Koreana Winter 2015 (Indonesian)

Page 1

MusiM Dingin 2015

SEOwON

2015 vol. 4 no. 4

Seowon, Pusat Akademi Neo-Konfusianisme di Masa Dinasti Joseon Benteng Akademik dan Ideologis Pendidikan Pedesaan; Mengubah Peran untuk Masa Depan: Melihat ke dalam Kehidupan Sehari-hari di Seowon; Akademi bagi Kaum Bangsawan yang Terbangun dari Tidur Panjangnya

ISSN 2287-5565

vol. 4 no. 4

New_list(HD)

FItUR KhUSUS

MUSIM D

| |

SENI & BUDAYA KOREA

New_list(HD)


CITRA KOREA


Musim Dingin Tiba Ketika Sepotong Balok Kedelai Tergantung di Atap Rumah Kim Hwa-young Kritikus Sastra, Anggota Akademi Kesenian Nasional

I

pdong , kegiatan tahunan musiman yang menandai awal musim dingin, datang pada 8 November tahun ini. Di pinggir kota, semua orang mulai sibuk mempersiapkan diri menyambut musim dingin. Salah satu tugas utama ialah pembuatan meju, atau balok kedelai. Sepotong balok kedelai tampak diikat dengan jerami dan menggantung di bawah birai kamar tidur utama atau atap rumah, dikeringkan oleh sinar matahari pada musim gugur, bagaikan gambar yang menggantung pada hati yang membawa kerinduan pada kampung halaman di masa kanak-kanak. Meju merupakan bahan utama untuk pasta kedelai, kecap, dan pasta cabai merah, sebagai dasar untuk hidangan utama dalam masakan Korea, dan sumber protein berbasis nabati. Pada zaman dahulu, ketika waktu ipdong tiba ibu dan nenek akan mengambil panci besi yang menggantung di luar dan mengisinya dengan kacang ke dalam air yang mendidih. Sepanjang hari kacang akan direbus di atas api kecil dari lubang tungku dapur, dan rumah pun akan dipenuhi dengan bau gurih mereka. Aroma kacang yang direbus pun menyelinap ke luar membuat perut terasa menjadi lapar. Sekarang saatnya pada tahun ini saya membantu ayah menempelkan kertas putih baru pada jendela dan pintu. Sebuah lem tipis diusapkan secara merata pada bingkai kayu dan kemudian kertas putih dilekatkan secara hati-hati di atasnya, diucap dengan halus, dan ditekan-tekan agar melekat dengan baik. Kemudian segelas air bersih akan disemprotkan secara merata ke seluruh kertas. Dengan cara seperti itu, kertas akan menjadi ketat karena kering di bawah sinar matahari musim gugur sinar. Pada saat yang bersamaan, ibu pun mengambil kacang kedelai dari panci dan mulai melembutkannya di dalam lumpang. Nenek akan membentangkan kain rami dalam cetakan meju dan memadatkan kacang kedelai yang telah hancur ke dalamnya untuk membuat balok kedelai. Kemudian jerami dibentangkan di atas tanah dan balok-balok tersebut diletakkan di atasnya untuk dikeringkan selama dua atau tiga hari. Ayah akan mengikat balok-balok itu dengan jerami dan menggantungnya di bawah atap di bawah cerah matahari. Dengan bantuan udara, matahari dan angin, mikroorganisme berkembang dalam balok kedelai akan menghancurkan enzim yang merusak protein. Pintu dengan lapisan kertas baru akan menghalangi angin musim dingin, namun memungkinkan cahaya matahari menerangi seluruh ruangan. Sekarang ini banyak anak yang tinggal di kota tidak tahu apa yang dimaksud dengan meju. Pasta kedelai, kecap dan bahkan meju dapat dibeli di pasar. Bagaikan kata pepatah, “Anda dapat mengatakan meju dibuat dari kacang [namun masih tidak gampang mempercayai Anda],� kaum muda Korea seakan tak percaya dengan cara hidup tradisional yang telah dilakukan selama ratusan tahun hingga saat ini. Mungkinkah pizza, hamburger dan minuman bersoda yang membuat mereka kurang berminat terhadap segala hal yang bersifat tradisional?


Dari Redaksi

Karakter Musim, tari, dan Pendidikan Nilai Memasuki bulan Desember suhu udara di Korea sudah mulai menuju titik di bawah nol derajat celcius. Tiupan angin membuat udara menjadi sangat dingin. Orang-orang pun mulai mengenakan busana berlapis-lapis. Tubuhnya terlihat semakin berat saja. Penutup kepala, hidup, dan sarung tangan juga tak bisa ditinggalkan. Pendek kata, musim dingin seakan-akan menjadi musim paling berat. Belum lagi salju pun turun. Salju yang cantik ketika berjatuhan dari angkasa, membeku di jalan-jalan. Akibatnya orang harus ekstra hati-hati ketika melintas agar tak tergelincir lalu jatuh. Kedekatan dan pemahaman masyarakat Korea atas karakter musim-musim selalu diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu mereka sangat memperhatikan perihal pentingnya pendidikan nilai, lebih-lebih filsafat dan moral Korea. Para cendekiawan konfusius beranggapan bahwa “perintah dari langit terdapat pada sifat dasar manusia, sifat dasar manusia diikuti dengan kebajikan, dan yang mengasah kebajikan itu adalah pendidikan.” Juga, para cendikiawan ini menunjukkan sikap untuk “maju membentangkan tujuan jika terdapat kebajikan di dunia, dan mundur untuk mengasah raga jika kebajikan tersebut hilang dari dunia.” Mementingkan ajaran guru dan menjaga “penurunan atau pewarisan ajaran kebajikan” sebagai cara pembelajaran antarguru dan murid merupakan pandangan pendidikan Neo-Konfusianisme yang unik. Seowonlah tempat di mana mereka melanjutkan warisan ajaran kebajikan secara lebih mendalam dan mengasah kebajikan. Akademi Konfusius Seowon sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan, filsafat, dan budaya tradisional Korea; bahkan dipelajari hingga saat ini. Oleh karena itu, pada edisi musim dingin 2015 ini Koreana mengupas secara tuntas halhal tersebut. Mari kita nikmati halaman demi halaman sambil menikmati dongji patjuk, bubur kacang merah, kudapan untuk musim dingin. Koh Young hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia

PEMIMPIN UMUM DIREKtUR EDItORIAl PEMIMPIN REDAKSI DEwAN REDAKSI

DIREKtUR KREAtIF EDItOR

PENAtA ARtIStIK DESAINER

PENAtA lEtAK DAN DESAIN

Yu Hyun-seok Yoon Keum-jin Koh Young Hun Bae Bien-u Choi Young-in Emanuel Pastreich Han Kyung-koo Kim Hwa-young Kim Young-na Koh Mi-seok Song Hye-jin Song Young-man Werner Sasse Kim Sam Kim Jeong-eun noh Yoon-young Park Sin-hye lee Young-bok Kim Ji-hyun lee Sung-ki Yeob lan-kyeong Kim’s Communication Associates 385-10 Seogyo-dong, Mapo-gu Seoul 121-839, Korea www.gegd.co.kr Tel: 82-2-335-4741 Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan. INFORMASI BERlANggANAN: The Korea Foundation West Tower 19F Mirae Asset CEnTER1 Bldg. 26 Euljiro 5-gil, Jung-gu, Seoul 100-210, Korea PERcEtAKAN EDISI MUSIM DINgIN 2015 Samsung Moonwha Printing Co. 274-34 Seongsu-dong 2-ga, Seongdong-gu, Seoul 133-831, Korea Tel: 82-2-468-0361/5 © The Korea Foundation 2015 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, olahraga, dan Pariwisata(no. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

SENI & BUDAYA KOREA Musim Dingin 2015

“Rak buku“ (Chaekgado; dari “Chaesaekhwa, lukisan Polikrom lukisan dari Korea,“ Dahal Media). layar lipat delapan panel, paruh kedua pertengahan abad 18 setengah hingga pertengahan abad ke-19, 112 cm x 381cm, koleksi pribadi. lukisan dari rak buku atau buku dan benda-benda lain yang ditata pada rak, disebut chaekgado atau chaekgeori, sangat popular di masyarakat Korea, dari anggota istana hingga masyarakat biasa. Sebagian besar digunakan untuk menghias ruang belajar, mereka meletakkan buku, alat tulis, dan berbagai benda seni dan antic yang melambangkan suasana belajar pemiliknya, status ekonomi atau aspirasi pribadi.

Diterbitkan empat kali setahun oleh the Korea Foundation 2558 nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 137-863, Korea http://www.koreana.or.kr


FoKus

24

Lee Mae-bang “Penari dari Nirwana” dan Dunia Tarinya

Debat yang Mencerahkan tentang transisi Etnis di Korea Selatan

Yang Jong-sung

WAWAnCARA

Han Kang, Penulis yang Memandang Butir Salju yang Tidak Meleleh

08

10

04

Benteng Akademik dan Ideologis Pendidikan Pedesaan

“Beautiful Things in Life ” Kolaborasi Pemain haegeum Serbabisa

10

Mengubah Peran untuk Masa Depan: Melihat ke dalam Kehidupan Sehari-hari di Seowon

34

http://seoulcitywall.seoul.go.kr/front/ eng/index.do Panduan Online ke Seoul city wall

Kim Hak-soon

Media Tunggal Merambah Dunia Penyiaran Tradisional

JATuH CinTA PADA KoReA

56

HiBuRAn

38

Kang Myoung-seok

Jang Hüseyin: Suara untuk Kedamaian

esAi

Darcy Paquet

Kebudayaan sebagai Diplomat Budaya

42

Gunung yang Tinggi dan Air yang Biru, Nyanyian Arari yang Tak Henti dalam Kehidupan, Youngwol Jeongseon

58

Bambang Wibawarta

KeniKMATAn gouRMeT

60

Dongji Patjuk : Bubur Kacang Merah, Kenangan Masa Kecil tentang Kudapan untuk Musim Dingin Park Chan-il

Gwak Jae-gu

sePAnJAng JeJAK KAKi MeReKA

Shin Byung-ju

FiTuR KHusus 2

Kisah Epik Emigran Korea Pertama ke Meksiko

Charles la Shure, lee Woo-young

Di ATAs JAlAn

seowon, Pusat Akademi neo-Konfusianisme di Masa Dinasti Joseon

“Black Flower ”(Hardcover)

Sekolah Alternatif bagi Pemuda Remaja dari Korea Utara

FItUR KhUSUS

FiTuR KHusus 1

30

Kang Ji-hee

CeRiTA TenTAng DuA KoReA

54

BuKu & lAinnYA

“Multiethnic Korea? Multiculturalism, Migration, and Peoplehood Diversity in Contemporary South Korea ”

Diagnosis Dermatolog Dr. Lee Sung-nack pada Potret dari Zaman Joseon Kang Shin-jae

50

gAYA HiDuP

Laki-laki dengan Celemek: Jatuh Cinta pada Memasak

64

Kim Yong-sub

PeRJAlAnAn KesusAsTRAAn KoReA

68

Matahari yang Tak Pernah Tenggelam, Kerinduan yang Tak Pudar Cho Yong-ho

Di Atas Gunung Barat

Kim Hyun-jin

Kim Chae-won

FiTuR KHusus 3

Akademi bagi Kaum Bangsawan yang Terbangun dari Tidur Panjangnya

14

24

lee Chang-guy

FiTuR KHusus 4

Seowon Modern yang Menggoda Para Cendekiawan Muda lee Kil-woo

20

42


FITUR KHUSUS 1 SeOwON, PuSAT AKADeMi NeO-KONfuSiANiSMe Di MASA DiNASTi JOSeON

BENTENG AKADEMIK DAN IDEOLOGIS PENDIDIKAN PEDESAAN 4 KoReANA Musim Dingin 2015

Shin Byung-ju Profesor Departemen Sejarah, universitas Konkuk Ahn Hong-beom fotografer


Mempersiapkan upacara peringatan tahunan, sarjana Konfusianisme dari Seowon Byeongsan di Andong, Provinsi Gyeongsang utara, sedang menyusun jadwal kerja berbagi tugas dan tanggung jawab.

Seowon, pada zaman Dinasti Joseon (1392-1910) adalah suatu lembaga pendidikan bagi cendekiawan Konfusius memperdalam ilmu serta mendidik penerusnya, sekaligus juga berperan sebagai badan pemerintahan yang bertanggung jawab atas daerah atau desa setempat. Seowon di masa itu, yang menjadi pusat dari ilmu Neo-Konfusianisme ini lambat laun tumbuh penyebarannya hingga menjadi sarang politikus yang mengakibatkan melemahnya kekuasaan negara, menjadikannya sebagai bagian ironis dari sejarah. Walau demikian, Seowon yang masih dijaga oleh budaya kuat dari marga yang berhubungan dengan ilmu pendidikan tersebut di Korea Selatan saja ada sekitar 600 buah. Dan masyarakat Korea modern yang tetap haus akan pendidikan kepribadian, kembali menilik keberadaan Seowon lagi. SeNI & BUDAYA KoReA 5


D

idirikannya Seowon memberikan pengaruh yang besar pada politik, ekonomi, pendidikan serta budaya di Joseon. Pendirian Seowon seiring dengan pertumbuhan politik bangsawan baru yang mengembangkan kekuatan mereka berpusat pada daerah pada akhir zaman Goryeo. Kaum Sarimpa tetap bisa menjadi kekuatan dominan di Joseon sekalipun harus mengalami empat kali Sahwa (hukuman kurungan) di abad ke-16 berkat dukungan sepenuhnya oleh masyarakat daerah yang mendasari kekuatan tersebut. Cendekiawan mendirikan Seowon dan menyebarkan ajaran Konfusianisme dan dengan menjadikan masyarakat daerah sebagai basis, mereka dapat mengkritik kelompok Huncheok (pemerintahan pusat). Selain itu, dengan menekankan pendidikan pada ilmu Jihak (ilmu untuk mencari jati diri) mereka berusaha melemahkan kekuatan Susin (abdi kerajaan), sehingga pendidikan Konghucu muncul sebagai jenis pendidikan yang mendapat sorotan dan secara otomatis pendirian Seowon turut merebak.

6 KoReANA Musim Dingin 2015

Orientasi Ganghak dan Seonhyeon fasilitas yang paling utama dari Seowon adalah fasilitas pendidikan dan fasilitas jehyang (pelaksanaan upacara ritual). fasilitas pendidikan termasuk Gangdang (aula) sebagai ruang belajar mengajar bagi guru dan siswa, Jesil (asrama) bagi siswa untuk bertempat tinggal. Sementara untuk fasilitas Jehyang terdapat kuil. Jesil biasanya tersusun secara simetris di halaman depan aula timur dan barat, dan setiap Seowon ada Jaemyeong (nama ruang) masing-masing. Kuil biasanya didirikan di bagian terdalam atau tertinggi di dalam pagar tersendiri. Selain itu, di Seowon disediakan tempat pembakaran, Jegigo (gudang penyimpanan tempat pembakaran), Nugak (paviliun) di mana siswa dapat melewatkan waktu sambil menikmati alam, Jangpangak (semacam perpustakaan) yang menerbitkan dan menyimpan bahan kepustakaan. Siswa di Seowon juga mengumpulkan buku yang diperlukan untuk studi dan mengelola perpustakaan. Sampai pada tahun 1600, jumlah catatan yang tersimpan di Seowon Sosu berjumlah 107 buah dan juga ada 1678 buah buku. Dalam arti lain, Seowon telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dengan menyimpan berbagai dokumen dan buku. Seowon juga mengelola bisnis penerbitan. Penyebaran Seowon ke Seluruh Negeri dan Penguatan Dasar Dukungan Shilin Sejak abad ke-16, upaya untuk memperluas diri di kalangan masyarakat telah

1

©National Museum of Modern and Contemporary Art, Korea

Pelopor Seowon Korea, Seowon Baekundong oleh Ju-Sebung Pada tahun 1543 (tahun ke 36 masa pemerintahan Jungjong), bupati wilayah Pungki bernama Ju-Sebung (1495-1554) mendirikan Seowon pertama di Korea, di Sunheung-myeon, Provinsi Gyeongsang dengan nama Seowon Baekundong Pembangunan Seowon ini adalah dengan tujuan untuk mendukung cendekiawan yang pertama kali membawa Konfusianisme ke Korea, Ahn-Hyang (1243-1306), dan untuk mendidik penerusnya. Pada mulanya JuSebung mendirikan sebuah kuil bernama Hoeheonsa bagi Ahn-Hyang, namun kemudian ia mendirikan Seowon Baekundong yang meniru Seowon Baekrok yang dibangun oleh Juja dari Cina. Cendekiawan Konfusian dari era Joseon yang mengutamakan pendidikan berusaha keras untuk membuka sekolah swasta seperti Seodang atau Seojae atas biaya sendiri untuk mendidik penerusnya di dae-

rah-daerah. Kaum Sarimpa di abad ke-16 telah mewarisi tradisi yang demikian ini kemudian memperkuat fungsi pendidikan yang dimiliki sekolah, sementara para pendahulu mereka menambahkan fungsi kuil Sadang dan mendirikan Seowon. Jadi, tujuan utama dari Seowon adalah untuk mendidik seseorang untuk menjadi manusia yang benar dan sejati, sekaligus juga untuk mendidik penerus-penerusnya. Pada tahun 1548 (tahun ke-3 masa pemerintahan Myeongjong), Yi-Hwang (1501-1570) ditunjuk sebagai bupati wilayah Pungki. ia lalu mengajukan permohonan ke istana dengan mengemukakan arti dan nilai yang dimiliki oleh Seowon Baekundong, dan pada tahun 1550 ia mendapat izin untuk mendirikan Seowon Sosu yang mendapat izin dan nama langsung dari raja disebut Sa-aek yang artinya ‘mendapatkan pengakuan dari kerajaan.’ Seowon Saaek mendapatkan subsidi tidak hanya berupa lahan, pustaka, pekerja, dan sebagainya, tetapi juga dibebaskan dari pajak dan tugas militer.

1 “Seowon Dosan” (1721) oleh Jeong Seon (1676-1759), Tinta dan warna pada kertas. 124 × 67 cm. Melukiskan lokasi ideal Akademi Neo-Konfusianisme, lukisan menggambarkan Seowon Dosan berada di tengah hutan yang indah di kaki Gunung Cheongnyang yang menghadap ke Sungai Nakdong di Togye-ri, Andong, Provinsi Gyeongsang utara. 2 Pada Donam Seowon di Nonsan, Provinsi Chungcheong Selatan, administrator sedang memeriksa papan-kayu cetakan dalam tempat penyimpanan, yang menyimpan 2103 buah papan-kayu termasuk “Koleksi Lengkap Sagye” (Sagye jeonseo) oleh Kim Jang-Saeng, ”Koleksi Lengkap Sindokjae” (Sindokjae jeonseo) oleh Kim Jip.


2

Cendekiawan Konfusian dari era Joseon yang mengutamakan pendidikan berusaha keras untuk membuka sekolah swasta seperti Seodang atau Seojae atas biaya sendiri untuk mendidik penerusnya di daerah-daerah. Kaum Sarimpa di abad ke-16 telah mewarisi tradisi yang demikian ini kemudian memperkuat fungsi pendidikan yang dimiliki sekolah, sementara para pendahulu mereka menambahkan fungsi kuil Sadang dan mendirikan Seowon. SeNI & BUDAYA KoReA 7


berhasil secara bertahap atas dukung-an dari Shilin (kelompok orang-orang terpelajar). Di masa pemerintahan Raja Myeongjong (masa pemerintahan 1545-1567), didirikan 18 buah Seowon. Sementara di zaman Raja Seonjo (masa pemerintahan 1567-1608) ada 63 buah Seowon yang didirikan. Dari Seowon yang didirikan tersebut, kebanyakan didirikan di Provinsi Gyeongsang, mengikuti tradisi Sarimpa Yeongnam. Seowon Dosan yang melahirkan Yi-Hwang, Seowon Deokcheon yang melahirkan Cho-Shik (1501-1572), dan Seowon Byeongsan yang melahirkan Yu Seong-ryong (1542-1607) adalah contoh dari seowon-seowon tersebut. Sebelumnya Seowon dalam kedudukan bersaing dengan Hyanggyo yang setara dengan sekolah negeri, namun karena memiliki lingkungan pendidikan yang lebih baik dan dengan semakin memiliki pengaruh di masyarakat, banyak anak-anak 8 KoReANA Musim Dingin 2015

bangsawan daerah didaftarkan di Seowon. Sejak pertengahan zaman Joseon, Seowon memainkan peran positif penting dalam penyebaran ilmu Konfusianisme dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan akademik, namun di lain pihak hubungan kekerabatan, hubungan kedaerahan, hubungan tingkat pendidikan dan sebagainya di antara kaum bangsawan daerah yang ingin mencari keuntungan sen-


diri akhirnya membuat Seowon tercemar. Terutama para bangsawan daerah selain menjadikan Seowon sebagai sarana untuk meningkatkan dasar akademik mereka, juga menjadikannya sebagai basis untuk mendapatkan posisi di bidang politik. Kaum Toegye dari sekolah Nam-in, kaum Nammyeong dan Hwadam dari sekolah Buk-in, kaum Yulgok dan woogye dari sekolah Seo-in, kaum Myeongjae dari sekolah So-ron kaum woogye dari sekolah Noron adalah contoh-contohnya. unggulan dari sekolah-sekolah tersebut berdebat tentang ilmu ideologis seperti Yigiron atau Yeson, sehubungan dengan isu-isu politik, dan Seowon menjadi ajang perdebatan mereka. Sejak pertengahan Joseon, setelah Seowon banyak memunculkan kaum kelompok Kiho, Seowon secara luas menyebar di daerah-daerah seperti Provinsi Jeolla, Provinsi Chungcheong, dan Provinsi Gyeonggi. Sebagai contohnya, dari Provinsi Jeolla adalah Seowon Pilam yang melahirkan Kim-inhu (1510-1560), dari Provinsi Chungcheong adalah Seowon Donam di Yeonsan yang melahirkan Kim JangSaeng (1548-1631), dari Provinsi Gyeonggi adalah Seowon Jawoon yang melahirkan Lee-Yi (1536-1584) Seowon Pasan yang melahirkan Seong-hon (1535-1598).

Perpecahan dan Masa Surut Seowon Pada masa pemerintahan Sukjong (masa pemerintahan 1674-1720) Seowon tersebar dengan cepat hingga di dalam negeri terdapat 166 buah Seowon dengan 105 buah di antaranya adalah Seowon yang

Administrator Piram Seowon di Jangseong, Provinsi Jeolla Selatan, melaksanakan salah satu upacara peringatan semi-bulanan yang jatuh pada hari pertama setiap bulan. Kuil, udongsa, rumah tanah liat memorial Kim in-hu dan muridnya Yang Ja-jing.

didirikan atas biaya pribadi. Memang ada Seowon yang menyalahgunakan hak istimewa bebas pajak, serta tak jarang yang mengakibatkan gangguan perekonomian negara dengan melakukan berbagai tindak kejahatan. Karena alasan tersebut, Raja Sukjong memutuskan untuk melarang keras pendirian Seowon sejak tahun 1714 terutama pendirian atas biaya pribadi. Raja Yeongjo (pemerintahan 1724-1776), yang berusaha memperkuat kekuasaannya, juga turut aktif mendukung larang-an pendirian Seowon yang dicetuskan Raja Sukjong. ia menurunkan perintah pembongkaran Seowon secara besar-besaran terhadap Seowon yang didirikan pada tahun utama untuk penghapusan Seowon dan Sawoo didirikan sekitar tahun 1714-1741. Dalam Catatan Yeongjo tertanggal 8 April 1741 tertulis perintah Yeongjo yang mengatakan bahwa “Pada tahun 1714, setelah dikeluarkannya ketetapan, jika tetap ada pendirian Seowon secara priba-di maka haruslah dibongkar tanpa perlu dipertanyakan dan pembongkaran dilaksanakan menurut aturan yang berlaku, semua guru dicabut kekuasaan dan pengaruhnya, semua pelajar yang ada didalamnya haruslah diasingkan ke tempat yang jauh.” Sejak pemerintahan Raja Sunjo (masa pemerintahan 1800-1834) hingga pemerintahan Raja Cheoljong (masa pemerintahan 1849-1863) dan terus berlanjut hingga memasuki abad ke 19, sampai memasuki masa politik Sedo, hampir tidak ada Seowon yang didirikan. ini cukup menunjukkan bahwa larangan Raja Yeongjo terhadap pembangunan Seowon mempunyai efek yang sangat kuat.

