Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Page 1

"Kaya proyek, miskin kebijakan", demikianlah tema buku ini untuk mengatakan hiruk-pikuk pembangunan desa di Indonesia yang sudah dirayakan selama empat dekade terakhir. Betapa tidak? Orang tidak lagi mampu menyebut nama-nama proyek pembangunan desa serta menghitung berapa jumlah proyek dan anggaran yang dikucurkan ke desa. Tetapi apa hasilnya? Hasilnya adalah proyek berkelanjutan yang setiap proyek menyampaikan laporan tentang cerita sukses. Tetapi, kenyataannya tidak seperti yang tercantum dalam laporan proyek. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyek itu berkonotasi negatif, ia tidak identik dengan rente dan bagi-bagi duit untuk para pelaksana, identik juga dengan "menarik sapi kurus" dengan "tali besar dan panjang". Rakyat desa, ibarat sapi, tetap saja kurus alias miskin, sementara tali (biaya operasional) terlalu besar alias terjadi inefisiensi. Buku ini hadir sebagai review atas kebijakan desa di Indonesia. Subtansinya berkehendak dari sisi pilihan paradigma, disain kelembagaan, tindakan para aktor pembangunan, alokasi anggaran dan seterusnya.Tidak sekedar membongkar, tetapi juga memsang kembali. Setelah ditunjukkann balada ekploitasi dan marginalisasi desa, kemudian ditawarkan gagasan alternatif dengan mengusung pembangunan desa yang berkelanjutan (sutanable rurual development). Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa pembangunan desa lebih dari sekedar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa, tetapi juga mencakup aspek politik, seperti desentralisasi dan demokrasi desa. Desentralisasi dimaksudkan sebagai bentuk sumber daya ekonomi dan politik dari supra desa ke desa, sehingga menciptakan kemandirian dan keadilan bagi desa. Demokrasi ditujukan untuk membuat akuntabilitas pemerintahan desa serta membangun kedaulatan rakyat di aras desa. Pemerintahan desa berkelanjutan juga pararel dengan culturally based development atau indigoneous development yang peka pada aspek kearifan lokal.

Kaya Proyek Miskin Kebijakan Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

ISBN 979-81384-6-5

Editor: Sutoro Eko Krisdyatmiko

9 799798 138460

Editor: Sutoro Eko Krisdyatmiko


"Kaya proyek, miskin kebijakan", demikianlah tema buku ini untuk mengatakan hiruk-pikuk pembangunan desa di Indonesia yang sudah dirayakan selama empat dekade terakhir. Betapa tidak? Orang tidak lagi mampu menyebut nama-nama proyek pembangunan desa serta menghitung berapa jumlah proyek dan anggaran yang dikucurkan ke desa. Tetapi apa hasilnya? Hasilnya adalah proyek berkelanjutan yang setiap proyek menyampaikan laporan tentang cerita sukses. Tetapi, kenyataannya tidak seperti yang tercantum dalam laporan proyek. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyek itu berkonotasi negatif, ia tidak identik dengan rente dan bagi-bagi duit untuk para pelaksana, identik juga dengan "menarik sapi kurus" dengan "tali besar dan panjang". Rakyat desa, ibarat sapi, tetap saja kurus alias miskin, sementara tali (biaya operasional) terlalu besar alias terjadi inefisiensi. Buku ini hadir sebagai review atas kebijakan desa di Indonesia. Subtansinya berkehendak dari sisi pilihan paradigma, disain kelembagaan, tindakan para aktor pembangunan, alokasi anggaran dan seterusnya.Tidak sekedar membongkar, tetapi juga memsang kembali. Setelah ditunjukkann balada ekploitasi dan marginalisasi desa, kemudian ditawarkan gagasan alternatif dengan mengusung pembangunan desa yang berkelanjutan (sutanable rurual development). Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa pembangunan desa lebih dari sekedar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa, tetapi juga mencakup aspek politik, seperti desentralisasi dan demokrasi desa. Desentralisasi dimaksudkan sebagai bentuk sumber daya ekonomi dan politik dari supra desa ke desa, sehingga menciptakan kemandirian dan keadilan bagi desa. Demokrasi ditujukan untuk membuat akuntabilitas pemerintahan desa serta membangun kedaulatan rakyat di aras desa. Pemerintahan desa berkelanjutan juga pararel dengan culturally based development atau indigoneous development yang peka pada aspek kearifan lokal.

Kaya Proyek Miskin Kebijakan Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

ISBN 979-81384-6-5

Editor: Sutoro Eko Krisdyatmiko

9 799798 138460

Editor: Sutoro Eko Krisdyatmiko


KAYA PROYEK MISKIN KEBIJAKAN



KAYA PROYEK MISKIN KEBIJAKAN Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa Editor: Sutoro Eko & Krisdyatmiko Penulis: Abdur Rozaki ArieSujito Bambang Hudayana Henry Siahaan Krisdyatmiko Sunaji Zamroni Suparjan Sutoro Eko Titok Hariyanto


KAYA PROYEK MISKIN KEBIJAKAN Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

xvi+336 hlm; 14,5 X 21 cm ISBN : 979-81384-6-5

Cetakan 1, Maret 2006

Editor PraCetak TataLetak Cover

: Sutoro Eko & Krisdyatmiko : Wibowo & Machmud (IRE Press) : Candra_coret : Adrozen Ahmad

Š 2006 Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta All rights reserved. Dilarang memperbanyak atau mengutip dalam bentuk dan cara apapun, baik dengan cara mekanik atau elektronik, termasuk mengkopi, ataudengancarainformationstorageandretrievalsystem,tanpaizintertulis dari IRE Yogyakarta.

IRE Yogyakarta Dusun Tegalrejo RT01/RW09, Desa Sariharjo, Ngaglik Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Sleman Yogyakarta 55581 Telp./fax. 062-274-867686 E-mail: office@ireyogya.org http://www.ireyogya.org


Pengantar Editor

Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa Sutoro Eko & Krisdyatmiko “Kaya proyek, miskin kebijakan”, demikianlah pandangan umum kami untuk mengatakan hiruk-pikuk pembangunan desa di Indonesia yang sudah dirayakan selama empat dekade terakhir. Betapa tidak? Orang tidak lagi mampu menyebut nama-nama proyek pembangunan desa serta menghitung berapa jumlah proyek dan anggaran yang dikucurkan ke desa. Tetapi apa hasilnya? Hasilnya adalah proyek berkelanjutan yang setiap proyek menyampaikan laporan tentang cerita sukses. Tetapi kenyataannya tidak seperti yang tercantum dalam laporan proyek. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa proyek itu berkonotasi negatif, ia identik dengan rente dan bagi-bagi duit untuk para pelaksana, identik juga dengan “menarik sapi kurus” dengan “tali besar dan panjang”. Rakyat desa, ibarat sapi, tetap saja kurus alias miskin, sementara tali (biaya operasional)terlalubesaraliasterjadiinefisiensi. “Kaya proyek, miskin kebijakan” identik dengan kegagalan pembangunan desa. Banyak data yang menunjukkan bukti-bukti kegagalan itu, meski para pelaksana pembangunan akan menolak keras istilah kegagalan. Pembangunan yang sudah berjalan selama


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

vi

empat puluh tahun memang telah mendongkrak mobilitas sosial orang-orang desa, sekaligus mengubah wajah fisik desa menjadi lebihmaju, tetapi mobilitas sosial itu bukanlah transformasi sosial yang mampu mendongkrak human well being masyarakat desa. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tidak sertamerta memperkuat fundamental ekonomi, karena menurut penilaian para ekonom yang kritis, Indonesia hanya mampu membangun gelembung ekonomi yang rentan terhadap perubahan ekonomi global. Ekonomi rakyat, yang tentu sangat dekat dengan kehidupan masyarakat desa, tidak tumbuh secara kuat. Masyarakat desa selalu menghadapi kerentanan (sosial, ekonomi dan politik) karena hadirnya regulasi pemerintah, proyek pembangunan, masuknya modal, arus globalisasi, involusi pertanian, kelangkaan sumberdaya, serangan wabah penyakit, kemiskinan, pengangguran, urbanisasi, serangan hama, bencana dan sebagainya. Mengapa gagal? Secara umum kami hendak mengatakan bahwa kegagalan pembangunan desa terletak pada miskinnya kebijakan. Kebijakan secara filosofis mengandung komitmen politik, keberpihakan pada desa, pilihan paradigma yang tepat, kebajikan menghargai orang desa dan mendongkrak human well being orang desa, program-program aksi yang relevan dengan konteks lokal, dan seterusnya. Pembangunan yang sudah berjalan selama empat dasawarsa terakhir tentu jauh dari spirit itu. Pembangunan tidak berorientasi pada pembebasan seperti dianjurkan oleh Amartya Sen, tetapi ia justru hadir dalam bentuk serangkaian proyek menghabiskan uang yang memiskinkan kebijakan. Jika dibaca melalui cara pandang ekonomi-politik (struktural), kegagalan pembangunan desa itu karena ketimpangan posisi-peran antara negara, modal dan masyarakat. Negara dan modal sangat dominan, sementara masyarakat dalam posisi marginal. Formasi negara sangat kuat dan dominan, tetapi kapasitasnya sangat rapuh. Birokrasi negara menjadi ajang rente, proyek dan elite capture yang memiskinan rakyat desa.


Pengantar Editor

Bongkar Pasang Buku ini hadir sebagai review atas kebijakan pembangunan desa di Indonesia. Kami hendak membongkar kegagalan pembangunan, dengan menunjukkan sisi-sisi kelemahan dari sisi pilihan paradigma, disain kelembagaan, tindakan para aktor pembangunan, alokasi anggaran dan seterusnya. Namun kami tidak sekadar membongkar, tetapi juga memasang kembali. Setelah kami menunjukkan balada eksploitasi dan marginalisasi desa dalam bab 1, kami menawarkan gagasan alternatif dalam bab 2, dengan mengusung pembangunan desa yang berkelanjutan (sustainable rural development). Dalam konteks ini, kami tegaskan bahwa pembangunan desa lebih dari sekadar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa. Menurut Andrew Shepherd (1998), pembangunan desa merupakan upaya perbaikan kesempatan dan kualitas hidup (well-being) individu maupun rumah tangga , khususnya rakyat miskin di desa yang tertinggal jauh akibat proses pertumbuhan ekonomi. Mengikuti paradigma sustainable livelihood, pembangunan desa sebenarnya merupakan proses mengubah penghidupan masyarakat desa dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Penghidupan masyarakat adalah suatu kemampuan daya hidup yang dimiliki baik itu secara material dan sosial, yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembangunan desa bersifat multidimensional: mengarah pada perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagi rakyat desa menggali pendapatan dan pembangunan ekonomi desa, perbaikan infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosial dan keamanan fisik komunitas warga desa, memperkuat kapasitas desa mengelola pemerintahan dan pembangunan, membuat demokrasi dalam proses politik di desa, serta mengatasi kerentanan (sosial, ekonomi dan politik) masyarakat desa. Konsep ini menaruh

vii


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

viii

perhatian pada proses memfasilitasi perubahan di komunitas desa yang memungkinkan rakyat miskin di desa memperoleh lebih, meningkatkan investasi bagi dirinya sendiri dan komunitasnya, meningkatkan kepemilikan rakyat desa merawat infrastruktur dan lain-lain. Pembangunan desa berkelanjutan juga paralel dengan culturally based development atau indigenous development yang peka pada aspek kearifan lokal. Tentu pembangunan desa tidak bekerja dalam ruang yang hampa politik. Komitmen, perencanaan, pendanaan maupun partisipasi merupakan pilihan dan sekaligus proses politik. Karena itu, pembangunan desa tidak hanya mencakup aspek ekonomi dan layanan sosial, tetapi juga mencakup aspek politik, seperti desentralisasi dan demokrasi desa. Bab 3 hingga bab 8 menjabarkan lebih lanjut kerangka kerja yang sudah kami bangun dalam bab 2. Bab 3 membicarakan tentang penguatan ekonomi kerakyatan, tentu dimulai dari trajektori sejarah dan pembongkaran sistem ekonomi kapitalis yang bekerja di Indonesia. Di catatan akhir, bab ini menyampaikan dua hal penting. Pertama adalah pemerintah harus menelorkan kebijakan yang populis sehingga bangunan kebijakan ekonomi pada masa kini sebagaimana tertuang dalam RPJMN harus diformulasikan kembali. Kedua adalah munculnya gerakan sosial dalam masyarakat untuk merespon globalisasi dengan mendorong kemandirian ekonomi yang menghargai kekuatan dari dalam diri masyarakat. Agenda ini mempuyai potensi energi yang kuat karena hampir 90% unit usaha ekonomi berasal dari kelompok usaha skala kecil. Bab 4 berbicara tentang pembaharuan pembangunan pertanian, mengingat pertanian merupakan sektor utama dalam kehidupan masyarakat desa, serta menjadi isu krusial dalam pembangunan desa berkelanjutan. Alternatif penting untuk pembangunan pertanian berkelanjutan bukan hanya revitalisasi pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan-kemakmuran, tetapi juga harus melancarkan pembaharuan agraria untuk mencapai keadilan.


Pengantar Editor

Bab 5 berbicara pada sektor politik, yakni village governance reform melalui desentralisasi, otonomi dan demokrasi desa. Keduanya merupakan tujuan dan fondasi politik bagi pengelolaan pembangunan desa yang berkelanjutan. Pembangunan desa menuju human well being masyarakat desa tentu juga dilandasi prinsip kemandirian, keterbukaan, partisipasi, kapasitas pemerintahan desa dan lain-lain. Kami mempunyai keyakinan bahwa desa harus “dibela� dengan desentralisasi, sekaligus harus “dilawan� dengan demokratisasi. Desentralisasi dimaksudkan sebagai bentuk pembagian sumberdaya ekonomi dan politik dari supradesa kepada desa, sehingga menciptakan kemandirian dan keadilan bagi desa. Demokrasi ditujukan untuk membuat akuntabilitas pemerintah desa serta membangun kedaulatan rakyat diarasdesa. Jika bab 3 dan 4 berbicara tentang sisi ekonomi dan bab 5 berbicara tentang sisipolitikpembangunan desa, maka bab 6 berbicara tentang pembangunan sosial. Pembangunan sosial, yang paling dasar, adalah berupaya memberikan palayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain). Pada level yang lebih tinggi pembangunan sosial berupaya untuk menjawab kerentanan sosial masyarakat,mengubahnyamenjadi ketahanansosialdan integrasi sosial secaraberkelanjutan,atauseringdisebutdengansocialsustainability. Ujung-ujungnya pembangunan sosial adalah mencapai kesejahteraan sosial (social welfare). Secara khusus bab 6 berbicara tentang pengembangan sistem jaminan sosial bagi masyarakat desa, sebagai bentukjaminandasarbagikesejahteraansosial. Perencanaan dan pengganggaran merupakan dimensi penting dalam pembangunan desa, yang diungkap dalam bab 7. Sejauh ini desa hanya jadi obyek perencanaan, hanya menjadi bagian subordinat dari perencanaan pembangunan nasional dan daerah, sekaligus tidak mempunyai anggaran yang memadai. Negara tidak adil dalam membagi uang kepada desa. Pembangunan desa selama ini lebih banyak mengandalkan swadaya masyarakat yang ternyata mengandung eksploitasi terhadap masyarakat. Karena itu dalam

ix


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

bab ini kami mengusung gagasan perencanaan desa (village self planning) sesuai dengan batas-batas kewenangan desa, dan kemudian didukung dengan alokasi anggaran melalui skema alokasi dana desa (ADD) dari pemerintah. Akhirnya, pembangunan desa tidak hanya berorientasi fisikmaterial, tetapi juga harus menyentuh manusia, rakyat dan komunitas. Karena itu dibutuhkan pemberdayaan masyarakat, yakni membangkitkan potensi hingga memperkuat kekuasaan kelompok-kelompok marginal seperti perempuan, petani, nelayan, dan kelompok-kelompok lainnya. Partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat, terutama kaum marginal, dalam pembangunan desa merupakan kesempatan yang paling konkret untuk penguatan pemberdayaan. Selain itu pemberdayaan juga membutuhkan sentuhan revitalisasi budaya masyarakat desa, yakni melalui penguatan kesadaran kritis masyarakat serta pengembangan institusi dan media pembelajaran budaya desa yang handal. Revitalisasi budaya tidak berarti menghidupkan kembali secara utuh budaya lama orang desa tersebut, melainkan mererproduksinya sesuai dengan konteks kekinian. Dengan demikian, revitalisasi nilai egalitarian dan ekonomi moral, misalnya, tidak berhenti pada praktik gotong-royong, melainkan harus dikembangkan ke arah usaha yang lebih menjawab kemiskinan dan lemahnya suara orang desa terhadap kebijakan negara dan perluasan pasar.

x

Penghargaan dan Terima Kasih Buku ini diangkat dari pengalaman IRE mengawal Program Prakarsa Pembaharuan Pemerintahan dan Pembangunan Desa. Banyak individu dan lembaga yang memberikan kontribusi terhadap buku ini. Kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Yayasan Tifa di Jakarta atas dukungan pendanaan kepada kami untuk keperluan penelitian dan penulisan buku ini. Banyak individu yang secara langsung maupun tidak langsung memberi kontribusi terhadap penulisan buku ini. Para penulis (Arie


Pengantar Editor

Sujito, Bambang Hudayana, AAGN Ari Dwipayana, Henry Siahaan, Suparjan, Abdur Rozaki, Sunaji Zamroni dan Titok Hariyanto) yang telah bekerja menulis lembar demi lembar sehingga menjadi naskah buku ini. Temuan lapangan dari para peneliti (Supardal, Erwin Razak, Faturochman, Hesti Rinandari, Parwoto dan Abdur Rozaki) tentu sangat berharga sebagai bahan untuk penulisan buku ini. Kerja keras juga dilakukan oleh dapur program dan penyedia data seperti Vitrin Haryanti, Azhari Cahyo Edi dan M. Zainal Anwar. Sementara para tim penasihat (Heru Nugroho, Suraya Affif dan Pratikno) memberikan banyak gagasan alternatif dan kritik yang cerdas terhadap substansi program. Kepada mereka kami sampaikan penghargaan dan terima kasih. Buku ini tidak bakal lahir kalau tidak didukung oleh tim administrasi dan IRE Press, seperti Sukasmanto, Rino Haniasti, Ipang Suparmo, Triyanto, Hadi Wibowo dan Mahmud NA. Kami menyampaikan terima kasih kepada mereka atas kerja keras mereka.

xi



Daftar Isi Pengantar Editor Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa ........... v DaftarIsi ................................. xii Bab 1 Balada Eksploitasi dan Marginalisasi Desa ............. 1 Negara Masuk Desa ........................... 1 Kapitalisasi dan Marginalisasi Desa ................ 10 Krisis Otonomi dan Demokrasi Desa ............... 26 Kegagalan Pembangunan Desa ................... 36 Mengapa Gagal? ............................ 43 Bab 2 Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa ......... 49 Review Paradigma ........................... 50 Pembangunan Desa Berbasis Masyarakat? ............ 62 Pembangunan Desa Berkelanjutan ................. 72 Penutup .................................. 86 Bab 3 Keluar dari Jerat Eksploitasi dan Ketidakberdayaan Ekonomi Desa .................................... 93 Perlakukan dan Kebijakan Rezim Negara terhadap Perekonomian Desa Masa Kerajaan ................ 97


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Masa Penjajahan ........................... Masa Orde Lama ........................... Masa Orde Baru ........................... 1. Pertanian Pangan ......................... 2. Perkebunan Rakyat ........................ 3. Industri Pedesaan ......................... Era Globalisasi ............................. Tuntutan SAP dan Dampaknya terhadap Ekonomi Kerakyatan ............................... Masa Reformasi: Agenda RPJMN ................ 1.Revitalisasi Pertanian ..................... 2. Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur ..... 3. Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ............................ 4. Pembangunan Pedesaan ................... Menuju Revitalisasi Ekonomi Desa Berkeadilan ....... 1. Pembaharuan Agraria ..................... 2. Industrialisasi pedesaan ................... 3. Koperasi dan UKM ...................... Catatan Akhir ............................. Bab 4 Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian ....... Balada Pertanian ........................... Menuju Pembaharuan ........................ RevitalisasiPertanian......................... Pembaharuan Agraria ........................ Pelaksanaan Land Reform di Beberapa Negara (Itali, Mesir, India dan Jepang) ...........................

xiv

101 106 109 110 116 122 126 128 133 134 137 139 142 144 147 148 149 150

151 159 168 172 178 192

Bab 5 Desentralisasi, Otonomi dan Demokratisasi Desa ...... 195 Review Regulasi ............................ 196 Desentralisasi dan Otonomi Desa ................ 214


Daftar Isi

Demokratisasi Desa ......................... Bab 6 Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial ......... Pembangunan Sosial ......................... Tentang Jaminan Sosial ....................... Persoalan Jaminan Sosial ...................... Jaminan Sosial Pada Masyarakat Desa .............. Sistem Jaminan Sosial bagi Masyarakat Desa ......... Penutup .................................

223 231 232 236 239 243 247 250

Bab 7 Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Desa .... Regulasi dan Sistem Perencanaan Partisipatif ......... Berbagai Distorsi Perencanaan Daerah ............. Perencanaan Desa ........................... Penganggaran Pembangunan Desa ................

253 260 268 273 281

Bab 8 Pemberdayaan Masyarakat Desa ................. Potret Ketidakberdayaan ...................... Tentang Pemberdayaan ....................... Dimensi dan level pemberdayaan ................ Pemberdayaan Sebagai Komoditas ............... Partisipasi Masyarakat ........................ Pemberdayaan Dari Sisi Budaya .................

293 293 300 311 314 318 322

Daftar Pustaka ............................ 327

xv




Bab 1 Balada Eksploitasi dan Marginalisasi Desa Desa tidak bisa dipahami secara romantis sebagai tempat yang adem-ayem (harmonis) tanpa masalah. Sejak dulu, desa (yang mempunyai penduduk dan tanah beserta sumberdaya alamnya) menjadi medan tempur yang paling dekat antara negara, modal dan masyarakat. Interaksi secara konfliktual antara tiga aktor ini tentu menciptakan balada eksploitasi dan marganilisasi terhadap desa. Bab ini akan membicarakan tema ini lebih jauh. Negara Masuk Desa Desa adalah lingkaran sosial masyarakat yang memiliki ‘jarak sosial’ tertentu dengan lingkaran pengelola kekusaan di tingkat pusat. Dikatakan demikian karena hampir setiap proses pengelolaan kebijakan publik menafikan adanya keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat yang hidup di pedesaan. Jakarta sebagai simbol utama kekuasaan pusat itu seolah hanya memiliki ikatan formal hukum kuasa atas suatu kawasan tanpa memperhatikan dimensi budaya yang telah


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

berurat akar dan membatin di dalam kehidupan masyarakat lokal. Ironisnya, adanya jarak sosial itu tidak diobati dengan kebijakan politik yang makin lebih mendekatkan, tetapi melumat habis dengan menciptakan negaranisasi atas desa atau adat. Berbagai potensi budaya,pranata sosial dan kearifanlokal yang dimilikinya ditaklukkan melalui represi, dan hegemoni. Kemajemukan budaya diseragamkan dan masyarakatnya dipaksakan masuk ke dalam wadah tunggal bentukan negara. Pemimpin budaya dipisahkan dengan masyarakatnya digantikan oleh kepemimpinan sosial yang dibentuk oleh kekuatan negara. Berbagai produk pembangunan tak lagi membutuhkan partisipasi dan apirasi masyarakat, tetapi cukup dipandu dari atas yang dilanjutkan untuk dilaksanakan oleh para agen-agen negara di desa. Desa dan masyarakatnya benar-benar dijadikan obyek, bukannya subyek politik. Di sinilah konstruksi negara atas desa itu dimulai.1 Pertama, dengan mengkonstruksikan desa sebagai obyek maka desa ditempatkan sebagai kawasan yang dikendalikan secara politik yang tak lagi memiliki kebebasan menjalankan pilihan-pilihan sosial atas penghidupannya. Sampai-sampai ada ungkapan menarik yang terlontar dari orang desa dalam suatu pelatihan pengelolaan pemerintahan desa, bunyinya demikian, “Kalau mata air itu diambil oleh Jakarta, tapi kalau air mata diberikan pada kami orang desa”. Ungkapan ini menjelaskan betapa rakus dan serakahnya Jakarta, sehingga kalau urusan yang mengandung kenikmatan dilahapnya, sekalipun harus meninggalkan penderitaan warga desa. Banyak contoh yang dapat membenarkan ungkapan ini, seperti pada kasus eksploitasi tambang emas di dusun Buyat oleh PT. Newmont beberapa waktu lalu. Di sana Jakarta dan kekuatan global bersatu padu mengambil kekayaan alam, sementara warga Buyat hidup dengan penderitaan oleh penyakit 1

2

Lihat, Abdur Rozaki dan Sutoro Eko, (eds)., Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa (Yogyakarta: IRE Press, 2005).

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

minamata akibat pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh proses eksploitasi alam PT.Newmont. Negara yang direpresentasikan oleh kebijakan di Jakarata itu, bukannya melindungi warganya yang terancam punah, tapi berkelit membela sang modal. Bila di masa pergerakan kemerdekaan desa diposisikan sebagai subyek politik, orang desa dikonstruksikan sedemikian rupa agar memiliki semangat juang yang tinggi untuk mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan maka di masa pembangunan, khususnya di era Orde Baru, desa diposisikan sebagai obyek politik. Sebagai obyek politik, ia tidak memiliki voice (suara) dalam mengungkapkan aspirasi dan kebutuhan yang terbaik menurut dirinya. Apa yang terbaik menurut pemerintah (pusat—daerah) adalah terbaik untuk dirinya. Tak ada kesempatan dan waktu untuk menolaknya, karena setiap kebijakan yang telah digariskan mengandung arti perintah dan setiap perintah harus dilaksanakan. Menolak perintah sama halnya dengan membangkang atau melawan pemerintah yang “sah” dan sangsi pun dengan semena-mena dapat diberikan pada siapapun yang dianggap sebagai pembangkang. Kedua, sebagai dampak lain posisi sebagai obyek, desa ditempatkan sebagai arena membuang bantuan. Dalam arti, banyak sekali program-program bantuan pembangunan pemerintah — tidak sedikit dari bantuan itu diperoleh dengan hutang dari negara donor — yang masuk ke desa. Bantuan pembangunan itu lebih nyaring slogannya dibandingkan realisasi dan hasilnya. Misalnya, bantuan raskin (beras untuk rakyat miskin), Kredit Usaha Tani (KUT), Jaring Pengamanan Sosial (JPS), dan sejenisnya. Berbagai program bantuan yang bunyi teksnya diperuntukkan untuk memberdayakan orang miskin di pedesaan itu, tidak mampu menuai hasil yang mengembirakan. Progam itu selain memang tidak sampai menyentuh sasaran yang dituju, aroma korupsinya menyebar kemana-mana. Korupsi program bantuan itu umumnya melibatkan para pejabat pemerintah, pusat sampai desa dan para elite sosial desa sendiri. Bahkan program

3


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

4

yang terbaru dan canggih pun—selalu dipuja kesuksesannya oleh pemerintah—seperti Program PengembanganKecamatan (PPK) dan Program Pengembangan Kawasan Perkotaan (P2KP) tidak sedikit yang menuai kritik dan kekecewaan masyarakat Tiadanya hasil yang maksimal dari berbagai program bantuan pada desa itu, karena memang tidak melibatkan partisipasi masyarakat desa. Disain perencanaan dan pengelolaannya dibuat dan ditentukan oleh para elite pemerintahan dan pelaksanaanya oleh aparat birokrasi yang berada dibawahnya sehingga tata kelolanya cenderung dilakukan secara tertutup, hanya sekedar memenuhi prosedur, rentan manipulasi dan tingkat akuntabilitasnya begitu rendah sehingga menimbulkan lingkaran praktek korupsi yang dari atas hingga aparat yang dibawah. Banyaknya bantuan yang masuk ke desa menjadi bancakan yang membikin gemuk birokrasi, dan makin memiskinkan orang desa. Seperti bantuan raskin, yang seharusnya dibagikan secara gratis kepada rakyat miskin di desa, justru beras itu dijual oleh lurah desa bersama perangkatnya. Oleh para pejabat pemerintah, desa benar-benar ditempatkan sebagai keranjang sampah pembangunan. Berbagai jenis dan model bantuan pembangunan hampir semuanya masuk ke desa. Namun berbagai bantuan itu masih tetap saja membuat orang desa miskin, hidupnya serba melarat. Mereka umumnya menghadapi kesulitan memperoleh sandang pangan yang layak karena harga pupuk terus melambung tinggi, memiliki keterbatasan dalam membiayai pendidikan dan kesehatan anak-anaknya, terutama ketika biaya pendidikan dan kesehatan itu makin melambung tinggi dan tidak lagi berpihak pada si miskin. Bantuan kesehatan gratis dan obat generik bagi si miskin hanyalah ‘sorga telinga’, yakni hanya enak di dengar, tapi pahit dirasakan. Bahkan di arena pedesaan dan atau juga di komunitas adat yang dilanda konflik berkepanjangan sampai

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

menimbulkan pengungsian, konflik itu dipolitisasi sebagai ajang bisnis pejabat. Bantuan untuk korban pengungsi milyaran rupiah dikorupsi, sampai-sampai muncul sinyalemen berikut ini, “kalau pejabat memperoleh super kijang, sedangkan pengungsi hanya memperoleh supermi”. Bila dilihat dengan seksama adanya berbagai program bantuan yang mengalir ke desa sebenarnya merupakan jebakan yang sangat mematikan otonomi desa. Program bantuan tidak meningkatkan kapasitas dan kemandirian (otonomi) desa, tetapi jutsru menciptakan ketergantungan abadi desa terhadap bantuan pemerintah supradesa. Bantuan juga menghancurkan ketahanan sosial masyarakat desa, yang sudah lama ditopang dengan swadaya dan gotong royong. gotong-royong tidak lagi secara otentik mencerminkan partisipasi dan solidaritas sosial masyarakat desa, melainkan sebagai bentuk mobilisasi (jika bukan paksaan) pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung programprogram pembangunan yang sudah dirancang dari atas.2 Salah satu kasus yang menyolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan pemerintah desa “menguangkan” gotong-royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Padahal menurut asalusulnya gotong-royong adalah bentuk modal sosial, bukan modal finansial sebagaimana telah dimanipulasi oleh pemerintah. Di zaman Orde Baru, berbagai program departemen umumnya juga mengatasnamakan gotong-royong sebagai bentuk keswadayaan masyarakat desa. Banyak proyek yang turun dari atas dengan jumlah pendanaan yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong royong masyarakat dapat menghasilkan pembangunan fisik yang mengagumkan. Pada hampir semua proyek pembangunan prasarana phisik kontribusi gotong royong selalu jauh lebih besar ketimbang sumbangan dana dari pusat. Dana dari pusat hanya untuk memancing partisipasi masyarakat yang bila dijabarkan dalam nilai uang jumlahnya selalu (jauh) lebihbesar dibanding dengan dana dari pusat 2

Lihat, Rita Abrahamsen, Sudut Gelap Kemajuan; Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan,Penerbit Lafadl: Yogyakarta, 2005., hal.120.

5


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

6

itu. Di era Orde Baru, laporan mengenai banyaknya hasil pembangunan fisik yang ditopang swadaya masyarakat lewat gotong royong sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah. Potret demikian masih dilanjutkan seperti dalam program pendukung pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah (P2MPD). Ketiga, desa dikonstruksikan sebagai kepanjangan tangan negara (miniatur pemerintah). Jauh sebelum negara lahir, desa semula adalah sebuah komunitas yang memilki struktur, nilai dan tata sosial tersendiri dalam mengelola kehidupan sosial komunitasnya. Tak jarang dalam konteks ini desa dianggap memiliki self governing community.Potretsebagai selfgoverning communityini lebih terasa lagi kalau kita melihat praktek masyarakat adat di luar Jawa, seperti di Bali, tata kelola komunitas lokalnya disebut desa Pakraman, di Kalimantan Binua atau kampoeng, di Sumatera Barat dikenal dengan Nagari dan seterusnya. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa (UUPD) No.5/ 1979, semua struktur dan identitas lokal itu hancur luluh lantah, meminjam istilah Yando Zakaria, mengalami abih tandeh. Melalui regulasi itu negaranisasi terjadi dan mencapai puncaknya. Hasil pengamatan Yunus Ukru, seperti dikutip Zakaria (2002: 25) di Maluku akibat perbelakukan UU itu menyebabkan masyarakat adat (1) terjadinya proses manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih besar terhadap raja sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal, (2) terjadinya praktek sentralisme yang membatasi otonomi lembaga-lembaga adat tradisional sebagai salah satu pilar utama kehidupan social politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antara kelompok masyarakat adat selama ini, (3) krisis kepemimpinan tradisional, karena dipangkasnya akses ekonomi politik mereka dan perannya hanya difungsikan dalam uparaca atau ritual adat. Krisis ini membuat warga kehilangan referensi dalam kehidupan sosial, digeser dengan hadirnya aparat engara di desa. Dengan dipangkasnya kepemimpinan lokal dari komunitas dan struktur kelembagaannya, dan diseragamkannya struktur

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

kelembagaan local melalui birokratisasi desa yang dilakukan oleh pemerintah pusat maka berakhir sudah entitas desa atau adat sebagai self governing community. Mengapa? Karena desa kini ditempatkan secara hierarkhis sebagai bagian dari struktur pemerintahan yang berada di bawahnya. Kepala desa sekalipun dipilih oleh masyarakat, eksistensinya di desa adalah sebagai aparatur negara atau aparatur pemerintah yang peran dan kinerjanya di desa hanyalah menjalankan perintah yang ditentuntan oleh atasannya apakah itu bupati atau camat. Lembaga-lembaga komunitas lokal dimatikan eksistensinya, yang ada hanyalah lembaga bentukan negara seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), PKK dan dasawisma serta lembaga keagamaan lainnya yang kesemua wadah itu telah mengalami kooptasi oleh negara. Dalam suatu lokakarya yang digelar STPMD-APMD Yogyakarta di bulan September 2002, seorang kepala desa di kabupaten Bantul Yogyakarta memberikan testimoni, bahwa dirinya dan calon lurah lainnya pernah disumpah dan di-litsus oleh penguasa lokal (camat, polsek dan koramil) sewaktu mau mencalonkan sebagai lurah untuk setia mendukung Golkar dan Orde Baru. Adanya sumpah setia ini sekaligus menandai bahwa bagi lurah kepetingan warga adalah nomor sekian, yang paling utama adalah kesetian pada rezim. Bentuk yang paling konkret dari bekerjanya mesin-mesin birokrasi dari praktek negaranisasi desa adalah adanya upacara bendera yang di ritualisasi dalam bentuk perayaan, terutama di bulan agustus(an). Pemberlakuan wajib KTP, dan surat kelakuan baik (SKKB) dan atau surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) yang dikeluarkan oleh kelurahan/desa, kecamatan dan kepolisian bagi warga, terutama ketika akan melamar pekerjaan atau terlibat dalam urusan publik lainnya. Berbagai urusan administratif itu dalam banyak hal membuat posisi lurah desa dipentingkan sehingga secara politis dapat memanipulasi masyarakat untuk tunduk dan patuh. Selain urusan itu, dapat pula mengeruk keuntungan ekonomis atas masyarakat (Atnlov, 2002).

7


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

8

Keempat,adanya stigmatisasi dan steriotip atas masyarakat desa. Peristiwa kelabu pada bulan September 1965 merupakan peristiwa politik di lingkaran kekuasaan yang ledakannya melibatkan rakyat sebagai korban. Di dalam peristiwa itu banyak sekali masyarakat pedesaan yang tidak tahu menahu duduk perkaranya harus menjadi korban. Tidak hanya dalam hitungan ribuan, tapi sudah dalam hitungan jutaan nyawa manusia hilang sia-sia (Cribb, 1990). Peristiwa itu menciptakan efek trauma yang luar biasa bagi orang desa, terutama karena tingkat kesadisan dan kekerasan olah pembunuhannya. Pasca peristiwa itu negara melembagakan adanya stigmatisasi atas masyarakat yang dianggap keluar dari ‘disiplin’ kewarganegaraan yang digariskan. Seperti adanya sebutan kiri, atau komunis terhadap warga yang mencoba bersikap kritis dan menolak pembangunanisme. Contoh kasus adalah warga Kedung Ombo yang desanya ditenggelamkan oleh proyek pembuatan waduk, yang nasibnya hingga kini tak kunjung usai. Stigmatisasi kiri dan cap komunis selalu dilakukan oleh negara untuk melakukan kontrol atas tindakan masyarakat desa, terutama ketika terjadi konflik pertanahan atau demonstrasi petani ketika akan memperjuangkan ha-haknya yang dirampas. Bahkan hingga di alam reformasi ini pun aparatus negara dan para anteknya sengaja menghebus-hembuskan anasir PKI ini pada masyarakat untuk menciptakan efek traumatis sehingga memberikan kemudahan bagi aparat negara melakukan kontrol dan mengendalikan tindakan masyarakat. Seperti baru-baru ini terjadi di sepanjang jalan dari Jogja menuju kearah kabupaten Purworejo dan jalan-jalan di desa-desa di kabupaten Bantul, terpampang di tengah jalan spanduk bertuliskan “Awas Bahaya Laten Komunis”, “Komunis Akan Bangkit Lagi” dan seterusnya. Di sini masyarakat desa yang selama ini sudah menjadi korban, kemudian dikorbankan kembali untuk mengingat sesuatu yang tidak pernah diketahuinya. Efek dari konstruksi stigmatis ini bagi (orang) desa sangat mengerikan, karena bila cap itu menempel eksistensi akan dipojokkan dan diasingkan oleh lingkungan

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

masyarakat yang sudah mengalami kontaminasi oleh konstruksi negara atas cap kiri dan komunis itu. Selain stigmatisasi, negara juga menghadirkan konstruksi sosialyangbersifatsteriotip atasmasyarakat desa.Seperti steriotip bahwa orang desa itu lembek, tidak punya daya berkompetisi, kalau berdiskusi nglantur karena tidak memahami persoalan, tidak siap kalau diberi kewenangan dan seterusnya. Pernah sewaktu kami mengunjungi seorang Bupati di salah satu kabupeten di Jawa Tengah, untuk membangun kemitraan dengan desa, ia mengatakan: “Berdiskusi dengan orang desa dalam waktu 10 hari, hasilnya sama aja dengan berdiskusi dengannya selama 2 hari”. Kira-kira maksudperkataan iniantara lain;orang desaitu kalau diajak berdiskusi suka muter-muter, berdiskusi dengan orang desa tidak perlu butuh waktu lama karena hasilnya akan sama, orang desa itu tidak rasional dan dapat memahami masalah secara benar dan berdiskusi dengan orang desa dalam waktu yang lama itu tidak efisien dan hanya membuang waktu. Jadi pendeknya, perkataan bupati ini adalah upaya melanggengkan steriotip atas desa. Lebih parah lagi konstruksi yang stigmatis itu menimpa pula masyarakat adat, untuknya negara pernah memberikan sebutan pada mereka sebagai masyarakat primitif, belum beradab, terbelakang dan tak berpendidikan serta sebutan citra negatif lainnya (Maunati, 2004). Permainan konstruksi dan citra diri yang negatif melalui reproduksi stigma dan streotip yang dilakukan oleh negara atas masyarakat desa dan adat berujung pada proses pengisolasian politik dan ekonomi masyarakat. Akses masyarakat lokal menjadi dibatasi dan tidak memiliki keleluasaan untuk membangun dan memberdayakan dirinya secara mandiri karena selalu mendapatkan control melalui stigmatisasi kultural tersebut. Bahkan dalam konteks kebudayaan, masyarakat lokal ini kemudian kehilangan kepercayaan diri untuk mengembangkan identitas kebudayaannya ataupun ketika berhadapan dengan kekuatan dari luar. Apalagi kalau kekuatan itu datangnya dari negara sendiri. Mereka biasanya akan ciut dan kehilangan prakarsa dan inisiatif lokalnya.

9


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Kapitalisasi dan Marginalisasi Desa Orde Baru dilahirkan dalam suasana perang dingin yang memanas antara blok timur yang komunis dan blok barat yang kapitalis, Soeharto memilih patron politiknya ke barat karena itu ia melakukan politik pembangunan yang mengadopsi paradigma developmentalism, wajah baru kapitalisme (Faqih;1998). Strategi pembangunanisme ini dijalankan dengan mengikatkan diri dengan kapitalisme internasional melalui agen-agennya, sepertiWorld Bank (WB), International Monetary Fund (IMF), International Group for Government of Indonesia (IGGI) yang saat ini diganti CGI. Untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, Orde Baru menggunakan politik otoritarian melalui berbagai regulasi represif yang membatasi kebebasan politik warganya seraya membuat regulasi yang mendorong tumbuhnya Penaman Modal Asing (PMA). Sektor utama yang menjadi pusat perhatiannya adalah penguatan sektor industri dengan menjadikan sektor pertanian sebagai pendukung utamanya. Pertanian diletakkan sebagai subsistem dari sektor industri ini. Akibatnya sektor industri begitu muda masuk dan merajalela di desa, sebaliknya produksi yang dihasilkan melalui produk pertanian di desa kalah kompetitif dan tidak mampu bersaing dengan produk industri yang memperoleh subsidi besar-besaran dari pemerintah. Kapitalisasi, dalam arti modal industri yang masuk ke desa ini kemudian menyebabkan dua hal. Pertama, matinya modal produk pertanian karena kalah bersaing dengan industri pabrik, seperti harga pupuk yang melambung tinggi sehingga membuat biaya produksi lebih mahal dari pada hasil yang diperoleh. Kedua, modus konsumsi. Orang desa kini terperangkap dengan aneka produksi industri yang membanjiri desa sehingga meningkatkan konsumsi orang desa dengan segala aspek ketergantungannya.3 Selain itu sistem ekonomi uang (monetisasi) telah merubah wajah asli desa. Di desa-desa, terutama yang berdekatan dengan kecamatan, saat ini dapat dengan mudah kita temui institusi10

3

Lihat Majalah Flamma,Edisi 13/Vol.8/2003, diterbitkan oleh IRE Yogyakarta.

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

institusi finansial/keuangan seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI). Fenomena ini menunjukkan bahwa saat ini desa telah mengalami dualisme finansial ekonomi, yaitu institusi finansial formal dan informal. Institusi formal adalah yang terintegrasi penuh kapitalisme global, sementara yang informal dapat berupa rentenir (lintah darat), tengkulak, tuan tanah, dan bahkan bisa berupa koperasi simpan pinjam yang mengatasnamakan petani. Ada indikasi yang menarik bahwa keberadaan institusi informal justru memperkuat praktek institusi formal. Orang desa yang tidak melek huruf dan minim pengetahuan tentu saja akan lari kepada rentenir untuk memperoleh pinjaman uang (bahkan sekarang dapat berupa barang), padahal rentenir itu mungkin mempunyai pinjaman ke bank. Dengan kata lain, ada hubungan tidak langsung antara bank dan nasabah melalui institusi finansial informal di desa sehingga sangat susah untuk menolak realisasi globalisasi. Blue print kekalahan manusia petani ini diawali Orde Baru dengan melakukan perubahan total atas program land reform (reformasi agraria), yang di masa Orde Lama (Orla) pengaturan atas tanah ini menjadi focus yang sentral untuk mengatasi kesenjangan antara petani yang kaya dan miskin di desa. Selain itu ada pula program pembatasan terhadap pemilik tanah (borjuis lokal) untuk mengatasi petani yang kehilangan aksesnya atas tanah sehingga semua petani memiliki tanah. Sebab antara petani dengan tanahnya memiliki makna yang penting dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Bahkan di masa Orla, terdapat pengadilan land reform untuk mengatasi sengketa pertanahan. Sayang kelahiran Orde Baru menghapus semua itu. Program land reform hanya di tempatkan pada urusan teknis birokrasi yang meniadakan partisipasi masyarakat. Agen Orde Baru membuat kepanitian dalam pengaturan agraria mulai di tingkatan menteri sampai dengan birokrasi kelurahan atau desa (Fauzi, 1999). Di sinilah petaka dan konflik itu muncul. Terutama yang dialami oleh masyarakat adat yang sama sekali tidak mengenal sistem birokrasi Orde Baru dengan menjadikan kepala desa sebagai

11


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

ujung tombak birokrasi dan pengaturan sosial menghadai benturan dengan kenyataan masyarakat adat yang struktur, sistem, nilai kepatuhan kepada tokoh adat secara paksa digeser agar menjadi patuh kepada kepala desa. Peralihan dari tokoh adat sebagai pemegang otoritas sosial, dan pengaturan pertanahan kemudian hak itu digantikan dengan kepala desa yang perannya tidak mengakar dan kinerja berdasarkan birokrasi pemerintah bukannya nilai-nilai adat. Akibatnya banyak sekali perpindahan, pencaplokan bahkan penjarahan atas tanah adat yang dilakukan oleh pengusaha, birokrasi pusat atau pun desa. Apalagi pemerintah memberikan Hak Pengusa Hutan (HPH) pada investor dan pengusaha nasional. Sumber daya alam masyarakat lokal disedot keluar guna menciptakan kemakmuran bagi para pengusaha dan penguasa. Habitat masyarakat lokal berteduh dan berlindung dihancurkan oleh berbagai penebangan hutan yang tidak lagi mematuhui etika lingkungan. Kearifan lokal yang dimiliki mereka secara berlahan mulai menepis seiring dengan makin kuatnya orientasi bisnis dan pengejaran keuntungan ekonomis yang dilakukan pemerintah dan pengusaha. Secara perlahan masyarakat lokal itu mengalami marginalisasi. Di sini akan diketengahkan pengalaman masyarakat adat di Riau yang tidak pernah dilibatkan dalam proses menentukan lahan dan penentuan status kepemilikan lahan yang dilakukan oleh pengusaha HPH yang hanya berkoordinasi dengan kepala desa.

12

â€œâ€Śâ€Śapabila perusahaan itu beroperasi, selalulah diprotes oleh masyarakat tempatan yang merasa hak-hak mereka diambil secara semena-mena, termasuk hasil hutan yang menjadi sumber nafkahnya. Padahal, pihak perusahaan yang hampir seluruhnya berasal dari daerah Riau sejak awal, kebanyakan tidak mengetahui adanya hak-hak wilayah atau hak-hak adat tempatan, karena perizinan mereka minta kepada pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku. Kalau pun ada yang mengetahui adanya hak-hak adat, mereka purapura tidak tahu, apalagi bila ditanyakan absahannya pada

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

pihak pemerintah selalu mendapat jawaban yang tidak pasti atau bahkan dikatakan tidak ada, dan tuntutan pemerintah itu hanya ‘mengada-ada’ saja. Akibatnya, masyarakat terus menuntut hak-haknya (dikutip dari Zakaria, Abih Tandeh, 2002: 154).

Begitu pula yang dialami masyarakat adt di Sumbawa NTB. Yani Sagaroa, dari Lembaga Olah Hidup (LOH) Sumbawa, mengungkapkan bahwa hak-hak tenurial adat mulai dipangkas oleh investor dan negara. Hak-hak tenurial adalah hak masyarakat adat untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumber-sumber agraria dalam teritori persekutuannya berdasarkan hukum adat. Hak tenurial bersama dan hak tenurial individu; hak tenurial bersama adalah hak bersama masyarakat adat sebagai suatu persekutuan atas tanah, hutan, air, dan semua unsur lainnya yang terkandung didalamnya. Hak ini dikenal dengan namanama berbeda diberbagai persekutuan masyarakat adat seperti ulayat di Minangkabau, Tanah Kobisu di Sumba, Suf dan Susi di Timor, Dea Leo di Rote dan Larlamat di Sumbawa. Hak tenurial individu adalah hak seseorang atau satu keluarga atas sumber-sumber agraria dalam satu teritori tertentu. Hak Tenurial bersama dan individu yang ada di Sumbawa seperti contoh penguasaan hutan di Juru Mapin (tempat pemeriharaan Durian) dan Tongo (Tanah Jalit atau tempat pemeliharaan Enau dan tumbuhan lainnya). Tanah jalit di Tongo dalam sengketa, penguasaan tanah ini berdasarkan ketentuan lokal saat itu (sebelum RI lahir), Masyarakat Tongo menguasai hutan dengan kearifan lokalnya tidak merusak, sewaktu di berlakukan UU Kehutanan, tidak ada persoalan dengan aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan hutan, tetapi saat negara memberikan kontrak pertambangan kepada Newmont masyarakat Tongo tersingkir dari tanah leluhurnya, negara dan Newmont tidak mau bertanggung jawab. Masih banyak contoh lain dalam persoalan yang hampir sama seperti P. Moyo, HTI Moyo hulu dan hilir, termasuk yang

13


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

terakhir tanah Tanjung Pengamas, konflik tapal batas hutan, seharusnya negara menyelesaikan dulu klaimnya terhadap tanahtanah yang pernah dikuasai oleh masyarakat adat, tapi yang terjadi adalah tindakan refresif negara dengan menggunakan aparatnya menyingkirkan bangsa sendiri dari tanah leluhurnya. Kapitalisasi dan marginalisasi desa tidak hanya terjadi dalam bentuk penguasaan hutan dan tambang yang dekat dengan masyarakat lokal, tetapi juga hadir dalam bentuk alih fungsi dari lahan pertanian menjadi rumah-rumah mewah, penanaman hutan beton, pengembangan mall atau pasar-pasar modern, pariwisata dan lain-lain. Fenomena pengalihfungsian lahan dan sumberdaya daerah dari kegiatan pertanian menjadi arena untuk kegiatan pertokoan berkapasitas besar seperti mall (super dan hipermarket), perumahan-perumahan elit di Yogyakarta merupakan bagian gerak dan gelombang pasang kapitalisasi di daerah. Dalam hal ini erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah daerah. Mengutip pernyataan Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto, bahwa maraknya developer yang membangun perumahan kelas menengah dan mewah di Sleman sejak dua tahun terakhir ini memang disengaja dan direkomendasi oleh pemerintah daerah (Pemda). Ia, sebagai bupati, bahkan memberi ruang gerak leluasa bagi developer untuk terus membangun perumahan kelas menengah dan mewah di Sleman. Alasan mendasarnya, dengan membangun rumah kelas menengah dan mewah, setoran pajak ke pemerintah juga ikut meningkat.4 Kebijakan bupati tersebut memang sangat merangsang para investor untuk berlomba-lomba membangun perumahan secara masif. Berdasarkan data Dinas Pemukiman dan 4

14

"Bila pajak meningkat, saya berjanji akan memberikan kompensasi kepada masyarakat dengan membangun infrastruktur yang memberi peluang ekonomi bagi rakyat Sleman,” kata Ibnu. (“Janji yang Tak Kunjung Terbukti… “Kompas Jogja 16 Februari 2005). Ironisnya, kepemilikan rumah mewah dengan disain ekskulusif itu sebagian besar dikuasaioleh para pengusaha kayaatau pejabat dari kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Yang menarik dari pernyataan Ibnu Subiyanto di atas, ternyata justeru sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Sleman bukan berasal dari sektor perumahan sebagaimana harapan bupati, melainkan oleh pajak daerah yaitu hotel, restoran, hiburan,reklame, peneranganjalan, pengambilandan pengolahanbahan galian, pemanfaatan air bawah dan permukaan, dan parkir, yang sebesar Rp 24.9 miliar di tahun 2003. Sedangkan, PAD yang di dapat dari sektor PBB tahun 2003 hanya mencapai Rp 13 miliar saja.

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

Prasarana Wilayah DIY 2002, pembangunan perumahan di Sleman telah mencapai 388.196 unit. Hingga pertengahan Juni 2003 saja, jumlah rumah yang dibangun sudah 201.626 unit. Pengadaan perumahan mewah semacam ini, yang selalu dibangun dengan dalih penarikan pajak bagi daerah, makin terasa dampak-dampaknya negatifnya.5 Sebut saja misalnya, gencarnya ekspansi pembangunan perumahan di Yogyakarta bagian utara diduga mengancam eksistensi desa wisata di Kabupaten Sleman. Muncul kekhawatiran, jika pembangunan perumahan yang tidak sejalan dengan konsep pembangunan desa wisata dan lingkungannya akan menghilangkan otentisitas desa sebagai desa wisata. Pembangunan baru yang dibangun sekarang ini di Kabupaten Sleman, lebih berkiblat pada perumahan modern yang menonjolkan bentuk serta tampilan luar yang sama sekali lain dan tidak berhubungan dengan kosep desa wisata yang dikembangkan dengan basis kultural.6 Kepala Dinas Pemukiman, Prasarana Wilayah dan Perhubungan Kab. Sleman, Yuni Zaffria, mengatakan secara normatif hal-hal mengenai lokasi dan pembangunan suatu perumahan telah diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Namun, menurutnya, seringkali dalam implementasi di lapangan terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para developer perumahan ketika mereka mengajukan permohonan untuk membangun.7 5

6

7

Banyak pihak menilai developer terkesan seenaknya membangun rumah kelas menengah dan mewah di Sleman tanpa memerhatikan kelestarian lingkungan. Heru Nugroho, Dosen Sosiologi UGM, berpendapat, selama ini disadari atau tidak rakyat Sleman hanya menjadi penonton saja atas semua hasil pembangunan di Sleman. Rumah-rumah mewah di Sleman hanya menjadi ajang untuk berinvestasi untuk masyarakat kaya di luar Sleman, bahkan sebagian dari pembeli rumah mewah itu adalah para koruptor dari luar daerah yang menginvestasikan kekayaan mereka. Menurut Heru, janji Ibnu untuk mengentaskan kemiskinan lewat pembangunan rumah mewah sebenarnya cukup baik, dengan asumsi bahwa setoran pajak Pemkab Sleman juga ikut meningkat. Hanya, selama ini Heru belum melihat bahwa janji Ibnu itu betul-betul terbukti. Ditambahkan, banyak masyarakat lokal Sleman hingga kini tetap marjinal atau terpinggirkan. “Jadi, kondisi itu tidak mengubah apapun. Pembangunan itu tidak menghasilkan multiplier effect bagi masyarakat lokal, mengingat kawasan perumahan mewah hanya bersifat eksklusif saja. Masyarakat lokal, paling banter hanya jadi pembantu pada majikan pemilik rumah mewah itu,” kata Heru Nugroho. Pernyataan Silih Warni (Pengelola Desa Wisata Kalidobo), kecamatan Pakem-binangun. (“Pembangunan Perumahan Ancam Desa Wisata”, Kompas Jogja, Rabu, 11 Agustus 2004). " Pembangunan Perumahan Ancam Desa Wisata”, Kompas Jogja, Rabu, 11 Agustus 2004.

15


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Perayaan kapitalisasi di daerah tentu menyandarkan pemanfaatan topangan peran investor atau kalangan swasta. Baik dari pengusaha lokal, nasional maupun internasional, sebagaimana diskemakan dalam kebijakan daerah. Argumen mendasarnya karena keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah, maka investor keberadaannya dianggap vital. Sebut saja misalnya, pemda DIY, khususnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) beserta Bidang Investasi, menyadari bahwa perkembangan perekonomian daerah tidak hanya ditentukan oleh sumber daya daerah yang bersifat lokal, tetapi sangat dipengaruhi pula oleh kapital dan pasar global. Dalam kacamata mereka, konteks globalisasi, pasar bebas, dan otonomi daerah, peluang ekonomi suatu daerah akan semakin ditentukan oleh usaha-usaha daerah itu sendiri dalam menangkap aliran kapital yang semakin cair, tak terbatas, namun juga tak menentu.8 Pada tahun 2005, Pemprov DIY menargetkan investasi yang masuk mencapai Rp 3,5 triliun. Angka tersebut meningkat 16,7 persen dibandingkan dengan 2004 yang besarnya sekitar Rp 3 triliun, sedangkan Rp 2.469,52 pada tahun 2003. Sebagian besar investasi yang ditargetkan tersebut masih akan terpusat di wilayah Sleman dan Kota Yogyakarta. Dalam kacamata Pemda DIY, daerah-daerah lain masih dianggap mempersulit proses 8

16

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

perijinannya. Sebagaimana diungkap Bambang SP (Sekretaris Daerah DIY), dalam kondisi demikian, beberapa Perda yang sifatnya menghambat investasi akan diinjau ulang. Prinsip Pemda, investor harus dipermudah sehingga tidak ada keluhan karena lambatnya proses perijinan dan cenderung birokratis.9 Pemberian ruanggerak yangbesar padapara investoratau bantuan “utang” dari modal asing untuk pembangunan di Yogyakarta juga kian meningkat tajam. Misalnya saja, Bank Dunia (World Bank) akan memberikan bantuan kepada Pemprov DIY berupa block grant dan pinjaman lunak sebesar Rp 2,7 triliun. Dana itu digunakan untuk pembangunantransportasi,pertanian,industri,wisata,daninfrastruktur yang berwawasan regional.10 Kecenderungan keinginan daerah untuk mengakses “bantuan” berupa hutang dari manapun asalnya ini juga dilakukan, atau menjadi trend dikalangan pemda-pemda lain dalam rangka mempercepat pelaksanaan pembangunan. Hanya saja, kucuran bantuan dana pembangunan ini, sebagaimana terjadi di Yogyakarta tidak pernah menjadi bagian perdebatan publik yang serius. Misalnya saja menyangkut partisipasi dalam perencanaan pembangunan, kontrol atas penggunaan anggaran sampai dengan akuntabilitas. Gambaran kebijakan semacam ini, yang menjadi gejala umum di berbagai daerah, tentu mengingatkan terjadinya pergeseran peran negara dalam pembangunan, sebagaimana 9

Usaha-usaha pengembangan perekonomian daerah Yogyakarta berorientasi luas dan keluar (outlook). Disebutkan oleh Bayudono, Kepala Bappeda DIY, Pemprov DIY telah membuat Rencana Aksi Strategis Pengembangan Perekonomian (RASPP) DIY yang terdiri dari dua dokumen rencana (1) RASPP itu sendiri dan (2) Outline Business Plan(OBP) DIY yang menjadi panduan investasi ekonomi di DIY. Kedua dokumen tersebut disusun dengan bantuan perusahaan dan konsultan dari Amerika. OBP memuat usulan-usulan proyek yang difokuskan pada sektor swasta. Ke depan, perkembangan perekonomian daerah akan dipelopori pihak swasta dan masyarakat. Pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator saja. Pengembangan Perekonomian Daerah; “Tak Lepas dari Kapital dan Pasar Global”. (KR, Jum’at 10 Desember 2004). Terkait dengan paradigma baru pembangunan Propinsi DIY, menurut Wakil Gubernur, diharapkan pencapaian kesejahteraan masyarakat, juga akan mewarnai pembangunan DIY ke depan. Sehingga masalah kemiskinan dapat diatasi atau paling tidak jumlah keluarga miskin dapat dikurangi secara signifikan. Selain itu lanjut Wagub, secara politis kondisi Yogyakarta relatif lebih stabil dan kondusif dibandingkan dengan Propinsi lainnya, sehingga sangat menguntungkan karena dapat membuat investor tertarik untuk menanamkan modalnya dan hingga saat ini ada 83 program yang dapat dipilih oleh investor, 10 program diantaranya sudah dalam taraf pembuatan MOU. (Sub.Bid.Pemberitaan, www.pemda-diy.go.id. 17 Juni 2005).

10

(“DIY targetkan Investasi Senilai Rp. 3,5 Triliun”, Kompas Jogja, 16 Desember 2004). Mudrajad Kuncoro, Dosen FE UGM, mengungkapkan selain karena perda-perda yang dinilai bermasalah, keengganan sejumlah investor menanamkan investasinya keturunan DIY, juga karena banyaknya pungutan-pungutan di daerah (pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga). Tiga orang pengusaha asal China yang didampingi dua orang pengusaha dari Jakarta, menemui Bupati Kulon Progo Toyo Santoso Dipo. Ketiga pengusaha tersebut bermaksud menanam investasinya dalam bidang penambangan pasir besi. (“Investor China Temui Bupati Kulon Progo”, Kompas Jogja,Selasa, 15 Maret 2005.) Sekretaris Daerah Provinsi DIY, Bambang SP, seusai bertemu dengan Konsultan Senior Bank Dunia untuk Wilayah Asia Tenggara Dr Iwata dan Kumazawa Zen di Kepatihan, menjelaskan bahwa saat ini Pemprov mengusulkan program pembangunan yang akan ditangani melalui bantuan dan pinjaman itu. “Pinjaman itu lunak, hanya dengan bunga 0,75 persen per tahun,” katanya. Disebutkan Bambang, dana block grant dan pinjaman lunak itu akan digunakan untuk pembangunan Bandara Adisutjipto,jaringan jalan lintas selatan, jalan tol, jalur keretaapi double track, pembangunan kawasan Malioboro dan Keraton Yogyakarta, transportasi perkotaan, pengembangan riset kampus, promosi wisata, pengembangan industri kerajinan, dan pembangunan gerai investasi. (“Bank Dunia Bantu DIY 2,7 Triliun”, Kompas Jogja, Rabu, 29 Juni 2005).

