2019 Koreana summer(Indonesian)

Page 1

MUSIM PANAS 2019

senI & BuDaYa Korea

FItur KHusus

MaKanan VIHara

menikmati sisi Lain hasrat dan khayalan Hidangan Peluruh Keserakahan; Makanan yang Menenangkan Jiwa Membangkitkan Kampung Halaman: Kisah ibadah seorang biku melalui Teh

Makanan Vihara

VOL. 8 NO. 2

ISSN 2287-5565


CITRA KOREA

Pasangan Sempurna Kim Hwa-young

Kritikus Sastra; Anggota Akademi Seni Nasional


© News1

O

rang Korea, baik atau buruk, adalah peminum terberat di dunia dan makanan yang selalu ada di atas meja selalu dileng­kapi dengan botol dan kaleng minuman keras. Makgeolli, anggur beras seperti susu, memerlukan pasangan pancake kacang hijau. Soju, minuman keras bening dan hasil sulingan, paling nikmat diminum bersama perut babi panggang. Untuk ayam goreng, selain bir praktis tidak terpikirkan. Memang, chimaek, campuran ayam dan maekju Inggris-Korea sudah mendarah daging dalam kamus sehari-hari. Sejarah chimaek relatif singkat. Pada tahun-tahun pasca-Korea Perang, telur goreng merupakan pemandangan yang langka, apalagi ayam goreng. Kemudian, pada akhir 1960-an, chimaek versi baru mulai muncul di Nutrition Center, sebuah restoran di Myeong-dong, di pusat kota Seoul yang menyediakan ayam panggang dan bir. Sekitar waktu itu, unggas dan pakan ternak Amerika Serikat mulai diimpor, dan beberapa tahun kemudian, ayam diternakkan di kandang-kandang. Ketika semua bahan mencapai masa puncak, Ayam Goreng Lim, ayam goreng Korea pertama, dibuka pada tahun 1977 di ruang bawah tanah Shinsegae Department Store, pusat makanan siap saji di pusat kota Seoul. Tujuh tahun kemudian, toko Kentucky Fried Chicken pertama Korea dibuka di dekat Jongno. Pasangan chimaek yang familiar di masa kini muncul pada tahun 2002, ketika Korea menjadi tuan rumah bersama final Piala Dunia dengan Jepang. Tim Korea yang yang tidak diperhitungkan secara mengejutkan mencapai semifinal, membuat seluruh negara terperangah. Penggemar de­­ ngan gembira berkumpul di depan layar di plaza, restoran, pub dan bar dan memesan chimaek saat mereka menyaksikan pertandingan. Berkat serial TV Korea yang mengangkatnya, chimaek pun menyebar ke negara-negara Asia lainnya. Ada juga sisi gelapnya. Minyak goreng mendidih, adonan kalori dan tingkat natrium yang tinggi dari ayam gaya Korea ditambah bir membang­ kitkan nafsu makan dan rasa haus, yang menyebabkan makan berlebih dan terlalu banyak minum. Jadi, selain kenangan yang menggembirakan, favorit orang Korea yang menjadi favorit dalam setiap pertemuan sosial itu berdampak pada obesitas, asam urat, penyakit jantung, dan penyakit hati. Namun demikian, di seluruh negeri, layanan telepon cepat dapat memanggil pasangan populer itu ke pintu dalam waktu setengah jam dengan harga yang relatif terjangkau, terbukalah “surga chimaek”.


Dari Redaksi

Pemimpin Umum

Lee Sihyung

Berlibur di Musim Panas

Direktur Editorial

Kim Seong-in

Pemimpin Redaksi

Koh Young Hun

Di Korea musim panas berlangsung sejak Juni hingga Agustus. Pada musim panas tersebut suhu udara bisa mencapai 30 derajat Celcius. Bulan-bulan tersebut kebetulan merupakan bulan akhir semester di lembaga pendidikan. Banyak siswa atau mahasiswa yang memanfaatkan liburan musim panas itu dengan berkunjung ke luar negeri atau pergi ke pentai di dalam negeri, misalnya di Pantai Haewoondae, Pantai Byunsan, atau Pantai Gyeongpo. Hanya sekarang ada gaya baru berlibur. Supaya tidak terjebak kemacetan di jalan atau besarnya dana yang harus dikeluarkan, banyak orang memilih berlibur di hotel (hocance = hotel vacation) atau di rumah saja (homecance = home vacation), tidak perlu ke mana-mana agar tidak lelah setelah pulang. Tentang berlibur minimalis itu ditulis lengkap di Koreana edisi musim panas kali ini. Berkunjung ke vihara juga bisa menjadi bentuk berlibur dan rekreasi yang menarik. Dalam vihara orang diajak untuk merenung dan berme­ ditasi. Makanan yang disajikan di vihara bukan semata-mata demi lidah dan perut, namun demi belajar hidup secara benar. Sungguh menarik membaca perihal makanan di vihara yang mampu menenangkan jiwa dan membangkitkan kenangan akan kampung halaman. Membaca cerita pendek juga bisa menjadi bentuk rekreasi yang lain. Membaca cerita pendek di Koreana, kita bukan hanya mempelajari konflik yang dialami para tokoh, namun juga belajar tentang filsafat dan budaya Korea. Maka, wajib rasanya kita bersyukur sebab dalam tempo tidak lama lagi 14 cerita pendek yang sudah pernah terbit di Koreana, akan dicetak dan diterbitkan di Indonesia. Mari kita baca lembar demi lembar Koreana Edisi Musim Panas 2019, sambil menunggu kehadiran kumpulan cerita pendek Korea yang akan membawa kita kepada kedalaman Korea. Salam.

Dewan Redaksi

Han Kyung-koo

Benjamin Joinau

Jung Duk-hyun

Kim Hwa-young

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Charles La Shure

Song Hye-jin

Song Young-man

Yoon Se-young

Direktur Kreatif

Kim Sam

Editor

Ji Geun-hwa, Noh Yoon-young

PENATA aRTISTIK

Kim Ji-yeon

Desainer

Kim Eun-hye, Kim Nam-hyung,

Yeob Lan-kyeong

Tim Penerjemah

Koh Young Hun

Kim Jang Gyem

Evelyn Yang

Lee Yeon

Shin Soyoung

Lee Eun Kyung

Penyunting

Tengsoe Tjahjono

Penata Letak

Kim’s Communication Associates

dan Desain

44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu

Seoul 04035, Korea

www.gegd.co.kr

Tel: 82-2-335-4741

Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 88 untuk berlangganan.

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Bahasa Indonesia

Percetakan Edisi Musim panas 2019

Korean Culture & Arts Musim Panas 2019

Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5

Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation 55 Sinjung-ro, Seogwipo-si, Jeju-do 63565, Korea http://www.koreana.or.kr

“Penyebab - Sebuah Zona Waktu yang Longgar” Choi Seung-mi 2016. Tinta dan warna di atas kertas beras yang tebal. 45,5 × 27,3 cm.

© The Korea Foundation 2019 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.


fitUr khUsUs

makanan Vihara: menikmati sisi Lain hasrat dan khayalan 04

FITUR KHUSUS 1

Hidangan Peluruh Keserakahan Mun Tae-jun

08

FITUR KHUSUS 2

Makanan yang Menenangkan Jiwa Membangkitkan Kampung Halaman

16

FITUR KHUSUS 3

Kisah Ibadah Seorang Biku melalui Teh Park Hee-june

Baek Young-ok

22

FOKUS

Ssireum , Warisan Budaya Tak Benda UNESCO

44

JATUH CINTA PADA KOREA

Cahaya bagi Mereka yang Lemah dan Kurang Mampu

Park Hong-soon

Choi Sung-jin

26

48

WAWANCARA

Laki-Laki yang Dijuluki ‘Tangan Nam June Paik’

DI ATAS JALAN

Tiga Jalur Pegunungan di Mungyeong

64

KISAH RAMUAN

Waktu yang Tersembunyi dalam Hobak Jeong Jae-hoon

68

ESAI

Memanjakan Lidah dengan Sajian Kuliner Korea

Lee Chang-guy

Adi Purwanto

56

70

Lim Hee-yun

32

ULASAN SENI

Bangunan Estetika Beton

KISAH DUA KOREA

Mengubah Hati dan Pikiran

GAYA HIDUP

Menikmati Liburan Secara Minimalis

Kim Hak-soon

Kim Dong-hwan

60

74

Lim Jin-young

38

PENJAGA WARISAN BUDAYA

Pandai Besi yang Membuat Homi dengan Api, Udara, dan Air Kang Shin-jae

SUATU HARI BIASA

Bahagianya Masa Muda yang ‘Beruntung’ Kim Heung-sook

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Kesenjangan Waktu Etis Choi Jae-bong

Makna Lanskap Kim Ae-ran


FITUR KHUSUS 1

Makanan Vihara: Menikmati Sisi Lain Hasrat dan Khayalan

Hidangan Peluruh Keserakahan Sejak dahulu di vihara-vihara Buddha Korea, makanan adalah sarana untuk membersihkan pikiran. Melalui makan seseorang berusaha untuk mendapatkan ketenangan pikiran dengan mematikan keinginan dan hasrat kepemilikan harta. Makan di vihara, oleh karena itu, sama dengan berlatih spiritual untuk mencapai pikiran yang murni. Mun Tae-jun penyair Ahn Hong-beom Fotografer

4 Koreana Musim Panas 2019


S

ejak kecil saya sudah terbiasa berjalan kaki ke vihara bersama ibu yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan. Ibu membawa biji-bijian yang dipanennya langsung dari sawah dan ladang untuk dipersembahkan kepada Sang Buddha. Dan tiga hari sebelum pergi ke vihara, ibu makan makanan dengan sangat ketat, terutama ia tidak makan daging. Pada hari pergi ke vihara, ibu bangun pagi-pagi, lalu keramas dan mandi dengan bersih. Seolah-olah ia hendak membersihkan diri dari semua energi buruk yang menempel pada tubuh dan hatinya. Ia lalu bersimpuh di hadapan Sang Buddha dan berdoa untuk menyampaikan keinginannya dengan suara rendah. Bagi saya, yang saat itu masih belia, hidangan di vihara merupakan satu alasan kuat mengapa saya tidak berkeberatan repot di dini hari untuk ikut dengan ibu. Jika ingatan saya benar, makanan pertama yang pernah saya makan di vihara adalah bubur kacang merah. Bubur kacang merah - yang pembuatannya dengan cara merebus kacang merah kemudian dilumat lalu disaring, setelah itu ditambah beras lalu direbus menjadi bubur - luar biasa nikmatnya. Bola-bola kecil yang dibuat dari tepung beras dalam bubur kacang merah, selain terlihat mungil, rasanya pun sedap. Kenangan makan semangkuk bubur kacang merah bersama ibu masih lekat dalam ingatan saya. Alasan memakan bubur kacang merah di vihara adalah karena warna merah dari bubur kacang merah diyakini dapat mengalahkan energi jahat, aura yang tidak menyenangkan, dan bencana yang tidak disengaja. Selain bubur kacang merah, ada kalanya kami makan bibimbap yaitu nasi hangat yang dicampur dengan berbagai sayuran atau sup mie. Makanan vihara cenderung hambar di lidah saya kala itu. Tidak ada daging, tidak manis, tidak asin, dan tidak pedas juga. Karena itu rasanya lama sekali untuk makan makanan tersebut, karena rasanya tidak terlalu istimewa, malah cen­ derung membosankan.

Pola Makan yang Sangat Sederhana

Bahkan ketika saya sudah dewasa, saya sering pergi ke vihara, sekadar untuk berbicara dengan biku-biku senior, untuk memperkenalkan vihara di surat kabar, atau untuk sejenak melupakan kehidupan sehari-hari dan mengistirahatkan jiwa

Peserta program Tinggal di Vihara Naeso Kabupaten Buan, Provinsi Jeolla Utara menyantap hidangan biara resmi. Sekitar 130 vihara Buddha di seluruh negeri mengoperasikan program Tinggal di Vihara yang memberikan kesempatan bagi masyarakat umum untuk mengalami kehidupan sehari-hari para bhikkhu.

dan raga. Ada berbagai alasan yang membawa saya datang ke vihara, tetapi yang jelas, kunjungan ke vihara selalu membuat saya merasa lebih bersih lahir dan batin, hati terasa lebih lapang, dan jumlah keserakahan berkurang daripada sebelumnya. Semakin bertambah jumlah kunjungan saya ke vihara, semakin saya temukan kehidupan di vihara yang ternyata terbagi dengan sedemikian rupa, setiap biku memiliki tugasnya masing-masing. Misalnya, ada biku yang mengelola vihara secara umum, ada biku yang bertanggung jawab atas teh, ada biku untuk mengurus kebun sayur, ada biku yang bertanggung jawab atas air minum, ada biku yang menyediakan makanan pokok, ada biku yang bertanggung jawab untuk lauk, ada biku yang menyediakan kayu bakar, ada biku yang bertanggung jawab untuk sistem pemanasan vihara, dan semua bhikkhu mengemban tanggung jawab mereka dengan tertib. Saya menjadi tahu bahwa di vihara hampir semua bahan pangan dipasok secara swasembada, dan semua bahan tersedia atas usaha tani para bhikkhu. Saya pernah mendengar sebuah pepatah di vihara yang mengatakan “Jika kamu tidak bekerja, kamu tidak layak untuk makan hari itu”. Suatu hari, ketika saya mengunjungi vihara, para biku sedang me­­ nyingsingkan lengan pakaian mereka untuk membuat kimchi, dan di hari lainnya mereka menyesap kacang kedelai untuk digantung menjadi meju (kacang kedelai fermentasi untuk membuat saus kacang kedelai). Makanan para biku sangat sederhana, dan selain nasi, sup, dan kimchi. Setiap makanan hanya disajikan dengan tiga jenis lauk. Menurut tulisan-tulisan yang tertera di din­ ding ruangan, disebutkan bahwa merupakan suatu peraturan untuk menjaga kepala tetap dingin, dan menghangatkan kaki, saat memakan makanan dengan menjaga agar keadaan selalu berada di bawah 20 persen dari kenyang. Jatah makanan yang disajikan setiap hari juga membuat saya terkejut. Jatah harian hanya tiga hop (180 ml) per orang. Makan bubur di pagi hari, makan nasi untuk makan siang, dan makan sedikit nasi jabgok (nasi yang dibuat dari berba­ gai jenis padi-padian) di malam hari. Tambahan nutrisi terutama dikonsumsi de­­ngan sayuran. Tahu, kim (lauk yang terbuat dari rumput laut, berbentuk kering dan seperti kertas segi empat) dan rumput laut yang terbuat dari kacang. Diet makan yang sangat sederhana. Jika bukan saatnya untuk makan, mereka tidak makan.

Pikiran yang Bersih dari Keserakahan

Di antara para bhikkhu yang dihormati di Korea, ada Biku Sung Chul (1912 ~ 1993). Dalam kata-kata biku ini, kata-ka-

seni & budaya korea 5


ta seperti “Mari kita lihat diri kita sendiri”, “Mari kita bantu orang lain tanpa diketahui orang lain”, dan “Mari kita berdoa untuk orang lain” seolah terngiang dengan suara yang sederhana namun dalam. Sang bhikkhu menjalani kehidupan di vihara selama delapan tahun tanpa berbaring dan tidak pergi ke luar vihara selama sepuluh tahun. Saat bhikkhu meninggal, yang ditinggalkannya hanyalah jubah biku usang yang beberapa kali ditambal, sepasang sepatu karet hitam, dan tongkat. Pola makan sang bhikkhu juga tidak berbeda. Seorang bhikkhu yang lama mendampingi sang bhikkhu bercerita sebagai berikut. Singkatnya, pola makan Biku Seong-chul adalah makan sedikit dan mengurangi keserakahan. Ia memakan daun dan batang sayur, memakan buah dalam jumlah terbatas dan berusaha untuk tidak makan sampai kenyang. Sampai-sampai saya meragukan dapatkah seseorang menjaga kesehatannya dengan jumlah makanan sesedikit ini. Beliau menyantap makanan hanya sebagai obat untuk dapat menjalankan baktinya, dan cukup untuk menopang tubuhnya. Keserakahan akan makanan dianggapnya sebagai hati seorang pencuri. Juga, keserakahan akan makanan menyebabkan kemalasan, karena itulah ia selalu menjauhi keserakahan. Pada tiang pintu masuk ke vihara biasanya tertulis “Ketika Anda memasuki pintu vihara ini, buang apa yang Anda ketahui.” Ini adalah ajaran bahwa Anda harus meninggalkan pikiran dan dugaan selama Anda hidup di dunia, membuang kesombongan diri, dan mengosongkan hati yang telah berubah. Di Korea, ruang vihara adalah tempat untuk menyucikan pikiran. Kalau begitu, apa yang dimaksud de­­ ngan menyucikan pikiran? Yang dimaksud adalah hati yang pemurah, suci, jujur, mengabdi, memberi, tidak serakah, dan lapang. Dan untuk mencapai hati yang suci, kita harus menyederhanakan segala yang kita makan, tidur, dan kenikmatan. Tradisi Buddhisme Korea ini telah dipertahankan untuk waktu yang sangat lama, dan ketika tradisi itu terancam longgar dan runtuh, para biku Buddha menyatukan hati dan menegakkannya kembali. Mereka melakukan bakti pada tengah malam untuk mengembalikan komunitas pada kondisi suci. Khususnya, praktik menimba air, menyediakan kayu bakar, menyemai kebun untuk kehidupan swasembada vihara merupakan bakti yang terpenting dalam bakti tengah malam.

Peraturan Saat Makan

Ada beberapa peraturan tertentu yang mengatur cara makan secara sederhana di vihara. Makanan harus dimakan dalam keheningan, tidak boleh mengobrol sambal makan dan hanya berkonsentrasi pada kegiatan makan. Untuk hal itu, sarapan di Vihara Woljeong di Gunung Odae di Provinsi Gang-

6 Koreana Musim Panas 2019

Di pagi hari ketika hawa dingin di musim dingin menyelubungi tubuh saya, saya memakan hidangan dengan lauk sederhana dan menyantapnya dalam keheningan total. Saya melihat tubuh saya yang telanjang dan pikiran yang jernih mengunyah dan menyantap makanan. won atau di Vihara Hwaeom di Gunung Jiri di Provinsi Jeolla Selatan merupakan pengalaman yang sangat istimewa bagi saya. Di pagi hari ketika hawa dingin di musim dingin menyelubungi tubuh saya, saat saya memakan hidangan de­­ ngan lauk sederhana dan menyantapnya dalam keheningan tanpa ada yang bercengkrama, saya melihat jiwa dan raga saya yang jernih. Dan tiba-tiba saya berpikir, “Apa artinya lahir hidup di dunia ini bagi saya?” “Catatan Biku Baru” (Gye chosim hagin mun) adalah sebuah buku yang ditulis oleh Biku Jinul pada zaman Goryeo (1158-1210) yang memberikan ajaran kepada para bhikkhu tentang kehidupan di vihara. Di dalamnya disebutkan etiket makan. “Jangan mengeluarkan suara saat mengunyah atau minum, hati-hati saat mengangkat dan memindahkan makanan, jangan mengangkat wajah untuk melihat sekeli­ ling, jangan menilai suatu makanan itu enak dan tidak enak, menyukai makanan tertentu dan tidak menyukai yang lainnya, jangan berbicara, jangan biarkan pikiran melanglang buana, selalu menyadari bahwa makan hanyalah untuk menjaga agar tubuh tidak menjadi kurus dan tujuannya adalah untuk mencapai pencerahan.” Salah satu makanan di vihara, ada yang saya ingat secara istimewa. Asinan yang diasinkan pada awal musim gugur yang dimakan dengan air dingin di musim panas, sup daun labu tauco yang dipetik sebelum datangnya embun beku menjelang musim dingin, lauk lobak kering, daun teratai atau akar burdock yang direbus dalam kecap asin atau digoreng. Terkadang saya mendapat sedikit kerak nasi yang saya bawa pulang untuk direbus dengan air. Saya masih mengingat de­­ ngan baik rasanya.


Jiwa yang Terkandung dalam Makanan

Selain makanan, saya juga menyukai teh yang disajikan para biku. Pada suatu hari musim semi di Namwon, Provinsi Jeolla Utara, seorang biku yang bekerja di ladang menyambut saya dengan hangat dan menawarkan secangkir teh hijau dengan kuncup bunga plum kecil di atasnya. Aroma teh itu masih lekat dalam ingatan saya. Dewasa ini, makanan vihara menjadi semakin populer. Sungguh baik jika orang tidak makan berlebihan dan menekan keinginan untuk menyantap makanan olahan. Juga baik untuk melihat bahwa rumah makan yang menyajikan makanan vihara bermunculan di tengah kota, juga mempe-

Ada juga bagian penting dari program Tinggal di Vihara, upacara minum teh Buddhis yaitu minum teh sambil mendengarkan khotbah, yang diikuti dengan sesi diskusi. Ini adalah kesempatan langka bagi masyarakat umum untuk melakukan kontak dekat dengan para biarawan yang tinggal di kuil gunung.

lajari cara masak masakan vihara untuk diterapkan di rumah tangga masing-masing. Pada dasarnya, makan di vihara berarti menerima bahan pembuat makanan dari tempat lain dan berusaha untuk tidak merusak hal lainnya. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa di vihara orang tidak makan daging. Seperti yang tertulis dalam kitab suci, “Semua tanah dan air adalah tubuhku yang dulu, sementara api dan angin adalah keberadaanku�, kita akan menjadi tahu bagaimana ajaran Buddha memandang kegiatan makan. Sambil menjalani kehidupan setiap hari, saat saya merasa bahwa diri saya seperti cermin tertutup debu, saat saya merasa keinginan tumbuh terlalu besar dan tidak pernah terpuaskan, saya menuju ke sebuah vihara di pegunungan untuk bermeditasi. Dengan meletakkan makanan yang ringkas dan sederhana di hadapan saya, aku merefleksi diri dari keserakahan hati yang berakar belukar di dalam diri saya. Dengan duduk di vihara yang bersih dan bertobat, akhirnya saya dapat menyingkirkan belenggu keserakahan yang bergelora.

seni & budaya korea 7


FITUR KHUSUS 2

Makanan Vihara: Menikmati Sisi Lain Hasrat dan Khayalan

Makanan yang Menenangkan Jiwa Membangkitkan Kampung Halaman Ada sebuah vihara kecil di pegunungan yang menjamu tamunya dengan nasi tanakan para biksuni dengan kehangatan hati seorang ibu yang mendekap dunia, dan sayur-sayuran yang dipetik dari gunung belakang sebagai teman nasi. Vihara itu adalah Vihara Yunpil di Mungyeong, provinsi Gyeongsang Utara. Kehangatan sesuap masakan yang saya cicipi di vihara ini pada musim semi lalu serupa dengan kehangatan hati saya ketika itu. Baek Young-ok Novelis Ahn Hong-beom Fotografer

Makanan yang disiapkan untuk pengunjung oleh para biarawan perempuan di Pertapaan Yunpil di Mungyeong, Provinsi Gyeongsang Utara. Terdiri atas sayuran dan tumbuhan liar musiman, termasuk mugwort, water dropwort, rapeseed, dan shepherd’s purse yang diambil dari pegunungan terdekat atau dibeli di pasar lokal.

8 KOREANA Musim Panas 2019


SENI & BUDAYA KOREA 9


1

10 Koreana Musim Panas 2019


K

etika bunga musim semi mekar, saya selalu membaca kumpulan prosa Kim Hoon “Perjalanan Sepeda”. Begitu seringnya saya baca buku ini secara berulang, kini beberapa kalimat terbaca bagaikan pemandangan di luar jendela yang penuh dengan bunga. Misalnya kalimat-kalimat seperti “Magnolia bermekaran bagai menghidupkan cahaya lentera” dan “pada puncak kemekarannya, Kamelia seketika menemui kegugurannya bagaikan kerajaan Baekje” kini tidak terasa seperti kalimat di dalam buku, melainkan sebagian dari tubuh saya. Maka alami bagi saya mengingat kalimat “bunga sansuyu (Cornelian cherry) mekar bagai bayang-bayang bunga yang muncul dan menghilang” ketika melihat bunga-bunga mulai bermekaran di Vihara Yunpil. Perasaan ini selalu menghampiri ketika saya merasakan datangnya musim semi. Baik bunga sansuyu maupun bunga sakura atau bunga plum putih (maehwa), tidak terlihat seperti bunga. Bunga-bunga itu terlihat bagaikan mimpi sebatang pohon di siang hari yang bertahan melewati musim dingin yang menusuk. Begitu banyak pertanda yang menggambarkan datangnya musim semi di halaman Vihara Yunpil. Bunga plum putih bermekaran di sekitar kamar kediaman para Biksu, dan bunga adonis kuning (yellow pheasant’s eye) dan bunga jeffersonia (Asian twinleaf) ungu ikut mekar di sekelilingnya. Ketika saya membuka pintu ruang meditasi, seorang Biksuni sedang menyeduh teh dan menumbuk biji kopi dengan lesung. Kopi itu begitu wangi dan dalam rasanya dibandingkan dengan kopi mana pun yang pernah saya rasakan sebelumnya. Saya tanyakan jenis biji kopinya, dan sang Biksuni mengatakan hanya biji kopi biasa. Setelah mengamati proses seduhnya dari awal hingga akhir, barulah saya temukan rahasia keistimewaan rasanya. Beliau menuangkan bubuk kopi yang ditumbukinya dalam jumlah yang cukup banyak hanya untuk menyeduh secangkir kopi. Dengan tetesan ekstrak kopi yang jatuh setiap 2-3 detik, dibutuhkan waktu 30 menit untuk mendapatkan secangkir kopi. Cara penyeduhan ini serupa dengan dutch coffee atau cold brew.

1. Yang Mulia Gonggok, kepala biarawati Pertapaan Yunpil H, memetik gomchwi (Fischers ragwort) di gunung di belakang. Sayuran liar yang dikenal karena aroma yang menyengat dan rasanya yang khas, gomwhwi dapat dimakan mentah atau diasamkan dalam saus kedelai. 2. Pertapaan Yunpil adalah sebuah biara untuk biarawati yang didirikan pada tahun 1380, terletak di kaki Gunung Sabul. Aula yang terlihat di sebelah kanan adalah Sabuljeon (Aula Empat Buddha). Tidak ada patung Buddha yang diabadikan, dan selama pemujaan para bhikkhu menghadap batu Buddha empat sisi di atas Gunung Sabul yang terlihat melalui jendela besar.

