Sirkuit Wisata

Page 1

Sirkuit Wisata Indonesia DR. Abdullah Rudolf Smit, CTM, CHt-IBH Praktisi Pariwisata - perhotelan, penerbangan, biro perjalanan wisata, Trainer dan Motivator Website : http://pendekarcinta.weebly.com http://exoticminangkabau.wordpress.com Email : pakarcinta1950@yahoo.co.id Tel. +627519991950, +6281374586432


Pengantar Latar Belakang Abdullah Rudolf Smit terlahir di Semarang, ibukota propinsi Jawa Tengah, pada tahun 1950 enam dasawarsa lalu. Pada usia 2 tahun ia dibawa orangtua ke Jakarta. Pada usia 14 tahun (1964) Ayahanda Arie RC Smit ditawarkan untuk membuka kantor cabang dari Minet Brokers, sebuah perusahaan asuransi dari Inggris, di Manila, Ibukota Negeri Bunga Sampaguita (sejenis Melati) Philippines. Sejak saat itu Rolf, nama panggilan Rudolf, menyelesaikan pendidikan S-1 nya (dalam bidang Antropologi) disana dan setelah menekuni dunia pendidikan sebagai Dosen dan sebagai Broadcaster di Radio Veritas Asia, ia mulai karirnya dalam bidang pariwisata sebagai Deputy Director, Educational Travel, di Youth and Student Travel Association of the Philippines yang dipimpin oleh seorang wanita karir bernama Sylvia Munoz. Pada tahun 1978 setelah menetap seama 14 tahun di negeri jiran ini Rolf memutuskan untuk pulang kampung ke tanah airnya Indonesia untuk menjadi Sales Manager di Hotel Borobudur Inter-Continental, Jakarta. Sejak itu karirnya di dunia perhotelan khususnya dan dunia pariwisata umumnya mulai berkembang. Dari posisi Sales Manager perlahan tapi pasti ia diangkat menjadi Marketing Manager, kemudian Resident Manager dan akhirnya General Manager di berbagai hotel. Diantara hotel-hotel yang telah menjadi tempat kerjanya adalah Sahid Jaya Hotel, Horison Hotel, Hyatt Aryaduta Hotel, Pulau Ayer Resort Hotel, semuanya di Jakarta, kemudian Mambruk Beach Resort di Anyer Lor, Banten, dan dari sana menuju Pulau Dewata Bali untuk memimpin Dewata Beach Hotel di Canggu. Pada tahun 1990 ia memutuskan untuk menjadi Konsultan Pariwisata dan membantu memprofesionalkan manajemen beberapa perusahaan pariwisata seperti Yogya Inn Hotel, Queen of The South Beach Resort (Yogyakarta), Pusaka Tours & Travel juga di Ngayogyakarto Hadiningrat (Yogyakarta). Karena Rolf sangat peduli dengan kualitas pelayanan pariwisata secara khusus dan pelayanan secara umum ia sering mengadakan seminar, training workshops, baik di Bali, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Sumatera Barat, Pekanbaru, atau dimanapun ia dibutuhkan..


Sekembalinya ia ke Jakarta mulailah karirnya sebagai Trainer Motivator secara umum. Bukan hanya dunia pariwisata Indonesia menjadi sasarannya tetapi juga dunia perbankan, telekomunikasi, organisasi kemasyarakatan, pemerintahan. Dan pada tahun 2002 ia mulai melirik Sumatera dan memulai sampai sekarang kegiatan Trainer Motivator di Sumatera Barat.

Mengenai Buku Ini Buku ini adalah kumpulan artikel-artikel yang diterbitkan di Harian Bernas, Yogyakarta, pada tahun 1993 dalam sebuah rubrik tetap yaitu Sirkuit Wisata. Mengapa diterbitkan kembali dalam bentuk sebuah buku 18 tahun kemudian? Keprihatinan penulis terhadap kualitas manajemen, pelayanan, dan pendidikan pada umumnya serta pariwisata khususnya di daerah-daerah diluar Ibukota Jakarta dan daerah tujuan wisata besar lainnya seperti Bali dan Yogyakarta mendorongnya untuk menerbitkan lagi tulisan-tulisannya karena 18 tahun yang lalu penulis sudah melihat apa yang akan menjadi permasalahan utama dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata di tanah airnya. Relevansi dari artikel-artikel yang pernah diterbitkannya sangat besar apabila kita melihat lebih dalam situasi dan kondisi pembangunan dan pengembangan pariwisata di daerah. Keramahtamahan atau hospitality yang menjadi ciri utama bangsa Indonesia penulis tidak lihat dalam pelaksanaan kegiatan pariwisata khususnya dan pelayanan secara umum. Pendidikan dan pelatihan baik untuk usaha pariwisata maupaun usaha jasa lainnya sekarang lebih difokuskan pada mencari keuntungan sebesar-besarnya sehingga upaya-upaya manajemen untuk membuat operasional usaha mereka makin efisien (hemat pengeluaran) mengorbankan mutu pelayanan yang diberikan. Paradigma profit menghalalkan segala cara dalam melayani para wisatawan, baik wisatawan atau pengunjung mancanegara maupun nusantara. Dalam rangka mengubah paradigma dari “laba ke pelayanan” menjadi “pelayanan ke laba” buku ini dibuat dengan harapan akan menimbulkan kesadaran baru bagi semua yang terkait.

Semoga…….


TABLE OF CONTENTS - DAFTAR ISI

JUDUL AIDS DAN PARIWISATA ASOSIASI PEMASARAN HOTEL BUDAYA SANG MANAJER DISKRIMINASI PELAYANAN GELAR, GELAR, GELAR IN-FLIGHT SERVICE KARTU KREDIT DAN PARIWISATA KERJASAMA MANAJEMEN KODE ETIK PARIWISATA KOMPUTERISASI KARYAWAN (PELAYANAN) PARIWISATA DAN LINGKUNGAN PEMASARAN TERPADU PEMILIK KONTRA MANAJEMEN PENYANDANG CACAT DAN PARIWISATA PERDAMAIAN MELALUI PARIWISATA PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN PERLINDUNGAN HUKUM KARYAWAN HOTEL PERLUKAH TENAGA KERJA ASING? WANITA DAN PARIWISATA WISATA KONVENSI WISATA PEDESAAN

Hal. 4 9 14 21 26 31 36 41 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 96 100 105


AIDS DAN PARIWISATA 18 April 1993 Minggu lalu kami membicarakan masalah WANITA DAN PARIWISATA. Sebagai lanjutan logis dari permasalahan tersebut kami ingin membahas masalah AIDS yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai penyakit yang tersebar melalui pariwisata.

AIDS pada awal mulanya diterjemahkan sebagai Akibat Intim Dengan Sejenis. Meskipun ada nada humor dalam tafsiran ini, maknanya cukup mengena. Ada beberapa pendapat bahwa AIDS ini bermula dari kalangan homoseksual pria, yang kemudian disebarkan oleh sebagian dari mereka yang biseksual kepada pasangan wanitanya. Penyakit yang belum ada obatnya ini juga dapat tersebar melalui para morfinis yang menggunakan alat suntik atau jarum kotor untuk menginjeksikan narkotikanya ke dalam tubuh. Perilaku seksual sang morfinis inilah yang meneruskan warisan fatal ini kepada pasangannya. Akhirnya, AIDS dapat diidap oleh praktis semua orang apapun orientasi seksualnya. Mengapa? Ya karena dalam kehidupan moderen ini berganti pasangan adalah gaya hidup sebagian dari masyarakat.

Penyebaran pembunuh massal ini dapat juga dilakukan melalui transfusi darah yang tercemar dengan virus HIV pada waktu pembedahan atau pada waktu cuci darah. Sehingga sekarang memasuki ruang bedah pun adalah suatu pengalaman yang resikonya berlipat ganda. Dari segi kedokteran AIDS hanya dapat tersebar melalui cara-cara tersebut.

Pertanyaan kami adalah mengapa di negara kita yang nomor satu diperiksa adalah para WTS? Mengapa WTS dianggap sebagai kelompok beresiko tinggi? Kami tidak menyangkal bahwa para WTS ini dapat menjadi konduit penyebaran penyakit ini. Tetapi kami berpendapat bahwa mereka yang mengidap virus HIV-lah yang menyebarkannya kepada WTS. Dan diteruskan kepada para pemakai jasa mereka yang lainnya. Yang harus dilakukan adalah penyuluhan intensif dan ekstensif


kepada segala kalangan perihal kehidupan seksual yang aman. Sangat berbahaya bila kita terbuai dengan kepercayaan bahwa dasar budaya timur kita ini cukup kuat untuk menangkal kebiasaan berjajan (menggunakan WTS) atau bergonta-ganti pasangan. Fakta bahwa WTS ditolerir adalah pertanda kebangkrutan moral kita. Kami percaya bahwa profesi tertua ini tidak dapat dimusnahkan, tetapi kami percaya kita dapat menguranginya dengan memberikan ketrampilan kepada para wanita dari golongan ekonomi lemah untuk berkarya dalam pembangunan, bukan dengan menjual tubuh mereka. Pendidikan untuk golongan ekonomi dan sosial yang diatas perihal resiko AIDS juga perlu diintensifkan.

Teknologi dan AIDS Makin maju teknologi transportasi, makin cepat tersebarnya penyakit ini. Karena gerakan pariwisata erat kaitannya dengan transportasi manusia dari satu daerah ke daerah lainnya, maka makin cepat pula penyakit ini menjadi wabah.

Thailand sangat dikenal di Eropa dan Jepang sevagai surganya pria. Tourtour yang menjajakan seks sebagai atraksi utamanya sering sekali dipasarkan di ke dua daerah pemasok wisatawan. Pengalaman negara ini harus menyadarkan kita terhadap bahaya mempromosikan seks sebagai produk wisata. AIDS telah menjangkiti ratusan ribu penduduk negara gajah ini.

Di Filipina pun kami menyaksikan sendiri bagaimana wisatawan Jepang mendapatkan wanita sebagai bagian dari paket wisatanya. Tidak mengherankan bila AIDS di negara ini menjadi momok yang sangat menakutkan. Tetapi di negeri sampaguita ini AIDS juga berarti Acquired Income Deficiency Syndrome (Sindrom Kekurangan Pendapatan yang Diperoleh) mengingat negara ini menderita kekacauan ekonomi setelah tumbangnya Presiden Marcos.

Banyak pula warganegara Singapura yang menyeberang ke negara jiran Malaysia, khususnya negeri Johor, hanya untuk kenikmatan sejenak ini. Atau ke


Thailand Selatan, misalnya Phuket, yang juga terkenal karena ramainya bursa seks di daerah ini.

Dan bagaimana keadaan Indonesia dalam bidang ini? Secara resmi negara kita tidak memasarkan aset wanita yang satu ini. Secara resmi tidak ada Biro Perjalanan Umum yang menjual tour-tour berbau seks. Namun faktanya adalah berbagai wisatawan mancanegara bila berada di bumi Pancasila ini ingin mencicipi nikmatnya jasa yang digelarkan kaum hawa. Di Yogyakarta saja sudah ada praktek mencari wanita penghibur di lokasi-lokasi tertentu oleh wisman dari negara-negara ”oriental”. Kami sangat prihatin dengan kemungkinan kota budaya kita ini tercemar oleh kegiatan-kegiatan seperti ini. Bukan hanya AIDS yang mengancam tetapi juga polusi budaya yang dibiarkan oleh sebagian penduduk maupun oleh pejabat pemerintah yang seharusnya mengawali masalah ini.

Tidak ada gunyanya kita menjadi munafik. Karena secara lokal saja praktek prostitusi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat menyalahkan pariwisata bila praktek ini ingin dicoba oleh para wisman yang mendengar tentang kecantikan dan kehebatan para wanita penghibur kita. Resikonya adalah masuknya AIDS. Penyakit ini juga dapat dibawa masuk oleh warganegara yang memperolehnya di luar negeri. Menurut kami tidak ada apa yang disebut sebagai ”safe sex” atau bersenggama secara aman. Di Amerika Serikat istilah ini diartikan praktek berhubungan seksual dengan menggunakan kondom. Dalam dunia pariwisata konotasi istilah ini dapat diartikan sebagai ”silahkan berjajan asal pakai kondom.” Apakah hal ini harus didiamkan dengan alasan bahwa hal itu adalah masalah pribadi orang?

Jadi bila suatu bangsa sudah menerima perilaku seksual yang menurut norma-norma masyarakat dilarang, mengapa pariwisata yang harus disalahkan? Kartu Bebas AIDS


Dalam

kepanikan

unsur-unsur

masyarakat

tertentu

mulai

mengkampanyekan dikeluarkannya kartu bebas AIDS. Maksudnya adalah, untuk mencegah masuknya penyakit ini, setiap wisatawan yang masuk ke suatu negara harus sudah diperiksa apakah ia mengidap virus HIV, AIDS, atau tidak dan ia diberikan suatu kartu yang menyatakannya demikian. Ini sangat menggelikan karena yang mengusulkannya tidak tahu bahwa virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan bersembunyi (tidak dapat diditeksi) selama bertahun-tahun.

Sudah ada negara-negara tertentu yang mengharuskan tenaga kerja asing untuk diperiksa sebelum diterima. Negara tetangga kita, Malaysia, dan Arab Saudi dikabarkan mengeluarkan peraturan ini. Apakah peraturan seperti ini menutup pintu terhadap wabah ini? Kami yakin �tidak� justru karena sifat penyakit ini – yakni bersembunyi untuk beberapa tahun sebelum dapat dilihat melalui pemeriksaan darah. Kecuali bila ditemukan suatu metoda pemeriksaan yang lebih canggih dalam menemukan tempat persembunyian virus ganas ini.

Kami melihat bahwa satu-satunya cara untuk mencegah meluasnya �hukuman mati perlahan� ini adalah dengan mendidik masyarakat mengenai AIDS dan mengadakan gerakan Hidup Sehat yang juga meliputi kegiatan seksual kita. Meskipun masalah seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara publik, kami merasa sudah waktunya kita menyebarluaskan informasi mengenai AIDS di sekolah-sekolah bagi para pelajar yang memasuki masa puber, melalui televisi, radio dan bioskop.

Selain daripada itu, di sekolah-sekolah pariwisata perlu diadakan suatu kurikulum yang mengandung mata pelajaran Moralitas, Seks dan AIDS. Para calon pekerja pariwisata harus dibekali dengan pengetahuan ini supaya mereka tidak mudah terpengaruh oleh kegemerlapan pariwisata maupun pengaruh budaya asing yang membawa bangsa kita ke jurang kebinasaan.


Keramahtamahan bangsa Indonesia tidak berarti kita harus meng-iya-kan setiap keinginan maupun permintaan sang turis. Mereka pun harus diberitahukan mengenai adat-istiadat kita. Kita tidak boleh mengartikan �Konsumen itu Raja� apabila kita menjadi budaknya, apabila martabat kita diinjak-injak. Kita pun waktu berkunjung ke negara lain harus mengikuti adat-istiadat, hukum, peraturanperaturan yang berlaku di negara tersebut. Mengapa kita harus memberikan apa saja yang diminta turis kalau permintaan itu dapat berdampak negatif terhadap kita?

Janganlah hanya karena pariwisata membawa devisa yang dapat membantu pembangunan negara kita, kita membiarkan diri kita terlena terhadap bahaya AIDS.


ASOSIASI PEMASARAN PERHOTELAN 25 Juli 1993 Ada banyak cara untuk memecahkan masalah usaha pariwisata. Dalam keadaan pariwisata, khususnya untuk perhotelan, yang sedang lesu di Bali, Yogyakarta dan bahkan Jakarta, kami dalam penulisan-penulisan sebelumnya sering menganjurkan pembenahan manajemen sebagai salah satu cara terbaik untuk memecahkan masalah kelesuan bisnis. Pernyataan bahwa ”bisnis kurang baik” sering dilontarkan oleh para pengusaha yang pendapatannya tidak lebih dan mungkin kurang dari pengeluarannya. Karena tujuan didirikannya suatu perusahaan adalah untuk mencari laba, maka keadaan pasar yang menyulitkan diperolehnya laba sering menjadi momok bagi pengusaha. Apalagi kalau modal kerjanya kecil dan dipinjam.

Khususnya dalam bidang usaha akomodasi, persoalan yang sekarang dihadapi yaitu menurunnya tingkat penghunian tidak disebabkan karena pasarnya menciut tetapi karena yang berebut kue wisatawan makin banyak. Sedangkan ukuran kue ini lebih kecil daripada yang ingin memakannya. Nah, akibat persaingan yang timbul ini banyak pengusaha menjadi korban dan usahanya mati. Hanya yang kuat menang. Dan yang kami maksud dengan kuat adalah mereka yang modalnya besar atau yang manajemennya baik dan profesional. Apabila kedua faktor ini digabung, modal besar dan manajemen baik, sudah pasti dapat dikatakan bahwa perusahaan ini akan hidup untuk jangka waktu lama.

Namun ada satu faktor lain yang perlu diperhitungkan di bumi Pancasila ini. Kami jarang sekali melihat Manajemen a la Indonesia, atau Manajemen GotongRoyong, diterapkan untuk membantu pengusaha lemah. Kita sangat terpaku dengan model bisnis gaya barat dimana yang kuat akan ”survive” dan yang lemah akan mati lemas atau dimakan si raksasa. Slogan demi slogan, pidato demi pidato dari para pejabat pemerintah, ceramah demi ceramah dari para pakar manajemen, mengudara yang berintikan bahwa kita di Indonesia harus ”berkooperasi” Kooperasi dalam hal ini diambil dari kata ”cooperate” yang berarti kerjasama.


Faktanya, persaingan bisnis menjurus ke arah saling mematikan dengan cara-cara apapun. Tidak ada perangkat hukum yang melindungi yang kecil. Tetapi Manajemen a la Indonesia dapat diterapkan dan hasilnya akan menguntungkan semua.

Peranan Asosiasi Contohnya adalah dengan menjadikan Asosiasi atau Perhimpunan suatu alat yang dapat memecahkan masalah bisnis, dimana yang kuat membantu yang lemah. Sering terjadi bahwa Asosiasi dijadikan suatu alat untuk mempopulerkan diri khususnya yang menjadi pengurus atau suatu alat untuk kepentingan pribadi si pengurus, apakah gengsi sosial atau bisnis.

Di dunia perhotelan kita mengenal PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) dan GPY (Gabungan Perhotelan Yogyakarta). Yang pertama secara nasional, yang kedua secara lokal. Kedua asosiasi ini memiliki tujuan yang mulia tetapi tidak dapat membantu secara efektif anggota-anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bisnis. Meskipun banyak diantara pengurusnya yang bercita-cita dan secara serius ingin mengabdikan diri mereka untuk membantu yang kecil, dalam praktek mereka menghadapi kendala sulitnya mendapatkan dukungan aktif dari semua anggota.

Tetapi ada satu asosiasi yang kami usulkan untuk dibentuk di Yogyakarta yang pada intinya bertujuan membantu para anggotanya. Kami berbicara mengenai HSMA (Hotel Sales Management Association) atau Asosiasi Manajemen Pemasaran Perhotelan. Kami dan beberapa rekan dari hotel-hotel lain telah mendirikan organisasi ini di Jakarta 12 tahun yang lalu dan sekarang telah diakui oleh Menparpostel sebagai wadah tunggal bagi para pekerja perhotelan yang berkecimpung dalam pemasaran dan public relations (kehumasan). Organisasi ini juga diakui oleh PHRI. Asosiasi profesi ini didirikan dengan satu tujuan yakni mendidik para anggotanya melalui program-program pendidikan singkat seperti seminar, bengkel kerja atau pertukaran informasi. Keunikan Asosiasi ini adalah


dimasukkannya kegiatan sosial antar anggota untuk mempererat hubungan pribadi para anggotanya. Hal ini justru mempermudah tujuan pendidikan Asosiasi karena para anggotanya sudah saling mengenal secara dekat.

Pada saat ini organisasi HSMA sedang dalam tahap pembentukan di Bali dan kami harap di Yogyakarta pun ada yang memprakarsainya. Sebagai cabang dari HSMA Pusat yang berkedudukan di Jakarta, setiap HSMA Daerah dapat bertukar informasi dan saling membantu dalam pelaksanaan program pendidikannya.

Bagaimana HSMA dapat memecahkan masalah bisnis setiap anggotanya? Pelatihan dan Informasi Setiap bulan HSMA mengadakan rapat sambil makan siang dimana data-data tingkat penghunian, nama-nama para perusahaan ataupun hotel anggota tidak terjebak dalam hubungan bisnis yang sama seperti yang dialami yang lain. Pada waktu pertemuan bulanan ini kita juga dapat mengundang pakar-pakar tertentu untuk memberikan ceramah perihal masalah-masalah yang berkaitan dengan pariwisata. Setelah rapat, para anggota dapat berkeliling meninjau fasilitas hotel dimana mereka bertemu. Jadi, setiap bulan pertemuannya diadakan di hotel anggota secara bergiliran.

Asosiasi juga dapat merencanakan suatu program pendidikan khusus untuk anggota hotel melati dalam bidang manajemen tertentu atau seminar-seminar umum dapat dilaksanakan dengan mengundang pakar dalam negeri atau luar negeri. Kegiatan ini dapat diadakan sekali 2 bulan atau lebih sering tergantung kebutuhan.

Dan satu hal yang sering dilupakan adalah dengan berorganisasi para anggotanya belajar bagaimana mengelola. Pengalaman anggota sangat berguna bagi anggota lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dalam organisasi ini bermanfaat


bukan hanya bagi pribadi para anggota tetapi juga bagi perusahaan dimana mereka bekerja.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi ini juga dirancang sedemikian rupa sehingga organisasi ini tidak dapat digunakan anggota untuk tujuan politis para pengurusnya. Meskipun secara organisatoris HSMA dapat menjadi kekuatan untuk memperjuangkan kepentingan bersama para anggotanya dalam menghadapi pemerintah atau organisasi lainnya seperti PHRI.

Kekuatan Bersama Dengan berdirinya suatu Asosiasi kita dapat mengatasi masalah bisnis secara bersama. Misalnya dalam menghadapi situasi yang sekarang berkembang di DIY, yakni turunnya tingkat penghunian dan singkatnya lama tinggal para wisman, HSMA dapat melakukan beberapa hal. Salah satunya adalah menciptakan paketpaket wisata bersama biro-biro perjalanan wisata yang tergabung dalam ASITA, PHRI, para pengrajin, pengelola angkutan wisata, perusahaan penerbangan, dl. Paket-paket wisata yang diciptakan atas prakarsa HSMA ini akan lebih berhasil karena pemasaran paket-paket tersebut akan dilakukan oleh yang berkompeten. Kedua, para anggota dapat menyepakati suatu perjanjian untuk tidak melakukan praktek banting harga. Minimal, setiap anggota dapat bersama-sama maupun secara perseorangan mempengaruhi pimpinan hotelnya untuk tidak membanting harga.

Individualisme yang menjadi sifat bisnis gaya barat dapat dikurangi dan kebersamaan dapat ditingkatkan. Kami pastikan bahwa apabila setiap hotel bersikeras untuk mengatasi masalah kelesuan pariwisata secara sendiri-sendiri, akibatnya akan fatal bagi banyak pengusaha dan pengelola akomodasi. Yang mendapatkan keuntungan justru adalah para pengelola biro perjalanan wisata asing yang dapat menekan harga serendah-rendahnya dengan mengadu domba satu hotel dengan hotel lain, satu BPW lokal dengan BPW lokal lain.


Dengan menggalang persatuan dalam satu wadah yang tujuan utamanya adalah mendidik para anggotanya dan mengadakan pertukaran informasi bisnis, kita memastikan bahwa cara bisnis yang mengutamakan yang kuat menindas yang rendah akan perlahan-lahan hilang dari bumi tercinta ini.

Siapa yang beruntung? Kita semua termasuk masyarakat luas.


