MUSIM PAnAS 2018
Seni & BuDaya korea
FiTur kHuSuS
PuLau JeJu
Sebuah Pulau Batu Legenda dan Tradisi bentuk batu yang Mengukir sejarah; batu-batu Penjaga batas kehidupan dan kematian; batu Jeju bertemu bumi dan api
Jeju
vOl. 7 nO. 2
ISSN 2287-5565
CITRA KOREA
Hagwon
Medan Perang Pendidikan Kim Hwa-young
Kritikus Sastra; Anggota Akademi Seni Nasional
U
© Heo Dong-wuk
jian saya dimulai besok, namun sejak sore hari saya sangat mengantuk, akibatnya tidak dapat berkonsentrasi. Saya bermaksud tidur barang satu jam dan kemudian melanjutkan belajar. Saya berpesan kepada ibu untuk membangunkan sebelum saya berbaring. Astaga, ketika bangun, ternyata pagi hari! Segala yang di depan terasa menjadi gelap. Kadang-kadang, kita mendengar orang-orang dari negara lain iri terhadap semangat belajar orang Korea. Sesunguhnya, ma syarakat Korea lahir di tempat yang mendudukkan bahwa latar belakang akademis dan pendidikan sangat penting sebagai kendaraan untuk kemajuan karir dan mobilitas sosial. Meraih pendidikan telah berubah menjadi maraton yang menakutkan agar bisa diterima di universitas ternama. Siswa dan orang tua dipaksa ikut lomba yang dikenal sebagai “ujian masuk neraka.” Kompetisi tanpa akhir dimulai sejak pra-TK dan berlanjut melalui serangkaian ujian di sekolah menengah dan tinggi, yang dirancang untuk memberi peringkat siswa dari awal hingga akhir. Bahkan setelah universitas, perlombaan yang melelahkan berlanjut dengan ujian lanjutan agar dapat belajar di luar negeri, mendapatkan pekerjaan dan kesempatan lain. Di bawah sistem pendidikan publik tak kenal ampun ini, berfokus pada pemeringkatan, sebuah lembaga swasta setelah sekolah yang disebut hagwon berkembang. Mereka berjanji untuk membimbing siswa memperoleh nilai yang lebih tinggi dan dengan nilai tinggi tak mungkin ditolak. Biayanya memang sangat tinggi, tetapi orang tua tak berkutik untuk membayar mereka, sebagai pengeluaran investasi bagi masa depan anak-anak mereka. Oleh karena itu, pendidikan bergerak semakin jauh dari upaya memuaskan rasa haus akan pengetahuan, dan persaingan menjadi semakin kompulsif. Akibatnya, biaya pendidikan swasta untuk siswa sekolah dasar dan menengah mencapai rekor tertinggi pada tahun 2017, dengan total tahunan sebesar 18,6 triliun won (sekitar 17,2 miliar dolar AS), atau rata-rata bulanan sebesar 271.000 won (sekitar 254 dolar AS) per siswa. Lingkungan Daechi-dong di Gangnam di bagian selatan Seoul merupakan kiblat hagwon. Pukul 10 malam, ketika semua hagwon mengakhiri kelas mereka, jalan-jalan macet dengan orang tua yang datang untuk menjemput anak-anak mereka. Siswa berjejal dari lembaga swasta dan terjadi perang lalu lintas selama 10 menit. Kemudian semua tenang lagi. Konfusius berkata, “Mereka yang mengetahui kebenaran tidak sama dengan mereka yang menyukainya, dan mereka yang menyukainya tidak setara dengan mereka yang senang di dalamnya.” Apakah kebijaksanaannya telah menjadi frase kosong sekarang?
Dari redaksi
Pemimpin Umum
Lee Sihyung
Sejarah Baru Dimulai
Direktur Editorial
Kang Young-pil
Pemimpin Redaksi
Koh Young Hun
Pada Jumat, 27 April 2018 sebuah desa perbatasan di Panmunjom menjadi tempat saksi bersejarah pertemuan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Kim Jong Un melangkah melewati garis demarkasi militer, menandai pertama kalinya seroang pemimpin Korea Utara menginjakkan kaki di tanah Korea Selatan sejak 1953. Kim Jong Un pun menulis pesan di buku tamu di Peace House. “Sebuah sejarah baru dimulai sekarang. Ini titik awal sejarah dan era perdamaian.” Semoga pertemuan ini menjadi harapan baik untuk masa depan negara dan bangsa semenanjung Korea tersebut. Kabar baik itu sungguh menyejukkan hati setiap orang menjelang musim panas tiba. Ketika daun-daun menghijau di seluruh sudut Korea, harapan baru pun tumbuh di setiap hati bangsa Korea. Bisa jadi seperti batu-batu di Jeju selalu ada harapan dari sesuatu yang dianggap mustahil. Batu-batu itu dapat difungsikan sebagai pagar, pematang sawah, bendungan air, benteng, patung, dan sebagainya. Sungguh luar biasa. Impian untuk kembali menjadi bangsa bersatu juga tampak dari kelompok paduan suara Yeoullim yang beranggotakan perempuan Korea Utara dan Selatan. Paduan suara yang dibentuk pada 2011 itu bertujuan membangun solidaritas, mengatasi prasangka dan memelihara rasa konsensus budaya. Kecintaan pada Korea juga diperlihatkan oleh Lee Mahbub, pria kelahir an Bangladesh, yang datang ke Korea sebagai pekerja asing. Dan akhirnya menjadi sutradara film dan aktor serta berjuang melindungi hak-hak buruh migran. Informasi lengkap tentang hal-hal di atas dikupas tuntas dalam Koreana Edisi Musim Panas 2018 ini. Silakan membaca, sambil menikmati keindahan lanskap Korea di musim panas.
Dewan Redaksi
Han Kyung-koo
Benjamin Joinau
Jung Duk-hyun
Kim Hwa-young
Kim Young-na
Koh Mi-seok
Charles La Shure
Song Hye-jin
Song Young-man
Yoon Se-young
Direktur Kreatif
Kim Sam
Editor
Ji Geun-hwa, Noh Yoon-young,
Park Do-geun
PENATA aRTISTIK
Kim Do-yoon
Desainer
Kim Eun-hye, Kim Nam-hyung,
Yeob Lan-kyeong
Penata Letak
Kim’s Communication Associates
dan Desain
44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu
Seoul 04035, Korea
Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia
www.gegd.co.kr
Tel: 82-2-335-4741
Fax: 82-2-335-4743
Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan. Informasi Berlangganan: The Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea Percetakan Edisi Musim PANAS 2018 Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5 © The Korea Foundation 2018 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea
seni & budaya korea Musim Panas 2018
Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea http://www.koreana.or.kr
“Batu-Laut”
Kang Yo-bae 2012 Akrilik pada Kanvas 89,4 x 130 cm
Jepang, dan Jerman.
FITUR KHUSUS
Jeju, Sebuah Pulau Batu - Legenda dan Tradisi
04
FITUR KHUSUS 1
Bentuk Batu yang Mengukir Sejarah Lee Chang-guy
12
FITUR KHUSUS 2
Batu-batu Penjaga Batas Kehidupan dan Kematian
18
FITUR KHUSUS 3
Batu Jeju Bertemu Bumi dan Api Jeon Eun-ja
Kim Yu-jeong
24
FOKUS
Revitalisasi Ruang Kota Yoon Hee-cheol
30
WAWANCARA
“Kekuatan saya Terdapat pada Detail” Chung Jae-suk
36
JATUH CINTA PADA KOREA
Lebih Korea dari Orang Korea Choi Sung-jin
40
DI ATAS JALAN
Kampung Halaman Jeong Yak-yong: Buaian Kemasyhuran Lee Chang-guy
48
Kisah Dua Korea
Perspektif Baru Hak Asasi Perempuan Pembelot Korea Utara
58
KISAH RAMUAN
Terong, Bersinar di Bawah Matahari Musim Panas
Kim Hak-soon
Jeong Jae-hoon
52 SUATU HARI BIASA
62 esai
Menyadari Kebenaran pada “Sekolah di Jalanan”
Bertemu Nasi di Kuliner Korea E. Sri Mumpuni
Kim Heung-sook
56
HIBURAN
Bangsa Korea Terpesona pada Korea dalam Sentuhan Asing
64
GAYA HIDUP
Olahraga dalam Ruangan yang Sangat Menjanjikan Kim Dong-hwan
Jung Duk-hyun
68
PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA
Takdir Penyakit Terkutuk Choi Jae-bong
Tak Tersembuhkan Kang Young-sook
FITUR KHUSUS 1
Jeju, Sebuah Pulau Batu - Legenda dan Tradisi
Bentuk Batu yang Mengukir Sejarah Batu-batu Jeju memegang peranan penting dalam meningkatkan kehidupan orang-orang Jeju. Batu-batu dipakai untuk mengurung ikan-ikan hasil tangkapan dan menciptakan budaya perikanan dengan cara demikian, batu-batu juga memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan pertanian dan peternakan, dan juga digunakan sebagai fasilitas penting sebagai pelindung dari invasi dan penjarahan dari serangan luar. Berbagai jenis dan bentuk batu yang tersebar di seluruh Pulau Jeju tak lain menunjukkan gambaran kehidupan penduduknya. Lee Chang-guy Penyair, Kritikus sastra Ahn Hong-beom Fotografer
4 koreana Musim Panas 2018
Pagar batu yang disebut jatseong dibangun di sekitar peternakan kuda yang dikelola negara selama Dinasti Joseon, agar kuda-kuda dapat merumput dan demi keamanan mereka. Hanya sedikit sisa tembok di kaki gunung karena pembangunÂan dan kerusakan, sedangkan di wilayah pegunungÂan tengah relatif masih utuh, merupakan saksi tentang pertanian ternak tradisional di pulau itu.
seni & budaya korea 5
B
atu menang atas waktu. Daya tarik keabadian yang dimiliki oleh batu ini membuat orangorang lantas membentuknya menjadi patung-patung pahlawan untuk memperingatinya atau menumpuknya dengan rapi untuk menjadikannya pembatas. Di Pulau Jeju, di manapun kita menggali, pastilah akan mendapatkan batu. Orang-orang Jeju menggunakan batu untuk menentukan tempat yang harus dihindari dan tempat yang tidak boleh dima suki, menahan air, angin, dan mengurung kuda. Ini adalah bentuk kehidupan orang yang hidup di pulau-pulau vulkanik yang mencuat di permukaan laut. Demikianlah, batu-batu Pulau Jeju berada dalam norma pesona, yang menguasai waktu dan perubahan alam secara berlebihan dan tidak terkontrol. Inti dari norma itu adalah kerja keras. Ini tercermin dari mitos tercipta nya Gunung Halla yang memiliki ketinggian 1.950 meter, yang menceritakan seorang wanita tua yang dengan gigih mengumpulkan tanah pada roknya kemudian memindahkannya pada satu tempat, dan akhirnya menciptakan satu mitos perjuangan. Batu-batu yang telah menang atas waktu, terendam dalam kesunyian, terkikis oleh ombak lautan berlatar langit biru. Permukaannya kasar dan warnanya hitam. Bentuk kurva-kurva terkulai dan lubang kasar menunjukkan identitasnya, tertumpuk oleh jari-jari seseorang, tenggelam dalam pelukan hangat bebatuan, dengan batu-batu pesisir pantai nan lembut, dihiasi lumut bak tato, dengan bagian bawah layaknya terselubung oleh padang keperakan, dengan sekumpulan bunga-bunga Youchae berwarna kuning. Tak ada banyak yang dapat dilakukan. Kalaupun ada, hanyaÂlah membolak-balik data-data atau memperhatikan bekas di bebatuan, entahkah itu karena terluka atau karena bersahabat, dan setelah itu memandang jauh belaka. Sekalipun demikian, dalam hati tetap tinggal rasa penasaran untuk mencari-cari jejak kehangatan seseorang di masa lalu dan juga saksi satu generasi yang kental dengan bahasa kehidupan yang tidak sepatahpun disahutkan oleh sang batu. Jaring Batu, Kemakmuran di Masa Lalu Dinding batu yang pertama kali muncul di Jeju adalah bendungan batu. Hal ini berhubungan erat dengan budaya nelayan sejak sebelum munculnya manusia modern. Bendung an batu atau lingkaran (Won), juga disebut kura-kura, adalah bendungan longgar yang dibentuk dengan menumpuk batu seÂtinggi sekitar 1 meter di pantai laut untuk menangkap ikan. Jadi saat air pasang, ikan-ikan turut dengan air dan bermain dalam bendungan, dan setelah air surut, ikan-ikan terperangkap di dalamnya. Salah satu karakteristik laut Jeju adalah bahwa dikelilingi oleh laut berbatu antara pantai dan laut lepas. Letusan gunung berapi menyebabkan lava vulkanik mengalir ke laut yang membentuk
6 Koreana Musim Panas 2018
Bendungan batu untuk memancing, yang disebut wondam, memanfaatkan topografi alam pantai dan pasang surut serta arus air pasang. Ratusan “jala batu� biasanya tersebar di sekitar daerah pantai, tetapi hanya sedikit yang mempertahankan kondisi aslinya.
lempeng daratan yang tidak biasa. Dari pantai ke laut lepas, jaraknya sekitar 2 km. Orang-orang Jeju menyebut laut ini “Gulbadang�. Latar lingkungan yang demikian melahirkan budaya nelayan yang unik telah muncul di pantai semenanjung Korea. Saat membuat bendungan batu, biasanya mengikutitopografi alam pantai. Di tempat di mana teluk melengkung seperti busur ke tanah kering, dinding batu ditumpuk di kedua sisi ujungnya. Bagian cekung yang tetap tergenang air saat air laut surut menjadi jaring yang mantap jika dikelilingi oleh tumpukan batu. Bendungan batu yang seperti ini ada di setiap desa dari 10 atau paling banyak sekitar 20 lebih. Ikan yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang Jeju pada setiap musim adalah ikan teri yang berukuran sekitar 10~20 senimeter. Ikan teri ini disebut 'Mel' di Pulau Jeju, dan ketika Mel tertangkap dalam bendungan batu yakni pada bulan Agustus setiap tahunnya, semua penduduk desa akan berduyun-duyun datang membawa keranjang atau ember untuk memanennya. Karena bendungan batu adalah milik bersama warga desa, Mel diberikan kepada semua yang berpartisipasi-
© i love jeju
membangun bendungan dengan adil. Tentu saja, ‘berpartisipasi’ juga mempunyai arti ‘menjaga’ dan ‘memperbaiki’bendungan. Mel yang diperoleh dibumbui dengan berbagai cara, diasinkan atau digoreng untuk dimakan. Salah satu kesukaan orang Jeju adalah ‘Sup Mel’, yang dibuat dengan menambahkan kubis dan cabe merah ke dalam Mel yang baru ditangkap. Mel yang tersisa dikeringkan atau diasinkan lalu untuk digunakan sebagai bumbu atau lauk. Namun bendungan batu banyak yang menjadi rusak akibat terbentuknya jalan-jalan beraspal di pesisir pantai, ditambah dengan munculnya kapal-kapal nelayan yang dilengkapi dengan fasilitas pengering ikan, membuat penangkapan ikan menggunakan bendungan batu menjadi bagian untuk orangorang tua yang kaya waktulowong. Walau demikian, tumpukan batu-batu hitam yang seolah meliuk-liuk di sela-sela benturan ombak yang putih di saat air surut tetap mengingatkan kita pada suatu masa makmur di satu musim dalam setahun. Warisan Budaya Pertanian yang Mengalahkan
Hujan dan Angin Ada sebuah tempat tamasya yang termasuk khusyuk di Pulau Jeju bernama Samsseonghyeol. Inti mitos Samseonghyeol yang berarti tiga lubang tempat keluarnya tiga benih suci yang menjadi dasar tersebarnya benih padi-padian. Sulit diketahui waktunya, tapi yang pasti,pada suatu hari suatu bangsa penjajah yang memiliki teknologi pertanian yang lebih maju pernah menduduki pulau yang disebut dengan nama Tamra. Namun kemudian kekuatan sekeliling yang bersahabat berhasil meminta pertolongan dari Goryeo sehingga Tamra yang dikuasai dan diawasi penjajah itu menjadi bagian dari Goryeo sebagai sebuah wilayah bernama Tamra-gun di tahun 1105. Satu cerita menarik dari waktu itu adalah bahwa Kim Ku (1211-1278), yang merupakan hakim Jeju di masa Goryeo, membuat dinding batu pertama untuk orang-orang Jeju. “Ada masalah bagi masyarakat Jeju yakni mereka hanya makan ala kadarnya setiap hari karena rumah mereka tidak terlindungi dari terpaan angin laut yang kuat dan bergolak. Kim Gu yang menjadi hakim di Jeju tergerak oleh penderitaan pen-
seni & budaya korea 7
1 Š TOPIC
duduk desa sehingga ia mengumpulkan batu untuk mendirikan bendungan, yang memberikan berbagai kemudahan bagi penduduk.� [dari Dongmun Gan]. Seiring pertumbuhan populasi, lahan pertanian secara bertahap berkembang dari dataran rendah ke daerah tengah pegunungan. Namun, lahan yang harus dibersihkan adalah lahan berbatu dan berkarang, dan sebagian besar tanah merupakan tanah abu vulkanik, yang walaupun banyak curah hujan nya, air hujan langsung terserap ke dalam tanah begitu terkena tanah. Selain itu, metode pertanian pada periode Goryeo adalah tanam kosong. Setelah satu tahun bertani, diperlukan satu atau dua tahun waktu istirahat bagi tanah untuk pulih sehingga dapat ditanami kembali. Pada periode ini, lahan pertanian tertutup rumput dan jika hujan lebat mengubah geografis dataran, maka akan sulit untuk mengetahui garis batas antara tanah milik sendiri dan tetangga. Ini menjadi alasan sengketa tanah dan terjadi pula bahwa penguasa-penguasa daerah mengambil kesempatan untuk memanfaatkan kenyataan ini untuk merampas tanah milik pen-
8 Koreana Musim Panas 2018
duduk yang lemah. Untuk itu Hakim Kim Gu menyuruh orangorang untuk membangun tembok dengan ketinggian tertentu menggunakan batu-batu besar dan kecil yang diperoleh saat bercocok tanam untuk membuat tembok batas kepemilikan tanah. Masa jabatannya adalah dari 1234 hingga 1239. Catatan ini menunjukkan masa di mana tembok batu populer di Jeju. Banyak hal berubah sejak dibangunnya tembok batu. Selain memecahkan masalah perebutan batas tanah, kerusakan tanaman pertanian dan perkebunan oleh ternak dan kuda yang merumput juga menurun. Selain itu juga bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman karena tembok batu mencegah hilangnya lapisan tanah yang disebabkan oleh hujan lebat dan dengan menjaga kelembaban tanah dengan melindunginya angin kencang. Kerja tani berkurang sementara hasil panen meningkat, dataran tinggi yang labil dan berbatu berubah menjadi lahan pertanian di mana keluarga petani dapat menggantungkan kehidupan mereka. Saat ini, Jeju memiliki proporsi perekonomian di bidang pertanian tertinggi dengan daerah lain di Korea. Jeruk adalah
1. Pematang batu, yang disebut batdam, dibangun dari basal yang dikumpulkan dari ladang untuk memberikan perlindungan dari angin kencang dan mencegah erosi tanah. Total panjang dinding batu yang ditemukan di seluruh pulau berjumlah 22.108 kilometer. 2. Di ladang dengan dinding batu rendah, tanaman yang tumbuh rendah seperti kentang dan wortel ditanam, sedangkan pada dinding tinggi, biji-bijian seperti jawawut dan jelai ditanam. Dinding yang terlihat serampangan sebenarnya merupakan pekerjaan tukang bangunan yang terampil.
pertanian ataupun pemandangan indah Pulau Jeju, namun juga diakui sebagai warisan budaya berharga.
2
hasil pertanian yang terkenal dengan hasil panennya, selain itu ada pula sayuran musim dingin seperti lobak, wortel, brokoli, dan kubis. Proporsi panen wortel dan brokoli Jeju adalah 70% dari total panen di Korea, sementara proporsi panen lobak, kubis dan kentang musim gugur adalah sekitar 40%. Area pertanian Pulau Jeju, yang berhasil mengatasi kondisi alamÂnya, terdaftar sebagai “Warisan Dunia Pertanian Pentingâ€? pada Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada tahun 2014. Dan sejak saat itu setiap tahun di Woljeong-ri Jeju selalu diadakan “Pesta Tembok Batuâ€? untuk menyebarluaskan keuntungan dan keindahan yang dimiliki tembok batu. Menurut sebuah survei yang pernah dilakukan, diperkirakan bahwa total pagar batu untuk kebun dan ladang, yang pendiriannya dimulai dengan menumpuk bebatuan sepanjang hampir satu milenium, mencapai 22.000 km. Saat ini, pagar batuPulau Jeju, yang bentuknya menyerupai sarang laba-laba yang menutupi seluruh pulau dari daerah pantai hingga daerah pegunungan, bukan hanya menjadi perlindungan bagi tanaman
Dari Tembok Batu Pertanian sampai Tembok Batu Militer Di tengah perubahan sejarah, masa yang muncul di akhir abad ke 13 adalah saat orang Mongolia mulai datang ke Jeju, di tengah-tengah orang-orang Jeju hidup dengan mengambil hasil-hasillaut, dan di sela-selanya membangun tembok batu pemisah antar ladang mereka. Yaitu masa tak lama setelah Khubilai, cucu dari Jinggis Khan, menaklukkan Tiongkok dan mendirikan Dinasti Yuan. Sekitaran masa ini dengan berpusat pada ibukota sementara Ganghwa, pemerintahan Goryeo yang telah lelah oleh perang panjang melawan ibu kota Silla, membuat Dapgongseon, dan kembali ke Gaegyoung, dan Sanseon-myeon, yang merupakan basis kekuatan utama dari kekuatan benteng, dan membangun kekuatan oposisi yang komprehensif, yang merupakan perang panjang dengan pasukan Mongolia. Pada bulan September 1270, pemerintah Goryeo mengirim kekuatan militer ke Jeju, yang diperkirakan akan mundur dari Samcheongcho, dan menginstruksikan mereka untuk membangun tembokbatu untuk mencegah pendaratan mereka di pantai. Di tepi pantai, ada tembok batu yang telah ditumpuk selama jangka waktu yang panjang untuk menahan ombak laut dan mempermudah melabuhkan kapal, dan dengan menyambung atau memperkuatnya tembok batu itu, untuk pertama kalinya dibangun tembok batu untuk keperluan militer. Batu-batu pantai yang terkikis ombak laut bentuknya bulat. Jadi sulit ditumpuk menjadi satu garis seperti tembok batu untuk kebun atau ladang. Juga harus ditumpuk berangkap tinggi agar dapat bertahan saat ada serangan. Pekerjaan berat itu dihibahkan menjadi pekerjaan orang-orang Jeju. Namun, rencana ambisius Goryeo gagal untuk mencegah serangan balik oleh tentara Sambyeolcho, yang mendarat tiga bulan kemudian. Penyebab kekalahannya adalah karena orangorang Jeju, yang selama itu menderita akibat tekanan kerja paksa dan penjarahan oleh Sambyeolcho dan Goryeo, bersikap
seni & budaya korea 9
Saat ini, pagar batu Pulau Jeju, yang bentuknya menyerupai sarang laba-laba yang menutupi seluruh pulau, bukan hanya menjadi pelin dung bagi tanaman pertanian ataupun pemandangan indah Pulau Jeju, namun juga diakui sebagai warisan budaya yang berharga. lebih bersahabat kepada Sambyeolcho daripada kepada peme rintah Goryeo. Tetapi tembok batu yang dibangun kembali saat pemerintahan Sambyeolcho itu ternyatatidak cukup kuat untuk menghadapi serangan dari Mongolia. Sambyeolcho, yang dikalahkan di Jindo pada tahun berikutnya, berusaha bangkit kembali di Jeju dan memberontak pada Februari 1273 terhadap tentara sekutu Mongolia, namun akhirnya menderita kekalahan. Sejak saat itu, tembok batu pantai berubah fungsi menjadi pertahanan dari ombak dan serangan penjarah bahan pangan selama ratusan tahun hingga akhir Dinasti Joseon, ketika Dinasti Yuan mulai pudar kekuasaannya. Untuk menjaga dari serangan luar, sebagian besar dari pegawai pemerintah untuk Jeju pada Dinasti Joseon yang dipilih adalah mereka yang berlatar belakang militer. Pada abad ke-19, tembok batu merupakan tempat untuk mengawasi munculnya kapal-kapal asing yang lalu lalang dengan penuh minat untuk mengadakan pertukaran ataupun penjarahan. Entah sejak kapan bermulanya, jika kita berjalan melalui Jalan Setapak Jeju, akan dapat dengan mudah terlihat tembok batu pesisir ini yang disebut dengan nama ‘Hwanhaejangsong/ Benteng Panjang Laut Bersor-
ak’. Namun, sebagian besar darinya telah runtuh dan hancur, sehingga kemegahan nama tersebut tidak dapat ditemukan lagi. Namun, tembok batu pantai yang menghadap ke bawah dari area Byeoldo-yeondae di daerah Hyebuk pada jalur Jalan Setapak 18 sudah cukup untuk mengingatkan rasa keputusasaan orang-orang Jeju pada zaman itu. Menjadi pagar bagi kehidupan beternak dan bertani Pertemuan antara Jeju dan Mongolia tidak terletak dari pertentangan dan konflik, tetapi pertukaran manusia dan materiil selama lebih dari 100 tahun telah membawa banyak perubahan pada masyarakat Jeju. Salah satunyaadalah masuknya budaya peternakan. Beternak sapi ataupun kuda di padang rumput di sekitar desa sudah ada sejak adanya pertanian, tetapi peternakan kuda baru muncul pada tahun 1276 yaitu saat Dinasti Yuanmenetapkan Jeju sebagai daerah pemerintahan langsung dan mengirimkan 160 ekor kuda beserta beberapa ahli kuda yang disebut Mokho untuk mengurus “Peternakan Kuda” di daerah Sungsan. Ini menjadi cikal bakal bagi industri kuda Jeju
1. Sebuah benteng dibangun oleh Sambyeolcho, unit patroli khusus dari Dinasti Goryeo, di Aewol-eup pada tahun 1271 untuk perlawanan terakhir melawan Mongol. Disebut Benteng yang disebut Hangpaduseong ini terdiri atas dinding ganda. Dinding luar, sepanjang enam kilometer, dibangun dari tanah di atas lapisan batu datar, dan dinding bagian dalam, sekitar 800 meter ditumpukkan batu di tengahnya. Bagian benteng yang terbuat dari tanah tetap ada.