2

Dapur Indah nan sibuk

Di vihara pun ada sebutan wondu. Wondu sebenarnya berarti biji kopi dalam bahasa Korea. Namun, di sini wondu ditujukan untuk menyebut Biksuni yang bercocok tanam. Biksuni wondu bertugas menanam cabai, selada, mentimun, bayam, bunga matahari, labu, dan bit untuk disuplai ke dapur. Dalam bab “Macam-macam Tugas” pada buku ajaran Buddha masa pemerintahan Dinasti Yuan yang menggambarkan peraturan dan praktik monastik berjudul “Peraturan Monastik Baizhang Zen – The Baizhang Zen Monastic Regulations”, tercatat bahwa “seorang wondu harus bekerja keras tanpa ragu dan mengambil inisiatif terlebih dahulu. Ia tidak boleh melewati masa penebaran bibit sayur, menyiraminya, dan tidak membiarkan terjadinya kekurangan suplai sayur”. Saya bertatap muka dan berbagi banyak cerita dengan petapa tani meskipun ia bukan petani, petapa bunda meskipun ia bukan seorang ibu, dan petapa koki meski ia bukan seorang koki. Biksuni ini memiliki panggilan nama Buddha “Gonggok”. Vihara Yunpil merupakan salah satu dari tiga pusat agama Buddha Seon (Zen) utama di Korea untuk para Biksuni bersama dengan Vihara Gyeonseong yang merupakan bagian dari Vihara Sudeok, dan Vihara Jijang yang terletak di Gunung Odae. Vihara pertapaan kecil ini menjadi tempat untuk menjaga jiwa dan raga bagi para Biksuni yang datang untuk menjalankan pelatihan spiritual siang dan malam sepanjang hari. Di sepanjang dinding dapur Vihara Yunpil yang secara alami diterangi oleh sinar matahari, terlukis berbagai bayangan dari cahaya matahari. Dapur yang indah, namun sibuk sepanjang hari. Di sini setiap kali memasak harus menyediakan nasi, lauk dan sup untuk puluhan orang, dan di sekitar hari Waisak semakin banyak orang yang datang mengunjungi vihara sehingga menjadi lebih sibuk. Selain itu, karena dapur ini juga membuat mi kalguksu yang dibuat dengan menipiskan adonan tepung dengan penggilingan, tempat ini mau tidak mau menjadi ruang dinamis karena harus menggebuk,

seni & budaya Korea 11


menumbuk, dan mencampur sesuatu tanpa henti. Setiap keranjang di dalam dapur dipenuhi dengan sayuran musim semi seperti sayuran baru cina (mugwort), kubis kantung gembala atau naengi (capsella bursa-pastoris, atau sherpherd’s purse), dan terna liar (butterbur) yang dipetik dari halaman belakang atau dibeli di pasar yang dibuka setiap lima hari. Kaldu kuah mi mendidih lembut di dalam periuk. Sup sayur baru cina dikatakan paling enak pada tanggal sekitar 20-an Maret. Kira-kira ketika itulah sayur ini muda dan lembut. Dengan sayuran baru cina yang dipetik saat itu, Biksuni membuat teh tumbuhan baru cina dan membuat sabun dengan sisanya. Bukan hanya tumbuhan baru cina saja, segala sesuatu yang tumbuh di gunung dapat menjadi bahan. Bebesaran (murbei), randa tapak (dandelion), kulit jeruk, dan kulit dalaman buah berangan dapat dibuat menjadi teh atau sabun, dioleskan di tubuh, atau juga dimakan. Butuh waktu lama bagi Biksuni untuk menyiapkan makanan karena ikut menyajikan mi kalguksu yang dibu­ at dengan memipihkan adonan tepung dan diiris tipis-tipis menjadi mi. Ketika masakan itu dihidangkan, jam makan siang telah lewat dan perut sudah terasa lapar. Di sekeliling mi terlihat kue beras sayur baru cina, naengi, dan siraegi (daun lobak atau sawi putih yang dikeringkan). Ada yang dibumbui dengan kecap asin buatan sendiri, dan ada pula

yang dibumbui dengan doenjang (kacang kedelai yang difermentasi, sejenis tauco). Melihat sup doenjang di samping nasi yang ditanak bersama kacang-kacangan hitam, gambaran ini mengingatkan saya akan ungkapan Kim Hoon, “kuah sup doenjang bersama isi sayur naengi, dan orang yang memakannya bagaikan hubungan cinta segitiga”. Dalam hubungan segitiga ini, satu pihak mendekap dua pihak lainnya sehingga menciptakan hubungan yang damai. Ini pulalah alasan mengapa kita merasa nyaman jika memakan sup doenjang ketika ada masalah pencernaan. Saya memakan salad sayur rapa dan panekuk baru cina. Dari sayur rapa terasa energi musim semi yang menyegarkan. Panekuk baru cina dimasak dengan adonan tepung setipis mungkin sehingga aroma khasnya terasa lebih kuat. Hidangan sayur peterseli yang ditata rapi sebagai ganti selada dan daun wijen juga merupakan satu hal yang menarik. Mendengar Biksuni berkata “Saya ingin menunjukkan pada penduduk kota seperti apa rasanya peterseli ini”, saya pikir mungkin peterseli di musim semi berkhasiat. Saya ambil sedaun peterseli, mencolekkannya pada saus dan memakannya bersama nasi. Aroma sayur itu merebak di dalam mulut bahkan sebelum saya sempat mengunyahnya.

Cara Masak Monastik

Ketika saya bekerja sebagai wartawan restoran, saya menemukan beberapa rahasia mengenai masakan enak dari para koki. Di antaranya adalah masakan panas harus dihidangkan panas, dan masakan dingin harus dihidangkan dingin. Bahkan masakan dalam pesawat yang sulit terasa enak karena ketinggian 3.000 kaki pun dapat terasa enak jika menepati prinsip ‘salad dihidangkan dingin, roti dihidangkan panas, dan kopi dihidangkan panas’. Nasi yang baru ditanak, sup doenjang yang masih mendidih di dalam mangkuk tanah liat, sayur yang baru dibumbui… Tetapi ada cara yang lebih esensial untuk dapat memasak dengan enak, yaitu kita harus menempatkan waktu dan musim pada masakan. Rasa saus dan kimchi yang gurih karena masa fermentasinya yang panjang dan rasa kopi yang enak pun semua berdasarkan prinsip tersebut. Biksuni Gonggok mengatakan bahwa bukan hanya duduk bermeditasi saja yang dapat dikatakan pelatihan spiritual, melainkan memetik daun teh, memanggang biji kopi, memfermentasikan makanan pun juga merupakan salah satu bentuk pelatihan.

Yang Mulia Gonggok mencampur tunas mugwort muda yang lembut dengan tepung beras sebelum mengukus campuran itu. Kue beras Mugwort adalah makanan yang populer di musim semi.

12 Koreana Musim Panas 2019


2

1

Masakan Vihara Penuh Kasih Bagaikan Masakan Rumah Rumah makan itu bagaikan

Masakan yang memenuhi haki-

rumah makan yang muncul dalam

kat dasarnya memiliki rasa yang

esei Haruki Murakami berjudul “Cara

lembut namun padat berisi. Dengan

Bepergian Haruki”. Jika ada yang

masakan musiman dan lokal sebagai

bertanya, “Om, di sini tidak ada daun

dasarnya, kedalaman rasa asli bah-

bawang?”, maka sepertinya akan

an-bahan makanan akan dapat lebih

ada orang yang menjawab, “Kalau

dinikmati.

pergi ke halaman belakang, ada

Di sini masakan dihidangkan

banyak. Silahkan makan sebanyak

bertahap. Dalam hidangan pertama

yang ingin Anda makan”. Karena ter-

terdapat tahu kukus dengan salad,

letak di desa yang sunyi tenteram,

dan mi kimchi bersama irisan akar

tidak terbayang akan adanya rumah

teratai. Hidangan berikutnya mun-

makan di tempat seperti ini. Namun,

cul sayur-sayuran musiman, nasi

Geolgujaengine (dibaca Geol-gu-

gondeure (cirsium setidens), dan

jaeng-i-ne) yang menghidangkan

sup doenjang sawi putih. Meskipun

masakan vihara dengan rasa yang

tidak mewah, semua masakan itu

1. Makanan yang sebagian besar terdiri atas hidangan sayur musiman di Geolgujaengine [Geol-gu-jaengi-ne], sebuah restoran makanan vihara di Yeoju, Provinsi Gyeonggi. Makanan yang dibuat tanpa perasa buatan disukai banyak orang karena rasanya yang segar dan alami. 2. Pancake disajikan sebagai hidangan pembuka di restoran ini. Hidangan mirip krep ini terbuat dari sayuran musiman cincang yang dibungkus dengan lembaran tipis adonan tepung biji ek, digoreng dengan minyak dan dipotong menjadi potongan-potongan seukuran gigitan.

rasa khas walaupun disantap tanpa lauk, dan teh bunga krisan penutup makanan pun memiliki aroma yang wangi. Pemilik rumah makan membuat berbagai macam bahan teh sepanjang tahun dan menyajikan teh yang paling cocok dengan rasa musim tersebut. Di sini, bahan-bahan makanan alami yang baik dipilih setiap hari sehingga komposisi lauk berubah-ubah berdasarkan musim dan masanya. Bagi orang yang ingin menikmati masakan vihara, tempat ini dapat dikunjungi tanpa ragu. Rumah makan ini dapat dijangkau dengan mobil dalam

sama selama 25 tahun ini selalu di-

adalah jenis masakan yang dibuat

waktu kurang lebih satu jam dan kita

ramaikan dengan tamu dari pukul 9

oleh ibu selama berjam-jam dengan

juga dapat mampir ke situs bersejar-

pagi hingga 9 malam.

cinta tulus. Nasi gondeure memiliki

ah vihara Silleuk di sekitarnya.

Dengan masakan musiman dan lokal sebagai dasarnya, kedalaman rasa asli bahan-bahan makanan akan dapat lebih dinikmati.

seni & budaya korea 13


Apa yang kita makan bukanlah makanan, melainkan sebuah musim. Surga Bagi Jiwa

Yang Mulia Gonggok membentangkan selembar adonan tepung gulung tipis untuk dipotong menjadi potongan-potongan tipis dan panjang dengan pisau. Sup mie buatan tangan merupakan suguhan untuk para biarawan.

Kata-kata tersebut pun ada hubungannya dengan prinsip di atas. Biksuni Gonggok mengajak saya langsung ke bawah pohon plum. Ia memperlihatkan bunga plum yang bagus digunakan untuk menyeduh teh. Bunga itu masih dalam keadaan kuncup padat isi yang belum mekar. Bunga plum paling sedap diseduh pada pertengahan Maret. Kuncup bunga plum yang dipetik seperti ini dikeringkan selama beberapa hari di tempat rindang, dan semua daun-daun hijau di sekitar kuncup dipetik dan dibuang untuk menghilangkan rasa rumput. Kuncup inilah yang akan menjadi secangkir teh plum jika diseduh. Makan di vihara memberikan pengalaman memakan bentuk asli bahan-bahan makanan dan keterbatasannya pada saat yang sama. Kegiatan tersebut memberikan pengalaman yang sama sekali lain dengan kegiatan makan tanpa maksud apa-apa selain untuk mengisi perut. Memakan masakan yang dihidangkan Biksuni Gonggok bukanlah sekadar kegiatan memakan, melainkan sebuah ‘pengalaman’. Jika seseorang mengatakan “kita sedang memakan sari-sari musim semi bersama” di hadapan masakan yang dihidangkan oleh Biksuni Gonggok, maka itu bukanlah ungkapan puitis melainkan sebuah kenyataan dengan makna apa adanya. Apa yang kita makan bukanlah makanan, melainkan sebuah musim. Sebuah sari hijau semi yang melewati ganasnya musim dingin dan menengadahkan tunas mudanya. Pada masa ini, makanan menjadi obat penyembuh badan.

14 Koreana Musim Panas 2019

“Anak-anak, kalian sudah makan?” Mahasiswa-mahasiswi Universitas Mungyeong di sekitar vihara nampaknya datang berpiknik dan jalan hingga mencapai vihara ini. Biksuni membagikan donat lilit yang dibawanya dari dapur kepada pemuda-pemudi yang telah makan itu. Mahasiswa-mahasiswi itu sibuk memotret bunga-bunga musim semi dengan membawa donat pada satu tangannya. Saya sangat menyukai cerita yang dimulai dari musim dingin hingga musim semi. Mungkin itu dikarenakan oleh adanya kenangan menyakitkan di masa muda. Pernah suatu kali saya menderita diare ketika mengunjungi Varanasi di India. Tanggal 22 Februari 2005, hari di mana aktris Lee Eun-ju meninggal dunia. Hari itu, roh saya melayang entah ke mana setelah mendengar kabar bunuh diri aktris yang saya sayangi dari wisatawan lain yang menginap di satu penginapan. Entah kenapa saya menguras tenaga yang tersisa, dan berlaju dari Varanasi sejauh 10 kilometer menuju Vihara Korea Nogyawon (Deer Park Monastery) dengan becak otomatis. Sebagai penganut agama Kristen sejak lahir, tujuan saya pergi ke vihara itu adalah karena informasi yang diberikan oleh salah satu turis bahwa kita dapat “memakan ‘masakan rumah’ di Vihara Nogyawon”. Meski malu, saya melahap sup doenjang dan kimchi dengan enak. Mungkin kata-kata bahwa saya mendapati energi hidup setelah melahap makanan itu bisa terdengar biasa, tetapi saya dapat meneruskan perjalanan saya ke gurun di Jaipur berkat masakan tersebut. Ketika itu, dengan sekujur tubuh, saya merasakan kenyataan bahwa makanan dapat menghidupkan manusia. Pernah suatu hari ketika saya memakan nasi dengan mata bengkak, saya menyadari bahwa kampung halaman tidak hanya ditujukan untuk sebuah tempat saja. Dengan kata lain, rasa lapar tidak hanya berarti rasa lapar secara fisik saja. Kampung halaman ada di dalam butiran nasi yang semakin manis ketika dikunyah dan di dalam naengi yang terdapat di dalam sup doenjang. Biksuni Gonggok berkata sambil tersenyum kepada saya. “Gunung adalah taman vihara kami”. Bunga bermekaran di pelosok Vihara Yunpil. Gunung dan sungai dipenuhi dengan tumbuhan sayur-sayuran liar. Kita memerlukan surga jiwa seperti kampung halaman yang dapat langsung kita temui di saat kita lelah dan lemah. Nampaknya Vihara Yunpil akan tetap ada di dalam hati saya sebagai surga hati dan kampung halaman.


Masakan Mewah Peraih Bintang Michelin dumpling berisi berbagai sayuran dan kacang-kacangan. ‘modeum boseot gangjeong (gangjeong jamur-jamuran)’ yang dapat dikatakan sebagai masakan khas restoran ini dimasak dengan merebus jamur-jamuran yang telah digoreng kering dengan saus cabai yang dimatangkan selama 3 tahun dan sirup gandum hingga mengental. Keistimewaan lain restoran ini terletak pada penggunaan bahan-bahan makanan langka seperti sayuran baru cina (common mugwort), buah kumkuat, sapi peterseli, artichoke cina, dan sebagainya yang hanya dapat dinik-

1

Balwoo Gongyang yang ter-

jelaskan dengan teliti mengenai bahan

letak di seberang Vihara Jogye di

makanan dan menu yang kita santap

tengah-tengah kota Seoul merupa-

setiap masakannya muncul satu per

kan restoran pertama di Asia yang

satu.

mendapat bintang Michelin dengan

Lebih dari apapun, baru –

masakan viharanya. Selepas tahun

mangkuk kayu monastik – yang

2017, restoran ini mendapat bintang

terbuat dari kayu pohon ginko yang

Michelin satu 3 kali berturut-turut dan

dilapisi dengan sembilan lapis pernis

diperkenalkan ke luar negeri beber-

membuat masakan restoran ini lebih

apa kali. sebagai hasilnya, 35% dari

mewah. Bahan-bahan masakan sep-

tamu-tamunya datang dari Eropa,

erti kecap asin, doenjang, cuka beras

Amerika, Cina, Hongkong, dan Taiwan.

merah, pir berduri (opuntia humifusa),

Menu restoran ini terdiri atas:

dan tahu yang digunakan di sini dib-

Seon (meditasi, 30.000 Won) yang ha-

uat di Vihara Tongdo yang merupakan

nya tersedia pada jam makan siang,

situs warisan dunia UNESCO di Yang-

Won (sumpah, 45.000 Won), Maeum

san, provinsi Gyeongsang Selatan.

(pikiran, 65.000 Won), Hee (Kebaha-

Di antara menu Won, masakan

giaan, 95.000 Won), Beop (Dharma:

yang paling menarik perhatian ada-

150.000 Won). Meskipun harganya

lah jamur shiitake, mi dingin dengan

tergolong mahal, para pelayan men-

parutan buah pir di atasnya, dan

mati pada musim tertentu atau hanya dapat ditemui di daerah tertentu sep-

1. Acar akar teratai, burdock panggang yang diasinkan, jamur goreng dengan saus cabai merah dan pancake kacang hijau (searah jarum jam dari kiri atas). Hidangan ini disajikan setelah hidangan pembuka, memiliki rasa yang bersih dan ringan. Mereka adalah bagian dari seperangkat menu yang disajikan di Balwoo Gongyang, sebuah restoran masakan vihara yang dikerjakan oleh Ordo Jogye Buddha Korea, yang terletak di seberang jalan dari kuil Jogye, pusat Seoul.

erti pulau Ulleung. Di lantai 1 gedung restoran ini terdapat ‘Pusat Budaya Masakan Vihara Korea’ di mana kita bisa belajar langsung cara membuat masakan vihara. Dalam program yang diajarkan langsung oleh para Biksu dan Biksuni, kita tidak hanya mempelajari bahan-bahan dan cara memasaknya saja, melainkan juga sejarah 1700 tahun masakan vihara dan cara bersikap di hadapan masakan.

2. Interior modern Balwoo Gongyang, restoran bintang satu Michelin yang menawarkan pilihan menu yang disiapkan.

© Balwoo Gongyang

Berbagai kimchi yang dibuat tanpa menggunakan bawang putih memiliki rasa akhir yang menyegarkan dan renyah.

2

seni & budaya korea 15


FITUR KHUSUS 3

Makanan Vihara: Menikmati Sisi Lain Hasrat dan Khayalan

Kisah Ibadah Seorang Biku melalui Teh Dari zaman dahulu kala, kata Korea "dabansa" telah digunakan di vihara-vihara Buddha sehubungan dengan makan dan minum teh. Dalam penggunaan umum, kata ini berarti "kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari" atau "kejadian yang selalu ada". Demikianlah, kegiatan minum teh, sama seperti kegiatan menyantap makanan, dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan vihara sehari-hari. Park Hee-june Presiden, Asosiasi Budaya Teh Korea Ahn Hong-beom Fotografer

Para biksu memetik daun teh di ladang teh Vihara Seonam, yang terletak di kaki Gunung Jogye di Suncheon, Provinsi Jeolla Selatan. Vihara ini adalah salah satu dari sedikit vihara di Korea yang memelihara metode tradisional budidaya teh.

16 KOREANA Musim Panas 2019


SENI & BUDAYA KOREA 17


1

D

i vihara-vihara Buddha, ada aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh para bhikkhu untuk mengurangi ketidaknyamanan yang menyertai kehidupan komunal. Di vihara Buddha tradisional Korea yang menekankan pentingnya meditasi Seon sebagai jalan menuju pencerahan, teh adalah bagian pusat dari semua ritual. Para bhikkhu minum teh sebelum mereka memulai ibadah pagi dan menghormati para leluhur pada hari peringatan wafatnya mereka dengan secangkir teh. Dari ini saja, kita bisa mengetahui betapa pentingnya kegiatan minum teh di vihara. Di vihara, tugas menyajikan teh dengan cara merebusnya disebut sebagai ‘dadu’atau ‘dagak’. Nama tempat untuk menikmati teh disebut 'dadang’dan beduk yang ditabuh untuk memberitahukan waktu minum teh disebut ‘dago’. Budaya minum teh di vihara tidak hanya berarti para bhikkhu menikmati teh. Pertemuan antara dunia mental Seon dan dunia materi yang terwujud dalam teh saling bertemu, yang dinamakan sebagai ‘Seonda Ilmi’. Dunia ini penuh dengan

18 Koreana Musim Panas 2019

2

berbagai budaya santapan yang dibuat oleh manusia. ‘upacara minum teh atau dado’ adalah kegiatan yang mengingkatkan kita akan keluasan dan kedalaman hidup dalam secangkir teh yang kita nikmati setiap hari.

tempat Ziarah Budaya teh Korea

Bagi seekor burung yang dapat terbang kian kemaripun jika ingin beristirahat cukup tersedia satu cabang pohon. Nama Pertapaan Ilji yang berlokasi di Vihara Daeheung mempunyai makna yang demikian. Terletak di lereng Gunung Duryun di Kabupaten Haenam, Provinsi Jeolla Selatan, di ujung paling selatan semenanjung Korea, di pertapaan ini 150 tahun yang lalu hiduplah Guru Choui (1786-1866), yang terkenal sebagai “bapak teh Korea”. Suatu hari di musim semi tahun 1830, saat Guru Choui sedang mendidihkan air untuk minum teh di sebuah tungku, seorang bhikkhu muda bertanya apa artinya ‘dado’. Mengutip dari kitab “Dasinjeon”, Guru Choui menjawab, “Teh harus dibuat dengan hati-hati dan dedikasi, disimpan dalam keadaan kering dan diseduh dengan bersih. Kegiatan Dado akan dengan sendirinya akan tercapai sempurna saat kegiatan minum teh yang mengutamakan dedikasi, kekeringan, dan kebersihan itu terpenuhi”. Terdiri dari kutipan-kutipan dari buku teh dalam ‘Wanbao quanshu’, sebuah teks Cina yang disusun oleh Mao Huanwen dari Dinasti Qing, kitab yang ditulis Guru Choui “Dasinjeon” mencakup segala sesuatu tentang teh Korea, dari memanen daun teh hingga menjaga kebersihan dalam pengolahannya.


3

1. Yang Mulia Yeoyeon (kanan) dan muridnya, Yang Mulia Bomyeong, memetik daun teh di Perkebunan Teh Banya di Kabupaten Haenam, Provinsi Jeolla Selatan. Mereka mewarisi semangat dan metode Seon Master Choui, yang menetapkan cara minum teh Korea pada akhir Dinasti Joseon. 2, 3, 4. Daun teh hijau yang baru dipanen disortir, dipanggang dalam kuali besi, dan digosok. Proses ini diulangi dua hingga tiga kali. Yang Mulia Yeoyeon (paling kanan) dan murid-muridnya memproses daun teh yang dipetik dari Perkebunan Teh Banya yang terletak di dekat Kuil Daeheung, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO.

4

Pada musim panas 1837, seorang lain memberi tahu Guru Choui tentang cara minum teh. Orang itu adalah Hong Hyeon-ju (1793-1865), menantu Raja Jeongjo dari Dinasti Joseon. Sebagai balasannya, Guru Choui menyusun puisi berjudul “Dongdasong”, di mana ia memuji teh yang dibudidayakan di Korea karena menggabungkan rasa dan unsur obat teh ala Cina. Guru Chouijuga menambahkan, “Cara minum teh adalah pencapaian harmoni antara teh dan air, yang mengarah ke jalan menuju keadilan dan kejujuran.” Kuil Ilji, dibangun oleh Guru Choui pada tahun 1824 yang juga merupakan tempat tinggalnya selama 40 tahun, hancur oleh api setelah kematiannya. Membutuhkan waktu cukup lama - sampai hampir tak ada yang mengingat adanya Kuil Ilji - yakni di tahun 1980, akhirnya kuil tersebut dapat dipulihkan sepenuhnya. Mengikuti jejak Guru Choui, Biku Yeoyeon mengabdikan dirinya untuk menanam dan membuat teh di kuil tersebut selama 18 tahun. Bersama Hee Baek-ryeon dan pejuang kemerdekaan Biku Choi Beom-sul, dia adalah generasi pertama dari teh modern di Korea. Choi menamakan teh yang dibuat oleh Biku Yeoyeon “Teh Banya” sebuah konsep Buddhis yang berarti kebijaksanaan atau wawasan. Kebanyakan buku menerangkan bahwa saat yang paling tepat untuk mengolah teh adalah sekitaran 20 April, sementara Guru Choui menulis bahwa waktu terbaik adalah sekitar 5 Mei. Perhitungan itu adalala menurut perhitungan letak Korea yang berada di garis lintang yang lebih tinggi daripada daerah penghasil teh utama di Cina. Mengindahkan nasihat

seni & budaya Korea 19


“Jika teh adalah isi hati seseorang, maka mangkuk teh adalah wadah yang menampungnya”.

1. Seorang biku menuangkan teh di Ilji Hermitage dari Kuil Daeheung, yang meneruskan tradisi teh Seon Master Choui. Merebus air bersih, menyeduh teh pada suhu air optimal, kemudian menuangkan teh ke dalam cangkir adalah proses yang membutuhkan kehati-hatian dan fokus. 1

tersebut, Biku Yeoyeon memulai panen pertama setelah April di Perkebunan Teh Banya di lereng tengah gunung Duryun.