17


menjadi kecenderungan model neo-liberalisme. Oleh perspektif ini, negara diharamkan untuk campur tangan mengurusi masyarakat dan pasar. Asumsinya, jika intervensi negara terus dilakukan (pengalaman negara otoritarian) menyebabkan masyarakat tergantung dan pasar menjadi tidak sehat. Hipotesis ini memang logis, dan secara linier diandaikan diantara tiga kekuatan tersebut (negara, pasar dan masyarakat lokal) menjadi seimbang. Namun persoalannya adalah, apakah kemungkinan interaksi ketiganya yang batasi oleh aturan main (rule of the game), akan berkorelasi positif terhadap menguatnya rakyat (masyarakat sipil) itu sendiri? Ini sangat meragukan. Mengingat, untuk kasus Indonesia semenjak berakhirnya kekuasaan otoritarian orde baru (negara), masyarakat harus berhadapan dengan kekuatan dahsyat yakni market, di rezim neo-liberal.11 Pada mulanya negara merupakan pihak yang memiliki tangggung jawab besar sekaligus penentu dalam kebijakan pembangunan. Tetapi kini bergeser, justru negara hanya ditempatkan sebagai fasilitator dan regulator terbatas, sementara justeru kekuatan pasar atau swasta (dalam kaitan ini para investor) lebih besar dalam menentukan atau mempengaruhi kemajuan ekonomi. Pemerintah, dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis.12 Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Perspektif ini pulalah yang menjadi dasar kuat pengembangan watak neo liberalisme yang diadaptasi oleh daerah. Berkembangnya isu-isu baru tersebut menandai kemenangan paham neo-liberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal.13 11

12 13

Pemikiran kritis mengenai globalisasi, atau istilah lain dengan imperialisme, dapat dlihat pada James Petras dan Henry Veltmeyer, 2001, opcit. Bisa juga lihat Oscar Lovontaine dkk, Shaping Globalisation, jawaban kaum sosialis demokrat atas neoliberalisme, Yogyakarta, Jendela, 2000. Jon Pierre dan Guy Peters, Governance, Politics and the State (London: MacMillan Press, 2000). Jika ditarik dalam level yang makro perkembangan ekonomim politik internasional, di sektor politik, dunia internasional menyaksikan gelombang demokratisasi yang sebagian besar merupakan mainstream neo-liberal. (Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan

Belakangan sejumlah kasus proyek pengadaan pembangunan mall di Yogyakarta memunculkan persoalan-persoalan sosial dan marginalisasi. Problem mutakhir tercatat misalnya, mencuatnya masalah pendirian “Saphir Square” di Kota Yogyakarta yang banyak mengandung problem environment. Kontroversi berkisar tentang gugatan warga Demangan (masyarakat sekitar kompleks pertokoan) pada awal tahun 2005 lalu yang merasa terganggu akibat pembangunan mall. Warga menilai akibat langsung keadaan lingkungan dari kegiatan pertokoan besar itu sangat dirasakan mereka. Apalagi, pembangunan mall tersebut dikhabarkan belum mendapatkan surat ijin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tentang kelayakan sebuah kegiatan bisnis besar di lingkungan masyarakat. Padahal amdal merupakan prasyarat utama pembangunan besar atau bisnis dengan menghitung tingkat risiko. Kenyataannya, proyek tersebut tetap diteruskan oleh developer, setelah ada nota dari salah seorang pejabat di propinsi, meskipun belum mengantongi surat amdal. Praktik penyalahgunaan kewenangan dan tindak pelanggaran prosedur dalam kebijakan pembangunan masih kental terjadi. Protes-protes masyarakat terus bermunculan karena mereka merasa dirugikan. Hingga kini, poses penyelesaian sengketa ini belum berakhir, padahal pembangunan terus dilakukan. Gugatan masyarakat semacam ini juga terjadi di lingkungan pembangunan “Plaza Ambarukmo”, Sleman. Para warga sekitar pembangunan mall protes karena banyak rumah mereka rusak (retak-retak) akibat pembangunan mall tersebut, serta polusi yang makin mengganggu warga. Atas kenyataan ini, para seniman Yogyakarta bereaksi mengenai eksistensi mall yang sedang dibangun itu, karena secara kultural dianggap menggeser struktur bangunan Hotel Ambarukmo yang dianggap bersejarah itu. Sejauh ini, perdebatan mengenai dampak sosial apalagi kultural-sejarah, dan Demokrasi Liberal, Qalam, Yogyakarta, 2001). Baca juga Markoff, John, Waves of Democracy, social movement and political change, Thousand Oaks, Sage Publication, 1996. (Terj. Gelombang Demokrasi Dunia, gerakan sosial dan perubahan politik, CCSS-Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, disunting oleh Heru Nugroho).


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

partisipasi dalam kebijakan tidak memperoleh ruang yang besar, karena selalu terkikis oleh spirit ekonomi. Hal inilah bagian dari proses distorsi makna pembangunan, yang menyebar di daerah. Kecenderungannya, pemda lebih melayani hasrat akumulasi keuntungan ekonomi yang pragmatis tanpa memperhitungkan aspirasi masyarakat para korban pembangunan. Sebuah kenyataan ironis, yang selalu mengingatkan kita pada model-model pembangunan di jaman orde baru yang berwatak represif dan economy orientation. Pemda, nampaknya lebih mempertimbangkan kepentingan investor atau para pengusaha nyang menanamkan modal, dibanding mempertimbangkan nilai etis pembangunan yakni mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan dari belenggu kemiskinan.14 Cara pandang pemerintah daerah yang mengejar keuntungan ekonomi dalam menjalankan kebijakan pembangunan, memang mengundang resiko yang tidak ringan. Percepatan kapitalisasi di Yogyakarta ini, juga berkonsekuensi logis pada kondisi lahan-lahan produktif pertanian di desa, yang lama-kelamaan makin menyusut. Estimasi makro yang terjadi sejauh ini menunjukkan bahwa implikasi project pembangunan mall besar serta perumahan real estate di Yogyakarta yakni terkikisnya lahan-lahan produktif para petani yang selama ini berfungsi untuk kegiatan pertanian berubah fungsi menjadi mall dan perumahan. Data Dinas Pertanian DIY menyebutkan, Sleman merupakan kabupaten yang mengalami penyusutan lahan sawah tertinggi dari seluruh kabupaten/kota di DIY. Pada periode 1991-2002, total penyusutan sawah di Sleman mencapai 2.218 hektar. Data pendukung dari BPS DIY menyebutkan, 85 persen dari total angka penyusutan lahan sawah, kini beralih

14

20

Mengenai kritik atas pembangunan dapat dibaca Wolfgang Sach, Kritik atas Pembangunanisme, telaah kritis pengetahuan sebagai alat penguasaan, CPSM, Jakarta, 1995, atau kajian makro model-model pembangnan karakter pertumbuhan yang selalu menyembunyikan bebn kemiskinan dalam Bjorn Hettne, Ironi Pembangunan di Negara Berkembang,Jakarta, 1985.

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

fungsi menjadi bangunan rumah.15 Pembangunan rumah di Sleman sesuai data Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah DIY 2002, mencapai 388.196 unit. Hingga pertengahan Juni 2003 saja, jumlah rumah yang dibangun sudah 201.626 unit.16 Demikian pula pada tingkat propinsi. Meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya daerah perkotaan di DIY mengakibatkan luas lahan sawah di provinsi tersebut mulai menyusut 0,42 persen selama periode 2000-2001. Penurunan luas lahan sawah terjadi di seluruh wilayah DIY dengan jumlah penurunan tertinggi terjadi di wilayah Kota Yogyakarta yang mencapai 7,74 persen. Saat ini, Provinsi DIY memiliki luas lahan sawah 58.608 hektar atau 18,4 persen dari luas total wilayah DIY yang mencapai 318.580 hektar (ha).17 Luas lahan di Kabupaten Sleman antara tahun 20032004, menyusut sekitar 110 hektar. Penyusutan diakibatkan alih guna jadi ladang, dan area bangunan. Petani mengeluhkan bangunan di sekitar lahan yang menghalangi sinar matahari yang seharusnya menyinari sawah. Staf Dinas Pertanian dan 15

16 17

Dalam konteks kebijakan pembangunan daerah di Yogyakarta, Komisi VI DPR Pertanyakan Arah Pembangunan DIY ke depan, apakah mempertahankan tradisi sebagai kota budaya, pariwisata, dan pendidikan, atau menjadi kota modern yang berorientasi pasar dan industri. Pertanyaan itu muncul seiring dengan menguatnya peran pemodal besar di DIY yang ditandai oleh pertumbuhan mall dan pusat perbelanjaan. Sebagaimana diungkapkan oeh anggota Komisi VI DPR, Aria Bima, yang menanyakan seputar kekhasan DIY mengenai aspek budaya dan pariwisata yang saat ini kalah dominan dibandingkan aspek ekonomi bisnis. Aria menilai perkembangan Yogyakarta saat ini cenderung didominasi oleh tarikan investor, bukan lagi oleh kekhasan budaya lokal yang sebenarnya memiliki nilai jual sektor pariwisata. Menguatnya modal-modal besar dari luar, nilainya tidak memberi pengaruh bagi perkembangan sektor ekonomi UKM, seharusnya pemprov memiliki perhatian pada sektor UKM sebagai penopang industri pariwisata, bukannya mengundang investor besar. Hal ini kemudian ditanggapi oleh Kepala Bappeda DIY, Bayudono, bahwa arah pembangunan DIY dirancang untuk memadukan unsur tradisional dan modern. Artinya, pembangunan infrastruktur sebagai fasilitas modern, tanpa meninggalkan khazanah budaya Yogyakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah selatan juga diharapkan tetap menjadi kota budaya, pariwisata, dan kota pendidikan. Jadi meskipun pembangunan DIY berorientasi pada pertumbuhan dan modernisasi, hal itu bisa dikawinkan dengan kekhasan budaya setempat. Aria memprediksi, jika pembangunan DIY tidak mempunyai desain jelas, maka karakter khas daerah akan hilang, DIY bakal jadi “hutan mall�, sehingga tak beda dengan kota-kota besar lain. Padahal nilai jualpariwisata takditentukan oleh modernisasi belaka. (“Komisi VI DPR Pertanyakan Arah Pembangunan DIY�, Kompas Jogja. April 2005). (Kompas Jogja, 16 Februari 2005) (KOMPAS, kamis, 10 April 2003)

21


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

22

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

Kehutanan Sleman, Dra Siti Rumanah, menyatakan tiap tahunnya lahan pertanian di Sleman menyusut sekitar 0,5 persen. Sebelum tahun 2003, penyusutan lahan terjadi sekitar 50 hektar tiap tahun. Dalam prosesnya, percepatan dan ekspansi pambangunan ekonomi bermodal besar itu ternyata secara sistematik kian memarginalisasi ekonomi desa yang selama ini masih bergerak dalam lintasan informal18 dan tradisional. Akibat restrukturisasi ekonomi daerah (diciptakannya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kota dengan mendaptasi gaya pertokoan besar) telah menggeser peran ekonomi tradisional di pedesaan, dan sektor informal di perkotaan. Sektor-sektor ekonomi mikro yang selama ini sebagai tulang punggung penggerak ekonomi rakyat makin kedodoran, karena dipaksa oleh kekuatan negara dan komprador agar berintegrasi dalam arena pasar terbuka. Berbagai regulasi yang melandasi kebijakan publik produk pemda dan DPRD sebagian besar berorientasi pada penciptaan persaingan ekonomi dengan logika pasar. Maraknya pembangunan mall, di mata masyarakat ekonomi ke bawah, justru dipertanyakan kemanfaatan secara meluas. Mall, berkenaan hubungan antara ekonomi kecil dan ekonomi bermodal besar, justru melahirkan ketimpangan. Mall menyodot keuntungan pedagang kecil, dan mengalir ke supermarket-supermarket itu. Menyimak data AC Nielsen, kontribusi penjualan pasar tradional memang terus merosot. Bila pada 2002, dominasi penjualan di segmen pasar ini mencapai 75%, maka pada tahun lalu turun menjadi hanya 70%.19 Dengan demikian pasar tradisional juga kian

tersingkirkan.20 Maka tidak heran jika mulai muncul sengketa dan resistensi para pedagang tradisional yang telah lama berhuni di pasar-pasar desa atau perkampungan. Bahkan yang makin dirasakan para pedagang, model restrukturisasi pasar tradisional yang dibangun “atas nama kelayakan” juga melahirkan persoalan baru, karena makin mahalnya pengelolaan pasar bergaya modern itu dan akibatnya harga sewa tidak terjangkau oleh pedagang.21 Kecenderungan merosotnya keuntungan yang diperoleh para pedagang pasar tradisional, sebagai akibat ekspansi pasar modern seperti supermarket makin dirasakan.22 Sejumlah bukti mengenai penurunan keuntungan kegiatan ekonomi tradisional pedesaan23, sebagian besar bersumber karena terabsorbsi oleh aktivitas industri kota (pusat pertumbuhan daerah). Sebutlah kasus di Jakarta, delapan pusat pasar sudah menghentikan aktivitas (tutup) atau sekitar 400 kios di Jakarta setiap tahun terpaksa tutup. Secara nasional sekitar delapan persen dari to-

18

23

19

Sektor informal, termasuk PKL, terbukti mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Pada tahun 1999, pekerja sektor informal di Sleman mencapai 56,8 persen, Kulon Progo (81,7), Bantul (63,7), Kota Yogyakarta (52,6). Sedangkan tahun 2002, pekerja sektor informal di Sleman sekitar 43,5 persen, Kulon Progo (72,3), Bantul (53,7), Gunung Kidul (82,5), Kota Yogya (38,6). (Kompas Jogja, 4 April 2005) (www.bisnis.com. Rabu, 15 Juni 2005)

20 21

22

(Kompas Jogja, 4 April 2005) Konflik pembangunan di Pasar Rejodani Sariharjo Ngaglik, Sleman melibatkan pengusaha, pemerintah desa dan pedagang. Pertemuan antara Persatuan Pedagang Pasar Rejodani (P3R), pengembang CV Sarana Mandiri, Pemerintahan Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, belum menghasilkan kesepakatan mengenai harga kios. “Yang diinginkan oleh pedagang adalah keputusan harga itu dihasilkan oleh persetujuan BPD (BadanPerwakilan Desa), pemerintah desa (pemdes), dan pengembang.Selama ini,harga selaluditentukan sepihakoleh pengembang.Jika hargasudah disepakati oleh ketiga pihak, baru itu mengikat dan kami bersedia mematuhinya,” ujar Uki Sukiman, Ketua P3R. (“Pedagang Rejodani Tetap Tolak Harga Kios”, Kompas Jogja, Jum’at, 8 April 2005). Persatuan Pedagang Kaki Lima Sleman (PPKLS) tercatat 12 paguyuban dengan 500 PKL. PPKLS mempertanyakan tentang iuran retribusi yang tak jelas larinya. Jumlah PKL pada malam hari di Sleman 2000 pedagang. Dengan retribusi rata-rata Rp 1000 per PKL per malam, sebulan terkumpul Rp 60 juta. Pendapatan itu bisa lebih besar jika ditambah PKL siang. Secara kasar jumlah PKL di Sleman sekitar 5000 pedagang.22 Padahal sejauh ini, sektor informal, termasuk PKL, terbukti mampu menyerap tenaga kerja yang besar. Pada tahun 1999, pekerja sektor informal di Sleman mencapai 56,8 persen, Kulon Progo (81,7), Bantul (63,7), Kota Yogyakarta (52,6). Sedangkan tahun 2002, pekerja sektor informal di Sleman sekitar 43,5 persen, Kulon Progo (72,3), Bantul (53,7), Gunung Kidul (82,5), Kota Yogya (38,6). (Kompas Jogja. kamis, 30 Juni 2005) Pemkot Yogyakarta menjamin pengembangan seluruh pasar tradisional yang lebih nyaman. Pasar tradisional23 diharapkan mendukung ikon kota pariwisata semakin melekat pada Yogyakarta. Sebanyak 31 pasar akan mendapat program pengembangan, seperti pengubinan dan pengatapan, sehingga pasar-pasar tradisional akan bebas dari becek, bocor, dan kumuh.23 Sementara itu Sekretaris Bapeda Propinsi DIY Drs. Tavip dalam paparannya menjelaskan, bahwa berbagai hal mengenai potensi DIY dan peluang usaha, serta kiat-kiat dalam meningkatkan

23


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

tal 13 ribu pasar tradisional juga harus tutup.24 Di Bekasi, dari 10 pasar yang berada di bawah kendali Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, tiga di antaranya terancam tutup (Sinar Harapan 03/02/05).25 Sebaliknya, raksasa ritel hypermarket yang tiga tahun lalu baru membukukan pangsa penjualan 3%, secara berturut turun naik pada 2003 menjadi 5%, dan tahun lalu melonjak menjadi 7%.26 Termasuk hypermarket, beberapa peritel modern mencakup supermarket, factory outlet, hingga minimarket, mampu memacu pertumbuhan penjualan barang konsumsi Indonesia hingga 17%. Padahal, pertumbuhan pada tahun sebelumnya hanya 14%. Angka ini merupakan tertinggi di kawasan Asean.27 Jika kondisi di atas dibiarkan, delapan tahun ke depan seluruh pasar tradisional di Indonesia akan mati. Sekitar 12,6 juta pedagang pasar tradisional ditambah masing-masing ratarata dua pegawai dan empat anggota keluarga terancam kehilangan mata pencaharian dan jatuh ke dalam kemiskinan absolut. Ini berarti, sekitar 118,2 juta rakyat Indonesia yang hidupnya sudah sulit akan jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan.28 Inilah persoalan mendasar yang harus dijawab, ditengah harapan untuk melakukan desentralisasi kebijakan sementara paradigma pembangunan masih mendasarkan pada pertumbuhan tanpa pemerataan. Bahkan saat ini kian susut dan menghilang dimensi etis nilai-nilai humanistik sebagai basis pijak dalam pembangunan sebagaimana selalu dipromosikan dalam arus perubahan. Itulah beberapa cerita problem baru kapitalisasi dengan dampak baru marginalisasi. Ibarat kolonialisme gaya baru di aras lokal yang menunggangi kebijakan otonomi daerah. Skenario kapitalisme dengan masih berkutat pada sangkar besi per-

24 25 26 27

24

28

pembangunan yang dilakukan DIY menuju Pemerintahan yang katalistik dan masyarakat yang kompetitif, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi keluarga miskin. (http://news.antara.co.id. 6 Juni 2005) (http://urbanpoor.or.id. 6 Februari 2005) (www.bisnis.com. Rabu,15 Juni 2005) (www.bisnis.com. Rabu,15 Juni 2005) (www.majalahsaksi.com. Sabtu, 7 Mei 2005)

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

tumbuhan, menumpangi gerak dan tuntutan liberalisasi politik mengalami distorsi. Jika kita kontradiksikan dengan pendapat kalangan pendukung teori dependensi, bahwa demokrasi yang berkiblat pada paham liberalis yang dtunggangi kapitalisme itu, yang sementara ini sangat digandrungi banyak negara-negara industri maju, hanya khusus terjadi di tahap awal kapitalisme, yakni abad 18 19 di Eropa Barat. Karena itu, relevansi bagi kehendak menciptakan kesejahteraan warga di Negara-negara Dunia Ketiga menjadi patut dipertanyakan. Pengalaman sejarah mengenai ekspansi modernisasi yang “dipaksakan” ke Negaranegara Dunia Ketiga atau pemerintahan post-kolonial, hanyalah menjadi cara baru penggalian kubur bagi kemerosotan struktural dirinya ketika harus berhadap-hadapan dengan negara maju.29 Seperti halnya, kontekstualisasi skenario liberal yang lebih dilandasi disainkapitalisme itu, yang secara struktural nyata-nyata memiliki derajat perbedaan yang signifikan dengan keadaan yang ada di Indonesia. Kecenderungan yang tengah terjadi saat ini adalah munculnya ancaman baru ketidakmampuan memenuhi penyesuaian struktural yang termaktub dalam “jurus kaum neo liberal”, yang bersumber karena ketidaktepatan strategi ketika harus diterapkan secara ‘terpaksa’ di negara-negara Dunia Ketiga.30 Pengalaman sejarah mengenai ekspansi modernisasi yang “dipaksakan” ke Negara-negara Dunia Ketiga atau pemerintahan post-kolonial, hanyalah menjadi cara baru penggalian kubur bagi kemerosotan struktural dirinya ketika harus berhadap-hadapan dengan negara maju.31 Seperti halnya, kontekstualisasi skenario liberal yang lebih dilandasi disain kapitalisme itu, yang secara struktural nyata-nyata memiliki derajat perbedaan yang signifikan dengan keadaan yang ada di Indonesia. Nah, pemerintah daerah nampaknya tengah asyik merayakan praktik kolonisasi itu dengan resiko marginalisasi masyarakat kelas bawah, dalam semesta pembicaraan ini adalah komunitas ekonomi tradisional desa. 29 30 31

Hettne, 1985, op cit Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002. Hettne, 1985, op cit; Sugihardjanto dkk, Globalisasi perspektif sosialis, Cubuc, 2001.

25


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

26

Krisis Otonomi dan Demokrasi Desa Otonomi desa yang dikenal sebagai otonomi asli mengalami krisis yang serius ketika negara dan modal masuk ke desa. Kebijakan dan pengaturan negara terhadap desa sama sekali tidak menghormati eksistensi desa dan tidak dimaksudakan untuk memperkuat posisi, kemampuan, dan kemandirian desa. Di masa Orde Baru, berbagai kebijakan dan pengaturan terhadap desa, seperti UU No. 5/1979, secara menyolok mengedepankan korporatisasi politik untuk menciptakan stabilitas politik desa, memperkuat birokratisasi dan kontrol politik untuk membuat loyalitas pemerintah desa, membuka ruang-ruang bagi penetrasi modal ke desa, serta “membuang” berbagai bantuan ke desa yang terkesan sangat populis. Ada sejumlah bukti empirik krisis otonomi desa akibat dari negaranisasi dan kapitalisasi ke desa. Pertama, hilangnya kontrol desa atas property right (terutama tanah) sehingga menghancurkan kedaulatan rakyat desa. Sebagian besar tanah dikuasai oleh negara. Negara tidak mengindahkan prinsip-prinsip negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945, tetapi justru bertindak sebagai komprador yang memberi lisensi terhadap para pejabat, keluarga pejabat, orang-orang kaya maupun pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat. Akibatnya terjadilah marginalisasi dan pemiskinan terhadap rakyat desa. Di Delanggu Klaten pada tahun 1970-an akibat petani tidak mau mengikuti program perkebunan inti rakyat (PIR) benih padinya dibakar oleh pemerintah. Padahal benih di Delangu kala itu merupakan benih padi yang paling unggul dari benih padi yang ada di tanah air. Tapi sejak peristiwa pembakaran kala itu, dan pemaksaan terhadap petani dalam program PIR, benih itu hilang sampai dengan saat ini. Begitu pula dengan adanya lisensi HPH, banyak sekali pola pengobatan tradisional masyarakat adat yang ‘diputus’ aksesnya karena hutannya sudah dikuasai pengusaha. Padahal di dalam hutan itu banyak sekali tumbuhtumbuhan hayati yang dapat dipergunakan untuk aneka jenis

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

pengobatan. Kini akses rakyat itu makin dibatasi seperti dengan adanya proyek TNGM (Tanam Nasional Gunung Merapi) di Yogyakarta, yang konon kabarnya akan dijadikan oleh pengusaha asing sebagai laboratorium untuk memproduksi berbagai jenis obat-obatan dari tanaman yang tumbuh di hutan tersebut. Kedua, hancurnya basis sosial (kepemimpinan, pranata sosial, organisasi lokal, dan sebagainya) otonomi desa. Di Jawa, konsep “pamong desa” digantikan dengan “perangkat desa” yang harus menjalankan tugas-tugas birokratisasi dari negara. Kepala desa, misalnya, tidak lagi menjadi pemimpin masyarakat desa, melainkan berubah menjadi bawahan camat dan bupati. Di Luar Jawa, para penghulu adat dibuat minggir dan digantikan oleh perangkat desa, yang kemudian membuat dualisme kepemimpinan dalam desa adat, yakni antara kepala desa dan penghulu adat. Sederet pranata sosial (yang sangat berguna untuk menciptakan keseimbangan, keteraturan dan keberlanjutan dalam pengelolaan barang-barang publik dan relasi sosial) mengalami kehancuran karena digantikan dengan peraturan negara yang dibuat secara seragam dan sentralistik. Di sisi lain, berbagai organisasi tradisional lokal yang sudah lama tumbuh, digantikan dengan organisasi korporatis yang seragam hasil bentukan negara. Hancurnya organisasi lokal asli ini telah mengakibatkan lunturnya kerjasama dan solidaritas sosial, hilangnya kemampuan lokal mengelola konflik, serta memudarnya swadaya masyarakat lokal. Demokrasi desa telah mengalami kemunduran serius setelah kolonialisasi, negaranisasi dan pembangunanisasi masuk desa. Kita sering mendengar cerita-cerita romantis bahwa desa merupakan basis dan benteng terakhir demokrasi ketika demokrasi nasional telah mati. Orang Minangkabau misalnya, selalu membanggakan bahwa nagari di sepanjang masa selalu merawat demokrasi komunitarian melalui tradisi musyawarah untuk pengambilan keputusan secara kolektif. Banyak orang sering mengemukakan bahwa sisa-sisa demokrasi masih terpelihara di desa Jawa, sebagaimana ditunjukkan dengan sejumlah indikator: pemilihan

27


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

28

langsung kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai rembug desa sebagai arena pembuatan keputusan kolektif yang demokratis, terjaganya solidaritas komunal (gotong royong) antarwarga, warga masyarakat yang saling hidup damai berdampingan, dan sekarang tumbuh badan perwakilan desa yang dipilih secara demokratis Wadah dan praktik demokrasi telah hilang sama sekali di zaman Orde Baru. UU No. 5/1979 merupakan bentuk regulasi yang mujarab untuk menghilangkan demokrasi desa. Demokrasi dalam Pilkades hanya tampak di permukaan, sebab proses elektoral selalu memperoleh pengawalan yang ketat oleh pemerintah supradesa. Melalui penelitian khusus (litsus) yang ganas, pihak kabupaten (Kantor Sospol) hanya meloloskan para kandidat kades yang telah terbukti mengabdi kepada pembangunan dan Golkar, maupun mereka yang betul-betul dinyatakan “loyal� pada pemerintah. Di sisi lain, semua lembaga desa terkorporatisasi dan diintervensi oleh pemerintah supradesa. Lembaga Musyawarah Desa (LMD) termasuk di dalamnya. LMD, tempat musyawarah segelintir elite desa ini, bukanlah lembaga demokrasi perwalian para elite yang sempurna, melainkan lembaga korporatis di desa, yang dikendalikan oleh kepala desa. Keanggotaan LMD tidak direkrut dengan proses pemilihan yang melibatkan masyarakat, melainkan hanya ditunjuk langsung oleh kades. Dalam prakteknya, LMD menjadi lembaga yang menjustifikasi kebijakan dari atas yang dikendalikan kades, serta bekerja tanpa berbasis pada kepentingan masyarakat. Kisah dominasi elite desa yang lebih berorientasi pada pemerintah supradesa merupakan pertanda substantif bahwa demokrasi desa telah terjadi kemunduran yang luar biasa. Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto, dalam bukunya Demokrasi di Pedesaan Jawa (1983), mengkaji tentang fenomena kemunduran demokrasi desa sepanjang dekade 1960-an hingga 1970-an. Keduanya menunjukkan dua kata kunci dalam demokrasi tradisional desa yang dulu pernah hidup: gotong royong dan musyawarah. Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi desa

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

rupanya telah mengalami kemunduran karena perubahan sosialekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Mereka mencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di era modern. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak� bagi rakyatnya, kades lebih menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin. Kedua, pertumbuhan penduduk telah menyebabkan keterbatasan tanah sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal. Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desa yang menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat, kemunduran demokrasi tradisional juga disebabkan oleh polarisasi pasca kemerdekaan, konflik mengenai land reform, pembangunan desa, yang semuanya menimbulkan perubahan fungsi ekonomi kades dan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik dan pembangunan desa. Secara substantif UU No. 5/1979 mengandung sentralisasinegaranisasi dalam konteks hubungan desa dengan negara (supradesa), dan otoritarianisme-korporatis di dalam internal pemerintahan desa. Desa bukanlah unit yang otonom seperti halnya daerah, tetapi hanya organisasi pemerintahan terendah yang dikendalikannegara (the localstate government) melalui tangan camat. Negara betul-betul masuk ke desa. Kepala desa bukanlah pemimpin masyarakat desa, melainkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah supra desa, yang digunakan untuk mengendalikan penduduk dan tanah desa. UU No. 5/1979 menegaskan bahwa kepala desa dipilih oleh rakyat melalui demokrasi langsung. Ketentuan pemilihan kepala desa secara langsung itu merupakan sebuah sisi demokrasi (elektoral) di aras desa. Di saat presiden, gubernur dan bupati ditentukan secara oligarkis oleh parlemen, kepala desa justru dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena itu keistimewaan di aras desa ini sering disebut sebagai benteng demokrasi di level akar-rumput. Tetapi secara empirik praktik pemilihan kepala desa tidak sepenuhnya mencerminkan

29


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

30

kehendak rakyat karena hampir tidak people choice sejak awal sampai pemilihan (voting). Pilkades selalu sarat dengan rekayasa dan kontrol pemerintah supradesa. Dalam studinya di desadesa di Pati, Franz Husken (2001) menunjukkan bahwa pilkades selalu diwarnai dengan intimidasi terhadap rakyat, manipulasi terhadap hasil, dan dikendalikan secara ketat oleh negara. Bagi Husken, pilkades yang paling menonjol adalah sebuah proses politik untuk penyelesaian hubungan kekuasaan lokal, ketimbang sebagai arena kedaulatan rakyat. Cacat demokrasi desa tidak hanya terlihat dari sisi pilkades, tetapi juga pada posisi kepala desa. UU No. 5/1979 menobatkan kepala desa sebagai “penguasa tunggal” di desa. Desa dibuat sebagai“negara kecil”,yang berartidia diposisikansebagai wilayah, organ dan instrumen kepanjangan tangan negara yang memang tersusun secara hirarkhis-korporatis, bukan sebagai tempat bagi warga untuk membangun komunitas bersama. Desa bukanlah local-self government melainkan sekadar sebagai local-state government. Kepala desa adalah kepanjangan tangan birokrasi negara yang menjalankan perintah untuk mengendalikan wilayah dan penduduk desa. Karena itu Hans Antlov (2002) menyebutnya sebagai negara masuk desa. Kepala desa mengendalikan seluruh hajat hidup orang banyak, dia harus menhetahui apa saja yang terjadi di desa, termasuk selembar daun yang jatuh dari pohon di wilayah yurisdiksinya. Ken Young (1993) bahkan lebih suka menyebut kepala desa sebagai “fungsionaris negara” ketimbang sebagai “perangkat desa”, karena dia lebih banyak menjalankan tugas negara ketimbang sebagai pemimpin masyarakat desa. UU No. 5/1979 sebenarnya juga mengenal pembagian kekuasaan di desa, yakni ada kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pasal 3 menegaskan, pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan atau pemufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun , Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan, dan

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

pemuka-pemuka masyarakat di esa yang bersangkutan (Pasal 17). Meski ada pembagian kekuasaan, tetapi LMD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang berarti. LMD bukanlah wadah representasi dan arena check and balances terhadap kepala desa. Bahkan juga ditegaskan bahwa kepala desa karena jabatannya (ex officio) menjadi ketua LMD (Pasal 17 ayat 2). Jika di desa, kepala desa menjadi penguasa tunggal, tetapi kalau dihadapan supradesa, kepala desa hanya sekadar kepanjangan tangan yang harus tunduk dan bertanggungjawab kepada supradesa. Menurut UU No. 5/1979 Kepala Desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (pasal 6 dan 9), untuk masa jabatan selama 8 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya (pasal 7). Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan desa. Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintah desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat; dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (Pasal 10). Sebagian besar kepala desa bukanlah pemimpin masyarakat yang berakar dan legitimate di mata masyarakat meski secara fisik dekat dengan rakyat, melainkan menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada

31


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

32

masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa merupakan personifikasi pemerintah desa. Semua mata di desa ditujukan kepada kepala desa secara personal. Karena itu kepala desa selalu sensitif terhadap legitimasi. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat. Tetapi legitimasi tidak turun dari langit begitu saja. Kepala desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul dan sumbernya. Legitimasi kepala desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang ia setiap hari. Umumnya kepala desa yakin betul bahwa pengakuan rakyat sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan maupun tugas-tugas yang dia emban, meski setiap kepala desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam membangun legitimasi. Tetapi, kepala desa umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Kepala desa dengan gampang diterima secara baik oleh warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat warga, sembada dan pemurah hati, ramah terhadap warganya, dan lain-lain (IRE, 2003; AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko, 2003). Kepala desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena kepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga. Kepala desa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga kades tidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh sang kepala desa tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Warga desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Kades yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai political space yang cukup dan kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural desayang bias elite, sentralistikdan feodal. Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desa adalah sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. Semua unsur pemerintah desa selalu berjanji memberikan “pelayanan prima� 24 jam nonstop. Karena itu kepala desa senantiasa siap membawa tas kecil dan stempel untuk meneken surat yang dibutuhkan warga masyarakat. “Kalau ada warga mengetuk pintu rumah jam dua pagi tetap saya layani�, demikian tutur seorang kepala desa. Di sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat akar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan

33


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

34

di tingkat desa. Para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai “pamong desa� yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom warga masyarakat. Para pamong desa beserta elite desa lainnya dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Dalam praktiknya antara warga dan pamong desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batas-batas urusan privat dan publik di desa sering kabur. Sebagai contoh, warga masyarakat menilai kinerja pamong desa tidak menggunakan kriteria modern (transparansi dan akuntabilitas), melainkan memakai kriteria tradisional dalam kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk beranjangsana. Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Proses intervensi negara ke desa dan integrasi desa ke negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya. Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai. Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal.

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di mata birokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada warga masyarakat. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga. Warga tidak punya ruang yang cukup untuk memberikan umpan balik dalam proses kebijakan desa. Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit-banyak bermasalah. Keuangan desa identik dengan keuangan kepala desa. Kecuali segelintir elite, warga masyarakat tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar keuangan desa yang diperoleh dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang tanah kas desa dikelola, dan seterusnya. Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan administratif. Lemahnya praktik-praktik demokrasi desa di atas dibungkus dalam kultur dan struktur kekuasaan desa yang paternalistikklientelistik. Kultur kepamongan yang klientelistik melekat betul pada pemerintah desa. Pamong desa berarti harus bisa menjadi pengayom, pelindung, panutan, teladan, murah hati, ringan tangan, dan seterusnya. Intikator kinerja menurut versi masyarakat itu tidak menjadi masalah sejauh tidak bersentuhan dengan masalah kekuasaan, kekayaan dan barang-barang publik. Tetapi berurusan dengan pemerintahan dan birokrasi negara, dimensi kekuasan dan kekayaan itu tidak bisa diabaikan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Pemerintah desa yang mengelola kekuasaan dan kekayaan dalam bingkai birokratisasi negara justru menyebabkan pergeseran makna pamong desa: dari pamong desa yang populis dan egaliter menjadi perangkat desa yang birokratis. Pamong tidak lagi berakar dan berpihak kepada masyarakat, melainkan telah menjadi tangan-tangan negara yang membenani dan mengendalikan masyarakat.

35


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

36

Kegagalan Pembangunan Desa Pembangunan adalah sebuah mantra dan ikon dominan Orde Baru yang dia gunakan untuk merajut legitimasi di hadapan rakyatnya. Melalui skema “pembangunan nasional�, negara menjadi aktor utama yang menanam investasi (kebijakan dan pendanaan) pembangunan desa secara besar-besaran, membuat perencanaan (master plan) pembangunan secara sentralistikteknokratis dengan format GBHN dan Repelita, serta menggunakan mesin birokrasi-militer yang besar untuk mengendalikan dan melaksanakan berbagai program pembangunan desa. Di atas kertas, investasi pembangunan desa mempunyai sederet tujuan yang sangat mulia: mendistribusikan layanan sosial, meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga desa dan sumberdaya manusia, mendorong swadaya dan gotong royong masyarakat, menanggulangi kemiskinan desa, membuka kesempatan kerja, meningkatkan taraf hidup masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan desa yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi memang telah menciptakan mobilitas sosial dan angkaangka statistik yang meningkat dan menggembirakan. Mobilitas sosial bisa kita ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa, perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat pendidikan, perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasarana transformasi penduduk desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern (televisi, motor, mobil, telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi). Dari data BPS dapat dicatat bahwa pembagian pendapatan antargolongan penduduk pada tahun 1990 cenderung membaik dibanding tahun 1978. Perbaikan dalam pembagian pendapatan antarkelompok penduduk ditunjukkan oleh menurunnya koefisien Gini dari 0,38 pada tahun 1978 menjadi 0,32 pada tahun 1990. Angka ini menggambarkan membaiknya pembagian pendapatan. Penyebab utama membaiknya pembagian pendapatan adalah meningkatnya persentase pendapatan yang diterima oleh

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

kelompok penduduk berpendapatan rendah terutama di daerah perdesaan yang merupakan daerah pemusatan penduduk miskin. Persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok penduduk berpendapatan rendah di daerah perdesaan naik dari 19,88% pada tahun 1978 menjadi 24,41% pada tahun 1990, dan 25,13% pada tahun 1993. Dengan demikian penduduk pedesaan turut menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun pada tahun 1996 dan 1999 yang mencerminkan sebelum dan pada saat dampak krisis ekonomi, indeks Gini meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini berarti kesenjangan antargolongan pendapatan cenderung meningkat terutama di daerah perkotaan. Faktor penyebab utama adalah menurunnya persentase pendapatan yang diterima oleh 40 persen kelompok berpendapatan rendah, dan meningkatnya persentase pendapatan yang diterima oleh 20 persen kelompok berpendapatan tinggi. Kondisi ini mencerminkan paradoks pembangunan. Di satu sisi berbagai hasil pembangunan telah dicapai sehingga jumlah penduduk miskin berkurang. Di sisi lain, kesenjangan cenderung meningkat sehingga perlu dipecahkan. Tantangan utama untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antargolongan penduduk adalah meningkatkan produktivitas dan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah, yaitu buruh tani, petani berlahan sempit, nelayan, buruh nelayan, perambah hutan, masyarakat terasing dan mereka yang putus sekolah, serta tenaga kerja dengan upah rendah di daerah perkotaan. Disamping itu perlu dilakukan penciptaan lapangan kerja baru, perluasan kesempatan kerja yang produktif, serta penentuan sistem pemberian imbalan/ upah yang layak. Dari hasil pendataan BPS tahun 1994 diketahui bahwa jumlah desa tertinggal tercatat 22.094 desa. Jumlah desa tertinggal yang berada di daerah perkotaan adalah 1.143 desa (16,4%) dan di daerah pedesaan 20.951 desa (35,8%). Persebaran desa tertinggal menurut pulau menunjukkan bahwa di Sumatera

37


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

38

terdapat 7.197 desa tertinggal, dan di Jawa 6.329 desa tertinggal. Jumlah desa tertinggal yang berada di Maluku dan Papua sebanyak 2.656 desa, dan Kalimantan sebanyak 2.537 desa. Sedangkan jumlah desa tertinggal di Bali, Nusa Tenggara dan Timor Timur sebanyak 1.158 desa, dan sebanyak 2.217 desa tertinggal terdapat di Sulawesi. Berbagai program pembangunan prasarana dan sarana perdesaan telah dilakukan sehingga jumlah desa tertinggal berkurang. Statistik pertanian 2003 juga memperlihatkan peningkatan jumlah rumah tangga petani dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta pada tahun 2003. Peningkatan yang sama juga terjadi pada populasi petani gurem (pemilik lahan kurang dari setengah hektar), yakni sejumlah 10,8 juta (1993) menjadi sejumlah 13,7 juta (2003). Angka 13,7 juta itu tersebar 74,9% di Jawa dan 25,1% di luar Jawa (Bustanul Arifin, 2005). Sejak 1980-an pemerintah sudah mencanangkan proyek swasembada beras, tetapi proyek ini menderita kegagalan, terbukti beberapa tahun terakhir Indonesia melakukan impor beras dari negeri-negeri lain. Banyak orang sedih, begitu ironisnya Indonesia, sebuah negeri agraris yang besar tetapi melakukan impor beras. Setiap hari kita mendengar jeritan petani tentang gagal panen, menurunnya harga gabah, serta meningkatnya harga bibit dan pupuk. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong pemilik modal. Kesenjangan antargolongan penduduk mempunyai kaitan erat dengan kesenjangan 足pengembangan kegiatan antarsektor ekonomi. Kantong kemiskinan sebagai pemusatan penduduk miskin umumnya di sektor pertanian sehingga pengembangan sektor pertanian sangat penting dalam penanggulangan kemiskinan. Dari segi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam menyerap tambahan angkatan kerja dalam jumlah yang cukup besar dan menampung penganggur akibat krisis ekonomi.

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian belum optimal yang disebabkan oleh ketidakmerataan investasi. Alokasi kredit perbankan berdasar足kan sektor kegiatan ekonomi menunjukkan bahwa pada tahun 1985 sektor pertanian memperoleh kredit sebesar 8% dari seluruh kredit, sektor industri 34%, sektor perdagangan sekitar 32%, sektor jasa 17%, dan sektorsektor lainnya sekitar 7%. Pada tahun 1995 alokasi kredit untuk sektor pertanian turun menjadi 6,62%, kredit sektor jasa 28,38%, sektor industri pengolahan menjadi 30,73%, dan selebihnya lainlain. Pada tahun 1998 dan 1999 dan 2000 alokasi kredit untuk sektor pertanian meningkat menjadi di atas 10%. Hal ini menyiratkan adanya kesadaran untuk membangun pertanian sebagai landasan pemulihan ekonomi. Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi fondasi yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa. Ketimpangan jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan. Mungkin argumen ini masih prematur, sehingga butuh penelitian yang lebih mendalam. Tetapi setidaknya kita bisa menunjukkan sederet bukti tentang lemahnya kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat desa. Setiap hari kita prihatin dengan balada yang menimpa para petani, mayoritas penghuni desa. Desa sudah lama tidak menjanjikan penghidupan yang berkelanjutan bagi penduduk. Kita tidak bisa menghitung lagi berapa besar penduduk desa yang tidak merasa at home di desa. Laju urbanisasi penduduk desa memadati kota-kota besar, sebagai pemasok buruh murah, pedagang kaki lima (sektor informal) atau menjadi kaum miskin kota. Hidup sebagian dari mereka di kotakota besar selalu tidak berdaya dan rentan karena setiap saat harus berhadapan dengan penggusuran. Hampir setiap pemerintah daerah (apalagi pemerintah DKI Jakarta) bersikeras melancarkan pengaturan untuk melakukan penggusuran terhadap para pedagang kaki lima maupun kaum miskin kota, karena dianggap menganggu keamanan, ketertiban dan keindahan kota.

39


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

40

Di tempat lain, setiap hari, kita juga prihatin dengan kondisi ribuan bahkan jutaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) – yang berasal dari desa — yang menjadi tenaga buruh murah di negeri-negeri lain. Kisah-kisah kekerasan (pemerkosaan, penyiksaaan, penindasan, penipuan, pemerasan, pengusiran dan lain-lain) terhadap TKI oleh majikan atau bahkan oleh petugas imigrasi maupun para preman, selalu kita dengar setiap hari. Ketika naskah ini ditulis, kita menyaksikan dengan telanjang betapa ganasnya pengusiran pemerintah Malaysia terhadap lebih dari seratus ribu TKI haram (ilegal). Sebagian dari mereka yang singgah di Batam, Kuala Tungkal atau Nunukan pun segera dihalau oleh petugas. Pemerintah betul-betul kedodoran dalam memberikan perlindungan terhadap TKI dan tunggang-langgang dalam berdiplomasi mengatasi masalah TKI. Kemiskinan kebijakan yang diderita pemerintah (tetapi para pejabatnya kaya-raya) paralel dengan kemiskinan yang diderita rakyat kebanyakan. Hingga saat ini kemiskinan masih terlihat di mana-mana, di desa, di kota, dan di lingkungan sekitar kita. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagai upaya pembangunan selama lebih dari dua dekade berhasil menekan persentase penduduk miskin menjadi 11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali meningkat setelah krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS, pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sekitar 15,6 juta orang berada di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di pedesaan. Pada tahun 2002 angka kemiskinan mengalami peningkatan, tercatat sejumlah 25,08 juta (21,1%) penduduk pedesaan yang tergolong sebagai kaum miskin. Di samping itu masih ada sekitar 25% penduduk Indonesia diperkirakan rentan terhadap kemiskinan. Hal ini berarti hampir separuh penduduk Indonesia dapat dikategorikan sebagai miskin atau rentan terhadap kemiskinan. Krisis ekonomi telah

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan, khususnya di sektor formal, industri dan konstruksi. Upah di perkotaan juga lambat dalam menyesuaikan kenaikan harga bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya karena adanya devaluasidan inflasi. Pemerintah memang menanam investasi dana yang besar untuk membiayai pembangunan desa, mulai dari Inpres Desa, Pengembangan Kawasan Terpadu, Inpres Desa Tertinggal, maupun proyek-proyek sektoral yang dikendalikan oleh semua departemen di Jakarta, kecuali Departemen Luar Negeri. Memang kita tidak bisa menghitung lagi berapa besar dana yang mengalir dari pemerintah, tetapi banyak orang, termasuk Profesor Mubyarto, sangat yakin bahwa dana pemerintah untuk kepentingan rakyat kecil jauh lebih kecil ketimbang dana rekapitalisasi perbankan selama krisis ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan kalkulasi statistik, Inpres Bandes selama 30 tahun tidak mencapai angka 3 trilyun rupiah padahal untuk menjangkau rakyat desa yang berjumlah 60% dari total penduduk Indonesia, sementara pemerintah mengucurkan hampir 1000 trilyun rupiah untuk keperluan rekapitalisasi perbankan. Ini memperlihatkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial, sekaligus menggambarkan betapa lemahnya komitmen politik pemerintah terhadap kaum marginal. Ketika Adi Sasono menjabat Menteri Koperasi dan UKM, tentu sangat paham tentang ketidakadilan itu, sehingga dia melahirkan kebijakan Kredit Usaha Tani (KUT) secara besar-besaran untuk mendukung petani. Tetapi kebanyakan ekonom neoklasik dan neoliberal mengecam keras bahwa kebijakan Adi Sasono yang pro petani itu merupakan kebijakan ugal-ugalan yang bisa mengganggu stabilitas makro ekonomi. Karena pengaruh kuat para ekonom neoklasik dan neoliberal, kebijakan ekonomi pemerintah yang pro rakyat miskin terlihat sangat lemah. “Pemerintah tidak bakal turun tangan kalau ada peternak lele yang bangkrut, tetapi pemerintah pasti campur tangan

41


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

42

serius pada kasus Texmaco�, demikian ungkap Suwarsono Muhammad, seorang ekonom kritis dari FE-UII Yogyakarta. Dalam konteks ekonomi nasional yang dikuasai oleh oligarkhi dan komprador, maka kebijakan pembangunan pedesaan tidak lebih dari sekadar “politik etis�, yang menempatkan desa sebagai obyek kebijakan dan tempat membuang bantuan. Berbagai proyek fisik berskala besar (transportasi, waduk, taman nasional, dan lain-lain) sering dilakukan tanpa konsultasi dengan rakyat setempat, sehingga menimbulkan masalah yang serius. Proyek Waduk Kedung Ombo, misalnya, telah memberikan keuntungan besar bagi pemodal maupun pejabat pemerintah, tetapi proyek itu mengharuskan penggusuran rakyat setempat tanpa memperhatikan ganti rugi yang manusiawi. Di sisi lain, pemerintah tidak ikut turun tangan serius terhadap agenda pembangunan yang masuk ke pemukiman penduduk desa. Pemerintah menyerahkannya sebagai domain swadaya dan gotong-royong masyarakat. Setiap pemerintah mengucurkan bantuan desa selalu diberikan pesan bahwa “bantuan� bukanlah komponen utama untuk pembiayaan pembangunan desa, melainkan sebagai dana stimulan untuk mendorong swadaya dan gotong-royong masyarakat setempat. Berbagai pihak, termasuk pemerintah, selalu menegaskan bahwa swadaya merupakan esensi dan basis otonomi asli desa. Saya setuju dengan pendapat ini, sebab sejak dulu swadaya menjadi pilar utama yang dimiliki desa sebagai self-governing community. Tetapi ketika negara dan pembangunan masuk ke desa, yang terjadi adalah eksploitasi terhadap swadaya untuk membangun sarana fisik desa, sebagaimana pemerintah kolonial Belanda menerapkan kerja rodi kepada penduduk setempat untuk membangun prasarana transportasi. Karena sudah ada swadaya, maka pemerintah tidak merasa perlu mengalokasikan anggaran yang memadai dan berkeadilan kepada desa. Anggaran negara lebih banyak digunakan untuk membiayai kebutuhan rutin birokrasi negara, membangun kota dan mensubsidi orang-orang kaya yang menguasai perusahaan-perusahaan besar.

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

Mengapa Gagal? Kita sudah lama mengenal pendekatan struktural untuk memahami kemiskinan, tetapi pendekatan yang terus-menerus disuarakan oleh akademisi kritis dan aktivis ini tidak ditransformasikan menjadi kebijakan. Menurut pendekatan struktural, rendahnya kesejahteraan-keadilan dan tingginya kemiskinan bisa dibaca dari konteks relasi antara negara, modal (kapital) dan masyarakat (termasuk kaum miskin). Kita bisa melihat secara kritis atas ketimpangan posisi dan peran para aktor itu dalam proses pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di level desa. Tabel 1 menggambarkan secara gamblang bagaimana ketimpangan posisi-peran para aktor (negara, kapital dan masyarakat) dalam proses transformasi ekonomi-politik (negaranisasi, pembangunan, kapitalisasi/industrialisasi dan transisidesentralisasi-demokratisasi). IRE (2005) memperlihatkan secara gamblang bagaimana terjadinya missink link antara tranformasi politik dan transformasi ekonomi, dalam konteks relasi antara negara, kapital dan masyarakat, sehingga tidak menimbulkan perubahan mendasar menuju kesejahteraan, kemandirian dan keadilan bagi masyarakat desa. Pertama, transformasi ekonomi (pembangunan dan kapitalisasi) berjalan secara cepat tanpa diimbangi dengan transformasi politik (desentralisasi dan demokratisasi). Ekonomi tumbuh semakin liberal (yang melibatkan modal dan pasar secara bebas), tetapi liberalisasi politik di sektor nagara dan masyarakat tidak terjadi.Di sektorpolitik, yangterjadi adalahrekayasa politik (melalui negaranisasi) untuk mengendalikan dan melemahkan masyarakat, sementara negara membuat kebijakan dan regulasi yang sangat menguntungkan pemodal. Kedua, proses transformasi ekonomi-politik didominasi oleh negara dan kapital, sementara masyarakat desa berada dalam posisi marginal. Semua hal masuk ke desa, baik negara maupun kapital, tetapi politik lokal tidak boleh masuk ke desa. Masyarakat hanya menjadi obyek negaranisasi oleh negara dan eksploitasi ekonomi

43


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

44

oleh kapital. Pemilik modal tumbuh menjadi aktor yang otonom, kuat dan mampu mengendalikan negara, setidak-tidaknya para pejabat negara yang berlaku sebagai komprador. Dengan kekuatan modal dan proteksi negara, pemilik modal bisa mengendalikan tanah dan penduduk desa. Negaranisasi telah membuat negara menjadi kuat dan mencengkeram masyarakat desa, tetapi kapasitas negara menjadi sangat lemah, terutama kapasitasnya dalam mengontrol modal dan melindungi masyarakat. Ketiga, karena ketimpangan peran aktor, dan sekaligus karena tidak adanya transformasi politik yang masuk ke desa, maka laju kapitalisasi di desa sama sekali tidak memberikan kontribusi terhadap penguatan basis ekonomi dan otonomi desa. Negaranisasi dan kapitalisasi hanya memperkaya pemilik modal, pejabat pemerintah dan elite desa. Keempat, di era reformasi juga terjadi missink link antara transformasi ekonomi dan transformasi politik (desentralisasi dan demokratisasi). Kapitalisasi desa tetap berjalan terus, tetapi era reformasi sekarang memperlihatkan kian melemahnya negaranisasi, serta melemahnya kapasitas negara (weak state), sekaligus bangkitnya desentralisasi dan demokratisasi yang mulai memperkuat desa dan masyarakat. Kelima, transformasi ekonomi melalui pembangunan tanpa governance reform atau transformasi politik (desentralisasi dan demokratisasi) tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tetapi juga membuat masyarakat desa (bahkan orang luar yang terdidik) pragmatis terhadap pembangunan dan konservatif terhadap politik. Pembangunan secara pragmatis dipahami sebagai pembangunan fisik dan ukuran-ukuran material, tanpa memperhatikan aspek martabat dan kedaulatan rakyat. Martabat dan kedaulatan mudah sekali digadaikan dengan uang. Sebagai contoh, ketika ada investor masuk desa, warga masyarakat mengatakan bakal memperoleh “rezeki besar� karena bisa menjual tanah dengan harga tinggi, tetapi ketika harapan ini tidak terpenuhi atau ketika kapitalisasi merugikan masyarakat, maka

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

mereka baru melakukan perlawanan. Seharusnya kontrol dan perlawanan ini dilakukan sejak awal sebelum kapitalisasi menggurita dan mendatangkan risiko buruk bagi masyarakat. Arus desentralisasi dan demokratisasi merupakan ciri khas utama perubahan politik di era reformasi, menyusul runtuhnya rezim Orde Baru. Demokratisasi telah membangkitkan demokrasi lokal serta menyebarkan euforia dan liberalisasi politik sampai ke level desa, sehingga mengurangi cengkeraman negaranisasi dan semakin memperkuat masyarakat. Desentralisasi juga membuka ruang otonomi lokal (daerah dan desa), sekaligus mengurangi dominasi pemerintah pusat dan memperkuat daerah. Tetapi arus desentralisasi dan demokratisasi belum mampu menjadi fondasi yang kokoh bagi demokrasi lokal, demokrasi ekonomi, perbaikan pelayanan publik, kemandirian masyarakat desa dan lain-lain. Formasi negara yang hirarkhis-sentralistikkorporatis mulai melemah, tetapi kapasitas (regulasi, kebijakan, maupun redistribusi sosial) justru sangat melemah atau sering disebut softstateatau weak state. Meski terjadikrisis, kapitalisasi tetap jalan terus, antara lain karena subsidi pemerintah terhadap pengusaha besar, tetapi mereka juga menghadapi ketidakpastian hukum dan risiko politik yang besar dalam mengembangkan investasi. Sementara percepatan laju liberalisasi politik tidak disertai dengan menguatnya kapasitas mengelola demokrasi, sehingga di banyak tempat muncul konflik horizontal berbasis politik identitas yang sempit. Mengapa arus desentralisasi dan demokratisasi masih rapuh? Banyak penjelasan yang bisa kita kemukakan. Pertama, terjadinya local capture terhadap demokrasi lokal dan otonomi daerah oleh oligarki elite. Banyak kebijakan daerah yang tidak berbasis partisipasi, sementara para elite lokal mendominasi proses politik, distribusi sumberdaya ekonomi, dan bahkan melakukan korupsi berjamaah. Menurut laporan Indonesian Corruption Watch (ICW), DPRD, Kepala Daerah dan birokrasi daerah merupakan tiga aktor pertama-utama yang melakukan korupsi terhadap

45


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

anggaran daerah. Kedua, pemerintah daerah tidak memahami makna otentik otonomi daerah untuk rakyat, melainkan justru tampil sebagai predator baru. Banyak daerah yang sangat sibuk berupaya meningkatkan PAD dengan cara meningkatkan obyek dan tarif pajak maupun retribusi daerah, tetapi upaya ini belum disertai dengan perbaikan pelayanan publik. Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), misalnya, sudah melaporkan lebih dari 1000 Perda “bermasalah” yang orientasinya untuk meningkatkan pajak dan retribusi daerah, tetapi justru menghambat dunia usaha dan merugikan kepentingan publik. Di banyak daerah warga masyarakat sangat mengeluh karena otonomi daerah justru diikuti dengan meningkatnya pungutan pajak dan retribusi yang semakin memberatkan. Tabel 1 Kaitan antara aktor dan proses transformasi ekonomi-politik desa

46

Aktor Transformasi

Negara

Kapital

Masyarakat Desa

Negaranisasi

Negara otoriter, birokratis, sentralistik, represif dan dominan

Kapital memperoleh keuntungan politik: lisensi, kepastian, keamanan, stabilitas.

Pembangunan

Negara dominan dalam perencanaan, implementasi dan mobilisasi.

Pemodal memperoleh kuntungan proyek dari skala kecil sampai besar

Kapitalisasi/ Industrialisasi

Negara menjual regulasi & lisensi serta melindungi pemilik kapital. Para komprador memperoleh keuntungan upeti.

Pemodal memperoleh keuntungan ekonomi dan politik yang sangat besar.

Transisi desentralisasi dan demokrasi

Negara membuka ruang desentralisasi dan demokratisasi. Tetapi kapasitas negara justeru tampak melemah.

Pemodal menghadapi ketidakpastian hukumpolitik dan tantangan dari masyarakat.

Masyarakat desa terpinggirkan. Desa mengalami krisis demokrasi dan otonomi Masyarakat adalah obyek penerima dan sering menjadi korban pembangunan. Swadaya dan gotong-royong dieksploitasi untuk mendukung pembangunan. Masyarakat hanya memperoleh trickle down effect dari kapitalisasi, tetapi terpinggirkan dan terjadi ketimpangan. Masyarakat memperoleh ruang politik yang kian terbuka. Tetapi transisi belum membawa transformasi ekonomipolitik secara mendasar.

Ketiga, otonomi daerah yang diterapkan bukan menjadi milik masyarakat daerah, melainkan hanya otonomi dalam

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

birokrasi (autonomy within bureuacracy). Implementasi dan tujuantujuan mulia desentralisasi, terutama perbaikan pelayanan publik, menghadapi kendala serius dari birokrasi pemerintah daerah. Birokrasi warisan Orde Baru ini patologis, terlalu besar, tidak rasional, inefisien, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak becus, dan seterusnya. Banyak pemeo tentang birokrasi yang muncul dari masyarakat: “birokrasi tidak bolehsalah, tetapiboleh bohong”, “birokrasi lebih banyak menghabiskan daripada menghasilkan”, “birokrasi selalu melakukan hal yang salah dengan cara yang benar”, dan lain-lain. Banyak bukti untuk menunjukkan pemeo itu. Secara individual gaji (kesejahteraan) pegawai memang rendah, tetapi secara makro sekitar 60%-70% anggaran negara maupun daerah digunakan untuk belanja rutin (terutama gaji) pegawai. Sisanya, sebesar 30%-40%, digunakan untuk alokasi proyek pembangunan yang sejak dulu selalu rawan dengan kebocoran dan praktik korupsi. Keempat, desentralisasi belum memberikan sentuhan yang lebih bermakna terhadap desa (sebagai basis kehidupan masyarakat akar rumput), sehingga desa tetap merana dan marginal. Desentralisasi di Indonesia berpusat dan berhenti di kabupaten/kota. Desa tidak memperoleh tempat yang terhormat dalam desentralisasi, meski secara historis desa merupakan selfgoverning community yang sangat tua sebelum NKRI lahir. Desa selalu menjadi medan tempur antara pendukung sentralisasi dengan pejuang desentralisasi dan otonomi desa. Pendukung sentralisasi (yang mencakup pemerintah pusat, kalangan nasionalis kolot, dan akademisi modernis-konservatif) selama ini memandang desa dengan sebelah mata, menjadikan desa sebagai obyek kebijakan dan pembangunan, atau secara kasar, desa adalah tempat membuang bantuan. Program bantuan pembangunan terus mengalir ke desa, tetapi kualitas hidup masyarakat desa tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Program itu hanya “proyek” berburu harta, bukan sebuah upaya pembaharuan secara berkelanjutan yang didasarkan pada

47


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

komitmen serius pada desa. Desa menjadi tempat tanpa harapan, tanpa usaha, tanpa menjanjikan penghidupan yang berbelanjutan. Orang desa tidak merasa at home tinggal di desa, melainkan berduyun-duyun (urbanisasi) ke kota untuk mencari sumber kehidupan yang menjanjikan. Dalam konstitusi, eksistensi desa tidak memperoleh pengakuan secara terhormat. Para pendukung sentralisasi selalu memberhalakan NKRI, dengan argumen ortodoks bahwa konstitusi tidak mengakui otonomi desa, bahwa desa merupakan bagian dari yurisdiksi kabupaten/kota. Otonomi desa, tutur mereka, justru akan menimbulkan masalah baru bagi otonomi daerah karena secara riil desa tidak punya sumberdaya, desa tidak siap. Argumen tentang NKRI mereka sebenarnya tidak bermakna dan menyebalkan. NKRI sering hanya digunakan untuk tameng sentralisasi, seraya menjadikan desa sebagai obyek. Berbagai kelemahan (kebodohan, keterbelakangan, ketertinggalan dan ketidaksiapan) yang melekat pada daerah dan desa selama ini sebenarnya akibat dari sentralisasi NKRI.

