Agenda CSO in Indonesia

Page 1

AGENDA CSO INDONESIA DALAM PENINGKATAN KAPASITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Agenda Untuk Mengarusutamakan Perspektif Pro-Poor, Pro Kesetaraan Gender, dan Penerapan Prinsip Good Governance dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Oleh: Entin Sriani Muslim

Working Paper Seri Pengelolaan Keuangan Daerah No. 3

SANGGAR, Jaringan Untuk Demokrasi, Hak-Hak Publik dan Keadilan Sosial 2008


I. Pengantar

Tulisan ini merupakan salah satu dari empat seri working paper tentang pengelolaan keuangan daerah. Keempat seri working paper ini ditulis dalam rangka mengajukan sebuah tawaran bagi kurikulum pengelolaan keuangan daerah. Selama ini kurikulum ini dikembangkan oleh Universitas Indonesia dan beberapa perguruan tinggi lainnya bekerja sama dengan Departemen Keuangan. Kurikulum ini diterapkan dalam Kursus Keuangan Daerah (KKD) dan Latihan Keuangan Daerah (LKD) di Universitas Indonesia dan beberapa Perguruan Tinggi lainnya. Sampai tahun 2007, kurikulum ini masih hanya ditujukan untuk kalangan pemerintah daerah. Kalangan masyarakat sipil belum tersentuh oleh upaya peningkatan kapasitas yang menggunakan kurikulum ini. Akibatnya, terjadi asimetri informasi yang besar antara aparat pemerintah dengan kalangan masyarakat sipil di Indonesia, dalam isu pengelolaan keuangan daerah. Sebagian besar aspek pengelolaan keuangan daerah masih dianggap sebagai wilayah teknokratis yang menjadi wilayah keahlian aparat pemerintah. Kurangnya informasi dan pengetahuan tentang pengelolaan keuangan daerah, membuat masyarakat sipil di Indonesia belum menjadi penyeimbang pemerintah dalam menghasilkan pengelolaan keuangan daerah yang berkualitas. Di samping itu, kurikulum ini disinyalir masih sangat kurang memasukkan perspektif pro-poor, kesetaraan gender, transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Akibatnya, sampai saat ini pengelolaan keuangan daerah belum mampu berperan optimal dalam mengentaskan kemiskinan, menghapus kesenjangan (termasuk ketimpangan relasi gender), belum mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik, dan masih banyak diwarnai oleh banyak tindak korupsi dan tindak penyalahgunaan lainnya. Pada tahun 2008, kurikulum ini kemudian direvisi oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Departemen Keuangan. Momentum revisi kurikulum ini digunakan oleh SANGGAR (Jaringan Untuk Demokrasi, Hak-hak Publik dan Keadilan Sosial) untuk mengkonsolidasikan agenda masyarakat sipil dalam rangka memperkuat perspektif pro-poor, kesetaraan gender, transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam skema peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan daerah. Upaya SANGGAR ini terselenggara atas dukungan yayasan Tifa. Dalam kerangka program konsolidasi agenda masyarakat sipil ini, SANGGAR menyusun 4 seri working paper sebagai berikut: 1. Analisis Keberpihakan Pengelolaan Keuangan Daerah Terhadap Pengentasan Kemiskinan, Kesetaran Gender, dan Penerapan Prinsip Good Governance. 2. Pengalaman Kabupaten Sumedang dalam Mengelola Keuangan Daerah untuk Mendukung Pengentasan Kemiskinan 3. Agenda CSO Indonesia dalam Penguatan Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah 4. Pengelolaan Keuangan Daerah yang Pro-Poor, Responsif Gender, Transparan, Partisipatif, dan Akuntabel: Sebuah Alternatif Kurikulum Tulisan ini akan fokus pada pembahasan agenda CSO dalam peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan daerah. Sebagian besar dari tulisan ini didasarkan dari hasil workshop yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 21 dan 22 April 2008, atas dukungan Yayasan Tifa. Workshop ini mengambil tema, �Konsolidasi Agenda CSO Dalam Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah�. Workshop ini dihadiri oleh 8 CSO yang memiliki track record di bidang peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan daerah1. Agenda peningkatan kapasitas CSO dalam tulisan ini terbatas pada pemetaan yang dihasilkan oleh peserta workshop ini. Untuk mendapatkan gambaran lebih menyeluruh tentang agenda CSO dalam peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan diperlukan studi lain yang lebih komprehensif. Tulisan ini juga tidak memasukkan agenda kerja peningkatan kapasitas melalui media penerbitan dan 1

8 CSO yang berpartisipasi dalam Workshop Konsolidasi Agenda CSO dalam Pengelolaan Keuangan Daerah adalah PIAR-NTT, JARI-CSR, FIK-ORNOP Sulsel, PRAKARSA, URDI, FITRA Seknas, Inisiatif, dan FITRA Sumut.


kampanye media oleh CSO. Hal ini disebabkan karena tulisan ini dimaksudkan untuk memberi masukan kepada kurikulum pengelolaan keuangan daerah. Maka tulisan ini fokus pada agenda peningkatan kapasitas yang berbentuk pelatihan, dikusi dan aneka dialog yang memiliki nilai peningkatan kapasitas. II. Mengapa Memperkuat Perspektif Pro-Poor, Kesetaraan Gender, Transparansi, Partisipasi, dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Keuangan Daerah?

Pengelolaan keuangan daerah merupakan instrument yang penting bagi daerah. Karena pengelolaan keuangan daerah akan menentukan pencapaian pertumbuhan ekonomi; pengurangan kemiskinan; perbaikan pembangunan pendidikan, kesehatan dan sektor penting lainnya; efektivitas struktur dan proses pemerintahan; partisipasi warga dalam pembangunan, pengurangan ketidakadilan antar gender dan antar kelompok lainnya; dan pencapaian pemberantasan korupsi. Artinya, jika tujuan akhir dari pembentukan negara dan pemerintahan adalah menciptakan kesejahteraan bagi warganya, maka terutama melalui instrument pengelolaan keuangan daerahlah, tujuan ini akan dicapai. Pengelolaan keuangan daerah memberi pengaruh besar pada pencapaian kesejahteraan, karena mencakup aktivitas-aktivitas berikut: 1. Perencanaan (perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan), baik di bidang pendapatan, belanja, maupun pengelolaan asset). 2. Pengangaran (penyusunan dan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja daerah) 3. Pelaksanaan kebijakan anggaran pendapatan, belanja, pembiayaan, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan asset daerah 4. Akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan 5. Pengendalian internal dan pengawasan eksternal (termasuk pemeriksaan dan audit atas laporan keuangan) atas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Perencanaan pendapatan akan menentukan seberapa besar sumber daya publik tersedia untuk menciptakan kesejahteraan warga. Perencanaan belanja, pembiayaan, dan pengelolaan asset akan menentukan rute pembangunan sumber daya dan asset publik yang akan diwujudkan. Penganggaran akan menentukan distribusi sumber daya publik yang tersedia menjadi berbagai asset kesejahteraan yang akan dinikmati oleh kelompok warga yang menjadi sasaran. Pelaksanaan penghimpunan pendapatan, belanja, dan pembangunan asset akan mentransformasikan rencana dan anggaran program pembangunan kesejahteraan menjadi upaya dan hasil pembangunan kesejahteraan. Akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban akan mendokumentasikan segenap upaya penghimpunan dan pemanfaatan sumber daya publik, dan menunjukkan apakah semua upaya ini telah mencerminkan pemenuhan tugas negara dan pemerintah untuk mensejahterakan warganya. Pengendalian internal dan pengawasan eksternal akan melakukan berbagai langkah untuk senantiasa memastikan bahwa segenap upaya penghimpunan dan pemanfaatan sumber daya publik ini ditujukan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh warga. Pertanyaannya, bagaimana kelima aktivitas pengelolaan keuangan daerah ini dapat menyumbang pada upaya penciptaan kesejahteraan bagi seluruh warga? Perencanaan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan asset yang bagaimana yang dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh warga? Penganggaran yang bagaimana? pelaksanaan pengelolaan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan asset yang bagaimana? Akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban yang bagaimana? Pengendalian internal dan pengawasan eksternal yang bagaimana? Pertama, seluruh aspek pengelolaan keuangan daerah ini perlu menerapkan perspektif propoor: pemihakan pada masyarakat miskin. Kemiskinan merupakan beban paling berat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Semakin besar angka kemiskinan, mengindikasikan semakin besar proporsi masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam upaya penumbuhkan ekonomi. Perspektif pro-poor dalam pengelolaan keuangan diperlukan untuk


memperbesar proporsi warga yang berpartisipasi dalam upaya penumbuhkan ekonomi, dan mampu mengakses berbagai sumber daya yang penting untuk membuat mereka sejahtera. Pengelolaan keuangan daerah yang gagal menerapkan perspektif pro-poor, akan menyia nyiakan banyak sumber daya publik untuk menanggung beban kemiskinan, tanpa membuat warga miskin ini keluar dari ketergantungan dan menjadi aktif dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Kedua, seluruh aspek pengelolaan keuangan daerah ini perlu menerapkan perspektif responsif gender: perspektif untuk mengupayakan kesetaraan gender. Ketidak setaraan merupakan penyebab utama kemiskinan, serta rendahnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Kesetaraan adalah dimilikinya kesempatan yang sama oleh semua orang untuk mengejar kehidupan yang mereka pilih dan terhindar dari hasil-hasil yang merugikan. dimilikinya kesempatan yang sama oleh semua orang untuk aktif secara sosial, berpengaruh secara politik, dan produktif secara ekonomi. Ketidaksetaraan akan menciptakan ekonomi yang tidak efisien, karena sumber daya hanya mengalir ke pihak-pihak tertentu dan membuat pihak lain yang mungkin lebih potensial tidak mendapatkan apalagi memanfaatkan sumber daya tersebut. Ketidak setaraan menyebabkan inovasi untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan menjadi rendah. Hal ini disebabkan hanya sebagian warga saja yang dibuat mampu untuk melakukan berbagai inovasi. Ketidaksetaraan membuat tingkat investasi menjadi rendah. Hal ini disebabkan hanya sebagian warga saja yang dibuat mampu untuk melakukan berbagai investasi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan penciptaan kesejahteraan jangka panjang tidak tercapai2.

Ketiga, seluruh aspek pengelolaan keuangan daerah ini perlu menerapkan prinsip-prinsip good governance: transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Penciptaan kesejahteraan yang merupakan tujuan akhir bernegara sering tidak tercapai akibat banyak lembaga dan ancangan sosial yang secara sistematis memihak kepentingan kalangan yang memiliki pengaruh lebih besar. Banyak lembaga-lembaga dalam sebuah tata pemerintahan secara sistematis menghimpun dana tanpa melindungi kepentingan warga yang lemah pengaruhnya, tidak mendistribusikan sumber daya kepada warga yang lemah pengaruhnya. Obat bagi perilaku kelembagaan semacam ini adalah prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Transparansi akan membuat semua perilaku dan hasil kerja lembaga dapat dilihat oleh publik. Segala potensi penyimpangan perilaku lembaga akan menjadi lebih mudah terdeteksi. Partisipasi akan mengupayakan semua kelompok warga memiliki akses ke pengambilan keputusan dan kebijakan. Akuntabilitas akan membuat semua hasil akhir kerja lembaga dipertanggung jawabkan kepada dan dinilai oleh warga. Hanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas yang dapat mengawal perilaku dan hasil kerja lembaga-lembaga dalam sebuah tata pemerintahan agar dapat menyumbang pada pencapaian kesejahteraan bagi semua warga.

