Koreana Autumn 2012 (Indonesian)

Page 1

Musim Gugur 2012

Seni & Budaya Korea Fitur Khusus

Warisan Budaya Tak-Benda

M usimmerG ug ur 2012 vo l.n o1. 2n o . 1 sum 2012 vo l. 26

Perubahan Paradigma: Dukungan untuk Perlindungan Keanekaragaman Budaya

ISSN 2287-5565

v o l. 1 NO. 1

Warisan Budaya Tak-Benda: Peninggalan Tak Ternilai untuk Berbagi dengan Dunia


Pemimpin Umum Direktur Editorial Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kim Woo-sang Zeon Nam-jin Lee Kyong-hee Bae Bien-u Elisabeth Chabanol Han Kyong-koo Kim Hwa-young Kim Mun-hwan Kim Young-na Koh Mi-seok Song Hye-jin Song Young-man Werner Sasse

Penata Letak dan Desain Kim’s Communication Associates 384-13 Seogyo-dong, Mapo-gu, Seoul, 121-839, Korea. www.gegd.co.kr Telp: 82-2-335-4741 Faks: 82-2-335-4743 Langganan Biaya per tahun: Korea \18,000, Asia(udara) US$33, Negara di luar Asia(Udara) US$37 Harga per eksemplar (Korea): \4,500

Informasi Berlangganan

Negara di luar Amerika dan Kanada (termasuk Korea) Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul, Korea Telp: 82-2-2151-6544 Faks: 82-2-2151-6592 Percetakan Edisi Musim Gugur 2012 Samsung Munhwa Printing Co. 274-34 Seongsu-dong 2-ga, Seongdong-gu, Seoul, Korea Telp: 82-2-468-0361/5

Amerika, Kanada Koryo Book Company 1368 Michelle Drive St. Paul, MN 55123-1459 Telp: 1-651-454-1358 Faks: 1-651-454-3519

© The Korea Foundatioon 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhnya tanpa izin Korea Foundation. Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak harus selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, China, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

Website Koreana : http://www.koreana.or.kr

Seni & Budaya Korea Edisi Musim Gugur 2012 Diterbitkan empat kali setahun oleh Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul, Korea

Lampion yang tergantung di pohon-pohon di depan bangunan utama kuil Jogye di pusat Seoul untuk merayakan Waisak. Festival Lampion Teratai(Yeondeunghoe), diwariskan ribuan tahun sejak zaman Silla, baru-baru ini ditetapkan sebagai Kekayaan Warisan Budaya Tak-Benda Penting No. 122. © Choi Hang-young

Annyonghaseyo … Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang! Begitulah seharusnya ketika sebuah persahabatan, dise-

dayaan dengan bangsa Indonesia. Maknanya: makin terbuka lebar pintu masuk mengenal dan mema-

matkan. Indonesia-Korea adalah dua negara bersahabat yang sudah sejak lama erat terjalin dan terus menin-

hami berbagai aspek kebudayaan Korea. Dari sana, terbentang jembatan kedua negara untuk lebih dekat

gkat sampai kapan pun. Maka, atas dasar spirit dan tekad meningkatkan terus persahabatan itu, kini hadir

saling mengenal, bertukar informasi, dan mengembangkan apresiasi terhadap hasil budaya kedua bangsa.

di tangan pembaca Indonesia, sebuah majalah Korea, Koreana, edisi khusus bahasa Indonesia. Dalam edisi

Tiada harapan lain bagi kami atas kehadiran majalah ini di Indonesia, kecuali keinginan mendalam, agar dapat

perdana ini, tersaji sebuah lanskap seni budaya Korea. Lebih khusus lagi, tentang kekayaan budaya tak-benda

memberi manfaat yang sebesar-besarnya, menggelitik inspirasi, dan membuka pintu yang lebih luas bagi per-

penting, yang tidak hanya menjadi kebanggaan bangsa Korea, tetapi juga kebanggaan masyarakat dunia,

tukaran yang lebih akrab tentang ihwal masyarakat dan kebudayaan Korea—Indonesia.

sebagaimana ditetapkan Unesco.

Dengan pandang terbuka dan menatap penuh harap, kami dengan mesra, menyapa Indonesia. Selamat

Sudah lama Koreana terbit dalam edisi bahasa Inggris. Oleh karena itu, sebagai rintisan awal, edisi bahasa

membaca!

Indonesia ini menunjukkan kesungguhan masyarakat Korea dalam menjalin hubungan persahabatan kebu

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia


Fitur Khusus Warisan Budaya Tak-Benda

04 12 16

Fitur Khusus 1

Warisan Budaya Tak-Benda di Abad ke-21 Fitur Khusus 2

Pelestarian Warisan Budaya Tak-Benda Dunia dan Peranan Korea

Sahabat Tersembunyi dari Warisan Budaya Manusia

20 26 34

46 52 46

Han Kyung-koo

Fitur Khusus 3

20

40

7

Park Hyun-sook

Soul Ho-jeong

Fitur Khusus 4

Dari Lokal ke Global: Pendaftaran Warisan Budaya Meningkatkan Kesadaran Kultural Song Hye-jin

Fitur Khusus 5

Warisa Budaya Manusia Membangun Kembali Sungnyemun, Kekayaan Nasional No.1 Lee Kwang-pyo Fitur Khusus 6

Tradisi Kuliner Apa dan Bagaimana Cara Melestarikannya

FOKUS

Ye Jong-suk

40

Tantangan Yeosu - Kota Menengah di Ujung Selatan Korea - Menggelar Pameran Expo

Yang Sun-hee

Tinjauan Seni

Evolusi Kreatif ‘Hanok’

Song In-ho

JATUH CINTA pada KOREA

“Jembatan Eksistensial” antara Korea dan Dunia

56 64

Charles La Shure

PADA TAHAP GLOBAL

Yang Haegue, Seniman Visual yang Melampaui Genre dan Batas

Koh Mi-seok

BUKU & LEBIH Buku Anak untuk Pembaca Semua Usia

Leafie, Si Ayam-Petelur Lepas ke Alam Bebas Edisi Polandia ‘O kurze, która opuściła podwóze’ Menguasai Makanan Rumahan Korea dan Bahasa Korea

Masakan Rumahan Korea

58

Masa Depan Katalog Seni di Era Digital

23 Artis dari Tahun 1995 sampai 2010

66

ESAI

68

HIBURAN

70

Perjalanan Kesusastraan Korea

Amazing Korea!

Suryopratomo

‘Jodoh’: Mencari Jodoh di Primetime TV

Hwang Jin-mee

Kritik : Anak Pemilik Toko Roti Kampung yang Menjadi Novelis New York Bakery Kim Yeon-su

Uh Soo-woong


Fitur Khusus 1

Warisan Budaya Tak-Benda di Abad ke-21

Bukan hanya keterampilan seorang seniman yang mereka turunkan kepada generasi berikutnya, tetapi juga cara hidup yang telah mereka pelajari dari guru-guru mereka. Park Hyun-sook Penulis Lepas | Suh Heun-gang Fotografer

Noh Jin-nam Belajar bertenun sejak menikah pada usia 20 tahun

N

oh Jin Nam (Warisan Budaya Tak-Benda Penting Nomor 28) adalah seorang wanita dari Desa Saetgol di Naju, Provinsi Jeolla Selatan yang pada masa lalu, kaum wanitanya telah lama dikenal dengan keahlian katun tenunan tangan berkualitas tinggi. Noh yang menikah pada usia 20 tahun mempelajari langsung cara menenun katun ini dari ibu mertuanya dan mulai menenun dengan alat tenunan warisan ibu mertuanya sejak 60 tahun terakhir ini. Noh sangat menghormati ibu mertuanya, Kim Man Ae. Ia memperdengarkan cerita tentang ibu mertuanya yang mendapat gelar Warisan Budaya Manusia, yang menurutnya, bukan hanya karena keterampilan tenunan tangannya yang sangat baik, tetapi juga karena kehangatan dan kemurahan hatinya. Pada tahun 1965, kain sintesis mulai diproduksi secara massal sehingga praktis kain yang diolah secara tradisional tersisih. Kini tinggal tiga rumah di desa ini, yang terus menenun kapas dengan cara lama. Tahun yang sama, Dr. Seok Ju-seon, seorang sarjana ahli busana tradisional Korea mengadakan kunjungan ke desa untuk penelitiannya dan rumah pertama yang menjadi awal pemberhentian adalah rumah Ibu Kim Man Ae. Menurut penuturannya, saat Dr. Seok bertanya apakah dia bisa membeli sampel kain Ibu Kim, ibu yang ramah itu malah menawarkan hasil karyanya secara gratis sebagai kontribusi untuk penelitian para sarjana, padahal saat itu dengan hilangnya pasar tradisional, Ibu Kim sendiri berada dalam kondisi sulit untuk menjual hasil karya tangannya. Noh tersenyum lebar ketika menceritakan ‘pertengkaran’ kecil antara Dr. Seok - yang memaksa ingin membayar, karena tidak ingin menerima kain yang sangat berharga itu dengan cuma-cuma – dengan ibu mertuanya – yang menolak menerima bayaran.

4

S e n i & B u d a y a Ko re a


Seol Seok Cheol Tukang Kayu yang Menanam Pohon

ÂŤT

ukang kayu terbagi menjadi tukang kayu untuk kayu besar dan kayu kecil. Tukang kayu yang membangun rumah tempat tinggal disebut tukang kayu besar, dan yang membuat jendela rumah atau perabotan untuk kehidupan rumah tangga disebut tukang kayu kecil. Seol Seok Cheol (Warisan Budaya Tak-Benda Penting No. 55) yang pada tahun ini genap beruisa 87 tahun telah menghasilkan mebel kayu buatan tangan untuk sekitar 70 tahun. Rumahnya di Yeongcheon-ri, Kabupaten Jangseong, Provinsi Jeolla Selatan, cukup unik: Lantai pertama terdiri dari tempat tinggal dan ruang pameran untuk furniturnya, lantai kedua adalah tempat kerja, tempat ketiga anaknya sedang meneruskan seluk-beluk kerajinan ayah mereka, dan di lantai ketiga terdapat ruang yang disebutnya sebagai gudang penyimpanan harta karun yang terbuat dari kayu. Para pengunjung rumah Seol memiliki kesempatan langka untuk melihat berbagai jenis kayu, mengamati bagaimana kayu-kayu itu diproses dan dirakit menjadi sebuah furnitur, dan menikmati hasil karya furnitur tradisional itu setelah selesai, semua sekaligus dalam satu tempat. Seol sangat mencintai gudang penyimpanan kayunya. Dia telah melakukan perjalanan ke tempat mana pun kayu berkualitas tinggi dapat ditemukan tanpa mempedulikan pekerjaan yang lain, kini di gudang harta karun miliknya tersimpan kayu-kayu mulai dari kayu zelkova yang berumur seribu tahun, hingga kayu gingko, paulownia, dan kayu kesemek berumur ratusan tahun yang telah menjalani proses pengeringan selama puluhan tahun. Menurut penjelasannya, kayu dari pohon-pohon tua harus melalui proses pengeringan yang sangat panjang untuk mendapatkan corak kayu yang indah dan agar kayu tidak mudah terpilin. Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

5


Kim Jong Dae Karya yang Bertumpu pada Prinsip Alam Semesta

“S

iapalah yang bisa melawan prinsip-prinsip alam semesta”. Kim Jong Dae (Warisan Budaya Tak-Benda Penting No. 110) telah menghasilkan kompas tradisional selama enam dekade terakhir. Dengan senyum lembut di wajahnya, Sang Maestro mengagumi kompas indah dibuat dengan 24 orbit penanggalan tradisional, yang menurutnya pada masing–masing tingkatan konsentris tidak hanya menunjukkan arah perubahan geografis, tetapi juga mewakili berbagai siklus bumi dan sirkulasi air selama 4,5 miliar tahun lalu dengan begitu rapi dan teliti. Kim mengikuti keinginan pamannya yang mengatakan “Walaupun ini tidak membuatmu kaya, pekerjaan ini layak dilakukan dengan mempertaruhkan kehidupanmu seumur hidup. Lestarikanlah kerajinan ini,” sehingga sampai saat ini kerajinan keluarga ini telah diteruskan hingga tiga generasi, dan sekarang anak Kim meneruskan tradisi keluarga ini dan menjaga tradisi keluarga ini tetap hidup. Ketika Kim menyelesaikan kompas dengan melewati proses yang sulit menggambar beberapa tingkatan dari lingkaran konsentris dengan presisi maksimal dan ukiran 4.000 karakter China ke permukaan melingkar sesuai dengan prinsip-prinsip yin dan yang, Lima Elemen, Delapan Trigram, Sepuluh Akar Langit, dan Siklus mengikuti perhitungan penanggalan menurut bulan, dia mengaku merasakan kegembiraan dan kepuasan karena rasanya ia seperti telah memiliki alam semesta dalam pelukannya. “Saya masih saja terheran-heran, bagaimana kompas ini dapat berisi prinsip-prinsip alam semesta dan kekuatan alam dunia,” ujarnya. Saya hanya mengikuti jalan kehidupan. Tidak ada jalan pintas. Kalau bukan jalannya, ya jangan dijalani atau diteruskan”.

6

S e n i & B u d a y a Ko re a


Chung Bong Sup Memilin dan Merajut dengan Kesabaran dan Ketekunan

“J

ika seorang bekerja dengan keras, itu baik. Hidup santai mana yang bisa dikatakan sebagai kehidupan?� Perajin rajutan berusia 70 tahun, Chung Bong Sup (Warisan Budaya Tak-Benda Penting No. 22), telah meneruskan kerajinan pembuatan simpul hias tradisional orang tuanya. Perjalanan perajin ini diturunkannya juga agar mengakar kepada ketiga anak perempuannya. Karya simpul tradisional, biasanya dihiasi dengan jumbai, tali warna beragam yang dibuat dengan memilin kepangan, memutar beberapa helai benang sutra halus. Jika sudah memulai pekerjaan simpul, harus pula bekerja sampai selesai tanpa henti, sehingga pembuat simpul sering bekerja sepanjang malam. Tidak jarang tangan mereka kaku dan jari-jari tangan mereka pecahpecah atau bahkan berdarah. Untuk menyelesaikan sebuah karya, haruslah dibuat sehelai benang yang dipilin tanpa terputus dengan cara melipat dan memilinnya untuk mendapatkan panjang rumbai yang diinginkan berulang kali. Semua proses harus dilakukan dengan sempurna tanpa ada kesalahan sedikit pun. Umumnya untuk membuat rumbai bulat kecil dengan diameter 2 cm dibutuhkan proses melipat dan memutar yang harus diulang lebih dari 260 kali. Biasanya diperlukan waktu sekitar 10 hari penuh untuk membuat liontin diikat dengan jumbai hanbok, yang disebut Norigae. Chung telah mendedikasikan dirinya untuk tugas yang tidak mudah ini selama lebih dari 50 tahun.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

7


Kim Il Mahn Perkusi Kwintet yang Mendebarkan

T

ung tung! Dum, dum! Boom, boom! Klak, klak! Sejak dini hari, aneka suara ritmis yang mengundang penasaran terdengar dari tempat kerja perajin tembikar Kim Il Mahn yang berlokasi di desa I Pho, Yeoju, Provinsi Gyeonggi. Saat pintu dibuka, suatu panorama mengharukan terpampang di depan mata. Roda-roda tembikar tradisional, bukan hanya satu tetapi lima, memutar dengan bersemangat onggokan tanah liat sebanyak kurang lebih 110 liter. Dengan meluasnya pemakaian roda listrik sebenarnya saat ini sangat jarang ditemukan pembuatan tembikar menggunakan roda putar tradisional, apalagi lima dari mereka yang digerakkan pada saat yang sama. Kim Il-Mahn, yang berusia 70 tahun (Warisan Budaya Tak-Benda Penting No. 96), tiga orang anak laki–lakinya yang berusia setengah baya, dan cucu tertuanya, yang berusia dua puluhan, membuat guci tembikar ukuran besar dengan menggunakan tanah liat terbaik yang dikumpulkan dari seluruh negeri, kemudian melakukan proses pembakaran dengan api dari kayu pinus merah dari Gangneung, wilayah sepanjang Pantai Timur, selama lima hari. Meskipun proses pembuatan tembikar terkadang tidak produktif, karena tak jarang hampir setengah dari guci retak atau pecah dalam api, keluarga Kim telah berhasil mewarisi metode pembuatan tradisional ini melalui delapan generasi. Kim hanya mengirimkan kedua putranya sampai jenjang sekolah dasar saja dengan prinsip kalau terlalu banyak ilmu di dalam kepala, maka tangan akan menjadi malas dan kaku. Keputusan perajin tidak pernah membuat anakanaknya marah, mereka tetap dan selalu menghormati ayah mereka.

8

S e n i & B u d a y a Ko re a


Song Ju An Perajin Kerang dalam Ingatan Anaknya Song Bang Woong

“K

arya tangan ayah saya sangatlah cantik. Di Tongyeong, kampung halaman saya yang terkenal dengan peralatan berhiaskan kerang pada zaman dulu sebagian besar perajin mengasah keterampilan mereka untuk menjadi perajin ahli, kemudian membuka tempat kerja mereka sendiri dengan membawahi beberapa perajin. Tetapi ayah saya tetap saja bekerja di bawah orang dan menjaga tempatnya dengan sebuah alat pemotong yang tajam, selalu di tangannya. Suatu hari, ketika saya membaca di surat kabar bahwa seorang teman yang lebih muda dari ayah saya mendapat gelar Warisan Budaya Tak-Benda, saya marah. Saya mengeluh, ‘Ayah, mengapa ayah harus kalah dari yunior ayah sendiri? Ayah patut mengangkat nama ayah di dunia, kalau hanya bekerja di bengkel yang sempit tersembunyi sampai setengah mati, apakah dunia akan menghargai ayah?’ Tetapi ayah saya hanya menjawab ‘Seorang perajin tidak tahu bagaimana menjual hasil karyanya, ia hanya tahu bagaimana membuatnya.’ Jika seorang perajin mulai peduli tentang biaya dari semua bahan-bingkai kayu, lapisan lacquer, potongan kerang, aksesoris logam, dan sebagainya – tidaklah mungkin ia bisa fokus pada pekerjaannya. Karena hati sudah goyah dengan pikiran ia cukup berusaha sebanyak harga dari hasil karya itu, seperti layaknya hati seorang pedagang.” Kegigihannya terbayar dengan ditetapkannya sang ayah sebagai Warisan Budaya Tak-Benda Penting No. 54 pada tahun 1979 saat sang ayah berusia senja, 79 tahun. Song Bang Woong yang pada masa mudanya bercita-cita menjadi seorang penyair yang membuka pameran puisi di kampung halamannya itu kini mengikuti jejak ayahnya menjadi perajin lemari kerang (Warisan Budaya Tak-Benda No. 10). Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

9


© Joo Byoung-soo

Kim Dae Gyun Akrobator Tambang Tidak Takut Akan Angin

P

ara penonton menyaksikan dengan hati cemas seorang akrobator tambang yang berdiri dengan ringannya di atas tali tambang yang dipasang setinggi tiga meter di atas tanah. Apalagi angin yang berhembus sesekali menggoyangkan sang akrobator yang tak berdaya di atas tali tambang. Namun sang akrobator dengan lihainya mempertahankan keseimbangan dengan sebuah kipas lipat di sebelah tangannya. Setiap kali hembusan angin menerpa tubuhnya, katanya bercanda, “Ah! Angin terkutuk ini terus saja berputar-putar di sekitar tubuh ini. Dia, seperti punya mata saja!” Dialah Kim Dae Gyun (Warisan Budaya Tak-Benda Penting No. 58) yang pertama kali belajar berjalan pada tali tambang pada usia sembilan tahun, sejak saat itu dijalaninya kehidupan di atas tambang hingga ia mencapai usia 45 tahun. Pertunjukan itu adalah paduan seni yang menampilkan seni berjalan di atas tali tambang dengan 43 teknik, sementara di bawah tambang tergelar permainan oleh komentar lucu badut. Interaksi dua arah antara para pemain dan penonton merupakan aspek penting dari pertunjukan ini. Bagi Kim saat yang paling membuatnya bahagia adalah ketika ia berada di atas tambang dan berinteraksi dengan banyak orang. Dia mengatakan “Angin tidak bisa menghentikan seorang penari di tali menampilkan keterampilannya. Sekalipun dalam cuaca yang buruk, saya tetap naik di atas tambang, dan sudut hatinya berbisik ‘Lihatlah aku. Aku berjalan di tambang dalam angin seperti ini. Tak seorang pun menjalani hidup tanpa diterpa oleh angin. Jadi janganlah melepaskan tali harapan kita.’ Atraksi tambang ini tak lain adalah atraksi untuk saling berbagi”. Lapangan pun kembali dipenuhi penonton, dan Kim kembali naik ke atas tambang untuk menyambut mereka.

10

S e n i & B u d a y a Ko re a


Š Lee Kyu-chel

Lee Jong Sun Warisan Budaya Manusia untuk Permainan Perahu Jerami.

P

ada awal Februari tahun ini, salju yang tebal menyelimuti Pulau Wido yang terletak di Kabupaten Buan, Provinsi Jeolla Utara. Di tengah kekhawatiran rekan-rekannya yang lebih muda apakah bisa mendaki gunung yang tertutup salju, seorang penari tua, seolah-olah tanpa peduli memimpin kelompok tarinya. Penari yang berusia di akhir tujuh puluhannya ini adalah Lee Jong-sun (Warisan Budaya Tak-Benda Penting No. 82-3) yang berjalan memimpin sambil memberikan keriangan dengan tari pundaknya seraya berjalan menuju ke gunung. Rasa bangga Lee, yang lahir dan membesar di Pulau Wido dan sempat pula bekerja sebagai nakhoda perahu nelayan ikan teri sewaktu muda, terhadap kampung halaman dan ritual perahunya amatlah besar. “Kami membuat perahu dengan jerami kemudian menempatkan orang-orangan di dalamnya. Kemudian kami membuang semua peruntungan buruk ke tengah laut. Bukankah ini sebuah ide yang luar biasa! Tambahan lagi karena kita berdoa kepada Yang Maha Kuasa, maka hati para penduduk desa menjadi bersih dan gembira,� katanya. Seperti ucapannya, ritual perahu jerami yang tak lain adalah persembahan ini mengundang orang–orang desa untuk berkumpul dan menikmati pertunjukan perahu jerami, sehingga mengurangi perselisihan antarwarga desa dan menciptakan kesatuan yang membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam menangkap ikan selama satu tahun. Seniman berusia lanjut ini dipenuhi dengan kegembiraan. Sulit dipercaya bahwa pria yang tampak seperti menentang hukum gravitasi dalam tariannya ini terjatuh belum lama ini. Tulang rusuknya patah dan menjalani operasi di salah satu lututnya, sehingga satu dari lututnya tidak memiliki tulang rawan. Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

11


Fitur Khusus 2

Pelestarian Warisan Budaya Tak-Benda Dunia dan Peranan Korea Di seluruh dunia, negara-negara saat ini bekerja sama tanpa memikirkan batas budaya dalam upaya untuk melestarikan Warisan Budaya Tak-Benda. Dalam perjalanan modernisasi yang cepat, Korea relatif dapat segera menyadari ancaman terhadap punahnya warisan tak-benda. Korea telah melakukan upaya strategis untuk pelestariannya yang membuat Korea berpotensi memberi kontribusi internasional dengan peran yang khusus dan penting. Han Kyung-Koo Antropolog Budaya, Profesor, College of Liberal Studies, Seoul National University | Suh Heun-gang Fotografer

K

Warisan Budaya Tak-Benda

orea merasa bangga dengan upaya yang dilakukan untuk pelestarian Warisan Budaya Tak-Benda. Meskipun telah mengalami revolusi oleh mahasiswa dan bentrokan kekerasan dengan rezim otoriter pada masa setelah pemerintahan kolonial Jepang dan Perang Korea, Korea berhasil memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Properti Budaya pada Januari 1962, yang menjadikan Korea sebagai bangsa kedua di dunia yang mengadopsi langkah-langkah sistematis untuk melestarikan Warisan Budaya Tak-Benda. Undang-undang itu memang belum sempurna, namun bila memikirkan mungkin saja kita kehilangan warisan budaya tak-benda itu di tengah pembangunan ekonomi dan urbanisasi yang maju dengan sangat pesat di Korea, hal itu cukup membuat bulu kuduk kita berdiri. Berdasarkan pengalaman inilah Korea mengusulkan untuk membentuk suatu program yang disebut “Warisan Budaya Manusia� pada Pertemuan Dewan Eksekutif UNESCO pada tahun 1993. Dengan terpilihnya usulan ini, Korea menempatkan diri pada posisi yang unik untuk membantu upaya UNESCO mempromosikan perlindungan Warisan Budaya Tak-Benda.

