Koreana autumn 2017 (indonesian)

Page 1

MUSIM GUGUR 2017

SENI & BUDAYA KOREA FITUR KHUSUS

Dapur Korea

Dari Tungku sampai Realitas Maya Dapur Tradisional Korea, Metafora Hidup Perempuan; Sebuah Pohon Keluarga: Dapur Cina, Korea, dan Jepang; Sesuatu Selalu Dimasak di Dapur; Mengintip Dapur Masa Depan

Dapur Korea

vol. 6 no. 3

ISSN 2287-5565 SENI & BUDAYA KOREA 43


Citra Korea

Tradisi Lama di Musim Gugur Kim Hwa-young Kritikus Sastra, Anggota Akademi Seni Nasional


C

© Joongbooilbo

huseok, festival purnama panen raya, merupakan salah satu hari libur terbesar di Korea. Nama itu berarti malam musim gugur ketika bulan purnama yang cerah naik tinggi di atas bukit. Ketika Chuseok datang, jalan-jalan di Seoul dan jalan-jalan lain serta jalan bebas hambatan menuju ke pemakaman yang terletak di dekat kota-kota besar macet dipenuhi mobil saat orang-orang pergi untuk memberikan penghormatan kepada nenek moyang dan mudik ke kampung halaman mereka. Mengunjungi makam nenek moyang pada hari libur besar seperti Chuseok dan Hansik (festival makanan dingin, jatuh di awal musim semi) untuk mengadakan ritual leluhur yang disebut seongmyo . Kebiasaan ini telah dilakukan selama berabadabad karena makam tempat tubuh dan jiwa nenek moyang tinggal dianggap merupakan tempat yang penting. Pada umumnya, kuburan Korea terletak di lahan kosong di lereng gunung. Jenasah ditempatkan di sebuah peti mati kayu, yang ditanam jauh di dalam tanah. Bumi kemudian ditimbun membentuk gundukan dan rumput ditanam di atasnya untuk mencegah hilangnya bumi. Kuburan unik Korea ini memerlukan perawatan rutin sepanjang tahun. Di Hansik, kerusakan pada makam selalu terjadi antara musim dingin dan musim semi dan jika rumputnya telah menipis, itu akan ditanami lagi. Sekitar cheoseo , yang jatuh pada akhir Agustus saat musim panas mulai berkurang, rumput berhenti tumbuh menandakan saatnya memangkas rumput, membersihkan gulma dari gundukan dan daerah sekitarnya. Tugas ini disebut beolcho , atau secara harfiah “memotong rumput”. Ini dilakukan sebelum Chuseok agar keluarga bisa mengunjungi makam dan mengadakan ritual leluhur pada hari itu. Upacara makam Chuseok sangat penting karena inilah saat panen tiba, hasil kerja keras setahun, dipersembahkan kepada nenek moyangnya. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak orang melewatkan kunjungan ke makam atau mempercayakan perawatan dan pemeliharaan makam tersebut ke petugas makam, sehingga bisa menikmati libur lebih panjang. Dalam kondisi seperti itu kremasi, rumah-rumah carnel dan penguburan serta perusahaan pemakaman tumbuh dalam jumlah besar. Berikut ini merupakan surat yang diposting secara online oleh seorang ibu rumah tangga yang memberi beberapa tanggapan tentang pemikiran orang Korea hari ini. “Sudah enam tahun mertua lelaki saya meninggal dunia. Sebenarnya dia ingin dikuburkan di kampung halamannya, namun anak-anaknya tinggal di kota, berpikir akan sulit untuk mengunjungi makam jika berada di pedesaan. Untunglah ada tempat strategis di sebuah kuburan yang dekat dengan kota. Sejak mertua lelaki saya wafat, tidak mudah untuk mengunjungi kampung halaman suami saya. Ketika kami berkunjung, tidak ada lagi saudara di sana, kami merasa asing dengan tempat itu, seperti layang-layang terputus dari benang, ingatan kami melayang di sekitar sesuatu yang hilang di langit. Namun setahun sekali, kami mudik ke kampung halaman suami dengan keluarga saudara ipar untuk memotong rumput di makam leluhur. Makam harus dijaga, dan kami berniat memanfaatkan waktu luang ini untuk memotong rumput. Kami akan berangkat sebelum matahari terbit besok pagi, saya pun menyi­ apkan es, semangka untuk dimakan dan air minum saat kami bekerja, dan akan menyeduh kopi di pagi hari sebelum kami pergi.”


Dari Redaksi

Pemimpin Umum

Lee Sihyung

KEHIDUPAN DI DAPUR KOREA

Direktur Editorial

Kim Gwang-keun

Pemimpin Redaksi

Koh Young Hun

Dewan Redaksi

Bae Bien-u

Charles La Shure

Choi Young-in

Han Kyung-koo

Kim Hwa-young

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Song Hye-jin

Song Young-man

Werner Sasse

Direktur Kreatif

Kim Sam

Oktober tiba, pelan-pelan daun berubah warna. Dari hijau berubah ke kuning, ke hitam , merah, jingga, dan sebagainya. Dalam tempo singkat Seoul dan kota-kota lainnya di semenanjung Korea menjelma menjadi kanvas yang hidup, bertaburan cat warna-warni. Musim yang sungguh dinanti. Musim selalu berganti, demikian pula dapur di Korea. Dapur mengalami evolusi budaya yang tidak pernah berhenti, perubahan dari segi fungsi, bentuk, ragam, dan tingkat kecanggihan. Sungguh, dapur tak dapat dilepaskan dari hidup manusia dan keluarga di Korea. Dapur bukan hanya berfungsi sebagai tempat memasak, tetapi juga tempat bercengkerama, bahkan tempat menyimpan kenangan. Dalam terbitan Koreana Edisi Musim Gugur 2017 ini akan dibahas soal dapur secara tuntas. Budaya dapur Asia Timur berasal dari Cina, menyeberangi Semenanjung Korea hingga ke Jepang. Budaya dapur tradisional Korea memiliki struktur yang unik berdasarkan musim dan pemakaian yang berbeda di tiap-tiap wilayah. Berbeda dengan dapur modern yang hanya berfungsi sebagai tempat memasak dan makan, dapur tradisional juga berperan sebagai ruang bagi para istri yang berdoa demi keselamatan dan kesejahteraan keluarganya. Yang menarik dalam terbitan kali ini adalah pengalaman para relawan pengungsi Korea utara membantu kaum miskin sambil membayangkan ke­luarga mereka di Korea Utara. Di saat Korea Utara mengancam dunia dengan serangan rudal mereka, sebenarnya masih banyak orang Korea mengharapkan terbangunnya unifikasi nasional. Ancaman itu tak mempengaruhi kedamaian di Semenanjung Korea. Sebagaimana dapur yang selalu menyala di setiap musim, Koreana akan selalu hadir di tiap musim pula. Selamat membaca. Koh Young Hun Pemimpin Reaksi Koreana Edisi Indonesia

Editor

Ji Geun-hwa, Noh Yoon-young,

Park Do-geun

PENATA aRTISTIK

Kim Do-yoon

Desainer

Kim Eun-hye, Kim Nam-hyung,

Yeob Lan-kyeong

Penata Letak

Kim’s Communication Associates

dan Desain

44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu

Seoul 04035, Korea

www.gegd.co.kr

Tel: 82-2-335-4741

Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan. Informasi Berlangganan: The Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea Percetakan Edisi musim gugur 2017 Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5 © The Korea Foundation 2017

SENI & BUDAYA KOREA MUSIM GUGUR 2017

Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea http://www.koreana.or.kr

“Lemari ibu”

Kang Ji-hye 2017, Tinta dan warna pada kertas murbei, 130 cm × 97cm.


FITUR KHUSUS

Dapur Korea: Dari Tungku sampai Realitas Maya

04

FITUR KHUSUS 1

Dapur Tradisional Korea, Metafora Hidup Perempuan

18

FITUR KHUSUS 3

Sesuatu Selalu Dimasak di Dapur Lee Chang-guy

Hahm Han-hee

12

FITUR KHUSUS 2

Sebuah Pohon Keluarga: Dapur Cina, Korea, dan Jepang

24

FITUR KHUSUS 4

Mengintip Dapur Masa Depan Kim Jee-hyun

Kim Kwang-on

30

FOKUS

46

JATUH CINTA PADA KOREA

62

ESAI

Seoullo 7017 Jembatan Gantung Tengah Kota

Kecintaan Penggemar Karya Shakespeare pada Musik dan Tari Korea

Han Eun-ju

Choi Sung-jin

Gumilar Rusliwa Somantri

36

50

64

WAWANCARA

Tema ‘Pura-pura’ Membuat Seniman Ini Naik Daun

DI ATAS JALAN

Menikmati Puisi di Tepi Danau

Pelajaran Nasionalisme dari Korea Selatan

KISAH RAMUAN

Tanpa Sawi Kimchi Tak Jadi

Gwak Jae-gu

Park Tae-kyun

58

68

Chung Jae-suk

42

KISAH DUA KOREA

Para Relawan Menyiapkan Dasar Unifikasi

SATU HARI BIASA

GAYA HIDUP

Menikmati Hidup sebagai Pengembang IT

Rumah Bersama Mempersatukan Orang Asing

Yi Ji-young

Kim Dong-hwan

Kim Hak-soon

72

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Cinta Kilat dalam Kisah Panjang Choi Jae-bong

Mi Bulan April, Dan Sol Bulan Juli Kim Yeon-su


FITUR KHUSUS 1 Dapur Korea: Dari Tungku sampai Realitas Maya

DAPUR TRADISIONAL KOREA

Metafora Hidup Perempuan

Rumah Park Gyeong Jung yang dibangun pada akhir abad ke-19 merupakan rumah tradisional yang yang tersisa di kota Naju, provinsi Jeolla Selatan. Struktur bangunan yang terdiri atas kayu-kayu besar yang disusun, serta jejak-jejak waktu yang tertutup jelaga dari dapur kuno di rumah ini yang sangat mengesankan, memberikan pemandangan menakjubkan dari skala besar dan konstruksi bangunan. Di samping sebagai ruangan standar dalam suatu rumah, dapur juga memiliki cerita lain yang tersembunyi jika dilihat dari sudut pandang sosiologi gender. Hahm Han-hee Profesor Departemen Arkeologi dan Antropologi Budaya Universitas Nasional Chonbuk Ahn Hong-beom Fotografer

4 Koreana MUSIM GUGUR 2017


Di rumah Park Gyeong-jung di Naju, Provinsi Jeolla Selatan, istri Park dan menantunya, Kang Jeongsuk, sendok sup dari periuk besi di dapur tua. Di dapur tradisional Korea, tempat memasak dan memanaskan dilakukan pada saat yang bersamaan, tungku kompor harus berada pada tingkat yang lebih rendah daripada cerobong asap yang mengalir di bawah lantai kamar di sebelahnya. Di rumah ini, kondisinya dipenuhi dengan galian parit di lantai dapur. Arang digunakan di tungku, seperti yang terlihat di halaman depan, di dalam rumah.

SENI & BUDAYA KOREA 5


R

umah tradisional Korea memiliki tampilan luar yang elegan dan mengagumkan. Baik rumah beratap genteng seperti istana yang pernah ditinggali oleh para bangsawan, atau rumah masyarakat awam yang beratapkan jerami, keduanya terlihat elegan dan memiliki keseimbangan bentuk. Rumah beratap jerami yang dulu ditinggali oleh masyarakat kelas bawah saat ini sudah tidak ada, hanya ada beberapa rumah tua yang pernah ditinggali oleh para bangsawan sehingga hal tersebut membuat kita dapat merasakan keindahan dari rumah tradisional Korea. Akan tetapi, setelah memasuki bagian dalam rumah tersebut yang konstruksi bangunannya sangat menarik, seperti­ nya masyarakat saat ini akan kesulitan jika tinggal di rumah ini. Khususnya bagi para perempuan yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, rumah ini tidak bersahabat. Bahkan para cucu dan istri mereka yang menjaga dan tinggal di rumah tersebut pun kemungkinan besar akan berkata, “Tidak mudah hidup di rumah ini kalau semua bagian di rumah tidak diubah.” Di antara semua bagian rumah, dapur adalah bagian yang pasti akan menjadi prioritas pertama untuk diperbaiki. Dapur pada rumah tradisional Korea dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai ruang pemanas dan ruang memasak sekaligus. Jika campuran kayu bakar dan ran­ ting pinus dibakar di dalam tungku, maka api akan masuk ke dalam dengan cepat sehingga membuat lantai kamar menjadi hangat. Konveksi panas tersebut membuat udara di dalam ruangan menjadi hangat. Di samping itu, pada saat yang bersamaan para wanita meletakkan dandang di atas tungku untuk memasak nasi dan juga membuat lauk pauk. Cara tersebut adalah cara yang paling efisien pada zaman di mana sumber energi sangatlah berharga. Jika kembali kepada masa rumah-rumah tradisional tersebut dibangun ratusan tahun lalu, konstruksi tradisionalnya dibu­ at dengan cukup mempertimbangkan ekologi alam Korea. Pada ruangan dapur pun menjadi tempat berpadunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kondisi kehidupan mengalami perubahan yang sangat besar karena perkembangan bahan bakar baru, teknologi dan berbagai macam peralatan. Menjaga dapur dalam rumah tradisional dan menjalankan kehidupan sesuai dengan cara di masa lalu terlihat hampir mustahil dilakukan. Daya Tahan Rumah Bermula dari Manusianya Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi salah satu rumah tradisional yang masih tersisa di

6 Koreana MUSIM GUGUR 2017

daerah Honam, yaitu rumah Park Gyeong Jung yang terkenal dengan konstruksi dan ukuran bangunannya. Rumah tersebut diambil alih oleh Park Seung Hee (1814-1895). Ia menempati rumah tersebut dan membangun paviliun beratap jerami terpisah dari rumah utama. Sementara, Park Jae Gyu (1857-1931) membangun rumah berukuran besar dengan mengadaptasi bentuk istana. Park Gyeong Jung sebagai cucu tertua di keluarga yang menjaga dan menempati rumah tersebut berkata bahwa pembangunan bangunan utama rumah dan paviliun untuk tamu dimulai pada tahun 1884, namun bangunan-bangunan penunjang di dalam rumah baru selesai semua pada tahun 1930. Hal yang mengejutkan dari rumah yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan dengan rumah penduduk pada umumnya adalah bentuk bangunan aslinya tetap terjaga dan tidak mengalami kerusakan walaupun sudah mengalami perubahan waktu bahkan melewati masa peperangan. Ketika berdiri di halaman rumah lalu melihat-lihat ke dalam rumah, perhatian saya tertarik oleh dapur tambahan yang baru dibangun beberapa tahun lalu. Dapur bergaya modern yang baru dibangun terpisah dengan dapur lama yang terletak persis di sebelah ruangan utama rumah, terlihat begitu kontras. Lim Myo Suk (林妙淑), ibu dari Park Gyeong Jung yang harus menjaga rumah ini seumur hidup sudah berusia lanjut sehingga kesulitan untuk memasuki dapur. Karena itulah di bagian barat dari bangunan utama dibangun gudang serta dapur modern dan ruang makan. Hidup suatu rumah berhubungan erat dengan orang-orang yang menempatinya. Semegah apapun suatu rumah tradisional, jika tidak ditinggali oleh seseorang maka itu hanya akan menjadi museum saja. Karena itulah, agar anak cucu dapat menempati rumah tersebut terus menerus harus dilakukan perbaikan dan perubahan pada rumah sesuai dengan kondisi kehidupan di masa berjalan dengan tidak melakukan perombakan besar-besaran. Dengan begitu kelangsungan hidup rumah tradisional tersebut tetap dapat bertahan tanpa menghilangkan estetika dan keanggunannya. Dapur yang baru dibangun terpisah itulah yang sepertinya menjadi lambang kelangsungan hidup rumah tradisional tersebut. Dapur Meluas ke Seluruh Bagian Rumah Cerita para perempuan yang menempati dan menjaga rumah ini turun temurun tergambar dengan sedikit lebih jelas di dalam ruangan di mana mereka sering habiskan banyak waktu mereka. Dapur sebagai tempat yang sangat sering dikunjungi masih terjaga bentuk aslinya sehingga membuat para menantu di rumah ini menjadi lebih akrab satu sama lain.


Dapur tua terlihat dari pintu belakang saat senja. Dapur itu memiliki dua pintu yang saling berhadapan agar ada akses yang mudah dan ventilasi yang lebih baik. Bangku kayu yang sempit di dalam pintu belakang adalah tempat para wanita duduk untuk makan dan beristirahat. Rak di sisi kanan pintu depan untuk menyimpan kayu bakar.

SENI & BUDAYA KOREA 7


Para perempuan menimba air dari sumur yang terdapat di halaman belakang di depan dapur dan mencuci beras dan memotong-motong sayuran kemudian menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Mereka harus giat untuk membawa keluar masuk Jangdukdae (guci untuk fermentasi tradisional) untuk menyimpan pasta fermentasi kedelai, ikan asin, dan kimchi yang sudah dibuat. Karena itulah sumur dan Jangdokdae dapat dikatakan sebagai kelangsungan hidup dapur untuk pola makan keluarga. Selain itu, lumbung untuk menyimpan biji-bijian dan lemari penyimpanan lauk pauk juga merupakan bagian ter­ pisah dari dapur. Kotak kayu yang digunakan untuk menyimpan beras dan juga rak-rak yang digunakan untuk menyimpan berbagai macam mangkuk dan patung, dapat juga dilihat juga sebagai ruangan yang memiliki fungsi sebagai lemari penyimpanan. Karena itulah, keseluruhan bangunan utama rumah adalah sebuah ruangan yang memiliki fungsi dapur yang kita bicarakan saat ini. Hal tersebut tidak hanya untuk rumah ini saja. Karakter-

Di luar pintu belakang dapur ada teras dengan 40 atau lebih periuk tanah berbagai ukuran. Terletak di tempat yang cerah untuk memudahkan fermentasi kecap, pasta kacang kedelai, pasta cabai merah dan bumbu lainnya. Teras merupakan platform yang dibangun dengan kerikil dan lempengan batu, berdiri sekitar 20-30 sentimeter untuk pembuangan air yang baik.

8 Koreana MUSIM GUGUR 2017

istik struktural dari rumah tradisional Korea memang seperti itu. Alasannya adalah karena kebiasaan makan masyarakat tradisional Korea memerlukan ruangan yang luas untuk proses menyiapkan makanan. Ketika membuat kimchi, kecap, tauco dan juga pasta cabai ruangan yang digunakan untuk membuatnya sampai keluar dapur dan bahkan sampai ke dalam paviliun. Pada hari-hari besar atau ketika musim membuat kecap tiba, bagian bawah dari paviliun dipenuhi oleh mangkuk-mangkuk kayu atau mangkuk-mangkuk yang tidak diketahui namanya yang ditutup. Ketika musim membuat kimchi, ratusan lebih sawi putih akan dikumpulkan sampai memenuhi halaman dan dibawa dengan menggunakan wadah kayu besar kemudian untuk digarami. Masa sekarang ini struktur dan pola makan penduduk Korea memang telah banyak mengalami perubahan, namun di sisi lain dapat dilihat bahwa ruangan tersebut perlahan menjadi semakin berharga sehingga skala pembuatan kimchi perlahan mengecil. Proses dasar memasak makanan pada rumah tradisional Korea memang terjadi di dalam dapur. Akan tetapi, sewaktu-waktu diperlukan ruangan yang lebih luas lagi untuk membuat makanan, maka halaman dan pavilun, bahkan lantai pun dapat digunakan. ‘Seluruh bagian dalam rumah adalah dapur’ bukanlah suatu ungkapan yang berlebihan. Hal ini menunjukkan dengan jelas betapa banyak dan melelahkannya pekerjaan rumah yang dilakukan oleh para wanita.


Bau Asap sebagai Bau Ibu Pada akhir tahun 1980an, saya pernah melakukan survei di suatu daerah terpencil di wilayah Naju dan menuliskan kehidupan seorang perempuan yang dijumpai sebagai berikut. “Kegiatan Ibu Un-Am di rumah dimulai dengan bangun pada jam 5 pagi kemudian menyalakan api di dapur. Bagian dalam dapur luas sehingga dapat meletakkan tumpukan kayu bakar di salah satu sudutnya, tempayan air untuk menyimpan air yang ditimba dari dalam sumur, serta alu dan lesung di sudut lainnya. Di atas tungku pembakaran terdapat tungku untuk memasak yang dapat digunakan untuk meletakkan dua buah panci besi berukuran besar. Ibu tersebut duduk di depan tungku dan menyalakan api.” “Sebelum mulai memasak nasi, ia meletakkan air bening di dalam sebuah mangkuk kecil untuk berdoa kepada dewa agar keluarganya selalu sehat dan selamat. Beras yang sudah dicuci dan dipersiapkan sehari sebelumnya kemudian dimasak di dalam sebuah dandang besi, kemudian sambil menunggu beras masak, ia menyiapkan lauk untuk dimakan sebagai sarapan pagi. Di saat bersamaan, banyak anggota keluarga yang tinggal di sana dan banyak yang dapat memberikan bantuan. Di dalam dapur para ipar dan keponakan berkumpul semua, namun sejak 10 tahun lalu jumlahnya semakin sedikit.” “Setelah selesai sarapan pagi, mereka pergi menuju ladang. Pada sorenya setelah pekerjaan di ladang selesai, di halaman depan rumah mereka menyusun biji-bijian dan sayur mayur yang diambil dari ladang, kemudian mulai menyiapkan makanan untuk makan malam.” Dapur kuno yang saya lihat pada saat itu terlihat gelap karena ditutupi jelaga, namun sebenarnya dapur tersebut bersih dan rapi. Asap yang keluar dari dalam tungku ketika memasak nasi dengan kayu bakar dan ranting pinus membuat din­ding dan atap dapur menghitam. Di sisi lain, rambut Ibu Un-Am yang memutih saat duduk di depan tungku api terlihat sangat kontras dengan jelaga yang hitam pekat. Pada saat itu saya berpikir bahwa jelaga dan rambut putih Ibu Un-Am semua ter-

Cerobong asap merupakan alat yang memungkinkan asap keluar dari tungku dapur, sambil mengirimkan udara kembali ke atasnya untuk menyalakan api. Ia memiliki lubang di keempat penjuru untuk pembuangan asap yang lebih baik.

Dapur kuno pada rumah ini terlihat gelap karena dindingnya tertutup jelaga hitam, tetapi sebenarnya kondisinya bersih. Apron milik Ibu Un-Am tak pernah lepas dari bau asap dapur, namun bau asap dapur tersebut bagi anak-anak mengingatkan mereka akan kampung halamannya. SENI & BUDAYA KOREA 9


1. Sebagian besar aula di depan kamar tidur utama ditempati perabot dapur, termasuk lemari tembikar dan peti beras. Rak-rak setinggi di dinding digunakan untuk menyimpan nampan, meja makan portabel dan piring yang tidak terpakai. Di sebuah rumah tradisional Korea, aula di bagian dalam merupakan perpanjangan dapur. 2. Kang Jeong-suk, nyonya rumah Park Gyeong-jung, memasak di dapur barunya yang dibangun di sayap yang terpisah.

1 © Cultural Heritage Administration

cipta di dapur merupakan homologi dengan akar yang sama. Ibu Un-Am tersebut selalu menggunakan apron berbau asap di dapur, dan bau tersebut bagi anak-anak adalah bau yang mengingatkan akan kampung halaman mereka. Pada tahun 1992, rumah tua itu pun akhirnya dirubuhkan dan rumah baru dengan dapur modern dibangun. Dulu memasak nasi menggunakan tungku api tradisional, namun sekarang sudah menggunakan gas. Pemanas ruangan pun sudah memakai bahan bakar minyak. Perubahan Secara Perlahan dalam Satu Abad Setelah melewatii proses modernisasi abad ke-20, Korea Selatan mengalami perubahan yang sangat besar dalam ber­ bagai bidang seperti politik, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Perubahan tersebut tentu saja juga membuat kehidupan sehari-hari masyarakatnya berubah secara keseluruhan. Dan sudah pasti kesadaran masyarakatnya pun berubah. Sampai 10 tahun lalu dapur dianggap sebagai ruangan khusus untuk perempuan, namun saat ini pemikiran tersebut sudah tidak berlaku lagi. Anak-anak muda Korea saat ini menyebut ‘Buok (dapur tradisional kuno)’ dengan kata ‘Jubang (dapur modern)’. Penyebutan nama dapur tersebut sepertinya dikarenakan kata ‘Buok’ terasa seperti sudah kuno atau ketinggalan zaman. Selama masa 100 tahun terakhir, dapur di Korea sudah berkali-kali mengalami perubahan yang mengarah ke modernisasi. Pada saat ini perlu adanya perhatian terhadap perubahan struktur ruangan pada dapur karena adanya poin yang menyatakan 10 Koreana MUSIM GUGUR 2017

bahwa dapur adalah ruangan yang dapat mengekspresikan kehidupan perempuan, baik dalam sudut pandang sempit ataupun secara metafora. Pendorong terjadinya perubahan adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta komersialisasi. Singkatnya, perpaduan fungsionalitas dan rasionalitas buah dari peningkatan ilmu pengetahuan telah memudahkan pekerjaan dapur para perempuan. Akan tetapi, jika menilik lagi proses tersebut, bukanlah suatu perjalanan yang mudah. Sebelumnya harus menunggu fasilitas umum di kota sudah lengkap dan melakukan perubahan struktur rumah tradisional lebih dahulu. Pada akhir tahun 1950-an, fasilitas penyediaan air di kota dimulai, namun masyarakat masih harus menunggu lagi 30 tahun untuk dapat menikmati air yang dialiri sampai ke dapur rumah. Selain itu, mengatasi masalah bahan bakar yang menjadi salah satu persyaratan penting dari dapur modern tidaklah mudah. Bahkan pada tahun 1970-an pun, masyarakat kota masih menggunakan briket. Akhirnya pada tahun 1980-an, sistem pengaturan panas untuk kamar dan untuk memasak pada rumah tangga dibuat secara terpisah. Jika melihat modernisasi secara lebih dekat, pada masa 100 tahun terakhir terlihat bahwa para perempuan pada rumah Park Gyeong Jung memiliki keinginan untuk bergerak maju. Tiap-tiap dari mereka telah melakukan perubahan dari posisi ma­­singmasing, dan walaupun terbatas, namun mereka bermimpi untuk membalikkan kehidupan mereka. Saya ingin sekali memberitahukan anak-anak perempuan saya proses dari usaha mereka untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan sambil mencari kenyamanan dan rasionalitas.


