KOREANA - Spring 2013 (Indonesian)

Page 1

musim semi 2013

Seni & Budaya Korea

Fitur Khusus m usimmersem i 2013 sum 2012 vo l.vo 26l. 2n on. 2o . 1

S e o u l Seoul: Keaslian dan Masa Depannya; Rumah Saya Bernama Seoul; Gangnam: Sepenggal Kisah Pribadi; Seoul Saya: Enam Hot Spot

ISSN 2287-5565

v o l. 2 NO. 1

Menguak Seoul Kenangan Sebuah Kota Lama dan Baru


Pemimpin Umum Direktur Editorial Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Kim Woo-sang Zeon Nam-jin Lee Kyong-hee Bae Bien-u Elisabeth Chabanol Han Kyong-koo Kim Hwa-young Kim Mun-hwan Kim Young-na Koh Mi-seok Song Hye-jin Song Young-man Werner Sasse

Penata Letak dan Desain Kim’s Communication Associates 384-13 Seogyo-dong, Mapo-gu, Seoul, 121-839, Korea. www.gegd.co.kr Telp: 82-2-335-4741 Faks: 82-2-335-4743 Langganan Biaya per tahun: Korea \18,000, Asia(udara) US$33, Negara di luar Asia(Udara) US$37 Harga per eksemplar (Korea): \4,500

Informasi Berlangganan

Negara di luar Amerika dan Kanada (termasuk Korea) Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul, Korea Telp: 82-2-2151-6544 Faks: 82-2-2151-6592 Percetakan Edisi musim semi 2013 Samsung Munhwa Printing Co. 274-34 Seongsu-dong 2-ga, Seongdong-gu, Seoul, Korea Telp: 82-2-468-0361/5

Amerika, Kanada Koryo Book Company 1368 Michelle Drive St. Paul, MN 55123-1459 Telp: 1-651-454-1358 Faks: 1-651-454-3519

© The Korea Foundatioon 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhnya tanpa izin Korea Foundation. Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak harus selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, China, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

Koreana Internet Website http://www.koreana.or.kr

Seni & Budaya Korea Edisi musim semi 2013 Diterbitkan empat kali setahun oleh Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul, Korea

Fitur Kaver Park Nung-saeng lukisan, “Bungee Jumping,” tinta dan warna akrilik di atas kanvas, 90cm x 72.7cm (2010). Pelompat memandang keluar kota Seoul, ibukota Korea sejak tahun 1394 dan kini salah satu kota metropolis terbesar di dunia.

Gunung Nam Seoul, di bagian atas menjulang Menara N Seoul, sebuah menara komunikasi dengan pelataran observasi. Sabuk hijau lebih dari satu juta meter persegi di lereng Gunung Nam adalah taman terbesar di kota, menawarkan tempat beristirahat dan bersantai bagi penduduk. © Suh Heun-gang

Musim Bunga di Korea Katakanlah dengan bahasa bunga ! Begitulah bunga kerap dipakai sebagai simbol cinta, persahabatan, dan

global wujud dalam berbagai karya seni dan bangunan-bangunan modern. Kisah Sungai Cheonggye yang

keindahan. Dengan semangat itulah, Koreana edisi Musim Semi ingin berbagi.

timbul tenggelam sejak tahun 1420 adalah bagian dari filosofi itu.

Musim Semi, Seoul dan kota-kota di sekitarnya, bahkan terus melewati Daejeon, Ulsan sampai Busan di

Gelombang Korea (Hallyu —Korean wave ) menyulap kota baru Gangnam: stasiun paling sibuk, dan salah

sebelah timur; atau kota bersejarah Gwangju, Yeosu, sampai pulau penuh pesona: Pulau Jeju di ujung selatan,

satu kota mode dengan kafe-kafe trendi, galeri seni, dan toko-toko busana menyediakan rancangan desainer

berubah menjadi hamparan aneka keindahan bunga. Berbagai pesta dan festival bunga di kota-kota Korea,

mancanegara. Daerah-daerah lain mempercantik diri. Banyak tempat favorit bagi kawula muda memamerkan

seperti menciptakan persaingan tentang bunga, keindahan, dan cinta. Itulah sebabnya, musim semi disebut

mode busana terbaru, kongkow-kongkow sambil menikmati pemandangan, atau memanjakan lidah dengan

musim bunga. Alam memamerkan keindahannya. Warga Korea dan masyarakat mancanegara tumpah ruah

hidangan nomor wahid: kepiting rebus (kkotkyetang ).

memanjakan diri dalam hawa segar dan berbagai bebungaan yang berebut berbagi keindahan.

Tentu sajian lain tidak kalah menarik. Pembaca dapat menyimak eksotisme kebun teh, kepiawaian para maes-

Koreana edisi Musim Semi, tentu tak hanya berkabar tentang pesona alam dan sihir sakura. Biarlah alam ber-

tro perajin, seni keramik, keceriaan garmen, seni sastra, dan ulasan-ulasan lainnya. Selamat membaca dan

kisah sendiri. Koreana coba menyajikan hidangan lain yang unik, eksotik, dan informatif. Maka, sejarah Seoul

nikmatilah bahasa bunga!

mewartakan masa lalu dan masa kini sebagai sebuah perjalanan berkelindannya semangat, filosofi, dan harap-

Koh Young Hun

an warganya pada kota ini. Semangat mempertahan tradisi dan harapan mengembangkan diri dalam peta

Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia


Fitur Khusus MENGUAK KOREA

04 10 16 24

8

Fitur Khusus 1

Seoul: Keaslian dan Masa Depannya

Choi Jong-hyun

Fitur Khusus 2

Rumah Saya Bernama Seoul

Kim Hwa-young

29

Fitur Khusus 3

Gangnam: Sepenggal Kisah Pribadi

Baek Yong-ok

Fitur Khusus 4

Seoul Saya: Enam Hot Spot

Daniel Tudor

38

30 36

Resensi Seni

Goryeo Celadon : Sebuah Keanggunan yang Lembut

Lee So-young

PADA TAHAP GLOBAL

Kegembiraan Dominic Pangborn yang Tak Terduga

Maya West

42

42 46 50 53

TINJAUAN SENI

36

Usaha Kerajinan Keluarga yang Diteruskan Lima Generasi Kim Deok - hwan – Perajin Hiasan Emas, Warisan Budaya Tak Benda Penting No. 19 Park Hyun-sook JATUH CINTA pada KOREA

Melihat Korea dari Kaca Mata Puisi

Charles La Shure

di atas jalan

Jatuh Cinta kepada Teh

Park Nam-joon

56

Buku & lebih Novel Korea Pertama Seri Bahasa Korea-Inggris Jeon Seung-hee

‘Edisi Dwibahasa: Sastra Korea Modern’ Duet Sempurna Gayageum dan Buk Jeon Ji-young

‘Gayageum Sanjo Kim Hae-sook dari Sekolah Choi Ok-sam’

58

ESAI

60

HIBURAN

62

KENIKMATAN GOURMET

66

Perjalanan Kesusastraan Korea

Sebuah Masjid di Itawon

Cecep Syamsul Hari

62

Langkah Berani Siaran Nasional: ‘Radio Membaca Buku’

Musim Bunga Bersama Kepiting Betina Penuh Telur Musim Gugur Bersama Kepiting Jantan Penuh Daging

Wawasan Kegelisahan tentang Kehidupan Rumah Lelaki Itu Park Wan-suh

Uh Soo-wong

Lim Jong-uhp

Ye Jong-suk


>> Fitur Khusus 1 Menguak Korea

Seoul,

Keaslian dan Masa Depannya Untuk memahami sebuah kota, kita perlu melihat semua perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Saat kita melihat Seoul, kita perlu melihat kembali ke sebelum tahun 1394, ketika Dinasti Joseon menetapkan Hanyang sebagai ibukota, sampai saat ini di Seoul tetap menjadi ibukota bahkan setelah Dinasti Joseon tumbang. Choi Jong-hyun, Tongui Institut Penelitian Perkotaan Suh Heun-gang Fotografer


K

apan dan bagaimana Seoul terbentuk? Bahkan orang yang termasuk dalam sepuluh juta penduduk kota metropolitan Seoul tidak begitu tahu tentang waktu dan ruang asal mula terbentuknya kota yang mereka diami ini. Daerah Gangbuk (daerah utara Sungai Han) adalah kota yang bangga dengan sejarahnya yang berusia 600 tahun, sementara Gangnam (daerah Selatan Sungai Han) yang dikenal dunia berkat lagu “Gangnam Style� belum memiliki identitas yang jelas sebagai bagian dari kota Seoul. Masa lalu dan masa kini tidak jelas, dan seperti semua kota yang ada terus mengalami perubahan, sebenarnya cukup sulit untuk menggambarkan bagaimana rupa kota Seoul di masa depan. Untuk itu kita perlu kembali pada titik awal. Dengan melihat Seoul dan sekitarnya ketika pertama kali muncul dalam sejarah sebagai sebuah kota akan memberikan beberapa pemikiran yang menarik bagi mereka yang tinggal atau berkunjung ke Kota Seoul pada hari ini atau esok. Sekarang, mari kita memulai perjalanan melewati ruang dan waktu untuk menemukan asal-usul Seoul.

Bentuk Asal Kota Seoul Biasanya orang memperkirakan umur kota Seoul sekitar 600 tahun. Angka ini menurut waktu relokasi ibukota dari Gaegyeong (kini Gaeseong, atau Kaesong, di Korea Utara) ke Hanyang dua tahun setelah berdirinya Dinasti Joseon oleh Yi Seong-gye di tahun 1392. Pada saat itu kota Hanyang berganti nama menjadi Hanseong, dan sekali lagi itu nama Seoul pada tahun 1945, tak lama setelah lepas dari pendudukan Jepang. Sejak Yi Seong-gye membuatnya sebagai ibukotanya, Seoul tidak pernah sekali kehilangan peran sebagai ibukota bagi seluruh dinasti atau pemerintahan yang pernah ada di Korea. Hal ini membuat kota Seoul merupakan salah satu dari ibukota tertua di dunia. Namun ada satu hal yang sering diabaikan dalam memperhitungkan usia Seoul. Yaitu bahwa Yi Seong-gye bukan membangun kota Hanseong sebagai kota baru di suatu padang belantara. Dari seluruh wilayah di pusat kota Seoul saat ini, pada bagian utara Cheonggye-cheon telah dipenuhi oleh rumah-rumah rakyat sejak periode Goryeo akhir. Dinasti Goryeo menyisihkan suatu daerah di bagian barat laut dari kota yang ditunjuk sebagai ibukota selatan yang disebut Namgyeong. Untuk memudahkan pemerintahan seluruh negeri wilayah ibukota dibagi menjadi tiga bagian yaitu Pyongyang yang disebut juga sebagai Seogyeong, Gaeseong yang disebut juga sebagai Junggyeong, dan yang terakhir adalah Hanyang. Jika sebuah kota menjadi basis regional biasanya sebuah istana sementara selalu dibangun di kota itu. Istana sementara adalah pusat dari wilayah tersebut yang digunakan sebagai tempat tinggal raja selama kunjungannya berulang kali. Istana sementara di ibukota selatan, selesai pada 1104, terletak di sudut barat laut yang sekarang Istana Gyeongbok, berlokasi di sebuah bukit kecil di sebelah dalam Gerbang

Segmen barat tembok kota Seoul sepanjang Gunung Inwang, di kaki gunung terdapat banyak kompleks apartemen. Dari Menara N Seoul dapat dilihat bangunan-bangunan di luar hutan, di pojok kiri atas.

5


Utara dari Istana Gyeongbok. Dalam catatan “Sejarah Goryeo” yang Namgyeong. Mungkin saja ada jalan-jalan kecil yang diperluas. Bukan disusun pada zaman Goryeo yakni di awal periode Joseon, pada bulan hal tidak mungkin jalan antara dua ibukota baru yang entah dibangun 8 di tahun tersebut, Raja Sukjong dari Goryeo mengunjungi ibukota baru atau diperluas itu menjadi pendahulu untuk jalan-jalan yang mengselatan dan menerima ucapan selamat atas perampungan pembahubungkan Seoul hari ini dengan daerah sekitarnya. ngunan istana di Yeonheungjeon, yang dibangun sebagai aula pusat Jalan lama yang terbentuk secara alami sebagai jalur lintas orangistana sementara. orang selama ratusan tahun tidak pernah ada yang hilang begitu saja. Titik ruang dan waktu inilah yang penting. Lokasi Yeonheungjeon, di Jalan-jalan itu tetap bertahan dari satu generasi ke generasi berikutmana Raja Sukjong menerima ucapan selamat dari bawahannya itulah nya. Menurut topografi alami mungkin saja di sebelah jalan tikungan titik awal terbentuknya kota Seoul, dan arah selatan tempat Sukjong terbuat jalan lurus yang baru. Hal ini sering terjadi seiring dengan laju menebar pandangannya saat ia duduk pada hari itu adalah pemankemajuan teknologi sipil. Apakah ini berarti bahwa jalan lama menghidangan yang dapat kita saksikan pada hari ini saat memandang kota lang? Toko kecil dan suram saja yang ‘mendekam’ di jalan lama karena Seoul. Raja Joseon Taejo membangun Geunjeongjeon, ruang tahta mereka tidak mungkin bisa mengambil lokasi di jalan raya, tetapi jalan Istana Gyeongbok, yang hanya berjarak 400 meter ke sebelah tenggatua tidak mudah hilang. Kita saja yang tidak menyadarinya. ra dari tempat Yeonheungjeon berdiri, dan memasukkan seluruh situs Ada satu alasan penting lain mengapa kita tidak bisa dengan istana sementara dalam kompleks istana barunya. Istana Gyeongbok, mudah mengingat jalan lama yang menghubungkan Gaegyeong dan istana utama Dinasti Joseon, pada dasarnya mewarisi situs istana Namgyeong. Yaitu karena terpecahnya dua Korea menyebabkan kita sementara selatan Goryeo. tidak mungkin melewati sepanjang jalan dari Tentu saja skala regional Goryeo tidak Gaeseong dari Seoul, sehingga mustahil mungkin sama dengan ibukota Joseon. untuk melakukan perjalanan panjang dari Gaegyeong Jangdan Sama seperti perluasan istana, Hanseong jalan tersebut. Kekerasan politik internasional mencakup ibukota selatan Goryeo dan selutelah meninggalkan goresan luka pada tanah Cheonggyo Stasiun Tongpa ruh daerah yang dikenal sebagai Hanyangdan struktur kota kita. Belakangan ini setebu. Wilayah yang kita sebut sebagai “Bagian lah beberapa pabrik Korea Selatan masuk Paju Yangju Dalam 4 Gerbang Besar” merupakan wilayah di kompleks industri Gaesong barulah terHye-eum Pass Stasiun Byeokji dari perluasan pada saat itu. Tembok kota buka lalu lintas yang minim bak setitik lubang Goyang Stasiun Nogyang Seoul, yang saat ini sedang dipulihkan dejarum di tembok pemisah nan besar. ngan harapan untuk didaftarkan dalam DafMelalui catatan lama dan investigasi Stasiun Nowon Stasiun Yeongseo tar Warisan Dunia UNESCO, juga dibangun lapangan di daerah yang masih bisa dikunStasiun Namgyeong pada waktu itu. jungi, kita dapat menduga jalan lintas orangGaegyeong Namgyeong Alasan menetapkan 300 tahun sebagai orang 900 tahun lalu dari Gaegyeong ke Namgyeong waktu terbentuknya kota Seoul adalah jelas. Namgyeong. Ada dua jalan utama. Jika Namtae Pass Gwacheon Karena saat itulah batas-batas geografis seorang pejabat dari Dinasti Goryeo punya Seoul antara dua gunung utama, Gunung urusan resmi di Namgyeong, ia akan berjaBugak di utara dan Gunung Nam di selatan lan melalui Stasiun Cheonggyo (‘stasiun’ di yang berhadapan dengan Gunung Ahn ditetapkan. Wilayah Hanseong masa lalu menunjukkan tempat di mana para pejabat bisa mengganti pada periode Joseon, yang melingkupi dengan dua gunung yang atau mengistirahatkan kuda mereka) yang berlokasi tepat di sebelah saling berhadapan di sebelah utara dan selatan, yakni Gunung Bugak timur Gaegyeong, menyeberangi Sungai Imjin di Stasiun Tongpa (kini dan Gunung Nam, dan dua gunung lain yang saling berhadapan di Dongpa) di Jangdan, dan kemudian menuju ke Paju. Sampai saat ini, sebelah selatan, yakni Gunung Nak dan Gunung Inwang (yang disebut dua jalan itu sama. juga sebagai Gunung Tharak) di timur dan barat, hampir identik luasJika pejabat ini sedang terburu-buru, ia akan berbelok ke selatan nya dengan wilayah gabungan Namgyeong dan Hanyang di periode dari Paju dan menyeberang Hye-Eumryeong, kemudian melintasi StaGoryeo. Hal ini tidak berubah melalui lima abad dari Dinasti Joseon. siun Byeokji (kini Byeokje) di Goyang dan Stasiun Yeongseo di NokKota ini berkembang ke luar tembok ke arah timur dan barat selama beon-dong, Seoul. Dari perempatan Shopping Mall Yujin sekarang masa penjajahan Jepang, dan perluasan wilayah menyeberangi Sudi Hongje-dong dia akan menuju ke timur, mengikuti jalur air ke Saengai Han di bagian selatan baru bermula pada tahun 1970-an. geomjeong, di mana ia bisa menarik napas sejenah di atas bukit oleh Gerbang Jaha (daerah Cheongun-dong sekarang) sebelum memaJalan ke Seoul suki Namgyeong. Jalan ini adalah jalan pintas, karena itu harus Mari kita berpikir sejenak. Jika dinasti Goryeo menetapkan melewati sejumlah lembah yang curam. Jika si pejabat melarikan kuda Namgyeong sebagai basis regional, pastilah saat itu dibangun dengan cepat, maka jalan ini bisa ditempuh dalam satu hari. juga jalan-jalan baru yang menghubungkan Gaegyeong dengan Biasanya orang memilih untuk melewati jalan yang lebih nyaman.

6

S e n i & B u d a y a Ko re a


Gunung Bukhan, seperti yang terlihat dari Paju, utara Seoul, di Provinsi Gyeonggi. Š Hwang Heun-man

Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

7


Jalan-jalan lama dari Gaegyeong ke bagian selatan ibukota tampaknya telah dilupakan karena alasan lain yang penting: Pembagian negara telah memutuskan Gaeseong dari Seoul, sehingga tidak mungkin melakukan perjalanan panjang dari jalan tersebut. Perpecahan seperti ini adalah luka lama yang tertanam di tanah dan kota kami akibat kekejaman politik internasional.

Diperkirakan memakan waktu tiga atau empat hari untuk melakukan perjalanan dengan berjalan kaki melewati jalan ini. Dari Paju pejalan kaki akan menuju ke timur dan melewati Stasiun Nogyang di Yangju dan Stasiun Nowon sampai ke Namgyeong melewati bagian luar Dongdaemun sekarang hanya dengan melewati beberapa bukit di mana hampir sepanjang jalan merupakan jalan datar. Di Stasiun Namgyeong ia akan beristirahat semalam, mandi, merapikan pakaian formal, dan memastikan dokumen-dokumennya kemudian keesokan paginya ia berangkat menelusuri sepanjang Cheonggye-cheon melewati Namgyeong memasuki istana. Perlu kita ketahui bahwa pada zaman Goryeo jalan Jongro belum ada. Dari antara dua jalan tersebut, jalan yang pertama adalah jalan masuk ke Seoul langsung dari utara, dan jalan yang kedua adalah jalan masuk dari arah timur. Kalau begitu, jalan mana yang digunakan oleh orang-orang dari wilayah selatan yang ingin masuk ke Seoul? Walaupun tidak diketahui persis kapan jalan itu terbentuk, setelah zaman pertengahan Joseon terbentuk jalan dari Gwacheon setelah melewati Namtaeryeong dan menyeberangi Sungai Han dari Sapyeong-

8

won (kini Hangangjin). Perlu dicatat di sini bahwa mereka yang bepergian ke Seoul selama periode Goryeo dan Joseon dapat melihat kota Seoul dengan mata secara langsung dari Hye-Eumryeong di sebelah utara, Namtaeryeong di sebelah selatan, dan Stasiun Namgyeong di sebelah timur. Hye-Eumryeong adalah batas antara kota Goyang dan Paju, Namtaeryeong adalah batas antara Gwacheon dan Sadang-dong di Seoul, dan Stasiun Namgyeong Stasiun terletak di atas bukit di mana SMA Daegwang berlokasi pada hari ini di Shinseol-dong, Seoul. Saat inipun Gunung Bukhan terlihat dari puncak-puncak Hye-Eumryeong atau Namtaeryeong. Di sinilah seorang kelana bisa menghela napas lega dan berkata pada dirinya sendiri, “Ah, akhirnya sampai juga di Seoul.� Stasiun Namgyeong dulu berlokasi berhadapan dengan Dongdaemun atau Hanyang. Titik ini menjadi batas visual dan psikologis wilayah ibukota.

Dari Ekspansi ke Koeksistensi Dengan cara ini kita telah memperluas waktu dan ruang yang dimiS e n i & B u d a y a Ko re a


liki oleh kota Seoul. Yang dimaksud dengan perluasan atau ekspansi di sini adalah bahwa kita menentukan periode asal mula kota Seoul yang secara umum telah diketahui, yakni dengan menetapkan penetapan Hanseong sebagai ibukota baru oleh Yi Seong-gye pendiri Dinasti Joseon tahun 1394. Dalam hal waktu, kita telah menelusuri asal-usul Seoul sejak sekitar 300 tahun sebelumnya, dan dalam hal ruang kita telah menelusuri kembali batas-batas visual dan psikologis Seoul dengan menyelidiki jalan-jalan lama yang terlupakan karena adanya pembagian negara. Semoga tidak terjadi kesalahpahaman. Apa yang kita coba di sini bukanlah bermaksud untuk mengatakan bahwa hal-hal yang lebih tua selalu lebih baik. Kalau mau memaksa, bisa saja kita memundurkan asal usul kota Seoul ke tahun 18 SM, ketika ibukota Kerajaan Baekje berada di benteng Wirye. Tapi benteng ini terletak di sebelah selatan Sungai Han, yang merupakan bagian dari Kota Metropolitan Seoul hari ini, tapi tidak ada hubungannya dengan Namgyeong atau Hanyang Goryeo, atau Hanseong Joseon. Apalagi setelah Baekje memindahkan ibukotanya ke Ungjin (kini Gongju) di tahun 475 ketika berada di bawah Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

Istana Kerajaan Gyeongbokgung, terletak di Sejongno, di jantung kota Seoul; belakang ruang singgasana, Geunjeongjeon, dapat dilihat dari Gunung Bugak, dan ke barat, di sebelah kiri adalah Gunung Inwang.

tekanan dari Goguryeo dari utara, dan selama hampir 1.500 tahun daerah benteng itu berupa reruntuhan atau tanah pertanian sampai menjadi bagian ibukota Seoul pada tahun 1963. Jadi sejarah asal mula Seoul tidak dapat ditemukan di sini. Hal yang sama juga berlaku dalam hal ruang. Adalah suatu kekeliruan jika mengartikan wilayah administratif Seoul harus diperluas ke sebelah utara sampai sejauh Hye-Eumryeong di Goyang karena kemungkinan daerah tersebut dulu termasuk dalam wilayah seoul. Justru penulis berpikir bahwa untuk daerah utara Seoul, seperti Goyang, Paju, dan Yangju, harus ditemukan cara hidup berdampingan secara “horizontal� dengan Seoul. Dan ini barulah akan menjadi nyata saat dua jalan dari Gaegyeong ke Namgyeong, pulih sepenuhnya. Ini akan menjadi salah satu implikasi dari masa lalu Seoul yang perlu dicermati untuk masa depan Seoul.

9


>> Fitur Khusus 2 Menguak Korea

Rumah Saya Bernama Seoul Seperti jejak gerak bumi yang dapat terekam dalam kumpulan lapisan geologis, begitu pun sejarah rahasia perubahan sebuah kota yang tercatat dalam kenangan orang-orang yang menyebut kota itu sebagai rumah. Ketika kita berusaha memahami sebuah kota sebagai ruang tempat orang-orang tinggal, deskripsi pengalaman arkeologis seseorang dan kenangan yang terkubur dalam eksterior modern kota tersebut dapat membantu kita. Kim Hwa-young, Anggota Akademi Kesenian Nasional

10

Ko re a n Cu l tu re & A rts S e n i & B u d a y a Ko re a


P

ada Februari 1955, dari desa pegunungan di tenggara Korea, tempat saya baru lulus dari sekolah dasar, saya berjalan sejauh 18 kilometer di sepanjang jalan tanah ke Kota Yeongju. Dari sana saya naik kereta api ke Seoul yang berjarak 250 kilometer untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Waktu itu sekitar satu setengah tahun sudah perjanjian gencatan senjata diadakan untuk mengakhiri Perang Korea yang berlangsung lebih dari tiga tahun. Kala itu, saya berumur 13 tahun. Di atas kereta, kebetulan saya bertemu dengan seorang pria penjual cabai merah, dan dia bertanya hendak ke mana seorang anak kecil sendirian di kereta api. Dengan bangga saya mengatakan, bahwa saya akan ke Seoul untuk mengikuti ujian masuk Sekolah Menengah Kyunggi, dan bahwa ayah saya, yang menjabat sebagai wakil presiden “Perusahaan Kertas Donggwang, di depan Bioskop Jungang” akan menjemput saya di Stasiun Cheongnyangni. Saya mengulang kata-kata itu, tepat seperti yang nenek ajarkan.