48

Bab 2 Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa “Saya tidak tahu paradigma pembangunan desa. Bikin pusing. Sekarang saya butuh kebijakan yang konkret dan mudah saya pahami�, demikian ungkap Sukro Harjono, seorang fungsionaris Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia, pada sebuah kesempatan. Paradigma memang membikin pusing dan sulit untuk dipahami oleh orang awam. Tetapi secara tidak sadar orang-orang desa mesti terkenda dampak paradigma yang didesain oleh pemerintah dalam melancarkan pembangunan desa. Bagaimanapun pembangunan desa bukan sekadar masalah teknisadministratif yang digerakkan oleh birokrasi bersama swadaya masyarakat, tetapi ia selalu dibimbing oleh paradigma. Bagaimana arah pembangunan desa, siapa yang terlibat dalam pembangunan desa, dan apa yang dikerahkan oleh pembangunan desa sungguh sangat ditentukan oleh pilihan paradigma. Jika kondisi desa mengalami marginalisasi, pemiskinan dan involusi tentu karena kekeliruan paradigma yang dipilih oleh pemerintah. Karena itu pembaharuan pembangunan desa tidak cukup hanya, misalnya, dengan cara memperbaiki perencanaan desa

49


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

secara partisipatif atau membuat tindakan konkret di aras lokal. Pembaharuan paradigma pembangunan desa sangat dibutuhkan dengan tujuan untuk memutus mata rantai marginalisasi, involusi dan pemiskinan desa. Paradigma merupakan kata kunci utama yang menjadi pandu arah pemikiran, tindakan dan kebijakan pemerintah terhadap pemerintahan dan pembangunan desa. Karena itu, kami menaruh concern pertama pada paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa, meski aspek tata kelola, sistem, komitmen, perilaku dan implementasi menjadi variabel vital yang tidak bisa diabaikan. Dalam konteks pemerintahan dan pembangunan desa, paradigma menjadi pandu arah dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan desa, posisi dan peran negara, posisi dan peran pemerintah daerah maupun desa, penempatan partisipasi masyarakat, skema pengelolaan sumberdaya lokal, dan seterusnya.

50

Review Paradigma Perjalanan selama empat puluh tahun terakhir, paradigma pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan desa tampaknya dipengaruhi oleh banyak sisi. Pertama, warisan kebijakan ekonomi-politik kolonial yang memadukan pendekatan dominatif, eksploitatif dan politik etis pada desa, sekaligus membiarkan “kerja rodi� pada orang desa. Kedua, warisan spirit sentralisme dan birokratisme dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, sumbangan berbagai aktor, mulai dari militer, ilmuwan-teknokrat sampai dengan lembaga-lembaga internasional terutama Bank Dunia. Militer tentu saja merupakan aktor utama yang merakayasa korporatisme negara dan “massa mengambang� sebagai bagian penting pencipataan stabilitas politik dan ketahanan wilayah. Para ilmuwan-teknokrat, yang umumnya berhaluan positivisme, ikut menyumbang proyek modernisasi desa, yang ternyata menghancurkan berbagai kearifan lokal dan ketahanan sosial. Sedangkan lembaga internasional, seperti Bank Dunia, mempunyai kontribusi besar mendesain

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

paradigma dan model pembangunan desa, seraya mengucurkan hutang luar negeri kepada pemerintah Indonesia. Mari kita cermati perjalanan paradigma dan model pembangunan desa di Indonesia selama 40 tahun terakhir yang didisain secara terpusat dan teknokratis oleh Bank Dunia. Selama 20 tahun (1970-an hingga 1990-an), Bank Dunia menerapkan model pembangunan desa terpadu (integrated rural development – IRD). IRD, yang dipengaruhi oleh modernisasi (developmentalisme), secara substantif mengusung beberapa keyakinan. Pertama, IRD berupaya memacu pertumbuhan ekonomi desa di sektor pertanian melalui Revolusi Hijau, yakni dengan cara menyediakan paket lintas sektoral sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman, dengan didukung oleh penyuluhan, pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek-proyek infrastruktur desa. Kedua, pembangunan dipimpin oleh negara (state led development). Negara berposisi kuat dan berperan aktif, tentu dengan model birokrasi yang hirarkhis dan terpusat, melancarkan pembangunan desa: perencanaan, pendanaan, pemberian bantuan, distribusi sosial dan lain-lain. Ketiga, transfer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju. Keempat, menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiaries). Kelima, otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan. Waktu itu justru ada keyakinan kuat bahwa otoritarianisme justru lebih cocok sebagai prasyarat dan prakondisi untuk melancarkan pertumbuhan ekonomi. Berbagai program pembangunan desa, baik sektoral maupun spasial, mengalir ke desa dengan dipimpin oleh negara (state led development). Pada awal tahun 1970-an, negara yang didukung oleh Bank Dunia maupun pendukung developmentalisme, menerapkan pembangunan desa terpadu (integrated rural development-IRD) untuk menjawab ketertinggalan, kebodohan maupun kemiskinan desa, sekaligus menciptakan wilayah dan penduduk desa yang modern dan maju. Sebagaimana dirumuskan oleh Bank Dunia, IRD mengambil strategi

51


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pertumbuhan dan berbasis-wilayah, terutama wilayah desa. Program IRD secara tipikal menekankan peningkatan produktivitas pertanian sebagai basis pendapatan orang desa, sekaligus mengedepankan kontribusi yang terpadu (sinergis) pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pelatihan dan perbaikan infrastruktur pedesaan. Program IRD ditempuh melalui pendekatan perencanaan terpusat (central planning) dengan tujuan agar keterpaduan berbagai sektor dapat tercapai. Dengan diilhami oleh IRD itu, pemerintah Orde Baru membuat cetak biru (master plan) pembangunan nasional secara terpusat, teknokratis dan holistik, yang dikemas dalam GBHN maupun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Master plan itu selalu mengedepankan dua sisi pembangunan, yakni sisi sektoral yang mencakup semua sektor kehidupan masyarakat dan sisi spatial/ruang yang mencakup pembangunan nasional, daerah dan desa. Dalam konteks ini pembangunan desa ditempatkan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, ia bukan sebagai bentuk local developmentapalagi sebagaiindigenous developmentyang memperhatikan berbagai kearifan lokal. Semua departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai program pembangunan yang masuk ke desa. Sebenarnya sudah hampir lengkap apa yang dilakukan negara, dan pengalaman yang sama sebenarnya juga ditempuh oleh negara-negara lain di belahan dunia. Sekarang pun pemerintah tidak pernah berhenti melancarkan proyek pembangunan desa. Ketika naskah buku ini ditulis, pemerintah mengucurkan dana kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 250 juta per desa per tahun kepada sejumlah 12.834 desa tertinggal untuk memperbaiki prasarana fisik. Karakter pembangunan desa yang terpadu, berbasis wilayah pedesaan dan dirancang secara terpusat sangat terlihat dalam pengertian pembangunan desa versi pemerintah. Departemen Dalam Negeri waktu itu merumuskan pembangunan desa sebagai berikut: 52

Pembangunan Desa adalah suatu usaha pembangunan dari masyarakat pada unit Pemerintahan yang terendah yang harus

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

dilaksanakan dandibina terus menerus, siste­matisdan terarah serta sebagai bagian penting dalam usaha yang menyeluruh. Agenda ini dibagi menjadi tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan Jangka Pendek: Untuk meningkatkan taraf penghidupan dan kehidupan rakyat khususnya di desa desa yang berarti mencipta­kan situasi dan kekuatan kekuatan dan kemampuan desa dalam suatu tingkat yang lebih kuat dan nyata dalam pembangunan pembangunan berikut-nya. Sedangkan Tujuan Jangka Panjang: Mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungannya dengan sasaran pembangunan masya­rakat desa, ditujukan untuk menaikkan produksi yang potensial yang dimiliki oleh desa, meningkatkan kesejahteraan dalam rangka pembangunan ekonomi. Kegiatan dan tindakan yang lebih intensif dan tera­rah daripada pembangunan masyarakat desa. Cara tersebut akan mewujudkan pula nilai ekonomi riil yang bebas di segala penghidupan dan penentu bagi suksesnya pembangunan nasional.

Para ilmuwan konservatif pun kemudian mengikuti garis pembangunan yang sentralistik dan berorientasi pada pertumbuhan itu. Pembangunan Desa, menurut para ilmuwan konservatif, adalah pembangunan yang dilaksana­kan di desa secara menyeluruh dan terpadu dengan imbalan yang serasi antara pemerintah dan masyarakat dimana pemerintah wajib memberikan bimbingan sedang masyarakat memberikan partisipasinya dalam bentuk swakarsa dan swadaya gotong royong masyarakat pada setiap tahap pembangunan yang diinginkan (C.S.T. Kansil, 1983 dan BN Marbun, 1988). Dengan demikian pembangunan desa terpadu juga ditempuh dengan pendekatan yang sinergis antara peran pemerintah (yang membuat perencanaan dan pendanaan secara sentralistik) dengan swadaya (bukan partisipasi) masyarakat. Peran pemerintah itu diwujudkan dengan menjalankan Inpres Bantuan Desa (Bandes), kemudian disusul dengan Inpres-inpres lainnya 53


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

54

seperti Inpres Daerah, SD, kesehatan, jalan, reboisasi dan lainlain. Pada tahun 1969, bantuan desa senilai 100 ribu rupiah dan meningkat terus sampai dengan 10 juta rupiah pada akhir-akhir hayat Orde Baru (1999), menyusul lahirnya desentralisasi melalui UU No. 22/1999. Bantuan desa tentu bukanlah treatment terhadap desentralisasi dan pemerintahan desa, melainkan sebagai solusi atas pembangunan desa. Pemberian bandes pada tahap pertama (Pelita I) berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 16/1969 tertanggal 26 Februari 1969, yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat bersama Mendagri dan Menteri Keuangan, serta di-update terus-menerus setiap tahun melalui Surat Menteri Dalam Negeri, sebagai petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pengelolaan bantuan pembangunan desa. Ketika Inpres Desa dilancarkan pertama kali, ada tiga argumen resmi yang melandasinya. Pertama, kondisi desa-desa di seluruh Indonesia sebelum dilaksanakannya Repelita sangat memprihatinkan, terutama keadaan prasarana desa yang meliputi prasarana produksi, perhubungan, pemasaran dan sosial yang jumlahnya sangat terbatas. Kedua, banyak masalah yang dihadapi oleh desa terutama di desa-desa pedalaman yang sulit komunikasinya, rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan, fasilitas kesehatan dan kebersihan yang tidak memadai, dan kelemahan dalam sosial budayanya, administrasi, rendahnya managemen dan pengawasan. Ketiga, sejarah telah membuktikan bahwa peranan masyarakat desa sangat besar dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Potensi swadaya gotong royong masyarakat desa yang sangat besar ternyata merupakan modal yang nyata dalam memelihara ketahanan nasional, sekaligus potensi yang perlu dirangsang untuk mensukseskan pembangunan. Semangat pertumbuhan dan pemerataan tercantum secara eksplisit dalam kerangka tujuan bantuan pembangunan desa. Pertama, mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa. Kedua, mengusahakan agar pemerintah desa dan semua lembaga yang

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

ada seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Musyawarah Desa (LMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan lembaga-lembaga lainnya dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan Lumbung Desa/Prekreditan Desa dengan mendorong swadaya masyarakat, yang selanjutnya untuk menanggulangi kerawanan pangan dan menunjang upaya pencapaian swasembada pangan serta mengatasi kelangkaan permodalan di desa. Keempat, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha ekonomi pedesaan ke arah kehidupan berkoperasi dalam rangka meningkatkan pendapatan. Kelima, meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat agar berpikir dinamis dan kreatif yang dapat menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat yang pada hakekatnya merupakan usaha ekonomi masyarakat pedesaan sehingga mampu berproduksi, mampu mengolah dan memasarkan hasil produksinya serta dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja di pedesaan. Tetapi rupanya tujuan bandes itu berubah-ubah dari tahun ke tahun. Sampai tahun 1980-an, tujuan penciptaan lapangan kerja di pedesaan masih sangat ditekankan, tetapi memasuki tahun 1990-an bersamaan dengan Program IDT (1994/1995) dan perubahan dari pembangunan desa menjadi pembangunan masyarakat desa, tujuan penciptaan lapangan kerja itu dihilangkan. Pada tahun 1997, muncul surat Mendagri No. 412.6/1237/SJ, yang mengedepankan beberapa tujuan bandes yang agak berbeda dengan tujuan-tujuan sebelumnya. Pertama, mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong serta untuk menumbuhkan kreativitas dan otoaktivitas masyarakat dalam pembangunan desa dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara optimal. Kedua, meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) baik aparat maupun masyarakat desa antara lain melalui kegiatan Latihan Pengembangan Pembangunan Desa Terpadu yang juga melatih KPD, serta memajukan dan mengembangkan peranan wanita

55


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

56

dalam pembangunan masyarakat desa. Ketiga, meningkatkan fungsi dan peranan kelembagaan masyarakat di desa yang mencakup LKMD dan LMD. Keempat, membangun, mengembangkan dan memeratakan serta memelihara prasarana dan sarana pendukung di pedesaan. Kelima, mengembangkan ekonomi rakyat di pedesaaan lewat pengembangan usaha ekonomi produktif dalam rangka peningkatan produksi dan pemasaran barang dan jasa masyarakat pedesaan. Mengapa terjadi pergeseran tujuan bandes dari 1980-an ke 1990-an? Apakah tujuan yang digariskan pada tahun 1970-an sampai 1980-an sudah membuahkan hasil secara optimal? Bagaimana proses, hasil dan manfaat program bandes yang sudah berjalan selama 30 tahun (1969 sampai 1999)? Apakah waktu 30 tahun tidak cukup untuk mendobrak transformasi desa secara mendasar menuju kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa? Serangkaian pertanyaan itu mungkin terlalu besar untuk diajukan. Bagaimanapun bandes adalah sebuah investasi pemerintah yang terlalu kecil bila dibandingkan dengan investasi pembangunan sektoral. Lagipula investasi yang masuk desa tidak hanya melalui pemerintah, tetapi juga melalui pemodal dengan skema industrialisasi maupun privatisasi. Oleh karena itu, ada begitu banyak variabel dan aktor yang sangat menentukan transformasi ekonomi-politik desa, termasuk menentukan jalan desa menuju kesejahteraan, keadilan dan kemandirian. Jika kesejahteraan, keadilan dan kemandirian sampai sekarang belum berpihak kepada desa, sementara pembangunan desa sudah dijalankan selama tiga dasawarsa, berarti investasi yang ditanam oleh pemerintah dan pemodal mengandung banyak kekeliruan, baik dari sisi perspektif, pendekatan, disain kebijakan, maupun implementasi di lapangan. Meskipun demikian, penilaian terhadap bandes bisa kita lakukan dengan memperhatikan aspek disain, tujuan, manfaat, dan hasil-hasilnya. Sejauh dokumen resmi dari Departemen Dalam Negeri yang kami pelajari, sampai sekarang belum ada dokumen evaluasi

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

terhadap program Bandes yang komprehensif, kritis dan mendalam. Pada tahun 1998, Ditjen PMD Depdagri bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi (UI, IPB, UNBRAW dan UNHAS) melakukan penelitian evaluasi terhadap kinerja dan dampak bantuan desa. Secara akademik banyak cerita dan data menarik yang dihasilkan oleh penelitian itu, tetapi hal itu tidak mencerminkan sebuah evaluasi yang komprehensif di seluruh daerah, melainkan hanya berbentuk penelitian yang mengambil beberapa daerah sampel. Orang sering bertanya, apakah hasil riset selalu menjadi pijakan bagi inovasi kebijakan, atau hanya menjadi dokumen administratif proyek yang memenuhi meja kerja birokrasi dan perguruan tinggi. Tampaknya Inpres bandes berjalan secara rutin seperti halnya mekanisme kerja birokrasi, dan secara berkala (karena tradisi Asal Bapak Senang yang tidak jujur) pihak pelaksana selalu menampilkan banyak cerita sukses di tingkat desa, terutama cerita mengenai prestasi menggalang swadaya masyarakat dan capaian proyek prasarana fisik yang bisa dilihat secara langsung dengan mata-kepala. Kita sering mendengar cerita sukses pembangunan desa yang dijalankan dan disiarkan oleh pemerintah. Setiap tahun, tepatnya tanggal 16 Agustus, presiden selalu menyampaikan pidato kenegaraan yang berisikan banyak cerita sukses program-program pembangunan, termasuk program pembangunan desa melalui Inpres Bandes. Meskipun ditemukan banyak kelemahan dan kegagalan, di setiap tahun pemerintah selalu menunjukkan sederet cerita sukses program bantuan desa, baik dari sisi manfaat dan hasilnya. Pemerintah menggambarkan volume keluaran proyekproyek bantuan desa yang digunakan untuk membangun berbagai prasarana: produksi (bendungan, irigasi, waduk, bronjong, dll); perhubungan (jalan, jembatan, gorong-gorong, dll); pemasaran (pasar, kios, lumbung, dll); sosial (gedung serba guna, lapangan, tempat ibadah, siskamling, dll). Seperti biasa pemerintah selalu menampilkan target-target kuantitatif yang fantastis. Pada tahun pertama (1969/70), ada sejumlah 86.009 volume proyek yang

57


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

58

dihasilkan, terdiri dari 38.778 volume proyek sarana produksi; 32.344 volume sarana perhubungan; 10.083 sarana pemasaran; dan 4.804 sarana sosial. Kalau jumlah desa pada tahun itu sebesar 44.478, berarti volume 4 (empat) jenis proyek itu belum menjangkau secara merata ke seluruh desa. Lonjakan volume proyek terjadi pada tahun 1982/83, yakni sejumlah 232.921 proyek. Angka ini barangkali sudah mampu menjangkau secara merata ke seluruh desa yang jumlahnya 64.650. Tetapi data yang pasti belum jelas, apakah setiap proyek mampu menjangkau ke setiap desa. Yang juga perlu dicermati, ternyata memasuki dekade 1980-an, sebagian besar proyek Inpres Desa dilarikan ke pembangunan atau peningkatan prasarana sosial (gedung serba guna, tempat ibadah dan poskamling), sementara proyek-proyek untuk pendukung peningkatan ekonomi produktif (prasarana produksi dan pemasaran) cenderung berkurang. Sejak 1986/87, sebagian dana bandes dialokasikan untuk mendukung sarana ekonomi seperti pengembangan simpan pinjam, dana bergulir dan koperasi. Semua ini merupakan bentuk “katup pengaman� di tingkat lokal dan pemerataan akses penduduk terhadap modal kecil. Inpres Desa telah berhasilberbagai sarana fisik desa yang bisa dilihat secara langsung dengan mata. Akan tetapi mengukur dampak bantuan Inpres pada berbagai tingkat pemerintah, termasuk desa, terasa lebih sulit, meski tidak disangsikan lagi peranan penting yang dimainkan bantuan ini dalam mewujudkan jaringan jalan yang lebih di pedesaan di seluruh pelosok Indonesia. Pihak swasta menyambut perbaikan ini dengan menyediakan alat yang murah dan cepat berupa bus mini atau dalam istilah populernya adalah Colt. Dibandingkan dengan jumlah bus yang hanya 20.000 pada tahun 1968, dan 200.000 jenis-jenis mobil lainnya, pada tahun 1985 jumlah bus di Indonesia mencapai 230.000 dan jumlah mobil penumpang hampir mencapai satu juta unit. Selain itu, jumlah truk dan mobil angkut yang lain mengalami kenaikan dari 93.000 menjadi 844.000. Jasa angkutan yang meningkat di berbagai tempat, sekaligus masuk ke pelosok desa, tentu menciptakan jalur

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

transportasi dan pemasaran yang lebih baik, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan para petani dan pedagang kecil di desa yang setiap hari mereka bisa memanfaatkan pasar yang ada (Nick Devas, dkk, 1989). Dalam setiap tahun pidato kenegaraan Presiden RI, ada tiga hal penting tentang manfaat dan hasil yang dipersembahkan oleh Inpres Desa. Pertama, Inpres Desa telah dapat mendorong berbagai jenis usaha swadaya dan gotong royong masyarakat, sehingga besarnya sumbangan swadaya dan bantuan pemerintah secara bersama-sama terus berkembang dalam mendukung pembangunan desa. Kedua, Inpres Desa telah mendukung peningkatan fungsi LMD, LKDM, PKK, dan juga KPD. Ketiga, Inpres Desa telah meningkatkan berbagai prasarana dan sarana desa, sehingga kemampuan berproduksi penduduk pedesaan meningkat, perhubungan dalam desa maupun antardesa semakin baik dan lancar, pemasaran hasil-hasil produksi semakin baik, dan pelayanan sosial semakin berkembang. Dengan kalimat lain, Inpres Desa telah memberikan sumbangan besar terhadap peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa. Jika laporan-laporan resmi selalu menunjukkan banyak cerita sukses yang luar biasa, banyak penelitian independen memperlihatkan analisis dan temuan-temuan kritis. Contohnya adalah penelitian independen tim Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Syah Kuala, Universitas Brawijaya (UNBRAW) dan Universitas Hasanuddin yang bekerjasama dengan Depdagri dan BAPPENAS, tahun 1998, setahun sebelum Inpres Desa berakhir. Tim penelitian UI dan Syah Kuala di Aceh, misalnya, mengambil sejumlah kesimpulan berdasarkan temuan di lapangan. Pelaksanaan Inpres Desa memang mempunyai sejumlah dampak positif: (1) memotivasi warga desa untuk melaksanakan pembangunan desa; (2) mempercepat laju pembangunan desa; (3) telah dapat dibangun prasarana dan sarana sosial-ekonomi secara lebih baik; (4) berkembangnya kapital (modal) milik desa; dan (5) pengembangan SDM lembaga

59


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

60

pemerintahan desa. Namun di balik cerita positif itu, Inpres Desa juga mengandung sejumlah dampak negatif. Pertama, tujuan peningkatan partisipasi belum tercapai sepenuhnya karena adanya kebijakan pemerintah atasan yang tidak memberikan iklim untuk pengembangan partisipasi. Kedua, pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan) Inpres Desa belum berjalan secara optimal. Pada tahap perencanaan, misalnya, kelemahan terlihat dari minimnya keterlibatan (partisipasi) masyarakat dalam menyusun Daftar Usulan Rencana Proyek (DURP). Ketiga, munculnya rasa kurang percaya warga desa terhadap pemerintah atasan karena adanya “potongan-potongan� atas dana Inpres secara liar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Keempat, terbukanya kesempatan bagi penguasa tingkat atasan untuk mengambil keuntungankeuntungan demi kepentingannya melalui pengadaan barangbarang tertentu yang didistribusikan secara seragam kepada desa. Kelima, melemahnya swadana masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan, karena adanya anggapan bahwa dana pembangunan sudah tersedia dari atas. Keenam, belum dapat meningkatkan pendapatan warga desa. Meski telah tersedia berbagai prasarana dan kapital desa, tetapi masih banyak warga desa yang hidup dalam keadaan miskin. Proyek pembangunan desa bukan sekadar proyek Inpres Bandes. Proyek sektoral lain dengan berbagai bentuk Inpres juga masuk ke ranah desa. Jika Inpres Bandes merupakan stimulan untuk memobilisasi swadaya masyarakat, berbagai proyek sektoral merupakan bentuk tanggungjawab negara secara langsung terhadap desa. Pemerintah mengalokasikan bantuan khusus yang ditangani secara terpusat dan langsung oleh departemen-departemen, yang di daerah dibantu oleh instansi vertikal (dekonsentrasi). Dana ini misalnya mencakup: Bantuan Inpres Sekolah Dasar; Bantuan Inpres Kesehatan; Bantuan Inpres Penghijauan dan Reboisasi; serta Bantuan Inpres Panjang Jalan dan Jembatan. Dana pertama dan kedua ini memang dimasukkan dalam ABPD (budgeter), tetapi

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

pemerintah daerah tidak mempunyai keleluasaan mengelola dana jenis kedua (spesific grant) karena mekanisme pengelolaan dana ini sudah ditentukan secara terpusat di Jakarta. Pemerintah melalui departemen melancarkan program-program pembangunan desa secara sektoral dengan skema perencanaan terpusat dan pendanaan sendiri dari pusat. Dana ini dikelola sendiri oleh departemen, yang tidak dimasukkan dalam APBD (nonbudgeter). Pemerintah daerah, desa dan masyarakat setempat hanya sebagai sebagai kelompok penerima manfaat program terpusat itu, bukan sebagai partisipan (subyek) yang menentukan sendiri arah dan kebutuhan pembangunan. Karena itu, program-program yang digerakkan oleh pusat ini sering tidak sesuai atau salah sasaran serta tidak menumbuhkan kepemilikan dan tanggungjawab lokal. Pemerintah juga menjalin kolaborasi secara bilateral maupun dengan lembagalembaga donor (misalnya Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia) untuk melancarkan pembangunan desa. Sebagai program kolaboratif, lembaga-lembaga atau negara pemberi utang tersebut juga terlibat secara langsung merumuskan blue print dan implementasi pembangunan desa di lapangan. Namun model IRD itu mengandung berbagai kelemahan dan menabur banyak kegagalan, meski pada umumnya wajah fisik desa-desa di Indonesia telah berubah lebih baik sejak 1970-an. Pertama, pola pembangunan yang sentralistik telah memperlemah kapasitas pemerintah daerah dan desa, sekaligus menciptakan ketergantungan desa dan daerah kepada pemerintah pusat. Kedua, pola modernisasi dan transfer teknologi secara seragam telah menumpulkan kreativitas lokal dan membunuh kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat desa. Ketiga, bersamaan dengan tatakelola pembangunan yang buruk (miskin transparansi dan akuntabilitas), pembangunan desa menciptakan tradisi “proyek�, rente dan korupsi dalam tubuh birokrasi. Keempat, pola pembangunan sungguh miskin semangat pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Kelima, otoritarianisme memang menciptakan stabilitas politik jangka pendek, tetapi hal itu telah

61


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

menumpulkan semangat kewargaan (hak dan kewajiban warga). Di sisi lain, meski ada keterpaduan antarsektor dalam pembangunan desa, tetapi secara konseptual dan empirik pembangunan desa tidak terkait dan tidak terpadu dengan pembangunan makro dan pembangunan perkotaan. Pemerintah lebih mengutamakan pembangunan perkotaan (urban bias) dan sektor industri untuk melakukan akumulasi kapital, sehingga pilihan ini menyebabkan desa kedodoran dengan pertumbuhan kota, menimbulkan arus urbanisasi secara besar-besaran, serta ketimpangan antara industri dan pertanian. Pertanian, yang menjadi basis penghidupan masyarakat desa, justru jauh tertinggal dibanding dengan industri, sementara industri yang dikembangkan tidak mempunyai linkage dengan pertanian. Kebijakan pembangunan yang bias industri-kota inipun sungguh mengabaikan aspek keberlanjutan dan kearifan lokal. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mencapai peningkatan kekayaan fisik jangka pendek tanpa pengelolaan untuk menopang dan memperbesar hasil hasil sumberdaya ini, dengan menimbulkan kehancuran lingkungan dan pengurasan basis sumber­daya alami secara cepat. Efisiensi satuan satuan produksi skala besar yang saling tergantung dan didasarkan pada perbedaan keuntungan internasional, dengan meninggalkan keanekaragaman dan daya adaptasi dari satuan satuan skala kecil yang diorganisasi guna mencapai swadaya lokal, sehingga menghasilkan perekonomian yang tidak efisien dalam hal energi, kurang daya adaptasi dan mudah mengalami gangguan yang serius karena kerusakan atau manipulasi politik dalam sistem itu.

62

Pembangunan Desa Berbasis Masyarakat? Kritik secaraparsial terhadap IRD sebenarnya telah bertebaran pada dekade 1980-an. Model pembangunan desa yang berpusat pada pertumbuhan yang sangat dominan pada dekade 1970-an, yang kemudian lahir model pembangunan yang bertumpu pada kebutuhan dasar. Kedua model ini ternyata gagal meningkatkan

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

keberdayaan rakyat desa, sehingga muncul model “Pembangunan Berpusat pada Rakyat (PBR) ke permukaan. Model ini merupakan koreksi total terhadap pendekatan “Pembangunan Berpusat pada Pertumbuhan” (PBP). David Korten (1988), misalnya, menyebut ciri ciri PBR sebagai berikut: (1) logika yang dominan dari paradigma ini adalah logika mengenai suatu ekologi manusia yang seimbang; (2) sumber daaya utama berupa sumber sumber daya informasi dan prakarsa kreatif yang tak habis habisnya; dan (3) tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Korten (1988: 374), paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan sebagai aktor “yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.” Sebagai konsekuensi lebih lanjut, pembangunan yang berpusat pada rakyat memberikan nilai yang sangat tinggi pada inisisatif lokal dan sistem sistem untuk mengorganisasi diri sendiri melalui satuan satuan organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas komunitas yang mandiri. Model pembangunan yang berpusat pada rakyat atau manusia punya perbedaan fundamental di dalam karakteritik dasarnya dibandingkan dengan strategi pertumbuhan atau strategi kebutuhan dasar yang selama ini mendominasi agenda pembangunan di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Moeljarto Tjokrowinoto (1987) juga memberikan deskripsi mengenai ciri ciri pembangunan yang berpusat pada rakyat (manusia) seperti di bawah ini: 

Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri. Meskipun pelbagai ketentuan secara formal telah mengatur bottom up planning, di dalam realitanya, LKMD lebih berfungsi sebagai implementor proyek proyek sektoral dan regional. Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber

63


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

64

sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apa yang terjadi pada saat ini, arus dana yang relatif lancar membatasi upaya untuk mengidentifikasi dan menggali sumber itu. Counter fund bantuan desa, dan akhir akhir ini “simpedes”, mungkin menuju ke arah identi­fikasi dan mobilisasi sumber tadi. Akan tetapi hal ini tidak boleh merupakan adhocracy, akan tetapi harus melembaga. Pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya flexible menyesuaikan dengan kondisi lokal. Di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses social learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses peren­canaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar. Proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat, satuan satuan organisasi tradisional yang mendiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengi­dentifikasi dan mengelola pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur verti­kal maupun horizontal. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara struktur struktur pembangunan di tingkat lokal.

Maka, dasar interpretasi pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok dan sumber paling strategis. Karena itu, pembangunan juga meliputi usaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensi manu­sia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memiliki dampak bagi mereka dan mencoba mempromosikan kekuatan manusia, bukan mengabadikan ketergantungan yang menciptakan hubungan antara birokrasi negara dengan masyarakat. Proposisi

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

itu mengindikasikan pula bahwa inti PBR adalah pemberdayaan (empowerment) yang mengarah pada kemandirian masyarakat desa umumnya. Penekanan pada pemberdayaan dan kemandirian ini dengan sendirinya dimensi partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam proses pembangunan desa. Melalui partisipasi itu kemampuan masyarakat dan perjuangan mereka untuk membangkitkan dan menopang pertumbuhan kolektif menjadi kuat. Tetapi partisipasi di sini bukan hanya berarti keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan atau masyarakat hanya ditempatkan sebagai “obyek”, melainkan harus diikuti keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan atau proses perencanaan pembangunan desa, atau masyarakat juga ditempatkan sebagai “subyek” utama yang harus menentukan jalannya pembangunan. Karena itu PBR menilai tinggi dan mempertimbangkan inisiatif dan perbedaan lokal. Pada tahun 1990-an muncul paradigma Penghidupan Desa Berkelanjutan. Paradigma Penghidupan Desa Berkelanjutan (sustanaible rural livelihood) memahami penghidupan masyarakat desa dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Penghidupan masyarakat adalah suatu kemampuan daya hidup yang dimiliki baik itu secara material dan sosial, yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Chambers, R. dan G. Conway (1992) mengungkapkan betapa pentingnya mengaitkan kepentingan penghidupan masyarakat dengan pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam tulisannya “Sustainable Rural Livelihoods: Practical Concepts for 21st Century”. Gagasan dalam tulisan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti di Institute of Development Studies menjadi lebih praktis di lapangan di sejumlah negara. Belakangan DFID (Department for International Development) tertarik untuk mengembangkan secara praktis dan menyebarluaskan

65


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

66

salah satunya dengan membuat buku petunjuk praktis mengenai Sustainable Livelihood Guidance Sheet. Dalam buku itu dikembangkan suatu kerangka memahami penghidupan berkelanjutan: bagaimana suatu kondisi penghidupan masyarakat rentan dapat ditransformasikan menuju berkelanjutan. Dengan mengkaji aset penghidupan yang secara diagramatis berbentuk pentagon mengisyaratkan bahwa aset itu tidak hanya berujud material fisik, namun juga aset sosial, finansial, natural maupun human, dalam hal ini manusia dan lingkungannya dipandang secara holistik. Konsep dasar pengembangan sustainable livelihood sebagai berikut. Pertama, masyarakat sebagai pusat semua kegiatan pembangunan (people-centered). Menempatkan masyarakat sebagai pusat kepentingan, berarti semua pemahaman, analisis dan proses perencanaan dan perubahan berangkat dari masyarakat sendiri. Kedua, pendekatan menyeluruh berangkat dari pemahaman dan kepentingan masyarakat (holistic). Berbagai faktor hambatan dan peluang perlu difahami dalam kontek pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar dapat dikembangkan nanti solusi maupun pengembangan oleh masyarakat pula. Ketiga, mengingat bahwa kehidupan itu dinamis, maka kita tidak dapat hanya memotret sesaat keadaan yang terjadi (dynamic). Karena itu pengembangan sustainable livelihood dipandang perlu diikuti prosesnya dan perubahan yang terjadi, sehingga penting untuk dikembangkan proses monitoring dan pembelajaran oleh masyarakat maupun pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan tersebut. Keempat, pendekatan ini lebih melihat bagaimana kekuatan dapat dibangun daripada menganalisis kebutuhan (building on strengthts). Kekuatan yang dibangun berarti pengakuan pada kemampuan masing-masing orang untuk berkembang dengan memperkuat jaringan sosialnya agar mampu secara individu maupun kolektif mengatasi permasalahan, menghilangkan kendala dan membangun potensi untuk mencapai tujuan. Kelima, adanya keterkaitan makro dan mikro dalam proses perubahan dan pengembangan (macro-micro link). Pendekatan

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

ini berupaya untuk menjembatani jurang teori dan praktek maupun kebijakan makro dan kegiatan mikro. Disini diperlukan pemahaman oleh individu dan komunitas mengenai apa yang terjadi dalam kontek makro yang mempengaruhi kehidupannya, dan demikian pula sebaliknya. Keenam, pendekatan ini memperhatikan kelangsungan dan keberlanjutan suatu proses dan hasil dalam suatu siklus yang diharapkan tidak terputus atau mengalami goncangan yang menyebabkan terjadi keruntuhan atau kemunduran. Proses dan hasil yang diharapkan adalah melakukan transformasi dari kondisi yang rentan menuju peningkatan yang berkelanjutan (sustainable). Bagaimana konsep dan pendekatan sustainable livelihood ini dapat dikembangkan di desa di Indonesia? Pendekatan ini sesungguhnya merupakan proses evolusi dari pembelajaran praktek pembangunan desa pada beberapa dekade lalu. Perubahan ini merupakan cara untuk memperbaiki pendekatan sebelumnya dan juga memberikan penajaman substansi bahwa masyarakat adalah pelaku utama pembangunan. Tabel berikut ini dapat menunjukkan bagaimana evolusi pendekatan pembangunan desa terpadu (integrated rural development – IRD) yang berkembang tahun dekade 1970an dan secara praktis banyak dikembangkan di Indonesia pada dekade 1980an, menjadi pendekatan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood – SL) yang muncul pada akhir dekade 1990an. Dalam praktek, perubahan pendekatan semacam ini sering tidak begitu terasa. Apa sesungguhnya beda antara keduanya dalam wujud fisik dan pembangunan materi yang terlihat. Tetapi bila dipahami sungguh besar perbedaannya dalam jiwa, sikap dan perilaku tata cara pembangunan. Pendekatan sustainable livelihood melihat kompleksitas aset individu dan komunitas di desa, demikian pula melihat bagaimana dinamika terjadi dalam proses perubahan dan transformasi. Bisa jadi satu individu atau kelompok masyarakat merespon lebih cepat dibanding yang lain, oleh karena itu keberagaman

67


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

68

kegiatan yang berbasis pada penguatan masing-masing karakter menjadi penting. Oleh karena itu pendampingannya dilakukan dengan membangun kekuatan individu dan kelompok guna mengembangkan potensinya, dan dengan demikian mampu untuk mengatasi masalahnya sendiri dan mengembangkannya untuk mencapai tujuan. Dibandingkan pendekatan pembanguna desa terpadu yang memfokuskan pada analisis struktur dan wilayah, maka pendekatan penghidupan berkelanjutan lebih berbasis pada masyarakat dengan segala kekuatan dan keterbatasannya. IRD lebih menggarap “transformasi desa” dengan membangun infrastruktur dan ekonomi yang banyak dirancang oleh kebijakan makro pemerintah, sedangkan SL bertumpu pada “transformasi masyarakat” dengan memperkuat kemampuan masyarakat mengelola aset penghidupannya agar dapat ditransformasi olehnya. Perubahan mikro di desa dapat mempengaruhi perubahan makro, demikian pula sebaliknya. Respon terhadap krisis makro ekonomi, telah direspon dengan oleh masyarakat desa dengan berbagai macam cara dan proses yang beragam. Seperti uraian pendahuluan diatas, kiranya menarik untuk dilakukan kajian dan tindakan pengembangan masyarakat dengan menggunakan pendekatan sustainable livelihoodini. Pada saat yang sama, Bank Dunia juga melakukan otokritik dan revisi terhadap IRD, yang kemudian melahirkan pembangunan desa berbasis masyarakat (community based rural development - CBRD). CBRD mengusung beberapa keyakinan. Pertama, belajar dari program bantuan (utang) yang sarat dengan korupsi birokrasi pada tahun-tahun sebelumnya, Bank Dunia mendisain tentang minimalisasi negara dalam pelaksanaan pembangunan desa. Ini berbeda dengan state led development sebelumnya. Kedua, CBRD menekankan partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan program. Masyarakat yang merancang kebutuhan sendiri, sedangkan negara bertugas

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

sebagai fasilitator dan administrator. Ketiga, CBRD memberi ruang keterlibatan (involvement) unsur-unsur masyarakat sipil seperti NGOs maupun konsultan pembangunan dalam pelaksanaan. Ini yang sering disebut dengan liberalisasi sektor ketiga. Keempat, CBRD juga mengundang elemen swasta untuk terlibat melaksanakan proyek-proyek pembangunan desa. Kelima, CBRD mengusung model kemitraan antarsektor atau antaraktor dalam pengelolaan pembangunan desa. Kelima, CBRD memasukkan unsur-unsur good governance (transparansi, akuntabilitas dan partisipasi) sebagai spirit dan kerangka kerja pembangunan desa. Bagaimana berbagai cara pandang baru itu diterapkan di Indonesia? Memasuki tahun 1990-an, pemerintah telah mengubah ikon “pembangunan desa” menjadi “pembangunan masyarakat desa”, lalu di era reformasi memunculkan ikon baru tentang “pemberdayaan masyarakat desa”. Perubahan ini juga diikuti dengan perubahan nomenklatur sebuah Direktorat Jenderal di Depdagri, dari Ditjen Pembangunan Desa menjadi Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa, dan yang terakhir menjadi Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Perubahan ikon dan nomenkltatur kelembagaan memang sedikit-banyakdisertai dengan perubahan carapandang. Ikon bangdes yang digunakan sampai dekade 1980-an lebih mengutamakan pembangunan desa sebagai wilayah dan unit adminitratif, tetapi setelah berubah menjadi pembangunan masyarakat desa, fokus pembangunan ditujukan pada manusia, masyarakat dan institusi desa. Sejak dekade 1990-an, pembangunan masyarakat desa juga diarahkan untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) desa, baik pemerintah desa, lembaga-lembaga desa, maupun elemen-elemen masyarakat desa. Pada saat yang sama, tepatnya mulai 1993, muncul kebijakan baru di bidang pengentasan kemiskinan melalui Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), yang titik pandangnya berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang sepenuhnya dikendalikan birokrasi dan menganggap masyarakat bodoh. Karena itu, semangat IDT memang sedikit-banyak dipengaruhi oleh semangat pemberdayaan

69


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

70

manusia. Pada prinsipnya di dalam Inpres Desa Tertinggal itu terkandung tiga pengertian dasar, yaitu: (1) sebagai pemicu gerakan nasional penanggulangan kemiskinan; (2) sebagai strategi dalam peningkatan pemerataan melalui pembangunan sumberdaya manusia di pedesaan; dan (3) sebagai upaya konkret mengembangkan usaha usaha ekonomi rakyat dengan pemberian bantuan berupa modal kerja sebesar Rp 20 juta untuk setiap desa tertinggal (Mubyarto, 1994). Bantuan modal tersebut direncanakan diberi­kan tiga tahun berturut turut dengan harapan setelah tiga tahun, melalui bimbingan dan pembinaan khusus, sehingga diharapkan masyarakat desa tertinggal dapat mencapai tahap kemandirian di masa yang akan datang. Sasaran IDT adalah meningkatnya partisipasi dan produktivitas penduduk miskin dalam pembangunan Nasional. Sasaran semacam ini dicapai melalui berbagai kegiatan untuk mengembangkan dan memperkuat kemampuan penduduk miskin dalam meningkatkan taraf hidupnya. Kegiatan utamanya adalah peningkatan kemampuan penduduk miskin, yang antara lain berupa akses terhadap permodalan dan pasar, penguasaan teknologi, dan pengelolaan usah produktif. Selain itu dilakukan juga perbaikan kondisi fisik pedesaan melalui koordinasi pelaksanaan berbagai program pembangunan sektoral, sehingga tercipta kondisi yang menjamin kelangsungan upaya penggulangan kemiskinan. Pelaksanaan program IDT mencakup lima aspek yaitu pengembangan sumber daya manusia, penyediaan modal kerja, penciptaan peluang dan kesempatan berusaha, pengembangan kelembagaan penduduk miskin, dan sistem pelayanan kepada penduduk miskin yang sederhana dan efisien. Kelima aspek tersebut tidak saja berpengaruh terhadap kelang­sungan upaya pengentasan kemiskinan, tetapi juga merupakan faktor penentu tingkat manfaat dan dampak program IDT terhadap penigkatan kesejahteraaan penduduk miskin. Bagaimana implementasi dan capaian-capaian pembangunan masyarakat desa (PMD) dan program IDT? Meski

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

PMD mengusung cara pandang baru, tetapi implementasi di lapangan tetap sama saja. Pembangunan desa, sampai sekarang, masih tetap dimaknai dan dipraktikkan sebagai proyek pengadaan dan perbaikan sarana fisik, bukan pembangunan masyarakat atau manusia. “Membangun fisik” sampai sekarang telah mendarah daging sebagai cara pandang dan kultur pembangunan di kalangan masyarakat. Kalau ada mahasiswa KKN datang ke desa, misalnya, maka para elite desa sudah membuat daftar pembangunan fisik yang bisa dikerjasamakan dengan mahasiswa KKN. Mahasiswa KKN betul-betul dikerjain oleh elite desa, karena mereka mengganggap bahwa KKN harus meninggalkan “kenangan” baik dalam bentuk plangisasi, neonisasi, jalan, gapura, dan lain-lain. Di sisi lain, meski paradigma pembangunan desa di atas kertas sudah berubah, tetapi struktur dan kultur (sikap dan perilaku) birokrasi belum berubah. Budaya proyek dan korupsi tetap mewabah dalam birokrasi yang menghancurkan cita-cita ideal sebuah kebijakan, termasuk program IDT. Budaya itu ternyata juga direproduksi di masyarakat. Masyarakat memperoleh kesempatan “menjarah” kalau ada dana yang langsung ke orang per orang. Kondisi local capture inilah yang menjadi salah satu penyebab gagalnya program IDT. Di masyarakat, sampai-sampai IDT diplesetkan menjadi Iki Duit Turahan (Ini Uang Sisa), yang artinya dana IDT itu dijarah habis-habisan oleh penggunanya tanpa bisa dipertanggungjawabkan, sebagaimana dana Kredit Usaha Tani (KUT) yang dilancarkan pada masa pemerintahan Habibie. Akhirnya bisa dikatakan, sebagus apapun konsep, paradigma, kebijakan dan program, tetapi kalau komitmen politiknya sangat lemah serta tradisi penyerobotan (capture) masih terpelihara di kalangan birokrasi dan masyarakat, maka semuanya mesti amburadul. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan aplikasi CBRD yang dijalankan oleh kerjasama pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia. Bank Dunia terlibat secara dominatif mendisain rancang-bangun PPK sekaligus mendanai proyek besar

71


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

itu dengan skema utang (bukan grant). Berbeda dengan model bantuan pembangunan sebelumnya, PPK mengalokasikan dana sekitar Rp 1 milyar per kecamatan atau sekitar Rp 80 juta hingga Rp 100 juta per desa dalam wilayah kecamatan itu. Dana itu dialokasikan langsung ke level desa dan ke masyarakat, dengan dukungan para fasilitator yang diambil dari praktisi NGOs (bukan NGOs secara kelembagaan) maupun praktisi pembangunan. Di masing-masing level pemerintahan dibentuk sekretariat bersama antara pemerintah dan Bank Dunia, yang bertugas melakukan fasilitasi, supevisi, dan administrasi.Peran negara, termasuk dalam hal ini adalah pemerintah daerah, tidak terlalu besar. Peran yang lebih besar justru dimainkan oleh para konsultan provinsi, konsultan kabupaten, fasilitator kecamatan dan fasilitator desa, dimana mereka ditempatkan sebagai “tukang” oleh Bank Dunia untuk menjalankan tugas-tugas lapangan. CBRD dengan skema PPK memang lebih maju ketimbang model bantuan pembangunan sebelumnya. Tetapi PPK sebegitu jauh meminggirkan negara dan tidak dipadukan dengan agenda desentralisasi maupun perencanaan daerah. Bahkan sering muncul kritik bahwa PPK itu ibarat menarik “sapi kurus” dengan “tali besar”, mengingat dana operasional untuk administrasi dan fasilitasi sangat besar bila dibandingkan dengan dana program untuk masyarakat.

72

Pembangunan Desa Berkelanjutan State led development model Orde Baru maupun minimalist state ala CBRD yang sekarang tentu bukanlah pilihan yang tepat untuk membingkai pembangunan desa. Dalam konteks ini hendak mengusung model pembangunan desa berkelanjutan (sustainable rural development – SRD) yang dipadukan dengan regional rural development (RRD) atau decentralized rural development (DRD). SRD berupaya mengubah arah dan tujuan pembangunan desa, sedangkan RRD berupaya memperbaharui tatakelola pem-bangunan desa yang sentralistik menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi.

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

Mainstream pembangunan desa yang selama ini berkembang terutama terfokus pada penanggulangan (pengurangan) kemiskinan melalui penyediaan infrastruktur fisik, peningkatan pertumbuhan melalui produksi pertanian dan penyediaan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan). Dalam konteks ini, kami tegaskan bahwa pembangunan desa lebih dari sekadar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa. Menurut Andrew Shepherd (1998), pembangunan desa merupakan upaya perbaikan kesempatan dan kualitas hidup (weSll-being) individu maupun rumah tangga , khususnya rakyat miskin di desa yang tertinggal jauh akibat proses pertumbuhan ekonomi. Mengikuti paradigma sustainable livelihood, pembangunan desa sebenarnya merupakan proses mengubah penghidupan masyarakat desa dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Penghidupan masyarakat adalah suatu kemampuan daya hidup yang dimiliki baik itu secara material dan sosial, yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembangunan desa bersifat multidimensional: mengarah pada perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagi rakyat desa menggali pendapatan dan pembangunan ekonomi desa, perbaikan infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosial dan keamanan fisik komunitas warga desa, memperkuat kapasitas desa mengelola pemerintahan dan pembangunan, membuat demokrasi dalam proses politik di desa, serta mengatasi kerentanan (sosial, ekonomi dan politik) masyarakat desa. Konsep ini menaruh perhatian pada proses memfasilitasi perubahan di komunitas desa yang memungkinkan rakyat miskin di desa memperoleh lebih, meningkatkan investasi bagi dirinya sendiri dan komunitasnya, meningkatkan kepemilikan rakyat desa merawat infrastruktur dan lain-lain.

73


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

74

Tentu pembangunan desa tidak bekerja dalam ruang yang hampa politik. Komitmen, perencanaan, pendanaan maupun partisipasi merupakan pilihan dan sekaligus proses politik. Karena itu, pembangunan desa tidak hanya mencakup aspek ekonomi dan layanan sosial, tetapi juga mencakup aspek politik. Bagaimana dimensi politik bekerja dalam konteks pembangunan desa? Belajar dari banyak literatur maupun pengalaman di banyak negara, pembangunan desa (yang mencakup dimensi sosial, ekonomi dan politik) mengarah pada sejumlah agenda strategis: a . Membangun infstruktur fisik desa, yang mencakup jalan, irigasi, listrik, jaringan komunikasi, air dan sanitasi, perumahan desa. Infrastuktur desa ini merupakan fasilitas publik paling dasar yang memungkinkan warga desa melakukan mobilisasi fisik, menjalin komunikasi, mengairi lahan, menjalin transaksi ekonomi, menikmati hidup sehat dan nyaman. b. Membangun keberlanjutan sosial(social sustainability), yakni membangun keamanan dan ketahanan sosial warga dan komunitas desa dari berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum yang membuat kerentanan bagi mereka. Selama ini warga desa sangat rentan dengan banyak hal: eksploitasi tengkulak, penipuan tenaga kerja, lemahnya kepastian hukum mengenai kepemilikan tanah, peredaran narkoba, sengketa tanah, eksploitasi terhadap anak dan perempuan, serangan penyakit menular, putus sekolah, buta huruf, kematian ibu dan bayi, konflik sosial, dan seterusnya. Pembangunan sosial desa tentu harus mencakup aspek-aspek ini. Bagaimanapun keamanan dan ketahanan sosial merupakan prakondisi bagi pembangunan sosial dan ekonomi di desa. Dalam konteks ini, membangun keberlanjutan sosial mencakup:  pemberian jaminan hak-hak bagi anak dan perempuan;  kepastian hukum mengenai pemilikan tanah, perlindungan terhadap kelompok-kelompok lemah

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

(lansia, penyandang cacat, buruh tani, anak yatim piatu, dan lain-lain), Pelayanan kesehatan desa (pengurangan kematian ibu dan bayi, pengurangan penyakit menular, penyediaan layanan kesehatan, kemudahan akses terhadap layanan kesehatan, dan lain-lain). Pelayanan pendidikan (penyediaan fasilitas pendidikan, wajib belajar, kemudahan askes pendidikan, pengurangan buta huruf dan anak putus sekolah, dan lain-lain). Akses informasi warga terhadap hukum dan layanan sosial.

c . Membangun ekonomi dan penghidupan desa, yang mencakup penyediaan lapangan pekerjaan dan menggali pendapatan masyarakat dengan memanfaatkan aset-aset desa maupun bantuan pendanaan dari pihak luar desa (pemerintah, bank, NGO, pengusaha, dan lain-lain). Sasaran ini antara lain mencakup: Pengembangan ekonomi desa: pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, pariwisata, industri desa, dan lainlain.  Pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah desa.  Penyediaan pasar desa.  Pemberian layanan bagi kelompok tani kecil.  Pengelolaan sumberdaya alam bersama masyarakat setempat.  Optimalisasi pengelohan dan pemasaran hasil-hasil pertanian.  Dukungan finansial bagi usaha desa, kelompok tani, perempuan, dll.  Pelibatan kelompok-kelompok atau organisasi masyarakat dalam menggarap proyek-proyek desa berskala kecil. d. Membangun demokratisasi desa. Ini merupakan aspek politik dalam pembangunan desa, yang mencakup upaya-upaya mememperkuat akuntabilitas pemimpin desa, transparansi 

75


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pengelolaan kebijakan dan anggaran desa, responsivitas pemimpin dan kebijakan desa, serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pembangunan. Demokratisasi dimaksudkan untuk mencegah dominasi elite desa dalam pembuatan keputusan maupun penguasaan sumberdaya lokal, mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan berbagai lapisan masyarakat (terutama kelompok-kelompok marginal) ke dalam kebijakan pembangunan desa, serta mengkondisikan pengelolaan pembangunan yang lebih adil dan merata. Tanpa ada demokrasi, maka yang terjadi adalah dominasi elite, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, marginalisasi kelompokkelompok yang lemah, ketidakadilan dan seterusnya. Pengalaman di desa selama ini memperlihatkan fenomena ini dengan jelas, sehingga demokratisasi merupakan political space yang harus dibangun di desa. Beberapa aspek demokratisasiantara lain:  

 

  

76

Pemilihan kepala desa secara langsung. Keberadaan wadah perwakilan rakyat desa yang dipilih secara demokratis dan yang bekerja secara akuntabel, aspiratifdanrepresentatif. Penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan, termasuk dalam perencanaan anggaran desa. Terbukanya ruang publik di desa. Akses informasi. Tersedianya organisasi-organisasi atau forum-forum warga sebagai wadah untuk partisipasi.

e . Membangun kapasitas institusional desa dalam perencanaan dan pelaksanaan. Kapasitas lokal merupakan tujuan dan sekaligusprakondisi desentralisasidari pusatke lokal.Di satu sisi, desentralisasi berupaya memperkuat prakarsa dan

Balada Eksploitasi & Marginalisasi Desa

kapasitas lokal sehingga bisa menopang kemandirian lokal, dan di sisi lain, otonomi lokal akan berjalan dengan baik dan mencapai keberhasilan apabila ditopang dengan kapasitas lokal dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Dalam konteks ini ada sejumlah kapasitas institusional desa yang perlu diperkuat dalam rangka pembangunan desa. Pertama, kapasitas regulasi (mengatur). Kapasitas regulasi adalah kemampuan desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan peraturan desa, berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Pengaturan bukan semata-mata bertujuan untuk mengambil sesuatu (melakukan pungutan), tetapi begitu banyak pengaturan yang berorientasi pada pembatasan kesewenangwenangan, perlindungan, pelesatarian, pembagian sumberdaya (jabatan desa, kekayaan desa, pelayanan publik), pengembangan potensi desa, penyelesaian sengketa, dan seterusnya. Berbagai macam peraturan desa pada prinsipnya dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keseimbangan, keadilan, keberlanjutan dan lain-lain. Kedua, kapasitas ekstraksi. Kapasitas ekstraksi adalah kemampuan mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintah dan warga masyarakat desa. Paling tidak, ada enam aset yang dimiliki desa: (a) Aset fisik (kantor desa, balai dusun, jalan desa, sarana irigasi, dll);(b) Aset alam (tanah, sawah, hutan, perkebunan, ladang, kolam, dll); (c) Aset manusia (penduduk, SDM); (d) Aset sosial (kerukunan warga, lembaga-lembaga sosial, gotong-royong, lumbung desa, arisan, dll); (e) Aset keuangan (tanah kas desa, bantuan dari kabupaten, KUD, BUMDes dan (f) Aset politik (lembagalembaga desa, kepemimpinan, forum warga, BPD, rencana strategis desa, peraturan desa, dll). Untuk meningkatkan kemampuan ekstraksi ini memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit. Yang jelas tidak semuanya padat modal,

77


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

78

atau butuh dana besar. Umumnya langkah awal peningkatan kemampuan ekstraksi dimulai dengan analisis potensi desa (termasuk pemetaan tata ruang desa) yang kemudian dirumuskan menjadi rencana strategis desa. Rencana strategis mencakup tentang visi desa, yang kemudian dijabarkan menjadi rangkaian kebijakan, program dan kegiatan. Seorang Lurah Desa yang diberi mandat selama lima tahun memang bukan semata-mata untuk membangun praja tetapi menghadapi tantangan yang berat, yaitu bagaimana dan kemana desa akan dibawa selama lima tahun? Apakah Pak Lurah sudah cukup puas karena bersedia memberikan pelayanan kepada masyarakat nonstop selama 24 jam, atau sudah sangat puas karena peranannya sebagai “ujung tombak� dan “ujung tombok�? Tentu saja tidak. Termasuk dalam kapasitas ekstraksi adalah kemampuan pemimpin, terutama kepala desa, melakukan konsolidasi (merapatkan barisan) terhadap berbagai aktor, baik BPD, lembaga desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat. Kalau Lurah Desa dan BPD masih saja ribut, maka tidak bakal membawa pemerintahan dan pembangunan secara efektif, apalagi membawa visi-misi besar desa. Karena itu berbagai unsur desa itu harus membangun kesepahaman, keterbukaan, kemitraan, kebersamaan, saling mengisi untuk mengawal visimisi desa jangka panjang. Ketiga, kapasitas distributif. Kapasitas distributif adalah kemampuan pemerintah desa membagi sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah kemampuan pemerintah desa merancang APBDES, terutama dalam hal pengeluaran (alokasi). Umumnya pemerintah desa mempunyai kapasitas distributif yang masih sangat lemah, karena sebagian besar alokasi keuangan desa digunakan untuk belanja rutin perangkat desa, sementara dana pembangunan masih sangat minim. Sudah minim, itu pun lebih banyak dialokasikan

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

untuk pembangunan fisik, sementara yang untuk alokasi ekonomi produktif sangat terbatas. Keempat, kapasitas responsif. Kapasitas responsif adalah kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa. Kemampuan ini harus ditempa terus, sebab selama ini agenda perencanaan pembangunan desa cenderung berangkat dari kepentingan elite desa. Kelima,kapasitas jaringandan kerjasama.Kapasitas jaringan adalah kemampuan pemerintah dan warga masyarakat desa mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraktif. Asosiasi kepala desa atau forum BPD, misalnya, bisa digunakan sebagai wadah untuk membangun kerjasama antardesa. Demikian juga kerjasama dengan perguruan tinggi maupun LSM. f. Membangun modal sosial masyarakat desa. Modal sosial sering dipahami sebagai struktur (organisasi lokal atau wadah) untuk mengembangkan norma-norma sosial (kerjasama, kepercayaan, solidaritas, swadaya, dan lain-lain) bagi masyarakat. Pembangunan desa tentu harus diorientasikan juga untuk mengembangkan modal sosial ini, sebagai basis partisipasi dan kemandirian masyarakat desa. Mengapa? Pertama, negara tidak mungkin mampu menyediakan seluruh layanan sosial kepada seluruh warga masyarakat karena keterbatasan dan kelangkaan. Kedua, sebagai self-governing community desa sudah lama memiliki kekuatan modal sosial, misalnya dalam bentuk organisasi lokal, gotong-royong maupun swadaya masyarakat untuk menopang dan bahkan membiayai urusan-urusan publik yang tidak dijangkau negara. Karena itu upaya membangun modal sosial desa mencakup beberapa hal penting: ď ľ Keberadaan organisasi-organisasi lokal desa yang bekerja secara efektif sebagai wadah kerjasama dan partisipasi

79


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

masyarakat desa. Bekerjanya gotong-royong dan swadaya masyarakat desa. Dengan demikian, pembangunan desa tidak hanya sekadar merubah wajah fisik desa, tetapi juga harus mampu emberdayakan organisasi-organisasi lokal desa dan memperkuat tradisi gotong-royong dan swadaya masyarakat desa.

SRD dan RRD secara umum mengusung beberapa keyakinan: (a) Pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan; (b) Proses keterlibatan warga yang marginal dalam pengambilan keputusan; (c) menonjolkan nilai-nilai kebebasan, otonomi, harga diri; (d) negara membuat lingkungan yang memungkinkan; (e) pengembangan institusi lokal untuk ketahanan sosial; (f) penghargaan terhadap kearifan dan teknologi lokal; pengembangan teknologi secara partisipatoris; (g) penguatan institusi untuk melindungi aset komunitas miskin; (h) Organisasi belajar nonhirarkis; (i) Peran negara yangaktif responsif: menyiapkan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan, memberikan jaminan distribusi sosial, mendorong tumbuhnya institusi-institusi masyarakat; (j) peran pemerintah daerah yang aktif dan responsif; (k) pemerintahan yang desa yang otonom dan berkapasitas; serta (l) pemerintahan desa yang demokratis. Pembangunan desa berkelanjutan juga memperhatikan aspek local development, indigenous development atau culturally based development. Konsep-konsep ini menganjurkan bahwa pembangunan desa harus peka pada konteks lokal serta mampu mendongkrak prakarsa lokal. Kembali ke dalam ‘pelukan’ komunitas atau membangkitkan ‘daulat komunitas’ tampaknya mulai menjadi pilihan para kreator dan aktifis masyarakat lokal di Indonesia ketika berhadap dengan negara yang lebih berpihak pada kekuatan pasar. Seperti yang dituturkan oleh Zukri Saad, Staf ahli Nagari Koto Gadang Sumatera Barat, dalam penuturun-nya kembali ke nagari sudah menjadi sikap ideologis untuk tidak menjadikan adat hanya sebagai simbol tapi bangkit berkembang pada sesuatu 80

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

yang lebih substantif. Langkah untuk menuju perwujudan itu adalah melalui proses-kreatif yang intensif sampai menemukan pola dan rumusan yang lebih kongkret. Ia menuturkan dalam proses membangun tata kelola pemerintahan dan pembangunan bagi peningkatan kualitas kesejahteraan warga nagari, inisiatif dan prakarsa lokal dikembangkan. Sebaliknya pola-pola penciptaan ketergantungan atas peran pemerintah berlahan mulai ditinggalkan.1 Dalam penuturan Zukri, dengan berbekal pada hukum adat tren investasi dengan pola penguasaan tanah adat untuk kegiatan usaha ekonomi yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia, untuk kasus Sumatera Barat (Sumbar), khususnya Nagari Koto Gadang hal itu sulit untuk diberlakukan dan akan menuai resistensi kalau pemerintah mencoba memaksakan. Upaya untuk melindungi tanah adat begitu kuat. Bukan berarti warga nagari menolak investasi dan modal besar masuk, namun cara mereka membangun kegiatan ekonomi bukan berarti harus menghilangkan kearifan lokal masyarakat setempat. Menurut pengakuan Zukri, banyak pengusaha Singapura dan Malaysia yang mau membeli tanah di Sumatera Barat untuk kegiatan ekonomi namun ditolak masyarakat karena berupaya menghilangkan apa yang selama ini menjadi kearifan lokal masyarakat, yakni melindungi tanah agar warga tetap berakar di dalam kultur masyarakatnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat Sumbar mungkin dapat disepandankan sebagai cara membangun ‘daulat komunitas’ karena dengan adat dan prakarsa lokalnya, mereka membangun harga diri dan kapasitas mengembangkan dinamika sosial disaat berkontestasi dengan kepentingan pemerintah dan pasar. Ideologi pasar memang selalu berupaya merontokkan otonomi komunitas atau daulat komunitas dengan cara pengkondisian ke dalam proses individualisasi, kapitalisasi sehingga masyarakat mengalami fragmentasi dan pragmatisasi. Proses demikian 1

IRE Yogyakarta, Proceeding Loka Karya Nasional, Prakarsa Pembaharuan Tata Kelola Pemerintahan dan Pembangunan, tanggal 27-29 Desember 2005, diselenggarakan oleh IRE dan Yayasan Tifa.