1
10 Koreana Musim Panas 2018
2. Benteng batu dibangun di sepanjang garis pantai sebagai pertahanan terhadap serangan dari laut. Bekas dinding, yang disebut Hwanhae Jangseong (“Tembok Keliling Besar”), tetap ada di 19 desa pesisir, di bagian Hwabuk-dong di wilayah pantai timur laut relatif utuh. Di sini sisa bentangan dinding sekitar 620 meter. Tingginya 2,5 meter.
2
dewasa ini. Namun cekcok mendasar antara masyarakat nomaden yang hidup berpindah-pindah dan para pemukim yang perlu untuk mengamankan dominasi daerah mereka terus bertambah hari ke hari, bahkan setelah Dinasti Yuan menarik diri dan Joseon baru didirikan. Pada tahun 1429, seorang penguasa Jeju bernama Koh-Deuk Jeong (1388~1452) menyarankan kepada Raja Sejong untuk membuat peternakan kuda agar pengurusankuda dapat terorganisir lebih stabil. Saran itu adalahuntuk membagi wilayah pegunungan tengah Halla menjadi 10 wilayah, dan membangun peternakan kuda milik kerajaan di setiap wilayah. Intinya adalah membangun tembok batu antara lahan pertanian di daerah pesisir dan padang rumput di wilayah tengah-pegunungan. Hasilnya, dibangunlah tembok batu dengan ketinggian 1,2 hingga 1,5 meter mengelilingi seluruh pulau. Tembok ini disebut ‘Jat (Pinus)’ atau ‘Jatseong (Benteng Pinus)’. Di peternakan ini, kuda milik kerajaan dan kuda milik pribadi dipelihara bersama. Dengan adanya kebijakan ini, industri ternak di Jeju menjadi makmur, dan sebagian besar kuda yang dipelihara di tempat itu digunakan sebagai kuda perang atau dipersembahkan sebagai kuda bagi keluarga kerajaan. Di bagian pegunungan timur Pulau Jeju, pemilik peternakan kuda pribadi bernama Kim-Manil yang memiliki ribuan ekor kuda mempersembahkan 500 ekor kuda kepada kerajaan saat terjadi perang mela-
wan Jepang. Selain itupun saat terjadi perang besar dan kecil, ia terus menyumbangkan beratus-ratus kuda, sehingga Raja Seonjo memberinya gelar kehormatan tinggi ‘Heonma-gongshin/ Pahlawan Tinggi Penyumbang Kuda’. Perbaikan Tembok Pinus juga terus dilakukan. Untuk mencegah kuda-kuda masuk dan tersesat di hutan yang lebih dalam, dibangun “Tembok Pinus Atas” di daerah pegunungan. Dan untuk dataran tengah dibangun “Tembok Pinus Tengah” untuk mendukung pertanian dan peternakanyang dilakukan berselang seling setiap tahun, yang memberikan manfaat memperluas lahan pertanian. Peternakan yang dikelola kerajaan akhirnya berubah menjadi peternakan milik masyarakat desa selama pendudukan Jepang. Kalau kita perhatikan dengan seksama, tembok batu Jeju berbeda dari yang dulu. Karena fungsinya berubah menurut perubahan kehidupan dan lingkungan. Untuk melindungi pohon jeruk, dibangun lebih tinggi, dan seiring dengan pertambahan kendaraan, dibangun di kedua sisi jalan sebagai tembok pembatas. Untuk membuat tembok batu lebih keras, digunakan jaring kawat atau di antara batu-batu diisi dengan semen. Ada juga hal-hal yang tidak berubah. Rupa batu-batu itu tetap tumpul. Mungkin karena ada keinginan untuk menjaga nilai-nilai sejarah dan keinginan untuk mengikuti perubahan zaman bergolak di dalamnya. Dua keinginan itupun merupakan merupakan warisan lama milik Jeju.
seni & budaya korea 11
FITUR KHUSUS 2
Jeju, Sebuah Pulau Batu - Legenda dan Tradisi
Batu-Batu Penjaga Batas Kehidupan dan Kematian
Kerucut parasit bernama Dang Oreum, yang terletak di Gujwa-eup, ditandai dengan kuburan berdinding yang mencirikan lanskap Pulau Jeju. Dinding batu mengelilingi makam, yang disebut sandam, melindungi makam dari api dan kerusakan oleh hewan yang sedang merumput.
12 koreana Musim Panas 2018
Pagar batu rendah yang mengelilingi tepi makam di bukit landai pulau Jeju dan patung batu anak lelaki berwajah alami yang berdiri di samping makam merupakan simbolsimbol yang diciptakan oleh karakteristik alam unik dan kepercayaan pulau vulkanik Jeju. Melalui patung-patung simbolik yang sederhana dan apa adanya tanpa sentuhan tangan manusia ini, kita dapat melihat sejarah kehidupan penduduk Jeju yang berbaur dengan alam dan mengintip pandangan mereka mengenai kehidupan dan kematian. Kim Yu-jeong Direktur Institut Kebudayaan Jeju
P
© Kang Jung-hyo
ulau Jeju, yang merupakan pulau terbesar di antara kurang lebih 3.300 buah pulau di semenanjung Korea, dapat dilihat sebagai sebuah gunung raksasa. Hal ini dikarenakan Gunung Halla setinggi 1.950 meter dari atas permukaan laut menggambarkan lengkungan lembut dan membentuk baringan panjang di seluruh pulau. Permukaan dan lapisan bawah tanah pulau volkanik Jeju yang terbentuk melalui letusan gunung Halla 1,7 juta tahun yang lalu ini dipenuhi dengan bekas-bekas letusan lava. Bekasbekas itu ialah batuan basal hasil pembekuan lava yang melambangkan pemandangan unik Jeju. Pulau Jeju yang dipenuhi batu hitam berlubang di mana-mana sering disebut “samdado” yang berarti ‘batu’, ‘angin’, dan ‘wanita’. Para manusia hidup dengan beradaptasi dan memanfaatkan lingkungan. Orang-orang Jeju pun memanfaatkan batu-batu untuk menghalangi hembusan angin laut yang merupakan kondisi alam yang tak dapat dihindari. Untuk melawan angin dan ombak laut, mereka mengumpulkan batu-batu yang jatuh dari tebing pantai atau hasil erosi. Dengan batu-batu tersebut mereka menyusun dinding batu di pinggiran pantai atau kali sawah, menyusun pagar batu untuk melindungi makam, memahat dan meletakkan patung batu anak lelaki untuk menjaga orang-orang yang telah meninggal.
seni & budaya korea 13
Orang-orang Jeju lahir dan menghabiskan masa hidupnya di rumah berpagar batu dan kembali beristirahat di kuburan berpagarkan batu ketika mereka meninggal dunia. Demikianlah batu berhubungan erat dengan kehidupan dan kematian manusia. Dinding-dinding batu yang menjadi simbol Jeju merupakan akumulasi kerja yang diwariskan kepada berbagai gene rasi secara turun-temurun. Apabila ayah memotong batu-batu besar dalam ukuran tertentu, anak lelakinya akan mengangkut kumpulan batu tersebut untuk disusun menjadi dinding, dan ibu akan menyumbat lubang-lubang dinding tersebut dari waktu ke waktu setiap ia menemukan bebatuan kecil yang terbentur di sekop ketika bekerja di ladang. Tidak ada cara untuk mengetahui dengan tepat seberapa lama pekerjaan yang sederhana dan melelahkan ini dilakukan secara berulang-ulang. Namun ketika memandang pulau ini dari atas, kita bagaikan melihat karya seni raksasa melalui dinÂding batu besar dan kecil yang membentuk garis bebas dan memeluk seisi pulau ini. Keistimewaan “karya-karya seniâ€? misterius ciptaan seniman anonim yang menjadikan tanah sebagai kanvasnya adalah kenyataan bahwa karyanya penuh dengan keindahan alami tanpa sentuhan tangan manusia. Dinding batu Jeju selalu berkelokkelok dengan bebas tanpa aturan atau bentuk yang ditentukan dan memeluk daratan pulau ini. Garis-garis yang dibentuk oleh dinding-dinding batu tersebut terlihat alami seakan-akan tertiup oleh angin dan berdiri di posisi sekarang dengan sendirinya. Mungkin karena itulah ada orang yang mengatakan bahwa “tanah dan dinding batu Jeju sejak awal memang satu tubuhâ€?.
binatang-binatang pasti akan sulit membangun rumah mereka, serta sulit membangun makam tempat beristirahat bagi roh orang-orang yang telah meninggal dunia. Orang-orang Jeju lahir dan menghabiskan masa hidupnya di rumah berpagar batu dan kembali beristirahat di kuburan berpagarkan batu ketika mereka meninggal dunia. Demikianlah batu berhubungan erat dengan kehidupan dan kematian manusia. Di antara dinding batu yang dapat ditemui di seluruh pelosok Jeju, dinding yang mengelilingi makam disebut “sandam�. Sandam ditempatkan sebagai dinding suci di antara dinding batu lainnya dan memiliki fungsi beragam, di mana dinding suci ini berperan sebagai pagar pelindung makam dan sekaligus sebagai garis batas yang menandakan tempat peristirahatan roh-roh. Sandam terbagi menjadi dua jenis, yaitu dinding batu berlapis tunggal dan berlapis ganda. Sandam berlapis tunggal dibagi lagi berdasarkan bentuknya, antara lain sandam bundar, sandam berbentuk biji pohon ek, dan sandam segi empat. Terdapat pula sandam berlapis ganda yang berbentuk seperti tangga dengan bagian belakang yang menyempit. Pada sandam, terdapat “olle� yang merupakan pintu tempat lewat para roh. Pintu ini berukuran sekitar 40~50 sentimeter dan terletak di bagian kiri atau kanan sandam. Kemudian di atas pintu ini diletakkan satu hingga tiga buah batu panjang 1. Patung batu dalam bentuk anak-anak muda, disebut dongjaseok, berjaga-jaga di atas makam. Patung-patung sederhana Jeju ditandai dengan tekstur kasar dari basal berpori dan aura misterius.
Dinding Batu bagi yang Meninggal Batu-batu Jeju yang tersebar di seluruh pulau, apakah itu hadiah Tuhan atau bencana? Sesaat batu-batu ini terlihat seperti bencana ketika menghambat pekerjaan para petani. Tetapi jika batu-batu ini sulit didapatkan orang-orang maupun
2. Tembok di sekitar makam memiliki satu atau beberapa baris batu. Ukuran dan bentuk dinding menunjukkan status keluarga. 1
14 Koreana Musim Panas 2018
Š Kim Yu-jeong
untuk menghalangi sapi dan kuda atau orang-orang masuk ke dalam makam. Peletakan olle di sebelah kiri dan kanan ditentukan berdasarkan jenis kelamin orang yang dimakamkan. Pintu untuk pria diletakkan di sebelah kiri menurut sudut pandang jenazah dan untuk wanita di sebelah kanannya. Untuk makam bersama, olle diletakkan di sebelah kiri dengan laki-laki sebagai patokannya. Kadang terdapat juga olle yang dibuat di bagian depan sandam, dan ada pula yang khusus dibuat di kedua sisi untuk makam pasangan. Pada awalnya sandam tidak disusun di bagian tepi melainkan di tengah-tengah tanah lapang. Karena itulah dinding batu ini diperlukan untuk melindungi makam dari kebakaran dan masuknya kuda, sapi, dan binatang lainnya. Namun bersamaan dengan berubahnya tanah tersebut menjadi lahan pertanian, makam mulai ditempatkan di tepi ladang. Memang, penempat an makam dan sandam di sana boleh dikatakan untuk memudahkan keluarga dan kerabatnya memelihara makam leluhur mereka. Tapi sedekat apa pun letaknya dengan habitat manusia, batu sandam merupakan objek suci yang tidak boleh di sentuh sembarangan. Dinding sandam juga tidak boleh dilompati tanpa izin atau alasan yang pasti. Tetapi ada pengecua lian. Orang-orang percaya bahwa jika pendatang yang tersesat masuk ke dalam sandam dan tidur di dalamnya, ia akan dilin dungi oleh roh-roh. Berbeda dengan batu-batu lainnya, terdapat keindahan dan keanggunan lain yang memperlihatkan teknik para ahli batu Jeju pada sandam. Secara sederhana, bentuk kesenian khusus mereka dapat didefinisikan sebagai “estetika garis Korea”. Sebagai contohnya, garis atap rumah giwa (rumah genteng) Korea semakin memanjang ke kiri dan kanan dengan lembut menuju langit sehingga memberikan ritme bagaikan melayang dengan ringan. Garis pada sandam pun memiliki keindahan yang serupa. Dimulai dari bagian belakangnya yang rendah, dinding ini pelan-pelan melengkung ke atas, dan ketika bertemu di bagian kiri depan ia menggambarkan garis lentur menuju langit. Garis ini semakin bergerak rendah ke bagian tengah, dan kembali naik ke atas menuju ujung sebelah kanan dan berhenti di titik tersebut untuk menyamai tinggi pojok dinding. Garis sandam yang tak dapat memanjang lagi dan diam berdiri terlihat damai. Anak Lelaki Utusan Roh Patung batu yang berdiri di dalam dinding batu disebut dongjaseok, yang berarti “patung batu anak laki-laki (atau perempuan)”. Patung batu ini membantu roh-roh orang yang telah meninggal dalam berbagai macam fungsi. Di antara nya mereka memiliki fungsi ibadah, pelayanan terhadap orang tua, pelindung, dekorasi, kegaiban, dan hiburan. Dongjaseok menyebar di Jeju melalui orang-orang yang datang dari tanah
2 © Kim Yu-jeong
semenanjung Korea atau hakim pengadilan daerah yang dipilih oleh pemerintah pusat, ningrat pemilik tanah asal Jeju, dan dari orang-orang yang diasingkan ke pulau ini. Tetapi patung batu Jeju agak berbeda dengan patung batu di daratan Korea yang masih membawa warna Buddha dan karakteristik daerah. Dongjaseok, yaitu batu nisan yang lahir di daerah pusat kebudayaan konfusianisme Hanyang, menyerap adat-adat unik setiap daerah dan berbagai macam kepercayaan dalam perjalan annya menuju pulau Jeju di ujung Selatan, dan lahir kembali menjadi patung batu yang sangat unik dengan tambahan karakteristik alam dan pemikiran Jeju di dalamnya. Dengan kata lain, patung batu Jeju memiliki ciri khusus mencerminkan berbagai macam unsur kepercayaan seperti Buddha, konfusianisme, shamanisme, dan lain-lain. Patung batu Jeju memberikan kehangatan yang familiar. Terutama patung batu yang dibuat pada tahun pemerintahan Raja Yeongjo (1724-1776) dan Raja Jeongjo (1776-1800) memiliki ciri bermata lebih besar dan garis yang lebih halus. Ciri ini dapat dilihat sebagai hasil pengaruh dari semenanjung Korea. Orang-orang Jeju selalu datang ke daratan Korea sebagai pekerja sukarela setiap ada pemakaman negara. Pada tahun 1629 saat masa pemerintahan Raja Injo (1623-1649), perintah larangan untuk memasuki daratan Korea dikeluarkan sehingga tidak mudah bagi penduduk Jeju untuk memasuki semenanjung Korea. Menjadi pekerja sukarela untuk negara merupakan sebuah kesempatan baik bagi mereka untuk dapat mengunjungi daratan Korea. Apa yang mereka lihat dan ingat saat pembuatan makam raja ketika itu membentuk patung batu Jeju yang sekarang. Patung batu ini dibuat dengan meniru patung abdi negara yang menjaga makam raja, tetapi karena kurangnya teknik para seniman amatir hasil tiruan itu berubah menjadi bentuk yang lain sama sekali. Sebagai hasilnya, dongjaseok Jeju yang dibuat dari batuan basal yang jarang ditemukan di semenanjung Korea, memperlihatkan bentuknya yang sangat berbeda. Kini, dengan keprimitifan sejati yang muncul dari keindahan sederhana, patung batu ini dicintai oleh ma syarakat luas sebagai wajah Jeju.
seni & budaya korea 15
Batu Jeju untuk Peralatan Sehari-hari Di pulau vulkanik Jeju yang penuh dengan batuan basal, pada umumnya para penduduk di sini menggunakan batu sebagai peralatan sehari-hari. Hal ini dikarenakan mudahnya mencari batu basal atau tingginya kelembaban udara sehingga peralatan kayu mudah lapuk. Di antaranya, yang paling mewakili peralatan batu tradisional Jeju adalah meja kendi air (mulpang), batu giling (dolbangae), dan kandang batu babi (dottongsi). Selain itu terdapat pula peralatan lainnya seperti batu gerinda, anglo, pilar batu (jeongjuseok), dan mangkok kayu (dogori). Meskipun dewasa ini Š Yi Gyeom
1
jarang digunakan, semua ini merupakan peralatan yang menyimpan banyak kenangan khusus bagi penduduk Jeju.
Meja Kendi Air: Mulpang Mulpang adalah meja segi empat dari batuan basal yang digunakan untuk meletakkan kendi air Jeju bernama heobeok. Dengan mempertimbangkan fungsi dan rute gerak para wanita, biasanya meja batu ini diletakkan di bagian luar pintu dapur. Dari waktu ke waktu, wanita Jeju menggendong heobeok dan mengangkut air dari sumber mata air umum ke rumah dan meletakkan kendi air tersebut di atas meja batu ini. Sumber mata air biasanya terletak jauh dari rumah, dan jaraknya berbeda-beda tergantung pada masing-masing rumah dan desa. Di desa pegunungan pun para penduduknya mengambil air minum dengan heobeok dari waduk air hujan bernama bongcheonsu atau mengumpulkan dan menggunakan air hujan yang menetes dari pohon untuk tujuan rumah tangga lainnya. Di beberapa tempat yang kekurangan sumber air, air hujan yang menetes dari atap rumah dikumpulkan dan disimpan untuk diminum. Biasanya para wanita atau anak gadislah yang mengangkut air. Air ini digunakan sebagai air minum, dan juga diberikan kepada sapi, kuda, dan babi. Sejak kecil, mengangkut heobeok sudah menjadi kehidupan sehari-hari bagi wanita Jeju. Mereka memulai
16 Koreana Musim Panas 2018
Š TOPIC
2
kesehariannya dengan menggendong heobeok dan mengisi ken-
1. Sebuah lempengan batu berfungsi sebagai alas guci gerabah yang digunakan perempuan Jeju untuk membawa air. Itu umumnya ditempatkan tepat di luar pintu dapur. 2. Batu giling digunakan untuk menggiling biji-bijian sangat penting untuk membuat kue bagi upacara leluhur. Perkakas itu juga berguna untuk membuat pewarna alami untuk kain dengan menghaluskan kesemek hijau menjadi bubur. 3. Kandang batu babi juga berfungsi sebagai kakus. Kotoran itu digunakan untuk menyuburkan ladang pertanian.
3 © Kim Yu-jeong
di dengan air. Heobeok adalah tembikar berbentuk bundar dan
kain ini yang mudah menyerap keringat, sejuk, dan semakin alot
berwarna hitam kemerah-merahan, dan dirancang untuk mudah
dan cerah setiap dicuci.
mengangkut air. Kendi air ini dibuat dengan leher yang sempit dan perut menggembung agar tidak mudah menumpahkan air
Kandang Batu Babi: Dottongsi
saat diangkut dari jarak yang jauh sekalipun. Selain itu kendi ini
Di pulau Jeju, kandang babi yang dibangun dengan dinding
juga memiliki berbagai ukuran agar dapat digunakan sesuai den-
batu disebut dottongsi. Orang-orang Jeju menyebut babi ‘dosaegi‘
gan usia penggunanya.
, dan babi adalah ternak penting untuk memenuhi kebutuhan protein. Tetapi berhubung biji-bijian sangat langka, babi-babi ini
Batu Giling: Dolbangae
biasanya diberi makan tinja manusia.
Orang-orang Jeju lebih mementingkan peringatan hari kema-
Kandang babi juga berfungsi sebagai kamar kecil dan tempat
tian leluhurnya daripada merayakan hari ulang tahun keluarga
membuat pupuk kandang yang diperlukan untuk menyuburkan
nya. Oleh sebab itu setiap rumah memerlukan batu giling untuk
tanaman. Pada tanah kandang ini selalu ditaburi biji-bijian jelai se-
mengupas kulit biji padi-padian dan menggilingnya menjadi ser-
hingga jika babi-babi yang memakan tinja manusia juga mengelu-
buk untuk digunakan saat membuat kue beras. Penggiling batu
arkan kotoran, maka mereka akan menginjak kotoran-kotoran itu
ini disebut dolbangae, dan biasanya digunakan secara bergantian
dan menghasilkan pupuk kandang.
oleh dua hingga tiga orang wanita. Batu giling ini juga digunakan untuk membuat baju kerja.
