Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Page 1


Potret Intervensi di Bilik Redaksi


Potret Intervensi di Bilik Redaksi © AJI Semarang Tim Penyusun

: Pratono, Triyono Lukmantoro, Sohirin, Heri C Santoso, Edi Faisol, Amin Fauzi, Em Syukron, Rafiudina, Tandiyo Pradekso, Adi Nugroho

Editor Bahasa

: Tubagus P Svarajati

Staf Riset

: Nur Ana Mustafidah

Cover/Ilustrasi : Abdullah Ibnu Thalhah Foto

: Arif “Slam” Nugroho

Layout

: Yuswinardi

Diterbitkan oleh: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang Februari 2014

ISBN 14x20 cm, Tebal: 164 halaman

Alamat: Jalan Gergaji I/15 Mugassari, Semarang - Telp: 024-8450980 Email: ajisemarang@yahoo.com Twitter: @AJIkotaSMG

Didukung oleh Yayasan Tifa


DAFTAR ISI:

Daftar isi ...................................................

ii

Kata Pengantar ............................................

v

Pendahuluan ...............................................

ix

Testimoni Jurnalis dan Redaktur Cerita Tsunami Selepas Magrib ................... 1 Langkahku Terganjal Iklan ........................ 9 Tekanan itu Selalu Ada ............................ 17 Menulis di Bawah Tekanan ........................ 23 Berharap Besar dari Sukses Ganjar .............. 29 Demi Oplah, Kritik Diolah ......................... 35 Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang .............. 43 Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi ............

57

Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru ...... 63 Riset Kuantitatif ........................................... 71 Riset Kualitatif ............................................. 111 Daftar Pustaka ............................................. 147 Profil AJI Semarang .......................................

149



KATA PENGANTAR Ihwal (Swa)Sensor di Semarang

R

iset ini bermula dari kegelisahan sejumlah jurnalis yang meliput kasus suap pengesahan Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah Kota Semarang 2012. Saat

itu, publik riuh oleh berita tangkap tangan KPK terhadap Sekda Akhmat Zaenuri dan dua anggota DPRD Kota, Agung Purno Sarjono dan Sumartono. Kejadiannya, akhir November 2011, tepat di halaman Balai Kota. Kasus itu rupanya merambat pada dugaan keterlibatan Wali Kota Semarang saat itu, Soemarmo Hadi Saputro, yang baru 18 bulan menjabat. Demo muncul. Yang mendukung sama kuat dengan yang meminta Soemarmo diadili. Anehnya, meski disebut di persidangan, tidak satu pun media di Semarang yang menyinggung nama Soemarmo dalam berita suap tadi. Sejumlah jurnalis pun gerah. Pada Februari 2012 sejumlah pewarta yang bergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang merespons dengan menggelar diskusi tertutup di kawasan sekitar Kampus Universitas Diponegoro. Beberapa aktivis antikorupsi datang. Dugaan mengalir kencang pada upaya pembungkaman pers. Uniknya, saat media lokal mengabaikan keterlibatan Wali Kota, fakta tersebut justru menjadi sorotan hampir semua media di Jakarta. Salah satu usulan dalam diskusi itu adalah mengadukan media yang melakukan (swa)sensor pada Dewan Pers. AJI juga merilis pernyataan sikap. v


AJI Semarang

Bagaimana membuktikan bahwa redaksi melakukan atau mendapatkan tekanan? Kasus swasensor sebenarnya bukan barang baru di negeri ini. Banyak media yang beririsan kepentingan dengan bisnis dan politik. Lebih-lebih sekarang ini, ramai pemilik media berfusi dengan partai politik tertentu. Yang kentara adalah heboh siaran langsung TV One di media sosial saat penangkapan Gubernur Banten Ratu Atut, Oktober 2013. Tanpa disadari kru, muncul suara yang meminta agar reporter tidak menyebut nama Partai Golkar. Pemilik TV swasta itu adalah Aburizal Bakrie, taipan yang juga ketua umum Partai Golkar. Itu hanya segelintir persoalan di sejumlah media. Dalam riset AJI Semarang, sensor terhadap pemberitaan acap kali terjadi lantaran bersinggungan dengan pemilik dan koleganya atau faktor lain, yakni amplop dan kepentingan iklan. Dulu, di masa Orde Baru, sensor dilakukan oleh penguasa. Sekarang, ancaman terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang jujur bisa datang dari siapa pun, termasuk pengelola ruang redaksi dan pihak eksternal, seperti aparat, narasumber, pengacara, birokrat, bahkan organisasi profesi wartawan. Fenomena tersebut tak jauh beda dengan yang dialami pers di banyak negara. Albania, misalnya. Selepas dari kontrol pemerintah komunis, pers berkembang sebatas kuantitas. Ratusan surat kabar, TV, radio dan media daring (online) hanya dimiliki penguasa, partai politik atau orang-orang kaya yang merangkap politisi. Tidak ada pagar api (firewall) antara bisnis,

vi


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

iklan, politik dan integritas redaksi sehingga swasensor merajalela. Sejarah penyensoran di Jawa Tengah sendiri barangkali diawali oleh surat kabar Doenia Bergerak dan Sinar Hindia oleh penguasa kolonial. Doenia Bergerak didirikan pada tahun 1914 di Surakarta oleh Mas Marco, eks wartawan Medan Prijaji, koran berbahasa Melayu pertama. Surat kabar ini sangat dibenci penguasa Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya yang amat kritis. Lantaran khawatir memicu pemberontakan, setahun kemudian, Mas Marco dikenai delik pers dan dibui di Semarang. Salah satu kritiknya yang populer adalah diskriminasi Jawatan Kereta Api yang membedakan penumpang berdasar etnik dan status sosial sehingga muncul istilah “kelas kambing� bagi pribumi jelata. Marco juga dikenal sebagai pendiri Inlandsce Journalisten Bond (IJB), serikat jurnalis Jawa yang dikenal cukup radikal. IJB dikenal dekat dengan Sarekat Islam. Sedangkan Sinar Hindia milik Serikat Islam – didirikan pada tahun 1923, diwaspadai lantaran berita utama (headline) keras mereka yang menyerukan pemogokan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada Mei tahun yang sama. Akibatnya, jajaran redaksi diasingkan atau dipenjara. Koran itu awalnya dikenal sebagai Sinar Djawa. Di masa Orde Baru, hampir semua surat kabar di Jawa Tengah menjadi lebih manis pada penguasa. Sayangnya, penyensoran di masa kolonial dan Orde Baru sangat berbeda dengan penyensoran di masa reformasi. Pers kini jauh lebih bebas, namun ancaman terhadap pemberitaan

vii


AJI Semarang

justru datang dari mana-mana. Tim AJI Semarang mengulasnya dalam buku ini. Buku yang Anda pegang ini terdiri dari beberapa bagian, yakni bagian pertama berisi kesaksian para jurnalis dan redaktur dalam mendapatkan berbagai tekanan dan membuat berita. Bagian kedua adalah laporan riset kuantitatif analisis isi lima media di Semarang. Bagian ketiga adalah rangkuman riset kualitatif dengan metode deskriptif fenomenologi yang diperkaya dengan dua kali diskusi. Ada banyak pihak yang membantu penerbitan buku tersebut. AJI Semarang menyampaikan penghargaan dan terima kasih sebesarnya kepada Yayasan Tifa yang berkenan mendukung program ini. Tak terlupakan, tim pengurus AJI Semarang yang telah sudi direnggut waktu, tenaga, dan pikirannya agar program ini bisa terlaksana. AJI Semarang juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Triyono Lukmantoro, Adi Nugroho dan Tandiyo Pradekso yang bersedia membantu pelaksanaan riset. Semarang, Januari 2014 Renjani Puspo Sari Ketua AJI Semarang

viii


PENDAHULUAN

E

ra reformasi di Indonesia yang tumbuh sejak 1998 membawa angin segar bagi kebebasan pers. Media massa dan pekerja media tumbuh begitu pesat. Posisi

strategis media massa, karena bisa mempengaruhi opini publik, membuat banyak pengusaha maupun kelompok masyarakat mendirikan perusahaan media. Dengan perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, banyak pula orang yang bisa dengan mudah menjadi jurnalis. Namun, kebebasan pers itu tak menjamin media akan selalu menyajikan pemberitaan yang sesuai dengan kepentingan publik. Justru ada kecenderungan media hanya dikuasai oleh mereka yang memiliki akses modal dan politik. Salah satu dampaknya adalah terjadinya praktik penyensoran di media. Meski sudah banyak media dan jurnalis memiliki kebebasan menulis, tapi praktik penyensoran juga masih terjadi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, sebagai organisasi profesi jurnalis, memandang penyensoran di pemberitaan media merupakan persoalan serius. Sebab, ini terkait dengan hak publik dalam menerima informasi. Atas dasar itulah, AJI Semarang melakukan program penelitian tentang independensi ruang pemberitaan di media lokal. Dalam program ini ada beberapa kegiatan: penelitian analisis isi media lima media di Semarang, penelitian ix


AJI Semarang

fenomenologi kasus-kasus intervensi yang dialami jurnalis, penelitian anggaran publik untuk organisasi-organisasi wartawan, focus group discussion (FGD) bersama jurnalis dan kelompok masyarakat, seminar publik, hingga penerbitan buku. Dalam riset AJI menemukan beberapa kriteria praktik sensor, yakni fakta atau peristiwa yang sebenarnya memiliki nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media, peristiwa itu diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, atau sensor itu dijalankan dengan cara hanya memberitakan peristiwa berdasarkan pada kepentingan pemilik media maupun kepentingan lainnya. Harus diakui kasus penyensoran memang masih bisa diberdebatkan, terutama menyangkut sudut pandang pemberitaan yang diambil oleh masing-masing media. Tapi, ketika media sudah tidak independen dan pemberitaannya disetir oleh pihak lain maka di situlah potensi terjadinya distorsi pemberitaan semakin besar. Media juga harus menjalankan fungsi kontrol sehingga sikap independen harus dinomorsatukan. Ada kecenderungan praktik sensor media justru terjadi di media-media lokal. Sebab, pemilik atau petinggi media memiliki kedekatan dengan aktor-aktor di tingkat lokal. Ada beberapa hal di Semarang yang menjadi pemicu terjadinya praktik penyensoran di media massa. Misalnya, karena akar industrialisasi media yang membutuhkan iklan. Persoalannya, media-media di Semarang belum memiliki garis api yang memisahkan ruang redaksi dari ruang iklan.

x


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Pada level jurnalis, praktik pemberian amplop kepada para jurnalis juga memicu terjadinya penyensoran. Namun, kesejahteraan jurnalis hingga kini juga masih minim. Persoalan lain adalah praktik penyensoran juga bisa muncul akibat adanya konflik kepentingan pemilik media dengan pihak lain. Sebab, rata-rata para pemilik maupun para petinggi media lokal juga aktif di berbagai aktivitas politik dan bisnis. Di sisi lain, komplain publik yang merasa dirugikan atas pemberitaan media juga belum dikelola secara baik. Sebab, hingga kini tidak ada lembaga yang bisa mengakomodasi keberatan masyarakat terhadap media di tingkat lokal. Akhirnya, beberapa agenda pun menjadi pekerjaan rumah demi mendorong independensi dan profesionalisme jurnalis, yakni perlunya garis api (firewall) atau pemisah antara ruang iklan dari ruang pemberitaan. Untuk itu manajemen harus menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi redaksi dengan bagian usaha/iklan. Agenda lain adalah masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu merasa dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik yang diinisiasi kelompok masyarakat ataupun melalui lembaga ombudsman yang perlu dirikan masing-masing media. Setiap media perlu membentuk ombudsman media. Lembaga ini sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika sewaktu-waktu ada dugaan pelanggaran yang dilakukan awak medianya. Kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan rumah yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya kesejahteraan

xi


AJI Semarang

menjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa menjalankan tugasnya secara profesional. Berbagai persoalan tersebut diungkap bukan bermaksud untuk menyajikan pesimisme wajah pers di Jawa Tengah. Juga bukan untuk membuka aib/borok media massa. Tapi ini semua dilakukan demi mendorong media massa di Jawa Tengah bisa lebih profesional dan independen.

xii


Cerita Tsunami Selepas Magrib

S

EBUAH pesan pendek masuk ke telepon genggam Yuha, bukan nama sebenarnya. Sang pemberi pesan

mengabarkan esok hari, Kamis, 8 Desember 2011,

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa Wali Kota Semarang, Soemarmo Hadi Saputro. Pemeriksaan akan berlangsung di kompleks Akademi Kepolisian. Soemarmo diperiksa sebagai saksi atas praktik penyuapan yang dilakukan Akhmat Zaenuri (Sekretaris Daerah Kota Semarang). Zaenuri tertangkap tangan KPK dalam kasus suap kepada sejumlah anggota legislatif untuk meloloskan APBD Kota Semarang 2012. Yuha adalah jurnalis bidang liputan hukum di sebuah harian lokal di Semarang. Dalam pikirannya, esok hari, ia akan melakukan peliputan yang melelahkan. Meliput pemeriksaan yang dilakukan KPK biasanya perlu waktu lama. Tak jarang hingga malam hari. Diperlukan strategi dan kecermatan ekstra. Maklum, seringkali terperiksa melakukan upaya pengelabuan agar lolos dari kejaran jurnalis, luput dari sorotan kamera. Kamis, 8 Desember 2011 pukul delapan pagi, ia sudah sampai di Gedung Serba Guna Akpol, tempat pemeriksaan. Sejurus kemudian, belasan jurnalis lain juga hadir. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali pengamatan lapangan sebagai bahan reportase, serta nyanggong hingga pemeriksaan selesai, lalu ramai-ramai menghadang Soemarmo untuk 1


AJI Semarang

mewawancarai. Sejumlah agenda liputan lain terpaksa ditinggal. Apalagi ada perintah dari redaktur untuk meliput berita pemeriksaan ini hingga tuntas. Pemeriksaan kelar sekitar pukul 18.00. Setelah berhasil mewawancarai Soemarmo, Yuha bergegas ke kantor untuk menuliskan bahan liputan selama sehari penuh. Hatinya sumringah. Naluri junalisnya berbisik: berita besar akan segera muncul. “Meski hanya sebagai saksi, Wali Kota diperiksa KPK, tentu menarik perhatian publik,� gumamnya dalam hati. Nilai berita kian melambung mengingat tulisan ini akan terbit bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi tingkat nasional yang dipusatkan di Semarang pada 9 Desember. Acara peringatan yang dihelat di Ruang Pertemuan Masjid Agung Jawa Tengah akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan hampir seluruh kepala daerah se-Indonesia. Tentu saja Soemarmo berkepentingan kesuksesan acara tak tercoreng berita pemeriksaan dirinya. Jangan ditulis Sepanjang mengendarai sepeda motor ke kantor, Yuha sudah membayangkan judul ciamik, sudut pandang yang kuat, bahkan info grafis sebagai penguat berita. Fotografer juga sudah mempersiapkan foto. Selepas magrib, di komputer kerjanya, data mulai disalin. Fakta mulai dirangkai, kalimat pun mulai dirajut. Namun, tak lama kemudian, datanglah redaktur atasannya menghampiri. Sang redaktur menyampaikan jika dirinya baru saja menerima telepon dari kantor redaksi pusat 2


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

yang meminta agar berita pemeriksaan Soemarmo jangan ditulis. Alasannya, “ada perintah khusus” dari pemilik media agar tidak menurunkan berita tersebut. Wali Kota memang dikenal dekat dengan sang pemilik media tempat ia bekerja. Pelarangan itu bagai tsunami yang menghempaskan seluruh semangatnya. Kerja keras sehari penuh sirna sekejap. ”Ini keterlaluan,” ujarnya kecewa. Yuha dan redaktur boleh saja marah, juga boleh mengumpat. Tapi di tempatnya bekerja, kata sang Bos adalah sabda yang tak mungkin dibantah. Kamis 8 Desember 2011 menjadi hari terburuk dalam sejarah jurnalistik Yuha yang sudah dititinya selama lima tahun. Malam itu tersiar kabar di kalangan jurnalis Semarang, Soemarmo telah “mengondisikan” seluruh koran lokal di Semarang tidak menurunkan berita pemeriksaan dirinya. Dan benar. Semua media lokal tak satu pun memberitakan pemeriksaan itu, kecuali beberapa media nasional. Menurut Yuha, upaya sensor yang dilakukan Soemarmo tak lebih dari ketakutan berlebihan. Alasannya, sejauh mana pemberitaan bisa memengaruhi proses hukum yang dijalankan KPK. “Statusnya juga baru saksi,” tandasnya. Ibarat serial sinetron, upaya sensor terhadap pemberitaan korupsi yang menyangkut Soemarmo tak berhenti di situ. Pada pemberitaan persidangan Akhmat Zaenuri, redaksi juga menghilangkan seluruh alur berita yang mengarah pada keterlibatan Soemarmo. Jangankan penyebutan nama secara langsung, inisial pun juga diharamkan. “Ini sebuah pembodohan 3


AJI Semarang

publik,” ujar Yuha. “Taruhlah Wali Kota tak memerintahkan tindakan suap, tapi publik bisa membaca, masak, penggunaan uang ratusan juta (untuk suap) oleh Sekda tanpa sepengetahuan Wali Kota”. Praktik sensor semacam ini memang tak merugikan Yuha secara finansial. Tapi, ini melecehkan profesionalisme sebagai jurnalis. Seolah dirinya ikut bermain dan diuntungkan dalam skenario besar penyelamatan Soemarmo. Suatu ketika Yuha merasa malu dengan pertanyaan dari pengacara Akhmat Zaenuri perihal hilangnya nama Soemarmo. Beruntung, sang pengacara bisa memahami posisinya yang hanya sebagai buruh di media tempat bekerja. Proses hukum suap APBD Kota Semarang terus berlanjut. Akhirnya, KPK menetapkan Soemarmo sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada 17 Maret 2012, lalu menahannya di LP Cipinang Jakarta pada 31 Maret 2012. Arah angin langsung berubah. Kebijakan redaksi tempat Yuha bekerja juga berbelok. Berita Soemarmo dalam pusaran korupsi suap APBD sering menjadi berita utama, lengkap dengan penyebutan nama, juga foto. Mungkin akan terasa lucu jika tak memberitakan, sementara media lain juga memberitakan. “Mungkin juga secara hukum dan politik Soemarmo sudah tak bisa diselamatkan,” kata Yuha. Saat pemberitaan korupsi Soemarmo mulai muncul, Yuha mendapat ucapan selamat dari pengacara Zaenuri. “Selamat ya, akhirnya nama Soemarmo muncul utuh,” kata Yuha menirukan ucapan tersebut. Meski ucapan itu bermuatan 4


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

kelakar, bagi Yuha, hal ini sejatinya menunjukkan jika publik tahu atas praktik sensor yang terjadi di medianya tempat ia bekerja. Bukan pengalaman satu-satunya Praktik sensor di atas bukanlah pengalaman satusatunya bagi Yuha. Desk peliputan hukum adalah salah satu kompartemen yang sering menjadi sasaran sensor. Banyak orang salah merasa takut jika keculasannya terpublikasi. Konon, pada kompartemen lain, praktik serupa juga acap terjadi. Atau ada kompromi berita dengan pemasang iklan. Tapi dia tak tahu persis. Kebetulan media tempatnya bekerja melarang jurnalisnya mencari iklan. Saat ia menulis berita penyelewengan dana bantuan sosial di Jawa Tengah, yang nilainya hingga miliaran, ada perintah dari salah seorang redaktur untuk tidak melanjutkannya. Alhasil, berita hanya muncul sekali. Umumnya, pemberitaan korupsi selalu berkelanjutan. Baik karena pertimbangan kedekatan maupun karena besarnya kerugian negara yang timbul. Kasus serupa juga terjadi pada awal-awal pemberitaan dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Karanganyar, Rina Iriani, sebelum menjadi tersangka. Berita soal Rina tidak boleh menyudutkannya atau cukup dengan pemberitaan yang kecil agar tak menjadi perhatian. Di internal wartawan media ini, beredar kabar jika Bupati Rina adalah teman akrab salah satu elit redaktur.

5


AJI Semarang

“Berita ini landai saja”, “Ada perintah khusus. Jangan diteruskan”, atau “Jangan diteruskan, ini temannya Bos”. Petikan-petikan pesan pendek tersebut sudah menjadi kalimat perintah dari kepala kompartemen atau sekadar redaktur “biasa” untuk menghentikan sebuah pemberitaan. Bisa jadi perintah tersebut memang datang dari sang pemilik media¸ atau sekadar redaktur yang memiliki kepentingan menghentikan berita dengan mencatut nama pemilik. Karena sudah menjadi semacam “peraturan baku”, Yuha tak mencoba mencari tahu apakah perintah itu benar-benar “titah” pemilik atau tidak. Ada juga redaktur yang berterus terang meminta Yuha tak menulis sebuah kasus hukum hanya karena berita terkait dengan saudara, tetangga atau kolega sang redaktur. Misalnya saat ia menulis penyimpangan pengadaan sarana dan prasarana di sebuah daerah. Salah seorang redaktur (bukan kepala kompartemen) meminta tak ditulis dengan alasan kasus itu melibatkan saudaranya. Karena sudah menjadi peraturan baku, perintah itu menjadi simalakama: jika ditulis sudah pasti tak akan dimuat, jika memaksakan diri menulis, akan muncul pertanyaan tuduhan jika wartawan di lapangan “ada main” dengan narasumber. “Lha wong sudah dilarang, kok tetap menulis,” demikian pertanyaan yang akan muncul. “Sungguh menyakitkan,” kata Yuha. Di satu sisi, jurnalis harus menyajikan fakta, membela kepentingan publik. Pada sisi lain, jika menulis justru muncul tuduhan ada kepentingan pribadi.

6


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Dalam industri media, jurnalis memang buruh. Namun menurutnya bukan buruh dengan kaca mata kuda yang harus tunduk pada perintah atasan secara kaku, tanpa dihormati intelektualitasnya. Kesal dengan kondisi demikian, dalam beberapa kasus, Yuha mengaku mengabaikan larangan tersebut dengan tetap memasukkan beritanya ke keranjang berita. “Yang penting sudah kutulis. Gugur kewajibanku. Dimuat atau tidak, itu urusan lain”. Kadang, berita yang tak dimuat, dia lempar di media sosial. Bagi Yuha, selain sensor yang terjadi di ruang redaksi, independensi jurnalis juga dipengaruhi oleh praktik pemberian amplop yang kerap terjadi di lapangan, dengan berbagai bentuk dan modusnya. Pada bidang liputan hukum, pemberian amplop sering dilakukan oleh narasumber. Tujuannya agar berita dihentikan atau sajiannya diperlunak. Kadang pemberian amplop dilakukan oleh jurnalis yang menjadi perantara. Tak jarang pula ada jurnalis yang sengaja memosisikan sebagai perantara untuk pembagian amplop. Perusahaan tempatnya bekerja memang tak secara tegas melarang jurnalisnya menerima pemberian dari narasumber. Yuha juga mengaku bukan malaikat atau jurnalis sok suci yang secara ekstrem menolak pemberian dari narasumber. Kalau sekadar makan-makan dan menjaga komunikasi dengan narasumber, bisa dimaklumi. Tapi kalau amplop yang bersifat “keras”, nyata-nyata untuk menghentikan pemberitaan, itu yang tak bisa ditoleransi. “Sebisa mungkin saya tolak,” tukasnya.

7


AJI Semarang

Tak gampang untuk menolak godaan amplop. Apalagi, perusahannya tak memberi gaji secara ideal untuk ukuran seseorang yang sudah berkeluarga dan beranak. Untuk menutupi kebutuhan, Yuha membuka toko suvenir sebagai usaha sampingan. Tentang fenomena jurnalis lain yang menerima amplop, bahkan berburu amplop, menurutnya itu suatu pilihan atau sikap personal. ***

8


Langkahku Terganjal Iklan

S

ebut saja ia sebagai David. Menjadi jurnalis adalah citacitanya sejak saat kuliah di perguruan tinggi negeri di

Semarang pada awal 2007. Meskipun ia tidak kuliah di

jurusan ilmu komunikasi, namun daya pikat menjadi jurnalis tetap menggebu. Pada 2008 ia mendaftar di sebuah organisasi pers kampus di perguruan tingginya agar ketrampilan menulisnya terasah. Di lembaga pers mahasiswa itu apa saja yang berkaitan dengan seluk beluk penulisan ia pelajari, menulis berita, wawancara, reportase, artikel, esai sastra, sejarah pers, hingga idealisme pers mahasiswa. Semua yang ideal dipelajari di kawah candradimuka. Baginya, pers ada untuk menjunjung tinggi kebenaran. “Saya ingin menjadi jurnalis karena bisa menyampaikan kebenaran, dan membantu mengungkap sesuatu yang tersembunyi atau disembunyikan,� katanya. Keteguhan niat dan usaha David dijawab oleh Tuhan. Seperti ditulis novelis Brazil Paulo Coelho dalam The Alchemist (2005):“Ketika kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu maka alam raya akan berkonspirasi membantumu meraihnya.� Ya, di penghujung 2010 David mendapatkan tawaran magang sebagai wartawan di media lokal di Semarang bersama teman-temannya. Namun dari sekian teman-temannya yang

9


AJI Semarang

ikut magang, hanya David yang tetap bertahan melanjutkan sampai magang selesai. Dari daya juang dan ketahanannya itu, ia direkrut oleh media tersebut menjadi reporter. Awal menjadi reporter David bergairah melakukan peliputan. Panji-panji idealisme masih dipegang. Roh idealisme yang ditiupkan sejak di pers mahasiswa masih diemban. Namun, tahun 2012 merupakan titik balik baginya. Mulai saat itu David dipindahkan oleh pemimpin redaksinya meliput berita hukum, dari yang sebelumnya di bagian umum dan pendidikan.