Peraturan Larangan Pendirian Seowon dan Jatuhnya Kaum Konfusianis Orang selanjutnya yang aktif mendukung larangan pendirian Seowon setelah Raja Yeongjo adalah Heungseon Daewon-gun (1820-1898). Setelah anak laki-lakinya, Raja Gojong menduduki takhta di tahun 1863, ia mendapat kekuasaan sehingga pada tahun 1865 ia membongkar Makam Mandong di Noron milik Song Siwol, seorang ideologis yang cukup berpengaruh, dan pada tahun 1868 juga membongkar sebanyak sekitar 600 buah Seowon yang hingga saat itu belum dibongkar. Pada tahun 1871, dengan membesar-besarkan fakta bahwa Seowon adalah menjadi sarang pengacau negara, ia mengeluarkan perintah untuk pembongkaran hampir semua Seowon, kecuali 47 buah Seowon yang dikhususkannya, di seluruh negeri. Seowon yang termasuk ‘selamat’ dari pembongkaran di masa itu dan masih bertahan hingga kini adalah Seowon Dosan, Seowon Namgye, Seowon Oksan dan sebagainya. Tanah dan properti Seowon yang dibongkar diambil alih oleh administrasi kerajaan dan Seowon tidak diberi izin untuk melakukan perluasan. Menentang pembongkaran Seowon, para Yurim (cendekiawan) memprotes dengan mengadakan demonstrasi di Seoul, sebanyak 1460 orang pelajar Konfusianis dari Provinsi Geongsang mencela keputusan Daewongun sebagai ‘Kaisar Qin dari Timur’ dan melakukan protes di gerbang istana, namun demikian Daewongun tidak bergeming sama sekali. Daewongun mematahkan semangat para pelajar Konfusianis dengan mengatakan “Sekalipun Kongfucu bangkit dari kuburnya, kalau ia mencelakakan rakyat aku tidak akan memaafkannya…. Sekarang Seowon tak ada bedanya dengan sarang bandit.” Di antara masa pendudukan Jepang dan di tengah modernisasi yang pesat, sekalipun Seowon kehilangan fungsi aslinya sebagai lembaga pendidikan, tradisi Jehyang (upacara ritual) tetap terwariskan sampai hari ini. Dewasa ini, oleh orang-orang yang ingin menjaga nilai dan tradisi Seowon dilakukan pembangunan kembali diikuti dengan semaraknya perhatian masyarakat modern terhadap nilai sejarah dan budaya yang dimiliki Seowon. Apalagi di tengah masyarakat yang mementingkan ‘kualitas kepribadian seseorang,’ pendidikan yang terfokus pada kepribadian manusia yang diteliti oleh para Sapyo (pengajar) sembari mendidik dan melahirkan penerus-penerusnya, membuat Seowon memiliki nilai dan arti tersendiri. Saat ini diperlukan kebijakan khusus agar warisan pendidikan dari masa Joseon dapat diaplikasikan dalam kehidupan modern di zaman sekarang. SeNI & BUDAYA KoReA 9


FITUR KHUSUS 2 SeOwON, PuSAT AKADeMi NeO-KONfuSiANiSMe Di MASA DiNASTi JOSeON

1

MeNGuBAH PeRAN uNTuK MASA DePAN

MElIhAt KE DAlAM KEhIDUPAN SEhARI-hARI DI SEOwON Kim Hyun-jin Penulis Lepas Ahn Hong-beom fotografer

10 KoReANA Musim Dingin 2015


Sebuah Basis Baru untuk Pendidikan Kepribadian Saya melakukan sebuah perjalanan ke Seowon, akademi Neo-Konfusianisme dari Dinasti Joseon, untuk mewawancarai Yusa (administrator), yang bertanggung jawab untuk operasi dan manajemen Seowon, dalam rangka untuk mengetahui peran apa yang mereka miliki untuk Korea dan bagaimana perkembangan yang terjadi serta pengaruhnya di masa depan. Tujuan pertama saya adalah Seowon Sosu di Yeongju, Provinsi Gyeongsang utara, di mana puluhan anak laki-laki dan perempuan Vietnam kebetulan sedang menerima pendidikan. Berpartisipasi dalam program yang disebut “Seowon Stay,” para siswa mengenakan pakaian terbuat dari kain ‘dopo’ dan di kepala mengenakan ‘yugeon.’ Mereka terlihat tekun mengikuti pelajaran etiket tradisional Korea yang diajarkan oleh instruktur Kwon Yong-hak. Sementara berlatih member salam ala Korea, tersirat ekspresi serius di wajah mereka, dan juga akhirnya tertawa terbahak-bahak melihat sikap canggung masing-masing. Secara keseluruhan, mereka tampaknya tertarik pada pengalaman yang belum pernah mereka alami sebelumnya. “Seowon Stay” adalah program tinggal di Seowon yang menawarkan pendidikan tradisi dan ritual peringatan, semangat Konfusianisme dan etiket tradisional, serta akomodasi selama beberapa hari di desa terdekat dari rumah-rumah tradisional yang disebut Seonbichon sebagai salah satu fungsi utama dari Seowon. Program

1 Para mahasiswa Vietnam mengambil bagian dalam program Seowon Stay di Seowon Sosu sedang belajar bagaimana mengenakan topi sudut pelajar Konfusianisme dari instruktur Kwon Yong-hak, pimpinan Sunheung Hyanggyo. Program ini disiapkan bagi para peserta untuk berkesempatan mempelajari dan mengalami jalan sarjana Konfusianisme dan etika tradisional Korea. 2 Administrator Ryu Han-uk, yang pensiun dari pekerjaannya di Seoul dan kembali ke rumah untuk bekerja bagi Seowon Byeongsan, berdiri di Mandaeru (Pavilion Pertemuan Akhir) memandang Byeongsan (Gunung Tabir).

ini telah menarik karyawan perusahaan, mahasiswa, orang asing dan tamu lainnya. Dewasa ini, Seowon menyediakan juga jenis pendidikan kepribadian yang diutamakan dalam masyarakat Korea modern. Saya bertemu dengan dua orang Yusa di Seowon Byeongsan yang terletak di Andong, Provinsi Gyeongsang utara. Kedua keturunan Ryu Seong-ryong (1542-1607), seorang sarjana mencatat resmi dari Dinasti Joseon, Ryu Si-ju dan Ryu Han-uk hidup hati-hati sepanjang hidup mereka, hati-hati dalam bertutur kata dan bertindak mengingat ajaran bahwa mereka tidak boleh membawa aib pada nama baik nenek moyang mereka. Tidak seperti Ryu Hanuk, yang telah kembali ke kampung halaman setelah pensiun dari pekerjaannya di Seoul, Ryu Si-ju telah menjadi Yusa sejak usia 20-an. Ketika ditanya apakah dia pernah merasa ajaran Konfusianisme atau pendidikan etiket itu membosankan, ia menjawab bahwa ia tidak pernah sekalipun merasa demikian. Sebaliknya, ia menyayangkan orang-orang yang tidak mengetahui nilai sebenarnya dari Konfusianisme dan berpikir bahwa itu hanyalah sesuatu yang bersifat konservatif. Ryu juga menyesalkan hilangnya budaya “pendidikan saat makan bersama,” di mana orang tua melewatkan waktu makan dengan anak-anak mereka setiap hari dan melihat terhadap perkembangan perilaku dan kepribadian mereka. Karena itulah dia merasa senang karena Seowon Byeongsan tetap memberikan pendidikan kepribadian untuk siswa SMA Sewoon yang didiri-

kan pada tahun 1954 yang terletak tidak jauh dari Seowon tersebut. Dulu ketika kecil ia merasa segan pergi ke Seowon dan merasa ritual yang harus dipelajarinya terlalu berat, namun setelah dewasa, ia menyadari nilai dari pendidikan itu. ia percaya bahwa generasi muda akan merasakan yang sama nantinya.

Bersikap Hormat kepada Siapapun Di dekat Seowon Dosan yang terletak di Andong, tinggal Guru Yi Geun-pil, kepala keluarga marga Yi Hwang (1501-1570), yang merupakan keturunan generasi ke-16. Bertubuh tinggi besar dan berpakaian tradisional pakaian Korea (hanbok), pria tua itu duduk bersimpuh di depan sekelompok siswa sekolah dasar yang mengunjungi rumahnya sebagai bagian dari program pengalaman yang ditawarkan “Program Budaya Cendekiawan” oleh Seowon Dosan. Dengan penuh kebapakan ia menjelaskan berbagai ilmu kebajikan Konghucu. Meskipun ada beberapa frase sulit dalam bahasa Cina klasik, seperti nak-bul-ga-geuk (yang berarti “Harus ada batas untuk kesenangan,” “Kita tidak dapat memiliki kebahagiaan yang tak terbatas,” atau “Hidup ini penuh penderitaan, jadi kita harus melatih diri untuk menang di atasnya”) atau yok-bul-ga-jong (yang berarti” Jangan mencoba untuk memiliki semua hal yang baik” atau “Kita tidak akan pernah benar-benar puas walau memiliki semua yang kita inginkan”), penjelasan yang mudah dengan mengambil tokoh-tokoh populer seperti Yuna Kim dan Psy sebagai

2

SeNI & BUDAYA KoReA 11


1

contoh, mampu memikat perhatian siswa muda untuk tetap duduk dan mendengarkan. Pendengarannya sudah melemah karena usia, sehingga ia perlu berbicara dengan bantuan orang lain yang menulis di atas kertas. Namun demikian, pengalamannya sebagai pensiunan kepala SD ditambah dengan pengetahuan dan kebajikan Konfusianisme yang dimilikinya dalam berkomunikasi dengan anak-anak muda menyalurkan kemurahan hati dan kasih sayangnya. Di wajah anak-anakpun nyata terbayang rasa gembira. 12 KoReANA Musim Dingin 2015

Kepala Seowon Dosan sekaligus Ketua dari Pusat Pelatihan Kim Byeong-il yang menyaksikan pemandangan itu mengatakan, �Saya terharu melihat perilaku guru tua yang saya berusaha keras dan belajar sendiri untuk meniru dia, sehingga sekarang saya bisa duduk bersimpuh di depan siapa saja dan itu menjadi bagian dari kehidupan saya.� Setelah pensiun dari jabatan pegawai negeri tingkat tinggi, termasuk Menteri Perencanaan dan Anggaran, Kim tertarik pada ajaran Yi Hwang. Kemudian ia mulai mempelajari Konfu-

sianisme dan sekarang mengkhususkan diri untuk mengelola Seowon dan pusat pelatihannya Menerima semua tamu dengan santun tentunya bukan tradisi yang dapat diciptakan dalam semalam. “Katanya dulu mantan presiden Park Chung-hee pernah berkunjung ke Seowon Dosan pada tahun 1970 dan berbicara dengan keturunan generasi ke-14 dari Yi Hwang (kakek dari Yi Geun-pil). Beliau akhirnya mengubah posisi duduk dari duduk santai menjadi posisi bersimpuh di tengah percakapan melihat


pria tua di hadapannya terus duduk bersimpuh. Duduk bersimpuh saat menerima tamu, siapapun tamu itu, adalah etiket dasar.” kenang Yi Dong-gu, salah satu Yusa yang bekerja untuk Seowon Dosan pada saat kunjungan presiden. Yi Hwang dalam hidupnya selalu berharap agar dunia memiliki lebih banyak orang-orang yang baik, dan itu adalah tujuan didirikannya Seowon Dosan. Ajaran moral cendekiawan tersebut yang mengatakan bahwa “Kalau ingin membuat dunia benar, maka harus dimulai dari tindakan benar dari diri sendiri" inilah yang setia dipraktekkan oleh keturunannya yang kini berusia 84 tahun dan para cendekiawan penerusnya.

Lebih Mendekatkan Diri pada Umum Saat dikunjungi pada jam 7 pagi tanggal 1 Agustus menurut kalender imlek (13 September), di Seowon Piram di Jangseong, Provinsi Jeolla Selatan, sedang dijalankan ritual peringatan semi-bulanan, yang dilakukan setiap pusat pendidikan Neo-Konfusianisme pada hari pertama dan kelima belas pada tiap bulannya. Melakukan banyak ritual sepanjang tahun tentulah berat untuk mereka, namun para Yusa yang mengenakan pakaian ritual terlihat sungguh-sungguh menjalankan ritual tersebut berdasarkan manual kuno yang diwariskan turun temurun. Kim in-su, yang telah bekerja sebagai Yusa sejak pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri, ketika ditanya apakah dirinya tidak merasa berat menjalankan ritual itu, ia menjawab itu adalah ‘tanggung jawab’nya. Dia menggeleng tersenyum ketika ditanya tentang doktrin Konghucu kuno yang melarang anak laki-laki dan perempuan yang berumur tujuh tahun atau lebih dari duduk di ruangan yang sama. Dia mengatakan, “Zaman seperti itu sudah lewat. Tidaklah bijaksana untuk orang-orang di zaman modern untuk mengartikan semua ajaran kuno secara literal saja. Mereka harus menerjemahkan ide-ide tersebut dalam konteks zaman sekarang.” Berdasarkan tujuan tersebut, telah

2 1 Yi Geun-pil, generasi ke-16 keturunan laki-laki tertua dari Yi Hwang, menjelaskan kebajikan Konfusius kepada siswa sekolah dasar yang mengunjungi kepala marga rumah keluarga. Anak-anak itu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika ia menyebutkan selebriti seperti Kim Yuna dan Psy untuk menjelaskan bagaimana hidup bahagia dengan melakukan apa yang mereka sukai. 2 Seorang administrator Piram Seowon mencatat rincian ritus peringatan yang dilaksanakan pada hari pertama bulan lunar.

dicoba untuk menulis ulang teks Neo-Konfusianisme dengan penafsiran yang lebih mudah dipahami dan disebarkan kepada orang dalam masyarakat modern. Sebagai contohnya, Seowon menyediakan berbagai program untuk umum yang terfokus pada upacara ritual pada musim semi dan musim gugur, pasar seratus hari dengan tema Konfusianisme yang dibuka untuk umum, termasuk pembacaan teks Konfusian oleh para cendekiawan tua, pertemuan akademik dengan topik Konfusianisme. Biaya untuk berbagai kegiatan ini ditanggung bersama oleh marga terkait dengan akademi, dengan tujuan terus upaya untuk memperbaharui nilai Konfusianisme. Di Seowon Donam yang terletak di Nonsan, Provinsi Chungcheong Selatan, Kim

Seon-eui terus mengabdikan diri untuk pekerjaan di Seowon, di sela kesibukannya sebagai seorang usahawan Jangeui. Seorang Yusa yang tergolong muda walau usianya kini sudah melewati 60-an, Kim tetap aktif dalam upaya nasional untuk mengajukan pencalonan Seowon sebagai warisan budaya di uNeSCO. Mengatakan bahwa dirinya adalah seorang sebagai Kristen, Kim menekankan bahwa “Konghucu bukanlah agama.” Denggan bangga, ia memperkenalkan berbagai proyek berorientasi masa depan termasuk festival Tahunan Seowon yang diselenggarakan untuk “membawa Renaissance baru bagi Konfusianisme agar mekar di Seowon, sebagai tempat yang dulu digunakan sebagai tempat pendidikan pada setiap daerah di zaman Dinasti Joseon.” Di masa lalu, Seowon adalah tempat untuk orang-orang muda di usia remaja dan dua puluhan. Percaya bahwa Seowon harus tetap terisi oleh generasi muda bahkan di masa kini, Kim menggelar konser musik klasik di kompleks Seowon yang berhasil menarik respon positif dari warga desa sekitar. ia juga mengupayakan revitalisasi Seowon, dengan membuat brosur dan video klip untuk mempublikasikan pendidikan etiket kepada masyarakat umum, dan juga mengarsip buku-buku kuno dan dokumen-dokumen secara sistematis. Kim Seon-eui percaya bahwa Seowon harus terus memberikan pendidikan tentang etiket dan pengembangan kepribadian untuk anak-anak generasi muda. Keyakinan ini telah membuatnya menyediakan bahan ajar atas biaya sendiri dan kemudian mendistribusikannya kepada siswa lokal, dan juga pergi ke sekolah-sekolah untuk memberikan pendidikan etiket. Sambil mengenang saat-saat Seowon menjadi basis lokal untuk intelektual di zaman lampau dan juga dalam rangka persiapan menjelang terdaftarnya Seowon dalam daftar warisan dunia uNeSCO, ia berencana untuk mengembangkan ber-bagai program tentang Konghucu dan nilai-nilainya agar lebih mudah dimengerti dan lebih menarik bagi masyarakat luas. SeNI & BUDAYA KoReA 13


FITUR KHUSUS 3 SeOwON, PuSAT AKADeMi NeO-KONfuSiANiSMe Di MASA DiNASTi JOSeON

AKADEMI BAGI KAUM BANGSAWAN YANG TERBANGUN DARI TIDUR PANJANGNYA Lee Chang-guy Penyair, Kritikus Sastra Kim Jeong-tae fotografer

Entah sejak kapan, masyarakat kita mencemaskan keruntuhan pendidikan umum di Korea dan sibuk mencari jalan untuk mengembalikan pendidikan tersebut. Akan tetapi terdengar juga kabar bahwa Presiden Amerika Serikat, Obama, memuji pendidikan Korea dan mengajak untuk menjadikannya sebagai model. Nilai pendidikan apakah yang menarik perhatian seorang pemimpin politik Amerika Serikat itu, dan nilai tradisional pendidikan apakah yang sebenarnya hilang dari kita? Untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut, akademi-akademi Neo-Konfusianisme (seowon) berinisiatif menyelenggarakan pendidikan holistik berdasarkan ideologi Neo-Konfusianisme zaman Dinasti Joseon untuk “manusia seutuhnya.� 14 KoReANA Musim Dingin 2015


P

Peragaan upacara ujian Obama, Presiden Amerika penerimaan papan Serikat, mengenai pendidikan Korea nama yang diberikan bukanlah berita heboh lagi di Korea. oleh raja untuk Seowon Dodong, sarjana ia telah berkali-kali menekankan daya Konfusian menunggu saing pendidikan Korea dengan memberiprosesi membawa kan contoh-contoh seperti betapa keraspapan. Seowon Dodong didirikan pada 1568 nya anak-anak Korea belajar, dan betapa untuk menghormati dihormatinya profesi guru dalam masyarapelajaran dan kebajikan kat Korea. Akan tetapi, semakin seringnya Kim Goeng-pil, seorang eksponen terkemuka pendapat positif tersebut diulang, orang kajian Konfusianisme di Korea justru semakin gelisah. Karena Joseon. Akademi diakui oleh negara pada tahun orang Korea yang dapat menduga bahwa 1607. pada dasar pendapat tersebut terdapat penekanan terhadap pandangan pendidikan Korea yang bersifat konfusius. Pujian tersebut mengundang berbagai refleksi diri yang serius: masih seberapa banyakkah tradisi pendidikan Korea yang masih hidup di masyarakat sebagaimana ditunjukkan oleh Obama; dan seberapa efektif nilai tradisi tersebut

pada zaman industrialisasi dan kapitalisme, serta bagaimana dengan masa depannya, dan seberapa lama tradisi tersebut bisa dilanjutkan?

Cita-cita Pendidikan Kelompok Elite Ketika eropa muncul pada Abad Pertengahan dan memasuki “abad penemuan,� Dinasti Joseon (1392-1910) didirikan di semenanjung Korea. Para pendiri bangsa baru bermimpi melakukan reformasi bukan hanya untuk mengubah kepemimpinan tetapi untuk meninggalkan agama Buddha, yang telah mendominasi Asia selama lebih dari seribu tahun, dan membuat negara baru atas dasar Neo-Konfusianisme. Namun, transformasi menjadi bangsa berdasarkan pandangan Konfusianisme sangatlah fundamental, berbeda dengan pergeseran kekuatan. Rakyat Joseon mengalami konflik yang tak terhingga jumlahnya dan banyak mengalami ujian dan kesalahan sebelum mereka terbiasa dengan nilai-nilai Konfusianisme, dan hal itu memerlukan jangka waktu yang lama untuk penyesuaian. SeNI & BUDAYA KoReA 15


1 2

16 KoReANA Musim Dingin 2015


Akan tetapi kerajaan Joseon bertahan hingga lebih dari 500 tahun. Penguasa elite yang memimpin Joseon adalah birokrat dan filsuf-filsuf konfusius bernama “Sarim” (kelompok yang mengikuti ajaran konfusius) atau “Sanlim” (cendekiawan konfusius yang berpengetahuan luas, akan tetapi tidak mencampuri urusan negara) yang tidak menduduki tempat politik. Para cendekiawan yang tidak menduduki tempat politik ini ingin menjadi gunja (pribadi yang mengandalkan karakter moral) melalui pengembangan diri mereka, lalu memimpikan masyarakat ideal pada zaman dulu, dengan seseorang yang berpengetahuan luas dan bijaksana sebagai raja yang memimpin negara mereka. Lembaga pendidikan para penguasa elite yang revolusioner dan fundamentalis inilah yang disebut sebagai seowon (akademi konfusianisme). Selama lebih dari 300 tahun, dengan seowon sebagai pusat aktivitasnya, mereka menciptakan budaya konfusius tersendiri dengan cara membaca buku, berkhotbah, dan membangun tujuan yang sama. Jika ingin menjadi suskes di Joseon yang bersistemkan status strata sosial, maka seseorang dengan status yangban (golongan ningrat) harus lulus dari ujian gwageo (ujian tertinggi untuk merekrut pejabat) dan menjadi birokrat. Secara otomatis pendidikannya pun dijalankan berdasarkan gwageo. Ketika masih kecil mereka mempelajari pengetahuan dasar konfusius di seodang, ketika berumur belasan tahun mereka belajar di sahak atau hyanggeo,

langkah cepat yang diajukan oleh para reformis. Sebagai akibatnya, banyak korban jiwa dari orang-orang yang memimpin reformasi tersebut. empat buah kasus pembantaian besar para cendekiawan sangat memberi kesan bahwa seluruhnya terjadi pada permulaan abad ke-16, di mana nilai-nilai konfusianisme baru mulai menyebar dengan luas. Tempat yang dilewati angin bernoda darah inilah seowon berdiri.

Siapa dan Apa yang Dipelajari Dalam aturan seowon Baegundong yang merupakan seowon pertama, terdapat aturan “mengutamakan orang yang lulus samasi (sejenis sogwa), baik saengwon (lulus pemahaman ajaran konfusius) atau jinsha (lulus dalam penulisan prosa atau penulisan kalimat), atau orang yang lulus dalam chosi (ujian yang dilaksanakan di daerah asal mereka atau di luar ibukota)” sebagai kualifikasi pendaftarannya, dan aturan ini hampir sama dengan aturan lembaga pendidikan negara Seonggyungwan. Mungkin Ju Se-bong menganggap seowon pada masa permulaannya sebagai lembaga pendidikan daerah. Akan tetapi dalam aturan isan seowon yang didirikan oleh Toegye tidak membedakan saengwon maupun jinsha dalam proses penerimaannya. Melalui hal ini dapat kita lihat niat Teogye untuk menjadikan seowon bukan sebagai lembaga untuk mempersiapkan ujian gwageo, melainkan sebagai tempat untuk melatih pengembangan diri dan pelaksanaan pembelajarannya. Akan tetapi, Pada tahun 2001, ulang tahun ke-500 kelahiran Yi Hwang agaknya seowon ini juga mempertimdiperingati di Seowon Dosan. Pada kesempatan mengenang guru bangkan kenyataan untuk mengumpulkan para cendekiawan konfusius besar tersebut, masalah makna Konfusianisme pada abad kedaerah dengan memperlihatkan sikap 21 diperbincangkan lagi. Mereka yang terlibat dalam diskusi itu fleksibelnya terhadap ujian gwageo. berkeinginan memberikan kontribusi bagi penciptaan negara Seiring dengan berjalannya waktu, seowon semakin jauh dari tujuan utilietis dengan mendidik calon pemimpin dalam praktek etika tarianisme maupun kesuksesan karir. sosial. Mereka memutuskan untuk membangun Pusat Pelatihan Pembelajaran seowon secara garis Kebudayaan bagi Cendekiawan Konfusius untuk mewariskan dan besar dibagi menjadi kegiatan membaca dan kegiatan upacara agama. mengembangkan “semangat seonbi” melalui pengalaman dari Kegiatan membaca adalah kegiatan kehidupan cendekiawan Konfusianisme dari masa lalu. sehari-hari yang dilakukan secara individu, sedangkan kegiatan upacara 1 upacara kurban musim agama adalah kegiatan berkelompok kemudian masuk ke lembaga pendidikan tertinggi Seonggyungwan korban yang diadakan di yang pada umumnya dilakukan bersadengan cara melewati ujian sogwa yang merupakan bagian dari Seowon Donam, dibangun gwageo, dan setelah mengasah pengetahuan harus melewati ujian ma pada waktu-waktu tertentu. untuk mengenang, mempelajari dan menghormati daegwa. inilah rute elite untuk menuju sukses yang paling umum. Subjek bacaan mereka seperti kebajikan sarjana NeoBagi para Sarim, sikap adaptif-realitas para pejabat yang direksaseo (empat jenis buku mengenai Konfusianisme Kim Jangajaran konfusius), kitab konfusius seprut dengan cara seperti ini tidaklah memuaskan. Para pejabat pada Saeng. 2 Pemimpin menundukumumnya telah menerima Konfusianisme, akan tetapi mereerti yukgyeong (enam jenis buku menkan kepala pada upacara ka hanya memahaminya sebagai sistem untuk memimpin dunia genai ajaran konfusius), «Jujagarye kurban musim gugur yang saja daripada sebagai pedoman moral atau filsafat. Persaingan dan - Ritual Keluarga Master Zhi, Zhuzi diadakan di Byeongsan Seowon. konflik antara para pejabat biokrat dan Sarim tak dapat dielakkan, Jiali», «Geunsarok - Refleksi Tanda para birokrat melakukan perlawanan terhadap kerangka ketat dan pada Tangan, Jinsilu», dan sebagainya SeNI & BUDAYA KoReA 17


bisa berbeda-beda tergantung pada tiap-tiap seowonnya, akan tetapi «Sohak – Pelajaran Dasar, Xiaoxue» digunakan sebagai bacaan wajib di setiap seowon. Sohak - sebagai buku pengantar yang menjelaskan aturan pelaksanaan Konfusianisme beserta inti ajaran Neo-Konfusianisme, yaitu sugi (pembersihan jiwa-raga) dan oryun (5 kewajiban manusia) – adalah sebuah buku best-seller Joseon terbaik yang ditulis dan disebarkan oleh pihak negara dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada untuk meng-konfusianisme-kan masyarakat Joseon. filsuf-filsuf konfusius ternama sangat bekerja keras dalam pendidikan dan pelaksanaan sohak. Jungjong (masa pemerintahan 1506-1544) mempelajari sohak secara otodidak dan meningkatkan mata pelajaran ini dari “mata pelajaran untuk anak-anak” menjadi “ilmu pengetahuan yang dipelajari hingga akhir hayat,” dan Teogye – guru dari Seonjo (masa pemerintahan 1567-1608)- menyertakan buku sohak ke dalam buku Seonghak sipdo (10 diagram ajaran kebijaksanaan) yang ia serahkan kepada Seonjo yang ketika itu masih anak-anak. Kata-kata kutipan buku Guan Zhong, “apabila seorang guru memberikan ajarannya, maka sebagai murid harus menerima ajaran tersebut dan melaksanakannya dengan sikap patuh dan sopan sesuai dengan apa yang diterimanya,” yang terdapat di dalam sohak adalah kalimat yang mungkin disukai oleh presiden Obama.

