2020 Koreana Spring(Indonesian)

Page 1

MUSIM SEMI 2020

SENI & BUDAYA KOREA

FITUR KHUSUS

PERUMAHAN KOREA

Kenangan di Rumah Kontrakan: Komunitas Bersama dalam Perumahan Kota : Renaisans Hanok : Furnitur Gelombang Baru

VOL. 9 NO. 1

ISSN 2287-5565


CITRA KOREA

Pilihan di Ulang Tahun Pertama


F

oto yang dikirim ke ponsel saya mengingatkan saya pada pesta ulang tahun pertama cucu saya. Peristiwa itu terjadi pada suatu hari yang cerah di bulan Juni lalu di ruang perjamuan sebuah hotel. Setelah dibujuk, ia tak menolak saat topi tradisional (jobawi) dikenakan di kepalanya. Ia lalu menghempaskannya. Pada dua meja kecil terletak nampan yang berisi kue beras, buah, dan benda berwarna-warni. Sebuah kantong bersulam bunga peoni dan selempang merah dekoratif juga diletakkan di atas gulungan tali. Sebuah bola golf di atas nampan menarik perhatian cucu saya, tetapi ibunya ikut campur. Memindahkan bola sambil bergumam, “Apa yang bisa dikerjakan dengan ini?â€? Lalu disajikan nampan lagi, cucu perempuan saya berseri-seri dan mengambil mikrofon mainan yang besar. Dalam tradisi Korea, jamuan yang diadakan untuk merayakan tahun pertama kehidupan bayi disebut doljanchi. Dol berarti ulang tahun pertama, menandakan selesainya satu siklus penuh 12 bulan, dan janchi adalah jamuan atau pesta. Di masa lalu, ketika kebutuhan dasar untuk hidup terbatas, banyak bayi tidak hidup untuk bisa merayakan ulang tahun pertama mereka. Pesta itu dirayakan di sebuah jamuan keluarga. Pada saat ini ketika tingkat kematian bayi terendah di dunia upacara penyambutan tersebut tidak diakhiri. Puncak upacara ini adalah doljabi. Pada saat itu masa depan bayi diprediksi oleh objek yang diambil anak dari nampan. Objek yang mewakili kesehatan dan umur panjang biasanya berupa seutas benang, mie, kue beras putih (baekseolgi), dan bola kue sorgum yang dilapisi kacang merah (susu patteok). Uang, tentu saja, meramalkan kekayaan. Benda-benda seperti kertas dan kuas tulis, buku dan tinta, busur dan anak panah, dan mapae (lencana tuntutan kuda yang dianugerahkan kepada pegawai negeri Dinasti Joseon) biasanya diletakkan di depan anak laki-laki. Untuk anak perempuan, ditambahkan barang-barang yang berhubungan dengan rumah tangga, seperti jarum, gunting dan setrika, gulungan benang, dan kain. Tetapi akhir-akhir ini tidak lagi dibedakan. Benda doljabi zaman modern sekarang ini, untuk anak laki-laki dan perempuan, mencakup bola golf, mikrofon, stetoskop, palu hakim, dan bahkan mouse komputer. Ketika saya membayangkan masa depan cucu perempuan saya yang memilih mikrofon, saya tiba-tiba teringat apa yang telah dipilih oleh ibunya - anak perempuan saya - sekitar 30 tahun yang lalu. Melihat berbagai macam benda yang diletakkan di hadapannya, putri saya meraih salah satu kue beras yang ditumpuk di belakang mĂŠlange dan memberikan gigitan besar. Mungkin itu sebabnya dia sekarang berbahagia sebagai ibu yang memiliki beberapa anak, dengan banyak makanan di meja makan. Š Yang Jun-seok

Kim Hwa-young Kritikus Sastra; Anggota Akademi Seni Nasional


Dari Redaksi

PEMIMPIN UMUM

SMS EMERGENCY ALERT DI TENGAH MUSIM SEMI

DIREKTUR EDITORIAl

Kim Seong-in

PEMIMPIN REDAKSI

Koh Young Hun

DEWAN REDAKSI

Han Kyung-koo

Benjamin Joinau

Jung Duk-hyun

Kim Hwa-young

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Charles La Shure

Song Hye-jin

Song Young-man

Ketika bulan Maret tiba, pelan-pelan udara menjadi hangat menandai musim semi atau musim bunga dimulai. Memasuki bulan April bunga sakura pun bermekaran di sepanjang pinggir Sungai Han dan di beberapa sudut kota. Kemudian diikuti mekarnya bunga azalea, lilac, magnolia dan forsythia. Ketika itu hampir seluruh kota di Korea dihiasi oleh keindahan bunga, aneka warna dan aneka rupa. Hanya saja keindahan musim semi 2020 ini sedikit terganggu dengan kasus merebaknya Covid-19. Namun, pemerintah Korea Selatan tidak tinggal diam menghadapi virus ini. Dilakukanlah penelusuran potensi penyebaran, mempelajari hubungan antarkasus, hingga mengirimkan SMS emergency alert secara serentak. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Korea Selatan dianggap sebagai contoh negara yang berhasil menangangi kasus Covid-19 tersebut. Karena merebaknya virus ini, orang lebih banyak memilih tinggal di rumah, kecuali para karyawan dan pekerja. Berbicara soal rumah, Koreana edisi musim semi 2020 ini mengangkat ikhwal rumah di Korea, tradisional dan modern. Rumah kontrakan, apartemen, rumah bersama, hingga hanok (rumah tradisional Korea) dibahas tuntas dalam terbitan kali ini. Rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, namun juga mampu membentuk karakter penghuninya serta relasi antarpribadi di kawasan tempat tinggal. Tinggal di rumah sambil membaca cerita pendek “Siapa yang Membunuh Kucing” karya Youn Dae-nyeong tentu akan menyenangkan. Pertanyaan-pertanyaan feminisme merupakan masalah paling intens bagi masyarakat Korea pada akhir 2010-an diangkat sebagai tema cerita pendek tersebut. Sambil membaca rubrik Fokus, Kisah Dua Korea, Penjaga Warisan, dan sebagainya yang khas dari Koreana, kita nikmati taburan bunga melalui korden jendela yang selalu terbuka. Selamat membaca.

Lee Guen

Yoon Se-young

DIREKTUR KREATIF

Kim Sin

EDITOR

Ji Geun-hwa, Ham So-yeon

PENATA ARTISTIK

Kim Ji-yeon

DESAINER

Kim Nam-hyung,

Yeob Lan-kyeong

TIM PENERJEMAH

Koh Young Hun

Kim Jang Gyem

Evelyn Yang

Lee Yeon

Shin Soyoung

Lee Eun Kyung

PENYUNTING

Tengsoe Tjahjono

PENATA LETAK

Kim’s Communication

Associates DAN DESAIN

44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu

Seoul 04035, Korea

www.gegd.co.kr

Tel: 82-2-335-4741

Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana edisi Bahasa Indonesia

SENI & BUDAYA KOREA Musim Semi 2020

halaman 88 untuk berlangganan.

PERCETAKAN EDISI MUSIM SEMI 2020 Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5 Diterbitkan empat kali setahun oleh THE KOREA FOUNDATION 55 Sinjung-ro, Seogwipo-si, Jeju-do 63565, Korea http://www.koreana.or.kr

© The Korea Foundation 2020 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba

“Kota Blok” Yoo Han-yi 2013. Warna di atas kertas. 117 × 137 cm.

1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.


FITUR KHUSUS

Perumahan Korea Dewasa Ini: Tempat Tinggal Impian dan Keinginan 04

FITUR KHUSUS 1

18

FITUR KHUSUS 3

Kenangan di Rumah Kontrakan

Renaisans Hanok

Yoon Sung-hee

Jeon Bong-hee

10

22

FITUR KHUSUS 2

Komunitas Bersama dalam Perumahan Kota

FITUR KHUSUS 4

Furnitur Gelombang Baru

Park Seong-tae

Atas seizin “Monthly Green Friendly House”

26

FOKUS

Dua Cara Memaparkan Kesengsaraan

48

JATUH CINTA PADA KOREA

Berkat Karma Choi Sung-jin

Song Seo-yeon

32

WAWANCARA

Dari Nyeleneh Menjadi Ikon: Melahirkan Kembali Musik Tradisional Lim Hee-yun

38

PENJAGA WARISAN BUDAYA

Mempertahankan Rasa “Kelambanan” Park Mee-hyang

44

KISAH DUA KOREA

Taman Seni di Berlin Membangkitkan Impian Perdamaian Kim Hak-soon

66 ESAI Membaca Dunia Batin Orang Korea dalam Cerita Pendek Tengsoe Tjahjono

52

DI ATAS JALAN

Yeoju: Tanah yang Tak Kasatmata Lee Chang-guy

60

SATU HARI BIASA

Bukan Tukang Jahit Biasa

68

BAHAN UTAMA

Namul: Sayuran Hijau Serbaguna Kecintaan Orang Korea Jeong Jae-hoon

Kim Heung-sook

72

64 HIBURAN

Antara Sisi ‘Ini’ dan ‘Itu’ dari Dunia

Menembus Kesenjangan Gender

Siapa Yang Membunuh Kucing

Lee Hyo-won

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Choi Jae-bong

Youn Dae-nyeong


FITUR KHUSUS 1

Perumahan Korea Dewasa Ini: Tempat Tinggal Impian dan Keinginan

© Choe Gyeong-ja

“Jungnim-dong, Seoul” (1990) oleh Kim Ki-chan Jungnim-dong, yang terletak di dekat pusat kota tua Seoul, mempertahankan tampilan dan suasana khas lingkungan tahun 1960-an di foto ini pada tahun 1990. Gang-gang sempit dan tangga yang curam masih ada, menjadikan gerobak dan tubuh yang kuat sebagai satu-satunya alat untuk memindahkan barang.

4 KOREANA Musim Semi 2020


Kontrakan merupakan jenis tempat tinggal yang umum dihuni penduduk di kota-kota besar selama beberapa waktu tertentu. Hidup mengontrak dianggap sebagai simbol ‘kehidupan yang melelahkan’. Namun, tak hanya kesedihan yang memenuhinya. Di dalamnya terdapat juga cerita-cerita kehidupan yang hangat dan beragam yang dilalui para keluarga yang saling bertoleransi di satu atap yang sama. Saat ini jumlah apartemen telah melampaui 60% dari seluruh perumahan yang ada, standar hidup pun secara keseluruhan menjadi meningkat, oleh karenanya kehidupan di rumah kontrakan telah menjadi sebuah kenangan masa lalu. Yoon Sung-hee Novelis

KENANGAN DI RUMAH KONTRAKAN

O

rang tua saya yang memulai kehidupan berkeluarganya di sebuah kamar kecil yang terletak di gerbang rumah paman, setelah melahirkan kakak laki-laki saya, meninggalkan kamar tersebut dan pindah ke rumah kontrakan milik tetangga 50 tahun yang lalu untuk hidup mandiri. Rumah kontrakan tersebut memiliki gerbang besar dan halaman luas. Rumah kontrakan tersebut berbentuk seperti huruf ‘ㄷ’ Korea, di tengahnya terdapat rumah pemiliknya, dan di kedua sisinya dipenuhi kontrakan. Di antara kontrakan tersebut, yang ada di ujung sebelah kanan, yang ada beranda kayu berukuran kecilnya, adalah kontrakan kami. Ibu saya sampai sekarang pun sering mengingat kondisi saat itu dengan berkata

isi dapurnya hanyalah lemari dapur yang sudah lusuh yang terbuat dari papan dan kompor minyak. Ibu juga tidak lupa mengatakan, kalau pemilik rumah dan orangorang yang tinggal bersamanya menyukai kakak sewaktu kecil, sehingga ingin terus menggendong si kakak. Saya lahir di rumah itu. Terkadang saya juga membayangkan pemandangan kala itu. Kala itu akhir Februari, pasti cuaca masih dingin, dan karena hari kelahiran sudah dekat, pemakaian arang pun pasti tidak diirit. Saya penasaran, “Siapa yang pertama kali menggendong saya? Apa yang dipikirkan orang-orang yang mendengar tangisan saya?”

Keran Bersama

Kalau mengingat rumah tempat di mana

SENI & BUDAYA KOREA 5


saya lahir dulu, yang paling terlebih dahulu terlintas di pikiran adalah pompa air di tengah halaman. Di halaman rumah itu, ada pipa air untuk dipakai bersama-sama. Tapi di ujung pipa air itu tidak dipasang keran melainkan pompa. Ibu memasukkan air ke dalam pompa untuk memancing air naik kemudian memompa airnya, lalu saat airnya mengalir banyak, para ibu-ibu kontrakan langsung keluar, lalu duduk memutar dan langsung mencuci baju. Saya senang duduk di beranda kayu sambil melihat pemandangan itu. Mereka saling menunggu giliran untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Tapi, karena itu hal yang terjadi sudah lama sekali, saya tidak pasti apakah pemandangan itu benar-benar merupakan sebuah ingatan, atau hanya ilusi yang terbentuk dari bayangan-bayangan lain dari masa lalu. Saya melangkah di halaman. Lalu dengan perlahan berjalan kemudian melompat-lompat. Duduk sambil menggambar dengan tangan di halaman, jadi baju selalu saja kotor. Saya juga teringat saat di mana anak-anak laki yang lebih tua dari saya main ke gunung di belakang kampung tanpa mengajak saya, dan karena itu saya

menangis. Kalau kakak laki-laki saya selalu saja pergi ke rumah pemilik rumah begitu membuka matanya di pagi hari untuk menonton televisi. Saat diajak pulang karena sudah malam, malah meraung-raung sambil bilang tidak mau pulang, alhasil gara-gara kelakuan kakak katanya ibu sering merasa tidak enak. Pada tahun saat kami pindah ke rumah kontrakan itu, ibu saya membuka tabungan deposito berjangka 5 tahun. Tahun berikutnya, membuka tabungan deposito berjangka 4 tahun, lalu tahun berikutnya lagi membuka tabungan deposito berjangka 3 tahun. Dengan begitu akhirnya ibu membeli rumah setelah menarik 5 deposito yang jatuh tempo di hari yang sama.

Harapan Ibu

Rumah baru ada di dekat SD. Jarak rumah dan sekolah sangat dekat, saking dekatnya bisa pulang dulu untuk ambil barang yang ketinggalan, atau waktu jam istirahat. Teringat samar hari di saat pindah ke rumah baru itu. Pertama kalau kita buka gerbang, akan terlihat halaman. Tetapi, halamannya tidak ditumbuhi rumput dan pohon, hanya ada sebuah toilet di pojok halaman. Sewaktu orang-

orang mengangkut barang pindahan, saya mencoba menggambar dalam angan-angan sebuah halaman yang ditumbuhi pohon besar dan terdapat ayunan. Saya juga membayangkan menghias taman bunga dengan ibu. Orang tua saya rasanya tak akan sungkan melakukan hal ini untuk anak perempuan kesayangan mereka. Tetapi, tidak demikian kenyataannya. Orang tua saya justru menghilangkan halaman tersebut, dan dijadikan toko. Rumah menjadi tidak menarik karena dibagi dua, dan ibu pun mulai menjalankan rumah makan di toko itu. Kekecewaan saya tidak hanya sampai di situ. Di rumah ada 3 kamar, tapi saya tidak bisa punya kamar sendiri. Orang tua saya tidur di kamar yang menyatu dengan rumah makan, sementara saya dan kakak tinggal bersama dengan nenek di ruang utama. Lalu dua kamar lainnya disewakan. Kamar yang kecil ditinggali pasangan baru dengan anaknya yang baru lahir. Si bayi itu pakai popok merangkak di lantai kayu. Anak itu kemudian meninggalkan rumah kami sebelum bisa berjalan dan berlari. Rumah makan ibu cukup laris. Keluarga kami bisa membeli kotak televisi, dan juga kulkas. Lalu, beber-

Orang-orang yang mengontrak di rumah saya datang dari berbagai daerah dalam negeri. Saya sering bertanya dari mana mereka berasal, lalu mencari di peta daerah asalnya itu. Mereka secara tidak langsung saling berpapasan karena menggunakan kamar kecil yang sama yang ada di halaman.

6 KOREANA Musim Semi 2020


© Choe Gyeong-ja

“Jungnim-dong, Seoul” (1980) oleh Kim Ki-chan Gadis-gadis bernyanyi dan memainkan permainan lompat tali elastis di gang daerah sekitar, pemandangan sepulang sekolah yang langka akhir-akhir ini.

apa tahun kemudian rumah pun diperluas menjadi dua lantai, dan kamar pun ditambah jadi tiga. Gudang di sebelah kiri beranda dirombak dan dibuat kamar lagi. Rumah secara resmi ditinggali dan disewakan. Di samping rumah makan juga, dibuat satu toko lagi, toko itu disewa oleh tukang kayu. Saya sering membawa-bawa pisau mainan yang dibuat dari kayu oleh bapak tukang kayu, di pinggang celana. Lalu saya main sampai matahari terbenam di lapa-

ngan olahraga sekolah, karena itu baju saya selalu jadi kotor. Ibu sering memukul bokong saya sambil memarahi dan berkata ‘dasar jorok’, tapi saya senang ibu memarahi begitu. Karena bisa saja ibu sebenarnya bukan mau memukuli bokong saya tapi mau membersihkan lumpur yang menempel di celana saya. Orang-orang yang mengontrak di rumah saya datang dari berbagai daerah dalam negeri. Saya sering bertanya dari mana mereka berasal, lalu men-

SENI & BUDAYA KOREA 7


“Haengchon-dong, Seoul� (1974) oleh Kim Ki-chan Pada tahun-tahun awal industrialisasi, salah satu tempat tinggal yang paling umum adalah rumah yang masing-masing memiliki beberapa keluarga yang menempati kamar sewaan. Rumah-rumah ini umumnya memiliki keran air umum dan teras, atau beranda, untuk tempayan tanaman rempah di halaman.

8 KOREANA Musim Semi 2020


cari di peta daerah asalnya itu. Mereka secara tidak langsung saling berpapasan karena menggunakan kamar kecil yang sama yang ada di halaman. Kalau disuruh pilih, siapa orang yang paling saya ingat, pastinya adalah si bapak pecandu alkohol. Matanya selalu merah, dan di musim panas pakai baju kaos dan celana pendek berbahan kain rami. Saat berpapasan denganku si bapak selalu menyapa dengan ramah, terkadang juga ada ibu-ibu, yang agaknya adalah istrinya, datang, dan setiap ibu itu datang selalu saja mereka bertengkar sampai subuh. Si bapak suatu hari ditemukan meninggal di kontrakan kami, dan itu adalah kematian pertama yang pernah saya saksikan.

Benih Cerita

Pindah rumah adalah harapanku. Saya selalu saja iri dengan teman-teman yang pindah sekolah. Pergi ke sekolah yang baru, berteman dengan kawan baru, berjalan ke kelas ditemani guru, dan masuk ke kelas lalu memperkenalkan nama saya di depan anak-anak yang belum dikenal, membayangkannya saja sih sudah menakutkan. Tapi, saya tetap saja mau mencoba hal-hal itu. Saya sejak SD, SMP, SMA selalu berangkat dari rumah yang sama. Lalu waktu kuliah, sebentar tinggal terpisah dengan keluarga, tidak lama kemudian tinggal bersama lagi. Sampai setelah itu juga, saya belum bisa mandiri dan terus tinggal di rumah itu. Setelah kakak menikah dan pindah, ayah menempati kamar kakak. Lalu saat saya pindah untuk hidup mandiri, ayah pindah lagi ke kamarku. Kamar kakak kemudian dijadikan gudang. Ayah pun begitu, ibu pun begitu, setelah anak-anaknya pindah, mereka baru menyadari bahwa hanya mereka berdua yang tinggal di rumah itu, dan saat itulah mereka mau coba menempati kamarnya masing-masing. Ibu yang dela-

pan bersaudara, tidak pernah sekalipun punya kamar sendiri, begitu juga ayah yang lima bersaudara. Terkadang sambil berjalan saya sering membayangkan hal ini saat melihat orang dewasa yang seusia dengan orang tua saya. Kapan orang itu punya kamar sendiri? Apa dia menjalani kehidupan setelah menikah di kamar yang kecil karena lahir di keluarga yang bersaudara banyak seperti orang tua saya? Lalu melahirkan anakanak, kemudian mengumpulkan uang dengan gigih supaya bisa membuatkan kamar untuk anak-anaknya. Orang tua saya tetap tinggal di rumah itu, setiap kali ada uang, pasti digunakan untuk menambah kamar kontrakan, dan akhirnya membuat bentuk rumah menjadi aneh. Tapi sekarang kampung juga sudah semakin tua, rumah kontrakan juga tidak begitu laku. Saya sendiri sekitar 10 tahun yang lalu pindah rumah untuk hidup mandiri. Tetapi, saya tetap sering pulang ke rumah untuk makan. Saya tinggal di rumah itu sampai berumur 40 tahun, tapi entah kenapa yang teringat hanyalah ingatan di masa kecil. Suatu hari, saat sedang main karet di gang rumah, kakak berlari menghampiri saya kemudian membisikkan kata ‘sudah datang’. Maksudnya adalah televisi yang kami tunggu-tunggu sejak beberapa hari yang lalu sudah datang. Orang yang datang dan pindah dari kontrakan, pasangan yang bertengkar, pasangan yang bercerai, orang yang hanya keluar di malam hari, atau orang yang ditangkap polisi, mereka itulah adalah tetangga saya. Bagian pintu beranda terbuat dari kaca yang bergelombang, jadi kalau melihat keluar dari kaca itu, satu orang terlihat seperti puluhan orang. Begitulah cara saya melihat orang-orang. Inilah yang menjadi inti dari novel saya. Begitulah saya membuat cerita.

Š Choe Gyeong-ja

SENI & BUDAYA KOREA 9


FITUR KHUSUS 2

Perumahan Korea Dewasa Ini: Tempat Tinggal Impian dan Keinginan

KOMUNITAS BERSAMA DALAM PERUMAHAN KOTA Kalau kita berbicara tentang tempat tinggal di Seoul, salah satu dari kota-kota penting dunia, harga rumah untuk tinggal harganya terkenal mahal. ‘Berbagi rumah’ menjadi satu cara baru untuk mengembalikan komunitas sekaligus juga memungkinkan kehidupan rumah tinggal yang stabil. Park Seong-tae Direktur Eksekutif Yayasan Junglim

B

udaya tempat tinggal telah berubah secara drastis selama 40-50 tahun terakhir. Bukan hanya sekadar perubahan dengan bertambahnya jumlah apartemen ataupun perubahan gaya hidup, tetapi budaya komunitas yang sudah lama dipertahankan kini sulit ditemukan. Belakangan ini, secara fisik kehidupan bertetangga di apartemen yang terpisah hanya oleh selembar tembok batu memang terasa dekat, tetapi secara psikologis justru terasa jauh sehingga sulit untuk berkomunikasi. Populasi Seoul setelah Perang Korea bertambah pesat. Penduduk kota Seoul yang hanya berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa meledak menjadi 10 juta jiwa pada tahun 1960 berkat adanya pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Jenis perumahan satu-satunya yang dapat menampung ledakan penduduk ini adalah pembangunan kompleks apartemen. Namun di kota dengan pertumbuhan yang pesat,

10 KOREANA Musim Semi 2020

arti kehidupan di apartemen hanyalah untuk memenuhi gairah material daripada arti sebagai tempat tinggal. Budaya hidup di apartemen yang dikelompokkan menurut kompleks apartemen menyajikan kemudahan sekaligus kekayaan materi yang menciptakan keegoisan golongan masyarakat tertentu dan putusnya komunikasi sebagai dampak ikutannya. Putusnya hubungan antarindividu dan keluarga akhirnya menyebabkan runtuhnya kehidupan bermasyarakat. S e b a ga i a k i b a t ny a wa l a u p u n memiliki kekayaan secara materi, sebagian besar orang tidak dapat berkata bahwa kehidupan mereka lebih bahagia ketimbang kehidupan sulit akibat kemiskinan di zaman dulu. Ini karena dengan hilangnya kehidupan komunitas, kemakmuran ekonomi justru membuat silaturahmi dan kebahagiaan individu menjadi semakin terkekang. Kesadaran akan fenomena ini menciptakan alternatif kehidupan

perumahan baru di awal tahun 2010, seperti rumah bersama, berbagi rumah, dan koperasi perumahan sebagai jenis perumahan baru.