10


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Selama meliput di bagian hukum inilah ia harus terpaksa dan “dipaksa� menggantungkan idealisme sebagai seorang jurnalis. Pada saat ia ditempatkan di bagian hukum, ada kasus besar soal korupsi yang menyeret seorang pejabat penting di pemerintahan kota ini. David semangat meliput pejabat Pemerintah Kota Semarang yang tersandung kasus suap ini. Kasus itu menyeret dua anggota legislatif, Sekretaris Daerah (Sekda), dan Wali Kota. Persidangannya tidak dijadikan satu. Untuk dua anggota legislatif persidangannya dijadikan satu, sedangkan Sekda dan Wali Kota dilakukan secara terpisah. Pada saat Sekda sebagai terdakwa, Wali Kota masih sebagai saksi saat persidangan dan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Dalam perkembangannya, kasus Wali Kota ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sering dimuat tidak utuh Awal-awal persidangan dengan terdakwa Sekda, David masih biasa saja menulis liputannya. Berita juga dimuat sebagaimana yang ia tulis. Namun saat Wali Kota dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan itu, mulai ada masalah. Berita sering tidak dimuat secara utuh oleh redaksi, bahkan ada yang tidak dimuat ketika dia menulis berita yang isinya melibatkan Wali Kota.

11


AJI Semarang

Pada suatu kesempatan, David diundang ke ruang kepala redaksi media tempat ia bekerja. “Saya diomongi oleh Pemred (pemimpin redaksi). Dia bilang kalau nulis berita soal kasus korupsi Wali Kota yang halus-halus saja, karena dia juga pernah membantu membesarkan koran kita, dia sering pasang iklan di koran kita,” ujar David. Keluar dari ruangan itu, emosi David mulai membuncah. Hati nuraninya menghadapi dilema. Ia tidak tahu harus marah kepada siapa. Satu sisi ingin keluar dari media itu, di sisi lain ia harus menghidupi istri dan anaknya. Setelah berpikir panjang, akhirnya David mengambil pilihan tetap bekerja di media tersebut. Ia juga masih tetap menulis berita kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat pemerintah Kota Semarang. Walaupun yang ditayangkan agak berbeda dari yang ia tulis, terutama berita yang menyangkut pejabat pemerintah tersebut. “Saat ada persidangan kasus korupsi Wali Kota, berita saya banyak yang tidak dimuat,” ujar dia. Dalam menuliskan berita persidangan kasus korupsi pejabat itu, ia selalu mencoba menuliskannya secara berimbang dengan fakta-fakta persidangan. Namun yang dimuat ternyata tidak utuh. Terutama fakta-fakta persidangan yang memberatkan pejabat itu. “Saya share dengan wartawan lain yang meliput di hukum di media lokal Semarang, ternyata mereka juga mengalami hal serupa,” ujar David.

12


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Intervensi yang diterima dalam kasus itu tidak hanya dari dalam kantor sendiri, tapi juga berasal dari orang-orang dekat pejabat pemerintah. Seringkali David ditelepon bahkan didatangi orang dekat pejabat agar mau menghaluskan dan mengamankan pemberitaannya. “Saya jawab saja, itu urusan kantor, tugasku hanya nulis, silakan ke kantor saja,� katanya. David merasa diintervensi dalam kasus itu dari awal hingga akhir, bahkan sampai pejabat tersebut disidangkan di Jakarta. Ia mengaku kecewa dengan banyaknya campur tangan. Meskipun demikian, ia tidak bisa melakukan protes terhadap pemimpin redaksi, karena ia juga masih membutuhkan kerja untuk menghidupi keluarga. Selain kasus tersebut, ketika ia meliput di pengadilan juga kadang mendapatkan intervensi dari para narasumber yang dekat dengan terdakwa. Intervensi itu terkadang dari pejabat kadang juga pengusaha. Intervensi biasanya muncul pada kasuskasus korupsi karena menyangkut nama baik. Orang-orang itu biasanya menemui langsung para wartawan. “Mereka minta beritanya dibaik-baikkan, minta beritanya dari perspektif terdakwa saja,� ujar David. Intervensi itu, lanjut dia, kadang hanya berupa permintaan secara lisan, terkadang juga berupa uang. Bahkan pernah dalam kasus korupsi yang melibatkan sebuah perusahaan di Jakarta, yang menggarap proyek di pemerintahan Kota Semarang ia dan wartawan lainnya diminta menyebutkan angka rupiah yang dikehendaki agar tidak memuat berita pada 13


AJI Semarang

setiap persidangan. Perusahaan tersebut menginginkan agar nama baiknya terjaga. “Saya bilang, kalau soal itu saya tidak berani, karena saya hanya orang lapangan, saya minta bilang aja ke redaksi. Dia bilangnya cuma ya-ya saja, tapi perkembangannya tidak tahu, kasusnya tetap saya tulis. Kasus ini melibatkan pejabat pemerintah,� beber David. Kata David, permintaan-permintaan itu tidak berpengaruh dalam sisi penulisannya. Fakta di persidangan tetap ia tulis. Ia juga memberikan porsi pemberitaan kepada terdakwa demi keseimbangan. “Walaupun tidak dapat uang juga tetap saya tulis,� kata wartawan muda ini. Menurut David, peliputan di bidang hukum yang rawan diintervensi adalah pengadilan pejabat yang terkena korupsi karena kasusnya biasanya berkaitan dengan pihak-pihak lain. Sebelum peliputan di bidang hukum, David pernah ditempatkan sebagai wartawan floating.* Di bidang ini ia sering menulis berita-berita lapangan yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah daerah setempat. Pernah ia beberapa kali mendapatkan intervensi dari pihak pemerintah kota. Misalnya saat ia menulis kondisi kekumuhan kota dan banjir, ia tidak boleh meliput soal berita itu dulu karena masih ada penilaian untuk pemberian penghargaan Adipura. Lagi-lagi ia juga tidak bisa berbuat banyak karena memang medianya sering *Floating adalah wartawan yang wilayah liputannya umum, tidak spesifik di bidang tertentu

14


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

mendapatkan iklan dari pemerintah daerah.

Iklan pemerintah daerah Diakui David, medianya memang banyak mendapatkan iklan dari pemerintah daerah untuk menjalankan roda operasional perusahaan, meskipun sebelumnya manajemen pusat di kelompok media tersebut mengingatkan agar tidak banyak menerima iklan dari pemerintah daerah. Dikhawatirkan, kalau pemerintah ada masalah, medianya tidak bisa berbuat banyak. “Nyatanya anjuran itu tidak dilaksanakan,� ujar dia. Sudah berulangkali David merasa diintervensi oleh internal medianya. Belum lama ini ia menulis berita dari siaran pers Panwaslu yang berisi partai politik belum boleh memasang iklan di media dalam jangka waktu tertentu sesuai jadwal tahapan Pemilu. Malam harinya ia ditelepon oleh pemimpin redaksinya. “Pemred saya bilang, kalau tidak boleh iklan di media, kamu mau makan apa, kan gajimu sumbernya juga dari iklan,� ujarnya menirukan ucapan bosnya. Usai mendapatkan telepon itu, ia kesal. Sebab, ia merasa tidak ada yang salah dari isi tulisan beritanya. Larangan beriklan di media itu tidak bersifat tetap, tapi sesuai dengan waktunya. Pada pagi harinya, berita tetap tidak dimuat. Ia tidak berani protes, ia hanya mengeluh dalam diam.

15


AJI Semarang

Sudah hampir empat tahun ia bekerja di media tersebut. Selama itu pula ia harus sering berkompromi terhadap keadaan. “Orientasi saya dulu jadi wartawan karena saya menganggap media itu bisa menjadi penyambung rasa warga, media bisa menjadi penengah antara warga dengan penguasa. Ternyata praktik di lapangan berbeda. Ternyata di lapangan ambyar* semua,” ujarnya. David sadar, media ternyata bukan tempat bersemayam idealisme, tapi juga kepentingan bisnis. Dalam sehari ia menulis berita minimal tiga dan tidak jarang ia menulis empat sampai lima berita. Total gaji yang ia terima dalam sebulan rata-rata Rp1,7 juta. “Kalau ditanya cukup atau tidak, ya tidak cukup, kami sekeluarga mencukup-cukupkan,” katanya. Apakah dengan gaji senilai itu sudah bisa membuat anda profesional? “Saya kira belum,” pungkasnya. ***

*Hancur lebur.

16


Tekanan itu Selalu Ada

M

ENJADI pemimpin redaksi bagi lelaki berwajah tegas itu, sebut saja Awok (nama samaran), adalah amanah sekaligus beban. Karena, selain harus

mampu membawa arah dan tujuan media yang diterbitkan, ia juga bertanggungjawab terhadap isi berita setiap harinya kepada publik. Tanggungjawab kepada perusahaan pun juga ada di pundaknya agar media terus berkembang dan hidup. Pengalaman menjadi jurnalis telah dilakoninya sejak belasan tahun lalu. Tulisan tentang features* pun sering muncul kala itu. “Ya saya senang menulis features, terutama masalah yang unik di masyarakat,� katanya mengawali obrolan pada suatu malam di ruang kerjanya. Baginya, idealisme adalah prinsip yang harus dipegang kapan saja dan dimana saja. Hal itu pun ia terapkan ketika masih sebagai pemburu berita hingga menduduki jabatan tertinggi di bidang jurnalistik. “Tekanan, di mana pun tetap ada. Apalagi, anda tahu sendiri, media ini seperti apa. Keberpihakan kepada pemerintah yang sedang berkuasa tentu harus dilakukan. Belum lagi soal relasi sang pemilik, ini yang menurut saya harus mendapat porsi,� katanya. *Features adalah berita dengan gaya penulisan berkisah tentang fakta tertentu yang menarik imajinasi pembaca untuk masuk ke tema yang dibahas. Bentuk tulisan features tidak terpaku pada bentuk piramida terbalik. Justru mengharapkan pembaca mengikuti dengan seksama dari awal hingga akhir.

17


AJI Semarang

Awok pun mengisahkan awal menjabat sebagai pemimpin redaksi sebuah media yang sebagian sahamnya milik salah satu media besar dan sebagian lainnya milik seorang politisi. Baru beberapa hari mengemban amanah, ia harus “diuji� ketika sang pemilik saham berurusan dengan hukum. “Mau tak mau, kami harus memberitakan.Itu kewajiban jurnalis. Tapi, porsinya memang lebih kecil. Kalau di media lain, menjadi berita besar. Dan saya kira, ini wajar dan berlaku di semua media manapun dan di mana pun. Sekelas media yang paling kritis sekalipun, ketika relasi sang pemilik media, atau bahkan pemilik saham media itu sedang bermasalah, pasti juga akan diupayakan untuk tidak keluar atau kalau keluar, hanya di halaman pojok,� paparnya. Ia juga mengaku, pada kasus-kasus tertentu pihaknya diberikan keleluasaan. Misalnya dalam mengkritik kebijakan gubernur. Pemberitaan tetap proporsional, dan sama sekali tidak ada intervensi. Tuntutan upah buruh misalnya, medianya juga tetap mengkritisi kebijakan dari pemerintah. Pembelaan itu jelas dilakukan oleh media kepada masyarakat. Ketika itu menyangkut Iriani, atau Ketua DPRD Grobogan, kita juga tetap membuatnya. Dan tidak semua berita mendapat intervensi. Memperdalam masalah dari sudut manapun juga tidak masalah. Kasus kepala daerah yang terlibat korupsi jadi berita utama. Rembang, Karanganyar, Sragen.

18


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Ia juga menjelaskan, tekanan selain sering dari pemilik media juga sering datang dari narasumber. Narasumber menilai, media yang ia pimpin memiliki kepentingan dibalik pertanyaan yang disampaikan oleh sang wartawan. “Ketika wartawan konfirmasi, dituduh macam-macam. Padahal, misi media adalah menyuarakan kepentingan masyarakat yang luas. kritik kepada pemangku kebijakan pun dalam rangka memberikan dorongan agar dapat bekerja lebih baik. Kami pun memberikan semangat dan pesan kepada wartawan di lapangan, agar tetap bekerja sesuai kode dan kaidah etik jurnalistik,” katanya. Kepentingan Perusahaan Awok melanjutkan kisahnya sembari tangan kanannya memegang ponsel dan di jari tangan kirinya terselip sebatang rokok. “Mau tidak mau, kebijakan memasang berita kasus yang melibatkan pemilik atau relasi, selalu saya diskusikan dengan kawan-kawan di lapangan dan mereka yang di meja editor. Saya share semuanya. Kalau ada kawan lapangan yang membuat berita itu terlalu panjang, kami pun mendiskusikan bagaimana kalau menuliskannya kembali secara ringkas dan tidak terlalu menohok. Di sisi lain, kepentingan perusahaan kan harus kita hormati dan jalankan,” jelasnya. Tak jarang, kata dia, ketika berita “kasus” itu muncul meskipun hanya kecil, selalu menjadi bahan evaluasi ketika rapat pada pagi harinya. Baik rapat redaksi ataupun dengan jurnalis di lapangan. 19


AJI Semarang

Pengalaman mendapatkan tekanan dari atasan langsung atau bahkan sang pemilik media juga menjadi pengalaman yang dirasakan pahit oleh Yoyok, jurnalis yang biasa ngepos di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Menurutnya, idealisme jurnalis saat ini telah tergadaikan oleh materi. Tekanan perusahaan media kepada “buruh” medianya, semakin memperparah kondisi ini. Idealisme telah menjadi barang langka yang lambat laun tertelan gelombang kehidupan. Posisi jurnalis bukan hanya ternoda dengan “amplopamplop” yang berserakan di sekeliling mereka, tapi juga ternista oleh perilaku perusahaan-perusahaan media yang hanya memikirkan keuntungan. Hak rakyat mendapatkan informasi terkebiri. Demi iklan, perusahaan menekan jurnalis untuk menulis berita santun khusus pada pejabat/instansi tertentu. “Konsep ideal sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) hanya bisa diterapkan jika ada dukungan dari perusahaan media. Tanpanya akan sulit karena posisi tawar wartawan yang lemah. Banyak perusahaan media tidak menghargai wartawan sebagai profesi yang memiliki kode etik. Perusahaan hanya menganggap wartawannya adalah karyawan semata yang harus mengikuti instruksi pimpinannya, meskipun menabrak KEJ,” paparnya.

20


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Menghentikan Berita Yoyok pun kemudian berbagi pengalaman atas tekanan dari atasannya. Pengalaman intervensi paling sering ia alami adalah menghentikan berita yang tidak sesuai dengan kepentingan pemilik media atau oknum di redaksi. “Kasus dana bansos APBD 2011, misalnya, atau geger dana aspirasi APBD 2014 yang rekamannya bocor kemarin. Bentuk lain misalnya, ketika sedang menulis tiba-tiba mendapat instruksi untuk mengarahkan tulisan ke sudut pandang tertentu dan menghilangkan nama atau subjek tertentu,” paparnya. Ada lagi, menurut Yoyok, yang juga merupakan intervensi adalah tugas-tugas menumpuk dari redaksi yang ia curigai sebagai upaya pengalihan perhatian. Jurnalis diberi banyak tugas setiap hari agar tidak sempat mencari berita yang mengganggu “konco-konco” pemilik media. Intervensi itu pun menurutnya tidak hanya merugikan publik, tapi juga melemahkan semangat jurnalis. “Jika tak ingin mental melemah, jiwa terganggu, dan menjadi pesimis, satu-satunya cara ya tinggal pintar-pintarnya memainkan tempo. Jika ada berita yang berpotensi melibatkan pihak yang dekat dengan pemilik media atau oknum redaksi, harus dipilah waktu yang tepat untuk menulisnya. Cari data yang lengkap dan pada waktu yang tepat langsung geber dalam beberapa hari kemudian diakhiri dengan konfirmasi kejaksaan atau kepolisian,” jelasnya. Saat ini, kata dia, penegak hukum banyak mencari kasus

21


AJI Semarang

dari media. Jurnalis pun bisa bersiasat. “Jadi meskipun berita dihentikan, jangan patah arang karena yakinlah kasus itu telah menjadi perhatian penegak hukum. Suatu saat bisa bikin berita itu lagi setelah kasusnya masuk tahap penyelidikan atau bahkan penetapan tersangka,� tegasnya. ***

22


Menulis di Bawah Tekanan

A

khir Januari 2012 merupakan hari-hari pahit bagi

Herman. Panggil dia begitu saja. Jurnalis salah satu

media lokal yang berjejaring bisnis nasional itu terkejut

oleh panggilan telepon genggamnya dari seorang petinggi militer di Kota Semarang. Suaranya halus tapi kental dengan tekanan. “Kenapa harus menulis itu?� kata Herman menirukan kejadian yang ia alami kala itu. Pengalaman Herman tadi, saat ditemui pertengahan Oktober 2013, merupakan salah satu kisah intervensi yang ia alami. Anehnya intervensi dalam kerja-kerja jurnalistik itu melibatkan pejabat aparatur tentara nasional yang tak terkait dengan persoalan teritorial di Kota Semarang. “Ia seorang komandan daerah militer. Sengaja ia menghubungi dan menanyakan alokasi dana BOS yang salah sasaran. Padahal itu wilayah dinas pendidikan,� kata Herman bercerita. Saat itu Herman menulis kasus dugaan penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian Lembar Kerja Sekolah (LKS). Kasus itu menarik diberitakan karena menyangkut kepentingan publik khususnya dunia pendidikan. Di sisi lain penggunaan anggaran dinilai melanggar regulasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 76 Tahun 2012 yang melarang dana BOS untuk keperluan membeli 23


AJI Semarang

LKS. Tulisan pun dibuat dan diterbitkan oleh media tempat ia bekerja, diantaranya komentar wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam berita “Penyidik Dituntut Temukan Titik Terang”. Tulisan itu berisi dorongan agar kepolisian segera menuntaskan dugaan penyimpangan penggunaan dana BOS. Tulisan terus dibikin sebagai tulisan lanjutan pun dibuat agar publik kian paham. Herman pun menulis berita“Dewan Pendidikan: Pengadaan Buku Latihan UN Bukan Penyelewengan” yang menjelaskan klarifikasi kebijakan pembelian. Dewan Pendidikan Kota Semarang menganggap pengadaan buku yang berisi kisi-kisi Ujian Nasional (UN) untuk SD/MI itu tak menyalahi prosedur. Secara umum tulisan yang dimaksud berisi dorongan tanggung jawab publik, pengusutan hingga mengurai akar persoalan mengenai pro-kontra penggunaan dana BOS. Termasuk dengan Ketua Dewan Pendidikan Kota Semarang, Rasdi Ekosiswoyo, yang diduga kuat menyetujui dan ikut bermain dalam proses pengadaan buku. Tekanan dari Tentara Namun dari situ persoalan intervensi terus muncul. Herman pun mulai tak nyaman dengan beragam tekanan, termasuk dari aparatur Komando Distrik Militer setempat seperti yang ia ceritakan pada awal wawancara. Lebih dari itu, ternyata salah satu sumber yang merasa keberatan ditulis mengadukan Herman ke wakil ketua DPRD 24


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Kota Semarang. Sumber ini meminta agar kasus itu tak terus diulas dalam pemberitaan. Tak realistis memang, namun itu sebuah fakta ketika wartawan harus menghadapi intervensi dari sejumlah aparatur, baik dari lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan legislatif. Ketika ditelusuri, intervensi sejumlah pejabat itu ternyata didasari ikatan emosional karena sama-sama sebagai penyelenggara dan aparatur pemerintahan.

25


AJI Semarang

Tekanan yang dialami Herman bukan kali itu saja. Sejak tahun 2007, terdapat belasan kasus ancaman yang muaranya intervensi terhadap karyanya. Khususnya tulisan berisi kasus penyelewengan yang terjadi dalam pemerintah Kota Semarang. Bentuknya tak hanya ancaman, tapi lebih pada larangan menulis. “Biasanya sumber-sumber terkait berita yang melibatkan pihak terkait dan menjadi sumber utama,� kata Herman bercerita. Kasus yang tak jauh berbeda juga terulang saat ia menulis maraknya peredaran film biru Luna Maya-Ariel Peterpan, yang saat itu diakui beredar di kalangan siswa suatu sekolah. Pengakuan adanya peredaran film sebenarnya dilontarkan oleh wakil kepala sekolah yang juga membidangi bagian hubungan masyarakat (humas). Namun ketika komentar itu ditulis berdampak pada lengsernya si sumber dari jabatan yang telah membocorkan informasi itu. Lagi-lagi Herman diteror, sumber mengajak bertemu dan nada mengajak berkelahi, kantor pun membela meski sempat ditegur. “Tapi saya kan punya bukti rekaman dia,� katanya. Ancaman dengan segala cara yang telah dialami oleh Herman itu jelas berdampak pada independensi berita yang diterbitkan di medianya. Ia mengakui meski nalurinya ingin menjalankan profesi secara benar, namun ia sempat tertekan dan punya rasa tak tega karena bisa menyebabkan orang lengser dari jabatannya.

26


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Tak jarang Herman, jurnalis muda yang pernah dipindahtugaskan di daerah terpencil ini, merasa bersalah juga takut dengan ancaman yang pernah ia rasakan. Karena persoalan tuntutan produktivitas berita itu, tekanan tidak hanya lewat ancaman, namun juga cara halus lewat pemberian tip. “Jaran� istilah yang tak asing di kalangan jurnalis Kota Semarang. Menerima dengan pertimbangan uang merupakan yang dicari dalam kapasitas jurnalis sebagai profesi. “Jaran� bukan barang baru. Itu bagian dari kebiasaan dan budaya buruk bagi sebagian besar jurnalis Semarang. Sebagai jurnalis Herman merasa tidak nyaman dan nuraninya terusik setiap menerima amplop berisi uang. Ia mulai menganggap hal itu suatu kewajaran ketika menyaksikan sejumlah rekannya juga menganggap biasa kejadian itu. Apalagi, gajinya sebagai jurnalis, profesi yang telah ia lakoni selama hampir lima tahun, kurang mencukupi keluarganya. Tiap bulan, gaji ditambah tunjangan-tunjangan yang ia terima di bawah Rp 2 juta. Meski enggan menyebut nilainya, upah yang diterimanya tidak sepadan dengan tuntutan kerjanya yang mengharuskan dia menulis berita minimal empat tulisan per hari. Kondisi internal keredaksian Bercerita lebih lanjut mengenai kasus intervensi terhadap media, Herman menyatakan tekanan tak hanya dari sumber dan pihak luar yang merasa dipojokkan. Herman juga merasakan kondisi internal keredaksian tak obyektif dalam menerbitkan sebuah informasi. Ini sangat ia rasakan ketika 27


AJI Semarang

menulis laporan kasus korupsi Wali Kota Semarang, Soemarmo Hadi Saputro saat menjalani sidang sebagai terdakwa kasus suap anggota dewan tahun 2011. Saat menulis kasus Sumarmo, Herman dipaksa menyampaikan fakta persidangan yang harus diperlunak. Penulisan seperti itu tentunya menyulitkan pembaca yang harus mengambil kesimpulan dari kasus suap yang nyata-nyata dilakukan oleh kepala daerah. Yang terjadi kemudian beritanya tak mengarah pada subtansi persoalan, tapi cenderung mengambang dan tak kredibel. Misalnya fakta persidangan yang menunjukkan Soemarmo ikut terlibat, namun oleh redaktur justru ia diminta agar ia menulis sudut pandang lain sehingga substansinya kabur. Keberpihakan redaksi itu disebabkan oleh kepentingan iklan meski dari seorang politikus dan penguasa yang wajib hukumnya dikontrol media. Belum lama ini ada campur tangan redaksi terkait berita sekretaris suatu partai di tingkat Jawa Tengah. Pengurus itu menolak pergantian antarwaktu Ketua DPRD. Redaksi memerintahkan agar pemberitaan lebih memihak sang sekretaris partai. “Ini urusan iklan, Bung,� kata Herman menirukan alasan sang redaktur. Faktanya, segala cara dipraktikkan untuk mendapatkan iklan sebagai salah satu penopang hidup media. Meski hal itu mengintervensi ruang pemberitaan, hal itu kini tidak dianggap tabu lagi oleh jajaran redaksi. ***

28


Berharap Besar dari Sukses Ganjar

S

ebuah pesan singkat di Blackberry Messenger (BBM)

menyebar ke sejumlah redaktur di sebuah media lokal di Semarang. Isinya meminta agar redaktur mengubah

sebuah kalimat langsung dalam satu berita yang telah ditayangkan secara daring (online) ke bahasa lebih lunak pada berita koran yang akan diterbitkan. “Maklum sebagai pemimpin baru Ganjar kadang keceplosan komentar,” kata seorang redaktur media itu. Saat itu Ganjar Pranowo mengomentari Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengenai penataan baliho Kota Semarang, khususnya di kawasan Simpang Lima. Dalam pernyataannya yang telah dimuat dalam berita daring ada kalimat yang berbunyi “Kalau dia punya otak”. Gubernur baru itu langsung cepat-cepat klarifikasi agar pernyataan yang telah diterbitkan tak dimunculkan pada penerbitan koran pada esok harinya. BBM dari Ganjar tak hanya ditujukan ke wartawan langsung, namun menyebar ke wakil pemimpin redaksi yang isinya meminta agar berita dengan kalimat kasar tersebut itu dihapus. “Keputusannya karena tak mengubah esensi berita akhirnya dihapus dalam tayangan berita koran,” kata redaktur itu menambahkan. Dalam perspektif jurnalistik, sikap Gubernur Ganjar yang meminta pengubahan kalimat yang sebelumnya 29