Kebangkitan Seowon Melalui Pembelajaran Zaman Dinasti Joseon adalah zaman para seonbi, cendekiawan konfusius. Mereka beranggapan bahwa “perintah dari langit terdapat pada sifat dasar manusia, sifat dasar manusia diikuti dengan kebajikan, dan yang mengasah kebajikan itu adalah pendidikan.” Juga, para cendikiawan ini menunjukkan sikap untuk “maju membentangkan tujuan jika terdapat kebajikan di dunia, dan mundur untuk mengasah raga jika kebajikan tersebut hilang dari dunia.” Mementingkan ajaran guru dan menjaga “penurunan atau pewarisan ajaran kebajikan” sebagai cara pembelajaran antarguru dan murid merupakan pandangan pendidikan Neo-Konfusianisme yang unik. Seowonlah tempat di mana mereka melanjutkan warisan ajaran kebajikan secara lebih mendalam dan mengasah kebajikan. Pada tahun 2001, ulang tahun ke-500 kelahiran Yi Hwang diperingati di Seowon Dosan. Pada kesempatan mengenang guru besar tersebut, masalah makna Konfusianisme pada abad ke-21 diperbincangkan lagi. Mereka yang terlibat dalam diskusi itu berkeinginan memberikan kontribusi bagi penciptaan negara etis dengan mendidik calon pemimpin dalam praktek etika sosial. Mereka memutuskan untuk membangun Pusat Pelatihan Kebudayaan bagi Cendekiawan Konfosius, yang dipusatkan pada kendali Seowon Dosan, untuk mewariskan dan mengembangkan “semangat seonbi” melalui pengalaman dari kehidupan cendekiawan Konfusianisme dari masa lalu. 10 tahun sejak hari peringatan tersebut, kini Pusat Pelatihan Budaya bagi Cendekiawan menjalankan program yang mereka inginkan, dan layak sebagai tempat pendidikan dengan fasilitas kelas dan asrama yang berteknologi. Setelah runtuhnya Dinasti Joseon kita percaya bahwa jalan menuju modernisasi diperoleh melalui pembelajaran dari Barat, 18 KoReANA Musim Dingin 2015

1 Anak-anak mengamati dengan sungguh-sungguh peragaan guru mengenai cara yang tepat bersikap patuh dalam kelas etiket di Seowon Donam. Akademi menyelenggarakan program pendidikan reguler tentang etiket dan kepatutan ritual untuk anak-anak daerah setempat. 2 Sarjana setempat berpartisipasi dalam peragaan ujian pelayanan sipil pada era Joseon yang diadakan di provinsi, di Seowon Donam. ujian diperagakan lagi di divisi yang berbeda untuk siswa SD, siswa sekolah menengah, mahasiswa, dan masyarakat umum. 3 Sebuah konser sedang berlangsung di eungdodang, ruang kuliah di Seowon Donam. Akademi memberikan konser musik klasik Korea dan Barat dan mengelola kelas etiket, dan ceramah oleh pembicara terkenal, di antara kegiatan lain, seperti cara mendekati masyarakat mengenalkan peran Seowon dalam kehidupan kontemporer.

1

2


dan pada zaman di mana tradisi hanya dianggap sebagai objek pelestarian, guru Toegye bisa dikatakan telah mencarikan kembali fungsi seowon yang sebenarnya sebagai lembaga pendidikan melalui peringatannya yang ke-500. Seowon-seowon yang mendapat stimulasi dari gerakan ini mencoba untuk memanfaatkan karakteristik mereka masing-masing dan melakukan perubahan yang sesuai dengan zaman sekarang. Seowon Sosu (seowon kecil) di wilayah Yeongju, Gyeongsang utara menjalankan program pengalaman budaya seonbi selama 2 hari 1 malam, seowon Donam -yang berlokasi di Nonsan, Chungcheong Selatan dan berorientasi kepada guru besar Yehak (ajaran mengenai tata-krama yang muncul sebagai perkembangan neo-konfusianisme) Kim Jang-saeng (1548-1631) – selama bertahun-tahun menjalankan pendidikan tata-krama kepada siswa-siswa wilayah sekitarnya, dan mendorong mereka dengan memberikan kualifikasi melalui ujian sebagai pengajar karakter personalitas dan kesenian. seowon Byeongsan - yang terletak di Andong, Gyeongsang utara- dengan perpaduan alam dan keindahan arsitektur Man-

daeru yang sederhana tapi gagah, mendorong budidaya semangat seonbi melalui yusan. Apabila Anda telah melihat upacara yang khusyuk dan bernuansa anggun pada tiap awal bulan dan bulan purnama di seowon Piram - yang terletak di Jangseong, Jeolla Selatan – maka bisa dikatakan Anda telah mencoba semangat jiwa seonbi. Dalam ceramah beberapa tahun lalu di Seoul , seorang filsuf Konfusianisme dunia, Tu weiming, menjelaskan karakteristik ajaran konfusius sebagai berikut. “Konfusianisme tidak memahami manusia sebagai sebuah pulau terpencil, akan tetapi sebagai aliran air yang terus mengalir. Konfusianisme bersifat dinamis dan berusaha untuk mencari perubahan, serta selalu mengingatkan kita akan diri kita sendiri. Saya hanya berharap agar kata-kata Tu weiming tersebut memberikan kenyamanan dan empati kepada orang-orang yang mencemaskan ajaran apa yang harus mereka berikan kepada zaman yang makmur dan penuh persaingan ini.

3

SeNI & BUDAYA KoReA 19


FITUR KHUSUS 4 SeOwON, PuSAT AKADeMi NeO-KONfuSiANiSMe Di MASA DiNASTi JOSeON

SEOWON MODERN YANG MENGGODA PARA CENDEKIAWAN MUDA Lee Kil-woo wartawan The Hankyoreh Ahn Hong-beom fotografer

Kemajuan teknologi digital telah melahirkan “homo mobilians,� orang-orang tanpa henti memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan orang lain menggunakan ponsel mereka. Namun, dalam dunia yang berubah cepat dengan membanjirnya budaya digital, masih dijumpai orang-orang yang mengambil jalan sebaliknya dan mempelajari teks-teks klasik dengan cara tradisional. 20 KoReANA Musim Dingin 2015


M

ahasiswa fakultas hukum, woo Jin-young (22), membaca «Catatan Sejarah Raja-raja Joseon» dengan rajinnya karena sedang mempersiapkan makalah dengan tema ‘Penjara dan Pelarian pada zaman Dinasti Joseon.’ Meskipun ia tidak dapat membaca karakter Cina karena menempuh pendidikan menengah dan perguruan tinggi di luar negeri, hal tersebut tidak menjadi masalah baginya sebab informasi tentang sejarah raja-raja Joseon yang sudah 500 tahun dapat dibaca di internet sebagai bahan menulis makalah. “Saya pikir ini bukan sekadar catatan masa lalu saja. Sambil belajar tentang peristiwaperistiwa yang terjadi ratusan tahun yang lalu, saya dapat mengenal bangsa kita dengan lebih baik,“ tutur woo.

1

1 Pelajar di Gunmyungwon mendengarkan ceramah tentang filsafat Timur yang diberikan oleh Choi Jinseok, profesor filsafat dan presiden akademi. Kelas diadakan setiap Rabu malam, meliputi berbagai disiplin ilmu humaniora dan klasik. 2 Pelajar belajar di ruang kelas di Gunmyungwon, yang bertempat di sebuah rumah tradisional Korea yang telah direnovasi.

Para Pemuda Tertarik Membaca Teks Klasik Timur dan Barat woo berencana melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Administrasi Bisnis dan bercita-cita menjadi seorang peng-acara perdagangan internasional. Dia sekarang belajar di program studi di Seowon Asan mempelajari beragam mata pelajaran yang tidak pernah ditemui di sekolah sebelumnya. Dia mengatakan program ini telah membantu dia mengembangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai negaranya, sesuai dengan makalah yang akan ditulisnya. Kim Tae-yeong (24) seorang mahasiswa di akademi, juga mempelajari filsafat, politik, dan semangat belajar para cendekiawan zaman dulu melalui teks klasik Timur, seperti “Seribu Karakter Klasik” dan “Metode Penting Menghilangkan Ketidaktahuan.” Baginya, yang merupakan mahasiswa fakultas teknik, subjek tersebut merupakan subjek yang sulit ia pelajari. ia mengatakan, “Sekarang kalau saya terjun ke dalam masyarakat dan bertemu dengan orang berwarganegara asing, saya bisa berbicara dengan penuh percaya diri. Melalui teks klasik, saya menjadi tahu akan lingkungan budaya sosial leluhur kami. Di sisi lain, dengan mempelajari teks klasik Barat, saya percaya hal tersebut dapat membantu kita dalam memahami pikiran-pikiran mereka.” Pada bulan Agustus, kedua mahasiswa ini bersama dengan 30 teman seangkatannya berhasil menerobos persaingan 1 banding 10 dan masuk Akademi Asan. Gedung Akademi Asan yang terletak di sekitar istana Gyeonghui di pusat kota Seoul, merupakan gedung modern yang bentuknya mirip dengan lokasi syuting film luar angkasa. Akademi ini adalah lembaga pendidikan baru pemuda-pemudi yang membuka pintu dengan pernyataan ‘seowon abad ke-21’ pada bulan Agustus 2012. Metode pendidikannya adalah percampuran antara metode pendidikan seowon zaman Dinasti Joseon dan proses pendidikan filsafat, politik, bisnis universitas Oxford di inggris. Akademi ini bertujuan untuk mendidik calon ‘pemimpin modern’ yang kaya akan pengetahuan kemanusiaan dan tanggapan terhadap dunia internasional. Para mahasiswa ini pada 5 bulan pertama mempelajari ilmu kemanusiaan sambil berkohabitasi dengan teman-temannya di asrama, kemudian pada 5 bulan berikutnya mereka melewati proses magang (intern) di think tank washington atau Beijing. Mereka dapat berpartisipasi dalam lomba penelitian ilmiah di Amerika Serikat, seperti di Yayasan Heritage, lembaga penelitian Brookings, dan sebagainya. Baik pendidikan di dalam negeri maupun proses magang di luar negeri seluruhnya dibiayai oleh pihak akademi. Nama “Asan” dipetik dari nama samaran almarhum presiden Hyundai Group, Chung Ju-yung. Kurikulumnya terdiri dari humaniora seperti sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya; serta mata pelajaran seperti politik internasional, ide-ide politik Timur dan Barat, ekonomi, Bahasa inggris, dan sebagainya. serta dapat juga memperoleh berbagai pengalaman 2 seperti aktivitas sukarela, pengalaman budaya, olahSeNI & BUDAYA KoReA 21


raga, dan sebagainya. Beberapa mata pelajaran yang khas juga terdapat dalam program, seperti “retorika,” “keterbukaan dan ketertutupan” dan “sosiologi ruang arsitektur.” Pendidikan karakter, kerja sukarela, program pengalaman budaya dan kegiatan olahraga lebih memperkaya pengalaman belajar siswa. Mereka juga harus begadang karena banyaknya tugas, presentasi dan debat yang harus mereka siapkan. Mereka harus meninggalkan akademi jika terdapat lebih dari 2 mata pelajaran yang tidak lulus. Mereka mengatakan bahwa harus belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat bertahan di akademi tersebut. Wakil kepala akademi( Pusat Penelitian Studi Korea, Lembaga Penelitian Kebijakan Asan), Kim Seoggun, menyebut proses belajar mereka sebagai ‘permainan seowon.’ Maksud dari sebutan ini adalah bahwa mereka tidak belajar dengan terpaksa, melainkan belajar dengan niat mereka sendiri mengenai apa yang ingin mereka pelajari. Ia mengatakan bahwa, “Kami memberikan kesempatan untuk mempelajari ilmu kemanusiaan yang hidup, bukan ilmu kemanusiaan yang jauh dari realitas, dan kami berusaha untuk mendirikan lembaga pendidikan yang sesuai dengan zaman sekarang dengan cara memadukan seowon tradisional dan perguruan tinggi modern.”

Menekankan Potensi Masa Depan daripada Keunggulan Saat Ini Gunmyungwon, yang dibuka pada bulan Maret di Bukchon, Seoul juga mendidik pemuda-pemudi dengan filsafat Timur dan Barat, kesenian, sains, dan sebagainya dengan tujuan menjadikan mereka ‘kombinasi sumber daya manusia masa depan.’ Oh Jeong-taek, direktur Yayasan Kebudayaan Dooyang, menyumbangkan US $ 10.000.000 (₩ 10.000.000.000) dari uangnya sendiri untuk membangun akademi. Jajaran dosen di Fakultas sangat mengesankan. Choi Jin-seok, profesor filsafat di Universitas Sogang, yang juga presiden akademi, mengajarkan filsafat Timur dan Taoisme, dan Bae Chul-hyun, profesor studi agama di Universitas Nasional Seoul, mengajarkan agama dan klasik Latin, sementara Kim Kai -chun, profesor desain interior di Universitas Kookmin, mengajarkan mata pelajaran seni dan arsitektur. Juga, Kim Dae-shik, profesor teknik listrik di KAIST (Korea Advanced Institut Sains dan Teknologi), mengajarkan ilmu

Sama halnya seperti seowon zaman Dinasti Joseon yang didirikan sebagai alternatif dari hyanggyo yang sibuk mempersiapkan ujian gwageo, kini banyak pemuda-pemudi yang mulai berpaling ke seowon modern karena berubahnya peranan perguruan tinggi menjadi tempat kursus mencari kerja.

22 KoReANA Musim Dingin 2015

1 Mahasiswa Akademi Asan mengunjungi Perpustakaan Kongres di Washington, DC setelah menyelesaikan kursus awal lima bulan humaniora di Korea, mereka mengikuti program pelatihan di luar negeri selama lima bulan. 2 Ha Yeong-seop (89 tahun), presiden Sekolah Hansi Korea, mengajarkan puisi klasik Tiongkok dari Dinasti Tang. Para pelajar, kebanyakan berusia lima puluhan dan enam puluhan, mendengarkan dengan penuh perhatian.


otak, dan Jeong Ha-woong, profesor fisika di sekolah yang sama, mengajarkan jaringan kompleks dan data besar, sementara Jou Kyung-chul, profesor sejarah Barat di Universitas Nasional Seoul, mengajarkan sejarah dunia modern. Seo Dong-wook, profesor filsafat di Universitas Sogang, memberikan kuliah tentang peradaban Barat, dan Kim Seongdo, profesor linguistik di Korea University, mengajarkan studi media. Di akademi ini, 30 mahasiswa berusia 20-29 tahun berkumpul untuk belajar setiap Rabu malam selama 4 jam. Mereka diharuskan untuk membaca teks-teks klasik seperti Tao Te Ching karya Lao Tze dan pidato Cicero. Jika telah melewati program selama 10 bulan, maka diberikan kesempatan untuk belajar di luar negeri selama satu bulan. Segala biayanya ditanggung oleh pihak akademi. Profesor Kim Dae-shik yang mengajar ilmu otak memperkenalkan percobaan ‘brain reading’ yang merupakan teknik untuk membaca 2 pikiran seseorang, dan ‘brain writing’ yang merupakan teknik untuk memasukkan informasi tertentu ke dalam otak kita. Ia mengatakan bahwa “90% dari pikiran manusia merupakan hasil interpretasi otak yang berasal dari ilusi optik,” dan “kehidupan pada akhirnya merupakan hasil dari pemilihan dan pengeditan data yang dilakukan oleh otak kita.” Ia mengakhiri kuliahnya dengan memberikan anggapan mengenai hidup, bahwa “tidak ada maknanya hidup panjang secara biologis. Manusia harus hidup panjang secara kognitif.” Tepuk tangan para mahasiswa terdengar sebagai reaksinya. Direktur Oh Jeong-taek meminta para dosen untuk “mendidik para mahasiswa agar menjadi pemberontak masa.” Ia menekankan bahwa “mereka harus melawan masa sekarang ini agar dapat berdiri di pusat masa depan” dan “30 tahun mendatang, ketika masa mereka tiba, sulit untuk mencari penyelesaian dengan cara berpikir masa sebelumnya. Untuk para pemimpin masa depan, pengetahuan ilmu kemanusiaan yang dapat mengubah kerangka pikiran secara keseluruhan sangatlah dibutuhkan.” Akademi ini menyeleksi siswa-siswi mereka hanya berdasarkan “semangat dan kreativitas tanpa menaruh batasan pada pendidikan, kewarganegaraan, jenis kelamin, agama, dan sebagainya.” Perbandingan persaingannya rata-rata mencapai 1 banding 30. Tema essai yang paling terbaru untuk proses seleksi melalui dokumen adalah “bagaimana Korea menurut kita sendiri 30 tahun mendatang.”

1

©Asan Academy

Mempelajari Cita Rasa Seni Leluhur Melalui Puisi Cina Di sebelah taman Tapgol yang terletak di Jongno-gu, Seoul, terdapat Sekolah Puisi Cina Korea(Hansi) berbentuk gedung sementara di atap gedung Pelayanan Komunitas. Guru yang mengajar puisi Cina di sekolah ini tiap hari Selasa selama 11 tahun adalah pria berusia 89 tahun bernama Ha Yeong-seop yang ‘kini hanya memiliki beberapa teman yang masih hidup’ dan merupakan pendiri sekaligus direktur sekolah ini. Murid-muridnya yang mencapai 30-an orang pun kebanyakannya adalah mantan dosen yang telah berusia separuh baya atau telah lanjut usia. Bapak Ha Yeong-seop yang bekerja sebagai tentara setelah lulus akademi militer dan kemudian pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri, mempelajari puisi Cina selama 17 tahun dari Bapak Hong Chan-yu (1915-2005) yang merupakan murid didikan langsung dari sarjana Cina klasik Jeong In-bo (1893-1950). Dosen fakultas filsafat Universitas Dankook, profesor Kim Ju-chang, mulai berada di sekolah ini sejak bulan September karena ingin mempelajari puisi Cina tradisional. Murid yang duduk di depannya adalah dosen fakultas filsafat Universitas Dankook, Profesor Hwang Pil-hong yang telah mengikuti pelajaran ini selama 10 tahun sekaligus juga merupakan ketua kelas ini. Bapak Ha, yang mulai jatuh hati pada puisi Cina sejak berusia 50 tahun, menjelaskan bahwa “Kita harus mempelajari puisi Cina lebih dari 10 tahun untuk dapat menikmatinya dengan betul-betul” dan “mendidik murid untuk melanjutkan silsilah puisi Cina adalah hal yang bermakna,” serta bahwa “Kita baru bisa memahami cita rasa leluhur jika kita mengetahui puisi Cina. Bagian-bagian yang tidak dapat dipelajari di akademi modern dapat dipenuhi di sekolah ini.” SeNI & BUDAYA KoReA 23


FOKUS

24 KoReANA Musim Dingin 2015


Lee Mae-bang memainkan tarian biksu. “Penari nirwana” ini wafat pada bulan Agustus tahun ini pada usia 88, menarik hati penonton dengan pertunjukan yang menginspirasi. Ia sungguh beda dengan adegan tari tradisional Korea dari abad ke-20, memberikan kontribusi berharga bagi tari Korea dan melatih penari muda sebagai pewarisnya.

LEE MAE-BANG “PENARI DARI NIRWANA” DAN DUNIA TARINYA Seorang penari alami yang mempesona dan menginspirasi penonton dengan tariannya, Lee Mae-bang meninggal dunia pada usia 88 tahun pada tanggal 7 Agustus 2015. Ia membedakan dirinya dalam belantika tarian tradisional abad ke-20, dia berkontribusi besar melestarikan tarian tradisional Korea dan melatih lalu mewariskannya kepada penari-penari muda. Gerakan dan langkahnya yang luar biasa halus memikat banyak orang. Meskipun Lee Mae-bang telah pergi, tariannya akan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah tari tradisional Korea. Yang Jong-sung Dosen Tamu, Korea National University of Arts Choi Byeong-jae Fotografer

SeNI & BUDAYA KoReA 25


1

S

etelah “Pergelaran Akbar: Dedikasi Seumur Hidup Lee Mae-bang untuk Tari� pada tahun 2001, almarhum Cha Beom-Seok sebagai dramawan meninggalkan tulisan sebagai berikut. “Lee Mae-bang merupakan seorang penari terkenal. Kita bisa memberikan berbagai alasan untuk memuji dia seperti itu, dan saya akan mengatakan bahwa cara dia menari mencerminkan jiwanya. Tarian Lee Mae-bang ialah tarian dengan segenap hati dan jiwanya. Tariannya bukan hanya manifestasi dari keahlian, tetapi juga doa yang tulus. Ketika dia menari, gerakan dan sinar wajah di wajahnya memancarkan keindahan ke pusat kekhidmatan dan keindahan yang penuh misteri. Energi tak terbatasnya berputar di sekitar panggung dan gelombang gerakannya beriak melalui udara melampaui dunia manusia.�

Menjadi Penari Sejak Usia Tujuh Tahun Lee Mae-bang lahir pada tahun 1927 di Mokpo, Provinsi Jeonla Selatan. Keluarganya merupakan dukun sampai generasi kakeknya, kemudian ayahnya memutus tradisi keluarga dengan maksud yang tertentu. Mungkin karena mengalir sifat leluhur dalam darahnya, bakat menarinya muncul sejak ia masih kecil. Pada usia lima atau enam tahun, Lee Mae-bang biasa mengenakan hanbok (pakaian tradisional Korea) milik saudara-saudara perempuannya, dan menari di depan cermin meja rias ibunya. Pada usia tujuh tahun, dia memasuki Gwonbeon, sebuah lembaga pelatihan bagi penghibur dan seniman profesional, atas rekomendasi dari Ham Guk-Hyang, direktur lembaga tersebut, yang merupakan tetangganya. Di sana, dia belajar bagaimana menari bersama gadis-gadis muda dengan kepang pan26 KoReANA Musim Dingin 2015


jang, melatih anak-anak penghibur berusia sekitar sepuluh tahun. Lee Mae-bang juga belajar Tarian Biksu dan Tarian Pedang dari kakeknya Lee Dae-Jo, yang terkenal pada masanya untuk menyanyi, permainan gendang, dan menari. Sebagai siswa sekolah dasar, Lee Mae-bang melakukan perjalanan ke berbagai tempat antara rumahnya di Mokpo dan Gwonbeon yang lebih besar di Gwangju untuk mengasah keterampilan Tarian Biksu dan gendang. Dia bersekolah di Manchuria pada saat Korea berada di bawah kekuasaan kolonial Jepang. Pada waktu itu dia mengunjungi rumah kakaknya yang tinggal di Beijing, dia menyaksikan penampilan mengagumkan dari Mei Lanfang (1894-1961), aktor dan penari Opera Peking yang legendaris, dan juga cukup beruntung belajar menari -Tarian Pedang Jang dan Tarian Lampu - darinya dalam waktu singkat. Kemudian, dia mengubah namanya dari Gyutae menjadi Maebang, mengambil karakter pertama dan terakhir dari nama artis Cina yang sangat dihormati. Dia melakukan debut (penampilan pertama) sebagai penari pada tahun 1948. Lim Bang-Ul sebagai penyanyi pansori terkenal di Mokpo mengadakan lomba kontes penyanyian pansori terkenal, tetapi pemain yang dijadwalkan untuk menampilkan Tarian Biksu tidak muncul pada waktunya. Atas rekomendasi gurunya, Lee Mae-bang naik ke panggung sebagai pengganti, dan mendapat respon luar bisa dari penonton. Kemudian pada tahun 1953, pementasan tari pertamanya di Gwangju menandai awal hidupnya di atas panggung dengan berbagai acara yang diadakan baik di Korea dan luar negeri, termasuk pada perayaan peringatan 50 tahun, 60 tahun, dan 70 tahun karir menarinya. Selama beberapa dekade dari tahun 1980-an, dia berperan penting dalam mempromosikan tari tradisional Korea di dunia, dengan penampilan di Amerika Serikat, Eropa dan tempat-tempat lain. Dia juga diundang untuk tampil pada Festival Avignon 1998 (Festival d’Avignon) di Perancis, dan dianugerahi medali Pemerintah Perancis bidang Seni dan budaya di tahun yang sama. Semua anggota keluarga Lee Mae-bang berkarir sebagai penari tradisional. Istrinya Kim MyeongJa, 73, dan putri satu-satunya Lee Hyun-Ju, 39, mengikuti jejaknya sebagai instruktur yang terakreditasi dan, secara berturutan, dari Tarian Biksu dan Tarian Mantra, yang dijadikan oleh pemerintah Korea sebagai Properti Budaya Penting Takbenda. Saat ini Lee Mae-bang mengajarkan tari Korea kepada banyak penari, dan lebih dari seribu siswa belajar Tarian bisu dan Tarian Mantra.

2

SeNI & BUDAYA KoReA 27

©Woo-bong Leemaebang Art Company

Hidupnya Didedikasikan untuk Melestarikan dan Mempromosikan Tari Tradisional Lee Mae-bang sering dipuji sebagai “penari dari nirwana.” Dia mewarisi tarian dari ritual Buddha, permainan rakyat, pertunjukan hiburan keliling, serta ritual perdukunan, dan mengembangkannya menjadi suatu bentuk seni pertunjukan yang sempurna. Mengekspresikan suka duka masyarakat tradisional dengan gaya elegan dan bermartabat, tariannya diperhalus menjadi bentuk seni pertunjukan yang sebenarnya. Kritikus tari Kang I-Mun (1923-1992) menjuluki Lee Mae-bang “penari nasional,” dan banyak tokoh budaya lainnya memanggilnya “penari yang dikirim Tuhan.” Lee Mae-bang menghidupkan kembali akar tarian nasional, yang secara bertahap hilang dari kehidupan modern, memurnikannya menjadi sebuah seni pertunjukan kontemporer serta warisan budaya nasional. Lee Mae-bang menghidupkan kembali gagasan seni dan semangat orang-orang Korea yang dimasukkan dalam tarian tradisional. Dikenal sebagai penghubung akar tarian rakyat yang berkembang secara spontan di dalam negeri, khasanah tarinya mendapat tempat khusus dalam sejarah tari Korea. Atas kontribusinya, dia diakui sebagai pemegang Penting Intangible Kekayaan Penting Budaya Takbenda No 27 (Tarian Biksu) pada tahun 1987 dan No 97 (Tarian Mantra) pada tahun 1990.

1 Tarian biksu (boryeom seungmu ) merupakan penampilan kelompok yang berasal dari ritual Buddhis. Pelambangan hati yang penuh belas kasihan yang membantu orang lain dengan persembahan dan nyanyian atau barang duniawi dan ajaran Buddha - unsur tarian bergerak dinamis. 2 Pada bagian pembukaan Tari Sarjana Konfusianisme, Lee Mae-bang meniru lukisan sarjana pada kipasnya. Ini merupakan tarian maskulin yang mengungkapkan kegembiraan tulus dari seorang sarjana Konfusian yang telah merasakan kebenaran.


