Koreana Spring 2016 (Indonesian)

Page 1

musim semi 2016

SENI & BUDAYA KOREA

TEATER KOREA

m 2016 vol. 5 no. 1

FITUR KhUSUS

mUSIm

Teater Korea Masa Kini Tokoh dan Aliran

Artis Panggung Lee Byung-bok, Setengah Abad Bintang Pedoman Teater Korea; Daehangno, Representasi Distrik Teater Seoul

vol. 5 no. 1

ISSN 2287-5565


Citra Korea


Keajaiban di Taman Marronnier Kim Hwa-young Kritikus Sastra, Anggota Akademi Kesenian Nasional

I

nilah Taman Marronnier Daehangno, sebuah jalan di pusat kota Seoul. Seorang aktor dengan topi dan jaket merah tampil di tengah-tengah alun-alun. Mungkinkah dia seorang pesulap? Kerumunan orang segera mengelilinginya. Ini merupakan festival jalanan. Di jalan ini, setiap hari, setiap peristiwa adalah sebuah festival yang mengupas satu lapisan luar yang menggembirakan, dan pengungkapan sepotong sejarah modern Korea. Bagian timur laut kawasan lama dari ibukota Seoul merupakan rumah bagi teater kecil yang berkerumun berhimpitan tak terhitung jumlahnya, termasuk Teater Seni Arko dari Dewan Kesenian Korea. Wilayah Daehangno yang membentang 1,5 kilometer ke dua arah dari Stasiun Subway Hyehwa ditetapkan oleh negara sebagai zona budaya. Ini merupakan wilayah yang kaya kandungan sejarah yang berdekatan dengan situs bersejarah seperti Gunung Nak yang tegak di belakangnya, dan Istana Changgyeong, Istana Changdeok, serta Kelenteng Jongmyo, yang masing-masing lokasinya dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Nama Daehangno secara harfiah berarti “jalan universitas” berasal dari fakta bahwa Universitas Nasional Seoul merupakan universitas modern Korea pertama yang didirikan di tempat ini pada tahun 1946. Pada tahun 1961, saya masuk Fakultas Humaniora Seoul National University (SNU) dengan memilih studi utama sastra Prancis. Di bagian belakang tampak bangunan bata merah Teater Seni Arko, yang semula merupakan situs bangunan bata abu-abu klasik yang pernah digunakan untuk perpustakaan universitas dan kantor beberapa profesor. Dan di situlah saya pertama kali membaca L'Etranger (“Orang Asing”) karya Albert Camus. Di halaman depan terdapat rumpun pohon zelkova. Jalan setapak menyusuri halaman, harum dengan aroma lilak, menuju gerbang depan universitas. Dari sana, melintasi jembatan di atas sungai yang berada di depan, yang kita sebut “Seine” sebagaimana impian kita mengenai Paris yang jauh, menyebabkan jalan itu saat ini disebut Daehangno. Di seberang jalan, Hospital Universitas dan Fakultas Kedokteran SNU masih berdiri di tempat yang sama. Bangunan bata tua itu juga merupakan tempat saya memberikan kuliah pertama dan terakhir di almamater saya setelah kembali dari studi di Prancis pada musim gugur 1974. Pada tahun 1975, SNU dipindahkan ke kampus baru yang luas di pinggiran kota sebelah selatan, dan daerah kampus lama menjadi pusat kaum muda dan budaya Seoul. Itu belum semuanya. Sebelum pembangunan SNU tempat ini merupakan Fakultas Hukum Universitas Imperial Keijo yang didirikan oleh pihak penjajah Jepang pada tahun 1924. Dua pohon raksasa yang terlihat di bagian paling belakang foto merupakan pohon kastanya kuda (Marronier) yang ditanam pada tahun 1927 oleh Ueno Naoteru, seorang profesor estetika di sekolah tersebut, yang membawanya dari Prancis ke sini. Pohonpohon inilah yang membuat tempat ini diberi nama Taman Marronier. Aktor bertopi merah itu, apakah ia akan menyadari keajaiban arkeologi waktu dan sejarah yang merupakan bagian dari alun-alun ini?


PEmImPIN UmUm DIREKTUR EDITORIAl PEmImPIN REDAKSI DEwAN REDAKSI

Dari Redaksi

Pergantian musim dalam latar Teater Musim silih berganti di Korea. Setelah musim dingin yang amat dingin berlalu, musim bunga pun tiba. Jika di musim dingin orang-orang harus mengenakan busana berlapis-lapis, topi, syal, kaos tangan, dan sebagainya, kini pelan-pelan berkuranglah beban itu. Gerakan tubuh saat berjalan atau bergegas ke stasiun subway semakin terasa bebas. Di kanan-kiri jalan bunga mulai bermekaran, memberikan suasana latar yang sangat berbeda dengan musim dingin. Adegan dan busana pun berganti seperti pergantian babak dalam teater. Selalu menarik dan selalu ditunggu. Teater merupakan pertunjukan seni yang tak asing di Korea. Dalam edisi kali ini disajikan ikhwal perkembangan teater Korea, teater tradisional Korea ‘Changgeuk,’ dan kawasan Daehangno tempat group teater tumbuh dan berkembang, serta ajang pasangan muda-mudi berkumpul. Yang tak kalah menarik ialah narasi tokoh yang terdapat dalam cerita pendek ‘Musafir Tak Pernah Istirahat Sepanjang Jalan’ karya Lee Ze-ha. Siapa tahu setelah membaca dan mengidentifikasi ternyata tokoh itu representasi dari kita sendiri. Konflik yang memukau seperti halnya konflik yang dialami oleh seorang pelukis pengungsi dari Korea Utara yang sekarang aktif berkarya di Korea Selatan. Semua itu dapat dibaca di Koreana Edisi Musim Semi 2016 ini. Selamat membaca sambil memandangi sakura yang bermekaran di sepanjang tepi Sungai Han di Yeouido. Koh Young hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia

DIREKTUR KREATIF EDITOR

PENATA ARTISTIK DESAINER

PENATA lETAK DAN DESAIN

Yu Hyun-seok Yoon Keum-jin Koh Young Hun Bae Bien-u Charles la Shure Choi Young-in Han Kyung-koo Kim Hwa-young Kim Young-na Koh Mi-seok Song Hye-jin Song Young-man Werner Sasse Kim Sam lim Sun-kun noh Yoon-young Park Sin-hye lee Young-bok Kim Ji-hyun lee Sung-ki Yeob lan-kyeong Kim’s Communication Associates 44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu Seoul 04035, Korea www.gegd.co.kr Tel: 82-2-335-4741 Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan. INFORmASI BERlANggANAN: The Korea Foundation West Tower 19F Mirae Asset CEnTER1 Bldg. 26 Euljiro 5-gil, Jung-gu, Seoul 04539, Korea PERcETAKAN EDISI mUSIm SEmI 2016 Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5 © The Korea Foundation 2016 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, olahraga, dan Pariwisata(no. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

SENI & BUDAYA KOREA musim semi 2016

Gambar dalam poster publikasi drama musikal “Fabel Baek Seok” yang ditulis dan disutradarai oleh lee Youn-taek, serta ditampilkan perdana oleh Kelompok Teater Jalanan pada Agustus 2015 di Pusat Seni dan Budaya Daejeon. Drama ini melukiskan hidup dan karya penyair Korea Utara Baek Seok (1912-1966).

Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation 2558 nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea http://www.koreana.or.kr


26

FoKus

Cho Seong-Jin Masa Depan Musik Klasik Korea Park Yong-wan

WAWAnCARA

15

32

Insooni, Saya Ingin Menjadi ‘Penyanyi yang Menyuarakan Harapan’

32

Cho Sung-sik

20

CeRiTA TenTAnG DuA KoReA

Impian Pelukis Pelarian Mengenai Korea tanpa Garis Batas

36

Kim Hak-soon

JATuH CinTA PADA KoReA

40

Ryan Cassidy: Sebuah Suara Lintas Budaya

44

Hamyang dan Sancheong Desa Cendekiawan Beraroma Pegunungan Musim Semi

FITUR KhUSUS

Teater Korea masa Kini: Tokoh dan Aliran FiTuR KHusus 1

04

Artis Panggung Lee Byung-bok Setengah Abad Bintang Pedoman Teater Korea

Daehangno, Representasi Distrik Teater Seoul

esAi

54

Urgensi Dialog Antarbudaya Rizqi Adri Muhammad

Choi Yoon-woo

FiTuR KHusus 3

14

Di Korea Mengapa Chekhov Harus Ditonton Sekali Lagi: Kisah Kelompok Teater Jalanan

38

lee Chang-guy

FiTuR KHusus 4

20

Changgeuk Bangkit Kembali Kang Il-joong

44

Musafir Tak Pernah Istirahat Sepanjang Jalan lee Ze-ha

Hwang Jin-mee

10

Jeon Sung-won

Cho Yong-ho

52

60

Layan Antar Makanan Kini Punya Aplikasi

Kidung Surealistik Pengembara

Talk Show TV Menghadirkan Lagi Permasalahan Publik

Kim Su-mi

FiTuR KHusus 2

HiBuRAn

Kim Jin-young

PeRJAlAnAn KesusAsTRAAn KoReA

Kwak Jae-gu

56

Bawang Putih: Kelezatan Musim Semi dan Pemberi Rasa Sepanjang Waktu

GAYA HiDuP

Darcy Paquet

Di ATAs JAlAn

KisAH RAmuAn

64


Fitur KHusus 1 Teater Korea Masa Kini:Tokoh dan Aliran

artis Panggung Lee Byung-BoK setengaH aBad Bintang Pedoman teater Korea Kim su-mi Kritikus Teater ahn Hong-beom Fotografer

Lee Byoung-bok merupakan pelopor yang membuka jalan bagi seni teater modern Korea. dia membuka sebuah kafe teater pada tahun 1969, dan menjadi jembatan bagi publik untuk mengenal berbagai drama kontemporer Barat, drama rakyat Korea, dan karya-karya kreatif modern lainnya. ia juga membuka gerakan panggung teater kecil. selama 40 tahun, seniman yang memimpin “teater Jayu (teater Bebas)” ini dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai “aktor tersembunyi,” tapi bagi seniman teater generasi muda ia telah dianggap sebagai bintang pedoman yang membimbing perjalanan karir teater mereka.

4 KoReANA musim semi 2016


P

ada Desember tahun lalu, sebuah pesta kecil diadakan untuk merayakan ulang tahun ke-90 Lee Byoung-bok di studionya yang berlokasi di Jangchung-dong, Seoul. Dalam pertemuan sederhana yang dihadiri oleh anggota keluarga dan beberapa artis, aktris Son Suk berumur 70 mengatakan, “Ketekunan Andalah yang telah membuat artis seperti kami ini bisa bertahan di negara ini. Kita bisa sampai sejauh ini karena Anda telah menjaganya sepanjang hidup Anda. Kami benar-benar berterima kasih untuk itu.”

teater Café dan teater Jayu Lee Byoung-bok merupakan CEO dari Teater Jayu selama 40 tahun (1964-2004). Tidak seperti organisasi lain sejenis, di mana direktur menjabat sebagai CEO dan menangani semua urusan administrasi, Teater Jayu dipimpin oleh seorang seniman panggung. Itu mungkin karena sistem khusus dari “penciptaan kolektif.” Dalam seluruh proses produksi termasuk pemilihan drama yang akan disajikan, kelompok teater berkolaborasi dengan spesialis di berbagai bidang. Sebagai spesialis dalam kostum panggung dan alat peraga, Lee Byoung-bok juga aktif berpartisipasi dalam sistem itu terutama untuk kostum dan peralatan, berkontribusi terhadap perkembangan seni panggung dan desain di Korea. Model dari kelompok teater ini adalah teater ensemble Perancis Compangnie Renaud-Barault, yang didirikan oleh pasangan Madeline Renaud dan Jean-Louis Barault. Mitra kerja Lee adalah direktur Kim Jeong-ok, rekannya sejak ia belajar di Perancis. Pada tahun 1960, dua orang muda yang antusias telah membentuk kelompok teater ini, tapi sayang, sulit untuk menemukan tempat yang tepat untuk berpentas pada waktu itu di Korea. Para anggota yang bermotivasi tinggi membutuhkan tempat di mana mereka bisa berpentas secara teratur. Sambil mengenang teater kecil yang tersebar di Montparnasse dan sepanjang Sungai Seine di Paris, Lee membuka sebuah kafe teater. Dengan suaminya, artis Kwon Ok-yeon, dia menyewa sebuah tempat kecil di Chungmu-ro 2-ga, Seoul, dan mulai merenovasi tempat itu dengan tangan mereka sendiri. Dengan menggambar garis di lantai menggunakan kapur, mereka membagi-bagi ruang untuk berbagai macam kegunaan seperti pintu masuk, panggung, ruang mesin, hall, loket tiket, ruang penitipan pakaian, meja, bar kecil, toilet, dan dapur. Dengan jerih payah siang malam, akhirnya Café Teater Myeongdong dibuka pada bulan April 1969 yang merupakan kafe teater pertama di Korea. Sebuah tempat di mana orang bisa menikmati pentas drama sekaligus dengan minuman. Hari Senin dipentaskan drama mahasiswa, hari Jumat untuk drama rakyat, pansori, dan permainan boneka ala Korea, sementara hari-hari lainnya disediakan untuk pertunjukan oleh Teater Jayu dan kelompok lainnya. Kafe ini memperkenalkan drama Barat kontemporer seperti “Penyanyi Sopran Botak” oleh Eugène Ionesco dan “Cerita Kebun Binatang” oleh Edward Albee dan bermacam repertoar lainnya seperti “Boneka yang Bermain Sepatu Roda” oleh O Tae-seok dan karya-karya remake dari tahun 1920 dan 1930-an. Kafe ini memberi kesempatan bagi orang muda untuk dapat menyaksikan pertunjukan tradisional seperti pansori dan permainan boneka ala Korea, dan memberikan kesempatan bagi banyak kelompok teater miskin (Jayu, Minye, Gwangjang, Gagyo, dan Minjung) yang sangat bermimpi menyajikan karya-karya mereka, Café Teater terkenal karena kontribusi monumentalnya untuk promosi teater kecil di Korea. Di masa jayanya, tempat ini juga terkenal sebagai tempat untuk bersosialisasi bagi kaum seniman. Sementara Komunitas Teater Jayu merupakan salah satu poros karir Lee Byung-bok, yang membuatnya merenung dalam komunitas dan kolaborasi, Café Teater menjadi poros lain mengingatkan pentingnya pertunjukan teater-kecil yang SeNI & BUDAyA KoReA 5


tak berjarak dengan penonton. Dengan bertumpu pada kedua poros tersebut dia telah menciptakan berbagai titik koordinat, dan krisis serta ketegangan yang timbul di sekitar titik koordinat tersebut telah membantu mempercepat pertumbuhan seniman teater Korea, membuat mereka bermimpi tentang harapan.

Kostum dan desain Pentas eksperimental Lee Byoung-Bok berlayar ke Perancis pada tahun 1957. Pada saat itu, butuh satu bulan perjalanan dengan kapal dari Korea. Dia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya, dan menitipkan tiga anaknya termasuk si bungsu yang masih menyusu waktu itu pada ibu mertuanya, bukan semata karena dia memiliki ambisi untuk menjadi desainer kostum kelas dunia atau seniman panggung, tetapi karena ia ingin membantu studi seni suaminya di Prancis. Pada saat yang sama, latar belakangnya sebagai seorang intelektual lulusan sebuah universitas Korea bergengsi jurusan sastra Inggris, serta sifat rajin dan beraninya membantunya menemukan karirnya sendiri. Sambil membantu suaminya dalam studinya, ia menghabiskan “waktu luang” nya belajar di sekolah menjahit. “Saya sempat diusir karena saya membuat karya dimensi, padahal saya disuruh membuat karya berpola datar. Saya hanya mencoba untuk mengisi

waktu sebisa mungkin. Tetapi saya terpaksa berhenti dalam enam bulan,” kenang Lee. Merasa kesal, ia mulai bekerja di sebuah toko penjahit, dan pengalamannya dalam membuat gaun malam memberinya pengetahuan intuitif dalam jahit-menjahit. Lee mengenang “Seorang model yang hanya mengenakan pakaian dalam ada bersama penjahit selama berjamjam, jadi kita mengolah kain bukan untuk model mati tetapi model hidup. Kita memakaikan pakaian pada model dan memintanya untuk bergerak untuk melihat bagaimana gerakannya saat mengenakan gaun itu dan mengubah desain jika diperlukan. Hal itu merupakan sesuatu yang tidak akan pernah saya pelajari di sekolah.” Pengalaman ini menjadi dasar untuk bekerja di Korea setelah ia kembali pada tahun 1961. Pada periode ini, ia mulai merasa seolah-olah sepotong pakaian bukan hanya objek tetapi makhluk hidup. Selain itu, ia mulai mengembangkan gaya kreasinya akan kostum panggung, yang berpadu indah dengan pemakainya.

Sementara Komunitas Teater Jayu merupakan salah satu poros karir Lee Byung-bok, Café Teater menjadi poros lain mengingatkan pentingnya pertunjukan teater-kecil yang tak berjarak dengan penonton. Dengan bertumpu pada kedua poros tersebut dia telah menciptakan berbagai titik koordinat, dan krisis serta ketegangan yang timbul di sekitar titik koordinat tersebut telah membantu mempercepat pertumbuhan seniman teater Korea, membuat mereka bermimpi tentang harapan.

6 KoReANA musim semi 2016


Dengan latar panggung artistik, di mana kostum, alat peraga, dan dekorasi lainnya menciptakan harmoni yang konsisten, ia membawa konsep baru dalam desain panggung di teater Korea, yang meningkat setahap lebih tinggi dengan disajikannya <Akan Menjadi Apakah Kita?> (1978). Dan itu diikuti dengan karyakaryanya seperti <Bunga Rembulan> (1982), berupa boneka kain dengan wajah tanpa mata tergantung pada ranting-ranting pohon semanggi yang menggambarkan gerombolan orang-orang yang datang melihatlihat dan <Bunga Berkembang Bahkan Saat Angin Bertiup> (1984), berupa boneka yang tadinya hanya berupa pelengkap yang dibawa ke latar depan sebagai fitur sentral dalam permainan topeng. Dalam <Jika Ayam Jantan Tak Berkokok, Ayam Betinapun Akan Bersuara> (1988), Lee mendapat perhatian karena karyanya yang berupa 70 buah kostum yang dibuat dengan kertas murbei. Kostum dari kertas dapat mengekspresikan berbagai macam gaya tergantung pada lem yang digunakan sebagai bahan baku, dan

Penampilan persembahan teater tari Myung Sook Park pada upacara pembukaan pameran “Lee Byoung-bok: Akting 3, Adegan 3� yang diselenggarakan di teater Seni Arko pada tahun 2013. Panjang kain yang disampirkan tampak alami dan kostum yang terbuat dari kertas murbei dan elemen simbolis lain dari desain panggung Lee Byungbok membentuk bagian integral dari pertunjukan tari.

juga berdasarkan tingkat kepekatannya dapat menentukan kekakuan kostum, dan jumlah lapisan kertas yang digunakan juga membuat perbedaan besar. Pembuatan kostum kertas Lee disesuaikan juga dengan gaya dan frekuensi gerakan masing-masing aktor. Dilengkapi dengan pertimbangan tiga dimensi, hasil kerjanya terlihat lebih bergaya dan lebih terasa kebaratan. Ia memperdalam waktu dan tempat pada kostum buatannya dan warna dengan kesan memudar menciptakan nuansa antik yang elegan. Rok dalam <Pernikahan Darah> (1988) yang mengekspresikan emosi rakyat jelata, celana mekar berbentuk guci Korea dalam <Burung-burung Terbang Dalam Matahari Tenggelam> (1992) dan latar pemakaman dengan tenda yang dibangun dengan 400 gulungan kain rami tergantung di langit-langit dan digerai turun berlapis tiga adalah hasil karya imajinasi artistik Lee. Desain panggung yang menekankan bentuk dan tekstur mengundang simpati dari penonton. Dalam drama <Ritual Pakaian> (1999), yang menampilkan sebagian dari kostum yang telah dibuatnya sampai saat itu, melenyapkan batas antara drama, kostum dan desain panggung. Dalam sebuah laci rapi tersimpan semua jenis bahan baku yang pernah dipakai oleh Lee, termasuk karung bekas yang menampung beras, lembaran koran yang menguning, tali jala, kantung plastik, dan sisa-sisa kertas murbei. Kostum elegan yang memberikan kesan mentereng itu sebenarnya terbuat dari sampah rumah tangga. Lee menggunakan spons labu kering yang ditanamnya sendiri memberikan volume pada pakaian, sementara lambang keluarga kerajaan pada jubah raja dibuatnya melalui eksperimen berulang menggunakan benang, lembaran film, dan lem. Sikapnya yang tak kenal lelah atau frustasi dalam melakukan berbagai eksperimen, melalui sekian kali kegagalan dan kesulitan, menggunakan bahan-bahan yang mudah ditemukan di mana saja, dengan cara yang tak pernah dipikirkan oleh orang lain seorang pun bisa, telah menginspirasi rekan kerjanya dari berbagai segi. Lee mengatakan “Kertas murbei berkualitas sangat alot. Jadi, saya menyim-

SeNI & BUDAyA KoReA 7


pan potongan-potongan kertas murbei pembuat kostum yang gagal untuk membuat topeng. Tidak ada satupun sampah yang bisa dibuang karena segala sesuatu dapat berubah menjadi dekorasi yang hebat untuk panggung. Rumput yang pernah dipakai dalam <Pesta Penyamun> saya buat menggunakan onggokan besi tua yang saya kumpulkan. Suatu hari saya melewati toko loakan, dan di situ saya melihat orang memotong lembaran besi. Potongan besi itu tampak seperti benang sutra yang lembut, dan ketika saya mengumpulkannya mereka membentuk volume yang alami. Kalau bepergian, saya selalu membawa pulang seonggok sampah seperti itu.” Di antara semua hasil karyanya, topenglah yang paling istimewa. Ada yang tidak memiliki mata atau robek dengan celah sempit, dan hidung mereka hancur dan mulut bengkok sehingga terlihat jelek jika dilihat sekilas. Tapi masker aneh dan jelek ini membuat ekspresi yang berbeda menurut arah dari mana ia dilihat. Dengan cara ini, topeng Lee mengungkapkan ‘bentuk tanpa ekspresi’ yang merupakan dasar dari emosi Korea.

