YAYASAN
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting ŠWahid Institute, 2012 Ukuran
: 14 cm x 21.5 cm
Halaman
: iv + 184 hlm
Cetakan 1
: November 2012
Tim Penulis Supervisor
: Yenny Zannuba Wahid
Koordinator
: Rumadi
Anggota
: M. Subhi Azhari Nurun Nisa Tedi Kholiluddin Khairul Anwar
Editor naskah
: Ahmad Suaedy
Desain Sampul
: Neng Erlina
Tata Letak
: Ulum Zulvaton
Badrus Samsul Fata
Hak Terbitan pada The Wahid Institute Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
The WAHID Institute
Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Jakarta 10320, Indonesia Phone: +6221-3145671 /3928233 Fax. +6221-3928250 www.wahidinstitute.org ; info@wahidinstitute.org Didukung:
YAYASAN
DAFTAR ISI Pengantar Penerbit ............................................... iii Bab I Kata Pengantar ..................................................... 1 Bab II Penetapan Kembali Pasal 156a KUHP Tentang Penodaan Agama Oleh Mahkamah Konstitusi ....... 11 Bab III Simpang Jalan Politik Rumah Ibadah di Indonesia .......................................................... 71 Bab IV Dari Pengeras Suara Hingga Dakwah Provokatif Problematika Kebijakan Penyiaran Agama di Indonesia .......................................................... 113 Bab V Penutup................................................................ 159 Daftar Pustaka ..................................................... 167 Index .................................................................... 175
i
Pengantar Penerbit
Puji bagi Tuhan buku Working Paper (Kertas Kerja) The Wahid Institute (WI) ini akhirnya terbit setelah melalui proses yang cukup lama. Inilah salah satu output dari kerja-kerja advokasi dan pemantauan isu-isu keagamaan yang selama 5 tahun ini dilakukan WI dan jaringan di beberapa daerah. Hadirnya buku berjudul Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting ini diharapkan menambah sumbangan pemikiran bagi upaya membangun toleransi dan memperkuat jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Sebagaimana disadari tantangan dalam membangun toleransi semakin berat, sehingga upaya sekecil apapun akan sangat bermakna. Sebagaimana judulnya, buku ini mengangkat tiga isu penting kehidupan beragama khususnya di Indonesia yakni isu penodaan agama, isu rumah ibadah dan isu penyiaran agama. Ketiga isu ini dipilih dari banyaknya kasus terkait ketiganya dan hasil analisa WI dan jaringan terhadap trend menguatnya ketiga isu ini baik di level nasional maupun lokal. Hal ini bukan berarti isu-isu lain dianggap tdak penting, namun semata-mata karena dua alasan di atas. Dalam prosesnya, penulisan buku ini tidak hanya dilakukan oleh tim dari WI namun juga dari beberapa jaringan. Ketiga isu ini dibagi berdasarkan kesepakatan dalam sebuah pertemuan nasional tiga lembaga yakni WI-Cmars Surabaya dan Elsa Semarang pertengahan 2011 lalu, dimana WI menulis tema rumah ibadah, Cmars menulis tema penodaan agama dan Elsa menulis tema penyiaran agama. Karena itu, tentu ada beberapa perbedaan karakter tulisan baik dalam hal pendekatan maupun aspek-aspek kebahasaan. Perbedaan ini telah
iii
diupayakan untuk dijembatani melalui sebuah Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta beberapa waktu lalu diikuti ketiga lembaga tersebut dan mengundang beberapa exspert. FGD ini diharapkan dapat mendekatkan beberapa perbedaan mendasar tanpa mengurangi substansi yang disajikan. Akhirnya, penerbit ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Antara lain: kepada para penulis yang telah menyelesaikan tulisan seperti yang diharapkan WI. Juga terima kasih kepada para ahli yang telah memberi masukan yang berharga dalam memperkaya substansi buku ini antara lain: Dr. A. Syafii Mufid dari Balitbang Kementrian Agama, Ahmad Suaedy dari Abdurrahman Wahid Center yang sekaligus bersedia menjadi editor substansi dan Febi Yonesta dari LBH Jakarta. Juga kepada seluruh jaringan WI di berbagai daerah individu maupun institusi yang telah membantu pengumpulan data yang terkait. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Yayasan TIFA yang telah mendukung percetakan buku ini. Selamat membaca. The Wahid Institute Jakarta, 10 Oktober 2012
iv
Bab I Kata Pengantar Lorong Panjang Mengelola Toleransi di Indonesia
Toleransi” adalah istilah yang sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kata ini bahkan dianggap sudah inheren dalam jiwa bangsa Indonesia karena jauh sebelum berdirinya negara ini kata itu sudah menjadi kearifan dan cara hidup masyarakat Nusantara. Sebagaimana kita tahu Nusantara adalah bangsa yang majemuk yang diperlihatkan dari banyaknya agama, suku, dan ras. Kemajemukan ini telah lama hadir sebagai realitas empirik yang tak terbantahkan. Indonesia kemudian dikenal sebagai bangsa dengan sebutan “mega cultural diversity karena di Indonesia terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 jenis ragam bahasa yang berbeda.1
“
1 Khamami Zada, “Pemberdayaan FKUB dan Tantangan Pemeliharaan Kerukunan antar Umat Beragama di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Pembuatan Modul: Penguatan Kapasitas Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tentang Konstitusi, HAM, dan Mediasi Konflik Keagamaan,
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
1
Istilah “toleransi” berasal dari bahasa Latin “tolerate” yang berarti membiarkan mereka yang berpikiran lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Dalam ilmu biologi misalnya, istilah toleransi dipakai untuk membiarkan terus bertumbuhnya sebuah kelainan biologis di tubuh seseorang, misalnya kutil. Dalam ilmu tumbuh-tumbuhan, istilah ini dipakai untuk mengacu kepada kemampuan suatu organisme menolak pengaruh suatu parasit, virus atau dari faktor-faktor lingkungan.2 Di Indonesia, istilah toleransi juga sering dipadankan dengan kata “kerukunan”. Pemakaian istilah ini bahkan lebih massif tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga oleh Pemerintah. Misalnya beberapa tahun lalu ada Rancangan Undang Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU-KUB), juga saat ini di berbagai daerah didirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Bahkan dalam berbagai sambutan resmi, para pejabat negara lebih sering menggunakan istilah kerukunan ketimbang toleransi. Namun demikian, kedua istilah ini tidak perlu dipertentangkan karena baik secara empirik maupun teoritik, keduanya bisa dipadankan dalam pengertian yang sama. Dalam perkembangannya, toleransi beragama di Indonesia tidak hanya menjadi kenyataan sosial namun juga menjadi diskursus politik dan hukum. Telah banyak regulasi yang lahir terkait pengaturan toleransi beragama di Indonesia. Regulasi-regulasi tersebut mengatur berbagai aspek menyangkut penciptaan iklim toleransi di tengah masyarakat. Ada regulasi yang mengatur pendirian Kerjasama The Wahid Institute dan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2628 Maret 2012. 2 Andreas A. Yewangoe, “Regulasi Toleransi dan Pluralisme Agama” dalam Elza Peldi Taher, Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 tahun Djohan Effendi, Edisi Digital (Jakarta: Democracy Project, 2011), Hal. 80.
2
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
rumah ibadah, bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan, masalah penyiaran agama, hal perayaan hari besar keagamaan, regulasi menyangkut aliran-aliran keagamaan hingga masalah perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya politik yang terencana dan terarah terutama dari negara untuk mengelola toleransi beragama di Indonesia sesuai dengan tujuan dan visi pemerintah. Pada era Orde Baru misalnya, tujuan dari lahirnya sederet regulasi tersebut adalah untuk menciptakan stabilitas sosial dan politik untuk mendukung program pembangunan. Dalam musyawarah antaragama pada 30 November 1967 Presiden Soeharto menyampaikan: “secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus berani mengakui bahwa musyawarah antaragama ini justru diadakan oleh karena timbul berbagai gejala di berbagai daerah yang mengarah pada pertentangan-pertentangan agama‌Sebab bila masalah tersebut tidak segera dipecahkan secara tepat, maka gejala tersebut dapat menjalar ke mana-mana yang dapat menjadi masalah nasional. Bahkan, mungkin bukan sekedar masalah nasional malainkan dapat mengakibatkan bencana nasionalâ€?3. Pernyataan ini menyiratkan adanya penilaian Pemerintah Soeharto terhadap situasi kehidupan beragama serta adanya visi untuk menghindari masalah yang lebih besar. Penilaian dan visi inilah yang kemudian memicu lahirnya berbagai aturan yang telah disebutkan di muka. Artinya, lahirnya berbagai aturan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait oleh tujuan politik Pemerintah Orde Baru menciptakan stabilitas serta mengelola hubungan antar agama. Dan hal itu memang 3 Saifullah Ma’shum (ed). Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tahun Tokoh Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Yayasan Saufidin Zuhri. 1994), Hal. 216.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
3
terbukti berhasil meminimalisir konflik agama muncul ke permukaan. Hal ini dipertegas oleh Menteri Agama KH. M. Dachlan dalam pidatonya pada 30 November 1967. Ia mengatakan: “Adanya kerukunan antara golongan beragama adalah merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet AMPERA‌â€?. Istilah ini kemudian dibakukan Pemerintah Orde Baru dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bahkan sejak REPELITA 1 telah diadakan satu proyek dengan nama Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama,4 Namun upaya Pemerintah Orde Baru meredam konflik antar agama ternyata tidak efektif menghilangkan benih-benih konflik di berbagai daerah. Sebaliknya, pendekatan stabilitas yang diterapkan hanya melahirkan rasa takut ketimbang kesadaran untuk membangun toleransi dan saling menghormati antar agama di tengah masyarakat. Pada sisi yang lain, politik stabilitas yang diterapkan rezim Soeharto telah berimplikasi pada penciptaan berbagai aturan diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama serta pelanggaran terhadap hak-hak beragama. Misalnya, ancaman hukuman pidana bagi seseorang yang dihukum sesat oleh hukum pidana Indonesia, atau divonis menodai agama, bahkan organisasi yang dianggap menyebarkan ajaran atau ideologi yang bertentangan dengan agama dapat dibubarkan oleh pemerintah.5 Muktiono mencatat rezim Orde Baru juga melakukan formalisasi dan
4 Tim Puslitbang Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang Undangan Kerukunan Umat Beragama, (Badan Litbang dan Dillat Kementrian Agama RI: 209), Hal. 5. 5 Al Khanif, SH., MA., L.L.M., Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2010), Hal. 71.
4
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
pelembagaan aspek ke-Tuhanan yang merambah ke seluruh aspek ketatanegaraan dan administrasi di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, melawan atau bahkan sekedar mempertanyakan “prinsip ke-tuhanan” akan membawa konsekuensi pidana, sosial, dan politik karena dianggap sebagai “komunis” dan menjadi musuh negara dan masyarakat. Lebih lanjut Muktiono mengatakan, gelombang reformasi 1998 telah membuka ruang bagi perdebatan terhadap “Prinsip Ke-Tuhanan” mulai dari kelas-kelas di kampus, gedung parlemen, media massa, sampai dengan ke pengadilan konstitusi. Materi paling menonjol dalam perdebatan publik tersebut adalah tentang gugatan terhadap praktek-praktek diskriminatif yang telah diterima oleh kelompok beragama/berkeyakinan. 6 Reformasi juga membuka ruang bagi gagasan penguatan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang oleh rezim Orde Baru terabaikan. Salah satu isu yang mengemuka di dalamnya menyangkut perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Berbagai perubahan regulatif mendasar juga dilakukan mulai dari amandemen konstitusi hingga mendorong lahirnya berbagai Undang Undang (UU) yang menjamin perlindungan HAM seperti UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM. UU tersebut memberi landasan jaminan penghormatan perlindungan dan pemajuan HAM serta landasan keberadaan Komisi Nasional HAM yang semula hanya berdasarkan Keputusan Presiden.7 6 Lihat Muktiono, “Mengkaji Politik Hukum Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia” dalam http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/ fileku/dokumen/13.%20Muktiono.pdf. 7 Lihat Jilmly Asshinddiqie, “Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Selama Era Reformasi Capaian dan Tantangannya”, dalam Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008), Hal. 14.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
5
Komitmen pemerintah terhadap HAM pasca reformasi juga dibuktikan dengan melakukan ratifikasi dua instrumen HAM internasional yakni International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) pada 26 Oktober 2005.8 Khusus dalam perlindungan hak-hak beragama, telah ditambahkan Pasal 28E, 28I dan 29 dalam UUD 1945; Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Kedua landasan hukum di atas menjadi landasan yang sangat kuat bagi perlindungan hak-hak beragama di Indonesia. Jaminan ini mencakup siapapun karena berbasis pada individu, dimana setiap orang memiliki jaminan dan hak yang sama. Namun ternyata jaminan tersebut belum mampu melindungi sebagian masyarakat dari tindakan-tindakan pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparatus negara, tindakan-tindakan intoleransi atas nama agama, kebijakan dan tindakan diskriminatif atas nama agama, penyebaran kebencian kepada kelompok keagamaan tertentu, pembatasan ibadah dan pelarangan pendirian rumah ibadah dan lain-lain. Misalnya keberadaan UU No. 1 PNPS 0 1965 tentang Larangan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dianggap sebagai salah satu regulasi yang melanggar kebebasan beragama, membuka ruang bagi tindakan diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama dan keyakinan. Keberadaan regulasi yang di satu sisi menjamin kebebasan beragama, sementara di sisi lain juga ada yang melanggar seperti UU No. 1 PNPS 1965 di atas menimbulkan pertanyaan besar kemana arah pengelolaan toleransi beragama dan berkeyakinan di Indonesia saat ini? Karena ketidakharmonisan hukum semacam ini telah 8 Ahmad Suaedy, dkk., Islam Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), Hal. 28.
6
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
berimplikasi pada ketiadaan kepastian hukum bagi warga negara karena di satu sisi hak mereka dijamin, sementara di sisi lain sebagian dari mereka tidak diakui haknya.
Bingkai Tiga Isu Pertanyaan besar inilah yang ingin coba diulas melalui tiga tulisan Working Paper ini. Ketiga tulisan ini membahas tiga isu utama kehidupan keagamaan yang paling menonjol saat ini, yakni: masalah pendirian rumah ibadah, penyiaran agama dan isu penodaan agama. Hal ini bukan berarti mengabaikan isu-isu lain yang juga penting, namun pemilihan ketiga isu ini kami anggap cukup mewakili problem besar yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam mengelola toleransi dan kerukunan antar agama. Ketiga isu ini juga paling sering melahirkan ketegangan di antara masyarakat dimana banyak kasus yang muncul kerap tidak terselesaikan secara baik. Ketiga isu ini juga sama-sama memiliki spektrum yang sangat luas baik secara historis, sosiologis, politik maupun yuridis. Isu pertama yang diangkat terkait penodaan agama. Isu ini adalah isu lama namun terus menyita perhatian publik dari satu rezin ke rezim yang lain. Sejak zaman Pemerintahan Soekarno isu ini sudah diperbincangkan dan belum selesai hingga saat ini. Bahkan saat ini kecenderungan perbincangan mengenai isu ini semakin meningkat baik karena semakin banyaknya kasus dugaan penodaan agama dan persekusi (kriminalisasi) terhadapnya maupun karena adanya paradox dalam perundang-undangan kita menyangkut isu ini. Pada saat sejumlah kelompok melihat telah banyak terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan tindakan intoleransi terhadap kelompok yang dianggap menodai agama, mereka menyimpulkan bahwa sumber masalahnya ada pada UU No. 1 PNPS / 1965 tentang
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
7
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Atas dasar itulah kemudian sejumlah pihak menguji UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai UU ini bertentangan dengan konstitusi, dan karena itu harus dicabut. Namun MK menolak permohonan mereka dengan alasan untuk kepentingan perlindungan umum (general protection) dan antisipasi terjadinya konflik di tengahtengah masyarakat. Alhasil, penolakan ini menjadikan kedudukan hukum UU ini semakin kuat sekaligus semakin popular di kalangan masyarakat yang getol melakukan persekusi terhadap kelompok keagamaan yang diduga sesat. UU ini juga semakin sering dijadikan landasan bagi peraturanperaturan yang lebih rendah seperti SK Gubernur atau Peraturan Daerah. Isu kedua terkait rumah ibadah dalam buku ini diangkat karena menjadi isu yang terus-menerus diperdebatkan sejak masa Orde Lama hingga era Reformasi saat ini. Isu ini selalu aktual di setiap rezim baik karena selalu ada kasus dan konflik terkait rumah ibadah maupun karena selalu ada upaya untuk mencari penyelesian yang lebih permanen terutama secara yuridis. Isu rumah ibadah adalah satu dari sekian isu laten di Indonesia. Sayangnya upaya-upaya penyelesaian yuridis dengan beberapa kali perubahan regulasi menyangkut rumah ibadah belum mampu memenuhi kebutuhan sosial dan teologis setiap pemeluk agama menyangkut rumah ibadah. Hal ini menunjukkan persoalan rumah ibadah di Indonesia adalah persoalan yang tidak mudah sekaligus merefleksikan belum ditemukannya formulasi yang ideal mengenai isu ini. Isu ketiga terkait penyiaran agama juga menjadi isu penting saat ini di tengah semakin terbukanya arus komunikasi dan informasi. Berbagai elemen komunikasi
8
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
dan informasi telah secara aktif dan pasif menfasilitasi upaya penyiaran agama dari para pelaku dakwah kepada audiens tidak hanya di kalangan Islam melainkan juga agama-agama lain. Dalam makna yang positif, antara dakwah dan elemen pendukungnya tersebut telah menjadi sarana penguatan wawasan dan penghayatan agama di tengah masyarakat. Namun di sisi yang lain, dakwah di era informasi ini kerap menjadi sorotan publik karena dianggap menyulut kebencian antar kelompok di masyarakat. Melalui materi-materi dakwah yang bagi sebagian kelompok ofensif sering memunculkan ketegangan atau prasangka-prasangka yang kurang sehat di masyarakat. Memang diakui bahwa ada perbedaan sudut pandang dalam melihat substansi dakwah dan bagaimana menyampaikannya agar lebih efektif. Sebagian kalangan menganggap materi dakwah yang sensitif dengan cara penyampaian yang berapi-api lebih efektif menumbuhkan semangat beragama. Bagi mereka, materi yang berisi klaim suatu kebenaran –bisa juga mendeskriditkan atau menyalahkan kelompok lain-- adalah wajar dan efektif mempertebal keimanan umat. Mereka juga menganggap bahwa dakwah adalah bagian dari kebebasan berbicara dan berekspresi yang dilindungi konstitusi. Sementara sebagian kalangan memandang banyak materi-materi dakwah saat ini yang tidak bisa dibenarkan karena berisi anjuran kebencian kepada kelompok lain. Mereka juga tidak setuju dengan argumen atas nama kebebasan berbicara dan berekspresi, ujaran-ujaran kebencian tidak bisa dibatasi. Tulisan dalam buku ini menyebutkan sebagai dakwah yang “semena-mena� ini mau tidak mau harus diatur agar tidak mengganggu ketertiban umum. Isu ini memang menjadi persoalan yang lebih rumit karena norma hukum yang mengatur masih probematis
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
9
sehingga kontestasi cara pandang di atas bertemu pada level sosial. Pembingkaian ketiga tema di atas dalam sebuah kertas kerja dilakukan agar tergambar peta problem dan upaya-upaya penyelesaiannya secara lebih komprehensif. Kertas kerja ini juga tidak membatasi dirinya hanya pada aspek politik dan hukum, melainkan juga mencakup dimensi-dimensi yang lebih luas. Hal ini tentu agar dapat menjadi bahan masukan bagi berbagai pihak sekaligus menjadi sumber kajian yang memadai. Kertas kerja ini juga ditujukan sebagai refleksi atas dinamika ketiga isu yang diangkat sekaligus berusaha memberi positioning dari penulis terhadap isu yang ditulisnya. Melalui kertas kerja ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan sekaligus sebagai alat bagi advokasi hak-hak beragama di tanah air. Semoga.
Tim Penulis Jakarta, 10 Oktober 2012
10
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Bab II Penetapan Kembali Pasal 156a KUHP Tentang Penodaan Agama oleh Mahkamah Konstitusi1
Pendahuluan asal penodaan agama (156a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap sebagai salah satu sumber kriminalisasi terhadap mereka yang dituduh sesat telah ditetapkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Ketetapan itu sebagai jawaban atas judicial review (JR) yang diajukan oleh beberapa tokoh, aktifis dan para pegiat kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Dalam penetapan tersebut, MK mengklaim mengambil jalan tengah atas kontroversi dan perdebatan publik, baik yang muncul di tengah masyarakat maupun selama proses pengadilan di MK. Bagaimanakah penerapan pasal 156a tersebut paska penetapan kembali oleh MK. Tulisan ini hendak melakukan review atas sejumlah
P
1 Penulis Dr. Rumadi, Peneliti The WAHID Institute
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
11
peristiwa hukum yang pelakunya dituduh melakukan penodaan agama. Review ini penting untuk melihat adakah perubahan pola penerapan pasal 156a KUHP antara sebelum dan sesudah judicial review (JR).
Delik Penodaan Agama dan Pasal 156a KUHP ebelum ini, penulis juga sudah melakukan riset implementasi pasal penodaan agama, sejak pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 diadopsi ke dalam KUHP menjadi pasal 156a. Di bagian akhir riset tersebut, ada beberapa catatan mengenai implementasi pasal penodaan agama sejak 1969 hingga 2006, bahwa persoalan penodaan agama hampir selalu diawali dengan pergerakan dan amarah massa. Hakim biasanya akan memutuskan dengan mengikuti aspirasi massa dengan menghukum orang yang dituduh melakukan penodaan agama. Jika orang tersebut tidak terbukti melakukan penodaan agama, ia akan dijerat dengan pasal lain sehingga ia dipaksa dimasukkan ke penjara.2
S
Penerapan pasal penodaan agama mendapat angin segar setelah MK menyatakan bahwa pasal 156a konstitusional, meskipun penerapannya sering tidak tepat. Pokok-pokok yang diuji di MK adalah aspek konstitusionalitas sebuah norma hukum, bukan pada ranah penerapan hukum. Karena itu, meskipun pasal penodaan agama sering digunakan secara serampangan dan anarkis, poin tersebut bukanlah argumen yang bisa membatalkan sebuah norma.3 Pendek kata, meski
2 Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, (Jakarta: the Wahid Institute, 2007). 3 Rumadi dkk, Bukan Jalan Tengah: Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, (Jakarta: ILRC, 2010).
12
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
mendapat penolakan dari berbagai kalangan, tapi delik penodaan agama tetap eksis dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Sebelum membahas lebih lanjut implementasi pasal penodaan agama paska penetapan kembali oleh MK, penulis merasa perlu untuk menguraikan secara singkat apa yang dimaksud dengan penodaan agama (blasphemy). Istilah penodaan agama sebenarnya terdapat beberapa konsep di dalamnya. Konsep-konsep tersebut agak sulit dibedakan dalam Bahasa Indonesia, namun untuk membedakan penulis akan menyebut blasphemy dengan penodaan agama, defamation dengan penistaan agama dan hate speech dengan pernyataan kebencian. Secara teoritik, delik agama bisa dibagi dalam beberapa kategori: pertama, religionsschutz-theorie (teori perlindungan agama). Menurut teori ini, agama itu sendiri dilihat sebagai kepentingan hukum atau obyek yang patut dilindungi atau dipandang perlu dilindungi oleh negara melalui peraturan-peraturan yang dibuat. Titik tekan perlindungan dalam teori ini adalah agama itu sendiri, bukan umat beragama. Kedua, gefuhlsshutz-theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan). Menurut teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah rasa/perasaan keagamaan orang-orang yang beragama. Titik tekan perlindungan dalam teori ini adalah umat beragama, terutama menyangkut perasaan beragama. Karena terkait dengan perasaan beragama, maka delik ini sangat subyektif dan lentur dalam penerapannya. Ketiga, friedensschutz-theorie (teori perlindungan perdamaian/ ketenteraman umat beragama). Obyek atau kepentingan hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah kedamaian/ketenteraman beragama interkonfensional (antar pemeluk agama/kepercayaan). Dengan demikian,
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
13
perlindungan lebih ditujukan pada ketertiban umum.4 Ketiga kategori tersebut memang bisa dibedakan, namun dalam praktiknya bisa tumpang tindih. Perlindungan terhadap agama dan perlindungan pada “perasaan umat beragama” bisa seperti dua sisi dalam satu koin mata uang. Demikian juga perlindungan pada ketenteraman beragama tidak bisa dilepaskan pada perlindungan umat beragama, karena ketenteraman bukanlah untuk ketenteraman an sich, tapi ketenteraman untuk umat beragama. Dengan demikian, ujung dari delik agama sebenarnya adalah perlindungan umat beragama, sehingga penerapannya bisa sangat lentur dan sangat tergantung pada kedewasaan umat beragama. Persoalan apapun dalam beragama, jika dianggap mengganggu ketertiban umum oleh sebagian umat, maka dengan mudah orang tersebut akan dituduh telah melakukan penodaan agama. Barda Nawawi Arief, seorang ahli hukum pidana, merumuskan bahwa istilah tindak pidana agama atau delik agama dapat diartikan: Pertama, tindak pidana/ delik “menurut agama”. Delik ini mencakup perbuatanperbuatan yang menurut hukum yang dianut adalah bentuk tindak pidana, dan dari perspektif agama merupakan perbuatan terlarang. Hal ini mencakup juga perbuatan yang menurut hukum yang berlaku tidak dianggap sebagai tindak pidana, tapi dari sudut pandang agama dipandang sebagai perbuatan pidana. Dengan demikian, yang menjadi ukuran penentu dari delik agama jenis ini adalah hukum agama. Kedua, tindak pidana/delik “terhadap agama”. Delik ini terkait dengan perbuatanperbuatan yang dianggap menghina atau menista agama 4 Oemar Senoadji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1976), h. 75. Teori ini dikutip ulang oleh Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Bhlasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, (Semarang: UNDIP Semarang, 2007), Hal. 2.
14
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
atau ajaran-ajaran yang disakralkan oleh agama. Dengan demikian, delik ini dimaksudkan untuk melindungi agama dari perbuatan-perbuatan yang menghina Tuhan dan agama. Perbuatan-perbuatan itulah yang dipandang sebagai religious blasphemy atau Godslastering (penghinaan terhadap Tuhan). Ketiga, tindak pidana/ delik “yang berhubungan dengan agama� atau “terhadap kehidupan beragama�. Delik ini terkait dengan perbuatanperbuatan yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan agama, tapi menyangkut kehidupan keagamaan masyarakat, seperti merintangi pertemuan atau upacara keagamaan, penguburan jenazah, menghina benda-benda yang digunakan untuk ibadah atau mengganggu orang yang sedang beribadah.5 Dalam hukum pidana di Indonesia, delik jenis pertama cukup banyak dalam KUHP, seperti larangan pembunuhan, pencurian dan sebagainya, meskipun tidak semua perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan oleh agama dimasukkan sebagai kejahatan pula oleh KUHP. Pindah agama (murtad) misalnya, meskipun oleh Islam dianggap sebagai tindak pidana, namun KUHP tidak menjadikan pindah agama sebagai kejahatan. Delik yang banyak diakomodasi dalam KUHP justru delik ketiga, yaitu delik yang terkait dengan kehidupan keagamaan masyarakat. Sedang delik jenis kedua, delik terhadap agama, pada awalnya tidak dikenal dalam KUHP. Delik terhadap agama baru dimasukkan dalam KUHP melalui UU No. 1/PNPS/1965.
5 Barda Nawawi Arief, Delik Agama, Hal. 1.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
15
Sejarah Blasphemy lasphemy (penodaan agama) berasal dari blasphemein (Yunani kuno), blasphemen, (istilah Inggris zaman pertengahan), blafemer (istilah Perancis kuno), blasphemare (Latin), yang merupakan paduan dari kata blaptein (merusak) dan pheme (reputasi). Blasphemy juga bisa diartikan sebagai defamation of the name of God, yang berarti penistaan nama Tuhan. Dalam arti luas, blasphemy dapat diartikan sebagai penghujatan terhadap hal-hal yang dianggap suci oleh suatu keyakinan agama. Bentuk blasphemy umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agamaagama yang mapan.
B
Dalam tradisi agama-agama Abraham (Yahudi, dan Islam) dikenal berbagai bentuk larangan blasphemy. Dalam Yahudi, blasphemy adalah menghina nama Tuhan atau mengucapkan hal-hal yang mengandung kebencian terhadap Tuhan. Dalam Kristen, Kitab Perjanjian Baru, dikatakan menista roh kudus adalah dosa yang tak diampuni dan pengingkaran terhadap Trinitas juga digolongkan sebagai blasphemy. Dalam Kitab perjanjian lama, pelaku blasphemy diancam hukuman mati, dengan cara dilempari batu. Dalam Islam, blasphemy adalah menghina Tuhan, Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang diakui dalam al-Qur’an serta menghina al-Qur’an itu sendiri.6 Buddha dan Hindu tak mengenal adanya blasphemy, paling tidak secara resmi. Blasphemy menjadi hukum negara sejak munculnya teokrasi, dimana terjadi penyatuan antara kekuasaan agama dengan kekuasaan politik. Negara-negara Eropa pada abad Ke-17 menetapkan pelaku penistaan agama 6 Mengenai penodaan dalam Islam, lebih jauh lihat Ahmad Suaedy, Rumadi et.all, Islam, The Constitution and Human Rights, (Jakarta: the Wahid Institute, 2010), Hal.. 89-91.
16
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
sebagai tindak kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman berat.7 Di wilayah lain juga terjadi penyatuan antara agama dan politik, baik itu negara Kristen, Yahudi maupun Islam. Tujuan memidanakan penistaan agama adalah untuk membatasi kebebasan berbicara tidak melanggar norma sosial mengenai kesopanan dan hak orang lain.8 Di Eropa Abad Ke-17, karena Kristen merupakan jantung hukum Inggris, maka hukum dibuat berdasarkan nilai-nilai Kristen. Setiap perkataan yang bertentangan dengan nilai dan ajaran Kristen dianggap sebagai tindak pidana. Tentu saja, hukum mencerminkan nilai dan pandangan agama dominan saat itu, dan mengabaikan pandangan keyakinan minoritas.9 Pada abad ke-20, penistaan agama pelan-pelan dihapus dari hukum pidana di beberapa negara Eropa. Di Inggris, akar hukum penistaan agama muncul 1938, hanya berlaku untuk penistaan terhadap Gereja Anglikan, tidak berlaku untuk penghinaan agama Yahudi, Islam, bahkan Kristen non-Anglikan. Tujuan pemidanaan ini adalah untuk mempertahankan supremasi gereja Anglikan. Kasus penistaan agama terakhir terjadi pada abad-19. Mulai abad-20, praktek pemidanaan penistaan agama sudah hilang, kendatipun pasal pidananya tak pernah dihapus. Penistaan agama kemudian bergeser dari pidana menjadi masalah hukum perdata, namun sangat jarang. Sepanjang abad-20, hanya ada 4 kasus perdata terhadap perbuatan penghujatan agama. Kasus terakhir terjadi tahun 1979 antara Whitehouse versus Lemon. Kasus itu 7 Carly Carlberg, Freedom of Expression in Modern Age: An Obscure Blasphemy Statute and Its Effect on Bussiness Naming, Rutger Journal of Law and Religion, (Volume II, Fall 2009), Part I. 8 Tentang sejarah Blasphemy lihat Leonard William Levy, Blasphemy: Verbal Offense Against The Sacred From Moses To Salman Rusdhie, (The University of North Carolina Press: New York, 1993), Hal. 6-14 9 Barda Nawawi Arif, Delik Agama, Hal. 65-86.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
17
bermula dari penerbitan puisi di majalah Gay News, yang menggambarkan Yesus Kristus sebagai homoseksual. Penerbit majalah tersebut didenda 500 pound dan hukuman percobaan 9 bulan. Majalahnya didenda 1000 pound dan harus membayar pengganti penjara 10.000 pound.10 Kasus Salman Rusdhie yang digugat di Inggris tidak berujung pada penghukuman.11 Seperti Inggris, di Australia yang merupakan bekas jajahan Inggris, blasphemy juga hanya berlaku terhadap tindakan penghinaan Gereja Anglikan, walau tak seperti Inggris, Australia tak memiliki agama resmi. Kendati banyak undang-undang, baik federal, negara bagian, maupun hukum kebiasaan yang memidanakan penistaan agama, hal ini jarang terjadi di Australia. Pemidanaan agama terakhir di negeri Kanguru itu terjadi tahun 1971, dalam kasus Wiliam Lorando Jones. Jones didakwa menista gereja Anglikan di negara bagian New South Wales karena berbicara di depan umum bahwa Perjanjian Lama itu immoral dan tak cocok bagi perempuan. Jones dihukum denda 100 pound dan penjara 2 tahun.12 Setelah kasus itu, tahun 1871, parlemen New South Wales mengusulkan Undang-Undang Opini Mengenai Agama, yang intinya menghentikan pemidanaan terhadap penistaan agama. Ibukota Australia lalu mengadopsi UU tersebut pada 1996, menghapuskan pemidanaan penistaan agama melalui reformasi hukum.
10 Sebastian Poulter, “Cultural Pluralism and its Limits: A Legal Perspective�, Hal. 7-8, http://www.juliushonnor.com/catalyst/catalyst/Cultural-Pluralism-andits-Limits.pdf, diunduh 1 Oktober 2012 11 Paul Marshal and Nina Shea, Silenced: How Apostasy and Blasphemy Codes Are Choking Freedom Worlwide, (Oxford University Press: New York, 2012), Hal. 179182 12 David Nash, Blasphemy in The Christian World, (Oxford University Press: New York, 2010), Proquest, Hal. 85-90
18
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Pemidanaan penistaan agama di Jerman diatur dalam Bab 11 Pasal 166 Federal Penal Code (KUHP) Jerman. Penistaan agama didefinisikan sebagai “barang siapa yang menyebarkan tulisan yang menghina ajaran agam lain atau ajaran mengenai pandangan hidup dengan cara yang dapat menyebabkan gangguan terhadap ketertiban umum. Perbuatan ini diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda. Pada Februari 2006, aktivis politik Jeran Manfred van H, dijatuhi hukuman satu tahun percobaan dan hukuman kerja sosial selama 300 jam karena menyebarkan tisu toilet yang dicetak ayatayat al-Qur’an dan dibagi-bagikan ke masjid dan mediamedia.13 Amerika Serikat juga mengenal pasal blasphemy, meski banyak pendirinya adalah orang-orang yang melarikan diri dari hukuman penistaan agama di negara asalnya di Eropa. Amerika Serikat memiliki hukuman pidana yang keras terhadap penghujat agama. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, penghujatan agama dapat dihukum mati. Namun demikian, sejak desakan amandemen pertama konstitusi Amerika Serikat, pemidanaan terhadap penistaan dilarang karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi.14 Di Asia, Pakistan merupakan negara di dunia yang paling keras mengancam penistaan agama. Menurut “KUHP” Pakistan, “barangsiapa dengan kata-kata, baik
13 Versi terjemahan bunyi teks pasal 166 Federal Penal Codes (KUHP) German dalam bahasa inggris adalah Whoever publicly or by means of spreading written material insults religious or world view in a manner that could reasonably be deemed able to disturb the public peace, is to be punished by up to three years in prison or a fine. Lihat Caslon Analytics Blasphemy, “Report Section on Germany and Austria”, http://www.caslon. com.au/blasphemyprofile9.htm#germany, diunduh 01 Oktober 2012. 14 Robert C. Post, “Cultural Heterogeneity and Law: Pornography, Blasphemy, and the First Amendment” (California Law Review Vol. 76, No. 2 Mar., 1988), http:// digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1212&context=fss_ papers, diunduh 1 Oktober 2012
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
19
lisan maupun tertulis, gambar, tuduhan, gaung, atau insinuasi, baik langsung maupun tak langsung, yang mencemarkan nama suci Nabi Muhammad, diancam hukuman mati, atau penjara seumur hidup, dan juga diancam denda.” Tahun 2000, seorang guru bernama Muhammad Younas Seikh, menjelaskan di kelas bahwa sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu al-Qur’an belum masuk Islam, dijerat dengan penistaan agama dan dihukum mati. Dalam 10 tahun terakhir, 12 orang dieksekusi mati dengan tuduhan penistaan agama, 560 orang didakwa menista agama di pengadilan, dan 30 orang masih menunggu vonis. 15 Sejak 1999, masalah Defamation of Religion (penistaan agama) menjadi perhatian PBB. Beberapa kali Sidang Umum PBB menerbitkan resolusi tidak mengikat yang mengecam “penghinaan terhadap agama” (defamation of religion). Resolusi tersebut disponsori oleh Pakistan atas nama OKI, dan Mesir atas nama Afrika, dalam Durban Conference, sebagai upaya untuk menghentikan polarisasi, diskriminasi, ekstrimisme dan misintepretasi terhadap Islam. Hal ini merupakan respon terhadap perkembangan pasca perisitiwa “11 September” dimana Islam sering dinistakan dan senantiasa dikaitkan dengan terorisme dan pelanggaran HAM. Namun demikian, dalam Konferensi Durban Review II di Jenewa, resolusi-resolusi mengenai “defamation of religion” dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia, karena terlalu sempit pada perlindungan Islam (awal mula draft-nya berjudul “defamation of Islam”). Konsep tersebut melindungi agama (yang esensinya adalah bersifat ideologis), bukannya melindungi hak individu, terlalu mempertentangkan agama, mengancam hak atas 15 Brinton Priestly, Blasphemy and Law: A Comparative Study (2006), http:// www.brentonpriestley.com/writing/blasphemy.htm. lihat juga, Paul Marshal and Nina Shea, Silenced: How Apostasy, Hal. 85-88.