Di bagian atas garis keturunan tari Lee Mae-bang, ada sosok bernama Shin Bang-Cho, yang lahir pada tahun 1817 dari keluarga dukun di Okgwa, Provinsi Jeonla Selatan. Bertindak sebagai penghibur dalam ritual pengusiran setan, dia cukup terkenal di wilayah Honam (meliputi Provinsi Jeonla Selatan dan Utara) dengan keterampilan yang sangat baik dalam menari, menyanyi dan memainkan perkusi, begitu banyaknya sehingga banyak dukun yang tercatat di wilayah tersebut bersaing untuk membawa dia dalam ritual mereka. Gaya menari Shin Bang-Cho diwariskan kepada penari lain seperti Shin Yeong-Su, An Du-On, dan Lee Jeong-Seon. Sangat berbakat tidak hanya dalam menari tapi juga dalam bermain gendang dan menyanyikan pansori, Lee Jeong-Seon menikmati popularitas besar pada masanya. Kemudian, gaya menarinya diwariskan kepada Kim Geum-Ok dan Park Gui-Su yang berasal dari Mokpo, dan kemudian kepada guru Lee Mae-bang, seperti Park Yeong-Gu, Lee Dae-Jo, Lee Chang-Jo, Jin Seok-San. Park Yeong-Gu dari Hwasun merupakan pemain Tarian Biksu dan gendang terkenal, yang mengajar menari pada lembaga Gwonbeon di Gwangju. Kakek Lee Mae-bang, Lee Dae-Jo, adalah pemain Tarian Biksu yang berasal dari Muan, yang mengajar penari profesional dalam Gwonbeon Mokpo ini. Lee Chang-Jo, pemain dari Neungju yang memiliki keterampilan Tarian Pedang yang luar biasa, juga mengajar di Gwonbeon Gwangju. Lalu, Jin Seok-San (alias Jin So-Hong) adalah seorang penari dari Damyang yang bekerja untuk melatih penari Mantra saat mengelola sebuah rumah makan tradisi Korea di Insa-dong, Seoul. Dasar-dasar menari dari semua penari ulung ini diwariskan ke Lee Mae-bang. Selain itu, dengan belajar bagaimana melakukan Tarian Biksu dari kakeknya Lee Dae-Jo, ia meneruskan garis keturunan dari tarian tertentu selama enam generasi di keluarganya.

28 KoReANA Musim Dingin 2015

©Woo-bong Leemaebang Art Company

Ungkapan yang Elegan Disajikan Melalui Setiap Otot Tubuh Repertoar khas Lee Mae-bang mencakup 19 jenis tari: Tarian Biksu, Tarian Mantra, Tarian Berdiri, Tarian Pedang, Tarian Pedang Panjang, Tarian Genderang Dua Sisi, Tarian Pelajar Khonghucu, Tarian Anak Bertopi Jerami, Tarian Kenaikan, Drama Maharaja, Tarian Pendoa, Tarian Nyanyian Buddha, Tarian Genderang, Tarian Genderang Tangan, Nyanyian Cinta, Jalan bagi Remaja, Tarian Kebebsan, Tarian Taoist Sage, dan Kisah Chunhyang. Tarian Biksu Lee Mae-bang sangat terinspirasi kualitas Buddha, mewujudkan gerakan ideal dalam keheningan. Dengan gerakan intens yang elegan, dia mengubah tarian, yang biasanya dilakukan pelacur untuk menyenangkan pelanggan mereka, menjadi bentuk seni yang indah. Tarian Biksu- nya mewakili rentetan kejadian manusia yang berupaya menumpahkan kekhawatiran duniawi dan penderitaan untuk mengubah perjalanan panjang kehidupan menjadi sesuatu yang transendental. Pada masa Korea pramodern, Tarian Mantra dilakukan untuk menangkal roh jahat dan mencegah kemalangan. Tarian versi Lee Mae-bang itu ditandai dengan ekspresi kesedihan yang anggun. Diakui sebagai “tari yang dikandung jiwa,” hal tersebut menampilkan estetika pengendalian tingkat tinggi dengan kontrol ketegangan yang sangat terampil, pelepasan dan daya tarik dalam gerakannya. Keaslian tari Lee Mae-bang diraih dengan memadukan sifat-sifat kontras penuh seni: cahaya dan berat, cepat dan lambat, kendur dan lurus, halus dan perkasa, yang indah dan megah. Hal ini juga menyatakan kesedihan dan kebahagiaan, penyesalan dan lega, penderitaan dan kebahagiaan, ketenangan dan keriuhan. Pada akhirnya, Lee Mae-bang menari untuk mengekspresikan dan melampaui semua penderitaan, sukacita, kesedihan, harapan dan kebahagiaan hidup. Perasaan mendalam ini diungkapkan lewat langkah-langkahnya yang sangat halus, gerakan rumit tangan dan lengannya, berbagai gerakan tubuhnya dan pancaran misterius di wajahnya, yang semuanya akan memberikan sensasi kepada penonton. Lee Mae-bang terkenal telah berulang kali mengatakan, “Sepanjang hidupku, aku tidak pernah rakus tentang apa yang akan dipakai atau apa yang harus dimakan. Aku tidak melakukan apa-apa selain menari.” Dia akan menegur muridnya jika mereka mencari ketenaran daripada mengabdikan diri kepada dasar-dasar tari, sementara ia secara pribadi akan memastikan bahwa mereka memiliki kostum panggung untuk pertunjukan mereka mendatang.


Lee Mae-bang menari dengan segenap hati dan jiwanya. Tariannya bukan hanya manifestasi dari keahlian, tetapi juga doa yang tulus. Ketika dia menari, gerakan dan sinar wajah di wajahnya memancarkan keindahan ke pusat kekhidmatan. Energi tak terbatasnya berputar di sekitar panggung dan gelombang gerakannya beriak melalui udara melampaui dunia manusia.

Lee Mae-bang menghidupkan lagi tari yang berasal tari pengusir setan dari wilayah Honam, kampung halamannya. Bagian dari ritual perdukunan tradisional untuk mengusir kemalangan, itu dikembangkan menjadi pertunjukan tari yang lembut.

SeNI & BUDAYA KoReA 29


WAWANCARA

H A N K A N G PENULIS YANG MEMANDANG BUTIR SALJU YANG TIDAK MELELEH Kang Ji-hee Kritikus Sastra Baik Da-huim Fotografer

Selama hampir duapuluh tahun sejak debutnya di dunia sastra, Han Kang sudah menulis dan menerbitkan beberapa koleksi cerita pendek, termasuk Love of Yeosu, dan enam buah novel, termasuk Your Cold Hand. Here Comes the Boy (2014) yang berkisah tentang Gerakan Demokratisasi Gwangju, dan menjadi “novel karya Han Kang yang melampaui Han Kang sendiri� dan mendapat penghargaan Manhae Literary Prize tahun lalu (2014). Ia adalah salah satu penulis Korea yang paling diperhitungkan dan menerima banyak penghargaan bergengsi, di antaranya Yi Sang Literary Award (2005) dan Dong-li Literary Award (2010). Awal tahun ini, The Vegetarian diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Portobello Books di Inggris dan sangat diterima pembaca. 30 KoReANA Musim Dingin 2015


S

ejak debutnya dalam dunia sastra, yang diawali dengan puisi yang terbit pada tahun 1993 lalu disusul dengan sebuah novel pada tahun 1994, Han Kang terus menulis dan menerbitkan karyanya. Salah satu kritikus sastra menyebut karyanya “sidik jari cahaya,” karena karya-karyanya merekam tragedi manusia dan duka yang menyertainya dalam bahasa yang sangat puitis. Ia tahu bagaimana mengekspresikan takdir, yaitu dengan menangkap kesan yang mendalam dan bermakna. Ia adalah seorang impresionis yang berfokus pada cahaya yang hanya bisa diraih setelah melewati keputusasaan.

Impresionis yang Melihat Takdir sebagai Sesuatu yang Sementara KJ Anda belajar sastra Korea di Yonsei University, dan bekerja di perusahaan penerbitan setelah lulus kuliah. Ayah Anda adalah novelis terkenal Han Seng-won, dan masa kecil Ande dikelilingi buku. Kehidupan Anda tampaknya tak bisa dipahami tanpa buku, sehingga jalan Anda untuk menjadi seorang penulis adalah sesuatu yang alami, atau bahkan tak bisa dihindari. Apakah ada momen khusus sehingga Anda memutuskan menjadi penulis? HK Waktu duduk di kelas 9, saya membaca kumpulan cerita pertama yang ditulis oleh anak muda, Lim Chulwoo. Saat saya membaca “Sapyeong Station,” saya takjub karena cerita itu menonjol bukan karena tokoh utamanya melainkan karena kegelapan malam dan salju, stasiun yang kecil dan dingin di pedesaan, dan cahaya dari tungku dengan bahan bakar serbuk gergaji, dan saya menyadari barangkali kehidupan itu sendirilah tokoh utamanya dan mengalir dengan iramanya sendiri. Saya sangat terkesan oleh pendekatan cerita yang unik, dan saya ingat itulah saat saya sungguh-sungguh berdoa pertama kalinya untuk bisa menulis cerita dengan cara unik seperti itu. KJ Jika Anda tidak menjadi penulis, kira-kira apa yang Anda lakukan saat ini? HK Selama beberapa tahun di sekolah menengah, saya ingin menjadi petualang, tapi saya juga suka menonton pertunjukan di universitas. Saya terlalu pemalu untuk bergabung dengan klub teater, tapi saya ingat bahwa ketika saya melihat ke panggung yang gelap sebelum tirai diangkat, saya ingin sekali naik ke panggung. Kadang-kadang saya merasa bahwa di situlah tempat saya. Saya ingin tertawa dan menangis di situ. KJ Petualang? Wah, itu mengejutkan. (tertawa) HK Dulu sekali, seseorang melihat peruntungan saya, dan katanya takdir saya adalah menjadi seorang pengembara, pergi dari satu stasiun ke stasiun lain. (tertawa) Saya ingin pergi ke tempat-tempat baru. KJ Tidak hanya The Vegetarian, novella yang sangat diterima pembaca dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, tapi novel-novel lain karya Anda bisa dibilang “novel seniman” karena novel-novel itu berhubungan dengan seniman di antaranya pelukis, fotografer, perupa, dan seniman video. KJ Mungkin karena saya suka seni dan banyak terpengaruh oleh seni. Ketika semua orang menggambarkan novel saya sebagai “novel seniman,” saya sangat terkesan. Saya hanya menulis mengenai kehidupan. Tapi ketika saya dengar apa yang Anda sampaikan mengenai karya saya, saya jadi berpikir bahwa saya tertarik pada seni karena obsesi saya akan bahasa. Saya bergelut dengan bahasa, dan saya ingin lebih bisa berdamai dengan obsesi melalui bahasa. Bahasa memberikan duka, dan tugas saya adalah melawan duka itu.

SeNI & BUDAYA KoReA 31


Agama dan Cinta KJ Karya Anda Baby Buddha dan The Story of a Crimson Flower sangat kental unsur ajaran Buddha. Saya pernah mendengar bahwa sastra lahir saat seseorang dekat dengan Tuhan. Bagaimana pendapat Anda mengenai agama? HK Saya sangat mendalami ajaran Buddha ketika usia saya di akhir duapuluhan. Ketika itu, saya punya sebuah pandangan, dan berusaha mencernanya dengan melihat apakah pandangan itu sama atau berbeda dari ajaran Buddha. Ketika saya berumur 31 tahun saya mengambil jarak dari pandangan itu. Saya sangat sakit ketika itu. Biasanya, orang mencari agama ketika mereka sakit, tapi kasus saya sebaliknya. Tanpa percaya pada apapun atau tergantung pada apapun, saya ingin melihat segala sesuatunya dengan mata telanjang, tanpa tameng apapun. Saya membaca

beberapa buku mengenai fisika juga karena alasan yag sama. Saya ingin memahami dunia sebagaimana adanya. KJ Seperti halnya cinta dalam karya Anda. Tampaknya cinta itu terbatas, hanya sementara, dan banyak tokoh yang takut akan cinta. Tapi meski tokoh ini skeptis, cinta yang lebih meledak-ledak dan intensif tampaknya sangat mungkin muncul namun tetap saja menimbulkan luka. Dalam konteks yang sama, tubuh bagaikan kulit yang melahirkan luka, tapi beberapa adegan menggambarkan komunikasi yang mendalam antara satu tubuh dengan lainnya dan menjadi satu, melebihi cinta. Apakah makna cinta bagi Anda? HK Saya tidak tahu. Itu jawaban akurat untuk saat ini. Novel kelima saya, Greek Lessons , berkisah mengenai seorang perempuan dan seorang laki-laki. Saya menulis novel lain mengenai laki-laki dan perempuan, tapi ini adalah kali pertama saya menulis novel mengenai “kisah laki-laki dan perempuan” dari awal. Ini bukan kisah cinta biasa, tapi cerita tentang dua orang yang bersama-sama, karena merasakan makna kehadiran satu sama lain. Tokoh laki-laki perlahan kehilangan pandangan, ibarat kita yang perlahan kehilangan kehidupan kita momen demi momen. Tokoh perempuan, yang kehilangan kemampuan berbicara pada suatu waktu, sangat menderita karena kekerasan implisit dalam bahasa. Saya ingin menangkap momen ketika kehidupan keduanya saling bersilangan pada titik yang sensitif.

Gwangju – Memahami Kekerasan dan Takdir Manusia KJ Here Comes the Boy berkisah tentang salah satu luka terdalam dalam sejarah 1

2

32 KoReANA Musim Dingin 2015

modern Korea, yaitu mengenai Revolusi Gwangju pada bulan Mei 1980. Dalam epilog panjang yang Anda tulis, yang tidak seperti catatan penulis pada umumnya, saya sangat tersentuh dengan pernyataan ini: “Mereka tetap di sana karena tak ingin menjadi korban.” HK Saya berusia sembilan tahun ketika terjadi Revolusi Gwangju. Saya lahir di Gwangju dan dibesarkan di sana tapi lalu pindah ke Seoul bersama keluarga saya empat bulan sebelum peristiwa itu. Kami tidak merasa kepindahan itu sebagai pelarian, tapi tampaknya memang begitu, seakan-akan kami pergi menghindari kekerasan itu, sehingga keluarga kami merasa bersalah untuk jangka waktu yang lama. Apa yang terjadi di Gwangju didistorsi dalam laporan dan pengumuman yang dibuat oleh rezim militer. Tapi, keluarga kami punya teman dan keluarga di sana sehingga kami tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya sangat kecil waktu itu tapi bisa mendengar tentang situasi yang sangat parah dengan mencuri dengar pembicaraan orang dewasa. Karena saya masih kecil, insiden itu terpatri di kepala saya sebagai sebuah ketakutan pada manusia, bukan kebencian pada rezim militer. Manusia itu menakutkan, dan saya adalah salah satunya, begitu saya berpikir dalam ketakutan itu. Pada waktu yang sama, saya terkesan oleh mereka yang berjuang melawan kekerasan yang mengerikan. Jadi bisa dibilang, dua masalah yang tak terpecahkan ada dalam jalan hidup saya. Setelah saya melakukan banyak riset, saya memutuskan menulis novel ini. Saya belajar lebih banyak mengenai situasi jaman itu, yang ternyata jauh dari yang saya bayangkan. Saya juga menemukan kasus serupa. Saya memperoleh informasi mengenai Auschwitz, Bosnia, Kamboja,


hantu yang mengunjungi si narator pada suatu malam. Itu terjadi ketika saya menulis novel, juga ketika saya selesai menulis, dan saya masih merasakan kematian dan harus menerimanya sebagai bagian dari saya selamanya walaupun perasaan itu perlahan mulai memudar. Kisah mengenai hantu adalah sesuatu yang sangat dekat dengan saya l novel. Gambaran salju, yang turun dengan jernih, menyelimuti segalanya lalu menghilang, hadir bersamaan dengan gambaran hantu. KJ Sudah lebih dari 20 tahun sejak Anda menulis fiksi. Apakah ada yang berubah dalam pandangan dan sikap Anda tentang sastra? Menurut Anda, apa yang diwakili oleh sastra? HK Menurut saya menulis itu seperti menyalakan korek, melihat apinya, dan menyaksikannya padam kembali. Itu terjadi juga pada novel. Mempertanyakan tentang manusia dan kehidupan. Dalam beberapa hal, saya merasa maju sedikit demi sedikit dalam kehidupan saya setiap selesai menulis novel. Setelah menjawab pertanyaan dalam sebuah novel, saya beranjak ke novel berikutnya dengan pertanyaan baru. Begitu.

Pembantaian Nanjing, Gempa di Great Kanto, dan Pembantaian Penduduk Asli Amerika, dan makin banyak informasi yang saya kumpulkan, makin sedikit yang saya bisa tulis menjadi novel. Saya merasakan sebuah ancaman dan ketakutan yang merusak kepercayaan saya kepada manusia. Tapi alasan saya menulis novel lahir karena masalah kedua yang terjadi pada diri saya. Saya harus berpikir melalui fakta bahwa ada orang-orang di Gwangju pada tahun 1980 yang menghadapi kekerasan dan mencoba peduli pada takdir manusia. Setelah menyadari bahwa mereka tidak merasa sebagai “korban,” saya bisa menulis novel. Dimulai dengan kekejaman dan takdir manusia, berlaku jujur, menerima guncangan, jika ada, lalu saya mulai menulisnya.

1 Halaman sampul versi Korea dari “Datanglah Kemari Lelaki,” yang berkaitan dengan Gerakan Demokratisasi Gwangju Mei 1980. 2 “Vegetarian,” menampilkan tokoh utama yang menghindari makan daging karena kenangan masa kecil dan sangat percaya bahwa orang bisa berubah menjadi pohon, diterbitkan dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Portobello Books awal tahun ini. 3 Han Kang telah menerbitkan berbagai karya yang ditulis dalam gaya hati-hati dan serius, menunjukkan persepsi yang mendalam mengenai dunia. Mengajak pembaca untuk mengeksplorasi aneka tema, merupakan salah satu penulis paling menonjol saat ini di Korea.

3

©Park Jae-hong

Kematian, Jiwa, dan Cahaya Lilin di Atas Salju KJ Novel Here Comes the Boy diakhiri dengan sebuah adegan memandang lilin yang perlahan meleleh di atas salju. Cerita pendek Anda, “While Snow is Melting ,” yang mendapat penghargaan Hwang Sunwon Literary Award, juga diawali dengan kembalinya seseorang yang sudah meninggal, dan salju tampaknya memiliki makna simbolik. HK Ketika saya mulai menulis novel Here Comes the Boy, saya berpikir tentang adegan dengan cahaya lilin. Pada bagian pertama, Dong-ho menyalakan lilin untuk para hantu karena ia percaya bahwa hantu-hantu itu akan mendekati cahaya. Saya berpikir untuk mengakhiri novel dengan epilog adegan memandang cahaya itu di pemakaman Dong-ho, 30 tahun kemudian. Saya ingin menulis cerita pendek, “While Snow Is Melting ,” segera setelah saya menulis novelnya. Ini adalah kisah tentang

Saya merasakan keheningan bersama penulis Han Kang. Kapanpun saya membaca novelnya di pagi hari, saya merasa seolah-olah saya baru saja meninggalkan chapel sebuah gereja Katolik di mana saya duduk dalam diam untuk waktu yang lama. Sejarah pembunuhan oleh manusia barangkali merupakan awal dari holocaust. Penulis menemukan butiran salju yang tidak meleleh dalam holocaust itu. Takdir terakhir, yang redup tapi tidak sirna, dan harapan yang memupuskan segala kecurigaan. Begitulah karya sastranya melindungi kita.

“Menurut saya menulis itu seperti menyalakan korek, melihat apinya, dan menyaksikannya sampai padam kembali. Itu terjadi juga pada novel. Kita mempertanyakan mengenai manusia dan kehidupan. Dalam beberapa hal, saya merasa maju sedikit demi sedikit dalam kehidupan saya setiap selesai menulis novel.” SeNI & BUDAYA KoReA 33


cERItA tENtANg DUA KOREA

Sekolah Alternatif bagi

Pemuda Remaja dari Korea Utara Pemuda remaja dari Korea Utara akhirnya tiba di Korea Selatan setelah melewati proses berat lari dari negara mereka. Tapi sayangnya, banyak dari mereka yang terpaksa harus hidup di dunia mereka sendiri akibat gagal beradaptasi dengan lingkungan pendidikan di Korea Selatan. Kegagalan mereka untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Korea Selatan bukanlah masalah mereka sendiri, tetapi adalah suatu tugas besar bagi kita semua untuk dicarikan jalan keluarnya. Dalam keadaan ini, upaya sekolah alternatif untuk membantu mereka mengembangkan stabilitas emosional dan beradaptasi dengan masyarakat menjadi sorotan. Kim Hak-soon Wartawan, Dosen Tamu, Sekolah Media & Komunikasi Universitas Korea Ahn Hong-beom Fotografer

S

MA Hangyeore adalah satu-satunya sekolah menengah reguler untuk pembelot remaja Korea Utara di Korea Selatan. Kelas bahasa Korea di sekolah ini tampak seperti kelas bahasa asing. Siswa tidak bisa mengerti guru Korea dengan baik, sehingga mereka mengajukan pertanyaan yang sama beberapa kali. Banyak siswa mengeluh bahwa mereka mengalami kesulitan memahami pelajaran dengan mudah karena Korea Selatan dan Utara menggunakan kosa kata yang berbeda untuk konteks yang sama. Sebagai contoh, kata Korea Selatan “bokeumbap (nasi goreng)” adalah “gireumbap (nasi diminyaki)” untuk Korea Utara. Kata Korea Selatan “yanggyejang (peternakan ayam)” adalah “dakgongjang (pabrik ayam),” “juchajang (tempat parkir)” adalah “chamadang (halaman mobil),” dan kata Korea Selatan “munjang (kalimat)” adalah “geultomak (potongan tulisan).” Adapula kata-kata yang berbeda sama sekali seperti “ojingeo (cumi-cumi)” dalam bahasa Korea Selatan adalah “nakji (gurita kecil)” di Korea Utara. Padahal yang disebut “nakji (gurita kecil)” di Korea Selatan disebut “Seohae nakji (gurita kecil di Laut Barat)” di Korea Utara. “gaun one-piece” disebut “nariot (pakaian Nari)” dan “X-ray” disebut “Roentgen.” Hal ini karena bahasa Rusia diajarkan sebagai bahasa asing pertama bagi mahasiswa Korea Utara dan di Korea Utara lebih menggunakan kosa kata asli Korea, sementara siswa Korea Selatan belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama dan menggunakan banyak katakata serapan dari bahasa Cina.

1

34 KoReANA Musim Dingin 2015

Kesulitan Bahasa, Ketidakstabilan Emosional Bapak kepala sekolah Kwak Jong-moon mengatakan bahwa saat ini Korea Selatan dan Korea Utara menggunakan kosa kata yang saling ber-


2

beda kira-kira 30 persen. Untuk hal tersebut, di dinding ruang dokumen ditempelkan daftar kata-kata yang digunakan berbeda di Korea Selatan dan Utara, dan melalui siaran intra-sekolah diadakan pendidikan bahasa standar, lomba bahasa Korea, gerakan membaca buku pada pagi hari selama 30 menit, dan sebagainya. Masalah yang dihadapi bukan hanya masalah bahasa saja. Terapi psikologis dan bimbingan bagi kestabilan emosi siswa juga menjadi hal yang tak kalah pentingnya. Sulit untuk membebaskan mereka dari segala macam penderitaan dan kesulitan yang mereka sempat alami selama pelarian mereka dari Utara yang diperoleh dengan menyabung nyawa mereka. Ada yang melarikan diri bersama orang tuanya, tetapi akhirnya orang tua tertangkap dan masuk penjara sehingga hanya dia seorang saja yang berhasil tiba di Korea Selatan. Kim Kyung-mi, guru bimbingan psikologis, membantu siswa memperoleh kestabilan emosi melalui program meditasi dan terapi psikologis dengan tema “Mencari Jati Diriku.� Dia mengajarkan kepada siswanya untuk “menghargai diri sendiri di atas segalanya.� Menurut Shin Ho-rae, wakil kepada sekolah Hangyeore, untuk membantu siswa memperoleh kestabilan psikologis dengan cepat, penting untuk menghormati dan membimbing mereka semaksimal mungkin.

1 Siswa bermain sepak bola di taman bermain SMA Hangyeore, satu-satunya sekolah menengah reguler bagi remaja penyeberang Korea Utara di Korea Selatan. Sekolah, di mana sekitar 200 siswa tinggal di asrama, menawarkan berbagai program pelatihan kejuruan sehabis kelas, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan baik di tengah masyarakat Korea Selatan. 2 Ju Myong-hwa, kepala Sekolah Kumkang, di dalam kelas dengan siswa berbagai usia. Kebanyakan dari mereka, memilih sekolah reguler terdekat, tinggal di asrama sekolah ini dan memperbaiki pada mata pelajaran yang belum mereka kuasai dengan baik.

SMA Hangyeore, Sekolah Satu-satunya Bagi Remaja dari Korea Utara Kurikulum SMA Hangyeore yang terletak di Anseong, Provinsi Gyeonggi didirikan oleh Yayasan Buddha Won pada tahun 2006 untuk membantu remaja dari Korea Utara, memang berbeda dari kurikulum di sekolah pada umumnya. Pertama-tama, kelas difokuskan untuk membantu siswa memperoleh stabilitas psikologis dan emosional, beradaptasi dengan sistem sekolah di Korea Selatan, dan membantu beradaptasi dengan kehidupan di Korea Selatan. Yang paling istimewa pada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini adalah pendidikan keterampilan kerja. Setiap siswa dididik untuk mendapatkan satu sertifikat pendidikan, adapun jenis penSeNI & BUDAYA KoReA 35


didikan yang ada 15 jenis, seperti keterampilan membuat kue dan roti, keterampilan memasak, keterampilan perawatan kulit, keterampilan manicure, keterampilan rias wajah, keterampilan mengemudi kendaraan berat seperti traktor atau mesin pengeruk tanah, barista, keterampilan komputer dan sebagainya. Pada tahun 2014, 102 siswa berhasil mendapatkan sertifikat keterampilan mengemudi kendaraan berat. Untuk dapat melakukan pendidikan keterampilan, semua guru telah mendapatkan dua atau tiga sertifikat keterampilan di samping keterampilan utama yang dimilikinya. Selain itu, melalui kegiatan sukarela di luar sekolah dan kegiatan di lapangan, siswa dilatih untuk dapat beradaptasi secara alami dengan kehidupan di masyarakat Korea Selatan. Kegiatan pendidikan bersama sukarelawan dari luar sekolah dan program pembauran sungguh membantu mereka. Para siswa juga sangat senang dengan pelajaran yang diberikan oleh konduktor terkenal Gum Nanse dan penulis terkenal Ahn Do-hyun. Mereka juga memperoleh berbagai pengalaman dari kegiatan di luar sekolah, seperti kunjungan ke zona demiliterisasi dan Pulau Dokdo, pengalaman kerja di lapangan kerja, program reboisasi cinta negeri, dan sebagainya. SMP dan SMA Hangyeore menyediakan program pendidikan bagi anak remaja berusia 13 sampai 24 tahun mulai dari kurikulum SD hingga SMA. Sekolah ini berfungsi sebagai sekolah batu lon36 KoReANA Musim Dingin 2015

catan, di mana setelah lulus, siswa dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Sekitar 200 siswa tinggal di asrama. Menurut Bapak Kepala Sekolah Kwak, “Berkat fasilitas asrama yang baik serta dedikasi dari para pendidik, orang tua murid merasa nyaman menyekolahkan anak-anak mereka.� Sebenarnya selain sekolah ini, ada banyak sekolah alternatif non-reguler lainnya yang membantu remaja dari Korea Utara yang lingkungan pendidikannya jauh lebih buruk dan lebih sulit. Walau kurang dapat diketahui dengan jelas berapa tepatnya jumlah sekolah yang ada, diperkirakan ada tujuh sekolah dan sekitar 26 sekolah asrama, termasuk Sekolah Kumkang dan Sekolah Wooridul.