Terdapat alasan lain mengapa penduduk Jeju memelihara babi di dalam halaman rumah. Di Jeju, orang-orang membeli dua
Jika hujan di musim panas telah berlalu, penduduk Jeju memetik
ekor anak babi untuk dipelihara ketika anak-anaknya mencapai
kesemek hijau dan mewarnai baju dengan air buahnya. Ketika
usia menikah. Kira-kira setahun kemudian, babi peliharaan tersebut
kesemek hijau itu digiling di penggiling batu, biji-biji buah kesemek
ditangkap dan disajikan untuk tamu-tamu undangan pernikahan
yang berbentuk bulan setengah akan keluar (anak-anak senang
anak mereka. Daging babi ini disebut gogit seokjeom, yang berarti
iseng memakan biji-biji yang keluar dari buah sepat ini) dan jika
“tiga potong daging” dan terdiri dari tiga potong daging, sosis usus
buahnya telah cukup hancur, kain rami atau katun dimasukkan ke
babi, dan sepotong tahu. Hingga saat ini pun pertanyaan “kapan
dalam penggiling. Kemudian kain tersebut dilumuri air buah kese-
kita dapat makan tiga potong daging?” sama artinya dengan “kapan
mek dengan tangan dan dijemur di dinding batu. Jika telah kering,
mau menikah?” bagi penduduk di pulau Jeju.
kain ini direndam dan dijemur lagi secara berulang-ulang selama
Meskipun babi yang memakan tinja manusia, sehingga dise-
lebih dari sepuluh hari hingga menjadi kaku dan alot. Kain buah
but juga “babi tahi” telah lama menghilang, babi hitam Jeju yang
kesemek yang kaku ini disebut galcheon, dan baju yang dibuat
ditetapkan sebagai monumen alami merupakan hewan lokal yang
dari kain ini disebut galot. Berbagai macam baju kerja dibuat dari
dibanggakan oleh penduduk Jeju.
seni & budaya korea 17
FITUR KHUSUS 3
Jeju, Sebuah Pulau Batu - Legenda dan Tradisi
Batu Jeju Bertemu Bumi dan Api Tembikar (atau Onggi) Jeju dibakar dalam pembakaran batu bukan dalam pembakaran yang terbuat dari tanah. Tradisi Onggi tradisional yang pernah menjadi bagian integral dari kehidupan penduduk pulau vulkanik Jeju di masa besi belum diproduksi, terkubur dalam sejarah sejak munculnya bahan sintetis modern pembuat piring-piring pada sekitaran tahun 1960. Barulah di tahun tahun 2000, setelah bertahun-tahun upaya sungguh-sungguh oleh beberapa pengrajin, tempat pembakaran Onggi tradisional yang terbuat dari batu dapat dipulihkan dan produksi Onggi dengan cara tradisional berlanjut walau dalam volume kecil. Jeon Eun-ja Peneliti Istimewa, Institut Penelitian Budaya Tamna, Universitas Nasional Jeju Ahn Hong-beom Fotografer
18 Koreana Musim Panas 2018
Kang Chang-eon, pendiri dan direktur Pusat Keramik Jeju, menyalakan api dari bagian atas tungku kuning. Suhu di dalam tungku mencapai puncaknya empat hari setelah api dinyalakan. Ini adalah tahap akhir ketika kayu bakar kering dimasukkan melalui lubang di sisi tungku untuk menyalakan api sementara bejana berkilau mengkilap di permukaan bagai kaca.
seni & budaya korea 19
B
1
atu-batu Jeju bertemu dengan api dan tanah, dan berubah menjadi Onggi yang digunakan seharihari oleh penduduk pulau. Saat meletusnya Peristiwa 3 April pada tahun 1948 yang merupakan peringatan dini dari Perang Korea yang tragis, penduduk pulau, bahkan di saat-saat putus asa melarikan diri dari pasukan pemerintah yang brutal, tidak lupa membawa Onggi mereka saat melarikan diri ke dataran tinggi, menunjukkan bahwa untuk menyambung hidup, Onggi merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan mereka. Penggunaan Onggi di Pulau Jeju memiliki sejarah panjang. Dalam catatan sejarah, seperti “Namsa illok”, yang merupakan jurnal yang ditulis oleh Lee Jeung (1628-1686), seorang pejabat pemerintah Dinasti Joseon selama waktunya bertugas di pulau itu. Pada bagian akhir buku itu terdapat puisi “Tamna” yang ditulis 160 tahun sebelumnya oleh pejabat sipil Choi Bu (1454-1504) selama masa baktinya di pulau itu. Puisi itu menggambarkan seorang wanita membawa kendi tanah besar dalam perjalanannya ke mata air untuk mengambil air, membuktikan bahwa orang-orang Jeju menggunakan Onggi di masa itu. Juga ada “Surat Kabar Jeju” yang diduga telah terbit sejak abad ke-18, berisi catatan yang menyatakan, “Ada toko di Daejeong-hyeon yang khusus menjual Onggi.” Onggi tipe Gosan-ri primitif tanpa motif dan Onggi bermotif yang ditemukan di situs arkeologi Gosan-ri di Hangyeong-myeon, Jeju, diyakini berusia sekitar 10.000 tahun, menjadikan mereka “leluhur” Onggi Jeju. Onggi primitif tanpa motif adalah salah satu yang tembikar tertua dari Zaman Neolitik yang pernah ditemukan di Semenanjung Korea sampai sekarang, sementara Onggi bermotif yang pada permukaannya tergambar gelombang seperti ombak laut merupakan Onggi Jeju kuno yang terbaik yang pernah ada.
20 Koreana Musim Panas 2018
Proses Pembuatan yang Berbeda dengan Semenanjung Melewati waktu yang panjang, Onggi Jeju berevolusi de ngan cara yang berbeda dari daratan semenanjung. Perbedaan terbesarnya adalah proses pembakaran tembikar di dalam tungku pembakaran yang dibuat dari batu dan bukan dalam tungku pembakaran yang dibuat dari tanah liat. Proses produksi ini jelas berbeda dari daerah lain di Korea, serta Cina atau Jepang, dan termasuk jarang bisa ditemukan di dunia. Hal lain yang membedakan Onggi Jeju dari tembikar lainnya adalah permukaannya tidak dibaluri lapisan enamel. Alasan utamanya adalah karena Onggi Jeju terbuat dari tanah abu vulkanik bukan tanah liat putih atau merah yang biasa digunakan di tempat lain. Ini adalah metode yang digunakan oleh penduduk pulau yang tinggal di lingkungan dengan tanah yang mempunyai keistimewaan tersendiri. Tanah abu vulkanik me ngandung banyak mineral, yang selama proses pembakaran akan mencair dan mengeluarkan cairan ke permukaan tembikar, memberikan kemilau lembut istimewa pada yang Onggi sehingga terlihat mengkilap. Juga, tidak seperti di daerah lain di mana kayu digunakan untuk memanaskan tungku pembakaran, cabang-cabang pohon yang dikeringkan di tempat teduh digunakan sebagai bahan bakar. Salah satu aspek khas lain dari pembuatan Onggi Jeju adalah pembagian kerja. Pembuatan Onggi Jeju tidak dilakukan oleh satu orang. Untuk setiap tahapan proses, yakni dari mengumpulkan tanah dan kayu bakar, membangun tempat pembakaran, menyalakan api dan melakukan pekerjaan akhir, ada orang-orang berbeda yang melakukannya. Ada tukang tanah dan kayu bakar yang mengurusi tanah dan kayu bakar, ada tukang tembikar yang membuat tembikar, ada tukang api yang mengurus tungku pembakaran, dan juga ada ada kepala tukang yang mengawasi keseluruhan proses pembuatan. Demikianlah pembagian kerja dilakukan dengan sangat tertib dan jelas. Pembuatan melalui proses khusus dan kolaboratif ini membuat Onggi Jeju menjadi satu dari budaya komunal lokal. Dalam banyak hal, pulau ini tidak memiliki kondisi yang menguntungkan untuk memproduksi tembikar, karena sebagian besar tanahnya adalah tanah abu vulkanik dengan viskositas rendah, tetapi di lain pihak orang harus membawa air dalam kendi-kendi besar. Sampai-sampai para pembuat guci almarhum Shin Chang-hyeon (Warisan Budaya Takbenda Jeju No. 14), mengatakan “Pekerjaan membuat Onggi adalah tugas yang melelahkan. Begitu berat, sampai rasanya harus ke akhirat dulu untuk bisa menyelesaikannya”. Kondisi alam yang tidak ramah telah lama menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jeju. Pemulihan Tungku Batu Tradisional
Produksi Onggi mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, tetapi telah benar-benar mati pada akhir 1960-an. Karena proses produksinya rumit, menjadikannya kurang produktif, Onggi tidak dapat bersaing dengan plastik murah yang diproduksi massal di pabrik. Tokoh yang menghidupkan kembali tradisi Onggi Jeju adalah Kang Chang-eon, kepala dan pendiri Pusat Keramik Jeju. Pada 1970-an, ketika ia masih di masa mudanya, ia mulai mengunjungi situs-situs tungku pembakaran yang rusak, dan setelah memeriksa dengan saksama keunikan onggi tradisional untuk menemukan kualitas unik yang dimilikinya. Pada awal 1980-an, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya untuk mencurahkan waktu sepenuhnya untuk melakukan studi lapangan, dan bepergian berkali-kali ke desa-desa pesisir dan daerah-daerah pegunungan. Pada saat itu, masih tersisa sekitar 50 tungku pembakaran batu yang tersisa di pulau itu. Bermula dari tanya-tanya tentang data dan turut dalam penelitian, akhir nya ia bergabung dengan Musium Universitas Nasional Jeju dan melakukan penelitian dengan lebih sungguh-sungguh bersama sarjana dalam dan luar negeri. Tetapi gelombang modernisasi menyapu situs tungku pembakaran yang tersisa menyebabkannya mulai rusak parah. Pada awal 1990-an, pengrajin Onggi yang berpe ngalaman mulai meninggal satu demi satu, dan bersama mereka, alat-alat yang mereka gunakan juga turut lenyap. Terbeban untuk mempertahankan budaya itu, Kang mulai mencari pengrajin Onggi yang masih hidup. Tetapi sebagian besar telah berganti profesi menjadi petani karena sulit untuk mencari nafkah hanya dengan bersusah payah membuat Onggi. Kang mencoba membujuk mereka untuk bergabung dengannya dalam usahanya untuk menghidupkan kembali tradisi Onggi Jeju, tetapi mereka tidak mendengarkannya. Pemugaran tungku batu tradisio nal hanya mungkin dengan bantuan
1. “Pot Teh Gahina” 7,6 x 18,5 cm. Diproduksi menggunakan metode yang dipatenkan oleh Pusat Keramik Jeju, pot teh dianugerahi Penghargaan Unggul bagi Kerajinan oleh UNESCO pada tahun 2007. Ini dibuat dari jenis tanah liat khusus yang dikembangkan oleh pusat untuk meniru tekstur basal. 2. “Guci Batu” 28 x 22,3 cm. Guci itu dibentuk dengan memukul-mukulkan tanah liat di atas roda batu, menciptakan tekstur kasar menyerupai basal.
pengrajin yang terampil. Untungnya, beberapa pengrajin Onggi yang masih hidup waktu itu, termasuk Hong Tae-gwon dan Song Chang-sik, berkumpul dan memberinya dukungan penuh. Pada tahun 1996, Kang menginvestasikan seluruh kekayaannya dan mendirikan Pusat Keramik Jeju di Daejeong-eup Yeongnak-ri; pada tahun keempat tahun di tahun 2000, ia memulai produksi Jeju Onggi dengan cara tradisional. Keunikan Tembikar menurut Perbedaan Suhu Tungku pembakaran batu disebut ‘gul’ di Jeju, yang berarti ‘gua’. Itu karena langit-langitnya berbentuk setengah silinder, yang dibentuk karena kemiringan alami tanah, membuat tungku pembakaran terlihat seperti gua. Ada dua jenis tungku pembakaran batu, yaitu ‘gul kuning’ dan ‘gul hitam’. Dinamai
2
seni & budaya korea 21
1
demikian karena tembikar yang dihasilkan dari dalamnya ma sing-masing bernuansa kekuningan dan kehitaman. Perbedaan suhu yang dihasilkan oleh setiap tungku menyebabkan perbedaan warna yang demikian. Dalam gul kuning, suhu pembakaran dinaikkan setinggi 1.100 hingga 1.200 derajat Celcius. Selama proses ini, tanah teroksidasi, dan permukaan bejana menjadi mengkilap seolah-olah dibalur vernis dan berubah kekuningan atau coklat kemerahan. Pada suhu tinggi seperti itu, berbagai motif terbentuk secara alami pada permukaan tembikar, yang oleh Kang disebut “motif api.” Gul hitam membakar tembikar pada suhu yang lebih rendah sekitar 700 hingga 900 derajat Celcius. Tutup di bagian depan dan belakang tungku pembakaran disumbat untuk me ngurangi kadar oksigen. Ini menghasilkan pembakaran yang tidak sempurna dan ketika asap menembus tembikar, membuatnya menjadi berwarna abu-abu atau hitam. Tembikar yang dihasilkan biasanya digunakan untuk menyimpan makanan kering atau mengukus makanan seperti alat pengukus.
22 Koreana Musim Panas 2018
Keindahan dari Menunggu Gul kuning dan Gul hitam di Desa Seni Pulau Jeju dipugar dalam gaya tradisional menggunakan batu lava. Kang memilih batu dengan ukuran yang sesuai atau membentuknya sesuai keperluan. Celah antara batu-batu ditutupnya dengan serpihan batu lava atau tanah liat. Gul kuning memiliki panjang 12 meter; ruang dari lubang api ke cerobong asap terbagi menjadi ruang bakar dan ruang api. Lubang api dibuat di bagian depan tungku, di bagian bawah, bersentuhan dengan tanah. Kelihatan seperti lengkungan, tetapi jika dilihat dengan baik maka bentuknya lebih berbentuk persegi dengan batu penyangga langit-langit ditempatkan di atas pilar-pilar batu yang didirikan pada kedua sisinya. Keunikan dari tungku pembakaran batu Jeju adalah lubang apinya sangat sempit. Bukan hanya di Desa Seni Pulau Jeju, tungku pembakaran batu yang telah tertutup selama lebih dari 100 tahun di Sindo-ri di Jeju barat serta yang di Pusat Keramik Jeju menunjukkan keunikan yang demikian. Bagian luar langit-langit ditutupi dengan tanah berpasir; di sisi kiri dan kanan ada 15 lubang masing-masing berdiam-
Untuk setiap tahapan proses, yakni dari mengumpulkan tanah dan kayu bakar, membangun tempat pembakaran, menyalakan api dan melakukan pekerjaan akhir, ada orang-orang berbeda yang melakukannya.
1. Ruang pameran di Pusat Keramik Jeju menampilkan produk dari pusat. Proses yang rumit dan biaya produksi yang tinggi membuat penyebaran menjadi sulit, tetapi pusat ini menarik penggemar keramik dari Jepang dan Cina. 2. Sedih melihat tungku batu tradisional dan gerabah dari Jeju memudar tinggal sejarah, Kang Chang-eon memulihkan tungku tradisional pulau itu pada tahun 2000 setelah bertahun-tahun berupaya dengan sungguh-sungguh. 2
3. “Guci Keramik Hitam” (depan), 41,4 x 33,0 cm; dan “Guci Keramik Kuning” 37,5 x 29,0 cm.
eter 15 cm yang ditempatkan dengan jarak yang sama. Lubang-lubang ini digunakan untuk memeriksa api dan menambah bahan bakar. Tidak ada cerobong di bagian belakang tungku pembakaran, tetapi sebagai gantinya, ada empat lubang kecil untuk memungkinkan nyala api keluar. Gul hitam lebih kecil, berukuran 7 meter panjangnya, dan tidak terbagi menjadi kompartemen terpisah. Onggi dimasukkan dan dikeluarkan dari tungku pembakaran melalui lubang di bagian belakang. Setelah Onggi dikeluarkan, dinding ini tidak disumbat 3 melainkan ditutup dengan batu-batu yang disusun secara longgar . Pada tungku pembakaran batu Jeju terdapat area
kerja di depan lubang api, yang dikelilingi oleh dinding batu yang terbuat dari batu lava yang disebut ‘Bujang-jengi’. Bujang-jengi ditutupi dengan rumput Arundinella hirta (Thunb.) Tanaka, untuk menahan angin dan hujan dan juga untuk melindungi tungku perapian dari angin kencang di pulau itu. Dibuat dengan bahan tanah abu vulkanik berpori, Onggi Jeju dibentuk, kemudian disimpan di dalam pondok lumpur selama 10 bulan sebelum dibakar dalam tungku perapian. Pondok terbuat dari batu lava, dan setiap celahnya diisi penuh dengan tanah untuk menahan masuk nya cahaya atau udara. Ini adalah keunikan lain dari Onggi Jeju. Seperti menunggu kelahiran satu kehidupan baru, Onggi Jeju mengajarkan kita kebajikan menunggu dengan kerendahan hati.
seni & budaya korea 23
FOKUS
24 Koreana Musim Panas 2018
Revitalisasi Ruang Kota Bekas bangunan, fasilitas komersial yang tak terpelihara dan area pemukiman yang kumuh merupakan target pendekatan baru revitalisasi perkotaan. Tempat-tempat yang jarang dikunjungi dan terlupakan terlahir kembali, menarik penghuni baru, yang menata kembali pekerjaan dan tinggal di lingkungan yang dulu terabaikan. Yoon Hee-cheol Jurusan Teknik Arsitektur Kemanusiaan, Universitas Daejin, Korea
Ahn Hong-beom Fotografer
Situs penyimpanan budaya, yang terletak di Sangam-dong di pinggiran barat laut Seoul, dibuat dengan mengubah fungsi lima tangki penyimpanan minyak bumi yang dibangun pada tahun 1970-an. Pusat komunitas terletak di tengah-tengah kompleks dibangun dengan pelat besi dari tangki yang sedang direnovasi. Berisi ruang kuliah dan ruang pertemuan.
seni & budaya korea 25
K
orea, yang bangkit dari puing-puing perang 60 tahun lalu, telah dengan cepat mengalami industrialisasi dan urbanisasi ketika ekonomi nya berubah dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun, beberapa kota metropolitan di Korea, termasuk Ibu Kota Seoul, kini menghadapi tugas berat yaitu merevalitasi daerah kumuh dengan pendekatan baru yang disebut “restorasi kota”. Berbeda dengan pembangunan total yang membutuhkan biaya tinggi, jangka panjang, dan kebijakan makro, proyek tersebut bukan hanya dapat melestarikan sebagian sejarah dan keindahan kota tetapi juga dapat mengurangi konflik terkait perkembangan dan membuka lapangan kerja baru. Simbolisme Ruang Penting Berubahnya ‘Seunsangga’, pusat perbelanjaan produk elektronik di pusat kota lama di Seoul, merupakan kasus representatif di mana bangunan kuno yang terancam dibongkar dihidupkan kembali. ‘Seunsangga’ yang dirampungkan pada 1968 itu merupakan gedung tinggi (high rise building) yang panjangnya mencapai 1km dari selatan ke utara, dan dibangun dengan menghubungkan jalan utama kota yang berpusatkan Sungai Cheonggye dan daerah Jongro yang melintasi Seoul
1
26 Koreana Musim Panas 2018
dari timur ke barat. Pada masa lalu, ‘Seunsangga’, merupakan kiblat produk elektronik di Korea adalah tempat di mana “tidak ada yang tidak ada”, bahkan ada lelucon “kita dapat membuat satelit buatan di sana”. Apalagi, gedung itu dipuja sebagai perumahan gaya baru pada masa itu. Transformasi Seunsangga, yang merupakan tempat belanja elektronik modern di pusat kota tua Seoul, merupakan contoh bagaimana bangunan kuno yang akan dibongkar dapat dihidupkan kembali dengan cara yang luar biasa. Dibangun pada 1968, Seunsangga terdiri atas bangunan multiguna yang membentang satu kilometer dari utara ke selatan, meng hubungkan jalan utama pusat Seoul di sekitar Jalan Jongno Street dan Sungai Cheongge, yang membentang dari barat ke timur. Sebagai kiblat elektronik, orang-orang akan mengatakan bahwa Seunsangga “segalanya ada kecuali yang tak ada,” dan “Anda bahkan dapat membeli satelit di sana.” Perumahan dirancang bergaya baru. Para perencana memimpikan “kompleks multiguna yang menarik sebagai tempat tinggal dan perdagangan.” Tetapi ketika distrik Gangnam dan Yongsan Seoul mulai berkembang dengan sungguh-sungguh pada tahun 1980-an, harapan untuk Seunsangga perlahan berkurang. Terlebih lagi, pada tahun 1990-an, daerah-daerah
sekitarnya mengalami kerusakan, yang kemudian diratakan dan dibangun kembali. Untungnya, pembongkaran besar-besaran terhenti sampai daerah itu mulai merasakan kekuatan penuh revitalisasi kota sekitar 2015. Seunsangga sekarang dilahirkan kembali sebagai wadah seni, teknologi dan budaya, di mana bakat seniman muda bertemu dengan prestasi legendaris dari daerah yang lebih tua, penerapan teknik revolusi industri keempat seperti pencetak 3D, drone dan lain-lain. Proyek restorasi kota bukan hanya mengubah fungsi ruang dan memperbaiki bangunan sesuai dengan fungsi yang baru. Lebih daripada itu, vitalitas dapat diperoleh ketika bentuk asli dan makna simbolis dilestarikan dan ditingkatkan citranya. Dalam hal ini, dapat ditemukan contoh lain yang mirip dengan ‘Seunsangga’. Daerah Changsin-dong dan Sungin-dong, juga di Seoul lama, dipenuhi oleh pabrik-pabrik garmen yang memasok pakaian ke Dongdaemun. Stagnasi industri garmen mendorong pemerintah membangun “Kota Baru”. Tetapi proyek itu juga dihentikan dan diganti. Sebagai gantinya, daerah itu ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum sebagai ‘daerah percontohan revitalisasi kota’ sehingga ditambah dan dilengkapi berbagai sarana prasarana wajib seperti jalan-jalan dan fasi litas kebudayaan termasuk pengaktifan Jalan Garmen. Dengan proyek revitalisasi yang berlangsung selama 4 tahun sejak 2014, beberapa fasilitas kebudayaan telah rampung atau akan rampung dalam waktu dekat. Misalnya, Museum Sejarah Garmen; Pusat Pelatihan Seni Komunikasi Changsin, basis seni hidup kreatif; dan Museum Nam June Paik, rumah pelopor seni video menghabiskan masa kecilnya,yang dibuka setelah direnovasi, di samping fasilitas budaya lainnya. Dari Bungker Tersembunyi Hingga Galeri Seni Pengubahan ruang kosong kecil yang menawarkan sekilas sejarah modern Korea merupakan contoh lain yang menarik. Ruang itu adalah bungker bawah tanah yang mungkin dibangun pada tahun 1970-an, ketika Korea berada di bawah kediktatoran militer. Ruang tersembunyi, tidak berdokumen di Yeouido, rumah parlemen Korea, ditemukan secara kebetulan pada tahun 2005, ketika pembangunan stasiun transfer bus. Ini memiliki ruang VIP 80 meter persegi dan ruang staf 800 meter persegi. Fasilitas itu tampaknya sebagai tempat pengungsian Presiden Park Chung-hee di masa darurat, yang menggunakan tribun di atas bungker untuk meninjau pawai militer selama pemerintahannya sejak 1963 hingga 1979. Pada mulanya, pemerintah kota Seoul berencana untuk mengubah bungker menjadi pusat perbelanjaan, tetapi rencana itu ditangguhkan karena “jumlah pengunjung di sekitarnya
2
3 © culturetank
1. Di Fab Lab Seoul, di Sewoon Sangga, kompleks perumahan-komersial di pusat kota tua Seoul, pengunjung dapat menggunakan printer 3D dan berbagai bahan untuk menciptakan produk mereka. Area tak terawat, yang diselamatkan oleh “Proyek Sewok Kembali” Kota Seoul 2015, diperbarui kembali sebagai ruang seni dan teknologi sinkretik. 2. Tangki penyimpanan yang tak terpelihara di belakang pusat komunitas Situs Penyimpanan Budaya dirombak sebagai ruang pertunjukan dengan menggunakan bahan dari tangki lain. Di bagian bawah terdapat panggung dengan area 200 kursi penonton. 3. Salah satu tangki minyak tua dipertahankan bentuk aslinya yang memungkinkan pengunjung untuk melihat lebih dekat struktur interiornya. Sebagian besar digunakan untuk pameran media.
seni & budaya korea 27
Proyek restorasi kota bukan hanya mengubah fungsi ruang dan memperbaiki bangunan sesuai dengan fungsi yang baru. Lebih daripada itu, vitalitas dapat diperoleh ketika bentuk asli dan makna simbolis dilestarikan dan ditingkatkan citranya.
1
28 Koreana Musim Panas 2018
berkurang dan tidak efektifâ€?. Ruang bawah tanah itu dibuka untuk umum pada bulan Oktober 2017 sebagai galeri seni, bernama SeMA Bunker setelah Museum Seni Seoul mengelola nya. Publik menyambut positif galeri itu untuk melihat pameran modernisasi Korea dan sejarah bunker. Daerah tersembunyi lain yang pernah diperbaiki terletak di kaki Gunung Maebong, di belakang Stadion Piala Dunia Seoul di Sangam-dong. Sebelumnya, itu merupakan area cadangan minyak yang aksesnya dikendalikan oleh pemerintah kota Seoul dan dibangun antara 1976 dan 1978, setelah krisis miÂnyak 1973. Terdiri atas lima tangki beton dengan diameter mulai dari 15 hingga 38 meter dan ketinggian 15 meter. Tempat ini dapat menyimpan minyak senilai satu bulan untuk penduduk Seoul. Keberadaan tempat penyimpanan, bagaimanapun, tidak diungkapkan secara terbuka pada saat itu. Pada tahun 2002, sebelum Piala Dunia Korea-Jepang, lokasi diputuskan dipindahkan karena alasan keamanan, akan tetapi
batal dan ditelantarkan selama 11 tahun. Pada 2013 para ahli dan warga berkumpul dan sepakat untuk mendirikan “kompleks budaya yang ramah lingkungan� untuk seluruh area. Berdasarkan rancangan desain yang terpilih lewat kontes internasional di mana sebanyak 95 desain dari 16 negara diajukan, sebuah tangki dari lima tangki dilestarikan untuk pameran, dan tangki lainnya masing-masing direnovasi sesuai dengan kegunaannya tanpa mengubah bentuk asal. Sebuah pusat komunitas dibangun di tengah-tengah area sebagai kenangan terhadap penyimpanan minyak yang lama. Papan baja berbentuk tangki asli digunakan untuk dinding luar, yang membuat pusat komunitas terlihat seolah dibangun di samping tangki minyak tua. Tangki yang sudah dimodifikasi sekarang digunakan sebagai panggung, ruang pameran dan multipleks, dan plaza yang luas, yaitu lapangan Neoreun, didirikan di depan tangki sebagai arena terbuka untuk mengakomodasi acara-acara kebudayaan.