8 KoReANA musim semi 2016

©Pusat Seni Arko, Joom

“Lee Byoung-bok tidak dimana Jua” Sepuluh tahun yang lalu, sebuah pameran unik diadakan di Geumgok, Namyangju, Provinsi Gyeonggi, menampilkan kostum panggung, alat peraga, boneka dan benda-benda lain karya cipta Lee selama lebih dari 50 tahun. Jenis pameran seperti ini jarang diadakan di Korea, dan judulnya pun aneh “Lee Byoung-bok Tidak Dimana Jua” yang menyiratkan niatnya untuk membakar habis segala hasil pekerjaan yang telah ia ciptakan sepanjang hidupnya. Sebuah koleksi karya selama lebih dari setengah abad kehidupan seorang seniman tentulah merupakan bahan berharga bagi sejarah seni. Tapi, mereka bisa dengan mudah mendapatkan hancur atau hilang kecuali upaya yang tepat dilakukan untuk melestarikannya setelah kematian sang seniman. Berdasarkan kesadaran ini, Pameran “Lee Byoung-bok Tidak Dimana Jua” adalah semacam protes yang menyesalkan negaranya yang tak peduli pada nilai sejarah seni. Mungkin kesedihannya bagai seorang ibu yang ingin menyelamatkan anaknya ini - yang membuatnya bertekad untuk membakar semua karya-karyanya- mendapatkan jawaban pada Desember 2009 ketika Museum Seni Pertunjukan dibangun di dalam Teater Nasional Korea. Meskipun museum itu bukan sepenuhnya untuk seni teater, di sana ditampilkan berbagai macam bahan seni pertunjukan Korea yang dikoleksi selama lebih dari setengah abad sejak tahun 1950, yang dibuka secara aktif untuk umum melalui pameran dan program pendidikan. Baru-baru ini, salah satu proyek utama yang dilakukannya adalah untuk mengurus properti di Geumgok. Di area seluas 6,5 hektar itu terdapat sepuluh rumah tradisional Korea yang direkonstruksi bersama suaminya, yang meninggal pada tahun 2011, dengan jalan berkeliling ke seluruh negeri. Pada 1970-an dan 1980an, ketika Korea mengalami perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, wajah kota berubah secara drastis. Di bawah Gerakan Saemaeul, proyek pembangunan besarbesaran yang dilakukan oleh pemerintah, arsitektur bangunan tradisional sebagian besar berganti menjadi bangunan bergaya Barat. Pada waktu itu, pasangan ini justru lebih menaruh perhatian pada hilangnya rumah tradisional dibandingkan munculnya bangunan baru mewah. Salah satu bangunan bernama ‘Gungjib’ (yang berarti “Rumah Kerajaan”) adalah rumah yang dibangun oleh raja ke-21 Joseon, Yeongjo, untuk putri bungsunya Putri Hwagil di abad ke-18. Diakui memiliki nilai sebagai kekayaan budaya, rumah itu ditetapkan pada tahun 1984 sebagai Benda Tradisi Rakyat Penting. Dengan ber-

pusat pada ‘Gungjib,’ Lee dan suaminya mencari rumah-rumah tua lainnya di daerah Yongin, Gunsan, dan daerah lainnya, kemudian memindahkan dan merekonstruksinya. Beberapa rumah beratap jerami di pinggir jalan yang sudah bobrok juga mereka pindahkan dan mereka bangun kembali. Butuh waktu bertahuntahun untuk menanam pohon di sekitar rumah itu, menggali sungai, dan meratakan tanah. Karya paling cemerlang dalam hidupnya berjudul <Pangeran Hodong> (1991) digelar di Geumgok. Pentas dibangun di atas kolam dengan latar belakang bangunan tua dengan sendirinya menjadi pemandangan yang fantastis. Empat sisi dari panggung merupakan alam yang terlepas dari batas-batas dinding teater, ditambah dengan akting yang sangat baik dari para pemain kelas atas seperti Park Jeong-ja dan Yun Seok-hwa, serta kostum dan dekorasi yang indah semua menciptakan harmoni yang sangat sempurna. Sampai saat ini, karya ini disebut sebagai karya pencapaian kesempur-

Boneka dari kain rami dalam jumlah banyak membentuk latar belakang dalam “Pernikahan Darah.” Secara khusus karena kecintaannya terhadap drama yang ditulis oleh dramawan Spanyol Federico Lorca, Lee Byung-bok berulang kali berusaha menafsirkannya ke dalam desain panggung Korea.


naan dari desain panggung Korea. <Pangeran Hodong> menandai babak penutup dari OISTAT (Organisasi Internasional Scenographers, Teater Arsitek, dan Teknisi) sebuah Kongres Dunia yang diselenggarakan di Korea, dan mendapat perhatian lebih banyak dari negara-negara Asia daripada dari dalam negeri Korea sendiri. Beberapa peserta Cina dan Jepang yang sangat memuji karya tersebut mengatakan bahwa baru pertama kali mereka bisa membusungkan dada sebagai orang Asia di antara semua seniman panggung dari dunia. Lee Byoung-bok berkata, “Korea memang kompeten dalam desain panggung. Kemampuan kita telah terbukti berkali-kali di Praha sejak tahun 1990-an.” Untuk pertama kalinya pada tahun 1991, Lee mendapat penghargaan di bagian Kostum Panggung dalam acara Prague Quadrennial, dan prestasinya ini diikuti oleh seniman panggung lainnya seperti Shin Seon-hui dan Yun Jeong-seob. Sekarang desainer panggung generasi muda Korea terus berusaha untuk memenangkan penghargaan bergengsi ini setiap tahun. Bagi Lee Byung-bok, Geumgok adalah tempat ter-

cinta penuh dengan momen berharga dalam hidup dan karirnya. Namun semakin sulit baginya secara pribadi untuk mempertahankan bangunan-bangunan tua dari sejarah lama dan modern Korea, yang sebenarnya layak menjadi harta budaya. Meskipun bangunan direkonstruksi setelah dipindahkan, itu juga sudah lebih dari 40 tahun yang lalu, dan umur dari rumah-rumah itu mencapai puluhan tahun atau bahkan lebih dari satu abad, sehingga semakin sulit untuk dipertahankan atau dilestarikan. Suatu kali, bahkan sempat didatangi oleh pencuri. Lee duduk tertegun bagai orang kehilangan akal karena kehilangan beberapa benda budaya bernilai yang tidak mungkin direkonstruksi, dia terduduk bawah atap untuk waktu yang lama. Kini dia tidak memiliki energi untuk melawan seperti yang dia lakukan sepuluh tahun lalu dengan Pameran “Tidak Dimana Jua.” Pendengarannya sebelah hampir hilang sama sekali, dan arthritis di pergelangan tangannya juga kerap membuatnya menderita. Sampai sekarang, Lee Byoung-bok pergi ke Geumgok pada setiap pagi jam 7 sebagai rutinitas hariannya. Tidak pernah sekalipun diabaikannya rutinitas ini selama lebih dari 50 tahun. Pengabdiannya itu mencerminkan kehidupannya sebagai seorang seniman panggung, yang bekerja di belakang panggung menyesuaikan kostum para pemain dan menyempurnakan set panggung sampai menit terakhir sebelum tirai diangkat. Di balik pesona gemilang, panggung yang menyilaukan, ada tangan terkepal dan sorakan tanpa suara yang mendukung pentas. Bertolak belakang dengan aktor yang muncul di depan penonton, Lee Byoung-bok memilih menyebut dirinya sebagai “aktor tersembunyi.”

SeNI & BUDAyA KoReA 9


Fitur KHusus 2 Teater Korea Masa Kini:Tokoh dan Aliran

DAEHANGNO, REPRESENTASI DISTRIK TEATER SEOUL

Choi yoon-woo Pemimpin Redaksi Webzine <Theater-In> dan Kritikus Drama ahn Hong-beom Fotografer

sepanjang radius 2,5 kilometer di jalan ini terdapat lebih dari 160 teater kecil dan hampir 2000 buah pertunjukan drama, musikal, sendratari, dan sebagainya berlangsung dalam setahun. Pada hari apapun, dalam sehari diperkirakan lebih dari 150 pertunjukan menyambut para penontonnya di sini. Kira-kira 80% omset pasar teater Korea berasal dari sini dan 70% seniman teater yang beraktivitas di Korea berkreasi yang berpusat di sini. daehangno, yang berarti “Jalan universitas” merupakan tempat atraksi seni budaya seoul.

2

1

10 KoReANA musim semi 2016

1 Lorong belakang di jantung Daehangno. Dengan meningkatnya pementasan teater kecil dengan tema ringan mengenai roman dan komedi yang sangat populer, teater yang lebih serius dengan pesan sosial harus bergeser ke pinggiran distrik, sehingga melahirkan istilah “Daehangnomati.” 2 Panggung terbuka Teater Seni Arko, melambangkan kemudaan dan kebebasan Daehangno.


D

aehangno yang dikenal sebagai “kiblat teater Korea� selalu ramai dikunjungi orang-orang yang datang untuk menikmati drama atau musikal atau hanya untuk berjalan-jalan di sepanjang jalan dan menikmati suasana, terutama pada akhir pekan bebas mobil. Namun, sebenarnya daerah itu semula tidak direncanakan sebagai distrik teater. Universitas Imperial Keijo pada awalnya terletak di sini selama era penjajahan Jepang. Setelah itu ditutup, Universitas Nasional Seoul membuka tempat itu. Ketika Kampusitu pindah ke kampus Gwanak pada tahun 1975, kampus itu dihancurkan. Akan tetapi gedung modern bertembok batubata merah Fakultas Humaniora yang tak terpakai masih tersisa di kampus ini bersama tiga batang pohon kastanye (Marronnier) dan menjadi simbol sejarah tempat ini. Kemudian di sini dibangunkanlah sebuah taman dan penduduk sekitar mulai menyebut taman tersebut dengan nama taman Marronnier.

Perkembangan distrik teater daehangno Gedung-gedung bertembok batubata merah mulai bertambah dengan taman ini sebagai pusatnya dan salah satu dari gedung tersebut, yaitu Teater Munye (kini bernama Arko Arts Theater) yang nantinya akan berperan penting dalam mengembangkan jalanan ini sebagai pusat teater Korea, dibuka pada tahun 1981. Kemudian selama dasawarsa tahun 1980an juga dibuka Teater Samtoh Blue Bird dan Teater Marronnier; dan belasan teater-teater kecil lainnya yang berlokasi di wilayah perkampusan Sinchon seperti Teater Kecil Batangol (Batangol Small Theater), Pusat Kesenian Dongsoong (Dongsoong Art Center), Teater Yonwoo, Teater Daehangno, dan sebagainya pindah ke area ini untuk mencari biaya sewa yang lebih rendah. Di samping itu, dengan menetapnya beberapa organisasi kebudayaan dan kesenian utama seperti Dewan Kesenian Korea, Asosiasi Teater Nasional Korea (National Theater AssociaSeNI & BUDAyA KoReA 11


1

Daehangno telah telah menjadi tuan rumah untuk berbagai festival seni pertunjukan, yang menghadirkan seniman dari seluruh dunia, serta mendiskusikan pandangan artistik dan karya mereka. Mulai dari Festival ASSITEJ hingga Festival Seni Pertunjukan Seoul, berbagai festival dari beragam genre berlangsung sepanjang tahun, menciptakan energi kreatif dan dinamis bagi Daehangno. 2

12 KoReANA musim semi 2016

1 Poster menutupi seluruh dinding masuk memikat orang yang menuju gedung teater. 2 Sebuah adegan dalam“Penyihir dari Oz Fantasy,� yang memenangkan penghargaan seni teater di Festival Musim Dingin Korea ASSITEJ ke-12, Seoul (7-16 Januari 2016) 3 Desa Ihwa terletak antara jalan belakang Taman Marronnier dan Taman Naksan. Dinding tua dan jalan setapak di lorong-lorong menjadi daya tarik yang unik karena dipenuhi lukisan mural sebagai bagian dari proyek seni publik, membuat lingkungan menjadi pesona populer Daehangno.


tion of Korea), dan sebagainya di wilayah ini, Daehangno berkembang pesat sebagai pusat kebudayaan yang baru. Pada waktu yang sama, dengan adanya peringanan regulasi mengenai pendirian dan operasi teater kecil di kota Seoul, banyak teater-teater kecil yang membuka usahanya secara berurutan, dan kantor kelompok drama beserta fasilitas-fasilitas budaya yang bermacam-macam juga turut memasuki wilayah ini. Beginilah Daehangno membangun identitas terpentingnya sebagai ‘daerah teater.’ Konsep dasar yang dibawa ketika Pemerintah Seoul secara resmi menamakan daerah ini sebagai Daehangno adalah untuk menjadikan jalanan ini sebagai tempat wisata budaya global seperti Montmartre di Paris yang berhasil mengembangkan seni modern, Harajuku yang merupakan lokasi budaya fesyen nomor satu di Tokyo, dan sirkus Piccadilly di London-Kepulauan Inggris. Sebagai hasilnya kini Daehangno telah menjadi tempat atraksi teater yang dikenal luas oleh artis-artis pertunjukan seni dari berbagai negara, sehingga rencana ambisius pemerintah dapat dikatakan telah tercapai meskipun dari arah yang berbeda. Kira-kira sejak itulah Daehangno berubah menjadi jalanan bebas kendaraan bermotor setiap akhir minggu. Dengan keputusan pemerintah Seoul semacam ini, Daehangno semakin semarak dengan festival budaya; dan halaman depan gedung Dewan Kesenian Korea digunakan sebagai ruang terbuka untuk melakukan kegiatan seperti berbagai macam pameran, permainan tradisional, membaca puisi, dan pertunjukan secara bebas. Demikianlah daerah teater Daehangno juga digambarkan sebagai jalanan festival dan jalanan pemuda-pemudi.

anak dan remaja mengawali pertunjukan seni Daehangno. Kemudian dengan dimulainya panggung artis-artis pemula New Stage dan AYAF (ARKO Young Art Frontier) pada bulan Maret, maka dibukalah Loka karya Sutradara Teater Asia yang dihadiri oleh negara Korea, Cina, Jepang, serta drama-drama pemenang Kontes Literatur Semi tahunan. Kemudian pada bulan April-Mei diikuti dengan Festival Teater Seoul (Seoul Theater Festival) yang merupakan representasi festival drama di Seoul; pada bulan Juli-Agustus dibuka Festival Teater Marjinal Seoul (Seoul Marginal Theatre Festival); Festival Pertunjukan Jalanan Daehangno (Daehangno Street Performance Festival) di bulan September; serta Festival Pertunjukan Seni Seoul (Seoul Performing Arts Festival) dan Festival Teater Kecil Daehangno (Daehangno Small Theater Festival) di bulan Oktober hingga November. Daehangno adalah tempat di mana kita dapat melihat semangat dan visi komunitas budaya dan kesenian Korea. Arus pasar pementasan lokal dapat diukur di sini dan hal ini juga memberikan pengaruh besar terhadap dasar kebijakan kebudayaan dan ke-senian pemerintah. Namun lebih dari semua itu, Daehangno adalah sebuah tempat di mana para calon dan artis seni drama muda memimpikan cita-cita mereka, terkadang berseling dengan kekecewaan, dan mengasah kemampuan mereka.

3

Para Penonton yang Kian Beragam Dahulu Daehangno merupakan tempat para remaja berumur 20-an hingga 30-an berkumpul, tetapi kini usia pengunjung jalanan ini menjadi sangat beragam. Meskipun para pemuda masih tetap memenuhi sebagian besar jumlah para pengunjung, tetapi peningkatan jumlah pengunjung berkeluarga bersama anak-anaknya dan pasangan suami-istri setengah baya juga tampak secara menonjol. Ini juga berarti bahwa atraksi di wilayah ini menjadi semakin beragam. Wisatawan pun banyak berkunjung ke Taman Naksan atau Desa Mural Ihwa, singgah ke Daehangno untuk menjelajahi jalan-jalan atau menonton pertunjukan. Pasar loak Filipina yang diadakan setiap hari Minggu di depan Katedral di bundaran Hyehwa-dong merupakan daya tarik lain yang unik. Para pekerja imigran dari Filipina berkumpul di sini untuk berbaur dan juga menjual berbagai macam produk dari makanan asli, alat elektronika dan barang lainlain. Pasar eksotis yang dijuluki “Little Manila,� telah dikunjungi banyak orang selama lebih dari 20 tahun. Belakangan ini festival-festival pertunjukan seni internasional berlangsung selama setahun penuh di Daehangno sehingga hal ini membuat artis-artis dari berbagai negara berkumpul di jalanan ini. Setiap Januari Festival ASSITEJ yang diperuntukkan bagi anakSeNI & BUDAyA KoReA 13


Fitur KHusus 3 Teater Korea Masa Kini:Tokoh dan Aliran

di Korea mengaPa CHeKHov Harus ditonton seKaLi Lagi : KisaH KeLomPoK teater JaLanan sebuah komunitas artistik bagi orang-orang yang ingin menciptakan teater Korea yang khas dan juga kontemporer, desa teater di miryang merupakan tempat untuk festival teater musim panas tahunan. melalui acara ini, Kelompok teater Jalanan memberikan pengalaman yang berharga bagi pecinta teater dan memberikan pesan bijaksana bagi mereka yang menghargai budaya dan seni. Lee Chang-guy Penyair, Kritikus Sastra ahn Hong-beom Fotografer

P

ada abad ke-14, terlihat bahwa drama agama dengan tema keselamatan yang dilambangkan dengan roti dan anggur, dan drama sekuler yang mengutamakan hiburan bisa hidup berdampingan. Uskup Salisbury (mungkin Simon dari Ghent) mengkritik setiap aktor profesional yang menurutnya cabul, suka sanjungan, dan berusaha menciptakan kesenangan dengan mabuk. Tapi dia juga mencatat seperti ini: “Tapi ada juga orang lain, yang disebut pelawak, yang menyanyikan perbuatan penguasa dan kehidupan orang-orang kudus, dan memberikan penghiburan bagi manusia yang sakit atau sedih, dan mereka tidak menciptakan keburukan yang tak terhitung jumlahnya seperti yang dilakukan para penari dan penari perempuan dan orang lain yang bermain dalam sajian yang memalukan dan menggoda untuk dilihat melalui daya pesona atau dengan metode lain”-. Oscar G. Brockett dkk. (1977). “Teater dan Drama di Akhir Abad Pertengahan.” Sejarah Teater. hlm. 127.

Kelompok teater di Jalan Pada bulan September 1999, sebuah kelompok meninggalkan teater mereka di Daehangno di Seoul, di mana mereka telah menggelar pertunjukan drama secara tetap, memberikan hiburan bagi penonton mereka dan dengan demikian telah menemukan diri mereka sendiri. Jika kalimat tadi membuat Anda berpikir bahwa kelompok teater ini gagal sehingga pecah oleh perselisihan internal, sebaiknya Anda berpikir untuk kedua kalinya. Selama ham14 KoReANA musim semi 2016

pir 13 tahun sejak berdirinya, kelompok ini telah menarik penonton dalam jumlah yang cukup besar, melalui repertoar adegan eksperimental dengan kombinasi yang tidak lazim dari drama dan ritual mantra tradisional maupun beberapa pertunjukan konvensional yang mengekspresikan kesadaran sosial. Lebih dari satu dekade kesuksesannya membuatnya menjadi salah satu kelompok perintis di Korea yang memperkenalkan teater Korea di luar negeri. Setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1998, karya mereka berjudul <Sebuah Perasaan, Sebuah Nirwana> telah memenangkan lima penghargaan, termasuk penghargaan untuk Penampilan Terbaik, di Festival Teater Internaisonal Seoul. Mengingat bahwa saat itu adalah waktu di mana Korea harus mendapatkan bantuan dari IMF akibat krisis moneter, rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa mereka adalah sebuah kelompok yang cukup sukses. Terlepas dari kemegahan sorot lampu dan tepuk tangan meriah dari penonton, sesungguhnya mereka merasa capek baik secara fisik dan mental. Mereka telah melakukan semua yang mereka bisa untuk mengatasi segala kecenderungan sosial mencapai komersialisasi dan popularitas, berseru-seru di jalan membagikan selebaran atau menelepon dengan nada memelas untuk memperoleh kolom kecil demi publikasi di surat kabar. Bahkan setelah serangkaian produksi dinyatakan berhasil, keadaan mereka hampir tidak berubah. Mereka masih harus tetap menjalani “kehidupan bawah tanah, tidur, berlatih dan tampil di teater bawah tanah me-


Lee Yun-taek, direktur seni Kelompok Teater Jalanan, memimpin latihan. Dia menekankan kepada para aktor untuk memindahkan boneka dengan cara yang memperlihatkan makna melalui ekspresi dan gerakan halus.

SeNI & BUDAyA KoReA 15


"Chekhov yang kami tampilkan terlihat vulgar, kasar dan berisik. ... Sebuah pertunjukan yang merusak kesatuan dan keseimbangan realisme basi, sebuah energi revolusioner yang meletus dengan kekuatan hebat.

1

reka,” yang juga sangat mengancam kesehatan mereka. Ketika itu, pendiri kelompok teater Lee Yun-taek menulis kolom surat kabar mengenai alasan mundurnya mereka dengan ekspresi bergaya sastra: “Saya memilih untuk tetap menjadi manusia abad kedua puluh selamanya” Tetapi anggotanya harus tetap berpikir bahwa mereka meninggalkan Seoul “untuk mengabdikan diri ke teater dengan tubuh dan pikiran yang sehat.” Kelompok ini menemukan rumah baru di sebuah gedung sekolah yang sudah tutup di Miryang, 350 kilometer arah selatan Seoul dengan populasi sekitar 100.000 penduduk. Sebanyak enam puluh anggota memilih ikut “penyelamatan darurat.” Kelompok yang dimaksud adalah Kelompok Teater Jalanan, yang merayakan ulang tahun ke-30 pada tahun ini. Banyak julukan bagi mereka. “Para gerilyawan budaya,” “anarkis budaya,” serta seperti yang baru-baru ini disebut oleh seorang sarjana Jepang “komunitas teater idealis.” Memang kedengarannya aneh, tapi jika ditelusuri baik-baik, akan terasa bahwa julukan 16 KoReANA musim semi 2016

ini tidak begitu terlalu mengada-ada. Karena semua julukan tersebut menggambarkan cara mereka untuk bertahan hidup. Mereka memilih untuk hidup bersama dan membuat drama bersamasama, kadang-kadang melakukan perjalanan di seluruh penjuru negeri seperti pemain keliling atas permintaan atau oleh kebutuhan.

Kekuatan Kaum Lemah Sistem kehidupan kelompok teater ini memang jelas berbeda dari yang teater pada umumnya yang berbasis di kota-kota besar di mana sebagian besar konsumsi budaya berlangsung. Tapi juga tidak bisa sepenuhnya dikatakan baru. Di Korea pada masa pra-modern, rombongan pertunjukan yang disebut Namsadangpae secara aktif berpentas di seluruh pelosok negeri di era akhir Joseon. Jepang juga memiliki teater kabuki, dan teater keliling di Eropa setelah abad pertengahan dapat dijadikan model kuno lainnya. Baru-baru ini, ada Teater Prancis Matahari (Le Théâtre du


Soleil) yang telah aktif selama lebih dari lima puluh tahun hidup dengan motto hidup bersama, berproduksi bersama, dan manajemen bersama; di Vermont, Amerika Serikat, <Teater Roti dan Boneka> memunculkan jenis komunitas teater baru dengan jalan menghidupi diri melalui bertani, berbagi roti, membuat boneka menggunakan sampah pertanian, dan memproduksi pertunjukan boneka, yang mendapat perhatian besar. Artinya masyarakat aktor ini telah menyadari sejak awal bahwa mereka tidak akan mampu mengkonversi naluri teater mereka menjadi nilai (pertukaran) untuk memungkinkan mereka hidup sebagai anggota utama masyarakat (kapitalis). Meskipun frustrasi, mereka telah menciptakan optimalisasi gaya hidup sesuai dengan lingkungan sosial mereka. Sebagai hasil dari pilihan ini, bagaimanapun, mereka menemukan diri mereka berada pada posisi di luar dan di dalam struktur sosial yang mapan. Biarpun dikata kita menghargai keputusan spontan mereka, tetap saja tidak ada alasan untuk memberi perhatian khusus akan kehidupan mereka yang gagal dalam kompetisi. Namun, seorang antropolog bernama Victor Turner memberi perhatian pada “Kekuatan Kaum Lemah” yang dimiliki oleh manusia perbatasan (yang ia sebut “komunitas”), seperti aktor, orang miskin, orang cacat, orang sakit mental, dukun, ataupun nabi. Dia melihat orang-orang yang kurang mampu secara sosial ini sebagai orang-orang yang melalui ‘kekuatan simbolis’ (yakni sifat bahaya, menular, anarki, anonimitas) yang mereka miliki memaksimalisasi nilai-nilai yang diabaikan oleh masyarakat (homogenitas, kesetaraan, moralitas, kepemilikan umum, pemerataan, dsbnya) sehingga mereka memfasilitasi ‘jalan’ bagi struktur sosial saat ini untuk masuk ke struktur sosial lainnya. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang dimanifestasikan oleh Kelompok Teater Jalanan selama 30 tahun terakhir.

Kehidupan Bersama Sejak dibentuknya Desa Teater Miryang - yang lengkap dengan akomodasi, ruang karya, dan fasilitas tambahan lainnya - banyak hal berubah. Yang pertama adalah bahwa desa ini telah menjadi tempat untuk acara tahunan Festival Seni Miryang Musim Panas. Tujuan utama festival ini adalah untuk memperkenalkan berbagai pertunjukan seni dari dalam dan luar negeri, tetapi juga menawarkan berbagai pengalaman seni bagi kalangan yang terisolasi dari hiburan budaya. Selain itu, ditampilkan juga program “Produksi

Sutradara Muda” yakni sebuah festival yang dibuka bagi kaum muda untuk memberi kesempatan bagi mereka berkarya dengan metode ekspresif mereka sendiri. Mereka juga membuat sistem pelatihan yang disebut Institut Teater Kita. Siapapun yang berminat untuk bergabung dengan Kelompok Teater Jalanan harus menyelesaikan kursus dasar selama satu bulan dan melakukan pelatihan di berbagai bidang karya. Hal ini berbeda sama sekali dengan sistem konvensional produksi teater, di mana produser atau promotor memilih suatu karya kemudian melakukan audisi untuk memilih pemainnya. Salah satu lulusan pertama dari lembaga ini adalah Pemimpin Teater Kim Sohee, yang bekerja dengan sekitar 10 orang anggota lama, masingmasing memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun, berpartisipasi dalam pengelolaan kelompok teater dengan berbagi berbagai tugas. Sekarang jumlah anggota berjumlah sekitar 80 orang, yang bekerja dalam tiga atau empat tim untuk menyajikan lima atau lebih produksi secara bersamaan, sehingga setiap aktor memainkan setidaknya empat atau paling banyak tujuh sampai delapan peran. Tempat tinggal bebas biaya, dan bahkan sejak 10 tahun yang lalu mereka mendapatkan gaji. Gaji bulanan terdiri dari gaji dasar, yang berkisar 500.000-2.000.000 won, dan termasuk berbagai insentif. Sistem upah di sini berbeda 2 dari perusahaan bisnis lain1 Latihan untuk “Perjalanan Sebuah nya karena lebih ditekankan Keluarga” yang akan dipentaskan pada nilai daripada hasil. Kim pada bulan Maret di Festival Teater Mi-sook, aktris dan salah satu Ibero-Amerika Bogota, Columbia. Melukiskan kehidupan dan seni staf manajemen, melaporkan dari seniman Lee Jung-seob. Latar bahwa tidak pernah ada konflik panggung menggunakan beberapa tentang bagaimana nilai harus motif favorit artis seperti sapi dan kupu-kupu. Kim So-hee, pemimpin ditentukan, meskipun ia tidak rombongan Kim So-hee, berdiri yakin apakah itu berarti semua kedua dari kanan. orang sudah merasa puas ten2 Institut Teater Uri menawarkan program pelatihan bagi aktor. Siapa saja tangnya. yang ingin untuk bergabung dengan Karena mereka hidup berKelompok Teater Jalanan harus menyelesaikan kursus dasar. sama di sebuah desa, terjadi banyak pernikahan di antara anggota. Bagi pasangan yang sudah menikah disediakan tempat terpisah untuk keluarga. Lee Seung-heon, aktor berusia 40 tahun yang telah bergabung dengan perusahaan pada usia 26, menikah dengan seorang wanita muda anggota kelompok pada Februari tahun lalu. Dia tidak pernah menyesali karir pilihannya. Lee SeNI & BUDAyA KoReA 17


mengatakan bahwa ia telah menggantungkan komunitas ini untuk masa depan keluarganya serta dirinya sendiri. Direktur teknis Cho In-kon kehilangan istri sekaligus rekannya, Lee Yun-joo, pada musim semi lalu, Dari istri yang merupakan pengarah dan aktris berbakat serta dirinya, lahirlah putri mereka yang kini berusia 11 tahun, yang tumbuh dalam kasih dari anggota lain dalam kelompok teater. Pada kalender yang tergantung di dinding kantor, tanggal pernikahan yang meramalkan lahirnya pasangan baru ditandai dengan warna merah.