Sekolah Kumkang, dengan Guru Asal Korea Utara Sekolah Kumkang yang terletak di Guro, Seoul, adalah sekolah asrama alternatif yang didirikan pada tahun 2013. Kepala Sekolah Ju Myong-hwa, mantan pengajar di SMP Korea Utara, serta para pendidik di sekolah tersebut adalah wanita-wanita yang lari dari Korea Utara. Sekolah ini memiliki total 34 siswa yang tersebar di seluruh negeri untuk mengasuh anak-anak keturunan Korea Utara karena orang tua mereka harus mencari nafkah. Jumlah siswa SD adalah 20 orang, siswa SMP 5 orang dan siswa sekolah alternatif 9 orang. Delapan puluh persen dari mereka hanya memiliki ibu.


Pada tahun 2016, SMA Hangyeore akan berumur 10 tahun sejak didirikannya. Warga setempat yang sempat menentang keras pembukaan sekolah ini kini menjadi bersikap lebih ramah. Salah satu tujuan sekolah ini adalah untuk melatih siswanya sebagai tenaga yang diperlukan untuk reunifikasi nasional di masa depan.

Sebuah penampilan paduan suara pelajar Sekolah Wooridul di “Festival Dua-Satu,” sebuah acara di mana remaja dari kedua Korea berpartisipasi. Pelajar yang berjumlah 26 dari sekolah ini sedang mempelajari program primer dan sekunder serta berlatih beradaptasi dengan lingkungan baru melalui berbagai kegiatan sosial, termasuk menjadi relawan.

Sekolah ini juga berfokus pada program terapi psikologis bagi siswa untuk beradaptasi dengan masyarakat di Korea Selatan. Siswa dibantu dalam bimbingan psikologis untuk meningkatkan kemampuan adaptasi sosial, dan mendapatkan kembali harga diri melalui “program psikologi warna.” Ada banyak program pembauran lainnya juga. Yayasan Musik Hana menyediakan alat musik seperti biola, cello, piano dan guru untuk mengajar. Berkat sumbangan tersebut, pada musim panas tahun ini telah digelar “Konser Cinta Negara.” Menurut Kepala Sekolah Ju, “Di sekolah kami dilakukan berbagai pendidikan dalam keadaan terbatas sekalipun. Sayang, kami masih belum mempunyai laboratorium.” Dengan dedikasi, guru yang berasal dari Korea Utara mendidik siswa dengan harapan mereka dapat cepat dapat beradaptasi dengan kehidupan di Korea Selatan, walau tentunya tidak mudah. Banyak relawan seperti guru SD pensiunan dan penutur asli bahasa Inggris yang sedang menuntut ilmu di pusat bahasa Korea di berbagai universitas, datang untuk membantu. Yayasan Beasiswa Samsung dan Korporasi Young adalah pendukung sekolah lainnya. “Kami dapat terus bergerak dengan dukungan dari para pendukung kami. Tapi bagaimanapun, kendala utama yang kami hadapi tetaplah dana” ujar Ju. Karena anggaran tahunan sekolah ini hanya mencapai 150 juta won.

Sekolah Alternatif Wooridul, Sekolah bagi Anak Remaja Pelarian dari Korea Utara Sekolah Wooridul di Distrik Gwanak, Seoul, adalah sekolah alternatif bagi anak remaja Korea Utara yang berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya. Kurikulum sekolah adalah dari SD hingga SMA, tetapi sebagian besar siswa berumur lebih 20. Sekolah ini menerima sebagian siswa dari Sekolah untuk belajar di sini siang hari, dan kembali ke sekolah mereka di malam hari. Wooridul didirikan pada tahun 2010 oleh Kepala Sekolah Yoon Dong-joo, seorang pemuda di akhir 30-an nya yang telah membantu pelarian Korea Utara selama 18 tahun sejak ia masih kuliah. Saat ini sebanyak 26 siswa sekarang belajar pada 8-12 meja yang terletak di ruang kelas yang kecil. Mereka semua mempersiapkan diri untuk ujian kesetaraan sesuai kemampuan mereka masing-masing, dan setelah lolos ujian tersebut, mereka dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Setelah menghasilkan tiga lulusan pada tahun 2013, tahun 2014 ada empat lulusan, dan 12 lulusan di awal tahun ini. Kelas reguler dimulai pada 9 di pagi hari dan berakhir pada 3:30 di sore hari, tapi siswa dapat belajar seni dan pendidikan jasmani dan berlatih sendiri sampai 6 di malam hari. Sekitar 30 relawan, termasuk lima guru tetap di usia 40-an dan 50-an, lulusan Postech (Pohang Universitas Sains dan Teknologi), lulusan universitas Jerman, dan guru pensiunan berumur 70 tahun, semua mengajar siswa mereka dengan dedikasi tinggi. Kepada siswa yang sulit secara ekonomi mereka disediakan makan dan kerja sukarela diwajibkan kepada semua siswa. Siswa membantu anak-anak di Afrika, mereka juga mengunjungi desa Hansenin di Pulau Sorok. Selama dua tahun berturut-turut digelar juga Festival Two-One untuk konser musik dan pameran seni yang membaurkan siswa-siswa Korea Selatan dan Utara. Tahun 2016 adalah tahun ke-10 dididirikannya SMP SMA Hangyeore. Warga setempat yang sempat menentang keras pembukaan sekolah ini kini menjadi bersikap lebih ramah. Salah satu tujuan sekolah ini adalah untuk melatih siswanya sebagai tenaga yang diperlukan untuk reunifikasi nasional di masa depan. SeNI & BUDAYA KoReA 37


JATUH CINTA PADA KOREA

JANG HÜSEYIN

SUARA UNTUK KEDAMAIAN

Darcy Paquet Penulis Lepas Ahn Hong-beom Fotografer

Hüseyin Kirdemir, yang lahir di Turki dan sekarang menjadi warga negara Korea dengan nama Jang Hüseyin, adalah pribadi yang hangat dan cinta damai. Jika ada satu hal yang dilawannya dalam keseharian adalah sikap abai dan salah pengertian. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun bekerja sebagai penerjemah, penulis dan dosen, pada tahun 2012 Jang mendirikan perusahaan penerbitannya sendiri, Jannah Mumin Books, yang kini menjadi salah satu penyambung suara Islam di Korea.

S

ebagian orang mendapati panggilan jiwanya ada di belahan lain dunia ini. Itulah kasus yang dialami Jang Hüseyin, yang tumbuh di kota kecil di Yozgat di bagian tengah Turki sebelum memutuskan mendalami bahasa Korea di Ankara University’s School of Foreign Languages. “Ayah saya adalah tentara di dinas militer Turki pada saat Perang Korea,” katanya. “Dulu, pemerintah hanya memilih tentara yang tinggi dan mengirim mereka berperang di Korea, dan karena ia pendek, ia tidak terpilih.” Jang tumbuh dengan keingintahuan mengenai Asia Timur dan Korea, yang kemudian berkembang di masa remajanya berkat film dan cerita mengenai Buddha dan Konfusianisme. “Semua itu membuat saya ingin melihat Korea dengan mata kepala sendiri, ke sebuah negara yang tidak bisa dikunjungi ayah saya,” katanya. Kemampuan berbahasa Koreanya meningkat dengan cepat, dan setelah lulus pada tahun 1994 ia diterima dalam kursus bahasa Korea selama sembilan bulan di Seoul National University. “Untuk penutur asli bahasa Inggris, bahasa Korea sangat sulit. Tapi untuk penutur bahasa Turki, belajar bahasa Korea lebih mudah. Urutan kata dalam bahasa Korea dan bahasa Turki sama,” katanya. “Saya harus berusaha keras belajar karakter dan dialek bahasa Cina, tapi saya lebih mudah bejalar dibanding mahasiswa Amerika yang belajar bersama saya.” Setelah menyelesaikan kursus, ia melanjutkan ke gelar Master, dan mendaftar di SNU untuk program Ph.D. dalam bahasa Korea. Sekarang, ia fasih berbahasa Korea.

Kesan Pertama tentang Korea Korea Selatan pada pertengahan tahun 1990an sangat berbeda dari Korea jaman sekarang. “Ketika saya pertama kali datang, tidak banyak orang asing di Korea. Dan jika Anda orang asing, pasti mereka mengira Anda orang Amerika. ‘Oh, itu orang Amerika,’ mereka akan bilang begitu.” Sebagai seorang Muslim, ia merasa bagian dari kaum minoritas yang sering kali disalahpahami. “Pada waktu itu ada juga masyarakat Muslim di Korea, tapi tidak sebanyak 38 KoReANA Musim Dingin 2015


Jang Hüseyin menghabiskan waktu bersama keluarganya di Masjid Sentral Seoul di Itaewon. Dari kiri: Jang Hüseyin, putranya Mumin, putrinya Jannah, dan istrinya Aliyah Eunno Yoon.

sekarang. Kalau saya mengatakan kepada temanteman Korea bahwa saya sedang berpuasa Ramadan, mereka tidak mengerti. Mereka berpikir saya sedang menjalani diet, atau tidak punya uang untuk makan.” (Tertawa) Di tahun-tahun berikutnya, ia menyaksikan Korea makin multikultural. “Sekarang kapanpun saya pergi ke Itaewon, atau ke pasar, saya bertemu Muslim di mana-mana. Ketika pertama kali saya datang, hanya ada dua rumah makan di Seoul yang menyajikan makanan halal, tapi kini banyak sekali. Di jaringan supermarket besar Anda bisa menemukan makanan yang berlabel halal.” Di sisi lain, hal yang pertama kali memberikan kesan mengenai budaya Korea masih terpatri hingga kini. “Korea punya banyak sekali passion. Mereka mengejar ambisi sampai akhir, tidak pernah putus asa. Saya benar-benar mengagumi kegigihan ini,” katanya. Ia juga menggambarkan orang Korea sebagai masyarakat yang pemurah dan hangat. “Suatu hari di tahun lalu saya kehujanan dan tidak membawa payung, dan seorang perempuan menyeberang jalan dan memberi saya kantong plastik supaya saya tidak basah. Saya sangat tersentuh oleh kemurahan hatinya kepada orang asing,” katanya seraya mengingat-ingat. “Dari sudut pandang yang lebih kritis, orang Korea cenderung menilai orang pada penampilan: pakaian yang mereka kenakan, apakah mereka terlihat kaya, mereka kuliah di mana, dsb.,” katanya. “Saya ingin mereka tidak terlalu cepat menilai orang. Kecenderungan ini belum sepenuhnya berubah selama saya tinggal di sini.”

Menjadi Suara bagi Islam Beberapa hal yang terjadi pada awal tahun 2000an memmpererat hubungan Jang dengan negara adopsinya. Pertandingan semifinal antara Korea Selatan dan Turki dalam Piala Dunia tahun 2002 membuat orangorang di kedua negara lebih menyadari budaya satu sama lain. Kontribusi Turki selama Perang Korea, misalnya, banyak dikutip di media. Sayangnya, pemaknaan teroris dalam serangan tanggal 11 September 2001 hanya mengacu pada Islam SeNI & BUDAYA KoReA 39


1 Jang Hüseyin membaca Al-Quran dalam terjemahan Korea. 2 Buku dalam bahasa Korea yang diterbitkan oleh Jannah Mumin Books, Perusahaan penerbitan Jang Hüseyin ini didirikan untuk memperkenalkan Islam dan budaya Islam.

1

atau negara-negara Timur Tengah. Ini bukan hanya di Amerika Serikat, tapi juga di Korea. “Penyebabnya sangat tidak enak, dan setelah peristiwa 9/11 banyak acara TV mengenai Islam dan Muslim mulai muncul di Korea,” kata Jang. “Makin banyak orang yang pergi ke negara-negara Islam seperti Malaysia dan Turki, sehingga keingintahuan dan pengetahuan mereka juga makin luas.” Sekarang ia menyadari bahwa pengetahuan yang lebih luas mengenai Islam sangat diperlukan. “Saya pergi ke toko buku Kyobo untuk mencari buku berbahasa Korea mengenai Islam, tapi karya yang saya temukan sering kali sesat, atau berisi informasi yang tidak benar. Sebagian besar ditulis oleh penulis nonMuslim, dan tidak secara akurat menangkap keberagaman jiwa dalam Islam,” katanya. Kesalahan yang ditemukan dalam banyak buku menyebabkan Jang mengal-

ami frustrasi. Misalnya, salah satu buku dalam bahasa Korea berisi informasi mengenai zakat, yang merupakan kewajiban bagi semua Muslim untuk memberikan 2,5 persen dari pendapatan tahunan mereka kepada yang berhak. Namun, angka ini tercetak 25 persen. “Kesalahan seperti ini tidak bisa dimaafkan, walaupun tidak disengaja,” kata Jang. “Seorang teman di New York memperlihatkan sebuah buku kepada saya, yaitu ‘Understanding Islam and Muslims .’ Buku ini terbit dengan format tanya jawab, dengan banyak foto dan memberikan informasi dasar mengenai Islam. ”Karena percaya buku seperti ini bisa menjadi awal yang bagus untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat Korea, Jang menerjemahkannya ke dalam bahasa Korea. “Cetakan pertama ludes terjual, kedua, hingga keenam. Saya menyadari bahwa orang sebenarnya sangat ingin tahu lebih banyak.” Teman-temannya menyarankan Jang menerjemahkan buku-buku lain. Hingga kini, ia sudah menerjemahkan lebih dari 20 buku.

Meletakkan Akar di Korea Perubahan lain yang signifikan dalam kehidupan Jang terjadi pada awal tahun 2000an. “Tak lama setelah setelah peristiwa 9/11, saya menerbitkan majalah ‘Beautiful Islam ,’ dan seorang teman dari Turki membantu saya membuat laman dengan konten dari majalah tersebut,” katanya. “Pada saat itu saya dihubungi oleh seorang perempuan Korea yang sedang belajar di New York yang menjadi Muslim. Ia sudah mencari informasi mengenai Islam dalam bahasa Korea, dan menemukan situs saya.” Jang dan Aliyah Eunno Yoon mulai menjalin korespondensi melalui surel, dan ketika ia kembali ke Korea setelah mendapatkan MFA, mereka bertemu. “Setelah beberapa kali bertemu, kami menikah,” kata Jang. “Takdir selalu tak terduga. Ia adalah perempuan yang saya cari.” Pernikahan dilangsungkan pada tahun 2004, dan mereka kini hidup bahagia dengan seorang anak perempuan, Jannah (9) dan anak laki-laki, Mumin (6). Pada pertengahan dekade itu, Jang mengajukan permohonan kewarganegaraan. “Saya kenal banyak orang di Korea, tapi ketika saya kembali ke Turki, selain

“Mayoritas orang Muslim itu cinta damai, sangat hangat, dan terbuka. Saya harap dengan menerbitkan buku, saya bisa membantu kedua belah pihak menjadi saling mengerti satu sama lain. Kita tidak banyak belajar tentang Islam dari TV.” 40 KoReANA Musim Dingin 2015


keluarga saya tak punya siapa-siapa lagi sebagai teman bicara. Saya merasa seakan-akan tempat saya tidak di sana. Di sini saya punya banyak teman dan pekerjaan yang berarti, tapi apa yang akan saya lakukan jika saya kembali ke Turki? Jadi, saya memutuskan tinggal di sini selamanya.” Permohonan kewarganegaraan berjalan lebih lancar dari yang diperkirakan. “Saya melakukan segala yang diperlukan untuk mengikuti ujian kewarganegaraan, tapi setelah mengecek aplikasi saya mereka berkata bahwa saya tidak perlu mengajukannya, karena saya punya gelar Ph.D. dari Seoul National University,” kata Jang. “Saya hafal lagu kebangsaan. Saya juga mendengar cerita mengenai warga Amerika degan kemampuan bahasa Korea yang sempurna yang lulus semua tes, tapi gagal dalam ujian itu karena ia tidak dapat menghafal lagu kebangsaan itu.” (Tertawa) Sepuluh tahun kemudian, Jang mengatakan bahwa ia tidak pernah sekalipun menyesali keputusannya.

Membawa Keimanan ke Level Berikutnya Seiring berjalannya waktu, Jang merasa menjadi lebih terlibat dalam edukasi mengenai Islam. Sejak tahun 2005 ia bekerja sebaagai agen penerbitan dan pemasaran di Seoul Central Mosque. Selain menerjemahkan buku ia juga memberikan kuliah, merawat situs organisasi, dan membuat newsletter mingguan. Tapi setelah lima setengah tahun ia memutuskan untuk fokus pada bukunya sendiri. “Saya sangat sibuk, dan pekerjaan menerjemahkan menjadi terabaikan, jadi akhirnya saya mengundurkan diri,” katanya. Hal itu membuatnya meluncurkan situs Jannah Mumin Books pada tahun 2012 (www.jannahmuminbooks.com), yang diambil dari nama kedua anaknya. Penerbitan ini bertempat di Paju, sekitar 10 menit dari Paju Book City, dan fokus pada penerbitan tiga jenis buku: karya yang ditujukan untuk kaum Muslim yang tinggal di Korea; buku-buku mengenai Islam untuk anak-anak; dan buku-buku Islam untuk masyarakat umum. Beberapa publikasi terbarunya adalah “Stories of People Who Have Chosen Islam ” (2012), teks pengantar “Islam ” (2013), “Al-Nawawi Forty Hadiths and Commentary” (2014), dan “Answers to Koreans’ 40 Most Common Questions About Islam” (2014). Untuk pembaca anak-anak, istri Jang Aliyah Eunno Yoon menulis buku bergambar “Lost in Istanbul: The Story of Jannah & Mumin” (2013). Buku-bukunya laris. Masyarakat mulai memberikan perhatian pada buku-buku terbitan perusahaan itu. “Bulan Agustus ini, saya dihubungi oleh penyelenggara Halal Expo Korea pertama, yang mengatakan mereka ingin memasang booth dengan buku-buku tentang Islam. Kemudian halal expo lain diadakan pada bulan September, dan saya ikut. Buku-buku ini diperlukan,” katanya. Bahkan pemerintah Korea juga sudah memberikan perhatiannya. Pada acara Buka Bersama tahun 2014, yang diselenggarakan untuk memperkenalkan per-

tukaran budaya antara Korea dan Islam, Menteri Luar Negeri Korea Yun Byung-se menyebut Jang dalam pidato selamat datangnya.

Perlunya Saling Memahami Meskipun angka pastinya sulit didapatkan, diperkirakan ada sekitar 130.000 muslim di Korea. Jumlah ini sebagian besar orang Korea, dan mereka yang sudah kembali dari luar negeri. Karena Korea menjadi lebih multikultural, ada alasan praktis dan alasan sosial untuk memberikan informasi lebih banyak mengenai Islam. “Sekitar seperempat populasi dunia adalah Muslim,” kata Jang. “Jadi siapapun yang serius menjalankan bisnisnya di luar negeri benar-benar perlu memahami segala sesuatu mengenai budaya Muslim.” Jang juga mengatakan bahwa Islam mengajarkan beberapa pendekatan yang bermanfaat dalam menghadapi masalah sosial dan personal. “Islam dapat membantu menemukan cara positif dalam kehidupan Anda. Dan itu tidak sesempit yang dibayangkan orang.” Kebangkitan Negara Islam (yang dikenal dengan IS) di Timur Tengah mengembalikan pemahaman mengenai budaya Islam dan Muslim. “Dari liputan media, Anda mendapatkan kesan bahwa Islam adalah agama aneh atau penuh kekerasan. Tokoh seperti Osama bin Laden ditampilkan sebagai figur Islam. Tapi sebenarnya kaum Muslim pada umumnya tidak mengakuinya,” kata Jang. “Mayoritas umat Muslim cinta damai, dan mereka sangat hangat dan terbuka. Saya harap dengan menerbitkan buku-buku saya bisa membantu kedua belah pihak untuk lebih memahami satu sama lain. Kita tidak banyak belajar tentang Islam dari TV.”

2

SeNI & BUDAYA KoReA 41


DI ATAS JALAN

Gunung yang Tinggi dan Air yang Biru, Nyanyian Arari yang Tak Henti dalam Kehidupan, Youngwol Jeongseon Gwak Jae-gu Penyair Ahn Hong-beom Fotografer

Di Korea tersebutlah Yeongwol dan Jeongseon, sebuah tempat terpeencil di gunung yang dalam, di mana Raja Danjong muda yang malang diasingkan (masa pemerintahan 1452-1455). Di sanalah tersimpan nyanyian Arari Jeongson dan Chongryongpo yang lirih dan pilu. Sekarang di Sabuk, pertambangan yang dulu tertutup, telah didirikan kasino, dan di Chongryongpo wisatawan tak henti berdatangan. Di antaranya tetap ada jejak kaki orangorang yang datang untuk menikmati Pasar Lima Hari karena rindu pada nostalgia tua di gunung yang dalam itu.

42 KoReANA Musim Dingin 2015


Jangneung, makam Raja Danjong yang tragis dari Joseon di Yeongwol, Provinsi Gangwon, terbalut salju pertama tahun ini dan keheningan. Digulingkan dan diturunkan dari status pangeran sebelum dia dibunuh pada tahun 1457 di tempat pengasingannya, ia secara anumerta dipulihkan dan dinamai Danjong pada tahun 1698, pada masa pemerintahan Raja Sukjong, dan dikuburkan lagi dalam makam kerajaan sesuai dengan statusnya.

SeNI & BUDAYA KoReA 43


1 Turis naik kereta wisata yang bernama “Arari” menikmati keindahan lanskap Jeongseon yang tertutup salju. Kereta ini, memungkinkan pengunjung singgah dan menjelajahi sungai di Auraji, desa tepi sungai, dan pasar Jeongseon. 2 Patung gadis yang dikenal sebagai pahlawan dalam lagu “Arirang” berdiri melihat ke sungai di Auraji. Versi nyanyian rakyat sedih berasal dari daerah ini bercerita kesedihan seorang gadis dan pemuda yang saling jatuh cinta, hidup di sisi berseberangan dari sungai, yang tidak dapat bertemu di musim panas ketika hujan membuat air sungai pasang.

1

C

ahaya rembulan menerangi jalan. Malam bulan purnama adalah berkat bagi wisatawan di gunung Gangwondo. Cahaya rembulan terlihat seperti tumpukan garam putih di atas jalan, sementara sekitarnya sunyi. Mobil-mobil bergerak dengan tenang mendaki gunung yang bermandikan cahaya rembulan. Jalan dari Yeongwol melewati Jeongseon menuju ke Hongcheon. Pertama kali saya melewati jalan ini adalah pada bulan Oktober 1990. Saat itu sinar rembulan sangat lembut bagai sutra. Begitu lembutnya sehingga cahaya lampu mobil bagai merusak sinar rembulan itu. Malam itu, saya meniti jalan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit tanpa menyalakan lampu mobil.

Penyair yang Menyempurnakan Cinta dengan Kematiannya Tanggal 1 September 1990, sebuah bus yang sedang melaju dalam hujan di jalan tol Yeongdong, jatuh ke sungai Seomgang yang merupakan aliran dari Sungai Namhangang, mengakibatkan kecelakaan besar dengan 24 dari 28 orang penumpangnya tewas. Dalam kecelakaan ini Jang Jae-in kehilangan istri dan anak laki-lakinya. Selama berhari-hari lelaki itu menanti istri dan anaknya yang tewas saat sinar bulan jatuh di sungai, kembali dalam keadaan hidup di tengah hujan yang tak kunjung berhenti turun. Jika malam tiba, ia menyalakan api unggun yang menerangi pinggir sungai. Lima hari setelah kecelakaan terjadi, jenazah istrinya ditemukan, dan sepuluh hari kemudian jenazah anak laki-lakinya ditemukan. Tumpukan api unggun yang menerangi pinggir sungai selama 10 hari itupun runtuh. “Istri hidup sengsara karena memilih hidup dengan orang malang seperti saya. Katanya istri saya mencebur ke sungai untuk menyelamatkan anak saya yang tercebur. Sayapun ingin masuk ke sungai itu. Hanya itu satu-satunya harapan saya sejak saya sampai di tempat kecelakaan ini. Semoga tidak ada yang menyesali pilihan saya untuk mengikuti kepergian istri dan anak saya. Mohon doakan kami sekeluarga bertemu kembali di tempat kami tidak perlu terpisah dan dapat hidup berbahagia. Rasanya istri saya yang senantiasa setia dan rendah hati, serta selalu mencukupi kehidupan saya yang miskin dan anak saya memanggil saya untuk datang…” 25 tahun yang lalu, saya berdiri untuk memperingati seorang lelaki yang tidak pernah saya temui di dunia ini. Pilihannya untuk mengikuti istri dan anak yang dicintainya sampai ke ujung bumi terasa indah dan sedih. Selama hidup, ia adalah seorang guru bahasa Ing44 KoReANA Musim Dingin 2015

gris, sekaligus juga seorang penyair. Di sini saya tuliskan sebaris syair karyanya. Sebelum kutahu bintang Aku memang telah lebih dulu tahu kegelapan Setelah kukenal bintang Aku jadi tahu apa arti hati yang kosong Sebelum kukenal bintang Aku memang telah lebih dulu tahu kelimpahan keyakinan Setelah kukenal bintang Mataku terbuka pada kehausan akan kelimpahan keyakinan Entah kapan saat bintang datang Dadaku penuh dengan bintang Namun justru sejak saat itu di satu sudut hati Ada bagian kosong yang baru kuketahui Sebelum kukenal bintang Ada ketenangan yang kuketahui sampai saat itu Setelah kukenal bintang Ternyata semua hanyalah putaran waktu belaka <Dikutip dari: Bintang>


2

SeNI & BUDAYA KoReA 45


Esensi dari kehidupan dapat dikatakan ada dalam awan gelap yang tak terduga daripada ada pada kebahagiaan. Walau gunung curam dan laut menghadang, manusia menghembuskan nafas hangat di tanah yang tandus.