20
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
kebebasan berekspresi, ditulis dengan bahasa yang terlalu umum dan tidak jelas, termasuk dalam penggunaan istilah “penistaan” (defamation).16 Berdasarkan evalusi yang disampaikan oleh beberapa pelapor khusus PBB, penerapan konsep “defamation of religion” di beberapa negara, seperti Pakistan, Iran dan Mesir, justru menimbulkan masalah hak asasi manusia, seperti pembungkaman kebebasan berekspresi, xenophobia dan ketegangan antar umat beragama. Sehingga, konsep “defamation of religion” kembali dipertanyakan.17 Sebagi solusi, muncul upaya-upaya untuk membuat instrumen hak asasi manusia internasional untuk menyeimbangkan antara hak atas kebebasan berekspresi, namun tetap menjamin perdamaian, terutama antara umat beragama. Komisi mengembangkan sebuah inisiatif dengan mengeluarkan sebuah resolusi untuk mengatasi ketegangan antara kebebasan berekspresi dan perdamaian antara umat beragama dan ras. Bagaimana pembatasan kebebasan berekspresi tetap berdasarkan DUHAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Kebebasan berekspresi sendiri dapat dibatasi, sesuai pasal 20 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, yaitu: 1) Any propaganda for war shall be prohibited by law. 2) Any advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law. Selain itu, pasal 19 ICCPR mengatakan bahwa
16 Becket Found for Religious Liberty Issues Brief, “Defamation of Religion,” July 2008 (Condensed version). 17 Akhirnya, resolusi Dewan HAM PBB mengenai “Defamation of Religion” dicabut pada sidang Dewan HAM 2009.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
21
kebebasan berekspresi dapat dibatasi to protect among others, the rights of others, public order, and national security if it is necessary in a democratic society to do so and it is done by law. Namun, tidak mudah membuat rumusan praktis pembatasan kebebasan berekspresi berdasarkan ICCPR dan instrumen HAM internasional lain. Dewan HAM Eropa menetapkan syarat-syarat pembatasan kebebasan berekspresi harus lolos tiga syarat sebagai berikut: 1. Pembatasan dibuat untuk tujuan yang benarbenar sah. 2. Pembatasan harus dilakukan dalam kerangka demokratis (jadi harus oleh parlemen atau lembaga yang diberi kekuasaan oleh parlemen). 3. Pembatasan harus benar-benar merupakan keniscayaan (necessity) bagi masyarakat demokratis. Jadi kata necessity tidak hanya sekedar “berguna” (useful) dan “beralasan” (reasonable).18 Menurut Dewan HAM Eropa, ada kebutuhan untuk membuat hukum anti penistaan agama di Eropa. Namun penilaian Dewan HAM Eropa tersebut ditentang oleh Article XIX, dengan alasan tidak ada kepastian hukum atas penistaan agama atas dasar beberapa pertimbangan berikut: 1. Tak ada kepastian hukum atas penistaan agama, karena “public good” akan lebih baik disampaikan melalui perdebatan dari berbagai perspektif. Meskipun penistaan tersebut disampaikan dengan istilah yang keras dan ofensif itu masih lebih bagus. 18 Article XIX, Freedom of Expression and Offense, presentasi oleh Sarah Richani. Lihat juga, “Defining Defamation: Principles on Freedom of Expression and Protection of Reputation”, International Standards Series, http://www.article19.org/ data/files/pdfs/standards/definingdefamation.pdf, diunduh 01 Oktober 2012
22
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
2. Tak ada jaminan bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama akan berjalan lebih baik dengan membuat hukum anti penistaan agama. Harus ditegaskan bahwa kebebasan beragama bukan berarti untuk menghormati agama, tapi untuk menjamin hak setiap orang untuk beragama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya. 3. Kebebasan berekspresi bukan hanya untuk ide dan informasi yang “harmonis” tapi juga untuk ide yang mengagetkan, keras, dan juga mengganggu. 4. Penerapan hukum penistaan agama di berbagai tempat di dunia adalah justru untuk membatasi kemerdekaan orang beragama dan umumnya korbannya adalah penganut agama-agama 19 minoritas. Dengan demikian, pernyataan kebencian (hate speech) adalah yang sah (legitimed) untuk membatasi kebebasan berekspresi. Perlindungan hak asasi manusia harus didasarkan prinsip persamaan martabat dan kesetaraan setiap orang, tanpa membedakan suku, ras, jenis kelamin, kebangsaan dan agama. Pernyataan kebencian merupakan ancaman terhadap martabat manusia dan menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan adanya kesetaraan antara manusia. Untuk itu, pelarangan pernyataan kebencian merupakan sebuah keharusan untuk menghindari permusuhan, diskriminasi dan kekerasan antara ras, suku, bangsa, agama dan jenis kelamin.20
19 Becket Found, “Defamation of Religion,” July 2008 (Condensed version). 20 Becket Found, “Defamation of Religion,” July 2008 (Condensed version).
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
23
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Penodaan Agama ebelum lebih lanjut melihat bagaimana implementasi pasal penodaan agama pasca putusan MK, penulis akan memberi ulasan secara singkat mengenai proses judicial review (JR), putusan MK, serta argumenargumen pendukungnya. JR itu sendiri diajukan sejumlah kalangan, baik lembaga maupun individu,21 terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya disebut UU Penodaan Agama).22 MK menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon agar UU tersebut dicabut. Pemohon berpendapat bahwa UU Penodaan Agama melanggar prinsip-prinsip kebebasan beragama yang dijamin secara tegas dalam konstitusi, UUD 1945.
S
Dalam amar putusan No. 140/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa UU Penodaan Agama, meski dibuat dalam situasi darurat pada 1965, masih dianggap relevan, tidak bertentangan dengan UUD 1945 terutama yang terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Alih-alih mencabut, MK justru berkeyakinan, jika UU Penodaan Agama dicabut maka akan muncul anarkhisme dan kekacauan sosial karena akan terjadi kekosongan hukum. UU Penodaan 21 Permohonan judicial review dilakukan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam isu kebebasan beragama dan HAM, antara lain Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Masyarakat Setara (Setara Institute), Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Di samping lembaga, permohonan juga diajukan sejumlah individu, yaitu: KH. Abdurrahman Wahid (akhirnya dianggap gugur karena meninggal dunia sebelum proses persidangan selesai), Siti Musdah Mulia, M. Dawam Raharjo dan Maman Imanul Haq. 22 Pengucapan dan pembacaan putusan MK dilakukan pada 19 April 2009.
24
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Agama dianggap tidak terkait dengan kebebasan beragama, tapi hanya terkait dengan penodaan agama. MK berpendapat bahwa untuk kepentingan perlindungan umum (general protection) dan antisipasi terjadinya konflik di tengah-tengah masyarakat baik horizontal maupun vertikal, maka adanya UU Penodaan Agama dinilai sangat penting. Dasar pertimbangan yang dijadikan argumen MK untuk mengambil keputusan ini tidak semata terkait dengan konstitusi, tapi juga ada pertimbangan sosiologis-politis. Pertimbangan sosiologis antara lain tampak dalam argumen MK yang menyatakan bahwa jika UU ini dicabut maka akan terjadi kekacauan, keresahan, perpecahan, dan permusuhan masyarakat karena adanya kekosongan hukum.23 Alih-alih melanggar konstitusi, UU Penodaan Agama justru dilihat sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga ketentraman kehidupan beragama. Karena itu, pada tingkat tertentu, putusan MK ini memberi jalan legal bagi negara untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan umat beragama. Bidang apa yang bisa diintervensi? Dalam hal ini MK absen memberi koridor. Meski dalam putusan itu disebut-sebut kategori forum internum dan forum externum, namun hal tersebut nyaris tidak menjadi rujukan argumen. Karena itu, bisa ditafsirkan, putusan ini memberi jalan intervensi negera terhadap agama, bukan saja terkait dengan forum externum, tapi bisa juga forum internum. Kata kuncinya adalah pasal 28J UUD 1945, yang membatasi hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama, melalui pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Pembatasan tersebut tidak hanya terkait dengan ekspresi keberagamaan (forum externum), tapi 23 Amar Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, h. 287, http://www. mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20PUU%20140_ Senin%2019%20April%202010.pdf, diunduh 1 Oktober 2012
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
25
juga forum internum. Putusan MK justru mengaburkan hal ini. Dalam putusan itu juga dinyatakan, UU No. 1/ PNPS/1965 tidak ada hubungan dengan kebebasan beragama, tapi hanya terkait dengan penodaan agama. Berikut ini penulis akan mengutip sejumlah pernyataan yang menjadi pertimbangannya MK dalam mengambil keputusan. Sejumlah pernyataan tersebut antara lain: “Menimbang bahwa menurut Mahkamah, UU Pencegahan Penodaan Agama tidak menentukan pembatasan kebebasan beragama, akan tetapi pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama serta pembatasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia.� 24 Pada bagian lain, amar putusan MK juga menyatakan: “Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat UU Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan dan sama sekali tidak bertentangan dengan perlindungan HAM sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Dalam kaitan ini, Mahkamah sependapat dengan Ahli Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi yang menyatakan; pertama, UU Pencegahan Penodaan Agama bukan Undang-Undang tentang kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia melainkan Undang-Undang tentang larangan penodaan terhadap agama. Kedua, UU Pencegahan Penodaan Agama 24 Amar Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, Hal. 287
26
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
lebih memberi wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya tindakan anarkis apabila ada penganut suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Dengan adanya UU Pencegahan Penodaan Agama, jika masalah seperti itu timbul maka dapat diselesaikan melalui hukum yang sudah ada (UU Pencegahan Penodaan Agama). Di samping itu, substansi Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama, melainkan untuk memberikan rambu-rambu tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Penodaan agama atau penghinaan terhadap agama (blasphemy atau defamation of religion) juga merupakan bentuk kejahatan yang dilarang oleh banyak negara di dunia. Secara substantif Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama tidak dapat serta merta diartikan sebagai bentuk dari pengekangan forum externum terhadap forum internum seseorang atas kebebasan beragama�.25 Hal tersebut ditegaskan ulang pada bagian berikutnya: “Bahwa permohonan pemohon telah keliru memahami pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama sebagai sebuah pembatasan atas kebebasan beragama. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama adalah bagian tidak terpisahkan dari maksud perlindungan terhadap hak beragama warga masyarakat Indonesia sebagaimana 25 Amar Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, Hal. 294.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
27
yang terkandung dalam inti UU Pencegahan Penodaan Agama yakni untuk mencegah penyalahgunaan dan penodaan agama demi kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 UU Pencegahan Penodaan Agama sejalan dengan amanat UUD 1945 yakni untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik (the best life possible) dan karenanya dalil-dalil Pemohon harus dikesampingkan.�26 Dari kutipan tersebut, ada catatan penting untuk mendapat perhatian. Pertama, Dengan mengamini pendapat ahli, KH. Hasyim Muzadi, Mahkamah yakin betul bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama tidak ada hubungan dengan kebebasan beragama. Alihalih membatasi kebebasan beragama, UU Pencegahan Penodaan Agama justru untuk melindungi kebebasan beragama. Benarkah demikian? Penulis tidak sepenuhnya setuju dengan cara pandang demikian. Baik langsung maupun tidak langsung, baik secara teoritik-konseptual maupun dari segi praktek dalam pengadilan, delik penodaan agama tidak dapat dilepaskan dari kebebasan beragama. Dalam kaitan ini, ada semacam kontradiksi dalam logika Mahkamah. Di satu sisi, MK menolak mengkaitkan UU Pencegahan Penodaan Agama dengan kebebasan beragama, namun di sisi lain Mahkamah mengajukan argumen bahwa kebebasan beragama tidaklah mutlak, dan UU ini merupakan bentuk pembatasan terhadap kebebasan beragama. Demikian juga dalam berbagai bagian, Mahkamah senantiasa menyebut berbagai teori kebebasan beragama. 26 Amar Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, Hal. 295
28
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Kedua, salah satu aspek dari argumen MK dalam persoalan penodaan agama adalah persoalan individualisme dan komunalisme. Kebebasan beragama merupakan konsep yang lebih dekat dengan hak individu, sedang konsep penodaan agama diarahkan untuk melindungi “hak komunal�. Dengan demikian, tidak mengkaitkan persoalan penodaan agama dengan kebebasan beragama merupakan cara mengelak dari perbincangan yang lebih serius. UU Pencegahan Penodaan Agama merupakan UU yang memang dibuat untuk membatasi kebebasan seseorang, bukan saja dalam menyangkut cara mengekspresikan keyakinan (forum externum), tapi juga terkait dengan keyakinan dan penafsiran seseorang atas agama (forum intenum). Karena itu, yang tidak mutlak bukan saya forum eksternum, tapi hal-hal yang masuk kategori forum internum, seperti soal penafsiran agama, pun tidak mutlak. Simaklah kutipan berikut: Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokokpokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum. Dalam hal demikianlah menurut Mahkamah pembatasan dapat dilakukan.27 27 Amar Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009, Hal. 288-289.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
29
MK secara eksplisit mangakui bahwa penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan kebebasan yang berada dalam wilayah forum internum. Namun, demi kepentingan komunal dan politik “Ketuhanan Yang Maha Esa�, maka forum internum pun bisa dibatasi. Hal ini berbeda dengan doktrin HAM dan kebebasan beragama internasional yang melarang intervensi terhadap forum internum. Pada wilayah ini, yang perlu dilakukan negara adalah memberi perlindungan agar hak-hak tersebut tidak diganggu orang lain. Konsep inilah yang disebut negative rights, yaitu kebebasan dalam bentuknya yang negatif, yang terdiri dari unsur “bebas untuk� melakukan berbagai hal yang bisa membuat manusia menjadi manusia yang bebas. Hukum moralitas atau nilai-nilai sosial yang mengatur tentang larangan melakukan intervensi mengandung unsur kebebasan negatif. Aturan tersebut untuk melindungi hak seseorang dari semua bentuk intervensi yang dapat mengganggu kebebasannya.28 Nah, larangan melakukan prosiletisme (penyebaran agama secara tidak patut) dan penghujatan agama sebenarnya dalam konteks ini. Kadang-kadang dalam penyebaran agama dilakukan dengan mengganggu kebebasan orang lain, sehingga negara perlu melakukan intervensi dalam bentuk perlindungan kepada pemeluk agama. Demikian juga larangan penghujatan agama dimaksudkan untuk melindungi perasaan keagamaan individu dari kemungkinan dilukai orang lain. Dengan menghukum proselitisme, sebenarnya negara melakukan intervensi terhadap kebebasan individu 28 Berbeda dengan konsep negative rights adalah positive rights, atau kebebasan positif. Kebebasan dalam bentuknya yang positif menekankan pada perlunya intervensi Negara untuk memastikan terwujudnya sebuah bentuk kebebasan yang menentukan seseorang untuk bisa mengatur bentuk-bentuk kehidupan manusia yang diinginkan. Jika tidak dilakukan intervensi, justru kebebasan itu akan terancam. Lebih jauh lihat Al-Hanif, SH, MA, LL.M, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, (Yogyakarta: Leksbang Grafika, 2010), Hal. 90-91.
30
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
dalam memanifestasikan agamanya demi melindungi kebebasan keagamaan orang lain untuk tidak berpindah agama. Demikian juga, pemberian hukuman pada pelaku penghujatan agama, merupakan bentuk intervensi negara terhadap kebebasan berekspresi demi melindungi perasaan keagamaan orang lain.29 Ketiga, konsep penodaan agama dikacaukan dengan penyataan kebencian (hate speech). Untuk menghindari kesalahpahaman, perlu dirumuskan bahwa penodaan agama hanya terkait dengan hujatan dan pernyataan kebencian, sehingga aspek penafsiran keyakinan agama dikeluarkan dari perbincangan persoalan penodaan agama. Artinya, seseorang tidak bisa dituduh melakukan penodaan agama hanya karena persoalan penafsiran keagamaan, meskipun penafsiran tersebut berbeda, bahkan menyimpang dari pemahaman kebanyakan orang. Sayangnya, hal ini tidak ditegaskan MK, bahkan MK meligitimasi adanya delik penodaan agama yang terkait dengan tafsir keagamaan. Hal inilah yang seharusnya menjadi sasaran revisi UU Penodaan Agama. Pembatasan kebebasan beragama hanya terkait dengan pembatasan untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, pelecehan dan terhadap simbol-simbol suatu agama. Meskipun Keputusan Mahkamah Konstitusi merupakan keputusan awal dan akhir, sehingga tidak ada upaya hukum lain, namun keputusan tersebut tetap bisa dinilai oleh publik. Eksaminasi publik memang tidak bisa merubah keputusan hukum, namun paling tidak bisa memberi sudut pandang tertentu atas putusan pengadilan. Hal ini penting untuk memberi pendidikan 29 David Llewellyn and H. Victor Conde, “Freedom of Religion or Belief under International Humanitarian Law�, dalam Tore Lindolm, W. Cole Durham (editor), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, (Oslo: The Norwegian Centre for Human Rights, 2004), Hal. 160-163.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
31
kepada masyarakat bahwa putusan pengadilan, termasuk putusan MK yang dianggap cukup kredibel, tetap saja terdapat ruang kritik. Keputusan pengadilan bukan semata sebagai dokumen hukum, tapi juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang bisa diuji dari sudut akademik. Dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang bisa digarisbawahi. Pertama, ruang publik yang di buka Mahkamah Konstitusi untuk membicarakan persoalan yang sangat krusial dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia menyangkut relasi agama dan negara, patut diberi apresiasi. Inilah forum konstitusional pertama setelah sekian lama permbicaraan mengenai relasi agama dan negara nyaris tertutup, atau paling-paling disebut sambil lalu dalam ruang-ruang seminar dan dialog televisi. Melalui forum di MK, semua orang dari berbagai aliran pemikiran diberi ruang yang sama untuk kembali menilai persoalan krusial ini. Judicial review ini bukan sematamata ruang pengadilan, tapi sekaligus ruang kontestasi intelektual yang luar biasa. Meski ada tekanan-tekanan kecil di luar sidang MK, namun hal tersebut tidak mempengaruhi jalannya persidangan. Kedua, secara substansial, sebenarnya MK mengakui adanya persoalan dalam UU Penodaan Agama, baik menyangkut substansi hukum maupun implementasinya. Secara substansi, meskipun UU yang dijudicial review ini terkait dengan penodaan agama, namun di dalamnya juga menjadi sumber diskriminasi bagi penganut agama dan keyakinan di luar enam agama yang dianggap “resmi�. Dalam impelementasinya, MK juga mengakui bahwa UU Penodaan agama sering digunakan secara tidak tepat. Namun, karena MK hanya menguji norma hukumnya, maka soal implementasi ini tidak bisa menjadi dalil untuk membatalkan UU Penodaan Agama.
32
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Ketiga, kalangan legislatif semestinya segera menangkap pesan dalam putusan MK untuk memperbaiki UU Penodaan Agama. Meski delik penodaan agama tidak bisa dihilangkan, namun adanya UU yang memastikan bahwa UU ini tidak eksesif dan bisa diterapkan secara semena-mena menjadi hal yang sangat penting. Diakui atau tidak, UU Penodaan Agama sering diimplementasikan dengan melanggar hak asasi manusia, terutama terkait dengan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin secara tegas dalam konstitusi. Sayangnya, kalangan legislatif tidak pernah merespon persoalan ini dengan mempersiapkan perbaikan UU tersebut, yang muncul justru wacana pembuatan UU Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang bisa lebih represif dibanding UU No. 1/PNPS/1965.
Implementasi Pasal Penodaan Agama Pasca Penetapan Kembali oleh MK ada bagian ini, penulis akan menguraikan sejumlah kasus yang para pelakunya dijerat dengan pasal penodaan agama (pasal 156a KUHP). Kasus-kasus yang diuraikan di sini adalah peristiwa yang terjadi dan sudah divonis pengadilan, meski sebagian belum berkekuatan hukum tetap karena masih ada upaya hukum, seperti banding dan kasasi.
P
1. Kriminalisasi terhadap Tajul Muluk di Sampang Tajul Muluk adalah Pimpinan Syiah Sampang Madura. Pada 12 Juli 2012 lalu, dia dijatuhi hukuman dua (2) tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sampang karena dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 156a
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
33
KUHP, yakni melakukan penodaan agama Islam. Sebelumnya Tajul Muluk harus menerima intimidasi luar biasa. Dia diusir dari kampung halamannya, rumah pengikutnya dibakar, ditangkap polisi dan dijebloskan dalam penjara. Sebelum penangkapan dan pengadilan terhadap Tajul Muluk, telah terjadi serangkaian peristiwa yang dapat diuraikan secara kronologis.30 Kasus kekerasan terhadap Jamaah Dusun Nangkrenang, Karang Gayam, Omben, Sampang sebenarnya sudah berlangsung sejak 2004. Semakin lama eskalasi ketegangan dalam masyarakat terus meningkat akibat pernyataan kebencian yang terus dilakukan oleh tokoh-tokoh setempat. Puncak dari seluruh ketegangan itu terjadi pada 29 Desember 2011 ketika rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, beserta dengan dua rumah Jamaah Syiah lainnya dan Mushalla yang digunakan sebagai sarana peribadatan, dibakar oleh 500-an orang. Aksi pembakaran ini sebenarnya merupakan yang kedua kalinya dalam bulan Desember 2011. Sebelumnya, aksi pembakaran rumah Jamaah Syiah juga terjadi di Desa Blu’uran, Karang Penang, Sampang pada 17 Desember 2011. Sebelumnya, pada Oktober 2009, serangan serupa terhadap Jamaah Syiah sebenarnya sudah terjadi. Pada saat itu, massa sudah siap menyerang komunitas Syiah di Dusun Nangkrenang, tapi gagal. Ancaman serangan kembali kembali pada 4 April 2011, ketika Jamaah Syiah hendak memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
30 Kronologi yang dirujuk di sini berdasar rilis yang dikeluarkan Pokja Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) Jawa Timur pada 25 Juni 2012.
34
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Setelah menerima tindakan kekerasan dan intimidasi sedemikian rupa, Tajul Muluk justru dilaporkan oleh Roisul Hukama, yang juga adik kandungnya, ke Kepolisian Sektor Omben atas tuduhan Penodaan Agama (pasal 156a KUHP jo. 335 KUHP). Serangkaian peristiwa setelah pembakaran pada 29 Desember 2011 yang menyertai itu semua dapat diuraikan dalam kronologi berikut: 1. 1 Januari 2012 MUI Sampang yang diketuai KH. Bukhori Maksum mengeluarkan fatwa penyesatan ajaran Tajul Muluk. Fatwa inilah yang pada akhirnya menjadi rujukan atas penahan dan pengadilan terhadap Tajul Muluk oleh Pengadilan Negeri Sampang. Di dalam fatwa tersebut juga tidak dijelaskan secara rinci tentang ajaran Tajul Muluk yang dianggap sesat. Fatwa tersebut hanya mengatakan bahwa ajaran Tajul Muluk sesat dan menyesatkan, tanpa menunjuk kesesatan yang dimaksud. 2. 3 Januari 2012 Roisul Hukama, adik kandung Tajul Muluk, melaporkan Tajul Muluk kepada Polres Sampang atas tuduhan penodaan agama (156a) dan perbuatan tidak menyenangkan (pasal 335 ayat 1 KUHP). Laporan tersebut diregistrasi nomor LP/03/1/2012/Polres, yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penyelidikan nomor: Sp.Sidik/47/1/1012/Ditreskrimum tanggal 27 Januari 2012. Satu bulan kemudian, 1 Maret 2012, Tajul Muluk didampingi kuasa hukumnya, Otman Ralibi memenuhi panggilan dalam pemeriksaan saksi di Polda Jatim. 3. 15 Maret 2012, Polda Jatim mengadakan gelar perkara terkait tuduhan penodaan agama Tajul Muluk. Pelbagai pihak hadir dalam gelar perkara
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
35
tersebut, diantaranya utusan Kejaksaan Tinggi Jatim, anggota Polres Sampang, dan perwakilan Kejaksaan Negeri Sampang. Bersamaan dengan gelar perkara tersebut, Penyidik Polda Jatim mengeluarkan Surat Penetapan Tersangka terhadap Tajul Muluk dengan jeratan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, dan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Sehari berikutnya penyidik mulai memeriksa saksi-saksi yang memberatkan. 4. 26 Maret 2012, pengacara Tajul Muluk dan beberapa aktifis lembaga non-pemerintah melakukan pertemuan dengan Kapolda Jatim untuk mencari solusi dan agar kasus ini tidak dilanjutkan. Dalam pertemuan tersebut, Kapolda Jatim mengatakan, kasus ini sebenarnya tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan karena perbuatan Tajul Muluk tidak memenuhi unsur yang bisa dijerat dengan pasal 156a dan pasal 335 KUHP. Namun berdasarkan keterangan Kapolda Jatim, Bupati Sampang sering datang ke Polda untuk memaksa penyidik agar kasus ini terus dilanjutkan. Bahkan, Bupati Sampang mendatangi kantor Polda sambil marah dan memaksa kasus ini terus dilanjutkan ke pengadilan. 5. 28 Maret 2012, Tajul Muluk memenuhi panggilan pemeriksaan dirinya sebagai tersangka. Dengan pertimbangan bahwa Tajul Muluk selama ini kooperatif dan tidak menghilangkan barang bukti, maka penyidik Polda Jatim tidak melakukan penahanan terhadap dirinya. 6. 5 April 2012, Berkas Perkara Tajul Muluk dilimpahkan oleh Penyidik (Polda Jatim) kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk
36
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
dikonsultasikan terlebih dahulu. Lima hari kemudian, 10 April, Berkas Perkara Tajul Muluk dinyatakan telah memenuhi syarat lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. 7. 12 April 2012, Berkas Perkara Tajul Muluk dilimpahkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur kepada Kejaksaan Negeri Sampang. Bersamaan dengan pelimpahan berkas perkara tersebut, Kejaksaan Negeri Sampang mengeluarkan Surat Perintah Penahanan terhadap Tajul Muluk. Tajul Muluk sendiri akhirnya ditahan oleh Kejaksaan Negeri Sampang karena pihak Kejaksaan Negeri khawatir Tajul Muluk kabur dari Madura. Di dalam tahanan Tajul Muluk mendapatkan intimidasi dan teror oleh napi-napi lainnya. Ia sempat diancam akan dibunuh oleh napi lain jika berani macam-macam. ”Kalau dia berani macam-macam disini, kugorok lehernya,” ujar salah satu Napi yang tidak mau disebutkan namanya. Selain itu, sel di mana Tajul ditahan juga dilempari batu oleh napi lainnya. 8. 24 April 2012, sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri Sampang, dan vonis dijatuhkan pada 12 Juli 2012. Dengan demikian, proses perjalanan sidang berlangsung sekitar dua bulan. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik yang menjadi dasar surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Tajul Muluk dituduh berpendapat dan melakukan sejumlah tindakan yang diindikasi sebagai tindak pidana sebagai berikut: a. Kitab suci al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin saat ini tidak otentik dengan mengistilahkan aqidat tahrîf alQur’an. al-Qur’an otentik sedang dibawa
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
37
oleh Imam Mahdi al-Murtada yang sekarang ini gaib. b. Kedua kalimat syahadat yang ditambah dan diubah menjadi asyhadu an lâ ilâha illallâh, wa asyhadu anna Muhammad al-rasûlullâh, wa asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullâh wa asyhadu anna ‘Aliyyan hujjatullâh. c. Wajib mengkafirkan sahabat-sahabat, para mertua serta beberapa istri Nabi Muhammad SAW. d. Wajib berbohong atau ber-taqiyah terhadap kaum muslimin ahlul sunnah wal-jamaah. e. Rukun Islam ada 8: shalat, puasa, zakat, khumus, haji, amar makruf nahi munkar, jihad dan al-wilâyah. f.
Rukun iman ada 5: tauhidullâh/ ma’rifatullâh; an-nubuwwah (kenabian); alimâmah (kepemimpinan); al-‘adl (keadilan Tuhan); al-ma’âd (hari pembalasan).
Atas perbuatannya tersebut, Tajul Muluk dianggap telah meresahkan masyarakat dan didakwa melalui sejumlah pasal yang disusun secara alternatif, yaitu pasal 156a KUHP tentang penodaan agama dan didakwa melanggar pasal 335 ayat 1 tentang larangan memaksa orang lain dan perbuatan tidak menyenangkan. Setelah melalui proses persidangan, majlis hakim berkesimpulan bahwa tidak semua tuduhan tersebut dapat dibuktikan di depan pengadilan. Beberapa tuduhan yang menurut hakim tak dapat dibuktikan antara lain: •
38
Ajaran dua kalimat syahadat yang ditambah
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
sebagaimana dalam dakwaan, majelis hakim memandang tidak cukup bukti, mengingat hal tersebut hanya didasarkan pada keterangan satu orang saksi, yaitu Roisul Hukama, dan saksi tersebut tidak disumpah dan tidak memenuhi ketentutan minimum dua alat bukti. •
Mengenai taqiyah sebagaimana diterangkan oleh saksi Hasyim dan saksi Matsurah membenarkan adanya ajaran taqiyah. Namun, taqiyah di sini bukan bermakna bohong sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum.
•
Mengenai rukun iman 5 dan rukun Islam 8 najelis hakim sependapat dengan saksi Ahli Dr. Zaenal Abidin Bagir MA, Dr. Umar Shahab MA, Prof. Dr. Zainun Kamal, MA yang pada pokoknya menyatakan, 5 rukun Iman dan 8 rukun Islam secara substansi ada kesamaan dengan rumusan rukun Islam dan rukun iman yang dikenal oleh secara umum umat Islam di Indonesia. Perbedaan jumlah tersebut lebih pada perbedaan pandangan dan tafsir atas alOur’an dan hadits.
Dengan demikian, satu-satunya tuduhan yang tersisa adalah soal otentisitas al-Qur’an. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa tuduhan tersebut terbukti berdasar keterangan saksi di depan pengadilan. Dalam kaitan ini, keterangan saksi yang berbeda antara saksi yang diajukan penuntut umum dan saksi yang diajukan penasehat hukum. Meski terdakwa mengajukan sejumlah saksi yang membantah tuduhan tersebut, tapi majelis hakim menolak karena saksi yang diajukan adalah
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
39
saudara kandung dan pengikut terdakwa, sehingga keterangannya tidak dapat diterima. Karena itu. majelis hakim lebih melihat kebenaran pada saksi yang diajukan penuntut umum. Di samping keterangan saksi, alat bukti yang menjadi pertimbangan penting hakim adalah: 1) Fatwa MUI kabupaten Sampang No: A-035/ MUI/SPG/I/202 tanggal 1 Januari 2012 yang menyatakan ajaran Tajul Muluk sesat menyesatkan dan merupakan penistaan dan penodaan agama Islam; 2) Pernyataan sikap PCNU Sampang No : 255/EC/A:/L-36/I/102 tanggal 2 Januari 2012 yang pada pokoknya, menyatakan ajaran Tajul Muluk adalah sesat dan menyesatkan, serta sebagai tindakan penistaan agama yang dapat menimbulkan keresahan yang ada di masyarakat, dan mendukung fatwa MUI kabupaten Sampang pada tanggal 1 januari 2012. Dalam diktum menimbang, majelis hakim menyebutkan beberapa hal: 1) perbuatan terdakwa menyampaikan atau mengajarkan bahwa al-Qur’an yang diajarkan sekarang tidak otentik, Majelis memandang bahwa perbuatan terdakwa tersebut secara jelas merendahkan, mengotori dan merusak keanggunan al-Qur’an; 2) al-Qur’an sebagai kitab suci adalah simbol agama, sehingga perbuatan yang dipandang merendahkan, mengotori dan merusak keanggunan al-Qur’an dengan sendirinya merupakan perbuatan yang menodai agama Islam; 3) Islam merupakan salah satu agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia dan diberikan jaminan serta perlindungan sebagaimana disebutkan dalam penetapan Presiden No:1/MPR/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama.
40
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Berdasar pertimbangan dan keterangan saksi, maka hakim sampai pada keyakinan bahwa Tajul Muluk secara sah dan menyakinkan sudah melakukan tindak pidana penodaan agama, dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara dipotong masa tahanan. Berdasar uraian tersebut dapat disimpulkan, dari sekian banyak tuduhan penodaan agama yang dituduhkan pada Tajul Muluk, majelis hakim tidak menemukan bukti yang dianggap kuat, kecuali dalam tuduhan mengatakan al-Qur’an dianggap tidak otentik. Dengan demikian, yang divonis bukan elemen-elemen keyakinan Syiah. Substansi persoalan yang divonis sebagai penodaan agama menyangkut al-Qur’an sebenarnya sudah lama menjadi diskursus dalam sejarah pembukuan al-Qur’an pada masa Khalifah Usman bin Affan. Hal ini bukan hanya menjadi kajian kalangan Syiah, tapi kajian para peminat sejarah al-Qur’an. Bahkan, sampai ada yang berpendapat bahwa ada bagian ayat al-Qur’an yang ikut terbakar sebelum sempat dimasukkan dalam rasm Usmani. Meski demikian, para ahli sejarah alQur’an tidak sampai memperdebatkan otentisitas alQur’an, karena semua orang Islam menyakini bahwa al-Qur’an adalah otentik karena wahyu Tuhan. Namun demikian, sejarah pembukuan al-Qur’an merupakan wilayah manusiawi yang bisa dikritik. Penyebutan kata “al-Qur’an tidak otentik” memang potensial disalahpahami dan bisa menimbulkan kemarahan. Namun, dari dokumen yang tersedia, penyebutan “al-Qur’an tidak otentik” bukan bahasa yang digunakan Tajul Muluk, tapi lebih merupakan bahasa yang digunakan kelompok yang kontra. Secara sosiologis, keputusan majelis hakim lebih merupakan upaya untuk meredam kemaraham
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
41
massa yang telah membakar pesantren dan pengikut Syiah. Mereka sebenarnya tidak terlalu peduli dengan menggunakan pasal apa, yang penting Tajul Muluk dijebloskan dalam penjara. Karena itu, tidak berlebihan kalau vonis ini, sekali lagi sekedar ingin memenuhi selera massa yang tampak mayoritas. Paska vonis 2 tahun Tajul Muluk, beberapa pakar hukum dan akademisi melakukan eksaminasi publik di Yogyakarta pada 10 September 2012 atas putusan No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Sampang.31 Para eksaminator menemukan beberapa pelanggaran dalam proses penyidikan dan persidangan Tajul Muluk dengan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, pada tahap penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tajul Muluk telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum formil. Hal ini berdasarkan tiga fakta hukum yang ditemukan tim eksaminator, antara lain: 1)
Majlis hakim menggunakan saksi a charge yang notabenenya tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, namun pada kedua tahap tersebut tetap dipaksakan dan tanpa dibantu dengan penterjemah resmi.
2)
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), banyak saksi yang tidak bisa membaca/ menulis huruf latin, namun mereka diperiksa dan dibuatkan BAP dalam bahasa
31 Para eksaminator itu berjumlah lima (5) orang, antara lain: Hifdzil Alim (PUKAT UGM), Zahru Arqom (Advokat UGM), Supriyadi (Dosen Hukum UGM ), Muh. Arif Setiawan (Dosen Hukum UII), Sahlan Said (Mantan Hakim dan Dosen UGM).
42
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Indonesia, tanpa didampingi penterjemah resmi yang bersertifikat dan disumpah. Hal yang sama juga ditemui dalam BAP penyidikan saksi a charge Hozeiri, Punari, Ummu Kultsum, dan Sanima, meski mereka bisa tanda tangan, karena bagian penutup pemeriksaannya hampir sama dengan Munai, meski tidak disebut bahasa yang dimengerti saksi itu apa, kalau dalam BAP Munai disebut bahasa Madura. 3)
Pencantuman uraian peristiwa dalam Dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua ternyata “identik”, padahal unsur-unsur pidana dalam Pasal 156 a KUHP (Dakwaan Kesatu) dengan Pasal 335 KUHP (Dakwaan Kedua) adalah berbeda, sehingga Surat Dakwaan tidak memenuhi syarat materiil Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, makna “jelas” dan “lengkap”, bahwa terhadap hal tersebut Penasihat Hukum Terdakwa sudah mengajukan Eksepsi, namun Majelis Hakim menolaknya dalam Putusan Sela.32
Kedua, pada tahap persidangan perkara Tajul Muluk telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum formil. Hal ini dikuatkan dengan temuan hukum tim eksaminator, antara lain: 1) Sikap inkonsistensi hakim dalam menilai alat bukti perkara Tajul Muluk selama persidangan. Dalam persidangan Tajul Muluk, majlis hakim mengabaikan keterangan saksi-saksi yang menguatkan Tajul Muluk dan lebih mendengar 32 Naskah Hasil Eksaminasi Putusan Nomor: 69/PID.B/2012/PN.SPG, Hal. 21-22
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
43
saksi-saksi yang diajukan Penuntut Umum. Padahal, saksi-saksi Tajul Muluk menerangkan sebaliknya, bahwa mereka tidak pernah mengetahui atau mendengar Tajul Muluk mengajarkan atau menyampaikan ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya. 2) Selama persidangan, majlis hakim tidak tepat dalam menilai alat bukti al-Qur’an. Misalnya dalam alinea ke-2 halaman 88 Putusan Akhir yang mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak disumpah adalah lemah dan kurang tepat. Pasalnya, terdapat 3 (tiga) hal berbeda yakni bahwa al-Qur’an tidak identik; al-Qur’an dirubah oleh sahabat dan yang merubah Usman Bin Affan; dan al-Qur’an tidak asli sehingga tidak dapat dipersamakan, satu dan lain keterangan Terdakwa dan Saksi-saksi ade charge menerangkan yang sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 185 ayat (4) dan (6) KUHAP.33 Ketiga, pada tahap persidangan majlis hakim telah melakukan pelanggaran hukum materiil. Hal ini bisa dilihat dalam enam pelanggaran, antara lain: 1)
Majlis hakim mengabaikan prinsip Straftoemating. Putusan majelis hakim abai atas prosedur dan pedoman vonis pidana, atau prinsip ”straftoemeting”. Dalam hal ini Tajul Muluk dinyatakan oleh majlis hakim
33 Naskah Hasil Eksaminasi Putusan Nomor: 69/PID.B/2012/PN.SPG, Hal. 22-25
44
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156a KUHP dan menjatuhkan vonis 2 (dua) tahun kepada Tajul Muluk. Padahal, eksistensi Pasal 156a KUHP tidak dapat dilepaskan dari Undang-Undang No. 1/ PNPS/1965, karena munculnya Pasal 156a KUHP tersebut sebenarnya ditambahkan oleh Pasal 4 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965. Alih-alih mengikuti pedoman dan prosedur penerapan (straftoemeting), majlis hakim dalam pertimbangan hukumnya justru mendasarkan pada penafsiran individual dari beberapa saksi, termasuk Fatwa MUI Kabupaten Sampang dan Surat Pernyataan Sikap PCNU Kabupaten Sampang, untuk menilai dan menghakimi ajaran yang disampaikan oleh Tajul Muluk. Akibatnya, vonis dijatuhkan sebelum dilakukannya prosedur peringatan, sebagaimana Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 oleh Pemerintah terhadap Terdakwa Tajul Muluk. Secara otomatis, Dakwaan Kesatu yang Pasal 156a KUHP adalah prematur dan seharusnya Majelis Hakim menyatakan Surat Dakwaan JPU batal demi hukum. 2)
Majlis Hakim abai atas prinsip hukum beyond reasonable doubt dalam memutus perkara Tajul Muluk. Keterangan ahli dalam persidangan sangat ekstrem mengenai Syiah dan Sunni. Jika hakim dalam memperhatikan keterangan ahli menangkap keterangan yang memang sangat berbeda antara ahli JPU (sangat mendukung Sunni yang mayoritas). Maka jika hakim masih ragu dapat menghadirkan ahli lain. Dalam
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
45
asas beyond reasonable doubt, tidak boleh ada sedikitpun keraguan di dalam diri hakim untuk memutus.