AJI Semarang

disampaikan itu wajar saja. Itu bagian dari klarifikasi dan penjelasan sebagai hak jawab dia yang diberitakan dalam media daring. Namun, menjadi berlebihan ketika kejadian itu dianggap menekan semua pengolah berita di ruang pemberitaan. Bagi kalangan redaktur hal ini bisa dimaklumi, bahkan media yang baru berdiri kurang dari dua tahun itu sangat tergantung pada perilaku Ganjar sebagai bahan utama pemberitaan. Redaktur beralasan berita yang banyak berisi pendapat Ganjar dimaksudkan sebagai arahan internal untuk menaikkan kualitas berita. Kalau pun ada kepentingan, itu semata-mata kepentingan publik dan terkait hajat hidup orang banyak. “Bukan berita wacana, berita wacana bukan prioritas. Tapi yang diperlukan komentar pejabat yang langsung menyentuh masyarakat,� katanya menjelaskan. Ia membantah isi berita yang banyak menyampaikan pendapat sang gubernur itu sebagai intervensi, namun lebih pada upaya pencitraan produk. Pemahaman yang dimaksud adalah publik perlu informasi yang eksklusif. Alasan lain peramu dapur redaksi mencoba mengolah sebuah produk yang berbeda dengan media lain, meski substansi berita yang disajikan sama. Mengonsep Tindakan Ganjar Tak jarang redaktur terlibat mengatur agar sikap dan perilaku Ganjar punya nilai berita. Bagi redaksi, mengkonsep tindakan Ganjar agar punya nilai berita lebih menjadi kewajiban. Hal ini dibuktikan saat ulang tahun Gubernur Ganjar bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013. 30


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Saat itu anak perusahaan sebuah koran nasional yang ada sejak tahun 1966 itu menyiapkan kejutan khusus untuk sang gubernur. Skenario pun digarap. Kejutan dihadirkan saat diskusi kelompok terfokus yang kebetulan digelar oleh media tersebut. Ganjar yang hadir sebagai pembicara utama pun mendapat kejutan. Sang istri gubernur sengaja dihadirkan secara sembunyi tanpa sepengetahuan Ganjar. Memang berlebihan kelihatannya, namun langkah ini dinilai sebagai pola arahan untuk mendapatkan berita menarik. Peramu dapur redaksi menyatakan sengaja menghilangkan suasana kepentingan politik. Isi berita yang disajikan pun berbeda dengan media lain, namun upaya menyajikan berita dengan cara-cara skenario itu justru memposisikan media terkooptasi oleh euforia sang gubernur. Keterlibatan dapur redaksi mengarahkan pemberitaan yang cenderung lunak terhadap Gubernur Ganjar dengan pertimbangan tak ada berita yang netral. Namun redaksi memastikan berita itu tak terkait kepentingan politik. “Kami tetap kritis terhadap Ganjar, namun berusaha menjalin kedekatan dengan Ganjar,� katanya. Ia mencontohkan sikap kritis itu dengan berita laporan khusus mengenai instalasi jaringan gas di Jawa Tengah yang tak kunjung terealisir. Langkah itu dilakukan dengan menyelenggarakan diskusi memanggil Ganjar. Materinya mengupas pentingnya suplai gas sekaligus memanfaatkan kedekatan untuk kepentingan rakyat banyak. Redaktur beralasan tema gas di Jawa Tengah sangat seksi karena 31


AJI Semarang

menyangkut krisis dan menjadi hajat hidup orang banyak serta tidak digarap oleh media lain. Pemberitaan semacam ini tentunya menimbulkan kesan Ganjar mendapat tempat di media yang baru berganti nama itu. Hal ini diakui dengan pertimbangan Ganjar merupakan pemimpin baru yang kebijakan-kebijakan serta gebrakannya bisa ditangkap sebagai sumber pemberitaan terdepan. Dengan kata lain media itu mendapatkan hal banyak dari Ganjar. Membuat Rubrik Interaktif Lapor Gan Pemahaman untuk dekat dengan kekuasaan dalam mendapatkan berita eksklusif dari pemimpin baru itu dibuktikan dengan membuat rubrik interaktif Lapor Gan. Rubrik itu diterbitkan setiap Selasa yang berasal dari pesan singkat masyarakat mengenai harapan dan keinginan serta keluhan mereka. Pengelola media memfasilitasi itu sebagai alat komunikasi gubernur dengan rakyat. Langkahnya memberikan kesempatan publik mengirimkan pertanyaan lewat kanal Lapor Gan di laman media tersebut. Dari sekian pertanyaan ada empat hingga lima pertanyaan yang dijawab yang kemudian diterbitkan pada edisi cetak hari Selasa. Redaksi beralasan kanal itu bagian dari visi media yang berperan dalam membangun pelayanan publik. Kanal Lapor Gan dengan menampilkan pertanyaan kritis, diakui tidak dibayar. Hasilnya komunikasi publik dengan pemerintah pun

32


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

terjalin, sejumlah pertanyaan kritis publik mengenai kebijakan gubernur ditulis apa adanya tanpa diedit. Tampilnya rubrik itu sebagai fasilitas komunikasi antara gubernur dan publik itu diakui untuk menaikkan citra media sehingga media diperhitungkan oleh masyarakat. Rubrik tadi melengkapi halamannya sendiri, yaitu hot public service, yang menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas. Kebijakan itu sengaja diambil sebagai upaya memoles Ganjar agar bisa dikaitkan dengan kepentingan produksi berita. Pertimbangan lain adalah hubungan saling menguntungkan karena Ganjar dinilai masih kurang populer. Hal ini berbeda dengan Gubernur DKI Joko Widodo. Media itu melihat Ganjar masih bertindak sporadis dan terlalu banyak menggulirkan wacana belaka. Dengan alasan itu, media yang mengejar basis pembaca semua kalangan itu justru hanyut masuk pusaran sikap politik dalam berita-berita yang diterbitkan. Pemahaman itu bukan tanpa alasan untuk menghindari pemberitaan sporadis, tapi juga membangun isu dengan kepentingan utama publik. “Media diperhitungkan dengan jualan isu. Ganjar butuh media, dan kami butuh momentum,� kata redaktur saat hendak mengakhiri wawancara. Prinsip penerbitan yang mengarah pada pusaran kepemimpinan Ganjar itu dijamin tak ada yang mengatur, namun hanya mengandalkan kedekatan. Ia menegaskan pemberitaan yang diangkat dan lebih menonjolkan figur gubernur itu sebagai simbiosis mutualisme ketika Ganjar butuh

33


AJI Semarang

media, sedangkan medianya butuh pencitraan sebagai pemain baru. Sikap menonjolkan Ganjar itu dibuktikan ketika Ganjar unggul dalam hitung cepat (quick count) hasil Pemilihan Kepala Daerah Jawa Tengah, Mei 2013. Ketika sinyal kuat menunjukkan Ganjar menang, redaktur segera mengirim jurnalisnya mengikuti ke mana sang pemenang pergi bahkan hal ini dilakukan hingga hendak pelantikan.“Di situlah ada hasilnya, berita eksklusif, foto Ganjar sungkem tanpa rekayasa, tamu datang mendoakan tanpa rekayasa,� katanya. ***

34


Demi Oplah, Kritik Diolah

N

amanya Bumi (bukan identitas sebenarnya), laki-laki jurnalis di sebuah media cetak lokal Akumbara (nama samaran) di Kota Semarang. Media lokal ini milik

sebuah perusahaan korporasi media cetak terkemuka di Indonesia. Sekoci bisnis jejaring media ini merambah seantero daerah, baik di Pulau Jawa hingga luar Jawa. Ia bekerja sejak tahun 2011. Awalnya, ia bekerja di koran lokal Bambara (nama samaran), sebuah media dalam korporasi yang sama. Namun, seiring waktu, koran Bambara diakuisisi oleh perusahaan koran Akumbara--perusahaan yang sama-sama berkantor di Jakarta. Akuisisi berdampak pada perubahan manajemen dan keredaksian. Koran Bambara resmi dihentikan per 28 April 2013. Tercatat, edisi 27 April merupakan edisi pungkas koran yang terbit perdana pada 17 Januari 2011 ini. Dampak akuisisi itu, ada orang-orang yang dipertahankan dan sebagian lagi undur diri. Selain itu, tentu saja, ada aturan yang dipertahankan dengan kukuh, dan ada yang melunak. "Soal amplop, di koran saya dulu (koran Bambara-red) itu ketat. Tetapi, di koran Akumbara sekarang tidak terlalu ketat," seloroh Bumi saat ditanya perihal perbedaan media Bambara dengan medianya sekarang. Bumi sendiri mengaku, sampai saat ini masih terus beradaptasi dengan sistem medianya yang ia nilai ada beberapa perbedaan. 35


AJI Semarang

Lebih lanjut, dia mencontohkan, di koran Akumbara boleh menerima uang asalkan itu tidak menyangkut berita. "Jadi, kalau diajak pergi, terus dikasih uang transpor itu tidak apa-apa," aku lelaki yang lebih sering memakai kaos oblong ini saat liputan. Kalau dahulu, lanjut Bumi, di koran Bambara hal terkait pemberian uang dan barang itu sangat ketat. Bagaimanapun, uang yang diberi itu haram, begitu pesan yang terus didengungkan pimpinan sesuai budaya perusahaan (corporate culture). "Terus dulu, kalau dapat bingkisan di atas Rp1 juta kan harus laporan. Kalau di koran Akumbara, itu sudah menjadi haknya," papar Bumi yang biasa melakukan peliputan di wilayah DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini. Perbedaan lain yang dirasakan Bumi, yakni persinggungannya dengan dapur redaksi. Ada upaya "intervensi" terkait pemberitaan menyangkut sosok kepala daerah di Provinsi Jawa Tengah. Bumi mengakui bentuk intervensi dari redaksi ada. Redaksi berpesan untuk selalu mengolah dan memperhalus kritik terkait dengan sosok pemimpin tersebut. Keberlangsungan Sekoci Bisnis Alasan redaksi, hal itu memiliki motif menjaga keberlangsungan sekoci bisnisnya, dalam politik dagang, untuk meningkatkan oplah koran di pasaran. Nama sosok kepala daerah yang diusung itu menjadi citra untuk bisa mengangkat oplah medianya. Salah satu bentuk pengangkatan citra, 36


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

korannya menampilkan rubrik khusus, ruang saling sapa antara sosok tersebut dan masyarakat pembaca Akumbara. Manajemen seolah berpesan kepada pembaca: “Apabila ingin tahu aktivitas si sosok pemimpin ini secara lebih eksklusif, belilah koran ini.� Pada awalnya, melihat realitas itu, Bumi gelisah. Namun lama-kelamaan dia bisa memahami ihwal perubahan itu. Lantas, selama beberapa minggu, ia dan kawan-kawan jurnalis lainnya digembleng pelatihan pola penulisan berita baru. Apa yang disampaikan oleh pimpinan di kantornya itu pada intinya bertujuan untuk "masa depan" bisnis media tempatnya bekerja saat ini. Setelah mengetahui alasan campur tangan pimpinannya tersebut, Bumi mafhum dan bisa menerimanya. "Seandainya tak tahu alasannya, pasti saya bakal menentang. Justru, intervensi itu penting, buat masa depan koran saya," kata Bumi yang kemudian secara sadar merasa bahwa dirinya menjadi ujung tombak yang ikut bertanggung jawab untuk menjaga masa depan itu. Berbagi soal intervensi, misalnya memperhalus kritik, Bumi menyebut, pernah terjadi ketika si sosok kepala daerah itu terkena cipratan kasus korupsi dari Jakarta. Kasus yang digulirkan oleh seorang politisi di Jakarta dari balik jeruji penjara itu menyangkut keterlibatan si pemimpin pada sebuah proyek. Saat itu, dia diminta mewawancarai sosok pemimpin itu. Pekerjaan yang sudah menjadi kewajibannya itu dia lakukan sebagaimana mestinya. Prinsip kerja jurnalistik, seperti

37


AJI Semarang

independen dan aspek keberimbangan sudah ditempuhnya. Ditulis. Diedit. Kemudian, setelah pressklaar,* dikirim ke redakturnya. Keesokan hari saat koran terbit, Bumi kaget. Ternyata, apa yang ditulis dan susunan berita yang diterbitkan mengalami perbedaan. Kritik dan konfirmasi yang terkandung di dalamnya telah diracik sebegitu rapinya sehingga terkesan lebih halus. Menurut redaksi, dalam kasus e-KTP itu, si sosok pemimpin berada dalam posisi diserang oleh lawan politik yang memanfaatkan Nazaruddin. Selain itu, karena pertimbangan praduga tak bersalah dan belum tentu benar. Contoh lain yang disampaikan oleh Bumi adalah masalah yang terkait dengan pembangunan infrastruktur di wilayah kerja sang pemimpin daerah. Pernah suatu ketika, Bumi mencoba mengkritik sosok pemimpin ini dari kacamata rencana pembangunan infrastruktur. Asumsinya, konsep si pemimpin dalam pembangunan infrastruktur tidak jelas. Maka, dia pun mewawancarai narasumber pakar yang memiliki kapasitas perihal pembangunan dan infrastruktur. Inti tulisan itu secara garis besar berisi konsep si sosok pemimpin dibandingkan dengan pemimpin di daerah lain yang dinilai masih kurang jelas dan terukur. Namun, seperti berita yang terkait dengan kasus eKTP, tulisan analisisnya itu pun tak seperti yang dibuatnya. "Di koran yang muncul narasumbernya dibalik. Ulasan pemimpin yang melalui bawahannya ditaruh di bagian atas *Pressklaar merupakan istilah yang sering dipakai dalam editing produk jurnalistik. Maknanya kurang lebih naskah yang sudah sangat bagus, siap cetak, atau layak siar. Belum pressklaar artinya masih ada salah ketik, salah eja, salah data, atau masih kurang lengkap. Belum sempurna. Belum layak cetak.

38


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

sedangkan tulisan kritisnya malah di belakang," ujar Bumi yang sempat heran saat berita ini dibacanya. Terkait upaya memperhalus kritik ini, memang masih membuat Bumi digelayuti tanda tanya. Pasalnya, koran Akumbara saat ini berbeda dengan koran sebelumnya, Bambara. Koran Bambara dahulu dikenal independen dan tidak menolerir terkait berita di luar. "Saat ini berubah. Kepentingan bisnis menjadi utama," beber dia dengan nada serius. Tidak Boleh Pedas Redaktur tidak pernah menyuruh mengkritik pedas terhadap narasumber, bahkan sebaliknya, tidak boleh pedas. Hanya saja, hal itu terlihat dalam berita-berita pedas ke narasumber yang "dilindungi" itu tak tayang atau muncul, namun diperhalus. Ia berkeyakinan, redaksi tak bisa dan tak punya hak untuk meminta jurnalisnya sendiri menulis "jangan pedas�. "Karena itu kan hak saya sebagai pribadi yang berprofesi sebagai jurnalis. Mereka hanya bisa membuat kebijakan untuk mengeluarkan produk yang halus," paparnya. Bumi juga mengetahui dari redakturnya bahwa apa yang dilakukan perusahaannya sebagai strategi bisnis untuk melawan korporasi media lain di tingkat lokal. Terutama, terhadap salah satu media lokal terbesar dan tertua di Jawa Tengah. Perusahaan tempat Bumi bernaung menyadari bahwa media kompetitor sudah menjadi raksasa media yang berjejaring di wilayah Jawa Tengah. Pesaingnya itu telah mengakar dan menguasai semua

39


AJI Semarang

sektor penunjang bisnisnya. Mulai dari sistem di pemerintah dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, pihak swasta, serta masyarakat di tingkat kelurahan dan RT. Saat ditanya, apakah juga ada intervensi atau tekanan dari pihak lain selain dari redaksi, Bumi menuturkan, intervensi selama di wilayah kerjanya sampai saat ini belum ada. Sebelumnya, Bumi ditempatkan di wilayah peliputan Kabupaten Semarang. "Saat ditempatkan di Ungaran banyak intervensi dari luar. Mereka minta beritanya nggak tayang, dan itu lebih dari sekali," ujarnya. Berbagi pengalaman seputar liputan di lingkungan tempatnya bekerja, dia rasakan dari sesama teman jurnalis yang meliput. Hal itu, terutama, pada jurnalis senior yang bergerombol. “Mereka hanya mau berbagi info dengan sesama gerombolan mereka,� gerutunya. Meskipun begitu, Bumi tetap bisa mengakses info-info lain dari para jurnalis yang lebih terbuka. Tercatat, di wilayah kerjanya terdapat kurang lebih lima kelompok wartawan. Lima kelompok jurnalis itu rata-rata terdiri dari lima hingga belasan jurnalis. Mulai dari jurnalis muda hingga yang sudah tua. Ada yang berasal dari media terkemuka dan dari media yang “abu-abu� alias tak jelas kantor dan tempo terbitnya. Menariknya lagi, ada satu jurnalis senior yang juga menjadi anggota dari beberapa kelompok jurnalis tersebut.

40


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Melihat fenomena itu semua, Bumi tak ambil pusing. Baginya, yang penting selalu menjalankan kerja jurnalistik secara profesional. “Aku tak ingin terkotak-kotak masuk salah satu. Semua adalah teman. Penting kerja tetap lancar,” katanya. Bumi mencintai dunia jurnalistik pada pers kampus sejak menjadi mahasiswa pada 2006 di salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Kota Semarang. Menjadi jurnalis bukan pilihan di tengah jalan. “Sudah merasa ini adalah duniaku,” papar Bumi yang secara profesional mulai bekerja menjadi jurnalis pada 2011 di Koran Bambara. Saat ini, Bumi ditarget bisa menulis minimal tiga berita untuk media cetak. Pada saat ramai isu, bisa menulis lima berita dalam sehari. Meski sudah ada edisi daring, dia tak ditarget untuk mengirim di laman daring. “Rata-rata bikin empat berita per harinya,” tuturnya. Bumi saat ini digaji Rp2,8 juta per bulan. Soal kesejahteraan, menurutnya, lebih baik di media sebelumnya atau Koran Bambara ketimbang di Koran Akumbara. Ia mencontohkan, jurnalis baru yang masuk pada April 2013 mendapat gaji Rp2 juta. Sedangkan, jurnalis yang baru masuk Oktober 2013 mendapat gaji lebih rendah, yakni Rp1,8 juta. "Kalau aku karena sudah 2 tahun, sekarang gajiku Rp2,8 juta," ujarnya. Mengenai tunjangan, apabila dibandingkan, lebih lumayan Koran Akumbara ketimbang Koran Bambara. Mungkin ini alasan mengapa Koran Akumbara memberi gaji lebih sedikit,

41


AJI Semarang

tetapi tunjangannya lebih baik. "Selain itu, aku juga dapat ponsel pintar dan kamera," katanya. Saat ini, di kebijakan manajemen, apabila ada yang mau kredit motor bisa barter iklan. “Bahkan, sekarang lagi proses mau kerjasama kredit rumah lewat kantor,� tandas Bumi yang kelak ingin menjadi pengusaha setelah tak lagi menggeluti dunia jurnalistik. ***

42


Media: Butuh Jeneng, Juga Jenang

S

aya menjadi wartawan sejak 2005. Saya pernah bekerja di media lokal dan juga media nasional. Saya pernah

ditempatkan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Kini,

saya ditugasi meliput di Semarang. Saya merasa bekerja di daerah dengan di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ada persamaan dan juga perbedaan. Terutama terkait dengan independensi sebagai jurnalis. Yang saya rasakan, baik di daerah maupun di Semarang, sama-sama banyak narasumber yang mencoba mengarahkan pemberitaan saya. Sebagai jurnalis, saya akui ada berita yang sesuai kehendak saya tapi ada juga berita yang terkendala intervensi dari pihak lain. Salah satu kendala idealisme menjadi wartawan di daerah adalah adanya kebersamaan antarwartawan satu dengan yang lain. Kerja wartawan di daerah dituntut guyub (rukun) bersama dengan teman-teman. Jika saya mau sendiri rasanya agak sulit. Maka, berita-berita di daerah lebih terasa seragam. Kalau saya lepas dari “konspirasi jahat� bersama-sama itu maka bisa jadi saya akan dimusuhi. Korps kebersamaan wartawan di daerah lebih kuat. Misalnya, ada sebuah kasus. Biasanya akan ada salah satu wartawan “senior� yang bermain dengan narasumber. Wartawan ini mengatasnamakan para wartawan lain, lalu 43


AJI Semarang

berkonspirasi dengan narasumber untuk tidak menurunkan berita. Hal seperti itu bisa dilakukan. Sebuah berita yang ditulis semua wartawan di daerah itu di-drop atau tidak jadi ditulis, itu bisa dilakukan. Berbeda dengan bekerja sebagai wartawan di Semarang. Lebih bisa merdeka karena intervensi kebersamaan bisa dikurangi. Memang ada senioritas tapi hanya dari segi umur, bukan dalam berita. Meski dalam kasus-kasus tertentu intervensi atas nama kebersamaan itu juga masih terjadi. Kasus intervensi pihak lain kepada wartawan saya rasakan pada saat peliputan kasus Pujiono (dikenal dengan nama Syekh Puji). Pujiono terjerat kasus hukum gara-gara menikahi anak di bawah umur. Di Semarang, karena Pujiono yang merupakan orang kaya sering melakukan tindakan aneh, maka kasus ini sangat ramai dan menjadi perhatian publik. Setahu saya, saat itu wartawan terpecah: ada yang pro Pujiono tapi ada juga yang pro kepada kepolisian, dalam hal ini adalah Polisi Resor Kota Besar Semarang, yang menangani kasus Pujiono. Saat itu, berita saya mengkritik kinerja polisi yang saya anggap tidak profesional dalam melakukan penyidikan terhadap Pujiono. Misalnya, berkas acara pemeriksaan Pujiono sangat lama untuk mencapai P-21 (lengkap). Bahkan, Kejaksaan sudah tiga kali mengembalikan berita acara pemeriksaan ke polisi. Saya mencium polisi tidak profesional. Atau bisa jadi kejaksaan juga ikut bermain.