Negara Maju di Bidang Warisan Budaya Tak-Benda Korea menjadi negara anggota ke-11 yang meratifikasikan Perlindungan Warisan Budaya Tak-Benda, yang diadopsi UNESCO pada tahun 2003. Pada tahun 2011, Korea mendirikan Pusat Warisan Budaya Tak-Benda di Wilayah Asia-Pasifik (ICHCAP) setelah menerima otorisasi dari UNESCO pada tahun 2009. Saat ini, Korea memiliki 14 buah warisan budaya yang terdaftar resmi dalam bidang Warisan Budaya Tak-Benda di UNESCO, termasuk satu yang dinominasikan bersama dengan negara lain. Pentingnya berbagi warisan budaya adalah titik fokus dari Deklarasi Gangneung, yang diadopsi pada Forum Internasional tentang Warisan Budaya Tak-Benda di Asia Timur, yang diselenggarakan pada bulan November 2009, di bawah naungan bersama Komisi Nasional Korea untuk UNESCO dan kota Gangneung, tempat Korea diminta memimpin dalam pelestarian Warisan Budaya Tak-Benda. Ini memiliki arti penting karena dengan Korea memobilisasi dukungan internasional dan kerja sama untuk promosi warisan budaya, maka pembatasan pendaftaran per bangsa dapat terlaksana dan pengajuan pendaftaran bersama untuk memperluas kesadaran Warisan Budaya Tak-Benda UNESCO dapat mengalir dengan baik.

Sistem Warisan Budaya Tak-Benda UNESCO Program-program UNESCO menjaga Warisan Budaya Tak-Benda sangat penting untuk memberi perubahan yang mendasar terhadap persepsi dan sikap masyarakat global terhadap budaya dan warisan budaya. Juga sangat penting dalam mempromosikan dan melindungi keragaman budaya yang dapat membantu menciptakan dunia yang damai. Tetapi, adanya persepsi yang keliru dan kurangnya pemahaman atas keanekaragaman sejati kebudayaan, pikiran nasionalisme yang sempit dan adanya kompetisi yang berlebihan antarnegara dalam mendahulukan kepentingan mereka sendiri menimbulkan kontroversi dan kesalahpahaman yang sebenarnya tidak

12

S e n i & B u d a y a Ko re a


Penyelamatan elang adalah Kekayaan Warisan Budaya Tak-Benda Kemanusiaan yang pertama ditetapkan oleh UNESCO sebagai hasil nominasi mancanegara. Itu tertuang dalam Representative List (Daftar Representasi) tahun 2010 sebagai warisan budaya umum dari 11 negara termasuk Korea, Uni Emirat Arab, Belgia, Prancis, dan Mongolia. Atas: Park Yong-sun, seorang harta kemanusiaan memperlihatkan penyelamatan elang; bawah: seorang pemuda penyelamat elang memperlihatkan bagaimana melatih burung nasar Mesir di Locarno Falconry Exhibition, yang diselenggarakan 3 September 2011 di Locarno, Swis.

© Kim Young-gwang

perlu terjadi yang dapat berakibat terciptanya ketegangan bahkan juga konflik. Ko n s e p U N E S C O t e n t a n g Wa r i s a n Budaya Tak-Benda menerapkan konsep antropologi budaya secara meluas, yang memainkan peran penting dalam membuat orang memiliki kesadaran akan pentingnya warisan budaya masyarakat non-Barat yang sampai sekarang ini relatif kurang dihargai. Inti konsep ini, yang menyokong misi UNESCO adalah pemahaman bahwa esensi budaya tidak begitu banyak produk sebagai kegiatan budaya dan ekspresi simbolik yang dianut manusia. Selain itu, konsep budaya UNESCO yang menjelaskan bukanlah hanya terdapat pada benda warisan itu sendiri, tetapi juga ada dalam penerapan dan tindak-an berbudaya. Satu poin penting yang tidak dapat dikecualikan adalah bahwa Warisan Budaya Tak-Benda bukanlah hanya milik mu-tlak suatu negara tertentu, tetapi juga milik individu, kelompok, dan masyarakat terkait dengan asal-usul warisan budaya itu sendiri. Kenyataan bahwa status budaya masyarakat non-Barat telah meningkat adalah satu hal penting lain yang tidak dapat dikecualikan. Pada kenyataannya, sebagian besar masyarakat dunia dan untuk waktu yang lama, budaya Barat telah dianggap sebagai budaya yang lebih berharga dan bahkan mengungguli budaya non-Barat. Bahkan penunjuk-an Warisan Dunia yang sempat dipuji sebagai salah satu program UNESCO yang paling sukses, pada waktu itu dikritik karena fokusnya pada budaya Barat dan elite. Pendekatan ini tampaknya berakar pada Konvensi Warisan Dunia tahun 1972, yang menekankan “nilai universal luar biasa” dalam kriteria seleksi yang tidak lain sebenarnya mengarah pada penunjukan sejumlah besar bangunan arsitektur historis dan sebagainya yang lebih dari setengahnya berada di wilayah Eropa. Akibatnya, negara-negara yang memiliki karya-karya arsitektur yang Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

demikian semakin dianggap sebagai negara dengan peradaban ‘tinggi’, sementara negara yang tidak memiliki bangunan arsitektur dianggap memiliki peradaban ‘rendah’, dan parahnya, negara yang sama sekali tidak memiliki bangunan arsitektur ‘besar’ dianggap kurang memiliki rasa budaya. Sungguh ironis bahwa program Warisan Dunia UNESCO telah mengambil peran dalam melanggengkan diskriminasi budaya tersebut. Dengan kemajuan industrialisasi dan urbanisasi, berbagai budaya non-Barat terancam mengalami penurunan atau kepunahan. Tetapi diskriminasi tidak terbatas pada orientasi Barat. Ada juga preferensi untuk modern pada budaya tradisional, pria atas perempuan, budaya elite atas budaya rakyat, dan warisan budaya yang nyata atas warisan budaya tak-benda. Menanggapi keadaan demikian, pada tahun 1989, Konferensi Umum UNESCO mengadopsi Rekomendasi tentang Perlindungan Budaya Tradisional dan Budaya Rakyat, yang menekankan pelestarian budaya tradisional dan budaya rakyat. Selain itu, sesuai dengan proposal yang diajukan Korea pada pertemuan Dewan Eksekutif pada tahun 1993, Direktur Jenderal UNESCO menyerukan kepada negara anggota untuk menerapkan langkah-langkah sistematis untuk melindungi Warisan Budaya Tak-Benda. Ini dapat dianggap sebagai langkah

13


Pagelaran yanggeum , sebuah kecapi tradisional Korea. Kecapi seperti ini yang terdiri dari papan kayu dan snar kawat, yang dimainkan dengan alat petik, pernah dibuat di Eropa abad pertengahan dan masuk ke berbagai negara. Alat musik ini diperkenalkan di Korea pada paroh kedua Kerajaan Joseon dan kemudian menjadi bagian ansambel musik tradisional.

penting yang membuktikan upaya Korea melindungi warisan budaya tak-benda. Meskipun benar bahwa peraturan dan sistem tentang perlindungan warisan budaya Korea sebagian besar dipengaruhi oleh Jepang, istilah “Harta Warisan Manusia,” yang diusulkan Korea lebih mencakup juga kaum minoritas, serta semua agama dan wilayah, bila dibanding dengan istilah “Harta Nasional Manusia” yang digunakan Jepang, dan telah berhasil disebarluaskan secara global untuk digunakan di dunia. Selanjutnya pada tahun 1998 peraturan tentang penentuan Karya Agung Warisan Lisan dan Tak-Benda Manusia ditetapkan dan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak-Benda telah disetujui setelah adanya diskusi hangat di antara para negara anggota pada Konferensi UNESCO Umum ke-32 pada tahun 2003. Pada kenyataannya, konvensi ini mencerminkan langkah maju yang signifikan dalam upaya melindungi Warisan Budaya Tak-Benda. Namun tak dapat dimungkiri juga bahwa pemikiran masyarakat dunia masih sulit untuk lepas dari gagasan yang masih menganggap bahwa setiap warisan budaya adalah milik sekelompok orang tertentu, yang menyebabkan kurangnya pengertian terhadap warisan budaya bersama dan menjadi sumber konflik yang potensial antarbangsa.

Warisan Budaya Tak-Benda yang Hidup Kesalahpahaman yang paling umum tentang Warisan Budaya TakBenda adalah pandangan yang menganggapnya sebagai hal yang kuno, basi dan tidak lagi penting. Kesalahpahaman lain yang besar adalah bahwa banyak orang percaya bahwa warisan budaya itu tidak lagi diterapkan atau dinikmati, dalam arti orang berpikir bahwa budaya itu sudah lama mati dan terkubur. Selain itu, banyak juga yang keliru

14

berpikir bahwa arketipe Warisan Budaya Tak-Benda harus ada wujudnya dan harus dijaga utuh untuk mempertahankan nilainya, sebab bila tidak demikian, maka budaya itu akan menjadi rusak dan hilang. Warisan Budaya Tak-Benda adalah bentuk budaya tradisional yang pada saat yang sama merupakan budaya yang hidup. Warisan budaya Tak-Benda mencakup pengetahuan, keterampilan, seni pertunjukan, dan bentuk-bentuk ekspresi budaya dari komunitas atau kelompok yang terus-menerus tercipta melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya, alam, dan sejarah. Seiring dengan pertumbuhan industrialisasi dan urbanisasi, banyak penerapan budaya tradisional yang luntur di bawah pengaruh kapitalisme dan persaingan produk. Namun ‘keragaman kreativitas’ merupakan aspek penting dari kehidupan kita sehari-hari. Unsur-unsur warisan budaya yang diabaikan atau dicemooh dengan berjalannya proses modernisasi bangsa yang cepat, kini mendapat sorotan lagi. Berkat sinergi dari teknologi modern dan peningkatan di bidang ilmu pengetahuan, perubahan cara hidup dan tradisi pun berubah atau muncul dalam bentuk baru. Apa yang dianggap sebagai bentuk dasar sebetulnya tak lain adalah budaya yang menjadi bentuk atau metode yang sangat sempurna saat mencapai pada suatu titik waktu tertentu, dan Warisan Budaya Tak-Benda pada prinsipnya mengalami perubahan konstan mengikuti keadaan. Memang bukan berarti kita harus membatasi penggunaan sebagai sumber daya dan komersial, tetapi kita patut mengantisipasi perusakan warisan budaya, agar tidak disalahgunakan atau didistorsi esensi fundamentalnya. Di lain pihak, pelestarian yang hanya terfokus pada bentuk dasar dapat mengurangi kreativitas dan mencegahnya beradaptasi dengan budaya kontemporer, sehingga nantinya dapat berakibat pada lemahnya semangat dari budaya dasar itu. S e n i & B u d a y a Ko re a


Kesalahpahaman paling umum tentang Warisan Budaya Tak-Benda adalah pikiran yang menganggap hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang kuno, basi, dan tidak perlu. Pemikiran lainnya menganggap bahwa warisan itu tidak dinikmati, tidak dilakukan, dan tidak dipakai lagi di masyarakat. Dalam arti, bahwa warisan itu telah mati. Tetapi sebenarnya Warisan Budaya Tak-Benda bukan hanya semata-mata merupakan suatu bentuk budaya, tetapi juga merupakan budaya tradisional yang masih hidup dan bahkan berkembang hingga kini.

Dengan demikian, pelestarian Warisan Budaya Tak-Benda memerlukan pemikiran dan pengamatan tentang apa yang sebenarnya harus dilestarikan. Pada sisi lainnya, seiring dengan dokumentasi yang tepat dan akurat dari bentuk saat ini dan pekerjaan untuk pemulihan bentuk warisan yang merupakan tugas penting yang patut dilaksanakan, penting juga untuk dipikirkan tentang bagaimana cara Warisan Budaya Tak-Benda diadaptasikan secara modern dengan mempertimbangkan perubahan faktor-faktor kontekstual, seperti perubahan demografis dan perubahan benda-benda yang dapat digunakan.

Melewati Batas Wilayah Sistem Warisan Budaya Tak-Benda Program UNESCO telah memberikan kontribusi luar biasa untuk mengubah pandangan terhadap budaya yang terfokus pada budaya dengan mempromosikan keragaman budaya, dan mendorong saling pengertian antarbudaya. Namun pada saat yang sama juga menimbulkan masalah baru di antara beberapa negara yang menganggap ditunjuknya Warisan Budaya TakBenda sebagai sarana untuk meningkatkan prestise nasional mereka. Ini nyata karena ada berbagai negara memang telah berhasil meraih prasasti UNESCO untuk sejumlah Warisan Budaya Tak-Benda mereka, namun ada pula salah paham dan salah pendapat yang sifatnya terfokus pada rasa kebangsaan pada negara sendiri, seperti Festival Dano dari Gangneung, yang menimbulkan sengketa. Hasilnya, program UNESCO untuk menjaga Warisan Budaya Tak-Benda bukan membentuk perdamaian dunia malah menyebabkan permusuhan dan ketegangan antara beberapa negara tertentu. Situasi yang demikian ini memerlukan pengertian dan penelitian secara menyeluruh akan pentingnya Warisan Budaya Tak-Benda yang melampaui batas-batas teritorial, bahwa Warisan Budaya Tak-Benda tidak lain adalah warisan budaya bersama. Konsep warisan Budaya Tak-Benda Bersama menuntut kita untuk berpikir mendalam tentang bagaimana budaya harus dianggap dalam masyarakat internasional modern melalui diskusi dan retropeksi yang didasarkan pada aspek universal dan kekhasan dari Warisan Budaya Tak-Benda itu sendiri. Ini juga memberikan suatu perspektif baru yang mendorong kita untuk mempertimbangkan hubungan antar-individu atau individu dengan masyarakat di dalam negeri yang tentunya akan berlanjut pada hubungKo r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

an antarnegara dan bangsa. Konsep Warisan Budaya Tak-Benda Bersama telah disetujui untuk mendasari nominasi multinasional yang diadopsi oleh UNESCO dalam konvensi pada tahun 2003, tetapi dalam kenyataannya konsep ini masih saja mengecualikan fakta bahwa keberadaan suatu warisan budaya dapat saja melewati beberapa negara. Ini dikarenakan oleh adanya keyakinan luas dan berakar kuat bahwa warisan budaya sebenarnya adalah properti eksklusif dari satu bangsa atau satu kelompok orang tertentu. Dalam keadaan seperti ini, sangat penting bagi Korea, yang menominasi Festival Dano Gangneung yang menimbulkan konflik di seputarnya untuk memberikan dukungan dan memelihara kerja sama menuju pembentukan prinsip demi mempromosikan warisan budaya tak-benda bersama dalam kapasitas nominasi multinasional. Pertama, Deklarasi Gangneung menekankan bahwa atribut intrinsik dari warisan Budaya Tak-Benda memiliki sifat bersama, dan sesuai bahwa pembagian Warisan Budaya Tak-Benda di antara komunitas yang berbeda bukanlah berarti bermaksud untuk mengesampingkan kemungkinan adanya warna budaya yang sama di antara beberapa masyarakat, tetapi mempunyai maksud untuk menempatkan budaya tersebut pada posisi aslinya dalam masyarakat umum. Selain itu, ia menekankan bahwa nominasi multinasional adalah arah yang harus diperhatikan di masa depan karena harus berperan inti dalam sistem nominasi. Yang terakhir, deklarasi ini menggarisbawahi peran Korea dalam menemukan dan meneliti Warisan Budaya Tak-Benda, khususnya warisan yang melampaui batas-batas individu negara dan bangsa, dan merumuskan kriteria dan prosedur nominasi secara multinasional. Selama perjalanan sejarah panjangnya, Korea berhasil memperta hankan identitas uniknya sambil melakukan interaksi budaya aktif dengan negara-negara lain dan melewati proses pembangunan sebuah bangsa modern dengan mengalami tragedi penjajahan dan peperangan. Pengalaman modernisasi yang cukup cepat itu memaksa refleksi mendalam dan perdebatan tentang pentingnya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Warisan Budaya Tak-Benda. Dalam pengertian ini, Korea berada dalam posisi unik untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi upaya global untuk menjaga warisan budaya.

15


Special Feature 3

Sahabat Tersembunyi dari Warisan Budaya Manusia Pada suatu ketika, saat hanya istana kerajaan dan pagoda batu yang dianggap sebagai warisan budaya, beberapa orang berpendapat bahwa para dukun pun merupakan aset budaya yang tak kalah penting. Dedikasi mereka telah membantu keberlangsungan warisan budaya tak-benda yang tak terhitung jumlahnya, yang bisa saja hilang selamanya dalam pusaran industrialisasi yang sangat cepat. Soul Ho-jeong Wartawan | Suh Heun-gang Fotografer

Warisan Budaya Tak-Benda

P

ada 10 Juli 1960, tulisan pertama dari serial berjudul ‘Warisan Budaya Manusia’ yang mengulas topik seniman tradisional Korea, muncul di rubrik budaya koran Hankook Ilbo. Serial ini diteliti dan ditulis oleh seorang wartawan muda, Ye Yong-Hae, yang berusia 31 tahun pada saat itu. Berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang sejarah dan terpandang di Cheongdo, Provinsi Gyeongsang Utara, ia belajar menghargai warisan budaya tradisional sejak ia remaja. Untuk mengumpulkan bahan artikelnya, ia melakukan perjalanan ke tempat di mana pun seniman dapat ditemukan, bahkan sudut-sudut paling terpencil daerah tersebut.

Seni dan Kerajinan dari Masa Lalu Sebagian besar orang yang ditemui Ye Yong-hae menderita kemiskinan dan diskriminasi juga penghinaan sebagaimana telah dialami leluhur mereka sejak masa lalu. Atas hal ini, rezim militer Park Chung-hee, yang merebut kekuasaan melalui kudeta berjanji untuk “melenyapkan kejahatan lama,” memulai kekejaman baru dengan mencabut “cara-cara lama,” termasuk tradisi yang telah dihormati sepanjang masa dan adat istiadat. Seniman-seniman itu pun tidak lagi mendapatkan tempat. Pada awal artikel terakhir dari serial tersebut yang berjudul “Perhiasan Kim Seok-chang,” terbit pada 30 November 1962, Ye Yong-hae mengungkapkan empatinya untuk penderitaan yang ia saksikan: “Sudah hampir tiga tahun, dan sekarang saya mencari 50 ‘Warisan Budaya Manusia’. Di seluruh pelosok daerah ini, darat, laut, udara, dan... usia mereka berkisar 40-an sampai 90-an, dan rata-rata berumur 60 tahun ... Saya tidak akan pernah bisa melupakan tatapan mata mereka, hidup dan mati tanpa nama... Bagaimanakah penderitaan yang telah mereka alami hingga kesedihan itu berkilau pada mata mereka yang jernih?” Namun dalam artikel lain ia mengeluhkan: “Jika generasi masa depan bertanya, bagaimana seni yang telah diwariskan turun-temurun lebih dari seribu tahun hilang dalam masa kita, apa yang bisa kita katakan?”. Sejumlah artikel Ye diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Warisan Budaya Manusia, pada 25 September 1963 oleh Penerbit Eomungak. Buku ini merupakan kompilasi cerita tentang mereka yang telah mengabdikan diri untuk melestarikan seni dan kerajinan rakyat Korea: praktisi dari bentuk seni seperti peredaran lirik lagu (gagok) dan narasi lagu epik (pansori), alat musik berdawai seperti ‘Gayageum’, alat musik tiup seperti ‘Daegeum’, ‘Piri’, dan ‘Danso’, drama tari topeng tradisional Korea Selatan dan Utara, masakan istana, perabot berpernis bertatahkan mutiara, keramik hijau dan porselen putih, pembangun rumah tradisional, pembuat kertas tradisional, pembuat sikat, pelukis gulungan gantung yang dijumpai pada candi Buddha, dan perajin topi bulu kuda (gat), atau busur dan anak panah.

16

S e n i & B u d a y a Ko re a


Penghormatan Ye Yong-Hae untuk ‘Warisan Budaya Manusia’ Dalam kata pengantar bukunya, Ye menulis bahwa istilah ‘Warisan Budaya Manusia’ yang telah dia ciptakan, adalah setara dengan “properti budaya tak-benda” istilah yang ditemukan dalam Undang-Undang Perlindungan Properti Budaya yang baru diberlakukan. “Pertama, Warisan Budaya Manusia mengacu pada warisan budaya tak-benda, dan meskipun saya tidak mengikuti prosedur resmi, saya berusaha untuk memilih mereka yang terbaik di bidangnya... Saya terbitkan kumpulan artikel saya sebagai sebuah buku karena saya sedih dan kecewa bahwa hal tersebut—yang mungkin bisa disebut sebagai budaya kita yang unik--telah begitu ceroboh diabaikan.” Buku Warisan Budaya Manusia diterbitkan dalam bentuk hard-cover menggunakan lapisan kain rami yang biasa digunakan orang Korea untuk membuat pakaian berkabung. Hal tersebut merupakan simbol: buku itu merupakan sebuah laporan yang sangat mengejutkan tentang budaya tradisional Korea yang terancam punah, dan sebuah eulogi yang ditulis lebih awal. Ini merupakan sebuah peringatan: “Cepat, sebelum terlambat!”. Untungnya, sebagian besar dari 50 seni tradisional dan kerajinan yang dibahas dalam artikel Ye Yong-hae secara resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak-benda. Dipaksa oleh keadaan mengkhawatirkan yang dia temukan saat meneliti masyarakat, Ye Yong-hae menggunakan segala hal untuk membangkitkan opini publik dengan artikel menawan yang ditulis dalam gaya yang fasih. Kemudian, sebagai anggota Komite Warisan Budaya, ia melanjutkan usahanya untuk mengungkap keterampilan dan seni yang kurang terkenal. Misalnya, berkat usaha dan dedikasinya, seni bela diri yang hampir dilupakan taekkyeon pun terkenal di dunia dan ditetapkan sebagai warisan budaya tak-bendo penting. Ye dikenang sebagai “pria sejati” yang tidak pernah menawar harga ketika ia membeli produk dari “Warisan Budaya Manusia,” dan bagi mereka yang mengalami kesulitan menjual karya mereka, ia temukan pembeli yang bersedia membayar dengan harga pantas. Setelah

Para seniman yang terdapat dalam karya Ye Yong-hae “Living National Treasures” Dari kiri: empu pembuat keramik putih Yi-lm-jun, pemain Namsadang No Deuk-pil, dan penari topeng Bongsan Kim Jin-ok.

ia meninggal pada tahun 1995, keluarganya menyumbangkan sekitar 280 benda seni yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun ke Museum Nasional Korea.