Pelajar Berusia Tiga Belas Tahun di Seoul Ketika saya tiba di stasiun kereta api setelah perjalanan berjam-jam, seusai matahari terbenam, entah kenapa Ayah tidak datang menjemput saya. Penjual cabai tadi merasa kasihan dan meminta saya untuk mengikutinya. Ia akan membawa saya ke perusahaan ayah keesokan paginya setelah beristirahat malam itu. Tanpa takut, saya mengikutinya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya naik trem. Luar biasa. Namun saat saya melihat ke luar jendela, Seoul berada dalam reruntuhan pascaperang. Penjual cabai itu membawa saya ke rumah susun bagi penjual gulali di perumahan kumuh di dasar Yeongcheon Hill, di luar pusat kota, di pinggiran Seoul barat laut. Halamannya dipenuhi gerobak, sementara di ruangan besar banyak penjual gulali berbaring di lantai, tidur tanpa selimut dengan kepala hanya berbantal kayu, atau sedang menarik gulali dari tongkat kayu yang terjulur di dinding, berbagi cerita tentang perjalanan mereka hari itu. Semua itu begitu aneh. Untungnya, bahan gulali yang terus direbus dalam ketel di atas tungku membuat saluran cerobong asap bawah tanah bisa menjaga ruangan tetap hangat. Saya sangat berterima kasih kepada si penjual cabai sebab dapat bermalam gratis. Keesokan harinya, penjual cabai dengan mudah menemukan Bioskop Jungang yang terkenal itu. Di seberang jalan, terlihat kedai kopi bernama Dal Nara (berarti “negara bulan”) berada di lantai dasar gedung, sementara di lantai atas terpampang sebuah papan nama “Perusahaan Kertas Donggwang.” Akan tetapi, di dalamnya terlihat hanya ada satu meja logam dengan dua kursi. Di meja ada asbak kotor yang terbuat dari kaleng kosong yang dipotong. Saya terkejut dan kecewa. Ayah saya mengucapkan terima kasih kepada penjual cabai itu. Saya kemudian menemukan bahwa pabrik kertas Ayah telah hancur oleh bom semasa perang. Semua yang tersisa hanyalah nama dan Ayah bangkrut. Selama lebih dari 50 tahun, bangunan kecil dua lantai berdiri kokoh di seberang Bioskop Jungang meskipun Seoul mengalami perubahan besar. Akhirnya, sebuah gedung kaca ultramodern yang sangat tinggi didirikan di daerah tersebut pada musim panas lalu, dan jejak-jejak terakhir dari perjalanan pertama saya ke Seoul pun terhapus.

Mengubah Landmark Seoul Ayah membawa saya ke Sekolah Menengah Kyunggi yang “terbaik di Korea,” untuk menyerahkan lamaran saya. Tetapi sekolah tersebut—yang baru saja dikembalikan ke Seoul setelah sebelumnya pindah ke Busan—tak lebih dari beberapa gubuk yang buru-buru dibangun di tanah kosong di sebelah Sekolah Dasar Deokoo di Jeong-dong. Saat ini lokasi tersebut ditempati oleh kantor redaksi Chosun Ilbo, surat kabar yang paling banyak dibaca di Korea, dan Galeri Seni Chosun Ilbo. Bangunan Sekolah Tinggi Kyunggi kala itu digunakan oleh Militer Amerika, sehingga untuk sementara sekolah tersebut ditempatkan di tenda desa yang didirikan di tanah kosong di Sejongno, yang dikenal sebagai “tempat kantor pos terbakar.” Beberapa waktu kemudian, balai kota modern dibangun di lokasi tersebut, namun terbakar habis pada

Jembatan Supyo dibangun di atas aliran Sungai Cheonggye tahun 1420, dan dipindahkan ke pintu masuk Taman Jangchungdan pada tahun 1959, ketika jalan dibangun di atas Sungai Cheonggye.

K o r e a n a ı W i n t e r 2 0 12 Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

11


Arah mata angin hatiku masih menunjuk ke kota tua Seoul di sebelah utara sungai, Seoul yang pertama menyapa kedatanganku, Seoul tempatku belajar dan bertemu teman-teman selama SMP, SMA, dan universitas, dan Seoul tempatku memberi kuliah sebagai dosen selama 30 tahun.

tahun 1972; Pusat Pertunjukan Seni Sejong yang terkenal sekarang berdiri di sana. Enam bulan kemudian, sekolah menengah pindah ke gedung baru yang dibangun di lahan kosong, di belakang gedung sekolah tua di Hwa-dong. Dua tahun setelah itu, ketika saya lulus, saya belajar di gedung sekolah tinggi tua bersejarah yang telah dikosongkan oleh Militer Amerika. Antara sekolah dan kediaman Presiden Gyeongmudae (sekarang Cheong Wa Dae) dan Istana Gyeongbok berdiri Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Di rumah sakit ini pada Oktober 1979, Presiden Park Chung-hee mengembuskan nafas terakhir setelah ditembak, bertepatan dengan pembangunan Museum Nasional Seni Kontemporer. Sekolah Tinggi Kyunggi, sekolah tinggi umum pertama di Korea, pindah ke selatan Sungai Han pada 1970, dan gedung tempat saya belajar sekarang menjadi Perpustakaan Umum Jeongdok. Mendengar bahwa saya akan masuk sekolah menengah, seorang teman ayah pergi ke Hwasin Department Store di sudut Jongno 1-ga dan membelikan sepasang sepatu kulit pertama yang pernah saya miliki. Kami juga membeli seragam sekolah, tas, dan topi di lantai lima dari pertokoan yang sama. Saat kelas berakhir, teman-teman dan saya pergi ke sana untuk bersenang-senang, naik lift ke atas dan ke bawah, atau melihat rak pajangan yang sangat bagus. Pertokoan ini didirikan oleh Park Heung-sik, orang terkaya di Korea pada saat itu, dan merupakan salah satu landmark Seoul yang dikenal semua orang, begitu juga dengan Gedung Kongres yang berada di dasar Istana Gyeongbok, Balai Kota, Stasiun Seoul, Hotel Bando, Midopa dan Donghwa (sekarang Shinsegae) Department Store. Inilah masa ketika semua orang mengorientasikan diri ke gedung Kongres (markas besar pemerintah Jepang selama masa kolonial yang dibongkar pada 1995, sementara istana tua kerajaan yang dipugar menyingkap pemandangan indah Gunung Bukhan) dan Hwasin Department Store. Ketika saya masuk universitas pada musim semi 1961, Ayah membelikan tas kulit dari pertokoan ini. Sekarang, sebuah gedung baru yang dimiliki oleh Samsung, dipimpin oleh orang Korea terkaya saat ini, berdiri di lokasi tersebut. Gedung itu disebut “Menara Jongno,� dan saya belum pernah menginjakkan

1

12

S e n i & B u d a y a Ko re a


2

1. Toko Swalayan Hwasin, terletak di Jongno 1-ga, adalah penanda terkenal Seoul modern. 2. Seorang petani membajak ladangnya dekat Kompleks Apartemen Hyundai yang baru dibangun. (Foto oleh Jeon Min-jo)

kaki di dalamnya. Ketika di sekolah menengah, saya tinggal dengan keluarga Ibu di sebuah rumah bergaya Jepang di Chungmuro 4-ga, sebelah selatan pusat kota lama. Banyak orang Jepang tinggal di Chungmuro selama periode kolonial, begitu banyak bangunan bergaya Jepang yang ditemukan di sana. Saya harus berjalan ke Euljuro 4-ga untuk naik trem yang berhenti di depan Hwasin Department Store, dan dari sana saya harus berjalan cukup jauh untuk sampai ke sekolah. Uang saku bulanan saya hanya cukup untuk ongkos naik trem, dan saya sering memilih berjalan kaki ke sekolah. Saya menggunakan uang saku itu untuk membeli ubi jalar panggang atau roti beruap dengan pasta kacang merah manis di kios-kios pedagang di lorong-lorong. Lorong tempat penjual tahu dengan lonceng mereka yang berdering dan penjual gulali dengan gunting logam besar mereka dapat ditemukan pada siang hari, sementara penjual kue beras ketan dan selai gandum berkeliling di malam hari menjajakan dagangan mereka. Sungai Cheonggye mengalir dari barat ke timur melintasi pusat Kota Seoul, tetapi bermacam limbah bermuara ke dalam aliran sungai dan menghasilkan bau yang tercium dari selokan. Pondok-pondok orang miskin berjajar di tepi sungai. Saya berjalan di atas jembatan batu menyeberangi Sungai Cheonggye seperti Jembatan Gwang dan Jembatan Supyo untuk sampai ke sekolah. Pada April 1960, tahun terakhir saya di sekolah tinggi, terjadi protes mahasiswa besar-besaran melawan kediktatoran Syngman Rhee (Yi-man Seung) dan pemilu yang curang. Banyak demonstran yang tewas oleh peluru polisi. Sahabat saya, yang pada sore hari itu kami berpamitan di gang belakang sekolah, juga ditembak dan dibunuh. Pada bulan April tahun berikutnya, tahun setelah dimulainya Republik Kedua, saya masuk Universitas Nasional Seoul. Terletak di Dongsung-dong, beberapa blok di sebelah timur sekolah tinggi saya, sekolah itu mewarisi bangunan bersejarah yang diguna-

Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

13


kan oleh Universitas Kekaisaran Keijo (Gyeongseong) yang didirikan Jepang selama masa kolonial. Sebuah sungai sempit mengalir melewati gerbang depan sekolah. Di halamannya berdiri pohon kenari kuda pertama di Korea yang disebut “Marronnier,� dibawa dari Provence dan ditanam oleh seorang Profesor Jepang jurusan Sastra Prancis selama masa kolonial. Presiden Park Chung-hee merebut kekuasaan melalui kudeta militer pada Mei 1961, dan tahun berikutnya ia menerapkan Lima Tahun pertama Rencana Pembangunan Ekonomi. Saya menyelesaikan studi sarjana dan pascasarjana di Dongsung-dong. Pada musim gugur 1967 ketika masih di sekolah pascasarjana, saya mendapat pekerjaan pertama sebagai petugas di Bank Hanil. Bangunan berlantai dua di Euljiro ini adalah tempat saya menangani dokumen yang berkaitan dengan ekspor dan impor, sementara di sebelahnya ada Hotel Bando, tempat Letnan Jenderal Hodge dari pemerintah militer Amerika berkantor, yang sekarang berdiri Lotte Department Store dan Hotel Lotte. Ketika saya menyelesaikan pascasarjana pada tahun 1969, saya meninggalkan Seoul untuk belajar di Prancis.

Perubahan Menjadi Kota Metropolis

Para pelajar SMA berseragam bekerja bakti membersihkan halaman Istana Deoksu sebagai bagian dari tugas relawan komunitas mereka.

14

Ketika saya kembali ke Korea pada musim panas 1974 dengan gelar doktor, Seoul berubah dengan pesat. Sesaat setelah saya sampai, pada tanggal 15 Agustus, saya melihat Young-soo Yuk, istri Presiden Park Chung-hee, ditembak dan dibunuh dalam upacara yang disiarkan secara nasional memperingati Hari Pembebasan (putrinya, Park Geun-hye, yang sedang belajar di Prancis segera dipanggil kembali ke Korea, kemudian masuk ke kancah politik dan terpilih sebagai Presiden Korea pada Desember 2012). Karena kejadian tragis ini, Presiden tidak bisa menghadiri upacara pembukaan kereta bawah tanah jalur nomor 1, namun hari itu akan terkenang selamanya dalam ingatan saya. Dengan dibukanya kereta bawah tanah itu, Seoul mulai berubah menjadi sebuah kota metropolis besar yang membentang ke selatan dengan 13 juta orang menyeberangi Sungai Han. Pada musim gugur 1975, Universitas Nasional Seoul pindah dari Dongsung-dong ke kampus baru yang luas di kaki Gunung Gwanak di barat daya Seoul. Ruang kelas dan laboratorium yang penuh dengan kenangan masa muda saya digantikan oleh kawasan hiburan, teater, dan lapangan atletik, gedung administrasi menjadi Yayasan Seni dan Budaya Korea (sekarang Dewan Kesenian Korea), meskipun dijadwalkan untuk dipindahkan ke provinsi. Halaman sekolah lama hanya tinggal nama saja, seperti yang dikenal saat ini dengan nama Taman Marronnier, sebagai kenangan hidup masa lalu. Pada 21 Agustus 1976, distrik perkotaan pertama dan kedua, yang termasuk daerah selatan Sungai Han seperti permukiman yang ada di Banpo, Apgujeong, Cheongdam, dan Dogok, ditujukan untuk kompleks apartemen berskala besar yang meliputi 7.790.000 persegi meter. Pembangunan kota baru yang luas pun dimulai. Daerah luas dan berbukit yang pernah saya kunjungi saat masih seorang mahasiswa. Banyak teman saya menjadi karyawan di perusahaan perdagangan dan semakin sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka yang berkecukupan menyombongkan diri tinggal di Apartemen Banpo baru yang muncul di Gangnam. Ini adalah kompleks apartemen besar pertama yang dibangun di sebelah selatan Sungai Han. Pada musim gugur di tahun saya kembali ke Korea, saya mulai mengajar sebagai Profesor Sastra Prancis di Universitas Korea. Sekolah swasta bersejarah ini hingga sekarang terletak di Anam-dong S e n i & B u d a y a Ko re a


di timur laut Seoul. Pada tahun 1976, 5,6 kilometer jalan layang Cheonggye yang dibangun mulai dari Majang-dong dekat Universitas Korea menuju terowongan Namsan nomor 1, menghampar di atas jalan yang menutupi aliran Sungai Cheonggye dengan gubuk dan selokan, menghubungkan bagian timur dan barat kota. Setelah bekerja kadang-kadang saya mengemudi di jalan layang itu dan bertemu teman-teman untuk pergi minum di pusat kota. Saya hanya butuh waktu 10 menit perjalanan. Tapi jalanan jelek yang dulu telah mengubah pusat kota menjadi kumuh dan merusak wajah kota itu sudah diruntuhkan pada tahun 2006. Sebagai gantinya, Sungai Cheonggye yang indah dipulihkan dan airnya yang jernih mengalir di sana hari ini. Saya suka berjalan-jalan santai di sepanjang jalan di tepi sungai ini.Â

Sebelah Utara dan Sebelah Selatan Sungai Han Pada awal 1980-an, saya membeli sebuah apartemen di salah satu kompleks yang baru dibangun di dataran kosong Gangnam. Saya memilih apartemen itu karena akses jalan langsung menuju utara, ke Jembatan Seongsu baru di atas Sungai Han, dan terus menuju Universitas Korea. Suatu hari, 15 tahun setelah pembangunan, Jembatan Seongsu runtuh akibat beban lalu lintas di kota metropolitan yang berkembang pesat, sehingga menewaskan banyak orang. Jembatan Seongsu yang baru dan kuat selesai dibangun pada Juli 1997. Tepat setelah Perang Korea, gubuk-gubuk tanpa izin membanjiri tepi utara Sungai Han dan daerah di kaki Gunung Nam di pusat Kota Seoul. Pada akhir 1980-an, permukiman kumuh ini dibersihkan dan apartemen bertingkat tinggi mulai dibangun menggantikannya. Pada tahun 1986, saya pindah ke daerah sekitar Oksu-dong, yang namanya diambil dari mata air jernih yang disebut mengalir menuruni lereng hutan lebat Gunung Nam, dan saya menetap di sini sejak saat itu. Lima puluh tujuh tahun telah berlalu sejak hari itu pada tahun 1955 ketika saya pertama kali tiba di Stasiun Cheongnyangni Seoul pada usia 13, dan enam tahun sejak saya pensiun sebagai profesor universitas. Jumlah penduduk telah mengalami peningkatan yang pesat dari 1,57 juta menjadi lebih dari 10 juta saat ini. Sekarang sekolah dasar saya di desa pegunungan berdiri kosong karena desadesa yang tak berpenghuni, gedung sekolah menengah dan tinggi saya telah menjadi perpustakaan kota, dan tempat di mana universitas saya pernah berdiri kini menjadi kawasan hiburan sekitar Taman Marronnier. Mereka semua pindah ke selatan Sungai Han ke kota baru yang bermunculan di sana. Ibukota pemerintahan baru, Kota Sejong, dibangun jauh ke selatan Seoul. Mungkin akibat trauma atas ketidakmampuan untuk mencari perlindungan di wilayah selatan selama Perang Korea. Kehancuran satu-satunya jembatan di atas Sungai Han pada saat itu telah memaksa banyak orang untuk tinggal di bawah tanah, yang membuat semua orang mengubah arah mereka ke sebelah selatan sungai. Kompas hati saya, bagaimanapun masih menunjuk ke kota tua Seoul di utara sungai. Itulah Seoul yang pertama menyapa ketika saya tiba, Seoul di mana saya belajar dan bertemu teman-teman di sekolah menengah, sekolah tinggi, dan universitas, dan Seoul di mana saya mengajar sebagai profesor di sebuah universitas selama 30 tahun. Hari ini saya berjalan-jalan santai di tepi Sungai Han dan menatap ke seberang kompleks apartemen mahal di Apgujeong-dong di sisi lain. Namun, saya segera mengubah pandangan saya kembali ke sungai dan menenggelamkan diri dalam kilauan air yang mengalir. Hidup mengalir dan berubah seperti sungai. Saya tahu Seoul adalah kota yang telah dibangun dari endapan yang dicuci oleh sungai tak berujung seperti kehidupan kita. Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

Jembatan Penyeberangan Cheonggye, yang menghubungkan pusat kota bagian timur dan barat, diruntuhkan pada tahun 2006 ketika Sungai Cheonggye dihidup-alirkan kembali.

15


>> Fitur Khusus 3 Menguak Korea

Gangnam:

Sepenggal Kisah Pribadi

Di manakah Gangnam? Satu hal yang pasti: Gangnam yang sebenarnya tidak dapat ditemukan di dalam Psy’s “Gangnam Style.� Jadi, di manakah Gangnam sebetulnya? Dan, mengenai apakah itu semua? Baek Yong-ok, Novelis Ahn Hong-beom, Suh Heun-gang Fotografer

Sungai Han membelah Seoul utara dan selatan, dengan Gangnam, kotamadya yang kini terkenal, berada di sebelah selatan sungai.


P

ada musim gugur tahun 2012, saya di Brooklyn, New York. Pada masa itu, sedang memuncaknya Psy “Gangnam Style� di tangga nomor dua lagu-lagu Billboard. Ketika saya pulang-pergi dari Brooklyn ke Manhattan, popularitas Psy tidak hanya sebagai barang baru tetapi sebagai sebuah fenomena yang betul-betul saya alami sendiri. Inilah sebuah pikiran yang saya maksud. Ketika saya menghadiri supermarket The C-Town di sekitar lingkungan perumahan, lagu tersebut terdengar diputar di radio. Manakala saya menenteng kantung belanjaan ke rumah, saya mendengar lagu itu mencuat dari sebuah sedan dengan atap terbuka yang dikendarai oleh seorang pemuda Amerika. Bahkan, di bulan Oktober, ketika saya membuka jendela lebar-lebar untuk mengeringkan cucian, saya bisa mendengar reffrain dari Gangnam Style meledak dari sebuah mobil yang lewat. Pengalaman yang paling berkesan manakala di pertokokoan M&M di Times Square yang pada saat itu disesaki kerumunan yang luar biasa sebelum Halloween tiba. Sebuah lagu Michael terdengar dari sebuah toko yang sangat sibuk, tetapi kemudian lagu itu berhenti dan kemudian lagu Psy diputar. Dan, saya menyaksikan pemandangan yang menakjubkan. Tidak lama sete-

lah lagu itu diputar beberapa orang mulai menghampiri asal sumber musik itu. Setidaknya, setengah lusin orang meniru tarian kudanya si Psy. Putih, hitam, dan orang Asia, semuanya tak ada perbedaan. Orang-orang menari di eskalator sambil turun ke lantai pertama, demikian juga di depan patung Liberty yang terbuat dari coklat, dan sepanjang deretan figur Spider-Man. Bahkan sepintas, saya dapat mengatakan bahwa mereka sedang asyik menikmatinya sendiri, menyilangkan tangan kanannya dan menggoyang-goyangkan pinggangnya.

Mendefinisikan Gangnam Pada hari itu, saya melihat penampilan Psy untuk 10 menit ketika dia menari pada sebuah papan iklan LCD LG U+ yang terpampang di Times Square. Saya waktu itu dengan beberapa orang muda-mudi Spanyol yang sedang menunggu untuk mendapatkan tanda tangan dari Ricky Martin setelah pertunjukannya di dalam “Evita.� Carlos, Pedro, dan yang lainnya yang melihat iklan tersebut denganku semuanya kenal betul Psy. Tapi kemudian, seorang teman yang semenjak tadi berdiri di dekatku


bertanya, “Sebetulnya apa sih Gangnam Style? Kalau Anda ke Gangnam apakah Anda akan melihat begitu banyak pemuda yang lucu kayak dia?” Saya memandang pada Alma, yang berasal dari Istanbul, dan mulai menjelaskan apa sih Gangnam itu. Sekarang saya jadi berpikir ulang, Gangnam adalah sebuah tempat di mana saya menghabiskan masa kecil. Tetapi saya juga sadar bahwa kata Gangnam saat ini dan Gangnam di masa lalu itu betul-betul berbeda. Versi Wikipedia dalam Bahasa Korea menjelaskan Gangnam sebagai berikut: Gangnam mengacu pada sisi Utara Sungai Han di Seoul, Korea Selatan. Sebuah survei tahun 2007 menunjukkan bahwa wilayah ini merupakan salah satu wilayah sepuluh besar yang paling mahal di dunia dalam hal harga sewa gedung. Gangnam juga memiliki beberapa sekolah menengah yang terkenal dengan sekolah tinggi yang mahal dan lembaga pendidikan privat, banyak keluarga cenderung memilih wilayah ini untuk pendidikan anak-anaknya. Kata “Gangnam” itu sendiri artinya ‘Bagian Utara sungai Han’, tapi dalam beberapa hal istilah itu digunakan juga untuk mengacu hanya pada distrik Gangnamgu dan Songpa-gu di bagian Timur dan Seocho-gu di bagian tengah Gangnam. Sebelum nama Gangnam ditampilkan, wilayah itu dikenal sebagai ‘Yeongdong’, artinya ‘Wilayah Timur dari Yeongdeungpo.” Jadi, dalam pengertian yang sangat singkat kata itu menunjuk pada wilayah administratif dari Gangnam-gu, Seocho-gu, dan Songpa-gu, tetapi Gangdong-gu juga sering termasuk di dalamnya. Istilah ini juga menunjuk pada Stasiun Gangnam di jalur Subway nomor 2 dan persimpangan Gangnam, atau wilayah bisnis yang telah membentuk wilayah di sekitar Stasiun Gangnam, sebuah wilayah komersil yang paling sibuk di Seoul. Tetapi untuk saya, “Gangnam” berarti beberapa perhentian kereta

18

Stasiun Gangnam, di Jalur 2 metro Seoul, disebut juga sebagai stasiun kereta api bawah tanah yang tersibuk di Seoul.

bawah tanah di Seoul Metro. Saya lahir di sekitar stasiun bus ekspres pada jalur subway nomor 3, SMP saya dekat dengan Stasiun Seolleung pada jalur nomor 2, dan ketika saya menjadi seorang mahasiswi saya pergi jalan-jalan dengan teman laki-laki ke Stasiun Gangnam dan Stasiun Apgujeong. Di wilayah sekitar dua stasiun itulah terletak Gangnam bagi saya. Secara spesifik, Gangnam saya persis terletak di depan toko roti New York Bakrie yang kini telah raib di dekat Stasiun Gangnam dan di depan McDonald di Apgujeong-dong.