44


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Tapi saat berita mau saya bikin, saya ditemui seorang wartawan yang sudah lama meliput di kepolisian. Saya diminta untuk tidak membuat berita itu. “Nggak usah dimuat,” kata wartawan tersebut. Saya pun diberi sejumlah uang. Saat itu, tidak hanya saya yang diberi uang. Tapi banyak wartawan lain juga diberi uang oleh “wartawan senior” tadi. Pada satu sisi saya tidak enak kalau saya tetap membuat berita. Sebab, saya juga mempertimbangkan hubungan baik dengan komunitas wartawan. Kebersamaan dengan teman wartawan-wartawan menjadi pertimbangan tersendiri. Tapi, kalau saya tidak buat beritanya juga eman-eman (sayang) karena termasuk berita yang bagus. Bahkan, bisa diibaratkan materi beritanya sudah tinggal gong-nya. Sebab, sebelumnya berita-berita tentang Pujiono juga sudah saya bikin terus, mulai dari pemeriksaan, penahanan hingga penyerahan berkas yang tidak lekas lengkap itu. Konfirmasi dan verifikasi juga sudah komplit. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba telepon genggam saya berdering. “Wartawan senior” lain menelepon saya. Wartawan ini mengaku telah ditelepon oleh salah satu pejabat di Polrestabes Semarang. Sang polisi menanyakan apakah media saya membuat berita tentang Pujiono. Pejabat ini meminta agar berita Pujiono tidak usah dibuat. Di ujung telepon, wartawan ini mengaku berucap kepada polisi: “Saya tidak berani, Ndan.” Ndan itu merujuk kepada komandan di kepolisian tadi. Meski memikirkan soal kebersamaan dengan wartawan-wartawan,

45


AJI Semarang

akhirnya saya putuskan saya tetap menulis berita tentang Pujiono. Sebab, saya menilai berita ini bagus. Urutan peristiwa juga sangat bagus, mulai dari pemeriksaan, penahanan hingga puncaknya pelimpahan berkas yang tidak beres-beres. Tapi, saya hanya bisa menghela nafas. Sebab, berita yang saya buat itu tidak dimuat redaktur. “Apa gak mangkelke (menjengkelkan),� gumam saya. Saya tidak tahu kenapa berita Pujiono itu tak dimuat redaktur. Saat itu, saya juga tidak berani untuk menanyakan ke redaktur, kenapa berita tentang Pujiono tidak dimuat. Padahal, sebelumnya berita tentang Pujiono juga dimuat terus. Mungkin petinggi kepolisian berkomunikasi dengan redaktur saya. Saya masih ingat betul: saat itu, yang memuat berita tentang Pujiono hanya satu media. Yang lainnya tidak ada berita soal molornya pelimpahan berkas. Tidak Bebas Menulis Saya mengakui juga memiliki kedekatan dengan pejabat Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) yang mengurusi perkara Pujiono itu. Jika dia ada rezeki, saya juga pernah diajak makan bersama-sama wartawan lain. Bagi saya, kalau sudah menyangkut narasumber, namanya pertemanan ya pertemanan. Tapi, kalau sudah menyangkut kerja jurnalistik maka saya akan berusaha profesional. Kalau memang pejabat yang saya sudah kenal perlu dikritik ya harus saya kritik melalui berita. Jiwa kebersamaan komunitas wartawan yang membuat saya tidak bebas menulis berita juga pernah saya rasakan pada

46


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

saat liputan tentang kasus narkoba. Saat itu, polisi menetapkan lima orang tersangka kasus narkoba. Tiba-tiba, sebelum saya menulis berita itu ada seorang saudara tersangka yang menemui para wartawan, termasuk saya. Untuk bertemu dengan komunitas wartawan, dia ditemani seorang “wartawan senior” yang sudah cukup lama meliput di kepolisian. Saat itu, orang tersebut meminta agar dua nama tersangka narkoba yang merupakan saudaranya hanya ditulis inisial. Padahal, waktu itu, kami sudah mendapatkan nama lengkap para tersangka secara valid. “Wartawan senior” tadi juga memberikan amplop kepada para wartawan. Atas nama jiwa kebersamaan itu tadi, saya termasuk wartawan yang hanya menyebut nama inisial dua tersangka. 47


AJI Semarang

Ketidakindependenan jurnalis juga sering saya rasakan jika berhadapan dengan atasan saya, redaktur. Saya merasa sudah membuat berita bagus tapi di-drop (tidak ditayangkan) oleh redaktur. Tidak dimuatnya berita saya itu pernah saya alami pada saat saya meliput kasus dugaan korupsi Bukit Cinta Bandungan, Kabupaten Semarang. Kasus ini berawal dari adanya perbaikan tempat wisata. Tapi saat itu dana cairnya sudah mepet akhir tahun. Akibatnya, pengerjaan proyek tidak maksimal. Wujud pengerjaan proyeknya mangkrak. Padahal, anggaran proyek sudah dicairkan. Kejaksaan juga sudah menetapkan tersangka. Saat ini, para tersangka yang di bawah juga sudah diadili. Saya menilai berita yang menyangkut kasus korupsi itu sangat bagus. Apalagi kalau ada pejabat yang terseret dalam kasus tersebut. Saya kemudian membuat beritanya. Narasumber sudah dapat. Data juga sudah valid. Ibaratnya, kalau ada yang protes berita saya, tidak bisa. Karena data sudah valid. Saya juga sudah konfirmasi ke Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Tengah, selaku pihak yang punya proyek tersebut. Sesampai di kantor, saya malah ditelepon pejabat Dinas Pariwisata. Pejabat ini mengajak bertemu. Tapi saya sudah tahu apa maunya si pejabat. Dia ingin agar saya tidak menulis berita dugaan korupsi proyek Bukit Cinta. Karena gelagatnya tidak baik, saya pun tidak mau menemui permintaan pertemuan. Saya beralasan sudah sore dan waktu tenggat (deadline), karena saya tidak mau menemui, pejabat ini pun berujar ke saya, “Tolong

48


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

nulisnya (berita) jangan keras-keras ya, yang biasa saja”. Saya hanya bilang: “Iya...iya....” Tapi, dalam hati, saya sebenarnya tidak mengindahkan permintaan itu. Berita saya tulis apa adanya: ada dugaan penyelewengan pada proyek Bukit Cinta. Kejaksaan juga sudah menaikkan ke tahap penyelidikan. Tapi, saya harus mengerutkan dahi. Berita yang saya buat itu tidak dimuat redaktur. Penjelasan dari kantor sangat klasik. Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama) tapi juga butuh jenang.* Saya merasakan matinya wartawan itu kalau berita sudah di-drop redaksi. Saya tidak tahu apa saja konspirasi antara pejabat dinas pariwisata dengan redaksi. Yang jelas saya melihat koran saya juga sangat jarang mendapatkan iklan dari Dinas Pariwisata tersebut. Masalah lain adalah pengubahan sudut pemberitaan oleh redaktur mengenai berita yang saya buat. Beberapa kali redaktur saya memang mengubah berita saya. Tapi saya memahami karena mungkin saya kurang jeli membuat sudut pemberitaan. Pengalaman soal intervensi berita juga saya rasakan pada saat saya meliput kepala daerah. Saat itu, ada kepala daerah yang hendak pelesiran ke Amerika Serikat. Awalnya saya intens mengikuti rencana pelesiran tersebut. Titik berat berita saya adalah kritik. Sebab, saya menilai kunjungan itu tidak tepat karena dilakukan menjelang pengesahan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Berita saya “menggebuki” *Jenang adalah sejenis makanan. Dalam pernyataan ini, jenang bermakna konotatif yang berarti kekayaan atau pun kesejahteraan

49


AJI Semarang

kepala daerah tersebut agar batal melakukan pelesiran. Saya menulis berita soal ini tidak ada duitnya sama sekali. Setelah ramai, kepala daerah tersebut membatalkan pelesiran. Setelah itu kepala daerah tersebut mendekat ke wartawan. Bahkan, dia melakukan semacam anjangsana ke media-media. Dampaknya baru terasa di kemudian hari. Ketika kepala daerah tersebut ingin diinterpelasi oleh DPRD, berita-beritanya tidak dimuat. Saya sudah sering membuat beritanya tapi tidak pernah dimuat. Belakangan, ketika ada satu media membuat berita interpelasi itu, media saya baru meminta untuk membikin beritanya. Tapi berita yang termuat adalah berita hak jawab dari si kepala daerah. Jadi agak aneh. Awal-awal kita tidak memberitakan kasusnya tapi belakangan hak jawab atau bantahan dari pihak kepala daerah terus-menerus dimuat. Nah, setelah itu ada permufakatan pemerintah daerah dengan bagian iklan. Bertemu Preman Saya juga pernah membatalkan sebuah berita karena pertimbangan keselamatan tetangga saya. Saat itu saya dikabari oleh tetangga saya bahwa pengurukan proyek tol Semarang-Solo mengganggu warga. Debu pengurukan terbang kemana-mana sehingga warga merasa terganggu. Bahkan, sekelompok warga berunjuk rasa karena terganggu dengan proyek jalan tol. Saya pun ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Setelah mencari lokasi, saya bertemu dengan seseorang. Saya bertanya soal keluhan

50


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

warga itu. Tapi, celaka. Orang yang saya temui itu adalah preman penjaga lokasi proyek tol. Saat itu, preman tersebut sedang berjaga di depan sebuah base camp. Sesekali preman ini wirawiri naik sepeda motor trail untuk mengecek lokasi tol. Ketika saya tanya tentang keluhan warga, preman itu pun menjawab dengan ketus. Bahkan, preman ini membantah adanya warga yang protes. Belakangan, sesaat saya hendak pulang, saya malah dicegat. Saya diinterogasi, siapa yang memberitahukan adanya protes warga. Dengan polos saya menjawab yang memberitahukan adalah tetangga saya. Saya pun menyebut nama tetangga saya itu. Setelah itu saya pulang. Saya pun berencana akan membuat berita tersebut. Berita protes warga itu menjadi salah satu berita yang saya listing ke redaktur. Listing adalah laporan dari wartawan ke redaktur mengenai rencana berita yang hendak dikirim. Sampai di rumah, saya pun langsung membuat berita tentang tol tersebut. Sesaat hendak saya kirim, seorang tetangga yang memberitahukan adanya protes warga datang ke rumah saya. Dengan tergopoh-gopoh, tetangga saya bercerita bahwa ia baru saja diancam oleh preman keamanan proyek jalan tol. Ia pun memohon kepada saya agar berita jangan sampai ditulis. “Padha-padha apike (sama-sama baiknya)� kata tetangga saya. Idealisme saya pun luntur dengan pertimbangan kemanusiaan. Saya pun khawatir kalau berita ini saya teruskan maka yang kena dampak adalah tetangga saya. Tetangga saya

51


AJI Semarang

juga punya anak dan istri. Padahal, saat itu berita sudah saya listing, berita sudah jadi dan tinggal mengirim. Setelah berpikir sejenak, saya pun menelepon redaktur. “Berita saya soal proyek jalan tol saya drop ya,� kata saya. Redaktur pun mengiyakan setelah saya memberi penjelasan tentang situasi di lapangan. Intervensi pemberitaan melalui kekerasan fisik memang tidak pernah saya alami. Kekerasan fisik terhadap jurnalis di Jawa memang minim, bahkan jarang sekali. Mungkin berbeda dengan kondisi di luar jawa. Selama bekerja sebagai jurnalis, tawaran amplop memang sering saya alami. Banyak narasumber maupun dinasdinas yang memberikan amplop kepada para wartawan. Saya akui saya termasuk wartawan yang doyan uang amplop. Tapi, tidak sembarang amplop saya terima. Prinsip saya: bekerja dengan independen dan profesional. Saya bukan tipe jurnalis yang hobinya kesana kemari mencari amplop. Saya bekerja mencari berita yang bagus untuk perusahaan. Tujuannya agar perusahaan bisa berkembang dan bisa menjadi acuan masyarakat. Tiap mau berangkat bekerja, saat keluar dari rumah niat saya adalah mencari berita. Tidak sedikit pun terlintas di benak saya pergi ke lapangan untuk mencari uang dengan mendatangi kantor-kantor dinas pemerintahan. Saya mengakui, saya tergolong wartawan yang mau menerima uang atau amplop dari narasumber. Tapi saya punya prinsip dalam menerima amplop tersebut, yakni narasumber merasa tidak saya peras. Kenapa saya mau menerima? Sejauh

52


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

narasumber dalam memberikan amplopnya bisa sambil tersenyum dan senang. Dalam memberikan amplop itu narasumber tidak atas dasar keterpaksaan. Sebab, banyak sekali narasumber yang sebenarnya sangat terpaksa dalam memberikan amplop ke wartawan. Bahkan, ada narasumber yang merasa mengalami pemerasan dari para wartawan. Saya bukan tipe pemeras. Ibaratnya, kalau ada amplop ya saya terima, kalau tidak ya tidak. Susahnya adalah banyak narasumber yang mau kita wawancara, mereka mengira kita mencari amplop. Bahkan, ada narasumber yang setelah kita selesai mewawancarainya seperti gelisah karena tidak punya duit untuk memberikan amplop. Kalau situasinya seperti itu, kita justru malah yang paling tidak enak. Bicara soal tolak amplop, saya teringat dengan peristiwa yang pernah saya alami. Pernah saya meliput seorang anak meninggal dunia karena terjatuh di selokan pembangunan proyek tol Semarang-Solo. Setelah melakukan reportase dan verifikasi lapangan, saya pun meminta konfirmasi ke pihak kontraktor yang menggarap proyek jalan tersebut. Saat itu saya sendirian. Bahkan untuk mendapatkan konfirmasi saya menunggu sampai waktu salat Magrib. Setelah selesai wawancara, tiba-tiba pihak kontraktor memberikan uang amplop ke saya. Jelas, hati saya berontak dan menolak pemberian amplop tersebut. “Mboten usah, Pak (Tidak usah, Pak),� begitu kata saya kepada kontraktor. Sebab, kalau

53


AJI Semarang

saya mau menerima uang amplop tersebut maka sama saja saya memanfaatkan musibah orang lain untuk keuntungan pribadi saya. Ada orang kesusahan karena anaknya meninggal dunia tapi saya malah mendapatkan amplop dari narasumber. Ada keluarganya kesusahan, tapi seolah-olah kita malah tepuk tangan untuk mencari uang amplop. Hal-hal seperti itulah yang harus kita pertimbangkan dalam menerima atau tidak pemberian amplop dari orang lain. Menerima amplop itu juga harus punya prinsip dan pertimbangan. Keluarganya kesusahan, tapi kita seolah-olah tepuk tangan untuk mencari duit. Pertimbangan lain kenapa saya mau menerima amplop karena saya merasa masih tetap bisa independen meski menerima amplop. Tapi, jika ada narasumber yang memaksa beritanya harus begini atau begitu maka saya koordinasi dengan pihak kantor terlebih dulu. Sebab, narasumber itu kadang mintanya macam-macam. Kalau ada berita tapi isinya seperti iklan, saya harus koordinasi dulu dengan redaktur. Kadang redaktur memperbolehkan berita sesuai dengan pesanan narasumber atau klien. Biasanya klien itu akan memberikan sejumlah uang ke saya. Karena beritanya berbau promosi, uang itu saya serahkan ke kantor. Uangnya terbilang kecil, antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Karena bukan iklan. Di kantor sudah ada bagian pengumpul uangnya. Biasanya saya diberi sekitar 10 persen dari uang yang saya dapatkan. Nah, uang yang sudah terkumpul di kantor biasanya

54


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

digunakan untuk beberapa keperluan darurat karyawan. Misalnya ada karyawan maupun jurnalis yang terkena musibah, keluarganya sakit atau dirinya sendiri sakit, maka akan mendapatkan sumbangan dari uang tersebut. Kantor saya sebenarnya sudah memberikan asuransi, tapi kadang prosesnya cukup lama. Sebagai jurnalis, saya kadang juga diperbolehkan mencari iklan. Tapi biasanya hanya menjadi penyambung saja. Misalnya di salah satu dinas sedang ada rencana pemasangan iklan, saya berkomunikasi dengan pejabatnya. Lalu soal harga saya sambungkan dengan bagian pemasaran. Tidak ada permufakatan pemberitaan apa pun dengan saya. Dengan memberikan “jasa� menyambungkan pengiklan dengan bagian pemasaran itu saya bisa mendapatkan bagian, antara lima hingga sepuluh persen. Memang saya akui, banyak perusahaan media belum memberikan upah secara layak kepada jurnalis. Akibatnya, bagaimana jurnalis bisa profesional jika kesejahteraannya saja masih minim. Makanya, melihat persoalan jurnalis juga harus menimbang bagaimana perusahaan memperlakukan jurnalis. ***

55


AJI Semarang

56


Sudah Digebuki Tertimpa Koran Lagi

P

anggil dia Alex. Suatu hari jurnalis di sebuah surat kabar

harian Jawa Tengah ini kaget tak kepalang. Pasalnya,

serombongan pegawai sebuah Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) datang ke kantornya. Perwakilan BUMN itu memprotes sebuah berita yang menurut mereka mencoreng citra perusahaan. “Rupanya ada 'borok' perusahaan itu yang terbongkar oleh berita kami,� tutur Alex. Mereka marah-marah dan meminta agar media tempat Alex bekerja mencabut berita yang diprotes itu. Tentu saja redaksi keberatan. Tak mungkin mencabut sebuah berita yang sudah dikeluarkan. Apalagi redaksi yakin tak ada yang salah dari informasi tersebut. Cukup lama kedua belah pihak berunding terkait permintaan pencabutan berita. Akhirnya muncul kesepakatan. Redaksi tetap menolak mencabut berita, namun memberikan hak jawab sesuai dengan prosedur dalam kode etik jurnalistik. Permintaan pencabutan berita tadi salah satu contoh percobaan intervensi pihak luar kepada redaksi tempat Alex bekerja. Tak hanya percobaan intervensi yang datang ke redaksi, Alex juga pernah mengalami hal yang sama. Saat itu Alex sedang meliput sebuah kasus hukum yang melibatkan seorang pejabat di Pengadilan Negeri Semarang. Dia sedang serius mengumpulkan data. Tiba-tiba saja pengacara 57


AJI Semarang

terdakwa menghampirinya. Ia meminta agar Alex tidak menulis berita tentang pejabat itu. Tegas saja, permintaan pengacara tadi ia tolak. “Beritanya tetap saya tulis dan dimuat oleh redaktur,� katanya. Iklan kalahkan berita Selain percobaan intervensi dari luar redaksi, apakah Alex juga pernah diintervensi oleh redaksinya sendiri? Ia mengaku tidak pernah ada intervensi dari redaksi dalam membuat berita. Alex diberi keleluasaan mencari dan mengolah sumber pemberitaan sesuai keinginannya. "Hanya kalau untuk berita penugasan, memang sudah ada pengarahan tentang garis besar liputan. Tapi tak pernah ada intervensi apa yang tidak boleh ditulis," tuturnya. Begitu juga dengan iklan, menurutnya, tidak berpengaruh terhadap isi berita. Pemasang iklan tidak bisa melarang berita naik cetak jika berita itu berdampak buruk bagi citra pemasang iklan. Setidaknya hingga saat ini, Alex tidak pernah mengalami beritanya di-drop gara-gara pemasang iklan keberatan. Namun, Alex tidak memungkiri bahwa berita bisa saja tidak dimuat jika banyak iklan yang harus dipasang. Ruang halaman koran mungkin saja dipenuhi oleh iklan sehingga berita-berita tersingkir. "Kalau penuh iklan terus berita kalah dan tidak bisa dimuat karena tidak ada ruang, aku kira itu masih wajar," jelasnya.

58


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Bagi Alex, aturan tegas perusahaan yang melarang jurnalis menerima amplop dari narasumber merupakan bekal penting untuk menepis intervensi pihak luar. Dengan tidak menerima amplop, maka jurnalis bisa menulis berita sesuai fakta yang ia kumpulkan. Dari amplop hingga tumo Kondisi ini berbeda waktu ia masih bekerja di media lain yang terkenal sebagai koran kuning, koran yang banyak menampilkan berita kriminal, seksualitas dan klenik. Saat itu, menerima amplop hal yang lumrah saja.

59


AJI Semarang

Alex yang ditugaskan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta menjelaskan, praktik pemberian amplop juga sering ditemui saat ia bekerja. “Tapi praktik amplop di Jogja tak sevulgar di Semarang. Saya kaget saat pertama kali melihat di Semarang kok sekasar itu,” jelasnya. Alex mencontohkan hal yang dianggapnya vulgar. Ia melihat ada jurnalis yang terang-terangan minta imbalan kepada narasumber jika kegiatannya hendak diberitakan. Bahkan ada jurnalis yang datang terlambat di sebuah acara dan mengetahui rekan-rekannya telah mendapatkan amplop, maka ia akan mencari panitia acara untuk minta jatah yang sama. Fakta tadi berbeda dengan di Yogya. Meski praktik pemberian amplop juga ada, tapi jurnalis tidak agresif menagih ke narasumber. “Kalau diberi ya diterima, kalau tak ada juga tak apa-apa. Bahkan kalau tidak kebagian juga tidak minta ke panitia,” jelasnya. Rata-rata nilai nominal amplop di Yogya lebih kecil dibandingkan di Semarang. Berdasarkan cerita rekan-rekannya yang sering mengambil jatah amplop, nilainya berkisar antara Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Sesekali memang ada yang nilainya lebih dari Rp100 ribu, meski sangat jarang. Sementara di Semarang, biasanya minimal Rp100 ribu. Pemerintah provinsi Yogya juga menyediakan jatah amplop bagi jurnalis yang diberikan setiap tiga bulan sekali, jumlahnya sekitar Rp400 ribu. “Nilainya tentu lebih kecil dibandingkan dengan di Semarang dan saya tak pernah ambil,” kata Alex. 60


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Sebagai perbandingan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah biasa memberikan jatah amplop Rp150 ribu dipotong pajak untuk setiap kegiatan. Seandainya dalam sehari ada dua kegiatan, maka akan ada dua jatah amplop pula. Sementara di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, biasa dikenal istilah “tumo” untuk amplop yang dibagikan seusai acara rapat paripurna. “Tumo” akronim dari “pitu limo” atau tujuh puluh lima, mengacu pada besaran uang amplop yang diberikan oleh Setwan DPRD Jawa Tengah, yakni Rp75 ribu. Di medianya yang lama, menurut Alex, jurnalis juga diminta berkontribusi pada pendapatan perusahaan. Caranya dengan menawarkan iklan atau pembelian koran pada narasumber yang diliput. Penawaran iklan disertai pembelian koran sering juga diajukan kepada narasumber yang sedang “digebuki” dengan berita-berita negatif. Biasanya narasumber yang punya masalah, merasa keberatan jika masalah tersebut diketahui publik lewat pemberitaan media. Apalagi jika pemberitaan tersebut muncul berseri selama beberapa hari berturut-turut. Jika begini, istilahnya, narasumber itu sedang “digebuki.” Narasumber yang sedang “digebuki” biasanya mendekati jurnalis dan meminta agar pemberitaan negatif dihentikan. Bahkan tak jarang ada yang langsung datang ke kantor untuk berunding dengan petinggi media. “Biasanya ada tawar menawar untuk pasang iklan dan sebagian dikompensasikan dalam bentuk pembelian koran,” jelas Alex.

61


AJI Semarang

Pembelian koran ini dimaksudkan untuk mendongkrak oplah media. Jumlah koran bisa 50 eksemplar, 100 eksemplar atau sesuai kesepakatan bersama. Banyak atau sedikitnya jumlah koran yang dibeli akan berpengaruh pada panjang pendeknya artikel serta halaman pemuatannya. Berita yang muncul juga sudah diperhalus. Bagi media, cara ini tentu membantu keuangan perusahaan. Sebaliknya, bagi narasumber kondisinya ibarat sudah digebuki tertimpa koran lagi. ***

62


Ketika Sensor Datang dari Segala Penjuru

I

BARAT meniti buih. Demikianlah Amir Machmud NS

mengandaikan tantangan pekerjaannya sebagai pemimpin redaksi harian Suara Merdeka. Tentu bukan perkara yang

mudah. Ia sadar betul, ada nilai-nilai ideal jurnalisme yang harus dijaga kesuciannya. Namun, ketika memasuki ranah industri media, jurnalisme menemukan ruang persinggungan dengan

nilai kapitalisme yang tak jarang bertolak belakang. Sebagai pemimpin redaksi, dia harus menemukan formula yang bisa mengkompromikan dua kepentingan. “Saya harus menggabungkan idealisme jurnalistik dan ideologi pasar,� ujarnya dalam sebuah perbincangan di sebuah restoran di kawasan Jalan Pemuda, Semarang, 12 November 2013. “Tentu bukan perkara mudah. Semua industri media juga melakukannya�. Meski diakuinya, dalam kompromi tersebut, terkadang nilai jurnalisme harus sedikit dikalahkan. Prinsip mengawinkan dua kepentingan tersebut juga dia sampaikan kepada wartawan Suara Merdeka. Ia menekankan, dalam industri media, media bukan ruang yang steril, independen, dan netral dari berbagai kepentingan. Ruang pemberitaan (newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari kepentingan. Setiap realitas (berita) yang dilansir media, merupakan realitas yang sudah dibentuk dan hasil konstruksi dari berbagai asupan. Asupan bisa datang dari berbagai macam 63


AJI Semarang

peran. Wartawan yang menjadi ujung tombak penggalian berita di lapangan, berpotensi memainkan peran. Misalnya, ketika memilih narasumber, menentukan sudut pemberitaan, merangkai kalimat, dan sebagainya. Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika redaktur tidak suka dengan narasumber, sudut pemberitaan bisa diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan penulisan ulang. Berita dari wartawan juga bisa dibongkar total. Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa jadi juga mempunyai kepentingan dengan cara memainkan judul, penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian infografis, sampai pemilihan foto. Pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab, suatu ketika juga bisa mempunyai kepentingan. Begitu juga pemilik modal. “Jadi, berita yang muncul bisa menjadi realitas yang kesekian,” tegas Amir. “Sejak awal saya sampaikan kepada wartawan, hal ini bukan tidak mungkin terjadi”. Namun, Amir menambahkan, sejak menjadi pemimpin redaksi pada Mei 2012, dia memastikan, munculnya kepentingan yang mencampuri independensi pemberitaan sangat sedikit. “Sangat kasuistik,” katanya. Bahkan, dalam kasus-kasus besar, sama sekali tak ada muatan apa pun. Misalnya dalam pemberitaan dugaan korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi pada Korps Lalu Lintas Kepolisian

64


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Republik Indonesia dengan tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Saat berita ini muncul, Djoko Susilo adalah Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol). Dalam pemberitaan kasus ini, sama sekali tak ada intervensi kepentingan dari mana pun, meskipun medianya tentu mempunyai kedekatan dengan Akpol sebagai bagian dari strategi membangun relasi. Bahkan, Amir mengaku, Suara Merdeka sempat mendapatkan pujian dari wartawan media nasional saat membuat headline “Irjen Djoko 'Raja' Properti”. Masalah yang Rumit Pada kasus pemberitaan suap APBD Kota Semarang 2012 yang melibatkan Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi Saputro, beberapa kalangan menuduh Suara Merdeka “ada main” dengan pemberitaan. Tuduhan itu tak lepas dari kedekatan Soemarmo dengan kalangan media tersebut. Bahkan secara personal, Amir juga kenal dengan Soemarmo dalam persinggungannya di klub sepak bola PSIS Semarang. Namun, saat sang wali kota ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, berita itu dijadikan berita utama. Terkait tak satu pun media lokal di Semarang, termasuk Suara Merdeka yang memberitakan pemeriksaan KPK terhadap Soemarmo saat menjadi saksi, Amir berkilah, tidak ada intervensi apa pun. Pada 8 Desember 2011, KPK memeriksa Soemarmo sebagai saksi kasus suap APBD 2012 dengan tersangka Sekretaris Daerah Kota Semarang Akhmat Zaenuri

65


AJI Semarang

yang tertangkap tangan menyuap sejumlah anggota legislatif. Soemarmo disebut-sebut melakukan operasi penghilangan berita, karena bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi tingkat nasional yang dipusatkan di Semarang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan hampir seluruh kepala daerah hadir dalam acara tersebut. Amir mengaku, saat awal pemberitaan suap yang melibatkan Soemarmo, Suara Merdeka dihadapkan pada masalah yang complicated (rumit). Namun setelah penetapan sebagai tersangka sampai vonis di persidangan, proses pemberitaan berjalan lancar. Secara umum, potensi sensor datang dari empat faktor, yakni pemilik media, narasumber, pemasang iklan, dan internal redaksi. Terhadap berbagai upaya sensor, Amir mengaku selalu mempertimbangkan untung ruginya jika menghentikan sebuah pemberitaan. Misalnya, Suara Merdeka akan dianggap aneh jika tidak memberitakan sebuah isu besar yang media lain, terutama media kompetitor, juga memberitakannya. Relasi pertemanan harus dihargai, namun berita harus muncul secara proporsional dengan memberikan ruang konfirmasi yang berimbang. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan kepala daerah, atau kebijakan kepala daerah yang menuai pro-kontra, adalah isu pemberitaan yang sering mendapatkan intervensi. Ada juga kepala daerah yang mengancam akan berhenti berlangganan koran.