Peningkatan Rumah Satu Orang

Perubahan budaya perumahan disebabkan oleh beberapa fenomena. Alasan utamanya adalah meningkatnya perumahan yang dihuni oleh hanya satu atau dua orang. Sampai pada 1980, rumah tangga yang anggotanya hanya satu orang saja tidak terlalu banyak. Namun pada tahun 2018, jumlahnya meningkat hingga sekitar 30% dari seluruh rumah tangga. Jika ditambah dengan rumah tangga yang anggotanya 2 orang, maka jumlah mencapai 40%. Kecenderungan ini diperkirakan akan terus bertambah untuk ke depannya. Pa d a s a a t y a n g s a m a j u m l a h rumah kosong juga terus bertambah. Di tahun 2019, di kota Seoul saja ada


3.000 rumah, dan jumlah total rumah kosong di seluruh negeri berjumlah 1,4 juta buah. Memiliki rumah sudah lama menjadi tantangan seumur hidup bagi orang Korea. Tetapi terpisahnya anggota keluarga dan pertambahan rumah tangga beranggota satu orang, ditambah dengan harga rumah yang terus menjulang jua, mengakibatkan hasrat untuk memiliki rumah semakin pudar. Rumah untuk satu orang adalah untuk ‘digunakan’ daripada ‘dimiliki’. Dengan demikian pertumbuhan perumahan untuk satu orang seperti apartemen studio atau one-room bertam-

bah pesat, dan sekaligus memperparah masalah akibat kehidupan individu yang makin terkucil. Rumah bersama, di sisi lain, berorientasi pada “rumah untuk hidup sendiri sekaligus hidup bersama”. Jumlahnya di pasaran masih belum begitu besar, namun terus bertambah belakangan ini, dan bersamaan dengan perubahan bentuk keluarga, diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat. ‘Tongeui-dong Jib’ di Seoul oleh Yayasan Arsitektur Junglim, ‘Eojjeoda Jib’ oleh SAAI Architects Office, dan produk berbagi rumah ‘Woozoo’ mer-

upakan jenis-jenis perumahan utama yang demikian. ‘Tongeui-dong Jib’ merupakan perpaduan antara perumahan untuk beberapa keluarga dan rumah terpisah, yang memugar apartemen yang berbeda dari rumah bersama didesain sedemikian rupa untuk mengurangi hal-hal yang mengganggu dalam kehidupan bersama oleh beberapa orang yang saling berbeda. Rumah ini adalah hasil kerja sama dari Yayasan Arsitektur Junglim dengan Standar Sosial Seoul yang beranggotakan arsitektur, membuat rumah ini menjadi rumah yang paling efektif

Penghuni rumah bersama yang dioperasikan oleh perusahaan sosial Woozoo mengobrol di ruang tamu. Untuk meningkatkan lingkungan yang harmonis, perusahaan memperhatikan minat dan selera bersama ketika menyeleksi aplikasi penyewa.

© Woozoo

SENI & BUDAYA KOREA 11


1

1, 3. Lantai pertama Rumah Tonguidong Yayasan Junglim di Distrik Jongno, Seoul, ditempati oleh kantor yayasan. Penghuni rumah bersama dapat menggunakannya sebagai perpustakaan dan menghadiri forum yayasan dan acara lainnya secara gratis. 2. Rumah Tongui-dong adalah bangunan tiga lantai dengan tujuh kamar tidur di lantai dua dan tiga. Untuk memaksimalkan ruang untuk dapur bersama, ruang tamu, dan kamar mandi, ukuran masing-masing kamar dikurangi, tetapi setiap kamar memiliki jendela besar dan ruang penyimpanan yang efisien.

2 Š Rooming

12 KOREANA Musim Semi 2020


3 © Kim Yong-kwan

dalam penggunaan sumber daya yang ada, yang dipadukan dengan bentuk gedung rumah dan desainnya.

Distribusi Sumber Daya

Jika dibandingkan, apartemen studio dan rumah bersama yang biasa ditinggali oleh rumah tangga beranggotakan satu orang, di apartemen studio penghuni dapat menggunakan kamar, dapur dan kamar mandi secara pribadi sepenuhnya. Ia tidak akan terganggu oleh orang lain, tetapi juga tidak memiliki komunikasi dengan siapa pun. Tetapi di rumah bersama, penghuni dapat membina hubungan yang cukup dekat dengan orang lain yang hidup bersama di rumah tersebut. Sebagai contoh, di ‘Tongeui-dong Jib’, ada tujuh orang tinggal di dalamnya. Dapur dibuat lebih lebar de-

ngan mengurangi ukuran kamar pribadi. Dapur luas berukuran lebih dari 10 pyeong (sekitar 33 meter persegi) dapat digunakan oleh penghuni untuk mengundang teman-teman mereka dan bersenang-senang. Yang terpenting, berbagi dapur adalah cara alami untuk berkomunikasi, dan dalam prosesnya, mereka berbagi makanan dan barang-barang milik mereka. Toilet, kamar mandi, dan ruang binatu juga digunakan bersama. Ada tiga kamar mandi dan dua toilet di rumah ini, yang jumlahnya cukup bagi semua penghuni. Karena sebenarnya kamar mandi dan toilet lebih banyak waktu kosongnya daripada waktu digunakan. Dengan berbagi ruang fungsional ini, ruang tempat tinggal justru meningkat. Ilmuwan masa depan John Thackara dalam bukunya yang terbit pada

tahun 2015 berjudul 『Cara Berkembang dalam Ekonomi Masa Depan: Merancang Dunia Masa Depan Hari』 mengutip dari ilmuwan-ilmuwan psikologis Universitas Harvard bahwa “manusia lebih cenderung bekerja sama daripada bersaing dalam menggunakan sumber daya yang terbatas”. Dia meramalkan bahwa ekonomi berbagi tidak dapat dihindari dan bahwa nilai penggunaan akan mengalahkan nilai tukar. Penyewa rumah bersama tidak harus memiliki semua sumber daya yang mereka butuhkan untuk hidup sendiri dan memiliki keuntungan mengurangi pemborosan dengan mengalokasikan dan berbagi sumber daya secara efisien. Kantor Yayasan Arsitektur Junglim terletak di lantai 1 Gedung Tongui. Ada forum dan per temuan yang diselenggarakan oleh Yayasan. Kantor ini menawarkan banyak manfaat kepada penyewa. Selain itu, ketika penyewa sedang keluar, mereka menerima surat dan paket pos, dan karena lampu selalu menyala, mereka juga memberikan kehangatan bagi mereka yang pulang kerja setelah malam gelap. Bahkan walaupun bukan kantor, tetapi jika ada kafe atau toko di lantai dasar yang memiliki ruang komersial, akan memberikan rasa nyaman bagi penghuni. Karena rumah tinggal umumnya digunakan di malam hari dan cenderung berkesan sunyi. Namun, ruang gabungan antara ruang tempat tinggal dan komersial menyediakan kesempatan bagi penghuni untuk lebih sering bertemu.

Komunitas yang Longgar

Apakah berbagi rumah merupakan komunitas? Jika yang ditanyakan adalah arti dalam konteks sepenuhnya, maka jawabannya adalah ‘tidak’. Yang ingin dipulihkan oleh perumahan bersama bukanlah ‘komunitas’, tetapi

SENI & BUDAYA KOREA 13


rak sepatu masing-masing dan tidak meletakkannya di pintu masuk umum atau tidak menggunakan mesin cuci setelah jam tertentu. Kehidupan bersama dalam perjalanannya menciptakan aturan-aturan baru oleh para penghuninya. Lucunya, semakin seseorang mendambakan keakraban komunitas di masa lalu sekaligus bisa membina hubungan dengan saling menyatakan pendapatnya secara antusias justru mereka lebih cepat memilih meninggalkan rumah bersama. Ini memperlihatkan kecenderungan masyarakat modern yang segan akan hubungan yang terlalu dekat. Produk rumah bersama Woojoo mengkhususkan diri dengan mengutamakan minat bersama dari penghuni modern. Rumah bersama bagi calon pengusaha, rumah bersama bagi wanita penggemar bisbol adalah contohnya.

Pusat Kegiatan Bersama

Selain perumahan bersama untuk tempat tinggal satu orang, perumahan koperasi tempat dua orang atau lebih hidup bersama sema-

1. Sohaengju # 1, proyek perumahan bersama pertama di Desa Gunung Seongmi, Seongsandong, Seoul barat, berpenampilan unik. Para penghuni berpartisipasi dalam proses mendesain, menghadirkan kekhasan di setiap ruang tamu. Dibangun pada tahun 2011. 2. Penghuni Rumah Yongdu-dong berbaur pada sebuah pesta yang diadakan di dapur umum dan ruang makan mereka. Enam rumah tangga berbagi tempat tinggal bersama di Seoul sebelah timur. Ini memiliki teater kecil, toko buku dan kafé, perpustakaan dan ruang belajar untuk anak-anak, di antara ruang umum lainnya.

14 KOREANA Musim Semi 2020

Penghuni tidak merasa terisolasi dan kesepian, sekaligus mereka menciptakan ‘komunitas yang longgar’.

1

Design” Atas seizin “Monthly

‘kekomunitasan’. Komunitas di masa lalu terlalu mengganggu satu sama lain dari sudut pandang hari ini. Bahkan ada kecenderungan dari hanya sekadar turut campur dalam kehidupan sesama menjadi mau mengatur kehidupan orang lain. Arah yang dituju oleh perumahan bersama adalah untuk mempertahankan keuntungan dari masyarakat komunitas masa lalu dan sedapat mungkin untuk menyingkirkan aspek negatifnya. Penghuni tidak merasa terisolasi dan kesepian, sekaligus mereka menciptakan ‘komunitas yang longgar’ di mana mereka dapat salling membantu dan memberi nasihat dari jarak yang tepat ketika mengalami kesulitan. Dewasa ini, orang-orang di kota besar yang tinggal di apartemen tidak akan membawa tetangga mereka yang sakit ke rumah sakit. Namun, dalam komunitas yang leluasa, orang akan dengan sukarela melakukannya. Di perumahan bersama, privasi juga merupakan hal yang penting. Tentunya tidak menyenangkan jika keluar dari kamar dan melihat penghuni lainnya mengadakan pesta tepat di depan kamar. Untuk menghindari hal yang demikian, Tongeui-dong Jib membagi ruang pribadi dan ruang bersama di lantai yang berbeda. Dan juga ada aturan seperti menaruh sepatu di


2 Š Yayasan Junglim

kin meningkat. ‘Sohaengju’ di Desa Seongmisan Seoul, tempat sembilan keluarga tinggal bersama, adalah salah satu contoh kisah sukses besar. Rumah ini bukan rumah yang dibangun secara sepihak oleh pemasok, tetapi lebih terpusat pada konsumen di mana penghuni dapat berpartisipasi dalam desain perumahan. Tentu saja, penyewa tidak dapat mengontrol desain secara keseluruhan, tetapi rumah di setiap bangunan sama beragamnya dengan rumah keluarga tunggal karena penyewa dapat mengatur sesuai kebutuhannya sendiri seperti loteng atau beranda. Ada ruang komunitas di sini, bertindak sebagai ruang balai desa. Di ruang bersama, yang biaya per 1 pyeongnya ditanggung masing-masing rumah tangga, mer-

eka mengasuh anak dan bersantap bersama. Selain itu, setiap rumah tangga mendirikan tempat untuk menyimpan barang yang jarang digunakan untuk bisa saling digunakan bersama antar penghuni. Bangunan itu juga menampung tiga perusahaan desa. Selesai pada 2018, Rumah Yongdu-dong, Seoul, menampung enam keluarga, termasuk pasangan lansia berusia 70-an, pasangan berusia 30-an dan 40-an, keluarga dengan empat anak, dan keluarga dengan tiga anak. Mereka berbagi dapur, ruang binatu, dan perpustakaan kecil. Di rumah bersama yang ditinggali beberapa keluarga seperti ini, yang paling penting adalah dapat mengasuh anak bersama. Anak-anak tidak hanya bermain

dengan nyaman di rumah lain, tetapi juga tidur, dan orang dewasa dengan sukarela turut mengasuh anak-anak. Tujuan lain dari Rumah Yongdu-dong adalah untuk mengeksplorasi kemungkinan pusat tempat orangorang lokal dapat berkumpul. Ada seorang guru yang mengajar bahasa Korea kepada siswa asing, yang datang ke dapur atau ruang belajar untuk makan dan belajar. Juga, jika ada anak yang orang tuanya belum pulang sampai waktu pusat penitipan anak terdekat selesai beroperasi, guru penitipan anak akan membawa anak itu ke tempat ini, dan anak itu menghabiskan waktu bermain dengan anakanak lain yang tinggal di situ sampai orang tuanya datang menjemput.

SENI & BUDAYA KOREA 15


Mungil Itu Indah Seberapa besar rumahnya? Apakah terletak di distrik sekolah yang bagus? Berapa harga yang bisa diharapkan meningkat di masa depan? Ini adalah pertanyaan yang mungkin ditanyakan sebagian besar orang Korea saat menentukan nilai sebuah rumah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang ingin membangun rumah kecil tapi unik di mana mereka bisa mengejar kehidupan yang lebih sederhana.

S

angat sedikit orang Korea yang tinggal

biaya rendah. Keluarga-keluarga yang su-

ketidaknyamanan sewaktu membeli tanah

di rumah dengan kenangan masa kecil.

dah muak dengan kehidupan di apartemen,

dan membangun rumah dengan biaya

Jika orang tua tidak mampu membeli rumah

pasangan muda yang memiliki prinsip hi-

rendah. Pertama-tama, karena luas tanah

ketika mereka masih muda, mereka harus

dup yang sama sekali berbeda dari generasi

untuk membangun rumah terbatas, mereka

pindah berulang kali setiap kali kontrak atau

sebelumnya, dan pasangan manula yang

harus membangun rumah bertingkat. Pa-

sewa berakhir. Dan bila pun akhirnya orang

anak-anaknya sudah berkeluarga membeli

sangan suami istri cukup dengan rumah dua

tua dapat membeli rumah, mereka tetap

tanah pekarangan di kota atau tanah murah

lantai, tetapi untuk keluarga yang memiliki

pindah berulang kali untuk membeli rumah

di pinggiran kota dan membangun rumah

anak, diperlukan lebih banyak ruang seperti

yang lebih besar dan lebih bagus. Sering kali

kecil yang memiliki halaman.

loteng atau struktur ‘skip-floor’.

alasan pindah rumah adalah agar anak dapat masuk ke universitas di distrik yang baik.

Dengan dapur besar, loteng yang nya-

Dalam pengertian itu, sebuah rumah kecil

man, dan perpustakaan atau ruang musik,

dapat dikatakan mengubah kehidupan ge-

setiap rumah mencerminkan karakter

rakan horizontal di berbagai lantai menjadi

Nilai Sebuah Rumah

pribadi penghuninya, seperti pakaian yang

gerakan vertikal di area sempit. Lorong beru-

‘Duplex Home (Rumah Kacang)’ yang

dirancang khusus oleh pemiliknya. Kepuasan

bah menjadi tangga. Ini bisa menyenangkan

diperkenalkan di media sekitar 10 tahun

terbesar lahir karena tinggal di rumah unik

untuk anak-anak, tetapi tentunya tidak nya-

yang lalu, merupakan kabar baik bagi mere-

yang tidak ada duanya di dunia.

man bagi manula.

ka yang ingin memiliki rumah mereka sendiri

Penghuni rumah kacang tidak lagi me-

Di sisi lain, di rumah-rumah kecil, kamar

yang berbeda dari apartemen yang serba

nilai sebuah rumah berdasarkan ukurannya,

anak-anak dan kamar orang tua biasanya

datar dan seragam. Rumah Kacang adalah

jumlah kamar atau distrik sekolah. Mereka

terletak di lantai yang berbeda. Bahkan jika

nama yang berasal dari penampilan dua

datang untuk menghargai detail yang lebih

membuka pintu kamar, ada koridor kecil

rumah yang berhadapan dan membentuk

baik seperti jendela yang membingkai pe-

atau tangga muncul, sehingga menjamin pri-

sebuah bangunan. Dua keluarga penghuni

mandangan indah di luar, pembuka struk-

vasi setiap anggota keluarga. Hal seperti ini

rumah berbagi biaya pembelian tanah dan

tural dan interior yang mengubah efek sinar

kurang terjamin dalam struktur datar seperti

konstruksi, sehingga mereka dapat memba-

matahari, kegembiraan yang diperoleh dari

apartemen, sehingga lazim anak-anak rema-

ngun rumah keluarga tunggal dengan lebih

halaman kecil dan privasi ruang independen.

ja masuk ke kamar dan mengunci diri, tetapi

sedikit uang.

di rumah-rumah kecil tidak ada alasan untuk

Membangun Vertikal

berbuat demikian. Struktur ‘skip-floor’ yang

karena diketahui bahwa itu dapat memberi-

Orang yang memilih rumah kecil biasanya

sering diterapkan pada rumah-rumah kecil,

kan ruang perumahan yang unik dengan

tidak kaya. Mereka harus rela menanggung

menciptakan ruang yang istimewa dan ma-

Rumah Kacang menarik banyak perhatian

16 KOREANA Musim Semi 2020


nis, terkesan memisahkan tetapi karena batas pemisah pendek, justru membuat hubungan keluarga lebih akrab. Dengan cara ini, sebuah rumah kecil lahir dengan berbagai rupa sesuai dengan bentuk tanah, lingkungan sekitar, selera serta harapan anggota keluarga.

Kehidupan yang Terkontrol Jika tinggal di rumah besar, barang-barang yang tidak perlu akan terus bertambah sebanding dengan ukuran rumah. Jika Anda memiliki ruang tamu yang luas, Anda tidak hanya akan membeli sofa besar, tetapi juga peralatan olahraga dan kursi pijat. Karena ruangan di rumah juga luas, maka barang-barang yang tidak terpakai juga tidak perlu dibuang. Tetapi rumah mungil akan membuat kehidupan tidaklah demikian. Di rumah mungil, tidak ada keinginan duniawi untuk memuaskan keinginan diri dengan ukuran apartemen dengan ben-

Atas seizin “Monthly Green Friendly House�

da-benda yang tidak perlu menumpuk di dalamnya. Saat pindah ke rumah kecil, ada banyak hal dan benda yang harus dibuang. Rumah mungil membebaskan Anda dari obsesi terhadap materi dan membuat Anda

Seroro adalah tempat tinggal berlantai lima yang dibangun di atas lahan seluas 33,7 m² yang berdekatan dengan Tembok Kota Seoul di Changsin-dong, Distrik Jongno, Seoul. Seperti namanya, koreografi rumah vertikal, dengan setiap lantai dikhususkan untuk jenis ruang yang berbeda: dari lantai dasar ke atas, garasi, ruang kerja, dapur, kamar tidur, dan ruang ganti dan kamar mandi.

menyadari betapa kita bisa membuat kehidupan jauh lebih indah.

SENI & BUDAYA KOREA 17


FITUR KHUSUS 3

Perumahan Korea Dewasa Ini: Tempat Tinggal Impian dan Keinginan

© imagetoday

18 KOREANA Musim Semi 2020


RENAISANS HANOK Setelah dianggap tidak nyaman dan tidak cocok untuk kehidupan modern, rumahrumah tradisional Korea sedang dihidupkan kembali. Hanok, yang sebagian besar dilestarikan karena pembatasan pembangunan yang diberlakukan pada kawasan bersejarah kota-kota besar, hidup kembali sebagai fasilitas komersial yang menarik, jika bukan tempat tinggal sehari-hari. Jeon Bong-hee Dosen Arsitektur Universitas Nasional Seoul

P

endingin ruangan yang tidak memadai, isolasi yang buruk terhadap kebisingan dan cuaca di luar ruangan, masalah keamanan - ini adalah beberapa masalah praktis yang membuat rumah-rumah tradisional Korea tidak populer untuk kehidupan sehari-hari di era modern. Sekarang, dengan masalah-masalah ini diselesaikan, hanok yang dimodifikasi semakin disukai dan dihargai karena kecantikannya yang unik.

Wilayah Gugusan Hanok

Perhatian kembali hanok dimulai di daerah kota tua di mana kelompok-kelompok rumah tradisional tetap tidak tersentuh oleh pembangunan perkotaan. Yang paling menonjol di antara wilayah-wilayah itu adalah Bukchon di Seoul. Terletak dekat dengan lembaga-lembaga negara penting termasuk Cheong Wa Dae (Rumah

Biru), kantor kepresidenan, dan antara dua istana era Joseon, Gyeongbokgung dan Changdeokgung, lingkungan tersebut tunduk pada peraturan yang membatasi pembangunan gedung-gedung tinggi. Bukchon, yang berarti “Wilayah utara�, dengan demikian dibiarkan utuh dengan gang-gang yang berkelokkelok yang berjajar dengan rumah-rumah tua yang kumuh. Kemudian ketentuan ini mulai merenggang di akhir tahun 1980-an dan bangunan-bangunan bertingkat 3 dan 4 mulai dibangun di sana sini. Kemudian gelembung properti meledak setelah krisis keuangan Asia 1997, meningkatkan kesadaran bahwa pembangunan yang ceroboh dan penuh sesak tidak akan menguntungkan pemilik tanah maupun publik. Akhirnya, pemerintah metropolitan Seoul menetapkan dan menerapkan rancangan untuk mengem-

Dibangun pada masa penjajahan Jepang (1910-1945) untuk bersaing dengan pedagang Jepang yang mendominasi pasar lokal, desa hanok di Jeonju sekarang menjadi objek wisata terkenal. Atap genteng yang tumpang tindih dari lebih 600 rumah menciptakan pemandangan yang mengesankan.

bangkan dan melestarikan daerah Bukchon sebagai wilayah gugusan Hanok. Meskipun wilayah gugusan hanok ini merupakan daerah tua, potensi perdagangannya tinggi karena kawasan ini dahulu berperan sebagai pusat kota. Pihak kota Seoul pun memikirkan tempat wisata sebagai salah satu fungsi daerah ini sehingga hanok direnovasi dijadikan kafe, toko-toko, rumah sakit, perpustakaan, kantor kecamatan, dan sebagainya. Kini banyak orang yang tinggal di apartemen dan berjalan-jalan keluar menikmati fasilitas hanok. Apa yang terjadi sekarang merupakan gejala yang sangat kontras dengan masa awal modernisasi di mana orang-orang tinggal di hanok dengan berpakaian hanbok (pakaian tradisional Korea) dan pergi bekerja ke kantor bergedung ala Barat. Regenerasi gugusan hanok dimulai di Seoul dan menyebar ke kota-kota provinsi lain. Karena perkembangan kota Korea, yang dimulai pada akhir abad ke-20, berfokus pada penciptaan pusat-pusat kota baru di pinggiran kota, daerah-daerah pusat kota tua

SENI & BUDAYA KOREA 19


cenderung terabaikan. Untuk mencegah kawasan bersejarah dengan labirin gang-gang dan bangunan kecil berubah menjadi daerah kumuh, salah satu opsi yang layak adalah mengembangkannya menjadi tujuan wisata. Oleh karena itu, banyak kota mulai melestarikan lanskap daerah pusat kota lama mereka tempat bangunan tradisional terkonsentrasi.

Rumah Ramah Lingkungan

Masyarakat sipil telah mendukung kebijakan pelestarian rumah-rumah tradisional karena sejumlah alasan. Pertama, mereka semakin bosan dengan gaya seragam kompleks gedung-gedung perumahan berupa apartemen, dan berusaha mencari alternatif. Mereka juga menjadi semakin sadar akan kualitas hidup dan gaya hidup sehat, yang mengarah pada penemuan kembali hanok sebagai tempat yang elegan dan mewah untuk ditinggali. P e n i n g k a t a n ke s a d a r a n a k a n masalah lingkungan juga membawa kita ke arah berkembangnya hanok. Dibandingkan dengan rumah berstruktur beton bertulang, hanok yang berstruktur kayu tidak saja menghasilkan lebih sedikit emisi karbon dioksida saat konstruksi dan pembongkarannya, tetapi juga menunjukkan perbe-

daan yang besar dalam jumlah limbah industri. Dengan kata lain, rumah yang berstruktur kayu ini mendapat popularitasnya sebagai rumah ramah lingkungan. Di samping itu, terdapat pula dampak besar dalam perkembangan globalisasi. Jumlah wisatawan luar negeri yang hanya mencapai 1 juta per tahun mulai meningkat terus-menerus hingga mencapai 18 juta orang per tahun sejak Olimpiade Seoul pada tahun 1988, dan jumlah orang Korea yang berwisata ke luar negeri juga mencapai jumlah yang serupa. Dengan semakin aktifnya pertukaran internasional ini, minat dan kesadaran untuk menciptakan pemandangan kota yang hanya dapat ditemukan di Korea pun ikut meningkat. Memang para wisatawan menginginkan kenyamanan untuk menggunakan kartu kredit dan menikmati rasa kopi standar di mana pun mereka berada. Namun pada saat yang sama, mereka juga menginginkan pengalaman untuk menikmati pemandangan istimewa yang hanya dapat ditemukan di tempat wisata kunjungan mereka. Dalam hal menciptakan pemandangan kota yang berbeda, arsitektur hanok memiliki daya tarik yang istimewa. Keunikan hanok dapat dili-

hat dari dua sisi, yaitu struktur dan bentuknya, dan penggunaan ruang interiornya. Dalam segi struktur dan bentuknya, hanok dibangun dengan susunan kerangka pilar dan balok kayu secara vertikal dan horizontal, dilengkapi dengan kasau dan genting yang disusun miring membentuk atap. Karena kerangka dasar rumah ini menggunakan pilar, maka dinding tembok dapat dibangun secara beragam sehingga secara alami menciptakan bentuk pintu, jendela, dan lubang ventilasi yang bervariasi. Selain itu, atap yang dibangun miring karena karakteristik struktur hanok ini membuat keragaman bentuk atap terbatas, sehingga melahirkan pemandangan seragam yang enak dipandang ketika rumah-rumah tradisional ini saling berdempetan. Belakangan ini, kecenderungan umum yang terjadi pada hanok kosong tak berpenghuni yang semakin bertambah adalah merenovasi interior rumah-rumah tersebut mengikuti keperluan dan gaya modern tanpa merusak bentuk dan struktur khas hanok.