2
Dari Area Industri Kuno ke Area Wisata Lembah Seni Pocheon merupakan salah satu contoh representatif yang memperlihatkan bagaimana fasilitas industri kuno dapat berubah melalui proyek revitalisasi kota. Pocheon adalah kota kecil di utara Seoul, tempat penambangan batu granit yang terkenal pada masa lalu. Batu granit di sana yang disebut ‘batu Pocheon’ kualitasnya solid dan motifnya indah, sehingga sangat populer sebagai bahan bangunan. Namun, jumlah tempat penambangan batu semakin kurang sedangkan jumlah impor bahan batu buatan Cina yang relatif murah harganya semakin banyak sejak pertengahan 1990-an. Oleh karena itu, industri penambangan batu mulai merosot dan tempat itu menjadi ruang yang tidak indah dipandang. Pada tahun 2003, kota Pocheon memulai proyek untuk merevitalisasi situs tambang, memulihkan lanskap yang rusak dan meningkatkan ekonomi lokal. Lubang-lubang besar, sisa-sisa penambangan yang terlihat, diubah menjadi danau buatan dengan menampung air hujan, dan sebuah taman patung dengan panggung pertunjukan udara terbuka yang besar dan kecil didirikan di daerah sekitarnya. Lembah Seni Pocheon dibuka pada tahun 2009, sekarang menyambut lebih dari 400.000 pengunjung setiap tahun. Pada 2017, Organisasi Pariwisata Gyeonggi memilihnya sebagai salah satu dari 10 tempat wisata teratas di provinsi. Proyek revitalisasi kota yang memberikan hidup baru pada ruang kota tua dan ditelantarkan itu dapat memperbaiki lingkungan alam, menguatkan solidaritas dan kesehatan batin warga dengan kegiatan sosial-budaya, serta berkontribusi pada peningkatan ekonomi lokal. Namun, bagaimanapun diperlukan desain yang menggambarkan identitas dan kekhasan lokal secara memesona karena revitalisasi kota merupakan usaha memulihkan ruang kota tua yang tidak berguna lagi dan juga memperbaiki kehidupan warga yang tinggal di dalamnya.
3
1. Seongsu-dong, wilayah industri percetakan, tekstil dan gudang di pusat kota Seoul sejak tahun 1960-an, berubah menjadi hotspot budaya. Gudang Daerim, pernah sebagai penggilingan dan penyimpanan beras, telah menjadi kafe galeri yang populer di kalangan orang muda. 2. Taman Inovasi Seoul, dibuka di Distrik Eunpyeong, Seoul barat, pada tahun 2015, mendukung proyek yang didukung oleh warga di bidang sosial dan ekonomi. Ditempatkan di bekas situs Institut Kesehatan Nasional dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. Foto memperlihatkan ruang belajar umum. 3. Gong, aula seni indie, menggunakan bangunan pabrik sebagai ruang pameran. Munrae-dong, kawasan industri lama di pinggiran barat Seoul, berubah menjadi ruang budaya, ketika para seniman mulai berduyun-duyun masuk ke wilayah bersewa murah.
seni & budaya korea 29
WAWANCARA
“kekuatan Saya Terdapat pada Detail” 30 koreana Musim Panas 2018
“Rumah Teh Osulloc” (Detail), Seoul, Lee Kwang-ho, Kolaborasi dengan Grav, 2017; Kabel listrik. © Rohspace
Dengan mengenakan overal yang dirancangnya sendiri dan memakai topi, desainer Lee Kwangho tampak seperti astronot di luar angkasa. “Saya suka bermimpi, dan bahagia sekali ketika saya bisa mewujudkan mimpi dan menuangkan pemikiran saya,” kata desainer muda ini. Karyanya yang eksentrik dan indah yang dibuat dari material sehari-hari dengan pengerjaan sederhana dan menekankan pada hal-hal detail mendapatkan pengakuan dalam dunia seni internasional. Chung Jae-suk Reporter Budaya Senior, The JoongAng Ilbo Ahn Hong-beom Fotografer
seni & budaya korea 31
T
erobosan pertama Lee Kwang-ho adalah sebuah keajaiban. Pameran pertama yang diadakannya setelah menyelesaikan kuliah di bidang seni metal di Hongik University tidak memperoleh sambutan yang bagus. Ia sangat kecewa dan frustrasi ketika pameran itu tidak mendapatkan ulasan sama sekali, baik yang positif ataupun negatif. Mendengar hal ini, seorang alumni senior memberitahunya mengenai situs asing yang memungkinkan para desainer mempromosikan karyanya. Lee mengumpulkan portfolio dan mempublikasikannya di situs itu. Ia putus asa, tapi juga sangat percaya diri. Meski tidak pernah belajar ke luar negeri, ia sangat yakin bahwa komitmennya yang kuat dalam mengeksplorasi material akan mendapatkan perhatian suatu aaat nanti. “Tidak lama setelah itu, saya dihubungi Les Commissaires di Montreal, Kanada,” kata Lee. “Dengan harapan besar, saya terbang ke sana. Saya bertemu Pierre Laramée, direktur dan pemilik galeri, yang mengatakan bahwa ia terkesan dengan karya saya dan menawarkan mengadakan pameran tunggal. Saya bertanya apa yang membuatnya tertarik kepada karya saya, dan ia mengatakan bahwa karya saya ‘orisinil dan spesial.’ Pameran pertama saya yang diadakan di galeri ini pada tahun 2008 mendapatkan sambutan baik, dan karya saya juga terjual dalam pameran itu. Ini membuka kesempatan-kesempat an berikutnya. Johnson Trading Gallery di New York dan Victor Hunt Gallery di Brussels menyatakan tertarik kepada karya saya, dan saya diundang dalam pameran sampel dan pameran seni internasional besar termasuk Design Miami dan Art Basel.” Ketertarikan Johnson Trading Gallery, pemain besar dalam dunia seni dan desain di New York, kepada kar yanya membuat desainer Korea ini dikenal luas dan berhasil memasuki panggung seni internasional. Dari situ segalanya menjadi mudah bagi Lee. Ia dibanjiri permintaan berkolaborasi dari galeri yang berbasis di kota-kota desain besar, seperti Berlin, Paris, London, Amsterdam dan Milan. Pada bulan April 2009, ia terpilih sebagai salah satu dari 10 desainer untuk menghadiri Milan Furniture Fair (Salone Internazionale del Mobile di Milano), yang tentu sudah diakui dunia. Memberikan Nilai pada Material Biasa “Pengerjaan sederhana merupakan konsep kunci karya saya. Kelas desain pencahayaan yang saya ikuti di bangku kuliah adalah awal segalanya,” kata Lee. “Ketika semua mahasiswa berpikir bahwa di kelas itu kami hanya mendesain cahaya dengan menutup bola
32 Koreana Musim Panas 2018
lampu dan mengganti bentuk dan bahan penutup itu, saya mencobanya dengan membuat sesuatu dari elemen dasar listrik, kabel dan bola lampu. Saya menganyam kabel. Itulah bagaimana karya saya ‘Knot’ dan ‘Obsession’ lahir.” Lee punya bakat dalam memakai material seharihari. Ia membuat kita melihat keindahan estetik dengan tekniknya menggabungkan bahan-bahan seperti kabel listrik, selang kebun dan pipa PVC yang bisa ditemui di sekitar rumah. Kabel listrik yang dianyam digantung di langit-langit tampil “estetik.” Harmoni yang diciptakan dengan penempatan bahan industri hasil produksi masal dan rajutan sangat indah dan sekaligus berselera humor. Bagi sebagian orang, karya ini menghadirkan gambaran lampu memancing di kapal dan bagi orang lain karya itu terlihat sebagai rajutan. “Ibu merajut sweter dan syal untuk saya ketika saya masih kecil. Saya suka dengan pola dan tekstur yang dibuatnya dengan wol beraneka warna. Mengingat kembali masa-masa itu, saya menganyam setiap helai dengan sangat hati-hati. Saya percaya desain yang bagus bera wal dari perhatian pada hal-hal detail. Semua tergantung bagaimana menonjolkan detail dan nilai artistiknya. Saya mengerjakannya sampai pada sentuhan akhir, dan berpikir bagaimana saya bisa menampilkan karya ini di panggung seni internasional. Saya harus fokus.” Lee mengingat-ingat kenangan mengenai lahan pertanian kakek-neneknya di Cheongpyeong, Provinsi Gyeonggi, yang biasa dikunjunginya ketika ia masih kecil. Ia membantu kakek dan neneknya ketika libur sekolah. Tangan kakeknya tampak luar biasa di mata anak kecil itu. Ia terpesona melihat kakeknya mengikat ranting semak dan menumpuk hasil panennya. Ia menyadari kemudian bahwa desain adalah proses yang sederhana, bahan baku diubah bentuknya dengan meng-
“Ibu merajut sweter dan syal untuk saya ketika saya masih kecil. Saya suka dengan pola dan tekstur yang dibuatnya dengan wol beraneka warna. Mengingat kembali masa-masa itu, saya menganyam setiap helai dengan sangat hati-hati.� seni & budaya korea 33
1 © Gallery Seomi
gunakan tangan. Kenangan mengenai kakek dan masa kecil yang dihabiskannya di pedesaan merupakan sumber inspirasi proyek kerajinan tangannya. Desain dengan Banyak Cerita “Proyek kolaborasi bersama brand fesyen Fendi de ngan judul ‘Fatto a Mano for the Future’ pada bulan Maret 2011 merupakan kesempatan bagi saya mengukuhkan pilihan bekerja dengan tangan saya,” kata Lee. “Ketika duduk bersebalahan dengan pengrajin Fendi dan me nganyam tali kulit, saya menyadari bahwa pekerjaan ini akan dilakukan oleh manusia untuk waktu yang lama. Keindahan karya ini harus mengesankan bagi siapapun yang melihatnya. Aktivitas sederhana ini bagus untuk mengisi waktu dan membersihkan pikiran Anda. Begitu objeknya mulai berbentuk, ia akan menstimulasi imajinasi Anda dalam berproses kreatif ke tingkat berikutnya.” “Kursi ramyeon” dalam seri “Obsession” karya Lee,
34 Koreana Musim Panas 2018
yang disebut demikian karena sangat mirip dengan mi keriting instan, sukses besar di galeri mana pun di seluruh dunia. Ketika melihat kursi ini, anak-anak bergegas menghampiri, menyentuh, lalu duduk di atasnya. Kursi ini bukan hanya sebuah perabot, tapi menjadi arena bermain. Ciri dan filosofi desain Lee adalah fleksibilitas: karyanya memantik imajinasi pengunjung, menginspirasi mereka untuk berpikir mengenai kegunaan lain dari sebuah objek. Ia suka membuat perabot yang punya banyak cerita tergantung dari ruangan yang tersedia. “Desain seperti dongeng,” kata Lee. “Saya memberikan judul ‘The Shape of the River’ pada karya saya dari tembaga. Biasanya, judul akan muncul dalam pikiran saya ketika saya bekerja. Saya mulai dengan pekerjaan sederhana, tapi kemudian karya itu menjadi makin rumit. Pro ses keseluruhan ini menarik. Tahap ini terus berulang, dan akhirnya menjadi sebuah desain yang bagus.” Tahun lalu, Lee mengubah sebuah rumah tiga lantai
Memperluas kolaborasi Lee sudah berkolaborasi dengan banyak brand, termasuk Christian Dior, Swarovski, Onitsuka Tiger dan Gentle Monster, melalui perusahaannya “k L o” (Kwang-
1. Seri “Obsesi”, Lee Kwang-ho, 2010; PVC 2. “Osulloc 1979” (Detail), Seoul, Lee Kwang-ho, Kolaborasi dengan Grav, 2017; Granit, enamel, tembaga, aluminium, baja tak berkarat, styrofoam, kaca, dan kayu 3. Seri “Bentuk Robekan”, Lee Kwang-ho, 2017; Tembaga © Rohspace
2
ho Lee Office). Lingkup proyek kolaborasinya makin meningkat. Dulu, ia hanya menerima tawaran dari brand yang melihat kemiripan antara tekniknya dan metode menenun benang, tapi sekarang ia juga menerima tawaran dari hotel dan perusahaan besar. 3 Kantor pusat AmorePacific yang baru adalah salah satu proyek kolaborasi Lee. Gedung yang didesain oleh arsitek Inggris David Chipperfield ini dan selesai tahun ini menampilkan komposisi spasial yang tidak konvensional dan sentuhan Lee bisa dilihat di setiap sudut. Lobi luas dengan struktur yang bagus siap menyambut pengunjung, yang bisa rileks dengan nyaman di kursi dan sofa berwarna merah, biru, kuning, hijau dan coklat dari serinya “Obsession”. Lee juga mendesain ruangan untuk O’sulloc Tea House dan ruang minum premiumnya, O’sulloc 1979, untuk perabot, pencahayaan dan interiornya, yang sangat disukai oleh pengunjung. Interiornya memberikan perasaan rileks dan seolah minum teh di lingkungan yang alami, di dalam hutan atau gua. “Saya memakai granit karena saya suka tekstur seperti biji-bijian terlihat di permukaannya. Ini bahan dengan banyak sekali kegunaan,” kata Lee. “Projek AmorePacific sangat berkesan karena saya bisa menggunakan batu dengan tekstur dan berat yang berbeda-beda untuk menciptakan karya dengan ukuran dan fungsi yang beragam, dan memakainya di ruang yang tersedia. Dalam proyek besar seperti itu, nilai artistik elemen kecil sangat penting. Saya melihat konfigurasi spasial gedung besar, tapi saya menyadari bahwa pada akhirnya, semua terletak pada kesempurnaan detailnya. Saya ingin berkarya, dengan pengalaman bekerja dengan bahan yang sudah saya lakukan sebelumnya.” Pada tahun 2017, Lee sekali lagi menjadi sorotan dunia ketika ia mendapatkan penghargaan Designer of the Year di Mercado Arte Design (MADE), sebuah pameran desain dan seni di Sao Paolo, Brazil. Ia berencana mengadakan pameran tunggal tahun ini di Salon 94 di New York. Dengan membanjirnya proposal kolaborasi, desainer yang sibuk ini mengatakan dengan rendah hati. “Saya memilih profesi yang bagus dan saya sangat beruntung.”
seni & budaya korea 35
© Ji Yohan
menjadi studio seni. Seperti desainnya, studio ini indah dengan interior yang rapi yang dihias dengan bahan metalik namun tetap mempertahankan bentuk asli bangunan batu bata tua. Lokasinya ideal karena dekat pabrik yang sangat penting untuk karyanya. Selama lebih dari 10 tahun, ia sudah bekerja dengan perusahaan plastik dan pengelasan yang sama yang sudah sangat memahami konsepnya. Mereka teman yang sepandangan yang mendukung keinginannya yang tidak familier dan idenya yang aneh.
JATUH CINTA PADA KOREA
Lebih Korea dari Orang Korea Di tahun ke-19 tinggal di Korea, Lee Mahbub bertransformasi dari pekerja biasa menjadi aktivis dan selebriti film. Lee mengatakan ia akan terus berjuang untuk hak asasi para imigran dan migran, sehingga negara angkatnya menjadi bangsa multikultural yang lebih terbuka dan toleran.
L
Choi Sung-jin Editor Eksekutif, Korea Biomedical Review Ahn Hong-beom Fotografer
ee Mahbub adalah seorang aktor, sutradara film dokumenter, importir dan distributor film, penyelenggara festival film, dan penulis. Dan, ia adalah warga negara Korea. Ia adalah warga negara Korea naturalisasi dan sudah tinggal di Korea selama hampir dua dekade. Jadi, konyol sekali menanyakan apa yang disukai dan tidak disukai tentang negara angkatnya itu. “Saya sudah sangat terbiasa dengan cara hidup bangsa Korea — makanan, budaya dan segalanya,” kata Lee. “Sedemikian kuatnya, sehingga ketika saya mengunjungi Bangladesh, negara asal saya, saya merasa tidak nyaman. Rasanya seperti sakit perut ketika Anda berganti air minum.” Awal yang Sulit Lee pertama kali datang ke Korea pada tahun 1999. Saat itu ia berusia 21 tahun dan bernama Mahbub Alam. Ia berniat tinggal selama tiga tahun dan mencari uang untuk melanjutkan pendidikan di jurusan administrasi bisnis dan membayar biaya kesehatan ibunya yang sedang sakit di negara asalnya. Namun, ada dua peristiwa yang mengubah rencananya. Pertama, ibunya meninggal sekitar enam bulan kemudian,. Peristiwa ini memupuskan niatnya pulang. Kedua, situasi sangat buruk yang dihadapi sebagian besar pekerja migran di Korea menyita perhatiannya. Pelecehan dan diskriminasi terhadap pekerja asing dalam banyak cara sangat marak terjadi pada saat itu. Bahkan, sampai sekarang pun masih ada. Lee melawan atasannya yang berkebangsaan Korea karena memukul, memaki dan sering kali menunda pembayaran upah para pekerja asing. Awalnya, ia berjuang sebagai anggota eksekutif Persatuan Pekerja Migran (MTU) dan ikut dalam unjuk rasa, termasuk protes sebulan penuh di Katedral Myeongdong, lokasi yang digunakan aktivis pro-demokrasi di Seoul pada
36 Koreana Musim Panas 2018
tahun 1980an. Kemudian, ia menyadari adanya cara lebih efektif yang lebih cocok dengan dirinya, yaitu membuat film dokumen ter tentang kehidupan pekerja migran dan pernikahan imigran. “Sejak duduk di sekolah menengah atas, saya suka menulis dan menonton film,” kata Lee. Di MTU, ia bekerja di bagian humas dan membantu menyebarluaskan pandangan organisasi itu. “Saya ingin menyampaikan gagasan dengan cara yang menyenangkan, bukan permusuhan. Jadi, saya membuat sebuah kegiatan yang memungkinkan orang menyanyi dan menikmati pertunjukan yang menghibur.” Melalui aktivitas ini, Lee bertemu orang-orang Korea yang bergerak dalam bidang seni dan budaya, termasuk mereka yang bekerja dalam industri film. Suatu hari, seorang sutradara film meminta Lee untuk merekomendasikan orang asing yang bisa berperan sebagai pekerja migran yang jatuh cinta kepada gadis Korea. Ia mencari orang diminta, tapi tidak berhasil; dan akhirnya ia mengajukan diri untuk peran itu. Lee memerankan tokoh Karim, pekerja migran Muslim berusia 29 tahun dari Bangladesh yang dilecehkan oleh atasannya yang berkebangsaan Korea. Demi peran ini, ia melakukan diet ketat untuk menurunkan berat badan secara drastis. Aktris Baek Jin-hee tampil bersamanya sebagai siswa sekolah menengah atas berusia 17 tahun. Sutradaranya adalah Shin Dong-il, dan mereka bersama-sama membuat film “Bandhobi” (yang artinya “teman perempuan” dalam bahasa Bengali). Film ini berhasil menarik penonton terbanyak ketiga dari semua film indie yang menampilkan bintang Korea dan aktor asing di tahun 2009. Mengatasi Diskriminasi dengan Bekerja Keras Ini adalah pengalaman yang sangat bagus bagi Lee, tapi
Lee Mahbub, lahir di Bangladesh, datang ke Korea sebagai pekerja asing. Dia akhirnya menjadi sutradara film dan aktor dan melindungi hak-hak buruh migran. Lee saat ini bekerja untuk solidaritas kelompok minoritas sambil mengelola M & M International, importir dan distributor film asing.
seni & budaya korea 37
© Cine21
2 © M&M International
1 1. Lee Mahbub muncul sebagai protagonis, Karim, dalam “Bandhobi,” sebuah film indie berbiaya rendah yang menggambarkan persahabatan antara pekerja asing muda dari Bangladesh dan seorang gadis SMA Korea, yang dimainkan oleh Baek Jin-hee (kiri). 2, 3. Poster dari “Kota Mesin Derek” film lain di mana Lee Mahbub memainkan karakter utama, dan “Senama” (Judul asli: “Ryeonhi dan Yeonhi”) didistribusikan oleh M & M International.
harga yang harus dibayarnya sangat mahal. Di media sosial, banyak orang Korea bicara buruk mengenainya, beberapa bahkan sempat mengancam akan membunuh. Namun, Lee sudah tidak asing dengan perlakuan diskriminasi, etika atau rasial. Sewaktu masih anak-anak, ia diperlakukan sebagai orang luar bahkan di Bangladesh sendiri karena keluarganya pindah ke sana dari India. “Saya bisa merasakan perlakuan yang berbeda kepada saya dan keluarga saya, langsung dan tidak langsung,” kata Lee. Keputusannya untuk tidak kembali ke Bangladesh dan mengganti kewarganegaraannya merupakan reaksi perlakuan diskriminasi yang dialaminya di sana. Namun, ada juga lain. “Diskriminasi di sini lebih berat dibanding di negara asal saya, yang kadang-kadang membuat saya ingin kembali ke sana,” katanya. Menentang diskriminasi tapi tidak melakukan apa-apa tidak akan mengubah keadaan, pikirnya. “Makin takut dan sakit hati, makin keras saya bekerja,” katanya. Untungnya, ia bertemu dengan orang-orang Korea yang punya pemikiran sama dengannya, termasuk seniman dan sutradara film. Melalui bidang ini pula, Lee bertemu istrinya, Lee Mi-yeon, yang nama keluarganya ia pakai. Pada tahun 2012, ia menerima penghargaan Sejong Cultural Award, yang dianugerahkan oleh Menteri Budaya, Olahraga dan Pariwisata, untuk kontribusinya menjadikan Korea sebagai bangsa multikultural yang lebih terbuka dan toleran. “Saya berkata kepada diri saya sendiri, ‘Saya adalah orang yang dicintai bangsa ini,” kenangnya. “Saya ingin men-
38 Koreana Musim Panas 2018
3
jadi bangsa Korea sepenuhnya, yang menurut saya akan membuat saya lebih mudah berkarya di sini.” Tanpa disadarinya, Lee sudah menjadi “orang Korea sejati.” “Saya menjadi pemarah seperti kebanyakan orang Korea, ingin segala sesuatu selesai lebih cepat.” Makanan Korea favorit Lee adalah samgyeopsal (bagian perut babi yang diiris tipis) dan soju (minuman hasil penyulingan yang murah). Ketika bekerja, ia sering kali makan hoesik (makan malam bersama staf) bersama para pekerja migran dari latar belakang yang beragam. Biasanya, ialah yang menentukan menu, dan sering kali memilih hidangan ayam. Sebagai seorang Muslim, ia harus menghindari babi dan harga daging sapi terlalu mahal. Akhirnya, semua orang bosan makan ayam dan ingin makan samgyeopsal dan soju. Ia memesan daging babi dan soju untuk teman-temannya, dan ia makan hidangan lain. “Lalu, pada suatu hari, saya pikir lebih baik mengesampingkan prinsip agama jika hal itu membuat saya tidak bisa menikmati hidup dan berbaur dengan orang lain,” kata Lee. “Awalnya, saya merasa sedikit tidak nyaman, tapi saya berangsur-angsur mulai menikmati rasanya. Ketika saya merasa terlalu berinyak setelah makan daging babi, soju membersihkannya.” Lee saat ini memegang M&M International, sebuah perusahaan impor dan distribusi film asing, yang sebagian besar filmnya berbiaya murah dan dibuat di negara berkembang. Lee pernah pergi ke Wina, dan ia melihat “Bandhobi” ditayangkan di layar televisi buram di sebuah rumah makan dengan sulih
“Banyak orang berpikir “mimpi Korea” adalah kisah pekerja asing yang menjadi kaya dengan cepat, lalu pulang. Namun, nyatanya, kebanyakan pekerja migran bekerja sebagai pekerja kasar, melakukan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh orang Korea — dan tidak mau — dengan upah rendah.”