Lim Seok-jae Mengubah Penghibur menjadi Bangsawan “Warisan budaya tak-benda penting” pertama Korea ditetapkan pada 7 Desember 1964. Kelompok pertama mencakup musik ritual yang dimainkan di kuil leluhur kerajaan Dinasti Joseon (Jongmyo Jeryeak), drama tari topeng dari Yangju (Yangju Byeolsandae Nori), dan pergelaran badut gelandangan ‘namsadang’ (Namsadang Nori). Tak lama kemudian, pada 24 Desember, seni pembuatan topi bulu kuda (gat), nyanyian narasi pansori, dan drama tari topeng dari Tongyeong (Tongyeong Ogwangdae) dan Goseong (Goseng Ogwangdae) ditetapkan sebagai warisan keempat sampai ketujuh. Khusus untuk pertunjukan drama tari topeng Yangju, Tongyeong, dan Goseong, penutur cerita rakyat Im Seok-jae, salah satu dari empat anggota awal Sub-komite Warisan Budaya Tak-benda, Komite Warisan Budaya, memainkan peran penting. Sebagai ilmuwan generasi pertama dari cerita rakyat Korea, Im disebut sebagai “penulis sejarah budaya rakyat warisan budayn”. Dia mengabdikan hidupnya untuk mengumpulkan dan mengorganisasi cerita rakyat, lagu, narasi drama tari topeng, dan tembang dukun (mantra) yang telah diwariskan secara lisan. “Pada tahun 1963, ketika saya masih mahasiswa, ayah saya telah meyakinkan beberapa penari topeng Yangju untuk mengadakan pertunjukan, dan dia merekam cerita dan nyanyian mereka,” kenang Im Don-hui, anak perempuan Im Seok-jae. “Ayah saya mulai merokok pada usia 60 hanya agar bisa lebih dekat dengan orang-orang ini. Dia pergi berkeliling dan memanggil mereka dengan sebutan ‘guru’. Mereka sangat tersentuh ketika seorang profesor Universitas Nasional Seoul memanggil mereka guru. Bahkan, setelah ia akhirnya meyakinkan mereka akan kebutuhan yang mendesak untuk meneruskan seni mereka kepada generasi yang akan datang, mereka sering tidak muncul untuk janji rekaman, hal yang sangat mengkhawatirkan ayah saya. Mereka sangat khawatir kepada diskriminasi yang akan dialami anak-anak mereka jika status sosial mereka sebagai penghibur tradisional diketahui publik. Tapi setelah kesenian mereka ditetapkan sebagai warisan budaya tak-benda, yang berarti pengakuan resmi negara, mereka bahkan kemudian dikenal sebagai ‘bangsawan baru’. Dengan


cara ini, Warisan Budaya Manusia itu terus didorong untuk melestarikan keterampilan dan seni mereka.” Im Don-Hui, yang sarjana antropologi ini, telah mengikuti jejak ayahnya. Selain menjadi seorang profesor di Universitas Dongguk, ia juga menjabat sebagai juri yang ditunjuk UNESCO untuk menilai nominasi Asia untuk dimasukkan dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Tak-Benda.

“kebiasaan yang tidak diinginkan” harus dibuang demi modernisasi Korea.

Bisakah Dukun Menjadi Warisan Budaya? Penulis cerita rakyat Im Dong-Gwon, yang menjabat sebagai anggota Komite Warisan Budaya selama 35 tahun sejak tahun 1966, mengingat cerita-cerita rakyat dari masa itu. Sebagai anggota termuda dari komite, calon warisan budaya tak-benda pertama yang ia usulkan adalah tari Ganggangsullae dari Haenam di Provinsi Jeolla Selatan. Komite menanggapi dengan dingin. Para perempuan berpegangan tangan dan menari di bawah bulan purnama—bagaimana hal tersebut memenuhi syarat sebagai warisan budaya? Im Dong-gwon harus mengesampingkan argumennya selama enam bulan berikutnya bahwa tarian ini adalah sebuah festival perempuan penting dalam masyarakat petani sebelum akhirnya diakui sebagai warisan budaya. Im menyatakan argumennya dengan jelas: “Apakah orang-orang mendengarkan musik istana pada acara-acara perayaan? Tidak, mereka memainkan musik rakyat. Itulah pernyataan musik rakyat yang sebenarnya.” Dia berbicara tentang sulitnya proses pengajuan ritual masyarakat dan festival Eunsan (Eunsan Byeolsinje) dari daerah Buyeo, Provinsi Chungcheong Selatan, dan festival Ganda Gangneung Kelima (Gangneung Danoje) dari Provinsi Gangwon, untuk ditetapkan sebagai properti budaya. Selama proses evaluasi, oposisi yang kuat muncul dari mereka yang mengklaim bahwa dukun “yang menyesatkan rakyat” tidak akan pernah bisa ditetapkan sebagai kekayaan budaya dan menerima bantuan negara. “Tapi saya berpendapat bahwa jika Anda menghilangkan pokok budaya kita, Kristen, Taoisme, dan Konfusianisme, yang merupakan agama asing, maka tinggal perdukunanlah yang akan kita jalani. Jadi, perdukunan benar-benar tradisi gaya hidup tetua kita yang paling unik dan tidak bisa kita abaikan. Dan kami akhirnya mencapai kesepakat-

Alat Perekam Akai dengan Pita Gulungan Profesor Im Don-hui juga ingat bahwa ayahnya mencatat semua hal dengan tulisan tangan pada awalnya, dan baru pada 1960 ia mulai menggunakan alat perekam. Alat perekam pertama yang ia gunakan adalah Akai reel-to-reel recorder, dibeli oleh Jurusan Psikologi Universitas Nasional Seoul untuk proyek-proyek penelitian. Ukurannya sangat besar dan berat sehingga sulit bagi satu orang untuk membawanya ke mana-mana. Profesor Im melanjutkan: “Ayah selama ini hanya mencatat dengan tangan, tetapi ketika ia mulai membawa alat perekam, ia mampu merekam lagu-lagu rakyat, tembang dukun (mantra), dan narasi drama tari topeng juga. Ketika ia merekam cerita di pedesaan dan kemudian diputar kembali, orang-orang begitu kagum mendengar suara mereka sendiri yang berasal dari mesin itu kemudian mereka semua berhenti bercerita dan mulai bernyanyi. Mereka suka mendengarkan lagu-lagu yang diputar kembali, dan mencari penyanyi terbaik di desa untuk dibuat rekaman. Dengan cara ini, rekaman lagu-lagu rakyat dilakukan secara alami. Dan itulah lagu-lagu rakyat terbaik pada saat itu. Ia juga mulai merekam lagu dukun. Rekaman memegang peranan penting sebagai bahan penelitian dan para penyanyi ditetapkan sebagai pemegang warisan budaya tak-benda. Ayah saya memiliki telinga yang sangat baik untuk musik, jadi ketika dukun menyanyi ia langsung bisa mengenali yang terbaik.” Namun ada resistensi yang cukup besar untuk orang-orang yang sudah lama menduduki kelas sosial terendah selama era dinasti terakhir. Ada kritik tajam dari mereka yang percaya bahwa hanya benda berwujud harus diakui sebagai tembang budaya, dan terus mempertanyakan bagaimana tarian, lagu, dan keterampilan yang diturunkan oleh orang-orang seperti gisaeng, badut, dan dukun dapat dianggap warisan budaya berharga yang dilindungi negara. Situasi sosial yang sedemikian rupa pada saat itu membuat ia berpikir bahwa

1. Para peneliti mencatat Ganggangsullae dengan desa Usuyeong, Haenam, Provinsi Jeolla Selatan selama liburan musim panas pada bulan Agustus 1966; kedua dari kiri, Im Seok-jae, pelantun cerita rakyat. Kaset rekamannya Akai di atas meja. (Sumber Foto : Museum Rakyat Nasional Korea) 2. Adegan dari Eunsan Byeolsinje, ritus masyarakat dan festival daerah Buyeo, Provinsi Chungcheong Selatan.

1

2


Bahkan, setelah dia akhirnya meyakinkan mereka akan kebutuhan yang mendesak untuk meneruskan seni kepada generasi yang akan datang, mereka sering tidak muncul untuk janji rekaman. Hal itu sangat mengkhawatirkan ayah saya. Mereka sangat khawatir kepada diskriminasi yang akan dialami anak-anak mereka jika status sosial mereka sebagai penghibur tradisional diketahui publik.

an,” kata Im Dong-gwon. Dalam wawancara lain, Im Dong-gwon berbagi pemikirannya tentang warisan budaya: “Penyanyi profesional dan penari kita merupakan dukun dalam arti lain. Dukun berdoa bagi keinginan manusia yang paling bergairah. Dalam hal ini, apa yang mereka lakukan lebih mulia dari apa yang hari ini dilakukan penari di atas panggung. Sungguh tragis. Tapi itulah keadaan bangsa kita saat ini. “ Kim Geum-hwa, seorang dukun yang pada tahun 1985 ditunjuk sebagai pemegang ritual untuk keselamatan nelayan dari pantai wilayah barat (Seohaean Baeyeonsingut), Warisan Budaya Tak-Benda Nomor 82 ini, mengingat pengalamannya yang mengerikan: “Karena Komunitas Gerakan Baru, tidak ada lagi yang mencegah gerakan penghentian membasmi takhayul. Seluruh keluarga kami diseret ke kantor polisi, ditahan sepanjang malam, dan kami harus menandatangani janji tertulis untuk dibebaskan. Hal ini terjadi berulang-ulang. Kami akhirnya punya kebebasan pada tahun 1976.” Kim Geum-hwa sekarang dianggap sebagai salah satu seniman tradisional terkemuka Korea.

tari ini pun lenyap. Meskipun mereka telah dilestarikan kembali setelah gangguan singkat itu, diakui bahwa bentuk-bentuk seni pertunjukan ini layak dipertahankan dan dengan demikian ditetapkan sebagai warisan budaya Sudah 50 tahun pemerintah Korea mengadopsi sistem untuk melindungi warisan budaya tak-benda, yang berperan penting dalam pelestarian dan penyebaran budaya tradisional Korea. Namun, usaha ini jauh dari sempurna. Ketika komite UNESCO mengadakan pertemuan di Paris pada tahun 2000 untuk memilih warisan budaya tak-benda, Im Don-hui membuat pernyataan berikut. “Sistem warisan budaya tak-benda telah memberikan hasil yang signifikan dalam melindungi budaya tradisional dari kepunahan, namun pada saat yang sama hal tersebut menimbulkan masalah-masalah hierarki antara sifat-sifat budaya. Budaya tak-benda ada dalam berbagai bentuk di berbagai daerah, dan bagi yang telah ditunjuk sebagai warisan budaya tak-benda telah menerima perhatian yang tepat, tapi ini tidak terjadi pada budaya yang belum begitu dikenal. Saya ingin menyarankan UNESCO untuk merefleksikan pengalaman Korea dalam menetapkan kebijakan warisan tak-benda tersebut.” Saatnya sekarang bagi kita untuk lebih memikirkan hal ini bersama.

Penyelamatan Tari Topeng Korea Utara Upaya penulis cerita rakyat Lee Du-hyeon berperan untuk penetapan drama tari topeng yang berasal dari Korea Utara. Dia berjasa dengan mengembalikan Drama Tari Topeng Bongsan dan Drama Tari Topeng Gangnyeong dari Provinsi Hwanghae, tari Singa Bukcheong Provinsi Hamgyeong Utara, dan tarian topeng lainnya, berdasarkan catatan pribadi dari seniman yang datang ke selatan selama Perang Korea (1950 - 1953). Di Korea Utara, disebutkan bahwa drama tari topeng ini dipentaskan terakhir kalinya sebelum Perang Korea pecah, dan sejak saat itu

3. Sebuah adegan dari Jeju Chilmeoridang Yeongdeunggut , ritus shamanisme untuk Dewi Angin dari Pulau Jeju, tercatat dalam daftar UNESCO Warisan Budaya Tak-Benda Kemanusiaan. 4. Pelantun Cerita Rakyat, Im Dong-gwon (paling kanan) dalam perjalanan lapangan ke Pulau Ganghwa tahun 1961. (Sumber Foto : Museum Rakyat Nasional Korea)

3

4


Fitur Khusus 4

Dari Lokal ke Global: Pendaftaran Warisan Budaya Meningkatkan Kesadaran Kultural Program UNESCO tentang pendaftaran warisan budaya tak-benda dapat dilihat sebagai suatu bentuk kegiatan penyelamatan darurat yang membantu memelihara tradisi-tradisi budaya yang terancam hilang di seluruh dunia. Apakah dampak dari kegiatan penyelamatan darurat tersebut di Korea? Song Hye-jin Profesor, Sookmyung Women’s University | Ahn Hong-beom, Suh Heun-gang Fotografer

Intangible Cultural Heritage

“S

epuluh tahun yang lalu saya bahkan tidak pernah berpikir bahwa suatu hari saya akan mempertunjukkan musik ini begitu sering. Satu atau dua pertunjukan dalam setahun selama ritual-ritual biasa dan mungkin lima atau enam kali dalam acara-acara kenegaraan penting yang dihadiri oleh tamu-tamu kehormatan asing, atau pertunjukan khusus di Pusat Gugak Nasional–hanya itu saja. Sekarang jadwal saya lebih sibuk daripada yang dapat saya bayangkan.” “Musik ini” adalah Jongmyo Jeryeak, yaitu Warisan Budaya Tak-Benda Penting No.1 Korea, musik yang dipertunjukkan pada perayaan nenek moyang kerajaan di kuil Jongmyo, dengan narasumber salah satu dari pemain senior musik tersebut, Choe Chung-ung, yang berusia 71 tahun. Choe memainkan instrumen perkusi yang disebut pyeonjong, instrumen utama dari bentuk seni pertunjukan tradisional Korea yang sangat eksklusif. Choe menyelesaikan studi musik ritual kerajaan pada tahun 1977, dan lulus untuk memainkan instrumen tersebut pada tahun 1984, selanjutnya memainkan peran yang sangat penting dalam memelihara dan menyebarluaskan musik itu selama tiga dekade. Ia juga menjabat sebagai ketua dari komunitas untuk pemeliharaan kesenian tersebut sejak akhir tahun 1990-an, ketika Warisan Budaya Manusia awal dan terakhir di bidang ini meninggal, Choe menjadi praktisi musik paling senior dengan pengetahuan yang sangat luas dan lengkap tentang musik ritual kerajaan. Choe dengan semangat menuturkan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi setelah upacara nenek moyang kerajaan ditorehkan dalam daftar Mahakarya Lisan dan Warisan Budaya Tak-Benda oleh UNESCO. Dengan dimasukkannya warisan budaya tak-benda Korea dalam daftar warisan budaya UNESCO membawa angin segar vitalitas dan kesadaran global terhadap artis-artis pertunjukan tradisional di negara tersebut serta penegasan atas relevansi kesenian tersebut pada masa kini. Kepentingan dan nilai dari warisan budaya tak-benda telah diakui sejak awal di Korea, meskipun pembentukan sistem hukum untuk perlindungan warisan tersebut baru dilakukan pada 1964. Dipilihnya upacara nenek moyang Kerajaan Jongmyo sebagai warisan budaya dunia UNESCO pada 2001 memicu tingkat perhatian yang sangat berbeda tidak hanya dalam tradisi budaya yang hidup di Korea tetapi juga kebudayaan Korea secara keseluruhan. Selanjutnya, berbagai seni pertunjukan Korea juga telah mendapat pengakuan “kelas dunia” sehingga membuat para praktisi kesenian menjadi jauh lebih aktif daripada sebelumnya.

Membawa Tradisi ke Masyarakat yang Lebih Luas Jongmyo Jeryeak merupakan kumpulan musik, lagu, dan tarian instrumental kuno yang dipertunjukkan dalam ritual-ritual kuno yang dilakukan di Jongmyo, kuil kerajaan yang merupakan rumah bagi papan roh para raja dan ratu dari Dinasti Joseon. Tidak seperti musik tradisional lainnya, Jongmyo Jeryeak

20


Choe Chung-ung, pemain pyeonjong untuk Jongmyo Jeryeak, telah memainkan peran penting dalam pelestarian dan penyebaran musik upacara kerajaan.


Warisan Budaya Manusia yang sebelumnya hanya dianggap sebagai pemeliharaan dan penyebaran tradisi kita dalam bentuk tanggung jawab pribadi yang bersifat monumental, telah mengadopsi bentuk yang lebih komprehensif tentang hal yang membuat seni tersebut layak menjadi perhatian dunia, ciri khas yang penting, dan bagaimana menyebarluaskan nilai-nilai inheren.

1. Maestro penyanyi , An Suk-seon mementaskan sejumlah pansori. 2. Ritual Buddha Yeongsanjae (Ritus Vulture Peak ) dilakukan di kuil Bongwon, Seoul.

merupakan musik yang jauh lebih sedikit dinikmati oleh masyarakat umum dan karenanya tidak populer. Signifikansi historis dan artistik dari Jongmyo Jeryeak telah diakui sejak tahun 1964 sehingga disebut sebagai Warisan Budaya Tak-Benda No.1 di Korea, namun sebagai musik ritual keluarga Kerajaan Joseon, kesenian tersebut tidak dapat dilihat, didengar, dan dinikmati oleh masyarakat biasa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, hanya segelintir orang yang berkaitan dengan musik ini dan jauh lebih sedikit lagi yang menyadari keindahannya yang tersembunyi. Akan tetapi keadaan ini berubah secara drastis setelah musik upacara tersebut dimasukkan dalam daftar UNESCO. Di atas segalanya, hal yang tidak pernah dilakukan kesenian itu sebelumnya pun terjadi: melakukan pertunjukan publik dari musik ritual pribadi saat ini. Para pemelihara ritual-ritual nenek moyang kerajaan telah lama segan untuk membawa musik tersebut ke ranah pertunjukan publik, namun pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya dunia membujuk mereka ke tempat pertunjukan. “Suara Abadi dari Jongmyo Jeryeak,” sebuah acara khidmad yang pertama kali menggabungkan ritual dan pertunjukan publik, diadakan di ruang konser utama Pusat Gugak Nasional pada tahun 2003. Pertunjukan tersebut dielu-elukan sebagai pertunjukan yang sukses mengungkapkan inti dari seni pertunjukan tradisional Korea dan meraih pujian yang tinggi sebagai gaya baru dalam pertunjukan musik. Selanjutnya, berbagai pertunjukan telah dilakukan sehingga membuat kekayaan budaya yang hidup dalam genre ini menjadi jauh lebih ramai daripada sebelumnya. Dalam aliran yang sama, Yayasan Perkembangan Seni Pertunjukan Tradisional Korea mengadakan “Penemuan Kembali Musik Korea” pada tahun 2007, sebagai bagian dari penyebarluasan seni tradisional Korea. Penafsiran kembali Mahakarya Lisan dan Warisan Budaya Tak-Benda melalui “pertunjukan eksperimental” yang ditambahkan dengan penjelasan-penjelasan yang mudah dimengerti, membantu warisan budaya dunia ini menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat luas. Pada awalnya, para musisi menolak keras permintaan para panitia acara agar mereka tidak hanya mempertunjukkan musik tradisional tetapi juga lagu-lagu eksperimental untuk menggarisbawahi karakteristik-karakteristik unik dari masing-masing instrumen, selain mengajarkan lagu-lagu kepada penonton dan mengajak mereka bernyanyi bersama. “Pertunjukan musik saja cukup. Mengapa kami harus melakukan hal itu juga?” Namun, tak lama kemudian mereka mendukung upaya untuk memfasilitasi agar publik memahami dan menghargai seni tradisional dan selanjutnya mereka bekerja sama dengan aktif. Dengan cara ini, Jongmyo Jeryeak menjadi populer di antara para penonton. Program tetap pertunjukan berkala kini diizinkan di Jongmyo, yang sebelumnya tidak pernah dibuka sebagai tempat pertunjukan selain untuk ritual-ritual biasa. Jongmyo kini merupakan tujuan wisata yang harus dikunjungi dalam setiap tur budaya Korea. Selain itu, Yeongsanjae (Ritual dari Puncak Burung Nasar), ritual perdukunan pada Festival Dano dari Gangneung, dan berbagai upacara keagamaan dan festival tradisional juga telah memperoleh cukup banyak popularitas. Oleh karena itu, pelaku budaya yang diamanatkan untuk memelihara tradisi-tradisi budaya ini memiliki kesempatan lebih sering diperlihatkan. 1

S e n i & B u d a y a Ko re a


Inspirasi Baru Menghidupkan Kembali Tradisi Hal ini tidak berarti bahwa semua warisan budaya yang ada dalam daftar UNESCO mengalami masa keemasan baru. Sebagai contoh, terdapat kasus para praktisi siklus lirik lagu yang dikenal sebagai Gagok mengalami kesulitan untuk menyebarkan genre mereka. Kim Yeong-gi, warisan budaya manusia bidang Gagok, bergumul dengan pertanyaan mendasar tentang hal yang harus dilakukan agar musiknya menerima tingkat perhatian yang sama dari masyarakat umum seperti Jongmyo Jeryeak, Pansori, Jultagi, dan Festival Dano dari Gangneung. “Saya mau tahu tentang bentuk musik vokal lain yang telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak-Benda dan yang berada dalam keadaan yang sama dengan Gagok. Tentu negara-negara lain juga memiliki cara artisitik menyanyikan lagu tradisional; jadi, apabila kita melihat bagaimana bentuk-bentuk musik vokal tersebut diwariskan, bukankah kita dapat mengetahui cara untuk mempertahankan dan menyebarluaskan Gagok kita?� Dengan penuturan tersebut kita dapat memahami perubahan penting yang terjadi dalam hati Kim. Sebelumnya, ia hanya berpikir untuk memelihara dan menyebarluaskan tradisi kita dalam bentuk tanggung jawab pribadi yang bersifat monumental, tetapi kini ia mengakui perlunya mengembangkan perspektif yang lebih luas tentang budaya tak-benda dunia demi menemukan cara baru untuk mewariskan tradisi Gagok. Ia telah mulai mengadopsi pandangan yang komprehensif tentang tradisi yang dibebankan kepadanya untuk diwariskan: Hal apakah yang membuat kesenian tersebut layak untuk memperoleh perhatian dunia, karakteristik apakah yang menonjol, dan bagaimana cara memperkenalkan nilai-nilai inherennya? Dengan demikian, kita harus terus memperhatikan bagaimana pendekatan ini akan mempengaruhi penyebarluasan Gagok. Pengakuan atas kekayaan budaya tak-benda kita sebagai warisan dunia telah mendukung mereka yang secara diam-diam telah bekerja keras untuk meneruskan tradisi kita dengan kebanggaan baru. Sebagian besar budayawan saat ini dengan bangga menunjukkan fakta bahwa bentuk kesenian mereka merupakan warisan dunia pada kartu nama, resume, dan berbagai materi publikasi pertunjukan mereka. Anda dapat melihat bagaimana mereka telah disemangati dengan keyakinan bahwa masyarakat memiliki perhatian yang lebih besar akan penyebarluasan bentuk-bentuk kesenian tersebut kepada generasi berikutnya. Pada malam 29 Maret 2012, bersamaan dengan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Keamanan Nuklir yang diselenggarakan di Seoul, para pimpinan dunia yang hadir dan para pejabat terkait disuguhi pertunjukan budaya khusus di Paviliun Gyeonghoeru Istana Gyeongbok, istana kerajaan utama Dinasti Joseon. Seorang Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

23

Š Park Bo-ha

2


© Joo Byoung-soo

1


1. Berjalan di atas tambang di Paviliun Gyeonghoeru, di Istana Gyeongbok. 2. Penyanyi Yi Ja-ram aktif di berbagai pentas, di dalam dan di luar negeri sebagai seniman pansori kreatif.

pemain memperkenalkan dirinya, setelah melaksanakan atraksi akrobatiknya di atas tali, dengan menyalami para tamu: “Betapa beruntungnya Anda semua hadir di sini untuk menyaksikan pertunjukan kesenian saya, yang tidak hanya merupakan kekayaan budaya Korea tetapi juga kekayaan budaya dunia.” Para penonton mengakui kebanggaannya dengan tepuk tangan yang meriah.