Sistem Penghangat Lantai

Keunikan utama hanok sebagai rumah huni adalah penataan dan penggunaan ruang interiornya yang terdiri atas

Kita berharap angin yang bertiup saat ini bukanlah fenomena sementara, melainkan berlanjut menuju renaisans hanok. Harapan ini lahir karena berbagai masalah dan ketidaknyamanan orang-orang modern saat tinggal di rumah tradisional sudah mendapatkan solusinya. 20 KOREANA Musim Semi 2020


Š Moon Ji-yeon

1

2

3

Š gettyimages

kamar berlantai ondol dan ruang berlantai kayu. Khususnya, sistem pemanasan bawah lantai ondol adalah fitur khas hanok yang membedakan rumah ini dengan rumah-rumah di negara lain. Ondol dibentuk dengan menyusun lempengan batu di antara lantai kamar dan cerobong asap tungku yang melewati bawah tanah kamar, sehingga saluran uap panas dari tungku yang melewati cerobong asap dapat menghangatkan kamar. Awalnya cerobong asap ini dibuat melewati satu bagian rumah saja. Namun sekitar abad ke-12, berkembanglah ondol yang merangkup seluruh bagian rumah seperti ondol zaman sekarang, dan sistem ini perlahan menyebar ke seluruh Semenanjung Korea selama beberapa abad. Perubahan terbesar yang dibawakan oleh sistem ondol yang menyebar di seluruh bagian kamar adalah terbentuknya gaya hidup seperti duduk dan tidur di atas lantai untuk memaksimalkan kehangatan ondol. Oleh karena itu lantai kamar harus bersih setiap saat dan sepatu harus

Š Park Young-chae

dilepas saat berada di dalam ruangan. Penggunaan ondol di rumah tradisional ini membuat warga Korea hidup dengan lantai yang “keras, hangat, dan bersih�, dan inilah yang membentuk budaya tempat tinggal Korea yang khas. Sampai saat ini pun orang Korea masih membuka alas kaki begitu memasuki rumah dan memakai sandal khusus dalam ruangan atau berjalan tanpa alas kaki di dalam rumah. Kebiasaan ini tidak berubah meskipun tinggal di apartemen. Apartemen di Korea mengadopsi sistem penghangat lantai dari ondol, sehingga orang Korea masih hidup di atas lantai yang keras, hangat, dan bersih. Ruang interior hanok tetap diterapkan di apartemen-apartemen.

Fasilitas Modern

Hanok zaman dulu tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan suhu panas dalam ruangan agar rumah tetap hangat di musim dingin, baik dapur maupun kamar mandinya sulit dilengkapi dengan fasilitas modern. Namun

sekarang teknologi canggih telah mampu mengatasi segala kekurangan itu. Kita berharap angin yang bertiup saat ini bukanlah fenomena sementara, melainkan berlanjut menuju renaisans hanok. Harapan ini lahir karena berbagai masalah dan ketidaknyamanan orang-orang modern saat tinggal di rumah tradisional sudah mendapatkan solusinya.

1. Onion, kafe roti di Gyedong-gil, Distrik Jongno, Seoul, bertempat di hanok yang direnovasi dari kantor polisi periode Joseon. Dengan duduk di meja rendah yang ditempatkan di aula utama yang terbuka, pelanggan dapat menikmati pemandangan sekitarnya yang luas. 2. Sebuah galeri di Distrik Jongno, Seoul. Semakin banyak hanok tua telah direnovasi menjadi fasilitas budaya yang memanfaatkan suasana unik bangunan tradisional. 3. Hanok bergaya urban ini dibangun pada tahun 1940-an di Hyehwa-dong, pusat kota Seoul, telah direnovasi menjadi pusat layanan masyarakat setempat. Ini adalah kantor publik pertama yang ditampung di rumah tradisional Korea.

SENI & BUDAYA KOREA 21


FITUR KHUSUS 4

Perumahan Korea Dewasa Ini: Tempat Tinggal Impian dan Keinginan

Š Bae Se-hwa

1

FURNITUR GELOMBANG BARU

P

erumahan multi-hunian, seperti kompleks apartemen dan rumah multipleks, sering kali dilengkapi dengan seperangkat furnitur dan pencahayaan built-in yang seragam, terlepas dari selera penghuni. Mungkin karena alasan ini orang Korea cenderung menunjukkan sedikit ketertarikan pada dekorasi interior dan desain furnitur. Pasar furnitur sebagian besar dibagi menjadi barang impor mewah dan karya pengrajin tradisional untuk pasar kecil, khusus, dan furnitur kayu lapis yang lebih murah untuk semua orang. Namun, pada tahun 2000-an, selera pribadi menjadi lebih penting dan permintaan meningkat untuk furnitur yang lebih individual. Perubahan itu terpicu oleh munculnya desainer muda yang kreatif. Berikut adalah beberapa karya yangf mewakili empat desainer furnitur, yang telah memperkuat pasar dengan karya asli mereka yang menggabungkan elemen desain tradisional.

22 KOREANA Musim Semi 2020


© Song Seung-yong

2

3

1. “Uap 11” oleh Bae Se-hwa. 2010. Walnut. 120 × 70 × 71 cm (WDH). Pembengkokan uap adalah teknik pertukangan dengan memanasi kayu (selama empat hingga lima jam) untuk membuatnya lentur dan dengan cepat ditekuk ke dalam bentuk yang diinginkan, dalam waktu sekitar 15 detik, sebelum mendingin dan mengeras lagi. Bae Se-hwa menggunakan teknik Barat ini untuk mengekspresikan estetika Korea. Kursi menggemakan keindahan alami dan keanggunan garis atap rumah tradisional Korea.

2. “Sarangbang” oleh Song Seung-yong. 2011. Kayu birch, kertas murbei, bahan majemuk. 279 × 76,2 × 174 cm (WDH). Song Seung-yong sebagian besar terinspirasi oleh struktur dan bahan hanok. Menerapkan fungsi sarangbang di tempat tinggal tradisional kelas atas, kamar tempat tuan rumah tidur, membaca dan menerima tamu, perancang menciptakan ruang sederhana namun anggun ini. Rangka kayu berkisi-kisi ditutupi dengan kertas murbei menciptakan suasana nyaman dalam perabot yang dapat dilipat ini.

3. “Dami” oleh Song Seung-yong. 2012. Valchromat. Lampu: 40 × 40 × 127 cm; Meja persegi panjang: 140 × 38 × 45 cm; Meja bundar besar: 60 × 60 × 30 cm; Meja bundar kecil: 48,5 × 48,5 × 25,2 cm (WDH). Terdiri atas garis daripada bidang, potonganpotongan dalam seri Dami ringan. Meja dan lampu ini menampilkan garis-garis berpotongan rapi yang mengingatkan pada jendela berkisi-kisi dari rumah tradisional Korea; ada aura unik untuk bentuk-bentuk sederhana dan keras.

SENI & BUDAYA KOREA 23


1 © Kim Jin-sik

2

1. “Gelombang yang Bermain” oleh Kim Jin-sik. 2017. Marmer, baja tahan karat. 220 × 105 × 74 cm (WDH). Kim Jin-sik mengeksplorasi sifat fisik materialnya. Meja ini berasal dari permainan ping pong yang dibayangkan di atas laut yang mengepul. Perancang berusaha menggambarkan air yang bergelombang di atas meja yang beralaskan pola dan tekstur marmer. “Jaring” dimasukkan ke dalam bingkai logam dengan cara yang mirip dengan teknik bengkel tukang kayu dari arsitektur tradisional Korea.

24 KOREANA Musim Semi 2020

2. “Separo yang Rendah 120” oleh Kim Jin-sik. 2016. Marmer, cermin stainless steel. 120 × 70 × 38 cm (WDH). Pola dan warna yang kuat dari dasar marmer tercermin pada permukaan melengkung pelat baja stainless setengah lingkaran, menciptakan tekstur visual yang baru. Meja ini adalah bagian dari serangkaian furnitur yang mewujudkan kombinasi formal lingkaran dan persegi panjang serta kontras tekstual batu dan logam. Keahlian luar biasa perancang telah menghasilkan karya dengan kesempurnaan tinggi, tanpa cacat yang sering ditemukan dalam karya-karya bentuk sederhana dan proporsi.


© Ha Ji-hoon

3

4

3. “Dazzi” oleh Ha Ji-hoon. 2012. Kayu lapis, baja berlapis bubuk. 100 × 45 × 85 cm (WDH). Kabinet ini adalah salah satu dari rangkaian furnitur Ha Ji-hoon yang mengadopsi berbagai desain alat kelengkapan logam (jangseok) yang digunakan pada peti kayu tradisional (bandaji). Jiwa seni dan komitmen perancang dalam menafsir ulang tradisi telah menghasilkan karya indah yang abadi gabungan keanggunan klasik dan kesederhanaan modern.

4. “Pittsburgh” oleh Ha Ji-hoon. 2015. Kayu ek, aluminium. Meja: 150 × 75 × 72 cm; Kursi: 47 × 38 × 72 cm (WDH). Keanggunan struktural dari meja portabel tradisional dari Naju, disebut naju soban, semula digunakan di lantai, tercermin dalam seperangkat meja dan kursi. Diproduksi sebagai hasil kolaborasi dengan pengrajin ahli dalam menyusun meja tipe Naju. itu ditugaIni dibuat untuk pembukaan Ruang Warisan Budaya Korea di Katedral Belajar di Universitas Pittsburgh di Amerika Serikat.

SENI & BUDAYA KOREA 25


FOKUS

<Anak Muda Itu Datang> yang diterbitkan tahun 2014 merupakan novel panjang karya Han Kang, penerima Man Booker International Prize 2016, yang bercerita tentang Aksi Perjuangan Demokrasi Gwangju pada bulan Mei 1980. Dua teater yang naskahnya diangkat dari karya ini sama-sama ditampilkan pada akhir 2019 di Korea Selatan dan Polandia pada waktu yang berdekatan. Para pemain teater dari dua negara yang ditimpa pengalaman tragis dalam proses reformasi bersejarah, menelaah karya ini untuk dijadwalkan tampil pada bulan Mei dan November mendatang secara berdampingan. Song Seo-yeon Produser Pusat Seni Nam San

Dua Cara Memaparkan Kesengsaraan

A

ksi Perjuangan Demokratisasi Gwangju dan pembantaian aktivis prodemokrasi kota pada Mei 1980 adalah momen penting dalam perkembangan politik Korea. Saat ini, “Gwangju” tanpa diragukan lagi identik dengan perjuangan rakyat melawan kekuasaan besi rezim militer pascaperang; aksi perjuangan demokratisasi menimbulkan bayangan panjang dalam kesadaran publik kolektif rakyat Korea. Ketika kami memutuskan untuk membuat adaptasi panggung dari novel <Anak Muda Itu Datang> (2014) di Pusat Seni Namsan, sensitivitas proyek terasa jelas. Buku yang berjudul “Lakon Manusia” ditulis oleh Han Kang, penerima Man Booker International Prize 2016. Buku ini melukiskan potret menyedihkan dari gerakan pro-demokrasi yang bernasib buruk yang terjadi di Gwangju dan segala akibatnya. Lahir di Gwangju pada tahun 1970, Han menyaksikan pertumpahan darah secara langsung. Ketika pusat seni menyiapkan adaptasi-

26 KOREANA Musim Semi 2020

nya, yang berjudul “Human Fuga,” kami mengetahui produksi lain sedang berlangsung di Polandia. Direktur Polandia Marcin Wierzchowski telah membaca novel yang sama dan, sangat tersentuh olehnya, telah menghubungi penulis tentang rencananya untuk mengadaptasinya ke atas panggung. Jadwal kedua produksi itu tumpang tindih, jadi kami sepakat untuk akhirnya menggelar teater kami di masing-masing negara. Kami percaya bahwa kedua negara kami berbagi emosi yang sama yang lahir dari masa lalu yang menghantui dan masih kami perjuangkan: Korea dari Aksi Perjuangan Demokratisasi Gwangju (antara lain), dan Polandia dari kamkonsentrasi Nazi di Auschwitz selama Perang Dunia II. Tim produksi Korea mengunjungi Polandia pada Oktober 2019, dan pada bulan November, tim Polandia melakukan kunjungan kembali.

Persiapan yang Panjang

Observasi dan latihan untuk “Human Fuga”

Sebuah adegan dalam drama “Human Fuga” yang dipentaskan perdana di Pusat Seni Namsan di Seoul pada November 2019. Sebagai reproduksi narasi dari novel asli, “Anak Muda Itu Datang” oleh Han Kang, bahasa tubuh, musik, dan posisi subjek dalam adegan menyampaikan kesedihan yang tersembunyi dari para karakter.


Foto oleh Lee Seung-hui; Atas izin Pusat Seni Namsan

SENI & BUDAYA KOREA 27


28 KOREANA Musim Semi 2020

Atas izin Pusat Seni Namsan

berlangsung selama 10 bulan, dimulai pada Januari 2019. Itu adalah waktu yang sangat lama mengingat bahwa drama Korea biasanya memiliki periode persiapan tiga bulan sebelum pementasan. Ini tidak jauh berbeda dengan persiapan Pusat Seni Namsan untuk dua karya bertemakan isu penting di zaman ini, yaitu <Jalan Raya 7> yang bercerita tentang kasus korban yang terjangkit leukemia akibat semikonduktor Samsung, serta <On Pluto> yang ditampilkan untuk memperingati lima tahun tenggelamnya kapal feri Sewol. Keduanya berurusan dengan luka emosional yang belum sembuh di hati masyarakat Korea. Kami merasakan bahwa melakukan reka ulang narasi novel begitu sajadapat memudarkan makna naskah asli dan kasus sebenarnya. Oleh karena itu, tim produksi tidak melakukan penjelasan panjang lebar maupun meminta para pemain untuk berakting dengan rumit. Sebagai gantinya, para pemain fokus untuk mengekspresikan perasaan akibat penderitaan yang mereka alami serta akibat luka yang tidak kunjung pulih, melalui gerakan tubuh yang terkekang dan kadang melalui gerakan aksi perjuangan demokrasiyang ekspresif dan penuh semangat seperti yang terlihat pada koreografi seni bela diri. Penderitaan tidak disampaikan melalui dialog, melainkan disampaikan kepada penonton melalui gerakan tubuh para pemain. “Fuga” (bahasa Italia untuk “fugue”) dalam judulnya mengacu pada teknik komposisi dalam musik yang ditandai dengan imitasi atau pengulangan satu tema. Dengan demikian, permainan ini disusun untuk menyampaikan bagaimana penderitaan yang disebabkan oleh satu peristiwa berulang kali dimanifestasikan dalam berbagai karakter. Akibatnya, rangkaian penghubung narasi cerita sering terputus, membuat para penonton harus mengikuti potongan-potongan pendek ingatan dan keterangan para tokoh. Walau begitu, ini justru membuat perasaan setiap tokoh terasa lebih nyata. Usaha penceritaan seperti ini melahirkan pujian sebagai “karya berkelas yang diciptakan oleh kekuatan seluruh tubuh tanpa

1

melupakan unsur seni pertunjukan, tarian, dan instalasi untuk menceritakan peristiwa Gwangju yang masih belum tuntas”. Selain itu, “Human Fuga” juga dipilih sebagai ‘Tiga Pertunjukan Terbaik Tahun Ini’ oleh Asosiasi Kritikus Teater Korea. Menariknya, selama karya ini disiapkan oleh tim yang bolak-balik ke Gwangju, ada juga tim produksi di negara lain yang entah berapa kali mencari informasi tentang Gwangju melalui media sosial. Tim Korea Selatan mendengar kabar mengenai pertunjukan lain yang diangkat dari <Anak Muda Itu Datang> melalui sebuah surat kabar di Korea. Sutradara Polandia bernama Marcin Wierzchowski mendapat kesan yang mendalam setelah membaca novel tersebut sebelum akhirnya berkeinginan untuk mengadaptasinya menjadi sebuah pertunjukan. Ia kemudian menghubungi Han Kang melalui Yayasan Memorial 18 Mei. Setelah mengetahui bahwa dua pertunjukan dari novel yang sama sedang disiapkan di Korea Selatan dan Polandia pada waktu yang berdekatan, tim produksi Korea Selatan bertanya-tanya bagaimana jika kedua pertunjukan tersebut ditampilkan secara bersama. Saat persiapan proyek pertukaran pertunjukan dilakukan melalui surat elektronik dan

2

1, 2. Poster-poster “Human Fuga” (kiri) disutradarai oleh Bae Yo-sup dan adaptasi Polandia berjudul “Anak Muda Itu Datang” yang disutradarai oleh Marcin Wierzchowski. Poster “Human Fuga” memiliki gambar pemandangan mata air mancur di depan gedung pemerintah provinsi Jeolla Selatan di Gwangju. Poster “Anak Muda Itu Datang” menampilkan gambar Aksi Perjuangan Demokratik Gwangju 1980 yang direkam oleh jurnalis foto Kim Nyungman.


panggilan internasional, masing-masing tim berkesempatan untuk menyaksikan pertunjukan tim lain secara langsung. Melalui pertunjukan tersebut, rasa simpati antara masyarakat Korea Selatan yang masih terluka akibat peristiwa Gwangju dengan masyarakat Polandia akibat pembantaian Yahudi di Auschwitz terasa sekali. Walau begitu, kesepakatan akan arah dan tujuan produksi tidak dapat dicapai hanya dengan alasan bahwa pertunjukan didasarkan pada naskah yang sama. Oleh karena itu, pada bulan Oktober 2019 tim produksi Korea Selatan berkunjung ke Polandia dan begitu pula sebaliknya.

Pendekatan yang Kontras

Menjelajahi Kebenaran Tersembunyi

Sebuah adegan dari bagian pertama “Anak Muda Itu Datang” yang dibuka di Teater Stary Nasional di Krakow, Polandia, pada Oktober 2019. Ini adalah rekreasi peti mati demonstran yang ditempatkan di depan gedung pemerintah provinsi di Gwangju setelah pasukan pemerintah membunuh para aktivis. Tidak seperti “Human Fuga,” drama Polandia dengan setia membuat narasi dari novel asli.

Proses persiapan tim produksi Korea dan Polandia pada dasarnya serupa: kedua tim meneliti materi yang relevan dan menonton

Foto oleh Magda Hueckel; Atas izin National Stary Theatre

Tim Selatan mengunjungi Krakow, Polandia, untuk menyaksikan <Anak Muda itu Datang>, sebuah pertunjukan panjang berdurasi lima jam. Babak pertama dikembangkan berdasarkan naskah pada novel, sementara babak kedua menceritakan tentang dua keluarga dengan realitas Polandia. Pertunjukan ini ditampilkan secara bergerak di delapan ruangan di National Stary Theater yang didirikan tahun 1781 dan merupakan teater tertua di Polandia. Setiap adegan dalam novel digambarkan dengan sangat terperinci di masing-masing ruangan. Marcin Wierzchowski baru mengetahui tentang Gwangju melalui novel ini, dan dia ingin menarik perhatian publik mengenai kemungkinan kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada para penonton Polandia -- yang tidak tahu apa-apa mengenai peristiwa tersebut, sama seperti dirinya. Dia ingin menyampaikan bahwa tragedi Gwangju bukan hanya terjadi di Korea, bukan hanya terjadi pada tahun 1980. Peristiwa serupa bisa saja melampaui ruang dan waktu, dan dapat terjadi di Polandia maupun di tempat lain kapan saja. Oleh karena itu, berbeda dari the <Human Fuga>, penceritaan <Anak Muda Itu Datang> dia berkomitmen untuk setia terhadap narasi pada novel Korea aslinya. Pada bulan November 2019, Wierzchowski mengunjungi Korea untuk menyaksikan <Human Fuga> yang membuatnya terkejut

karena merasakan keindahan luar biasa dan memeluk aktor Bae Yo-sup. Setelah itu, dia hadir sebagai panelis di acara dialog para penonton dan melontarkan candaan, “Amazon, sahabat berbelanja saya, mengenalkan saya dengan novel itu.” Dia juga menjelaskan tentang <Anak Muda Itu Datang> yang disutradarainya, yang membuat para penonton Korea Selatan terkagum-kagum melihat perbedaan arah penyutradaan kedua negara.

SENI & BUDAYA KOREA 29


video dan film tentang insiden yang sebanding. Sangat mungkin bahwa dua adaptasi sangat berbeda karena perbedaan dalam arah penyutradraan teater yang berlaku di masing-masing negara. Teater Korea saat ini cenderung berfokus pada indra daripada pada pemeragaan, sehingga produksi Korea mengeksplorasi emosi dan pikiran para tokoh. Sebaliknya, drama Polandia berkonsentrasi pada Aksi Perjuangan Demokratisasi Gwangju itu sendiri sebagai sebuah insiden dan bagaimana menyampaikan kekejamannya kepada penonton secara lebih rinci.

30 KOREANA Musim Semi 2020

Seluruh tiket “Human Fuga� yang berpentas pada 6-17 November, 2019 terjual habis dan produksi mendapat sambutan hangat. Namun tanggapan yang jauh lebih bermanfaat adalah tanggapan hadirin: banyak orang mengatakan bahwa mereka telah mempelajari kebenaran tentang Gwangju, sementara mereka yang selamat dari tragedi itu menyatakan penghargaan mereka karena menjaga kisah mereka tetap hidup. Empat puluh tahun telah berlalu sejak aksi ituterjadi. Ketika tengkorak manusia yang tidak dikenal ditemukan di bekas situs


Foto oleh Magda Hueckel; Atas izin National Stary Theatre

Bagian Dua dari “Anak Muda Itu Datang” bercerita tentang keluarga Polandia yang hidup dalam ketakutan setelah pembantaian warga oleh pemerintah.

Penjara Gwangju pada Desember 2019, seorang anggota keluarga dari korban yang hilang mengatakan dalam sebuah wawancara, “Saya akan menari jika tulang-belulang putra saya ditemukan. Sungguh. Akhirnya aku akan bisa melepaskan kesedihanku.” Korban dan keluarga korban masih terjebak pada masa 40 tahun lalu, tapi masyarakat memiliki kecenderungan untuk menyepelekan, serta melupakan pengorbanan dan perjuangan penduduk Gwangju. Kepedihan Gwangju masih terus berlangsung, kebenaran yang belum terungkap pun masih tersisa.

Menyambut peringatan ke-40 Aksi Perjuangan Demokratisasi Gwangju di bulan Mei 2020, <Human Fuga> dan <Anak Muda itu Datang> akan menemui penonton secara bergiliran di Pusat Seni Namsan di Seoul dan Bit Culture Theater di Gwangju. Selain itu, <Human Fuga> akan mengunjungi Polandia padaNovember tahun ini. Pertemuan dua produksi pertunjukan yang dimulai dari sebuah novel diyakini dapat menyebar lebih jauh dan mendapatkan penilaian yang lebih bersinar melalui penonton dari kedua negara.