Cheongryeongpo yang Menyimpan Kisah Tragis Danjong Yeongwol adalah tempat di mana kisah tersedih sepanjang masa milik seorang lelaki lainnya. Yaitu Danjong, Raja keenam Dinasti Joseon. Terlahir sebagai cucu Raja Sejong, raja yang membuat huruf Korea, ibunya meninggal 3 hari setelah melahirkan akibat komplikasi persalinan. Menurut cerita, Sejong begitu mengasihi cucunya Danjong hingga ia selalu menggendongnya saat berjalan-jalan. Ayah Danjong, Munjong juga sakit-sakitan, sehingga dua tahun setelah naik tahta ia meninggal, menyebabkan Danjong menggantikannya saat ia masih berusia 12 tahun. Kehidupan raja muda yang tak memiliki ayah dan ibu ini betul-betul tragis. Pamannya Suyang-daegun yang berambisi pada kekuasaan, merebut cap kerajaan dari keponakannya pada tahun 1455 dan mengambil alih tahta kerajaan. Pemerintahan Sejo berlangsung dari tahun 1455-1468. Setelah itu, ada kumpulan rahasia pembesar kerajaan yang ingin mengembalikan Danjong sebagai raja. Namun dalam pertemuan untuk menyambut tamu dari Kerajaan Ming, kumpulan rahasia ini ketahuan oleh mata-mata raja. Mereka yang dianggap sebagai penghasut raja dijatuhi hukuman Geoyol 46 KoReANA Musim Dingin 2015


(hukuman mati dengan menabrak terhukum dengan gerobak) dan seluruh keluarga beserta kerabatnya juga dihukum mati. Keenam pembesar yang tewas pada saat itu nantinya dipuja sebagai wujud dari semangat cendekiawan dan disebut sebagai Enam Dewa dengan nama Seongsammun, Baikpengnyeon, Yige, Hawiji dan sebagainya. Dalam masanya sebagai Nosangun (nama yang diberikan pada Danjong selama menjadi pelarian), Danjong diasingkan ke Yeongwol dan melewatkan hari-harinya di Cheongryongpo. Tempat itu disebut Dosan karena ada sebuah tebing di gunung yang terkikis akibat terbentur oleh ombak yang keras. Tempat ini tidak bisa dimasuki selain menggunakan kapal. Raja tanpa tahta yang merindukan permaisurinya Jeongsun-hwanghu menuliskan syair berjudul Jagyusi. Seekor burung yang sedih melayang di langit Bayang-bayang kesepian kehilangan pasangan berkeliaran di gunung hijau Malam datang tetapi kantuk tak kunjung datang Tahun berganti, tetapi kepedihan hati tak kunjung hilang Oleh Sejo, yang menganggap selama Danjong hidup maka kedudukannya sebagai raja akan berbahaya, Danjong dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun. Ada orang yang mengatakan bahwa Sejo memaksa Danjong untuk bunuh diri. Danjong kehilangan ibunya 4 hari setelah meninggal, kemudian di usia 12 tahun, ia kehilangan ayahnya dan akhirnya mewarisi tahta. Namun 3 tahun kemudian ia diasingkan ke dalam gunung di tengah perang darah perebutan kekuasaan, dan akhirnya meninggal dalam usia 17 tahun. Adakah lagi kisah sedih seorang raja yang lebih buruk daripada ini? Jangreung yang berlokasi di Yeongwol adalah makam tempat dibaringkannya Danjong. Meninggal dengan status sebagai penulis atau Seo-in, Danjong dimakamkan secara rahasia, 200 tahun kemudian pada masa pemerintahan Sukjong, makam tersebut diresmikan sebagai makam raja. Pada musim dingin, air sungai Donggang (Sungai Timur) mengalir ringan. Orang-orang Yeongwol menikmati perayaan musim dingin dengan cara mereka sendiri. Mereka membuat jembatan Seop, yaitu jembatan yang terbuat dari anyaman ranting pohon Seop yang menghubungkan Donggang dengan pembatas sungai di seberangnya dan menikmati permainan. Pada musim gugur saat air sedang dangkal, jembatan Seop dibuat dengan menganyam ranting-ranting pohon, dan pada musim panas tahun berikutnya, ketika air tinggi, jembatan ini akan hanyut terbawa oleh air. Di musim dingin, ketika gunung-gunung di sekitar Donggang putih tertutup oleh salju, orang-orang menggunakan jembatan Seop untuk menyeberang sungai yang beku. Jika kita melihat jembatan Seop, kita akan dapat merasakan kehangatan akal dari orang-orang yang berusaha bertahan dalam kehidupan mereka yang sulit. Menyeberangi sungai yang beku untuk nantinya kembali lagi, rasanya seperti membiaskan kehidupan seorang manusia. Mereka telah menyeberang menggunakan Jembatan Seop yang kurang aman, tentunya di tahun yang akan datang dalam kehidupan mereka akan terpasang jembatan kuat dan teguh terbuat dari batu.

Di musim dingin ketika Sungai Dong mulai membeku, jembatan yang terbuat dari belukar ditenun dan diletakkan di atas air. Sebuah pemandangan musiman Jeongseon yang terkenal, jembatan yang tersisa dipakai untuk membasuh ketika air di sungai naik pada musim panas berikutnya.

Kisah Cinta Pemuda Pemudi Desa di Tepi Sungai Auraji Jalan berlanjut dari Yeongwol hingga Jeongseon. Untuk bisa bercerita tentang Jeongseon, kita harus mencari Tepi Sungai Auraji. Auraji adalah tempat pertemuan dua aliran sungai. Yaitu sungai Songcheon dan sungai Goljicheon. Orang-orang di sini mengatakan bahwa Sungai Songcheon membawa aliran air Yang dan Goljicheon membawa aliran air Yin, dan mereka percaya bahwa jika energi Yin dan Yang bertemu maka akan terbuka dunia baru yang baik untuk ditinggali. Nama ‘Auraji’ berasal dari kata ‘Eourojinda’ (berbaur) yang diambil dari pertemuan dari dua sungai ini. Auraji, yang diharapkan membawa energi baru pada dinasti abad ke-19 yang kekuasaannya semakin tidak stabil, oleh Heungseon Daewongun, pengurus istana Gyeongbokgung di masa itu, dibuat sedemikian rupa agar berperan sebagai jalur air istana dengan sangat baik. Pohon-pohon pinus yang tumbuh subur di pegunungan dibuat rakit untuk dialirkan melalui Auraji sampai ke Sungai Hangang SeNI & BUDAYA KoReA 47


untuk dijadikan bahan bangunan istana. Saat itu tukang kayu yang dikerahkan dari seluruh penjuru negeri berkumpul, mereka bekerja sambil menyanyikan lagu dari daerahnya masing-masing untuk melupakan beratnya kerja mereka. Mereka menyanyikan “Arari” yang isinya “Siapalah yang akan tahu keadaan dan hatiku.” Lagu Arari ini bercampur antara Arari yang dinyanyikan sejak dulu dari mulut ke mulut sampai ke daerah Jeongseon dengan lagu Arari yang berasal dari Jeongseon, sehingga mempunyai berbagai tema, diantaranya kisah cinta dan perpisahan antara pria dan wanita, ratapan kehidupan, nasib, dan berbagai unsur dalam kehidupan lainnya. Hai tukang perahu di Sungai Auraji, dayung perahu seberangkan aku Bunga Camellia di bukit hampir habis merontokkan kelopaknya Kelopak bunga Camellia yang gugur hanyalah tertumpuk bersama onggokan daun Sebegitu rinduku pada kanda membuatku tak betah hidup Arirang Arirang Arariyo Seberangkan aku melewati bukit Arirang Ada dua desa yang menghadap Auraji. Gadis dan pemuda di dua desa tersebut saling mencintai. Sang gadis bertugas untuk memetik buah Camelia di desa seberang, dengan demikian ia dapat bertemu dengan sang pemuda, dan mereka saling berbagi kasih. Tetapi suatu hari di musim panas air sungai meluap sehingga ia tidak bisa menyeberangi sungai, saat itulah ia menyanyikan lagu Arari ini. Patung seorang gadis yang terletak di pinggir sungai Auraji mengingatkan kita kepada saat-saat suka dan duka dalam kehidupan orang-orang yang tinggal di tepi sungai ini pada masa lampau. Akankah turun salju, ataukah turun hujan, ataukah turun hujan lebat Awan hitam berarak di antara gunung Arirang Arirang Arariyo Seberangkan aku melewati bukit Arirang Esensi dari kehidupan dapat dikatakan ada dalam awan gelap yang tak terduga daripada ada pada kebahagiaan. Walau gunung curam dan laut menghadang, manusia menghembuskan nafas hangat di tanah yang tandus. “Arari” yang dinyanyikan oleh orang Jeongseon, Arirang Jindo dan Arirang Miryang disebut sebagai “Tiga Arirang.” Orang-orang Korea di masa lalu menyanyikan Arirang ini sambil menjalani kehidupan mereka, sehingga dapat dikatakan Arirang melambangkan kehidupan bangsa Korea.

Santapan Sederhana yang tercipta dari Angin dan Sinar Matahari Jika kita melakukan perjalanan sepanjang sungai sambil melihat desa di pegunungan, tanpa terasa

1

48 KoReANA Musim Dingin 2015

1 Pada pasar Arari di Jeongseong, pemain musik klasik Korea menyanyikan “Jeongseon Arirang.” Berbagai hal dipertunjukkan dan dilakukan agar orang-orang datang dari seluruh negeri mengunjungi pasar lima hari Jeongseong. 2 Seni Tambang Samtan dibuka pada tahun 2013 setelah pengubahan fungsi fasilitas tambang batubara tua Samcheok, yang ditutup pada tahun 2001. Direncanakan menjadi fasilitas seni dan budaya dengan kisah sendiri, museum untuk membangkitkan rasa kreatif demi napas baru kehidupan dalam daerah yang terisolasi budayanya.

2


perut tiba-tiba menjadi lapar. Itu karena udara segar dan aroma tanaman herbal membantu melancarkan pencernaan. Makanan lokal yang bisa kita temui di Yeongwol dan Jeongseon dapat dikatakan sebagai makanan segar. Di antaranya saya menyukai nasi gondeure dengan Susubukumi, dan kue dari Maemil. Selesai berjalan-jalan kian kemari dan tanpa sengaja menemukan sebuah rumah makan yang kecil, kita bisa duduk di sebuah meja makannya yang lusuh sambil menghirup aroma tumbuhan herbal gunung yang membuat hati damai tak terkira. Jika menunggu beberapa saat, maka di depan mata akan terhidang sepiring santapan yang mengandung nafas dari angin ribuan tahun dan keharuman matahari yang terkandung dalam bunga-bunga gunung. Kereta api jalur Taebaek menghubungkan Sabuk, bagian selatan dari Jeongseon dan Gohan. Kereta api yang berjalan naik turun mengikuti bukit dan lembah, menciptakan nostalgia tersendiri khususnya pada musim dingin. Dulu daerah ini adalah daerah pertambangan, namun sekarang tambang tersebut telah ditutup.

Perjalanan dengan kereta ini cukup berarti walau hanya melihat bekas-bekas hitam batubara di sela-sela salju putih yang menutupi gunung-gunung. Lampu neon yang berkedip menerangi malam di Sabuk mengingatkan saya pada kota pertambangan Bilbao di Spanyol. Bilbao di mana cabang dari Pusat Seni Gugenheim New York di Eropa lahir kembali sebagai tujuan wisata global. Di Sabuk terdapat fasilitas rekreasi, termasuk kasino. Perbandingan antara museum dan kasino. Perbandingan yang sangat mencolok ini kalau dikatakan tidak menimbulkan kekecewaan dan rasa malu, rasanya saya berbohong. Tapi jika disebutkan itupun tidak lain adalah hasil dari pilihan kita, mungkin itu juga dapat diartikan sebagai sebait syair lagu Arari. Hanyalah Samtan Art Mine (Pusat Seni Samtan) yang menunjukkan bekas-bekas kehidupan penambang ketika pertambangan itu masih aktif saja yang mungkin dapat melipur lara. Saya mengarahkan mobil saya ke sebelah timur.

SeNI & BUDAYA KoReA 49


SEPANJANG JEJAK KAKI MEREKA

Dr. Lee Sung-nack, seorang dermatolog dan ahli sejarah seni, memperoleh gelar Ph.D. dalam sejarah seni tahun lalu di usia 76 tahun, dengan tesis mengenai potret dari zaman Dinasti Joseon. Sejak meninggalkan Jerman pada usia 19 tahun untuk belajar ilmu kedokteran, ia menjalani kehidupan profesional yang mapan. Ia juga mendapatkan kehormatan sebagai dokter kepresidenan. Setelah pensiun, ia menjalani fase kedua dalam hidupnya dengan passion dan dedikasi luar biasa.

Diagnosis Dermatolog Dr. Lee Sung-nack pada Potret dari Zaman Joseon Kang Shin-jae Penulis Lepas Shim Byung-woo Fotografer

50 KoReANA Musim Dingin 2015


M

atanya punya warna yang dalam dan misterius. Saya harus menatapnya lekat-lekat ketika ia mulai bicara tentang “melihat.” “Mudah mencari tahu keadaan pasien demam dengan mengambil sampel darah dan melakukan serangkaian tes. Tapi, banyak penyakit kulit sulit terdeteksi dengan cara ini. Semua tergantung bagaimana dokter melihat dengan matanya. Dalam hal seperti ini, bisa saja tergantung pengalaman,” katanya. “Hasil pengamatan dermatolog sering kali bisa dipercaya.” Dengan mata yang sudah melihat kulit manusia selama 50 tahun, ia melihat kartu nama yang saya sodorkan kepadanya. “Saya cek segalanya dengan mata. Saya tidak pandai mengingat nama. Saya harus bertemu muka. Memori visual saya cukup baik,” katanya. Ia sangat mengandalkan “pandangan.” Ia menikmati sastra dan seni, yang bisa ia “lihat,” dibanding musik, yang harus ia “dengar.” Setelah mapan di Jerman pada tahun 1958, ia menghabiskan 20 tahun berikutnya menekuni seni. Setelah kembali ke Korea pada tahun 1975, matanya sudah terlatih. “Dulu saya pernah ikut kuliah mengenai ‘masalah kulit yang ada di dunia seni’ yang disampaikan oleh Dr. Alfred Marchionini (18991965), seorang dermatolog berkebangsaan Jerman. Saya takjub pada perspektif baru yang dipresentasikannya. Ketika saya melihat sebuah potret di Museum Nasional Korea di Seoul, jantung saya berdebar kencang. Saya tidak percaya saya bisa menikmati sebuah karya seni di sini.”

Dr Lee Sung-nack, seorang dokter kulit dan sejarawan seni, melihat potret Oh Myeonghang periode Joseon. Menurutnya pewarnaan gelap mengungkapkan tanda-tanda yang jelas dari bekas luka cacar dan sirosis hati kronis.

Potret dari Zaman Dinasti Joseon di Mata Spesialis Kulit Potret-potret itu berasal dari abad ke 18 selama masa Dinasti Joseon. Meski potret-potret itu menunjukkan status dan kedudukan subyek, karya seni ini secara tidak langsung juga menguak masalah kulitnya. Untuk apa melacak penyakit dari sebuah potret yang menjadi catatan visual paling mewah dari kehidupan seseorang? Apa yang ingin disampaikan oleh subyek, yang kurang suka tampil du muka umum, melalui matanya yang tajam? “Saya menganalisis 519 potret dari periode Joseon (1392-1910), 161 di antaranya tidak dianalisis karena diagnosis tidak mungkin dilakukan. Dari yang tersisa sebanyak 358 potret, hanya sekitar 25 persen, atau sekitar 90 buah, yang menampilkan subyek dengan kulit wajah yang normal. Lainnya memperlihatkan abnormalitas. Sebanyak 14 persen memperlihatkan bekas cacar air,” katanya. Dr. Lee Sung-nack, presiden Gachon University

memulai interview dengan memperlihatkan kepada saya sebuah buku tebal. Itu adalah thesisnya yang berjudul “Study of Skin Manifestations on Portraits of the Joseon Dynasty of Korea.” “Selama lebih dari 30 tahun, saya mengumpulkan banyak data mengenai potret dan data itu harus dibuat berurutan. Tapi itu tugas yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang kompeten dalam bidang dermatologi dan seni, dan juga punya passion untuk terus belajar. Akhirnya, saya melakukannya sendiri.” Lee lulus dari Ludwig Maximilian University di Munich, dan menyelesaikan pelatihan khusus di Goethe University di Frankfurt. Ia kembali ke Korea setelah memperoleh gelar dengan kualifikasi akademik tertinggi. Ia mengajar di Yonsei University dan Ajou University selama 30 years dan menjabat sebagai ketua jurusan Kedokteran Gachon University dari tahun 2004 sampai 2008. Lee mempresentasikan temuan yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun satu per satu. Lukisan-lukisan itu, sesuai dengan gambaran ideal Joseon bahwa sebuah potret tidak hanya mengungkap penampilan fisik seseorang tapi juga jiwanya, sangat mewakili kisah hidupnya. Ada sebuah karya yang secara khusus menarik perhatian karena sesuatu yang tidak biasa. Potret Oh Myeong-hang (1673-1728) dengan pewarnaan yang gelap mengungkap bekas cacar air yang cukup parah. Dalam banyak kasus, potret tokoh yang kurang berpengaruh biasanya hadiah dari raja selama periode Joseon. Petugas pengadilan kerajaan yang mencapai usia tertentu akan pensiun dan kembali ke kampung halamannya. Ketika diketahui seorang petugas hampir mendekati ajal, seorang seniman pengadilan akan didatangkan untuk melukisnya. Dari potret ini bisa diduga penyebab kematiannya. “Tampaknya ia menderita penyakit kuning yang parah, yang menurut perkiraan saya disebabkan oleh sirosis hati kronis,” kata Lee.

Realisme Fotografi Lee sudah mempelajari 20 penyakit kulit yang ditemukan dalam potret dari zaman Joseon. Dalam proses ini ia mendeteksi 10 penyakit kulit langka, seperti lupus (ruam berbentuk kupu-kupu akibat infeksi wajah kronis) dalam potret Hong Jik-pil (1776-1852), dan frontal linear scleroderma (bekas luka berbentuk pisau) dalam potret Yi Si-bang (1594-1660). Setelah sebuah jurnal di Jerman menerbitkan thesisnya mengenai potret Song Chang-myeong (1689-1769), yang menguak adanya gejala vitiligo, lukisan itu lalu dianggap sebagai ungSeNI & BUDAYA KoReA 51


1

2

©Jeonju National Museum

kapan artistik pertama mengenai penyakit kulit kronis. Ini bukan hanya soal akurasi dan realisme potret dari periode Joseon, tapi juga merupakan bukti bahwa orang dengan noda di wajah pun bisa menempati posisi tinggi. Ini menunjukkan keterbukaan masyarakat Joseon. Lee juga menemukan bahwa penyakit kulit adalah hal yang biasa dalam potret Korea. “Pada dasarnya, potret ditujukan untuk menunjukkan status istimewa subyek. Banyak potret Korea mengungkap masalah kulit, dan bahkan bekas luka yang parah. Tidak ada usaha yang dilakukan untuk menyembunyikan noda semacam ini. Tidak ada potret serupa yang bisa ditemukan di manapun di seluruh dunia,” katanya. “Pada abad 17 dan 18, cacar air mewabah di Korea, China, dan Jepang, tapi hanya potret di Korea yang menyingkap bekas luka itu secara realistis. Banyak lukisan serupa ditemukan di China dan tak satu pun ditemukan di Jepang. Ini berarti bahwa orang Korea melukis wajah seperti penampilannya dalam kehidupan nyata. Pendekatan dan teknik realistis ini dilakukan selama periode Dinasti Joseon, yang berlangsung selama 518 tahun. Sangat mengagumkan.” Catatan dari tahun 1668, dari masa pemerintahan Raja Sukjong dari Joseon, dalam “The Diaries of the Royal Secretariat ” (tertulis di UNESCO Memory of the World Register), mengatakan: “Jika ada perbedaan antara potret dan subyeknya, bahkan seujung rambut pun, pasti itu orang yang berbeda. Ini penting untuk memperlihatkan orang sebagaimana aslinya.” Dan untuk membuktikannya, potret Seo Jik-su (1735-?) secara akurat menyingkap adanya tiga helai rambut yang tumbuh dari satu pori yang sama. Masa keemasan potret zaman Joseon adalah lukisan Raja Taejo (1335-1408), pendiri dinasti itu. Pengamatan terhadap potret itu menyingkap adanya sebuah bercak kecil di atas alis kanan. Lee mengatakan bahwa si pelukis, yang bekerja di bawah tatanan monarki absolut, tidak melihat bercak dengan seksama pada wajah sang raja. “Ini menunjukkan bahwa ada konsensus sosial yang diketahui secara luas bahwa lukisan potret harus serealistis mungkin,

1, 2 Potret Raja Taejo (1335-1408), pendiri Dinasti Joseon, terlihat tahi lalat kecil di atas alis kanannya. Hal ini menunjukkan bahwa pelukis Joseon berpegang pada prinsip dari melukis potret secara realistis, pun untuk melukis para raja. 3, 4 Potret Seo Jik-su (1735-?) dilukis oleh dua pelukis pengadilan yang terkenal - wajahnya oleh Yi Myeong-gi dan tubuhnya oleh Kim Hongdo. Tanda beberapa bintik kecil dapat dilihat di bawah mata kirinya, dan area berpigmen gelap dengan pertumbuhan rambut di pipi kirinya. Lukisan ini juga jelas menggambarkan beberapa helai rambut yang tumbuh dari pori-pori tunggal.

Saya menatap matanya lagi. Pandangannya dalam karena sudah mengamati begitu banyak potret selama bertahun-tahun, yang membuatnya bisa melihat keadaan spiritual subyek dalam potret-potret itu. Saya ingin tahu kedalaman yang bisa dicapai mata itu selama sisa hidupnya. 52 KoReANA Musim Dingin 2015


yang merefleksikan nilai kejujuran dan integritas,” katanya. Selama wawancara, Lee duduk tegak dan tidak pernah terdengar ragu dalam menjawab. Sulit mempercayai usianya. Apakah karena pandangan hidupnya “Jaga segala sesuatu seperti seharusnya”? Bahkan air yang mengalir akan terhenti ketika melewati kubangan. Tapi tampaknya tidak ada kendala yang tidak bisa diatasi dalam perjalanan hidup Lee. Sebelum mulai penelitiannya terhadap potret Joseon, ia sudah bertugas sebagai dokter untuk tiga presiden, memperoleh pengakuan dunia dalam penyakit Behcet, dan diangkat menjadi presiden Gachon University.

Tidak Ada Halangan yang Tidak Bisa Diatasi dalam Hidup Lee secara alami memperoleh semangat dan jiwa yang tak terkalahkan ketika ia mendaftar di sekolah kedokteran di negara asing dalam usia 19 tahun. Ketika ditanya apakah ia takut tinggal sendiri pada waktu itu, ia mengutip peribahasa lama: “Manusia bisa tinggal di manapun asal ada gunung.” Ketika teman sekamarnya melakukan pelecehan rasis kepadanya, Lee melawannya dengan pengetahuan mendalam mengenai musik Beethoven. Saya menatap matanya kembali. Ada kedalaman yang lahir dari ketelitian pada banyak potret selama bertahun-tahun, yang memungkinkannya melihat keadaan spiritual subyek. Saya ingin tahu kedalaman yang dapat dicapai matanya selama sisa hidupnya. Mata adalah “membran misterius yang memungkinkan tubuh melihat dunia” dan “jendela yang memungkinkan kita melihat semua hal di alam dan di dunia.” Mata Dr. Lee lebih memang dari sekadar mata.