BUDAYA SANG MANAJER 3 Oktober 1993 Beberapa minggu yang lalu terbetik berita bahwa ada seorang Manajer Umum suatu hotel berbintang di Bali yang didemonstrasi sebagian karyawannya. Alasan utama para karyawan menginginkan Manajer yang berkebangsaan ini diganti atau dicopot dari jabatannya adalah karena ia menghina seseorang diantaranya. Masalah ini bukanlah hal yang baru. Benturan antara pengelola asing dengan karyawan lokal sering terjadi karena perbedaan budaya atau perbedaan dalam menafsir hak dan kewajiban masing-masing. Manajer asing sering digugat karyawannya karena persepsi mengenai peranan mereka masing-masing berbeda. Belum lagi masalah tingkah laku sang manajer yang dianggap �menyimpang� dari norma-norma masyarakat yang berlaku. Kami sendiri pernah mengalami kejadian yang sama di salah satu hotel berbintang di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Konflik antar pribadi adalah sesuatu yang biasa. Tetapi bila masalah ini terjadi dalam konteks manajemen suatu perusahaan jasa yang besar seperti hotel sehingga menimbulkan keresahan di antara para pekerja, maka hal itu harus ditanggapi secara serius. Suatu tindakan nyata dari pihak pemilik maupun pengelola harus segera dilakukan. Departemen Tenaga Kerja sebagai lembaga yang memberikan izin dan mengawasi kondisi kerja di Indonesia harus membudayakan sesuatu konsep yang akan kami bicarakan di bawah ini. Konflik Antar Budaya Perlu kami informasikan bahwa di banyak negara, para diplomat yang akan ditugaskan di negara lain biasanya dilatih terlebih dahulu dalam bahasa negara yang akan mereka kunjungi dan mereka juga belajar mengenai kebudayaan dari negara dimana mereka ditugaskan. Misalnya, banyak diplomat Australia yang bertugas di Indonesia dapat berbicara bahasa Indonesia dan mereka mengerti budaya kita berdasarkan training yang diberikan sebelum keberangkatan mereka ke negara kita. Dan sesampainya mereka disini mereka melanjutkan penambahan pengetahuan mereka mengenai budaya kita. Kami juga pernah bertemu dengan diplomat-diplomat dari negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Jepang,


dsb yang dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Kami merasa bahwa masalah bahasa sangatlah penting untuk menimbulkan pengertian mengenai budaya dimana kita ditugaskan. Meskipun kita menganut paham kebebasan dalam hal apakah mereka yang bertugas di negara kita mau belajar bahasa Indonesia atau tidak dan kita tidak bisa memaksakan mereka, kami berpendapat bahwa minimal mereka harus mengerti bahasa dan budaya kita secara pasif. Bagaimana memastikan bahwa ini terjadi menjadi masalah tersendiri. Kami berpendapat bahwa khususnya untuk bidang pariwisata, manajer asing yang akan ditugaskan di Indonesia harus mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari Asosiasi yang bersangkutan. Misalnya, untuk perhotelan PHRI lah yang bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi kepada Depnaker dan Depkeh (Imigrasi) berdasarkan penilaian objektif mereka bahwa si manajer asing ini minimal mengerti bahasa Indonesia dan telah mempelajari budaya kita.

Kami yakin bahwa akan ada yang berbeda pendapat dengan kami dengan alasan-alasan yang berbeda. Tetapi kami telah berkecimpung dalam bidang manajemen pariwisata begitu lamanya dan selalu bertindak sebagai penengah atau jembatan antara manajemen asing dengan karyawan lokal. Sehingga kami mendapatkan pelajaran dari benturan-benturan budaya yang sering terjadi.

Bila kita biarkan kepada perusahaan untuk memastikan apakah si manajer ini berkompeten untuk mengelola manusia Indonesia, kami yakin perusahaan tidak akan perduli. Perusahaan Manajemen (Management Company) pun tidak akan perduli karena kami telah mengalaminya sendiri. Jadi, harus ada unsur kontrol dari pemerintah melalui Asosiasi yang menjadi wadah tunggal profesi. Persis seperti Duta Besar yang harus disetujui oleh pemerintah yang menerimanya. Mungkin tidak diketahui oleh masyarakat awam. Contohnya, bila Amerika Serikat mengganti Duta Besarnya di Indonesia atau negara lain, calon Duta Besar yang baru harus disetujui dulu oleh pemerintah Indonesia atau pemerintah yang menerimanya. Demikian pula bagi Duta Besar Indonesia ke Australia. Negara kangguru ini harus terlebih dahulu memberikan persetujuannya terhadap calon Dubes kita. Kami


mengusulkan yang sama untuk manajemen asing dalam bidang perhotelan dan biro perjalanan wisata.

Mengapa demikian? Pengalaman menunjukkan bahwa dalam bidang jasa dimana konsumen yang datang dari mancanegara maupun dari dalam negeri menuntut suatu pelayanan yang profesional (bermutu tinggi), si pemberi pelayanan harus menguasai bukan hanya teknik-teknik pelayanan berstandar internasional tetapi juga harus mengerti mengapa pelayanan tertentu harus demikian. Selain daripada itu, ia harus bekerja dalam suatu lingkungan yang bebas dari ancaman hukuman yang dapat saja datang dari manajemen asing yang tak mengerti budaya kita.

Kami berikan contoh dalam bidang pelayanan makanan dan minuman. Di hotel, para pramusaji (waiter/waitress) diajarkan bahwa kalau menyajikan makanan di meja mereka harus mulai dari sebelah kanan tamu. Dan kalau mengangkat piring yang sudah kosong, mereka harus mengambilnya dari sebelah kiri setelah sebelumnya kita menanyakan tamu apakah piringnya boleh diangkat. Budaya Indonesia tidak mengenal cara melayani seperti ini. Ini adalah cara melayani gaya barat. Atau menyusun sendok makan, garpu, pisau dengan cara tertentu yang tidak lazim di negara kita. Misalnya, kalau makan steak (bistik) kita harus meletakkan pisau khusus untuk steak di sebelah kanan piring dan bukan sendok, sedangkan garpunya disebelah kiri piring. Nah, mengapa caranya harus begitu harus juga diterjemahkan kepada si karyawan. Jangan hanya diajarkan caranya tanpa ada penjelasan.

Contoh kecil seperti diatas kami berikan untuk memberikan ilustrasi bahwa apabila ada pertemuan orang dari berbagai budaya, pasti akan terjadi benturan bila satu atau kedua belah pihak tidak mengerti latar belakang suatu perbuatan atau tingkah laku. Di dalam satu budaya saja bisa terjadi konflik. Orang Jawa yang besar di kampung akan berbeda dengan Orang Jawa yang besar di kota. Persepsi kedua


orang ini pasti berbeda walaupun sama-sama dibesarkan dalam keluarga yang sangat tradisional. Lingkungan sekitarnya mempengaruhi perilaku masing-masing.

Tata krama setiap budaya berbeda. Yang dianggap wajar di Amerika Serikat, bisa dianggap kurang ajar di Indonesia. Yang wajar di Indonesia, bisa dianggap jelek di negara barat. Satu contoh yang banyak menyebabkan konflik adalah kebiasaan orang Indonesia untuk tidak secara langsung mengakui bahwa dia tidak dapat atau tidak mau melakukan sesuatu. Atau kebiasaan untuk tidak langsung mengatakan ”tidak”.

Kalau

manajer

asing

telah

selesai

mengajarkan

sesuatu

kepada

karyawannya, ia akan bertanya apakah di karyawan sudah mengerti. Rata-rata jawaban yang diberikan adalah ”ya, saya mengerti”. Padahal ia tidak mengerti. Mungkin karena malu atau takut dimarahi, sang karyawan tidak berani mengatakan ”tidak” atau ”belum”. Nah, kalau terbukti si karyawan salah dalam melaksanakan tugasnya sementara ia sudah menyatakan kepada si manajer ia sudah mengerti, tidaklah mengherankan kalau si manajer marah dan mungkin akan mengumpat. Si karyawan, yang merasa tidak bersalah, tidak terima diumpat. Maka, timbullah konflik yang dapat meluas.

Dalam hal ini, si manajer tidak mengerti mengapa si karyawan bilang ”ya” kalau maksudnya ”tidak atau belum”. Si Karyawan tidak terima diumpat, meskipun sudah menjadi kebiasaan orang barat maupun timur untuk mengumpat tanpa secara langsung diarahkan kepada seseorang.

Demikian pula dalam hal berguyon. Maksud si manajer adalah berguyon tetapi tidak dimengerti oleh si karyawan sebagai guyonan. Akibat yang dapat ditimbulkan oleh kesalahpahaman ini bisa berbentuk suatu ”reaksi tidak mengerti” atau suatu ”reaksi marah”. Dan seterusnya, dst.

Culture Shock Goncangan budaya dapat menimpa siapa saja yang memasuki suatu daerah yang memiliki budaya yang berbeda dari budaya yang dimiliki orang tsb.


Goncangan budaya (Culture Shock) dapat juga terjadi bila tingkatan teknologi yang dimasukkan lebih tinggi daripada tingkatan teknologi dari si penerima. Misalnya, manajemen menentukan bahwa siapa saja yang tidak dapat menggunakan komputer akan tersisih dari persaingan untuk suatu pekerjaan. Tetapi manajemen bermurah hati untuk mengadakan pelatihan komputer bagi semua karyawan. Alhasil, ada yang mahir dengan benda berteknologi tinggi ini dan ada yang tidak. Sehingga yang kurang mahir tersingkir dan mendapatkan pekerjaan yang menurut si karyawan kurang enak. Ternyata yang betul-betul terjadi, setelah penelitian lebih mendalam, adalah bahwa banyak dari yang dikategorikan kurang mahir sebetulnya takut terhadap komputer sehingga mereka sudah memiliki perlawanan bathin terhadap ilmu baru ini. Akibatnya, ia susah mempelajarinya meskipun ia karyawan yang baik dan pintar. Masalah inipun kurang diperhatikan oleh manajemen, asing atau lokal, yang ingin mengkomputerisasi operasionil usahanya tetapi tidak memperhatikan kondisi mental dari para karyawannya.

Tetapi kalau manajer asing tidak mengerti atau tidak mau mengerti budaya karyawannya, maka konflik yang berakibat buruk bagi kelanjutan operasionil usahanya akan terjadi.

Budaya Manajemen Kita sering mendengar di kalangan pengusaha dan pengelola istilah Budaya Perusahaan atau Corporate Culture. Yang dimaksud dengan Budaya Perusahaan adalah falsafah kerja yang dianut oleh pemilik dan manajemen dan falsafah ini harus dihayati oleh semua karyawan. Misalnya, falsafah sebuah perusahaan manufacturing (pabrik) adalah memproduksi dengan zero accident (tanpa kecelakaan kerja) dan produknya tidak ada cacatnya. Falsafah atau Budaya Perusahaan ini kemudian dijabarkan dalam prinsip-prinsip kerja yang lebih kongkret yang dapat diikuti oleh para karyawan.

Apabila kita ciptakan suatu Budaya Manajemen atau Budaya Perusahaan untuk sebuah hotel, biro perjalanan wisata, perusahaan penerbangan, dan usaha


wisata lainnya yang bersumber pada falsafah bahwa semua orang adalah tamu yang harus diunggulkan, kami yakin budaya sang manajer tidak akan banyak mempengaruhi secara negatif karyawan perusahaan ybs. Mengapa? Karena dari pimpinan tertinggi sampai karyawan terendah budaya ini telah dihayati dan diamalkan secara konsisten. Budaya ini harus berpegang pada prinsip bahwa yang kita maksud dengan �semua orang adalah tamu� juga berarti si karyawan dan si manajer sendiri. Ini berarti bahwa semua unsur dari perusahaan harus diunggulkan. Penjabarannya adalah suatu sistem yang mengarah kepada hanya satu tujuan yaitu memberikan yang terbaik kepada tamu.

Untuk mewujudkan budaya manajemen atau budaya perusahaan diperlukan suatu sistem pelatihan yang intensif, ekstensif, terpadu dan memakan waktu lama. Tetapi sementara kita belum memiliki budaya manajemen seperti ini, pemerintah dibantu oleh Asosiasi perlu mempertimbangkan persyaratan seperti kami sebut pada awal tulisan ini bagi semua manajer asing yang akan bekerja di Indonesia dalam bidang pariwisata. Kami sangat sedih melihat bahwa pemerintah membiarkan banyak perusahaan, karena pertimbangan komersiel, mempertahankan manajer-manajer asing yang telah terang-terangan melanggar norma-norma budaya bangsa kita. Kesalahpahaman adalah lumrah tetapi kalau pelanggaran dilakukan dengan sengaja dan berkali-kali, apakah kita biarkan saja?

Mungkin apa yang kami usulkan tidak akan pernah terlaksana. Tetapi kami mengingatkan semua unsur pariwisata yang mengalami masalah konflik budaya di dalam perusahaannya untuk jangan menganggap enteng. Konflik antara budaya kita dengan budaya asing harus segera diatasi demi kebaikan semua orang yang terlibat. Pariwisata akan lebih menyenangkan bukan hanya untuk para wisman dan wisnu tetapi juga bagi pelakunya. Janganlah kita melihat pariwisata sebagai sapi perahan yang dapat kita peras susunya sebanyak-banyaknya tanpa melihat kepentingan dari sapinya sendiri. Pariwisata adalah suatu event yang dapat menimbulkan saling pengertian, pertemuan antar budaya, dan menghasilkan


devisa. Tetapi potensi untuk konflik juga sangat besar. Kami harap kita tidak lengah dalam hal ini.


DISKRIMINASI PELAYANAN 26 September 1993 Beberapa hari yang lalu tersebar berita melalui salah satu harian ibukota bahwa pelayanan pariwisata di Bali sudah begitu merosot dikarenakan adanya diskriminasi pelayanan yang diberikan kepada wisnu (bangsa Indonesia) dibandingkan kepada wisman (orang asing). Rupanya insan pariwisata Bali sekarang sudah tidak memperdulikan wisatawan lokal karena berbagai hal. Tetapi keluhan utama yang dilontarkan menunjukkan bahwa biang semuanya ini adalah uang atau persepsi pekerja pariwisata Bali mengenai uang. Komersialisasi pariwisata di Bali sudah mencapai suatu tingkatan dimana kesadaran wisata orang Bali dikaitkan dengan imbalan uang yang dapat diberikan oleh si wisatawan. Apapun alasan yang diberikan, diskriminasi pelayanan adalah awal dari jatuhnya mutu pariwisata. Dan bila praktek-praktek yang tidak menyenangkan ini makin meluas di Bali atau dimanapun di wilayah nusantara ini maka dapat dipastikan bahwa

pariwisata

sebagai

andalan

ekonomi

Indonesia

tidak

dapat

lagi

menggerakkan roda ekonomi dengan baik dan lancar.

Apalagi beberapa hari yang lalu Menparpostel Joop Ave menyatakan menurunnya pertumbuhan kedatangan wisman di Indonesia. Ini berarti bahwa sasaran jumlah wisman yang diproyeksikan terancam tidak tercapai. Apapun alasan yang

diberikan

oleh

pemerintah

untuk

menjelaskan

penurunan

tingkat

pertumbuhan ini, kami berpendapat bahwa dasar dari semua ini adalah pelayanan. Berita buruk mengenai suatu daerah tujuan wisata, apakah penyebabnya adalah perang, wabah penyakit, dlsb. tidak begitu besar dampaknya daripada kalau terbetik berita bahwa pelayanan wisata kita kurang bagus. Meskipun sasaran pariwisata Indonesia adalah mendapatkan devisa sebesar-besarnya dengan menarik lebih banyak wisman ke tanah air kita, itu tidak berarti kita harus mengabaikan wisatawan nusantara. Seperti telah kami katakan berkali-kali bahwa pariwisata itu adalah suatu mata rantai yang besar. Salah satu kekurangan atau kesalahan di salah satu bagian dari mata rantai ini akan menyebabkan rusaknya seluruh mata rantai. Dan wisnu adalah bagian terpenting dari industri pariwisata dilihat dari kumlahnya


dan perputaran uang yang disebabkannya. Peranan pada wisnu begitu pentingnya dalam pariwisata sehingga banyak orang tidak menyadari bahwa tanpa wisnu pariwisata akan anjlok.

Apa itu Diskriminasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb.). Sedangkan diskriminasi rasial adalah perlakuakn tidak adil terhadap kelompok masyarakat tertentu karena perbedaan warna kulit. Dalam konteks pariwisata internasional ini berarti perlakuan terhadap warga dunia dibedabedakan, yang menjurus kepada perlakuan tidak adil, terhadap wisatawanwisatawan tertentu karena perbedaan warna kulit dan ekonomi. Secara umum semua orang melakukan diskriminasi, misalnya diskriminasi dalam memilih barang. Ada barang yang kita tidak sukai, ada yang disukai dan dibeli. Kita membedakan antara warna sepatu yang disenangi dan warna sepatu yang tidak disukai. Pembedaan ini juga diterjemahkan sebagai suatu perbuatan yang diskrimatif. Tetapi bila tindakan ini ditujukan terhadap sesama manusia, maka masalahnya menjadi lebih besar. Mengapa? Karena pembedaan yang didasarkan pada persepsi bahwa berbeda itu berarti lebih buruk akan menyebabkan konflik yang akan merugikan semua pihak.

Pendidikan Pendidikan pada umumnya dan pendidikan pariwisata khususnya sangat kurang dalam menanamkan pengertian kepada pelajar / siswa bahwa diskriminasi pelayanan atau perlakuan terhadap orang itu tidak benar. Apalagi masuknya paham materialisme di negara kita ini telah menyebabkan banyaknya anggota masyarakat yang hanya mau memberikan pelayanan atau melakukan suatu tindakan kalau ada keuntungan material bagi mereka. Apakah keramahtamahan tradisional yang dimiliki bangsa kita ini sudah hilang? Menurut kami keramahtamahan khas Indonesia masih ada tetapi di beberapa tempat, khususnya beberapa daerah tujuan


wisata, hal ini sudah mulai berkurang. Banyak warga masyarakat yang tidak mengerti masalah pelayanan pariwisata.

Tuan Rumah di Negara Sendiri Janganlah heran bila kita sering mendengar bahwa kita belum menjadi tuan rumah di negara kita sendiri. Dalam hal perfileman, negara kita lebih banyak dibanjiri filem-filem asing dan bioskop-bioskop kita lebih senang memutar fielm asing daripada produksi nasional. Sedangkan dalam hal pelayanan pariwisata sering kita melihat bahwa kalau warna kulit si wisatawan adalah putih atau kuning, hampir dapat dipastikan pelayanan yang diberikan cukup baik. Mengapa? Karena yang memberikan pelayanan mdengharapkan �tip� yang besar. Kalau si tamu orang Melayu dan berbahasa Indonesia, maka pelayanan yang diberikan jauh lebih buruk. Diskriminasi pelayanan ini dapat ditemukan di hotel, restoran, pesawat udara, sampai ke taksi. Ironisnya adalah perlakuan diskriminatif yang merugikan si wisman. Contohnya adalah bila sang tamu dari negara asing tidak mengetahui bahwa di bandara Soekarno-Hatta ia dapat memperoleh taksi dengan mudah tanpa harus dibantu orang (yang kebanyakan adalah calo tak bertanggung jawab), ia pasti akan menjadi korban oknum-oknum yang berkedok ingin membantu. Yang akan terjadi adalah si tamu akan diberikan kendaraan dengan tarif yang sudah ditentukan, yang jauh lebih tinggi daripada kalau menggunakan taksi meteran.

Pernah pula terjadi perlakuan diskriminatif oleh hotel terhadap tamu wanita. Pelayanan terhadap wanita masing sering diskriminatif, apalagi kalau si wanita datang sendiri. Kami sendiri pernah melihat seorang satpam hotel memperlakukan seorang tamu wanita seperti ia ini adalah pelacur yang harus diusir. Ternyata ia adalah istri seorang tamu asing yang sedang menunggu suaminya di lobby. Hal ini terjadi di hotel berbintang 5 berlian di Jakarta. Memperlakukan wanita secara diskriminatif dalam dunia pariwisata seolah-olah ia tidak memiliki hak yang sama seperti tamu pria juga merugikan dan merusak citra pariwisata Indonesia.


Tetapi diskriminasi pelayanan terhadap wisatawan atau tamu Indonesia harus diberantas dari praktek-praktek pelayanan yang diberikan. Sudah waktunya manajemen usaha-usaha pariwisata dan usaha-usaha terkait lainnya mengenakan sanksi terhadap karyawannya yang memberikan pelayanan yang mendahulukan orang asing dan meremehkan orang kita sendiri. Sudah waktunya manajemen menerapkan pelatihan-pelatihan yang berlandaskan falsafah bahwa ketrampilanketrampilan lunak (soft skills) jauh lebih penting bagi mereka yang langsung berhubungan dengan para tamu (guest contact). Yang dimaksud dengan soft skills adalah ketrampilan-ketrampilan yang berkaitan dengan hubungan manusia. Misalnya, sopan-santun / tata-krama menghadapi tamu; fasih berbahasa asing; ketrampilan menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi tamu; ketrampilan mengambil keputusan dengan cepat demi kepuasan tamu dan banyak lagi.

Khususnya bagi para pengemudi angkutan umum yang berada di daerah tujuan wisata populer seperti Bali dan Yogyakarta perlu secara rutin diadakan penyuluhan

bagaimana

memberikan

pelayanan

kepada

siapapun

yang

menggunakan jasa mereka. Pengunjung atau penduduk setempat mempunyai hak yang sama.

Bagi manajemen hotel-hotel kami himbau untuk menerapkan peraturanperaturan secara merata. Misalnya dalam hal berbusana. Kalau di hotel tertentu para tamu tidak diperkenankan menggunakan pakaian renang di lobby atau restoran, maka kalau sang tamu melanggar (biasanya orang asing) etiket ini ia patut ditegur dan diusir dari lobby. Jangan karena sang tamu itu orang asing kita takut menegur, sedangkan kalau ia orang Indonesia ia diperlakukan secara kasar.

Tamu adalah tamu. Apapun warna kulitnya. Pengalaman kami telah membuktikan bahwa banyak wisman yang dompetnya kempis dan banyak pula wisnu yang dompetnya tebal. Tidak masuk akal kalau para pemberi pelayanan wisata menilai orang dari luarnya. Mendapatkan pelayanan yang baik adalah hak semua orang.


GELAR, GELAR, GELAR 7 Maret 1993 Kuartal pertama setiap tahun di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, merupakan 90 hari yang sangat mendebarkan bagi para hotelier (manajemen hotel), karena telah menjadi kecenderungan, jumlah pengguna akomodasi berkurang dibanding bulan-bulan lainnya. Tingkat hunian, minimal hotel-hotel berbintang, selalu rendah. Banyak faktor yang mempengaruhi. Tahun ini bulan Ramadhan menjadi salah satu faktor utama merosotnya tingkat hunia.

Banyak acara digelar untuk mengisi kamar-kamar yang tiba-tiba tak dapat terisi. Keahlian seorang manajer hotel dalam kondisi seperti ini diuji. Gampangnya sih banting harga tetapi diselubungi dengan apa yang diistilahkan �PAKET�. Potongan harga (discount) menjadi pilihan utama para hotelier. Namun batas-batas antara banting harga dan potongan harga yang wajar susah untuk ditentukan.

Misalnya, coba hubungi beberapa hotel berbintang di Yogyakarta, Century Yogya International, Sahid Garden, Sntika, Queen of the South, Ambarrukmo Palace perihal Paket Khusus yang berlaku pada bulan Ramadhan. Anda akan mendapatkan keringanan cukup lumayan. Perlu dimanfaatkan. Dalam suasana seperti ini tentu hanya seorang manajer yang benar-benar mumpuni saja yang bisa �keluar� dari masalah. Lalu bagaimana dengan gelar-gelar di belakang nama para manajer? Bisakah untuk jaminan?

MBA, MSc, PhD, LLM, MPH, Dipl, CTM, MM, LLD, CHSE, CHA, MA. Cobalah tebak arti singkatan-singkatan di atas. Ini bukan sayembara. Tetapi satu petunjuk yang dapat diberikan adalah, apabila nama seseorang ditambah singkatan seperti di atas, maka nilai tambah manusia itu tak perlu diragukan lagi. Apa iya? Meskipun umumnya anggota masyarakat tidak mengertinya, tidak apalah bagi si pemakai. Minimal harga dirinya bertambah.


MBA misalnya, di kalangan tertentu dapat diartikan Management By Action (menurut Ir. Ciputra, si raja Taman Impian Jaya Ancol), atau Married By Accident (nikah terpaksa). Celakanya ada yang mengatakan MBA itu adalah Married But Available untuk menggambarkan mereka yang sudah berkeluarga tetapi masih berjiwa avonturir dalam hal male-female relationship (hubungan pria-wanita).

MBA dan titel-titel lainnya adalah gelar-gelar akademik yang dikeluarkan oleh berbagai sistem pendidikan di mancanegara. Apakah pemakaian gelar akademik menjamin si pemakai sebagai manajer yang baik? Apakah dalam industri pariwisata diperlukan pimpinan yang juga ber-MBA dengan spesialisasi Hotel Administration. Travel Management, dan seterusnya? Apakah mereka yang bergelar akademik otomatis harus memegang tampuk pimpinan dalam suatu usaha pariwisata?

Jawaban

atas

pertanyaan-pertanyaan

tersebut

tidak

semudah

mengatakan �tidak� atau �ya�.

Kenyataannya, dalam dunia pariwisata Indonesia menunjukkan banyak yang tak bergelar akademik justru menjadi manajer yang baik dan sukses dalam mengelola usahanya. Pengalaman penulis dalam bidang pariwisata membuktikan bahwa pengalaman kerja, pelatihan berkesinambungan dan ketrampilan dalam hubungan manusia adalah unsur-unsur penting dalam menentukan suksesnya orang mengelola suatu usaha.

Yang menjadi masalah, dengan cepatnya pertumbuhan industri pariwisata melebihi jumlah tenaga manajemen terampil yang dihasilkan sistem pendidikan kita, banyak orang dikarbit menjadi manajer meskipun mereka belum siap memimpin. Akibatnya, pelayanan merosot, perusahaan merugi, banyak karyawan potensial mengundurkan diri, banyak keresahan dalam perusahaan, dan lain-lain.

Dari sisi lain, banyak lulusan perguruan tinggi yang bergelar mentereng mengharapkan, bahkan ada yang menuntut, dapat segera menduduki jabatan manajerial perhotelan atau usaha pariwisata lainnya. Padahal mereka sama sekali


tidak memiliki pengalaman memimpin atau bekerja di bidang pariwisata atau minimal dalam bidang jasa lainnya.