SENI & BUDAYA KOREA 31


WAWANCARA

Dari Nyeleneh Menjadi Ikon

Melahirkan Kembali Musik Tradisional

Penyanyi Lee Hee-moon menghibur dan mengejutkan penonton dengan penampilan yang melenceng dari akar musik rakyat Korea. Dulu ia dikenal sebagai penyanyi yang “nyeleneh” dalam gugak (musik tradisional Korea), tapi sekarang ia menjadi ikon musik funky fusion. Lim Hee-yun Reporter Budaya, The Dong-A Ilbo

T

iny Desk Consert merupakan seri video pertunjukan musik langsung yang diadakan oleh Radio Publik Nasional (NPR) di Washington, D.C. dan diunggah ke YouTube. Acara ini sangat kaya dan menghibur. Dengan ratusan genre pertunjukan yang sudah diunggah, sudah pasti band Korea SsingSsing juga ada di sana. Band itu mengeluarkan lagu perpaduaan antara musik rok, disko dan psikedelik, yang digubah dari lagu rakyat Korea tradisional. Sangat mengejutkan. Bob Boilen, pembawa acara “All Songs Considered” yang diadakan oleh RPN, menyebut penampilan itu sebagai salah satu yang paling diingat dalam Tiny Desk Concerts sepanjang waktu. Saat itu bulan September 2017. Band yang terdiri dari enam orang itu sedang meniti jalan kesuksesan. Di Washington, band ini tampil juga dalam sebuah konser di Pusat Seni Pertunjukan John F. Kennedy, yang menampilkan figur-figur terkenal dalam dunia hiburan. Namun, pada tahun 2019, band itu tiba-tiba bubar. Pada suatu hari di musim dingin, pe-

32 KOREANA Musim Semi 2020

nyanyi utama band itu, Lee Hee-moon, 43 tahun, duduk di Itaewon, sebuah daerah di Seoul yang menjadi tempat tujuan wisatawan, orang asing dan tentara-tentara Amerika, bercerita sedikit mengenainya. Lee memang ditakdirkan menjadi penyanyi. Ibunya, Ko Ju-rang, adalah maestro penyanyi minyo, atau lagu rakyat Korea tradisional, dan begitu mulai bisa bicara, ia pun mulai menyanyi. Dalam usia remajanya, ia sangat terkesan dengan penyanyi pop Korea dan Barat. Ia ingin menjadi penyanyi sekaligus penari. Lalu, ia belajar seni visual di Jepang, dan setelah kembali ke Korea, ia memproduksi video musik sebagai asisten sutradara. Baru ketika usianya menginjak akhir 20-an, Lee kembali ke lagu rakyat tradisional. Ketika menyanyi, ia merasa seperti “kesurupan.” Tampaklah bahwa menjadi penyanyi utama SsingSsing hanya sebuah identitas artistiknya, yang tentu saja terus berubah.

Band SsingSsing

Lim: Ketika pertama kali saya melihat


Lee Hee-moon tampil di Ruang Elgar di Royal Albert Hall London pada September 2017. Sebuah program di Festival K-Music ke-4 yang diselenggarakan oleh Pusat Kebudayaan Korea di Inggris, “Lelaki Korea� direncanakan oleh Lee dan band jazz Prelude, dan konser mereka juga menampilkan NomNom, duo penyanyi tradisional. Ditayangkan pada tahun 2016 di Teater Nasional Korea, pertunjukan yang sangat terkenal menyatukan Gyeonggi minyo dan jazz.

Foto oleh Kii Studios Photography & Film; Atas izin Lee Hee-moon Company

SENI & BUDAYA KOREA 33


SsingSsing menyanyi, saya teringat drama musikal “Hedwig dan Inch Si Pemarah.” Saya ingin tahu dari mana inspirasi Anda datang. Lee: Penampilan visual band itu terinspirasi dari film “Moulin Rouge,” penyanyi seperti Madonna dan Min Hae-kyung, dan koreografer Ahn Eun-me, yang sudah saya kenal secara personal selama bertahun-tahun. Ahn adalah pionir seni visual yang sangat kuat. Dalam produksinya “Putri Bari: Dunia Ini,” yang pertama kali ditampilkan pada tahun 2007, saya mendapatkan tawaran bernyanyi sebagai sang putri. Awalnya, saya canggung berperan sebagai perempuan, tapi saya yakin saya bisa melakukannya dengan baik. Ketika harus menekan emosi, itu murni hanya aksi belaka; tapi sesuatu dalam diri saya tampil secara spontan ketika menyanyi dengan peran itu. Lim: SsingSsing tampil dalam konser di Korea tak peduli seberapa besar tempatnya atau berapa banyak penontonnya. Tapi, rekaman untuk acara Konser Tiny Desk NPR pasti berbeda dari pertunjukan-pertunjukan itu. Bagaimana rasanya? Lee: Kami tidak punya banyak informasi mengenai acara NPR, jadi menganggapnya sama seperti pertunjukan lain. Kami sedikit bingung ketika diminta menyanyi sambil berdiri di pojok ruangan tanpa monitor atau pengeras suara. Kalau saja kami tahu acara ini akan menarik perhatian banyak orang dan akan ada selamanya di YouTube, kami akan berusaha tampil lebih baik. Ketika kami menampilkan “Hangangsu Taryeong” (Lagu Sungai Han), saya bahkan menyanyikannya dengan lirik yang salah dan berimprovisasi saat itu juga. Namun, video itu ternyata bagus, mungkin karena penata suaranya sangat mumpuni. Lim: Saya berharap SsingSsing mendapatkan perhatian dunia, seperti Psy dengan lagunya “Gangnam Style,” tapi band ini bubar ketika berada di puncak karir. Mengapa? Lee: Setiap anggota punya ciri khas masing-masing. Itu menjadi kekuatan kami keti-

34 KOREANA Musim Semi 2020

ka kami bersama, punya gaya sendiri ketika di panggung dan tidak pernah campur tangan apa yang dilakukan anggota lain. Tampaknya itu justru mempermudah kami berjalan terpisah, sama halnya dengan semua hubungan pasti melalui banyak perubahan. Sekarang, kami semua sudah menemukan tempat masing-masing: Jang Young-gyu, sutradara musik, membentuk band baru yang bernama “Lee Nalchi” untuk menyalurkan keinginan bermusiknya dan Chu Da-hye dan Shin Seung-tae juga menekuni musik mereka. Hal yang sama terjadi pada saya. Lim: Bagaimana SsingSsing Terbentuk? Lee: Pada tahun 2014, saya tampil dalam sebuah konser yang berjudul “Kwae” (Kesenangan Sepenuh Hati), interpretasi modern gut, ritual paranormal tradisional. Jang Young-gyu, sutradara musik konser itu, menawari saya bermain minyo. Setelah itu, kami mengajak gitaris Lee Tae-won, penabuh drum Lee Chul-hee, dan penyanyi Shin Seung-tae dan Chu Da-hye, dan enam orang ini membentuk SsingSsing.

Suara Sendiri

Lim: Baru-baru ini, Anda tampil dalam konser dengan judul “Proyek NAL” dan Anda juga mengeluarkan album “Obangsingwa” (yang berarti “bersama para dewa di lima penjuru”). Anda pasti sangat sibuk. Menurut Anda, bagaimana arah seni Anda di masa yang akan datang? Lee: Saya ingin tahu suara saya tanpa label “dari SsingSsing.” Jadi, saya memaksa diri saya tampil dalam serangkaian pertunjukan eksperimental. Proyek NAL menampilkan suara saya dikombinasikan dengan suara perkusi Korea janggu (drum yang berbentuk seperti jam pasir), drum Barat dan synthesizer modular; sedangkan dalam SsingSsing, penampilan sebagian besar hanya memakai minyo Gyeonggi (lagu rakyat dari Provinsi Gyeonggi), dengan tambahan genre lain seperti japga (lagu rakyat jelata), santaryeong (lagu pegunungan) dan hoesimgok (lagu sedih). Namun, pendekatan saya terhadap lagu ini berbeda dari pendekatan yang saya

Penampilan perdana Lee dalam “Project NAL” di Aula Pertunjukan Besar dari Pusat Warisan Tak Berwujud pada Mei 2019. Untuk menonjolkan esensi suaranya, instrumen melodi dihilangkan; hanya tiga perkusi - janggu (drum jam pasir), drum Barat dan synthesizer modular yang menemaninya.


“ Kadang-kadang, saya merasa bukan saya yang melakukannya. Penonton memberi saya energi. Saya menyerapnya dan mengembalikannya kepada mereka melalui penampilan saya, dan saya sangat kelelahan setelah acara itu selesai.�

Foto oleh Kwak Ki-gon; Atas izin Lee Hee-moon Company

SENI & BUDAYA KOREA 35


Diambil dari video Youtube NPR Music

1

2

Foto oleh Lee Jin-hwan; Atas izin Lee Hee-moon Company

36 KOREANA Musim Semi 2020


lakukan ketika menyanyi bersama SsingSsing. Lim: Apa bedanya visual Proyek NAL dan SsingSsing? Lee: Saya mengadopsi visual pengantin perempuan, yang menggambarkan kelahiran saya kembali setelah meninggalkan SsingSsing. Saya memakai setelan pakaian laki-laki berwarna putih dengan rok putih yang dilekatkan di bagian belakang, dengan tata rias pengantin perempuan di wajah saya. Lim: Kita mundur ke belakang sejenak. Bagaimana awalnya Anda menyanyi minyo? Lee: Ketika bekerja di produksi video musik, saya menemani ibu saya ke konser minyo dan tanpa sadar saya ikut menyanyi. Maestro penyanyi Lee Chun-hee, teman ibu saya, sedang bersama kami dan ia mendengarkan saya menyanyi. Beberapa hari kemudian, tanpa sepengetahuan ibu saya, ia menelepon saya dan bertanya apakah saya mau menyanyi secara profesional. Ibu saya tidak ingin anaknya menjadi seniman musik tradisional karena ia sangat tahu bahwa pekerjaan itu sangat berat. Lim: Bahkan sebelum bergabung dengan SsingSsing sebagai penyanyi utama, Anda dikenal sebagai pengajar berijazah minyo Gyeonggi, Kekayaan Budaya Tak Benda Korea No. 57. Apa yang membuat minyo sangat menarik bagi Anda sehingga Anda berganti haluan di usia yang relatif sudah lanjut? Lee: Minyo Gyeonggi memiliki ciri suasana hati yang riang dan melodi yang dinamis dan enak didengar. Lagu ini memerlukan banyak teknik vokal. Lagu-lagunya ceria dan menyenangkan tapi membuat Anda merasa sedih dan berurai air mata. Misalnya lirik lagu “Cheongchunga” (Nyanyian Pemuda): “Waktu mengalir seperti sungai, dan manusia menua seperti angin.” Menyanyikan lagulagu sedih dengan tarian yang riang membuat pikiran Anda sangat rumit, dan ini seperti komedi gelap. Ini bedanya dengan minyo Gyeonggi dan namdo sori, atau lagu rakyat dari provinsi-provinsi di bagian selatan. Pansori (lagu naratif) dimainkan dengan kunci minor (gye-

myeonjo), penuh dengan penderitaan dan kesedihan.

Humor Penuh Air Mata

Lim: Apakah Anda pernah merasakan emosi ketika tampil di panggung? Lee: Ketika konser Proyek NAL diadakan di Pusat Warisan Budaya Tak Benda Nasional di Jeonju pada bulan Mei 2019, kami meminta sekitar 250 penonton untuk duduk di panggung supaya lebih menikmati suaranya. Lagu terakhir waktu itu adalah “Odolttogi,” lagu rakyat dari Pulau Jeju, dan saya dipenuhi perasaan yang tidak tergambarkan menyanyi bersama dengan orang-orang yang bertepuk tangan dan duduk sangat dekat dengan saya. Lim: Di panggung, tampaknya Anda menjadi shaman atau semacam sosok spiritual. Apakah Anda pernah berada dalam keadaan trans ketika tampil? Lee: Kadang-kadang, saya merasa bukan saya yang sedang tampil menyanyi. Penontonlah yang memberi saya energi. Saya menyerapnya dan mengembalikannya melalui penampilan saya, dan saya sangat kelelahan setelah acara selesai. Baru-baru ini saya tampil di Studio Senggi di daerah Hongdae, tempatnya sangat penuh. Mungkin ini menyebabkan berkurangnya oksigen dan saya kehabisan nafas. Di akhir konser, saya mengungkapkan perasaan itu melalui adegan pingsan. Lim: Saya penasaran musik atau penampilan seperti apa yang akan Anda pertunjukkan kepada dunia di masa yang akan datang. Lee: Sepanjang tahun ini, saya akan melanjutkan “Proyek Ego,” seri konser yang mengkombinasikan jazz dan minyo. Saya juga akan meluangkan waktu untuk karya awal produksi monodrama musikal. Baru-baru ini, saya membaca buku berjudul “Lahirnya Gangnam” yang memantik saya membuat drama mengenai isinya. Saya besar di daerah Gangnam, jadi bisa membuat cerita yang relevan – mungkin mengenai laki-laki muda yang tumbuh di wilayah modern dan penuh gaya, yang menjadi penyanyi minyo. Ini pasti akan menjadi proyek yang menarik.

1. Pertunjukan SsingSsing dalam Niny’s Desk Concerts di Washington D.C. pada September 2017. Campuran glam-rock dan Gyeonggi minyo sangat menarik minat. Para anggotanya adalah: dari kiri di belakang, Lee Chul-hee (drummer), Jang Young-gyu (direktur musik dan gitaris bass) dan Lee Tae-won (gitaris); di depan, Shin Seung-tae, Lee Hee-moon dan Chu Da-hye. 2. Perusahaan Lee Hee-moon mempersembahkan “Minyo Samcheolli” (Lagu-Lagu Rakyat dari Setiap Sudut Korea) di Space Seoro, sebuah teater kecil di Ogin-dong, Seoul, pada bulan Mei 2018. Menjelajahi tema penyanyi tradisional perempuan pada zaman modern, pertunjukan ini adalah proyek terakhir “Trilogi Cinta yang Dalam,” yang diproduksi oleh Lee dari 2016 hingga 2019. Lee sebagai gitaris berada di sebelah kanan.

SENI & BUDAYA KOREA 37


PENJAGA WARISAN BUDAYA

Mempertahankan Rasa “Kelambanan� Fermentasi yang memerlukan waktu dan perawatan merupakan ciri khas yang paling menonjol dalam budaya kuliner Korea. Di antara sejumlah makanan fermentasi Korea yang dikenal dengan rasa yang dalam dan gurih, ganjang (kecap asin) dianggap sebagai bahan yang sangat penting karena ganjang adalah bahan dasar dalam makanan Korea. Satu keluarga secara khusus telah mempertahankan kecap asinnya selama 360 tahun, dengan tugas menjaga saus pusaka yang diwariskan melalui menantu perempuan tertua. Park Mee-hyang Wartawan Budaya-Kuliner, The Hankyoreh Ahn Hong-beom Fotografer

38 KOREANA Musim Semi 2020


“S

aya berharap itu tidak terlalu banyak masalah datang jauh-jauh ke tempat terpencil ini di mana tidak ada banyak yang bisa dilihat,” kata Ki Soon-do dengan tersenyum ramah. Dia berpenampilan anggun, layaknya seorang menantu pertama dalam sebuah keluarga besar. Dia lanjut bertutur bahwa rasa doenjang (pasta kedelai) yang difermentasi dengan baik pun akan muncul. Tutur katanya memancarkan perasaan nyaman mengingatkan pada doenjang, pasta kedelai yang difermentasi dengan baik. Seekor anjing putih mengikutinya berkeliling, menerima tamu bersamanya. Dia membuat jang (saus fermentasi) selama 48 tahun dan dianugerahi gelar “Master of Traditional Korean Food No. 35” atas jasanya. Kementerian Pertanian, Makanan, dan Urusan Pedesaan Korea Selatan memberi gelar itu kepada orang yang menekuni bidang masakan tertentu selama lebih dari 20 tahun atau yang mendapat latihan dari seorang Master selama lebih dari lima tahun, kemudian bekerja di bidang masakan tertentu selama lebih dari sepuluh tahun melalui proses pemeriksaan yang ketat. Ki Soon-do menerima gelar itu di bidang pembuatan dan pengolahan jinjang, sejenis kecap asin yang difermentasi selama lebih dari lima tahun. Apa ramuan rahasia dalam ganjang yang dibuatnya? Rumahnya terletak di kecamatan Changpyung, kabupaten Damyang, Provinsi Jeolla Selatan, tempat yang ditetapkan sebagai “kota yang lamban” pertama di Asia oleh Cittaslow International. Di halaman rumahnya terdapat sekitar 1.200 buah gentong saus berjajar seperti pasukan tentara. Berbagai macam jang sedang difermentasi di dalam sejumlah gentong saus itu dengan tahapan yang berbeda-beda. “Bagaimana kalau Anda coba mencium ini?” Dia mengajak saya mencium salah satu jang sambil menarik lengan saya. Ketika saya membuka sebuah gentong saus, aroma istimewa keluar darinya. Aroma itu bercampur dengan bau apak, bau khas yang dimiliki oleh bahan hasil difermentasi, tetapi aroma itu juga sangat unik karena terdapat rasa manis. Dia membuat tiga jenis ganjang, yaitu chungjang, jungganjang, dan jinjang. Chungjang yang difermentasi kurang dari satu tahun digunakan untuk memasak sup seperti kongnamul guk (sup tauge) dan oi naengguk (sup mentimun dingin). Jungganjang yang difermentasi kurang dari 5 tahun memiliki warna gelap dan rasa asin. Jungganjang biasanya digunakan untuk membumbui bulgogi (irisan daging sapi yang diasinkan dan di bakar) dan jangjorim (daging direbus dalam kecap). Jinjang, jenis jang yang paling kental, difermentasi lebih dari 5 tahun digunakan untuk membuat yukpo (dendeng) and yakgwa (kue goreng manis). Untuk membuat mas-

ing-masing jang ini, kedelai kuning yang baru saja dipanen direbus, digiling, dan dibentuk menjadi kubus-kubus atau disebut meju, yang lalu dikeringkan di atas jerami untuk berfermentasi. Kubus tersebut kemudian direndam air garam selama beberapa bulan sebelum akhirnya dipisahkan untuk dijadikan kecap asin atau pasta kecap asin. “Ketika saya merebus kacang, saya akan mandi dulu untuk melepaskan diri saya dari segala kotoran. Saya juga tidak pernah pergi ke rumah yang sedang berduka pada saat itu, sedekat apapun saya dengan keluarga yang berduka. Saya ingin mencurahkan diri sepenuhnya untuk pekerjaan baik secara jasmani maupun rohani. Saya selalu menganggap bahwa membuat dasar jang merupakan pekerjaan yang sangat sakral,” kata Ki Soon-do.

Pengabdian Sepenuh Hati

Kerja keras dan ketulusanya dikenal luas hingga ke luar negeri. Beberapa koki yang terkenal di dunia, misalnya Eric Ripert di New York dan René Redzepi di Kopenhagen pernah mengunjungi Ki Soon-do. Ketika Donald Trump, Presiden AS melawat ke Korea dan diundang untuk makan malam di Gedung Biru (Istana Negara), ganjang yang dibuatnya disajikan di meja makan tersebut. Pada saat itu ganjang yang bersejarah kurang-lebih 300 tahun itu mendapat sorotan dari banyak media. “Ketika membuat jang, saya selalu memakai garam bambu dan kacang lokal. Selain itu, saya menjaga siganjang (saus biji-bijian) sebaik mungkin. Setiap tahun, saya menambahkan kecap terbaik dari kumpulan kecap yang baru dibuat untuk mengganti jumlah yang dikonsumsi, kata Ki. Ketika ditanya apa kiatnya untuk membuat jang yang sebagus itu, dia menjawab rahasianya ada pada air dan garam. Dia menggunakan air dari bawah tanah yang sedalam 167 meter sebab air merupakan dasar penting dalam jang. Selain itu, dia menggunakan bambu dari Damyang untuk garam bambu. Damyang yang merupakan kampung halaman Ki Soondo adalah sebuah kota terkenal sebagai penghasil bambu berkualitas tinggi. Meskipun bahan merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan rasa saus, ketrampilan juga tidak kalah penting dalam menghasilkan saus yang bagus. Garam bambu yang dipakainya pun jauh berbeda dari yang biasa dijual di pasar. “Garam bambu yang saya pakai itu ada-

Ganjang (kecap kedelai) adalah bumbu dasar yang digunakan dalam masakan Korea. Di masa lalu, membuat kecap adalah acara tahunan yang penting bagi setiap rumah tangga, dengan perbedaan rasa yang halus di setiap rumah tangga sungguh dihargai. Tetapi kebanyakan orang Korea menggunakan kecap yang dibeli di toko akhir-akhir ini.

SENI & BUDAYA KOREA 39


Deretan lebih dari 1.200 botol saus di halaman rumah Ki Soon-do di Damyang, Provinsi Jeolla Selatan, membuat pemandangan yang spektakuler. Ki telah membuat bumbu menggunakan metode tradisional selama 48 tahun terakhir. Pada tahun 2008, kontribusinya dalam pembuatan saus dan kualitas produknya membuatnya mendapatkan gelar Ahli Makanan Tradisional Korea No. 35.

40 KOREANA Musim Semi 2020


“ Kami membuat meju dengan merebus kacang pada Hari Dongji yang ditentukan berdasarkan kalender lunar. Setelah difermentasi selama sebulan, kami baru membuat ganjang darinya pada hari kelima belas bulan pertama tahun lunar. Memilih tanggal untuk membuat ganjang itu sungguh penting. Tidak ada latihan. Ganjang yang dibuat pada hari itu menentukan rasa semua masakan di meja makan kami sepanjang tahun.� SENI & BUDAYA KOREA 41


lah garam teluk yang berasal dari pesisir Laut Barat. Garam itu dibakar berulang kali, yaitu sebanyak 9 kali selama tiga malam dalam tempat pembakaran yang terbuat dari tanah liat merah.” Ketika dia menjelaskan hal itu, suaranya penuh dengan rasa bangga. “Kami membuat meju dengan merebus kacang pada hari Dongji berdasarkan kalender lunar. Setelah difermentasi selama sebulan, kami baru membuat ganjang darinya pada hari kelima belas bulan pertama tahun lunar. Memilih tanggal untuk membuat ganjang sungguh penting. Tidak ada latihan. Ganjang yang dibuat pada hari itu menentukan rasa semua masakan di meja makan kami sepanjang tahun,” katanya. Di samping itu, dia sendiri yang membuat tempat fermentasi dari tanah liat merah. Menurutnya, tanah liat merah tidak hanya menurunkan bau apak dari meju, tetapi juga memberi rasa manis padanya.

Resep Pusaka

“Anda pasti sedang lapar. Silakan makan ini. Saya membuat ini tanpa gula,” katanya sambil menyajikan danggeun jeonggwa (wortel yang difermentasi di dalam madu), doraji jeonggwa (bunga bel yang difermentasi di dalam madu) dan yakgwa. Dia pandai bukan hanya dalam membuat segala jenis jang, tetapi juga dalam membuat berbagai masakan tradisional. Ketika saya mengunyah doraji jeonggwa yang dibuatnya, rasanya seakan-akan surga dibentangkan di dalam mulut saya. Bagi saya kata ‘manis’ kurang cukup untuk mendeskripsi rasanya karena rasa itu sangat luar biasa. Rasa

manis disusul rasa agak pahit. Yakgwa, teksturnya sangat unik karena tidak garing dan juga tidak renyah. Ketika saya menanyakan apa kiat untuk menghasilkan rasa manis yang unik dalam doraji jeonggwa dan yakgwa, dia menjawab bahwa dia tidak menggunakan sirup biasa. Yang digunakannya adalah sirup yang dibuatnya sendiri dengan cara tradisional. Dia melihat saya merasa haus, lalu dia membawakan sikhye (minuman manis yang dibuat dari nasi) untuk saya. Sikhye itu jauh berbeda dari yang biasa saya minum. Rasanya tidak begitu manis dan banyak butir nasi di dalamnya. Menurutnya, banyaknya butir nasi membuat rasa manis mengental karena rasa manis justru berasal dari nasi yang difermentasi. Selain itu, dia mengatakan bahwa sirup untuk membuat sikhye dibuatnya sendiri dengan menggunakan tunas. Dia adalah jongbu generasi ke-10 dari marga Yangjinjae, salah satu marga dari Koh yang berakar ke Jangheung. Jongbu berarti menantu pertama dalam keluarga utama dari suatu marga, yaitu jongga, dan dia bertanggung jawab dalam menjaga sejumlah tradisi marganya, termasuk yang berhubungan dengan makanan. Setiap marga memiliki resep masakan tersendiri, yang diturunkan secara turun-temurun dan resep masakan itu biasanya menggunakan bahan masakan lokal semaksimal mungkin. Resep pusaka dari marganya adalah ueongdelketang (sup biji perilla dengan akar burdock), juksunjeon (rebung tumis), ganjang kimchi (kimchi kecap), dan bekilju (sake beras yang diseduh selama 100 hari). Ueongdelketang adalah masakan yang sangat enak dan

1

1. Ki mengikat balok meju dengan tali jerami untuk mengeringkannya. Bahan penting yang menentukan rasa bumbu, meju biasanya dibuat di sekitar awal musim dingin. Kedelai kuning direbus, dihancurkan dan dibentuk menjadi balok, dibiarkan di tempat yang hangat agar tumbuh jamur untuk fermentasi dan digantung di bawah sinar matahari. tempat kering. 2. Keluarga Ki memiliki seperangkat resep pusaka, salah satunya adalah sup biji perilla dengan akar burdock (deulkkae ueongtang). Sup, paling baik jika dibumbui dengan kecap berusia dua hingga lima tahun, adalah hidangan sehat yang dibuat dari tumisan akar burdock, jamur dan bawang dalam minyak biji perilla, lalu semuanya direbus dalam air dan ditambahkan biji perilla, dicincang daun bawang dan bawang putih.

