) mempertanyakan hal ini dan ingin mendapatkan kesempatan melihat Qing dengan mata kepala sendiri untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Hong adalah orang yang gigih. Ketika ia melihat sebuah organ pipa untuk pertama kali di sebuah katedral di Beijing, ia menciptakan nada-nada itu di geomungo-nya, siter Korea dengan enam senar. Di sepanjang perjalanan, yang berlangsung antara akhir tahun 1765 sampai awal tahun 1766, ia terus bertanya kepada dirinya sendiri apa arti malu dan apa yang membuatnya malu. Untuk sampai di Hongjewon, penginapan pertama (disebut won) yang dikelola oleh negara di sepanjang Uijuro, kita harus melintasi Muakjae, pegunungan dengan harimau yang masih sering terlihat. Sekarang jalan ini landai yang nyaman, namun dulu hanya bisa dilalui satu kuda. Pertimbangan strategis peru­

46 Koreana Musim Semi 2018

bahan jalan ini adalah banyaknya kota yang berkembang di sepanjang sungai dengan jalur perairan yang bagus namun kekurangan jalan darat. Hutan pinus yang lebat dan anak-anak sungai membuat Hongjewon menjadi tempat ideal untuk jamuan perpisahan bagi rombongan perjalanan ke China. Misi resmi terdiri dari sekitar 30 orang, tapi dengan tambahan kusir kereta, pemban­ tu dan para pekerja yang membawa bingkisan persembah­ an, sebuah rombongan kecil setidaknya berjumlah sekitar 300 orang dan yang lebih besar bisa mencapai lebih dari 500 orang. Itu belum ditambah mereka yang ingin menyaksikan keberang­ katan rombogan, serta teman dan keluarga yang mengantar­ kan mereka. Pasar Inwang yang dikenal sekarang berawal dari sebuah gang tempat mereka menjual simping kepada para pen­ gantar pada hari keberangkatan. Ketika suasana hati menjadi bahagia setelah berpersta de­­ ngan makanan dan minuman yang disuguhkan oleh raja, bin­ gkisan perpisahan seperti kipas, kuas, tempat lilin dan topi hujan diserahkan. Pesta itu harus diakhiri karena masih harus me­­nempuh perjalanan ke Byeokjegwan, penginapan pertama dalam perjalanan itu.


Ketika menghabiskan malam dengan membaca catatan misi diplomatik ke China yang ditulis oleh nenek moyang kita, saya seolah kehilangan arah. Kereta saya terjebak dalam lumpur, dan tidak tahu ke mana harus menuju. Saya gelisah sepanjang malam. Hari Kedua: Dari Byeokjegwan ke Kantor Bupati Paju “Dengan dua pembantu, kami melintasi Bukit Hyeeum dan sampai di Paju siang hari. Saya mengirimkan sebuah surat kepada Master Seong Hon dan menunggu balasan, tapi ia meminta saya datang berkunjung. Saya mengutus pemba­ wa pesan menyampaikan surat ucapan terima kasih dan sa­­ngat ingin belajar.” — Dari “Catatan Perjalanan ke Ming Court” (Jocheon ilgi) yang ditulis oleh Heon

Setelah berangkat dari Byeokjegwan, misi diplomatik itu melewati jalan yang kini dikenal dengan nama Rute Lokal No. 78. Di ujung jalan ini, misi itu sampai pada puncak gunung yang curam yang bernama Hyeeumryeong, yang memben­ tang dari Goyang hingga Paju. Jalan itu adalah jalan alternatif dengan medan yang berbahaya antara Hanyang dan Kaesong sejak jaman Dinasti Goryeo. Setelah itu, terdapat penginapan Hyeeumwon dan kuil Buddha untuk beristirahat. Sekitar dua kilometer dari situs Hyeeumwon menuju Paju, ada dua patung Buddha yang dipahat di tebing. Ketika melintasi patung Bud­ dha ini, para pelancong akan bergerombol untuk menghadapi perampok. Mereka yang berangkat berdoa di depan Buddha demi keselamatan perjalanan, dan mereka yang pulang merasa lega ketika melihat patung ini dari kejauhan. Sisa patung Bud­ dha ini kini ada di sebuah kuburan di kaki gunung. Di sebelah kiri, puncak Gunung Bukhan akan tampak dar kejauhan, di arah menuju Seoul. Jo Heon (1544–1592) adalah salah satu anggota misi Joseon ke Ming untuk merayakan ulang tahun Kaisar Wanli

pada tahun 1574. Dalam perjalanan ke China, bukan hal yang aneh bagi anggota rombongan untuk berhenti dan berdoa di kuburan para leluhur atau mengunjungi rumah para cendeki­ awan terkenal untuk menimba ilmu. Di Paju, cendekiawan pengikut Konfusius termasyur Seong Hon (1535–1598) dan Yi I (1536–1584) tinggal di lingkungan yang nyaman di Ox Gorge (Ugye) dan Chestnut Valley (Bamgol, or Yulgok). Nama pena mereka adalah Seong dan Yi. Jo Heon, yang lahir dan dibe­ sarkan di Gimpo yang berada tak jauh dari daerah itu, adalah murid para cendekiawan itu. Kelak, ia meneruskan ajaran Yi I, dan sangat dikenal karena cara bicaranya yang ceplas-ceplos. Pada tahun 1592, ketika invasi Jepang pertama terjadi, ia memi­ mpin 700 “tentara pilihan” dan gugur dalam perang. Makam dan bangunan untuk mengenang Seong Hon bera­ da tepat setelah melewati batu pahat Buddha. Sekolah Dasar Paju kini berdiri di bekas kantor kabupaten Paju, dan ada terowongan melintasi Hyeeum Pass yang baru selesai dibangun tahun lalu. Hari Ketiga: Dari Paju ke Kaesong “Kami meninggalkan Paju pagi sekali dan ketika sampai di Yulgok, saya mengunjungi Yi Suk-heon (nama lain Yi I). Suk-heon sedang sakit dan dalam masa penyembuhan. Kami

1. Paviliun Hwaseok, menghadap ke Sungai Imjin di Paju, dibangun pada tahun 1443 oleh Yi Myeong-sin, leluhur besar Konfusius Yi I. Setelah dia pensiun dari dinas pemerintahan, Yi menghabiskan sisa hidupnya di rumahnya di rumah, membimbing murid-muridnya. 2. Di Duji Wharf, di hulu Sungai Imjin, replika perahu layar kuno membawa wisatawan sejauh 6 kilometer ke Gorangpo. Layanan ini dimulai pada bulan Maret 2004, yang memungkinkan warga sipil mengakses sebagian sungai yang telah dibatasi sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953.

2

seni & budaya korea 47


Tempat-tempat Kunjungan di Uijuro

Makam Raja Gyeongsun

Balai Memorial Horogoru

Sungai Imjin

Panmunjeom Imjingak

Jalur Ekologi Sungai Imjin

Paviliun Hwaseok Jaun Seowon

Garis Demarkasi Militer

Paju Hyanggyo

Paju Uiju

413km

Dua Patung Batu Buddha

Pyeongyang

Seoul

Seoul

Byeokjegwan

menunggu lama dan akhirnya ia menemui kami tapi tampak sangat letih. Kami duduk dan berbicara mengenai banyak hal tentang negara ini, seperti manusia dan jalan hidupnya, dan prinsip rasional (i) dan material (gi).” — Dari “Catatan an Envoy ke China” (Jochongi), karya Heo Bong Heo Bong (1551–1588) adalah kakak laki-laki penyair Heo Nanseolheon (1563–1589) dan Heo Gyun (1569–1618), penu­ lis novel “Kisah Hong Gildong.” Setelah menyapa Yi Suk-heon, Heo Bong naik ke Paviliun Hwaseok, yang sering menjadi tem­ pat menerima teman-temannya jika datang berkunjung. Dari sana, ia bisa melihat rumah yang baru dibangun oleh Suk-heon

1

48 Koreana Musim Semi 2018

1. Horogoru adalah benteng berbentuk segitiga dari Kerajaan Goguryeo yang dibangun di atas batuan beku. Panjang dinding yang tersisa sekitar 400 meter. Bagian Sungai Imjin di dekatnya menjadi perbatasan antara Goguryeo dan Silla selama 200 tahun dari pertengahan abad keenam. Itu adalah medan pertempuran antara dua negara Korea kuno dan kemudian antara Silla dan Tang China. 2. Gorangpo, pelabuhan paling utara di Sungai Imjin, merupakan tempat produk perikanan dari pantai barat dan hasil panen dari pedalaman diperdagangkan. Di hulu ada bentangan air yang dangkal dan lebar yang mudah dilalui dengan berjalan kaki, yang membuat lokasi ini sangat penting bagi tentara di masa lalu.

2


di lereng gunung dan masih belum berdinding. Suk-heon ingin mengumpulkan keluarga besarnya tinggal bersama di Yulgok. Tahun setelah kisah di atas, ketika cendekiawan Konfu­ sianisme berpengaruh kuat mendesak adanya reformasi politik, Heo Bong menentang Yi I, orang yang sangat dihormati dan dipandang sebagai panutan dengan sepenuh hati. Pada tahun 1583, ia menuntut Yi I dengan tuduhan lalai atas tugas resmin­ ya. Setelah diberhentikan dari posisinya sebagai menteri ang­ katan bersenjata, kondisi Yi I makin memburuk dan akhirnya meninggal di awal tahun berikutnya. Ia meninggalkan bukubuku dan beberapa batu api. Heo Bong diasingkan. Ia tidak per­ nah kembali dan mengembara tanpa tujuan sampai meninggal dunia di usia 38 tahun. Tidak jauh dari Paviliun Hwaseok ber­ diri Jaun Seowon, sekolah dengan ajaran Konfusius yang men­ gajarkan pandangan-pandangan Yi I, dan merupakan bangunan yang didedikasikan untuknya. Penyeberangan feri Imjin tersembunyi di balik pepohonan di sisi kiri Paviliun Hwaseok. Dari sini, jalan Uijuro melintasi Sungai Imjin menuju Dongpa karena di bagian ini sungai Imjin sempit dan dangkal. Penyeberangan feri adalah posisi pertahan­ an ibukota yang strategis dan merupakan rute resmi yang dipa­ kai pegawai pemerintah dan rombongan. Pedagang dan pelan­ cong harus pergi ke utara ke Gorangpo untuk menyeberangi

sungai. Gorangpo adalah pelabuhan paling utara di Sungai Imjin, tempat produk perikanan dari pantai barat dan hasil panen dari daratan diperdagangkan. Itu menunjukkan bahwa jalur ini adalah rute yang sangat lazim digunakan sejak periode Tiga Kerajaan (57 sebelum Masehi – 676 Masehi). Meski kini berada di wilayah militer, sebuah kapal tua akan membawa pengunjung dari darmaga Dujiri sampai ke Sungai Imjin di daerah Gorangpo, dan penyeberangan feri Imjin juga sesekali dibuka untuk keperluan kajian ekologi. Dari sini, Kae­ song di Korea Utara hanya berjarak sekitar 40 li (15 km) — di seberang DMZ. Hari Keempat: Masih dalam Mimpi Ketika menghabiskan malam dengan membaca catatan misi diplomatik ke China yang ditulis oleh nenek moyang kita, saya seolah kehilangan arah. Kereta saya terjebak dalam lum­ pur, dan tidak tahu ke mana harus menuju. Saya gelisah sepan­ jang malam. “Tak ada masyarakat yang sempurna. Sudah sifat alami mereka punya sesuatu yang tidak sesuai dengan norma yang mereka ikrarkan berupa ketidakadilan, ketidakpekaan dan keja­ hatan dalam dosis tertentu.” — Dari “Tristes Tropiques” (Daer­ ah Tropis yang Menyedihkan), karya Claude Lévi-Strauss

seni & budaya korea 49


Kisah Dua Korea

Membangun Harapan di

Negeri Nenek Moyang Terlihat banyak papan nama toko dalam bahasa Rusia di setiap gang. Bahasa Rusia pun terdengar lebih sering didengar daripada bahasa Korea. Inilah pemandangan Wolgok-dong, Gwangsansan-gu, Kota Metropolitan Gwangju di mana ada ‘Desa Goryeoin’ yang mayoritas penghuninya adalah bangsa Korea yang berpindah ke tanah air dari Asia Tengah. Kim Hak-soon ı Jurnalis, Profesor Tamu di Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Korea Ahn Hong-beom ı Fotografer