Produk-Jasa yang disebut hotel, misalnya, sangat berbeda dengan pabrik mobil, bahkan asuransi maupun jenis usaha lainnya. Meskipun prinsip-prinsip dasar manajemen di mana-mana sama, dalam pariwisata khususnya hotel tekanantekanan pada unsur manusianya sangat menonjol.

Akunting Hotel berstandar internasional menggunakan apa yang disebut Uniform System of Accounts. Ini tidak sama dengan akunting pada umumnya. Jadi, yang bekerja di bidang akunting suatu bank tidak otomatis dapat bekerja dengan baik di departemen akunting suatu hotel. Ia harus dilatih kembali. Memang prinsipprinsip akuntingnya tetap sama tetapi akunting hotel lebih mendetail.

Pendidikan Pariwisata Di Yogyakarta ada banyak lembaga pendidikan pariwisata yang mencetak tenaga terampil untuk rank and file (karyawan bawahan). Tetapi belum ada yang mengkhususkan diri dalam mencetak tenaga manajemen pariwisata. Di Indonesia pun belum ada pendidikan perhotelan yang dapat memberikan gelar seperti di Amerika Serikat.

Institut Pendidikan dari Asosiasi Hotel dan Motel Amerika memberikan pendidikan jarak jauh yang dapat menghasilkan gelar CHA (Certified Hotel Administrator) bagi si pelajar, atau gelar spesialisasi seperti CHSE (Certified Hotel Sales Executive). Di negeri Paman Sam penyandang gelar-gelar ini sangat dibutuhkan. Tetapi pendidikan ini adalah pendidikan manajemen yang lebih berguna apabila ditempuh oleh yang sudah bekerja di hotel. Masih di Amerika Serikat, kita mengenal Cornell University dengan Institut untuk Administrasi Hotel yang sangat terkenal. Kapan Indonesia mendirikan lembaga pendidikan seperti itu? Apakah kita sudah memiliki


tenaga pengajar yang dapat dipertanggungjawabkan? Seorang penyelia atau manajer suatu hotel belum tentu dapat menjadi pengajar/pelatih. Apalagi sebagai pengajar/pelatih yang baik. Kemampuan dan ketrampilan mengajar/melatih perlu dimiliki. Apakah mereka telah dididik dalam mengajar/melatih (Kursus Train the Trainers)? Apakah mereka up to date dalam ilmu manajemen perhotelan?

Kalau kita jujur dengan diri kita sendiri, banyak lembaga pendidikan pariwisata yang mutunya patut dipertanyakan. Kami telah menguji begitu banyaknya produk LPK-LPK yang tidak memenuhi persyaratan minimum hotelhotel berstandar internasional. Bagaimana kita dapat mengharapkan tercetaknya penyelia dan manajer yang bermutu?

Hotel-hotel dengan manajemen internasional seperti Hilton, Hyatt, Sheraton, Intercontinental, dan lain-lain, merancang bangun sistem pendidikan mereka sendiri yang menjadi bagian dari program pengembangan sumber daya manusianya. Apakah hotel-hotel di Indonesia sudah memberikan porsi yang besar terhadap Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM)? Kami rasa belum. Lihat saja anggarannya untuk PSDM. Fungsi Manajer Seorang supervisor (penyelia) atau manajer harus tahu beberapa hal. Minimal ia harus menguasai tujuh komponen manajemen. Yakni Perencanaan, Pengorganisasian, Koordinasi, Staffing, Pengarahan, Pengendalian dan Penilaian.

Banyak di antara mereka tidak mengetahui fungsi mereka dalam suatu organisasi apalagi melaksanakannya. Ia juga dituntut untuk menguasai cara-cara berkomunikasi

secara

efektif

dengan

atasannya,

bawahannya,

sesama

penyelia/manajer dan dengan konsumennya. Ia harus bisa mengelola konflik, mengelola

waktu,

memotivasi

karyawannya

menerapkan disiplin dan mengelola perubahan.

melalui

kepemimpinannya,


Dalam hal mendelegasikan pekerjaan dan wewenang ia harus efektif. Apa yang kami sebutkan di atas belum menjadi bagian dari kurikulum (tidak diberikan sebagai mata pelajaran) di akademi, LPK, maupun lembaga pendidikan lain yang memberikan gelar-gelar akademik tersebut.

Seorang manajer, tak hanya harus memiliki ketrampilan mengambil keputusan berdasarkan pengetahuannya mengenai mikro dan makro ekonomi, pemasaran, akunting, engineering saja, tetapi harus dapat menggerakkan manusia dengan ketrampilan yang telah disebut di atas.

Di Yogyakarta kami menemukan beberapa pimpinan berkebangsaan Indonesia yang sukses dan qualified dalam bidang perhotelan yang tidak bergelar pada awal pekerjaan mereka. Sebagai manajer mereka telah terbukti kepiawaiannya walau tanpa embel-embel titel di belakang namanya. Di antaranya adalah Toto Sudharto, Manajer Umum Hotel Santika Yogyakarta; Sutikno, Manajer Umum Sahid Garden; Titot Soejono, Manajer Umum Yogya Palace dan Harry Panggabean, Asisten Manajer Eksekutif Ambarrukmo Palace.

Secara nasional mereka telah memegang tampuk pimpinan berbagai hotel dan pengalaman kerja serta pendidikan berkesinambungan telah menempa mereka. Bergurulah pada mereka!


IN-FLIGHT SERVICE 8 Agustus 1993 Judul di atas sering terdengar di kalangan perusahaan penerbangan dan di kalangan pariwisata pariwisata lainnya yang terkait, seperti biro perjalanan wisata dan hotel. Artinya, Pelayanan di Pesawat Udara. Ini berbeda dengan pelayanan yang diberikan di darat oleh perusahaan penerbangan seperti pendaftaran penumpang (check-in), urusan kargo, penjualan tiket, dan sebagainya. Dalam menilai mutu pelayanan suatu perusahaan penerbangan , pelayanan di darat sama pentingnya dengan pelayanan di udara.

Memang bagi pengusaha, pelayanan di darat bisa dianggap lebih penting. Namun secara global, pelayanan di udara cukup menentukan apakah penumpang akan menggunakan lagi perusahaan yang sama.

Di Indonesia ada Garuda, Merpati, Sempati, Bouraq, Mandala dan Pelita yang mengangkut kargo maupun penumpang. Ada perusahaan penerbangan lainnya yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan swasta lainnya seperti Gatari, Indonesia Air Transport, dan lain-lain, tetapi enam nama yang kami sebut di atas lebih dikenal masyarakat karena mereka mengadakan penerbangan umum yang rutin. Sebagai pembawa bendera Indonesia ke mancanegara, pelayanan Garuda lebih sering disorot masyarakat Indonesia dan luar negeri ketimbang yang lainnya. Meskipun belakangan ini Sempati juga mengadakan penerbangan internasional yang masih bersifat regional (sekitar negara-negara tetangga).

Untuk bertahun-tahun Garuda Indonesia Airways adalah satu-satunya perusahaan penerbangan nasional yang diizinkan pemerintah terbang ke luar negeri. Tidak adanya saingan bagi Garuda selama ini membuat pelayanan Garuda kurang memenuhi syarat penerbangan internasional. Mengapa? Karena dengan monopoli Garuda sudah pasti menguasai pasaran. Belum lama ini hanya Garuda yang diizinkan menggunakan pesawat berbadan lebar dan bermesin jet. Sekarang dengan bertambahnya saingan dari perusahaan penerbangan nasional lainnya, mau


tidak mau Garuda mulai berbenah diri dalam hal pelayanandarat dan udaranya. Tetapi bagaimana bila dibandingkan dengan Singapore Airlines, yang untuk bertahun-tahunmendapatkan penghargaan internasional karena mutu pelayanan yang tinggi?

Sebelum kami membahas pelayanan di udara, kita juga perlu mengingat bahwa kondisi pesawatnya sendiri ikut menentukan apakah konsumen akan menggunakan suatu perusahaan penerbangan atau tidak. Masalah kebersihan di dalam pesawat sangat menentukan pula. Kami pernah mengalami penerbangan dengan pesawat DC-9 Garuda dari Yogyakarta ke Jakarta. Di dalam pesawat ini kami bersama beberapa wisman Perancis menemukan kecoa yang ikut berjalan-jalan menemani kita. Beberapa penumpang pun mengalami hujan di dalam pesawat karena AC-nya bocor persis di atas kepala. Apakah ini pelayanan yang baik?

Pramugari-Pramugara Ada banyak anggapan bahwa tugas pramugari atau pramugara tidak jauh berbeda dengan tugas pembantu rumah tangga. Hanya bedanya, seragamnya lebih keren

dan

mungkin

gajinya

lebih

tinggi.

Perilaku

dari

banyak

pramugari/pramugara Indonesia memang memberikan kesan demikian. Makanya, pelayanan yang mereka berikan harus memiliki nilai tambah. Tidaklah cukup untuk memberikan pelayanan yang diharapkan penumpang. Pelayanan yang sangat baik adalah pelayanan yang melebihi harapan penumpang.

Salah satu contoh pelayanan yang diharapkan adalah menyajikan makanan dan minuman dengan senyum yang bukan dibuat-buat. Sering kita lihat bahwa kadang-kadang tidak ada senyum dan kalau ada kelihatan sekali bahwa sang pramugari/a memaksakan senyumnya, mungkin karena kecapaian. Pelayanan dengan senyum pun sudah sudah menjadi keharusan. Tetapi apabila sang paramugari/a selain senyum juga sekali-kali melayani obrolan sang penumpang dengan ramah dan memberikan apa yang diminta, walaupun tidak biasanya disediakan, hal ini akan sangat dihargai penumpang.


Masalah bahasa, khususnya bagi yang melayani rute internasional, sering menjadi kendala. Penguasaan bahasa Inggris sangat kurang. Dalam memberikan informasi masih banyak pramugari/a yang meskipun sudah membaca teks masih sering salah. Kita tidak mengharapkan pengucapan kalimat bahasa Inggris harus seperti orang Inggris atau Amerika, tetapi yang penting dapat dimengerti. Ada yang mengucapkan secara kilat, seolah-olah memakan kata-katanya, sehingga kita sama sekali tidak mengerti. Belum lagi sistem suara yang ada. Khususnya dalam penerbangan domestik ”sound system”nya sering rusak. Pernah kami mengalami penerbangan Jakarta-Ujung Pandang di mana si pramugara harus menggunakan ”bullhorn” (mikrofon sekaligus speaker yang dipegang). Penumpang yang duduk di belakang sama sekali tidak dapat mendengar.

Pelayanan terhadap anak-anak juga kurang. Kita bisa banyak belajar dari perusahaan penerbangan asing di mana mereka selalu menyediakan buku-buku, mainan-mainan atau cenderamata khas untuk anak-anak. Dalam penerbangan domestik atau internasional, harus diupayakan pelayanan khusus untuk anak-anak. Misalnya, harus ada susu berbagai jenis, bubuk dan cairan, dari merek-merek umum bagi setiap penerbangan yang mengangkut bayi atau balita. Jangan hanya karena kita mengira sang ibu akan membawa susu pilihannya sendiri, kemudian perusahaan penerbangannya menganggap tidak perlu menyediakannya. Kami pernah melihat pelayanan seperti ini (penyediaan susu) dalam salah satu penerbangan internasional milik negara tetangga. Pramugarinya malah tahu caranya menangani bayi yang sedang rewel atau anak yang superaktif (berlari-lari di dalam pesawat).

Budaya Perusahaan Yang bekerja di perusahaan besar mungkin telah mendengar istilah ”budaya perusahaan”. Banyak perusahaan sekarang mencoba mendidik pengelola dan karyawannya untuk bekerja sesuai etika dan etos kerja yang ditentukan perusahaan. Dalam usaha jasa seperti pariwisata, tidaklah cukup untuk hanya menanamkan budaya perusahaan melalui pidato, kampanye berslogan, seminar-seminar.


Perusahaan harus dapat menyediakan perangkat keras dan sistem manajemen yang mendukung terwujudnya budaya perusahaan yang dicanangkan. Semua pekerja harus menghayati budaya ini yang dikongkritkan dalam perilaku terhadap konsumen, pemasok, sesama pekerja.

Di dalam perusahaan penerbangan budaya perusahaan harusnya adalah budaya melayani. Setiap anggota perusahaan harus mengutamakan kepuasan konsumen. Kalau hanya segelintir karyawan yang mengerti apa itu �pelayanan�, atau kalau sistem manajemennya tidak menghargai pekerja yang mengunggulkan konsumen, maka penilaian terhadap perusahaan ini akan tetap negatif.

Contoh adanya seorang pemimpin perusahaan penerbangan memberikan contoh yang baik pernah kami saksikan. Beberapa tahun silam, Bapak Lumeta, Dirut Garuda, pernah mendahulukan pelayanan terhadap penumpang dan menolak didahulukan oleh anak buahnya di Bandara Soekarno-Hatta. Meskipun beliau tidak dikenal oleh para penumpang, perbuatan beliau adalah contoh pelayanan yang mencerminkan falsafah keunggulan konsumen. Pertanyaan kami, kapan falsafah ini menjadi budaya perusahaan penerbangan Garuda, atau Merpati, atau Sempati, dan lain-lainnya? Kita selalu mendengar alasan-alasan yang diberikan untuk menjawab keluhan pengguna jasa penerbangan. Masalahnya, apakah ada tindakan konkret untuk mengubah kebiasaan kita yang buruk, yaitu ingin dilayani tetapi tidak ingin melayani.

80 persen dari para wisman dan wisnus di dunia ini menggunakan jasa penerbangan untuk mengunjungi daerah tujuan wisata utama di dunia. Pengeluaran para wisatawan pun paling banyak dikeluarkan untuk jasa penerbangan. Sudah selayaknya kita memberikan mereka yang terbaik. Memang, kalau kita bicara inflight service masih sering pembicaraan kita berkisar pada makanan atau minuman yang enak, pramugari yang cantik, hiburan film dan musik yang hebat. Semua itu penting tetapi janganlah lupa bahwa sentuhan manusialah (the human touch) yang menentukan. Bukan perangkat kerasnya saja dan bukan hanya penampilan.


Teknologi penerbangan menjadi semakin canggih. Tapi pelayanan di dalam pesawat tergantung pada manusia yang menggunakan teknologi ini.


KARTU KREDIT DAN PARIWISATA 4 Juli 1993 Kita telah memasuki era “uang plastik� dalam mana transaksi bisnis dianggap lebih praktis dan lebih bergengsi apabila kita menggunakan kartu kredit sebagai alat pembayaran daripada uang kertas dan/atau uang logam. Di negara adidaya seperti Amerika Serikat bila kita membayar dengan uang kertas, apalagi untuk jasa atau produk yang bernilai besar, maka kita bisa dicurigai. Mungkin uang yang kita peroleh berasal dari perampokan atau palsu.

Di

Indonesia

praktek

menggunakan

kartu

kredit

belum

begitu

memasyarakat. Baru beberapa warga masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke atas yang memiliki kartu kredit dan baru beberapa usaha yang menerima pembayaran dengan kartu kredit. Itu pun di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Yang kami maksud dengan kartu kredit disini adalah kartu yang dikeluarkan oleh organisasi keuangan internasional bukan yang bersifat nasional. Yang paling terkemuka diantaranya adalah American Express (Amex), Diners Club International (Diners), Visa Card dan MasterCard. Memang kalau kita sebutkan semuanya setiap negara maju memiliki sendiri kartu-kartu semacam ini tetapi belum memiliki pengabsahan secara global. Misalnya ada EuroCard, BCA Card, JCB dari Jepang dan banyak lagi.

Lembaga-lembaga keuangan yang menerbitkan kartu kredit bertindak sebagai perantara / pengumpul uang dari para pembeli bagi para usahawan yang memiliki toko, hotel, restoran, dlsb. Untuk jasa ini sang pemilik usaha dikenakan biaya komisi dari 2 sampai dengan 5% dari jumlah penghasilan yang diperoleh dengan kartu ybs. Keuntungannya bagi si pemilik usaha adalah lebih banyak pembeli, yang enggan membawa uang kontan, akan berbelanja karena dengan hanya 1 kartu ia dapat membeli barang / jasa yang diinginkannya. Jadi, dompet mereka tidak tebal dengan begitu banyak uang kertas yang sangat merepotkan.


Keuntungan bagi si pembeli adalah ia membayar dengan uang kertas atau dengan memindahkan uangnya di Bank kepada penerbit kartu kredit ini paling cepat sebulan kemudian. Tetapi untuk memiliki kartu kredit anggota masyarakat ybs harus memenuhi beberapa persyaratan seperti penghasilan minimum setahun harus Rp. 15 juta, memiliki rekening Bank, dlsb. Setiap penerbit kartu kredit menentukan persyaratan-persyaratan yang kurang lebih sama.

Kartu dan Pariwisata Bukan maksud kami memberikan penjelasan terperinci mengenai kartu kredit tetapi bagaimana kartu ini sangat berperan dalam bidang pariwisata.

Seperti kita ketahui, manusia yang sering bepergian seperti pengusaha dan wisatawan memerlukan uang untuk membayar setiap jasa atau barang yang ia beli. Kalau ia melintasi perbatasan nasional memasuki negara lain dan melakukan transaksi bisnis maka membayar dengan uang negaranya sendiri belum tentu diterima. Jadi harus ada alat pembayaran yang diakui secara internasional. Maka terciptalah uang plastik atau kartu kredit. Kartu ini disebut uang plastik karena dibuat dari bahan plastik.

Pariwisata menjadi usaha yang banyak sekali menggunakan kartu kredit karena para pelancong atau usahawan yang memasuki suatu daerah perlu akomodasi, makan dan minum serta hiburan. Para pengelola hotel, restoran, toko cenderamata, perusahaan penerbangan, biro perjalanan wisata, klab malam, diskotek, dan usaha-usaha lain yang sering dikunjungi para pembeli dari kalangan ekonomi menengah ke atas mengadakan kontrak dengan penerbit kartu ini supaya mereka dapat menerima kartu kredit sebagai alat pembayaran. Justru karena keadaan inilah banyak penerbit kartu kredit seperti Amex dan Diners memainkan peranan aktif dalam memajukan pariwisata. Kedua penerbit kartu ini memiliki biro perjalanan wisata di setiap negara justru untuk memudahkan para �traveller� (pengunjung) mendapatkan pelayanan dan karenanya mengeluarkan dana.


Dalam Praktek Kenyataannya, banyak pemilik usaha yang menerima pembayaran dengan kartu kredit malah menipu para konsumen dengan menaikkan harga jasa atau barangnya bila kita membayar dengan kartu ini. Praktek meningkatkan harga sebesar 5% atau lebih bila pembayaran dilakukan dengan kartu kredit sebetulnya melanggar perjanjian antara usaha ybs. dengan penerbit kartu. Tetapi praktek ini tetap berjalan yang pada akhirnya merugikan semua pihak, termasuk si penjual. Bukan hanya di Indonesia ini terjadi tetapi juga di luar negeri.

Di dunia perhotelan ada prosedur yang perlu diketahui oleh semua orang bila ingin membayar dengan kartu kredit. Kami akan menjelaskannya disini karena banyak pengelola hotel tidak mengetahui cara terbaik untuk melayani para pengguna kartu dan banyak pemilik kartu tidak mengerti mengapa hotel harus menempuh prosedur-prosedur tertentu.

Pertama, pada waktu tamu hotel mendaftarkan diri, resepsionis harus menanyakan bagaimana pembayaran akan dilakukan. Apabila sang tamu mengatakan dengan kartu kredit, maka si resepsionis akan meminta tamu itu untuk menyerahkan kartu kreditnya untuk dicetak diatas form khusus tanpa harus menandatanganinya. Tujuannya adalah untuk hotel memeriksa apakah kartu kredit itu masih berlaku dan mendapatkan nomor otorisasi dari kantor pusat atau cabang penerbit kartu. Tujuan lain adalah untuk mencegah tamunya kabur tanpa membayar. Karena, bila ia kabur, hotel dapat memperoleh ganti rugi dari penerbit kartu bila form yang telah ada cetakan kartu kredit ybs diserahkan dan didukung oleh dokumen-dokumen lain yang membuktikan bahwa ia memang menginap di hotel tersebut. Contoh dokumen pendukung adalah bill (bon) restoran dan master bill (bon utama) yang berada di kasir kantor depan (front office cashier) yang mencatat biaya berapa hari si tamu tinggal (penggunaan kamar) dan jasa-jasa apa saja yang telah ia nikmati seperti makan, minum, telpon, dll.


Kedua, pada waktu check-out (meninggalkan hotel) baru si tamu menuju ke kasir kantor depan untuk melihat seberapa besar biaya menginap yang harus ia bayar. Jumlah ini kemudian dimasukkan ke dalam form kartu kredit. Kemudian si tamu menandatangani form ini dan menerima satu salinan form ini.

Prosedur tersebut di atas sangat penting untuk memberikan kenyamanan kepada para konsumen dan sekaligus menjadi alat pembayaran yang aman bagi si pemakai maupun si penerima kartu. Kalau hilang, misalnya, bila dilaporkan dengan segera kepada kantor pusat / cabang dari penerbit kartu kita dapat memperoleh gantinya dengan segera. Peringatan Perlu kami peringatkan bahwa banyak biro perjalanan wisata atau yang kita lazimnya sebut travel biro atau tour operator yang menaikkan harga tiket penerbangan bila pembayaran dilakukan dengan kartu kredit. Praktek ini sangat menyebar luas dan sangat kami sayangkan karena merugikan konsumen. Alasan yang diberikan adalah bahwa komisi untuk BPW sangat kecil sehingga tiket penerbangan dengan harga khusus tidak memberikan keuntungan bagi BPW. Yang mengecewakan kami adalah meskipun diketahui oleh penerbit kartu, praktek ini tidak dapat diberantas. Salah satu kesulitan dalam mengurangi praktek ini adalah permintaan bukti tertulis. Bukti tertulis sulit diperoleh kecuali kalau kita membeli tiket dengan harga normal yang dipublikasikan oleh perusahaan penerbangan. Tiket dengan harga khusus tidak dapat dibuktikan secara tertulis karena permainan komisi antara perusahaan penerbangan dengan BPW. Artikel ini tidak cukup untuk membongkar praktek yang merugikan konsumen ini namun tujuan kami menulis ini adalah supaya para konsumen waspada dalam menggunakan kartu kredit dalam membeli jasa pariwisata.

Kartu kredit pun sekarang telah dipalsukan. Kalau kita kehilangan kartu kita dan tidak dengan segera melaporkannya, si penemu kartu atau si pencuri kartu dapat menggunakannya dengan memalsukan tandatangan si pemilik yang tertera di


bagian belakang kartu. Akibatnya si pemilik tetap harus membayar untuk setiap penggunaan kartu tersebut sebelum dilaporkan hilang.


KERJASAMA MANAJEMEN 18 Juli 1993 Pengalaman

kami

dalam

membantu

memprofesionalkan

manajemen

pariwisata, khususnya manajemen hotel dan biro perjalanan wisata, menunjukkan suatu trend atau kecenderungan bawah pemilik usaha akomodasi atau biro perjalanan yang bermodal besar dapat dengan mudah mengerti arahan atau rekomendasi sang konsultan dan dalam banyak hal melaksanakan rekomendasi manajemen yang diberikan daripada mereka yang bermodal kecil. Kami tidak bermaksud untuk menentukan seberapa besar modal yang harus dimiliki untuk diklasifikasikan sebagai pengusaha bermodal besar. Tetapi ada semacam pengertian di kalangan pariwisata siapa yang kita anggap besar, seperti pemilik hotel Hilton, Sheraton, Intercontinental, Mandarin, atau pemilik BPW seperti Anta, Setia, Samiling, Vayatour, Pacto, dlsb.

Perkiraan kami mengapa pengusaha besar pariwisata lebih dapat mengerti dan melaksanakan manajemen profesional adalah karena mereka dapat membeli tenaga manajemen profesional maupun jasa tenaga konsultan yang betul-betul berprestasi. Bagi pemilik usaha bermodal kecil (hotel berbintang 3 ke bawah atau BPW yang tidak dapat menciptakan dan memasarkan sendiri produknya ke luar negeri) memperoleh tenaga manajemen profesional sangatlah terbatas dan banyak diantara mereka yang masih sering turut campur dalam manajemen sehari-hari meskipun sudah ada manajer yang kompeten. Mereka seolah tidak percaya dengan keputusan mereka sendiri mengontrak konsultan atau tenaga pengelola profesional. Ini ada kaitannya dengan perasaan minder diantara mereka karena mereka sendiri tidak memiliki pendidikan dan/atau pengetahuan manajemen. Bagi pengusaha kecil ini keadaannya adalah bagaikan buah simalakama. Di satu pihak ada tanggung jawab untuk membayar kembali kredit yang diperoleh dari lembaga-lembaga keuangan (bank maupun non-bank), di lain pihak situasi bisnis begitu kompetitif sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mengontrak yang trampil dalam manajemen. Namun mengontrak tenaga profesional tidaklah murah. Juga sangat sulit untuk menentukan siapa yang kompeten dan siapa yang tidak, kecuali kalau mereka


memiliki jaringan yang luas dalam industri pariwisata melalui mana kompetensi si calon manajer dan konsultan dapat diperiksa.