Komunitas Teh Banya

Pada musim dingin tahun 1996, aktivis sosial di Kabupaten Haenam membentuk kelompok bernama Namcheon Dahoe untuk belajar tentang teh dari Biku Yeoyeon. Kebun Teh Banyan adalah ladang teh budidaya, yang nantinya akan menjadi di Kebun Teh Banyan. Dasinje pertama, ritual panen teh, diadakan di tahun 2004 dengan panen pertama, dan ritual tersebut terus dilanjutkan hingga hari ini. Ritual ini adalah kesempatan untuk menghargai dan menyadari bahwa dalam secangkir teh langit dan bumi, manusia dan semua makhluk hidup saling berhubungan. Pemrosesan daun teh hijau melibatkan menggongseng, menggosok,dan mengeringkan. Guru Choui membuat lima jenis teh, termasuk teh daun mekar dan kuncup. Biku Yeoyeonjuga membuat berbagai jenis teh tergantung pada kualitas daunnya. Dia menekankan pentingnya membedakan metode produksi sesuai dengan cuaca pada waktu panen dan kadar air dalam daun teh. Bakatnya memproduksi teh dengan mengatur panas dalam kuali saat menggongseng dan keahliannya dalam menggosok daun teh

20 Koreana Musim Panas 2019

2. Peserta Tinggal di Vihara di Vihara Naeso di Kabupaten Buan, Provinsi Jeolla Selatan, minum teh.

membuat teh yang dihasilnya memiliki aroma dan rasa yang khas. Setelah daun teh digongseng, Biku Yeoyeon dengan cepat mendi­ nginkannya dan menggosoknya dengan ringan. Teh yang diseduh dengan daun yang didinginkan dengan cepat memiliki rona yang lebih hijau. Jika daun yang digosok ringan, rasanya keluar lebih lambat sehingga teh bisa dinikmati lebih lama. Selain itu, karena bentuk daun dipertahankan seperti ini, kita dapat menikmati menyaksikan daun terbuka saat minum teh. Namun ketika daun digosok terlalu keras, oksidasi alami terlepas sekaligus, sehingga menghasilkan rasa yang lebih kuat dan membuatnya sulit untuk diminum lebih dari satu cangkir. Biku Yeoyeon berpendapat bahwa cara menggosok daun terlalu keras adalah cara yang salah dalam produksi teh di Korea. “Metode mengukus dan mengeringkan daun daun sembilan kali berasal dari abad ke-19 ketika itu digunakan untuk membuat teh berlapis. Ini tidak tepat untuk membuat teh daun” katanya dengan tegas, menjelaskan bahwa itu bukan metode produksi teh tradisional vihara Buddha. Dia juga menekankan bahwa daun teh harus dikeringkan secara alami. Dengan berpegang teguh pada perhitungan dan aturan, ia berpendapat, seseorang tidak boleh melupakan prinsip dasar proses pembuatan teh; karena menurutnya lebih penting membuat teh yang sehat dan rasanya sedap daripada mengikuti tradisi. Ketika Biku Yeoyeon mencicipi teh yang baru dipanen, ia meletakkan daun teh dalam cangkir teh kecil, menuangkan air panas ke dalamnya dan kemudian menunggu beberapa menit sebelum menyesap. Inilah yang disebut “teh air mata.” Saat daun teh memenuhi air dan berubah menjadi lunak, aroma harum dan warna hijau menyebar melalui cangkir.

Teh Pengikat Persahabatan

Tahun 1977, saya membuka tempat di Insa-dong di mana saya bisa minum teh dengan kenalan saya. Selama lebih dari 40 tahun, setiap musim semi


saya bergegas ke ladang teh, ingin mendengar kabar pertama dari teh. Para biku yang mengenakan jubah abu-abu berdiri di hadapan kuali panas yang memanggang daun teh, menempatkan hati dan jiwa mereka ke dalam pekerjaan mereka, selalu memberikan pemandangan yang indah dan penuh hormat. Di suatu tahun, ketika saya mengunjungi Perkebunan Teh Daehan di Boseong, saya melihat seorang biku sibuk memanggang daun teh di tepi kolam, di mana bunga sakura ganda akhir bergetar tertiup angin. Beliau adalah Biku Yeoyeon. Melihat biku itu memanggang daun teh yang sudah dicuci embunnya pada fajar menyingsing membuat saya berpikir keras. Saya ingin hidup sepertinya. Aroma harum yang membungkus tubuh saya ketika memetik daun, menempatkannya di dalam kuali, memanggangnya dan memasuki ruangan pengeringan daun teh membuat saya bermimpi. Karena itulah, sampai saat inisaya selalu pergi ke ladang teh ketika bunga sakura ganda mekar. Saya bertemu Biku Yeoyeon lagi pada tahun 1986 di Institut Budaya Teh Lu-Yu di Taiwan, yang terkenal dengan kedai teh modernnya. Saya sedang berdiskusi dengan pembuat teh Taiwan. Saya mendengar suara yang akrab dengan telinga saya, dan ketika berbalik, saya melihat beliau berdiri di sana. Beliau mengatakan sedang dalam perjalanan ke Korea dari Sri Lanka, dan karena keterbatasan anggaran beliau terpaksa melakukan penerbangan murah dengan singgah di beberapa tempat, termasuk Taiwan. Saat saya bertemu de­­ ngan beliau, beliau sedang meluangkan waktu singkat untuk memeriksa teh Taiwan. Semangatnya terhadap teh sedemikian rupa bahkan dalam persinggahan singkat, seakan hanya hal itu yang ada dalam pikiran beliau. Ketika saya menemani Biku Yeoyeonke perkebunan teh di Hadong, Boseong, Gangjin, Jangheung, Gimhae dan Pulau Jeju, dan situs bersejarah yang berhubungan

dengan teh di Jepang dan Cinapun, saya dapat merasakan perhatian beliau yang istimewa pada teh dan aroma dalam cangkir teh. Jika bukan karena teh, saya tak akan pernah bertemu dengan beliau. Saya rasa beliaujuga akan menjalani kehidupan yang berbeda. Teh telah memungkinkan saya untuk merefleksi diri saya dan menariknafas sesekali. Bukankah ini prajna yang diberikan kepada kita dengan teh? Teh Banya oleh Biku Yeoyeon memberi kita ide yang baik tentang apa yang harus dimakan, bagaimana cara menikmati makanan dan menikmati secangkir teh berkualitas. Pada 2017, ketika Biku Yeoyeon berusia 70 tahun, ia mengadakan pameran peralatan tehnya. Dalam kata pengantar katalog, ia menulis: “Jika teh adalah isi hati seseorang, maka mangkuk teh adalah wadah yang menampungnya. Saat saya dengan tenang mengangkat secangkir teh yang mengingatkan saya pada hijaunya musim semi, seolah rindangnya hutan bambu di bawah langit yang cerah mengisi hati saya�. Demikian, saya menyaksikan sebuah hati yang berlabuh di atas sebuah daun bambu.

2

seni & budaya korea 21


FOKUS

1 Atas perkenan Park Hong-soon

Ssireum : Warisan Budaya Tak Benda UNESCO Ssireum merupakan kompetisi rakyat yang mempunyai sejarah panjang sekaligus harta tak benda nasional. Warisan ini telah didaftarkan untuk pertama kalinya sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO oleh gabungan Korea Utara dan Selatan di tahun 2018. Hal ini diharapkan dapat semakin memperbaiki hubungan antara Korea Utara dengan Selatan pada masa depan. Park Hong-soon Penulis Lepas

22 Koreana Musim Panas 2019


S

sireum merupakan olahraga adu tenaga yang dilakukan oleh dua orang dengan memegangi satba (sejenis kain) yang dililitkan di pinggang dan kaki lawan. Pemenang pertandingan ini adalah pihak pertama yang bisa melemparkan lawan ke arena pasir dengan menyerang bagian tubuh dari lutut ke atas, dengan menggunakan teknik khusus, serta kekuatan otot seluruh tubuh, termasuk tangan, kaki, dan pinggang. Olahraga ini menuntut kekuatan otot, ketangkasan, ketahanan tubuh, serta berbagai keterampilan tangan, kaki, dan pinggang, dan bahkan keta­ hanan mental. Bagi orang Korea, Ssireum bukan sekedar olahraga tradisional. Ssireum merupakan permainan rakyat terkenal yang dilakukan dan dijadikan tontonan setiap pergantian musim penting. Singkatnya, Ssireum adalah permainan untuk membangkitkan semangat masyarakat di hari perayaan besar.

Dimulainya Perayaan

1. Adegan dari mural di Gakjeochong (Makam Pegulat), tertanggal pada awal abad ke-5 selama Kerajaan Goguryeo. Ini adalah catatan tertua tentang ssireum. Posisi pegulat yang digambarkan sama dengan yang ada hari ini. 2. “Ssireum” dari “Album Lukisan Genre oleh Danwon” oleh Kim Hong-do (1745 – c. 1806). abad ke 18. Tinta dan warna terang di atas kertas, 26,9 x 22,2 cm. Lukisan genre terkenal oleh Kim Hong-do, seorang pelukis istana pada akhir Dinasti Joseon, menggambarkan bangsawan dan rakyat jelata serta anak-anak menikmati pertandingan gulat. Ini memiliki komposisi yang seimbang dan melingkar, dengan ekspresi jelas dari wajah dan gerakan figur.

2

© Museum Nasional Korea

Ssireum memiliki makna sosial dan kelompok yang melampaui keahlian dan kesukaan seorang individu belaka. Oleh karena itu, seluruh rakyat tetap memiliki kegigihan walau harus hidup dalam penderitaan dan kehilangan negara selama abad ke-20. Saat itu, kompetisi Ssireum berskala nasio­ nal banyak diadakan selama sekitar satu bulan lebih. Ssireum membantu mempertahankan identitas diri dan bangsa selama dan sampai akhir masa penjajahan Jepang. Ssireum terus berkembang sebagai warisan tradisional di Korea Utara dan Selatan walau kedua bangsa tersebut telah terbagi menjadi dua setelah masa kemerdekaan. Ssireum sudah dijadikan cabang olahraga resmi di Kompetisi Olahraga Nasional bahkan sebelum pemerintahan di Korea Selatan terbentuk. Jejak Ssireum tertua dapat dilihat di lukisan dinding makam kuno Gakjeochong dari zaman Goguryeo (BC 37 ~ AD 668). Para atlet Ssireum di lukisan di makam kuno kawasan Goguryeo yang dulu terletak di Kabupaten Jiahn, Provinsi Jilin, Tiongkok, terlihat sedang saling memegangi satba lawan sambil agak menunduk menempelkan pundak mereka. Posisi tubuh ini sama persis dengan posisi bertan­ ding pada masa kini. Metode pertandingan kuno dianggap terus belangsung dengan sangat mirip sampai sekarang. Akan tetapi, tidak ada yang tahu kapan tepatnya Ssireum bermula. Walau begitu, dapat diperkirakan bahwa Ssireum ditemukan cukup awal, terlebih jika dilihat dari ditemukannya lukisan dinding dari awal abad ke-5. Lukisan ini secara khusus telah memperlihatkan makna bahwa Ssireum tidak hanya dianggap sebagai permainan atau pertandingan olahraga oleh masyarakat kuno Korea. Pohon di kiri lukisan adalah ‘pohon suci’ yang biasa disembah ma­­

syarakat kuno, baik di Timur maupun Barat. Pohon ini adalah sumber kehidupan, sekaligus jalan penghubung tanah menuju langit, sementara burung yang hinggap di pohon menyimbolkan dunia fana dan akhirat. Adanya pertandingan Ssireum di samping pohon seperti itu menandakan bahwa Ssireum memiliki makna sosial yang lebih dari sekadar olahraga. Selain itu, beruang dan harimau yang bersandar di bawah pohon merupakan simbol hewan penting di legenda berdi­ rinya Semenanjung Korea untuk pertama kalinya. Ini menunjukkan bahwa Ssireum memiliki hubungan de­­ngan identitas bangsa. Selain di Gakjeochong, Ssireum juga muncul di berbagai lukisan dinding makan kuno lainnya, sehingga dapat diperkirakan bahwa olahraga ini terkenal di ma­­syarakat kelas atas, seperti keluarga kerajaan dan bangsawan. Walau

seni & budaya korea 23


Seandainya pelaksanaan pertan­ dingan berkala antara masyarakat Korea Utara dengan Selatan disetujui, niscaya langkah besar menuju perdamaian dan keharmonisan akan terwujud. begitu, Ssireum bukan kebudayaan yang hanya dinik­mati kelas masyarakat tertentu. Para pemain Ssireum di lukisan tidak memakai pakaian atau gaya rambut bangsawan, dan diperkirakan poin inilah yang membuat Ssireum banyak digemari masyarakat luas. Buku sejarah kuno terkenal “Babad Tiga Kerajaan” (1145) mencatat peristiwa terlepasnya tali jubah anggota ke­luarga kerajaan Silla bernama Kim Chun Chu yang menentang monopoli kekuasaan Goguryeo atas Semenanjung Korea saat bermain Ssireum dengan bangsawan bernama Kim Yoo Shin. 『Sejarah Goryeo』(1451) mencatat bahwa banyak yang menggemari Ssireum selama awal dan pertengahan abad ke-14, termasuk bawahan langsung dan pengawal raja. Perlu

diingat juga bahwa saat itu Semenanjung Korea sedang diduduki oleh Kekaisaran Mongolia, sehingga permainan rakyat tradisional itu juga dapat dianggap sebagai usaha untuk memperkuat tekad dan jati diri bangsa.

Solidaritas Kelompok

Lukisan seni genre <Ssireum> milik pelukis Kim Hong Do dari zaman Joseon di abad ke-18 juga menunjukkan fungsi sosial Ssireum sebagai pemersatu bangsa tanpa batasan status maupun umur. Di antara lukisan lain tentang Ssireum, lukisan paling terkenal bagi masyarakat Korea ini berhasil dengan jelas memperlihatkan detik-detik penentuan sebuah kemenangan. Di dalam lukisan, terlihat atlet di sisi belakang sedang menggunakan keahlian tangan untuk mencengkeram kaki lawan dengan tujuan untuk menumbangkannya. Sementara itu, atlet di sisi depan terlihat sedang mengangkat tubuh lawan untuk membantingnya ke arena pasir menggunakan kekuatan pinggang. Dalam pertemuan Komite Pelindung Warisan Budaya Tak Benda ke-13 pada tanggal 26 November 2018 di Port Louis, Mauritius, ke-24 negara anggota sepakat untuk mendaftarkan Ssireum sebagai milik gabungan Korea Utara dan Selatan. Nama resmi olahraga ini adalah ‘Ssirum/Ssireum, Gulat Tradisional Korea. Dengan begitu, Korea Selatan jadi memiliki total 20, sementara Korea Utara memiliki total 3 Warisan Budaya Tak Benda UNESCO.

1

1. Jo Myong-jin merayakan kemenangannya dalam Turnamen Ssirum Nasional Berhadiah Banteng ke-12 yang diadakan pada September 2015 di Arena Gulat Korea di Rungrado, Pyongyang. Seekor banteng adalah hadiah tradisional turnamen ssireum. 2. Dua pegulat mencoba untuk mendorong satu sama lain ke tanah di Festival Ssireum Korea Terbuka yang diadakan di Gimnasium Andong pada 26 November 2018. Pada hari itu, UNESCO menyetujui permohonan bersama Korea Selatan dan Utara yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk mengupayakan agar gulat tradisional Korea tercatat di Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan.

© Kantor Berita Yonhap

24 Koreana Musim Panas 2019


2 © Kantor Berita Yonhap

Selama proses pendaftaran, akhirnya diakuilah makna sosial Ssireum yang telah dibahas sebelumnya, serta penyelenggaraannya selama sekitar 1600 tahun dengan hampir tanpa perubahan, baik di Korea Utara maupun selatan. “Masing-masing daerah mengembangkan beragam macam Ssireum sesuai dengan latar belakang mereka, tapi semuanya memiliki makna sosial yang serupa, yakni mempererat solidaritas dan kerja sama,” nilai Komite Warisan Budaya Tak Benda. Perlu diingat juga bahwa pendaftaran mutual ini merupakan simbol “perdamaian dan rekonsiliasi”.

Langkah Simbolis

Korea Utara dan Selatan sudah lebih dari 70 tahun memi­ liki ideologi yang berbeda, serta terpisah secara politik dan militer, sehingga sistem sosial maupun cara menjalankan pemerintahan mereka dapat dikatakan bertolak belakang. Pendaftaran gabungan Ssireum memiliki makna istimewa dalam kondisi seperti ini. Ini dapat dijadikan wadah rekonsiliasi tanpa perlu kehilangan jati diri bangsa karena setiap anggota memiliki sebuah persamaan terlepas dari kungkung­

an bernama persamaan suku. Pada masa lalu tentu saja Korea Utara dan Selatan pernah maju sebagai satu tim di kompetisi internasional, termasuk tenis meja, sepak bola pemuda, hoki es, dan lainnya. Walau begitu, kasus-kasus seperti ini hanya bersifat sementara, serta hanya diisi dengan motivasi untuk memenangkan pertandingan, sehingga dianggap kurang untuk dijadikan wadah saling berbagi semangat. Saat ini asosiasi olahraga kedua negara sudah berdiskusi untuk menyelenggarakan kompetisi gabungan. Seandainya pelaksanaan pertandingan berkala antara masyarakat Korea Utara dengan Selatan disetujui, niscaya langkah besar menuju perdamaian dan keharmonisan akan terwujud. Diharapakan babak penyisihan yang bisa diikuti semua orang di setiap daerah akan dapat segera dilaksanakan di Korea Utara dan Selatan, lalu pemenang di setiap provinsi dapat bertanding di pertandingan skala nasional untuk kemudian digelarkan pertandingan akbar untuk menentukan pemenang terakhir. Selain itu, diharapkan juga upaya gabungan ini dapat membuat Ssireum menjadi permainan, sekaligus menjadi olahraga yang mendunia.

seni & budaya korea 25


WAWANCARA

Lee Jung-sung, insinyur instalasi untuk artis video Nam June Paik, berpose di depan “M200” yang dipamerkan di Tri-Bowl di Taman Pusat Songdo, Incheon, pada 2010. Karya tahun 1991 iniadalah dinding video yang terdiri dari 94 monitor, lebar 3,3 m dan tinggi 9,6 m. © Bank Berita

26 Koreana Musim Panas 2019


Laki-Laki yang Dijuluki ‘Tangan Nam June Paik’ Lee Jung-sung sedang menjalankan sebuah toko elektronik di Seoul ketika pada tahun 1988 ia pertama kali bertemu Nam June Paik, Bapak Seni Video. Hampir dua dekade kemudian, Lee menjadi teknisi dan kolaborator utama proyek Paik. Kini, Lee masih sibuk dengan warisan maestro itu, merestorasi dan merawat karya-karyanya. Lim Hee-yun Reporter Budaya, The Dong-a Ilbo Heo Dong-wuk Fotografer

D

i balik kesuksesan Nam June Paik, seniman video pertama di dunia, adalah seorang laki-laki bernama Lee Jung-sung. Karya kolaboratif pertama mereka adalah menara yang dibuat dari 1.003 pesawat TV yang berjudul “Makin Banyak Makin Baik” (Dadaikseon, 1988). Selama 18 tahun, Lee mengerjakan instalasi karya seni Paik, dan setelah mereka malang melintang ke berbagai penjuru dunia, Lee menjadi kolaborator dan teman berbagi gagasan Paik. Bisa dikatakan, otak Nam June Paik memerlukan tangan Lee Jung-sung, dan tangan Lee Jungsung bisa menciptakan karya yang mengagumkan berkat otak Nam June Paik. Saat ini, Lee menempati sebuah studio di lantai enam Sewoon Sangga, di sisi Sungai Cheonggye, Seoul, sejajar dengan jalur pejalan kaki yang membelah Distrik Jongno. Mejanya ada di ujung lorong panjang dengan rak-rak berisi pesawat TV lama, suku cadang elektronik dan buku-buku mengenai Nam June Paik. Tangan yang menciptakan “Makin Banyak Makin Baik” itu menyalami saya dengan hangat.

Menanam Kepercayaan

Lim Hee-yun: Kapan Anda mulai bekerja di Sewoon Sangga? Lee Jung-sung: Pembangunan kompleks pertokoan ini selesai pada tahun 1968, namun saya sudah tinggal di sini

sejak tahun 1961. Dulu, ada toko dan bengkel yang menjual barang rongsokan dan suku cadang elektronik di bangunan sementara yang berjajar di sepanjang jalan dari depan Jongmyo (Kuil Kuno Kerajaan) sampai Toegyero. Perkenalan pertama saya dengan elektronik dimulai dengan radio tabung milik salah satu kakak saya ketika kami tinggal di Busan. Lim: Dari satu radio ke ribuan TV? Kapan Anda datang ke Seoul? Lee: Saya masih muda dan sangat terobsesi dengan radio kakak saya. Saya menyembunyikan radio itu di bawah selimut dan menyimpannya sepanjang malam saat saya tidur. Kami tidak mampu terus-menerus membeli baterai baru. Kakak saya selalu memarahi saya karena memakai radionya. Radio itu sangat magis buat saya, hingga akhirnya saya membongkar dan mengamati semua bagian dalamnya. Saya benar-benar terpesona, dan mengatakan kepada keluarga saya, “Inilah yang ingin saya pelajari.” Kakak perempuan saya tinggal di kamar kos kecil di Yeongdeungpo, di pinggiran Seoul. Saya mengatakan kepadanya, “Saya tidak keberatan jika harus tidur di depan pintu. Tolong beri saya makan dan tempat tinggal saja,” dan akhirnya saya tinggal dengannya. Saya berusia sekitar 18 tahun ketika pertama kali masuk Institut Gukje TV di Euljiro 2-ga. Setelah belajar di lembaga ini, saya datang ke Sewoon Sangga dan mendapatkan pekerjaan. Saat itu, rumah tangga pada umum-

seni & budaya korea 27


nya tidak memiliki TV. Itu sebelum stasiun televisi KBS berdiri. Mereka yang punya banyak uang membeli TV untuk menonton siaran militer Amerika. Sejak saat itu, mulailah saya memasang dan memperbaiki TV. Lim: Bagaimana Anda bertemu Nam June Paik? Lee: Saat itu, saya harus mengatur sebuah tempat acara. Pameran perdagangan perlengkapan keluarga di Korea mulai diadakan pada tahun 1986. Pekan Raya Perdagangan Internasional Seoul diselenggarakan di tempat yang kini bernama COEX Convention Centre di Samseong-dong, dan persaingan antara Samsung dan LG sangat sengit. Mereka bertarung dengan ide-ide, lalu membuat tampilan yang inovatif dalam acara pembukaan. Perusahaan Samsung meminta saya memasang “dinding TV.” Saya berhasil membangun din­­ding dengan 528 TV dalam waktu singkat. Setelah itu, mereka selalu meminta saya mengerjakannya untuk toko-toko besar Samsung Electronics di Seoul. Kemudian, pada tahun 1988, Tuan Paik mencari teknisi untuk membantunya membuat “Makin Banyak Makin Baik,” dan akhirnya bertemu saya ketika saya sedang mengerjakan pekerjaan serupa untuk Samsung. Dia bertanya, “Bisakah Anda memasang 1.003 TV?” Tentu saja saya jawab, “Ya, saya bisa.” Lim: Apakah pekerjaan “Makin Banyak Makin Baik” berjalan lancar? Lee: Tuan Paik meminta saya memasang 1.003 TV dan kemudian berangkat ke Amerika, dan berkata, “Selamat bekerja.” Dia tipe orang yang jika sudah percaya akan

menyerahkan semuanya. Pada saat itu, tantangan terbesar memasang TV dalam jumlah besar adalah menyetel video di dalamnya. Bahkan di Jepang, mereka hanya punya alat yang bisa mendistribusikan video ke enam TV secara simultan. Dan, harga satuannya sangat mahal, yaitu $500. Jadi, saya membuat alat sendiri. Akhirnya, 1.003 TV berhasil dipasang dalam waktu yang dijanjikan untuk siaran langsung. Rasanya sungguh luar biasa. Saya kira Tuan Paik juga sangat kaget. Setelah itu, ketika dia datang ke Korea, ia mengatakan kepada saya, “Jujur saja, jika berhasil memasang separuhnya pun, saya sudah sangat senang.” Lalu, dia bertanya, “Saya punya satu proyek lagi di New York. Bisakah Anda mengerjakannya?” Saya menjawab, “Pasti. Mengapa tidak?” Karya itu bertajuk “Fin de Siècle II,” yang dipasang di Museum Whitney pada tahun 1989. Setelah pekerjaan itu, Tuan Paik mengirim saya ke Swiss, yang bahasanya tidak saya mengerti sedikit pun. Saya harus memasang 80 TV dalam satu minggu, dan karena tas saya penuh berisi suku cadang dan peralatan TV, saya ditangkap pihak bea cukai di Bandara Zurich. Saya bersitegang dengan petugas bea cukai, bicara dalam bahasa Korea dan menggunakan tangan dan kaki. Saya berhasil membujuk galeri untuk memberi saya waktu lebih panjang sehingga saya bisa bekerja setelah galeri itu tutup.

Bertukar Gagasan

Lim: Nam June Paik seorang seniman dan Anda teknisi. Apakah ada masalah komunikasi mengenai pekerjaan?