50 Koreana Musim Semi 2018


gok-dong, Gwangju. Sebagian besar mereka mendiami tempat sempit seperti studio dengan mempertahankan mata pencaha­ rian sebagai pekerja pabrik atau buruh harian. Demikian pula keadaan penyair Kim Vladimir yang pernah mengajar sastra Rusia di fakultas kedokteran dan fakultas sastra di Universi­ tas Nasional Tashkent di Uzbekistan. Kim bersama 10 anggota keluarga termasuk istri, anak perempuan, anak laki-laki, cucu dan sebagainya memutuskan pergi ke Korea pada tahun 2011 tanpa pikir panjang. Oleh karena dia mendengar adanya Desa Goryeoin di Gwangju. Kim membuat keputusan setelah mendengar tentang pem­ berian tempat tinggal baru etnis Korea dari Asia Tengah, seper­ ti juga banyak rekan-rekan seperjalanannya. Kebanyakan dari mereka mendapatkan pekerjaan di kompleks industri di kota atau di dekat agroindustri, jadi mereka secara alami mencari apartemen studio murah di dekat tempat kerja mereka. Oleh karena itu wilayah Wolgok-dong telah berubah menjadi daerah kantong mereka. Anak-anak belajar Hangeul, aksara Korea, di sebuah tempat penitipan anak di Desa Goryeo-in di Gwangju. Etnis Korea dari Asia Tengah sangat fokus pada pendidikan anak-anak mereka, terutama kemampuan berbahasa Korea. Desa ini juga menyelenggarakan berbagai tingkat kursus bahasa Korea untuk remaja dan orang dewasa.

B

angsa Korea yang tinggal di Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (bekas Uni Soviet) disebut sebagai ‘Goryeoin’. Mereka merupa­ kan keturunan bangsa Korea yang mengalami kesulitan dias­ pora setidaknya tiga kali selama tiga sampai lima generasi. Generasi pertama yang berpindah ke Provinsi Maritim Rusia dari semenanjung Korea selama penjajahan Jepang pada awal abad ke-20 terpaksa diusir ke Asia Tengah karena dicurigai sebagai mata-mata Jepang pada rezim Stalin. Keturunan me­­ reka yang masih hidup walaupun diusir ke tanah tandus yang asing mengalami diskriminasi di Asia Tengah setelah runtuhnya Uni Soviet sehingga muncul orang-orang yang berimigrasi ke Korea untuk mencari asal muasal dirinya. Saat ini, jumlah Goryeoin yang tinggal di Korea tercatat 40.000 jiwa dan sekitar 4.000 di antaranya tinggal di Wol­

Mengembangkan Desa Meskipun menghadapi kesulitan ekonomi dan lingkungan yang tidak biasa, para Goryeoin di sini memperbaiki tempat tinggal baru mereka dengan semangat komunitas yang kuat. Mereka secara aktif memperkembangkan tempat kehidupan melalui membina koperasi, tempat penitipan anak, pusat layanan penduduk, pusat anak-anak lokal, pusat konseling, tempat penampungan, stasiun penyiaran lokal dan sebagainya. Makin banyak penduduknya, makin banyak wiraswasta yang berhasil. Kafe Simya (семья) yang bermakna keluarga dalam bahasa Rusia menjual roti ragi dan sate bakar, makanan pokok Asia Tengah. Sejak Jeon Valeri membuka kafe pertama pada tahun 2015 kemudian pasangan anak perempuan maupun pasangan anak laki-laki ikut membuka gerai kafe ke-2 sampai ke-4, kafe ini dinilai sebagai restoran terbaik pertama di desa Goryeoin. Kafe bergaya Eropa, Coreana yang dibuka oleh Heo Anastasya pada bulan Oktober 2017 juga semakin terkenal. Seiring dengan bertambahnya jumlah wiraswasta yang sukses, muncul ‘Jalan Khusus Desa Goryeoin’ yang terdiri atas kurang lebih 30 toko seperti restoran, biro perjalanan wisata, penu­ karan uang, toko cenderamata dan lain-lain. Etnis Korea dari Asia Tengah mulai menetap di Korea seki­ tar tahun 2001 ketika Shin Joya tiba. Sebagai generasi ketiga Goryeo-in, Shin meminta bantuan Lee Chun-young, pende­ ta dari Gereja Saenal (“Hari Baru”) di Gwangju saat dia tidak menerima gaji dari pabrik tempat dia bekerja. Pada tahun 2005, Shin mendirikan Desa Goryeoin dengan bantuan Pendeta Lee dan membuka sebuah pusat komunitas di lantai pertama sebuah mal tua. Setelah tahun 2007, ketika pemerintah mulai mengelu­ arkan visa kerja bagi warga Korea dari China dan Asia Tengah,

seni & budaya korea 51


1

1. Café Семья [Keluarga] menjual roti segar dari Asia Tengah yang dipanggang dengan cara tradisional. Goryeo-in bisa menikmati makanan kampung halaman mereka, sementara pengunjung dari daerah lain bisa menikmati makanan eksotis. 2. Sekolah Saenal [Hari Baru], sekolah multikultural alternatif pertama di negara ini, menawarkan berbagai program pelatihan kerja, termasuk kelas pertukangan, untuk remaja etnik Korea dari Asia Tengah.

jumlah Goryeoin tiba di Gwangju meningkat tajam. Sangat sederhana alasan Goryeoin datang beramai-ramai ke sini. Karena kabar tersebar dari mulut ke mulut ke seluruh Asia Tengah bahwa mereka bisa dibantu mengatasi berbagai masalah, termasuk perlindungan, penginapan, makanan, pener­ jemahan dan sebagainya. Lingkungan ini bisa terwujud berkat Shin Joya yang rela memecahkan masalah mereka. Oleh sebab itu Shin mendapat julukan ‘Ibu Goryeoin’. Para Goryeoin yang tinggal di sini sering berkata “Kami tidak bisa hidup tanpa ibu Joya.” Lebih dari 2.000 nomor telepon Goryeoin disimpan di telepon genggam Shin. Suaminya, seorang pembelot dari Korea Utara yang menikahinya pada tahun 2008, juga merupakan pendukung kuat masyarakat. Pendidikan bagi Generasi Masa Depan “Di Uzbekistan, Goryeoin dianggap rendah walaupun dia pintar luar biasa. Goryeoin tidak bisa mendapat kerja walaupun lulus 2 universitas,” kata Shin. Akhirnya dia memutuskan berpindah ke tanah air nenek

52 Koreana Musim Semi 2018

moyang karena terlalu sulit mencari nafkah di kampung hala­ mannya. Jeong Svetelana, generasi ketiga Goryeoin juga datang ke sini dengan alasan yang sama. “Di sini saya berkerja di pabrik perakitan mesin cuci. Saya juga mencuci piring di restoran pada hari Minggu. Dengan demikian saya mengumpul uang jaminan sewa kamar sejumlah 500.000 won.” Setelah pembubaran Uni Soviet, negara-negara merdeka di Asia Tengah secara resmi mengutamakan bahasa dan kewar­ ganegaraan mereka sendiri sehingga Goryeoin yang hanya bisa berbahasa Rusia semakin tersingkir. Akan tetapi bahasa tetap menjadi hambatan terbesar bagi Goryeoin yang meninggal­ kan kampung halamannya karena diskriminasi bahasa. Mere­ ka yang kurang lancar berbahasa Korea menghadapi halangan besar dalam kehidupan sehari-hari seperti membuat surat untuk mengurus visa, menyekolahkan anak, berbelanja di pasar dan sebagainya. Oleh karena itu, pendidikan merupakan proyek terpenting di Desa Goryeoin. Bangsa Korea di Tiongkok atau pekerja dari Asia Tenggara biasanya datang sendiri ke Korea untuk men­ cari pekerjaan sedangkan Goryeoin umumnya datang dengan keluarga tiga generasi. Oleh sebab itu Goryeoin lebih memper­ hatikan pendidikan anaknya. Sekolah Senal, sekolah alternat­ if multikultur pertama di Korea, berperan utama dalam pendi­ dikan Goryeoin. Sekolah ini dibuka pada tahun 2007 kemudian dii­zinkan menjadi sekolah untuk pendidikan kesetaraan pada


Pendidikan merupakan proyek terpenting di Desa Goryeoin. Goryeoin umumnya datang dengan keluarga tiga generasi. Oleh sebab itu Goryeoin lebih memperhatikan pendidikan anaknya. 2 © Desa Goryeo-in

tahun 2011. Sekolah ini sebagai lembaga pendidikan gratis sekaligus sekolah alternatif untuk tingkat SD, SMP dan SMA mementingkan pendidikan perikemanusiaan yang terkenal di antara Goryeoin di Asia Tengah. Sekolah ini dipimpin oleh pendeta Lee Choen-young, salah satu tokoh terkemuka yang membangun desa Goryeoin. Shin Joya adalah ‘Ibu’ dan pende­ ta Lee adalah ‘Ayah’ di desa Goryeoin. Kursus bahasa Korea di desa Goryeoin diadakan di ber­ bagai lembaga sesuai dengan tingkat dan waktu. Seiring de­­ ngan bertambahnya jumlah peserta, ada tiga kelas untuk dewa­ sa, yaitu tingkat rendah, tingkat menengah dan tingkat tinggi. Selain itu ada kelas bahasa Korea untuk remaja yang baru ber­ pindah. Kuliah melalui penyiaran Goryeo FM digemari oleh orang-orang yang sibuk bekerja di akhir pekan serta bekerja lembur malam karena bisa didengarkan sambil bekerja. Selain itu, pusat anak-anak yang dibuka pada tahun 2013 mengajarkan bahasa Korea, bahasa Inggris, Matematika, tulisan bahasa Rusia, mata kuliah seni, sepak bola, dan gitar untuk siswa SD, SMP dan SMA. Tempat penitipan anak-anak yang dibuka pada tahun 2012 mengasuh anak-anak yang orang tuan­ ya bekerja dengan mengajar bahasa Korea, kegiatan sastra dan olahraga sekaligus memberi makanan dan jajanan. Sejak bulan Juli tahun 2017, sekolah bahasa Rusia dikelola setiap ming­ gu karena anak-anak Goryeoin wajib belajar bahasa Korea dan Rusia. Semakin banyak anak-anak lupa bahasa Rusia yang telah dipelajari di tempat lahir karena mereka sudah lama ting­

gal di Korea. Jaringan Komunitas dan Media Pusat pelayanan masyarakat Goryeoin adalah jantung desa ini. Tempat ini merupakan perlindungan sementara yang baik untuk Goryeoin yang mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan tanpa tempat kediaman tetap. Juga sebagai tempat konsultasi untuk mengatasi bermacam-macam kesulitan seper­ ti masalah pekerjaan, kecelakaan kerja, keterlambatan pemba­ yaran gaji, visa dan sebagainya. Fasilitas penting lainnya adalah museum sejarah ma­­ syarakat yang dibuka pada bulan Juni 2017, tepat di sebelah Pusat Layanan Masyarakat. Di dalam museum kecil terse­ but, pengunjung dapat belajar tentang perang melawan impe­ rialisme Jepang dan dukungan untuk gerakan kemerdekaan Korea oleh orang Korea yang telah menetap di Provinsi Mari­ tim Rusia mulai tahun 1860-an. Museum ini juga mengenang adanya diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang dialami keturunan mereka. Pada 2017, desa tersebut menyelenggarakan sebuah acara untuk memperingati ulang tahun ke-80 deportasi etnis Korea ke Asia Tengah. Media merupakan salah satu unsur yang mendukung ma­­ syarakat Desa Goryeoin Gwangju. Sistem gotong royong ter­ bina lewat berita Penyiaran Goryeo FM dan Penyiaran Nanum bila terdapat seseorang mengalami kesulitan, termasuk sakit parah atau kekurangan biaya operasi. Penyiaran Goryeo FM,

seni & budaya korea 53


© Desa Goryeo-in

stasiun penyiaran radio lokal yang pertama dalam sejarah migran membuat lebih dari 80 persen program dalam baha­ sa Rusia untuk Goryeoin yang lebih nyaman berbahasa Rusia daripada berbahasa Korea. Penyiaran Goryeo FM menyiar­ kan program selama 24 jam dan “sangat populer hingga teman dan kerabat di Asia Tengah mendengarkannya lewat aplikasi.” Sementara, berita Penyiaran Nanum menyebarkan semua berita desa Goryeoin kepada sekitar 110.000 pendengar melalui face­ book atau email. Keterunan Generasi Keempat Semangat komunitas Goryeo-in di wilayah Gwangju sa­­ ngat kuat. Mereka saling membantu menyiapkan pernikahan dan pemakaman dan mengumpulkan sukarelawan untuk mem­ bersihkan jalan dan membantu mencegah kejahatan. Mereka juga mendirikan “Hari Ku8njungan Desa Goryeoin” bulanan untuk menarik perhatian masyarakat umum. Pada November 2017, desa tersebut menyambut kunjungan Menteri Pendidikan Prasekolah Uzbekistan Agrippina Shin. Ada beberapa program dukungan yang berjalan untuk warga desa. Meski begitu, hidup di sini tidak selalu mudah. Warga merasa sangat tidak berdaya saat jatuh sakit. Bahkan jika mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan asu­ ransi kesehatan selama 90 hari. Akan tetapi asuransi kesehatan sekitar 100.000 won perbulan sangat membebani.