Campur Tangan Pemilik Sering kita dengar keluhan dari para pengelola dan konsultan bahwa pemilik terlalu sering campur tangan dalam manajemen. Satu hal yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa pemilik adalah pemilik. Ia punya hak untuk menentukan. Keberhasilan atau kegagalan usahanya adalah tanggung jawabnya sendiri. Akan tetapi yang harus kita temukan jalan tengahnya adalah seberapa jauh pemilik dapat campur tangan tanpa menyisihkan si manajer/konsultan dan seberapa jauh si manajer/konsultan dapat mentolerir campur tangan si pemilik. Harus terjadi suatu hubungan simbiotik, saling menguntungkan antara kedua pihak. Kalau si pemilik ingin mendominasi manajemen, tidak ada gunanya mengontrak tenaga profesional. Si pemilik lebih baik mengelola sendiri. Kalau si pengelola ingin mendominasi manajemen

tanpa

berkonsultasi

dengan

pemilik,

tindakan

manajemen

si

manajer/konsultan dapat saja merugikan kepentingan si pemilik. Jadi, harus ada kerjasama yang baik antar mereka. Saling menghormati dan mengakui peranan masing-masing adalah prinsip kerja yang akan menghasilkan hal-hal positif bagi keduanya.

Karenanya, kami selalu menganjurkan supaya perjanjian yang dibuat antara konsultan atau manajer dengan pemilik harus sangat terperinci perihal siapa yang bertanggung jawab untuk apa. Kemudian kedua belah pihak harus secara konsekuen melaksanakan perjanjian tersebut. Banyak perjanjian atau kontrak yang telah kami pelajari sangat umum (tidak terperinci), menggunakan bahasa hukum yang tidak jelas yang sebagian besar berat sebelah menguntungkan si pemilik. Misalnya �musyawarah� menurut kami adalah salah satu kata yang sering disalahtafsirkan oleh kedua belah pihak apabila terjadi perbedaan pendapat.


Masalah Keuangan Pengelolaan dana operasional dan masalah keuangan lainnya adalah salah satu isyu yang sangat peka dalam kerjasama manajemen. Kami sering melihat pemilik hotel yang mengambil uang tunai dari kasir untuk keperluan pribadi (tidak dianggarkan)

tanpa

menghiraukan

kaedah-kaedah

manajemen

keuangan.

Akibatnya, tamu sering dihadapi dengan tidak adanya makanan, minuman atau produk lain di hotel karena tidak ada uang untuk membelinya. Mengapa? Karena si pemilik telah mengambil uang tanpa memberitahukan kepada si manajer. Kami sebagai konsultan sering memberitahukan kepada si pemilik bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Tetapi sikap yang sering kami temui adalah bahwa �uang itu adalah uang mereka.� Kami jadi bertanya: Buat apa mengontrak konsultan dan manajer?

Masalah Personalia Satu aspek dari kerjasama manajemen yang juga perlu dibahas secara terperinci berkaitan dengan personalia. Pemilik biasanya menempatkan �orangorangnya� di dalam struktur organisasi dengan tujuan mengawasi manajemen. Dengan sendirinya masalah ini tidak begitu buruk apabila orangnya si pemilik ini memiliki ketrampilan khusus untuk menilai dan melaporkan kepada pemilik hal-hal yang menjadi kompetensinya. Misalnya, untuk mengawasi bagian keuangan diperlukan orang yang memiliki ketrampilan manajemen keuangan. Minimal, orangnya pemilik menduduki jabatan manajemen. Tetapi ada pemilik hotel yang menempatkan

karyawan

bawahan

yang

tidak

berkompeten

dalam

suatu

departemen untuk melaporkan kepada pemilik hal-hal yang tidak dia kuasai. Celakanya, si pemilik lebih mempercayai orang ini daripada manajernya. Akibatnya, kecurigaan dan permusuhan timbul dalam depaertemen ini menciptakan suasana kerja yang sama sekali tidak sehat. Dalam rangka alih ketrampilan yang dapat disepakati oleh pihak pemilik dan pengelola adalah penempatan orangnya pemilik sebagai asisten kepala bagian untuk belajar langsung dari kepala bagiannya yang lebih berpengalaman dan profesional. Sistem magang (apprentice) dapat dilaksanakan dengan baik kalau Departemen Pemgembangan Sumber Daya Manusia menciptakan suatu program yang diikuti


secara konsekuen oleh pengelola dan pemilik. Selama ini yang terjadi adalah pemilik tidak mempercayai manajemennya sendiri dan melakukan kegiatan mata-mata terhadap si manajer. Ketidakcocokan antar pribadi akan menciptakan keadaan yang lebih runyam karena sudah pasti orangnya pemilik ini akan dengan segala cara meyakinkan pemilik bahwa si manajer tidak baik dan selalu melakukan kegiatan menentang pemilik.

Kesadaran Pemilik Kesimpulan yang dapat kami tarik dari pengalaman kami di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali adalah bahwa banyak pengusaha kecil yang ingin berkecimpung dalam bidang pariwisata harus mengakui kelemahannya sendiri dalam bidang manajemen dan pariwisata dan kemudian berani mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya. Meminta bantuan pengusaha lain yang lebih sukses dan juga bantuan manajemen dari pemberi kredit (bank) adalah salah satu cara yang paling praktis. Menghubungi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) atau Asosiasi BPW Indonesia (ASITA) dan Asosiasi sejenis lainnya untuk memberikan bantuan konsultansi juga harus dipertimbangkan.

Sikap pemilik bahwa uang perusahaan adalah uang pribadi mereka juga harus dihilangkan. Keuangan suatu perusahaan harus dikendalikan layaknya suatu organisasi komersiel dengan sistem anggaran, pembukuan, dlsb., tidak sebagai suatu rumah tangga atau warung dimana kepentingan pribadi pemilik lebih menonjol daripada kepentingan karyawan, masyarakat sekitarnya, pihak pemberi kredit, pemasok, dan unsur-unsur lain yang berhubungan dengan perusahaan itu. Meskipun jumlah wisatawan secara nasional meningkat, keadaan bisnis pariwisata di daerah DIY kurang menguntungkan. Daripada main banting harga untuk merebut kue yang makin kecil, lebih baik kita membenahi manajemennya dengan bantuan yang berkompeten.


KODE ETIK PARIWISATA 5 September 1993 Apakah diperlukan Kode Etik Pariwisata? Kode Etik yang dimaksud adalah pernyataan tertulis bahwa dalam hubungan bisnis antar perusahaan pariwisata ada beberapa batasan yang harus diingat supaya hubungan baik antar perusahaan dan atara perusahaan dan konsumen selalu dipertahankan. Kami lebih cenderung dibuatkannya undang-undang untuk melindungi konsumen maupun pihak-pihak lain yang berurusan dengan pariwisata. Karena Kode Etik tidak dapat menghukum pihak yang dengan sengaja merugikan pihak lain, maka diperlukan undang-undang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam artikel ini kami akan memberikan beberapa contoh hubungan bisnis antara hotel dan biro perjalanan wisata yang sering mengarah ke praktek bisnis yang kurang sehat. Kami juga akan memberikan contoh hubungan antara perusahaan penerbangan dengan hotel dan biro perjalanan wisata. Hubungan segitiga yang baik akan menghasilkan banyak bisnis bagi ketiga pelaku pariwisata ini.

Harga Kontrak Setiap hotel berbintang biasanya memiliki daftar harga kamar yang resmi diterbitkan (published rates). Daftar harga kamar ini selain suatu harga yang diharapkan dapat dibeli oleh konsumen, juga mencerminkan klasifikasi bintang hotel. Memang banyak pertimbangan di belakang keputusan manajemen untuk menentukan suatu harga. Misalnya biaya perawatan, harga kamar-kamar sejenis di hotel-hotel saingan, biaya pembangunan kamar ybs, kemampuan pasar membeli, jenis kamar (apakah standar atau luks) dan kemewahan perlengkapan dan dekorasi kamar. Pertimbangan kapan modalnya balik juga penting. Tetapi dalam praktek harga yang diterbitkan sering tidak berguna. Yang terjadi biasanya adalah hotel akan memberikan potongan harga berdasarkan pertimbangan bahwa lebih banyak yang akan membeli apalagi kalau keadaan pasar sedang lesu. Seberapa besar


potongan diberikan tergantung dari keadaan pasar dan tergantung pada saat (hari atau bulan) hotel mengalami penurunan dalam tingkat penghuniannya.

Tetapi potongan-potongan yang diberikan juga dapat diklasifikasikan berdasarkan siapa yang diberikan potongan. Harga khusus atau potongan khusus yang diberikan langsung kepada khalayak berlaku sama rata. Misalnya, potongan (discount) akhir pekan sebesar 40% yang berlaku hanya pada hari sabtu dan minggu.

Harga kamar yang diberikan kepada biro perjalanan wisata tidak berlaku sama rata. Ada biro perjalanan yang potongan harganya lebih besar daripada yang lain. Mengapa? Besar atau kecilnya potongan dari harga published ditentukan oleh seberapa banyaknya tamu yang dikirim oleh biro perjalanan ybs. Makin banyak tamunya, makin besar potongannya. Nah, harga yang sudah dipotong ini biasanya disebut harga kontrak atau contract rate. Mengapa dikontrak? Karena selama periode tertentu, yang dicantumkan di dalam kontrak, harga khusus ini dapat dipergunakan. Kemudian, biro perjalanan dengan harga kontrak ini, menaikkannya, untuk dijual kepada konsumen. Yang sudah pasti, konsumen dapat membeli kamar sesuatu hotel dengan harga di bawah harga published.

Kerahasiaan Salah satu aspek dari harga kontrak adalah bahwa konsumen tidak mengetahui harga khusus yang diberikan hotel kepada biro perjalanan. Jadi ada unsur rahasia (confidentiality). Ini sangat diperlukan dalam bisnis karena besarnya keuntungan suatu BPW atau hotel tergantung dari bagaimana ia dapat menjual produknya dengan harga yang serendah-rendahnya bagi konsumen tetapi dengan keuntungan

yang

sebesar-besarnya.

Bagaimana

ia

dapat

menjual

dengan

keuntungan besar apabila konsumen mengetahui harga kontrak yang diberikan kepada BPW? Nah, bila hotel bergantung pada BPW untuk mengisi hotelnya, khususnya pada waktu bisnisnya sepi, tidaklah etis bagi hotel tersebut bila ia memberikan potongan yang lebih besar langsung kepada konsumen. Apa gunanya memberikan potongan yang lebih besar kepada konsumen sedangkan kepada BPW


potongan yang diberikan lebih kecil. Sudah pasti konsumen akan membeli langsung dari hotel yang berakibat bisnis BPW menurun.

Ada kecenderungan di antara manajemen hotel untuk merayu-rayu BPW pada saat lesu, tetapi pada saat ramai BPW dicampakkan. Praktek-praktek menolak pembukuan tamu dari BPW pada saat ramai dengan dalih hotel sudah fully booked sering terjadi. Mengapa? Karena pada saat ramai hotel dapat menjual langsung kepada konsumen dengan harga tinggi (published rate) karena konsumen tidak mempunyai pilihan lain. Sementara harga kontrak untuk BPW lebih rendah.

Salah satu cara untuk mencegah perselisihan dan perasaan tidak enak antara hotel dan BPW adalah dengan mencantumkan di dalam kontrak bahwa pada saatsaat ramai (harus spesifik tanggal dan bulannya) harga kontraknya dinaikkan dan pembayaran deposit adalah suatu keharusan untuk konfirmasi kamar. Dengan demikian, penghasilan hotel tetap dapat dimaksimalkan tanpa membebankan konsumen maupun BPW.

Kami menganggap bahwa memberikan harga khusus atau discount adalah salah satu strategi pemasaran akan tetapi bila potongan yang diberikan sedemikian besarnya sehingga harga jualnya menjadi lebih rendah daripada harga published hotel yang lebih rendah kategori bintangnya, maka sangsi harus diberikan. Namun tidak adanya undang-undang dalam hal ini menyebabkan Perhimpunan Hotel dan Restoran di daerah ybs harus berani menindak anggotanya yang merusak kesepakatan bersama. PHRI DIY sudah tepat dengan memberikan surat teguran kepada hotel berbintang yang melanggar. Bila hotel ybs mengulangnya, kami mengusulkan nama hotel dan pimpinan manajemennya disebut di media masa. Kerjasama Segitiga Lain lagi ceritanya bila kita menghubungi perusahaan penerbangan. Biro perjalanan dalam hal ini juga diberikan harga khusus oleh perusahaan penerbangan supaya ia dapat menjual banyak tiket pesawat terbang kepada konsumen. Tetapi


perusahaan penerbangan juga dapat memberikan banyak tamu kepada hotel yang bersedia bekerjasama dengan memberikan harga kontrak kamar kepadanya. Lucunya, perusahaan penerbangan tidak memberikan harga khusus kepada hotel. Alasannya adalah bahwa hotel tidak menjual tiket pesawat.

Di luar negeri, perusahaan penerbangan yang melayani rute-rute yang menuju Indonesia otomatis mempromosikan Indonesia supaya penerbangan mereka ke Bumi Nusantara terisi penumpang. Dan salah satu cara mempromosikan daerah tujuan wisata kita adalah dengan ikut serta dalam pembuatan paket dengan perusahaan penerbangan. Karena itu, hotel maupun BPW yang ingin kebagian bisnis dari perusahaan penerbangan harus aktif merayu mereka dan merekayasa paket-paket wisata yang melibatkan semua unsur pariwisata. Dan supaya harga paket tidak menjadi terlalu mahal bagi pasar komponen harga kamar hotel dan komponen harga tur harus demikian rendahnya sehingga lebih banyak wisman maupun wisnu yang tertarik untuk membelinya.

Salah satu cara lain untuk hotel memanfaatkan jasa perusahaan penerbangan adalah dengan menawarkan para penumpang suatu harga khusus atau potongan yang bagus bila mereka masuk hotel dengan membawa tiket pesawat dari perusahaan penerbangan ybs.

Tetapi perusahaan penerbangan banyak melakukan praktek-praktek yang tak terpuji dalam hal konfirmasi tempat bagi penumpang. Sering terjadi bahwa penumpang yang tempatnya sudah dikonfirmasikan oleh biro perjalanan yang menjadi agen perusahaan penerbangan ybs tidak mendapatkan tempat setibanya di bandara dengan alasan namanya tidak terdaftar. Praktek yang merugikan konsumen ini juga perlu ada sangsinya. Hal ini bisa terjadi karena banyak oknum petugas perusahaan penerbangan di bandara bermain mata dengan calon penumpang lain yang berani mengeluarkan uang tambahan padahal mereka ini belum dikonfirmasi tiketnya. Memang banyak juga biro perjalanan yang tidak berhak yang menipu konsumen dengan mengkonfirmasikan tiket pesawat tanpa ada sangsi ganti rugi.


Apapun kejadiannya, kami memandang perlu diciptakannya Kode Etik dan Undang-Undang yang mengatur bisnis pariwisata.


KOMPUTERISASI KARYAWAN (PELAYANAN) 1 Agustus 1993 Komputer adalah momok bagi banyak pekerja. Meskipun secara umum kita yang bekerja dalam abad ke-20 ini mengakui bahwa tanpa komputer banyak hal tidak bisa dikerjakan dengan lebih cepat, kita juga harus sadar bahwa banyak orang tidak suka dengan komputer dan malahan takut terhadapnya.

Takut komputer akan menggusur mereka; takut bahwa mereka tidak mampu belajar

dan

menggunakan

perangkat

ini;

takut

bahwa

komputer

dapat

mengakibatkan penyakit-penyakit baru. Pokoknya, kehadiran komputer belum dapat diterima secara terbuka dan luas oleh setiap kalangan. Dalam industri jasa seperti pariwisata yang mengandalkan manusia untuk melayani sesama manusia, keberadaan komputer pun menjadi masalah. Dapatkah pelayanan di komputerisasi? Jawabannya adalah tidak. Pelayanan tidak dapat dikomputerisasi. Tetapi mutu pelayanan dapat ditingkatkan dengan menggunakan komputer. Apabila komputer menggantikan manusia dalam memberikan pelayanan, kami yakin bahwa manusia akan protes.

Bayangkan saja kalau kita ke Bank untuk menyetor/mengambil uang atau mau mendiskusikan suatu pinjaman dan pelayanan diberikan oleh robot (komputer yang dapat berbicara) yang tidak bisa berbasa-basi, bersenyum, berpakaian rapih. Atau kita makan di restoran dan dilayani oleh robot, atau harus berbicara dengan komputer untuk memesan makanan/minuman yang disajikan juga oleh komputer. Tidak ada sentuhan kehangatan manusia.

Dalam hotel misalnya banyak pekerjaan tidak dapat dilakukan oleh komputer karena ketelitian manusia dan selera manusia dalam menentukan sesuatu adalah ciri khas industri pariwisata. Komputer tidak dapat membersihkan kamar secara menyeluruh dan memberikan sentuhan khas kepada kamar tersebut sesuai permintaan/kebutuhan tamu dan standar yang ditentukan oleh manajemen. Perpaduan antar berbagai unsur, khususnya unsur pemilik, pengelola dan


konsumen, sangat menentukan apakah suatu pelayanan diterima dengan baik oleh konsumen. Komputer tidak dapat mengantisipasi keunikan setiap orang yang datang untuk dilayani.

GIGO Dalam penggunaan komputer ada istilah GIGO atau �Garbage in, Garbage out�. Makna dari istilah ini adalah karena komputer hanya dapat berfungsi setelah diprogram oleh manusia, maka bila si manusia ini memasukkan program sampah, apa yang keluar dari komputer itu juga sampah. Bila diuraikan lebih lanjut hal ini menandakan bahwa manusialah yang mengendalikan komputer. Manusialah yang menentukan hasil kerja komputer. Jadi, bila si manusia ini tidak trampil atau pandai atau berniat jahat, komputer ini menjadi suatu alat yang dapat merusak ketentraman manusia lain. Ketergantungan manusia pada komputer dan barang-barang elektronik canggih lainnya malah memperbudak manusia. Sehingga apa yang sewajarnya dapat dilakukan oleh manusia tidak dapat dikerjakan dengan wajar.

Otak kita adalah komputer yang tercanggih di dunia sepanjang masa. Komputer tercanggih yang dirancang manusia yang sekarang ada terbatas sejauh kemampuan manusia. Kami dapat mengilustrasikan apa yang kami maksud dengan ketergantungan dengan kembali ke pendidikan dasar. Dahulu kita dapat menghitung tanpa kalkulator atau komputer. Sekarang, karena kita sering menggunakan alat tersebut, sering sekali kita tidak dapat menghitung lagi secara alamiah, secara mental. Waktu kami masih di SD kami diajarkan cara menghitung secara cepat. Sekarang ketrampilan itu hilang dikarenakan kehadiran kalkulator dan komputer. Masalah yang mungkin dianggap sepele ini juga telah mempengaruhi pekerjaan kita dalam bidang pariwisata.

Contoh dimana ketergantungan pada komputer malah mengakibatkan pelayanan yang buruk adalah sebagai berikut : Sering terjadi di bandara Soekarno-Hatta sesuatu yang kita sebut �komputernya down�, yang berarti komputernya rusak. Gara-gara ini calon penumpang harus


menunggu di daftar sampai komputernya jalan lagi. Hal ini bisa berjalan dari beberapa menit sampai berjam-jam. Akibatnya, penerbangan tertunda dan para konsumen menderita. Padahal ada cara atau metoda lama untuk mendaftarkan para calon penumpang yang dapat dilakukan supaya penerbangan tidak tertunda dan konsumen dirugikan. Tetapi kenyataannya, hampir setiap perusahaan penerbangan tidak mau menggunakan pendaftaran secara manual atau menggunakan tangan (ditulis) karena peraturan yang dibuat oleh manusia melarangnya atau karena kemalasan. Apa tujuan peraturan kalau konsumen dirugikan. Kejadian ini disebabkan manusia sudah diatur oleh peraturan dan komputer, bukan sebaliknya.

Contoh lain terjadi di hotel-hotel yang berniat menggunakan komputer dalam pelaksanaan manajemennya. Sering pula terjadi hotel ybs. terbuai oleh rayuan salesman perusahaan komputer dan membeli piranti keras (hardware) dan piranti lunak (software) yang tidak sesuai dengan kebutuhan operasional.

Akibatnya,

bukannya pendaftaran tamu di kantor depan (front office) menjadi lebih cepat dan akurat, tetapi tamu harus membuang waktu lebih lama dari yang wajar di kantor depan menunggu kartu registrasinya di proses. Belum lagi kejadian pada saat mau bayar. Angka-angka yang tertera di bon salah dan tidak dapat dimengerti oleh tamu. Kami yakin banyak penipuan terjadi dalam sistem akunting komputer yang diterapkan oleh hotel karena tamu tidak mengerti apa yang tercantum. Waspadailah Komputer Karena

tujuan

diciptakannya

komputer

adalah

untuk

membantu

melancarkan pekerjaan manusia, pada suatu saat nanti semua yang kita lakukan dapat dilakukan dengan komputer. Tetapi janganlah terburu-buru membeli komputer. Perusahaan pariwisata yang kecil tidak perlu membeli suatu sistem komputer yang mahal. Cukup dengan Komputer Pribadi (PC) kita sudah dapat bekerja secara efektif. Yang penting adalah piranti lunaknya (programnya). Jangan mudah terbujuk oleh para salesman (wiraniaga) yang menjual perangkat komputer karena di pasaran ada begitu banyak model, kecanggihan dan banyak variasi harga dari komputer. Telitilah sebelum membeli. Pertanyaan yang harus diajukan adalah:


Apakah komputer ini memenuhi kebutuhan perusahaan? Apakah ada tenaga trampil yang dapat mengoperasikan komputer? Apakah harganya sesuai dengan kemampuan membayar? Apakah ada pelayanan purna jual dari penjual komputer? Bila perusahaan berkembang, apakah komputer ini juga dapat ditingkatkan kekuatannya?

Khususnya dalam bidang pariwisata kita harus jeli dengan program komputer yang dijual. Belum banyak ditemukan program (software) yang khusus dirancang untuk keperluan manajemen hotel maupun BPW yang cocok di Indonesia. Program-program yang dijual banyak berasal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Eropa. Isinya harus disesuaikan dulu dengan keadaan di Indonesia. Jadi, cara yang terbaik untuk perusahaan pariwisata Indonesia yang kecil adalah untuk meminta bantuan ahli atau perancang program komputer Indonesia. Mereka dapat menciptakan program yang sesuai dengan kebutuhan manajemen setiap perusahaan. Tetapi, pastikan dulu bahwa kita sendiri mengerti manajemen. Karena kalau kita tidak menguasai ilmu manajemen, kita tidak akan mengetahui secara akurat dan terperinci kebutuhan manajemen kita sendiri. Yang berarti, kita tidak dapat memberikan suatu panduan kepada si perancang program tersebut.

Dan satu hal lagi yang perlu kita sadari adalah bahwa komputer tidak memiliki kreativitas seperti otak manusia. Memang ada yang berargumentasi bahwa program komputer yang sekarang ada memiliki kepandaian untuk menciptakan keindahan seperti disain mobil, pesawat, bangunan rumah dan hotel. Tetapi tidak ada komputer dan kami yakin tidak mungkin tercipta suatu komputer yang dapat memenuhi keinginan dari konsumen tepat pada waktu diinginkan. Karena bila ini terjadi ini berarti manusia telah menjadi Tuhan yang dapat menciptakan manusia. Kalau ada 2 milyar orang di dunia ini, akan ada 2 milyar jenis keinginan dan kebutuhan. Selera manusia tidak dapat diantisipasi oleh perancang komputer manapun. Pelayanan terbaik yang dapat diberikan adalah pelayanan yang diberikan oleh tangan manusia bukan robot, bukan komputer.


PARIWISATA DAN LINGKUNGAN 10 Oktober 1993 Tema yang sering didengang-dengungkan belakangan ini secara nasional dan internasional adalah Tema Lingkungan. Karena bumi kita perlahan-lahan mendekati kehancuran yang disebabkan oleh manusia, para ilmuwan memulai suatu kampanye penyelamatan bumi kita ini yang didukung oleh sebagian politisi dunia. Para pemerintah berbagai negara juga mulai memperhatikan keadaan lingkungan dalam kebijaksanaan pembangunan mereka.

Masalah lingkungan bukanlah urusan pemerintah saja tetapi urusan setiap insan manusia. Kita tidak menyadari bahwa pencemaran yang dilakukan kita di dunia ini bukan hanya berasal dari pabrik-pabrik, pusat-pusat tenaga listrik, rumah sakit-rumah sakit, dan industri-industri lainnya tetapi juga oleh rumah tanggarumah tangga. Limbah yang dihasilkan oleh pribadi-pribadi seperti kami dan para pembaca tanpa disadari membuang sampah sembarangan. Limbah yang kita hasilkan banyak tidak dapat diserap oleh tanah atau udara, malah merusak kesuburan tanah dan mencemarkan udara sampai lapisan ozone, pelindung bumi dari radiasi sinar matahari, rusak.