81


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

diasumsikan hukum pasar akan menggantikan hukum komunitas atau kearifan lokal masyarakat. Dalam konteks inilah individu nantinya tidak dapat lagi berlindung dalam prinsip-prinsip hukum adat atau komunalitas warga. Pengalaman Sumatera Barat sangat bermanfaat dijadikan pelajaran bahwasannya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dijadikan sebagai peluang untuk menata ulang komunitas berbasis tradisi, membangun kembali harga diri dan local wisdom bukan untuk menjual aset hanya sebatas mengejar pendapatan daerah. Tata kelola pemerintahan dan pembangunan berbasis tradisi dan komunitas akan lebih mempermudah pembangunan berpihak pada komunitas warga, tidak membuatnya teralienasi. Komunitas dengan pasar dan negara dapat ‘duduk’ dengan penuh setara, dan menacari dan menemukan keseimbangan dalam meraih keuntungan pembangunan secara adil. Bila di Sumbar daya dobrak lokal ini dibangun dengan berbasis tradisi dan komunitas, di tempat lainnya ada juga yang melakukannya denganprosesinisiasibermuladariseorangdiri.Sepertiyangdilakukan oleh Mbah Suko, seorang petani asal Sawangan Magelang yang pernah meraih Kehati Award tahun 2001. Sejak tahun 1974, ia tetap bertahan menggunakan pola pertanian alamiah (baca: organik) meskipun ia dicerca dengan umpatan kolot oleh sesama petani lainnya dan dihardik oleh negaradengan stigmatisasiikut organisasiterlarang (OT)di KTPnya karena menolak program revolusi hijau. Ia terus bertahan memilih tetap menanam varietas padi lokal mentik wangi, ketan kutuk dan rojo lele di tengah arus pertanian modern yang menggunakan varietas unggul, pupuk an-organik dan pestisida.2 Menurut penuturan Mbah Suko, banyak petani yang terpaksa mengikuti arus perubahan yang diterapkan oleh kebijakan pemerintah menuju swasembada beras dengan meninggalkan pertanian tradisional, termasuk menghilangkan varietas lokal. Padi mentik wangi pada tahun 1980 sempat hilang dari peredaran. Mbah Suko terus mencari benih padi itu sampai menemukannya di Dlingo Boyolali, itu pun hanya sebanyak dua ons. Tekanan 82

2

Lihat Surat kabar harian Kompas, 31 Desember 2005.

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

negara dan pasar—pemilik modal besar menciptakan jeratan kemiskinan petani. Padahal sebenarnya petani bisa mandiri dan dapat keluar dari jebakan ini dengan menerapkan pertanian yang terintegrasi dengan perternakan. Benih dibuat sendiri, pupuk kompos diolah dari kotoran ternak. Seperti yang dilakukan oleh Baharuddin ketua LSM Qurrotun Tayyibah di Salatiga. Ia membuat pupuk kompos dari kotoran ternak dan dipergunakan pula sebagai energi listrik untuk menerangi rumahnya. Prakarsa lokal yang dikembangkan oleh Mbah Suko atau Baharuddin di atas sebagai cara membangun kembali benteng pertahanan pangan agar masyarakat tidak terjebak ke dalam sistem pertanian yang tidak memberikan keuntungan secara ekonomis, ekologis dan budaya. Mereka mengembangkan itu bukan sesuatu yang baru karena sebenarnya sudah berasal dari sistem pengetahuan yang sejak dulu pernah tumbuh di dalam masyarakat. Cara bertani yang an-organik dan pola pengintegrasian bertani dengan berternak di masa lalu sudah menjadi pemandangan yang dengan mudah dilihat di masyarakat pedesaan. Realitas itu berlahan mulai tak begitu menampak lagi karena pola pertanian organik lebih populer. Kini ketika sistem bertani masyarakat sudah terjebak ke dalam sistem pertanian organik yang dikonstruksi oleh negara dan pasar apa yang dikembangkan oleh Mbah Suko dipandang sebagai pola pertanian alternatif yang sangat relevan dan dibutuhkan. Kembali ke alam, kembali ke basis tradisi local wisdom masyarakat tidak mudah tidak saja kerena kekuatan pasar dan negara belum berpihak, di dalam masyarakat sendiri mengembalikan kesadaran kritis juga tidak sesederhana yang dibayangkan. Masyarakat petani yang sudah lama dimarginalisasi dan mengalami keterjajahan secara sosial dan mental perlu disentuh kesadaran kritisnya agar sadar dan bangkit mengolah potensi yang dimilikinya. Bila kesadaran kritis ini mulai menyebar maka akan melahirkan tindakan kritis seperti yang dilakukan oleh Mbah Suko itu. Hanya dengan kesadaran kritis, bukan kesadaran

83


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

magis transformasi sosial dapat dilakukan. Inisiatif lokal atau prakarsa lokal yang dilakukan oleh para aktifis lokal di atas bila berkembang menjadi kesadaran kolektif maka akan menjadi potensi besar dalam mendorong perubahan dan perbaikan di dalam masyarakat Indonesia yang tengah tertatih-tatih mengatasi kesulitan sosial ekonominya. Inisiatif dan prakarsa lokal yang bertumbuh harus terus didorong agar berkembang sehingga tidak mandeg di tengah jalan. Bila terjadi kemandegan proses kreatif prakarsa lokal sama saja dengan kematian demokrasi yang berujung pada kematian kewarganegaraan (citizenship) dalam tata kuasa negara dan masyarakat. Untuk memelihara spirit dan semarak prakarsa lokalitas dibutuhkan proses pelembagaan. Tanpa ada proses pelembagaan prakarsa lokal ini akan mudah disingkirkan atau disapu bersih oleh proses sosial dan politik di tingkatan negara dan pasar. Prakarsa atau inisiatif lokal hanya akan menjadi gagasan spontan dan tidak akan berkembang menjadi kekuatan sosial bila tidak ada proses pelembagaan. Apalagi di masa depan, tantangannya begitu jelas, seperti yang diurai diatas, betapa mesin-mesin pasar global begitu dasyat dalam menciptakan praktek ekonomi yang tak lagi bersahabat dengan ekonomi berbasis komunitas, dan local wisdom. Modal sosial di tingkat lokal harus terus digerakkan agar tumbuh saling percaya, solidaritas sosial yang menguat sehingga apa yang disebut sebagai civic cummunity dan civic engagement oleh Putnam dapat mengakar di tengah masyarakat.3 Beberapa langkah menuju proses pelembagaan gagasan bagi berkembangnya inisiatif dan prakarsa lokal ini adalah sebagai berikut. Pada tingkatan masyarakat. Pertama, perlunya penguatan kesadaran kritis di tingkatan warga untuk membangun tata kelola sosial ekonomi berbasis komunitas, kearifan lokal dengan terus melepaskan berbagai proses ketergantungan sosial, politik dan ekonomi dari kekuatan negara dan pasar bila kebijakan dan 84

3

Robert Putnam, Making Democracy Work, Princenton University Press, Princenton, 1993.

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

programnya hanya mengejar keuntungan ekonomi semata. Kedua, mengupayakan secara terus menurus tindakan berproduksi secara lebih dominan dibandingkan dengan berkonsumsi, atau membuat pola keseimbangan keduanya. Pengetahuan dan ketrampilan lokal yang selama ini menjadi ekonomi komunitas perlu terus dikembangkan, jangan jangan sampai pudar eksistensinya. Ketiga, perlunya ditumbuhkan beragam arena mediasi sebagai ruang proses belajar bersama yang menumbuhkan spirit, kecerdasan dan komitmen bagi penguatan kemandirian komunitas. Ketiga hal ini akan membuat inner forcing lokalitas itu tumbuh dan bermekaran sehingga nantinya terus berupaya memperkuat integrasi sosial dan harga diri (dignity) dalam jalinan kerjasama sosial yang makin humanis. Sedangkan di tingkatan eksternal, hal yang perlu didorong adalah Pertama, negara harus responsif dalam membuat regulasi dan kebijakan yang memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal. Kedua, perlunya negara untuk melakukan berbagai cara memandirikan komunitas (respect resilence). Tidak dominatif yang kemudian membuat inisiatif warga melemah. Ketiga, menghargai hak-hak sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Kontrak sosial negara dengan rakyatnya adalah upaya untuk senantiasa memberi perlidungan dan pelayanan sebaik mungkin atas seluruh lapisan warganya. Ketika warganya menghadapi problem sosial yang rumit dan kompleks dan tak mampu mengatasi dengan segala potensi yang ada, negara harus cepat hadir menolong dan memberikan bantuan danm perlindungan. Bukannya ikut memperlemah dengan cara mencari keuntungan sendiri atau berada di barisan kepentingan yang membela pasar. Kalau dilihat dari berbagai praktek sosial yang berkembang, sekalipun rakyat dihadapkan pada kesulitan sosial yang kompleks akibat tekanan struktur ekonomi politik, geliat rakyat untuk memunculkan inisiatif dan prakarsa masih terus tumbuh. Sekalipun inisiatif itu begitu beragam.Adanya kalanya inisiatif dan prakarsa lokal itu muncul sebatas bertahan agar dapat survive.

85


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

Namun terkadang juga ‘radikal’, dalam arti prakarsa yang di dalamnya mengandung visi perubahan di masa depan yang strategis. Dalam konteks ini tak jarang ketegangan dan benturan kepentingan antara masyarakat dengan negara atau pasar muncul kepermukaan.

86

Penutup Berbagai paradigma baru pembangunan desa yang telah dibahas di atas tentu menyajikan perspektif alternatif dan kritis, yang berupaya membawa isu-isu keberlanjutan dan menempatkan rakyat sebagai posisi subyek dalam pembangunan desa. Keyakinan yang berpihak pada desa ini sudah diterima secara luas oleh pemerintah, akademisi, lembaga-lembaga internasional sebagai perspektif baru dalam pembangunan desa, apalagi belajar dari pengalaman masa lalu, pembangunan desa terpadu yang dilaksanakan secara sentralistik oleh pemerintah di desa telah menemui kegagalan. Baik pemerintah maupun lembaga-lembaga internasional yang bekerja di Indonesia memang sudah melakukan perubahan karitatif dalam hal strategi/pendekatan pembangunan desa yang berupaya menempatkan posisi rakyat pada posisi subyek, misalnya sebagaimana tergambar dalam program-program IDT, PPK, P2MPD, dan lain-lain. Tetapi ada sejumlah kelemahan yang perlu dicermati. Pertama, pembangunan desa yang berpusat pada rakyat adalah sebuah konsep akademik yang masih sebatas jargon, yang belum bisa dioperasionalkan secara konkret. Konsep ini sangat mujarab untuk melakukan kritik model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan digerakkan pemerintah, tetapi secara empirik konsep itu belum bisa dioperasionalkan secara konkret dan mampu menyentuh rakyat. Raksasa birokrasi yang sentralistik dan hirarkhis menjadi sebuah kendala besar untuk wewujudkan pembangunan desa yang berpusat pada rakyat. Kedua, sasaran pembangunan desa masih terfokus pada penanggulangan kemiskinan melalui investasi infrastruktur dan pemberian layanan sosial. Lebih parah lagi, di tingkat lokal, pembangunan desa dipahami dan dipraktikkan sebagai

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

pembangunan fisik semata. Selama ini tidak ada analisis komprehensif yang dilakukan terhadap dampak intervensi pemerintah, sebab yang lebih banyak dilakukan adalah menghitung anggaran yang telah dikeluarkan pemerintah beserta lembaga donor untuk membiayai pembangunan desa, bukan pada efisiensi, efektivitas dan keberlanjutan hasil-hasil pembangunan desa. Program-program pembangunan desa selama ini lebih memperhatikan kuantitas jumlah “yang dapat diberikan� (deliverable) pemerintah, ketimbang memperhatikan pencapaian dampak kualitatif yang penting terhadap rakyat desa, misalnya program-program yang memperbaiki kualitas hidup rakyat desa melalui pemerintahan lokal yang otonom dan demokratis (democraticself-government). Ketiga, sasaran pembangunan desa di atas tidak dipadukan dengan agenda desentralisasi dan penguatan demokrasi lokal. Pemerintah pusat merumuskan sendiri secara sentralistik blue print dan pendanaan pembangunan desa pada penanggulangan kemiskinan melalui investasi infrastruktur dan pemberian layanan sosial. Pendanaan yang mengalir dari Jakarta itu tidak dimasukkan ke dalam anggaran daerah, apalagi anggaran desa (APBDes), yang sudah direncanakan sendiri di tingkat lokal. Dengan demikian, dana yang datang dari pusat adalah dana proyek yang bersifat nonbudgeter, sehingga dana itu di tingkat lokal berada di luar perencanaan dan pemerintah lokal tidak perlu membuat akuntabilitas kepada publik. Karena program pembangunan desa yang terpusat itu tidak diintegrasikan dalam skema desentralisasi, maka yang terjadi adalah ketergantungan pemerintah lokal (daerah dan desa) pada program bantuan dari pusat, serta melemahkan kemampuan dan responsivitas lokal dalam melancarkan programprogram pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi secara mandiri dan sesuai dengan preferensi lokal. Dalam benak pikiran pejabat daerah, pembangunan desa adalah “proyek-proyek� peningkatan prasarana fisik desa, kegiatan penyuluhan maupun penyaluran bantuan-bantuan karitatif (sedekah) kepada rakyat desa.

87


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

88

Dengan alasan klasik, minimnya dana, pemda mengaku tidak mampu membuat kebijakan pembangunan desa yang komprehensif. Tetapi kalau kita lihat struktur APBD di banyak kabupaten/kota, anggaran pembangunan desa jauh lebih kecil dibanding dengan program pengawasan dan pembinaan aparatur pemerintah, apalagi kalau dibandingkan dengan belanja pegawai. Sementara, karena lemahnya agenda demokratisasi (akuntabilitas, transparansi dan partisipasi) dalam pembangunan desa, telah membuat proyekproyek pembangunan itu digerogoti oleh praktik-prakti korupsi pejabat lokal (localcapture), sering tidak tepat sasaranpada rakyat desa yang miskin, melemahkan modal sosial masyarakat desa, serta membuat erosi kepemilikan lokal terhadap hasil-hasil pembangunan sehingga sisi keberlanjutan sangat lemah. Berangkat dari sejumlah kritik di atas, kami hendak menawarkan model alternatif pembangunan desa, yang di dalamnya hendak menawarkan reorientasi sasaran pembangunan desa, keterpaduan antara program pembangunan desa dengan desentralisasi dan demokrasi lokal, disain dan proses pembangunan desa berbasis masyarakat, dan aspek keberlanjutan pembangunan desa. Meskipun model pembangunan desa berbasis masyarakat kini telah menjadi mainstream, namun bukan berarti bahwa masyarakat desa bekerja sendirian dan pemerintah lepas tanggungjawab. Bagaimanapun pembangunan desa berbasis masyarakat harus dipadukan dengan desentralisasi, sebab desentralisasi ini adalah bentuk kebijakan afirmatif yang mengedepankan kepedulian, pemerataan dan keadilan kepada desa. Tabel 2 di bawah merupakan rangkuman model alternatif pembangunan desa yang kami tawarkan. Pembangunan desa lebih dari sekadar penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah fisik desa. Pembangunan desa bersifat multidimensional: mengarah pada perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagi rakyat desa menggali pendapatan dan pembangunan ekonomi desa, perbaikan infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosial dan

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

keamanan fisik komunitas warga desa, memperkuat kapasitas desa mengelola pemerintahan dan pembangunan, membuat demokrasi dalam proses politik di desa, serta mengatasi kerentanan (sosial, ekonomi dan politik) masyarakat desa. Konsep ini menaruh perhatian pada proses memfasilitasi perubahan di komunitas desa yang memungkinkan rakyat miskin di desa memperoleh lebih, meningkatkan investasi bagi dirinya sendiri dan komunitasnya, meningkatkan kepemilikan rakyat desa merawat infrastruktur dan lain-lain. Mengikuti paradigma sustainable livelihood, pembangunan desa sebenarnya merupakan proses mengubah penghidupan masyarakat pedesaan dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan aset yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan. Tabel 2 Model Pembangunan Desa Terpadu Yang Berkelanjutan No 1

Item Fokus Sasaran

2

Pilihan Desentralisasi

3

Skema Desentralisasi

Gambaran Membangun infrastruktur desa Membangun keberlanjutan sosial Membangun ekonomi lokal dan penghidupan desa. Membangun kapasitas institsional desa. Membangun demokrasi desa. Membangun modal sosial. Politik: pembagian kewenangan dan tanggungjawab kepada desa untuk mengelola pelayanan publik dasar.  Pembangunan: kewenangan desa untuk membuat perencanaan sendiri (village-self planning).  Fiskal: alokasi dana perimbangan desa untuk membiayai urusan pemerintahan dan pembangunan. Juga taxing power bagi desa. Pusat dan Provinsi  UU pemerintahan daerah yang menegaskan desentralisasi desa.  Kebijakan dan anggaran nasional yang afirmatif dan responsif terhadap desa.  Visi besar, koordinasi, fasilitasi, dan supervisi terhadap kabupaten/kota Kabupaten/Kota       

89


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

No 1

4

5

6 7 8 9

90

kabupaten/kota Item Gambaran Fokus Sasaran Kabupaten/Kota  M em bangun infrastruktur desa  Rencana strategis pembangunan desa.  Perencanaan sektoral terpadu yang partisipatif  Alokasi dana desa  Kebijakan dan anggaran yang afirmatif dan responsif.  Fasilitasi dan supervisi terhadap desa. Desa:  Village self-planning.  Rencana strategis desa  Mengelola pelayanan dasar  APBDES terpadu (anggaran budgeter) Pembangunan  Perencanaan partisipatif berbasis  APBDES Partisipatif masyarakat  Partisipasi  Keterlibatan organisasi masyarakat.  Swadaya masyarakat Demokrasi  Kebijakan dan regulasi desa yang aspiratif dan responsif Pembangunan  Kepeminmpinan dan pemerintahan yang demokratis Desa (akuntabel, transparan dan responsif).  Lembaga perwakilan yang demokratis  Partisipasi Masyarakat Dampak antara Mobilisasi sumberdaya, tumbuhnya proses demokrasi, kapasitas instituional Bangkitnya modal sosial Hasil-hasil Efektivitas, Responsivitas, Keberlanjutan Tujuan Ideal Kesetaraan, Kesejahteraan, Keadilan, Kemandirian Jangka Panjang Agenda  Dukungan komitmen politik tingkat tinggi Strategis dan  Komunikasi, pembelajaran dan pelatihan bagi Daya Dukung stakeholders desa  Memperbaiki mekanisme kontrol komunitas dan keterlibatan stakeholders.  Perencanaan berbasis data riset.  Memperkuat organisasi berbasis komunitas  Meningkatkan kapasitas teknis semua stakeholders  Mendorong inovasi melalui perencanaan yang fleksibel  Merampingkan dan mendesentralisasikan proses persetujuan dan pengeluaran  Mempergunakan prosedur proyek yang jelas dan menyederhanakan proses.  Mengatur monitoring dan evaluasi program  Menciptakan saluran informasi  Mengembangkan dan meneruskan strategi ke luar

Pembaharuan Paradigma Pembangunan Desa

No 1

Item Fokus Sasaran  

Gambaran daninfrastruktur meneruskan strategi Mengembangkan M em bangun desa ke luar bantuan eksternal. Pengembangan strategi pengelolaan keuangan yang sehat

Ilustrasi dalam tabel 2 di atas bisa ditransformasikan menjadi bagan 1 berikut ini. Bagan 1 Skema pembangunan desa terpadu yang berkelanjutan

Pada prinsipnya tujuan jangka panjang pembangunan desa adalah mencapai kesetaraan (gender dan kelas), kesejahteraan masyarakat, keadilan dan kemandirian desa. Untuk mencapai tujuan jangka panjang ini, maka perlu dibuat desain dan proses yang kondusif. Kami menawarkan disain pembangunan desa yang bersifat desentralistik, berbasismasyarakat dan demokratis. Disain ini diharapkan dapat membangun proses pembangunan desa yang memungkinkan pencapaian dampak antara: mobilisasi sumberdaya secara efektif, terbangunnya proses demokrasi (akuntabilitas dan partisipasi), meningkatnya kapasitas institusional desa, dan terbangunnya modal sosial. Jika dampak antara ini berjalan dengan baik, maka akan mencapai hasil-hasil pembangunan yang diharapkan: efektivitas, responsivitas dan keberlanjutan. Efektivitas berarti bahwa enam fokus sasaran pembangunan desa berproses secara dinamis dan secara bertahap meraih capaian-capaian positif sesuai dengan yang ditargetkan. Responsivitas berarti kepekaan atau keseriusan pemerintah (desa,

91


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

daerah dan pusat) maupun organisasi lokal menjalankan perannya masing-masing dan sekaligus tanggap terhadap tuntutan masyarakat lokal. Keberlanjutan diindikasikan dengan stabilitas politik, kecukupan pendanaan dan fleksibilitas institusional pengelola pembangunan desa. Desain beserta hasil-hasilnya di atas bisa berjalan dengan baik bila ditopang dengan sejumlah agenda strategis dan daya dukung yang kondusif:             

Dukungan komitmen politik tingkat tinggi Komunikasi, pembelajaran dan pelatihan bagi stakeholders desa Memperbaiki mekanisme kontrol komunitas dan keterlibatan stakeholders. Perencanaan berbasis data riset. Memperkuat organisasi berbasis komunitas Meningkatkan kapasitas teknis semua stakeholders Mendorong inovasi melalui perencanaan yang fleksibel Merampingkan dan mendesentralisasikan proses persetujuan dan pengeluaran Mempergunakan prosedur proyek yang jelas dan menyederhanakan proses. Mengatur monitoring dan evaluasi program Menciptakan saluran informasi Mengembangkan dan meneruskan strategi ke luar bantuan eksternal. Pengembangan strategi pengelolaan keuangan yang sehat

Bab 3 Keluar dari Jerat Eksploitasi dan Ketidakberdayaan Ekonomi Desa

Era reformasi yang lahir sejak 1998 dengan diawali oleh krisis ekonomi 1997 dan tumbangnya rezim Orde Baru seharusnya membawa agenda untuk menyelesaikan masalah ekonomi desa yang tidak pernah terpecahkan secara tuntas sejak masa penjajahan hingga masa kini. Bahkan era reformasi itu sepertinya terbuai oleh derap globalisasi yang justru mengancam orang desa menuju masa depan yang tidak pasti. Secara umum, nasib orang desa pasca keruntuhan Orba tetap sebagai peasant yaitu suatu kategori untuk menyebut kelompok-kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari usaha skala kecil di sektor ekonomi pertanian, perikanan, kerajinan dan perdagangan yang rawan terjerumus ke dalam kemiskinan, ketertinggalan dan ketidakberdayaan.1 Peasant juga meliputi orang desa yang 1

92

Definisi peasant ini diramu dari Nash (1966), Sahlins 91974) Wolf (1983) dan Scott (1983). Nash memberikan tekanan bahwa ekonomi peasant merupakan usaha skala kecil dan diselenggarakan oleh individu atau keluarga, Sahlins dan Wolf memberikan tekanan pada

93


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

mengandalkan hidupnya dari tenaganya karena tidak lagi memiliki tanah dan modal yang memadai sehingga hidupnya menjadi buruh tani atau pabrik di kota tetapi tidak meninggalkan desanya sebagai sumber penghidupannya. Peasant juga identik dengan pelaku ekonomi yang usahanya untuk menyambung hidupdan sering terjepit dengan kemiskinan.2 Sistem ekonomi peasant terus menerus menghadapi ketidakpastian untuk menjamin kelangsungan hidup keluarganya, dan ancaman itu telah membuat mereka mengembangkan strategi yang berseberangan dengan bisnis kapitalistik. Scott (1980) mengambarkan strategi hidup mereka berorientasi pada “dahulukan selamat� (safety first), yang mendahulukan keamanan konsumsi minimum keluarga daripada rasionalisasi produksi. Wolf (1983) mendahului pendapatnya dengan melihat kaum tani miskin biasanya melakukan kerja ekstra walaupun menurut perhitungan kapitalistik kerja ekstra itu sudah tidak efisien dan ekonomis. Dalam istilah Chayanov kerja ekstra itu merupakan suatu bentuk eksploitasi diri (self exploitation). Dalam kajian antropologi ekonomi, desa sering dimaknai memiliki sistem ekonomi sendiri. Desa identik dengan sistem ekonomi peasant yang pengertiannya dekat dengan prakapitalis atau subsisten, sedangkan kota identik dengan kapitalis. Dikotomi seperti itu mempunyai landasan empiris, meskipun bisa menyesatkan jika tidak dikritisi. Dalam sistem prakapitalis, para produsen tidak berorientasi pada pasar, sehingga tidak mempertimbangkan rugi-laba atas input dan output produksi yang dikelolanya (Chayanov, 1980). Produsen baru menjual produksinya ketika terjadi surplus atau harus membeli barang dan jasa yang tidak bisa dihasilkan sendiri. Karena kuatnya

2

94

lemahnya ekonomi petani karena rendahnya kontrol terhadap tanah sehingga menghadapi problem kelangkaan tanah dan lemahnya posisi relasi dengan kekuatan eksternal seperti negara dan pasar, Scott memberikan tekanan sebagai orang desa yang usahanya berorientasi untuk menyambung hidup sehingga dekat dengan kemiskinan. Wahono (1999:21) mencatat bahwa kaum peasant itu selalu menghadapi defisit anggaran rumah tangga per bulan. Dapat diibaratkan bahwa kaki mereka berjalan di dua titian jembatan panjang yang terpisah sehingga sulit bergerak maju apalagi lari kecang karena akan mudah tergelincir masuk ke jurang.

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

solidaritas sosial dalam masyarakat, kebutuhan-kebutuhan hidup yang tidak dapat dipenuhi oleh rumah tangganya bisa juga diatasi dengan mengembangkan pertukaran sosial antar warga seperti gotongroyong, sambatan, sumbang-menyumbang dan sebagainya. Sistem prakapitalis itu berbeda dengan kapitalis karena dalam sistem ekonomi yang kedua ini, pengusaha selalu berorientasi mencapai keuntungan, dan akan menutup usahanya ketika komoditasnya tidak laku. Apabila sistem ekonomi prakapitalis berjalan secara tertutup tanpa intervensi dari luar, masalah yang dihadapi para produsen adalah berkaitan dengan ketersediaan alat-alat produksi utamanya tanah, tenaga kerja, dan mekanisme kelembagaan dalam masyarakat untuk menjamin terjadinya pertukaran sosial baik dalam bentuk resiporsitas dan redistribusi (Hudayana, 1991). Umumnya desa yang masih bersifat prakapitalis murni itu tidak menghadapi masalah karena sumberdaya tanah dan tenaga kerja tersedia serta memilikitradisi daninstitusi resiprositas dan redisribusiyang bisa efektif menjalankan fungsi untuk menciptakan masyarakat sejahtera ( welfare society). Akan tetapi, hampir tidak ada desa yang tertutup dengan sistem ekonomi subsisten3 murni. Keberadaan desa pada masa lalu hingga pada masa kini selalu bersentuhan dengan agen negara dan kapitalis yang mempengaruhi berjalannya roda ekonominya. Bahkan fenomena yang tidak bisa dipungkiri adalah kebanyakan ekonomi prakapitalis berbaur dengan kapitalis dan menghasilkan pola ekonomi peasant yang usahanya cenderung bersifat menyambung hidup (subsistensi) walaupun dikelola dengan melakukan transaksi pasar. Dalam banyak studi yang memakai pendekatan ekonomi politik, gejala subsistensi muncul sebagai akibat dari meluasnya ekspansi negara dan ekonomi kapitalis (Wolf, 2002). Ekspansinya memandulkan ekonomi desa sehingga melahirkan kaum peasant yang rentan terhadap kemiskinan dan mudah untuk terus menerus dihisap 3

Subsisten artinya menghasilkan produksi untuk kebutuhan sendiri, sedangkan subsistensi artinya menghasilkan produksi untuk mempertahankan hidup.

95


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

96

oleh ekonomi kapitalis. Oleh karena itu, untuk memberdayakan ekonomi desa, jalan keluar yang harus dilakukan adalah membangun pemerintahan yang populis sehingga bisa mengembangkan program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa serta mengendalikan ekspansiekonomi kapitalissecara jitu. Masalah utama dalam policy paper ini adalah mengapa dalam jenjang sejarah yang panjang sejak masa penjajahan hingga kini peasant di Indonesia tetap hidup dalam subsistensi, dan bagaimana menjawab masalah marginalisi ekonomi desa pada masa kini. Pertanyaan ini relevan untuk mengritisi kebijakan negara dan ekspansi pasar ke dalam ekonomi desa. Pertanyaan itu juga relevan untuk merumuskan agenda pemberdayaan ekonomi desa di era reformasi. Agenda ini penting jika menyadari bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yaitu sekitar 60 % tinggal di pedesaan dan mereka ini umumnya kaum peasant. Di tengah merebaknya globalisasi agenda itu perlu dirumuskan dengan tepat dan jika tidak maka reformasi yang mempromosikan demokrasi dan desentralisasi akan kehilangan maknanya dan bahkan reformasi itu malah bisa menjadi ancaman baru bagi kaum peasant di pedesaan. Untuk menyumbangkan gagasan bagi agenda pemberdayaan ekonomi desa, policy paper ini akan mencermati tiga hal. Pertama: perlakuan dan kebijakan negara terhadap ekonomi desa dan dampaknya terhadap berkembangnya ekonomi peasant sebagai strategi menyambung hidup; dan relasi yang timpang antara sektor ekonomi peasant dengan ekonomi kapitalis. Kedua: langkah strategis menuju penguatan ekonomi desa. Untuk mengkaji masalah yang pertama, paper ini akan menyimak tiga rezim yang berpengaruh besar terhadap ekonomi peasant yaitu rezim kerajaan pra penjajahan, rezim penjajah Belanda, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba), globalisasi, dan reformasi. Tinjauan ekonomi peasant secara historis itu perlu untuk menemukan benang merah sekaligus mengingatkan bahwa dalam jangka panjang masalah yang dihadapi peasant terus berantai dan menumpuk sehingga perlu dilakukan agenda yang serius untuk

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

menanganinya. Pemetaan secara historis itu juga untuk menggugah ingatan tentang masalah ekonomi desa yang mengalami keterpurukan dan ancaman yang sangat berbahaya dari berbagai rezim yang mengatasnamakan diri sebagai juru selamat orang lemah. Untuk mengkaji hubungan yang timpang, paper ini mencermati sektor usaha tani pangan, perkebunan rakyat, dan industri pedesaan dan ancaman globalisasi. Adapun untuk merumuskan strategi keluar dari berbagai bentuk ketidakberdayaan sebagai akibat dari hubungan yang timpang itu, policy paper ini akan menyimak berbagailangkah yang ideal seperti reformasi agraria, penguatan modal sosial dan industralisasi pedesaan. Perlu dikemukakan bahwa argumen-argumen tentang masalah dan solusi yang berkaitan dengan ekonomi desa pada policy paper ini tidak dibangun dari fakta empiris yang berbentuk angka-angka statistik yang sering mengundang perdebatan pada level teknik pengukuran, pengumpulan dan analisis data, melainan dibangun dari perspektif ekonomi politik yang melihat bahwa akses dan kontrol orang desa sebagai pelaku ekonomi menjadi variabel yang penting untuk memahami kekuatannya yang tercermin pada mode dan relasi produksi yang dijalankan. Angka statistik yang disajikan dalam policy paper ini lebih ditempatkan sebagai ilustrasi untuk mendukung gagasan tersebut. Perlakukan dan Kebijakan Rezim Negara terhadap Perekonomian Desa Masa Kerajaan Konsep Sahlins (1974:3) tentang ekonomi peasant merujuk pada adanya kepentingan pihak supra desa untuk mengontrol sumberdaya ekonominya. Peasant dibedakan dengan masyarakat suku tradisional karena peasant merupakan produsen yang tidak menguasai sepenuhnya atas tanah pertaniannya, sedangkan suku tradisional menguasainya. Hilangnya atau berkurangnya kontrol peasant atas tanah bisa disebabkan oleh berbagai masalah seperti fragmentasi tanah sebagai akibat pertumbuhan penduduk, tetapi

97


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

98

juga bisa langsung atau tidak langsung oleh hadirnya negara yang mengontrol atas kepemilikan dan pemanfaatannya. Di Indonesia, negara yang pertama melakukan kontrol atas tanah adalah kerajaan-kerajaan Hindu yang hidup pada abad ke 5 sampai dengan 14 Masehi, baru kemudian disusul kerajaan Islam, dan penjajah Belanda dan khususnya Orba. Pada masa kerajaan kuno itu, desa di dalam wilayah negara mempunyai corak sebagai komunitas peasant. Kaum tani bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi juga untuk kebutuhan pemerintah kerajaan penguasa. Raja berkuasa atas tanah yang menjadi wilayahnya, sehingga para petani adalah penggaduh atas tanahnya itu. Oleh karena itu, petani baik secara individual atau kelompok wajib membayar pajak, upeti dan bulubekti (hadiah wajib) dan berbagai kewajiban lainnya kepada raja melalui institusi dalam komunitasnya dan kerajaan. Kerajaan dibangun dengan memakai sumberdaya desa, dan karenanya raja sangat berkepentingan mengontrol mode ekonomi di desa. Raja memposisikan diri sebagai gusti dan orang desa hambanya, dan melalui hubungan patronase, raja menciptakan ketergantungan orang desa dengan dirinya. Sebagai patron, raja memerakan diri sebagai pelindung dan menjalankan fungsi redistributif untuk mendorong pemerataan dan keadilan. Akan tetapi, relasi antar desa dengan kerajaan bersifat timpang, desa menjadi sapi perahan bagi keberlanjutan ekonomi kerajaan. Untuk menjamin hubungan itu tetap lestari sehingga desa tidak melakukan perlawanan, maka raja menciptakan sistem penundukan dengan ideologi, kekerasan dan program yang persuasif. Pada masa kerajaan Mataram Hindu, misalnya, muncul program pembentukan desa perdikan (sima). Program ini nampaknya menjadi agenda penting kerajaan terbukti hampir 90 % prasasti tentang kerajaan pada abad ke 7-10 menceritakan berdirinya sima sebagai hadiah kepada orang desa karena telah mengabdi kepada raja (Haryono, 2000). Desa perdikan artinya dibebaskan dari tanggungjawab untuk mengabdi kepada raja

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

dengan membayar pajak, dan kewajiban lainnya. Munculnya desadesa perdikan ini menandakan bahwa raja mendorong desa-desa untuk berlomba-lomba mengabdi kepadanya, bukan harus dipahami sebaliknya bahwa raja berbaik budi karena ekonomi kerajaan sepenuhnya tergantung kepada desa. Masa kerajaan kuno itu menandakan bahwa satu sisi desa diintegrasikan ke dalam ekonomi negara, tetapi sisi lain desa sebagai sebuah koloni yang diatur untuk menghasilkan alat-alat produksi yang dipakai untuk kemajuan ekonomi negara. Kontrol terhadap sumberdaya desa dilakukan melalui tiga cara. Pertama: kerajaan menempatkan organ pemerintah ke desa dengan mengangkat elite desa sebagai kepanjangan tangan dari negara, atau mengirimkan elite pusat ke desa guna melakukan kontrol langsung. Kedua: membangun ideologi ketundukan untuk memposisikan negara sebagai penguasa yang diterima secara kultural dalam arti kehadirannya sangat bernilai dan karenannya harus dijunjung tinggi oleh setiap warga. Ketiga: negara menjalankan fungsi redistribusi yang memobilisasi sumberdaya desa ke kerajaan, dan sebaiknya kerajaan menfasilitasi berbagai kebutuhan desa sehingga desa dalam posisi yang bergantung dengan kerajaan. Pola relasi kerajaan dan desa itu terus berlanjut ketika kerajaan di Jawa bercorak Islam dan kemudian mereka berada dalam cengkeraman penjajahan sebagaimana terjadi di Kasunanan dan Kasultanan Yogyakarta. Kerajaan memiliki wilayah yang otonom dari campur tangan langsung pemerintah jajahan (vorstenlanden) sehingga desa tetap diperlakukan sebagai sumberdaya untuk mendanai pemerintahan. Di setiap desa terdapat tanah apanage yang luas dan kebanyakan petani bergantung pada tanah itu untuk bisa hidup. Pihak kerajaan menggunakan tanah apanage sebagai tanah jabatan yang dapat disamakan dengan gaji (Suhartono, 1991:16). Mereka yang memegang lungguh (patuh) adalah para birokrat kerajaan, dengan hak menikmati tanah itu ketika memegang

99


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

100

jabatan dalam kerajaan. Patuh itu mengangkat seorang bekel yang dipercaya untuk mengerjakan lungguh. Bekel ini bisa bertindak sebagai lurah atau diatasnya dan meminta kepada petani untuk bercocoktanam di tanah lungguh. Hasil panen dibagi menjadi tiga, 2/5 untuk patuh, dan 2/5 lagi untuk petani penggarap dan 1/5 untuk bekel (Suhartono, 1991:16). Penyerahan pajak petani dengan menggaduh tanah apanage itu memberatkan petani sehingga ekonomi desa tidak bisa berkembang karena petani tidak mungkin memiliki surplus produksi. Petani bahkan masih dibebani kewajiban untuk berbakti kepada patuh dan bekel untuk memberikan sumbangan dalam bentuk barang dan tenaga kerja guna keperluan pribadi tuannya. Dalam perkembangannya, ketika proses komersialisasi ekonomi muncul, banyak tanah apanege disewakan ke perkebunan partikelir, dan tanah apanage yang digarap petani dikenakan pajak sebagai kata lain dari bagi hasil, dan besarnya pajak sering memberatkan petani (Suhartono, 1991:22). Sebagai contoh di Surakarta pada tahun 1888, petani dengan lahan setengah bau hanya bisa memperoleh panenan senilai f. 50,- dan pekarangan dengan nilai f 30,- tetapi harus membayar pajak senilai f 80,dan kalau ia harus membayar pajak polisi senilai f 40,- dan sumbangan lainnya senilai f 50,- maka dengan kata lain petani minus f. 10,- setahunnya. Di dalam desa yang tanahnya disewakan kepada perkebunan partikelir, pola hubungan produksi antar petani dengan perkebunan juga tidak berubah membaik. Dengan dikontrakkan kepada perkebunan partikelir oleh kerajaan, petani juga terikat melakukan hubungan patronase dengan para elite desa yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah, dan kepada para pemilik perkebunan. Para elite desa dan para mandor perkebunan bekerja sama untuk memanfaatkan tanah apanage bagi kemajuan perkebunan ,dan pihak perkebunan dapat melakukan kontrak kerja yang memberatkan petani. Kontrak itu tidak dilakukan secara individual melainkan secara komunal yang diwakili oleh mereka

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

yang menjadi penguasa di desanya. Dengan demikian petani tidak bisa melawan atau menolak ketika ikatan komunal di desanya masih kuat. Dalam kasus perkebunan tebu, petani diwajibkan untuk menyerahkan tanahnya dan bekerja di perkebunan dengan upah yang rendah (Geertz, 1976). Dalam studinya tentang agroindustri dan dampak negatifnya terhadap ekonomi petani Suhartono (1991:24) menyimpulkan: Pergantian patron dari para katuh ke agroindustri tidak menurangi beban dan tekanan kepada petani, tetapi justru sebaliknya. Berbagai macam kerja wajib, penyerahan wajib, dan sejenisnya baik kualitas dan kuantitasnya justeru lebih banyak dipaksakan oleh agroindustri. Konsekuensi lain dari pergantian patron adalah kerugian petani yang semakin banyak. Dengan kata lain, ekstrasi dan eksploitasi terhadap petani makin mendalam. Di sisi lain agroindustri mendapat keuntungan dengan cara yang tidak fair artinya petani tidak diberi imbalan yang seimbang‌. Lagi pula agroindustri mencaplok hampir semua milik petani.

Dengan adanya eksploitasi yang berlebihan itu, petani sepertinya tidak melakukan resistensi. Dalam tesis Scott (1983) petani hanya akan melakukan resistensi ketika sudah melintasi batas toleransi. Akan tetapi, kekuasaan kerajaan yang kukuh, dan pekerbunan besar yang dilindungi oleh negara melalui seperangkat aturan hukum yang represif dan tidak adanya alternatif lain kecuali mengalah dan mengikat pinggang, maka praktik eksploitasi itu sepertinya bisa diterima petani. Masa Penjajahan Memasuki masa penjajahan, mula-mula Belanda menempatan desa seperti kerajaan Hindu di Jawa. Mulai tahun 1602, lewat VOC Belanda memberlakukan sistem leveransi atau penyerahan wajib dan kontingensi kepada raja dan bupati yang ditaklukan, yaitu produk-produk komoditas untuk pasar di Eropa. Kewajiban itu

101


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

102

dibebankan kepada para petani seperti kewajiban berbakti kepada raja dalam sistem feodal (Fauzi, 1999:23). Bentuk eksploitasi itu pada tahun 1799 diubah dengan memakai sistem pajak, tetapi ketika tidak efektif maka Belanda kemudian memberlakukan sistem tanam paksa (1830-1870). Sejalan dengan berkembangnya liberalisme, Belanda memperkenalkan politik perkebunan dan memberlakukan UU Agraria 1870 yang membuka peluang masuknya perkebunan partikelir di tanah jajahan. Meskipun mirip dengan penguasa kerajaan, eksploitasi yang dilakukan penjajah terhadap ekonomi desa bisa berjalan maksimal karena menggunakan cara modern yaitu melalui birokrasi yang kokoh (Lihat juga Suhartono, 2002:1). Belanda memakai elite pribumi untuk memobilisasi tanam paksa ke desa, dan yang menanggung beban ini adalah para petani. Dengan tanam paksa, pemerintah memperoleh keuntungan ganda, satu sisi ia tidak perlu terjun langung ke desa sehingga efisien, dan sisi lain bisa memperoleh dua macam keuntungan. Pertama: mendapatkan komoditas gratis dari petani sebagai bagian dari kewajiban desa untuk membayar pajak yang bisa dijual dengan harga yang tinggi karena pasar di eropa relative baik. Kedua memperoleh keuntungan yang besar dari berdagang yaitu membeli komoditas yang merupakan bagian yang diterima petani dengan harga yang rendah untuk dijual ke eropa sesuai dengan harga pasar. Praktik tanam paksa ini memberatkan ekonomi petani, karena merupakan bentuk eksploitasi dan penjajah dalam waktu yang sama tidak melakukan redistribusi surplus produksinya ke desa. Peran negara sebagai agen yang mengontrol sistem produksi rakyat kemudian dihapus setelah lahirnya era perkebunan besar. Para pengusaha partikelir Belanda membuka perkebunan di tanah negara, apanage dan bahkan tanah rakyat. Tidak terkecuali mereka menggunakan tenaga rakyat sebagai kuli kontrak dengan upah yang rendah. Petani juga didorong untuk menyewakan tanahnya sambil bekerja di perkebunan seperti dalam kasus industri gula. Tidak ketinggalan, era perkebunan ini juga ditandai oleh

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

meluasnya perdagangan komoditas oleh pihak swasta dan membuka akses bagi petani untuk memasarkan komoditasnya walaupun dalam kontrol sektor kapitalis itu. Hadirnya perkebunan besar merupakan ancaman baru ekonomi desa karena terbukti banyak memakan tanah yang secara tadisional merupakan cadangan nafkah para warga desa walaupun belum dikelola secar intensif seperti tanah bero dan hutan. Penggunaan tanah rakyat itu dilandasi dari hasil survei yang mendalam yang kemudian menjadi acuan dalam penyusunan UU Agraria 1870. Pemerintah Hindia Belanda dengan UU ini mengambil alih sebagian besar kepemilikan tanah di desa kecuali yang merupakan milik perorangan. Hal ini karena dalam UU Agraria 1870, tanah desa yang berupa hutan dan tanah lahan kering yang diberokan diklaim sebagai tanah negara, dan tanah tersebut kemudian diberikan kepada perusahaan partikelir. Di luar Jawa UU ini masih mengakui tanah ulayat, tetapi hutan lindung menjadi milik negara. Kebijakan itu menyebabkan petani Jawa yang sudah menunjukkan gejala lapar tanah yang ditandai oleh munculnya kategori buruh tani dan petani kecil menjadi semakin rendah aksesnya untuk mendapatkan lahan dengan membuka hutan dan ladang. Masuknya bisnis perkebunan itu telah mengurangi areal tanah rakyat, di Jawa mengambil sekitar 9,47 %, dan di Sumatra Timur sekitar 26,35 % (Fauzi, 1999). Masuknya perkebunan besar dalam ekonomi petani telah dikaji Geertz dengan menelorkan tesisnya tentang involusi pertanian (agricultural involution) dan kemiskinan terbagi (shered proverty). Sistem perkebunan ini bukan membuka proses transformasi ekonomi subsisten ke komersial, melainkan justru memempertahankan pola ekonomi subsisten dalam arti petani bergantung pada produksi subsisten untuk menyambung hidup, dan menyediakan tanah dan tenaga yang murah bukan melalui transaksi pasar tetapi melalui penyerahan wajib. Dengan demikian, ekonomi perkebunan kapitalistik itu bisa berkembang karena mengeksploitasi ekonomi orang desa yang bersifat subsistensi.

103


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

104

Tesis involusi pertanian dan kemiskinan terbagi itu menegaskan bahwa orang Jawa menjadi miskin bukan mengisolasi diri dari ekonomi kapitalis, tetapi karena dieskploitasi olehnya. Situasi itu membuat orang Jawa mempertahankan ekonomi komunalistik untuk bisa survive, dalam arti mereka menyelamatkan kebutuhan hidupnya melalui praktik pertukaran sosial komunual seperti gotongroyong, sambatan dan berbagi rejeki dalam kekurangan. Dalam jangka panjang involusi pertanian itu menjebak orang desa untuk memecahkan masalah ekonomi dengan cara ke dalam bukan ke luar sehingga mereka mempertaruhkan komunitas dengan komunalisme dan sumberdaya tanahnya untuk terus-menerus menanggung masalah kepadatan penduduk, dan kemiskinan. Analisis Geertz tentang involusi pertanian melalui studi komperatif dengan menyimak kasus Jepang menunjukkan bahwa masalahnya terletak pada kebijakan negara. Di Jepang, Restorasi Meiji menjadi alternatif bagi petani untuk keluar dari pertanian tidak bisa menampungnya karena kepadatan penduduk. Meiji membuka industrialisasi yang menampung penduduk desa dengan melakukan urbanisasi. Pada awalnya pertanian dimanfaatkan untuk menopang pengembangan industrialiasi dengan dikorbankan sebagai penyedia kebutuhan pangan yang murah. Namun kemudian, pada gilirannya pertanian diberdayakan sehingga memberikan sumber penghidupan yang layak baik bagi kaum tani pada umumnya. Tesis Geertz itu berseberangan dengan tesis Boeke (1983) yang menelorkan teori dualisme ekonomi. Boeke menganggap bahwa masyarakat pribumi yang hidup dalam ekonomi prakapitalis tidak berubah banyak ketika Belanda mendatangkan ekonomi kapitalis. Boeke memandang bahwa orang desa belum siap memasuki sistem ekonomi kapitalis,dan keduasektor ekonomiitu secaranyataterpisah. Nampaknya Boeke tidak menyadari bahwa sistem ekonomi prakapitalis juga dipertahankan oleh Belanda dengan memaksa orang desa hidup dalamsubsistensi.Belandatidakmembukaprosesindustrialisasiseperti

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

Kaisar Meiji dalam menyelesaikan masalah ekonomi desa. Belanda baru mengembangkan industrilasisasi terutama sejak tahun 1930-an, dan pilihan jatuh ke sektor industri skala guna mencegah masuknya barang-barang impor dari Jepang yang telah mulai masuk ke Eropa. Oleh karena itu, pada periode tersebut, sektor industri skala besar tumbuh pesat dengan menyerap tenaga kerja dari 1.5 juta pada tahun 1929 menjadi 2.58 juta pada tahun 1930. Industrialisasi itu sama sekalitidak menyeraptenaga kerja desa dan mendorong industrialisasi di kalangan kaum pribumi (Panders, 1984). Secara umum dapat disimpulkan bahwa praktik penjajahan dengan mengembangkan tanam paksa, perkebunan partikelir, dan berbagai bentuk usaha non-farm di pedesaan tidak membawa proses penguatan ekonomi petani, tetapi sebaliknya justru menghisap dan menjauhkannya dari kemungkinan berkembang menjadi usaha ekonomi formal. Wolf (2000:153) melukiskan tidak danya kontrol atas mode produksi yang dikembangan pada masa penjajahan Belanda: The conquerors occupied the land and proceeded to organize labor to produce crops and goods for salein newly established markets. The native peasantry did not command the requisite culturallydevelopedskills and resources toparticipate in the development of large scale enterprises for profit‌ Therefore, the peasantry was forced to supply labour to the new enterprises but barred from direct participation in the resultant return. ‌Moreover the conquerors also seized control of large scale trade and depredated the native population of direct access to resources of wealth acquired through trade‌.

Eksploitasi ekonomi desa yang berlebihan dari jaman tanam paksa sampai perkebunan besar telah menimbulkan kemiskinan yang luar biasa. Kalangan oposisi di Belanda kemudian mendorong agar dilakukan politik etis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi. Namun demikian, politik etis ini dengan berbagai programnya di bidang irigasi, kesehatan,

105


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pendidikan dan infrastruktur tidak membawa perubahan yang berarti terhadap struktur ekonomi desa yang terperangkap ke dalam ekonomi peasant. Data tahun 1925 mengungkapkan bahwa jumlah petani miskin yang meliputi Tuna Kisma dan buruh tani mencapai sekitar 65 % dari seluruh penduduk desa (Mayer Rennet dalam Fauzi, 1999:45). Studi Penders tentang kemiskinan endemik di Bojonegoro Jawa Timur menjelaskan kegagalan dari politik etis ini yang antara lain terletak pada tidak adanya upaya melakukan tranformasi ekonomi desa yang marginal. Ia melihat bahwa masalahnya terletak pada fakta bahwa orang desa sudah amat miskin karena tanah garapannya sempit, upah buruh rendah dan akses ke pekerjaan non-farm amat terbatas. Akibatnya, berbagai terapi mengangkat pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan dan perbaikan sarana ekonomi tidak membawa perubahan yang signifikan, dan tetap saja mereka terjerumus kembali ke jurang kemiskinan ketika muncul banjir, kekeringan dan mewabahnya penyakit malaria. Ia menyayangkan bahwa pemerintah tidak melakukan tranformasi ekonomi desa dengan memberikan akses menuju ekonomi pasar, dan tidak adanya suatu tranformasi dari partanian ke industri.

106

Masa Orde Lama Setelah memploklamasikan kemerdekaan 1945, Indonesia masih harus berjuang mempertahankannya, dan perjuangan ini baru berhasil setelah pengakuan kedaulatan 1949. Perekonomian desa mendapat perhatian dalam panggung kekuasaan sejak pemilu 1955 karena desa terbukti sangat potensial bagi partai politik untuk membangun basis massanya. Partai-partai politik berlomba-lomba untuk memperoleh dukungan dari warga desa dengan menyebarkan pahamnya. Perjuangan untuk membela desa pun ditampilkan dan Sensus 1960 memberikan fakta yang mengundang simpati kalangan politisi untuk menyuarakan kepentingan desa. Hasil Sensus Penduduk 1960 mengemukakan bahwa

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

desa telah mengalami kelangkaan tanah dan gejala ini dijadikan komoditas partai politik untuk mendekatkan gerakan mereka dengan kepentingan petani. Rata-rata kepemilikan tanah pun merosot, jika pada tahun 1930 ratarata rumah tangga memiliki 0.75 hektar, pada tahun 1960 berkurang menjadi 0.50 hektar. Gejala kelangkaan tanah itu dipahami oleh sebagai akibat dari adanya tuan-tuan tanah yang mengancam akses petani kecil untuk bisa hidup layak. PKI, misalnya, dengan getol mengungkapkan tentang bahaya dari tuan tanah sebagai salah satu “setan desa�. Kampanye PKI untuk mengganyang setan desa agak terlambat karena respon partai politik lain begitu cepat sehingga dalam masa pemerintahan Sukarno lahir itu UU tentang Pokok-Pokok Agraria tahun 1960. UU Pokok Agraria ini mengamanatkan tanah untuk kesejahteraan petani dan karenanya diberlakukan program landreform, bagi hasil penggarapan tanah secara adil dan perlindungan tanah untuk kepentingan pertanian daripada kepentingan lainnya. Akan tetapi, program landreform itu belum sempat diimplementasikan, karena kekuasaan Presiden Sukarno menghadapi krisis ekonomi dan rawan konflik kekerasan sehingga jatuh pada tahun 1965, dan lahirlah Orba pada tahun 1967 dibawah Presiden Suharto yang mengangkat industrialisasi sebagai agenda untuk menjawab masalah keterpuruan ekonomi. Selain ditandai oleh munculnya keberpihakan terhadap petani, masa Orla juga ditandai oleh merebaknya koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan. Ketika meraih kemerdekaan, koperasi sudah dijadikan sebagai cita-cita untuk menjadi soko guru ekonomi Indonesia sebagaimana tertuang dalam penjelasan penjelasan pasal 33 UUD 1945: Dalam pasal 33 tercamtum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pemimpin atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan

107


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

kemakmuran perorangan. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi (Lihat Baswir, 2004:259).

108

Penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu menegaskan bahwa demokrasi ekonomi itu identik dengan ekonomi kerakyatan yang mengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran individu (Baswir, 2004:159). Koperasi mempunyai sistem nilai yang berseberangan dengan bisnis kapitalistik karena mengedepankan prinsip kesukarelaan dan terbuka, demokratis, pembagian keuntungan secara adil sesuai dengan partisipasi anggota, dan pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal dan kemandirian (Baswir, 2004:273). Ketika masa kekuasaan Sukarno itu, koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan berkembang karena sektor ekonomi kapitalis belum mengontrol negara secara masif seperti sekarang ini. Partai politik pun mempromosikan koperasi sebagai suatu gerakan yang didekatkan dengan ideologinya. Pada tahun 1950an, PNI memperjuangkan lahirnya UU No 79/1958 tentan perkumpulan koperasi, sedangkan periode 1960-1965 gerakan koperasi didekati oleh PKI (Kamaralsyah dkk dalam Baswir, 2004:277). Jumlah koperasi pun meningkat oleh adanya parti politik yang simpatik dengan perjuangannya, bila tahun 1959 ada 16.600 unit, maka pada tahun 1965 menjadi 70.000 unit (Chaniago dalam Baswir, 2004: 277). Namun demikian, jumlak koperasi menurun seiring dengan tumbangnya Orla. Jika tahun 1966 mencapai 73,400 unit, pada tahun 1968 merosot menjadi 14.800 unit (Baswir, 2004:278). Penyusutan ini terjadi di samping karena melakukan pembersihan koperasi dari anasir PKI, pemerintah juga menjinakkan koperasi ke dalam korporatisme negara seperti yang diberlakukan terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa lainnya. Koperasi pada masa Orla sebenarnya telah berkembang menuju ke cita-cita proklamasi, dan membuktikan bahwa mereka

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

bisa berkembang tanpa korpratisme negara. koperasi pada masa Orla yang relatif dekat dengan gerakan ekonomi kerakyatan bentuk usahanya pun bergerak ke bidang kredit dan produksi. Akan tetapi, pada masa Orba, koperasi dipakai untuk kepentingan membangun korporatisme. Akibatnya, koperasi bukan suatu gerakan masyarakat yang pluralis dan mandiri, dan melainkan bisnis dari golongan fungsional, utamanya ABRI yang memanfaatkan UU koperasi untuk melebarkan sayap bisnisnya dengan memperoleh fasilitasi dari negara. Bedanya lagi, banyak koperasi yang dibangun pemerintah utamanya KUD tidak popular dan populis bagi petani. Koperasi pada masa orba pun beradada dalam posisi marginal, dalam arti walaupun jumlah koperasi meningkat, tetapi karena bangunan ekonomi mengedepankan usaha skala besar, maka koperasi hanyalah varian yang tidak begitu penting dalam ekonomi nasional. Hal ini nampak dari perbandingan asetnya. Pada tahun 1993, BUMN, memiliki asset Rp. 269 triliun (53,8 %) konglomerasi Rp. 277,0 triliun (45,4 %) dan koperasi Rp. 4,0 triliun (0,8 %), sehingga koperasi sangat jauh tertinggal dari kelompok usaha yang lain (Baswir, 2004:285). Masa Orde Baru Selama lebih dari 30 tahun (1967-1998) rezim Orba yang otoritarian dan sentralistik melakukan perombakan ekonomi desa secara masif. Jika Belanda mengerem laju ekonomi desa yang prakapitalis dan subsisten dalam proses tranforrmasi ekonomi kapitalis, Orba justru mendorong dengan cepat sehingga bangunan ekonomi desa hampir seluruhnya tidak bisa terpisahkan dengan ekonomi kapitalis. Setiap sektor yang merepresetasikan hajat hidup masyarakat desa, seperti pertanian, dan perkebunan rakyat serta industri skala kecil menjadi kepanjangan tangan dari bisnis kapitalisis. Ketiga sektor ekonomi itu bisa survive karena menggunakan input produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan pertanian, bahan pakaian, makanan, minuman, dan lainnya dari

109


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

sektor ekonomi kapitalis dengan dibayar mahal karena output produksinya harus dijual dengan harga yang relatif rendah. Penduduk desa yang tidak tertampung di ketiga sektor itu juga bekerja utuk melayani sektor ekonomi kapitalis dengan menjadi pedagang kecil untuk memasarkan barang- barang produk industri. Dengan kata lain, Orba merombak ekonomi desa ke dari subsisten ke komersial, walaupun komersialisasi ekonomi yang berlangsung itu memperkuat bangungan ekonomi kapitalistik. Pengembangan struktur ekonomi kapitalis dipacu dengan modal pinjaman luar negeri, investasi asing dan dana pemerintah yang disalurkan melalui program-programnya yang memberikan prioritas kepada sektor kapitalis untuk menikmatinya. Akibatnya, dalam jangka panjang, sektor kapitalis tumbuh dan mengusai roda ekonomi nasional, dan mendominasi sektor ekonomi kerakyatan yang menampung banyak tenaga kerja. Ketimpangan ini membuat sektor ekonomi kerakyatan menghadapi beban yang besar, satu sisi harus bersaing tetapi sekaligus bergantung dengan sektor ekonomi kapitalis, dan sisi lain antar para pelakunya saling berebut akses pasar sehingga usahanya pun mengalami proses involusi. Kontrol dan ekspansi sektor kapitalis ke dalam ekonomi kerakyatan dan dampaknya dapat disimak dengan jelas pada pertanian pangan, perkebunan rakyat dan industri pedesaan. Ketiga sektor itu sepertinya tumbuh karena menampung banyak tenaga kerja dibandingkan dengan sektor kapitalis yang bergerak diindustri skala besar. Akan tetapi, jika disimak dari segi mode produksinya, mereka bukan sebuah bisnis kapitalis, melainkan dekat dengan usaha ekonomi subsisten yang rawan dengan eksploitasi dan ancaman pasar.