54 Koreana Musim Semi 2018

Desa Goryeo-in merayakan hari Minggu ketiga di bulan Oktober sebagai “Hari Goryeo-in.” Anak-anak desa berpose setelah melakukan tarian kipas tradisional Korea pada “Hari Goryeo-in” kelima di tahun 2017.

Masalah lain adalah masalah visa. Undang-undang seka­ rang tentang bangsa Korea di luar negeri menggolongkan ge­nerasi pertama sampai ketiga Goryeoin sebagai ‘bangsa Korea di luar negeri’ dan memperbolehkan mereka tinggal jangka panjang. Namun generasi keempat diklarifikasi sebagai ‘orang asing’. Oleh karena itu, dari generasi keempat Goryeo­ in, walaupun mereka dilahirkan di Korea, harus meninggalkan Korea ketika mereka berusia 19 tahun karena visa kunjung­ an dan tinggal bersama telah habis atau harus masuk kembali dengan memperpanjang visa kunjungan yang berlaku selama 3 bulan terus-menerus. Saat ini ada 400 keturunan generasi keempat di desa yang tidak nyaman dengan kendala visa ini. Tahun 2018 menandai ulang tahun ke-30 kedatangan perta­ ma warga etnis Korea dari Asia Tengah. “Kami akan membuktikan kami adalah keturunan bang­ sa Korea sesuai dengan keinginan leluhur yang mengorbankan diri dalam perjuangan kemerdekaan untuk memulihkan kedau­ latan negara.” Sumpah Shin Joya ini sepertinya menunjukkan daya hidup Goryeoin yang kuat.


Putaran

Hidup

Penyair Kim Veladimir Kim Vladimir, seorang penyair dan repatriat generasi ketiga dari Uzbekistan, menonjol di antara Goryeo-in (keturunan orang Korea yang pindah ke Timur Jauh Rusia pada akhir 1800-an atau awal 1900-an) di Gwangju. Bukan karena dia dulu merupakan seorang profesor universitas di Uzbekistan yang bekerja di sini sebagai buruh harian, tapi karena dia melayani para repatriat sebagai penasihat spiritual di desa tersebut. Dia merupakan pembawa acara “Sastra Bahagia” yang berbahasa Rusia, sebuah program sastra di Radio Goryeo FM. Dia mengatakan bahwa kerja di pabrik sulit sekali pada awal. Dia menyesal berpindah ke Korea sehingga ingin pulang ke kampuang halamannya lagi selama dua atau tiga tahun. Meskipun demikian, dia secara bangga menuturkan bahwa berpindahnya ke Korea sesuai dengan wasiat ayahnya merupakan pilihan baik. “Sebelum meninggal dunia pada tahun 1990, ayah saya menceritakan tentang Korea dan menyuruh saya agar menginjak tanah airnya.” Dia senang sekali menulis puisi. Dia menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul ‘Salju Pertama di Gwangju’ pada Februari 2017. Dia menulis puisi karena tertarik pada pemandangan Gwangju yang diselimuti salju. Judul puisi itu menjadi judul buku kumpulan puisinya juga. Buku kumpulan puisi itu terdiri atas 35 puisi yang tertulis dalam bahasa Rusia kemudia diterjemahkan ke dalam bahasa Korea. Dia berani meluncurkan buku itu berkat Jeong Mak-Lae, profesor sastra Rusia di Universitas Kyemyung. Profesor Jeong menerjemahkan puisi-puisinya ke dalam bahasa Korea. Dia bertemu dengan penyair Kim ketika menulis tesis tentang Goryeoin. Puisinya berisi ungkapan ikhlas tentang cinta tanah air dan alam, kesedihan kakek dan orang tua yang terpaksa dipindahkan oleh Stalin ke Asia Tengah. Di antara banyak puisinya, bagian berikut ini paling menyentuh hati; “Wahai, Republik Korea! Tanah air kami, mengertilah / bahwa kami tinggal jauh, bukanlah salah kami” (“80 Tahun Siksaan Menunggu”)

Pada musim panas tahun 2017, dia sebagai wakil desa Goryeoin mengikuti sebuah program ‘Kereta KenanganOdyssey Jalur Sutra Siberia Asia Timur’ yang dilangsungkan oleh panitia Proyek Peringatan Ulang Tahun Pemindahan Paksa Goryeoin Ke-80 dan Yayasan Global Korea. Para peserta naik kereta api Trans-Siberia di Vladivostok, Rusia sampai Ushtobe dan Almaty di Kazahstan selama 13 malam 14 hari untuk mengikuti jejak kesengsaraan leluhur Goryeoin. Sebagai seorang penyair dia tidak bisa tidak peka terhadap bahasa. “Seharusnya bahasa ibu teringat secara alami tetapi sayang sekali saya tidak bisa menulis puisi dalam bahasa Korea. Saya mesti lebih rajin belajar bahasa Korea walaupun berkembang sedikit demi sedikit sejak tinggal di Korea.” Penyair Kim sebagai profesor mengajar sastra Rusia di universitas selama 30 tahun kemudian pensiun pada usia 55 tahun sesuai dengan peraturan. Setelah pensiun, dia memutuskan berpindah ke Korea pada Maret 2011. Istri dan anak-anaknya segera datang ke Korea. Di desa Goryeo, keluarganya menjadi keluarga besar dengan lebih dari 10 anggota termasuk cucu. Namun dia masih berharap agar bisa secara gagah mengatakan “Di sinilah tanah airku”. Hati penyair ini dirasakan di dalam puisi. “Wahai teman-temanku, di tanah air yang bersejarah/ (…) Aku tidak suka kata orang asing, kata yang menghina/ Karena aku Goryeoin, orang Korea/ Demikian juga menurut rohani, nurani dan genealogi” (Chuseok)

seni & budaya korea 55


BUKU DAN

& LAINNYA

Charles La Shure ı Departemen Bahasa dan Sastra Korea, Universitas Nasional Seoul

56 Koreana Musim Semi 2018

Pohon Pinus Berbicara Volume melalui Lensa Fotografer ‘Pohon Pinus di Korea: Estetis dan Simbolisme’ oleh Suh Jae-sik, 160 halaman, $69.50, Seoul: Hollym [2017]

<Pohon Pinus di Korea: Estetis dan Simbolisme> oleh Suh Jae-sik, seorang juru potret peraih penghargaan bidang dokumentasi, memperlihatkan keindahan pemandangan yang akrab di Korea. Namun, pohon pinus tidak hanya sekedar menjadi bagian dari sebuah pemandangan tetapi memiliki makna yang jauh lebih besar dalam kehidupan orang Korea, Dalam buku ini, Suh menawarkan dua cara bagaimana memahami pohon pinus Korea secara lebih mendalam. Pertama, pembaca akan diajak menikmati perjalanan santai melalui gambar-gam­ bar hutan yang menakjubkan, yaitu koleksi foto pohon pinus dan habitatnya yang penuh warna dan menginspirasi. Kita dapat melihat siluet kasar pohon pinus di langit malam, sinar matahari menembus kabut dalam seluk hutan pohon pinus, pohon pinus yang beng­ kok tetapi tidak patah dalam balutan selimut tebal salju, sebuah pohon pinus yang berdi­ ri tunggal di atas puncak dan tebing seperti seorang prajurit, dan dua pohon pinus yang berhimpit dalam oasis hijau di tengah lautan biji gandum berwarna keemasan. Sementara sebagian dari foto-foto ini memiliki judul yang menjelaskan makna dari pohon atau lokasi tertentu, kebanyakan foto dibiarkan tanpa judul dan berbicara untuk diri mereka sendiri. Sementara itu, terdapat cara kedua untuk membaca buku ini. Banyak halaman yang terdapat dua atau tiga foto berukuran kecil di dalamnya, lalu pada pinggiran halaman tersebut dilengkapi dengan penjelasan singkat dari aspek tertentu budaya Korea dan peran pohon pinus dalam budaya tersebut. Maka pembaca dapat menggali lebih banyak informa­ si tentang budaya itu untuk lebih memahami makna dari pohon pinus. Tampak jelas di sini bahwa pohon pinus memainkan peran penting dalam arsitektur Korea, yaitu sebagai bahan bangunan utama, dari kerangka rumah dan stuktur lainnya sampai dekorasi atau perabot terkecil. Pohon pinus juga digunakan dalam makanan Korea, misalnya dalam makanan tradisional Korea seperti songpyeon (kue beras beraroma pinus) dan dasik (kue serbuk sari pinus) yang menggunakan bahan dari pohon pinus, kemudian jamur pinus, pelezat dalam masakan Korea, yang tumbuh dari hubungan simbiosis dengan akar pohon pinus. Selain kegunaan praktisnya, pohon pinus juga sarat dengan simbolisme dalam budaya Korea. Pohon pinus merupakan satu di antara sepuluh simbol dari umur panjang dan biasa muncul sebagai motif dalam lukisan, keramik, dan karya seni lainnya. Pohon pinus juga diukir pada tiang pelindung yang disebut jangseung dan “tiang angsa” (sotdae), yang keduanya diletakkan di depan pintu masuk desa untuk menjamin kesejahteraan penduduk yang tinggal di desa tersebut. Sering kali pohon pinus (yang tumbuh liar) dianggap sebagai roh pelindung atau dijadikan tempat suci. Kepercayaan pada kekuatan pelindung pohon pinus ini dapat dilihat dari tangkai pinus yang dikaitkan pada “tali tabu” (geumjul) untuk mengusir roh jahat setelah bayi lahir, atau tangkai pinus yang dikaitkan pada tali pengikat sekeliling tembikar saus bumbu untuk melindungi saus dalam tembikar tersebut. Berkenaan dengan hal itu, yang paling menarik adalah bahwa pohon pinus diperlaku­ kan hampir seperti manusia. Misalnya, sebuah pohon pinus dianugerahi penghargaan set­ ingkat menteri ketika dilewati raja, lalu pohon pinus lainnya diwariskan kepada seorang jejaka dan dibayarkan pajak properti hingga hari ini. Bahkan, terdapat ucapara ritual Bud­ dha untuk menghormati roh pohon pinus yang sudah mati. Pada satu titik, pengarang ini menghabiskan beberapa halaman untuk mendiskusikan bagaimana pohon pinus sering kali menyerupai manusia. Hal itu dapat dipahami dalam cara lain yaitu sikap yang mere­ fleksikan kita pada pohon pinus membuktikan betapa dekatnya hubungan kita dengan pohon pinus.