46
3)
Majlis hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi yang sifatnya netral. Berdasarkan keterangan yang diberikan di persidangan, sebagian besar saksi-saksi yang dihadirkan merupakan penganut aliran yang dipertentangkan. Namun, terdapat saksi Zulhan merupakan saksi yang sifatnya netral seharus dipertimbangkan. Saksi Zulhan merupakan penganut Sunni, yang menyatakan terdakwa berperangai baik dan tidak mengajarkan kesesatan sebagaimana yang didakwakan padanya. Selain Zulhan, saksi H. Rudi Setiady, SE. MM (Kepala Bakesbangpol) juga merupakan saksi yang seharusnya dipertimbangkan oleh hakim. Saksi menyatakan sesuai dengan tugasnya pernah melakukan kajian dalam kasus ini bahwa kasus ini merupakan permasalahan pribadi antara terdakwa dengan adiknya kemudian dikemas dalam bentuk perseteruan Syiah dan Sunni.
4)
Majlis hakim tidak mempertimbangkan keterangan Ahli DR. Zainal Abidin Bagir, M.A. dan DR. Umar Shabab MA. Ahli Zainal Abidin Bagir menyatakan bahwa pada tahun 2005, ulama dari berbagai dunia termasuk Indonesia menyatakan dua hal bahwa pengikut Syiah juga termasuk muslim dan bahwa terkait percaya Imam 12 yang penting masih percaya pada Allah, Nabi dan al-Qur’an. Ahli Umar Shahab menyatakan bahwa dari buku Quraish
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Shihab dinyatakan bahwa rukun iman dan islam baik Syiah dan Sunni berbeda hanya pada rumusannya saja. 5)
Hakim hanya mempertimbangkan 2 ajaran dari 7 ajaran yang didakwakan jaksa yaitu al-Qur’an tidak orisinil dan rukun islam dan rukun imannya berbeda.
6)
Hakim tidak mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai salah satu alat bukti. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 184 KUHAP. Dalam keterangannya terdakwa menyatakan tidak pernah mengajarkan ajaran sesat dan dengan menggunakan alQur’an yang sudah dirubah. al-Qur’an yang digunakan adalah sama dengan al-Qur’an yang dipakai umat Islam.34
Dengan demikian, majelis hakim dalam perkara Tajul Muluk telah melakukan pelanggaran terhadap hukum formil maupun materil. Berdasarkan hasil eksaminasi di atas diketahui bahwa beberapa saksi yang menguatkan Tajul Muluk, keterangan terdakwa, alat bukti surat yakni al-Qur’an, keterangan ahli, kesemuanya seharusnya menjadi alat bukti yang seharusnya dipertimbangkan hakim. Sehingga, terdakwa Tajul Muluk seharusnya dinyatakan bebas. Begitu juga, dalam proses Banding, Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan Pengadilan Negeri Sampang untuk memeriksa saksi-saksi lain yang bersifat netral. Terakhir, Komisi Yudisial (KY) dapat melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini karena kekeliruan majelis hakim dapat menciderai harkat dan martabat hakim. 34 Naskah Hasil Eksaminasi Putusan Nomor: 69/PID.B/2012/PN.SPG, Hal. 25-28
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
47
Sampai hari ini, nasib tragis masih terus membayangi Tajul Muluk, upaya bandingnya berbuah 4 tahun penjara. Pasalnya, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur menambah hukuman empat tahun penjara terhadap pemimpin Syiah Sampang Tajul Muluk. Merespon tragedi ini, Tajul Muluk bersama beberapa aktivis dan korban kasus penodaan agama yang lain mengajukan permohonan uji materi (judicial review) pada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 4 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dan pasal 156a KUHP, karena dianggap mudah menjerat kelompok minoritas mendapat tindak pidana atas penodaan agama. Proses uji materi (judicial review) masih berlangsung dan sampai tulisan ini diturunkan belum ada keputusan diterima atau ditolak. 2. Mengadili Antonius Richmond Bawengan di Temanggung Peristiwa pengadilan terhadap Antonius Richmond Bawengan yang didakwa sebagai pelaku penodaan agama dilakukan di Pengadilan Negeri Temanggung Jawa Tengah. Antonius Richmond Bawengan sendiri adalah pemilik KTP Jakarta yang sedang mengunjungi tempat saudaranya di Dusun Kenalan, Desa/Kecamatan Kranggan, Temanggung pada 23 Oktober 2010. Di sela-sela kunjungannya, Antonius membagikan selebaran yang dianggap menista agama tertentu. Tiga selebaran itu berukuran kertas folio dan dibagi tiga kolom. Masingmasing berjudul “Bencana Malapetaka Kecelakaan (Selamatkan Diri Dari Dajjal), “Tiga Sponsor-Tiga Agenda-Tiga Hasil” dan “Putusan Hakim Bebas”. Isi ketiga selebaran itu pada dasarnya merupakan kritik pada kondisi masyarakat saat ini. Tak hanya
48
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
mengkritik ajaran Islam, dalam ketiga selebaran itu juga mengkritik agama Nasrani.35 Dalam halaman muka selebaran berjudul “Tiga Sponsor-Tiga Agenda-Tiga Hasil” misalnya, terdapat gambar tiga agama. Gambar bintang segi enam yang dikenal sebagai simbol agama Yahudi, gambar Yesus sebagai simbol Nasrani dan gambar bulan sabit dengan bintang di tengahnya sebagai simbol Islam. Selebaran yang lain, berjudul “Bencana Malapetaka Kecelakaan (Selamatkan Diri Dari Dajjal), di halaman depannya tertulis malapetaka saat ini di antaranya adalah bencana tsunami, gempa, banjir dan lain sebagaianya.36 Adapun dua buku yang disebarkan terdakwa, masing-masing berjudul “Ya Tuhanku, Tertipu Aku!” yang terdiri dari 60 halaman dan “Saudaraku Perlukah Sponsor” yang terdiri dari 35 halaman. Keduanya merupakan buku saku dengan isi yang tak jauh berbeda dengan tiga selebaran sebelumnya. Baik pada selebaran dan buku, banyak dikutip ayat-ayat al-Qur’an dan Injil, untuk menguatkan kritik terhadap agama-agama tertentu.37 Di dalam pamflet itu, misalnya, dinyatakan bahwa Allah dan Nabi Muhammad adalah pembohong. Umat Islam yang shalat Jum’at di masjid dianggap sama dengan menyembah dewa Bulan karena di atas kubah masjid terdapat lambang bulan-bintang. Selebaran 35 “Antonius, Wiraswasta yang Didakwa Menistakan Agama”, http:// nasional.inilah.com/read/detail/1220892/antonius-wiraswasta-yang-didakwamenistakan-agama, diunduh 29 September 2012 36 “Ini Isi Tiga Selebaran dan Buku Bawengan”, http://berita-lokal.lintas. me/go/tempointeraktif.com/ini-isi-tiga-selebaran-dan-buku-bawengan-_1/1/, diunduh 29 September 2012 37 “Ini Isi Tiga Selebaran dan Buku Bawengan”, http://www.tempo.co/ read/news/2011/02/09/078312312/Ini-Isi-Tiga-Selebaran-dan-Buku-Bawengan, diunduh 30 September 2012
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
49
ini sampai di tangan warga muslim. Warga bernama Bambang Suryoko kemudian melaporkannya kepada Ketua RT setempat, Fakhrurozi dan dilanjutkan laporan ke polisi. Selebaran ini juga menyinggung pemeluk agama Kristen. Sebab, selebaran Antonius berisi pernyataan yang bersifat anti-Maria. Anti-Maria merupakan pengingkaran iman Katolik, dan pengingkaran ini dilakukan dengan menggunakan dalil dari al-Qur’an. “Provokasi yang dilakukan Antonius itu sangat merugikan iman Katolik dan juga iman saudara kami yang muslim,” kata Romo Aloysius Budi Purnomo, seorang tokoh Katolik di Semarang. Namun, gereja Katolik setempat tidak ikut melaporkan permasalahan ini kepada polisi.38 Antonius kemudian ditahan per 23 Oktober 2010. Setelah itu, ia melalui persidangan sampai divonis pada tanggal 08 Februari 2011. Sejak Januari, Andreas menjalani sidang selama 3 kali: 20 Januari, 27 Januari, dan 08 Februari 2011. Sidang yang disebut terakhir ini merupakan sidang pembacaan tuntutan oleh jaksa. Sebelum sidang pembacaan vonis, pada sidang sebelumnya terdakwa juga diburu massa. Waktu itu ia dikejar dan dipukuli sejumlah massa yang mengenakan atribut organisasi massa Islam. Aksi ini terus berlanjut sampai terdakwa dimasukkan ke dalam mobil tahanan.39 Dalam kesempatan ini, polisi berkali-kali mengeluarkan tembakan peringatan ke udara karena kalah jumlah 38 Di Temanggung, Antonius Juga Lecehkan Katolik, http://nasional. news.viva.co.id/news/read/203558-antonius-dan-perusakan-gereja-di-temanggung, diunduh pada 30 September 2012. 39 “Violence at blasphemy trial in Central Java”, http://www.thejakartapost. com/news/2011/02/08/violence-blasphemy-trial-central-java.html, diunduh pada 30 September 2012.
50
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
dengan massa. Massa bertindak demikian karena menurut mereka Antonius sengaja menyebarkan selebaran di Desa Kranggan untuk menista agama, terutama agama Islam. Karenanya, tidak heran, jika aparat bersiaga menjaga sidang terakhir, sidang pembacaan vonis. Vonis maksimum yang dijatuhkan kepada terdakwa ternyata tidak memuaskan massa yang kemudian meluruk pengadilan.40 Aparat bersiaga penuh tetapi tampak kewalahan. Sekitar 640 personel keamanan yang terjun untuk mengamankan sidang ini. Mereka, kata Brigjen Ketut, juga di back-up oleh Polda Jawa Tengah. Jaksa Siti Manahim pada sidang hari Selasa membaca tuntutan hukuman 5 tahun penjara kepada terdakwa yang dianggap melakukan penistaan agama sebagaimana tertera dalam pasal 156a KUHP. Ketika Hakim Dwi Dayanto hendak mengetuk palu, pengunjung mengamuk, meminta Andreas dihukum seberat-beratnya. Mereka langsung menyerbu terdakwa. Begitu terdakwa berhasil diamankan dengan mobil barracuda, massa yang berada di luar pengadilan melakukan pelampiasan dengan melempar batu ke bangunan pengadilan. Kondisi menjadi tidak terkendali ketika semakin banyak massa merapat ke gedung pengadilan dan melakukan pembakaran. Akibatnya, kaca jendela pecah dan sebagian tembok PN Temanggung rusak. satu truk dalmas yang berada di dekat pengadilan dibakar.41 40 “Islamic Hard-Liners Attack Court and Churches in Indonesia�, http:// www.nytimes.com/2011/02/09/world/asia/09indonesia.html, diunduh pada 30 September 2012. 41 “Temanggung Terusik Anarki�, http://www.antaranews.com/ news/245485/temanggung-terusik-anarki, diunduh 1 Oktober 2012.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
51
Menjelang siang, ratusan personil Brimob (Brigade Mobil) memaksa massa mundur ke luar arena pengadilan. Massa yang masih tersulut emosi kemudian mencari sasaran lain: Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Pantekosta. Sebuah sekolah di kompleks Gereja Bethel juga dibakar. Gereja Santo Petrus turut menjadi sasaran. Sasaran amuk massa masih bertambah, kantor polisi di dekat pengadilan. Polisi baru berhasil menguasai situasi pada pukul dua belas siang. Konsentrasi massa sudah tidak ada, dan hanya tersisa batu-batu di PN Temanggung. Polisi kemudian memblokade jalan menunju Temanggung untuk menutup masuknya massa dari luar Temanggung. Mendengar kerusuhan ini, tak kurang PGI, KWI, MUI Pusat, dan MUI Jawa Tengah mengutuk kejadian ini dan meminta aparat mengusut tuntas pelakunya. PGI melalui Pendeta Andreas Yewangoe meminta umat Kristiani tenang dan tidak membalas aksi massa dan meminta agar aparat betul-betul menjaga keamanan. “Jangan biarkan kewibawaan negara dikuasai sekelompok orang. Ini bisa menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat. Menjaga keamanan adalah tugas kepolisian,” terang Pdt Yewangoe. Yewangoe juga menyayangkan massa yang bertindak rusuh padahal prosedur hukum yang lain masih bisa ditempuh jika tidak puas dengan vonis yang sudah diputuskan pengadilan— selain kejadian ini tidak menolong Indonesia dalam merawat kemajemukan yang selama ini menjadi ciri khasnya.42 “KWI meminta agar pemerintah menindak tegas pelaku kerusuhan, kalau tidak, berarti 42 “Insiden Temanggung, PGI Imbau Umat Tenang”, http://news.viva. co.id/news/read/203549-insiden-temanggung--pgi-imbau-umat-tenang, diunduh 1 Oktober 2012.
52
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
pemerintah absen dan akan menjadi barbar,” ujar Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI Romo Benny Susetyo. Tindakan tegas ini akan memberi efek jera kepada pelaku kekerasan, terutama kekerasan tempat ibadah. Jika tidak, hukum akan menjadi rusak.43 Perlindungan kepada pelaku adalah perlu, karena kekerasan tidak dapat dibenarkan apapun bentuknya. Uskup Keuskupan Agung Semarang Mgr Johanes Pujosumarta juga prihatin dan mengecam tindakan brutal dan anarkis yang dilakukan sekelompok massa. “Semuanya bisa diselesaikan secara damai tanpa merusak properti milik orang lain, tindakan seperti ini dilakukan mereka yang tidak bermoral dan gereja Katolik sangat mengecam kekerasan yang terjadi,” jelas Mgr Pujo.44 Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Antarumat Beragama, Slamet Effendi Yusuf, mendesak hal yang sama. “Jangan Tolerir Kekerasan”.45 Selain itu, Slamet meminta pemerintah mencari tahu latar belakang Antonius yang dianggap sengaja datang ke Temanggung untuk mengadu domba umat Islam dan Katolik. Kewajiban polisi untuk mencari dalang yang sesungguhnya juga dikemukakan oleh Sekretaris MUI Jateng, Ahmad Rofiq. Dari tanya jawab dengan Kapolda diketahui banyak isu tak jelas, termasuk isu pasca kerusuhan sehingga Rofiq menyimpulkan ada pihak yang 43 “KWI: Indonesia Menjadi Barbar!”, http://teknologi.inilah.com/read/ detail/1220502/URLTEENAGE, diunduh 1 Oktober 2012. 44 “Uskup Agung Kecam Kerusuhan Temanggung”, http://suaramerdeka. com/v1/index.php/read/news/2011/02/08/77437/Uskup-Agung-KecamKerusuhan-Temanggung-yang-Rusak-Tiga-Gereja, diunduh 1 Oktober 2012. 45 “MUI Desak Pemerintah Usut Kasus Temanggung”, http://www.tempo. co/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0 JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MzEy NTIx, diunduh 1 Oktober 2012.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
53
bertujuan memperkeruh. “Ini menunjukkan ada yang sengaja memperkeruh situasi,” terang Rofiq.46 Kecaman juga datang dari kalangan luar. Pejabat dari pemerintahan Italia, yang mayoritasnya beragama Katolik Roma, turut mengutuk aksi ini. Kerusuhan di Temanggung, bagi pemerintahan Italia, merupakan demonstrasi fanatisme yang sangat serius. Demikian juga, kerusuhan di Temanggung adalah serangan terhadap kebebasan beragama. “Juga serangan kebebasan berkeyakinan seseorang,” Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini.47 Frattini berharap agar Indonesia yang dikenal giat melakukan dialog antar-agama merespon peristiwa dengan melakukan langkah yang benar. The Asian Human Rights Commission (AHRC), komisi HAM Asia, menyatakan bahwa eskalasi penggunaan kekerasan oleh kelompok fundamentalis agama merupakan akibat dari dual: tidak tegasnya aparat keamanan dalam menyikapi kasus-kasus yang serupa di masa lalu dan adanya kelalaian pemerintah dalam menjamin hak-hak dasar warganya. AHRC juga meminta pemerintah mengusut tuntas kasuskasus kekerasan yang berkaitan dengan keyakinan dan agama warga negaranya. Dalam hal ini, hukum harus ditegakkan atas segala tindakan yang bersifat anti-toleransi. “Demokrasi bukan berarti mayoritas berkuasa di atas minoritas. Tapi, adalah perlindungan tanpa kompromi terhadap hak-hak dasar manusia, termasuk kebebasan menganut 46 “MUI Jateng Minta Dalang Rusuh Temanggung Diungkap”, http:// news.detik.com/read/2011/02/20/161256/1574598/10/mui-jateng-minta-dalangrusuh-temanggung-diungkap?nd992203605, diunduh 1 Oktober 2012. 47 “Italia Kecam Pembakaran Gereja Temanggung”, http://id.berita. yahoo.com/italia-kecam-pembakaran-gereja-temanggung-20110208-192806-821. html, diunduh tanggal 1 Oktober 2012.
54
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
agama dan keyakinan,” demikian sikap AHRC.48 Kapolri menyatakan bahwa massa berasal dari luar Temanggung. “Jadi dari beberapa informasi yang ditindaklanjuti memang bukan hanya masyarakat Temanggung saja, tetapi termasuk lingkungan geografis Jawa Tengah,” terang Kapolri, Jenderal Polisi Timur Pradopo.49 Sementara itu, tersangka yang sudah ditetapkan statusnya berjumlah 14 orang, 6 orang di antaranya merupakan warga Temanggung.50 Dengan diliputi suasana kerusuhan tersebut, Pengadilan Negeri Temanggung akhirnya menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Antonius Richmond Bawengan karena dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak penodaan agama.51 3. Mengadili Pdt. Hadassah di Bandung Pendeta Hadassah dari GBT (Gereja Bethel Tabernakel) Shekinah Lengkong Bandung diadili karena dianggap menodai agama yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara. Pada sidang perdana tertanggal 20 Maret 2011 di Pengadilan Negeri Bandung, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa sang pendeta karena dianggap menodai ajaran agama Kristen, sehingga meresahkan jemaat setempat. 48 “Italia Kecam Pembakaran Gereja Temanggung”, http://dunia.news. viva.co.id/news/read/203687-italia-kecam-pembakaran-gereja-temanggung, diunduh 1 Oktober 2012. 49 “Kapolri: Pelaku Kerusuhan Berasal dari Luar Temanggung”, http:// news.liputan6.com/read/319567/Kapolri__Pelaku_Kerusuhan_Berasal_dari_ Luar_Temanggung, diunduh 1 Oktober 2012. 50 Lebih jauh lihat laporan the Wahid Institute dalam Monthly Report on Religious Issues, edisi 31, Februari 2011. 51 “Pelaku Penodaan Agama Diancam Hukuman Lima Tahun”, http:// www.pikiran-rakyat.com/node/181402, diunduh 29 September 2012.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
55
Penodaan ini dinilai menyebabkan penurunan iman di kalangan jemaat secara luas, ketidakpercayaan kepada Kristen, dan ketidakharmonisan keluarga. Pendeta Hadassah misalnya menyatakan, ibu hanyalah jalan lahir belaka, bahkan dirinya lebih tinggi derajat orang tua. Mereka yang mati seperti Pastur Adil akan datang membawa bala tentara dari surga padahal dalam kepercayaan arus utama Kristen, ‘peran’ ini dilakukan oleh Tuhan. Pernyataan lainnya adalah Pendeta Hadassah mengaku sering ngobrol dengan Tuhan Yesus. “Pernyataan tersebut bertentangan dengan prinsipprinsip ajaran Kristiani, karena menurut Agama Kristen, tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang bisa langsung ngobrol dengan Tuhan,” terang salah satu Parningotan Sihite.52 Atas berbagai penyimpangan ini, Majelis Pimpinan Pusat GBT memberhentikan sementara Pendeta Hadassah seperti tertera surat bernomor 0085/SK/PBT/MPP/BP.GBT/19IX/2010 tertanggal 27 September 2010. Dianggap tidak mengindahkan, karena masih menjalankan sebagai pemimpin jemaat, maka Majelis melakukan pemberhentian tetap pada 19 Oktober 2010 melalui surat bernomor 0086/SK/PBT/BP.GBT/19/IX/2010. Terbitnya surat kedua ini mengandaikan pencabutan semua atribut dan jabatan Hadassah.53 Pengacara Haddasah menyangkal tuduhan ini. Menurutnya, seluruh khotbah yang disampaikan merupakan penafsiran belaka, yang jumlahnya 52 “Pelaku Penodaan Agama Diancam Hukuman Lima Tahun”, http:// www.pikiran-rakyat.com/node/181402, diunduh 29 September 2012. 53 “Pelaku Penodaan Agama Diancam Hukuman Lima Tahun”, http:// www.pikiran-rakyat.com/node/181402, diunduh 29 September 2012.
56
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
akan banyak sekali, sehingga tidak bisa divonis. “Jadi tidak bisa begitu saja ditafsir oleh jaksa, pengacara, bahkan majelis hakim,” terang Johnson Siregar seusai persidangan. Dengan jumlah sinode yang mencapai 300 sinode, menurut Johnson, tidak mudah menentukan bertentangan tidaknya sebuah paham dengan ajaran Kristen atau tidak. Proses penilaian membutuhkan pendapat dari pakar teologi. Ia pun meminta agar rekaman khotbah kliennya dicocokkan dengan kutipan yang disampaikan oleh JPU. JPU sendiri menggunakan rekaman khutbah yang digelar tiap Minggu di depan jemaat GBT Shekinah yang tergabung dalam komunitas pendeta ini pada 10 Januari 2010, 06 Juni 2010, dan 09 Juni - 11 Juni 2010.54 Eksepsi terdakwa diterima oleh hakim Pengadilan Negeri Bandung dan karenanya diputus bebas sidang agenda putusan sela pada Kamis (12/04/2011). Menurut Ketua Majelis Hakim Jeferson, dakwaan JPU tidak memenuhi syarat berdasarkan aturan yang berlaku sehingga batal demi hukum. “Dakwaan tidak jelas dan kabur. Dakwaan bukan karena adanya tindak pidana, melainkan adanya perbedaan penafsiran atas isi Alkitab,” terangnya. Selain itu, dakwaan bahwa khutbah Haddasah telah menyebabkan pendangkalan iman, rasa tidak percaya, dan tidak harmonis dalam sebuah keluarga dianggap mengada-ada. “Iman itu hanya orang yang mengalami yang merasakan,” terang Ketua Majelis Hakim.55 Dengan keputusan ini, maka Majelis Hakim 54 “Diduga Menodai Agama, Heidi Eugenie Diadili”, http://m.inilah. com/read/detail/1842750/diduga-menodai-agama-heidi-eugenie-diadili, 29 September 2012 55 “Hakim Kabulkan Eksepsi, Pendeta Hadassah Bebas”, http://bandung. detik.com/read/2012/04/12/154808/1891015/486/hakim-kabulkan-eksepsi-
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
57
memberi kesempatan kedua belah pihak untuk meneruskan langkah hukum.56 JPU, dalam hal ini, juga diberikan kesempatan untuk mempelajari pelimpahan perkara dan dakwaan lebih seksama lagi. Namun, hingga tulisan ini dibuat, belum ada laporan bahwa JPU membuat tuntutan baru. 4. Mengadili Alexander Aan di Sijunjung Sumbar Alexander Aan, biasa dipanggil Aan, adalah anak pertama dari pasangan Armas dan Nur Aina. Menurut Nur Aina, Aan lahir di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1981. Mereka berasal dari keluarga besar suku Balai Mansiang, Minangkabau, dan beragama Islam. Setamat SMA, Aan yang sering dapat juara umum sejak SD, kuliah hukum di Universitas Andalas, lalu setahun, pindah ke jurusan statistik Universitas Padjajaran Bandung. Setelah lulus Universitas Padjajaran Aan berkarir sebagai PNS di Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten Dharmasraya. Sejak kecil Aan dididik dalam tradisi Islam. Ia termasuk anak yang rajin beribadah. “Dulu dia rajin sholat sunat dhuha, sholat lima waktu, puasa Senin Kamis. Kemana-mana selalu membawa tasbih. Sejak kecil rajin shalat di mesjid. Bahkan kalau kami orangtuanya lalai dia selalu mengingatkan untuk sholat. Saya memakai jilbab inipun karena dia yang meminta. Dari kecil dia memang sudah terlatih berfikir. Dia memang cenderung menggunakan logika. Ditambah lagi ia menyambung kuliah di jurusan statistik Universitas Padjajaran Bandung. pendeta-hadassah-bebas, diunduh 15 Oktober 2012 56 Lebih jauh lihat the Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues (MRoRI) edisi 41, Maret 2012
58
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Itukan ilmu pasti”, kata Nur Aina, ibu Aan.57 Aan tersandung masalah ketika dia menulis status di akun facebook-nya yang diindikasi sebagai seorang atheis. Pemasangan kata-kata “Tuhan tidak ada” di halaman Facebook-nya merupakan sebab pertama Aan mendapat masalah. Aan juga menaruh secara online beberapa kartun yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Akibat perbuatannya itu, Aan nyaris dipukuli oleh massa yang marah dan kemudian ditangkap pada 18 Januari 2012. Segera setelah itu Aan ditetapkan sebagai tersangka. Di samping pernyataannya dalam akun pribadi, Aan juga menjadi pengelola group facebook dengan nama “Atheis Minang” yang diduga dimiliki Jusfiq Hadjar, seorang pria 70 tahun berasal dari Sumatera Barat dan sekarang berdomisili di Leiden, Belanda. Alexander Aan mengaku tidak pernah bertemu dan bicara langsung dengan pemilik akun Atheis Minang itu.58 Seminggu setelah ditahan, Aan menyatakan bertaubat dan kembali menjadi muslim. Namun, hal itu tidak bisa menghilangkan perbuatan pidana yang dilakukan. Setelah dilakukan penyidikan, Aan dijerat dengan tuduhan berlapis, yaitu tuduhan penodaan agama (pasal 156a KUHP), melanggar pasal 28 (ayat 2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tuduhan penodaan agama (pasal 156a KUHP), serta Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, dimana ketika melamar menjadi CPNS Aan mencantumkan Islam 57 “Seminggu Ditahan, Alexander An Bertobat”, http://www. andreasharsono.net/2012/01/seminggu-ditahan-alexander-bertobat.html, diunduh 15 Oktober 2012 58 “Prison for ‘Minang atheist’”, http://www.thejakartapost.com/ news/2012/06/15/prison-minang-atheist.html, diunduh 15 Oktober 2012
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
59
sebagai agamanya, namun dalam pemeriksaan polisi dia mengaku atheis.59 Atas perbuatannya itu, Jaksa Penuntut Umum menuntut 3,5 tahun penjara. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sijunjung akhirnya menvonis 2,5 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda 100 juta subsider 3 bulan penjara (14 Juni 2012). Vonis tersebut dijatuhkan karena Aan dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar pasal 28 (ayat 2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 28 (ayat 2) UU ITE ini berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA)”. Dalam pasal 45 (ayat 2) tentang Ketentuan Pidana, orang yang melanggar pasal tersebut diancam dengan pidana paling lama enam tahun penjara.60 Dengan demikian, dalam kasus Aan ini, meskipun pasal 156a tentang penodaan agama turut dicantumkan untuk menjebak tindak pidananya, namun pasal tersebut bersifat subsider. Karena Aan sudah terbukti melanggar pasal utama, maka pasal subsider tidak lagi dipergunakan. Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan banding karena hukuman terhadap Aan dianggap terlalu ringan. Namun, hingga tulisan ini dibuat 59 “PNS Penganut Atheis Dijerat Pasal Berlapis”, http://www. mediaindonesia.com/read/2012/01/20/292891/126/101/PNS-Penganut-AtheisDijerat-Pasal-Berlapis, diunduh 15 Oktober 2012 60 Naskah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008, http://www.batan.go.id/prod_hukum/extern/uu-ite-11-2008.pdf, diunduh 15 Oktober 2012, h. 15
60
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
belum ada informasi hasil dari putusan tingkat banding tersebut. 5. Kriminalisasi AKI di Klaten Majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten menjatuhkan vonis empat tahun penjara terhadap seorang tokoh aliran “Amanat Keagungan Ilahi” (AKI), Andreas Guntur Wisnu Sarsono. Ia dinilai melakukan tindakan penodaan agama yang melanggar pasal 156a KUHP.61 Vonis majelis hakim yang diketuai Didik Wuryanto itu sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Atas putusan tersebut, terdakwa menyatakan banding, meski hingga tulisan ini dibuat belum ada informasi lebih lanjut.62 Sidang kasus penistaan agama tersebut mendapat kawalan puluhan aktivis organisasi massa Islam diantaranya dari Front Umat Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Front Pembela Islam. Pada hari pembacaan vonis tersebut, sejak pagi anggota ormas-ormas tersebut masuk ke ruang sidang Pengadilan Negeri Klaten untuk ikut mengawal jalannya sidang. Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan aparat polres Klaten pun melakukan pemeriksaan ketat terhadap para pengunjung sidang tersebut.63 Sebelum Andreas Guntur Wisnu Sarsono diadili, masyarakat dan Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Klaten Utara menutup rumah 61 “Dinilai sesat, tokoh aliran AKI divonis empat tahun”, http:// solorayaonline.com/2012/03/14/dinilai-sesat-tokoh-aliran-aki-divonis-empattahun/, diunduh 15 Oktober 2012 62 “Pimpinan Aliran Sesat di Klaten Divonis 4 Tahun Penjara”, http:// metrotvnews.com/metromain/newscat/nusantara/2012/03/13/84838/PimpinanAliran-Sesat-di-Klaten-Divonis, diunduh 15 oktober 2012 63 “Isu-isu dalam Konflik Bernuansa Agama”, http://elsaonline. com/?p=1429, diunduh 15 Oktober 2012.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
61
kontrakan Guntur pada 14 Oktober 2011. Penutupan ini ditengarai karena Guntur menyebarkan aliran yang dinilai menyimpang berkedok pengobatan. Aliran yang dimaksud juga dianggap meresahkan warga karena aktivitas-aktivitas malamnya yang menimbulkan kegaduhan. Aktivitas mereka bahkan seringkali dilakukan hingga pukul 03.00 WIB dini hari. Dari rumah tersebut juga sering didengar keanehan seperti tangisan histeris dari para anggotanya saat melakukan ritual. Dari keanehan ini terbit anggapan bahwa kelompok ini telah terjerumus dalam aliran sesat.64 Aparat kepolisian setempat menyatakan mengupayakan langkah preventif untuk berdialog. Tetapi inisiatif ini gagal karena Muspika dan masyarakat ternyata telah bersepakat menutup markas aliran AKI. Camat Klaten Utara memiliki dalih sendiri. Menurutnya, penutupan ini merupakan aspirasi masyarakat setempat. Guntur dan para pengikutnya sudah diberikan peringatan namun tidak dihiraukan. Setelah menerima laporan ini, sang camat memimpin rombongan mendatangi lokasi. Selain Camat, terlihat Kapolsek, Danramil, perangkat desa, Laskar MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dan kelompok masyarakat lainnya. Pak Camat menyebutnya aksi ini sebagai “mendapat pengawalan dari jajaran Polres Klaten dan Muspika Klaten Utara�. Jumadi, Ketua Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) Klaten, menyatakan bahwa warga sejak lama resah seiring semakin meningkatnya jumlah pengikut AKI.