Kubu teater absurd ala Korea Sejak menetap di Miryang, karakter kelompok teater ini tumbuh lebih menonjol sebagai kelompok dengan metodologi mereka sendiri dalam produksi teater. Berdasarkan kerja tim yang stabil, mereka telah mampu membuat sebagian besar alat peraga dan kostum untuk pertunjukan mereka yang jelas mengurangi biaya produksi. Daripada sekadar melihat bagaimana keadaan pasar, aspirasi mereka semakin kuat untuk menantang penyesuaian terhadap pasar dan membawa perspektif segar untuk itu. Karya mereka menjadi sumber mata air bagi peminat sejarah, kepedulian terhadap mereka yang terasing, diperkuat dengan unsur ritual, dan ide-ide imajinatif untuk karya yang dinamis, subversif dan

tidak masuk akal. Sebagai hasilnya, dari “produsen karya” di Miryang ini telah dihasilkan serangkaian karya mengesankan seperti “Guru Desa, Jo Nam-myeong” yang menggambarkan abad ke-16, di mana prinsip seorang sarjana Konfusianisme menolak pemerintahan penguasa; “Musyawarah” tentang kehidupan tragis ilmuwan Jang Yeong-sil, yang muncul dari kalangan rendah di zaman Dinasti Joseon; “Fabel Baekseok” yang menceritakan penyair legendaris korban sistem politik dua Korea; “Surat Wasiat: Teks Asli tentang Hidup” sebuah drama fantasi dengan latar tempat pembuangan sampah; dan “Lelaki yang Mengeruk Lantai” yang menceritakan seorang pria yang terkucil. Para penonton telah menyambut karyakarya itu dengan hangat, sementara masyarakat drama merespon prestasi mereka dengan penghargaan utama. Pada musim semi mendatang, Kelompok Teater Jalanan akan menghadirkan dua karya utama: “Kebun Cherry” oleh Chekhov (di Nunbit Theater di Seoul dari 8 April - 1 Mei, 2016) dan “Perjalanan Sebuah Keluarga” (di Bogota, Kolombia, dari tanggal 19-21 Maret 2016). Menggambarkan kehidupan artis Lee Jung-seob, “Perjalanan Sebuah Keluarga” akan ditampilkan di Ibero-Amerika Theatre Festival Bogota, di negara artis ternama Fernando Botero. Ini akan menjadi kali ketiga bahwa kelompok ini diundang ke festival. Salah satu pemain untuk pertunjukan kali ini adalah Claudia Osejo

Sebuah adegan dalam “Musyawarah,” yang menggambarkan kehidupan tragis ilmuwan Jang Yeong-sil Dinasti Joseon, yang muncul dari kalangan kelas rendah. Pementasan itu untuk merayakan pembukaan Teater Andersen untuk anak-anak yang didirikan pada bulan November 2015 di wilayah Gijang, Busan.

1 Yi Geun-pil, the 16th-generation eldest male descendant of Yi Hwang, explains Confucian virtues to elementary school students visiting his clan head 2 An administrator of Piram Seowon records the details of the memorial rite held on the first day of the lunar month.

18 KoReANA musim semi 2016


(lihat artikel kotak), yang tinggal di Desa Teater Miryang sebagai pelajar beasiswa negeri dari Kolombia. Penampilan mengesankan dari Kelompok Teater Seoul di Bogota menjadi motif kuat di balik keputusannya untuk datang ke Korea. Meskipun demikian, dia masih merasa sulit untuk beradaptasi dengan latihan-latihan yang berlangsung hingga larut malam. Di Korea, drama Chekhov mulai benarbenar dipentaskan pada tahun 90-an, ketika sejumlah besar pelajar Korea jurusan teater kembali dari Rusia. Drama Rusia, terutama Chekhov, sangat populer waktu itu di kalangan mahasiswa dan teater profesional. Drama Chekhov ini diperkenalkan dengan gaya berbeda, sebagian besar dalam gaya Stanislavski yang menjelajahi pikiran manusia yang tinggi, atau dalam gaya Vakhtangov yang menunjukkan karakter-karakter ekstrem. Baru-baru ini, drama Chekhov ini telah diperkenalkan kembali di teater Korea oleh Kelompok Teater Jalanan, dengan gaya yang lebih berkait dengan budaya tradisional Korea daripada dengan Rusia. Percobaan dimulai pada tahun lalu dengan “Paman Vanya (disutradarai oleh Lee Yountaek)” dan “Burung Camar (disutradarai oleh Kim So-hee),” tujuh cerita pendek oleh Chekhov diadaptasi dan disutradarai oleh empat orang sutradara menurut gaya mereka masing-masing. Puncak dari percobaan itu adalah “Kebun Cherry” yang akan dipentaskan dalam perayaan ulang tahun ke-30 kelompok teater ini. Direktur seni dari Kelompok Teater Jalanan Lee Youn-taek menjelaskan arti pertunjukan itu sebagai berikut: “Chekhov yang kami hadirkan bersifat vulgar, kasar dan berisik. Peran wanita utama, Nyonya Ranevsky, pemilik perkebunan dan kebun cherry, adalah seorang wanita usia lanjut yang pikun; Lopakhin, seorang pengusaha dan anak petani, adalah orang yang sangat realistis; kakak laki-laki peran utama Gayev adalah seorang bandit; dan Pischik digambarkan dengan karakter seperti Hamlet. Seperti dalam komedi slapstick, semuanya dibesar-besarkan. Sebuah pertunjukan yang merusak kesatuan dan keseimbangan realisme basi, yang menghancurkan dan meruntuhkan kebun cherry, sebuah energi revolusioner yang meletus dengan kekuatan hebat.

KELOMPOK TEATER JALANAN DALAM PANDANGAN AKTRIS ASING Claudia osejo, Aktris Drama

Saya pertama kali mengenal Kelompok Teater Jalanan pada tahun 2012 di Festival Teater IberoAmerika yang diadakan di kampung halaman saya Bogota, Kolombia. Saya sangat terkesan melihat kombinasi yang sangat apik dari seni Barat klasik yang dipadukan dengan seni tradisional Korea dalam “Hamlet” yang dipentaskan oleh kelompok ini. Saya bertemu mereka lagi dua tahun kemudian pada tahun 2014, juga di Bogota, di mana mereka menyajikan “Pernikahan Darah (Bodas de Sangre)” yang ditulis oleh Federico García Lorca. Sekali lagi saya terkagum menyaksikan bagaimana mereka meresapkan seni tradisi mereka ke dalam karya Spanyol. Setelah pertemuan itu, saya memutuskan untuk belajar teater kepada mereka dan berpartisipasi dalam lokakarya “Nafas dalam Berakting.” Ternyata itu tidak cukup, dan malah membuat rasa haus saya untuk berakting menjadi semakin dalam. Keinginan saya untuk belajar teater di Korea akhirnya terpuaskan dengan adanya beasiswa khusus untuk seniman muda yang diberikan oleh pemerintah Kolombia, sehingga saya berkesempatan untuk datang ke Korea dan tinggal bersama mereka untuk belajar tentang proses produksi dan teknik akting. Pekerjaan pertama saya di kelompok ini adalah untuk memotret semua prosedur dari produksi termasuk latihan dan pertunjukan yang sebenarnya. Sambil melaksanakan tugas ini, saya menyadari bahwa seluruh anggota tim sangat berdedikasi di setiap proses secara profesionalisme dan rasa tanggung jawab dalam mengelola dan mencipta demi menghasilkan pertunjukan yang besar. Setelah itu, saya mulai dapat berpartisipasi dalam pertunjukan baik dengan berakting atau bertanggung jawab untuk pencahayaan, di situ saya belajar bagaimana setiap akting yang seharusnya tepat dan ketat. Setiap gerakan memerlukan pengendalian nafas dan energi; musik adalah sesuatu yang wajib; dan suara manusia tidak hanya untuk mengekspresikan suatu nyanyian saja, tetapi berguna pula dalam menyiratkan tujuan dan emosi saat berbicara. Saya juga terkejut mengetahui bahwa semua aktor dan aktris dalam Kelompok Teater Jalanan sangat baik dalam berakting dan juga dalam menari dan bernyanyi. Biasanya dalam teater Barat, penari dan aktor mempunyai peran yang berbeda, dan walaupun suara seseorang baik, seorang pelakon tidak akan pernah menyanyi di atas panggung. Karya seni yang menghubungkan zaman lampau dan masa kini dengan diilhami oleh kehidupan dan semangat tokoh terhormat Korea yang memberikan kesadaran akan sejarah Korea telah membawa saya untuk sadar bahwa tindakan seni adalah tindakan ‘merenung kembali’ dan bahwa itu adalah alat untuk membawa pesan yang ada di dalamnya agar dapat diterima oleh siapapun. Khususnya jika melihat pengarahan direktur seni Lee Youn-taek, tampak jelas bagaimana ia membantu para aktor memperbaiki kemampuan akting mereka dan tiada hentinya ia membuat agar lakon mereka individual, kuat, dan mendalam. SeNI & BUDAyA KoReA 19


Fitur KHusus 4 Teater Korea Masa Kini:Tokoh dan Aliran

CHanggeuK BangKit KemBaLi Kang il-joong Kritikus Teater

modernisasi changgeuk berjalan dengan baik di bawah nama "opera pansori". melalui eksperimen yang berani untuk membebaskan diri dari konten dan bentuk lama, pansori tradisional dilahirkan kembali dan mendapatkan respon besar dari penonton dari segala usia. organisasi Changgeuk nasional Korea berdiri di tengah arus gerakan ini.

20 KoReANA musim semi 2016


P

ansori, yang merupakan Warisan Budaya Tak-Benda Penting Nomor 5 Korea dan juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak-Benda Manusia oleh UNESCO, memiliki bentuk pertunjukan yang sangat sederhana. Pertunjukan ini dipentaskan oleh hanya dua orang saja: seorang sorikkun yang berperan sebagai pencerita sekaligus penyanyi sambil membawa kipas tangan, dan seorang gosu yang mengiringi sorikkun dengan gendang. Sorikkun menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian yang diiringi dengan irama gendang, dan sekalisekali memberikan narasi lisan yang disebut aniri . Selain itu, ia juga melakukan ‘ballim‘ yang merupakan gerakan tubuh atau ekspresi yang dilakukan untuk menggambarkan situasi cerita. Ada satu hal lagi yang diperlukan untuk menyempurnakan pansori, yaitu chuimsae . Chuimsae merupakan seruan singkat yang dilontarkan oleh gosu atau para penonton ditengah-tengah pertunjukan untuk membangun suasana atau untuk memberikan pujian atas ucapan sorikkun serta mengomentari alur cerita. Sebagai opera solo, pansori tradisional yang pada dasarnya adalah narasi lisan sangat tergantung pada kemahiran si penyanyi. Di zaman dulu, sorikkun mengasah kemampuan vokalnya di bawah air terjun jauh di dalam hutan. “Jika tidak mampu menerobos gemuruh suara air terjun yang memekakkan telinga, maka belum bisa dikatakan memperoleh suara dengan sepenuhnya,” kata-kata tersebut merupakan pandangan umum di dunia pansori. ‘Memperoleh suara’ merupakan konsep yang sangat dalam bagi para sorikkun.

©Panqgung Nasional Korea

Kemunduran Pansori dan munculnya Changgeuk Pansori mulai menyebar secara perlahan di tengah-tengah masyarakat umum pada akhir abad ke-17, yaitu ketika pertengahan masa Dinasti Joseon. Pada pertengahan abad ke-19, popularitas pansori mencapai puncaknya bukan hanya di antara masyarakat umum saja, tapi juga di antara golongan kelas atas yangban. Ketika ini banyak penyayi terkenal bermunculan dan penyanyi yang mementaskan keahliannya di kediaman raja bahkan mendapatkan jabatan resmi. Akan tetapi pansori mengalami kemunduran yang disebabkan oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Peningkatan jumlah sorikkun dengan talenta yang biasa-biasa saja ketimbang yang benar-benar berbakat, kejenuhan akan bentuk pertunjukan solo, masuknya jenis teater Jepang baru (shinpa geki ), opera Peking dari Cina, dan teater modern dari Barat, serta pembangunan teater ala Barat: semua faktor ini secara bersamaan memberikan dampak pada kemunduran pansori. Memasuki abad ke-20, gejala-gejala ini tampak semakin jelas. Perubahan yang paling menonSebuah adegan dalam “Tuan Kelinci jol adalah munculnya bentuk perdan Raja Naga” yang disutradarai oleh tunjukan seni vokal baru yang tidak Achim Freyer. Berdiri tegak dalam balutan rok di ketinggian tiga meter, lagi dimainkan oleh satu orang saja, penyanyi besar pansori Ahn Sook-seon melainkan oleh lebih dari 2 orang memainkan nyanyian komentator yang menjelaskan rangkaian cerita. Hasil sorikkun. Itulah bentuk perkempertama dari upaya Lembaga Changbangan dari pansori yang disebut geuk Nasional untuk memodernisasi dengan changgeuk . “Dunia Perak” changgeuk, itu dipentaskan pada bulan September 2011 di Teater Nasional. (“Eunsegye”) karya Lee In-jeok yang SeNI & BUDAyA KoReA 21


dikenal sebagai karya pembuka pintu teater modern Korea merupakan pertunjukan changgeuk pertama Korea yang dipentaskan di Wongaksa-Seoul pada tahun 1908. Meskipun artis changgeuk semakin bertambah secara perlahan dan berhasil berkembang sebagai seni komposit melalui pementasan di atas panggung teater ala Barat yang lebih realistis, akan tetapi tetap belum mampu mencari vitalitasnya karena berbagai penyebab seperti belum berkembangnya penciptaan karya kreatif secara aktif, dan sebagainya.

modernisasi Changgeuk Situasi seperti itu tetap tidak berubah dalam waktu yang lama, tetapi dalam beberapa tahun terakhir beberapa perubahan penting telah terjadi. Changgeuk telah dianggap sebagai seni untuk penonton muda dan lanjut usia, bahkan para penggemar muda telah mulai memenuhi kursi penonton. Tiket pertunjukan changgeuk bahkan terjual habis. Changgeuk telah bangkit, berkat serangkaian karya kreatif menampilkan interpretasi dan gaya pementasan baru. Salah satu organisasi yang berafiliasi pada National Theater of Korea (Teater Nasional Korea), yaitu National Changgeuk Company memimpin kegiatan ini dan secara garis besar gerakan ini dikembangkan menjadi tiga: Pertama, dari 12 pansori tradisonal, 5 yang tetap utuh berkarya saat ini yaitu “Nyanyian Sim Cheong”, “Nyanyian Chun-hyang”, “Nyanyian Heungbu”, “Nyanyian Tebing Merah” dan “Nyanyian Istana Bawah Laut” - sedang dikerjakan ulang menjadi bagianbagian changgeuk oleh direktur artistik Korea dan asing yang terkenal yang belum berpengalaman mengenai genre ini. Kedua, mengadopsi karya klasik luar negeri untuk pertunjukan changgeuk. Kedua cara ini berhasil menarik para penonton dalam negeri yang tidak terbiasa dengan seni tradisional tetapi dekat dengan seni teater luar negeri. Selain itu, menginterpretasikan kembali changgeuk dari sudut pandang orang asing dan mengekspresikan karya klasik Barat dalam bentuk seni Korea, hal tersebut memudahkan penonton dari luar negeri untuk menikmati changgeuk Korea. Ketiga, memperkuat karakter teater changgeuk dengan menafsirkan dan menciptakan kembali secara berani 7 dari 12 buah pansori tradisional yang tidak sepenuhnya diturunkan, seperti: (“Nyanyian Byeon Gangsoe”), “Nyanyian Sekretaris Bae,” dan sebagainya; di mana karya-karya tersebut mencerminkan keadaan sosial dewasa ini. Ketiga usaha pendekatan yang memberikan efek sinergi ini mengembangkan changgeuk menjadi bentuk seni yang lebih kontemporer dan universal. Setidaknya reaksi antusias dari para penonton saat ini menunjukkan bahwa changgeuk bukan lagi seni kuno dari masa lalu. Changgeuk hidup di zaman sekarang sebagai sebuah seni pertunjukan populer tanpa membuang martabatnya sebagai pertunjukan tradisional. 22 KoReANA musim semi 2016

tiga Buah Karya ‘opera Pansori’ Kebangkitan changgeuk ditandai dengan pertunjukan changgeuk berkonsep baru “Tuan Kelinci dan Raja Naga” yang dipentaskan di aula utama “Hae” Teater Nasional Korea setelah persiapan panjang oleh National Changgeuk Company. Dalam program ‘World Master’s Choice,’ di mana maestro dari luar negeri diundang untuk menciptakan changgeuk dengan isi dan bentuk yang berbeda, sutradara terkenal Jerman Achim Freyer terpilih sebagai model pertama. Penafsiran karya dan panggung yang dipersembahkan oleh Freyer sama sekali baru bagi penggemar changgeuk Korea. Karya aslinya, “Sugung-ga” (“Nyanyian Istana Bawah Laut”) adalah dongeng fabel. Fabel ini menceritakan Raja Naga bawah laut yang terserang penyakit parah mendengar bahwa hati kelinci dapat menyembuhkan penyakitnya, sehingga ia mengirim Penyu bawahannya yang setia untuk merayu Kelinci agar datang ke istana bawah lautnya. Kelinci yang tidak tahu-menahu mengenai hal ini datang ke istana naga dan membohongi Raja Naga dengan mengatakan bahwa ia meninggalkan hatinya di atas daratan, sehingga akhirnya ia berhasil melarikan diri. Fabel ini adalah karya yang memberikan sindiran mengenai konflik antara Kelinci cerdas yang dilambangkan sebagai rakyat biasa dan Raja Naga beserta Penyunya yang dilambangkan sebagai golongan penguasa. Dalam “Tuan Kelinci dan Raja Naga” yang disampaikan oleh Achim Freyer, si Penyu digambarkan sebagai karakter duniawi yang mengejar harta material dan kehormatan, sementara si Kelinci digambarkan sebagai pahlawan cerdas yang berusaha keras untuk melewati berbagai macam cobaan. Raja Naga digambarkan sebagai golongan penguasa yang mencurahkan segala perhatiannya untuk memperpanjang hidupnya tanpa pandang cara apapun. Selain itu, Freyer juga memberikan sindiran mengenai polusi laut dengan menggantungkan begitu banyak botol plastik pada langitlangit istana Naga. Achim 1 Sebuah adegan dalam “Perbedaan Freyer yang juga terkenal sebChunhyang,” yang disutradarai agai pelukis ekspresionisme oleh Andrei Serban. Pertunjukan ini menampilkan artis pansori muda mendisain sendiri tirai pangyang sedang muncul Lee So-yeon gung, kostum, serta topeng pada bulan November 2014 di Teater yang digunakan oleh para Nasional. 2 Sebuah adegan dalam “Medea,” sepelakon changgeuk ketika buah karya changgeuk berdasarkan mereka bernyanyi dan bergertragedi Yunani klasik Euripides denak di atas panggung. Panggan judul yang sama, ditampilkan di Teater Nasional pada bulan Mei 2013. gung semacam ini merupakan Persembahan Lembaga Nasional dipanggung dengan visual gambintangi Park Ae-ri sebagai pemeran bar yang sangat kuat, yang utama. Pertunjukan itu diakui sebagai “penyampai esensi dari tragedi Yusebelumnya sulit ditemui di nani dalam lagu Korea.” dalam changgeuk. 3 Sebuah adegan dalam “Madame Selain itu, sindiran dan Ong,” tampil perdana pada 2014 sebagai bagian dari proyek untuk humor yang memang terdapat merekonstruksi tujuh karya pansori. pada pansori disesuaikan Karya pansori pertama disutradarai oleh Koh Sun-woong. dengan suasana modern dan


Direktur artistik National Changgeuk Company, Kim Sung-nyo, menegaskan bahwa “pansori harus dipelihara dan dilestarikan dengan baik karena merupakan seni vokal tradisional Korea; sementara itu changgeuk sebagai seni drama yang berasal dari pansori harus diubah dan diadaptasi sesuai dengan perubahan zaman�. 2

3

SeNI & BUDAyA KoReA 23

ŠPanqgung Nasional Korea

1


24 KoReANA musim semi 2016

dan hanya kerangkanya sajalah yang tersisa karena telah usang. Tirai berbentuk seperti kertas tradisional yang memenuhi latar belakang panggung memberikan kesan panggung pansori tradisional. Di sini, bentuk asal pansori di mana penyanyi menyanyi dengan menggenggam kipas dan diiringi gendang gosu, digunakan sebagai salah satu unsur pembentukan panggung. Struktur kipas besar berputar atau berganti posisi untuk menggambarkan berbagai imej: menjadi bukit tempat Cao Cao berdiri untuk memberikan komando kepada bala tentaranya, menjadi rumah Zhunge Liang di mana Liu Bei mengunjunginya tiga kali untuk merekrutnya, menjadi kapal perang, atau menjadi burung. Bersamaan dengan jalannya adegan, muncul lukisan tinta berbentuk pohon bambu, Shangri-la, titik-titik, garis, bidang horizontal, dan sebagainya pada layar video dan lantai panggung. Di atas panggung yang sederhana tapi padat secara simbolik, pertunjukan solo master Song Soon-seop bersama nyanyian para sorikkun memancarkan energi yang luar biasa.

Pencapaian Lainnya Di tengah respon hangat para penonton mengenai interpretasi ulang dan adaptasi kemodernan, kegiatan popularisasi dalam bentuk yang berbeda sedang berlangsung dengan aktifnya. Salah satu dari tujuh buah pansori tradisional yang tidak utuh “Byeongangsoe Taryeong” (“Nyanyian Byeon Gang-soe”) dilahirkan kembali dengan

Sebuah adegan dalam “Nyanyian Tebing Merah” yang disutradarai oleh Lee So-young, yang ditampilkan pada September 2015 di Teater Nasional. Hal itu diakui sebagai bentuk paduan yang sinergi antara latar simbolis sederhana dan nyanyian solo yang kuat Song Soonseop.

©Panqgung Nasional Korea

memberikan tawa kepada para penonton. Misalnya, pada adegan di mana Raja Naga memberikan perintah untuk menggambar kelinci atas permintaan si Penyu, muncullah beberapa pelukis terkenal seperti Kim Hong-do, Ai Weiwei, Andy Warhol, Albrecht Durer, dan Pablo Picasso. Changgeuk yang bisa saja terlihat kuno di mata para penonton muda, bagaikan telah diganti pakaiannya dengan baju yang indah dan mewah. Jadi, sebutan untuk ‘changgeuk’ semacam ini diubah menjadi ‘opera pansori.’ Sebagai lanjutannya, pada bulan November 2014 dibuka opera pansori kedua “Perbedaan Chunhyang” di aula kecil “Dal” Teater Nasional Korea. Andrei Serban, seniman Amerika Serikat berkelahiran Rumania, dan sutradara opera dan teater di Amerika Utara dan Eropa yang sedang dalam masa aktifnya, menjadi sutradara yang kedua. Karya aslinya, pansori berjudul “Nyanyian Chunhyang” adalah cerita cinta yang melampaui status sosial antara Yi Mong-ryong, anak laki-laki pejabat tinggi, dengan Nyanyian Chunhyang, anak perempuan dari gisaeng yang telah pensiun. Melalui “Perbedaan Chunhyang,” Serban menggambarkan Chunhyang sebagai pejuang yang tidak takut mati demi menjaga pandangan idealnya mengenai cinta. Sebaliknya Yi Mong-ryeong digambarkan sebagai orang yang kurang murni hatinya. Yi Mong-ryeong, sebagai anak pejabat tinggi, menjalin cinta dengan gadis berstatus rendah dalam waktu singkat dan pada akhirnya ia memilih untuk melupakannya setelah memperhitungkan untung dan rugi bagi dirinya sendiri. Panggung pementasannya juga tidak biasa. Struktur metal hitam dingin yang berspiral berdiri di kedua sisi panggung, dan lantai panggung ditaburi pasir dan air untuk melambangkan anak sungai. Video juga digunakan secara maksimal. Di dalam video, Mong-ryeong menjalin kasih dengan mengenakan hanbok, sedangkan Mong-ryeong yang berada di atas panggung adalah pemuda yang sedang menggunakan laptop. Karya yang ketiga adalah “Nyanyian Tebing Merah” yang disutradarai oleh Lee So-young sebagai sutradara opera Korea terkenal, dan mantan sutradara seni National Opera Company. Pertunjukan yang dibuka pada bulan September 2015 di aula utama “Hae” Teater Nasional Korea ini menampilkan sebuah kombinasi yang fantastis antara pementasan dan nyanyiannya. Lee Soyoung menceritakan kembali pansori “Nyanyian Tebing Merah” yang merupakan adegan pelarian diri Cao Cao ke Huarong setelah kekalahannya di perang tebing merah dalam sebuah novel Cina kuno Romansa Tiga Kerajaan. Lee mengubahnya menjadi pertunjukan satire politik. Jika karya aslinya bercerita tentang kemaskulinan dengan menampilkan para pahlawan dan para jenderal untuk memperlihatkan keberanian mereka, maka dalam karya sadurannya penderitaan rakyat biasa yang mati dalam perang tanpa meninggalkan namalah yang menjadi sorotannya. Karya ini lebih berbinar karena keindahan seni panggungnya. Satu-satunya properti yang terletak di atas panggung adalah struktur berbentuk kipas besar. Kertas kipas itu telah robek di sana-sini


judul “Nyonya Ong” (disutradarai oleh Ko Seon-woong, pertama kali dimainkan pada bulan Juni 2014). Jika karya aslinya lebih difokuskan kepada Byeon Gang-soe yang penuh nafsu berahi, dalam sadurannya fokus tersebut digeserkan kepada psikologi istrinya, Ongnyeo, seorang wanita yang mengabdi kepadanya. “Nyonya Ong” merupakan hasil karya yang dalam 23 kali pertunjukannya di National Changgeuk Company, seluruh tiketnya habis terjual. Pada bulan November 2012, novel klasik Korea “Janghwa Hongryeon-jeon” dilahirkan kembali sebagai changgeuk berjudul “Janghwa Hongryeon” dengan Han Tae-sook sebagai sutradaranya. Karya ini menggambarkan keegoisan dan ketidakpedulian masyarakat modern melalui kasus pembunuhan di perumahan kelas menengah yang dilengkapi dengan taman dan kolam. Pengolahan tragedi Yunani klasik menjadi changgeuk (oleh Seo Jae-hyeong, dimainkan pertama kali pada bulan Mei 2013) telah memperlihatkan kemungkinan ekspansi changgeuk, dan pada bulan Maret 2014 Yun Ho-jin mengubah film best-seller “Seopyeonjae” menjadi changgeuk dengan judul yang sama dan bahkan mendapatkan respon positif dari para penonton. Pada bulan Maret 2013, sutradara Korea yang aktif berkarya di Jepang, Jeong Ui-sin, mengubah “Caucasian Chalk Circle” karya Bertolt Brecht menjadi changgeuk atas permintaan National Changgeuk Company, dan hasil karya ini juga mengundang begitu banyak para penonton.