©National Museum of Korea

3

4

SeNI & BUDAYA KoReA 53


Charles La Shure Profesor, Jurusan Bahasa dan Sastra Korea, Seoul National University Lee Woo-young Wartawan, The Korea Herald

BuKu & lAinnYA 54 KoReANA Musim Dingin 2015

Debat yang Mencerahkan tentang Transisi etnis di Korea Selatan “Multiethnic Korea? Multiculturalism, Migration, and Peoplehood Diversity in contemporary South Korea” Disunting oleh John lie, 344 halaman, $25.00, San Francisco: Institute of East Asian Studies, University of California, Berkeley (2014)

Seperti halnya dengan banyak tempat di dunia, multikulturalisme juga menjadi masalah besar di Korea pada abad ke-21. Pada tahun 2007 warga asing yang berada di Korea berjumlah lebih dari satu juta orang, dan pada tahun 2012 warga asing yang melakukan naturalisasi menjadi warga negara Korea lebih dari 100,000 orang. Kedua angka tersebut terus meningkat, dan negara yang awalnya dikenal sebagai negara yang etnisnya “homogen” ini mulai menerima keberagaman. Sekarang, dunia menjadi semacam “desa global” dan migrasi makin banyak dilakukan — khususnya ke negara-negara dengan populasi yang sangat beragam — termasuk di negara yang memandang homogenitas etnis sebagai sesuatu yang membanggakan. Sebenarnya konsep ini bukan hal baru dalam sejarah Korea. Sebelum dan selama periode Joseon (1392-1910), homogenitas tidak dikenal. Bahkan, catatan sejarah mencantumkan keberagaman sebagai bagan dari tatanan yang alami. Mitos pada jaman kerajaan Koream Gaya misalnya, mengisahkan adanya seorang raja Korea yang menikahi putri India, dan kemudian memiliki 12 anak. Periode kelam kolonialisme Jepang, yaitu pada paruh pertama abad ke-20, memunculkan mitos “masyarakat homogen,” karena orang Korea berupaya mempertahankan identitas nasional sebagai bangsa yang merdeka dari jajahan Kekaisaran Jepang. Bahkan, setelah pembebasan pun mitos ini tetap berkembang, dan baru dewasa ini memudar. Sekarang, di abad ke 21 ini, masyarakat Korea Selatan menyesuaikan diri pada realitas baru mengenai keberagaman ini, dan pemerintah menerapkan kebijakan supaya Korea mengikuti standar global mengenai multikulturalisme dan keberagaman. Buku “Multiethnic Korea? Multiculturalism, Migration, and Peoplehood Diversity in Contemporary South Korea” menawarkan sebuah pandangan mengenai kemajuan yang sudah dicapai dan tantangan yang harus dihadapi. Buku pertama dalam seri “Transnational Korea” dari Institute of East Asian Studies di University of California Berkeley ini memuat tulisan dari 18 peneliti dalam bidang sosiologi, antropologi, ilmu politik, kajian etnis, dan bidang-bidang lain. Buku ini dibuka dengan tulisan penyunting, John Lie, yang memaparkan sejarah multikulturalisme di Korea Selatan dan secara detail membeberkan munculnya mitos homogenitas dan pengaruhnya dalam konsepsi identitas nasional. Tulisan-tulisan dalam buku ini dibagi menjadi tiga bagian: bagian pertama memaparkan sekilas tentang multikulturalisme di Korea Selatan, termasuk bagaimana media merespon realitas baru dan pendidikan multikultural di Korea Selatan; bagian kedua fokus pada kelompok migran khusus, seperti gereja migran Filipina, migran dari Korea Utara, dan warga Korea yang diadopsi yang kembali ke tanah kelahirannya; dan bagian ketiga memaparkan kehidupan kaum multikultural atau multietnis yang tinggal di Korea Selatan saat ini, dan menyingkap tantangan yang dihadapi oleh mereka. Bagian akhir memuat perbandingan multikulturalisme di Korea Selatan dan di negara-negara tetangga. Meskipun sudah banyak artikel yang ditulis dalam bahasa Korea mengenai multikulturalisme di Korea Selatan selama lebih dari satu dekade, namun tulisan serupa dalam bahasa Inggris masih sangat kurang. “Multiethnic Korea?” menjawab keadaan ini dan melihat beragamnya tantangan yang dihadapi oleh Korea Selatan di masa depan. Isu multikulturalisme tidak mungkin didominasi oleh satu pihak, dan diharapkan volume ini akan menginspirasi dan membuka dialog terbuka antara semua pihak yang terlibat.


Kisah epik emigran Korea Pertama ke Meksiko “Black Flower” (hardcover) Oleh Kim Young-ha, Diterjemahkan oleh Charles La Shure, 320 halaman, $25.00, Boston/New York: Houghton Mifflin Harcourt (2012)

Novel peraih penghargaan ini memperlihatkan bagaimana kehidupan generasi awal emigran Korea ke Meksiko pada abad ke-20. Terinspirasi oleh cerita tentang 1.033 warga Korea yang tiba di Meksiko pada tahun 1905 yang dikisahkan seorang peneliti kepada sutradara film dalam penerbangannya dari Los Angeles ke Seoul [kisah ini didengarnya dari sang sutradara], penulis membangun kisah epik ini berdasarkan peristiwa dari sejarah Korea yang tidak banyak diketahui orang tersebut. Ketika Korea kehilangan kedaulatan di bawah Jepang, warga Korea dari beragam kelas sosial pergi ke Meksiko mencari penghidupan baru. Mereka naik kapal Inggris Ilford, dengan keadaan kebersihan yang tidak memadai dan kurang gizi. Apa yang mereka alami di kapal adalah sebuah awal dari keadaan lebih berat yang harus mereka hadapi di Meksiko. Setelah turun dari kapal, mereka ditempatkan dalam kelompok dan dikirim ke lahan pertanian yang berbeda di Yucatan. Mereka dijual sebagai budak di lahan pertanian sisal. Mereka harus melakukan pekerjaan kasar, kelaparan, dan menjalani kehidupan yang keras di Yucatan. Sebagian dari mereka bertahan dalam perbudakan yang sangat menyakitkan demi mengumpulkan uang yang diperlukan untuk kembali ke Korea, dan sebagian lagi mencoba lari dan berakhir dengan pemukulan hingga meninggal.

Kolaborasi Pemain Haegeum Serbabisa “Beautiful things in life” Oleh Jeong Soo-nyun, 14.900 won, Seoul: Loen Entertainment (Dirilis ulang pada tahun 2012)

Pemain haegeum Jeong Soo-nyun meruntuhkan tembok tinggi antara musik tradisional Korea gugak dan publik Korea dengan albumnya yang luar biasa “Beautiful Things in Life .” Pertama kali dirilis pada tahun 2001, album ini menjadi album terlaris dengan lagu-lagu yang menawan yang menggabungkan melodi New Age modern dengan suara haegeum, sebuah biola dua dawai, yang mendayu-dayu. Lagu “Beautiful Things in Life” adalah lagu yang paling populer dalam album ini dan merupakan salah satu lagu yang paling ssering dimainkan dalam konser gugak. Lagu ini menyuguhkan kombinasi harmonis dari piano dan haegeum demgan suara gumaman perempuan. Jeong berkolaborasi dengan banyak musisi, termasuk pianis jazz dan komposer gugak . Jeong dan kolaboratornya menampilkan interpretasi baru mereka atas lagu rakyat yang sudah lama disukai seperti “Arirang” dan “The Long Five Hundred Years.”

Panduan online ke Seoul City Wall http://seoulcitywall.seoul.go.kr/front/eng/ index.do

Situs berbahasa Inggris ini dikelola oleh Pemerintah Kota Metropolitan Seoul dan menyediakan panduan komprehensif mengenai Tembok Kota Seoul (Seoul City Wall) yang sangat bersejarah dan mengelilingi pusat ibukota lama Korea. Tembok itu dibangun pada tahun 1396, setelah Yi Seong-gye, raja dari Dinasti Joseon (13921910), memindahkan pusat kekuasaan ke Hanyang, yang sekarang dikenal dengan nama Seoul, pada tahun 1394. Pemerintah kota Metropolitan Seoul membangun tembok sepanjang 18,6 kilometer, yang membentang di antara empat gunung — Bugaksan di sebelah utara, Naksan di sebelah timur, Mokmyeoksan (Namsan) di sebelah selatan, dan Inwangsan di sebelah barat — dan bukit-bukit dan dataran. Tembok batu, dengan tinggi sekitar 5 sampai 8 meter dan dilengkapi dengan fasilitas pertahanan, merupakan tembok kota terpanjang di dunia. Sebagai simbol ikonik kota Seoul, tembok ini masuk dalam daftar tentatif Warisan Budaya Dunia dari Korea. Situs ini memberikan informasi rinci mengenai enam jalur yang berbeda, lengkap dengan jarak, waktu tempuh, jam buka, dan tempat-tempat bersejarah di sepanjang jalur itu. Bagian tertentu tembok ini tidak dibuka untuk umum setelah pasukan Korea Utara menyerbu Seoul pada tahun 1968. Jalur sepanjang 4,7 kilometer di Gunung Bugak baru dibuka kembali untuk umum pada tahun 2007. SeNI & BUDAYA KoReA 55


HIBURAN

©mbc

Sebagaimana program “media tunggal” yang semakin populer, perusahaan penyiaran terestrial tradisional sudah mulai mengadopsi format baru ini. Pertunjukan “18 Detik” (kiri) dari SBS dan “Televisi Kecilku” dari MBC semakin populer saja berkat komunikasi langsung antara penonton dan pembawa acara.

©sbs

Media Tunggal Merambah Dunia Penyiaran Tradisional

Kang Myoung-seok Kepala Editor, Majalah Web IZE

Berkat perkembangan media berteknologi digital, siapa pun dapat melakukan siaran sendiri secara tunggal dengan memakai perangkat sederhana. Karena terdapat begitu banyak orang melakukan siaran sendiri dengan media mereka masing-masing, maka terdapat bermacam-macam ragam siaran. Pada akhirnya popularitas yang tinggi media tunggal merambah ke penyiaran tradisional. Para penonton generasi muda sangat mengagumi komunikasi dua arah. Sungguh sangat menarik melihat perubahan media tunggal memasuki dunia penyiaran tradisional. 56 KoReANA Musim Dingin 2015


T

V telah menjadi media yang siapa pun bisa menampilkan diri kapan saja. Bahkan, seseorang dapat membuka sebuah perusahaan penyiarannya sendiri. Cukup hanya dengan internet, smart-phone atau kamera yang dipasang pada komputer. Di Korea terdapat situs penyiaran internet yang bernama ‘Afreeca TV.’ Beberapa orang yang membuat siaran di situs tersebut telah berhasil memperoleh popularitas yang tidak kalah dengan selebriti. Bahkan, beberapa lembaga penyiaran telah menandatangani kontrak dengan perusahaan manajemen dan bekerja seperti seorang selebriti. Sekarang terdapat banyak ‘you-tuber’ yang mempertunjukkan berbagai video yang berkenaan dengan kecantikan, teknologi informasi, musik, dan lain-lain, yang dibuatnya sendiri melalui you-tube. Oleh karena itu, dapat dikatakan hal itu telah membuka era baru, yaitu “era media tunggal,” sebuah era yang siapa saja dapat membuat siaran sendiri, bahkan beberapa dari mereka dapat menjadi bintang.

Mengapa Media Tunggal Merambah Televisi Tradisional? ‘My Little Televisi’ program acara MBC TV, acara yang sangat populer saat ini merupakan contoh yang baik dari pengaruh media tunggal dalam penyiaran. Acara ini disiarkan secara online seminggu sebelum disiarkan oleh TV terestrial. Dalam program itu pembawa acara harus menarik perhatian para pemirsa dengan menjalankan program dengan seorang diri. Untuk itu, beberapa dari mereka kadang-kadang bertindak lucu seakan-akan anak dan melayani sejumlah tuntutan dan permintaan dari para pemirsa. Setelah program itu disiarkan melalui internet, stasiun televisi mengedit program tersebut lalu menyiarkannya. Hal itu berarti bahwa televisi tak segan bergabung dengan siaran satu-orang. SBS <18 Detik> pernah menyiarkan <Channelsosi.> Dalam program penyiaran internet tersebut ‘Sonyesidae,’ grup idola yang sangat popular muncul sebagai pembawa acara. Maka, sekarang media tunggal menjadi sebuah tren baru yang harus diterima semua stasiun televisi. Dalam media tunggal itu para bintang atau selebriti menyajikan acara dengan cara menerima sejumlah balasan dan tanggapan dari para penggemar mereka secara ‘real-time.’ Media tunggal dapat meraih popularitas karena mereka dapat memenuhi permintaan pemirsa dengan ‘real-time.” Dalam program yang lazim disajikan televisi sampai saat ini pemain-pemain tidak dapat memberi tindakan balasan terhadap para pemirsa satu per satu, mereka hanya memberikan kesenangan saja kepada

pemirsa. Sedang, media tunggal memungkinkan komunikasi langsung antara pemain dengan pemirsa. Dalam ‘My Little Television’ sering ditemukan bahwa para pemirsa ‘berkomunikasi langsung’ dengan pemain. Maka hal yang sangat penting bagi pemain dalam siaran itu adalah menangkap balasan atau tanggapan pemirsa kemudian bertindak sesuai dengannya. Kelebihan yang dimiliki Baek Jong-won, seorang pengusaha kuliner yang berhasil meraih popularitas dalam ‘My Little Television’ adalah dia berkomunitas secara lancar dan ‘lentur’ dengan para pemirsa. Dia mengajar cara memasak yang sederhana dan mudah diikuti pemirsa dengan berkomunikasi dengan para pemirsa dan mengantar mereka ke dalam suasana yang nyaman tanpa henti dalam program itu.

Perubahan dan Dinamika dari ‘Niche Market’ Tentu tidak semua pembawa acara media tunggal dalam internet tersebut pintar atau berbakat menyanyi dan berakting seperti selebriti. Namun, mereka selalu membalas dan memenuhi permintaan dari pemirsa. Mereka adalah selebiriti yang dapat diajak berbincang siapa saja yang dapat mengakses komputer atau smart-phone. Hal itulah daya penggerak yang memungkinkan media tunggal dapat memasuki ke bisnis entertainmen dengan tidak hanya sebagai alat iseng pribadi. Selain itu, siaran media tunggal dapat bergerak di bidang yang tidak dapat dikuasai oleh televisi. Kebanyakan entertainmen dalam televisi adalah musik, sinetron, dan film saja. Akan tetapi, seiring dengan perubahan masa berbagai topik misalnya kuliner, fasyen, sulap menjadi topik dalam entertainmen dan siaran media tunggal berhasil menarik ‘Niche Market’ itu. Tokoh-tokoh yang popular dalam siaran media tunggal berhasil menjadi ‘bintang’ bukan karena mereka pandai menyanyi atau membuat pemirsa tertawa terbahak-bahak seperti pelawak. Yang dilakukan mereka adalah menyajikan tinjauan mengenai permainan, atau memasak dan hal itu berhasil menarik perhatian dari para pemirsa. Dulu memang dosen yang mengajar sejarah melalui internet sulit menjadi ‘bintang.’ Namun, sekarang jika pengajarannya disusun dengan cara yang menarik, dia dapat menjadi ‘bintang.’ Kini berbagai pengetahuan menjadi dianggap penting dan orang-orang mempunyai berbagai citarasa masing-masing. Siaran media tunggal dapat memenuhi hal-hal yang tidak dapat dipenuhi media massa sejalan dengan perubahan zaman. Dalam proses tersebut terdapat juga pergantian generasi. Kebanyakan produser ‘My Little Television’ rata-rata berusia 30-an. Mereka dapat membuat program itu karena mereka telah biasa dengan budaya internet. Mereka juga menyampaikan sejumlah istilah internet dan bidang yang belum dikenalkan media massa kepada para pemirsa. Siaran media tunggal mudah mencernakan langsung hal-hal yang diinginkan generasi muda.Maka, penonton yang berusia 10-20an memakai lebih banyak waktu mereka dalam menonton siaran dan contents dalam internet dengan mengakses peranti mobile daripada menonton program yang disajikan oleh televisi. Media tunggal bermakna sebagai wujud perubahan dan dinamika. Munculnya media tunggal mempengaruhi sistem stasiun televisi dan topik dalam media tersebut memberi dorongan supaya orang-orang berminat pada berbagai bidang yang baru. Hal-hal itu mengakibatkan generasi baru sungguh diperhatikan di bidang masing-masing. Fenomena yang seperti itu sulit dijelaskan hanya dengan perubahan teknologi atau Self-Publicrelations. Media tunggal memiliki peranan yang paling jelas dan cepat dalam memperlihatkan gambaran mengenai bagaimana dunia ini berubah. SeNI & BUDAYA KoReA 57


ESAI

KEBUDAYAAN SEBAGAI DIPLOMAT BUDAYA Prof. Dr. Bambang Wibawarta Wakil Rektor Universitas Indonesia Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

K

orea kini dianggap sebagai bagian integral dan penting Asia Timur baik dari sisi sejarah maupun sudut pandang kontemporer. Lokasi strategis Korea dan partisipasi aktif dalam bidang ekonomi, politik, intelektual dan budaya di ranah Internasional, serta sejumlah besar diaspora warga Korea yang hidup di seluruh dunia telah membuat studi tentang bahasa dan kebudayaan Korea sebagai subjek baru dan penting untuk dikaji secara lebih mendalam. Bangkitnya kerjasama dan investasi Korea di Indonesia sebagai negara maju dalam perekonomian maupun industri menjadikan studi tentang Korea di Indonesia sebagai sebuah keniscayaan. Misalnya di Universitas Indonesia (UI), hal ini terlihat dengan hadirnya mahasiswa dari Korea dalam jumlah besar yang saat ini mencapai lebih dari 300 orang. Seiring peningkatan kerjasama dan kebutuhan akan tenaga terdidik yang ahli dalam bidang studi tentang Korea, maka Universitas Indonesia mendirikan Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea pada 2006 silam. Program Studi ini merupakan program studi jenjang S1 yang pertama di Indonesia. Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea di UI berupaya mengembangkan pendidikan dan penelitian ilmu-ilmu budaya tentang Korea dan Bahasa Korea agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang handal dan terpercaya dalam bidangnya. Dengan dukungan Universitas yang bekerjasama dengan lembaga pemerindah maupun non-pemerintah, serta pihak industri Korea, Program Studi ini tumbuh dengan cepat, dan menjadi salah satu program studi andalan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI. Di antara jajaan pengajar didukung pula oleh penutur asli hasil kerja sama

58 KoReANA Musim Dingin 2015


sama dengan beberapa lembaga seperti KOICA dan Korea Foundation, dan tentu saja para pengajar Indonesia yang sudah mulai banyak yang lulus dari berbagai universitas ternama di Korea. Kehadiran Korea Corner pada 2012 di UI juga menambah media dalam proses belajar mengajar dan menambah wawasan khusunya bagi para mahasiswa Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, maupun mahasiswa dari fakultas lain yang berminat terhadap Korea. Kian membaiknya kualitas lulusan program studi ini terlihat dari serapan tenaga kerja yang sangat tinggi dengan waktu tunggu kerja yang sangat pendek, termasuk kebutuhan dari instansi pemerintah, seperti Kementrian Luar Negeri. Semua hal di atas akan dapat terus berkembang dengan dukungan oleh kerjasama bilateral yang stabil dari kedua kedua pihak pemerintah, Indonesia dan Korea. Kedua negara memiliki keunggulan masing-masing, sehingga jika terjadi sinergi maka tentu saja akan saling menguntungkan dalam menghadapi era globalisasi dengan persaingan yang semakin ketat. Semua pihak dan tataran harus bekerjasama yang saling menguntungkan, tentu dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing, serta berimbang, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat kedua negara. Tidak hanya kebudayaan Korea di Indonesia, tapi kebudayaan Indonesia juga harus diperkenalkan di Korea hingga terjadi dialog antar budaya dan dapat meningkatkan saling pengertian antara Indonesia – Korea. Hal ini dapat menjadi salah satu contoh bagaimana budaya yang dikapitalisasi dapat menjadi “diplomat� bagi sebuah bangsa terhadap bangsa lain. Terima kasih, Kamsahamida.

SeNI & BUDAYA KoReA 59


KENIKMATAN GOURMET

DONGJI PATJUK Park Chan-il Koki dan Kolumnis Bidang Makanan Shim Byung-woo Fotografer

DONGJI PATJUK: Bubur Kacang Merah, Kenangan Masa Kecil tentang Kudapan untuk Musim Dingin Bagi banyak orang Korea yang sudah berusia paruh baya, patjuk atau bubur kacang merah merupakan makanan penuh kenangan. Pada malam-malam musim dingin yang amat dingin, semua anggota keluarga duduk mengelilingi meja makan dalam ruangan yang paling hangat, bercakap-cakap sambil memakan bubur kacang merah hangat dengan dumplings kecil yang terbuat dari tepung beras.

60 KoReANA Musim Dingin 2015


K

esan musim dingin dari masa kecil saya adalah sinar matahari yang menyilaukan, hari yang pendek, dan angin utara dingin menyapu wajah saya. Angin bertiup sangat kencangnya, sehingga saya masih dapat mengingatnya dengan jelas dalam ingatan saya. Tiupan angin yang kencang terasa seperti mengiris lapisan kulit tipis wajah saya, sehingga ketika langit menggelap dan salju turun, saya malah merasa nyaman. Pada sekitar waktu ini pada musim dingin, para keluarga mulai memasak bubur kacang merah seolah-olah untuk mengumumkan datangnya musim dingin yang panjang. Banyak dari keluargakeluarga tersebut yang berharap dapat selamat penuh suka-cita dari musim dingin dengan memakan bubur kacang merah. Keluarga saya sendiri tidak memelihara tradisi makanan yang dimasak musiman tersebut dikarenakan orangtua saya terlalu sibuk berjuang untuk membiayai dan memberi kami kebutuhan makanan. Namun, ibu saya pasti pernah memasak patjuk karena saya dapat mengingat jelas kenangan menyendok bubur kacang merah dingin dari dalam sebuah panci, lalu menghangatkannya untuk dimakan pada malammalam musim dingin yang panjang.

Sejak zaman dahulu, dongji patjuk telah disiapkan dan dimakan pada musim dingin. Sebuah makanan khusus musiman pada dongji, malam musim dingin terpanjang, juga disebut “tahun baru kecil,” bubur kacang merah telah diwariskan dengan keyakinan masyarakat bahwa beberapa percikan di pintu gerbang rumah atau di bangsal masuk desa akan menghindarkan kemalangan.

Patjuk yang Hangat dan Kimchi Lobak Putih yang Dingin Pada zaman sekarang patjuk seringkali dimakan dengan menambah manisan tetapi patjuk dari masa kecil saya adalah sebuah makanan yang dimakan dengan kimchi. Kimchi berkuah, khususnya kimchi lobak putih dingin dimakan bersama dengan bubur kacang merah. Kadang-kadang, bubur panas terasa seperti membakar langit-langit mulut dan melepuhkan kulit; kimchi dingin yang berair seperti menyejukkan mulut. Saya juga mengingat bagaimana orang dewasa mendiskusikan apakah dumpling-nya harus dibuat dari beras biasa atau beras ketan, kemungkinan hal ini dikarenakan harga beras ketan yang mahal. Para keluarga kini jarang memasak bubur kacang merah di rumah. Bubur kacang merah telah menjadi suatu makanan yang bisa dibeli. Sungguh sayang kenikmatan saling berbagi bubur kacang merah hangat dengan para tetangga dan saling mencoba rasa berbeda dari versi masakan tiap keluarga telah menghilang. Bubur kacang merah saat ini disajikan di dalam restoran yang menjual pat bingsu (es serut dengan kacang merah yang direbus dan dibuat manis). Bubur kacang merah ditambahkan ke dalam menu karena pat bingsu terjual hanya sedikit di musim dingin, tetapi metode memasak dan komposisi bahan yang digu-

nakan hampir sama (antara patjuk dan pat bingsu ). Kemudian, bubur kacang merah juga tampaknya tidak lagi memiliki kaitan khusus dengan transisi musim antara hari-hari yang pendek dan cuaca dingin. Bahkan saat ini sulit untuk menemukan orang-orang yang membicarakan tentang musim dingin, lalu berdebat mengenai apakah kimchi lobak kuah yang dimakan bersama patjuk adalah yang sudah difermentasikan atau belum.

‘Sebuah makanan untuk mengusir roh jahat’ Setiap kali saya penasaran dengan makanan Korea, saya membaca buku “Questions and Answers on Common Knowledge in Korea – Tanya Jawab Pengetahuan Umum tentang Korea” (Joseon sangsik mundap), yang ditulis oleh Cheo Nam-seon (1890–1957), seorang penyair dan aktivis budaya terpelajar. Beliau menganggap siruddeok (kue beras kukus dengan kacang merah) sebagai kue beras terbaik di Korea. Siruddeok dibuat dengan menaburkan kacang merah matang pada tepung beras dalam beberapa lapisan. Bentuk kue ini tampak agak lebih sederhana dibandingkan kue beras lainnya. Bentuk kue ini dapat dibuat melalui siru, alat pengukus dari tanah liat, yang saat ini dapat ditemukan terutama di dalam museum. Kegiatan pembuatan kue beras dengan mengolah dan membentuk adonan sebelum dimasukkan berbagai isian harus telah disiapkan jauh sebelumnya. Siruddeok kasar ditutupi lapisan tebal kacang merah, memberikan kesan sebagai makanan Korea yang sangat tradisional dan unik. Kepercayaan akan kekuatan magis kacang merah diketahui berasal dari China. Orang China meyakini bahwa warna merah dapat mengusir hantu dan roh jahat, lalu keyakinan tersebut juga berlaku untuk makanan. Pada jaman dahulu, terdapat tradisi kuno untuk memasak bubur kacang merah dan menyipratkan sebagian bubur ke depan gerbang depan atau jalanan desa dengan harapan untuk menakuti roh jahat. Meskipun titik balik matahari musim dingin yang disebut dongji dalam bahasa Korea, menandakan awal musim dingin paling dingin, dongji juga meramalkan kemunduran nyata dari musim dingin karena dengan hari yang terpendek berarti hari-hari akan menjadi semakin panjang. Pada kenyataannya terdapat kalender kuno yang menganggap bahwa tahun baru bermula dari dongji . Dari hal itu dapat dikatakan bahwa sejak zaman dahulu orang-orang memasak makanan dengan menggunakan pat atau kacang merah yang bentuknya bulat karena mereka menganggapnya sebaSeNI & BUDAYA KoReA 61


gai simbol dari matahari yang merah. Bagaimana pun dongji merupakan sebuah titik saat yang cuaca baru mulai dingin dala musim dingin. Maka sangat mungkin sejak zaman dahulu orang-orang mengekspresikan perasaan mereka yang mengidamkan matahari yang hangat melalui patjuk yang merah Sesungguhnya, titik balik matahari musim dingin adalah waktu yang tepat untuk memasak bubur kacang merah karena saat itu tiba tidak lama setelah masa panen. Jika harus menunggu sampai musim semi untuk masak bubur kacang merah, maka tidak semua orang dapat menikmatinya. Untuk keselamatan selama musim dingin merupakan tujuan utama dari kebanyakan pengawetan makanan, dan menyimpan kacang merah untuk dimakan pada musim semi merupakan sesuatu yang sulit.