64 “Markas Kelompok Aliran Sesat di Klaten Ditutup Massa�, http://www. mediaindonesia.com/read/2011/10/16/268493/289/101/Markas-KelompokAliran-Sesat-di-Klaten-Ditutup-Massa, diunduh 15 Oktober 2012
62
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Sesampai di lokasi, Guntur dan 23 orang di dalamnya sedang melakukan ritual tertentu. Aparat kemudian “mengamankan� mereka tetapi akhirnya hanya Guntur yang diamankan. Tetapi mereka didata terlebih dahulu. Bersamaan dengan proses ini, disita sejumlah atribut AKI seperti papan nama, buku, kitab, gambar logo, dan peralatan lainnya. Guntur sendiri menyatakan bahwa dirinya melakukan praktek pengobatan. Dalam praktek ini, ia menyatakan menolong orang kesusahan dengan memberikan jalan penerang. Para pasien ini selain diberikan hafalan zikir juga dimintakan iuran sukarela untuk syukuran menyembelih kambing. Kambing ini dibagikan kepada warga sekitar. Meski demikian ia mengakui pernah belajar AKI saat di Jakarta. Warga Kampung Kanjengan Kec. Klaten Tengah ini membantah dirinya sebagai Ketua AKI sebab AKI tidak memiliki struktur organisasi tetapi hanya sesepuh jamaah. Akibat aktifitas komunitas AKI tersebut mereka dituduh sebagai aliran yang mengajarkan kesesatan dan melakukan penistaan agama. Guntur sebagai pemimpin AKI di Klaten juga dituduh membuat ajaran yang tidak mewajibkan salat dan mencampurkan minyak wangi ketika berwudhu. Hal itulah yang dituduhkan kepada Guntur sampai akhirnya ia divonis empat tahun penjara dengan pasal 156a tentang penodaan agama.65
65 Lebih jauh lihat the Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues (MRoRI) edisi 38, November 2011, http://wahidinstitute.org/files/_docs/38.%20 Monthly%20Report%20xxxviii-November%202011.pdf, diunduh 29 September 2012
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
63
Mengendalikan Implementasi Penodaan Agama ejumlah peristiwa yang dikemukakan tersebut berujung dengan putusan yang berbeda meskipun semua dituntut dengan menggunakan pasal penodaan agama. Dari empat peristiwa, Tajul Muluk, Antonius Richmond Bawengan dan Guntur divonis dengan menggunakan pasal 156a tentang penodaan agama; Pendeta Hadassah diputus bebas karena dianggap tidak terbukti melakukan penodaan agama; sedang Aan Alexander, meski dijerat juga dengan pasal penodaan agama, namun vonis PN Sijunjung menggunakan pasal 28 (ayat 2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
S
Dari peristiwa yang terkait dengan penodaan agama tersebut, penulis akan memberi sejumlah analisis sebagai berikut. Pertama, tindak pidana penodaan agama senantiasa dikaitkan dengan “keresahan masyarakat� dan “pernyataan kebencian�. Dengan menggunakan sudut ini, maka siapapun yang membuat pernyataan atau melakukan tindakan tertentu, kemudian ada sekelompok orang yang protes, maka hal itu sudah cukup ditafsirkan oleh aparat penegak hukum, terutama polisi dan jaksa, adanya indikasi meresahkan masyarakat. Setelah itu, polisi bisanya mengambil tindakan dengan menahan orang tersebut dan segera menetapkan sebagai tersangka. Hal ini jelas dalam hampir semua kasus penodaan agama, terutama kasus Tajul Muluk di Sampang, Aan Alexander di Sijunjung, Antonius Richmond Bawengan di Temanggung dan Andreas Guntur Wisnu Sarsono di Klaten. Hal ini menguatkan pernyataan di awal tulisan ini, meskipun delik agama itu mengandung banyak dimensi, namun hal yang paling utama adalah perlindungan
64
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
perasaan beragama dan perlindungan ketentraman umum. Kedua kata tersebut biasa diperas dengan “meresahkan masyarakat”. Keresahan masyarakat bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, tapi bisa diciptakan. Keresahan biasanya tidak muncul dalam masyarakat lapisan paling bawah, tapi pada kelompok elit. Keresahan pada elit inilah yang ditularkan kepada masyarakat lapisan bawah yang sering berujung pada amarah. Dengan demikian, siapapun yang melakukan tindakan keagamaan yang dianggap meresahkan, kemudian muncul gelombang protes, maka orang tersebut berpotensi menjadi terdakwa delik penodaan agama. Kedua, persoalan “meresahkan masyarakat” tidak berdiri sendiri, tapi senantiasa terkait dengan pola relasi mayoritas-minoritas. Artinya, orang atau kelompok yang potensial dikatakan meresahkan masyarakat untuk kemudian dikatakan melakukan penodaan agama senantiasa terkait dengan kelompok kecil secara kuantitas. Kelompok yang minoritas dianggap meresahkan kelompok mayoritas, sehingga mereka harus menghadapi kemarahan massa yang lebih besar. Semua peristiwa penodaan agama senantiasa meletakaan yang “yang kecil” sebagai korban. Dalam beberapa kasus, kelompok ini menjadi korban yang berlapis: diintimidasi, korban kekerasan, dimasukkan penjara karena “meresahkan”. Ketiga, orang yang diajukan ke pengadilan dengan dakwaan penodaan tidak semua terbukti. Namun, jika ada desakan massa yang kuat orang tersebut akan sulit untuk tidak masuk penjara. Antara delik “penodaan agama” dan “pernyataan kebencian” bisa saling dipertukarkan, yang penting “korban” bisa masuk penjara. Massa biasanya juga tidak terlalu peduli dengan pasal apa seseorang dijerat, yang penting bisa mengantarkan orang yang dianggap meresahkan tersebut masuk ke hotel prodeo.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
65
Kasus Alexander Aan di Sijunjung bisa menjadi contoh yang baik. Di sini Jaksa Penuntut Umum cukup cerdik dalam memasang jerat. Aan pertama-tama tidak dijerat dengan pasal 156a, tapi melalui UU ITE. Dengan menjerat melalui UU ITE memang lebih mudah bagi jaksa untuk membuktikan di depan pengadilan, daripada pasal penodaan agama. Apalagi kasus Aan yang mendapat perhatian publik adalah soal atheisme. Atheisme sendiri dalam sistem hukum Indonesia masih diperdebatkan, apakah seseorang bisa dituduh melakukan tindak pidana karena dia tidak percaya adanya Tuhan. Meskipun salah satu sila dalam Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, dan pasal 29 UUD 1945 juga menyebutkan “Negara berdasar keTuhanan Yang Maha Esa, namun tidak ada hukum yang menyebutkan atheisme adalah kejahatan yang bisa dipidana. Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Dr. Mahfud MD juga menyatakan komunisme dan atheisme memang menyalahi konstitusi, tapi tidak bisa dihukum karena KUHP tidak mengatur hal itu, kecuali mendirikan partai komunis.66 Meskipun Mahfud MD tidak dimaksudkan untuk menanggapi kasus Aan, namun pernyataan tersebut seolah memberi angin kepada Aan bahwa orang yang mengikuti paham atheisme memang tidak bisa dipidana. Mahfud MD juga membantah pernyataan tersebut dimaksudkan untuk melegalkan atheisme, tapi hanya untuk menagaskan bahwa tidak ada pasal dalam UU yang bisa menjerat penganut paham atheisme. Penganut atheisme bisa dihukum jika mereka menyebarkan paham tersebut dan mengganggu kebebasan orang lain.67 Nah, di sinilah letak 66 “Mahfud: Atheis dan Komunis Tidak Bisa Dihukum”, http://www. suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2012/07/14/124188/MahfudAtheis-dan-Komunis-Tidak-Bisa-Dihukum, diunduh 15 Oktober 2012 67 “Mahfud Md. Bantah Legalkan Atheisme dan Komunisme”, http:// www.tempo.co/read/news/2012/07/12/173416582/Mahfud-Md-Bantah-
66
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
masalahnya. Diktum “mengganggu kebebasan orang lain” ini sering berjalan seiring dengan terma “meresahkan masyarakat”. Karena itu, seseorang yang mengikuti paham atheis, pada dirinya sendiri dipandang mengandung unsur “mengganggu kebebasan orang lain” dan “meresahkan masyarakat”. Sehingga meskipun seorang pengikut paham atheis tidak bermaksud menyebarkan pahamnya, tapi begitu dia mengungkapkan dan mengekspresikan pahamnya itu, apalagi ditulis dalam status facebook, maka dengan segera dia dianggap melakukan tindak pidana. Yang dipidana bukan keyakinan atheis-nya, tapi ekspresinya. Inilah yang dialami Aan. Keempat, apabila ada tekanan yang kuat, terutama dari kelompok mayoritas, maka hampir bisa dipastikan terdakwa akan masuk penjara. Namun, jika tidak ada tekanan kuat, apalagi kalau kasus tersebut terjadi di kalangan minoritas (minority within), di lingkungan Kristen misalnya, maka biasanya hakim bisa lebih obyektif dan tidak selalu menghukum terdakwa. Pembebasan Pendeta Hadassa di PN Bandung dapat dibaca dari perspektif ini. Meskipun sejumlah kalangan dari komunitas dari Gereja Bethel Bandung memberi tekanan, tekanan itu tidak cukup kuat, karena kasus itu terjadi di kalangan Kristen yang minoritas, dan itu pun dalam kelompok denominasi Kristen yang kecil juga, Gereja Bethel. Kelima, dalam beberapa kasus yang telah dibahas menunjukkan bahwa persoalan penodaan agama tidak bisa dilepaskan dari persoalan-persoalan lain, terutama menyangkut prinsip kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi yang merupakan bagian inti dari hak asasi manusia. Kasus Aan yang didakwa menyebarkan paham atheis mempunyai irisan yang sangat kuat dengan kebebasan berekspresi. Hendardi, Ketua Setara Isntitute Legalkan-Atheisme-dan-Komunisme, diunduh 15 Oktober 2012
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
67
misalnya, berpendapat bahwa kriminalisasi terhadap Alexander Aan yang mengaku atheis adalah kekeliruan, karena apa yang ditulis Aan dalam status facebook-nya sama sekali tidak mengandung unsur ajakan, seruan atau penghasutan sebagaimana unsur-unsur pidana yang harus dipenuhi dalam pasal 28 dan pasal 45 UU No. 11 Tahun 2008. Perbuatan Aan masih dalam konteks kebebasan berpikir dan berpendapat yang harus dijamin sebagai bagian dari hak warga Negara.68 Karena itu, menurut Setara Institute, kasus yang menimpa Aan merupakan ancaman serius terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin kontitusi. Kasus Aan bukanlah persoalan atheisme, tapi kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat.69
Penutup Dari sejumlah peristiwa tersebut tampak jelas bahwa pasal penodaan agama semakin sering digunakan. Jika beberapa negara cenderung ketat dan menekan penggunaan delik penodaan agama, di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Ada kecenderungan yang mencolok terjadinya pelonggaran penggunaan pasal ini. Meskipun pasca penentapan kembali UU Penodaan Agama oleh Mahkamah Konstitusi diakui adanya penyimpanganpenyimpangan implementasi, namun hal tersebut sama sekali tidak menjadi bahan pembelajaran bagi hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam menerapkan pasal penodaan agama. 68 “Setara Anggap Kriminalisasi Aan Cpns Atheis Keliru”, http://m. tribunnews.com/2012/06/12/setara-anggap-kriminalisasi-aan-cpns-atheis-keliru, diunduh 12 Oktober 2012 69 “It’s Not About Atheism, It’s Freedom of Opinion!“, http://www.setarainstitute.org/en/content/its-not-about-atheism-its-freedom-opinion-0, diunduh 15 oktober 2012
68
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Kesalahan implementasi memang tidak bisa menjadi dalil pembatalan norma hukum dalam UU penodaan agama. Namun, hal tersebut semestinya menjadi pembelajaran bagi aparat penegak hukum. Penerapan penodaan agama pasca penetapan oleh MK bukan semakin selektif, tapi justru semakin anarkhis.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
69
Bab III Simpang Jalan Politik Rumah Ibadah di Indonesia1
Latar Sosiologis dan Hukum ebagai sebuah bangsa yang majemuk, Indonesia menempati posisi yang penting dalam diskursus hubungan antar agama di dunia. Indonesia sering dijadikan model pengelolaan keragaman yang dianggap berhasil, bahkan masyarakat Indonesia sering dijadikan objek penelitian terkait toleransi beragama. Sejumlah Indonesianis telah menggambarkan bagaimana upaya dari berbagai masyarakat di Indonesia menjaga harmoni dan kerukunan umat beragama dari generasi ke generasi.2
S
Fakta ini bisa difahami, karena pada masa Orde Baru, Pemerintah secara serius meminimalisir konflik melalui pendekatan keamanan. Konflik-konflik antar agama dalam skala yang besar relatif sedikit karena Angkatan Bersenjata RI (ABRI) tidak segan-segan menggunakan 1 Penulis: M. Subhi Azhari & Nurun Nisa, Peneliti The Wahid Institute 2 Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya misalnya menggambarkan budaya Jawa seperti wayang selama berabad-abad telah menjadi sarana ampuh untuk menjaga harmoni yang hakiki di Jawa.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
71
kekerasan kepada pihak-pihak yang dicurigai memicu konflik. Konflik-konlik yang ada lebih banyak bernuansa etnisitas, meskipun ada juga simbol-simbol agama yang muncul. Secara umum, umat beragama seolah dapat bekerjasama satu sama lain mensukseskan pembangunan yang digalakkan pemerintah Orde Baru. Mereka turut serta mengawal trilogi pemangunan yang menekankan stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Dapat dikatakan bahwa seluruh energi bangsa tersedot mensukseskan program pemerintah di berbagai bidang termasuk bidang agama. Meski demikian, minimnya ketegangan dan konflik antar agama pada era Orde Baru bukan berarti tidak ada sama sekali konflik bernuansa agama. Beberapa konflik di sejumlah daerah dinilai bernuansa agama atau setidak-tidaknya melibatkan dua kelompok agama secara berhadap-hadapan masih terjadi. Konflik-konflik ini juga memicu kekerasan yang memakan korban jiwa dan kerusakan materil. Konfrontasi fisik pertama kali terjadi di Aceh yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Meulaboh pada Juli 1967. Suatu insiden yang dipicu oleh pembangunan gereja dalam komunitas Islam, dimana para pemuda menghancurkan dan merusak, serta menolak penggunaan bangunan tersebut sebagai tempat ibadah.3 Pada 1 Oktober 1967 terjadi insiden Makassar. Kelompok Islam mengklaim kejadian tersebut merupakan ungkapan protes pada seorang pendeta Protestan H.K. Mangunbahan yang menghina Nabi Muhammad. Kejadian tersebut menimbulkan beberapa reaksi dari daerah-daerah lainnya. Dalam insiden ini, beberapa gereja dan sekolah Kristen dibakar. Menurut laporan Kompas, insiden ini mengakibatkan kerusakan yang serius terhadap beberapa 3 Lihat Mujiburrahman, Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order (Leiden: Amsterdam University Press, 2006), Hal. 29.
72
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
gereja dan peralatannya.4 Pada September 1968 juga terjadi kasus di Asahan, Sumatera Utara. Majalah Katolik, Peraba melaporkan adanya gereja Protestan di Asahan Sumatera Utara dan sebuah gudang Sekolah Katolik di Samarinda, Kalimantan Timur, dibakar oleh sekelompok Muslim. Dalam majalah itu dilaporkan, para muslim pendemo menyatakan bahwa bangunan-bangunan seperti tempat ibadah, sekolah, klinik dan asrama disponsori oleh agama yang ditempat itu tidak ada.5 Pada 28 April 1969, kasus yang hampir sama terjadi di Slipi Jakarta. Beberapa kelompok Islam menyerang dan membakar bangunan GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat). Menurut salah satu tokoh Masyumi Muhammad Natsir, kejadian tersebut bisa terjadi karena pihak Kristen melanggar hukum. Sementara pihak Kristen menganggap kejadian tersebut sudah direncanakan sehari sebelumnya.6 Kemudian pada tanggal 10 Oktober 1996, terjadi kerusuhan anti-Kristen dan anti-orang keturunan Tionghoa di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Peristiwa itu muncul karena massa tidak puas dengan hukuman penjara lima tahun untuk terdakwa Saleh, (yang beragama Islam) yaitu tuntutan maksimal yang dapat dijatuhkan atas kasus penghinaan terhadap seorang tokoh agama Islam. Oleh karena ketidakpuasan itu serta kesalahpahamannya bahwa Saleh disembunyikan di dalam gereja, massa mulai merusak dan membakar gereja-gereja di Kabupaten Situbondo. Pada akhirnya, 24 gereja di lima kecamatan 4 Mujiburrahman, Feeling Threatened…, Hal. 38-39. 5 Lihat “Gudang SD. Katolik Dibakar” dan “Geredja di Asahan Dibakar” Peraba (I September, 1968) Hal. 6 yang dikutip Mujiburrahman, Feeling Threatened…, Hal. 57. 6 Mujiburrahman, Feeling Threatened…, Hal. 57-58.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
73
dibakar atau dirusak, serta beberapa sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, dan toko-toko milik keturunan Tionghoa.7 Minimnya konflik antar agama ini memang tidak lepas dari pendekatan keamanan yang diterapkan pemerintah kala itu. Stabilitas dan kerukunan adalah situasi yang harus dijaga secara total meskipun situasi tersebut bersifat semu. Berbagai peraturan dilahirkan guna “memaksa” stabilitas dan kerukunan umat beragama benar-benar terwujud.8 Dalam kaitan ini Pemerintah Orde Baru memetakan sejumlah isu agama yang berpotensi menimbulkan kerawanan dan instabilitas. Isu-isu tersebut adalah: a. Penyiaran agama b. Bantuan Luar Negeri c. Perkawinan Beda Agama d. Perayaan hari besar keagamaan e. Penodaan agama f.
Kegiatan aliran sempalan
g. Pendirian rumah ibadah Dalam bidang penyiaran agama, Pemerintah menerbitkan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978. Poin pertama SK ini mengatakan: “Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar umat 7 Lihat Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) Hal. 30-34. 8 Lihat pidato Presiden Soeharto pada Kongres ke-8 Gewan Gereja Indonesia (DGI) di Salatiga pada bulan Juli 1976 dalam Mujiburrahman, Feeling Threatened…, Hal. 73.
74
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepaselira, saling menhargai, hormat menghormati antarumat beragama sesuai dengan Pancasila. Dalam hal memperoleh bantuan luar negeri, Pemerintah menerbitkan beberapa aturan antara lain: Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, UU No. 8 tahun 1985 tentang Ormas, PP No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No. tahun 1985, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979. Kemudian menyangkut perkawinan beda agama, lahir UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menutup peluang terjadinya perkawinan antar agama secara resmi. Menyangkut perayaan hari besar keagamaan, lahir Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan dan Instruksi Menteri Agama No 15 tahun 1981 tentang Peningkatan Penerangan dan Bimbingan Mengenai Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan. Dan terkait penodaan agama dan kegiatan aliran sempalan, lahir UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Larangan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Sementara dalam kaitan dengan pendirian rumah ibadah, Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1/ Ber/MDN-MAG/1969 pada 13 September 1969. Dalam SKB itu antara lain disebutkan bahwa pembangunan rumah ibadah di suatu daerah harus memperoleh izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang diberi kuasa untuk itu. Keluarnya peraturan sesungguhnya didorong oleh persaingan terselubung antara Islam dan Kristen baik
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
75
secara sosial maupun politik. Natsir misalnya menuding telah terjadi Kristenisasi yang mengancam umat muslim dalam bentuk pendirian gereja di wilayah yang dihuni mayoritas muslim. Untuk menjawab persoalan tersebut pemerintah melalui Menteri Agama Mohammad Dachlan, menyelenggarakan musyawarah antaragama pada 30 November 1967 untuk mencari jalan keluar dari konflik agama yang lebih besar. Dalam pidatonya, Presiden Soeharto menyampaikan: “secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus berani mengakui bahwa musyawarah antaragama ini justru diadakan oleh karena timbul berbagai gejala di berbagai daerah yang mengarah pada pertentangan-pertentangan agama‌Sebab bila masalah tersebut tidak segera dipecahkan secara tepat, maka gejala tersebut dapat menjalar kemana-mana yang dapat menjadi masalah nasional. Bahkan, mungkin bukan sekedar masalah nasional malainkan dapat mengakibatkan bencana nasionalâ€?9 Ada beberapa pokok pikiran yang disampaikan dalam musyawarah tersebut, antara lain: propaganda agama hendaknya tidak dilakukan dengan tujuan meningkatkan jumlah pemeluk masing-masing agama tetapi untuk memperdalam pemahaman serta pengamalan ajaran agama masing-masing, dan penyebaran agama hendaknya dilakukan di daerah yang penduduknya belum memeluk suatu agama. Musyawarah tersebut gagal mencapai kesepakatan tetapi kemudian menjadi latar belakang lahirnya SKB 2 Menteri tahun 1969 tersebut.10 9 Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan PerundangUndangan Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009) Hal. 7. 10 Saifullah Ma’shum (ed). Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tahun Tokoh Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Yayasan Saufidin Zuhri. 1994), Hal. 216
76
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Kesemua aturan di atas bermuara pada tujuan penciptaan stabilitas keamanan dan meminimalisir konflik antar agama. Karena itu di dalam konsideran masingmasing aturan menekankan pada stabilitas meskipun konsekuensinya harus membatasi hak-hak beragama warga negara. Dalam konsideran “Menimbang” UU No. 1 PNPS tahun 1965 dinyatakan bahwa “dalam rangka mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur, perlu mengadakan peraturan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama.” Meskipun UU ini lahir pada era Orde Lama, aturan ini tetap dipertahankan rezim Orde Baru karena masih dianggap relevan. Peraturan ini menycantumkan sanksi pidana bagi pelanggarnya karena dianggap mengancam keamanan negara. Keberhasilan Pemerintah Orde Baru meredam konflik antaragama juga tidak lepas dari kampanye yang berhasil tentang penggunaan kata “kerukunan”. Kata kerukunan dan stabilitas seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan menjadi doktrin orba. Kata ini muncul pertama kali dalam pidato Menteri Agama KH. M. Dachlan pada 30 November 1967. Ia mengatakan: “Adanya kerukunan antara golongan beragama adalah merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet AMPERA…”. Kata ini kemudian dibakukan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bahkan sejak REPELITA 1 telah dmenjadi proyek dengan nama Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama.,11 Salah satunya melalui Penataran P4 bagi pelajar dan mahasiswa. Dalam terminologi kerukunan yang digunakan pemerintah secara resmi, konsep kerukunan umat 11 Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan…, Hal. 5
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
77
beragama mencakup tiga aspek: 1) Kerukunan Intern Umat Beragama; 2) Kerukunan Antar Umat Beragama; dan 3) Kerukunan Antara Umat Beragama dan Pemerintah. Ketiga aspek ini dipopulerkan oleh pemerintah dalam istilah “trilogi kerukunan�. Namun berbagai upaya meredam konflik melalui pendekatan keamanan antar agama itu ternyata tidak efektif. Ia hanya melahirkan rasa takut ketimbang kesadaran untuk membangun harmoni dan saling menghormati antar agama di tengah masyarakat. Tidak lama setelah Soeharto menyerahkan jabatan presiden kepada BJ Habibie, msialnya, pada 21 Mei 2008, terjadi kerusuhan di Ketapang, Jakarta Pusat pada 21 November 1998. Kerusuhan itu bermula dari munculnya isu adanya masjid yang dibakar di Ketapang, RT 006/01. Menurut Wali Kota Jakpus, Andi Subur Abdullah, Minggu dini hari sekitar pukul 04.00 terjadi percekcokan antara tukang pukul tempat permainan bola tangkas “Kino� dengan warga Ketapang. Percekcokan itu disertai pemukulan dan berlanjut hingga pelemparan rumahrumah di Kampung Ketapang, diantaranya mengenai kaca sebuah masjid. Menurut Andi Subur, pertikaian kecil itu telah didamaikan aparat setempat. Setelah kejadian itu, beredar kabar bahwa satu masjid dibakar oleh sekelompok pemuda dan bahkan seorang ulama dikabarkan tewas dibacok. Dalam waktu relatif singkat isu meluas hingga ribuan warga berkumpul di sekitar Jl KH Zainul Arifin dengan membawa berbagai macam senjata tajam. Kerusuhan tidak terelakkan.(Pembarauan 22/11). Menurut pendataan dari Persekutuan Gerejagereja di Indonesia (PGI), Senin pagi, sebelas gereja dan dua gedung sekolah Kristen dirusak dan dibakar massa akibat rentetan dari kerusuhan yang terjadi hari Minggu
78
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
(22/11).12 Berikutnya pada 30 November 1998 kembali terjadi kerusuhan di Kupang NTT. Kerusuhan tersebut awalnya adalah acara perkabungan nasional yang diprakarsai para pemuda Katolik dan Protestan, yang tergabung dalam organisasi Pemuda Katolik, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia. Acara ini dikaitkan dengan kerusuhan di Ketapang.13 Dalam laporan pemantauan Elsam, kerusuhan bernuansa agama ini telah menimbulkan dampak fisik, sosial-ekonomi, dan psikologis yang luas dan mendalam pada masyarakat kota Kupang. Relasi antar umat beragama yang selama ini ‘diyakini’ telah berjalan baik dan rukum, telah terkoyak dan dirusak oleh terjadinya peristiwa kerusuhan tersebut. Kerusuhan tersebut telah menyebabkan hancur dan/atau terbakarnya 15 masjid dan mushala di Kupang, dengan berbagai tingkat kerusakannya. Kerusuhan tersebut juga menghancurkan dan/atau mengakibatkan terbakarnya sekitar 265 rumah masyarakat beragama Islam, di berbagai pemukiman di Kupang. Berbagai fasilitas ekonomi yang dimiliki masyarakat Kupang beragama Islam, dalam bentuk kios-kios, rumah makan, kantor perusahaan, dan sebagainya juga dibakar dan/atau dihancurkan. Demikian juga lebih dari 20 fasilitas publik yang mempunyai kaitan dengan umat Islam juga dibakar dan/atau dihancurkan seperti asrama haji, kantor pengadilan agama, Universitas Muhammadiyah, dan beberapa sekolah muslim.14
12 Lihat “Kerusuhan Ketapang 13 Tewas, 11 Gereja Dibakar Dan Dirusak”, Suara Pembaruan, 23 November 1998. 13 Lihat “Kerusuhan Kupang, NTT, 30 November-1 Desember 1998” dalam http://www.dakta.com/berita/nasional/302/. 14 Lihat “Laporan investigasi awal-1 tentang kerusuhan Kupang dan sekitarnya (30 November-1 Desember)”, dalam http://perpustakaan-elsam.or.id/ opac/index.php?p=show_detail&id=1012.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
79
Dua kerusuhan ini seakan memberi sinyal bahwa era refOrmasi akan banyak diwarnai konflik bernuansa agama. Dan memang demikian faktanya. Di berbagai wilayah meletus kerusuhan dan konflik antar agama seperti di Ambon dan Poso. Di beberapa daerah terutama Jawa Barat juga terjadi rangkaian penutupan rumah ibadah umat Kristen karena dianggap tidak memiliki izin. Persekutuan Gereja-gereja Se-Indonesia (PGI) misalnya meminta perhatian khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas sejumlah kasus penutupan gereja di Jawa Barat. Menurut PGI, praktik-praktik penutupan tempat ibadah tersebut bertentangan dengan konstitusi.15 Meskipun telah ada SKB 2 Menteri tahun 1969 namun kasus-kasus kekerasan tidak berhenti. Bahkan sejak dari semula, PGI (waktu itu DGI) dan KWI (waktu itu MAWI) telah menolak pemberlakuannya, sebab tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Memorandum tertanggal 10 Oktober 1969, yang disampaikan kepada Pemerintah, kedua lembaga gerejawi tersebut menegaskan bahwa SKB termaksud “tidak dapat menjamin kemerdekaan beragama seperti tercantum dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, bahkan dapat membahayakan kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia.16” Keluhan yang sama juga dialami oleh minoritas yang lain, termasuk aliran Islam minoritas. Umat Kristen tampaknya paling merasa dirugikan, sehingga mereka menghendaki agar SKB tersebut dicabut. Setidaknya ada tiga problem mendasar di dalam SKB tersebut. Pertama, dari sisi aturan itu sendiri, ada kata yang multitafsir. Kata “setempat”, misalnya, untuk 15 Lihat “PGI Minta Perhatian Presiden Soal Penutupan Tempat Ibadah”, www.kristianipos.com Posted 26 Agustus 2005. 16 Lihat Andreas A Yewangoe, “Menyikapi Peraturan Bersama Dua Menteri”, Suara Pembaruan, 06/04/2006.
80
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
menunjuk organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan, tidak jelas ruang lingkupnya, apakah desa, kecamatan, kabupaten, atau propinsi. Dari situ muncul problem kedua, pada tingkat impelentasi kelompok Kristen sering merasa dihalang-halangi untuk mendirikan tempat ibadah dengan mendasarkan pada kata tersebut. Bahkan sering terjadi, pendirian tempat ibadah di satu lokasi dihalanghalangi oleh organisasi atau ulama/rohaniawan dari daerah lain. Ketiga, kelompok Kristen merasa dipersulit untuk mendirikan tempat ibadah oleh aparat birokrasi yang tidak sepenuhnya steril dari interest keagamaan tertentu.17 Merespon berbagai keberatan dan perkembangan pemerintah telah merevisi aturan tersebut dengan aturan bau berupa Peraturan Bersama Menag dan Mendagri no. 8 dan 9 tahun 2006. Meski demikian pada prakteknya masih banyak masalah dan ketidakpuasan terutama dari kalangan non-muslim karena aturan tersebut dianggap merugikan mereka. 18
Peta Problem Rumah Ibadah Pasca PBM 2006 ahirnya PBM tahun 2006 dianggap sebagai salah satu upaya untuk memelihara kerukunan umat beragama. Salah satu faktor yang melatar belakangi lahirnya PBM ini adalah respon atas beberapa permasalahan yang timbul di masyarakat khusus terkait masalah pendirian rumah ibadah. PBM merupakan pedoman bagi kepala daerah/wakil kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama di daerahnya.19
L
17 Lihat Gomar Gultom (ed), Seputar Izin Rumah Ibadah, Dari SKB ke PBM Dua Menteri, (Jakarta: PGI, 2006), Hal. 12. 18 Lebih jauh lihat Rumadi. “Politik Dinding Tempat Ibadah� dalam Jurnal Harmoni, Volume V, Nomor 20, Oktober-Desember 2006. 19 Dra. Kustini, M.Si (ed), Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tahun
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
81
Sebagaimana dicatat Yewangoe, lahirnya PBM ini karena adanya gelombang penutupan rumah-rumah ibadah di berbagai daerah dengan alasan belum adanya izin menurut SKB tahun 1969. Alhasil, Pemerintah cq Menteri Agama meninjau kembali SKB tersebut. Menteri Agama berpendapat, bahwa SKB (atau semacamnya) masih tetap dibutuhkan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Hanya saja, SKB itu terlampau “longgar� sehingga terbuka kemungkinan orang menafsirkannya secara berbeda. Maka disusunlah sebuah draft peraturan baru yang lebih rinci. Dalam pada itu wakil-wakil majelis-majelis agama diminta ikut serta menyampaikan masukan-masukan. Lebih jauh Yewangoe mengakui bahwa tidak mudah mencapai kesepakatankesepakatan di antara majelis-majelis agama itu, karena adanya berbagai persepsi dan interpretasi terhadap pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat di dalam draft. Dibutuhkan 10 kali putaran sebelum tiba pada keputusan terakhir. Mengakhiri putaran kesepuluh, majelis-majelis agama menyampaikan catatan-catatan mereka, karena ketidakberhasilan mencapai kesepakatan atas beberapa pasal dan ayat-ayat. Draft bersama catatan-catatan itu lanjut Yewangoe dikembalikan kepada pemerintah. Dan pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri berpendapat bahwa sebuah keputusan bersama Menteri tetap dibutuhkan sebagai pengganti SKB.20 Akhirnya pada 21 Maret 2006 Pemerintah mengambil langkah menerbitkan PBM ini. Menurut Pemerintah, aturan ini dianggap lebih baik dari SKB sebelumnya karena lebih rinci sehingga dapat menghindarkan multitafsir seperti 2006, (Jakarta: Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), Hal. v. 20 Andreas A Yewangoe, “Menyikapi Peraturan Bersama Dua Menteri�, Suara Pembaruan, 06/04/2006.
82
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
yang terjadi pada SKB. Aturan baru ini juga disusun berdasar pengalaman penerapan SKB sebelumnya, sehingga diharapkan kekurangan-kekurangan yang ada dapat diperbaiki.21 Menurut Ahmad Suaedy PBM ini tidak hanya mengatur tentang rumah ibadah, melainkan ada tiga unsur yang diatur di dalamnya. 1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama; 2) Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); 3) Pendirian tempat ibadah. Yang terpenting dari pengaturan itu adalah peran pemerintah yang mengambil tanggungjawab seluruh usaha dan kerukunan umat beragama, dalam hal ini pemerintah daerah. Bahwa, menurut bunyi salah satu pasal PBM tersebut pemerintah daerah mempunyai tugas “memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama,” serta mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di tingkatan daerahnya masing-masing.22 Jadi tidak seperti UU Otonomi Daerah yang menyerahkan pengaturan tentang agama kepada pemerintah pusat, PBM ini memberi tugas kepada Kepala Daerah untuk menjaga kerukunan umat bergama. Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagaimana disebutkan dalam PBM ini merupakan hal baru yang muncul dalam aturan ini yang tidak ada di dalam SKB 1969. Di samping menjadi forum lintas agama untuk membicarakan berbagai persoalan umat, FKUB 21 M. Subhi Azhari & Dindi A. Ghazali, “Berebut Kue FKUB: FKUB Kota Depok dan Kabupaten Bandung Pasca PBM” dalam The Wahid Institute, Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), Hal. 359-360. 22 Ahmad Suaedy, “Memperkuat Peran Pemerintah dalam Menjaga Toleransi dan Harmoni Akar Rumput”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Pembuatan Modul Penguatan Kapasitas Anggota FKUB tentang Konstitusi, HAM dan Mediasi Konflik Keagamaan, Kerjasama Balitbang Kemenag RI dan the Wahid Institute, 26 – 28 Maret 2012, Blue Sky Jakarta.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
83
juga mempunyai otoritas untuk menilai apakah tempat ibadah layak didirikan atau tidak. Proses pendirian tempat ibadah, dengan demikian, bukan hanya melalui birokrasi resmi dalam struktur pemerintah, tapi juga harus melalui “birokrasi tidak resmi” yaitu FKUB.23 Terkait pembentukan FKUB, Pasal 8 PBM ini menyatakan bahwa pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dengan difasilitasi pemerintah. Lebih lanjut pada Pasal 11 ditegaskan bahwa anggota FKUB tingkat provinsi maksimal 21 orang, sementara di kabupaten 17 orang. Komposisi keanggotaannya ditetapkan berdasarkan pertimbangan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan 1 orang bagi masingmasing agama. Ketentuan mengenai keanggotaan FKUB ini problematik karena apabila berdasar komposisi jumlah penduduk bagaimana cara menghitungnya? Kemudian bagaimana cara menentukan seseorang dapat mewakili agama tertentu? Jika melalui organisasi kemasyarakatan (Ormas), lalu Ormas yang mana? Dalam laporannya The Wahid Institute misalnya menemukan para perwakilan agama-agama tidak memiliki pegangan yuridis yang seragam dan tegas untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, karena PBM hanya memberi batasan bahwa pembentukan FKUB hanya melalui musyawarah dan keanggotaannya dari pemuka agama setempat. Dalam sebuah musyawarah pembentukan FKUB di Kota Depok, terjadi ketegangan diantara pemuka agama karena beberapa Ormas memaksakan salah satu Ormas radikal menjadi anggota.24 Problem lain terkait peran FKUB dalam memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadah sebagaimana diatur dalam PBM (Pasal 9 ayat 2 e 23 Rumadi, “Politik Dinding Tempat Ibadah” dalam Jurnal Harmoni, Volume V, Nomor 20, Oktober-Desember 2006. 24 M. Subhi Azhari & Dindi A. Ghazali, “Berebut Kue FKUB, Hal. 370..
84
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
dan Pasal 14 ayat 2 d). Tidak ada penjelasan yang cukup jelas mengenai pertimbangan-pertimbangan apa saja yang harus digunakan FKUB dalam memberikan rekomendasi. PBM hanya menggariskan bahwa rekomendasi adalah hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB. Nampaknya keputusan apakah FKUB mengeluarkan rekomendasi pendirian rumah ibadah atau tidak sangat tergantung dari hasil musyawarah dan mufakat tersebut. Hal ini tentu masih menyimpan masalah karena dalam prakteknya pengambilan keputusan di internal FKUB sering bersifat sentralistik dan masih bias mayoritas. Di satu daerah, keputusan FKUB hanya berpusat pada ketua, wakil ketua dan sekretaris. Sementara di daerah lain, keputusan FKUB hanya mewakili pandangan agama mayoritas karena mereka menganggap keberadaan mereka di dalam forum ini adalah untuk mempertahankan akidah masing-masing.25 Dalam PBM ini, prosedur pendirian tempat ibadah diatur secara rinci dalam Bab IV pasal 13-17. Yaitu meliputi: 1) persyaratan administratif, 2) persyaratan teknis bangunan, 3) persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis dari kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota; d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota (Pasal 14). Dalam pasal ini juga ditekankan bahwa dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan 25 M. Subhi Azhari & Dindi A. Ghazali, “Berebut Kue FKUB‌, Hal. 373-374...
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
85
persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah. Ketentuan jumlah calon pengguna tempat ibadah minimal 90 orang yang dibuktikan dengan KTP yang disahkan pejabat sesuai dengan tingkat wilayah, dan dukungan 60 orang di wilayah setempat merupakan pengganti dari ketentuan SKB 1/1969 yang mempersyaratkan: “apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat”.26 Dalam banyak kasus kemudian, persyaratan 60 orang ini sering memicu pertentangan antara umat yang mengajukan izin rumah ibadah dengan masyarakat sekitar lokasi yang tidak setuju pendirian tempat ibadah tersebut. Persayaratan 90 pengguna dan 60 persetujuan warga sekitar dalam peraturan ini diperoleh dari hasil kompromi majelis-majelis agama ketika PBM ini dirumuskan. Angka ini dianggap mewakili kearifan lokal di tanah air. Menteri Agama kala itu Maftuh Basyuni memberi argumen: “Angka ini diperoleh setelah mempelajari kearifan lokal di tanah air. Sebagaimana diketahui, sejumlah gubernur telah melakukan pengaturan tentang hal ini. Di Provinsi Riau diatur jumlah syarat minimal 40 KK, di Sulawesi Tenggara diatur jumlah syarat minimal 50 KK dan di Bali diatur jumlah syarat minimal 100 KK”. Sementara untuk syarat dukungan 60 Menteri Maftuh mengatakan: “Terkait dengan dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang, dapat kami jelaskan bahwa angka itu sebenarnya tidak mutlak, karena pada bagian berikutnya diketahui bahwa apabila dukungan masyarakat setempat yaitu 60 orang 26 Rumadi, “Politik Dinding Tempat Ibadah” dalam Jurnal Harmoni, Volume V, Nomor 20, Oktober-Desember 2006.
86
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
tidak terpenuhi sedangkan calon pengguna rumah ibadah sudah memenuhi keperluan nyata dan sungguh-sungguh, maka pemerintah daerah memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.27 Menteri Maftuh menegaskan bahwa syarat dukungan 60 orang lebih sebagai syarat pelengkap. Syarat yang paling utama adalah adanya calon pengguna tempat ibadah yang telah memiliki keperluan nyata dan sungguhsungguh terhadap tempat ibadah. Atas alasan tersebut, pemerintah daerah memiliki kewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan. Dengan demikian, bagi Menteri Agama PBM ini menekankan bahwa pemerintah hendak memberi kemudahan pendirian rumah ibadah. Kecenderungan ini juga nampak pada pasal 16 ayat (2) PBM bahwa: Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal ini bisa menjadi semacam jaminan bahwa izin rumah ibadah tidak berlarut-larut sebagaimana sering dikeluhkan kelompok Kristen. Ketentuan ini diperkuat pasal 13 ayat (3) yang menyatakan jika ketentuan huruf (b) pasal 13 ayat (2) tidak terpenuhi, PBM memerintahkan Pemerintah Daerah untuk menfasilitasi lokasinya. Meski ketentuan ini sesungguhnya bertujuan mempermudah perizinan dan memberi jaminan setiap umat beragama dapat memperoleh tempat ibadah secara legal, namun dalam kenyataannya, pemerintah daerah sering tidak mengindahkan aturan ini. Bahkan sebagian kepala daerah terkesan menghalangi pendirian rumah ibadah. Alasan yang sering dipakai adalah adanya penolakan dari warga sehingga pemerintah daerah belum 27 M. Subhi Azhari & Dindi A. Ghazali, “Berebut Kue FKUB‌, Hal. 363-364.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
87
bisa mengeluarkan izin. Bahkan seringkali, walaupun suatu rumah ibadah telah memperoleh izin legal dalam bentuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB), kemudian ada sekelompok masyarakat yang menolak keberadaan rumah ibadah tersebut, beberapa pemerintah daerah melakukan pembekuan izin yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Setidaknya ada tiga kasus dalam hal ini yang masingmasing kepala daerah mengambil kebijakan yang berbeda: 1) Gereja HKBP di Cinere Depok; 2) GKI Yasmin di Bogor; 3) Kasus Masjid Nurul Musafir Batuplat di Kupang NTT 1. Rencana pembangunan Gereja HKBP Pangkalan Jati Cinere Depok semula telah diberi izin dengan segala persyaratan oleh Bupati Bogor (13 Juni 1998) mengingat Depok saat itu masih wilayah Kabupaten Bogor. Tetapi Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail (NMI) mencabut SK izin tersebut pada 27 Maret 2009. NMI, yang berasal dari partai PKS itu, beralasan –sebagaimana tertuang dalam SK pencabutan-- adanya penolakan dari warga sekitar yang tergabung dalam Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere dan dari beberapa kecamatan lain yang ditandai dengan beberapa kali konflik di lapangan pada saat pembangunan dilaksanakan. Akibatnya Gereja HKBP Cinere tidak bisa melanjutkan pembangunan gereja tersebut karena tidak memiliki izin.28 Mereka kemudian menempuh jalur hukum dengan menggugat Walikota Depok ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Bandung. Dan pada Oktober 2009 PTUN memenangkan gugatan HKBP Cinere Depok melalui keputusan PTUN Bandung No: 23/G/2009/PTUN/ Bandung yang menyatakan pembatalan pencabutan SK Walikota Depok. Keputusan ini diperkuat keputusan PTUN Jakarta No. 21/B/2010/PT.TUN.JKT yang menyatakan tetap membatalkan SK Walikota. Dan pada pertengahan 28 Uraian lengkap mengenai kasus ini lihat M. Subhi Azhari & Dindi A. Ghazali, “Berebut Kue FKUB‌, Hal. 378-387.