Harta Karun dari Kekayaan Gudang Sastra Korea ‘Cerita Pendek Kontemporer Korea – pilihan dari Majalah KOREANA’ Disunting oleh Kim Hwa-young, 311 halaman, $10.00, Seoul: Korea Foundation [2017]

<Cerita Pendek Kontemporer Korea> merupa­ kan kumpulan 12 cerita pendek yang diterbitkan dalam terjemahan bahasa Inggris di Koreana dari tahun 1994 sampai 2016. Biasanya cerita pendek lebih sering dimuat dalam majalah daripada nov­ elet dan novel, maka koleksi cerita pendek sema­ cam ini tampak wajar. Karena cerita-cerita pendek secara alami memberi lebih banyak halaman di majalah daripada novel panjang atau bahkan novel, sepertinya koleksi semacam itu hanya alami Namun, menurut penyunting Kim Hwa-young karena pertimbangan ruang halaman, cerita pendek telah memainkan peran penting dalam sastra Korea pada abad lalu. Hal ini berbeda dengan cerita pendek di Barat karena ia terus memainkan peran penting dalam sastra Korea saat ini, selalu meningkat, baik dari segi panjang dan kerumitannya. Kata yang digunakan untuk menerjemahkan “novel” dalam bahasa Korea adalah soseol, yang secara harfiah sebenarnya berarti “kisah kecil.” Namun, tidak seperti bahasa Inggris, orang

Korea tidak membedakan antara cerita pendek, novelet atau novel panjang dengan istilah berbeda, tetapi dengan memodifikasi istilah soseol . Den­ gan menggunakan kata yang mungkin lebih aku­ rat, yakni kata “fiksi”, ketiga istilah tersebut dalam bahasa Korea kurang lebih disebut sebagai “fiksi pendek”, “fiksi panjang menengah”, dan “fiksi panjang.” Cerita pendek yang terpilih untuk edisi ini ada­ lah kebanyakan ditulis pada masa sekarang, meski­ pun terdapat tiga cerita yang ditulis pada tahun 1980-an. Koleksi cerita pendek ini mewakili 12 penulis berbeda. Cerita-cerita pendek tersebut ber­ variasi dalam tema, suasana, dan gaya, tetapi semua koleksi cer­ ita pendek ini mengemukakan isu dan emosi yang akrab dengan pembaca mana saja. Koleksi ini mewakili cerita pendek Korea terbaik yang diterbitkan di Koreana selama dua dekade tera­ khir, yang menawarkan pembaca lebih dari harta karun dalam kekayaan gudang sastra Korea.

Musik Fusion Yang Mengingat Kembali Masa Lalu Orkestra Gayageum ‘Nostalgia’

oleh Orkestra Gayageum Sookmyung, Album MP3, $9.49, Seoul: LOEN Entertainment [2017]

<Nostalgia> adalah album kesembilan dari Orkestra Gayageum Sookmyung yang diben­ tuk pada tahun 1999 sebagai orkestra gayageum pertama di dunia. Orkestra ini menyajikan per­ tunjukan lebih dari 100 konser dalam setahun dan memiliki tujuan untuk memperluas cakupan musik gayageum dengan mengombinasikan nada Korea dan Barat serta menggabungkan instrumen musik tradisional Korea dan instrumen musik yang sudah dikenal baik penonton internasional. Gayageum adalah sebuah instrumen musik Korea yang sudah terkenal. Dinamakan demikian karena instrumen tersebut dicip­ takan oleh seorang raja dari salah satu negara dari Konfederasi Gaya pada abad ke-enam dengan berdasarkan sebuah instrumen musik Tiongkok. Dari manapun asalnya, instrumen yang telah menjadi pemain utama dalam musik tradisional Korea ini terdiri dari 12-tali senar, yang diletakkan secara horizontal dan dimain­ kan dengan cara dipetik jari tangan. Gayageum yang menjadi

pemain utama orkestra sering kali ditemani oleh alat musik gesek dan alat musik tiup, baik dari Korea maupun Barat. Mewakili alat musik gesek bergaya biola adalah hayageum, yaitu alat musik dengan leher panjang dan dua tali senar yang dimainkan dengan busur rambut kuda, dan biola. Kemudian, yang memberikan elemen alat musik tiup adalah daegum, yaitu suling bambu dengan enam lubang dan oboe. Sesuai dengan judulnya, album ini berisi melodi Korea dan Barat yang digemari banyak rang. Dua versi dari “Scarborough Fair (Pasar Scarborough)” (satu dengan irin­ gan daeugum dan lainnya dengan haegum ) menunjukkan stero­ tipe nostalgia. Demikian juga “My Way” (Jalanku), lagu karaoke favorit dan “Going Home” (Pulang) dari “Symphony No. 9 ‘from the New World” yang diciptakan Dvorak. Meskipun lagu-lagu Korea tidak terlalu akrab dengan telinga penonton asing, lagulagu ini membuat mereka mengingat kembali masa lalu. seni & budaya korea 57


SATU HARI BIASA

Membangunkan

Lingkungan Sekitar selama Dua Dekade

Masih satu atau dua jam menuju pagi, tapi toko teok itu sudah sibuk dengan lampu yang terang benderang. Artinya siapa pun yang ingin menjalankan toko seperti ini harus bekerja sangat keras. Saya bertemu sepasang suami istri yang menjalankan toko kecil yang menjual kue beras di lingkungan biasa di Seoul selama lebih dari 20 tahun terakhir itu, dan melihat lebih dekat kegiatan rutin mereka sehari-hari, yang diawali ketika kota ini mulai tidur. Kim Heung-sook ı Penyair Ha Ji-kwon ı Fotografer

K

ehidupan Kim Jae-eun dapat dibagi menjadi sebelum dan sesudah ia mulai membuat teok, kue kenyal ter­ buat dari beras dan disebut rice cake dalam bahasa Inggris. Sebelumnya, ia bekerja tak kenal lelah namun tidak bahagia. Sekarang, ia bekerja keras tapi bahagia. Teok tidak hanya mem­ buat Jae-eun hidup dalam keadaan ekonomi yang cukup, namun ia juga bersyukur dengan hidupnya sebagai pembuat kue beras ini karena berkat kue beras ini ia makin mencintai sua­ minya. Toko teok Pungnyeon (“Tahun yang Melimpah”), milik Jae-eun dan suaminya, Oh Se-yeong, bisa ditempuh dalam lima menit dengan berjalan kaki dari gerbang belakang Myongji Uni­ versity di Namgajwa-dong, salah satu lingkungan lama di Seoul. Di tokonya seluas 10-pyeong ini (1 pyeong sama

58 Koreana Musim Semi 2018

dengan 3,3 meter persegi), Jae-eun dan Se-yeong sibuk sepanjang hari, membuat berbagai kue beras beraneka bentuk dan warna. “Pukul berapa kami mulai bekerja? Pukul 2, 3, 4 pagi. Tergantung,” kata Jae-eun, menggambarkan bisnisnya. “Waktu kami mulai bekerja berubah-ubah sesuai dengan pesanan. Tapi pukul berapa pun kami mulai bekerja, kami selesai pukul tujuh malam. Toko teok di lokasi yang padat pejalan kaki seperti di dekat stasiun kereta bawah tanah atau di pusat kota kadang-kadang buka sampai pukul 10 malam, tapi di wilayah pemukiman, pembeli sudah tidak ada lagi yang datang begitu hari mulai gelap.” Kue beras mereka tidak memakai bahan pengawet, jadi harus dikirim secepatnya setelah dibuat. Artinya ketika ada pengiriman yang harus dilakukan pagi sekali, Jaeeun dan Se-yeong mulai bekerja jauh sebelum fajar. Jae-eun punya catatan dengan rincian pesanan, termasuk tanggal dan waktu pen­ giriman. Pembuatan beberapa tipe kue beras harus dimulai sehari sebelum pengi­ riman, jadi pesanan untuk hari berikutnya harus dicek dan semua persiapan harus sudah lengkap sebelum mereka pulang. Beras harus dicuci dan direndam semalaman, dan pasta kacang merah dan isian kacang putih juga sudah harus dibuat. Kuil dan Gereja: Pelanggan Utama Ketika Jae-eun dan Se-young sampai di toko mereka, yang pertama dilakukan adalah menyalakan panci pengukus. Kemudian, mereka membuang air dari beras yang sudah dicuci dan direndam malam sebelumnya dan memasukkannya ke dalam satu dari tiga mesin penggiling. Setelah itu beras ditumbuk menjadi tepung yang halus, lalu diletakkan di baki anti karat dan dikukus dalam pengukus besar.


Di Toko Ddeok Pungnyeon, di lingkungan Namgajwa-dong yang sederhana di Seoul, Kim Jae-eun membungkus sebagian kecil kue beras yang berbeda ke baki styrofoam terlihat dari jendela tokonya. Warga sekitar, dari anak-anak sekolah hingga orang tua, membeli kue di atas nampan, dan banyak di antaranya akhirnya menempatkan banyak pesanan untuk berbagai kesempatan.

Waktu yang diperlukan bervariasi tergantung jenis teok yang dibuat tapi sebagian besar membutuhkan sekitar 10 sampai 15 menit sampai kue itu siap disantap. Jenis kue beras yang dibuat oleh Jae-eun dan Se-yeong banyak sekali. Mulai garaeteok yang berbentuk silinder polos; siruteok kukus isi kacang merah; injeolmi yang dibuat dari beras ketan dilapisi bubuk kacang panggang; yaksik dengan madu dan kacang; s ongpyeon hijau yang pewarnanya berasal dari daun ramie dan diisi kacang hijau kupas; dan baramteok yaitu roti isi. Di antara semua itu, toko teok Pungnyeon paling dikenal dengan siruteok yang terbuat dari beras ketan. Enambelas kilo kacang merah direbus setiap hari untuk membuat kue itu. Se-yeong mengirim kue dengan moped-nya. Sebagian kue ditempatkan dalam baki styrofoam, yang dibungkus dengan plastik bening lalu diletakkan di etalase di jendela depan untuk menarik pembeli. “Rahasia membuat teok paling enak adalah bahan-bahannya. Ini berlaku untuk semua makanan,” kata Jae-eun. “Kakak perempuan saya mengirim beras dan kacang yang ditanamnya sendiri di Iksan, Propinsi Jeolla Utara. Pelanggan kami punya cita rasa yang bagus. Jika kami memakai bahan yang kurang berkualitas, mereka akan tahu.” Pelanggan utama toko teok Pungnyeon adalah kuil dan gereja di sekitarnya. Seki­ tar 10 menit perjalanan dengan moped dari toko Se-yeong, terdapat Baengnyeon­ sa (Kuil Teratai Putih), yang dibangun pada abad ke-8 di bawah pemerintahan Raja Gyeongdeok dari Kerajaan Silla. Karena sejarahnya yang panjang, banyak upaca­ ra diselenggarakan di kuil ini. Kuil ini biasanya memesan injeolmi dari beras ketan dilapisi bubuk kacang, dan siruteok kukus dengan kacang hijau tumbuk atau kacang merah yang digunakan dalam ritual menghormati leluhur. Sementara itu, gereja-ge­

reja di sekitarnya biasa memesan kue yang berbeda, tergantung rasa yang diinginkan jemaat. Jae-eun tidak men­ ganut agama tertentu, tapi karena pelanggan utamanya adalah organisa­ si keagamaan, ia selalu hidup dengan penuh rasa syukur. Kue beras yang diletakkan di baki styrofoam hanya dalam porsi kecil. Biasanya hanya untuk mencicipi saja. Jumlah orang yang memesan setelah mencoba kue itu makin bertambah, dan selama 20 tahun terakhir pelang­ gan tokonya makin banyak. Dulu, pro­ porsi antara pesanan dan penjualan di toko sekitar 6 berbanding 4, tapi seka­ rang 9 berbanding 1. Barangkali karena lokasinya di jalan di wilayah pemukiman, orang yang datang ke tokonya dan mem­ beli kue dalam jumlah kecil terdiri dari siswa sekolah sampai ibu rumah tangga dan mereka yang sudah pensi­

seni & budaya korea 59


Jae-eun punya dua harapan. Pertama, pemilik rumah tidak menaikkan sewa, dan yang kedua adalah jika ia berhenti bekerja, toko teok Pungnyeon itu tetap bertahan

un, dan mereka datang di waktu yang berbeda setiap harinya. Pelanggan muda biasanya membeli kue isi madu, sementara yang lebih tua lebih menyu­ kai siruteok kukus atau injeolmi yang lengket. Di tiap awal tahun, kue yang pa­­ ling laris adalah garaeteok yang dipo­ tong tipis dan berbentuk oval. Kue ini dimasukkan ke dalam sup dan dimak­ an di tahun baru. Selama tahun-ta­ hun pertama toko ini dibuka, banyak pelanggan membawa sendiri berasnya untuk diolah menjadi garaeteok yang berbentuk silinder panjang, tapi seka­ rang semua orang bisa membeli irisan siap pakai. Dari Pengusaha Percetakan yang Gagal menjadi Penjual Teok yang Sukses Kue beras dimakan di semenan­ jung Korea sejak zaman agrikul­