Rumah yang Rapi Tercipta oleh Hati Nyonya Rumah Wawancara dengan Kang Jeong Suk, nyonya rumah di rumah Park Gyeong Jung Pada awal musim panas tahun ini, saya pergi ke rumah Park Gyeong Jung yang dikenal sebagai rumah kuno cendikiawan pada akhir masa kerajaan Joseon dan melihat sudut halaman rumah tertutup oleh bunga-bunga dari pohon teh hijau yang berjatuhan sehingga membuat daun-daunnya yang hijau terlihat semakin segar. Saya disambut dengan baik oleh Park Gyeong Jung dan istrinya, Kang Jeong Suk, yang membuat saya terpukau dengan bentuk dari rumah tradisional yang indah dan kemampuan pemilik menjaganya dengan baik. Ham Han Hee: Walaupun rumah ini besar dan sudah tua, tapi tetap bersih dan rapi. Saya benar-benar ingin tahu bagaimana Anda menjaga dan merawat rumah sebesar ini. Kang Jeong Suk: Ibu sudah meninggal 7 tahun lalu, dan ia menjalani kehidupan yang sangat keras. Setiap hari ibu melakukan pekerjaan rumah karena saya bekerja mengelola taman kanak-kanak, sehingga ia sangat membantu saya sebagai menantunya. Ham: Memang selayaknya penghargaan diberikan kepada ibu mertua, namun bagaimana pun juga hidup di rumah mertua sepertinya adalah hal yang sulit, bukan? Kang: Ketika saya pindah ke rumah mertua, nenek dari suami saya sudah meninggal. Anggota keluarga suami sangat banyak mulai dari kakek suami, ibu dan bapak mertua, serta adik-adik ipar. Ibu mertua saja memiliki 6 anak laki-laki. Lalu, kakek dari suami juga sering didatangi banyak tamu. Tidak lama setelah saya pindah ke rumah mertua, pada hari kelima di bulan Januari diadakan upacara peringatan wafatnya kakek. Karena itulah, begitu pertama kali sampai di rumah mertua, saya langsung mengikuti upacara tersebut. Sampai

2

saat ini saya sudah mengikuti lebih dari 20 upacara yang dilakukan setiap tahun walaupun diadakan di musim panas yang udaranya sangat panas. Kemarin malam, saya mengikuti upacara peringatan wafatnya kakek buyut dari suami, lalu tanggal 22 Juli upacara peringatan wafatnya kakek dan pada bulan Agustus akan ada upacara wafatnya bapak mertua. Ham: Sejak dahulu, cucu menantu memegang peranan sangat penting dalam suatu rumah yang dikenal dengan istilah ‘benang jahit’. Mengerjakan hal-hal tersebut di rumah sebesar ini pasti menjadi hal yang sulit, namun saya sangat kagum sekali melihat Anda menceritakan hal yang sudah Anda jalani selama 40 tahun lebih seolah baru saja terjadi kemarin. Mengadakan begitu banyak upacara peringatan wafatnya leluhur pasti membutuhkan dapur yang sangat besar, bukan? Kang: Ketika pertama kali datang ke rumah ini pun, dapur lama itu yang digunakan. Kami memasak dengan air sumur yang ditimba dengan ember. Berbeda dengan rumah lain, di dapur rumah ini drainase sudah terpasang sehingga memudahkan pekerjaan. Air buangan dapat mengalir keluar. Tungku apinya pun saat ini terkadang masih dipakai. Dapur itu masih dipakai untuk hal-hal besar seperti ketika ada perayaan besar ataupun peringatan wafatnya, dan ketika membuat kaldu sapi atau membuat kecap. Nasi yang dimakan sehari-hari tidak dimasak di dapur itu. Ham: Apa yang menyebabkan dibuatnya dapur modern di rumah ini? Kang: Di dapur lama kita harus menyalakan api di tungku tradisional untuk memasak nasi dan hal tersebut sangat melelahkan, sehingga akhirnya di bagian luar rumah dibuatlah dapur modern. Dapur modern ini dibangun sekitar 20 tahun lalu. Jika mengingat kembali kehidupan para perempuan di rumah ini, ingatan mengenai keindahan dari rumah tradisional Korea kembali muncul. Ini berarti sulit jika hanya memujinya sebagai bangunan penting yang dibangun leluhur. Sebaliknya, kesabaran, pengorbanan, dan jiwa kreatif dari para wanita yang tangguh menjaga rumah yang penuh ketidaknyamanan tersebutlah yang seharusnya mendapatkan lebih banyak pujian. Membuat rumah menjadi bersih dan rapi serta elegan sehingga membuat banyak orang berdecak kagum tak lain berawal dari hati dan tangan dari sang nyonya rumah yang merawatnya.

SENI & BUDAYA KOREA 11


FITUR KHUSUS 2 Dapur Korea: Dari Tungku sampai Realitas Maya

Semangkuk air bersih yang segar mewujudkan dapur dewa yang disebut Jowang, dewa yang perkasa di sebuah rumah tradisional Korea. Penyembahan dewa dapur, atau dewa tungku, berasal dari tradisi pemujaan api kuno pada kepercayaan rakyat Korea. Terkadang, ranting pinus mendampingi mangkuk. Š Suh Jae-sik

12 Koreana MUSIM GUGUR 2017


SEBUAH POHON KELUARGA:

Dapur Cina, Korea, dan Jepang Budaya dapur Asia Timur bermula dari Cina, menyeberangi Semenanjung Korea hingga ke Jepang. Kemudian, budaya dapur tradisional bangsa Korea berkembang lagi menjadi struktur yang unik berdasarkan cuaca dan pemakaiannya yang berbeda di tiap-tiap wilayah. Berbeda dengan dapur modern yang hanya berfungsi sebagai tempat memasak sekaligus tempat makan, dapur tradisional juga berperan sebagai ruang kepercayaan bagi para istri yang berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan keluarganya. Kim Kwang-on Dosen Emeritus Universitas Inha

C

atatan terlama mengenai dapur Korea ditemukan dalam “Catatan Tiga Kerajaan”(San guo shi ) karya sejarawan Dinasti Qin, Chen Shou. Meskipun hanya tertulis sepatah kalimat berbunyi “sebagai tempat pemujaan dewa dapur, suasananya selalu penuh hormat dan semuanya terletak di sebelah barat pintu”, namun kalimat tersebut tidak hanya menjadi data penting mengenai letak dapur, tetapi juga memberitahu karakteristik menonjol yang dimi­ liki oleh dapur Korea. Kata “sebelah barat rumah” mengindikasikan rumah yang menghadap ke arah selatan, dan kenyataannya pun lebih dari 99% rumah Korea meletakkan dapurnya di sebelah barat. Jika dapur ditempatkan di sebelah timur, maka angin kencang dari Siberia akan menyebabkan api dan asap tungku sulit untuk keluar menuju cerobong asap. Melihat alas­ an ini, peletakan dapur Korea sangatlah saintifik. Dapur dalam Catatan Lama Cina maupun Jepang tidak memiliki konsep mengenai arah peletakan dapur seperti Korea. Alasan utamanya adalah karena mereka tidak menggunakan sistem penghangat lantai kamar dengan tungku api. Kini dapat dimengerti mengapa dalam buku di atas tertulis kata-kata “semua dapur ada di sebelah barat”. Dapur yang terlukis di dinding kuburan Anak nomor 3 di provinsi Hwanghae(kini menjadi bagian dari Korea Utara), kabupaten Anak yang merupakan peninggalan abad ke-4, juga

merupakan catatan penting. Kuburan ini diketahui sebagai kuburan raja Gogugwon dari kerajaan Goguryeo, namun ada juga yang mengatakan milik raja Murong Huang pendiri Yan Awal pada zaman Enam Belas Negara Cina, atau milik Jenderal Dong Shou dari kerajaan Yan Awal yang berkunjung ke Goguryeo pada tahun 336 dan meninggal pada tahun 357. Dapur yang tergambar di dinding kuburan Anak nomor 3 ini adalah sebuah bangunan tersendiri dengan atap pelana bergenting. Sejak dulu istana kerajaan atau rumah-rumah keluarga makmur membangun dapur di belakang rumah tengah dan menamakannya “banbitgan (ruang memasak)”. Dalam “Catatan Sejarah Dinasti Joseon” (1 Januari 1666, tahun ke-7 pemerintahan raja Joseon ke-18, Hyeonjong), pembantu perempuan dapur disebut “banbi ”. Tetapi sebutan untuk dua buah dapur istana Gyeongbokgung yang direstorasi pada tahun 2015 berubah menjadi “Sojubang ” (yang secara harafiah berarti “ruang memasak dengan menggunakan api”). Melihat munculnya kata ini dalam “Catatan Harian Sekretariat Kerajaan” (9 November 1632, tahun ke-10 pemerintahan raja Joseon ke-16, Injo), dapat diketahui bahwa pada abad ke-17 kedua kata tersebut digunakan bersama untuk menamakan dapur. Sementara di rumah-rumah pribadi, dapur disebut “handet bueok ”(yang berarti dapur luar ruangan). Sebuah banbitgan yang dibangun di belakang rumah tengah Yeongyeongdang dalam istana Changdeokgung pada masa pemerintahan raja Joseon ke-23, Soonjo, SENI & BUDAYA KOREA 13


Benda-benda suci dewa dapur berbentuk ‘air dalam mangkok kecil’ yang diletakkan di atas undak kecil di belakang tungku api atau di belakang kawah besi hitam. Setiap pagi para istri menuangkan air dalam mangkok kecil ini ke dalam kawah besi, perapian, tutup ketel, panci wadah air, dan sebagainya. Kemudian mereka menuangkan air baru ke dalam mangkok kecil dan berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan keluarganya. masih ada sampai sekarang. Tujuan utama peletakan dapur secara terpisah dengan rumah utama adalah untuk mencegah menjalarnya api saat kebakaran dan agar bau masakan tidak memasuki rumah utama. Tetapi alasan lainnya adalah karena mereka sering memasak dalam jumlah yang banyak sekaligus. Oleh sebab itu, rumah-rumah keluarga sederhana pun menempatkan handet bueok (dapur luar ruangan) secara terpisah di sekitar dapur utama mereka. Dapur terpisah banbitgan merupakan budaya yang berasal dari Cina. Di antara 22 buah relief yang ditemukan di kuburan dinasti Han, sebanyak sepuluh relief berasal dari daerah Shandong yang melengkung menyeberangi Laut Kuning menuju Semenanjung Korea. Karena itu, sudah tentu lukisan dinding Goguryeo yang mendapat pengaruh Cina sangat mirip de­­ ngan gambar relief ini. Sementara gagak hitam yang tergambar di atas punggung atap dalam lukisan dinding kuburan Anak juga merupakan pengaruh dari Cina kuno yang memuja gagak hitam sebagai dewa matahari. Orang-orang zaman Baekje juga mengikuti tradisi ini, dan bukan suatu kebetulan terdapat karakter cina “O” yang berarti gagak hitam dalam nama Yeon O-rang – orang zaman Shilla yang menyeberang ke Jepang pada tahun ke-4 pemerintahan raja Adalla dan menjadi raja di Jepang – dan dalam nama istrinya, Sae O-nyeo . Bordiran gagak hitam di bagian bahu pada baju formal raja Jepang juga erat hubungannya dengan latar belakang ini. Di samping itu gudang penggilingan gandum, kandang kuda, sumur, tempat penyimpanan daging dengan hasil sembelihan binatang ternak yang digantung berjejer-jejer juga me­rupakan pengaruh dari Cina. Melihat petunjuk ini, kemungkinan Jenderal Dong Shou menjadi pemilik kuburan Anak nomor 3 ini bukanlah suatu hal yang mustahil. Sejarah Kata Dapur Di Korea terdapat kata-kata yang berarti dapur seperti “bueok ” dan “jeongji “. Meskipun memiliki arti yang sama, 14 Koreana MUSIM GUGUR 2017

kedua kata ini digunakan secara berbeda berdasarkan wilayah­ nya. “Bueok ” pada umumnya digunakan di Pulau Jeju; sebelah barat provinsi Gyeonggi, Chungcheong, Jeolla; serta provinsi Pyongan dan Hwanghae di Korea Utara. Sedangkan “jeongji ” digunakan di sebelah timur provinsi Chungcheong, Gyeongsang, Jeolla dengan provinsi Hamgyong dan Gangwon sebagai pusatnya. Hal ini menandakan pembagian budaya dapur menjadi dua, yaitu dapur wilayah utara dan selatan. Kata “bueok ” muncul pertama kali dalam puisi Du Fu terjemahan Korea yang terbit pada tahun 1481. Dari kata bueok, suku kata “bu ” berasal dari karakter “bul ” yang berarti api, sedangkan suku kata “eok ” berarti tempat. Ketika itu, lafal kata dapur ini lebih menyerupai “buseok ”, yang menariknya juga menyerupai dialek Jeju “buseop ” untuk menyebut tungku api. Kata jeongji muncul dari rumah tradisional provinsi Hamgyong bernama gyeopjip yang memiliki ciri khas membangun kamarnya secara paralel depan-belakang menyerupai karakter cina “jeon (田)” untuk menahan dingin yang menusuk, dengan peletakan dapur di bagian tengah rumah. Suku Oroqen dari pegunungan barat laut provinsi Heilongjiang, Cina, dekat provinsi Hamgyong, secara umumnya tinggal di tenda. Mereka menempatkan tungku api di seberang pintu masuk dan menyebut bagian belakang tungku tersebut “malo ” atau “malu ”, dan bagian sampingnya yang merupakan area para ibu dan anakanak perempuan sebagai “jungidui ”. Kata Korea “maru ” yang berarti kamar berlantai kayu pada rumah tradisional Korea, dikatakan berasal dari kata suku Oroqen “malo ”, sehingga dapat juga dikatakan bahwa jeongji juga memiliki sejarah kata yang serupa. Fakta bahwa pada zaman dulu provinsi Heilongjiang merupakan bagian dari kerajaan Goguryeo menjadi salah satu bukti yang menopang asumsi bahwa kata jeongji berasal dari kata jungidui . Kata chu yang berarti dapur dalam bahasa Cina, sebenar­ nya memiliki arti keadaan membawa piring berisikan acar sayuran. Namun arti kata ini berubah menjadi dapur yang merupakan tempat memasak makanan. Panggilan churen atau


Sebuah mural di Makam Anak No. 3, yang bertanggal abad ke-4 Goguryeo Kingdom, terletak di Kawasan Anak, Provinsi Hwangha Selatan di Korea Utara sekarang, berisi banyak petunjuk berharga mengenai dapur Korea kuno.

paoren untuk juru masak pun adalah karena alasan ini. Di Jepang, dapur disebut daidokoro atau katte . Jika merujuk kepada kamus bahasa Jepang kuno, daidokoro adalah peralatan berkaki yang digunakan di kerajaan atau rumah para bangsawan pada masa Heian untuk meletakkan masakan di atasnya. Sementara katte berarti tangan kanan yang digunakan untuk menarik anak panah. Kemudian tangan kanan ini diartikan sebagai “kehidupan” karena lebih mudah digunakan dari pada tangan kiri, dan akhirnya berubah lagi maknanya menjadi “dapur”.

© Korea Creative Content Agency

Tempat Dewa Tinggal di Setiap Rumah Dalam buku “Catatan Tiga Kerajaan” di atas, terdapat kata-kata “meskipun cara untuk memuja dewa bumi berbeda-beda, namun semua pemujaan dilakukan di tungku api yang terletak di sebelah barat pintu”. Bentuk dewa bumi di Korea dibagi menjadi dua, yaitu “jowang ” (dewa dapur) di wilayah Seoul, provinsi Chungcheong Selatan dan Gyeongsang; dan “hwadeok ” (dewa api) di provinsi Chungcheong, Jeolla Utara, dan Jeju. Sebutan jowang sendiri terbagi lagi menjadi beberapa versi seperti jowangkakssi , jowanghalmang , jowangdaegam , dan sebagainya. Tetapi mengingat pemilik dapurnya adalah perempuan, maka tidak mengherankan jika dewa bumi tersebut adalah perempuan. Kata hwadeok juga lebih cocok dengan orang Korea jika mempertimbangkan asal-usul kata jowang yang merupakan bahasa Cina. Berbeda dengan jowang yang hanya merupakan sebuah konsep, hwadeok memiliki kaitan erat dengan api yang selalu dipakai. Benda-benda suci dewa dapur berbentuk ‘air dalam mangkok kecil’ yang diletakkan di atas undak kecil di belakang tungku api (buttumak ) atau di belakang kawah besi hitam (sot ). Setiap pagi para istri menuangkan air dalam mangkok kecil ini ke dalam kawah besi, perapian, tutup ketel, panci wadah air, dan sebagainya. Kemudian mereka menuangkan air baru ke dalam mangkok kecil dan berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan keluarganya.

Sebaliknya dapur Jeju yang tidak memiliki tungku api menjadikan tiga buah batu penyangga kawah besinya yang dinamai samdeok sebagai dewa dapur dan memberikan korban untuk masing-masing batunya. Saat pindah rumah pun mereka membawa batu-batu ini agar tidak kehilangan rejeki yang diperoleh di rumah sebelumnya. Tradisi serupa ini juga dipraktekkan oleh suku-suku kecil di provinsi Sichuan, Yunnan, dan Guizhou di daratan Cina. Bentuk dari dewa dapur di Korea biasanya berupa air. Air bukan saja merupakan dewa keberuntungan yang dapat membersihkan malapetaka dan membawakan keberuntungan, tetapi juga dewa yang memberikan kelahiran dan kehidupan baru, serta dewa pelindung yang dapat memadamkan api. Berbeda dengan Korea, bentuk dewa dapur di Cina berupa lukisan. Gambar dewa yang terlukis di kertas biasanya dibeli di pasar atau digambar sendiri, dan kadang juga digantikan de­­ngan tablet memorial yang terbuat dari kayu. Penggantungan gambar dewa dapur di dapur kuil-kuil besar Korea dan pembacaan “Hati Sutra” seusai menanak nasi, kedua hal ini me­rupakan pengaruh dari Cina. Dalam tradisi Cina, dewa dapur digambarkan sebagai abdi Kaisar Giok di langit yang dikirim ke bumi untuk mengawasi kejadian yang berlangsung di antara kehidupan para manusia. Dan sama halnya seperti di Korea, dewa dapur tersebut juga perempuan. Sementara itu di Jepang, SENI & BUDAYA KOREA 15


1 1. Dapur khas Korea terletak di sebelah barat gerbang depan rumah yang menghadap ke selatan untuk menghindari angin barat dari Siberia. Tungku dipasang di bagian bawah dinding menyatukan dapur dengan kamar untuk kegiatan memasak dan penghangatan pada waktu yang bersamaan. Kayu bakar ditumpuk di sisi seberang tungku. 2. Di rumah-rumah Cina, dengan beberapa perbedaan daerah, umumnya ruangan dipanaskan dengan braziers sehingga tidak perlu tungku dapur dibangun dekat dengan kamar lainnya. Seringkali dapur merupakan struktur yang terpisah dari bagian rumah lainnya. Dapur jenis ini diperkenalkan ke Korea, disebut banbitgan.

bentuk dewa dapur disimbolkan dengan topeng kayu berwajah garang yang dinamakan “hwanam ” (yang berarti laki-laki api). Setiap akhir tahun, dewa dapur turun ke dunia dan me­­ laporkan kejadian tiap-tiap keluarga kepada kaisar langit. Kemudian kaisar langit akan memberikan pahala kepada keluarga yang menumpuk kebajikan, dan memberikan hukuman kepada mereka yang telah berbuat jahat. Karena alasan ini, setiap keluarga di akhir tahun akan menempelkan manisan gula lengket atau ampas arak beras di tungku pembakaran yang merupakan simbol mulut. Dengan ini mereka menganggap mulut dewa dapur akan lengket terkatup sehingga ia tidak bisa berbicara. Sebaliknya, mereka juga menyiapkan kue beras (tteok ) atau buah-buahan, dan bahkan juga kuda untuk ditunggang sebagai usaha untuk menyenangkan hati dewa dapur. Ragam Tungku Api dan Cerobong Asap: Dari Korea ke Jepang Dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Peralatan Dapur”, desainer industri Jepang Kenji Ekuan (1929-2015) mengatakan bahwa, “sungguh mengejutkan jika mengingat tidak adanya kamado (tungku api) di Jepang sebelum dimasukkan dari Korea. (…) berkat itu, efisiensi pemanasan meningkat dan dengan ada­ 16 Koreana MUSIM GUGUR 2017

nya cerobong asap, para penghuninya terbebas dari asap tungku.” Tungku api (buttumak ) yang juga disebut kan kamado atau kara kamado , masih dihormati sebagai benda suci di berbagai kuil dan museum Jepang sampai sekarang. Sama halnya seperti di Korea, mereka melumuri tungku api dengan tanah halaman rumah orang-orang kaya pada hari bulan purnama pertama untuk memanggil keberuntungan. Bersama tungku api, periuk besinya pun secara otomatis ikut serta masuk ke Jepang. Seorang cendekiawan zaman Edo, Hakyuseki Arai (1657-1725) mengatakan bahwa, “dahulu tungku api disebut kama , dan kemudian dengan masuknya periuk besi, kata kama yang berasal dari dialek Korea ini juga digunakan untuk menamai perangkat masak tersebut. Di Joseon, kata ini masih digunakan untuk menyebut periuk besi”. Kama yang merupakan sebutan untuk tungku api di Korea Utara, berkaitan erat dengan masuknya rumah tradisional provinsi Hamgyong, gyeopjip , ke wilayah timur laut Jepang. Dalam “Kamus Jepang Kuno Iwanami” yang diterbitkan pada tahun 1990 juga dijelaskan bahwa kata tersebut memiliki hubungan erat dengan “kosa kata Joseon kama ”. Kata ini juga muncul dalam antologi puisi Otomono Yakamochi “Man’yoshu” yang terbit pada abad ke-8, dan “Wemyeongryuchuiso” pada abad ke-10.


2

3

© Zhao Jiankang

© Getty Images

3. Di dapur Jepang, memasak berlangsung di atas tungku sebelum dapur, kamado, atau buttumak dalam bahasa Korea, diperkenalkan dari Korea. Kompor dianggap hal yang menakjubkan dan masih dipuja sebagai dapur dewa berupa panci besi di beberapa tempat suci Jepang saat ini.