suara yang kacau. Di Nepal, ia mendapati film ini di antara DVD bajakan. “Ada permintaan film Korea di luar negeri, namun tidak ada infrastrutur untuk menayangkannya. Sama halnya dengan film indie asing di Korea, film Korea berbiaya murah hampir tidak bisa sampai ke penonton di luar negeri.” Mimpi Korea — Sebuah Tujuan Jangka Panjang Dalam filmnya, Lee ingin para pekerja migran, atau imigran tampil sealami mungkin — tidak terlalu mengenaskan dan tidak juga bahagia berlebihan. Ia menyebut “The African Doctor,” sebuah film komedi garapan sutradara berkebangsaan Perancis Julien Rambaldi yang ringan tapi punya pesan mendalam sebagai contoh. Lee juga menyinggung masalah hallyu, atau Gelombang Korea. Pembuat kebijakan terobsesi dengan seberapa cepat dan luasnya mereka bisa menyebarkan K-pop dan produk budaya lain ke luar negeri. “Mereka tertarik mengimpor produk budaya asing, tapi ketertarikan ini terbatas pada negara Barat yang sudah maju. Hanya sedikit dari mereka yang memperkenalkan film dari negara Asia lain, meski kebanyakan pekerja di sini dari negara-negara di Asia Selatan dan Tenggara.” Inilah alasan Lee percaya bahwa perjalanan Korea menjadi negara multikultural masih panjang. Ia mengatakan jika dilihat dari kesadaran publik dan institusi terkait, Korea tampak nya belum siap menerima para pekerja imigran, yang berakibat pada kelalaian akan hak dasar dan kesejahteraan mereka. Di matanya, pemimpin Korea hanya punya sedikit kepedulian, jika ada, dalam mengembangkan kebijakan yang komprehensif. Mereka berpura-pura menaruh perhatian pada isu tersebut, katanya. Pemilihan Jasmine Lee, selebriti televisi dan aktris dari Filipina sebagai anggota Mahkamah Nasional di tahun 2012 tak lebih dari sekadar peristiwa biasa, dan tidak ada kelanjutannya setelah itu, kata Lee. “Imigran bukan lagi penduduk asing. Banyak di antara mereka sudah menjadi warga negara Korea melalui pernikah
an, perpanjangan masa studi, atau naturalisasi,” catatnya. “Rendahnya tingkat kesuburan adalah masalah paling serius di Korea. Para imigran bisa membantu mengatasi masalah yang timbul dalam hal demografi ini, tapi bangsa Korea menga baikan potensi itu.” Lee juga menganggap istilah “mimpi Korea” sebagai suatu hal yang sepihak. “Banyak orang berpikir “mimpi Korea” adalah kisah pekerja asing yang menjadi kaya dengan cepat, lalu pulang. Namun, nyatanya, kebanyakan pekerja migran bekerja sebagai pekerja kasar, melakukan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh orang Korea — dan tidak mau — dengan upah rendah.” Kebanyakan warga Korea yang ditemui Lee, setelah me ngetahui bahwa sekarang ia menjadi warga negara Korea, bertanya mengenai negara asalnya dan apakah ia sekarang sudah kaya. “Saya melihat ini semacam keingintahuan yang tidak sopan dan tidak menyenangkan. Tapi, banyak orang Korea tidak peduli atau memang mereka sangat ingin tahu mengenai kami.” Ketika ditanya mengenai harapannya, Lee mengatakan ia ingin melihat Korea Selatan dan Utara berdamai karena ia melihat banyak orang Korea tidak dapat menyembunyikan perasaannya tentang pemisahan negara mereka. Ia juga melihat adanya terobosan-terobosan dalam kebijakan pariwisata, yang menekankan perlunya mengembangkan program bagi pengunjung untuk bisa merasakan pengalaman kehidupan sehari-hari bangsa Korea, bukan hanya fokus pada destinasi wisata yang populer saja. Bagaimana kehidupan pribadinya 10 tahun dari sekarang? Ia menjawab bahwa ia ingin tetap terlibat dalam industri film. Lee, yang kini berusia 40 tahun dan sudah menikah selama 10 tahun, mengatakan ia dan istrinya belum berencana punya anak dalam waktu dekat. Mengapa? Karena ia tidak yakin anak-anaknya tidak mengalami prasangka dan diskriminasi dalam masyarakat Korea. Menurutnya, ia sudah lebih Korea daripada orang Korea.
seni & budaya korea 39
DI ATAS JALAN
Kampung Halaman Jeong Yak-yong
Buaian Kemasyhuran Jeong Yak-yong memimpikan masa pencerahan Joseon bersama Raja Jeongjo, dengan menerapkan intelektualitas kritis atas kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan bidang lain dan mendorong lahirnya aksi nyata. Tahun ini menandai ulang tahun ke-200 publikasi karya Jeong yang sangat penting “Tata Cara Memerintah Rakyat� (Mongmin simseo) dan kembalinya dari 18 tahun di pengasingan. Meski sudah lebih dari 180 tahun sejak ia meninggal, namanya masih berada di Chocheon, sungai kecil yang mengalir di sepanjang kampung halamannya. Lee Chang-guy Penyair dan Kritikus Sastra Ahn Hong-beom Fotografer
Š Choi Il-yeon
40 Koreana Musim Panas 2018
Sungai Han Selatan dan Utara bertemu di Dumulmeori di wilayah Yangpyeong, Provinsi Gyeonggi, dan mengalir ke Sungai Han. Daerah itu kehilangan fungsinya sebagai pusat transportasi untuk orang dan barang, tetapi masih menghasilkan kabut fajar yang mengilhami karyakarya artistik.
seni & budaya korea 41
K
abut mengganggu pendangan kita, membuatnya kabur. Namun, tidak sepenuhnya terhalang. Mata kita masih bisa menangkap apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi. Keingintahuan estetik muncul ketika ada keseimbangan antara bagian yang transparan dan terbuka dan apa yang tersembunyi. Dumulmeori, dilihat dari Kuil Sujong, selalu menjadi destinasi para penyair dan seniman yang ingin membaca beberapa bait puisinya mengenai keindahan dan kebersihan Sungai Han yang mengalir di bawahnya atau melukis pemandangan yang terhampar di depannya dengan kuas. Sekarang, tempat ini menjadi panorama favorit fotografer amatir.
Kuil Kuno dan Kabut Pagi Dumulmeori (secara harfiah berarti “pertemuan dua sungai”) adalah nama yang lazim digunakan untuk tempat bertemunya dua aliran air. Di sini, kata ini mengacu kepada bagian selatan Yangsuri di Propinsi Gyeonggi, tempat bertemunya Sungai Han Utara dan Sungai Han Selatan. Dengan waktu tempuh satu jam dengan mobil dari Seoul, melewati Hanam dan menyeberangi Jembatan Paldang, sampailah kita di tempat sunyi dengan pemandangan sungai dan gunung. Tempat ini menja© HUFS KContents Wiki
1
1. Tahun ini menandai peringatan 200 tahun “Kritik tentang Pemerintahan Rakyat” (Mongmin simseo), salah satu karya Jeong Yak-yong yang paling penting. Buku setebal 48 halaman ini sangat diakui karena kritiknya terhadap tirani pejabat pemerintah dan saran tentang bagaimana hakim lokal harus melayani rakyat. 2. Ketika Jeong Yak-yong dibebaskan dari 18 tahun pengasingan, dia kembali ke Majae, Provinsi Gyeonggi, dan tinggal di sana selama 18 tahun sampai kematiannya. Dia berharap dapat menghabiskan masa hidupnya dengan memancing di kota kelahirannya.
42 Koreana Musim Panas 2018
di destinasi bagi penduduk ibukota dan pasangan yang sedang berkencan. Jalan mendaki sekitar 300 meter di Gunung Ungil menuju Kuil Sujong diwarnai pemandangan dua Sungai Han di kanan kiri di bawahnya. Dumulmeori punya pemberhentian feri dengan rute yang menghubungkan Jeongseon di Propinsi Gangwon dan Danyang di Propinsi Chungcheong Utara dengan pelabuhan di Ttukseom atau Mapo di ibukota. Ketika Bendungan Paldang dibangun pada tahun 1972, tempat bersejarah ini kehilangan fungsinya. Bendungan ini menyebabkan sungai menjadi lebar dan arus airnya menjadi lambat, dan lingkungan sekitarnya menjadi seperti lingkungan danau dengan tumbuhnya rumput liar, teratai dan kaltrop air — tanaman air yang tumbuh subur di air yang menggenang. Dengan keadaan ekologis seperti ini, banyak taman dibuat di tepi sungai dengan fasilitas beragam dan dihiasi banyak karya seni rupa, di antaranya Semi Garden dan Dasan Ecological Park, yang ramai di hari-hari kerja. Ini tentang kabut pagi. Di pagi hari, ketika perbedaan suhu antara air dan daratan besar, kabut naik ke atas permukaan air. Kabut yang naik dari Danau Cheongpyeong, lalu menuju ke atas gunung, dan akhirnya turun di tepi sungai di Dumulmeori menjelang siang ini menciptakan pemandangan yang sangat menakjubkan. Mereka yang beruntung melihat kabut ini akan menghentikan langkahnya, seolah terjebak dalam pemandangan yang langka. Jika Anda melihat matahari terbit di Dumulmeori dari Kuil Sujong, salah satu tempat terbaik menikmati pemandangan Sungai Han, berhentilah di kafe kecil dekat tempat parkir di jalan menurun dan berbincanglah dengan perempuan pemiliknya. Ia akan memperlihatkan kepada Anda beberapa foto pemandangan Dumulmeori yang penuh misteri yang membawanya ke tempat itu. Ketika Jeong Yak-yong (1762-1836; nama penanya Dasan, artinya “Gunung Teh”) yang berusia 22 tahun lulus ujian pegawai negeri tingkat rendah pada musim semi 1783, ia pergi ke Kuil Sujong bersama sepuluh temannya. Itulah cara merayakan keberhasilan dirinya dan memenuhi keinginan ayahnya untuk pulang bersama teman-temannya dalam keadaan “tidak terlalu berantakan”. Itu terjadi tujuh tahun sejak Jeong meninggalkan rumah dan pergi ke Seoul untuk belajar dan mengikuti ujian negara, setelah menikah pada usia 15 tahun, dan tahun-tahun itulah ayahnya sangat khawatir. Dengan kepulangannya ini, Jeong ingin membangun solidaritas di antara para Namin, atau orang-orang Selatan, kelompok politiknya. Kuil Sujong, tempat bersejarah berusia lebih dari seribu tahun, terletak di latar alam yang indah, tidak jauh dari kampung halaman Jeong Majae (“Bukit Kuda”). Ketika masih kecil, Jeong sering mengunjungi kuil untuk membaca dan menulis puisi. Dalam kunjungannya setelah lulus ujian, ia minum ketika bulan menampakkan diri dan menulis puisi sebagai ungkapan
2
seni & budaya korea 43
“kegembiraan datang kembali sebagai orang dewasa ke tempat bermain masa kecil.” Ia mengabadikan momen hari itu dalam buku berjudul “Perjalanan ke Kuil Sujong” (Sujongsa yuramgi). Duaratus Tahun Bebas dari Pengasingan Dibandingkan dengan karya-karya kontemporer, karya Jeong Yak-yong digemari di Korea sama seperti Johann Gottlieb Fichte di Jerman atau Voltaire di Perancis. Ia menulis buku dan karya lain, yang merupakan hasil pemikiran kritisnya melampaui jaman itu, yaitu mengenai kamampuan kenegaraan (gyeongse chiyong). Pada tahun 2012, Jeong Yak-yong adalah salah satu sosok besar dalam program “Perayaan Ulang Tahun” UNESCO, bersama dengan Herman Hesse, Claude Debussy dan Jean-Jacques Rousseau. Tahun ini menandai ulang tahun ke-200 publikasi karya Jeong “Tata Cara Memerintah Rakyat” (Mongmin simseo) dan kembalinya dari 18 tahun di pengasingan ke rumahnya di Majae. Dalam bulan April, kota Namyangju (tempat Majae berada) dan Komisi Nasional Korea untuk UNESCO mengadakan simposium internasional di Seoul untuk memperingati peristiwa ini. Jeong sudah menulis 500-an dan kita mengacu kepada karyanya ketika memikirkan jalan yang kita ambil sekarang. Raja Gojong, yang berjuang melindungi negara dari kekuatan
1
44 Koreana Musim Panas 2018
luar di paruh akhir abad ke-19, merujuk kepada buku Jeong setiap kali terpuruk dalam mengejar mimpi reformasi dan otonomi, menyesal karena tidak hidup di jaman Jeong. Meski bertujuan mengeksplorasi bagian tepi sungai Han tempat Jeong Yak-yong lahir, tumbuh dan menghabiskan tahun-tahun terakhirnya; dan untuk melacak jejak hidup dan pemikirannya; tulisan ini menggambarkan Jeong sebagai akademisi yang tidak kaku. Jeong membaca “Seribu Tokoh Klasik” di usia empat tahun, menulis puisi di usia tujuh tahun, dan di usia sepuluh tahun sudah menulis buku kumpulan puisi. Di samping kecemerlangannya itu, ada beberapa detail yang membuatnya manusiawi. Misalnya, selain menarik perhatian Raja Jeongjo setelah lulus ujian pegawai negeri tingkat rendah, ia beberapa kali gagal dalam ujian tingkat tinggi sampai usia 28 tahun. Namun, Jeong sendiri tentu tidak ingin dikenang sebagai orang yang berpikiran sempit. Kabur Empat Hari dari Istana Jeong, yang diangkat oleh Raja Jeongjo, bergabung dengan lembaga riset dan perpustakaan kerajaan bernama Gyujanggak dan kemudian menduduki beberapa posisi penting, mengonsep dan mengeksekusi kebijakan reformasi Jeongjo. Namun, ada dua kelalaian pada pekerjaannya; tampaknya perangai yang
Dibandingkan dengan karya-karya kontemporer, karya Jeong Yak-yong digemari di Korea sama seperti Johann Gottlieb Fichte di Jerman atau Voltaire di Perancis. Jeong sudah menulis 500-an buku, dan kita mengacu kepada karyanya ini ketika memikirkan jalan yang kita ambil sekarang. nyentrik cocok dengan bakat dan keahliannya. Dalam suatu kesempatan, dengan alasan mengunjungi ayahnya yang bekerja sebagai seorang hakim di Jinju yang terletak jauh dari ibukota, ia membolos. Ini terjadi di tahun keduanya sebagai peneliti yang sedang menjalani pelatihan khusus di lembaga kerajaan. Ketika raja mengetahui hal ini, ia memerintahkan Jeong dibawa ke pengadilan dan dihukum 50 kali cambuk, tapi kemudian segera mengakhiri hukuman itu dan mengampuninya. Ketika menjabat sebagai sekretaris kerajaan yang harus mematuhi perintah raja, Jeong membuat ulah lagi. Dalam tulisannya, ia menjelaskan perbuatan itu. “Saat itu tahun 1797, ketika saya tinggal di kaki Gunung Nam di Seoul. Melihat bunga delima sedang mekar dalam suasana gerimis, saya pikir itu saat yang tepat memancing di Chocheon. Aturannya adalah pegawai pengadilan hanya boleh meninggalkan ibukota setelah mendapatkan ijin. Karena tidak mungkin mendapatkan ijin liburan, saya pergi begitu saja ke Chocheon. Esok harinya, saya menebar jaring di sungai, mulai memancing dan berhasil menangkap 50 ikan, besar dan kecil. Kapal kecil itu tidak bisa menahan beban tangkapan dan hanya tersisa lima inci di atas permukaan air. Saya pindah ke kapal lain dan berlabuh di Namjaju, lalu kami berpesta ikan.” Chocheon adalah sungai kecil dikelilingi oleh rumput liar di desa tempat Jeong dibesarkan. Baginya sungai ini adalah simbol rumah dan Namjaju adalah pulau kecil berpasir di bawah Dumulmeori. Namun, petualangan Jeong tidak berhenti di situ. Setelah makan ikan, ia ingin makan sayuran hijau. Ia mengajak teman-temannya dan mereka menyeberangi sungai menuju Cheonjinam di Gwangju. Di tempat ini Jeong dan saudara laki-lakinya mengenal ajaran Katolik dan walaupun kapalnya ditambatkan sangat dekat, rumah yang mereka tuju jauh di gunung sehingga mereka harus berjalan sekitar 10 kilometer. “Kami berempat pergi ke Cheonjinam bersama saudara-saudara lain. Setelah sampai di gunung, kami melihat tanaman tumbuh subur dan hijau, bunga-bunga bermekaran di semua tempat, dan wanginya menusuk hidung. Semua jenis burung bernyanyi dengan nyaring, suaranya jernih dan merdu. Ketika kami mendengar burung-burung itu bernyanyi, kami
2
1. Semiwon, sebuah taman ekologi di Yangpyeong, merupakan tempat peristirahatan musim panas yang populer. Terdapat sekitar 270 jenis tanaman, 70 jenis dari mereka berupa tanaman air. 2. Pemandangan menakjubkan Dumulmeori mulai dari Kuil Sujong di Gunung Ungil menarik banyak penyair dan seniman dari masa lalu. Karena tempat itu tidak jauh dari tempat kelahirannya, Jeong Yak-yong yang sering pergi ke kuil ketika anak-anak untuk membaca dan menulis puisi.
berhenti dan melihat sekeliling untuk menikmati semua itu. Kami sampai di kuil dan menghabiskan waktu dengan minum dan membaca puisi, dan tinggal di sana selama empat hari. Saya menulis 20 puisi saat itu, dan kami makan 56 jenis tumbuhan hijau pegunungan termasuk shepherd’s purse yang memiliki buah menyerupai dompet kecil, pakis dan angelica.” (dari “Kumpulan Puisi dan Prosa Dasan” [Dasan simunjip], Vol. 14) Tidak diketahui apakah ketidakhadirannya bekerja ini dilaporkan kepada raja. Bagaikan Menyeberangi Sungai di Musim Dingin Selama periode dinasti Joseon, selain nama formal mereka, banyak orang memakai ho, yang artinya “nama pena,” atau “nama populer,” yang digunakan oleh teman-teman dekat. Pada umumnya, nama pena mencerminkan kepribadian seseorang
seni & budaya korea 45
atau ciri khususnya. Sering kali, rumah juga diberi nama dan kadang-kadang mereka memakai nama rumah mereka menjadi nama pena. Ketika Dasan kembali ke kampung halaman setelah pensiun dari pegawai negeri, ia memberi nama rumahnya Yeoyudang (Rumah Kebimbangan). “Saya tahu kelemahan saya. Saya punya tekad tapi tidak punya kemampuan menyelesaikan sesuatu. Saya suka melakukan hal-hal baik tapi tidak punya kemampuan menempatkan prioritas dan memilih sesuatu. Jadi, perjalanan saya melahirkan sebuah karya menemui banyak kegagalan. Laozi saya (yaitu Tao Te Ching) mengatakan bahwa untuk menghasilkan karya yang bagus, seseorang harus ‘bimbang, seperti mereka yang menyeberangi sungai yang tertutup es beku’ dan dalam melakukan segala sesuatu, ‘tidak yakin, seperti mereka yang takut akan sekeliling.’ Ini sangat disesalkan. Namun, kedua kalimat ini merupakan jawaban bagi titik lemah saya!” Menjadi pegawai muda yang dekat dengan raja membuatnya tidak mungkin menghindari punya musuh politik. Penerimaan Jeong atas Seohak, atau Pembelajaran Barat, dan ajar an Katolik berarti bahwa kedekatannya dengan raja tidak bisa membatasinya. Di bulan pertama tahun 1800, Jeong pensiun dan kembali ke kampung halaman, tempatnya mendapat-
46 Koreana Musim Panas 2018
kan perahu kecil untuk memancing dan sebuah kabin. Ia ingin tinggal bersama keluarganya di atas kapal itu, memancing di Chocheon, dan sudah mempersiapkan papan nama untuk kapalnya, menunjukkan betapa ia sangat ingin mewujudkan impiannya ini. Namun, papan nama ini tidak pernah terpakai. Tekanan Gereja Katolik, yang mulai terjadi setelah kematian mendadak Raja Jeongjo pada musim panas tahun itu, mengancam nyawa Jeong Yak-yong dan kakak laki-laki keduanya, Jeong Yak-jeon. Mereka diasingkan ke tempat terpencil. Jeong Yak-jong, kakak ketiganya yang setia pada keyakinan mereka, dibunuh. Selain “Dasan,” Jeong Yak-yong punya nama pena lain yaitu “Sammi”, yang artinya “tiga alis”. Dari kata ini lahirlah kata “Sammijip,” judul kumpulan puisi masa kecilnya. Sebagai akibat cacar air yang dideritanya ketika masih kecil, ia punya bekas luka di dahi yang membuatnya tampak seolah memiliki tiga alis. Jeong punya sembilan anak, tapi cacar air dan campak merenggut nyawa enam di antaranya. Jeong meninggalkan dunia menulis, berduka atas kepergian anak-anaknya. Mereka dikebumikan di pemakaman keluarga di gunung belakang kampung halamannya, kecuali anak perempuan tertuanya, yang meninggal di usia empat hari. Karena rasa
Objek Wisata di Yangpyeong
Kuil Sujong Sungai Han Utara
Semiwon Sungai Han
Yangpyeong
Hanam Danau Paldang
Seoul
Gwang
Cheonjinam
Makam Jeong Yak-yong
Ruang Peringatan Dasan
dukanya ini, Jeong mencari informasi mengenai pengobatan penyakit itu dan menulis dua buku medis, mengenai penangan an campak dan pencegahan cacar air. Melewatkan Musim Panas di Tepi Sungai Han Setelah menghabiskan 18 tahun di pengasingan di Gangjin, Jeong Yak-yong tinggal di kampung halamannya selama 18 tahun sebagai kompensasi waktu yang dilewatkannya di pengasingan itu. Di tahun-tahun terakhirnya, ia menyebut dirinya “Yeolsu,” nama lain Sungai Han. Meski dia lahir di tepi sungai dan memimpikan kehidupan damai di pedesaan, kenyataannya tidaklah demikian. Pada tahun 1819, setahun setelah kepulangannya dari pengasingan, ia mengunjungi sawah di Munam (di Seojong-myeon, yang sekarang Wilayah Yangpyeong). Setiap musim gugur ia menghabiskan beberapa hari di sana, merawat tanaman bersama adik laki-lakinya, Yak-jeon, ketika mereka pergi naik kapal ke makam ayahnya di Chungju. “Empatpuluh tahun lalu saya ingin tinggal di sini menggarap tanah,” kenang
Halaman dalam Yeoyudang, rumah Jeong Yak-yong dilahirkan dan dibesarkan, dan tempat ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya. Direstorasi ke bentuk aslinya pada 1957, merupakan bagian dari Situs Warisan Dasan. Nama rumah mencerminkan nasihat Laozi untuk menangani semua hal dengan hati-hati dengan rasa takut di hati.