88
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
September 2010 lalu, Panitia Pembangunan Gereja HKBP Cinere melanjutkan proses pembangunan gereja dengan pengawalan polisi.29 2. Kasus serupa juga terjadi di Bogor menimpa Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor. Pada 14 Februari 2008, Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor membekukan IMB GKI Yasmin yang sudah diperoleh pada 13 Juli 2006. Alasannya karena adanya tekanan dari kelompok tertentu yang menolak keberadaan gereja. Setelah pihak GKI mengajukan gugatan ke PTUN Bandung, hakim PTUN Bandung menyatakan pembekuan tersebut tidak sah dan meminta Dinas Tata Kota mencabut pembekuan tersebut. Putusan PTUN Bandung itu selanjutnya dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dan Mahkamah Agung di tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). 30 Setelah salinan putusan PK diterima pada tanggal 7 Maret 2011, Walikota Bogor Diani Budiarto pada tanggal 8 Maret 2011 menerbitkan SK Nomor 503.45-135 Tahun 2011 tentang Pencabutan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor tanggal 14 Pebruari 2008 di atas. Namun 3 hari kemudian, pada tanggal 11 Maret 2011, Walikota yang juga didukung PKS itu menerbitkan SK Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011 yang mencabut IMB GKI Taman Yasmin secara permanen, dengan alasan adanya kebohongan dalam mengajukan pernyataan tidak keberatan dari warga. 31
29 Lihat “350 Polisi Amankan Pembangunan Gereja HKBP Cinere”, www. pikiran-rakyat.com, Rabu, 15/09/2010. 30 Lihat Pernyataan Majelis Jemaat Gereja Kristen Indonesia Bogor, “Pokok Pikiran Penelikungan Hukum Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung oleh Walikota Bogor Dalam Kasus GKI. Taman Yasmin”, di keluarkan pada tanggal 13 Desember 2011. Hal. 1 31 Pernyataan Majelis Jemaat Gereja Kristen Indonesia Bogor…, Hal. 1.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
89
Pada 8 Juli 2011 Ombudsman Republik Indonesia menegaskan bahwa tindakan Walikota Bogor yang menerbitkan SK tertanggal 11 Maret 2011adalah merupakan bentuk mal-administrasi berupa perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum serta bertentangan dengan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Pihak GKI Yasmin secara tegas membantah tudingan tersebut dan menyatakan bahwa yang diduga melakukan kebohongan dalam mengajukan pernyataan tidak keberatan warga tertanggal 15 Januari 2006 itu bukanlah pihak mereka, melainkan aparat pemerintah kota Bogor (Lurah setempat dan Ketua RT setempat).32 3. Kasus serupa juga terjadi di Kupang Nusa Tenggara Timur yang menimpa rencana pembangunan Masjid Nur Musafir di Keluarahan Batuplat, Kecamatan Alak Kota Kupang. Semula Walikota Kupang Daniel Adoe telah mengeluarkan izin pembangunan masjid itu dengan segala persyaratannya. Namun pada 27 Juni 2011 masjid ini ditolak pembangunannya oleh warga sekitar dengan dalih bahwa persetujuan warga sekitar dipalsukan dan karena itu pembangunan masjid harus dihentikan. Mereka melakukan demonstrasi untuk menentang pembangunan masjid tersebut. Warga menuding tidak ada bukti dukungan dari masyarakat sekitar lokasi pembangunan. Menurut para pemrotes, warga yang bermukim di sekitar lokasi pembangunan selama tiga bulan terakhir, tidak pernah melakukan rembuk warga terkait pembangunan masjid tersebut sebagaimana disyaratkan dalam SKB. Pihak kelurahan Batuplat tidak pernah menunjukkan bukti berupa KTP 90 orang pengguna Rumah Ibadah tersebut dan 60 orang warga yang bermukim di sekitar lokasi pembangunan masjid. Mereka 32 Pernyataan Majelis Jemaat Gereja Kristen Indonesia Bogor‌, Hal. 2.
90
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
menduga data yang dipakai sebagai persyaratan ke FKUB dan Kantor Kementrian Agama Kota Kupang adalah data penerima hewan kurban. Semula Walikot Kupang telah meresmikan peletakan batu pertama pembangunan masjid ini.33 Menjawab demonstrasi yang dilakukan oleh warga Batuplat, ia menegaskan pembangunan masjid Nur Musafir di Batuplat tetap dilaksanakan oleh umat muslim setempat, karena sudah memenuhi persyaratan yang berlaku.34 Namun untuk menghindari polemik yang lebih tajam, pada 10 Agustus 2011 Daniel Adoe menghentikan sementara pembangunan masjid Nur Musafir. Dengan penghentian pembangunan ini Daniel Adoe membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kemungkinan adanya pemalsuan dokumen sebagaimana dituduhkan pihak yang menolak.35 Selain tiga kasus di atas, masih banyak kasus lain yang tidak skalah menonjol. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu menegakkan aturan sesuai dengan PBM yang dibuatnya sendiri. Terhadap aparat pemerintah, termasuk walikota yang melanggar keputusan MA, tidak ada sanksi apapun. Konflik justeru dibiarkan liar dan kelompok-kelompok intoleran yang suka menggunakan kekerasan sering menentukan arah dan keputusan akhir, apakah sebuah tempat ibadah bisa berdiri atau tidak. Dalam kasus GKI Yasmin Ormas keagamaan seperti Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesi) dan GARIS (Gerakan Reformis Islam) banyak 33 Lihat “Masyarakat Batuplat Tolak Pembangunan Masjid” http://www. tirilolok.com/news_detail.PHP?nid=1622. 34 Lihat “Walikota Kupang: Pembangunan Masjid Nur Musofir telah Penuhi Persyaratan” http://www.republika.co.id/berita/nasional/ umum/11/07/19/lokz2k35 Lihat “Walikota Hentikan Pembangunan Masjid”, Koran Tempo, 11 Agustus 2011
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
91
direkam oleh media sering terlibat penyerangan fisik terhadap jemaat GKI Yasmin pada saat melaksanakan ibadah.36 Begitupula yang terjadi dalam kasus HKBP Ciketing Bekasi seperti banyak diberitakan media.37 Kasus-kasus ini juga menunjukkan bahwa dasar legal tidak bisa mengalahkan aspirasi sebagian masyarakat. Ketentuan hukum yang telah menjadi dasar pendirian rumah ibadah bisa saja batal karena mendapat tentangan dari masyarakat. Dalam dua kasus terakhir ternyata sikap pemerintah daerah juga tidak seragam, dalam kasus GKI Yasmin Walikota Bogor mengikuti kehendak masyarakat yang menolak, sementara di kasus Batuplat Walikota Kupang tetap mendukung pendirian rumah ibadah. Ini juga menunjukkan bahwa PBM ini membuka ruang bagi penerapan yang berbeda-beda di lapangan. Dalam perbedaan dua sikap kepala daerah di atas, muncul pertanyaan, apakah dugaan adanya pemalsuan dukungan dari warga terhadap rencana pembangunan rumah ibadah dapat dijadikan dasar untuk membatalkan pembangunan rumah ibadah? Pertanyaan ini muncul karena secara normatif, PBM menyatakan bahwa dukungan 60 orang dari warga non-pengguna rumah ibadah adalah syarat wajib, sementara seperti diulas pada bagian sebelumnya, Menteri Agama Maftuh Basyuni menegaskan bahwa syarat dukungan 60 orang lebih sebagai syarat pelengkap. Syarat yang paling utama adalah adanya calon 36 Lihat misalnya beberapa pemberitaan media mengenai aksi Forkami dan GARIS antara lain: “Kebaktian GKI Taman Yasmin Kembali Ricuh “ (http:// news.liputan6.com 08/01/2012); “Eskalasi Intimidasi Ibadah Jemaat GKI Yasmin Semakin Meningkat” (Suara Pembaruan, Senin, 16 Januari 2012); “Forkami Nyaris Bentrok Dengan Jemaat GKI Yasmin” (BogorPos edisi Minggu, 08 Januari 2012). 37 Lihat misalnya: “Sekelompok Orang Serang Jemaat HKBP Bekasi” (Tempo.co, Minggu, 08 Agustus 2010);” FPI Serang Jemaat HKBP Pondok Indah Timur Bekasi” (www.tempointeraktif.com Minggu, 08 Agustus 2010); “Pendeta Ditusuk di HKBP Ciketing Bekasi” (Kompas.com, Minggu, 12 September
2010).
92
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
pengguna tempat ibadah yang telah memiliki keperluan nyata dan sungguh-sungguh terhadap tempat ibadah. Nampaknya masih terdapat ruang multitafsir yang cukup mendasar terkait masalah ini. Di lain pihak, PBM ini juga menfasilitasi kemungkinan adanya rumah ibadah sementara dan kewajiban Pemda untuk memfasilitasi jika persyaratan yang diperlukan tidak bisa dicapai.38 Ketentuan izin sementara ini untuk mengakomodasi kenyataan bahwa banyak tempat-tempat yang tidak diperuntukkan sebagai tempat ibadah tapi kenyataannya difungsikan sebagai tempat ibadah karena berbagai alasan. Sebagian mereka ada yang sekedar menggunakan, tapi ada juga yang sudah izin tapi tidak pernah keluar izin. Tempat ibadah seperti ini yang sering dituduh oleh sementara pihak sebagai tempat ibadah liar dan sering menjadi sasaran serangan dan penutupan/ penyegelan oleh aksi kelompok yang tidak senang.39 Ketentuan soal izin sementara penting untuk dicatat untuk beberapa hal. Pertama, dengan ketentuan tersebut hendak memberikan ruang bagi umat beragama yang belum mampu mendirikan tempat ibadah permanen untuk tetap beribadah. Kedua, proses perizinan tidak mensyaratkan jumlah pengguna dan dukungan masyarakat setempat. Yang paling penting adalah adanya kebutuhan nyata umat beragama akan rumah ibadah itu. Ketiga, ketentuan dua tahun batas berlakunya izin sementara bukan berarti tidak dapat diperpanjang. Keempat, ketentuan ini bisa membatasi munculnya “gereja ruko�40 dan meminimalisir 38 Pasal 14 ayat 3 PBM No. 8 dan No. 9 Th. 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah 39 Rumadi, “Politik Dinding Tempat Ibadah� dalam Jurnal Harmoni, Volume V, Nomor 20, Oktober-Desember 2006., h. 11 40 Ruko atau Rumah Toko sering dijadikan tempat ibadah atau gereja
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
93
konflik akibat kesalahpahaman soal tempat ibadah. Meski ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah tetapi kenyataannya banyak menimbulkan masalah di lapangan. Baik Pemda maupun pengguna sering mengabaikan ketentuan-keteneutan tersebut. Dalam banyak kasus, rumah-rumah ibadah yang dipermasalahkan di berbagai daerah adalah rumah ibadah sementara ini yang menggunakan rumah tinggal dan difungsikan sebagai rumah ibadah. Hal ini banyak terjadi, misalnya, di lingkungan Kristen dalam bentuk kebaktian Minggu dan muslim dalam kegiatan-kegiatan pengajian mingguan. Sebagian umat Kristen sendiri mengakui bahwa mereka sering melaksanakan kebaktian di rumahrumah jemaat. Mereka beralasan, misalnya, karena adanya umat Kristen di satu kawasan namun belum memenuhi persyaratan mendirikan gereja sendiri baik menurut aturan internal gereja mereka maupun aturan pemerintah. Sementara kebutuhan untuk melaksanakan ibadah tidak bisa ditunda, maka mereka pun beribadah di rumah-rumah jemaat secara bergiliran. Alasan lainnya, karena izin rumah ibadah mereka belum keluar atau dalam proses perizinan atau karena proses yang begitu lama untuk memperoleh izin. Aktifitas seperti ini sering mendapat protes dari masyarakat yang tidak setuju dan terkadang distigma melakukan ibadah secara liar.
terutama di kalangan Kristen Protestan. Gereja-Gereja ini banyak yang bersifat sementara karena Ruko pada awalnya tidak diperuntukkan sebagai rumah ibadah melainkan tempat usaha atau tempat tinggal. Gereja Ruko ini juga mengacu pada praktek ibadah minggu yang dilaksanakan di mal-mal atau di gedung-gedung pertemuan yang sengaja disewa oleh jemaat gereja tertentu sebagai tepat ibadah rutin. Gereja-gereja seperti ini sering menjadi sasaran penyerangan warga yang menolak keberadaannya baik dengan alasan tidak memiliki izin atau penyalahgunaan fungsi bangunan. Lihat misalnya: “Massa FBR Geruduk Gereja Ilegal di Ruko Bojong Indah” (www.voa-islam.com, Senin, 01 Aug 2011); “Diduga Jadi Gereja Rumah Ibadah, Ruko Dirusak Warga”, (mterotvnews.com, 7 Mei 2012); “Tidak Ada Izin, Sebuah Tempat Ibadah Dirusak Warga”, (Perisai.net, 24 June 2012).
94
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Ketentuan tentang izin sementara ini banyak tidak diketahui oleh masyarakat termasuk pengguna rumah ibadah sehingga masyarakat yang tidak toleran sering menganggap bahwa melakukan ibadah di rumah-rumah merupakan pelanggaran hukum dan dihentikan paksa karena dianggap liar. Begitu juga banyak oknum pemerintah terutama di tingkat desa/kelurahan atau kecamatan yang juga tidak memahami ketentuan semacam ini. Sehingga ketika ada penolakan dari masyarakat terhadap kegiatan ibadah di rumah atau bangunan bukan tempat ibadah, mereka cenderung berpihak kepada masyarakat yang menolak ketimbang memfasilitasi pengurusan izin sementara. Problem lain yang perlu mendapat perhatian adalah soal gedung rumah ibadah yang telah dipergunakan secara permanen tetapi belum memiliki IMB rumah ibadah. Selama ini banyak rumah ibadah yang tidak memiliki izin karena berbagai alasan, msialnya karena sulitnya mengurus izin resmi sehingga asal memperoleh restu dari masyarakat sekitar mereka mendirikannya tanpa mengurus secara resmi. Sesunggunya ada aturan yang mengakomodasi kasus seperti ini tetapi seringkali tidak dipahami baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat umum. Ketentuan itu adalah pasal 28 ayat (3) PBM yang mengatakan: “dalam hal bangunan gedung rumah ibadah yang telah digunakan secara permanen dan/ atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadah sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu menfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadah dimaksud�. Peristiwa penyegelan dan penutupan 20 gereja dan rumah ibadah kepercayaan lokal di Aceh Singkil oleh Pemerintah Kabupaten adalah contoh kongkrit dari problem ini. Penyegelan ini dilatarbelakangi adanya demonstrasi ratusan umat Islam pada 30 April 2012 di Kantor Bupati
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
95
Aceh Singkil. Mereka berorasi menuntut ketegasan Pemkab Aceh Singkil menegakkan kembali Perjanjian tahun 1979. Mereka juga menyampaikan kekecewaannya terhadap FKUB dan MPU yang tidak bertindak demi Islam dan membiarkan gereja menjamur di mana-mana. Akibat penyegelan ini, rumah-rumah ibadah yang sudah berdiri puluhan tahun tidak boleh lagi digunakan untuk ibadah dan ribuan jemaat Kristen di Aceh Singkil tidak bisa melaksanakan ibadah di rumah ibadah mereka dan diliputi rasa tidak aman karena ketegangan sosial yang makin meningkat. Penyegelan itu terjadi pada tanggal 1-3 Mei 2012 dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari MUSPIDA, MUSPIKA, SATPOL PP dan FPI atas persetujuan Pj. Bupati Aceh Singkil Ir. H. Razali AR. Gereja-gereja yang disegel antara lain: GPPD Biskang di Nagapaluh, Gereja Katolik di Nagapaluh, Gereka Katolik di Lae Mbalno, GKPPD Siatas, GKPPD Tubuhtubuh, GKPPD Kuta Tinggi, KGPPD Tuhtuben, HKI Gunung Meriah, GMII Mandumpang, Gereja Katolik Mandumpang, Rumah ibadah Pambi – aliran kepercayaan lokal dan beberapa gereja lainnya. Alasan penyegelan ini adalah dalam rangka penertiban rumah ibadah yang tidak memiliki izin.41 Menyikapi peristiwa ini, sejumlah kalangan telah menyampaikan penyesalan dan kecaman terhadap tindakan Pemkab Aceh Singkil. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyayangkan penyegelan tersebut. Menurutnya, tiap umat berhak mendirikan rumah ibadah masing-masing. Umat mayoritas tidak boleh memaksa umat minoritas.42 Pada 31 Mei 2012, Komisi Nasional Anti
41 Laporan Penyegelan Gereja Aceh Singkil oleh ASB (Aliansi Sumut Bersatu) 2012 42 “Mendagri Sayangkan Penyegelan 20 Gereja di Aceh�, www.okezone. com, Rabu, 13 Oktober 2012
96
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Kekerasan Terhadap Perempuan juga telah melayangkan surat kepada Bupati Aceh Singkil. Dalam suratnya Komnas Perempuan menyatakan bahwa tindakan penyegelan sejumlah rumah ibadah di Aceh Singkil dapat berpotensi pengingkaran tanggung jawab negara untuk menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga Negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 untuk dapat memeluk agama dan keyakinan serta untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya itu. Anggota DPR RI Eva Kusuma Sundari mengatakan, salah satu sumber masalah adalah Peraturan Gubernur 25/2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan ini berisi syarat-sayat yang lebih berat dibanding SKB 2 Menteri tentang hal yang sama. “Kalau SKB mensyaratkan 60 anggota jemaat gereja untuk mengajukan permohonan IMB, maka Pergub tersebut meminta 150 jemaah. Yang lebih menyedihkan ada fatwa lokal yang menyatakan pengharaman bagi umat muslim untuk memberikan tandatangan persetujuan. Artinya, upaya meminta 90 tanda tangan persetujuan dari masyarakat setempat tidak mungkin tercapai,” ungkapnya.43 Sebagaimana disinyalir Eva, selain adanya Pergub Aceh yang mematok syarat yang lebih berat ketimbang PBM 2 Menteri Tahun 2006, meruncingnya persoalan rumah ibadah umat Kristen di Aceh Singkil karena adanya konflik antara hukum negara dengan hukum masyarakat dalam hal ini Perjanjian 1979 dan 2001. Perjanjian tersebut dibuat oleh umat muslim dan umat Kristen Aceh Singkil yang intinya menyepakati bahwa di Aceh Singkil hanya boleh ada satu gereja dan empat undung-undung (rumah doa) bagi umat Kristen di sana. Umumnya masyarakat yang menentang gereja-gereja di sana memilih untuk 43 “DPR: Pemerintah Perlu Tegas soal Penyegelan 20 Gereja”, www. tribunnews.com, Selasa, 12 Oktober 2012
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
97
menegakkan kembali Perjanjian tersebut ketimbang mengikuti aturan negara.44 Sementara para Pimpinan gereja melihat bahwa Perjanjian tahun 1979 saat ini sudah tidak relevan dan harus ditinjau lagi, karena umat Kristen di Aceh Singkil sudah lebih dari 1500 KK, dimana 1 gereja dan 4 undung-undung tidak cukup lagi. Lebih jauh lagi Perjanjian tersebut bertentangan dengan Undang-Undang. Pembongkaran gereja hanya akan melahirkan ketegangan dan konflik di Aceh Singkil.45 Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mengakui tidak bisa mengambil posisi yang tegas dalam konflik hukum ini. Jika mengikuti aturan yang ada, maka dengan memenuhi persyaratan yang digariskan, pembangunan gereja dapat diteruskan. Namun dengan begitu umat Kristen akan dianggap telah melanggar isi perjanjian yang berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Peristiwa Aceh Singkil ini adalah kasus pertama dimana PBM dipertentangkan dengan hukum masyarakat (Perjanjian 1979 dan 2001). Karena itu hingga saat ini, belum ada solusi yang efektif untuk menyelesaikannya dimana masing-masing pihak dapat menerima dengan lapang dada. Selain kasus Aceh Singkil di mana umat Kristen menjadi korban, problem rumah ibadah yang berkaitan dengan penerapan PBM di lapangan juga menimpa kaum muslim. Di Nusa Tenggara Timur pada bulan Mei lalu juga mendapat hambatan dalam pendirian dua masjid di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat mempertanyakan pembangunan dua masjid di daerah itu. Sebab, masjid itu dinilai belum mengantongi rekomendasi resmi dari FKUB. Dua masjid yang dipersoalkan salah 44 Lihat Laporan ASB (2012) 45 Lihat Laporan ASB (2012)
98
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
satunya terletak di kompleks TNI AD dan lainnya adalah musala yang dipugar menjadi masjid di Kilometer 4 jurusan Kupang. “Setelah kami cek ternyata pembangunan dua masjid itu belum ada permohonan rekomendasi ke FKUB,” kata Ketua FKUB Kabupaten Timor Tengah Utara, Romo Aloysius Kosat. Menurut Kosat, Pendirian tempat ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis, seperti daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.46 Selain itu, menurut Kosat, harus ada dukungan masyarakat setempat paling kurang 60 orang yang disahkan oleh kepala kelurahan atau kepala desa, kemudian rekomendasi tertulis dari kepala Kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota. Kosat juga menilai PBM gagal karena tidak berdaya mengakomodir kerukunan umat beragama dan pembangunan rumah ibadah lebih berpihak pada kelompok mayoritas.47 Selain di NTT, kasus pembatasan rumah ibadah umat muslim juga terjadi di beberapa tempat di Sumatra Utara. Pada Maret 2011 lalu, setidaknya enam masjid dibongkar, dibakar atau dirusak warga sekitar. Dugaan sementara, tindakan ini dilakukan karena konflik pribadi.48 Masjidmasjid yang menjadi sasaran adalah Masjid Nur Hikmah di Dusun Lima Desa Aek Loba, Masjid Taqwa di Kelurahan Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan, Kabupaten Asahan. Masjid Al Ikhlas di Jl. Timur No. 23, Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan. masjid di Jl. Kp 46 “Pembangunan Masjid di NTT Dipertanyakan”, Tempo.co, Jumat 11 Mei 2012 47 “Tokoh Agama NTT Protes Tempat Ibadah Liar”, Kompas.com, Selasa 08 Mei 2012 48 “Pembakaran Masjid Harus Jadi Perhatian”, Waspada Online, Jumat 15 April 2011
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
99
Melayu, Selambo, Dusun Tiga, Desa Amplas, Kecamatan Percutseituan, Kabupaten Deli Serdang, Medan, Masjid Fi Sabilillah di Jl. Lintas Tobasa, Lumban Lowu, Kabupaten Toba Samosir, Toba Samosir dan Masjid Besitang, Desa Selamet, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat.49 Dari uraian panjang di atas menunjukkan bahwa ketentuan rumah ibadah sementara dan kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi jika persyaratan tidak terpenuhi, tidak bisa dijalankan di semua wilayah dan lebih banyak menuai problem. Pemkot Bekasi yang tidak kunjung mencabut segel GKI Taman Yasmin karena situasi sosial-politik yang tidak mendukung padahal fatwa MA sudah menetapkan sebaliknya sementara pihak pemerintah pusat tidak banyak berbuat karena menganggap urusan ini sebagai urusan pemerintah daerah. PBM sendiri tidak memberikan sarana evaluasi, bahkan sanksi, kepada Pemkab/Pemkot dan atau FKUB yang gagal melaksanakannya. Secara teoritis, PBM hendak menjamin kepastian hukum tentang pendirian rumah ibadah. Kepastian hukum ini idealnya menjamin kepastian bahwa setiap warga negara akan mendapatkan pelayanan yang sama oleh pemerintah dalam hal ibadah dan tempat ibadah, termasuk mereka yang minoritas. Namun karena ketentuan yang multitafsir sehingga menyisakan banyak masalah. Pada pasal 1 PBM dinyatakan bahwa “rumah ibadah adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga�. Sementara itu, di bagian lain dijelaskan bahwa tempat ibadah keluarga meliputi musalla/langgar/surau/meunasah (Islam), 49 Lihat : http://dokumentasi.elsam.or.id/reports/view/23
100
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
kapel/rumah doa (Kristen), kapel (Katolik), sanggah/ mrajan/panti/paibon (Hindu), cetya (Buddha), dan siang hwee/coo bio/cong bio/kong tek su (Konghucu).50 Pada aras ini menjadi penting untuk mempertanyakan posisi para penganut kepercayaan menyangkut tempat ibadah mereka. Nomenklatur tempat ibadah yang tidak memasukkan tempat ibadah bagi mereka yang berkepercayaan memungkinkan adanya kesulitan di masa yang akan datang. Hal lain yang perlu disorot dari materi FKUB adalah peran FKUB. FKUB hanya dijelaskan sebagai badan dengan sejumlah tugasnya. PBM tidak mengatur apabila FKUB mencederai kewajibannya melalui berbagai derajat pelanggaran, misalnya memihak kelompok tertentu, dan mengabaikan bukti-bukti administratif yang tersedia. Sikap-sikap ini seringkali justru mencederai tugas FKUB yang seharusnya menjadi motor terwujudnya kerukunan antar-umat beragama. Sikap kontra oleh sekelompok orang akhir-akhir ini menjadi pertimbangan tidak resmi terhadap penghentian atau pembatalan IMB juga patut dicermati. Misalnya, tekanan kelompok kontra yang kuat seperti pada kasus HKBP Filadelfia Tambun Utara Bekasi, membuat para aparatur pemerintah daerah membatalkan izin. Mereka menjadikan penolakan tersebut sebagai dasar untuk mengabaikan keputusan yang hukumnya sudah mengikat dengan dalih “tidak mungkin dilaksanakan� karena mengundang konflik. Nasib GKI Taman Yasmin tidak berbeda jauh. Pada aras yang sama, patut juga disoroti “penderitaan� jamaah Masjid Nur Musafir di Batuplat, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Meski IMB sudah digenggam tangan, pembangunan masjid ini dihentikan 50 Balitbang dan Diklat Kemenag RI 2012, Sosialisasi PBM dan Tanya Jawab, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kemenag RI), 2012, Cetakan III, hal. 63
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
101
sementara waktu menyusul gelombang protes dari pihak yang kontra—meskipun mereka sudah memenuhi persyaratan administratif. Melihat berbagai kerumitan ini, perlu kiranya PBM direvisi dari segi materi. Kepentingan merevisi ini terutama untuk mengurangi kesenjangan dalam soal kemampuan sosial-budaya kelompok mayoritas dan minoritas sehingga mereka memiliki peluang yang sama untuk mendirikan tempat ibadah. Selain itu, perlu harmonisasi peraturan perundangan yang satu dengan peraturan perundangundangan yang lain agar usaha revisi ini tidak bertabrakan satu sama lain.
PBM dan Kebebasan Beragama di Indonesia emokrasi seringkali diartikan sebagai kebebasan untuk mengemukakan pendapat sehingga pembatasan agama dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Karena itulah gagasan dari kalangan liberalis mengehendaki tidak ada pembatasan dalam meyakini suatu keyakinan keagamaan tertentu termasuk tidak meyakini adanya Tuhan. Jika demokrasi diartikan sebagai sebuah kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat, mestinya setiap warga negara bebas untuk berekspresi sesuai dengan keyakinan keagamaan yang dianutnya. Namun, kita bisa membayangkan betapa kacaunya sebuah negara seandainya tidak ada rambu-rambu yang bisa dijadikan sebagai aturan main setiap warga negara dalam mengekspresikan keyakinan keagamaannya.
D
Dalam pengertiannya yang murni, kebebasan beragama (religious liberty atau religious freedom) memiliki empat dimensi; kebebasan nurani (liberty of conscience), kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan,
102
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
(liberty of religious expression), kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (liberty of religious association) dan kebebasan untuk melembagakan ajaran keagamaan (liberty of religious institutionalization). Diantara keempat aspek tersebut, aspek pertama, yakni aspek kebebasan nurani merupakan hak yang paling asli dan absolut dalam pengertian bahwa ketidak-terpisahannya (inalienability) dari diri seseorang melampaui ketiga aspek lainnya.51 Dalam sudut pandang hak asasi manusia52 dan konstitusi Indonesia53, kebebasan beragama juga dibagi ke dalam dua kategori: Pertama, kebebasan internal atau sering disebut sebagai forum internum yakni kebebasan untuk memeluk dan memilih suatu agama yang diyakini termasuk di sini kebebasan untuk berpindah agama, kebebasan untuk tidak dipaksa meyakini suatu agama, kebebasan untuk tidak memeluk satu agama atau menyatakan secara individu maupun bersama-sama dimuka umum maupun privat keyakinan agamanya dalam pemujaan, pelaksanaan perintah agama dan pengajaran. Kategori pertama ini dianggap sebagai hak-hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable right). Kedua adalah kebebasan eksternal (forum eksternum) yakni kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan agama dimuka publik termasuk di dalamnya adalah kebebasan mendirikan rumah ibadah, penyiaran agama, pendidikan agama, perayaan hari-hari besar keagamaan, membentuk organisasi keagaman, memberikan bantuan 51 Abu Hafsin, “PROBLEMATIKA PERAN FKUB DALAM MEMBANGUN KERUKUNAN UMAT BERAGAMADI INDONESIA (Perspektif Konstitusi dan HAM)”, makalah disampaikan dalam diskusi pada Lokakarya “Pembuatan Modul Penguatan Kapasitas FKUB tentang Konstitusi, HAM, dan Mediasi Konflik” dilaksanakan oleh The Wahid Institute bekerja sama dengan Kemenag RI di Hotel Blue Sky, 26-28 Maret 2008. 52 Lihat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 Th. 2005 Pasal 18. 53 Lihat Pasal 28E dan 28I UUD 1945.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
103
keagamaan dan lain-lain. Kategori ini termasuk ke dalam hak-hak yang boleh dikurangi dan dibatasi (derogable right) dengan sejumlah persyaratan. Pengaturan mengenai pendirian rumah ibadah dalam sudut pandang HAM diperbolehkan karena merupakan bagian dari forum eksternum atau hak-hak yang dapat dikurangi. Akan tetapi pengaturan tersebut harus dilakukan melalui Undang Undang untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan umum, moral publik dan hakhak dasar orang lain. Pengaturan mengenai pembatasan ini juga tertuang dalam Pasal 28J UUD 1945, namun berbeda dari rumusan dokumen internasional seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik karena dalam klausul UUD ditambahkan kata-kata “melindungi...nilainilai agama� sebagai alasan pembatasan. Hal ini dipertegas melalui UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM (Pasal 70 dan 73), bahwa pembatasan tersebut harus berdasarkan Undang Undang untuk menjamin dan mengakui hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.54 Pertanyaannya, apakah PBM dapat dianggap sebagai bentuk pembatasan kebebasan beragama sebagaimana dimaksud Pasal 28J UUD 1945 tersebut? Menjawab pertanyaan ini tentu kita harus melihat kedudukan PBM dalam struktur perundang-undangan kita. Apabila kita mengacu pada UU No. 10 tahun 2004 juncto UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, PBM bukanlah peraturan yang setara dengan Undang Undang, dia berada jauh di bawah Undang Undang. Dalam UU No. 12 / 2011 disebut di antara jenis peraturan perundang-undangan yang diakui adalah peraturan yang dibuat oleh Menteri, namun syaratnya peraturan ini bisa 54 Ahmad Suaedy, dkk., Islam, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: The Wahid Institute), 2009, hal. 44.
104
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
lahir jika diperintahkan oleh aturan yang lebih tinggi. Di dalam konsiderannya, PBM mencantumkan beberapa Undang Undang dan peraturan dibawahnya sebagai landasan yuridis. Dari sekian peraturan tersebut, tidak satupun yang secara eksplisit memerintahkan pengaturan mengenai rumah ibadah harus melalui Peraturan Bersama Menteri. Beberapa landasan memang terkait dengan persoalan keagamaan, namun tidak disebut adanya kebutuhan untuk mengeluarkan peraturan dari Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri secara bersamaan. Dengan demikian, jelas bahwa secara yuridis PBM ini berada dalam posisi yang tidak jelas. PBM ini hanya didasarkan pada keinginan untuk memperbaharui aturan sejenis yang sudah ada yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Th. 1969. Aturan ini dianggap sudah tidak memadai sebagai landasan hukum dalam mengelola kerukunan umat beragama di Indonesia sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Ridwan Lubis, salah satu peneliti di lingkungan Kementerian Agama mengakui bahwa meskipun PBM ini memuat berbagai hal terkait kerukunan beragama, posisi hierarkisnya yang hanya berupa Peraturan Menteri dan tidak adanya sanksi bagi yang melanggar sebagai kelemahan yang mana kepatuhan terhadapnya hanya diharapkan berdasar pada komitmen moral dari semua kelompok agama.55 Pengaturan mengenai rumah ibadah di Indonesia baik dalam perspektif HAM maupun konstitusi negara diperbolehkan karena merupakan bagian dari forum eksternum. Pengaturan tersebut boleh membatasi 55 M. Yusuf Asry (ed.), Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan), 2011, hal. xi.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
105
implementasi pendirian rumah ibadah. Namun pengaturan dan pembatasan tersebut tidak diberlakukan terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dan semata-mata bertujuan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain. Syarat pembatasan lainnya adalah harus dengan Undang Undang. Komentar Umum 22 terhadap Kovenan Hak Sipol menyatakan bahwa: 1. Pembatasan yang diizinkan adalah pembatasan yang dimulai dari kebutuhan untuk melindungi hak-hak yang dijamin Kovenan tersebut, 2. Pembatasan yang diterapkan harus dijamin oleh hukum dan tidak boleh diterapkan dengan caracara yang dapat melanggar hak-hak yang dijamin di pasal 18 3. Pembatasan tidak diperbolehkan berdasar pada hal-hal yang tidak disebut oleh Kovenan, seperti alasan keamanan nasional, 4. Pembatasan tidak boleh dilakukan untuk tujuantujuan diskriminatif atau diterapkan dengan cara yang diskriminatif. 5. Pembatasan untuk tujuan melindungi moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang diambil tidak hanya dari satu tradisi agama saja. Pengaturan mengenai rumah ibadah di Indonesia seharusnya mengacu pada persyaratan-persyaratan di atas, karena sebagai anggota PBB, Indonesia terikat secara moral oleh berbagai dokumen yang dilahirkan oleh lembaga ini. Secara lebih khusus, secara moral Indonesia terikat oleh Komentar Umum Komite HAM ini karena Kovenan Hak Sipol telah diratifikasi dan menjadi
106
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
bagian dari perundang-undangan di Indonesia. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai rumah ibadah di Indonesia, maka sudah seharusnya pengaturan tersebut berdasarkan Undang Undang yang disusun bersama-sama oleh eksekutif dan legislatif. Pengaturan tersebut juga hendaknya mengacu kepada konstitusi serta instrumeninstrumen HAM PBB. Selain bersesuaian dengan HAM, seharusnya pasal-pasal dalam PBM ini berlaku untuk semua daerah. Kenyataannya, terdapat pengecualian bagi DKI Jakarta.56 Pengecualian ini didasarkan pada logika sebagai berikut: Apakah ketentuan mengenai kedua rekomendasi (rekomendasi FKUB dan rekomendasi Kemenag, Pen.) tersebut berlaku untuk seluruh provinsi? Ya, kecuali untuk DKI Jakarta karena di DKI Jakarta IMB diterbitkan oleh Gubernur maka rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan tersebut disesuaikan pada tingkat provinsi. Rekomendasi FKUB provinsi DKI Jakarta diterbitkan setelah mendapatkan pertimbangan dari FKUB kabupaten/kota. Rekomendasi Kanwil Kantor Kementerian Agama Prov DKI Jakarta diterbitkan setelah mendapat pertimbangan dari Kantor Kemenag kabupaten/kota.57 Kekhususan ini bisa menjadi persoalan besar. Kasus penyegelan besar-besaran di Aceh antara lain didasari oleh Pergub dari Provinsi NAD yang menuntut syarat administratif yang lebih besar ketimbang PBM nampaknya 56 Lihat dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 137 Th. 2002 tentang Prosedur Persetujuan Pembangunan Tempat-tempat Ibadah/Kegiatan Agama di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 57 Balitbang dan Diklat Kemenag RI 2012, Sosialisasi PBM dan Tanya Jawab, hal. 91
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
107
juga didasarkan pada semangat “kekhususan�. Mendagri belum melakukan tindakan terkait hal ini dan hal ini menimbulkan dampak yang besar khususnya bagi minoritas. Hidup dalam lingkup formalisasi syariat Islam, minoritas di Aceh mesti berusaha lebih keras ketimbang minoritas di tempat lain: mereka mesti mengumpulkan 150 tanda tangan pendukung dan persetujuan dari lokasi sebanyak 60 orang.58 Pada aras ini, keistimewaan yang diperoleh DKI Jakarta seharusnya ditinjau ulang.