Bukan maksud kami membahas masalah lingkungan secara lengkap dalam tulisan ini. Kami sangat prihatin terhadap pencemaran dan pengrusakan lingkungan oleh industri pariwisata. Lingkungan yang kami maksud bukan hanya berkaitan dengan lingkungan alam tetapi juga lingkungan budaya. Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa telah secara besar-besaran membangun prasarana dan sarana pariwisata tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Pemerintah kita menganggap

industri

pariwisata

begitu

pentingnya

sehingga

perusahaan-

perusahaan perhotelan, misalnya, hanya diharuskan mengadakan Semdal dan bukan Amdal. Padahal pencemaran lingkungan oleh hotel-hotel, obyek-obyek wisata, perusahaanpenerbangan meskipun tidak begitu kentara pada jangka panjangnya tetap merusak lingkungan kita. Ini berarti bahwa kita dan anak-cucu kita pun akan mewarisi bumi yang lebih rendah mutunya daripada kita.


Coba kita lihat beberapa contoh pencemaran lingkungan yang disebabkan pariwisata.

Lingkungan Sosial Budaya Kedatangan para wisman ke negara kita akan mempercepat masuknya pengaruh budaya asing. Tidak semua unsur budaya dari luar negeri berdampak negatif

terhadap

perilaku

manusia

Indonesia.

Tetapi

kita

harus

dapat

mengendalikan tersebarnya kebiasaan orang asing yang berakibat negatif terhadap budaya kita. Memang pengaruh budaya asing tetap akan masuk melalui televisi, radio, media cetak maupun filem. Tetapi kita dapat mensortir mana yang dapat ditiru dan mana yang tidak pantas ditiru kalau kita membacanya atau melihatnya melalui filem atau video. Tetapi kalau terjadi kontak langsung antara orang berbudaya barat dengan orang Indonesia pengaruhnya lebih langsung terasa dan keinginan meniru lebih cepat.

Karena

itu

perkembangan

pariwisata

yang

tak

terkendali

akan

mempengaruhi norma-norma masyarakat yang sekarang berlaku. Budaya yang lebih lemah akan didominasi oleh yang lebih kuat. Dan karena sebagian besar masyarakat kita belum menikmati pendidikan tinggi yang memberikan kemampuan analitis untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, sementara penggunaan teknologi canggih sebagai media penyebaran informasi dari dunia barat lebih menguntungkan budaya barat, orang Indonesia lebih cenderung menerima unsur-unsur budaya barat.

Kalau kita melihat pengalaman Bali dalam hal ini, kami sangat prihatin. Kontak langsung orang Bali dengan orang barat telah menghasilkan perilaku yang tidak sesuai dengan budaya kita. Timbulnya para ’gigolo’ yang pekerjaannya adalah menemani dan memandu para wisman wanita adalah salah satu pengaruh budaya barat yang menghalalkan hubungan seksual bebas sebagai norma. Masalah hubungan seksual di Bali telah mempengaruhi banyak pemuda/i Bali. Kami telah


menemukan banyak pemuda/i Bali yang sekarang berprofesi sebagai pemuda/i panggilan. Sepuluh tahun yang lalu Pulau Dewata didatangi oleh yang berprofesi sebagai �manusia panggilan� dari luar. Sekarang, Bali sudah memilikinya sendiri. Apakah ini yang kita inginkan?

Bagaimana dengan cara para wisman berbusana di pantai, di lobby hotel, di pertokoan? Di Kepulauan Hawaii, Amerika Serikat, adalah pemandangan biasa kalau di toko-toko cenderamata kita melihat para wisatawan berbelanja atau bersliweran di hotel dan jalan raya dengan berpakaian renang mini. Apakah hal ini kita anggap baik bagi kita? Kami rasa tidak. Buktinya, pemerkosaan berkelompok terhadap gadis-gadis Bali sering kita baca di suratkabar.

Masih banyak contoh negatif yang dapat kami berikan mengenai pencemaran lingkungan sosial dan budaya yang disebabkan oleh pengembangan pariwisata yang tak terkendali. Salah satu cara untuk mengurangi pengaruh budaya asing yang negatif adalah dengan memberikan informasi kepada para wisman sebelum mereka berangkat ke negara kita bahwa tingkah laku tertentu tidak ditolerir. Bahwa budaya kita harus dihormati perlu ditekankan kepada mereka. Pengalaman kami menunjukkan bahwa para wisman tidak keberatan untuk mengikuti tatakrama budaya dimana mereka berada. Kalau mereka mau mengikuti peraturan yang mengatakan bahwa sebelum memasuki Pura mereka harus menggunakan sarong, kami yakin mereka akan mentaati peraturan lain pula.

Buku-buku panduan yang berisi apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan selama mereka berada di suatu tempat dapat dicetak dan disebarkan oleh biro-biro perjalanan wisata, perusahaan-perusahaan penerbangan, kantor-kantor perwakilan pariwisata Indonesia di luar negeri kepada mereka yang akan berangkat menuju Indonesia. Kami sangat terkejut melihat bahwa di Australia telah beredar buku-buku panduan seperti itu yang dibuat oleh orang Australia. Mengapa kita sendiri tidak membuat buku-buku seperti itu?


Lingkungan Alam Kalau kita melihat masalah lingkungan dari segi pencemaran lingkungan alam, maka yang paling banyak dosanya adalah hotel-hotel yang dibangun tanpa memperhatikan masalah limbah. Sebuah hotel misalnya mengeluarkan banyak limbah. Ada limbah cair dan limbah kering dari dapur, dari departemen laundry (binatu), dari kamar-kamar (limbah yang ditinggalkan tamu), dari generator (disel).

Penyulingan air limbah sebelum dibuang keluar hotel sering tidak diperhatikan. Banyak hotel yang dibangun di daerah pantai membuang limbahnya ke laut. Banyak hotel yang menggunakan disel tidak memperhatikan bahwa asap dan suara yang keluar dari mesin ini mengganggu masyarakat sekitarnya. Kecuali kalau disel ini ditempatkan di dalam suatu ruangan yang kedap suara dan asap yang dihasilkan dibuang ke udara melalui cerobong yang cukup tinggi menjauh dari perumahan disekitarnya. Setiap hotel, khususnya yang berbintang, harus memiliki tempat pembakaran sampah kering yang semi-tertutup. Sedangkan hotelhotel melati yang berdekatan dapat mengupayakan penanganan limbah secara bersama. Kami mengerti bahwa mesin-mesin pengolah limbah sangatlah mahal tetapi itu bukan alasan untuk tidak memasangnya. Dari awal pembangunan sebuah hotel sudah harus dipikirkan mesin-mesin ini dan anggarannya disiapkan. Bagi yang sudah berdiri tetapi belum memasang mesin pengolah limbah, kami mengusulkan sebagian besar dari keuntungannya disisihkan untuk membeli atau membuat secara lokal mesin pengolah limbah ini. Asosiasi Perhotelan dapat mengumpulkan dana untuk mengadakan riset bagaimana limbah hotel dapat dikendalikan dengan cara-cara lokal.

Selain daripada itu perangkat hukum yang khusus menangani masalah limbah pariwisata harus dibuat dan pelaksanaan undang-undang lingkungan betulbetul diperhatikan. Sudah waktunya kepentingan komersiel diimbangi dengan pertimbangan masa depan masyarakat disekitarnya. Tanggung jawab sosial setiap perusahaan pariwisata terhadap lingkungan alam, sosial dan budaya tidak dapat dipisahkan dari keuntungan perusahaan tersebut. Kalau kita ingin sukses, kita harus


mendapatkan dukungan dari semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang kecil.


PEMASARAN TERPADU 28 Maret 1993 Banyak dari kalangan bisnis, apalagi dari kalangan awam, yang tidak mengerti makna dari “pemasaran”. Rata-rata istilah pemasaran diartikan sama dengan ”penjualan” (sales), sehingga mereka yang tugas sehari-harinya adalah menjual diberikan jabatan ”marketing” (pemasaran). Pengertian yang salah ini menjalar ke bidang manajemen yang lebih kompleks, yakni : pemasaran barang versus pemasaran jasa. Begitu banyaknya manajer yang tidak menyadari betapa besarnya perbedaan antara kedua produk ini (barang dan jasa) sehingga menerapkan prinsip-prinsip pemasaran barang terhadap jasa. Akibatnya, usaha mereka tidak mencapai keberhasilan maksimum.

Pariwisata adalah sesuatu kegiatan ekonomi yang bersifat jasa meskipun dalam pelaksanaan jasa ini banyak dipergunakan barang. Pengetahuan dasar mengenai pemasaran dan jasa sangat diperlukan apabila kita ingin sukses dalam menjaring lebih banyak konsumen dan mempertahankannya. Yang pasti, hanya konsumen yang puas akan menggunakan jasa kita lagi. Hanya konsumen yang puas yang akan mempromosikan kita secara positif.

Apa itu Pemasaran Pemasaran atau Marketing adalah suatu proses memberikan apa yang dikehendaki

pasar

(konsumen)

sehingga

memenuhi

kebutuhan

dan

keinginannya. Dalam praktek bisnis yang terjadi adalah produsen memaksakan kehendaknya terhadap konsumen dengan memasarkan-menjual produk atau jasa yang sesuai dengan keinginan produsen. Seharusnya, produsen mengadakan riset mengenai keinginan dan kebutuhan konsumen, kemudian memproduksi barang maupun jasa sesuai hasil riset itu. Berbagai cara dilakukan produsen seperti iklan, kontes, dll untuk mempengaruhi konsumen membeli barang-jasanya meskipun mutunya tidak baik. Malah dimana produk itu adalah bahan pokok dan produk yang dijual memonopoli pasar, maka si produsen sama sekali tidak perduli


mengenai mutunya. Memang tidak semua produsen demikian. Tetapi banyak yang demikian.

Dalam bidang pariwisata menilai apakah produk jasanya sesuai keinginan dan kebutuhan konsumen (wisatawan) lebih sulit. Garis besarnya, apabila wisatawan tidak mendapatkan keamanan, kenyamanan, keindahan, kebersihan, ketertiban dan kenangan dalam perjalanannya, maka dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diterimanya tidak baik.

Persepsi Wisatawan Salah satu ciri khas pariwisata adalah persepsi konsumen terhadap pelayanan yang disuguhkan. Pariwisata adalah suatu mata rantai jasa yang dilaksanakan oleh beberapa instansi atau organisasi. Sehingga salah satu pelayanan buruk di salah satu mata rantai tersebut akan mempengaruhi citra keseluruhannya. Contohnya, pelayanan buruk di bandara oleh siapapun akan mempengaruhi pengalaman si wisatawan secara negatif. Demikian pula pengalaman yang tidak menyenangkan di hotel, restoran, toko cenderamata, dll akan memberikan kesan jelek terhadap pariwisata Indonesia bukan hanya terhadap salah satu pelaksana itu saja.

Persepsi (daya memahami/menanggapi) wisatawan terhadap sesuatu pengalaman ditentukan oleh latar belakang pendidikannya, budayanya, usianya, status kehidupannya (bujangan, menikah, bercerai), jenis kelaminnya, pekerjaannya, status ekonominya.

Mengetahui bahwa konsumen atau pasar itu terdiri dari berbagai persepsi maka dalam memasarkan suatu produk-jasa seperti pariwisata, kita harus menggunakan cara-cara promosi yang mengena bagi segmen pasar (bagian pasar yang persepsinya kurang lebih sama) yang diinginkan.


Kerjasama Tripartit Dalam pelaksanaan pariwisata ada 3 unsur penting yakni pemerintah, swasta dan masyarakat. Setiap unsur memainkan peranan penting. Masalah utama dalam kerjasama ini adalah siapa bertanggung jawab untuk apa? Pengalaman negaranegara maju dalam pariwisata dapat kita pelajari. Pemerintah pada umumnya bertanggung jawab dalam menciptakan iklim bisnis yang sehat bagi swasta sehingga bisnis perhotelan, biro perjalanan umum, penerbangan, dll dapat hidup. Pemerintah juga bertanggung jawab dalam mempromosikan Indonesia ke luar negeri sebagai daerah tujuan wisata pilihan utama. Swasta, di lain pihak, bertanggung jawab dalam menyajikan pelayanan yang bermutu tinggi (standar internasional) bagi setiap wisatawan dalam perjalanannya di dalam negeri. Sedangkan, masyarakat harus dididik untuk menerima para tamu, apakah dari luar daerah atau luar negeri, secara baik sesuai prinsip keramahtamahan internasional. Masyarakat harus ditatar untuk memperlakukan tamu dengan segala kehormatan yang menjadi kebiasaan budaya kita ditambah tatakrama bergaul secara internasional.

Pertanyaan saya adalah mengapa swasta selalu menyalahkan pemerintah dalam hal promosi. Swasta selalu mengatakan bahwa pemerintah harus lebih banyak menyediakan dana untuk promosi. Kenyataannya pihak swastalah yang paling banyak menikmati keuntungan dari promosi tersebut. Menurut kaidah bisnis, bila swasta ingin mencari keuntungan dialah yang harus mengeluarkan dana untuk promosi / pemasaran. Swasta harus berterimakasih bahwa pemerintah telah mengadakan kegiatan pemasaran di luar negeri meskipun dengan dana terbatas.

Keluhan terhadap swastapun dapat dilontarkan. Hitung saja jumlah keluhan para wisman dan wisnu terhadap mutu pelayanan yang disajikan pihak swasta. Tak terhitung banyaknya. Malah terdapat kesan bahwa keuntungan sebesar-besarnya lebih penting daripada keamanan, kenyamanan, kenikmatan para pelancong. Pemerintah dalam hal ini harus memainkan peranan dalam menindak mereka yang jelas-jelas lebih mementingkan kocek mereka ketimbang memberikan service yang memuaskan. Banyak yang tidak mengetahui bahwa apabila kita memuaskan


konsumen, dalam hal ini para wisatawan, maka otomatis usahanya akan menguntungkan.

Perlu juga diketahui bahwa pelayanan yang baik adalah pemasaran yang baik. Tidak ada gunanya kita gembar-gembor mengenai kehebatan Candi Borobudur, Candi Pramanan, atau keindahan Keraton apabila tidak ada pramuwisata yang dapat menjelaskan arti dari relief-relief tertentu di candi-candi tersebut atau arti sesuatu pusaka di Keraton secara terperinci dalam bahasa si wisatawan. Kemegahan dan keelokan seni budaya kita tidak berarti apa-apa bagi si wisatawan apabila angkutan menuju obyek wisata kurang bersih, nyaman dan barang miliknya hilang dicuri di hotel atau di jalan raya. Seluruh pengalamannya yang indah di tanah air kita tidak akan memberikan kenangan yang indah apabila perusahaan penerbangan kita yang digunakan tidak tepat waktu dan keterlambatan pemberangkatan malah tidak diberitahukan kepadanya. Banyak lagi kekurangankekurangan yang dialami para pengunjung. Masalah Informasi Faktanya adalah bahwa Indonesia hampir tidak dikenal di benua Amerika bagian utara (Amerika Serikat dan Kanada). Cobalah mendatangi kedutaankedutaan besar Republik Indonesia dan konsulat-konsulat Republik Indonesia di berbagai negara dan minta diberikan brosur, leaflet, atau bahan promosi wisata Indonesia. Kalau ada, hanya mengenai daerah-daerah tertentu saja dan tidak dalam jumlah yang banyak. Biasanya, informasi cetak mengenai potensi wisata Indonesia sama sekali tidak dimiliki. Saya pernah merasa malu waktu melihat salah satu Kantor Pemasaran Pariwisata Indonesia di Eropa Barat memberikan kepada saya bahan promosi pariwisata yang difotokopi. Peranan swasta dalam membantu pemerintah menyediakan bahan-bahan promosi di luar negeri sangat dibutuhkan.

Di dalam negeri masalahnya lebih gawat lagi. Bila seorang wisatawan masuk Indonesia hampir pasti ia tidak dapat melakukan perjalanannya sendiri karena tidak adanya bahan cetakan yang berisi data penting mengenai tempat yang ingin


dikunjunginya. Misalnya, nomor bis dan rutenya, harga karcis bis, atau taksi, jarak dari pusat kota ke suatu obyek wisata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di suatu tempat, penjelasan singkat mengenai obyek wisata, daftar tempat hiburan, restoran, biro perjalanan umum, perusahaan penerbangan yang mutakhir berikut alamat dan nomor telefonnya, dll. Dinas Pariwisata DIY telah mencetak sebagian informasi ini tetapi dalam jumlah yang sedikit dan karena kurangnya dana, informasinya banyak yang tidak up-to-date karena itu berarti informasi tersebut harus dicetak secara berkala. Jangan diharapkan BPU, perusahaan penerbangan, atau hotel menyediakan informasi dasar seperti tercatat diatas. Mereka merasa ini bukan tugasnya padahal mereka menginginkan bisnisnya.

Sudah waktunya profesionalisme ditunjukkan oleh para pelaku bisnis pariwisata swasta dengan ikut bersama-sama menyediakan informasi dan meningkatkan mutu pelayanan. Kalau ada Badan Promosi Pariwisata Indonesia, BPPI, mengapa tidak diadakan Badan Promosi Pariwisata Daerah – Yogyakarta. Siapa yang mau memprakarsainya?


PEMILIK KONTRA MANAJEMEN 4 April 1993 Dalam dunia perhotelan ada pertarungan klasik yang sering terjadi. Antara si pemilik hotel dan manajer atau pengelola yang dikontraknya. Apabila kedua belah pihak tidak bertindak sebagaimana layaknya mereka harus bertindak, maka tidak mengherankan pertarungan ini terjadi. Bibit perbedaan, perselisihan, atau konflik antara kedua unsur ini sudah terlihat pada saat perencanaan pembangunan hotel. Di Indonesia keadaan ini lumrah dikarenakan sering sekali si penanam modal membangun hotel tanpa memanfaatkan konsultan perhotelan yang profesional, dari tahap perencanaan sampai tahap pengelolaan hotel tersebut apabila sudah selesai. Akibatnya banyak bangunan hotel tersebut apabila sudah selesai dibangun tidak dilengkapi dengan alat-alat yang sangat diperlukan manajer dalam mengoperasikan hotel.

Dalam banyak hal pemilik bersama arsiteknya mementingkan keindahan bangunan dan dekorasi interior daripada fungsi setiap bagian dari bangunan. Letak dan ruangan-ruangan tertentu seperti ruang rapat, lobby, gudang, restoran, diskotek,

dan

seterusnya

tidak

mengindahkan

prinsip-prinsip

manajemen

perhotelan.

Saling pengertian antara pemilik dan pengelola harus sudah terbina dari awal proyek pembangunan. Kepentingan kedua belah pihak akan dilindungi dan sasaran mereka dapat tercapai kalau keduanya berkeinginan untuk mempelajari keberadaan masing-masing.

Kepentingan Pemilik Sebagai investor, keinginan pemilik adalah untuk mendapatkan kembali investasinya dengan persentase keuntungan yang wajar. Yang perlu disadari, investasi dalam bidang perhotelan, khususnya yang berbintang, adalah slow-yielding.


Artinya, akan memakan waktu lama sebelum modalnya balik. Dalam keadaan ekonomi yang baik, hotel berbintang 3 misalnya baru bisa mengharapkan balik modal setelah minimal 10 tahun. Biasanya ini berarti tingkat penghunian yang harus dicapai berada diatas Break Even Point atau di atas laba kotor operasionil (Gross Operating Profit). Untuk kota-kota metropolitan seperti Jakarta atau Surabaya tingkat huniannya (occupancy) harus diatas 60 persen dan pengeluarannya harus terkendali. Bayangkan bagaimana sulitnya si pengelola berupaya untuk mengisi kamar-kamarnya, restorannya, dan lain-lain.

Karena itu si pemilik biasanya membangun hotel dengan modal yang seminimal mungkin. Yang berarti mutu bahan bangunan maupun peralatan operasionil adalah yang murah harga dan mutunya. Kebiasaan ini nantinya merugikan si pemilik sendiri karena mutu bangunan dan perlengkapan yang rendah akan mempersulit si pengelola memberikan pelayanan terbaiknya. Pembaca yang biasa menginap di hotel dapat membenarkan bahwa AC yang tidak dingin, tekanan air yang rendah di kamar mandi, gelas minum di restoran yang kurang bersih, pintu kamar yang catnya lecet, hanyalah beberapa kenyataan yang ditemui. Apalagi harga kamarnya dianggap terlalu mahal. Bagaimana hotel seperti ini dapat menggaet wisatawan bila berita yang tersiar sangat negatif?

Kita dapat menemui hotel yang letak kamar tidur dari restoran sangat jauh dan tidak ada lift menuju restoran, atau lebih parah lagi letak restoran dan dapur jauh sehingga pelayanan makanan dan minuman menjadi lamban. Ruang rapat tidak dilengkapi dengan peralatan audio-visual yang memadai sehingga panitia harus membawanya sendiri. Ini semuanya terjadi karena si pemilik ingin menghemat dan tidak memperdulikan advis konsultan manajemen perhotelan.

Konstruksi bangunan hotel juga tidak diawasi oleh seorang project manager yang tugas utamanya adalah mengkoordinir kegiatan semua peserta pembangunan seperti para arsitek, ahli listrik, pemborong, dan lain-lain. Ia juga bertanggung jawab untuk memastikan spesifikasi bangunan ditepati, rancang bangun yang disetujui


diikuti perlengkapan hotel dipesan sesuai rekomendasi konsultan manajemen hotel, dan seterusnya.

Ini semua akan mempersulit pengelola dalam pelaksanaan manajemen pada kemudian hari dan kemungkinan modal balik lebih cepat bagi si pemilik menjadi lebih kecil.

Kepentingan Manajemen Meskipun manajemen dikontrak oleh pemilik dengan tujuan supaya investasi pembangunan hotel dapat kembali sesuai rencana plus keuntungan, pada kenyataannya banyak pemilik mencampuri urusan manajemen sampai ke hal-hal yang kecil. Memang, sebagai pemilik modal ia bertanggung jawab untuk semuanya. Namun, perjanjian manajemen pada hakikatnya memberikan kebebasan kepada manajemen untuk dengan keleluasaan menjalankan programnya setelah anggaran dan program kerjanya disetujui oleh pemilik. Apabila dalam pelaksanaan program tersebut terjadi campur tangan, maka penyimpangan dari rencana bisnis akan terjadi. Penyimpangan yang dapat mengakibatkan kerugian tidak dapat diletakkan pada pundak si pengelola. Kalau manajemen sendiri melakukan perubahan pada rencana bisnis tanpa persetujuan pemilik maka ini dapat dijadikan alasan mengapa ia mencampuri urusan pengelolaan.

Peranan Konsultan Pengusaha konglomerat yang memiliki hotel-hotel berbintang lima seperti Jakarta Hilton, Grand Hyatt, Mandarin Oriental, Sheraton Lagoon, dan Le Meridien mengerti bahwa Konsultan Perhotelan Internasional yang mereka ajak kerjasama selain memperjuangkan keuntungan perusahaan mereka sendiri juga berupaya dengan jaringan internasional mereka untuk membawa keuntungan bagi sang pemilik. Kepercayaan pemilik tercermin dari nama hotelnya yang memakai nama perusahaan manajemen. Para konsultan itu bekerja dari tahap awal perencanaan pembangunan sampai tahap operasionil. Karenanya hotel yang berdiri adalah


perwujudan dari gaya dan struktur perusahaan manajemennya walau pun dari segi interior selera pemilik dapat terlihat.

Tidak demikian dengan pemilik hotel-hotel nasional lainnya yang ingin mengelola hotelnya sendiri melalui orang-orang yang dikontrak secara pribadi. Ada yang mengambil general manager asing, ada yang menggunakan tenaga manajemen nasional. Kalau sang pemilik mengerti bahwa kaidah manajemen internasional harus diikuti dan ia mendukung rencana sang manajer maka tidak mustahil usaha wisatanya akan berhasil. Sahid Group, pemilik Sahid Jaya Hotel & Tower, adalah salah satu kelompok nasional yang menggunakan tenaga asing dan berhasil. Namun demikian, pengamatan kami di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa banyak pengusaha/pemilik hotel-hotel yang lebih kecil sering memilih tenaga konsultan atau tenaga manajemen asing yang tidak lebih dahulu diperiksa kemampuannya beroperasi di lingkungan budaya timur seperti Indonesia. Pada saat yang bersamaan banyak diantara mereka yang meremehkan kemampuan konsultan atau manajemen nasional. Rupanya ada kecenderungan diantara banyak penanam modal di bidang pariwisata yang lebih mempercayai kemampuan dan ketrampilan orang asing daripada bangsanya sendiri. Pengamatan kami juga menyimpulkan bahwa setelah terlambat, artinya setelah perusahaan menderita kerugian, baru mereka sadar bahwa tidak otomatis konsultan atau manajemen asing itu ahli.

Bagi pemilik yang memiliki kemampuan mengelola sendiri, khususnya hotelhotel dengan kapasitas kamar dibawah 200, masalah �pemilik kontra manajemen� tidak terjadi. Tetapi kesombongan investor yang tidak mau mengakui bahwa manajemen bukanlah keahlian mereka dan mencoba mengelola hotelnya sendiri akhirnya menjadi senjata makan tuan. Kerugian terus menerus menghantui operasionil hotel mereka.

Malah tanggung jawab mereka kepada pihak perbankan misalnya menjadi masalah. Karena secara operasionil mereka tidak dapat meraih keuntungan, mereka tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Hal seperti ini begitu banyaknya terjadi


di nusantara tercinta ini sehingga kami merasa pihak perbankan atau lembaga keuangan non-bank perlu juga menggunakan tenaga konsultan perhotelan yang profesional sebelum memenuhi permintaan pinjaman dari pengusaha.