Perpaduan Pansori: Daya Tarik Global Para artis muda juga melakukan upaya untuk menafsirkan dan menciptakan kembali kesenian-kesenian tradisional. Setelah setia menguasai teknik-teknik tradisional, beberapa telah mulai terus berjalan pada titian kreasi baru. Pansori merupakan salah satu contoh dari inovasi terbaru ini. Pemain pansori, Yi Ja-ram, diperkenalkan pada musik vokal kuno saat berusia lima tahun dan sejak awal menunjukkan bakat untuk menjadi musisi kondang. Ketika masih berstatus pelajar musik tradisional di Universitas Nasional Seoul, ia tercatat dalam Buku Rekor Dunia Guinness sebagai penyanyi termuda yang mempertunjukkan karya pansori terlama (selama delapan jam). Ia telah mengambil satu langkah maju dan kini sukses menciptakan versi baru pansori yang lebih menarik bagai para pendengar internasional. Berdasarkan keyakinannya bahwa “pansori sangat indah, sehingga kita tidak dapat hanya mempertunjukkan lagu-lagu yang berasal dari abad ke-20, bahkan juga dari masa sebelumnya,” Yi telah mempertunjukkan seluruh karangan penulis drama Jerman, Bertolt Brecht, Der Gute Mensch von Sezuan (Orang Baik dari Sichuan), dalam versi pansori. Ia telah mengadopsi bentuk asli pansori, dengan seorang penabuh drum yang mendampingi penyanyi solo, ditambah beberapa pemain dan musisi lain untuk menciptakan suatu bentuk seni pertunjukan yang berwarna sekaligus menarik bagi para penonton. Ia menyanyikan Der Gute Mensch von Sezuan, tetapi para penonton mendengar suara pansori. Dengan demikian, ia telah membuka dunia baru untuk pansori dengan gaya menyanyinya yang sangat bersemangat dan pemahamannya yang mendalam tentang estetika ulung yang menyatukan satire, metafora, dan humor. Setelah penampilan perdananya pada 2007, teater-teater di penjuru Korea mengundang Yi untuk menampilkan terobosan karya perpaduannya tersebut. Karya tersebut juga memikat para penyelenggara festival Eropa sebagai program pembukaan PAMS (Performing Arts Market in Seoul) pada tahun 2009. Pada 2011, Yi mengadaptasikan karya Brecht lainnya, Keberanian Ibu dan Anak-Anaknya, yang jauh melebihi kesuksesannya dari Der Gute Mensch von Sezuan. Dan tahun ini ia tengah sibuk melakukan pertunjukan di Korea dan luar negeri. Para penyelenggara pertunjukan berharap agar semakin banyak artis berwawasan global dengan bakat imajinatif seperti Yi Ja-ram terus bermunculan di antara para praktisi seni pertunjukan tradisional. Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

25

© LG Art Center

2


Fitur Khusus 5

Warisan Budaya Manusia Membangun Kembali Sungnyemun, Kekayaan Nasional No. 1 Restorasi Sungnyemun merupakan proyek konstruksi berskala besar yang melibatkan para perajin terkemuka dari berbagai bidang warisan budaya tak-benda Korea. Proyek tersebut melambangkan teknologi dan keterampilan tradisional yang telah diwariskan sejak zaman dahulu. Lee Kwang-pyo Jurnalis; Kepala Departemen Manajemen Strategi, Channel A | Suh Heun-gang Fotografer

Warisan Budaya Tak-Benda

A

pi dalam tungku mengubah besi menjadi merah panas. Seorang pekerja memukul besi lunak itu dengan palu di atas landasan, sementara pekerja lainnya mencelupkan besi yang telah dipukul tadi ke dalam air dingin untuk mengeraskannya. Bunyi tempaan logam dengan logam menggema di mana-mana. Kadang-kadang para pekerja beristirahat dan meluruskan punggung, menyapu keringat dari wajah mereka. Menyaksikan bengkel pandai besi bekerja sangat keras di tengah-tengah Seoul saat ini sama seperti berkelana ke zaman dahulu. Untuk mempersiapkan batu, seorang pemahat berulang kali memukul granit padat dengan palu dan pahat. Seiring dengan melayangnya pecahan-pecahan batu dan debu putih ke segala arah, lempengan granit kasar itu pun dibentuk. Pemahat meletakkannya di atas potongan granit lain yang serupa dan kemudian memahat ujung-ujung yang kasar. Bunyi logam yang jernih dan berirama pada batu beresonansi hingga ke bangunan-bangunan sekitar. Batu-batu itu dipersiapkan dengan cara tersebut untuk membangun tembok benteng, sementara atap dari struktur kayu yang menakjubkan tersebut hampir selesai dengan sebaris genting dan bagian yang menciptakan lengkungan yang anggun. Pada sebuah sudut bangunan paviliun, cat dekoratif dengan berbagai warna dan pola dibubuhkan pada permukaan kayu. Demikianlah Sungnyemun, Kekayaan Nasional No. 1 Korea, direkonstruksikan. Salah satu gerbang utama ibu kota Dinasti Joseon (1392-1910), yang merupakan pusat kota Seoul saat ini. Monumen historis tersebut dirusak parah oleh penjahat yang membakarnya pada 10 Februari 2008, hari terakhir liburan Imlek yang berlangsung selama tiga hari. Dalam kejadian tragis tersebut, paviliun kayu dua tingkat di atas gerbang batu melengkung terbakar. Meski demikian, saat ini gerbang tersebut direstorasi menjadi bangunan megah yang telah ada selama beratusratus tahun. Dalam waktu dua tahun sejak kebakaran dan dimulainya pekerjaan rekonstruksi pada Februari 2010, berbagai persiapan dilakukan termasuk pembersihan lokasi, penilaian kerusakan, pengembalian komponen-komponen yang masih dapat digunakan kembali, dan penyusunan rancangan struktural. Rekonstruksi yang dijadwalkan selesai pada Desember 2012 telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur tertentu: pembongkaran unsur-unsur struktural paviliun, pengembalian bahan-bahan yang masih dapat dipergunakan, restorasi dinding benteng, pembangunan paviliun kayu, pemasangan genting, pengecatan dekoratif, dan akhirnya, peletakan papan nama. Semua proses pekerjaan dilakukan secara ketat sesuai dengan metode-metode tradisional. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kantor Urusan Warisan Budaya membangun bengkel pandai besi di lokasi dan meminta perusahaan produk baja POSCO untuk memproduksi batang besi dengan komposisi besi yang sama dengan besi yang digunakan pada zaman Dinasti Joseon. Batangan-batangan logam, komponen-komponen besi, dan peralatan yang

26


Empu kayu Shin Ung-soo memimpin pemugaran paviliun kayu Sungnyemun.


1. Empu kayu Shin Ung-soo memeriksa cermat pekerjaan yang sedang berlangsung. Kayu dipotong dan diukir menggunakan perkakas tangan tradisional, tidak dengan perkakas mesin. 2. Dinding batu ditata kembali di bawah petunjuk empu batu Yi Jae-sun.

diperlukan untuk pekerjaan restorasi itu ditempa di lokasi. Para peserta proyek itu meliputi sejumlah perajin dari berbagai bidang yang merupakan para pemegang gelar Warisan Budaya Tak-Benda Penting, seperti Shin Ung-soo, 70 tahun, perajin (IICP No. 74); Hong Chang-won, 57 tahun, pengecat dekoratif (IICP No. 48); Yi Jae-sun, 56 tahun, dan Yi Eui-sang, 70 tahun, pemahat (IICP No. 120 masing-masing untuk pahatan batu dan bangunan batu); Yi Geun-bok, 62 tahun, penata peletakan genting (IICP No. 121); dan Han Hyeong-jun, 83 tahun, pembuat genting (IICP No. 91).

Pengadaan Kayu yang Dilakukan oleh Ahli perajin Kayu Dalam arsitektur tradisional Korea, seorang ahli perajin kayu bertanggung jawab atas semua aspek dari pembangunan kerangka kayu. perajin itu memilih kayu-kayu yang diinginkan dari hutan-hutan, mengeringkan kayu tersebut dengan baik, dan memotongnya menjadi balok dan tiang, yang disatukan untuk menciptakan kerangka struktural. Empu kayu Shin Ung-soo merupakan maestro perajin yang telah mendedikasikan dirinya pada bidang tersebut sela1 ma 50 tahun sejak berpartisipasi dalam renovasi Sungnyemun pada tahun 1962. Kekhawatiran empu kayu terhadap proyek ini adalah menemukan pohon yang sesuai untuk kayu, salah satu faktor terpenting dalam pembangunan bangunan tradisional berskala besar. “Saya memikirkan sejarah ketika saya bekerja dengan kayu,� katanya. Pohon yang paling baik adalah pohon pinus yang kuat lurus dan tebal dengan diameter sebesar satu meter atau lebih. Meski demikian, pohon-pohon seperti itu tidak mudah ditemukan. Telah diketahui bahwa kayu terbaik untuk arsitektur tradisional berasal dari pohon pinus merah berusia 200-300 tahun yang tumbuh di sepanjang wilayah Pegunungan Taebaek di antara Yangyang di Provinsi Gangwon dan Uljin di Provinsi Gyeongsang Utara. Kayu pinus merah yang digunakan untuk merestorasi paviliun kayu Sungnyemun berasal dari hutan Samcheok, Provinsi Gangwon, atau dari kayu yang disumbangkan oleh para warga yang mau ikut serta dalam proyek bersejarah tersebut.

Pembangunan Kembali Tembok Benteng Sebagian tembok benteng dibangun kembali pada saat yang sama dengan bangunan kayu. Beberapa bagian dari dinding asli yang mengelilingi ibu kota Joseon dihancurkan oleh imperialis Jepang pada 1907. Sebagai bagian dari proyek restorasi, bagian di sebelah kiri dan kanan gerbang (53 meter ke timur dan 16 meter ke barat) dibangun kembali. Signifikansi Sungnyemun akan lebih dihargai apabila diperkenalkan sebagai gerbang utama dari dinding benteng kota ketimbang bangunan yang berdiri sendiri, gerbang yang tidak mengarah ke mana pun. Empu pahat Yi Eui-sang mengawasi pembangunan tembok benteng. Tahap pertama adalah pemilihan batu yang harus memiliki penampilan dan komposisi granit yang sama dengan yang digunakan untuk membangun dinding kota yang asli. Yi menemukan sumber batu-batu tersebut di Pocheon, Provinsi Gyeonggi. Bongkahan-bongkahan granit yang ditambang harus dipotong dan dibentuk ke dalam ukuran yang tepat. Alihalih memotong bongkahan-bongkahan itu menjadi blok-blok yang seragam dengan menggunakan pemotong mekanis, empu pahat Yi mengebor sebuah lubang di permukaan dan memasukkan pasak ke dalam batu untuk membelahnya menjadi pecahan-pecahan dengan cara tradisional. Kemudian ia meratakan permukaan batu tersebut dengan membuang setiap permukaan yang tidak rata dan ujung-ujung yang kasar dengan pahat yang ditempa di bengkel pandai besi di lokasi itu. Batu-batu yang diproses dengan cara ini dilakukan di lokasi dan

28

S e n i & B u d a y a Ko re a


2


1

2

Kebakaran yang menghancurkan Sungnyemun merupakan insiden yang paling memalukan dan patut disesalkan. Meski demikian, para perajin yang berdedikasi saat ini telah mengubah kemalangan tersebut menjadi sebuah peluang untuk mengembalikan dan meneruskan warisan tradisi budaya Korea yang kaya kepada para penerusnya.


1. Perkakas tradisional harus sering diasah di pandai besi yang dibangun di lokasi pemugaran. 2. 3. Empu ubin Yi Geun-bok bertanggung jawab memasang 22.000 ubin di atap Sungnyemun. 4. Setiap genteng ubin dibuat dengan tangan dan dibakar dalam tungku tradisional.

4

ditumpuk dengan cara tradisional. Sejak pertengahan 1970-an, para pemahat Korea telah menggunakan alat-alat dan perkakas modern bahkan untuk memotong dan membentuk batu untuk pemugaran bangunan tradisional. Namun kali ini tidak demikian. Pahat-pahat modern yang digunakan untuk memotong batu sering memiliki lapisan berlian industri untuk memberikan ujung yang tajam dan tahan lama. Sebaliknya, pahat-pahat tradisional memiliki ujung yang relatif lunak yang sangat cepat tumpul. Oleh karena itu, dua pekerja atau lebih ditugaskan di bengkel pandai besi untuk menajamkan pahat-pahat tersebut ketika diperlukan. Untuk alasan-alasan itu, karya batu tradisional memakan waktu dan tenaga dua kali lebih banyak dari yang diperlukan, namun pemahat mau menerima kondisi-kondisi kerja tradisional tersebut. “Karena perkakas-perkakas modern tajam dan keras, batu-batu tersebut memiliki tepi-tepi yang terlihat rinci dan tajam di permukaannya. Di lain pihak, perkakas-perkakas tradisional meninggalkan permukaan yang lebih halus dan sedikit bulat sehingga memberikan sentuhan manusiawi pada batu. Penggunaan perkakas-perkakas tersebut memakan waktu lebih lama dan membuat pekerjaan kami lebih sulit, namun kami harus melakukan pekerjaan dengan cara tersebut,� kata Yi.

Membuat dan Meletakkan Genting Pembangunan struktur kayu besar pada gerbang dilanjutkan dengan pengerjaan atap yang tahap pertamanya dilakukan oleh master pembuat genting Han Hyeong-jun. Pada Oktober 2011, Han membangun kembali tiga tempat pembakaran tradisional di kampus Universitas Warisan Budaya Nasional Korea di Buyeo, Provinsi Chungcheong Selatan, untuk membakar genting atap Sungnyemun dengan gaya Joseon. Meskipun Han telah membuat genting atap secara tradisional selama lebih dari 70 tahun, ia menyatakan bahwa proyek tersebut sangat berarti baginya secara pribadi. Saat menyalakan tempat pembakaran untuk membakar genting, ia mengatakan: “Tadinya saya pikir pemerintah akan memutuskan untuk menggunakan genting-genting atap yang diproduksi secara massal. Saya tidak dapat mengatakan betapa bahagianya saya dapat membuat genting tradisional untuk pemugaran ini.� Airmata bahagia keluar dari matanya ketika ia menuturkan hal tersebut. Tempat pembakaran untuk genting-genting tradisional perlahan-lahan menghilang pada pertengahan pertama abad ke-20. Ketika Sungnyemun dihancurkan oleh kebakaran, atapnya tersusun atas genting-genting yang diproduksi massal. Genting-genting tradisional lebih tidak rentan terhadap kerusakan karena genting-genting tersebut memiliki tingkat kepadatan yang lebih rendah dengan pori-pori sangat kecil pada permukaannya sehingga genting-genting tersebut lebih dapat menahan perubahan suhu. Dengan berat yang 20-30 persen lebih ringan dari pada genting produksi massal, genting-genting tersebut lebih tepat untuk bangunan-bangunan kayu tradisional. Genting-genting tradisional dibentuk dengan tangan satu per satu kemudian dibakar dalam pembakaran selama tiga hari. Sementara genting produksi massal memiliki warna hitam buatan karena permukaan genting tersebut hangus ketika dibakar dalam pembakaran yang menggunakan gas, genting-genting tradisional memiliki warna perak abu-abu yang lembut dan kaya, yang secara alami terbentuk selama pembakaran dengan menggunakan kayu. Sejak akhir Juni, empu genting Yi Geun-bok mengawasi pemasangan 22.000 genting pada atap Sungnye3

31


1

2


1. Empu cat dancheong , Hong Chang-won menerapkan pengecatan dekoratif pada permukaan kayu Sungnyemun. 2. Sungnyemun sebelum kebakaran tahun 2008. 3. Papan nama baru, Sungnyemun

mun. Bingkai atap secara merata ditutupi dengan lapisan kayu belah tipis (jeoksim), yang kemudian ditutupi dengan selapis tanah liat yang menjadi dasar peletakan genting. Lapisan dasar tanah liat itu mengandung kapur mentah untuk melindungi bangunan dengan mencegah air hujan merembes ke kerangka kayu dan juga mencegah rayap. Yi memperhatikan bahwa semen memiliki umur selama 100 tahun, tetapi kapur mentah dapat bertahan lebih dari 1.000 tahun. Sejumlah perajin dengan hati-hati meletakkan genting-genting atap itu pada dasar tanah liat, secara konstan mereka berjalan di sepanjang atap, dari ujung atap hingga ke bubungan. Saat ini, faktor lain juga telah dipertimbangkan: ancaman gempa bumi. Yi menjelaskan bahwa genting-genting itu ditempelkan pada papan-papan bingkai atap dengan menggunakan paku-paku besi dan kawat-kawat tembaga yang dimasukkan ke dalam bingkai sehingga genting-genting tidak akan jatuh apabila terjadi gempa bumi. Setelah atap dilapisi dengan genting cekung, alur-alur yang terbentuk oleh tepi genting diisi dengan tanah liat dan genting cembung diletakkan di sepanjang alur tersebut. 3

Cat Dekoratif Dancheong yang Memiliki Warna dan Desain Sangat Indah Tahap berikutnya adalah mendekorasi permukaan kayu, termasuk langit-langit, tiang, dan dinding, dengan cat berwarna-warni berdesain rumit. Cat dekoratif ini, yang disebut dancheong, menonjolkan warna biru, merah, kuning, putih, dan hitam sebagai warna-warna utama yang secara praktis berfungsi melindungi kayu dari paparan langsung serta memberikan aksen megah pada bangunan. Sekelompok perajin dancheong, yang dipimpin oleh empu cat Hong Chang-won, membubuhkan cat pada bagian dalam paviliun kayu yang rencana pengecatannya, termasuk bagian luar, akan selesai pada Oktober. Fakta bahwa pengecatan itu sedang dilakukan berarti pekerjaan pumugaran tersebut kini berada pada tahap terakhirnya. Dengan pengalaman selama 43 tahun, Hong telah mengerjakan sebagian besar bangunan istana di Seoul, seperti Geunjeongjeon di Istana Gyeongbok, Myeongjeongjeon di Istana Changgyeong, dan Junghwajeon di Istana Deoksu, serta banyak kuil Buddha besar di seluruh negeri. Dancheong merupakan ciri khas umum dari arsitektur tradisional Korea, China, dan Jepang. Hong berpendapat bahwa dancheong Korea lebih elegan daripada dancheong China dan Jepang karena warna-warnanya lebih terang dan hidup, juga desainnya lebih beragam dan rumit. Dalam lukisan Sungnyemun, para perajin melakukan upaya khusus untuk menghidupkan kembali warna-warna dan nuansa-nuansa yang lazim pada masa awal Joseon, ketika gerbang tersebut pertama kali dibangun. Warna-warna cat dekoratif arsitektural telah mengalami perubahan-perubahan nyata sesuai dengan atmosfer sosial pada waktu itu. Selama periode Goguryeo dan Goryeo, warna-warna tersebut biasanya cerah dan mewah dengan nuansa merah. Meski demikian, pada masa Joseon, kemegahan dari periode-periode sebelumnya memberi jalan pada kesederhanaan dan batasan yang berasal dari budaya Konghucu kontemporer sehingga penggunaan warna merah berkurang dan nuansa hijau menonjol. Nuansa merah kembali menguat pada pertengahan periode Joseon hingga menjelang berakhirnya dinasti tersebut, warna-warna cemerlang pun kembali ditonjolkan. Pada 1988, ketika cat terakhir dibubuhkan pada Sungnyemun sebelum kebakaran, desain terakhirnya berdasar pada gaya-gaya awal Joseon sementara warna-warnanya bercirikan tahun-tahun pertengahan dan akhir Joseon. Kali ini, Hong mengurangi penggunaan warna merah seraya menekankan nuansa hijau untuk memberikan penampilan yang lembut namun elegan pada bangunan tersebut. Kebakaran yang menghancurkan Sungnyemun merupakan insiden yang paling memalukan dan patut disesalkan. Meski demikian, para perajin yang berdedikasi pada saat ini telah mengubah kemalangan tersebut menjadi suatu kesempatan untuk memugar dan menyebarluaskan warisan tradisi budaya Korea yang kaya kepada keturunannya. Dan hal inilah yang membuat pemugaran Sungnyemun menjadi sebuah upaya yang berharga. Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

33


Fitur Khusus 6

Tradisi Kuliner Apa dan Bagaimana Cara Melestarikannya Tradisi budaya apa yang harus kita pertahankan dan diwariskan? Dan bagaimana hal tersebut dilakukan? Dalam hal makanan, tantangan tersebut menjadi jauh lebih besar. Ye Jong-suk Profesor Pemasaran, Universitas Hanyang/Kolumnis Kuliner

Warisan Budaya Tak-Benda Š Institute of Korean Royal Cuisine

34

1

S e n i & B u d a y a Ko re a


T

radisi selalu berubah-ubah. Dan tradisi kuliner khususnya sangat rentan untuk berubah sesuai dengan kondisi sosial, seperti kondisi ekonomi dan perkembangan pesat dalam bidang rantai pasokan makanan. Sebagai negara semenanjung yang berada di ujung timur daratan Asia, Korea telah berkali-kali mengalami pergolakan akibat serangan asing dan perang yang mendesak masyarakatnya untuk dapat mempertahankan diri dengan cara yang kreatif, demikian pula tradisi kuliner Korea telah beberapa kali mengalami perubahan dramatis sehingga memunculkan tradisi-tradisi baru.

Perubahan-Perubahan terhadap Konsumsi Daging di Korea Sejarah daging dalam menu makanan Korea dengan jelas menggambarkan bagaimana tradisi diadopsi dan dapat berubah. Menurut penuturan para sejarawan, masyarakat Korea dewasa ini berasal dari kelompok-kelompok nomaden yang berkelana di sekitar dataran luas Eurasia. Salah satu kelompok nomaden ini, Mongolian Tungus, secara bertahap bermigrasi ke timur dan beradaptasi dengan pola bercocok tanam padang Huabei di China bagian utara, sebelum terus bermigrasi ke selatan Manchuria dan akhirnya membentuk Dongyi, yang juga disebut sebagai suku Maek, nenek moyang masyarakat Korea modern. Kehidupan mereka lebih banyak bergantung kepada hewan daripada suku agrikultur pertama di China utara, sehingga mereka lebih banyak mengembangkan kemampuan yang berkaitan dengan daging. Orang-orang purba membuat hidangan daging yang ditusuk-tusukkan bernama maekjeok yang dianggap sebagai cikal bakal bulgogi, daging panggang yang dinikmati orang-orang Korea saat ini. Dengan meningkatnya hasil pertanian dan datangnya Buddhisme ke Semenanjung Korea, menu makanan orang-orang Korea perlahan-lahan beralih dari akar nomadennya dan konsumsi daging lama-kelamaan menurun. Setelah Buddhisme diadopsi di akhir abad Ke-4 sesudah Masehi, konsumsi daging secara resmi dilarang meskipun tidak sepenuhnya lenyap dan keahlian orang-orang Korea untuk mengolah daging mengalami kemunduran. Selama akhir Dinasti Goryeo (918-1392) konsumsi daging kembali diperkenalkan ke Korea oleh orang-orang Mongol yang menginvasi Korea. Orang-orang Mongol yang ingin melanjutkan invasi sampai ke Jepang mendesak adanya peternakan untuk memproduksi daging sapi namun tidak ada industri peternakan semacam itu di Korea. Orang-orang Mongol kemudian mengembangkan padang penggembalaan di Pulau Jeju dan hewan ternak, yang dilakukan untuk mendorong orang-orang Korea mengonsumsi daging pada akhir periode Goryeo setelah dilarang selama berabadabad. Selanjutnya, daging sapi menjadi menu favorit di Korea. Selama Dinasti Joseon (1392-1910) pemerintah melarang penjagalan ternak dan mendirikan suatu lembaga yang mengatur hal tersebut, namun larangan tersebut terbukti tidak efektif, sementara preferensi terhadap menu daging menjadi praktik yang berurat berakar. Kecenderungan atas daging sapi kemudian mengarah pada kecenderungan untuk menghindari daging babi. Teks-teks kuno dari abad ke-19 menyatakan bahwa daging babi tidak sehat dan bahkan para praktisi medis tradisional tidak menganjurkan konsumsi daging babi. Oleh karena itu, untuk waktu yang cukup lama daging babi dianggap sebagai makanan yang dihindari, namun kebiasaan ini berubah secara drastis di masa modern. Pada tahun 1970-an, pemerintah Korea gencar mendorong petani untuk terlibat dalam produksi daging babi sehingga pasokan daging babi meningkat secara bertahap. Dewasa ini orang-orang Korea mengonsumsi daging babi 10 kali lebih banyak dibandingkan 30 tahun yang lalu. Dalam keadaan tersebut, makanan baru yang disebut sebagai ““samgyopsal � (tiga lapis perut babi panggang)� muncul sebagai salah satu makanan favorit orang-orang Korea modern.

2 1. Reproduksi hidangan kerajaan untuk raja-raja Joseon.

2. Gujeolpan , sebuah nampan untuk sembilan makanan lezat. Sebuah nampan potongan enamel disiapkan untuk menyimpan berbagai sayuran dan daging, untuk dimakan dengan bungkus dadar gandum tipis dari bagian tengah.