Saran dan Rekomendasi eberapa saran perlu ditujukan kepada beberapa pihak. Pertama, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan hendaknya menjalankan amanat UUD 1945 terkait pemenuhan hakhak kebebasan beragama dan berkeyakinan. ‘Tugas’ ini dapat dilakukan dengan terus mengawasi para menteri di bawah kekuasannya, terutama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag). Termasuk dalam tugas ini adalah keterlibatan dalam problem dalam beribadah, terutama ketika bersinggungan dengan hukum. Presiden selaku potret dari pemerintahan pusat tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya kepada Pemda tertentu karena menganggap bahwa urusan ini semacam ini adalah urusan daerah. Urusan agama adalah urusan pemerintah pusat, di samping urusan keamanan, yustisi, dan moneter & fiskal.59
B
58 Lihat selengkapnya dalam Peraturan Gubernur Aceh No. 25 Th. 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah 59 Dalam penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa urusan agama adalah “misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak dapat diserahkan ke daerah. Khusus di bidang keagamaan sebagian
108
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Kedua, FKUB memiliki masalah dalam persoalan representasi. Seperti termuat dalam pasal 10 PBM, para anggota FKUB adalah para pemuka agama. Jumlah utusan tiap agama ditunjukkan dengan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal satu orang dari setiap agama. Mekanisme yang dimaksudkan ini diajukan karena dianggap sebagai “lebih mendekati keadilan�.60 Klaim keadilan ini perlu diragukan mengingat dengan sistem semacam ini mengandaikan jumlah kelompok mayoritas yang akan lebih banyak ketimbang yang minoritas—belum lagi soal komposisi laki-laki dan perempuan. Persoalan jumlah bukan sekedar problem secara kuantitas tetapi juga soal posisi tawar dalam pengambilan keputusan. Pada aras ini, mereka seharusnya menjadi pihak yang tidak memiliki kepentingan terhadap pemberian IMB kecuali terhadap kesahihan syarat pemberian rekomendasi. Para anggota FKUB pun tak luput dari kemungkinan pemihakan kepada salah satu kelompok. Padahal, salah satu tugas utama FKUB adalah menampung aspirasi Ormas keagamaan dan masyarakat.61 Oleh karena itu, idealnya FKUB mewakili semua, bukan satu kelompok saja. Ketiga, sebagai bagian dari negara, polisi memiliki wewenang istimewa berupa monopoli untuk legitimasi penggunaan kekerasan.62 Wewenang ini seharusnya kegiatannyadapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama�. Dengan ketentuan ini, seharusnya presiden dapat turut campur dalam beberapa segketa rumah ibadah seperti terjadi di Bekasi. Kasus Pemkot Bekasi dan Pemkab Bekasi yang berhadapan dengan warganya sendiri layak untuk diintervensi 60 Balitbang dan Diklat Kemenag RI 2012, Sosialisasi PBM dan Tanya Jawab, hal. 81 61 Lihat selengkapnya dalam Bab III tentang FKUB pasal 8-pasal 10 PBM No.8 / No. 9 Th. 2006 tentang Pedoman Pelaksaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. 62 Seperti dituliskan dalam UU No. 2 Th 2002 tentang bahwa polisi memiliki
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
109
digunakan secara proporsional dalam ranah kemajemukan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Dalam kapasitas ini, polisi seharusnya menindak segala usaha kelompok atau golongan tertentu yang berupaya untuk mengambil alih monopoli kekerasan ini, termasuk Ormas atau paramiliter yang gemar menyegel atau menyerang aliran kegamaan atau komunitas agama tertentu yang memiliki cara pemahaman. Sikap Ormas anarkhis ini sudah jelasjelas mencederai martabat polisi dan karenanya mesti ditindak sesuai hukum yang berlaku. Pada saat yang sama, pembiaran terhadap kekerasan terhadap warga negara yang hendak beribadah juga harus dihentikan mengingat intensitasnya yang terus meningkat belakangan ini, mulai dari intimidasi bahkan ancaman pembunuhan. Substansi PBM sendiri perlu direvisi dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertimbangan yang dimaksud misalnya kesesuaian antara substansi pengaturan dengan kovenan sipol yang telah diratifikasi Indonesia sebelum PBM disusun. Selain itu, kekhususan dalam PBM ini perlu dihapuskan mengingat hal ini memicu timbulnya diskriminasi, meskipun berupa diskriminasi prosedural. Penghapusan juga menyangkut penertiban peraturan yang tidak selaras dengan PBM seperti Pergub Provinsi NAD. Tidak kalah pentingnya adalah sanksi bagi kepala daerah yang tidak melaksanakan atau mengingkari PBM ini. Prosedur penyelesaian ‘perselisihan akibat pendirian ibadah dan penggunaan rumah ibadah’ beberapa tugas khusus seperti termuat dalam pasal 14 ayat (1). Polisi dijelaskan bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan dan memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Selain itu, polisi juga memiliki wewenang khusus seperti digariskan dalam Pasal 15 ayat (2) misalnya untuk memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam. Tugas dan wewenang ini bisa dikatakan merupakan monopoli penertiban, yang sebagiannya menggunakan kekerasan jika diperlukan, yang hanya dimiliki oleh negara melalui kepolisian. Dengan demikian, penertiban oleh kelompok di luar negara merupakan sesuatu yang ilegal
110
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
yang dilanggar oleh Pemkot Bekasi, misalnya, tidak cukup diselesaikan dengan pemanggilan yang bersangkutan oleh pemerintah pusat. Perlu tindakan yang lebih tegas agar pembangkangan semacam ini tidak diulangi dan bahkan meluas. Karenanya perlu dirumuskan dan dicantumkan dalam PBM agar tidak terulang di masa depan.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
111
Bab IV Dari Pengeras Suara Hingga Dakwah Provokatif Problematika Kebijakan Penyiaran Agama di Indonesia1
Pendahuluan enyiaran agama atau dakwah adalah salah satu aspek penting dari kehidupan beragama. Meski demikian, dakwah adalah bagian dari ekspresi keagamaan dan bukan keyakinan itu sendiri sehingga pemerintah bisa atau selayaknya mengaturnya agar tidak bertabrakan satu dengan lainnya.
P
Di era demokrasi yang menjanjikan kebebasan berbicara dan berpendapat—termasuk berdakwah— menjadikan media, baik cetak maupun elektronik, dapat berisi beragam informasi, termasuk bidang keagamaan. Dalam konteks semacam ini, siaran agama kerap menjadi persoalan. Hal itu muncul sebagai akibat cara berdakwah 1 Penulis, Tedi Kholiludin dan Khoirul Anwar Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
113
yang terkadang insinuatif dan provokatif terhadap pihak lain, seperti “memojokkan”, “mendiskriminasi”, atau bahkan “melecehkan”. Sebaliknya, dakwah juga dapat menyimpan potensi positif jika dikelola dengan cara yang bijaksana dan menenteramkan. Itulah sebabnya aturan main penyiaran agama dibutuhkan selama tidak mengganggu ruang ekspresi umat beragama dan warga negara pada umumnya. Dalam keadaan masyarakat yang plural, penghadiran ruang representasi yang menghargai pluralitas adalah kebutuhan utama. Pembangunan “representasi” yang arogan, merasa benar sendiri, dan cenderung menyalahkan, akan berimplikasi pada bangunan masyarakat yang penuh curiga, berpotensi memupuk kekerasan, dan egois. Itu sebabnya, mengapa agama, menurut Peter L. Berger sebagaimana dikutip Mujiburrahman, menerapkan strategi berbeda karena adanya pluralitas masyarakat dan agama.2 Pertama, pada lembaga-lembaga agama mulai diterapkan rasionalisasi pengelolaan, seperti manajemen, penggalangan dana, dan program-program. Kedua, menjalin kerjasama dengan agama yang bahkan sebelumnya dianggap sebagai “musuh”. Ketiga, membuat standardisasi “ajaran agama” yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keempat, membuka seluasluasnya kesempatan bagi mereka yang sebelumnya dianggap awam dalam soal-soal agama. Selain empat strategi itu, tiga strategi lainnya adalah penaklukan, pengasingan diri, dan dialog. Dari ketiga strategi itu, dialog merupakan strategi yang paling memungkinkan. Penaklukan akan membutuhkan biaya yang besar, pengasingan dapat dilakukan tetapi hanya 2 Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2008), Hal. 70-71.
114
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
untuk jangka yang pendek, sedangkan dialog lebih mencerminkan kesiapan masyarakat di tengah gelombang infOrmasi yang kuat.3 Dengan adanya dialog itu, maka kebutuhan akan penghargaan atas pluralitas perlu diwujudkan dengan pembangunan metode dakwah atau penyiaran agama yang santun dan toleran. Muatan dalam penyiaran agama misalnya, perlu menonjolkan tema-tema yang selaras dengan tujuan dialogis, bukan menyulut kebencian dan kekerasan. Agama-agama bertemu dalam siaran yang bukan saling menghujat dan menjatuhkan, tetapi saling pengertian dan toleran satu sama lain. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika penyiaran agama, yang tidak hanya didengar oleh internal pemeluknya, tetapi juga umat lain, memicu disharmoni sosial. Pengusungan materi-materi yang “kontroversial� dari sudut pandang pluralisme agama justru akan memicu kecurigaan-kecurigaan antar umat agama yang seharusnya diminimalisir. Karena pada kenyataannya, tidak memungkinkan penyiaran agama dilakukan secara sempit dan terbatas. Persoalan penyiaran agama di Indonesia tidak hanya menyangkut bagaimana ekspresi dan manifestasinya tetapi juga berkaitan dengan pengaturannya atau kebijakan negara. Dalam kenyataan kebijakan kehidupan keagamaan yang dihadapi, menunjukan bahwa kebijakan negara dalam soal penyiaran agama begitu problematik. Tulisan ini mencoba menggambarkan kebijakan penyiaran agama, problematika yang terjadi di lapangan serta bagaimana kewenangan negara dalam soal penyiaran agama itu.
3 Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam‌, Hal. 70-71
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
115
Antara Siar, Dakwah dan Misi alam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “siar” yang biasa digunakan dengan imbuhan mengdan -kan (meng-siar-kan) memiliki beberapa arti, antara lain; meratakan ke mana-mana, memberitahukan kepada khalayak umum, mengumumkan, menyebarkan, mempropagandakan, menerbitkan, menjual dan mengirimkan.
D
Dalam kamus arab terdapat dua kata yang hampir serupa dengan kata siar, yaitu si’ar (dengan menggunakan sin kecil) yang memiliki arti menyalakan, dan syi’ar (dengan menggunakan syin besar) yang berarti simbol.4 Dua kata ini apabila disandarkan pada kata agama (aldin) maka yang pertama berarti menyalakan agama (si’ar al-din), dan yang kedua simbol agama (syi’ar al-din). Besar kemungkinan kata siar dalam bahasa Indonesia diambil dari kata si’ar dalam bahasa Arab yang berarti menyalakan. Dalam bahasa Arab klasik kata si’ar biasa disandarkan dengan kata api (al-nar) sehingga susunannya menjadi menyalakan api (si’ar al-nar). Dikemudian hari kata si’ar digandeng dengan agama (si’ar agama) karena kata si’ar yang memiliki arti menyalakan dapat juga diartikan dengan menyebarkan dan memperluas. Dengan demikian si’ar atau siar agama artinya adalah menyebarkan atau memperluas agama. Arti demikian sesuai dengan definisi penyiaran agama yang tercantum dalam Keputusan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 1 1979 Bab II Pasal 2 yang berbunyi: “Penyiaran agama adalah segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran sesuatu agama.”
4 Muhammad Farid Wajdi, Dâ`irah Ma’ârif al-Qarn al-‘Isyrîn, (BeirutLibanon: Dâr al-Ma’rifah, cet. III, vol. V, 1971), Hal. 154.
116
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Bagi, Agama-agama besar di dunia seperti Islam dan Kristen, penyiaran agama merupakan bagian dari ajaran agama itu sendiri, karena agama tanpa ada yang menyebarkannya niscaya tidak dapat berkembang, bahkan akan segera gulung tikar seiring dengan matinya si penerima agama (baca; nabi). Dalam Islam kegiatan penyiaran agama memiliki beberapa istilah, antara lain; dakwah, tabligh, bayan, amar ma’ruf nahi munkar dan yang lainnya. Kendati masing-masing istilah memiliki makna sendiri-sendiri namun keragaman arti ini semuanya masuk dalam ruang pembahasan penyiaran agama. Ahmad Umar Hasyim dalam bukunya, al-Da’wah alIslamiyyah; Manhajuha wa Ma’alimuha, mendefinisikan dakwah dengan menyampaikan petunjuk Allah (tabligh hidayah Allah) kepada manusia dengan berpijak pada al-Qur’an, hadis, sejarah nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya.5 Definisi ini memberikan kesan bahwa dakwah hanya menjadi kegiatan lisan. Berbeda dengan definisi di atas, Ahmad Mahmud dalam salah satu karyanya, al-Da’wah ila al-Islam, mendefinisikannya dengan lebih luas, yakni tindakan yang dapat menarik simpati seseorang (fi’l imalah wa targhib). Dengan demikian menurut definisi yang kedua ini dakwah tidak hanya menyampaikan pesan dalam bentuk ungkapan (bi al-lisan), tapi juga dalam bentuk aksi (bi alhal) sebagaimana yang tertulis dalam Keputusan Bersama Menag dan Mendagri di atas.6 Sementara dalam Kristen penyiaran agama biasa disebut dengan misi atau evangelisme, yakni menyebarkan
5 Ahmad Umar Hasyim, Al-Da’wah al-Islamiyyah; Manhajuha wa Ma’alimuha, tp. tt. Hal. 6 6 Ahmad Mahmud, Al-Da’wah Ila al-Islam, tp. tt. Hal. 8.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
117
“kabar suka cita” kepada semua penjuru dunia. Kegiatan ini berbeda dengan diakonia, karena diakonia lebih dimaksudkan pada pelayanan terhadap Gereja.7 Menyiarkan agama atau memberikan infOrmasi kepada orang lain baik yang seagama maupun tidak merupakan sesuatu yang niscaya, karena bagi orang yang beragama di samping menjadi perintah ajaran agamanya untuk menyebarkan agama yang diyakininya, juga seakan-akan dirinya mendapat suatu kebenaran sehingga ia mengharuskan diri untuk meneruskan pengetahuan kebenaran itu kepada orang-orang yang belum mengetahuinya. Namun patut ditegaskan di sini bahwa penyiar agama (da’i, misionaris, evangelis, dan yang lainnya) hanya memiliki hak menyampaikan, tidak lebih. Sehingga penyiar agama tidak memiliki hak memaksakan isi dakwahnya kepada seseorang, karena setiap orang memiliki hak untuk menerima atau menolaknya. Dalam Islam secara tegas dinyatakan bahwa dalam beragama tidak boleh ada pemaksaan (QS. 2:256). Isma’il al-Faruqi menyatakan, apabila orang yang diseru (almad’u) tidak mau menerima ajakan da’i maka da’i harus menyerahkan persoalannya kepada Allah, da’i tidak memiliki hak memaksa. Hal ini sebagaimana diteladankan Nabi Muhammad Saw. pada saat menyampaikan Islam (dakwah) kepada orang-orang Kristen Najran. Orang-orang Kristen Najran mendengarkan dakwah nabi Muhammad Saw. namun mereka tidak menerimanya. Oleh Nabi Saw. orang-orang Kristen tersebut tidak dipaksa mengikuti pesan dakwah dan mereka diperbolehkan pulang secara hormat.8
7 Olaf H. Schumann, Dialog Antar Umat Beragama, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), Hal. 114-115. 8 Olaf H. Schumann, Dialog Antar…,Hal. 120.
118
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Jika demikian halnya maka sesungguhnya tujuan menyiarkan agama tidak lebih dari memberikan infOrmasi ajaran agama, bukan memaksa atau berharap orang yang tidak seagama masuk ke dalam agama penyeru atau da’i, karena sesungguhnya menyiarkan agama adalah undangan kepada seseorang (al-mad’u) untuk berfikir, menerima atau menolaknya menjadi hak preogatif pendengar itu sendiri. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. diutus hanya diperintahkan untuk memberitakan kabar gembira (mubasysyir) dan pengingat (nadzira) (QS. 25:56-58). Ketika Nabi Muhammad Saw. bersedih karena pamannya, Abu Thalib, yang selalu melindunginya baik dari serangan kafir Quraisy maupun yang lain belum juga masuk Islam hingga menjelang wafat, Allah menurunkan QS. 28:56 sebagai teguran kepada Nabi Saw. bahwa yang berhak memberikan petunjuk hanyalah Allah. Andai Allah menghendaki semua umat manusia di muka bumi ini beriman niscaya semuanya akan beriman, tapi Allah tidak menghendakinya (QS. 10:99-100).
Regulasi Penyiaran Agama: Sebuah Catatan Kritis ada saat Orde Baru berkuasa, pemerintah mengeluarkan beberapa aturan yang langsung berkaitan dengan penyiaran agama. Aturan mengenai penyiaran agama meliputi pembahasan mengenai tata aturan atau cara penyiaran agama, batasanbatasannya, dakwah agama di radio, bantuan luar negeri hingga pedoman penggunaan pengeras suara. Jika dilihat secara sekilas, aturan pada era Orde Baru itu tampak sangat memperhitungkan sisi kompromistis dari berbagai
P
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
119
pihak yang sangat berkepentingan dengan aturan itu.9 Pada masa Orde Baru itu, agama menjadi diskursus, di mana terjadi pertandingan di antara rezim-rezim kebenaran antar รกgama yang terkadang tidak berjalan seimbang, dimana yang satu menguasai lainnya.10 Agama menjadi perumus identitas dimana รกgama menjadi faktor penting dalam identitas tersebut.11 Daniel Dhakidae menuturkan; Agama menjadi suatu diskursus, religious discourse, yang diproduksikan Orde Baru, dikontrol, dipilah-pilah dan dipilih, diorganisasikan dan didistribusikan berdasarkan prosedur tertentu dengan tujuan utama menghindari dan menghindarkan kekuasaan dan bahayanya,
9 Regulasi itu adalah Keputusan Menteri Agama RI Nomor 07 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama, Penjelasan atas Keputusan Menteri Agama RI Nomor 07 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 77 Tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 77 Tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga keagamaan Indonesia, Keputusan Meteri Agama Nomor 9 tahun 1978 tentang Pelaksanaan Dakwah Agama dan Kuliah Subuh Melalui Radio, Surat edaran Menteri Agama Nomor 3 tahun 1978 tentang Dakwah Agama dan Kuliah Subuh Melalui Radio, Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1981 tentang Bimbingan Pelaksanaan Dakwah/Khotbah Caramah Agama, Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 tentang Bimbingan Ajaran Agama Islam dan Pembinaan Lingkungan Hidup, Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1981 tentang Bimbingan Ajaran Agama (Kristen) Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha dan Pembinaan Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri Agama Nomor 35 tahun 1984 tentang Pembentukan Tim Kerja Penerangan Pembangunan Melalui Bahasa dan Pintu Agama, Keputusan Meteri Agama Nomor 74 tahun 1984 tentang Pembentukan Pengembangan Pesparani serta Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor: KEP/D/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla 10 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 513. 11 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan..., Hal. 513
120
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
untuk mengatasi peristiwa-peristiwa politik tak terduga untuk membuang jauh-jauh kemungkinan penjelaan substansinya yang liat-padat dan menakutkan (its ponderous and awesome materiality). . .Agama menjadi titik-inti, diakui atau tidak diakui, dan agama mengubah semuanya dan semuanya berubah menjadi armageddon sosial, religius, antropologis, politikal dan ekonomik. Agama pada akhirnya terombang-ambing menjadi permainan antara kekudusan dan kejahatan, menjadi permainan antara pengikut-sertaan, inclusion, dan pengabaian, exclusion.12 Ciri dari pergulatan agama di era Orde Baru mula-mula ditandai oleh bangkrutnya komunisme dan pertumbuhan agama secara signifikan di panggung politik.13 Identifikasi komunisme sebagai atheisme dan anti-agama memberikan justifikasi agar warga negara berafiliasi kepada salah satu agama. Alhasil, situasi ini menyebabkan terjadinya banyak konversi, terutama kepada agama Kristen dan sedikit ke Islam.14 Rupanya “persaingan” keduanya menemukan momentumnya di era Orde Baru. Kelompok Kristen mengembangkan retorika nasionalis sementara kelompok muslim menggunakan pembelaan sejarah dan kultural.15 Pendek kata, kontestasi kehidupan agama pada masa Orde Baru ditandai oleh 12 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan..., Hal. 514 dan 516. 13 Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order, Disertasi (Leiden: Amsterdam University Press, 2006), Hal. 61. 14 Avery T. Willis, Indonesian Revival: Why Two Millions Came to Christ, South Pasadena: William Carey Library, 1978, Singgih Nugroho, Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, Yogyakarta: Syarikat, 2008. 15 Mujiburrahman, Feeling Threatened…, Hal. 63.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
121
sebuah perasaan terancam berlabel Islamisasi dan Kristenisasi.16 Dalam situasi seperti itulah lahir berbagai aturan penyiaran agama, yang substansinya sangat mencerminkan keadaan zamanya. Ini bisa dilihat misalnya dalam pelbagai aturan penyiaran agama yang muncul pada masa Orde Baru. Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 70 tahun 1978 disebutkan bahwa “Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain.â€?. Jika dicermati dari aspek ajaran agama, menurut penulis pelarangan penyiaran agama terhadap pemeluk agama lain sebagaimana yang tertulis dalam peraturan di atas sesungguhnya bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri, bahkan peraturan tersebut seakan-akan dibuat dengan ketidaksadaran terhadap sejarah agama-agama di dunia. Salah satu aspek yang diatur dalam berdakwa adalah kelompok sasaran. Yaitu bahwa suatu agama tidak boleh berdakwah terhadap orang yang telah memluk agama. Dalam Surat Keputusan Bersama Menag dan Mendagri RI Nomor 1 1979 Bab III Pasal 4 dinyatakan bahwa pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara: a. menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/ 16 Mujiburrahman, Feeling Threatened‌, Simak juga dalam Fatimah Hussein, Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Percpectives, Hal. 116-126.
122
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut. b. menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, bukubuku, dan bentuk-bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain. c. melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama yang lain. Sebagaimana peraturan lainnya, peraturan penyiaran agama ini tidaklah muncul dari ruang hampa, ia hadir dengan pergulatan kepentingan di dalamnya. Keputusan Bersama di atas muncul dari sikap ambigu pemerintah yang saat itu mendapat desakan dari sebagian umat Islam yang merasa terancam atas gerakan missionaris.17 Satu sisi pemerintah harus mengakomodir desakan umat Islam sebagai mayoritas, namun di sisi lain pemerintah juga harus mendengarkan protes dari umat agama lain khususnya Kristen yang menolak tuntutan umat Islam karena hal itu dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan hak asasi manusia.18 Aturan tentang penyiaran agama ini juga terkait dengan pembakaran sejumlah gereja yang terjadi pada akhir November 1967 di Aceh dan Sulawesi.19 Mujiburrahman mencatat desakan umat Islam saat itu kepada pemerintah antara lain: 1) pelajaran agama di sekolah harus diberikan oleh guru yang seagama dengan 17 Mujiburrahman, Feeling Threatened‌, Hal. 63. 18 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, (Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001), Hal. 194 19 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam‌,, Hal. 195
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
123
muridnya; 2) kaum muslim diharamkan kawin dengan non muslim; 3) kaum muslim diharamkan mengikuti Natal bersama. Tuntutan seperti ini muncul karena umat Islam konservatif saat itu beranggapan bahwa pelajaran agama Kristen di sekolah-sekolah Kristen merupakan upaya Kristenisasi terhadap siswa-siswi yang beragama Islam. Pernikahan orang Islam dengan orang Kristen juga dianggap sebagai strategi Kristen dalam mengkristenkan salah satu pasangannya yang beragama Islam dan anak-anak yang akan dilahirkannya. Demikian juga halnya dengan Natal bersama, saat itu banyak umat Islam ikut serta merayakan Natal sehingga umat Islam menganggapnya sebagai salah satu strategi umat Kristen dalam menyiarkan agamanya.20 Aturan penyiaran agama yang berkaitan dengan tata cara penyiaran agama (pasal 4) tahun 1979 sesungguhnya ditujukan kepada denominasi tertentu dari Kristen yang saat itu melakukan misi secara agresif dengan menyediakan sarana pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, dan lainnya di berbagai tempat di Indonesia.21 Penyiaran agama dengan cara seperti ini sesungguhnya sah-sah saja. Yang tidak boleh adalah cara pemaksaan atau ketika orang yang didakwahi (al-mad’u) menolak penyiaran agama yang ditawarkan. Dalam Islam sendiri terdapat ajaran memberikan materi kepada orang yang belum masuk Islam dengan harapan dapat menggait hatinya supaya masuk ke agama Islam, yaitu dengan memberikan harta zakat kepada non muslim yang dapat diharapkan keislamannya atau dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan al-mu’allafah qulubuhum (QS. 9:60).
20 Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2008, Hal. 304-305. 21 Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam‌, Hal. 304-305.
124
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Dewan Gereja Indonesia (DGI) dan MAWI (Majelis Waligereja Indonesia) memprotes aturan yang menyebut pelaksanaan penyiaran agama hanya boleh dilakukan kepada mereka yang belum beragama saja, karena itu bertentangan dengan semangat kebebasan beragama. Mereka kemudian mengajukan rumusan bahwa pasal tersebut diubah menjadi. Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan apabila dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan kemerdekaan serta martabat manusia dan keluhuran agama seperti: a. Memberikan barang, uang, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentukbentuk pemberian apapun juga sebagai alat bujukan memeluk sesuatu agama b. Memaksakan penyebaran pamphlet dan seterusnya dan seterusnya‌ pada orang yang tidak bersedia menerimanya. c. Memaksakan kunjungan ke rumah-rumah dari orang-orang yang tidak bersedia menerimanya.22 Hanya saja usulan DGI dan MAWI ini akhirnya tidak diterima dan pemerintah tetap berpegang pada apa yang telah mereka sepakati dalam aturan tahun 1979. SKB Menag dan Mendagri di atas dalam pandangan penulis selain bertentangan dengan ajaran masingmasing agama yang mengharuskan pemeluknya untuk menyebarkan agama yang diyakininya juga bertentangan dengan hak asasi manusia, yakni hak seseorang untuk menyampaikan infOrmasi ajaran agama dan mendapatkannya. Beragama atau tidak beragama (termasuk di dalamnya memilih dan berpindah agama) adalah hak setiap manusia yang tidak dapat diintervensi 22 Weinata Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, (Jakarta: BPK, 1994), Hal. 488-489.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
125
oleh negara, sehingga demi menjaga hak tersebut negara harus melindunginya dengan cara membebaskan para pemeluk agama menyiarkan agamanya masing-masing kepada pemeluk agama lain selama pemeluk agama lain yang didakwahi (al-mad’u) tidak menolak. Jika setiap orang bebas memilih dan berpindah agama, lantas bagaimana seseorang dapat mengetahui ajaran agama lain yang tidak ia peluk apabila penyiaran agama dibatasi hanya kepada orang-orang yang belum menganut agama sama sekali? Bukankah seseorang dapat berpindah agama setelah ia mengenalnya? Orde Baru juga mengeluarkan peraturan yang cukup konstruktif meski hanya berbentuk instruksi. Yaitu Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor: KEP/D/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla. Keputusan bernomor KEP/D/101/78 ini merupakan respon atas keputusan yang dihasilkan dalam Lokakarya Pembinaan Perikehidupan Beragama Islam (P2A) tentang penggunaan pengeras suara Masjid dan Musholla yang dilaksanakan tanggal 28 dan 29 Mei 1978 di Jakarta. Dalam lampiran instruksi yang ditandatangani pada 17 Juli 1978 oleh Dirjen Bimas Islam saat itu, Drs. H. Kafrawi MA, syarat penggunaan pengeras suara antara lain harus digunakan oleh mereka yang betul-betul terampil, bukan mereka yang mencoba-coba atau masih belajar. Ini dimaksudkan agar tidak muncul feedback atau suara dengung yang dapat memunculkan kesan tidak teraturnya masjid atau musholla. Syarat lain dari penggunaan pengeras suara adalah tidak bolehnya meninggikan suara doa, dzikir dan sholat. Karena suara yang terlalu tinggi bukan akan menimbulkan simpati tetapi justru malah sebaliknya. Bahkan instruksi Bimas Islam itu secara teknis membeberkan aturan
126
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
bahwa suara yang disalurkan ke luar masjid cukup adzan saja, sebaga tanda waktu tiba. Suara adzan juga harus dilantunkan dengan suara yang merdu. Sementara sholat dan doa pada dasarnya hanya diperuntukan bagi jamaah, sehingga tidak perlu ditujukan ke luar. Sementara dzikir hakikatnya adalah ibadah individual langsung dengan Allah SWT. Karena itu, tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam ataupun ke luar. Pada era refOrmasi, tidak ada aturan yang dikeluarkan dan berkaitan langsung dengan penyiaran agama. Namun, pemerintah mencoba melakukan unifikasi segala aturan tentang kehidupan keagamaan dalam satu Rancangan Undang-undang (RUU) Kerukunan Umat Beragama (KUB). Tema yang diangkat dalam RUU KUB antara lain soal perayaan dan peringatan hari besar keagamaan, penyebarluasan agama, pendidikan agama, penyiaran agama, pemakaman jenazah, pendirian rumah ibadat serta Izin memanfaatkan bangunan sebagai Tempat Ibadat. Fondasi RUU ini cukup apik, bersandar pada prinsip toleransi, kebersamaan, non diskriminasi dan ketertiban (Pasal 2). Sebanyak 55 pasal disiapkan untuk mengokohkan kebhinnekaan. Tujuannya, “menjamin terpenuhinya hak-hak umat beragama agar dapat hidup, berkembang, berinteraksi, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya kerukunan umat beragama yang berkualitas dan berakhlak mulia� (Pasal 3). Meski begitu, substansi RUU KUB sesungguhnya masih menyisakan persoalan pelik. Hampir di semua bahasan, ada ganjalan baik secara filosofis maupun sosiologis, termasuk di dalamnya adalah aturan mengenai
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
127
penyiaran agama. Tema penyiaran agama ada dalam paragraf 3 dan dituangkan dalam 2 pasal yakni Pasal 17 dan 18. Dalam pasal 1 disebutkan penyiaran agama adalah segala bentuk kegiatan yang menurut sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran suatu agama, baik melalui media cetak, elektronik, maupun komunikasi lisan. Jika dibandingkan dengan aturan penyiaran pada masa Orde Baru, pasal penyiaran agama dalam RUU KUB sesungguhnya tidak mengalami perubahan signifikan. RUU KUB bahkan membangun “etika penyiaran agama” yang potensial memunculkan tafsir yang beragam. Ini bisa dicermati dalam pasal 45 yang berbunyi, “Setiap orang dalam menyebarluaskan ajaran agamanya, dilarang: (c) menganggap ajaran agamanya paling benar”. Mungkin maksud pasal ini adalah keinginan pemerintah para pendakwah bisa menghormati ajaran agama lain dengan tidak menganggap agamanya superior. Tapi mafhum diketahui, bahwa masing-masing agama memiliki klaim kebeneran dogmatisnya. RUU KUB juga tetap memasukkan aturan tentang penyiaran agama yang hanya dibolehkan untuk mereka yang “belum memeluk suatu agama” (pasal 17 ayat 2). Pembatasan penyiaran agama terbatas kepada mereka yang belum beragama sejatinya bertentangan dengan sifat dasar dari agama itu sendiri yang di dalamnya terkandung makna komunitas, social relationship. Sehingga secara prinsipil, dakwah atau misi kepada seluruh umat manusia adalah sesuatu yang asasi. Kebebasan beragama adalah kebebasan untuk memeluk agama, beribadah dan mengajak pemeluk lain untuk menganut agama seperti yang dipeluknya. Ini konsekuensi logis dari prinsip religious freedom. Yang mungkin perlu digarisbawahi adalah cara mereka
128
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
melakukan penyebaran atau penyiaran agama tersebut. Tentang masalah penyiaran tersebut, Dewan Gerejagereja Indonesia/DGI (sekarang, Persekutuan Gerejagereja Indonesia/PGI) dan Majelis Waligereja Indonesia/ MAWI (sekarang, Konferensi Waligereja Indonesia/KWI) pernah mengusulkan agar penyiaran agama kepada mereka yang “sudah beragama” tetap dibenarkan selama tidak melanggar kemerdekaan serta martabat manusia dan keluhuran agama. Tetapi pada akhirnya pemerintah, melalui keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tetap melakukan pembatasan dalam hal penyiaran agama. Problem lain yang timbul akibat munculnya kata mereka yang “belum memeluk suatu agama” adalah hadirnya semangat “politik pengakuan” oleh negara. Pemahaman mula-mula dari pasal 17 ayat 2 RUU KUB adalah adanya mereka yang beragama dan belum beragama. Ukuran beragama atau tidaknya seseorang dalam konteks ini sudah pasti menurut kacamata negara. Di sini, yang dimaksud beragama tentu saja mereka yang sudah menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Artinya, penyiaran agama tidak boleh ditujukan pada penganut-penganut agama tersebut. Imbas dari pengaturan semacam itu adalah kemungkinan terjadinya “agamaisasi” besar-besaran kepada mereka yang “belum beragama” itu. Lalu, siapa yang dimaksud yang belum beragama? Para penganut aliran kepercayaan adalah kelompok yang paling rentan dengan strategi dakwah dari pelbagai kelompok agama. Hal ini yang bisa kita lihat dan cermati dari semangat berdirinya Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) oleh Muhammad Natsir. Langkah DDII, mengutip Hefner, merupakan respon langsung terhadap ancaman pemurtadan dari
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
129
agama Islam, selain juga untuk bersaing secara langsung dengan misionaris Kristen di sejumlah daerah.23 Mereka misalnya mengirim dai-dainya ke wilayah Tengger, Jawa Timur serta mendanai pembangunan sebuah masjid di kawasan mayoritas Hindu tersebut. 24 Pada akhirnya, soal penyiaran dalam RUU KUB penting untuk menjadi perhatian. Ketersinggungan umat beragama biasanya hadir bermula dari persoalan ini. Menjadi bertambah pelik ketika persoalan non-agama juga turut hadir dan memberi andil. Dalam kondisi ekonomi masyarakat yang serba timpang, bukan mustahil masalah ekonomi akan menjadi salah satu faktor pemicu. Yang juga perlu diperhatikan adalah tarik-menarik kepentingan politik. Dalam beberapa kasus, pragmatisme politik tak jarang dibungkus oleh isu agama untuk memuluskan jalan. Faktor-faktor non-agama itulah yang juga penting untuk menjadi perhatian bersama.
Beberapa Kasus Penyiaran Agama25 1. Pengeras Suara dan Problematikanya: Kasus di Kudus dan Seruan Wapres Musholla yang berukuran 6x5 meter per segi itu terletak di RW 04 Desa Pasuruan Lor, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.26 Pemiliknya bernama Sariyono yang sekaligus sebagai ketua jamaah pengajian. Dalam kesehariannya, tempat suci ini selalu digunakan untuk berdakwah yang disiarkan melalui pengeras suara dan pemancar radio. Ia 23 Robert W. Hefner, Civil Islam, Hal. 195 24 Robert W. Hefner, Civil Islam, Hal. 195 25 Data mengenai kasus-kasus penyiaran agama yang dikutip dalam bagian ini seluruhnya bersumber dari eLSA Report on Religious Freedom. 26 eLSA Report on Religious Freedom, edisi I, September 2011.
130
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
memiliki jamaah sekitar 5 orang dan kegiatan ceramahnya hanya setiap Minggu dan Kamis malam. Namun, hari itu, Kamis 10 Februari 2011 tampaknya bukan hari yang bersahabat baginya. Beberapa warga sekitar kesal dengan ulah Sariyono karena ceramahnya kerap menghina seseorang dan beberapa ajarannya juga dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Menurut ketua RW 04 Muchsin, sebagaimana dilansir Antara, keluhan warganya itu telah disampaikan melalui laporan tertulis yang ditujukan kepada Kepala Desa Pasuruan Lor tertanggal 8 Februaru 2011. Muchsin berkata, “Isi laporan tersebut, menyebutkan bahwa warga RW 04 dan sekitarnya sangat terganggu dengan kegiatan ceramah rutin yang diadakan Sariyono melalui pengeras suara dan disiarkan melalui gelombang radio dengan frekuensi 06.35 MHz”. Lebih lanjut ia menambahkan, pengeras suara itu jumlahnya empat unit. Selain itu, kata dia, isi ceramahnya pun juga sering menyinggung dan menghujat sejumlah tokoh agama, tokoh masyarakat, warga, pengurus RT dan RW. “Untuk itu, warga sepakat menuntut kegiatan ceramah tidak boleh memakai pengeras suara dan tidak disiarkan langsung melalui pemancar radio,” pintanya. Sedangkan kata Ngadini (40 tahun), salah seorang warga yang berdekatan dengan musholla mengakui isi ceramah yang disampaikan Sariyono ini sering menyinggung seseorang. “Bahkan kerap menyebut nama seseorang yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya maupun seseorang yang dianggap pernah menyinggung perasaannya,” terangnya.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
131
Hal ini diamini pula Saim. Ia menyebutkan syarat seseorang agar bisa disebut sebagai ulama atau kyai harus pernah di temui Nabi Muhammad Saw. Menanggapi keluhan warga, Sariyono mengungkapkan, keinginan Nabi Muhammad Saw menemui seseorang merupakan hak nabi tanpa memandang seseorang rajin beribadah atau tidak. Sedangkan mengenai tuduhan isi ceramahnya yang menyinggung, menurutnya, adalah sebagai bentuk curahan isi hati setelah gagal menempuh penyelesaian secara kekeluargaan. “Selama tidak pernah menyinggung perasaan saya, tentu namanya tak akan saya singgung dalam isi ceramah,” ujarnya. Meskipun demikian, ia menganggap kegiatan ceramahnya selama ini sesuai dengan ajaran Islam yang diperolehnya dari sejumlah ulama terkenal di Kudus maupun ajaran dari al-Qur’an dan tafsir. “Ceramah yang saya sampaikan ini sesuai dengan konteks disiplin ilmu,” akunya. Setelah didesak warga, dan pihak desa serta untuk menghindari aksi anarkhis, Kepala Desa Pasuruan Lor, Mahfudh, memfasilitasi pertemuan yang akhirnya menyetujui pengeras suara musholla dan pemancar ini dibongkar. “Dengan penjagaan aparat polisi dari Polres Kudus, dan anggota TNI dari Kodim Kudus, warga kemudian menurunkan pengeras suara musholla,” terangnya. Dalam sebuah pertemuan pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Makassar (22/7), Ketua DMI HM Jusuf Kalla berniat untuk melakukan pengaturan terhadap pengeras suara di masjidmasjid.27 Alasannya, penggunaan pengeras suara 27 Tempo.com, “JK Akan Atur Volume Pengeras Suara Masjid” Minggu,
132
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
yang sangat keras terkadang membuat sebagian orang merasa terganggu. Sebelum Kalla, Wakil Presiden Budiyono menyampaikan hal serupa saat membuka muktamar DMI, 29/4. Wapres mengusulkan tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Budiyono mengatakan bahwa bahwa suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga.28 Ini tentu merujuk pada pengaturan suara di masjid-masjid bukannya memberikan rasa nyaman dalam beribadah, tetapi justru dirasa mengganggu warga sekitar. Menurut Wapres, alQur’an pun mengajarkan kepada umat Islam untuk merendahkan suara sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjuk-Nya. Pernyataan Wapres Budiyono kemudian memantik kontroversi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan menilai soal speaker atau pengeras suara adzan jangan dilihat dari kerasnya, tetapi dilihat segi waktu dan tempat.29 Di suatu masjid, menurut Amidhan, boleh saja mengencangkan suara ketika terjadi urusan yang genting, misalnya mengumumkan orang yang meninggal. Kritik terhadap pernyataan Wakil Presiden Boediono juga disampaikan Ketua Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia Ali Mochtar Ngabalin. Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan
22 Juli 2012 | 19:45 WIB. 28 http://nasional.kompas.com/read/2012/04/27/11392050/ Wapres. Pengeras.Suara.Azan.Perlu.Diatur 29 http://news.okezone.com/read/2012/04/29/337/620420/muitanggapi-komentar-boediono-tentang-pengeras-suara-masjid
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
133
Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Arwani Thomafi yang menilai Boediono mengurusi hal yang bukan kewenangannya.30 Dalam kasus di Kudus, persoalan muncul di dua level, substansi pengajian dan pengeras suara. Sementara, anjuran Wapres semata persoalan aturan mengenai pengeras suara terhadap adzan saja. Kami akan membatasi diri untuk menelaah persoalan tersebut hanya sampai pada level ekspresinya (pengeras suara), tidak materi penyiaran agamanya. Penyiaran agama, sebagai ekspresi dari kebebasan beragama memang bisa dibatasi. Ninan Koshy (1992, 23), dengan mengutip pendapat Carillo de Albornoz membagi kebebasan beragama ke dalam empat aspek. Pertama, kebebasan nurani (liberty of conscience). Kedua, kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan (liberty of religious expression). Ketiga, kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (liberty of religious association). Keempat kebebasan menginstitusikan keagamaan (liberty of religious institutionalization). Aspek pertama dari keempat wilayah tersebut memiliki sifat yang absolut atau pure religious liberty. Dan ia merupakan bagian dari internal aspect of religious freedom. Dalam aplikasinya, yang disebut sebagai freedom of conscience juga sering dimaknai sebagai freedom of religion. Karena kebebasan nurani adalah aspek internal maka tiga aspek yang lain adalah aspek eksternalnya. Atau kebebasan nurani adalah sword of the spirit tiga yang lain adalah sword of steel.