Bangunan Apartemen dan Jembatan Jamsu Kenangan visual pertama mengenai Gangnam adalah kompleks apartemen lima lantai tempat saya tinggal. (Kemudian, ketika kompleks itu direnovasi menjadi kompleks apartemen 30 lantai, saya seperti telah kehilangan kampung). Inilah kampung halaman di dalam memori yang disebut sebagai ‘Aspal Children’ yang lahir di Seoul pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Bangunan 5 atau 12 lantai apartemen. Pohon ceri yang berderet tak terhitung dan pohon ginkgo yang berbaris di pinggir jalan antara apartemen dan Taman Sungai Han, dan tempat bermain di sekitar pepohonan yang tumbuh setiap tahun semakin rimbun. Lembaran kertas reklame yang tertempel di telepon umum dan bau asap knalpot dari pemuda pengantar makanan China yang melintas di sekitarnya. Orang cenderung berpikir mengenai semen sebagai sebuah simbol yang beku dari industrialisasi. Mereka menyebut generasi saya, yang tumbuh di sekitar apartemen Gangnam, generasi yang kering S e n i & B u d a y a Ko re a


tanpa memori bermain di lumpur. Tetapi, kenyataannya, semen terbuat dari batu. Dan semen tentu awalnya adalah sebuah lumpur juga. Jadi, kami memiliki memori yang berharga mengenai semen yang menutup apartemen-apartemen. Kalau kembali melihat pada tahun 1980-an, saya masih ingat bahwa selalu lari sampai 5 lantai lewat tangga atau naik elevator sampai 12 lantai dengan teman-teman. Secara spesifik saya masih ingat bisa sekejap melihat pada para tukang cat yang bergelantungan di tali-tali yang panjang tidak terbayangkan sambil mengganti warna dan nama apartemen, “Hansin” atau “Jugong,” satu kali dalam setiap 3 tahun atau 4 tahun ketika dinding luar dicat ulang. Saya menikmati kenangan berjalan di jalan setapak di pinggir Sungai Han, yang dipelihara dengan baik bahkan semenjak Presidan Chun Doohwan berkuasa. Ada sejumlah jembatan yang melintas Sungai Han yang menghubungkan kota di utara dan di bagian selatan sungai, tapi yang paling favorit adalah jembatan Jamsu, jembatan dengan ketinggian yang rendah di atas sungai, yang menghubungkan Banpo-dong di Seocho-gu dengan Seobinggo-dong di Yongsan-gu. Saya yakin bahwa tidak ada lagi jembatan lain seperti itu di dunia. Bayangkan, jembatan yang terkesan aneh yang dapat tenggelam tanpa rusak manakala air hujan melimpah di sungai (nama jembatan itu secara harfiah artinya “Jembatan yang bisa menyelam”). Ketika saya berumur 20 dan belajar penulisan kreatif di universitas, saya bahkan menulis sebuah cerita pendek mengenai jembatan itu. Jembatan Jamsu begitu puitik: dia bisa menghilang pada saat langit menumpahkan hujan yang banyak danmanakala air bah di sungai itu surut jembatan itu akan muncul kembali pelan dan kokoh, seperti sebuah mimpi saja. Saya menyukai jembatan Jamsu pada saat setelah lalu lintas berhenti, saat-saat menghilang terbenam air. Pada momen-momen itu, saya merasakan layaknya saya berdiri di sebuah perbatasan antara nyata dan tidak nyata. Sekarang, terima kasih pada proyek pembaharuan Sungai Han, bangunan-

buku, toko pakaian, dan restoran. Mengingat hal itu, kita tidak dapat lagi membayangkan toko yang sama di lingkungan yang berbeda, jadi jajangmyeon (mie hitam), dari restoran China Daraeseong dan ayam bawang putih dari ayam Banpo adalah kekhasan daerah itu yang tidak akan ditemukan di daerah lain. Saya masih muda waktu itu, jadi tidak paham bahwa Banpo Chicken musti disajikan dengan bir pada malam hari dan di tempat itu tokoh semacam kritikus Kim Haeyeon dan penyair Hwang Jiwoo hadir dalam acara puisi dan novel sampai larut pagi. Saya masih ingat pergi ke sana pada saat pagi hari dengan ayah dan kami duduk dan berbicara. Baginya, jurusan penulisan kreatif “Yang ditunjukkan oleh anak perempuannya yang masih 16 tahun, yang bermimpi jadi seorang novelis, tidaklah dikenal baginya. Oleh karena itu dia menyarankan saya mengambil Sastra Korea atau malah Sastra Inggris. Manakala waktu berlalu, saya membayangkan manakala saya duduk di Algonquin Hotel di New York saat penulis pascaperang Amerika bertemu pada tahun 20-an untuk mendiskusikan karya sastra. Dan kucing yang bernama Matilda yang hidup di lobi hotel. Ini barangkali disebabkan oleh kenangan mengenai sejumlah toko yang memelihara kucing dalam rangka menangkap tikus. Sebagai seorang gadis saya pikir itu sangat aneh bahwa setiap kucing itu disebut sebagai Nabi “Kupu-kupu.” Bagaimana mungkin kupu-kupu bisa menjadi nama seekor kucing. Dan mengapa anak seekor anjing dipanggil Marry.”

Wajah Ganganam yang Bermacam-Macam

Cukup menarik, saat saya di SMA istilah “Banpo hick” sedang populer dalam fesyen. Ini adalah manakala pada saat masa Apgujeongdong seperti digambarkan oleh penyair Yu Ha dalam puisinya “Dalam Hari Berangin Kita Harus Pergi ke Apgujeong-dong.” Dalam memori Yu Ha, Apgujeong adalah “Tempat masa kecil yang dipenuhi pohon pir bermekaran.” Tapi dalam puisinya itu menjadi sarang sebuah hasrat. Pada 1990-an, Apgujeong ini dipenuhi kawula muda yang modis. Saat Yu Ha merilis film dengan judul yang sama di tahun 1993, saya saat itu Mereka adalah pekerja ulang-alik (trendsetter ), seperti hipsters adalah seorang mahasiswi. Sekilas plot New York. Mereka berpakaian putih high-top Reebok atau sepatu memberimu sebuah ide akan atmosfer kets Nike dengan jeans hip hop menjelajahi jalan-jalan sambil dari Apgujeong-dong pada awal 1990-an: Jiwa muda bermimpi menjadi Woody Allen bersenandung lagu-lagu populer terbaru Deux atau Seo Taiji dan selanjutnya memasuki Apgujeong-dong, Boys yang keluar dari earphone Sony mereka. tempat merajalelanya mobil impor, bajubaju desainer, dan cinta sesaat. Dengan bangunan raksasa seperti Seoul Floating Island berdiri di atas air, tapi sebuah kamera 8mm sebagai satu-satunya sarana mencari nafkah, ia jauh sebelumnya aliran sungai mengalir secara bebas dengan hanya menemukan Hye-jin dalam mobil sedan kap terbuka warna merah dan serpihan kayu dan tumbuhan air yang menyapu dasar sungai. Itu adasegera saja jatuh cinta padanya. Ia berharap kalau Hye-jin mau menjalah sebuah pemandangan yang terbentuk oleh alam, sesuai dengan di protagonis dalam filmnya, tapi tujuannya adalah untuk membuatnya musim dan ketinggian air. Seandainya saya punya sebuah kamera digimenjadi masyarakat kelas atas. Saat itu adalah saat Hyundai Apartetal pada waktu itu, saya dapat menghasilkan ratusan foto mengenaiments menjelma sebagai sebuah simbol kekayaan, dan saat itu “Apgunya. jeong Orange” muncul pertama kali (merujuk pada kelas berbasisPada tahun 1980, sebelum kata “Francise” diperkenalkan ke Korea, konsumsi baru dari orang muda yang terbentuk di sekitar sekumpulan wilayah di sekitar Banpo adalah tempat berbagai jenis toko roti, toko murid yang telah belajar di Amerika). Kedengarannya agak konyol, tapi Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

19


“Banpo kkingkkang” (kumquat), intinya orang-orang miskin Apgujeong Orange, di kemudian hari tampil. Pada tahun 1990-an, Apgujeong dipenuhi dengan anak muda yang modis. Mereka adalah trendsetter, sebagaiman the hipsters dari New York. Mereka menggunakan baju atasan high-top dari Reebok atau skneekers dari Nike dengan jean hep-hop dan mengisi jalanan dengan siulan lagu-lagu populer terakhir yang dinyanyikan oleh Deux atau Seo Taiji and Boys, yang menendang microphone SONY di telinganya. Mereka membenci lagu-lagu balada yang penuh air mata dan meneriakkan “Cool!” kapan pun mereka terkesan. Mereka adalah jiwa-jiwa bebas yang dikenal sebagai “Generation X.” Dari pertengahan tahun 1990 sampai 2000, pusat dari Gangnam bergeser ke Cheongdam-dong. Awalnya merupakan lingkungan perumahan kelas tinggi, pembukaan dari Cafe de Flore mengawali reaksi berantai yang menunjukkan toko-toko dan rumah makan yang dibuka oleh orang yang telah mempelajari fesyen atau masakan di luar negeri di tempat seperti New York dan Paris. Beberapa galeri bermunculan, dan rumah makan campuran seperti Xian juga restoran tradisional Prancis seperti Palais de Gaumont dibuka. Kenyataan bahwa di sana tidak ada pemberhentian subway di Cheongdam-dong menunjukkan karakter elite dari lingkungan perumahan tersebut. Daerah itu Adalah sebuah pulau yang terisolasi dari bagian kota lainnya dan hanya dapat diakses melalui kendaraan. Berjalan di sekitar area itu di siang hari Anda akan melihat pengunjung yang parkir di tempat khusus berpakaian lebih canggih daripada orang lain yang di jalanan. Ketika saya mulai bekerja di Harper’s Bazaar di pertengahan tahun 2000-an, pusat Gangnam berubah lagi, kali ini ke arah Garosu-gil di Sinsa-dong. Kata-kata dari toko yang unik sepanjang jalan tiga jalur yang lengang ini mulai menyebar. Para desainer membuka butik-butik di sini. Dengan stasiun Subway Sinsa di dekatnya, sangatlah mudah dijangkau daripada Cheongdam-dong. Saat ini, para pemilik toko yang asli telah terpinggirkan karena melambungnya harga sewa di Garosu-gil. (Di antara toko-toko yang beroperasi di Garosu-gil pada tahun 2007, di bawah 10% tetap tinggal pada akhir tahun 2012). Baru kemudian saya memahami bahwa pemilik toko-toko tersebut menyebut jalur samping salah satu jalan kecil di Garosu-gil dengan nada kurang baik sebagai ”Serosu-gil” (“Garo” homonin dengan “Horisontal” dalam Bahasa Korea: “Sero” artinya “Vertikal”). Toko-toko yang menyandang nama

besar dalam jaringan penjualan seperti ZARA dan Forever 21 justru pindah ke bagian dalam. Peristiwa ini meninggalkan kesan yang getir, tapi ini sepertinya menjadi tren dunia. Distrik komersial yang utama di New York dan Paris juga ditinggalkan oleh jaringan fast-fashion mutlinasional. Beberapa artis yang menyayangkan perubahan ini menerbitkan majalah mereka dalam upaya untuk memelihar kehadiran Garosu-gil lama, dan beberapa bar masih menampilkan musik-musik indie. Kemolekan Shinsa-dong dapat juga ditemukan di jalanan-jalanan yang kecil yang tersebar layaknya sebuah urat nadi. Di sini restoran-restoran untuk refresing, toko pakaian, dan toko kecil lainnya masih kokoh.

Gangnam yang Mesti Anda Tengok Sangatlah sulit untuk merumuskan “Gangnam Style.” Istilah ini bisa mengingatkan pada sekolah privat di daerah Daechi-dong yang menyimbolkan ambisi-ambisi ‘helicopter-moms’ yang berniat untuk menempatkan anaknya di universitas yang top, istilah itu dapat merujuk juga pada distrik komersial di Garosu-gil di Shinsa-dong, sebuah tempat pertemuan tren-tren mutakhir, atau dapat juga berkaitan dengan harga real estate ultramahal dari unit apartemen di Tower Palace atau Hyundai E-Park di Samseong-dong. Yang jelas, oleh karenanya, Psy “Gangnam Style” bukanlah gaya Gangnam. Gaya Gangnam yang dia katakan bukanlah Gangnam dalam pengertian yang tradisional. Dalam lagu dia, hanya ada satu tipe gangster yang sangat sibuk meluangkan malam-malam yang panas dengan wanita-wanita seksi dan menarikan tarian kuda yang aneh. Dia mungkin mengatakan bahwa dia adalah Gangnam Style, tetapi dia tidak menyentuh apa pun dari elemen-elemen yang mengacu pada Gangnam. Dukungan atas pemaknaan yang lain ini menghasilkan sebuah karya yang tak terduga. Ketika Psy melakukan tarian kuda dan melakukan perekaman di daerah Gangnam orang merasakan satu makna yang aneh dari kesenangan, apakah diketahui atau tidak diketahui. Walaupun saya menghabiskan waktu masa kecil saya di Gangnam, saya tidak tinggal di sana. Saya pindah ke luar karena biaya perumahan yang sangat mahal dan jalanan yang sulit dijangkau. Gangnam mungkin saja suatu kumpulan dari hal-hal yang terbaik, tetapi jarang sekali saya punya satu alasan untuk menemui seseorang di sana. Gangnam tahun 1990-an, ketika saya mesti menunggu teman-

1. Garosu-gil di Sinsa-dong, indah di musim gugur dengan dedaunan pohon ginkgo yang berwarna emas, itu adalah daerah Gangnam yang menyediakan hotspot di sana-sini dengan kafe-kafe trendi, galeri seni, dan toko busana. 2. Selama bertahun-tahun, New York Bakery telah menjadi tempat kongkow-kongkow di depan Stasiun Gangnam. Toko roti ini tidak dapat bertahan dan tutup karena harga sewa melonjak naik, dan tahun lalu, fashion cepat Korea dengan merek “8 Seconds” membuka usahanya di sini.

1

S e n i & B u d a y a Ko re a


2

teman di depan New York Bakrie, tetaplah menjadi sebuah kenangan. Pada tahun 1990-an, ketika saya di SMP, satu-satunya institut pendidikan yang privat di wilayah Daechi-dong adalah Han-guk Hakgwon. Saat ini, area di sekitar Stasiun Seoulleun dengan jumlah sekolah privat yang sulit dipercayai, tampak asing bagi saya. Benar bahwa Gangnam telah berkembang sepanjang waktu-waktu yang penting. Tetapi jika Anda ingin melihat Seoul yang nyata, Anda harus melakukan perjalanan ke arah selatan Sungai Han. Hal itu sebagaimana restoran-restoran terbaik di New York, toko-toko, dan galeri yang terletak di Manhattan, tetapi di pinggiran Brooklyn, di mana para artis tinggal untuk berjuang, pelan-pelan menjadi satu pusat penting. Dan ternyata, ketika kawan saya dari negara lain mengunjungi saya, saya membawa ke Garosu-gil. Satu cuplikan dari “Still I Like Seoul” oleh arsitek Oh Young-uk, terpaut dengan rasa sentimen: “Ketika teman-teman datang dari luar negeri, saya ingin menunjukkan kepada mereka aktivitas sehari-hari di kota ini... Saya ini memberi mereka satu persembahan kenangan dari Seoul sebagaimana mestinya, dari hal-hal yang tua yang tercantum di jejak-jejak keseharian, sesuatu yang seperti Changdeok Palace atau Han-ok Village tidak dapat ditunjukkan pada mereka. Para pendatang asing yang sempat jalan bareng di Seoul, ada satu sahabat dari Spanyol yang membuat komentar yang sangat impresif: ‘Hal yang paling menarik dari Korea adalah padding biru yang melekat pada pintu mobil-mobil. Aku tak habis pikiri mengapa orang berkendaraan dengan mobil-mobil seeKo r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

lok itu dengan hal yang tak enak dipandang tertempel di mobil-mobil itu.’ Begitu ia melakukan perjalanan keliling dunia, dia akan memberitahukan orang-orang yang ditemuinya mengenai padding biru pada pintu mobil-mobil Korea. Ya, itu merupakan beberapa hal yang saya ingin tunjukkan pada Anda. Padding biru menempel pada mobil-mobil, masker-masker dengan gaya Darth Vader-style dikenakan wanita saat mereka pergi mendaki, program radio yang disetel di bus-bus kota (Disarankan untuk yang mau fitur bernyanyi dengan penelepon), taksi-taksi menolak menjemput penumpang pada larut malam, kehadiran hiburan dewasa dengan gerombolan tempat cukur rambut, gereja dihiasi dengan sinar neon merah, wanita dengan jiwa lelah mereka menari pada musik kencang untuk mempromosikan toko yang baru buka.” Ini adalah hal-hal yang ingin saya tunjukkan pada teman saya di Gangnam. Deretan kantor-kantor real estate berdesakan menjadi daerah ritel dari tiap kompleks apartemen; jalanan malam Daechi-dong dipenuhi dengan bus-bus privat institut berwarna kuning; segerombolan orang menyebangi penyebangan jalan secara massal, seperti dikoreografikan, di tengah hari di persinmpangan Stasiun Gangnam; keluar ke beberapa gang belakang di Shinsa-dong bersama teman-teman setelah minum-minum untuk melihat jalan diselimuti selebaran iklan yang disebarkan oleh calo toko designer yang mencolok dan manekin kesepian yang Anda temui ketika berjalan sendiri di Cheongdam-dong setelah cahaya pergi. Jika Anda ingin melihat Gangnam yang sesungguhnya, ini adalah hal-hal yang harus Anda lihat.

21


Gupabal

Vila Seokpajeong Gunung Bugak

Bandara internasional Incheon

Kompung Hanok Bukchon

Seochon Gunung Inwang

Digital Media City

Dongnimmun (Arch of Independence)

Gwanghwamun Postal Bureau Pusat Kesenian Sejong

Menara lonceng Bosingak

Sungnyemun (Pintu)

Universitas Hongik

Katedral Myeongdong Stasiun Seoul

Gedung DPR

Sung Han Bandara internasional Gimpo

Taman Boramae

Universitas Nasional Seoul


Gunung Bukhan

Pusat Pelatihan Taereung

Jeongneung Stasiun Cheongnyangni

Gunung Nak

Seonggyungwan akalemi korghuen Insa-dong

Dongdaemun (Pintu Timur)

Sheraton Walker Hill Hotel

Kampung Hanok Namsan

Gunung Nam

Dufan kanak-kanak

Menara N Seoul

Garosu-gil

Terminal Bus Ekspres

Stasiun Gangnam

COEX

Hutan Warga Yangjae Pusat Kesenian Seoul

Illustration oleh Jeong-Ji-ho


>> Fitur Khusus 4 Menguak Korea

Seoul Saya: Enam Hot Spot Seoul adalah kota yang tidak memiliki ikon seperti Menara Eiffel atau Central Park, sebagai contohnya. Kota ini lebih berperan sebagai ibu kota negara dengan asas manfaat dan fungsional, ketimbang menjadi sebuah kota yang indah. Namun sejak kunjungan pertama tahun 2002, saya langsung merasa tertarik dengannya. Daniel Tudor, Koresponden Seoul, The Economist | Ahn Hong-beom, Suh Heun-gang Fotografer

S

epuluh juta orang berada di Seoul untuk mencari keberuntungan, bersusah-payah di kantor, berkesenian, belajar, atau berpesta seperti orang gila. Semua aktivitas manusia dapat ditemukan di sini. Oleh karena itu, hanya orang-orang letih saja yang gagal menemukan sesuatu untuk disukai di Seoul. Karena Seoul memiliki segalanya, maka tempat ini sangat sulit untuk ditaklukkan. Seorang arsitek pernah memberi tahu saya bahwa Seoul sebenarnya terdiri dari dua kota, Gangbuk (“sebelah utara sungai”) dan Gangnam (“sebelah selatan sungai”). Berkat penyanyi Psy, daerah ini terkenal ke seluruh dunia sebagai wilayah orang kaya. Menurut saya, Seoul tidak hanya terdiri dari dua kota, melainkan sepuluh. Seoul merupakan kota besar yang terdiri dari beberapa wilayah, masing-masing dengan tujuan dan seperangkat aturannya. Saya ingin memperkenalkan Anda pada beberapa wilayah kesukaan saya.

Hongdae

Jalan-jalan di depan Universitas Hongik hiruk-pikuk dipadati para pelajar Seni Rupa College Hongik dan mahasiswa universitas lain yang berada di sekitarnya.

24

Di barat laut Seoul terdapat sebuah distrik yang sangat terkenal sebagai tempat berpesta. Saat pertama kali tinggal di Seoul saya kerap sekali datang ke sini, dan terlalu sering dimanjakan. Tetapi jantung Hongdae yang sebenarnya bukanlah semata pada pergi ke klub dan minum tequila, yang jika membeli satu teguk dapat dua teguk. Daerah ini dibangun oleh budaya, sebagai imbas dari populasi mahasiswa jurusan seni Universitas Hongik yang besar (begitu juga dengan Yonsei, Sogang, dan Universitas Ewha). Mereka yang tidak belajar di sekolah seni pun nantinya akan berkumpul di sini, mendatangi lembagalembaga pendidikan swasta di siang hari dan mengadaptasi gaya hidup Hongdae pada malam hari. Mereka membeli pakaian dari toko-toko barang bekas, memikirkan masalah sehari-hari sambil minum latte , tentu saja, bukan di tempat minum kopi yang terkenal, dan menonton band (indie) teman-temannya di bar musik lokal. Kelompok musik seperti itu banyak yang tidak terkenal. Namun itulah intinya --musik Hongdae ialah antitesis dari K-pop yang dibuat secara saksama dan lebih banyak diketahui orang. Jika ada kelompok yang bermain bagus, biasanya mereka hampir mendekati sempurna. Beberapa band kesukaan saya sepanjang masa datang dari komunitas (indie) di sini, contohnya Third Line Butterfly, yang berdiri sejak 1999 dan barubaru ini mengeluarkan album keempatnya, “Dreamtalk.” Pemimpin mereka, seorang campuran gitaris-pujangga-akademik, Sung Si-Kwan, dapat ditemui dalam beberapa bar eksentrik di Hongdae. Namun demikian, bagi saya, kini Hongdae ialah sebuah tempat bekerja. Mungkin karena saya berpurapura ingin menjadi penulis intelek ketimbang pengembara seperti saat ini. Saya tidak bisa memikirkan temS e n i & B u d a y a Ko re a



1

pat lain yang lebih baik untuk duduk di sebuah kafe, menundukkan dagu, dan menatap ke ruang kosong saat mencari kalimat yang tepat, selain di sini. Saya pun tidak sendirian dalam hal ini. Pemandangan seorang hipster di balik kafe dengan komputer MacBook di depannya saat bekerja membuat skenario film, menjadi salah satu hal yang umum. Namun demikian, keadaan itu tak bertahan selamanya. Hongdae menjadi kawasan komersial dengan sangat cepat, sehingga biaya sewa menjadi sangat tidak nyaman bagi para mahasiswa -- orang-orang yang sebenarnya membuat Hongdae menjadi seperti sekarang. Tahun lalu, penduduk sekitar dikejutkan dengan pindahnya toko roti legendaris Richemont, dan digantikan oleh kedai minum kopi Angel-in-Us yang dimiliki oleh Lotte. Lingkungan pergaulan yang bercita rasa seni mulai bermigrasi saat ini ke tempat seperti Mullae-dong, sebuah daerah industri yang menawan, yang bisa dicapai dengan naik Metro Seoul jalur No. 2. Karya-karya artistik banyak dipindahkan ke dalam gedung-gedung yang terabaikan, awal dari sebuah proses yang saya percaya suatu hari nanti akan menghasilkan sebuah “Hongdae Baru.� Sungguh, Hongdae dulu merupakan lingkungan: 20 tahun yang lalu, di mana biaya hidup di daerah Sinchon telah memaksa anak muda, anak berbakat, dan orang-orang yang bangkrut, untuk mendirikan usaha di sini.

Hyehwa-dong Inilah sebuah daerah pelajar yang lain, yang lebih tertib dari Hongdae. Hyehwa-dong ialah rumah bagi teater independen di Seoul, di mana anak-anak muda antusias dan gembira berlari-lari untuk mendapatkan tiket menonton pertunjukan yang terbaru. Kesenian jalanan juga berkembang dengan baik, dan secara mengejutkan pengamen-pengamen profesional juga sering hadir di sini untuk menyenangkan Anda demi beberapa won. Bagian terbaik dari Hyehwa-dong ialah bahwa daerah ini juga merupakan titik awal yang baik untuk mulai menyusuri jalan-jalan yang menyenangkan. Seperti daerah Universitas Sungkyunkwan yang sangat mengesankan, terutama Myeongnyundang, bangunan sekolah Konghucu yang kuno – dan begitu

26

S e n i & B u d a y a Ko re a


2

Anda mencapai gerbang belakang, Anda benar-benar keluar ke sebuah perbukitan. Di sini, Anda bisa menyusuri jalan menuju Gunung Bugak, salah satu puncak utama di Seoul. Dulu rute ini tidak bisa dilewati begitu saja, karena dari sini kita bisa melihat langsung ke bawah menuju Cheong Wa Dae, istana presiden. Pernah pada tahun 1969, Komando Korea Utara naik ke atas gunung dengan niat untuk membunuh Presiden Park Chung-Hee. Mereka gagal, dan lubang peluru yang merekam konflik senjata mereka dengan tentara Korea Selatan masih dapat dilihat di sebuah pohon. Pemandangan dari atas memang sangat mengesankan sesuai harapan Anda, namun area di bawahnya pun tak kalah lebih baik. Saat Anda sampai ke dasar, Anda akan berada di Buam-dong, sebuah lingkungan tempat tinggal yang bersahaja dan indah, di mana belum tampak suasana perkotaan. Ini lingkungan yang baik untuk menikmati sedikit makgeolli (arak beras yang belum dijernihkan) setelah perjalanan yang berat.

1. Sebuah adegan dari musikal “Late Night Restaurant� di Pusat Seni Dong Soong, para pecinta teater dapat menikmati pertunjukan aktor-aktor muda yang penuh antusias berkerumun di bioskop di Hyehwa-dong dan tidak jauh dari Dongsung-dong. 2. Sebuah toko barang-barang antik di Dongmyo; di jalan-jalan dan gang-gang di sekitar kelenteng Konghucu abad ke17 ada toko-toko yang menyediakan banyak barang antik dengan berbagai jenis keunikan dan keanehannya.