2

Kesetaraan dan Pembangunan, Laporan Pembangunan Dunia, 2006, The World Bank, 2006.


III. Mengapa Penting Untuk Mengkonsolidasikan Agenda CSO dalam Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah?

Pandangan yang umum berkembang tentang governance atau tata pemerintahan menyatakan bahwa pilar yang membangun governance terdiri dari tiga pilar. Pilar yang pertama adalah pemerintah. Pilar yang kedua adalah sektor swasta. Dan pilar yang ketiga adalah publik atau masyarakat sipil. Belakangan, peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus menambahkan sektor keempat: para usahawan sosial: sektor swasta yang ikut berjuang dalam pencapaian berbagai tujuan sosial3. Ketiga atau keempat pilar ini akan bekerja simultan, saling mempengaruhi, dan saling tergantung dalam menjalani dan menciptakan sebuah sistem tata pemerintahan. Pemerintah yang kuat tanpa diimbangi oleh sektor swasta dan masyarakat sipil yang kuat akan sulit mencapai tujuannya dalam berpemerintahan. Karena hal ini dapat memicu terciptanya pemerintah yang otoriter dan tidak bekerja untuk kesejahteraan warga, tanpa dapat dikontrol oleh komponen swasta dan masyarakat sipil. Sebaliknya, sektor swasta yang kuat tanpa diimbangi oleh pemerintah yang kuat, juga akan sulit mencapai tujuannya dalam berpemerintahan. Karena hal ini dapat memicu terciptanya sektor swasta yang serakah, tanpa pemerintah memiliki keberdayaan yang cukup untuk melindungi warganya dari berbagai kegagalan pasar. Keseimbangan kapasitas dan keberdayaan dari komponen pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil ini juga berlaku untuk konteks pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah bukan semata-mata area kerja pemerintah. Dalam pengelolaa keuangan daerah, inter-relasi antara pemerintah-swasta-masyarakat sipil terjadi sangat intens. Ketika pemerintah mengelola pendapatan daerah, maka dia akan tergantung pada kapasitas swasta dan masyarakat untuk menjadi makmur sehingga sanggup membayar pajak dan sekaligus taat pada aturan pembayaran pajak. Ketika pemerintah mengelola kegiatan pembangunan, maka dia akan tergantung pada pihak swasta dan masyarakat untuk mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pemanfaatan pembangunan. Ketika pemerintah mencatatkan, melaporkan, dan mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan, maka dia akan sangat tergantung pada kemampuan swasta dan masyarakat untuk memahami dan merespon pertanggungjawaban ini sehingga mereka dan pemerintah dapat merencanakan lebih baik ke depan. Peran pemerintah dalam pengelolaan keuangan daerah jelas dibutuhkan, serta juga diatur dalam banyak regulasi. Kurikum KKD/ LKD ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas staf dan pengambil kebijakan pemerintahan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Disinyalir bahwa kurikulum ini disusun dengan lebih banyak bersandar pada permasalahan dan pengalaman pemerintah dalam mengelolan keuangan daerah. Asumsi dasarnya adalah, karena pemerintahlah yang akan menggunakan instrument pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk regulasi, pengerahan sumber daya publik, dan kelembagaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warga. Pemerintahlah yang dapat menggalang sebuah aksi kolektif melalui kekuasaan yang dimilikinya untuk mengelola sumber daya publik sehingga tercapai kesejahteraan. Pertanyaannya, ketika pengelolaan keuangan daerah harus menerapkan prinsip pro-poor, responsif gender, dan prinsip good governance; apakah kurikulum yang lebih banyak bersandar pada permasalahan dan pengalaman pemerintah itu cukup? Tidak adalah aktor lain yang memberi pengaruh pada regulasi, pengerahan sumber daya publik, dan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warga? Mengelola keuangan daerah untuk mencapai kesejahteraan memang memerlukan sebuah aksi kolektif. Sebuah aksi kolektif yang memungkinkan sumber daya publik dikelola untuk pencapaian kesejahteraan. Akan tetapi aksi kolektif ini dapat terjadi melalui tiga mekanisme. Pertama, melalui aturan dan hukum yang dienforce oleh kekuatan-kekuatan koersif negara. 3 Muhammad yunus, Bank Kaum Miskin, terjemahan edisi bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dari buku asli Vers un Monde Sans Pauvrete (1997), Marjin Kiri, 2007.


Kedua, melalui konsekuensi dari keputusan-keputusan individu di pasar, dan ketiga melalui meknisme sosial yang muncul dari tindakan-tindakan sukarela, diskusi, dan kesepakatan. CSO berperan penting dalam mengupayakan aksi kolektif melalui meknisme sosial yang muncul dari tindakan-tindakan sukarela, diskusi, dan kesepakatan. CSO tidak memiliki kekuatan koersif, akan tetapi dia dapat mengupayakan terjadinya diskusi, kesepakan, dan tindakantindakan kolektif. CSO melakukan kritik dan kontrol atas perilaku pemerintah dan pasar yang menghambat kesejahteraan warga. CSO mendorong agar pemerintah dan pasar berperilaku akuntabel. CSO membangun saluran informasi untuk menyampaikan masalah dan harapan warga kepada pemerintah. CSO menegaskan kontrak sosial antara pemerintah dan warga, 4 agar fungsi utama pemerintah untuk mensejahterakan warga dapat terpenuhi . Dalam kerangka peran seperti itu, banyak CSO di Indonesia yang beraktivitas untuk mengentaskan kemiskinan, mempromosikan kesetaraan gender, dan mempromosikan penerapan prinsip-prinsip good governance. Dalam konteks gerakan inilah, maka aktivitas CSO di Indonesia seringkali berkaitan dengan isu pengelolaan keuangan daerah. Banyak CSO di Indonesia yang melakukan advokasi untuk meningkatkan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas perencanaan dan penganggaran. Mereka aktif mengawasi pemungutan dan penggunaan pajak daerah. Mereka aktif mengadvokasi perbaikan penyelenggaraan pelayanan publik. Mereka aktif untuk mendorong pemerintah guna melaksanakan program pengentasan kemiskinan. Aktivitas CSO dalam mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah juga dilakukan melalui agenda peningkatakan kapasitas stakeholder pengelolaan keuangan daerah. Agenda peningkatan kapasitas mereka didominasi oleh agenda untuk meningkatkan kapasitas stakeholder agar dapat lebih menerapkan perspektif pro-poor, kesetaraan gender, transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Agenda ini tidak hanya dilakukan pada pemerintah daerah, akan tetapi kepada stakeholper daerah lainnya. Agenda CSO dalam mendorong peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan daerah menjadi penting untuk diangkat dalam rangka penyempurnaan kurikulum KKD dan LKD, paling tidak karena dua alasan. Pertama, karena agenda ini sesuai dengan tuntutan universal agar pengelolaan keuangan daerah menerapkan perspektif pro-poor, kesetaraan gender, dan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Kedua, karena pada saat yang sama kurikulum KKD dan LKD disinyalir masih sangat kurang memasukkan perspektif pro-poor, kesetaraan gender, transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Ketiga, mengintegrasikan agenda peningkatan kapasitas CSO ke dalam kurikulum KKD/ LKD akan membangun komunikasi pemerintah-CSO lebih baik; serta mendorong upaya peningakatan kapasitas tidak hanya ditujukan kepada pemerintah saja, melainkan juga ditujukan kepada stakeholder daerah lainnya.

4

Michael Edwards, Civil Society, Polity Press in association with Blackwell Publishing Ltd, 2004


IV. Agenda Peningkatan Kapasitas CSO dalam Pengelolaan Keuangan

4.1. Perspektif Pro-Poor Yang Diusung CSO Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Kerja-kerja CSO di Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan tidak lepas dari pendefinisian mereka terhadap kemiskinan. Dari berbagai diskusi yang berkembang di kalangan CSO, kemiskinan dipandang sebagai masalah yang bersifat multi-dimensi. Dimensi-dimensi kemiskinan yang menjadi bahan pertimbangan gerakan pengentasan kemiskinan di kalangan CSO adalah: 1. Dimensi moneter/ keuangan. Kemiskinan dalam dimensi ini dicirikan oleh kondisi kurangnya pendapatan, tidak cukupnya tingkat pengeluaran dan konsumsi untuk menunjang kehidupan yang layak. 2. Dimensi non-keuangan Dimensi-dimensi non-keuangan yang sering disoroti oleh CSO Indonesia adalah: ƒ Dimensi akses ke jasa layanan dan prasarana dasar yang penting bagi kesejahteraan warga ƒ Dimensi keberdayaan. Kemiskinan dalam dimensi ini dicirikan oleh rendahnya kemerdekaan dan keberdayaan orang untuk melakukan dan mencapai sesuatu demi kesejahteraan hidup atau pemenuhan hak asasi mereka. (Sen 1985; 1993; see also Nussbaum 2000; Alkire 2002). Kemiskinan dalam dimensi ini dipandang sebagai dentuk deprivasi dan marginalisasi sosial, sehingga warga miskin tidak memiliki pengaruh ke kebijakan, tidak mampu menyuarakan masalah dan kepentingan mereka, tidak mampu berpartisipasi dalam berbagai forum publik, dan lain-lain bentuk ketidakberdayaan. ƒ Dimensi kepemilikan asset. Kemiskinan dalam dimensi ini adalah rendahnya kepemilikan warga miskin terhadap asset fisik (tanah, ternak, tempat tinggal, peralatan kerja, dan lain-lain), asset kemanusiaan (pendidikan, kesehatan, pekerjaan, jiwa kewirausahaan, dll), asset sosial (dukungan kekerabatan dan jaringan sosial lainnya yang bersifat privat; serta dukungan dari berbagai kelembagaan publik seperti perlindungan asuransi, subsidi, bantuan donor/ CSO dll), asset lingkungan (ketersediaan iklim, musim, dan lain-lain kondisi lingkungan yang mendukung kesejahteraan warga), asset politik, dan asset budaya. Di samping berbagai dimensi kemiskinan ini, gerakan CSO juga mempertimbangkan berbagai jenis kemiskinan yang terjadi. Mereka menyesuaikan tujuan gerakan mereka dalam mengentaskan kemiskinan, sesuai dengan jenis kemiskinan yang mereka hadapi. Jenis kemiskinan yang dimaksud adalah: 1. Kemiskinan absolut Bentuk kemiskinan di mana warga miskin memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan absolut yang ditetapkan, sehingga tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan minimum yang ditetapkan dalam garis kemiskinan absolut tadi. 2. Kemiskinan relatif Bentuk kemiskinan, di mana sekelompok warga memiliki tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya. 3. Kemiskinan menahun/ kronis Kemiskinan yang terjadi dalam jangka panjang, bahkan turun temurun antar generasi 4. Kemiskinan siklis/ musiman Kemiskinan yang terjadi pada waktu-waktu tertentu, mengikuti suatu pola ekonomi atau musim tertentu


5. Kemiskinan mendadak Kemiskinan yang terjadi akibat suatu bencana atau peristiwa lainnya. Dengan mempertimbangkan berbagai pendefinisian dan jenis kemiskinan tadi, maka CSO turut bekerja dalam kerangka pengentasan kemiskinan. Salah satu agenda kerja mereka adalah peningkatan kapasitas di kalangan warga maupun pemerintah guna mendorong warga terbebas dari situasi kemiskinan. Isu-isu peningkatan kapasitas yang diupayakan oleh CSO dalam kaitannya dengan masalah kemiskinan di daerah diperlihatkan pada tabel 1 berikut.