30 http://www.merdeka.com/dunia/azan-pernah-jadi-dilema-di-kairo. html
134
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Jika aspek internal dari kebebasan beragama bersifat absolut, tidak demikian halnya dengan dimensi eksternalnya yang bersifat relatif. Relativitas sifat dari dimensi eksternal ini dipahami karena agama tidak selalu berbicara tentang keyakinan personal. Agama juga hadir dan bersentuhan dalam wilayah sosial serta berkaitan dengan institusi lainnya. Atas dasar ini, maka sekali lagi, kebebasan beragama termasuk juga di dalamnya kebebasan untuk mengekspresikannya. Karena agama, tidak hanya menyangkut keyakinan personal, tetapi juga berarti di dalamnya adalah manifestasi atas keyakinan tersebut. Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 18 ayat 3 dijelaskan bahwa pembatasan terhadap ekspresi keyakinan keagamaan (forum eksternum) memang bisa dilakukan. Pembatasan itu hanya bisa dilakukan melalui hukum, dan diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Dengan begitu, pemerintah memiliki dasar untuk melakukan pembatasan dengan merujuk pada ICCPR yang sudah diratifikasi melalui UU nomor 12 tahun 2005. Dengan berkaca pada masalah itu, instruksi dirjen bimas Islam mengenai Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla patut untuk dikuatkan. Munculnya aturan pengaturan pengeras suara di masjid tentu bukan bermaksud mendiskreditkan umat Islam. Meski mengekspresikan keyakinan keagamaan adalah hal yang asasi, tetapi tentu harus memperhatikan hak orang lain untuk merasakan kenyamanan. Dengan melakukan pengaturan ini, negara bukan berarti
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
135
mengintervensi hak warganya dalam beribadah. Dalam situasi seperti ini, negara tidak mengatur doktrin agama atau forum internum, tetapi lebih pada forum eksternum. Meski umur dari instruksi Dirjen Bimas Islam ini cukup lama, tetapi dalam batas-batas tertentu aturan itu masih sangat relevan untuk kondisi saat ini. Aturan yang dikeluarkan ketika Menteri Agama dijabat oleh Alamsyah Ratuprawiranegara ini memang butuh beberapa penyesuaian. Tetapi, semangat dari “Instruksi Kafrawi� itu memang masih layak untuk dijadikan sebagai bahan dasar, sebagai upaya pemerintah untuk mengatur lalu lintas hak warga negara. 2. Pengobatan Jemaat Kristen Indonesia dan Protes FPI Magelang Selasa siang, 21 Februari 2012, sebuah ruko di Jalan Pemuda 152 Muntilan dikepung massa DPW Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Magelang.31 Di tempat tersebut, mereka melempari tembok ruko dengan batu dan juga menempeli kertas dengan tulisan-tulisan berisi ancaman. Diduga, bangunan tersebut dianggap digunakan untuk melakukan kegiatan yang menyimpang. Di kota itu, sebetulnya mereka baru saja memberikan dukungan terhadap Ketua FPI Yogyakarta, Bambang Tedi, yang disidang lantaran terlibat kasus dugaan penganiayaan dan perbuatan tidak menyenangkan terhadap Erna F Riyanti (30) warga Gamping, Sleman, di PN Yogyakarta.
31 eLSA Report on Religious Freedom, edisi XI, Juli 2011.
136
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Saat didatangi, ruko tersebut sudah dalam kondisi tutup. Kemudian, dengan mengenakan seragam khas putih-putih, massa ini melakukan orasi sekitar 15 menit. Massa meminta pemilik ruko untuk menghentikan aktivitas pengobatan gratis tersebut. ”Kami akan datang dengan lebih banyak massa jika Anda (pemilik ruko) tidak menghentikan kegiatan pengobatan gratisnya,” teriak Ketua DPW FPI, Muhammad Muslih di tengah-tengah massa kepada serru.com. Anggota FPI mulai berdatangan sekitar pukul 14.00 WIB dengan mengendarai mobil pick up. Aksi itu sempat menjadi perhatian masyarakat yang kebetulan lewat. Beruntung tidak ada aksi anarkhis di tempat tersebut. Setelah itu, massa menuju ke Mapolsek Muntilan untuk menyampaikan aspirasinya. Dalam tuntutannya, FPI menuntut polisi turun tangan untuk menyelesaikan kasus di ruko tersebut karena dinilai menyimpang. FPI juga meminta agar Polsek Muntilan berani untuk memberantas judi dan miras yang masih marak. Menurut pantauan FPI di lapangan, mereka masih mendapati banyak penyakit masyarkat seperti miras, judi, togel, dan judi kuda lari. ”Polisi harus bertanggung jawah terhadap masih banyaknya penyakit masyarakat seperti judi dan bentukbentuk maksiat. Kami siap membantu,” tegas Ketua FPI Kabuaten Magelang, Muhammad Muslih kepada suaramerdeka.com. Menanggapi hal ini, Wakapolsek Muntilan, Iptu Sudarmadji, mengatakan, pihaknya akan terus melakukan penindakan terhadap penyakit masyarakat yang ada. ”Kami akan terus berusaha dan tidak akan berhenti berusaha untuk menertibkan,”
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
137
kata janji Sudarmadji seperti dilansir KRjogja.com. Atas kejadian tersebut, Minggu (26/1), dilakukanlah mediasi FPI dengan perwakilan Jemaat Kristen Indonesia (JKI) Injil Kerajaan Muntilan dan Muspika Kecamatan Muntilan di Mapolsek Muntilan. Melalui perantara Polsek Muntilan, kedua belah pihak menandatangani surat kesepakatan dan menerima semua hasil mediasi yang dilakukan di ruang Kapolsek Muntilan (26/2). “Selama menunggu proses perizinan selesai, kegiatan peribadatan supaya diberhentikan sementara,” kata Kapolsek Muntilan, AKP Parmanto seperti dalam jengpaijo. blogspot.com, Minggu, (26/2). Dijelaskan, dialog yang berlangsung selama sekitar 4 jam difasilitasi Kapolsek Muntilan, AKP Parmanto Puji Yuwana, ini dimaksudkan untuk menghilangkan sikap saling curiga sehingga iklim kondusif tetap terjaga. “Kami keberatan dengan aktivitas JKI di Jalan Pemuda Muntilan 152 Muntilan karena meresahkan masyarakat. FPI mendapatkan laporan dari masyarakat ada kegiatan menyimpang. Makanya saya meminta supaya kegiatan pengobatan gratis itu dihentikan,” kata Muhammad Muslih, kepada Suara Merdeka. FPI, lanjut Muslih, sebenarnya telah melaporkan kegiatan tersebut kepada Kapolsek Muntilan pada tanggal 13 Februari silam. Namun, aktivitas itu masih terus berlanjut. “Saya tanya ke kapolsek saat itu kok dia (Kapolsek) belum tahu aktivitas keagamaan di sana. Berarti kegiatan itu belum mendapat izin,” katanya. Selain menggelar aktivitas keagamaan di jalan Pemuda, FPI menilai jika JKI juga melaksanakan aktivitas serupa di Rumah Makan Cinta Rasa
138
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
dengan mengundang sejumlah masyarakat. “Ada maksud tertentu dalam kegiatan itu. Jadi, kami minta dijelaskan secara rinci,” seloroh sekretaris FPI, Ridwan, Senin (27/2), kepada Radar Semarang. Sementara Pastur JKI, Bambang Andreas, mengatakan, kegiatan yang dilaksankan di Ruko jalan Pemuda 152 hanyalah kegiatan peribadatan. Selain itu, juga dilaksanakan bakti sosial berupa pengobatan gratis. “Pengobatan itu merupakan lanjutan dari bakti sosial kita pasca erupsi Gunung Merapi 2010 lalu,” terangnya. Kegiatan pengobatan gratis itu, tuturnya, murni merupakan kegiatan sosial tanpa ada maksud tertentu. “Selain itu, kita juga sudah memberikan izin pemanfaatan bangunan untuk kegiatan peribadatan.” Melalui perantara Polsek Muntilan, kedua belah pihak menandatangani surat kesepakatan dan menerima semua hasil mediasi yang dilakukan di ruang Kapolsek Muntilan, Minggu (26/2/2012). “Selama menunggu proses perizinan selesai, kegiatan peribadatan supaya diberhentikan sementara,” kata Kapolsek Muntilan, AKP Parmanto. Terpisah, dengan mencuatnya kontroversi tersebut belasan orang yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Cabang Muntilan, Kabupaten Magelang, Senin (27/2), menggelar aksi damai menolak kekerasan yang mengatasnamakan agama. menggelar aksi sekitar pukal 10.00 pagi. Aksi dimulai dengan menggelar orasi dan aksi teatrikal di terminal Muntilan. Massa membawa papan berisi ajakan menghargai kerukunan agama dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Komandan Detasemen Khusus (Densus) 99 GP Ansor Muntilan, Andri, mengatakan, aksi ini
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
139
merupakan bentuk kepedulian kepada sesama warga negara yang memiliki hak untuk beribadah sesuai kepercayaannya masing-masing, namun ternyata dihalang-halangi oleh kelompok tertentu. “Kami prihatin atas kejadian di berbagai daerah akhir-akhir ini, yang ternyata di negara yang berasaskan Pancasila masih ada pihak yang mencoba menghalangi kegiatan peribadatan agama lain,” terangnya kepada tribunnews.com. Dalam aksi teatrikal itu, seorang demonstran mengibarkan bendera merah putih sembari berorasi lantang menolak kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Seorang peserta aksi lainnya mencoba mengganggu dengan merusak sejumlah piranti demo. Setelah menggelar orasi sekitar 15 menit, para demonstran kemudian menuju Mapolsek Muntilan melalui jalan Pemuda yang berjarak sekitar satu kilometer. Sembari menyusuri sepanjang jalan Pemuda, para demonstran membagikan selebaran terkait sikap GP Ansor menolak kekerasan atas nama agama. “Bagiku agamaku dan bagimu agamamu,” kutipan dalam selebaran tersebut seperti dilansir Radar Semarang, 28 Februari 2012. Koordinator aksi, Rahmat Irwanto, mengatakan, pada intinya pihaknya menyerukan kedamaian di Muntilan. Salah satunya adalah kebebasan memeluk agama dan melaksanakan peribadatan sesuai dengan ajaran yang diyakini. ”Pada intinya, kami ingin keberagaman di Muntilan dengan dasar Bhinneka Tunggal Ika dalam wadah NKRI. Dan salah satunya adalah kebebasan memeluk agama dan melaksanakan peribadatan sesuai dengan ajaran yang diyakini,” ujarnya seperti dikutip KRjogja.
140
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Irwanto mengatakan, menolak keras kekerasan atas agama dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Selain itu, lebih mengutamakan memperkokoh persatuan dan keadilan yang berazaskan hukum. Ia juga mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan kepedulian kepada sesama warga yang memiliki hak untuk beribadah. “Kami mengajak masyarakat supaya peduli kepada sesama warga negara yang memiliki hak untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan masingmasing. Tanpa dihalang-halangi oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama,� tuturnya kepada Antara News. Kemudian mereka membagi-bagikan selebaran kepada seluruh masyarakat di sekitar terminal, Pasar Muntilan, dan warga di sepanjang Jalan Pemuda Kota Muntilan. Selebaran tersebut berisi ajakan untuk menjaga perdamaian dan menebarkan rasa saling cinta antar sesama tanpa melihat agama, ras, dan suku. Sesampainya di Mapolsek Muntilan, para demonstran tersebut disambut oleh Kapolsek Muntilan AKP Parmanta Puji Yuwana beserta sejumlah anggota Muspika. Setelah melakukan orasi dan doa bersama untuk kedamaian, massa GP Ansor dan Muspika bersama-sama mengangkat bendera merah putih sebagai sombol kerukunan dan kedamaian. Jika dikaitkan dengan aturan penyiaran agama, maka bentuk pengobatan yang dilakukan dengan maksud penyiaran agama memang tidak diperbolehkan. Tapi, tentu saja akan sangat sulit menunjukkan bagaimana sebuah kegiatan sosial dinilai memiliki muatan untuk mengajak konversi.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
141
Ini yang terjadi pada kasus di atas. FPI merasa bahwa apa yang dilakukan oleh JKI memiliki semangat Kristenisasi melalui pengobatan dan kegiatan sosial lainnya. Padahal, pihak JKI bersikukuh mengatakan kegiatannya itu semata-mata aktivitas kemanusiaan. Persoalan yang muncul hemat kami pertamatama adalah soal kecurigaan yang berlebihan terhadap motivasi tertentu dari kegiatan sosial. Masalah ini memang bisa berasal dari banyak hal, mulai dari sikap sosial yang cenderung eksklusif dari salah satu pihak atau ada kecemburuan lain terkait dengan sikap posisi sosial tertentu. Kami tidak bisa memastikan motivasi utama yang muncul dalam kasus ini. Tetapi setidaknya yang kentara terlihat adalah sikap curiga. Ketika pemerintah melalui pihak kepolisian hadir untuk memediasi, maka kegiatan sosial yang dibumbui kecurigaan itu berubah dan ada dalam paradigma “keamanan”, sehingga penanganannya pun ada dalam perspektif menjaga ketertiban. Di sinilah terlihat bahwa penyiaran agama terpenjara dalam perspektif “keamanan”, bukan bagian dari hak asasi umat beragama. Pemerintah hendaknya bisa memberikan pemahaman kepada semua pihak bahwa penyiaran agama itu memang diperbolehkan selama mereka yang menjadi objek penyiaran itu tidak merasa terganggu atau keberatan atas aktivitas penyiaran agama kelompok lain. 3. Dakwah “Provokatif” MTA dan Reaksi Warga: Kasus di Purworejo, Kudus dan Blora Ada tiga wilayah di Jawa Tengah yang menjadi area konflik antara Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA)
142
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
dengan warga, yakni Purworejo, Kudus dan Blora. Latar belakang persinggungan di tiga wilayah itu kurang lebih sama, yakni penolakan terhadap dakwah MTA. Berikut akan digambarkan konflik tersebut dan bagaimana ia diakhiri. Sejak akhir 2010 hingga awal tahun 2011, dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Kabupaten Purworejo semakin dianggap meresahkan. Pasalnya, dakwah dari kelompok pimpinan Ahmad Sukina itu kerapkali menebar provokasi dan berpotensi memicu perpecahan umat. Menanggapi hal tersebut Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Purworejo mengeluarkan sikap terhadap keberadaan jamaah MTA. Sikap PCNU itu disampaikan Rois Syuriah NU KH Habib Hasan Al Ba’bud dan Ketua Tanfidziyah HA Hamid AK SPd I dalam rapat koordinasi menyikapi keberadaan MTA yang difasilitasi Kantor Kementerian Agama, Kamis (31/3/11). Rakor yang dimoderatori Kepala Kemenag Drs H Khozin Sukardi dihadiri Assek III Drh H Abdul Rahman mewakiliki bupati, Kasdim Mayor Inf Deny Kartiwa, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Purworejo KH Abdullah Syarqowi, Ketua Forum Komunikatan Umat Beragama (FKUB) KH Junaedi Jazuli, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Purworejo H Dandung Danadi, Kabag Kesra Setda Purworejo Drs Bambang Susilo, perwakilan Polres, serta perwakilan Kesbangpolinmas. PCNU sendiri telah mengeluarkan surat PCNU bernomor: PC.11.32/04/D/III/2011 yang berisi pernyataan sikap tersebut. Surat tersebut juga ditandatangani para kyai khos di Purworejo. Mereka yakni KH Jakfar Samsuddin pengasuh Pesantren Al Falah Lugosobo, KH Dawud Muchlas (PP Al
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
143
Muttaqin), KH Dawud Maskuri (PP Ma’unah Plaosan), KH Thoyfur Mawardi (PP Darut Tauhid), KH Habib Hasan Al Ba’bud (PP Al Iman Bulus), KH Abdullah Syarqowi (PP Al Irsyad), KH Chalwani Nawawi (PP An Nawawi), KH Nashihin CH (API Winong Kemiri), dan KH Much Atabik (PP Ash Shiddiqiyah). Dalam pernyataan sikap itu ditegaskan, kyai merasa keberatan dengan materi dan metode pendekatan yang dilakukan MTA dalam melakukan dakwah. Pasalnya, MTA tidak menghormati perbedaan fiqhiyah, cenderung melecehkan ajaran kelompok lain, provokatif, menyebarkan kebencian, dan permusuhan di kalangan umat Islam, sehingga mengganggu ketenteraman dan keharmonisan umat beragama di Purworejo. Di pihak lain, kelompok MTA tetap melakukan aktivitas dakwahnya. Senin (9/5) mereka melakukan pengajian di Kelurahan Katerban, Kutoarjo dan pada 17 Mei rencananya akan mengadakan pengajian akbar di rest area milik PO Sumber Alam di Andong, Kecamatan Butuh. Melihat begitu aktifnya kegiatan-kegiatan MTA, pada, 11/5/2011, sekitar 30 ulama mendatangi DPRD Purworejo. Tidak hanya pengurus NU yang hadir seperti KH Hasan Agil Ba’bud tetapi juga tokoh agama lainnya, takmir masjid, sejumlah pengasuh pondok, juga Banser. Kehadiran mereka diterima unsur pimpinan DPRD, Ketua Komisi D Drs Zusron MM, dan plt Sekda Drs Tri Handoyo MM. Selain itu juga hadir petugas Kodim, Kasat IPP Polres, petugas Kemenag, Kepala Kesbang Polinmas, juga Kabag Kesra Pemda. Sebenarnya, sebagian kalangan ulama di Purworejo sudah mendesak Pemkab agar melarang
144
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
kehadiran MTA di daerah itu. Dengan alasan ajarannya menyinggung perasaan umat Islam lain. Namun pihak Pemkab tidak berani melarang secara tertulis karena khawatir dianggap membatasi kebebasan beragama. Penolakannya hanya sebatas larangan lisan. Pengajian MTA yang kerapkali membuat resah warga adalah dampak dari yang ditimbulkan dari materi yang disampaikan muballighnya. Sebagai contoh, ada anak yang menyatakan tidak masalah kehilangan orang tua, lantaran diduga orang tuanya tidak mau ikut MTA. ‘’Kelangan wong tuwa ora apaapa timbang kelangan agama (kehilangan orang tua tidak apa-apa dari pada kehilangan agama),’’ kata KH Hasan Agil menirukan pernyataan salah satu peserta MTA. Gejala lain, kini banyak peserta MTA yang tidak mau ikut kegiatan di desa. Ada pula istri yang meminta cerai lantaran suaminya tidak mau ikut MTA. ‘’Yang mengaji 50 orang, petugas yang menjaga 100 orang. Itu juga menimbulkan kejengkelan kami,’’ celetuk salah satu santri yang hadir di DPRD seperti ditulis Suara Merdeka (12/5/11). Sementara Sekretaris MTA Pusat, Medi menyatakan bahwa kegiatan tanggal 9/5 yang nyaris menimbulkan bentrok dengan warga itu tidak benar. Menurutnya kegiatan di Katerban itu adalah donor darah di pagi hari yang kemudian diikuti oleh peserta pengajian dan dilanjutkan pengajian umum pada sore hari. Ia mengatakan kegiatan donor darah merupakan salah satu program kegiatan sosial yang biasa dilakukan di MTA Pusat Surakarta dan 244 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. (Antara, 12/5/11).
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
145
Menghadapi kontroversi kehadiran MTA, pengurus cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Purworejo melalui ketuanya, KH Mahfudz Chamid meminta agar kalangan NU tidak bertindak anarkhis dan melawan hukum. Ia menekankan pentingnya dialog dan mengajak kepada semua pihak untuk menyelesaikan polemik itu dengan cara yang santun. Titik terang soal MTA dijumpai saat Pemkab Purworejo menggelar dialog antara MTA dengan Ormas Islam yang merasa kurang berkenan dengan model dakwah kelompok tersebut. Acara itu sendiri digelar di Gedung Loka Adibina, Sabtu (14/5). Dalam dialog itu akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa persoalan-persoalan semacam itu akan diselesaikan dengan mengedepankan pendekatan dialog. MTA yang dihadiri langsung pengurusnya dari Solo juga menyatakan akan menunda tabligh akbar yang sedianya akan digelar Selasa (17/5). Dialog itu dihadiri Wakil Bupati (Wabup) Suhar, Kapolres AKBP Priyo Waseso SSI MPP beserta jajaran forum komunikasi pimpinan daerah. Hadir pula Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Abdullah Sarkowi, Ketua Tanfidziah PC NU KH Hamid AK, serta jajaran pengurus NU dan Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah. Dialog dipandu Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Purworejo KH Junaidi Jazuli. Dalam kesempatan itu, seperti dikutip Suara Merdeka (16/5/11) dipaparkan hasil-hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PCNU berkaitan dengan metode dakwah yang diyakini provokatif dan bisa memicu perpecahan dan perselisihan antar umat.
146
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Bahkan sejumlah kyai NU tak kuasa menahan air mata saat mendengarkan rekaman dakwah para dai MTA di Purworejo yang terkesan mendeskriditkan amaliyah agama dari komunitas Islam lainnya. Medi, dari MTA pusat dalam kesempatan itu menyatakan meminta maaf yang sebesar-besarnya terhadap masyarakat Purworejo. ”Kami minta maaf dan mencabut penyataan yang disampaikan para dai kami,” katanya seperti ditulis Suara Merdeka (16/5/11). Mendasarkan pada fakta-fakta yang ditemukan itu, Medi menegaskan dakwah yang dilakukan MTA tidak akan lagi mencela amaliyah komunitas Islam lainnya. MTA, sambungnya, juga berjanji akan mengevaluasi metode-metode dakwah agar tidak provokatif dan bisa menyebarkan kebencian. Meskipun telah terjalin kesepakatan antara pihak-pihak yang berpolemik, tetapi kontroversi di level akar rumput tetap terjadi. Di Kelurahan Pangenjurutengah, Purworejo, masyarakat setempat menggeruduk tempat pengajian MTA, Senin (11/6). Mereka membawa spanduk bertulisan, ‘’Gedung Kegiatan MTA disegel masyarakat dan FKTMM Pangenjurutengah’’. Kedatangan mereka ke tempat pengajian MTA berencana melakukan penyegelan dengan alasan, izin pembangunan gedung tersebut untuk rumah tinggal dan pemiliknya tidak ada di tempat. Alasan lain, warga Pangenjurutengah tidak ada yang ikut MTA. Ketua RT setempat, Sariyadi menuturkan kalau mereka tidak melarang pengajian MTA, tetapi karena warga sini tidak ada yang ikut MTA, silahkan mengadakan pengajian di tempat lain saja. Pengisi mengatakan,
pengajian MTA, Sri Mulyono yang dikehendaki masyarakat
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
147
Pangenjurutengah saat ini MTA cooling down dahulu. Ketua MTA Purworejo, Kamin Purwoharsono AMaPd, berencana akan menemui sesepuh desa dan kyai setempat dan tetap akan menggelar pengajian sesuai perintah ustad dari pengurus pusat. Namun, jika mendapatkan penolakan mereka akan menempuh jalur hukum. Sabtu, (28/1/2011) sekelompok masa gabungan dari berbagai organisasi Nahdlatul Ulama (NU), menggelar aksi unjuk rasa menuntut pembubaran pengajian Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Kudus, Jawa Tengah.32 Desakan masa yang terdiri dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), serta Barisan Ansor Serbaguna (Banser), Gerakan Pemuda (GP) Ansor, dan Fatayat, membubarkan paksa pengajian umum yang diselenggarakan MTA perwakilan Kudus. Koordinator aksi sekaligus Pengurus Pusat IPNU Saiful Anas mengaku, alasan mereka menggelar aksi karena menerima laporan dari berbagai daerah tentang kehadiran MTA sering terjadi konflik dengan warga sekitar karena ajarannya cukup meresahkan. Pengajian yang dilakukan juga pernah menghujat para kyai. Hal paling fatal, dosa orang yang melakukan tahlil dianggap lebih besar dibanding orang yang berzina. Padahal tahlil sudah menjadi tradisi warga NU, ujarnya. Hal tersebut, kata dia, membuat warga NU resah, jika MTA benar-benar ada di Kudus yang memiliki kebiasaan melakukan tahlil. Selain itu, kata dia, mayoritas warga NU memiliki kultur 32 eLSA Report on Religious Freedom, Edisi VI, Februari 2012.
148
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
yang banyak bernuansa klasik yang dibawa Sunan Kudus. “Tentunya, hal ini tidak bisa dibiarkan terjadi karena ajaran MTA memang cukup meresahkan,” tandasnya. Ia mengaku, memiliki cukup bukti terkait ajaran dari MTA yang dianggap radikal serta menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya sendiri. Untuk itu, kata dia, pengurus Cabang IPNU Kudus yang mendapat restu dari sejumlah kyai di Kudus sepakat menolak kehadiran MTA di Kudus. Apalagi, lanjut dia, sebagian besar peserta pengajian bukan warga Kudus, melainkan dari luar Kudus, seperti Solo, Pati dan beberapa daerah di Jateng. “Peserta pengajian dari Kudus, hanya sekitar 40-an orang,” katanya. Beberapa peserta aksi unjuk rasa juga sempat mencabut bendera MTA yang berada di tepi jalan, karena pengajian yang diselenggarakan di Kudus tanpa izin, dan hanya pemberitahuan saja kepada sejumlah pihak terkait. Pengajian umum yang diselenggarakan MTA akhirnya dihentikan, sekitar 3.000 peserta pengajian harus meninggalkan Gedung Ngasirah dengan mendapat penjagaan polisi. Dari aksi tersebut kemudian menimbulakan berbagai tanggapan, salah satunya dari Moh Rosyid, cendekiawan muda NU yang juga dosen STAIN Kudus, Dia berpendapat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) harus segera memfasilitasi dialog antara NU dan MTA agar tidak berbuntut panjang. Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kudus, KH Syafiq Nashan, ketika dimintai pendapatnya tidak membenarkan atau menyalahkan aksi yang dilakukan anak-anak muda dari organisasi yang berada di bawah naungan NU itu.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
149
“Kudus selama ini sudah kondusif. Masyarakat Kudus rata-rata Nahdliyyin, sementara MTA banyak menyinggung perasaan orang-orang Nahdliyyin,” ungkapnya. Dia pun menilai, aksi pembubaran terhadap pengajian yang digelar MTA itu sebagai upaya menghindarkan keresahan masyarakat. Sementara Ketua NU Kudus KH Khusnan saat dihubungi mengemukakan, keberadaan MTA di beberapa daerah menimbulkan keresahan dan perpecahan. Kondisi yang kondusif inilah yang menurutnya harus dijaga.Namun dari infOrmasi yang disampaikan Ketua PC Ansor Kudus Abdul Ghofar, Minggu (29/1) siang, bahwa sudah ada permintaan pertemuan (dialog) dari pihak MTA Jateng kepada Ansor di tingkat wilayah. Selain pendapat di atas, ada juga yang berpendapat bahwa Indonesia merupakan demokrasi dan menjunjung hak asasi manusia. Karena itu, konstitusi, UUD 1945 memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Hal itu dikemukakan Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia, Faozan Amar. «Selama pengajian itu dilakukan dengan maksud dan tujuan yang baik, maka kita wajib menghormatinya,» ungkapnya. Jika memang isi dari pengajian tersebut menghasut, mengadu-domba dan lain sebagainya, maka pihak berwajiblah yang berhak untuk memperingatkan, hingga membubarkan. Sementara Pihak DPRD Kudus, yang diwakili oleh Agus Darmawan, mengaku terkejut saat mendengar kabar tersebut. «Saya juga dapat undangan itu. Tapi tidak datang. Saya kaget juga ketika teman-teman yang saya minta menghadiri itu melaporkan acara itu dibubarkan oleh AMNU, yang terdiri GP Anshor, IPNU, Banser,» ungkap Agus Darmawan. 150
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Agus menyesalkan pembubaran acara tersebut. Mestinya hal itu tidak terjadi andai saja semua berkepala dingin dan mau berdialog dan berkomunikasi. «Jangan seperti itulah,» imbaunya. Apalagi, sebut Agus, PBNU lewat ketua umumnya Said Aqil Siraj di banyak kesempatan mengatakan akan melindungi semua elemen masyarakat, termasuk kelompok Ahmadiyah. Hal itu juga sudah dilakukan pada masa Gus Dur. Senada dengan itu, Ketua Umum GP Anshor, Nusron Wahid, juga sering mengungkapkan akan melindungi dan bahkan sudah melakukannya dengan mengadvokasi kelompok minoritas. «Mungkin ada komunikasi yang terputus (antara warga NU dan pimpinanannya),» duga Agus. Tapi Agus buru-buru menambahkan bahwa dia tidak secara persis kenapa hal itu terjadi. Dia juga tidak ingin mengomentari NU secara lebih jauh. Tapi yang dia harapkan, aksi pembubaran seperti itu mestinya tidak lagi terjadi. Apalagi, sesama umat Islam. Katanya, kita akan malu dengan kelompok agama lain. Menurutnya, MTA seperti organisasi pada umumnya, laiknya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. MTA, organisasi yang berbasis di Solo itu, juga sudah resmi berdiri dan beberapa tahun ini sudah menjalankan kegiatannya. “Menurut saya, ya (MTA) landai-landai saja. Biasa-biasa saja,” ungkapnya. Tentang alasan bahwa, MTA antara lain mendiskreditkan kyai dan mengharamkan tahlilan yang menjadi alasan pembubaran acara MTA kemarin, dia belum tahu persis apakah memang seperti itu adanya. Tapi tetap saja hal itu tidak bisa jadi alasan pembenar melakukan aksi pembubaran. Menanggapi kasus itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masih
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
151
menyelidiki apakah benar kadernya yang tergabung dalam Angkatan Muda NU membubarkan acara pengajian MTA di Kudus pada Sabtu, akhir pekan lalu. Hal itu dikatakan Jurubicara PBNU Sultan Fathoni. Penolakan terhadap MTA juga terjadi di Blora. Ratusan warga Blora terlibat bentrok dengan jamaah Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Desa Kamolan, Blora, Jawa Tengah.33 Sejak Jumat sore, 13 Juli 2012, suasana di sepanjang jalan raya di Desa Kamolan, Kecamatan Kota Blora, Kabupaten Blora tegang. Pemicu konflik tersebut ditengarai atas penolakan warga terhadap pengajian akbar yang akan diselenggarakan oleh jamaah MTA, pada Sabtu (14/7). Menurut salah seorang warga Blora, Edi Witoyo. Sebenarnya jama’ah MTA telah diperingatkan oleh sejumlah warga agar tidak melaksanakan pengajian tersebut. Namun mereka tetap ngotot menyelenggarakan pengajian tersebut. Tepatnya di kawasan lapangan Desa Kamolan, Blora. Karena ngotot tetap menyelengarakan pengajian tersebut, warga marah besar. Sejumlah warga menggeruduk kerumunan jama’ah MTA di lokasi kejadian. Bentrokan pun tak dapat dihindarkan. Menurut panitia pengajian, pada dasarnya MTA tidak menampik bahwa memang ada sebuah surat yang disebut semacam Surat Kesepakatan Bersama yang isinya menolak pengajian MTA di Blora yang ditandatangani oleh Bupati, Kapolres, dan beberapa Ormas. “Kami tidak menampik memang ada semacam surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh Bupati, Kapolres, dan sejumlah Ormas seperti 33 eLSA Report on Religious Freedom, Edisi XI, Juli 2012.
152
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Banser NU, Fatayat NU, NU Blora, MUI Blora, dan Muhammadiyah Blora lengkap dengan stempelstempel mereka. Tetapi kami merasa bahwa mereka tidak berhak untuk menolak kegiatan kami karena kegiatan kami bukanlah kegiatan yang melanggar hukum dan sudah sesuai dengan prosedur,� urai Bambang panitia pengajian. Sehari sebelumnya, beberapa jemaah MTA yang ada di Kabupaten Blora juga sempat berencana mempersiapkan berdirinya panggung untuk pengajian di lokasi tersebut. Namun akhirnya dibatalkan lantaran jumlah jemaah yang hendak mendirikan panggung kalah dari jumlah warga. Sementara itu, menjelang Jumat malam, nampak Bupati Blora Djoko Nugroho mendatangi lokasi untuk melakukan dialog dengan jemaah MTA. Kronologi ketegangan berawal dari munculnya ratusan satgas MTA yang datang menggunakan bis dan sejumlah kendaraan roda empat sejak hari Jumat jam 2 siang (13/7). Berseragam lengkap warna hijau tua, satgas MTA berjaga di sekeliling lapangan yang akan digunakan sebagai lokasi pengajian. Lokasinya tak jauh dari SMP 3 Blora. Sementara di tengah lapangan sebagian jamaah MTA nampak sibuk mempersiapkan berdirinya panggung. Tak jauh dari lapangan, puluhan warga terlihat berkerumun. Sebagian warga juga terlihat memblokade perempatan jalan menuju lokasi pengajian. Jelang Jumat petang, sempat terjadi kericuhan di perempatan tersebut, karena beberapa satgas MTA berusaha menerobos blokade warga. Satgas-satgas ini berniat berjaga di perempatan jalan yang menuju Randublatung dan Banjarejo.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
153
Keributan berlangsung sampai malam hari yang berujung kepada robohnya panggung, dan sejumlah mobil di lokasi kejadian menjadi sasaran amukan masa. Peristiwa itu dipicu karena panitia tidak segera membubarkan kegiatan tersebut. “Kami hanya ingin pengajian dibubarkan saat ini juga. Kami yang punya tempat, seharusnya mereka kulonuwun terlebih dahulu,� ungkap Nyaman, seorang warga. Setelah itu ratusan Brimob yang datang dari Semarang langsung mengamankan lokasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun situasi itu gagal, karena suasana malam itu masih mencekam. Sesekali polisi gabungan meminta warga tetap tenang agar tidak melakukan tindakantindakan yang tidak diinginkan, pengamanan tersebut dipimpin langsung oleh Kabag Ops Polres Blora Kompol Djodi. Selanjutnya Kapolres Blora, AKBP Kukuh Kalis Susilo yang datang dilokasi meminta agar Satgas MTA dikumpulkan pasca keributan. Setelah Satgas dikumpulkan akhirnya keributan mulai mereda dan satgas kemudian ditarik dengan menggunakan mobil aparat Brimob yang ada, yaitu sekitar sembilan mobil, menuju lokasi aman. “Kami amankan Satgas MTA hingga keluar wilayah Blora, baik yang lewat Cepu, maupun keluar arah Purwodadi,�Tandas Kapolres Blora. Demikian juga anggota Dalmas dari Polres terdekat (Rembang, Grobogan) dan Brimob Polda Jateng, juga telah ditarik ke kesatuan masing-masing. Sejumlah kendaraan kepolisian dan Water Cannon yang sempat ditempatkan disejumlah titik juga sudah ditarik masuk ke markasnya. Lain dari itu, Kapolres membantah ada lima
154
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
orang yang terluka serius dan dirawat di Rumah Sakit Blora. Diakuinya ada dua satgas yang mengalami luka di pelipis dan diobati langsung di TKP oleh tim medis dari kepolisian. “Tidak ada yang sempat masuk Rumah Sakit atau opname. Seluruh satgas dan panitia kegiatan keagamaan yang semula sempat bertahan sampai pukul 23.35 WIB Jumat tengah malam, selanjutnya diamankan dua gelombang dengan truk-truk Dalmas dan kendaraan oprasional lainnya milik polisi ke Markas Polres Blora, untuk mencegah bentrok massa� katanya. Akhir dari konflik MTA dengan warga di tiga kabupaten memiliki cerita yang berbeda. Di Purworejo, pemerintah bisa memediasi kelompok Nahdliyyin dan MTA. Pihak Nahdliyyin meminta kepada muballigh MTA agar memperbaiki metode dakwahnya agar tidak menimbulkan perpecahan umat. Hal itu mereka paparkan setelah memutar rekaman dakwah yang disampaikan muballigh MTA. Berbeda halnya dengan di Purworejo, cerita tentang MTA di Kudus dan Blora berakhir tanpa mediasi. Di Kudus, pengajian yang dilakukan MTA akhirnya dibubarkan, begitu pula halnya dengan yang terjadi di Blora. Hemat kami apa yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Purworejo dengan memanggil semua pihak yang terlibat dalam perselisihan adalah langkah tepat. Pemerintah mendengar keluhan dari pihak yang merasa dirugikan oleh dakwah dari pihak lain. Kelompok NU di Purworejo yang merasa dirugikan oleh dakwah MTA datang untuk meminta pemerintah memediasinya. Tetapi pemerintah juga tidak meluluskan keinginan kelompok NU untuk membubarkan MTA, karena berpotensi melanggar hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
155
Kesimpulan: Membatasi dan Menindak “Seruan Kebencian� asus-kasus penyiaran agama menggambarkan tiga pokok masalah, alat penyiaran (pengeras suara), metode penyiaran (pengobatan pemberian makanan dll) serta substansi penyiaran (takfir, provokasi). Ketiga masalah itu selalu berkait berkelindan dan menjadikan penyiaran agama di tengah-tengah masyarakat menjadikan sesuatu yang tak jarang berujung konflik. Pertanyaannya kemudian, bagaimana negara berperan dalam soal penyiaran agama tersebut? Apakah konflik itu sematamata persoalan penyiaran agama atau karena persoalan intoleransi?