Pusat Budaya Dasan
Semiwon
nya. Yak-jeon meninggal tiga tahun sebelumnya, tidak pernah pulang dari pengasingannya di Pulau Heuksan. Jeong Yak-yong menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya menyunting dan memeriksa buku yang ditulisnya ketika berada di pengasingan. Ketika itu kemampuannya yang luar biasa dan sifatnya yang tidak lazim tidak hilang sama sekali. Ia menulis 16 puisi mengenai cara mengatasi panas, beberapa di antaranya adalah “Bermain baduk di tikar bambu yang sejuk,” “Mendengarkan serangga di hutan timur,” “Mengayunkan kaki di dalam air di bawah sinar bulan,” “Memotong ranting pohon di depan rumah untuk jalan angin,” “Membersihkan saluran air,” “Menanam pohon anggur,” “Menjemur buku di bawah sinar matahari bersama anak-anak,” dan “Memasak sup ikan pedas dalam panci.” Apakah itu karena ia merasakan panas lebih dari orang lain? Ataukah karena ia gemuk? Situs Bersejarah Dasan, yang berlokasi di kampung halaman Jeong di Namyangju, adalah sebuah kompleks yang terdiri dari makam, tempat lahir yang sudah dibangun ulang, Ruang Peringatan Dasan, dan Pusat Budaya Dasan. Ratusan buku yang ditulisnya selama di pengasingan dipamerkan di Pusat Budaya Dasan. Derek Korea, yang disebut geojunggi, yang digunakan untuk membangun Benteng Hwaseong di Suwon, dan banyak hal lain yang berhubungan dengan Jeong Yak-yong dipamerkan di Ruang Peringatan Dasan.
seni & budaya korea 47
Kisah Dua Korea
Perspektif Baru Hak Asasi Perempuan Pembelot Korea Utara 48 Koreana Musim Panas 2018
Pembela Hak Asasi Perempuan atau WHRD memberikan bantuan hukum kepada pembelot perempuan Korea Utara, yang sering mengalami pelanggaran hak asasi manusia saat mereka menetap di Korea Selatan. Organisasi sipil tersebut juga mendidik para perempuan tentang kekerasan seksual, masyarakat dengan sedikit kesadaran publik di Korea Utara, dan membantu mereka membangun saling pengertian dan solidaritas dengan perempuan Korea Selatan melalui berbagai program termasuk seminar dan pertunjukan paduan suara. Kim Hak-soon Jurnalis, Profesor Tamu di Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Korea Ha Ji-kwon Fotografer
B
erdasarkan data Institut Pendidikan Penyatuan di bawah naungan Kementerian Reunifikasi, 70% dari 31.000 pembelot Korea Utara yang datang ke Korea Selatan pada akhir tahun 2017 adalah perempuan. Kekerasan seksual dan diskriminasi gender adalah pelanggaran hak asasi manusia paling serius yang dialami oleh para perempuan pembelot Korea Utara. Sebuah badan hukum ‘Pembela Hak Asasi Perempuan’ atau WHRD secara intensif membantu perempuan pembelot Korea Utara yang menderita karena pelanggaran hak asasi manusia dengan menetapkan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, pelecehan seksual dan prostitusi sebagai keempat kekerasan yang melanggar hak asasi perempuan. “Para korban mudah merasa frustrasi karena tidak tahu ke mana dan bagaimana meminta bantuan. Sebagian besar perempuan pembelot Korea Utara yang baru datang tidak memiliki komunitas atau jaringan sosial sebagai curahan hati. Walaupun para korban bersusah payah mengajukan masalah atau tuntutan, malah keamanan dan privasi mereka dilanggar dalam proses penyelidikan dan peradilan atau korban terpaksa meng undurkan diri dari pekerjaan,” kata Kim Hyang-soon, direktur WHRD yang pernah bekerja di Korea Women’s Hot Line sebagai konselor. WHRD mengutamakan pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan masalah seksual karena perempuan pembelot Korea Utara mengalami kekerasan seksual 10 kali lebih dari perempuan Korea Selatan. Menurut Lee Sem, seorang konselor di WHRD, keadaan seperti ini disebabkan oleh perbedaan kesadaran atas hak asasi manusia antar dua Korea dan putus asa para perempuan tersebut, sebagai kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi di Korea Selatan. Rendahnya Kesadaran Pelanggaran HAM Perbedaan dalam hukum, sistem dan budaya antara kedua Korea telah membentuk konsep yang berbeda mengenai pelecehan seksual dan penyerangan. Dengan demikian, reaksi
awal sebagian besar perempuan Korea Utara terhadap gerakan #MeToo di Korea Selatan dan di luar negeri adalah bertanya, “Bagaimana seseorang dapat berbicara tentang hal-hal semacam itu di depan umum?” Mereka berkata serentak “Tidak pernah sama sekali ada orang yang ditahan karena pemerkosaan di Korea Utara.” Jika ditemukan perzinahan, perempuan dihina karena tidak berkelakuan baik dan dihukum kerja keras selama tiga bulan. Sedangkan laki-laki tidak dihukum. Selain itu diketahui laki-laki Korea Utara sering mengatasi keluhan atas sistem negara dengan humor seksual. Sebagian besar perempuan pembelot Korea Utara merasa kesulitan memahami perbedaan konsep antara pelecehan seksual dan kekerasan seksual karena perbedaan hukum, sistem dan kebudayaan. Bahkan mereka tidak bisa merespons kekerasan dalam rumah tangga karena berobsesi harus bertahan hidup di Korea Selatan. Mereka tidak menyadari kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia serius selama tinggal di Korea Utara. Setelah pindah ke Korea Selatan, mereka juga sering menahan dengan kuat kekerasan tersebut karena tidak ada informasi tentang peraturan dan sistem terkait. Dalam Risiko Eksploitasi Seksual “Jika mereka ingin mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual, tetap sulit bagi mereka. Sungguh memalukan bahwa pelaku dapat menutupi
Yeoullim, sebuah paduan suara yang terdiri atas perempuan Korea Utara dan Selatan, berlatih setengah bulanandi Gereja Presbyterian Kyungdong Seoul, di bawah pimpinan Choi Young-sil, mantan profesor teologi di Universitas Sungkonghoe. Para Pembela Hak Asasi Manusia perempuan menyelenggarakan paduan suara pada tahun 2011 untuk membangun solidaritas, mengatasi prasangka dan memelihara rasa konsensus budaya.
seni & budaya korea 49
“Di Korea Selatan perempuan pembelot Korea Utara dianggap sebagai pihak yang lemah, yang membutuhkan bantuan. Namun sejak sekarang kami berharap membuka cakrawala baru dari sudut kemanusiaan lebih dari sekadar dimensi kesejahteraan seperti bantuan mencari pekerjaan,” tegasnya. kejahatan mereka dengan mengambil keuntungan dari kelemahan para perempuan,” kata Lee Sem, yang juga reporter di Dongpo Sarang (Cinta Sebangsa), sebuah majalah yang diterbitkan oleh Yayasan Hana Korea. Lee sendiri adalah seorang pengungsi yang tiba di Seoul pada tahun 2011. Setelah melarikan diri dari Korea Utara, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Beijing dan Shanghai selama 10 tahun. Sebagai konselor dia menceritakan peng alaman seorang pembelot perempuan yang dia temui. Perempuan itu berusia 40-an, bekerja sebagai pengasuh di rumah seorang CEO yang menderita sakit kaki dan diabetes. Dia bekerja sejak jam 8 malam hingga jam 8 pagi setiap hari. Pengusaha itu sering melecehkannya secara seksual dengan menceritakan lelucon cabul atau menyentuhnya. Pria itu terkadang meminta maaf atas tindakannya ketika diprotes tetapi masih terus melecehkannya. Meskipun demikian, perempuan itu tidak dapat berhenti dari pekerjaannya karena gajinya tinggi untuk ditabung demi membawa putrinya dari Korea Utara. Kekerasan seksual terhadap perempuan pembelot Korea Utara biasanya terjadi ketika mencari pekerjaan atau peluang menikah. Tidak sedikit laki-laki yang mendekati perempuan pembelot Korea Utara untuk membantu mencari pekerjaan atau calon suami lalu melecehkan atau memperkosanya. Beberapa perempuan bertemu pria di situs web kencan, berharap memiliki hubungan yang serius. Tetapi orang-orang yang mereka temui melalui situs-situs tersebut sering menyerang mereka atau mengingkari komitmennya. Beberapa pemilik perusahaan perdagangan seks memikat para pembelot perempuan ke dalam prostitusi dengan mengambil keuntungan dari kebutuhan mereka akan uang agar berta han hidup. Beberapa perempuan terlibat dalam prostitusi dengan keyakinan keliru bahwa “tidak memalukan menjual seks di Korea Selatan,” karena di Korea Utara mereka diajari bahwa “prostitusi merupakan fenomena umum kapitalisme.” Dalam sebuah survei tahun 2012 terhadap 140 perempuan pembelot Korea Utara, yang dilakukan oleh Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, setiap dua perempuan mengatakan “mereka telah diminta untuk menjual seks di Korea Selatan.”
50 Koreana Musim Panas 2018
Alasan utama mereka didekati adalah kesulitan ekonomi karena kurangnya kesempatan mengikuti pelatihan kejuruan dan langkah-langkah bantuan mandiri. Program untuk Meningkatkan Hak Asasi Manusia Sejak 2016, WHRD telah menjalankan program konseling dan penyembuhan untuk perempuan pemukim Korea Utara atas permintaan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, yang menyediakan layanan dukungan komprehensif yang dikoordinasikan oleh para konselor. Program ini dirancang untuk membantu perempuan menjadi stabil secara emosional. Ini mendukung tiga kelompok mandiri: kelompok ibu rumah tangga yang memberikan nasihat tentang pendidikan anakanak dan hubungan pernikahan; kelompok untuk pekerja kantor yang memberikan nasihat tentang budaya kerja, melanjutkan pendidikan dan kelelahan karena terlalu banyak pekerjaan; dan kelompok untuk perempuan muda berusia 20-an dan 30-an yang memberikan nasihat tentang pendidikan perguruan tinggi. Program afiliasi, dijuluki “Travel Korea Project,” sangat popu ler di kalangan wanita karena kebanyakan dari mereka memiliki keinginan yang mendalam untuk bepergian dengan bebas. WHRD juga menerbitkan pamflet dan membuat video pendidikan yang didistribusikan kepada pemukim perempuan Korea Utara dan lembaga pendukung seperti pusat regional di seluruh negeri. Pamflet-pamflet itu termasuk “Pedoman Berguna tentang Hak-hak Dasar Perempuan” dan “Pedoman Pendidikan untuk Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan untuk Pejabat Tenaga Kerja yang Mendukung Para Perempuan Pembelot.” Mereka memberikan informasi terperinci tentang kekerasan terhadap perempuan dan tentang perbedaan persepsi antara kedua Korea. dan bagaimana cara mengatasinya. Video pendidikan menjelaskan bagaimana wanita dapat melindungi diri dari kekerasan. Paradigma Baru untuk Solidaritas Perempuan WHRD juga berusaha keras membangun kerangka baru
untuk solidaritas perempuan Korea Selatan dan Korea Utara. Sebagai bagian dari usaha tersebut, WHRD meluncurkan sebuah paduan suara perempuan Korea Selatan dan Korea Utara, ‘Yeoullim’ pada tahun 2011. Yeoullim mengadakan lomba nyanyi setiap tahun. Yeoullim bermakna ‘harmoni perempuan’ dan ‘harmoni suara’. Paduan suara ini berlatih setiap Sabtu setiap dua minggu. Jumlah anggotanya 35 dan rata-rata 25 anggota mengikuti latihan. Kim Myonghwa, seorang anggota perempuan pembelot Korea Utara berusia 60-an mengatakan “Pada awalnya ada kesulitan karena perbedaan warna vokal tetapi kami menyesuaikan diri melalui latihan. Senang sekali menjadi lebih akrab dengan perempuan Korea Selatan melalui makan bersama setelah latihan.” Choi Youngsil, seorang dirigen paduan suara dan mantan profesor jurusan teologi Universitas Anglikanisme menegaskan “Proses menyanyi bersama dengan menyimak suara anggota lain menjadi kesempatan baik kepada perempuan Korea Selatan dan Korea Utara untuk saling memahami tanpa jarak dan prasangka.” Choi Youngae, direktur WHRD mengatakan “Pesta Budaya Perempuan Korea Selatan dan Korea Utara yang diselenggarakan setiap tahun sejak tahun 2012 berperan sebagai batu loncatan agar perempuan pembelot Korea Utara yang terpinggir-
Pembela Hak Asasi Perempuan, yang berfokus pada pelanggaran seksual, menerbitkan buklet untuk membantu orang memahami dan mengatasi perbedaan bagaimana kedua Korea merasakan masalah tersebut.
kan berubah menjadi tokoh utama di dalam kehidupan mereka sendiri.” “Di Korea Selatan perempuan pembelot Korea Utara dianggap sebagai pihak yang lemah, yang membutuhkan bantuan. Namun sejak sekarang kami berharap membuka cakrawala baru dari sudut kemanusiaan lebih dari sekadar dimensi kesejahteraan seperti bantuan mencari pekerjaan,” tegasnya. WHRD dibangun oleh direktur Choi Youngae, seorang aktivis hak asasi perempuan terkemuka pada tahun 2010. Beliau memimpin peningkatan hak asasi perempuan dengan membina Pusat Bantuan Kekerasan Seksual pada tahun 1991. Pada saat itu istilah kekerasan seksual jarang digunakan. WHRD tidak peduli ideologi sehingga memiliki pendukung progresif maupun pendukung konservatif. Pemimpin organisasi aktivis hak asasi perempuan di Korea Selatan, peneliti tentang perempuan Korea Utara, perempuan pembelot Korea Utara menjadi anggota utamanya.
seni & budaya korea 51
SUATU HARI BIASA
Menyadari Kebenaran pada “Sekolah di Jalanan” Kalau penjual kosmetik Amerika “perempuan Avon” melakukan kegiatannya dari rumah, “perempuan Yakult” di Korea adalah ikon bisnis dari pintu ke pintu. Sebagai figur yang dikenal sejak tahun 1971, ia lebih dari sekadar seseorang yang hanya mengantarkan minuman susu probiotik ke rumah-rumah dan kantor-kantor. Ia adalah simbol tetangga yang ramah dan bisa dipercaya. Kim Heung-sook Penyair Ha Ji-kwon Fotografer
52 Koreana Musim Panas 2018
T
idak ada perempuan yang berjalan dengan cara yang sama ketika memakai celana jeans dan ketika sedang mengenakan gaun. Pakaian mempengaruhi perilaku seseorang. Di antara banyak tipe pakaian, seragam adalah pakaian paling mengikat. Seragam menuntut dijalankannya pekerjaan tertentu, tidak peduli karakter pemakaianya. Ada banyak orang yang menghabiskan hidupnya dengan memakai seragam. Di antaranya tentara, polisi, pelajar, biara, biarawati, dan petugas pembersih. Kemudian ada juga “perempuan Yakult.” Kang Mi-suk adalah satu di antaranya — dan ia sangat menyukai seragamnya. “Bahkan ketika saya merasa sakit, saya memikirkan pelanggan yang menunggu saya dan itu membuat saya keluar rumah. Ketika saya pergi bekerja dan memakai seragam, saya merasa lebih baik. Seorang teman yang dulu biasa jalan dengan saya mengatakan, ‘Seragam ini seperti jubah superhero,’ dan menurut saya itu benar sekali.” Kang Mi-suk mulai melayani peng antaran di bulan April 1999. Sembilanbelas tahun berjalan, ia masih setia dengan pekerjaannya. Sekarang, ada sekitar 13.000 perempuan Yakult seperti dirinya, memakai seragam yang sama dan mengantarkan minuman susu probiotik ke rumah-rumah dan kantor-kantor. Tapi, sejak debut mereka pada musim semi tahun 1971, mereka sudah dianggap lebih dari sekadar karyawan perusahaan Korea Yakult. “perempuan Yakult,” setelah hampir separuh abad keluar masuk pelosok negeri, sudah menjadi julukan bagi penjual dari pintu ke pintu “Perempuan Yakult” Kang Mi-suk meninggalkan rumah pukul 5 pagi untuk memulai bekerja yang membutuhkan 10.000 langkah yang melelahkan, tetapi dia selalu menyapa pelanggannya dengan senyum hangat. Setelah bekerja di Seoul selama 19 tahun, mereka merasa lebih seperti tetangga dekat dengannya.
yang ramah dan bisa dipercaya. Banyak yang sudah berubah sejak Mi-suk mulai mengenakan “jubah superhero.” Seragamnya sudah berganti beberapa kali dan jumlah produk yang dijualnya sangat meningkat. Rute peng antaran harian, yang mengharuskan nya berjalan lebih dari 10.000 langkah, sekarang juga makin ringan. Gerobak dorongnya sudah diganti dengan gerobak elektrik dengan kotak penyimpanan berpendingin, tapi rutinitasnya tetap tidak berubah. Masih sama seperti yang dilakukannya bertahun-tahun. “Setiap pagi saya bangun pukul 4:30 dan keluar rumah pukul 5. Saya naik bus ekspres dari rumah saya di Paju dan tidur. Kemudian, satu setengah jam kemudian, saya tiba di tempat kerja saya di Dongja-dong. Ketika berganti baju seragam, saya berkata kepada diri sendiri, ‘Baiklah. Hari ini adalah awal hidup baru.’” Hubungan yang Terbina Selama 19 Tahun Lingkungan Dongja di distrik (gu) Yongsan terletak dekat dengan Stasiun Seoul, pusat transportasi ibukota. Deret an taksi yang seolah tak pernah putus, bus lokal dan ekspres, dan kereta bawah tanah dan kereta cepat keluar masuk di sini setiap hari. Para pengguna moda transportasi ini lalu-lalang melalui labirin yang bersih dengan penerangan yang bagus. Tapi, di luar, pemandangan itu berubah drastis. Di seberang plaza di luar Stasiun Seoul, Anda akan melihat para tunawisma yang tidur atau berkeliaran, beberapa di antaranya tampak kotor, bahkan di pagi hari. Tepat di belakang gedung-gedung tinggi di sekitar stasiun, terdapat gang kecil sekitar dua atau tiga meter, dengan rumah-rumah tua yang tampak bisa rubuh sewaktu-waktu. Penghuninya adalah para lansia yang tinggal sendiri, yang berjalan kesana-kemari di gang atau bosan tinggal di kamar mereka yang redup. Gerobak berpendingin Mi-suk ber-
isi sekitar 200 liter, terdiri dari minum an fermentasi klasik sampai makanan siap masak. Rute pengantaran membuat Mi-suk naik ke kantor-kantor di gedung tinggi dan kemudian turun kembali lantai dasar, menjelajah gang-gang yang hanya cukup dilewati gerobak pengantar menuju rumah-rumah yang dihuni para lansia. Pelanggannya berpakaian kemeja dan dasi, baju yang bagus ataupun pakaian usang. Tapi, di mata Mi-suk, pelanggannya, yang berbeda-beda seperti siang dan malam itu, tidak terlalu berbeda. “Semua orang yang saya temui pada dasarnya sama. Tidak peduli se tinggi apa posisi Anda di perusahaan mana pun, ketika Anda berjalan kaki di luar, bukankah semua orang sama? Saya bekerja di jalan, jadi buat saya mereka semua sama.” Satu hari bersama Mi-suk, tampak ia kenal semua orang di Dongja-dong. “Saya menyapa setiap orang yang saya temui. Banyak orang yang ramah kepada saya walaupun mereka bukan pelanggan saya. Ketika saya mengantarkan minuman ke meja pegawai kantor dan mereka sedang tidak di tempat, orang yang duduk di meja sebelahnya, yang selalu saya sapa, akan memberitahu saya apa yang harus saya lakukan. Pelanggan saya itu mungkin sedang tidak ada di kantor hari itu atau hanya keluar sebentar ke suatu tempat dan akan segera kembali. Beberapa di antara me reka akhirnya menjadi pelanggan saya juga. Tidak ada pelanggan abadi, tapi yang bukan pelanggan akhirnya menjadi pelanggan.” Daripada memaksa orang membeli produknya, Mi-suk lebih suka menjaga hubungan baik dengan semua orang. Inilah alasan mengapa ia memenangkan penghargaan Friendliness Award dalam kontes perempuan Yakult tahunan di perusahaannya. Akhirnya Menemukan Dunia Perusahaan punya kebijakan penu-
seni & budaya korea 53
1
gasan di rute yang sama. perempuan Yakult rata-rata memiliki hampir 10 tahun pengalaman di lingkungan tertentu. Mereka sering kali lebih mengenal situasi rute pengantarannya dibanding penduduk lokal. Sekitar 300 rumah menjadi pelanggan tetap Mi-suk, yang membayar secara langsung. Ia juga melayani sekitar 70 rumah dengan lansia yang tinggal sendiri. Organisasi kesejahteraan atau pemerintah memberikan bantuan pembayaran produk yang dikirim Mi-suk. “Barangkali ini karena Dongja-dong memiliki Pelayanan Konseling dan Rumah Singgah Stasiun Seoul de ngan banyaknya jumlah aplikasi bantuan makanan, dan tampaknya makin banyak lansia yang tinggal di sini karena alasan ini,” kata Mi-suk. “Dari 70 lansia yang saya kunjungi, sekitar 10 di antara mereka berada dalam kondisi buruk. Tak peduli sesibuk apa pun, saya berusaha menemui mereka setiap hari.” Tak peduli sedang berhadapan de ngan pegawai kantor yang rapi, lansia yang hidup sendiri, atau tunawisma, sikap Mi-suk kepada pelanggannya selalu sama. Ia tidak pernah menghakimi hidup
54 Koreana Musim Panas 2018
orang lain. Ia berharap bisa membantu semua orang. “Orang-orang sering kali bertanya kepada saya apakah saya tidak takut kepada tunawisma di daerah ini, tapi saya sama sekali tidak takut. Walaupun beberapa di antara mereka tampak menakutkan, itu hanya karena masalah minuman. Mereka bukan orang jahat.” Selama di Dongja-dong, Mi-suk tidak pernah mengalami masalah dengan mereka. “Sepertinya ini semua berkat se ragam saya. Pernah suatu ketika, saya meninggalkan gerobak saya sebentar, lalu seorang tunawisma mulai memberikan barang saya kepada orang yang lewat. Saya tidak marah. Saya pikir, ‘Baiklah, silakan menikmati. Minumlah supaya sehat.’” Sikap positif Mi-suk ini menunjukkan pandangan hidupnya — ingin menjadi manusia yang bermanfaat buat manusia lain. Pada tahun 2002, ia mengikuti kursus di Departemen Pendidikan di Universitas Terbuka Nasional Korea, untuk menjadi konselor dan membantu orang lain mengatasi masalah mereka. “Ketika saya menjadi ibu rumah
tangga, saya sama sekali tidak tahu dunia luar. Saya pikir urusan rumah tangga dan membesarkan anak adalah yang terpenting dalam hidup saya. Bukannya mendengarkan apa yang ingin dikatakan anak-anak saya, saya justru membesarkan mereka sedemikian rupa sehingga mereka sangat patuh. Kalau memikirkan hal itu sekarang, saya sa ngat menyesal. Sebagai Yakult lady saya belajar mengenai dunia yang sesungguhnya. Saya sekarang punya perspektif yang lebih luas. Jika Anda tahu lebih banyak, Anda akan mulai berpikir de ngan cara yang berbeda.” Memakai Seragam hingga Usia 70 Krisis finansial Asia tahun 1997 membuat Mi-suk menekuni pekerjaan yang sangat ia banggakan dan ingin anak perempuannya menjadi Yakult lady. Ketika ekonomi melemah, suaminya, yang menjalankan bisnis tipografi periklanan, harus bekerja di bidang konstruksi. Sebagai ibu rumah tangga yang sa ngat menyukai buku, Mi-suk membuka penyewaan buku untuk membantu perekonomian keluarganya. Ia melakukan-
Tak peduli sedang berhadapan dengan pegawai kantor yang rapi, lansia yang hidup sendiri, atau tunawisma, sikap Mi-suk kepada pelanggannya selalu sama. Ia tidak pernah menghakimi hidup orang lain. Ia berharap bisa membantu semua orang. nya tanpa memahami kondisi pasar atau perilaku konsumen. Ia tidak menyadari bahwa selama keadaan ekonomi sangat buruk, orang seketika menghentikan pengeluaran yang terkait dengan budaya dan hiburan. “Akan lebih baik jika saya memulai pekerjaan ini sejak dulu, bukan malah membuka penyewaan buku. Tapi, mana saya tahu?” Penyewaan bukunya tutup dalam waktu cepat dan Mi-suk harus mencari pekerjaan baru. Ia sangat terkesan de ngan Yakult lady yang ditemuinya ketika membeli yoghurt untuk anak-anaknya, dan ia tertarik karena tidak diperlukan investasi besar untuk memulai pekerjaan ini. Bekerja sendiri, dengan mendapatkan komisi dari penjualan dan bukan secara langsung dipekerjakan oleh perusahaan, sangat menarik baginya. Setelah
1. Selama “perempuan Yakult,” nerevolusi hampir 50 tahun, moda pengiriman pun berubah dari tas bahu untuk mendorong gerobak dan sekarang berupa unit lemari es yang disebut Coco. Menu juga berkembang dari minuman susu ke makanan siap saji dan kopi, tetapi dedikasi yang tulus Kang Mi-suk tetap seperti sebelumnya.