Pelestarian dan modernisasi Motor penggerak dibalik kegiatan popularisasi dan modernisasi changgeuk oleh National Changgeuk Company adalah Ahn Sangho, direktur Teater Nasional Korea dan Kim Sung-nyo, direktur artistik National Changgeuk Company. Kim menegaskan bahwa “pansori harus dipelihara dan dilestarikan dengan baik karena merupakan seni vokal tradisional Korea; sementara itu changgeuk sebagai seni drama yang berasal dari pansori harus diubah dan diadaptasi sesuai dengan perubahan zaman.” Beliau berencana untuk terus mempercayakan 12 buah pansori tradisional tersebut kepada sutradara seni terkenal dari dalam dan luar negeri untuk dinterpretasikan kembali dengan sudut pandang yang lain dan diolah menjadi sebuah pertunjukan teater. “Tuan Kelinci dan Raja Naga” karya Achim Freyer yang disebutkan di depan, mendapat reaksi hangat saat dipentaskan di Wuppertal Opera Theater-Jerman pada bulan Desember 2011 seusai pementasannya di Korea, dan pada bulan September tahun berikutnya dipentaskan kembali di aula utama “Hae” Teater Nasional Korea. Hari di mana changgeuk dapat berdiri sejajar dengan opera Peking dan Kabuki Jepang di panggung pertunjukan dunia sudah tidak jauh lagi.

SeNI & BUDAyA KoReA 25


FoKus

26 KoReANA musim semi 2016


CHO SEONG-JIN MASA DEPAN MUSIK KLASIK KOREA Pada Kompetisi Piano Fryderyk Chopin internasional 2015, hadiah pertama dan penghargaan Polonaise dimenangkan oleh pianis muda Korea Cho seong-Jin. ‘sindrom Cho seong-Jin’ mendorong orang mengerti industri musik klasik Korea secara lebih dekat dan lebih serius. Park yong-wan Mantan editor bulanan " Gaeksuk", pejabat Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata

©Bartek Sadowski_NIFC

“Luar biasa, aku tidak gugup di final. Rasanya tanganku bermain dengan sendirinya, dan aku menikmati diriku mendengarkan musik yang kumainkan.” -- Cho Seong-jin, dalam sebuah wawancara setelah memenangkan kompetisi

SeNI & BUDAyA KoReA 27


S

uatu hari di musim gugur tahun lalu, foto seorang pria muda mendominasi halaman Facebook saya sepanjang hari. Teman-teman Facebook saya, kebanyakan penggemar musik atau para budayawan, memuji dia. Tak lama sesudahnya, wajah pemuda itu menghiasi halaman utama situs portal terbesar Korea. Biasanya, hal ini terjadi dengan bintang film yang terkenal atau bintang olahraga. Namun tidak kali ini; dalam kasus yang sangat tidak biasa untuk Korea, semua mata tertuju pada seorang pianis. Pada tanggal 21 Oktober tahun lalu, pemenang Kompetisi Piano Internasional Fryderyk Chopin ke-17 diumumkan. Dunia menyaksikan bintang baru lahir, lima tahun setelah pemenang tahun 2010, Yulianna Avdeeva dari Rusia, dan pemenang tahun 2005, Rafal Blechacz dari Polandia. Hadiah pertama diraih oleh Cho SeongJin, orang Korea pertama yang memenangkan kompetisi tersebut. Kabar ini segera diikuti oleh pengumuman dari agensi promosi musik klasik, Credia, bahwa Gala konser kompetisi Chopin menampilkan Cho dan pemenang lainnya akan diadakan di Pusat Seni Seoul pada tanggal 2 Februari 2016. Ketika penjualan tiket dibuka 29 Oktober 2015, server sistem reservasi rusak, sesuatu yang tidak pernah terjadi untuk konser musik klasik. Hanya dalam satu jam, tiket konser telah terjual habis.

sejarah sukses Kompetisi Chopin Kompetisi musik klasik paling penting ialah Kompetisi Piano Chopin Internasional, Kompetisi Musik Tchaikovsky Moskow, dan Kompetisi Queen Elisabeth. Bahwa peristiwa ini didedikasikan semata-mata untuk piano yang menunjukkan bahwa pianis merupakan bagian terbesar dari populasi musik klasik. Kompetisi Chopin merupakan salah satu kompetisi yang didedikasikan sepenuhnya terhadap karya-karya komposer tunggal. Dengan segala keter-

batasannya, secara ironis kompetisi tersebut menghasilkan bintang dan skandal. Kompetisi Piano Chopin kembali diadakan setelah 89 tahun. Warsawa Polandia, secara tragis terkoyak akibat Perang Dunia I, dan orang-orang Polandia mengambil jalur olahraga, bukan musik, untuk menyembuhkan luka fisik dan mental mereka. Jerzy Zurawlew, profesor pada Warsawa Conservatory dan spesialis Chopin, sangat khawatir Polandia akan kehilangan ketenarannya sebagai lokomotif budaya. Setelah berpikir panjang, dia menemukan solusi untuk mengadakan Olimpiade musik, dengan kata lain, kompetisi untuk menarik orang-orang Polandia kembali ke ruang konser. Kompetisi Chopin pertama kali diadakan pada tanggal 23 Januari 1927 di Warsawa Philharmonic. Para kontestan hanya memainkan karya Chopin, aturan yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Pemenang pertama adalah Lev Oborin dari Rusia. Kompetisi kedua dan ketiga masing-masing diadakan pada tahun 1932 dan 1937, namun di tengah-tengah kecamuk Perang Dunia Kedua kompetisi kemudian ditangguhkan untuk sementara waktu. Pada tahun 1949, setelah perang, kompetisi dilanjutkan untuk menandai 100 tahun kematian Chopin. Edisi keempat kompetisi memunculkan pemenang orang Polandia pertama, Halina Czerny-Stefanska, yang berbagi penghargaan dengan Bella Davidovich. Diadakan setiap lima tahun sejak 1955, ‘bintang besar’ pertama Kompetisi Chopin ini muncul pada tahun 1960, yaitu Maurizio Pollini. Pada tahun 1965, penghargaan diraih oleh Martha Argerich. Kemudian oleh Garrick Ohlsson pada tahun 1970, orang Amerika pertama yang memenangkan penghargaan tersebut, lalu oleh pianis Polandia Krystian Zimerman pada tahun 1975. Argerich sekali lagi kembali ke Warsawa pada kompetisi Chopin ke-10 yang diadakan pada tahun 1980. Ketika itu Ivo Pogorelich gagal mencapai final meskipun dengan penampilan yang luar biasa jenius, dia me-

1 Pianis Cho Seong-jin dengan panitia lomba dan pemenang lainnya pada upacara pemberian penghargaan untuk Kompetisi Piano Fryderyk Chopin Internasional ke-17, yang digelar di Concert Hall Warsaw Philharmonic di Polandia. Di sebelah kirinya adalah pemenang perak Charles Richard-Hamelin dari Kanada dan pemenang perunggu Kate Liu dari AS di sebelah kanannya. 2 Cho Seong-jin hormat kepada penonton setelah penampilannya dalam konser pada Kompetisi Piano Fryderyk Chopin Internasional di Concert Hall Warsaw Philharmonic di Polandia.

1

28 KoReANA musim semi 2016


2

ngundurkan diri dari juri sebagai bentuk protes. Tapi tak diragukan lagi bahwa pemenang kompetisi tahun 1980, Dang Thai Son, telah lama dikenal sebagai spesialis Chopin. Setelah Stanislav Bunin memenangkan kompetisi tahun 1985, penghargaan tersebut tidak diberikan lagi sampai tahun 2000. Pada abad ke-21, seorang jenius yang baru terlahir. Li Yundi menjadi bintang pada tahun 2000 sebagai orang China pertama yang menerima penghargaan dalam 15 tahun dan juga pemenang termuda sampai saat ini. Kompetisi ke-15 pada tahun 2005, mungkin menjadi catatan tersendiri. Tiga puluh tahun sejak kemenangan Zimerman pada tahun 1975, pianis Polandia lainnya memenangkan hadiah pertama. Hal itu menjadi berita di seluruh Polandia. Selain itu, kompetisi tersebut tidak menghasilkan pemenang kedua dan pemenang kelima. Empat pianis Asia berbagi tempat ketiga dan keempat: Lim Dong-Min dan saudaranya Lim Dong-Hyek dari Korea berbagi tempat ke-3, dan Shohei Sekimoto dan Takashi Yamamoto dari Jepang berada di posisi ke-4.

impian yang Lebih Besar daripada memenangi Kompetisi Kita kembali pada Cho Seong-Jin, yang menjadi berita utama Korea musim gugur lalu. Lahir pada tahun 1994, lulus dari Sekolah Yewon dan Sekolah Menengah Kesenian Seoul di Korea dan mahasiswa Michel Beroff di Paris Conservatoire sejak 2012. Dia mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 2008 ketika memenangkan hadiah pertama Kompetisi Internasional Fryderyk Chopin untuk pianis muda, dan sekali lagi pada tahun 2009 ketika ia menjadi orang termuda yang memenangkan Kompetisi Piano Hamamatsu di Jepang. Dia terus berprestasi, memenangkan hadiah ketiga di Tchaikovsky Kompetisi Internasional di Rusia pada tahun 2011 dan lagi pada Kompetisi Arthur Rubinstein di Tel Aviv tahun 2014. Pada bulan Desember 2008 lalu, saya bertemu Cho untuk pertama kalinya. Ia kembali ke Korea setelah memenangi Kompetisi Chopin untuk Pianis muda di Moskow. Siswa sekolah Yewon berpakaian seragam masuk studio, tampak canggung dalam sesi SeNI & BUDAyA KoReA 29


karang sebaliknya. Saya merasa lebih nyaman, sedangkan orang pemotretan. Wajahnya bulat dan gemuk, tapi saya ingat matanya lain merasa sedikit tidak nyaman,” kata Cho. Anak itu telah tumbuh bersinar dan penuh rasa ingin tahu, sedingin es. Dia bercerita tenmenjadi seorang pria, namun ia masih memiliki pancaran dingin tang kompetisi pertama yang pernah diikutinya di Korea, ketika ia yang sama di matanya. Saya tidak yakin apakah ia berusaha untuk kelas dua. Menonton kontestan lain bermain, ia terkejut dan berberkelakar dengan saya atau memprovokasi saya, tapi saya menpikir, “Wow, setiap orang memainkan seperti itu. Saya pikir hanya benar-benar pianis yang bermain seperti itu. “Sebagai pemenang deteksi jejak baik dalam pembicaraannya. Dalam hatinya, tamKompetisi Chopin untuk Pianis muda, ia berkomentar,” Para konpaknya dia memiliki tungku kecil yang membakar campuran aneh testan yang saya temui di Rusia sangat percaya diri dan serasa di antara gairah dan tak acuh. Pertanyaan terakhir saya kepadanya rumah sendiri dengan musik mereka. Dibandingkan dengan meadalah, “Apakah Anda ingin sukses?” reka, saya merasa kecil. Saya yakin akan menemukan lebih ba“Aku sudah disebut seperti seorang pertapa. Saya punya ambinyak hambatan dan keterbatasan belajar musik Barat. Saya harus si, tapi itu tergantung pada apa yang Anda sebut ambisi, “jawab bekerja lebih keras dan lebih siap.” Cho.” Apakah seorang musisi disebut sukses jika dia menghasilPada bulan Januari 2009, setahun kemudian, Cho memainkan kan banyak uang, atau jika dia mempengaruhi orang-orang denDante Sonata-nya Liszt, pada Konser Tahun Baru yang di-selenggan musiknya yang brilian? Seorang musisi mungkin saja merasa garakan di Geumho Art Hall. Mungkinkah seorang anak seusianya musik itu untuk dirinya dan menyimpannya sendiri, bermain untuk mengungkapkan cinta Liszt, surga dan neraka Dante, hanya “Saya tidak suka disebut idola musik klasik. Saya ingin tetap menjadi dengan mengikuti catatan dan simbol pada lembaran musik? musisi klasik dalam waktu yang lampau. Bahkan, beberapa orang Penampilan Cho menghapus menyebut saya ‘spesialis Chopin,’ tapi menurut saya Chopin merupakan kekhawatiran saya dan dengan salah satu komponis yang sangat sulit. Beethoven atau Brahms jelas ia menyampaikan kepada saya kisah Liszt dan Dante denmenggubah musik yang ringan menuju ke masa sekarang, dan saya pikir gan musiknya. Jika seorang itu karena mereka melepaskan elemen musik satu per satu. Kehidupannya anak muda datang dan memjadi begitu sederhana. Dengan cara yang sama, saya pikir saya berada beritahu saya cerita dengan kata-kata, apakah saya akan pada tahap dalam hidup di mana saya mengalami banyak hal.” percaya? Mustahil. Hanya musik yang memiliki kekuatan semacam itu. Melalui musiknya, anak itu menyampaikan pesan bahwa kesenangan sendiri. Musisi seperti ini juga bisa disebut sukses. musik merupakan hal yang hebat dan bermain musik merupakan Sukses tidak mudah ditentukan. Saya punya mimpi yang sangat hal yang juga sangat hebat. besar. Saya ingin bermain musik yang bernilai. Bukan yang seperti Saya bertemu Cho lagi pada musim dingin 2011 di Geumho Art dimainkan Cho Seong-Jin sekarang. Saya ingin seperti Radu Lupu, Hall. Kali ini dia bersama pianis Son Yeol Eum, seorang teman Grigory Sokolov, atau Murray Perahia. Musik mereka sakral. Sebadekat yang seperti saudara baginya. Mereka dijadwalkan berduet gian orang mungkin tidak menganggapnya sebagai keberhasilan. bersama. Selama percakapan yang panjang, Cho tiba-tiba bercerita Tapi bagi saya, hal tersebut adalah mimpi besar, jauh lebih besar tentang Okinawa: “Saya berlibur, dan baru-baru ini saya tur di Okidaripada memenangi kompetisi piano.” Apa arti kompetisi bagi musisi muda hasil dari sebuah kompenawa, pertama kali saya melakukannya setelah pertunjukan luar negeri. Saat berkeliling, saya melihat orang-orang yang benartisi? Pianis Son Yeol Eum, yang meraih tempat kedua pada Kombenar senang dengan hal-hal kecil. Saat itulah, saya mulai berpikir petisi Internasional Tchaikovsky 2011 di Rusia di mana Cho meraih tentang apa itu kebahagiaan.” Mengapa pianis tujuh belas tahun tempat ketiga, mengatakan hal berikut tentang kompetisi musik: berbicara tentang kebahagiaan di sebuah pulau yang hangat di “Saya telah mengikuti banyak kompetisi sebelumnya, dan saya selatan? kecewa. Saya ingat apa yang dikatakan Kim Dae-jin, guru saya. Dua tahun berlalu, dan saya bertemu lagi dengannya pada tahun Dia mengatakan bahwa saya mungkin berpikir kompetisi meru2013. Ia belajar di luar negeri di Paris, dan datang ke Korea sebulan pakan omong kosong—dan mungkin beberapa hal itu benar— sebelum konser di sini dengan Orkes Simponi Munchen di bawah tapi tidak ada yang lebih adil dari sebuah kompetisi begitu Anda pimpinan Lorin Maazel. “Saya senang dengan kehidupan saya di keluar menuju dunia luas. Saya pikir dia benar. “Bagi orang-orang Paris, kecuali kotanya mahal dan bahasa yang sulit. Semuanya muda di seluruh dunia yang ingin menjadi musisi profesional, kombaru dan menarik. Saya pikir kepribadian saya telah berubah. Aku petisi merupakan hal paling kejam tetapi pintu gerbang paling tidak terlalu takut sekarang. Dulu saya pemalu, tapi saya pikir sepasti menuju sukses. Namun, kemenangan tidak berarti apa-apa 30 KoReANA musim semi 2016


dibandingkan jalan yang terbuka. Cho terdengar lebih tulus ketika ia mengatakan ia tidak hanya ingin menang dalam kompetisi tapi memiliki mimpi yang lebih besar dengan “bermain musik yang bernilai.” Baru-baru ini Cho menandatangani kontrak dengan Manajemen Solea, sebuah perusahaan manajemen musik Perancis, yang mengumumkan berita di situsnya pada tanggal 5 Januari. Perusahaan ini didirikan oleh Romain Blondel pada tahun 2005 dan mengelola dua puluh lebih musisi, termasuk pianis Menahem Pressler, pemain biola Daniel Hope, pemain cello Jean-Guihen Queyras, dan pemain suling Emmanuel Pahud. Saat belajar di Paris, Cho terus aktif di Eropa di bawah asuhan Solea, yang juga berada di Paris.

efek Cho seong-Jin? Terdapat beberapa pandangan yang berbeda mengenai bagaimana pengaruh penghargaan yang diterima Cho pada Kompetisi Chopin terhadap pasar musik klasik domestik. Pada waktu rekaman kompetisinya keluar, album baru juga dirilis oleh pianis populer muda Korea lainnya Lim Dong-hyek dan Kim Sunwook. Tiga album yang laris manis, saling bersinergi. Tapi masih harus dilihat berapa lama dan seberapa jauh efek Cho Seong-Jin akan berlangsung. Pada dasarnya, industri musik klasik Korea terlalu kecil. Tidak ada statistik yang jelas pada pendapatan berdasarkan kategori atau analisis demografi penonton konser. Tanpa data yang tepat, sulit untuk menyusun langkah-langkah realistis untuk

menghidupkan industri. Beginilah kata-kata dari salah satu musisi muda, “Yang membuat saya frustasi di Korea hanya ada musisi. Tidak ada yang lain. Hampir tidak ada pasar, tidak ada media yang berhubungan dengan musik secara benar, tidak ada konsumen, dan tidak ada penyedia.” Dalam sebuah wawancara dengan media masa Korea setelah Kompetisi Chopin, wartawan meminta Cho mengatakan sesuatu kepada para penggemarnya di Korea sebelum konser mendatang. Cho pun mengatakan, “Saya tidak suka disebut idola musik klasik. Saya ingin tetap menjadi musisi klasik dalam waktu yang lampau. Bahkan, beberapa orang menyebut saya ‘spesialis Chopin,’ tapi menurut saya Chopin merupakan salah satu komponis yang sangat sulit. Beethoven atau Brahms menggubah musik yang ringan menuju ke masa sekarang, dan saya pikir itu karena mereka melepaskan elemen musik satu per satu. Kehidupannya jadi begitu sederhana. Dengan cara yang sama, saya pikir saya berada pada tahap dalam hidup di mana saya mengalami banyak hal, sehingga saya harus melepaskan banyak hal juga ketika saya beranjak tua.” Keriuhan atas kemenangan orang Setelah merilis rekaman langsung dari penampilan Korea pertama yang memenangkan Cho Seong-jin di Kompetisi hadiah pertama pada Kompetisi Chopin Piano Fryderyk Chopin mungkin terlalu mudah dan terlalu cepat Internasional 2015, yang disajikan oleh Deutsche di kota yang serba bergegas ini. Kita Grammophon, album menharus mendukung para musisi muda— capai puncak tangga album bukan untuk kemenangannya, tapi untuk klasik dan berlangsung lama. perjuangan yang dilaluinya.

SeNI & BUDAyA KoReA 31


WaWanCara

insooni,

saya ingin menJadi ‘Penyanyi yang menyuaraKan HaraPan’ Cho sung-sik Wartawan Dong-a Ilbo ahn Hong-beom Fotografer

insooni adalah salah satu penyanyi Korea paling berbakat, dan sudah menunjukkannya dalam musik ringan, musik rohani dan musik keras. ia mulai dikenal pada tahun 80an sebagai penyanyi lagu-lagu keras. dengan kemampuan menyanyi dan pengalamannya yang membuat lagu-lagu itu hidup dan memiliki kedalaman makna, ia menjadi penyanyi yang dipuja di seluruh negeri. 32 KoReANA musim semi 2016


S

mengatasi diskriminasi Insooni menempati posisi menarik dalam sejarah musik populer Korea. Ia adalah penyanyi pertama yang berhasil mengatasi perlakuan dingin dan diskriminasi terhadap ras campuran Korea dan melejit ke papan atas dalam industri musik dengan kemampuan menyanyinya. Dengan debut pertamanya pada tahun 1978 dalam grup musik perempuan Hee Sisters yang sukses dengan lagu rock n’ roll ‘At Night Every Night ’ pada tahun 1983, Insooni menempati peringkat atas bintang paling populer. Ia tidak melahirkan lagu baru selama sekitar sepuluh tahun karena kesibukannya tampil di kelab-kelab malam, hingga pada tahun 1996 ia melejit kembali lewat lagu ‘Again .’ Kemudian, disusul de-

ngan lagu ‘Friend ’ bersama penyanyi rap JoPD pada tahun 2004, lagu balada ‘A Goose’s Dream ’ pada tahun 2007 dan ‘Father ’ pada tahun 2009. Sampai sekarang Insooni berada dalam masa keemasan kedua dalam karirnya yang sudah melahirkan sembilan belas album. Insooni lahir pada tahun 1957, dari ayah seorang tentara Amerika dan ibu warga Korea. Ketika ia masih kecil, ayahnya kembali ke Amerika. Inilah sebabnya lagunya yang sangat terkenal ‘Father ,’ dengan lirik “We loved each other, at times hated each other/I miss you who cared for me like no one else,” punya makna tersendiri. Lagu itu menjadi lebih terkenal setelah Insooni menyanyikannya pada tahun 2011 dalam acara reality ‘I Am a Singer’ (MBC). Acara ini menampilkan bintang pop dan penonton memberikan suaranya. Pada tahun 2014, dalam acara ‘Hidden Singer 3’ (JTBC), di mana bintang pop dan pelatihnya menyanyi bersama dalam sebuah kontes buta, episode yang menampilkan Insooni menjadi ‘hujan tangis’ dan semua penyanyi terkuras emosinya ketika mereka menyanyi, yang menjadi santapan media. Lagu ‘Father ’ juga menerima penghormatan standing ovation dalam sebuah konser untuk menghormati 107 veteran Perang Korea, yang diadakan di Carnegie Hall di New York pada tahun 2010. Pada saat itu Insooni mengatakan kepada penonton, “Jika kebetulan di sini ada yang merasa ditinggalkan ketika kecil sama seperti saya di Korea dulu, sebaiknya ikhlaskan. Kita semua ingin hidup dengan baik, dan Anda adalah ayah bagi saya.” Tak ada mata yang kering di rumah. Lagu ‘Father ’ menggabungkan lirik puitis dan melodi yang sangat menyentuh, tapi buat saya daya tarik lagu itu ada di baris terakhir, “Yes, I loved you once .” Insooni menyanyikan ‘I—loved— you ’ dengan menyanyikan setiap not dengan cantik dan sebelum menyanyikan kata ‘once ’ ia menghela nafas pendek, hampir menangis. Itu hanya bisa dilakukan oleh seorang penyanyi profesional; bagaimana baris terakhir itu selalu memberikan sentuhan maut. “Saya tidak menyanyikan baris terakhir dengan cara yang sama setiap kali. Perasaan kita akan berbeda jika hari hujan atau cerah. Juga berbeda ketika saya menyanyikannya siang atau malam, dan apakah penonton lebih banyak laki-laki atau perempuan. Bahkan jika penjaga jatuh, saya akan menangis. Tapi, kalau saya sangat menahan diri juga tidak bagus. Dalam beberapa kesempatan saya tak ingin menyanyikannya sama sekali.”

Penyanyi Insooni. Dia mengatakan bahwa “Tidak ada sesuatu ‘yang terbaik’. Saya masih terus mempelajari seni bernyanyi.”

a goose’s dream Lagu hit yang dikenal luas adalah ‘A Goose’s Dream .’ Lagu ini dinyanyikan pertama kali pada tahun 1997 oleh grup musik ‘Carnival,’ yang merupakan proyek kolaborasi antara Kim Dong-ryul dan Lee Juck. Interpretasi Insooni yang sangat kuat atas lagu ini membuatnya kembali melejit sepuluh tahun sejak pertama kali lagu ini ditulis. Lagu yang dibuka dengan “Me, I once had a dream” ini terkenal sulit, karena menggabungkan nada-nada tinggi dan rendah

aya mengawali perbincangan dengan bicara tentang Ibu. Setiap akhir pekan perhatian semua orang terpusat kepada Ibu. Ini terlihat dalam drama televisi ‘Please Mom ’ (KBS2) dan ‘Mom’ (MBC) dengan pemeran utama para ibu yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada keluarga. Para penonton menahan air mata karena terbayang ibu mereka. Popularitas ‘Mom’ di antara drama sejenis adalah berkat musik latarnya. Lagu ini dimulai dengan kata-kata “Walking a long and winding path/past the very heart of life ” yang sangat menyentuh dengan indahnya matahari yang menyinari pohon-pohon di musim. Nada yang bening dan anggun, dengan melodi yang liris tapi penuh hasrat. Saya jatuh cinta dengan lagu ini pada saat saya mendengarnya untuk pertama kali. Emosi saya hanyut bagaikan angin yang meniup layar perahu tua dan saya terbawa ke waktu dan tempat yang berbeda. Pada saat itu saya menyadari adanya sebuah kekuatan yang dahsyat dari penyanyinya, Insooni. Insooni datang ke tempat kami bertemu dengan sangat bersemangat. Saya hampir tidak percaya usianya sudah mendekati enampuluh. Ia memakai atasan berleher tinggi (turtleneck ) dan celana kain. Rambutnya yang keperakan menciptakan harmoni menarik dengan dinding café yang berwarna abu-abu. Bagaimana sosok seorang ibu bagi dirinya? “Ia adalah sosok yang sangat kuat. Ia tidak akan menyerah pada apa pun. Jika ia jatuh, ia akan segera bangkit lagi.” Ibunya meninggal sepuluh tahun lalu. Insooni mengenangnnya dan berkata, “Dulu saya pikir saya adalah anak perempuan yang baik, tapi sekarang ketika dia tak ada lagi, saya terus memikirkan hal-hal yang seharusnya dulu saya lakukan.”