110

1. Pertanian Pangan Sejak Pelita I hingga Pelita III, Orba dengan gencar mempromosikan program RH guna mencapai ketahanan pangan nasional (Tjondronegoro, 2002). Program ini sekaligus dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan dan lapangan pekerjaan di sektor pertanian. Dengan RH itu sepertinya pemerintah berusaha

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

memecahkan masalah sempitnya lahan usaha tani melalui intensifikasi pertanian dengan paket penerapan teknologi modern yaitu penggunaan bibit unggul, obat-obatan, pestisida, pengairan yang baik ditambah manajemen usaha yang rasional. Secara sepintas RH sepertinya akan menyelesaikan masalah yang dihadapi kaum tani di penghujung tahun 1960-an yang ditandai oleh rendahnya produktivitas usaha tani yang mengancam kemiskinan dan kelaparan. Pada tahun itu jumlah orang miskin mencapai 60 % dari seluruh penduduk Indonesia sehingga RH diharapkan dapat menjadi jalan keluar untuk meningkatkan produksi pertanian, pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan. RH dimobilisasi oleh pemerintah dengan menggerakkan aparatur negara sehingga petani terbujuk dan terpaksa petani untuk mengadopsi usaha tani modern ini. Perubahan pun dengan cepat terjadi. Produksi gabah meningkat drastis dari 2.5 ton per hektar menjadi 5 ton, dan bakan bisa ditingkatkan lagi setelah memakai formula baru yang disebut Intensifikasi Khusus (Insus) dan Suprainsus. Tidak hanya itu siklus bercocoktanam juga meningkat karena perbaikan irigasi yang semula tanah hanya bisa ditanami satu kali lalu naik menjadi dua kali setiap tahunnya dan bahkan ada yang mencapai tiga kali. Belakangan karena intensitas penanaman meningkat dengan disertai resiko penyebaran hama maka siklusnya dikurangi dan pemerintah memperkenalkan intensifikasi tanaman palawija (Fox, 1993). Studi tentang RH menemukan berbagai dampak yang mengancam ekonomi peasant. Mengikuti para peneliti yang berkeblat pada pendekatan neopopulis dan ekonomi politik, RH memberikan peluang yang lebih strategis bagi petani lapisan menengah ke atas untuk mengakumulasi kapital (Husken, 1989; Hart, White, Turton 1989). Petani kecil dan gurem tertinggal dalam proses adopsi teknologi modern itu dan peningkatan produksinya tidak menutup kebutuhan subsistensinya. Akibatnya, petani menengah ke atas yang proporsinya kecil di desa bisa memanfaatkan akumulasi kapitalnya untuk memperluas

111


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

112

tanah-tanah yang dikuasainya. Dampak dari ketimpangan akses di dalam memanfaatkan RH itu adalah terjadinya akumulasi kapital di kalangan petani menengah ketas dengan luas lahan 0.5 hektar ke atas. Akumulasi ini meningkatkan akses mereka mengakumulasi tanah pertanian. Ini terbukti bahwa pada rumah tangga petani yang mengusai kurang 0.5 hektar berkurang, dan yang mengusai 0.5 hektar bertambah. Pada sensus penduduk 1973, jumlah petani lahan sempit verus petani lahan luas luas adalah 45,64 versus 44,44 %; tetapi pada tahun 1993 berubah menjadi 41,87 versus 58,13 % (Wahono,1999: 26-27). Para pengamat bahkan dampak lebih lanjut dari ekspansi Kapitali di sektor pertanian itu. Pertama, RH tidak menjajikan kesempatan kerja yang luas. Dengan mengadopsi RH, rasionalisasi dilakukan oleh para petani dari lapisan menengah atas dengan cara mengurangi tenaga kerja. Berbagai bentuk rasionalisasi itu misalnya merebaknya praktik tebasan, penggunaan traktor, sabit daripada ani-ani untuk memanen padi dan mesin huller guna menggantikan teknik tradisional. Rasionalisasi juga dilakukan dengan mengkomersialkan hasil ikutan pertanian seperti menggunakan jerami sebagai upah panen bagi petani gurem menggantikan bawon atau upah (Hudayana, 1996). Janji RH untuk meningkatkan produksi melalui penerapan panca usaha tani, perluasaan kesempatan kerja dan pendapatan lebih bersifat retorika. RH malah menimbukan masalah baru bagi orang desa dalam mencari nafkah. Pertama: rasionalisasi ekonomi telah mengubah hubungan kerja agraris yang menguatkan posisi tawar petani lapisan atas dan mendepak petani lapisan bawah khususnya buruh tani keluar dari sektor pertanian. Mereka ini kemudian melakukan urbanisasi yang dimanfaatkan oleh sektor ekonomi kapitalis untuk mendapatkan tenaga yang murah. Pertama: mereka masuk ke sektor informal sebagai pedagang kaki lima, bakul, pedagang keliling, warung yang menyalurkan produk industri besar seperti makanan, pakaian dan obat-obatan. Kedua, para pelaku di sektor informal

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

juga menyediakan produk jasa yang murah kepada buruh pabirik dan pekerja berdasi, misalnya kasus warung Tegal yang menjajakan makanan dengan harga yang murah. Ketiga: orang desa itu bekerja di pabrik-pabrik dengan upah harian yang rendah sehingga mereka tetap bergantung dengan desanya, bahkan menyedot sebagian sumberdaya ekonomi di desa untuk dibawa ke kota agar bisa bertahan hidup. Kedua: usaha tani dengan RH lebih berfungsi melayani pemerintah dan di dalamnya juga sektor bisnis kapitalis daripada menguatkan kekuatan ekonomi desa. Kegagalan RH mengangkat nasib petani kecil terjadi karena pemerintah tetap mengendalikan beras sebagai instrumen untuk mendukung kestabilan nasional dan menopang industrialisasi di perkotaan. Kenaikan produksi tidak mengangkat kesejahteraan petani secara sungguh-sungguh karena harga gabah dikendalikan oleh pemerintah. Harga input produksi juga semakin lama semakin mahal sehingga keuntungan usaha tani semakin mengecil (Wahono, 1999:20). RH bukanlah sebuah program yang populis. Pemerintah lebih berkepentingan untuk menciptakan ketahanan pangan, dan menjamin seluruh masyarakat memperoleh beras murah. Setiap tahun pemerintah menentukan harga gabah yang sebenarnya memberikan keuntungan yang rendah kepada produsen beras. Akibatnya, mereka yang memperoleh keuntungan adalah justru orang yang bekerja di luar sektor pertanian, yaitu PNS, buruh pabrik yang upahnya rendah. Ini berarti sektor industri kapitalis diuntungkan dengan kebijakan pemeritah tersebut, dan mereka bisa terus memberikan upah yang rendah karena buruh masih bisa membeli beras yang murah. Pemerintah memang memberikan kompensasi dengan menyediakan subsidi pertanian, tetapi harga pupuk dan obat-obatan yang cenderung naik tidak diikuti secara setimpal dengan naiknya harga gabah, sehingga keuntungan usaha tani relatif rendah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kredit Usaha Tani (KUT) tidak menarik bagi petani untuk meningkatkan produksi dan seringkali KUT sendiri macet karena

113


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

114

beban ekonomi petani tidak dapat diselesaikan dengan mode produksi yang dikendalikan negara seperti itu. Ketiga: dengan kontrol harga input dan ouput pertanian yang memberikan margin keuntungan yang rendah, maka petani menengah ke atas juga tidak bisa memberikan upah yang layak kepada para buruh tani. Mereka cenderung melakukan rasionalisasi yang mengancam buruh tani dengan memberikan upah yang rendah. Banyak tulisan yang mengungkapkan bahwa upah buruh tani naik, tetapi kenaikan itu karena banyaknya buruh tani yang keluar mencari kerja di kota. Keempat: petani harus membayar mahal untuk meraih keuntungan kecil karena menggunakan input kimiawi yang merusak ekologis, dan akibatnya untuk bisa berproduksi mereka tidak mempunyai pilihan kecuali justru memperbesar penggunaan pupuk dan pestida yang juga berbahaya bagi kesehatan manusia. Kelima: komersiliasasi pertanian itu tidak mendorong tumbuhnya sektor non-farm di desa. Surplus produksi yang diraih oleh para petani kelas atas bisa ditanamkan di sektor pertanian maupun non-farm, tetapi karena keuntungan yang diraih rendah, maka kalau pun ditanamkan di sektor non-farm bukan menjadi usaha yang handal. Sebagaimana nanti dibicarakan mengenai industrialisasi pedesaan, sektor non-farm justru mengalami ancaman involutif karena begitu banyak orang yang berebut pekerjaan ini sehingga menimbulkan persaingan yang ketat di tengah ancaman ekspansi industri skala besar. Dengan adanya RH ekonomi desa sepertinya membaik, orang bisa makan, tetapi cerita busung lapar masih juga bergema bahkan di masa reformasi. Wahono (1999:29) mencatat bahwa RH itu telah melepaskan orang desa dalam perangkap involusi, tetapi masuk ke perangkap kapitalisme. Orang desa dengan RH keluar dari kemiskinan absolut, tetapi sesungguhnya tetapi berada dalam kemiskinan struktural. Sebelum RH berlangsung, persentase orang desa yang miskin mencapai 60 %, dan angka ini secara berangsur-angsur berkurang sampai 15 % pada tahun 1997,

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

tetapi ketika rezim krisis ekonomi terjadi kaum miskin di desa meningkat mencapai angka 60 % lagi. Kerja keras petani dan modal kerja yang dikeluarkan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperolehnya. Pemerintah mengontrol harga beras agar murah. Memang benar bahwa harga beras yang murah dibutuhkan juga oleh mayoritas para petani gurem dan buruh tani yang masih kekurangan pangan dari produksi subsistennya. Namun kebijakan mengontrol harga seperti itu bersifat deskrimintif karena diberlakukan hanya kepada produsen pangan, bukan kepada produsen barang di sektor industri. Logikanya jika petani diajak melakukan rasionalisasi dan masuk dalam ekonomi kapitalistik, maka harga beras biar diatur sediri oleh pasar sehingga terbuka kemungkinan bagi petani untuk mendapatkan harga tinggi. Apabila harga tinggi, maka kesejahteraan petani kecil dan buruh tani terangkat karena upah juga meningkat. Demikian juga, petani kelas menengah ke atas akan berpeluang menginvestasikan keuntungannya di sektor nonfarm yang membuka kesempatan kerja baru di desa. Apa yang terjadi adalah upah buruh tani dan pendapatan petani rendah dan mereka kemudian tetap terancam keamanan subsistensinya. Ketika Indonesia mencapai swasembada beras (19801985), ekonomi desa tidak membaik. Sumber masalahnya adalah nilai tukar produk pertanian rendah. Selain itu, swasembada pangan hanya berlaku sebentar, dan Indonesia kembali menjadi importir beras, dan pada tahun 1998 angkanya pun mencapai 9 % dari total suplai, sama seperti 1965 menjelang lahirnya Orba (Wahono, 1999:15). Kegagalan mempertahankan swasembada pangan karena dua alasan pokok. Pertama: RH mengalami titik jenis untuk meningkatkan produktivitas panen melalui peningkatan asupan, dan intensifikasi yang berlebihan dengan menggunakan pestida dan pupuk unorganik telah menimbulkan biaya kerusakan lingkungan yang tinggi (Wahono, 1999:19). Kedua, pemerintah tidak membuka akses petani menentukan harga gabah. Jika harga beras tidak dikontrol

115


Kaya Proyek Miskin Kebijakan

pemerintah, maka proses pengembangan sawah menjadi sesuatu yang menarik bagi petani baik di Jawa dan luar Jawa. Pelajaran yang dipetik dari Orba di bidang pertanian pangan itu menggambarkan bahwa desa sebagai basis ekonomi kaum tani diposisikan sebagai alat negara untuk kepentingan bisnis kapitalistik. Dengan RH, petani justru berkorban ganda, satu sisi mereka bekerja keras menerapkan sistem pertanian modern yang kapitalistik tetapi dibayar degan harga yang murah melalui kontrol harga gabah yang rendah. Sisi lain jika mereka terdepak di sektor pertanian sebagai akibat dari adanya rasionalisasi ekonomi, mereka lari ke kota guna bekerja di sektor industri dengan upah yang rendah. Dengan jatuhnya rezim Orba, maka rezim reformasi mewarisi tanggungjawab untuk menyelesaikan masalah pertanian pangan yang menjadi sumber kelangsungan hidup peasant. Tantangan pertama adalah bagaimana agar petani berani dan aman jika bisa keluar dari RH, dan masuk ke dalam sistem pertanian yang ramah lingkungan. Kedua: bagaimana agar pertanian bukan lagi sebagai sektor yang dikolonisasi oleh sektor industri sehingga usaha tani bisa memberikan kehidupan yang layak.

116

2. Perkebunan Rakyat Perkebunan rakyat muncul dalam ekonomi desa pada masa penjajahan yang dimulai pada jaman tanam paksa hingga perkebunan partikelir. Berbagai jenis tanaman komoditas diperkenalkan pada masa tanam paksa untuk kepentingan perdagangan di Eropa maupun dalam negeri seperti kopi, tembakau, cengkeh, karet, panili, indigo dan sebagainya. Akan tetapi, pada masa penjajahan itu posisi perkebunan rakyat tidak sebaik dengan perkebunan besar yang mempunyai kekuatan kapitalnya untuk menghasilkan komoditas ekspor. Perkebunan rakyat itu diusahakan oleh semua kelompok petani dari lapisan atas sampai ke bawah. Kendati demikian, usaha perkebunan rakyat itu sama seperti pertanian pangan bagi petani kecil merupakan

Keluar dari Jerat Eksploitasi & Ketidakberdayaan...

kegiatan ekonomi untuk menyambung hidup. Tidak ketinggalan sebagai sebuah komoditas yang tidak diprioritaskan untuk kebutuhan sendiri, maka perkebunan rakyat sejak kelahirannya didesain menghasilkan komoditas untuk pasar. Karakter tanaman perkebunan seperti itu membuat petani harus mempunyai akses pasar dengan memiliki modal yang kuat, organisasi yang kredibel dan dan informasi pasar yang terbuka. Apabila tidak memilikinya maka kerja keras petani mengelola tanaman perkebunan justru tidak menuai keuntungan yang setimpak karena yang menikmatinya justru pedagang besar dan pihak pemilk industri seperti dalam kasus tembakau dan cengkeh. Sejarah ekonomi perkebunan memang cenderung membelenggu nasib petani untuk tidak bisa menjadi pekebun besar atau paling tidak memperoleh penghasilan yang layak. Harga atas bebagai jenis komoditas sering fluktuatif mengancam keamanan subsistensi petani kecil (Scott, 1983). Menghadapi resiko itu, maka petani tidak berani memperluas lahannya untuk komoditas perkebunan, dan sebagian tanahnya untuk tanaman pangan. Pilihan ini justru menguntungkan para tengkulak dan pedagang besar. Mereka bisa mengatur harga karena petani tetap menanam walaupun harga rendah. Di tingkat desa pun para tengkulak bisa mengatur harga yang rendah karena lemahnya permodalan sehingga pembelian produk dari petani bisa dibayarkan setelah barang terjual ke penampung seperti kasus kopi, tembakau dan lainya. Lemahnya akses ke pasar itu membuat petani juga tidak bisa meningkatkan kualitas produksinya sehingga komoditas perkebunan rakyat tidak kompetitif. Kebijakan pemerintah terhadap perkebunan rakyat tidak menelorkan kemajuan bagi masa depan kaum tani. Orba memperkenalkan varitas unggul dan menyebarkan tanaman baru ke berbagai daerah. Melalui Departemen Pertanian dan Perkebunan, petani diperkenalkan karet, cacao, kayu manis, panili, dan lainnya. Namun demikian, berbeda dengan usaha tani pangan, dalam hal budidaya perkebunan pemerintah kurang memberikan perhatian

117


yang besar dalam bentuk fasilitasi dan subsidi. Tanaman perkebunan rakyat hampir sepenuhnya dikembangkan oleh petani dengan menyesuaikan potensi ekologinya. Mereka, misalnya, menjadi produsen tembakau karena daerahnya cocok untuk tanaman ini. Mereka ini juga mempunyai kesadaran yang kuat untuk membudidayakan tanaman baru jika memang harganya baik di pasar. Hal ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa para peladang sudah lama menanam karet tanpa dorongan yang kuat dari pemerintah karena menjadi komoditas yang laku di pasar (Dove, 1985). Mereka kini memberikan sumbangan devisa yang besar bagi negara melalui usaha budidayakaret alam. Oleh karena itu, kebijakan tentang tataniaga yang melindungi kepentingan petani menjadi sangat penting bagi keberlanjutan usaha perkebunan rakyat. Dalam mengendalikan tataniaga komoditas perkebunan rakyat, pemerintah berpihak kepada sektor swasta kapitalis. Hal ini nampak secara eksplisit dalam kasus cengkeh. Sejak lama cengkeh menjadi komoditas yang penting di dalam negeri sebagai bagian dari komponen rokok keretek. Harga cengkeh relatif tinggi dan membuat petani terpesona dan mengembangkan tanaman ini. Akan tetapi, kebutuhan cengkeh dalam negeri yang kurang dan impor cengkeh dimungkinkan, membuat harga cengkeh bisa jatuh di pasar dalam negeri. Situasi itu memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk mempengaruhi kebijakan tata niaga yang menguntungkan dirinya. Pada masa Orde Baru lahir tata niaga cengkeh yang diberikan kepada BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) yang pemiliknya adalah Tomy Suharto anak presiden. Dengan adanya BPPC ini pemerintah mengeluarkan dana yang besar agar badan ini bisa memiliki modal kerja untuk membeli cengkeh. Namun yang terjadi adalah harga cengkeh tidak berpihak kepada petani bahkan menghancurkan usaha tanaman ini. Banyak petani yang gulung tikar dan tanaman ini pun ditelantarkan sampai kemudian komoditas ini tidak pupuler di kalangan petani. Setelah rezim Orba tumbang harga cengkeh sempat melambung, tetapi tidak lagi dapat dinikmati para petani

kecil yang sudah tidak lagi menanamnya. Kebijakan pemerintah di bidang pengembangan perkebunan besar juga secara nyata mememperlihatkan bahwa Orba lebih berpihak kepada bisnis kapitalistik skala besar. Dengan memprioritaskan perkebunan besar, maka pemerintah membuka kran investasi asing dan dalam negeri untuk menambah devisa. Sementara itu BUMN perkebunan besar yang dimiliki sebagai hasil dari nasionalisasi pada era Sukarno dijadikan sumber pendapatan negara tidak memberikan nilai tambah bagi kemajuan perkebunan rakyat. Dengan menfokuskan pada pengembangan perkebunan besar, Orba sama seperti Belanda yakni memberikan akses bagi pemodal untuk melakukan investasi di tanah yang diklaim sebagai milik negara. Untuk mendukung investasi itu, pemerintah mengabaikan UU Pokok Agraria yang pro dengan kepentingan petani, dan sebagai gantinya melahirkan berbagi produk undangundang yang menfasilitasi merebaknya investasi di bidang perkebunan besar seperti UU tentang investasi, kehutanan, pertambangan dan perkebunan. Selama masa kekuasaan orba, banyak tanah negara dipakai untuk perkebunan besar daripada untuk perkebunan rakyat. Jatah yang diberikan kepada rakyat adalah untuk lahan transmigrasi, tetapi sudah menjadi cerita bersambung bahwa transmigrasi sering identik dengan pemindahan kemiskinan dari Jawa ke luar Jawa. Perkebunan besar sepertinya menjajikan kesempatan para petani berpartisipasi dalam pengelolaan produksi karena dikembangkan dengan pola PIR. Ide dari PIR adalah melibatkan masyarakat sebagai produsen yang menyerahkan pengelolaan tanamannya kepada pihak plasma. Petani mempunyai kewajiban untuk menanggung biaya pengelolaannya. Dalam praktiknya, perusahaan juga mengelola lahan sendiri untuk menjamin keberlanjutan produksi. Dengan pola PIR itu petani sepertinya memiliki akses untuk menguasai lahan dan tanaman, tetapi managemen PIR bisa mengancam akses petani untuk mendapatkan keuntungan yang adil. Dalam prakteknya, mereka


sepenuhnya bergantung kepada perusahaan yang dapat mengatur biaya produksi dan pemasaran. Petani tetap saja berjarak dengan perusahaan, dan kerja di perusahaan jauh lebih baik posisinya daripada sebagai petani. Selama periode Orba, PIR yang berkembang terutama adalah kelapa sawit. Di Sumatra dan Kalimantan, investasi sawit sangat masif dan memasuki wilayah masyarakat adat. Kehadiran PIR itu ternyata menimbulkan berbagai masalah yang mengancam ekonomi perkebunan rakyat. (Flurus, 1999) Pertama: PIR menggunakan tanah-tanah negara yang sebenarnya masih dipertanyakan keabsahannya karena masih diklaim sebagai milik masyarakat adat baik sebagai milik perorangan maupun kelompok (tanah ulayat). Masalah ini mencuat pada masa Orba tetapi penduduk tidak bisa melakukan perlawanan. Baru kemudian pada masa reformasi tuntutan untuk mengembalikan kembali tanah ulayat itu muncul. Kedua: PIR sawit berpotensi menimbulkan degradasi kelestarian lingkungan. Sawit tidak sesuai dengan ekologi di beberapa daerah khususnya di Kalimantan. Sawit menghendaki sistem tanam monokroping sehingga tidak menyerap banyak air dan dalam jangka panjang mengancam terjadinya banjir. Belakangan terbukti bahwa musibah banjir muncul di kawasan perkebunan kelapa sawit seperti di Landak Kalimantan Barat. Ketiga: ekspansi sawit mengancam karet alam. Masyarakat lokal sudah terbiasa mengembangkan karet yang ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan dan kayu-kayuan yang sekaligus menjadi sumber pengahasilan. Dengan sistem tumpangsari, tanah terjaga dari terik sinar matahari dan menyerap banyak air yang ditumpahkan oleh curah hujan yang tinggi di daerah lintaskatulistiwa itu. PIR pada masa Orba itu hampir mirip dengan perkebunan partikelir pada masa Belanda. Kemiripan terletak pada kecenderungan perkebunan besar itu didesain menjadi bisnis kapitalistik dengan menggunakan tenaga kerja dan tanah petani

yang diberi imbalan murah. Dengan cara itu perkebunan besar bisa beroperasi mengembangkan bisnisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa nasib petani di daerah PIR meningkat. Namun tidak semua petani lokal menikmatinya. Hal ini karena cukup banyak petani yang menikmatinya adalah pendatang. Kehadiran PIR itu juga telah menimbulkan kesenjangan ekonomi antar rakyat yang bekerja di dalam perkebunan dengan mereka yang tetap hidup sebagai peladang. Kini nasib PIR sawit di beberapa daerah, khususnya di Kalimantan Barat harus menghadapi situasi yang sulit. Masyarakat adat semakin berani untuk menuntut atas kepemilikan tanah yang dipakai untuk lahan perkebunan. Tuntutan ini dilakukan dengan serius melalui agenda aksi yang bisa membuat perusahaan harus berunding dengan warga dan mencari jalan keluar agar warga bisa mendapatkan haknya tanpa menghancurkan bisnisnya. Akan tetapi, dengan adanya tuntutan itu ketegangan terus terjadi di wilayah perusahaan dan pada masa kini telah mengancam produksi. Dengan berbagai kebijakan yang tidak responsif terhadap kepentingan petani yang mengusahakan perkebunan, maka dampaknya adalah munculnya kesenjangan ekonomi antar petani dengan pengusaha yang menguasai tata niaga serta yang memanfaatkan komoditas ini bagi input industrinya seperti industri rokok. Selama ini petani tembakau tidak bisa bangkit mengembangkan bisnisnya bukan semata-mata karena tanah garapannya sempit. Harga tembakau misalnya lebih berpihak kepada pedagang dan pabrik rokok. Pemerintah lebih sering menaikkan harga cukai rokok guna meningkatkan pendapatan negara. Sementara konsumsi rokok di masyarakat tinggi, nasib petani tidak membaik4. 3. Industri Pedesaan 4

Di era reformasi ini muncul beberapa kali demonstrasi petani tembakau di Temanggung Jawa Tengah untuk menuntut kenaikan harga tembakau. Namun demikian, perdagangan tembakau tetap saja dimonopoli oleh para pedagang dan perusahaan rokok itu sendiri.


Sensus penduduk tahun 2000 memperlihatkan bahwa sektor industri semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Jumlah unit usaha yang bergerak di sektor industri tercatat sebanyak 39.73 juta dan sebanyak 99,97 % merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha ekonomi mikro, kecil dan menengah, dan sisanya sebanyak 0,3 % merupakan industri skala menengah dan besar. Di sektor industri pengolahan, nampak bahwa industri rumah tangga (IRT) dan industri kecil sangat dominan. Sensus 1990 mengungkapkan bahwa jumlah unit industri menengah dan besar hanya 0,8 %, sedangkan lainnya adalah industri kecil 6,2 % dan IRT 93,0 %; sementara itu, persentase tenaga kerja di industri menengah ke atas 32,7 % dan industri kecil 14,9 % sedangkan rumah tangga adalah 52,4 % (BPS dalam Baswir, 2004:73). Angka itu menjelaskan bahwa IRT dan industri kecil menjadi tumpuhan hidup sebagian besar tenaga kerja Indonesia non-farm. Akan tetapi, mengapa selama 30 tahun Orba membangun industrialisasi, justru jumlah industri skala kecil amat banyak, sebaliknya industri skala besar amat sedikit. Apa yang terjadi di Indonesia adalah mirip seperti di negara-negara berkembang yang cenderung hanya mengadopsi model-model pembangunan dari Barat dengan perhatian utama pada industriindustri skala besar yang bersifat padat modal dan berteknologi tinggi (Dewayanti dan Chotim, 2004:3). Industri kecil dan IRT identik dengan industri pedesaan, walaupun industri skala mikro itu juga muncul di perkotaan. Keduanya tumbuh tetapi tidak berkembang menjadi basis ekonomi yang bisa memberikan penghasilan yang tinggi dan berkelanjutan. Banyak industri kecil yang tumbuh dan kemudian gulung tikar karena besarnya persaingan di antara mereka. Keberadaan mereka juga tergantung dari derap ekspansi industri besar. Sebagai contoh banyak kerajinan rumah tangga dari bambo, tanah liat dan kayu gulung tikar setelah munculnya industri barang-barang dari bahan plastik, dan besi. Industri skala mikro

itu hanya bisa tumbuh dalam kerangka melayani industri skala besar yang menyediakan bahan-bahan setengah jadi, misalnya bahan konveksi dan peralatan dari besi dan sebagainya. Akan tetapi, ketika industri skala kecil ini dirambah oleh industri skala besar, maka tidak akan bisa bertahan dan kemudian gulung tikar. Merebaknya industri pedesaan sebenarnya lebih tepat dipahami sebagai upaya orang desa ke luar dari sektor pertanian tetapi tidak bisa masuk ke kota karena rendahnya akses bekerja di industri skala besar. Mereka tidak keluar dari desa karena sektor informal sudah involutif dengan ditandai oleh berjubelnya pedagang kaki lima yang berebut pembeli dengan keuntungan yang rendah (Dieter-Evers, 1983). Industri pedesaan yang tumbuh sejak Orba sampai sekarang memperlihatkan ciri yang khas yakni merupakan industri skala kecil. Sebagai industri rumah tangga, ia dikerjakan oleh anggota keluarga dan hampir jarang yang menambah tenaga dari luar. Adapun industri kecil menggunakan tenaga dari luar dengan jumlah 5 orang ke bawah. Mengikuti hasil penemuan para peneliti, karakter dari industri pedesaan seperti itu memiliki managemen usaha dan sekaligus masalah yang spesifik, yaitu: 1. Industri pedesaan merupakan usaha keluarga, sehingga bukan merupakan sebuah bisnis kapitalis. Di sini tidak terjadi pemisahan yang tegas antara aset bisnis dengan kekayaan keluarga. Polanya mirip dengan usaha tani subsisten tetapi orientasinya telah bergerak ke pasar untuk mencari keuntungan. 2. Dengan modal yang kecil, maka yang diandalkan industri pedesaan adalah produktivitas dan ketrampilan tenaga kerjanya. Modal ini bisanya berasal dari tabungan keluarga dan lainnya tetapi kebanyakan bukan dari dana pinjaman lembaga keuangan formal. 3. Memakai sistem kerja dan upah bersifat informal dan ada kecenderungan diberlakuan sistem upah harian dan


borongan. 4. Umumnya memakai input produksi dari sumberdaya alam setempat atau bahan mentah yang diperoleh dari pasar lokal walaupn jga menggunakan input dari luar yang diproduksi oleh industri skala menengah dan besar. 5. Hasil produksi dipasarkan di lingkungan setempat dan jika dijual ke luar desa, masih di wilayah kabupatennya. Dengan lima ciri itu, industri pedesaan bisa tumbuh dengan bertumpu pada kekuatan dari dalam. Lima ciri itu mengungkapkan bahwa orang desa telah mengembangkan pekerjaan di luar pertanian dengan menggunakan aset milik sendiri. Mereka mengandalkan tenaga dari dalam keluarga yang sering tidak dihitung sebagai pengeluaran. Dengan cara itu maka usahanya bisa dikelola dengan biaya rendah. Akan tetapi, dengan lima ciri itu sekaligus ia menghadapi masalah di kemudian hari ketika ekspansi industri skala besar dan globalisasi masuk ke pedesaan Dengan sistem kerja informal, maka penggunaan buruh bukan menjadi beban yang berat bagi IRT dan industri kecil sejauh upahnya rendah, para buruh menempatkan pekerjaannya sebagai sambilan, lebih baik daripada menjadi buruh di kota karena tidak meninggalkan rumahnya atau merupakan satusatunya yang bisa dilakukan. Sistem kerja informal itu positif itu juga sesuai dengan kebutuhan buruh miskin karena di dalamnya terdapat suatu hubungan patronase yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial (socialsafety net). Industri pedesaan juga bisa tumbuh karena menggunakan bahan baku yang murah, dan ini diperoleh di wilayahnya. Banyak juga industri pedesaab itu yang mengandalkan bahan baku dari produk pertanian dan sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya. Memang tidak dipungkiri bahwa telah muncul banyak jenis industri pedesaan yang menggunakan bahan baku dari luar bahkan produk ekspor untuk kerajinan tangan, makanan dan sebagainya. Akan tetapi, faktor bahan baku dari desa masih penting terutama untuk menjamin biaya produksi

bisa dikurangi. Dari segi pemasaran, nampak bahwa industri pedesaan paling potensial melayani kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Hal ini karena mereka bisa menekan biaya pemasaran, walaupun sering kali pemasaran memang dilakukan oleh mereka sendiri. Umumnya mereka melayani kebutuhan orang desa dan kota dari lapisan menengah ke bawah. Bata, batako, gamping dan kebutuhan bangunan rumah menjadi contoh bahwa kerajinan tersebut berlokasi di desa, dikelola dan dipasarkan sendiri oleh orang desa. Dewasa ini, industri pedesaan sepertinya tidak bisa bangkit menjadi produsen yang melayani masyarakat lapisan menengah ke atas dan memiliki pangsa pasar yang luas. Hal ini karena persaingan internal di kalangan para produsen sangat tinggi. Tidak terkecuali, mereka itu bisa hidup karena usahanya tidak terekspansi oleh bisnis kapitalistik sehingga muncul pemisahan antar produk industri kapitalis di kota dengan industri pedesaan. Apabila usahanya sampai terekspansi, maka kemungkinan akan gulung tikar. Ini misalnya terjadi masa tahun 1970-an dan 1980-an, ketika lahirnya industri massal peralatan rumah tangga dari plastik yang menggilas kerajinan rakyat dari tembikar, kayu, dan bambu. Nampaknya industri pedesaan bisa hidup bertahan karena memiliki segmen pasar dari kalangan menengah ke bawah. Hal ini terlihat dari kasus industri konveksi di Kecamatan Wedi Klaten (Purwanto, 2004). Pangsa pasar konveksi Wedi sampai seluruh wilayah Indonesia tetapi di tengah persaingan yang semakin ketat, konsumennya adalah penduduk pedesaan yang membutuhkan pakaian yang murah untuk pakaian seragam sekolah dan pakaian sehari-hari. Keunggulan yang dimiliki dari industri konveksi di Wedi ini adalah kemampuannya beradaptasi dalam menghadapi persaingan yang ketat. Para pengusaha yang mengelola industri kecil dan menengah di Wedi itu mengambil pilihan pada pembuatan pakaian murah untuk kelas menegah ke bawah, ketika pakaian untuk kelas menengah atas sudah dikembangkan oleh industri skala besar dengan jaringan pasar


yang kukuh di sektor formal. Di pedesaan, IRT telah menjadi kepanjangan dari proses pencarian nafkah kaum peasant yang mengalami titik jenuh di dalam menggantungkan nasibnya dari sektor pertanian. Nasib para peasant yang bekerja di industri pedesaan itu mirip juga dengan para buruh dari desa yang bekerja di industri perkotaan. Mereka menghadapi ketidakpastian bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak. Situasi ini menggambarkan bahwa mereka dalam posisi yang lemah ketika memasuki pekerjaan non-farm karena sektor ini berada dalam bayang-bayang ekspansi industri kapitalis. Memasuki krisis ekonomi 1997, banyak pengamat menyatakan bahwa IRT dan industri kecil relatif bisa survive. Meskipun demikian, jika gejala itu benar, maka menandakan bahwa mereka telah memiliki kemampuan beradaptasi menghadapi situasi yang sulit pada masa orba dengan dihadapkan pada ancaman pasar yang selalu diekspansi industri besar. Namun perlu dimenerti bahwa ketika industri kapitalis mengalami kelesuan sebagai dampak dari krisis ekonomi 1997, maka sesungguhnya industri pedesaan terkena imbasnya. Hal ini karena banyak orang desa yang kehilangan pekerjaannya di kota lalu kembali ke desanya, dan mereka ini masuk ke industri skala kecil. Pada masa yang akan datang dengan laju pertumbuhan penduduk yang rendah pun, industri pedesaan itu akan menghadapi situasi yang sulit. Satu sisi ia hidup karena belum digusur oleh ekspansi industri kapitalis dan sisi lain para pengusahanya terus bertambah dan bersaing sendiri sehingga prosesnya akan melahirkan gejala eksploitasi terhadap buruh untuk menekan harga barang agar laku di pasar. Era Globalisasi Jatuhnya Orba menjadi pelajaran penting dalam mengembangkan ekonomi Indonesia ke depan. Pertumbuhan memang penting, tetapi pemerataan jauh lebih penting. Tidak kalah penting juga bangunan ekonomi bukan menggunakan

fondasi hutang luar melainkan pada potensi dari dalam negeri dengan menggerakkan ekonomi kerakyatan. Masa Orba ditandai oleh keperpihakan pemerintah terhadap sektor ekonomi kapitalis yang berorintasi pada akumulasi kapital yang masif guna menghasilkan devisa, tetapi tidak banyak menyerap tenaga kerja dan bahkan mengerogoti keuangan negara dan menggilas sumberdaya ekonomi kerakyatan. Orba itu sendiri meletakkan fondasi yang kuat terhadap proses globalisasi. Dengan neoliberalisme, globalisasi meniadakan peran negara, menyerahkan kemakmuran kepada pasar, mengedepankan privatitasi dan membuka seluas-luasnya pelaku ekonomi untuk mengatur bekerjanya pasar bebas. Dengan bergabung menjadi aggota WTO (World Trade Organization) Orba memilih pasar bebas untuk daripada melanjutkan perannya mengatur ekonomi yang belum terselesaikan pada masa kekuasaanya kepada agen kapitalis global. Kegagalan Orba dalam melakukan pembangunan ekonomi yang pro globalisasitidakmenjadipelajaran yangberharga bagirezim reformsi. Bahkan rezim reformasi itu juga tidak berseberangan dengan rezim neoloberalisme, dengan mengimplementasikan rekomendasi IMF untuk memulihkan ekonomi dan menjamin bergeraknya pasar bebas.

Tuntutan SAP dan Dampaknya terhadap Ekonomi Kerakyatan


No. 1.

Pasal dalam SAP Dampak terhadap Ekonomi Kerakyatan Penghapusan tarif-tarif yang a. SDA dan bahan baku industri kecil membantu industri-industri dicaplok industri besar dan asing lokal agar tetap mampu b. Merosotnya akses pasar produk bertahan hidup berhadapan pertanian karena menurunnya dengan perusahaan-perusahaan permintaan sebagai akibat hancurnya besar. industri skala kecil. 2. Penghapusan berbagai a. Kehancuran industri skala kecil peraturan di dalam negeri yang karena daya saingnya rendah. mungkin dapat menghabat atau b. Kehancuran pertanian pangan sebagai terlalu banyak mengatur usaha tani keluarga karena lemah masuknya investasi luar negeri. permodalan dan daya saingnya. 3. Penghapusan kontrol harga - a. Meningkatnya harga-harga bahkan berkenaan dengan kebutuhan pokok yang mengancam kebutuhan pokok seperti kelaparan dan kemiskinan pangan dan air sekalipun- tetapi b. Eksploitasi buruh di sektor industri secara tidak adil mewajibkan kapitalis global pemberlakukan kontrol atas upah. 4. Pengurangan secara drastis a. Privatisasi pelayanan pubik sebagai berbagai pelayanan sosial dan bisnis kapitalistik yang mengancam badan-badan yang kesejahteraan sosial. menjalankannnya seperti b. Ketergantungan masyarakat lapisan pelayanan kesehatan dan bawah yang besar terhadap sektor perawatan medis, pendidikan swasta untuk memperoleh kebutuhan bantuan pangan dan bantuan dasar yang dibeli dengan harga yang usaha kecil, angkutan, sanitasi, mahal. air, pelatihan kerja dan lainlain. 5. Penghancuran secara agresif a. Hilangnya kemandirian civil society atas program-program rakyat sebagai kekuatan yang mengontrol yang menjadi sarana bagi dan mengimbangi sektor swasta. bangsa-bangsa untuk bisa b. Hilangnya dukungan negara untuk mencapai kemandirian dalam menguatkan ekonomi nasional dan hal kebutuhan pokok seperti kerakyatan. pangan, angkutan, industri besar, dan sumber daya dasar. 6 Perubahan-perubahan yang a. Membuka investasi asing skala besar dipaksakan secara cepat atas untuk menghasilkan devisa dengan perekonomian dalam negeri mengganti komoditas yang tidak bisa untuk menekankan produksi meng akses ke perdagangn global. ekspor yang biasanya dikelola b. Hancurnya sektor ekonomi tanpa ketatalaksanaan langsung kerakyatan seperti yang tidak efisien dari para investor asing dan menghasilkan devisa dan akses ke korperasi perdagangan global. Keterangan: Isiglobal. pasal-pasal SAP dikutip dari Munder, Barker dan

Korten (2003: 10-12), sedangkan dampak dari SAP diramu penulis dari berbagai sumber. Dengan rekomendasi IMF dan Bank Dunia, Indonesia

menjalankan program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program atau SAP), dan isinya dengan jelas menyeret Indonesia untuk membuka kran pasar bebas, dengan dampak yang serius pada ekonomi nasional khususnya di sektor ekonomi kerakyatan. Program ini untuk menyelaraskan dengan agenda WTO. Dengan mengikuti WTO, para petani kecil dan gurem akan menghadapi kehancuran usahanya (JHatami dan Hanin, 1999:6272). Pertama: hal ini karena dihapuskannya subsidi produksi dan ekspor secara pelan tetapi pasti. Pengurangan subsidi akan membuat petani semakin rendah daya saingnya dan bahkan memasuki jurang kehancuran. Kedua: karena adanya penghapusan tarifikasi yang biasanya dipakai untuk melindungi petani domestik dengan memungut tarik atas produksi impor. Dengan penghapusan tarif maka akan menggilas produk lokal yang semakin mahal karena berkurangnya subsidi. Ketiga, diberlakukannya Agreement on Agriculture (AOA) yang mengharuskan produk yang diekspor memenuhi standar kualitas. Keempat: pengakuan terhadap patenisasi produkproduk pertanian artinya memberikan hak terhadap pemegang hak paten atas temuannya untuk mengontrol pemasaran produk yang menggunakan hak patennya. Aturan AOA ini membuat petanipetani di negara berkembang harus membayar biaya yang relatif berat untuk mengadopsi teknologi produksi seperti pembelian bibit unggul dan asupan lainnya. Ancaman globalisasi terhadap merosotnya ekonomi petani bukan sebuah hipotesis lagi melainkan sebuah fakta yang merisaukan. Hal itu bisa disimak dalam buku berjudul “Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan� 2003 editan Munder, Barker dan Korten dengan kata pengantar I. Wibowo. Dalam beberapa artikel pada buku itu diungkapkan paling tidak tiga ancaman bagi petani. Pertama: ancaman pengangguran Di bawah prigram SAP, banyak negara sedang berkembang mengespor berbagai produk pertanian yang serupa, bahkan kerapkali sama ke negara-negara industri. Ini juga terjadi pada bahan tambang. Akibatnya, ketersediaan barang


berlimpah, sementara harga eskpor bahan baku jatuh, dan yang lebih parah lagi adalah hilangnya maa pencaharian banyak orang. Demikian pula ketika IMF melakukan kebijakan mendevaluasikan mata uang nasional, maka imporinpor (yang mencakup sumberdaya energi dan mesin-mesin) menjadi mahal. Begitu pula dengan berbagai industri domestik yang bergantung pada abhan impor kian terhimpit. Efeknya lebih bayak pekerja kemudian terpaksa diberhentikan. Lebih jauh, kebijakan IMF menaikkan suku bunga telah menghalangi usaha skala kecil dalam mendapatkan modal, baik untuk mempertahankan maupun mengembangkan usahanya. Akibatnya usaha mereka terhenti di tengah jalan dan banyak pekerja kehilangan pekerjaan (Canvanagh, Retalack dan Awlch, 2003:84)

Total keseluruhan impor itu bertambah tiga juta ton dalam satu tahun (meningkat 60 % dari tahun tahun sebelumnya) dan harganya pun mencapai hampir 1 milyar dollar. Selama satu masa tanam saja, harga-harga langsung merosot drastis, lebih dari dua pertiganya. Ini membuat jutaan petani produsen biji kacang kaangan untuk minyak kehilangan pasar mereka. Dengan demikian prakts, mereka tidak mampu menutup seluruh biaya yang telah mereka keluarkan selama masa tanam (Mittal, 2003:123)

Dengan berlakunya ketentuan WTO itu pertanian di Indonesia setelah 1997, maka nasib kaum tani Indonesia sangat terancam maut. Setiawan (2003:89-99) mengambarkan ancaman maut itu:

Kedua: Ancaman kelaparan dan keterpurukan. Karena program IMF itulah, subsidi untuk bahan-bahan pokok juga dihapuskan termasuk di antaranya adalah pangan dan asupan pertanian seperti pupuk. Alhasil, harga pupuk di pasaran melonjak drastik. Inilah persoalan pelik yang tengah dihadapi petani. Persoalan mereka pun tambah dirunyamkan dengan diterapkannya devaluasi mata uang sebagaimana didesakkan oleh IMF. Akibatnya barang barang impor menjadi mahal. Di Carakas tahun 1989, misalnya, terjadi kenaikan harga roti 200 %, meletuslah huru hara. Aparat keamanan melepaskan tembakan hingga menewaskan 1.000. orang. (Canvanagh, Retalack dan walch, 2003:88)

Dampak uatama setelah Indonesia menjadi bagian dari rezim WTO terletak pada kebijakan. Kini Indonesia sudah tidak punya lagi pilihan kebijakan (policy option). Kebijakan yang ada hanya satu yaitu liberalisasi ekonomi ke arah pasar bebas seturut resep yang diberikan oleh WTO. ‌ Ini berarti Indonesia harus membuka pasar domestiknya seluas-luasnya kepada produkluar negeri‌. Sejak 1997diterapkan liberalisasi pangan dan penyingkiran BULOG, liberalisasi pupuk melalui penyingkiran PUSRI, dan penghapusan tariff bea masuk hingga 0%..... Pemain pertanian kini beraliharipetani ke pedagang dan importer besar yang bermain di pasa komoditas internasional dengan mengorbankan petani, juga pertanian akan dikuasaiperusahaaninternasional dan agribusnis raksasa.

Ketiga: Kehilangan akses pasar dan tanah Di India, menurut perkiraan pemerintah, di setiap tahunnya lebih dari dua juta petani gurem dan marginal, kini kehilangan tanahn dan menjadi terasing dan tercebur dari tanah mereka sendiri‌..Kecenderungan tersebut bisa mulai dilacak dari kuatnya pengaruh aktivitas impor. Pada agustus 1999, misalnya, kebijakan liberalisasi impor bijikedelai dan minyak kedelai di India teah mengakibatkan impor-impor kedelai yang mendapat subsidi itu membajiri pasar di India.

Petani yang survive adalah yang menempati lapisan menengah ke atas. Akan tetapi posisi mereka sulit karena daya saingnya rendah jika dibandingkan dengan petani dari negara maju. Mereka dituntut untuk bisa bersaing dengan mengadopsi teknologi agribisnis tetapi dalam jangka panjang usahanya bisa gulung tikar ketika produk-produk dari luar masuk ke dalam negeri dengan kualitas yang baik dan harganya murah. Fenomena itu sudah kelihatan dalam kasus merebaknya buah dari Cina, Thailand, dan negara berkembang lainnya serta negara maju seperti


Australia. Pilihan yang muncul di Indonesia untuk mengatasi persiangan itu justru membuka masuknya investasi dari luar, dan petani diajak untuk menyewakan tanah dan menyumbangkan tenaganya. Dengan cara itu petani pendapatannya akan naik, tetapi tidak mengusai lagi produksi yang dkelolanya. Akan tetapi masalahnya akan lebih serius karena ke depan dengan dibukanya kran privatisasi sebagai agenda pasar bebas, maka gejala munculnya pelepasan tanah dari para petani dalam negeri kepada investor akan terjadi, sebagaimana telah terjadi untuk kasus pelepasan tanah untuk kompeks industri dan pemukiman. Dibidang industriskala kecil, ancaman globalisasiamat serius. Pertama: selama ini produk industri skala kecil adalah jago di kandangnya sendiri, dan memperoleh segmen pasar untuk golongan menengah ke bawah yang daya belinya relatif rendah. Dengan kualitas yang rendah, maka industri skala kecil itu akan berhadapan dengan produk-produk dari luar yang lebih berkualitas dan dipastikan akan merebut segmen pasarnya. Kedua: industri skala kecil yang bersifat menyambung hidup pasti akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas produksinya. Hal ini karena akses ke lembaga keuangan rendah sebagai akibat dri keterbatasan agunan dan rendahnya keuntungan usaha. Selain itu, mereka juga harus mempunyai keunggulan komperatif dan ini hanya bisa ditampilkan jika memiliki produk yang khas sehingga mempunyai segmen pasar yang luas atau tetap, misalnya kerajinan souvenir untuk industri pariwisata. Akan tetapi, jika gagal maka tidak mustahil akan dibanjiri pula oleh munculnya produk kerajinan dari luar utamanya dari Cina yang berpengalaman menyuplai souvenir wisata di beberapa kota di Eropa. Masalah yang dihadapi industri pedesaan bertambah dalam mendapatkan bahan baku. Mereka akan mendapatkan harga yang murah karena tidak diberlakukannya lagi tarif ekspor. Namun kebutuhan bahan baku dari dalam negeri juga akan sulit dipenuhi ketika bahan baku itu oleh produsennya cenderung dijual ke luar negeri yang memberikan harga yang menawan. Kasus ini sudah

dialami oleh kerajinan kulit, ketika pemerintah membebaskan kran eskpor kulit mentah sehingga para perajin kesulitan mendapatkannya. Kesulitan ini diperparah ketika impor daging sapi melonjak dan peternak sapi kelimpungan dan berkuranglah gairah untuk meningkatkan jumlah ternak sapinya. Dengan demikian, pasar bebas serba tidak menguntungkan bagi industri kecil dan rumah tangga baik karena harus menghadapi persaingan di dalam memasarkan produknya maupun mendapatkan bahan baku. Masa Reformasi: Agenda RPJMN Derap globalisasi kurang ditangkap oleh pemerintah era reformasi, khususnya pada masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagaimana terlihat pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (baca: RPJMN). Meskipun berupa rencana yang belum diimplementasikan secara utuh karena pemerintahannya belum genap satu tahun, patut dimaknai sebagai sebuah respon pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, dan dalam konteks ini adalah masalah ekonomi pedesaan dalam konteks globalisasi. Apabila dicermati, format RPJMN meskipun lebih baik dari GBHN pada masa Orba karena berani mengungkapkan sejumlah masalah secara rinci, secara umum memperlihatkan kemiripan. Hal ini nampak dari kecenderungan RPJMN kehilangan fokus pembangunan, karena hampir semua masalah mendapat perhatian dan semuanya berorientasi pada pertumbuhan, tanpa menegaskan pentingnya pemerataan. Perhatian RPJMN trhadap ekonomi desa dengan segala kekurangannya nampak dalam bab 19 tentang revitalisasipertanian, bab18 tentangpeningkatan dayasaing industri manufaktur, 20 tentang pemberdayaan koperasi dan usaha morko, kecil dan menengah, serta bab 25 tentang pembangunan pedesaan. 1. Revitalisasi Pertanian


Sektor pertanian dalam RJPMN meliputi pertanian pangan, agro-industri atau agribisnis, dan perikanan. Isu yang dilontarkan dalam menyimak sektor pertanian adalah sbb: 1. Kesejahteraan petani dan nelayan masih rendah dan tingkat kemiskinanrelatif tinggi. 2. Lemahnya lembaga dan posisi tawar petani yang berakibat pada panjangnya tata niaga dan belum adilnya pemasaran. 3. Lahan pengusahaan petani semakin sempit sehingga pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhan dan kurang mendorong upaya peningkatan produksi. 4. Akses petani ke sumberdaya produksif termasuk permodalan dan layanan usaha masih sangat terbatas. 5. Masih rendahnya sistem teknologi dan diseminasi teknologi pengolahan produk pertanian dan perikanan dan berakibat pada produktivitas nilai tambah produk pertanian dan perikanan. 6. Perikanan budidaya yang belum optimal yang mengakibatkan rendahnya produktivitas. 7. Ketidakseimbangan pemanfaatan stok ikan antar kawasan perairan laut dan terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut dan pesisir yang menyebabkan rendahnya produktivitas nelayan dalam kegiatan perikanan tangkap. 8. Rendahnya nilai hasil hutan non-kayu yang sebenarnya berpotensi untuk meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat sekitar hutan. 9. Pemanfaatan hutan melebihi daya dukung sehingga membahayakan pasokan air yang menopang keberlanjutan produktivitas hasil pertanian. 10.Di bidang pangan masih dihadapi masalah tingginya ketergantungan pada beras dan rentannya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Sepuluh masalah itu sebenarnya merujuk pada masalah yang dihadapi oleh ekonomi kerakyatan yang identik dengan ekonomi desa. Akan tetapi, RJPMN tidak memberikan labelisasi ekonomi

kerakyatan dan karenanya tidak membangun analisis yang menempatkan sembilan masalah itu sebagai akibat dari masalah besar, yaitu selama ini negara cenderung memprioritaskan pengembangan ekonomi kapitalitik. Rendahnya kesejahteraan petani, kapasitas organisasi, akseske teknologi,modal, tataniaga,produktivitas hasil non-hutan, dan over ekspoitasi atas sumberdaya hutan serta ketergantungan pada beras harus dilihat sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah masa lalu yang membuat petani berada dalam ekonomi peasant. Dengan demikian sepulh masalah itu merupakan akibat darimasalah struktural,bukan kultural. Jika masalah struktural yang terjadi, maka berarti masalah itu sudah muncul pada jaman Orba, dan masalah ini terjadi karena pemerintah Orba lebih berpihak kepada sektor kapitalis yang memarginalisasi ekonomi kaum tani. Dengan demikian, kalau formulasi masalah petani merujuk pada kegagalan pemerintah orba dalam menciptakan pemerataan, maka problem marginalisasi pertanian hanya bisa diselesaikan dengan melakukan perombakan struktural pada sistem ekonomi nasional, termasuk di dalamnya sektor pertanian. Selain itu, dengan adanya kecenderungan bahwa Indonesia telah terjerumus ke dalam bagian agenda pasar bebas, maka berbagai arah kebijakan dan program revitalisasi pertanian bisa dipastikan tidak akan mampu menyelesaikan sembilan masalah tersebut dengan hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi melalui (1) penguatan SDM, kelembagaan pertanian dan pedesaan (2) ketahanan pangan, dan (3) daya produktivitas, produksi dan daya saing, dan (4) pemanfaatan hutan dalam kerangka diversifikasi pangan dan hasil hutan non-kayu secara berkelanjutan. Empat arah kebijakan itu memang diperlukan, khususnya tentang kelembagaan pertanian dan pedesaan sebagai bagian pentingdalamkerangkarevitalisasipertanian yanglebih partisipatif. Walaupun demikian, kiranya perlu disimak bahwa agenda ketahanan pangan akan berantakan ketika Indonesia kemudian masuk ke kancah pasar bebas. Sebagaimana terjadi di India, petani kecil yang mengadopsi bibit modern tidak mempunyai akses pasar, dan mereka


kebanjiran kedelai impor yang harganya murah. Sementara itu dengan pasar bebas ketahanan pangan pun bisa merapuh ketika dengan bebasnya eksportir menjual produk hasil bumi dalam negeri ke luar demi atas nama devisa dan harga yang baik walaupun di dalam negeri terjadi kelangkaan. Dalam RPJMN, pemerintah akan memperhatikan masalah pemenuhan hak atas tanah (Halaman 157). Beberapa programnya disebutkan tentang (1) penataan, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkadilan, berkelanjutan dan menunjung supremasi hukum, dan pembela terhadap tanah absentia dan perkebunan sesuai dengan undangundang pokok agraria, fasilitasi dan perlindungan hak atas tanah bagi kelompok rentan, dan jaminan kompensasi terhadap kelompok rentan yang terkena penggusuran (RPJMN, 2005: 157158). Program itu sepertinya bisa diterjemahkan sebagai agenda reformasi agraria. Akan tetapi, tanpa dirumuskan secara tegas, maka program itu hanyalah sebuah pernyataan kepedulian terhadap masalah pertanian yang diderita petani. Program itu sampai sekarang belum juga menjadi agenda kerja yang nyata sehingga hanya baik di tingkat konsep dasar. Idealnya, misi dari pembaruan agraria adalah untuk melindungi tanah-tanah pertanian yang menjadi hajat hidup orang desa dari ekspansi kapitalis global. Dengan landreform itu maka pertanian dapat dikelola lebih produktif dan efisien sehingga tidak harus dikomoditikan sebagai faktor produsi yang dikuasai oleh pihak luar tetapi oleh pihak petani sendiri. Untuk menjamin usaha tani menjadi sektor yang produktif dan memberikan penghasilan yang berkelanjutan, pemerintah juga harus berani mengangkatnya sebagai program prioritas. Namun dalam RPJMN begitu banyak program yang akan digarap pemerintah, dan sebagian dari program itu justru tidak sejalan dengan upaya penguatan ekonomi petani. Dikawatirkan bahwa dengan programnya yang begitu banyak, pemerintah kehilangan kepekaan terhadap kepentingan orang desa. Di bidang investasi,

misalnay pemerintah didorong untuk memacu laju investasi dan ekspor dan dikawatirkan pemerintah justru mempermudah investasi di sektor-sektor yang merupakan hajat hidup penduduk desa. Sebagai contoh, ancaman serius dari negara maju untuk menolak ekspor kakau dari Indonesia dengan kualitasnya rendah, justru diselesaikan dengan pengembangan perkebunan besar yang berteknologi tinggi dan membuka masuknya investasi kakau yang mematikan produksi rakyat. Apabila pasar bebas menjadi acuan, maka pemerintah harus memastikan bahwa pajak usaha tani pun harus diminimalisasi, dan memangkas berbagai bentuk tata niaga yang panjang, dan mendorong organisasi petani sebagai kekuatan di dalam menentukan harga di pasar. Dalam RPJMN bab 16 bagian penanggulangan kemiskinan, pemerintah memang berjanji untuk melakukan penguatan lembaga petani (RPJMN, 2005:163). Apabila agenda ini benar-benar akan dilakukan maka sudah saatnya organisasi petani yang kritis justru diangkat menjadi mitra pemerintah dan didorong untuk mempunyai kapasitas dan jaringan yang kuat di tingkatnasional dan global sehingga kehadirannya berpengaruh baik ke dalam maupun ke luar Indonesia. 2. Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Dalam bab 18 RPJMN diagendakan pengembangan industri manufaktur guna meningkat daya saingnya. Ini artinya industri dalam negeri diharapkan mempunyai akses tidak hanya di pasar internasional tetapi juga nasional. Bab ini mengungkapkan begitu banyak masalah yang dihadapi sektor industri manufaktur, terutama sejak krisis ekonomi. Disebutkan dalam RPJMN (2005:185) bahwa: Meskipun permasalahan pernurunan daya saing ini berawal sebelum krisis ekonomi1997, perkembangan industri sangat memburuk setelah krisis tahun 1997. Banyak pengamat mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi�. Gejala ini


ditunjukan dengan mengamati perkembangan tingkat realisasi kapasitas produksi (utilisasi kapasitas), jumlah perusahaan, dan indeks produksi‌.. Dalam periode 19962002, jumlah industri skala sedang dan besar menurun 1.800 unit usaha atau sekitar 8 % dari 22.997 unit usaha yng ada pada tahun 1996. Sementara itu indeks produsksi industri pengolahan berskala besar dan sedang juga mengalami penurunan cukup signifikan sekitar 15 %, dari 126,54 % pada tahun 1997 menjadi 100,29 % pada tahun 2002.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa permasalahan tentang industrialisasi di Indonesia dialamatkan pada industri skala besar dan menengah. Formulasi masalah seperti itu menunjukkan bahwa pemerintah masih memandang sebelah mata atas kehadiran dari industri skala kecil. Dalam RPJMN misalnya disebutkan: Industri skala menengah (20-99 orang tenaga kerja), skala kecil (5-19 orang tenaga kerja) dan industri rumah tangga (1-4 orang tenaga kerja) memperkerjakan dua pertiga tenaga kerja manufaktur di Indonesia. Namun demikian, segmen industri ini menyumbang hanya 5-6 % dari total nilai tambah manufaktur. Industri kecil dan menengah terkonsentrasi di subsektor makanan dan kayu‌