Ketakjuban orang Jepang saat pertama kali melihat periuk besi Korea dapat diketahui melalui periuk besi yang digunakan sebagai simbol dewa dapur dan masih dihormati di kuil Karakama di Izuno, wilayah Shimane. Selain itu, cerobong asap yang menjadi satu dengan tungku api juga tidak dapat dipisahkan. Sebuah artikel ilmiah Kaoru Nakata(1877-1967) berjudul “Penelitian Perbandingan Linguistik Jepang dan Korea” me­­ngatakan bahwa, “Tungku api yang saat ini disebut kudo me­rupakan hasil perubahan makna yang berarti cerobong asap pada mulanya. Kosa kata Korea, gulttuk , adalah kata yang memiliki makna serupa. (…) hubungan sejarah kata ini terbentuk sejak zaman kuno”. Kenyataannya, pada abad ke-17 orang Korea menyebut cerobong asap ini “gulttok ” dan kata ini masih digunakan hingga saat ini di sebagian wilayah Jeolla, sehingga tidak aneh jika kata ini berubah menjadi kudo mengikuti lafal Jepang. Sementara itu, kuil Kudo di wilayah Nara – Jepang, memilih orang Baekje sebagai dewa utamanya dan kawah besi sebagai wujud dewa bumi. Tulisan pada bagian samping kawah yang berbunyi “dipersembahkan pada bulan ke-8 pada tahun berdirinya era Keinan(1648)” menunjukkan bahwa kawah ini dibuat pertama kali pada saat itu. Pada saat saya berkunjung

melihat kawah ini pada tahun 2000, salah satu kaki penyangga kawah ini sudah dalam keadaan patah. Kabupaten Hira dan Ikoma yang terletak di sekitar tempat pemujaan ini merupakan kediaman rakyat Baekje di masa lampau. Selain itu, dalam tulisan Hong Yun-gi, profesor jurusan kajian Korea Universitas Pendidikan Otak (University of Brain Education), “Perjalanan Sejarah Hong Yun-gi: Mencari Gelombang Korea di Dalam Jepang” (diterbitkan di surat kabar Saegye Ilbo , 2 Mei 2007) ditemukan kutipan kata-kata sejarawan Timur, Konan Naito(1866-1934) : “dewa imaki adalah dewa dari luar negeri, raja Gutae (Daeso) yang merupakan leluhur raja Seongmyeong (raja Seong) dari Baekje adalah dewa kudo , raja Biryu dari Baekje adalah dewa huruaki , dan raja Chogo dari Baekje adalah dewa akhi ”. Jika budaya dapur Asia Timur diibaratkan sebagai pohon, maka Cina bagaikan akar, Korea bagaikan batang, dan Jepang bagaikan rantingnya. Tetapi seperti yang telah dijelaskan sebe­ lumnya, perbedaan wujud dapur di ketiga negara ini merupakan hasil dari pantulan akal budi para penduduknya di ma­­ sing-masing negara. Laksana bunga yang mekar di ujung ranting, budaya dapur Asia Timur pun dapat dikatakan mekar sepenuhnya di Jepang. SENI & BUDAYA KOREA 17


FITUR KHUSUS 3 Dapur Korea: Dari Tungku sampai Realitas Maya

Sesuatu

Selalu Dimasak Di Dapur

Dapur memang sebuah ruangan untuk membuat makanan dan juga makan, tetapi di sisi lain juga memiliki fungsi lain. Bagi sebagian orang dapur dapat menjadi sebuah ruang kerja dan juga sebagai tempat terukirnya masa remaja jika dipandang sebagai tempat penyimpan kenangan. Karena itulah, di setiap dapur selalu ada sesuatu yang terolah, baik sup, nasi, ataupun kerinduan. Lee Chang-guy Penyair dan Kritikus Sastra Ahn Hong-beom, Ha Ji-kwon Fotografer

P

ada sebuah rumah terdapat banyak informasi yang dapat menunjukkan bagaimana karakter asli dari sang pemilik rumah. Khususnya dapur sebagai tempat tinggal sekaligus tempat makan. Dapur merupakan ruangan yang dapat membuat kita secara langsung melihat bagaimana pola hidup dan bentuk kehidupan dari orang yang tinggal di dalam rumah tersebut. Ketika dengan sudut pandang tersebut mengangkat dapur sebagai objek dari diskusi, cara pendekatan yang paling umum adalah ‘perubahan’. Dapur memang tidak dapat menjadi objek utama perubahan, namun dengan cara tertentu dapur juga mencerminkan perubahan walaupun lambat. Sudut pandang dalam melihat secara menyeluruh peran dan tampilan dari dapur mengalami perubahan berdasarkan perubahan waktu dan lingkungan, atau berdasarkan cara pengaturan api merupakan cara yang sangat berguna untuk dapat membandingkan pola hidup dan kebudayaan di masa lalu, masa kini dan masa depan. Akan tetapi, pada proses ini hal yang kita dapat temukan dan pelajari adalah fakta bahwa perubahan yang terjadi hampir tidak ada kebaruan. Sebaliknya, rasa ingin tahu atau pertanyaan biasanya melampaui akal sehat masyarakat modern yang hidup di masa kini. Salah satu pertanyaan semacam itu mungkin, “Bagaimana pria menggunakan dapur, yang dahulu kebanyakan merupakan tempat perempuan, dan bagaimana mereka mengingatnya?” 18 Koreana MUSIM GUGUR 2017

Dapur Tidak Lagi Sederhana Kita tidak boleh menerima serta merta hanya karena para seniman menggambarkan suatu ruangan dengan sangat suram dan gelap, atau justru dengan sangat cerah. Dalam banyak kasus, para seniman bersifat kontradiktif dan memiliki bakat yang luar biasa dalam memaksimalkan perasaan tertentu atau membuat sesuatu secara ambigu. Bisa berupa konflik atau bahkan pertentangan yang diperkirakan sebenarnya tidak pernah ada. Hal ini adalah konsekuensi yang timbul dari pemindahan ruang kehidupan nyata menjadi ruangan di dalam rumah. Bentuk hubungan unik ini menekankan relasi manusia dan ruang dengan pendekatan yang lebih besar dibandingkan positivisme, membuatnya lebih menarik dan juga memberikan pemahaman. René Magritte yang dikenal dengan karyanya yang berju­ dul 「Ini Bukanlah Pipa」 menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan menggambar di ruangan yang berfungsi sebagai dapur dan ruang makan sambil makan dan menerima tamu di saat bersamaan. Tidak pernah sekalipun ia berkeinginan memiliki studio yang layak. Menurutnya studio lukis hanyalah tempat untuk memamerkan karya seperti para pelukis dari Paris yang memanjangkan janggut dan memakai topi baret dan ia tidak menyukainya. Jika melihatnya sedang melukis dengan menggunakan setelan jas di dapur apartemen kecilnya yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan, ia terantuk meja makan, tangannya memegang penggorengan, lengannya menahan pegangan pintu karena banyak orang keluar masuk sehingga ia


Š Ahn Yong-gil

Dapur merupakan ruangan untuk perempuan, namun pada saat ini kaum lelaki juga menikmati ruangan dapur itu.

SENI & BUDAYA KOREA 19


menggoreskan kuasnya pada bagian kanvas yang salah. Ketika waktu untuk makan tiba, ia menghentikan pekerjaannya dan harus bersusah payah untuk membereskan peralatan lukisnya seperti kuda-kuda, palet dan kuas, dan kegiatan itu selalu terjadi berulang-ulang. Karena itulah, pada setiap karyanya dapat dijumpai objek-objek benda yang umumnya berada di ruang makan atau dapur. Misalnya saja potongan keju di dalam wadah kaca pada karya berjudul「Ini Sepotong Keju」atau roti-roti baguette yang membentuk formasi seperti pesawat pada karya berjudul 「Le­ genda Emas」. Ia telah membuat benda-benda umum dijumpai pada kehidupan nyata menjadi asing dengan caranya tersendiri. Seorang penulis puisi terkenal beraliran surealisme yang berasal dari Belgia bernama Paul Nougé berkata demikian. “Dunia berubah jika melihat lukisan Magritte. Tidak ada lagi benda-benda biasa dalam karyanya.”

elit dan ‘Modern Boy’ yang bertanggung jawab terhadap editorial majalah『Yeoseong (Wanita)』. Dia yang “melewati simpang empat Gwanghwamun sambil membalikkan double-breast berwarna hijau muda dan mengibarkan rambut hitamnya yang mengingatkan kepada ombak laut di kutub”, dan berminat pada budaya tradisional Joseon yang “sangatlah berbeda dengan penampilannya”, tepat­ nya budaya tradisional daerah Jeonju di provinsi Pyeongan Utara mengejutkan banyak orang. Im Hwa adalah tokoh yang mengkritik dan khawatir pada desentralisasi yang menurut­ nya bukan merupakan perasaan universal dari Joseon, dan Kim Ki-rim adalah tokoh yang mengagumi pandangan tentang “wajah daerah terpencil yang lugu” yang tidak mendapatkan respon dan juga apresiasi. Puisi Baek Seok yang menceritakan pengalaman masa kecilnya yang dihabiskan di Jeongju, dapat dikatakan bernuan-

Kita tidak boleh menerima serta merta hanya karena para seniman menggambarkan suatu ruangan dengan sangat suram dan gelap, atau justru dengan sangat cerah. Dalam banyak kasus, para seniman bersifat kontradiktif dan memiliki bakat yang luar biasa dalam memaksimalkan perasaan tertentu.

Rumah yang memiliki ‘Dapur’ yang menjadi galeri seni Magritte saat ini berada di desa di luar kota Brussel yang bernama Jette. Tempat ini ditinggali oleh Magritte setelah kembali dari Paris pada tahun 1930 karena ia dikeluarkan dari kelompok surealisme akibat perselisihannya dengan Andre Breton. Di tempat ini, Magritte tinggal selama 24 tahun bersama dengan istrinya. Dapur Tempat ‘Memasak Sup’ Di Korea seorang penulis puisi muda berusia 20-an bernama Baek Seok mengeluarkan karya kumpulan puisinya yang berjudul 『Rusa』pada tahun 1936, yaitu tahun yang sama ketika Magritte menyelesaikan lukisannya yang berjudul「Ini Sepotong Keju」 yang dikerjakan di salah satu sudut dapur rumahnya. Baek Seok yang lahir dan tumbuh pada masa modernisasi menghabiskan masa sekolah di Osan kemudian melanjutkan pendidikan di jurusan sastra Inggris Universitas Aoyama. Setelah lulus kuliah, ia bekerja di Joseon Ilbo sebagai seorang 20 Koreana MUSIM GUGUR 2017

sa lokal. Akan tetapi, narasi yang disempurnakan dari narator yang tidak mengalami secara langsung pengalaman tersebut dan menjaga jarak tertentu, ekspresi bahasa berlebihan yang didasari oleh tradisi daerah di provinsi Pyeongan Utara dan dunia perdukunan, khususnya pada poin memberi perintah de­­ ngan menggunakan dialek daerah yang brilian dengan cara imajinisme ekstrim seolah melihat miniatur pelukis Flander, jelas berbeda dengan ‘sastra orang kampung’ umum. Salah satu nuansa pedesaan yang paling menarik perhatian Baek Seok adalah makanan. Jumlah makanan yang muncul pada buku kumpulan puisinya berjudul 『Rusa』 yang berisi 33 puisi adalah 46 jenis. Nama makanan tersebut tidak hanya asing bagi masyarakat Korea pada umumnya, namun juga bagi orang asing. Latar belakang dapur sebagai tempat makanan tersebut dibuat juga sering muncul dalam puisi Baek Seok. Di dalam panci besi di dapur tersebut, sesuatu selalu dimasak. “Para ipar perempuan berkumpul dan memasak sup lobak


Puisi Baek Seok sering menggambarkan pemandangan dapur di mana sup harum selalu menggelegak di atas kompor. Ketika ada sesuatu yang mendidih di dapur, itu berarti seb agai makanan panas dan kamar hangat.

seafood sehingga aroma sedapnya keluar lewat sela-sela gerbang samping dan pintu kertas” 「Keluarga yang tinggal di lembah dengan rubah」 “Malam ketika hari besar seperti besok sangat baik di dapur, sehingga api bergelora dan tutup panci menari-nari, serta aroma sup tulang sapi tercium” 「Goya」 “Di dalam dapur yang gelap, bapak mertua yang merupakan seorang duda tua memasak sup rumput laut / Jika menginterpretasikan perasaan dari kritikus sastra, Lee Soong won, timbul kata ‘Desa’. Berdasarkan hal tersebut,‘Anak perempuan adalah rumah’ berarti rumah keluarga dari ibu. Anak perempuan di rumah pun memasak Sankuk (sup untuk ibu)” 「Jeok Gyeong」 Dapur konvensional Korea pada umumnya dibangun bersebelahan dengan dinding paviliun dan di sisi dindingnya dibuat tungku api dan panci berukuran besar serta kecil digantung di dindingnya. Di dalam panci besi yang diletakkan di atas tungku yang apinya menyala, nasi dan sup dimasak. Di saat

yang sama, panas dari tungku tersebut menjalar melalui salur­ an yang ada di bawah lantai sehingga membuat kamar menjadi hangat. Karena itulah, memasak sesuatu di panci besi di dapur memiliki arti bahwa adanya kamar yang hangat dan masakan yang dapat disantap, dan menjadi lambang suatu keluarga berada dalam kondisi harmonis. Ketika musim dingin, sup lobak seafood yang aromanya dapat membuat meneteskan air liur walaupun sedang tidur, adalah masakan khas daerah di provinsi Pyeongan Utara yang terbuat dari lobak dan udang yang diasinkan. Menambahkan udang asin yang kaya rasa ke dalam sup lobak yang segar membuat rasa sup menjadi lezat dan beraroma sedap. Baek Seok berpakaian seperti seorang laki-laki modern dan ia juga mengalami kerasnya kehidupan pada masa kolonial Jepang di abad 20. Akan tetapi, selera makan dan penciuman serta perasaannya masih berada pada budaya desa di bagian utara Joseon di masa abad 19 yang masyarakatnya memperSENI & BUDAYA KOREA 21


cayai ‘dukun berjalan di atas pisau’ dan ‘sakit perut akan membaik jika makan buah pir liar’. Mungkin kemalangannya dimulai dari jarak antara modern dan tradisional, kehancuran negara dan masa kolonial. Setelah melewati kehidupan yang berantakan dan menikah 5 kali karena paksaan orang tua, isi puisinya menjadi bertemakan suap dan kesepian, berbeda dengan sebelumnya『Rusa』 yang bertemakan kehangatan kehidupan desa. Roy F. Foster yang menulis biografi mengenai W. B. Yeats mengatakan bahwa perkataan Napoleon yang berbunyi “untuk memahami seseorang, maka kita harus memahami kehidupannya ketika ia berumur 20 tahun”, sangat sesuai untuk Yeats. Mengapa Baek Seok yang merupakan sarjana sastra Inggris tidak mengetahui bahwa Yeats mengalami krisis identitas pada masa kecil, dan mengenai mitos dan legenda di tanah kelahirannya, Irlandia? Berbeda dengan Yeats yang dapat mengharmonisasikan politik, tekanan sosial dan tendensi pribadi, Baek 22 Koreana MUSIM GUGUR 2017

Seok tidak dapat melakukannya. Ketika diharuskan memilih salah satu saat Korea terbagi menjadi utara dan selatan setelah perang, ia memilih untuk kembali ke kampung halamannya, Jeongju, yang terletak di Korea Utara. Sejak saat itu pula karir sastranya yang banyak bersifat personal berakhir. Dengan demikian, sejarah sastra Korea harus selamanya mencatat dirinya sebagai ‘penulis puisi duka dan putus asa’ yang tidak lagi mengagumi dunia imajinasi primitif masyarakat Korea. Dapur yang Kosong Jika kita pergi ke Sadang-dong di kota Seoul, terdapat sebuah rumah milik penyair bernama Seo Jeong Ju yang dinobatkan sebagai ‘Warisan Masa Depan Seoul’. Di rumah tersebut selama 30 tahun ia menghabiskan masa hidup bersama dengan istrinya. Seo Jeong-ju memiliki nama panggilan ‘Midang’ yang memiliki arti ‘rumah miskin’ atau ‘orang yang masih


Seorang biksu Buddha sedang menunggu sup mendidih di dapur Kuil Tongdo di Yangsan, Provinsi Gyeongsang Selatan. Penulis artikel ini pernah tinggal di Kuil Sangwon di Gunung Odae di Provinsi Gangwon, memasak makanan dan mencuci piring untuk orang-orang yang tinggal dan bekerja di sana.

berkekurangan’. Akan tetapi, berbeda dengan namanya yang sederhana, ia dipandang sebagai penyair kenamaan sastra modern Korea oleh banyak orang Korea. Pada salah satu sisi dapur dari rumah tersebut tergantung rekening pembayaran biaya keamanan yang dibayarkan pada tahun 1978 dan juga sebuah foto sepasang suami istri memakai Jeoksam (luaran baju tradisional Korea) berbahan linen putih sedang duduk di tembok batu di taman sambil memicingkan mata karena cahaya matahari musim panas menyilaukan mata mereka. Untuk mengetahui bagaimana sosok istrinya yang bernama Bang Ok Suk, saya memperkenalkan cara membuat kepiting marinasi darinya yang termuat di dalam sebuah artikel surat kabar pada saat dirinya remaja. “Chamgejang (kepiting bulu shanghai saus kecap) adalah makanan yang berbahan dasar kepiting bulu shanghai yang biasanya hidup di sawah atau sungai, dan lebih nikmat bila dinikmati khususnya ketika angin berhembus dan padi mulai menguning.” Midang telah menulis ratusan puisi sepanjang hidupnya, namun ia tidak pernah menuangkan apresiasi apapun tentang dapur ke dalam puisinya. Jika melihat perkataannya yang berbunyi “Agar aku jangan selingkuh / Setiap dini hari istriku memasukkan itu ke dalam Jangdokdae / Yaitu semangkuk besar air dingin ”, terdengar aneh bila mengingat ia pernah mendendangkan “Jika aku terbang ke surga lebih dahulu / Akankah nafasku akan ditampungnya dalam mangkuk kosongnya” (「Istriku」) . Menenangkan penyesalan seperti ini disebut sebagai puisi yang mengkritik. “Haenyeo (perempuan penyelam) di Jeju yang mengambil abalone dari dalam laut pun / akan meninggalkan abalone terbaik di karang dalam laut / untuk diambilnya saat tuan datang kembali / simpanlah abalone yang terbaik di dasar laut sana / atau semua abalone kau ambil, lalu nanti kau juga yang kebingungan karena tak ada lagi abalone saat kau memerlukannya / milik penyair yang menyimpannya dalam laut dan memandang ke laut…. ” Saat ini di dalam dapur di rumah kosong yang tidak ditemui satu pun orang, kaleng bir yang diminum oleh Midang untuk terakhir kali masih berada di sana. Penulis puisi lawas berusia 85 tahun yang ditinggal istrinya yang sudah meninggal menolak semua masakan lain, dan seorang diri duduk di meja makan dan hanya minum bir saja mengatakan bahwa istrinya berkata akan kembali lagi dalam waktu kurang dari tiga bulan. Sang istri sepertinya tahu benar bagaimana hati suaminya.

Dapur yang Memalukan Di Korea pada abad 20 di mana tradisi patriarki masih dijalankan, jarang sekali saya menemukan para laki-laki berada di dapur. Walaupun tidak begitu ingat, tapi hal itu memang jarang terjadi. Ketika malas atau merasa lapar pada masa kecil, saya sering berdiri di depan pintu dapur dan melihat ke sana sini. Pada saat tersebut, lemari penyimpanan makanan adalah satu-satunya benda yang menarik perhatian saya. Ketika pintu lemari tersebut dibuka, saya dapat mencium mulai dari aroma minyak wijen dan cairan lainnya yang tidak dapat saya ke­­ nali, mulai dari aroma asam, asin dan amis, semua tercium oleh hidung saya. Saya melihat ke sekitar dan menyendok madu yang ada di dalam toples madu kemudian memasukkan ke dalam mulut, atau memasukkan tangan ke dalam dompet milik ibu yang diletakkan di sudut lemari tersebut. Ketika sudah tingkat akhir sekolah dasar, dapur menjadi ruang kerja sederhana. Suatu hari di kala petang, ketika saya sedang duduk di depan tungku api dan melihat apinya, tiba-tiba saja seorang anak perempuan muncul dan bersandar di pintu dapur sambil menunduk melihat saya. Saya dan anak perempuan yang usianya lebih muda setahun dari saya itu pun tiba-tiba saja menjadi teman. Saya tidak mengangkat kepala karena malu dan tidak bergerak dari lantai dapur dan menghirup asap kayu bakar yang menyengat. Saya belum sempat menyampaikan rasa terima kasih atas buah pir liar yang ia berikan pada siang hari itu. Semakin besar, saya berhenti membuat api dan mulai menuliskan lirik dari lagu yang didengar dari radio di atas lantai dapur yang lembab dan rendah. Kemudian ketika berusia 20 tahun pada musim dingin saya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mendatangi kuil Odaesan di mana terdapat paviliun beratap jerami yang terhubung dengan dapur yang di depannya terdapat serambi yang biasa digunakan oleh para tukang kayu dan biksu sebagai tempat tinggal sementara dan juga makan mie dingin yang disajikan oleh para kepala biksu. Di dapur itu saya menyalakan api kemudian memasak sup untuk seluruh orang yang ada di kuil, lalu mencuci piring. Di waktu senggang saya justru membaca puisi-puisi Kim Soo Young bukan kitab Buddha. “Memiliki dua kamar, satu lantai kayu, dapur yang bersih dan istri yang terkasih / Aku tak tahu apakah dapat menjadi malu karena hidup bersama dengan orang lain hanya dengan penampilan luarnya saja”「Penjaga Awan」 Begitulah Kim Soo Young, pria yang apa adanya dan lembut. Dalam sejarah sastra Korea apakah ada seorang penyair selain dirinya yang dapat mengungkapkan kehidupan pribadi­ nya, melakukan observasi sendiri dan menulis tanpa melenceng terlalu jauh? Itu adalah dunia yang saya jumpai saat usia saya hampir 20 tahun.

SENI & BUDAYA KOREA 23


FITUR KHUSUS 4 Dapur Korea: Dari Tungku sampai Realitas Maya

Mengintip Dapur

Masa Depan Di masa depan, kenyamanan penggunaan dapur akan dimaksimalkan bersama dengan meluasnya teknologi mutakhir. Waktu dan aktivitas memasak akan berkurang drastis, dan kita akan bisa menikmati masakan baru jadi dengan harga dan energi yang lebih rendah. Tetapi lebih dari itu, dapur masa depan diharapkan dapat menjadi ruang hiburan di mana anggota-anggota keluarganya dapat berkomunikasi dan bersenang-senang bersama. Kim Jee-hyun Penulis Teknologi IT

S

udah 40 tahun saya melihat ibu saya mondar-mandir di dapur dengan sibuk antara kulkas, kompor gas, bak cuci piring, dan meja makan. Tetapi dulu maupun sekarang tidak ada perubahan yang berarti. Begitu pula istri saya. Di sini yang berubah hanyalah bertambahnya mesin pencuci piring dan kompor induksi di dapur, tanpa perubahan mencolok untuk waktu memasak. Jika ada perubahan, maka perubahan itu hanya sebatas gerakan ibu saya yang semakin lamban dan istri saya yang menjadi sedikit lebih cepat. Akan tetap samakah wujud dapur di 10 atau 20 tahun mendatang seperti sekarang? Tidak, tidak akan. Dalam buku “Cermin Kehidupan Murni”(Myeongsim bogam), yaitu buku kumpulan kata-kata bijak para bijak zaman dulu yang muncul dalam cerita klasik Cina, terdapat kutipan yang berbunyi “Jika ingin melihat masa depan, lihatlah apa yang telah berlalu terlebih dahulu”. Petunjuk untuk memprediksi seperti apa wujud dapur di masa depan sudah tampak di sana-sini. Tiga Teknologi Penyempurna Kenyamanan Dapur masa depan akan berubah drastis berdasarkan teknologi informasi terbaru yang sedang diminati banyak orang seperti internet untuk segala (Internet of Things, disingkat IoT), 24 Koreana MUSIM GUGUR 2017

intelegensi artifisial (Artificial Intelligence, disingkat AI), dan platform rumah pintar. Belakangan ini alat-alat elektronik di dalam rumah dapat dikendalikan dengan perintah suara. Tetapi syaratnya, untuk memungkinkan pengendalian ini alat-alat elektronik tersebut harus dalam keadaan tersambung dengan internet. Inilah yang disebut internet untuk segala (IoT). Sejauh ini hanya komputer, smartphone , dan komputer tablet yang dapat dikoneksikan dengan internet, tetapi akan terdapat lebih banyak benda yang dapat dikoneksikan dengan internet dalam 10 tahun mendatang. Dunia yang menakjubkan di mana internet dapat dikoneksikan pada kulkas dan benda-benda yang tidak pernah disangka seperti jendela, cermin, dan sebagainya sedang menanti menjadi kenyataan. Pokok keunggulan IoT bukanlah sebatas ‘keadaan’ terkoneksinya sebuah benda dengan internet, melainkan kemampuan benda tersebut membuat ‘data’ dalam jumlah yang besar. Sebagai contohnya, jika kulkas dihubungkan dengan internet maka informasi mengenai jumlah penggunaan listrik, jenis dan kondisi bahan-bahan makanan di dalam kulkas akan disimpan dalam bentuk data. Data-data tersebut dapat dikirim ke email, blog, atau Facebook dan diunduh saat diperlukan.


Meja pintar yang memadukan fungsi meja untuk memasak, kompor dan meja makan akan digunakan di dapur masa depan. Š Nefs

SENI & BUDAYA KOREA 25


Peralatan rumah tangga, termasuk TV dan kulkas, akan menghasilkan sejumlah besar data saat terhubung ke Internet of Things, dan melakukan berbagai pekerjaan saat disematkan dengan kecerdasan buatan. Dapur abad ke-21 bukan hanya untuk memasak dan makan, namun memiliki banyak fungsi.