60 Koreana Musim Semi 2018

tur. Selain di Korea, jenis kue yang sedikit berbeda juga ada di Cina dan Jepang. Di Cina, kue ini dibuat dari gandum. Di Jepang dan Korea, bahan utamanya adalah beras ketan dan beras biasa. Kue beras Korea menjadi lebih beragam dalam jenis dan rasa selama masa Dinasti Joseon (1392–1910), ketika terjadi kemajuan besar-besa­ ran dalam teknologi agrikultur dan cara pengolahan. Sebagian besar kue beras yang dimakan oleh orang Korea dibuat seperti cara di zaman Dinasti Joseon. Kue beras Korea bisa dikategorikan berdasarkan cara memasaknya. Jeungbyeong, yang terdiri dari baekseolgi yaitu kue beras putih polos dan siruteok yang berla­ pis kacang, dikukus. Dobyeong seperti injeolmi dibuat dengan cara menumbuk nasi dalam sebuah lesung atau papan penumbuk dan menjadikannya bertekstur lengket dan lembut. Jeonbyeong, yang juga disebut hwajeon, dibuat dari adonan tepung dan digoreng di wajan. Danja, yang biasa disebut gyeongdan, adalah bola-bola dari beras ketan atau adonan millet seukuran kacang kastanye. Bola-bola ini direbus dalam air dan kemudian dilapisi dengan kacang merah tumbuk, wijen hitam atau lapisan de­­ ngan beragam rasa. Ada satu kalimat di dalam teks sejarah abad ke-21, Samguk sagi (“Sejarah Tiga Kerajaan”), yang mengatakan bahwa manusia di zaman itu sudah membuat dobyeong, atau kue beras tumbuk. Dalam teks sejarah abad ke-13, Samguk yusa (“Mem­ orabilia dari Tiga Kerajaan”), ada referensi bahwa kue beras dipakai sebagai upeti makanan dalam ritual menghirmati leluhur. Sekarang, kue beras adalah bagian dari jamuan keluarga yang dihidangkan di meja dalam ritual menghormati leluhur dan dalam pesta ulang tahun, khususnya ulang tahun pertama. Selama periode liburan Tahun Baru Cina, orang Korea menyantap teokguk yang dibuat dengan irisan kue berwarna putih yang direbus dalam kaldu daging. Kemudian, selama festival panen musim gugur Chuseok, beras yang baru dipanen digiling dan diuleni menjadi adonan untuk songpyeon, kue berbentuk bulan separuh, yang diisi dengan wijen manis, kacang merah atau kastanye, dan dikukus dengan daun pinus. “Secara umum, masyarakat memang makin jarang mengkonsumsi kue beras,” kata Jae-eun. “Dulu, mereka memasukkannya ke dalam daftar makanan yang harus disiapkan untuk acara, khususnya sebagai bingkisan untuk keluarga besan, tapi seka­ rang mereka hampir tidak pernah lagi menjadikannya sebagai bagian dari upacara. Orangtua hanya mempersiapkan kue baekseolgi polos putih atau gyeongdan dari sorgum berbentuk bola yang dilapisi dengan kacang merah sebagai staple dalam pesta ulang tahun pertama seorang anak atau menandai seratus hari usianya. Seka­ rang kue ini hanya dibuat oleh nenek untuk ulang tahun pertama cucunya.” Pada akhir tahun 1960an, ketika Kim Jae-eun lahir, kue beras adalah makanan yang sangat populer, tapi ia tidak terlalu menyukainya. Ketika lulus dari seko­ lah menengah pertama di Jeonju, Propinsi Jeolla Utara, Jae-eun pergi ke Seoul dan melanjutkan ke sekolah menengah atas lebih lambat dibanding teman-temannya. Ketika bekerja paruh waktu di sebuah percetakan di tahun kedua sekolahnya, Jae-eun berkenalan dengan Se-yeong, yang bekerja di percetakan lain. Mereka menikah keti­ ka Jae-eun berusia 25 tahun dan Se-yeong 30 tahun, tapi Jae-eun tidak bisa benar-be­ nar mencintai atau menghormati suaminya ini karena ia masih belum terlepas dari alkohol setelah usaha percetakannya dua kali mengalami kegagalan. Pada saat percetakan Se-yeong di Jongno sedang berjuang hidup, toko kue beras di sebelahnya ramai sekali. Dengan makin banyaknya komputer rumah, usaha per­ cetakan makin menurun, sehingga Se-yeong bekerja juga di toko kue beras itu seti­


2

1. Kantung berisi kue beras, disebut baramteok, ditutup secara longgar berbentuk setengah bulan dengan pasta kacang putih atau kacang merah, sangat populer di kalangan konsumen muda karena rasanya yang manis. 2. Menyampaikan pesanan kue beras secara massal adalah tanggung jawab Oh Se-yeong, suami Jae-eun.

1

3

ap akhir pekan. Setelah beberapa lama, ia menutup usaha percetakannya dan mulai belajar mendalam mengenai kue beras. Tak lama kemudian, toko kue beras itu pin­ dah ke wilayah lain, tapi bagi Se-yeong, yang sudah berada di dunia kue beras, toko ini se­perti sekolahnya. Ia mengendarai motornya selama satu jam setiap pagi ke loka­ si baru toko itu dan baru pulang larut malam. Sementara itu, Jae-eun bekerja sebagai pengurus rumah paruh waktu untuk membantu keluarganya. Dua tahun kemudian, pada bulan Agustus 1999, pasangan ini mencari pinjaman untuk membeli Penggilin­ gan Pungnyeon di Namgajwa-dong dan membuka Toko Teok Pungnyeon, yang mem­ buatnya menjadi siswa dan partner bisnis terbaik. Melihat Suaminya sebagai Sosok Baru “Dibandingkan dengan 20 tahun lalu, jumlah pemesan memang menurun, tapi pendapatan kami keseluruhan meningkat, jadi pasti jumlah pembeli kami mening­ kat,” kata Jae-eun. Pasangan ini berhasil membayar kembali pinjamannya, menyekolahkan kedua anak perempuannya ke universitas, dan Jae-eun menjadi makin mencintai teok. Anak perempuannya yang pertama punya dua anak dan anak perempuan kedua, yang men­ dalami seni tari kontemporer, sekarang menjadi guru tari. Jae-eun menganggap teok sebagai “penyelamat hidupnya,” karena, di atas semua yang dicapainya, ia menjadi hormat kepada suaminya. “Ia tidak berpikir soal uang. Yang dipikirkannya hanya teok. Karena selalu ber­ pikir tentang bagaimana caranya membuat teok yang lebih enak, ia seperti seniman. Awalnya sulit buat saya mengaguminya, tapi sejak di sini, hari demi hari ia menjadi

3. Garaeteok putih merupakan makanan pokok yang ditawarkan di semua toko kue beras.

orang yang membuat saya makin hor­ mat.” Jae-eun punya dua harapan. Per­ tama, pemilik rumah tidak menaikkan sewa, dan yang kedua adalah jika ia berhenti bekerja, toko teok Pungnyeon itu tetap bertahan selama bertahun-ta­ hun kemudian. Jae-eun memang bahagia ber­ kat teok, tapi ia mengatakan bahwa pekerjaannya sangat melelahkan. “Barangkali lima tahun mendatang saya akan menutup toko ini dan isti­ rahat.” Namun, itu pun belum pasti. Ia ingin anak perempuan pertamanya dan menantunya menjalankan toko itu, tapi pekerjaan itu sangat berat dan ia tidak ingin memaksa mereka. Ia hanya memberikan isyarat mengenai hara­ pannya ini. “Anda tahu, bukan? Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana,” katan­ ya.

seni & budaya korea 61


HIBURAN

puluhenam wartawan dan kritikus dari Cine 21 juga memberikan julukan Aktris Tahun Ini dalam majalah film itu. Sepanjang 57 tahun berkarir, Na, yang kini berusia 77 tahun, bermain sebagai pemeran pendukung; tapi ia menerima penghargaan terbesar untuk perannya dalam “I Can Speak.” Banyak­ nya penghargaan yang diterima aktris veteran ini bukan hanya menunjukkan penghargaan masyarakat atas penam­ pilannya namun juga kepada filmya.

Setelah 60 Tahun,

Akhirnya Ia Bicara

Mungkinkah film dengan tema serius seperti budak seks zaman perang menjadi film terlaris? Banyak orang ragu, sampai akhirnya film “I Can Speak” karya sutradara Kim Hyun-seok ditayangkan pada tahun 2017. Song Hyeong-guk ı Kritikus Film

M

enjelang akhir tahun 2017, Na Moon-hee mem­ peroleh penghargaan terbanyak yang bisa diraih aktris Korea dalam satu tahun. Penghargaan itu adalah Penghargaan Naga Biru untuk Aktris Utama Terbaik,

62 Koreana Musim Semi 2018

Penghargaan Asosiasi Kritikus Film Korea untuk Aktris Terbaik, Penghargaan Pilihan Sutradara untuk Aktris Terbaik, Penghargaan Asosiasi Produser Film Korea untuk Aktris Terbaik, Penghargaan Khusus Amnesti Internasional, dan Peng­ hargaan Perempuan Film Tahun Ini. Dua­

Isu Sejarah yang Tak Terpecahkan Pada tahun 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat mengesahkan Resolusi Dewan 121 tentang perbuda­ an seks zaman perang dan kolonialisme yang dilakukan oleh militer Jepang. Resolusi ini mengharuskan pemerintah Jepang secara resmi mengakui, meminta maaf dan memenuhi tanggung jawab sejarah atas eksploitasi brutal Angkatan Bersenjata Kerajaannya terhadap perem­ puan muda sebagai budak seks. “I Can Speak” diangkat dari kisah nyata Lee Yong-su, salah satu korban yang bersak­ si dalam dengar pendapat Dewan yang diadakan untuk keperluan pengambilan keputusan mengenai resolusi itu. Sejak awal tahun 1930an sampai akhir Perang Dunia II, tentara Jepang menyekap perempuan muda dan remaja, terutama dari wilayah jajahan termasuk Korea, China dan Filipina dan beberapa negara Asia Tenggara lain sebagai budak seks, yang disebut dengan “wanita peng­ hibur” dalam bahasa Jepang. Melalui pemaksaan, penculikan dan pembohon­ gan, diperkirakan sebanyak 100.000 sampai 200.000 perempuan terperang­ kap dalam “jaringan wanita penghibur,” atau pelacuran militer, yang didirikan di seluruh wilayah jajahan Jepang. Mayor­ itas korban adalah warga negara Korea, termasuk gadis yang masih sangat belia. Pada akhir tahun 2017, hanya 32 penyin­ tas diketahui tinggal di Korea. Sementa­