Pemerintah tidak menggarisbawahi bahwa industri skala kecil itulah yang menghidupi kebanyakan tenaga kerja. Kutipan di atas mengisyaratkan juga bahwa pemerintah tidak menyadari bahwa rendahnya produksi yang dihasilkan oleh industri skala menengah dan kecil itu merupakan akibat dari kecenderungan menganakemaskan industri skala besar yang padat modal. Akibatnya, industri skala menengah dan kecil termarginalisasi dan hanya menyumbangkan 5-6 % dari total nilai tambah manufaktur. Krisis ekonomi adalah sebagai akibat dari pemusatan investasi ke industri skala besar yang bertumpu pada modal asing dan orientasi ke eskpor. Dengan demikian, perhatian pemerintah reformasi seharusnya menghargai pentingnya industri skala menengah dan

kecil sebagai penyerap tenaga kerja yang besar dan karena itu programnya justru dialamatkan ke kelompok ini, terutama industri kecil dan IRT. Dalam mencanangkan program pengembangan industri, pemerintah memang masih mengutamakan penguatan industri skala besar, dengan kepentingan meningkatkan daya saing ekspor. Untuk memperkuat struktur dan daya saingnya, pemerintah memang memprogramkan pengembangan industri kecil dan memengah (IKM), tetapi tidak untuk IRT. Program itu diharapkan dapat mengangkat IKM menjadi basis industri nasional dengan mencangkan empat strategi. Pertama: mengembangan sentra industri dengan 10 subsektor yang diprioritaskan. Kedua: pengembangan industri terkait dan industri penunjang IKM. Ketiga: perkuatan alih teknologi dengan forkus pada subsektor prioritas. Keempat: pengembangan dan penerapan layanan informasi (RPJMN, 2005:193). 3. Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dalam RPJMN, usaha mirko, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi dilihat sebagai sektor ekonomi yang mempunyai potensi untuk mengangkat taraf hidup rakyat banyak. Sektor ini bahkan disebut mencerminkan kehidupan sosial ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia. Pujian lain terhadap sektor ini pun tersaji dalam RPJMN (2005:2009): Produk Domestik Broto (PDB) UMKM pada taun 2003 tercatat sebesar 4,6 % atau tumbuh lebih cepat daripada PDB nasional yang tercatat sebesar 4.2 %. Sementara pada tahun yang sama, jumlah UMKM adalah 42,4 juta unit usaha atau 99,9 % dari seluruh unit usaha yan bagian terbesarnya berupa usaha skala mikro, UMKM tersebut menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 % dari jumlah tenaga kerja, meliputi usaha mikro dan kecil sebanyak 70,3 juta tenaga kerja dan usaha menengah sebanyak 8,7 juta tenaga


kerja. UMKM berperan besar dalam penyediaan lapangan kerja

Di dalam menformulasikan masalah UMKM, RPJMN tidak membidikan perhatian pada kurangnya kebijakan yang repsonsif terhadap kepentingan para pelakunya. Msalah yang disajikan sebenarnya masih pada tingkat ideitifikasi isu strategis seperti rendahnya produktivitas sehingga menimbulkan sekesangan yang lebar antar setor usaha mikro, menengah dan besar, terbatasnya akses kepada sumberdaya produktif seperti permodalan, teknologi, informasi dan pasar, masih rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, tertinggalnya kinerja dan kurang baiknya citra koperasi, dan kurang kondusifnya iklim usaha. Masalah itu jika disimak sesungguhnya merupakan akibat dari kebijakan negara selama ini yang condong menganakemaskan usaha ekonomi skala besar, dan hilangnya fungsi koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan pada era Orba. Lemahnya dalam menformulasikan masalah UMKM itu berimplikasi terhadap sasaran, dan arah kebijakan, dan programprogramnya. Pada sasaran, RPJMN menekankan pada peningkatan produktivitas UMKM guna mendorong pertumbuhan ekonomi, eskpor dan semangat kewrawusahan serta peningkatan kelembagaan koperasi. Adapun pada arah kebijakan merujuk pada upaya meningkatkan pertumbuan ekonomi, daya saing dan khususnya untuk usaha mikro adalah pada peningkatan pendapatan; peningkatan akses pada sumberdaya produktif , memperluas kesempatan berusaha, dan meningkatkan kemampuan UMKM untuk memiliki daya saing terhadap produk impor, dan khusus untuk koperasi adalah membenahi kelembagaan dan organisasi koperasi, networking organisasi koperasi sampai dengan kemandirian gerakan koperasi. Semua arah kebijakan itu sepertinya akan memangkat UMKM menjadi masa depan bagi kalangan masyarakat lapisan bawah tidak terkecuali penduduk pedesaan. Masalahnya adalah mengapa titik berat sararan dan arah kebijakan tidak dirumuskan

dalam kerangka memastikan bahwa ke depan UMKM memang menjadi solusi untuk meningkatkan kemandirian ekonomi nasional. Jika pilihan itu yang diambil maka sasaran dan arah kebijakan akan merujuk pada reformasi ekonomi nasional yang mempromosikan penguatan UKMN daripada usaha skala besar. Dari program-program yang dipromosikan, RPJMN semakin jelas tidak mmberikan jawaban atas masa depan UMKM yang nantinya akan bersaing produk impor sebagai konsekuensi dari pasar bebas. Program RPJMN di bidang UMKM adalah (1) penciptaan iklim usaha, (2) pengembangan siste pendukung usaha, (3) pengembangan kewirausahaan dan keunggulan komperatif usaha kecil menengah , pemberdayaan usaha slama mmikro, dan (4) peningatan kualitas kelembagaan koperasi. Tanpa mencurgai apakah pemerintah memiliki anggaran dan keseriusan mengimplementasikan program-program tersebut, masalah yang dihadapi UMKM itu akan terus mencuat. Mereka terus tumbuh di tanah air karena keterbatasan lapangan kerja di sektor usaha ekonomi kapitalistik sakala besar dan kemudian mereka saling bersaing sendiri untuk bisa survive dan celakanya mereka bersamasama akan digilas oleh industri kapitalis global yang masuk ke Indonesia dengan melalui pasar bebas. Oleh karena itu, jika program-program tersebut bisa terwujud dan membawa hasil, tetapi tidak menjawab masalah yang serius itu. Dengan demikian, UMKM yang telah dipuji sebagai penerap tenaga kerja terbesar seharusnya mendapat perhatian yang serius dengan memberikan perlindungan yang luar biasa dan memberikan akses mereka dalam mengambilan keputusan kebijakan poitik. Tanpa memiliki organisasi yang handal dan mempunyai kapasitas untuk berpartispasi dalam membuat keputusan politik, maka UMKM tidak bisa berbuat apaapa ketika mereka tergilas oleh arus global. 4. Pembangunan Pedesaan RPJMN memberikan perhatian pada pembangunan pedesaan dengan merumuskan sebelas masalah penting, yaitu (1)


terbatasanya lapangan kerja yang berkualitas, (2) lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial, (3) timbulnya hambatan distribusi dan perdagangan antardaerah, (4) tingginya resiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelau usaha di pedesaam , (5) rendahnya aset yang dikuasai masyarakat pedesaam , (6) rendahnya tingkat prasarana dan sarana pedesaam , (7) rendahnya kualitas SDM di pedesaam yang sebagian besar berketrampilan rendah (low skilled), (8) meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan lain, (9) meningkatnya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (10) lemahnya kelembagaan organsasi berbasis masyarakat, dan (11). lemahnya koordinasi lintas bidag dalam pengembangan kawasan. Dari sisi cakupan masalah, nampak RJPMN telah mengidentikasi secara mendalam dan kesebelas masalah itu mengggabarkan masalah yang muncul dalam ekonomi peasant. Masalahnya RPJMN itu tidak merformulasikan masalah-masalah tersebut dalam merangka konseptual yang ditandai oleh adanya penelasan teoritik dan empiric. Jelas bahwa masalahmasalah itu bersumber dari kebijakan negara selama ini yang memprioritaskan pembangunan di wilayah perkotaan dan berorientasi pada pengembangan sektor ekonomi kapitalis. oleh karena itu, desa dalam posisi tertinggal dan trmarginalisasi, dan bila keadilan ditegakkan maka sudah sasatnya pembangunan mengambil bais di kawasan pedesaan. Dilihat dari sisi programnya, RJPMN mengamanatkan lima agenda besar yang dirinci ke dalam agenda kecil. Kelima agenda besar itu adalah, (1) peningkatan keberdayaan masyarakat pedesaam , (2) pengembangan ekonomi lokal, (3) peningkatan infrastruktur pedesaam , dan (4) peningkatan kualitas SDM, dan (5) perlindungan dan konservasi SDA. Dari segi muatan programnya itu, nampaknya pembangunan pedesan akan memecahkan masalah yang telah diperbicangkan di muka dalam menelaah tentang marginalisasi ekonomi desa. Dengan program yang pertama, RPJMN akan melakukan reformasi agaria

sebagaimana diusung oleh kalangan akademisi dan LSM yang peka terhadap masalah ekonomomi petani, dan akan dilakukan penembangan lembaga perlindungan petani dan pelaku usaha ekonomi pedesaan. Masalahnya perlindungan semacam apa yang akan dipromosikan jika Indonesia sekarang ini sudah masuk ke dalam bagian dari pasar bebas. Program pengembangan ekonomi lokal juga bisa memberikan jawabab atas marginalisasi ekonomi petani. Namun masalahnya harus dicermati. RPJMN tidak memberikan detail permasalahannya, dan agenda yang diusung dikawatirkan justru memperlas ekspansi kapitalis ke dalam ekonomi kerakyatan. Kekawatiran itu terlihat dari butir-butir kegiatan yang akan dilakukan misalnya mengembangkan kawasan agropolitan, meningkatakan pengembangan agribisnis, pengembangan budaya kewirausahaan, pengembangan jaringan kerjasama, perluasan pasar dan promosi produk pedesaan, dan lainnya. Kegiatanitu jika tidak disubsidi atau dianggarkan secara maksimal oleh negara akan membuka kran masuknya investasi asing yang menggeser kemandirian ekonomi pedesaan. Selama ini ekonomi desa bisa survive di tengah kemiskinan karena para produsennya masih memegang asset produksi yang penting yaitu tanah dan hasilnya walaupun nilai tukarnya rendah. Program terkait infrastruktur pedesaam , peningkatan kualitas SDM dan perlindungan dan konservasi SDA merupakan agenda yang penting ke depan. Akan tetapi rogram ini akan baik jika menformulasikan cita-citnya secara lebih konkrit sehingga bukan sebuah retorika. Jelas bahwa infratruktur pedesaan sangat tidak menunjang kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ketingagalan juga SDM orang desa yang relative rendah, penduduk desa yang tamat SMP ke atas baru 23 % dan jauh tertinggal dari penduduk kota sekitar 52 % (RPJMN, 2004:255). Dalam kaitannya dengan SDA,m kerusakan sudah begitu banyak dan akarnya adalah ekksploitasi hutan, air dan mineral yang berlebihan dari sektor swasta kapitalis. kalau


fakatanya memang demikian maka berarti jika melindungi kepentingan penduduk desa, maka pemerintah pun membatasi ekspansi kapitalis ke desa dengan regulasi. Akan tetapi rtegulasi itu akan problematis dengan agenda pasar bebas. Dengan demikian perlu dilakukan kajian dan langkah serius agar semua gagasan dan program pembangunan pedesaan itu benar-benar dapat dimplementasikan. Pesimistik nampaknya tidak bisa dihindari karena dikawatirkan RJPMN itu merupakan sebuah gagasan besar yang tidak konsisten dengan pilihan Indonesia masuk ke dalam kancah pasar bebas yang justru difasilitasi dengan melakukan berbagai deregulasi dan privatisasi yang mengundang investor dari luar untuk menggeser otonomi para produsen yang justru telah dimiskinan oleh kebijakan negara selama ini misalnya dalam kasus petani cengkeh dan tembakau. Menuju Revitalisasi Ekonomi Desa Berkeadilan Diskusi di muka mengingatkan bahwa selama lebih dari 13 abad, desa mengalami proses eksploitasi dari kekuatan supra desa sehingga mebentuk corak ekonomi subsistensi. Secara tipikal, corak ekonomi subsistensi itu adalah sebagai berikut: 1. Secara umum, perekonomian desa merupakan usaha skala kecil di bidang pertanian pangan, non-pangan, perdagangan, dan industri yang terbentuk melalui proses sejarah yang panjang, dimulai abad ke 7 sampai dengan abad 21 sekarang ini. Usaha skala kecil itu dikelola secara informal oleh rumah tangga dan orientasinya bersifat menyambung hidup. 2. Walaupun perekonomian desa berubah orientasi produksinya dari sifat subsisten yaitu memproduksi barang untuk keperluansendiri kesifat komersialyaitu diperdagangkan ke pasar, mereka tidak berevolusi menjadi sebuah sektor ekonomi kapitalis. Sektor-sektor ekonomi di pedesaan mengalami proses marginalisasikarena diekspolitasi oleh rezim negara dan pasar yang mengakibatkan unit usahanya skala kecil,informal dan bersifat menyambung hidup.

3. Proses marginalisasi itu dibentuk oleh negara dan rezim kapitalis sebagai kekuatan supradesa yang mempunyai power politik dan ekonomi yang besar, dan desa dikendalikan sebagai koloni yang menghasilkan tenaga dan komoditas murah, atau sebagai sumber pajak dari negara dengan menfasilitasi masuknya sektor swasta memanfaatkan potensi yang dimilki oleh desa atau hadirnya bisnis kapitalis yang mengontrol bekerjanya mode produksi dalam perekonomian desa yang semakin tergantung pada pasar. 4. Hampir semua agenda komersialisasi ekonomi dan peningkatan produksi pertanian dengan dalih mengangkat ekonomi desa tidak berbuah, kecuali justru meningkatkan ancaman ekonomi desa menuju ketidakberdayaan. Hal ini nampak sejak tanam paksa, perkebunan besar, revolusi hijau sampai dengan pasar bebas. Asumsi-asuimsi bahwa ekonomi desa membaik karena masuknya mode produksi kapitalis dan kebijakan negara yang mendukungnya berpijak dari kerangka berfikir sepihak dari rezim penguasa dan pasar. Memang dengan adanya komersialisasi ekonomi, uang masuk ke desa dan meningkatkan kapital serta investasi, tetapi desa tetap saja tertinggal dan dalam cengkeraman rezim ekonomi pasar yang mengendalikan mode produksi di desa. Tidak ketinggalan, terdapat kecenderungan bahwa dengan semakin terbukanya ekonomi desa maka semakin tergantung dengan kekuatan eksternalnya. 5. Proses marginalisasi membuat ketergantungan desa dengan rezim negara dan kapitalis dan ketergantungan itu sekaligus diikuti dengan eksploitasi sehinga perekonomian desa menanggung beban yang besar. Pertama: kelangkaan sumberdaya alam dan tanah sebagai factor produksi yang penting bagi keberlanjutan dan perkembangan ekonomi desa. Kedua: berjubelnya penduduk dengan SDM dan modal yang rendah sebagai elemen yang penting untuk mengangkat mereka dalam relasi produksi yang menentukan


pendapatan. Ketiga: lemahnya dan tidak adanya akeses pasar dalam sistem ekonomi yang dikontrol oleh rezim negara dan kapitalis sehinga walaupun orang desa menyelenggarkan usahanya sendiri, tetapi pada dasarnya mereka seperti buruh yang nasibnya bergantung pada kebaikan majikan. 6. Era globalisasi merupakan ancaman serius karena semakin berkurang peran negara dalam menjalankan fungsi untuk menciptakan kemakmuran. Rezim pasar global akan menggerogoti SDA dan tanah desa dan sekaligus menggilas produksi petani, dan pengrajin dengan produk agribisnis dan industri yang murah sehingga ancaman hilangnya pekerjaan dan potensi untuk berkembang mengemuka di pedesaan. 7. Untuk mengantisipasi globalisasi yang memarginalisasi sektor-sektor ekonomi kerakyatan, maka pemerintah hrus berani menjalankan kebijakan yang populis. RPJMN bukan jawaban untuk menyelesaikan masalah ekonomi Indonesia, khususnya sektor ekonomi kerakyatan. RPJMN harus secara kritis menyikapi masalah marginalisasi ekonomi kerakyatan sebagai akibat dari kebijakan negara era Orba yang pro sektor ekonomi kapitalis dan pasar bebas, dan keengganan untuk melakukan pembahruan agrarian serta industrialisasi di pedesaan, dan pengembangan gerakan koperasi. Berpijak dari catatan kritis itu, maka agenda penguatan ekonomi desa harus mengubah paradigma pembangunan ekonomi, dan agenda dalam RPJMN. Orde reformsi harus berani melakukan perlawanan terhadapan neoliberalisme melalui berbagai langkah yang strategis, yang meliputi: pembaharuan agraria; penguatan industri rumah tangga dan kecil dan pengembangan koperasi. 1. Pembaharuan Agraria Nampaknya masalah yang dihadapi petani akan teratasi jika pemerintah mendorong terjadinya transformasi ekonomi pertanian yang bisa memberikan hidup layak kepada kaum tani

dengan mengembangkan skema pembaharuan agraria yang responsif terhadap globalisasi. Pembaharuan agaria ini dilakukan dengan cara: 1. Melakukan penataan ulang sistem produksi pertanian pangan melalui program landreform. 2. Menjamin usaha tani bisa memberikan nafkah yang layak dan berkelanjutan. 3. Menjamin petani memiliki organisasi yang kuat sehingga bisa mengontrol kebijakan publik di bidang ekonomi. Gagasan di atas bukan sesuatu yang baru, tetapi telah menjadi perhatian para penggerak pembaharuan agraria. UU No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebenarnya mengamanatkan dilakukannya landreform agar setiap keluarga petani dijamin untuk mengelola tanah pertanian dengan luas yang memenuhi standar minimum dan maksimum sehingga bisa diperoleh penghasilan yang layak dan bisamengembangkan usaha yang rasional, produktif, efisien dan mampu mengkases pasar. Dengan landreform, maka akan banyak petani gurem atau buruh tani yang meninggalkan usaha taninya, karena tanahnya diserahkan untuk dioleh oleh petani yang lebih potensial. Namun pemerintah harus juga menjamin mereka ini bisa berganti profesi dengan penghasilan yang layak. Dengan demikian, tugas pemerintah adalah membuka pekerjaan kepada kaum tani yang memang tidak bisa mengelola sendiri usaha taninya karena sempitnya lahan. Tenaga kerja desa yang tidak tertampung dalam sektor pertanian,karenakelangkaantanah dapatdicarikan solusinyadi sektor ekonomi pedesaan yang juga memerlukan pembaharuan dan dukungan yang serius dari pemerintah. Landreform diikuti pula dengan regulasi yang menjamin usaha tani bisa memberikan penghasilan yang layak dan berkelanjutan. Oleh karena itu semua produk hukum yang membelenggu usaha tani ke arah kemandirian harus diganti dengan yang justru menfasilitasinya. Pemerintah harus dikawal dan dikontrol oleh kelompok petani yang kuat udi dalam


emngimpleemhtasikan dua agenda di atas. Tanpa memiliki organisasi yang kuat, maka apa yang terjadi adalah pada masa orba, di mana kaum tani berkelompok untuk mengabsahkan kebijakan pemerintah yang tidak pupulis. Dengan memiliki organisasi yang kuat itu pula kaum tani bisa mempunyai bargaining posision yang kuat terhadap berbagai stakeholders.

dengan bekerja ekstra dan banting harga produksinya untuk sekedar bisa bertahan. Pilihan yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah membuat industri pedesaan mempunyai daya saing yang tinggi sehingga didorong melakukan rasionalisasi produksi tanpa harus menghadirkan investor asing yang justru menjadi ancaman selama ini.

2. Industrialisasi pedesaan Agenda utama mempromosikan industrialisasi pedesaan adalah mengangkat IRT dan kecil sebagai sumber kehidupan yang layak. Agenda itu harus menjadi program nasional yang menguras energi sehingga ke depan bisa menjamin bahwa desa menjadi kekuatan ekonomi nasional, bukan lagi industri skala besar yang daya serap tenaga kerjanya rendah. Pasar bebas menjadi ancaman serius bagi industri pedesaan dan negara harus berani mengabil keputusan politik untuk melindungi kepentingan penduduk yang selama ini terlantarkan dan terkesploitasi. Negara harus menjamin bahwa IRT dan industri kecil bukan jago kandang, tetapi mempunyai peluang untuk mengakases pasar regional, nasional dan global. Langkah itu bisa dirintis dengan menguatkan kelembagaan IRT di aras lokal untuk menyatukan barisan mereka dalam mengelola produksi, dan pemasaran. Selama ini, banyak IRT bekerja sendirisendiri tanpa bergabung membangun kekuatan bersama guna menghadapi pasar. Kerjasama antar IRT itu hanya akan tumbuh jika muncul dukungan regulasi yang meempunyai akses terhadap produk pertanian dan bahan baku yang berada di wilayahnya dengan memberikan regulasi yang ketat terhadap masuknya ekaspansi pasar ke desa Ancaman globalisasi tidak bisa dihidari jika Indonesia sepakat masuk pasar bebas. Namun demikian, langkah strategis harus dilakukan pemrintah untuk menjamin bahwa industri kecil bukan terperosok ke dalam bisnis yang terus menerus menyambung hidup dan orang desa sebagai pelakunya mengeksploitasi diri

3. Koperasi dan UKM Mewujudkan kembali koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan seperti pada masa Orla dan UKM kiranya bisa lebih relevan bagi pemerintah untuk menyiapkan masa depan ekonomi Indonesia. Sebagai gerakan ekonomi kerakyatan, koperasi akan melaju sebagai kekuatan ideologis dan massa yang mampu mengontrol kinerja pemerintahan apakah berpihak dengan mereka atau kepada bisnis kapiatlistik. Dengan jumlah UKM yang begitu besar maka mereka bisa membentuk koperasi dan sekaligus melalui gerakan koperasi mereka ini bisa membangun ikatan ideologis dan kepentingan yang sama untuk mengembangkan aktivitas ekonomi yang produktif dan efisien dan bertumpu pada kemandirian.

Catatan Akhir Bab ini telah mereview dan membangun ingatan mengenai betapa panjangnya derita dan ketidakadilan yang dialami oleh orang desa karena hampir setiap rezim negara dan pasar selalu menggerogoti ekonominya. Pada masa kini derita itu akan semakin parah karena merebaknya globlisasi yang memberi peran yang besar dalam mengatur secara langsung ekonomi domestik. Globalisasi menjadi ancaman yang paling serius bagi masa depan usaha skala kecil yang menyerap 90-an % tenaga kerja di sektor ekonomi. Di dalam cengkeraman globalisasi itu, negara dan masyarakat


harus mengambil sikap tegas untuk menyiasatinya. Pertama adalah pemerintah harus menelorkan kebijakan yang populis sehingga bangungan kebijakan ekonomi pada masa kini sebagaimana tertuang dalam RPJMN harus diformulasikan kembali. Kedua adalah munculnya gerakan sosial dalam masyarakat untuk merespon globalisasi dengan mendorong kemandirian ekonomi yang menghargai kekuatan dari dalam diri masyarakat. Agenda ini mempuyai potensi energi yang kuat karena hampir 90 % unit usaha ekonomi berasal dari kelompok usaha skala kecil.

Bab 4 Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Pada masa Orde Baru, kebijakan pembangunan berorientasi pada upaya mengatasi krisis ekonomi dan kemiskinan yang dianggap mendesak. Kebijakan-kebijakan pembangunan itu kemudian diprioritaskan dan difokuskan pada usaha menekan inflasi, memperbaiki sarana dan prasarana, menggalakkan penanaman modal, meningkatkan ekspor, meningkatkan swasembada pangan serta mencukupi sandang dan papan untuk kesejahteraan rakyat.1 Awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh tersebut terjadi pada pembentukan kabinet pertama orde baru tahun 1968 yang disebut Kabinet Pembangunan. Perubahan di dalamnya termasuk perubahan peran hukum dari peran legitimasi 1

Masalah utama yang dihadapi saat itu adalah kekurangan produksi pertanian. Secara keseluruhan produksi pertanian mengalami hal serupa dan sebagai prioritas penanganan pada masa-masa itu adalah masalah kebutuhan pokok yaitu tanaman pangan, khususnya beras. Uaraian lengkap tentang ini bisa lihat Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, Mec, Agribisnis Berbasis Peternakan, kumpulan pemikiran, Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB, 1998 hal. 3.


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

revolusi nasional melawan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme pada masa orde lama ke peran sebagai sarana pembangunan.2 Perumusan ketentuan-ketentuan hukum sebagai ungkapan kebijakan dan itikad adalah suatu spekulasi ideal yang belum banyak berhadapan dengan masalah-masalah lapangan. Di tataran ini, banyak praktek dilaksanakan dengan memaksakan penyimpangan-penyimpangan3. Berbagai penyimpangan tersebut melahirkan berbagai peristiwa yang disebut legal-gaps. Para ahli dan penegak hukum kemudian harus menghadapi masalah sosial, ekonomi, politik yang mempersulit penjabaran dan implementasi pengukuhan cita-cita negara berdasarkan hukum. Orde Baru kemudian menekankan fungsi hukum sebagai alat rekayasasosial(laws asa tool forsocialengineering)kebijakankebijakan pemerintah yang memprioritaskan pertumbuhan infrastruktur ekonomi dan politik. Prioritas tersebut berdampak pada pengalahan dan pemingiran hukum bila aturan-aturan tersebut dianggap mengancam kelancaran dan kelanjutan pembangunan ekonomi orde baru. Pada akhirnya Orde Baru jauh lebih buruk dari pendahulu yang dikritiknya. Sebab selama menggenggam kekuasaan, Orde Baru telah membuktikan dirinya sebagai pemuja kekerasan dalam mencapai tujuan4. Contoh-contoh legal gaps dan hukum sebagai alat rekayasa sosial dapat dilihat pada beberapa kebijakan/UU berikut. Pada UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman yang merupakan bagian dari pengaturan tentang Pertanian, arah dan substansi kebijakan ini disebutkan di dalam pasal 2 dan 3. Pasal 2 berbunyi sistem budi daya tanaman sebagai bagian pertanian berasakan manfaat, lestari dan berkelanjutan. 2 3

4

152

Bambang Warih Koesoema, Indonesia: Jejak “Neo Liberal” dan Krisis Ekonomi (makalah), 2005 Boedi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaultan Rakyat, YLBHI dan Raca Institute, Juli 2001, hal 4-6 sejak awal rezim orde baru di bawah ketiak Suharto mulai mengendalikan panggung kekuasaan di republik ini, ratusan ribu nyawa manusia harus melayang sebagai tumbal pengelolaan konfliknya. Uraian lengkapnya bisa dilihat di Julie Southwood and Patrick Flanagan, Indonesia: Law, Propaganda and Teror, Zed Press, London, 1983 hal. 1. Dalam buku tersebut menjelaskan tentang jumlah korban (500.000 orang) yang tidak berdosa pada saat paska terjadinya kup pada tahun 1965 sebagaimana dikutip oleh Boedi Wijardjo dan Herlambang Perdana, op.cit.

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Dilanjutkan pada pasal 3 menyebutkan bahwa sistem budi daya tanaman bertujuan: a . Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri dan memperbesar ekspor b. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani c . Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja Juga pada UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 2 menyebutkan “Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat”. Pasal 3 menyebutkan bahwa “Tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah: a . Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; b. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan c . Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari dua pasal pada UU No. 7 tahun 1996 ini terlihat secara jelas spirit/semangat Negara untuk berpihak kepada masyarakat. Di sini nampak bahwa Negara menomorsatukan masyarakat, kendati bunyi kedua pasal ini cukup normatif. Begitupun dengan partisipasi masyarakat, disebutkan di dalam Pasal 51 dan pasal 52. Pasal 51 “Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan bagi orang perseorangan yang mengkonsumsi pangan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku”. Sementara Pasal 52 adalah sebagai berikut “Dalam rangka penyempurnaan

153


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

154

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

dan peningkatan sistem pangan, masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan atau cara pemecahan mengenai halhal di bidang pangan�. Contoh selanjutnya pada pengalahan dan peminggiran hukum adat yang berakibat pada pengabaian hak-hak masyarakat adat atas sumber-sumber agraria. Oleh karena sumber-sumber agraria merupakan modal yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, maka negara memaksa menguasainya5. Penguasaan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kebebasan mengatur peruntukan dan pemanfaatannya. Untuk itu berbagai undang-undang kemudian dirancang dan diberlakukan guna mengesahkan pengalihan hakhak tenurial adat menjadi hak Negara. Pengalihan tersebut didasari anggapan bahwa negara Indonesia adalah peleburan dan perwujudan dari organisasi, sistem dan kaidah-kaidah berbagai kelompok masyarakat adat yang tersebar di wilayah Indonesia. Anggapan tersebut telah menyebabkan pemaksaan penerapan hukum nasional di wilayah-wilayah teritorial persekutuan masyarakat adat. Pemaksaan inilah yang kemudian menyulut sengketa-sengketa agraria antara Negara dengan berbagai persekutuan masyarakat adat di Indonesia. Orde Baru terbukti telah gagal melaksanakan amanat pasal 33 ayat (3)UUD 1945, yakni untuk mensejahterakan rakyat semesta. Kegagalan ini disebabkan rejim Orde Baru hanya bekerja untuk kepentingan atau orientasi komunitas elit politik dan kroninya bukan untuk basis rakyat. Dengan kata lain, bumi, air dan kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran konglomerat (kaum borjuasi) danpejabat-pejabatNegarabesertaalat-alat represifnyayaknimiliter dan para preman yang bekerja untuk mengamankan asset-aset mereka. Rakyat yang seharusnya dilindungi dan dibela untuk mempertahankan dan memperjuangkankan hak-haknya malah

diintimidasi, diteror, ditangkapi, dianiaya dan ditembaki, dengan dalih atas nama pembangunan, devisa negara, serta demi persatuan dan kesatuan (stabilitas nasional) dan masih banyak stigma lainnya.6 Akibat yang ditimbulkan kemudian adalah terjadinya proses pemiskinan besar-besaran di pihak rakyat, baik pemiskinan ekonomi, politik,dansocialbudaya.Meningkatnyaangkaurbanisasiyang disertai pengangguran di seluruh pelosok wilayah Indonesia, berkembang biaknya masyarakat miskin kota, semakin meningkatnya petani tanpa tanah karena semakin langkanya lahan pertanian.7 Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, akibat pergeseran akses sumberdaya alam, mayoritas rakyat Indonesia akan mengalami pemiskinan struktural yang pada gilirannya rakyattak berdayasama sekali. Bagaimana dengan kebijakan pemerintah SBY-Kalla? Mari kita melihat kembali soal arah dan substansi kebijakan pemerintah saat ini menurut RPJMN 2004-2009. Menurut RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2004-2009 Pemerintah, sasaranakhir dari revitalisasi pertanian adalah tingkat pertumbuhan sektor pertanian rata-rata 3,52 persen per tahun dalam periode 2004-2009 dan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani. Sasaran tersebut antara lain:

5

6

Boedhi Wijardjo dan Dadang Trisasongko, RUU Perkebunan: Melestarikan Eksploitasi dan Ketergantungan, Kesatuan Aksi untuk Hak-Hak Petani (KUHAP), RACA Institute, hal. 16

a). Meningkatnya kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi b). Terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan minimal 90% dari kebutuhan domestic, untuk pengamanan kemandirian pangan c). Diversifikasi produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras d). Meningkatnya ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri e). Meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang berasal dari ternak dan ikan

7

Boedhi Wijardjo dan Dadang Trisasongko, ibid, hal 16-17 KOMPAS, 9 April 2005

155


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

f). Meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan g). Meningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian dan perikanan h). Meningkatnya kemampuan petani dan nelayan dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari dan bertanggungjawab i). Optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu j). Meningkatnya hasil hutan non kayu 30 % dari produksi tahun 2004 k). Bertambahnya hutan tanaman minimal seluas 5 juta hektar dan penyelesaian penetapan kesatuan pemangkuan hutan sebagai acuan pengelolaan hutan produksi. Sementara di tingkat arah kebijakan, revitalisasi pertanian ditempuh dengan empat langkah pokok, yaitu peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga pendukungnya, pengamanan ketahanan pangan, peningkatan produktifitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan, serta pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan dalam peningkatan kemampuan petani dan nelayan serta pelaku pertanian dan perikanan lain serta penguatan lembaga pendukungnya, diarahkan untuk:

156

a) Revitalisasi penyuluhan dan pendampingan petani, termasuk peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan. b) Menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian di pedesaan untuk meningkatkan akses petani dan nelayan terhadap sarana produktif, membangun delivery system dukungan pemerintah untuk sector pertanian, dan meningkatkan skala penguasahaan yang dapat meningkatkan posisi tawar petani dan nelayan. c) Peningkatan kemampuan/kualitas SDM pertanian

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Kebijakan dalam pengamanan ketahanan pangan diarahkan untuk : a). Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri dengan ketersediaan minimal 90% dari kebutuhan domestic, agar kemandirian pangan nasional dapat diamankan b). Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri. Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan untuk meningkatkan populasi hewan dan produksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agar ketersediaan dan keamanan pangan hewani dapat lebih terjamin untuk mendukung peningkatan kualitas SDM c). Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasa social terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerja sama dengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternative. Kebijakan dalam peningkatan produktifitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan diarahkan untuk: a). Peningkatan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam mendukung ekonomi dan tetap menjaga kelestariannya melalui:  Penataan dan perbaikan lingkungan perikanan budi daya  Penataan industri perikanan dan kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah pesisir  Perbaikan dan peningkatan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap, terutama di wilayah ZEEI  Pengembangan perikanan samudra dan bioteknologi perikanan  Penigkatan peran aktif masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya perikanan  Peningkatan kualitas pengolahan dan nilai tambah produk

157


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

perikanan melalui pengembangan teknologi pasca tangkap/panen ď ľ Percepatan peningkatan produk perikanan budidaya ď ľ Peningkatan kemampuan SDM, penyuluh dan pendamping perikanan ď ľ Penguatan sistem kelembagaan, koordinasi, dan pengembangan peraturan perundangan sebagai instrument penting untuk mempertegas pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada. b). Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan terpadu dengan konsep pengembangan agrobisnis. Pendekatan ini akan meningkatkan kelayakan dalam pengembangan/skala ekonomi, sehingga akan lebih meningkatkan efisiensi dan nilai tambah serta mendukung pembangunan pedesaan dan perekonomian daerah. c). Penyusunan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dan perikanan, misalnya dorongan dan insentif untuk peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian dan perikanan, peningkatan standar mutu komoditas pertanian dan keamanan pangan, melindungi petani dan nelayan dari persaingan tidak sehat. d). Penguatan sistem pemasaran dan manajemen usaha untuk mengelola resiko usaha pertanian serta untuk mendukung pengembangan agroindustri. Selain RPJMN 2004-2009, Presiden juga mencanangkan konsep revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan pada 11 Juni 2005 di Jawa Barat. Menimbang kedua konsep diatas memang secara konsep Pemerintah telah cukup responsif dan bila dilaksanakan secara konsisten diharapkan dapat memperbaiki dan mencerahkan masa depan pertanian bahkan menggerakkan roda perekonomian keseluruhan. Tetapi sejauh mana pelaksanaan konsep itu dilaksanakan? 158

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Balada Pertanian Indonesia adalah negara agraris. Namun sebutan tersebut berlawanan dengan kenyataan yang ada sampai dengan saat ini. Pertanian sebagai sektor yang menyokong sebutan bumi agraris, masih terhalang beragam persoalan. Misalnya kesejahteraan petani yang terus melorot, kran impor produk pertanian yang terus membanjir, lahan pertanian yang tergusur, pupuk yang langka dan mahal di pasar, dan banyak lagi. Pendek kata inilah paradoks agraris bumi nusantara. Data berikut mungkin bisa menunjukkan paradoks itu. Pada puncak krisis ekonomi 1998-1999, penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk, atau hampir 40 juta orang. Pada 2002, angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan menjadi 14 % pada tahun 2004. Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pertanian KIB, Anton Apriyantono menyebutkan bahwa sektor pertanian nasional mengalami sebuah dilema. Di satu sisi memerlukan peningkatan produksi pertanian khususnya bahan pangan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang berkisar 1,6% per tahun, tetapi di sisi lain, pesatnya pertumbuhan penduduk tersebut secara langsung berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman atau perumahan. Hasilnya lahan pertanian makin tersudut, luruh, digantikan batu dan beton8. Merujuk pada data BPS pada 2003, tercatat luas lahan sawah yang sudah beralih fungsi mencapai 676.014 hektar. Berarti sudah mendekati 8% dari luas baku lahan sawah dengan distribusi daerah terkonversi terluas meliputi Jawa Timur 77.638 ha, dan Kalimantan Barat 49.125 ha. Padahal pada kurun 1983-1993, alih fungsi lahan sawah berkisar 400 ribu ha.9 Angka-angka tersebut tidak bisa dilirik sebelah mata. Di balik deretan angka tersebut, terdapat ancaman terhadap ketahanan 8

Swara otonomi Tahun II-No.14, Februari 2003

159


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pangan nasional dan kerusakan lingkungan. Dan faktanya, beragam aturan yang diluncurkan untuk menangkal konversi lahan, ambruk dalam pelaksanaan. Gejala penyudutan sektor pertanian sebenarnya bukan barang baru. Riwayatnya bisa ditelusuri ke belakang. Masih menurut Anton Apriyantono, pada jaman orde baru, sektor pertanian hanya diposisikan sebagai pendukung sektor lain. Akhirnya terjadilah bias kebijakan. Sebagai contoh kebijakan produk pertanian murah dan pembatasan ekspor produk pertanian, tak pelak lagi membuat petani mati kutu. Alhasil Product Domestic Bruto (PDB) pertanian merosot menjadi 17% pada tahun 2000-an, dari 60% pada 1960-an.10 Penurunan PDB ini juga menjalar pada menurunnya lapangan kerja pertanian dalam persentase yang sama. Tetapi di sisi lain memang mesti diakui, tidak ada satu Negara pun dapat mencapai fase perekonomian maju tanpa diawali fase tinggal landas sektor pertanian.11 Lantas mesti diamini juga bahwa tidak ada satu Negara pun dapat mencapai kemakmuran ekonomi jika masih didominasi pertanian (budi daya). Kemakmuran rakyat hanya dapat terwujud bila kita berhasil mengelola transformasi struktur ekonomi dari agraris ke industri, jasa, dan informasi. Seiring dengan banyaknya rumah tangga di Indonesia, jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP) berdasarkan hasil sensus pertanian 2003 naik, dari 20,8 juta RTP pada 1993 menjadi 25,6 juta RTP pada 2003. Rata-rata pertambahan, 2,10 % per tahun. Sementara jumlah petani gurem, yang mengelola lahan usaha kurang dari 0,5 ha per kepala keluarga, pada 1993 mencapai 10,8 juta RTP dan pada 2004 sebesar 13,7 juta RTP. Dari jumlah tersebut, Pulau Jawa mendominasi jumlah petani guram sebanyak 69,8% pada 1993 dan 74,9% pada 2004. Sisanya adalah di luar Jawa.12 9 10 11

160

12

Media Indonesia, 22 Desember 2004 op.cit. Sri Hartati Samhadi, op. cit, KOMPAS, 16 Agustus 2002 Media Indonesia, ibid

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Sementara itu, penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 39,75 juta. Komposisinya berdasarkan tingkat pendidikan, tidak tamat SD 35,71%, tamat SD 45,54%, tamat SMP 13,08%, tamat SMA 9,5%, tamat D1-D3 0,13 % dan sarjana 0,17%.13 Data ini mengungkapkan betapa sektor pertanian nasional lebih banyak dikelola oleh para petani gurem dan berpendidikan rendah. Dalam bahasa yang senada, dari YLKI menyebutkan ada tiga jenis persoalan yang membuat petani miskin, yaitu miskin pengetahuan, materi, dan akses. Dominasi Pulau Jawa juga merambah pada produksi pangan nasional. Pulau Jawa memberikan kontribusi bagi produksi padi sebanyak 56%, jagung 60%, kedelai 70%, daging sapi 62%, daging ayam 70%, telur ayam 50%, susu 90% dan tebu 67%.14 Besarnya alih fungsi lahan di pulau Jawa membahayakan ketahanan pangan nasional, sehingga perlu pembukaan areal pertanian di luar Jawa untuk mengatasi bahaya tersebut. Melongok profil pertanian, tidak bisa dilepaskan juga dari ketersediaan infrastruktur pertanian yang mendukung proses produksi. Beberapa infrastruktur yang mesti tersedia, di luar lahan sawah, antara lain air, jalan pertanian, gudang pertanian, kios sarana produksi, pasar pertanian, lumbung desa pertanian, dan rumah potong hewan. Selain itu tak bisa dilupakan ketersediaan jalan desa, prasarana telekomunikasi, dan pelabuhan. Data menyebutkan, untuk jaringan irigasi telah dibangun seluas 5,7 juta ha. Sekitar 1,5 juta ha dari jumlah itu mengalami kerusakan. Sementara jumlah kelembagaan petani Pemakai Air Irigasi (P3A) tercatat ada 43 ribu unit P3A yang telah terbentuk di seluruh Indonesia, namun baru 20% yang masuk kategori sudah berkembang. Untuk infrastruktur lain pun masih mengalami persoalan, seperti jalan yang rusak, gudang pertanian yang tidak representatif, pasar pertanian yang minim fasilitas dan sebagainya.

13 14

ibid ibid

161


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Kondisi pertanian yang masih lesu itu masih ditambah dengan membanjirnya impor dan komoditas baik yang secara legal maupun ilegal masuk ke Indonesia. Salah satu yang bisa dicermati adalah laporan dari para pedagang beras yang mengungkapkan ada sekitar 30-40 ribu beras illegal yang masuk ke Indonesia setiap bulannya. Beras-beras ilegal tersebut masuk melalui perbatasan seperti di Tanjung Balai Asahan, Janjung Balai Karimun, Batam. Berdasarkan analisa impor produk pertanian, diketahui bahwa pada pasca krisis saat ini (2000-2003) volume impor mencapai 13,0 juta ton per tahun. Hal ini berarti lebih tinggi dibanding pada masa krisis (1998-1999) bahkan pada masa sebelum krisis. Pada masa sebelum krisis (1995-1997) volume impor rata-rata 10,9 juta ton per tahun, dan di masa krisis (19981999) sebesar 12,4 juta ton per tahun.15 Masalah sulitnya membangun pertanian di negeri ini juga diwarnai dengan berjibakunya pemerintah untuk memodifikasi mekanisme pembiayaan sektor pertanian. Sejarah merekam, pada 1960 diluncurkan program kredit BIMAS. Total dana yang disediakan untuk subsidi selama kurun 1967-1970 hingga musim tanam 1984-1985 mencapai 636,7 miliar. Di akhir, dana yang tak dikembalikan mencapi Rp 20 miliar. Kemudian berjalan pola kredit usaha tani (KUT) sejak 1985. Realisasi penyaluran dana sebesar Rp 272,5 miliar per tahun. Al hasil, pada periode 1999-2000, total kredit macet KUT mencapai 84,4% dari total dana tersalur, yaitu 1,2 triliun. Dengan demikian selama KUT disalurkan total kredit macet sebesar 7,7 triliun.16 Selain dua pola tersebut, pernah diluncurkan juga kredit ketahanan pangan (KKP) dan skim kredit agrobisnis (SKA) yang masih berjalan hingga hari ini. Dari berbagai hal yang sudah diungkapkan di atas, dicatat langkah-langkah politik pertanian yang mesti dirintis oleh 162

15 16

ibid ibid

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

pemerintah, yaitu usaha berswasembada, menjadi eksportir pangan, perluasan areal pertanian, perluasan areal pengusahaan (KK petani), pengurangan jumlah petani, peningkatan kualitas produk, diversifikasi pangan, pengembangan industri pertanian dan membuat desa menjadi unit ekonomi yang kuat. Demikian semrawutnya dan ketiadaan visi jangka panjang pemerintah terhadap pembangunan ekonomi negara ini membuat pertanian kemudian terpuruk dan peran sektor pertanian dalam perekonomian tak lebih dari sekedar pengganjal atau pelengkap bagi sektor lain17. Sehingga tidak heran dalam satu dekade terakhir, sebagian besar pertanian mengalami kemerosotan kinerja dan petaninya mengalami pemiskinan secara dramatis. Sementara ketergantungan pada impor pangan dan produk pertanian lain meningkat tajam. Bahkan Indonesia sempat menjadi penerima bantuan pangan terbesar dunia pada masa krisis. Sebuah kondisi yang sangat ironis ketika dibandingkan dengan Indonesia pada tahun 1980-an yang sempat menjadi negara swasembada beras dan pemberi bantuan pangan untuk negara lainnya. Kebijakan di sektor pertanian semakin tidak konsisten dan tidak berkelanjutan, bahkan tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani yang sebagian besar hidup di desa. Mulai tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan sektor pertanian, dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan, yang penuh ketergantungan pada impor. Kebijakan baru ini ditopang pula oleh kebijakan pembangunan yang bias perkotaan (urban bias development), termasuk kebijakan perdagangan dan nilai tukar yang sangat melindungi sektor industri. Alokasi anggaran untuk sektor pertanian menurun drastis. Pembangunan infrastruktur pedesaan dan di luar Jawa diabaikan demi memacu pembangunan infrastruktur perkotaan dan di Jawa. Pembangunan pertanian sendiri mulai dilepas untuk didominasi 17

Sri Hartati Samhadi, “Sektor Pertanian Dianaktirikan“, KOMPAS, 16 Agustus 2002.

163


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

164

oleh perusahaan besar terutama di bidang perkebunan, peternakan dan perikanan, dimana pembangunan pertanian harus melibatkan rakyat berupa PIR dengan ketentuan 60% areal dimiliki oleh plasma. Pada paket deregulasi tahun 1990an areal menjadi 100% bisa dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan besar dan malah boleh 100 % modal asing. Kebijakan ini keliru, karena memarjinalisasi hak masyarakat dan menumbuhkan “enclave� kemakmuran warga perusahaan di tengah kemiskinan masyarakat pedesaan. Di lain pihak, 5 perusahaan perkebunan swasta besar menguasai lebih dari satu juta hetar lahan perkebunan. Semua nilai tambah jatuh pada perusahaan besar di Jakarta, sedangkan masyarakat lainnya di daerah hanya menerima UMR dan pemerintah daerah menerima PBB yang sangat rendah. Kebijakan ini merupakan kesalahan strategi pembangunan, yang harus diubah dengan memberikan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya domestik pada petani dan masyarakat pedesaan secara berkeadilan. Pertumbuhan pertanian mulai menurun yang mencapai puncaknya ketika impor beras menjadi 6 juta ton tahun 1998 (25% beras yang ada di pasar dunia) terbesar dalam sejarah. Dalam krisis ekonomi 1997-1999 pertumbuhan sektor pertanian masih positif dimana ekonomi nasional terjadi kontraksi yang cukup besar. Sektor pertanian dan pedesaan menjadi penyelamat kesempatan kerja dampak krisis ekonomi, disertai dengan menurunnya produktivitas tenaga kerja dan kembali membengkaknya kemiskinan pedesaan menjadi 27% tahun 1998. Kontribusi sektor pertanian pada pendapatan devisa meningkat dengan drastis. Krisis ekonomi menyadarkan akan berbagai kekeliruan pembangunan ekonomi nasional setelah tahun 1984. Ekonomi nasional harus dibangun dengan memanfaatkan secara optimal sumberdaya domestik (sumberdaya alam dan tenaga kerja) secara berkeadilan. Pembangunan tersebut harus melibatkan secara aktif masyarakat dalam perekonomian (“ekonomi kerakyatan�) disertai desentralisasi manajemen pembangunan.

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Sejak 1970-an pemerintah telah menjalankan proyek swasembada beras dengan kerangka Revolusi Hijau, termasuk menggelar proyek lahan sejuta gambut di Kalimantan untuk mendukung swasembada beras itu. Tetapi proyek ini menderita kegagalan, terbukti beberapa tahun terakhir Indonesia melakukan impor beras dari negeri-negeri lain. Banyak orang sedih, begitu ironisnya Indonesia, sebuah negeri agraris yang besar tetapi melakukan impor beras. Pada skala mikro, para petani kecil hanya mampu hidup secara subsisten, yang menggunakan hasil-hasil pertanian hanya cukup (bahkan cenderung kurang) untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Setiap hari kita mendengar jeritan petani tentang gagal panen, menurunnya harga gabah, serta meningkatnya harga bibit dan pupuk. Output yang dihasilkan sering tidak sepadan dengan input yang dibelanjakan. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong pemilik modal. Cindelaras (sebuah NGO di Yogyakarta yang concern pada pemberdayaan petani di desa), misalnya, pernah menemukan data penelitian bahwa para petani di desa tidak mampu menghadapi laju konsumsi yang jauh lebih cepat-besar ketimbang kemampuan produksi mereka. Banyak petani terpaksa menjual alat-alat produksi (sawah, pekarangan dan ternak piaraan) untuk membayar konsumsi (misalnya sekolah dan kesehatan) yang harganya melambung tinggi karena terjadi komersialisasi. Di sektor pertanian betul-betul terjadi destruksi baik dari sisi sumber daya, sistem produksi, dan sistem pemasaran (Gatot Irianto, 2004). Degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat penghancuran dan pembabatan hutan serta buruknya implementasi rencana tata ruang oleh pemodal kuat dan pejabat dengan argumen devisa adalah ilustrasi konkret terjadinya destruksi sumber daya. Degradasi sumber daya yang berkepanjangan menyebabkan investasi dan teknologi yang diimplementasikan dalam sistem produksi, seperti peningkatan

165


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

166

mutu intensifikasi (PMI), introduksi padi tipe baru, crops livestock (CLS), belum dapat meningkatkan produksi pertanian nasional secara signifikan karena peningkatan itu baru proporsional untuk mengompensasi dampak degradasi sumber daya. Degradasi sistem produksi antara lain hadir dalam bentuk: (1) lemahnya sistem dan mekanisme pengawasan distribusi sarana pertanian, (2) tidak fokusnya perencanaan sumber daya manusia pertanian (3) menurunnya luas garapan dan meningkatnya jumlah petani, dan (4) dicabutnya fasilitas kredit dan subsidi menyebabkan posisi sektor pertanian terus terpuruk. Kelangkaan pupuk yang terus berulang terutama saat awal tanam dengan durasi, frekuensi, dan distribusi yang terus meluas merupakan bukti-bukti konkret bahwa barisan oknum produsen pupuk dan distributor secara sistematis tega dan sengaja memanfaatkan keterbatasan serta ketidakberdayaan petani untuk mengeruk kepentingan pribadi. Kualitas sumber daya manusia pertanian yang tidak mampu mengantisipasi tantangan sistem produksi yang semakin meningkat menyebabkan nisbah pendapatan bersih (net benefit ratio) sistem produksi pertanian terus melemah. Dampaknya, generasi muda berpendidikan kurang tertarik memasuki pasar tenaga kerja sektor pertanian. Sebaliknya, tenaga kerja dengan pendidikan terbatas dan keterampilan rendah dengan daya saing rendah terus membanjiri sektor pertanian, sampai melebihi kapasi-tas tampungnya. Implikasinya, luas pemilikan lahan dan garapan per kepala keluarga menurun sehingga secara ekonomis efisiensi budidaya terus merosot dan pendapatan petani sangat sulit ditingkatkan. Pemiskinan petani diakselerasi dengan program ketahanan pangan nasional yang mewajibkan petani untuk mengusahakan padi tanpa jaminan harga yang memadai. Berbeda kondisinya dengan negara-negara maju di Eropa, seperti Perancis, Spanyol, dan Jerman. Luas garapan rata-rata untuk lahan terus meningkat, bahkan untuk tanaman pangan dapat mencapai 600 hektar, dengan jumlah petani terus menurun karena lapangan kerja

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

nonpertanian berkembang seiring dengan pertumbuhan lapangan kerja. Perubahan ini memungkinkan terjadinya percepatan secara alamiah dalam mekanisasi pertanian dan adopsi teknologi maju untuk meningkatkan efisiensi sistem produksi. Keunggulan komparatif dan kompetitif petani di negara maju didukung subsidi harga komoditas, bahan bakar, dan sarana pertanian serta proteksi impor komoditas sejenis atau komplementernya. Sementara pemerintah Indonesia atas perintah IMF, CGI, ADB, World Bank, terpaksa harus mencabut berbagai subsidi dan fasilitas kredit yang telah diberikan pemerintah selama ini dengan argumen antisipasi perdagangan bebas. Di sektor pemasaran, Departemen Perindustrian dan Perdagangan melakukan diskriminasi secara sistemis terhadap sektor pertanian. Padahal, secara faktual petani Indonesia dengan keragaman iklim menurut ruang dan waktu dapat memproduksi apa saja, kapan saja, serta berapa saja untuk pemenuhan keperluan dalam negeri maupun ekspor. Nilai tambah sektor pertanian dalam mendukung perekonomian nasional dan menghasilkan devisa seolah ditenggelamkan begitu saja dan dipandang sebelah mata dibandingkan dengan komoditas tekstil dan elektronik yang padat modal dan teknologi. Komitmen politik pemerintah melindungi komoditas strategis yang diproduksi di dalam negeri terlihat sangat payah. Maraknya penyelundupan komoditas strategis seperti gula dan beras merupakan bukti-bukti konkret yang tidak terbantahkan. Menyedihkanlagi, pejabatterkait seperti bea dan cukai, kepolisian, dan Deperindag menganggap penyelundupan merupakan persoalan biasa. Memalukan memang, tetapi itulah faktanya. Pemerintah juga tidak mampu menyediakan pasar komoditas buah-buahan yang secara teoretis daya saingnya tinggi dan pangsa pasarnya terbuka. Arus barang dan jasa perdagangan sektor pertanian yang terus dihancurkan ini menyebabkan nilai tukar komoditas pertanian semakin terpuruk dibandingkan dengan harga kebutuhan sehari-hari.

167


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Menuju Pembaharuan Tidak dapat disangkal bahwa struktur perencanaan bidang pertanian di Indonesia ini masih tersekat-sekat. Pertanian masih dikategorikan terpisah dengan peternakan, perikanan, perkebunan, dst. Bahkan pertanian hanya dijadikan salah satu sektor saja. Defenisi pertanian masih diartikan sebagai persawahan/perladangan saja (pertanian dalam arti sempit). Pendekatan pembangunan yang digunakan masih parsial, tidak terintegrasi, simultan, komprehensif dan belum terarah dengan model pendekatan yang mampu merekatkan semua bidang terkait ke dalam suatu strategi pembangunan yang utuh dan menyeluruh. Dalam aspek mikro masih terdapat berbagai kelemahan dan hambatan yang berarti yang harus disesuaikan dan diperbaiki agar tujuan pembangunan dapat tercapai dengan baik. Disadari atau tidak, paradigma pembangunan di masa lalu telah menyebabkan struktur perencanaan yang tidak terpadu dan struktur ini justru memperlemah daya saing pertanian18. Misalnya pada sektor peternakan, sektor yang tersekat-sekat ini dicirikan oleh penguasaan subsistem agribisnis hulubudidaya-hilir oleh pelaku yang berbeda-beda, bertindak sendirisendiri, tidak ada kaitan organisasi fungsional di antara ketiga subsistem agribisnis, adanya asosiasi pengusaha di hulu (GPMT, GPPUI, ASOHI, dll) dan di hilir (ASPIDI, AFINDO, dll) yang cenderung berfungsi sebagai kartel. Tipe agribisnis peternakan yang tersekat-sekat ini makin diperparah oleh pengelolaan departemen teknis dan non teknis yang cenderung ego sektoral, sehingga konsistensi kebijaksanaan antara departemen yang menangani agribisnis berbasis peternakan (departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Transmigrasi dan Pemukinan Perambah Hutan, Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil) pada kenyataannya sulit diwujudkan. Struktur agribisnis peternakan

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

yang tersekat-sekat ini menciptakan persoalan margin ganda dan masalah transmisi harga dalam berbagai bentuknya, yang sangat memperlemah daya saing agribisnis peternakan itu sendiri, yang secara tidak langsung berakibat pada petani19. Bagaimana dengan nasib petani dengan model pembangunan yang tidak terintegratif seperti yang disebutkan di atas? Pola dan struktur kelembagaan ekonomi dan sosial petani sepertinya belum mampu memberikan perbaikan dan peningkatan pendapatan rakyat kecil secara berarti di wilayah pedesaan dibanding perusahaan swasta. Petani akan selalu menerima pendapatan yang relatif kecil dan kehidupan ekonominya juga tidak mengalami perubahan yang cukup berarti.20 Padahal lingkungan ekonomi baik eksternal maupun internal yang dihadapi oleh pertanian dalam arti luas ini mengalami perubahan dan pergeseran yang mendasar dan menyeluruh. Perekonomian dunia yang mengarah kepada liberalisasi perdagangan, globalisasi ekonomi, dan industrialisasi peternakan membawa konsekuensi menyatunya pasar produk peternakan, mobilitas sumberdaya peternakan antara Negara dan antar kawasan ekonomi dan meningkatnya intensitas dan cakupan kompetisi. Berbagai perkembangan domestik membawa implikasi pada peningkatan tuntutan akan jumlah, kualitas, keragaman, dan atribut kesehatan produk pertanian, peternakan dan perikanan. Dalam lingkungan dan iklim seperti ini maka yang menjadi kata kunci untuk memanfaatkan peluang adalah peningkatan daya saing global. Dan untuk mencapai daya saing global ini, pendekatan pembangunan dengan paradigma lama perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kompleksitas persoalan eksternal kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembangunan agribisnis berbasis pertanian, peternakan dan perikanan akan dapat bertahan (survive) dan berkembang bila dilakukan perubahan yang sistematis dan integratif dalam paradigma pembangunannya. 19 20

168

18

Bungaran Saragih, op.cit., hal. 3.

ibid. Bandingkan Samsul Hadi, Pengambilalihan Tanah pada Era Otonomi Daerah, Swara Otonomi Tahun III-No.23 Februari 2004.

169


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Oleh karena itu agar dapat bersaing secara global, diperlukan kerja sama tim yang harmonis. Untuk membangun kerja sama tim yang harmonis selain memerlukan ketrampilan kerja (on-job skill) juga diperlukan wawasan yang luas tentang perilaku agribisnis berbasis pertanian, peternakan dan perikanan baik aspek mikro, makro maupun global (micro-macro-global behaviour).21 Bila pembangunan dengan berbagai pendekatan ini dapat diwujudkan maka sebagai bangsa kita dapat bersaing secara global pada era globalisasi ekonomi. Setiap perubahan lingkungan ekonomi akan direspon secara cepat mulai dari hulu hingga hilir. Dan yang paling penting adalah setiap pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat di wilayah perkotaan atau di negara-negara maju, akan meningkatkan permintaan pada produk. Peningkatan permintaan ini akan menarik perkembangan berbagai sektor ini hingga ke hulu. Hanya dengan itu manfaat ekonomi yang ada akan dapat dinikmati oleh petani di pedesaan. Itu berarti aktor terdepan adalah pelaku yang berada di wilayah administratif kabupaten dan kota. Petani yang ada di daerah tersebut merupakan pelaku yang secara langsung berhadapan dengan era perdagangan bebas. Oleh sebab itu, pemda kabupaten/kota memiliki tanggungjawab yang besar dalam mempersiapkan sektor-sektor ini menghadapai era perdagangan bebas. Keseriusan pemda kabupaten/kota dalam mempromosikan sektor-sektor ini agar memiliki daya saing, akan sangat menentukan sejauh mana peluang pasar yang ada dapat dimanfaatkan oleh agribsinis berbasis pertanian, peternakan dan perikanan. Kenyataan bahwa produk berbagai sektor ini sangat berkembang menjadi suatu agribisnis yang melampaui batas-batas wilayah administratif, memerlukan koordinasi dan kesamaan visi antara pemda kota dengan pemda Kabupaten. Secara tradisional, subsistem agribisnis hilir berkembang di wilayah perkotaan (kota), sementara subsistem agribisnis hulu berkembang di wilayah pedesaan (wilayah kabupaten). 170

21

Bungaran Saragih, op. cit., hal. 67.

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Sekali lagi untuk mengembangkan suatu agribisnis yang berdaya saing, diperlukan pengelolaan yang integratif. Subsistem agribisnis hulu dan budidaya yang umumnya berada di wilayah pedesaan (kabupaten) hanya mungkin berkembang pesat bila ditarik oleh subsistem agribisnis hilir yang berada di wilayah perkotaan. Demikian juga sebaliknya, subsistem agribisnis hilir di wilayah perkotaan akan mampu berkembang dan berdaya saing bila didukung oleh subsistem budidaya dan agribisnis hulu. Dengan perkataan lain, agribisnis yang berbasis pertanian, peternakan, dan perikanan yang berkembang melampaui batas wilayah administratif pemerintahan, menuntut koordinasi dan kesamaan visi dari organisasi pemerintahan yang terlibat di dalamnya. Tetapi selain menuntut pengelolaan yang integratif, bentuk keterlibatan Negara dalam hal ini, Pemda Kabupaten/Kota, dalam sektor-sektor ini perlu disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Dengan berlangsungnya liberalisasi ekonomi, bentuk-bentuk subsidi layanan inseminasi buatan dan kesehatan produk secara bertahap perlu dihapus atau diminimumkan, dengan menumbuhkembangkan kemampuan swadaya dalam agribisnis berbasis ketiga sektor tersebut. Demikian juga retribusi atau bentuk pungutan lainnya, perlu dihilangkan. Karenanya peran Pemda saat ini adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi upaya pembenahan diri agar siap menghadapi era perdagangan bebas. Bantuan pemerintah ke depan lebih ditujukan petani dan usaha kecil yang masih tertinggal dan belum mampu berkembang dengan kemampuan sendiri. Untuk mempercepat moderenisasi ekonomi petani dan usaha kecil, Pemda perlu mendampingi dan menguatkan mereka dengan mendorong pengembangan kapasitas ekonomi rakyat/petani baik dengan aliansi strategis, maupun usaha patungan dengan BUMD dan swasta. Apalagi sekarang dengan adanya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepada desa juga diberikan kesempatan untuk melakukan kerja sama dengan desa atau daerah lainnya serta peluang untuk

171


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

membuka BUMDes. Dengan itu pendapatan penduduk dapat ditingkatkan di satu sisi dan dapat pula mendiversifikasikan komoditas dan produk pangan di pihak lain Oleh karena itu, di masa yang akan datang, kita perlu mengembangkan konsep swasembada pangan untuk mengurangi tekanan terhadap beras yang selama ini kita andalkan karena belum terintegrasinya program berbagai sektor yang sebenarnya saling mendukung dan memiliki keterkaitan yang erat. Kalau di masa lalu, perhatian kita termasuk Pemda Kabupaten/Kota masih diutamakan pada komoditas beras. Sebagian besar sumberdaya pemda dialokasikan pada komoditas beras, dalam mencapai swasembda beras. Pengalaman menunjukkan bahwa mempertahankan swasembada beras sebagai cara mencapai swasembada pangan, ternyata sangat sulit dan membutuhkan korbanan yang besar.22 Revitalisasi Pertanian Melalui RPJMN pemerintah tengah mempromosikan revitalisasi pertanian, dibawah rubrik Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan untuk lima tahun ke depan. RPPK merupakan program menyeluruh untuk memberdayakan kehidupan ekonomi petani dan masyarakat desa, dengan tujuan mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan pertumbuhan pertanian rata-rata 3,5 persen per tahun. Pemberdayaan petani dan masyarakat desa itu akan dilakukan melalui sejumlah langkah dan kebijakan, di antaranya mulai dari pembangunan infrastruktur pedesaan dan infrastruktur dasar seperti pembangunan dam, saluran irigasi, jembatan, kelistrikan serta pencanangan kebijakan umum pertanahan dan tata ruang pertanian, pengembangan agribisnis, kebijakan ketahanan pangan hingga kemungkinan pemberian insentif bagi industri pertanian dan perdagangan. Dalam rangkaian revitalisasi pertanian, 172

22

Bungaran Saragih, ibid. 67.