66


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Harus Ada Kompromi Pemasang iklan juga menjadi pihak yang berpotensi mengintervensi independensi redaksi. Misalnya, ketika sebuah agen tunggal pemegang merek mobil murah memasang iklan, Suara Merdeka tentu berusaha untuk tidak menyajikan berita yang menyudutkan kebijakan tentang mobil murah. Permintaan pemasang iklan seperti itu, menurut Amir, merupakan sesuatu yang lumrah. Pemasang iklan yang sudah membayar iklan puluhan hingga ratusan juta rupiah, tentu saja tak ingin dirugikan. Namun, sebisa mungkin redaksi tak terpengaruh. Jika suatu saat ada benturan kepentingan antara redaksi dengan pemasang iklan, harus ada kompromi yang tidak merugikan pemasang iklan, tapi juga tidak menghilangkan berita. “Harus bisa mengawinkan idealisme jurnalistik dan idealisme pasar,� tukasnya. Untuk meminimalisasi persinggungan kepentingan antara redaksi dan iklan, perusahaan memberlakukan dua kebijakan, yakni tidak diperbolehkan mendapatkan iklan dengan imbal balik pemberitaan. Misalnya dengan menggenjot pemberitaan tertentu dengan harapan pihak yang dirugikan dalam pemberitaan memasang iklan sebagai kompromi. Selain itu, wartawan juga dilarang mencari iklan, meski jika berhubungan dengan institusi, wartawan lebih “dianggap� daripada orang bagian iklan. Namun tak dilarang jika wartawan menjadi penghubung antara bagian pencari iklan dengan calon pemasang iklan. Hal ini diklaimnya sebagai kebijakan yang lebih

67


AJI Semarang

maju dibandingkan dengan beberapa perusahaan media lain di Semarang yang menyarankan wartawan nyambi mencari iklan. Untuk meminimalisasi sensor yang dilakukan oleh redaktur, jajaran redaksi menggelar rapat perencanaan dan evaluasi tiap jam sembilan pagi. Rapat ini dimaksudkan untuk menentukan rencana pemberitaan. Menentukan isu-isu yang akan diangkat, diteruskan, dan diperdalam. Sore dan malam hari, rapat serupa akan kembali digelar meskipun dengan forum yang lebih terbatas untuk menentukan pembiayaan peliputan, penempatan, penentuan foto, koreksi berita, sampai penentuan judul. Para wartawan di lapangan juga dianjurkan untuk belanja berita secara lengkap, dari berbagai aspek. Bahwa nantinya redaksi yang akan menentukan berita mana yang akan dimuat, itu soal lain. Anjuran ini dimaksudkan untuk menjauhkan interest (kepentingan) pribadi wartawan saat melakukan peliputan. Lantas, berita apa sajakah yang oleh Suara Merdeka haram diintervensi dari pihak mana pun? Amir menyebutkan ada tiga kriteria, yakni berita yang juga diberitakan media lain, berita yang menjadi perhatian publik, serta berita dengan tiras atau jumlah pembaca tinggi. Dengan demikian, kasus korupsi kuota impor daging sapi, korupsi Hambalang, dan korupsi simulator SIM adalah pemberitaan yang tak mungkin diintervensi, meski banyak tekanan dari sana-sini. Sama halnya saat pemberitaan kasus pembantaian di Lembaga

68


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Pemasyarakatan Cebongan, DI Yogyakarta, yang dilakukan personel Kopassus. Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau pejabat daerah juga menjadi harga mati. Misalnya, kasus penyelewengan dana bantuan sosial. Amir berkomitmen untuk memberitakannya. Bahkan dia mengaku awal menjadi pemimpin redaksi, kasus bantuan sosial menjadi pertaruhan untuk menepis stigma yang menyebut Suara Merdeka lemah dalam pemberitaan korupsi di daerah. “Meski saya juga sering menerima teror, kasus korupsi akan kami kawal secara profesional dan proporsional,� ujarnya. Menurutnya, dalam pemberitaan korupsi di daerah, tekanan yang diterima media lokal jauh lebih besar dibanding dengan media nasional. Amir menutup perbincangan yang berlangsung santai saat itu dengan mengatakan, ibarat seorang perenang, wartawan saat ini dituntut bisa berenang di tengah derasnya gelombang hingga selamat sampai tujuan. Memang berat! ***

69


AJI Semarang

70


Riset Kuantitatif Melihat Independensi Media Lokal dari Sisi Obyektivitas Pemberitaan Politik dan Hukum Latar belakang Himbauan moral yang menyatakan secara tegas bahwa pers yang terbit di Semarang supaya bersikap independen selalu dikemukakan. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pers di daerah ini memang belum mampu menunjukkan sikap independensinya. Kerugian yang didapatkan akibat pers yang tidak independen adalah pembaca tidak mampu mendapatkan informasi yang lengkap. Bahkan, lebih dari itu, informasi yang memiliki nilai kepentingan yang tinggi bagi kehidupan publik justru tidak dapat diakses. Akibat yang paling buruk dalam situasi demikian adalah publik mengalami pengelabuan informasi karena pers telah mendistorsikan realitas. Banyak kemungkinan yang menjadikan pers tidak independen. Apabila dilihat dari pendekatan lembaga media (media institution), sebagaimana dikemukakan oleh Curran, Gurevitch, dan Woollacott (dalam Gurevitch, et. al. [eds.], 1982: 11-16), setidaknya ada empat pokok persoalan yang menjadikan pers tidak independen. Hal pertama adalah struktur kelembagaan dan hubungan-hubungan peran. Persoalan yang kedua adalah kepentingan ekonomi politik lembaga media. Problem yang ketiga ialah ideologi-ideologi profesional dan 71


AJI Semarang

praktik-praktik kerja. Dan, permasalahan terakhir yakni interaksi lembaga media dengan lingkungan sosial-politiknya. Apabila keempat hal itu diuraikan lebih mendalam lagi, maka apa yang disebut sebagai independensi ruang pemberitaan (newsroom) dapat dideskripsikan seperti ini. Pertama, secara internal pada organisasi ruang pemberitaan terjadi pembagian kerja dan distribusi kewenangan. Kalangan reporter yang berada di lapangan untuk menjalankan liputan boleh jadi telah bersikap independen terhadap suatu kasus. Tapi, editor atau redaktur yang jabatannya berada lebih atas ternyata tidak bersikap independen. Relasi peran yang bersifat tidak setara (asimetris) ini jelas menjadikan ruang pemberitaan tidak memiliki independensi yang memadai. Kedua, kepentingan ekonomi politik institusi media merujuk pada bagaimana pemilik media mempunyai agenda tertentu dalam pemberitaan. Pemilik media, misalnya saja, memiliki bisnis non-media yang bermasalah dengan lingkungan, atau secara sengaja tidak memenuhi kewajiban untuk membayar pajak, atau punya ambisi supaya perusahaannya terkenal. Salah satu dari agenda terselubung yang dikendalikan oleh pemilik media semacam itu jelas mengakibatkan ruang pemberitaan tidak memenuhi syaratsyarat independensi. Terlebih lagi ketika pemilik media tersebut menjadi pengurus salah satu partai politik atau setidaknya simpatisan dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Pada akhirnya, dia memposisikan media yang dimilikinya sebagai sebuah 72


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

instrumen untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu pula. Ketiga, ideologi-ideologi profesional dan praktik-praktik kerja yang terdapat dalam diri setiap wartawan tidaklah seragam. Para wartawan, tentu saja, sudah sangat paham apa pengertian berita. Mereka juga sangat fasih untuk membedakan peristiwa yang memiliki nilai berita tinggi atau tidak. Mereka tidak perlu diragukan lagi kemampuannya untuk meliput berbagai peristiwa. Hanya saja semua pengetahuan dan kecakapan teknis itu tidak diimbangi dengan pemahaman dan komitmen secara moral. Padahal, apa yang disebut dengan independensi berada dalam domain moralitas media yang tidak mudah disosialisasikan apalagi dipraktikkan dalam kerja seharihari. Terakhir, atau keempat, interaksi media dengan lingkungan sosial-politiknya. Lembaga media tidak pernah hidup dan bertumbuh dalam kevakuman sosial. Justru media mampu menunjukkan kesuksesannya ketika berhasil menjalankan adaptasi dan menyiasati lingkungan sosial-politik yang melingkupinya. Apalagi jika dilihat secara lebih cermat akan menunjukkan bahwa media tidak berbeda dengan bisnis lainnya, yakni menjual komoditas dalam bentuk informasi. Independensi media bisa demikian terpengaruh karena media sangat ditentukan eksistensinya oleh pihak-pihak eksternal, seperti masyarakat secara umum, pelanggan, pemerintah, pemasang iklan, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan bahkan dengan para pesaingnya sendiri. 73


AJI Semarang

Independensi ruang pemberitaan media menjadi sebuah persoalan yang punya kompleksitas yang tinggi. Sebabnya adalah independensi itu tidak sekadar berkaitan dengan komitmen ataupun, sebaliknya, pelanggaran moral yang dilakukan wartawan secara individual. Independensi yang terjadi dalam ruang pemberitaan melibatkan banyak aspek, dari persoalan bisnis sampai politis, yang bertali-temali dengan aktor-aktor yang tidak mudah dilacak jejak-jejaknya dalam mempengaruhi kebijakan ruang redaksional. Secara tegas dapat dikemukakan bahwa semua pemangku kepentingan media, baik dalam lingkup internal maupun domain eksternal, memiliki peluang-peluang untuk mempengaruhi independensi ruang pemberitaan. Perumusan masalah Independensi, sebagaimana ditulis Oxford Advanced Learner's Dictionary: 7th Edition (2005: 789), memiliki pengertian “kebebasan dari kontrol politik oleh negara-negara lain�. Kalau hal ini diterapkan dalam kasus pemberitaan pers, independensi bisa dimaknai sebagai “kebebasan pers, dalam hal ini ruang pemberitaan, dari kontrol pihak-pihak lain�. Siapa yang disebut sebagai pihak-pihak lain itu adalah kekuatan eksternal yang dianggap bisa memengaruhi kebebasan wartawan dalam menentukan agenda pemberitaan. Ruang pemberitaan yang independen dimengerti sebagai tidak adanya satu pihak pun yang menjalankan intervensi terhadap proses kerja wartawan, baik itu yang bersifat bisnis, sosial, maupun 74


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

yang bercorak politis. Hanya saja konsep tentang independensi tersebut tidak dikenal dalam literatur kajian media ataupun jurnalistik. Independensi, agaknya, lebih mencuat sebagai suatu keinginan, sebuah harapan, yang dikehendaki oleh kalangan wartawan untuk tidak mendapatkan campur tangan dari rezim politik yang sedang berkuasa. Di samping itu, independensi bisa juga merujuk pada aspirasi para wartawan untuk tidak diintervensi secara bertubi-tubi oleh kepentingan bisnis, sosial, dan politis pemilik media. Konsep yang sudah dikenal untuk menggantikan pengertian independensi adalah obyektivitas. Dalam pemahaman itu bisa juga dibedakan bahwa independensi merujuk pada tidak adanya intervensi terhadap wartawan dalam proses pemberitaan. Sementara itu, apa yang disebut sebagai obyektivitas merujuk pada hasil kerja wartawan, dalam hal ini berita, yang tidak menunjukkan indikasi keberpihakan terhadap kepentingan tertentu. Dalam konteks demikian, penelitian ini mendeskripsikan tentang obyektivitas yang ditunjukkan oleh sejumlah lembaga pers yang terdapat di Semarang, yaitu Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam pemberitaanpemberitaannya. Karena obyektivitas pers secara hipotetis sangat rentan untuk diintervensi terutama dalam tema politik dan hukum, maka fokus pemberitaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah kedua topik tersebut. 75


AJI Semarang

Tujuan penelitian Mendeskripsikan obyektivitas pemberitaan yang ditampilkan Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng dalam kasus-kasus politik dan hukum. Kerangka pemikiran Obyektivitas, sebagai pengertian yang merujuk pada hasil pemberitaan yang berasal dari proses pembuatan berita yang dijalankan wartawan secara independen, sebenarnya menjadi perdebatan tersendiri dalam dunia jurnalistik. Pertanyaan yang menggugat keberadaan obyektivitas muncul ketika terdapat pandangan bahwa apa yang disebut sebagai obyektivitas itu merupakan hal yang tidak mungkin dijangkau dalam berita-berita yang diproduksi kalangan wartawan. Persoalan lainnya mencakup pandangan terhadap konsekuensi apabila obyektivitas benar-benar diterapkan dalam berita. Pertanyaan yang bergulir berikutnya adalah kira-kira siapakah yang mendapat keuntungan dengan penyajian beritaberita yang memiliki obyektivitas itu. Terlebih lagi jika pemberitaan pers menyoroti kasus-kasus konfliktual yang menghadapkan secara diametral antara kelompok mayoritas versus kelompok minoritas, apa pun yang dimaksudkan dengan konsep itu, seperti agama, seks, jender, etnis, ras, dan kelas. Maka, berita yang dikatakan obyektif justru seharusnya memihak kaum mayoritas. 76


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Potter (2005: 9) pernah menjelaskan bahwa pada tahun 1996, U.S. Society of Professional Journalists melenyapkan kata obyektivitas dari kode etiknya. Alasan yang dikemukakan adalah jurnalis pada dasarnya merupakan manusia biasa. Kalangan jurnalis itu memiliki kepedulian terhadap pekerjaan mereka dan sudah pasti mereka memiliki pendapat juga. Dengan menyatakan bahwa kalangan jurnalis harus bersikap obyektif sama dengan memandang mereka sebagai pihak-pihak yang tidak memiliki nilai-nilai. Jadi, hal yang harus tetap diperhatikan adalah jurnalis memang memiliki nilai atau pandangan tertentu. Hanya saja nilai atau pandangan tersebut harus tetap dikontrol dengan baik sehingga tidak menghasilkan pemberitaan yang bias. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa hasil pemberitaan para jurnalis harus obyektif masih tetap dianggap sebagai kewajiban moral yang mutlak dilakukan sekalipun perdebatan mengenai konsep itu masih saja terjadi. Artinya, berita-berita yang obyektif dianggap sebagai penanda bahwa wartawan mempunyai kinerja yang baik. Selain para wartawan wajib menguasai kompetensi teknis, seperti paham bahwa berita harus memuat unsur-unsur 5W dan 1H (Who, What, Where, When, Why, dan How) serta nilai-nilai berita (news values), misalnya saja aktualitas, proksimitas, popularitas, kontroversi, dampak, masih dibicarakan, dan keunikan, mereka pun harus mematuhi aturanaturan etis. Salah satu etika yang tidak bisa diabaikan adalah konsep yang disebut dengan obyektivitas. 77


AJI Semarang

Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa obyektivitas secara konseptual lebih ketat dibandingkan dengan konsep ketidakberpihakan (impa rt i a l i t y) . A p a b i l a ketidakberpihakan mencakup pengertian tentang kejujuran, bahkan benar-benar jujur ketika berkepentingan dengan orang lain, dan akurasi, maka obyektivitas melampaui hal tersebut. Obyektivitas mengandaikan ada sesuatu yang secara eksternal dapat diobservasi di luar pemikiran kita dan ada fakta-fakta yang dapat diverifikasi terpisah dari nilai-nilai subyektif yang dimiliki oleh wartawan. Dari pengandaian tersebut, maka jurnalisme yang obyektif mempunyai tiga karakteristik, yaitu memisahkan fakta dari opini, menyajikan keseimbangan ketika media memberitakan sebuah perdebatan, dan melakukan validasi pernyataan-pernyataan jurnalistik dengan merujuk kepada pihak-pihak lain yang mempunyai otoritas (Franklin, et. al., 2005: 177). Namun, dalam pengertian itu pun sebenarnya masih terdapat bias subyektivitas. Hal ini dikarenakan sumber-sumber yang dianggap memiliki otoritas sekalipun pasti akan menunjukkan sifat subyektifnya ketika memberikan pernyataan-pernyataan. Pendapat hampir serupa tentang obyektivitas dikemukakan pula oleh Boyer (sebagaimana dikutip McQuail, 1993: 184-185), yang mengemukakan enam elemen utama, yakni: (1) berimbang dan benar-benar jujur dalam menghadirkan sisi-sisi yang berbeda dari sebuah isu; (2) akurasi dan menganut prinsip realisme dalam reportase; (3) menyajikan 78


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

seluruh hal penting yang relevan; (4) memisahkan fakta dari opini; (5) meminimalkan pengaruh dari sikap, pendapat ataupun keterlibatan penulis; dan (6) menghindarkan tujuan yang bersifat mengarahkan, menimbulkan kebencian, dan melakukan penipuan. Tentu saja, berbagai konsep dan upaya untuk menampilkan detail operasional tentang obyektivitas dapat dituliskan secara lebih panjang. Hanya saja persoalan yang tidak kalah penting dan jauh lebih substansial adalah bagaimana hal itu dijalankan ketika wartawan menuliskan berita. Bahkan, untuk membedakan peristiwa yang dianggap layak dijadikan berita atau tidak pun telah melahirkan perdebatan tersendiri. Misalnya saja berita yang seringkali melibatkan elite masyarakat dan elite bangsa (pendapat Galtung dan Ruge ini dikutip oleh Fleming, et. al., 2006: 5-6). Inilah yang dalam nilai berita disebut sebagai elemen prominence (keterkenalan), sehingga memunculkan hukum besi dalam jurnalisme, yaitu name makes news (nama membuat berita). Lain halnya dengan orang-orang kecil yang baru bisa diberitakan kalau melakukan suatu perbuatan yang dianggap luar biasa (extraordinary) atau di luar kelaziman (unusual). Terlepas dari berbagai perdebatan tentang konsep obyektivitas, persoalan yang relevan dikemukakan adalah obyektivitas merujuk pada bagaimana berita harus dikaji secara teliti, diorganisasikan, serta dihadirkan. Dalam sudut pandang demikian, obyektivitas dapat diartikan sebagai penghadiran secara jujur, berimbang, dan tidak memihak peristiwa-peristiwa 79


AJI Semarang

dalam pemberitaan yang semata-mata didasarkan pada fakta dan tanpa penafsiran apa pun terhadapnya. Dalam teknik penulisan berita, obyektivitas semacam itu dapat dicapai dengan empat langkah pokok, yakni: (1) berita ditulis dalam format piramida terbalik yang berarti bagianbagian paling penting dari berita mendapatkan prioritas utama; (2) sudut pandang yang digunakan dalam penulisan berita adalah orang ketiga; (3) setidaknya terdapat dua pihak yang dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu yang secara potensial atau riil mengandung konflik; dan (4) berita memuat kutipan pernyataan dari ahli yang dianggap memiliki kompetensi di bidang yang sedang disoroti media. Kriteria ini dapat diberlakukan dalam jenis medium apa pun (Turow, 2009: 55). Format penulisan piramida terbalik yang dianggap memiliki obyektivitas itu bukan merupakan hal yang baru dalam jurnalistik. Piramida terbalik merupakan teknik penulisan dasar yang mengharuskan wartawan menuliskan terlebih dahulu elemen-elemen dari kejadian yang dianggap paling penting sampai kurang penting bagi khalayak. Format penulisan dengan gaya piramida terbalik lazim digunakan dalam berita-berita yang memuat nilai berita aktualitas. Penggunaan sudut pandang orang ketiga (third person) dalam penulisan berita diyakini mampu menjaga jarak keterlibatan antara wartawan dengan pihak (obyek) lain yang sedang diliputnya. Alasannya, sudut pandang penceritaan orang

80


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

ketiga diandaikan mampu memosisikan jurnalis di luar arena persoalan yang sedang disorotinya. Berita yang dianggap bagus dan mempunyai nilai berita yang tinggi biasanya jika memuat unsur kontroversi, perdebatan, konflik, pro-kontra, atau apa pun istilah yang mampu digunakan untuk menghadirkan pertikaian dua pihak atau lebih. Bahkan, dalam dunia jurnalisme sendiri, terutama jurnalisme tabloid yang mengandalkan sensasionalisme, dikenal slogan yang sangat terkenal “if it bleeds, it leads�, semakin berdarah-darah semakin bagus. Dalam dunia jurnalistik yang hendak menunjukkan kualitas pemberitaan yang obyektif, maka slogan tersebut ditinggalkan. Obyektivitas menjadi salah satu tujuan dalam pemberitaan dengan cara memuat pernyataan semua pihak yang terlibat dalam pertengkaran. Pada akhirnya, kutipan pernyataan dari seseorang yang dianggap berkompeten dalam bidang yang diperdebatkan pun menjadi tolok ukur apakah suatu berita dapat dinilai obyektif atau sebaliknya. Tentu saja, pihak berkompeten yang dikutip pernyatannya itu tidak boleh terlibat atau menjadi bagian dalam perdebatan yang sedang diliput oleh media. Secara historis, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus jurnalisme di Amerika Serikat, konsep tentang obyektivitas berkaitan erat dengan keberadaan media untuk tidak memberikan dukungan (nonpartisanship) kepada pihak mana pun. Bahkan, bisa dikemukakan bahwa nonpartisanship adalah

81


AJI Semarang

elemen pertama yang harus dipenuhi pers untuk menakar obyektivitas (Powers dalam Sterling [ed.], 2009: 1028). Apa yang bisa ditegaskan adalah perumusan tentang obyektivitas media dapat dituliskan sesuai selera masing-masing pihak. Tapi, persyaratan pertama yang bersifat absolut bagi pers untuk bisa bersikap obyektif adalah tidak mendukung siapa pun yang terlibat dalam konflik atau setidaknya perdebatan. Ketika pers, baik secara terselubung maupun eksplisit, sudah menunjukkan pemberian dukungan terhadap salah satu pihak yang bertikai, maka apa yang disebut secara berbusa-busa sebagai obyektivitas tidak perlu ditelusuri lagi keberadaannya. Definisi konseptual dan operasional Obyektivitas secara konseptual dapat dijabarkan sebagai penghadiran secara jujur, berimbang, dan tidak memihak peristiwa-peristiwa dalam pemberitaan yang semata-mata didasarkan pada fakta dan tanpa penafsiran apa pun terhadapnya. Beberapa hal yang akan dikaji dalam penelitian ini, adalah: 1. Topik berita:a. Politik. Berita-berita yang menyoroti berbagai persoalan konflik kepentingan dari para pihak pemegang kekuasaan, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga-lembaga lain (organisasi kemasyarakatan dan organisasi non-pemerintah) yang memiliki relevansi di dalamnya; dan b. Hukum. Berita-berita yang menghadirkan

82


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

peristiwa pengadilan, pengusutan kasus hukum oleh pihak yang berwajib (kepolisian dan kejaksaan), dan pihak-pihak lainnya yang memiliki keterkaitan erat dengan persoalan ini. 2. Jenis-jenis berita: a. Hard news. Berita yang mengandalkan aspek kebaruan; b. Soft news. Berita yang menonjolkan aspek human interest yang lazim disebut dengan feature; c. Reportase investigatif. Berita yang ditulis secara mendalam untuk mengungkap suatu kasus; dan d. Editorial. Tulisan yang dimuat pada kolom tajuk rencana dan sejenisnya yang menunjukkan sikap media terhadap suatu kasus tertentu yang sedang hangat dibicarakan dalam masyarakat. 3. Cara wartawan mendapatkan berita: a. Wawancara. Wartawan mewawancarai narasumber secara bertatap muka, melalui telepon, ataupun surat; b. Observasi. Wartawan melakukan pengamatan terhadap kejadian atau keadaan yang diberitakan secara langsung; c. Riset. Wartawan melakukan kajian pustaka untuk menampilkan data-data sekunder dalam pemberitaan; dan d. Gabungan. Wartawan melakukan gabungan antara dua atau tiga teknik pengumpulan berita itu 4.aAsal-usul berita: a. Peristiwa-peristiwa yang bersifat alamiah, seperti kecelakaan atau bencana alam; b. Kegiatankegiatan yang telah direncanakan secara baik, misalnya konferensi pers atau pertemuan; dan c. Usaha-uasaha yang dilakukan oleh wartawan sendiri, misalnya berinisiatif untuk menghubungi narasumber.

83


AJI Semarang

5. Nilai-nilai berita (news values) yang ditonjolkan: a. Aktualitas. Nilai berita yang menonjolkan aspek kebaruan suatu peristiwa; b. Proksimitas. Nilai berita yang menonjolkan aspek kedekatan secara geografis dengan khalayak; c. Kontroversi. Nilai berita yang menonjolkan konflik atau pertikaian dua pihak atau lebih; d. Keterkenalan. Nilai berita yang menonjolkan nama-nama orang atau tempat yang sudah dikenal secara luas oleh publik; e. Dampak. Nilai berita yang menonjolkan suatu peristiwa memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat; f. Currency. Nilai berita yang menonjolkan suatu peristiwa masih tetap dibicarakan dalam kehidupan masyarakat; dan g. Keluarbiasaan. Nilai berita yang menonjolkan aspek keunikan, keanehan, atau keluarbiasaan yang dialami atau terdapat pada orang, binatang, dan lingkungan pada umumnya. 6. Teknik penulisan berita: a.Berita ditulis dalam format piramida terbalik yang berarti bagian-bagian paling penting dari berita mendapatkan prioritas utama; b.Sudut pandang penceritaan yang digunakan dalam pemberitaan adalah orang ketiga (third person); c. Setidaknya ada dua pihak yang dituliskan ketika berita menyoroti persoalan tertentu yang secara potensial atau riil mengandung konflik; dan d. Berita memuat kutipan pernyataan dari pihak ahli yang dianggap memiliki kompetensi di bidang yang sedang disoroti media.