1

2

3

28 Koreana Musim Panas 2019

4


Lee: Ketika saya bekerja dengan Tuan Paik, kami tidak pernah memakai semacam cetak biru resmi. Kami sering menghabiskan waktu bersama di restoran dan kafe. Di mana pun, kami duduk berjam-jam mendiskusikan segala sesuatunya dan menggambar sketsa di serbet restoran dan taplak meja. Kadang-kadang kami bahkan menggambar di sampul piringan hitam dan bungkus rokok. Gambar diagram dan deskripsinya mirip tabel acak yang dipakai oleh mata-mata seperti yang Anda lihat dalam film, tapi tidak menjadi ma­­ salah karena saya bisa memahaminya. Sering kali karya seni berawal dari kata-kata Tuan Paik: “Ingat yang kita bicarakan di kafe di Perancis? Bagaimana kalau kita realisasikan?” “Yang kita obrolkan di New York, ayo kita coba!” Ide untuk “Megatron/Matrix” (1995) yang memakai gambar-gambar animasi dengan video juga dia­wali dengan kalimat seperti itu. Lim: Anda mengawali karir sebagai seorang teknisi. Bagaimana Anda memahami dunia kreatif Nam June Paik, padahal mereka yang bergerak di dunia seni pun kesulitan mengikutinya? Lee: Saya coba balik pertanyaannya. Apakah Anda memahami lukisan Picasso? Tidak ada jawaban yang benar ketika menyangkut apresiasi karya seni. Tak ada yang perlu dipertanyakan mengapa ada orang yang menyukai karya seni tertentu. Anda hanya perlu merasakannya sendiri, “Sangat menyenangkan,” atau “Bagus.” Awalnya, saya juga hanya membuat saja apa yang diminta Tuan Paik. Namun, kemudian saya mulai mengusulkan ide saya. Ketika saya menga-

5 Atas perkenan Lee Jung-sung

1. Dalam foto 1994 ini, Nam June Paik dan Lee Jung-sung menguji versi awal “Megatron / Matrix” di kantor Paik Seoul. 2. Diagram untuk karya-karya Nam June Paik yang diserahkan ke Venice Biennale 1993. Paik mewakili Jerman di pameran seni dua tahunan dan menerima Golden Lion. 3. Gambar yang dibuat oleh Nam June Paik sebagai hadiah untuk Lee Jung-sung. 4. Garis besar konsep “Megatron / Matrix” (1995) yang digambar oleh Nam June Paik di atas taplak meja kertas di sebuah kafe dekat Stasiun Montparnasse Paris. “Megatron / Matrix” pertama dimiliki oleh Museum Seni Amerika Smithsonian di Washington, D.C., yang kedua oleh Museum Seni Seoul, dan yang ketiga oleh Museum Seni Olimpiade Seoul. 5. “Menara” (2001) dipamerkan di “LETTRES DU VOYANT: Joseph Beuys x Nam June Paik” yang diselenggarakan di HOW Art Museum, Shanghai, pada tahun 2018. Lee Jung-sung memerlukan dua minggu dalam memasang karya-karya Paik untuk pameran.

takan “Sepertinya akan bagus jika kita tambahkan sesuatu seperti ini, bagaimana menurut Anda?” ia akan menimpali dengan, “Ah! Seharusnya Anda bilang dari awal.” Lalu saya pikir, “Kalau saya menyampaikan pendapat saya di awal, ia akan setuju.” Ya, ia mau menerima masukan saya karena pertimbangan ruang pameran dan keterbatasan teknologi. Bertukar pendapat dengan bebas seperti itu membuat saya tenggelam dalam duia seni bersamanya. Ketika kami keluar negeri bersama, kami begadang semalam suntuk karena asyik berdiskusi. Lim: Apa saja yang Anda bicarakan dalam waktu selama itu? Sosok seperti apakah Nam June Paik menurut Anda? Lee: Topik pembicaraan kami melompat kesana-kemari, seperti kacang kering yang jatuh ke lantai. Kami bicara mengenai kehidupan teman-teman sekelasnya sekarang, atau bagaimana kondisi politik Korea, dan tiba-tiba beralih ke “Bagaimana alur dalam novel Park Kyung-ni Land?”

seni & budaya korea 29


Ia memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai apa yang terjadi di Korea berkat surat kabar yang dibacanya. Banyak ketrampilannya datang dari membaca koran. Salah satu tugas saya adalah mengumpulkan surat kabar setiap hari: New York Times, Washington Post, dan semua surat kabar Korea; dan mengirimkan ke rumahnya. Dia membaca semua itu dengan seksama.

Preservasi dan Restorasi

Lim: “Makin Banyak Makin Baik” di Museum Nasional Seni Modern dan Kontemporer di Gwacheon, Propinsi Gyeonggi, sudah lama sekali. Ada silang pendapat dalam dunia seni mengenai metode restorasi dengan penggantian monitor, dan tampaknya situasi ini tidak begitu bagus. Lee: Ada banyak cara melakukannya. Cara pertama mengganti TV dengan layar tabung Braun. Namun, ini pilih­a n yang sangat sulit direalisasikan, karena instalasi seni ini berupa piramid setinggi 19 meter. Memasang tiang pe­­nyangga dan scaffolding saja sudah sangat berisiko. Metode yang ingin saya lakukan adalah mengganti tabung Braun lama dengan layar LCD. Namun, ini bertentangan dengan pendapat bahwa layar datar LCD akan merusak garis lengkung tabung Braun dalam karya itu. Saya tidak setuju. Ketika menyangkut media seni, bukankah yang penting adalah jiwa senimannya, bukan perangkat­ nya? “Rapsodi Seoul” (2001) di Museum Seni Seoul di­buat de­­ngan layar datar. Ketika Tuan Paik membuat “Makin Ba­nyak Makin Baik,” dia tidak menggunakan tabung Braun karena dia suka. Alat ini terpaksa digunakan karena hanya itulah yang ada ketika instalasi ini dibuat. Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa menggantinya akan merusak karya seni itu. Lim: Apakah masih banyak yang tersisa dari karya Nam June Paik? Apa yang Anda lakukan selain mengurusnya?

Lee: Belum lama berselang, saya mengerjakan restorasi karya Nam June Park “108 Luka” (1998) di Gyeongju. Karya ini sudah sangat rusak dan memakan waktu satu minggu penuh untuk memperbaikinya, dan saya juga mengerjakan “Kapal Kura-kura” (1993) di Museum Seni Daejeon. Baru-baru ini, saya ke Museum Whitney di New York untuk membantu konservasi “Fin de Siècle II.” Selain itu, saya memberi masukan kepada seniman muda, dan sesekali memberi kuliah. Musim ini, ada acara besar mengenang Nam June Paik di Nanjing, China, dan saya pikir saya akan menggarapnya juga. Saya mencurahkan hati dan pikiran untuk organisasi yang mengelola karya-karyanya. Lim: Sekarang adalah era YouTube. Bagaimana Anda melihat karya seni Nam June Paik dalam kaitan dengan keadaan saat ini? Lee: Ia mati-matian menciptakan karya inovatif, tapi dengan teknologi masa kini, karyanya hanya akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa saja. Dalam tahun-tahun terakhirnya, ia berhenti membuat seni video dan mencoba seni laser, tapi biayanya sangat mahal. Sebenarnya ia bisa menggunakan laser militer. Jika laser dan LED digunakan dalam karya Tuan Paik dulu, mungkin kita akan mengenal sosok Nam June Paik yang sangat berbeda dari yang kita kenal. Lim: Apakah Anda merindukan saat-saat bekerja bersama Nam June Paik? Lee: Tentu saja. Saya hanya seorang teknisi, tapi sejak saya bekerja dengan Tuan Paik dalam karya seninya, saya bisa bepergian ke seluruh dunia dan tidak menginginkan apaapa lagi. Jujur saja, bahkan sekarang, sekali atau dua kali dalam sebulan, saya bertemu dengannya dalam mimpi saya dan bekerja sama. Ini karya baru. Dalam mimpi-mimpi itu, kami tidak pernah mengerjakan karya yang sudah kami buat di masa lalu. Barangkali kegigihannya untuk selalu ingin mengerjakan hal baru masih hidup sampai kini.

Saya pernah bertanya kepada Tuan Paik di masa hidupnya, “Apa yang harus kita lakukan jika TV itu rusak?” Dia hanya menjawab, “Ketika masanya tiba, gantikan saja dengan sesuatu yang bisa dipakai.”

30 Koreana Musim Panas 2019


Lee Jung-sung di studionya, yang terletak di Sewoon Sangga, sebuah pusat perbelanjaan di pusat kota Seoul. Studionya dipenuhi dengan TV-TV tua dan komponen elektronik yang telah dia kumpulkan. Lee mengatakan bahwa akhir-akhir ini sekali atau dua kali sebulan masih memiliki mimpi berkarya bersama Nam June Paik.

seni & budaya korea 31


ULASAN SENI

Bangunan Estetika Beton

Desain hotel Healing Stay Kosmos ini terinspirasi dari tempatnya. Arsitek yang merancangnya sangat mengerti bahwa ketika diamati dari pulau di sisi timur wilayah Korea, bintang, bulan, matahari dan cakrawala tampak jauh lebih mangagumkan. Lalu, terbersitlah keinginan merancang struktur bangunan yang alami dan kosmis. Lim Jin-young CEO, OPENHOUSE Seoul; Jurnalis Arsitek

32 Koreana Musim Panas 2019


P

erjalanan ke Pulau Ulleung lumayan menantang. Perlu waktu tujuh jam dengan kereta atau kapal dari Seoul. Ombak besar yang membuat kapal sering kali tidak bisa melaut menjadikan pulau ini tidak terjangkau selama hampir 100 hari dalam satu tahun. Namun, pemandangan alam yang masih perawan membuat perjalanan ke pulau ini sangat sepadan. Pegunungan berbatu yang indah memukau siapa pun yang pertama kali menginjakkan kaki­ nya di pulau ini, seolah sudah melewati ruang dan waktu. Gn. Chu setinggi 430 meter di atas tebing di timur laut Pulau Ulleung adalah kulminasi pemandangan di pulau ini. Gunung dan ombak di laut, matahari terbit dan tenggelam, bintang dan bulan semua tampak menakjubkan. Healing Stay Kosmos terletak di tebing yang menjulang ke arah laut. Hotel yang dirancang oleh arsitek Kim Chan-joong ini dibuka pada tahun 2018. Ada dua sayap: Villa Kosmos terdiri dari enam vila kolam yang berdiri melingkar menyerupai pusaran angin, dan Villa Terre yang terdiri dari lima vila berjajar se­­ perti ombak. Majalah desain yang terbit di Inggris Wallpaper* memberikan predikat Hotel Baru Terbaik kepada Healing Stay Kosmos dalam Penghargaan Desain Wallpaper* pada tahun 2019.

Enam Pemandangan yang Berbeda

© Kim Yong-kwan

Dalam menciptakan karya yang menyatu dengan alam, Kim Chan-joong menggunakan pergerakan matahari dan bulan. Ia mendapatkan data dari badan pengamatan astronomi peme­ rintah Korea yang digunakannya untuk memetakan pantulan cahaya matahari dan bulan. Pantulan cahaya matahari dan bulan di tanah berbentuk spiral. Ia juga menggunakan Gn. Chu, batu tempat matahari bersinar tepat pada titik pa­­ ling dekatnya di musim panas, pelabuhan dan hutan untuk membuat enam titik utama. Desain Villa Kosmos dengan bilah dinding yang menghadap ke enam arah yang berbeda itu membentuk bangunan melingkar. Jadi, vila ini mengarah ke enam pemandangan yang berbeda. Di lantai satu terdapat ruang bersama, termasuk restoran dan sauna. Naik mele­ wati tangga melingkar, tampaklah bahwa setiap bilah din­ding membentuk satu ruang tamu. Setiap pintu ruang tamu ini mengarah ke dinding lengkung, dan jika berjalan menyusuri

Pulau Ulleung berjarak 217 km dari kota Pohang di pantai timur. Di sebelah barat laut pulau, di atas tebing yang tercelup ke laut berdiri arsitek karya sensasional Kim Chan-joong, Healing Stay Kosmos, mencapai harmoni yang indah dengan latar alamnya.

seni & budaya korea 33


suatu pekerjaan yang memerlukan banyak rancangan sebelum realisasinya. Langit-langit dengan banyak lubang menjadi jalan masuk angin dan cahaya, menciptakan ruang estetis seperti tempat persembunyian binatang. Yang paling menakjubkan adalah lengkung tipis yang berfungsi sebagai atap dan dinding setebal 12cm yang membuat kehadiran Kosmos di pulau ini sangat mudah dikenali. Sungguh luar biasa melihat beton bisa dibuat sangat tipis dan dibentuk sedemikian rupa. Keindahan Kosmos berasal dari bahan bangunannya — ultra-high performance concrete (UHPC). Beton siap pakai ini pertama kali digunakan dalam pembangunan vila ini. UHPC sangat kuat, padat dan tahan lama. Bahkan tanpa rangka baja, penyangga fiber fiber pun bisa digunakan dengan kekuatan seperti yang diinginkan. Dengan struktur yang padat dan lentur, bahan ini bisa dibuat sangat tipis. Kim Chan-joong menerapkan rancangan baru ini, yang sampai saat itu masih dianggap sebagai lahan proyek teknik sipil.

Tantangan Penuh Suka Duka

© Kim Yong-kwan

Gunung Chu terlihat melalui jendela melengkung setinggi 6 meter, di ruang tamu Villa Kosmos. Bangunannya menyerupai angin puyuh yang terdiri dari enam bilah, masing-masing membentuk ruang tamu yang memiliki pemandangan berbeda.

34 Koreana Musim Panas 2019

sepanjang dinding, kita akan sampai ke sebuah jendela. Jendela ini besar, terpasang secara vertikal di ujung ruangan dan menghasilkan pemandangan yang sangat indah. Busur pandangnya mirip bentuk Gn. Chu. Untuk membuat bangunan ini tampak lebih bernilai seni, Kim menyembunyikan sebagian besar mesin utama di dalam dindingnya sehingga terlihat seolah sebuah ruangan saja. Dari tahap desain, pencahayaan dan pemanasan ruangan, ventilasi dan sistem penyejuk udara (HVAC) serta alat penyebar udara disatukan;

Pemakaian UHPC dalam proyek ini adalah tantangan dan ekperimen dalam setiap tahap desain dan konstruksinya. Pemilihan bahan bangunannya dilakukan dengan pertimbangan pembangunan PLACE 1 KEB Hana Bank di Samseong-dong, Seoul, yang dirancang pada waktu relatif sama. Baik PLACE 1 maupun Healing Stay Kosmos diawali dengan kalimat, “Apakah mungkin membuat desain bangunan yang lebih tipis dan menarik?” Metode baru ini akhirnya dipakai setelah dibuat banyak model rancangan dan kalkulasi teknik. PLACE 1 adalah sebuah bangunan renovasi dari bangunan lama yang di dalamnya terdapat banyak bank dan perkantoran. Ada “ruang terbuka” dengan ruang budaya di setiap lantai, yang menjadi tempat berkumpul setelah bank tutup pada pukul empat sore. Ada pula teras di sekeliling eksterior bangunan yang ditutup de­­ ngan panel lengkung yang sangat cantik. Setiap panel berupa komponen modular besar selebar empat meter persegi, mengarah satu meter keluar dan menjorok 50 sentimeter ke dalam.


Tim perancang berusaha mencari bahan ringan dan lentur yang bisa dilekatkan pada bangunan lama dan akhirnya mereka memakai UHPC. Namun, suka ini hanya sebentar karena setelah itu mereka harus merasakan duka juga. Masalahnya adalah belum pernah ada pemakaian UHPC untuk bentuk lengkung. Jadi, arsiteknya harus memimpin keseluruhan proses, dari membuat cetakan untuk modul sampai melepas dan menyusunnya. Untuk keperluan ini, lima model rancangan dibuat oleh tim teknik, termasuk kontraktor, pembuat rangka baja, bagian desain struktur dan pabrik UHPC. Proses ini memakan waktu enam bulan. Pada saat yang hampir bersamaan, diputuskan memakai UHPC dalam pembangunan

Healing Stay Kosmos karena UHPC dianggap mampu membuat bentuk yang tipis dan indah. Penggunaan beton siap pakai UHPC, yang belum pernah dicoba sebelumnya, dikerjakan oleh Lembaga Bangunan dan Teknik Sipil Korea, yang juga memproduksi K-UHPC; Steel Life Co. Ltd., yang membuat 45.000 panel eksterior dengan bentuk amorf dalam pembangunan Dongdaemun Design Plaza; dan kontraktor Kolon Global. Kim Chan-joong memimpin seluruh proses, termasuk penghitungan kekuatan UHPC, pengukuran tekanan cetakan, dan pengkajian proses pengecoran dengan ba­­ nyak model rancangan untuk mengembangkan cetakan yang bisa menciptakan desain yang dikehendaki dengan koordinasi dengan tim

Villa Kosmos, dalam bentuk angin puting beliung yang terbuat dari enam bilah, memiliki atap dan dinding melengkung yang hanya setebal 12cm. Bahan baru yang disebut “beton dalam kinerja sangat tinggi” (UHPC) memungkinkan membuat garis tipis dan halus.

© Kim Yong-kwan

seni & budaya korea 35


“Kalau arsitektur melihat hubungan antara bahan bangunan dan metode konstruksi, sudah saatnya rancangan beton juga diubah.”

© Kim Jan-di, design press

Arsitek Kim Chan-joong dikenal karena eksperimennya dalam penggunaan material baru. System Lab, firma arsitektur yang dipimpinnya, dimasukkan dalam Direktori Arsitek 2016 dari majalah desain UK Wallpaper *.

teknik. Faktor yang menentukan adalah apakah cetakan itu mampu menahan tekanan yang signifikan ketika dilakukan pengecoran, karena kepadatan UHPC menjadikan beton ini se­­ perti air. Jika ada masalah, cetakan bisa patah. Untuk membuat arsitektur amorf tiga dimensi, cetakan harus dibuat dalam satu kali pengerjaan. Dan, yang paling penting, UHPC belum pernah dipakai untuk membuat bangunan. Pengecoran berlangsung selama tiga hari dua malam, dan semua orang menahan napas dan berharap proses ini berhasil baik.

Rancangan Dasar Beton

Rancangan Kim Chan-joong dan perusahaannya, The System Lab, selalu disertai dengan rincian perencanaan fabrikasi dan konstruksi. Tujuannya adalah untuk mengkaji ulang konstruksi bangunan dan mencari solusi yang optimal dan rasional. Arsitek tidak dapat meng­ andalkan pada nilai estetis saja; tapi harus melakukan riset metode konstruksi yang se­ suai dengan proyek mereka dan menerapkan teknologi yang tepat. Metode yang disebut

36 Koreana Musim Panas 2019

“seni industri” oleh Kim Chan-joong melahirkan empati emosional melalui inovasi bahan dan teknologi. Dalam bukunya Concrete and Culture: A Material History, Adrian Forty, seorang profesor emeritus sejarah arsitektur di The Bartlett, University College London, mengatakan bahwa beton bukan hanya sebuah bahan bangun­ an melainkan juga suatu proses. Beton adalah bahan universal yang melahirkan gaya internasional dalam arsitektur, dan sekarang kita melihat struktur beton baru berkat metode-metode baru. Mengenai hal ini, Kim Chan-joong, dalam upayanya mencari solusi optimal, berada di garis depan bukan hanya dalam desain arsitektur melainkan juga dalam desain proses konstruksi. “UHPC tidak berat, memakan tempat dan solid seperti beton pada umumnya,” kata Kim. “Kalau arsitektur melihat hubungan antara bahan bangunan dan metode konstruksi, sudah saatnya rancangan beton juga diubah.” Usaha arsitek ini untuk menemukan dan memakai bahan baru membuka cakrawala kita.


KEB Hana Bank’s PLACE 1, yang terletak di Samseong-dong, Seoul, memiliki julukan “pengisap gurita.” Permukaannya memiliki 178 cakram dengan diameter masing-masing 2 meter yang berotasi perlahan, menonjolkan semangat gedung.

© Kim Yong-kwan

seni & budaya korea 37


PENJAGA WARISAN BUDAYA

Pandai Besi yang Membuat Homi

dengan Api, Udara, dan Air 1

Selama separuh abad, Seok No-gi telah bekerja sebagai pandai besi di Yeongju, kota kecil di sebuah plato dengan lembah dan bukit. Cangkul tangan buatannya, yang disebut homi, banyak diminati di pasar global semacam Amazon dan Ebay. Cangkul tangan dengan lempengan metal yang runcing di ujungnya adalah peralatan berkebun yang sangat membantu dan lebih nyaman dibanding cangkul biasa. Kang Shin-jae Penulis Lepas Ha Ji-kwon Fotografer 38 Koreana Musim Panas 2019


“K

etika pertama kali saya mendengar bahwa banyak homi saya dijual di Amazon, saya pikir ada sekelompok perempuan Korea setengah baya bertani di hutan Amazon,” kata Seok No-gi. Satu-satunya “Amazon” yang dikenal pandai besi ini adalah nama hutan hujan tropis. Namun, ia segera tahu mengenai Amazon lain ketika homi-nya menjadi salah satu dari sepuluh besar peralatan berkebun di toko-toko online internasional dan mendapatkan label “Pilihan Amazon”. Tahun lalu, lebih dari 2.000 cangkul tangan yang diproduksi di bengkel pandai besinya terjual ke seluruh dunia melalui pasar online populer itu. Sambil terus berbicara, Seok memandangi alat sederhana pembuat logo Youngju Daejanggan (Bengkel Pandai Besi Yeongju). Sepertinya, ia tidak menyadari fenomena ini. “Saya dengar di banyak negara asing yang menjadikan berkebun sebagai kegiatan di waktu luang, mereka punya juga alat-alat seperti sekop dan garpu tangan, tapi tidak memiliki ujung runcing seperti ini,” katanya. “Pegangan homi yang melengkung tidak memberikan tekanan besar pada pergelangan tangan dan gumpalan tanah tidak akan menempel di lempengan metal seperti kalau kita memakai sekop tangan.”

alat Bercocok tanam ala Korea

Peralatan berkebun asli Korea sudah dipakai di banyak negara tentu lebih dari sekadar kejutan yang menyenangkan — setidaknya bagi orang-orang Korea yang ingat bagaimana ibu mereka membawanya ke lahan pertanian. Homi pernah sangat diperlukan di wilayah pertanian yang khusus dilakukan oleh perempuan. Perempuan-perempuan itu pergi ke sawah di pagi hari dan bekerja hingga petang. Dengan memakai alat yang kecil tapi sangat membantu ini, mereka membalik tanah agar bisa ditanami, membuang gulma yang menghambat pertumbuhan tanaman, menggali tanah untuk mengambil hasil tanam dengan ujungnya yang runcing, dan mempersiapkan bedeng untuk ditanami atau meratakan tanah dengan sisi melengkung. Tidak mungkin bisa mempertahankan posisi dada dan

1. Di Bengkel Pandai Besi Yeongju di Provinsi Gyeongsang Utara, pandai besi Seok No-gi menajamkan pisau homi, atau bajak tangan, memalu logam yang dipanaskan untuk membentuknya. Dia mulai bekerja sebagai pandai besi pada usia 14, membuka tokonya di dekat Stasiun Yeongju pada usia 23, dan telah menjalankannya selama 43 tahun. 2. Seok membuat bajak tangan dengan berbagai ukuran dan bentuk, sering kali menyesuaikan produknya sesuai keinginan pelanggan.

1

2

punggung tegak lurus ketika memakai homi. Menggunakan alat ini artinya tubuh kita condong ke depan dan membungkuk. Punggung bungkuk perempuan-perempuan yang sedang bekerja mirip seklai dengan bentuk lempengan metal yang melengkung. Ada rasa sedih melihat lengkungan itu, seperti orang yang ingin menegakkan tubuhnya tapi tidak bisa. Melihat lempengan metal yang melengkung saja bisa menguras emosi. Oleh karenanya, bertemu dengan pandai besi yang sudah menghabiskan 52 tahun membuat homi yang tak terhitung jumlahnya menyisakan serangkaian pertanyaan. Apa yang dilihatnya dari pekerjaannya itu? Apa yang dipikirkannya ketika ia membentuk lempengan metal panas itu sesuai keinginannya? Apa yang ingin dicapainya dari pekerjaan itu, yang membuatnya harus bergumul dengan air, api, dan metal untuk membuat satu cangkul tangan?

Cara Pakai yang Berbeda bagi Masing-masing Individu

“Dengan lempengan metal seperti ini, tanah akan lebih mudah terkumpul. Bisakah Anda membuatnya lebih lurus? Dan ujungnya lebih tajam?” tanya seorang pelanggan ketika mengamati homi yang diambilnya dari rak. Ia ingin pangkalnya dibuat lebih rata dan ujungnya lebih runcing. Karena sering berhadapan dengan pembeli seperti itu, Seok mengambil kembali alat itu dari pembeli dan berjalan menuju tungku pembakarannya. Ia menyalakan api, meniupnya dengan alat peniup. Ketika apinya mulai membesar, ia memandangnya sebentar sebelum meletakkan homi itu ke dalam tungku pembakaran. “Setiap orang punya cara sendiri menggunakan alat ini. Meski mereka menggunakan homi yang sama, bagaimana tanah dicangkul tetap berbeda. Itulah sebabnya beberapa

seni & budaya Korea 39


orang meminta homi yang mereka beli dibuat sesuai dengan keinginan mereka,” jelas Seok, yang dengan bangga menambahkan, “Tempat ini berbeda dari toko peralatan yang hanya menjual barang yang sudah jadi saja.” Ketika memandang api di tungku itu, pandangannya berubah dalam sekejap sebelum ia meraih capit dan mengambil homi yang sudah dipanaskan. Api yang membara tampak terperangkap dalam metal yang panas yang berwarna merah. Ia menempatkan metal itu di atas tatakan dan mulai menempanya dengan palu sambil membolak-balikkan ke­­ sana-kemari. Bunyi metal beradu dengan metal memenuhi bengkel itu dan percikan api memancar ke segala arah. Ketika bara merah memudar, lempengan metal itu secara perla­ han berbentuk, dan pembeli itu mengangguk tanda puas.

Menangkap Momen

Melihat api menelan lempengan metal seolah berada dalam keadaan trance. Lalu, Seok meletakkan batang besi sebesar kepalan orang dewasa ke dalam tungku dan memandang kembali ke nyala api itu. Besi meleleh di suhu sekitar 1.500°C, dan pandai besi harus menangkap momen ketika metal siap ditempa tepat sebelum meleleh. Membaca temperatur di dalam tungku tua tanpa termometer milik Seok semata-mata mengandalkan intusisi. “Saya mengamati warna metal untuk melihat keadaannya. Jika masih merah, artinya metal itu harus dipanaskan lebih lama lagi. Warna kemerahan seperti bulan artinya metal itu terlalu keras, sehingga Anda harus menunggu sampai menjadi putih seperti matahari. Jika tidak begitu, metal meleleh dan Anda tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” katanya. Persepsinya mengenai bulan yang berwarna kemerahan dan matahari berwarna putih belum bisa saya pahami ketika ia kembali menempa metal itu. Kali ini, bukan dengan palu biasa tapi dengan pemukul otomatis yang bergerak ke atas dan ke bawah dengan tempo yang teratur. Seok menempatkan potongan metal yang sudah dipanaskan di bawahnya sehingga bisa dibentuk sesuai kebutuhan. Tempaan ritmik dari mesin dan gerakan tangannya membalikkan potongan metal itu berulang-ulang untuk mendapatkan bentuk yang diingin­

1. Seok menjelaskan cara menggunakan penjepit untuk meletakkan bilah logam masuk dan keluar dari tungku dan palu untuk memukul logam yang dipanaskan di landasan. 2. Pandai besi mengatakan bagian tersulit dalam karirnya adalah bertahan dalam kerja keras hari demi hari; jari-jarinya yang bengkok membuktikan kehidupannya yang keras.