Tabel 1 Agenda Peningkatan Kapasitas CSO Dalam Mempromosikan Keberpihakan Pada Pengentasan Kemiskinan Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Isu Peningkatan Kapasitas Di Kalangan Di Kalangan Warga Pemerintah Daerah Kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan kebutuhan pembangunan warga miskin guna mempengaruhi program pengentasan kemiskinan di dalam dokumen perencanaan jangka panjang, menengah, dan tahunan daerah

Kapasitas untuk merumuskan dan mengintegrasikan strategi penanggulangan kemiskinan ke dalam dokumen perencanaan jangka panjang, menengah, dan tahunan daerah

Masalah Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Direspon Perencanaan keuangan daerah, baik yang bersifat jangka menengah maupun tahunan seringkali tidak memiliki mandat yang jelas untuk mengentaskan kemiskinan di daerah

Skema Peningkatan Kapasitas Dalam Kerangka Advokasi CSO Rangkaian peningkatan kapasitas dalam pendampingan proses: Musrenbang tahunan dan Musrenbang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD)

Contoh Kiprah CSO

Kapasitas mengidentifikasi

untuk dan

Kapasitas untuk mengidentifikasi dan

Pajak dan retribusi yang dipungut di daerah, seringkali

Rangkaian peningkatan

Serial diskusi dalam Forum Multi Stakeholder untuk penyusunan SPKD/ Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah oleh JARI-FIK Ornop di kota Makasar, Kabupaten Takalar, dan kabupaten Majene. Program ini berjalan tahun 2005-2007. Pendampingan Musrenbang desa sampai Kota/ Kabupaten oleh Inisiatif, FIK-Ornop, PIAR guna merumuskan perencanaan tahunan yang konsisten dengan RPJMDes, RPJMD, dan RPJPD Pelatihan penyusunan RPJPD dan RPJMD Kabupaten/ Propinsi oleh URDI Pendampingan penyusunan RPJMDes oleh PIAR, Mitra Samiya, FIK-Ornop dan JARI Celebes Serial diskusi analisis anggaran pro-poor, dalam kerangka pendidikan politik anggaran Pro-poor (Somasi NTB, Fitra Tuban, Ciba Jakarta, Fitra Jakarta) Serial diskusi perumusan panduan penyusunan kebijakan anggaran pro-poor oleh DPRD (Prakarsa Jakarta) Asistensi untuk meningkatkan kapsitas DPRD kota Semarang dalam menganalisis dan merumuskan dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran daerah (PATTIRO Semarang, 20022006) Serial diskusi dalam Forum Multi Stakeholder untuk


menanggulangi beban pajak dan retribusi daerah yang memberatkan warga miskin

menanggullangi pajak dan retribusi daerah yang memberatkan warga miskin

tidak mendukung distribusi pendapatan dari kelompok kaya ke kelompok miskin, membebani warga miskin, dan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah.

kapasitas dalam pendampingan proses pemberayaan kelompok miskin (nelayan, pedagang pasar tradisional, warga miskin pengguna layanan Puskesmas)

Kapasitas untuk mengidentifikasi potensi pendapatan daerah

Kapasitas

untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan kebutuhan pembangunan dan penganggaran warga miskin pada beberapa sektor pembangunan

Kapasitas untuk mengidentifikasi potensi pendapatan daerah

Kapasitas untuk merumuskan program, kegiatan, indikator kinerja, dan kebutuhan anggaran bagi program pengentasan kemiskinan sektoral

Potensi pendapatan daerah seringkali tidak diproyeksikan dengan baik oleh pemerintah, dan tidak diketahui oleh warga.

Kebijakan belanja sektoral seringkali tidak memiliki mandat yang jelas untuk mengentaskan kemiskinan di daerah

Koordinasi antar sektor dalam mengentaskan kemiskinan lemah Pendekatan berbasis kinerja dalam perencanaan sektoral belum didukung

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka asistensi teknis pada Pemda dan pendampingan warga di daerah eksplorasi minyak Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses: Pendampingan perumusan program lembaga sektoral Pemda Penguatan kelompok gender yang

memberdayakan nelayan, oleh FIK-ORNOP di kabupaten Majene. Melalui serial diskusi ini, pajak dan retribusi pengusahaan ikan di laut dianalisis dampaknya terhadap nelayan miskin. Forum Multi Stakeholder akhirnya mendorong lahirnya Perda Tentang Pengusahaan Perikanan dan Kelautan Serial pelatihan dalam kerangka pendampingan pedagang pasar tradisional oleh PATTIRO Semarang. Melalui program ini, sumbangan retribusi pasar terhadap kas daerah teridentifikasi. Kenaikan tarif retribusi yang sedianya akan diberlakukan dibatalkan. Rekomendasi perbaikan sistem pungutan dan pengadministrasian retribusi juga dihasilkan. (PATTIRO Semarang, 2006) Serial diskusi analisis kebijakan pendapatan retribusi Puskesmas dalam kerangka pendidikan politik anggaran (Fitra Tuban)

Rangkaian diskusi dan pelatihan multistakeholder, untuk memperkirakan potensi pendapatan daerah dari kegiatan eksplorasi minyak di daerah Cepu (PATTIRO, 2008)

Rangkaian diskusi multi-stakeholder dalam kerangka advokasi Perda Kesehatan ibu, bayi, dan anak di bawah lima tahun (P3ML di kabupaten Sumedang, 2008). Perda ini mengatur mandat bagi pemerintah kabupaten untuk melaksanakan program-program yang mendukung kesehatan ibu, bayi, dan anak di bawah lima tahun Rangkaian diskusi multi-stakeholder dalam kerangka advokasi penggunaan indikator responsif gender oleh SKPD/ Satuan Kerja Perangkat


Kapasitas untuk mengidentifikasi dan menegosiasikan sumber pembiayaan bagi program pengentasan kemiskinan

Kapasitas untuk merumuskan strategi pembiayaan program pengarusutamaan kesetaraan gender

ketersediaan standard layanan, dan indikator kinerja Analisa standar biaya belanja untuk mengupayakan efisiensi belum tersedia untuk membantu pengidentifikasian kebutuhan pelayanan

termarginalkan dalam membangun kesehatan, pendidikan, dan lain-lain sektor pembangunan

Strategi pembiayaan daerah masih sangat bergantung pada dana transfer pemerintah Pusat Mekanisme pembiayaan melalui hutang, penerbitan obligasi daerah masih memerlukan regulasi pendukung dan pengalaman implementasi untuk menguji efektivitasnya Mekanisme kerja sama antar Pemda, antar Pemda dengan swasta, dan antar Pemda dengan CSO masih memerlukan regulasi pendukung dan pengalaman implementasi untuk menguji efektivitasnya Manajemen pengelolaanpembiayaan BUMD masih memerlukan dukungan peningkatan efisiensi dan profesionalitas

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses: Pendampingan perumusan pembiayaan program sektoral Pemda Penguatan warga miskin dalam membiayai pemenuhan kebutuhan air minum, pendidikan dan lain-lain sektor pembangunan

Daerah di Kabupaten TTS (PIAR, 2005-2007). Rangkaian diskusi multi-stakeholder dalam kerangka advokasi identifikasi kebutuhan program warga terhadap pelayanan kependukan, pelayanan pembinaan usaha kecil, pelayanan pemberdayaan nelayan miskin, pelayanan penyuluhan bagi petani miskin (FIK-ORNOP, JARI Cilebes, FIRD di kota Makasar, kabupaten Takalar, kabupaten Majene, Kabupaten Sikka, Kabupaten Ngada, 2005-2007).

Rangkaian pelatihan dan diskusi multi-stakeholder dalam kerangka advokasi inisiasi jaminan kesehatan di kabupaten Sumedang (SANGGAR, 2007-2008). Dalam advokasi ini SANGGAR merumuskan strategi pembiayaan subsidi oleh APBD dan pembayaran premi oleh warga yang mampu dalam skema asuransi kesehatan Pendampingan Musrenbang Desa, di mana warga didorong untuk mengidentifikasi sumber pembiayaan komunitas, ADD dan APBD (PIAR, Inisiatif, P3ML) Pendampingan pembentukan kelompok warga pengelola air minum (ASPEK, NGO pendukung program Sistem Dukungan Pemerintah Takalar dalam pembangunan air minum, 2004-2005) Pendampingan pembentukan kelompok warga pengelola sampah lingkungan di Tamansari dan Cibangkong Bandung (ASPEK akhir 1990-an dan awal 2000an).


Kapasitas warga miskin untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan

Kapasitas untuk mengidentifikasi dan menegosiasikan kebutuhan kelembagaan pelayanan publik

Kapasitas untuk merancang design program yang melibatkan partisipasi warga dalam pelaksanaan pembangunan

Kapasitas untuk merumuskan strategi kelembagaan agar program pembangunan dapat diakses warga miskin

penyelenggaraan layanan Pelaksanaan pembangunan di daerah sering tidak melibatkan partisipasi warga miskin

Struktur, mekanisme dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik seringkali gagal untuk menjamin kemudahan akses warga miskin

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses pendampingan warga yang terlibat dalam pelaksanaan program pembangunan pemerintah di desa/ kelurahan

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses: Pendampingan perumusan kelembagaan penyelenggaraan pelayanan Pemda Penguatan warga miskin guna mendapatkan layanan publik yang berkualitas

Pendampingan proses penataan permukiman kumuh di Tamansari dan Cibangkong Bandung (ASPEK akhir 1990-an dan awal 2000an). Pendampingan proses pembangunan prasarana dan pengelolaan air minum komunitas di Kabupaten Takalar (NGO pendukung program Sistem Dukungan Pemerintah Takalar 2004-2005) Pendampingan proses penyaluran dana bantuan untuk nelayan miskin dan pengusaha kecil perempuan FIK-Ornop dan JARI Cilebes, kabupaten Takalar dan Kabupaten Majene 20052007) Rangkaian pelatihan dan diskusi multi-stakeholder dalam kerangka advokasi inisiasi jaminan kesehatan di kabupaten Sumedang (SANGGAR, 2007-2008). Dalam advokasi ini SANGGAR merumuskan strategi kelembagaan penyelenggaraan jaminan kesehatan guna melindungi akses kesehatan warga miskin Serial diskusi dalam kerangka pemberdayaan warga miskin untuk mendapatkan mekanisme pembiayaan pelayanan kependudukan yang terjangkau oleh warga miskin (FIK-Ornop dan JARI Cilebes, kota Makasar 2005-2007) Rangkaian pelatihan dan diskusi multi-stakeholder dalam kerangka advokasi penguatan Tim Koordinasi Pengentasan Kemiskinan Daerah (FIKOrnop dan JARI Cilebes, kota Makasar 2005-2007) Serial diskusi dalam kerangka advokasi untuk mengintegrasikan metode PPA (Participatory Poverty Analysis) dalam dokumen petunjuk pelaksanaan P3MD+/ Perencanaan dan Penganggaran Masyarakat Desa (PIAR dan INCREASE, NTT). Pengintegrasian dimaksudkan untuk menjamin terintegrasinya perspektif pro-poor dalam perencanaan dan penganggaran tingkat


ƒ

ƒ

ƒ

desa) Serial diskusi multi-stakeholder dalam kerangka pendampingan pembentukan pelayanan satu atap (B-Trust, kota Cimahi 2007-2008). Pelayanan 1 atap ini antara lain akan memudahkan prosedur dan mengefisienkan biaya perijinan bagi aktivitas warga miskin Serial diskusi dalam kerangka pemberdayaan warga miskin untuk mendapatkan prosedur penyaluran program bantuan SKPD untuk nelayan miskin dan pengusaha kecil perempuan (FIKOrnop dan JARI Cilebes, kabupaten Takalar dan Kabupaten Majene 2005-2007) Serial diskusi dalam kerangka pemberdayaan petani miskin (FIRD, Kabupaten Sikka dan Ngada 2005-2007). Dalam program ini FIRD mendorong perbaikan prosedur dan kelembagaan penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani miskin.