Evolusi Kimchi Tradisi kuliner Korea terus berlanjut seiring waktu. Makanan-makanan tertentu telah diwariskan selama beberapa generasi namun dengan perubahan terhadap bahan bakunya. Kimchi, yang merupakan makanan Korea yang paling dikenal oleh komunitas internasional, merupakan contoh yang paling sempurna atas proses evolusi tersebut. Kimchi ditemukan lebih lama daripada periode Tiga Kerajaan. Kimchi sangat bervariasi; Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

35


1. Sinseollo, Hot Pot Raja, juga dikenal sebagai Yeolguja-tang , yang berarti “semur yang memanjakan mulut.” 2. Sesepuh keluarga makan malam di sebuah pertemuan untuk upacara selamatan pada leluhur di rumah kepala keluarga di Gyeongju.

varian kimchi dapat mencapai 200 jenis. Namun sebagian besar kimchi saat ini, yang dibuat dengan sawi dan cabai merah, telah ada selama kurang lebih seratus tahun. Pada era Tiga Kerajaan, kimchi biasanya mengacu pada asinan lobak, terong, atau bawang yang hanya dibumbuhi garam. Seiring waktu, sejak Dinasti Silla Bersatu sampai periode Dinasti Goryeo, semakin banyak jenis sayuran yang diasinkan seperti ketimun, peterseli, dan rebung. Dan sejak awal tahun 1700-an, cabai dan makanan 1 laut yang difermentasikan ditambahkan pada kimchi, yang akhirnya mulai berbentuk kimchi modern dengan diperkenalkannya sawi pada akhir tahun 1800-an.

Menu Lengkap Gaya Korea Tradisi kuliner dapat mengalami perubahan cepat yang tak terduga sebagaimana dapat terlihat dalam tradisi kuliner Korea. Oleh karena itu, biasanya tidak jelas tradisi mana yang otentisitasnya harus dipertahankan. Buku masak Korea tertua yang masih ada berasal dari akhir Dinasti Joseon. Selain itu, dokumen-dokumen yang ada tentang makanan kerajaan semua berasal dari abad ke-18 atau setelahnya. Meski demikian, dalam kurun waktu yang relatif singkat tersebut budaya kuliner Korea terus berevolusi. Contoh yang baik adalah yeolguja-tang. Bahan baku makanan pinggan panas (hot pot) yang mewakili makanan kerajaan ini, sebagaimana yang didokumentasikan dalam teks dari tahun 1795 dan lebih dari 100 tahun selanjutnya, berbeda secara signifikan. Makanan kerajaan Korea, yang merupakan warisan budaya tak-benda, berasal dari kurun waktu tertentu; resep masakannya diwariskan kepada masyarakat umum setelah kejatuhan Dinasti Joseon pada awal abad ke-20. Demikian pula, hanjeongsik, menu lengkap Korea, yang saat ini dianggap makanan biasa, pada zaman dulu disajikan dengan penataan meja yang cukup berbeda pada keluarga bangsawan. Awalnya, menu makan malam orang Korea biasanya dirancang untuk satu orang. Namun, pada awal abad ke-20, mendekati keruntuhan Dinasti Joseon, gaya makanan kerajaan diadopsi oleh beberapa restoran di ibu kota, yang menyajikan meja makan berukuran besar dengan berbagai menu berbeda. Akhir-akhir ini, akibat pengaruh budaya Barat, banyak restoran menawarkan multi-course menus, yang terdiri atas makanan kontemporer dari berbagai daerah. Kini banyak makanan dan bahan baku yang muncul di meja makan orang Korea yang tidak biasa ditemukan di satu generasi terdahulu, seperti brokoli, seledri, paprika; budae jjigae (semur sosis pedas) yang sangat populer, dan LA ribs, yang merupakan kreasi-kreasi baru. “Globalisasi makanan Korea” kini telah menjadi isu penting dalam industri restoran. Globalisasi makanan nasional yang unik tidak dapat dilakukan tanpa adanya upaya untuk menyesuaikan selera dan preferensi masyarakat setempat. Namun, lokalisasi juga dapat berarti hilangnya tradisi. Seiring waktu orang-orang Korea telah belajar dari pepatah tua, “Menciptakan dari yang lama.” Tradisi budaya mana yang harus kita pertahankan dan wariskan? Dan bagaimana hal tersebut harus dilakukan? Dalam hal makanan, tantangannya menjadi jauh lebih besar.

36


Makanan kerajaan Korea, yang merupakan warisan budaya tak-benda, berasal dari kurun waktu tertentu; resep masakannya diwariskan kepada masyarakat umum setelah kejatuhan Dinasti Joseon pada awal abad ke-20. Demikian pula, hanjeongsik , menu lengkap Korea, yang saat ini dianggap makanan biasa, pada zaman dulu memiliki penataan meja yang cukup berbeda pada keluarga bangsawan.

2 Š Lee Dong-chun


WE PROVIDE THE INSIGHT. YOU READ. Insightful and future-looking analysis on Korean and East Asian economic, management and other critical issues. Reasons why more pioneering businesspersons, scholars and government officials look for SERI Quarterly . All you have to do is read.

July 2012 East Asia Builds Its Talent Arsenal

April 2012 Reading The Cards in Northeast Asian Debt

January 2012 Asian IT at a Crossroads: Where is it headed?

To learn more visit www.seriquarterly.com.

October 2011 Aging Asia & the Silver Industry

July 2011 Building Bridges for Future Growth

April 2011 China Rising and the Future of Northeast Asia

January 2011 Tensions Rise, Unification Hopes Remain

October 2010 The Emergence of G20 and Korea’s Role



FOKUS

Tantangan Yeosu - Kota Menengah di Ujung Selatan Korea - Menggelar Pameran Expo Yeosu Expo 2012 merupakan pameran dunia kedua yang diselenggarakan Korea setelah Daejeon Expo yang berlangsung pada tahun 1993. Pameran yang diadakan di kota pantai kecil Yeosu di Provinsi Jeolla Selatan itu digelar dari tanggal 12 Mei sampai 12 Agustus diikuti 106 negara yang mempersembahkan visi ramah lingkungan untuk industri kelautan di masa depan. Yang Sun-hee Penulis Editorial, Joong Ang Ilbo

T

idak semua warga Korea tahu banyak tentang Yeosu atau pernah mengunjunginya. Yeosu yang berlokasi di tanjung berbentuk kupu-kupu di ujung selatan Semenanjung Korea hanyalah sebuah kota pantai kecil. Kota ini berpenduduk kurang dari 300.000 jiwa. Tetapi ada beberapa aspek penting tentang kota ini. Yang paling bersejarah dalam ingatan orang Korea adalah perairan lepas pantai Yeosu, tempat Laksamana Yi Sun-sin mengalahkan telak pasukan Jepang saat invasi Hideyoshi tahun 1592-1598, yang merupakan perang terbesar Dinasti Joseon (1392-1910). Di tempat ini pula masih tersisa dermaga yang digunakan untuk memperbaiki “kapal kura-kura� armada Laksamana Yi, dan Jinnamgwan, atau Selatan Garrison Hall, tempat pos komando pasukan laut. Pantai selatan Korea terkenal dengan panorama keindahan pemandangan alamnya, dengan banyak pulau yang tersebar berikut pantai karangnya yang bergerigi. Di antaranya yang membuat Yeosu menjadi situs wisata menarik minat pengunjung adalah karena dibukanya rute tapak nilas di Pulau Geumo, yakni pulau tempat pemeliharaan rusa di zaman Joseon yang sempat ditutup untuk umum. Rute tapak nilas sepanjang 8 km yang indah itu disebut Byeoranggil atau “Trail Cliff,� seperti namanya mengelilingi pulau ini di sepanjang tebing terjal menjadikannya suatu rute yang memberikan rasa ngeri mengasyikkan. Pengalaman unik terjadi saat berjalan dalam sambutan angin yang terus-menerus bertiup kencang dari laut dengan tebing terjal di bawah kaki. Menikmati pemandangan biru spektakuler Dadohae (Laut Aneka Pulau) yang tersebar di depan mata mengantarkan tempat ini menjadi buah bibir pengunjung dan akhirnya membawanya sebagai

40


The Expo Digital Gallery (Galeri Pameran Digital), layar raksasa LED menutup langit-langit jalan raya Pavilion Internasional di Pameran Yeosu, menyuguhkan berbagai cerita laut.


1

tempat terkenal.

1. Menara Pencakar Langit, dari sepasang silo semen, menjadi sebuah simbol tengara Pameran Yeosu Expo.

Expo di atas Air

2. Layar kubah langit-langit pada Paviliun Korea II menampilkan gambar 3D yang fantastis.

Perhatian mulai tercurah ke Yeosu sejak dibukanya Expo (12 Mei ~ 8 Desember). Sejak World Expo pertama yang diadakan di London pada tahun 1851 yang menampilkan mesin uap, Expo belum pernah diselenggarakan di sebuah kota kecil. Hal itulah menjadikan Yeosu sebagai penguak sejarah baru. Selain itu, tema Yeosu Expo yaitu “Samudera yang Hidup dan Pantai yang Bernafas� memberi pesan yang dalam. Expo biasanya menjadi ajang bagi negara-negara peserta untuk memamerkan teknologi baru dan kecakapan industri mereka. Namun, Expo yang dibuka di kota kecil Yeosu memberikan pesan yang berbeda. Memahami laut, yang merupakan 70 persen permukaan bumi, adalah memahami kehidupan masyarakat yang berada di kawasan pantai, dan mencari cara untuk hidup berdampingan deng-an alam. Lautan adalah saluran komunikasi, tempat manusia hidup dengan sumber dayanya yang perlu dipertahankan. Tema Yeosu Expo bertujuan agar masyarakat

dunia berpikir serius tentang laut dan kehidupan manusia pada saat terjadi pemanasan global dan pencemaran laut telah menjadi hal yang memerlukan perhatian internasional. Lokasi pameran juga tidak kalah menariknya. Yeosu Expo digelar di atas laut. Panitia lokal menghabiskan dua setengah tahun untuk membangun fasilitas seluas kurang lebih 250.000 meter persegi dengan menimbun tanah di dekat Bandar Laut New Yeosu. Dibandingkan Shanghai Expo 2010, luas area pameran ini hanya seperempat-

42

S e n i & B u d a y a Ko re a


2

nya. Meskipun berskala kecil, area Yeosu Expo menawarkan pemandangan laut dari titik pandang mana pun. Samudera biru seluas mata memandang, pulau-pulau kecil dan besar merupakan perluasan area Yeosu Expo. Jika ditambah dengan kapal cruise, kapal eksplorasi ilmiah dari berbagai negara, dan feri yang membawa pengunjung bolak-balik dari tempat Expo ke pulau-pulau terdekat yang berlabuh di pelabuhan Expo, fasilitas pelayanan tambahan, seperti akomodasi staf dan tempat parkir, dan sebagainya, luas area Expo mencakup 2,71 juta meter persegi, lebih dari 10 kali ruang pameran. Pengunjung yang datang dari daratan menggunakan kereta ekspres KTX, bisa berjalan langsung ke pintu gerbang Expo yang terhubung dari stasiun Yeosu. Dari sini, yang pertama-tama akan tampak adalah organ pipa kembar. Gedung ini adalah gedung daur ulang dari gudang silo semen bundar yang digunakan untuk desalinasi air yang berada di dekat pelabuhan. Organ pipa ini dimainkan satu jam sekali, dan pengunjung yang berminat, juga diizinkan menjalankannya. Organ pipa ini menghasilkan suara melenguh seperti bunyi yang keluar dari tanduk perahu. Pada Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

tangki desalinasi, pengunjung dapat mencicipi air yang telah didesalinasi. Setelah masuk gerbang utama, pengunjung dapat menyaksikan bagaimana laut dan bangunan membentuk satu keharmonisan. Sebuah layar LED sepanjang 218 m pada langit-langit jalan menuju ke Paviliun Internasional menyajikan kehidupan seperti gambar ikan paus dan makhluk air lainnya bermain-main di akuarium. Lautan terpampang di atas kepala dan di depan mata. Paviliun Tema adalah sebuah pulau buatan yang tampak seperti ikan paus raksasa. The-O adalah tahap skala besar mengambang tempat konser K-pop dan berbagai pertunjukan ditampilkan setiap hari. Tirai panggung terbuat dari lembaran air laut, tayangan diproyeksikan ke layar yang terbuat dari air, dan semburan kabut air menciptakan efek khu-

43


1. Paviliun Robot Kelautan DSME mempunyai fitur “Firo” robot ikan yang berenang di akuarium. 2. Paviliun Norwegia mengajak pengunjung dalam perjalanan maya ke Norwegia, negeri bangsa Viking.

1

Panitia pameran mengumumkan “Deklarasi Yeosu” mencerminkan semangat Yeosu Expo. Ini dimaksudkan untuk mengajak masyarakat global bekerja sama mengatasi ancaman pencemaran lingkungan laut, penangkapan ikan laut yang sembrono, dan sebagainya.

sus. Di Yeosu Expo, laut memang merupakan saluran komunikasi, tempat makhluk manusia hidup, dan wahana budaya, inspirasi, dan relaksasi. Dengan kata lain, laut sebagai tempat hidup manusia terhampar di sana.

106 Negara Peserta Sebanyak 106 negara dunia turut berpartisipasi dalam Yeosu Expo. Jadwal sehari-hari bagi kelompok masing-masing negara disusun sedemikian rupa, agar para pengunjung dan peserta dapat terlibat dalam pertukaran budaya. Selain itu, setiap paviliun masing-masing negara menyampaikan pesan jelas yang serupa: “Koeksistensi Laut dan Manusia: Apresiasi dan Pemeliharaan Lingkungan” Paviliun Korea mengambil tempat di dua buah ruang pameran : Exhibition Hall 1 memiliki fitur tampilan bersisi luas sebanyak tiga buah yang menunjukkan kehidupan manusia dan gambar dari wilayah pesisir, sementara Exhibition Hall 2 memiliki layar berbentuk kubah di langit-langit yang menampilkan berbagai macam industri maritim Korea, seperti sektor desalinasinya, serta pemanfaatan laut sebagai sumber daya energi dan sebagai titik pelabuhan keberangkatan bagi pengiriman barang-barang ekspor. Paviliun Amerika Serikat menyampaikan pesan digital ‘pengetahuan umat manusia tentang laut hanya sebatas 5 %. Oleh karena itu, masa depan bumi haruslah dimulai dengan pemahaman dan eksplorasi kita terhadap laut’. Paviliun Rusia memfokuskan diri pada pengembangan kawasan Arktik, seperti eksplorasi di Laut Arktik dan sebagainya. Paviliun Uni Emirat Arab menerima penghargaan untuk mengingatkan pengunjung akan peningkatan ancaman sampah plastik yang mencemari laut. Setiap paviliun menggunakan strategi yang berbeda untuk menyampaikan tema masing-masing. Ada yang menggunakan layar besar dan gambar digital hidup, ada

44

pula yang menggelar pertunjukan panggung dan demonstrasi. Di salah satu paviliun yang diminati pengunjung, pengunjung harus melewati ruang dingin, tempat mereka dapat mengalami suhu beku di Arktik. Udara dingin yang menusuk menyebabkan suara jeritan pengunjung dari sana-sini, saat itulah beberapa staf acara yang mengenakan pakaian beruang kutub memeluk hangat pengunjung, dan saat keluar dari ruang beku itu rambut pengunjung menjadi putih dengan embun beku. Paviliun Kelautan dan Teknologi menayangkan presentasi tentang cara untuk membuat plastik dan kain dari rumput laut melalui pertunjukan unik yang menggabungkan drama dengan tayangan video. Media asing juga menunjukkan minat yang besar terhadap Yeosu Expo 2012. Dalam sebuah artikel berjudul “Provinsi Jeolla Selatan di Republik Korea Bersinar dengan Sinar Baru” (Joyau de la Corée du Sud, le Jeolla brille à nouveau) edisi 16 Mei, Le Monde Prancis memperkenalkan Expo sekaligus juga meliput pantai selatan yang indah dari Korea yang baru pertama kali dikenal bersamaan dengan dibukanya Expo. CNN Amerika menyebutkan Yeosu Expo 2012 sebagai salah satu ‘tempat terbaik untuk dikunjungi di tahun 2012’.

Harapan dan Hasil Dalam evaluasi akhir, bagaimanapun Yeosu Expo 2012 S e n i & B u d a y a Ko re a


dinilai kurang berhasil menarik minat pengunjung daripada yang diharapkan. Alasannya selain karena lokasi pameran yang terletak di sebuah kota menengah di ujung selatan yang berada jauh dari kota Seoul, panitia pameran gagal mempromosikan acara tersebut secara memadai, karena mereka lebih melakukan upaya besar untuk membangun fasilitas pameran. Pada awal hingga pertengahan berlangsungnya Expo rata-rata jumlah pengunjung setiap harinya tercatat mencapai sekitar 50.000 orang. Sebenarnya penyelenggara pameran memproyeksikan akan ada lebih dari 10 juta pengunjung, tetapi hasilnya telah jatuh jauh dari harapan. Jumlah wisatawan dari negara tetangga Cina juga secara signifikan lebih rendah daripada yang diharapkan. Untuk acara dengan skala besar yang telah menghabiskan 12 triliun won (sekitar $ 10 miliar), hasil yang diperoleh cukup mengecewakan. Walau demikian sekitar 10 triliun won dari total dana telah dimanfaatkan untuk memperluas infrastruktur transportasi di kawasan itu. Sebagai contoh, Yeosu dan Gwangyang tempat pabrik baja POSCO, sebenarnya berada dalam lokasi yang dekat, namun karena terpisah oleh sebuah teluk, maka perjalanan ke sana harus memutar yang memakan waktu cukup lama. Namun dengan dibangunnya Jembatan Yi Soon Shin baru sepanjang 8.5 km , sekarang dibutuhkan 10 menit saja untuk menyeberang dari dan ke kedua kota pesisir itu. Selain itu, proyek Expo telah menciptakan sekitar 79.000 peluang kerja, dan diharapkan dapat menghasilkan 12 triliun won dalam kegiatan ekonomi dalam negeri dan nilai tambah sebesar 5,7 triliun won.

Untuk mengurangi kemacetan lalu lintas selama Expo telah dibangun tempat parkir di daerah luar kota, dan untuk memudahkan pengunjung disediakan juga layanan bus umum gratis yang menghubungkan tempat Expo dan pusat kota. Pemerintah kota menghabiskan 11,5 miliar won untuk proyek ini, yang telah terlunasi dengan bebas kemacetan arus lalu lintas. “Expo ini telah memberikan kita keyakinan bahwa sebuah kota kecil pun dapat mengelola peristiwa internasional yang besar. Jadi, ini adalah kesempatan luas untuk memublikasikan kota Yeosu di mata dunia,” kata Walikota Yeosu, Kim Chung-seok. Dapat dikatakan bahwa hasil yang paling penting dari acara ini adalah “Deklarasi Yeosu” dan “Proyek Yeosu.” “Deklarasi Yeosu” adalah sebutan untuk upaya global guna mengatasi ancaman polusi lingkungan laut dan penangkapan ikan yang sembrono. Sementara “Proyek Yeosu” menyoroti perlunya kerja sama internasional untuk mendukung penelitian laut di negara-negara kurang berkembang. Panitia berencana menyumbangkan 10 miliar won dari hasil Expo untuk hal tersebut.

2


Tinjauan Seni

Evolusi Kreatif ‘Hanok’ ‘Contemporary Hanok’, sebuah pameran yang diselenggarakan oleh Clayarch Gimhae Museum pada acara memperingati ulang tahunnya yang ke-6, mengemukakan berbagai kemungkinan yang muncul dari evolusi dan transformasi Hanok, rumah tradisional Korea. Song In-ho Profesor, Departemen Arsitek, Direktur Institut Studi Seoul, Universitas Seoul | Foto dari Clayarch Gimhae Museum

1. “Dimensi Total - Menara,” sebuah karya seni instalasi dengan motif atap hanok karya Baek Seung-ho.

46 1

2. Model bangunan utama “Seodaemun Hanok” karya Cho Jung-goo, dipamerkan di lobi.

S e n i & B u d a y a Ko re a


U

ntuk lebih memahami pameran ‘Contemporary Hanok’ di Clayarch Gimhae Museum (24 Maret sampai 26 Agustus), pengantar ini menyediakan beberapa pandangan mengenai nilai dan keindahan Hanok, dengan menjelaskan empat kategori bagaimana Hanok dapat berubah dan berkembang.

Karakter Arsitektur Hanok Pertama dan terutama, hanok merupakan sebuah bentuk arsitektur yang dikarakteristikkan oleh perpaduan sempurna dari struktur dan konturnya. Hanok dibangun dengan mendirikan pilar kayu, mengatur posisi palang, mengamankan komponen struktural dengan sikusiku penyangga, menyusun kayu, menguatkan penyangga, membangun papan bubungan, dan akhirnya meletakkan rangka atap di bagian

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

paling atas. Berkat bahan-bahan dari bumi dan ketebalan yang tepat dari elemen-elemennya, struktur hanok kuat dan tahan lama. Pengukuran dasar kerangka kayu bangunannya disebut dengan ‘kan’ (jarak antara dua pilar penyangga), yang mendefinisikan penampilan bangunan. Bagian interior dikarakteristikkan oleh pengaturan unit ‘kan’, yang juga menentukan bentuk atapnya. Kedua, ruang utama di hanok —ruang ondol dengan lantai pemanas, maru, aula berlantai kayu yang terbuka ke luar, dapur, dan taman— terintegrasi secara organik. Ondol dan maru adalah ruangan yang bertolak belakang. Ruang ondol merupakan area berinterior intim yang ditutupi dengan pintu geser dan dinding kertas, sementara maru adalah ruangan berorientasi keluar yang terbuka ke taman, dengan rangka atap yang terekspos dan kerangka kayu serta tembok tanah

47

2


1

2

1. Interior ruang pameran bertema “Evolusi Kritis Hanok.” 2. “Rangka Baja Gongpo,” karya Kim Jong-heon. Gongpo adalah bubungan kayu yang ditempatkan di atas pilar untuk mendukung struktur atap. 3. Model “Lagung,” sebuah hotel hanok, karya Cho Jung-goo

48

S e n i & B u d a y a Ko re a


liat. Kedua ruangan ini menggambarkan gaya hidup penghuninya yang membaca, makan, dan tidur di lantai serta memandang ke taman sambil bersandar di tepi jendela. Di sisi sebaliknya, dapur dibangun lebih rendah dari ruang utama, dengan dasar lantai batu dan loteng di atasnya. Ruang-ruang hanok itu dihubungkan secara alami mengelilingi taman. Ketiga, hanok adalah ‘bangunan hijau’ yang terbuat dari bahan alami. Sebagai tambahan untuk kayu, material utamanya, tanah, batu, kertas, dan besi juga digunakan. Semua bahan alami ini digunakan sesuai dengan karakter mereka. Permukaan/lantainya dibiarkan secara alami atau dibangun dengan baik tergantung peran dan fungsi dari anggota struktural tertentu, dengan perbedaan yang dibiarkan tampak jelas terlihat. Keempat, hanok adalah bangunan yang diukir oleh seniman ulung. Gayanya mengikuti norma standar tetapi konfigurasi sesungguhnya bisa fleksibel. Berdasarkan satu set aturan penting, rumah ini merupakan hasil kombinasi keahlian berbagai pemahat, seperti pemahat kayu, pengukir batu, dan penata atap genteng. Rumah ini seperti sebuah furnitur kayu yang berukuran besar.