SeNI & BUDAyA KoReA 33


1

“Sekitar tahun 2000 saya berpikir tentang penyanyi seperti apa yang saya inginkan. Saya ingin sekali menjadi penyanyi yang menyuarakan harapan, dan anehnya setiap lagu yang datang kepada saya sejak saat itu adalah lagu tentang harapan. Atau tentang keluarga.”

yang ekstrim. “Saya menangis setiap kali saya latihan karena teringat kenangan pahit yang saya alami. Saya tidak pernah benar-benar berpikir mengenai mimpi saya. Saya hanya fokus bekerja keras dan mencari banyak uang, sampai saya bertanya kepada diri sendiri, ‘Hidup seperti apa yang saya mau?’ Itulah makna punya impian bagi saya. Saya cerita tentang mimpi ini kepada orang-orang muda, dan sepertinya saya berhasil. Berkat lagu itu saya bisa tampil di banyak acara televisi dan menjadi seperti ini.” (Ia tersenyum.) Banyak kritik mencatat bahwa kehidupan Insooni, menanjak dan kembali melejit, direfleksikan dalam lagu ini dengan pesan pantang menyerah dan percaya diri terus mengejar mimpi meski harus menghadapi situasi sulit. “Sekitar tahun 2000 saya berpikir ingin menjadi penyanyi seperti apa. Saya ingin menjadi penyanyi yang menyuarakan harapan, dan anehnya setiap lagu yang datang ke saya sejak saat itu adalah lagu tentang harapan. Atau tentang keluarga. Saya tidak mengatakan apapun kepada komposer atau penulis lirik tapi sepertinya mereka merasakan bagaimana saya berubah seiring waktu.” Lagu lain yang secara khusus menarik perhatian adalah ‘To My Daughter.’ Pada tahun 1994 Insooni menikah dengan seorang pro34 KoReANA musim semi 2016

fesor, Park Kyung-bae, dan lagu itu didedikasikan kepada anak perempuannya, Jasmine. Video musik ini seperti panorama panjang kehidupan Jasmine, mulai dari saat ia lahir dan tumbuh hingga menjadi seorang perempuan muda. Insooni sangat mencintai anak perempuannya. Pada tahun 2013 ia menerbitkan sebuah buku dengan judul yang sama. “Ketika Anda beranjak tua hubungan antara ibu dan anak perempuan menjadi seperti sahabat. Kemudian pada titik tertentu sang ibu menjadi mirip seperti anaknya, dan setelah saya punya anak sendiri barulah saya paham tentang ibu saya. Setiap kali saya merasakan emosi yang tidak menentu mengenai anak perempuan saya, saya berpikir, ‘ibu saya juga pasti merasa begini terhadap saya.’”

mendirikan sekolah alternatif bagi anak-anak muda dan Keluarga multikultur Ia mengatakan kepada anak perempuannya “Lakukan apa yang kamu sukai” dan mengajarkannya bahwa “jika kamu tidak memberikan kontribusi, jangan mengharap apa-apa.” Kata-kata ini menekankan perlunya seseorang bertanggungjawab pada hidupnya sendiri dan tidak bergantung pada orangtua. “Sejak kecil anak saya terbiasa berhemat jadi sekarang ia tidak


2

1 Insooni memberinya semua di atas panggung di “Sharing Concert,” sebuah acara yang diselenggarakan untuk mengumpulkan uang bagi Sekolah Haemil, sebuah sekolah alternatif untuk anak muda dari keluarga multikultural. Insooni merupakan kepala sekolah. 2 Penanda luar Sekolah Haemil sedang dilukis oleh siswa sekarang.

pernah membeli barang-barang mahal. Saya juga begitu. Karena tuntutan pekerjaan, saya harus prima, tapi saya tidak benar-benar menghabiskan uang untuk membeli barang-barang pribadi. Meski untuk orang lain seperti itu, saya tetap bahagia. Saya menikmati cara saya menggunakan uang.” Setelah menjadi sukarelawan di panti asuhan yatim piatu dan panti jompo selama bertahun-tahun, dedikasi dan fokusnya saat ini adalah menjalankan Haemil School, sebuah sekolah alternatif untuk anak-anak muda dari keluarga multikultur. Kata ‘haemil’ dalam bahasa Korea menggambarkan langit yang cerah seusai hujan. Sekolah itu didirikan pada tahun 2013 di Hongcheon, Provinsi Gangwon, memiliki limabelas siswa di sekolah menengah dan Desember lalu meluluskan angkatan pertamanya. Sekolah itu dikelola oleh sebuah organisasi nirlaba ‘Insooni and Good People’ yang dipimpin oleh Insooni. Biaya operasional disokong oleh sekitar duaratus pendonor. Sampai sekarang mereka harus menanggung makan siang, tapi sejak tahun ini pihak sekolah menetapkan kebijakan menyediakan pendidikan gratis sepenuhnya sehingga mereka perlu donasi yang lebih besar. Musim panas ini mereka juga memulai pembangunan gedung sekolah di lahan yang baru saja dibeli oleh organisasi itu. Siswa di Haemil School memiliki ayah orang Korea dan ibu

sebagian besar berasal dari berbagai negara di Asia Tenggara. Anak-anak mengatakan mereka berjuang untuk berkomunikasi dengan ibu mereka. Ini terjadi karena ayah mereka tidak ingin mereka mempelajari bahasa ibu mereka. Insooni prihatin mengenai hal ini “Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh para ibu itu untuk anak-anaknya.” Saya memintanya bercerita tentang salah satu kisah yang sangat dikenal di kalangan siswa tapi ia menggelengkan kepalanya. “Kami sudah memanggil anak-anak ini dan membantunya tumbuh di lingkungan yang baik, jadi menurut saya tidak benar terusmenerus membicarakan masalah mereka ini. Kadang-kadang saya diminta oleh pendonor potensial membuatkan video kisah keluarga-keluarga itu. Tapi, saya tidak memberikan apa-apa kepada mereka. Saya tidak ingin melukai anak-anak itu.” Hidupnya sangat berliku. Saya tanya, kapan ia merasa sedih? Apakah ada momen ia merasa sangat terpuruk? Reaksinya sangat mengejutkan. “Saya tidak pernah merasa begitu. Jika saya menganggapnya sulit, saya tidak akan bisa menghadapinya. Dalam hidup ini bukankah kita mengalami hujan dan salju; dan tersandung batu? Tidak mungkin kita melewati jalan yang mulus terus.” Lalu, ia meneruskan dengan kalimat yang lebih menghunjam jantung. “Saya tidak punya teman yang bisa saya ajak bicara. Orangorang tidak benar-benar tertarik kepada saya sebagai individu dan saya juga tidak benar-benar tertarik kepada mereka. Tapi saat ini saya pikir menyenangkan duduk dan makan dengan seseorang. Saya juga tidak dekat secara khusus dengan produser siaran. Saya tidak ingin mengejar-ngejar orang lain, tapi sebaliknya lebih suka membuat orang lain yang datang ke saya. Untungnya ada orangorang yang melihat kemampuan saya dan di sinilah saya sekarang.” Saya bertanya apakah ada hal yang sangat ingin ia lakukan tahun ini dan ia bilang ada dua hal. Pertama, ke puncak gunung Baekdu dan kedua membersihkan 2300 atau lebih batu nisan di UN Memorial Cemetery di Busan. Kuburan adalah tempat peristirahatan terakhir tentara asing yang berjuang dalam Perang Korea. Ia mengatakan bahwa bulan November lalu ia sudah membersihkan sekitar tigapuluh nisan tentara dari Belanda. “Pada saat terjadi Perang Korea mereka masih sangat muda. Ayah saya juga seusia itu ketika ia di sini. Dia tidak tahu apa-apa. Pada masanya itu, mereka mendengarkan musik kesukaannya dan mengejar gadis-gadis. Jika melihat itu, saya bisa memahami ayah saya. Saya sangat menghargai tentara asing yang mengorbankan hidupnya demi negara kami. Itulah sebabnya ketika mendengar tentang batu nisan itu saya berpikir ‘inilah yang harus saya lakukan’ dan langsung mengerjakannya.” Ujung hidung saya merasa tersengat.

SeNI & BUDAyA KoReA 35


1

cERITA TENTANg DUA KOREA

imPian PeLuKis PeLarian mengenai Korea tanPa garis Batas Kim Hak-soon Wartawan, Dosen tamu di Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Korea

di sekitar 28.000 orang pelarian yang menginginkan kebebasan, atau karena ingin melepaskan diri dari kelaparan berani menempuh bahaya lari dari Korea utara, terdapat beberapa orang pelukis. dalam karya para pelukis pelarian, tergambar dengan jelas kerinduan mereka kepada kampung halaman yang ditinggalkan. 36 KoReANA musim semi 2016


D

i antara karya-karya pelukis besar pelarian Korea Utara tak jarang sekilas tampak seperti lukisan propaganda Korea Utara. Pelukis Korea Utara Sun Mu (44 tahun) pernah mendapat kesalahpahaman seperti itu sehingga dirinya harus pergi ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Hal itu terjadi pada pameran pertama di sebuah galeri di Jongro-gu Seoul, pada tahun 2007. Seorang polisi tiba-tiba memasuki galeri. “Bapak harus ikut dengan kami sebentar.” Ternyata ada warga setempat dan pengunjung yang melaporkan, “ada pameran lukisan yang isinya memuja Korea Utara” ke polisi. Ketika berpartisipasi dalam Busan Biennale 2008, ia sempat mendapat penghinaan karena karyanya yang berupa lukisan potret Kim Il Sung disita. Song Byeok, seorang pelukis lain pelarian dari Korea Utara, juga memiliki pengalaman serupa. Lukisan yang menggambarkan Kim Jong-il dan Kim Jong-un di studionya yang berlokasi di sebuah pusat perbelanjaan di Gangnam, Seoul, membuat beberapa orang tua melaporkannya kepada pihak berwenang, yang menyebabkan agen Dinas Intelijen Nasional mengunjungi studionya.

tanpa garis, tanpa Batas Sun Mu, yang lari dari Korea Utara pada tahun 1998 dan tiba di Korea Selatan pada tahun 2002 setelah melewati berbagai kesulitan di negara-negara China, Thailand, dan Laos, serta beberapa negara di Asia Tenggara lainnya, dikenal sebagai ‘pelukis pertama pelarian Korea Utara di Korea Selatan.’ Tidak seperti orang lain, ia tidak lari dari Korea Utara karena ia tidak menyukai rezim. Ketika muda, dia adalah seorang pramuka. Dia mengenyam pendidikan di sebuah perguruan tinggi seni selama tiga tahun dan menjabat sebagai pelukis propaganda semasa bertugas di militer. Dia melarikan diri dari Utara secara kebetulan. Karena kelaparan, dia bekerja serabutan untuk hidup di Cina. Dan kebetulan hari pemilihan umum di Korea Utara semakin mendekat. Semua warga negara diwajibkan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum di Korea Utara. Siapapun yang tidak berpartisipasi dalam pemilihan dikenai hukuman sebagai pembangkang politik dan dikirim ke kamp konsentrasi. Ia tidak menemukan cara untuk melakukan perjalanan pulang ke rumahnya di Provinsi Hwanghae, daerah yang jauh dari perbatasan Korea Utara-China, untuk turut dalam pemilu. Keputusasaan itu akhirnya membuat dia memutuskan untuk meninggalkan Korea Utara untuk selamanya. Sebenarnya kehidupan makmur di Korea

Selatan yang diketahuinya selama hidup di China, juga memberi pengaruh pada keputusannya itu. Setelah tiba di Seoul, ia mendaftarkan diri di Universitas Seni Hongik, di mana ia mendapatkan gelar sarjana dan melanjutkan pendidikannya sampai ia menyelesaikan studi pascasarjana, dan kemudian menjadi seniman profesional. Dia mulai menggunakan nama samaran Sun Mu (dalam arti ‘tanpa batasan’) yang mengandung harapan suatu saat perbatasan antara kedua Korea akan terhapus. Dia masih menyembunyikan nama aslinya dan tidak pernah memperlihatkan wajahnya di depan umum karena khawatir bahwa hidupnya di Korea Selatan akan membahayakan anggota keluarga dan kerabatnya di Korea Utara. Ciri khas karya Sun Mu adalah kritik tajam terhadap sistem kepemimpinan dan sistem sosialis Korea Utara. Kritik itu terlukis secara 2 implisit. Contohnya adalah 1 “Tanggalkan Pakaianmu” oleh Sun Mu, 2015, Cat dalam karya utamanya yaitu minyak di atas kanvas, 130cm x 190cm <Kim Jong-il memakai Adidas> 2 “Potret Diri” oleh Sun Mu, 2009, cat minyak di atas dan <Yesusnya Joseon>. kanvas, 100cm x 40cm Sebuah catatan yang ditulis di lukisan itu berbunyi, Perhatian dunia terhadap “Sekarang setelah 10 tahun meninggalkanmu. Aku karya-karyanya terkesan terpenasaran ketika pintumu akan dibuka.” fokus pada kritik dan paradoks tentang realitas Korea Utara. Selama ini ia telah menggelar dua kali pameran tunggal di New York, dua kali di Berlin, dan satu kali masing-masing di Yerusalem, Oslo, dan Melbourne. Ia berencana untuk bergabung dalam pameran kelompok di Perancis tahun ini. Media barat menjulukinya sebagai “seniman tak berwajah.” Kegagalannya dalam pameran tunggal di Beijing China di tahun 2014 mengenai pengalaman yang menunjukkan kegelisahan dan konfrontasi pribadi dalam dirinya, serta kesedihan akan terpisahnya dua Korea. Pada hari pembukaan pameran agen keamanan China memblokir pintu masuk sehingga upacara pembukaan tidak dapat dilakukan. Plakat besar dan lukisan pameran juga diturunkan. Lukisan yang disita pada waktu itu ada di Beijing. Sebenarnya ia berencana untuk meluncurkan sebuah karya yang berisi keinginan untuk uniSeNI & BUDAyA KoReA 37


ideologi yang sangat berbeda. Walaupun telah hidup 14 tahun di Korea Selatan, ia masih saja sulit untuk beradaptasi. Masih saja baginya “Saat menutup mata terasa di Utara, saat membuka mata ternyata ada di Selatan.” Melalui film dokumenter berjudul “Akulah Sun Mu,” yang menjadi karya pembuka dalam acara Festival Film Dokumenter DMZ International ke-7, yang diadakan pada bulan September 2015, dapat diduga seperti apa dirinya itu. Film dokumenter dengan durasi 87 menit, yang disutradari oleh seorang Amerika Adam Sjoberg, menyoroti kehidupan dan dunia seninya secara simbolis. Posisinya sebagai seorang di perbatasan membuat impiannya selalu memandang ke dunia yang terbuka. “Ketika saya mengunjungi New York untuk pameran saya, saya menyadari lagi bahwa di dunia ada banyak negara yang berbeda di Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin dan Eropa, selain dua Korea. Saya ingin membuat karya tentang kehidupan mereka juga.” katanya. Seperti namanya, dapat kita lihat bahwa filosofi seninya pun adalah ‘tanpa batasan.’

1

fikasi dalam pameran ini, dengan membaurkan warna bendera negara yang turut dalam Pembicaraan Enam Pihak terkait isu nuklir Korea Utara, yakni termasuk merah, putih dan biru sebagai warna tema. Pada saat itu, ia sempat ketakutan karena khawatir jangan-jangan ia dipulangkan ke Korea Utara. “Saya takut akan ditangkap sehingga harus meninggalkan istri dan dua anak perempuan saya.” Saat ini ia hidup bahagia dengan istrinya yang berkebangsaan Cina yang ditemuinya pertama kali ketika dia di Cina.

akulah sun mu Dalam banyak karya terbaru Sun Mu, lukisan kehidupan di kedua Korea, orang-orang dan hal-hal atau kejadian yang digambarkan berdampingan dalam bentuk paralel. Hal ini mencerminkan keinginannya yang konsisten untuk perdamaian, rekonsiliasi, dan koeksistensi. Memang karyanya merupakan kesenian pop mengenai parodi seni propaganda komunis, tetapi yang sebisa mungkin mengecualikan tujuan politik, ia berusaha untuk melihat keunikan terpisahnya kedua Korea dan kenyataan yang sedang berlangsung di Korea Utara dengan sifat universal yang dimiliki oleh kesenian. Derita yang dialaminya akibat menjadi alat oleh suatu idelologi membuatnya tak ingin lagi menjadi korban ideologi lainnya. Untuk memahami karya Sun Mu, diperlukan cara lain yang bukan cara pendekatan yang semata bersifat kapitalisme. Hal ini karena ia melukiskan pengalaman dan emosinya di atas kanvas mengenai kebimbangannya berada di antara dua sistem politik yang menganut 38 KoReANA musim semi 2016

‘tanggalkan Pakaian anda’ Song Byeok merupakan pelukis pop lain yang karya-karyanya juga menyindir rezim Korea Utara memiliki banyak persamaan dengan Sun Mu. Ia juga berasal dari Provinsi Hwanghae. Dia juga menggunakan nama samaran. Tapi tidak seperti Sun Mu, Song bergerak dalam kegiatan publik, sehingga wajahnya relatif terkenal. Dia menjelaskan gaya lukisnya dengan mengatakan “Saya melukis dengan gaya seni pop tetapi mengandung ekspresi esai yang filosofis.’ Salah satu karya besar Song adalah parodi Kim Jong-il, yang wajahnya ditumpangkan menggantikan wajah Marilyn Monroe dalam lukisan terkenal di mana Marilyn Monroe berdiri di atas ventilasi kereta bawah tanah, menahan roknya, yang merupakan bagian dari sebuah adegan dalam film Amerika “The Seven Year Itch” di tahun 1955. Lukisan itu memparodikan rezim Korea Utara yang ingin menyembunyikan diri. Dalam karya yang diberi judul “Tanggalkan!” terdapat pesan yang meminta agar Korea Utara membuka diri. Merpati dan kupu-kupu juga sering muncul dalam karya-karya Song, yang melambangkan “impian akan kebebasan yang tersembunyi di relung hati rakyat Korea Utara” katanya. Song yang bekerja sebagai pelukis poster propaganda di Korea Utara selama tujuh tahun memutuskan untuk melarikan diri dari negara itu karena ingin lepas dari kelaparan. Upaya pertama untuk melarikan diri gagal pada bulan Agustus 2000, saat itu ayahnya yang turut serta tenggelam dalam arus deras Sungai Tumen yang meluap karena hujan lebat. Song tertangkap oleh penjaga perbatasan. Ia dikirim ke kamp konsentrasi, di mana ia kehilangan ujung jari telunjuk pada tangan kanannya -aset berharga bagi seorang seniman- saat bekerja. Setelah bebas, ia berusaha keluar lagi dari Korea Utara pada tahun 2001. Ia tiba di Korea Selatan melalui China pada tahun 2002. Tetapi pada tahun 2005, dia mendengar berita kematian ibunya. Dua tahun kemudian, ia berhasil membantu adik bungsunya lari dari Korea Utara. Setelah lulus dari Pendidikan Kesenian Departemen Gongju National University pada tahun 2007, ia melanjutkan ke pendidikan pascasarjana di Hongik University, di mana ia belajar lukisan gaya oriental. Dia bekerja serabutan untuk hidup, dan juga di sebuah perusahaan pindahan. Setelah menggelar pameran tunggal pertamanya pada tahun 2011 dengan judul “Keluar untuk Selamanya, Bebas untuk Selamanya” di Insa-dong, Seoul, dia telah mengadakan tiga pameran di Amerika Serikat, termasuk Washing-


ton DC dan Atlanta. Pameran yang diselenggarakan di Washington DC pada tahun 2012 dihadiri oleh banyak tamu penting seperti Robert King, duta khusus untuk masalah hak asasi manusia Korea Utara, dan Kathleen Stephens, mantan duta besar Amerika untuk Seoul. Pameran itu juga mengundang minat jaringan media global seperti CNN, BBC, dan NHK. Dia menjadi cukup terkenal sehingga diundang untuk memberikan ceramah di berbagai universitas di seluruh Amerika Serikat. Song mengadakan pameran undangan di Frankfurt pada bulan Oktober 2015 dalam acara perayaan ulang tahun ke-25 reunifikasi Jerman, di mana karyanya berjudul <Kim Jong-un dan Marilyn Monroe> dipamerkan bersama karya-karyanya yang lain. Ia berencana untuk mengadakan pameran berikutnya di dekat bekas perbatasan Jerman Barat dan Timur pada bulan September tahun ini. Song mengatakan bahwa kesenian di Korea Selatan mengejutkan baginya sehingga selama beberapa waktu ia merasa antipati terhadapnya. Saat ia melihat lukisan abstrak, ia bertanya dalam hati “bagaimana lukisan seperti itu bisa dikatakan sebagai satu karya?” atau “bagaimana bisa lukisan yang aneh seperti itu harganya mahal sekali?”. Ia tidak ingin berpuas diri sebagai seorang pelukis ahli dari Korea Utara. Ia berharap untuk memberikan kedamaian dan harapan serta impian melalui seni kepada orang-orang di seluruh dunia, dan juga kepada orang-orang di Korea Utara, yang menderita kelaparan dan penindasan. Sebuah catatan tulisan tangan di atas meja di studionya menarik perhatian pengunjung, “Jangan menundukkan diri pada realitas, jangan berhenti membuat tantangan, tapi jalanilah hidupmu secara konsisten dengan setia dan gigih.” Hidup sebagai bujangan, kalau sudah hanyut dalam pekerjaannya, tak jarang ia lupa makan.

dan pernah bekerja sebagai seorang seniman di Kementerian Angkatan Bersenjata Rakyat dan juga sebagai seorang dosen. Kang mengadakan pameran tunggal pertamanya di Insadong, Seoul, pada bulan Feb2 ruari 2010, menampilkan 70 1 “Di Dalam Plaza” oleh Sun Mu, 2015, cat minyak di karya seni yang menggambaratas kanvas, 160cm x 130cm kan pemandangan alam dari 2 Song Byeok sedang bekerja di studionya. kedua Korea. Tapi dia menin3 “Impian Kebebasan” oleh Song Byeok, 2013, akrilik di atas kertas tebal, 82cm x 110cm ggal karena kanker hati pada bulan berikutnya, pada usia 57. Dia telah bekerja keras siang dan malam untuk mempersiapkan pameran sambil menjalani pengobatan untuk kanker. Dengan nada sesal ia terus mengatakan, “Saya ingin mendedikasikan diri untuk seni hingga negara kita bersatu, tapi tubuh saya terlalu lemah untuk bertahan.” Ketika masih hidup, ia pernah bercerita “Ekonomi di Korea Utara ketika saya mulai berkegiatan sebagai seorang seniman pada tahun 1970 dan 80-an masih baik. Saya menerima gaji cukup dan hidup tidak begitu sulit. Tapi tidak ada kebebasan. Bagi seorang seniman tidak memiliki kebebasan merupakan siksaan luar biasa dalam berkarya kreatif.” Tema pameran pertama dan terakhirnya adalah “Mencari Kebebasan di Dalam Mimpi.” Lukisan minyaknya berjudul <Gelombang Kebebasan> menceritakan betapa sungguh-sungguh ia mendambakan kebebasan. Takut oleh serangan Korea Utara pada dirinya, pelukis yang menggunakan nama samaran Kang Ho ini lebih banyak melukis pemandangan dari gununggunung terkenal di kedua Korea. Dalam ideologinya terdapat dasar kuat yakni harapan bagi Korea tanpa batasan. “Budaya dan seni yang melampaui ideologi adalah cara bagi kedua Korea untuk dapat bersatu. Saya percaya kita bisa mencapai reunifikasi damai sedikit lebih awal jika kedua belah pihak mencoba untuk mendekati satu sama lain dengan mencari titik temu melalui seni.”

3

Landasan Kuat seni Lukis Kang Jin-myung, pelukis tertua dari Korea Utara yang telah lama menetap di Korea Selatan, kurang beruntung karena harus berjuang melawan sakit. Ia sudah sangat sakit ketika ia tiba di Seoul 10 tahun setelah ia melarikan diri dari Utara pada tahun 1999. Ia juga merupakan mantan pelukis poster propaganda di Korea Utara. Setelah melarikan diri ke Qingdao, ia bekerja di sebuah pabrik aksesori yang dijalankan oleh pengusaha Korea Selatan, dengan menyamar sebagai seorang Korea-China. Dia merupakan seorang seniman elit lulusan perguruan tinggi seni di Pyongyang SeNI & BUDAyA KoReA 39


JatuH Cinta Pada Korea

RYAN CASSIDY

seBuaH suara Lintas Budaya

darcy Paquet Penulis Lepas ahn Hong-beom Fotografer

tidak lazim bagi orang Korea melihat laki-laki Kaukasia bertubuh tinggi berpakaian hanbok tampil dalam seni vokal pansori. tapi antusiasme ryan Cassidy terhadap seni ini lebih daripada sekadar jawaban atas daya tarik universalnya. Penampilannya bertentangan dengan persepsi kalangan luas mengenai pansori sebagai seni yang sudah lama membeku.