2
2. Rute pengiriman Kang di dekat Stasiun Seoul termasuk gedung-gedung perkantoran bertingkat tinggi dan rumah-rumah berdesakan di gang-gang kecil. Tempat-tempat yang tidak dapat diakses Coco mengharuskan ia mengantarkan dengan berjalan kaki, naik dan turun, anak tangga berwarna pelangi.
menjadi Yakult lady dengan kondisi yang menarik itu, Mi-suk selalu berpikir positif mengenai segala sesuatu. Oleh karenanya, orang-orang memanggilnya “ratu berpikir positif.” Saya ingin mempersiapkan usia tua saya dengan baik sehingga tidak menjadi beban bagi anak-anak saya di kemudian hari. Jika kesehatan saya memungkinkan, saya ingin terus bekerja di pekerjaan ini sampai berusia 70 tahun. Setelah itu, saya akan melakukan apa pun yang saya mau. Mungkin saya akan melanjutkan kursus di Universitas Terbuka yang sudah saya mulai dan sempat terbengkelai.” Sementara seragam dan para pelanggan sudah mendewasakan dan mengembangkan Mi-suk di wilayah Dongja-dong, agamalah yang mempengaruhinya di luar lingkungan itu. Di hari Sabtu dan Minggu, biasanya ia berada di gereja Katholik lokal. Nama baptis Mi-suk adalah Bernadette. Santo Bernadette lahir pada tahun 1844 dan pada usia 16 tahun, ia melihat gambaran Bunda Maria di Lourdes. Ia kemudian diangkat santo pada tahun 1933. Mi-suk tidak pernah punya gambaran mengenai Bunda Maria. Namun, nama baptisnya sudah membuatnya menjadi pribadi positif melalui pergaulannya dengan tetangga yang tak terhitung jumlahnya selama 19 tahun ia tinggal di Dongja-dong. Kadang-kadang, seragamnya tampak seperti pencari kebenaran, bukan sekadar penjual Yakult biasa.
seni & budaya korea 55
HIBURAN
Bangsa Korea Terpesona pada Korea dalam Sentuhan Asing Sebuah format yang dengan cerdas memberikan sentuhan pada acara jalan-jalan di TV menjadi sensasi baru. Dalam “Selamat Datang, Pertama Kali di Korea?”, warga asing membawa penonton Korea menjelajah negeri yang mereka anggap sudah sangat mereka kenal sebelumnya. Jung Duk-hyun Kritikus Budaya
56 Koreana Musim Panas 2018
P
elancong dari berbagai negara menjadi trend baru di TV pada tahun 2014 ketika mereka tampil dalam “Non-Summit” yang ditayangkan di JTBC. Acara yang dibawakan oleh panel tiga selebriti Korea dan beberapa laki-laki non-Korea, yang semuanya fasih dan lancar berbahasa Korea, dengan topik yang berbobot ini berhasil memukau penonton. Kini, beberapa panelis populer mulai terlibat dalam genre lain, yaitu acara jalan-jalan Mereka tampil sebagai pembawa acara dalam “Welcome, First Time in Korea?” yang disiarkan setiap minggu di saluran TV kabel MBC Every1. Ketika acara ini mulai ditayangkan pada bulan Juli 2017, sebagian orang mengira acara ini hanya akan menjadi acara yang sedikit diubah dengan menambahkan orang asing untuk menarik perhatian. Namun, sampai menjelang akhir episode ke-33 musim pembuka, “Welcome” sudah mencapai 5,1 persen penonton di slot malam. Ini adalah pencapaian tertinggi bagi MBC Every1 dan
© MBC PLUS
membuat iri jaringan TV kabel Korea lain. Musim kedua sedang dalam penggarapan. Perubahan Kecil, Perbedaan Besar “Selamat Datang” memberi sedikit sentuhan pada genre yang sudah ada. Sebagian besar acara jalan-jalan Korea menampilkan selebriti Korea menjelajah lokasi-lokasi internasional. “Selamat Datang” membalikkan perspektif itu. Dalam tiap episode, pembawa acara tamu mengundang teman-teman dari negara asalnya mengunjungi Korea untuk pertama kali. Penonton melihat bagaimana kehidupan mereka seharihari, seperti makanan, transportasi, dan berbagai tempat yang dikenalnya, di mata orang asing. Formula yang tidak biasa ini memberikan kesan yang baik di mata penonton. Apa yang selama ini mereka pikir sudah mereka kenal dengan baik dan dianggap hal yang biasa dibuat seolah menjadi barang asing dan baru. Tiba-tiba hal yang familier men-
jadi sesuatu yang baru, aneh, unik, dan ditampilkan sebagai sesuatu yang tidak biasa. Judul acara TV ini tampaknya melahirkan pertanyaan lain. “Selamat Datang, Pertama Kali di Korea?” membuat penontonnya tidak beranjak dari layar dengan pertanyaan, “Apakah Anda juga baru mengenal Korea?” Berbagi Budaya dan Rasa “Selamat Datang” juga membuka jendela akan perbedaan dan karakteristik budaya para pelancong. Cara melancong yang berbeda dan bersentuhan dengan budaya asing sudah pasti mereka alami. Pelancong dari Jerman yang mencari informasi dan secara cermat merencanakan perjalanan mereka merasa sangat puas ketika menandai setiap aktivitas dalam daftar mereka. Namun, pelancong dari Meksiko merasa salah satu tantangannya adalah menuju ke sebuah destinasi tanpa persiapan. Dengan berani, mereka pergi ke Korea tanpa rencana matang. Para pelancong dari India yang pertama kali ke Korea dengan sangat optimis tanpa ragu berada di tempat asing bersama orang yang belum mereka kenal. Orang Finlandia, yang sangat akrab dengan alam terbuka, tidak begitu menikmati menelusuri kompleks pencakar langit di Seoul. Format acara juga menyediakan platform untuk meningkatkan empati budaya kedua belah pihak antara partisipan acara dan penonton. Pembawa acaranya adalah seorang pebisnis muda dari Italia yang bisa bicara bahasa Korea dengan fasih, bersama dengan tiga orang Korea — pelawak, penyanyi rap dan penyiar TV. Setiap tayang, acara ini menampilkan penduduk asing di Korea yang berperan sebagai pembawa acara tamu yang mengundang beberapa teman dari negara asalnya untuk menjelajah Korea. Ketika video teman-temannya ditayangkan, pembawa acara di studio memberikan penjelasan bernas terhadap
gerakan, reaksi dan komentar para pelancong itu. Jadi, penonton juga mendapatkan pengetahuan mengenai budaya yang berbeda. Perubahan Sikap terhadap Orang Asing Acara ini sangat popular karena orang asing mendapatkan tempat khusus di hati bangsa Korea. Sejak akhir abad ke-19 ketika budaya Barat mulai diperkenalkan ke negara ini, bangsa Korea sadar bagaimana mereka dilihat oleh dunia luar. Kecenderungan ini makin kuat pada tahun 1970an; dengan makin banyaknya perubahan yang terjadi antara Korea dan masyarakat internasional dan puncaknya adalah dalam Olimpiade Musim Panas Seoul 1988. Untuk sesaat, sensivitas bangsa Korea terhadap pendapat asing membantu membuka jalan ketenaran di dalam negeri. Sutradara atau aktor yang menerima penghargaan dari festival film tingkat dunia seperti Cannes atau Berlin dijadikan tolok ukur untuk menaikkan status nasional Korea. Karya mereka menarik penonton walaupun mereka lebih mengandalkan unsur artistik dibanding hiburannya. Kalau demikian kasusnya, mengapa penonton sangat terhibur dengan “Welcome”? Ini karena perspektif barunya. Tanpa pujian dan kritik juga bisa menghibur. Acara ini menampilkan keceriaaan, kejutan dan penghargaan yang diberikan oleh orang asing ketika mereka melebur dalam budaya Korea. Tentu saja, sering kali reaksi pelancong yang polos menimbulkan refleksi mendalam. Pelancong dari Finlandia, misalnya, terkejut ketika mendapati sauna di Korea menyajikan bir murah sepanjang malam. Mereka berkata, “Banyak tempat di Finlandia di mana Anda bisa membeli minuman di malam hari.” Komentar ini bisa ditafsirkan sebagai ungkapan setelah melihat budaya minum Korea yang unik, atau kritik
Dalam episode perdana “Selamat Datang, Pertama Kali di Korea?” yang ditayangkan di MBC Every1 pada Juni 2017, tuan rumah Italia Alberto Mondi (paling kanan pada gambar di sebelah kiri) dan ketiga temannya di kampung halaman mengunjungi istana di Seoul. Para tamu mancanegara acara pertunjukan perjalanan memperlihatkan kebiasaan dan gaya mereka sendiri sementara penonton Korea melihat tanah air mereka melalui pandangan pengunjung.
bahwa masyarakat Korea sangat permisif mengenai kebiasaan minum. Mereka juga mengatakan hanya pergi ke penata rambut dua kali dalam setahun. Itu artinya menurut mereka bangsa Korea terlalu memperhatikan penampilan. Acara ini menunjukkan bangsa Korea sudah bisa mengatasi kekhawatiran mengenai apa yang dikatakan oleh bangsa lain mengenai mereka. Mereka kini bisa bertukar pikiran dengan orang asing dalam pisisi yang setara. Ini bukan tentang membandingkan budaya Korea dengan budaya asing dan menghakimi mana yang lebih baik. Acara ini hanya menguatkan pendapat bahwa budaya masing-masing berbeda dan itulah alasannya menjadi sangat menarik.
seni & budaya Korea 57
KISAH RAMUAN
Š TOPIC
Terong
Bersinar di Bawah Matahari Musim Panas Terong adalah sayuran yang melambangkan musim panas. Daya tariknya tecermin pada pepatah kuno Korea yang mengatakan, “Terong menawarkan sukacita yang dapat dimakan untuk bertahan pada musim hujan.� Mungkin orang merasa lebih percaya diri untuk bertahan dari musim panas yang panas dengan sayuran ungu dingin yang kaya antosianin yang menentang tarik sinar mahahari. Jeong Jae-hoon Apoteker dan Penulis kuliner
58 Koreana Musim Panas 2018
“M
emasak adalah salah satu ketrampilan manusia yang tertua.” Pernyataan yang dikatakan oleh Jean Anthelme Brillat-Savarin, seorang gastronom Perancis ini mengandung makna yang tersirat. Cara bagaimana makanan tertentu dimasak mengungkapkan dengan jelas karakteristik dan sejarah dari budaya makanan suatu penduduk. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa semakin panjangnya seja rah sebuah bahan makanan, maka semakin bervariasinya cara bahan makanan itu dimasak. Sebagai contoh, mari kita bandingkan terong dan tomat. Keduanya termasuk dalam suku teong-terongan (famili Solanaceae). Daun dan bunga dari tanaman suku ini yang disebut dengan belladonna(nightshades) tidak dapat dimakan karena daun dan bunga tersebut mengandung alkaloid untuk perlindungan diri. Oleh karena itu, yang dapat kita makan hanyalah bagian buahnya. Akan tetapi, sangat jarang tomat disajik an sebagai makanan pendamping di atas meja makan Korea. Hal ini disebabkan karena Korea menganggap tomat sebagai buah-buahan, berbeda dengan sebagian besar negara-negara di dunia menyuguhkan tomat sebagai sayuran. Kecuali untuk acar tomat hijau, tomat umumnya dikonsumsi sebagai makanan penutup atau sebagai bahan untuk minuman. Sebaliknya, Korea memperlakukan terong sebagai sayuran dan memakannya sebagai makanan pendamping nasi seperti lobak, kubis Tiongkok atau timun Jepang. Terong seringkali dimasak de ngan dikukus sendiri atau dikukus di atas nasi. Terong kukus yang masih panas dirobek memanjang dengan tangan, lalu dicelupkan ke dalam air dingin
untuk mencegah terong terlalu lembek. Kemudian, robekan memanjang terong tersebut dicampurkan dengan potongan cabai hijau, kecap, minyak wijen, dan biji wijen panggang. Cara memasak terong ini diperkenalkan di dalam koran Dong-A Ibo pada 4 Agustus 1931. Artikel koran tersebut juga memuat beberapa metode memasak lainnya seperti cara mengeringkan terong pada bulan Juli dan Agustus ketika sedang musim terong agar terong tetap dapat dinikmati pada musim dingin. Caranya adalah pertama rendam terong mentah di dalam air, lalu dibumbui dengan garam sambil dipotong tipis. Setelah itu, biarkan terong untuk beberapa saat, lalu campurkan terong dengan moster dan berbagai macam hiasan. Sayuran yang Dinikmati Mentah Di Korea, sejak dahulu terong disajikan dalam berbagai cara dan terong tetap menjadi makanan pendamping favorit. Satu cara adalah dengan memotong terong menjadi bagian-bagian kecil, lalu dilapisi dengan tepung tipis, goreng di dalam minyak banyak (terong harus terendam di dalam minyak), dan terakhir diberi bumbu.Cara lain adalah membuat gorengan terong dengan mencampur potongan tipis terong dengan daging cincang dan telur, lalu digoreng di dalam penggorengan. Semakin banyaknya orang Korea melakukan perjalanan ke luar negeri dan juga menjalin hubungan dengan negara asing, maka semakin banyak orang Korea yang mencoba memasak terong dengan metode lain, misalnya masakan Tiongkok yuxiang qiezi (terong beraroma-ikan), masakan Jepang nasu dengaku (terong dilapisi miso), dan masakan Italia parmigiana di melanzane (terong keju parmesan). Meskipun keduanya berasal dari
suku terong-terongan (famili Solanaceae), tomat dan terong menduduki tempat yang berbeda dalam kehidupan kuli ner orang Korea. Hal tersebut berkaitan erat dengan perbedaan cara tomat dan terong diperkenalkan ke Korea. Tomat yang berasal dari Amerika Selatan, tiba di Korea pada awal abad ke-17, tetapi tidak diperlakukan sebagai bahan makanan umum. Tomat kembali masuk ke Korea pada awal abad ke-20. Maka tomat tidak sempat beradaptasi untuk dipergunakan dalam berbagai masakan dalam kurun waktu pendek. Sebaliknya, terong yang berasal dari kawasan tropis Asia, diperkenalkan jauh lebih awal dari tomat yang datangdari India melalui Tiongkok. Terong memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari masakan Korea, bahkan beberapa sumber mengatakan bahwa terong telah tumbuh di Semenanjung Korea sejak seribu tahun lalu pada masa kerajaan Silla. Pada masa kerajaan Goryeo (periode setelah kerajaan Silla), terong tampaknya telah menjadi bahan makanan ke sukaan orang Korea. Di dalam puisinya “Gapo yugyeong” (“Lagu tentang Enam Sayuran Kebun”), Yi Gyu-bo (1168 – 1241) memuji rasa dan kebajikan terong sebagai berikut: Berkilau dalam ungu kemerahan, bagaimana dapat dikira tua? Adakah sesuatu yang dapat bersaing dengan bunga dan buah terong? Buahnya melimpah seiring dengan alurnya, Buahnya sungguh enak, baik ketika dimasak maupun mentah Bersinar dalam warna ungu kemerahan, bagaimana bisa dianggap tua? Beberapa orang kemungkinan terkejut menemukan bahwa terong dapat dimakan mentah. Namun, hal itu benar.
seni & budaya korea 59
Orang Korea menggunakan terong mentah untuk membuat kimchi atau menjad ikannya acar di dalam doenjang (tauco). Di Thailand, terong hijau mentah yang bentuknya mirip dengan bola golf, dimakan dengan saus celup. Sama seperti buah yang termasuk ke dalam famili Solanaceae, terong mengandung alkaloid solanin yang beracun, tetapi dalam jumlah kecil, sehingga tidak berbahaya, kecuali jika dimakan 30-40 buah terong sekaligus. Akan tetapi bagian yang bertunas di kentang, yang mengandung zat solania harus dipotong sebab zat solania tidak hilang meskipun dimasak. Terong juga mengandung nikotin, Hal itu merupakan sebuah ciri-ciri lain dari tanaman famili Solanaceae. Nikotin yang terkandung dalam makanan tidak hilang karena dimasak dan jumlah nikotin dalam 10 kg terong sama dengan jumlah nikotin dalam satu batang rokok. Akan tetapi, nikotin tidak memiliki efek karena nikotin didetoksifikasi di dalam hati setelah memasuki tubuh manusia dan kemudian, segera dikeluarkan dari tubuh orang.
Bagi terong liar, kandungan yang berasa pahit membantu melindungi terong dari hewan. Namun, bagi manusia kandungan terong tersebut adalah racun. Mengingat terong beracun, Romawi kuno menamakan terong dengan mala insane yang berarti “apel gila.” Dengan sebab itu bahasa Italia untuk terong dengan melanzana. Menimbang perkataan Bedouin pada abad ke-11 yang mengatakan, “Warnanya seperti perut kalajeng king, rasanya seperti sengatan racun kalajengking,” rasa pahit dari terong tampaknya sudah terkenal jahat sejak berabad-abad lalu. Aneka Warna, Bentuk dan Ukuran Terong Bagaimanapun juga, terong saat ini jauh dari “apel gila” pada masa lampau. Manusia telah mengembangkan jenis baru terong dengan beraneka warna dan bentuk melalui pembiakan dan metode pertanian. Sebagai hasilnya, telah dikembangkan terong dengan ukuran sekecil kacang (terong kacang Thailand), seperti juga telah dikembangkan terong yang panjangnya dapat men-
Terong yang berasal dari kawasan tropis Asia diperkenalkan ke Korea jauh lebih awal daripada tomat yang datang dari India melalui Tiongkok. Terong memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari masakan Korea, bahkan beberapa sumber mengatakan bahwa terong telah tumbuh di Semenanjung Korea sejak seribu tahun lalu pada masa kerajaan Silla.
1. Terong kebanyakan dimakan di rumah oarang Korea sebagai lauk de ngan nasi. Terong dikukus ringan dan dipotong kecil, serta dibumbui dengan campuran kecap, cuka, bawang hijau cincang, minyak wijen, dan biji wijen halus dan asin.
1 © TOPIC
60 Koreana Musim Panas 2018
2, 3. Terong juga digunakan untuk membuat hidangan khusus bagi tamu atau acara lainnya. Ini bisa dipotong menjadi irisan tipis dan digoreng dengan minyak (kiri), atau dipotong-potong menjadi irisan tebal dan dengan daging cincang yang di letakkan di dalamnya, dilapisi tepung dan adonan telur, dan digoreng.
© gettyimagesKOREA
© TOPIC
2
capai 40cm (terong panjang Pingtung Jepang). Selain itu, juga terdapat terong yang beratnya dapat mencapai 650gr (Enorma Hitam), lalu terong berwarna hijau, putih, dan ungu, serta terong dengan pola garis-garis. Terong dengan jenis warna putih dan berbentuk seperti telur telah banyak dikembangkan di Amerika untuk beberapa waktu, maka dalam bahasa Inggris, terong disebut “eggplant” atau tanaman telur. Sementara itu, orang-orang yang tidak menyukai rasa pahit dari terong telah mencari cara untuk mengurangi rasa pahit tersebut. Salah satu cara yang sering disebut dalam buku memasak dahulu adalah mengiris atau memotong dadu terong, lalu menaburinya dengan garam kasar dan membiarkannya selama 30 menit sampaisatu jam. Bahan Makanan untuk Ribuan Jenis Masakan Terong memiliki jaringan yang kenyal dan sebagai hasilnya, terong memiliki tekstur dengan rasa manis spe-
sial. Akan tetapi, ketika digoreng baik dalam minyak banyak maupun dengan minyak sedikit (ditumis), udara dalam sel terong menyerap banyak minyak, menjadikan tekstur terong sangat lembek. Menaburkan garam sebelum digoreng menyelesaikan masalah ini karena garam menyerap air dari sel terong dan sebagai gantinya memenuhi sel terong tersebut. Masakan terong di Turki dan masakan terong dari Sichuan, Tiongkok menggunakan metode ini untuk memperoleh tekstur terong yang lembut dan bermentega. Sementara itu, di kawasan Asia Tenggara rasa pahit dari terong malah digunakan untuk memperkaya rasa. Salah satu contohnya adalah kari hijau Thailand, yang memiliki rasa pahit terong kacang. Di banyak negara, terong dikonsumsi sebagai makanan pengganti daging dan juga sebagai makanan penutup yang manis. Maka dapat dikatakan bahwa terong merupkan bahan masakan yang memiliki sifat yang beraneka ragam. Pada kenyataannya di kawasan
3
negara-negara Timur Tengah terdapat pepatah, “Seorang perempuan belum siap menikah sampai dia mengetahui ribuan metode cara memasak terong.” Pepatah tersebut memperlihatkan berarti bahwa terong dapat disajikan dengan berbagai cara sekaligus membuat kita berpikir mana mungkin ada sayuran yang semenarik dan sekaya rasa seperti terong ungu yang berkilau cerah di bawah sinar terik mentari. Kulit terong yang berwarnaungu, merah, dan biru sekaligus, mengan dung zat antioksidan antisianin yang melimpah. Layaknya warna cat misterius yang meresap, pigmen-pigmen warna memenuhi kulit terong sebanyak 700mg per 100gr, melindungi terong dari kerusakan akibat radiasi ultraviolet. Walaupun masih banyak pendapat beredar mengenai kadar serapan antosianin dalam tubuh manusia, masih lebih banyak alasan untuk memasak terong tanpa mengupas kulitnya supaya memperoleh kandungan baik sebanyak mungkin dari bahan makanan ini.
seni & budaya korea 61
ESAI
Bertemu Nasi di Kuliner Korea
E. Sri Mumpuni Ibu Rumah Tangga
T
ahun 2014 saya berkesempatan mendampingi suami yang menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies Korea. Konon, kata teman-teman yang pernah tinggal di Jerman, di Jerman susah menemukan nasi. Makanan sehari-hari mereka ialah roti, daging, atau buah. Seandainya di Korea tidak ada nasi, saya akan mengalami kesulitan besar. Bagi orang Indonesia secara umum, atau orang Jawa secara khusus, walaupun sudah makan sepotong roti dan sebuah apel, belum dianggap makan jika belum makan nasi. Itulah kebiasaan di Indonesia. Kami pertama kali makan di Korea diajak seorang mahasiswa yang menjemput kami di bandara Incheon. Kami makan di Jonggak. Di sana ada area makan yang besar. Banyak dijumpai kedai makanan di tempat yang ramai dikunjungi anak muda itu. Kami memesan chicken galbi, masakan dari iris an daging ayam yang digoreng dengan sayuran, bawang, dan saos Korea. Yang luar biasa dicampurkan pula nasi dan rumput laut. Sungguh mirip nasi goreng ayam di Indonesia. Saya sungguh bersyukur sebab saya dapat bertemu nasi di Korea. Hidup saya pasti tidak akan menderita oleh sebab makanan. Sejak itu saya mengenal banyak masakan Korea yang berbahan dasar nasi. Misalnya saja gimbab, yaitu jenis makanan Korea yang terbuat dari nasi yang dibungkus dengan rumput laut. Di dalamÂnya biasanya diisi sayuran, wortel, irisan dadar telur, daging babi, atau ikan tuna. Gimbap merupakan makan yang cocok dibawa piknik, jalan-jalan, atau kegiatan lain di luar rumah. Melihat gimbab saya langsung ingat lemper atau arem-arem di Indonesia. Di samping itu dikenal pula bibimbap yaitu masakan Korea yang berupa semangkuk nasi putih yang dilengkapi dengan sayur-sayuran, daging sapi, telur, dan saus pedas gochujang. Biasanya sebelum
62 Koreana Musim Panas 2018
dimakan, nasi dan lauk diaduk menjadi satu. Sering pula bibimbap dihidangkan dalam mangkuk batu yang dipanaskan yang disebut dolsot. Panas dari dolsot itu akan mematangkan telur mentah yang diaduk bersama nasi dan sayuran tersebut. Sebelum bahan-bahan itu dimasukkan, minyak wijen dituangkan di dasar mangkuk batu yang menyisakan bau harum dan kering di dasarnya. Orang Indonesia yang berkunjung ke Korea cocok menyantap menu ini sebab masakan ini tidak mengandung unsur babi di dalamnya. Selain itu dapat dijumpai pula bokkeumbap, mirip dengan nasi goreng di Indonesia. Memasaknya sangat mudah. Kita hanya memerlukan nasi, minyak wijen, sayuran, dan saos Korea. Di dalamnya bisa ditambahkan daging sapi, daging ayam, spam, sosis, tuna, atau telur dadar. Di Korea yang terkenal adalah kimchi bokkeumbap, nasi goreng yang berbahan utama nasi dan kimchi. Saat saya berjalan-jalan di kawasan Myeongdong banyak saya jumpai wisatawan Indonesia memilih masakan ini untuk santap siangnya. Sungguh sangat banyak masakan Korea yang berbahan utama nasi. Setelah sekitar satu semester tinggal di Korea, saya semakin merasakan kedekatan Indonesia dengan Korea dari sisi masakan. Tidak banyak berbeda. Sekurang-kurangnya saya dapat menemukan nasi di Negeri Ginseng ini. Nasi bukan hanya dipakai sebagai bahan untuk membuat masakan tertentu, tetapi juga digunakan sebagai menu tambahan saat seseorang makan bulgogi, kimchi jjigae, sundubu jjigae, galbi, galbitang, samgyetang, jjimdak, dan sebagainya. Semangkuk nasi disediakan saat kita memesan masakan-masakan tersebut. Bulgogi merupakan masakan daging sapi. Biasanya dipilih sirloin dari daging sapi pilihan. Bul-
gogi dapat berupa olahan sejenis rendang atau ada pula yang berkuah. Bulgogi berkuah ini mengingatkan saya akan rawon di Indonesia. Semangkuk besar bulgogi bagi orang Korea akan dimakan sendiri. Jika di Indonesia dapat dimakan dua orang sebab porsinya besar. Bulgogi dimakan bersama nasi. Berbagai jenis masakan sup Korea disebut jjigae. Jjigae pada umumnya dimasak dan disajikan dalam panci kecil untuk porsi satu orang. Dalam kaitannya dengan jjigae dikenal masakan kimchi jjigae dan sundubu jjigae. Kimchi jjigae merupakan sup yang memakai kimchi sebagai bahan utamanya. Sedangkan sundubu jjigae merupakan sup tahu pedas. Sup ini berbahan tofu atau tahu sutera yang sangat halus yang dimasak dengan kaldu sapi pedas dan saos merah. Selain kimchi dan tofu, sup pedas ini dilengkapi dengan potongan daging sapi, bawang bombay, kerang hijau, serta telur setengah matang. Nasi putih dan beberapa lauk lainnya akan menyempurnakan hidangan sundubu jjigae maupun kimchi jjigae. Jjigae ini mengingatkan saya kepada sop merah yang terdapat di Indonesia. Galbi merupakan masakan yang sangat terkenal di Korea. Galbi merupakan masakan Korea yang dibuat dari daging iga sapi yang dipotong pendek-pendek dan dipanggang. Biasanya daging iga tersebut direndam di dalam saus yang terbuat dari arak beras, sari buah pir, kecap asin, minyak wijen, bawang putih, dan gula. Saya sangat seÂnang memanggang iga sapi itu di atas pemanggangan yang terletak di meja. Setelah daging itu masak kemudian dibungkus dengan daun selada, daun perilla, atau daun-daun lainnya, serta sedikit nasi di dalamnya. Sebelum dimakan, daging yang sudah dibungkus daun dicelupkan lebih dulu di dalam ssamjang, yakni saus yang terbuat dari campuran pasta kacang kedelai dan cabai merah. Ada pula galbitang yaitu sup iga sapi. Bahan utamanya adalah tulang iga sapi yang dipotong kecil-kecil yang direbus dalam kuah dan diberi saus kecap. Setelah daging yang direbus menjadi lembut dan menghasilkan kaldu, lalu diberi bawang yang dicincang halus. Saya senang sekali menikmati sensasi bawang dan bau harum kaldu. Masakan ini juga dimakan bersama nasi. Masakan jenis sup lain yang sangat terkenal di Korea ialah samgyetang. Ini merupakan sup ayam ginseng. Sup ini berisi seekor ayam muda yang utuh yang direbus dengan api kecil selama 2-3 jam hing-
ga empuk. Seporsi sup biasanya dimakan oleh satu orang. Karena saya tidak mampu menghabiskan satu ekor ayam, biasanya saya memesan setengah ekor ayam saja. Samgyetang dimakan dengan menambahkan merica, garam, dan kimchi yang disiapkan di atas meja. Setelah daging ayam habis, orang Korea biasanya memasukkan nasi ke dalam sup. Saya juga tergiur dengan masakan Korea yang disebut jjimdak. Jjimdak ini mirip ayam kecap di Indonesia. Hanya rasanya memang pedas menyengat, cocok dengan lidah orang Indonesia. Jjimdak terdiri atas potongan ayam, cabai, kentang, jamur, wortel, dan sayuran lainnya yang diolah dengan kecap dan kaldu. Untuk mengurangi rasa pedas, pada umumnya jjimdak dimakan bersama dong chimi yakni kimchi yang terbuat dari lobak. Dongchimi berfungsi untuk menetralisisasi rasa pedas tersebut. Jjimdak juga bisa dimakan dengan nasi. Selama tinggal di Korea saya mengenal baÂnyak ragam nasi. Ragam nasi ini tentu ditentukan oleh jenis beras yang ditanak. Korea Selatan yang modern itu ternyata juga memiliki tanah pertanian dan sawah yang amat luas. Jika Anda sempat berjalan-jalan ke Darangee, sebuah desa di Korea Selatan, Anda akan berjumpa dengan hamparan sawah di lembah gunung yang curam dan menghadap ke laut. Saya teringat akan sawah-sawah di Bali. Pada setiap musim semi, desa Darangee menggelar festival padi. Ketika saya makan di beberapa restoran di Seoul saya banyak mencatat beberapa perbedaan budaya restoran di Indonesia dan di Korea. Perbedaan yang terlihat mencolok ialah perihal side dish, yaitu hidangan lain di samping hidangan utama. Misalnya saja ketika saya memesan bulgogi maka akan ditambahkan hidangan lain berupa kimchi dan acar kecambah. Kadang-kadang side dish itu bisa memenuhi meja makan. Begitulah pengalaman sederhana saya sebagai ibu rumah tangga Indonesia yang tinggal di Korea Selatan. Banyak pelajaran menarik yang saya petik ketika menjelajahi kuliner Korea. Pertama, bagi kebanyakan orang Korea nasi merupakan makanan pokok seperti orang Indonesia. Kedua, komposisi makanan sehat itu berupa nasi, daging, ikan, sayuran, dan air putih. Ketiga, kebersihan restoran dijaga bersama, baik oleh penjual dan pembeli, melahirkan solidaritas antar sesama dan lingkungan. Semoga pengalaman sederhana ini dapat menginspirasi saya ketika berada di tanah air sendiri, di Indonesia.