Latar Belakang Pameran Pada abad ke-21, hanok mengalami perubahan dan eksperimen di

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

3

empat area yang telah dijelaskan di atas: struktur, ruang, bahan, dan teknik. Misalnya, ketimbang menggunakan genteng tanah, metode atap-kering dengan memanfaatkan insulasi panas dan tahan air, lebih umum dipakai. Bagian interior rumah lebih fungsional juga nyaman dengan diperkenalkannya sistem lantai-pemanas dengan unit yang menggunakan air panas dan AC. Untuk menjaga rumah yang ramah lingkungan, bahan baru seperti potongan kayu pabrik dan lempengan kaca, lebih sering digunakan, bersamaan dengan pemakaian kayu gelondongan yang belum dipotong mesin untuk menghemat ongkos konstruksi. Hanok gaya-baru saat ini termasuk di antaranya versi kreatif rancangan arsitek adalah sama seperti reproduksi rumah tradisional. Penelitian mengenai teknologi konstruksi inovatif dan pengukuran penghematan ongkos pembangunan telah diambil alih di tingkat pemerintah, dibiayai oleh Kementerian Urusan Tanah, Transportasi, dan Maritim. Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata juga bekerja dalam berbagai proyek untuk mempromosikan hanok. Pameran hanok luar negeri pertama diadakan oleh National Trust of Korea pada 2008, sementara penghargaan tahunan untuk arsitektur hanok pertama kali diberikan pada 2011 oleh National Hanok Center, dan kontes foto Hanok pertama kali diselenggarakan pada 2012. Eksibisi “Contemporary Hanok� menggemakan usaha evolusioner

49


ini. Museum Clayarch Gimhae, yang mengkhususkan pada arsitektur dan keramik, menyelenggarakan pameran untuk memperkenalkan karya empat arsitek yang terkenal akan proyek hanok urban mereka, bersamaan dengan karya seniman instalasi dan fotografer. Seperti yang terkutip dalam judul, pameran itu menyorot hanok sebagai karya arsitektur yang kreatif dari perspektif kontemporer, bukan sebagai sebuah bentuk arsitektur historis. Maka yang dipamerkan di pameran ini bukanlah tipikal hanok tradisional tetapi karya kreatif baru. Arsitek yang berpartisipasi menggunakan hanok sebagai dasar lalu menginterpretasikan bangunan tersebut dan mengatur tempat secara kreatif juga menyesuaikan konturnya. Seperti yang telah disebutkan di atas, lantai dan penampang lintang bangunan, juga lantai dan eksterior terintegrasi dengan lebih

intim pada hanok ketimbang dalam bentuk arsitektur lainnya. Misalnya, jika lebar sebuah ruangan diperbesar dari 8 ja (satu ja adalah kurang lebih 30 cm) menjadi 12 ja, ketebalan tiang pilar juga bangunan di atasnya disesuaikan secara proporsional, yang menghasilkan perubah-an dalam proporsi elevasi. Untuk rumah dengan bentuk dua-sisi (ㄱ) atau tiga-sisi (ㄷ), struktur sudutnya juga harus diperhitungkan. Model, panel, foto, dan instalasi karya seni hanok yang dipamerkan dalam eksibisi itu memberikan pengunjung sebuah kesempatan untuk melihat hanok lebih dekat secara detail sebagai struktur nyata bukan sebagai rencana konseptual.

Fokus Pameran “Namsan Hanok” adalah sebuah rumah teh yang dibangun di atas

Penanda pertama ketika datang memasuki ruang pameran di lantai pertama adalah “Seodaemun Hanok” karya Cho Jung-goo, yang sebelumnya ditampilkan pada Pameran Arsitektur Internasional ke-12 di Venesia pada tahun 2010. Pengunjung dapat masuk ke sana dan melihat-lihat interior atau beristirahat di beranda kecil untuk menikmati foto “Hanok di Provinsi Gyeongsang Selatan” karya Yoon Joo-hwan, yang tergantung di dinding.

1. Sebuah model dari bangunan utama “Seodaemun Hanok” karya Cho Jung-goo 2. Sebuah model “Mumuheon” karya Hwang Doo-jin

50

1

S e n i & B u d a y a Ko re a


2

bukit. “Bangunan tersebut adalah interpretasi saya pribadi tentang hanok yang memiliki alam ganda, baik tertutup maupun terbuka,” kata arsitek Kim Jong-heon. Saat menaiki undakan tangga, pohon-pohon dan tepi Gunung Nam dapat terlihat di latar belakangnya. Rumah berdiri dengan cantik, membentuk topografi alami. “L-Hanok” oleh Hwang Doo-jin adalah hanok urban seperti yang ada di Bukchon, di sebelah utara Seoul, di mana cluster rumah tradisional dijaga. Itu adalah tipikal rumah keluarga, agak kecil, dengan taman luar dekat gerbang dan taman dalam dikelilingi bangunan di tiga sisi. Ruang keluarga diatur secara praktis, tetapi yang paling menonjol dari rumah ini adalah ruang belajar yang terletak di ruang bawah tanah. Mengambil keuntungan dari berbagai tingkat taman dan aula berlantai-kayu, jendela tinggi dan kecil dipasang di ruang belajar, menciptakan ruang dinamis dibandingkan dengan ruangan berlantai standar. “Module Hanok,” sebuah karya dengan skala sebenarnya dari Kim Yong-mi, memungkinkan pengunjung untuk mengapresiasi pengaturan ruang hanok yang sesungguhnya. Dari tinggi dan ketebalan tiang pilar, jarak antara pilar, lebar kerangka pendukung, balok, serta ukuran jendelanya, sampai kertas pada pintu geser —semua aspek rumah didasarkan pada modul. Sistem modul menyediakan prinsip dasar untuk Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

estetika hanok dan dasar untuk sistem produksi hanok yang efisien. “Lagung,” di Gyeongju, adalah hotel hanok pertama di Korea, terdiri dari berbagai struktur, seperti sebuah bangunan administrasi berbentuk kotak dan berlantai dua (ㅁ), sebuah taman pusat, koridor lebar, dan taman belakang yang besar dan terbuka, serta unit-unit hanok dengan taman individual dan bak mandi air panas. Cho Jung-goo merancang hotel tersebut sebagai sebuah kompleks hanok, seperti kota dengan halaman dan rumah dengan beragam tipe serta penampilan, dengan pembagian ruang yang sesuai. Hotel ini, sama seperti “Seodaemun Hanok” dan karya lain Cho, dapat dilihat lewat video dan model rancangan. Pameran itu mengonfirmasi bahwa kunci keunikan dan keindahan hanok terletak pada pembagian ruang, bagaimana rumah tersebut diatur dan berdiri selaras dengan tempatnya dibangun. Keunikan dalam pembagian ruang merefleksikan kreativitas dan evolusi hanok saat ini. Sebagai pelengkap pameran, terdapat karya seni instalasi yang terinspirasi dari pola atap hanok oleh Baek Seung-ho dan fotografi struktur hanok kuno di Provinsi Gyeongsang Selatan oleh Yoon Joonhwan. Melaui pameran ini, pengunjung dapat menghargai aspek keindahan yang unik dari hanok, dan merefleksikan apa yang telah hilang atau terlupakan ketika tinggal di sebuah rumah modern.

51


JATUH CINTA pada KOREA

“Jembatan Eksistensial� antara Korea dan Dunia

Profesor Alok Kumar Roy pertama kali tiba di Korea pada Maret 1980 dengan beasiswa pemerintah untuk belajar politik internasional dan diplomasi di Seoul National University. Tapi belum sampai Januari lalu, dia menjadi seorang selebriti di Korea, ketika media menyorotinya sebagai orang asing ke-100.000 yang dinaturalisasi sebagai warga negara Korea. Charles La Shure Professor, Graduate School of Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul. Ahn Hong-beom Fotografer

52

S e n i & B u d a y a Ko re a


P

rofesor Alok Kumar Roy menunjukkan kepada kami kantornya di Pusan University of Foreign Studies, di mana ia mengajar selama 23 tahun. Dia mengajar politik India kontemporer, ekonomi, kebudayaan, dan media, tetapi ketertarikannya pada hal-hal yang menyangkut Korea terlihat dari begitu banyak buku Korea yang mengisi rak-rak bukunya. Kisahnya dimulai 30 tahun yang lalu—hari pertamanya di Korea pada musim semi yang menarik sekaligus membingungkan di tahun 1980.

‘Pulau Galapagosku’ Jika ditanya mengapa Profesor Roy datang ke Korea, ia mempunyai satu jawaban unik. “Ini adalah kepulauan Galapagosku,” katanya. “Korea adalah tempat yang baik untuk perbandingan, dan tempat yang bagus untuk mengamati proses evolusi. Tidak ada tempat lain sebaik ini untuk menyaksikan banyak perubahan dalam waktu yang singkat. Saya tidak pernah menyesali kedatangan saya di sini.” Sembilan belas delapan puluh, pastinya, adalah tahun saat masyarakat Gwangju bangkit melawan kediktatoran militer yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Demokrasi Gwangju. Pemerintahan Presiden Chun Doo-hwan, mengerahkan militer untuk menumpas pemberontakan itu, tetapi gejala perpecahan sudah mulai muncul. Gerakan itu mengarah ke protes-protes berkelanjutan sepanjang tahun 1980-an, dan berujung pada terpilihnya pemerintahan yang demokratis. Namun pada saat itu, ketika seorang mahasiswa muda India Alok Roy tiba di Korea dan memulai kuliahnya, demokrasi masih jauh dari harapan. “Saya senantiasa mengibaratkan situasi tahun 1980 dengan masa hamil tua. Seorang perempuan sedang mengharapkan seorang jabang bayi, dia tidak yakin bakal seperti apa anaknya nanti, tapi dia tidak dapat menundanya barang sedikit pun. Dalam ketidakpastian itu ada harapan yang terpendam, sebuah harapan terselubung, harapan bahwa hari esok lebih baik dari sekarang. Saya dapat menyaksikan hal itu,” kata Roy. Dia berkata banyak mengenai harapan dan penantian yang tersembunyi. Pada waktu itu ketika kekuasan militer diktator sedang di panggung politik, harapan tetaplah terpendam. “Untuk pertama kalinya dalam kehidupan, saya melihat tank baja—di lingkungan universitas,” ingatnya. Olimpiade Seoul tahun 1988 adalah masa-masa peralihan yang penting bagi Korea ketika bangsa ini mulai membuka dirinya ke dunia luar. Gelombang demokrasi tidak dapat surut kembali dan pada akhirnya gerakan itu menyapu seluruh negeri, tidak sebagaimana lautan berbadai memecah karang-karang, namun layaknya ombak kecil yang menyentuh pantai pelan tapi pasti. Akhirnya, pada tahun 1992, Korea memilih untuk pertama kalinya seorang presiden dari kalangan sipil setelah 30 tahun. Sebagai mahasiswa politik internasional, Roy sangat terpana betapa damai kemunculan demokrasi pada akhirnya: “Saya tidak pernah berpikir bahwa transisi politik dapat sebegitu halus!” Kini, setelah dua dekade, Profesor Roy telah menjadi seorang warga negara Korea di mana ia menghabiskan sebagian besar waktunya ketimbang di belahan Bumi lainnya. Keputusan itu diambil sangat lama dan bukanlah suatu keputusan yang mudah dilakukan, namun barangkali juga bukan untuk sebuah alasan yang mungkin orang dapat perkirakan. “Ini bukan semata mengenai sebuah pertanyaan mengenai kesetiaan,” jelasnya, “karena kesetiaan tidaklah dapat dibagi—kesetiaan itu hanya bisa ditambah. Hal ini bukan berarti apakah saya 100 persen Korea atau 0 persen India, atau 50 persen Korea dan 50 persen India. Saya bisa menjadi 100 persen Korea dan 100 persen India, kendati saya telah mengubah kewarganegaraan saya.” Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

Alih-alih, itu semua adalah suatu persoalan untuk memanfaatkan sebaik mungkin kemampuan diri, baik bagi dirinya dan Korea. Dia menjelaskan hubungannya dengan Korea dan India dengan menggunakan dua konsep India kharmabhumi dan janmabhumi. “Kharmabumi adalah di mana Anda dapat pekerjaan, di mana Anda bekerja. Kemudian janmabhumi, yaitu di mana Anda dilahirkan. Ya, Anda dilahirkan di sana, besar di sana, tetapi di sini Anda mengerjakan sesuatu.” Dalam rangka seseorang melakukan sesuatu untuk pekerjaannya—untuk mengejar karmanya—dia memutuskan bahwa dia perlu menjadi seorang warga negara Korea. Menjadi seorang warga negara Korea adalah suatu hal tetapi untuk secara utuh menjadi seorang Korea adalah hal lain yang benar-benar berbeda. Profesor Roy sangatlah sadar mengenai perbedaan ini. Bagi dirinya, menjadi orang Korea adalah menyangkut bagaimana dia berhubungan dengan orang Korea lainnya. “Apakah saya berbicara dengan bahasa yang sama sebagaimana mereka, bercakap-cakap dengan nada yang sama sebagaimana mereka mengucapkannya? Semua itu tantangan buat saya. Sebelum menjadi warga negara Korea, saya ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa saya dapat menjadi orang Korea yang baik. Tapi masyarakat, sebagaimana biasanya, memiliki keterbatasan. Kendati saya memiliki kebangsaan Korea, tidak berarti saya mirip dengan orang Korea lainnya.

Pelajaran dari Multikulturalisme India Profesor Roy menunjukkan perbedaan yang tajam antara orang Korea dan orang asing tersebut dalam sejarah Korea. “Sejarah di sini sangat linear,” jelasnya, “dan persoalan dengan sejarah yang linear adalah ia sangat bersaing dan sangat rasial pada saat yang sama. Jadi, untuk seseorang yang tidak mengenal siapa dan untuk apa Anda, Anda adalah orang asing. Ini sebuah pengalaman yang mengejutkan untuk saya, karena saya berasal dari India, tempat di mana walaupun Anda kelihatan berbeda, mereka tidak akan mengatakan Anda berbeda. Atau, jika mereka mengatakan Anda berbeda, mereka tidak akan mengatakan Anda salah. Di Korea, Anda tidak saja berbeda tapi juga salah. Ini terjadi sangat natural. Karena sejarah linear yang dimiliki Korea, kebanggaan merupakan konsep yang sangat penting. Manakala ada kebanggaan, akan menjadi sangat tidak natural apabila tanpa prasangka. Dan kadang-kadang prasangka itu menjadi lebih nyata ketimbang kebanggaan.” Sehubungan dengan sejarah yang linear, tidaklah mengherankan bahwa jalan ke arah multikulturalisme di Korea mungkin tidak sehalus harapan kebanyakan orang. Profesor Roy sambil menggerak-gerakkan tangannya berkata,

53


“Kata itu sendiri, saya tidak menyukainya. Itu bukan multikulturalisme. Itu adalah Koreanisasi suatu kebudayaan yang berbeda, setidaknya begitulah sejauh ini. Tetapi keadaan kini sedang berubah. Mungkin, sehubungan dengan potensi masyarakat Korea untuk berubah secara cepat, perubahan itu mungkin lebih cepat dibanding dengan masyarakat lain, bahkan Jepang.” Dengan multikulturalisme yang menjadi konsep penting di Korea dewasa ini, sangatlah penting untuk mendefinisikannya dengan tepat. Profesor Roy telah cukup lama merenungkan hal ini dan mendefinisikannya dengan dua cara. Pertama adalah kesadaran akan ruang. “Anda mungkin melihat bahwa saya tidak mengubah nama saya,” katanya. Kebanyakan nama Korea pendek, umumnya tiga karakter. Tetapi nama Profesor Roy secara penuh dalam huruf Korea bisa jadi tujuh silabel— sembilan karakter seandainya spasi dihitung—artinya nama lengkapnya tidak akan muat di dalam ruang yang tersedia pada borang-borang* yang ada. Dalam lembar pembayaran namanya hanyalah “Roy”. Pada asuransi kesehatan, oleh karenanya, namanya adalah “Kumar”. Dia mengatakan, “Itulah argumen utama saya bahwa masyarakat Korea mesti memberi ruang pada yang lain.” Ketimbang mengubah dirinya sesuai dengan ruang Korea, dia berharap bahwa Korea akan belajar memberikan dirinya sebuah ruang yang dia butuhkan. Multikulturalisme dapat juga dijelaskan dari segi waktu. Bagi Profesor Roy, multikulturalisme adalah futuristik, melihat ke depan. “Ketika saya tinggal di Korea, atau jika seseorang tinggal di Amerika, hal itu karena dia berpikir bahwa ada masa depan di sana. Bukannya masa lalu di sana.” Dia melihat dunia, pendidikan pada khususnya, sebagai sesuatu yang bergerak ke suatu zaman mahasiswa belajar untuk menyiapkan satu masa depan yang mungkin membawanya ke bagian lain dari dunia ini. “Mengapa kita mesti kembali? Jika kita menyebut seseorang sebagai multikultural, kita harus menghargai bahwa dia multikultural. Janganlah membuat dia kembali unikultural. Fokusnya bukan pada Koreanisasi keluarga yang multikultural tapi globalisasi masyarakat Korea, sehingga Anda memiliki ruang untuk siapa saja, dan jika terjadi konflik di antara dua pemilik ruang itu, jadikanlah konflik sehalus mungkin sehingga tidak bertabrakan satu sama lain.” Profesor Roy percaya bahwa latar belakang budayanya memberikan dirinya sebuah perspektif yang unik mengenai konsep multikulturalisme. Orang India telah menerima keberagaman dalam darahnya, katanya. “Inilah DNA kami,” tambahnya sambil senyum. Multikultural India berakar pada kebesaran Ashoka ratusan tahun ke belakang. Pada awalnya, sang penakluk bermaksud membangun sebuah kerajaan, Ashoka menjelajahi medan perang dan menyaksikan banyak kematian dan

1. Profesor Alok Kumar Roy memberi penilaian atas presentasi mahasiswa di kelas. 2. Profesor Roy berbicara dengan sejumlah mahasiswa di kantornya, menasihati mereka agar belajar demi masa depan yang mungkin membawa mereka ke dunia bagian lain.

54

1

kerusakan yang dibuatnya, dia kemudian berubah pikiran serta berniat mambangun perdamaian ketimbang peperangan. Simbol yang dipilihnya untuk perdamaian adalah sebuah pilar dengan empat singa di atasnya—artinya, perdamainan harus dengan kekuatan, tetapi kekuatan itu semestinyalah tidak dimonopoli. Ini kuncinya, Profesor Roy menekankan. “Kita mesti hidup layaknya singa-singa itu tapi kita harus hidup bersama. Itulah konsep India mengenai perdamaian dalam masyarakat. Konsep itu sangat tua tapi kadang-kadang saya merasa kita membutuhkannya, sehingga kita dapat menerima orang lain sebagai singa yang lain tanpa menyakiti hatinya. Bagaimanapun, apakah manusia itu? Manusia hidup berdasarkan kebanggaannya. Dan kita tidaklah semestinya melukai kebanggaan tersebut.” Sebagaimana di tahun 1980-an, perubahan lagi-lagi menerpa Korea saat ini. Profesor Roy menggunakan isu perkawinan lintas bangsa sebagai contoh. “Sampai beberapa saat lalu, orang terbiasa berpikir bahwa perkawinan lintas bangsa adalah persoalan milik orang lain. Tapi sekarang menantu laki-laki dan menantu perempuan saya mungkin saja orang asing.” Suatu saat persoalannya berubah dari abstrak menjadi kongkrit, perubahan tidaklah terhindarkan. “Hal itu mesti menjadi problem Anda. Inilah yang tengah terjadi di Korea.” S e n i & B u d a y a Ko re a

2


Selain memperkenalkan kebudayaan India di Korea, ia juga mencurahkan tenaganya untuk memperkenalkan kebudayaan Korea di India, semisal, menerjemahkan novel Sebuah Alunalun- nya Choi In-hoon ke dalam bahasa Hindi. “Itulah cita rasa novel Korea pertama di India,” ujarnya.

Terjemahan Rabindranath Tagore Profesor Roy tidak semata berniat menyaksikan perubahan yang terjadi di sekitarnya; dia pun bermaksud menjadi bagian dari perubahan tersebut. Salah satu cara yang dilakukannya adalah berperan sebagai jembatan budaya antara Korea dan India. Tesisnya untuk MA dalam pendidikan bahasa Korea terkait dengan penerjemahan ke dalam bahasa Korea karya pemikir India terkenal Rabindranath Tagore, pemenang Nobel non-Eropa pertama, untuk karya sastra. Dia juga menulis banyak makalah mengenai Tagore, dengan harapan memperjelas sejumlah kesalahpahaman mengenai Tagore, dan mengatakan bahwa di masa depan mungkin ia akan menerjemahkan Tagore langsung ke dalam bahasa Korea. “Kebanyakan terjemahan mengenai Tagore berasal dari bahasa Inggris, tetapi belum pernah ada karya terjemahan langsung dari Bengali ke bahasa Korea. Dan saya, sebagai seorang Bengali, mungkin berada di posisi yang tepat untuk mengerjakannya.” Selain memperkenalkan kebudayaan India terhadap masyarakat Korea, Profesor Roy juga membantu memperkenalkan kebudayan Korea terhadap masyarakat India, misalnya, dengan menterjemahkan karya Choi In-hoon Sebuah Alun-alun ke dalam bahasa Hindi. “Itulah cita rasa novel Korea pertama di India,” katanya. “Saya suka novel ini karena karya ini mengisahkan masyarakat Korea pada saat itu. Segalanya—perdebatan ideologis, konflik personal—termasuk di dalamnya. Lebih penting lagi, bahasanyalah yang membuat saya suka. Bahasanya sangatlah puitis.” Novel itu diterima dengan baik di India. “Para pembaca menyukainya karena India juga memiliki persoalan yang sama akibat pemisahan, di mana masyarakat terbagi atas nama agama, kendati lebih banyak orang Islam hidup di India ketimbang di Pakistan. Sejumlah penulis yang saya ajak bercakap-cakap mengatakan bahwa mereka menyukai novel itu karena persoalannya sensitif—sensitif dalam hal memprovokasi Anda untuk berpikir.” Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

Namun, Profesor Roy merasakan pula bahwa kontribusinya yang terus-menerus terhadap Korea mungkin bukanlah karena apa yang dia lakukan tapi lebih disebab-kan oleh siapa dia. “Apa yang saya lakukan sangatlah penting, saya tidak meragukannya, tetapi siapa saya itu lebih penting lagi. Saya secara profesional adalah seorang guru, dan seorang pembelajar juga. Orang-orang bertanya pada saya, “Apakah Anda melakukan sesuatu untuk hubungan ekonomi Korea-India? Hal ini terserah pada pimpinan politik untuk menentukan. Tetapi, saya dapat membantunya dengan cara saya sendiri. Saya sangat ingin menjadi suatu jembatan eksistensial ketimbang sebagai sebuah jembatan jalur cepat.” Boleh jadi, persoalan ini sesederhana berurusan dengan sebuah nama panjang di dalam formulir isian bank. Barangkali suatu saat kemudian, Korea akan memiliki lebih banyak ruang untuk orang lain, dalam pengertian yang sebenarnya. Sampai hal itu terjadi, Profesor Alok Kumar Roy akan tetap mendorongnya sampai garis batas, membuat ruang untuk dirinya, dan membantu menghadirkan multikulturalisme yang sejati.

*Borang-borang : Kota-kotak isian dalam sebuah formulir

55


PADA TAHAP GLOBAL

Yang Haegue, Seniman Visual yang Melampaui Genre dan Batas Yang Haegue (Yang Hye-gyu) tengah menikmati penampilannya yang meroket dalam pentas seni kontemporer antarbangsa. Tahun 2012, pada dOCUMENTA di Kassel, salah satu pameran seni kontemporer terbesar di dunia, instalasinya menunjukkan suatu jalinan keberanian dan kepekaan. Koh Mi-seok Penulis Editorial, The Dong-a Ilbo

56

S e n i & B u d a y a Ko re a


Artis visual Yang Haegue dan karya terbarunya “Mendekati: Rekayasa Koreografi di Never-Past Tense ,” dipasang di Stasiun Pusat di Kassel, Jerman.