84


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Metode penelitian Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan analisis isi. Analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi dari teks secara obyektif dan terukur dalam kaitannya dengan penggunaan teks tersebut (Krippendorff, 2004: 18). Untuk memastikan hasil yang obyektif dan terukur tersebut, dilakukan proses replikasi pencatatan teks yang sama oleh orang-orang yang berbeda dan selanjutnya dilakukan uji reliabilitas yang diukur dengan uji korelasi di antara mereka. Kategorisasi konseptual digunakan sebagai pedoman oleh para pencatat teks (coder) untuk melakukan pencatatan dan mengelompokkannya kedalam tabel yang sudah dipersiapkan. Obyek yang dikaji dalam penelitian ini adalah beritaberita bertopik politik dan hukum dalam wilayah liputan (coverage area) Semarang pada edisi Juli, Agustus, dan September 2013 yang ditampilkan oleh lima media cetak, yaitu Suara Merdeka, Wawasan, Jawa Pos Radar Semarang, Koran Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng. Data dikumpulkan dengan mendokumentasikan berita-berita yang telah dipilih dengan merujuk pada kriteria yang ditetapkan dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dalam bentuk penyajian gambar (grafik) yang menunjukkan distribusi frekuensi dan tabulasi silang.

85


AJI Semarang

Temuan-temuan Berikut ini disajikan temuan-temuan penelitian yang ditampilkan dalam bentuk gambar atau grafik. Temuan-temuan penelitian ini diolah dari sebanyak 728 berita politik dan hukum dalam wilayah liputan Semarang yang dihadirkan oleh Suara Merdeka, Wawasan, Radar Semarang, Koran Sindo edisi Jateng, dan Tribun Jateng. Beberapa hal substansial lain yang dideskripsikan adalah proporsi topik berita, jenis berita, cara mendapatkan berita, asal berita, news values (nilai-nilai berita), teknik penulisan berita, dan perbandingan masing-masing surat kabar dalam sejumlah indikator yang menunjukkan obyektivitas. Gambar 1 SURAT KABAR

86


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Gambar 1 menunjukkan proporsi (jumlah) berita yang terdapat dalam masing-masing surat kabar. Proporsi terbesar terdapat pada Wawasan, Suara Merdeka, dan Koran Sindo edisi Jateng.Sementara proporsi paling kecil terdapat pada Tribun Jateng dan Radar Semarang. Hal yang menarik dilihat adalah Koran Sindo edisi Jateng sebagai surat kabar yang terbit di Jakarta dan hanya memberikan halaman tambahan (suplemen) untuk wilayah liputan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata banyak memberikan perhatian pada peristiwa-peristiwa politik dan hukum yang terjadi di Semarang. Gambar 2 TOPIK BERITA

HUKUM 29%

POLITIK 71%

Tema atau topik berita yang secara dominan disajikan oleh kelima surat kabar itu adalah politik. Sementara itu proporsi topik berita hukum kurang dari sepertiga, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa lima media yang terbit di Semarang lebih mempunyai ketertarikan menyoroti peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kekuasaan pada level lokal daripada kejadian-kejadian hukum. 87


AJI Semarang

Gambar 3 JENIS BERITA

Secara sangat dominan jenis berita yang ditampilkan oleh semua surat kabar adalah hard news sebagaimana dapat disimak pada Gambar 3. Hal ini menunjukkan bahwa kelima media tersebut memberikan penekanan pada berita-berita politik dan hukum yang mempunyai muatan aktualitas (kebaruan) dan proksimitas (kedekatan). Jenis pemberitaan lain yang menunjukkan aspek daya tarik manusia (human interest) berformat feature (soft news) menunjukkan proporsi yang sangat kecil.

88


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Gambar 4 CARA MENDAPATKAN BERITA (%)

Teknik dominan yang digunakan oleh kalangan wartawan di Semarang dalam mengumpulkan berita bertema politik dan hukum adalah wawancara seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Pengamatan (observasi) sebagai cara mendapatkan berita sangat sedikit diterapkan. Sementara itu gabungan antara wawancara dan pengamatan menunjukkan proporsi yang juga sangat rendah. Bahkan, teknik penting lain, yakni riset dalam wujud penelusuran literatur atau kajian terhadap data-data sekunder, tidak pernah dikerahkan untuk mendukung pemberitaan-pemberitaan politik dan hukum. Dengan demikian, berita-berita yang ditampilkan pun sedemikian dominan bercorak talking news, yakni jenis berita yang sekadar memuat berbagai hasil wawancara atau pernyataan-pernyataan dari para narasumber.

89


AJI Semarang

Gambar 5 ASAL BERITA (%)

Upaya yang dilakukan oleh para reporter merupakan hal yang sangat dominan pada bagaimana berita diproduksi atau dari mana berita berasal sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5. Usaha yang dijalankan oleh kalangan reporter ini, misalnya, menghubungi para narasumber untuk diwawancarai. Sementara itu, berbagai kegiatan yang direncanakan, seperti konferensi pers atau seminar, memperlihatkan proporsi yang rendah. Peristiwa-peristiwa yang bersifat alamiah, misalnya kecelakaan ataupun bencana alam, menunjukkan proporsi yang sangat kecil. Secara keseluruhan hal itu mendeskripsikan bahwa pemberitaan politik dan hukum yang terjadi di Semarang memang secara sangat dominan diproduksi dari hasil prakarsa para wartawan.

90


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Gambar 6 NEWS VALUE (%)

Nilai-nilai berita (news values) adalah kriteria yang digunakan para jurnalis untuk menakar apakah suatu peristiwa layak diberitakan karena mengandung unsur-unsur, seperti kebaruan, kedekatan, keterkenalan, konflik, dampak, masih dibicarakan, dan keluarbiasaan. Gambar 6 menunjukkan bahwa hampir semua berita politik dan hukum yang disajikan oleh kelima surat kabar itu memuat unsur aktualitas dan proksimitas. Artinya, kelima media tersebut sangat memperhatikan faktor kebaruan dan kedekatan peristiwa yang sesuai dengan kebutuhan para pembaca. Hal lain yang menarik dikemukakan adalah berita-berita politik dan hukum yang disajikan ternyata hanya sedikit memuat nilai signifikan (dampak) bagi masyarakat. Lebih menarik lagi, berita-berita politik dan hukum yang diandaikan memuat nilai konflik (kontroversi) yang tinggi ternyata sangat sedikit ditampilkan pada lima media itu.

91


AJI Semarang

Gambar 7 TOTAL NEWS VALUES

Kebanyakan berita-berita bertema politik dan hukum dari lima surat kabar ini memuat dua unsur nilai berita sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7. Sementara itu hampir sepertiga berita-berita lainnya memuat tiga unsur nilai berita. Berita-berita yang memuat empat atau lima unsur nilai berita, jika keduanya digabungkan, berjumlah kurang dari seperempat berita. Gejala ini menunjukkan bahwa apabila kalangan jurnalis menemukan peristiwa-peristiwa politik dan hukum yang sudah memenuhi sedikitnya dua atau tiga kriteria nilai berita, maka kejadian-kejadian itu sudah dianggap layak untuk dijadikan berita.

92


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Gambar 8 TEKNIK PENULISAN BERITA (%)

Ada empat persyaratan yang harus dipenuhi jurnalis dalam menulis berita agar pemberitaannya dapat dikategorikan memenuhi obyektivitas. Pertama, fakta-fakta yang dikumpulkan disajikan dalam format piramida terbalik. Kedua, sudut pandang yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga. Ketiga, dua belah pihak atau lebih yang terlibat dalam persoalan harus diliput semuanya. Keempat, seorang ahli yang dianggap memiliki kepakaran dalam bidang tertentu harus dimintai komentar. Gambar 8 menunjukkan bahwa persyaratan pertama dan kedua hampir secara keseluruhan telah dipenuhi. Persyaratan ketiga telah terpenuhi oleh lebih dari tiga perempat berita yang ada. Sementara itu, persyaratan keempat sangat sedikit yang terpenuhi. Hal itu menunjukkan bahwa pihak yang disebut 93


AJI Semarang

pakar selama ini belum dilibatkan secara maksimal dalam pemberitaan. Terdapat dua kemungkinan mengapa jurnalis cenderung tidak memenuhi persyaratan keempat. Pertama, jurnalis dikejar oleh rutinitas tenggat waktu (deadline) yang tidak bisa dikompromikan. Kedua, jurnalis tidak atau belum paham mengenai keharusan untuk mewawancarai ahli untuk memenuhi syarat obyektivitas. Gambar 9 KELENGKAPAN TEKNIK PENULISAN BERITA

Hampir tiga perempat berita bertema politik dan hukum telah memenuhi tiga syarat penulisan yang obyektif sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9. Tiga persyaratan tersebut adalah penulisan dalam format piramida terbalik, sudut pandang yang digunakan dalam penulisan adalah orang ketiga, 94


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

dan melakukan liputan terhadap dua atau lebih pihak yang terlibat. Berita-berita yang telah memenuhi semua syarat penulisan berjumlah sangat kecil, yakni hanya sebesar 5 persen. Sementara itu berita-berita yang hanya memenuhi dua syarat berjumlah hampir seperlima. Gambar 10 TOPIK BERITA MENURUT SURAT KABAR

Gambar 10 mendeskripsikan tentang proporsi beritaberita politik dan hukum yang terdapat pada masing-masing surat kabar. Secara keseluruhan bisa dikemukakan bahwa kelima media itu lebih dominan menampilkan berita-berita bertemakan politik dibandingkan dengan berita-berita bertopik hukum. Perbedaannya adalah Tribun Jateng dan Suara Merdeka sedikit lebih tinggi proporsinya dalam memuat beritaberita politik dibanding tiga surat kabar lainnya. Sementara itu, Wawasan dan Radar Semarang sedikit lebih banyak proporsinya dalam menampilkan berita-berita bertopik hukum 95


AJI Semarang

dibandingkan ketiga media lainnya. Gambar 11 ASAL BERITA MENURUT SURAT KABAR

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua surat kabar menyajikan berita-berita yang secara sangat dominan berasal dari usaha-usaha yang dijalankan pihak reporter sendiri seperti dapat disimak pada Gambar 11. Sebaliknya, berita-berita yang berasal dari kegiatan yang direncanakan, misalnya saja seminar atau konferensi pers, berjumlah sangat sedikit. Proporsi tertinggi berita-berita yang berasal dari usaha yang dijalankan reporter terdapat pada Koran Sindo edisi Jateng yang hingga mencapai angka lebih dari 90 persen. Sebaliknya, Koran Sindo edisi Jateng juga menjadi media yang proporsi berita-beritanya yang berasal dari kegiatan yang direncanakan berjumlah sangat rendah, yakni hanya sebesar hampir 5 persen. Setidaknya, secara umum, ada dua

96


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

penjelasan yang menjadikan gejala itu terjadi. Pertama, tugas rutin reporter adalah mencari berita sehingga inisiatif untuk menghubungi para narasumber telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pekerjaan yang harus diselesaikan. Kedua, tidak setiap hari suatu lembaga tertentu menyelenggarakan acara seminar, menggelar konferensi pers, atau menyebarkan press release. Gambar 12 JUMLAH UNIT NEWS VALUES MENURUT SURAT KABAR

Gambar 12 menunjukkan perbandingan dari masingmasing surat kabar dalam menghadirkan jumlah nilai berita 97


AJI Semarang

pada berita-berita politik dan hukum. Proporsi yang paling menonjol adalah Koran Sindo edisi Jateng dan Suara Merdeka yang menghadirkan dua unit news values yang mencapai lebih dari 50 persen. Tiga jenis news values yang paling menonjol, dengan proporsi lebih dari sepertiga berita-berita yang ditampilkan, terdapat pada Tribun Jateng, Koran Sindo edisi Jateng, dan Suara Merdeka. Sementara itu, surat kabar yang menampilkan empat jenis news value dalam berita-beritanya yang mencapai angka lebih dari sepertiga adalah Wawasan. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa semua surat kabar menyajikan sekitar dua sampai lima unit news values. Gambar 13 KELENGKAPAN TEKNIK PENULISAN BERITA MENURUT SURAT KABAR

Data yang disajikan pada Gambar 13 dapat dipahami sebagai uraian lebih detail dari data yang terdapat pada Gambar 98


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

8. Seluruh surat kabar secara sangat menonjol memenuhi tiga kriteria penulisan berita yang obyektif, dalam kisaran angka di atas 60 persen (Tribun Jateng dan Wawasan), di atas 70 persen (Radar Semarang dan Suara Merdeka), dan di atas 80 persen (Koran Sindo edisi Jateng). Empat syarat penulisan berita obyektif dalam proporsi yang demikian kecil, yakni hampir 10 persen, terdapat pada Wawasan. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua surat kabar telah secara rutin menjalankan syaratsyarat penulisan berita obyektif meskipun kurang lengkap, yakni pada persyaratan meminta pendapat pihak yang dianggap memiliki kompetensi dalam bidang tertentu. Gambar 14 CARA MENDAPATKAN BERITA POLITIK DAN HUKUM MENURUT SURAT KABAR

99


AJI Semarang

Teknik yang digunakan oleh kalangan jurnalis dalam mengumpulkan berita-berita bertema politik dan hukum secara dominan adalah mewawancarai narasumber sebagaimana dapat disimak pada Gambar 14. Tidak ada satu pun berita yang datadatanya dikumpulkan melalui riset (kajian pustaka). Sementara itu, teknik observasi hanya sedikit jumlahnya atau terlalu kecil proporsinya. Koran Sindo edisi Jateng merupakan media yang paling menonjol dalam menyajikan berita politik yang didapatkan melalui wawancara (proporsinya hampir 90 persen). Empat surat kabar lain untuk jenis berita politik yang didapatkan melalui wawancara menunjukkan proporsi yang hampir berimbang (dalam kisaran 80 persen), kecuali Suara Merdeka yang proporsinya 78 persen. Pada berita-berita hukum yang didapatkan melalui wawancara, semua surat kabar menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. Proporsi berita hukum dari hasil wawancara pada Tribun Jateng dan Koran Sindo edisi Jateng di atas 90 persen. Proporsi berita hukum yang diperoleh dari hasil interviu pada Wawasan dan Suara Merdeka di atas 80 persen. Pengecualian terjadi pada Radar Semarang yang proporsinya hanya dalam kisaran 10 persen.

100


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Gambar 15 ASAL BERITA POLITIK DAN HUKUM MENURUT SURAT KABAR

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa asal berita politik dan hukum pada lima media tersebut merupakan usaha yang dijalankan reporter sebagaimana dapat dideskripsikan pada Gambar 15. Peristiwa alamiah terlalu kecil proporsinya. Proporsi berita-berita politik yang berasal dari usaha reporter untuk masing-masing surat kabar menunjukkan proporsi yang bervariasi. Proporsi Koran Sindo edisi Jateng pada berita politik berada di atas 90 persen.

101


AJI Semarang

Proporsi Tribun Jateng dan Radar Semarang di atas tiga perempat (75 persen). Sedangkan proporsi Wawasan dan Suara Merdeka masing-masing di atas angka 69 persen dan 67 persen. Sementara itu, proporsi berita-berita bertema hukum yang berasal dari usaha reporter pada masing-masing media juga memperlihatkan variasi. Proporsi Tribun Jateng, Koran Sindo edisi Jateng, dan Wawasan pada kisaran 90 persen. Sedangkan proporsi Radar Semarang dan Suara Merdeka pada kisaran 80 persen.

102


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Gambar 16 NEWS VALUES DALAM BERITA POLITIK DAN HUKUM MENURUT SURAT KABAR

103


AJI Semarang

Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai-nilai berita (news values) yang paling menonjol pada berita-berita politik dan hukum pada lima media adalah aktualitas dan proksimitas. Hal ini dapat dimengerti karena kelima surat kabar itu terbit harian yang menekankan sisi kebaruan suatu peristiwa serta menonjolkan aspek lokalitas untuk memenuhi kebutuhan para pembacanya. Nilai-nilai berita lain, seperti currency, dampak, dan keterkenalan memang ada, tapi proporsinya terhitung kecil dibandingkan aktualitas dan proksimitas. Bahkan, nilai berita keluarbiasaan dan kontroversi juga ada, namun tidak diperhitungkan karena jumlahnya terlalu sedikit. Semua surat kabar menampilkan nilai kedekatan dengan khalayak dalam berita-berita politik yang proporsinya mencapai angka di atas 90 persen, bahkan 100 persen. Pengecualian terdapat pada Wawasan yang proporsinya sebesar lebih dari 80 persen. Seluruh media juga menekankan aktualitas dalam berita-berita politik yang proporsinya hingga mencapai 100 persen, kecuali Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 97,1 persen. Berita-berita bertopik hukum yang menekankan aspek proksimitas secara dominan juga ditampilkan oleh semua media. Bahkan, pada Koran Sindo edisi Jateng dan Suara Merdeka proporsinya mencapai 100 persen. Sementara itu proporsi jenis berita ini pada Tribun Jateng, Radar Semarang, dan Wawasan mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan beritaberita hukum yang menonjolkan aspek aktualitas, dengan proporsi mencapai 100 persen, ditunjukkan oleh semua media, 104


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

kecuali Tribun Jateng yang proporsinya sebesar 93,3 persen. Gambar 17 TEKNIK PENULISAN BERITA POLITIK DAN HUKUM MENURUT SURAT KABAR

105


AJI Semarang

Prosedur penulisan berita-berita politik dan hukum yang obyektif sudah dijalankan oleh semua media.Setidaknya, tiga syarat sudah dijalankan, yakni meliput dua atau lebih pihak yang terlibat, menggunakan sudut pandang penulisan orang ketiga, serta penulisan dengan format piramida terbalik. Hal itu dapat dibaca pada Gambar 17. Pada berita-berita politik dapat dilihat bahwa proporsi syarat penulisan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga dan piramida terbalik sudah dilakukan sepenuhnya (100%) oleh Radar Semarang, Wawasan, dan Suara Merdeka. Sementara itu proporsi Koran Sindo edisi Jateng untuk dua syarat penulisan itu mencapai 99 persen. Tribun Jateng pada kasus yang sama menunjukkan pola yang bervariasi. Sementara itu, semua media menunjukkan proporsi yang bervariasi antara di atas 70 persen dan 90 persen untuk syarat meliput dua atau lebih pihak yang terlibat. Proporsi prosedur kutipan dari ahli pada berita-berita politik untuk semua media terhitung masih sedikit. Kecenderungan yang sama terdapat pada berita-berita bertopik hukum. Semua media sudah menjalankan persyaratan menulis dengan sudut pandang orang ketiga dan memakai format penulisan piramida terbalik (100%), kecuali pada Tribun Jateng yang proporsinya di atas 90 persen. Persyaratan penulisan yang mencakup dua belah pihak atau lebih yang terlibat memperlihatkan proporsi yang beragam, dalam kisaran angka di atas 50 persen dan 80 persen. Proporsi penulisan berita yang melibatkan kutipan dari pihak yang 106


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

dianggap ahli di bidangnya menunjukkan proporsi yang sangat rendah. Bahkan, berita-berita Tribun Jateng dan Suara Merdeka sama sekali tidak memuat pernyataan dari kalangan pihak yang berkompeten di bidang hukum. Penutup 1. Obyektivitas pemberitaan merupakan sisi lain dari independensi media. Artinya adalah independensi merupakan proses para wartawan dalam melakukan liputan terhadap suatu peristiwa sampai dihadirkan sebagai berita di hadapan pembaca. Sementara itu, obyektivitas pemberitaan merupakan hasil kerja yang dilakukan kalangan wartawan yang tidak mendapatkan intervensi dari pihak mana pun. Terdapat pengandaian bahwa semakin obyektif pemberitaan yang diproduksi oleh wartawan, maka semakin independen pula para jurnalis dalam proses pembuatan berita. Obyektivitas pemberitaan pada kondisi semacam itu adalah bukti media mampu menunjukkan tindakan tidak berpihak (impartial) dan tidak pula memberi dukungan (nonpartisanship) terhadap pihak-pihak tertentu yang diliput media. 2. Apabila dilihat dari empat syarat penulisan berita obyektif, yakni:(1) penyajian fakta-fakta mengikuti kaidah piramida terbalik; (2) sudut pandang atau perspektif penulisan adalah orang ketiga (third person); (3) dua atau lebih pihak yang terlibat dalam pemberitaan diliput semua; dan (4) mewawancarai pihak yang dianggap berkompetensi dalam 107


AJI Semarang

bidang kajian yang sedang dijadikan materi liputan, maka lima media yang terbit di Semarang setidaknya telah memenuhi tiga persyaratan pertama. Narasumber yang dikategorikan sebagai pakar atau pengamat, ternyata, belum menjadi pihak yang dianggap penting oleh media dalam pemberitaan. Dengan demikian, dari sisi teknis-prosedural penulisan berita obyektif dapat dikemukakan bahwa media memang sudah menjalankannya. Tapi, aspek teknisprosedural penulisan yang sebagian besar telah terpenuhi tidak berbanding lurus dan belum tentu mencerminkan aspek obyektivitas yang bersifat substansial. Misalnya, dalam aspek tone (nada) pemberitaan apakah media menunjukkan keberpihakan dan wartawan sudah mampu memisahkan secara tegas fakta dengan opini, belum bisa terjawab secara terukur. 3. Apabila politik dan hukum merupakan dua hal yang berkepentingan dengan hajat hidup orang banyak, maka dalam penelitian ini ditemukan suatu paradoks. Apa yang disebut sebagai berita-berita bertema politik dan hukum ternyata memuat nilai berita dampak (impact) yang rendah bagi masyarakat. Memang benar bahwa berita-berita politik dan hukum telah memenuhi nilai aktualitas dan proksimitas yang menjadi kebutuhan masyarakat. Hanya saja kalau muatan keberartian atau kepentingan itu bernilai rendah bagi masyarakat, maka berita-berita itu sekadar menjadi rutinitas bacaan yang sedikit pula bersinggungan dengan

108


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

kebutuhan konkret masyarakat. Obyektivitas pemberitaan yang sekadar menyentuh aspek kedekatan (ruang) dan kebaruan (waktu) bagi pembaca, tapi kurang menghadirkan nilai kepentingan yang pantas bagi khalayak, maka pada akhirnya menjadi ritual media yang tidak mampu menciptakan dorongan bagi publik untuk berpartisipasi dalam persoalan-persoalan nyata mereka. 4. Setidaknya ada tiga metode yang diterapkan oleh wartawan dalam mengumpulkan berita, yaitu wawancara, observasi (pengamatan), dan riset. Wartawan juga bisa memadukan dua atau tiga metode itu sekaligus. Penelitian ini menunjukkan bahwa berita-berita secara dominan merupakan hasil wawancara. Observasi hanya sedikit dijalankan. Bahkan, riset (misalnya, studi kepustakaan atau kajian terhadap data-data sekunder) sama sekali tidak pernah dikerahkan. Tidak janggal apabila berita-berita pun sekadar berisi rangkuman wawancara yang dilakukan wartawan dengan narasumber. Apa yang disebut sebagai obyektivitas sekadar tindakan konfirmasi tanpa didukung oleh bukti-bukti riset atau data yang memadai. Obyektivitas hanya menjadi problem persepsi karena terlalu miskin data dan bahkan nihil pembuktian. 5. Analisis isi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kelebihan dan, serentak dengan itu, juga kelemahan. Kelebihannya adalah metode ini mampu memberikan berbagai data kuantitatif, dari topik berita sampai nilai-nilai

109


AJI Semarang

berita (news values) yang dihadirkan oleh masing-masing media. Analisis isi juga bisa menunjukkan pola-pola pemberitaan yang telah menjadi rutinitas harian kalangan wartawan. Sehingga, generalisasi terhadap berbagai kebiasaan penulisan berita obyektif yang dijalankan wartawan mampu didapatkan. Kekurangannya adalah analisis isi hanya mampu mendeskripsikan sisi permukaan (manifest), namun tidak bisa menyingkap sisi tersembunyi (latent), yang terdapat dalam pemberitaan. Padahal, obyektivitas tidak hanya berkaitan dengan problematika permukaan kebahasaan berita, namun melainkan juga sisisisi makna yang diselubungkan dalam aneka tanda. Dalam sudut pandang demikian, maka memadukan analisis isi dengan analisis bingkai (frame analysis) atau metode semiotika untuk melihat sisi permukaan dan wilayah kedalaman bahasa menjadi langkah yang layak diperhitungkan. ***

110


Riset Kualitatif Padamnya Garis Api di Ruang Pemberitaan

Pengantar Dalam laporan akhir tahun 2012, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menetapkan salah satu musuh utama kebebasan pers adalah internal perusahaan media sendiri. Seiring dengan semakin banyaknya pemilik media massa yang merangkap sebagai politikus maupun pelaku usaha maka pemberitaan yang dibuat oleh jurnalis tidak bisa independen. Jurnalis dipaksa, secara halus maupun kasar, mengikuti agenda politik atau ekonomi pihak yang menguasai media. Padahal, idealnya jurnalis adalah profesi yang bebas dan independen. Hal ini secara eksplisit dapat disimak pada Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 yang menyatakan: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pada Kode Etik Jurnalistik itu pula dapat dibaca penafsiran terhadap kata independen, yakni “memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers�. Salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) juga 111


AJI Semarang

menyatakan jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput. Pertanyaannya, apakah konsep ideal independensi jurnalis itu bisa diterapkan, terutama jika dihadapkan pada perusahaan media. Para jurnalis sangat mungkin bisa independen tapi jika itu terkait dengan pihak lain. Rasa-rasanya, tidak ada pihak yang luput dari kritikan media. Tapi, sekali lagi, jurnalis agak kesulitan jika harus mengkritik perusahaan medianya. Ini terjadi akibat jurnalis bekerja di payung perusahaan media mainstream yang memiliki hubungan ketenagakerjaan. Bagaimanapun jurnalis adalah pekerja (buruh) perusahaan media. Persoalan pelik akibat situasi itu adalah terancamnya independensi jurnalis. Jurnalis bisa saja tidak independen karena dia selalu berada di bawah “ketiak� perusahaan media. Tidak hanya pemilik, sistem kerja jurnalis juga di bawah para redaktur. Maka jika jurnalisnya baik tapi redakturnya buruk maka berita versi redakturlah yang akan muncul di media. Sebab, berita-berita yang disajikan media merupakan hasil penyuntingan para redaktur. Maka sangat beralasan jika AJI menetapkan salah satu musuh kebebasan jurnalis saat ini adalah perusahaan media sendiri. Tapi intervensi di ruang pemberitaan itu juga berasal dari para pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Karena posisi jurnalis sangat strategis, yakni bisa menentukan opini publik, maka kini berbagai pihak (baca: narasumber) selalu ingin dekat dengan awak media. 112


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Pendekatan yang dilakukan para narasumber itu bisa berbagai macam, mulai pemberian amplop, pemberian barang, kesepakatan sebuah proyek, ancaman, hingga pemberian iklan. Ringkasnya, banyak pihak yang ingin mendekati jurnalis agar bisa mengintervensi sudut pandang pemberitaan sehingga bisa menguntungkan yang bersangkutan. Dalam posisi seperti itulah maka independensi jurnalis menjadi masalah serius karena akan berkorelasi dengan isi pemberitaannya. Ada beberapa kriteria praktik sensor yang bisa dimainkan, yakni: fakta atau peristiwa yang sebenarnya memiliki nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media, peristiwa itu diberitakan tapi faktanya telah terdistorsi, sensor dengan cara hanya memberitakan peristiwa berdasarkan pada kepentingan pemilik media maupun rezim atau tidak memberitakan sama sekali peristiwa tersebut. Dengan kata lain, ketika menghadapi sebuah isu yang kontroversial atau sensitif pada kepentingannya, kita juga sering menemukan media yang memilih: -

Tidak memberitakan sama sekali.