Asal dan Resep Jika mencoba mencari asal-muasal dari patjuk , maka seseorang akan sampai pada teks kuno dari Cina. Jingchu suishiji (“Tradisi Festival Musiman di Area Jing-Chu”) dari Dinasti Liang pada abad ke-6 yang menyebutkan fungsi magis dari bubur kacang merah: “Setan naga yang dipanggil Gong Gong memiliki seorang anak laki-laki yang mati pada titik balik matahari musim dingin dan lalu menjadi roh penyakit. Anak laki-laki itu takut pada kacang merah semasa dia hidup, maka orang-orang pun memasak bubur kacang merah pada saat titik balik matahari untuk mengu-

sir roh jahat ini.” Tradisi Cina ini kemungkinan diimpor oleh Korea, yang kemudian di Korea, bubur kacang merah lambat laun disebut sebagai makanan pengusir semua roh jahat. Bubut kacang merah umum dimakan di Cina, Korea, dan Jepang. Istilah bahasa Mandarin hongdouzhou atau hongdoutang yang berarti “sup kacang merah” dapat dinikmati sepanjang tahun: Orang Cina makan makanan itu secara panas saat musim dingin sedang saat musim panas mereka makannya secara dingin serta manis. Orang Jepang menikmati bubur kacang merah dengan berbagai cara. Mereka memakannya dengan menambahkan mochi, mirip dengan dumpling tepung beras Korea, dan kacang merah juga disiapkan dengan berbagai cara, yaitu dipotong kasar ataupun secara halus. Di Korea, dan juga di Jepang, terdapat dua macam bubur kacang merah, yaitu dimakan sebagai masakan dengan diberi garam dan juga sebagai makanan penutup dengan diberi tambahan gula. Cara orang Korea menyiapkan patjuk tidak banyak berubah dari jaman dahulu. Buku masakan kuno Gyuhap chongseo (“Women's Encyclopedia -- Ensiklopedi Perempuan”) yang ditulis pada awal abad 19 dan Buin pilji (“Essential Knowledge for Ladies - Pengetahuan Utama Untuk Perempuan”), dikompilasi pada awal abad 20 dan kedua buku ini berisikan resep patjuk yang memiliki metode memasak hampir sama dengan yang ada saat ini. Sebab, kacang merah kering yang keras harus dimasak dengan banyak air, lalu dihancurkan

Meskipun titik balik matahari musim dingin yang disebut dongji dalam bahasa Korea, menandakan awal musim dingin paling dingin, dongji juga meramalkan kemunduran nyata dari musim dingin karena dengan hari yang terpendek berarti hari-hari akan menjadi semakin panjang. Pada kenyataannya terdapat kalender kuno yang menganggap bahwa tahun baru bermula dari dongji.

1

62 KoReANA Musim Dingin 2015


1 Siruddeok (kue beras yang dikukus dengan kacang merah) dibuat dengan taburan kacang merah di antara lapisan tepung beras, yang kemudian dikukus. Sudah lama dipercayai bahwa warna merah akan mengusir roh jahat. Oleh karena kue dikirimkan kepada tetangga dan ketika salah seorang pindah ke tempat baru dan paling sering disajikan di pesta tradisional. 2 Dongji patjuk dibuat dengan cara kacang merah direbus, ditumbuk, dipadatkan, dan didikukus dengan nasi dan ditambahkan potongan kue tepung beras. Ada banyak varian menurut wilayah: beberapa menambahkan beras dan potongan kue tepung beras, yang lain hanya menambahkan kue bola.

2

dan ditumbuk untuk membuang kulit arinya. Kemudian, adonan itu dibuat lebih tipis dengan menambahkan air dan direbus kembali dengan beras. Dumpling tepung beras kecil yang disebut saeil sim (telur burung) lalu dimasukkan ke dalam rebusan. Selain membuat dumpling itu mengasyikkan, dumpling ini kenyal, yang menambahkan suatu tekstur gigitan di dalam bubur. Penambahan dumpling juga mengubah masakan patjuk menjadi suatu urusan keluarga; sebab bahkan anak-anak dapat ikut serta dalam pembuatan dumpling, menciptakan suasana keluarga yang menyenangkan. “Pada saat dongji yaitu titik balik matahari musim dingin, patjuk disiapkan dan dimakan dengan di-tambahkan madu untuk mengusir roh jahat.� Ini merupakan kalimat dari sebuah puisi karya Yi Saek (1328-1396), yang juga dikenal dengan nama aliasnya Mogeun, seorang sarjana dari Dinasti Goryeo akhir. Dari sini,

dapat disimpulkan bahwa patjuk manis yang dinikmati masa kini memiliki sejarah lebih panjang dari yang diyakini selama ini. Namun, madu merupakan bahan makanan mahal pada saat itu, sehingga tidak semua orang dapat menikmatinya. Kepopuleran bubur kacang merah manis adalah sebuah tradisi yang berasal dari awal abad 20 ketika gula mulai diimpor. Seoul japhak sajeon (“Dictionary of Seoul Trivia Kamus Hal- hal Kecil Seoul�) yang ditulis oleh Cho Pung-yeon (1914-1991), seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendokumentasikan tradisi Seoul pada masa penjajahan dan modern, menceritakan sebuah cerita menarik tentang patjuk. Selama masa penjajahan Jepang, terdapat banyak restoran patjuk di sekitar area Pasar Dongdaemun (East Gate - Gerbang Timur), dan juga terdapat penjual keliling yang menjajakan bubur kacang merah hangat ke seluruh kota.

SeNI & BUDAYA KoReA 63


GAYA HIDUP

LAKI-LAKI DENGAN CELEMEK:

JATUH CINTA PADA MEMASAK Kim Yong-sub Direktur, Keen-eyed Imagination Institute for Trend Insight & Business Creativity Ahn Hong-beom Fotografer

Pada tahun 2015 televisi Korea dilanda demam acara memasak. Figur yang paling banyak diminati untuk tampil di TV adalah laki-laki yang pandai memasak. Juru masak laki-laki, termasuk selebriti kuliner terkenal, membintangi acara memasaknya sendiri setiap hari dan menarik perhatian penonton. Memasak menjadi obsesi romantis bagi laki-laki. Trend sosio-ekonomi, seperti makin banyaknya rumah tangga dengan dua sumber pendapatan dan banyaknya keluarga inti, menyebabkan laki-laki terjun ke dapur dan bertransformasi peran gender. 64 KoReANA Musim Dingin 2015


“L

aki-laki yang bisa memasak,” atau yosengnam , adalah sebuah kata baru yang makin banyak dikenal. Ini membuktikan bahwa memasak sudah menjadi ciri baru maskulinitas. Sesuatu yang sangat mengejutkan. Dalam masyarakat Korea, memasak selalu dianggap pekerjaan perempuan, yang biasanya dilakukan oleh ibu atau istri. Tapi kini, masyarakat menyukai laki-laki yang bisa memasak dan bahkan menganggapnya sexy. Tapi, laki-laki di dapur masih belum menjadi sebuah norma, dan memasak bukan atribut utama daya tarik laki-laki. Ini menunjukkan bagaimana mereka menyayangi pasangannya, seberapa jauh ia menyukai memasak dan merasakan kenikmatan mempersiapkan dan berbagi makanan dengan orang-orang tercinta.

Efek Sosial Acara Memasak Saat ini, televisi Korea padat dengan acara memasak. Penonton bisa memilih “Jipbap” (Hidangan Rumahan) setiap hari Selasa; “Misik” (Hidangan Lezat) dan “Take Care of My Fridge” setiap hari Rabu; “Korean Dishes” setiap hari Kamis; “Three Meals a Day” setiap hari Jumat; dan “A Cook’s Corner” dalam “My Little Television” setiap hari Sabtu. Dengan makin maraknya acara memasak ini, “cheftainers” seperti Baek Jong-won, Lee Yeon-bok, dan Choi Hyun-seok tiba-tiba menjadi selebriti baru. Mereka tampil dalam acara di saluran yang berbeda dan menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton televisi. Aktor Cha Seung-won, yang dikenal dengan bakat memasaknya, juga mengikuti trend ini. Memasak menempati urutan pertama cita-cita anak-anak, sebagaimana disiarkan dalam suatu berita. Acara memasak paling digemari sebelumnya adalah “Home Cooking ” (KBS TV) dan “Dishes for Today” (MBC TV), yang menampilkan ibu-ibu rumah tangga dengan demonstrasi memasak dan tips yang sangat bermanfaat di era 1980an. Acara-acara ini selalu dibawakan oleh juru masak perempuan dibantu oleh bintang tamu perempuan. Pada tahun 1990an, selebriti tampil menyiapkan “kudapan tengah malam” favorit dalam “Cham Cham Cham,” sebuah feature rutin dari SBS TV yaitu “Lee Hongryeol Show,” kombinasi acara memasak dan bincang-bincang. Acara ini membuka peluang memasak menjadi sebuah hiburan. Sampai tahun 2000an sebagian besar acara TV menampilkan restoran adi boga terkenal atau kompetisi memasak di panggung. Sejak awal tahun 2010an, acara memasak mulai lahir dan banyak program yang menampilkan para juru masak mulai mendapat tempat di hati penonton. Baru-baru ini, acara memasak dengan juru masak selebriti menjadi pusat perhatian. Kini, acara memasak menampilkan juru masak dan tamunya sedang memasak dan menikmati hidangan bersama. Percakapan santai menjadi daya tarik bagi penonton. Acara-acara ini memperkenalkan teknik memasak yang sangat mudah dan sederhana. Ini membuat laki-laki yang semula menganggap bahwa memasak hanya untuk para ahli atau para ibu dan istri ingin bisa memasak. Tidak Harus Calon Juru Masak Dulu, laki-laki belajar memasak dan mendapatkan ijazah sebagai juru masak profesional. Sekarang, memasak sudah menjadi hobi laki-laki dan menjadi bagian rutinitas sehari-hari mereka. Banyak lakilaki belajar memasak dengan mudah berkat resep sederhana yang mereka dapatkan dari Internet. Buku memasak untuk laki-laki dapat dengan mudah ditemukan di toko buku. Sebanyak 20 sampai 30 persen siswa di kelas memasak yang ditawarkan oleh pusat kebudayaan di sebuah pusat perbelanjaan adalah laki-laki. Ini artinya ada peningkatan yang tajam dari rata-rata hanya sebanyak 5 persen beberapa tahun lalu. Jumlah laki-laki yang menghabiskan waktu dan uang untuk belajar memasak hidangan Korea atau Italia jauh lebih tinggi dibanding mereka yang belajar memasak ramen. Mayoritas laki-laki yang belajar memasak berusia sekitar 20 dan 30-an, sementara jumlah yang berusia 40 dan 50an juga meningkat. Kelas memasak yang menyasar laki-laki juga makin banyak. Perusahaan makanan membuka kelas memasak khusus laki-laki dengan produk mereka. Ini dilakukan untuk mendapatkan tempat di pasar dan untuk menunjukkan pengakuan peran gender dan hubungan keluarga. Dulu, para ibu melarang anggota keluarga yang laki-laki turun ke dapur. Sekarang, mereka menganggap anak laki-laki memasak adalah sesuatu yang wajar. Fenomena ini diakibatkan oleh adanya perubahan kondisi sosio-ekoSeNI & BUDAYA KoReA 65


1

Dulu, masyarakat menganggap memasak sebagai tugas perempuan. Tapi kini memasak dilihat sebagai pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan karena mereka mendapatkan kenikmatan yang sama dari berbagi tugas kecil dan mencicipi kelezatan masakannya. 2

66 KoReANA Musim Dingin 2015


1, 2 Peserta belajar bagaimana memasak dalam “kelompok kelas memasak untuk pria yang memasak,” yang disponsori oleh sebuah perusahaan makanan dan minuman (http://www.cj.co.kr/cjkr/participation/cookingclasses). Terjadi peningkatan jumlah luar biasa pria yang memasak baru-baru ini berkat perubahan gaya hidup dan pandangan orang tentang memasak. 3 Produser TV KBS Lee Wook-jung, yang juga dikenal dalam “memasak PD,” memasak sepanjang acara. Lee telah mendapatkan banyak pengikut karena dokumentasi memasaknya, seperti “Jalan Mie” dan “Makanan Odyssey.”

nomi termasuk pemaknaan kesetaraan gender yang makin meluas dan makin banyaknya keluarga dengan dua sumber pendapatan. Alasan lain makin banyak laki-laki terjun ke dapur adalah rumah tangga dengan hanya saatu orangtua adalah hal yang biasa. Dengan banyaknya laki-laki yang memakai celemek, ketrampilan memasak mereka juga memperlihatkan banyak peningkatan. Peserta laki-laki dalam “Master Chef Korea,” sebuah acara audisi memasak di Olive TV yang khusus menyiarkan acara gaya hidup/makanan, lebih banyak dibanding perempuan. Makin banyak iklan makanan dan peralatan rumah tangga yang menampilkan selebriti lakilaki muda sedang di dapur dan penonton menganggapnya hal yang wajar. Bagi sebagian besar lakilaki, memasak bukan hanya sebuah pilihan tapi sudah menjadi semacam kebutuhan. Di waktu yang berubah cepat ini, kata-kata bijak yang hidup dalam masyarakat juga berubah, dari “ibu-ibu cantik dan hidangan lezatnya” menjadi “laki-laki sexy yang pandai memasak dan masakan lezat yang dimasaknya.”

Paradigma yang Berubah Keluarga dengan dua sumber pendapatan yang tinggal di apartemen adalah cermin masyarakat kontemporer Korea. Dalam keadaan demikian, pasangan yang menikah dan berbagi pekerjaan rumah tangga menjadi norma baru. Pada umumnya, generasi tua mempertahankan peran gender tradisional; ibu rumah tangga mengerjakan hampir semua pekerjaan di keluarga yang dikepalai oleh laki-laki berusia 40an dan lebih tua dari itu. Laki-laki muda berusia 20 dan 30-an berbagi pekerjaan rumah tangga dengan lebih aktif dibanding generasi yang lebih tua. Ini juga berlaku dalam hal memasak. Para suami yang memasak untuk istrinya dan ayah yang memasak untuk anak-anaknya bukan lagi hal yang aneh. Lagi pula, banyak keluarga makan di luar karena padatnya jadwal orangtua yang keduanya bekerja. Dewasa ini, acara memasak di televisi yang menampilkan laki-laki di dapur mendorong lahirnya kegilaan akan masakan rumahan. Namun, masih ada satu hal yang terabaikan. Setiap orang menganggap wajar perempuan mahir memasak tapi hampir tak pernah ada yang mengungkapkan terima kasih kepada mereka. Sementara masyarakat bernostalgia dengan hidangan rumahan di masa kecil dan masa muda, jarang sekali yang ada yang menyampaikan pujian kepada perempuan yang memasak untuk keluarganya. Sekarang, banyak orang mulai menganggap memasak sebagai aktifitas yang menarik sejak laki-laki yang suka memasak menjadi sorotan. Ini mengungkap sisi lain bias gender yang masih ada dalam masyarakat Korea. Dalam masyarakat tradisional, mereka menganggap memasak hanya dilakukan oleh perempuan. Tapi kini memasak dilihat sebagai pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan karena mereka mendapatkan kenikmatan yang sama dari berbagi tugas kecil dan mencicipi kelezatan 3 masakannya. SeNI & BUDAYA KoReA 67


PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

KRITIK

Matahari yang Tak Pernah Tenggelam, Kerinduan yang Tak Pudar Cho Yong-ho Novelis, Wartawan, The Segye Times Paik Soo-jang Fotografer

J

Kim Chae-won, seorang novelis yang menyajikan refleksi yang mendalam dan menukik tentang sisi kehidupan yang liris dengan penggambaran yang prosais. Kecemasan batin dan kesepian penulis disampaikan dalam kisahnya “Over the West Mountain.” Kim sendiri mengatakan bahwa sentimen mengalir melalui

Rowboat Song, kumpulan cerita pendek, yang juga menyertakan karya itu, sebagai penyesalan. Mengomentari proses kreatifnya dalam menulis, dia mengatakan, “Sebagaimana di rumah, aku sering duduk dan jendela menjadi jendela dunia... bagiku, menulis fiksi adalah menulis tentang dunia yan kutahu, dan aku datang untuk menulis dunia itu melalui jendela!”

68 KoReANA Musim Dingin 2015

ika engkau mencampur tiga warna utama yang hidup - merah, kuning, dan biru – misalnya, engkau akan berjumpa dengan akhir kekosongan hitam yang keruh. Dengan pengalamannya belajar seni rupa di perguruan tinggi, novelis Kim Chae-won telah mewartakan fenomena ini dalam karya fiksinya. “Jika engkau menggabungkan banyak warna, pada akhirnya rona warnamu sendiri akan membaur akibat campuran dan berubah hitam,” ia mencermatinya sebagaimana tampak dalam cerita pendek “Who’s Afraid of Red, Yellow and Blue?” sebuah cerpen yang termasuk dalam antologi cerpen Rowboat Song. buku barunya dalam sebelas tahun. Kim Chae-won lahir pada tahun 1946, putri kedua dari ayah, penyair Kim Donghwan dan ibu, seorang novelis Choi Junghee. Selama Perang Korea, ayahnya diculik ke Utara dan hingga sekarang tidak diketahui, bagaimana kematiannya. Setelah belajar seni di Ewha Womans University, pada tahun 1975, dia menghasilkan cerita pendek “Night Greeting” yang diterbitkan dalam jurnal sastra bulanan Hyundae Munhak . Cerpen itulah yang menandai debutnya sebagai sastrawan. Pada tahun 1989, novelnya, Winter Fantasy , memenangkan Yi Sang Literary Award, salah satu hadiah paling bergengsi dalam sastra Korea, dan bakat sastranya tumbuh sejalan dalam kehidupan keluarganya. Kakaknya, Kim Ji-won, juga dianugerahi hadiah yang sama delapan tahun kemudian. Antologi terbaru Kim Chae-won seolaholah seperti membayar upeti bagi adiknya yang meninggal tiga tahun yang lalu dan kenangan itu meresap dalam keseluruhan buku tersebut. Memang dia mengambil model tokohnya dari karakter sepupunya yang beremigrasi ke Amerika sebagai wanita muda sebagaimana terungkap dalam “Over the West Mountain.”


Dalam cerita itu, narator dan sepupunya dibesarkan di rumah yang sama dan menghabiskan malam panjang bersama, sambil bermain game yang berbeda dari fantasi dan imajinasi masingmasing. Sepupu narator kehilangan ibu dan saudaranya yang dibombardir dalam Perang Korea dan narator merasa begitu kehilangan ayahnya, sehingga mereka berada dalam situasi yang sama, dan berbagi kecenderungan emosional yang sama. Pada kenyataannya kisah gadis-gadis yang berbagi perasaan yang sama pada orang tua adalah tentang penulis dan adiknya, tapi tokoh sepupu digambarkan sedikit lebih beruntung. Beremigrasi ke Amerika, sepupu ini tidak kembali ke Korea. Narator tidak pernah bepergian di luar tanah airnya. Selama bertahun-tahun pada akhirnya kedua wanita itu hanya dapat melakukan percakapan panjang lewat telepon dan bertukar hadiah. Sampai akhirnya, mereka tidak bisa bertemu berhadapan secara langsung. Setelah kematian suaminya, sepupu narator di Amerika bekerja di berbagai jenis toko, dari toko sayuran ke toko pakaian dan kemudian ke toko hamburger, saat membesarkan kedua anaknya. Di tempat kerjanya, dia didatangi oleh perampok pada dua kesempatan, dan kedua kali dia bertahan, setelah memohon agar para perampok itu tidak membunuhnya karena dia memiliki anak-anak kecil. Menurut rumor, dia diperkosa pada kedua kesempatan. Setelah serangan teror, 11 September di New York, narator menyebut sepupunya lebih sering melihat apa yang dilakukannya. Dalam proses itu, narator mengatakan, membuatnya terkejut adalah bahwa dia merasa telah “datang untuk tahu apa-apa” tentang sepupunya, tapi “dibandingkan dengan waktu sebelum itu, ada sesuatu yang membuatnya terjebak.”

Suatu hari ia berhenti dan bisa melewatinya. Menjelang memasuki sekolah dasar, sepupu narator menulis puisi sederhana: “Melewati gunung barat matahari sore masuk/Melambaikan kepergianku, aku akan pergi.” Sementara itu, sepupunya menghilang ke dalam keheningan yang jauh melampaui gunung barat, dan narator menyadari sebuah “kebenaran” seolaholah itu adalah beberapa penemuan baru: bahwa matahari tidak pernah benar-benar diam, faktanya jelas bahwa sementara ia tidur, matahari berjalan di atas gunung barat, bersinar di atas sepupunya. Selama matahari berjalan, bahkan jika pun sepupunya sudah meninggal di negeri asing yang jauh, narator masih hidup dalam dunia emosionalnya. Karya Kim Chae-won banyak diperbincangkan sebagai menciptakan “lukisan liris” melalui deskripsi narasi. Melalui perenungannya menembus kehidupan, Kim menampilkan bakatnya untuk menggambarkan objek, manusia, dan dunia dengan palet warna yang unik. Buku kumpulan cerpen “Rowboat Song” merupakan mikrokosmos dunia sastra Kim Chae-won. Kisah ini, dengan perasaan yang kuat dari kenangan otobiografinya, memberikan catatan liris penuh penyesalan selama bertahun-tahun yang berlalu dalam keluarga sejak masa kecil penulis sampai ia remaja. Pusat ceritanya adalah rumah, dengan seorang ibu yang membesarkan anak-anaknya sendiri, dan anak-anak itu – saudaranya laksana sebuah harapan romantis bersama adik perempuannya. Penulis memperkenalkan rumah, yang sekarang ada hanya sebagai gagasan, sebagai “perahu sampan” yang terpaut pada aliran masa lalu yang dirindukannya. Cerita dimulai dengan bisikan yang haus, “Apakah perahu yang melintasi malam?”

“Malam itu begitu dalam, tampaknya akan terlalu jauh untuk menyeberang, sebuah kegelapan tak terduga, angin ganas menerjang halaman, gerbang, sumur, puncak-puncak pohon, atap, dinding, dan merobek udara menjadi potongan yang hirukpikuk. Menjatuhkan sebuah kuali kosong yang menimbulkan suara nyaring, denting tutup aluminium yang diletakkan di atas panci batu yang besar, gemerisik daundaun jatuh yang bergegas tersapu angin dan kemudian …” Seorang pemuda sensitif bermain akordeon dan mencintai film, saudara lakilaki yang tidak pandai beradaptasi dengan realitas. Untuk saudara-saudara perempuannya, ia makhluk sentimental, tapi di mata ibunya, yang sering meneteskan air mata frustrasi, ia adalah pewaris yang lemah untuk mempertahankan garis keluarga. Saudara laki-lakinya punya hubungan dengan wanita cantik, tapi dibiarkannya ia patah hati ketika keluarganya menolak, ia lalu tenggelam dalam minuman dan tak lama kemudian meninggal. Untuk menafkahi keluarganya, sang ibu diamdiam pergi setiap pagi naik kereta pertama, merayap kembali pada saat larut malam. Segalanya menyakitkan, namun merindukan hari-hari yang berlalu dan tidak bisa terulang kembali. Mungkin mereka muncul kembali sebagai gagasan dalam “perahu sampan” dalam kenangan? Penulis menerakan warna kalimat puitis terakhir kisahannya dengan kerinduan yang tak tertahankan. “Jika kapal melintasi malam bersamaku … Jika itu perahu dari masa kanak-kanak yang sudah almarhum dan gemetar ketakutan mendatangiku di malam yang kelam … Apakah untai lembut angin itu bisa terdengar seperti suara melodi, suuara yang tidak akan membangunkan bayi yang tidur di bawah naungan pohon … SeNI & BUDAYA KoReA 69


Informasi Berlanqganan

cara Berlangganan Biaya Berlanqganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb 2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Jepang, Cina, Hong Kong, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Kamboja, laos, Myanmar,Thailand,vietnam, Filipina,Malaysia, Timor leste,Indonesia,Brunei, Singapura) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, nepal, Pakistan, dan Sri lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami tanggapan Pembaca

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr * Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.


a JoUrnal of the eaSt aSia foUndation

Informasi Berlanqganan

cara Berlangganan Biaya Berlanqganan

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia.

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > langganan) dan klik tombol “Kirim.” Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah Korea

Asia Timur 1

Biaya Berlangganan (termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun 2 tahun 3 tahun

Asia Tenggara dsb 2

1 tahun 2 tahun 3 tahun

Eropa dan Amerika Utara 3

1 tahun 2 tahun 3 tahun

Afrika dan Amerika Selatan 4

1 tahun 2 tahun 3 tahun

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Jepang, Cina, Hong Kong, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Kamboja, laos, Myanmar,Thailand,vietnam, Filipina,Malaysia, Timor leste,Indonesia,Brunei, Singapura) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, nepal, Pakistan, dan Sri lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami tanggapan Pembaca

In our latest issue:

eaSt aSia’S edUcation WorrieS: eSSaYS BY

plUS

Cheng Kai-ming, Takehiko Kariya, Yang Rui, Young Yu Yang, S. Gopinathan & Catherine Ramos, Nicola Yelland and Qian Tang

Special feature: india’s quest for fdi Three writers look at the drive for foreign investment under Narendra Modi in focus: northeast asia’s history problem Jie-Hyun Lim, Alexis Dudden and Mel Gurtov analyze the intractable issues around attempts to suppress historical truths in South Korea and Japn heiko Borchet German Security Co-operation with Asia Book reviews by Christopher Capozzola, John Delury, Taehwan Kim, Nayan Chanda and John Swenson-Wright

Breaking oUt of the rUt: engaging north korea

Education in East Asia: Overstrained, Outdated and in Need of Reform Learn more and subscribe to our print or online editions at www.globalasia.org

JoongAng Ilbo Chairman Seok-Hyun Hong offers thoughts on paths to draw Pyongyang out of isolation the evolving US-Japan relationShip

J. Berkshire Miller on Abe’s recent Washington visit

US$15.00 W15,000 a JoUrnal of the eaSt aSia foUndation | WWW.gloBalaSia.org | volUme 10, nUmBer 2, SUmmer 2015

Education in East Asia Overstrained, Outdated and in Need of Reform

Latest issue, full archives and analysis on our expert blog at www.globalasia.org

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr * Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.

Have you tried our digital edition yet? Read Global Asia on any device with our digital edition by Magzter. Issues are just $5.99 or $19.99 per year. Download the free Magzter app or go to www.magzter.com


Musi Dingin 2015

Korean Literature in Your Hands! Our new multimedia platforms bring interactive content you can watch and listen to beyond the pages of the magazine.

EO ON

2015 vol. 4 no. 4

www.list.or.kr | Mobile Application

F tUR KhUSUS

MUSIM D

The New

SENI & BUDAYA KOREA

Seowon, Pusat Akademi Neo-Konfusianisme di Masa Dinasti Joseon

www.list.or.kr

New_list(HD)

Available on the App Store & Google Play

www.klti.or.kr / Yeongdong-daero 112-gil 32, Gangnam-gu, Seoul 135-873, Korea / TEL: +82-2-6919-7714 / info@klti.or.kr

vol. 4 no. 4

New_list(HD)

ISSN 2287-5565


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.