4.2. Perspektif Kesetaraan Gender Yang Diusung CSO dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Advokasi CSO dalam mengupayakan kesetaraan gender didasari oleh suatu kesadaran bahwa gender yang merupakan label sosial yang diberikan oleh masyarakat tentang peran dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Label sosial ini bukan bawaan, melainkan dibangun dan ditanamkan oleh dunia sosial. Label sosial ini sangat berbeda dengan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bersifat fisik, biologis, dan genetik. Misalnya, bahwa perempuan secara fisik memiliki ciri yang berbeda dengan laki-laki, sehingga membuat mereka dapat hamil dan melahirkan anak adalah perbedaan peran seksual. Tapi bahwa perempuan kemudian bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan dianggap tidak pantas bekerja di kantor luar rumah adalah peran sosial yang dilekatkan pada gender perempuan. Bahwa laki-laki memiliki kumis dan ciri-ciri fisik lainnya yang khas adalah ciri dan peran seksual laki-laki. Tapi bahwa laki-laki kemudian dianggap tidak pantas memakai rok di kebudayaan tertentu; merupakan peran sosial yang dilekatkan pada gender laki-laki. Aktivis gender di kalangan CSO biasanya membagi peran sosial laki-laki dan perempuan menjadi empat kategori: 1. Peran reproduktif Peran reproduktif adalah peran-peran untuk melahirkan, merawat, dan melindungi kehidupan keluarga. Termasuk dalam peran ini adalah peran untuk merawat keluarga yang sakit, dan melakukan pekerjaan rumah tangga untuk memelihara kelangsungan hidup seluruh keluarga. 2. Peran produktif Peran produktif adalah peran-peran yang dibayar, sehingga menghasilkan pendapatan. 3. Peran pengelolaan komunitas Peran pengelolaan komunitas adalah kepanjangan dari peran reproduksi di luar rumah tangga, yaitu di tingkat komunitas. Peran ini termasuk peran untuk memelihara lingkungan komunitas, dan melakukan berbagai aktivitas sosial secara sukarela. 4. Peran politik komunitas Peran politik komunitas mencakup berbagai peran untuk mempengaruhi berbagai keputusan publik di tingkat komunitas. Terkandung dalam peran ini kekuasaan untuk memberi pengaruh pada tindakan orang lain di dalam komunitas. Peran ini bisa menghasilkan pendapatan, atau paling tidak menghasilkan prestise dan status kepada pelakunya.

Untuk menjalankan peran-peran sosial tadi secara efektif, dibutuhkan akses dan kontrol terhadap perbagai sumber daya. Contoh, pekerjaan domestik seperti menyediakan air minum akan menjadi lebih mudah bagi mereka yang memiliki dan dapat menggunakan teknologi perpipaan penyaluran air minum. Pekerjaan domestik memasak makanan bagi keluarga akan lebih mudah bagi mereka yang memiliki peratan memasak yang mampu mempercepat proses memasak. Peran untuk bekerja demi penghasilan, akan memberi lebih banyak penghasilan kepada mereka yang memiliki keahlian lebih. Sumber daya yang biasanya menentukan keberhasilan menjalankan berbagai peran sosial tadi adalah sumber daya tanah, modal, teknologi, keahlian, informasi, dan sumber daya lainnya. Dalam konsteks sosial saat ini, laki-laki dan perempuan cenderung menjalankan peran sosial yang berbeda. Maka mereka juga memiliki kebutuhan yang berbeda. Dalam kerangka kerja CSO, kebutuhan laki-laki dan perempuan akan mencakup dua jenis kebutuhan:


1. Kebutuhan praktis. Kebutuhan praktis merupakan kebutuhan tingkat individual laki-laki dan perempuan yang harus dipenuhi untuk hidup secara layak. Baik laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan praktis untuk mengakses pelayanan pendidikan, untuk mengakses pelayanan kesehatan, untuk memiliki asset tanah untuk menunjang kesejahteraan mereka. 2. Kebutuhan strategis Kebutuhan strategis merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mencapai kesetaraan akses dan kontrol terhadap berbagai sumber daya di antara laki-laki dan perempuan. Kebutuhan strategis merespon masalah kesenjangan akses dan kontrol sumber daya di kalangan laki-laki dan perempuan, sehingga pemenuhannya akan melahirkan sebuah relasi yang seimbang di antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, laki-laki dan perempuan yang menjadi warga sebuah desa, sama-sama memiliki kebutuhan terhadap air bersih. Akan tetapi, mengingat perempuan dalam konteks sosial saat ini bertanggung jawab untuk membersihkan bahan makanan, melakukan kerja domestik yang membutuhkan air bersih seperti mencuci piring dan mencuci pakaian, serta bertanggungjawab memandikan anakanak mereka; maka unit MCK umum bagi laki-laki dan perempuan akan lebih baik jika disediakan lebih banyak untuk perempuan. Dengan pemenuhan yang mempertimbangkan kebutuhan strategis ini, maka lama waktu yang dibutuhkan laki-laki dan perempuan untuk mengantri di MCK umum menjadi lebih setara.

Gerakan advokasi CSO bagi kesetaraan gender dalam pengelolaan keuangan pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan praktis dan strategis laki-laki dan perempuan secara setara. Untuk itu, maka CSO mempromosikan agar keuangan daerah dikelola dengan memperhatikan perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan, mengupayakan akses dan kontrol yang setara di antara laki-laki dan perempuan terhadap berbagai sumber daya pembangunan; sehingga mampu memenuhi kebutuhan praktis dan strategis laki-laki dan perempuan. Agenda peningkatan kapasitas yang menjadi gerakan CSO dalam rangka mempromosikan kesetaraan gender dalam pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada Tabel 2.


Tabel 2 Agenda Peningkatan Kapasitas CSO Dalam Rangka Mempromosikan Kesetaraan Gender Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Isu Peningkatan Kapasitas Di Kalangan Di Kalangan Warga Pemerintah Daerah Kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan kebutuhan pembangunan laki-laki dan perempuan

Kapasitas untuk merumuskan dan mengintegrasikan perspektif kesetaraan gender ke dalam dokumen perencanaan jangka panjang, menengah, dan tahunan daerah

Masalah Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Direspon Perencanaan keuangan daerah, baik yang bersifat jangka menengah maupun tahunan seringkali belum mengintegrasikan kebijakan pengarusutamaan kesetaraan gender

Skema Peningkatan Kapasitas Dalam Kerangka Advokasi CSO Rangkaian peningkatan kapasitas dalam pendampingan proses: Musrenbang tahunan Perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD)

Contoh Kiprah CSO

Kapasitas untuk mengidentifikasi dan menanggulangi dampak pajak dan retribusi daerah terhadap kesenjangan gender

Kapasitas untuk mengidentifikasi dan menanggullangi dampak pajak dan retribusi daerah terhadap kesenjangan gender

Pajak dan retribusi yang dipungut di daerah, seringkali dianggap netral gender, sehingga dampaknya terhadap kesenjangan gender tidak terpantau

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam pendampingan proses pemberdayaan kelompok gender yang termarjinalkan

Serial diskusi dalam Forum Multi Stakeholder untuk mengintegrasikan hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP) ke dalam dokumen SPKD/ Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah oleh JARI-FIK Ornop di kota Makasar, Kabupaten Takalar, dan kabupaten Majene. Hasil AKP memuat analisis kesenjangan gender dan kebutuhan pembangunan untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Program ini berjalan tahun 2005-2007. Pendampingan Musrenbang desa sampai Kota/ Kabupaten guna memfasilitasi partisipasi kaum perempuan dan laki-laki merumuskan kebutuhan pembangunan yang dapat mengurangi masalah kesenjangan gender di daerah (14 NGO yang menjalankan program PIBET, NGO yang terlibat dalam program Driving Change Oxfam GB) Serial diskusi analisis anggaran pro-kesetaraan gender, dalam kerangka pendidikan politik anggaran (Dewan Peduli Anggaran/ NTB, Fitra Tuban, Ciba Jakarta, Pattiro Jakarta) Serial diskusi dan analisis retribusi Puskesmas dalam kerangka pendidikan politik anggaran (Fitra Tuban). Melalui program ini Fitra Tuban menemukan retribusi Puskesmas merupakan sumber pendapatan terbesar dalam APBD, yang sebagian besar disumbang oleh kaum perempuan. Akan tetapi, pelayanan Puskesmas belum menjamin kesehatan reproduksi kaum ibu. Serial diskusi dalam Forum Multi Stakeholder untuk


(pedagang pasar tradisional, kelompok gender yang dominan menjadi pengguna layanan Puskesmas)

memberdayakan pengusaha kecil perempuan oleh FIKORNOP di kabupaten Takalar (2005-2007). Melalui program ini, pengusaha kecil perempuan merekommendasikan pembebasan retribusi ijin pendirian koperasi bagi pengusaha kecil. Serial pelatihan dalam kerangka pendampingan pedagang pasar tradisional oleh PATTIRO Semarang. Melalui program ini, para pedagang perempuan dapat mengidentifikasi sumbangan retribusi pasar terhadap

kas daerah. Kenaikan tarif retribusi yang sedianya akan diberlakukan dibatalkan. (PATTIRO Semarang, 2006) Kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan kebutuhan pembangunan laki-laki dan perempuan pada beberapa sektor pembangunan

Kapasitas untuk merumuskan program, kegiatan, indikator kinerja, dan kebutuhan anggaran guna mengupayakan kesetaraan gender

Kapasitas untuk mengidentifikasi dan menegosiasikan sumber pembiayaan program pengarusutamaan kesetaraan gender

Kapasitas untuk merumuskan strategi pembiayaan program pengarusutamaan kesetaraan gender

Kebijakan belanja sektoral seringkali belum mengintegrasikan kebijakan pengarusutamaan kesetaraan gender Koordinasi antar sektor dalam menguapayakan kesetaraan gender lemah Pendekatan berbasis kinerja dalam perencanaan sektoral belum didukung ketersediaan standard layanan, dan indikator kinerja responsif gender Analisa standar biaya belanja untuk melakukan program pengarusutamaan gender belum tersedia Strategi pembiayaan daerah masih sangat bergantung pada dana transfer pemerintah Pusat Mekanisme pembiayaan melalui hutang, penerbitan obligasi daerah masih memerlukan regulasi pendukung dan pengalaman