Sering sekali studi kelayakan yang dibuat oleh pengusaha mengandung angka-angka dan kesimpulan-kesimpulan yang menyenangkan bank tetapi dalam kenyataan sama sekali tidak mungkin terjadi. Studi kelayakan hotel bila dibuat oleh konsultan atau manajemen yang profesional harus bertumpu pada riset pemasaran untuk mengetahui apakah hotel yang akan dibangun ini akan dapat diisi dengan tingkat penghunian yang baik. Pinjaman harus dikembalikan, karyawan harus digaji, konsumen harus diberikan kepuasan dengan pelayanan yang prima, dan pemilik harus mendapatkan keuntungan.

Dalam dunia bisnis pariwisata seperti dalam dunia bisnis lainnya, ada yang ahli dalam mengumpulkan dana, ada yang ahli dalam mengelola, ada yang ahli dalam membangun, merekayasa. Kerjasama antar ahli adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan. Janganlah kita berpikir bahwa dalam diri kita ada segala keahlian sehingga kita tidak memerlukan orang lain. Begitu banyak korban kesombongan profesi telah jatuh. Percayakan manajemen kepada ahli manajemen.


PENYANDANG CACAT DAN PARIWISATA 12 September 1993 Telah menjadi kenyataan hidup bahwa di dalam masyarakat ada perbedaan antar manusia dalam bentuk golongan yang berdasarkan kekuatan politik, kekuatan ekonomi, ketrampilan, kedudukan sosial dan malahan kondisi fisik. Meskipun kita selalu berbicara bahwa semua orang sama tinggi dan sama rendah di mata Tuhan YME namun pernyataan ini tidak tercermin dalam kehidupan bermasyarakat. Ada suatu piramida di dunia ini dimana yang berada di atas jumlahnya jauh lebih sedikit daripada yang berada di bawah. Dan mereka yang berada di atas mempengaruhi dan menentukan nasib mereka yang dibawah. Dalam kehidupan politik kita mengenal

istilah

hukum

mayoritas

atau

terorisme

minoritas.

Ini

semua

menunjukkan bahwa kekuasaan dapat dihimpun secara bersama dengan kekuatan yang berada di tangan mereka yang jumlahnya lebih banyak atau kekuatan yang dihimpun oleh sekelompok kecil anggota masyarakat karena hal-hal tertentu misalnya kekuatan ekonomi atau kekuatan senjata.

Fakta bahwa ada perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat dimana tidak semua orang berada pada kedudukan yang sama maka perlakuan kita terhadap orang pun berbeda-beda. Dan yang paling menyolok adalah perlakuan kita terhadap para penyandang cacat. Seolah-olah mereka itu bukan anggota masyarakat yang mempunyai hak yang sama seperti yang tidak cacat. Kita memperlakukan mereka sepertinya mereka mengidap penyakit AIDS, perlu dibantu tetapi ............. Perlu kita sadari bahwa para penyandang cacat fisik misalnya seperti orang �normal� lainnya memiliki kelebihan maupun kelemahan. Hanya saja kekurangan mereka adalah bahwa mereka tidak memiliki organ tubuh tertentu atau tidak dapat menggunakan organ tubuh tertentu dalam kegiatan mereka sehari-hari. Apakah ini berarti bahwa mereka tidak berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. Apakah ini berarti bahwa mereka tidak berhak menikmati keindahan alam dan budaya negeri orang lain? Kami tidak dapat mengerti pandangan anggota masyarakat yang mendiskriminasikan para penyandang cacat. Apa bedanya kalau ada pelamar kerja yang secara formal pendidikan dan pengalaman tidak memenuhi syarat dengan


peyandang cacat yang secara formal pendidikan dan pengalaman memenuhi syarat? Si penyandang cacat kalau memenuhi persyaratan kerja yang dibutuhkan meskipun ia mungkin tidak bisa menggunakan kakinya harus diberikan pekerjaan tersebut sedangkan si pelamar kerja yang ”normal” namun tidak memenuhi persyaratan tersisih.

Kami pernah memberikan suatu seminar di Bandung dengan judul ”Tata Krama Penggunaan Telpon dan Pemanfaatannya sebagai Alat Penjualan”. Kami sangat terharu melihat bahwa Hotel Papandayan mengirimkan seorang penyandang cacat berkursi roda untuk mengikuti seminar ini karena ia ditugaskan sebagai operator telpon. Dan kedudukan operator telpon sangatlah penting dalam industri jasa. Kami mendapatkan bahwa si peserta seminar yang cacat fisik ini memiliki ketrampilan yang melebihi rekan-rekan ”normal” lainnya. Tetapi kalau kita mengadakan survei perusahaan di Indonesia yang menerima pekerja yang cacat fisik kami yakin jumlahnya sangat sedikit dan kalaupun ada mereka ini diberikan jabatan yang rendah. Belum ada kesadaran di dalam masyarakat untuk secara eksplisit menerima penyandang cacat sebagai pekerja dengan posisi yang tinggi.

Kami sendiri kenal seorang usahawati di Semarang yang mengelola wartel dengan sukses dan ia memiliki salah satu tangan yang lebih pendek daripada yang satunya. Tetapi pengusaha ini sama sekali tidak memiliki perasaan minder dan banyak relasi bisnisnya yang mengagumi ketrampilannya bukan mengasihaninya. Ini menunjukkan bahwa kita dapat menemukan pekerjaan apa saja dan untuk siapa saja selama persyaratan utamanya dipenuhi. Tetapi membedakan seseorang hanya karena ia penyandang cacat fisik dan menentukan bahwa ia tidak qualified untuk bekerja sementara kedudukan yang lowong itu tidak membutuhkan seseorang yang harus ”normal” tidaklah adil. Misalnya, seorang petugas di bidang keuangan tidak diharuskan memiliki organ tubuh yang lengkap. Persyaratan utama adalah bahwa ia harus menguasai ilmu akunting. Jadi kalau ada pelamar yang berkursi roda dan memenuhi persyaratan tersebut ia harus diterima. Fakta bahwa ia tidak dapat menggunakan kakinya tidak ada kaitannya dengan pekerjaan itu.


Justru

karena

kesadaran

masyarakat

masih

sangat

rendah

dalam

memperlakukan penyandang cacat maka perlu dibuatkan undang-undang yang melindungi mereka. Janganlah kita terbuai oleh pendapat yang mengatakan bahwa budaya Indonesia memperhatikan mereka yang cacat, fisik, mental atau emosional. Yang terjadi adalah bahwa kita mengasihani mereka. Kita belum bisa menerima bahwa merekapun mempunyai hak-hak tertentu. Sama seperti pejalan kaki yang mempunyai hak di jalan raya dan mendapatkan tempat khusus untuk menyeberang jalan (jembatan penyeberangan atau zebra cross), pemakai kursi roda juga punya hak untuk berjalan di jalan raya. Di Negara Maju Di Amerika Serikat ada ketentuan hukum yang melindungi hak

si

penyandang cacat fisik. Misalnya, ada tempat parkir khusus bagi penyandang cacat yang mengendarai mobil.

Tetapi yang ingin kami bicarakan kali ini adalah bagaimana kalau seorang penyandang

cacat

ingin

bertamasya,

berwisata?

Perusahaan

penerbangan

internasional sudah banyak yang mengakui hak mereka ini dan mempersiapkan kursi roda untuk mentransport mereka ke pesawat. Di bandara juga disediakan lintasan khusus dan lift khusus bagi pemakai kursi roda supaya mereka dapat naik turun dari satu tingkat ke tingkat lain dengan mulus. Di bandara juga harus disediakan banyak kursi roda bagi penumpang pesawat yang tidak dapat membawa kursi roda mereka. Kursi roda juga berguna bagi penumpang yang sakit dan tidak diperbolehkan (atau tidak dapat) jalan kaki.

Di hotel yang berstandar internasional pun harus disediakan kamar khusus untuk penyandang cacat dan dibuatkan lintasan khusus untuk kursi roda. Misalnya, di bagian depan hotel (kalau mau masuk lobby) harus ada lintasan khusus untuk kursi roda sebagai pengganti tangga. Daripada kita atau petugas hotel atau teman si pemakai kursi roda harus mengangkat kursi roda bersama si penyandang cacat


melalui tangga. Dan kamar khusus yang dimaksud adalah kamar dengan pintu yang digeser sehingga kalau tidak ada orang lain si pemakai kursi roda dapat membukanya sendiri. Lebar pintupun harus cukup untuk dilewati kursi roda. Sedangkan kamar mandinya harus dilengkapi dengan pegangan dari aluminium atau besi supaya si tamu yang cacat ini dapat mengangkat dirinya ke atas toilet atau masuk bak mandi. Di kamar tidur tingginya tempat tidur diatur supaya rendah atau sejajar dengan tempat duduk kursi roda supaya ia dapat bergeser dengan kekuatan sendiri dari kursi roda ke tempat tidur. Laci-laci pakaian otomatis harus rendah dan mudah dijangkau bagi yang berada di kursi roda.

Dari segi manajemen kita tidak perlu membangun banyak kamar khusus tetapi 1 persen dari jumlah kamar sudah cukup. Kalau ada 100 kamar hotel mungkin 1 kamar khusus dapat dibangun. Kalau kita ingin membangun lebih karena riset pemasaran menunjukkan bahwa ada banyak potensi dari wisatawan penyandang cacat maka kita dapat membangun lebih banyak lagi. Setiap unsur dari hotel juga harus mengetahui apabila ada tamu yang menginap di kamar khusus itu. Dari kantor depan, keamanan, bagian makanan dan minuman, bagian tata graha (housekeeping), dll. Kelihatannya bahwa kita harus memberikan perhatian khusus kepada mereka. Tetapi perhatian ini tidaklah melebihi perhatian khusus yang harus kita berikan kepada tamu lain yang juga menginginkan sesuatu. Tamu yang beragama Islam, misalnya, harus diberitahukan bahwa makanan yang ia pesan mengandung babi. Atau kalau tamunya orang Hindu ada pantangan-pantangan khusus yang harus diperhatikan oleh petugas hotel, dari kantor depan sampai bagian dapur. Di penerbangan internasional masalah ini telah menjadi perhatian standar. Jadi kalau ada penumpang yang hanya makan sayur-sayuran maka, kalau diberitahu, perusahaan penerbangan yang bersangkutan akan menyediakan makanan khusus tersebut.

Segmen Pasar Khusus Kami menghimbau kepada siapa saja yang membaca artikel ini untuk tidak meremehkan peranan dan hak dari para penyandang cacat. Dari segi pemasaran kita


harus mengetahui eksistensi dari segmen pasar tertentu ini dan kalau kita jeli kita dapat memanfaatkan segmen pasar ini untuk membawa lebih banyak devisa ke negara kita.

Demikian pula dengan segmen pasar manula. Banyak anggota masyarakat manula di negara-negara maju yang berkeinginan untuk melancong ke negaranegara lain. Mengapa kita tidak memperhatikan mereka dan mempersiapkan usaha pariwisata kita untuk menyambut mereka. Dari segi pengembangan sumber daya manusia janganlah kita lupakan para penyandang cacat yang kalau dilatih dan dididik secara baik dapat menjadi aset perusahaan dan dapat ikut memberikan sumbangan

kepada

pembangunan nasional.

perkembangan

bisnis

sesuatu

perusahaan

maupun


PERDAMAIAN MELALUI PARIWISATA 19 September 1993 Bukan maksud kami untuk memberikan ceramah mengenai bagaimana seharusnya kita menciptakan perdamaian secara spiritual atau secara politik. Kami hanya ingin berbicara mengenai yang sudah kentara dalam kehidupan sehari-hari kita. Kami hanya ingin membagikan pengalaman kami selama berkecimpung dalam pariwisata.

Pariwisata bukan hanya suatu usaha ekonomi atau suatu mata pelajaran di sekolah / akademi / universitas. Pariwisata adalah suatu pengalaman yang mempengaruhi setiap sukma dan pikiran kita. Pengalaman pariwisata dialami oleh siapapun yang telah meninggalkan daerah asalnya atau daerah tempat tinggalnya untuk menuju suatu daerah lain dan menetap minimal 24 jam di daerah yang dituju. Pariwisata tidak berarti kalau kita meninggalkan tempat kita menuju daerah lain kita harus menetap di hotel atau jenis akomodasi lain yang kita harus bayar. Pariwisata tidak berarti kita harus melancong ke tempat-tempat rekreasi bersama orang lain dan menikmati kegiatan budaya orang-orang lain. Memang pariwisata berarti semua yang telah kami sebutkan. Pariwisata adalah kombinasi dari berbagai kegiatan. Tetapi diatas segala-galanya Pariwisata adalah suatu pengalaman bathin yang dialami secara perorangan, secara berbeda-beda. Setiap wisatawan atau pengunjung ke suatu tempat akan melihat dan mendapatkan persepsi yang berbeda terhadap sesuatu yang disaksikan bersama-sama. Coba tanyakan saja saksi-saksi suatu kecelakaan lalulintas. Beberapa saksi akan menceriterakan kecelakaan yang sama berdasarkan kacamata atau sudut pandang yang berbeda. Sulit sekali bagi kita untuk mendapatkan cerita yang persis sama mengenai satu peristiwa. Hal ini terjadi karena setiap orang berbeda dari orang lain. Yang kembaran pun memiliki perbedaan.


Pengalaman adalah Pendidikan Seperti kita ketahui, pendidikan tidak hanya berasal dari sekolah tetapi juga dari orangtua di rumah. Pendidikan formal dan non-formal tidak harus berlokasi di dalam suatu gedung. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari kita hidup dan berinteraksi dengan orang lain atau hanya sekedar melihat-lihat sesuatu sendirian adalah suatu pengalaman yang bermakna bagi diri kita. Kalau secara fisik setiap sel dalam tubuh kita berubah apalagi mentalitas kita. Apa yang dialami seseorang menentukan pandangan hidupnya.

Pariwisata sebagai suatu pengalaman sudah pasti akan merubah pemikiran kita mengenai apa yang dialami, apakah itu gaya hidup orang lain, bangunan yang dilihat, seni dan budaya orang lain, dll. Bertemu dengan orang lain yang tidak berasal dari tempat atau suku, ras, bangsa yang sama seperti kita akan membuka mata kita terhadap banyaknya perbedaan yang ada di dunia ini. Adanya perbedaan tidak berarti yang berbeda dari kita itu jelek, jahat atau salah, yang harus kita benci dan singkirkan dari dunia ini. Kalau ini adalah pandangan kita terhadap orang lain, dunia akan bersimbah darah dan dunia akan kiamat.

Masalahnya adalah bagaimana supaya perbedaan yang ada tidak ditafsirkan sebagai sesuatu yang negatif yang harus dibasmi dari permukaan bumi. Mengajar pengertian bahwa perbedaan itu tidak negatif di sekolah-sekolah, atau di rumah, atau melalui media komunikasi lainnya, tidak cukup. Tanpa mengalaminya sendiri manusia cenderung tidak percaya. Banyak diantaranya malah mudah dipengaruhi oleh orang-orang tak bertanggung-jawab yang lebih kuat mentalnya dalam mendominasi pikiran-pikiran sejumlah anggota masyarakat lainnya. Dan satusatunya cara untuk mengetahui bagaimana masyarakat lain hidup adalah dengan melihat dengan mata kepala sendiri. Berbicara, bercampur dengan budaya lain, memakan makanan bangsa lain di tempat asal makanan tersebut, menyaksikan taritarian, melihat alamnya, dlsb akan memberikan wawasan yang lebih luas kepada si wisatawan. Pengertian yang akan timbul perihal manusia lain dapat mencegah bias, praduga, dan kebencian yang merugikan semua pihak.


Pariwisata Domestik Tetapi apakah pariwisata hanya terjadi kalau kita mengunjungi negara lain? Atau orang asing datang ke negara kita? Itu tidak benar. Seperti telah kami nyatakan di atas, pariwisata terjadi kalau kita meninggalkan tempat asal atau tempat tinggal kita menuju daerah lain selama 24 jam. Ini berarti bahwa secara domestik pariwisata dapat terlaksana. Kalau orang Jakarta menuju Bandung dan menginap di kota kembang, maka ia dapat disebut wisatawan. Bukankah dengan mengenal budaya Sunda secara personal, mengalami keindahan Gunung Bromo dan menyaksikan gaya hidup orang Tengger, kita akan lebih mengerti mereka dan sebaliknya mereka pun demikian. Dengan menghormati mereka kita menghilangkan kemungkinan terjadinya konflik antar kita.

Pertemuan antara wisatawan dengan penduduk setempat adalah pertemuan antar budaya. Secara alamiah akan terjadi pertukaran pengertian. Kadang-kadang konflik atau perselisihan akan terjadi yang disebabkan kurang mengertinya mereka yang bertemu mengapa yang ditemui bertindak demikian. Atau perlakuan terhadap yang satu tidak sesuai dengan kebudayaannya. Contohnya adalah kebiasaan orang untuk meludah. Meludah sembarangan tidak dianggap baik oleh budaya tertentu tetapi dilakukan oleh orang-orang tertentu. Contoh lain adalah yang berkaitan dengan mengusap-usap kepala anak-anak kecil. Di Barat, orang dewasa menunjukkan kesenangannya terhadap anak dengan mengusap kepalanya. Tetapi di Timur, kepala dianggap sangat keramat atau suci dan tidak boleh dipegang atau diusap oleh orang lain.

Dari contoh-contoh di atas kami berkesimpulan bahwa informasi yang lengkap harus diberikan kepada para wisatawan yang berniat mengunjungi suatu tempat. Bukan hanya informasi budaya yang terperinci khususnya kebiasaankebiasaan dan larangan-larangan yang berlaku dalam budaya yang akan dikunjungi. Demikian pula penduduk setempat yang akan dikunjungi diberikan penyuluhan mengenai bagaimana memperlakukan tamu dengan baik sesuai standar umum yang berlaku di negara si pengunjung (kampanye sadar wisata).


Saling pengertian yang diciptakan akan bermanfaat bagi setiap insan karena melalui pertukaran budaya inilah saling menghargai akan terlaksana. Memang ada budaya yang lebih dominan dari yang lain yang disebabkan oleh kecanggihan teknologi. Dan banyak penduduk negara yang memiliki budaya yang dominan ini mencoba untuk mendominasi budaya lain. Misalnya, banyak warga negara-negara Barat merasa ingin mendominasi yang lain dan menganggap negara-negara lain yang dikunjungi primitif. Budaya Amerika misalnya telah mendominasi budaya lain karena pengaruh teknologi komunikasi (televisi, filem) sehingga banyak anggota masyarakat kita sendiri yang meniru gaya hidup dan kebiasaan orang Amerika. Nah, dalam hal ini konflik antar-budaya pasti terjadi dan perdamaian tidak begitu saja tercipta karena ada pertemuan antar budaya. Namun dengan meyakinkan lebih banyak orang Amerika untuk datang ke negara kita sebagai wisatawan, lebih banyak akan mengerti budaya kita. Lebih banyak informasi mengenai diri kita disebarkan di Amerika, lebih banyak warga Amerika akan berniat mengunjungi Indonesia. Diplomasi Pariwisata Negara-negara yang terkenal keindahan budaya dan alamnya seperti Lebanon dan Yugoslavia hancur karena penduduknya sendiri kurang toleran terhadap tetangganya yang memiliki budaya yang berbeda. Wisman yang datang ke kedua negara ini sebelum terjadinya perang saudara dapat memberikan kesaksian betapa indahnya kedua negara ini dari segi arsitekturnya, keindahan alamnya, budaya mereka yang tinggi, dlsb. Tetapi saling pengertian dan saling menghargai budaya orang lain tidak terjadi karena mereka jarang mengunjungi yang lain. Janganlah kita selalu puas untuk tetap berdiam di satu tempat dan tidak mengambil inisiatif untuk melancong sambil berekreasi. Keluarlah dari daerah dan mengenal budaya lain. Pengertian adalah langkah pertama menuju perdamaian. Pariwisatalah jawabannya.


PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN 13 Juni 1993 Dalam hal perlindungan konsumen pada umumnya negara kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara yang sudah maju. Anggota masyarakat sendiri masih takut untuk mengadukan produsen, penjual barang yang merugikan mereka. Belum ada tokoh yang sangat berkuasa dalam hal perlindungan konsumen seperti Ralph Nader dari Amerika Serikat. Kita mengenal Erna Witoelar, mantan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang sekarang menjadi ketua organisasi perlindungan hak konsumen sedunia. Akan tetapi mengapa kita masih tertinggal? Karena kita belum memiliki undang-undang Perlindungan Hak Konsumen.

Selain daripada itu kegiatan YLKI masih bersifat sukarela dan bekerja hampir tanpa dana. Kalau tidak ada sumbangan-sumbangan dari anggota masyarakat yang bersimpati dan dari lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan laboratorium mereka untuk penelitian pekerjaan YLKI makin sulit. Kesulitan paling utama menurut kami adalah meyakinkan konsumen untuk bersikap aktif dalam mengadukan kasus-kasus pemalsuan barang, kadaluarsanya barang atau barangbarang yang mengakibatkan kerusakan pada kesehatan si pemakai. Banyak pengaduan kepada YLKI berhasil diselesaikan tetapi banyak pula yang tidak mencapai penyelesaian yang memuaskan konsumen dikarenakan si produsen atau penjual tidak dapat dituntut ke pengadilan tanpa adanya UU Perlindangan Hak Konsumen. Akibatnya banyak warga masyarakat yang menjadi korban.

Korban Jasa Buruk Bayangkan saja apabila perlindungan terhadap konsumen mengenai barang yang defective (cacat, rusak) hampir tidak ada, bagaimana dengan mereka yang menjadi korban pemberian jasa yang kurang baik? Pada umumnya agak sulit untuk membedakan usaha jasa dengan usaha non-jasa (produksi barang) karena dalam pemberian jasa kita juga menggunakan barang. Seorang dokter, misalnya, memberikan pelayanan kesehatan yang diklasifikasi sebagai jasa. Namun ia


menggunakan barang dalam melaksanakan tugasnya seperti obat, stetoskop, alat suntik, dll. Dan kalau pelayanan sang dokter dianggap kurang baik, apakah itu karena caranya dia berkomunikasi dengan pasien atau karena dia salah memberikan resep atau hasil pembedahannya mengakibatkan keadaan pasiennya lebih parah? Atau mungkin alat suntiknya tidak steril? Dalam hal ini barang yang dipergunakan bisa tidak memenuhi persyaratan atau tindakan si dokter salah dalam melaksanakan tugasnya. Masalah ini adalah salah satu contoh bagaimana sulitnya menilai apakah suatu pelayanan (jasa) itu baik atau buruk.

Dalam bidang pariwisata jasa yang diberikan hotel, biro perjalanan wisata, perusahaan penerbangan, toko cenderamata lebih mudah untuk dinilai

baik

buruknya. Karena selain fasilitas yang dinilai juga pelayanan yang diberikan manusianya dapat dinilai berdasarkan persyaratan-persyaratan yang diterima secara universal oleh para praktisi jasa pariwisata. Mengapa? Karena jasa pariwisata adalah suatu mata rantai pelayanan yang juga termasuk barang-barang yang dipakai. Sehingga konsumen menilai secara keseluruhan bukan hanya sebagian dari mata rantai tersebut. Contohnya, bila wisatawan mancanegara mendapat perlakuan buruk di bandara ia akan menilai bahwa pengalamannya di Indonesia secara keseluruhan buruk. Pengalaman yang satu ini akan mempengaruhi bagaimana ia menilai pelayanan-pelayanan berikutnya dalam mata rantai pariwisata.

Kalau tamu hotel diberikan kamar yang AC nya rusak sedangkan ia harus membayar tarif kamar yang seharusnya ber AC, maka kita dapat segera menilai pelayanan ini kurang baik. Atau hotelnya seharusnya memiliki menu makanan pagi, tetapi sang tamu pada waktu memesan diberitahukan bahwa apa yang ada di daftar makanan tidak ada. Ini jelas-jelas suatu pelayanan yang buruk.

Banyak juga korban yang merasa ditipu karena cenderamata yang dibeli mudah rusak meskipun si pramuniaga menyatakan kekuatan dari barang yang dibeli.


Atau suatu biro perjalanan wisata menjual tiket penerbangan yang dinyatakan sudah dikonfirmasi tetapi pada saat ingin terbang petugas di bandara mengatakan bahwa nama si penumpang tidak terdaftar.

Kemana para korban pemberian jasa yang buruk ini dapat mengadu dan mendapatkan ganti rugi? Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa bila keluhan dan pengaduan diteruskan kepada perusahaan wisata yang bersangkutan pada umumnya mereka diacuhkan dan berbagai alasan diberikan tanpa ada upaya untuk memberikan ganti rugi. Malah proses pengaduan saja dibuat berbelit-belit. Sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Demikian nasib para korban pelayanan buruk jasa pariwisata.

Bersatulah Konsumen Tanpa adanya UU Perlindungan Hak Konsumen dan nrimonya masyarakat terhadap perlakuan buruk para produsen dan penjual, kita harus mengintensifkan pendidikan masyarakat mengenai hak mereka. YLKI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya tidak dapat melakukan pendidikan ini sendiri. Setiap Lembaga Pendidikan perlu mengajar hak konsumen kepada setiap anak didiknya.