-

Memberitakan dengan angle (sudut pandang) yang tidak berpihak pada publik.

-

Memberitakan dengan nada pemberitaan yang berpihak.

-

Memberitakan dengan narasumber yang tidak seimbang Kita memang tak bisa melihat praktik media secara

umum. Memang ada media yang dalam isu tertentu sangat independen tapi dalam isu yang lain mudah dipengaruhi. Begitu

113


AJI Semarang

juga sebaliknya. Yang pasti, usaha mendorong media selalu independen harus tetap dilakukan. Independensi media dibutuhkan agar berita diproduksi berdasarkan kepentingan publik dan standar nilai berita semata. Media yang tidak memiliki ruang redaksi yang steril dari kepentingan non-redaksi tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai informasi yang layak dipercaya. Berita yang disiarkan merupakan pesanan dan tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Riset independensi awak media Sebagai salah satu ikhtiar mengikis praktik penyensoran, AJI Semarang yang didukung Yayasan Tifa melakukan penelitian studi deskriptif dengan pendekatan fenomenologi untuk mengungkap independensi media. Fenomenologi merupakan kajian terhadap fenomena manusia dalam konteks sosial sehari-hari. Fenomena yang dimaksud terjadi dari perspektif mereka yang mengalaminya. Fenomena tersebut terdiri dari apa pun yang manusia hidupi atau pun alami. Fenomena itu dapat diteliti secara langsung dengan mengeksplorasi apa yang diketahui manusia dengan cara mengakses kesadaran mereka. Fenomena itu juga dapat dikaji secara tidak langsung dengan menginvestigasi keberadaan manusia dengan cara mengakses makna-makna dan praktikpraktik yang melatarbelakanginya (Titchen dan Hobson dalam Somekh dan Lewin [eds.], 2005). Dalam bahasa jurnalistik,

114


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

metode penelitian ini seperti wawancara dan reportase. Penelitian fenomenologi sendiri termasuk pada paradigma interpretif, yakni menganalisis aktivitas sosial melalui pengamatan langsung yang mendetail atas individu di dalam situasi dan kondisi yang alami. Tujuan utama dari paradigma interpretif adalah memahami dunia subyektif pengalaman manusia. Untuk dapat memperoleh gambaran yang utuh dari fenomena yang diteliti, peneliti berupaya untuk masuk ke dalam cara berpikir orang yang diteliti dan memahaminya dari dalam. Sangat dihindari penggunaan kerangka dan struktur analisis yang merefleksikan pandangan peneliti, karena akan mengaburkan cara pandang aktor yang diamati. Tidak ada rekayasa dengan tujuan untuk mencapai pemahaman dan penafsiran bagaimana individu menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka. Oleh karena itu asumsi utama dari paradigma interpretif adalah individu secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka dengan memberikan makna pada apa yang mereka lihat atau rasakan. Subyek Riset Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang dengan subyek utama penelitian adalah 10 jurnalis media lokal di Semarang, terdiri dari 7 reporter, 1 redaktur, dan 2 pemimpin redaksi. Jurnalis adalah subyek yang idealnya memiliki hak

115


AJI Semarang

independen tapi fenomena menunjukkan bahwa mereka banyak sekali mengalami intervensi dari pihak lain, terutama dari perusahaan medianya. Agar data yang disampaikan jurnalis bisa lengkap dan menghindari kekeliruan maka peneliti juga meminta konfirmasi kepada redaktur dan pemilik media masing-masing. Wartawan dalam riset ini didefinisikan sebagai orang yang bekerja sebagai pewarta, yang bertugas mencari berita, membuat berita, dan menerbitkan karya jurnalistik. Adapun wartawan yang diwawancarai secara mendalam dalam penelitian ini adalah wartawan media lokal di Kota Semarang yang meliput di beberapa bidang. Untuk menjaga hubungan baik maka jurnalis yang diwawancara dan medianya tidak disebutkan namanya atau menggunakan nama samaran. Tujuannya agar responden mau berkata jujur atas apa yang sudah dialami. Rawan diintervensi Setelah melakukan riset di lapangan, AJI Semarang menemukan berbagai kasus intervensi yang sering dialami awak media. Intervensi inilah yang mengakibatkan munculnya penyensoran informasi untuk publik. Jika dipilah, praktik penyensoran muncul dari dua wilayah, yakni internal dan eksternal perusahaan. Pihak-pihak yang bisa dikelompokkan dalam wilayah internal adalah: -

116

Pemilik perusahaan


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

-

Pemimpin perusahaan

-

Pemimpin redaksi

-

Redaktur

-

Jurnalis sekantor

-

Bagian iklan dan sirkulasi Sedangkan dari pihak ekternal media hampir semua

orang berpotensi bisa melakukan intervensi terhadap awak media, di antaranya: -

Para narasumber

-

Birokrat pemerintahan

-

Aparat keamanan

-

Pemasang iklan

-

Pengacara

-

Organisasi jurnalis

-

Jurnalis media lain Intervensi internal perusahaan Faktor pendorong terjadinya intervensi dari internal

media rata-rata berasal dari kepentingan ekonomi perusahaan dan kepentingan individu. Bentuk dan pelaku penyensoran yang terjadi, antara lain : Pemilik media atau pemimpin perusahaan meminta agar berita negatif dari kenalannya tidak ditulis. Pemimpin redaksi dan redaktur meminta agar berita-berita yang menyerang kenalan, pemasang iklan, diperhalus atau tidak usah ditulis. Selain itu pemimpin redaksi dan redaktur juga bisa

117


AJI Semarang

menghilangkan beberapa fakta dalam berita ketika mengedit. Intervensi juga bisa datang dari rekan sekantor yang meminta agar berita-berita yang menyerang kenalan mereka diperhalus atau tidak usah ditulis. Seorang jurnalis mengakui pernah akan menulis dugaan kasus korupsi sebuah proyek di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Dia sudah mengumpulkan bahan berita secara lengkap disertai dengan konfirmasi. Apa lacur, berita itu tak dimuat karena ada intervensi dari Kepala Dinas. “Perusahaan media itu tidak hanya butuh jeneng (nama) tapi juga butuh jenang,� kata jurnalis ini. Seorang jurnalis juga mengaku dalam isu-isu tertentu ia sudah diberi pesan redaktur untuk membuat berita dengan sudut pandang tertentu. Biasanya, redaktur tersebut memiliki kepentingan, entah karena perkawanan atau motif lain. Defisini apa itu intervensi ke redaksi memang harus dipertegas. Misalnya, jika ada seorang pemilik media meminta kepada redaksi untuk memberitakan sesuatu maka itu tak bisa langsung bisa disebut sebagai intervensi. Sejauh permintaan itu dilakukan secara terbuka melalui rapat redaksi dan apa yang diusulkan oleh pemilik media tersebut memiliki nilai berita yang baik dan redaksi merasa tetap independen maka itu sah-sah saja. Tapi, jika seorang pemilik media meminta kepada redaksi memberitakan sesuatu yang tak ada nilai beritanya dan tak ada kepentingan publik maka itulah yang namanya intervensi. Seorang redaktur sebuah media lokal di Semarang mengakui

118


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

dalam industri, media bukan ruang yang steril, independen, dan netral dari berbagai kepentingan. Ruang pemberitaan (newsroom) bukan ruang hampa yang bersih dari kepentingan. Setiap realitas (berita) yang dilansir media, merupakan realitas yang sudah dibentuk dan konstruksi dari berbagai asupan. Asupan bisa datang dari berbagai macam peran. Wartawan yang menjadi ujung tombak penggalian berita di lapangan berpotensi memainkan peran. Misalnya, dengan memilih narasumber, penentuan sudut pandang (angle), kalimat, dan sebagainya. Pada proses produksi berita selanjutnya, sangat dimungkinkan, redaktur juga mempunyai kepentingan yang tidak diketahui oleh jajaran redaksi di atasnya. Misalnya, ketika redaktur tidak suka dengan narasumber, maka angle bisa diganti. Atau, secara ekstrem, redaktur bisa melakukan rewriting (penulisan ulang). Berita dari wartawan juga bisa dibongkar total. Pada level di atasnya, redaktur pelaksana bisa jadi juga mempunyai kepentingan dengan cara memainkan judul, penempatan berita, besar kecilnya porsi berita, pemberian infografis sampai pemilihan foto. Pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab tertinggi suatu ketika juga mempunyai kepentingan. Belum lagi kalau pemilik modal juga nimbrung dengan kepentingannya. “Jadi, berita yang muncul menjadi realitas yang ke sekian,� kata seorang pemimpin redaksi. Intervensi Eksternal Perusahaan Intervensi dari pihak eksternal perusahaan biasanya

119


AJI Semarang

Unjuk rasa menentang kekerasan terhadap jurnalis, 23 Agustus 2010.

datang dari obyek berita yang tidak ingin berita negatif tentang mereka ditulis di media. Berdasarkan keterangan para jurnalis, intervensi sebagian besar berupa permintaan lisan agar tidak menulis fakta yang tidak diinginkan objek berita. Terkadang praktik penyensoran ini juga diikuti dengan iming-iming sejumlah uang atau “amplop.� Bentuk dan pelaku intervensi tersebut, misalnya birokrat meminta agar berita-berita buruk terkait pemerintahan diperhalus atau tidak usah ditulis. Jajaran pemerintah daerah ini juga meminta agar berita-berita korupsi yang menjerat pejabat tidak ditulis. Sebagai kompensasi agar media tidak menulis halhal yang negatif, mereka memasang iklan di media. Aparat keamanan diketahui pernah mengintervensi 120


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

jurnalis agar melakukan penyensoran. Seorang pejabat kepolisian lewat perantara jurnalis senior meminta agar jurnalis yang diwawancarai tidak menulis berita mengritik kinerja kepolisian. Ada pula anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pernah menanyakan mengapa jurnalis harus menulis berita dugaan penyelewengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang tak termasuk dalam ranah keamanan. Diduga oknum TNI ini merupakan keluarga pejabat di dinas pendidikan. Di bidang hukum, pengacara juga ada yang pernah meminta agar kasus kliennya tidak ditulis. Ada juga seorang oknum wakil kepala sekolah yang mengajak berkelahi jurnalis gara-gara imbas dari berita yang ditulis. Pasalnya, wakil kepala sekolah tersebut dicopot dari jabatannya. Namun, kejadian ini tak sampai menimbulkan perkelahian fisik. Pemasang iklan juga sangat sering menjadi pihak yang meminta agar dilakukan penyensoran berita. Biasanya mereka tak berhubungan langsung dengan jurnalis di lapangan. Pemasang iklan lebih sering meminta melalui pemilik perusahaan, pemimpin redaksi atau redaktur agar berita negatif terkait aktivitas mereka tak ditulis. Kolega sesama jurnalis dan kelompok jurnalis bisa juga menjadi pelaku intervensi. Dengan dalih perkawanan, rekan seprofesi terkadang meminta agar jurnalis tidak perlu menulis berita tertentu. Kelompok jurnalis tertentu—dengan mengatasnamakan kesepakatan bersama—sering kali

121


AJI Semarang

menentukan berita mana yang akan ditulis atau tidak ditulis. Ada juga intervensi yang tidak langsung diterima jurnalis, tapi membuat jurnalis tersebut terpaksa mencabut berita yang sudah dikirim ke redaktur. Pencabutan berita ini dilakukan dengan pertimbangan narasumber yang diintervensi preman setelah diwawancara jurnalis. Khawatir tak mendapatkan kue iklan Dalam riset ini, rata-rata jurnalis atau redaktur tak berkutik jika menerima intervensi dari pihak lain, apalagi kalau yang melakukan intervensi adalah pemilik perusahaan media. Memang, ada beberapa jurnalis yang tetap menulis berita sesuai dengan independensi. Tapi, saat berita itu di tangan redaktur maka berita tak bakal dimuat. Ibaratnya, jika jurnalisnya tak bisa diintervensi maka “lobi� redaktur maupun pemilik perusahaan menjadi salah satu cara agar berita tak dimuat. Apalagi, jika sudah ada iming-iming amplop dan iklan. Media lebih mempertimbangkan perolehan amplop dan iklan dibandingkan tetap meneruskan berita yang hendak disiarkan ke publik. Pertimbangan keuangan perusahaan selalu menjadi alasan klasik. Jika media lokal menjadi anjing penjaga atau mengutamakan fungsi kontrol dengan melakukan investigasi, mereka masih khawatir tak mendapatkan kue iklan. Apalagi, media-media lokal di Semarang belum memiliki garis api yang tegas untuk membedakan ruang berita dan ruang iklan. Padahal, iklan yang menjadi pemasukan keuangan media

122


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

sangat rawan mengaburkan sebuah pemberitaan. Ini terkait dengan banyak narasumber “bermasalah� yang ketika kasusnya diungkap, maka mereka melakukan pendekatan dengan media agar kasusnya tidak diekspos. Salah satu yang dilakukan adalah dengan memberikan iklan. Atau, jika ada sebuah institusi/perorangan yang ingin populer melalui peliputan maka salah satu iming-imingnya adalah memasang iklan. Bahkan, ada beberapa jurnalis yang diperbolehkan atau bahkan justru dianjurkan mencari iklan. Padahal, idealnya ruang iklan tak boleh mengintervensi ruang pemberitaan. Media lokal di Semarang juga tak memberlakukan aturan wartawan menerima pemberian dari narasumber secara tegas yang berpotensi mempengaruhi independensi wartawan. Di sinilah, relevan untuk membahas soal kesejahteraan jurnalis. Memang, tingkat kesejahteraan jurnalis tidak berhubungan langsung dengan budaya amplop. Belum tentu jurnalis yang sudah sejahtera tak menerima amplop. Begitu juga jurnalis yang belum sejahtera selalu menerima amplop. Faktanya, ada jurnalis yang sejahtera tetap menerima amplop. Tapi ada juga jurnalis dengan gaji pas-pasan yang tak mau menerima amplop. Minimnya tingkat kesejahteraan jurnalis hanyalah pemicu atau pendorong para jurnalis mau menerima amplop. Yang jelas, jika ingin mendorong jurnalis profesional dan independen maka kesejahteraan jurnalis juga harus diutamakan.

123


AJI Semarang

Hibah

APBD

Jawa

Tengah

ke

Organisasi Wartawan Salah satu fenomena yang ada dalam dunia pers di Indonesia adalah adanya organisasi wartawan yang mau menerima dana hibah dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah. Itu merupakan hak setiap kelompok/organisasi. Toh, uang APBN/APBD adalah hasil dari perolehan pemasukan yang salah satunya juga bersumber dari pajak masyarakat. Sejauh itu dipergunakan dengan kemanfaatan, tak ada penyelewengan dan tidak melanggar aturan maka sah-sah saja. Tapi, bagaimana jika dihubungkan dengan wartawan mengingat salah satu fungsi profesi ini adalah kontrol terhadap pemerintahan. Di Jawa Tengah banyak sekali organisasi wartawan yang pernah ikut menerima hibah APBD Jawa Tengah. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011, misalnya, ada anggaran hibah untuk organisasi wartawan sebanyak Rp2 miliar. Sedangkan APBD 2012, anggaran hibah untuk organisasi wartawan naik menjadi Rp2.140.000.000. Hibah ini untuk 9 organisasi kewartawanan di Jawa Tengah, yakni: 1. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa Tengah Rp800 juta. Penggunaannya untuk peringatan Hari Pers Nasional (HPN), seminar/sarasehan dan pelatihan.

124


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

2.PPersatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Surakarta Rp100 juta. Digunakan untuk kegiatan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tingkat nasional, HPN tingkat Surakarta, rapat-rapat koordinasi dan kegiatan rutin PWI Surakarta. 3. Forum Wartawan Provinsi dan DPRD Provinsi Jawa Tengah (FWPJT) Rp350 juta. hibah untuk pelatihan/sarasehan empat kali kegiatan. 4. Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Rp350 juta. Hibah untuk seminar/sarasehan, diskusi dan pelatihan 10 kali. 5. Komunitas Wartawan Provinsi Jawa Tengah (KWP) Rp200.000.000, hibah untuk seminar/sarasehan dua kali kegiatan dan pelatihan dua kali. 6. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Jawa Tengah Rp150.000.000. dana sebesar itu digunakan untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan. 7. J Jurnalis untuk Transformasi, Edukasi, dan Demokrasi (J-Trend) Rp100.000.000. dana untuk kegiatan bintek, sarasehan dan kajian/penelitian partisipasi masyarakat desa dalam meningkatkan kualitas pemilukada 2013. 8. Jurnalis Televisi Swasta (JTS) Rp50.000.000. dana digunakan untuk kegiatan diskusi I kali. 9. Media Violence Watch (MVW) Rp 40.000.000. dana digunakan untuk kegiatan seminar dua kali kegiatan. Dalam dokumen laporan penggunaan yang ada, rata-rata 125


AJI Semarang

dana hibah itu untuk kegiatan seminar, pelatihan dan diskusi. Untuk tahun 2013, APBD Provinsi Jawa Tengah juga mengalokasikan anggaran hibah untuk organisasi wartawan sebesar Rp 2.140.000.000 atau sama dengan hibah APBD 2012. Rencananya, dana Rp2,1 miliar itu digelontorkan untuk sembilan organisasi kewartawanan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2012 tanggal 10 Desember 2012 tentang Penjabaran APBD Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2013. Nama organisasi wartawan yang menerima beserta jumlah hibahnya sama persis dengan pemberian hibah tahun 2012. Tapi, hibah wartawan dalam APBD 2013 tidak dicairkan karena tidak ada rekomendasi dari instansi pengampu (Biro Humas). Sebab, anggaran tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial bersumber dari APBD pada Bab III Hibah bagian kesatu umum pasal 4 ayat 1-4, -

Pemerintah daerah dapat memberikan hibah sesuai kemampuan keuangan daerah.

-

Pemberian hibah dilakukan setelah prioritas pemenuhan belanja urusan wajib.

-

Hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.

-

Pemberian hibah memenuhi kriteria paling sedikit: peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan, tidak

126


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Anggota Dewan Pers, Nezar Patria bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menjadi pembicara dalam diskusi Problem Amplop dan Jurnalis.

wajib, tidak mengikat dan tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan memenuhi persyaratan penerima hibah. Perketat Penyaluran Dana Hibah AJI Semarang tidak melarang pemberian dana hibah ke organiasi wartawan. Toh, uang APBD itu juga uang rakyat. Tapi, AJI meminta kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar PranowoWakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko lebih memperketat pemberian dana hibah. Hal ini sesuai dengan janji keduanya pada masa kampanye pemilihan gubernur Jawa Tengah 2013. Harus ada politik anggaran menuju good

127


AJI Semarang

governance. Dana hibah baru bisa dianggarkan jika urusanurusan penting/wajib di Jawa Tengah sudah terselesaikan. Lebih baik Ganjar-Heru mengalokasikan anggaran untuk fokus penyelesaian problem-problem utama di Jawa Tengah. Toh, masalah wartawan ini bukan urusan wajib pemerintah. Tapi organisasi profesi dan perusahaan media yang berkewajiban meningkatkan kapasitas para jurnalis. Harus didorong agar jurnalis bisa independen. Salah satu caranya adalah tak menerima hibah dari APBD. Kalaupun ada hibah ke organisasi wartawan maka harus diperketat: alokasi dana hibah harus transparan (bisa dilihat/terbuka) dan akuntabel (bisa diukur hasilnya dan bisa dipertanggungjawabkan). Selain itu harus ada tim independen penilai/penyeleksi program, auditor dan pengawas hibah. Ini semua untuk menghindari potensi penyelewengan. AJI sendiri hingga 2014 belum mau menerima dana hibah APBD/APBN. Hal ini sesuai dengan aturan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) AJI. Bukan merasa sok suci, tapi AJI memandang menerima dana hibah dari pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. AJI Semarang juga mendorong agar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menghentikan anggaran amplop untuk jurnalis. AJI beraudiensi dengan Ganjar pada November 2013 untuk memberikan berbagai masukan ihwal mendorong profesionalisme jurnalis. Salah satu kebijakan yang kemudian dikeluarkan Ganjar adalah menghapus anggaran amplop untuk

128


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

wartawan yang biasanya dianggarkan di Biro Humas Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Kebijakan ini sangat bagus karena menjadi salah satu ikhtiar mendorong kalangan jurnalis menjadi lebih kritis dan independen. Untuk itu, dalam konteks kebijakan menghapus anggaran amplop wartawan, AJI sangat mendukung. Tapi, dalam konteks kebijakan yang buruk maka AJI akan selalu berusaha untuk mengkritisi Ganjar Pranowo. AJI memberikan bentuk dukungan kebijakan penghapusan amplop melalui diskusi publik dengan tema “Problem Amplop dan Kesejahteraan Jurnalis� pada Kamis, 19 Desember 2013 dengan dihadiri pembicara: Anggota Dewan Pers Nezar Patria, Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Pemimpin Redaksi Tribun Jateng Musyafi' dan Sekretaris AJI Semarang Rofiuddin. Diskusi ini dilaksanakan atas kerjasama bersama sekitar 25 berbagai organisasi di Semarang. Pengayaan riset melalui Focus Group Discussion (FGD) Hasil riset kualitatif yang sudah dilakukan AJI Semarang kemudian diuji publik melalui dua kali Focus Group Discussion (FGD), yakni bersama dengan awak media (jurnalis dan redaktur) serta bersama dengan perwakilan kelompok masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM).

129


AJI Semarang

FGD bersama jurnalis Dalam FGD yang dilaksanakan pada 21 Desember 2013 dihadiri 20 peserta, terdiri dari para jurnalis dan redaktur beberapa media di Kota Semarang. Dalam proses FGD, para jurnalis lebih banyak yang hanya mengkonfirmasi atas banyaknya praktik intervensi baik yang dilakukan pihak internal media maupun ekternal. Posisi jurnalis dan redaktur yang menjadi buruh perusahaan media membuat mereka sering tak berkutik jika sudah diintervensi pemilik media. Maka, dalam proses FGD, para jurnalis dan redaktur seperti menyampaikan curahan hati (curhat) atas apa yang dialaminya. Sebab, mereka merasa tak mampu menghadapi gempuran intervensi, terutama yang dilakukan pemilik perusahaan media. Dalam FGD dengan jurnalis memunculkan beberapa rekomendasi: -

Kesejahteraan jurnalis menjadi salah satu masalah yang dari ke hari semakin kronis. Praktik konglomerasi perusahaan media mengakibatkan buruh jurnalis semakin diperas keringatnya tapi kesejahteraannya minim. Misalnya, seorang jurnalis mengirimkan satu berita tapi bahan berita itu bisa muncul di beberapa media yang satu grup usaha. Sementara, jurnalisnya hanya mendapatkan satu kali upah. Ada pula jurnalis yang menerima upah selalu telat. Untuk itu,

130


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

menyuarakan kesejahteraan jurnalis tak bisa ditawartawar lagi. -

Jurnalis juga berharap agar di medianya bisa membuat lembaga ombudsman untuk mencegah praktik penyensoran. Jika ada ombudsman maka publik yang tak puas atas pemberitaan media, maka mereka bisa menyalurkan protes.