ra masalah sejarah yang tak terpecahkan ini masih menjadi faktor utama penye­ bab konflik antara Korea dan Jepang, para penyintas ini menunggu pengakuan Jepang sepenuhnya atas tanggung jawab hukum untuk perbuatan yang dilakukan di masa lalu. “I Can Speak” diadaptasi dari karya peraih penghargaan dalam kontes penu­ lisan naskah film yang diadakan oleh CJ Culture Foundation pada tahun 2014, di bawah Kementrian Kesetaraan Gen­ der dan Keluarga. Pemilihan pemeran dan produksinya sangat sulit karena bin­ tang-bintang muda menolak bermain, khawatir mereka akan kehilangan peng­ gemar dari Jepang. Pengambilan gam­ bar baru mulai dilakukan setelah Lee Je-hoon, yang bermain dalam film ara­ han Lee Young-ju “Architecture 101,” bergabung dalam deretan pemain di awal tahun 2017. Na Moon-hee membaca naskah film ini dua tahun sebelumnya dan ia sa­­ ngat tersentuh. Ia memerankan tokoh Na Ok-boon, perempuan renta yang sudah melayangkan lebih dari 8.000 keluhan kepada kantor pemerintah daer­ ahnya. Tak ada yang terlalu kecil atau terlalu besar untuk usahanya yang tak kenal lelah untuk menyampaikan kelu­ ha atas kesalahan mereka. Keluhannya bera­g am, mulai dari kurangnya pen­ erangan di gang-gang pedesaan sampai pembangun­an kembali gedung-gedung komersial. Banyak petugas dan tetang­ ganya tidak menyukainya dan menyebut perempuan tua ini sebagai “Nenek Gob­ lin.” Lee Je-hoon memainkan tokoh Park Min-jae, seorang petugas muda dari kan­ tor pemerintah yang menangani keluhan Na. Mereka berhasil mengatasi kesen­ jangan usia di antara mereka dan menja­ di teman baik, dan Na berkeras meminta Park untuk mengajarinya bahasa Ing­ gris, tanpa memberitahukan alasan sebe­ narnya. Park menolak dan menghindari Na untuk beberapa waktu tapi kemudi­

an setuju dengan syarat Na memasak makan malam untuk adik laki-lakinya. Ketika Korea masih merupakan ne­gara agraris, ada budaya yang disebut pumasi. Pum berarti usaha atau ener­ gi yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, dan asi artinya melakukan pekerjaan untuk seseorang sebagai balasan atas pekerjaan orang lain yang mungkin dilakukan di waktu yang akan datang. Pumasi diadopsi untuk semua jenis pekerjaan, dari ber­ tani sampai pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Budaya ini mengatasi kurangnya sumber daya manusia dalam masyarakat Korea dan merupakan ajaran yang menyatukan mereka. Dalam film “I Can Speak,” kolabora­ si antara Na dan Park merupakan inter­ pretasi modern dari tradisi yang sudah berlangsung lama mengenai saling mem­ bantu ini. Tampaknya budaya ini san­ gat relevan untuk kalangan lanjut usia masa kini di mana seorang perempuan tua memasak makanan untuk tetanggan­ ya yang masih muda dan kakak laki-laki tetangga ini mengajarinya bahasa Inggris. Mengerti, Memahani dan Merasa Menyesal Pumasi yang dilakukan dalam skala lebih besar disebut dure . Budaya ini mel­ ibatkan kelompok masyarakat untuk saling memberi bantuan. Dalam arti itu, pedagang di pasar dalam film “I Can Speak” adalah tokoh utama ketiga. Na, yang punya toko pakaian, menjalin per­ sahabatan dengan pedagang perempuan lain, tapi identitasnya sebagai penyin­ tas “wanita penghibur” tidak diketahui oleh orang-orang di sekitarnya sam­ pai separuh film berjalan. Sampai saat itu, film tetap berfokus pada hal-hal kecil dalam hidup keseharian perem­ puan tua itu, pegawai pemerintah, dan para pedagang di pasar itu. Tak seorang pun menyukai Na karena ia selalu ber­ jalan berkeliling dan, ingin tahu urusan semua orang. Namun, ketika mereka

tahu masa lalunya dan alasannya belajar bahasa Inggris, semua orang, termasuk Park, merasa bersimpati. Mereka merasa menyesal sudah salah paham dan mem­ bencinya, dan merasa prihatin atas pen­ deritaannya. Film ini menyisakan beberapa per­ tanyaan. Dalam masyarakat modern yang kompleks, seberapa jauh kita men­ genal satu sama lain? Seberapa jauh kesalahpahaman kita berawal dari sikap abai? Seberapa cepat kita menghakimi orang yang hampir tidak kita kenal? Dan, seberapa mudahnya kebencian menye­ bar di Internet, yang hanya berupa suara tanpa wajah? Film ini berhasil membidik penonton dengan membungkus isu sejar­ ah yang tak terpecahkan mengenai “wan­ ita penghibur” dengan masalah umum masyarakat kontemporer. Solusi Sinematik atas Penebusan Dosa Kesedihan dan penyesalan ban­ yak tokoh dalam film ini diekspresikan dalam banyak bentuk permintaan maaf. Park, si pedagang, adik laki-laki Ok-boon yang ingin menghapus masa lalu Na dari ingatannya, dan banyak anggota Dewan Perwakilan Masyarakat Amerika Serikat dan para perempuan menyampaikan permintaan maaf yang tulus. Namun, yang paling utama ada­ lah negara pelaku perbudakan seks yang berhutang kepada para penyintas menga­ kui kesalahannya dan bertanggung jawab secara hukum. Dalam dengar pendapat dengan Dewan di Washington, D.C., Na bertanya kepada pemerintah Jepang, seo­ lah bicara atas nama para korban: “Apa­ kah ‘Saya minta maaf’ terlalu sulit diu­ capkan?” Tantangannya adalah bagaimana membujuk diri sendiri untuk kembali mengingat kenangan yang sangat menger­ ikan dan menyakitkan sebagai budak seks bagi tentara Jepang. Butuh waktu 60 tahun bagi Ok-boon hingga akhirnya ia menga­ takan, “Ya, saya mau bicara.”

seni & budaya korea 63


ESAI

BUDAYA KOREA DALAM PERSEPSI MASYARAKAT INDONESIA:

Sebuah Tinjauan Terhadap Gelombang Halyu di Indonesia Dr. M. Yoesoef, S.S., M.Hum Pengajar di Universitas Indonesia.

G

elombang Halyu yang menero­ bos batas-batas negara dan budaya di sekitar Semenanjung Korea saat ini ditengarai semakin melebar dan masuk ke dalam lingkungan budaya masyarakat yang dima­ sukinya. Negara-negara seperti Cina, Jepang, Asia Tenggara adalah target Gelombang Halyu. Para pelaku industri budaya di Korea Selatan, terutama di bidang film dan musik popular (K-Pop) sejak kurang lebih sepuluh tahun belakangan ini (dim­ ulai kira-kira pada tahun 2000-an), memperlihat­ kan sebuah hasil yang sangat mencengangkan. Betapa tidak, demam K-Pop dan juga film televi­ si di sejumlah negara Asia, terutama di Indonesia,

64 Koreana Musim Semi 2018

mampu mengubah persepsi masyarakat Indonesia di kota-kota besar tentang orang Korea dan budayan­ ya. Produk dari industri hiburan itu menjadi wahana perubahan (agent of change) yang menuntun apre­ siasi masyarakat Indonesia terhadap budaya Korea, yang notabene belum banyak dikenal di Indonesia dibandingkan dengan budaya Tiongkok atau Jepang, misalnya. Gelombang Halyu nampaknya tidak dise­ barkan secara tidak terencana oleh dunia industri Korea, tetapi strategi penyebaran ke mancangera itu didukung oleh lembaga negara setingkat kementeri­ an yang berurusan dengan pariwisata. Artinya, ada kebijakan pemerintah Korea di bidang pariwisata


untuk mendatangkan wisatawan ke negeri ginseng itu. Hal itu berarti masuknya devisa melalui sek­ tor pariwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara ke Korea Selatan dalam sepuluh tahun belakangan meningkat dengan signifikan. Kementerian Pari­ wisata Korea pun semakin meningkatkan fasilitas obyek-obyek wisata, baik yang berkaitan dengan sejarah, budaya, alam, dan kuliner di berbagai daer­ ah tujuan wisata Korea Selatan. Pemerintah Korea nampaknya sangat menyadari kekuatan diplo­ masi budaya terhadap negara-negara sahabatnya. Sebaliknya, melalui softpower itu, negara-negara sahabat Korea tidak sepenuhnya menyadari agrasi budaya itu, karena ia merasuk melalui gaya hidup, melalui hiburan yang langsung ke dalam rumah. Penetrasi yang menjorok ke dalam hati manusia itu menghasilkan dampak emosional yang senantiasa melekat dalam persaaan, sehingga lambat laun ter­ cipta sebuah persepsi dan citra tentang Korea. Untuk masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar, keberadaan produk-produk Korea Selatan memberi satu ragam pilihan yang bisa dinikmati, di tengah-tengah persaingannya den­ gan produk-produk dari negara lain seperti Jepang, Cina, Amerika, dan negara-negara Eropa. Pilihan itu, kemudian dapat dibaca sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan, yang memiliki kesempatan bersentuhan dengan budaya lain dari mancanegara. Persentuhan lebih lanjut dari hadirn­ ya tayangan film, kuliner, dan musik Korea adalah mengalirnya wisatawan Indonesia dan negara-neg­ ara lainnya ke berbagai kota di Korea Selatan untuk merasakan secara langsung berada di tengah-tengah budaya Korea. Dari persentuhan langsung itu dari waktu ke waktu semakin masif dan membentuk apresiasi masyarakat dunia semakin baik dan positif terha­ dap budaya Korea yang dilandasi ajaran Konfisius, yang dipegang teguh di dalam pergaulan sosial mas­ yarakat Korea yang modern. Modernitas di segala bidang tidak melunturkan aspek-aspek budaya yang berakar pada relasi antarmanusia. Sebagai contoh, di balik kisah-kisah yang ada pada drama televisi, pemirsa di Indonesia disuguhi intrik antaranggota keluarga, kesetiaan dan pengkh­ ianatan, kekeliruan yang berakhir dengan terung­ kapnya kebenaran merupakan menu yang men­ jadi modal dasar untuk tetap menanamkan moral manusia yang luhur. Pengaruh negatif modernitas

yang mengarahkan manusia pada sikap-sikap ser­ akah, intoleransi, dan egois dapat diluruskan melalui nilai-nilai tradisi yang ada dalam budaya Korea. Dari tayangan itu, masyarakat Indonesia setidaknya mengenali dan memahami nilai budaya yang dimi­ liki masyarakat Korea. Tidak ada gambaran ten­ tang luka sejarah yang dialami bangsa Korea dalam kurun perang Korea atau sisa-sisa traumatik masa pendudukan Jepang di Semenanjung Korea. Mas­ yarakat Indonesia mengapresiasi kemajuan teknolo­ gi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan budaya yang dikemas sedemikian rupa melalui produk-produk siap guna. Dalam hal itu, Korea diapresiasi sebagai masyarakat yang mampu mengejar ketertinggalan dari Jepang dan negara maju lainnya dalam kurun waktu yang relatif singkat, terutama selepas perang Korea di tahun 1950-an. Kebangkitan masyarakat Korea itu tidak ter­ lepas dari strategi budaya yang mampu membawa nilai lebih sebagai bangsa, yang gigih dan terencana membangun citra dirinya. Moralitas Konfusius yang diyakini kemudian diterapkan dengan sangat kon­ sekuen merupakan salah satu tonggak nilai budaya masyarakat Korea. Hal itu, misalnya dicontohkan dalam budaya malu apabila ada pejabat publik yang melanggar kepatutan. Secara politik, demokra­ si yang dikembangkan di kalangan pemerintah­ an membuktikan bahwa tidak ada seorang pejabat pun yang kebal hukum. Siapa yang bersalah dan melanggar etika politik, etika sosial, etika moral, maka ia akan mendapat hukumannya sesuai dengan kesalahannya. Diplomasi budaya melalui industri hiburan yang dilakukan pihak swasta dan pemerintah Korea menjadi sebuah model yang patut diapresiasi, ter­ utama bagaimana menciptakan gelombang den­ gan memanfaatkan teknologi media massa yang semakin maju, seperti televise kabel, internet. Hal itu ditambah dengan semakin canggihnya perang­ kat seluler produk Samsung atau LG yang vitur-vi­ turnya sekualitas desktop dan laptop, sehingga bisa diakses di mana pun. Keberhasilan membangun citra Korea melalui diplomasi budaya itu pada akhirnya akan memba­ ngun pula persepsi masyarakat di berbagai belah­ an dunia bahwa Korea telah berada di posisi pent­ ing dalam hal kebudayaan. Keunikan budaya yang dimilikinya tidak ada duanya di Asia Timur dan hal itulah modal utama yang bernilai strategis.