Intelegensi artifisial (AI) membantu komputer yang dibe­ rikan perintah suara atau teks untuk memahami dan melaksanakan perintah tersebut bagaikan seorang sekretaris. Kemampuan layanan peralatan berbasis AI ini jauh berbeda dengan peralatan lain yang memberikan perintah dengan papan ketik (keyboard ) atau tetikus (mouse ) ke dalam komputer. Alasannya adalah karena kita hanya perlu mengucapkan satu-dua patah kata atau kalimat perintah untuk mendapatkan informasi atau layanan yang kita inginkan. Meskipun saat ini sistem ini hanya dapat menjalankan perintah yang sederhana saja, tetapi di masa depan peralatan dapur dan bahkan peralatan memasak akan dapat beroperasi dengan perintah suara. Platform rumah pintar adalah sistem yang mengoperasikan hampir semua peralatan di dalam rumah dengan menghubungkannya ke AI. Semua ini mungkin saja terdengar se­­ perti gambaran masa depan yang jauh. Tetapi melihat teknologi 26 Koreana MUSIM GUGUR 2017

pokok rumah pintar yang telah dikomersialisasikan, gambaran ini akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat. Toh saat ini teknologi 3 dimensi yang dapat membuat pizza dan keju telah berkembang. Tata Ruang Dapur Baru Dengan munculnya bentuk asli dapur modern, yaitu “Dapur Frankfurt�, sejak itulah dapur mendapatkan wujudnya yang sekarang di mana terdapat bak cuci piring, tempat memasak, dan tempat menyimpan bahan makanan dan peralatan memasak. Kini desain dapur yang telah digunakan selama hampir seabad ini akan mengalami perubahan besar. Hingga saat ini meja masak, kompor gas, dan meja makan terpisah-pisah menjadi unit tersendiri. Namun di masa depan, semua komponen dapur tersebut akan disatukan menjadi sebuah meja. Sebagai gantinya, mungkin perangkat keras baru seperti robot


Š LG Electronics

dan alat pencetak 3 dimensi akan berdiri di salah satu sudut ruang dapur. Jika melihat konsep dapur tahun 2025 hasil rancangan bersama perusahaan perkakas Sweden, IKEA, dan perusahaan desain Amerika, IDEO, semua rancangan tersebut terlihat masuk akal. Bila meletakkan bahan-bahan makanan di atas meja masak yang tertanam kamera, kumparan kawat, dan layar, maka meja ini akan mengenali bahan makanan tersebut secara otomatis. Selain itu, meja ini juga memberi tahu seberapa banyak bahan yang harus dipakai dan cara memotong tiap-tiap bahan makanan berdasarkan resepnya. Dengan mengikuti petunjuk yang tertera di atas meja masak ini, masakan mewah akan berhasil dengan seketika. Kita tidak perlu membuka buku petunjuk masak di atas meja dan memasak sambil mondar-mandir. Meja masak bukanlah satu-satunya perubahan besar pada

interior dapur. Ukuran kulkas yang paling banyak memakan ruang akan diperkecil, sementara fungsi rak akan dimaksimalkan. Toko online yang semakin praktis akan mengirimkan bahan makanan pada waktu yang diinginkan dengan menggunakan drone , sehingga bahan makanan tidak perlu lama-lama disimpan di dalam kulkas. Sensor pengatur suhu akan dipasang pada rak dapur untuk menjaga bahan makanan tetap segar, se­­ hingga rak tersebut dapat menggantikan fungsi kulkas selama beberapa waktu. Sebenarnya cukup banyak bahan makanan yang terlantar dan membusuk di salah satu sudut atau laci sayuran kulkas. Tetapi jika bahan makanan tersebut disimpan di rak dapur, maka akan mudah untuk melihat bahan apa saja yang tersedia sehingga dapat mengurangi limbah sisa makanan. Meja masak ini akan lebih baik lagi jika limbah makanan dapat segera ditangani dengan mesin pencacah, dan air untuk memasak dan SENI & BUDAYA KOREA 27


Kini desain dapur yang telah digunakan selama hampir seabad akan mengalami perubahan besar. Hingga saat ini meja masak, kompor gas, dan meja makan terpisah-pisah menjadi unit tersendiri. Namun di masa depan, semua komponen dapur tersebut akan disatukan menjadi sebuah meja. Sebagai gantinya, mungkin perangkat keras baru seperti robot dan alat pencetak 3 dimensi akan berdiri di salah satu-sudut ruang dapur. mencuci peralatan makan dibedakan agar dapat didaur ulang. Sementara itu, apabila menempatkan kebun rumah (home farm ) yang dilengkapi dengan sinar matahari buatan, maka sayur-sayuran yang sering kita makan dapat langsung ditanam tanpa perlu membelinya lagi. Memang saat ini terdapat banyak orang yang menanam selada dan cabai di balkon apartemen dengan mudah, tetapi dengan home farm efisiensi perkebunan rumah akan meningkat. Dengan demikian, dapur juga akan dapat berfungsi sebagai balkon. Demikianlah, jika interior dan struktur dapur berubah, maka pengalaman memasak pun akan ikut berubah. Sebuah Ruang Multiguna Pada dasarnya dapur merupakan ruang masak dan makan. Tetapi di masa depan, dapur pasti akan didefinisikan ulang menjadi sebuah konsep yang baru. Sebab dengan bantuan inovasi teknologi yang beragam, waktu memasak akan diper28 Koreana MUSIM GUGUR 2017


Anggota keluarga akan dapat menikmati waktu yang lebih berkualitas bersama di dapur saat menjadi ruang multiguna berkat teknologi mutakhir.

pendek sebisa mungkin dan anggota keluarga akan lebih menggunakan waktu mereka untuk saling berkomunikasi dan bersenang-senang sambil makan bersama. Perangkat realitas maya (virtual reality ) juga diperkirakan akan ikut berperan mengubah konsep dapur. Jika mengenakan kacamata realitas maya, maka sebuah layar maya besar akan muncul dan pemakainya akan bisa mendapatkan informasi mengenai daftar bahan makanan di dalam kulkas, piring yang tertata di dalam lemari, dan informasi lainnya. Tidak akan ada lagi kesulitan untuk membeli piring kesayangan yang sama ketika piring tersebut pecah dan kita tidak ingat akan merek produknya. Selain itu, kita juga dapat mengecek kondisi beroperasinya oven gelombang mikro (microwave oven ) dan alat pencuci piring, jumlah kalori dalam makanan, dan lain-lain kapan saja dengan kacamata ini. Meja pintar yang disebutkan di atas akan berfungsi sebagai komputer atau tempat bermain bagi anak-anak saat tidak digu-

nakan untuk memasak. Mari kita umpamakan muncul topik pergi bertamasya sekeluarga ketika sedang makan. Sekarang mungkin kita akan mencari informasi dengan komputer di kamar anak-anak atau menggunakan smartphone seusai makan, tetapi di masa depan kita dapat mengaktifkan layar meja masak dan langsung mencari informasi dari tempat kita duduk. Secara tradisional bentuk keluarga Korea adalah keluarga besar, namun seiring datangnya zaman modern bentuk ini berubah menjadi keluarga inti dan kini bahkan sulit untuk saling bertemu dengan sesama keluarga. Jika dapur masa depan berubah menjadi ruang serbaguna yang memberikan kegembiraan, mungkin hubungan yang renggang akan membaik dan komunikasi dengan sesama keluarga akan semakin bertambah. Dapur masa depan yang merupakan hasil perkembangan teknologi bukan menjadi milik para ibu dan istri saja. Ini adalah ruang komunikasi dan bergembira bagi seluruh anggota keluarga.

SENI & BUDAYA KOREA 29


FOKUS

Jembatan Gantung Tengah Kota Jalan layang stasiun Seoul yang dibangun pada tahun 1970 untuk menghubungkan arus lalu lintas di sekitar stasiun kereta api Seoul antara bagian timur dan bagian barat, dan dipandang sebagai simbol pertumbuhan yang pesat, terlahir kembali sebagai “Seoullo 7017� yang berfungsi sebagai jalan setapak dan kebun pohon-pohonan di dalam kota. Taman di tengah kota. Hal ini menjadi perhatian sebagai daya tarik baru kota ini sejak dibuka pada tanggal 20 Mei tahun ini, namun beberapa suara kritis berpendapat bahwa proses konsensus sosial dari arsitektur publik untuk regenerasi perkotaan dipandang tidak memadai. Han Eun-ju Arsitek, CEO Soft Architecture Lab Ha Ji-kwon Fotografer

30 Koreana MUSIM GUGUR 2017


SENI & BUDAYA KOREA 31


J

embatan gantung biasanya ditemukan di pegunung­a n dengan lembah yang dalam dan pemandangan yang indah. Jembatan gantung umumnya dibangun untuk menghubungkan jalur pejalan kaki dan juga untuk memberikan pemandangan yang lebih baik melalui batas geografis. Struktur jembatan gantung sangat penting, dalam artian bahwa mereka mengubah gerakan tubuh mengikuti irama gunung dan membuat pertemuan yang tidak biasa dengan alam. Struktur puitis ini tidak hanya ada di pegunungan. Ada juga jembatan gantung di atas ‘lembah’ bangunan-bangunan tinggi perkotaan, yang terhubung langsung dengan arus kota. Hal seperti itulah yang dimaksud dalam “Seoullo 7017,” yang baru saja lahir sebagai daerah relaksasi warga kota untuk pejalan kaki setelah sebelumnya digunakan sebagai infrastruktur transportasi. Tentu saja, beberapa warga kota memiliki kesempatan untuk menikmati pemandangan kota di masa lalu dari ketinggian yang tidak dimiliki pejalan kaki saat mereka naik bus atau mengemudikan mobil di jembatan layang. Akan tetapi, pejalan kaki juga dapat menikmati pemandangan kota dengan berjalan-jalan santai di Seoullo 7017 dan menikmati kerindangan pohon-pohon yang ditanam pada pot-pot besar di sepanjang jalan. Bila melihat ke arah bawah jembatan terdapat relrel kereta api melewati Stasiun Seoul dan berjalan-jalan di atas kota seolah berjalan di atas awan yang memberikan pengalaman menyenangkan bahkan hanya jika dibayangkan. Hal ini merupakan skenario yang mungkin terjadi di Seoullo 7017. Perubahan Paradigma Ruang Publik Jembatan gantung tersebut dibangun dari Namdaemun-ro 5-ga ke Manri-dong, sekitar satu kilometer, untuk menghubungkan daerah-daerah tetangga yang terputus oleh jalur rel kereta api yang berada jauh di dalam kota dan untuk membantu kelancaran arus lalu lintas. Hal ini telah berkontribusi untuk memperlancar arus lalu lintas di jantung Kota Seoul yang meliputi Stasiun Seoul, Pasar Namdaemun, dan daerah Myeongdong, dan telah memainkan peran arteri untuk mengelola ‘oksigen’ ke ‘sel jaringan kota’ yang sedang mengalami industrialisasi yang pesat. Pada permulaan pada tahun 2000, diskusi tentang pembongkaran dan pembangunan kembali dimulai melihat kondisinya yang mulai rusak, dan terlepas dari berbagai pendapat beberapa pedagang dan penghuni kawasan tersebut, Pemerintah Kota Seoul membuat keputusan untuk memugar jembatan sebagai taman kota bukan sebagai jalan raya lagi. Sejak saat itu, dan setelah kompetisi internasional untuk disainnya selesai, proyek pembuatan jembatan gantung Stasiun Seoul menjadi sebuah taman terjadi sangat cepat. Jembatan gantung itu semula merupakan simbol pembangunan kota dalam proses industrialisasi. Sejak tahun 1970-an, volume lalu lintas di jantung kota pada hari kerja meningkat 32 Koreana MUSIM GUGUR 2017

pesat karena meningkatnya jumlah masyarakat ekonomi kelas menengah dan juga tingkat distribusi mobil. Otoritas lalu lintas mulai membuat persimpangan jalan utama kota menjadi tiga dimensi sebagai bagian dari kebijakan untuk mengatasi tingginya volume lalu lintas. Pembangunan jembatan layang dianggap sebagai pengakuan sosial atas teknologi konstruksi dan juga kriteria industrialisasi, bersamaan dengan solusi tingginya volume lalu lintas. Jalan layang melintasi bangunan bertingkat tinggi, tumpang tindih dengan citra pembangunan perkotaan terkini, di Seoul saja sekitar 100 bangunan didirikan, karena konstruksi membuat masa depan kota tampak cerah secara simbolis. Memasuki abad ke-21, gaya hidup perkotaan telah berubah, dan nilai-nilai baru mengenai struktur dan ruang kota pun bermunculan, terjadi perubahan besar dalam paradigma industrialisasi. Selain itu, berbagai hasil penelitian keluar satu demi

Di Seoullo 7017, terlahir kembali sebagai ruang publik setelah dipakai sebagai jembatan lalu lintas selama beberapa dekade, orang dapat beristirahat dan bersantai di tengah kota.


satu dan menunjukkan bahwa pengaruh jembatan layang ter­ hadap arus lalu lintas tidak memberikan kontribusi seperti yang diharapkan, terutama pendapat kritis mengenai kegunaan jembatan layang yang menimbulkan masalah sosial yaitu munculnya daerah kumuh di wilayah sekitar, yang menjadikan perubahan perspektif. Selain itu, disadari bahwa lingkungan yang buruk di sekitar bangunan bukan berasal dari kebisingan lalu lintas tapi dari kesalahan tata ruang. Dari Mobil ke Manusia Ketertarikan sosial pada fungsi jalan layang mulai berubah ke ruang di bawahnya di awal abad baru ini. Selain itu, ledakan jumlah real estat yang dimulai pada awal tahun 2000an menyebabkan kebijaksanaan baru untuk merombak kembali kawasan di bawah jembatan layang, yang memihak para

pendukung kebijakan pembongkaran. Dengan demikian, perombakan ini dimulai di jembatan layang Ddeokjeon di Dongdaemun-gu pada tahun 2002, diskusi mengenai pembongkaran jalan layang dan pelaksanaan pembongkaran tersebut telah berlangsung secara aktif, dan saat ini sekitar 30% jalan layang di kota Seoul telah dibongkar. Kasus yang paling terkenal adalah jembatan layang Cheonggye yang dibangun dan dibuka pada tahun 1971 sebagai jalan arteri di daerah pusat kota dan kemudian dibongkar pada tahun 2003. Akibatnya, seperti ‘sel jaring­ an sakit’ yang menghidupkan kota, orang-orang berkumpul dan daerah di dekatnya tumbuh dalam vitalitas. Dengan demikian, perubahan fungsi jembatan layang Stasiun Seoul sejalan dengan persetujuan sosial tentang ruang kota yang dikembangkan dalam perspektif jangka panjang. Selain itu, perubahan tersebut tidak hanya berhenti pada tujuan untuk

SENI & BUDAYA KOREA 33


1

mencapai ruang kota yang seimbang dengan menyelesaikan masalah keterasingan ruang dan keterbelakangan wilayah sekitarnya melalui pembongkaran. Beberapa bangunan yang ada misalnya, berfungsi sebagai ruang baru yang berguna bagi kebutuhan kota, menjadikan sebuah perbaikan kebijakan. Adalah wajar untuk berharap bahwa taman gantung sepanjang satu kilometer di atas jalur kereta api yang luas di Stasiun Seoul, stasiun terminal Jalur Gyeongbu, akan memberi kenyamanan bagi pejalan kaki. Seperti yang diputuskan Pemerintah Kota Seoul pada awal tahap perencanaan, gagasan sebuah proyek yang terinspirasi oleh ‘High Line’ New York tentu layak mendapat sambutan dalam meregenerasi infrastruktur kota yang telah usang, bukan untuk mobil, tapi untuk masyarakat umum, mengikuti tren saat ini bahwa masyarakat adalah pemilik kota. Daya tarik terbesar dari Seoullo 7017 yang dibangun pada tahun 1970 dan sekarang terlahir kembali menjadi 17 jalur pejalan kaki pada tahun 2017 adalah fungsinya sebagai poros yang menghubungkan tempat-tempat wisata utama di Kota 34 Koreana MUSIM GUGUR 2017

Seoul dari Stasiun Seoul seperti Namdaemun, Myeongdong, dan Gunung Namsan. Selain wisata belanja, wisatawan bisa bersantai sambil menikmati pemandangan kota, yang tidak mungkin dilihat dari bawah jembatan layang. Selain itu, mereka dapat menikmati ibu kota bersejarah Seoul yang berusia 600 tahun di sepanjang benteng-benteng Kota Seoul. Ketika pembukaan, beberapa orang menemukan lampu biru di jalan pada malam hari, dan beberapa orang lain menyukai beragam fasilitas dan peralatan sederhana seperti peralatan bermain dan kios untuk pejalan kaki. Mereka baru menyadari fakta bahwa jalan setapak dibuat di tengah kota. Dua puluh empat ribu pohon dari 228 jenis ditanam secara khusus di sana untuk konsep “Taman Langit� yang memberi keteduhan dan juga pemandangan yang menyegarkan. Seperti yang dikemukakan oleh arsitektur Belanda MVRDV yang bertanggung jawab atas proyek tersebut, ketika pohon-pohon tersebut berakar, bercabang, dan seiring waktu, Seoullo 2017 akan menjadi lebih indah dan menjadikan dirinya sebagai salah satu atraksi utama


Seperti yang diputuskan Pemerintah Kota Seoul pada awal tahap perencanaan, gagasan sebuah proyek yang terinspirasi oleh “High Line” New York tentu layak mendapat sambutan dalam meregenerasi infrastruktur kota yang telah usang, bukan untuk mobil, tapi untuk ma­ syarakat umum. 1. Seoullo 7017 terlihat melalui jendela sebuah kafe dekat Stasiun Seoul. Lanskap baru telah mengubah pemandangan kota yang dilihat dari bangunan terdekat.

2

di Seoul, seperti yang diharapkan banyak orang. Proses Konsensus Sosial yang Dilewati Di sisi lain, tidak sedikit pedagang Pasar Namdaemun menganggap jembatan yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas. Kritik keras terhadap karya seni tertentu yang menimbulkan kontroversi sebelum pembukaan atau masalah seperti kurangnya fasilitas nyaman yang dihasilkan dari kenyataan bahwa proyek tersebut berjalan dengan tergesa-gesa tanpa prosedur untuk mengumpulkan pendapat warga yang ekspansif. Padahal, orang tidak peduli pada bentuk pot bunga beton atau jenis tanaman yang ditanam di pot. Terlepas dari kritik atau dukungan, sudut pandang berbagai pendapat mengenai arsitektur publik yang dibangun di tengah kota adalah, “Apakah proses konsensus sosialnya cukup?” Oleh karena itu, verifikasi dan refleksi diri diperlukan, apakah dalam rencana Seoullo 7017 setiap pihak yang berkaitan dilibatkan atau keputusan dibuat dengan tergesa-gesa karena niat politik yang tersembunyi,

2. Sebuah keluarga melihat karya Lee Woo-sung, “Cium Cium,” dipamerkan di Hello, Artists !, sebuah galeri di Seoullo 7017, dioperasikan oleh Yayasan Kebudayaan Naver.

atau apakah prosedur kompetisi internasional untuk desain itu memiliki tujuan untuk dengan mudah meningkatkan prestise proyek dan mendapatkan efek publisitas. Poin-poin ini harus selalu diingat dalam proses perencanaan kota di masa depan. Jika kita melihat ke belakang dalam sejarah, proyek arsitektur sering digunakan sebagai agenda politik karena efektivitas visual. Tapi semakin meningkatnya kesadaran sosial menghargai individualitas, ironisnya, semakin pentingnya kepentingan publik. Proyek arsitektur kota seperti membangun jembatan layang di atas lembah haruslah sesuai dengan perspektif sosial dengan berbagai pendapat warga di luar pencapaian pencapaian visual. Prosesnya harus selalu dimulai dengan memikirkan arti dan nilai-nilai masyarakat. Beberapa bulan telah berlalu sejak pembukaan, dan Seoullo 7017 telah menjadi ruang yang berbeda dengan pepohonan yang banyak tumbuh. Sebanyak pohon tumbuh dan berakar, cinta dan minat pejalan kaki juga akan berakar, begitulah harapan saya. SENI & BUDAYA KOREA 35


WAWANCARA

Tema ‘Pura-pura’ Membuat Seniman ini Naik Daun Seniman generasi baru Kim Hyun-jung dikagumi karena keberaniannya, yang sering dianggap “agresif dan provokatif.” Pekerja seni yang juga punya nama di dunia hiburan (arttainer ) berusia 29 tahun ini menghibur publik dengan lukisannya yang tidak konvensional, yang diharapkannya dapat ikut menyebarkan seni Korea ke seluruh dunia. Chung Jae-suk Penulis Editorial dan Reporter Budaya Senior, The Joong Ang Ilbo Ahn Hong-beom Fotografer

“Perasaan: Bisikan Manis (Kelebihan Batas)” 2016. Tinta dan warna terang dan kolase pada kertas murbei, 120 × 176 cm.

36 Koreana MUSIM GUGUR 2017


SENI & BUDAYA KOREA 37


Kim Hyun-jung, berpakaian hanbok, melukis di studionya di Non­­hyeondong, Seoul. Seperti subjek lukisannya, dia gemar berpakaian kostum tradisional.

P

apan nama pada bangunan kecil di Jalan Nonhyeon di Gangnam, bagian selatan kota Seoul, bertuliskan “Pusat Seni Kim Hyun-jung.” Begitulah seniman Kim Hyun-jung menyebut studionya. Studio ini menempati dua lantai, termasuk ruang kantor untuk sekitar 10 karyawannya, dan merupakan sebuah start-up seni. Kim dikenal karena lukisannya, seorang perempuan memakai hanbok (pakaian tradisional Korea) dalam latar modern, yang sudah didaftarkannya sebagai merek dagang. Ia mendapatkan Penghargaan Inovasi Kreatif Korea 2015 untuk kategori seni dan termasuk dalam daftar “30 Under 30 Asia 2017: The Arts ” dalam majalah Forbes. Membanjirnya permintaan memberikan kuliah membuat Kim harus mempekerjakan asisten untuk mengatur jadwal. Dengan mengenakan pakaian hanbok yang indah, Kim muncul seolah-olah keluar dari lukisannya yang berjudul “Naesung ”. “Hanbok sudah menjadi ciri khas saya. Orang-orang tidak mengenali saya jika saya tidak memakai pakaian ini. Saya punya sekitar 30 buah, dan mengkombinasikan bagian atas dan bawahnya dalam beragam gaya dengan bantuan penata gaya. 38 Koreana MUSIM GUGUR 2017

Makin sering saya memakai hanbok , makin besar apresiasi saya akan keindahannya yang cantik dan mewah,” katanya. Elegan tapi Berani Dalam kamus bahasa Korea, naesung adalah “lugu di luar, cerdas di dalam.” Kim menemui kesulitan mencari padanan­ nya dalam bahasa Inggris, karena menurutnya itu adalah istilah dalam bahasa Korea dan tidak ada kata dalam bahasa Inggris yang bisa mewakili makna kata itu dengan tepat. Duplikasi sifat manusia adalah tema karya-karya Kim. Perempuan dalam lukisannya menggambarkan ketidaksesuaian antara pakaian dan perilaku. Dalam lukisannya, seorang perempuan memakai pakaian tradisional Korea yang anggun sedang mengendarai sepeda motor mengantarkan hamburger McDonald; atau sedang duduk di lantai dengan rok lebarnya tersingkap dan sedang makan pizza atau mi instan dengan lahap. Rok­ nya yang menerawang menampilkan siluet tubuh. Bertemunya pakaian tradisional Korea dan kehidupan kota yang modern tampak tidak biasa, namun sangat hidup. Perhatian publik pasti tertuju kepada perempuan muda yang cantik dalam lukisan-lukisannya itu.


“Saya terinspirasi oleh kesan hanbok yang anggun dan penuh misteri,” kata Kim. “Saya ingin melukis perempuan yang mengenakan pakaian tradisional resmi, tapi dalam latar sehari-hari yang kasual. Penyimpangan dari norma yang berlaku dan kebebasan dari penilaian orang lain disaring dengan konsep ‘naesung .’” Strateginya berhasil. Pameran tunggalnya menarik ribuan pengunjung. Dengan keinginannya membuat karya seni lebih dekat dengan publik, seniman muda yang cerdas ini aktif memakai media sosial dan memukau penggemar lebih dari 110.000 pengikut. Double Major dalam Administrasi Bisnis Kim pertama kali belajar seni ketika berusia delapan tahun. “Saya sudah menggeluti seni sepanjang hidup saya, jadi tidak ada yang tidak bisa saya lukis,” katanya dengan mantap. Meski begitu, ia sempat kecil hati ketika masuk sekolah menengah seni. Ketika ia memutuskan mendalami seni, kata-kata “seniman pasti miskin” membuatnya ragu. Tapi, ia bertekad mendobrak stereotip ini. Betapa mengerikannya jika semua seniman muda yang potensial harus terus-menerus bergelut dengan pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Kim mengambil dua jurusan sekaligus, yaitu lukisan Oriental dan administrasi bisnis di Seoul National University . Ia belajar segala sesuatu mengenai pasar seni dan biografi seniman terkenal yang juga berhasil dalam hal finansial. Untuk bisa bertahan sebagai seorang seniman, ia mengerjakan proyek ambisius, seperti mengembangkan beragam produk yang memakai lukisannya dan membangun kemitraan pemasaran seni kolaboratif dengan beberapa perusahaan. “Saya tertarik dengan komersialisasi seni dan membuat­ nya makin populer. Seni tidak hanya untuk kalangan atas. Yang menjadi perhatian saya sekarang ini adalah terbatasnya pasar seni Korea dan tantangan berat yang dihadapi seniman muda. Saya mencoba membuat seni lebih mudah dinikmati. Saya bahkan bekerja sebagai dealer seni. Filosofi saya dalam manajemen seni adalah mendekatkannya dengan publik. Dengan memproduksi karya seni yang bisa dinikmati semua orang, saya membantu seni lebih dikenal.” Genre Lukisan Korea Abad 21 Kim berusaka memakai teknik yang tidak konvensional untuk mengikis pendapat bahwa lukisan tradisional Korea kuno dan membosankan. Selain teknik tradisional memakai hanji (kertas mulberi Korea) dan tinta pucat, ia juga berani mengkombinasikannya dengan elemen modern. Misalnya, ia memakai dongeng Barat seperti “Cinderella” untuk tema lukisannya. Ia juga merambah ke karya fotografik dengan tema “Pura-pura”. Dalam beberapa lukisannya, ia menempatkan perempuan modern di dalam mahakarya dari periode dinasti

“Seni tidak hanya untuk kalangan atas. Yang menjadi perhatian saya sekarang ini adalah terbatasnya pasar seni Korea dan tantangan berat yang dihadapi seniman muda. Saya mencoba membuat seni menjadi lebih mudah dinikmati.” Joseon abad 18. “Kim Hong-do, maestro lukisan dari Dinasti Joseon, dan Shin Yun-bok, juga dari jaman Joseon, yang lukisan-lukisannya melampaui jaman, sangat mempengaruhi karya saya,” kata Kim. “Kealamiahan dan humor dalam lukisan mereka, komposisi tegas dan sapuan kuasnya sangat menginspirasi. Karena ingin mengikuti jejak mereka itulah saya membuat lukisan Korea abad 21.” Saat ini Kim sedang menyelesaikan lukisan perempuan di sebuah tempat cuci baju umum, sauna, dan jjimjilbang (kompleks sauna bergaya Korea), sebuah potret keseharian kehidupan perempuan dalam masyarakat Korea komtemporer. “Karya saya ini figuratif ” jelasnya. “Dengan memakai kuas yang lebih kecil, saya mencoba mengekspresikan bahkan sehelai rambut pun serealistis mungkin. Saya juga ingin merambah seni instalasi dan media. Jika konsep ‘pura-pura’ ini dituangkan dalam bentuk yang lebih nyata, tentu akan lebih mudah bagi publik menangkap maknanya dibanding hanya melihatnya melalui lukisan.” Dengan pandangannya mengenai dunia seni global ini, menurutnya seniman instalasi Suh Do-ho adalah contoh yang bisa ditiru. “Dalam karya instalasinya ‘Home Within Home ,’ Suh membuat rumah Korea tradisional dengan kain tradisional, yang menonjolkan nilai estetik Korea yang sangat tinggi dan menjadi daya tarik dunia,” kata Kim. “Saya ingin memperkenalkan nilai estetik unik lukisan Korea dengan tinta hitam, hanbok , dan hanji kepada dunia, dan memperoleh pengakuan internasional,” tambahnya. “Dalam hal itu, saya harus mengikuti beberapa langkah seniman Jepang Takashi Murakami. Kolaborasinya dengan merek kelas atas dari luar negeri adalah contoh bagus bagaimana seni adiluhung bisa diterjemahkan ke dalam produk komersial yang meleSENI & BUDAYA KOREA 39


1. “Perasaan: Ups.” 2012. Tinta dan warna terang dan kolase pada kertas murbei, 145 × 117 cm.