Dongmyo Dongmyo ialah sebuah kuil Konghucu abad ke-17 yang dibangun untuk menghormati saudara tua dari China. Namun tidak banyak bagian Dongmyo yang menarik. Di jalanan dan lembah sekelilingnya, orangorang tua menjual segala macam barang aneh dari kios-kios reyot. Jika Anda ingin memiliki sepeda roda empat bekas, sebuah saxophone berkarat, sebuah potret diktator militer tua Korea, atau mesin ketik antik, maka Dongmyo ialah tempat bagi Anda. Karena umur rata-rata pembeli dan penjual di Dongmyo rata-rata 60 tahunan, pengunjung dapat merasakan seperti apa Korea di masa lalu sebelum ada “keajaiban Sungai Han.� Ini tempat yang masih alami, di mana orang-orang berteriak, dan saling menyerobot keluar -- namun di sini juga bersahabat dan bersemangat. Restoran dadakan pinggir jalan menjual doenjang jjigae (adonan kacang rebus) dan bermangkuk-mangkuk mie dengan harga yang, secara tidak masuk akal, sangat murah bagi siapa pun yang berasal dari Gangnam. Pengunjung Dongmyo dapat berjalan sebentar ke Dongdaemun (Gerbang Timur), yang terkenal karena Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

27


Seoul adalah sebuah desa metropolis yang masing-masing mempunyai seperangkat aturan dan tujuannya sendiri. Tidak satu pun dari “desa” itu mempunyai banyak kesamaan satu sama lain, selain secara geografis dekat, dan terhubung oleh Metro Seoul. Tetapi itulah cara saya menyukai Seoul.

pasar malam dan pusat modenya. Dongdaemun juga memiliki sisi lain sebagai rumah bagi komunitas imigran dari Rusia, Asia Tengah, dan anak benua India. Dongdaemun adalah tempat untuk beragam pilihan alami dari banyak jenis masakan internasional di Seoul, dan dengan harga yang sangat wajar.

Yeouido Ini adalah distrik keuangan Seoul, semacam tempat yang serius dan penuh akan para maniak-stres, dengan gedung-gedung berstruktur kaca dan baja yang tinggi. Kadang-kadang saya pergi ke sana untuk pertemuan, atau untuk mengenang hari-hari sulit saya sendiri saat bekerja untuk sebuah perusahaan investasi di sana. Tapi ada sisi Yeouido yang lain - karena sebenarnya tempat ini adalah sebuah pulau di Sungai Han, tempat ini adalah sebuah sudut terbaik di kota untuk menikmati jalan-jalan di tepi sungai yang romantis di malam hari. Mereka yang suka roller skating dapat menuju ke Taman Yeouido, sebuah tempat yang panjang dan sempit yang terlihat membagi pulau itu menjadi dua. Tempat ini dulunya adalah lapangan udara, pertama kali dibangun oleh penjajah Jepang dan kemudian digunakan oleh militer Amerika Serikat. Di sisi lain dari taman terletak sebuah kubah Majelis Nasional yang mengesankan, rumah bagi anggota parlemen Korea sejak tahun 1975. Dari sisi Majelis Nasional, secara mengejutkan, inilah tempat yang baik untuk melihat semua jenis demonstrasi. Kantor pusat Partai Saenuri yang berkuasa terletak hanya di ujung jalan; lalu lintas di luar selalu akan diblokir oleh mereka yang menuntut beberapa ketidakadilan yang terjadi. Ketika saya menulis beberapa laporan politik, saya duduk di dekat jendela di kafe terdekat untuk mengambil sedikit konteks saat saya bekerja.

Chungmuro dan Myeong-dong Ketika pertama kali datang ke Seoul, saya tinggal di sebuah flat kecil lantai dua di Distrik Chungmuro. Chungmuro kerap disebut sebagai “Korean Hollywood” karena keberadaan beberapa studio film. Pada kenyataannya, daerah ini tidak terlalu glamor. Tidak seperti taman yang mengarah ke Namsan, gunung yang mencuat tepat di tengah-tengah Kota Seoul. Pada musim dingin tahun 2004 di kala saya menghabiskan satu bulan belajar untuk ujian dan merenungkan berbagai hal, saya berjalan ke atas Namsan setiap pagi untuk melihat-lihat pemandangan seluruh kota. Tidak jauh dari Chungmuro terletak Myeong-dong, kawasan perbelanjaan terkenal yang sekarang dianggap sebagai titik perhentian wajib oleh turis Jepang dan China. Setiap kali saya perlu sentakan keriuhan berisi sepuluh orang permeter persegi, yang tergila-gila pada lampu neon, saya pergi berdesak-desakan ke Myeong-dong, dengan harapan muncul tanpa cedera di suatu tempat dekat Hotel Lotte di Mugyo-dong. Mugyo-dong itu sendiri menarik, terutama untuk daerah makanan jalanan dan pojang-macha (bar tenda) di luar ruangan, tempat keluyuran favorit saya selama bulan-bulan musim panas. Pihak berwenang Seoul telah memblokir seluruh jalan dan menetapkannya sebagai “zona budaya kuliner,” namun jangan biarkan hal itu membuat Anda berkecil hati – justru di sinilah daya tarik sebenarnya.

Stasiun Gangnam Meskipun saya tidak benar-benar bergaya “Gangnam Style,” sulit bagi saya untuk tidak mengulas daerah sekitar Stasiun Gangnam sebagai bagian dari saya, “Seoul saya” sewaktu dulu bekerja di Samseong-dong di sekitar kompleks perbelanjaan COEX. Dan setiap kali saya dan rekan kerja ingin mencicipi masakan beruap,

28

S e n i & B u d a y a Ko re a


kami akan menuju Gangnam untuk makan samgyeopsal (perut babi panggang) dan soju . Setelah itu kami bisa pergi ke “Noraebang” mewah (ruang bernyanyi), yang menyediakan es krim gratis untuk menenangkan pita suara pengunjung yang tegang. Belakangan, ada alasan lain untuk berjalan-jalan di Stasiun Gangnam. “Bam-gwa Eumak-sai ” (arti harfiahnya “antara malam dan musik”) adalah sebuah klub yang memainkan musik pop Korea lawas dari tahun 1980-an hingga 1990-an. Korea, tampaknya, baru saja mulai bernostalgia setelah bertahun-tahun hanya melihat ke depan - maka tempat-tempat seperti ini hadir. Mereka yang berkumpul di sini berusia sekitar 30 tahun ke atas, memiliki kenangan masa kecil yang dipicu oleh setiap lagu drama yang dimainkan DJ, membuat suasana menjadi menyenangkan dan ramah. Menjadi orang Inggris dan menghabiskan masa muda di Manchester, saya tidak bisa merasakan keriuhan kembali hits tahun 1984 “Bingeul Bingeul” yang dinyanyikan Nami, tapi saya senang berada di sana dengan mereka yang menikmatinya. Melihat kembali survei singkat ini, saya menyadari bahwa tidak satu pun dari “desa-desa” ini memiliki kesamaan satu sama lainnya, selain dekat secara geografis, dan terhubung dengan Metro Seoul. Tapi itulah yang saya sukai. Saya tidak bisa mendeskripsikan Seoul sebagai satu definisi yang khusus, dan tetap mencintai kota ini karenanya. Seoul memiliki kapasitas untuk menjadi segalanya bagi semua orang. Jadi, apa makna Seoul bagi Anda? Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

Penggemar sepeda beristirahat di Taman Pinggir Sungai Han di seberang Yeouido, kota finansial Seoul.

29


Resensi Seni

Goryeo Celadon :

Sebuah Keanggunan yang Lembut “The Best Under Heaven, Celadons of Korea” merupakan pameran khusus yang dipersembahkan oleh Museum Nasional Korea dari 16 Oktober hingga 16 Desember 2012. Museum ini dibangun seiring dengan berdirinya lembaga beasiswa untuk bidang tersebut sejak tahun 1990-an. Pameran yang dibagi menjadi empat tema, yaitu “Kronologi,” “Fungsi,” “Tatanan,” dan “Mahakarya” ini menawarkan beberapa pendekatan untuk memahami Celadon dari zaman Goryeo, yang menandai puncak seni keramik Korea. Lee So-young, Kurator, Metropolitan Museum of Art, New York City Foto dari Museum Nasional Korea

1

S

eberapa universalkah daya tarik Celadon Goryeo? Untuk menjawab pertanyaan ini, orang dapat mengutip sarjana Inggris yang terkemuka sekaligus promotor dan kolektor keramik Korea, G. St GM Gompertz, yang membuat pengamatan berikut dalam buku monumentalnya, Celadon Korea dan Barang Lain dari Periode Goryeo (1963), yaitu: “Sulit untuk menjelaskan daya tarik perkakas celadon Korea untuk orang-orang yang belum mengenalnya ...penting sekali untuk menyatakan bahwa barang-barang Korea ‘menunggu kedatangan Anda.’ Daya tarik khusus mereka berasal dari kehalusan bentuk, garis dan warna, dan efek ‘tenang’ yang dihasilkan.” Keanggunan yang halus, bukan kemegahan flamboyan, menjadi ciri estetika Celadon dari Goryeo.

Awal Persepsi Barat Lebih dari setengah abad sebelum pernyataan Gompertz, para penjelajah Barat periode awal dan pengagum Asia Timur telah menemukan ciri khusus dari seni Korea. Kebanyakan dari mereka, bagaima-

30

napun, tidak banyak yang tahu tentang budaya Korea dan sejarahnya, juga banyak yang tidak pernah mengunjungi negara itu. Sebagian besar mengenal Celadon Goryeo melalui para cendekia, penjual, dan kolektor dari Jepang. Salah seorang dari mereka adalah Yamanaka Sadajiro (1866-1936), yang memiliki berapa toko di dua kota, New York dan Boston. Ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam membentuk koleksi seni Korea di Amerika selama awal abad ke-19 hingga ke-20. Di Amerika Serikat, pendukung dan kolektor seni Jepang yang terkenal seperti Edward Sylvester Morse (1838-1925) dan Charles Lang Freer (1854-1919) - yang masing-masing koleksinya sekarang dipajang di Museum of Fine Arts, Boston, dan galeri Freer and Sackler di Washington DC, adalah di antara yang pertama “mengungkap” Celadon dari Goryeo. Di antara para kolektor awal, Freer cukup terfokus. Perakitannya lebih dari seratus buah, dengan mayoritas keramik yang ia beli dari Yamanaka di New York. Pecinta keramik China juga mulai menghargai Celadon dari Goryeo. Sebagai contoh, di Eropa terdapat S e n i & B u d a y a Ko re a


1. Guci Celadon dalam Bentuk Dragon-Carp (IkanNaga). Titik dan garis-garis di tanah liat putih menonjolkan sirip dan ujung ekor. Tinggi: 24,4 cm, diameter: 13.5cm. Koleksi Museum Nasional Korea. 2. Gadis Celadon berbentuk Penitis Air. Topi baja berfungsi sebagai penyumbat; air keluar dari bagian atas botol yang terbuka yang ditimang tangan mungil seorang gadis. Koleksi Museum Keramik Oriental, Osaka, Jepang.

Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

2

31


1

George Eumoforpoulos (1863-1929) dengan koleksi keramik yang saat ini dibagi-bagi ke British Museum dan Museum Victoria and Albert, juga ke Amerika. Sementara koleksi Charles Bain Hoyt (1889-1949) kini menjadi milik Museum of Fine Arts, Boston. Kolektor lebih eklektik lainnya dengan minat utama pada seni Eropa, juga mencoba mengoleksi celadon Korea. Lebih luar biasa lagi, beberapa orang secara individual mengadopsi keramik Korea, termasuk celadon, sebagai ketertarikan utama mereka setelah tinggal atau melakukan perjalanan di Korea. Selama lebih dari beberapa abad terakhir jejaring para kolektor seni, penjual, dan kurator museum yang cukup kuat telah membantu membangun lembaga Celadon Goryeo yang cukup berpengaruh di Barat - dalam proses pembentukan apresiasi yang berkembang dari bentuk seni ini.

“The Best Under Heaven, Celadons of Korea” Di masa kini, Celadon Goryeo masih merupakan salah satu kategori seni yang diakui secara baik di Korea dan yang paling terlihat mewakili Korea di museum di seluruh Eropa dan Amerika Utara. Pengunjung museum tersebut terkesan dengan luas dan kedalaman seni Celadon Goryeo yang ditampilkan oleh Museum Nasional Korea di pameran dan katalog yang terbit baru-baru ini, “The Best Under Heaven: Celadons of Korea” sebagai salah satu survei yang paling komprehensif dan terkini mengenai genre ini. Dengan menampilkan bendabenda dari museum pilihan di Korea dan Jepang, yang sebagian besar dimiliki oleh Museum Nasional Korea, pameran ini juga memperlihatkan kelompok benda seperti “bisaek,” yang konon berasal dari makam Raja Injong (r. 1.122-1.146). Karya ini terkenal dengan bentuknya yang

32

kokoh, memakai palet warna yang tenang, dan merupakan karya yang sering dilihat oleh penikmat. Bentuknya seperti pembakar dupa berbentuk singa. Singa itu merupakan kombinasi menawan antara martabat dan pesona dengan glasir hijau yang bercahaya. Sementara, Maebyeong dengan Desain Awan yang Tumpang Tindih dan Burung Bangau, mungkin merupakan salah satu contoh yang paling terkenal dari hiasan Celadon Goryeo. Gambar sebuah kapal megah dengan pola burung bangau terbang dan awan tipis di seluruh permukaan, di dalam dan di luar bulatannya, mengingatkan kepada desain tekstil. Ada juga guci berbentuk labu dengan tutup dan tatakannya, yang menggambarkan animasi tokoh anak laki-laki menuangkan anggur yang berputarputar secara berirama, yang ditunjukkan oleh semburat warna merah tua. Benda-benda tadi dipamerkan bersama dengan karya-karya yang lebih unik. Misalnya, sebuah kotak yang dihiasi ornamen berbentuk bunga berwarna merah tembaga, menunjukkan teknik yang sulit untuk dikerjakan dengan sukses, yang membuat bunga itu seakan tampak hidup. Selain itu juga ada patung Lohan, lambang yang memperlihatkan Goryeo sebagai karya seni dari dinasti Buddhis, membingkai kualitas pemikiran istimewa dan ekspresif dari lohan, atau arhat, dikerjakan dalam inkripsi atau tulisan seperti Dish. Patung ini mungkin bukan contoh celadon yang terbaik, tetapi inkripsinya penting sebagai prasasti yang menandakan fungsinya sebagai wadah yang digunakan dalam upacara Taois.

Pameran Besar di Amerika dan Eropa Beberapa objek yang ditampilkan dalam pameran terbaru di Seoul, S e n i & B u d a y a Ko re a


1. Pembakaran Dupa Celadon dengan permukaan dikelilingi singa. Pembakaran dupa dibuat terutama dengan logam sebelum lebih lanjut dikembangkan teknik celadon yang mengarah pada kreasi barang dengan hiasan yang rumit pahatan angka binatang. Abad ke-12, Tinggi: 21.1cm. Koleksi Museum Nasional Korea. 2. Celadon Kundika dengan Sembilan Kepala Naga. Botol ritual ini menunjukkan teknik ukiran yang baik dan warna “bisaek� yang berharga dari zaman keemasan celadon Goryeo. Tinggi: 33.5cm. Koleksi Museum Yamato Bunkakan, Nara, Jepang.

Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

2


1

34

1. Celadon Maebyeong dengan Desain Burung Bangau Bertahtakan Awan. Bangau terbang ke atas digambarkan dalam lingkaran pahatan hitam dan putih dan bangau terbang ke bawah diterakan di luar lingkaran. Abad ke-12. Tinggi: 42.1cm, diameter dasar: 17cm. Koleksi Museum Seni Kansong, Seoul. 2. Guci Celadon dalam Bentuk sebuah Immortal. Air dituangkan ke dalam kapal melalui lubang di depan topi baja dan keluar melalui lubang buah persik yang digelar di depan. Pertama pada paroh abad ke-13. Tinggi: 28.0cm, diameter dasar: 11.6cm. Koleksi Museum Nasional Korea.

S e n i & B u d a y a Ko re a


“ ... Seni puritan mungkin lebih terkesan lewat keramik celadon mutiara-hijau yang terkenal, dari botol-botol berbentuk sensual, bahkan sampai genteng-genteng sederhana, yang menunjukkan mengapa Korea dianggap sebagai penghasil tembikar terbaik di Timur Jauh.”

telah bepergian jauh ke Barat. Salah satu acara yang mengesankan adalah “5.000 Tahun Seni Korea” yang diselenggarakan sebagai inisiatif utama dan disponsori oleh pemerintah Korea (termasuk Museum Nasional Korea) yang melakukan tur museum di Amerika Serikat tahun 1979-1981. Sebagai sebuah inspirasi bagi banyak orang yang melihatnya, pameran ini membantu menyisipkan Korea dalam pemahaman mereka terhadap budaya Asia Timur. Pameran ini menampilkan beberapa contoh paling canggih dari Celadon Goryeo - termasuk yang ditampilkan dalam “The Best Under Heaven” seperti Maebyeong dengan desain hiasan Bunga Peoni dan dekorasi cat berwarna tembaga. Ulasan dari majalah People pada tahun 1979 melaporkan dari pameran di Amerika: “Kelompok Puritan Seni mungkin lebih terkesan oleh mutiara hijau keramik celadon terkenal, dari botol yang berbentuk sensual hingga atap dengan berbagai macam tipe yang sederhana, yang menunjukkan mengapa orang Korea dianggap sebagai perajin tembikar terbaik di Timur Jauh.” Sebuah pameran paralel pendukung yang berjudul “Harta Karun dari Korea: Seni Selama 5.000 Tahun” berlangsung di London pada tahun 1984. Beberapa karya dari koleksi Jepang yang termasuk dalam “The Best Under Heaven, Celadons of Korea” juga diakui di Barat, terutama dari koleksi Ataka yang terkenal di Museum Keramik Oriental di Osaka. Penetes air berbentuk anak laki-laki dan anak perempuan yang terkenal itu, merupakan salah satu contoh terbaik dari Celadon Goryeo, yang halus lembut dan ilusif. Setiap detail dari fitur wajah tokoh ke lipatan atau pola kecil pada jubah mereka, dengan hiasan warna periuk celadon yang agung, membuktikan kepiawaian tangan dari sang ahli tembikar. Pasangan ini dan karya yang luar biasa lainnya dari koleksi Ataka telah ditampilkan di museum di Amerika Serikat. Terakhir diselenggarakan di Metropolitan Museum of Art pada 2002. Sebelum tahun 1980-an, presentasi seminar keramik Korea di Amerika Utara dilangsungkan pada tahun 1968 dengan judul “The Art of the Potter Korea” oleh Robert P. Griffing, Jr dan ditampilkan di Gallery House Asia dari masyarakat Asia di New York. Semua benda dalam acara ini berasal dari 27 museum besar di Amerika dan koleksi pribadi termasuk dari Art Institute of Chicago, Avery Brundage Foundation di San Francisco, Museum Brooklyn, Museum Seni Cleveland, Honolulu Academy of Arts, Philadelphia Museum of Art, Metropolitan Museum of Art, dan Museum of Fine Arts, Boston. Saat ini koleksi berKo r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

pengar uh dar i Celadon Gor yeo sudah merambah di Amerika Serikat. Namun, ruang yang ditujukan untuk seni Korea masih sedikit. Sebagian besar benda-benda itu tidak ditampilkan kepada publik dengan cara yang menarik. Pameran ini, bagaimanapun, dikerjakan bersamasama bagi masyarakat umum dengan menampilkan seperangkat Celadon Goryeo dan akhirnya diapresiasi oleh para kolektor dan kurator Amerika.

2

Sebuah Apresiasi Pembaruan Hal utama yang pertama kali memikat para pengagum celadon Goryeo dari Barat masih bergema bersama para pecinta seni masa kini: keindahan glasir halus hijau, imajinasi dan permainan dalam bentuk atau desain, dan dekorasi tatahan yang inovatif. Apa yang berbeda hari ini adalah konteks - pemahaman yang lebih baik tentang sejarah dan estetika celadon Korea. Seni Korea pada umumnya memang telah membawa penghargaan dan banyak lagi nuansa baru. Peran para pembuat pertama yang lebih besar bagi benda seni juga pastinya telah membantu. Daftar galeri yang semakin panjang didedikasikan untuk seni Korea di museum di seluruh dunia berarti ruang yang lebih luas bagi tampilan Celadon Goryeo, yang membuat pengunjung lebih lama menikmatinya. Intensitas pertemuan dalam mengapresiasi seni ini membuahkan keakraban dan seringkali rasa sayang. Di sini pun dapat digali pengetahuan yang lebih dalam tentang bagaimana sebuah benda dibuat dan digunakan untuk membantu merekonstruksi kisah hidup mereka. Ironisnya, sifat Celadon Goryeo yang “tenang” ini agak menutupi daya tariknya yang menggiurkan bagi penikmat seni abad ke-21, bagai tawaran sebuah misteri dalam dunia yang penuh dengan lampu terang dan hiruk-pikuk.

35


PADA TAHAP GLOBAL

1

Kegembiraan Dominic Pangborn yang Tak Terduga

Dominic Pangborn, seorang artis dari Detroit, seorang designer grafis, pengusaha dan pilantropis, duduk dengan Koreana mendiskusikan pandangan-pandangan dan filsafat yang terkait dengan suatu hal yang sangat berharga tapi berjuang untuk menghadapi perbedaan ras yang dilakukan oleh seorang Korea yang diadopsi pada usia 10 tahun dan mengubahnya menjadi seorang yang sukses secara global dalam berbagai arena. Maya West, Penulis dan Penerjemah; University of Michigan M.F.A. | Foto dari Pangborn Design

36

S e n i & B u d a y a Ko re a


1. Desainer, artis, dan wirausahawan Dominic Pangborn di studio Detroit-nya. 2. Pangborn menandai karya pertamanya di kancah busana internasional pada awal tahun 1980-an lewat dasinya –suatu prestasi yang membuatnya mendapatkan julukan “The Guy Tie.”

2

S

etiap hari Sabtu, di Korea, pada setiap pukul 19.10, KBS1 menyiarkan “Zaman Kesuksesan Global,” sebuah program dokumen layar televisi yang menampilkan kisah-kisah kesuksesan orang Korea dari berbagai belahan bumi. Pada musim gugur tahun 2011, salah satu kisah sukses itu tentang Dominic Pangborn, seorang artis yang berasal dari Michigan dan desainer yang pertama datang ke Amerika sebagai seorang Korea yang diadopsi. “Hal itu sangatlah gila” Pangborn menuturkan, manakala kami duduk untuk sebuah interviu di kantor pusat Pangborn Design yang cantik di Detroit. “Setelah pameran ditampilkan, saya dapat setidaknya 2000 teman facebook baru, semalam.” Dan dia kemudian apakah menerimanya ke-2000 permintaan untuk pertemanan itu? “Tentu” dia menjawab, sambil tersenyum, “dan saya melihat pada setiap profil teman baru itu!” Berapa lama dia melakukan itu? “baiklah, saya sebetulnya tidak terlalu banyak tidurhanyalah beberapa hari. “Kebanyakan respon terhadap facebook itu dilakukan pada pukul 4.00, pukul 5.00 di pagi hari.”

Sebuah Kisah Sukses Sekarang dalam usianya yang ke-60-an Pangborn dengan mudah melewati umur 45-nya, bahkan dengan rambut putihnya yang keperakperakan, vital, barangkali, kata yang terbaik untuk mendeskripsikan sosoknya. “Saya sangat, sangat cepat dengan apa yang saya lakukan,” katanya, “Saya berhubungan dengan segala hal yang cepat.” Sesungguhnya, makna cepat, adalah sebuah momentum, hadir dalam karakter kehidupan dan jejak profesionalnya yang telah lama. Sebagai anak berumur 15 tahun di Jackson, Michigan, dan masih dengan masih dengan bahasa Inggris yang tidak bagus, dia telah menjadi manajer dalam waktu beberapa bulan ketika dia memulai kerja di Mc Donald lokal (“saya betul-betul menghargai Mc-Donald, Anda tahu?” Ia menambahkannya, “maksud saya, itu betul-betul satu pekerjaan dari seorang yang jenius, mendapatkan 4 minggu pelatihan hanya beberapa jam setiap minggunya, dapat mengubah seorang remaja menjadi seorang manager fungsional!). dan ketika sebagai seorang mahasiswa baru di sebuah kota besar yang mengikuti satu perkuliahan di Chicago Academi of Fine Arts di Chicago, Pangborn mendapatkan satu kesempatan magang pada sebuah studio desain kecil untuk tiga dolar sejamKo r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

nya, segala sesuatu bergerak sangat cepat. “12 bulan setelah saya memulai bos saya datang menghampiri dan berkata: ‘apakah Anda sudah mendengar?sekarang Anda bos saya.’ Pangborn tertawa. “dia mengundurkan diri, tentunya.” Tiga tahun kemudian, ketika Pangborn lulus sebagai sarjana desain grafis, dia masuk ke lapangan pekerjaan dengan tiga tahun pengalaman kerja, tidak hanya sebagai kepala desainer dari satu perusahaan tapi juga sebagai kepala pemasaran. Apa yang telah dimulainya sebagai seorang magang dalam desain telah berkembang menjadi seseorang yang bertanggung jawab pada bangunan dan manajerial dari perusahaannya sendiri, dari atas sampai bawah. Setelah dua tahun kemudian, tahun dia menikah, dia pindah ke Detroit, dan menjadi salah satu pemimpin perusahaan yang senior pada perusahaan yang lebih besar lagi, dan itulah saat-saat yang penting: pada tahun 1979, masih di usianya yang dua puluh, Dominic Pangborn mendirikan Pangborn Design Ltd. – dia ada di jalan yang tepat. Sekarang, Pangbor Design merupakan bisnis yang penting dengan segudang pengalaman tidak hanya dalam desain grafis akan tetapi juga dalam desain kemasan, desain produk, dan marketing. Apalagi, pada masa-masa sebelumnya, sejak Pangborn muda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Detroit dia telah memelihara kehadirannya secara aktif di masyarakat luas, melayani lebih dari 50 kelompok dan majlis yang berbeda pada saat yang sama dan memelihara jaringan dengan organisasi-organisasi Pilantropis (“saya sangat kaget pada diri sendiri,”) dia menambahkan sambil melihat pada keheranan saya. “tapi itu semua apa yang dikatakan oleh teman-teman saya sendiri setelah melakukan satu kalkulasi!. “Lima puluh!” berinvestasi dalam pendidik-an, dia sering bepergian untuk bicara dengan para pelajar di sekolah dan universitas, dan dia juga telah diberi penghargaan oleh majlis Detroit Regional, dengan sebuah anugerah “Emerging Global Leader Award.” Dan betul-betul, bahkan dalam kapasitasnya yag tidak terlalu formal, Pangborn telah menjadi seorang pemimpin dalam bidang-nya untuk renaissance budaya yang tumbuh cepat (harga sewa yang murah) sekarang mulai menarik perhatian artis-artis yang sedang berkembang untuk datang ke Detroit dari wilayah negara bagian lainnya. Ketika untuk pertama kalinya menemukan sebuah bangunan putih

37


yang mencolok di distrik Revertaun Warehaouse yang bakal menjadi kantor pusat perusahaannya, tempat itu pernah terendam tiga kaki di bawah air dan atapnya rubuh. Dia membelinya, sungguhpun begitu, berinvestasi di dalamnya dan merenovasinya, mengubahnya menjadi ruang galeri dan studio yang segar dan menarik. Sepanjang sisi salah satu dindingnya, sebuah ruangan yang cerah tempat kami duduk berbicara, sebuah display berwarna dari Pangborn-Design tergantung dan tertorehkan gambar Meski dengan kapasitas kurang, Pangborn menjadi salah satu pelopor atas berkembangnya pencerahan kebudayaan (cultural renaissance) (dan sewa murah) yang saat ini mulai menjadi daya tarik bagi para artis dari negara bagian lain ke Detroit. Sepanjang dinding, sebuah ruang terang tempat kami duduk dan berbincang, tampilan warna-warni dasi dan syal yang dirancang Pangborn begitu memikat pandangan. Semuanya itu merupakan rancangan yang sama yang Pangborn buat untuk pertama kali kemudian ia lempar ke skala global, hingga membuat dirinya menjadi sosok terkemuka di dunia model pada awal tahun 1980-an. Kejeliannya terhadap warna dan pola segera membuat koleksinya diterima oleh pengecer kelas atas seperti Saks Fifth Avenue dan Nordstrom. Hingga kini, bahkan setelah lebih dari 30 tahun kemudian, aksesoris Pangborn menjadi sebuah porsi yang signifikan dalam hal pendapatan perusahaan. Ketika ditanya mengenai kisah suksesnya di dunia model dan panggilan kenamaanya “Lelaki Pembuat Dasi” (The Tie Guy), Pangborn hanya menggeleng ringan. “Itu hanya sebuah kebetulan. Saya hanya melakukannya untuk tujuan bersenang-senang, namun karya itu malah diterima banyak orang.” Ia kembali bersandar di kursinya. “Kau tahu, jika aku menulis buku tentang hidup yang kualami, maka aku akan memberinya judul Kebetulan yang Menyenangkan (Accidental Happiness).”