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses: Pendampingan perumusan program lembaga sektoral Pemda Penguatan kelompok gender yang termarginalkan dalam membangun kesehatan, pendidikan, dan lain-lain sektor pembangunan Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses: Pendampingan perumusan pembiayaan program sektoral Pemda

Rangkaian diskusi multi-stakeholder dalam kerangka perumusan dan pengintegrasian indikator program responsif gender dalam penyusunan program sektoral di kabupaten TTS (PIAR, 2005-2007) Rangkaian pelatihan dan diskusi multi-stakeholder dalam kerangka advokasi inisiasi jaminan kesehatan di kabupaten Sumedang (SANGGAR, 2007-sekarang). Dalam advokasi ini SANGGAR merumuskan standar pelayanan kesehatan ibu dan anak dan akan menghitung unit cost pelayanan berdasarkan stanard tersebut

Rangkaian pelatihan dan diskusi multi-stakeholder dalam kerangka advokasi inisiasi jaminan kesehatan di kabupaten Sumedang (SANGGAR, 2007-sekarang). Dalam advokasi ini SANGGAR merumuskan standar pelayanan kesehatan ibu dan anak dan akan menghitung unit cost pelayanan berdasarkan standard tersebut

Rangkaian pelatihan dan diskusi multi-stakeholder dalam


Kapasitas kelompok gender yang termarginalkan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan

Kapasitas untuk merancang design program yang melibatkan partisipasi warga dalam pelaksanaan pembangunan

Kapasitas kelompok gender yang termarginalkan untuk mengidentifikasi dan menegosiasikan kebutuhan kelembagaan pelayanan publik

Kapasitas untuk merumuskan strategi kelembagaan agar program pembangunan dapat diakses kelompok gender yang termarginalkan

implementasi untuk menguji efektivitasnya Mekanisme kerja sama antar Pemda, antar Pemda dengan swasta, dan antar Pemda dengan CSO masih memerlukan regulasi pendukung dan pengalaman implementasi untuk menguji efektivitasnya Manajemen pengelolaanpembiayaan BUMD masih memerlukan dukungan peningkatan efisiensi dan profesionalitas penyelenggaraan layanan Pelaksanaan pembangunan di daerah sering tidak melibatkan partisipasi kelompok gender yang termarginalkan

Struktur, mekanisme dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik seringkali gagal untuk menjamin kemudahan akses kelompok gender yang termarginalkan

Penguatan kelompok gender yang termarginalkan dalam membiayai pemenuhan kebutuhan air minum, pendidikan dan lain-lain sektor pembangunan

kerangka advokasi perumusan standarisasi skema pelatihan dan program bantuan terhadap pengusaha kecil perempuan (FIK-ORNOP di kabupaten Takalar (2005-2007)

Pendampingan Musrenbang Desa, di mana warga didorong untuk mengidentifikasi sumber pembiayaan komunitas, ADD dan APBD untuk pengembangan usaha kecil yang dikelola pengusaha perempuan (FIK-ORNOP di kabupaten Takalar (2005-2007).

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses pendampingan kelompok gender yang termarginalkan

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses: Pendampingan perumusan kelembagaan penyelenggaraan pelayanan Pemda Penguatan kelompok gender

Rangkaian diskusi komunitas dalam kerangka pendampingan proses penyaluran dana bantuan untuk nelayan miskin dan pengusaha kecil perempuan FIKOrnop dan JARI Cilebes, kabupaten Takalar dan Kabupaten Majene 2005-2007) Rangkaian diskusi komunitas dalam kerangka pendampingan CBO/ Community Based Organization di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Akhir kota Makasar. Anggota CBO ini sebagian besar adalah perempuan. CBO didampingi agar memiliki kemampuan berpartisipasi dalam mendata penduduk yang belum memiliki KTP dan Kartu Keluarga, serta membuka akses mereka ke peringanan biaya pelayanan kependudukan bagi warga miskin. Serial diskusi dalam kerangka pemberdayaan CBO TPA kota Makassar, untuk mendapatkan prosedur pelayanan kependudukan yang terjangkau oleh warga miskin, termasuk kaum perempuan yang selama ini sering tidak memiliki KTP (FIK-Ornop dan JARI Cilebes, kota Makasar 2005-2007) Serial diskusi dalam kerangka pemberdayaan warga miskin untuk mendapatkan prosedur pemberian pelatihan dan penyaluran program bantuan SKPD untuk pengusaha kecil perempuan (FIK-Ornop dan JARI Cilebes, kabupaten Takalar 2005-2007)


yang termarginalkan guna mendapatkan layanan publik yang berkualitas


4.3. Penerapan Prinsip Good Governance Yang Diusung CSO dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Prinsip good governance yang penting, yang selama ini dipromosikan oleh CSO Indonesia adalah prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Prinsip transparansi berkaitan dengan keterbukaan informasi dan kemudahan warga untuk mengakses informasi. Prinsip partisipasi berkaitan dengan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada publik. Prinsip akuntabilitas berkaitan dengan diserahkannya penilaian akhir atas hasil penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik kepada warga sebagai penerima manfaat utama dari program dan pelayanan pemerintah. Agenda peningkatan kapasitas CSO dalam mempromosikan penerapan prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan dapat dilihat pada tabel 3.


Tabel 3 Agenda Peningkatan Kapasitas CSO Dalam Rangka Mempromosikan Penerapan Prinsip Good Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah

Isu Peningkatan Kapasitas Di Kalangan Di Kalangan Warga Pemerintah Daerah Kapasitas mengkases pengelolaan daerah

untuk informasi keuangan

Kapasitas untuk mendisclose informasi pengelolaan keuangan daerah yang dapat dipahami berbagai kalangan warga

Masalah Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Direspon Walaupun regulasi Indonesia banyak menjamin keterbukaan informasi, akan tetapi pada tataran implementasi, banyak informasi terkait pengelolaan keuangan daerah yang masih sulit untuk diakses oleh publik

Skema Peningkatan Kapasitas Dalam Kerangka Advokasi CSO Rangkaian peningkatan kapasitas dalam pendampingan proses: Perumusan RPJMDes Musrenbang tahunan Pengadaan barang dan jasa Penyelengaraan pelayanan publik Pertanggungjawaban kepala daerah

Contoh Kiprah CSO

Kapasitas berpartispasi pengelolaan daerah

untuk dalam keuangan

Kapasitas untuk membuka akses partispasi dalam pengelolaan keuangan daerah

Aspek pengelolaan keuangan daerah yang sudah relatif lebih banyak membuka akses partisipasi warga adalah aspek perencanaan dan

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam pendampingan proses: Musrenbang tahunan Pengadaan barang

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka pendampingan perumusan RPJMDes (Mitra Samya NTB, Karsa DIY, INCREASE NTT). Dalam program ini, informasi mengenai perencanaan jangka menengah dan panjang kota/ Kabupaten disosialisasikan kepada publik Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka pendampingan Musrenbang desa sampai Kota/ Kabupaten, yang antara lain ditujukan untuk membuka akses publik pada informasi perencanaan dan penganggaran (14 NGO yang menjalankan program PIBET, NGO yang terlibat dalam program Driving Change Oxfam GB, Lakpesdam NTB) Rangkaian diskusi multistakeholder untuk memfasilitasi disclosure informasi oleh SKPD terkait kebijakan dan pelaksanaan program kependudukan, pendidikan, kesehatan, air minum, pemberdayaan usaha kecil, pemberdayaan nelayan, pelayanan penyuluhan pertanian (FIK-ORNOP, JARI Cilebes, FIRD 2005-2007) Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka pemantauan proses pertanggungjawaban pengelolaan anggaran (14 NGO yang menjalankan program PIBET). Dalam program ini, antara lain dokumen laporan pertanggungjawaban Bupati/ Walikota dibuka kepada publik Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka pendampingan perumusan RPJMDes (Mitra Samya NTB, Karsa DIY, INCREASE NTT). Dalam program ini warga didorong untuk berpartisipasi dalam perumusan perencanaan jangka menengah desa


penganggaran. Partisipasi dalam pengelolaan pendapatan, pengelolaan pembiayaan, pengelolaan asset daerah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan relatif belum banyak diimplentasikan di tataran praktis

dan jasa Penyelengaraan pelayanan publik Pertanggungjawaban kepala daerah

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka pendampingan Musrenbang desa sampai Kota/ Kabupaten, yang antara lain ditujukan mendorong partisipasi warga dalam perencanaan dan penganggaran (14 NGO yang menjalankan program PIBET, NGO yang terlibat dalam program Driving Change Oxfam GB, Lakpesdam NTB, P3ML dan SANGGAR) Rangkaian diskusi multistakeholder untuk memfasilitasi partisipasi warga dalam tahap pelaksanaan program kependudukan, pendidikan, kesehatan, air minum, pemberdayaan usaha kecil, pemberdayaan nelayan, pelayanan penyuluhan pertanian (FIK-ORNOP, JARI Cilebes, FIRD 20052007). Dengan fasilitasi ini, warga dapat berpartisipasi mendata warga yang mengalami permasalahan dalam mengakses layanan publik, antara lain akibat pembiayaan pelayanan yang tidak terjangkau. Rangkaian diskusi komunitas dan pelatihan dalam kerangka penguatan Posko Pemantauan Pelayanan Publik (FIK-ORNOP, JARI Cilebes di kota Makassar, Kabupaten Takalar, dan kabupaten Majene). Posko ini antara lain memantau pungutan pendapatan dan pembiayaan pelayanan yang menghambat akses warga terhadap layanan Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka membahas dokumen laporan pertanggungjawaban Bupati/ Walikota (BIGS, 2006; 14 NGO yang menjalankan program PIBET). Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi warga dalam memantau forum dan subtansi pertanggungjawaban kepala daerah. Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka perumusan regulasi daerah mengenai prosedur konsultasi publik (Bengkel Apek, NTT; FPPM-LGSP 2008). Perumusan prosedur ini juga menyangkut mekanisme partisipasi warga dalam berbagai pembahasan perencanaan, penganggaran, dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan keuangan daerah.


Kapasitas melakukan terhadap keuangan

untuk pemantauan pengelolaan

Kapasitas untuk: mendisain pematauan dan evaluasi internal terhadap pengelolaan keuangan daerah merumuskan format pelaporan keuangan dan mengkomunikasikan nya kepada warga membuka akses bagi pengawasan eksternal/ independen dari pihak nonpemerintah

Regulasi mengenai evaluasi pembangunan yang terbaru PP 8 2008 dan PP 6 2008 telah terbit. Implementasinya di lapangan masih memerlukan pengamatan. Akan tetapi, selama ini aktivitas pemantauan dan evaluasi di daerah masih sangat lemah. Dokumen LAKIP (Laporan Kinerja Instansi Pemerintah) sering diragukan keabsahan indikator dan pengukurannya. Hal yang sama juga terjadi pada dokumen Indeks Kepuasan Masyarakat Akuntansi dan pelaporan keuangan daerah masih menghadapi persoalan standarisasi, dan kemudahan informasi dalam berbagai laporan ini mendukung perbaikan sistem pengelolaan keuangan sering disinyalir masih sangat lemah. Misalnya, laporan keuangan yang ada belum dapat digunakan untuk memperkirakan unit cost layanan pemerintah. Laporan keuangan yang ada belum dapat digunakan untuk memperbaiki sistem cash flow anggaran, karena laporan ini tidak memperngaruhi prosedur penyaluran dana dari Pusat ke daerah. Pelaporan keuangan terutama

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses: Pemantauan pembiayaan pelayanan publik dan pelaksanaan program Asistensi pembentukan kelembagaan yang mendukung akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah Pertanggungjawaban kepala daerah

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka Report Card Survey dan User Based Survey (14 NGO yang menjalankan program PIBET). Dalam surveysurvey ini diukur tingkat kepuasan publik terhadap biaya dan pungutan pelayanan.