42 KOREANA Musim Semi 2020


Makin Melamban

Setelah suaminya, Koh Gap-seok meningggal dunia 10 tahun lalu, dia sendiri yang bertanggung jawab penuh dalam menjaga marganya dan mempertahankan tradisi marganya. Hasil dari usaha kerasnya sangat dihargai baik di dalam maupun di

© Perisahaan Makanan Tradisional Korea

baik untuk kesehatan. Untuk membuat masakan itu, ueng (akar burdock), jamur, dan bawang merah dipotong, lalu digoreng dengan minyak biji perilla, kemudian direbus cukup lama dalam air dengan bubuk biji perilla yang digiling, daun bawang, dan bawang putih. Juksunjeon adalah masakan yang bisa dinikmati rasa alami bahan-bahan terkandung di dalamnya. Namun, yang paling unik di antara ketiga masakan itu adalah ganjang kimchi yang dibuat dari ganjang, sebagai pengganti jeotgal (ikan-ikanan hasil fermentasi garam). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa esensi dalam vegetarianisme yang kini sangat populer di seluruh dunia ternyata terdapat di dalam rumahnya. Ki soon-do mengatakan, dia tidak pernah memimpikan menjadi menantu pertama dalam sebuah marga ternama. Dia lahir di Gokseong yang kira-kira ditempuh selama 40 menit dengan mobil dari Damyang. Dia adalah bungsu dari enam bersaudara dan mendapat didikan sangat ketat dari orang tuanya yang sangat menjunjung tinggi etika bangsawan dari zaman kerajaan Joseon. Sebagai anak bungsu sangat disayangi orang tuanya, dia tidak pernah bekerja di dapur sejak kecil. Namun, setelah menikah saat usia 23 tahun dan menjadi menantu pertama dalam keluarga utama dalam suatu marga yang bertangung jawab dalam banyak acara keluarga, dia harus menggurus lebih dari 30 upacara persembahan untuk nenek moyang setiap tahun. Setelah satu ucapara persembahan untuk nenek moyang baru selesai, persiapanan upacara lain menunggunya. Selain itu, dia harus membantu mertua dalam membuat jang dalam kesibukan sehari-hari. Dia menerima segala sesuatu itu sebagai nasibnya sendiri. “Ketika mertua saya masih hidup, ada 50 buah gentong saus di rumah kami. Begitu kami membuat jang, sejumlah tetangga kami datang ke rumah untuk memintanya karena begitu enaknya jang yang kami buat.” Terkenalnya rasa jang yang dibuat mereka akhirnya membuat keluarganya membuka bisnis di bidang pembuatan jang. “Dulu suami saya ingin menjadi biksu setelah dia belajar agama Buddha di Univeritas Dongguk. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin diperbolehkan karena dia anak laki-laki pertama dalam keluarga utama dalam suatu marga. Sebagai anak laki-laki pertama, dia diwajibkan untuk menikah dan meneruskan keturunan darah keluarganya. Oleh karena itu, dia tidak ada pilihan dan terpaksa mengurungkan keinginannya.”

2

luar negeri. Jang yang dibuatnya dijual di Le Bon Marché, sebual mal di Paris dan dia diundang ke SIAL Paris (Salon international de l’alimentation), salah satu dari tiga pameran masakan terbesar di dunia pada tahun 2018. Pada tahun 2019, dia berpartisipasi dalam “Namdo Jongga Treasure Hunt” yang diselenggarakan oleh Organisasi Pariwisata Korea dan Asosiasi Marga Provinsi Jeolla Selatan. Jika hanya dilihat dari hal-hal itu, dapat dikatakan bahwa perjalanan hidupnya penuh dengan kesuksesan dan kebahagiaan. Namun, kenyataannya tidak demikian. Anak laki-lakinya yang meraih gelar doktor di bidang ganjang di sebuah universitas ternama dan akan memimpin bisnis keluarganya, meninggal dunia akibat kecelakaaan. Kematian anaknya sungguh menyiksanya, tetapi dia berusaha melepaskan diri dari kesedihan dengan menekuni pekerjaannya membuat jang. Perusahaannya, PT Goryeo Traditional Foods (Kisoondo Traditional Jang) menjual berbagai jang, baik yang tradisional maupun yang dimodernisasi dan sejumlah masakan yang berdasarkan pada jang. Kini, ketika “Lebih cepat lebih baik!” menjadi moto saat ini, tugas master pembuat kecap adalah mempertahankan rasa “kelambanan” dalam bumbu tradisional Korea. “Jika buatan saya tidak berbeda dengan buatan orang lain, maka saya tidak perlu membuatnya.” Perkataan itu bergema dalam hati saya ketika meninggalkan rumahnya. Perkataan itu menunjukkan tekadnya bahwa dia tidak akan tergiur oleh godaan komersial. Sekali lagi, anjing putih menemani tuannya untuk melepaskan saya pergi.

SENI & BUDAYA KOREA 43


KISAH DUA KOREA

Taman Seni di Berlin Membangkitkan Impian Perdamaian “Das dritte Land (Alam Ketiga)�, sebuah taman seni sementara di Berlin adalah tempat di mana Jerman dan kedua Korea dapat berbagi kesedihan akibat perpecahan dan pentingnya penyatuan kembali. Tiga seniman Korea Selatan yang membangun taman tetap berharap hubungan antarKorea membaik agar Korea Utara mengirim tanaman dan bunga untuk menyelesaikan proyek mereka. Kim Hak-soon Jurnalis, Profesor Tamu Jurusan Media Universitas Korea

1

44 KOREANA Musim Semi 2020


1. Artis instalasi Han Seok-hyun (kiri) dan Kim Seung-hwoe merancang “Das dritte Land” (Negara Ketiga), sebuah taman seni sementara yang dibuka di Berlin pada Mei 2019. Memperingati ulang tahun ke 30 jatuhnya Tembok Berlin tahun itu dan berharap perdamaian dan penyatuan kembali semenanjung Korea. Taman terletak di Potsdamer Platz, dekat reruntuhan tembok. Ini akan dibuka hingga Oktober 2020.

2

2. Bunga Angin (Anemone narcissiflora L.), yang tumbuh di iklim pegunungan di utara bagian tengah semenanjung Korea, sedang mekar penuh. Untuk memberi kesan lukisan pemandangan dengan tinta dan kuas, windflower dan tanaman liar lainnya dengan bunga putih, bunga capung terbang (Silene repens Patrin), bunga bintang Eropa (Trientalis europaea L.), bunga padang rumput perak (Thalictrum actaeifolium var brevistylum. Nakai) dan bunga leher angsa (Lysimachia clethroides), ditanam di lapisan tanah di atas batu hitam.

© Proyek Seni Keum

D

i dekat reruntuhan Tembok Berlin terletak sebuah taman seni yang mempromosikan tema unik: ‘Tidak Ada Batas Pada Alam’. Para pengunjung menikmati lanskap dan tumbuh-tumbuhan semenanjung Korea tanpa pembedaan Korea Selatan dan Korea Utara. Suasana memancarkan permohonan doa yang tenang untuk perdamaian dan rekonsiliasi. Kurator Kim Keum-hwa memberi nama “Alam Ketiga” bagi taman seni itu karena terinspirasi dari istilah Alam Ketiga alias Terza Natura. Jacopo Bonfadio, seorang ahli filsafat zaman Renaisans mendefinisikan taman sebagai Alam Ketiga kemudian mengembangkannya sebagai bidang seni. “Manusia menciptakan taman karena kerinduan atas alam dan keinginan untuk memberikan aturan bagi alam. Nama Alam Ketiga tersebut mencerminkan ide itu. Memicu imajinasi utopis terhadap semenanjung Korea sehingga para pengunjung bisa

melihat melampaui keadaan sekarang yaitu tanah air kami yang terpecah.” Terinspirasi oleh ‘Inwangjesekdo’ (Bersih-bersih Sehabis Hujan di Gunung Inwang), sebuah lukisan Jung Seon (1676-1759), seorang pelukis pada zaman dinasti Josun, taman seni yang dibuat di dekat reruntuhan Tembok Berlin ini berbentuk Baekdudaegan, pegunungan dari gunung Baekdu sampai gunung Halla. Kabut suram membubung dari Baekdudaegan yang terbuat dari basal dan tanah menciptakan suasana fantastis. Baekdudaegan merupakan tulang punggung semenanjung Korea yang menghubungkan kedua Korea dan merupakan pula gudang harta karun keanekaragaman hayati yang menjadi pilar utama ekosistem alami. Baekdudaegan yang terbentang dari perbatasan semenanjung Korea yaitu gunung Baekdu kemudian melewati gunung Geumgang, gunung Sorak, gunung Jiri hingga pantai Selatan memiliki nilai tinggi baik di bidang ekologis maupun di bidang sosiologi humaniora.

Kolaborasi

Taman seni yang dibangun di Kulturforum di Potsdamer Platz ini adalah sebuah hasil kolaborasi bersama tiga seniman yang berusia 40-an. Kim Keum-hwa, kurator dari Proyek Seni Keum, Han Seok-hyun dan Kim Seung-hwoe, seniman instalasi yang bekerja selama 3 tahun. Pembukaan taman seni pada 23 Mei 2019 merupakan salah satu acara untuk memperingati 30 taun runtuhnya Tembok Berlin. Kurator Kim Keum-hwa mengerjakan perencanaan dan organisasi, Han Seok-hyun mengerjakan visual keseluruhan, dan Kim Seung-hwoe mengerjakan kategori tanaman. Kurator Kim Keum-hwa mengelola sebuah agen seni modern di Berlin dan membantu proyek-proyek pameran seni untuk perusahaan, galeri, dan seniman Korea Selatan maupun Jerman. Han Seok-hyun berusaha menghubungkan seni modern dan praktik ekologi. Dia bekerja di Seoul dan Berlin. Kim Seung-hoe memperhatikan perubahan ekologis, konstruksi, dan

SENI & BUDAYA KOREA 45


1. Kedua seniman membangun replika Baekdudaegan (Great White Head Ridge) dengan basal dan tanah dan memasang sistem penghasil kabut untuk menciptakan citra rantai pegunungan, yang oleh orang Korea dianggap sebagai tulang punggung wilayah mereka. 2. “Das dritte Land” (Negara Ketiga), seluas 1.250 meter persegi (25 × 50 m), terletak di depan Gereja St. Matthew. Para seniman awalnya berencana untuk menanam 3.000 tanaman yang mewakili 60 varietas (37 dari Korea Selatan dan 23 dari Korea Utara). Namun, tanggapan rendah Korea Utara membatasi taman hanya 1.500 tanaman dari 45 varietas (31 Korea Selatan dan 14 Korea Utara).

1 © Proyek Seni Keum

sosial yang terjadi di tembok Berlin sebelum dan setelah penyatuan kembali. Dunia karyanya berdasarkan seni publik yang bisa mengharmonisasikan ilmu seni dan seni taman. Han pertama kali merancang taman seni ketika dia tinggal di rumah seniman Bethanien Berlin (Kunstlerhaus Bethanien) pada tahun 2016. “Ketika saya tiba di Berlin pada musim semi tahun 2016, masyarakat kelihatan sangat nyaman dan bahagia. Saya kira penyatuan Jerman membawa kedamaian dan kestabilan ini. Saya tersentuh dan menangis menonton film dokumenteri tentang keruntuhan tembok Berlin. Saya kira warga Korea Selatan semestinya lebih sering bertemu dan berkomunikasi dengan warga Korea Utara daripada menung-

46 KOREANA Musim Semi 2020

gu keputusan politik seperti penyatuan kembali Jerman disebabkan keinginan dan komunikasi bebas pihak Timur dan Barat. Pada saat itu, saya menyadari saya sendiri tidak pernah berbicara dengan siapa pun tentang penyatuan kembali semenanjung Korea selama 10 tahun terakhir. Oleh sebab itu, saya berhasrat melakukan proyek terkait dengan Korea Selatan dan Utara.”

Visi

Han Seok-hyun berpendapat bahwa ciri khas geografi Baekdudaegan mempengaruhi persamaan emosi dan budaya bangsa Korea. Dia mengatakan bahwa dia memikirkan ekpresi visual secara mendalam ketika mendesain taman ini.

<Inwangjesekdo> (“Bersih-Bersih Sehabis Hujan di Gunung Inwang”) dilukis oleh Jeong Seon (nama pena Gyeomjae; 1676-1759), pelopor seni lanskap kehidupan nyata dengan lukisan-lukisan yang menggambarkan pemandangan Korea aktual, sebuah keberangkatan dari lanskap konseptual konvensional di era sebelumnya. Han menganggap karya itu sebagai karya agung yang mencerminkan kepekaan budaya yang diwariskan di kedua sisi semenanjung yang terpecah. Dia berpikir berulang kali tentang bagaimana mewujudkan lanskap pegunungan Korea dalam seni taman. Akhirnya, ia mampu menciptakan efek dari lukisan tinta dan kuas dengan bunga-bunga liar putih bermekaran di bawah batu hitam dan cara kabut


air menghasilkan kabut. Dia menggunakan basal dan tanah untuk membuat model miniatur Baekdudaegan, menyulap suasana mimpi seolah-olah diselimuti oleh kabut tebal.

Pembukaan

Tidak mudah untuk membangun taman seni di kota besar Berlin. Kurator Kim Keum-hwa berjuang untuk memperoleh persetujuan administratif untuk membangun taman dari Otoritas Taman dan Pengembangan Industri Berlin merupakan rintangan tertinggi. Mereka harus mengikuti prosedur yang benar dan standar di Jerman untuk ukuran dan metode konstruksi. Selanjutnya, masalah keuangan muncul. Untungnya, dana dari masyarakat berhasil terkumpul € 32.500 hanya dua bulan sebelum pembukaan taman. Dalam proses ini, para aktor dan musisi terkenal di Korea Selatan

mengirim pesan-pesan penghiburan, dengan sumbangan datang dari Pusat Seni Korea dan Pusat Kebudayaan Korea di Jerman serta Yayasan Hans dan Charlotte Krull, serta dari donor perorangan. Sejak 23 Mei – 15 November 2019 berbagai acara menghangatkan suasana. Jo Sumi, seorang penyanyi sopran terkenal di dunia, tampil pada hari pembukaan. Dia berkata, “Saya ingin memberikan harapan terbaik kepada penyelenggara taman seni yang dibangun untuk perdamaian dan pertukaran antar-Korea di Berlin ini, simbol pembagian Jerman dan penyatuan kembali.” Selain itu, Ju Bo-ra, pemain gayageum, melakukan duet dengan Jin Sung-eun, pemain instrumen perkusi fusi yang disebut handpan (musik panci). Pada 7 Juni, Lee Lang, seorang penyanyi-penulis lagu yang menjadi terkenal setelah menyanyi lagu Korea Utara <Sungai Imjing> mengadakan konser di gereja St. Matthew. Pada 8 November di gereja itu, Jeong Kwan, seorang rahib perempuan juru masak Buddis mempersembahkan bermacam-macam hidangan kuil vegetarian di gereja, berharap untuk penyatuan Korea. Selanjutnya seniman-seniman dari berbagai negara yang berbasis di Berlin menampilkan karya pertunjukan dengan tema ‘Perbatasan dan Utopia, Politik dan Seni’. Penampilan ini disutradarai oleh Kurator Kim Keumhwa.

Perpanjangan

2

Semula dijadwalkan berlangsung selama enam bulan, namun periode pameran taman seni telah diperpanjang hingga 30 Oktober 2020 mendatang berkat dukungan warga Berlin dan Biro Kebudayaan Distrik Mitte, Berlin. Namun taman itu masih jauh dari apa yang dibayangkan oleh para seniman.

Sikap pihak Korea Utara yang ramah pada tahap awal berubah menjadi negatif setelah gagal pertemuan mata empat Amerika Serikat dan Korea Utara di Hanoi pada Februari 2019. Akibatnya, hanya 1.500 tumbuhan dan bunga dari 45 spesies ditanam di taman seni. Seharusnya ditanam 3.000 tumbuhan dan bunga dari 60 spesies dari Korea Selatan dan Korea Utara. Tumbuh-tumbuhan dari Korea Utara tidak dikirim karena hubungan antar Korea memburuk. Oleh sebab itu bunga-bunga liar yang bertumbuh di Korea Utara dibawa dari Kebun Raya Baekdudaegan Nasional di Bongwha-gun, Provinsi Gyongsang utara sebagai pengganti tanaman asli Korea Utara. Ketiga seniman itu masih berusaha keras untuk memperoleh tanaman dan bunga Korea Utara agar pameran tersebut utuh dan sempurna. Mereka menghubungi Kebun Botani dan Museum Botani di Universitas Bebas Berlin; Arboretum Nasional Korea di Gwangneung, di Provinsi Gyeonggi Korea Selatan; dan Kebun Raya Pusat di ibukota Korea Utara Pyongyang. Dengan teguh dan kesungguhan hati, dia melanjutkan “Kami akan terus berusaha mengubah imajinasi menjadi kenyataan. Kami akan senang jika orang-orang dari kedua Korea mengobrol tentang apa saja dengan minum secangkir anggur beras Korea, Makgulli, di taman seni ini.” Sementara itu, Kim Keum-hwa berkata dengan penuh sesal, “Saya berharap dialog antar Korea akan berjalan dengan lancar dan para ahli ekologi dari kedua belah pihak dapat berkumpul di taman ini untuk mengadakan simposium tentang tanaman di Baekdudaegan.”

SENI & BUDAYA KOREA 47


JATUH CINTA PADA KOREA

Berkat Karma Anton Scholz

Anton Scholz berdiri di depan rumahnya, yang dibangun tiga tahun lalu di Jangdeok-dong, Gwangju. Dia menetap dengan keluarganya di Gwangju sambil memegang jabatan profesor di Universitas Chosun sejak 2003 hingga 2011.

48 KOREANA Musim Semi 2020


Tiga dekade setelah ia mulai belajar taekwondo, Anton Scholz kini dikenal sebagai ahli Korea yang paling dicari dan menikmati pekerjaannya sebagai jurnalis, pengusaha, dan selebriti televisi dari Gwangju. Choi Sung-jin Editor Eksekutif, Korea Biomedical Review Ha Ji-kwon Fotografer

P

ada usia 16 tahun, Anton Scholz mengetuk pintu sebuah studio taekwondo. Barangkali itu yang dinamakan takdir atau hanya perbuatan yang dilakukan karena ketertarikannya pada Asia. Tapi ia menganggapnya karma. Sekarang, 32 tahun kemudian, Scholz adalah satu dari ahli Korea berkebangsaan Jerman. “Sebagai siswa sekolah mengenah, saya sangat tertarik pada dunia Timur – filsafat, agama dan budaya,” kata Scholz, seraya mengenang tahun-tahun remajanya di Hamburg, Jerman. “Guru taekwondo saya, Shin Booyoung, tidak hanya mengajar ketrampilan bela diri tapi juga bagaimana mencari do, atau pengembangan spiritual.” Ketika berlatih taekwondo, Scholz juga tertarik dengan ajaran Buddha. Pada tahun 1994, enam tahun setelah momentum ketuk pintu itu, ia mendapat nasihat dari seorang biksu Buddha Korea yang mengunjungi Jerman. Scholz mengikuti nasihat itu dan datang ke Korea. “Saya ingin sekali kembali ke Jerman setelah sekitar satu tahun. Tapi, seperti yang Anda lihat, saya sudah tinggal di sini selama hampir separuh hidup saya,” katanya. Selama tahun-tahun pertamanya di Korea, Scholz belajar bahasa Korea di Universitas Nasional Seoul sambil mendalami kajian Asia Timur, mendalami topik seperti meditasi, Delapan Trigram (bagua, atau palgwae dalam bahasa Korea) dan pemikiran Lao Tzu. Ia kemudian kembali ke Jerman untuk kuliah di Universitas Hamburg. Universitas ini merupakan satu dari sedikit universitas di Jerman yang memiliki konsentrasi kajian Korea pada saat itu, dan di tahun pertamanya, ia satu-satunya mahasiswa yang mengambil jurusan Korea. Di kajian Asia, jurusan Jepang dan Cina lebih populer. Sejak kembali ke Korea, Scholz menjadi konsultan, jurnalis, dan guru – yang dijalaninya secara bergantian atau bersamaan. Sebagian besar pekerjaannya adalah membantu orang asing yang menjalankan bisnis di Korea dan memberikan informasi kepada orang Korea mengenai Jerman.

SENI & BUDAYA KOREA 49


Jembatan Budaya

Scholz mendirikan perusahaan jasa untuk membantu pengusaha asing mapan dan menjalankan bisnisnya di Korea. Perusahaannya juga membantu peserta internasional dalam Yeosu Expo 2012, Kejuaraan Dunia Atletik IAAF 2011 di Daegu, dan pertandingan final Piala Dunia FIFA Korea-Jepang pada tahun 2002. Scholz juga mendirikan perusahaan media untuk melayani jasa terjemahan, akomodasi, dan transportasi bagi jurnalis asing. Dari tahun 2003-2011, Scholz mengajar bahasa Jerman dan komunikasi internasional di Chosun University. Selama tahun-tahun itu, keluarganya tinggal di bagian barat daya Gwangju, tempat universitas itu berada. Kalau sebelumnya pernah bekerja sebagai produser di ARD, sebuah media penyiaran di Jerman, sekarang Scholz menjadi jurnalis paruh waktu. Ia tampil sebagai panelis secara rutin dalam acara debat dan bincang-bincang di televisi, dan menulis opini di surat kabar. Di kartu namanya tertulis “Perwakilan Terhormat dari Kota Bebas Hamburg.” “Kebahagiaan saya berasal dari pekerjaan. Saya sering menyesalkan mengapa satu hari hanya punya 24 jam,” kata Scholz. Hubungan laki-laki yang gila kerja ini dengan Korea, negara yang dikenal dengan jam kerja panjang, tidak terelakkan. Ia sangat sibuk ketika hubungan antarKorea menarik perhatian dunia dan kru berita televisi internasional meminta bantuannya. Berkolaborasi dengan kru televisi asing ini memberi-

nya kesempatan berperan sebagai duta budaya tidak resmi, seperti yang dilakukannya pada tahun 2002 ketika Korea dan Jepang menjadi tuan rumah turnamen sepak bola Piala Dunia. Pada saat itu, staf dari beberapa perusahaan penyiaran Jerman mengatakan mereka lebih suka bekerja dengan orang-orang Jepang, dan mengeluh karena orangorang Korea tidak memberi kesan baik. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa kesan kurang bagus itu terjadi karena salah paham,” kata Scholz. “Saya membawa mereka ke situs sejarah Korea di akhir pekan dan menjelaskan mengenai budaya Korea. Menjelang pertandingan Piala Dunia berakhir, teman-teman Jerman saya mengatakan bahwa mereka lebih menyukai orang-orang Korea.”

Kritik dari Orang Awam

Scholz tidak segan-segan mengkritik negara tempatnya tinggal ini, khususnya media dan sistem pendidikannya. Ia meragukan bagaimana berita-berita itu didapatkan, dengan reporter yang ditugaskan untuk meliput agen pemerintah atau chaebol (perusahaan konglomerat yang dijalankan oleh keluarga). Kritiknya menjadi lebih tajam karena media menjadi “terlalu dekat dengan sumber dan terlalu dekat dengan orang-orang luar.” Selain itu, tentang validitas isi berita. Scholz mengambil contoh berita mengenai sekitar 550 pengungsi Yaman yang datang ke Pulau Jeju pada tahun 2018. Permohonan pengungsi untuk mendapatkan suaka menyebabkan kontro-

1

1. Sebagai jurnalis dan konsultan paruh waktu, Anton Scholz tetap sibuk dalam studinya. Seorang ahli Korea yang terkenal, ia juga bertindak sebagai duta budaya untuk mempromosikan Korea di luar negeri. 2. Anton Scholz (kedua dari kiri) berpartisipasi dalam “Perang Ekonomi: Apa yang Diperoleh?” bagian dari Forum Strategi EDAILY ke-10, yang diadakan di Shilla Seoul pada Juni 2019. 3. Scholz muncul di “Journalism Talk Show J” di jaringan KBS, dalam segmen “Mantan Presiden Roh Moo-hyun dan Reformasi Media.” Diakui karena analisisnya akurat dan komentarnya yang jujur, Scholz sering menjadi tamu di program TV terkini.