1

Kebetulan yang Menyenangkan “Baik, sebagai permulaan, aku adalah anak dari kebetulan,” lanjut Pangborn dengan senyum getir. “Semoga itu merupakan sebuah kebetulan yang membahagiakan. Saat itu bertemulah seorang lelaki dan perempuan, seorang Amerika GI dan ibuku. Aku tidak tahu pasti bagaimana kisah pertemuan mereka; dan aku pun tidak begitu peduli. Aku hanya turut senang hal itu telah terjadi.” Setelah itu, lahirlah Jeong Seong-hoon pada tahun 1952 di Provinsi Chungcheong, sebuah tempat Dominic Pangborn menghabiskan 10 tahun pertama dalam hidupnya dengan terisolasi dalam banyak hal dari dunia luar. Di desa kecilnya, sebuah desa yang hanya terdiri atas kurang lebih selusin keluarga, isu terkait ras campuran jarang menjadi sebuah masalah. “Kami bersembunyi, seperti salah satu suku tertinggal, dan kami saling menjaga satu sama lain,” paparnya. “Sepertinya, ini hanya masalah ikatan antarklan. Kami adalah klan Jeong, dan desa tetangga kami adalah klan Kim dan klan Park.” Dapatkah kau bayangkan, bagaimana ia tidak pernah boleh merasa terganggu? “Sepasang Kim, merekalah salah satu yang dapat kuingat. Ada dua anak laki-laki dari klan Kim yang menyakiti ususku dan mereka biasa memanggilku dengan miguk-nom yang artinya Amerika keparat.” Ia lalu mengangkat bahu. “Sejujurnya itu tak pernah menggangguku. Malah mungkin jauh lebih mengganggu untuk ibuku dibanding diriku sendiri.” Mungkin faktor inilah yang membuat ibu Pangborn berpikir, di tahun 1962, untuk menyerahkan Pangborn agar diadopsi. Seorang anak dewasa sebelum waktunya, itulah Seong-hoon muda. Ia mengikuti ujian masuk sekolah di desa dan selalu ditunjuk menjadi ketua kelas (sebuah kehormatan yang diberikan untuk siswa paling berbakat). Sebuah potensi akademik yang bagaimanapun mampu menarik perhatian seorang misionaris Katolik Amerika di desanya, yang mendekati ibunya untuk memintanya: misionaris itu akan membawa Seong-hoon


muda kembali ke Amerika dan akan menempatkannya pada keluarga yang baik yang dapat mendukungnya di setiap kesempatan, sehingga dapat membantunya menghindari stigma dan kesulitan menjadi seorang anak ras campuran di Korea. Ibu Pangborn kemudian menyerahkan keputusan tersebut pada anaknya: ia dapat tinggal atau pergi, bergantung pada keputusan yang diambilnya. Pada usianya yang baru 10 tahun, tidak tahu apa pun tentang dunia luar kecuali desanya, tidak mampu berbahasa Inggris satu kata pun, seorang anak lelaki memilih pergi. Keluarga Pangborn telah memiliki 11 anak biologis ketika Dominic diterima menjadi seorang anggota keluarga. Bertahun-tahun kemudian, Pangborn menjadi seorang anak laki-laki yang paling berterimakasih atas usaha dan perhatian yang telah diberikan selama ini; dua atau tiga kali dalam sebulan ia membuat janji untuk menjenguk ibu angkatnya di Jackson. Meski saat itu, transisi merupakan proses yang begitu sulit. Dalam satu gerakan, terangnya, “Saya berubah dari orang yang pintar menjadi orang yang bodoh. Saya tidak dapat membaca dan berbicara. Saya tidak mengerti apa pun. Saya merasa menjadi seorang idiot.” Ia menuturkan kisah yang masih ia ingat dengan jelas bahwa saat itu ia harus kembali menjadi siswa kelas empat, “Itu rasanya seperti kemunduran lainnya, kau tahu?” Bila melihat ke belakang, sebenarnya ada kemunduran lainnnya. Namun saya menganggapnya sebagai kebetulan yang menyenangkan dan ternyata itulah yang membuat IPK saya meningkat. Lalu, sebagai siswa tingkat dua di SMA, Pangborn mengambil kelas seni untuk pertama kalinya. “Saya mengerti, setiap orang dapat menggambar! Ya, setiap orang mampu menggambar!” Peristiwa itulah, tentunya di kelas itu, saat pertama kali Pangborn menyadari bakat yang dimilikinya. Terlebih lagi, pada beberapa tahun kemudian, pada minggu pertamanya di Chicago Academy of Fine Arts, ia menyadari bahwa tidak ada rekan Amerika dan rekan Inggrisnya yang memiliki karya lebih baik baik darinya. “Aku paham apa yang dikatakan guru bahwa ia menyatakan karya ku lebih baik dari mereka.” Sepanjang karier yang selalu diikuti dengan kesuksesan, orang sering kali bertanya pada Dominic Pangborn di mana ia mendapatkan inspirasi untuk seninya. Ia pun selalu menjawab mereka dengan, ‘Semua itu datangnya dari Korea.’ “Kau harus paham,” ujarnya kepadaku, “bahwa kembali ke zaman lima puluhan, ketika banyak negara dibumihanguskan – wow, itu sangat hebat. Dari situlah kreativitas berasal. Ketika kau tak memiliki apa pun, kau harus berpikir untuk menemukan sesuatu. Kau tak bisa hanya berkata, baiklah saya akan pergi saja untuk membeli ini atau itu. Kau perlu membuat kelereng dari tanah liat di pinggir sungai. Kau akan mengerti bagaimana cara membuat lampu minyak untuk ibumu. Ingatan itulah yang hingga kini masih terlihat jelas daripada apa yang terjadi kemarin.”

2

3 1. “All Good Things” (2010), 30 x 60 x 10 cm, seni 3D pada aluminium, media campuran. Pangborn menata setiap panel dari ilusi optik individu dengan tangan, dari lembaran tipis aluminium. 2-3. Desain Pangborn merambah memasuki peralatan rumah tangga, termasuk perangkat minum teh yang lebih tradisional dan modern.

Ratusan Anak Panah Pangborn tiba-tiba memadamkan lampu, kemudian ruang studio tambahan yang berbentuk cekung itu berubah menjadi muram, hampir gelap. Cahaya musim dingin yang begitu lemah memaksa masuk Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

39


1. Akar desain grafis Pangborn ini tampak jelas dalam beragam aksesorisnya. 2. “Lisa’s Garden” (2005), 60 x 90 cm, minyak di atas kanvas. Minyak dan akrilik kontemporer di antara lukisan seni rupa terbaru Pangborn.

1

lewat jendela-jendela tinggi yang mampu membiaskan cahaya tanda sore bergulir menjadi malam. Semua lukisan di sekitarku kini mulai memendarkan cahaya. Bunga dan kupu-kupu muncul entah dari mana, dan ketika aku terkejut, Pangborn hanya tertawa, menggembirakan – sebuah tawa layaknya seorang anak kecil. Sebuah fakta terkuak dari sini, ketika aku diajak berkeliling galerinya, begitu mudah membayangkan seorang anak kecil yang dengan gembira membuat kelereng dari lumpur yang ia dapatkan dari sungai: dan ketika tahun-tahun berlalu, matanya terang bersinar, sikapnya selalu seperti bermain. Sangat jelas terlihat, Dominic Pangborn mencintai apa yang ia lakukan. Hanya sampai lima tahun yang lalu, ketika seni halus hanya menjadi hobi bagi Pangborn, sementara desainlah yang menjadi bisnisnya. Ketika perubahan besar-besaran menyapu pasar desain, bagaimanapun, dengan perkembangan yang begitu cepat akibat adanya template yang dapat dibuat sendiri dan ketersediaan program-program komputer, Pangborn akhirnya memutuskan untuk berubah haluan – dan sisanya, seperti yang ia jelaskan, adalah sejarah. Bukan sesuatu yang melebih-lebihkan ketika harus mengakui bahwa lukisan Pangborn, beberapa di antaranya ada di galeri Michigan-based Park West, merupakan sebuah kesuksesan yang luar biasa. Dan dengan berkeliling studionya, kita akan dengan mudah tahu jawabannya. Karyanya, yang meliputi setiap gaya imajinasi virtual lukisan maupun media campuran (termasuk seni pahat hingga karpet yang kuinjak), menggambarkan keseimbangan yang luar biasa atas bakat seni dan kecerdasan berbisnis yang dimilikinya. Ini adalah seni untuk melibatkan diri, untuk bersenang-senang, ketimbang hanya untuk pamer atau bahkan untuk mengintimidasi. Contoh pada salah satu rangkaian karya 3D-nya, Pangborn menciptakan ilusi untuk lorong galeri agar terlihat mundur dengan kecerdasan teknik manipulasi dari berbagai sudut: sebuah trik visual yang menciptakan sensasi seolah ditarik masuk ke dalamnya. (Karya serupa ini setinggi 40 kaki saat ini tergantung di Marlins Ballpark Miami). Masih dari denyut yang sama, kupu-kupu dan bunga yang bersinar, yang dapat dilihat dengan jelas lewat teknik bersinar dalam gelap lewat media lukisan, terlihat seperti sebuah kerdipan dari Pangborn untuk pembelinya: sebuah cara agar terhubung. “Kau tahu, saya hanya melakukan semuanya dalam satu waktu,” tuturnya ketika saya menunjukkan ekspresi terkejut pada banyaknya jumlah dari projek yang berbeda di sekitar kami. “Atau lebih tepatnya,

40

tidak semuanya dalam satu waktu, melainkan beberapa karya dalam satu waktu. Bila Anda menembakkan ratusan anak panah pada satu target, paling tidak ada satu yang akan tepat sasaran. Dan siapa yang menyangka bila salah satunya mengenai mata seekor banteng.” Ini adalah filosofi hidup optimisme yang tidak pernah mati, sebuah energi yang tidak pernah padam. “Ada banyak pencemooh di luar sana,” papar Pangborn. “Tanggapanku adalah jika kau berpikir dapat melakukan sesuatu lebih baik lagi, maka teruslah melangkah dan berkaryalah.” Bisa dibilang, sikap serupa lah yang memancing perdebatan mengenai proses adopsi internasional di Korea, sebuah isu yang dekat di hatinya. Bagi Pangborn, membatasi kesempatan adopsi internasional seperti itu (terkait dengan promosi adopsi orang lokal) sama halnya dengan menjauhkan kesempatan bagi anak-anak untuk melakukan hal yang serupa dengan dirinya, yaitu untuk melangkah dan berbuat lebih baik lagi. Berangkat dari riwayat adopsi dari keluarga yang sebenarnya masih ada di Korea, pendapat ini merupakan hal yang menarik; terlepas dari apakah pendapat itu positif atau tidak, pengalaman pribadi Pangborn sangat jauh dari kepedihan. Contohnya, ketika ia kembali ke Korea untuk pertama kalinya di awal tahun 1980-an, akhirnya ia dapat merasakan sebagai seorang yang memiliki banyak uang untuk membahagiakan keluarganya, waktu ketika ia pikir talah terlambat selama lima tahun. Ibunya, tanpa sepengetahuannya, telah tiada. “Aku cinta ibuku,” tuturnya. “Dan aku berharap … Begini, kita dapat mengharapkan banyak hal. Tapi kau tahu, orang tuamu juga yang telah mengangkatmu. Aku tidak kehilangan ibu dengan proses adopsi yang ku alami, malah aku mendapat ayah dan ibu baru.” “Aku sering menggunakan kata ‘evolusi’; itulah yang dapat menggambarkan keseluruhan hidupku. Aku menyukai segalanya mengalir begitu saja dan selalu bersikap fleksibel. Sehingga bila suatu saat aku perlu berubah arah dengan cepat, aku siap melakukan perubahan itu. Jika aku melihat lampu merah ketika mengemudi, aku langsung belok dan berubah haluan – dan kau tahu, aku selalu beruntung!” “Aku dapat mengubah apa pun menjadi hal yang positif,” sergahnya sembari tersenyum sekali lagi. Tentunya, ada sedikit pendapat yang menyatakan bahwa sebenarnya ia telah melakukan hal yang tepat, yang seharusnya ia lakukan.

S e n i & B u d a y a Ko re a


“ Kau tahu, aku hanya mengambil apa pun satu per satu. Atau sebenarnya, satu hal tidaklah terlalu banyak sebagai beberapa hal dalam waktu tertentu. Jika engkau melesatkan seratus anak panah pada satu sasaran, setidaknya sebagian kecil akan terkena. Dan siapa tahu? Bahkan boleh jadi salah satunya tepat sasaran.�

2


TINJAUAN SENI

1


D

i wilayah Gangbuk Seoul masih banyak tersisa ruang-ruang tempat kita bisa menyaksikan dari dekat budaya tradisional Korea. Salah satu darinya adalah Bukchon, tempat ruang kerja para perajin yang bekerja dari generasi ke generasi. Ruang kerja “Geumbakyeon” (Pesta Daun Emas) tempat perajin hiasan foil emas Kim DeokHwan bekerja berbentuk rumah tradisional Korea yang mungil terletak di Gahoe-dong bersebelahan dengan Bukchon.

Lima Generasi Perajin Geumbak atau daun emas adalah sebutan untuk lempeng pipih emas atau teknik pembuatan hiasan foil emas itu sendiri tempat sebongkah emas dipalu untuk dipipihkan dan ditempelkan pada permukaan yang ingin dihiasi menggunakan zat perekat. Di dunia catatan tertua tentang hiasan foil emas ini adalah dari Dinasti Keempat Kerajaan Mesir Kuno (2613 - 2494 SM). Di Korea, dalam catatan “Sejarah Tiga Kerajaan” (Samguk sagi) tercatat bahwa selama pemerintahan Raja Heungdeok (masa pemerintahan 826 - 836) dari Silla Bersatu, berbagai jenis dekorasi hiasan foil emas dibubuhkan pada pakaian berdasarkan status sosial pemakainya sebagai sistem pembedaan status sosial. Jika kita masuk ke Geumbakyeon, sebuah rumah tradisional sederhana, kita dapat melihat beranda dan gerbang tempat dipajangnya berbagai jenis hiasan foil emas. Ada pembatas buku sutra biru dihiasi dengan bunga-bunga foil emas, kotak ponsel berhias foil naga emas, dan dasi kupu-kupu berhias bunga aprikot emas, dan sebagainya yang membuat setiap benda itu lebih unggul daripada benda sejenis umumnya. Gemerlapnya pola emas terasa kehilangan kekuatan saat berlawanan dengan tatapan tajam dari perajin Kim Deok-hwan, pemegang Warisan Budaya Tak Benda Penting No. 19. Perajin Kim Deok-hwan yang pada tahun ini memasuki usia ke 79 mengatakan bahwa tatapan mata itu adalah “berkat bekerja melihat cahaya foil emas sepanjang hidup.” Belakangan ini kerajinan foil emas umumnya dianggap kerajinan sederhana yang dikerjakan dengan mencetak pola emas pada kain, tetapi sebenarnya proses penempelan hiasan foil emas secara tradisional harus melalui berbagai prosedur yang cukup rumit. Jika dilihat dari catatan Dinasti Joseon (1392 - 1910) pada setiap prosedur ada seorang perajin khusus yang ditugaskan, yakni perajin untuk peleburan bijih emas, perajin untuk memipihkan bongkahan

2

1. Citra seekor naga pada emblem yang disematkan pada bagian dada jubah keemasan pakaian upacara ratu karya Kim Deok-hwan. 2. Kim menyentuh sebuah panel kain yang dihiasi daun emas.

Usaha Kerajinan Keluarga yang Diteruskan Lima Generasi Kim Deok-hwan – Perajin Hiasan Emas, Warisan Budaya Tak Benda Penting No. 19 “Geumbakyeon” yang terletak di daerah Bukchon Seoul adalah ruang kerja perajin hiasan foil emas tradisional. Generasi sebelumnya kebanyakan mengerjakan hiasan foil emas untuk pakaian-pakaian kebesaran kerajaan, tetapi sekarang hiasan foil emas ini juga dikerjakan pada kotak ponsel, dasi kupu-kupu, dan sebagainya. Ruang kerja ini terbuka untuk umum. Park Hyun - sook, Penulis Lepas | Suh Heun-gang Fotografer Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

43


1

emas menjadi lembaran tipis, perajin untuk cetakan foil emas pada balok kayu, perajin untuk pembuatan zat perekat, dan perajin untuk membubuhkan foil emas pada kain. “Sekarang saya menggunakan foil emas yang dibeli dari pabrikpabrik dan mengerjakan proses berikutnya. Pekerjaan yang paling sulit adalah memipihkan bongkahan emas murni yang dibungkus dalam kertas murbei setipis mungkin sampai-sampai terbang jika ditiup. Tetapi belakangan ini saya tidak mengerjakan proses itu.” Kim yang sewaktu muda berkeinginan menjadi seorang insinyur karena suka merakit mesin itu memutuskan untuk melanjutkan usaha ayahnya yang semakin lemah karena lanjut usia dan menganggapnya sebagai takdir. “Rasa senang setelah merampungkan pekerjaan yang saya kerjakan segenap hati sepenuhnya adalah milik saya. Tidak akan ada yang tahu perasaan itu.” Belakangan ini sekalipun anak lelakinya Kim Ki-ho, 45, dan menantu perempuannya Park Su-young, 45, yang telah mulai mewarisi kerajinan foil emas ini sejak 10 tahun yang lalu, Kim tetap tidak melepaskan tangannya dari kerajinan ini. Sejarah bisnis keluarga Kim kembali ke 1856, pada masa pemerintahan Raja Cheoljong dari Dinasti Joseon. Kakek buyutnya, Kim Wanhyeong, adalah seorang pejabat yang bertanggung jawab untuk pengadaan perlengkapan upacara atau perayaan kerajaan, dan salah satu tugasnya adalah untuk mengimpor brokat sutra untuk jubah seremonial kerajaan yang ditenun dengan benang emas dari China. Namun, ia sering kesulitan mendapatkan pakaian siap pada waktunya untuk acara resmi kerajaan. Jadi, ia menciptakan alternatif yaitu dengan cara menghiasi pakaian resmi kerajaan dengan hiasan foil emas untuk menggantikan pakaian dengan tenunan hiasan benang emas. Jadi pakaian dengan hiasan foil emas menggantikan kedudukan pakaian tenunan benang emas. Karena emas melambangkan otoritas keluarga kerajaan, maka mulanya proses pembubuhan hiasan foil emas hanya dilakukan di dalam istana. Kakek Kim Deok-hwan, Kim Won-sun, dan ayahnya, Kim Gyeong-ryong, mulai bekerja sebagai perajin hiasan foil emas di istana.

44

Pentingnya Lempengan Foil Emas dan Perekatnya Dalam periode Silla Bersatu (676-935) dan Goryeo (918-1.392), saat agama Buddha berkembang, lukisan keagamaan dan kitab suci sampai jubah biksu-biksu biasanya dihiasi dengan hiasan emas dan perak. Di masa kerajaan Joseon, karena adanya politik yang mengekang agama Buddha, maka otomatis hiasan-hiasan foil emas di kuilkuil Buddha semakin memudar dan akhirnya hanya digunakan sebagai penghias di dalam istana. Tetapi hiasan foil emas tidak digunakan pada pakaian sehari-hari keluarga kerajaan. Hiasan foil emas pada pakaian kebesaran kerajaan juga mencerminkan hierarki pemakainya, sehingga motif bunga hanya digunakan untuk menghias pakaian putri kerajaan, sementara pada pakaian permaisuri hanya diperkenankan motif bunga dan burung phoenix. Dan untuk hiasan pakaian ibu suri digunakan motif bunga, burung phoenix, dan naga. Pada plat pola-pola foil emas ada pula motif-motif kaligrafi, bunga, buah-buahan, burung, serangga, hewan, dan pola geometris yang menunjukkan keistimewaan status pemakainya. “Saya memiliki lebih dari 800 buah plat penyepuhan yang telah dituS e n i & B u d a y a Ko re a


“ Setelah merampungkan pekerjaan tempatku melabuhkan segenap hati, sukacita adalah milikku, dan tak seorang pun akan tahu betapa perasaanku penuh kepuasan.”

Ayah Saya Seorang Seniman, Saya Teknisi

runkan kepada saya dari generasi ke generasi. Bahan pembuat plat itu adalah dari kayu Pirus (Pyrus pyrifolia) yang kuat, dan plat-plat yang sudah jadi itu selalu ditangani dengan hati-hati jangan sampai permukaannya yang berukir rusak. Untuk menjaga plat-plat berharga ini, orang tua saya rela tidak mengungsi sewaktu terjadi Perang Korea.” Proses pembuatan hiasan foil emas kira-kira adalah sebagai berikut. Proses dimulai dengan menggambar pola yang diinginkan pada secarik kertas, kemudian kertas tersebut ditempelkan pada plat kayu untuk diukir, membuat zat perekat untuk dibalurkan pada plat kayu, mencetak pola menggunakan plat kayu pada pakaian tepat di posisi yang diinginkan, membubuhi foil emas pada perekat sebelum zat perekat mengering, kemudian dikeringkan lalu melalui penanganan yang terakhir selesailah semua proses. Sepintas lalu proses ini kelihat-an gampang, tetapi pada masing-masing prosedur dibutuhkan keterampilan tangan perajin serta harus didasari dengan pengetahuan mendalam tentang kualitas kain, sifat emas, karakteristik zat perekat, dan sebagainya. Faktor terpenting dalam prosedur adalah memastikan ukiran di plat kayu emas betul-betul sempurna. Berdasarkan ketebalan kain dan zat pewarna yang digunakan untuk menyepuh kain tersebut, kekentalan zat perekat yang dipakai menjadi berbeda. Kekentalan zat perekat ini berhubungan erat juga dengan cuaca hari pembubuhan foil emas. Kim Deok-hwan telah berkecimpungan dalam zat perekat selama hampir 60 tahun sejak ia mulai kerajinan pembubuhan hiasan foil emas pada tahun 1954, dan menggunakan zat perekat tradisional yang dibuat dari kandung kemih ikan sebelum ia mengembangkan jenis perekat baru menggunakan minyak tanaman dan resin setelah melewati 10 tahun percobaan.