-

Para jurnalis menghimbau jika ada berita yang terkena sensor akibat kepentingan redaktur maupun pemilik perusahaan media, maka berita tersebut bisa disebarkan melalui media sosial. Di sinilah adanya media daring alternatif perlu dipikirkan. Media daring yang tak dimiliki pengusaha tapi dimiliki beberapa jurnalis. Ini sebagai pertanggungjawaban profesi jurnalis dan memenuhi hak publik mendapatkan informasi yang benar. FGD kelompok masyarakat Dalam diskusi dengan kelompok masyarakat, AJI

Semarang mengundang 30 orang yang mewakili berbagai lembaga. Diskusi lebih terasa “panas� karena mereka mengungkapkan ketidakpuasan atas kinerja media. Muncul berbagai keluhan dan kritik terhadap kerja jurnalistik awak media. Misalnya, berita yang muncul di media tidak seperti yang diharapkan narasumber. Sebab, berita tidak berperspektif publik tapi mengarah pada keuntungan kelompok elite maupun

131


AJI Semarang

pemodal. Bahkan, ada yang mengeluh karena pernyataannya diplintir media sehingga sangat merugikan. Perwakilan buruh juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap berita-berita di media terkait penentuan upah minimum kabupaten/kota. Buruh menilai berita-berita yang muncul di media terkesan tidak mendukung perjuangan mereka. Media dinilai lebih sering menulis dari sisi pengusaha dan pemerintah, sementara pendapat buruh hanya mendapat porsi yang kecil. Contoh lain, perwakilan sebuah LSM menceritakan pengalamannya saat mendampingi seorang sukarelawan asing yang berkampanye tentang antikekerasan selama berada di Semarang. Sukarelawan tersebut memaparkan kampanyenya di hadapan jurnalis. Namun ia kecewa setelah tahu berita yang muncul di media sama sekali tidak membahas kampanye antikekerasan yang sedang digalangnya, malah berita yang muncul tentang aktivitas pribadinya saat di Semarang. Ketika keluhan dilayangkan pada jurnalis yang menulis berita tersebut, tak ada koreksi pada penerbitan selanjutnya. Keluhan publik terhadap media yang melakukan praktik sensor belum menjadi tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan dengan belum munculnya kesadaran publik bahwa mereka berhak melayangkan keberatan terhadap pemberitaan di media. Namun bisa juga disebabkan tidak adanya lembaga yang bisa mengakomodasi keberatan masyarakat terhadap media di tingkat lokal.

132


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Tabel 1 Jenis Pengaduan ke Dewan Pers 2012 f

%

Tidak Berimbang

44

26,35

Tidak Menguji Informasi/Konfirmasi

40

23,95

Mencampurkan Fakta dan Opini yang Menghakimi

38

22,75

Akurat

20

11,98

Jenis Pelanggaran KEJ

Tidak Profesional dalam mencari Berita

5

2,99

Melanggar Asas Praduga Tidak Bersalah

4

2,40

Tidak Menyembunyikan Identitas Korban Kejahatan Susila

4

2,40

Tidak Jelas Narasumbernya

4

2,40

Tidak Berimbang Secara Proposional

2

1,20

Tidak Menyembunyikan identitas Pelaku Kejahatan di Bawah Umur

1

0,60

Lain-lain

5

2,99

167

100,00

Total

Sumber : Dewan Pers, 2013.

Media lokal di Semarang diketahui belum ada yang memiliki lembaga ombudsman. Padahal ombudsman berfungsi untuk menampung dan memeriksa dugaan pelanggaran kode etik di internal media berdasarkan laporan dari masyarakat. Kejengahan masyarakat atas praktik buruk media sebenarnya sudah muncul (selengkapnya baca Tabel 1). Hal ini tergambar dari pengaduan masyarakat ke Dewan Pers. Anggota Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo menjelaskan, selama 2012 ada 476 pengaduan yang masuk ke Dewan Pers. Urutan teratas berupa pengajuan hak jawab sebanyak 215 kasus (45,17%), disusul pengaduan tentang berita secara umum ada 111 kasus (23,32%), dan permintaan pendapat sesuai UU Pers/Kode Etik Jurnalistik ada 20 kasus (4,20%). Terkait aduan penyensoran berita, sepanjang 2012 hanya ada 1 kasus (0,21%). 133


AJI Semarang

Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjelaskan bahwa penyensoran termasuk hal yang dilarang. Pasal 4 ayat (2) menjelaskan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau larangan penyiaran. Kemudian pada pasal 4 ayat (3) diatur, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pelanggaran terhadap kedua aturan di atas akan memperoleh sanksi. Seperti yang tertulis dalam pasal 18 ayat (1) yang menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Menariknya adalah Dewan Pers menyatakan belum pernah menerima pengaduan dari jurnalis yang merasa dirugikan dengan penyensoran berita. Padahal, sesuai dengan Undang-undang pers menyatakan bahwa subyek yang bisa diadili jika menghambat atau menghalang-halangi tugas jurnalis adalah “setiap orang�.

134


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Tabel 2 Jenis Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik 2012 Jenis Pengaduan

f

%

Pengajuan Hak Jawab

215

45,17

Pengaduan tentang Berita Secara Umum

111

23,32

Permintaan Pendapat Sesuai UU Pers/Kode Etik Jurnalistik

20

4,20

Pengaduan tentang Kekerasan terhadap Wartawan

19

3,99

Pengajuan Hak Koreksi

17

3,57

Pengaduan tentang Perilaku Tindakan Wartawan

14

2,94

Mengadukan Iklan

11

2,31

Mengadukan Isi Siaran Televisi

10

2,10

Wartawan/Media Digugat ke Polisi/Pengadilan karena Berita

7

1,47

Sengketa Hak Cipta Nama Media

5

1,05

Pengaduan tentang Foto/Ilustrasi/Kartun

4

0,84

Pengaduan tentang Artikel/Opini/Surat Pembaca

2

0,42

Pengaduan tentang Badan Hukum Perusahaan Pers

2

0,42

Pengaduan Wartawan karena Mengalami Pemecatan/PHK

2

0,42

1

0,21

mengadukan Penyensoran Lain-lain Total

36

7,56

476

100,00

Sumber : Dewan Pers, 2013.

Dari pengaduan yang masuk, Dewan Pers mendapati ada 167 pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (selengkapnya baca Tabel 2). Urutan teratas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik adalah tidak berimbang dengan 44 kasus (26,35%). Disusul oleh tidak menguji informasi/konfirmasi dengan 40 kasus (23,95%) dan mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi dengan 38 kasus (22,75%). Praktik sensor di media tentu menimbulkan dampak negatif, terutama kepada publik atau khalayak. Sebab, khalayak yang seharusnya berhak mengetahui fakta atau informasi yang 135


AJI Semarang

sebenarnya tapi malah tak mendapatkan hak itu. Bahkan, jika praktik sensor terjadi maka publik akan menerima fakta yang sudah terdistorsi atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Selain itu, tak jarang praktik sensor dilakukan demi untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Di sisi lain, sekali lagi, keluhan atau protes publik terhadap media yang melakukan praktik sensor belum menjadi tradisi. Bisa jadi hal ini disebabkan dengan belum munculnya kesadaran publik bahwa mereka berhak melayangkan keberatan terhadap pemberitaan di media. Namun bisa juga disebabkan tidak adanya lembaga yang bisa mewadahi keberatan masyarakat terhadap media di tingkat lokal. Selain keberadaan Dewan Pers, yang mengemban pelaksanaan Pasal 15 UU No. 40/1999 tentang Pers, bisa jadi dibutuhkan solusi alternatif yang bersifat lokal. Kemunculan lembaga ombudsman dari media maupun lembaga independen pemantau media bisa menjadi pemecahan persoalan yang membuka kesempatan bagi publik untuk mengemukakan keberatannya terhadap produk jurnalistik. Yang jelas demi keberlangsungan media yang lebih sehat, dibutuhkan kesadaran baik dari internal media maupun masyarakat mengenai pentingnya kebebasan ruang berita, baik dari intervensi pihakpihak eksternal atau internal. Kebebasan ruang berita inilah yang akan meniadakan, setidaknya meminimalkan, praktik sensor-diri (self-censorship) terhadap pemberitaan.

136


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Rekomendasi FGD kelompok masyarakat -

Masyarakat membutuhkan saluran/medium untuk menyuarakan protes jika sewaktu-waktu dirugikan oleh pemberitaan media. Saluran itu bisa melalui pembentukan media watch (lembaga pengawas media) maupun melalui ombudsman yang didirikan masingmasing media. Cara lain adalah media massa harus menyediakan halaman rubrik kritik media. Jika ada pemberitaan yang keliru maka masyarakat bisa meluruskan yang dimuat di rubrik kritik media itu. Hal ini seperti praktik hak jawab. Meski tradisi hak jawab juga belum tumbuh di media-media di Jawa Tengah. Padahal, pasal 5 ayat 2 Undang-undang Pers menyatakan: pers wajib melayani hak jawab. Pers yang melanggar ketentuan ini bisa dikenai pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

-

Kelompok masyarakat juga membutuhkan peningkatan kapasitas dalam kreativitas aksi agar kegiatannya bisa dianggap layak untuk dijadikan berita. Selain itu, masyarakat juga harus diberi pengetahuan ihwal alur kerja wartawan, kode etik jurnalistik, undang-undang pers, dan lain-lain. Pengetahuan ini sangat penting agar kelompok masyarakat juga bisa bertindak jika sewaktuwaktu mengetahui ketidakberesan kinerja media.

137


AJI Semarang

Mendorong idealisme dapur redaksi Mengapa independensi dalam ruang redaksi penting? Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika dalam diskusi yang digelar AJI Semarang pada 4 Januari 2014 mengatakan, independensi ruang redaksi dibutuhkan agar berita diproduksi berdasarkan kepentingan publik dan standar nilai berita semata. Media yang tidak memiliki ruang redaksi yang steril dari kepentingan non-redaksi tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai informasi yang layak dipercaya. Berita yang disiarkan merupakan pesanan dan tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Jurnalistik pada dasarnya adalah proses pencarian, pengolahan, dan penyebarluasan informasi. Informasi apa yang dicari, diolah, dan disebarkan itu? Jelas informasi yang dinilai penting oleh khalayak. Karena itu, proses jurnalistik sudah seharusnya sejalan dengan kepentingan orang banyak (publik). Media yang tidak membela kepentingan publik seharusnya tidak bertahan hidup karena tidak punya alasan untuk terbit. Masalahnya, definisi “publik� berbeda untuk setiap media. Segmentasi khalayak (audience) biasanya menjadi pertimbangan utama. Jurnalis memperoleh mandatnya untuk bekerja dari publik (rakyat). Adalah publik yang memiliki hak untuk menuntut akuntabilitas dari pejabat publik. Hak itulah yang diwakilkan pada jurnalis. Dilihat dari sejarah media massa, pada awalnya media adalah kepanjangan tangan dari proses

138


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

percakapan khalayak ramai. Jadi pada esensinya, media adalah sebuah lembaga publik, meskipun juga merupakan sebuah institusi bisnis (komersial). Tarik-menarik antara kepentingan publik dan kepentingan komersial media ini yang biasanya disalahkan ketika media berpihak. Padahal, ketegangan itu seharusnya tidak terjadi. Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi isi media yang tidak berpihak kepada publik. Di antaranya adalah tawaran iklan, intervensi pemilik media atau jurnalis yang disuap. Tawaran iklan merupakan faktor yang paling lazim terjadi. Banyak pihak merasa menekan media lewat iklan adalah salah satu cara yang efektif untuk meredam suatu berita. Intervensi pengiklan Jika intervensi berasal dari bagian iklan, maka pencegahannya dengan memastikan firewall (garis api) antara bagian bisnis dan redaksi ditegakkan. Seharusnya, sama sekali tidak ada komunikasi antara bagian iklan dan redaksi dalam bentuk apa pun. Bagian iklan murni mencari pemasukan berdasarkan luas jangkauan, oplah, dan kredibilitas media tersebut. Untuk memastikan adanya garis api, manajemen harus menyusun standar prosedur operasi yang mengatur pola relasi redaksi dengan bagian usaha (iklan). Perusahaan atau lembaga pemerintah yang hendak diliput sering berusaha mempengaruhi naik atau tidaknya suatu berita dengan mengancam membatalkan order iklan. Biasanya 139


AJI Semarang

bagian iklan—yang menerima ancaman tersebut—akan meneruskan permohonan kliennya ke redaksi. Bagi redaksi, adanya permintaan semacam itu meneguhkan keyakinan bahwa perusahaan/pejabat tersebut bermasalah. Tapi sejak awal, kasus semacam ini bisa diantisipasi dengan menegaskan aturan garis api dan membuat standar operasional prosedur (SOP) komunikasi antara bagian iklan dengan redaksi. Harus ada aturan tegas bahwa iklan tidak bisa mengatur berita. Sepanjang tidak ada komunikasi antara iklan dan redaksi, maka jurnalis tidak akan tahu dan tidak akan peduli perusahaan mana yang memasang iklan di medianya. Untuk itu, interaksi antara redaksi dan iklan harus diminimalisir. Ada juga pola intervensi pasca-pemuatan. Iklan yang sudah dipesan dibatalkan karena narasumber tidak puas dengan pemberitaan tertentu. Ketika kasus semacam ini terjadi, pihak redaksi biasanya tidak tahu, tidak diberitahu, dan memang tidak perlu tahu/peduli. Intervensi dari pemilik media Jika intervensi datang dari pemilik, maka cara terbaik menangkalnya adalah dengan memperkuat serikat pekerja. Karyawan harus memiliki forum bersama yang dilindungi undang-undang untuk membela kepentingannya, tidak hanya soal kesejahteraan tapi juga soal profesinya. Persoalannya, kesadaran jurnalis berserikat juga sangat rendah. Kesadaran berserikat tidak muncul akibat pekerjaan

140


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

jurnalis membutuhkan waktu dan tenaga ekstra sehingga mereka belum sempat berpikir untuk memperjuangkan nasibnya sendiri. Jika serikat pekerja sudah berdiri maka serikat harus secepatnya membuka perundingan dengan manajemen untuk merumuskan Perjanjian Kerja Bersama. Dalam perjanjian itu, serikat bisa mengusulkan pasal yang mengatur soal independensi ruang redaksi dan sanksi bagi pemilik yang melakukan intervensi. Idealnya juga ada klausul yang mengatur independensi ruang redaksi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar. Independensi newsroom bisa dibangun dengan membatasi pertemuan antara komisaris/pemilik perusahaan dengan redaksi. Ihwal intervensi pemilik ke ruang redaksi pernah diteliti Anett Keller (2009), seorang wartawati dari Jerman Barat (editor untuk The Asia Pacific Times di Berlin). Riset lapangan tentang otonomi redaksi di empat surat kabar di Jakarta pascareformasi 1998. Penelitian terhadap Kompas, Republika, Media Indonesia dan Koran Tempo itu menunjukkan bahwa media yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak mayoritas maka secara relatif sulit untuk diintervensi. Sebaliknya jika media tersebut dimiliki secara mayoritas oleh seseorang, atau sebuah kelompok bisnis, maka bagian redaksi secara relatif menjadi sangat mudah mendapatkan intervensi atau kurang independen.

141


AJI Semarang

Jurnalis disuap? Sementara jika intervensi datang dari jurnalis yang disogok, maka cara mencegahnya harus meliputi pembangunan sistem antikorupsi di internal redaksi. Seperti perumusan kode perilaku (turunan dari kode etik jurnalistik) yang mengatur secara teknis tindak tanduk jurnalis, dan mekanisme whistleblower (peniup peluit) agar orang berani melaporkan kejanggalan di internal redaksi. Selain itu, seharusnya ada sistem pengawasan eksternal redaksi yang kuat (ombudsman, misalnya) yang bisa menerima keluhan dari pembaca dan memeriksa apakah suatu keluhan soal tidak dimuatnya suatu berita valid atau tidak. Guna meminimalkan intervensi dari jurnalis yang disogok, proses pengambilan keputusan soal berita di redaksi juga harus terbuka dan melibatkan semua kompartemen, sehingga tidak ada satu redaktur pelaksana yang terlalu berkuasa menentukan naik/tidaknya suatu berita di wilayahnya. Selain itu, seharusnya semua jurnalis, dari reporter sampai redaktur, berhak mengusulkan ide liputan dan harus mendapat penjelasan mengapa suatu berita dimuat/tidak. Kasus jurnalis menerima amplop biasanya ditangani dengan tegas dengan sanksi berupa pemecatan. Untuk menjamin tidak ada jurnalis menerima amplop, tentu saja, kesejahteraan jurnalis harus diperhatikan. Setiap tahun harus ada evaluasi atas jumlah gaji karyawan dengan membandingkannya dengan perusahaan sejenis.

142


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

Selain itu, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Etik Perilaku harus dipahami redaksi dengan utuh. Mekanisme lainnya adalah melibatkan karyawan menyusun kode etik/kode perilaku. Terakhir, ada mekanisme pengembalian amplop oleh kantor, misalnya untuk memastikan tidak ada jurnalis yang terpaksa menerima sogok karena sungkan. Urgensi ombudsman Keberadaan ombudsman sangat diperlukan untuk menjaga kredibilitas media di mata masyarakat. Ombudsman ini terdiri dari beberapa unsur, terutama dengan melibatkan orang luar untuk meningkatkan obyektivitasnya. Ombudsman bisa menerima keluhan, kritik, atau protes dari pembaca mengenai kualitas berita media. Selain itu, ombudsman juga menerima pengaduan dari internal redaksi mengenai perilaku/pemberitaan. Ombudsman secara berkala juga menilai berita di media apakah sudah sesuai standar jurnalistik atau tidak. Dengan demikian, pembaca yang mendapat kabar miring soal perilaku wartawannya di lapangan bisa mengadu pada ombudsman. Ombudsman akan menyelidiki pengaduan tersebut. Pembaca yang protes pada akurasi, kualitas, obyektivitas atau keberpihakan berita-berita juga bisa mengadu/menyampaikan kekecewaan pada ombudsman. Berdasarkan pengaduan itu, ombudsman menyelidiki. Hasil penyelidikan ombudsman disampaikan pada pemimpin redaksi untuk ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi. 143


AJI Semarang

Rekomendasi 1.

Selama ini, banyak sekali media lokal di Semarang yang belum memisahkan ruang redaksi dengan ruang iklan. Padahal, mencampurkan iklan dengan redaksi menjadi salah satu problem yang mengakibatkan media tidak independen. Banyak berita yang dikonsumsi publik berdasarkan pada pesanan pengiklan. Akibatnya, publik akan menerima informasi yang bias. Untuk itulah memisahkan ruang redaksi dan ruang iklan tak bisa ditawar lagi. Memang, media membutuhkan modal dan perusahaan memerlukan uang untuk bisa beroperasi. Tapi, cara untuk mendapatkan uang/iklan bukanlah dengan “menjual� pemberitaan. Jika intervensi berasal dari bagian iklan, maka pencegahannya adalah dengan memastikan firewall (garis api) antara bagian bisnis dan redaksi ditegakkan. Seharusnya sama sekali tidak ada komunikasi antara bagian iklan dan redaksi dalam bentuk apa pun. Bagian iklan murni mencari pemasukan berdasarkan luas jangkauan, oplah, dan kredibilitas suatu media. Untuk memastikan adanya garis api, manajemen harus menyusun standarprosedur operasionalyang mengatur pola relasi redaksi dengan bagian usaha/iklan.

2.

Masyarakat membutuhkan saluran jika sewaktu-waktu merasa dirugikan atas pemberitaan media. Saluran itu baik yang diinisiasi kelompok masyarakat maupun melalui

144


Potret Intervensi di Bilik Redaksi

lembaga ombudsman yang perlu didirikan oleh masingmasing media. Tradisi masyarakat memprotes pemberitaan di Semarang memang belum muncul. Ada beberapa sebab, di antaranya adalah masyarakat belum memahami bagaimana cara memprotes. Apalagi, keberadaan Dewan Pers juga hanya ada di Jakarta. Untuk itulah, masyarakat di Semarang memerlukan satu tempat agar mereka bisa menyalurkan ketidakpuasannya atas kinerja media. Masyarakat perlu secara aktif membuat pengaduan ke Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia/Daerah (KPI/D). 3.SeSetiap media perlu membentuk ombudsman media. Lembaga ini sebagai salah satu cara untuk mengontrol jika sewaktu-waktu ada dugaan pelanggaran yang dilakukan awak medianya. Selain itu, melalui ombudsman di masingmasing media ini, memungkinkan masyarakat bisa menyalurkan protesnya jika merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Masyarakat juga berharap agar media massa menyediakan rubrik kritik media. Tujuannya, jika masyarakat merasa ada yang salah atas pemberitaan yang disajikan media maka masyarakat bisa berpartisipasi untuk meluruskan atau mengoreksi. 4.

Persoalan kesejahteraan jurnalis juga menjadi pekerjaan rumah yang harus dicarikan solusi. Selama ini, minimnya kesejahteraan menjadi salah satu pemicu jurnalis tidak bisa menjalankan tugasnya secara profesional dan independen.

145


AJI Semarang

Banyak sekali jurnalis yang masih menerima upah di bawah kelayakan. Meski jurnalis belum sejahtera tapi kesadaran mereka menuntut upah layak juga jarang terdengar. Kesadaran berserikat para jurnalis juga rendah. Mungkin akibat profesi jurnalis membutuhkan tenaga ekstra sehingga mereka tak sempat memikirkan perjuangan menuntut hak.Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah agar menetapkan upah minimum sektor jurnalis. Ini untuk meningkatkan harkat dan martabat bagi para jurnalis. ***

146


Daftar Pustaka Curran, James, Michael Gurevitch, dan Janet Woollacott (2005). “The Study of the Media: Theoretical Approaches” dalam Michael Gurevich, et. al. (eds). Culture, Society and the Media. London dan New York: Routledge. Fleming, Carole, et. al. (2006). An Introduction to Journalism. New Delhi: Sage Publications. Franklin, Bob, et. al. (2005).Key Concepts in Journalism Studies. New Delhi: Sage Publications. Keller, Anett (2009). Tantangan dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES). Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel (2001). The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers. Krippendorff, Klaus (2004). Content Analysis: An Introduction to Its Methodology 2nd Ed. New Delhi: Sage Publications. McQuail, Denis (1993). Media Performance: Mass Communication and the Public Interest. New Delhi: Sage Publications. Potter, Deborah (2006). Handbook of Independent Journalism. Bureau of International Information Programs U.S. Department of State. Powers, Matthew J. “Objectivity” dalam Christopher H. Sterling, ed. (2009). Encyclopedia of Journalism. Thousand Oaks: Sage Publications. Titchen, Angie dan Dawn Hobson. “Phenomenology” dalam Bridget Somekh dan Cathy Lewin, eds. (2005). Research Methods in the Social Sciences. New Delhi: Sage Publications.

147


Turow, Joseph (2009). Media Today: An Introduction to Mass Communication: 3rd Edition. New York dan London: Routledge. Wehmeier, Sally, ed. (2005). Oxford Advanced Learner's Dictionary: 7 Edition. Oxford: Oxford University Press.

148


Profil AJI Semarang

A

liansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan

komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan

rezim Orde Baru di bawah Presiden (almarhum) Soeharto.

Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor, dan Tempo, pada 21 Juni 1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis kepada penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota. Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya, sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI. AJI Semarang dideklarasikan pada 14 April 1998 oleh sekitar 30 jurnalis Semarang. Sejarah AJI Semarang tak lepas dari perjuangan jurnalis Indonesia dalam memperjuangkan independensi jurnalis, kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berserikat serta memperjuangkan masyarakat atas akses informasi. Menentang pemerintahan otoriter Orde Baru

149


yang hanya mengakui organisasi tunggal profesi wartawan. Secara kelembagaan, AJI Semarang di bawah koordinasi AJI Indonesia dengan otonomi penuh untuk mengatur roda organisasi di tingkat lokal. Beberapa program yang telah dan tengah dilakukan AJI Semarang, di antaranya: ? Memberikan

pelatihan jurnalistik berkala kepada Pers

Mahasiswa (2000-sekarang). ? Worksop Kode Etik dan Kekerasan Terhadap Jurnalis (AJI-SEAPA

Jakarta 2001). ? Kongres IV AJI Indonesia di Kota Semarang 2001. ? Kursus-kursus jurnalistik untuk buruh (2001-sekarang). ? Workshop "Kampanye Anti Sogok di Kalangan Jurnalis� (AJI-

Partnership for Governance Reform in Indonesia; 2002) ? Koordinator region jaringan jurnalis untuk Pemilu yang jujur

dan adil (AJI-Partnership for governance reform dan USAID (2003-2004). ? Program Pemilu Damai di Jepara (AJI-Common Ground

Indonesia (CGI) dan UNDP; 2004-2005) ? Assesment potensi media untuk pemerintahan yang baik di

Semarang (AJI-LGSP-Research Triangle Institute; 2006). ? Penguatan kapasitas jurnalis dalam liputan program Harm

Reduction penanggulangan HIV (AJI-Family Health International, 2008). ? Diseminasi

hasil Business Climate Survey Jateng (AJI-

Swisscontact dan GTZ, 2008) ? Pengembangan sistem informasi pemerintah kabupaten/kota

berperspektif terhadap persoalan ibu dan anak: (AJI-UNICEF; 150


? 2007-2009). ? Training New Media: (AJI-FORD Foundation: 2012-2013). ? Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) (AJI; 2012). ? Advokasi Korban PHK 13 jurnalis Harian Semarang. ? Penyusunan Silabi jurnalisme online untuk perguruan tinggi

(AJI, Ford Foundation, Jurusan KomunikasiUndip; 2013). ? Penyusunan Modul jurnalisme online untuk perguruan tinggi

(AJI, Ford Foundation, Jurusan Komunikasi Undip; 2014). ? Kampanye Independensi Newsroom Media Lokal (AJI-Tifa;

2013). ? Dan lain-lain.

Alamat Kantor AJI Semarang: Jalan Gergaji I/15 Mugassari Kota Semarang. Telp: 024-8450980. Email: ajisemarang@yahoo.com

151


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.