50 KOREANA Musim Semi 2020


“ Kebahagiaan saya datang dari pekerjaan. Saya sering menyesalkan mengapa satu hari hanya punya 24 jam.”

versi di Korea, apakah sebaiknya pemerintah memberi status pengungsi resmi atau tidak. “Pihak yang berseberangan menyebarkan berita palsu untuk memantik sentimen kebencian terhadap pengungsi ini,” kata Scholz. “Bahkan beberapa media besar menyampaikan berita melalui situs media sosialnya tanpa mengecek fakta. Ternyata banyak berita yang tidak benar.” Bicara mengenai integritas media berita pasti akan sampai pada pembicaraan mengenai Jürgen Hinzpeter (19372016). Jurnalis televisi Jerman ini meliput pembantaian penduduk Gwangju secara brutal yang dilakukan oleh pasukan bersenjata pemerintah selama aksi perjuangan demokratisasi pada bulan Mei 1980. Berkat keberaniannya, dunia mengetahui situasi di salah satu kota di Korea yang tersisolasi dari wilayah-wilayah lain karena alasan darurat militer ini. “Saya menghargai Hinzpeter. Ia jurnalis hebat,” kata Scholz. “Namun saya juga percaya ada banyak jurnalis saat ini yang mau mengambil risiko hidupnya demi mendapatkan berita yang bagus.” Scholz turut ambil bagian dalam pembuatan film dokumenter mengenai Hinzpeter. Ia juga memainkan peran kecil dalam film “Sopir Taksi” yang dibuat pada tahun 2017, yang mengisahkan tentang Kim Man-seop. Tokoh ini diangkat dari sopir taksi bernama Kim Sa-bok, yang membantu Hinzpeter dalam liputannya di Gwangju.

Tentang Unifikasi

Beralih ke topik unifikasi Jerman, Scholz menekankan bahwa Jerman Barat dan Jerman Timur beru s a h a ke r a s u n t u k t u j u a n i t u d i t a m b a h n a s i b b a i k dan waktu yang tepat. “Menurut saya, Korea Selat a n d a n Ko r e a U t a r a b i s a m e l a k u k a n h a l s e r u p a , meskipun situasi lebih rumit di semenanjung Korea, yang dikelilingi oleh kekuatan besar dengan kepentingan yang berbeda.” Unifikasi Korea mungkin sulit dicapai dalam waktu dekat. Namun, Scholz mencatat bahwa kedua negara ini dapat mengadopsi prinsip “satu negara, dua sistem” seper-

2

© EDAILY

3 Gambar yang diambil dari “Journalism Talk Show J”

ti Cina dan Hong Kong atau cara unifikasi lain. “Cara yang dilakukan Jerman bukan pilihan satu-satunya,” tambahnya. Ia menyampaikan penyesalannya mengenai kecenderungan orang-orang Korea untuk menghindari kritik. “Banyak orang Korea mengatakan, ‘Anda tidak mengerti situasi kami.’ Sebenarnya, banyak orang asing memahami situasi Korea, namun orang-orang Korea sering kali tidak siap menerima pandangan dan solusi yang berbeda,” kata Scholz. Mengenai sistem pendidikan Korea, ia mengatakan bahwa fokusnya kurang tepat. “Tampaknya kurang ditekankan pada kualitas tapi pada kuantitas pendidikan, jadi justru merusak kreativitas siswa.” “Tidak ada satu pun hadiah Nobel (non-politik) yang diterima oleh orang Korea. Tentu ada alasannya,” katanya. “Anak-anak perlu banyak bermain dan sedikit belajar. Dan belajar sebaiknya fokus pada belajar mengenai sesuatu, tidak hanya mempersiapkan diri untuk tes.” Setelah lebih dari tiga dekade tinggal di Korea, Scholz menikmati rumah keduanya tapi tidak menutup kemungkinan mencoba tantangan baru, pintu lain yang mungkin akan diketuknya. “Waktulah yang akan menjawabnya,” katanya.

SENI & BUDAYA KOREA 51


DI ATAS JALAN

52 KOREANA Musim Semi 2020


Yeoju

Tanah yang Tak Kasatmata Yeoju terletak di pusat semenanjung Korea dan merupakan sebuah kota sungai yang sejak lama berfungsi sebagai pusat pengapalan barang dan pusat industri keramik. Beras dari wilayah ini juga dikenal berkualitas tinggi. Selain itu, kota ini dikenal dengan viharavihara kuno dan lingkungan sekitarnya sebagai destinasi wisata yang sangat layak dikunjungi. Lee Chang-guy Penyair dan Kritikus Sastra Ahn Hong-beom Fotografer

Benteng Pasa di Yeoju, Provinsi Gyeonggi, memberikan pemandangan yang terlihat jelas ke Sungai Han Selatan dan pegunungan di sekitarnya. Dibangun oleh Silla pada pertengahan abad keenam selama periode Tiga Kerajaan, dinding benteng melingkar sekitar 950 meter dan setinggi 6,5 meter. Setiap pasukan musuh yang mendekat di sungai dengan mudah dideteksi.

SENI & BUDAYA KOREA 53


“T

ravelog Menelusuri Warisan Budaya Korea� menjadi sensasi ketika buku pertama seri ini terbit di awal tahun 1990-an. Buku ini merupakan buku perjalanan di Korea pertama yang terjual jutaan eksemplar dan menarik perhatian semua orang di negara ini. Dengan gaya penulisan yang gamblang dan mudah dimengerti, sejarawan seni Yu Hong-june memperkenalkan sebuah cara baru bagi orang Korea untuk menghargai warisan budaya mereka dan secara bersamaan memberikan pencerahan kepada wisatawan mancanegara. Dalam volume kedelapan seri ini, Yu menyarankan dua perjalanan wisata bagi pengunjung yang hanya memiliki satu hari menjelajahi budaya dan lingkungan alam negara ini. Satu di antaranya adalah wisata ke Yeoju, yang bisa ditempuh dalam satu jam dengan mobil dari Seoul. Meski dianggap sebagai destinasi menarik bagi wisatawan internasional, tempat-tempat ini sebenarnya sangat biasa dan sudah dikenal oleh orang Korea. Pembaca di dalam negeri tidak terlalu terpengaruh oleh penjelasan Yu mengenai nilai estetik vihara-vihara itu. Mengapa ia tidak mengangkat situs sejarah lain yang lebih bergengsi dan keindahannya sudah sangat diakui? Mengapa ia merekomendasikan Yeoju yang kuno dan tenang?

Tanah yang Tak Kasatmata

Ketika dokter-dokter Barat pertama kali melihat pengobatan Asia, mereka sering kali terkejut melihat diagram anatomi tubuh manusia yang jarang memperlihatkan otot. Diagram itu fokus pada titik-titik akupunktur dan aliran gi (qi dalam bahasa Cina), atau energi vital, dalam tubuh manusia. Francisco Gonzalez-Crussi, seorang dokter dan penulis berkebangsaan Meksiko, mencoba menjalaskan dua pandangan mengenai dunia dan tubuh manusia. Menurutnya, kalau bangsa Barat mencoba membuka sistem kompleks tubuh manusia melalui otototot sebagai cara manusia mengekspresikan keinginan, bangsa Asia berusaha melihat denyut nadi dan jantung sebagai pusat kontrol

1

Tidak seperti vihara-vihara Buddha Korea lain, yang terletak di pegunungan, Vihara Silleuk di Yeoju dibangun di dekat sungai. Struktur arsitektur reruntuhan vihara yang paling tua berupa sebuah pagoda yang terbuat dari batu bata di atas batu yang menghadap ke sungai Han. 1. Gambar Buddha berdiri, tinggi 223cm dan lebar 46cm, diukir di sisi tebing sepanjang Sungai Han Selatan, adalah karya awal Goryeo (935-1392) yang meneruskan gaya Silla Bersatu (676935), sebagaimana dibuktikan oleh detail tirai dan alas teratai halus dan lingkaran cahaya. 2. Pagoda bata di Kuil Silleuk berdiri di sisi berbatu dari halaman kuil, menghadap ke Sungai Han Selatan. Pagoda setinggi 9,4 meter, yang dinamai Harta No. 226, kemungkinan dipengaruhi oleh konstruksi batu bata yang diperkenalkan ke Korea dari Cina sekitar abad ke-10. 3. Diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong (memerintah. 579-632) di Silla, Kuil Silleuk bernilai karena suasananya yang nyaman dan hangat. Ditemukan di dalam lahannya adalah harta karun yang dilindungi oleh negara, termasuk lentera batu, pagoda bata, dan Treasure Hall of Paradise.

2

54 KOREANA Musim Semi 2020


© Kantor Berita Yonhap

3

SENI & BUDAYA KOREA 55


semua pergerakan tubuh. Dengan pengertian seperti ini, barangkali Yu ingin memperlihatkan “energi yang tak kasatmata” dari lingkungan alam dan warisan budaya Korea, bukan “otot-otot” mereka. Bangsa Korea melihat tanah berdasarkan pungsu jiri (cara menafsirkan keadaan tanah, atau istilah dalam bahasa Korea untuk feng shui). Kata-kata ini secara harfiah berarti “angin dan air” dan “memahami tanah.” Untuk memahami pungsu, kita harus mengetahui gi. Pengertian “energi vital” tidak ada padanannya dalam budaya Barat. Gi didefinisikan sebagai sumber atau dasar segala sesuatu yang memiliki bentuk. Pemikiran yang berhubungan dengan waktu dalam filsafat Asia adalah bahwa gi di dalam tanah memberi kehidupan kepada semua benda. Ilmu yang mempelajari energi yang tak kasatmata dari tanah ini disebut pungsu.

Kota Sungai yang Dinamis

Yeoju seperti Seoul dalam banyak hal. Kedua kota ini dikelilingi oleh pegunungan yang indah dan dilalui Sungai Han, yang membagi bagian tengah semenanjung Korea dengan alirannya dari timur ke barat. Perjalanan dengan kapal dari Yeoju ke Seoul bisa ditempuh dalam waktu satu hari. Jadi, dulu, pengiriman beras Yeoju yang sangat terkenal, garam, ikan asin (jeotgal) dan hasil laut yang

segar dari pantai barat bisa sampai di ibu kota hari itu juga. Selama Dinasti Goryeo (918-1392), hasil panen itu dipakai untuk membayar pajak dan dikirim melalui Sungai Han. Yeoju berfungsi sebagai persinggahan bagi kapal-kapal yang membawa upeti dan kapal-kapal dagang, dan kaum terpelajar dan pejabat pemerintah dengan matanya yang jeli dalam mencari tempat tinggal mulai mengarah ke sini. Ketika ibu kota dipindahkan ke Hanyang (sekarang Seoul) di awal Dinasti Joseon (1392-1910), Yeoju menjadi rumah bagi mereka yang memiliki jabatan dan pengaruh besar. Hal ini secara signifikan meningkatkan reputasi politik dan budaya kota ini. Akibatnya, lebih dari seperlima dari semua ratu Dinasti Joseon berasal dari Yeoju dan wilayah ini juga menjadi rumah bagi banyak pagoda dan bangunan bersejarah lain yang termasuk dalam “Kekayaan Nasional” atau “Bernilai Tinggi” dibanding daerah-daerah lain di negara ini. Walaupun cepat dan nyaman, pengiriman kargo melalui air sangat berisiko. Sering terjadi kecelakaan

1

56 KOREANA Musim Semi 2020


yang memakan korban barang dan nyawa, sehingga sudah menjadi kebiasaan yang sangat umum bagi pelaut untuk berdoa kepada Buddha memohon keselamatan. Di antara patung batu Buddha di Korea, hanya dua yang terletak di sisi sungai. Keduanya menghadap Sungai Han. Satu terletak di samping pelabuhan sungai Geumcheon lama di Changdong-ri, Chungju, di bagian tengah negara ini. Lainnya terletak di Bucheoul (yang secara harfiah berarti “Buddha di bagian sungai yang airnya deras”) di Gyesin-ri, tepat di atas pelabuhan sungai Ipo lama di Yeoju. Batu yang dipahat menjadi patung-patung Buddha itu berbeda ukuran, bentuk dan komposisinya. Namun, keduanya dibuat pada masa Dinasti Goryeo, dengan ciri gaya dari Tiga Kerajaan (676935). Para penumpang dan kru akan mendongak ke arah patung Buddha dan berdoa untuk keselamatan perjalanan mereka.

Pagoda Batu Bata dan Keramik Cina Berglasir Hijau

Berbeda dari kebanyakan vihara Buddha Korea, yang terletak di pegunungan, Vihara Silleuk Yeoju menghadap ke sungai yang mengalir di bawahnya. Struktur arsitektur reruntuhan vihara yang paling tua berupa sebuah pagoda yang terbuat dari batu bata di atas batu yang menghadap ke sungai Han. Tata letak vihara-vihara Buddha sekarang dirancang dengan menjadikan aula sebagai pusatnya, sedangkan pada masa itu pagodalah yang menjadi pusat dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan lain. Sungai Han merupakan sungai terbesar di antara semua sungai di bagian selatan semenanjung Korea. Di masa lalu, lebar sungai ini ditambah hujan deras sering mengakibatkan banjir musim panas. Pagoda batu bata Vihara Silleuk berdiri di tebing tinggi di bagian yang sangat terjal dari sungai ini dan sudah memakan banyak kapal. Penempatan pagoda di tempat ini dilakukan untuk mengingatkan kapal-kapal yang melintas akan bahaya yang mengintai. Ini adalah contoh bibo, prinsip menyiasati kekurangan suatu lokasi. Jika batuan dan pegunungan adalah otot daratan, sungai adalah nadinya. Pembangunan pagoda di tebing ditujukan untuk menekan energi negatif tanah dan memurnikan “darah” dengan membuatya bersih dan lembut. Sekarang, pagoda ini tidak

terlihat. Pagoda ini bahkan tersembunyi karena adanya Gangwolheon, atau Paviliun Sungai dan Bulan. Pagoda batu bata jarang ada di Korea, yang tidak punya tradisi batu bata. Tradisi ini berubah ketika Kerajaan Silla mengirim biksu Buddha ke Cina untuk belajar tren ajaran Buddha terbaru. Berkat perjalanan mereka, Korea mengadopsi banyak sistem dan aspek budaya Dinasti Tang di Cina, termasuk pagoda batu bata. Tidak jauh dari Vihara Silleuk terdapat situs tungku batu bata bergaya Cina. Bangunan ini berasal dari paruh terakhir abad ke-10, yaitu masa Dinasti Goryeo, sekitar waktu yang sama dengan dibangunnya pagoda batu bata di Vihara Silleuk. Bisa dibayangkan tukang bangunan yang didatangkan dari Cina ke Korea, menyeberangi Laut Barat dan mengawasi pembangunan pagoda itu, yang merupakan proyek bersama dengan tukang bangunan Goryeo. Bukti kegiatan ini ditemukan dalam desain kertas bunga yang disebut dangcho – secara harfiah berarti “rumput Tang” – yang mempercantik batu bata itu. Perkenalan tungku batu bata juga menye-

2

1. Situs Kuil Godal, sekitar 60.000 meter persegi luas total, menunjukkan ukuran dan ruang lingkup candi yang hilang. Dibangun pada paruh kedua abad ke delapan, kuil ini berkembang selama beberapa ratus tahun. Dua stupa yang sangat indah dan kekayaan budaya lainnya yang terbuat dari batu tetap ada. 2. Stupa batu yang disebut Harta Nasional No. 4, berdiri setinggi 4,3 meter di atas bukit di belakang situs Kuil Dewa. Berasal dari periode Goryeo, stupa diakui karena bentuknya yang halus dan teknik pahatan yang ditampilkan dalam ukiran naga dan kura-kura di tugunya.

SENI & BUDAYA KOREA 57


Makam Ratu Inseon, yang terletak tepat di bawah makam Raja Hyojong (memerintah 1649-1659) dari Joseon, dikelilingi oleh patung-patung batu. Makam Kerajaan Yeongnyeong termasuk makam bersama Raja Sejong (memerintah 1418-1450) dan Ratu Sohyeon di kompleks barat, dan makam pasangan Raja Hyojong dan Ratu Inseon di komplek timur. Makam-makam ini memancarkan martabat dan kesungguhan yang menandai makam kerajaan dari Dinasti Joseon.

babkan lahirnya seladon Goryeo berwarna hijau yang sangat disukai oleh Xu Jing, utusan Dinasti Song, dalam bukunya tahun 1123 “Goryeo dalam Ilustrasi” (dalam bahasa Korea Goryeo dogyeong, dalam bahasa Cina Gaoli tujing). Tungku batu bata bergaya Cina awalnya ada di Provinsi Gyeonggi, yang berbatasan dengan ibu kota. Secara bertahap, tukang bangunan Goryeo mengganti tungku batu bata ini dengan tungku tanah bergaya Korea dan beralih dari metode pemanasan Cina dengan menggunakan temperatur sangat tinggi. Teknik pemanasan dua tahap – pemanasan biskuit diikuti dengan pelapisan glasir – menyebar ke seluruh wilayah Korea. Proses ini memungkinkan produksi keramik di mana saja selama di tempat itu lempung bisa ditemukan dengan mudah dan mendorong perkembangan keramik seladon Goryeo berkualitas tinggi. Tradisi pembuatan keramik ini berlangsung selama berabad-abad. Saat ini, sekitar 400 tempat pembuatan keramik beroperasi di Yeoju.

Tanah yang Hidup dan Bernafas

Ada dua jalur darat dari Seoul ke Yeoju: jalur pertama lewat sebelah utara Sungai Han dan jalur kedua lewat sebelah selatannya. Dengan berjalan kaki, kedua jalur ini memakan waktu dua hari.

58 KOREANA Musim Semi 2020

Jalur utara dipakai pada periode Tiga Kerajaan (tahun 57 sebelum Masehi – 668 Masehi). Jalur ini menghubungkan Sungai Namhan dengan desa-desa dan vihara-vihara melalui transportasi air. Dari Pasaseong, benteng pegunungan di Yeoju, pemandangan sungai sangat spektakuler. Pemandangan terbuka menghadap ke selatan memperlihatkan Jembatan Ipo melintasi aliran air ke barat. Ke arah utara, puncak Gunung Taebaek terlihat di kejauhan. Jika Anda berdiri di sana, pertanyaan mengapa benteng itu dibangun di lokasi ini dan mengapa Tiga Kerajaan – Goguryeo, Baekje and Silla – bertikai dalam waktu yang panjang memperebutkan daratan ini akan terjawab. Ini juga jalur sulit yang dilalui oleh dua raja Goryeo: Raja Mokjong (bertahta tahun 997-1009) ketika ia turun tahta dan diasingkan ke Chungju, dan Raja Gongmin (bertahta tahun 1351-1374) ketika ia mengungsi ke Andong karena adanya invasi pasukan Serban Merah. Rute ini juga mengarah ke lokasi lapang dan bagus tempat berdirinya Vihara Godal. Di vihara yang


membelakangi Gunung Hyemok ini, aura sejarah masih menyelimuti tanah lapang ini. Selama periode Goryeo, wilayah vihara mencapai lebih dari 12 km dalam empat penjuru dan menampung ratusan biksu. Ini menunjukkan bagaimana bangsawan Goryeo membanjiri dengan hak-hak istimewa dan dukungan keuangan untuk mereka. Namun, menurut para cendekiawan, kebesaran vihara ini hilang ketika Goryeo mulai menerima ajaran Konfusius di Joseon pada abad ke-14, yang menyebabkan bantuan dan dukungan negara berhenti dan ajaran Buddha tidak bertahan. Reruntuhan situs ini merupakan karya seni Buddha, termasuk stupa dan pagoda batu seperti Stupa Vihara Godal (Kekayaan Nasional No. 4), dengan pahatannya yang sangat indah. Selain sangat indah dilihat, pagoda-pagoda itu juga merupakan contoh simbolik struktur vihara yang didirikan untuk menunjukkan kekuatan penguasa dengan memimjam energi tanah. Pagoda-pagoda itu merupakan objek yang menarik bagi orang kebanyakan untuk waktu yang lama. Saat ini, di mana pun Anda berdiri di situs vihara itu, ke mana pun Anda memandang, Anda akan melihat gunung di kanan dan kiri Anda, dan sangat sulit menemukan jejak vihara besar itu pernah berdiri di sana. Namun, ketika menuruni bukit-bukit di belakang reruntuhan itu dan mendengarkan suara angin yang bertiup, Anda akan merasakan kehangatan dan kenyamanan, pikiran Anda tidak akan kosong atau tercerai-berai. Barangkali perasan ini

Situs Kunjungan di Yeoju

Benteng Pasa 1 Jembatan Ipo

77km

Makam Kerajaan Yeongnyeong Yeoju

Mata Ketiga

Rute selatan ke Yeoju dari Seoul melahirkan jaringan jalan dari ibukota ke Dongnae di Busan selama periode Joseon. Jalan ini dilalui oleh Raja Sejong (bertahta tahun 1418-1450) ketika mengunjungi Yeoju, tempat keluarga dari garis ibunya berasal, dan dalam perjalanan berburunya. Jalan ini juga dilalui oleh raja-raja setelahnya ketika mereka mengunjungi Yeoju untuk ziarah ke makamnya atau, di tahun-tahun setelah itu ke makam Raja Hyojong (bertakhta tahun 1649-1659). Makam Raja Sejong, yang semula terletak di Gwangju, Provinsi Gyeonggi, dipindahkan ke Yeoju karena dipercaya sebagai tanah yang paling bagus di negara ini. Sedikit ke arah tenggara dari makan Raja Sejong, di Yeongneung, terdapat Yeongwollu, atau Paviliun Selamat Datang Bulan, yang dikenal dengan pemandangannya ke Sungai Han. Dari sini Anda bisa melihat kota Yeoju di sebelah barat. Jika Anda melihat ke arah utara ke seberang sungai Anda akan melihat jajaran pegunungan seperti lukisan. Beberapa gunung itu sangat dekat dan beberapa lagi jauh. Di antara pegunungan itu terdapat Gunung Hyemok, yang menjulang melampaui Vihara Godal. Hyemok merupakan istilah dalam ajaran Buddha yang berarti “mata ketiga.” “Kitab Pencerahan Sempurna” berisi manusia-manusia yang bisa merasakan dan sudah menguasai ilusi optik dan memurnikan mata ketiga mereka.” Tidak peduli setinggi apa saya naik, pikiran dan tubuh saya tidak merasakannya. Apakah ini artinya bagi saya, mata ketiga masih sangat jauh?

Situs Kuil Godal Kuil Godal Baru

Sungai Namhan

Seoul

datang dari tanah yang hidup dan bernafas.

Penyeberangan 3 Ferry Tua

1

2

3

4

2 Dunia Keramik Yeoju

Kuil Sileuk

Tempat Lahir Permaisuri 4 Myeongseong

SENI & BUDAYA KOREA 59


SATU HARI BIASA

Bukan Tukang Jahit Biasa Kim Jong-gu adalah seorang maestro jahit yang sudah berpengalaman selama empat dekade. Ia bekerja tanpa lelah di dekat Kota Busana Dongdaemun, sebuah pusat K-fashion di Seoul, memotong dan menjahit prototipe desain terbaru. Kim Heung-sook Penyair Ha Ji-kwon Fotografer

Penjahit pakaian Kim Jong-gu memotong kain di ruang kerjanya di Sindang-dong, Seoul. Dia mulai belajar menjahit ketika masih remaja lebih dari 40 tahun yang lalu. Pada tahun 2018, pemerintah Korea menamainya “spesialis menjahit kelas satu.�

60 KOREANA Musim Semi 2020


B

anyak orang ingin menjadi perancang busana. Mereka ingin karya mereka dikenal dengan merek ternama. Tapi mengubah desain menjadi sebuah baju perlu elemen ketiga, yaitu menjahitnya. Proses di belakang layar ini, yang seringkali luput dari perhatian, membutuhkan konsentrasi, ketrampilan dan efisiensi yang tinggi. “Membuat baju dengan jahitan yang sempurna sangat sulit; perlu waktu lama untuk belajar,” kata Kim Jong-gu. Ia berkenalan dengan jarum dan gunting ketika remaja dan bekerja tanpa henti selama 40 tahun. Pada tahun 2018, ia dikenal di negara ini sebagai “spesialis jahit kelas satu.” Ketika sebagian besar teman-temannya sudah pensiun, Kim tetap sibuk dengan pekerjaan paruh waktu, mengisi pelatihan, “Perencanaan Inseong,” di Sindang-dong, Seoul. Lokasinya bekerja, yang terletak di dekat Kota Fesyen Dongdaemun, merupakan tempat pakaian bintang-bintang Korea diberi sentuhan terakhir. Hari kerja Kim tidak jauh berbeda dari ketika ia masih bekerja di kantor. Ia bangun pagi dan setelah berolah raga di pusat kebugaran di komplek apartemennya, sarapan dan berangkat pada pukul 8.00. Ia baru akan pulang setelah pukul 20.00 malam. Ada lima orang yang mengisi pelatihan itu, masing-masing memproduksi sampel dan pola dengan peralatan mereka sendiri. Kim membuat sampel baju untuk operator mal internet, pemilik toko di Dongdaemun, pengusaha yang menyasar pembeli asing, dan pemasok untuk saluran televisi khusus belanja. Kadang-kadang, perancang dan penjahit berselisih paham mengenai sebuah rancangan. “Biasanya, mereka yang muda dan kurang berpengalaman membuat permintaan ini dan itu, tapi Anda harus menjelaskannya kepada mereka,” kata Kim. “Ketika mereka benar-benar tidak mengerti, Anda buat baju itu sesuai dengan instruksi mereka dan perlihatkan hasilnya kepada mereka. Baru mereka akan berkata, ‘Ah, saya tahu sekarang,’ dan akhirnya mereka mengerti.