Anggota masyarakat harus disadarkan bahwa mengeluh saja tidak cukup. Kita harus mengadukannya. Pengaduan kepada YLKI misalnya berarti penanganan oleh lembaga ini. Keseganan untuk mengadu sebagian besar disebabkan keengganan si pengadu untuk terlibat dalam proses pengadilan. Hal ini tidak perlu karena YLKI dapat mewakili si pengadu.

Di dunia perhotelan kami melihat beberapa reaksi yang diambil oleh konsumen yang berbentuk tindakan balasan seperti tidak membayar hotel atau menulis surat pengaduan kepada media cetak. Publisitas ini otomatis menciptakan citra yang buruk bagi hotel yang bersangkutan dan dapat mempengaruhi bisnisnya. Tindakan lain adalah dengan memboikot suatu perusahaan, apalagi kalau


perusahaan tersebut mempunyai banyak saingan. Yang dapat dilakukan konsumen adalah memindahkan bisnisnya ke perusahaan lain.

Yang sangat merugikan bagi citra/nama Indonesia adalah bila konsumen yang mendapat pelayanan buruk ini adalah konsumen asing. Mereka ini yang terbiasa dengan perlindungan haknya di negara mereka sendiri kebanyakan menuntut mitra kerja wisata perusahaan Indonesia di negara mereka. Akibatnya, perusahaan di mancanegara yang kena getahnya pelayanan buruk di Indonesia berhenti memasarkan Indonesia sebagai suatu daerah tujuan wisata.

Peranan Asosiasi Meskipun kita belum memiliki UU Perelindungan Hak Konsumen, para anggota Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (ASITA), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, dan asosiasi-asosiasi lain yang menggabung para pelaksana jasa angkutan umum, dari penerbangan sampai dengan kereta api, maupun toko-toko cenderamata dapat mendirikan suatu lembaga atau wadah yang melindungi para konsumen pariwisata. Di negara-negara maju apabila ada wisatawan yang ditipu oleh suatu BPW ia dapat mendapatkan ganti rugi dengan menghubungi Asosiasi yang bersangkutan. ASITA dapat memberikan ganti rugi misalnya kepada wisatawan yang mendapatkan pelayanan buruk dari anggotanya. Dan dengan bekerjasama dengan pemerintah ASITA dapat mencabut keanggotaannya dan otomatis ijin operasinya. PHRI pun dapat melakukan hal yang sama. Ditambah misalnya, pemberian bintang ditentukan juga berdasarkan mutu pelayanan. Para konsumen harus diberikan suatu alternatif untuk menyalurkan keluhan dan pengaduan mereka.

Yang pasti sudah saatnya sanksi dikenakan kepada penjual jasa pariwisata karena tanpa pemaksaan untuk menerapkan mutu pelayanan yang baik maka akan banyak korban yang berjatuhan. Akibatnya terhadap citra bangsa sudah pasti negatif.


Pemerintah pun tidak dapat berpangkutangan. UU Perlindungan Hak Konsumen harus dibuat dan koordinasi berbagai kementerian yang membawahi kegiatan-kegiatan transportasi

laut),

seperti

perhubungan

perdagangan

(toko

(penerbangan, cenderamata)

LLAJR, dibawah

kereta

api,

Deparpostel,

khususnya untuk memonitor pelayanan terhadap konsumen pariwisata dan mengenakan sanksi, perlu dilaksanakan.

Mengapa para konsumen harus selalu berada pada posisi lemah tanpa perlindungan? Janganlah kita lupakan bahwa bila para konsumen digalang persatuan dan kesatuannya, siapa yang memberikan pelayanan buruk akan menderita akibat dari perbuatan mereka.


PERLINDUNGAN HUKUM KARYAWAN HOTEL 17 Oktober 1993 Salah satu masalah yang sering kami temukan dalam manajemen perhotelan seperti yang diterapkan oleh hotel-hotel berbintang adalah kesewenang-wenangan manajemen terhadap karyawan. Dan ini sering terjadi pada hotel-hotel yang manajemennya dipegang oleh orang asing. Yang kami maksud dengan kesewenangwenangan adalah kebiasaan manajemen untuk memutasikan atau memaksakan karyawan untuk mengundurkan diri hanya karena si manajer tidak suka dengan karyawan yang bersangkutan. Ada manajer umum hotel yang terlibat dan ada juga manajer departemen yang terlibat dalam kasus-kasus yang kami ketahui.

Tidak perduli apakah ada Peraturan Perusahaan atau KKB (Kontrak Kerja Bersama) antara pemilik dan pengelola di satu pihak dan karyawan yang diwakili Serikat Pekerja di lain pihak. Segala cara dipergunakan untuk memaksa si karyawan merubah status kerjanya. Yang sangat menyedihkan adalah bahwa rata-rata para karyawan tidak tahu hak maupun kewajiban mereka sehingga dengan mudah mereka di�kerjain� manajemen. Fakta bahwa mereka buta hukum sama sekali tidak menolong mereka karena kalau pun persoalannya dilimpahkan ke P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) biasanya mereka tidak didampingi oleh seorang pengacara yang ahli dalam hukum perburuhan. Mengapa? Karena karyawan kecil tidak dapat membayar pengacara yang handal untuk membela dirinya. Akibatnya, banyak keputusan meskipun kelihatan memihak karyawan pada akhirnya si karyawan harus menerima apa adanya. Uang pesangon pun tidak cukup untuk mengganti kepedihan yang dialaminya. Di negara berkembang seperti kita dimana pengangguran masih tinggi, tindakan PHK (pemutusan hubungan kerja) selalu menjadi momok. Dan kita hanya memperburuk situasi dengan meningkatnya kecemburuan dan kesenjangan sosial yang tercipta karenanya. Perlindungan

hukum

tidak

sepenuhnya

diberikan

oleh

departemen

personalia dari hotel yang bersangkutan. Malahan departemen ini lebih sering dipergunakan oleh manajemen untuk menakuti-nakuti karyawan.


Dalam dunia manajemen moderen departemen personalia dilebur kedalam departemen pengembangan sumber daya manusia (PSD). Departemen PSD bukan hanya bertugas untuk mengurus administrasi kekaryawanan tetapi lebih dari itu tugasnya adalah untuk mengembangkan sumber daya manusia yang ada supaya produktifitas dan efektifitas kerja para karyawan tinggi. Ini berarti bahwa mereka itu dianggap sebagai aset perusahaan yang akan membawa keuntungan. Kenyataannya banyak manajemen hotel hanya memberikan lip service kepada konsep PSD. Banyak diantaranya sama sekali tidak mengetahui apalagi menguasai konsep ini.

Dalam upaya memberikan perlindungan kepada para karyawan hotel dan memberantas kebutaan mereka terhadap hak dan kewajiban mereka, kami akan mengupas sedikit hal-hal yang kami anggap penting baik bagi para karyawan maupun bagi manajemen yang masih belum mengerti atau tidak mau mengerti.

Kewajiban Departemen Personalia Sesuai praktek hotel-hotel berbintang besar dengan manajemen internasional ada beberapa prosedur yang harus dilalui oleh calon karyawan.

Setelah mereka lolos penyaringan administrasi dan ketrampilan, mereka ditempatkan di departemen yang membutuhkan. Kemudian mereka harus melalui minimal 3 tahap orientasi. Orientasi pertama adalah mengenai perusahaan; siapa pemilik dan manajemennya; falsafah kerja perusahaan kalau ada; peraturan perusahaan atau KKB. Pada orientasi kedua mereka diberikan job description atau uraian tugas oleh departemen yang bersangkutan. Misalnya, seorang pramusaji (waiter) akan menerima job decsriptionnya dari departemen tataboga (food & beverage) yang berisi informasi mengenai tugasnya dan kepada siapa ia harus melapor (atasan langsung). Pada orientasi ketiga para karyawan diajarkan bagaimana menanggulangi kebakaran dan P3K.


Program berikutnya adalah evaluasi kerja yang harus dilakukan secara lisan dan tertulis di depan karyawan ybs setiap bulan pada masa percobaan dan setelah itu setiap 6 bulan. Ada hotel yang melaksanakan evaluasi hanya 1 kali setahun. Praktek ini kurang baik karena karyawan ini tidak tahu apakah ia melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak sampai 12 bulan kemudian. Konsep PSD mengandung pelatihan dan peningkatan kemampuan. Jadi kalau ia baru diberitahu 12 bulan kemudian, sudah terlambat baginya untuk memperbaiki kesalahan atau kekurangan di dalam pekerjaannya. Program evaluasi ini tidak berarti bahwa kepala bagian atau penyelia berdiam diri sehari-hari. Kalau ada yang tidak benar adalah tugas mereka untuk segera memperbaikinya. Jangan karyawan yang melakukan kesalahan dibiarkan begitu saja (tidak dibimbing dan dibina). Tahu-tahunya ia dimutasi atau diPHK.

Setiap penyelia dan manajer juga harus menguasai peraturan perusahaan atau KKB. Supaya kalau ada pelanggaran ringan, sedang atau berat, si karyawan yang bersangkutan diberikan peringatan sesuai hukumnya.

Karyawan Tetap atau Kontrak Yang membingungkan bagi kami adalah ketidakpastian status karyawan. Sepengetahuan kami ada Keputusan Menteri yang menyatakan bahwa kalau karyawan dikontrak ia tidak perlu melalui masa percobaan 3 bulan. Akan tetapi kalau ia karyawan tetap, ia harus melalui 3 bulan masa percobaan dan setelah lulus itu baru ia menjadi karyawan tetap dengan semua hak dan kewajiban seperti tertuang dalam peraturan perusahaan / KKB. Ada beberapa dinas tenaga kerja yang mengatakan bahwa orang Indonesia kalau bekerja di perhotelan tidak bisa dikontrak karena mereka otomatis menjadi karyawan tetap setelah masa percobaan. Hanya manajer asing saja yang boleh dikontrak. Kenyataannya banyak manajer Indonesia yang dikontrak hotel dan banyak pula karyawan lain yang dikontrak. Celakanya, manajemen kalau tidak senang dengan karyawan kontrak sering memperlakukan karyawan tersebut sebagai karyawan tetap tanpa menghiraukan kontrak kerjanya.


Kerancuan yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi ini menyebabkan jatuhnya banyak korban diantara para karyawan. Kami jarang melihat manajer yang berbuat salah dimutasi atau diPHK.

Hubungan Industrial Pancasila Apakah masalah ini kita biarkan berjalan terus? Dalam Hubungan Industrial Pancasila, karyawan dianggap mitra kerja. Dalam praktek di banyak hotel HIP belum terlaksana. Falsafah kerja banyak manajemen hotel adalah Manajemen adalah Power (kekuatan) dan kalau karyawan tidak mau mengikuti silahkan cari pekerjaan lain. Padahal industri pariwisata masih kekurangan tenaga trampil. Bukannya tenaga kerja yang ada ditingkatkan ketrampilannya melalui program-program pelatihan, yang dianggap oleh banyak pengusaha hotel sebagai tidak penting atau memakan banyak biaya, tetapi mereka malah diteror.

Kami telah melihat banyak kasus dimana karyawan yang menang secara hukum dalam perselisihannya dengan manajemen, setelah kembali bekerja diteror dengan berbagai cara. Misalnya, seorang wiraniaga (sales executive) dimutasikan menjadi Kepala Bagian Pertamanan supaya ia tidak betah dan mengundurkan diri. Manajemen lebih senang karyawan mengundurkan diri supaya tidak perlu diberi pesangon. Atau karyawan yang tidak disukai diberikan target yang tidak wajar sehingga ia bisa dinilai gagal, tidak kompeten, dan karenanya harus dimutasikan.

Kami yakin HIP tidak berarti bahwa hanya karyawan harus baik terhadap manajemen, manajemen pun harus baik kepada karywan. Setiap mitra kerja memiliki hak dan tanggung jawab. Kalau karyawan dievaluasi oleh manajemen, manajemen perlu juga dievaluasi oleh karyawan. Minimal sesama penyelia atau manajer.

Kita harus sadar bahwa struktur organisasi berbentuk piramida tidak cocok untuk industri jasa seperti perhotelan. Karena konsumen adalah penentu sukses atau tidaknya suatu usaha, maka struktur organisasi yang tepat harus berbentuk


piramida terbalik. Yang diatas adalah konsumen yang banyak dan karyawan serta penyelia, manajer dan pemilik berada dibawah untuk melayani yang diatas. Ini berarti manajemen harus melayani para karywan dalam arti memudahkan pekerjaan mereka supaya pelayanan mereka terhadap konsumen memenuhi persyaratan kebutuhan dan keinginan konsumen.

Menyulitkan pekerjaan karyawan dengan cara apapun akan membuat mereka merasa tidak aman. Perasaan tidak aman ini akan mempengaruhi pelayanan mereka terhadap para tamu. Sudahkah kita menyadari hal ini?


PERLUKAH TENAGA KERJA ASING? 2 Mei 1993 Kita dapat menemukan banyak tenaga asing dalam bidang pariwisata Indonesia. Dalam dunia penerbangan akan kita temukan penerbang maupun teknisi asing. Dalam dunia biro perjalanan umum akan kita temukan perwakilan biro perjalanan umum asing yang beroperasi di tanah air kita seperti di Bali. Dalam dunia perhotelan akan kita temukan banyak tenaga kerja asing mulai dari bidang manajemen tertinggi sampai posisi manajerial lainnya.

Permasalahan

ini

sudah

sering

dibicarakan,

diperdebatkan,

malah

diseminarkan. Pertanyaan yang akan kita coba jawab adalah : Apakah diperlukan tenaga kerja asing dalam pelaksanaan bisnis pariwisata di Indonesia? Bukan : Apakah tenaga kerja asing ini masih diperlukan atau tidak?

Dalam era globalisasi yang juga mencakup dunia bisnis kita tak dapat mengelak dari kenyataan bahwa perbatasan antar negara dan antar warganegara asing sudah mulai hilang. Kita mengenal istilah transnational companies atau multinational

companies.

Kedua

istilah

ini

menggambarkan

perusahaan-

perusahaan yang memiliki bisnis di berbagai negara di dunia ini dan kepemilikannya tidak lagi terbatas pada warganegara atau perusahaan satu negara saja. Contohnya adalah Coca-Cola, Honda, Warner Communications, dan ratusan lainnya.

Perusahaan-perusahaan seperti ini juga ada dalam bidang pariwisata. Hilton International, Intercontinental Hotels, Hyatt International adalah beberapa dalam bidang perhotelan. Unitravel, Touropa Schnarnow, Westminster Travel adalah sebagian contoh dalam bidang tour operations (biro perjalanan umum). Ada juga beberapa perusahaan penerbangan yang kepemilikannya sekarang tersebar di berbagai benua.


Bagaimana kenyataan ini mempengaruhi pelaksanaan manajemen pariwisata di Indonesia? Yang sudah pasti, dengan masuknya modal serta manajemen asing di Indonesia, sebagai bagian dari upaya pemerintah kita untuk mendapatkan visa, tenaga asing telah dan akan memainkan peranan di negara kita. Sekarang kita harus bertanya : apakah kehadiran tenaga asing ini membawa keuntungan bagi rakyat kita? Marilah kita bahas secara lebih serius dengan menggunakan praktek-praktek pariwisata yang sudah terjadi di Indonesia.

Alih Teknologi Harus diakui bahwa pariwisata di Indonesia masih sangat muda dibandingkan negara-negara lain. Ketrampilan manajemen dalam bidang pariwisata pun masih terbatas. Meskipun pada saat ini telah berdiri banyak akademi, balai pendidikan dan pelatihan, dan sekolah pariwisata jumlah tenaga kerja trampil yang dicetaknya belum memadai dan mutunya belum dapat dipertanggungjawabkan seluruhnya. Tenaga manajemen khususnya masih sangat langka karena ketrampilan mengelola tidak dapat diperoleh langsung dari sekolah dimana teori lebih banyak diajarkan. Kemampuan mengelola terbentuk apabila kita telah terjun langsung dalam kegiatan manajemen sehari-hari.

Tidaklah mengherankan bila kita

mendapatkan banyak pimpinan perusahaan pariwisata yang datangnya bukan dari disiplin ilmu pariwisata. Jumlah penyelia dalam bidang perhotelan, misalnya, ratarata berasal dari bidang ilmu lain. Ada diantaranya mereka yang dahulu beruntung mendapatkan pendidikan di luar negeri. Ada yang orangtuanya bekerja di Departemen Luar Negeri, ada yang mendapatkan beasiswa di luar negeri. Belakangan ini dengan gencarnya kampanye lembaga-lembaga pendidikan luar negeri di Indonesia, ada diantara para pelajar yang berasal dari golongan ekonomi kuat yang menempuh pendidikan pariwisata di negara-negara barat.

Kekurangan tenaga manajemen inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pemilik modal pariwisata mengontrak tenaga kerja asing untuk menjamin investasi mereka kembali pada waktu yang cepat.


Alasan lain masuknya tenaga kerja asing berkaitan dengan masuknya investasi asing dalam bidang perhotelan. Ada banyak perusahaan perhotelan asing yang dapat membantu mencarikan dana untuk pembangunan hotel berbintang tetapi syarat utamanya adalah manajemennya harus dipegang oleh mereka. Nah, masuklah Hilton, Sheraton, Hyatt, Meridien, Holiday Inn, Intercontinental dan banyak lagi.

Dengan

begitu

pesatnya

pertumbuhan

pariwisata

Indonesia

yang

mengakibatkan tenaga manajemen nasional tidak dapat dengan segera disiapkan, maka timbul suatu sistem pendidikan baru yang diberikan oleh manajemen internasional di hotel-hotel berbintang ini kepada para tenaga kerja nasional. Diantara yang berbakat nantinya akan menduduki jabatan manajemen. Konsep alih teknologi akhirnya yang menjadi pedoman utama dalam menerima manajemen asing. Dan hanya untuk posisi-posisi yang belum dapat diisi oleh tenaga Indonesia.

Walaupun posisi General Manager (Manajer Umum) untuk hotel berbintang lima atau empat yang dikelola perusahaan manajemen asing tidak akan dipegang oleh orang Indonesia dalam jangka waktu segera, namun kami menganggap perlunya ditentukan waktu yang tepat untuk orang Indonesia bermagang sebagai Manajer Umum. Hal ini belum dilaksanakan. Masalah ini tidak dijadikan suatu keharusan dalam pemberian ijin oleh pemerintah kita. Misalnya, masa waktu kontrak manajemen suatu hotel berbintang oleh perusahaan asing diserahkan kepada pihak yang bersangkutan tetapi alih teknologi manajemen harus sudah terlaksana dalam jangka waktu 5 tahun untuk posisi-posisi manajemen madya. Sedangkan untuk posisi manajemen tertinggi (utama) dapat ditentukan masa waktu yang lebih lama sesuai dengan ada atau tidaknya orang Indonesia yang memenuhi persyaratan. Alasan Pemasaran Satu alasan lain yang sering diberikan oleh para pendukung manajemen asing adalah kemampuan mereka untuk memasarkan produk wisata Indonesia di


negara-negara pemasok wisman. Ini berarti negara-negara Eropa Barat, Jepang, Amerika Serikat. Banyak diantara warganegara asing dari kawasan-kawasan tersebut diatas yang telah menikmati suasana kerja di Indonesia. Mereka telah mendapatkan bayaran tinggi sekaligus menjadi wisatawan yang dapat mengelilingi Indonesia. Tetapi banyak pula diantara mereka yang sama sekali tidak perduli mengenai pemindahan teknologi kepada orang Indonesia. Celakanya, kami telah menemukan beberapa diantaranya yang sama sekali tidak qualified, sementara orang Indonesia dipakai untuk mengerjakan pekerjaan mereka.

Alasan pemasaran yang sering dikemukakan untuk membela tenaga manajemen asing ini juga terbukti bukan suatu hal yang mutlak. Jaringan pemasaran (marketing network) yang ada bukanlah hasil kerja dari individu tenaga asing yang mengelola perusahaan wisata Indonesia tetapi telah terbentuk oleh perusahaan

manajemen

asing

tersebut

bertahun-tahun

sebelumnya.

Jadi,

keunggulan pemasaran Hilton International Hotels atau Wagon-Lits Travel, misalnya, telah eksis sebelum tenaga kerja asing itu datang di Indonesia. Mengapa tidak dipergunakan tenaga manajemen nasional yang bekerja untuk perusahaanperusahaan itu?

Bagaimana dengan tenaga kerja asing yang sama sekali tidak berafiliasi dengan perusahaan-perusahaan manajemen wisata raksasa seperti diatas? Banyak pengusaha Indonesia mengontrak secara perorangan tenaga kerja asing untuk manajemen meskipun individu-individu ini tidak memiliki kelebihan dibandingkan putra-putra bangsa kita sendiri. Dan yang kami sangat sesalkan adalah berdatangannya mereka dari negara-negara tetangga yang tidak memasok wismanwisman yang jumlahnya “memuaskan�. Mereka ini sama sekali tidak memainkan peranan pemasaran, hanya mereka berasal dari golongan bahasa yang sama dengan sebagian penanam modal kita yang kemungkinan besar juga menanam modalnya di negara mereka. Apalagi, mereka masuk tidak dengan visa kerja meskipun mendapatkan nafkah dari kita. Bagaimana pemerintah kita dapat membiarkan hal ini kami kurang mengertinya.


Use Indonesia Kalau kita ingin masyarakat kita menggunakan produk Indonesia, janganlah kita hanya berorientasi pada komoditi barang saja tetapi juga komoditi manajemen. Sudah ada tenaga manajemen pariwisata bermutu yang dihasilkan oleh industri pariwisata Indonesia maupun yang terdidik di luar negeri. Manfaatkanlah tenaga kerja kita sendiri yang lebih mengerti lingkungan sosial-budaya Indonesia. Buat apa kita menghidupkan begitu banyak orang asing dengan gaji besar sementara tenaga kerja kita sendiri masih banyak yang menganggur. Bila kehadiran mereka disini adalah untuk mendidik kita dalam bidang manajemen yang belum kita kuasai, maka mereka patut mendapatkan imbalan yang “wajar� tetapi bukan untuk selamalamanya.


WANITA DAN PARIWISATA 11 April 1993 Persamaan apa yang dapat ditemukan dari seorang Manajer Humas Hotel, Resepsionis Hotel atau Restoran, Eksekutif Sales/Marketing Hotel, Petugas Ticketing Biro Perjalanan Umum

atau Perusahaan Penerbangan, Pramugari,

Pramusaji Restoran, Counter Sales Toko Cenderamata? Mayoritas posisi atau jabatan kerja ini diisi oleh seorang wanita. Kita boleh berkesimpulan dalam dunia pariwisata setiap pekerjaan yang berhubungan langsung dengan konsumen (guest contact) mayoritas dipegang oleh wanita. Mengapa?

Kami berpendapat di mata manajemen, wanita adalah daya tarik utama dalam bidang jasa ini. Mereka dimanfaatkan untuk menarik calon konsumen menggunakan jasa yang dijual. Meskipun situasi seperti ini menunjukkan bahwa wanita hanya dipakai sebagai objek, kita harus mengakui tanpa mereka semua keindahan dan kegemerlapan pariwisata akan pudar. Apakah ini pertanda masih dieksploitasinya kaum wanita di dunia bisnis jasa seperti pariwisata? Mungkin tidak enak didengar, tetapi secara sadar atau tidak wanita dijadikan umpan oleh manajemen untuk menarik konsumen yang mayoritas adalah pria.

Menurut kami, ini dapat terjadi karena kita hidup dalam suatu budaya yang mengagungkan pria. Jarang sekali dapat kita temukan di dunia ini kebudayaan yang mengagungkan wanita. Pria sebagai makhluk yang dominan adalah hal yang dianggap biasa. Pendapat bahwa tempat wanita adalah di rumah, membesarkan dan mendidik anak, memasak untuk sang suami, dan seterusnya

masih sangat

menonjol. Sebagai reaksi terhadap penjajahan wanita oleh pria timbullah gerakan feminisme atau women’s liberation (pembebasan wanita) di belahan barat dunia. Tujuan utama dari gerakan ini adalah mensejajarkan kedudukan wanita dalam masyarakat dengan pria. Jadi, kalau pria diperbolehkan melakukan pekerjaan keras, wanita pun boleh. Kehidupan wanita secara tradisional di dalam rumah harus diubah. Wanita pun boleh bekerja di luar rumah. Lebih bagus lagi, wanita pun harus diperbolehkan melakukan pekerjaan yang secara tradisional milik pria. Jadi wanita


pun ingin menjadi penerbang pesawat tempur, prajurit di garis depan, supir truk container, pendeta, presiden suatu negara, perdana menteri, gubernur, jaksa agung, dirut bank, dan lain-lain.