40 Koreana Musim Panas 2019

kan menciptakan harmoni yang luar biasa. Dengan irama itu, lempengan berbentuk segitiga berhasil dibentuk dan ujung metal ditarik seperti permen cubit dan dibentuk agak panjang untuk menghubungkan lempengan metal itu dengan pegangannya. Setelah bentuk kasar selesai dibuat, metal itu dipanaskan kembali dan bentuknya diperhalus sampai lempengan homi selesai. “Di pabrik, alat seperti ini dibuat dengan menuangkan metal yang meleleh ke dalam cetakan, namun apa yang dilakukan di bengkel pandai besi ini sangat berbeda. Metal dipanaskan, ditempa, ditarik dan dibentuk dengan tangan,” kata Seok. Penempaan meliputi serangkaian prosedur yang saling terhubung — mengontrol api, udara, dan mengubah kualitas metal itu. “Udara yang ditiupkan oleh alat peniup menciptakan lubang kecil di metal yang meleleh. Penempaan membantu mengisi lubang-lubang seperti ini dan membentuk kepadatan yang rata di permukaan. Itulah sebabnya para pandai besi di masa lalu biasa memukul metal mentah ratusan dan ribuan kali. Namun, saya belum pernah melakukannya karena sejak awal saya memakai mesin,” kata Seok. Pengetahuan mengenai metal sangat penting dalam pekerjaan ini. Tidak peduli berapa lama pengalaman yang dimiliki seorang pandai besi, ia tidak pernah bisa mengetahui kualitas metal hanya dengan melihat saja.

Penempaan dan Penguatan

“Anda tidak bisa mengatakan secara tepat seberapa kuat sebuah metal sampai Anda memanaskan dan memukulnya. Semua metal tampak serupa, namun memiliki perbedaan, sama seperti beras yang punya banyak varietas. Beberapa sangat kuat tapi sangat mudah patah, sedangkan sebagian lain kuat dan tidak mudah patah. Metal yang seperti itu bagus untuk saabit dan sekop,” kata Seok. Untuk membuat homi, Seok mempergunakan pegas yang didaur ulang dari kendaraan. “Bahan favorit saya adalah baja, yang jarang digunakan pandai besi lain,” katanya. “Baja sangat keras dan padat sehingga lebih sulit dibentuk daripada besi. Namun, alat-alat yang dibuat dari metal yang lembut cenderung melengkung di bagian ujungnya dan tidak bisa tajam. Anda akan kehilangan kepercayaan pembeli jika menjual produk seperti itu. Alat-alat itu bisa diperbaiki di masa lalu ketika homi lebih berat dan tebal. Homi yang se­ring digunakan beratnya 500 gram, yang artinya ada banyak bahan yang bisa ditarik di ujungnya untuk dibentuk menjadi lempengan tajam. Atau, kita bisa menambahkan metal di ujungnya dan menajamkannya. Sekarang, orang lebih


1

menyukai homi yang lebih ringan yang beratnya hanya 200 sampai 300 gram, yang sangat tipis untuk dibentuk ulang.” Seok percaya bahwa nilai alat-alat metal ditentukan oleh penempaan, metode pemanasan yang dilakukan secara cepat dan memasukkan metal yang dipanaskan ke dalam air dingin. Meski filsuf Perancis Gaston Bachelard pernah menggambarkan penempaan sebagai proses “memasukkan api ke dalam besi dengan air dingin untuk mengurung makhluk jahat ke dalam penjara baja,” Seok mengatakan itu adalah keahlian yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Tergantung ciri metalnya, ketebalan, temperatur dan kondisi lain, penem­ paan bisa memakan waktu kurang dari satu detik atau lebih lama lagi. Proses yang disebut “penentu kejayaan pandai besi,” ini adalah proses yang menentukan daya tahan metal.

2

Dulu, para pandai besi menyelesaikan prosesnya di malam hari. Tentu tidak mudah memadukan dua hal yang sangat berlawanan yaitu air dan api untuk mendapatkan hasil yang bagus.

Perang Batin

Seok pertama kali mengenal bengkel pandai besi ketika berusia 14 tahun. Pada saat itu ia membantu kakak iparnya yang bekerja sebagai pandai besi. Sungguh suatu masa yang berat. Barang siapa yang meminjam sekarung barley di musim semi harus membayarnya kembali dengan satu setengah karung di musim gugur. Ia tentu tidak akan menolak pekerjaan apa pun yang menghasilkan uang. Tapi, bekerja sebagai pandai besi tidaklah mudah. “Anda

seni & budaya korea 41


Pembentukan dilakukan dengan mencelupkan logam yang dipanaskan ke dalam air dingin. Seorang pandai besi membutuhkan pengalaman panjang dan keterampilan intuitif untuk dapat melakukan proses ini dengan benar yang bisa menentukan kekuatan logam.

42 Koreana Musim Panas 2019

harus membuat metal menjadi bentuk yang diinginkan sebelum dingin. Bahkan ketika potongan lempengan metal panas mengenai punggung tangan Anda, tidak ada waktu membuangnya karena kalau metal itu sudah dingin Anda harus memanaskannya dari awal lagi,” kata Seok. Ketika ditanya mengenai hamb a t a n t e r b e s a r d a l a m k a r i r ny a — pekerjaan yang berat, orangorang yang berinteraksi dengannya, pendapatan yang rendah, atau apa pun — ia menjawab bahwa ia harus tetap bekerja, apa pun yang terjadi. “Mimpi saya ingin tetap bekerja dan mengambil masa istirahat sekitar dua bulan, atau satu bulan, di musim panas,” katanya. “Saya penasaran mengapa saya harus terjebak di depan tungku ketika semua orang bekerja di bidang lain. Kesedih­­­an saya makin menjadi-jadi setelah saya membeli rumah untuk keluarga. Saya ingin membuka sebuah toko kecil di rumah itu tapi akhirnya harus merelakan rencana itu. Pada saat itu, saya tidak yakin bahwa saya bisa menghidupi keluarga. Terbukti, bekerja sebagai pandai besi membuat kepala saya tetap di atas air. Sebagian orang mungkin menerima begitu saja jika dalam ribuan homi, ada satu yang cacat. Saya tidak bisa begitu,” katanya. “Mungkin hanya satu dari seribu buat saya, tapi bagi pembeli homi yang cacat itu adalah satu-satunya karena hanya sedikit yang punya dua homi.” Seiring dengan menurunnya industri ini, ia mencoba mencari pasar baru. Dulu, ketika hampir semua hal dikerjakan dengan tangan, ia sudah cukup inovatif berinvestasi dalam jumlah besar untuk membeli rumah untuk membeli mesin pemotong metal. Saat ini, ia berhasil mengatasi krisis ketika ia menemukan orang yang bisa menangani penjualan online. “Lebih sari 10 tahun lalu saya mulai menjualnya


Napas panas pandai besi ketika menempa metal panas berwarna merah sama seperti helaan napas ibu-ibu yang bekerja keras: keduanya sangat melelahkan. secara online. Saya sering kali diberitahu bahwa beberapa homi saya dibeli orang Amerika. Setelah pembeli di sana membicarakan produk saya, pemesanan makin meningkat secara bertahap,” kata Seok. “Seiring dengan berjalannya waktu, produk saya masuk ke Amazon, tapi tentu saja itu tidak terjadi dalam waktu satu malam. Sekarang, produk saya sudah diekspor ke Australia juga. Tampaknya berita baik datang setiap hari, tapi saat ini produksi tidak bisa memenuhi permintaan. Tidak ada anak muda yang tertarik mempelajari ketrampilan ini. Ada beberapa orang yang membenatu saya, tapi mereka sudah agak tua dan saya tidak tahu kapan mereka berhenti. Mungkin saja bulan ini, tau bulan depan. Saya juga makin lemah setiap tahun. Mungkin kita adalah generasi terakhir pandai besi di negara ini.”

Kehidupan yang Jujur

Ia tersenyum dengan paduan antara bangga dan menyesal. “Saya sudah mengurus kebutuhan finansial diri saya sendiri sejak berusia 14 tahun. Saya membuka toko saya ini ketika berumur 23 tahun. Saya menikah, membeli rumah, membesarkan tiga orang anak dan menyekolahkan mereka hingga perguruan tinggi,” kenangnya. “Saya dan istri saya tidak per2 nah meminjam uang dari orang lain. Akankah laki-laki yang tidak berpendidikan seperti saya bisa menjadi orang besar seperti politisi, dokter, atau hakim? Tidak. Tentu saja saya tidak pernah memimpikannya. Saya hanya pekerja keras, dan selalu saya katakan kepada diri saya sendiri bahwa saya tidak akan tertinggal, walaupun saya tidak mungkin menjadi pemimpin. Saya puas. Saya punya kehidupan yang bagus.” Seok berbicara mengenai keadaannya yang berkecukupan sementara kita selalu saja ingin memiliki apa yang dimiliki orang lain. “Barangkali karena saya sudah menghabiskan banyak waktu di depan api, mata saya masih bagus. Di usia seperti ini, saya tidak memerlukan kacamata baca,” katanya, chuckling. Semakin bercahaya karena api di depannya, matanya bersinar seperti cahaya purnama — atau matahari? Itulah dia, fisiknya kecil tapi padat, wajahnya lembut tapi keras, suaranya meninggi karena bahagia ketika menceritakan kisahn-

Terpilih sebagai salah satu dari Sepuluh Alat Kebun Amazon dan diberi label “Pilihan Amazon”, bajak tangan buatan Seok No-gi sangat populer di banyak negara.

ya, dan jari-jarinya melengkung seperti lengkungan pegangan homi-nya yang tak terhitung jumlahnya. Laki-laki yang kehidupannya dekat dengan api dan besi mengingatkan saya akan perempuan-perempuan yang jongkok di sawah menggali tanah dengan homi. Napas panas pandai besi ketika menempa metal panas berwarna merah sama seperti helaan napas ibu-ibu yang bekerja keras: keduanya sangat melelahkan. Saya mengerti mengapa mata dan hati saya tertuju ke rak di bengkel pandai besi yang hanya dipenuhi dengan cangkul tangan sederhana ini.

seni & budaya Korea 43


JATUH CINTA PADA KOREA

Cahaya bagi Mereka yang Lemah dan Kurang Mampu Tidak mudah menjalani hidup dalam pelayanan dan berkorban untuk orang lain. Ini akan menjadi lebih berat ketika kita menjalaninya di tempat yang jauh. Robert John Brennan, yang dikenal juga dengan Ahn Kwang-hun, membuat keputusan besar lebih dari separuh abad yang lalu. Saat ini, sebagai “teman bagi mereka yang kurang mampu�, pastor katolik kelahiran Selandia Baru ini merasa Korea jauh lebih nyaman daripada tanah airnya. Choi Sung-jin Editor Eksekutif, Korea Biomedical Review Ha Ji-kwon Fotografer

44 Koreana Musim Panas 2019

1


H

ampir lima menit berlalu sebelum wawancara dalam bahasa Inggris itu berubah menjadi bincang hangat dalam bahasa Korea — tanpa direncanakan. Sungguh indah. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Korea 53 tahun lalu, Pastor Robert John Brennan hidup sebagai teman bagi orang-orang Korea, khususnya mereka yang kurang mampu dan lemah. Ia juga bisa berbahasa Korea. Saat ini ia adalah CEO Jaringan Warga Samyang, sebuah lembaga komunitas yang memberikan dukungan perumahan dan pendidikan vokasi kepada warga Samyang-dong, lingkungan sederhana di Distrik Gangbuk, bagian utara Seoul. Seperti terlihat dari namanya yang berarti “sebelah utara sungai”, Gangbuk adalah distrik tua, yang sangat berbeda dari Gangnam (“sebelah selatan sungai”), yang merupakan simbol kekayaan Seoul dan tren mutakhir, seperti dalam lagu Psy yang mendunia, “Gangnam Style.”

Pada tahun 1997-98 terjadi krisis keuangan Asia, yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Untuk membantu mereka, bersama dengan “Rumah Berbagi,” sebuah organisasi sosial yang dikelola oleh Gereja Anglikan di Korea, ia memberikan layanan konseling pekerjaan dan membuka pusat bantuan perumahan dan program kredit mikro. Lalu, ia juga mendirikan Jaringan Warga Samyang. “Tujuannya adalah mendorong penduduk untuk bersatu, membentuk komunitas, dan menjalani hidup,” kata Brennan. “Sekarang, masalah yang biasa timbul ketika ada pembangun­­an, seperti pengusiran warga dengan bantuan preman, sudah berkurang dan kesejahteraan sudah meningkat.” Namun, ia mengatakan masih banyak yang harus dilakukan. Sekarang, fokusnya adalah aktivitas yang lebih terkait de­­ ngan kehidupan sehari-hari. “Kami membantu ibu-ibu yang baru melahirkan, membantu mengurus rumah dan mengirim relawan mahasiswa ke sekolah malam,” jelasnya.

Bantuan dari Komunitas

Pastor dari Daerah Kumuh

Samyang-dong adalah salah satu wilayah paling miskin di Gangbuk. Musim panas yang lalu, wali kota Seoul Park Wonsoon memilih lingkungan ini sebagai lokasi untuk program “pengalaman tinggal bersama mereka yang kurang mampu” selama satu bulan. Park menghubungi Pastor Brennan, yang tinggal di Samyang-dong sejak tahun 1992, ketika ia menjadi pastor berkat rekomendasi mendiang Kardinal Stephen Kim Sou-hwan. “Ketika saya datang pertama kali ke sini, rumah-rumah kumuh di lereng bukit menyita perhatian saya,” kenang Pastor Brennan. “Saya tahu penggusuran akan dilakukan juga di sana.” Yang dilakukannya pertama kali adalah menyewa rumah. Tiga tahun kemudian, pengembang mulai merobohkan rumah-rumah di wilayah itu. Rumah Pastor Brennan berfungsi sebagai tempat berkumpul penduduk untuk membi­ carakan tindakan-tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi bencana atau ada bahaya. “Banyak yang harus dilakukan, termasuk edukasi warga mengenai hak mereka dan menyediakan penampungan sementara untuk mereka,” katanya.

Perjuangan Brennan bersama mereka yang terusir dimulai di Mok-dong, bagian barat Seoul, pada tahun 1980an. “Dengan adanya Olimpiade Seoul tahun 1988, kota ini dibersihkan

1. Pastor Katolik kelahiran Selandia Baru Robert John Brennan tiba di Korea pada tahun 1966 dan sejak itu tinggal di negara ini, membantu mereka yang kurang mampu. Di antara orang Korea, ia dikenal sebagai “Pastor Ahn Kwang-hun, Sahabat Kaum Miskin.” © Bank Berita

2. Pastor Brennan menunjuk ke nama rekan senegaranya, Pastor Patrick Brennan, di Monumen Peringatan St. Columban untuk Para Martir Perang Korea. Monumen itu terletak di taman Lembaga Misi St. Columban di Seoul, mengenang tujuh imam Katolik yang meninggal selama Perang Korea.

2

seni & budaya korea 45


dan dipercantik,” katanya. “Pada saat itu, lingkungan di Mokdong, yang terletak di sepanjang jalan dari Bandara Internasional Gimpo menuju pusat kota Seoul, diwarnai dengan rumah-rumah yang kumuh. Tentu ini membuat pemerintah tidak nyaman.” Brennan bergabung dengan penduduk yang menjadi target pengusiran dan relokasi menentang pejabat, pengembang dan pihak ketiga yang disewa oleh mereka. “Bahkan mereka memukuli orang tua dan anak-anak sementara polisi hanya berdiri di dekatnya dan tidak berbuat apa-apa,” katanya. Ikatan batin Brennan dengan penduduk Mok-dong itu berlanjut dengan indah sampai saat ini. Ia meresmikan pernikahan anak-anak muda yang ikut berjuang bersamanya. Mereka sekarang sudah separuh baya dan anak-anak mereka sudah seusia mereka pada saat Olimpiade Seoul diselenggarakan. “Karena mereka memanggil saya ayah, anak-anak me­­ reka memanggil saya kakek. Saya bahagia ketika mereka memanggil saya begitu,” katanya. Salah satu keluarga itu mengundangnya setiap akhir pekan, dan seperti yang dilakukan kakek-kakek lain, ia pun sangat menikmati waktu bersama “anak-anak” dan “cucu-cucu”-nya itu. Pastor Brennan mengatakan pasti ada alasan kardinal mengirimnya ke dua distrik paling miskin di ibu kota ini, karena Kardinal Stephen Kim selalu mengkhawatirkan orang-orang yang lemah dan menderita, berdiri bersama mere­ka dan tetap mempertahankan martabat mereka. “Gereja yang dimanfaatkan hanya sebagai gereja adalah hal terakhir yang sangat ingin saya lihat,” kata Brennan. “Gereja tidak seharusnya tidak menyuruh orang-orang datang tapi justru menghampiri mereka.” Itulah cara yang dilakukan Pastor Brennan sejak melakukan pelayanan di Korea pada tahun 1968. Penugasan pertamanya di kota tambang Jeongseon, di Propinsi Gangwon yang berbukit-bukit, yang tidak memiliki rumah sakit dengan perawatan medis memadai untuk penambang dan keluarganya. Ia sangat berperan dalam pendirian Rumah Sakit St. Francisco di sana. Ia memberikan pelayanan di Jeongseon dan pelabuhan Samcheok di dekatnya sampai tahun 1979. Ia memberikan pelayanan selama 11 tahun di Gangwon dan satu tahun sabatikal di Universitas California, Berkeley untuk belajar teologi. Ia kembali ke Korea dan Kardinal Stephen Kim menugaskannya ke Mok-dong.

Keluarga Katolik yang Taat

Robert John Brennan lahir di Auckland, Selandia Baru, pada tahun 1941. Anak laki-laki pertama dari lima bersaudara dalam keluarga Katolik yang taat ini sangat cerdas dan tulus. Orang tuanya sempat berharap ia mendapatkan pekerjaan

46 Koreana Musim Panas 2019

“Semoga Korea menjadi masyarakat yang lebih humanis; anak-anak muda bersikap lebih baik kepada generasi tua, mereka yang berkecukupan lebih memperhatikan yang kurang mampu.” sekuler yang bagus. Namun, hati Brennan muda tergerak oleh sebuah buletin gereja yang diterima ibunya secara periodik. Ia secara khusus tertarik pada artikel mengenai pastor Selandia Baru yang memberikan pelayanan di Korea sejak tahun 1933, ketika masih merupakan koloni Jepang. Kemudian, selama Perang Korea tahun 1950–53, tujuh pastor menjadi korban. “Ternyata salah satu pendeta itu memiliki nama keluarga yang sama dengan saya,” katanya. “Lalu, saya segera mengambil keputusan.” Brennan membujuk orang tuanya agar ia diperbolehkan masuk Columban Mission Society, sebuah sekolah seminari di Sydney, Australia, pada tahun 1959. Setelah enam tahun belajar di sana, ia menjadi pastor pada tahun 1965. Tahun berikutnya ia ditugaskan memberikan pelayan di Korea. Ia menghabiskan dua tahun pertamanya di Korea untuk mempelajari negara ini, termasuk bahasanya. Ia belajar di Lembaga Bahasa Myongdo di Jeong-dong yang kini sudah tutup. Lembaga ini dijalankan oleh pastor-pastor Fransiskus. Di sana ia berteman dengan mahasiswa-mahasiswa dari Universitas Nasional Seoul, yang memberinya nama Ahn Kwang-hun. “Mereka mengatakan kepada saya karakter Cina nama pertama saya Kwang-hun artinya ‘sebarkan dan suarakanlah cahaya terang,’” kata Brennan. Di antara orang-orang Korea, ia lebih dikenal dengan nama Koreanya daripada nama asli.

Keterikatan Sosial

Pada tahun 1969, ia bertemu mendiang Bishop Daniel Chi Hak-soon di Wonju. Bishop Chi sangat dikenal karena kecintaan dan pengorbanannya untuk kaum lemah dan kurang beruntung. Ia juga disegani karena perjuangannya melawan kediktatoran Park Chung-hee. Sejak pertemuan pertama


Pastor Brennan berfoto bersama penduduk setempat di depan kantor Jaringan Warga Samyang. Dia adalah CEO dari organisasi komunitas yang didirikan untuk memberikan pelatihan keterampilan dan membantu menyelesaikan masalah perumahan di Samyang-dong, lingkungan miskin di Seoul utara.

© Yayasan Asan untuk Seni dan Budaya

mere­ka, Bishop Chi sangat mempengaruhi Brennan. Ia menjadi panutan Brennan karena aktivitasnya di dalam dan di luar gereja. Brennan mengatakan ia sangat mengerti tentang kebijakan pengembangan wilayah perkotaan pemerintah Korea. “Pengembangan seharusnya ditujukan untuk penduduk yang tinggal di lingkungan itu, tapi sebagian besar proyek saat ini justru membuat mereka tersingkir karena di lingkungan­ nya dibangun apartemen mahal untuk orang-orang kaya dari wilayah lain,” katanya. “Proyek pengembangan yang bagus seharusnya membenahi wilayah yang masih kurang dan meningkatkan kehidupan penduduk lokal.” Ia juga menekankan perlunya ditinjau lagi gang-gang yang memiliki tangga untuk memudahkan lansia bepergian kesana-kemari dengan leluasa. Sebagai orang tua, Brennan mengatakan ia merasa tidak nyaman ketika generasi muda tidak menawarkan tempat duduknya kepada orang-orang tua di kereta bawah tanah dan bus. “Ketika saya datang pertama kali ke Korea pada tahun 1960-an, negara ini sangat miskin tapi warganya sangat peduli satu sama lain dan anak-anak muda sangat menghormati orang tua,” katanya. “Sekarang Korea kaya dan kuat, tapi masyarakat Korea menjadi dingin. Semoga Korea menjadi masyarakat yang lebih manusiawi; anak-anak muda bersikap lebih baik kepada generasi tua, mereka yang berkecukupan lebih memperhatikan yang kurang mampu, dan kaum terpelajar lebih mengerti keadaan mereka yang kurang terpelajar.” “Orang-orang Korea tangguh,” katanya. “Mereka berjuang hingga akhir untuk mencapai tujuan, seperti terlihat dalam usahanya membebaskan diri dari pendudukan Jepang. Pada saat yang bersamaan, mereka siap berbagi apa yang mereka punyai dengan orang lain, meski sikap murah hati ini sudah sangat berkurang sejak banyak orang tinggal di apartemen.”

Rumah Permanen

Pastor Brennan mengatakan ia tidak pernah menyesali keputusannya memberikan pelayanan di Korea. Dari waktu ke waktu, ia pergi ke Selandia Baru dan disambut hangat oleh saudara-saudaranya dan anak-anak mereka. Namun, sejak ibunya meninggal beberapa tahun lalu, ia makin jarang ke sana. Beberapa tahun yang lalu, setelah tiga kali mengajukan permohonan, Brennan mendapatkan izin tinggal permanen. “Itu tidak mudah karena semua yang saya lakukan di Korea adalah bekerja untuk gereja dan tinggal dengan orang Korea,” katanya dengan bercanda. “Saya tidak ingin meninggalkan negara ini. Saya bahkan sudah mempersiapkan tempat di sini ketika saya meninggal kelak,” katanya. Salah satu tangan kanannya di Jaringan Warga Samyang mengatakan bahwa Brennan sudah mendapatkan tempat peristirahatan di Biara Baeron, sebuah biara Katolik dan pemakaman milik Wonju Diocese, yang terletak di Jecheon, Provinsi Chungcheong Utara. Dulu, ketika masih muda, Pastor Brennan minum dan merokok. Sekarang, ia tidak lagi merokok, tapi sesekali masih minum hingga setengah botol soju (minuman beralkohol Korea) atau satu atau dua botol bir, dengan hidangan pendamping favoritnya, ayam goreng. Ia tidak punya masa­ lah kesehatan secara khusus, kecuali lututnya yang melemah dan batuk karena polusi udara dan debu halus. Ia juga tidak melakukan banyak aktivitas fisik selain pulang pergi ke gereja dengan berjalan kaki. “Saya membuat aturan harus berjalan dari rumah ke gereja atau kantor, mencuci pakaian dan sesekali memasak sendiri,” katanya. “Kadang-kadang saya merasa lelah dan ingin berhenti, tapi mereka tidak mengizinkan.” Tidak hanya tetangganya di Samyang-dong tapi juga semua orang Korea yang mengenalnya ingin melihatnya sehat dan aktif selama mungkin.

seni & budaya korea 47


DI ATAS JALAN

Tiga Jalur Pegunungan di Mungyeong Jalur pegunungan itu sangat tinggi. Bahkan burung pun tak bisa terbang melintasi. Gunung ini seperti benteng alam yang melindungi ibu kota dari serangan yang datang dari arah selatan. Begitulah Mungyeong Saejae, atau “Lintasan Burung Mungyeong.� Kami menyusuri jalan setapak di wilayah pedalaman yang sangat indah ini, yang berabad-abad lalu digunakan oleh para wisatawan dan utusan. Lee Chang-guy Penyair dan Kritikus Sastra Ahn Hong-beom Fotografer

48 Koreana Musim Panas 2019


Mungyeong Saejae (Lintasan Burung Mungyeong) terlihat dari atas di tempat tertinggi di sepanjang Jalan Raya Yeongnam. Terletak sekitar dua jam dari Seoul dengan mobil, jalur gunung adalah gerbang penting bagi para pelancong dan benteng militer dari periode Tiga Kerajaan (57 SM - 666 M) melalui Dinasti Joseon (1392–1910). Sekarang merupakan tujuan wisata populer yang dirayakan karena keindahan alam dan warisan budayanya yang kaya.

seni & budaya korea 49


1

1. Juheulgwan adalah gerbang pertama Mungyeong Saejae, dibangun pada 1708 bersama dengan Benteng Gunung Joryeong, setelah invasi Jepang dan Manchu menggarisbawahi kepentingan strategis dari celah gunung. 2. Benteng Gunung Gomo dibangun sekitar abad kelima M, ketika pertempuran antara Tiga Kerajaan berlangsung. Dinding benteng asli sepanjang 1,6 km, hanya sebagian yang masih tersisa sampai sekarang.