1

bur dalam kehidupan sehari-hari. Saya ingin menjadikan seni sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari seperti musik, se­­ hingga saya harus belajar dari ahlinya dalam mengintegrasikan seni dan urusan komersial.” Identitas, Penilaian Publik, Kepercayaan Populer Sebagai seorang seniman muda dengan potensi yang luar biasa, Kim lebih memprioritaskan kualitas karya daripada ba­nyaknya pameran yang diikuti. Sebagai seniman populer yang pamerannya memikat banyak pengunjung, ia menerima banyak tawaran, namun tidak semua diterimanya. “Saya biasanya mulai beraktifitas pukul sembilan pagi dan melukis sepanjang hari sampai pukul tujuh malam,” katanya. “Kalau sudah fokus pada satu lukisan, saya terus melukis dan tidak makan apapun. Baru setelah selesai, saya makan dengan rakus. Lukisan perempuan yang makan dengan lahap sambil duduk di depan lemari pendingin itu sebenarnya saya sendiri. Saya perlu mendalami adegan ketika menyelesaikan sebuah lukisan. Saya sudah menghasilkan lebih dari 300 lukisan dalam beberapa tahun ini, dan setiap saat saya berusaha mengerjakan 40 Koreana MUSIM GUGUR 2017

2. “Perasaan: Dimana pelangimu?” 2016. Tinta dan warna terang dan kolase pada kertas murbei, 178 × 127 cm.

karya saya dengan perspektif yang berbeda. Saya tidak mau puas begitu saja dengan apa yang ada dan terus melukis hal yang sama.” Lukisan Kim sangat kuat dan sering kali mengambil-alih dekorasi interior sebuah ruangan, sehingga sulit memasangnya di sembarang tempat. Barangkali ini salah satu alasan mengapa lukisannya tidak banyak terjual. Namun, ia tidak berniat me­­ ngubah lukisannya. “Saya tidak bisa berkompromi soal lukisan; lukisan-lukisan itu adalah anak saya. Sebagian besar dari karya saya adalah potret diri, jadi bagaimana saya bisa mengingkari siapa saya? Senang rasanya ketika orang-orang melihat karya saya dan tertawa karena subyek atau judulnya. Saya merasa mereka mengerti jalan pikiran saya sebagai pemberontak,” katanya. Kim punya impian besar ikut menyebarkan seni Korea dan mendapatkan pengakuan dunia. “Saya ingin menghubungkan identitas personal, penilaian publik, dan kepercayaan populer. Saya seniman muda yang baru mulai berkarya, jadi tidak perlu terburu-buru. Saya bisa menyingsingkan lengan baju hanbok dan melangkah dengan mantap.”


2

SENI & BUDAYA KOREA 41


KISAH DUA KOREA

Para Relawan Menyiapkan

Dasar Unifikasi

Menurut Kementerian Unifikasi, saat ini jumlah pengungsi Korea Utara di Korea Selatan tercatat 30.000 orang. Pengungsi Korea Utara mulai kehidupan baru di bawah dukungan kemanusiaan masyarakat Korea Selatan. Sebagian mereka bukan ‘penerima’ lagi tetapi telah menjadi ‘penyumbang’ dengan mendirikan kelompok sukarela atau social enterprise . Melalui kegiatan sukarela mereka, sebuah benih untuk penyatuan negara dan persatuan sosial sejati sedang berkembang. Kim Hak-soon Jurnalis, Profesor Tamu di Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Korea Ahn Hong-beom Fotografer

Relawan UniSeed, kebanyakan mahasiswa S1 yang merupakan pengungsi Korea Utara, membagikan kotak makan siang kepada para tunawisma di dekat Stasiun Seoul.

42 Koreana MUSIM GUGUR 2017


L

ewat kegiatan sukarela, saya sangat merasa bahwa saya juga diperlukan untuk sesuatu. Kebanggaan saya meningkat secara signifikan ketika saya menyadari bahwa saya tidak hanya menerima bantuan orang lain melainkan dapat melakukan sesuatu untuk orang lain. Saya menyadari bahwa layanan sukarela ialah solusi untuk mencegah bunuh diri yang dilakukan oleh para pengungsi Korea Utara.” Biasanya pengungsi Korea Utara dikira hanya menerima bantuan dari orang lain karena gagasan klise bahwa mereka pasti sibuk untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Namun gagasan tersebut adalah prasangka yang tidak memikirkan bahwa orang yang ada di dalam keadaan sulit membantu orang lain yang lebih sulit. Ada sebuah kelompok yang mematahkan cangkang prasangka semacam itu. Mereka adalah ‘Uniseed’, yang terdiri atas 50 mahasiswa pengungsi Korea Utara termasuk 6 pemuda Korea Selatan. Uniseed berarti ‘sebuah benih untuk unifikasi’. Mereka menyiapkan dan memberikan bekal kepada tunawisma di sekitar stasiun Seoul sebulan sekali karena mereka pikir keadaan tunawisma lebih buruk daripada mereka sendiri yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Bukan hanya itu, setiap tahun mereka juga memperkenalkan makanan Korea Utara, memberikan hadiah kepada fasilitas kesejahteraan anak, dan memberikan kimchi dan briket batubara kepada kawasan kumuh. Selain itu, hampir setiap bulan mereka mengumpulkan dan mengirimkan sembako dan pakaian kepada pengungsi Korea Utara yang tinggal secara sembunyi-sembunyi di Tiongkok dan sebagainya. Mereka mewujudkan sebuah slogan, “Pemuda Korea Selatan dan Korea Utara, mari kita menjadi satu, saling mencintai, saling memahami lewat pembagian” dengan berbagai kegiatan sukarela. Pengalaman Unifikasi Pada pukul 1 siang setiap hari Minggu ketiga setiap bulan, 10 sukarelawan Uniseed tetap datang ke dapur di gereja Methodis Mallihyeon di sekitar stasiun Seoul. Mereka masing-masing menanak nasi, membuat sop dan lauk-pauk seperti bulgogi da­ging babi, ikan teri kering goreng, salad cumi timun, kimchi dan sebagainya. Sop dan lauk pauk kadang-kadang berubah sesuai dengan musim; sop bakso ikan atau sop doenjang yang panas pada musim dingin, sayur-sayuran segar pada musim semi dan sop dingin ketimun pada musim panas. Pada jam 5 sore, sukarelawan membawa nasi kotak yang mereka buat secara sungguh ke alun-alun stasiun Seoul kemudian memberikannya kepada sekitar 200 orang tunawisma untuk makan malam. Sekitar 600 ribu won diperlukan untuk menyiapkan 200 nasi kotak. Mereka mengumpulkan uang saku sendiri atau menjual kerajinan tangan yang mereka buat untuk

dana tersebut. Kadang-kadang mereka menyumbang hadiah uang yang diraih di berbagai kontes. Walaupun tidak mudah memasak dan menyiapkan dana, mereka merasa dihargai oleh ucapan terima kasih para tunawisma. Esther Um, ketua Uniseed dan senior Jurusan Bahasa Cina Hankuk University of Foreign Studies mulai memberikan bekal secara sukarela pada Juli 2014. Dia menggunakan 2,5 juta won yang diterima sebagai beasiswa dan menerima bantuan 4 teman yang melarikan diri dari Korea Utara. Awalnya, berupa coba-coba. Mereka menyiapkan nasi tahu, salah satu makanan Korea Utara yang khas untuk menyatukan Korea Selatan dan Korea Utara tetapi responnya kurang bagus karena rasanya kurang cocok bagi selera para tunawisma. Berkat peristiwa ini, sukarelawan menyadari bahwa bantuan bukanlah pemberian sesuatu yang mereka sendiri sukai tetapi pemberian se­suatu yang disukai oleh sang penerima. Mereka menyadari para tunawisma paling suka semangkok nasi panas dan sop deonjang yang sudah umum. Setelah itu, mereka menyiapkan daftar menu katering dengan masakan rumahan. Hati yang Menyentuh Banyak pengalaman yang menyakiti hati selama melayani. Ada orang yang marah sambil berkata “Mengapa tidak memberi air putih?” dan ada juga yang menyakiti hati para relawan dengan mengatakan “Tidak akan makan nasi pemberian kaum komunis.” Namun semakin lama melayani sukarela, makin banyak episode yang menyentuh hati. Menjelang musim gugur tahun 2014, ketika ingin pulang setelah memberikan nasi kotak, seorang tunawisma memberikan sebuah bingkisan kepada Um. Di dalam bingkisan itu ada tiga biji mochi dan sebuah jeruk. Um sangat tersentuh karenanya makanan itu disimpan baikbaik untuk dimakan nanti. Pada suatu hari yang panas sekali tahun 2015, seorang tunawisma mengipasi relawan yang berkeringatan sambil memasak dan memberikan masakan panas dalam kotak kertas. Ke­­ tulusan hati dan kehormatan semakin berkembang antara para relawan dan tunawisma. Sekarang ada orang yang memayungi relawan yang sibuk memberikan nasi kotak ketika hujan turun dan ada yang membersihkan sampah setelah makan dengan relawan. Terkadang, ada juga yang ingin mengembalikan nasi kotak dengan berkata “Tidak bisa makan sama sekali karena hatinya sedih,” ketika mereka tahu nasi kotak tersebut dibuat dengan dana sendiri pengungsi Korea Utara. Kini 3 tahun setelah pendirian Uniseed, tunawisma menyambut para sukarelawan. Menurut Um seorang tunawisma mengatakan “Saya merasa relawan Uniseed berkerja dengan tulus hati berbeda dengan organisasi lain.” Katanya kemudian, “Berkat ucapan tersebut, saya tidak bisa berhenti walaupun lesu sekali.” Eun-hee Cho seorang relawan pengungsi Korea Utara me­­ ngatakan, “Awalnya takut dan tidak berani mendekati tunawisSENI & BUDAYA KOREA 43


ma. Sekarang saya bisa menanyakan bagaimana kabar mereka. Saya tidak sabar menunggu waktu melayani mereka.” Uniseed bekerja sukarela untuk para tunawima karena kehidupan mereka kurang bernasib baik seperti penyandang cacat atau lanjut usia. Mi-jeong Kim seorang relawan menerangkan “Warga Korea Selatan kelihatan tidak suka kami membantu kaum tunawisma. Mereka mungkin memikirkan tidak perlu membantu kaum tunawisma karena sebagian tunawisma sering minum alkohol dan berperilaku kasar.” Seorang pemuda Korea Selatan yang berumur akhir 30-an yang mengikuti layanan sukarela menyampaikan “Menakjubkan pengungsi Korea Utara rela melakukan pekerjaan sulit untuk kaum tunawisma.” Tingkatkan Harga Diri Pengungsi Korea Utara Um baru menginjak tanah Korea Selatan setelah 2 kali pelarian. Dia berhasil melarikan diri dari Korea Utara pada Maret 2004 tetapi ditangkap di Tiongkok kemudian dikirim ke Korea Utara pada Oktober tahun itu. Dia berhasil melarikan diri ke Tiongkok pada 2006 kemudian masuk ke Korea Selatan pada 2008. Pada waktu itu, dia melihat ibu dan adik perempuannya ditangkap oleh polisi Tiongkok di Yenji, Tiongkok. Um yang tertinggal sendiri tanpa harapan ingin bunuh diri. Pada saat itu, dia kebetulan menonton seorang lanjut usia yang tidak ada dua lengan dan dua kaki memegang kuas dengan mulutnya dan menulis kaligrafi untuk mencari nafkah. Tersentuh, dia kembali bersemangat melanjutkan kehidupan sekaligus berharap membantu seseorang. Dia langsung mengetuk pintu sebuah institusi penyandang cacat. Ketika dia memperkenalkan

diri dengan berkata “Saya ingin membantu penyandang cacat secara sukarela,” dia dijawab “Minta KTP dulu.” Dia sangat sedih terhadap keadaan yang “orang yang tinggal secara sembunyi-sembunyi tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna.” Oleh sebab itu, setiba di Korea Selatan, Um mengunjungi ‘Angel’s Haven’, sebuah badan hukum kesejahteraan penyandang cacat. Inilah langkah pertama sebagai relawan. Pada setiap hari Sabtu, dia bangun pagi-pagi dan memandikan penyandang cacat kemudian membersihkan ruang-ruang. Dia tidak pernah mengabaikan kegiatan sukarela hari Sabtu walaupun sibuk untuk belajar dan bekerja. Kegiatan sukarela merupakan satu-satunya kesenangan di Korea Selatan meskipun dia mimisan karena capai. “Lewat kegiatan sukarela, saya sangat merasa bahwa saya juga diperlukan untuk sesuatu. Kebanggaan saya meningkat secara signifikan ketika saya menyadari bahwa saya tidak hanya menerima bantuan orang lain melainkan dapat melakukan sesuatu untuk orang lain.” Um mulai mendedikasikan dirinya untuk kegiatan sukarela setelah tragedi keluarga. Ketika adik laki-laki yang tinggal di Korea Utara meninggal dunia kemudian ibu yang dilarikan dengan biaya 10 juta won didiagnosis kanker, Um menderita depresi. Akhirnya dia ingin bunuh diri. Pada saat itu dia lebih mengingat rekan-rekan relawan daripada keluarga. Dengan pengalaman sedemikian itu, Um menentukan “Saya menyadari bahwa layanan sukarela ialah solusi untuk mencegah bunuh diri yang dilakukan oleh para pengungsi Korea Utara.” Pendapat ini perlu diperhatikan karena menurut data statistik, rasio bunuh diri pengungsi Korea Utara 3 kali lebih banyak daripada orang

Relawan UniSeed, singkatan dari “seed of unification,” memegang plakat yang mengumumkan sebuah rencana untuk memberi makanan kepada para tunawisma di Seoul Station Plaza. UniSeed didirikan pada tahun 2014 oleh Esther Um (keempat dari kanan), seorang senior jurusan bahasa Cina di Hankuk University of Foreign Studies.

44 Koreana MUSIM GUGUR 2017


Korea Selatan. Um mendirikan sebuah organisasi sukarela pada tahun 2014 agar para pengungsi Korea Utara yang menderita bisa memulihkan harga diri. Pada awal dia membujuk teman-teman agar menyumbang tempat masak, tempat bekal, sumpit dan sebagainya kemudian meluncurkan ‘Osundosun’, sebuah social enterprise yang mengembangkan dan menjual makanan Korea Utara untuk menyediakan biaya pengelolaan Uniseed. Osundosun meraih peringkat ketiga di National Social Venture Competition yang disponsori Korea Social Enterprise Promotion Agency dan menghadiri kursus kemandirian ekonomi untuk pengungsi Korea Utara yang dijalankan oleh Korea Racing Authority . Sejak November tahun 2016 di Seongdong-Gu, Seoul dia mengelola truk makanan di pusat SEAM (Social Entrepreneurship and Mission) yang membina social enterprise dengan ajaran Kristen. Dia berencana meluncurkan ‘Uniseed Company’ untuk memperluas lingkungan pelayanan sukarela melalui pengelolaan truk makanan. Um berkeinginan semua universitas memiliki cabang Uniseed Company sehingga mahasiswa-mahasiswa Korea Selatan dan Korea Utara membuat kebudayaan unifikasi. Lewat usaha ini, dia berusaha menjadikan pengungsi Korea Utara di Korea Selatan sebagai “jembatan untuk era unifikasi”, bukan hanya menjadi “warga Korea Selatan”. Dia yakin inilah dasar yang benar pengungsi Korea Utara. Cinta yang Kembali Selain Uniseed, ada juga kelompok sukarela terdiri atas pengungsi Korea Utara. Kelompok relawan Chakhan (Chakhan) yang terdiri dari 10 kelompok sukarelawan yang dipilih oleh Yayasan Hana Korea di bawah kementerian unifikasi. Chakhan didirikan pada November 2015 dan melakukan kegiatan sukarela dua tiga kali setahun. Kelompok relawan yang terdiri atas lebih dari 50% pengungsi Korea Utara bisa menjadi anggota Chakjan. Seorang pejabat Yayasan Hana Korea menjelaskan “Proyek Chakhan dimulai untuk membuat para pengungsi Korea Utara menganggap diri sebagai pemberi bukan penerima, meninggikan semangat hidup mereka sekaligus menyatukan ma­­ syarakat dengan mengembalikan cinta yang diterima di Korea Selatan kepada orang-orang miskin.” Pada April tahun ini, sukarelawan Chakhan menanam pohon di hutan yang dikembangkan di dalam kompleks Balai Pertambangan Sudopwon di Seoul, memikirkan kampung halaman mereka sendiri di Korea Utara. Mereka bergabung dengan relawan dari Kia Motors. Acara ini sangat penting karena orang Korea Selatan dan Korea Utara bergandengan tangan menanam pohon yang akan dikirim ke Korea Utara setelah tumbuh, mengungkapkan keinginan mereka untuk unifikasi nasional. Para pengungsi yang menanam pohon hari itu adalah sukarel-

“Lewat kegiatan sukarela, saya sangat merasa bahwa saya juga diperlukan untuk sesuatu. Kebanggaan saya meningkat secara signifikan ketika saya menyadari bahwa saya tidak hanya menerima bantuan orang lain melainkan dapat melakukan sesuatu untuk orang lain.”

awan dari klub anggota Chakhan, seperti Gwangmyeong Hana Hyanguhoe (Kelompok Penduduk Hana Gwangmyeong), Hana Bongsahoe (Kelompok Relawan Hana) dan Saeteomin Haetbit Saranghoe (Pengungsi Pencinta Cahya Matahari). “Saya baru mendengar kosakata kegiatan sukarela untuk pertama kalinya di Korea Selatan. Saya mulai melayani untuk membantu orang miskin dan mengubah persepsi tentang pe­­ ngungsi Korea Utara,” kata Sujin Gwak, ketua Hana Bongsahoe yang di bawah naungan PMI Korea. Youngae An yang bera­sal dari Musan, Hamgyeongbuk-do, Korea Utara mengatakan “Hampir semua gunung Korea Utara gundul. Saya menanam pohon dengan harapan bisa memindahkannya ke kampung halaman saya setelah unifikasi.” Layanan gabungan relawan Chakhan dimulai di desa Narutbe di Yeongcheon-gun, Gyonggi-do pada 14 Mei 2016. Desa Narutbe adalah salah satu desa yang paling dekat dengan DMZ. Pada tahun 2009, sebuah sungai di desa tersebut yang ditetapkan sebagai desa eko-damai melimpah sehingga 6 orang tewas karena bendungan sungai Hwanggang di Korea Utara memuntahkan air. Para relawan melakukan berbagai kegiatan; menyediakan makanan Korea Utara kepada lanjut usia, menggoreskan lu­­ kisan untuk penyatuan di dinding, membersihkan desa dan sebagainya. Mereka menyiapakn makanan Korea Utara yang populer sejenis mie dingin angelica tree , mandu, nasi tahu, da­ging kedelai dan lain-lain. Selain itu, Chakhan memangkas rumput dan membersihkan makam-makam tentara tak dikenal di permakaman nasional pada Mei 2016 maupun membuat kimchi untuk lanjut usia yang tinggal sendirian di kawasan kumuh sekitar stasiun Seoul. Selain Chakhan, kurang lebih 50 organisasi relawan pengungsi Korea Utara melakukan kegiatan sukarela sejak tahun 2015. SENI & BUDAYA KOREA 45


JAtUH CIntA PADA KOREA

keCintaan PenGGeMaR kaRYa sHakesPeaRe pada musik dan Tari Korea

Mana yang lebih jauh: jarak geografis antara Mansfield, Connecticut, di Amerika Serikat, dan Seoul, atau perbedaan budaya antara gugak (musik tradisional Korea) dan drama Shakespeare? Lauren Ash-Morgan menjembatani dua dunia itu. Choi Sung-jin Direktur Eksekutif, Korea Biomedical Review Ahn Hong-beom Fotografer

46 Koreana MUSIM GUGUR 2017


H

anya sedikit orang Korea — bahkan di antara penampil profesional — yang bisa menyanyikan chang (kisah balada tradisional) dengan iringan siter. Sedikit pula orang yang mau mendengarkan musik arkaik yang disebut gayageum byeongchang ini. Bagi orang asing, kendala menikmati pertunjukan ini sangat banyak — bahasa, teknik, dan kesulitan menangkap nuansa emosional. Namun, Lauren Ash-Morgan membuatnya tampak mudah. Pada malam hari, ia bisa ditemui di National Gugak Center di Seocho-dong, bagian selatan kota Seoul, belajar dan berlatih tari dan lagu tradisional Korea, dan musik instrumental. “Saya sangat kecil hati ketika memulainya karena ini adalah seni pertunjukan yang sama sekali baru. Saya tidak punya postur tubuh seorang penari, saya tidak punya kostum tari yang pantas, bahasa pengantarnya adalah bahasa Korea, dan sebagai satu-satunya orang asing di kelas, saya sangat mudah dikenali. Saya ragu apakah saya bisa mengikuti kelas itu dengan baik,” kata Ash-Morgan, mengingat kelas pertamanya di Washington, D.C. “Tapi gaya dan teknik ini perlu dipelajari bahkan oleh orang Korea sekalipun, seperti temanteman di kelas saya. Saya lebih beruntung di banding mereka, karena saya mahasiswa jurusan seni.” Dosen-dosen Koreanya juga sependapat. “Nona Lauren bisa mengikuti apa yang saya katakan dan melakukan apa yang saya minta,” kata dosen yang mengajarnya menyanyi chang sambil memainkan gayageum (siter 12 senar). Dosen tarinya mengatakan bahwa Ash-Morgan bukan hanya menguasai teknik tari tapi juga makna setiap gerakan. Lauren Ash-Morgan menampilkan gayageum sanjo di halaman di Namsan Park di Seoul.