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka membahas dokumen laporan pertanggungjawaban Bupati/ Walikota (BIGS, 2006; 14 NGO yang menjalankan program PIBET). Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi warga dalam memantau forum dan subtansi pertanggungjawaban kepala daerah.

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka perumusan instrument audit gender. Instriment ini diharapkan akan digunakan oleh bappenas dan kementrian di tingkat nasional, serta diadopsi oleh instansi pemerintah di daerah CIBA, 2008)

Asistensi untuk meningkatkan kapsitas DPRD kota Semarang untuk merespon berbagai pengaduan warga (PATTIRO Semarang, 20022006)

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka pemberdayaan warga dalam memantau penggunaan PADes dan ADD (INCREASE, 2008)


Kapasitas untuk mengidentifikasi dan menegosiasikan kebutuhan kelembagaan yang mendukung akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah

Kapasitas untuk merumuskan strategi kelembagaan untuk mendukung akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah

pencatatan asset terkendala oleh kualitas SDM di tingkat SKPD Keberadaan lembaga pemantau indepen, dan bagaimana mekanisme koordinasi pemda dengan lembaga independen ini masih belum terumuskan. Koordinasi dan mekanisme pengawasan pengelolaan keuangan masih lemah, antar lembaga perencana, lembaga pelaksana program, dan lembaga keuangan daerah

Rangkaian peningkatan kapasitas dalam proses: ƒ Pendampingan perumusan kelembagaan penyelenggaraan pelayanan Pemda ƒ Penguatan kelompok gender yang termarginalkan guna mendapatkan layanan publik yang berkualitas

ƒ

ƒ

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka asistensi pembentukan Unit Pengaduan Pelayanan dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Pattiro Semarang 2008). Unit pengaduan ini akan mencatat dan merespon berbagai keluhan warga terkait biaya pelayanan atau keluhan mereka terhadap berbagai pungutan pendapatan daerah. Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka asistensi perumusan prosedur P3MD+ (Perencanaan dan Penganggaran Masyarakat Desa. Dalam prosedur ini diatur pemantauan warga terhadap pelaksanaan dan monitoring-evaluasi penggunaan ADD untuk pembangunan desa (INCREASE, NTT).


Menyimak tabel 1 sampai tabel 3, maka ringkasan skema peningkatan kapasitas CSO dalam pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4 Ringkasan Skema Peningkatan Kapasitas CSO Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah5

Perspektif Pengelolaan Keuangan Yang Dipromisikan CSO Promosi perspektif poor kesetaraan gender

AspekAspek Pengelolaan Keuangan Daerah Perencanaan

prodan

Pelaksanaan

Promosi penerapan prinsip good governance

5

Transparansi

Pendapatan

Belanja

Pembiayaan

Asset

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka advokasi untuk mempengaruhi substansi dokumen perencanaan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pembangunan asset dalam pembahasan perencanaan jangka panjang, menengah, dan tahunan. menyetarakan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam forum-forum perencanaan dan penganggaran Rangkaian diskusi dan Rangkaian diskusi pelatihan dalam kerangka dan pelatihan advokasi untuk dalam kerangka memberdayakan warga advokasi untuk miskin dalam membiayai berpartisipasi di dalam pelayanan pelaksanaan program publik di tingkat pembangunan di daerah komunitas meningkatkan partisipasi (pembiayaan warga dalam oleh komunitas merumuskan indikator perorangan, kinerja, dan unit cost oleh kelompok kebutuhan belanja untuk pengelola warga pengentasan kemiskinan yang berperan dan mendorong keadilan menjadi gender semacam menyetarakan partisipasi BUMDes, laki-laki dan perempuan pembiayaan dalam pelaksanaan ADD, dan program pembangunan APBD) menyetarakan partisipasi lakilaki dan perempuan dalam pengelolaan pembiayaan pembangunan Rangkaian diskusi Rangkaian diskusi dan dengan multi pelatihan dalam kerangka stakeholder, dalam advokasi untuk: kerangka mendampingi warga pemberdayaan dalam proses nelayan kecil. Musrenbang Dalam program ini perencanaan menengah

Tabel ini hanya memuat agenda CSO yang dibahas dalam workshop CSO di Bandung, tanggal 21 dan 22 April 2008. Workshop ini diselenggarakan untuk mengkonsolidasikan agenda peningkatan kapasitas CSO dalam pengelolaan keuangan daerah.


Dinas Kelautan menyampaikan informasi mengenai berbagai retribusi yang dikenakan pada nelayan.

Akuntansi, pelaporan, dan pertanggungja waban

Pengendalian internal

Pengawasan eksternal

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka penguatan kelompok miskin dan kelompok marginal lainnya, agar mampu mengidentifikasi dampak retribusi daerah pada mereka. Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka pemberdayaan warga dalam memantau penggunaan PADes dan pendapatan dari ADD.

(tingkat desa), dan Musrenbang tahunan ƒ mendampingi publik dalam memantau pengadaan barang dan jasa. ƒ memfasilitasi dialog antara warga dan pemerintah, dalam tahapan pelaksanaan perencanaan dan penganggaran ƒ mendampingi warga untuk membahas laporan pertanggung jawaban kepala daerah Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka penguatan warga untuk membahas dokumen pertanggung jawaban kepala daerah Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka asistensi pembentukan lembaga pengelola pengaduan warga. Lembaga ini diproyeksikan untuk mampu merespon keluhan warga soal pungutan pendapatan, perencanaanpenganggaran, pembiayaan pembangunan, dan pelaksanaan pembangunan Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka pendampingan kelompok independen pemantau pelayanan publik. Kelompok semacam ini antara lain akan memantau efektivitas pembiayaan pelayanan publik.

Rangkaian diskusi dan pelatihan dalam kerangka monitoring dan evaluasi pelayanan publik serta pelaksanaan program pembangunan. Aktivitas monev ini antara lain akan memantau efektivitas pembiayaan pelayanan publik dan penyelenggaraan program


Gambaran skema peningkatan kapasitas pada tabel 4 secara garis besar memperlihatkan dua hal penting. Pertama, tidak semua aspek pengelolaan keuangan daerah menjadi area peningkatan kapasitas dari CSO. Aspek perencanaan mendapat perhatian lebih banyak dari CSO. Pada aspek perencanaan ini, CSO melakukan berbagai kerja peningkatan kapasitas pada isu pendapatan, belanja, pembiayaan, dan perencanaan asset. Pada aspek pelaksanaan, skema peningkatan kapasitas CSO baru menyentuh isu belanja dan pembiayaan. Isu pembiayaan juga baru mencakup isu pembiayaan dari ADD, BUMDes, dan APBD. Pembiayaan melalui hutang, obligasi daerah, pengelolaan asset, dan investasi daerah belum banyak disentuh oleh CSO. Pembiayaan melalui dana transfer pusat ke daerah belum banyak dibahas terpilah, melainkan dibahas sebagai agregasi sumber pembiayaan dalam APBD. Pembiayaan pembangunan memalui berbagai skema kerja sama dengan pihak swasta, NGO, dan kerja sama antar pemerintah daerah Aspek akuntansi dan pelaporan keuangan belum menjadi fokus bahasan CSO dalam skema peningkatan kapasitas mereka. Agenda peningkatan kapasitas CSO lebih diflokuskan pada kapasitas untuk dapat memahami dan merespon laporan pertanggungjawaban kepala daerah. Pada aspek pengendalian internal dan pengawasan eksternal CSO lebih banyak bergerak pada isu belanja, dalam kaitannya dengan pemantauan pelayanan publik dan pelaksanaan program pembangunan. Pemantauan terhadap pendapatan, baru menyentuh isu retribusi daerah. Pemantauan terhadap pajak, pendapatan dari BUMD, serta obligasi daerah belum banyak dibahas dalam peningkatan kapasitas yang dilakukan CSO. Agenda CSO juga masih lebih banyak diarahkan untuk memperkuat pengawasan eksternal.

Kedua, skema peningkatan kapasitas yang dilakukan CSO, senantiasa menjadi bagian dari agenda advokasi mereka. Karena itu, terintegrasi dalam skema peningkatan kapasitas CSO adalah dialog antar stakeholder pembangunan. Dibandingkan dengan skema KKD dan LKD yang dilakukan di dalam kelas, skema CSO ini memungkinkan mereka lebih mudah memantau perubahan pengelolaan keuangan yang terjadi, yang dikontribusikan oleh skema peningkatan kapasitas dan advokasi mereka. Hal ini justru menjadi masalah besar yang dihadapi oleh pengelola KKD dan LKD. Dengan metode peningkatan kapasitas di kelas, para pengelola ini merasa sulit untuk memantau, dampak peningkatan kapasitas ini terhadap perbaikan pengelolaan keuangan di daerah.

V. Agenda Peningkatan Kapasitas CSO Yang Potensial Untuk Memperkaya Kurikulum KKD-LKD Secara garis besar, kurikulum KKD dan LKD mencakup topik-topik berikut: 1. Keuangan negara dan daerah Topik ini membahas 1) peran pemerintah dalam ekonomi, termasuk berbagai intervensi yang mungkindilakukan oleh pemerintah dalam memperbaiki efisiensi, 2) konsep dan kelembagaan desentralisasi fiskal di Indonesia, 3) hubungan kebijakan fiskal antara berbagai tingkatan pemerintahan, 4) APBN, APBD, dan keseimbangan fiskal. 2. Perencanaan daerah Topik ini membahas konsep dan sistem perencanaan, mekanisme perencanaan daerah, urgensi dan prosedur perencanaan partisipatif, perumusan visi dan misi perencanaan daerah, perumusan indikator kinerja, evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan daerah, serta manajemen asset daerah. Untuk topik ini, KKD dan LKD menyediakan kasus perencanaan dan penganggaran partisipatif di Kabupaten sumedang untuk didiskusikan. 3. Penganggaran daerah