Ayah sang perajin, Kim Gyeong-ryong, termasuk seorang pendiam. Jadi daripada memberikan anaknya penjelasan rinci mengenai prosedur kerja, ia memilih mengajarkan anaknya secara alami dengan mengamati dan membantunya di tempat kerja. “Almarhum ayah saya bukan hanya unggul dalam keterampilan tangannya. Jika saya ingat-ingat kembali, beliau bisa disebut sebagai seorang pengukir yang jenius. Beliau bisa dengan serta merta mengukir ratusan pola yang indah tanpa gambar. Sekalipun besar plat berbeda - beda selalu beliau berhasil mengukirnya dengan proporsi yang tepat dan sempurna. Beliau memiliki kemampuan untuk memindahkan pola yang ada dalam bayangan pikirannya tepat pada plat ukiran.” Didorong oleh kenangan akan kejeniusan ayahnya, pada hari ini juga Kim memimpikan hiasan foil emas yang lebih baik. “Ayah saya adalah seorang seniman, dan saya sendiri adalah teknisi,” ujarnya. Pada awal abad 20, ketika Dinasti Joseon berakhir dan Korea berada di bawah penjajahan Jepang, praktk menghiasi pakaian dengan hiasan foil emas merebak keluar dari keluarga kerajaan hingga rakyat biasa yang juga memakainya pada pakaian untuk upacara pernikahan, peringatan ulang tahun ke-60, dan acara-acara khusus lainnya. Bahkan sampai pada masa kini, beberapa orang masih memakai pakaian berhiaskan foil emas untuk acara-acara istimewa. Dan inilah yang dikatakan oleh Kim. “Orang-orang yang dibesarkan deng-an tradisi mengenakan hanbok tidak melupakan keindahan hiasan foil emas. Hiasan foil emas lebih dari sekdar dekorasi indah. Di masa lalu, nenek seringkali menghiasi pakaian cucu mereka dengan hiasan foil emas untuk ulang tahun pertama mereka. Hiasan foil emas yang dibubuhkan dengan baik tidak akan kehilangan bentuk dan kilau keindahannya sepanjang hidup seseorang.”

1. Jubah merah untuk upacara seorang ratu yang megah dengan daun emas mewah, kreasi Kim berdasarkan pola yang ditemukan pada relik peninggalan Kekaisaran Korea periode akhir. 2. Sebuah pelat penyepuhan berupa burung merak yang terbang di awan (atas) dan jejak daun emas dari piring (bawah)

Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

2


JATUH CINTA pada KOREA

Melihat Korea dari Kaca Mata Puisi Perjalanan Profesor Mahmoud Ahmed Abdul Ghaffar ke Korea berawal pada saat akhir tahun 1990-an ketika ia mulai mengajar bahasa Arab untuk pelajar asing di Universitas Kairo. Para pelajar Korea yang telah mempelajari bahasa Arab darinya, bercerita tentang pengajar bahasa Arab yang berbakat ketika mereka kembali ke negaranya. Inilah yang pada akhirnya membawa Profesor Mahmoud kembali ke Korea pada tahun 2006 untuk mempelajari bahasa dan puisi Korea. Charles La Shure, Profesor, Graduate School of Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies Ahn Hong-beom, Suh Heun-gang Fotografer

P

rofesor Mahmoud Ahmed Abdul Ghaffar bertemu dengan kami di sebuah restoran yang menyajikan masakan Mesir di pusat kota Seoul, secuil cita rasa rumah ketika berada jauh dari kampung halaman. “Anda dapat memanggil saya Mahmoud,” paparnya, sembari menjelaskan bahwa nama dalam bahasa Arab memiliki cara kerja yang berbeda dari nama Baat. “Ghafar” merupakan satu dari 99 nama Tuhan (yang secara literal berarti maha pengampun), sementara “Abdul” diterjemahkan menjadi “hamba.” Ia seringkali dipanggil oleh siswasiswanya dengan sebutan “Profesor Ghaffar,” jadi ia seringkali pula berkata pada mereka dengan tertawa, “Tak perlu begitu, saya bukan Tuhan!” Profesor Mahmoud belajar puisi di Universitas Kairo dan lulus dengan predikat siswa terbaik. Di Mesir, lulusan siswa terbaik di setiap angkatan diminta untuk menjadi asisten pengajar di jurusan mereka. Para siswa ini kemudian diharuskan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang magister dan dilanjutkan lagi pada jenjang doktoral. Sesuai dengan sistem ini, Profesor Mahmoud kemudian direkrut oleh Universitas Kairo untuk mengajar puisi di Departemen Bahasa dan Sastra Arab. Ternyata, jalan inilah yang membawanya hingga ke Korea.

Menyesuaikan pada Budaya Baru Pada tahun 1998, Profesor Mahmoud mulai mengajar bahasa Arab untuk untuk mahasiswa asing. “Saya mencari cara baru untuk mengajar,” katanya, “sebagian besar buku yang ada saat itu hanya meminta siswa untuk membaca lalu mengulanginya. Jadi, saya menggunakan beberapa terobosan dari cara mengajar bahasa Inggris untuk mengajar bahasa Arab. Saya pikir, saya berhasil.” Faktanya pasti demikian, karena mahasiswa Korea kemudian banyak membicarakan tentang pengajar bahasa Arab yang masih muda dan berbakat ketika mereka kembali ke negaranya. Setelah tiga tahun mengajar, kemudian ia diminta oleh Universitas Chosun di Gwangju, sebuah universitas yang menawarinya untuk mengajar bahasa Arab sembari menyelesaikan doktornya dengan jalur beasiswa. Kajian yang didalaminya kemudian membawanya pada Universitas Myongji di Seoul karena di sana tidak ada profesor Korea yang ahli dalam bahasa Arab yang dapat membimbingnya dalam pembuatan disertasi di Universitas Chosun. Ia tiba di Korea pada tahun 2006 dan akan kembali ke Mesir pada bulan Juli tahun ini. Bukan hal yang mudah untuk hidup di Korea bagi Profesor Mahmoud. Sebagai seorang muslim, kendala makanan –khususnya larangan meminum minuman beralkohol – menjadi tantangan tersendiri baginya untuk beradaptasi dengan masyarakat Korea. Ia membutuhkan waktu agar terbiasa dengan perbedaan budaya yang terjadi antara Arab dan Korea. Orang

46


Arab cenderung lebih terbuka, katanya. “Di sini, satu-satunya orang yang sudi berbincang denganmu hanyalah pengemudi taksi.” Selain itu, ia menyatakan dirinya sebagai orang rumahan. “Selama saya memiliki buku, musik, dan makanan, saya sangat senang berada di rumah. Kadang, saya hanya pergi keluar rumah hanya untuk membeli barangbarang yang saya butuhkan tanpa mempedulikan apa yang sesungguhnya sedang terjadi di luar.” Meskipun mendapatkan kesulitan untuk melakukan penyesuaian terhadap budaya dan masyarakat Korea, ia adalah mahasiswa yang rajin. Hal pertama yang dilakukan olehnya adalah mempelajari bahasa Korea. Bahasa Arab dan Korea merupakan bahasa yang sangat berbeda satu sama lain; dan ini merupakan sebuah tantangan lainnya. Dia masih berusaha keras dan berharap bahwa ia masih memiliki banyak kesempatan untuk melatih kemampuan berbahasanya; ia menyesali keadaan bahwa orang Korea kelihatannya tidak memiliki banyak waktu untuk menanggapi penutur asing. “Sekali kamu berkata pada orang Korea, ‘Annyeong haseyo,’ dia akan

terus berbicara mengenai keadaan politik dan ekonomi, dan ketika kamu berhenti menjawab, dia tidak akan mengubah topik pembicaraan, dia hanya akan berhenti berbicara padamu.” Meskipun demikian, dia tetap berusaha keras dan setelah ia mempelajari bahasa sekitar hampir tiga tahun, ia menjadi cukup fasih dan dapat mempelajari puisi Korea.

Membawa Puisi Korea ke Dunia Arab Sebelum datang ke Korea, Profesor Mahmoud pernah mengunjungi Universitas Amerika di Kairo. Di sana, ia menemukan beberapa buku yang berisi puisi Korea yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Saat itu, ia langsung jatuh cinta pada karya puisi Ko Un yang digambarkan sebagai seorang seniman yang mendobrak batasan genre, “Ko Un bukan semata-mata seorang pujangga. Ia juga se-orang novelis yang menulis cerita dengan gaya puisi.” Namun, bukan hanya itu batasan yang telah ia dobrak. “Ko Un mendeskripsikan dirinya

Profesor Ahmed Mahmoud Abdul Ghaffar, yang telah menerjemahkan buku puisi dua penyair Korea modern ke dalam bahasa Arab, saat mengajar sastra Arab di Universitas Chosun. Profesor Mahmoud akan kembali ke Mesir musim panas ini, namun ia berencana untuk terus mempelajari sastra Korea dan memperkenalkannya kepada dunia Arab.


sebagai seorang yang berdiri di perbatasan antara Utara dan Selatan,” terang Profesor Mahmoud. “Secara politik, mereka terdiri atas dua negara, namun Korea (Selatan) menolak pembagian tersebut karena mereka masih merasa satu bagian.” Ketika tiba saat baginya untuk memilih topik disertasi doktoralnya, koleksi Ko Un yang berjudul “Utara dan Selatan” menjadi salah satu teks yang ia pilih. Teks lainnya diambil dari koleksi Kim Gwang-gyu yang berjudul “Perjalanan ke Seoul.” Dia membandingkan dua karya tersebut dengan karya-karya puisi Mesir untuk mendapatkan gambaran tempat, khususnya gambaran yang terkait dengan “kampung halaman” (atau pedesaan) dan “kota.” Hasil dari penelitian tersebut adalah ia memperoleh gambaran tentang kampung halaman antara yang menurut puisi Mesir modern dan puisi Korea modern hampir identik. “Ketika saya akan menulis sebuah puisi,” kenangnya, “saya tidak berhenti bertanya pada diri saya sendiri mengenai puisi apa yang akan saya tulis, puisi Korea atau Mesir.” Gambaran tentang kota, sebaliknya, sangat jauh berbeda. Faktanya, ini merupakan upaya pemeliharaan bagi sebuah kota dalam puisi

melainkan juga di bidang politik sebagai isyarat penuh harapan. “Saya berkeyakinan bahwa hari esok akan lebih baik,” ujarnya. Tentunya, studi-studi Profesor Mahmoud tidak berhenti pada proses membaca dan menganalisis puisi-puisi Korea; ia pun menerjemahkan karya-karya yang ia pelajari. Membaca puisi dalam bahasa asli seseorang sudah cukup sulit: “Kecakapan dalam membaca puisi adalah kemampuan untuk mengisi kekosongan antara hal-hal yang telah ada dan hal-hal apa saja yang hilang. Pada saat Anda membaca, Anda menciptakan makna; tidak ada makna tunggal dalam sebuah puisi. Semakin sering Anda membacanya, semakin banyak kekosongan yang dapat Anda isi dengan benar, semakin dekat Anda dengan halhal penting.” Lalu bagaimana kita dapat mempertahankan hal-hal yang sudah ada dan hal-hal yang tidak ada di dalam sebuah puisi ketika kita menerjemahkannya ke dalam bahasa lain? Profesor Mahmoud membedakan antara dua model penerjemahan: model penerjemahan yang lebih interpretif, di mana penerjemah menerjemahkan puisi berdasarkan interpretasinya, dan model penerjemahan yang lebih tepat, di mana penerjemah menerjemahkan puisi mendekati puisi aslinya dan membiarkan pembaca untuk menginIa menemukan bahwa citra Tanah Air dalam puisi Mesir dan Korea terpretasikannya sendiri. Model kedua merupakan model penerjemahan yang modern hampir identik. “Ketika saya akan menulis tentang seorang ia maksud, dan ia menggunakan kiapenyair,” katanya, “Saya harus berhenti dan bertanya pada diri sendiri, san untuk menggambarkan usahasiapakah saya yang menulis tentang penyair Korea atau penyair Mesir.” nya. “Seperti memasukkan beberapa jenis bumbu ke dalam masakan untuk menyedapkan makanan Anda. Makamodern yang membawanya untuk menyelesaikan studi beasiswa yang nannya sama dan Anda harus bisa menjelaskan seperti apa makanan ia dapatkan untuk pertama kali. Mesir memiliki sejarah penjajahan pantersebut. Namun jika Anda bertanya, ‘Makanan apa ini?’ maka saya jang oleh kekuatan Barat, sehingga kota yang ada merupakan simbol telah gagal.” penghancuran atas kemanusiaan. Ironisnya, puisi Barat, seperti karya Untuk memastikan bahwa ia tetap mempertahankan jiwa dari puisi T.S. Eliot yang berjudul “Tanah Buangan,” yang telah diterjemahkan yang asli, bahkan ketika ia memasukkan cita rasa bahasa Arab, ia lebih dari lima belas kali, meninggalkan bekas pada gambaran puisibekerja sama dengan penasihatnya, seorang profesor dari Korea yang puisi Arab saat ini. “Pada puisi Arab, seperti T.S. Eliot dan Walt Whitlancar berbahasa Arab. Dibutuhkan waktu empat tahun bagi mereka man atau bahkan penulis puisi sebelumnya, menggambarkan kota untuk menyelesaikannya, meskipun demikian, Profesor Mahmoud sebagai tempat tanpa agama sama sekali” dan para penyair Mesir merasa puas dengan hasil yang ia dapatkan. Ia memang pantas berbiasa menyebut Kairo sebagai –walaupun terdapat ribuan masjid di bangga diri karena ia telah mencetak sejarah: karyanya merupakan sana- kota tanpa agama. Oleh karena itu saya ingin mengetahui apasajak Korea pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh kah puisi-puisi Korea dipengaruhi oleh gambaran kota di peradaban penutur asli bahasa Arab, sebuah langkah penting dalam pengenalan Barat. kesusastraan Korea ke dunia Arab. Jawaban dari pertanyaan tersebut, setidaknya ada dalam puisi Profesor Mahmoud telah mulai mengembangkan kajiannya terkait karya Kim Gwang-gyu. Jawabannya adalah “tidak” dan hal ini memberi dengan puisi modern Korea. Di bulan Desember, dia mempresentasiharapan bagi Profesor Mahmoud untuk masa depan perpuisian Mesir. kan sebuah karya tulis yang membandingkan penulis wanita di Korea “Kesamaan antara puisi Korea dan Mesir luar biasa,” ujarnya dengan dan Mesir. Perbedaan utama yang ia temukan adalah besarnya kebepenuh semangat. “Latar belakang sejarah, fakta-fakta terkini, bahkan basan yang mereka miliki dalam karya mereka. Walaupun wanita di kemajuan kesusastraan keduanya hampir sama. Apa yang sekarang Mesir memiliki kebebasan sosial yang lebih besar dibandingkan deini terjadi di Mesir hampir sama dengan apa yang terjadi di Korea 40 ngan penulis wanita di negara Arab lainnya, terutama negara-negara tahun yang lalu.” Dia melihat kemajuan-kemajuan yang terjadi di Korea teluk, kebebasan itu tidak berlaku dalam dunia kesusastraan. “Sekaselama beberapa dekade yang lalu, bukan hanya di bidang perpuisian, rang ini, penulis wanita Korea memiliki lebih banyak kebebasan untuk

48

S e n i & B u d a y a Ko re a


menulis berbagai topik dibandingkan dengan penulis wanita Mesir. Penulis wanita Arab terkadang masih takut untuk berbicara tentang seks atau masalah-masalah percintaan. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan rumah tangganya karena suami mereka tidak akan menganggapnya sebagai fiksi, melainkan pendapat para istri terhadap mereka.” Sebagai hasilnya, banyak penulis wanita Arab yang tidak menikah atau telah bercerai.

Gelombang Korea di Pesisir Mesir Di negara Mesir, dan bagi sebagian besar negara Arab lainnya, populasi orang Korea mungkin bukan salah satu kelompok budaya asing yang menonjol, akan tetapi hubungan antara dunia Arab dan Korea pada kenyataannya telah terjalin sangat lama. Profesor Mah-

Profesor Mahmoud menghabiskan waktu bersama para siswa SMA mengunjungi Universitas Chosun.

moud merujuk pada naskah yang ditulis pada abad ke-9 oleh seorang ahli bumi bernama Ibn Khordadbeh yang berjudul “The Book of Roads and Kingdoms,” yang menjelaskan tentang Kerajaan Silla sebagai sebuah tempat orang-orang Arab senang berkunjung dan tinggal di sana. Meskipun demikian, di zaman modern, orang-orang Mesir tidak banyak tahu tentang Korea sampai diadakannya Seoul Olympics di tahun 1988 dan World Cup di tahun 2002. Gelombang Korea (the Korean Wave) tentunya ikut melanda pesisir laut Mesir, hal ini yang menyebabkan drama-drama TV Korea sangat populer di kalangan anak muda. Produk-produk Korea juga melimpah di pasar-pasar Mesir. “Hyundai, Daewoo dan Kia adalah tiga merek mobil yang paling terkenal di Mesir,” ujar Profesor Mahmoud. Ia juga menambahkan bahwa produk elektronik produksi Samsung dan LG dikenal sebagai produkproduk berkualitas tinggi. Profesor Mahmoud tertawa kecil saat ia memikirkan ledakan popuKo r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

lasi orang Korea. “Sekarang ini banyak sekali remaja yang ingin mengunjungi Korea. Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk belajar atau bekerja di sini. Ada banyak sekali remaja yang tergila-gila pada hal-hal Korea!” Ia berkata bahwa beberapa remaja perempuan Mesir bahkan datang agar bisa menikah dengan orang Korea, mereka terpesona oleh tokoh protagonis pria yang romantis dalam drama-drama televisi. Ia tersenyum dan menggelengkan kepala. “Jika Anda mencoba memberitahu mereka, ‘Hati-hati, kehidupan nyata sangatlah berbeda,’ mereka tidak akan mendengarkan Anda.” Di sisi lain, ia terkejut dengan seberapa jauh orang-orang Korea mengetahui hal-hal tentang Mesir. Tentu saja, semua orang tahu tentang peradaban Mesir kuno berkat monumen-monumennya, seperti Piramida. “Dan saya telah melihat segelintir orang yang tidak tahu bahwa Mesir adalah negara yang modern. Mereka bepikir bahwa orang dengan menggunakan unta,” ia tertawa. Akan tetapi, ia telah menemukan bahwa banyak orang Korea yang telah memiliki banyak pengetahuan tentang Mesir modern. “Saya bahagia ketika seseorang mengenal dan tertarik pada negara saya. Saya berterima kasih kepada semua masyarakat Mesir yang telah membuat negara saya berbeda, yang membuat negara saya menjadi negara yang hebat.” Di sela perbincangan kami, Profesor Mahmoud berbagi tentang sebuah pepatah Arab untuk menunjukkan keterbukaan budaya Arab. “Makanan yang paling sederhana adalah roti dan garam. Orang-orang miskin yang tidak memiliki apaun untuk dimakan akan mengambil sepotong roti dan memasukkannya ke dalam garam, kemudian memakannya. Oleh karena itu kami memiliki sebuah pepatah terkenal: ‘ada roti dan garam di antara kita.’ Kegiatan makan bersama ini akan menciptakan sebuah hubungan darah; sekarang ini Anda adalah bagian dari keluarga saya.” Roti adalah simbol kehidupan di dalam budaya Arab, dan keinginan untuk berbagi roti adalah keinginan untuk berbagi kehidupan. Mendengarnya berbicara demikian, jelas terlihat bahwa dia merasakan hal yang sama tentang Korea. Walaupun ia akan kembali ke Mesir di bulan Juli, ia berniat untuk menjaga hubungan baiknya dengan Korea. Bukan hanya meneruskan studinya tentang puisi Korea, ia berharap dapat mendirikan departemen bahasa dan sastra Korea di Universitas Kairo. “Universitas Kairo telah memiliki sebuah departemen bahasa Jepang selama lebih dari 50 tahun dan departemen bahasa Cina selama delapan tahun -ada 14 departemen bahasa berbeda di universitas tersebut- oleh karena itu, saya berpikir mereka akan menyambut baik sebuah departemen bahasa Korea.” Ia berharap bahwa upayanya akan memperkuat hubungan antara dua negara dan dua budaya. Dan ia tahu Korea akan tetap berada di dalam hatinya.

49


di atas jalan

Jatuh Cinta kepada Teh Awalnya saya bertanya ke beberapa orang, bolehkah saya memetik teh di rumah-rumah yang punya kebun teh. Akhirnya saya pun memproduksi teh. Kemudian saya mempunyai kebun teh yang selalu saya impikan. Kehidupan saya mabuk dalam aroma teh. Park Nam-joon, Penyair | Lee Chang-su, Ahn Hong-beom, Suh Heun-gang Fotografer

1


1. Perkebunan teh bertingkat-tingkat membungkus daerah sekitar lereng bukit di Boseong. 2. Para pendaki gunung beristirahat di sebuah daerah perkebunan teh liar di Hwagae, Kabupaten Hadong.

2


K

adang-kadang saya pergi bermain ke kebun teh. Saya pernah berjalan-jalan di sejumlah kebun teh di Pulau Jeju, Boseong, Hadong di kaki Gunung Jiri, Sunchang, Gimhae, dan kebun teh di candi Buddha. Saat saya duduk di tengah kebun teh atau memandang perkebunan itu, saya tenggelam dalam khayalan yang menyenangkan; suatu saat saya akan menanam teh sendiri dan memproduksinya. Dalam khayalan itu saya menyajikan teh kepada para tamu yang datang ke rumah dan minum teh bersama-sama. Akhirnya mimpi saya menjadi kenyataan

Kebun Teh yang Selalu Saya Impikan Karma yang baik kemudian membawa saya pindah rumah ke Agyang, Kabupaten Hadong, Provinsi Gyeongsang Selatan, di kaki Gunung Jiri. Sewaktu musim bunga datang, setiap gang yang berpagar batu di Agyang penuh dengan aroma pembakaran teh. Jika ada yang berhasil membuat ramuan teh baru, orang-orang saling mengundang untuk minum teh di rumah mereka. Tujuannya bukan hanya untuk menyajikan teh rasa baru, tetapi juga ingin mendengar respons para tetangga mengenai teh itu. Melalui pertemuan seperti itu, saya mulai mengenal para pembuat teh. Saya belajar membuat teh hijau dan membantu mereka saat berkebun. Saya belajar dari memetik sampai menyeduhnya. Pada suatu hari di musim bunga saat baru tiga tahun pindah ke sini, saya pun membuat teh. Sejak saat itu, membuat teh menjadi salah satu hal yang sangat menyenangkan bagi saya. Dari memetik daunnya sampai mencium aroma teh dari cangkir yang saya buat, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan kebahagiaan dari setiap proses membuat teh itu. Saat itu saya masih belum mempunyai kebun teh milik sendiri. Saya meminta izin dan bertanya, bolehkah saya memetik teh di rumah-rumah yang ada kebun tehnya. Tampaknya, cerita tentang saya ini terdengar seorang tetangga. Dia menawarkan saya kebun teh yang ada di samping rumahnya karena dia sendiri tidak berkebun. Dia seorang dokter gigi yang membeli tanah dengan kebun teh. Dia kemudian membangun sebuah rumah di sampingnya. Sebagian pohon teh di sana melebihi tinggi saya, lebih dari dua meter. Oleh karena kebun teh itu sudah 10 tahun tidak dipelihara, maka terlihat seperti sebuah kebun teh yang liar. Ketika saya berkeliling,

1. Air musim semi dari pertapaan Iljiam, di Kuil Daeheung di Haenam, digunakan Venerable Choui untuk membuat teh. 2. Ullim Sanbang di pulau Jindo, tempat maestro teh yang terkenal dan tahun-tahun terakhir pelukis Heo Ryeon wafat.

1

S e n i & B u d a y a Ko re a


2

terdengar suara dari lubuk hati saya, seperti ada sesuatu yang bergema di seluruh badan saya. “Benar. Inilah kebun teh yang selalu saya impikan. Kini saya dapat memetik daun teh tanpa perlu lagi meminta izin kepada si pemilik kebun teh itu.� Saya bersiul mengendarai scooter kecil yang berwarna kuning. Waktu memetik daun teh sendirian mengantar saya ke dunia meditasi. Pada tangan saya yang memetik daun teh, pada baju saya yang bersentuhan daun teh, pada tarian angin musim bunga yang melambaikan daun teh, dan aroma teh yang berkembang seperti kabut.

Membuat Teh Fermentasi Pelajaran membuat teh, bagaimana pun, sama sekali tidak mudah. Karena saya tidak mempunyai tungku untuk pembakaran teh, saya terpaksa melakukan pembakaran di rumah teman yang ada di seberang desa saya. AwalKo r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

nya, saya hanya meracik teh hijau, yaitu sewaktu pertama kali memetik daun teh, lalu seterusnya saya membuat teh fermentasi. Saya merasa teh fermentasi lebih cocok bagi badan saya daripada teh hijau. Para tamu yang datang ke rumah juga lebih menyukai teh fermentasi. Meskipun tidak banyak hasilnya, saya menghadiahkan teh yang saya buat itu kepada teman-teman. Sepasang suami-istri di antara teman-teman itu ingin ikut membuat teh bersama saya. Maka saya ajak mereka memetik dan membuat teh bersama. Sehari sebelum memetik daun teh, mereka datang dan menginap semalam di rumah saya. Esok harinya kami bangun pagipagi sekali. Perasaan dan suasana memetik daun teh bersama-sama lain dengan perasaan dan suasana saat memetiknya sendirian. Teman-teman saya begitu berkonsentrasi saat memetik daun teh, sehingga mereka baru mendengar ajakan saya untuk beristirahat dan makan camilan setelah beberapa kali dipanggil. Menurut mereka, ketika memetik, aroma daun teh begitu harum sampai membuat mereka tidak menyadari rasa lelah atau lapar. Saat makan camilan, kami bercerita mengenai kegembiraan waktu memetik daun teh dan saling berbagi perasaaan. Untuk membuat teh hijau, daun teh yang baru dipetik dibakar di tungku pembakaran pada hari yang sama dipetik lalu dikeringkan, sedangkan untuk membuat teh fermentasi

53


1. Dasan Chodang, rumah tempat pengasingan cendekiawan pemerintah dan penikmat teh Jeong Yak-yong yang hidup dalam pengasingan selama 18 tahun. 2. Penyangraian daun teh segar dalam kuali besar: Cita rasa teh tergantung pada proses penggosokan dan penyangraian.