50 Koreana Musim Panas 2019


S

ekitar 70 persen tanah Korea adalah pegunung­ an dan sebagian besar memiliki beberapa puncak dan jalan air. Menariknya, kontur jalan air ini sesuai dengan keadaan pegunungan di sekitarnya. Air mengalir ke bawah melalui dua sisi ke sungai yang berbeda membuat pola drainase ini berfungsi dengan baik. Ini terlihat dari rantai pegunungan yang bermula dari Gn. Baekdu (yang juga ditulis Gn. Paektu) di bagian utara semenanjung Korea. Deretan gunung ini membentuk Baekdu Daegan, atau “Pegunungan Kepala Putih,” yang membentang ke Gunung Jiri di bagian selatan, sepanjang lebih dari 1.600 kilometer. Banyak pendaki naik ke pegunungan ini. Pada tahun 1861, di masa Dinasti Joseon, ahli geografi dan kartografi terkenal Kim Jeong-ho (1804–1866) membuat peta tografis Korea yang sangat detil dengan menggunakan skala modern. Peta yang dipahat di blok cetak kayu untuk reproduksi dan distribusi dalam jumlah besar ini disebut “Daedong yeojido,” yang artinya “Peta Teritorial Timur Raya.” Dalam peta ikonik ini, bentuk Baekdu Daegan dan sungai serta kota-kota di negara ini menyerupai naga atau lengkungan merah-biru simbol Taegeuk dalam bendera nasio­nal Korea. Ini melambangkan pandangan Kim mengenai alam: jajaran pegunungan yang membentuk semenanjung Korea mewakili alam dan keadaan geografis negara ini dan merupakan dasar memahami budaya, masyarakat, sejarah, dan lingkungannya. Pencantuman Gn. Baekdu dalam bait pertama lagu kebangsaan dan lagu-lagu sekolah menunjukkan rasa bersyukur mendalam atas energi pegunungan yang ada di negara ini.

Kaitan antara Alam Dunia dan Alam Akhirat

Setelah sekitar 20 menit berkendara ke arah selatan dari Suanbo, desa dengan air panas di Chungju, bagian tengah Korea, tampaklah sebuah kota kecil. Di sana, terdapat jalur berkelok ke arah reruntuhan kuil kuno bernama Mireuk Daewon (Biara Maitreya), saksi bisu kejayaan Dinasti Goryeo (918–1392). Pagoda batu yang sudah rusak dan patung batu raksasa bodhisattva Maitreya masih berdiri tegak. Di pelataran kuil, ada penanda yang terbuat dari batu menunjuk ke arah Haneuljae (Jalan Langit), bukit kecil yang merupakan awal jalur pegunungan paling tua dalam sejarah Korea. Jalur ini mengarah ke Mungyeong, pusat ekonomi, transportasi, dan administrasi wilayah itu. Hutan di sepanjang jalur ini lebat berliku tapi tidak menakutkan. Jalur ini terbilang mudah dan menyenangkan untuk dilalui, dan langkah kaki biasanya melambat karena mata kita asyik menikmati keindahan pohon-pohon yang fan-

2

tastik dan bunga-bunga liar yang mekar di antara bebatuan. Di sini, ketika hujan turun, airnya mengalir ke Mun­ gyeong menuju Sungai Nakdong, atau ke Chungju dan bertemu dengan Sungai Han. Daratan di sisi Chungju dikenal de­­ngan nama Mireuk-ri (Desa Maitreya), mewakili alam akhi­r at; sedangkan di sisi Chungju disebut Gwaneum-ri (Desa Avalokitesvara), mewakili alam dunia. Jalur menurun ke Gwaneum-ri, sayang sekali tertutup aspal, juga diwarnai de­­ngan patung-patung Buddha dari batu. Berabad-abad lalu, Haneuljae disebut Gyerimnyeong, yang artinya “bukit berbetuk ayam berdiri.” “Sejarah Tiga Kerajaan” (Samguk sagi), yang terbit pada tahun 1145, mencatat bahwa “Pada tahun 156, Raja Adala dari Silla membuka jalur di Bukit Ayam Berdiri.” Para sejarawan mengatakan bahwa jalur itu adalah rute yang digunakan oleh mereka dari suku yang tinggal di wilayah itu sebelum Masehi. Untuk menampung air dari Sungai Han, yang mengalir melewati semenanjung Korea, tiga kerajaan kuno — Baekje, Goguryeo dan Silla — memperebutkan tanah ini selama ratusan tahun. Pada saat itu, Silla adalah negara kecil yang berpusat di kota Gyeongju, dengan pemerintahan kerajaan yang lemah. Meski merupakan titik penting sepanjang jalan di antara perbatasan, wilayah ini tidak selalu dijaga tentara. Sejak dulu kala, barang-barang yang dihasilkan di bagian utara dan selatan semenanjung Korea diangkut melewati jalur perbukitan ini. Jalur ini juga membawa biarawan Goguryeo Master Ado (Ado Hwasang) ke Silla. Di tempat itu ia kemudian memperkenalkan ajaran Buddha. Desa tempat tinggal Morye, laki-laki yang dikenal sebagai pemeluk agama Buddha pertama di Silla yang melindungi Master Ado ketika datang dan

seni & budaya korea 51


menyebarkan ajaran Buddha, kini menjadi situs sakral. Sebagian bangsa Silla juga pergi ke Changan (yang kini bernama Xian), ibu kota pertama Dinasti Tang di Cina, yang pada masa itu sedang dalam masa keemasan seni dan budaya. Rute paling aman dari Gyeongju adalah melewati Mungyeong, melintasi banyak kota; menyeberangi Haneuljae ke arah Chungju; menyusuri Sungai Han ke arah pelabuhan di pantai barat Dangeunpo; dan naik kapal ke arah utara. Catatan sejarah menunjukkan bahwa biarawan Silla terkemuka, Wonhyo (617–686) dan Uisang (625–702), setidaknya melakukan dua perjalanan pulang pergi dengan rute ini. Pada tahun 650, Wonhyo yang berusia 34 tahun berangkat bersama Uisang menyeberangi Haneuljae, untuk belajar ke Tang, Cina. Namun, mereka ditangkap penjaga perbatasan di Liaodong, yang ada di bagian timur laut Cina, dan dipaksa pulang ke Silla.

masa itu. Ketika suaminya meninggal, perempuan itu memerintahkan membangun kuil di dekat makam suaminya dan menuliskan ajaran Buddha dalam tinta perak dan emas pada makam itu. Proyek yang berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun ini dibuat untuk memastikan kebahagiaan suaminya di alam akhirat. Kemudian, pada usia 57 tahun, ia pergi beribadah ke vihara dan gunung yang terkenal. Salah satu destinasinya adalah Mireuk Daewon. Di Goryeo, yang menjadikan Buddha sebagai agama negara, laki-laki dan perempuan diperlakukan sama, sehingga bukan hal yang aneh jika seorang perempuan melakukan ibadah seperti ini. Setelah sekitar 40 menit berjalan menanjak ke arah selatan Haneuljae, kita akan sampai di puncak Gn. Tanhang. Dari sini, mengikuti arah jajaran gunung dan melewati beberapa puncaknya, smapailah kita di Joryeonggwan, gerbang ketiga dari tiga gerbang Mungyeong Saejae. Tempat ini juga merupakan jalan air. Ketika air hujan dari atap gerbang jatuh ke sisi barat laut Chungju, air itu akan mengalir ke Sungai Han. Jika jatuh ke sisi tenggara Mungyeong, air itu akan mengalir ke Sungai Nakdong. Jalan di jalur pegunungan ini menghubungkan Chungju dan Mungyeong, dari Joryeonggwan di atas, melewati gerbang kedua, Jogokgwan, dan akhirnya ke gerbang pertama, Joheulgwan. Perjalanan dari Haneuljae ke Mungyeong Saejae sepanjang deretan pegunungan itu memakan waktu setengah hari.

Jalan yang Makin terjal

Selama Dinasti Goryeo, Mireuk Daewon merupakan vihara dan destinasi wisata populer. Tempat ini merupakan stasiun transit dan penginapan untuk pejabat pemerintahan yang bepergian dalam rangka mengemban tugas negara. Tulisan di batu nisan pada makam seorang perempuan dengan nama keluarga Heo (1255–1324), istri seorang laki-laki bernama Kim Byeon, bercerita banyak mengenai keadaan pada

Tempat Kunjungan di Mungyeong

Chungju

Haneuljae (Jalan Langit) Situs Biara Maitreya Agung Gunung Tanhang

1

2

Goesan

1 Warung Mungyeong Saejae 2 Set Film Terbuka Mungyeong Saejae

Gunung Joryeong Mungyeong Saejae (Lintasan Burung Mungyeong)

3

4

Ihwaryeong (Terowongan Bunga Pir) Vihara Shamanic di Benteng 3 Gunung Gomo Lorong Tema 4 Schizandra

52 Koreana Musim Panas 2019

Seoul 170km Mungyeong Mungyeong


Jalur Pengikut Konfusius

Haneuljae memiliki kelebihan sebagai rute ke pelabuhan-pelabuhan Sugai Han yang sering kali dilewati rombo­ ngan yang menyerahkan hasil panen sebagai upeti atau pajak. Namun, karena Goryeo mengalami kemunduran setelah jatuhnya Dinasti Yuan, yang awalnya sangat kuat hingga mampu mengancam Jepang, bajak laut Jepang mengambil alih wilayah laut. Bajak laut makin menjadi-jadi dan lalu lintas air secara bertahap berkurang. Ketika bangsa Mongol dan laskar Serban Merah melakukan invasi, Haneuljae tidak berhasil bertahan. Sebaliknya, Mungyeong Saejae adalah jalur yang menantang, yang menguntungkan dari segi pertahanan, dan rute daratan yang lebih pendek. Bajak laut Jepang merajalela sampai awal Dinasti Joseon (1392–1910). Raja Taejong, yang memerintah dari tahun 1400–1418 dan merupakan penguasa ketiga Joseon, menggunakan kekuatan militer dan perdagangan untuk menghadapi bajak laut itu, dan membangun jalan yang meng­h ubungkan wilayah di segala penjuru negeri untuk mempercepat transportasi dan komunikasi. Ia mendirikan pos jaga (yeokcham), dan pejabat pemerintah yang melaku-

Jogokgwan, gerbang kedua Mungyeong Saejae, dibangun pada 1594 dengan dinding benteng bagian dalam. Merupakan gerbang paling awal dari tiga gerbang yang dibangun di atas celah gunung. Daerah sekitarnya lebih sulit daripada di sekitar gerbang lainnya.

kan perjalanan dalam rangka mengemban tugas negara bisa mendapatkan kuda dan disediakan penginapan. Berbeda dari Goryeo, yang membangun pos jaga atau penginapan di tempat-tempat alami seperti gunung tinggi atau pertemuan dua sungai, Joseon membangunnya secara sistematis, satu pos di setiap 30 li (sekitar 12 km) dan sebuah penginapan di setiap 10 li (sekitar 4 km). Saat itu Mungyeong Saejae terhubung dengan Jalan Raya Yeongnam. Perjalanan dengan jalur pegunungan ini lebih cepat dibanding melalui jalur bukit atau gunung lain. Keputusan untuk tidak membangun tembok pertahanan ketika membangun jalan ini memang sulit dipahami. Ketika tentara Jepang melakukan invasi pada tahun 1592 dan dengan cepat menuju ke utara, mereka tidak bisa ditahan di lembah ini, yang seharusnya bisa berfungsi sebagai ben-

seni & budaya korea 53


teng alam. Bangsa Korea terpaksa menyerah kalah kepada Jepang dalam sebuah pertempuran kavaleri di puncak Chungju. Berita ini membuat Raja Seonjo menyerahkan ibu kota dan membawa pengungsi ke Pyongyang dan kemudian makin ke utara. Tahun berikutnya, berdasarkan petunjuk Ketua Dewan Ryu Seong-ryong (1542–1607), dua gerbang pertahanan dibangun untuk melindungi jalan itu. Sistem tiga gerbang seperti yang kita lihat sekarang baru dibuat di awal abad ke-18, setelah invasi bangsa Manchu kedua pada tahun 1636–1637. B a i k G o r y e o m a u p u n J o s e o n m e n g a l a m i a g r esi asing dan perang yang berat, tapi kehidupan di sepanjang Mungyeong Saejae sangat berbeda dalam dua periode itu. Pada masa Joseon yang menganut paham Konfusius, separuh dari sepuluh kota besar di negara ini terletak di Jalan Raya Yeongnam, dan Mungyeong Saejae merupakan puncak gunung yang menyimbolkan beberapa aspek budaya

Joseon yang luar biasa. Sementara ujian pegawai negeri bagi pejabat negara terpilih hanya sesekali saja diadakan selama periode Goryeo, pada periode Joseon ujian ini diselenggarakan secara rutin karena mereka harus lulus ujian yang disebut gwageo ini. Banyak pengikut Konfusius dari wilayah Yeongnam, atau yang kini dikenal dengan nama provinsi Gyeongsang, menggunakan jalan ini sebagai tempat ujian. Pengikut Konfusius juga menggunakan jalan ini untuk bepergian ke ibukota ketika mereka ingin menyampaikan kritik kepada raja dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Mereka berangkat dari Andong, pusat berkembangnya ajaran Konfusius, dengan membawa pernyataan tertulis untuk disampaikan ke istana. Diperlukan empat hari untuk melintasi Mungyeong Saejae dan sedikitnya sekitar tiga bulan untuk kembali dengan jawaban atas pernyataan itu. Selain para cendikiawan ini, pos jaga, penginapan dan tempat minum di dekat puncak gunung juga dipenuhi oleh inspektur

1

54 Koreana Musim Panas 2019


Ketika tentara Jepang melakukan invasi ke Korea pada tahun 1592 dan dengan cepat bergerak ke utara, mereka tidak berhasil dihentikan di lembah ini, yang seharusnya berfungsi sebagai benteng alam. 2

kerajaan yang sedang dalam misi rahasia mengawasi seluruh provinsi, pejabat yang mengirim dokumen pemerintah, dan mereka yang menikmati waktu luang berlibur ke tempat-tempat yang indah di seluruh penjuru negeri. Di antara gerbang pertama dan kedua terdapat paviliun yang menjadi tempat bertemunya gubernur Gyeongsang dan gubernur yang baru terpilih berkenaan dengan serah terima jabatan secara resmi. Di depan paviliun ini terdapat air terjum kecil yang dikenal dengan atraksi penyair dan seniman.

Jalan Tanpa Nama

Setelah melewati gerbang ketiga Mungyeong Saejae, melintasi beberapa puncak berbatu dan berjalan menanjak sekitar 90 menit dengan banyak anak tangga, sampailah di puncak Gn Joryeong setinggi 1.026 meter (Jalur Burung Mungyeong). Sekitar 3 kilometer di bawah bukit terdapat Ihwaryeong (Jalur Bunga Pir). Ini juga jalan air. Air yang mengalir dari sisi Goesan menuju ke Sungai Han, sementara air yang mengalir ke sisi Mungyeong menuju ke Sungai Nakdong.

1. Tokkibiri (Rabbit's Cliffside Road) adalah bagian yang paling terjal dari Jalan Raya Yeongnam. Bagian ini, terbentuk dari tebing berbatu, berada di tepi jurang curam ke Sungai Yeong. Batu-batu yang membentuk permukaan jalan telah aus oleh jejak tak terhitung dari banyaknya orang yang menempuh perjalanan selama ratusan tahun. 2. Patung granit Maitreya setinggi 10,6 meter ini berdiri di situs Mireuk Daewon (Biara Maitreya Agung). Patung itu menghadap ke pagoda batu lima lantai setinggi 6 meter dan lentera batu. Biara, mungkin dibangun pada awal Dinasti Goryeo, menggabungkan fungsi sebuah kuil dan penginapan bagi para pelancong.

Ihwaryeong adalah bukit yang berbahaya dengan binatang buasnya, sehingga para pejalan menunggu sampai membentuk kelompok untuk kemudian berjalan bersama. Karena merupakan jalan satu-satunya yang menghubungkan Mungyeong di Propinsi Gyeongsang dan Goesan di Propinsi Chungcheong, jalur bukit ini tentu sudah lama digunakan namun tidak ada catatan sejarahnya. Dari testimoni para tetua yang mengatakan bahwa ketika mereka masih muda mereka melihat orang-orang yang memanggul barang bawaan di punggung dan penjual ternak yang menggiring ternaknya melintasi jalur ini, dapat diasumsikan bahwa jalur ini adalah alternatif lain dari jalan utama menuju Chungju. Namun, siapa yang akan menghindari Mungyeong Saejae, yang aman dengan banyak sarana akomodasi di sepanjang jalan, dan memilih jalan yang hanya bisa dilalui de­­ngan aman jika berkelompok? Banyak di antara mereka pedagang aso­n gan, yang disebut bobusang. Mereka memilih lewat Ihwaryeong bersama-sama dan mendengar suara binatang-binatang gunung karena menghindari polisi yang mencari-cari kesalahan dan meminta uang suap. Meski tidak secara khusus menjadi kelas terhormat dalam sejarah, para penjual keli­ ling ini sering kali membahayakan diri mereka sendiri dan ikut bergerak ketika negara dalam keadaan krisis. Jalur pegunungan itu berubah menjadi jalan baru yang menghubungkan wilayah Yeongnam dan Seoul pada tahun 1925, selama periode kolonial Jepang. Kemudian, ketika Terowongan Ihwaryeong dibangun pada tahun 1994 dan jalur kereta Jungbu Inland Expressway dibangun di sebelah­ nya pada tahun 2001, jalan ini menjadi sangat sepi dan hanya dilalui oleh para pendaki dan klub pesepeda. Nah, dari ketiga jalur itu, mana yang paling menarik?

seni & budaya korea 55


Kisah Dua Korea

Mengubah Hati dan Pikiran LiNK (Liberty in North Korea) adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan oleh mahasiswa Korea di Amerika Serikat pada tahun 2004. Kantor pusat LiNK ada di Amerika Serikat dan kantor perwakilan di Seoul dipimpin oleh Sokeel Park yang menganggap pengungsi Korea Utara sebagai fasilitator potensial untuk perubahan Korea Utara yang komunis. Namun dia merasakan orang Korea Selatan juga perlu banyak berubah. Kim Hak-soon Jurnalis, Profesor Tamu Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Korea Ahn Hong-beom Fotografer

K

etika Sokeel Park yang berusia 13 tahun, se­orang warga Inggris keturunan Korea, pertama kali datang ke Korea Selatan pada tahun 1998, sebuah stiker merah di setiap bus menggelitik rasa penasarannya. Ayahnya menjelaskan bahwa stiker itu adalah permohonan untuk melaporkan agen Korea Utara kepada pihak berwenang. Kini Park memberitahu warga Korea Selatan tentang se­­ sama warga di Korea Utara. Namun bukan sebagai informan. Dia mengepalai kantor perwakilan LiNK di Seoul, sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di Amerika Serikan dan mendedikasikan dirinya untuk menyelamatkan dan memukimkan kembali pengungsi Korea Utara. 275 organisasi dari 16 negara termasuk Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Jepang bekerja sama dengan LiNK. Park berumur 35 tahun dan seumur dengan pemimpin Korea Utara Kim, Jung-eun. Dia mengatakan bahwa dia akan menjadi generasi ‘Jangmadang’ jikalau dilahirkan di Korea Utara. Dia memperhatikan generasi itu antara warga Korea Utara. Oleh karena dia yakin para pemuda yang lahir antara tahun pertengahan 1980-1990 adalah generasi yang memegang kunci perubahan yang berarti di Korea Utara. Jangmadang adalah pasar liar yang muncul secara alami ketika pemerintah Korea Utara mengurangi pembagian sembako kepada warganya setelah pembubaran Uni Soviet. Selain itu, Jangmadang melambangkan kapitalisme ekonomi Korea Utara. Generasi Jangmadang yang menduduki seperempat dari jumlah penduduk Korea Utara tumbuh besar

56 Koreana Musim Panas 2019

setelah kejatuhan sosialisme pada tahun pertengahan 1990 dan mengalami proses sosialisasi yang sangat berbeda de­­ ngan generasi sebelumnya. Dengan akses yang relatif lebih banyak ke informasi luar, para dewasa muda ini memiliki nilai, persepsi, dan sikap yang berbeda. Internet dan thumb drive yang diselundupkan telah membantu mereka mengembangkan perspektif alternatif. Acara TV Korea Selatan dan film Cina semakin meme­ ngaruhi mode dan gaya hidup mereka. Park melihat enam katalis, atau motif, untuk perubahan di Utara: generasi Jangmadang; kapitalisme; korupsi kronis; meningkatnya arus informasi; pembelot, atau pengungsi, yang berhubungan dengan kerabat mereka di Utara; dan ja­ ringan pribadi di luar kendali pemerintah.

Kelahiran LiNK

LiNK adalah keturunan KASCON, Konferensi Mahasiswa Korea di Amerika yang didirikan pada tahun akhir 1980. Perhatian para mahasiswa Korera dan Amerika Serikat terhadap pembelot Korea Utara semakin besar di konferensi tahunan. Para mahasiswa Korea di Amerika yang kumpul di universitas Yale pada tahun 2004 bersepakat membangunkan LiNK yang bermakna kebebasan Korea Utara untuk melaporkan keadaan warga Korea Utara kepada seluruh dunia dan me­­nempatkan kantor pusat di Washington D.C. Mereka bertekad membina organisasi itu karena perundingan dan pembahasan tidak bisa membawa perubahan. Biaya pengelolaan LiNK bersumber dari sumbangan


Sokeel Park, kepala kantor Seoul LiNK (Liberty in North Korea), membantu menyelamatkan dan memukimkan kembali para pembelot Korea Utara. LiNK, dengan kantor pusatnya di Washington, D.C., adalah organisasi non-pemerintah yang didirikan oleh mahasiswa Korea-Amerika generasi kedua pada tahun 2004.

seni & budaya korea 57


dari anggota LiNK, kelompok agama, pengusaha, pelajar, berbagai yayasan dan sebagainya. Komunitas internal menjual barang-barang kecil seperti T-shirt, kue, bubble tea, nasi kepal dan lain-lain atau mengadakan konser untuk mengumpul dana. Tidak ada anggaran subsidi dari pemerintah. Sampai akhir tahun 2018, LiNK telah menyelamatkan lebih dari 1.000 orang pembelot Korea Utara dan membantu mereka bermukim kembali. Sepertiga di antaranya dilakukan pada tahun 2018. LiNK juga mengoperasikan ‘Program Nomad’. Program ini adalah sebuah kampanye untuk memilih ‘Magang Nomad’ di antara mahasiswa dan lulusan kemudian me­­ ngubah pikiran dan tindakan mereka terhadap warga Korea Utara. Magang Nomad mendapat pendidikan tentang Korea Utara. Setelah itu mereka memberitahukan Korea Utara selama 10 minggu 2 kali setahun pada musim semi dan musim gugur. Setiap kelompok terdiri dari 3 orang dan mengunjungi sekitar 1.000 tempat. “Kita mengunjungi hampir semua daerah Amerika Seri­ kat kecuali 2 atau 3 daerah dari 50 provinsi. Bangga sekali ketika warga Amerika Serikat di daerah kecil bertanya apa yang bisa dilakukannya.” kata Park. 1

Pemenuhan Tujuan yang Bervariasi

Park lahir dari ayah Korea dan ibu Inggris di Manchester, Inggris, tempat ia dibesarkan. Dia mengunjungi Korea Selatan pada tahun 1998 untuk pertama kali karena menemani jenazah neneknya yang meninggal dunia di Inggris. Pada saat itu dia masih berumur 13 tahun. Park yang masih anak kecil hanya mengetahui Korea Utara. Episode dengan stiker bus itu membuka mata terhadap permusuhan dan kecurigaan antara kedua Korea.

Setelah masuk Universitas Warwick, Park menghabiskan setahun di Institut Bahasa Korea Universitas Yeonsei di Seoul. Dia memperoleh gelar master psikologi di Universitas Warwick kemudian kembali ke Korea Selatan pada tahun 2007 untuk bekerja di Kementerian Dalam Negeri dan Ke­­ selamatan selama setahun. Salah satu tugasnya di sana adalah menginformasikan ekonomi dan budaya Korea Selatan kepada pejabat yang berkunjung dari negara-negara berkembang. Selama dua tahun berikutnya, Park memperoleh gelar master dalam hubungan internasional dan sejarah politik internasional di Sekolah Ekonomik London dan mulai bekerja sebagai magang di markas besar PBB di New York. Selama masa itu, Park bertemu dengan pembelot Korea Utara dan memutuskan bahwa dia akan mengabdikan dirinya untuk bekerja atas nama rakyat Korea Utara. Tujuan Park adalah menjadi pegawai tetap di PBB atau Kantor Luar Negeri Inggris. Secara kebetulan dia mulai bekerja untuk LiNK. Di New York dia menghadiri sebuah ceramah Mike Kim, pendiri Crossing Border, sebuah LSM (Lembaga Sewadaya Masyarakat) yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada para pembelot Korea Utara dan anakanak mereka yang tinggal di Tiongkok. Kim, seorang ahli ekonomi dan keuangan dan generasi kedua Korea di Ameri­ ka yang berasal dari Chicago, baru saja menerbitkan buku “Lolos dari Korea Utara” tentang kemiskinan Korea Utara dan cerita-cerita pembelot Korea Utara. Setelah selesai ceramah, Kim menyarankan Park untuk bekerja di LiNK. Bebe­ rapa tahun kemudian Kim ditangkap oleh politi Tiongkok karena membantu pembelot Korea Utara.