Topik ini membahas konsep anggaran, siklus penyusunan anggaran, Kaitan perencanaan dan penganggaran, anggaran berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, pro-poor budgeting (konsep dan cara menterjemahkan target pengentasan kemiskinan ke dalam anggaran lokal), gender responsive budgeting Sebagai pendalaman, dalam topik ini dibahas proses penganggaran di Bulukumba 4. Manajemen pendapatan daerah Topik ini membahas pendapatan asli daerah, desentraliasasi fiskal (distribusi pendapatan antar tingkat pemerintahan dalam rangka desentralisasi dan keseimbangan fiskal). Studi kasus yang diangkat dalam topik ini adalah pengelolaan dana bagi hasil di Kabupaten Bengkalis dan pendapatan yang dihasilkan sebagai dampak pengelolaan pelayanan terpadu di Solok. 5. Manajemen belanja daerah Topik ini membahas konsep value for money, standar pelayanan minimal, klasifikasi belanja daerah, analisa standar belanja, belanja dalam kerangka pengeluaran jangka menengah, analisa proyek/ belanja modal. Sebagai studi kasus, diangkat praktek pengelolaan belanja di kota Makassar. 6. Manajemen pembiayaan daerah Topik ini membahas 1) tipe-tipe manajemen pembiayaan daerah serta kaitannya dengan komponen APBD surplus dan defisit anggaran; 2) pengelolaan pinjaman daerah yang mencakup kapasitas lokal untuk meminjam, serta menentukan sumber-jangka waktu-jadwal pengembalian utang; 3) konsep obligasi daerah, prosedur penerbitan obligasi daerah, perinkat daerah dalam kaitannya dengan obligasi daerah, serta pasar skunder obligasi daerah; 4) konsep dan pengelolaaan dana cadangan; 5) pengelolaan asset daerah sebagai sumber pembiayaan daerah; 6) tipe-tipe investasi, resiko dan keuntungan investasi, serta pembahasan pengalaman investasi daerah di Indonesia; 7) kemitraan publik dan swasta dalam membiayai investasi daerah; 8) kerangka kebijakan manajemen kas dan prinsipprinsip investasi jangka pendek. Sebagai pendalaman, dalam topik ini dibahas mengenai pengelolaan utang PDAM di Tangerang, dan kemitraan swasta-pemerintah dalam pembangunan terminal bis Giwangan Yogyakarta. 7. Akuntansi pemerintah daerah Topik ini membahas perbandingan akuntansi publik dan swasta, standar akuntansi pemerintah, pelaporan keuangan berdasarkan standar akuntansi pemerintah, sistem akuntansi keuangan daerah, metode costing dan lain-lain konsep akuntansi manajerial, proses dan metodologi audit keuangan pemerintah daerah, serta sistem informasi keuangan daerah. Sebagai studi kasus, diangkat sistem akuntansi keuangan di Kabupaten Sleman.

Topik-topik dalam kurikulum KKD/LKD dipilih berdasarkan asumsi para penyusun kurikulum dari UI dan Departemen Keuangan, tentang berbagai permasalahan pengelolaan keuangan di daerah. Jika asumsi tentang permasalahan pengelolaan keuangan daerah dari kurikulum KKD dan LKD diperkaya dengan asumsi permasalahan pengelolaan keuangan daerah dari CSO, maka ada peluang untuk memperkaya kurikulum KKD/ LKD. Harapannya, dengan diakomodirnya agenda CSO dalam kurikulum KKD/ LKD, maka pengelolaan keuangan daerah akan lebih berhasil dalam mengentaskan kemiskinan, menciptakan kesetaraan relasi gender, dan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Tabel 5 memperlihatkan perbandingan asumsi permasalahan keuangan daerah antara kurikulum KKD/ LKD dan CSO berikut cakupan kurikulum KKD/ LKD dan alternatif pengayaan atas kurikulum tersebut.


Tabel 5 Kurikulum KKD/ LKD Asumsi Tentang Permasalahan Pengelolaan Keuangan Daerah, Dan Alternatif Pengayaannya

No. 1.

Isu Pengelolaan Keuangan Daerah Keuangan negara dan daerah

Kurikulum KKD/ LKD Asumsi tentang Masalah Cakupan Materi Kurikulum Pengelolaan Keuangan Daerah Sering terjadi ketidaksesuaian Peran pemerintah dalam antara tanggung jawab Pemda, ekonomi, termasuk berbagai dan kapasitas fiskal yang dimiliki intervensi yang Pemda mungkindilakukan oleh pemerintah dalam memperbaiki efisiensi Konsep dan kelembagaan desentralisasi fiskal di Indonesia Hubungan kebijakan fiskal antara berbagai tingkatan pemerintahan APBN, APBD, dan keseimbangan fiskal.

2.

Perencanaan daerah

Kebijakan desentralisasi lebih menekankan kewenangan belanja,

Konsep dan perencanaan

sistem

Alternatif Pengayaan Kurikulum Asumsi tentang Masalah Pengelolaan Keuangan Daerah

Cakupan Materi Kurikulum

Konsep kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah dalam ekonomi publik, seringkali belum mengakomodir persoalan resiko yang dihadapi oleh kelompok miskin dan kelompok-kelompok marginal. Resiko-resiko ini, dan tingkat dekomodifikasi pasar yang dibutuhkan kelompok-kelompok rentan ini memerlukan metode analisis dan sistem penanganan khusus oleh Pemda Disinyalir bahwa pola perhitungan dan penyaluran dana transfer ke daerah belum mendorong peningkatan pelayanan dan pengentasan kemiskin di daerah Disinyalir bahwa pola penyaluran dana transfer ke daerah masih belum mendukung peningkatan kualitas perencanaan tahunan dan jangka menengah daerah Perencanaan dan penganggaran sering tidak

Peran pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak kesejahteraan warga Konsep dan kelembagaan desentralisasi fiskal, serta dampaknya pada pemenuhan hak kesejahteraan warga APBN, APBD, keseimbangan fiskal, dan pemerataan kesejahteraan Desentralisasi fiskal dan sistem perencanaan tahunan dan jangka menengah daerah

Perencanaan dan penganggaran terpadu.


3.

Penganggaran daerah

dengan pendapatan masih didominasi oleh skema transfer Terdapat kelemahan dari sisi regulasi usat Terdapat problem kapasitas di kalangan Pemda, untuk menyediakan pelayanan publik. Penyediaan pelayanan publik yang baik harus didukung oleh perencanaan yang baik

Mekanisme perencanaan daerah Urgensi dan prosedur perencanaan partisipatif Perumusan visi dan misi perencanaan daerah Perumusan indikator kinerja Evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan daerah Manajemen asset daerah Konsep anggaran Siklus penyusunan anggaran Kaitan perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah Pro-poor budgeting (konsep dan cara menterjemahkan target pengentasan kemiskinan ke dalam anggaran lokal) Gender responsive budgeting

Anggaran

konsisten dan terpadu, sehingga tidak berhasil menjaga perspektif pro-poor, pro kesetraan gender, serta orientasi pada kinerja dan efisiensi. Perencanaan dan penganggaran sering bermasalah karena hubungan kelembagaan yang kurang harmonis dan kurang menerapkan prinsip-prinsip good governance Saat ini, ruang partisipasi warga masih terbatas pada proses perencanaan. Partisipasi publik dalam proses-proses penganggaran masih sangat terbatas Perencanaan dan penganggaran partisipatif sering gagal diimplementasikan, akibat kurangnya dukungan pendanaan dari pemerintah daerah Partisipasi warga dalam perencanaan- penganggaran belum terlembaga dengan baik. Partisipasi menjadi ajang “dialog” dalam event-event tahunan, yang tidak menyumbang pada peningkatan kualitas perencanaan dari warga. Akibatnya, usulan pembangunan dari warga

Posisi perspektif propoor, pro kesetaraan gender, basis kinerja, dan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam perencanaan dan penganggaran terpadu. Pro-poor planning and budgeting Gender responsive planning and budgeting Tata kelembagaan perencanaan dan penganggaran Analisis kebutuhan anggaran untuk membuka akses informasi pada publik dan untuk menyelenggarakan perencanaan dan penganggaran partisipatif Penguatan kelembagaan partisipasi warga dalam perencanaan dan penganggaran, untuk melembakan peningkatan kualitas perencanaan warga Sistem informasi perencanaan dan penganggaran yang kualitas perencanaan penganggaran


mengalami kesenjangan kualitas dari sisi teknokrasi perencanaan Perencanan dan penganggaran partisipatif belum didukung oleh sistem informasi perencanaan dan penganggaran yang baik, yang dapat mendukung kualitas perencanaan warga 4.

Manajemen pendapatan daerah

Keterbatasan fiskal daerah, menciptakan ketergantungan pada dana transfer pusat (daerah kaya tergantung pada dana bagi hasil pajak; daerah miskin tergantung pada DAU Banyak daerah menuntut agar pajak-pajak properti diserahkan kewenangannya ke daerah Skema DAK dan dana otonomi khusus juga mempengaruhi kapasitas fiskal daerah. Akan tetapi pengaruh yang diciptakan oleh DAK tidak diperhitungkan dalam formulasi fiskal kapasitas daerah Alokasi DAU untuk daerah asal dan daerah baru hasil pemekaran masih dihitung sama. Di sisi lain, data yang dimiliki daerah baru masih terbatas. Juga ada kepentingan untuk tidak memberi insentif pada daerah untuk melakukan

Pendapatan asli daerah, Pendapatan dalam kerangka desentraliasasi fiskal (distribusi pendapatan antar tingkat pemerintahan dalam rangka desentralisasi dan keseimbangan fiskal)

Akuntabilitas pengelolaan pendapatan sering diakibatkan oleh tidak terlibatnya warga dalam: o mengetahui prosedur pemungutan dan pengadministrasian pajak dan retribusi o mengetahui rasionalitas pembebanan biaya retribusi dengan dibandingkan dengan kebutuhan biaya pelayanan (termasuk subsidi pemerintah untuk menutup ongkos pelayanan) o mengetahui hak pembayar pajak dan etika pemungut pajak o mengetahui peruntukkan perolehan dari pajak (termasuk peruntukkan bagi upah pungut dan ongkos pengadministrasian) o memantau kelayakan proyeksi potensi pendapatan o memantau rekening dan

partisipatif

Teknik dan strategi pemberdayaan publik dalam memantau kelayakan proyeksi potensi pendapatan dan memantau perkembangan perolehan pendapatan daerah Pemberdayaan kelembagaan Pemda dalam pengelolaan pendapatan: o Sistem informasi yang memudahkan warga menilai potensi dan besaran pajak, menghitung biaya pelayanan yang dibutuhkan, mengetahui besaran subsidi bagi pelayanan yang diberikan, mengetahui rekening dan perkembangan


pemekaran

perkembangan perolehan pendapatan daerah, o memantau dampak pungutan pendapatan terhadap kepentingan publik dan sustainabilitas lingkungan o memantau pemenuhan prinsip keadilan dalam pemungutan pendapatan ƒ Akuntabilitas pengelolaan pendapatan terganggu karena tidak terkoordinir dengan baik dengan sistem dukungan dari lembaga peradilan dan lembaga penanganan pelanggaran pemerintahan dan pelayanan publik ƒ Pemda tidak selalu menguasai berbagai metode dan prinsip untuk menjaga prinsip keadilan pajak, melindungi atau meringankan beban pajak dari kelompok warga miskin, menjadikan pajak sebagai instrument redistribusi pendapatan yang adil, serta menyediakan insentif bagi perusahaan yang melindungi/ memberi pekerjaan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya ƒ Beberapa sumber pendapatan nasional dan daerah tidak disetor ke kas negara/ daerah serta tidak tercatat dalam APBN/ APBD. Dana-dana ini

perolehan pajak dan retribusi, mengetahui hak wajib pajak, etika pemungut pajak, peruntukkan perolehan dari pajak (termasuk peruntukkan bagi upah pungut dan ongkos pengadministrasian) o Kemudahan prosedur bagi warga untuk mengadukan pajak-pajak daerah yang tidak memenuhi kriteria pajak yang baik o Sistem insentif dan sanksi bagi para wajib pajak untuk mendorong perilaku yang akuntabel o Sistem pemantauan yang mampu menjamin kontribusi pajak terhadap perbaikan pelayanan publik o Sistem pemantauan yang mampu mengidentifikasi hubungan antara perolehan retribusi dengan tingkat konsumsi warga terhadap layanan


misalnya dana yang berasal dari setoran premi perlindungan sosial dan danadana non-budgeter lainnya. Dana-dana seperti ini masih sulit untuk dipantau dan dipertanggungjawabkan penghimpunan dan penggunaannya.

terkait o Sistem pembagian peran dan kewenangan DPRD, agar DPRD dapat efektif melakukan review dan mengesahkan pajak daerah o Sistem perlindungan kerahasiaan wajib pajak dan hak wajib pajak lainnya o Sistem penyelesaian perselisihan perpajakan o Standar etik pemungut pajak ƒ Kerjasama Pemda dengan lembaga peradilan perpajakan, PTUN, Ombudsman ƒ Metode dan prinsip untuk menjaga prinsip keadilan pajak, melindungi atau meringankan beban pajak/ retribusi dari kelompok warga miskin, menjadikan pajak sebagai instrument redistribusi pendapatan yang adil, serta menyediakan insentif bagi perusahaan yang melindungi/ memberi


pekerjaan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya Pengelolaan danadana non-budgeter, termasuk dana perlindungan sosial yang efisien dan mampu melindungi kepentingan kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya 5.