D

i sebuah terminal barang di Stasiun Sentral Kassel, Jerman, suatu susunan kerai jendela selebar dua meter menjuntai dari sebuah atap pengganti sementara. Setiap kali kerai itu dibuka dan ditutup dalam gerakan yang berulang-ulang menghadap ke arah lanskap yang sepi dari terminal yang kosong, kerai-kerai itu menyuarakan deritan yang khas. Ketika setiap unit kerai yang terbuka secara berurutan itu, sebagai bagian dari sebuah koreografi yang otomatis, sisi terjauh dari atap gedung sekilas terkuak terang, yang kemudian akan tertutup lagi dari pandangan Anda beberapa saat. Layaknya mesin makhluk angkasa pada film science fiction, sebuah instalasi sepanjang 45 meter yang mencekam dengan gerakan yang mekanis memprovokasi mata para penonton, seperti mengingatkan mereka pada parade militer atau latihan besar-besaran rezim totaliter dari abad ke-20. Instalasi ini karya Yang Haegue terbaru berjudul “Approaching: Choreograph Engineered in Never-Past Tense.” Karya yang baru-baru ini dipertunjukkan di 13th dOCUMENTA International Art Exhibition, di Kassel, Jerman, yang dimulai dari 6 Juni sampai 17 September 2012. Pada acara seni kontemporer global tersebut, seorang artis berusia 41 tahun memperkenalkan kiprah pertamanya untuk memanfaatkan perangkat lunak komputer guna mengotomatisasikan gerakan instalasinya.

Koreografi Kerai Venesia “Ketika saya tiba di Stasiun Sentral Kassel, saya tercekam oleh energi kuat yang memancar dari tempat ini,” Yang mengatakan, “tempat ini mengingatkan saya pada kekuatan raksasa modernisasi yang menggerakkan industrialisasi berdasarkan idealisme utopis untuk mendapatkan hasil lebih banyak, efektif, dan efisien. Bagi saya, stasiun kereta api yang lengang ini seperti merepresentasikan keterbengkalaian, menjauh dari masa keemasan industrialisasi. Melalui instalasi, saya berharap dapat menyampaikan pesan bahwa industrialisasi belumlah selesai, dan kita masih perlu berpikir secara kritis mengenai proses buka-tutup semua ini.” Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

57


1

Dengan perangkat lunak-pengontrol gerakan kerai yang bergerak berulang-ulang, Yang berupaya memvisualisasikan getaran intensitas proses industri. Dampak dari industrialisasi dialami sebagai suatu proses pencarian yang berkelanjutan di dunia berkembang, atau dihadirkan sebagai sebuah masa lalu, yang hanya diingat samar di negara-negara yang lebih kaya. Instalasinya, yang terpasang dengan latar belakang terminal barang yang melompong, mendapat sambutan antusias dari pengunjung lokal berkenaan dengan kedalaman gaung emosinya yang kuat. Majalah Jerman ART menamakannya sebagai salah satu dari 20 karya yang terpilih tahun ini oleh dOCUMENTA, sementara ARD, sebuah jaringan TV nasional Jerman, juga menempatkan karyanya sebagai salah satu yang menjadi pusat perhatian serta menjadikannya sebagai pameran yang harus disaksikan. “Untuk pameran itu, kolega-kolega dan saya telah mengembangkan suatu program komputer untuk menjalankan motor listrik yang terpasang pada kerai-kerai jendela itu. Pekerjaan yang menuntut upaya serius tapi saya menemukannya sebagai suatu proses bermakna untuk mempelajari gerak-gerakan mekanis,� Yang mengatakannya sewaktu wawancara di Kassel. Sejak tahun 1955, dOCUMENTA telah diadakan sekali dalam setiap lima tahun di Kassel, di Jerman pusat. Tahun ini acara kesenian yang sangat berbobot itu pun tengah memamerkan karya-karya 150 artis dari 55 nega-

58

S e n i & B u d a y a Ko re a


1. “Rangkaian Aransemen Peka - Suara dan Angin,” disajikan pada pameran tunggal Yang Haegue berjudul “Kondensasi” di Paviliun Korea, Venice Biennale ke-53, Venice, 2009. 2. Serangkaian kumpulan patung karya Yang, disebut “Robot Totem” menggunakan bola lampu dan rak pakaian.

ra. Yook Keun-byung adalah seniman Korea pertama yang berpartisipasi pada pameran ini di tahun 1992. Dua dekade kemudian setelah kehadiran seniman Korea pertama tersebut, tiga seniman Korea diundang oleh penyelenggara untuk turut serta pada acara tahun ini: Yang Haegue, dan tim dari Moon Kyoung-won dan Jeon Joon-ho. Kassel dOCUMENTA tersohor untuk suguhan karya-karya seni rupa yang memberi perhatian pada persoalan sosial dan pandangan-pandangan yang progresif. Acara ini kadang dibandingkan dengan Venice Biennale, yang disebut-sebut sebagai “Olimpiade Seni”, di mana sistem kompetisi diterapkan dan beragam nuansa kebangsaan tampak jelas menarik perhatian masyarakat. Sejarah Kota Kassel memberi latar belakang pada keunikan pendekatan dOCUMENTA terhadap seni. Sebagai pusat industri militer Jerman selama Perang Dunia II, Kassel pernah diluluhlantakkan oleh pengeboman Sekutu. Di ujung peperangan, sebuah kota yang penuh dengan pabrik yang tengah naik daun itu berubah mengenaskan. Kini kota itu berubah, hidup sebagai sebuah penghubung kegiatan seni kontemporer setelah seorang artis Arnold Bode meluncurkan pameran seni dOCUMENTA lima tahunan pada tahun 1955. Karena pameran ini berakar pada refleksi kritis mengenai kekejaman tidak manusiawi rezim Nazi, dOCUMENTA mendorong para pengunjungnya untuk secara serius memikirkan peran kesenian dan para senimannya untuk bergulat dengan proses reformasi sosial politik. Oleh karenanya, kesuksesan seorang artis saja bukan jaminan untuk bisa diundang ke Kassel. Seperti itulah, kehadiran Yang Haegue di sini menjadi sebuah pernyataan yang penting mengenai kedalaman kreativitas dan pandangannya mengenai seni, yang telah mendapat penghargaan luas dari para kritikus. Yang secara konstan mengejar kebaruan dan eksperimentasi. Selain instalasi kerai jendela yang bergerakgerak di stasiun kereta api itu, dia juga menambahkan kerja teatrikal, “The Malady of Death”, pada saat mingguminggu gladi resik di Kassel. Monodramanya, sebuah adaptasi pertunjukkan dari novela Marguerite Duras dengan judul yang sama, persembahan yang berkolaborasi dengan Staatstheater Kassel pada tanggal 7 Juni. Pertunjukan itu menampilkan aktor Prancis Jeanne Balibar yang membaca novel di panggung. Area panggung dibuat untuk mengekspresikan ketidakmampuan menjelaskan cinta dengan simbolisme, dengan bantuan efek cahaya, gambar-gambar, dan kipas angin listrik. Kesuksesan pertunjukan “The Malady of Death” membuktikan bahwa kreativitas inovatif Yang serta interpretasi artistiknya memungkinkan dia membaurkan garis-garis sastrawi dengan seni rupanya. Carolyn Christom-Bakargiev, direktur artistik dOCUMENTA ke-13 juga menyatakan apresiasinya secara jujur mengenai karya teatrikal Yang tersebut. Setelah menonton pertunjukan, dia menggarisbawahi penting-nya pertunjukan itu pada saat jumpa pers resmi untuk acara pameran yang dihadiri oleh lebih dari 500 perwakilan media dan kritikus seni.

2

Misteri Duniawi Yang telah mendapatkan karier internasionalnya. Pada Venice Biennale tahun 2009, dia berhasil menarik perhatian kritikus untuk sebuah instalasinya yang berjudul “Condenstation,” di mana dia menggunakan kerai jendela secara besar-besaran membangun ruang dualitas terbuka-tertutup. Ruangan instalasi itu dipenuhi aroma wewangian yang menyeruak sepoi-sepoi saat kipas angin listrik menyemburkan parfum. Pengunjung diundang untuk mendekati dan masuk ke dalam karya instalasinya sambil melihat bagian luar melalui kerai yang terbuka setengah, yang menyemburkan wewangian menghanyutkan. Karya artisik Yang dilandaskan pada filsafat hidupnya. Karyanya kerap muncul sebagai karya yang abstrak dan tidak utuh belaka. Instalasinya menggunakan banyak kerai jendela, rak cuci, kursi lipat, kipas angin listrik, dan cahaya bohlam. Dengan objek-objek duniawi dari kehidupan sehari-hari, dia merajut sebuah abstraksi puitis dan Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

59


Instalasi-instalasinya menggunakan kerai-kerai penutup jendela secara besar-besaran, rak cuci, kursi lipat, kipas listrik, dan bohlam. Dengan objek dari kehidupan modern yang sehari-hari itu, dia merajut puisi abstrak dan ambigu, yang meraih tanggapan emotif dan menarik imajinasi hadirin.

Sebuah adegan dari proyek teaterikal karya Yang, berjudul “The Malady of Death,� sebuah monodrama yang diadaptasi dari novela Marguerite Duras dengan judul yang sama.


ambiguitas, memaparkan respons emotif dan menggiring imajinasi hadirin. Dalam karyanya, rak cuci hadir dengan berbagai postur layaknya sebuah tarian. Perpaduan hawa yang dihasilkan oleh beragam temperatur, yang dihasilkan oleh udara dingin dan hangat dari sejumlah generator, tampaknya menunjukkan hakikat dualitas cinta. Oleh karenanya, karyanya menghasilkan suatu resonansi yang kuat dan emotif yang menggambarkan pendekatan kita terhadap kehidupan sehari-hari. “Kadang-kadang terjadi bahwa hal-hal yang dianggap lumrah yang mengelilingi kehidupan rutin sehari-hari kita tiba-tiba terlihat sangat berbeda. Kerap pula terjadi bahwa kegiatan rutin yang sama tiba-tiba menciptakan hal yang sangat berbeda, suatu sensasi yang tidak biasa hadir dalam diri kita. Itulah momen di mana kehidupan sehari-hari menjelma menjadi sesuatu yang misterius,” Yang menjelaskan. Ekspresi keseniannya sangatlah kreatif, apakah itu ketika menghadirkan kembali hal-hal yang duniawi, sebuah interpretasi kritis atas kehidupan modern, atau suatu kontemplasi diri seorang artis atas keadaan politik dewasa ini. Dengan cukup beragam, dia mencurahkan ke dalam karyanya wawasan personal yang membawa pandangan-pandangannya yang khas.

Pengembara yang Nomaden Ketika Yang hadir di Artsonje Center sebagai finalis Hermes Korea Misulsang (anugerah seni) 2003, dia menghiasi wajahnya dengan kumis. Penampilan yang menarik perhatian publik ini menjadi pembicaraan di kalangan kritikus seni di Korea dan rekan-rekan artis lainnya, gayanya mengingatkan pada ‘si antik’ Marcel Duchamp, yang menyentil lucu otoritas interpretasi seni yang konvensional dengan cara membuat reproduksi lukisan Leonardo da Vinci, Mona Lisa, yang berjanggut dan berjenggot. Pada tahun 2006, Yang menampilkan pameran solo pertamanya di Korea, yang diadakan di sebuah rumah yang terbengkalai di Incheon. Untuk memasuki the vacant house-cum-exhibition space, pertama-tama pengunjung mesti membuka kunci menggunakan kode rahasia yang hanya diberikan pada kartu undangan. Kemudian, mereka cuma diizinkan memasuki rumah tersebut satu kali saja di mana di sana mereka menemukan interior kosong tak berpenghuni. Sisa-sisa waktu yang berlalu tanpa kehadiran manusia dipertunjukkan dengan berbagai ekspresi: kipas listrik di sebuah ruang yang kosong, jam dengan nomor yang berbeda-beda, serta serpihan pecahan cermin berceceran. Yang telah bekerja di luar negeri hampir lebih dari 18 tahun setelah kelulusannya dari Seoul National University dan Stadelschule Frankfur di Jerman. Dia kini membagi waktunya antara Berlin dan Seoul. Dengan berterima kasih pada program residensi yang telah menyediakan akomodasi sementara buat para seniman, dia telah bepergian jauh sambil tinggal beberapa saat di berbagai negara termasuk, Inggris, Jepang, Prancis, Belanda, dan Jerman. Yang dikenal sebagai pekerja keras, yang jadwal kerja intensifnya mengagetkan banyak orang di lingkungan para seniman. “Saya tidak pernah beranggapan seni sebagai bagian dari suatu waktu lampau yang sederhana, keseluruhan hidup saya harus diberikan pada seni. Pada saat-saat saya longgar pada diri saya sendiri, itulah akhir dari kehidupan saya sebagai seniman. Setiap saat, saya melakukan yang terbaik untuk mendapatkan yang terbaik dari diri saya,” Yang berkata. Untuk dirinya, batas antara karya dan kehidupan sepertinya tidaklah tegas. Sebagai hasil dari bentuk kerja keras yang tak pernah berhenti, karya-karya Yang sekarang dapat dinikmati di museum-museum penting dan galeri-galeri seni di dunia. Pameran tunggalnya termasuk “Integrity of the Insider” di Walker Art Center (Minneapolis, 2009), “Voice and Wind” di New Museum (New York, 2010), dan “Arrivals” di Kunsthaus Bregenz (Austria, 2011). Pada musim gugur tahun ini, dia akan menampilkan karya-karyanya di Tate Modern di London, dan juga membuat instalasi skala besar di hal utama Munchen Museum. Museum Guggenheim, Museum Modern Art di New York, dan Museum Hamburg baru-baru ini memamerkan karya instalasinya Yang. Kurator Chantal Crousel dari Galeri Chantal Crousel di Paris mengatakan: ”Yang adalah seniman yang hebat, dia melakukan pendekatan filosofi pada seni. Dia menciptakan energi baru yang unik dengan menggabungkan berbagai elemen kebudayan Korea dengan inspirasi seni global.” Dengan prestasi internasionalnya yang tengah menanjak, Yang bahkan semakin semangat untuk mempertajam disiplin kreatifnya. Dia menolak ‘self-plagiarism’ dan pengulangan. “Apa yang dipikirkan orang-orang mengenai karya saya adalah hal kedua. Sayalah juri utama karya-karya saya. Apakah saya telah membuat kemajuan atau kembali pada pengulangan adalah bagian penting dari ujian diri. Saya tahu diri saya dan saya tidak dapat membohongi diri. Perjuangan dari hari ke hari saya adalah untuk membuat satu keputusan antara konsistensi dan perluasan wawasan. Saya tidak dapat menurunkan standar saya mengenai persoalan-persoalan itu.”

61



Gateway

to

Korea

6hh^hi^c\ ZkZcih i]Vi ^cigdYjXZ @dgZVc XjaijgZ id cdc"@dgZVch EgdYjX^c\ [dgZ^\c"aVc\jV\Z ejWa^XVi^dch VcY Y^[[ZgZci ineZh d[ egdbdi^dcVa bViZg^Vah dc @dgZV DeZgVi^c\ i]Z \dkZgcbZci ]dbZeV\Z! www.korea.net 6hh^hi^c\ ^ciZcVi^dcVa VXVYZb^Xh! de^c^dc aZVYZgh VcY [dgZ^\c bZY^V gZedgi^c\ dc @dgZV

Korean Culture and Information Service


Buku Anak untuk Pembaca Semua Usia

Leafie, Si Ayam-Petelur Lepas ke Alam Edisi Polandia(O Kurze, Która Opuściła Podwórze) Ditulis oleh Hwang Sun-mi, diterjemahkan oleh Choi Sung-eun, Warsaw: Kwiaty Orientu, 210 halaman, 26.67 złoty

Leafie, Si Ayam-Petelur di Alam Bebas (Leafie, A Hen into the Wild) karya Hwang Sun-mi adalah salah satu buku anak paling terkenal di Korea. Sejak diterbitkan pada 2000, telah terjual lebih dari satu juta eksemplar di Korea, kemudian dibuat versi animasinya yang juga menjadi hit. Berdasarkan kepopulerannya di negara asal, cerita ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa untuk mencapai pembaca

internasional. O Kurze, Która Opuściła Podwórze adalah versi buku ini dalam bahasa Polandia. Buku ini bercerita mengenai seekor ayam bernama Leafie yang kabur dari kandangnya di sebuah peternakan ayam-petelur, di mana dia tidak dapat mengerami telurnya sendiri. Karena menginginkan kebebasan untuk membesarkan anaknya sendiri, dia kabur dari peternakan dengan risiko kehilangan nyawanya. Di alam liar, dia menemukan sebutir telur, lalu dia erami telur tersebut. Ketika telur itu menetas, ternyata di dalamnya keluar seekor bebek. Bebek itu lamakelamaan menyadari bahwa dia berbeda dari Leafie, ibunya, tetapi

BUKU &

Menguasai Makanan Rumahan Korea dan Bahasa Korea

Masakan Rumahan Korea Dikumpulkan oleh Daewoo Securities’ Community Service Group, Seoul: Penerbit Bookie, 164 halaman, 12.000 won

“Kami bukan mencari resep masakan mewah yang tidak biasa dimasak di rumah.” Ini adalah perkataan para wanita dari keluarga multietnik yang hidup di Korea, ketika ditanyakan buku resep apa yang ingin mereka lihat. Dibandingkan pengetahuan impraktikal tentang masakan Korea mewah, mereka menginginkan tips dan resep yang berguna, yang bisa digunakan harian di rumah, khususnya keterangan yang jelas tentang istilah pengukuran dan metode masak, seperti jum (segenggam), umkeum (seraup), dan tteum deurigi (mendidih). Masakan Rumahan Korea ini menyajikan 45 resep masakan yang umum disediakan di rumah Korea, bagi mahasiswa dan pebisnis asing yang tinggal di Korea, khususnya yang mempunyai pasangan orang Korea. Buku itu memperkenalkan berbagai tipe makanan Korea, dari makanan harian dasar seperti nasi, lauk pauk, semur, dan sup, sampai makanan pesta, daging lokal, dan makanan kecil. Buku itu juga menyediakan informasi mengenai budaya kuliner Korea dan tips bagaimana menggunakan peralatan masak dan membeli bahan yang tepat. Melihat kenaikan tajam di angka pernikahan inter-

64

nasional pada beberapa dekade terakhir, buku ini diterbitkan khusus sehingga bisa didistribusikan secara gratis pada residen asing di Korea, khususnya mereka yang tinggal di sini dengan keluarganya. Buku itu diterbitkan dalam 10 bahasa asing yang umum digunakan di Korea: bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Jerman, bahasa China, bahasaJepang, bahasa Vietnam, bahasa Mongolia, bahasaThailand, bahasa Filipina, dan bahasa Indonesia. Setelah beberapa periode distribusi gratis, buku tersebut pun diluncurkan ulang untuk penjualan retail untuk mencapai pembaca yang lebih luas. Dengan penjelasan baik dalam bahasa Korea maupun bahasa asing terkait, buku tersebut juga memungkinkan pembaca untuk lebih familiar dengan bahasa Korea. Berkat ‘bilingual feature’ ini, buku tersebut dapat digunakan sendiri atau oleh dua orang yang bicara bahasa Korea dan non-Korea supaya mereka juga dapat saling bantu-membantu untuk mengikuti resepnya. Buku tersebut merupakan hasil kontribusi dermawan banyak sukarelawan dan organisasi yang ingin menyediakan panduan kuliner praktis, khususnya bagi keluarga multietnik. Institut Makanan Korea di Sookmyung Women’s University dan fotografer Yeo Sanghyun memainkan peran utama dalam menyusun buku itu, sementara Pusat Bantuan Tenaga Kerja Asing mengatur penerjemahannya ke dalam 10 bahasa yang berbeda. Royalti yang diperoleh dari penjualan buku itu akan digunakan untuk membantu keluarga multietnik di Korea. S e n i & B u d a y a Ko re a


dengan semangat ibunya, si bebek tumbuh besar siap menghadapi kehidupan mandiri. Dalam sebuah akhir yang paling tidak biasa dan mengejutkan, Leafie rela mengorbankan hidupnya demi seekor induk musang dan bayinya. Buku ini bercerita tentang petualangan, keberanian, kasih sayang, dan pengorbanan ibu, yang mewakili nilai yang diagungkan orang Korea. Ceritanya tipikal untuk buku anak, yang indah dan kebaikan selalu menang di atas keburukan serta kejahatan, dengan semacam hasil yang mirip dengan dunia nyata. Penulis buku ini memulai debut sastra pada 1995. Besar di rumah tangga yang rapi, dia berkata bahwa dia biasa tinggal di sekolah untuk membaca sampai senja atau larut malam. Dia mempercayai bahwa buku anak tidak harus selalu dongeng biasa di mana semuanya baik-

LEBIH Masa Depan Katalog Seni di Era Digital

23 Artis dari Tahun 1995 sampai 2010 Aplikasi NMoCA gratis untuk Pengguna iPad.

Seiring dengan semakin dekat pembukaan pameran seni, kurator menjadi sangat sibuk mengurus detail akhirnya. Di antara kecemasan terbesar mereka adalah waktu produksi katalog pameran. Banyak kurator berkata, “Ketika pameran berakhir, hanya katalog yang tinggal!”. Sejak 1990-an, karya seni kontemporer semakin melibatkan fitur ramah-media dan konten digital, meninggalkan gambar foto statis brosur cetak konvensional, untuk lebih meraih kedinamikan pengalaman in-person museum. Kurator dan pengelola pameran secara konstan mencari cara untuk mempromosikan pencitraan video yang lebih baik, karya instalasi, dan pertunjukan, bagi penonton seni rupa. Sebuah terobosan terbaru adalah katalog digital. Dengan penyertaan video clips, katalog digital menyediakan presentasi karya seni multimedia kontemporer yang lebih tajam untuk pengunjung pameran dan masyarakat umum. Sebuah proyek National Museum of Contemporary Art (NMoCA) Digital Publishing Campaign dilaksanakan untuk memproduksi brosur digital bagi pameran 23 Artis dari Tahun 1995 sampai 2010, diselenggarakan di NMoCA dari 9 Agustus sampai 30 Oktober 2011. Katalog digital ini mencakup segudang informasi meng-enai karya seni dan seniman yang berpartisipasi dalam pameran, juga kritik, dan wawancara seniman. Hasilnya adalah pandangan Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

baik saja, serta semua orang bahagia dan riang. Malah, dia secara sensitif membahas kesulitan hidup, kesedihan dari perpisahan, dan bahkan ketakutan kematian. Leafie, Si Ayam-Petelur Lepas ke Alam Bebas telah dikenalkan ke lebih banyak pembaca di luar negeri sejak diterjemahkan ke bahasa Jepang pada 2003. Di Polandia, buku itu terseleksi sebagai Best Book of Spring 2012 (Najlepsza Ksiazka na Wiosne 2012), sebuah pencapaian yang menakjubkan, mempertimbangkan bahwa hanya sedikit buku Korea tersedia dalam bahasa Polandia. Di Amerika Serikat, melalui Penerbit Penguin Classics, karya tersebut akan diterbitkan dalam bahasa Inggris bagi pembaca bahasa Inggris. Perusahaan penerbitan AS itu menargetkan secara khusus pada pembaca dewasa, mengingat ceritanya mengenai kenyataan hidup.

Yoon Bit-na Reporter, The Reader’s News Kim Sung-chul Direktur, Community Service Group, Daewoo Securities Ki Hey-kyung Kurator, National Museum of Contemporary Art

komprehensif mengenai seni kontemporer Korea karena pameran itu menampilkan 23 seniman yang telah terpilih sebagai “Artis Tahun Ini” selama lebih dari 16 tahun. Proyek tersebut juga menarik perhatian dunia internasional dan menerima hadiah perak pada The Fourth Annual Internationalist’s Awards untuk inovasi dalam media, diadakan di New York pada April tahun ini. Katalog digital dapat diakses online dengan mengunduh aplikasi NMoCA pada iPad. Dibandingkan dengan brosur cetak konvensional yang hanya menyediakan fotografi reguler, fungsi zoom dan rotasi memungkinkan Anda untuk menikmati tur pameran secara virtual. Mudah dibawa dan kenyamanan adalah kunci keuntungan dari format digital ini. Diperlukan lebih banyak usaha untuk membangun kesuksesan peluncuran sumber digital oleh NMoCA. Servis berdasarkan-internet melibatkan hak cipta yang sulit dan masalah hak gambar. Aksesibilitas juga perlu diperbaiki karena saat ini hanya tersedia untuk digunakan pada perangkat iPad. Selain itu, sebuah platform internet yang dapat mengirim konten video dengan lancar dalam mulus juga diperlukan. Di luar masalah ini, kita juga mendekati abad katalog digital dengan audio dan konten video untuk memperkaya pengalaman pengunjung. NMoCA berencana untuk melanjutkan produksi sumber digital untuk seri pameran tahunan “Artis Tahun Ini,” yang selanjutnya memberikan hidup baru pada bahan rekomendasi museum.