Menuju Kantor Perwakilan Seoul

Pada Mei 2012, ketika kantor perwakilan LiNK di Seoul di­ buka, Park menyerahkan mimpinya menjadi seorang diplomat Inggris untuk bergabung dengan kantor perwakilan itu. Selain Park, ada delapan karyawan. Tugas utama mere­ ka adalah menyelamatkan, melindungi dan memukimkan kembali para pembelot. Orang-orang Korea Utara yang terdampar membutuhkan bantuan besar dalam beradapsi dan melebur ke dalam masyarakat Korea Selatan karena jurang lebar antara kedua Korea dalam hal budaya, sistem ekonomi dan politik. Tujuan utama Park adalah melibatkan pemuda Korea Selatan. Dia terperangah betapa sedikit pemuda yang me­­

Foto yang dikirim dari para pendukung LiNK di seluruh dunia. LiNK memiliki afiliasi dengan 275 klub pendukung di 16 negara. © LiNK

58 Koreana Musim Panas 2019


Park percaya Korea Utara akan menjadi berbeda dalam 10 hingga 20 tahun mendatang. Oleh karena itu, dia menegaskan, pertama-tama pemuda Korea Selatan perlu berempati kepada orang Korea Utara. Sokeel Park dan staf LiNK-nya bekerja di Distrik Jung, Seoul pusat, dengan patung CINTA di depan kantor mereka. © LiNK

ngetahui pembelot Korea Utara yang sekarang berjumlah lebih dari 30.000 orang. Park percaya Korea Utara akan menjadi sangat berbeda dalam 10 hingga 20 tahun mendatang. Oleh karena itu, pemuda Korea Selatan lebih perlu berempati kepada pembelot Korea Utara daripada hal-hal lain. Park mengatakan saat ini, mereka tampaknya sangat acuh tak acuh dan kurang berempati terhadap Korea Utara. Jika empati terhadap Korea Utara diukur dalam skala 1 hingga 100, dia memperkirakan pemuda Korea Selatan hanya akan mendapat skor 10. Perspektif umum Korea Selatan mengenai Korea Utara juga sangat kaku. Mereka menganggap warga Korea Utara hanya sebagai rekan senegaranya dan Korea Utara sebagai objek reunifikasi yang menjajikan peluang investasi karena sumber daya alam dan tenaga kerja murah. Sentimen seperti itu akan menjadi penghalang utama untuk menyelesaikan konfilik sosial jika Korea Utara membuka pintunya. Park juga kesal karena LiNK sering diidentifikasi sebagai kelompok untuk hak asai manusia. Dia khawatir bahwa kegiatan-kegiatan LSM dapat dibatasi jika dianggap sebagai operator sayap kanan, sebuah label yang ditempelkan oleh banyak warga Korea Selatan pada organisasi mana pun yang bekerja untuk hak asasi manusia Korea Utara. “Di Korea Selatan organisasi hak asasi manusia Korea Utara langsung disebut sebagai pihak sayap kanan konserva-

tif. Kami bukan pihak sayap kanan maupun sayap kiri. Kami hanya organisasi non-pemerintah untuk warga Korea Utara. Oleh karena itu kami tidak suka sebutan organisasi hak asasi manusia Korea Utara.” katanya.

Pembelot Sebagai Pelopor

Park berharap orang-orang akan mengembangkan citra baru terhadap warga Korea Utara, sebuah perspektif yang tidak bertentangan atau merendahkan. Pembelot, katanya, adalah sebuah jembatan menuju citra baru. Tahun ini Park menerima penghargaan MBE, the Most Excellent Order of the British Empire dari royal household Inggris terhadap jasanya pada hubungan Inggris dan Korea. Akhirnya dia mendapat pengakuan atas kontribusinya untuk membantu para pembelot dan mempromosikan hak asasi manusia Korea Utara. “Saya memberikan penghargaan kepada semua pihak yang membantu LiNK agar menyelamatkan warga Korea Utara secara aman.” kata Park. Kalau bisa, direktur negara Korea Selatan LiNK ini ingin tinggal di Korea Utara, kampung halaman nenek dan kakek­ nya. Keinginan itu merupakan jalan lain untuk menyatakan tekadnya untuk berusaha keras membantu pembelot Korea Utara walaupun masalah Korea Utara menjadi sebuah isu besar.

seni & budaya korea 59


SUATU HARI BIASA

Bahagianya Masa Muda yang ‘Beruntung’ Bagi generasi tua Korea, yaitu generasi kelas pekerja pertama, lebih baik berkorban demi kebahagiaan di masa yang akan datang. Namun, generasi muda sekarang memprioritaskan kebahagian pada saat ini daripada memikirkan masa depan yang tidak pasti. Begitulah Yang Hye-eun merencanakan hari-harinya ketika ia memulai karir. Kim Heung-sook Penyair Heo Dong-wuk Fotografer

60 Koreana Musim Panas 2019


G

enerasi muda Korea yang berusia dua puluhan disebut “Generasi Angkat Ta­­n gan 3.” Nama itu —dalam bahasa Korea disebut “sampo sedae” — diberikan karena tidak mau berkencan, pernikahan dan memiliki anak, yang menjadi ramai sekitar tahun 2011. Sejak saat itu, namanya berkembang menjadi “Generasi Angkat Tangan 5” “Angkat Tangan 7” dan “Angkat Tangan N”; yang terakhir ini adalah angka tak terbatas. Generasi yang lebih tua, yang menciptakan “Keajaiban di Su­­ngai Han” setelah perang dengan semboyan “Jika bisa kamu lakukan, pasti bisa kamu selesaikan,” menceritakan bagaimana mereka menjalani hidup secara tradisional. Namun, ketika mereka berusia 20-an, keadaan ekonomi sangat bagus, mencari pekerjaan mudah, dan mereka memimpikan masa depan yang lebih baik. Namun, sejak sekitar satu dekake lalu, pasar tenaga kerja sangat sulit bagi mereka yang beranjak dewasa. Bahkan, setelah bertahun-tahun belajar untuk mendapatkan gelar sarjana dan sertifikat untuk keahlian khusus, pekerjaan dengan gaji memadai tetap sulit dicari. Membuat fondasi yang kuat untuk masa depan menjadi privilege bagi semua orang, tapi hanya sedikit yang beruntung.

Perjalanan Mencapai Tujuan

Di usianya sekitar pertengahan dua puluhan, Yang Hye-eun sedang mempersiapkan diri untuk pekerjaan yang tepat.

Yang Hye-eun mengerjakan naskah untuk buku teks berbahasa Korea di sebuah kafe di Hwayang-dong, Seoul. Sementara dia mencari pekerjaan penuh waktu, dia bilang bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya di kafe daripada di rumah.

“Orang-orang tua mengatakan ba­­nyak hal buruk mengenai generasi saya, tapi jujur saja, kami kurang begitu tertarik dengan apa yang mereka katakan. Barangkali karena kami sangat sibuk,” katanya. Setelah lulus kuliah, Hye-eun bekerja sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan rintisan dan menyadari kemampuannya. Ia berhenti setelah satu tahun bekerja, dan berpikir mengenai suasana kerja yang memungkinkannya untuk “mengerjakan dengan cara apa pun yang menurutnya paling bagus.” Ia ingin memiliki pekerjaan yang lebih baik, tapi masih memberikan ruang bagi kreativitasnya. Dalam pencariannya, Hye-eun sudah mencoba berbagai pekerjaan, termasuk mengajar dan menjadi relawan di sebuah galeri. Semuanya tidak menunjukkan hasil. Ia bekerja setiap hari untuk bisa bertahan hidup di Seoul, kota dengan biaya hidup yang tinggi. Ia bekerja di kafe di akhir pekan. Kemudian, ia menjadi pembaca akhir buku-buku teks berbahasa Korea yang akan digunakan di Amerika Serikat. “Secara teknis, saya ‘bekerja dari rumah’, tapi biasanya saya bekerja di sebuah kafe dengan laptop,” katanya. “Saya mendengarkan rekaman bahasa Korea dan memastikan rekaman itu sesuai dengan skripnya, menyun­ ting dan memperbaiki kata-kata yang salah ketik atau mengisi kata-kata yang kurang.” Hye-eun berharap bisa bekerja di perusahaan yang sesuai dengan tujuan hidupnya. “Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat dengan menghadirkan keindahan melalui karya kreatif, orang yang memberikan sensasi kebebasan dengan menyediakan aktivitas publik nir-laba kepada anak-anak atau mereka yang mengalami kesulitan hidup.” Selama belum mencapainya, ia menulis, menggambar dan mengambil foto setiap hari. Itulah mengapa salah satu tujuan hidupnya adalah membantu orang yang memiliki kehidupan rumah tangga yang sulit. Hye-eun berasal dari Pulau Jeju, dan ketika ia duduk di kelas dua SMP, orang tuanya bercerai. Sejak saat itu dia bolak-balik ke rumah orang tuanya. Tanpa kebersamaan orang tuanya, Hye-eun bergantung kepada saudara-saudaranya dan belajar menghadapi kehidupan yang kompleks ini. Ada ungkapan bahwa manusia punya sembilan wajah. Setelah perceraian orang tuanya, Hye-eun belajar bahwa manusia memang punya banyak sisi. Karena ingin meninggalkan Jeju, Hye-eun berencana kuliah di Seoul. Orang tuanya menentang, tapi dua kakak perempuannya sangat aktif mendukung­­nya. Dengan dorongan mereka, Hye-eun bisa mendapatkan beasiswa penuh belajar bahasa dan sastra Korea di Universitas Hanyang. Gosiwon mungkin tempat tinggal paling murah di Korea. Kamar selebar sekitar 5 meter persegi ada di sisi kanan-kiri koridor, yang hanya dipisahkan oleh dinding yang sangat tipis sehingga hampir tidak ada hal yang pribadi. “Sejak semester kedua, saya tidak menangis,” katanya. “Saya suka karena kampus saya besar, saya menikmati kuliah, dan saat itu saya sudah mendapatkan teman yang lebih terasa seperti keluarga. Kota Seoul dan keragaman orang-orang yang tinggal di sini terasa hidup dan menyenangkan buat saya.”

Menikmati Kesendirian

Hari-hari Hye-eun dimulai pukul 8 pagi atau sekitar 11 pagi, tergantung kapan ia ingin keluar. Setelah sarapan roti bakar dan telur, ia mengemasi laptop, buku sket-

seni & budaya korea 61


sa dan kamera dan siap menuju tempat yang direncanakan malam sebelum­nya. Destinasi favoritnya mengambil foto dan membuat catatan adalah pasar buah, lorong-lorong pasar obat tradisional, galeri, perpustakaan dan taman. Setelah itu ia pergi ke kafe untuk minum es kopi dan croissant atau madeleine; dan ia menghabiskan sekitar empat jam di sana “bekerja dari rumah,” sebelum pulang. Ia menikmati makan malam sederhana yang diikuti dengan menggambar atau menulis dan menonton film atau membaca sebelum tidur, biasanya sekitar pukul 4 pagi. Kegiat­ an yang baru dilakukannya baru-baru ini adalah berenang selama satu jam pada hari Senin dan Selasa malam. Ia besar di Jeju dan bermain di pantai sejak kecil; tapi tidak pernah menjadi perenang yang handal. Ketika kuliah, ia mendapat kesempatan pergi ke Brisbane di pesisir timur Australia dalam program bahasa Inggris. Melihat teman-teman Australianya berenang de­­ ngan sangat baik, ia memutuskan belajar berenang dengan sungguh-sungguh. Bagi Hye-eun, teman sekamar seperti keluarga. Ia kini hidup bersama teman sekamarnya yang keenam, yang pertama kali dikenalnya ketika mereka berdua tinggal di asrama yang dikelola oleh pemerintah provinsi Jeju bagi siswa dari pulau itu yang sedang berkuliah di Seoul. Mereka tinggal di kompleks perumahan khusus pemuda yang dijalankan oleh Perusahaan Peru-

1, 2. Yang ingin mencari pekerjaan di mana dia bisa kreatif. Menggambar dan mengambil foto yang merekam tempat-tempat yang ia cari adalah bagian penting dari rutinitas hariannya. 3. Yang bekerja setiap akhir pekan di kafe dekat Universitas Konkuk. Dia tidak memiliki kualifikasi barista, tetapi karena dia telah bekerja di kafe selama lebih dari dua tahun, dia mampu membuat sebagian besar minuman tanpa kesulitan.

62 Koreana Musim Panas 2019

mahan dan Tanah Korea. Ada tempat tidur untuk masing-masing orang, ruang tamu kecil, kamar mandi dan dapur yang dipakai bersama. Sewa bulanannya adalah 260.000 per orang dan dengan biaya peralatan totalnya 300.000 won.

Sumber Inspirasi

Hye-eun biasa membeli buku yang ingin dibacanya, tapi sekarang ia meminjam dari perpustakaan. Ia mengatakan, “Kalau saya mengoleksi banyak buku, sangat menyulitkan ketika saya harus pindah. Meski begitu, saya hampir selalu membeli majalah ‘Isu-isu Utama.’ Isinya sangat bagus.” Dalam menggambar, ia menggunakan fotonya sendiri, dan kadang-kadang gambar dari media sosial seperti Pinterest. “Di tahun terakhir kuliah, saya menghabiskan lima bulan bekerja sebagai pegawai magang dalam festival film. Saya menulis press release dan membantu dalam acara-acara lain. Kemudian, di perusahaan tempat saya bekerja setelah saya lulus, saya harus mewawancarai banyak kurator dan seniman. Saya cukup senang bisa menikmati karya seni, namun ketika menghabiskan waktu bersama seorang seniman, saya justru berpikir saya ingin mencobanya sendiri. Saya ingin menikmati kebebasan mengekpresikan pikiran saya.” Kafe tempat Hye-eun bekerja di akhir pekan berlokasi di dekat Universitas Konkuk. Ia bekerja di sana sejak bulan Februari 2017 dan sangat menyukai pemiliknya. Bagi Hye-eun, pemilik bisnis perempuan yang selalu mencoba hal baru patut dijadikan panutan. Setelah serangkaian usaha dan tantangan, ia berhasil memperoleh sertifikat membuat roti dan pastri, dan mendapatkan izin mengemudi. Ia juga suka bertanam. Pintu masuk ke kafenya selalu penuh de­­ngan tanaman hijau. Saat ini, ia sedang mencoba menu baru seperti susu stroberi dan minuman dari anggur hijau.

1

2


“Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat dengan mengha­ dirkan keindah­ an melalui karya kreatif, orang yang memberikan sensasi kebebasan dengan menyediakan aktivitas publik nirlaba kepada anak-anak atau mereka yang mengalami kesulit­ an hidup.” 3

Tahun lalu, Hye-eun berwisata se­­ orang diri selama tiga minggu ke India dan dua minggu ke Mesir. Ia menggunakan semua uang tabungannya, tapi ia senang.

Dukungan dan Hiburan

Keberuntungan pertamanya adalah mempunyai kakak perempuan yang selalu mendukung dan membangkitkannya. Kakak tertuanya sudah lulus dari Universitas Jeju dan kini sedang kuliah untuk mencapai gelar di Universitas Fudan di Shanghai. Kakak perempuannya yang kedua, yang juga lulusan Universitas Jeju, sedang melanjutkan kuliah untuk mendapatkan gelar Ph.D di sana. Dulu, tiga perempuan kakak beradik ini membuat tiga buah janji. “Tidak menikah; bekerja sesuai dengan

kemampuan diri sendiri sampai berusia tiga puluh tahun; dan tidak punya anak jika tidak bisa bertanggung jawab.” Dengan senyum lebar, Hye-eun menambahkan, “Kami mungkin tidak bisa memenuhi janji tidak menikah. Satu dari kakak perempuan saya sudah lama punya kekasih.” Gurunya ketika ia kelas empat adalah keberuntungan lainnya. Berkat guru yang memuji hasil tulisannya, Hye-eun terus berlatih dan pada tahun 2015, ketika ia sedang cuti kuliah, ia menulis ulasan film, drama dan buku untuk situs “Up Korea.” Ia tidak dibayar, namun dengan menerima masukan dari pembacanya, ia bisa merasakan pengalaman menulis untuk pembaca umum. Sekarang, ia juga sangat sibuk menulis ulasan, tapi mungkin ia akan berhenti menulis suatu hari nanti. Kadang-kadang, sebelum tidur, Hye-eun menenangkan diri sendiri dan mengatakan, “Kamu sudah melakukannya dengan baik hari ini, Hye-eun. Kamu selalu bekerja keras, belajar dan mencari uang pada saat yang bersamaan.” Ia melanjutkan, “Ada pasang surut dalam kehidupan, tapi yang paling pen­ ting adalah tetap bersyukur, apa pun situasinya.” Meski banyak orang berumur panjang, hanya sedikit yang benar-benar menjadi dewasa. Di usianya ke-26, Hye-eun tampak sudah dewasa. Bukan panjangnya masa lalu yang menentukan kedewasaan, tapi sebaik apa mereka memahami diri sendiri dan apa arti menjalani hidup sepenuhnya.

seni & budaya korea 63


KISAH RAMUAN

Š imagetoday

Labu tua yang dimakan di musim gugur dan musim dingin adalah bahan makanan yang akrab bagi orang Korea. Ini digunakan untuk membuat bubur dengan tepung ketan, dan jusnya diminum oleh ibu yang baru saja melahirkan untuk mengurangi pembengkakan pascapersalinan.

Waktu yang Tersembunyi dalam Hobak Labu atau hobak adalah bahan masakan yang akrab serta membuat kita teringat akan sajian makanan masa kanak-kanak. Hobak digunakan bukan hanya untuk masakan utama, tetapi juga untuk masakan pendamping. Selain itu, hobak merupakan sayur yang serba-guna sebab bukan hanya dagingnya saja tetapi juga bibit, bunga, dan daunnya pun dapat dimakan. Jeong Jae-hoon Apoteker, Penulis Kuliner

64 Koreana Musim Panas 2019


S

eiring dengan perubahan musim, tipe hobak yang kita makan pun berubah. Hobak untuk musim panas berdaging lembut dan dapat dimakan tanpa mengupas kulitnya. Sementara itu, hobak untuk musim dingin biasanya berkulit keras serta tebal dan menyembunyikan daging berwarna kuning di dalam nya yang rasa dan teksturnya seperti ubi. Namun, sebenarnya pembagian hobak dengan berdasarkan musim tidak selalu bisa diterapkan. Sebagai contoh, di Korea hobak biasanya dibedakan dengan aehobak (secara harfiah berarti labu muda) dan neulgeun hobak (secara harfiah berarti labu tua). Spesies keduanya bisa sama dan bisa juga berbeda. Pada zaman dulu, aehobak yang berwarna hijau muda dan dipetik pada musim panas berasal dari spesies yang sama dengan neulgeun hobak yang berwarna kuning, sebesar bola rugby, dan dipetik pada musim gugur. Akan tetapi, pada zaman sekarang kebanyakan neulgeun hobak, misalnya cheongdung hobak, berasal dari spesies yang berbeda dengan aehobak. Danhobak (secara harfiah berarti labu manis) yang lebih populer daripada neulgeun hobak sekarang mudah didapati sepanjang tahun, tetapi dari segi rasa, tekstur, masa penyimpanan, danhobak tergolong sebagai hobak musim dingin.

Muncul dalam lukisan dan Cerita

Terlepas dari soal musim, terdapat jenis waktu yang lain di dalam hobak. Jika kita melihat lukisan yang ada hobak di dalamnya, dapat ditebak kapan lukisan itu diciptakan. Giant Squash from the Ducal Gardens of St. Francis in Pisa, karya Bartolomeo Bimbi (1648–1729), pelukis Italia memperlihatkan hobak yang sangat besar, yaitu sebesar kurang-lebih 80 kg dengan latar-belakang langit gelap dalam badai. Namun, hobak di dalam lukisan itu tidak begitu besar jika dibandingkan dengan hobak raksasa pada zaman sekarang. Hobak rekor dunia adalah yang dipetik di Belgia pada tahun 2016 dan memiliki berat 1.190,5 kg. Bagaimana pun, dari hobak di dalam lukisan tersebut kita dapat menebak bahwa lukisan itu setidaknya diciptakan setelah abad ke-16. Sebab, hobak yang berasal dari Amerika Selatan dibudidayakan sejak 5000 SM dan mulai dikenal di Eropa sejak abad ke-16. Pada kenyata-

annya, Bimbi menciptakan lukisan cat minyak itu pada tahun 1711. Kemudian, di dalam Vertumnus, karya Giuseppe Arcimboldo (1526–1593), pelukis asal Milano, terdapat berbagai buah dan sayur termasuk hobak. Lukisan itu diciptakan sekitar tahun 1590. Di dalam lukisan itu, hobak bersama jagung muncul sebagai tamanan dari Dunia Baru. Masa hobak muncul pertama kali di cerita pun hampir sama. Adegan dalam Cinderella, yaitu ketika peri menyulap hobak menjadi kereta kuda emas dapat dianggap sebagai bagian dalam kisah lama. Namun, ternyata pada tahun 1697 Charles Perrault, penulis Perancis menambahkan adegan tersebut ke dalam cerita rakyat yang diturunkan dari mulut ke mulut. Selain itu, hobak juga muncul di dalam drama Shakespeare, yaitu The Merry Wives of Windsor yang ditulisnya sekitar tahun 1597. Salah satu tokoh dalam drama itu, yaitu Ibu Alice Ford mengumpamakan Falstaff, seorang lelaki ‘mata keranjang’ yang suka makan dan minum sebagai hobak yang busuk.

Masakan dalam Kenangan

Di Korea orang yang berwajah buruk sering diumpamakan dengan labu. Akan tetapi, tidak demikian bagi Park Wan-suh (1931–2011), seorang pengarang. Ia mengatakan bahwa setiap kali ia melihat hobak yang mengilap dan berbentuk menawan, ia selalu membelinya tanpa berpikir akan masak apa dengannya. Ia juga mengatakan, ketika ia melihat hobak muda yang tumbuh di pagar rumah orang lain, ia pernah tidak sabar ingin memetiknya. Akan tetapi, yang disayanginya sebenarnya bukan hobak itu sendiri, melainkan daun hobak. Di dalam kumpulan esai Homi ia menulis sebagai berikut, “Aku membilas daun hobak yang segar setelah batang yang menempel di belakangnya dilepaskan. Kemudian, aku menaruhnya di atas beras untuk mengukusnya saat menanak nasi, lalu aku bersiap-siap untuk memasak Gangdoenjang (sejenis sup tauco) dengan menggunakan tukbaegi (panci keramik). Untuk itu, doenjang (tauco) yang digunakan harus enak. Aku mengambil sesendok penuh doenjang dan langsung memasukkannya ke dalam tukbaegi, lalu menambahkan setetes minyak wijen, gilingan bawang putih, dan daun bawang yang dipotong. Setelah direbus dengan air cucian beras, aku memasukkan banyak cabai sebanyak doenjang ke dalammnya, lalu direbus lagi sebentar sampai sup itu mengental. Kadang-kadang aku menambahkan ikan teri sesuai seleraku saat membumbui doenjang. Tidak apa-apa kalau daun hobak dikukus dengan alat pengukus dan tidak mengukusnya bersama saat menanak nasi.” Daun hobak merupakan bahan makanan musiman, yaitu hanya terdapat dari musim panas sampai saat angin dingin musim gugur dimulai. Kontras rasa dan tekstur antara gangdoenjang yang pedas dan nasi yang digulung dengan daun

seni & budaya Korea 65


hobak yang lembut sekaligus garing di dalam mulut menyajikan citarasa yang luar biasa, sebagaimana ungkapan Park Wan-suh, “Akhirnya aku merasa lega dan puas seolah-olah aku telah sampai di tujuan yang kudambakan.” Hobak merupakan masakan yang membangkitkan kenang-kenangan bagi semua orang. Sulit dibayangkan Provence tanpa ratatouille, sebuah masakan yang berbahan hobak. Di Italia ada tradisi yang sering makan daun hobak dan di dalam The Fruit Seller, karya pelukis Vincenzo Campi (1536–1591) terdapat gambar daun hobak yang dimakan bersama berbagai macam buah dan sayur-sayuran. Di Amerika Selatan dan Tengah, tempat asal hobak, orang-orang makan daun hobak sejak dahulu. Di Meksiko, sup yang berbahan daun hobak, masakan yang berbahan hobak, dan keju Oaxaca sangat populer.

Hobak Musim Panas dan Musim Dingin

Hobak bukan hanya masakan dalam kenangan, tetapi masakan yang cocok dengan tren terbaru. Hobak berkalori rendah dan kaya dengan protein, karbohidrat, vitamin A, potasium serta fiber, se­­ hingga menarik perhatian dari orang yang melakukan diet. Salah satu tren terbaru adalah makan masakan yang memakai zukini de­­ngan spiralizer (mi zukini, yaitu bukan mi yang terbuat dari

tepung). Akan tetapi, sebenarnya sejak puluhan tahun lalu, sudah ada hobak spaghetti yang dagingnya mengeriting seperti mi jika direbus. Khususnya, jenis hobak musim panas sa­­ngat beragam. Ada zukini yang berwarna hijau dan bentuknya panjang dan ada zukini yang bentuknya sama, tetapi berwarna kuning dan berasa seperti jamur. Jenis hobak beragam bukan hanya pada warna, tetapi juga pada bentuk dan ukurannya. Ada dotorihobak yang bentuknya seperti acorn, sedangkan ada pattypan hobak yang bentuk tengahnya datar, tetapi pinggirnya berbentuk seperti kerang scallop. Meskipun pada zaman sekarang hobak musim panas bisa didapati sepanjang tahun, hobak musim panas paling enak pada musim panas. Hobak yang kecil, setinggi 15–20 cm dan dipetik saat masih muda, memiliki rasa lebih manis karena kurang berair. Hobak jenis ini sering digunakan untuk Doenjangcigae (sup tauco) dan juga sebagai hiasan untuk masakan mi. Terutama, hobak sa­­ ngat enak jika dipotong-potong, dicampur dengan tepung dan telur, lalu digoreng. Masakan seperti ini

1 © Getty Image

66 Koreana Musim Panas 2019


2

Š Institut Penelitian Bidang Masakan

disebut hobakjeon (atau hobak pancake). Dibandingkan dengan hobak musim panas yang masa penyimpanannya pendek, hobak misum dingin mempunyai banyak pati dan dapat disimpan selama beberapa bulan. Hobak musim dingin kaya dengan karotenoid, sehingga kebanyakan berwarna oranye, tetapi ada juga yang bergaris hijau dan berwarna-warni. Hobak musim dingin agak keras untuk dimakan mentah, tetapi berubah menjadi seperti ubi yang manis jika dimasak. Hobak musim dingin, misalnya butternut squash mengeluarkan glutamic acid dan rasa gurih yang akan bertambah jika lama dipanaskan. Sebagaimana orang Barat suka makan pie, tarts, dan sup yang berbahan labu, orang Korea juga suka makan bubur labu sebagai cemilan terutama pada musim dingin. Labu juga enak jika dipanggang dengan oven lalu dimakan dengan madu atau hanya dengan dikukus saja. Park Wan-suh pernah mengatakan, jika seseorang mengumpamakan orang yang berwajah buruk dengan hobak, hal itu dikarenakan orang itu tinggal di kota, sehingga ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang hobak. Makin lama kita mengenal hobak, makin banyak dari kita yang menganggukkan kepala karena setuju dengan pendapat Park Wansuh.

Š Topic

Hobak sering digunakan untuk Doenjangcigae (sup tauco) dan juga sebagai hiasan untuk masakan mi. Terutama, hobak sangat enak jika dipotong-potong, dicampur dengan tepung dan telur, lalu digoreng. Masakan seperti ini disebut hobakjeon (atau hobak pancake).