40 KoReANA musim semi 2016


T Ryan Cassidy bernyanyi dengan iringan drum yang dimainkan oleh anaknya, Cian. Dipengaruhi oleh hobi ayahnya, Cian terbuka matanya ke dalam dunia pansori, dan dia pun sekarang mengikuti pelajaran.

idak mudah berada dalam lingkungan asing di mana Anda lebih dikenal dari orang lain. Ryan Cassidy menghadapi situasi ini tidak lama setelah pidah dari Kanada ke Korea pada tahun 1997. “Saat itu saya tidak berpikir akan menetap di Korea untuk jangka waktu lama, sehingga saya memutuskan mempelajari sesuatu yang tidak bisa saya dapatkan di negara saya,” katanya. Setelah mencari-cari, ia mendaftar di kelas melukis dengan tinta cair di wilayahnya. “Ternyata, saya bukan hanya satu-satunya orang asing di kelas itu tapi juga satu-satunya laki-laki,” ia tertawa. Dalam situasi ini umumnya orang tidak akan merasa nyaman, tapi Cassidy bertahan dan belajar dasar-dasar hobi barunya itu. Kegigihan dan minat pada seni tradisional ini membawanya kepada pansori. Kadang-kadang pansori digambarkan sebagai “opera rakyat,” sebuah bentuk pertunjukan cerita musikal yang dibawakan oleh penampil solo (sorikkun) dan seorang penabuh drum (gosu). Cassidy sudah tinggal di Korea selama sekitar satu dekade ketika ia mengetahui pertunjukan pansori untuk pertama kalinya. “Saya sangat terpukau,” katanya. “Pertunjukan itu begitu sederhana. Hanya sebuah suara dan instrumen musik yang juga sangat sederhana. Namun, emosi yang tercipta sungguh sangat luar biasa.” Penampil ketika itu adalah So Ji-young yang, seperti halnya Cassidy, tinggal di wilayah Chuncheon. Setelah menonton beberapa pertunjukan lainnya di kota itu, Cassidy menemuinya dan memintanya mengajari memainkan drum (buk). “Ia mengatakan tidak mengajarkan menabuh drum, tapi jika saya ikut dalam kelas vokal, saya bisa mengikuti kelas dasar menabuh drum juga.” Cassidy tidak pernah berpikir sebelumnya mengenai kelas vokal, dan ia adalah orang yang cenderung menghindari noraebang (karaoke). Tapi pesona pansori berhasil menarik minatnya dan ia mempelajari seni itu sejak saat itu.

menanam akar di Korea Sebelum datang ke Korea, Cassidy sangat tertarik memasak. Rencana awalnya ketika tinggal di kota ski Whistler, Kanada, pada tahun 1990an adalah untuk menabung dan belajar demi meraih sertifikat juru masak profesional. Tapi dengan prospek yang terbatas di Whistler, ia termakan bujukan seorang teman untuk pergi ke Seoul dan mengajarkan Bahasa Inggris di sebuah sekolah bahasa. “Kelas pertama setelah saya datang adalah kelas anak-anak berusia tujuh tahunan. Tidak ada pelatihan untuk guru. Mereka menyuruh saya masuk ke dalam ruang kelas dan mengatakan, silakan! Enam bulan kemudian, sekolah itu mengadakan lokakarya ESL. Saat itu saya menyadari saya cinta mengajar.” Dalam beberapa tahun, ia memperoleh sertifikat CELTA, dan kemudian mendapatkan gelar M.A. Bagi Cassidy, yang menyebut dirinya “laki-laki dari kota kecil”, Seoul memberinya kejutan budaya. “Di Kanada saya tinggal di pulau yang sangat kecil, yang panjangnya sekitar 4km, lebar 2km, dengan populasi sebanyak 2.000 orang,” katanya. Setelah bertemu dengan istrinya Kim Hyun-sook dan menikah setahun kemudian, pasangan ini tinggal di Gangneung selama beberapa tahun sebelum pindah ke Chuncheon pada tahun 2002. Mereka kini dikaruniai dua anak: satu anak laki-laki bernama Cian (11 tahun) dan satu anak perempuan bernama Hannah (8 tahun). Cassidy mengajar di College of International Studies, Hallym University, dalam bidang kemampuan berbahasa Inggris akademik seperti membaca dan berpikir kritis. Langkah awal sebagai Penikmat Pansori Pansori menjadi hobi yang banyak digilai. Belajar memainkannya memerlukan ketekunan. “Dalam pansori tidak ada musik yang harus Anda hafal, Anda hanya perlu menyimak guru Anda dan mengulanginya. Mulai dengan bagian kecil dan terus berlatih sampai benar, lalu meningkat ke tahap berikutnya,” katanya. “Liriknya sangat sulit,” lanjutnya. “Bahasa yang dipakai berasal dari hanja (karakter SeNI & BUDAyA KoReA 41


“Saya ingin pansori lebih banyak dikenal, sehingga masyarakat luas bisa menikmatinya. Anda tidak harus menjadi seorang pakar untuk menikmati pansori. Anda bisa menikmatinya sama seperti menikmati musik klasik Barat.” dalam bahasa China) dan sebagian besar sudah tidak dipakai lagi. Kadang-kadang saya memperlihatkan buku saya kepada orang Korea, dan mereka tidak tahu artinya. Saya harus mati-matian menghafalnya.” Cassidy selama ini selalu menampilkan bagian “Simcheong-ga,” yang didasarkan pada cerita rakyat tentang anak perempuan Sim Cheong yang, melalui pengorbanannya, membantu mengembalikan pandangan ayahnya. Meski awalnya ada duabelas cerita dalam pansori , hanya lima yang masih tetap ditampilkan hingga saat ini: “Simcheong-ga” (Nyanyian Sim Cheong) “Chunhyang-ga” (Nyanyian Chunhyang), “Heungbu-ga” (Nyanyian Heungbu), “Jeokbyeok-ga” (Nyanyian Tebing Merah) dan “Sugung-ga” (Nyanyian Istana Bawah Laut). Penampilan lengkap kelima cerita ini memakan waktu empat sampai enam jam, bahkan lebih lama. Awalnya, pansori adalah aktifitas personal yang dikerjakan Cassidy di waktu luangnya. Tapi akhirnya ia mulai tampil di depan publik. Penampilan pertamanya tidak begitu sukses.

1

42 KoReANA musim semi 2016

Ia melanjutkan, “Saya diminta tampil dalam sebuah konser spesial di TV yang dibawakan oleh profesor-profesor asing yang menekuni musik tradisional Korea, dan saya pikir — Boleh saja, mengapa tidak? Tapi saya tidak tahu sebesar apa acara “Gugak Hanmadang” (“Musik Tradisional Korea Satu Babak”) ini. Itu adalah kali pertama saya menyanyi di depan penonton. Saya pernah tampil di panggung sebelumnya, baik pada waktu mengajar atau menampilkan demo anggar Korea tradisional. Tapi hari itu saya sangat gugup. Sungguh suatu bencana.” Namun, ia tidak menyerah. Ia ikut kontes yang diselenggarakan oleh Pansori Preservation Society . Penampilan panggungnya yang kedua jauh lebih baik dibanding yang pertama. Ia menggambarkannya, “Sejak itu saya makin jatuh cinta.”

menemukan Komunitas Baru Sekarang, bukan hal yang aneh melihat Cassidy tampil di Chuncheon, atau di banyak konser di seluruh negeri. Selain menyanyi, ia juga sering kali mengiringi gurunya menabuh drum, karena kurang-

nya penabuh drum terlatih di Chuncheon. Selama ini, komunitas musik tradisional Korea sangat terbuka. Cassidy mengatakan. “Mereka sangat menerima saya. Dengan kemampuan saya yang terbatas, saya belum pernah mendapati reaksi yang buruk, setidaknya yang langsung ditujukan kepada saya. Tampaknya mereka kaget dan senang bahwa ada orang asing yang merasakan daya tarik atraksi seni Korea.” Kadang-kadang ia tampil dengan orang asing lain yang juga sudah “jatuh hati” pada musik tradisional Korea. “Saya tampil dalam beberapa konser bersama seorang perempuan warga negara Swiss Hendrikje Lange yang pandai memainkan perkusi tradisional, samulnori . Ia berhenti dari pekerjaannya sebagai ahli terapi dan pindah ke Korea, setelah melihat penampilan Kim Duk-soo. Seorang perempuan di Daejeon, yang bernama Jocelyn Clark, menampilkan gayageum. Dan ada seorang profesor bernama Hilary FinchumSeong di Seoul National University, yang menampilkan haegeum. Mereka mngalami hal yang sama: masyarakat terpesona dengan banyaknya orang asing yang menganggap musik ini menarik, bahkan ketika tidak banyak warga Korea mengenal seni ini.” Antusiasme Cassidy pada pansori sangat besar, terlihat dari bagaimana ia menggambarkannya. Menurutnya, perbedaan antara sori (vokal yang dinyanyikan penampil) dan lagu biasa adalah: “Lagu punya range vokal yang pendek. Tapi dalam sori, range ini lebih panjang, meliputi suara yang menyenangkan dan kurang menyenangkan. Ada suara alam seperti suara burung dan halilintar yang harus dimainkan oleh pemain pansori. Ada adegan dalam “Chunhyang-ga,” yang menampilkan Chun-hyang berpisah dari Mong-ryong, dan ada suara burung yang sangat menderita sebagai latar belakang. Jika men-


2

dengar guru saya membawakannya, Anda pasti berpikir ada burung di dalam ruangan. Sungguh luar biasa.”

masa depan Pansori Ketertarikan Cassidy pada pansori menurun kepada anak-anaknya yang kini juga ikut belajar. “Semua orang mengira kami memaksa anak-anak belajar pansori, tapi itu tidak benar! (tertawa). Anak lakilaki saya datang ke konser dan ia menikmatinya, lalu saya bertanya kepadanya, ‘Kamu ingin mencobanya?’. Hal yang sama terjadi pada anak perempuan saya.” Mereka bertiga baru-baru ini tampil dalam acara konser penggalangan dana untuk korban gempa bumi di Nepal. Anak lakilakinya, Cian, tampil sangat bersemangat. “Ini ironi,” kata Cassidy. “Orang-orang bertanya kepada saya, bagaimana anakanak saya belajar sesuatu yang sangat sulit? Padahal, sering kali saya melihat anak-anak Korea seusia mereka memain-

1 Ryan Cassidy tinggal di Chuncheon dengan istrinya, Kim Hyun-sook, dan anak-anaknya Cian dan Hannah, dan mengajar di Akademi Kajian Internasional di Universitas Hallym. 2 Ryan Cassidy menandai bagian dari orang tua. Sim membuka matanya dalam penampilan “Nyanyian Sim Cheong” di Istana Deoksu pada tahun 2014.

kan lagu yang sangat sulit dengan piano atau biola.” Cassidy berpendapat bahwa di Korea sekarang ini pansori umumnya dilihat sebagai seni yang hanya ditekuni oleh para pakar. Ada sebagian orang yang sangat paham hal ini, tapi sebagian yang lain tidak terlalu mengenalnya. Mungkin Korea membutuhkan mereka yang berada di antara keduanya. “Saya berharap makin banyak yang mengenal seni ini, sehingga masyarakat luas bisa menikmati pansori . Anda tidak harus menjadi seorang pakar untuk menikmati pansori , tapi bisa menikmatinya sama dengan menikmati musik klasik

Barat.” Ia memuja karya komposer yang menggubah lagu pansori yang baru selain kelima cerita itu. Penyanyi Lee Ja-ram, misalnya, sudah menulis karya inovatif berdasarkan karya Bertolt Brecht yang sangat sukses di luar negeri. “Kelima cerita itu sangat bagus, tapi karya-karya baru ini selangkah lebih maju untuk membuat pansori makin dikenal masyarakat,” kata Cassidy. “Sepanjang sejarahnya, alasan karya ini tetap populer adalah karena karya ini diadaptasi sesuai penontonnya. Awalnya, pansori dipertunjukkan di pasar-pasar sebagai hiburan kalangan bawah. Kemudian, pada abad ke-19 kelas atas yangban mulai menaruh minat dan bentuk pansori terus berubah sejak saat itu. Tapi sejak abad ke-20 bentuk ini tidak lagi berubah. Jika kita bisa menemukan cara membuatnya terus berubah dan berkembang, saya pikir bukan ide buruk membuatnya sesuai dengan jiwa anak-anak muda.” SeNI & BUDAyA KoReA 43


di atas JaLan

© Badan Taman Nasional Korea / Taman Nasional Gunang Jiri

44 KoReANA musim semi 2016


HAMyAng DAn sAnCHeong

Kwak Jae-gu, Penyair ahn Hong-beom Fotografer

DesA CenDeKiAwAn BerAroMA PegunungAn MusiM seMi di antara beberapa kabupaten sekitar gunung Jiri, dihubungkan oleh jalan mendaki, terdapatlah Hamyang dan sancheong. Kedua kabupaten tersebut merupakan tempat pariwisata menarik dan nyaman di mana gunung memikat untuk didatangi dan ladang membujuk agar didiami sementara. selama anda berjalan-jalan, wangi musim semi terasa membawa aroma lembut para cendekiawan masa lalu.

Gunung Jiri, yang terbentang di Provinsi Jeolla Selatan dan Utara serta Gyeongsang Selatan, ditetapkan sebagai Taman Nasional Korea pertama pada tahun 1967, diakui karena pemandangan yang indah dan kekayaan situs warisan sejarah, budaya, dan rakyat.

SeNI & BUDAyA KoReA 45


A

da dua aroma yang saya sukai sepanjang hidup. Aroma air susu ibu dan aroma pegunungan di musim semi. Sebetulnya saya tidak bisa ingat aroma air susu ibu. Lebih dari 60 tahun telah berlalu sehingga aroma tersebut hanyalah suatu konsep belaka. Salah satu pemandangan terindah yang saya lihat sampai saat ini ialah ibu yang menyusui anaknya. Saya pernah mendaki gunung Himalaya kurang lebih 6 kali. Pemandangan yang mencuri hati saya bukan panorama pegunungan bersalju yang mempesona tetapi perempuan-perempuan yang menyusui anaknya di desa pegunungan. Mereka tidak merasa malu berhadapan dengan tatapan orang lain. Bila mata bertemu mata, mereka tersenyum lebar dan menyapa saya ‘Namaste!’. Mereka bisa melakukan begitu karena mereka melihat orang lain dengan perasaan keibuan. Ibu saya tidak ada di dunia ini. Beliau bahkan tidak muncul dalam mimpi saya.

Kenangan di gunung Jiri Saya mencium aroma pegunungan sepanjang jalan dari Namwon ke Unbong lewat bukit Jeongryongchi. Saya menyukai aroma pegunungan di awal musim semi yang berhembus melalui jendela mobil. Aroma itu terasa seperti aroma buku yang ada di lemari lama dan begitu juga seperti aroma kertas rancangan puisi yang ditulis sepanjang malam. Aroma pegunungan di awal musim semi yang menyerap ke bangku kayu usang di peron kereta api, klakson kereta api jarak jauh, dan punggung orang-orang yang makan pop mie sambil berdiri begitu sunyi tanpa kemewahan. Gunung tidak pernah berkata bacalah mimpi saya. Gunung berdiri diam-diam di tempat yang sama sambil menunggu halaman pemandangan berikutnya yang segera berubah. Aroma yang tidak terdeteksi bahkan di tubuh seorang wisatawan dunia terasa di gunung di awal musim semi. Mobil berjalan dengan diam melintasi aroma itu. Beberapa waktu yang lalu saya pernah mendaki gunung Jiri melalui lembah Baekmudong. Saya tidak sendirian. Dalam kehidupan terdapat saat-saat sulit yang tak mudah ditaklukkan kecuali dengan keberuntungan. Begitulah saat itu. Hanya Tuhan yang tahu mengapa orang itu mendaki gunung Jiri dengan saya. Dalam perjalanan mendaki gunung, kami makan siang di sebuah desa kecil. Tuan rumah menyediakan kimchi yang beraroma mistis. Aroma yang belum pernah saya cium. Aroma itu terasa seperti wangi bunga melati atau mungkin lavender. Tuan rumah menjelaskan bahwa itu merupakan aroma andaliman. Saya merasakan ramuan baru yang mistik untuk kali pertama. Itu sungguh ramuan baru yang menarik. Tumbuhan itu disebut Jenpi dalam bahasa di sekitar gunung Jiri. Namun namanya di dalam kamus ialah Chopi (sejenis rempah dari zanthoxylum piperitum). Setelah menga-

1

46 KoReANA musim semi 2016

1 Kuil Daeowon, salah satu kuil tua yang tak terhitung jumlahnya di Gunung Jiri, tegak di lereng timur gunung di kawasan Sancheong, Provinsi Jeolla Selatan. Di bawah paviliun berderet kuil penuh bernama Bongjeongsa Daewonsa di papan namanya, salah satunya menuju bagian utama kuil. Sungai kecil mengalir melalui lembah dari tempat parkir, melewati pintu depan paviliun, dianggap sebagai salah satu tempat terbaik di negeri ini untuk bersantai dan menjuntaikan kaki ke dalam air. Kuil Daewon juga merupakan salah satu kuil utama negara yang secara eksklusif dihuni oleh para rahib perempuan. 2 Sawah bertingkat desa Macheon di Hamyang ini dipilih oleh CNN Amerika sebagai salah satu dari 50 tempat di Korea yang harus dikunjungi.


2

mati saya makan tuan rumah mengatakan “Puncak gunung pasti dingin walaupun cuaca sudah mulai hangat. Oleh karena itu ambillah seikat jerami padi.� Di rumahnya masih tersimpan sisa jerami padi setelah merontokkan gabah pada musim gugur. Saya mematuhi nasihatnya. Kerepotan saya memanggul ransel dan seiikat jerami padi (saya yakin itu lebih dari 10 kg) kemudian mendaki gunung Jiri. Setiba di tempat berkemah, saya meletakkan jerami padi di tanah, seperti nasihatnya. Terasa sangat lembut. Kami berbaring dengan dua selimut di tempat tidur yang empuk itu. Cahaya lampu dalam tenda dirasa hangat. Esok pagi kami telah mendapati tenda ditutupi lapisan putih es. Malam itu di dalam tenda itu kami berciuman untuk pertama kalinya kemudian menikah dan berkarunia dua anak.

Hutan Buatan yang Berumur seribu tahun Mobil berjalan sepanjang jalan gunung Jiri kemudian tiba di Hamyang. Nama yang sama dengan nama ibu kota negara Qin, negara persatuan pertama yang dipersatukan oleh Qin Shi Huang dalam sejarah Tionghoa. Mengapa desa terpencil di mana awan pun ingin beristirahat mempunyai nama seperti itu? Huruf Tionghoa, salah satu ideogram menjelaskan maksudnya. Nama Hamyang yang dituliskan dalam huruf Tionghoa bermakna “harapan semua orang berdiam di bawah cahaya matahari yang hangat.� Saya kemudian melanjutkan perjalanan menuju Sangnim. Sangnim merupakan hutan buatan yang dibuat 1150 tahun yang lalu oleh cendekiawan Choi Chiwon SeNI & BUDAyA KoReA 47


Sejauh mata memandang tampak desa di atas bukit di ujung jalan yang bernama jalur pendakian Ildu. Rumah-rumah beratap genting terlihat rapi dan tertata melalui celah-celah cabang pohon pinus yang tua. Beberapa rumah di sekitar sungai mengepulkan asap persiapan makan malam.

selama pemerintahan ratu Jinseong Silla. Choi Chiwon belajar di negara Tang, salah satu dinasti Tionghoa pada umur 11, lulus ujian penerimaan pegawai pada umur 17, dan pulang ke tanah airnya pada umur 28. Dia ingin bekerja di luar kota sehingga menjabat kepala desa Hamyang. Dia membangun hutan pencegah banjir agar warga Hamyang tidak menderita bencana banjir lagi. Di pintu masuk hutan itu ada dua pohon yang saling memeluk yang mempunyai legenda indah. Sebetulnya Yeollimok bermakna pohon yang dua batangnya saling berpeluk menjadi satu sedangkan Yeolliji merupakan pohon yang cabang-cabangnya saling melilit. Pada zaman dahulu dua-duanya dianggap lambang keberuntungan bagi negara. Yeollimok tersebut sangat menarik karena jenis pohonnya berbeda, yakni pohon Zelkova dan Carpinus tschonoskii. Menjelang Choi Chiwon menciptakan hutan buatan ini, Sangnim, seorang pemuda jatuh cinta pada seorang gadis yang tinggal di Hamyang sehingga menyeberangi sungai setiap hari. Choi Chiwon mendengar cerita itu dan membuat batu loncatan demi pemuda tersebut. Sekarang batu loncatan itu tidak ada lagi melainkan warga Hamyang mendirikan jembatan baru, Cheonnyongyo, jembatan dari seribu tahun yang lalu. Warga Hamyang memanggil Yeollimok tersebut sebagai pohon cinta. Menurut legenda, bila dua orang pasang kekasih berjalan di bawah pohon itu maka cinta mereka akan abadi. Hutan buatan itu terdiri atas kira-kira 20.000 pohon berdaun

48 KoReANA musim semi 2016


1 Beranda yang tinggi di Rumah Tua Jeong Yeo-chang di Hamyang, Provinsi Gyeongsang Selatan. Gerbang depan dapat terlihat berbentuk pagar klasik. 2 Nong Woljeong di Damyang. Namanya berarti “bulan bercanda” dan mengacu pada pemandangan yang indah karena cahaya bulan yang memantul pada air di atas batu-batu.

1

lebar dengan 120 jenis di lahan lebih dari 200.000 meter persegi. Hutan itu ditunjuk sebagai karya besar alam ke-154.

Pemandangan indah desa tradisional gaepyong Sejak dinasti Joseon, warga Hamyang sering mengatakan “Andong di sebelah kiri dan Hamyang di sebelah kanan”. Ini mencerminkan kebanggaan warga terhadap Hamyang dan Andong sebagai desa terkemuka yang penuh dengan semangat cendekiawan Joseon. Banyak cendekiawan yang dikenal oleh semua bangsa Korea seperti Goun Choi Chiwon (Goun merupakan nama samaran Choe), Jeompiljae Kim Jongjik (1431-1492), Ildu Jeong, Yeochang (1450-1504), dan Yeonam Park, Jiwon (1737-1805) meninggalkan jejak bagi kehidupan dan pengetahuannya di sini. Saya datang ke desa tradisional di Geypong-Ri, Jigok-Myeon. Melewati jembatan kecil dan masuk ke desa, tampaklah pabrik penggilingan padi. Pada zaman dahulu 2 ukuran penggilingan padi menjadi ukuran kehidupan warga desa. Semakin sibuk mesin penggilingan padi, semakin kaya dan bahagia kehidupan warganya. Terlihat pohon-pohon pinus yang sangat luar biasa di gunung belakang pabrik penggilingan padi. Saya menengok rumah kuno Jeong Yeochang. Jeong merupakan salah seorang dari banyak cendekiawan Sarim diasingkan atau dieksekusi, dan mereka yang sudah meninggal digali dari kuburan dan memutilasinya pada pembersihan cendekiawan pada tahun 1504 yang dilakukan oleh Yeonsangun, raja yang paling bengis dalam sejarah Korea setelah mengetahui pengusiran dan eksekusi ibunya, Lady Yun. Rumah yang terdiri atas 12 gedung itu bangun oleh keturunan Jeong Yeochang setelah kembali memerintah menggantikan Yeonsangun pada tahun 1506. Terlihat papan nama besar tergantung “Bek Se Cheong Pung” (tempat di mana angin segar bertiup sepanjang masa) di gedung Sarangche, tempat tuan rumah laki-laki. Tulisan ini mengandung keinginan cendekiawan Joseon yang berharap menjadi pegawai jujur dan tulus turun-temurun. Siapapun yang gemar minuman keras, perlu menikmati rumah-minum Solsongju, menikmati anggur beras yang dibuat dengan tunas pinus, aroma khas rumah ini. Minuman keras yang bersejarah 500 tahun ini dibuat oleh keturunan Jeong, Yeochang untuk menunjukkan rasa hormat tertinggi pada saat Jesa, upacara persembahan nenek moyang. Saya ingin mencoba minum Solsongju di musim semi serta merasakan gairah untuk menulis puisi seperti cendekiawan zaman dahulu tetapi sayangnya tidak bisa bertemu dengan seorang pengunjung pun. Sejauh mata memandang tampak desa di atas bukit di ujung jalan yang bernama jalur pendakian Ildu. Rumah-rumah beratap genting terlihat rapi dan tertata melalui celah-celah cabang pohon pinus yang tua. Beberapa rumah di sekitar sungai mengepulkan asap persiapan makan malam. Wisatawan zaman dahulu mengutamakan asap dari dapur untuk memilih penginapan. Bila bunga-bunga berkembang dan rumah-rumah mengepulkan asap untuk persiapan makan malam, mereka berbisik kepada diri sendiri, “Ah, saya akan menginap satu malam di sini.” Walaupun tidak bisa minum Solsongju, saya bisa merasakan minum Songyeonju, arak terbuat dari tunas pohon pinus dan asap, karena telah mencium aroma pohon pinus tua serta menghirup asap untuk memasak nasi. SeNI & BUDAyA KoReA 49