Bagaimana semua ini Bermula? Karir panggung Ash-Morgan sudah diawali jauh sebelum ia berusia 34 tahun. Perempuan dari Mansfield, Connecticut, ini mulai tampil sejak berusia 10 tahun ketika ia mengikuti lokakarya teater. Pada usia 11 tahun, ia bergabung dengan Kid’s Company , sanggar teater di kota kelahirannya, dan mulai tampil di panggung. Di sekolah, ia punya minat khusus mengenai karya Shakespeare

dan terlibat dalam pertunjukan musik. Ia mendalami pendidikan musik di bangku kuliah, khususnya dalam bidang vokal, dan menerima gelar Sarjana Musik dari Ithaca College di New York, tempatnya mengembangkan minat dalam musik dunia dan etnomusikologi. Setelah lulus, ia menghabiskan satu tahun di Seoul pada tahun 2005 bekerja sebagai guru musik, dan mulai belajar musik Korea, khususnya gayageum dan janggu (gendang jam pasir), di National Gugak Center . Ia melanjutkan ke program master di University of Maryland , College Park , belajar bersama Dr. Robert Provine, pakar musik Asia Timur, dan memperoleh gelar M.A. dalam etnomusikologi dengan pengkhususan musik Korea. Selama masa kuliahnya, ia menghabiskan dua tahun belajar tari tradisional Korea dan pansori (lagu naratif diiringi gendang) di Washington Korean Performing Arts Center dan belajar gayageum dan janggu . Pada tahun 2010, ia diundang mengikuti Lokakarya Gugak Internasional di National Gugak Center dan sejak saat itu ia belajar gugak dalam hubungannya dengan tari Korea. Pada tahun 2011, Ash-Morgan mengikuti audisi dalam pementasan drama “Macbeth” yang diproduksi oleh Seoul Shakespeare Company dan mendapatkan peran utama. Saat itulah ia bertemu Michael Downey, yang berperan sebagai suaminya, dan kini menjadi suaminya. Sejak saat itu, ia aktif dalam teater berbahasa Inggris di Seoul, memainkan peran utama dalam banyak produksi, dan bahkan memainkan peran utama juga dalam film fitur independen “Amiss.” Pada tahun 2014, ia menjadi sutradara artistik Seoul Shakespeare Company , menjadi produser pertunjukan itu dan membuat kostumnya. “Saya menjaga keseimbangan artistik antara gugak dan teater klasik dan menampilkan elemen gugak dalam pementasan teater Barat, dengan menyuguhkan seni pertunjukan tradisional Korea kepada penonton yang lebih luas,” katanya. “Saya sedang mempersiapkan lokakarya mengenai karya Shakespeare dengan harapan bisa memasukkan tari Korea dan latihan vokal ke dalam teater klasik di masa yang akan datang.” Ash-Morgan percaya bahwa gugak dan SenI & BUDaYa Korea 47


teater Barat saling menguntungkan. “Musik punya pengaruh besar pada teater dalam latih­ an pernafasan dan vokal. Gerakan dan emosi sangat berhubungan satu sama lain. Dengan berlatih pansori , misalnya, saya bisa memperoleh vokal yang lebih kuat, rendah dan dalam, yang saya gunakan di panggung teater tanpa khawatir melukai pita suara saya,” katanya. “Dalam musik tradisional Korea, dikenal juga konsep han — suatu kesedihan dan kepahitan yang terakumulasi dan mendalam — yang digunakan untuk menciptakan efek katarsis. Emosi kesedihan yang mendalam ini merupakan sesuatu yang universal, sebuah kualitas yang ditunjukkan dalam banyak trageedi klasik di panggung. Kita tidak seharusnya berkubang di dalamnya, melainkan menularkan perasaan kartarsis itu dengan penonton.” Satu Pemain dengan Tiga Peran Ash-Morgan’s typical week is divided bHari-hari Ash-Morgan terbagi di antara tiga aktivitas utama: mengajar empat kelas (16 jam) di Kwangwoon University ; belajar musik dan tari Korea, biasanya di malam hari;

1

dan berperan dan memproduksi drama karya Shakespearea. Karena pekerjaannya dengan Seoul Shakespeare Company bersifat sukarela, pendapatannya datang dari mengajar percakapan dan presentasi dalam Inggris. “Pekerjaan mengajar di universitas memberi saya dukung­ an finansial dan waktu untuk terlibat dalam pekerjaan artistik,” katanya. Selain rajin, bersungguh-sungguh, dan berkomitmen, Ash-Morgan punya sesuatu yang lain yang memudahkannya belajar musik dan tari Korea dalam waktu yang relatif pendek dan mendapatkan hambatan lebih sedikit dari yang diperkirakan banyak orang. Tari Korea yang dianggap tradisional saat ini berkembang di bawah pengaruh guru yang mumpuni, masing-masing dengan gayanya sendiri yang sudah diturunkan ke beberapa generasi di bawahnya, bisa memang diwariskan, bisa pula tidak, katanya. “Saya belajar empat tari Korea, dengan empat guru, dan mereka sangat berbeda satu sama lain. Saya tahu bahwa setiap kali saya mulai dengan guru tari yang baru, saya perlu meredam insting gerak saya dan fokus pada detail apa yang membuat gaya guru itu unik; bukan hanya dalam hal teknik, tapi neukkim personalnya — perasaan, karakter, atau aura, atau bagaimana ia mengekspresikan kepribadian dan perasaannya melalui tari,” katanya. “Bukan hanya tentang belajar koreografi; buat saya, ini soal kekaguman pada karakter guru saya ketika ia menari, yang memerlukan perhatian pada hal kecil yang kompleks. Saya mencoba mencari perasaan itu dalam diri saya, sama seperti ketika saya tampil di panggung atau film.” Ash-Morgan merasa bersyukur bahwa ia punya kesempatan belajar dasar-dasar tari ketika ia masih tinggal di Amerika Serikat bersama orang-orang yang sangat mendukung­ nya. Menurutnya, gerakan tari tradisional

2 1. Lauren Ash-Morgan merupakan seorang aktor dengan Rombongan Shakespeare Seoul dan sebagai direktur artistiknya. Dia memainkan peran Beatrice dalam produksi “Banyak Ribut Namun Tiada” tahun 2016, yang disutradarai oleh suaminya, Michael Downey. 2. Sebuah adegan dari “Kisah Mungkin Dingin,” dipentaskan pada bulan April 2017 di bawah arahan Michael Downey. Laura Ash-Morgan berperan sebagai Paulina. Di sebelah kiri adalah John Michaels, yang bermain sebagai Antigonus, dan di sebelah kanan adalah Josh Kroot, yang memerankan Camillo.

“Saya menjaga keseimbangan artistik antara gugak dan teater klasik dan menampilkan elemen gugak dalam pementasan teater Barat, dengan menyuguhkan seni pertunjukan tradisional Korea kepada penonton yang lebih luas.” 48 Koreana MUSIM GUGUR 2017


saya menemukan pengalaman lain. Di Ameri­ ka Serikat saya mendalami gugak ; di Korea sebagian besar hidup saya fokus pada pementasan drama Shakespeare,” katanya. “Setelah menampilkan pansori di Amerika dan sekarang tinggal di Korea dan menampilkan Shakespeare, saya merasa menyuguhkan sesua­tu yang asing bagi negara tempat saya tinggal, tapi dianggap arkaik di negara asalnya.”

© Robert Michael Evans

Korea sangat menyatu bukan hanya pada tari itu sendiri tapi juga dalam nyanyian dan pertunjukan instrumental yang membuatnya berpikir bahwa gerakan itu adalah bagian dari “sesuatu yang berbau Korea,” yang seolah sudah mengalir dalam darahnya. “Seiring berjalannya waktu, dosen-dosen saya yakin bisa melepaskan dan membiarkan saya bergabung dengan teman-teman lain, dan saya baik-baik saja,” katanya. “Di National Gugak Center , ketika kelas baru dimulai, beberapa teman saya pasti pernah belajar bersama di kelas sebelumnya atau melihat saya tampil dalam festival tahunan, sehingga tidak canggung lagi, karena mereka sudah me­­ ngenal saya.” Ketika tinggal di Amerika Serikat, saya menghabiskan banyak waktu belajar bahasa dan budaya Korea. Keberadaan budaya minoritas migran dan pentingnya ruang budaya yang menjadi tempat berkumpul dan mengekspresikan diri adalah salah satu poin yang ia tekankan dalam karyanya. “Dengan Seoul Shakespeare Company ,

Gugak dan Shakespeare: Pasangan Aneh? Dalam membandingkan persamaan dan perbedaan gugak dan teater Shakespeare, Ash-Morgan mengatakan, “Bagi kebanyakan orang Korea, gugak tidak dikenal, sulit dime­ ngerti, membosankan, ditampilkan dan dinikmati oleh seniman gugak yang mumpuni dan inovatif di dalam masyarakat Korea yang luas. Sama halnya dengan teater Shakespeare di negara berbahasa Inggris; banyak orang menganggap bahasanya aneh, kuno dan sangat membosankan. Shakespeare merupakan unsur utama budaya kami, dan, khususnya bagi bangsa Inggris, merupakan identitas nasional.” Sama halnya dengan gugak , yang tidak dikenal oleh banyak orang Korea, merupakan simbol identitas nasional Korea. Ash-Morgan mengatakan gugak dan teater Shakespeare sama menariknya: “Kedua­ nya merupakan karya lama dan kurang dikenal bagi banyak orang tapi luar biasa populer dan digemari di antara sebagian ma­­syarakat. Keduanya punya kedalaman sejarah dan budaya, dan juga merupakan ruang bagi inovasi artistik dan kemampuan menjangkau penonton modern.” Dengan mengajar, menari dan belajar musik, Ash-Morgan hanya punya sedikit waktu untuk melakukan kegiatan lain. Bahkan di akhir pekan, ia menyunting video karya­ nya atau membuat kostum, termasuk hanbok (pakaian tradisional Korea). Jadwalnya yang padat membuatnya menjadi penggemar sistem transportasi publik Seoul, khususnya kereta bawah tanah. “Saya menangani pekerjaan saya di dalam kereta. Jika kereta bawah tanah di Seoul tidak senyaman ini, sulit bagi saya mengikuti tiga kegiatan itu pada saat yang bersamaan,” katanya. SENI & BUDAYA KOREA 49


Di Atas Jalan

50 Koreana MUSIM GUGUR 2017


Menikmati Puisi

di

Tepi Danau

Di dekat ujung selatan semenanjung Korea terdapat kota sejarah Jinju dengan populasi sebanyak 350.000 jiwa. Di jantung kota ini mengalir Sungai Nam. Dulu, sungai ini menjadi saksi perang ketika Jepang menginvasi Korea. Di jaman modern, sungai ini dibendung menjadi Danau Jinyang. Di Jinju, waktu mengalir seperti air. Gwak Jae-gu Penyair Ahn Hong-beom Fotografer SENI & BUDAYA KOREA 51


S

ambil duduk memandang ke luar jendela, saya membaca antologi puisi pertama yang ditulis oleh seorang penyair muda. Puisi, air dan bepergian semuanya sama. Air mengalir dengan tenang menyusuri daratan lalu berhenti, seperti puisi mengalir menyusuri jiwa manusia dan berhenti di suatu titik. Bepergian adalah cara manusia menyusuri waktu. Ketika berhenti dan rehat sejenak, saat itulah hati kita menjadi hangat. Naechon adalah sebuah desa di tepi Danau Jinyang. Saya beruntung mengawali perjalanan di sini. Saya duduk di kafe dan memandang ke luar jendela, sambil membuka halaman demi halaman buku puisi itu. Apakah Manusia Jaman Perunggu Punya Puisi? Di pasar tradisional di kota tempat saya tinggal, ada pasangan

52 Koreana MUSIM GUGUR 2017

muda yang membuka toko buku bernama Simda. Kata ini berarti “menanam,” seperti dalam “menanam pohon” atau “menanam bunga.” “Anda ke pasar untuk beli buku? Semoga Anda menemukan yang Anda cari.” Pedagang lain mengkhawatirkan pasangan itu, tapi ternyata usaha mereka berhasil. Banyak orang mulai mencari toko buku kecil yang tidak lebih dari 10 meter persegi itu. Turis biasanya turun di stasiun kereta terdekat dan berjalan menyusuri lorong sempit di pasar mencari toko buku ini. Beberapa datang untuk membaca katalog perjalanan, buku puisi dan buku bergambar yang dipajang di sana. Mereka yang berasal dari kalangan televisi dan jurnalis juga datang. Ketika saya singgah di toko buku itu dalam perjalanan ke Jinju, pemiliknya memberi saya buku kumpulan puisi. “Dam Dam.” Jiwa setenang air mengalir… Ini adalah antologi puisi per-


tama yang ditulis oleh Chang Sung-hui. Ketika membaca buku itu, dalam hati saya ikut merasakan kekacauan dan kemalangan yang dialami penulis dalam hidupnya. Suatu hari ketika aku sakit dan sendiri Aku melebur dalam dingin dan kehilangan bentuk Aku bukan diriku Aku benamkan kakiku setelah perjalanan panjang Dalam sepatu berujung kotak Dinginku tercinta pun memudar Saat sepatuku berdetak dengan riuh Nama yang panjang tidak kuasa kuucapkan Tertahan kelu di lidahku

1

2 1. Area pusat kota terlihat di luar pagar Chokseongnu di tepi Sungai Nam, yang mengalir membelah kota Jinju. Didirikan pertama kali pada masa Dinasti Goryeo, paviliun telah dibangun kembali dan beberapa kali diperbaiki. Selama invasi Jepang dari tahun 1592-1598, berfungsi sebagai markas komando untuk pertahanan Benteng Jinju dan kini sebagai properti budaya yang dipilih provinsi. Populer sebagai tempat berhenti dan beristirahat. 2. Museum Abad Perunggu Jinju dilengkapi ruang pamer peninggalan yang digali dari daerah Daepyeong-myeon di Jinju.

Ini adalah puisi berjudul “Es.” Saya suka caranya menggunakan es sebagai metafor untuk air mata. Ekspresi “Dinginku tercinta” juga metafor untuk air mata. Mata saya juga tertuju kepada “sepatu berujung kotak.” Hidup itu seperti pencarian abadi dengan memakai sepasang sepatu hak tinggi berujung kotak. Air di danau itu tenang sekali. Saya melewati Jalan No. 1049 menyusuri sisi danau. Setelah sekitar 10 kilometer, saya melihat tanda yang menunjukkan arah ke Museum Jaman Perunggu Jinju. Museum ini didirikan untuk mengenang kehidupan orang-orang yang menem­pati delta itu sekitar 1.500 tahun sebelum Masehi dan memamerkan sisa-sisa dari masa itu. Bagaimana mereka hidup 3.500 tahun lalu? Di museum ini, saya tahu bahwa ada sekitar 400 situs ditemukan di wilayah ini dan saya takjub melihat bahwa makanan, pakaian dan tempat tinggal orang-orang dari Jaman Perunggu tidak berbeda jauh dari kita sekarang. Mereka makan nasi yang dimasak dalam gerabah di atas api dan membakar ikan yang ditangkap di sungai. Alat pembakaran biji persik juga ditemukan. Saya melihat dapur tempat menyimpan biji-bijian, alat untuk menggulung benang dan perangkat makan berwarna merah tua. Tiba-tiba saya ingin tahu bagaimana orang-orang itu mengekspresikan jalan pikirannya, apakah mereka bermimpi mendaki gunung dan menyeberangi sungai dan mengembara SENI & BUDAYA KOREA 53


di sekitarnya. Saya perhatikan permukaan kerajinan gerabah me­reka, dan ternyata semuanya tidak dihias. Mereka yang hidup 3.500 tahun lalu tidak mengenal puisi. Saat itu, bepergian seorang diri juga sangat tidak mungkin. Pengertian bahwa manusia adalah raja dari semua makhluk tampaknya lahir dari kesombongan intelektual dan narsisme manusia mengenai peradaban yang mereka ciptakan di jaman modern. Bahasa Estetik Masa Suram Saya kembali ke tempat semula dan melanjutkan perjalanan. Pohon mimosa yang berjajar di sisi danau sedang berbunga. Dalam bahasa Korea, pohon ini dinamakan haphwansu (“pohon kebahagiaan”) atau haphonmok (“pohon senja”). Daunnya yang menyerupai tanaman paku terbuka sepanjang hari, tapi kemudian terlipat satu sama lain ketika matahari terbenam. Di bawah bayangan pohon mimosa di punggung bukit dengan pemandangan ke danau, saya mengambil buku puisi itu dan membacanya kembali.

Dewa- dewa dan anggur Nama-nama itu adalah penawar

Puisi ada di hati mereka yang terluka dan merangkum perjalanan jiwa yang menderita. Saya ingin tahu apakah orangorang dari Jaman Perunggu 3.500 tahun yang lalu tidak mengenal puisi karena mereka tidak pernah menderita.

Ketika musim dingin berlalu nafasku memutih, tubuhku merindukan makam Cuaca memanas, sepanas-panasnya Tanda tanya mengakhiri setiap tarikan nafas Angin berhenbus dan hujan turun Berjalan tanpa selembar payung Engkaulah bayang pohon yang tumbang. Puisi di atas berjudul “Berjalan Tanpa Akhir.” Orang yang berjalan tanpa payung adalah penyair itu sendiri. Pada tahun 1980an, masa kelam ibarat berada dalam bayangan pohon tumbang, saya berusia dua puluhan dan “jaman keemasan puisi” lahir di Korea. Dalam tekanan politik dan penuh kekerasan

1

54 Koreana MUSIM GUGUR 2017

orang-orang menulis puisi. Petani, tukang kayu, sopir bus, pandai besi, guru, penambang, perawat — semua menulis puisi. Puisi adalah hiburan dan surga bagi jiwa mereka. Buku-buku puisi terjual jutaan buah diterbitkan satu demi satu. Dan, periode itu sangat disukai. Untuk penyair muda yang menulis “Dam Dam”: Jangan lelah berharap. Anda punya bahasa yang sangat indah dan akan tiba masanya Anda menuangkan kesedihan dan kecantikan jiwa manusia dengan sempurna. Hati yang Lebih Merah dari Bunga Poppy Chokseongnu adalah sebuah paviliun di dalam Benteng Jinju. Bagi orang Korea, bangunan indah yang berdiri di sisi Sungai Nam adalah saksi hidup sejarah mereka yang penuh luka dan menyedihkan. Pada tahun 1592, Jepang menginvasi Joseon. Perang selama tujuh tahun berikutnya dikenal dengan nama Imjin Waeran. Pada saat Jepang dengan 20.000 tentaranya menyerang Benteng Jinju di bulan kesepuluh tahun itu, Kim Si-min, seorang hakim di Jinju, berhasil mengalahkan mereka, dengan memimpin 3.800 tentara. Menjelang akhir pertempuran selama tujuh hari, Jepang sudah kehilangan 300 komandan dan 10.00 prajurit. Kim Si-min tertembak dan gugur dalam perang pada usia


2

39 tahun. Pertempuran kedua di Benteng Jinju dimulai pada bulan keenam tahun berikutnya. Perang terjadi di tengah hujan dan berakhir dengan jatuhnya Benteng Jinju. Semua tentara Joseon di dalam benteng gugur karena berperang melawan Jepang atau karena terjun ke Sungai Nam, dan rakyat sipil yang berlindung di dalam benteng ikut dibantai. Jepang mengirimkan sebanyak 20.000 komandan Korea yang terluka kembali ke negaranya. Dikisahkan, mayat mereka yang tenggelam menghambat aliran sungai. Meski kota itu sudah hancur, Jepang menderita kerugian besar dan tidak berhasil menduduki wilayah Honam hingga bagian barat, yang dikenal sebagai lumbung negara, memaksa mereka mengubur ambisi menaklukkan Joseon. Inilah nilai pentingnya pertempuran itu. Dari pertempuran bersejarah ini, ada kisah seorang perempuan yang berkembang seperti bunga setelah perang. Nongae dikenal sebagai seorang gisaeng , entertainer artistik, meski beberapa catatan menunjukkan bahwa ia adalah rakyat biasa. Sebenarnya, posisi sosialnya ini tidak penting. Setelah Pertempuran Kedua di Jinju, tentara Jepang mengadakan pesta kemenangan dan beberapa gisaeng hadir. Dalam pesta itu, Nongae mengajak komandan pihak musuh, Keyamura Rokusuke, ke ujung tebing, memeluknya dan melompat berdua ke Sungai

1. Di Observatorium Danau Jinyang, pengunjung melihat keluar dari atas air pemandangan indah di senja hari. 2. Di bawah Benteng Jinju terdapat sebuah jalan penuh barang antik, jalan kecil sepanjang 600 meter, bernama Insa-dong. Toko antik mulai bermunculan di sini di 1970-an.

SENI & BUDAYA KOREA 55


Nam. Masyarakat setempat menamai batu tempatnya melompat itu Uiam (Batu Kesetiaan), sementara kuil yang ditujukan untuk mengenangnya disebut Uigisa (Kuil Gisaeng Setia) dan berdiri menghadap sungai. Penyair Byeon Yeong-ro mengingat Nongae dalam puisi ini. Amarah mulia Lebih dalam dari agama, Nafsu membara Lebih kuat dari cinta. Ah! Di atas air Lebih biru dari bunga teleng, Mengalir ke dalam hati Lebih merah dari bunga poppy. Alis mata yang cantik Bagai busur Dan bibir bagai delima Mencium kematian! Ah! Di atas air Lebih biru dari bunga teleng, Mengalir ke dalam hati Lebih merah dari bunga poppy.

56 Koreana MUSIM GUGUR 2017

Festival Lampion di bulan Oktober yang diadakan untuk menghormati mereka yang gugur dalam perang melawan Jepang merupakan kebanggaan masyarakat Jinju. Karena uniknya kisah di balik festival ini, the Asosiasi Acara dan Festival Internasional (International Festivals and Events Association, IFEA ) pada tahun 2015 menganugerahi Jinju sebagai Kota Festival dan Acara tingkat Dunia. Ketika festival dimulai, Sungai Nam akan tertutup oleh lampion apung beraneka warna. Pada malam hari, surga ini dipenuhi lampion yang jumlahnya lebih banyak dibanding bintang-bintang, mengingatkan kita kepada Pertempuran Jinju, pada saat tentara yang bertahan dan masyarakat sipil yang terperangkap di dalam dinding benteng menggunakan lampion untuk memberi kabar mengenai situasi mereka kepada yang di luar sementara mereka yang di luar mengirimkan kabar dari rumah kepada mereka yang di dalam. Kunjungan ke Jinju di bulan Oktober menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan dan memberikan kebahagiaan tersendiri. Anda bisa menulis nama dan impian dan harap­an Anda pada lampion dan mengirimkannya ke langit malam. Dulu, lampion-lampionlah yang mengakat ruh orangorang Jinju, membawa harapan dan sumpah mereka ke surga dalam malam-malam yang dingin 425 tahun lalu ketika mereka menghadapi penyerang dan menjadikan Sungai Nam sebagai pertahanan terakhir mereka.


Seoul

Tempat Kunjungan ke Jinju

328km Jinju Pasar Jungang

Tembok Benteng Jinju Desa Danau Naechon

Jalan Antik Kesukaan Novelis Saya suka sekali dengan jalan tua di sekeliling tembok Jinju. Jalan ini dikenal dengan nama Insa-dong, seperti lorong antik di Seoul yang sangat terkenal. Ada seseorang yang selalu saya ingat setiap kali mengunjungi jalan ini: novelis Park Wan-suh. Park sangat menyukai jalan ini. Insa-dong di Seoul sa­­ ngat ramai dan barang-barang yang dijual sangat mahal, tapi jalan dengan nama yang sama di Jinju tenang dan nyaman dan orang-orangnya sangat baik. Park mengatakan, jalan itu masih nyaman untuk jalan kaki. Dan memang benar. Pedagang di sana setidaknya sudah membaca satu atau dua novelnya dan ada yang membawa novel untuk minta tandatangannya. Hanya penulislah yang tahu bagaimana rasanya bersama dengan mereka yang memperlakukan karyanya dengan baik. Park sangat suka perabot kayu dari periode Joseon. “Barang-barang kayu dari jaman Joseon tidak pernah kehi­ langan pesona, bahkan ketika ditempatkan bersama dengan lukisan Barat atau seni abstrak. Barang-barang itu tidak kehilangan nilai dan tetap memiliki kekuatan bersanding dengan objek lain,” katanya.

Adegan Pertempuran dari invansi Jepang ditampilkan kembali setiap tahun dengan patung lentera yang mengambang warna-warni selama October Lantern Festival, yang diadakan di Sungai Nam.

Museum Seni Jinju Rhee Seund

Sambil memikirkannya, saya mencari informasi mengenai toko antik. Dewi belanja berpihak pada saya, dan saya membeli sebuah gerabah seharga tiga ratus dolar. Jika Park ada di sini ia akan berkata, “Oh! Di mana Anda menemukannya? Anda punya selera yang bagus.” Di Mana Puisi Bermula, Di situlah Puisi itu Berada Museum Seni Jinju Rhee Seund Ja dibuka pada tahun 2015. Rhee lahir di Jinju pada tahun 1918. Ia adalah salah satu pelukis, yang bersama Kim Whanki dan Lee Ung-no, membuat seni Korea dari abad 20 dikenal dunia. Banyak karyanya di museum ini punya judul puitis. Lukis­an berjudul “Wajah Angin,” “Bisikan Fajar” atau “Putri Duyung yang Bahagia” sangat indah. Selama masa kolonial Jepang di paruh pertama abad 20, Rhee belajar di Jepang, dan pada tahun 1951 ketika Perang Korea mencapai puncaknya, ia belajar ke Perancis, semacam perpindahan tempat yang tentu memberikan sentuhan tersendiri pada karyanya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan penderitaan tanah airnya dan orang-orang yang ditinggalkannya? Puisi ada di hati mereka yang terluka dan merangkum perjalanan jiwa yang menderita. Saya ingin tahu apakah orangorang dari Jaman Perunggu 3.500 tahun yang lalu tidak mengenal puisi karena mereka tidak pernah menderita. Dulu, mereka lebih hangat dan damai dibanding kita sekarang. Barangkali sejarah kita sebagai manusia yang menulis puisi adalah satu langkah mundur. SENI & BUDAYA KOREA 57


Satu Hari Biasa

Menikmati Hidup sebagai Pengembang IT

58 Koreana MUSIM GUGUR 2017


Pengembang sistem benam (embedded software ) memaksimalkan kenyamanan pengguna dengan mengatur dan mengkombinasikan simbol yang mudah dipahami bagi mata awam. Sebagai orang yang bekerja dalam bidang ini, Kim Yoon-ki mengakui, “Saya bekerja lembur selama setengah bulan.” Ia berbagi cerita mengenai rencana mewujudkan impiannya sepuluh tahun yang akan datang. Yi Ji-young Reporter, bloter.net Ha Ji-kwon Fotografer

P

engembang IT yang kita lihat dalam drama televisi atau film biasanya ditam­ pilkan seperti pesulap. Mereka me­­ ngetik di papan ketik, lalu layar hitam di panggung akan berubah dan informasi top-screen muncul di bagian atas. Bagi orang yang tidak tahu, ini merupakan pemandangan yang misterius dan menakjubkan. Kadang-kadang orang seperti ini seolah hidup dalam waktu dan tempat yang berbeda. Ternyata kehidupan pengembang IT seharihari tidak seperti itu. Setelah delapan tahun menja­ lani hidup sebagai pengembang, Kim Yoon-ki dengan kalemnya mengatakan bahwa kehidupan seharihari­nya tidak berbeda dari kehidupan para pegawai pada umumnya. Ia mulai bekerja pukul sembilan pagi hingga pukul enam petang, dan istirahat makan siang dari setengah dua belas hingga setengah satu. Ada kalanya ia selesai pukul enam, dan di lain waktu ia harus bekerja sampai larut. Kebiasaan Minum Kopi Para Pengembang Perangkat Lunak Sesampainya di kantor, sebelum bekerja Kim Yoon-ki selalu menikmati segelas kopi bersama rekan kerjanya. Ia menganggap mereka sebagai kakak. Setelah salah satu dari mereka mengirimkan pekerjaan melalui pesan di jaringan komunikasi perusahaan, mereka berkumpul di kedai kopi di lantai dasar. Sementara kopi sedang diseduh, mereka bicara me­­ ngenai ini itu. Pertemuan singkat berlangsung lima sampai sepuluh menit, tapi bagi Kim Yoon-ki ini me­rupakan waktu yang sangat berharga yang menandai awal setiap harinya.