“Untuk membuat kain menjadi sebuah baju, seorang penjahit harus mengerahkan seluruh kemampuannya, sehingga perancang dan konsumen sama-sama puas. Sia-sia saja jika hanya pembuat baju saja yang menyukainya. Tampaknya ini juga berlaku untuk pekerjaan lain. Namun, Anda hanya akan melakukan pekerjaan dengan baik jika sesuai dengan diri Anda. Anda harus jelas dan tidak bertele-tele, berkonsentrasi dengan baik, dan teliti. Tujuan Anda juga harus jelas. Untuk menyempurnakan ketrampilan Anda, Anda harus menjadi seseorang yang berpikir, ‘Inilah pekerjaan saya. Inilah yang ingin saya lakukan.’” Kim menentukan harga dasar tiap sampel karyanya, seperti jaket atau gaun, dan ia menambah ongkos pembuatan tergantung tingkat kesulitan desain baju itu. “Anda harus membuat keputusan yang cepat ketika memotong kain. Keraguan hanya akan buang waktu. Membuat baju ibarat berlomba dengan waktu; Anda harus selesai dalam waktu yang Anda sepakati dengan klien.”

Pekerjaan yang Terpandang

Kim juga membuka kelas-kelas satu kali pertemuan untuk generasi muda yang ingin mendalami ketrampilan menjahit. Ia menikmati berada di antara orang-orang muda – dan ia punya banyak pengalaman dan ilmu untuk itu. Penjahit punya sejarah kelam di Korea. Jeon Tae-il, martir paling terkenal dalam sejarah pemberontakan buruh Korea, adalah penjahit di Pasar Pyeonghwa Dongdaemun. Ia geram melihat para buruh dipaksa bekerja dengan jam kerja panjang di tempat yang tidak aman tanpa libur sama sekali. Pada tanggal 13 November 1970, Jeon, yang saat itu berusia 22 tahun, membakar diri di luar tempat kerjanya, meminta atasannya untuk “mematuhi Peraturan Standar Buruh.” Kematiannya memicu kampanye untuk menuntut hak pekerja dan melahirkan serikat pekerja di Korea. Saat ini, mayoritas penjahit Korea berusia 50 tahunan. Di Seoul, sebagian besar dari mereka menempati toko di Kota Fesyen Dongdaemun. Banyak toko yang dijalankan oleh pasangan suami istri atau dua atau tiga saudara yang menangani pekerjaan subkontrak atau sub-subkontrak. Lingkungan bekerja sudah meningkat sejak masa Jeon Taeil, tapi mereka masih bekerja dengan jam kerja panjang dan upah rendah. “Tidak mengherankan hanya sedikit yang mau menekuni profesi ini. Kalau perancang mendapatkan banyak perhatian, tidak demikian halnya dengan penjahit,” kata Kim. “Ketika masih kecil, saya mendapatkan pukulan setiap kali melakukan kesalahan. Saat itu saya sering kali berpikir untuk berhen-

SENI & BUDAYA KOREA 61


ti dari pekerjaan ini karena upah yang sangat kecil dibandingkan dengan beban pekerjaan yang harus saya lakukan. Sekarang saya disegani.” Alasannya: hallyu (Gelombang Korea). Setelah K-pop dan K-beauty, K-fashion kini sedang digemari. Melihat ekspor budaya terbaru ini, pemerintah membuat kebijakan untuk mendorong para produsen pakaian yang terampil. Banyak orang ingin mengikuti Akademi Menjahit Korea (KASSA), tempat Kim mengisi satu hari khusus di dalamnya, dan pendaftar jauh melebihi kapasitas sebanyak 20 tempat duduk. Karena ia tidak lulus sekolah menengah, Kim merasa malu dan tersanjung dipanggil “guru.” “Ketika anak laki-laki saya masih kecil, ia mengatakan ingin menjadi penjahit, tapi saya tidak setuju. Saat itu, upah masih sangat rendah dan tidak ada pengakuan sosial. Jika kami berbincang mengenai hal yang sama sekarang, saya akan sangat mendukungnya. Dulu, pekerjaan ini seperti tidak punya masa depan. Sekarang anak laki-laki saya bekerja di perusahaan IT dan ia mengeluh mengenai pekerjaannya itu dari waktu ke waktu. Kalau dia mengatakan akan beralih pekerjaan menjadi penjahit, saya akan mengajarinya dengan sepenuh hati.”

Berganti Haluan

Kim lahir pada tahun 1962 di Goheung, Provinsi Jeolla Selatan, sebagai anak keenam dalam keluarga desa dengan empat anak laki-laki dan dua anak perempuan. Keluarga ini pindah ke Seoul dan ketika Kim berusia

sekolah menengah, ayahnya mencarikan pekerjaan magang untuknya di toko jahit. Kim mendapatkan ruangan dan pekerjaan di toko itu tapi tidak mendapatkan upah. Itu adalah masa-masa industrialisasi berkembang sangat pesat, yang sering kali memaksa Kim bekerja sampai tengah malam atau bahkan semalam suntuk dan bergegas ke sekolah di pagi harinya. Mengingat nasihat ayahnya bahwa ketrampilan akan menjadi satu-satunya jalan supaya bisa hidup dengan baik, ia bertahan, melawan keinginan untuk berhenti. Kim tidak belajar di sekolah biasa. Untuk diakui sebagai lulusan sekolah menengah, ia harus lulus ujian nasional, tapi ia gagal dua kali, karena pekerjaan itu menyita banyak waktu belajarnya. Untungnya, mencari pekerjaan jauh lebih mudah. Ia bekerja dari satu toko jahit ke toko lainnya, mengasah ketrampilannya. Namun, tahun 1980-an, industri garmen, yang membantu mendorong pertumbuhan ekonomi Korea berkembang sangat pesat, tentu saja berubah. “Karena baju siap pakai makin banyak dikenal, pakaian yang dijahit berdasarkan pesanan makin kehilangan popularitasnya. Saya bekerja keras mendapatkan ketrampilan menjahit ini, tapi tidak ada pekerjaan untuk saya. Saya tidak punya pilihan selain bekerja di pabrik baju siap pakai untuk perempuan.” Selama lebih dari satu dekade bekerja di perusahaan itu, Kim jatuh cinta dan menikah dengan rekan kerjanya. Istrinya masih bekerja di perusahaan itu tahun-tahun berikutnya. Kim lalu mendirikan pabrik pakaiannya sendiri, bekerja sama dengan mantan atasannya. Namun, mereka bangkrut karena krisis ekonomi pada tahun 1997 dan pabrik itu tutup. Kemudian, mereka meluncurkan merek bersama dan sekarang mereka punya hampir 50 toko yang tersebar di seluruh Korea. Karena meningkatnya upah buruh, mereka memindahkan usahanya ke Cina, dan Kim menjalankan operasional pabriknya itu. Setelah tujuh tahun menjalankan usahanya di Weihai, Provinsi Shandong, upah buruh kembali menjadi masalah. “Kami punya sekitar 180 karyawan dan tentu saja mereka mengharapkan upah mereka naik karena mereka sudah lebih berpengalaman. Mereka mogok, meminta keenaikan upah, tapi atasan kami di Korea tidak mau tahu dan saya tidak bisa menerima itu. Akhirnya, saya keluar dari perusa-

“ Untuk punya ketrampilan yang sempurna, Anda harus menjadi seseorang yang berpikir, ‘Inilah pekerjaan saya. Inilah yang ingin saya lakukan.’”

62 KOREANA Musim Semi 2020


haan itu.” Kim belajar bahasa Cina setelah jam kerja selama tiga tahun di Universitas Shandong, sehingga ia bisa pindah ke Dandong setelah keluar dari perusahaan itu. Di sana ia bekerja bersama seorang warga Cina dari Korea Utara, memasok pakaian yang dibuat di Pyongyang ke Korea Selatan. Namun, pekerjaan ini pun berakhir karena ketegangan politik antar-Korea secara tidak langsung juga berdampak pada hubungan ekonomi kedua negara. Kim tidak punya pilihan selain kembali ke Korea Selatan dan bekerja di perusahaan pakaian untuk wanita lainnya, tempatnya bekerja selama lima tahun.

Pekerja Paruh Waktu yang Bahagia

Saat ini, sebagai pekerja paruh waktu, Kim menikmati kebebasan menerima atau menolak pesanan – dan ia yakin selalu ada pekerjaan di bidang ini. “Dalam pekerjaan ini tidak ada usia pensiun, jadi saya bisa bekerja selama yang saya inginkan. Saya

kenal beberapa penjahit yang berusia 70-an dan 80-an dan mereka masih sangat kuat.” Di waktu luangnya, Kim membaca buku. Ia membaca buku mengenai ajaran Konfusius dan Lao Tzu dan buku mengenai sejarah dan ekonomi. Buku favoritnya adalah karya Dale Carnegie “Cara Mengatasi Kekhawatiran dan Mulai Menikmati Hidup” dan “Romansa Tiga Kerajaan” karya Luo Guanzhong, yang sudah dibacanya lebih dari 10 kali. Ada ungkapan bahwa Anda sebaiknya tidak berteman dengan mereka yang belum pernah membaca “Romansa Tiga Kerajaan,” Anda sebaiknya tidak berdebat dengan mereka yang sudah membacanya lebih dari tiga kali, dan Anda sebaiknya tidak berada di dekat mereka yang sudah membacanya lebih dari 10 kali. Namun, Kim mengatakan hubungan antara beragam tipe orang dan strategi atau taktik perang yang dikisahkan di dalam buku itu selalu menarik. Ketika ia mulai belajar menjahit saat masih remaja, Kim tidak punya mimpi mengenai masa depannya, tapi ia punya mimpi sekarang. “Saya ingin mengurangi bekerja, pergi berlibur dengan keluarga saya, membaca buku dan belajar hal-hal baru. Ketika tinggal di Cina, saya banyak bepergian, mengunjungi tempat-tempat seperti Gunung Tai dan Gunung Paektu, tapi masih banyak tempat yang ingin saya kunjungi.”

Saat ini, Kim Jong-gu terutama bekerja pada komisi untuk perancang busana yang membutuhkan prototipe kreasi terbaru mereka. Gerakan tangannya yang lincah dan tepat membawa ide-ide desainer menjadi hidup.

SENI & BUDAYA KOREA 63


HIBURAN 1 2

Menembus Kesenjangan Gender

© Mineumsa © Lotte Entertainment

Jika mengingat adanya ledakan gerakan #MeToo di Korea, tidak mengherankan kalau novel “Kim Ji-young, Lahir 1982” dan film yang didasarkan pada novel ini diterima dengan baik oleh penonton tertentu. Tapi baik novel maupun film, memancing rasa sentimen antipati yang tersebar dalam masyarakat Korea. Lee Hyo-won Penulis Lepas

N

ovel『Kim Ji-young, Lahir 1982』 menambah suara pada gerakan #MeToo di Korea pada musim gugur 2016. Novel ini membedah rasa frustrasi diskriminasi seorang wanita sejak lahirnya hingga ia menjadi seorang ibu, dan mendapat empati orangorang dari berbagai usia. Tetapi pada saat yang sama secara refleks memicu kebencian dan kritik terhadap kaum wanita. Tiga tahun setelah penerbitannya, dalam waktu yang cukup pendek novel ini dijadikan film, dan komentar pro kontra tentangnya makin meluas.

Film dari Novel Terlaris

Terlepas dari reaksi anti-feminis, versi film『Kim Ji-young, Lahir 1982』menduduki urutan No.1 di box office Korea sejak penayangan perdananya pada Oktober 2019. Ini tidak mengejutkan mengingat penjualan buku novelnya sebanyak sejuta eksemplar pada akhir tahun 2018. Rekor penjualan itu sendiri merupakan prestasi yang jarang terjadi, karena orang Korea bukanlah pembaca yang rajin. Jika se-

64 KOREANA Musim Semi 2020

seorang tidak membeli novel tersebut maka ia akan meminjamnya di perpustakaan. Menurut Perpustakaan Nasional Korea,『Kim Ji-young, Lahir 1982』menduduki peringkat pertama sebagai novel yang ingin dibaca pada tahun 2018 dan 2019. Cho Nam-joo, yang berpengalaman sebagai penulis naskah di stasiun televisi, mengaku hanya perlu dua bulan untuk menulis novel ini. Alur ceritanya mencantumkan masalah seksisme dan gender - baik implisit maupun eksplisit - yang dapat ditemukan di rumah, sekolah, pekerjaan, dan di area publik. Novel ini juga menjadi buku terlaris di Cina, Jepang dan Taiwan, dan hak penerbitannya terjual ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Tokoh utama Ji-young (yakni nama wanita Korea yang populer) tidak melawan ketidakadilan dan menang atasnya seperti bintang film wanita Hollywood pada umumnya. Dia adalah wanita berusia 30-an yang berhenti dari pekerjaannya untuk tinggal di rumah dan membesarkan putrinya. Tetapi semakin lelah karena terkurung di rumah, Ji-young


teringat bahwa ia tumbuh dengan banyak mimpi dan cita-citanya menjadi seorang wanita karier. Ingatan Ji-young tidak sepenuhnya menyenangkan. Sebagai seorang anak, adik laki-lakinya dan teman-teman sekelasnya menerima jatah makan terlebih dahulu hanya karena mereka berjenis kelamin laki-laki. Dia disalahkan karena dianggap “menarik” penguntit di masa remajanya dan kemudian menjadi korban oleh kamera tersembunyi yang dipasang di kamar kecil tempat kerjanya oleh seorang predator seksual. Suatu hari, seorang pejalan kaki dengan santai menyindirnya ketika dia sedang menghirup kopi di bangku taman bersama bayinya- bagaimana dia bisa “dengan nyaman menghabiskan uang hasil keringat suaminya”. Pengalaman Ji-young bergema kuat karena ia mewakili rata-rata anak perempuan, ibu, saudara perempuan, istri dan tetangga. Dia harus menahan kemarahan dengan diam. Bagi Ji-young dan banyak Ji-young lainnya di seluruh Korea, pengalaman diskriminasi ini hanyalah sebagian dari kehidupan nyata. Fakta bahwa pengalaman Ji-young adalah hal yang umum membuatnya menjadi sangat menarik. “Kehidupan Ji-young tidak jauh berbeda dari yang saya jalani,” kata Cho.

Frustrasi Umum

Dalam film itu, suami Ji-young yang berperan sebagai suami yang peduli (Gong Yoo, yang juga membintangi sebagai ayah yang melindungi anak perempuannya dalam film zombie “Train to Busan”) menyadari bahwa istrinya menjadi semakin depresi dan cepat marah. Dia mencoba yang terbaik untuk mendukung istrinya ketika dia akhirnya menyadari bahwa istrinya tidak sehat secara emosional. Sebagian besar dari masyarakat Korea masih tetap dikuasai oleh norma sosial patriarki. Menurut World Economic Forum, Korea menduduki peringkat 108 dari 153 negara dalam indeks kesenjangan gender global di tahun 2020 (dalam arti Korea adalah negara nomor 1 yang paling adil dalam masalah gender). Laporan 2013 oleh PBB terkait Narkoba dan Kejahatan menunjukkan bahwa Korea memi-

1. Halaman sampul novel “Kim Ji-young, Lahir 1982” oleh Cho Nam-joo, diterbitkan pada 2016 oleh Mineumsa. Bagian dari serangkaian karya luar biasa penulis muda, novel menjadi buku terlaris, memicu perdebatan sengit tentang feminisme. Diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, novel ini juga menarik perhatian internasional. 2. Adegan dari film sejenis yang dirilis pada Oktober 2019, film fitur pertama oleh Kim Do-young, seorang sutradara perempuan. Pernyataan adaptasi sinematik menghidupkan kembali diskusi serius tentang isu-isu gender.

liki rasio tertinggi di dunia terkait korban pembunuhan wanita dibanding dengan korban pembunuhan pria sebesar 52,5 persen. Bahkan sebelum gerakan #MeToo dan #TimesUp merebak di Amerika Serikat dengan isu tuduhan pelecehan seksual terhadap maestro Hollywood Harvey Weinstein, Korea telah memperlihatkan protes feminis yang belum pernah terjadi dalam sejarah. Kemudian, pada Mei 2018, lebih dari 12.000 wanita muda bersatu menentang diskriminasi gender dan kekerasan di stasiun kereta bawah tanah Hyehwa di Seoul. Ini terjadi tak lama setelah serangkaian bintang pop terkenal terlibat dalam skandal “spy-cam porn”, yaitu pembuatan dan penyebaran video seksual yang dilakukan tanpa persetujuan oleh partner wanita.

Paparan yang Terlambat

Film yang menangani isu-isu gender seharusnya sudah lama dibuat dan masuk ke arus film-film utama Korea. Jika alasannya karena pembuat film takut mendapat efek negatif, kekhawatiran mereka tidak salah. Jung Yu-mi, setelah berperan sebagai Ji-young, menerima banyak komentar negatif melalui media sosial. Sebuah petisi beredar untuk menghentikan pemutaran film dan situs internetnya mendapat nilai buruk bahkan sebelum penayangan perdana film. Kritik terhadap buku dan film tersebut mengklaim narasi yang menawarkan pandangan yang menyimpang, terlalu umum dan seksis terhadap laki-laki, dan bahwa hal itu akan memicu konflik gender. Beberapa bahkan menyatakan bahwa film ini adalah fantasi wanita dan protagonisnya adalah orang yang egosentris dan terlalu mengasihani diri sendiri. Namun, efek film sudah dapat dirasakan, karena pada kenyataannya Korea adalah salah satu negara dengan populasi penonton film terbesar di dunia. Media telah mengutip “Kim Ji-young” tentang kesenjangan gender dalam mendapatkan pekerjaan dan bagaimana persentasi kesenjangan itu melonjak dari 2 persen menjadi 28 persen dari sebelum dan setelah seorang wanita menikah. Banyak wartawan mengaitkan langkah-langkah tersebut sebagai “efek Kim Ji-young.” Juga patut dicatat bahwa pembuatan versi film『Kim Ji-young, Lahir 1982』itu sendiri dipimpin oleh aktris sekaligus sutradara film wanita Kim Do-young. Seperti Hollywood, industri film Korea jauh dari mencapai kesetaraan gender di belakang kamera. Kim adalah satu di antara sedikit wanita yang telah diberi kesempatan untuk menyutradarai film studio besar di negara ini.

SENI & BUDAYA KOREA 65


ESAI

MEMBACA DUNIA BATIN ORANG KOREA DALAM CERITA PENDEK Tengsoe Tjahjono Penyair dan Dosen Universitas Negeri Surabaya

D

i hadapan saya terletak sebuah buku yang terbuka, yaitu New York Bakery: Antologi Cerita Pendek Korea. Buku tersebut merupakan antologi cerita pendek yang diseleksi dari cerita pendek yang dimuat di Majalah Koreana. Halaman-halamannya seakan mengundang saya untuk menyentuh dan membacanya. Dalam bayangan saya dengan membaca antologi tersebut saya akan melakukan perjalanan, baik perjalanan fisik maupun batin, menjelajahi Korea dalam berbagai dimensinya: filosofis, budaya, sosial, pendidikan, maupun politik. Tampaknya, di samping melalui K-Pop, Drama Korea, kosmetik, dan smartphone, Korea dapat dikenali melalui karya sastra, baik itu puisi, cerita pendek, maupun novel. Empat belas cerita pendek yang terdapat dalam antologi ini mengangkat tema-tema yang hidup di tengah masyarakat Korea. Tema tentang pertumbuhan industri dan teknologi yang membuat usaha tradisional harus bersaing keras dengan modernisasi, tema mengenai arsitektur perumahan yang berdampak pada gaya hidup, suasana kebatinan penghuninya, dan relasi sosial, tema tentang operasi plastik, antara utopia dan distopia, tema tentang ketegangan antara budaya popular dan klasik, tema

66 KOREANA Musim Semi 2020

tentang ramalan cenayang, dan sebagainya. Aneka macam tema yang digarap melalui konflik yang dialami para tokoh dalam cerita pendek tersebut sungguh memperkaya pengetahuan pembaca mengenai Korea. Pada bagian akhir cerita pendek New York Bakery karya Kim Yeon-su ditulis “Sebenarnya, tidak perlu cahaya lampu sebanyak itu untuk menempuh kehidupan. Sedikit saja cukup. Toh, yang namanya kehidupan bukannya memang harus demikian.� Pernyataan ini menunjukkan bagaimana sikap masyarakat Korea atas irama hidup yang dihadapinya. Hidup tidak pernah lurus, jatuh-bangun, menanjak-menurun, kadang-kadang gelap kadang-kadang terang, dan seterusnya. Intinya bahwa suka-duka dalam kehidupan itu merupakan hal yang lumrah terjadi. Oleh karena itu, manusia diminta untuk selalu bersyukur atas segala hal yang dihadapinya, baik atau buruk harus tetap dihidupi dan dihayati. Maka, ketika New York Bakery harus tutup karena kalah dengan toko-toko roti yang lebih modern, bukan penyesalan yang terpancar dalam hati pemiliknya, namun kesadaran bahwa perubahan zaman memang sebuah keniscayaan yang harus dihadapi. Dengan sikap yang seperti itu, orang Korea tidak mudah menyerah saat bertemu dengan ba-


nyak persoalan. Ada peribahasa Korea, “walaupun dikepung harimau, jika tetap tenang dan tidak panik, seseorang pasti akan tetap selamat dan hidup.” Peribahasa yang tercipta dari abstraksi akumulasi pengalaman hidup orang Korea, merepresentasikan dunia kebatinan mereka. Dalam cerita pendek Kisah Mi karya Kim Sum dkisahkan perihal bagaimana proses membuat mi itu. Orang Korea sering membuat mi sendiri di dapurnya, mengolah mi dari terigu, sejak membuat adonan, menguleni adonan tersebut, hingga menjadi mi yang siap dikonsumsi. Yang menarik dalam membuat mi itu bukan hanya melibatkan aktivitas fisik, tetapi juga aktivitas batin, termasuk konteks situasi yang sedang dihadapi tokoh. Proses membuat mi dalam cerita pendek tersebut menjadi metafora hidup manusia. Membuat mi adalah proses meremas-remas tepung agar menjadi adonan yang siap dibentuk menjadi mi. Hidup sesungguhnya merupakan proses meremas, lebih-lebih meremas waktu. Dalam cerita pendek tertulis “… meremas waktu harus berbeda dengan waktu mengupas sayur, atau waktu yang dihabiskan membersihkan kerak berbeda dengan waktu membersihkan bunga es yang setengah beku, atau menyikat minyak perilla yang menempel pada lembaran rumput laut di atas nampan.” Dalam proses untuk ‘menjadi’ manusia harus secara sadar siap meremas-remas dirinya menjadi adonan. Manusia harus belajar, bekerja, menempa diri terus-menerus, dan memakai waktunya secara benar. Waktu dipakai sesuai konteks, waktu diisi oleh sebuah narasi hidup yang dirancang dan dijalankan secara baik. Pesan cerita pendek ini mengarah pada manajemen waktu. Selama 3 tahun saya tinggal di Korea saya belajar banyak mengenai waktu. Jadwal kereta subway dan bus kota misalnya, selalu tepat waktu. Interkoneksi antara kereta api subway dan bus kota dapat berjalan dengan baik karena mereka selalu tepat waktu. Hal tersebut berpengaruh terhadap efektivitas dan optimalisasi kinerja para karyawan di kantor dan perusahaan. Di jalan-jalan, di stasiun subway, di mana saja, mereka selalu bergegas karena waktu. Hidup memang sungguh meremas waktu, berproses seperti sekantung terigu yang diolah menjadi mi. Proses terigu menjadi mi merupakan sebuah

narasi. Hal itu juga bisa menjadi metafora-narasi hidup manusia. Cerita pendek Hanya Geunwon yang ditulis oleh Paik Ha-huim diawali dengan paragraf narasi yang sangat metaforik: Sepatunya kejeblos lumpur, terbenam lebih dalam, dan ia pun memperlambat setiap langkahnya. Dia mencoba berjalan di tengah jalan setapak di bukit, tempat rerumputan tumbuh, tetapi ketika dia berjalan dalam kegelapan itu tiba-tiba terjebak pada jalan becek… Ia berpikir, mungkin ia akan merasa lebih baik jika bertelanjang kaki, lelaki itu kembali menatap jalan yang tadi dilaluinya. Lampu-lampu dari desa yang jauh terlihat samar-samar. Dia pasti mengambil belokan yang salah, pikirnya, tapi ia sudah berjalan terlalu jauh untuk kembali…. Lelaki itu tersesat, namun ia tidak berpikir untuk balik lagi. Hidup tokoh aku dalam cerita pendek tersebut ibarat menapaki jalan gelap, mendaki bukit, kejeblos lumpur, dan berada belokan yang salah. Lelaki tersebut kehilangan ayahnya ketika masih kecil, adiknya terlibat kriminal, dan ibunya sakit-sakitan. Dia tak ingin bercerita tentang adiknya itu kepada sang ibu, agar batin ibunya tenang. Dia ingin bertelanjang kaki, membebaskan dari ikatan sepatu, agar leluasa melangkah. Begitulah, manusia harus memakai pikirannya saat berhadapan dengan persoalan hidup, bukan hanya perasaannya. Hidup ke depan memang samar-samar, mungkin menyesatkan, tetapi tokoh aku tak mau berbalik, pantang menyerah. Peribahasa Korea mengatakan: “Setelah kehilangan sapi, memperbaiki kandang.” Peribahasa ini mengandung pesan bahwa tidak berguna dan sudah terlambat kalau menyesal sesudah peristiwa buruk yang menimpa hidip seseorang. Namun, siap belajar dari kegagalan untuk bangkit demi kesuksesan. Hal itu juga dilakukan oleh sang aku dalam cerita pendek tersebut. Hidup harus selalu memiliki harapan. Membaca 14 cerita pendek dalam antologi ini saya serasa diajak bertualang menjelajahi dunia batin orang Korea. Ada kesatuan yang tak terpisahkan antara pikir, laku, dan budaya di Korea. Apa yang dipikirkan, itulah yang dilakukan. Apa yang dilakukan, itulah wujud budaya Korea. Ketiga entitas ini tidak berjalan sendiri-sendiri. Dalam hal menyatukan pikir, laku, dan budaya, bangsa Indonesia bisa belajar dari bangsa Korea. Semoga.