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

pemerintah mencanangkan sejumlah kebijakan umum pertanahan dan tata ruang pertanian, Agustus 2005. “Kita ketahui, tata ruang pertanian semakin sedikit, apalagi di Jawa karena lahannya banyak dijadikan perumahan, industri, dan lainnya. Kita harap, tahun 2025 kita akan mempunyai 15 juta hektar tanah pertanian abadi,� demikian ungkap Menko Perekonomian (Kompas, 13 Mei 2005). Agenda revitalisasi pertanian sebenarnya meneruskan agenda yang sudah berjalan sebelumnya, terutama ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Dalam rangka memacu pertumbuhan di sektor pertanian, pengembangan agribisnis (termasuk agroindustri) menjadi salah satu kegiatan unggulan (a leading sector) pembangunan ekonomi nasional dalam berbagai aspek yang luas (Bungaran Saragih, 2002). Agribisnis diyakini pendukungnya sebagai baru melihat sektor pertanian, sebab selama Orde Baru dapat dikatakan bahwa pertanian dipandang secara sangat sempit; semata-mata hanya melihat sub sistem produksi atau usahataninya saja. Cara pandang yang lama ini telah berimplikasi yang kurang menguntungkan bagi pembangunan pertanian (dan pedesaan) yakni: pertanian dan pedesaan hanya sebagai sumber produksi primer yang berasal dari tumbuhan dan hewan tanpa menyadari potensi bisnis yang sangat besar yang berbasis (derived) produkproduk primer tersebut. Agribisnis adalah pertanian yang memiliki organisasi dan manajemen secara rasional, dirancang untuk mendapatkan nilai tambah komersial yang maksimal dengan menghasilkan barang dan jasa yang diminta pasar. Oleh karena itu dalam agribisnis, proses transformasi material yang diselenggarakan tidak terbatas hanya pada budidaya proses biologik dari biota (tanaman, ternak dan ikan) tetapi juga proses pra usaha tani, pasca panen, pengolahan dan niaga secara struktural diperlukan untuk posisi tawar (bargaining) di pasar. Dalam perekonomian Indonesia, agribisnis secara empirik mempunyai peranan yang sangat penting sehingga mempunyai nilai strategis. Hal ini disebabkan karena: 1) Mayoritas rumah

173


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

174

tangga penduduk dan angkatan kerja mengusahakan agribisnis (75 %) bekerja di bidang agribisnis, 2) Agribisnis menyumbang pendapatan nasional terbesar yaitu sebesar 60–70%, 3) Kandungan impor dalam agribisnis rendah, 4) Agribisnis sebagai salah satu sumber devisa, karena sebagian besar devisa non migas berasal dari agribisnis, 5) Kegiatanagribisnis bersifatlebih ramah terhadap lingkungan, 6) Agribisnis off-farm merupakan industri yang lebih mudah diakses oleh petani dalam rangka transformasi struktural, 7) Agribisnis merupakan kegiatan usaha penghasil makanan pokok dan kebutuhan pokok lainnya, 8) Agribisnis bersifat labor intensive, 9). Agribisnis mempunyai efek multiplier yang tinggi, 10) Agribisnis bertumpu pada sumber daya yang dapat diperbaharui. Di samping itu, agribisnis merupakan tumpuan utama dalam pemulihan ekonomi dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buku ini tidak menyangkal kebenaran dan sumbangan berharga revitalisasi pertanian (ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis). Tetapi buku ini dan juga banyak kalangan telah menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap agenda revitalisasi pertanian. “Revitalisasi pertanian tanpa keberpihakan kepada petani hanya akan menjadi utopia dan jargon yang menggantung tinggi di langit�, demikian ungkap pengamat pertanian, Toto Subandriyo (Kompas, 10 Juni 2005). Sebagian kalangan mengatakan bahwa agenda revitalisasi pertanian memunculkan harapan baru bagi dunia pertanian yang selama ini tidak memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Naik Sinukaban (2005), misalnya, menaruh harapan sekaligus memberikan usulan agar revitalisasi pertanian menjadi lebih bermakna. Pertama, revitalisasi pertanian harus didasarkan pada konsep penggunaan sumber daya secara berkelanjutan (sustainable agriculture development) sehingga sumber daya tersebut dapat digunakan oleh manusia untuk kehidupannya secara terusmenerus. Revitalisasi pertanian harus dapat menciptakan kondisi pertanian yang mampu mewujudkan tiga indikator pem-

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

bangunan berkelanjutan secara simultan, yaitu pendapatan yang layak bagi setiap petani (petani tanaman, petani ikan, petani ternak, buruh tani/pekerja di daerah pertanian), agroteknologi yang diterapkan tidak menimbulkan kerusakan sumber daya (degradasi), serta dapat diterima (acceptable) dan dikembangkan (replicable) oleh petani dengan pengetahuan dan sumber daya lokal yang mereka miliki. Ketiga indikator pembangunan berkelanjutan itu harus dapat diwujudkan secara simultan dan akuntabel dalam perencanaan revitalisasi pertanian. Kedua, dalam revitalisasi pertanian harus ada perubahan/pembaruan mendasar, kalau bukan membalik arus pembangunan dari mengutamakan target nasional menjadi mengutamakan kepentingan petani dan kelestarian penggunaan sumber daya alam. Dalam mengutamakan kepentingan petani, harus ada program yang jelas untuk meningkatkan produktivitas melalui pemilihan dan penanaman komoditas yang sesuai/cocok dengan faktor biofisik daerah. Dengan demikian komoditas yang dikembangkan adalah komoditas yang unggul dan cocok di suatu daerah (site specific)dan laku di pasar,baik pasarlokal, nasional, maupun regional/internasional. Tetapi di bali harapan itu, banyak juga kalangan yang masih bertanya besar dan menyampaikan kritik pada agenda itu. Harian Kompas (17 Mei 2005), misalnya, menegaskan bahwa revitalisasi pertanian tidak akan bisa berjalan apabila hanya menjadi pekerjaan Departemen Pertanian, apalagi jika diwujudkan dalam bentuk proyek-proyek semata. Pengamat pertanian, Bustanul Arifin (2005a), misalnya, menunjukkan setidaknya tiga kendala dalam agenda revitalisasi pertanian. Pertama, kendala strategis, bahwa dokumen revitalisasi pertanian tidak diperkuat dengan perangkat perundang-undangan yang agak mengikat, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden (perpres). Kedua, kendala fungsional. Memerhatikan pendekatan strategi revitalisasi pertanianiniyangterkesan sektoral,apalagisubsektoral pertanian, perikanan, dan kehutanan yang hanya berbasis

175


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

176

administrasipemerintahan.Ketiga,kendala yangbersifat operasional di lapangan, termasuk bagaimana implementasi yang dijalankan birokrasi dan pendanaan agenda besar revitalisasi pertanian. Kritik yang lebih serius muncul dari kalangan pemikir dan pejuang pembaharuan agraria. Mereka pertama-tama menyoroti bahwa kebijakan revitalisasi pertanian muncul hampir bersamaan dengan keluarnya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang salah satu pasalnya memberi kewenangan kepada Presiden mencabut hak penguasaan atas tanah yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang demi kepentingan umum. Kalangan pemerhati masalah agraria berpendapat peraturan presiden (perpres) itu akan memicu berbagai konflik di masyarakat. Tanpa ketentuan yang memberi kewenangan bagi Presiden untuk mencabut hak atas tanah saja, hingga Agustus 2003 tercatat 575 kasus konflik agraria di perkebunan. Itu hanya menyangkut tanah untuk areal perkebunan, belum lagi untuk sektor lain. Dari konflik agraria di perkebunan tersebut, 350 kasus terjadi di perkebunan negara dan 225 kasus melibatkan swasta. Sebagian besar soal hak atas penguasaan tanah. Berbagai kalangan menilai bahwa Perpres itu menjustifikasi tindakan represif dan perampasan hak-hak rakyat, bertentangan dengan semangat revitalisasi pertanian, tidak pro rakyat, dan tidak peka terhadap tuntutan pembaharuan agraria, karena itu ia harus dilawan dan dibatalkan. “Perpres ini lebih buruk dari peraturan serupa sebelumnya, yakni Keppres No. 55/1993, serta menafikan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Perpres ini bukannya menyelesaikan konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang terjadi selama ini. Tetapi, justru bakal menambah konflik baru. Kebutuhan masyarakat untuk diselesaikannya persoalan agraria dijawab pemerintah dengan peraturan yang lebih represif, serta meniadakan prinsip kesetaraan, keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia�, demikian ungkapan sikap politik Wahana

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Begitu Perpres diluncurkan gelombang aksi kolektif yang menentangnya berkobar di berbagai tempat. Di Palu, puluhan tukang becak dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi LSM Kota Palu, turun ke jalan menuntut pencabutan perpres tersebut (Kompas, 29/6/05). Di Yogyakarta, pada hari yang sama, puluhan massa dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) berunjuk rasa di depan gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jalan Malioboro, serta di simpang-empat depan Kantor Pos Besar Yogyakarta. mereka menilai Perpres Nomor 36 Tahun 2005 merupakan kebijakan yang tidak melindungi dan menghormati hak rakyat atas tanah. Di Pontianak, Presiden Presiden Susilo Bambang Yudoyono disambut dengan aksi unjuk rasa mahasiswa. Ratusan mahasiswa yang berunjuk rasa itu menuntut agar presiden mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No 36 tahun 2005 tersebut (Suara Pembaharuan 23/6/05). Di Jakarta, sekitar 3000 orang yang tergabung Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/ 2005 menggelar aksi massa bersama, dengan menyampaikan sikap dan tuntutan sebagai berikut: 1. Mendesak Mahkamah Agung untuk membatalkan Perpres No. 36 Tahun 2005. 2. Mendesak Kapolri untuk mengusut tuntas tindakan brutal aparatnya terhadap petani Tanah Awu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 18 September 2005. 3. Segera hentikan proyek-proyek pembangunan dengan dalih kepentingan umum yang akan menggusur rakyat dari tanahnya. 4. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama menolak Perpres 36/2005 dan membangun pos-pos penolakan mulai dari tingkat kampung hingga nasional. 5. Mendesak SBY-Kalla segera merealisasikan janjinya untuk menjalankan reforma agraria yang berpihak kepada rakyat, 177


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

termasuk menyelesaikan konflik agraria dan melegalisasi tanah-tanah yang sudah dikuasai rakyat. Kisah-kisah itu menggambarkan bahwa revitalisasi pertanian, seindah apapun tujuannya, tengah menghadapi pertanyaan dan gugatan yang serius. Problemnya bukan sekadar bagaimana merawat ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis, tetapi juga persoalan sengketa agraria yangselalu merugikanrakyat petani. Bisa jadi revitalisasi pertanian (tanpa spirit pembangunan pertanian berkelanjutan dan keberpihakan pada petani) hanya akan mendulang kegagalan program revolusi hijau. Bahkan Kompas (31 Mei 2005) menilai bahwa revitalisasi pertanian tanpa reformasi agraria hanya akan mengulangi kesalahan di masa lalu dan meninggalkan “bom waktu” munculnya konflik baru di seputar masalah agraria.

178

Pembaharuan Agraria Buku ini tidak menegasi gagasan dan kebijakan revitalisasi pertanian yang berorientasi pada pertumbuhan. Negeri butuh penyelesaian secara struktural di bidang agraria, melalui pembaharuan (reformasi) agraria untuk menciptakan kedaulatan rakyat petani dan keadilan sosial, yang selama ini telah hilang karena negaranisasi dan kapitalisasi. Kita memang harus kembali ke khittah pendirian Republik Indonesia. Salah satu nilai pokok kaidah fundamental negara mengamanatkan bahwa negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran dari prinsip ini tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 (ayat 1, 2, dan 3). Kesemuanya ini merupakan pilar-pilar demokrasi yang mendasari mekanisme perekonomian dan penyelenggaraan pembangunan. Amanat konstitusi tersebut dijabarkan dalam GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN 1993 diamanatkan bahwa pembangunan ekonomi harus selalu mengarah kepada mantapnya sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang disusun untuk mewujudkan Demokrasi

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Ekonomi yang harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan yang memiliki ciri-ciriantara lain:(a) Perekonomian disusun sebagai sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (b) Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (c) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (d) Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan demi kemakmuran rakyat; ….. dan seterusnya (GBHN 1993). Konteks nilai-nilai tersebut mempertegas bahwa “Dalam Demokrasi Ekonomi yang berdasarkan Pancasila harus dihindarkan hal-hal antara lain : (a) Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankna kelemahan struktural ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia; (b) Sistem etatism dalam arti bahwa negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat domian, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unitunit ekonomi di luar sektor negara; (c) persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dan sebagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan “cita-cita keadilan sosial”. Pembaruan agraria merupakan kata-kata kunci pada masa-masa dekade 1950-1960an di berbagai negara. Semua badan internasional dan semua perdebatan di sekitar pembangunan, membahas dan memperdebatkan soal ini; dan hampir semua negara mau tidak mau mencoba menyelenggarakan program tersebut, baik itu pada tingkatkebijakan, operasionalisasi,ataupun hanyasebagai retorika. Salah satu dorongan terhadap dijalankannya Pembaruan Agraria pada saat itu terutama karena adanya persaingan dan pertentangan di antara kubu negara-negara Blok Barat dan Blok Timur. Dengan demikian perdebatan di seputar Pembaruan Agraria ini sebenarnya diwarnai juga oleh aspek ideologis.

179


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

180

Sebagai bentuk respons atas berkembangnya developmentalisme, pada bulan Juli 1979, Konferensi Dunia tentang Pembaruan Agaria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development atau WCARRD) digelar oleh FAO, yang diharappkan mampu memperbaiki keadaan. Terutama WCARRD menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi semata tidaklah mencukupi, dan harus didukung oleh pemerataan dan partisipasi rakyat. Program aksinya menyatakan bahwa perbaikan yang berkelanjutan dari pedesaan memerlukan akses yang merata atas tanah, air dan sumberdaya produktif lainnya, serta keikutsertaan kaum miskin desa dalam kekuasaan ekonomi dan politik serta dalam sistem produksi dan distribusi. Pembaharuanagrariatentumerupakanalternatifatas kapitalisasi desa yang selama ini menimbulkan pemiskinan rakyat desa. Istilah pembaruan agraria sudah menjadi kata kunci yang menonjol diperdebatkan di berbagai negara sejak dekade 1950-an. Makna ’agraria’ bukansekadar ’tanah’atau ’pertanian’. Secara etimologis, ’agraria’ berasaldari kata’ager’ (dalambahasa Latin),yang berarti ’pedusunan’, ’bukit’ dan ’wilayah’. Ini menunjukkan arti yang lebih luas dari sekadar ’tanah’, karena mencakup wilayah yang didalamnya terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, bahkan tambang, perumahan terutama manusia. Konotasi tekanan pada ’tanah’ lebih disebabkan karena di jaman Romawi Kuno, konsep tentang ’lingkungan’, ’sumberdaya alam’, ’pertambangan’, belum dikenal sebab kegiatan manusia yang dominan saat itu adalah berburu di hutan atau bertani menghasilkan pangan. Jika mengacu pada UUPA 1960, maka yang dimaksud dengan agraria di Indonesia adalah lebih dari sekadar tanah, tetapi mencakup “Bumi, Air,Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang Terkandung Di dalamnya”. Dengan pengertian ini, maka hukum agraria serta pengertian agraria di Indonesia merupakan pengertian yang lebih luas, jauh lebih luas daripada hukum pertanahan, karena meliputi juga hukum perairan, keruangkasaan, pertambangan, perikanan, dan sebagainya.

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Pembaruan agraria diartikan sebagai upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi kesejahteraan masyarakat desa. Seringkali pembaruan agraria juga diartikan sebagai land reform dalam arti luas. Dengan kata lain, pembaruan agraria adalah merupakan upaya pemerintah yang bekerjasama dengan masyarakat untuk mengubah struktur penguasaan tanah, memperbaiki tata guna tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dengan memperbaiki jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam yang menyertainya. Jadi pada dasarnya pembaruan agraria merupakan upaya pembaruan sosial. Dengan demikian pembaruan agraria dapat dikonsepsikan sebagai “upayaupaya yang dilakukan oleh negara dan masyarakat dalam merubah hubungan-hubungan sosial agraria dan bentuk-bentuk penguasaan tanah dan sumber daya alam ke arah keadilan dan pemerataan, melalui mekanisme dan sistem politik yang demokratis dan terbuka, bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Pengertian ini tidak sekadar perubahan dari penguasaan tanah dan hubungan-hubungan sosial yang ada di dalamnya, tetapi pembaruan agraria harus pula mengakui keberadaan tanah-tanah masyarakat adat, agar tanah-tanah adat tidak dengan mudah dikuasai oleh negara dan pemilik modal. Pengakuan akan tanah-tanah adat merupakan hal yang sangat penting dalam pembaruan agraria, sehingga kiranya sangat perlu diadakan pengaturan yang khusus mengenai hal tersebut. Tujuan yang hendak dicapai pembaruan agraria adalah keadilan agraria, yaitu keadaan dimana: (1) Tidak adanya konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta kekayaan alam yang menjadi hajat hidup orang banyak; (2) Terjaminnya kepastian hak penguasaan dan pemanfaatan rakyat setempat terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya; dan (3) Terjaminnya keberlansungan dan kemajuan

181


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

182

sistem produksi rakyat setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka. Tataran implementasinya, agenda Pembaruan Agraria mencakup: Orientasi Produksionis dengan Transformasi Struktural (redistribusionis)maupun JastifikasiYang Komprehensif.Pada tataran implementasi, istilah land reform sering dipadankan dengan agrarian reform (pembaruan agraria). Maka dalam praktiknya konsep land reform telah diperluas cakupannya untuk menekankan peran strategis dari tanah dan pertanian dalam pembangunan. Oleh karenanya, konsep reforma agraria, yakni merujuk pada penataan struktur agraria secara cepat yang mencakup sistem penguasaan tanah, skala operasi usahatani, ketentuan-ketentuan penyakapan, kelembagaan kredit pedesaan, pemasaran dan pendidikan, dan introduksi teknologi (Tuma, 2003). Menurut Wiradi (2000) istilah land reform, atau tepatnya redistrubutive land reform, merupakan penataan kembali sebaran penguasaan tanah yang mencakup dua aspek, yakni tenure reform dan tenancy reform. Aspek pertama dengan redistribusi lahan, yang meliputi pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usahatani dan perubahan skala pemilikan. Sedang tenancy reform berarti perbaikan dalam hal perjanjian sewa, bagi hasil, gadai dan sebagainya tanpa harus mengubah distribusi pemilikan. Dalam konsepsi ini, maka konsolidasi lahan juga dimasukkan dalam pengertian redistributive land reform yang mengisyaratkan pula kepada upaya menyatukan pemilikan tanah yang letaknya terpencar-pencar (fragmentasi) menjadi satu hamparan solid, yang dapat dilakukan dengan cara tukar-menukar. Redistrubutive land reform ini dalam perkembangannya disertakan pula langkahlangkah komplementer seperti penyediaan kredit, pendidikan dan latihan, teknologi, penyuluhan, penyesuaian pasar, dan sebagainya. Dengan paket lengkap inilah maka konsep land reform kemudian memperoleh konseptualisasi baru yang lebih luas dan komprehensif sehingga secara populer diberi pengertian yang sama dengan istilah agrarian reform atau pembaruan agraria.

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Menurut Michael Lipton (1974), Agrarian Reform/Land Reform merupakan sebuah kebijakan pemerataan, setidaknya di dalam keinginan; yang terdiri dari (1) pengambilalihan tanah secara paksa, biasanya (a) oleh negara, (b) dari para tuan tanah besar, dan (c) dengan penggantian yang parsial; (2) Pengembangan pertanian dari tanah-tanah tersebut bagi semakin besarnya kemanfaatan hubungan antara manusia dengan tanahnya dibandingkan dengan sebelum adanya pengambil-alihan tersebut. Terutama dikenali dua cara land reform, yaitu pembagian tanah (distributivist)dankolektivisasi(collectivist).Selainlandreform,juga ada bentuk-bentuk upaya pembaruan lain yang juga berkaitan, yaitu (1) pembaruan penyakapan (tenancy reform), (2) pemindahan dan pembukaan tanah baru (settlement schemes), (3) bantuan khusus bagi petani kecil, dan (4) pajak tanah progresif. Menurut Cohen, istilah land reform biasanya dipakai dalam pengertian yang terbatas, yaitu perubahan dalam penguasaan tanah, terutama redistribusi dalam kepemilikan tanah, sehingga dapat mencapai tujuan pemerataan lebih besar. Sementara itu agrarian reform, sebagaimana yang biasa digunakan oleh PBB, dipakai dalam pengertian yang luas, yaitu dalam mencapai tujuan pemerataan dan produksi yang lebih tinggi. Selain itu juga diterapkan bagi pemanfaatan tenaga kerja secara lebih baik dan sumbangan yang meningkat dari sektor pertanian terhadap upaya industrialisasi. Karena itu Cohen mengartikan agrarian reform sebagai “berbagai upaya yang luas dari pemerintah yang mencakup berbagai macam kebijakan pembangunan� melalui cara-cara: (1) peraturan redistribusi tanah, (2) upaya-upaya menumbuhkan produktivitas, (3) kredit kelembagaan, (4) pajak pertanahan, (5) peraturan mengenai penyakapan dan upah, dan (6) pemindahan dan pembukaan tanah baru. Perspektif lain menekankan program reforma agraria sebagai proses transformasistruktur sosio-agraria menuju kondisi yang lebih berkeadilan. Menurut perspektif ini, makna reforma agraria harus melibatkan upaya-upaya yang sekaligus “mengkombinasikan faktor-

183


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

184

faktor teknis untuk meningkatkan produksi dengan faktor perbaikan kerangka kerja kelembagaan agar menguntungkan bagi lapisan terendah masyarakat pedesaan. Salah satu faktor kelembagaan itu adalah sistem atau susunan penguasaan tanah. Ini perlu mendapat perhatian yang serius, sebab usaha peningkatan produksi dalam susunan penguasaan tanah yang timpang tidak akan dapat memperbaiki kehidupan sebagian besar rakyat desa. Mengingat hal ini semua, maka pelaksanaan pembaruan agraria pada intinya ada transformasi struktur sosio agraria melalui redistributive land reform menjadi suatu yang sangat penting yang tidak dapat di tawar-tawar. Ada dua alasan mendasar untuk meyakinkan keharusan reform agraria secara komprehensif, yakni alasan keadilan dan alasan ekonomi. Kedua alasan ini saling terkait. Alasan keadilan menekankan bahwa distribusi lahan yang egaliter akan memberikan peluang yang sama untuk berkembang bagi pemilik melalui persaingan. Artinya, seleksi alamiah memang akan terjadi melalui proses persaingan, tetapi titik tolaknya harus berangkat dari peluang yang sama. Kesamaan peluang ini hanya dapat dicapai melalui kondisi “keadilan agraria�, yaitu keadaan di mana ketimpangan struktur agraria dapat diatasi serta hak penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alamnya oleh petani terjamin dan terlindungi. Dari paparan di ats menjadi jelas bahwa distribusi yang adil atas akses lahan akan menciptakan bukan saja keadilan sosial, tetapi juga pembangunan pertanian dan pedesaan yang berkelanjutan, dan akhirnya perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, menjadi tuntutan besar bagi negara untuk mewujudkan agenda penataan struktural tersebut di atas demi terwujudnya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang diamanatkan dalam Sila ke lima Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia maupun amanat pasal 33 UUD 1945. Negara harus memainkan peran yang besar dalam upaya-upaya menjalankan pembaruan agraria ini. Agenda

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

perombakan tanah atau land reform di Indonesia didasarkan dua undang-undang utama. Pertama adalah Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil/UUPBH (Undang-Undang Nomor 2/1960), yang dirancang untuk mengatur hubungan antara tuan tanah dan penyewa tanah, untuk melindungi penyewa tanah yang lemah menghadapi tuan tanah yang kuat, dan memberi perangsang kepada penyewa untuk meningkatkan produksi. Undang-undang kedua, Undang-Undang Pokok Agraria/ UUPA (No.5/1960), jauh lebih luas jangkauannya. Memang undang-undang ini dimaksudkan sebagai landasan dari seluruh program baru perundang-undangan agraria. Dengan undangundang ini, pemerintah bermaksud menyelaraskan situasi agraria dengan falsafah Indonesia modern, prinsip-prinsip Pancasila dan apa yang disebut kebijaksanaan Manipol-USDEK yang diumumkan Presiden Soekarno dalam Pidato Kenegaraannya pada tanggal 17 Agustus 1959. Sasaran hukumnya adalah untuk meletakkan dasar bagi terciptanya struktur hukum yang dapat diterima secara nasional untuk urusan agraria, untuk menghilangkan rintangan menuju penyatuan dan penyederhanaan dalam bidang hukum, dan untuk menetapkan pedoman guna menentukan hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) membatalkan peraturan tentang tanah dari perundang-undangan kolonial, seperti Undang-undang Agraria 1870, Dekrit Agraria 1870, dan berbagai deklarasi mengenai tanah, air dan sumber daya alam. Ia merupakan perombakan total dari sistem agraria warisan penjajahan Belanda. Hak milik perorangan atas tanah bagi mereka yang berkewarganegaraan Indonesia diakui, akan tetapi persaingan bebas dalam hal penjualan dan pengalihan tanah tidak diizinkan. Atas dasar prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, undangundang ini menggariskan bahwa penggunaan dan penjualan tanah perlu memperoleh persetujuan masyarakat seperti yang diwakili oleh administrasi kota atau desa. Secara umum Undang-Undang

185


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Pokok Agraria juga mencakup prinsip dasar berikut ini: 1. Tanah pertanian adalah untuk petani penggarap; 2. Hak utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi adalah khusus untuk warga negara Indonesia; 3. Pemilikan guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalam hal pengecualian lain; 4. Petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukannya lebih kuat.23 Untuk menjamin petani atas pemilikan tanah yang luasnya cukup bagi kelangsungan hidupnya, undang-undang menetapkan batas minimum dua hektar atas sawah berpengairan maupun atas tanah kering bagi setiap keluarga inti. Di lain pihak, ditetapkan suatu batas maksimum untuk mengawasi pemilikan tanah luas yang berlebihan. Dalam hal ini mesti diingat, perjuangan untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi yang sungguhsungguh bersifat nasional sangat erat berkaitan dengan perjuangan agraria, yang tujuan langsungnya adalah pelaksanaan UndangUndang Perjanjian Bagi Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria. Tetapi di sepanjang Orde Baru, pembaharuan agraria dan UUPA tidak dijalankan oleh pemerintah. Namun UUPA masih tertera dalam undang-undang dan tidak pernah diubah atau dicabut. Untuk mengubah akan terlalu sulit, dan pencabutan itu akan menimbulkan keributan karena untuk merumuskan hukium itu dibutuhlan waku 10 tahun dan hukum itu merupakan perundang-undangan yang membanggakan dan mencerminkan kekuatan ideologi nasionalis pada waktu itu. Yang terjadi adalah penyiasatan hukum itu dengan digunakannya hukum kehutanan, pertambangan, dan penggunaan tanah yang baru yang sangat memudahkan eksploitasi sumber-sumber alam bagi kepentingan swasta. 23

186

Selo Soemardjan, “Land Reform di Indonesia”, dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, disunting oleh Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia, 1984, halaman 106-107.

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Pada tahun 1978, Laporan Sementara yang disusun bersama ditingkat Kementerian tentang pembaruan agraria berusaha menegaskan kembali tanah dan memperbaiki hubungan yang lebih setara dengan pedesaan. Laporan itu mengusulkan pembaruan struktural untuk menangani ketidakadilan yang makin besar dari kepemilikan dan kontrol tanah di Indonesia. Rekomendasinya sejumlah 30 juga mengusulkan penelitian tentang penggunaan tanah oleh masyarakat adat Indonesia dan hukum adat yang berhubungan dengan tanah (Sumitro 1978; 50-51). Tidak satu pun rekomendasi untuk melaksanakan Hukum Dasar Agraria itu dilaksanakan. Seorang ahli sosiologi pedesaan Indonesia yang terkenal manyimpulkan bahwa “Laporan Sementara itu tidak segera berpengaruh dalam perumusan kebijakan yang sebenarnya tentang masalah tanah. (Tjondronegoro 1991: 28). Laporan itu hanyalah berupa pernyataan dalam GBHN 1978 yang berbunyi “penataan kembali penggunaan tanah, kontrol tanah dan hak milik atas tanah harus dilaksanakan” (WHITE DAN Waradi 1984; v). Enam tahun kemudian, dalam lokakarya internasional tentang bagaimana struktur agraria dapat dibuat agar dapat mempertinggi penelitian lebih lanjut dengan topik-topik seperti kondisi kelembagaan bagi pembaruan agraria, kredit pedesaan, organisasi petani, dan registrasi serta pembagian tanah(White dan Wiradi 1984; 75-85). Rekomendasi ini pun tidak diindahkan karena berlimpahnya janji-janji kebijakan yang memudahkan tersedianya sumber-sumber alam Indonesia bagi investasi modal skala besar. Karena itu, tuntutan akan pembaharuan agragria terusmenerus disuarakan oleh elemen-elemen masyarakat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merupakan elemen gerakan sosial yang terus menerus melakukan perjuangan pembaharuan agraria. Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI (1999-2001), sebenarnya sudah cukup peka merespons desakan pembaharuan agraria, sebagaimana tercermin pada lahirnya TAP MPR No.IX/ MPR/2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dalam pasal 2 TAP MPR No.IX/MPR/2001

187


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

188

disebutkan “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bahkan di pasal 6 pada TAP di atas juga dinyatakan sebagai berikut “Menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumbersaya alam serta mencabut, mengubah dan atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini” Namun TAP MPR ini hanya berhenti menjadi museum yang mati, hanya sekadar formalisme. TAP MPR sampai sekarang belum diiakui dengan UU baru yang berpihak kepada pembaharuan agraria. Di tempat lain, justru muncul kebijakan maupun tindakan-tindakan negara yang jauh dari semangat pembaharuan agraria. Di pusat, sebagai contoh terkini adalah lahir Perpu I/2004 mengenai ijin penambangan di hutan lindung yang diikuti dengan lahirnya Keputusan Presiden No 41/2004 tentang penetapan 13 perusahaan yang diizinkan melakukan penambangan. Di banyak daerah lahir pula beberapa Perda yang menegasikan hak-hak masyarakat adat, seperti Perda Kabupaten Mamasa No. 4/2004 tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa, Lembaga Kemasyarakatan, Pemberdayaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Desa dan Kelurahan, atau Perda Kabupaten Sanggau No. 4/2002 tentang Pemerintahan Kampung yang kemudian diikuti dengan tuntutan hukum adat oleh masyarakat kepada eksekutif dan legislatif di kabupaten itu. Di Wonosobo, pemerintah pusat berkeberatan dengan skema pengelolaan hutan sebagaimana diatur dalam Perda PSDHBM (Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat) yang disusun oleh badan legislatif, eksekutif bersama masyarakat. Rekeyasa politik yang menghambat perda ini telah muncul sejak lahirnya SK Gubernur Jawa Tengah yang materinya menguatkan

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

kebijakan PHBM Perhutani di wilayah Propinsi Jawa Tengah, sampai pada surat No. 1665/Menhut–11/2002 tertanggal 11 September yang intinya adalah permintaan Menteri Kehutanan kepada Menteri Dalam Negeri agar membatalkan perda terkait dengan alasan bertentangan dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom. Pembaharuan agraria tampaknya membutuhkan upayaupaya radikal, sebagaimana terjadi di banyak negeri lain. Taiwan dan Korea Selatan adalah contoh kuat tentang bagaimana pembaharuan agraria dapat mengeluarkan energi bagi pembangunan. Mereka mempunyai kondisi yang hampir ideal bagi pembaharuan agraria secara radikal setelah Perang Dunia Kedua. Pertama, kepergian kolonialis Jepang meninggalkan bidang tanah kosong yang luas, tersedia bagi tahap awal pembaharuan tanah pasca-perang. Kedua, ancaman revolusi komunis memberikan pemacu untuk pembaharuan tanah sebagai sebuah benteng melawan Komunisme. Faktor ketiga yang memfasilitasi pembaharuan adalah bahwa rezim baru berhutang sedikit kepada para elite pemilik tanah yang ada sebelumnya. Taiwan diperintah oleh Kuomintang dari China daratan, melakukan land reform dengan sedikit dukungan para elite lokal. Di Korea Selatan, kepemimpinan politik baru relatif tidak dibebani oleh hubungan politik yang ada, karena ia mulai berakar dengan kekosongan yang ditinggalkan oleh Jepang dan kekacauan dari Perang Korea. Selanjutnya, kelas pemilik tanah Korea secara luas tidak dipercaya lagi oleh kerjasama yang dirasakan mereka dengan kolonialis Jepang. Dengan bantuan aktif dari Amerika serikat, kedua negara itu mendesain pembaharuan yang imajinatif dan berhasil. Pembaharuan agraria juga dilaksanakan di sejumlah negara sejak 1940-an, tentu dengan model yang berbeda-beda. Tabel 4.1, misalnya, menggambarkan pengalaman pembaharuan agraria di empat negara (Itali, Mesir, India dan Jepang. Pada umumnya land reform dilakukan secara radikal. Pengalaman di sejumlah

189


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

190

negara, dampak dari kesamaan peluang dalam hal distribusi lahan yang egaliter menunjukkan adanya dampak ekonomi dari jaminan akses yang adil terhadap penguasaan aset. Akses pada lahan ini dapat memberi kontribusi pada ketahanan pangan dan status gizi rumahtangga yang lebih baik. Jaminan akses terhadap tanah juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan melalui investasi. Jaminan akses terhadap aset secara adil juga membawa dampak pada stabilitas sosial dan politik Bukti-bukti menunjukkan bahwa dalam masyarakat di mana penguasaan aset sejak awalnya sangat tidak adil, kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam tindakan kolektif yang optimal secara sosial juga terganggu. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan secara demokratis rendah sehingga banyak menghilangkan potensi kekuatan rakyat. Jika isu-isu mengenai akses atas tanah ini tidak ditangani sejak dini, dapat meningkat dan menjadi konflik lebih luas yang berdampak timbulnya berbagai kerusakan sosial ekonomi. Sebaliknya, distribusi yang adil dalam pemilikanaset terbukti telah memberi kontribusi yang signifikan kepada indikatorindikator pembangunan manusia. Pengalaman di Cina, India dan Filipina, para penerima manfaat program land reform telah memiliki kemampuan yang lebih besar pada pendidikan anakanaknya dibandingkan mereka yang tidak menerimanya. Pembaharuan tanah memfasilitasi pertumbuhan asosiasi pembangunan horisontal dalam komunitas Korea Selatan dan Taiwan. Sebagaimana disebutkan di atas, Wang (1981) menekankan bahwa kekuatan pembangunan perdesaan Korea Selatan yang cepat dihasilkan oleh pembaharuan agraria, ditingkatkan lebih jauh oleh akses yang sama terhadap pendidikan dasar. Membuat hubungan sosial dalam masyarakat lebih egalitarian adalah sebuah prasyarat penting terhadap penggunaan komunitas lokal yang imajinatif dalam memantau para pegawai irigasi lokal di Korea Selatan dan Taiwan (Wade, 1997). Perubahan sama dalam ekonomi politik hubungan

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

komunitas yang menyertai pembaharuan agraria didokumentasikan-dengan baik dalam gerakan koperasi Taiwan. Koperasi didirikan di Taiwan di bawah Jepang, tetapi mereka berkembang setelah pembaharuan agraria menjadi organisasi pembangunan yang lebih aktif. Dengan bantuan pemerintah, organisasi petani tumbuh subur, membantu petani untuk menyatukan tabungan mereka, memperbaiki irigasi dan memperoleh teknologi baru, dan over time mengembangkan industri perdesaan (Ranis dan Stewart, 1993). Manfaat pembaharuan agraria yang paling penting adalah bahwa ia meletakkan dasar-dasar bagi pemerintahan yang lebih inklusif dan membangun. Sebagaimana Harriss (1999) tunjukkan, daerah-daerah India yang di dalamnya struktur kekuasaan agraria tradisional yang diubah memperlihatkan hasil (outcomes) pembangunan yang lebih baik. Studi menunjukkan bahwa pembaharuan sewa menyewa Bengal Barat telah membawakan banyak perubahan positif, dan membantu penduduk kasta-rendah merasa bahwa pemerintah lokal tidak lagi diserobot oleh elite lokal. Agenda pembaruan agraria menjadi suatu hal yang tidak bisa di tawar-tawar lagi supaya transformasi agraria yang lebih baik dapat terwujud. Melalui pembaruan agraria ini kehidupan dan kegiatan pedesaan akan ditransformasikan dalam semua aspeknya, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan, lingkungan dan kemanusiaan. Dengan transformasi ini maka pembaruan agraria diharapkan akan menghapus kesenjangan antara sektor pertanian dengan sektor ekonomi lainnya dan antara penduduk desa dengan kota dalam hal kesempatan dan tingkat kehidupannya.

191


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Tabel 4.1 Pelaksanaan Land Reform di Beberapa Negara (Itali, Mesir, India dan Jepang) NEGARA

192

MULAI TAHUN

Itali

1946

Mesir

1953

India (contoh di Uttar Pradesh)

1952

Jepang

1945

OBJEK LAND REFORM Tanah pemilikan luas, tetapi tidak digarap dan sedikit menghasilka n

PROGRAM/ INSTRUMEN

 penitaan tanah dari kaum tuan tanah  distribusi tanah  pengembangan tanah  program pemindahan keluarga  pembukaan tanah pertanian melalui peningkatan dan pembaruan tanah 1. tanah  redistribusi tanah penguasaan  pengaturan penyakapan publik  resettlement 2. tanah yang  penetapan upah minimum bagi telah buruh tani digarap  penyediaan kredit pertanian 3. penguasaan  penguatan koperasi pertanian tanah  penataan kampung berskala  reklamasi tanah pantai dan tanah besar padang pasir (>200 acre) 4. tanah bekas milik keluarga kerajaan tanpa kompensasi tanah tuan  program penghapusan zamin dari tanah  pengurangan bagian penyakapan (zamindari) tuan tanah menjadi 1/3 atau ¼ atau kurang  distribusi tanah tanah  distribusi tanah penyakapan

Sumber: KPA, 2001.

CARA/METODE 1.pembelian tanah dari pemiliknya berdasarkan harga menurut pajak 2.penerima tanah membayar harga asal ditambah 42% biaya peningkatan unit pertanian. 58% dibiayai oleh dana publik 1.dijual kepada penggarap biaya 40% dari bantuan Amerika 2 + 3. kompensasi sebesar 70 kali dari pajak tahunan, dengan obligasi selama 30 tahun 4. penyitaan dan setelahnya menjualnya kepada penggarap sebelumnya berdasarkan biaya yang keluar plus 15% tanah non-kerajaan, selama masa 30 tahun

lewat kompensasi pembayaran yang rendah dan pemberian tanah kecil

1.sebagian besar tanah penyakapan diberikan kepada penggarap aktual melalui pembelian oleh pemerintah dan penjualan kembali 2.tanah dijual kepada penggarap pada harga fix berdasarkan harga dan sewa sebelum perang

Menuju Pembaharuan Pembangunan Pertanian

Pembaruan agraria niscaya akan melenyapkan dualisme antara sektor pertanian dengan non-pertanian, atara sektor yang teknologinya maju dengan yang teknologinya rendah. Dengan demikian akan terjadi peningkatan mobilitas tenaga kerja dalam menanggapi tuntutan ekonomi dan pembangunan. Dengan kata lain, pembaruan agraria akan mengantarkan pada transisi dari struktur “agraris tradisional” menjadi suatu struktur hubungan di mana sektor pertanian terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi lainnya, lebih produktif, dan kesejahteraan rakyat meningkat. Alhasil, redistribusi tanah melalui land reform merupakan prakondisi untuk memasuki sistem ekonomi modern yang berkeadilan. Tanpa redistribusi tanah, ekonomi modern yang dihasilkan bersifat cacat dan menimbulkan kontradiksikontradiksi. Konflik kelas sosial akan semakin menajam, tidak ada tingkat konsumsi yang tinggi, demikian pula tidak ada tabungan masyarakat karena mayoritas penduduk desa hidup dalam subsistensi. Ditambah lagi oleh kenyataan bahwa tanpa land reform maka tidak akan tumbuh demokrasi di tingkat desa. Demikian pula, melalui pembaruan agraria akan terwujud demokrasi ekonomi, sekaligus menghasilkan demokrasi politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat akan menghasilkan kreativitas dan pengorganisasian secara mandiri. Pembaruan agraria juga akan menghasilkan deferensiasi pembagian kerja masyarakat. Deferensiasi akan menghasilkan juga berbagai profesi dan pekerjaan; yang selanjutnya akan menciptakan asosiasi dan kelembagaan baru dalam masyarakat. Dengan sendirinya ini akan menciptakan aspirasi dan penyaluran politik. Politik adalah cerminan dari deferensiasi kelas-kelas sosial dan pengelompokan masyarakat yang semakin majemuk. Pada akhirnya hal ini akan menumbuhkan tatanan masyarakat sipil yang sehat dan kuat.

193


Bab 5 Desentralisasi, Otonomi dan Demokratisasi Desa Desentralisasi & otonomi desa dan demokratisasi desa merupakan dua isu krusial dalam pembaharuan pemerintahan desa (village governance reform). Keduanya merupakan tujuan dan fondasi politik bagi pengelolaan pembangunan desa yang berkelanjutan. Pembangunan desa menuju human well being masyarakat desa tentu juga dilandasi prinsip kemandirian, keterbukaan, partisipasi, kapasitas pemerintahan desa dan lainlain. IRE mempunyai keyakinan bahwa desa harus “dibela� dengan desentralisasi, sekaligus harus “dilawan� dengan demokratisasi. Desentralisasi dimaksudkan sebagai bentuk pembagian sumberdaya ekonomi dan politik dari supradesa kepada desa, sehingga menciptakan kemandirian dan keadilan bagi desa. Sedangkan demokrasi dimaksudkan untuk membuat akuntabilitas pemerintah desa serta kedaulatan rakyat di aras desa. Otonomi dan demokrasi desa tentu mengandung budaya politik seperti nilai-nilai dan sikap-sikap mandiri, terbuka, partisipatif dan seterusnya. Akan tetapi penguatan otonomi dan demokrasi pertama-tama membutuhkan reformasi kebijakan


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

(policy reform) secara nasional, mengingat kebijakan ini mengandung arah, penempatan posisi desa dalam formasi negara, serta disain kelembagaan desentralisasi dan demokrasi desa. Karena itu, bab ini hendak membongkar berbagai regulasi yang mengatur desentralisasi dan demokrasi desa, sekaligus memberikan gagasan alternatif untuk pembaharuan kedepan.

196

Review Regulasi Dalam bab pertama, otonomi dan demokrasi desa mengalami krisis yang serius antara lain akibat dari regulasi Orde Baru, baik UU No. 5/1974 maupun UU No. 5/1979. Keduanya mengalami kebangkitkan setelah Indonesia masuk ke era reformasi, yakni setelah keluarnya UU No. 22/1999. UU No. 22/1999 memang tidak secara eksplisit mengenal desentralisasi desa, tetapi para perumusnya, misalnya M. Ryaas Rasyid, menegaskan bahwa semangat dasar UU No. 22/1999 adalah memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan desa (atau dengan nama lain) sebagai self-governing community, yang tentu saja merupakan manifestasi terhadap makna “istimewa” dalam Pasal 18 UUD 1945. Pemaknaan baru ini berbeda dengan semangat dan disain yang tertuang dalam UU No. 5/1979, yang hanya menempatkan desa sebagai unit pemerintahan terendah di bawah camat. Secara politik UU No. 5/1979 bermaksud untuk menundukkan desa dalam kerangka NKRI, yang berdampak menghilangkan basis self-governing community. Dengan berpijak pada semangat pengakuan itu, UU No. 22/1999 mendefinisikan desa sebagai berikut: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten”. Rumusan ini merupakan lompatan yang luar biasa bila dibandingkan dengan rumusan tentang desa dalam

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

UU No. 5/1979. Secara normatif UU No. 22/1999 menempatkan desa tidak lagi sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desa. Implikasinya adalah, desa berhak membuat regulasi desa sendiri untuk mengelola barang-barang publik dan kehidupan desa, sejauh belum diatur oleh kabupaten. Dalam Pasal 105, misalnya, ditegaskan: “Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa”. Ini artinya, bahwa desa mempunyai kewenangan devolutif (membuat peraturan desa) sekaligus mempunyai kekuasaan legislatif untuk membuat peraturan desa itu. Lompatan lain yang tampak dalam UU No. 22/1999 adalah pelembagaan demokrasi desa dengan lahirnya Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pasal 94 UU No. 22/1999 menegaskan: “Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa”. Sedangkan Pasal 104 menegaskan: Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. BPD menjadi arena baru bagi kekuasaan, representasi dan demokrasi desa. BPD dilahirkan sebagai bentuk kritik terhadap LMD. Pembentukan BPD melibatkan secara terbatas partisipasi masyarakat. Ia menjadi sebuah arena demokrasi perwakilan yang lebih baik ketimbang LMD. Berbeda dengan LMD masa lalu yang ditunjuk oleh lurah, BPD sekarang dipilih dengan melibatkan masyarakat. Jika dulu LMD merupakan lembaga korporatis yang diketuai secara ex officio dan didominasi oleh kepala desa, sekarang kepala desa ditempatkan sebagai eksekutif sementara BPD sebagai badan legislatif yang terpisah dari kepala desa.. Lahirnya BPD telah membawa pergeseran kekuasaan yang lebih jelas antara kepala

197


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

198

desa sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan BPD sebagai pemangku lembaga legislatif. Paling tidak ada tiga domain kekuasaan kepala desa yang telah dibagi ke BPD: (1) pembuatan keputusan dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) yang dikerjakan bersama-sama antara lurah dan BPD; (2) pengelolaan keuangan yang melibatkan BPD seperti penyusunan APBDES dan pelelangan tanah kas desa; (3) rekrutmen perangkat desa yang dulu dikendalikan oleh lurah dan orang-orang kecamatan maupun kabupaten sekarang dikendalikan oleh BPD. Bahkan kontrol BPD terhadap kepala desa sudah dijalankan meski kontrol itu masih terbatas pada LPJ dan ia belum terlembaga kepada masyarakat. Sumbangan BPD terhadap demokrasi desa memang sangat beragam. Ada yang positif ada pula yang negatif. Kehadiran BPD jelas membuka ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa. Bagi lurah yang mempunyai sense of legitimacy merasa lebih ringan menanggung beban psikopolitik dalam membuat keputusan, setelah ditopang partnership dengan BPD. Sebab keputusan desa yang dulu dimonopoli oleh lurah, sekarang bisa dibagi kepada BPD yang memungkinkan tekanan-tekanan publik kepada lurah semakin berkurang, dan dengan sendirinya akan beralih juga kepada BPD. Di banyak desa, yang paling menyolok, kehadiran BPD telah membuat “hati-hati” lurah dalam bertinndak, sehingga sekarang banyak lurah yang bekerja lebih transparan dan bertanggungjawab. Namun, di banyak tempat, hadirnya BPD tidak memberikan sumbangan bagi pelembagaan demokrasi desa secara matang, dewasa dan santun, melainkan menjadi sumber masalah baru karena peran lembaga perwakilan itu yang “kebablasan” dan menimbulkan pertikaian dengan pemerintah desa. Banyak kepala desa yang melaporkan (wadul) bahwa dirinya digencet oleh “Badan Provokasi Desa”. Di sebuah desa, misalnya, selepas lurah desa mengundurkan diri karena bermasalah, tidak ada warga yang sanggup mencalonkan diri sebagai kepala desa karena trauma yang mendalam kepada sepak terjang BPD. Di sisi lain, di mata kades,

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

BPD sering melanggar batas-batas kekuasaan dan kewenangan yang telah digariskan dalam regulasi. Sekarang lurah menghadapi tekanan dan instruksi dari atas (kabupaten), gencetan dari samping (Badan Perwakilan Desa, BPD) dan tuntutan dari masyarakat. Tetapi hubungan konfliktual antara pemerintah desa dan BPD itu lambat laun mulai mencair, setidaknya mulai tahun ketiga. Di banyak desa, hubungan antara pemerintah desa dan BPD mulai terbangun trust dan kemitraan yang lebih baik. Meski membuka perubahan yang luar bisa, tetapi UU No. 22/1999 tetap memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kalau dilihat dari sisi desain desentralisasi. Melalui UU No. 22/1999 pemerintah hendak menyerahkan sepenuhnya persoalan desa kepada kabupaten/kota. Kehendak inilah yang membuat rumusan UU No. 22/1999 memberikan “cek kosong” pengaturan desa kepada kabupaten/kota. UU No. 22/199 hanya memberikan diktum yang sifatnya makro dan abstrak dalam hal desentralisasi kewenangan kepada desa. Di satu sisi ini adalahgagasan subsidiarity yang baik, tetapi pemerintah tampaknya tidak mempunyai konsepsi yang memadai (jika tidak bisa disebut kurang mempunyai komitmen serius) untuk merumuskan disain desentralisasi dan otonomi desa. Sebagaimana ditunjukkan oleh Selo Sumardjan (1992), pemerintah sebenarnya mengalami kesulitan dalam mengatur otonomi desa, sejak awal kemerdekan, khususnya sejak 1965. Jika dilihat dari sisi hukum ketetanegaraan, pemberian cek kosong kepada kabupaten sangat tidak tepat, sebab yang melakukan desentralisasi adalah negara, bukan kabupaten/kota. UU No. 22/1999 membuat kabur (tidak jelas) posisi desa karena mencampuradukkan antara prinsip self-governing community (otonomi asli) dan local-self government (desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas (Sutoro Eko, 2004). Pengakuan desa sebagai self-governing community (otonomi asli) lebih bersifat simbolik dan nostalgia, ketimbang substantif. Setelah UU No. 22/199 dijalankan, tidak serta-merta diikuti dengan pemulihan otonomi asli desa,

199


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

200

terutama otonomi dalam mengelola hak ulayat desa adat. Menurut UU No. 22/1999, kewenangan Desa mencakup: (1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan (3) Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten. Ayat (1) menunjukkan bahwa desa memiliki kewenangan asli yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah supradesa. Namun hal ini dalam kenyataannya tidak jelas kewenangan yang dimaksud, sehingga desa tetap saja tidak mempunyai kewenangan yang benar-benar berarti (signifikan) yang dapat dilaksanakan secara mandiri (otonom). Kewenangan yang selama ini benarbenar dapat dilaksanakan di desa hanyalah kewenangan yang tidak mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat desa itu sendiri. Kewenangan asli tersebut sebenarnya yang menjadi pertanda bagi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau desa sebagai subyek hukum yang otonom. Tetapi, sekarang, kewenangan generik bukan hanya susah untuk diingat kembali, tetapi sebagian besar sudah hancur. Komunitas adat (desa adat) yang paling menderita atas kehancuran kewenangan generik. Adat telah kehilangan eksistensinya sebagai subyek hukum untuk mengelola property right. Banyak tanah ulayat yang kemudian diklaim menjadi milik negara. Ketika desa dan adat diintegrasikan ke dalam negara, maka negara membuat hukum positif yang berlaku secara nasional, sekaligus meniadakan hukum adat lokal yang dulunya digunakan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sengketa hukum dan agragia antara negara dengan adat pun pecah dimana-mana yang sampai sekarang sulit diselesaikan secara karitatif karena posisi (kedudukan) desa adat yang belum diakui sebagai subyek hukum yang otonom. Di tingkat lokal juga sering terjadi dualisme antara kepala desa dengan penghulu adat atau sering terjadi benturan antara “desa negara�

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

dengan “desa adat� yang menggelar sengketa dalam hal pemerintahan, kepemimpinan, aturan dan batas-batas wilayah. Titik krusial lain adalah perubahan dari kewenangan mengatur dan mengurus “rumah tangga sendiri� menjadi kewenangan mengatur dan mengurus “kepentingan masyarakat setempat� sebagaimana terumuskan dalam UU No. 22/1999. Kalau hanya sekadar kewenangan mengelola “kepentingan masyarakat setempat�, kenapa harus diformalkan dalam UU, sebab selama ini masyarakat sudah mengelola kepentingan hidup sehari-hari mereka secara mandiri. Tanpa pemerintah dan UU sekalipun masyarakat akan mengelola kepentingan mereka sendiri. Dimata para kepala desa, mengurus dan melayani kepentingan masyarakat setempat sudah merupakan kewajiban dan tanggungjawab mereka sehari-hari. Ayat (2) menunjukkan betapa desa hanya akan memperoleh kewenangan sisa dari kewenangan pemerintah supradesa (otonomi residu). Sementara pada ayat (3) sebenarnya bukanlah termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanyalah sekedar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Dengan demikian makna tugas pembantuan bukanlah merupakan kewenangan desa tetapi sekedar sebagai pelaksana dari sebuah kegiatan yang berasal dari pemerintah supradesa. Karena itu kritik dan tuntutan terhadap revisi UU No. 22/ 1999 terus mengalir. Umumnya suara desa menuntut agar revisi UU No. 22/1999 lebih mempertegas dan memperjelas kewenangan desa, termasuk pembagian kewenangan secara proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Para pemimpin lokal bergolak mengkritisi sejumlah kelemahan yang terkandung dalam UU No. 22/1999. Mereka antara lain mengatakan bahwa UU 22 tidak memberikan pengakuan secara tegas dan jelas tentang kedudukan desa dan otonomi desa; yang justru menempatkan desa

201


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

202

di bawah kabupaten sehingga ada kecenderungan pemindahan sentralisasi dari pusat ke kabupaten. Kewenangan desayang tercantum dalam UU No. 22/1999 mereka nilai sebagai “kewenangan kering” atau “kewenangan air mata” yang hanya memberikan beban berat kepada desa. Karena itu, kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) masing-masing membentuk asosiasi untuk menyuarakan tentang revisi UU No. 22/1999 yang berorientasi pada pemberian otonomi yang lebih besar serta pembagian kewenangan dan keuangan kepada desa yang lebih berimbang. Aksi kolektif para pemimpin desa kian diperkuat oleh dukungan advokasi para akademisi, NGO maupun lembagalembaga donor internasional. Melalui proses pembelajaran dan pengorganisasian, kerja-kerja kelompok intermediary ini semakin memperluas dan mengeraskan “suara desa” untuk memperkuat otonomi desa. Mereka yakin betul bahwa penguatan otonomi desa mempunyai beberapa tujuan: memberikan pengakuan terhadap lokalitas yang eksistensinya jauh lebih tua ketimbang NKRI; membawa negara lebih dekat pada rakyat desa; membangkitkan potensi dan prakarsa lokal; menciptakan pemerataan dan keadilan; memberdayakan kekuatan rakyat pada level grass root; memperbaiki kualitas layanan publik yang relevan dengan preferensi lokal; dan lain-lain. Arah dan substansi revisi UU No. 22/1999 telah lama diperdebatkan namun tidak terbangun visi bersama untuk memperkuat otonomi daerah, karena fragmentasi kepentingan. Pemerintah mempunyai kehendak kuat untuk merevisi karena UU No. 22/1999 dinilai melenceng jauh dari prinsip NKRI. Pemerintah kabupaten/kota sangat risau dengan intervensi Jakarta dan kontrol yang berlebihan oleh DPRD. Pihak desa (kepala desa dan BPD) telah lama mengusulkan revisi karena UU No. 22/1999 tidak memberikan ruang bagi desentralisasi kewenangan dan keuangan untuk mendukung otonomi desa. Pihak LSM terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap UU No. 22/1999, tetapi yang paling krusial di mata mereka

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

adalah lemahnya jaminan legal partisipasi masyarakat dan lemahnya komitmen pada pembaharuan desa. Tahun 2002 pemerintah, khususnya Depdagri, telah menyiapkan naskah revisi UU No. 22/1999. Tetapi naskah itu ditentang keras oleh daerah, LSM dan akademisi karena tidak punya semangat memperkuat desentralisasi, bahkan lebih bernuansa resentralisasi. Rencana itu akhirnya gagal. Mulai pertengahan 2003 rencana revisi muncul kembali. DPR telah mengambil inisiatif menyusun naskah revisi, tetapi fokus mereka hanya pemilihan kepala daerah secara langsung serta posisi dan peran DPRD. Pemerintah, melalui Depdagri, menyiapkan naskah yang jauh lebih lengkap untuk melakukan perombakan total terhadap UU No. 22/1999. Tahun 2004 upaya pemerintah dan DPR melakukan revisi semakin intensif. Tetapi proses kelahiran RUU dan pembahasannya sangat tertutup. Pansus DPR-RI memang membuka konsultasi publik untuk membicarakan RUU, tetapi proses ini sangat terbatas, elitis, oligarkhis, dan dijadikan sebagai alat justifikasi bahwa RUU sudah dikonsultasikan dengan publik. Perumusan RUU ternyata tidak ditempuh melalui perdebatan pemikiran yang mendalam dan komprehensif yang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, yang memungkinkan terjadi proses akomodasi antara suara pusat dengan suara lokal. Berbagai pihak di luar pemerintah pusat dan DPR (LIPI, koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, Asosiasi BPD, Asosiasi Kepala Desa, FPPM, FPPD, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, kalangan akademisi, dan lain-lain) terusmenerus menyampaikan usulan perbaikan baik langsung maupun melalui media, tetapi DPR tidak memberikan respons secara serius dan tidak mengakomodasi suara mereka. DPR sama sekali juga tidak memiliki kepekaan terhadap dinamika lokal dan suara desa yang perlu diakomodasi. Secara empirik DPR dan Presiden mengambil keputusan yang sangat strategis, yaitu mengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempo yang singkat, tergesa-gesa, di saat masa kerja mereka hampir habis.