65


Esai

Amazing Korea! Korea dengan sadar membangun masyarakat berbasis pengetahuan. Bahkan perekonomian Korea pun dibangun dengan basis pengetahuan. Kemajuan ekonomi tidak sekadar diukur dari tingkat pertumbuhan semata, tetapi bagaimana mampu mencerdaskan dan mencerahkan rakyatnya. Suryopratomo Direktur Pemberitaan Metro TV

S

ETIAP kali berbicara soal Korea Selatan selalu ada kekaguman pada diri saya. Bagaimana Korea bisa membangun bangsa seperti yang mereka harapkan. Bukan hanya menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, tetapi mampu membangun “knowledge based society�. Penilaian saya ternyata sejalan dengan pemikiran yang disampaikan ahli sosiologi Samuel L. Huntington bahwa Korea merupakan salah satu contoh yang membangun kultur yang kuat. Dalam bukunya “Culture Matters�, Huntington menjelaskan bagaimana bangsa Korea mampu membangun kultur disiplin yang begitu kuat, kerja keras, menghargai waktu, dan tidak pernah mau kalah dari bangsa lain. Itulah yang membuat bangsa Korea bisa terbang tinggi, sementara Ghana yang sama-sama dengan Korea ketika mulai membangun bangsanya, masih tetap berada di posisinya seperti dulu. Kedekatan saya dengan kultur Korea sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Orang tua saya yang memperkenalkan kultur bangsa Korea karena ia merasakan langsung saat membangun perusahaan patungan dengan Korea Development Company (Kodeco) di Batulicin, Kalimantan Selatan. Di perusahaan kayu itu, saya berkenalan dengan banyak orang Korea yang bekerja di PT. Emil Timber. Bahkan ketika itu Kodeco sampai mengembangkan bisnis di industri perminyakan dan gas setelah mendapatkan konsesi di Selat Madura. Sesudah saya bekerja sebagai wartawan di Harian Kompas, saya semakin bisa melihat bagaimana proses pembangunan karakter bangsa Korea itu dilakukan. Saat Korea sedang membangun bulu tangkis, saya melihat sendiri bagaimana salah seorang pemain diperingatkan dengan sangat keras oleh pelatihnya ketika melakukan kekeliruan fatal saat pertandingan. Bagi saya yang tinggal di Indonesia, perlakuan pelatih Korea kepada pemainnya terasa sangat kasar. Namun saya akhirnya harus mengakui bahwa itulah jalan untuk menegakkan disiplin dan meraih kemajuan. Tidak lama

66

S e n i & B u d a y a Ko re a


setelah itu saya melihat bagaimana pemain tersebut keluar sebagai juara All-England dan itulah awal kebangkitan bulu tangkis Korea Selatan. Pembangunan karakter Korea yang dimulai sejak zaman Presiden Park Chung-hee ternyata berlaku di semua lingkungan. Itulah yang kemudian menguatkan rasa nasionalisme di dada bangsa Korea dan dengan kebersamaan sebagai bangsa kemudian mereka membangun negara mereka. Selalu ada perasaan iri melihat bangsa Korea membangun negaranya. Mereka pernah hidup di era kepemimpinan yang otoriter dan kemudian membangun demokrasi. Namun demokrasi yang didirikan bukan hanya sekadar “talking democracy”, tetapi menjadi “working democracy”, demokrasi yang membawa kemajuan. Indonesia dengan kekayaan alam yang luar biasa, sebenarnya bisa lebih maju dari Korea. Indonesia jauh lebih dulu dari Korea menjadi perhatian dunia. Indonesia sudah menjadi tuan rumah Asian Games pada tahun 1962, sementara Korea baru tahun 1986 berani menjadi tuan rumah. Namun Korea kemudian melompat lebih tinggi dari Indonesia. Korea bahkan sudah tiga kali menjadi tuan rumah Asian Games dan sekali Olimpiade, sementara Indonesia tidak pernah lagi tampil di panggung utama dunia itu. Persoalannya terletak pada pembangunan manusia. Korea dengan sadar membangun masyarakat berbasis pengetahuan. Bahkan perekonomian Korea pun dibangun dengan basis pengetahuan. Kemajuan ekonomi tidak sekadar diukur dari tingkat pertumbuhan semata, tetapi bagaimana mampu mencerdaskan dan mencerahkan rakyatnya. Dengan kekuatan pada manusianya, sejak tahun 2005 Korea mampu melompat lebih tinggi lagi. “Korean waves” yang dicanangkan membuat Korea tidak hanya menopang kemajuan kepada produk, tetapi juga jasa. “Dynamic Korea” bukan hanya sekadar menjadi slogan. Dengan kekuatan pada manusianya, Korea yang dinamis memang bisa kita lihat secara nyata. Itulah yang selalu membuat saya kagum kepada Korea dan bangsa Indonesia harus belajar dari keberhasilan bangsa Korea itu.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

67


HIBURAN

‘Jodoh’ : Mencari Jodoh di Primetime TV “Jodoh” (Jjak ) adalah program TV, tempat partisipan dalam program ini mencoba mencari pasangan mereka. Dalam tayangan bergaya dokumenter ini, selama satu minggu sejumlah pria dan wanita ditempatkan dalam lokasi terbatas untuk dapat saling berinteraksi dan mencoba memilih calon pasangan mereka.

Hwang Jin-mee Kritikus Film

“J

odoh” (Jjak) awalnya adalah sejak disiarkannya bagian pertama dari serangkaian dokumenter yang terdiri dari tiga bagian berjudul “Saya Juga Ingin Mencari Jodoh Saya” pada tanggal 2 Januari 2011. Acara akhir pekan yang disiarkan pada tengah malam, yakni acara dokumenter “SBS Special” yang biasanya membahas isu budaya, menjadi buah bibir dengan ditayangkannya program yang berbentuk percobaan ini. Program ini mengamati bagaimana dua belas partisipan pria dan wanita yang ditempatkan di lokasi terpencil mencari jodoh dengan memberi mereka tugas-tugas sederhana dan waktu bebas untuk dilewatkan bersama. Walau bertemakan cinta – yang seharusnya riang dan ceria - suara narator yang tenang dan serius memberi kesan seperti menonton program antropologi istimewa kepada pemirsa. Seperti layaknya menonton dokumenter kehidupan binatang <Dunia Fauna>, program ini menunjukkan bagaimana homosapien – dalam hal ini orang Korea - saling tertarik pada lawan jenisnya dan saling berinteraksi.

Satu Pekan di ‘Desa Cinta’ Setelah dua bulan berlalu, program dokumenter yang unik ini menjadi program reguler. Untuk siaran pertama pada tanggal 23 Maret format dasar tayangan tetap utuh. Dua belas pria dan wanita (dengan perbandingan pria dan wanita 7:5 atau 6:6) masuk di “Desa Cinta” selama seminggu untuk pengambilan gambar. Termasuk wawancara untuk mengetahui pikiran mereka, yang kemudian diedit dan disiarkan dalam dua sampai empat bagian, program ini terkemas masing-masing dengan durasi 65 menit. “Desa Cinta” memiliki 12 aturan: Aturan pertama adalah bahwa tujuan utama program ini adalah untuk menemukan pasangan hidup yang potensial. Para peserta memakai seragam dengan nomor di belakang. Sebagai ganti nama, mereka dipanggil berdasarkan nomor yang tertera pada bagian punggung

pakaian mereka. Pada hari pertama, mereka saling berinteraksi berdasarkan impresi pertama saja. Hari berikutnya, mereka memperkenalkan diri dengan mengungkapkan informasi diri dasar seperti jenis pekerjaan yang mereka lakukan. Kesan pada hari pertama ditambah dengan informasi tentang status sosial ekonomi diri menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan mereka. Program ini memberikan kesempatan kencan untuk semua partisipan, sementara pada saat yang sama respon emosional partisipan terus diamati. Seperti yang sudah diketahui umum, “perjalanan cinta” tidak selamanya lancar dan mulus. Terkadang panahpanah asmara terpusat pada satu wanita saja atau juga sebaliknya. Ada juga beberapa peserta yang tidak mendapat pilihan dari siapa pun. Setiap partisipan melakukan yang terbaik untuk memperlihatkan pesona mereka dan secara aktif menyatakan hati mereka pada lawan jenis yang diminati. Dalam beberapa kali pemilihan terus saja pilihan setiap partisipan berubah. Dalam keadaan tidak yakin tentang perasaan masing-masing, para partisipan harus berusaha meyakinkan diri dengan mengetes lawan mereka. Ada partisipan yang sejak awal tidak berhasil menarik perhatian, sehingga menjadi jauh dari partisipan lain, ada pula yang di awal telah lumayan berhasil, kemudian mencoba memilih si ini lalu ganti si itu, dan malah


akhirnya gagal sama sekali. Karena semua partisipan terus-menerus berinteraksi satu sama lain, sering kali ada ketegangan di antara peserta dari jenis kelamin yang sama. Dalam beberapa kasus, beberapa pria bersaing untuk mendapatkan seorang wanita sampai akhir, ada juga yang bernegosiasi satu sama lain, dan beberapa bersiasat diam-diam. Beberapa pasangan yang kelihatan seperti ditakdirkan untuk berhasil akhirnya gagal, kadang-kadang suatu hubungan bisa mekar jauh dari jangkauan kamera.

Revolusi Program Penjodohan Sejumlah program TV sebelumnya sudah ada sejak dulu untuk menjodohkan pria dan wanita dewasa. Program “Studio of Love” yang pertama kali ditayangkan pada tahun 1994 adalah sebuah program yang menampilkan pria dan wanita dewasa yang dijodohkan melalui seksi tanya-jawab dan beberapa permainan untuk saling mengenal dan memilih. Program ini seolah-olah memindahkan pertemuan mahasiswi dan mahasiswa Korea ke studio. Jika ditengok kembali, sebenarnya lucu juga mengharapkan bisa mencari pasangan hidup hanya melalui tahap-tahap sesederhana itu. Dewasa ini pertemuan pria dan wanita jauh lebih bebas, sehingga pertemuan menjadi lebih banyak melalui perkenalan (Mak Comblang) atau booking (pertemuan di bar atau klub) yang spontan dan antusias. Oleh karena itu, baik partisipan, maupun pemirsa jarang percaya bahwa pasangan dapat saja muncul melalui percakapan satu dua jam di studio. Inilah yang menjadi latar belakang lahirnya program “Jodoh” (Jjak) yang lebih terfokus bentuknya.

Pasangan di luar Kamera “Jodoh” (Jjak) ternyata tidak hanya digemari oleh pemuda-pemudi yang sedang getol mencari jodoh mereka. Dalam program ini pemirsa dapat menemukan psikologis cinta manusia seperti dalam karya sastra atau drama, yang dikemas dalam tiga atau empat kali tayangan. Ada pula pemirsa yang membandingkan gaya cinta pribadi dengan pengalaman sendiri kemudian mendapatkan hikmah dari tayangan ini. Oleh karena itu, walaupun program ini disiarkan tengah malam di hari biasa tanpa menampilkan selebritas, tetap saja memicu berbagai isu. Setiap kali program selesai disiarkan, situs internet menjadi ramai menampilkan hal-hal berkenaan dengan partisipan. Isu tentang partisipan pun tidak ada hentinya. Karena masa lalu atau data pribadi mereka tersebar melalui internet, pemirsa mempertanyakan apakah partisipan mengikuti program ini betul-betul untuk mencari jodoh atau meng-ikutinya sebagai langkah awal menjadi selebritas atau mempromosikan diri untuk bisnis.

Beberapa penonton bertanya-tanya, mengapa orangorang muda bersedia memublikasikan identitas dan emosi pribadi, padahal di masa kini mereka bisa saja mendapatkan pasangan dengan cara yang lebih bijaksana dengan peluang keberhasilan yang lebih tinggi; bisnis perjodohan yang berkembang dengan janji-janji yang berani mencarikan pasangan sempurna untuk setiap kliennya. Ada pula komentar yang mengkritik pemirsa yang hanya menikmati perjuangan orang lain untuk mendapatkan cinta. Perlu juga diingat, bahwa tetap saja banyak orang yang belum menemukan pasangannya, meskipun budaya saat ini memungkinkan untuk kencan bebas dan terbuka. Bagi banyak orang, menemukan pasangan bisa menjadi proses yang sulit, walaupun dibantu Mak Comblang di tengah suasana masyarakat yang cenderung menikah lambat dan terdiri dari banyak anggota masyarakat dengan kepribadian yang bebas dan unik. Untuk orang-orang seperti ini, lingkungan sederhana yang dikhususkan untuk mencari pasangan menjadi efektif. Semakin putus asa partisipan dalam program dalam memperoleh hati lawan jenisnya, semakin besar minat pemirsa pada tayangan ini. Khususnya jika usia partisipan hampir mencapai 40 tahun, atau sama sekali belum pernah berkencan sebelumnya, atau mengikuti program untuk menikah kembali. Sampai saat ini lebih dari 300 pria dan wanita telah mengunjungi “Desa Cinta”. Baru-baru ini, program ini mencetak sukses pertama dalam menyatukan pasangan yang akhirnya menikah, dan sedang menunggu kelahiran anak mereka. Mereka muncul dalam episode khusus untuk partisipan yang ingin menikah lagi. Meskipun masing-masing awalnya berpasangan dengan partisipan lain, mereka kemudian bertemu kembali dalam pertemuan antar partisipan program. Keduanya putus hubungan dengan pasangan mereka masing-masing dari program ini. Tak lama kemudian, lepas dari kamera, cinta bersemi. Program televisi hanya dapat mengungkapkan sepotong atau dua episode dari kehidupan nyata. Program televisi dapat saja berakhir, tetapi kehidupan terus berlanjut.


Perjalanan Kesusastraan Korea

Kritik

Anak Pemilik Toko Roti di Kampung yang Menjadi Novelis Uh Soo-woong Wartawan Seni dan Budaya, The Chosun Ilbo

“S

aya sering mengenang kembali dengan baik pemandangan sebuah kota kecil yang bernama Gim Cheon. Anda bisa membayangkan restoran China Namgyeongbanjeom yang pada dindingnya tergantung foto Chiang Kai-shek dan kalender pemandangan Taiwan. Sekarang pun kami bisa ingat segala sesuatu waktu itu. Kami tahu riwayat toko-toko yang berderet sepanjang Jalan Gim Cheon waktu itu seperti kami mengenal telapak tangan sendiri. Tentu ada kekerasan, caci maki, dan perjuangan untuk mempertahankan kehidupan. Tetapi setidaktidaknya, orang-orang waktu itu berpikir tidak mau berutang kepada orang lain. Mereka tidak pernah berpikir kesuksesan diraih dengan mengorbankan kegagalan orang lain. Bagi saya mereka terasa masih hidup. Waktu memang berlalu seperti menggenjot pedal sepeda, walau kenangan itu meninggalkan ruang kosong seperti kepompong, tetapi itulah waktu yang paling sempurna bagi saya.” Demikian yang dikatakan Kim Yeon-su, salah seorang penulis terkemuka Korea, kepada penyair Mun Tae-jun, teman sekampung dan seprofesinya. Dalam membahas cerita “New York Bakery” perlu diingat dua aspek penting. Pertama, semangat zaman khas sastrawan yang lahir pada tahun 70-an. Kedua, perbedaan warna lokal Gim Cheon, sebuah kota kecil yang menyerupai ‘pulau di tengah daratan’ di Provinsi Gyeongsang Utara. Kedua aspek itu tampak bercabang tapi sekaligus menyatu. Dunia sastra Kim Yeon-soo bersumber dari akar tersebut. ‘New York Bakery’ adalah nama toko roti yang pernah ada di pojok halaman stasiun Gim Cheon. Orang tua Kim Yeon-soo yang mengelola toko itu. Menurut penyair Mun Tae-jun, ketika Kim Yeon-su masih muda, dia sering membaca buku-buku puisi Rimbaud atau Hwang Ji-u, atau majalah sastra langganannya sambil menjaga toko roti. Ada satu episode seperti berikut. Pada suatu hari di kala salju turun, saat dia menunggu langganan sambil membaca buku puisi, seorang biksu tua masuk tokonya. Biksu itu bertanya, “Engkau sedang membaca buku

70

apa?” Dan Kim menjawab, “Buku puisi Rimbaud”. Biksu tua itu berkata lagi, “Anak muda, lakukan itu selama sepuluh tahun. Pasti kau sukses besar.” Mendengar perkataan itu, Kim berpikir, “Saya akan menulis selama sepuluh tahun saja. Kalau saya melakukan itu, pasti akan berhasil.” Saya pernah melihat beberapa foto ketika Kim masih anakanak. Salah satu fotonya menggambarkan ia sedang menaiki sepeda roda tiga. Di latar belakang fotonya terpampang tulisan ‘New York Bakery’. Persis di depan tokonya. Lelaki remaja, sebenarnya masih bocah itu, tersenyum cerah. Kerai sudah diturunkan untuk menghalangi terik matahari dan di jendela ditempel kertas dengan gaya tulisan 70-an berbunyi ‘Cake Eropa Berkualitas’ dan ‘Cokelat Panas’. Ketika itu, ibunya yang masih muda, tidak bisa sering-sering memberikan roti kepada anak-anaknya karena merasa begitu berharganya uang satu sen. Bahkan Kim tidak berpikir dapat menikmati roti yang akan dijual. Kim baru bisa makan girepasi serpihan-serpihan potongan roti castella. Girepasi itu tidak bisa dijual, tidak bisa diberikan kepada orang lain karena bentuknya jelek, tetapi juga tidak boleh dibuang. “Aku tidak pernah merasa bosan dengan roti kacang merah, roti krim, roti bopeng, kue ketan, donat, dan roti tawar susu, tetapi girepasi membuatku mau muntah. Karena aku dan saudara-saudaraku tidak mau menyentuh, girepasi maka makanan itu diberikan kepada anak anjing. Sesaat, anak anjing itu makan girepasi, tapi berikutnya dia sama sekali tidak mau menyentuhnya. Anjing pun akhirnya tahu.” Penulis mengatakan, “Kehidupan memang demikian. Kalau berlebihan, pasti menjemukan.” Secara pribadi, Kim Yeon-soo dan saya sebaya. Ini berarti kami mempunyai kenangan dan pengalaman generasi yang sama. Para pemuda Korea kelahiran tahun 1970-an, dan kemudian tumbuh di tahun 1980-an menikmati dan menerima budaya populer yang hampir seragam, tanpa ‘keanekaragaman aliran’. Pada awalnya kami menonton TV berwarna ketika masuk SD. Remaja ketika itu menikmati film kartun Lima Elang S e n i & B u d a y a Ko re a


© Paik Da-huim

Kim Yeon-su Ketika dewan juri Dong-in Literary Prize 2003 menetapkan Kim Yeon-su sebagai pemenang untuk antologi cerpen yang berjudul Ketika

Aku Masih Kanak-Kanak , dewan juri memberi catatan sebagai berikut: “Penulis telah melempar batu ke tengah danau berupa pengalaman pribadinya dan menciptakan lingkaran gelombang air yang menggemakan sejarah Korea modern yang tak ternilai.” “New York Bakery” adalah cerita berisi riwayat pribadi pengarangnya yang dimuat dalam antologi tersebut.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2012

Bersaudara dan menonton pertandingan gulat profesional dengan pegulat Kim-il. Di sekolah menengah perhatian kami tertuju pada musik pop. Berkat pengalaman yang sama selama anak-anak sampai remaja, walaupun saya belum pernah makan girepasi, saya setuju bahwa girepasi menggambarkan keinginan masa itu dan kesenangan kecil yang dilambangkannya. Tahun 1993 Kim Yeon-su mulai karier kesastrawanannya. Tahun berikutnya dia menerbitkan Berjalan Menunjuk Topeng. Jika dihitung sejak menulis puisi, Kim sudah 20 tahun berkarya. Walaupun dia menulis karya sastra dengan berbagai ragam, satu ekspresi yang mewakili dunia kepengarangannya adalah berikut ini. “Berada di dalam pengalaman dan status generasi 1970-an, dengan gaya yang sangat sensitif dan tertata, saya berusaha menangkap kegelisahan dan penderitaan tak terlihat, yang dialami oleh mereka yang disebut sebagai ‘generasi yang hilang’ .” ‘New York Bakery’ adalah sebuah karya otobiografis yang dihasilkan dari kenangan, kontemplasi, dan meditasi, yang menunjukkan akar psikologis pengarangnya. Seperti disebutkan pada baris pertama, kisah ini ditulis tangan dengan pensil. Hal yang menunjukkan proses penulis yang lebih “campur tangan” untuk lebih terbuka pada dirinya sendiri. Kim Yeon-su pernah membaca koran dan menyebutkan ceritanya seperti berikut. “Anak saya yang berumur empat tahun sedang bermain dengan smart phone saya dan gembira ketika muncul tulisan ‘fail’ di layarnya. Ketika saya tanya apa maksud ‘fail’ itu, ia menjawab ‘gagal’. Maka, saya bertanya apa maksud gagal itu, dia menjawab ‘main lagi’.” Setiap orang menyatakan pesona novel Kim Yeon-su dari sudut pandang masing-masing. Tetapi bagi saya, pesonanya seperti berikut. Setelah selesai membaca karyanya, makna ‘gagal’ menjadi berarti sama dengan ‘mulai lagi.’ Hal tersebut membuat saya bahagia dan bersyukur.

71


citra korea

G

andum mulai matang kekuning-kuningan di bawah terik matahari yang menusuk. Jalan membagi ladang gandum membentang tanpa ujung, larut di kejauhan. Bunga madat (Papaver rhoeas) berdarah menjulurkan kepala mereka keluar dari tepi ladang gandum, kemudian memudar, pucat oleh terik sinar matahari. Dalam setiap alur yang panjang, lavender mekar melimpah, meliputi bukit kecil dalam aroma kabut ungu. Rumah petani direngkuh pepohonan yang berselimutkan ba yangan. Di ujung jalan, ada sebuah alun-alun desa yang kecil. Air dingin mengalir dari air mancur, dan orang-orang di ruangan itu mengelilingi meja dan minum air peppermint sambil memandang awan yang melintas. Pepohonan ara tua berbaris sepanjang jalan dan menghalangi langit, melemparkan bayangan rindang ke jalan. Saat aku berjalan beriringan, bayangan menari samar di tubuhku. Setelah aku lewat, bayangan belang-belang jatuh leluasa sekali lagi di jalan. Jadi, sebagai perantau, aku sudah lama menjelajahi musim panas yang matang di negeri asing. Saat aku melangkah di sepanjang jalan, aku memandang bunga-bunga dan ladang gandum, dan pohonpohon dan air mancur, dan rumah pertanian, kadang-kadang dari samping, kadang-kadang dari bawah. Aku berada di samping mereka, dan aku berada di antara mereka. Aku telah menjadi bagian dari pemandangannya. Ketika aku kembali ke tanahku sendiri, musim gugur sudah hadir di sekitar, dan sebuah foto “negaraku yang terlihat dari atas�. Ladang terhampar kosong, kehilangan bayangan. Bunga-bunga telah pudar dan daun berguguran. Bahkan burung-burung dan orang-orang telah pergi. Ladang telah meletakkan semua ornamennya untuk tetap sendiri sebagai sebuah abstraksi yang telanjang. Suatu hari musim gugur di alam semesta, di sore hari ketika cahaya bintang belum datang, ladang yang dipanen membentang di bawah mata langit seperti rambut kepang seorang gadis negro. Ini adalah adegan yang belum pernah kulihat sebelumnya, seperti dunia ini dilihat dari akhirat. Maka begitu asing bagiku. Tidak menyadari itu, aku melakukan perjalanan iseng ke sana selama musim panas. Dan kemudian, setelah kembali ke rumah, tiba-tiba aku menemukan diriku berdiri di luar pemandangan. Sekarang Aku memandang ladang dengan mata jiwa yang terusir seperti melihat belakang sosok tubuhnya.

Sebuah Layar Musim Gugur: Pandangan dari Luar Kim Hwa-young Kritikus Sastra, Anggota Akademi Kesenian Nasional Korea Choi Jae-young Fotografer


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.