1

Karena saya tinggal di sebuah rumah mungil di tengah gunung, tidak ada sajian yang istimewa untuk para tamu. Maka saya pun bertanya kepada mereka, “Silakan masuk dan minum teh. Mau teh hijau atau teh fermentasi?”

diperlukan banyak waktu dan proses yang rumit. Caranya bermacam-macam, tergantung pada orang yang membuatnya. Saya sendiri punya cara tersendiri sebagai berikut; setelah dipetik, daun teh disimpan di tempat teduh selama semalam, kemudian disebarkan dan dijemur di bawah sinar matahari esok harinya. Tergantung pada insentitas sinar matahari, daun teh dibiarkan dijemur selama dari 30 menit sampai satu jam lalu dibiarkan lagi sampai menjadi layu berada di tempat teduh. Jika terasa lembut di tangan dan tidak terlalu kering, saya akan menggosokkannya. Di tungku pembakaran daun teh diaduk-aduk seperti menggilas pakaian dengan tangan. Kemudian daun teh dikeringkan di tempat teduh. Saya mengulangi proses itu tiga atau empat kali sampai malam hari. Saya tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata, bagaimana perubahan warna daun teh, dari hijau menjadi cokelat dan juga aromanya. Proses ini sangat mempesona. Setelah proses tersebut, dauh teh disimpan dalam sebuah guci lalu ditaruh di kamar yang hangat dan ditutupi selimut untuk menambah suhu. Daun teh memerlukan banyak oksigen selama proses oksida. Maka setiap satu jam guci dibuka lalu daun teh diaduk-aduk lagi. Setelah proses fermentasi selama 20 jam sampai 24 jam, daun teh dikeluarkan dari guci ditaruh di tempat teduh untuk dikeringkan. Setelah itu, daun teh dimasukkan lagi ke dalam guci kemudian ditaruh di bawah sinar matahari saat siang hari dan ditaruh dalam kamar yang hangat saat malam hari. Proses itu dilakukan berulang-ulang selama 10 hari. Daun teh akan matang di dalam guci. Jika siang hari guci yang kena sinar matahari akan terasa panas. Saya membuka guci dan mencium aroma-

54

nya. Hmmm… aroma manis memenuhi halaman depan. Jika matahari terbenam, saya membawa guci ke kamar.

Mabuk dalam Aroma Teh Saat berkebun teh, saya mabuk dalam aromanya. Sewaktu memetik daunnya, saya tersenyum ketika mencium wangi daun yang berwarna hijau muda. Saat pengeringan teh hijau, saya merasa bagai terapung di atas awan oleh aroma yang memenuhi rumah saya. Saya memang telah jatuh cinta kepada teh dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Bagi saya yang tinggal di sebuah rumah mungil di tengah gunung, yang tidak punya sajian istimewa untuk para tamu, saya akan bertanya kepada mereka, “Silakan masuk dan minum teh. Mau teh hijau atau yang fermentasi?” Musim dingin telah berlalu, dan musim bunga pun datang. Daun teh berwarna hijau muda, yang dihadirkan oleh angin musim bunga akan berkata dengan menjulurkan tangannya yang mungil, “ Saya ada di sini.”

S e n i & B u d a y a Ko re a


2


Buku & lebih

Novel Korea Pertama Seri Bahasa Korea-Inggris

‘Edisi Dwibahasa: Sastra Korea Modern’ The Wounded ditulis oleh Yi Cheong-jun dan diterjemahkan oleh Jennifer Lee, 141 halaman, 6,000 won, atau US$7.00; dan 14 karya-karya lainnya, Seoul: Asia Publishers (2012)

Akhir-akhir ini jumlah pembaca yang mencari karya sastra Korea semakin meningkat. Sementara itu, jumlah pelajar asing yang belajar di Korea juga bertambah, begitu juga dengan permintaan Pelajaran Bahasa Korea dan Program Studi Korea di universitas luar negeri. Dalam menanggapi tingginya minat terhadap Korea ini, sastra dipandang sebagai salah satu cara efektif untuk meraih pemahaman lebih dalam tentang budaya dan sejarah Korea. Misalnya, karya penulis novel Shin Kyung-sook Please Look After Mom yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, telah membantu meningkatkan minat terhadap budaya Korea secara umum, selain juga menjalin ikatan emosi dengan para pembaca dunia. Berbeda dari latar belakang ini, Bilingual Edition: Modern Korean Literature, diterbitkan oleh Asia Publishers Juli 2012, bertujuan untuk memenuhi keingintahuan yang lebih banyak mengenai Korea melalui kacamata sastra. Asia Publishers (www.bookasia.org) adalah penerbit Asia, majalah sastra Korea pertama di bidang sastra Asia, dan satu-satunya majalah dwibahasa Korea-Inggris yang terbit setiap tiga bulan. Proyek sastra dwibahasa ini telah dijalankan lebih dari lima tahun dengan melibatkan partisipasi penulis Korea terkemuka seperti penulis novel Bang Hyun-seok dan kritikus sastra Lee Kyung-jae. Kontributor penting lainnya termasuk David McCann, Profesor Korea Foundation di bidang sastra Korea di Universitas Harvard, dan Bruce Fulton, penerjemah sastra Korea terkemuka dan profesor di University of British Columbia, Canada. Editor menyeleksi sekitar 100 cerita pendek dan novel yang dianggap terbaik dalam menyajikan pandangan sastra kontemporer di Korea. Bagian awal dari seri tersebut meliputi 15 karya penulis seperti Pak Wan-so (Park Wan-suh), Oh Jung-hee, dan Yi Cheong-jun, yang berada di garis depan periode sastra pasca-kolonial di Korea. Pada pertengahan tahun 2013, akan terbit bagian kedua dan ketiga seri tersebut yang meliputi 35 edisi. Termasuk karya penulis terkemuka seperti Yi Mun-yol dan penulis yang lebih muda seperti Kim Ae-ran, Park Min-

56

gyu, dan Kim Yeon-su. Karya-karya tersebut dikelompokkan sesuai tema seperti rubrik nasional, industrialisasi, perempuan dalam masyarakat Korea, kehidupan di Seoul, cinta, avant-garde, tradisi, dan diaspora. Edisi berikutnya akan menampilkan cerita pendek yang ditulis sebelum akhir Perang Dunia II dan kemerdekaan Korea dari penjajahan Jepang. Penulis dapat berpartisipasi dalam proyek penerbitan ini sebagai anggota dewan editor, mengawasi terjemahan dan proses editorial dengan saksama untuk memastikan keakuratan dan sampainya pesan dari teks asli melalui konsultasi ekstensif antara penulis dan penerjemah. Harvard University dan Washington University menjadikan seri itu sebagai buku teks kuliah pada tahun lalu, dan semakin banyak universitas Amerika, termasuk Columbia University, melakukan hal yang sama pada tahun ini. “Asia Publisher’s Bilingual Edition: Modern Korean Literature Korea-Inggris membawa kontribusi besar bagi pembaca dunia sastra, juga untuk pelajar yang ingin belajar mengenai bahasa dan budaya Korea,” kata Theodore Hughes, Korea Foundation Associate Professor of Korean Studies di Columbia University. Seri dwibahasa tersebut mencoba berkomunikasi lebih jauh dengan pembaca global dengan menyediakan terjemahan teks bahasa Inggris bersama teks asli berbahasa Korea. Banyak negara yang tidak berbahasa Inggris di Asia dan Afrika berusaha menembus pasar penerbitan besar dengan menerjemahkan pencapaian sastra mereka ke bahasa yang paling luas dibaca tersebut. Di antara beberapa usaha semacam itu, seri dwibahasa ini terbilang unik karena usahanya yang menyediakan dua-cara dialog kepada pembaca asing. Mengingat usaha ini baru pertama kali ini dilakukan untuk memproduksi sebuah antologi dwibahasa sastra Korea, editor dan penerjemah menemui berbagai masalah termasuk latinisasi (Romanization), khususnya dalam hal nomina tepat bahasa Korea. Dewan editor memutuskan untuk menggunakan metode McCune-Reischauer, sambil tetap mempertahankan sistem latinisasi pemerintahan Korea pada nama lokal setempat. Dibutuhkan lebih banyak usaha dari pihak akademis, otoritas pemerintah, dan penerbit untuk menciptakan sebuah standar latinisasi yang lebih baik terhadap bahasa Korea. Jeon Seung-hee Peneliti, Korea Institute, Harvard University

S e n i & B u d a y a Ko re a


Duet Sempurna Gayageum dan Buk

‘Gayageum Sanjo Kim Hae-sook dari Sekolah Choi Ok-sam’ Gayageum oleh Kim Hae-sook, Buk oleh Yoon Ho-se, Paris: OCORA Radio France CD, 45 menit 10 detik, US$24.43

Sanjo adalah sebuah aliran musik tradisional Korea yang menyajikan pertunjukan instrumental solo dengan diiringi perkusi. Aliran musik asli ini diciptakan sekitar 100 tahun lalu berdasarkan tradisi musik daerah barat daya Korea, dan mencapai pengembangan menakjubkan pada pertengahan abad 20. Mengingat bahwa sebagian besar aliran musik Korea yang masih dimainkan berakar dari musik era abad 17 dan 18, sanjo terbilang kreasi yang relatif baru. Alasannya akan dijelaskan oleh Kim Hae-sook, seorang profesor dan pemain gayageum (sitar 12 senar) terkenal, dalam kata pengantar CD terbarunya yang diluncurkan bersama OCORA Radio France. Kim mengatakan, “Seiring dengan perubahan tradisi musik Korea dari waktu ke waktu, para musikus mulai mengekspresikan emosi pribadi di atas panggung. Hal ini mendorong lahirnya aliran musik baru dan musikus berbakat dengan keahlian artistik. Bertolak-belakang dengan latar belakang sejarah ini, narasi lagu pansori tampil populer dari sisi interaksi dinamisnya antara penyanyi dan penonton, yang diajak untuk menangis dan tertawa. Sanjo muncul mengikuti tren ini. Dengan julukan ‘pansori tanpa kata,’ sanjo mengadopsi dan mengubah teknik musik pansori. Dari generasi ke generasi, pertunjukan sanjo yang tadinya penuh improvisasi pun kini memiliki formalitas. Dalam pengertian ini, sanjo adalah kondensasi dari perpanjangan tradisi musik Korea dalam bentuk pertunjukan solo instrumental, sebagai hasil dari perubahan pergerakan sejarah musik.” Sanjo pertama kali dirancang untuk gayageum, yang disebut-sebut memiliki hidup baru berkat sanjo. Gaya pertunjukan baru tersebut kemudian menyebar pada instrumen senar lainnya, seperti geomungo dan ajaeng, serta instrumen tiup seperti daegeum dan piri. Baru-baru ini percobaan dilakukan untuk menggunakan gaya sanjo pada piano dan gitar. Sanjo khususnya dimainkan dalam bentuk duet yang mengkombinasikan lead melodic instrument dan instrumen perkusi seperti janggo (drum jam pasir) atau buk (drum berbentuk tong-dangkal), yang memberikan sentuhan musik formal kepada aliran melodinya. Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

Melodi sanjo merefleksikan kepekaan masyarakat Korea dan sejarah mereka. Musikus tidak sekadar mengulang melodi yang dipelajari dari guru mereka, tetapi juga membuat improvisasi dan interpretasi sendiri. Banyak pemusik terkenal Korea di abad 20 mengembangkan versi sanjo mereka tersendiri. Hal ini menyebabkan berdirinya sejumlah sekolah sanjo terkemuka di berbagai daerah Korea, masing-masing dinamai berdasar pemain ternama mereka. Sekolah gayageum Kim Jukpa (1911-1989) dan sekolah geomungo Han Gap-deuk (1919-1987) adalah contohnya. Di antara sekolah sanjo untuk berbagai instrumen, sebagian besar mengkhususkan pada gayageum. CD ini menampilkan Kim Haesook memainkan gayageum sanjo dengan gaya Sekolah Choi Ok-sam (1905-1956). Sekolah Choi Ok-sam menikmati kebangkitan kembali berkat maestro Ham Dongjeongwol (1917-1995), yang mengajar Kim Hae-sook. Kim, yang mendapat pengakuan pada usia 20-an, dibanggakan karena dia luar biasa mahir menggunakan instrumen tersebut dibanding musikus seangkatannya. Dia juga dikenal sebagai teoretikus musik. Rekaman ini mengikuti “Jongmyo Jeryeak,” musik bagi upacara nenek moyang kerajaan pada Dinasti Joseon, sebagai peluncuran kedua dari seri musik Korea, oleh OCORA Radio France pada tahun 2010. CD ini adalah rekaman 45 menit istimewa dari Kim Hae-sook pada gayageum dan Yoon Ho-se pada buk, yang bertujuan mengajak penonton untuk menghargai intisari musik tradisional Korea dari abad 20. Album ini sebaiknya didengarkan dari awal hingga akhir tanpa jeda karena sanjo memiliki bentuk epik yang merefleksikan cerita hidup dan sikap pemusik terhadap kehidupan dan dunia. Jeon Ji-young Kritikus Musik

57


Esai

Sebuah Masjid di Itaewon Cecep Syamsul Hari, penyair

A

da sebuah masjid di Itaewon. Nama resmi masjid itu, “Seoul Central Mosque.” Akan tetapi, kaum Muslimin yang tinggal di Seoul, ibu kota Korea Selatan, lebih mengenalnya sebagai Masjid Itaewon. Masjid itu boleh dikatakan satu-satunya masjid di kota yang jika turun hujan berubah menjadi kota sejuta payung. Itaewon adalah nama sebuah distrik perdagangan dan turisme yang sangat terkenal di kalangan turis asing. Barang-barang branded dari berbagai negara dengan mudah dapat ditemukan di toko-toko yang berjajar sepanjang jalan. Kafe-kafe dan rumah-rumah makan yang bernuansa Asia dan Eropa juga gampang ditemukan. Di lingkungan ini orang-orang dengan warna kulit cokelat, kuning, pucat dan hitam yang berasal dari berbagai bangsa berbaur dalam ritme kehidupan Seoul yang serbatertib, serbacepat dan serbagegas. Di Seoul, agama adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Secara statistik, agama Buddha yang juga merupakan agama resmi di Korea memiliki penganut terbanyak. Kemudian disusul agama Katolik dan Protestan. Agama Hindu dan Islam keba­nyakan dianut kalangan pendatang. Di dalam kehidupan sehari-hari ajaran Konfusius menjadi basis dalam kehidupan sosial dan kultural orang Korea, tak terkecuali di Seoul yang termasuk salah kota kota dengan living-cost tertinggi di dunia itu. Di kota yang masih kuat memegang nilai-nilai tradisional ini penghormatan terhadap orang tua dan guru masih menjadi landasan kehidupan sosial sehari-hari yang wajib diindahkan. Pada perayaan Hari Ibu orang-orang dari segala usia membeli bunga anyelir (carnation) atau hadiah-hadiah lainnya dan mempersembahkannya kepada ibu mereka sebagai simbol kepatuhan dan penghormatan. Pada perayaan Hari Guru, anak-anak sekolahan, dari murid sekolah dasar hingga mahasiswa, menemui guru-guru mereka dan memper­sembahkan bunga anyelir atau hadiah-hadiah kecil, juga sebagai simbol kepatuhan dan peng­hormatan. Kedua hari khusus ini ada di bulan Mei. Pada bulan ini pun ada perayaan Hari Anak. Pada Hari Anak ini giliran orang tua, paman atau bibi memberi hadiah kepada anak-anak dan keponakan-keponakan mereka sebagai simbol kasih-sayang orang yang lebih tua kepada penerusnya. Bulan Mei bagi orang Korea adalah bulan perayaan. Meskipun ajaran Konfusius masih menjadi landasan filosofis dalam kehidupan sosial orang Korea, kita dengan mudah dapat menemukan kenyataan bahwa anak-anak muda di kota-kota besar negeri itu, khususnya di Seoul, lebih suka mengaku diri mereka sebagai orang yang tidak mempunyai agama. Penganut agama Islam diperkirakan 2% dari 11 juta penduduk Seoul. Selain berasal dari kalangan migran dari Asia Tenggara dan Timur Tengah, juga berasal dari

58

S e n i & B u d a y a Ko re a


komunitas Muslim asli warga Seoul. Setiap hari Jumat, wajah-wajah Muslim ini mudah ditemukan di Masjid Itaewon dan sekitarnya. Salat Jumat di Masjid Itaewon biasanya dimulai pada pukul satu siang. Khutbah Jumat biasanya disampaikan dalam tiga bahasa. Pada khutbah pertama digunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Pada khutbah kedua disampaikan khutbah yang isinya sama dalam bahasa Korea. Khutbah dalam tiga bahasa itu betul-betul sangat membantu jemaah salat Jumat. Apalagi pengurus Masjid menyediakan buletin gratis yang berisi khutbah dalam tiga bahasa itu. Khutbah salat Jumat ini juga sangat membantu orang-orang Islam yang sedang belajar bahasa Korea. Ada tiga khatib yang bergiliran menyampaikan khutbah setiap hari Jumat. Satu orang berasal dari Pakistan, seorang dari Indonesia, dan yang lainnya orang Korea sendiri. Masjid Itaewon selalu penuh setiap Jumat. Tidak kurang dari lima ratus jemaah salat Jumat meluber hingga ke halaman masjid. Sehabis salat Jumat, biasanya dengan mudah kita dapat melihat mereka berkelompok sesuai dengan kebang­saannya: para mahasiswa dari Indonesia atau Malaysia yang jumlahnya lebih dominan dibandingkan dengan para mahasiswa Muslim dari negara lainnya; para pekerja kerah putih maupun biru dari Pakistan dan Indonesia dan negaranegara Muslim Afrika; dan para pelancong Muslim dari berbagai negara. Mereka saling bertegur sapa dan salam, berpelukan, dan berbicara satu sama lain. Seusai salat Jumat, sebagian dari mereka ikut antre pem­bagian susu dan roti gratis yang disediakan para dermawan masjid. Ada juga yang lebih suka membeli makanan dari kedai-kedai dadakan yang menyediakan menu makan siang ringan. Yang lainnya segera menyebar ke berbagai rumah makan yang hanya menyediakan makanan halal yang berada di sana-sini di jalan menuju Masjid Itaewon. Rumah-rumah makan itu keba­nyakan dikelola pengusaha asal Pakistan dan India. Ada seorang petugas parkir masjid Itaewon, seorang mualaf Korea berusia sekitar 60 tahunan. Sebelum dan sehabis salat Jumat ia sibuk mengatur mobil-mobil pribadi yang akan mening­galkan masjid. Berbeda dengan orang Korea kebanyakan, lelaki tua ini dengan ramah membagi senyum kepada setiap jamaah masjid. Ia rupanya termasuk yang percaya bahwa senyum adalah sedekah. Orang-orang memangilnya “Brother.” Di masjid Itaewon, pada setiap hari Jumat, kaum Muslimin dari berbagai negara itu memang saling memanggil “Brother.” Sapaan itu akrab di telinga kita pada setiap hari Jumat yang selalu menjadi hari raya itu.

Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

59


HIBURAN

Langkah Berani Siaran Nasional:

‘Radio Membaca Buku’

Sebuah radio melakukan terobosan berani dengan menampilkan pembacaan buku untuk mengembangkan peran buku dan radio dalam budaya masyarakat. Siaran radio EBS (Korea Educational Broadcasting System ), 104.5MHz FM, menyiarkan pembacaan buku selama 11 jam sehari. Ini adalah ‘Radio Membaca Buku’ pertama di Korea. Pada hari Sabtu, radio ini menyiarkan secara langsung suara pendengarnya; sementara di hari Minggu, menyiarkan rangkuman dari pilihan siaran seminggu. Pada bulan Maret tahun ini siaran itu menginjak usia setahun. Lim Jong-uhp, wartawan The Hankyoreh

S

ebenarnya EBS FM menyiarkan pendidikan bahasa asing, sebuah program khusus untuk membaca, menyimak, dan berbicara dalam bahasa Inggris selama 21 jam sehari. Rating pendengarnya rendah, berkisar sekitar 1,5- 2,0 % tetapi sangat diminati oleh mereka yang ingin belajar bahasa Inggris. Pada Maret 2011, EBS mengisi durasi 11 jam dari 21 jam tersebut dengan program pembacaan buku. Ini sebuah langkah yang luar biasa, mengingat siaran TV dan radio lain hanya menyiarkan program yang berkaitan dengan buku kurang-lebih selama 15 menit sehari dan 50 menit seminggu. Ada dua respons pendengar; yang satu menganggapnya sebagai ‘ide yang inovatif’, dan satu lagi menempatkannya sebagai ‘ide yang tidak masuk akal.’

Tidak Baca Buku? Kalau Begitu, Dengarkanlah! Menurut data dari asosiasi penerbit Korea Publishers Society dan Departemen Budaya, Olahraga, dan Pariwisata, pada tahun 2010 jumlah penjualan buku berkurang 8,5% dibandingkan tahun 2009, dan pada tahun 2011 jumlahnya berkurang 7,8%. Diperkirakan pada tahun 2012 jumlahnya semakin menyusut lagi yaitu sekitar 10%. Jumlah toko buku mengalami defisit 29,3 % selama delapan tahun terakhir. Fenomena seperti ini mengganggu sistem penjualan dengan harga tetap dan membuat para pembaca membeli hanya buku yang berkaitan dengan gaya hidup dan pengembangan diri yang dijual dengan diskon besar. Hal itu pada akhirnya merobohkan fondasi penerbitan buku yang memiliki beraneka-ragam tema terbitan. Lebih jauh lagi, para pelajar semakin dijauhkan dari buku akibat tekanan sistem ujian masuk universitas yang hanya mengandalkan pengulangan dan hapalan. Internet serta smart-phone juga berperan dalam turunnya tingkat membaca buku. Oleh karena itu, ‘Radio Membaca Buku’ merupakan program yang dilahirkan untuk merespons rendahnya kebutuhan untuk buku dan tingkat pembaca yang semakin sedikit. “Melihat rating radio dan pengaruhnya yang turun drastis, kami mencari jalan keluar. Akhirnya muncul ide untuk memanfaatkan efek inspiratif dari bercerita (storytelling). Namun telah banyak program radio yang membacakan cerita dari para pendengar.

60

S e n i & B u d a y a Ko re a


Maka kami memilih buku sebagai alat. Kami membuat program ‘Radio Membaca Buku’ sebagai strategi diferensiasinya. Kami menganggap bahwa radio sebagai media yang peka mempunyai ikatan yang erat dengan buku,” ujar Kim June-bum, Manajer Program EBS.

Membacakan Buku Asli ‘Radio Membaca Buku’ membuka programnya dengan ‘Cerita Anak untuk Orang Dewasa’ pada pukul 10.00 pagi dan menutupnya dengan ‘Ruang Sastra Amerika dan Inggris’ pada pukul 23.00 malam dari hari Senin sampai Jumat. Pada jam-jam itu, di antaranya ada sejumlah program seperti ‘Konser Puisi,’ ‘Konser Esei,’ ‘Ruang Cerita Pendek,’ ‘Buku yang Dibacakan Selebritas (atau Pendengar),’ ‘Membaca Buku Klasik,’ dan ‘Kafe Buku.’ Pada hari Sabtu ada siaran langsung yang membacakan surat dari para pendengar dari pukul 10.00 pagi sampai pukul 20.00 malam dan pada hari Minggu disiarkan kembali program membacakan buku yang telah disiarkan selama seminggu sebelumnya. Buku-buku yang dibacakan adalah yang diperkirakan pernah dibaca para pendengar atau judulnya pernah diketahui mereka. Hal ini bertujuan agar para pendengar dapat berkonsentrasi pada siaran itu. Buku-buku yang telah disiarkan selama ini adalah novel dan cerita pendek karya para pengarang yang muncul dalam sejarah sastra modern dan kontemporer sastra Korea, buku-buku karya pengarang terkenal, yang selalu dipajang di depan toko buku, serta masterpieces pengarang terkenal, baik karya pengarang Korea maupun karya pengarang asing seperti Henrik Ibsen dan O. Henry. Dalam cerita bersambung radio dibacakan karya-karya yang baru terbit sesudah dibacakan melalui radio. Karya-karya tersebut antara lain Jika Ombak Milik Lautan karya Kim Yeon-su dan Bunyi Rapids karya Hwang Sok-yong. Prinsipnya, yang dibacakan adalah buku aslinya. Jika sebuah buku penuh percakapan, maka akan dibacakan dengan nada yang dramatis. Orang-orang yang membacakan buku ini adalah penyiar EBS, aktor drama, artis dubbing, penyanyi, dan pengarang. Karena kepekaan dan keterampilan orang yang membacakan buku berpengaruh pada konsentrasi para pendengar, tim program memilih dengan sangat teliti orang yang hendak membacakan buku itu. Waktu siaran dari satu episode dalam setiap program adalah 20 menit sampai 2 jam. Menurut ahli, para pendengar dapat berkonsentrasi pada pembacaan buku paling lama 15 menit sampai 20 menit. Namun pihak staf EBS berpendapat lain, yaitu bahwa pendengar dapat berkonsentrasi selama 1-2 jam sehingga mereka beranggapan bahwa program mereka sangat berhasil. Son Hee-joon, Direktur Program Two-Hour-Long, bernama ‘Book Café’ berkata, “Pada awalnya saya khawatir, janganjangan para pendengar tidak memberi sambutan yang hangat, tetapi saya memastikan bahwa para pendengar mengidentifikasi diri mereka Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

dengan para tokoh dalam buku yang dibacakan, kemudian mereka tetap mendengarkannya dengan penuh konsentrasi.” Berdasarkan keberhasilan tahun lalu dan respons para pendengar, para anggota tim radio percaya bahwa rating program mereka tetap dipertahankan oleh pendengar yang mempunyai rasa ingin tahu yang kuat dan merasa kesepian. Mereka melihat ada beberapa pendengar yang sudah mengikuti program pagi melalui listeners’ corner atau online board akan ikut lagi di program malam. Dari segi teknis, mereka yakin bahwa membacakan rangkuman cerita yang telah dibacakan pada hari sebelumnya adalah efektif, juga membacakan beberapa ulasan yang dikirimkan pendengar, serta mengadakan kuis dan memberi cenderamata kepada pendengar yang mengirim jawaban benar. Salah seorang pendengar berkata, ‘Radio Membaca Buku’ membuat terobosan baru dengan ‘membaca melalui mendengar’. Dia menjelaskan, “Saat Anda membaca buku, Anda bisa membaca kembali bagian awal dari cerita jika Anda kurang memahami ceritanya. Akan tetapi di radio, jika Anda terlewat suatu bagian dari cerita dalam buku, Anda tidak dapat kembali ke bagian itu. Maka saya harus berkonsentrasi pada pendengaran. Saya menamakannya sebagai pembacaan buku yang aktif.”