“Ada tiga atau empat orang yang sudah bekerja di sini sejak saya memulai usaha ini. Sering kali mereka tidak datang ke kantor tapi langsung ke lokasi pekerjaan di luar, jadi kami bertemu kapan saja untuk saling memberi semangat. Saya paling muda di sini. Bicara mengenai masalah saya atau berdiskusi tentang hal-hal yang ingin saya ketahui bersama kakak-kakak yang tiga tahun lebih tua dari saya sa­­ ngat membantu dalam pekerjaan ini.” Dalam dunia IT, ada ungkapan ‘kebiasaan minum kopi pengembang perangkat lunak’. Ketika mulai bekerja mereka biasa minum kopi sebagai penyemangat, lalu satu gelas lagi untuk membuat tetap fokus dan mengembalikan konsentrasi. Mereka minum kopi seperti kita minum air. Aturan Lembur Senjata andalan Kim Yoon-ki berupa perangkat komputer dengan prosesor 12-core , monitor UHD 32 inci, dan papan ketik tua yanb belum diganti sejak ia mulai bekerja. Dengan peralatannya ini, ia menyelesaikan pekerjaannya setiap hari. Ia seorang pengembang sistem benam. Perangkat lunak dengan sistem benam adalah perangkat yang ada di peralatan rumah tangga, seperti TV dan lemari es, yang punya fungsi khusus. Perangkat ini sangat penting dan menjadi topik dalam Internet of Thing . Ketika memperkenalkan diri kepada orang lain, Kim Yoon-ki hanya mengatakan ia seorang pengembang perangkat lunak. Saat ia mulai bicara mengenai pekerjaannya, penjelasannya makin panjang dan lebar sehingga orang yang tidak tahu pekerjaannya akan punya banyak pertanyaan. Dengan banyaknya

SENI & BUDAYA KOREA 59


pertanyaan itu, percakapan mereka seolah tidak akan berhenti, dan itu sangat melelahkan. Karena sudah mengalaminya beberapa kali, kini ia mulai bicara se­sedikit mungkin mengenai pekerjaannya itu. Ada juga saatnya ketika pertemuan dengan orang-orang baru membuatnya malu. Kalau saya katakan bahwa saya pengembang IT, beberapa orang akan bilang “Anda pasti jago video game !” atau “Komputer saya kena virus, apakah Anda bisa memperbaikinya?”. “Pengembangan IT seperti banyaknya pertan­ dingan bola yang berbeda: basket, sepak bola, dan bisbol. Di sini juga terdapat banyak area berbeda, yaitu web, sistem benam, dan server. Anda tidak bisa mengharapkan pemain basket bisa bermain bagus di bisbol, bukan? Saya khusus mendalami satu area pengembangan saja. Saya tidak bisa menguasai semua bidang, jadi saya tidak bisa menjawab ketika orang-orang punya pertanyaan seolah semua adalah hal yang sama.” Pengembangan IT hampir serupa dengan menulis novel. Pekerjaan ini tidak bisa selesai hanya dengan bekerja keras sepanjang hari. Anda harus memastikan apakah pekerjaan Anda berjalan sebagaimana mestinya, dan jika tidak, Anda harus mencari tahu apa yang salah dan kemudian memperbaikinya. Proses ini dilakukan berulang-ulang. Sama halnya dengan menulis cerita dan alur yang berbeda untuk membangun narasi yang utuh dan padu dalam bentuk novel, setiap sistem harus berurutan supaya program itu bisa berjalan dengan baik. Jika tidak bisa menyelesaikan masalah yang muncul, Anda harus bekerja siang malam berhari-hari sampai berhasil mengurainya.

Kim Yoon-ki mengatakan ia bekerja larut malam sekitar setengah bulan setiap bulannya. “Saya punya aturan sendiri ketika bekerja lembur. Saya punya rekan kerja yang tidur beberapa jam di kantor untuk memanfaatkan waktu yang seharusnya ia pakai untuk pulang pergi ke rumah. Tapi, selarut apa pun saya tetap pulang dan tidur di rumah. Dengan begitu saya bisa datang lagi dalam keadaan segar.” Begitulah caranya mendapatkan motivasi bekerja setiap hari. Jarak antara kantornya yang berlokasi di Seongnam, Propinsi Gyeonggi, dan rumahnya di Incheon bukan jarak yang dekat, namun Kim Yoon-ki tetap menjalani aturannya itu. Rahasia Bahagia di Tempat Kerja Kim Yoon-ki sangat suka ketika para koleganya berbisik satu sama lain, suara detak jarum jam, dan suasana hening yang kadang-kadang didapatinya di kantor. Ia mengatakan suasana seperti itu membantunya berkonsentrasi. Namun, ada saatnya konsentrasi terganggu, dan apa pun yang ia lakukan seolah serba salah. Sebagai pelarian dari suasana seperti itu, Kin Yoon-ki berselancar di dunia maya dan hari-harinya berlalu dengan cepat. “Dalam pengembangan IT, ada proses yang disebut ‘membangun’. Ketika Anda sudah bisa me­rancang perangkat dengan bahasa yang dimengerti komputer, tahap selanjutnya adalah verifikasi apakah komputer bisa memproses kontennya dengan benar. Tahap ‘membangun’ ini memakan waktu jauh lebih lama dari yang Anda bayangkan. Bagi saya sebagai seorang pengembang IT, peralatan yang bagus dan berada di dekat teman-teman yang baik sangat mem-

Pengembangan IT hampir serupa dengan menulis novel. Pekerjaan ini tidak bisa selesai hanya dengan bekerja keras sepanjang hari. Anda harus memastikan apakah pekerjaan Anda berjalan sebagaimana mestinya, dan jika tidak, Anda harus mencari tahu apa yang salah dan kemudian memperbaikinya.

60 Koreana MUSIM GUGUR 2017


Kim Yoon-ki (menghadap kamera di sebelah kanan) dan tim pengembangan perangkat lunak berkumpul untuk rapat. Perangkat lunak tertanam dalam benda seperti peralatan rumah tangga, memungkinkan pelaksanaan fungsi tertentu.

bantu karena bisa mengurangi kebosanan ketika menunggu proses itu berlangsung.” Bahkan ketika bicara tentang cinta pun ada momen jenuh. Sama halnya dengan bekerja. Ada saatnya Kim Yoon-ki lelah dengan rutinitas dan pekerjaan yang berulang-ulang. Pada waktu-waktu seperti ini, ia berusaha mengalahkannya. Harus punya hobi dan aktivitas yang membuat rileks dan mendaapatkan energi baru. “Ada pengembang IT yang hanya tertarik pada komputer dan hanyut dalam pekerjaannya, namun ba­nyak juga yang menikmati waktu dan hidup dalam suasana budaya yang kaya. Sebagian besar pengembang adalah orang-orang yang rasa ingin tahunya besar, sehingga mereka punya banyak hobi. Saya juga begitu.” Kapan pun ia punya waktu, ia membaca. Buku yang saat ini dibacanya adalah Finding Flow karya Mihaly Csikszentmihalyi. Di akhir pekan ia berusaha mengikuti perkembangan dalam dunianya dan menonton film. Ia juga bergabung dengan grup gitar di kantornya dan sesekali tampil di konser. Dulu, ia suka lari dan menyelesaikan putaran sejauh empat kilometer sebelum pulang ke rumah. Ia juga berpartisipasi dalam beberapa maraton amatir.

“Mencari kesenangan seperti itu adalah cara saya menikmati pekerjaan saya. Ini rahasia saya bekerja dengan senang.” Tentu ada juga pengembang dengan kehidupan yang sama sekali berbeda. Banyak di antara mereka mengalami depresi karena level stres pekerjaan yang mereka miliki. Pekerjaan yang dilakukan dengan lampu kantor menyala sepanjang malam, dan makan dan tidur di kantor menjadi hal yang rutin. Untungnya, Kim Yoon-ki menikmati pekerjaan dan walaupun sudah mendapatkan beberapa pencapaian dalam pekerjaannya ini, ia tetap berusaha menikmati hiudp. Ia punya mimpi. Ia ingin menjadi pengembang inter-disiplin yang mengkombinasikan IT dan seni. Ia tidak akan hanya berhenti pada apa yang dikerjakannya, tapi memakai ketrampilannya itu sebagai dasar untuknya melakukan pekerjaan yang lebih besar. “Sekitar sepuluh tahun dari sekarang saya ingin membuka galeri. Semacam tempat bekerja bagi pengembang IT. Saya ingin berkembang dari pengembang yang membuat suatu karya dengan kode-kode menjadi insinyur yang merancang dan membuat sesuatu yang lebih nyata. Saya tidak tahu kapan, tapi itulah mimpi yang sangat ingin saya capai.”

SENI & BUDAYA KOREA 61


esai

PELAJARAN NASIONALISME DARI KOREA SELATAN Gumilar Rusliwa Somantri Mantan Rektor Universitas Indonesia

S

aat tengah mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXI Lemhannas RI 2017, saya terperangah menyimak paparan seorang dosen studi inti Geopolitik dan Wawasan Nusantara mengenai ketahanan energi nasional. Ia membahas dinamika lingkungan strategis global dan nasional yang dinamis. Tidak mudah bagi semua bangsa menghadapi situasi persaingan global yang sangat ketat, ditengah-tengah dinamika nasional yang menggelora. Namun, ia menutup sesi perkuliahan dengan optimisme seraya mengutip kalimat dalam tulisan seorang ilmuwan Korea ahli Indonesia yang ternama, Koh Young Hun dari HUFS. Inti dari kutipan tersebut adalah Korea saja bisa melewati berbagai halangan dalam membangun dirinya, Indonesia dengan potensi demografis, geografis, dan sumber kekayaan alam melimpah, pasti bisa. Selesai sesi perkuliahan beberapa diskusi kecil berlanjut di meja-meja bundar tempat minum kopi yang terletak di depan ruangan kuliah. Di meja saya kebetulan duduk para peserta yang relatif beragam seperti tokoh masyarakat, perwira tinggi TNI dan Polri yang cemerlang, dan aparatur sipil negara yang relatif senior. Salah seorang kawan peserta PPSA XXI di meja tersebut bertanya kepada saya

62 Koreana MUSIM GUGUR 2017

mengenai pelajaran dari Korea Selatan yang dapat dipetik oleh Indonesia. Saya setengah bergurau balik bertanya, tentu dalam rangka memancing yang lain untuk ikut menjawab: “Apa Korea Selatan maju karena gingseng dan kimchi yang menyehatkan dan memacu energitas?” Jika kita membuka peta, semenanjung Korea tidaklah besar. Dan kawasan semenanjung ini secara geopolitik dibagi atas dua negara, yaitu Korea Selatan dan Korea Utara. Kawasan ini berbatasan dengan tiga negara penting, yaitu RRC, Rusia dan Jepang. Menurut pengamatan saya, mempunyai kawasan yang cukup subur, namun juga ditemukan daerah yang tidak terlalu subur. Namun demikian, tata-guna lahan dilakukan dengan sangat baik. Di kawasan pinggir kota, kita dapat menemukan banyak perdesaan dengan lahan pertanian yang relatif terbatas namun terkelola efisien. Sumber daya alam Korea Selatan ada dalam koteks morfologi geologis kawasan semenanjung yang terletak jauh di utara hemisfir. Jadi, ia ditemukan dalam kadar tidak semelimpah yang dimiliki negara-negara tropis seperti Indonesia. Orang-orang Korea Selatan yang dijumpai di banyak tempat tampak berdisiplin dan fokus pada perannya. Rata-rata mereka mempunyai orientasi internasional dalam basis “ke-Koreaan”. Orientasi ini mungkin karena mereka menyadari


keterbatasan demografis dan melihat dunia luar sebagai peluang dalam jangkauan “rumah” besar bernama Korea Selatan. Pada kunjungan-kunjungan berikutnya, saya mulai melihat lebih dekat praktek dunia pendidikan tinggi, keaneka-ragaman budaya, situs sejarah, tradisi industri besar, peran militer di perbatasan, dan kehidupan pasar tradisional serta modern. Perguruan tinggi di Korea Selatan banyak yang penting dan maju dalam ukuran global. Sebut saja Universitas Seoul, Universitas Korea, HUFS (Hankuk University for Foreign Studies), dan sebagainya. Mereka sangat terbuka pada internasionalisasi. Namun, lagi-lagi mereka sangat kuat berpijak pada “rumah” nasionalisme Korea Selatan. Dan hal ini tercermin pada kualitas para lulusannya. Sebagai contoh, saat saya berkunjung ke Pusat Penjualan produk gingseng, diterima oleh pemandu yang berbahasa Indonesia sangat fasih, namun dengan simpatik dan kena, ia memperkenalkan representasi Korea Selatan pada dirinya. Dan ia ternyata lulusan HUFS yang pernah mempelajari Bahasa Indonesia di sana dan juga UGM di Jogjakarta nun jauh dari Seoul. Pada suatu kali, saya mengunjungi semacan “traditional-cultural dan historical village ” yang terletak agak di pinggir kota. Di tempat tersebut saya menyaksikan berbagai tampilan budaya seperti tarian, rumah adat tradisional dan sebagainya. Saya mulai menyadari bahwa Korea Selatan mempunyai keanekaragaman budaya dalam konteksnya sendiri. Bangsa Korea Selatan mempunyai “sub-kultur” yang kaya dalam bingkai nasionalnya yang kokoh. Keanekaragaman tersebut teramati jika melihat detail ke dalam. Namun ke luar, batas-batas sub-kultur melebur pada identitas bersama sebagai bangsa Korea lengkap dengan nasionalismenya. Saat Prof. Koh mengajak saya menyelami masa silam Korea dengan mengunjungi dua kompleks istana kerajaan kuno, hampir saja saya terjebak pada imaji simulatif yang dibangun oleh simulakra filmfilm berlatar Korea lampau. Namun saat menyusur lorong demi lorong bangunan tua yang artistik tersebut, saya menangkap realita kekinian nasionalisme Korea Selatan. Bangunan istana ini sebagian besar pernah hancur saat perang pendudukan Jepang di PD II. Meskipun demikian, ia merupakan replika historis yang tetap berarti bagi bangsa Korea Selatan. Kedua kompleks istana tersebut menjadi bukti “diam” yang bernilai historis dan sosiologis tentang

eksistensi bangsa Korea masa kini. Ia berakar kuat pada masa lalu tanpa mewujud pada romantisme “cengeng” dan ilusif. Jadi, kedua kompleks bangunan megah dan indah itu adalah tidak lain merupakan representasi nasionalisme bangsa Korea Selatan di masa kini. Ia memuat kebanggaan, rujukan kesadaran bersama, referensi dalam bertindak dan membangun negara. Sudah barang tentu, nasionalisme tergambar di wajah-wajah serdadu Korea Selatan yang tengah berjaga-jaga di sekitar garis depan perbatasan dengan Korea Utara yang dinilai sangat sukar ditebak. Mereka sepertinya memahami nasionalisme jauh melampaui kesamaan ras diantara keduanya. Mereka lebih bertumpu pada kepentingan keamanan dan kedamaian bersama warga negara Korea Selatan yang batas garisnya amat jelas dan nyata dengan tetangga sekandungnya, Korea Utara. Nasionalisme Korea Selatan teraba di pasar-pasar tradisional yang sangat ramai dikunjungi para turis, di mallmall yang dipadati pengunjung kelas menengah, di dalam subway yang ramai di saat rush-our , dan tentu di mana-mana. Nasionalisme Korea Selatan adalah contoh energi kebangsaan yang setiap hari menjadi pendorong kapal negara untuk terus melaju ke depan, selalu berusaha berpacu melampaui gerak dari perahu lain yang berarak di samudra globalisasi. Ia merupakan pelajaran penting dan menarik bagi banyak negara termasuk Indonesia, yang masih ditandai pergulatan yang tak belum selesai diantara politik komunal dan politik kebangsaan. Tarikan dua kutub menyebabkan nasionalisme masih belum terkonsolidasi penuh, untuk menjadi energi yang membawa biduk raksasa Nusantara untuk melaju cepat ke depan mendekati apa yang diraih sahabat baik, yaitu Korea Selatan. Inilah sisi lain dari pembahasan argumentatif dalam artikel Prof. Koh yang banyak dikutip orang di Indonesia. Korea bisa, Indonesia pasti juga bisa. Kita optimis dapat terus memperkokoh bangunan rumah nasionalismenya. Ia tidak perlu megah, namun fungsional dan berwibawa. Sehingga bangsa Indonesia yang besar akan menjadi kekuatan penting dunia. Ia akan menjadi negeri yang semakin hebat yang mampu menjadikan Astagatra sebagai harta tak ternilai bagi tampil di pentas dunia yang penuh guncangan. Saya anak bangsa Indonesia. Dengan penuh cinta, selalu menatap dwiwarna, yang berkibar di dalam dada.

SENI & BUDAYA KOREA 63


Kisah Ramuan

Tanpa Sawi

Kimchi Tak Jadi Sawi, baechu yang aslinya berasal dari Tiongkok merupakan bahan utama kimchi dan bahan persediaan gizi yang tidak dapat dikesampingkan dari makanan Korea sejak abad ke-17, yaitu ketika sawi diusahakan di Semenanjung Korea. Meskipun tidak terlalu dihargai dibandingkan sayuran lain dalam famili brassicaceae (suku kubis-kubisan), sawi memiliki nilai lebih dari yang pada umumnya kita pikirkan. Park Tae-kyun Profesor Riset, Departemen Teknik Pangan, Universitas Korea

64 Koreana MUSIM GUGUR 2017


P

uisi “Jantung Hati Sawi (Heart of Baechu)” oleh penyair Ra Hee-duk, yang dimasukkan ke dalam buku teks sekolah menengah, menyentuh hati pembaca dan menjadikannya sangat mengharukan. “Kata-kata tak terlupakan diucapkan di atas tanggul ladang musim panas: / ‘Aku akan menjadi bahagia karenamu. / Aku akan menjadi bahagia karena kamu tumbuh dengan baik.’ / Mengikat erat daun sawi pada akhir musim gugur, / Aku sekarang melihat bagian dalamnya telah berisi penuh sebagaimana kamu telah tumbuh dengan sehat. ” Sebanyak sang penyair mewujudkan sawi dalam imajinasi puitisnya, sebanyak itu pula sawi menjadi bahan makanan yang penting dan akrab bagi orang Korea. Sayuran Brassicaceae Sawi merupakan salah satu dari tiga macam sayuran yang paling banyak dikonsumsi orang Korea, bersama dengan lobak putih dan cabai. Sawi aslinya berasal dari Tiongkok, tetapi terdapat pula jenis “sawi Korea” yang khas di Korea. Sawi dapat dibedakan menjadi tiga macam, tergantung bentuknya, yaitu bagaimana posisi daun-daunnya yang saling berpegangan. Sawi gyeolgu adalah sawi yang daun-daunnya saling mencengkeram kuat membentuk seperti peluru meriam. Sawi bangyeolgu adalah sawi satu-satunya dengan bagian bawahnya saling mencengkeram kuat. Kemudian, sawi bulgyeolgu adalah satu-satunya sawi yang daun-daunnya tidak saling mencengkeram sama sekali. Dari ketiga macam sawi ini, hanya sawi gyeolgu and bangyeolgu yang diusahakan untuk dikonsumsi. Kedua macam sawi ini tidak hanya tumbuh cepat dan menghasilkan panen melimpah, tetapi kedua sawi ini juga mudah diolah dan mudah disimpan. Kebanyakan orang tidak me­­ ngetahui bahwa sawi Korea dibedakan menjadi “Sawi Seoul” dan “Sawi Gaeseong.” Sawi Seoul adalah sawi kecil dengan daun berwarna terang, sementara Sawi Gaeseong adalah sawi yang lebih tinggi dengan warna daun lebih gelap. Sawi termasuk ke dalam famili brassicaceae . Sayur lain yang termasuk ke dalam famili itu adalah lobak putih, kol, brokoli, kembang kol, dan kubis keriting (kale ). Di antara famili brassicaceae tersebut, brokoli dan kol yang sering disajikan di atas meja makan orang Barat telah lama dikenal sebagai makanan sehat. Akan tetapi, sawi dan lobak putih belum dikenal sepenuh­ nya tentang nilai manfaatnya terbukti dengan sedikitnya penelitian tentang kemanjurannya.

Sawi Musim Gugur yang Lezat dan Bergizi Tinggi Sawi merupakan makanan rendah kalori yang jauh lebih sehat dari biasanya diketahui. Sawi mentah me­­ ngandung kalori rendah, yaitu 12 kcal per 100 gram, sekitar setengah atau kurang dari setengah kandungan kalori kol dan kol merah. Bahkan, jika dimasak atau diacar dalam garam pun, sawi hanya mengandung 14 kcal, maka tidak menjadi beban bagi tubuh. Kandu­ ngan sodiumnya hanya mencapai 11 mg, lebih rendah dari kandungan sodium kol yang 18 mg. Sementara itu, kandungan vitamin A yang baik untuk penguatan sistem imunitas tubuh, mencapai 263 IU, yakni jauh lebih tinggi dibandingkan kol (98 IU). Sawi yang kaya akan serat untuk melawan konstipasi dan obesitas, memiliki tekstur lebih lembut dibandingkan sayuran lain dan cenderung volume -nya mengecil ketika ketika terkena panas atau dimasak. Terutama sawi berfementasi di dalam usus maka jarang menimbulkan gas. Satu hal yang ditekankan ketika mendiskusikan manfaat sawi adalah kemanjurannya dalam mengontrol efek kanker yang telah terbukti. Sebuah tim ilmu kedokteran dari Universitas Harvard melakukan penelitian terhadap pola makan dari 47.000 orang yang terdaftar untuk penelitian lanjut antara tahun 1986 sampai 1996, menemukan bahwa “semakin banyak mengkonsumsi sawi dan brokoli, maka semakin mengecilkan resiko terkena kanker usus.” Masih banyak penelitian lain yang menemukan efek anti-kanker dari sawi. Penelitian yang diadakan Institut Riset Makanan Korea menunjukkan bahwa ukuran kanker hati pada tikus laboratorium yang diberi makan sawi dan lobak putih telah mengecil setengahnya, dibandingkan dengan tikus yang diberi makan sayuran lain. Seperti yang tersirat dalam sebuah pepatah Korea, “Jika makan sawi musim gugur, kuncilah pintu.” menandakan sawi dari akhir musim gugur memiliki rasa paling sempurna. Bahkan sawi musim gugur lebih mudah dicerna. Alasannya adalah karena sawi tersebut mengandung 96,6% air. Oleh karena itu, sawi menjadi sayuran yang cocok untuk dimakan bersama daging. Makanan Pokok Musim Dingin bagi Orang Korea di Masa Lampau Berbeda dengan ibu rumah tangga jaman dulu yang pandai dalam mengurus rumah, perempuan muda saat ini yang lebih memilih membeli kimchi dibandingkan membuatnya sendiri, akan tidak tahu bagaimana me­­ ngenali sawi yang bagus. Sebuah sawi yang bagus adaSENI & BUDAYA KOREA 65


lah yang lebih berat dan padat berisi. Selain itu, yang bagian bawahnya padat dengan daun-daunnya saling mencengkeram rapat dan yang daunnya tipis dan lembut. Jika bagian luar daunnya memiliki bercak gelap, maka di bagian dalamnya juga akan cenderung memi­ liki bercak gelap. Maka, sawi yang semacam itu sebaik­ nya dihindari. Pada masa lampau, ketika sawi tidak tersedia sepanjang tahun seperti saat ini, sawi dipanen pada musim gugur, tepat waktu untuk musim kimjang. Sawi pada akhir musim gugur ketika salju pertama turun adalah yang paling lezat. Seiring berjalannya waktu dan menurunnya suhu, maka daun-daunnya semakin mencengkeram rapat dan rasa pun menjadi kurang enak. Orang Korea biasanya membuat sup dengan sawi atau memakan sawi mentah yang dibumbui. Di daerah tertentu seperti di propinsi Gyeongsang, bagian tenggara Korea, orang membuat pancake sawi (bawchujeon) dengan adonan tepung pada musim gugur atau musim dingin. Namun, sawi terutama dibuat untuk kimchi. Dari jaman dulu, kimchi hampir berfungsi sebagai makanan pokok. Pada musim dingin, sayuran segar

sulit didapat, sehingga kimchi hampir menjadi satu-satunya sumber makanan penyedia nutrisi penting seperti vitamin C. Hal ini terutama lebih penting bagi orang miskin yang sulit mendapatkan makanan lain. Keutamaan kimchi sebagai makanan pendam­ ping nasi bagi orang Korea menyebabkan timbulnya budaya spesial “kimjang.” Secara tradisional, kimchi dibuat dalam jumlah banyak pada sekitar waktu ipdong , yaitu awal musim dingin. Untuk membuat kimchi dalam jumlah banyak itu sendiri sudah sulit, maka perempuan-perempuan di desa saling membantu dan bekerjasama. Kemudian, karena sawi menentukan rasa kimchi, maka tugas penting bagi perempuan adalah mendapatkan sawi berkualitas baik untuk musim kimjang. Proporsi campuran bahan untuk kimchi sangat bervariasi, tergantung pada daerah dan keluarganya. Oleh karena itu, rasa kimchi juga bervariasi. Selanjutnya, asinan udang, tiram segar atau ikan mentah juga ditambahkan dan dibiarkan berfermentasi secara perlahan, sehingga kimjang menjadi lebih bernutrisi diban­ dingkan kimchi biasa. Sawi yang terdapat saat ini diketahui mulai diusa-