desa-desa terpencil dan Kuil Mobil memasuki jalan Daewonsa, Sancheong. Ada beberapa desa yang bernama indah seperti Sicheon, Chansem, Deokkyo, Myeongsang, dan sebagainya di sepanjang sungai Gyongho yang mengalir kaki gunung Jiri. Lampu-lampu desa menyala di tepi sungai yang diselimuti kegelapan indah. Cahaya lampu dari beberapa rumah yang terletak di tengah gunung terlihat seperti kunang-kunang. Daewonsa merupakan sebuah kuil yang mempunyai suara air mengalir di lembah paling dalam di antara kuilkuil di gunung Jiri. Suara air mengalir mendampingi saya selama mendaki gunung sekitar 5,9 km dengan mencium aroma pegunungan dalam. Di tengah aroma pegunungan bintang berkilau-kilau serta suara genderang logam dari kuil untuk persembahan pagi terdengar. Berjalan melintasi pekarangan kuil, saya mencapai Daewoongjeon, ruang utama kuil. Seorang biarawati Buddha menyapa saya dengan mengatupkan kedua telapak tangan serta kepala menunduk. Saya juga memberikan salam sambil mengatupkan kedua telapak tangan. “Sudah malam. Saya ingin mampir di Daewonsa di malam hari.� Dia pergi dengan langkah pendek-pendek tanpa berkata apa-apa. Saya ingin menginap di kuil ini selama satu malam kemudian mendengar suara air mengalir di lembah serta mencium aroma pegunungan sepanjang malam. Walaupun keinginan ini tidak berhasil, saya bisa makan malam dengan sayurmayur kemudian menginap satu malam di sebuah rumah, Sahachon, desa di lingkungan kuil. Cahaya lampu dari rumah-rumah di tepi sungai terlihat seperti bunga. desa yang Bertembok indah Aroma yang baik dari tumbuhan gunung dikatakan untuk mendorong semua hal-hal buruk keluar dari tubuh, yang saya percaya terlepas dari jamur ulat. Pada tahun 1989, saya berwisata ke wilayah barat Tionghoa dengan novelis Lee Myonghan. Kami mengunjungi Dunhuang, Trufan, dan Urumuqi. Lee, yang berasal dari keluarga tabib, bercerita tentang tumbuhan obat fantastis yang bernama Dong Chong Xia Chao (Cordyceps Sinensis) atau “ulat jamur�. Saya tidak bisa percaya ketika ia bercerita tentang ramuan fantastis yang tumbuh di musim panas dan menjadi ulat di musim dingin, tapi di toko obat di Liuyuan aku melihatnya sendiri. Saya masih ingat caranya memegang seolah-olah itu sesuatu yang berharga. Dia mengatakan bahwa bagian yang paling mendasar dari obat tradisional Korea adalah pengobatan dengan indera penciuman. Menurutnya

objek Wisata di Hamyang / sancheong Seoul

280km Hamyang

Desa Hanok Gaepyeong sangnim Terminal Bus Antarkota Hamyang

Desa Dongui Bogam

Terminal Bus Antarkota sancheong

Kuil Daewon Gunung Jiri Desa namsa Yedam

50 KoReANA musim semi 2016

290km

Sancheong

Jalinan pohon di pintu masuk hutan Sangnim di Hamyang. Menurut legenda, pasangan yang bersamasama lewat di bawah pohon, cintanya akan menjadi nyata


aroma tumbuhan gunung mendorong semua hal buruk keluar dari tubuh manusia, yang saya percayai berbeda dengan ulat jamur. Sancheong merupakan sebuah desa tema yang dikhususkan untuk Dongui bogam (Prinsip dan Praktik Pengobatan Timur), yang bangun untuk memperingati ulang tahun ke-400 dari teks medis Korea kuno yang ditulis oleh Heo Jun. Museum Pengobatan Oriental memperkenalkan obat yang tumbuh di kaki Gunung Jiri. Sebuah buku teks pengobatan Asia, Donguibogam telah diterbitkan di Cina dan Jepang juga dan terdaftar di Memory UNESCO World Register. Ini merupakan kebanggaan bangsa Korea bersama dengan penemuan jenis huruf cetak logam. Namsayedamchon merupakan tempat yang mempunyai bentuk asli desa cendekiawan Joseon. Namsayedamchon bermakna desa yang mempunyai tembok-tembok indah. Di pintu masuk desa terlihat papan petunjuk Jalan Beguijonggun di mana laksamana Yi Soonshin melewatinya ketika diasingkan dan dicopot dari jabatan karena berkomplot, kemudian tampak tembok batu yang berupa tumpukan batu dengan tanah merah. Di suatu gang kedua pohon sophora japonica menyambut wisatawan dengan batangnya saling menyilang di atas kepala. Menurut fengsui, desa ini berupa dua naga yang menghembuskan api. Konon pohon itu ditanam untuk menahan api tersebut. Tembok di sekitar rumah, berdiri lebih tinggi dari rata-rata orang, mungkin menyebabkan sedikit tidak nyaman bagi beberapa wisatawan. Tampaknya akan lebih alami jika pelataran depan merangkul pemandangan pegunungan dan lahan di depannya. Jadi saya sedikit jengkel dengan sebutan “Desa terindah di Korea�. Saya pikir cendekiawan yang berpengetahuan mendalam dan berbudi mungkin tidak membuat tembok begitu tinggi. Pada saat itu wangi aroma tanah musim semi dari tembok samarsamar tercium.

SeNI & BUDAyA KoReA 51


HiBuran

talk show tv menghadirkan Lagi Permasalahan Publik Hwang Jin-mee Kritikus Budaya Populer

P

rogram televisi hari ini dibanjiri dengan tayangan kehidupan sehari-hari selebriti dan pandangannya, dari pengasuhan anak hingga kencan, dan pengamanan tempat di sebuah wilayah merupakan program yang berurusan dengan masalah non-selebriti. Popularitas program terakhir terus meningkat, dan TV telah menjadi lubang-intip yang besar yang menyajikan pandangan sekilas kehidupan pribadi seseorang. Hal ini mirip dengan tren ironis dalam program mengenai makanan yang memperoleh popularitas sebagaimana orang yang benar-benar berbagi sedikit makanan keluarga besar dan makanan asing menjadi norma.

©sbs

memilih Persoalan terbesar “Annyeonghaseyo” (“Hello Counselor”), yang telah ditayangkan di 2TV KBS selama lima tahun berturut-turut merupakan reality show yang mengangkat kisah-kisah orang-orang biasa. Tim produksi memilih tiga cerita dari banyak kartu pos yang dikirim oleh pemirsa setiap minggu, dan mengundang orang-orang yang menulis kartu pos untuk tampil di acara tersebut. Dalam program tersebut mereka menuangkan segala yang tersimpan di hatinya. Sebagaimana cerita dalam keseluruhan genre cerita, bagian depan dan tengah selalu berisi rasa sakit yang dialami oleh pencerita, yang sadar atau tidak sadar ditimbulkan oleh orang dekat, atau menderita dalam diam di tengah masyarakat sekitar. Hal-hal tersebut bisa menjadi sumber masalah, dari cara anggota keluarga menyakiti atau perilaku menyimpang untuk melarikan diri dari prasangka karena seseorang terlihat berbeda. Empat host yang fasih berbicara memperlihatkan simpati kepada tamunya atau melemparkan pertanyaan nakal, menambahkan lebih banyak dimensi dan perspektif cerita. Anggota keluarga, teman, dan orang lain yang mungkin telah menyebabkan timbulnya rasa sakit juga diundang untuk menceritakan peristiwa dari sisi mereka, yang menjadikan penonton memperkuat dugaan bahwa sang tamu dirugikan atau mengubah pikiran mereka sama sekali. Para undangan diminta berbagi ide tentang apakah masalah sang tamu serius atau tidak, dan pada akhirnya penonton di studio melakukan voting untuk memilih apakah keseluruhan cerita itui sangat menyedihkan (dan karena itu sangat layak memperoleh simpati) dan pemenangnya akan mendapat hadiah uang.

1

1 “Dongsangimong” (“Sama Ranjang, Beda Mimpi - Ini OK”) merupakan sebuah program di SBS yang mencoba untuk memecahkan masalah antara orang tua dan anak-anak mereka. Kamera observasi menangkap konflik keluarga dengan cara dokumenter, memperlihatkan kepada semua penonton televisi. 2, 3 Adegan “Annyeonghaseyo” di KBS2, di mana kontestan menghadirkan kekhawatiran mereka kepada penonton.

2

©kbs


sebuah talk show memadukan unsur hiburan dan dokumenter, menceritakan pengalaman orang-orang biasa, masalah yang menyusahkan mereka, dan mengajak mereka bersedia

3

berbagi cerita untuk diperbincangkan, tertawa dan menangis bersama-sama di televisi nasional. menonton orang orang yang tak dikenal bertengkar dan berdamai dengan anggota keluarga pada kamera, pemirsa menempatkan dirinya sebagai protagonis dan memberikan bantuan saran dan komentar yang diunggah melalui papan buletin online.

dua sisi Cerita pada Kamera tersembunyi Pada bulan April tahun ini, SBS mulai ditayangkan reality show berjudul “Dongsangimong” (“Sama Ranjang, Beda Mimpi - Itu OK”), yang mendengarkan konflik orang tua-anak dan mencari solusi. Setiap episode berkaitan dengan isu-isu satu keluarga, dan berangkat dari format talk show sederhana, mencatat konflik keluarga dengan menggunakan kamera tersembunyi. Ibu yang terusmenerus mengawasi putrinya dan putri yang berkeliling kampung sampai larut malam, menolak untuk pulang ke rumah, yang difilmkan seperti film dokumenter. Jika dipandang perlu, nasihat profesional dicari dengan meminta tes psikologi. Yang menonjol dalam program ini adalah menunjukkan kedua sisi cerita. Pada awalnya, cerita dan video ditayangkan dari perspektif pengirim dan mendiskusikannya dengan panelis di studio. Kemudian, narasi ini diceritakan dari sudut pandang pihak lain. Perubahan dalam perspektif memberikan pencerahan baru pada konflik, dan pemirsa bisa memiliki pandangan yang seimbang. Para anggota keluarga yang tampil di acara kadang-kadang terkejut menemukan sisi baru pada diri mereka tanpa menyadari bahwa mereka direkam kamera. Sebagaimana judul “Sama Ranjang, Beda Mimpi” menyiratkan bahwa meskipun orang tua dan anakanak hidup di bawah satu atap, mereka mungkin berpikir secara berbeda, tidak mampu memahami satu sama lain, ketika semua komunikasi terputus. Deskripsi singkat tersebut tidak menunjukkan keadilan program. Hal itu justru terdengar seperti sebuah proses mediasi sederhana, tetapi sebenarnya program TV memungkinkan pemirsa untuk merenungkan keluarga dan pola komunikasi mereka sendiri dengan menonton perangkat keluarga melalui setiap tahapan konflik, kesepakatan dan rekonsiliasi. Pada bulan-bulan awal program, ada keluhan bahwa program ini membesar-besarkan masalah keluarga dengan menambahkan elemen sensasional tetapi krisis itu diselesaikan melalui permintaan maaf penyelenggara program. Program ini tidak dihentikan karena pemirsa bisa berempati dan memiliki harapan program ini berdampak positif pada penyelesaian masalah dan penemuan jalan tengah. mencari Komunitas dan simpati Di masa lalu ketika kebanyakan orang tinggal di masyarakat

pedesaan atau bahkan di masyarakat urban yang sering berinteraksi dengan tetangga, tidak jarang muncul keingintahuan terhadap masalah keluarga lain. Setiap pribadi tidak memperhatikan secara eksklusif masalahnya sendiri, demikian pula terhadap konflik keluarga. Tidak ada rahasia di desa dan warga desa sering menawarkan dan bercampur tangan dalam urusan keluarga lain. Namun, dengan pembangunan kembali kota sejak akhir 1980-an, semakin banyak orang tinggal di apartemen. Krisis keuangan akhir 1990an yang disebabkan oleh kebijakan ekonomi neoliberal melahirkan persaingan kuat dan individualisme. Ikatan tradisional dengan tetangga terputus, dan orang-orang menjadi terisolasi; mereka tidak bisa berbagi masalah atau masalah mereka dengan keluarga mereka, teman atau tetangga lagi. Menurut laporan terbaru ukuran kesejahteraan dari OECD (Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi) dan negara-negara mitra, “Bagaimana Mutu Hidup? 2015” Korea mencatat persentase terendah di antara negara-negara anggota tergadap pertanyaan apakah mereka memiliki kerabat atau teman-teman yang bisa diandalkan memberi bantuan ketika mereka dalam kesulitan. Hanya karena seorang teman bicara telah menghilang bukan berarti bahwa orang tidak lagi merasa perlu berkomunikasi dengan orang lain atau berbagi masalah mereka. Mereka sekarang bisa pergi ke sebuah buletin internet anonim atau situs jejaring sosial di mana mereka dan orang lain bisa membaca posting, mengungkapkan “suka” atau memberikan saran. Televisi meminjamkan telinga simpatik untuk masalah kita, menyediakan tempat bagi teman dan tetangga, dan pemirsa dipuaskan rasa ingin tahu mereka mengenai kehidupan orang lain dengan menonton TV. Mereka dinyamankan oleh fakta bahwa kehidupan orang lain yang tidak jauh berbeda dan bahwa hidup mereka tidak benar-benar terisolasi. Jika dalam kehidupan nyata hubungan manusia semakin terfragmentasi, maka semakin populer pula program TV tersebut. Pemirsa di seluruh negara akan cenderung ingin tahu dan ikut campur dalam urusan semua orang seolah-olah mereka merupakan tetangga. Cukup ironis, meskipun kita hidup terisolasi dalam masyarakat yang sampai-sampai tidak mengetahui bahwa salah satu anggota keluarga mati bunuh diri di ruang sebelah, kami masih memiliki fantasi bahwa masyarakat masih terjaga untuk berbagi masalah sehari-hari mereka. SeNI & BUDAyA KoReA 53


esai

URGENSI DIALOG ANTARBUDAYA rizqi adri muhammad Diplomat, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

“G

imana rasanya hidup di Korea?” pertanyaan itu kerap saya terima sekembalinya menyelesaikan masa studi di Korea beberapa tahun yang lalu. Awalnya saya berusaha mendeskripsikan segala yang saya alami di Korea kepada teman-teman. Namun ternyata upaya ini terkesan seperti pamer, sehingga saya kembangkan satu jawaban kepada semua yang bertanya demikian: “Sulit untuk dijelaskan. Yang pasti, dari Korea saya belajar mengenal diri dan bangsa sendiri.” Otak manusia, sama halnya dengan serat otot, dapat ditempa dan dikembangkan melalui pengetahuan maupun pembelajaran. Ketika saya memulai masa studi di Korea pada pertengahan tahun musim panas tahun 2013, disitulah saya sadar bahwa otak saya sudah jenuh terisi dengan disposisi, berkas, deadline, dan hal-hal lainnya terkait dunia perkantoran sehingga otak saya benar-benar terasa linu saat mencoba untuk belajar lagi. Begitupun halnya ketika belajar Hangeul; bagaimana bisa masyarakat ini berkomunikasi dengan garis dan lingkaran? Demikian keluh saya saat itu. Namun tahapan awal itu dapat dilalui dan mulailah tahapan belajar yang sesungguhnya yaitu pembelajaran dari hidup di Korea. Sebagai seorang waeguk-in (orang asing) insting saya timbul untuk menguji sejauh mana orang Korea mengenal negara tempat saya berasal, Indonesia. Saya kaget ketika banyak orang Korea yang saya temui sama sekali tidak tahu tentang Indonesia. Mereka kenal dengan Vietnam, Filipina, Thailand, tapi sama sekali asing dengan Indonesia? “Indo? ”, “Bukan, In-do-ne-si-a.” “Ah tidak tahu, tapi kamu mirip orang Filipina.” begitu biasanya tanya-jawab berlangsung dengan bahasa Korea saya yang terbata-bata. Dari situ saya paham bahwa Indonesia ternyata tidak sebesar yang saya kira. Negara dengan populasi terbesar ke-empat di dunia, bertebar 17,000 pulau, raksasa di Asia Tenggara, ternyata tidak dikenal oleh masyarakat Korea pada umumnya.

54 KoReANA musim semi 2016


Saya mencoba untuk mawas diri dan mengambil kesimpulan bahwa segala bentuk diplomasi budaya yang Indonesia tawarkan ke ujung dunia ini, jika tidak benarbenar menyentuh masyarakat dengan penekanan pada people-to-people contact, maka tidak akan masuk ke dalam ruang memori masyarakat dunia. Slogan ‘Wonderful Indonesia’ hanya akan menjadi stiker di lemari jika masyarakat dunia tidak paham seperti apa sebenarnya Indonesia itu. Namun, di tengah rasa frustrasi, saya kemudian mendapatkan pencerahan ketika mulai berteman dengan orang-orang Korea yang justru tahu lebih banyak hal tentang Indonesia daripada saya. Mereka bicara tentang Hujan Bulan Juni dan peninggalan Pramoedya untuk dunia. Ada yang memprediksi kiprah Jokowi ke depan. Bahkan ada pula yang mengkaji evolusi sambal di kuliner Indonesia sebagai salah satu bahan makalah kuliah. Teman-teman Korea ini mendedikasikan hidup mereka untuk memahami Indonesia, di saat generasi muda Indonesia justru semakin terasingkan dari budayanya sendiri. Mereka dari negeri asal K-Pop justru mengkaji hal-hal yang selama ini kita anggap trivial di negeri sendiri. Pikiran saya kembali terusik. Jika memang Indonesia hendak menjual citra melalui budaya, maka pemahaman budaya itu juga terlebih dahulu harus diperkuat di dalam negeri. Tapi budaya apa? Ya budaya Indonesia yang ratusan macamnya itu. Dapat dimaklumi jika hal-hal yang bersifat ‘tradisional’ dan ‘klasik’ tidak akan mempuaskan dahaga demografi masyarakat Indonesia yang menyerupai piramida ini. Namun saya rasa pengenalan kembali dan akses terhadap kebudayaan kita dapat dilakukan dengan cara-cara kreatif. Bicara soal makanan misalnya, Korea memiliki food directory yang dapat dengan mudah diakses via situs-situs internet dan ditampilkan secara apik dengan konten yang user friendly . Jika kita ingin mengetahui tentang sejarah minuman Soju, misalnya, kita dapat mengakses info tentang bagaimana Soju berkembang sejak jaman Dinasti Goryo dan Joseon (1392-1910) menjadi 20 tipe Soju yang tersebar dari Gyeongsang hingga Munbaeju. Di Indonesia, satu-satunya direktori kuliner nusantara komprehensif yang saya ingat adalah Buku Masakan Indonesia Mustikarasa warisan jaman Orde Lama dan Orde Baru tahun 1967. Kini keberadaannya entah dimana. Dalam kebudayaan Jawa ada istilah “ayo padha nguri-uri kabudayaan Jawa ” yakni ajakan kepada orang Jawa untuk melestarikan kebudayaan Jawa dimanapun dia berada. Mungkin saat ini Indonesia dapat belajar pula dari orang Korea tentang bagaimana menghargai kebudayaan sendiri. Tidak perlu hingga ke tahap ekstrim seperti pemberlakukan wajib sumpah setia bagi warga negara Korea Selatan sampai tahun 1989, namun setidaknya ada inisiatif dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kecintaan terhadap kebudayaan lokal melalui inventarisasi aset budaya ataupun kampanye publik untuk “nguri-uri” kebudayaan Indonesia. Belajar di Korea memberi saya kesempatan untuk melihat segala hal terkait Indonesia dalam perspektif lain. Pengalaman bersekolah di Korea pula yang kemudian membentuk persepsi saya tentang Korea sekaligus menempa saya sebagai seorang pribadi Indonesia. Otak saya yang selama ini larut dalam hiruk-pikuk kebisingan Jakarta dan carut-marut politik dalam negeri mampu mengolah hal-hal lain terkait Indonesia setelah bertukar pandangan dengan teman-teman di Korea. Lewat dialog, canda tawa, kadang diselingi setenggak Soju atau segigit Mandu, saya merasakan betul bagaimana dialog antar budaya itu penting tidak hanya untuk mengenal kebudayaan lain, namun juga untuk memperdalam pengetahuan tentang nilai dan kearifan budaya sendiri. SeNI & BUDAyA KoReA 55


KisaH ramuan

BAWANG PUTIH Kelezatan musim semi dan Pemberi rasa sepanjang Waktu

Kim Jin-young Ketua Dapur Wisatawan shim Byung-woo Fotografer

Bawang putih merupakan sayuran umbi yang berasal dari asia tengah dan dibudidayakan di seluruh dunia dari Korea dan Cina asia timur, india di asia Barat, ke eropa tengah terutama spanyol dan italia, hingga ke amerika. dalam masakan Korea, bawang putih bukan hanya kunci utama pemberi rasa pada hampir semua masakan, tetapi juga dapat disajikan secara mentah di atas meja makan bersama dengan sayuran lainnya. 56 KoReANA musim semi 2016


B

agi orang Korea, bawang putih atau maneul merupakan bahan masakan yang memiliki sejarah panjang sampai muncul dalam mitos nasional. Kisahnya bermula dari seekor harimau dan seekor beruang yang memohon kepada Hwanung (anak lelaki dari Hwanin, Kaisar Langit) agar membantu mereka berubah menjadi manusia. Hwanung meminta mereka untuk tinggal di dalam sebuah gua selama seratus hari tanpa melihat sinar matahari dan hanya memakan bawang putih dan mugwort (sejenis tanaman). Harimau yang tidak tahan hidup seperti itu, kabur dan keluar dari gua. Sementara itu, beruang tetap bertahan selama seratus hari dan pada akhirnya berubah menjadi seorang perempuan yang kemudian menikahi Hwanung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut adalah Dangun yang menurut legenda merupakan pendiri Joseon Kuno (Gojoseon, kerajaan pertama Korea) dan dianggap sebagai nenek moyang bangsa Korea. Kemanjuran bawang putih digambarkan dalam pengobatan tradisional Korea sebagai “pemberi stamina dalam tubuh dengan menangkal dingin dan membuang energi dingin, sementara mengusir dan menghalau energi atau zat jahat dari tubuh.� Sebagai contoh, ditemukan catatan bahwa konsumsi bawang putih mengalami kenaikan, jika orang-orang mendengar rumor tentang penyakit menular. Dalam ilmu pengobatan modern, beberapa studi menunjukkan bahwa bawang putih adalah makanan luar biasa yang melancarkan peredaran darah, memiliki kandungan antibakteri dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Menurut American Institute for Cancer Research, bawang putih merupakan makanan super nomor satu di antara kira-kira 40 jenis makanan yang mengandung zat yang berpotensi melindungi tubuh dari jenis kanker tertentu.

Pemberi rasa Di sebagian besar negara-negara di dunia, bawang putih digunakan sebagai pemberi rasa untuk makanan. Orang Cina dalam memasak akan menggoreng bawang putih dengan cabai atau bawang sebagai tahap pertama mempersiapkan berbagai masakan, orang Italia akan merendam sepotong bawang putih di dalam minyak zaitun panas di atas panci untuk memberi rasa pada pasta, dan orang Jepang akan menggunakan minyak biji rami dalam menggoreng sepotong bawang putih tumbuk untuk membuat dasar bagi sup ramen (kadang-kadang digunakan bubuk bawang putih sebagai pengganti bawang putih tumbuk untuk memberi rasa yang lebih lembut). Semua cara masak tersebut, pada dasarnya memiliki tema yang sama. Demikian pula dengan masyarakat Korea, bawang putih digunakan pada tahap pertama dan terutama untuk memberi rasa pada masakan. Akan tetapi, di Korea biasanya bawang putih lebih sering ditumbuk atau dihancurkan daripada dipotong-potong atau diiris. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bawang putih tumbuk digunakan untuk mengasinkan atau memberi rasa pada setiap masakan yang dihidangkan di atas meja makan. Sama seperti pengunaan berbagai jenis herbal dalam sebuah bouquet garni di masakan Eropa – untuk menambah aroma pada masakan, untuk membuang semua bau yang tidak sedap dari bahan utama, dan untuk memperkuat rasa – di Korea juga, sepotong bawang putih ditambahkan ketika menyiapkan hidangan daging atau ikan seperti samgyetang (sup ayam ginseng), galbijjim (tumis sapi atau iga babi), ayam tumis pedas, dan seafood stew. Gyerim Ayam Bawang Putih, yaitu sebuah restoran ayam rebus yang terletak di daerah Jongro 3-ga di pusat kota Seoul dan telah buka selama beberapa generasi, merupakan restoran yang terkenal dengan sajian ayam rebus dan sesendok penuh bawang putih di atas sajian tersebut. Karena hidangan itu masih mendidih ketika disaijkan di atas meja, maka tumpukan bawang putih di atasnya akan meleleh ke dalam kaldu bersama dengan minyak dari ayam, sehingga bawang putih itu bukan hanya membuang aroma amis dari lemak ayam, tetapi juga memperkaya rasa manis yang jauh berbeda dari rasa manis yang dimiliki gula. Boleh dimakan secara mentah maupun secara dipanggang Bawang putih mentah juga disajikan di atas meja makan bersama dengan beberapa sayuran Ketika makan daging panggang seperti iga sapi atau perut babi, sepotong daging panggang ditaruh di atas sehelai daun selada, lalu dibungkus dengan sepotong bawang putih dan saus ssamjang menjadi bungkusan sebesar satu porsi gigitan. Bagi yang tidak terlalu menyukai makan bawang putih mentah, bawang putih dapat

Di masa lalu setiap keluarga akan membeli bawang putih kering dalam jumlah besar pada musimnya dan menggantungnya di ikatan tangkai di tempat teduh yang berangin, kemudian mengambilnya beberapa butir untuk digunakan di dapur. Hari-hari ini supermarket menjual bawang putih yang telah dikupas atau kotak bawang putih hancur dalam porsi kecil untuk digunakan di rumah.

SeNI & BUDAyA KoReA 57


dipanggang utuh atau diiris kecil terlebih dahulu di atas panggangan dengan minyak dari lemak daging, atau dapat juga menggoreng bawang putih dengan minyak wijen, untuk kemudian ditaruh di atas daging panggang. Hal ini merupakan cara yang baik untuk menghindari sensasi panas yang didapat ketika memakan bawang putih mentah dan juga untuk mencegah “napas bau bawang putih� – yang mungkin satu-satunya efek buruk dari makan bawang putih. Salah satu dari makanan pendamping paling dasar dalam hidangan Korea adalah acar bawang putih. Makanan ini dibuat dengan menambahkan bawang 2 putih baik dalam ukuran siung ataupun utuh (satu bongkah -- dengan membuang lapisan paling luar dan akar) ke dalam rebusan kecap asin yang telah didinginkan, lalu campuran tersebut dibiarkan untuk frementasi selama beberapa bulan. Rasa dari kecap asin yang berbeda-beda pada setiap resep keluarga, rasa dari bawang putih, dan semakin lembutnya tekstur acar seiring dengan waktu, semuanya menyatu membuat makanan diawetkan yang unik. Makanan yang menggunakan bawang putih yang paling mudah dibuat dan dapat hampir ditemukan di mana-mana di dunia ini pasti adalah roti bawang putih. Yang harus dilakukan hanyalah membuat saus dengan bawang putih tumbuk, mentega cair dan gula, lalu mengoleskan saus ini ke atas roti baguette yang telah diiris diagonal. Setelah itu, memercikkan sedikit daun peterseli kering di atasnya dan memanggangnya sebentar di dalam oven. Bersamaan dengan aroma roti bawang putih panggang memenuhi dapur, ketika Anda menggigit roti ini, Anda dapat merasakan rasa yang kaya dari mentega yang telah menyebar dan lebih lezat.