seni & budaya korea 63
GAYA HIDUP
Olahraga dalam Ruangan yang Sangat Menjanjikan 64 Koreana Musim Panas 2018
Pusat olahraga di Institut Nasional Sains and Teknologi Ulsan dilengkapi dengan fasilitas canggih, seperti tempat latihan dalam ruangan. Pusat Olahraga ini populer di kalangan mahasiswa dan juga anggota fakultas.
Minat bangsa Korea dalam olahraga golf mulai terlihat setelah Pak Se-ri yang baru berusia 20 tahun menjadi pemain termuda yang berhasil memenangkan Kejuaraan U.S. Women’s Open pada tahun 1998. Beberapa tahun kemudian, dikenal permainan screen golf berkat kemajuan teknologi informasi yang bisa memproyeksikan jalur pukulan bola. Minat pada olahraga dalam ruangan ini sekarang berkembang dengan sekitar 20 jenis olahraga selain screen golf, yang menghasilkan 1 triliun won per tahun dengan menarik lebih banyak pemain dibanding olahraga golf itu sendiri. Kim Dong-hwan Reporter, The Segye Ilbo
seni & budaya Korea 65
S
ampai saat ini, hari kerja di Korea sering kali ditutup dengan makan malam staf, yang dilanjutkan dengan menghabiskan waktu di klub karaoke, dan kemudian ke bar untuk minum soju atau bir. Namun, karyawan generasi baru lebih suka minuman yang lebih ringan dan melakukan aktivitas yang menyehatan di waktu luang. Bangsa Korea mulai mengatur budaya kerja mereka dan olahraga dalam ruangan, yang merupakan aktivitas virtual, menjadi bisnis yang menjanjikan. Lokasi olahraga simulasi dalam ruangan ini berupa kombinasi gaming café dan bar karaoke tahun 1990an. Tempat-tempat ini tidak memakai simu lator layar besar. Seperti layaknya taman hiburan, tempat ini memiliki tarif bera gam dan menyajikan minuman dan kudapan. Banyak pekerja kantor dan anak-anak muda yang menganggap tempat ini sebagai pilihan murah untuk mengisi waktu luang mereka. Produk Sampingan Sosial Budaya Minat pada olahraga dalam ruang an ini lahir karena faktor sosial budaya. Korea adalah negara dengan bidang olahraga yang kuat jika dilihat dari ba nyaknya medali Olympiade yang diperoleh. Namun, infrastruktur olahraga yang kurang memadai membuat mereka tidak punya kesempatan yang cukup untuk melakukan olehraga di luar ruang an. Dengan populasi yang terpusat di kota, ruang terbuka untuk olahraga sangat sedikit dan letaknya jauh. Tidak ada lahan yang cukup luas bagi pemain amatir untuk bermain baseball atau sepak bola. Simulasi olahraga dalam ruangan mengisi kekosongan ini, de ngan menggabungkan teknologi informasi Korea dan video gaming, keduanya industri global yang sangat kuat. Sebaliknya, simulasi olahraga on-screen tidak akan menjadi alternatif di negara yang punya infrastruktur
66 Koreana Musim Panas 2018
memadai untuk olahraga luar ruangan. Misalnya, di negara-negara dengan biaya satu kali main sangat murah dan pemesanan waktu bermain tidak sulit, tidak alasan untuk bermain screen golf. Pusat permainan screen golf mulai muncul di Korea di awal tahun 2000an. Pada saat itu, tidak banyak orang yang memperkirakan permainan ini akan berhasil. Lapangan golf standar dengan 18-hole biasanya seluas satu juta meter persegi. Ide bermain golf dalam ruangan seluas 10 meter persegi dengan bantuan simulator adalah suatu hal yang tidak masuk akal bagi para komunitas golf. Banyak kritik ditujukan pada aspek tekniknya yang kurang meyakinkan. Pegolf amatir dan profesional masih meragukan simulator ini bisa secara akurat merefleksikan arah bola. Mereka juga ragu apakah sensornya bisa digunakan untuk melihat tinggi rendahnya pukulan. Singkatnya, ada keterbatasan teknis dalam masa-masa awal program ini. Namun, banyak masalah yang sudah diperbaiki selama lebih dari satu dekade berjalan. Sekarang, banyak pemain me ngakui bahwa simulator ini merupakan replika 90 persen dari olahraga golf yang sesungguhnya. Mengatasi Hambatan Teknologi Tentu masih ada masalah teknis yang harus diatasi, seperti bagaimana pemain seolah merasakan rumput yang tercerabut ketika bola dipukul, tapi banyak orang optimis bahwa masalah ini dan keterbatasan lain akan segera dapat diatasi. Saat ini, simulator golf menggunakan gambar digital resolusi tinggi yang membuat pemain merasakan sensasi seakan berdiri di lapangan golf. Program-program baru juga diperkenalkan satu demi satu agar pemain merasakan seolah memukul bola seperti di lapangan. Prospek olahraga ini bagus berkat robot dengan intelejensi artifisial yang bisa bicara dengan konsumen.
1. Golf dan baseball ruangan merupakan pilihan teratas di taman tematis screen sport, yang telah berkembang di kota-kota. Simulator golf pada umumnya menarik pria paruh baya dan baseball populer di kalangan pria dan wanita dari segala usia. 2. Terlepas dari jenis olahraga, semua pusat olahraga ruangan terlihat serupa. Mereka semua memiliki kamar dengan layar lebar dan unit simulasi elektronik.
Pada tahun 2015, screen golf mencapai sekitar 10 persen (1 triliun won) dari industri golf domestik, bernilai 11 triliun won, sesuai data dari Kementrian Sain dan Teknologi Informasi. Jumlah pengguna tahunan di pusat permainan screen golf mencapai 1,5 juta orang pada tahun itu, melebihi pengunjung klub golf. Apa yang menyebabkan peningkatan tajam jumlah pegolf yang ingin merasakan visualisasi virtual ini? Biaya yang tinggi adalah alasan utamanya. Untuk bermain di klub golf, seorang pegolf amatir dijadwalkan bersama de ngan tiga pegolf lain pada waktu tertentu. Permintaan yang tinggi di akhir pekan membuat mereka sulit mendapatkan tempat tanpa membayar lebih atau jika tidak ada yang mengundurkan diri. Slot waktu di akhir pekan juga berarti jarak tempuh yang makin jauh menuju lapangan golf (dari Seoul, rata-rata satu jam) dan biaya yang lebih besar. Sebaliknya, biaya untuk permainan simulasi dalam ruangan yang kini bisa ditemukan di mana saja di segala penjuru kota berkisar sepersepuluh biaya di lapangan. Pemain bisa menghindari stres karena sulitnya mendapatkan tempat, waktu tempuh dan kelelahan pergi dan pulang ke lapangan golf, beratnya tas peranti golf yang harus dibawanya. Mereka juga bisa menikmati screen golf seorang diri.
Š legendheroes
1
2
Berkat program yang beragam dan akses yang nyaman, sekarang semua orang, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, bisa menikmati olahraga dalam ruangan. Olah raga ini bisa dilakukan kapan saja, pada musim hujan atau ketika cerah, panas atau dingin.
Kenyamanan dan Biaya yang Terjangkau Kesuksesan screen golf dalam waktu cepat membuka jalan bagi makin maraknya simulasi olahraga dalam ruangan. Keseluruhan pasar olahraga dalam ruangan ini diperkirakan mencapai sekitar 5 triliun won pada tahun 2018. Dengan melihat olahraga dan teknologi informasi sebagai mesin utama olahraga ini, Kementrian Budaya, Olahraga dan Pariwisata juga berminat menanamkan investasi dalam industri ini. Saat ini terdapat lebih dari 20 jenis olahraga dalam ruangan, yang meliputi tenis, menunggang kuda, menembak, boling, memancing, biliar, dan panjat
tebing. Golf dan baseball tetap paling populer. Olahraga lain yang sekarang bisa dilakukan dalam ruangan juga adalah curling, berkat medali perak yang diperoleh oleh tim perempuan Korea dalam Olimpiade Musim Dingin Pyeong Chang. Jumlah penyuka olahraga dalam ruangan laki-laki melebihi perempuan. Namun, kini berkat beragam program dan akses yang nyaman, semua orang, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, bisa menikmati olahraga ini. Olahraga dalam ruangan bisa dilakukan kapan saja, ketika hujan atau hari sedang cerah, panas atau dingin. Olahraga ini juga tidak sulit. MisalÂ
nya, para pemula bisa bermain biliar simulasi, meski mereka tidak familier dengan aturan atau tekniknya. Sistem kamera-proyektor dan sensor berfungsi mengidentifikasi lokasi bola di meja dan intelijensi artifisial akan menganalisis jalur bola. Tidak hanya mereka yang sudah sangat mengenal biliar, tapi orang yang awam pun bisa menikmatinya. Tidak mudah diperkirakan berapa lama industri olahraga dalam ruangan ini akan bertahan. Namun, mainan baru ini masih ada karena adanya keinginan untuk menikmati olahraga favorit dalam lingkungan yang hanya membutuhkan sedikit biaya dan waktu.
seni & budaya korea 67
PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA
KRITIK
Takdir Penyakit Terkutuk Kang Young-sook masih tetap mengeksplorasi kecemasan dan penderitaan tersembunyi yang berada di balik kehidupan berdasarkan pandangan dunia yang tragis. Tokoh-tokoh dalam cerita-ceritanya secara internal mengalami keretakan akibat berbagai luka, yang digambarkannya dengan nada yang tampak seperti tak peduli, meski terasa kontemplatif. Choi Jae-bong Reporter, The Hankyoreh
S
udah 20 tahun berlalu sejak Kang Young-sook memenangkan Lomba Sastra Musim Semi tahunan yang disponsori harian Seoul Shinmun sebagai awal karier kepengarangannya. Waktu itu, ia telah menerbitkan lima antologi cerita pendek dan tiga novel panjang, sebuah capaian yang lazim bagi seorang penulis Korea. Novel dan cerita pendeknya, sangat berbeda satu sama lain, sehingga karya-karya itu dapat dipandang sebagai karya penulis yang berbeda. “Rina,” novel terkenalnya yang terbit tahun 2006, berkisah tentang seorang gadis berusia 16 tahun bernama Rina yang membelot dari Korea Utara. Rina terpapar pada kesulitan dan cobaan sebagaimana yang dialami sebagian besar pembelot, tetapi dia tidak hanya dengan tegas berhasil mengatasinya, tetapi juga membuat keputusan yang bertentangan de ngan pilihan umum kebanyakan pembelot. Pada awalnya, ketika melintasi perbatasan, dia bermaksud pergi ke “negara P,” tetapi kemudian meninggalkan rencana itu dan memutuskan menyeberang ke “negara pengembara,” yang dapat diasumsikan sebagai Mongolia. Beberapa tahun berlalu sejak dia pertama kali melintasi perbatasan; dia sekarang punya pengalaman yang lebih luas daripada orang lain, melintasi perbatasan dan memimpin kehidupan nomaden yang membentuk pandangan dunianya. Meskipun narasi itu terkesan muram dan menyakitkan, pandangan Rina tentang dunia didukung gayanya yang optimistik dan menyenangkan. Dua novel lain, Klub Menulis dan Kesedihan dan Kegembiraan Gadis Teletubbie, punya nada yang relatif ringan, masingmasing menggambarkan cinta seorang ibu tunggal dan putrinya yang menyadari nilai dan arti dari tulisan, dan cinta antara seo-
68 Koreana Musim Panas 2018
rang lelaki berusia akhir tiga puluhan dan seorang gadis berusia 17 tahun. Ada perbedaan besar antara ketiga novel panjang ini dibandingkan karya-karya yang terkandung dalam lima kumpulan cerpennya. Cerita pendek Kang Young-sook dalam lima kumpulan cerpen itu, semuanya dicirikan oleh sikap pesimis dan nihilistik terhadap dunia. Hal ini tampak dari antologi cerpennya yang pertama, Goncangan (2002). Tokoh dalam 11 cerita pendek yang terdapat dalam antologi itu hampir semuanya mengerang dan meraung dari luka mereka ketika berhadapan dengan dunia yang penuh kegelapan, sementara itu, segalanya seperti tidak ada solusi yang jelas. Satu-satunya sentuhan kehangatan muncul ketika yang terluka menemukan harmoni dan kenyamanan satu sama lain dalam sebuah perusahaan. Nada dasar tetap sama dalam tiga antologi cerpen, Tiap Hari ialah Perayaan (2004), Hitam dalam Merah (2009), dan Malam yang Berat (2011). Cuaca yang tidak menyenangkan, lanskap alam yang hancur, manusia dan hewan yang kehilangan vitalitasnya, bencana alam, seperti kekeringan dan banjir, tsunami, epidemi, pembunuhan, dan kecelakaan—semua ini memberi tekanan berat, bahwa dunia ini tidak layak ditinggali. Tema cerpen “Area Petaka Bus Wisata” dalam antologi keempat, ditegaskan dalam satu kalimat lanskap mengerikan yang mengingatkan pada “masyarakat berisiko” sebagaimna yang didefinisikan sosiolog Jerman, Ulrich Beck: Banyak pecahan kaca, tetesan darah di lantai semen dan sepatu putih, kulit terasa seperti ditaburi garam, sapi-sapi menggeliat saat mereka mati, cermin panjang yang memantulkan punggung pasien penyakit kanker, orang-orang yang terba-
kar hingga mati, suara wanita meratap, turun hujan asam, dan tubuhku hampir tersebar ke seluruh dunia.” Pembaca yang akrab dengan masyarakat Korea pada saat itu akan mudah diingatkan oleh kalimat ini dari protes penggusuran yang terbakar hingga mati yang terjadi selama operasi polisi yang kejam atau ribuan ternak yang terinfeksi penyakit mulut dan kuku yang dikubur hidup-hidup, untuk tidak me ngatakan apa pun tentang bencana lingkungan, kecelakaan, dan penyakit. Ketika saya mewawancarainya setelah antologi pertama nya diterbitkan, Kang berkata, “Saya ingin mengatakan rasa sakit masyarakat melalui fiksi. Saya pikir, fiksi adalah semacam catatan tentang dirinya sendiri.” Dengan rasa sesal, dia menambahkan, “Namun, dalam menyajikan cerita seperti itu, saya khawatir mereka tampak terlalu mikroskopis dan terkesan sebagai pelarian.” Alasannya menulis fiksi dan ketidakpuasannya dengan hasil yang diraih sebelumnya, berlanjut pada karya berikutnya. Ini mungkin ada hubungannya dengan gaya penulisannya yang ambigu dan terpecah-pecah. Cerita-cerita pendek Kang terdiri dari singkatan-singkatan dan lingkaran-lingkaran yang tebal, bukan sebuah rangkaian cerita yang mengikuti urutan peristiwa secara dekat. “Tak Tersembuhkan” diterbitkan pada tahun 2016 sebagai bagian dari kumpulan cerpennya yang kelima, berjudul Sastra Kelabu. Kalimat pertama mengatakan bahwa kehidupan protagonis berada pada landasan kehidupan yang monoton, tetapi sangat kuat: “Jin-uk menjalani kehidupan dan sepertinya, hampir tidak ada kemung kinan hal buruk akan terjadi.” Namun, orang tahu, bahwa sesuatu harus terjadi agar cerita fiktif muncul, dan hal-hal buruk memberikan narasi yang lebih menarik daripada yang baik. Selain itu, seperti yang tadi disinggung, sikap pesimis dan nihilistik terhadap dunia dalam sangat kuat dalam karya-karya Kang Young-sook. Hal buruk bagi bankir Jin-uk, yang “selalu bekerja secara agresif sehingga menjadi model bagi orang lain” dan “penuh percaya diri dan menghibur diri dengan pikiran bahwa dia sama sekali tidak ada masalah,” datang dengan penampilan Su -yeon. Akan sulit untuk mengatakan bahwa
Su-yeon “menyerbu” kehidupan Jin-uk melawan kehendaknya. Sebaliknya, Jin-uk aktif menarik Su-yeon ke dalam hidupnya. Status kreditnya begitu buruk, tidak ada uang masuk secara teratur, dan hampir tidak ada tabungan, jadi Jin-uk tampaknya telah membantunya dengan melakukan apa yang dia bisa lakukan sebagai bankir. Tentu saja, itu karena dia mencintainya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, cerita Kang ambigu, jadi sulit untuk mengetahui dengan pasti apa yang terjadi di antara mereka. Saat Su-yeon berbicara kepada dirinya sendiri, “Karena dia tahu semua perbuatan jahatku, aku berharap dia akan mati dan menghilang,” kita hanya bisa menebak apa yang terjadi sampai batas tertentu. Upaya Su-yeon untuk mendapatkan racun mematikan dalam bertahan melawan kata-kata ekstrim Jin-uk menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi itu sebenarnya negatif dan menghancurkan dirinya juga. Ketika Su-yeon menunggu di jalan dealer yang membawa ramuan, dia sengaja mendengar pekerja konstruksi mengungkapkan kekhawatiran tentang utang kartu kredit mereka: mereka jelas berbicara tentang perasaan Su-yeon. Ledakan dan teriakan berikutnya melambangkan malapetaka yang dahsyat. Untuk Jin-uk, malapetaka ini bermula dari pembacaan tentang sawit yang terjadi secara kebetulan. Cerita dimulai dengan adegan Jin-uk dengan telapak tangannya membacakan suatu malam di sebuah pesta © Shin Na-ra dan ia diberi tahu, “Saya tidak dapat melihat apa pun, tidak ada apa pun di sana. Ini kosong.” Pembaca telapak tangan mengatakan bahwa garis pada telapak tangan seseorang adalah “garis yang ditinggalkan oleh hal-hal yang terjadi pada teman-teman yang tidak memiliki hubungan dengan kehidupan seseorang, dan oleh hal-hal yang terjadi pada anggota keluarga.” Memang, setelah dia bertemu Su-yeon dan jatuh cinta padanya, masalahnya menjadi miliknya yang menghancurkan hidupnya. Dengan demikian judul cerita ini, “Tak Tersembuhkan,” dapat dipahami sampai batas tertentu. Telapak tangann aneh Jinuk adalah simbol dari takdirnya bahwa ia tidak dapat melarikan diri, seperti penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Di sini pesimisme Kang Young-sook ditegaskan kembali.
“Saya ingin me ngatakan rasa sakit masyarakat melalui fiksi. Saya pikir, fiksi adalah semacam catatan tentang dirinya sendiri.”
seni & budaya korea 69
Informasi Berlangganan
Cara Berlangganan Biaya Berlangganan
Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.
Daerah
Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)
Edisi lama per eksemplar*
Korea
1 tahun
25,000 won
6,000 won
2 tahun
50,000 won
3 tahun
75,000 won
1 tahun
US$45
2 tahun
US$81
3 tahun
US$108
1 tahun
US$50
2 tahun
US$90
3 tahun
US$120
1 tahun
US$55
2 tahun
US$99
3 tahun
US$132
1 tahun
US$60
2 tahun
US$108
3 tahun
US$144
Asia Timur
1
Asia Tenggara dsb
2
Eropa dan Amerika Utara 3
Afrika dan Amerika Selatan 4
US$9
* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Cina, Hong Kong, Jepang, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam,) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan
Mari bergabung dengan mailing list kami
Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr
Tanggapan Pembaca
Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.
84 Koreana Musim Panas 2018
* Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)
A JournAl of the eAst AsiA foundAtion
We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. In our latest issue:
Where Asia’s Military Modernization Is Headed Learn more and subscribe to our print or online editions at www.globalasia.org
ASiAn ArmS for peAce or peril? eSSAYS bY
plUS
Joel Wuthnow & Phillip C. Saunders; Dipankar Banerjee; Noboru Yamaguchi; Sam Bateman; Seung-chan Boo; Evan A. Laksmana; Peter Hayes; Andrey Gubin; Richard Tanter
John feffer Fiddling in the Face of Floods: Climate Change and Asia’s Coastal Cities
cAn the development bAnkS pUt rivAlrY ASide?
raymund Jose g. Quilop Co-operation by Indonesia, Malaysia and the Philippines: Temper Expectations
ADB, World Bank, AIIB and NDB: It needn’t be old vs. new, say Ramon Pacheco Pardo and Pradumna B. Rana in focUS: north koreAn denUcleArizAtion
New summitry brings hopes, but old fears persist
rupakjyoti borah India and Trump: A New Symphony
chan chak-ming The Rule of Law in Hong Kong Is Robust book reviews by Nayan Chanda, Taehwan Kim, John Nilsson-Wright and John Delury
US$15.00 W15,000 | WWW.globAlASiA.org | volUme 13, nUmber 1, Spring 2018 A JoUrnAl of the eASt ASiA foUndAtion A Ation
Asia’s Arms Race
Where the Region’s Military Modernization Is Headed
News, archives and analysis
at www.globalasia.org
Have you tried our Magster digital edition? Read on any device. Issues just $5.99 each or $19.99 per year. Download Magzter’s free app or go to www.magzter.com
KoreanLiteratureNow.com