seni & budaya korea 65


GAYA HIDUP

MEMANCiNG

Apa yang Menjadikannya sebagai Hobi Nasional? 66 Koreana Musim Semi 2018


K

Memancing adalah jenis baru hiburan “penyembuhan”. Hasilnya menunjukkan populasi pemancing yang menjamur. © GettyimagesBank

Memancing sedang mencapai masa keemasannya. Tidak lagi dianggap sebagai olah raga membosankan bagi mereka yang berusia separuh baya atau kegiatan di akhir pekan karena menghindari keluhan istri-istri mereka. Keinginan menikmati hobi, berkembangnya peralatan memancing dan bahkan banyaknya acara TV meningkatkan daya tarik memancing bagi semua kalangan di Korea, termasuk perempuan. Choi Byung-il Reporter Perjalanan dan Hobi, The Korea Economic Daily

etika saya duduk di kelas lima SD, ayah saya mengajari saya memancing: bagaimana memasang umpan seperti cacing atau makanan yang dibentuk bola-bola kecil di ujung kail dan bagaimana melempar kail dan menggulungnya ketika berhasil menang­ kap ikan. “Ketika ikan memakan umpan, ban­ dul di tali kailmu akan naik turun,” jelas­ nya. “Ketika bandul masuk ke dalam air atau naik ke atas dan jatuh kembali di permukaan air, kamu harus cepat-cepat mengangkat kailnya.” Awalnya, seolah tak ada ikan yang akan memakan umpan saya sama seka­ li. Saya bosan dan mata saya meman­ dang sekeliling, tapi kemudian bandul saya masuk ke dalam air. Pikiran saya tiba-tiba kosong dan jantung saya ber­ detak cepat. Sensasi luar biasa menjalari seluruh ujung jari ketika saya menarik seekor ikan yang menggelepar di udara. Seeokor ikan stone moroko seukuran tel­ apak tangan. “Hmm, sekarang kamu tahu bagaimana rasanya memancing,” kata ayah saya. Kalau tujuannya untuk mem­ buat anaknya merasakan pengalaman menangkap ikan, ia berhasil. Sejak saat itu, saya pergi memancing di danau atau laut kapan pun saya punya kesempatan. Sejarah Memancing Memancing di Korea berawal sejak Jaman Neolitik. Pada tahun 1982, di sebuah danau di Osan-ri, Sonyang-my­ eon, Kabupaten Yangyang, Provinsi Gangwon ditemukan sebuah batu yang menyerupai kail. Temuan itu menunjuk­ kan bahwa manusia dari jaman praseja­ rah di semenanjung Korea menangkap ikan dengan peralatan memancing seder­ hana sekitar 4.500 tahun lalu. Sumber sejarah, seperti Samguk sagi (“Sejarah Tiga Kerajaan”) dan Samguk yusa (“Memorabilia dari Tiga Kerajaan”) menggambarkan kebiasaan memanc­

seni & budaya korea 67


ing keluarga kerajaan. Menurut bukubuku ini, Seok Talhae, raja keempat Kerajaan Silla yang memerintah dari tahun 57–80 Masehi, menangkap ikan dengan tali dan kail, dan menyajikan untuk ibunya. Tidak ada kisah serupa yang ditemukan di catatan sejarah utama sejak saat itu. Namun, banyak dokumen dari jaman Dinasti Goryeo (918–1392) dan Joseon (1392–1910) memperlihat­ kan bahwa memancing adalah kegiatan di waktu luang yang sangat populer di kalangan elit. Banyak karya sastra jaman itu berkisah tentang memancing. Karya yang pa­ling dikenal di antaranya sajak panjang seperti “Memancing di Ujung Senja” (Eogi manjo) karya Yi Je-hyeon (1287–1367) dan “Senandung Nelayan” (Eobuga ) karya Yi Hyeon-bo (1467– 1555), dan puisi dan sijo (sajak tra­ disional terdiri dari tiga baris) karya Yi Hwang (1501–1570), Yi I (1537–1584) dan Park In-ro (1561–1642). Memancing juga menjadi tema ba­n yak lukisan, termasuk “Dialog

Nelayan dan Pemotong Kayu” (eocho mundapdo ) karya Yi Myeong-uk (per­ tengahan abad ke-17–awal abad ke-18) dan “Seorang Pemancing Tua” (Eo-ongdo) karya Jang Seung-eop (1843–1897). Bahkan, buku teori memancing juga diterbitkan. Dalam bab yang berjud­ ul “Sebuah Kisah tentang Memancing” (Joseol) di dalam buku Yakcheonjip (“Kumpulan Tulisan Yakcheon”), Nam Gu-man (1629–1711), seorang cendeki­ awan dan politisi dari periode Joseon, memaparkan teknik memancing dan bagaimana menggunakan tali, kail, ban­ dul dan umpan. Hobi yang Populer Di Korea, memancing mengala­ mi pergeseran menjadi aktivitas favorit di waktu luang, menggantikan menda­ ki gunung. Sebelumnya, gambaran tra­ disional mengenai memancing adalah laki-laki separuh baya berjongkok di pinggir danau atau sungai, mengisap sebatang rokok dan memandang de­­

Sebelumnya, memancing dianggap sebagai hobi pria paruh baya. Sekarang, sejumlah besar keluarga berduyun-duyun ke tempat pemancingan. © Munhang Fishing Village Experience

68 Koreana Musim Semi 2018

ngan tatapan kosong ke arah kailnya, sementara para istri berada di rumah sebagai “janda akhir pekan.” Sekarang, memancing dianggap sebagai bentuk lain dari camping dan mencapai pun­ cak kepopulerannya beberapa tahun lalu. Banyak keluarga, termasuk perempuan berusia 20an dan 30an dan anak-anak mereka yang masih kecil, pergi berbon­ dong-bondong ke tempat pemancingan. Pada bulan Oktober 2017 survei yang dilakukan oleh Lembaga Riset Industri Pariwisata Sejong Universi­ ty dan Consumer Insight menyebut­ kan bahwa memancing mengungguli mendaki gunung untuk pertama kali. Memancing menjadi pilihan pertama dari 40 persen responden survei, diiku­ ti oleh mendaki gunung (31 persen) dan olah raga laut (28 persen). Hasil survei ini menunjukkan menjamurnya populasi pemancing, yang sudah mencapai 7 juta pada tahun 2016, dengan 3,43 juta di antaranya menikmati memancing di laut. Demikian menurut Kementrian Kelautan


Pencarian tagar dalam bahasa Korea untuk “pemancing perempuan” di Instagram, aplikasi berbagi foto populer untuk telepon pintar, memunculkan sekitar 13.000 foto. dan Perikanan. Baru-baru ini saya bertemu sepa­ sang suami istri, Kim Jeong-ju dan Lee Mi-jin, di Pulai Daecheong, yang ter­ letak di sebelah selatan Garis Batas Utara, perbatasan perairan de facto antara Korea Utara dan Korea Selatan, di Laut Barat. Keduanya memancing. Kim mengatakan, “Saya dan istri saya biasanya camping . Suatu hari, kami ikut kapal memancing di laut lepas Pulau Jeju dan berhasil menamgkap ba­nyak ikan makarel. Saat itulah kami me­nyadari betapa menyenangkannya kegi­atan memancing. Kami langsung membeli peralatan memancing. Sejak saat itu, kami memancing setiap akhir pekan.” Kim menghabiskkan hampir 4 juta won (sekitar US$3.700) membeli satu set peralatan, termasuk penggulung dari serat karbon, pelampung dan kursi memancing. Ia sudah mengantisipa­ si jika ada perselisihan dengan istrinya mengenai pengeluaran uang yang lebih besar dari biasanya tapi reaksi positif istrinya sungguh membuatnya kaget. Ia mengatakan, “Sebelumnya, keti­ ka suami saya main baseball di akhir pekan, saya ditinggal sendiri. Tapi, sejak mulai memancing, kami sering berdisku­ si mengenai peralatan memancing dan rencana perjalanan memancing di akhir pekan.” Keduanya memancing dari pukul 7 malam sebelumnya, yang artinya mereka sudah memasang kail selama lebih dari 20 jam tanpa tidur sama sekali. Ketika saya menanyakan alasan mereka tidak merasa letih, Kim memperlihatkan kepa­ da saya sekeranjang penuh berisi sekitar 10 ikan, termasuk kerapu, ekor kuning dan g udgeon perak. “Memancing itu lucu. Saya sangat

bosan ketika tidak berhasil menangkap ikan sama sekali, tapi menjadi terkesima tidak bisa berkata-kata saat mendapatkan ikan. Itulah alasan saya tertarik meman­ cing,” katanya, seraya memandang sekilas kailnya ketika bandulnya naik turun sementara kami berbicara. Lahirnya Pemancing Perempuan Populasi pemancing perempuan sangat meningkat akhir-akhir ini. Pen­ carian tagar dalam bahasa Korea untuk “pemancing perempuan” di Instagram, aplikasi berbagi foto populer untuk telepon pintar, memunculkan sekitar 13.000 foto. Jumlah perempuan yang mengikuti klub memancing, yang dulu hanya me­r upakan domain laki-laki, juga meningkat dengan pesat. Kita bisa merasakan waktu sudah berganti dengan banyaknya perempuan ikut memanc­ ing. Setiap bulan, mereka berkeliling di perairan negara ini untuk menangkap ikan. Banyak di antara mereka pergi ber­ sama suami dan anak-anaknya. “Jumlah orang yang memancing di waktu luang meningkat, berbeda dari kegiatan mendaki gunung yang makin menyusut,” kata seorang pakar memanc­ ing. “Perlu waktu lama untuk naik dan turun gunung, dan Anda tidak diijinkan memasak di gunung. Dalam memancing, Anda relatif bebas dari batasan-batasan itu. Berbeda dari pemahaman yang dikenal luas bahwa Anda hanya duduk diam menunggu ikan memakan umpan, memancing sebenarnya merupakan kegiatan yang dinamis.” Ia juga menam­ bahkan bahwa kegiatan pengisi waktu luang ini juga punya daya tarik tersendiri bagi anak-anak muda yang sangat suka berbagi foto bersama tangkapan mereka di media sosial. Memancing juga merupakan kegiatan

yang bersifat “menyembuhkan”. Kegiatan ini menjawab kebutuhan para pelancong solo. Karena letih berada dalam budaya yang memfokuskan pada hasil dibanding proses dan karena tekanan di lingkung­ an yang kompetitif, banyak orang kini lebih memperhatikan diri mereka sendi­ ri dengan melakukan yoga atau menda­ ki gunung, kegiatan di waktu luang yang memungkinkan mereka bisa berkon­ sentrasi pada diri mereka sendiri. Selain kedua kegiatan itu, memancing juga memiliki daya meditatif. Memancing Menjadi Acara TV Memancing menjadi tema banyak acara hiburan populer di TV tahun lalu. EBS TV meluncurkan acara memancing yang berjudul “Ikan yang Marah,” dan kegiatan yang dikenal di seluruh neg­ eri ini juga menjadi tema acara TV lain, seperti “Hukum Alam” (SBS TV) atau “Makan Tiga Kali Sehari” (tvN TV). “Nelayan Kota” (Channel A TV), sebuah acara yang dibintangi oleh aktor Lee Deok-hwa dan komedian Lee Kyungkyu, dua selebriti populer dan pencin­ ta memancing, juga menarik banyak penonton. Media massa bukan satu-satun­ ya faktor yang menaikkan popularitas memancing. Pemakaian umpan artifi­ sial seperti umpan silikon dan plastik untuk pemancing pemula yang sangat tidak suka memegang cacing hidup juga menurunkkan membantu mendekatkan kegiatan memancing kepada khalayak. Sebelumnya, banyak jenis ikan tidak berhasil ditangkap dengan umpan artifi­ sial. Sekarang, beragam umpan artifisial sangat menarik bagi banyak jenis ikan yang populer, termasuk gurita, halibut , kerapu, ekor kuning, dan bass .

seni & budaya korea 69


Y

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

oon Sung-hee mengawali debutnya dalam kesusas­ traan tahun 1999 dengan memenangkan New Year’s Literary Awards yang ditaja harian Dong-A Ilbo, melalui cerpennya, berjudul “Rumah tembok Lego.” Sejak itu, tercatat cerpenis perempuan itu sudah menerbitkan lima antolo­ gi cerita pendek, sebuah novelet, dan sebuah novel panjang. Selama hampir 20 tahun ini, dia belum menerbitkan buku esai atau karya nonfiksi. Sesekali ia memberi ceramah di perguruan tinggi tentang penulisan kreatif. Yoon sepenuhnya mencurah­ kan diri pada dunia penulisan. Dia mendapat sambutan luas dan memenangkan sejumlah penghargaan sastra utama, seperti Hyundae Munhak [Contemporary Literature] Award, Hwang Sun-won Literary Award, dan Yi Hyo-seok Literary Award.