Batang Lembut dan Hijau Bawang Putih Kecintaan masyarakat Korea terhadap bawang putih tidak terbatas pada siungnya yang beraroma tajam. Kelembutan batang hijau dari bunga bawang putih (disebut scapes), yang memiliki rasa lebih tajam, juga digunakan sebagai bahan utama untuk makanan pendamping. Pada bulan Maret, ketika bunga-bunga bermekaran, batang bawang putih juga dipanen untuk mendorong terbentuknya siung, mengawali indahnya tempat wisata utama di daerah selatan, yakni pulau Jeju. Sekumpulan batang hijau yang sedikit lebih kurus dibandingkan batang asparagus, memenuhi pasar pada awal musim semi. Baik digoreng di dalam minyak dengan udang kering maupun diawetkan di dalam kecap asin seperti siungnya, batang bawang putih menjadi makanan pendamping favorit lainnya di atas meja makan Korea. Batang bawang putih ini dapat juga menjadi pengganti

1

Dalam ilmu pengobatan tradisional Korea, kemanjuran bawang putih digambarkan sebagai “pemberi stamina dalam tubuh dengan menangkal dingin dan membuang energi dingin.� Sementara itu, dalam ilmu kedokteran modern, berbagai studi menunjukkan bahwa bawang putih adalah sebuah makanan luar biasa yang melancarkan peredaran darah, memiliki kandungan antibakteri, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. 58 KoReANA musim semi 2016


yang enak dari siung bawang putih untuk membuat aglio e olio, yaitu pasta yang pada dasarnya dibuat dengan bawang putih dan minyak zaitun. Ketika batang bawang putih dimasak, batang ini tetap renyah, sementara rasa tajam saat mentah telah melembut menjadi manis. Pada musim semi, taburan bawang putih di atas hidangan dapat ditemukan bersama dengan hiasan sayuran hijau seperti daun selada dan cabai untuk daging panggang. Cukup memotong bagian atas bawang putih sepanjang diinginkan dan menumisnya di dalam penggorengan panas. Ketika bawang putih mulai melembut, tambahkan irisan gurita, saus cabai, gula, beberapa tetes cuka, saus kacang cabai, dan saus tiram. Hanya dengan mencium aroma dari penggorengan saja sudah cukup mendorong selera makan.

shallot dan Bawang Putih Jika Anda tidak terbiasa dengan hidangan Korea yang penuh bawang putih, Anda dapat memikirkan pemberi rasa yang bernama shallot karena aromanya mirip dengan bawang putih. Shallot yang berasal dari keluarga tanaman yang sama dengan bawang putih adalah pemberi rasa yang mengkombinasikan rasa tajam bawang putih dengan rasa manis lebih kuat dari bawang. Shallot itu umumnya digunakan dalam salad dan saus baik di Perancis maupun di Asia Tenggara dan menjadi bahan dasar untuk banyak saus. Juga, digunakan sebagai hiasan serta memberi rasa pada hidangan daging dan ikan. Shallot kadangkadang dimakan dengan cara digoreng dalam minyak, dan juga digunakan untuk menambah rasa pada masakan ketika bagian atasnya masih hijau seperti cara masak Korea yang memanggang bawang putih dalam minyak dan menggunakan batang bawang putih sebagai bahan dalam banyak masakan. Ketika orang berlibur dan mengunjungi daerah asing, tidak mungkin menghindari bertemu makanan yang tidak lazim. Mengubah hal itu menjadi suatu pengalaman menyenangkan, membuat liburan itu menjadi lebih bermakna. Itulah alasan tepat mengapa sebagai seorang yang ahli dalam produksi kuliner, saya menciptakan sebuah kelompok yang bernama Traveler’s Kitchen (Dapur Wisatawan) dengan berkolaborasi dengan sejumlah penulis yang gemar berwisata (travel writers). Kami ingin mendorong orang untuk mencoba makanan lokal dan musiman ketika mereka berkeliling Korea, daripada hanya mencari dan mencicipi restoran-restoran terkenal; dan untuk menyemangati orang Korea mengunjungi negara lain untuk menemukan kelezatan kuliner yang tidak biasa, daripada hanya mengunjungi restoran Korea. Maka saya ingin menyarankan kepada siapa saja yang mengunjungi Korea dan tidak terbiasa dengan bawang putih, ‘bagaimana jika kita menjalin persahabatan dengan bawang puith.’

1 Acar putih. Dibuat dengan merebus bersama gula (dan cuka jika diinginkan) dengan kecap, memungkinkan jadi campuran dingin sebelum dituang di atas bawang putih. Hasil akhirnya selalu unik karena rasa dari kecap bervariasi pada tiap keluarga. 2 Acar batang bawang putih. Dibuat dengan cara memotong batang menjadi potongan berukuran panjang, mendidihkan bersama gula (dan cuka jika diinginkan) dengan kecap, kemudian menambahkan seluruhnya bersama-sama, dan menyimpannya dalam wadah tertutup agar rasanya berkembang. 3 Siung bawang putih yang halus atau utuh merupakan penambah rasa penting dalam berbagai hidangan daging termasuk sup ayam klasik, samgyetang.

3

SeNI & BUDAyA KoReA 59


gaya HiduP

LAYAN ANTAR MAKANAN KINI PUNYA APLIKASI

Jeon sung-won Editor Utama, Quarterly Hwanghae Review shim Byung-woo Fotografer

untuk makan siang atau makan malam, keluarga Korea punya tiga pilihan: menikmati masakan rumah, makan di rumah makan, atau pesan lewat jasa layan antar. Beragam makanan bisa dikirim ke rumah kapan pun setiap harinya, dan tersedia dalam pilihan makanan cepat saji ala Barat sampai sup dan semur tradisional Korea. Kini, aplikasi layan antar makanan kian populer, karena aplikasi ini membantu pengguna memilih menu, membandingkan harga, memesan secara online dengan harga diskon, dan membayarnya. 60 KoReANA musim semi 2016


O

rang asing yang tinggal di Korea pasti pernah memesan makanan dari rumah. Memang jasa layan antar seperti ini tidak hanya ada di Korea, tapi ada hal khusus yang membedakannya dengan jasa layan antar di negara lain.

siap saji 24/7 Pertama, tidak ada biaya pengiriman. Anda tidak perlu memberi tip kepada pengantar, seperti lazimnya di ne-gara-negara lain. Kita bisa memesan dari daftar makanan dan membayarnya sesuai dengan harga menu. Di Korea, pesanan diantar sangat cepat, bahkan di tengah malam sekalipun, selama 24 jam, tujuh hari dalam seminggu. Banyak rumah makan yang buka pada hari libur. Makanan China atau Korea tidak dikirim dengan kemasan sekali pakai, tapi disajikan panas dalam peranti makan biasa dan pengantar akan datang lagi kemudian untuk mengambil piring-piring kotor. Flyer layan antar makanan dengan kupon diskon secara rutin dimasukkan ke dalam kotak surat di lantai satu tiap apartemen. Rumah makan paling kecil yang melayani jasa layan antar ini juga memiliki situs di internet. Bahkan Anda tidak perlu menelepon untuk memesan makanan. Anda bisa memilih menu, memesan dan membayar dengan hanya menekan tombol pada aplikasi di telepon pintar Anda. sejarah Layan antar makanan Korea Makanan Korea yang pertama kali ditawarkan dalam jasa layan antar ini adalah hyojonggaeng, yang artinya “sup yang dihidangkan untuk menyegarkan diri di pagi hari setelah bel tanda harus berdiam di rumah berbunyi.” Dalam buku “Haedong jukji ” (“Syair Batang Bambu tentang Korea”) yang diterbitkan pada tahun 1925, Choe Yeong-neon, seorang cendikiawan dan pakar kaligrafi pada masa Dinasti Joseon, menulis tentang sup ini: “Masyarakat di Gwangju (wilayah di bagian selatan Seoul, di Provinsi Gyeonggi) sangat piawai memasak hyojonggaeng . Me-reka memakai kol, tauge, jamur pinus, jamur shiitake, iga sapi, timun laut, dan siput laut dan menambahkan kecap kental, lalu merebusnya seharian. Mereka membungkus mangkuk sup dengan selimut berlapis di malam hari dan mengirimkannya ke Seoul. Kemudian mangkuk sup dikirim ke rumahrumah pejabat senior di jajaran peme-rintahan ketika bel itu berbunyi di pagi hari. Mangkuk itu masih hangat dan sup di dalamnya sangat enak untuk menyegarkan diri setelah pergi sepanjang malam.”

Ini membuktikan bahwa kapitalisme urban sudah terjadi dalam masyarakat Joseon; layan antar makanan adalah perusahaan jasa yang lahir dalam budaya urban. Pada tahun 1910, Joseon dijajah oleh Jepang, yang sudah mengadopsi teknologi, perdagangan dan budaya Barat yang lebih modern dibanding negara tetangganya, dan Korea mengalami perubahan modernisasi di bawah pendudukan Jepang ini. Mereka bermigrasi masal dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan, yang memicu perubahan dalam budaya urban. Incheon, yang merupakan pelabuhan dagang, menjadi sebuah melting pot , karena banyak orang datang dari Pyongan, Hwanghae, dan provinsi Chungcheong dan banyak orang Jepang dan China yang juga tinggal di sana. Secara alami, wilayah yang menerapkan budaya makan ini dipengaruhi oleh pesatnya arus migrasi. Makanan yang paling merajai pada saat itu adalah jajangmyeon , hidangan mie China ala Korea, dan naengmyeon (mie dingin), sebuah makanan khas dari bagian utara Korea. Ketika pabrik es mulai menjual es balok, mereka bisa menikmati naengmyeon sepanjang tahun. Mereka bisa memperoleh es dalam jumlah besar di Incheon karena sebelumnya sudah ada pabrik es yang dibangun di sana yang menyediakan es untuk keperluan kapal. Kim Suk-bae, seorang fotografer yang lahir pada tahun 1925 dan saksi hidup fotografi modern di Korea, me-ngatakan keluarganya pernah memesan naengmyeon melalui telepon dari Incheon ke rumah mereka di Eulji-ro, sebuah wilayah di tengah kota Seoul, pada suatu malam di tahun 1938. Pada waktu itu, ada rumah makan naengmyeon di jalan Jongno 3-ga dan Cheongjin-dong. Tapi keluarganya ingin menikmati makanan khas yang dibuat di Incheon ini. Incheon adalah sebuah kota kecil yang terkenal karena naengmyeon mereka yang sangat lezat. Budaya layan antar makanan memudar pada akhir Perang Pasifik, ketika makanan dibatasi dan rumah makan ditutup.

Pali-pali Kecintaan pada layan antar makanan lahir di Korea, khususnya karena kebiasaan pali, pali (cepat, cepat) selama proses modernisasi negara ini yang sangat pesat. Segera setelah pembebasan dari pendudukan kolonial Jepang pada tahun 1945, Korea mengalami pemisahan dan perang saudara. Tapi dalam waktu yang singkat, negara ini berkembang SeNI & BUDAyA KoReA 61


dan menjadi 10 besar negara dagang di dunia. Dalam proses ini, pali, pali memainkan peran kunci dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dari tahun 1960an dan modernisasi tahun 1980an dengan demokratisasi penuh setelah itu. Banyak orang Korea harus bekerja sampai larut malam, dan memperpendek waktu makan siang dan makan malam mereka. Pertumbuhan perusahaaan jasa pengiriman makanan juga dipiicu oleh lingkungan pasar yang yang bagus di negara itu. Menurut pakar industri, pengiriman makanan makin mengakar dan meluas sehubungan dengan adanya banyak wilayah kota dengan populasi padat dan kebiasaan menikmati kudapan di malam hari. Jasa layan antar dimungkinkan ketika ada permintaan yang cukup dalam wilayah yang mudah dijangkau. Lonjakan pekerja dalam industri rumah makan dewasa ini, karena meningkatnya pengangguran yang diakibatkan oleh resesi dan pensiun dini generasi baby boomer , juga memicu tumbuhnya jasa layan antar makanan. Ketika pertumbuhan industri rumah makan sedang lesu, jasa layan antar makanan hadir sebagai sarana adaptasi lingkungan pasar yang sangat kompetitif.

aplikasi Layan antar Pada tahun 2010, di tengah kompetisi sengit dalam pasar pengiriman makanan, aplikasi layan antar diperkenalkan untuk membantu pengguna dengan informasi mengenai rumah makan yang melayani pengiriman berbasis lokasi. Dengan banyaknya pengguna telepon pintar, jasa ini memperkuat konektifitas aplikasi dengan pelanggan; sehingga aplikasi layan antar makanan ini semakin melejit. Aplikasi ini menawarkan beragam jasa ekstra untuk mengakomodasi komentar pelanggan, pembayaran, dan potongan harga. Sebagai kiblat IT, Korea punya populasi pengguna telepon pintar yang besar, yang merasa nyaman dengan jasa aplikasi baru. Dalam sebuah survei tren pola makan yang dilakukan oleh Lembaga Riset Industri Makanan Korea pada tahun 2013, sebanyak 84,2 persen reponden mengatakan kebiasaan makan mereka berubah dengan ada-nya gawai. Sebanyak 53,5 persen mengatakan mereka mendapatkan informasi mengenai rumah makan dengan menggunakan gawai dan sebanyak 25,3 persen mengatakan mereka mengunduh aplikasi untuk memperoleh informasi meng-

1

62 KoReANA musim semi 2016


Dalam sebuah survei tren pola makan di tahun 2013, sebesar 84,2 persen responden mengatakan kebiasaan makan mereka berubah sejak mereka menggunakan gawai. Sebanyak 53,5 persen mengatakan mereka mendapatkan informasi mengenai rumah makan dengan menggunakan gawai dan 25,3 persen mengunduh aplikasi untuk mencari informasi mengenai rumah makan baru.

enai rumah makan baru dan menu yang disajikan. Dalam survei serupa pada tahun 2014, dengan satu pertanyaan tambahan mengenai aplikasi layan antar, sebanyak 18,2 persen responden mengatakan mereka menggunakan aplikasi ini. Sebagian besar pengguna aplikasi layan antar berusia sekitar 20an sampai 30an. Saat ini, terdapat sekitar 30 sampai 40 aplikasi layan antar berada dalam bersaing dengan ketat. Tiga urutan teratas — Baedal Minjok, Yogiyo, dan Baedaltong — secara kumulatif diunduh lebih dari 40 juta kali. Sebagai aplikasi yang menduduki peringkat teratas, Baedal Minjok mempermudah penggunanya memakai jasa berbasis lokasi yang dikenal dengan “all-in-one�, tanpa direpotkan dengan memasukkan

informasi pengguna. Aplikasi ini sangat mudah digunakan — sama mudahnya dengan terkoneksi jaringan mobile yang dikenal dengan Internet of Things. Setelah kesuksesannya dalam pasar domestik, perusahaan aplikasi layan antar makanan kini mulai merambah pasar asing. Sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menambahkan value baru pada budaya pengiriman makanan Korea sehingga bisa menjangkau lebih luas dalam kualitas lebih bagus, bukan hanya memenuhi kebutuh-an akan makanan; karena kudapan atau makanan yang dikirim ke rumah atau kantor pasti tidak dimakan sendiri melainkan dibagi dan dinikmati bersama keluarga atau rekan kerja.

1 Pertumbuhan jumlah orang yang menyukai makanan-antar di rumah atau di luar rumah setelah mencari makanan-antar hanya dengan klik dari aplikasi pengiriman dalam smartphone mereka. 2 Seorang pria-pengantar di atas kecepatan sepeda motornya di jalan, membawa makanan hangat. Jumlah perusahaan jasa pengiriman makanan juga meningkat.

2

SeNI & BUDAyA KoReA 63


PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

KRITIK

KIDUNG SUREALISTIK PENGEMBARA Lukisan sangat mempengaruhi fiksi saya … Saya lebih tertarik pada dunia bawah sadar individu atau mimpi buruk dan kecemasan mereka daripada kesadaran sosial eksternal. Mereka hanya secara alami dapat didekati dengan menggunakan teknik surealistik sejauh mereka kosmopolitan yang tidak dapat dijelaskan oleh pemikiran rasional. Novel saya memusat pada citraan, tidak kisahan, karena alasan itu, dan dengan mempertahankan ketegangan pembaca, saya berharap dapat meninggalkan lebih banyak ruang bagi imajinasi mereka.” Cho Yong-ho Novelis, Wartawan Sastra, Segye Ilbo

P

ada tahun 1984, keadaan Korea terbelah lewat pembagian antara Selatan dan Utara, dan itu terjadi sampai sekarang, tiga puluh tahun kemudian, situasi tetap tidak berubah. Terjadi ketegangan yang tajam antara kedua Korea, sementara yang disebut rezim militer baru, telah muncul untuk memerintah dengan cara yang tidak kurang represifnya dari penguasa pendahulunya. Dalam keadaan itu, kesusastraan Korea itu menolak tirani, dengan kecenderungan umum mengarah pada apa yang disebut “Sastra Rakyat (Minjung)” yang menawarkan kenyamanan bagi masyarakat bawah yang kurang mampu, realisme sosial lalu muncul ke atas panggung sastra. Pada tahun 1984 itu, novelis Lee Ze-ha menerbitkan cerita pendek “The Wayfarer Never Rests Along the Road,” yang kemudian mendapat anugerah Yi Sang Literary Award tahun berikutnya. Lee Ze-ha menampilkan sesuatu yang tak mengikuti kecenderungan sastra pada zamannya. Lahir pada tahun 1937, ia mengambil

64 KoReANA musim semi 2016


jurusan seni lukis Barat di Hongik University, universitas seni yang terkenal. Ia telah menulis tentang bagaimana seseorang meninggalkan rumahnya di pedesaan dan kemudian datang di Seoul, ia menanandainya dengan penemuannya tentang ekspresionisme dan surealisme melalui buku-buku seni. Sebagaimana ia menulis tentang ekspresi ketidaksadaran melalui fiksi, ia kerap menekankan teknik dan mengubah kecenderungan tersebut. Hasilnya adalah karya-karya seperti “Herbivora” atau “Sebuah Biograti Singkat Yuja” yang kebanyakan muskil kita temukan, meskipun pada karya “Musafir Tak Pernah Istirahat Sepanjang Jalan” ia menceritakan kisah dengan cara yang lebih mudah sehingga rasanya sangat dekat dengan pembaca. Memang, dalam karya-karyanya kita dapat menemukan cara berkisahnya yang kuat, sehingga pantaslah ia menerima penghargaan sastra bergengsi. Meskipun begitu, untuk diangkat ke dalam film sebagaimana yang dilakukan sutradara populer Lee Jang-ho, cara tersebut ternyata tidaklah sesederhana itu. Karakteristik yang paling penting dari cerita ini adalah cara menghindar dalam menjelaskan sesuatu kepada pembaca. Sebagaimana pengembangan cerita, ia meninggalkan pembaca seolaholah didera kebingungan, karena minimnya informasi tentang apa dan mengapa peristiwa itu terjadi. Jadi, ketika seorang soliter turun dari bus setelah penumpang lain, berbalik dan kepala bergoyang, kita tidak diberi tahu mengapa ia melakukannya. Tiba-tiba tantangan datang dari tentara yang menghentikannya di tengah jalan, juga membingungkan, terutama untuk pembaca non-Korea yang terbiasa dengan fakta bahwa pantai Laut Timur pada waktu itu tertutup untuk umum, tetapi diawasi dan dijaga untuk mencegah infiltrasi pihak Korea Utara. Mistifikasi adalah nama permainan yang dijalankan narator dalam seluruh kisahannya. Di restoran terdekat, motivasi misterius manusia yang kontras dengan adegan yang tidak begitu asing dengan sekelompok pejalan kaki yang bersukaria dari bus yang sama dan bertemu dengan sekelompok wanita muda yang jelas telah disewa untuk menghibur mereka malam itu. Setelah mereka pergi keluar dan dia dibiarkan sendirian, ia ditampilkan sebagai seorang tua yang sakit dengan perawat dan pemilik restoran memintanya untuk menemani mereka ke tujuan yang tidak dijelaskannya di pegunungan dekat dengan DMZ,1 dengan imbalan bayaran. Tapi dia menolak, dan bukannya mengikuti sekelompok pejalan kaki. Dia bergabung dengan kelompok itu di penginapan mereka, dan malam berlalu di meja perjudian dengan sindiran singkat tentang seks. Ketika ia bergabung, perempuan di kamarnya menolak melayani. Kemudian ia terbangun dan dikabari adanya kecelakaan; salah seorang perempuan mendadak pingsan dan meninggal. Salah seorang dalam kelompok mendesaknya agar kabur sebelum polisi datang, dan kemudian dia pergi, ia ingin memperkenalkan diri dengan baik, maka ia kembali ke restoran, tempat ia melihat orang tua dan perawat pergi. Dia bertanya, ke mana harus pergi dan akhirnya sampai di

sebuah restoran ikan-segar di Gangneung, lebih jauh ke selatan di sepanjang pantai. Hanya sekarang kisahan beralih ke istrinya, keterlambatan dalam membuang abunya, ketidakpastiannya tentang asal-usul dirinya. Itulah tempat mereka menghabiskan bulan madu mereka. Pembaca sekarang belajar bahwa bubuk dalam kantong plastik itu tidak lain adalah abu istrinya dan perjalanannya itu bertujuan mencari tempat untuk menaburkan abu itu. Waktu mengikuti perjalanan itu sangat surealistik. Alih-alih upacara khidmat, dia hanya menaburkan abu dari jendela lantai atas sebuah restoran yang lalu dibawa angin. Setelah memutuskan untuk menghabiskan malam di restoran, dia bertemu dengan seorang wanita untuk sesaat merasakan hubungan seks. Pagi-pagi pembaca menemukan diri mereka di tengah-tengah serangkaian adegan halusinasi, membangun mimpi yang berpuncak pada seorang wanita yang berjalan di jalur mobil yang mendekat. Di sini, kita menemukan kenangan orang itu tentang kematian istrinya. Lelaki itu sekarang kembali mengejar orang tua dan perawat. Setelah badai salju berhenti, ia naik taksi menuju bukit, di mana ia bertemu dua orang yang terlibat dalam pengejaran yang sama dan mereka menemukan buronan. Orang tua, dari keluarga kaya, ingin bertemu kematiannya di suatu tempat dekat dengan rumah aslinya di luar DMZ, tetapi setelah menderita stroke, anaknya membayar perawat untuk mengurusi orang tua itu, dan sekarang mereka membayar waktu liburannya, membawa kembali orang tua itu pergi, dan melecehkan orang itu ketika mereka mengerti, bahwa dia ingin tinggal di belakang bersama perawat. Malam hari mereka menghabiskan waktu bersama dengan penuh ketegangan dan emosi yang tak terucapkan. Perawat mengatakan kepadanya tentang nubuat cenayang di mana ia akan bertemu dengan seorang lelaki yang pernah menjadi suaminya dalam kehidupan sebelumnya. Keesokan paginya, di samping danau, seorang dukun melakukan ritual untuk mendamaikan jiwa seorang anak yang mati, dan kini perawat sudah dikuasi roh. Dukun itu melihat perawat putrinya yang lama hilang, kembali dari kematian, sedangkan orang itu tampaknya melihat dari dalam dirinya terjadinya reinkarnasi dari istrinya yang meninggal saat ia mendengar panggilan suaranya. Daya tarik cerita ini adalah penolakannya pada standar “realistis” dalam teknik bercerita, dan ketika cerita berakhir tiba-tiba, satu peristiwa terjadi lagi secara tak terduga, dan dibiarkan tidak utuh; kita tidak memiliki cara untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah lelaki dan perempuan akan tetap bersama, apa yang mungkin terjadi pada mereka selanjutnya. Cerpen itu ternyata mengangkat dunia perdukunan dan hubungan antara yang hidup dan yang mati. Pada saat kebanyakan penulis kewalahan mengangkat bangsa yang terbelah atau realisme sosial, cerita pendek ini menjelajahi kedalaman fantasi sihir, surealisme. Jalan musafir tetap sebagai kisah yang membingungkan sejak awal. 1 Zona demarkasi militer, wilayah perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara.

SeNI & BUDAyA KoReA 65


Informasi Berlanqganan

cara Berlangganan Biaya Berlanqganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb 2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Jepang, Cina, Hong Kong, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Kamboja, laos, Myanmar,Thailand,vietnam, Filipina,Malaysia, Timor leste,Indonesia,Brunei, Singapura) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, nepal, Pakistan, dan Sri lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

mari bergabung dengan mailing list kami Tanggapan Pembaca

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr * Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.


 Comprehensive source of information on the 800 most popular and traditional Korean foods and dishes.

 Quick search function by category: ingredients, cooking methods, and Korean/English names.

Everything You Need to Know about Korean Cuisine on Your Smart Phone.

f d, Easy scrap and share function for text & image on Facebook and Twitter.

 o Guje kim

lpan

chi

 Bibimbap

Bulgog

Audio button to hear the pronunciation of Korean foods and dishes.

Maximize your enjoyment of Korean cuisine through vivid images.

i

And Much More!

Korean Food Guide 800 (English / Spanish) AVAILABLE FOR FREE at Apple App Store or Google Play!

Apple

Andriod


musim semi 2016

TEATER KOREA

Teater Korea Masa Kini Tokoh dan Aliran m 2016 vol. 5 no. 1

FITUR KhUSUS

mUSIm

Artis Panggung Lee Byung-bok, Setengah Abad Bintang Pedoman Teater Korea; Daehangno, Representasi Distrik Teater Seoul

ISSN 2287-5565

vol. 5 no. 1

koreana@kf.or.kr

SENI & BUDAYA KOREA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.