1

66 Koreana MUSIM GUGUR 2017


Seiring meningginya konsumsi nasi sebagai makanan pokok, kimchi sebagai padanan nasi menikmati masa kejayaannya. Kombinasi (nasi-kimchi) yang menakjubkan ini masih berlaku. 2

hakan di Korea sejak abad ke-17. Membuat kimchi diasumsikan dimulai pada abad ke-18. Kemudian, kimchi pedas berwarna merah, yang pembuatannya hari ini de­­ ngan cabai, mulai muncul juga sekitar abad ke-18. Sebe­ lumnya kimchi kemungkinan hanya dibuat dengan garam. Abad ke-18, pada saat kimchi seperti hari ini muncul, adalah waktu ketika perekonomian sedang maju pada periode Joseon. Seiring konsumsi nasi sebagai makanan pokok meningkat, kimchi sebagai padanan nasi juga menikmati masa kejayaannya. Menurut penelitian terbaru, kombinasi nasi-kimchi ini masih berlaku. Kemudian, menurut makalah yang dipresentasikan oleh tim riset Departemen Pangan dan Nutrisi, Universitas Dankook dalam Jurnal Nutrisi dan Kesehatan pada 2016, makanan yang orang Korea konsumsi lebih dari tiga kali sehari adalah nasi di peringkat satu dan kimchi di peringkat kedua. Namun, seiring pola makan orang Korea menjadi kebarat-baratan, maka konsumsi daging menjadi semakin meningkat sedangkan konsumsi nasi menjadi semakin menurun. Jika konsumsi nasi menurun, maka konsumsi kimchi juga kemungkinan akan menurun, sebagaimana kimchi sebagai makanan pendamping khususnya berfungsi untuk membantu orang lebih menikmati nasi dengan tambahan rasa lebih baik. Kol Disukai oleh Orang Barat Di Barat, kol diperlakukan seperti baechu di Korea. Kol yang dijuluki sebagai “Dokter bagi orang miskin” merupakan makanan murah dan salah satu dari tiga makanan paling berkhasiat memanjangkan umur bersama dengan zaitun dan yogurt. Kol terkenal disukai oleh filsuf Yunani, Diogenes. Beberapa kabar burung me­­

1. Baechu bisa digunakan untuk sup atau untuk ssam, berbagai macam bumbu yang dibungkus daun baechu sedikit asinan dengan garam. Bossam, irisan daging babi rebus dan tiram segar yang dibungkus daun baechu lembut, merupakan hidangan Korea favorit saat ini. 2. Kimchi matang dimasak dengan ukuran gigitan dan disusun dengan baik di piring. Baechu kimchi merupakan lauk yang sangat diperlukan untuk nasi, makanan utama orang Korea.

nyatakan bahwa Diogenes yang terkenal dikarenakan memberi petuah kepada Raja Alexander agar berhenti menghalangi sinar matahari, hidup panjang umur sampai usia 90 tahun, dikarenakan kol yang dia makan walaupun dia hidup di lingkungan yang tidak bersih. Kol termasuk ke dalam kelompok makanan rendah kalori, berkalsium tinggi, dan mengandung vitamin C yang tinggi sebagaimana sawi demikian. Dengan kandungan hanya 24 kcal per 100 gram, kol disukai orang yang menjalani program diet. Satu hal yang menarik, alasan kol dinilai tinggi dalam dunia kedokteran adalah kandungan vitamin U yang terdapat dalam kol. Sebuah tim riset dari Universitas Stanford menemukan pada tahun 1949 bahwa “perasan kol efektif untuk mengobati luka lambung (gastric ulcers).” Jika perasan kol diminum selama satu minggu, hal itu menyembuhkan tukak lambung dengan cepat, karena kemungkinan unsur vitam U di dalam kol. Kemudian vitamin U terbukti sebagai glutamin, semacam asam amino. Glutamin yang merupakan bahan utama untuk bumbu buatan (artificial condiments ) membantu perut memperbarui sel dalam lambung. Baru-baru ini, kol diharapkan dapat menjadi makanan anti kanker dan juga makanan pencegah patah tulang karena bisa menguatkan tulang. SENI & BUDAYA KOREA 67


GAYA HIDUP

Rumah Bersama Mempersatukan Orang Asing

Konsep berbagi tempat tinggal makin dikenal luas. Awalnya, konsep ini lahir karena tuntutan perlunya tempat tinggal sementara bagi para mahasiswa atau pekerja kantor dengan harga terjangkau namun tetap mendapatkan dukungan emosional dari teman serumah. Kini, konsep ini juga digunakan sebagai program alternatif bagi mereka yang lanjut usia untuk mengatasi masalah tinggal seorang diri. Berbagi tempat tinggal bersama orang asing menjadi gaya hidup baru yang dampaknya terasa di bidang pasar perumahan. Kim Dong-hwan Reporter, The Segye Times Jeon Jae-ho Fotografer

Penyewa rumah bersama di Dapsimni, Dongdaemun-gu, Seoul menghabiskan waktu di ruang tamu umum. Rumah yang dikelola oleh Sharehouse WOOZOO, sebuah badan perumahan bersama, dibagi menjadi ruang pribadi dan ruang bersama.

68 Koreana MUSIM GUGUR 2017


k

im, pekerja kantor berusia akhir 20-an, tinggal di rumah sewa, atau yang kini makin dikenal dengan istilah “rumah bersama”. Ia sudah tinggal di Seoul selama dua tahun dan tampaknya sangat puas tinggal di tempat seperti itu. Bagaimana keadaan rumah yang ditinggalinya itu? Ia tidak bisa mengecatnya dengan warna yang lebih terang. “Saya suka karena ada yang menyambut saya seperti keluarga ketika saya pulang. Saya tidak tahu keadaan di tempat lain. Orang-orang di sini saling mengenal satu sama lain dengan baik.” Ia menambahkan, “Kadang-kadang kami pergi bersama, minum atau nonton film. Saya tetap punya privasi di ruang saya dan mendapatkan kehangatan emosional bersama yang lain di ruang keluarga dan dapur.” Gaya Rumah Tinggal Baru Menurut data Lembaga Statistik Korea dalam “Proyeksi Rumah Tangga di Korea: 2015–2045 ,” angka rumah tangga tunggal di negara ini sekitar 5,3 juta pada tahun 2016, atau sekitar 28 persen dari seluruh jumlah rumah tangga yang ada. Jumlah ini menunjukkan pe­ningkatan lebih dari 1,5 kali lipat sejak tahun 2006 dengan hanya berjumlah 3,38 juta. Dalam laporan bertajuk “Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Struktur Rumah Tangga ,” Lembaga Riset Asuransi Korea memperkirakan bahwa persentase rumah tangga tunggal ini akan mencapai 36,3 persen di tahun 2045. Honsul (minum seorang diri) atau honbap (makan di luar seorang diri) yang dulu tidak lazim dalam budaya Korea yang dikenal kolektif, kini menjadi tren baru sebagai akibat peningkatan dalam hal rumah tangga tunggal. Tren perumahan baru pun lahir untuk mengikuti gaya hidup single yang makin meningkat pula. Konsep rumah bersama ini menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir, bersama dengan makin dikenalnya apartemen kecil atau officetel (apartemen tipe studio). Tren demografi menunjukkan minat terhadap rumah bersama ini makin meningkat sebagai alternatif pilihan bagi mereka untuk bia berbagi biaya sewa yang tinggi dan mengatasi kesepian dan ketidaknyamanan. Konsep rumah bersama ini mengurangi beban ekonomi mereka karena mereka bersama-sama membayar tagihan bulanan, pemeliharaan dan biaya hidup. Begitu lulus wawancara, mereka bisa menikmati hidup yang

lebih baik dengan biaya lebih murah dibanding jika mereka tinggal sendiri. Di rumah bersama ini, masing-masing penghuni punya satu kamar pribadi. Mereka memakai ruang ke­­ luarga dan dapur bersama-sama. Dalam banyak kasus, dua orang berbagi kamar, dengan hanya dipisahkan oleh tirai di antara tempat tidur mereka untuk menjaga privasi. Berbeda dari rumah kos dengan tuan rumah yang menyewakan kamar kepada beberapa orang, peng­huni rumah bersama ini menangani segala urusan rumah tangga dan pemeliharaan sendiri. Sisi Baik, Sisi Buruk Penghuni lain juga bernama Kim, pegawai kantor berusia sekitar 30an, tinggal di rumah bersama di Itaewon, Seoul. Ia mengatakan, “Saya tidak pernah merasa kesepian sejak tinggal di sini.” Menurutnya berada dekat dengan orang lain itu bagus untuk kesehatan mentalnya. Saat ini ia tinggal bersama delapan penyewa lain. “Kami menjadi sangat dekat dan terbuka satu sama lain,” katanya. “Anda mungkin melihatnya sebagai sesuatu yang membosankan tinggal bersama dengan peng­ huni laki-laki. Sama sekali tidak. Ternyata, saya selalu ingin tahu apa yang akan terjadi.” Dengan tinggal de­­ ngan orang yang sudah mengalami banyak hal berbeda, ia belajar banyak melalui pengalaman mereka, jelasnya. Mahasiswa laki-laki yang tinggal di rumah bersama di Sangdo-dong, di wilayah Dongjak Seoul, setuju bahwa sangat menyenangkan buat mereka mengatakan “Sampai nanti” ketika pergi, atau “Saya pulang” ketika sampai di rumah. Mereka merasa nyaman ada orang yang bisa diajak bicara di rumah, seperti dalam keluarga. Namun, sesuatu yang baik pun punya sisi nega­ tif. Mereka memang merasa nyaman berada di antara orang-orang yang pemikiran yang sama, tapi tentu tidak demikian jika tinggal bersama orang yang mempunyai gaya hidup atau pemikiran yang sangat berbeda. Ada yang sangat tidak suka orang lain menyentuh barang-barangnya, ada juga yang mudah marah karena hal-hal kecil. Kang, perempuan berusia 20-an yang tinggal di sebuah rumah bersama di Sinchon, Seoul, mengatakan bahwa konflik karena masalah kecil adalah kekurangan sistem rumah bersama ini. Ia merasa tidak nyaman ketika sesuatu hilang dari lemari pendinginnya atau ketika ia harus membersihkan rumah karena orang lain yang

SENI & BUDAYA KOREA 69


Honsul (minum seorang diri) atau honbap (makan di luar seorang diri) yang dulu tidak lazim dalam budaya Korea yang dikenal kolektif, kini menjadi tren baru sebagai akibat meningkatnya jumlah mereka yang tinggal sendiri. Tren perumahan baru pun lahir untuk mengikuti gaya hidup single .

seharusnya melakukan pekerjaan itu lalai. Kadangkadang mereka merasa kesal, dan berakhir pada pertengkaran ketika seseorang tidak melakukan tanggung jawabnya, tambahnya. Untuk menghindari masalah se­perti ini, beberapa rumah bersama hanya menerima mereka yang punya minat yang sama. Penghuni rumah bersama di Seongsu-dong, Seoul, mengadakan pertemuan setiap bulan untuk mencegah konflik yang tidak perlu dan untuk lebih saling me­­ ngenal satu sama lain. Setelah pertemuan bulanan, me­reka lebih terbuka dan berbagi kudapan dan minuman. Kadang-kadang mereka mengadakan pesta bersama. Tren Pasar Baru Dengan lahirnya rumah bersama sebagai sektor 1. Penyewa memasang jadwal mereka di papan pengumuman untuk mengurangi ketidaknyamanan yang mungkin bisa terjadi. 2. Penyewa makan bersama. Perumahan bersama menarik perhatian sebagai gaya perumahan baru yang memungkinkan orang menghemat biaya dan mengembangkan relasi yang baik dengan penyewa lainnya.

1

70 Koreana MUSIM GUGUR 2017

bisnis baru, perusahaan-perusahaan baru lahir untuk mengembangkan pasar di sektor ini. Pada akhir perte­ ngahan tahun 2012 rumah bersama ini mulai menarik perhatian sebagai bagian dari ekonomi bersama. WOOZOO, salah satu perusahaan yang memasuki pasar ini pada saat itu, memiliki 52 rumah bersama di 13 wilayah di Seoul. Berdasarkan data yang diberikan perusahaan itu, sekitar 7.000 calon penyewa mengajukan permohonan tinggal di rumah bersama yang dikelola oleh WOOZOO; lebih dari 300 sudah tinggal di sana; dan 75 persen penyewa itu sudah memperpanjang perjanjian sewanya. Seorang laki-laki berusia awal 30an yang bekerja di sektor jasa sudah tinggal di rumah bersama yang dikelola oleh perusahaan ini selama dua tahun. Sambil tertawa ia mengatakan, “Saya ingin tetap tinggal di sini kecuali saya diusir.” Pilihan tempat tinggal masing-masing orang tentu tidak sama. Dengan pertimbangan ini, rumah bersama dibangun dengan gaya Korea dan Barat, dan pengembangnya menawarkan desain interior yang unik. Ini memungkinkan setiap orang memilih rumah yang se­ suai dengan seleranya. Rumah bersama bergaya Korea hanok sangat populer di antara penghuni asing. Dewasa ini, banyak apartemen baru dibangun de­­ngan desain dari konsep rumah bersama ini, menyesuaikan se­lera dan kebutuhan yang berbeda-beda, karena rumah bersama merupakan properti sewa yang sangat menguntungkan. Dalam hal managemen, keamanan, kelengkapan, dan fasilitas umum, rumah bersama pasti lebih menguntungkan dibanding rumah biasa. “Konsep rumah bersama ini memenuhi kebutuhan penyewa, yang menginginkan tinggal dalam kondisi lebih baik dengan hanya membayar sebesar uang


2 © Sharehouse WOOZOO

sewa apartemen studio, dan kebutuhan pemilik rumah, yang memilih menyewakan secara bulanan (wolse ) dibanding dengan sistem sewa properti Korea dengan deposit lump-sum (jeonse ),” papar seorang ahli real estate “Tampaknya tren rumah bersama ini akan terus meningkat dalam pasar perumahan.” Program Kesejahteraan Alternatif Rumah bersama bukan hanya sebagai sarana mengeruk keuntungan karena peminatnya makin ba­nyak dalam pasar perumahan. Pemerintah lokal menjadikan rumah bersama ini sebagai bagian dari program kesejahteraan mereka. Misalnya, pemerintah propinsi Gyeonggi mengadakan program percontohan de­­ngan menyediakan 70 rumah bersama untuk mahasiswa dan pegawai yang bekerja di kawasan industri untuk membantu meringankan beban biaya perumahan me­reka. Lembaga Penjaminan Perumahan dan Perkotaan Korea, sebuah perusahaan negara di bawah Kementrian Pertanahan, Infrastruktur dan Transportasi, juga meng­ operasikan rumah bersama yang disebut “Hug Share Houses ,” yang menampung siswa yang sedang mencari pekerjaan. Rumah bersama di wilayah Seongdong Seoul ini menampung 20 orang.

Biaya sewa rumah bersama yang dikelola pemerintah lokal atau perusahaan negara berada di bawah harga pasar. Rumah bersama yang dikelola oleh pemerintah daerah propinsi Gyeonggi tarif sewanya hanya sekitar 30 to 50 persen dari deposit jeonse biasa, dan program Hug Share Houses tarifnya sebesar 60 persen dari harga pasar. Program Hug Share Houses juga memberikan konsultasi pencarian pekerjaan dan bantuan keuangan bagi mahasiswa untuk membantu meningkatkan ja­­ minan kepercayaan mereka. Ada juga tipe perumahan lain, yang tidak hanya ditujukan untuk rumah bersama tapi untuk meningkatkan komunikasi lintas generasi. Salah satu contohnya adalah program “Beragam Generasi di Bawah Satu Atap”, yang dikelola oleh pemerintah metropolitan Seoul. Proyek ini secara berkesinambungan mengangkat isu-isu populasi lansia dan masalah perumahan yang dialami oleh kaum muda. Pemilik rumah yang sudah lanjut usia menyewakan kamar kosongnya kepada mahasiswa dengan harga rendah. Ini berita baik bagi mahasiswa karena mereka tidak perlu membayar deposit dan mungkin mereka bisa menemukan rumah yang dekat dengan kampus. Bagi pemilik rumah yang sudah lanjut usia ini, mereka punya teman setiap hari.

SENI & BUDAYA KOREA 71


perjalanan kesusastraan korea

Kritik

CINTA KILAT DALAM KISAH PANJANG Cerita pendek berjudul “Mi bulan April dan Sol bulan Juli” ini, sungguh menarik. Berkisah tentang bibi pencerita, yang nama Koreanya, Cha Jeong-sin dan nama Amerikanya, Pamela Cha. Setiap nama membangkitkan sejumlah cerita yang berbeda. Di antara dua nama itu, ada saat-saat tersembunyi ketika kebahagiaan, ketidakbahagiaan, luka, dan penghiburan, saling bertabrakan. Choi Jae-bong Reporter, The Hankyoreh

K

© Lee Cheon-hui

72 Koreana MUSIM GUGUR 2017

im Yeon-su, penulis intelektual. Beberapa pe­­ ngarang mungkin menulis untuk mencari nafkah, tetapi tidak biasa menemukan pengarang yang bukan intelektual, dan mungkin berlebihan untuk menyebutkan satu kata di samping yang lain. Namun, saya hendak memberi pemahaman, bahwa “intelektual” di sini dimaksudkan untuk menunjukkan pembacaan yang berlimpah dan bayangan mendalam yang terungkap dalam karyanya. Karya pertama Kim Yeon-su yang memperoleh reputasi sebagai pengarang adalah novel berjudul Walking Pointing at a Mask , terbit tahun 1994. Novel ini mendapat penghargaan dari majalah sastra Jakga Segye (Writers World ), yang mengungkap secara tajam postmodernisme yang begitu berpengaruh pada masyarakat dan budaya Korea tahun 1980-an dan 1990an. Meskipun termasuk novel eksperimental dan menantang, ia menunjukkan karakteristik permainan seorang pemuda berusia awal dua puluhan. Setelah mendapat penghargaan itu, Kim Yeon-su menjauhkan diri dari gaya eksperimentalisme agresif karya pertama­nya sambil mengembangkan bentuk dan gayanya sendiri, meski tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pandangan dunia postmodern. Dia prihatin atas masalah melesapnya batas antara kebenaran dan kepalsuan, fakta dan fiksi, kenyataan dan teks, sambil memusatkan perhatian pada keraguan dan pertanyaan tentang fiksi. Dalam antologi cerpen yang berjudul sugestif, I Am a Ghost Writer dan novel Goodbye , Yi Sang , pusat perhati-


annya pada gaya yang tidak dijumpai pada karya Yi Sang, seorang pengarang modernis tahun 1930-an. Yi Sang membedakan antara hubungan nyata dan palsu, hubungan timbal balik antara pekerjaan dan kehidupan, fitur ini dapat dikonfirmasi. Ciri lain dari karya Kim Yeon-su adalah kepekaan kosmopolitannya. Dia bukan hanya seorang penulis; Dia menikmati perjalanan ke luar negeri, memiliki pengetahuan yang mendalam tentang musik pop, dan telah menerjemahkan novel-novel asing karya pengarang terkenal, seperti Raymond Carver. Seperti juga Haruki Murakami, yang menerjemahkan beberapa karya Carver, Kim menikmati lari maratonnya dari waktu ke waktu; ada kesamaan dalam selera budaya dan gaya hidup, dan ini bukan peniruan, melainkan penegasan pandangan dunia umum yang dengannya penulis mengidentifikasikan karyanya. Nama asing dan tokoh asing juga muncul dalam “Mi bulan April dan Sol bulan Juli.” Sebenarnya, sejak tahun 2000-an, sangat umum munculnya tokoh-tokoh asing dengan latar tempat yang juga asing dalam fiksi Korea. Oleh karena itu, mung­ kin sebagai usaha menunjukkan kecenderungan kosmopolitan, Kim Yeon-su tampak agak sederhana. Bagaimanapun, dalam cerita ini, si bibi pencerita, yang awalnya bernama Cha Jeongsin, dan setelah pergi ke Amerika Serikat, berganti nama menjadi Pamela. Ia menikah dengan lelaki Amerika bernama Paul. Kami mempelajari pasangan ini yang tinggal di kota kecil pesisir Sebastian di Florida. Pencerita pergi ke New York untuk menemui pacarnya dan mengambil kesempatan untuk mengunjungi bibinya di Sebastian. Dia mengakui, bahwa “Semua kisah yang diceritakan Bibi Pam hari itu dan malam berikutnya berpengaruh besar pada pernikahan kami sendiri.” Jadi tokoh utama cerita ini adalah Pamela dan penceritanya, utusan yang, dipengaruhi cerita bi­binya yang mentransmisikannya ke pembaca. “Jika wajah terakhir yang kau lihat pada saat kematian bukanlah wajah orang yang kau cintai sepanjang hidupmu, maka tidak peduli kehidupan apa pun yang dijalaninya, engkau tidak dapat tidak, mengatakan bahwa hidupnya tidaklah beruntung. Jadi menikah tanpa reservasi, lalu punya bayi. Hanya itu yang ingin kukatakan.” Itulah inti cerita yang disampaikan bibinya, dan dia me­­ ngakui bahwa hal itu telah menjadi sumber kekuatan dalam pengalaman pahitnya sendiri. Novel ini terdiri dari pengalamannya dan latar belakang dari mana bibinya yang sekarang sudah tua sampai pada kesimpulan tentang kehidupan ini. Si Bibi, yang di masa mudanya, aktris cantik, kawin lari dengan seorang lelaki yang sudah menikah yang menjadi sutradara film yang pernah dia masuki. Tempat yang mereka rindukan adalah Seogwipo, di Pulau Jeju. Keduanya tinggal di sebuah rumah dengan atap seng, memandang ke laut, sampai suatu saat, istri

lelaki itu muncul bersama anak mereka, itulah peristiwa yang menga­khiri harapan bibinya setelah tiga bulan. Bibi menggambarkan hujan yang jatuh di atap seng: “Pada bulan April, ketika kami pertama kali mendirikan rumah, itulah mi , maka secara bertahap skala itu naik, sampai pada bulan Juli, itulah sol nya.” Kemudian dia mengingat, “Bagi mereka tiga bulan, setiap malam aku berbaring di lengan sang direktur sambil mendengarkan hujan.” Setelah merelakan lelaki yang dicintainya kembali ke pangkuan istrinya dan melepaskan anak yang berada di bawah tekanan keluarganya, Cha Jeong-sin pergi ke Amerika sendirian dan memulai kehidupan baru sebagai Pamela Cha. Dia bertemu Paul, jatuh cinta dan menikahinya, tetapi cintanya pada Paul tidak cukup untuk mengusir kecintaannya pada sutradara film itu. Pembaca tidak tahu, apakah itu karena perbedaan antara cinta pertama dan kedua, atau karena perbedaan antara cinta yang frustrasi dan terpenuhi, atau apakah karena kedua alasan tersebut. Mengingat letaknya jauh dalam diri orang lain, maka jurang itu tidak bisa diamati secara tepat. Namun, itulah momen yang menyakitkan bagi si bibi, yang tidak bisa melupakan Seogwipo, karena itu adalah latar tempat untuk cinta pertamanya, sejenis bulan madu, ketika Paul, yang sekarat karena kanker, mengatakan bahwa dia ingin mengunjungi Seogwipo sebelum dia meninggal dunia. Alasan Paul ingin pergi ke Seogwipo di ujung selatan Korea, di ujung dunia ini adalah karena dia pikir, dia harus “melihat bentuk medannya, dan mengeksplorasi keseluruh­ an nuansa kota, sehingga dia bisa terlahir kembali di sana.” Gagasan ini berasal dari kesalahpahaman tentang pandangan reinkarnasi Timur, namun dia berharap bisa bertemu dengan istrinya lagi setelah dia meninggal. Setelah kematian Paul, Pamela kembali ke Seogwipo untuk selamanya. Tetapi alasan sebenarnya adalah untuk bisa menikmati kenangannya saat dia menghabiskan waktu di sana bersama sutradara Jeong Gil-seong. Suatu hari, dia menerima kunjungan putra direktur, Jeong Ji-un. Baginya, peristiwa itu seperti pemenuhan mimpinya melihat wajah seseorang yang dicintainya seumur hidup sampai saat kematiannya. Dia pasti tidak senang karena mimpinya tidak akan pernah terpenuhi mengingat dia telah berpisah dari sutradara, yang meninggal saat masih berusia muda. Pada akhir­nya, keyakinan bahwa dia mencintai seseorang yang layak dicintai, tampaknya ditegaskan melalui pertemuan dengan pemuda yang mirip dengan lelaki yang dicintainya, dan bagi­ nya, tentu saja sangat menghibur. Dengan cara itu, cinta berlalu, orang yang dicintai meninggal dan pergi, tetapi cerita mereka berlanjut tanpa akhir. Cerita masih tetap hidup. SENI & BUDAYA KOREA 73


R E A D KO R E A Don’t miss out on our latest issue!

SUMMER 2017 When Twentysomethings Begin Storytelling

Why Translate When You Can Write?

Book Reviews & Excerpts

Free Book Giveaways! SENI & BUDAYA KOREA 45

KoreanLiteratureNow.Com


Welcome to the Archive of

KOREAN CULTURE & ARTS Koreana Magazine (1987 ~ 2017) www.koreana.or.kr

· Special Feature · Cultural Focus · Heritage · Art Review · People · Travel · Entertainment · Lifestyle · Food · Literature

44 KOREANA MUSIM GUGUR 2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.