3

4

1. Labu hijau muda yang murah dan lezat, dinikmati di musim panas, serbaguna karena daunnya juga merupakan makanan yang sangat disukai. Daun-daun yang lembut dikukus atau dibiarkan setengah matang untuk membungkus nasi dengan sesendok pasta kedelai pedas. 2. Resep untuk hobakjeon sangat sederhana sehingga hidangan dapat dengan mudah dibuat di rumah. Labu hijau muda dipotong menjadi irisan tebal yang bagus, dilapisi tepung dan telur, lalu digoreng. 3. Hobakseon dibuat dengan berbagai cara tergantung pada wilayah, tetapi satu cara yang umum adalah membuat potongan-potongan labu muda, isi potongan dengan isian yang pedas dan kemudian kukus sebelum makan. Resep ini dapat ditemukan di buku masak kuno. 4. Nai bubur dibuat dengan mengukus campuran tepung beras, daging labu berumur, garam dan gula merupakan suguhan yang populer.

seni & budaya korea 67


ESAI

Memanjakan Lidah dengan Sajian Kuliner Korea Adi Purwanto Blogger

L

ain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Begitulah hidangan khas Korea dan Indonesia yang memiliki citarasa dan tampilan berbeda meski keduanya merupakan negara Asia. Saat masih tinggal di Indonesia, beberapa kali saya menikmati hidangan di restoran Korea. Bibimbap, samgyetang, jajangmyeon, dan tteokbokki adalah menu yang pernah saya pesan. Saat

68 Koreana Musim Panas 2019

mengecapnya, saya membayangkan bagaimana rasa masakan yang sedang saya nikmati itu jika disantap di tempat asalnya: apakah rasanya sama, lebih enak, atau malah tidak cocok untuk lidah Indonesia saya. Saya penasaran, karena restoran mancanegara yang ada di Indonesia biasanya menyesuaikan citarasa masakannya dengan lidah orang Indonesia. Tahun lalu, rasa penasaran itu terbayarkan.


Saya tiba di bandara Incheon pada tanggal 26 Agustus 2018, yang merupakan minggu tera­khir musim panas. Beruntung, saat itu, udara Seoul tak beda dengan udara di Bogor, Indonesia, kota tempat tinggal saya. Jadi, suhu udara tak menjadi masalah buat saya. Yang menjadi kendala adalah ihwal bahasa. Ini merupakan kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Korea Selatan. Sebelum­ nya, saya melihat negeri ginseng ini hanya dari tayang­an reportase di televisi maupun film. Begitu mendapatkan kesempatan mengunjungi dan tinggal di Korea, satu hal yang saya lakukan adalah berwisata kuliner. Masakan-masakan Korea yang dulu pernah saya nikmati di Indonesia menjadi prioritas pertama perburuan saya. Rasa penasaran saya akan citarasa masakan Korea di tempat asalnya sudah terobati. Saya jadi tahu ternyata rasa bibimbap dan tteokbokki di tempat asalnya jauh lebih nikmat dibandingkan yang di Indonesia. Sedap! Dari beragam sajian kuliner yang dimiliki Korea, empat makanan berikut ini begitu menan­ tang untuk dicicipi. Santapan ini menjadi menan­ tang buat saya karena saya tidak menemukan­ nya di Indonesia. Saya belum pernah menjumpai masakan yang diolah seperti ini meskipun bahan mentahnya bisa ditemukan juga di Indonesia. Pertama, bogeotang atau sup ikan buntal. Ikan yang bisa menggelembungkan tubuhnya seperti balon ini banyak ditemukan di perairan Indonesia. Dulu, saat saya memancing di laut, beberapa kali mata kail saya disantap ikan itu. Namun, kemudian saya buang kembali ke laut karena ikan itu beracun. Saya sempat terkejut ketika ikan buntal ternyata bisa diolah menjadi sup yang sangat lezat di Korea. Rupanya orang Korea memiliki cara tersendiri membuang racun ikan ini. Racun ikan buntal yang berlipat-lipat kuatnya dari sianida ini bisa hilang bila ditangani seorang koki ahli dan berpengalaman. Korea memiliki banyak koki khusus seperti ini, terbukti di beberapa tempat bisa didapati rumah makan yang menyajikan sup ikan

buntal. Kedua, tangtangi atau gurita yang dimakan hidup-hidup. Sajian ini bisa ditemukan di banyak tempat. Salah satunya di pasar ikan Noryangjin, salah satu pasar ikan terbesar di Korea. Pasar ikan ini memasok 50% kebutuhan ikan di negara ini dan jumlah produksi laut yang diperdagangkan setiap harinya mencapai 250-300 ton. Di pasar ini banyak dijajakan gurita hidup selain beragam hasil laut lainnya. Kita tinggal pilih gurita mana yang diinginkan. Oleh pedagangnya, gurita itu akan dipotong kecil-kecil. Walaupun sudah dipotong, kita bisa merasakan tentakel-tentakel mu­­ ngil itu bergerak dan menempel di lidah kita. Bisa langsung dimakan tanpa dicampur apa-apa, bisa pula dicelupkan terlebih dahulu ke dalam minyak wijen sebelum dimakan. Semakin lama dikunyah, gurita akan makin terasa manis. Itu kata penjual­ nya. Ketiga, beondegi atau kepompong ulat sutera. Kalau di Indonesia punya ulat sagu, Korea memiliki kepompong ulat sutera yang dijadikan kudapan. Kepompong ulat sutera biasanya dimasak dengan cara dikukus atau direbus. Saya menemukan penjual kudapan dari kepompong ulat sutera di banyak tempat. Salah satunya di Myeongdong. Dengan ₩3000, kita bisa mendapat satu kop kudapan kepompong ulat sutera yang memiliki aroma unik. Keempat, hongeo atau ikan pari yang difermentasi selama lebih kurang 45 hari. Aroma amonia yang sangat kuat dari hidangan ini menjadi tantangan tersendiri, yang langsung menyergap rongga hidung saat potongan ikan pari masuk ke mulut. Untuk mengurangi kerasnya aroma amonia, biasanya ikan dimakan dengan kimchi. Menikmati sebuah kota tentu kurang lengkap bila tak mencoba produk kuliner khasnya. Keempat kuliner di atas adalah hidangan khas Korea. Jika Anda berkesempatan mengunjungi Korea, tak ada salahnya mencoba. Pasti akan menjadi kenang­­an yang tak akan terlupakan. Coba, dan rasakan sensasinya!

seni & budaya korea 69


GAYA HIDUP

Menghindari pantai yang ramai, para tamu hotel di pusat kota Seoul berjemur dan berenang di kolam renang di puncak gedung.

Š Kantor Berita Yonhap

70 Koreana Musim Panas 2019


Menikmati Liburan Secara Minimalis Haruskah kita pergi jauh untuk menikmati liburan? Menghindari lautan manusia dan keletihan yang timbul dari perjalanan jauh, cara berlibur secara ‘rasional’ sedang menyebar di tengah-tengah generasi muda dengan cukup beristirahat sambil membaca buku atau bermain game, dan menonton film di rumah atau hotel di tengah kota. Kim Dong-hwan Reporter, The Segye Times

B

ahkan sampai beberapa tahun yang lalu saja orang-orang pergi ke pantai atau gunung jika masa libur musim panas tiba. Tetapi dewasa ini semakin banyak yang berpikir bahwa perjalanan jauh dalam waktu liburan yang singkat hanya meninggalkan keletihan dan sulit untuk kembali menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam hasil survei tahun 2018 yang djalankan oleh agen survei pasar dalam negeri Macromil Embrain, di antara 1000 orang berusia 19 hingga 59 tahun, hanya 42 persen saja yang mengatakan bahwa “harus pergi jalanjalan saat liburan musim panas”. Sebaliknya, sebesar 53,2 persen yang me­­ ngatakan bahwa “tidak perlu pergi ke mana-mana” saat liburan musim panas. Alasan utamanya adalah terlalu padatnya kerumunan orang, harga-harga yang melonjak tinggi, dan “justru menjadi lelah setelah pulang”. Bersamaan dengan semua itu, beberapa tahun terakhir ini muncul kecenderungan menikmati liburan di hotel yang disebut ‘hocance (hotel+vacation)’ dan di rumah yang disebut ‘homecance (home+vacation)’.

Pelarian Tanpa Beban dari Kehidupan Sehari-hari

Woo, laki-laki berumur 20-an tahun yang bekerja di bagian pemasaran olahraga, memenangkan sebuah undian di bulan Maret lalu dan secara tidak terduga menikmati hocance. Woo yang memang berminat akan hocance

namun belum pernah mendapat kesempat­ an sebe­lumnya menyampaikan kesannya: “Saya mendapatkan kenangan menyenangkan melewati malam yang santai di hotel di tengah-tengah Seoul”. Ia menambahkan bahwa “Biasanya kalau pergi ke tempat wisata sibuk untuk menuntaskan susun­ an kegiatan yang telah dirancang” dan bahwa sebelumnya ia hanya menganggap penginap­­an sebagai tempat tidur saja, tetapi dengan pengalaman kali ini ia mengubah pikirannya tersebut. Woo masuk hotel pada pukul 2 sore, kemudian keluar karena ada janji temu bisnis, dan kembali ke hotel pada pukul 10 malam. Kemudian ia beristirahat sambil menonton video dengan komputer tablet­ nya dan sambil makan jajanan yang ia beli di toko serba ada. Meski rencana awal untuk menikmati hocance pertamanya de­­ ngan menonton pertandingan sepak bola luar negeri sambil makan ayam goreng dan bir itu tidak terlaksana, namun ia dapat melewati waktu yang sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Woo yang biasanya tidak sarapan bangun lebih awal untuk menikmati sarapan hotel seperti yang disarankan oleh teman-teman sekitarnya. Setelah menyantap sarapan nasi dengan telur orak-arik, ayam panggang, dan kimchi yang memuaskan, ia mendapat pijatan aroma dan checkout pada pukul 11-an. “Itu merupakan kesempatan pelarian dari keseharian dengan cara yang mudah dan unik, lain kali saya ingin menik­mati hocance bersama teman-teman”, kata­nya. Woo menyampaikan ambisinya untuk merencanakan dan menjalankan ‘hocance para penggemar sepak bola’. Lain kali ia akan menonton pertandingan sepak bola profesional di stadium pada sore hari dan kembali ke hotel bersama teman-temannya untuk menonton pertandingan sepak bola luar ne­geri sambil menikmati makanan yang enak.

seni & budaya korea 71


Instagram dan Facebook, sebuah tempat berbagi cerita kehidupan sehari-hari dengan teman, juga menjadi faktor yang mempengaruhi populernya Hocance (Hotel+Vacation). Di sini, tanpa disadari, terpantul keinginan untuk memamerkan kehidupan sehari-hari yang berbeda dengan orang lain.

1. Menonton TV bersama teman atau keluarga sambil menikmati minuman dan makanan lezat di kamar hotel adalah cara untuk melepaskan diri dari kesibukan sehari-hari dan usaha menikmati waktu luang. 2. Para tamu menikmati waktu bebas minum sampanye di kamar hotel. Hotel menawarkan berbagai paket “hocance” bagi mereka yang ingin menghabiskan waktu berkualitas tanpa bepergian jarak jauh.

72 Koreana Musim Panas 2019

1 © Getty Images

Tidak hanya pada liburan musim panas saja, hotel-hotel juga ramai dikunjungi oleh keluarga, kekasih, dan teman-teman di akhir tahun atau hari Natal untuk merayakan pesta bersama. Saat liburan terbesar Korea seperti tahun baru lunar dan perayaan panen pun semakin banyak keluarga-keluarga yang menghindari padatnya jalanan mudik dan memilih melewati liburan dengan sepi dan tenang. Alasan lain yang membuat hocance populer adalah diberlakukannya kebijakan kerja “52 jam seminggu”. Bersamaan dengan dipentingkannya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, semakin banyak orang yang mencari hotel tempat beristirahat dengan nyaman bagi mere­ ka dan menikmati waktu bebas sepenuhnya untuk diri sendiri. Bahkan ada hotel yang mengeluarkan ‘paket malam’ yang melingkupi penggunaan kolam renang dan makan malam untuk orang-orang tersebut. Instagram dan Facebook, sebuah tempat berbagi cerita kehidupan sehari-hari dengan teman, juga menjadi faktor yang mempengaruhi populernya Hocance. Di sini, tanpa disadari, terpantul keinginan untuk memamerkan kehidupan sehari-hari yang berbeda dengan orang lain. Perusahaan WITH Innovation yang mengoperasikan aplikasi akomodasi “Bagaimana di sini? – How About Here?”, menganalisis kata kunci yang paling sering dipakai dalam aplikasinya dari bulan Desember 2018 hingga Februari 2019. Hasilnya menunjukkan bahwa orang-orang yang mencari kata kunci ber-


lipat hanya pada saat liburan hari raya. Me­­ ngenai hasil ini, karyawan hotel tersebut mengatakan, “semua ini berkat tamu-tamu yang tidak mudik di hari raya, tamu yang menginginkan fasilitas yang dekat dan nyaman, dan sekeluarga tamu yang ingin melepas letih selama liburan”.

Tren Belanja Baru

2 © Grand Intercontinental Seoul Parnas

hubungan dengan kolam renang hangat meningkat sebesar 40 persen. Pihak perusahaan menjelaskan bahwa kini semakin banyak hotel yang memiliki fasilitas rekreasi, dan minat akan hocance bertema unik semakin meningkat dengan melihat SNS dan hashtag yang diunggah lebih dulu oleh orang lain.

Berbagai Produk Paket

Melihat gejala peningkatan drastis minat akan hocance, hotel-hotel mulai meluncurkan berbagai produk paket. Tahun lalu, salah satu hotel di pulau Jeju yang sedang menyambut hari raya Chuseok ( hari raya panen), mengeluarkan paket yang melingkupi sarapan gratis, kupon bir dan cocktail, pijat kaki, dan sebagainya dengan konsep ‘hadiah untuk istri tercinta’. Selain itu bermunculan pula berbagai paket seperti kombinasi kupon menu baru masakan koki terkenal, paket solo untuk tamu yang melewati hari raya sendiri, paket gabungan tiket film dan kupon sarapan, memberikan kue beras, dan karcis masuk museum di sekitar hotel bagi mereka yang menginap lebih dari dua malam. Pada hari libur tahun baru lunar selama lima hari beruntun di awal tahun ini, hotel-hotel utama di Korea mengeluarkan paket sauna ala Eropa, paket kombinasi dengan konser jazz, paket menginap di hotel cabang luar negeri, dan lain-lain. Dengan usaha semacam ini, salah satu hotel ternama di Seoul meningkatkan persentase tamu domestik dari 20-an persen hingga tiga kali

Homecance yang merupakan bentuk lain dari ‘staycation’ – di mana orang-orang diam di tempat tertentu – juga patut diperhatikan. Juli lalu, ketika suhu panas mencapai 33 derajad selsius, perusahaan SK Telecom mengumpulkan data dari berita, blog, dan SNS sebanyak 1.317.420 data dan menganalisis kata kunci yang berhubungan de­­ ngan kegiatan menghindari panas. Di antara kata kunci yang muncul, terdapat kata ‘homecance (home+vacation)’ dan ‘veterpark (veranda + water park)’. Dengan semakin banyaknya orangorang yang menikmati hocance untuk menghindari panas dan lautan manusia, produk-produk pengusir panas juga bermunculan untuk dapat membantu mereka yang memilih beristirahat di rumah de­­ngan sempurna. Agustus tahun lalu, pegawai toko elektronik Lotte Himart me­­ ngatakan, “selama 15 hari terhitung dari 16 hingga 30 Juli saat musim liburan benar-benar dimulai, hasil penjualan projektor mini dan pengeras suara Bluetooth melonjak masing-masing 40 dan 30 persen”. Ia menjelaskan kedua produk tersebut diminati oleh suku homecance karena dapat memanfaatkan seluruh tembok sebagai layar dan mengeluarkan sistem suara seperti bioskop. Selain itu makanan sedia saji untuk berkemah yang ditayangkan di home-shopping yang disesuaikan dengan kebutuhan orang-orang yang melewati liburan sendiri di rumah juga menarik banyak minat.

seni & budaya korea 73


PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

KRITIK

Kesenjangan Waktu Etis Kim Ae-ran mengawali debutnya tahun 2002 pada usia dua puluh dua. Sejak itu ia telah menghasilkan serangkaian karya yang hidup dan hangat, tetapi dalam kisah terbarunya ia mulai mengeksplorasi tema-tema kehilangan, perpisahan, dan kerinduan. Dia menggunakan nada yang tenang, alih-alih keceriaan yang menjadi karakteristik karya-karya sebelumnya. Choi Jae-bong Reporter, The Hankyoreh

K

im Ae-ran mulai menulis sekitar sepuluh tahun lebih awal dari teman-temannya. Ia membangun kecenderungan yang menjadi ciri fiksi Korea yang dilakukan para penulis yang lahir pada 1980-an. Ruang sempit dan kumuh, seperti toko serba ada, gosiwon (secara harfiah bermakna, “tempat tinggal kecil bagi mereka yang belajar untuk ujian layanan publik”), ruang baca, ruang bawah tanah, dan atap merupakan bagian dari kecenderungan itu. Mereka membentuk semacam susunan atau model karya awal Kim, termasuk cerita pendek “Aku ke Toserba” yang diterbitkan setahun setelah debutnya [lihat Koreana Musim Dingin 2017, Vol. 31 No. 4]. Antologi pertamanya, “Lari, Ayah, Lari” (2005), menghimpun sembilan cerpen, dan lebih dari setengahnya menampilkan sosok ayah sebagai tokoh utama. Dalam karya-karya ini, sang ayah, entah absen, tidak kompeten, atau sengaja dihadirkan secara samar-samar. Dalam cerpen itu, sang ayah pergi meninggalkan istrinya yang hamil dan tidak pernah pulang lagi; dalam cerpen “Salam Sayang” ia menghilang sepuluh tahun sebelumnya dan sama sekali tidak pernah muncul dalam cerita. Dalam cerpen “Ada Alasan Kenapa Dia Tidak Bisa Tidur,” sang ayah, sebagai “sosok penghancur keluarga,” berbagi kamar sewaan putrinya dan menyemangati insomnianya dengan menonton TV hingga larut malam. Sebaliknya, ayah dalam “Tongkat Pogo” tampak punya kemampuan, hampir normal. Ayah yang mengelola toko instalasi listrik, suatu hari bermimpi bahwa putra sulungnya, yang kabur setelah gagal masuk perguruan tinggi, kini kembali. Hari itu, dia mengatakan bahwa dia akan memperbaiki lampu jalan yang rusak, tetapi dia juga terbukti menjadi tipe yang agak gamang: dia memanjat tiang lampu hanya untuk turun lagi, lalu berkata, tangannya dingin. Dalam hal itu, “Siapa yang Tanpa Berpikir Menyalakan Kembang Api di Pantai?” terasa sa­­ngat sugestif. Seorang anak laki-laki, tokoh protagonis, suatu hari, bertanya bagaimana dia dilahirkan. Sang ayah menjawab pertanyaan putranya dengan banyak cara, tetapi tidak satu pun dari jawaban itu yang benar-benar meyakinkan. Pada akhirnya, anak itu memutuskan untuk mengarang cerita sendiri tentang kelahirannya. Di sini, kita diberi tahu bahwa “karena anak itu tidak percaya dengan apa

74 Koreana Musim Panas 2019


© Gwon hyeok-jae

Kim Ae-ran: “Saya sadar, bahwa ada situasi tertentu yang membuat saya tidak dapat bercanda.”

yang dikatakan ayahnya, dia berangkat untuk bercerita pada dirinya sendiri.” Hal tersebut berarti bahwa anak itu terlahir kembali sebagai pendongeng menggantikan suara ayahnya. Ini adalah tema utama dari novel panjangnya yang pertama, “Hidupku yang Berdebar” (2011), yang dapat dianggap sebagai kisah kelahiran penulis Kim Ae-ran. Mengikuti perjalanan cerita pendek keduanya, “Mulutku Berair” (2007), kita melihat sikap yang mengatasi situasi yang secara objektif tidak menguntungkan dan secara subjektif, juga tidak menguntungkan dengan estetika. Novel panjang pertama Kim Ae-ran, “Hidupku yang Berdebar” diterbitkan pada tahun kesepuluh setelah debutnya. Ia meraih sukses luar biasa secara komersial, dan hal tersebut yang membawa novel itu diangkat sebagai cerita film. Berkat kesuksesan itulah muncul semacam wacana yang disebut “fenomena Kim Ae-ran.” Novel ini bercerita tentang seorang anak lelaki berusia 17 tahun yang menderita dan meninggal secara prematur karena progeria. Namun, dalam “Humor Kim Ae-ran” suasana humor itu sepenuhnya hampir tak muncul dalam dua antologi cerpen, “Jejak Uap” (2012) dan “Di Luar Musim Panas” (2017). Tampaknya ada dua alasan utama untuk ini. Pertama, penulis mungkin telah memutuskan untuk menjauhkan diri dari cahaya dan kelincahan pemuda setelah melewati usia 30 tahun.

Kedua, ada serangkaian acara yang memiliki dampak mendalam pada masyarakat Korea secara keseluruhan. Bisa jadi setiap dorongan terhadap humor ditekan oleh munculnya kepedihan sosial, misalnya, dari tragedi Yongsan tahun 2009, ketika lima penyewa dan seorang polisi terbunuh saat terjadi kebakaran pada waktu polisi menyerang para demonstran yang menentang kompensasi pembangunan kembali gedung itu, dan bencana kapal feri Sewol pada 2014, yang merenggut ratusan nyawa, kebanyakan dari mereka adalah siswa sekolah menengah dalam perjalanan liburan sekolah. Mengenai hal ini, Kim Ae-ran mengatakan dalam sebuah wawancara, “Saya sadar, bahwa ada situasi tertentu yang membuat saya tidak dapat bercanda.” “Hal-hal lain” ini termasuk sisi gelap pembongkaran untuk pembangunan kembali kota, digambarkan oleh imajinasi dystopian dalam dua cerita pendeknya, “Serangga” and “Goliath dalam Air” yang terhimpun dalam antologi “Jejak Uap.” Tenggelamnya kapal feri Sewol tidak disebutkan, tetapi sangat terasa dalam “Awal Musim Dingin” dan “Ke mana Kamu Ingin Pergi?” yang terhimpun dalam antologi terbarunya, “Di Luar Musim Dingin.” “Makna Lanskap” jumlahnya hampir sama dengan antologi cerpen “Di Luar Musi Panas.” Meskipun tidak persis sama, judul buku ini berasal dari kalimat yang diambil dari cerpen “Makna Lanskap” di mana tokoh protagonis merasa dia memegang gelas bola salju saat bepergian di Thailand. Perbedaan waktu yang dijelaskan dalam kalimat, “Di dalam gelas bola salju, badai salju putih berkecamuk, sementara di luar itu musim panas yang tinggi,” juga terkait dengan tema seluruh antologi cerpen itu, yang berisi kisah-kisah orang yang terus hidup setelah mati dan kehilangan, atau “melewati tebing” seperti yang dikatakan penulis. “Makna Lanskap” adalah kisah tentang seorang lelaki yang orangtuanya bercerai setelah ayahnya melakukan perzinahan. Dia tumbuh dengan rasa permusuhan terhadap ayahnya melampaui jarak waktu. Tidak mengherankan bahwa ia tidak memendam perasaan positif pada ayah­ nya yang meninggalkannya di masa kecilnya, namun penulis mempertanyakan apakah superioritas etis yang diklaim oleh putranya itu, dibenarkan. Di akhir cerita, sang anak mendengar suara seseorang berteriak “kesalahan ganda” padanya, sementara dia bergumam, “Aku tidak pernah ingin memiliki apa pun secara gratis.” Sepanjang hidupnya, sang anak menyalahkan dan mengutuk ayahnya, atas dasar etika, tetapi pada akhirnya, bagaimana pun, ia seorang anak, bukan ayah, yang diadili. Tidak mungkinkah itu disebut “perbedaan waktu etis”?

seni & budaya korea 75


Informasi Berlangganan

Cara Berlangganan Biaya Berlangganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (termasuk ongkos kirim melalui udara)

edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb

2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 asia Timur(Cina, Hong Kong, Jepang, Makau, dan Taiwan) 2 asia Tenggara(brunei, Filipina, indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam,) dan Mongolia. 3 eropa(termasuk russia and Cis), Timur Tengah, amerika utara, oseania, dan asia selatan (afghanistan, bangladesh, bhutan, india, Maldives, nepal, Pakistan, dan sri Lanka) 4 afrika, amerika selatan/sentral (termasuk indies barat), dan Kepulauan Pasifik selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr

tanggapan Pembaca

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.

* selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (apple i-books, Google books, dan amazon)


A JournAl of the eAst AsiA foundAtion

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. In our latest issue:

Leadership in Asia: Populism, Prosperity and the Basis of Political Legitimacy

Learn more and subscribe to our print or online editions at

www.globalasia.org

understAnding AsiA’s leAders: essAYs bY

John Nilsson-Wright; David Shambaugh; Ellis Krauss; Sang-young Rhyu; John McBeth; Michael Vatikiotis & Pratap Bhanu Mehta the debAte: the us-ChinA trAde ClAsh: two views

Simon Lester on Trump’s trade quagmire; Aidan Yao & Shirley Shen on why a breakthrough is unlikely

in foCus: denuCleArizing the KoreAn peninsulA

Three perspectives on the road ahead for peace efforts

plus

Christopher h. lim & vincent mack zhi wei Global Ambitions of Beijing’s Belt and Road Initiative stephen blank Washington Returns to Central Asia Kai he & huiyun feng A Quest for Joint Prestige: Rethinking the US-China Rivalry t. v. paul The Risks of War Over the South China Sea beginda pakpahan Indonesia’s Indo-Pacific Challenge book reviews by Nayan Chanda, Taehwan Kim, John Delury and John Nilsson-Wright

us$15.00 w15,000 | www.glob A JournAl l of the eAst AsiA foundAtion Ation www.globAlAsiA.org .org | volume 13, number 3, september 2018 A

Leaders & Leadership in Asia Populism, Prosperity and the Basis of Political Legitimacy News, archives and analysis at www.globalasia.org

Have you tried our Magster digital edition? Read on any device. Issues just $5.99 each or $19.99 per year. Download Magzter’s free app or go to www.magzter.com



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.