Munculnya ‘Taksi yang Membacakan Buku’ Kita dapat mendengar ‘Radio Membaca Buku’ secara online dengan mengunduh “EBS bandi” dari internet atau hand-phone (http://home. ebs.co.kr/bandi). Jika para pendengar terlewat sebuah program siaran, mereka dapat mendengar siaran itu di homepage http://www.ebs.co.kr/ index.jsp berupa audio book yang disediakan gratis. EBS berencana melakukan terobosan baru pada musim bunga yang akan datang. Terobosan baru itu adalah membacakan langsung bukan lagi surat pendengar tetapi karya sastra yang ditulis pendengar. Karya yang dibacakan melalui siaran radio akan diterbitkan, sehingga program ini akan membuat orang awam menjadi pengarang. Selain itu, karya klasik seperti Honggildong-Jeun, Chunhyang-Jeun, dan Simchung-Jeun, akan diterjemahkan ke bahasa asing kemudian dibacakan melalui siaran radio. Dengan program itu, orang asing dapat menikmati sastra klasik Korea. Tentu saja, saat ini siaran tersebut belum bisa dibilang berhasil atau gagal. Belum ada indikator keberhasilan seperti naiknya rating radio atau buku yang disiarkan menjadi best-seller. Namun sungguh menggembirakan saat melihat beberapa taksi menyetel radio ini sepanjang hari, dengan stiker ‘Taksi yang Membacakan Buku’ menempel pada jendela mobilnya. Para sopir taksi di kawasan Seoul ini pun menyelenggarakan proklamasi ‘Taksi yang Membacakan Buku’ pada 20 September tahun lalu. Hari ini mereka melintas di jalan-jalan di Seoul dengan membaca buku bersama penumpang.

61


KENIKMATAN GOURMET

Musim Bunga Bersama Kepiting Betina Penuh Telur Musim Gugur Bersama Kepiting Jantan Penuh Daging


Sup kepiting, kkotkyetang , dan masakan kepiting mentah, gejang (atau kejang ) merupakan dua masakan yang paling digemari orang Korea. Terutama masakan kepiting mentah dengan bumbu kecap manis sebagai lauk pauk untuk menambah nafsu makan dan membuat orang mengonsumsi banyak nasi, sehingga menjadikan masakan ini disebut sebagai “si pencuri nasi.” Ye Jong-suk, Kolumnis Kuliner dan Profesor Bidang Pemasaran, Universitas Hanyang Ahn Hong-beom Fotografer

K

epiting adalah bahan masakan yang digandrungi banyak orang. Di negara mana pun di dunia, yang dekat dengan laut dapat ditemukan kepiting dan masyarakat yang menikmati masakan kepiting. Di kota-kota yang dekat laut, misalnya Fisherman’s Wharf di San Francisco dan Lei Yue Mun di Hong Kong selalu terdapat area untuk seafood. Di toko-toko dan restoran di area seperti itu, orang dapat melihat kepiting bertumpuk-tumpuk. Di Jepang, negara yang sangat menyayangi kepiting, sering ditemui restoran dengan papan nama berhias kepiting plastik yang besar. Namun dalam hal menyayangi kepiting, tidak ada negara mana pun yang dapat mengalahkan Korea.

Sup Kepiting dan Masakan Kepiting Mentah Kecintaan orang Korea terhadap kepiting dapat ditelusuri kembali pada beberapa abad yang lalu. Kim Jong-jik (1431–1492), seorang priyayi zaman Kerajaan Joseon, memberi penilaian sangat tinggi terhadap kepiting dan melukiskannya sebagai berikut: “Potong kuku kaki, sumpit mengikut daging/Potong perut, di dalamnya penuh emas.” Seo Geo-jeong (1420–1488), seorang sarjana, mendewakan kepiting dengan menulis sebagai berikut: “Seorang penyair hermit, Dongpo, berkata, dia sangat menikmati makan kepiting/Saya pun ikut menjadi penggemar kepiting.” Semua orang Korea bergairah makan kepiting dan menikmatinya dengan berbagai cara. Buku masak yang ditulis akhir abad ke-19, Siui jeonseo, menyajikan berbagai cara memasak kepiting; kepiting goreng, kepiting goreng tepung, kepiting acar, kepiting rebus, dan daging kepiting yang dikeringkan. Di dalam Gyuhap chongseo, ensiklopedia homemaking untuk wanita yang diterbitkan tahun 1809, ditemukan tidak hanya resep untuk masakan kepiting tetapi juga berbagai tips. Seperti cara membesarkan dan menyimpan kepiting hidup, makanan yang boleh atau tidak boleh disantap dengan kepiting, kapan memakannya, bagaimana cara membedakan kepiting beracun dan yang tidak, dan bagaimana pula cara membuat masakan kepiting mentah yang mengandung banyak air (dengan memberi makanan istimewa kepada kepiting agar memperbanyak organ untuk rasa yang lebih lezat). Tim Alper, seorang kolumnis kuliner Inggris menyatakan, “Kebanyakan orang Barat hanya memasak kepiting dengan cara merebus, sedangkan orang Korea mengembangkan masakan kepiting dan menyajikannya dalam dua resep istimewa, yaitu kkotkyetang dan kejang. Ditambah masakan kepiting Thailand yang terkemuka, poo pad pong garee (crab stir-fried curry), kedua masakan tersebut merupakan masakan kepiting ‘top three’ di dunia untuk saya.” Alper kagum pada rasa kejang kemudian mendeskripsinya sebagai makanan yang sangat lezat: ide merendam kepiting mentah di dalam kecap manis memang gagasan yang sederhana, tetapi juga sungguh mengagumkan. Negara mana di dunia yang mempunyai gaga-

Kepiting rebus (kkotkyetang ) dibuat dengan limpahan telur segar kepiting betina. Kedelai dan saos cabai merah dicampur dalam panci, ditambah air, lobak iris dan kepiting segar, lalu diaduk hingga mendidih. Kepiting kemudian diangkat keluar untuk membuang cangkang kerasnya, dipotong-potong dan kemudian ditempatkan lagi di panci mendidih tadi, bersama bawang, cabai merah, cabe hijau, dan mahkota bunga aster, di antara sayuran lainnya.

63


san seperti itu selain Korea?”

‘Rasa Kepiting Manis’ Terdapat lebih dari 4.500 jenis kepiting di dunia dan kurang-lebih 180 jenis kepiting hidup di laut Korea. Di antaranya, yang paling disayangi orang Korea adalah kepiting biru atau blue crab (kkotkye dalam bahasa Korea). Ada dua musim yang paling bagus untuk makan kepiting: musim bunga, saat kepiting betina penuh dengan telur sebelum menetas dan musim gugur, saat kepiting jantan penuh berisi daging sebelum cuaca memasuki musim dingin. Kepiting dapat dibedakan dari bentuk perutnya: kepiting jantan mempunyai pelindung yang tipis dan berbentuk segitiga, sedangkan kepiting betina berbentuk bulat, yang disebut “apron.” Kepiting biru yang di negara-negara berbahasa Inggris dikenal bernama “Swimming Crab,” mempunyai beberapa nama di Sino-Korean, seperti yumo (youmou dalam pengucapan bahasa China), baldo (bozhao), dan sihae (shixie). Nama asli dalam bahasa Korea adalah geotchire, salgwoe, dan gotge. Di beberapa daerah juga dikenal sebagai nalgae kkotke atau kkotgeu. Dalam Jasan eobo, buku yang ditulis pada 1814 mengenai makhluk laut di sekitar Kepulauan Heuksan, Jeong Yak-jeon menulis: “Pada umumnya kepiting bisa merangkak dengan baik, tetapi tidak bisa berenang. Kepiting ini bisa berenang dengan kaki yang berbentuk seperti kipas.” Jeong menambahkan: “Jika kepiting itu berenang di laut, hal itu dianggap sebagai tanda angin kencang sedang mendekat. Rasa kepiting itu manis.” Meskipun pada saat tertentu sedang musim kepiting biru, orang Korea tidak selalu dapat menikmatinya. Persediaan kepiting biru terkait erat dengan situasi politik di semenanjung Korea, ketika Utara dan Selatan berada dalam situasi konfrontasi yang abadi. Lebih dari separuh kepiting biru Korea berasal dari Laut Barat yang ada di sekitar Distrik Ongjin dan Ganghwa di Kota Incheon, area yang dekat dengan Korea Utara, sebuah wilayah yang sangat tegang dilihat dari perspektif militer. Setiap kali Korea Utara memulai provokasi, pemancingan pun dilarang di area itu yang menyebabkan persediaan kepiting biru terbatas. Ketika Korea Utara menyerang Pulau Yeonpyeong pada 2010, dikeluarkan larangan memancing di seluruh kawasan untuk sementara. Hal itu menyebabkan harga kepiting biru naik sampai langit, sehingga orang-orang hanya bisa mengigit bibir saja. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa situasi politik di negara yang terbelah ini juga terasa sampai di meja makan.

Yang Penting Adalah Kesegaran Cara yang paling bagus untuk menikmati masakan kepiting adalah makan di tempat sesaat setelah kepiting ditangkap. Selama proses distribusi dalam perjalanan yang panjang, kepiting biasanya menjadi kurang segar atau dagingnya berkurang akibat merasa tertekan, sehingga rasanya kurang lezat. Masakan paling lezat dengan kepiting yang segar tanpa bau amis adalah sup kepiting. Sup kepiting paling enak adalah dari tempat asalnya, yaitu Laut Barat. Resep lama dari Sieui jeonseo memberi masukan sebagai berikut: “Untuk sup, pakailah daging dari organ kuning dan hitam dalam kepiting. Pertama-tama,

64


1. Gejang (atau kejang ). Kepiting mentah dengan bumbu, sebuah hidangan kepiting yang khas Korea, disajikan dengan kecap yang direbus dengan bahan lain, seperti bawang merah, lada, dan bawang putih. Disantap setelah proses pengasinan cukup lama. 2. Pada musim semi dan musim gugur, kepiting segar dikirim dari selat laut yang dapat dibeli di pasar ikan perkotaan.

2

Untuk mencapai kenikmatan tertinggi hidangan kepiting, mereka harus siap menangkap kepiting segar. Hidangan nomor wahid kepiting Korea adalah sup yang dibuat dengan kepiting segar, yang memiliki rasa manis, tetapi tidak berbau amis. Kepiting rebus dengan bahan kepiting segar dari Laut Barat sangat berharga untuk cita rasa yang mewah.

organ kuning dicampur telur dan dibumbui minyak garam. Kemudian sup direbus dengan jahe dan bawang bombay yang berwarna hijau, lalu ditambah lada. Ketika cukup mendidih, tambahkan telur.� Dari teks di atas, tampaknya hanya daging organ dalam kepiting yang digunakan untuk sup. Hal itu agar masakan terlihat lembut saat orang menyantapnya. Namun bagi orang Korea zaman modern kini, bukanlah sebuah stigma untuk menikmati masakan kepiting dengan cara memisahkan daging putih dari kepiting. Campur tauco, bubuk cabe merah, dengan air dalam panci kemudian masukkan kepiting biru yang segar dan lobak yang telah dipotong, setelah itu didihkan. Setelah mendidih, keluarkan kepiting lalu lepaskan cangkang yang keras dan gunting ujung kukunya. Kemudian masukkan kepiting kembali ke panci, ditambah bawang bombay yang diiris dan bubuk cabe, lalu didihkan agak lama. Masakan kepiting yang terkenal di Seoul terdapat pada restoran-restoran di gang Sinsadong dan “Blue Crab Alley� di Majang-dong. Belakangan ini kepiting segar yang baru ditangkap dapat diantar ke rumah, dikirim dalam boks es. Dalam dua kali setahun, pada musim bunga dan musim gugur, kepiting segar dapat dinikmati dengan cara direbus atau dibumbui di rumah. Di pasar ikan di kota-kota, orang dapat membeli kepiting segar dari laut yang sudah dalam kotak atau ditimbang. Dengan demikian, saat ini banyak orang Korea dapat menikmati kepiting segar di mana saja. 1

65


Perjalanan Kesusastraan Korea

Kritik

Wawasan Kegelisahan Tentang Kehidupan Uh Soo-woong Wartawan Seni dan Budaya, Harian Chosun

T

anggal 22 Januari 2013 adalah perayaan tahun kedua wafatnya penulis Park Wan-suh (1931—2011). Sekitar tanggal tersebut saya menelepon putri sulungnya, Ho Won-suk, setelah beberapa bulan menyepi. Saat itu dia terlihat di rumah mungil yang resik milik si pengarang, di Achiul, kota Guri, di sebelah timur Seoul. Itu adalah rumah yang disebutkan pada awal cerita “Rumah Lelaki Itu” (diterbitkan tahun 2007 sebagai salah satu cerpen dalam antologi “Bok-hui yang Ramah”): “Saya juga, beberapa tahun yang lalu, dibawa ke sebuah akhir periode panjang kehidupan di sebuah apartemen dan kemudian pindah ke sebuah rumah.” Para pembaca Korea cenderung merujuk Park Wan-suh sebagai penulis populer, tetapi itu adalah sebutan yang membuat saya ingin menambahkan sesuatu yang lebih. Meminjam ekspresi penyair Jang Seok-ju, Park Wan-suh adalah “mata air sastra maternalistik Korea.” Dalam sejarah sastra Korea, novel-novel yang mengabadikan semangat patriarki telah lama terbentuk sebagai arus utama. Karya Park berurusan dengan kisah-kisah perempuan yang terbelenggu derita keterasingan dalam masyarakat patriarki. Dia membuka bundel cerita tentang anak perempuan daripada anak laki-laki, ibu ketimbang ayah, istri ketimbang suami. Ada sejumlah besar penulis perempuan di Korea yang dapat diharapkan menghasilkan karya semacam ini, tetapi cerita yang disajikan Park Wan-suh sendiri sangat sensitif dan berlimpah. Wawasannya memasuki sifat manusia hampir menakutkan. Karya-karya yang melihat melalui kepalsuan atas kebahagiaan borjuis menembus kemunafikan manusia, dan menanggung kepalsuan telah dipatenkan sebagai ciri khas ParkWan-suh. “Rumah Lelaki itu,” adalah contoh yang baik bagaimana penulis menunjukkan bahwa ia tidak bersedia menghindar pandangan yang menusuk itu, bahkan tentang dirinya sendiri. Cerita ini pada mulanya diterbitkan dalam edisi musim panas 2002 majalah Sastra dan Masyarakat, ketika pengarangnya berusia 70 tahun. Saya ingat dengan jelas, betapa saya merasa begitu senang melihat bagaimana seorang penulis berusia 70 tahun, masih tampak segar berdiri berdampingan dengan rekan-rekannya yang lebih muda dan berani menyajikan cerita seperti itu, ketika sastra Korea penuh sesak dengan begitu banyak usia penulis yang prematur.

66

Tema liputan khusus dalam Koreana edisi ini adalah “Aspek Seoul yang bahkan warga Korea pun tidak tahu.” Karya Park Wan-suh adalah sebuah kisah yang dapat dibaca sebagai studi tentang fenomena masyarakat modern, menjadi sebuah cerita tentang kebiasaan hidup di lingkungan kecamatan Donam yang bahkan tidak dikenal oleh warga Korea sendiri. Di bawah permukaan, ada batas dengan keinginan fisik dan kepahitan. Ini adalah kecaman tajam dari keinginan dan rasa bersalah seorang perempuan dan kesadaran manusia palsu, termasuklah penulis sendiri. Cerita menggunakan latar kehancuran akibat perang saudara di Seoul awal dan selepas tahun 1950-an. Titik awalnya dimulai dari peristiwa masa kini kunjungan tokoh utama sebagai orang yang sudah lewat paruh baya pergi ke rumah seorang lelaki adik kelas di lingkungan sepanjang sungai Angam di kecamatan Donam. Di situlah cinta pertama si lelaki digunakan untuk hidup. Tokoh utama juga menghabiskan sebagian masa mudanya di sana, sehingga dia merasa dapat menegaskan, “Saya sudah sangat akrab dengan daerah itu.” Pada saat ia masih siswa SMA, ketika relatif jauh ibunya pindah ke lingkungan itu. Membersihkan rumah bersama anak laki-laki seusianya. Pada masa itu, anak laki-laki dan perempuan dipisahkan secara ketat, sehingga mereka bergaul seolah-olah tidak saling mengenal satu sama lain, maka satu atau dua tahun kemudian secara kebetulan mereka bertemu lagi. Pencerita, sekarang sudah menjadi mahasiswa, bekerja di pangkalan militer Amerika untuk mendapatkan uang, ketika itulah secara kebetulan dia bertemu dengan lelaki adik kelasnya itu di sebuah trem dalam perjalanan pulang dan mulailah mereka berbicara. Dewi asmara mulai tumbuh. Mereka menjadi kekasih dan berbahagia berkeliling Seoul bersama-sama menghabiskan musim dingin. Tetapi, dia berhadapan dengan lelaki penganguran, sementara dia bertanggung jawab sebagai kepala keluarga dari lima orang yang memaksanya untuk mencari nafkah. Sebagai akibat Perang Korea, kaum lakilaki pergi ke medan perang dan berada di luar dunia, di rumah tetap ada perempuan dan anak-anak. Namun, keinginan dan gairah cinta tidak terhindarkan. Kaum laki-laki dalam keluarga telah menjadi korban perang, gadis muda ini bertanggung jawab atas keluarganya, dan ia merasa bersaS e n i & B u d a y a Ko re a


Park Wan-suh Park Wan-suh berada di garda depan sastra maternalistik Korea, yaitu menulis melalui prisma pandangan dunia perempuan. Ada sejumlah besar penulis perempuan di Korea yang menghasilkan berbagai jenis karya, tetapi kisah yang disampaikan Park Wan-suh sangat sensitif dan berlimpah. Pandangannya memasuki sifat manusia sebenarnya menakutkan. Cerita pendeknya, “Rumah Lelaki Itu,� adalah contoh yang baik kemampuan penulis menunjukkan keikhlasannya menghadapi pandangan tajam, bahkan berlaku untuk dirinya sendiri.

Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2013

lah mengenai hasrat cintanya yang menusuk dada. Pencerita menulis: Setelah Mei datang, taman meledak dalam mekar yang melimpah. Saya tidak menyadari ada begitu banyak jenis pohon dan tanaman berbunga. Selain sangat harum bunga lili putih dengan balutan warna pelangi, seperti lidah azalea, oleander yang beraroma sensual, buah delima dengan bunga seperti lampu merah di perempat, dan debar bunga gardenia, semua melemparkan bebungaan liar dan penuh semangat, seolah menggoda dengan bebas. Persilangan gairah dan rasa bersalah adalah salah satu tema yang paling jelas dari cerita ini. Bahkan pembaca yang bukan orang Korea yang terbiasa dengan sejarah Korea akan dapat merasakan sesuatu tentang asal-usul yang mendasari perasaan han (kepahitan, kebencian) umum untuk semua warga Korea berusia 60 atau lebih. Seperti dalam kisah ini, tragedi pembunuhan dan konflik antarsaudara yang dikenal sebagai Perang Korea sering mengubah anggota sebuah keluarga menjadi musuh bebuyutan. Pada saat-saat sedih, sebagai tentara Selatan dan Utara dari waktu ke waktu maju dan mundur, dunia berulang kali terbalik, dan juga dunia batin masing-masing individu. Di akhir kisahan, pencerita, yang terbakar semangat kegairahan, mengkhianati lelaki itu. Dengan demikian, cerita mencapai tema universal sastra dunia. Alasan sebenarnya mengapa ia menipu dirinya sendiri dan kemudian mengkhianati lelaki itu, ujarnya, adalah karena dia seorang snobis dan konservatif pragmatis. Dia berhati seperti induk burung, yang ingin hidup nyaman dengan anak-anaknya di sarang kokoh, tidak peduli betapapun kecilnya sarang itu. Itulah wawasan kehidupan yang membingungkan. Dalam kesempatan perayaan tahun kedua wafatnya Park Wan-suh, saya membaca baris berikut dalam sebuah teks otobiografinya, yang tertulis: “Membesarkan anak bungsu tanpa mengurangi kepedulian kami, saya mulai dihinggapi rasa bosan. Kebosanan tiba-tiba berubah menjadi ketidakbahagiaan yang mendalam menguasai diri saya.� Saya suka pengakuan pribadi Park Wan-suh. Mungkin ada perbedaan derajat, tetapi tidak ada seorang pun dapat menghindari semacam pembatasan. Semoga dia beristirahat dalam damai di surga.

67


citra korea

L

ebih 10 juta jiwa tinggal di Seoul. Di Seoul, ada satu tempat yang memungkinkan penduduknya berjalanjalan sambil merenung tanpa terganggu oleh kebisingan mobil, lampu lalu lintas, perlintasan kereta api, dan sebagainya. Jalanan simpang siur di kota ini seperti sarang laba-laba, Sungai Cheonggye namanya, yang artinya Aliran Bening Lembah. Sungai ini mengalir dari barat ke timur mencapai jarak 10,8 km melewati jantung kota, dan mengapit sungai itu ada trotoar dengan tebing tembok untuk para pejalan kaki yang dapat melupakan kesibukan sehari-hari masyarakat kota metropolis, sungai ini dapat disebut juga sebagai taman sihir karena dapat seketika kembali ke dinamika kota. Dinasti Joseon yang berdiri tahun 1392, segera memilih Seoul sebagai ibukotanya. Kota ini dibangun dalam sebuah wilayah cekungan yang luas di antara gunung tinggi di utara dan perbukitan rendah di selatan. Tiga puluh aliran sungai mengalir turun dari pegunungan lalu bertemu di pusat kota ini dan menjadi jalur air, yang mengalir melintasi seluruh kota sebelum berbelok ke selatan membuka jalan menuju Sungai Han. Sungai alami ini di sebagian waktu lebih sering kering, tetapi selama musim hujan seketika akan melebar, membanjiri rumah-rumah yang berjajar di sepanjang tepiannya. Pada enam dasawarsa terakhir gelombang perubahan paling cepat dan berkelanjutan terjadi pada Sungai Cheonggye, menjadikannya sebagai cermin sejarah modern Seoul. Pada tahun 1953, menjelang berakhirnya Perang Korea, kisah jalur air ini tidak lebih dari sebuah tanah berlubang-lubang yang kumuh dan dipenuhi pengungsi dan kesengsaraan. Sejumlah besar limbah dan sampah yang dibuang sembarangan menyumbat aliran sungai, menyebabkan kerusakan parah dan bau busuk. Pada tahun 1958, pekerjaan dimulai untuk menutupi sungai, sebuah upaya setengah hati untuk menyembunyikan terjadinya kerusakan yang sangat parah. Setelah itu, Seoul dikembangkan dengan segala ingar-bingar kecepatannya, memasuki era industrialisasi yang pesat. Pada tahun 1967, konstruksi dimulai pada jembatan penyeberangan Cheonggye, jalan bebas hambatan dengan lebar 16 meter sepanjang 5,65 km yang dibangun di atas aliran yang dibenamkan dalam beton. Dengan cara itu, memungkinkan melakukan perjalanan di seluruh kota metropolis ini hanya dalam waktu 10 menit. Jembatan ini selesai dibangun hampir 20 tahun setelah konstruksi mulai menutupi sungai. Dalam waktu kurang dari itu, jembatan yang kegunaannya sudah kedaluwarsa, strukturnya ambruk yang bisa menimbulkan bencana dan retakannya menjadi wajah yang tak sedap dipandang sebagai ibukota dunia. Kota ini menyadari bahwa Sungai Cheonggye harus dikembalikan pada kehidupan agar Seoul tetap bertahan. Pada tahun 2003, jalan layang dan struktur yang menutupi sungai itu diruntuhkan, dan 22 jembatan dibangun untuk menghubungkan kembali pusat kota yang terpisah. Pada bulan Oktober 2005, air jernih Sungai Cheonggy kembali mengalir bebas. Air berkilauan diterpa sinar matahari karena mengalir menuju Sungai Han yang besar, seolah-olah aliran sungai itu mengalir selama ini tanpa jeda. Wajah-wajah cerah orang-orang yang berdiri di pinggiran air yang mengalir, laksana menenggelamkan kegelapan berlalunya masa silam.

Kembali, Sungai Mengalir Bebas Kim Hwa-young, Kritikus Sastra, Anggota Akademi Kesenian Nasional


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.