SENI & BUDAYA KOREA 67


BAHAN UTAMA

Namul

Sayuran Hijau Serbaguna Kecintaan Orang Korea Sayuran hijau yang disebut namul adalah makanan tradisional yang dikonsumsi orang Korea setiap hari. Akhir-akhir ini, namul telah menarik perhatian internasional berkat pengenalan aktif makanan kuil Korea, yang sebagian besar berbahan utama sayuran hijau. Sejalan dengan tren vegatarian yang berkembang, restoran kelas atas menciptakan hidangan yang menampilkan sayuran hijau ini bagi para pelanggan. Jeong Jae-hoon Apoteker, Penulis Kuliner

1 Š gettyimages

68 KOREANA Musim Semi 2020


A

da beberapa makanan yang mengingatkan kita pada suatu negara, misalnya Sauerkraut di Jerman dan Fish & Chipsdi Inggris. Akan tetapi, jika Meksiko mengingatkan seseorang hanya pada Taco, hal itu tidak berarti bahwa hanya Taco saja yang mewakili makanan Meksiko. Bahkan, hal tersebut menunjukkan bahwa dia tidak banyak mengetahui tentang masakan Meksiko. Memang sulit sekali jika kita harus memilih hanya satu atau dua masakan sebagai simbol budaya kuliner yang berlangsung dalam suatu negara selama ratusan tahun. Namun jika seorang asing memilih namul sebagai wakil makanan Korea, sangat mungkin dia memiliki banyak pemahaman tentang makanan Korea.

2 © Kantor Berita Yonhap

Esensi Makanan Korea

Sebetulnya arti kata namul sendiri secara harfiah sangat rumit. Menurut 『Kamus Besar Bahasa Korea』 oleh <Badan Bahasa Korea Nasional>, terdapat dua arti kata namul. Pertama, namul berarti ‘segala rumput atau daun yang bisa dimakan orang,’ misalnya gosari, doraji, dureup, dan nengi. Kedua, namul berarti ‘makanan yang berbahan segala rumput atau daun yang bisa dimakan orang dengan cara direbus atau dimakan mentah.’ Oleh karena itu, namul dalam arti pertama bermakna sebagai bahan masakan sedangkan namuldalam arti kedua bermakna sebagai masakan. Akan tetapi, namul sebagai bahan masakan tidak terbatas pada rumput atau daun tetapi melingkup berbagai bahan dari tanaman asalkan bahan-bahan itu dimasak dengan cara mengolah namul. Misalnya meskipun kentang dan terong bukan rumput atau daun, kentang dan terong

1. Tunas Fatsia, bawang liar, dan kubis kantung gembala (dari kiri), sayuran musim semi favorit orang Korea, bertunas lebih awal di pegunungan dan ladang. Dengan rasa dan aroma gurihnya, sayuran hijau membantu mengembalikan nafsu makan setelah musim dingin yang panjang. 2. Pedagang menjual berbagai sayuran dalam keranjang, pemandangan umum di pasar tradisional di musim semi. Lebih dari 300 jenis sayuran liar yang dapat dimakan ditemukan di Korea. Sebagian besar sayuran hijau kaya akan vitamin C dan mineral.

dapat dikatakan sebagai gamja-namul (masakan sayuran yang berbahan kentang) dan gaji-namul (masakan sayuran yang berbahan kentang) jika kentang dan terong dipotong lalu digoreng atau direbus dengan berbagai bumbu. Demikian juga hobak-namul (masakan sayuran yang berbahan zukini) dan mu-namul (masakan sayuran yang berbahan lobak) karena kedua masakan itu diolah seperti cara memasak namul, meskipun zukini dan lobak itu bukan rumput atau daun. Dalam hal ini yang menarik adalah kong-namul dan sukju-namul, karena kedua itu memiliki makna bahan sekaligus masakan di dalamnya.

Makanan Musiman

Dari hal-hal itu dapat diketahui bahwa namul dari segi arti kata sendiri cukup rumit. Tidak hanya itu, diperlukan pengetahuan yang mendalam untuk memahami penjelasan dalam arti kata namulyaitu “segala rumput atau daun yang bisa dimakan orang,” karena orang harus bisa membedakan yang bisa dimakan atau manayang tidak bisa dimakan. Kadangkadang terdapat berita mengenai orang dalam keadaan gawat setelah makan daun beracun yang dikiranya sebagai namul. Namul adalah makanan musiman maka masa petik pun sangat penting. Banyak jenis namul yang hanya bisa dimakan ketika masih berupa tunas pada musin semi hingga namul mengingatkan banyak orang akan musim semi. Tumbuhan cenderung menjadi semakin lama semakin keras maka akhirnya menjadi tidak bisa digunakan sebagai bahan makanan. Tidak semua tunas bisa dimakan dan juga banyak yang bisa dimakan setelah zat beracun dihilangkan. Dale, dol-namul, cham-namul, chwi-namulbisa dimakan mentah karena tidak mengandung zat beracun tetapi banyak yang harus dimakan setelah direbus, misalnya gosari dan wonchuri. Wonchuri bukan hanya tamanan hias yang bagus tetapi juga sering

SENI & BUDAYA KOREA 69


Ketika saya makan sup nengii, saya merasa seakanakan berdiri di ladang sambil mencium aroma tanah yang basah pada suatu dini hari antara akhir musim dingin dengan awal musim semi. dimakan pada awal musim semi karena tunasnya jauh lebih manis dibandingkan dengan namul yang lain. Akan tetapi, wonchuri mengandung zat colchicine. Zat itu berfungsi sebagai obat anti-inflammatory untuk meredakan penyakit gout. Menurut hasil penelitian terakhir, zat itu bisa mencegah penyakit pembuluh darah yang muncul setelah serangan jantung. Namun jika orang makan wonchuri tanpa menghilangkan zat colchicine, ada kemungkinan dia muntah, sakit perut, atau diare. Semakin wonchuri tumbuh semakin ia mengandung banyak colchicine di dalamnya sehingga hanya tunasnya yang kecil saja yang boleh dimakan dan itu pun harus direbus lalu direndam lama di dalam air dingin supaya zat colchicine menghilang. Adapun san-namul yang tumbuh di gunung dan ladang. Terdapat lebih dari 300 jenis san-namul yang tumbuh di Korea. Chwi-namul pun berjenis lebih dari 60 dan di antaranya hanya 24 jenis yang bisa dimakan. Oleh karena itu, diperlukan pengertian dan pemahaman yang tepat tentang apa yang bisa dimakan, kapan boleh dipetik, dan bagaimana cara memasaknya.

Cara Masak yang Beranekaragam

Terdapat berbagai cara untuk memasak namul, misalnya hanya direbus sedikit dalam air mendidih, direndam dalam air dingin setelah direbus untuk melepaskan rasa pahit, digoreng, atau ditumis. Selain itu, terdapat berbaga cara membumbuinya, misalnya menggunakan kecap asin,

70 KOREANA Musim Semi 2020

1 Š gettyimages

tauco, minyak wijen, biji wijen, bubuk cabai dan lain-lain. Rasa dan aroma namulpun bermacam-macam sesuai dengan cara memasaknya. Misalnya chamchwi-namul menyajikan aroma apel jika dimakan mentah tetapi menyajikan rasa agak pahit-manis jika direbus lalu dibumbui. Bangpung-namul pada dasarnya mirip dengan chamchwi-namul karena ada rasa pahit, tetapi jauh berbeda dengan chamchwi-namul dari segi aromanya yaitu campuran jeruk dan pepermin. Nengi dan dale, wakil namul musim bunga sangat sulit untuk mendeskripsi rasa dan aromanya. Rachel Herz, ahli di bidang cognitive neuroscience menyatakan di dalam bukunya, 『The Scent of Desire: Discovering Our Enigmatic Sense of Smell� bahwa dalam bahasa apa pun jumlah kata yang hanya berdasarkan pada pengalaman penciuman jauh lebih sedikit daripada jumlah kata yang berdasarkan pada


1. Kubis kantung gembala dimakan dalam sup pasta kedelai atau sebagai lauk yang disiapkan dengan mendidihkan dan membumbui dengan pasta kedelai, pasta lada merah, bawang putih cincang dan bawang merah, biji wijen, dan minyak wijen. 2. Tunas fatsia muda yang terkumpul di musim semi biasanya dimasak setengah matang dan dimakan dengan saus yang terbuat dari pasta cabai merah, cuka dan gula. 3. Dengan bibimbap, berbagai jenis sayuran bisa dinikmati sekaligus. Nasi dan berbagai macam sayuran, di atasnya diletakkan telur goreng dan hiasan daging sapi, semuanya dicampur bersama pasta lada merah dan minyak wijen. 2

pengalaman dari indera perasa lain. Nengii dan dale merupakan contoh yang pas untuk penjelasan Rachel Herz tersebut, karena kita mengalami kesulitan dalam mendeskripsi aromanya dengan menggunakan kata-kata setelah makan nengii dan dale. Dale mempunyai rasa pedas seperti bawang putih karena mengandung alicin tetapi ada juga rasa manis-asem. Nengii, tumbuhan yang termasuk dalam familia cruciferae mempunyai rasa yang merangsang.

Aroma dari Awal Musim Semi

Ada beberapa cara untuk menikmati namul, misalnya bisa makan berbagai jenis namul sambil membandingkan aroma dan rasa masing-masing. Selain itu, orang Korea sering makan namul dengan mencampurkannya dengan nasi, gochujang, minyak wijen, dan telur. Makanan itu disebut sebagai bibimbap. Tidak sulit membuat bibimbap karena kita bisa membuatnya dengan menggunakan dengan namul yang sudah disediakan sebagai lauk-pauk di rumah. Bibimbap dan Gukbap (nasi sup) merupakan menu yang sering dicari sejumlah orang Korea saat mereka makan di restoran. Rasa manis dan pedas dari gochujang menciptakan irama merdu dari nada berbeda dan tekstur dari berbagai namul memberikan variasi baru dalam rasa. Mungkin ada orang yang kurang menyukai Bibimbap sebab semua bahan dicampurkan di dalamnya. Namun Bibimbap bukan konsep yang

3

sulit diterima bagi orang yang memiliki pemahaman tentang namul. Bibimbap yang berbagai namulberkumpul di dalamnya merupakan esensi makanan Korea yang memperlihatkan filsafat yang merangkul keberagaman. Sementara itu, ada banyak namul yang hanya bisa dimakan di daerah tertentu. Maka orang harus mengunjungi daerah tertentu untuk menikmati namul yang hanya ada di sana, misalnya sam-namul dan bujigengi di Pulau Ulreung. Akhir-akhir ini terdapat banyak penelitian tentang namul. Ada perusahaan-perusahaan yang meneliti rasa dan cara memasak namullalu mengumumkannya. Selain itu, restoran-restoran juga sedang giat mengembangkan sejumlah masakan yang menggunakan namul. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa namul menjadi makanan Korea yang paling tradisional sekaligus berinovasi.

SENI & BUDAYA KOREA 71


PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

KRITIK

Antara Sisi ‘Ini’ dan ‘Itu’ dari Dunia Dalam cerita pendeknya “Siapa yang Membunuh Kucing,” dari antologi yang terbit tahun 2019 dengan judul yang sama (publikasi pertamanya setelah jeda lima tahun), Youn Dae-nyeong menyematkan sebuah pesan sosial yang sebagian besar tidak ditemukan dalam karya sebelumnya. Ini isyarat, bahwa ia bergerak selangkah di luar keasyikan eksistensialisnya dan prosa puitis yang menjadi karakteristik karyanya sejak ia memulai debut sastranya. Choi Jae-bong Reporter, The Hankyoreh

Y

oun Dae-nyeong melakukan debut sastranya pada tahun 1990 ketika ia menerima penghargaan Best New Writer dari majalah bulanan Sastra dan Pikiran (Munhak Sasang) untuk cerpennya “Hutan Ibuku”. Publikasi berikutnya dari kumpulan cerpennya “Kabar Perihal Memancing Ikan” pada tahun 1994 yang memantapkannya sebagai salah seorang pengarang paling penting di Korea dalam satu dasawarsa ini. Dipandang sebagai penulis yang paling peka tahun 1990-an, cerpen Youn sering berbentuk perjalanan atau kisah cinta. Namun, perjalanan dan kencan dalam kisah-kisah ini tidak terbatas hanya pada ranah pergerakan di antara ruang-ruang atau melalui emosi. Sebagian besar karya awalnya –yang cenderung disampaikan melalui pencerita orang pertama (aku) sebagai protagonis laki-laki yang berusia awal hingga pertengahan tiga puluhan– kita dapat melihatnya sebagai eksplorasi diri yang konvensional dalam bentuk petualangan filosofis dan eksistensial. Menurut salah satu tokoh dari “Kabar Perihal Memancing Ikan,” dunia dapat dibagi menjadi “sisi ini” dan “sisi itu.” Dan memang, protagonis dalam cerita-cerita ini terletak tepat di “sisi ini,” sampai mereka menghadapi situasi yang membawa mereka punya kesempatan menyeberang ke “sisi itu,” yang telah kita lupakan, atau hilang, asyik saat kita berada dalam kebosanan berulang dalam kehidupan kita sehari-hari –esensi dari keberadaan kita, titik asal kita. Bagian di bawah ini, dari novela Youn, Tempat Sangat Jauh dalam Ingatanku

72 KOREANA Musim Semi 2020

© Moonji Publishing Co., Ltd.

(1996), menggambarkan tema-tema awal itu dengan rasa keindahan dan misteri. Sementara itu, karya-karya awalnya itu juga terkenal karena penamaannya, yaitu penggunaan judul lagu yang khusus dan nyata, produk konsumen, jalan dan bangunan di kota. Ini harus dipahami sebagai semacam perancah untuk mendukung kecenderungan keseluruhan cerita-cerita itu terhadap filsafat dan abstraksi. Protagonis Youn merindukan zaman yang dalam dan mitos, bahkan ketika mereka terpikat oleh peradaban konsumerisme perkotaan manakala mereka menemukan diri mereka sendiri. Atmosfer tunggal yang dihasilkan dari simultanitas pra—dan pascamodern ini mungkin merupakan daya tarik terbesar dari cerita-cerita awalnya. Seiring bertambahnya usia pengarang, dunia fiksi mereka berubah secara alami, dan mungkin, dalam kasus-kasus tertentu, tak terhindarkan. Youn Dae-nyeong telah membuktikan, tidak terkecuali aturan ini, karena ketika ia berkembang dari pemuda yang relatif berusia tiga puluhan ke empat puluhan, kecenderungan karya yang


dihasilkannya berkembang sangat berbeda. Perbedaan yang paling jelas tampak dalam “Memelihara Burung Walet,” yang diterbitkan tahun 2007. Delapan potongan pendek dan menengah dalam kumpulan ini mengeksplorasi cara waktu yang dapat bergerak melintasi rentang yang berbeda, mulai dari hanya beberapa tahun, pada ujung yang lebih pendek, hingga sampai beberapa dekade, lebih lama, dan bagaimana nasib seseorang dapat berubah sebagai konsekuensinya. Memang, seolah-olah kita dapat merasakan berlalunya tahun-tahun dalam perspektif yang dibawa pengarang pada kemanusiaan dan dunia, juga cara dia melebur perspektif yang sama ini menjadi potongan-potongan itu sendiri. Sementara kesepian dan kerinduan terus mendasari karya-karya Youn, ada pergeseran yang jelas dalam fokus dari protagonis ke penceritaan yang membangun hubungan antartokoh. Ketika karya-karya pengarang sebelumnya cenderung mengambil lelaki lajang sebagai protagonis, tokoh utama dari cerita ini muncul dalam kapasitas sebagai orang tua, anak-anak, pasangan, atau kekasih. Mereka adalah “manusia yang terlibat dalam semacam hubungan dengan manusia lain.” Kelihatannya, kumpulan cerpen terbaru Youn, Siapa yang Membunuh Kucing (Moonji Publishing), boleh jadi mirip dengan banyak kisah perjalanan sebelumnya, tetapi subjek sebenarnya berbeda secara mendasar. Dalam Catatan Pengarang, Youn mengaku: “Pada 16 April 2014, saya mengalami ‘kematian kepengarangan saya’ dan untuk waktu yang lama setelah itu, saya dicengkeram firasat bahwa saya tidak akan pernah lagi bisa menulis.” Di sini, kita melihat bayangan gelap yang dilemparkan insiden tragis musim semi 2014, yaitu tenggelamnya kapal feri Sewol yang mengerikan, ketika nyawa ratusan siswa sekolah menengah

dalam perjalanan wisata, hilang dengan cara yang dapat disebut tidak masuk akal, hanya karena kelalaian dan korupsi perusahaan pelayaran dan awaknya, penjaga pantai yang bertanggung jawab atas operasi penyelamatan, dan institusi pemerintah yang mengelola dan mengawasi mereka. Kumpulan ini dapat dilihat sebagai buah dari perjuangan panjang dan kesendirian pengarang untuk membangkitkan dirinya sekali lagi sebagai pengarang, “ditulis satu demi satu, malam demi malam, seperti membuat benang tunggal dari jaring laba-laba.” Protagonis dalam “Antara Seoul dan Amerika Utara,” adalah seorang psikiater berusia lima puluhan, kehilangan putri satu-satunya karena kecelakaan empat tahun sebelumnya; dalam memberikan kesaksian tentang bencana kapal feri Sewol, ia akhirnya mencapai kesimpulan bahwa peristiwa itu adalah tanggung jawab generasinya sendiri. Dalam cerita “Gun,” pengarang menghadirkan seorang anak yang membidikkan senjata kepada ayahnya sendiri, seorang nasionalis yang berkali-kali, secara fisik melecehkan anggota keluarganya. Tentang cerita ini, pengarang mengatakan, “Saya menulis ini karena saya mengalami kesulitan berurusan dengan kemarahan saya sendiri tentang tokoh tertentu dalam kehidupan nyata yang tampaknya melambangkan kekerasan negara.” Contoh lain bahwa kepentingan Youn Dae-nyeong telah bergeser dari skala individu dan petualangan eksistensial pribadi ke bidang kesadaran sosiopolitik yang lebih besar dan lebih kritis. Judul cerita antologi ini, Siapa yang Membunuh Kucing, terlibat langsung dengan pertanyaan-pertanyaan feminisme, yang bisa kita sebut sebagai salah satu masalah paling intens untuk dipegang masyarakat Korea pada akhir 2010-an. Cerita ini berpusat di sekitar dua perempuan, Hui-sook, seorang agen real estat, dan kliennya, Seong-hui, keduanya menderita dalam genggaman tangan para lelaki dalam hidup mereka, ayah atau suaminya. Kekerasan fisik suami Huisook dan pemerasan finansial ayah Seong-hui sebagai dasar mereka mendapatkan “sesuatu seperti rasa bersalah, mengakar jauh di dalam diri saya di tempat seseorang menanamnya.” Sesuatu yang berbicara pasti kepada “ketakutan yang mengintai” dalam diri seseorang. Juga dalam hidup. Ketika Seong-hui merawat Hui-sook, mengembalikan kesehatannya selama beberapa hari setelah dia dipukuli suaminya, mereka membentuk ikatan persaudaraan, karena dua perempuan menderita kekerasan dan eksploitasi. Di mana tepatnya dunia tempat perempuan-perempuan ini melihat ke arah yang sama? Itulah pertanyaan penutup yang diajukan pengarang kepada pembaca.

Youn Dae-nyeong : “ Pada 16 April 2014, saya mengalami “kematian kepengarangan saya” dan untuk waktu yang lama setelah itu, saya dicengkeram firasat bahwa saya tidak akan pernah lagi bisa menulis.” SENI & BUDAYA KOREA 73


Informasi Berlangganan

Cara Berlangganan Biaya Berlangganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb

2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Cina, Hong Kong, Jepang, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam,) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr

Tanggapan Pembaca

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.

* Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)


A JournAl of the eAst AsiA foundAtion

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. In our latest issue:

Out of Breath: Tackling Asia’s Air Crisis

Learn more and subscribe to our print or online editions at

www.globalasia.org

cleaning up asia’s dirty air: essays By

Matthew Shapiro; Nick Middleton; Jiang Kejun; Tae Yong Jung; Aseem Prakash & Kuki Soejachmoen the deBate: us influence in southeast asia

Is Washington losing its way in the region? Mark Valenciea squares off against Satu Limaye in focus: indonesian president joko widodo

Ben Bland and Kevin O’Rourke examine the implication of his recent re-election for Indonesia’s reform efforts

plus

rory Metcalf Mapping a multipolar future: The contest for the Indo-Pacific will involve rivalries of all sizes Van jackson How America is losing both Koreas Mohammad reza dehshiri & hossein shahmoradi The EU’s important role in Korean Peninsula stability rajaram panda Why India has opted out of RCEP peter hayes Building on Baekdudaegan: Peacemaking in Northeast Asia through ecological restoration Book reviews A look at 16 new titles relevant to Asia

us$15.00 w15,000 a journal of the east asia foundation | www.gloBalasia.org | VoluMe 14, nuMBer 4, deceMBer 2019

Out of Breath Tackling Asia’s Air Crisis

News, archives and analysis at www.globalasia.org

Have you tried our Magster digital edition? Read on any device. Issues just $5.99 each or $19.99 per year. Download Magzter’s free app or go to www.magzter.com


“If you want to know a country, read its writers.” Aminatta Forna, The Memory of Love (2011)

READ KLN, READ KOREA Reading a country’s literature is one of the best ways to gain insight into its culture, values and perceptions. Korean Literature Now is the world’s only English-language quarterly that brings you the best of Korean fiction, poetry, interviews, book reviews, essays, and more. Become better acquainted with Korea and its literature through KLN.

@KoreanLitNow Inquiries: koreanlitnow@klti.or.kr

www.KoreanLiteratureNow.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.