Jung-hee yang debutnya dimulai pada tahun 1968 lewat cer­ pen “The Toyshop Woman,” kemudian menerbitkannya sebagai antologi cerpen. Salah satu ciri paling khas dari karya Yoon adalah adanya penghilangan dan ruang kosong dalam narasinya. Fiksi adalah penceritaan, yang berkisar seputar penyajian informasi. Meski­ pun begitu, penulis yang cerdas tahu persis bahwa hal itu tidak berarti pembaca akan mengisi ruang kosong itu dengan sega­ la kemungkinan. Yoon, baru-baru ini menulis sebuah komentar dalam penilaian sebuah hadiah fiksi. Ia sangat menyarankan: “Agar muncul celah dalam sebuah cerita, harus ada keseim­ bangan antara narasi yang terungkap dan narasi yang tidak ter­ ungkap. Adanya celah dalam sebuah cerita menyebabkan cerita

KRITIK

Sebuah Dunia Yang Rumpang, Kosong, Dan Tak Lengkap Yoon Sung-hee menyatakan, bahwa ia menemukan bahan untuk pekerjaannya di kereta bawah tanah dan jalan-jalan kota, yang setiap hari dilihat dan dilaluinya, dalam segala hal. Alih-alih punya hembusan pemikiran dengan alur yang menikung dan berkelok, karya fiksinya berbeda dalam berbagai persoalan sepele dan remeh-temeh yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Choi Jae-bong ı Reporter, The Hankyoreh

Terlepas dari semua ini, sampai kini ia baru menghasilkan enam antologi cerpen yang boleh jadi membuat para pengge­ marnya sedikit kecewa. Apalagi jika dilihat dari perspektif lain dibandingkan Kim Soom, yang sebaya dirinya. Kim memulai debutnya dua tahun sebelumnya. Kini ia sudah menghasilkan 10 novel, enam antologi cerpen dan sebuah novelet yang sudah dipublikasikan. Bahkan, kini dia juga sedang menyiapkan novel lain dan satu antologi cerpen yang akan segera terbit. Hal itu juga menegaskan ketekunan dan produktivitas Kim sebagai cerpenis perempuan prolifik. Dalam konteks ini, keterlam­ batan Yoon Sung-hee, bagaimanapun, justru membuatnya jadi menonjol. Sejauh ini, Yoon baru saja menulis satu novel leng­ kap. Sebagai sastrawan, ia cenderung lebih kuat pada penulisan cerpen, dan tampaknya seperti hendak mengambil posisi Oh

70 Koreana Musim Semi 2018

seperti terbagi ke dalam lapisan yang berbeda, dan ini berar­ ti dapat diterima dalam tiga dimensi oleh pembaca, dan hal itu kemudian dibentuk lagi entah bagaimana di dalam pikiran pembaca.” Strategi narasi yang dipakai Yoon lebih terfokus pada usaha menunjukkan daripada mewartakan sambil dengan sengaja menghilangkan informasi inti, atau mengungkapkannya secara sporadis seolah-olah bermain game untuk mengukir celah dalam narasi dan dengan demikian mengundang pembaca untuk secara aktif berpartisipasi dalam proses rekonsiliasi. Sederhananya, karyanya adalah fiksi pembaca-partisipatif. Dibandingkan de­­ ngan menyajikan setiap detail yang berkaitan dengan sebuah cerita, jauh lebih sulit untuk menyesuaikan kesenjangan, keal­ paan, dan ruang kosong untuk menyusun sebuah cerita yang


penuh dengan jeda. Dalam hal ini, penulis harus sangat cerdas dan teliti dalam men­ yampaikan dan menahan informasi. Cerita pendek “Sebuah Pojok” terma­ suk dalam antologi cepen karya Yoon yang kelima dan terbaru, Terikat di Atas Bantal, yang terbit tahun 2016. Seperti juga karya-karyanya yang lain, ia menyimpan banyak ruang kosong. Misalnya, di bagian pertama cerita, sang protagonis, “Yeom,” teringat saat paman ibunya membuka meja makan di rumah ibu dan ayah tirinya. Namun, penyebab situasi ini tidak pernah dijelaskan. Juga, alasan mengapa tidak ada paman Yeom yang bisa membawa mereka bertanya kepada ibunya saat ia menghadi­ ri pesta ulang tahun ke-80 pamannya, ter­ kesan disembunyikan di pinggiran. Jelas bahwa sesuatu pasti terjadi antara ibu Yeom dan saudara laki-lakinya, yang menyebab­ kan hubungan mereka terasing, tetapi apa pun itu, informasi ini juga tidak pernah diungkapkan. Orang boleh saja menduga bahwa ayah tiri Yeom mungkin ada hubun­ gannya dengan hal itu, tetapi ini jadinya seperti asumsi belaka. Bagian utama cerita mulai terungkap saat Yeom tiba di rumah dari pesta ulang tahun. Di flat satu kamar tempat dia ting­ gal sendiri, teman Yeom “Jo” terbaring di tempat tidurnya, tertidur. Setelah menjadi teman baik sejak mereka di SMA, mereka berdua sangat dekat sehingga Jo sering tidur di sana. Sambil bekerja paruh waktu di toko gorengan orang tuanya, sejak musim panas yang lalu sampai awal musim dingin, Jo terlalu sibuk melihat pacar barunya untuk tetap datang ke tempat Yeom. Ceritanya dipenuhi dengan lelucon dan perilaku sepele dari pasangan lelaki berusia 27 tahun ini, dengan dua hal penting dikonfirmasi. Pertama, dilihat dari fakta bahwa Jo menunjuk­ kan niatnya untuk menjalankan bisnis orang tuanya dan status pekerjaan Yeom tampak tidak jelas, seperti kebanyakan pemuda seusianya, keduanya berjuang untuk menjadi bagian dari ang­ katan kerja. Kedua, terlepas dari ini, atau mungkin karena itu, kedua teman punya perasaan peduli dan khawatir satu sama lain. Memang, terkadang tampak lebih dari sekadar persahabatan sederhana. Sifat sebenarnya dari hubungan mereka tampaknya merupa­ kan celah dan misteri terbesar dalam keseluruhan cerita. Tidak

jelas apakah mereka hanya teman dekat atau apakah mereka mungkin memiliki hubun­ gan erotis berdasarkan jenis kedekatan yang berbeda. Hubungan mereka jelas mem­ bentang di antara keduanya, berjalan di tali ketegangan yang berbahaya. Di sisi lain, untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, Yeom memiliki foto sepupu­ nya yang meninggal sebelum ia lahir. Yeom mengambil foto Jo yang meniru pose sep­ upunya di foto itu, dan melihat Jo melihat dari dekat bayangan sepupunya di bawah lampu jalan, dia menangis tersedu-sedu. Tindakan ini cukup tak terduga dan meng­ arahkan pembaca untuk mempertanyakan kemungkinan alasan di baliknya. Kedua pria itu menginap sepanjang malam sam­ ©Park Jae-hong bil minum bersama, dan setelah berkeliling kompleks apartemen pada dini hari, saat Jo hendak naik bus pertama untuk pulang, Yeom memanggilnya, “Bagaimana jika balik lagi untuk ramyeon?” Ini jelas meng­ ingatkan pada sebuah adegan terkenal dari film “One Fine Spring Day” yang disutrada­ rai Heo Jin-ho. Dalam film tersebut, garis yang menjadi protagonis wanita Eun-soo mengatakan kepada temannya Sang-woo, “Mau ramyeon sebelum kamu pergi?” Memicu perkembangan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih. Pertanyaan yang paling banyak mun­ cul di dalam cerpen itu adalah arti judul “Sebuah Sudut.” Kata itu tidak muncul sepanjang cerita, dan tidak ada deskripsi tentang “sudut” atau referensi kata “sudut” apa pun. Mungkin sudut waktu dini hari, titik balik antara siang dan malam, yang dihadapi kedua pemuda saat mereka minum malam hari? Atau, apakah kata ini telah digunakan untuk menandakan beberapa aspek hubungan manusia, atau tempat yang diduduki dua orang dalam masyarakat? Tentu saja, ini hanya asumsi samar. Ceritan­ ya berakhir tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Ketika ada pertanyaan tentang judul, Yoon menjawab, “Di jalan atau gang, sebuah sudut bisa terlihat seperti jalan buntu, tapi jika engkau berpaling, jalan lain akan terlihat. Judulnya mencerminkan keadaan pikiran protagonis.” Engkau mungkin menganggukkan kepala sekarang, tetapi terlepas dari niat penu­ lisnya, setiap pembaca dapat memaknai kata “Sebuah Sudut” atas dasar pengalaman mereka sendiri.

“Sebuah sudut bisa tampak bagai jalan buntu, tetapi jika Anda berpaling, jalan lain akan terlihat. Judul itu mencerminkan keadaan pikiran protagonis.”

seni & budaya korea 71


Informasi Berlangganan

Cara Berlangganan Biaya Berlangganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb

2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Cina, Hong Kong, Jepang, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam,) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr

Tanggapan Pembaca

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.

84 Koreana Musim Semi 2018

* Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)


A JournAl of the eAst AsiA foundAtion

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. In our latest issue:

How Asia is making sense of a VERY different US president Learn more and subscribe to our print or online editions at www.globalasia.org

how AsiA is coping with trump: essAYs bY

Bruce Jentleson; Robert Thomas; Patrick M. Cronin; Miles Kahler; Susan Shirk; Wu Xinbo; Seong-ho Sheen; Stephan Haggard; Sugio Takahashi & Liudmila Zakharova in focus: chAllenges for the us And chinA

Negotiating climate change and maritime security deAling with nucleAr north koreA

Walter Clemens Jr. sees lessons in the Cuban Missile Crisis; Steve Chan says it’s high time to get back to talking

plus

J. berkshire miller Signs are Positive, but China and Japan Aren’t Yet Ready for Détente michal romanowski Where the Silk and Amber Roads Meet: China in Central and Eastern Europe muthiah Alagappa China’s Taiwan Dilemma kaewkamol karen pitakdumrongkit Building Exchange-Rate Governance Within ASEAN+3 book reviews by John Nilsson-Wright, Taehwan Kim, John Delury and Nayan Chanda

us$15.00 w15,000 A Journ JournAl of the eAst AsiA foundAtion | www.globAlAsiA.org | volume 12, number 4, winter 2017

Views from 10 authors @realGlobalAsia

Crude. Volatile ... and UNAVOIDABLE. How the region is making sense of a very different US president #TrumpinAsia

News, archives News, andarchives analysis and at www.globalasia.org analysis at www.globalasia.org

Have you tried our Magster digital edition? Read on any device. Issues just $5.99 each or $19.99 per year. Download Magzter’s free app or go to www.magzter.com Seni & budaya Korea 41


OPEN FOR SUBMISSIONS

Korean Literature Now is accepting submissions of translations of Korean short stories, poetry, and essays. Submit @ KoreanLiteratureNow.com/submissions 38 Koreana Musim Semi 2018

KoreanLiteratureNow.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.