Manajemen belanja daerah

Penentuan besaran belanja sering tidak didukung oleh ketersediaan standard belanja dan standard pelayanan, dalam sebuah kerangka pengeluaran jangka menengah

Konsep value for money Standar pelayanan minimal Klasifikasi belanja daerah Analisa standar belanja Belanja dalam kerangka pengeluaran jangka menengah Analisa proyek/ belanja modal

Standar pelayanan minimal merupakan kebijakan pusat, yang harus dioperasionalisasikan oleh daerah dalam bentuk pencapaian target SPM per tahun. Operasionalisasi ini membutuhkan transparansi, partisipasi warga dan akuntabilitas terhadap publik Standard analisa belanja harus bisa dipantau oleh publik, untuk menjaga efisiensi penghitungan biaya Analisa perhitungan belanja untuk pengentasan kemiskinan dan pencapaian kesetaraan gender memerlukan berbagai metode dan instrument khusus. Dampak belanja pada masyarakat miskin seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan Pemda

SPM dan operasionalisasi SPM di daerah Perhitungan unit cost layanan dan program yang melibatkan partisipasi publik Perhitungan unit cost program-program pengentasan kemiskinan dan pencapaian kesetaraan gender (termasuk perhitungan yang mempertimbangkan dampak program/ layanan pada kelompok miskin dan kelompok gender yang termarginalkan.


6.

Manajemen pembiayaan daerah

Banyak regulasi terkait pembiayaan yang belum jelas, sehingga Pemerintah daerah sering kali menemukan kesulitan untuk menentukan pola pembiayaan yang tepat dan efisien Pemerintah daerah masih harus didorong untuk mengembangkan berbagai pola kemitraan dan pola investasi yang dapat mendukung pelayanan dan pertumbuhan ekonomi daerah

Tipe-tipe

manajemen pembiayaan daerah serta kaitannya dengan komponen APBD surplus dan defisit anggaran Pengelolaan pinjaman daerah yang mencakup kapasitas lokal untuk meminjam, serta menentukan sumber-jangka waktu-jadwal pengembalian utang Konsep obligasi daerah, prosedur penerbitan obligasi daerah, peringkat daerah dalam kaitannya dengan obligasi daerah, serta pasar skunder obligasi daerah; Konsep dan pengelolaaan dana cadangan Pengelolaan asset daerah sebagai sumber pembiayaan daerah Tipe-tipe investasi, resiko dan keuntungan investasi, serta pembahasan pengalaman investasi daerah di Indonesia; Kemitraan publik dan swasta dalam membiayai investasi daerah Kerangka kebijakan manajemen kas dan prinsip-prinsip investasi jangka pendek

Pola pembiayaan pembangunan di daerah seringkali menghambat akses warga miskin. Misalnya, pola pembiayaan yang tidak efisien, sehingga menghasilkan barang dan jasa yang tidak terjangkau warga miskin. Selain pihak pemerintah, beberapa lembaga swasta atau NGO berpartisipasi menghasilkan barang dan jasa yang dapat dijangkau warga miskin. Misalnya, mereka menjalin kerja sama dengan lembaga donor nirlaba, atau mengembangkan mekanisme subsidi silang antar konsumen kaya dan miskin. Pemerintah seringkali gagal memberi insentif dan dukungan untuk mendorong berbagai inisiatif dari kalangan swasta dan CSO ini. Bebarapa dana publik seperti dana asuransi pensiun, dana asuransi kesehatan dan lainlain potensial untuk diinvestasikan dalam pasar keuangan. Akan tetapi, investasi bagi dana-dana publik semacam ini belum banyak diatur dan dipraktekkan. Kesempatan daerah untuk mengelola pinjaman semakin luas dibuka. Akan tetapi mekanisme disclosure

Pola pembiayaan dan dampaknya pada akses warga miskin Analisis kasus sistem insentif, subsidi, dan kerja sama Pemda dengan berbagai lembaga nonkeuangan, yang menghasilkan barang dan jasa di bawah harga yang dibutuhkan untuk cost recovery lembaga tersebut (contoh pada lembaga yang mengembangkan mekanisme subsidi silang antar konsumen, yang mampu bekerja sama dengan donor nirlaba, dll) Norma-norma transparansi dan akuntabilitas dalam kerjasama pemerintah dan swasta/ CSO dalam pengelolaan pembangunan Norma-norma transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan utang


informasi dan keterlibatan publik dalam pengelolaan utang relatif belum diatur. Pengelolaan asset seringkali luput dari perhatian publik. Biaya pemeliharaan asset sering tidak terencana dengan baik. Proses alih fungsi asset atau penjualan asset tidak mudah untuk dipantau, sehingga tidak diketahui kontribusinya terhadap peningkatan kemampuan pembiayaan daerah. Pengelolaan BUMD dan BLUD masih belum efisien, dan belum menerapkan prinsipprinsip good governance Tata hubungan pemerintah daerah dan BUMD dalam pembiayaan pembangunan masih memerlukan kejelasan dan perbaikan mekanisme Disinyalir bahwa pengaturan mengenai pendapatan bagi hasil, belum didukung oleh sistem pengelolaan sumber daya alam yang menjamin sustainabilitas, serta belum disertai oleh mekanisme yang jelas untuk mengatasi perselisihan pengelolaan sumber daya alam antar daerah dan antar daerah dengan pusat. Pengelolaan dana hibah dan dana bantuan sosial sering

daerah Pengelolaan asset yang transparan, partisipatif, dan akuntabel; guna mendukung peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi Pemberdayaan BUMD dan BLUD Tata hubungan antara Pemda dan BUMD dalam mendukung pembiayaan pembangunan Pengelolaan sumber daya alam yang menjamin sustainabilitas, serta mekanisme yang jelas untuk mengatasi perselisihan pengelolaan sumber daya alam antar daerah dan antar daerah dengan pusat guna mendukung pengaturan dana bagi hasil. Pengelolaan dana hibah dan bantuan sosial yang transparan dan akuntabel


7.

Akuntansi pemerintah daerah

8.

Pengendalian

Sistem informasi keuangan daerah masih menghadapi kendala berupa kebingungan dalam menerapkan standard pelaporan keuangan, dan bagaimana mendayagunakan informasi ini untuk mendukung pengambilan keputusan tentang pembangunan di daerah

Perbandingan akuntansi publik dan swasta Standar akuntansi pemerintah Pelaporan keuangan berdasarkan standar akuntansi pemerintah Sistem akuntansi keuangan daerah Metode costing dan lain-lain konsep akuntansi manajerial, Proses dan metodologi audit keuangan pemerintah daerah Sistem informasi keuangan daerah

tidak transparan dan akuntabel Pembiayaan untuk gaji pegawai di Indonesia selalu menghabiskan anggaran dalam proporsi yang sangat besar, dibandingkan dengan proporsi anggaran untuk publik. Akan tetapi, efisiensi penataan organisasi Pemda belum mendapat perhatian serius Pemerintah daerah sering menghadapi kendala dalam manajemen kas, kegiatan investasi jangka pendek, dan penyelesaian kerugian pemerintah daerah. Aktivitasaktivitas tersebut juga jarang dibuka dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Pencatatan dan pelaporan asset belum menjadi rujukan dalam kegiatan perencanaan pembangunan, sehingga rawan mengurangi efisiensi perencanaan

Sistem

monitoring

dan

Penguatan mekanisme pengawasan dan monev terhadap pengelolaan pembiayaan pembangunan daerah Efisiensi pembiayaan gaji pegawai melalui efisiensi tata organisasi Norma-norma transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen kas dan kegiatan investasi jangka pendek Pemda.

Sistem informasi pengelolaan asset yang mendukung perencanaan daerah

Sistem

monev


internal dan pengawasan eksternal

evaluasi Pemda terhadap kinerja pengelolaan keuangan daerah belum efektif ƒ Ruang partisipasi warga dalam monev pengelolaan keuangan daerah belum banyak dibuka

pengelolaan keuangan daerah melibatkan partisipasi warga ƒ Sistem monev pengelolaan keuangan daerah yang dapat mengidentifikasi dampak pengelolaan keuangan daerah terhadap kaum miskin dan kaum marginal lainnya ƒ Pemberdayaan lembaga-lembaga pengendali internal dan pengawas eksternal atas pengelolaan keuangan daerah


Di samping persoalan pengayaan kurikulum, pengintegrasian agenda CSO dalam peningkatan kapasitas keuangan daerah potensial untuk memperkaya metode peningkatan kapasitas yang digunkan dalam KKD/ LKD. Selama ini, dengan melatih staf Pemda dari banyak daerah di Indonesia (teruma staf keuangan dan perencanaan), KKD/ LKD telah relatif berhasil memfasilitasi proses saling belajar antar daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Akan tetapi, perluasan variasi kelembagaan Pemda yang dilayani oleh KKD/ LKD masih perlu ditingkatkan, terumatama dari kalangan SKPD yang fungsinya terkait erat dengan pemenuhan hak dasar (seperti SKPD Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan, dll). Kalangan CSO juga sangat penting untuk dapat mengakses KKD/ LKD ini. Hal ini ditujukan untuk menyeimbangkan kapasitas pengelolaan keuangan di kalangan pemerintah dan CSO, guna mendorong aksi kolektif menuju pengelolaan keuangan yang lebih baik. Untuk beberapa topik yang memang lebih dikuasai oleh CSO, aktivis CSO dapat menjadi narasumber dalam KKD/ LKD. Walau sulit untuk mengadopsi skema peningkatan kapsitas CSO yang sekaligus berperan sebagai bagian advokasi riil perbaikan pengelolaan keuangan daerah; akan tetapi metode pelatihan andragogy dan pelatihan transformatif dapat mengoptimalkan dialog dan pertukaran pengetahuan antara CSO dan Pemda dalam proses KKD/ LKD. Dialog dan pertukaran pengetahuan ini dapat diarahkan untuk meningkatkan pola kerja kolaborasi CSO – Pemda dalam meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan di daerah. Di samping itu, keterlibatan CSO dalam KKD/ LKD dapat berkontribusi pada tumbuhnya gerakan publik untuk memantau dan mengontrol kualitas pengelolaan keuangan di daerah.***


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.