Di negara-negara timur seperti Indonesia, ada anggapan kita tidak memerlukan gerakan seperti yang timbul di negara barat. Diperlukan atau tidak, kenyataannya adalah bahwa kedudukan wanita dalam masyarakat kita masih rendah. Memang ada yang mengatakan peranan wanita sebagai ibu rumah tangga sangatlah mulia dan terhormat. Tanpa seorang ibu yang bijaksana tidak mungkin tumbuh pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh. Dilihat dari segi ini pendapat itu cukup beralasan. Namun faktanya adalah wanita tidak tidak boleh atau belum boleh menjabat posisi-posisi tinggi dalam masyarakat, apakah itu dalam birokrasi pemerintah atau dalam suatu perusahaan swasta. Sepertinya ada peraturan tak tertulis bahwa peranan wanita sudah ditentukan (oleh pria). Kodrat wanita pun dibawa-bawa.

Kami berpendapat selama kita masih membutuhkan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, selama kita hanya memiliki jumlah eksekutif wanita atau menteri wanita yang terbatas, selama wanita dihalang-halangi oleh pasangan prianya untuk berkarier, selama wanita hanya diharuskan melahirkan anak dan mengasuhnya, maka selama itu pun kedudukan wanita tetap berada pada jenjang yang rendah.

Diskriminasi Dalam dunia pariwisata yang kami geluti dapat ditemukan banyak contoh diskriminasi terhadap kaum wanita. Ada diskriminasi aktif, ada diskriminasi pasif. Contoh diskriminasi pasif dapat dilihat diantaranya dari peraturan tenaga kerja yang melarang wanita bekerja malam diatas jam 10 tanpa izin Depnaker. Bila ia bekerja sampai jam 10 atau lebih, ia harus diantar pulang oleh perusahaan sampai di rumah.


Peraturan ini seolah-olah menganggap wanita lemah, mudah menjadi incaran sang hidung belang atau pria berwatak kriminal, atau mungkin ada alasan lain yang tidak kami ketahui. Ini mungkin terjadi karena dianggap tidak aman untuk seorang wanita pulang malam-malam sendiri.

Masyarakat pada umumnya belum dapat menerima wanita bekerja di bidang jasa yang satu ini bila ia pulang malam-malam. Buktinya, banyak wanita yang pulang malam dianggap WTS atau minimal perempuan nakal. Akibatnya, dalam merekrut karyawan kami selalu menanyakan apakah si calon karyawan diizinkan oleh pacar atau suami untuk bekerja dengan jadwal kerja yang tak menentu.

Ini perlu ditanyakan karena pariwisata pada intinya memberi pelayanan kepada manusia pada jam-jam yang tidak ada batasnya. Seorang pramuwisata, misalnya, bisa memandu wisatawan pada malam hari. Adalah sangat tidak adil bila kita menilai wanita secara negatif hanya karena pekerjaannya mengharuskan dia bekerja pada malam hari.

Diskriminasi dapat juga terlihat dari posisi yang diberikan kepada wanita. Hampir dapat dipastikan dalam lima tahun mendatang wanita Indonesia tidak akan mendapatkan jabatan General Manager hotel berbintang internasional di Indonesia. Tidak adanya wanita yang dapat menjadi pimpinan tertinggi sesuatu hotel besar disebabkan tidak adanya pelatihan khusus yang diberikan kepada calon pimpinan wanita.

Biasanya ia mentok di posisi Executive Housekeeper (Kepala Bagian Tata Graha) yang tugas utamanya adalah menjaga kebersihan dan kerapihan hotel, atau ia berhenti di jabatan Public Relations Manager. Kalau pun ada wanita yang menjadi pemilik hotel atau biro perjalanan umum, itu disebabkan ia menikahi seorang pria yang memiliki dana, koneksi, dan percaya akan kemampuan istrinya dalam bidang ini. Memang ada pengecualian tetapi namanya juga pengecualian.


Prostitusi dan Pariwisata Yang sangat menyakitkan adalah sementara pendapat bahwa bisnis pariwisata adalah penyebab prostitusi. Dan kalau kita berbicara soal prostitusi kita maksudkan wanita yang menjual tubuhnya demi kepuasan pria. Jarang sekali kita menyinggung PTS (Pria Tuna Susila) yang sudah ada di bumi Indonesia.

Yang perlu dijelaskan adalah sebelum adanya pariwisata sebagai kegiatan yang terorganisasi dan terkoordinir, sebelum pariwisata menjadi ilmu yang harus dipelajari, prostitusi sudah ada. Pariwisata bukan penyebab munculnya profesi tertua di dunia ini. Masyarakat yang budayanya didominasi pria adalah penyebabnya. Dan sekarang kita, pria dan wanita, mencari kambing hitam. Kambing hitamnya adalah pariwisata.

Benar, apabila kita mengatakan kamar-kamar hotel, khususnya motel, sering dipergunakan untuk kegiatan pelacuran. Tetapi apakah ada hotel, motel, wisma, losmen atau tidak, siapa yang ingin melakukannya dapat menggunakan tempat apa saja. Dan tempat penginapan yang dikelola secara profesional tidak pernah akan menyediakan kamar-kamarnya secara eksplisit untuk kegiatan ini.

Masalahnya, bila hotel meminta akte nikah kepada setiap pasangan yang mau check-in, bagaimana hotel itu bisa menjaring konsumen. Kita pun tidak berhak untuk memeriksa setiap kamar setiap saat karena ini melanggar perjanjian implisit antara manajemen dan tamu. Yakni, kamar yang disewa merupakan rumah si tamu. Jadi apa yang terjadi di belakang pintu kamar adalah hak pribadi tamu.

Selama ketertiban umum tidak terganggu dan tidak ada tindak pidana seperti pembunuhan,

penyiksaan,

penggunaan

narkotika,

manajemen tidak dapat memasuki kamar dengan paksa.

dan

sebagainya,

pihak


Betul bahwa pariwisata memberikan banyak kesempatan kepada konsumen yang ingin beradvonturir di dunia seks, tetapi kegiatan positif dan hasil positif dari pariwisata jauh lebih tinggi daripada negatifnya.

Pendidikan Pariwisata Derajat wanita dalam pekerjaan pariwisata dapat ditingkatkan apabila pendidikan formil dan non formil pariwisata mengarahkan para pelajar/siswa dan anggota masyarakat kepada falsafah layanan yang menjadi ciri khas bisnis ini. Bahwa masyarakat perlu ditatar mengenai kesamaan hak wanita dengan pria adalah suatu kesimpulan yang harus diterima. Sadar wisata sebagai gerakan harus bergaung kembali. Kampanye sadar wisata yang pernah diproklamirkan pemerintah tidak cukup hanya untuk satu tahun. Kita tidak dapat hanya menjadikan kampanye ini sebagai suatu gerakan simbolis.

Pariwisata sebagai suatu ilmu, sebagai suatu kegiatan ekonomi dan sebagai suatu gerakan sosial harus diajarkan dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat universitas.

Peranan wanita dalam pariwisata harus diperjelas dan diperluas. Bukan hanya dalam bidang customer relations (hubungan dengan konsumen) saja mereka dapat aktif berperan, tetapi dalam bidang manajemen pula. Karena pria dan wanita diciptakan untuk saling mendampingi, alangkah baiknya bila kemitraan ini tercermin dalam pekerjaan pariwisata.


WISATA KONVENSI 15 Agustus 1993 Kalau kita berbicara mengenai pariwisata, kita bukan hanya berbicara mengenai suatu industri

atau suatu sistem manajemen, tetapi juga mengenai

berbagai jenis pasar yang ada.

Dalam istilah manajemen kita berbicara mengenai segmen pasar. Setiap anggota masyarakat dapat dikategorikan dalam berbagai segmen pasar. Misalnya seorang anak berusia 15 tahun dapat masuk segmen pasar remaja, atau segmen pasar anak sekolah SMA, atau segmen pasar laki-laki atau perempuan tergantung jenis kelaminnya, dan banyak lagi. Ini berarti bahwa dalam memasarkan suatu barang atau jasa kita harus melihat dulu siapa yang akan menggunakan barang atau jasa tersebut. Kalau barang/jasa yang kita buat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan segmen pasar yang dituju maka dapat dijamin barang/jasa tersebut akan laku. Makanya, dalam bisnis kita sering mendengar bahwa suatu produk menguasai sekian persen dari pasar. Atau dalam istilah manajemen, pangsa pasar.

Dalam pariwisata, kita juga mengenal berbagai segmen pasar. Betul bahwa wisatawan itu bisa laki-laki, perempuan, dewasa, anak, golongan ekonomi lemah, golongan ekonomi kuat, tua, muda. Kategorisasi tersebut diatas kita sebut sebagai kategori demografis. Tetapi segera setelah kita meneliti keinginan khas mereka, kategori demografis hanya menjadi sebagian dari pertimbangan seorang usahawan wisata. Bisa saja berbagai kategori demografis ini menyatu dalam diri seseorang dan ia menjadi satu segmen dengan orang lain yang secara demografis berbeda karena mereka memiliki keinginan yang sama.

Mari kita lihat contohnya. Seorang usahawan pria berusia 30 tahun dan berada dalam golongan ekonomi kuat, menjadi anggota satu segmen pasar dengan seorang ibu rumah tangga berusia 60 tahun berasal dari golongan ekonomi menengah, karena kedua orang ini berkeinginan untuk menjadi wisatawan ke Bali


dan melakukan perjalanan ke pulau dewata ini bersama-sama dalam satu kelompok dengan orang-orang lain yang berkeinginan sama.

Meskipun mereka berasal dari berbagai profesi, memiliki umur yang berbeda-beda, dan berkediaman di berbagai pelosok kota, mereka disatukan dalam satu segmen pasar karena keinginannya sama, yaitu mengunjungi Bali. Bagaimana kita tahu

bahwa mereka sama-sama ingin ke Bali? Melalui riset dan melalui

kegiatan pemasaran, termasuk promosi niaga.

Jenis Wisata Adanya berbagai jenis wisata disebabkan oleh adanya berbagai keinginan dalam masyarakat konsumen. Agrowisata diadakan karena ada wisatawan yang ingin tahu mengenai keadaan pertanian dari suatu negara. Wisata Olahraga diciptakan karena ada wisatawan yang ingin melancong dengan tujuan utama menyaksikan suatu peristiwa olahraga, misalnya Piala Dunia Sepakbola.

Wisata Bahari sangat populer karena ada banyak anggota masyarakat yang ingin menjadi wisatawan, tetapi dengan menjelajahi dunia atas air maupun dunia bawah air. Wisata Budaya adalah jenis wisata dimana para wisatawan ingin melihat budaya dan seni suatu bangsa, bangsa sendiri atau bangsa orang lain. Kita juga pernah mendengar wisata petualangan bagi mereka yang ingin menikmati alam melalui perjalanan yang mengandung suatu risiko, misalnya masuk hutan atau mengunjungi suatu taman nasional seperti Ujung Kulon.

Malahan, sekarang dengan perhatian pada lingkungan timbul wisata lingkungan atau dalam bahasa Inggris ecotourism. Apa itu ecotourism? Banyak pakar wisata pun masih memperdebatkannya. Tetapi bagi kami ecotourism tidak jauh berbeda dengan wisata petualangan atau adventure tourism.

Perbedaannya terletak pada apakah kegiatan yang dilakukan wisatawan mengandung risiko besar atau tidak.


Wisata Konvensi adalah jenis wisata yang dirancang khusus bagi mereka yang ingin menghadiri suatu konperensi, konvensi atau rapat di suatu daerah yang juga memiliki daya tarik lain. Misalnya, sambil menghadiri konperensi para peserta juga dapat menikmati keindahan alam dan budaya daerah dimana pertemuan itu diadakan. Namun jangan salah tangkap. Adanya berbagai jenis wisata tidak berarti bahwa dalam kegiatan wisatawan yang bersangkutan mereka hanya melakukan satu jenis kegiatan. Misalnya, wisatawan bahari tidak hanya bermain di air saja. Ia juga dapat menikmati budaya dan kesenian setempat, hanya sebagian besar dari waktunya dipergunakan untuk menikmati dunia air.

Penghasil devisa Indonesia yang dikaruniai oleh Tuhan YME dengan keindahan alam dan budaya, juga memiliki anggota masyarakat yang trampil dalam membangun gedung-gedung megah dan indah untuk pertemuan dan mengelolanya dengan baik. Dibandingkan dengan jenis wisata yang lain Wisata Konvensi lebih banyak menghasilkan devisa per wisatawan daripada jenis wisata lain.

Mereka yang melancong secara berkelompok melakukan hal itu karena biaya perjalanan, akomodasi, makan dan minum, menjadi lebih murah. Jadi, wisatawan yang tidak berkantong tebal pun dapat menikmati. Tetapi untuk wisata konvensi pengeluarannya lebih tinggi. Mengapa? Karena kebanyakan peserta suatu konvensi dikirim oleh perusahaan, asosiasi atau lembaga di mana mereka bekerja.

Ini berarti biaya partisipasinya ditanggung perusahaan. Karena biayanya sebagian dibayar oleh perusahaan maka uang mereka sendiri dapat digunakan untuk hal-hal lain. Bagi peserta perorangan dapat dipastikan mereka berasal dari golongan ekonomi menengah dan kuat. Bayangkan saja bahwa untuk ikut serta saja mereka harus membayar. Belum biaya lain seperti akomodasi, tour-tour, belanja cenderamata, dan lain-lain.


Daerah-daerah wisata utama seperti Bali, Yogyakarta, Jakarta, Medan, Bandung dan banyak kota besar lainnya harus memiliki fasilitas konvensi yang memadai bila kita ingin menikmati devisa dari wisman yang berkonvensi. Sudah bagus kita memiliki budaya yang mengagumkan para wisman, tetapi bila ada gedung pertemuan yang lengkap dengan kemudahan komunikasi dan peralatan konvensi, maka si wisman akan membawa lebih banyak devisa.

Gedung konvensi tidak selalu harus yang berukuran raksasa untuk ribuan peserta. Kita dapat membangun yang kecil untuk rapat-rapat kecil. Katakanlah untuk 100-300 peserta. Yang penting adalah fasilitas yang lengkap dan canggih.

Wisata Konvensi juga berlaku bagi wisnus. Memang wisnus tidak membawa masuk devisa, tetapi mereka membawa uang yang dapat menghidupkan banyak orang di daerah tujuan. Apalagi ekonominya menjadi hidup karena ada perputaran uang yang berkesinambungan. Telah menjadi suatu praktek baru yang didukung oleh para ahli manajemen bahwa perusahaan harus sekali-kali mengadakan pertemuan interen di luar gedung perkantorannya dan kalau bisa di luar kota.

Hal ini lebih menyegarkan bagi para peserta dan kreatifitas akan lebih terpacu oleh lingkungan baru. Jadi kalau perusahaannya berada di Jakarta, adakanlah rapat di Bandung atau Yogyakarta atau Bali. Kalau perusahaan kita berada di Semarang, adakanlah rapat di Ambarawa atau Yogyakarta.


Pengelolaannya Wisata Konvensi seperti halnya dengan wisata lainnya memerlukan ketrampilan pengelolaan khusus. Selain penguasaan terhadap peralatan di ruang konvensi kita juga harus mahir dalam pengelolaan logistik. Angkutan khusus (udara, darat, laut), makanan dan minuman dalam jumlah yang besar maupun kecil, kesekretariatan, tenaga kerja harus prima. Jangan asal-asalan. Misalnya, penterjemah dan notulis yang dapat bekerja dengan cepat harus dimiliki.

Di Yogyakarta sudah waktunya dibentuk suatu sistem pendidikan yang canggih untuk menghasilkan tenaga kerja kesekretariatan konvensi yang dapat dibanggakan. Sudah banyak yang mengadakan rapat dan konvensi di kota tercinta kita ini tetapi tenaga ahlinya dibawa oleh panitia pelaksana dari luar Yogya.

Biro-biro perjalanan wisata daerah harus memiliki pemandu wisata yang mengerti mengenai konvensi. Hotel-hotel dan gedung-gedung pertemuan juga harus memiliki tenaga kerja yang mahir dalam pengelolaan rapat atau konvensi. Perusahaan-perusahaan penerbangan juga harus memiliki tenaga kerja yang mengerti bagaimana memberikan pelayanan yang cepat kepada para peserta suatu konvensi. Memang pada akhirnya Wisata Konvensi lebih menguntungkan.


WISATA PEDESAAN 16 Mei 1993 Kami ingin menanggapi surat yang dikirimkan kepada kami oleh Organisasi Muda-Mudi Karanggede di Bantul yang menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan Wisata Pedesaan.

Sebelum kami menuju kepada substansi surat tersebut perlu dijelaskan makna dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh kalangan tertentu. Kami menganggap ini perlu supaya kita memahami bahasa yang sama.

Dalam industri pariwisata timbul banyak istilah-istilah yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai ”jargon”. Jargon menurut Kamus Inggris-Indonesia oleh John M. Echols dan Hassan Shadily adalah bahasa golongan tertentu. Setiap cabang ilmu pengetahuan memiliki jargonnya sendiri-sendiri. Menurut kami jargon adalah perwujudan dari keangkuhan ilmuwan-ilmuwan yang ingin menciptakan suatu golongan elit tersendiri. Karena jargon ini tidak dimengerti oleh kaum awam.

Karena tujuan kami adalah memasyarakatkan pariwisata maka jargon pariwisata harus terlebih dahulu diterjemahkan dan disederhanakan sehingga kita bersama-sama memahaminya. Dalam bidang pariwisata ini kita dapat menemukan banyak

istilah-istilah

yang

sulit

dimengerti

dengan

sendirinya.

Misalnya

Agrowisata, Wisata Pedesaan, Ecotourism, dan lain sebagainya. Bila kita sudah menyepakati arti yang sama maka barulah kita dapat membahasnya.

Desa Wisata Di negara-negara yang sedang berkembang, masyarakat pada umumnya masih hidup secara sederhana dan pertanian adalah mata pencaharian mereka. Di Indonesia pun pertanian masih menjadi ciri utama kehidupan pedesaan. Dalam bahasa Inggris ilmu pengusahaan tanah pertanian disebut ”agronomy”. Jadi, kata yang berawal dengan ”agro” mengandung arti tanah pertanian. Sekarang muncul suatu usaha untuk membawa wisatawan ke daerah-daerah pedesaan untuk melihat


kehidupan di desa sambil menikmati suasana khas daerah pertanian. Kegiatan baru ini diberi nama agrowisata. Dan para wisatawan yang dijadikan sasaran pemasaran oleh pelaksana agrowisata adalah mereka yang belum pernah melihat kehidupan di desa, alias orang kota. Agrowisata dapat juga dipasarkan kepada wisman yang berasal dari daerah pertanian di luar negeri dan ingin mengetahui bagaimana kehidupan di desa-desa negara lain.

Akibat dari perkembangan ini adalah timbulnya istilah baru yaitu desa wisata dan wisata pedesaan. Desa Wisata dapat diartikan suatu desa yang sudah dipersiapkan untuk menerima wisatawan. Sedangkan wisata pedesaan sama artinya dengan agrowisata.

Dengan direkomendasikannya Yogyakarta sebagai Daerah Tujuan Wisata Pedesaan oleh Konperensi Internasional Mengenai Wisata Budaya, banyak unsur pariwisata daerah ini mulai berlomba untuk mempersiapkan desa-desa tertentu menjadi obyek wisata. Dalam hal ini kami sangat menghargai upaya para pemuda Karanggede, Bantul untuk bergerak ke arah ini.

Struktur Organisasi Pengelolaan Wisata Pedesaan, seperti pengelolaan jenis-jenis wisata lainnya, harus melibatkan banyak unsur dan koordinasi antar sektor harus mulus. Ini hanya dapat terlaksana jika struktur organisasinya dibuat seramping mungkin dengan garis komando yang jelas atau kewenangan setiap bagian dari organisasi ini tidak saling tumpang tindih. Kebiasaan di negara kita adalah memasukkan sebanyakbanyaknya orang dalam suatu organisasi. Ada seksi inilah, seksi itulah. Pokoknya semua kebagian sehingga organisasinya menjadi �gendut� dan terlalu banyak yang mau jadi �boss�. Kami jamin kalau ini terjadi maka hasilnya hanya satu – Kegagalan.

Semua unsur harus terwakili tetapi dengan wewenang yang bertanggung jawab. Maksud kami, wewenang hanya dipergunakan untuk mencapai sasaran yang disepakati bukan untuk pamer kekuasaan dan mempersulit kegiatan unsur lain.


Perangkat desa, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan terkait, semua instansi terkait (Dinas Pariwisata, Dinas PU, dll), PHRI, ASITA, HPI perlu dilibatkan dalam organisasi ini. Ada kecenderungan Pemda menunjuk suatu perusahaan untuk mengelola suatu obyek wisata dengan tujuan utama memungut retribusi. Ini tidak baik karena pengembangan obyek wisatanya tidak tertuang dalam suatu Program. Hasil pungutan retribusinya malah hanya untuk menambah pendapatan Pemda saja yang akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain.

Kepentingan bisnis memang harus diperhatikan karena suatu usaha yang tidak bermotifkan laba tidak akan berhasil. Tidak mungkin seorang pengusaha atau suatu perusahaan mau mengelola sesuatu kalau tidak ada untung baginya. Namun keuntungan ini jangan semata-mata hanya untuk si pengusaha atau perusahaan yang ditunjuk tetapi untuk semua yang terlibat dalam pengelolaan suatu obyek wisata.

Yang kami maksud adalah pengelolaannya harus secara profesional dan seperti suatu usaha bisnis. Semua unsur tersebut diatas tadi harus dihimpun dalam suatu TOURISM DEVELOPMENT CORPORATION (TDC) atau PERUSAHAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA yang berbentuk perseroan terbatas.

Sistem Pemasaran Seperti pemasaran paket-paket wisata lainnya, pemasaran wisata pedesaan dapat dilakukan melalui Biro-biro Perjalanan Wisata (BPW) dalam dan luar negeri, melalui perusahaan-perusahaan penerbangan nasional dan asing, melalui kantorkantor Promosi Pariwisata Indonesia di luar negeri. Justru kehadiran anggotaanggota PHRI, ASITA dan HPI dalam organisasi TDC ini akan mempermudah usaha pemasaran.

Para anggota HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia) cabang DIY dapat diundang meninjau obyek wisata pedesaan ini. Mengundang BPW-BPW tertentu


untuk meninjau dan memberikan saran juga dapat dilakukan. Sudah tentu anggota pers nasional dan para koresponden media asing jangan dilupakan.

Paket Wisata Pedesaan macam apa yang dapat diciptakan? Kami pernah menikmati keramahtamahan seorang tokoh Minahasa di Desa Sonder, Sulawesi Utara beberapa tahun yang lalu. Pada waktu itu Keluarga Eman telah mengembangkan Desa Sonder menjadi Desa Wisata. Beberapa rumah penduduk diperbaiki untuk dapat menerima tamu dan dikategorikan dalam 3 kelas, A, B, dan C. Rumah Kategori A lebih besar, lebih luks daripada yang lain. Persis seperti jenis kamar hotel yang berbeda fasilitas dan harganya. Di desa itu juga dibuka satu BPW untuk menangani permintaan tour para wisatawan. Suatu Taman Rekreasi yang luas dengan fasilitas konvensi dibangun. Dalam taman yang berbukit-bukit ini para pengunjung dapat bermain-main di danau buatan, duduk-duduk santai melihat pemandangan indah atau mempelajari berbagai jenis pepohonan dan tumbuhan dari seantero nusantara yang ditanam dengan tanda pengenal pada setiap tumbuhan.

Setiap wisatawan yang datang akan disambut dengan tari-tarian Minahasa seperti Tari Cakalele. Wisatawan pun mendapat kesempatan untuk mengenal penduduk dan menyaksikan kehidupan sehari-hari mereka. Kelompok-kelompok wisatawan juga disuguhkan makanan khas daerah itu seperti Bubur Manado.

Village Life Tour Kami pernah merancang suatu Paket Wisata yang kami sebut Village Life Tour atau Tour Kehidupan Desa. Bedanya dengan contoh Desa Wisata Sonder, paket kami ini tidak memerlukan penginapan di desa. Paket ini hanya untuk Tour 1hari.

Kita memulai perjalanan dengan mengunjungi Candi Borobudur atau Candi Prambanan atau Kraton. Kemudian kita mengunjungi suatu desa yang letaknya tidak jauh dari obyek wisata yang dikunjungi sebelumnya. Setibanya di desa ini kita


dipandu oleh pramuwisata atau wakil warga desa berjalan kaki mengelilingi desa untuk melihat warga desa membuat benda-benda kerajinan seperti wayang kulit atau wayang golek, keramik, ukiran-ukiran, dlsb. Di tempat pembuatan wayang, misalnya, diadakan pertunjukan singkat disertai penjelasan mengenai tokoh-tokoh pewayangan. Dari sana kita diajak ke balai desa untuk makan secara lesehan dengan menggunakan tangan, a la tradisional, sambil menikmati tari-tarian yang dipersembahkan oleh warga desa. Musik tradisional pun dapat dipertunjukkan seperti orkes bambu tektek.

Untuk para wisman perlu diperlihatkan bagaimana para petani kita mempersiapkan lahan, membajak sawah atau memanen. Meskipun ada yang berpendapat bahwa memperlihatkan cara kerja petani tradisional kita ini dapat memberikan kesan bahwa warga desa kita masih terbelakang, kami tetap beranggapan bahwa selama faktor-faktor modernisasi maupun cara-cara lama dalam pertanian yang merusak lingkungan tidak kita perlihatkan para wisman akan terkesan.

Semoga Wisata Pedesaan menjadi paket wisata andalan Yogya!


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.