K
Kebijakan negara tentang penyiaran agama, seperti yang digambarkan di atas merupakan produk Orde Baru yang konteksnya adalah persaingan Islam dan Kristen. Ketegangan antara Islam dan Kristen menjadi roh di hampir semua regulasi keagamaan, termasuk regulasi penyiaran agama. Umat Islam merasa terdiskriminasi sejak jaman Hindia-Belanda yang lebih banyak memberikan bantuan kepada umat Kristen dibandingkan Islam Sehingga pasca kemerdekaan, ada semacam kesempatan melakukan politik “balas dendam� melalui regulasi yang ada. Wajar jika kemudian regulasi mengenai penyiaran agama tidak mampu menjawab persoalan kekinian yang semakin kompleks. Persoalan mengenai kebijakan tentang penyiaran agama cenderung melihat bahwa agama ditempatkan sebagai sumber konflik. Inilah perspektif yang sangat terbatas dari regulasi penyiaran agama pada era Orde Baru itu. Yang pertama-tama mestinya dilihat adalah bahwa penyiaran agama merupakan bagian dari hak asasi manusia untuk menyebarkan ajaran agamanya. Di
156
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
sinilah letak keterbatasan perspektif dari kebijakan negara mengenai aturan agama itu yang selalu menganggapnya sebagai sumber konflik. Padahal konflik akibat penyiaran agama itu bukan penyiaran agama itu sendiri, melainkan intoleransi antar umat beragama. Yang harus dilihat secara jeli oleh negara dan perlu untuk dibatasi bahkan dilakukan tindakan adalah manifestasi penyiaran agama yang bernada hate speech. Dalam situasi ini, negara memiliki kewenangan untuk melarang ekspresi keyakinan yang digunakan untuk mengobarkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang membentuk suatu hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.34 Namun demikian, pembatasan atau larangan tersebut harus dilakukan secara abash menurut hukum, tidak bersifat diskriminatif pada suatu golongan atau kelompok identitas tertentu, dan bersifat proporsional tergantung konteks kebutuhan.35 Selain hate speech yang juga harus ditindak dalam penyiaran agama adalah soal hate crime. Hate speech dan hate crime adalah dua konsep yang hampir sama tapi berbeda. Hate crime didefinisikan sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana yang dimotivasi oleh suatu kebencian dasar kebangsaan, ras, agama, atau yang lainnya. Unsur dari hate crime adalah suatu kejahatan atau tindak pidana (bisa berupa pembunuhan, intimidasi, perusakan barang, serangan, dan sebagainya) dan suatu motif yang bias.36 Yang menjadi pembeda antara hate speech dan hate crime adalah unsur terjadinya suatu kejahatan atau tindak pidana; untuk hate crime hanya terjadi bila ada kejahatan 34 Panduan Pemolisian dan Hak Berkeyakinan, Beragama dan Beribadah, Jakarta: Kontras, tt. 79. 35 Panduan Pemolisian dan Hak‌, Hal. 79. 36 Panduan Pemolisian dan Hak‌, Hal. 84
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
157
atau tindak pidana, sementara untuk hate speech tidak memerlukan terjadinya suatu tindak pidana, cukup suatu ekspresi (secara verbal, tertulis, gambar, simbol, audiovisual, atau lewat medium maya seperti internet) yang merupakan “advokasi kebencian yang membentuk suatu hasutan� untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.37 Atas dasar itu, maka sejatinya pengaturan soal penyiaran agama tidak harus merujuk pada hal-hal teknis nan rinci, karena pengaturan seperti yang terjadi pada masa Orde Baru seolah-olah ditempatkan pada masyarakat yang kekanak-kanakan’ dalam beragama. Karenanya, negara bisa melakukan pengaturan dalam soal penyiaran agama menyangkut upaya pembatasan terhadap seruan kebencian dari suatu kelompok kepada kelompok lain atas dasar keyakinan agama tertentu.
37 Panduan Pemolisian dan Hak‌, Hal. 84.
158
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Bab V Penutup Memeriksa Wajah Toleransi Kita
Meneropong toleransi beragama di Indonesia melalui tiga isu keberagamaan merupakan napak tilas sejarah perjalanan sebagai fragmen bangsa kita. Bangsa yang majemuk dan diperjuangkan bersama-sama dengan masyarakat berbagai unsur kini seperti menunjukkan arah yang berbeda. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi modal hidup bersama kini menjadi pertanyaan kita semua. Apalagi ketika ia bernama toleransi dan rasa saling menghargai. Memang, negara kita tidak separah Perancis di masa silam. Mengutip Voltaire (1989), Perancis hanya merestui Katolik sebagai agama negaranya. Dengan demikian, menjadi Protestan adalah sebuah dosa bahkan mencegah atau mempersulit orang Protestan untuk pindah iman menjadi Katolik merupakan kesalahan besar yang akan mendapatkan hukuman setimpal. Negara kita bukan pula tipikal negara yang menerapkan mihnah (inkuisisi) seperti pernah terjadi di suatu masa di zaman Dinasti Abbasiyah. Negara kita masih memberikan ruang untuk minoritas dalam beribadah dan beragama/berkeyakinan
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
159
meskipun dibayangi mayoritas yang kian menampakkan arogansinya. Tetapi toleransi mulai menjadi barang mahal di negeri. Ia menjadi begitu jauh dalam kehidupan seharihari. Survey Lingkaran Survey (2012) menyatakan bahwa 61,2 persen tidak nyaman bertetangga dengan orang Syiah dan 63,1 persen tidak nyaman bertetangga dengan orang Ahmadiyah. Rasa tidak nyaman ini dapat pula berakibat rasa intoleran. Seorang jemaat gereja, misalnya, menceritakan rumitnya hubungan dengan tetangganya gara-gara urusan ini. Senin sampai Sabtu, mereka bertetangga sebagaimana wajarnya tetapi hari Minggu mereka menjadi seteru. Pasalnya, sang tetangga ini mengintimidasi ketika ia beribadah di tepi jalan gara-gara soal tempat ibadah. Sama ironisnya dengan perkara Syiah di Sampang. Dua saudara bermusuhan dengan aliran masing-masing disertai perusakan dan kriminalisasi. Cerita tak kalah menyedihkan datang dari Cikeusik. Seorang perempuan Ahmadi mesti melahirkan di sebuah perkebunan ketika ia bersembunyi dari intimidasi dan penyerangan kelompok Islam garis keras setempat. Padahal, sebagai warga negara, ia layak mendapatkan pelayanan bidan demi kesehatan reproduksi sang ibu dan jabang bayi itu sendiri. sementara itu di Singkil, warga yang Kristen dan Islam rukun dalam satu kabupaten dalam waktu yang sudah sangat lama. Sampai urusan rumah ibadah membuat kerukunan itu berubah: pengurusan rumah ibadah yang rumit merumitkan hubungan pertetanggaan itu sendiri. Mereka takut dengan berurusan dengan birokrasi dan keakraban di antara mereka menjadi tidak sama lagi. Cerita-cerita semacam ini menjadi tanda bahwa toleransi bukanlah sesuatu yang mudah dicari. Kohesi
160
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
masyarakat yang terus-menerus mengalami pasang surut menjadikan toleransi bukanlah anugerah, tetapi sebagai sesuatu yang harus dicapai. Toleransi adalah sesuatu yang aktif, bukan malas, apalagi pasif. Sayangnya, masyarakat tampaknya mesti bekerja sendiri. Sebab, pemerintah lewat berbagai peraturan yang memihak sekelompok orang. Peraturan tentang rumah ibadah, tentang penodaan agama, dan tentang penyiaran agama—seperti disinggung pada paparan di buku ini— menguntungkan kelompok dominan bernama mayoritas. Karena mayoritas maka seolah-olah boleh menikmati lebih banyak ketimbang kelompok yang lain. Selain itu, kemudahan-kemudahan akan lebih banyak didapat. Memang yang mayoritas dan minoritas akan menempuh prosedur yang sama. Seperti peserta lari dalam sebuah lomba, aturan semacam ini terlihat adil untuk semua. Tetapi lari adalah lomba semata-mata yang hampirhampir tidak memiliki sisi sosial-budaya-politik. Stamina dan kecepatan cukup membuat kita melenggang menjadi pemenang. Tapi konteks semacam ini tak bisa sama dalam masyarakat yang tidak memiliki kekuatan sosial politik yang seimbang. Sehingga, tanda tangan 90 orang jemaat/ jemaah bagi pemeluk Islam di wilayah dengan mayoritas penduduk yang bukan Islam merupakan perkara sulit. Sebaliknya sama: ia perkara berat bagi umat Kristen di tempat di mana Islam mendominasi. Permusyawaratan dalam masyarakat kini digantikan oleh FKUB (Forum Kerukunan Beragama) yang diinisasi oleh negara. Mereka berasal dari berbagai perwakilan agama, tetapi tidak termasuk kelompok kepercayaan. Jemaat Ahmadiyah dan Syiah, meskipun merupakan bagian dari Islam, tidak diakomodasi dalam kelompok ini. Toleransi kemudian ditentukan oleh negara dalam bingkai birokrasi.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
161
Persoalan penodaan agama dalam bentuk penyesatan dan atau aliran sesat tidak kalah rumitnya. Penafsiran baru yang berbeda oleh sekelompok orang akan segera menimbulkan reaksi. Mereka dianggap sebagai yang menimbulkan keresahan, dilaporkan ke organisasi tertentu lalu berakhir di meja hijau. Sebagiannya lagi berakhir tragis: asset dirusak dan atau disegel. Karena bukan golongan yang dominan, sikap ini lalu dipermaklumkan. Karena sesat, maka boleh dirusak. Kesesatan mereka mendatangkan keresahan sehingga perlu ditertibkan. Penertiban ‘boleh’ dilakukan dengan berbagai cara: dari yang paling keras sampai paling ringan. Tak cukup, mereka dipaksa bertaubat atau justru di penjara dengan pasal penodaan agama. Toleransi yang berkembang di dalam masyarakat, dengan mekanismenya sendiri, kini dipasrahkan kepada negara oleh kelompok masyarakat tertentu yang mengaku otoritatif di bidangnya. Dan negara menerimanya. Toleransi kemudian diubah menjadi soal ketertiban sosial belaka. Persoalan keagamaan yang kompleks, karena disertai dengan keyakinan yang dalam kepada hal-hal yang transendental, kini sesederhana persoalan politik dan ekonomi yang cenderung praktis, bahkan pragmatis. Perubahan semacam ini juga terjadi dalam penyiaran agama. Dengan segala silang sengkarut ini, negara tetap harus dituntut untuk melakukan penghormatan dan perlindungan atas hak semua warga negara untuk beragama dan berkeyakinan. Negara harus-menerus didorong untuk melakukan hal ini dengan adil, terutama untuk kelompok minoritas. Pada aras ini, misalnya, pemerintah perlu merumuskan formulasi yang permanen menyangkut tiga problem di atas. Dalam sengketa rumah ibadah dan penodaan agama, misalnya, pemerintah mengajukan relokasi sebagai solusi. Kenyataannya,
162
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
relokasi bukan menyelesaikan masalah tapi memindahkan masalah. Relokasi HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin ditolak oleh warga setempat sebagaimana relokasi jemaat Ahmadiyah di Lombok. Relokasi untuk warga Syiah yang selama ini bermukim di GOR Sampang ditolak oleh mereka sendiri karena tidak menjanjikan perlindungan keamanan, termasuk soal pengamanan tempat tinggal dan jaminan keselamatan diri mereka sendiri. Di samping itu, pemerintah juga perlu menyamakan persepsi dengan masyarakat, misalnya melalui sosialisasi peraturan perundang-undangan. Penyamaan ini persepsi penting mengingat banyak intepretasi konstitusi di lapangan yang merusak anyaman toleransi di suatu masyarakat sendiri, dan bahkan aparat mengamini. Kasus penolakan pendirian ibadah, sebagai contoh, memperoleh tempat yang luas dewasa ini. Pemkab/Pemkot tertentu ternyata mempertimbangkan hal ini mengatasi putusan hukum yang final dan mengikat. Padahal, dalam PBM Rumah Ibadah, penolakan bukanlah sesuatu yang memiliki dasar hukum sehingga patut dipertimbangkan bisa tidaknya sebuah rumah ibadah didirikan—penolakan dan penerimaan adalah sesuatu yang niscaya dalam sebuah pokok persoalan tertentu. Melulu mempertimbangkan persoalan ini hanya akan membuat persoalan membuat berlarut-larut seperti terjadi di Bogor, Bekasi, dan Kupang. Mereka yang dirugikan akibat multi-interpretasi semacam ini adalah kelompok minoritas dengan daya tawar rendah dari sisi politik, sosial, dan budaya. Mereka bukan saja bernama Katolik dan Kristen, tetapi juga Islam arus utama (mainstream) dan Islam minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. Ironisnya, aparat mengamini hal ini dan dengan tanpa beban mengangkangi hukum di negara hukum ini secara berjamaah bersama warganya. Padahal, dalam ketentuan PBM, yang ditindaklanjuti adalah jika
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
163
rumah ibadah yang hendak didirikan belum memenuhi persyaratan. Karenanya, interpretasi yang hendak dijalankan seharusnya diselaraskan—yang tetap ngotot seharusnya ‘ditertibkan’. Ustadz Tajul Muluk mengalami nasib serupa. Meski masa penahanannya sudah selesai, aparat bersikeras meneruskannya meskipun mereka tak memegang surat dari MA sebagai syarat utama. Aparat menyatakan bahwa surat yang dimaksudkan bisa disusulkan, tetapi konstitusi tidak menyuratkan yang demikian. Beberapa pihak di luar negara juga patut terlibat di dalam urusan toleransi. Jika selama ini kita mengagungkan keberadaan mayoritas yang diam (silent majority), maka keberadaan mereka seharusnya terus-menerus diprovokasi agar lantang meneriakkan ketidakadilan dan kesewenangwenangan, baik dari dalam umat maupun birokrasi itu sendiri. Terkait hal ini, akan diajukan beberapa saran. Pertama, perempuan dan anak muda. Kedua kelompok ini penting untuk dilibatkan dalam usahausaha penyemaian toleransi beribadah. Dalam beberapa kesempatan, anak muda terlibat dalam kampanye anti keberagaman melalui beragam jaringan media sosial semacam facebook, twitter, dan youtube. Pada saat yang sama, sekelompok perempuan juga terlibat dalam demo disertai ancaman seperti terjadi pada hampir setiap peribadatan jemaat GKI Taman Yasmin belakangan ini. Mereka, bersama dengan pendemo yang berjenis kelamin laki-laki, tidak sungkan-sungkan meneriakkan ancaman perkosaan kepada jemaat, pendukung jemaat atau jurnalis yang dianggap mendukung jemaat gereja. Kenyataan semacam ini mesti diantisipasi agar tidakmenerus tumbuh di masa depan dan pada saat yang sama, usaha penyemaian toleransi lebih banyak melibatkan tokoh agama dan atau tokoh masyarakat lokal mayoritas
164
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
berjenis kelamin laki-laki. Kehadiran kedua kelompok ini tentunya akan menambah amunisi penyebaran toleransi, mengingat mereka memiliki strategi-strategi yang kreatif, di samping menambah jumlah “pasukan� toleransi yang kian melemah diserang kelompok anti-toleransi. Dalam kelompok ini, diperlukan juga perhatian khusus untuk anak muda dan perempuan dari kalangan minoritas. Kedua, ormas yang moderat semacam memiliki kewajiban moral untuk turut serta dalam silang sengkarut soal ini. Secara kultural, melalui warganya, ormas semacam NU dan Muhammadiyah memiliki dapat bertindak sebagai agen penyebar toleransi di masyarakat melalui kegiatan sosial dan kegiatan komunal-tradisional yang dijalankan sehari-hari dan hidup dalam lingkungan masing-masing. Secara struktural, agenda semacam ini dapat ditempuh melalui desain kebijakan setiap ormas melalui berbagai jalur. Dalam institusi pendidikan, misalnya, pengurus pusat ormas dapat mengintervensi materi pengajaran dan sikap perempuan agar selaras dengan nilai-nilai toleransi, termasuk toleransi terhadap tempat ibadah. Pada sisi yang lain, secara struktural, diperlukan keselarasan antara kebijakan di tingkat daerah dan pusat. Dalam beberapa kesempatan, justru muncul sikap desersi. Sikap desersi ini bukan semata pembangkangan tetapi perpecahan dalam tubuh organisasi di mana sebagian pengurus bersikap moderat sementara sebagian yang lain bersikap radikal dengan mendiamkan perusakan tempat ibadah atau bahkan terlibat langsung. Sikap semacam ini akan merusak moderatisme ormas yang selanjutnya merusak pula moderatisme Indonesia pada umumnya. Ketiga, media seharusnya memerankan diri sebagai bagian dari agen yang mempromosikan penghargaan akan keberagamaan, termasuk keberagamaan dalam beragama
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
165
dan berkeyakinan. Dalam hal ini, media seharusnya melakukan coverage yang memadai terhadap suatu insiden, misalnya pembakaran atau perusakan rumah ibadah. Pendeknya, media bukan semata-mata sebagai industri semata-mata tetapi juga dapat mengambil bagian dalam memberi informasi yang mencerdaskan publik. Singkatnya, media dapat ambil bagian dalam konteks “tanggung jawab sosial�, mengutip Peterson (1984), yang menyeimbangkan konsep kebebasan berekspresi dan kewajiban moral untuk mendidik publik. Dalam hal ini, media tidak seharusnya bersifat provokatif dalam menuliskan situasi ketegangan antar-umat beragama atau internal agama tetapi juga memikirkan soal pemihakan kepada korban dalam rangka menyebarkan pentingnya penghormatan kepada keberagaman. Semua yang dipaparkan di atas diajukan demi Indonesia yang toleran. Demi Indonesia yang ramah untuk semua warganya.
166
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, Paper: Al-Hanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Yogyakarta: Leksbang Grafika, 2010. Arief, Barda Nawawi, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Bhlasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, Semarang: UNDIP Semarang, 2007. Asry, M. Yusuf (ed.), Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan), 2011. Balitbang dan Diklat Kemenag RI 2012, Sosialisasi PBM dan Tanya Jawab, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kemenag RI), 2012, Cetakan III. Becket Found for Religious Liberty Issues Brief, “Defamation of Religion,” July 2008 (Condensed version). Carlberg, Carly, Freedom of Expression in Modern Age: An Obscure Blasphemy Statute and Its Effect on Bussiness Naming, Rutger Journal of Law and Religion, Volume II, Fall 2009, Part I. Caslon Analytics Blasphemy, “Report Section on Germany
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
167
and Austria”, http://www.caslon.com.au/ blasphemyprofile9.htm#germany, diunduh 01 Oktober 2012. Departemen Agama RI, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009. Dhakidae, Daniel, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. eLSA Report on Religious Freedom, edisi XI, Juli 2011. eLSA Report on Religious Freedom, edisi I, September 2011 eLSA Report on Religious Freedom, Edisi VI, Februari 2012. eLSA Report on Religious Freedom, Edisi XI, Juli 2012. Gultom, Gomar (ed), Seputar Izin Rumah Ibadah, Dari SKB ke Perber Dua Menteri, Jakarta: PGI, 2006. Hafsin, Abu, “PROBLEMATIKA PERAN FKUB DALAM MEMBANGUN KERUKUNAN UMAT BERAGAMADI INDONESIA (Perspektif Konstitusi dan HAM)”, makalah disampaikan dalam diskusi pada Lokakarya “Pembuatan Modul Penguatan Kapasitas FKUB tentang Konstitusi, HAM, dan Mediasi Konflik” dilaksanakan oleh The Wahid Institute bekerja sama dengan Kemenag RI di Hotel Blue Sky, 26-28 Maret 2008. Hasyim, Ahmad Umar, Al-Da’wah al-Islamiyyah; Manhajuha wa Ma’alimuha, tp. tt. Hefner, Robert W. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001. Kustini, Dra. M.Si (ed), Efektifitas Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, (Jakarta: Departemen Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009
168
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
KONTRAS, “Panduan Pemolisian dan Hak Berkeyakinan, Beragama dan Beribadah”, Jakarta: Kontras, tt. Komnas HAM, Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008. Levy, Leonard William, Blasphemy: Verbal Offense against the Sacred From Moses To Salman Rusdhie, New York: The University of North Carolina Press, 1993. Lindoln, Tore, Durham, W. Cole (editor), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Oslo: The Norwegian Centre for Human Rights, 2004. Mahmud, Ahmad, Al-Da’wah Ila al-Islam, tp. tt. Ma’shum, Saifullah (ed). Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tahun Tokoh Nahdlatul Ulama, Jakarta: Yayasan Saufidin Zuhri. 1994 Marshal, Paul and Shea, Nina, Silenced: How Apostasy and Blasphemy Codes Are Choking Freedom Worlwide, New York: Oxford University Press, 2012. Mujiburrahman, Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order (Leiden: Amsterdam University Press, 2006), ----------, Mengindonesiakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2008. Muktiono, “Mengkaji Politik Hukum Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia” http://fh.unsoed. ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/13.%20 Muktiono.pdf. Nash, David, Blasphemy in The Christian World, New York: Oxford University Press, 2010, Proquest E-Journal. Nugroho, Singgih, Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, Yogyakarta: Syarikat, 2008. Post, Robert C., “Cultural Heterogeneity and Law:
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
169
Pornography, Blasphemy, and the First Amendment” (California Law Review Vol. 76, No. 2 Mar.,1988). Rumadi dkk, Bukan Jalan Tengah: Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Jakarta: ILRC, 2010. ----------, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP, Jakarta: the Wahid Institute, 2007. Sairin, Weinata, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Schumann, Olaf H., Dialog Antar Umat Beragama, Jakarta: Gunung Mulia, 2008. Senoadji, Oemar, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1976. Setara Institute, Thematic Review: It’s not About the Atheism, its Freedom of Opinion, 11 Juni 2012. Suaedy, Ahmad, et.all, Islam, The Constitution and Human Rights, Jakarta: the Wahid Institute, 2010. ----------, “Memperkuat Peran Pemerintah dalam Menjaga Toleransi dan Harmoni Akar Rumput”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Pembuatan Modul Penguatan Kapasitas Anggota FKUB tentang Konstitusi, HAM dan Mediasi Konflik Keagamaan, Kerjasama Balitbang Kemenag RI dan the Wahid Institute, 26 – 28 Maret 2012. ----------, dkk., Islam, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009). Taher, Elza Peldi, Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 tahun Djohan Effendi, Edisi Digital Jakarta: Democracy Project, 2011. The Wahid Institute, Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009
170
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
The Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues, edisi 31, Februari 2011. The Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues (MRoRI) edisi 41, Maret 2012. Wajdi, Muhammad Farid, Dâ`irah Ma’ârif al-Qarn al‘Isyrîn, Beirut-Libanon: Dâr al-Ma’rifah, cet. III, vol. V, 1971. Willis, Avery T., Indonesian Revival: Why Two Millions Came to Christ, South Pasadena: William Carey Library, 1978. Yewangoe, Andreas A, “Menyikapi Peraturan Bersama Dua Menteri”. Suara Pembaruan, 06/04/2006. Zada, Khamami, “Pemberdayaan FKUB dan Tantangan Pemeliharaan Kerukunan antar Umat Beragama di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Pembuatan Modul: Penguatan Kapasitas Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tentang Konstitusi, HAM, dan Mediasi Konflik Keagamaan, Kerjasama The Wahid Institute dan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 26-28 Maret 2012.
Media, Situs Online: http://m.tribunnews.com/2012/06/12/setara-anggapkriminalisasi-aan-cpns-ateis-keliru. http://www.nytimes.com/2011/02/09/world/ asia/09indonesia.html http://www.thejakartapost.com/news/2011/02/08/ violence-blasphemy-trial-central-java.html http://www.tempo.co/share/?act=TmV3cw==&type=UHJ pbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV 0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNb ZF0=&id=MzEyNTIx
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
171
http://news.detik.com/read/2011/02/20/161256/1 574598/10/mui-jateng-minta-dalang-rusuhtemanggung-diungkap?nd992203605 http://id.berita.yahoo.com/italia-kecam-pembakarangereja-temanggung-20110208-192806-821.html, http://dunia.news.viva.co.id/news/read/203687-italiakecam-pembakaran-gereja-temanggung. http://www.dakta.com/berita/nasional/302/, “Kerusuhan Kupang, NTT, 30 November-1 Desember 1998”. http://news.liputan6.com/read/319567/Kapolri__ Pelaku_Kerusuhan_Berasal_dari_Luar_ Temanggung. http://www.tirilolok.com/news_detail.PHP?nid=1622, “Masyarakat Batuplat Tolak Pembangunan Masjid”. http://www.republika.co.id/berita/nasional/ umum/11/07/19/lokz2k-, “Walikota Kupang: Pembangunan Masjid Nur Musofir telah Penuhi Persyaratan”. http://dokumentasi.elsam.or.id/reports/view/23. http://perpustakaan-elsam.or.id/opac/index. php?p=show_detail&id=1012, “Laporan investigasi awal-1 tentang kerusuhan Kupang dan sekitarnya, 30 November-1 Desember”. http://nasional.kompas.com/ read/2012/04/27/11392050/Wapres.Pengeras. Suara.Azan.Perlu.Diatur. http://news.okezone.com/ read/2012/04/29/337/620420/mui-tanggapikomentar-boediono-tentang-pengeras-suaramasjid. http://www.merdeka.com/dunia/azan-pernah-jadidilema-di-kairo.html Koran Tempo, 11 Agustus 2011, “Walikota Hentikan Pembangunan Masjid”.
172
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Poulter, Sebastian, “Cultural Pluralism and its Limits: A Legal Perspective”, http://www.juliushonnor.com/ catalyst/catalyst/Cultural-Pluralism-and-its-Limits. pdf. Priestly, Brinton, Blasphemy and Law: A Comparative Study (2006), http://www.brentonpriestley.com/ writing/blasphemy.htm. Suara Pembaruan, 23 November 1998, “Kerusuhan Ketapang 13 Tewas, 11 Gereja Dibakar Dan Dirusak”. Tempo.co, Jumat 11 Mei 2012, “Pembangunan Masjid di NTT Dipertanyakan”. Waspada Online, Jumat 15 April 2011, “Pembakaran Masjid Harus Jadi Perhatian”. www.tempointeraktif.com, Naskah Hasil Eksaminasi Putusan Nomor: 69/PID.B/2012/PN.SPG. www.article19.org/data/files/pdfs/standards/ definingdefamation.pdf, International Standards Series, “Defining Defamation: Principles on Freedom of Expression and Protection of Reputation”, www.kristianipos.com, “PGI Minta Perhatian Presiden Soal Penutupan Tempat Ibadah”, posted 26 Agustus 2005. www.pikiran-rakyat.com, Rabu, 15/09/2010, “350 Polisi Amankan Pembangunan Gereja HKBP Cinere”. www.okezone.com, Rabu, 13 Oktober 2012, “Mendagri Sayangkan Penyegelan 20 Gereja di Aceh”, okezonenews,. www.tribunnews.com, 12 Oktober 2012, “DPR: Pemerintah Perlu Tegas soal Penyegelan 20 Gereja”, Selasa,. www.kompas.com, Selasa 08 Mei 2012, “Tokoh Agama NTT Protes Tempat Ibadah Liar”.
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
173
Dokumen lainnya: Kronologi yang dikeluarkan Pokja Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) Jawa Timur pada 25 Juni 2012. Pernyataan Majelis Jemaat Gereja Kristen Indonesia Bogor, “Pokok Pikiran Penelikungan Hukum Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung oleh Walikota Bogor Dalam Kasus GKI. Taman Yasmin�, di keluarkan pada tanggal 13 Desember 2011. PBM No. 8 dan No. 9 Th. 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Laporan Penyegelan Gereja Aceh Singkil oleh ASB (Aliansi Sumut Bersatu) 2012. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 Th. 2005 Pasal 18. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 137 Th. 2002 tentang Prosedur Persetujuan Pembangunan Tempat-tempat Ibadah/Kegiatan Agama di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan Gubernur Aceh No. 25 Th. 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-Undang No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
174
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Index A Abdul Ghofar 150 Abdullah Sarkowi 146 Abdullah Syarqowi 143, 144 Abdul Rahman 143 Abraham 16 Abu Thalib 119 Aceh Singkil 95, 96, 97, 98 Agus Darmawan 150 Ahmad Mahmud 117 Ahmad Rofiq 53 Ahmad Suaedy 83 Ahmad Sukina 143 Ahmad Umar Hasyim 117 AKBP Priyo Waseso SSI MPP 146 AKP Parmanto Puji Yuwana 138 Alexander Aan 58, 59, 66, 68 Ali Mochtar Ngabalin 133 al-Qur’an 16, 19, 20, 37, 39, 40, 41, 44, 46, 49, 50, 117, 119, 124, 132, 133, 149 Al-Qur’an 142, 148, 152 “Amanat Keagungan Ilahi” (AKI) 61 Ambon 80 Amerika Serikat 19 Amidhan 133 Andi Subur Abdullah 78 Andreas Guntur Wisnu Sarsono 61, 64 Angkatan Bersenjata RI (ABRI) 71
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
175
Angkatan Muda NU 152 Antonius Richmond Bawengan 48, 55, 64 API Winong Kemiri 144 Article XIX 22 Asahan 73, 99 “Atheis Minang� 59 Australia 18
B Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia 133 Balai Mansiang 58 bali 89 Bali 86 Bambang Andreas 139 Bambang Susilo 143 Bambang Tedi 136 Barda Nawawi Arief 14, 15 Barisan Ansor Serbaguna (Banser) 148 Batuplat 88, 90, 91, 92, 101 Bekasi 92, 100, 101, 111, 163 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) 37, 42 Bhinneka Tunggal Ika 140, 159 BJ Habibie 78 Blora 142, 143, 152, 153, 154, 155 Bogor 88, 89, 90, 92, 163 Buddha 16, 101, 120, 129 Budiyono 133 Bukhori Maksum 35
C Carillo de Albornoz 134 Chalwani Nawawi 144 Cinere 88, 89
D Dandung Danadi 143 Daniel Adoe 90, 91 Dawud Maskuri 144 Dawud Muchlas 143 Deli Serdang 100
176
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Depok 84, 88 Desa Blu’uran 34 Detasemen Khusus (Densus) 99 139 Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) 129 Dewan Gereja Indonesia (DGI) 125 Dewan HAM Eropa 22 Dewan Masjid Indonesia (DMI) 132 Dharmasraya 58 Diani Budiarto 89 Didik Wuryanto 61 Djoko Nugroho 153 DKI Jakarta 107, 108 Durban Conference 20 Dusun Kenalan 48 Dusun Nangkrenang 34 Dwi Dayanto 51
E Eropa 16, 17, 19, 22 Eva Kusuma Sundari 97
F Fatayat NU 153 Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesi) 91 Forum Kerukunan Umat Beragama 1, 2, 83, 98 Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) Klaten 62 FPI 96, 136, 137, 138, 139, 142 Franco Frattini 54 Front Pembela Islam 61, 136 Front Umat Islam 61
G Gamawan Fauzi 96 Garis-garis Besar Haluan Negara 4, 77 Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 4, 77 GARIS (Gerakan Reformis Islam) 91 GBT (Gereja Bethel Tabernakel 55 Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Cabang Muntilan 139 Gereja Anglikan 17, 18 Gereja Bethel Indonesia 52
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
177
Gereja Kristen Indonesia (GKI) 89 Gereja Pantekosta 52 Gereja Santo Petrus 52 GKI Taman Yasmin 89, 100, 101, 163, 164 GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) 73 Gunung Merapi 139 Gus Dur 151
H Habib Hasan Al Ba’bud 143, 144 Hak Asasi Manusia (HAM) 5, 24 Hamid AK 143, 146 Hasyim Muzadi 26, 28 Hefner 129 Hindu 120, 129, 130 HKBP Filadelfia 101
I Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI) 34 Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama 148 Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU) 148 Imam Mahdi al-Murtada 38 IMB 88, 89, 95, 97, 101, 107, 109 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) 59 inggris 19 Inggris 16, 17, 18 Injil 49, 138 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 21, 135 Iptu Sudarmadji 137 Ir. H. Razali AR 96 islam 47 Islam 6, 9, 15, 16, 17, 20, 34, 38, 39, 40, 41, 49, 51, 53, 58, 59, 61, 104, 108, 114, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 126, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 144, 145, 146, 147, 148, 151, 156, 160, 161, 163 Italia 54 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) 88
J Jakfar Samsuddin 143
178
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Jawa Barat 80 Jawa Tengah 48, 51, 52, 55, 142, 148, 152 Jemaat Kristen Indonesia (JKI) Injil Kerajaan Muntilan 138 Jenewa 20 Jeran Manfred van H 19 Jerman 19 Johanes Pujosumarta 53 Johnson Siregar 57 judicial review 11, 12, 24, 48 Judicial review 32 Junaedi Jazuli 143 Junaidi Jazuli 146 Jusfiq Hadjar 59 Jusuf Kalla 132
K Kabinet AMPERA 4, 77 Kafrawi 126, 136 Kalimantan Timur 73 Kamin Purwoharsono AMaPd 148 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 116 Katolik 50, 53, 54, 73, 74, 79, 96, 101, 120, 129, 159, 163 Kerukunan Umat Beragama (KUB) 33, 127 Kesbangpolinmas 143 Ketapang 78, 79 Khalifah Usman bin Affan 41 KH Habib Hasan Al Ba’bu 144 Khozin Sukardi 143 Khusnan 150 Kitab Perjanjian Baru 16 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 11 Klaten 61, 62, 64 Klaten Utara 61, 62 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 96 Komisi Yudisial 47 Kompol Djodi 154 Konferensi Waligereja Indonesia/KWI) 129 Konghucu 101, 129 Kristen 16, 17, 50, 55, 57, 67, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 79, 80, 81, 87, 89, 90, 94, 97, 98, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 124, 129, 130, 136, 138, 142, 156, 160, 161, 163
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
179
kudus 16, 121 Kudus 130, 132, 134, 142, 148, 149, 150, 152, 155 KUHP 11, 12, 15, 19, 33, 34, 36, 38, 43, 45, 48, 51 Kukuh Kalis Susilo 154 Kupang 79, 88, 90, 91, 92, 99, 101, 163 KWI 80
L Langkat 100 Loka Adibina 146
M Maftuh Basyuni 86, 92 Magelang 136, 139 Mahfudz Chamid 146 Mahkamah Agung 89, 90 Mahkamah Konstitusi (MK) 8, 11 Majelis Mujahidin Indonesia 61, 62 Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) 142, 143, 148, 152 Majelis Ulama Indonesia (MUI) 53, 133, 143, 146 Makassar 72, 132 Mangunbahan 72 Masjid Al Ikhlas 99 Masjid Besitang 100 Masjid Fi Sabilillah 100 Masjid Nur Hikmah 99 Masjid Nurul Musafir 88 Masjid Taqwa 99 Masyumi 73 MAWI (Majelis Waligereja Indonesia) 125 Mayor Inf Deny Kartiwa 143 Medan 99, 100 Medi 145, 147 Meulaboh 72 Minangkabau 58 Mohammad Dachlan 76 Much Atabik 144 Muhammad Arwani Thomafi 134 Muhammad Muslih 137, 138 Muhammad Natsir 73, 129
180
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Muhammad Younas Seikh 20 Mujiburrahman 114, 123 Muntilan 137, 138, 139, 141
N nabi Muhammad 117 Nabi Muhammad 16, 20, 34, 38, 49, 59, 72, 118, 119, 132 Nashihin CH 144 New South Wales 18 NTT 79, 88, 99 Nur Aina 58, 59 Nur Mahmudi Ismail 88 Nusron Wahid 151
O OKI 20 Ombudsman Republik Indonesia 90 Orde Baru 3, 4, 5, 71, 72, 74, 77, 119, 120, 121, 126, 128, 156, 158 Orde Lama 8, 77
P Pakistan 19, 20, 21 Parningotan Sihite 56 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 134 Pastur Adil 56 Pati 149 PBB 20, 21, 106, 107 PBM 81, 84, 85, 86, 87, 91, 92, 93, 95, 97, 98, 100, 101, 102, 104, 105, 107, 109, 110, 163 PBNU 26, 151 PCNU 40, 45, 143, 146 Pendeta Andreas Yewangoe 52 Pendeta Hadassah 55, 56, 64 Pengadilan Negeri Bandung 55, 57 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) 88 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 151 Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) 143 Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) 143 penodaan agama 7, 12, 13, 14, 16, 25, 26, 29, 31, 32, 34, 35, 40, 41, 48, 55, 59, 61, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 75, 77, 161, 162
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
181
Penodaan agama 74 Penodaan Agama 6, 8, 11, 24, 26, 27, 28, 32, 56, 64, 74, 75 Peraba 73 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) 148 Persekutuan Gereja-gereja Indonesia/PGI) 129 Persekutuan Gereja-gereja Se-Indonesia (PGI) 80 Pesantren Al Falah Lugosobo 143 Peter L. Berger 114 PGI 52, 78, 80, 129 Poso 80 PP Al Iman Bulus 144 PP Al Irsyad 144 PP Al Muttaqin 143 PP An Nawawi 144 PP Ash Shiddiqiyah 144 PP Darut Tauhid 144 PP Ma’unah Plaosan 144 Provinsi NAD 107, 110 Purworejo 142, 143, 146, 147, 148, 155
Q Quraish Shihab 46
R Rahmat Irwanto 140 Rancangan Undang-undang (RUU) 127 Riau 86 Roisul Hukama 35, 39 Roma 54 Romo Aloysius Budi Purnomo 50 Romo Aloysius Kosat 99 Romo Benny Susetyo 53
S Saiful Anas 148 Saleh 73 Samarinda 73 Sampang Madura 33 Semarang 50, 53, 139, 140, 154 Siti Manahim 51
182
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
Situbondo 73 Slamet Effendi Yusuf 53 Sleman 136 Slipi 73 Soeharto 3, 4, 76, 78 Soekarno 7 Solo 146, 149, 151 Suhar 146 Sulawesi Tenggara 86 Sumatera Utara 73 Surat Keputusan Bersama (SKB) 75, 105 Susilo Bambang Yudhoyono 80 Syafiq Nashan 149 Syiah 33, 34, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 160, 161, 163
T Tajul Muluk 33, 34, 35, 36, 38, 40, 41, 42, 43, 45, 47, 48, 64, 164 Tambun Utara 101 Temanggung 48, 51, 52, 53, 54, 55, 64 Tengger 130 The Asian Human Rights Commission (AHRC) 54 The Wahid Institute 84 Thoyfur Mawardi 144 Timor Tengah Utara 98, 99 Tim Pencari Fakta (TPF) 146 Timur Pradopo 55 Tionghoa 73, 74 Toba Samosir 100 Tri Handoyo 144
U Umar Shahab 39, 46 Universitas Andalas 58 Universitas Padjajaran Bandung 58
W Wiliam Lorando Jones 18
Y Yahudi 16, 17, 49
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting
183
Yesus Kristus 18 Yewangoe 52, 82 Yogyakarta 4, 30, 42, 114, 121, 136
Z Zaenal Abidin Bagir 39 Zainun Kamal 39 Zusron 144
184
Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama: 3 Isu Penting