203


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

204

Proses maupun substansi UU No. 32/2004 secara menyolok gagal menjembatani perbedaan pandangan dari berbagai pihak, yang sebaliknya justru membuahkan kemenangan bagi kekuatan nasionalis kolot dan pemerintah pusat terhadap daerah dan desa. Kami menilai bahwa substansi UU 32 cenderung menjauh dari UU No. 22/1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan sebaliknya, semakin mendekat pada UU No. 5/1974 yang bersifat sentralistik-otokratis-korporatis. UU No. 32/2004 tidak dimaksudkan untuk memperkuat desentralisasi dan demokrasi lokal, sebaliknya malah hendak melakukan resentralisasi, neokorporatisme dan rebirokratisasi terhadap daerah-desa. Proses perumusan dan kelahiran UU No. 32/2004 secara menyolok jauh dari proses kontrak sosial dan partisipasi masyarakat. Pansus DPR-RI memang membuka konsultasi publik untuk membicarakan RUU, tetapi proses ini sangat terbatas, elitis, oligarkhis, dan dijadikan sebagaialat justifikasi bahwa RUU sudah dikonsultasikan dengan publik. Perumusan RUU ternyata tidak ditempuh melalui perdebatan pemikiran yang mendalam dan komprehensif yang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, yang memungkinkan terjadi proses akomodasi antara suara pusat dengan suara lokal. Berbagai pihak di luar pemerintah pusat dan DPR (LIPI, koalisi NGO, APKASI, ADEKSI, Asosiasi BPD, Asosiasi Kepala Desa, FPPM, FPPD, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, kalangan akademisi, dan lain-lain) terusmenerus menyampaikan usulan perbaikan baik langsung maupun melalui media, tetapi DPR tidak memberikan respons secara serius dan tidak mengakomodasi suara mereka. DPR sama sekali juga tidak memiliki kepekaan terhadap dinamika lokal dan suara desa yang perlu diakomodasi. Secara empirik DPR dan Presiden mengambil keputusan yang sangat strategis, yaitu mengesahkan UU No. 32/2004, dalam tempo yang singkat, tergesa-gesa, di saat masa kerja mereka hampir habis. Karena tidak berbasis pada kontrak sosial, maka secara

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

moral dan politik, kami menilai bahwa UU No. 32/2004 tidak legitimate dan tidak aspiratif. Secara substantif, UU No. 32/2004 menciptakan kemunduran otonomi dan demokrasi desa. UU No. 32/2004 tidak mempunyai semangat menghormati eksistensi desa. Para pembuatnya tidak memperhatikan suara desa yang menuntut penghormatan, keadilan, pemerataan, kesejahteraan, dan kemandirian desa. Substansi UU No. 32/2004 cenderung menjauh dari UU No. 22/1999 yang bersifat devolutif-liberal, dan sebaliknya, mendekat pada UU No. 5/1974 yangbersifatsentralistik-otokratis-korporatis.UU inijuga mengawali kemunduran desentralisasi, otonomi dan demokrasi desa. Setidaknya ada empat isu pokok yang memperlihatkan kemunduran itu. Pertama, desentralisasi dan otonomi daerah. Desa benarbenar hilang dari peta desentralisasi di Indonesia. UU No. 32/ 2004 tidak mengenal otonomi desa, melainkan hanya mengenal otonomi daerah. Dalam ketentuan umum ditegaskan: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan�. Lebih lanjut ditegaskan: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia�. Sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, posisi dan kewenangan desa yang merupakan dua poin kritis dalam otonomi desa. Kedudukan (posisi) desa menunjukkan eksistensi desa dalam susunan ketatanegaraan republik Indonesia. Baik UUD 1945 maupun UU No. 32/2004 tidak secara eksplisit menyebutkan otonomi desa. Pasal 2 UU

205


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

206

No. 32/2004 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Ini artinya negara hanya dibagi menjadi daerah, yang kemudian daerah ditetapkan menjadi daerah otonom (local self government). Negara hanya mengakui keberadaan desa, tetapi ia tidak membagi kekuasaan dan kewenangan (desentralisasi) kepada desa. Seperti dalam UU sebelumnya, desa hanya menjadi bagian dari pemerintah kabupaten/kota. Pasal 200 ayat (1), menyatakan “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa” Penggunaan istilah “dibentuk” ini menegaskan bahwa pemerintah desa merupakan sub sistem atau bagian dari pemerintah kabupaten/ kota, karenanya ia menjalankan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dalam undang-undang ini desa merupakan satuan pemerintah yang ada dalam pemerintah kabupaten/kota. Ini berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.......”. Pemakaian istilah “dibagi atas daerah-daerah” menunjukkan selain menghormati daerah otonom juga menegaskan adanya hubungan pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal. Dengan demikian ada perbedaan model hubungan pusat dan daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dengan model hubungan Kabupaten/kota dengan desa berdasar UU No. 32/2004. Pengakuan NKRI pada keberadaan desa dituangkan dalam bentuk pengertian desa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

Klausul ini berupaya melokalisir desa hanya sebagai subyek hukum yang mengelola kepentingan masyarakat setempat, bukan urusan atau kewenangan pemerintahan, seperti halnya daerah. Desa sudah lama mengurus sendiri kepentingan masyarakat, untuk apa fungsi ini harus diakui oleh UU. Tanpa diakui oleh UU sekalipun, desa sudah mengurus kepentingan masyarakat setempat. Klausul itu juga menegaskan bahwa negara hanya “mengakui” keberadaan desa, tetapi tidak “membagi” kekuasaan pemerintahan kepada desa. Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat (self governing community), bukan disiapkan sebagai entitas otonom sebagai local self government. UU No. 32/2004 memberikan definisi secara “standar” mengenai wewenang untuk mengelola “urusan” pemerintahan desa. Kewenangan direduksi menjadi urusan. Menurut pasal 206 ada empat urusan pemerintahan desa: (a) urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (b) urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Kewenangan desa yang terbatas tentu akan memperlemah otonomi desa. Berbagai perangkat konstitusi dan UU belum memberikan ruang bagi desentralisasi dan otonomi desa. Otonomi desa (termasuk di dalamnya property right) belum diakui oleh negara. Desa hanya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Rumusan ini mengandung sejumlah problem. Pertama, kewenangan asal-usul dan adat-istiadat umumnya sudah hancur dan tinggal kenangan karena masuknya intervensi negara dan eksploitasi modal, yang kemudian membuat masyarakat lokal (adat) kehilangan kepemilikan, harga diri dan identitas lokal. Yang masih sedikit tersisa hanya ritual adat yang sama sekali tidak berhubungan dengan kewenangan

207


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

208

pemerintahan. Bagi elemen-elemen masyarakat lokal, kewenangan asal-usul sangat susah dirumuskan atau hanya sekadar “kewenangan kering” yang tidak mempunyai implikasi terhadap kewenangan desa (atau nama lain) untuk membuat keputusan lokal yang mengikat masyarakat setempat dan mengendalikan (atau memanfaatkan) sumberdaya lokal. Kedua, karena desentralisasi dan otonomi daerah hanya sampai di kabupaten/kota, maka desa tidak lagi memperoleh pembagian kewenangan yang memadai dari pemerintah supradesa. Penyerahan kewenangan kepada desa hanya tergantung pada “baik budi” bupati. Ketiga, UU 32/2004 tidak mengedepankan prinsip subsidiarity kepada desa, sebuah prinsip penting dalam desentralisasi (penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan secara lokal), yang memungkinkan penguatan prakarsa dan akuntabilitas lokal. UU ini lagi-lagi memberikan cek kosong kepada Peraturan Pemerintah dan Perda untuk menjadikan desa sebagai obyek pengaturan. Ketiga, demokrasi dalam konteks susunan pemerintahan desa. Salah satu tujuan besar desentralisasi politik atau pembentukan pemerintahan lokal yang otonom adalah membangun demokrasi lokal atau pemerintahan lokal yang demokratis (democratic local governance). Demokrasi lokal berbicara tentang pemerintahan yang akuntabel, transparan, responsif dan partisipatif. Keberadaan lembaga perwakilan sebagai wadah representasi rakyat merupakan arena untuk checks & balances agar prinsip-prinsip demokrasi bisa berjalan, sekaligus menghindari penyalahgunaan kekuasaan kepala desa. UU No. 32/2004 justru menciptakan kemunduran bagi demokratisasi di tingkat desa. Para perumusnya begitu khawatir dengan kuatnya keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang yang menimbulkan hubungan konfliktual dengan kepala desa serta merosotnya kekuasaan dan kewibawaan kepala desa. Mereka yakin betul bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kuat dan integratif membutuhkan hadirnya kekuasaan

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

eksekutif yang powerful dan berwibawa di hadapan lembaga legislatifdanrakyat. UU No. 32/2004 sengaja mengganti sistem perwakilan (representasi) dalam bentuk BPD dengan sistem permusyawaratan dalam bentuk Badan Permusyawatan Desa (disingkat Bamusdes). Pasal 210 menegaskan: “Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”. “Yang dimaksud dengan “ wakil ” dalam ketentuan ini adalah penduduk desa yang memangku jabatan seperti ketua rukun warga, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya”. Klausul “wakil” dan “musyawarah” itu harus dicermati secara kritis. Keduanya menegaskan bahwa Bamusdes mewadahi para pemuka masyarakat desa tanpa harus dipilih melalui sistem keterwakilan, seperti keberadaan LMD yang lalu. Di desa sering muncul distorsi dalam musyawarah untuk menentukan siapa pemuka masyarakat yang dilibatkan dalam Bamusdes. Distorisnya adalah “penunjukan” secara elitis terhadap pemuka masyarakat yang dianggap “dekat” kepala desa. Akibatnya adalah ketiadaan akses rakyat biasa (ordinary people) untuk berpartisipasi sebagai anggota Bamusdes. Fungsi Bamusdes juga dikebiri, yaitu hanya menetapkan perdes bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi kontrol dihilangkan, sehingga memperlemah check and balances dalam pemerintahan desa. Sisi yang lain adalah akuntabilitas kepala desa. Pertanggungjawaban kepala desa ditemukan di dalam penjelasan umum: “Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya.....”

209


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

210

Rangkaian kalimat itu sangat membingungkan. Kami memahami klausul itu menegaskan bahwa akuntabilitas kepala desa bukan kepada rakyat (sebagai konstituen), tetapi kepada bupati/walikota melalui camat sebagai pemerintah “atasan�. Pemindahan akuntabilitas ke bawah menjadi ke atas itulah yang kami sebut sebagai resentralisasi, serta mereduksi prinsip subsidiatity dan proses demokrasi lokal. Subsidiarity mengajarkan bahwa pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan, akuntabilitas, maupun penyelesaian masalah sebaiknya dilakukan di level lokal. Sedangkan demokrasi lokal mengajarkan bahwa akuntabilitas pejabat politik seharusnya disampaikan kepada konstituen pemilihnya, bukan ditarik ke atas. Dalam lingkungan struktur-kultur politik yang masih birokratis danklientelistik, akuntabilitasvertikal ke atas justruakan membuat kepala desa kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat, melainkan akan lebih loyal (tunduk) pada kekuasaan di atasnya. Dalam praktik bisa jadi kepala daerah akan menghindar dari desakan rakyat dan akuntabilitas publik, sebab dia sudah merasa cukup menyampaikan pertanggungjawaban ke atas. Akuntabilitas ke atas jelas mengurangi makna desentralisasi, otonomi dan eksistensi desa, dan mereduksi proses pembelajaran demokrasi di level desa. Keempat, birokrasi desa. Perangkat desa yang diatur berdasarkan UU No 32/2004 sangat berbeda dengan pengaturan dalam UU No. 22/1999. Perangkat desa berdasarkan UU No. 32/ 2004 terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. UU No. 32/2004 mengamanatkan sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Dalam penjelasan juga ditegaskan: “Sekretaris desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri Sipil secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil sesuai peraturan perundang-undangan�. Dengan demikian, ada dua kemungkinan: Men-Sekdes-kan PNS, atau Mem-PNS-kan Sekdes. Ketentuan baru tersebut memang dilematis. Keberadaan Sekdes yang berstatus PNS memungkinkan pelayanan (baca: penjagaan) di kantor desa lebih terjamin. Tetapi ketentuan ini

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

adalah bentuk birokratisasi yang mempunyai risiko buruk bagi pemerintahan desa. Sesuai dengan konteks lokal, sekdes beserta perangkatnya adalah pamong desa, yang tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif secara ketat, tetapi juga menjalankan fungsi sosial yang harus siap selama 24 jam sehari. Selama ini sekdes direkrut secara lokal, serta bertanggungjawab secara tunggal kepada kepala desa. Kalau sekdes PNS, maka dia mempunyai tanggungjawab dan loyalitas ganda, yakni kepada kepala desa dan kepada birokrasi pembina PNS di atas desa. Birokratisasi ini bisa membawa pamong desa kearah birokrasi yang lebih kompleks dan menjauhkan pamong desa dari rakyatnya serta mengubah orientasi pengabdian sekdes. Di sisi lain, sekdes PNS ini juga akan membuat kecemburuan sosial di kalangan perangkat desa yang lain, bahkan bagi kepala desa sendiri. Kalau kecemburuan sosial ini terjadi, maka efektivitas pelayanan administratif (sebuah argumen yang dikedepankan oleh perumusnya) akan terdistorsi secara serius. Isu Sekdes-PNS memang menimbulkan masalah serius, bahkan membuat Departemen Dalam Negeri sangat kedodoran dalam menyusun Peraturan Pemerintah mengenai Pemerintahan Desa. Pengangkatan Sekdes menjadi PNS jelas berbenturan dengan UU Kepegawaian, sekaligus menimbulkan beban kepegawaian dan anggaran yang sangat berat. Di aras lokal isu Sekdes-PNS ini juga menimbulkan masalah. Pemerintah daerah umumnya menghadapi kesulitan tentang hal ini. Setiap kali saya berkunjung ke daerah, pejabat bagian Pemerintahan Desa selalu mengajak diskusi mengenai masalah ini, dan tidak ditemukan jawaban yang memadai, kecuali menunggu instruksi dari atas. Di aras desa, masalah menjadi lebih keras. Peraturan belum juga dilaksanakan, sudah terajdi benturan antara kepala desa, sekdes dan perangkat desa lain. Para kepala desa umumnya merasa keberatan dan iri, sekaligus bertanya kenapa yang di-PNS-kan hanya sekdes. Sikap yang sama juga muncul dari perangkat desa lain; mereka juga menuntut agar bisa di-PNS-kan seperti Sekdes. Para sekdes,

211


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

212

awalnya sangat bergembira, begitu mendengar dan membaca amanat dalam UU No. 32/2004. Mereka tidak lama lagi bakal diangkat menjadi PNS. Tetapi ternyata implementasinya tidak secepat yang mereka harapkan. Karena itu mereka bersuara keras menuntut agar pemerintah segera mengangkat mereka menjadi PNS. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sekdes menghimpun kekuatan mereka menjadi asosiasi untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Ribuan anggota asosiasi sekdes pernah ramai-ramai mendatangi Depdagri, yang intinya mereka menuntut pemerintah agar mereka segera diangkat menjadi PNS. Kelahiran Peraturan Pemerintah No. 72/2005 juga tidak sertamerta menyelesaikan masalah-masalah itu. Akan tetapi PP tersebut disambut dengan gugatan oleh para asosiasi kepala desa yang tergabung dalam Parade Nusantara. Parade bersikap bahwa kedua regulasi itu tidak aspiratif dan mereka menuntut kepada pemerintah agar keduanya direvisi. UU 32 Tahun 2004, bagi Parade Nusantara dinilai hanya kemunduran karena sangat sedikit mengakomodasi masalah-masalah yang mengatur pemerintahan desa. Juga terdapat banyak pembatasan hak desa, seperti hak politik perangkat desa, masa jabatan kepala desa yang sebelumnya diatur dalam UU No 5 Tahun 1979 selama delapan tahun dan bisa dipilih kembali, kemudian berubah menjadi enam tahun. Sudir mengatakan, nasib kepala desa sejak Orde Lama hingga era reformasi sekarang ini tidak berubah. Mereka tidak pernah menjadi subjek, tetapi selalu menjadi objek pemerintahan. Padahal, tuturnya, mereka adalah ujung tombak pemerintahan di tataran paling bawah. Ironisnya lagi nasib mereka sama sekali tidak diperhatikan oleh pemerintah. Dia mengungkapkan, hidup para kepala desa sangat tragis. Banyak kepala desa dan perangkat desa yang tidak mendapat honor. Bahkan untuk memilih kepala desa mereka menggunakan uang dari saku sendiri. Terkait dengan itu, mereka meminta supaya pemilihan kepala desa menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). “Bagaimana rakyat bisa maju kalau kepala desa dan perangkat desanya saja tidak diperhatikan nasibnya,� ucapnya. Selain itu, lanjutnya,

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

hingga kini belum ada satu pun UU yang mengatur tentang kepala desa. Selama ini, seperti UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diubah dengan UU Pemda bukanlah UU tentang kepala desa. Meskipun di dalam UU tersebut ada pasal yang mengatur tentang kepala desa, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Pengaturan soal kepala desa dalam UU Pemda itu pun banyak yang rancu. Karena itu mereka menuntut supaya sejumlah pasal yang mengatur tentang kepala desa dalam UU tersebut direvisi. Dia memberi contoh, pasal 112 UU Pemda yang menentukan bahwa biaya kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibebankan kepada APBD. Mereka menuntut supaya pasal ini ditambah dengan biaya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta kepala desa dibebankan kepada APBD. Pada tanggal 8-9 Maret 2006 sekitar 7 ribu anggota Parade menggelar aksi kolektif di Jakarta mendatangi DPD, DPR, Mendagri dan Istana Presiden. Mereka menuntut diperbolehkan menjadi pengurus parpol; minta masa jabatan diperpanjang dari enam tahun menjadi 10 tahun; dana perimbangan dinaikkan dari 10 persen menjadi 20 persen; biaya pilkades dibebankan pada APBD, Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya diangkat menjadi PNS, perbaikan kesejahteraan. Pada tanggal 3 April 2006 mereka datang kembali ke Jakarta mendatangi Mahkamah Agung untuk menyampaikan uji materi terhadap UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005. Ketika aksi kolektif tengah berlangsung, sikap pro dan kontra bermunculan. Beberapa politisi dengan cepat memberikan dukungan pada mereka. Soal keinginan para kades menjadi pengurus parpol, Golkar dan PDIP menyatakan setuju. Kades dinilai boleh menjadi pengurus parpol karena mereka bukan PNS, sehingga tak boleh mendapat perlakuan diskriminatif. Sementara Menteri Dalam Negeri bersikap defensif pada demo Parade, bahkan dia mengusir kadesa agar segera pulang kembali ke desanya masing-masing untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karena sikapnya ini, Parade malah menyampaikan suara yang keras

213


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

menuntut mundur Mendagri. Melihat kondisi ini, Presiden meminta agar Mendagri memberi tanggapan yang positif pada tuntutan kades. Karena itu pada tanggal 17 Maret 2006, Mendagri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 140/537/SJ tentang pemantapan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, yang meliputi petunjuk tentang: 1). Perda harus melalui konsultasi publik dengan Pemerintahan Desa. 2). Kepala Desa dapat ditunjuk sebagai penjabat Kepala Desa (bersamaan dengan pemberhentiannya sebagai Kepala Desa). 3). Pelaksanaan Alokasi Dana Desa sesuai dengan PP Nornor 72 Tahun 2005. 4). Penyediaan Biaya Pilkades dalam APBD Kab/Kota. 5). Peningkatan penghasilan tetap dan tunjangan lainya bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa minimal sama dengan UMR Kabupaten/Kota. 6). Pengaturan dalam Perda Kab/Kota tentang pengangkatan Sekdes PNS oleh Sekda atas usul dari Kepala Desa. 7). Melibatkan Kades dalam seluruh pembangunan Desa yang dananya berasal dari APBN, APBD dan Pembiayaan lainnya. Lagi-lagi kebijakan pemerintah pusat itu memberi beban yang berat kepada pemerintah kabupaten/kota. Padahal kabupaten/kota sudah betul-betul kedodoran menghadapi desa, sehingga kenapa mereka mendorong dan bahkan memberi bekal kepada anggota Parade Nusantara untuk melakukan aksi kolektif di Jakarta. Kebijakan pusat itu jelas darurat, dan karena itu membutuhkan reformasi yang menyeluruh.

214

Desentralisasi dan Otonomi Desa Otonomi desa adalah kemandirian desa. Semua pihak pasti sepakat atas definisi dan semangat itu. Frasa kemandirian desa

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

memang tampak begitu indah, tetapi sebenarnya mengandung paradoks dan jebakan. Mengapa? Setiap orang pasti mempunyai tafsir dan cara pandang yang berbeda-beda untuk memaknai kemandirian desa. Kalangan yang berhaluan lokalis dan romantis cenderung memahami bahwa kemandirian desa merupakan masalah internal desa, rumah tangga “sendiri�, yakni kemampuan mengelola maupun membiayai pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan bertumpu pada hasil sumberdaya lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat, atau yang sering disebut sebagai Pendapatan Asli Desa (PADes). Kalau bantuan pemerintah lebih besar ketimbang PADes, kata cara pandang lokalis-romantis, berarti otonomi desa gagal dilaksanakan dan desa tergantung pada pemerintah supradesa. Kelemahan mendasar konsepsi lokalis adalah bahwa otonomi desa lebih dipandang sebagai kewajiban dan tanggungjawab, bukan sebagai hak. Pemerintah sebenarnya mempunyai cara pandang yang hampir sama dengan cara pandang lokalis-romantis. Tetapi yang berbeda, pemerintah mengadopsi argumen lokalis-romantis itu untuk keperluan mempertahakan sentralisme. Para pejabat supradesa selalu mengatakan bahwa kekuatan penopang kemandirian desa adalah swadaya dan gotong-royong yang sudah lama dipelihara di desa. Karena itu mereka selalu mendorong agar masyarakat desa terus-menerus meningkatkan swadaya dan gotong-royong, sebab bantuan terbatas yang diberikan pemerintah bukanlah komponen utama pembangunan desa, melainkan sebagai insentif atau stimulan untuk swadaya. Ini adalah jebakan yang eksploitatif. Dengan melakukan eksploitasi terhadap swadaya, pemerintah tidak merasa perlu membagi kekuasaan dan sumberdaya yang menjadi domainnya kepada desa. Kami tentu tidak menafikan swadaya masyarakat. Swadaya masyarakat berarti solidaritas sosial dan bagian dari modal sosial yang telah lama menjadi penyangga penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat desa. Tetapi otonomi dan kemandirian desa lebih dari sekadar swadaya. Kemandirian

215


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

216

bukanlah “kesendirian”, dan otonomi desa bukan masalah internal desa. Otonomi desa tidak bakal lepas dari konteks relasi antara desa dengan supradesa, sebab desa menjadi bagian dari negara yang juga menjalankan sejumlah kewajiban yang dibebankan oleh negara. Karena itu, lebih sekadar swadaya, otonomi desa merupakan persoalan pemertaan dan keadilan hubungan antara negara dan desa. Desa, khususnya pemerintah desa, mempunyai hak bila berhadapan dengan negara, sebaliknya ia mempunyai kewajiban dan tanggungjawab kepada masyarakat desa. Melampaui batas-batas lokalitas internal desa, otonomi desa mengandung prinsip keleluasaan (discretionary), kekebalan (imunitas) dan kapasitas (capacity). Keterpaduan antara keleluasaan dan kapasitas bakal melahirkan kemandirian desa, yakni kemandirian mengelola pemerintahan, mengambil keputusan, dan mengelola sumberdaya lokal sendiri yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal. Kemandirian merupakan kekuatan atau sebagai sebuah prakondisi yang memungkinkan proses peningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pengembangan prakarsa dan potensi lokal, pelayanan publik dan kualitas hidup masyarakat desa secara berkelanjutan. Keleluasaan merupakan sebuah isu krusial dalam konteks relasi antara pemerintah, daerah dan desa. Ketika format relasi pusat-daerah-desa bersifat sentralistik, hirarkhis, korporatis dan birokratis, maka desa tidak bakal mempunyai keleluasaan. Keleluasaan juga tidak bakal muncul kalau terjadi intervensi pusat terhadap daerah, sehingga keleluasaan identik dengan “kebebasan dari” atau kekebalan (imunitas) desa “dari” campur tangan (intervensi) pemerintah supradesa. Pengalaman Orde Baru dengan UU No. 5/1979 memperlihatkan secara gamblang bahwa desa sama sekali tidak mempunyai keleluasaan karena ketatnya sentralisasi dan intervensi. Sekarang, di era reformasi, UU No. 22/1999 sedikit banyak memberikan garansi formal dan ruang bagi tumbuhnya keleluasaan desa mengelola rumah tangganya

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

sendiri, meskipun dalam banyak hal pemerintah masih sering melakukan intervensi terhadap desa. Keleluasaan desa bisa didongkrak bila desa mempunyai sejumlah kewenangan yang diberikan pemerintah melalui skema desentralisasi politik. Untuk membangun otonomi desa, desentralisasi harus didorong sampai ke level desa dimana distribusi kewenangan tidak berhenti sampai ke level kabupaten namun perlu juga distribusi kewenangan hingga ke tingkat desa. Tetapi, sayangnya, desa hampir hilang dari peta desentralisasi di Indonesia. Dalam Undang-undang, desentralisasi hanya sebatas pembagian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, bukan kepada desa. Para ahli hukum yang berhaluan formalis pun juga tidak mau menggunakan istilah desentralisasi desa, sebab posisi desa dalam ketatanegaraan RI bukan penerima desentralisasi. Seorang pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Ibnu Tricahyo, selalu mengatakan bahwa kebijakan yang berorientasi pada pembagian kewenangan dan keuangan kepada desa sebenarnya merupakan kebijakan parsial, sehingga advokasi otonomi desa harus dilakukan dengan cara mempertegas pengaturan konstitusi atas kedudukan desa dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Kedudukan desa itu, tutur Ibnu, harus otonom di hadapan negara, bukan sekadar subsistem dari pemerintahan kabupaten. Kami berpendapat bahwa mendongkrak keleluasaan maupun membagi kewenangan kepada desa tidak harus dilakukan secara maksimalis seperti usulan Ibnu Tricahyo. Kami menganut cara pandang inkrementalis. UU No. 22/1999 sebenarnya mulai menegaskan desa sebagai local-self government, meski tidak secara ekspliti disebut sebagai otonom, seperti halnya daerah otonom di atas desa. Pengembangan otonomi desa, terutama penguatan local-self government desa, tidak harus dilakukan secara maksimalis dengan melakukan amandemen konstitusi yang menegaskan kedudukan desa sebagai entitas otonom, melainkan dengan cara bertahap membagi kewenangan dan keuangan kepada desa. Pada saat yang sama, pihak pemerintah supradesa perlu mendorong

217


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

218

subsidiarity sertamemfasilitasicapacitybuilding dansupervisi agar pemerintah desa secara bertahap mampu mengembangkan kapasitas mengelola kewenangan dan keuangan, serta bertanggungjawab dalam pengelolaan pelayanan publik. Pembagian kewenangan menjadi kunci untuk membuat otonomi desa. Kewenangan sering dipahami sebagai hak legal secara penuh untuk bertindak mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri. Ada pula yang memahami bahwa kewenangan adalah kekuatan formal perangkat negara untuk mengambil keputusan yang bersifat mengikat dan memaksa terhadap warga negara. Kewenangan juga bisa dipahami sebagai instrumen administratif untuk mengelola urusan. Menurut ketentuan formal, kewenangan desa adalah hak dan kekuasaan pemerintahan desa dalam rangka otonomi desa, yang artinya hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai kondisi dan sosial budaya setempat. Dengan demikian, kewenangan akan memperkuat posisi dan eksistensi subyek pemilik kewenangan itu untuk menjadi subyek hukum yang leluasa dan otonom dalam mengambil keputusan. Kewenangan akan membuat otonomi, dan bahkan skala yang lebih tinggi akan membuat kedaulatan. Karena kewenangan mempunyai implikasi yang serius, misalnya pengaturan dan pemaksanaan terhadap warga, maka pemegang kewenangan tersebut harus bertanggungjawab terhadap pemberi mandat atau obyek yang terkena kewenangan. Penerapan kewenangan akan terbentang mulai dari pembuatan keputusan, pelaksanaan, dan kontrol atas keputusan tersebut dalam rangka membuat peraturan (regulasi) sendiri yang mengikat, mengelola (merencanakan, mengumpulkan, membagi, merawat, dan seterusnya) dan mengambil atau memanfaatkan barang-barang atau aset publik (warga, jabatan, wilayah, tanah, urusan tugas, hutan, laut, uang, dan lain-lain) dalam lingkup yurisdiksinya. Menurut studi Ari Krisna M. Tarigan dan Tata Mustasya (2003) kewenangan desa berpusat pada kewenangan desa untuk mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

ekonomi untuk kesejahteraan warganya dan mendistribusikannya secara adil kepada semua kelompok, termasuk kelompok marginal. Konsekuensi dari kewenangan ini, desa memiliki pendapatan yang bersumber dari sumberdaya lokal setempat, sehingga diperlukan adanya pengembangan model perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 sebenarnya telah merumuskan tiga kewenangan utama yang diberikan kepada desa, yakni: (1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (2) kewenangan yang oleh peraturan perundangundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan (3) Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten kepada Desa disertai dengan pembiayaan, saran dan prasarana, serta sumber daya manusia. Tetapi rumusan ini masih sangat abstrak, yang menimbulkan banyak tafsir secara liar. PP No. 76/2001 telah mencoba menjabarkan rumusan kewenangan desa dalam UU No. 22/1999, tetapi juga belum clear dan juga belum digunakan sebagai referensi oleh kabupatan untuk membuat Perda tentang kewenangan desa. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri, juga telah membuat Manual Pemerintahan Desa yang di dalamnya berisi begitu banyak kewenangan desa. Manual yang dikeluarkan tahun 2003 ini sebenarnya relatif clear, tetapi ia hanya sebatas panduan untuk pelatihan bagi perangkat kabupaten, bukan regulasi yang mengikat kabupaten. Sebagai langkah awal untuk pemetaan, kami mengidentifikasi ada empat tipe kewenangan desa. Pertama, kewenangan generik atau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau kewenangan asal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (R. Yando Zakaria, 2000), atau yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada beberapa jenis kewenangan generik yang

219


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

220

sering dibicarakan: kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; kewenangan mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat, dll); kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat; kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-istiadat); kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal yang bukan kriminal (Sutoro Eko, 2004). Kewenangan generik sebenarnya merupakan indikator desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau desa sebagai subyek hukum yang otonom. Desa-desa di Jawa, misalnya, mempunyai kewenangan mengelola tanah kas desa maupun tanah bengkok secara mandiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa. Sementara desa-desa adat di Luar Jawa umumnya mempunyai hukum adat atau pranata sosial untuk mengatur pemerintahan maupun hubungan sosial serta mengelola sumberdaya lokal (tanah, tumbuhan, sungai, hutan, dan lain-lain). Mengatur berarti membuat dan melaksanakan peraturan yang memaksa dan mengikat warga, atau menentukan batas-batas yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh warga. Di nagari, misalnya, mempunyai aturan hukum adat yang sangat kuat dalam hal pengelolaan (terutama aturan tentang pembatasan penjualan) tanah pusako. Masyarakat adat Atoni Meto di Nusa Tenggara Timur juga mempunyai aturan yang kuat dalam mengelola kayu cendana. Kayu cendana boleh ditebang kalau umurnya sudah tua dan harus ditebang dengan upacara adat. Suku Amungme di Timika (Papua) juga mempunyai hukum adat untuk merawat secara seimbang dan keberlanjutan terhadap S-3 (sungai, sampan dan sagu). Sungai tidak boleh dikotori, sagu tidak boleh ditebang sembarangan. Tentu saja masih banyak aturan hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya. Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

dan keberlanjutan hubungan antarmanusia dan hubungan antara manusia dengan alam dan Tuhan. Tetapi, sekarang, kewenangan generik bukan hanya susah untuk diingat kembali, tetapi sebagian besar sudah hancur. Komunitas adat (desa adat) yang paling menderita atas kehancuran kewenangan generik. Adat telah kehilangan eksistensinya sebagai subyek hukum untuk mengelola property right. Banyak tanah ulayat yang diklaim menjadi milik negara. Ketika desa dan adat diintegrasikan ke dalam negara, maka negara membuat hukum positif yang berlaku secara nasional, sekaligus meniadakan hukum adat lokal yang dulunya digunakan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sengketa hukum dan agragia antara negara dengan adat pun pecah dimana-mana yang sampai sekarang sulit diselesaikan secara karitatif karena posisi (kedudukan) desa adat yang belum diakui sebagai subyek hukum yang otonom. Di tingkat lokal juga sering terjadi dualisme antara kepala desa dengan penghulu adat atau sering terjadi benturan antara “desa negara� dengan “desa adat� yang menggelar sengketa dalam hal pemerintahan, kepemimpinan, aturan dan batas-batas wilayah. Desentralisasi politik desa tentu harus memberikan pengakuan dan sekaligus melakukan pemulihan terhadap sejumlah kewenangan generik yang sudah lama dimiliki desa. Salah satu yang krusial untuk direvitalisasi adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak kepemilikan, terutama tanah dan hukum adat. Penyatuan antara desa negara dengan desa adat menjadi sangat penting, yang kemudian ditetapkan batas-batas wilayah dan kewenangan lokal. Jika problem generik ini sudah clear dengan format “desa baru� (yang mempunyai batas-batas wilayah dan kewenangan secara jelas), maka langkah berikutnya adalah melakukan distribusi kewenangan kepada desa. Kedua, kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government), meski desa belum diakui sebagai entitas otonom seperti kabupaten/kota. Desa, sebagai bentuk

221


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pemerintahan lokal (local-self government) sekarang mempunyai perangkat pemerintah desa (eksekutif) dan Badan Perwakilan Desa (BPD sebagai perangkat legislatif) yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan desa sendiri. Di masa Orde Baru di bawah UU No. 5/1979, kewenangan devolutif dalam hal pembuatan Perdes ini tidak dimiliki oleh desa. Ada sejumlah kewenangan desa yang bisa dikategorikan sebagai kewenangan devolutif:          

222

Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa; Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa; Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa; Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat; Penetapan dan pembentukan BPD; Pencalonan, pemilihan dan penetapan angota BPD; Penyusunan dan penetapan APBDes; Penetapan peraturan desa; Penetapan kerja sama antar desa; Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES);

Penetapan kewenangan devolutif sebenarnya sudah merupakan kemajuan yang cukup signifikan, meskipun dalam praktiknya masih banyak masalah yang muncul. Contohnya adalah penetapan jumlah BPD, rekrutmen perangkat, dan SOT desa. Sekian jumlah kewenangan itu bila dilaksanakan dengan baik oleh desa, tentu, akan secara bertahap menempa kemampuan dan kemandirian desa. Ke depan ada pula gagasan kewenangan devolutif yang perlu dilembagakan di desa, yakni membuat desa sebagai entitas pembangunan yang otonom, sehingga desa secara otonom bisa membuat perencanaan dan pembiayaan pembangunan berdasarkan preferensi lokal. Inilah yang kami sebut sebagai local-self planning, sebagai alternatif

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

atas bottom-up planning yang selama ini diterapkan di daerah, tetapi penuh dengan masalah dan distorsi. Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh pemerintah kepada desa. Jika mengikuti UU No. 22/1999, kewenangan distributif ini disebut sebagai “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam pratiknya sering dikritik sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena desa hanya menerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa. Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik kewenangannya justru bersifat “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan bila tidak disertai pendukungnya. Demokratisasi Desa Sejak paradigma pembangunan desa yang berbasis pada rakyat, demokrasi merupakan elemen sangat penting, sebagai bagian dari proses pembangunan, sekaligus sebagai alat dan tujuan pembangunan desa. Rakyat dalam konteks ini menempati posisi sentral (subyek) dalam pembangunan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi pembangunan. Mengapa demokrasi penting dalam pembangunan desa? Pertama, pembangunan desa tentu bukan sekadar masalah teknis dan ekonomis, tetapi juga terkait dengan masalah politik. Berbagai agenda dalam pembangunan desa (prioritas program, pelibatan stakeholders, alokasi anggaran dan lain-lain), merupakan pilihan

223


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

224

dan keputusan politik. Agar keputusan politik tersebut aspiratif, akomodatif, dan tepat sasaran, maka dibutuhkan proses demokrasi di dalamnya. Kedua, pembangunan desa merupakan bidang governance, yang dikelola dengan melibatkan pemerintah desa dan unsur-unsur masyarakat. Pembangunan tentu bukan hanya menjadi domain pemerintah desa, meskipun ia mempunyai kewenangan dan tanggungjawab terbesar, tetapi juga harus melibatkan stakeholder di luar pemerintah. Keterlibatan (partisipasi) itulah yang kita sebut dengan demokrasi. Ketiga, berdasarkan pengalaman selama ini, pembangunan desa bekerja tanpa melalui proses yang demokratis, melainkan didominasi oleh elite desa. Keputusan-keputusan politik yang penting mengenai agenda pembangunan desa ditentukan secara terbatas oleh elite-elite desa. Yang lebih menyolok lagi, dominasi elite desa itu selama ini menghasilkan manipulasi dan korupsi terhadap sumberdaya desa, yang kemudian menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan. Bagaimana disain dan proses demokratisasi dalam konteks pembangunan desa? Di setiap desa sudah lama ada pemilihan kepala desa secara demokratis, juga sudah ada tradisi musyawarah yang terbatas untuk pengambilan keputusan. Demokrasi lebih dari itu. Pemerintahan yang demokratis (democratic governance) mengajarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berawal “dari� partisipasi masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan “oleh� wakil-wakil yang dipercaya masyarakat, serta dimanfaatkan secara responsif “untuk� kebutuhan masyarakat. Dalam memahami demokrasi desa, kita tidak boleh terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan. Prosedur dan lembaga demokrasi memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif. Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara pemerintah desa, perwakilan desa (BPD) dan masyarakat. Dalam

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

konteks ini, saya memahami dam meletakkan demokrasi (yang relevan dengan konteks desa) ke dalam empat ranah utama: pengelolaan kebijakan atau regulasi desa; kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan desa; perwakilan rakyat. Sebuah kebijakan (peraturan desa) yang demokratis apabila berbasis masyarakat: berasal dari partisipasi masyarakat, dikelola secara bertanggungjawab dan transparan oleh masyarakat dan digunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Dari sisi konteks, peraturan desa berbasis masyarakat (demokratis) berarti setiap perdes harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes yang dibuat memang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa. Dari sisi kontens (substansi), prinsip dasarnya bahwa peraturan desa lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa. Dipandang dari “manfaat untuk rakyat�, perdes dimaksudkan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan seterusnya. Sesuai dengan logika demokrasi, perdes berbasis masyarakat (demokratis) disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisiatas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol

225


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

226

dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya. Pemerintahan di Indonesia telah lama tidak menumbuhkan kultur leadership yang transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan, klientelisme, birokratis dan headship. Masalah ini merupakan tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan kepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak bisa lagi dimaknai sebagai priyayi benevolent dan kepemimpinan birokratis, melainkan harus digerakkan menuju kepemimpinan transformatif. Yaitu para pemimpin desa yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin yang mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmen warga desa, membangkitkan kreasi dan potensi desa. Pemerintah desa, tentu, tidak lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan tradisi komunalisme. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi danresponsivitas.Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas. Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat

227


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

228

hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga. Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan pemerintahan harusdisebarkan kedalamlembagaeksekutif,legislatifdanyudikatif. Di desa, selain ada kepala desa yang dipilih secara langsung, juga ada lembaga perwakilan rakyat, yang menurut UU No. 22/1999 disebut sebagai badan perwakilan desa (BPD), sebuah lembaga legislatif desa yang menggantikan lembaga korporatis lama, yakni Lembaga Musyawarah Desa. BPD adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, penyelidikan lapangan dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagai komunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga. Keberadaan BPD bisa disebut demokratis bila memenuhi kriteriasebagai berikut: ď ľ Representatif, artinya BPD tidak hanya wadah bagi elite desa, melainkan lebih mewakili berbagai kelompok sosial yang ada di desa: buruh tani, nelayanan, perempuan, pemuda, dan lain-lain. ď ľ Aspiratif, artinya BPD secara proaktif menjaring aspirasi masyarakat sebagai bahan masukan bagi perumusan kebijakan dan Perdes.

Desentralisasi, Otonomi & Demokratisasi Desa

Menjalankan kontrol secara efektif terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Apa relevansi desentralisasi-demokratisasi itu bagi pembangunan desa? Apakah keduanya mampu memberikan kontribusi terhadap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa? Demokratisasi desa, bagi kami, bukan sekadar untuk menjawab masalah kemunduran demokrasi desa di masa lalu, tetapi juga mengedepankan sejumlah relevansi ke depan. Pertama, demokratisasi desa hendak membuat pemerintah desa lebih akuntabel, transparan dan responsif dalam mengelola kebijakan dan keuangan desa. Kalau prinsip-prinsip ini tidak ada di desa, maka kebijakan dan keuangan desa akan berjalan apa adanya secara rutin, atau malah bisa terjadi kasus-kasus bermasalah yang merugikan rakyat desa. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa kepala desa bermasalah dan akhirnya digulingkan oleh rakyatnya sendiri karena tidak ada demokrasi di desa. Dengan demikian, demokrasi merupakan kekuatan baru untuk pembaharuan pemerintahan desa agar pengelolaan barang-barang publik desa (jabatan, kebijakan, keuangan, sumberdaya alam, dan lain-lain) dikelola dengan baik untuk kepentingan rakyat. Kedua, demokrasi bakal membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah desa maupun pemerintah yang lebih tinggi. Aspirasi adalah fondasi keadulatan rakyat yang sudah lama diamanatkan dalam konstitusi. Ketiga, demokrasi menjadi arena untuk mendidik mental dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militan dan mempunyai kesadaran kritis tentang pengelolaan barang-barang publik yang mempengaruhi hidup mereka. Pendidikan dan pembelajaran ini penting, mengingat masyarakat cenderung pragmatis secara ekonomi dan konservatif secara politik,akibat dari pendidikan politik yang kurang sehat dan pola pembangunan yang mengutamakan orientasi material. Keempat, demokratisasi tentu merupakan upaya jangka panjang dan berkelanjutan untuk mendorong kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat desa. Dalam Pancasila sudah lama ditegaskan bahwa ketuhanan, kemanusiaan, ď ľ

229


kebangsaan, kerakyatan (demokrasi) dan kesejahteraan-keadilan merupakan nilai-nilai dasar yang tidak bisa dipisahkan. Secara empirik, lemahnya kesejahteraan-keadilan selama ini terjadi karena miskinnya kerakyatan (demokrasi). Otoritarianisme yang konon diyakini secara global sebagai prakondisi politik bagi pertumbuhan ekonomi dan pendalaman kapitalisme, secara hisoris, hanya membuahkan kemakmuran yang semu dan timpang, artinya tidak seluruh lapisan masyarakat punya kesempatan untuk menikmati kemakmuran. Sebaliknya, secara filosofis dan teoretis, demokrasi memungkinkan proses identifikasi dan formulasi kebutuhan rakyat sehari-hari untuk ditransformasikan menjadi kebijakan yang berorientasi kepada rakyat, sehingga pada gilirannya prosesini akan mendongkrak kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.

Bab 6 Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

Mencermati proses pembangunan di Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 4 dasawarsa ternyata belum berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Kondisi kesejahteraan masyarakat dewasa ini masih diwarnai oleh tingginya angka kemiskinan, angka pengangguran, angka putus sekolah, meningkatnya kasus anak kurang gizi/gizi buruk yang dapat ditemukan hampir di seluruh daerah di Indonesia, sampai pada masalah korban bencana alam yang memakan korban yang jumlahnya tidak sedikit. Pada tahun 2004 yang lalu, sekitar 30 hingga 40 juta angkatan kerja menganggur atau bekerja secara tidak teratur. Laporan yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (Desember 2004) menunjukkan bahwa 37,4 % warga Negara Indonesia mengalami kemiskinan absolute (dibawah garis kemiskinan). Laporan yang sama juga menyebutkan adanya 20 % yang lain yang sangat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan1. Kondisi tersebut, 1

James Midgley, Pembangunan Sosial : Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan SosialDiperta


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

mengisyaratkan bahwa strategi pembangunan nasional selama ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata. Kemiskinan akan menyebabkan kehidupan masyarakat rentan terhadap berbagai macam perubahan yang terjadi. Kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga bahan pokok dan kenaikan tarif transportasi, yang sebentar lagi akan diikuti dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) jelas akan mempersulit kehidupan masyarakat kecil. Menghadapi realitas tersebut, pemerintah sering kelihatan gagap dan tidak siap, sehingga ketika ada kasus yang muncul di masyarakat pemerintah cenderung bersifat (defend) dengan mencari-cari kelemahan dari pihak lain, entah data yang diekspos oleh media masa tidak valid, pers terlalu mendramatisir keadaan atau alasan lain yang terkadang justru tidak merespon masalah yang sedang dihadapi. Akibatnya, penanganan masalah tersebut tidak segera dapat dilakukan secara baik (sistematis). Pembangunan Sosial Pembangunan sosial, yang paling dasar, adalah berupaya memberikan palayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain). Pada level yang lebih tinggi pembangunan sosial berupaya untuk menjawab kerentanan sosial masyarakat, mengubahnya menjadi ketahanan sosial dan integrasi sosial secara berkelanjutan, atau sering disebut dengan social sustainability. Ujung-ujungnya pembangunan sosial adalah mencapai kesejahteraan sosial (social welfare). Di Indonesia,istilah kesejahteraan sosial dikenal secara luas oleh masyarakat dan juga sudah ditetapkan dalam konstitusi. Didalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan Pasal 34 tentag tanggung jawab negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak terlantar) serta 232

Departemen Agama RI, 2005, hal ix.

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

sistem jaminan sosial. Ini berarti, pemikiran sosialisme dan kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan platform sistem ekonomi dan sistem sosial di Indonesia, sehingga kalau mau jujur, Indonesia sebetulnya merupakan negara yang menganut paham “negara kesejahteraan� (welfare state) dengan model “negara kesejahteraanpartisipatif� (participatorywelfare state)yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah pluralisme kesejahteraan (welfare pluralism). Model ini menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelengaraan sosial (sosial security), meskipun dalam operasionalnya tetap melibatkan masyarakat. Sampai sekarang Undang-Undang No 6/1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial belum juga dihapus. UU ini misalnya merumuskan kesejahteraan sosial sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa kerselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhankebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menunjang tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Secara umum, istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (konsep pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan. Pengertian itu menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan (end) suatu kegiatan pembangunan. Sebagai contoh, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat. Kesejahteraan sosial dapat juga didifinisikan sebagai arena atau domain utama tempat berkiprah pekerjaan sosial. Sebagai analogi, kesehatan adalah arena tempat dokter berperan atau pendidikan adalahn arena dimana guru melaksanakan tugastugas profesionalnya. Pemaknaan kesejahteraan sosial sebagai

233


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

234

arena menempatkan kesejahteraan sosial sebagai sarana atau wahana atau alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan (Edi Suharto, 2005). Makna kesejahteraan sosial juga mengarah pada segenap kegiatan pengorganisasian dan distribusi pelayanan sosial terhaap kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups) atau kaum marginal. Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan sosial (sosial protection) baik yang bersifat formal maupun informal merupakan contoh aktifitas kesejahteraan sosial. Perlindungan yang bersifat formal adalah berbagai skema jaminan sosial (sosial security)yang diselenggarakan oleh negara yang umumnya berbentuk bantuan sosial (social assisstence)danasuransisosial(sosialinsurance),semisaltunjangan bagi orang cacat atau miskin (sosial benefits atau doll), tunjangan pengangguran (unemploymenmt benefits), tunjangan keluarga (family assistance yang di Amerika dikenal dengan nama TANF atau Temporary Assisstence for Needy Families). Beberapa skema yang dapat dikategorikan sebagai perlindungan sosial informal antara lain usaha ekonomi produktif, kredit mikro, arisan dan berbagai skema jaring pengaman sosial (social safety nets) yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat, organisasi sosial lokal, atau lembaga swadaya masyarakat (Edi Suharto, 2005). Berbagai isu itulah yang menjadi titik perhatian pembangunan sosial atau pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan sosial adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi maslah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial. Tujuan pembangunan sosial adalah meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup: (1) Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial; (2)

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

Peningkatan pemberdayaan melalui penetapan sisten dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menunjang harga diri dan martabat manusia; dan (3) Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan. Orientasi pembangunan sosial itu menjadi mainstream secara global. Pembangunan sosial tidak hanya menjadi sebuah dimensi dalam pembangunan, tetapi juga menjadi cara pandang alternatif dalam pembangunan (yang umumnya dimaknai sebagai pembangunan ekonomi) untuk mencapai human well being rakyat. Ketika para kepala negara di belahan dunia berkumpul di Copenhagen 1995 dalam World Summit on Social Development, mereka merumuskan tujuan secara bersama: memperkuat tindakan nasional untuk mempromosikan pembangunan sosial dan sebuah komitmen global kepada pembangunan berkelanjutan. Mereka membangun komitmen untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan tenaga kerja yang produktif, mengurangi pengangguran dan memperkuat integrasi sosial. Pembangunan sosial, seperti halnya pembangunan manusia (human development) yang diusung oleh UNDP, sebenarnya juga sebagai bentuk alternatif atas pembangunan yang selama ini lebih mengutamakan pembangunan ekonomi. Ada keyakinan yang kuat bahwa human well being tidak semata diukur dari pertumbuhan ekonomi (material) tetapi juga diukur dengan indikator-indikator kesejahteraan sosial. Karena itu pembangunan sosial juga hendak mengatasi korban-korban pembangunan ekonomi yang berideologi developmentalisme seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, pengangguran, penggusuran, maupun berbagai kerentanan sosial yang lain. Spirit pembangunan sosial itu juga sangat mewarnai sejumlah keyakinan dalam Millenium Development Goals (MDG) yang telah disepakati oleh para pemimpin negara di belahan dunia. MDG menjadi sebuah manifesto pembangunan yang mengusung beberapa agenda strategis: (1) pengurangan kemiskinan yang

235


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

ekstrim; (2) mencapai pendidikan dasar universal; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan; (4) mengurangi kematian bayi; (5) memperbaiki kesehatan ibu; (6) mengurangi HIV/AIDS; (7) memastikan keberlanjutan lingkungan; dan (8) mengembangkan sebuah kemitraan global untuk pembangunan. Tentang Jaminan Sosial Salah satu strategi penanggulangan masalah kemiskinan yang erat dengan perspektif pembangunan sosial adalah jaminan sosial (social security). Setiap orang, kaya maupun miskin, tinggaldi desa ataupun di kota, senantiasa dihadapkan pada pada risiko yang mengancam kehidupannya setiap saat. Jaminan sosial atau perlindungan sosial adalah skema yang dirancang secara terencana oleh pemerintah maupun masyarakat yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada warga masyarakat dari berbagai resiko dalam kehidupannya, baik resiko yang timbul dari dirinya (kecelakaan, sakit, meninggal dunia), maupun yang timbul dari lingkungannya (menganggur, bencana alam, kemiskinan, dan sebagainya).2 Oleh karena itu setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan jaminan sosial baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun oleh masyarakat itu sendiri. Secara konseptual, perlindungan sosial mencakup: 1. Bantuan sosial. Skema jaminan sosial (social security) yang berbentuk tunjangan uang, barang, atau pelayanan kesejahteraan yang umumnya diberikan berdasarkan “test kemiskinan� tanpa memperhatikan kontribusi sebelumnya (prior contribution). Tunjangan kesejahteraan bagi keluarga miskin, penganggur, anak-anak, penyandang cacat, lanjut usia merupakan beberapa contoh bantuan sosial.

2

236

Edy Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal 152-154.

2. Asuransi sosial. Skema jaminan sosial yang hanya diberikan kepada para peserta sesuai dengan kontribusinya, yakni berdasarkan premi atau tabungan yang dibayarkannya. Sistem asuransi kesehatan dan pensiun adalah dua bentuk asuransi sosial yang banyak diterapkan di banyak negara. 3. Kebijakan-kebijakan pasar kerja (labour market policies). Pekerjaan adalah bentuk perlindungan sosial yang berkelanjutan. Kebijakan pasar kerja merupakan kebijakan publik untuk meregulasi dunia kerja yang dapat menstabilkan hukum penawaran dan permintaan kerja, serta melindungi tenaga kerja dari risiko-risiko di tempat kerja. Kebijakan ini umumnya terdiri dari kebijakan pasar kerja aktif (penciptaan kesempatan kerja, peningkatan kapasitas SDM, mediasi antara pemberi dan pencari kerja) dan kebijakan pasar kerja pasif (perbaikan sistem pendidikan, penetapan standar upah minimum, pembayaran pesangon bagi yang terkena PHK, keamanan dan keselamatan kerja). 4. Mekanisme dan Jaring Pengaman Sosial Berbasis Masyarakat. Sejak berabad-abad lalu, Indonesia sudah kaya dengan budaya dan inisiatif lokal dalam merespon masalah dan kebutuhan rakyat kecil. Di pedesaan dan perkotaan, terdapat kelompok arisan, raksa desa, beas perelek, siskamling, kelompok pengajian, kelompok dana kematian yang secara swadaya, partisipatif, egaliter menyelenggarakan pelayanan sosial (Edi Suharto, 2005). Menurut World Bank (1991), jaminan sosial dapat dipahami sebagai tindakan publik, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat untuk melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima3. Perubahan besar yang mempunyai dampak pada kehidupan bangsa dan 3

Asep Saefuddin, dkk, Menuju Masyarakat Mandiri : Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal 18.

237


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

tingkat kesejahteraan rakyat adalah gelombang globalisasi dan proses demokratisasi. Memang tidak dapat disangkal bahwa globalisasi di datu sisi membawa perbaikan ekonomi yang efisien dan kompetitif dalam pasar internasional bagi negara-negara maju. Negara-negara yang sedang berkembang dikhawatirkan justru akan menjadi semakin terpinggirkan oleh kekuatan modal besar yang sebagian besar dimiliki oleh negara-negara maju. Kekahawatiran tersebut nampaknya cukup beralasan, semenjak arus globalisasi bergulir, banyak negara-negara berkembang justru semakin tidak mampu bersaing dengan negara-negara maju. Di tingkat internal negara-negara sedang berkembang terjadi dikotomi yang semakin melebar antara sektor ekonomi modern dengan sektor ekonomi tradisional. Sektor ekonomi tradisional semakin tidak mendapatkan tempat dalam kompetisi pasar, padahal sebagian besar masyarakat Indonesia masih menekuni sektor tersebut. Implikasi yang muncul kemudian adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang semakin tajam antara kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kondisi tersebut jelas telah menyebabkan penduduk miskin terperangkap dalam kehidupan yang sangat rentan. Sementara itu, gelombang demokratisasi di era informasi telah merubah tatanan sosial yang sebelumnya masih berbasis pada ikatan-ikatan sosial dan moral menjadi tatanan sosial yang lebih berbasis pada rasionalitas. Norma-norma sosial yang berlaku selama periode sejarah tertentu diguncang oleh kemajuan teknologi dan ekonomi, dan masyarakat harus berusaha menyesuaikan norma-norma yang ada dengan kondisi baru.4 Persoalannya kemudian adalah apakah masyarakat mampu menghadapi perubahan besar yang terjadi dewasa ini? Mampukah tatanan sosial baru melindungi nasib masyarakat kelas menengah ke bawah yang tinggal di daerah pedesaan agar tetap dapat sur-

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

vive di tengah perubahan? Adakah potensi sosial yang dapat dikembangkan untuk memberikan jaminan sosial secara berkesinambungan kepada masyarakat yang tinggal di pedesaan? Persoalan Jaminan Sosial Pada dasarnya setiap negara dan masyarakat akan berusaha untuk meraih kesejahteraannya dengan berbagai upaya sesuai dengan pendekatan pembangunan yang dianutnya. Di negaranegara Skandinavia (Denmark, Swedia dan Norwegia), Eropa Barat, Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat, sistem jaminan sosial merupakan cerminan dari komitmen negara menjalankan sistem negara welfare state, artinya negara berperan besar dalam usaha kesejahteraan sosial dengan segala varian dan modelnya. Menurut Cheyne (1998) dan Pierson (1991) untuk membangun sistem jaminan sosial yang baik mensyaratkan adanya pembangunan ekonomi dan sosial yang kuat serta sistem perpajakan yang menjangkau hampir seluruh warga negara, transparan, dan akuntabel memungkinkan negara-negara penganut sistem welfare state menjalankan sistem jaminan sosial5. Sejauh ini, dalam pembangunan sosial di Indonesia dikenal dua pendekatan, pendekatan residual dan pendekatan institusional. Pendekatan residual merekomendasikan bahwa sumber-sumber terbatas yang ada di masyarakat ditargetkan kepada lapisan masyarakat yang paling membutuhkan6, Sedangkan pendekatan institusional lebih menekankan pada keterlibatan besar pemerintah dalam semua aspek kesejahteraan sosial7. Dijelaskan lebih lanjut bahwa, kedua pendekatan tersebut memang mempunyai perbedaan dalam hal kebijakan pengalokasian sumber-sumber dana untuk usaha kesejahteraan sosial, namun sebenarnya keduanya menempatkan intervensi sosial sebagai subordinat dari pembangunan ekonomi dan, dalam hal pendanaan, keduanya secara 5 6

4

238

Francis Fukuyama, The Great Disruption : Human Nature and the Reconstitution of Sosial Order, terjemahan Goncangan Besar : Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2005, hal 15.

7

Edy suharto, Konsepsi dan strategi Jaminan Sosial, Contens Š 2003, www.policy.hu\suharto Dalam istilah yang sering digunakan oleh Departemen Sosial dikenal sebagai “penyandang masalah sosialâ€? James Midgley op cit hal 1

239


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

pasif bergantung kepada perekonomian. Namun keduanya dianggap kurang peduli dalam menciptakan sumber-sumber dana itu. Konsekuensi dari kedua pendekatan tersebut, dapat dilihat pada upaya-upaya penanggulangan masalah sosial-ekonomi yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah selama ini lebih bersifat parsial. Pembangunan sosial tidak terintegrasi dengan pembangunan ekonomi, sehingga pelaksanaan jaminan sosial tidak dapat berjalan berkesinambungan. Bahkan ada kecenderungan masyarakat lebih percaya kepada lembaga-lembaga swasta dari pada lembaga-lembaga yang secara resmi dibentuk oleh pemerintah untuk menyalurkan bantuan dalam menangani berbagai masalah sosial-ekonomi masyarakat. Realitas tersebut menunjukkan bahwa pembangunan sosial dan kebijakan sosial di Indonesia tidak didasarkan pada kerangka teoritik yang kuat. Artinya, pemahaman terhadap masalah sosial sering didominasi oleh teori-teori yang sedang mengalami perkembangan pada periode waktu tertentu. Sering dijumpai kebijakan sosial dianalisis secara terpisah dari proses sosio-kultural sebagai perangkat pranata sosial mandiri yang tidak berkaitan dengan proses-proses yang biasa terjadi dalam sistem sosial dan politik tempat kebijakan itu disusun untuk melayani sistem tersebut.8 Kondisi demikian, mengakibatkan upaya penanganan masalah sosial menjadi bersifat karitatif dan tidak efektif, sehingga tidak mengherankan jika tidak dapat mencapai sasarannya. Pandangan yang berkembang dan mendasari perumusan kebijakan sosial cenderung menempatkan masalah sosial sebagai bagian yang terpisahkan dari sistem sosial, ekonomi dan politik, sehingga program-program penanganan sosial lebih bersifat pragmatis. Sementara menurut teori-teori mengenai masyarakat, munculnya masalah sosial dan kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial, ekonomi dan politik yang dianut oleh negara 8

240

Vic George and Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Sosial, Penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992.

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

tersebut. Pandangan dari para ilmuwan sosial tentang organisasi kemasyarakatan dan pembagian kekuasaan politik serta ekonomi akan mempengaruhi penjelasan yang diberikannya mengenai sifat masalah-masalah sosial dan tanggapan pemerintah yang berbentuk kebijakan sosial yang dirumuskan. Secara historis, jaminan sosial di Indonesia mulai dikembangkan ketika semangat welfare state diadopsi dalam UUD 1945 yang mengamanatkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, meski bangunan ketatanegaraan berpihak pada ideologi negara kesejahteraan, namun pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial tidak mampu memberikan perlindungan secara merata. Dalam realisasinya praktek pembangunan di bidang kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh pemerintah mulai dikembangkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1965 Tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo, Undang-undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, UU RI nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Selain itu, hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 secara lebih tegas memposisikan peran negara yang cukup dominan dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial. Dalam pasal 28, dijelaskan secara tegas “bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, dan dalam pasal 34 dinyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat manusia. Demikian juga, dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional secara tegas juga dijelaskan bahwa fakir miskin dan orang tidak mampu dijamin oleh pemerintah melalui kepesertaannya dalam program jaminan sosial yang iurannya akan ditanggung oleh pemerintah untuk tahap awal, sedangkan untuk tahap berikutnya akan diatur melalui peraturan pemerintah.

241


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

242

Dengan demikian, negara sebagai penyelenggara sistem pemerintahan mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan warganya. Jika ada warga yang tidak mampu masuk ke dalam mekanisme pasar, maka negara harus menyantuninya. Apabila ada warga masyarakat yang tidak mampu mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan, cacat, menganggur, mengalami ketuaan, terkena bencana alam/sosial, maka negara mempunyai peranan dominan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Hal demikian, dilakukan dalam upaya mewujudkan keadilan sosial secara merata kepada warga negara. Dalam perkembangannya, usaha-usaha kesejahteraan sosial bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, tetapi swasta mempunyai peran dalam kegiatan-kegiatan jaminan sosial. Dewasa ini, terdapat beberapa penyelenggara asuransi (jaminan sosial) di Indonesia, yaitu PT Taspen, PT Asabri, PT Askes, dan PT Jamsostek. Anggota diwajibkan untuk membayar premi melalui pemotongan gaji pegawai tersebut semasa aktif bekerja. Di sektor swasta muncul beragam lembaga yang menawarkan program asuransi mulai dari auransi pendidikan, kesehatan, sampai pada asuransi kematian. Pada kelompok yang terakhir ini, biasanya hanya dapat diikuti oleh masyarakat dari kalangan menengah ke atas, hal ini disebabkan karena premi yang harus dibayarkan cukup tinggi. Dengan demikian, hanya masyarakat yang bekerja di sektor formal seperti PNS, karyawan swasta yang dapat mengakses sistem asuransi di atas, sementara masyarakat miskin tidak dapat mengaksesnya. Dengan kata lain, meskipun keberadaan lembaga-lembaga asuransi di atas merupakan suatu kemajuan, akan tetapi perlu diingat bahwa masih banyak segmen penduduk lain yang seharusnya menerima jaminan sosial sesuai dengan kondisi yang dimilikinya. Di sisi lain, sebenarnya dalam masyarakat sejak dulu sudah tumbuh semacam jaminan sosial yang bersifat informal dan termanifestasikan ke dalam beberapa tradisi yang didasarkan pada prinsip gotong royong, seperti solidaritas sesama warga untuk

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

membantu orang yang sedang kesusahan. Namun demikian, sistem jaminan sosial yang dibangun atas dasar gotong-royong tersebut tidak akan mampu mengatasi berbagai persoalan dan kebutuhan manusia yang semakin kompleks dan membutuhkan biaya yang besar. Berangkat dari situasi inilah, yang menjadi alasan mengapa pemerintah perlu segera untuk merealisasikan pembentukan sistem jaminan sosial. Pada tataran empirik, jika menilik kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia saat ini yang tidak menentu, maka memang akan sulit mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Jumlah angka kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah, ketimpangan ekonomi yang cukup mencolok, harga-harga kebutuhan ekonomi yang terus meningkat sejalan dengan adanya kenaikan harga BBM pada beberapa waktu yang lalu, jelas akan menambah tingkat kerentanan kehidupan masyarakat. Bahkan kini, terdapat kecenderungan pemerintah dihadapkan pada situasi yang cukup sulit untuk mengurusi permasalahan sosial yang berkembang di masyarakat. Meskipun harus diakui bahwa, selama ini pemerintah sudah berupaya keras untuk memberikan jaminan kepada masyarakat melalui berbagai macam program seperti JPS, Raskin, Kartu Sehat, dan program-program yang lainnya, namun efektivitasnya masih rendah. Jaminan Sosial Pada Masyarakat Desa Di Indonesia, sistem jaminan sosial (tradisonal) sudah ada sejak jaman dulu dan berkembang di masyarakat. Jaminan sosial tersebut mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dalam konteks ini, jaminan sosial dipahami sebagai lembaga sosial yang dibangun berdasarkan pada kepedulian bersama untuk mengatasi persoalan sosial ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat.9 Namun demikian, karena gencarnya 9

Heru Nugroho, Social Security and Outside Involment in Financial Self-Help Organization in Yogyakarta, Comments paper for H.B. Lont, Workshop on Social Security And Social policy In Java, Yogyakarta, August 5-7, 1997

243


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

244

pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, telah merubah lembaga-lembaga sosial di tingkat masyarakat, termasuk lembaga jaminan sosial. Saat ini lembaga jaminan sosial yang berbasis pada kekuatan lokal mulai pudar dan digantikan oleh lembaga jaminan sosial modern. Tradisi gotong royong yang didasarkan pada prinsip saling peduli, saling membantu seperti sambatan, gugur gunung, ronda malam, lumbung desa, dan lain-lain dalam beberapa dekade terakhir mulai menghilang di masyarakat dan fungsinya digantikan oleh lembaga sosial yang bersifat modern. Hal ini sejalan dengan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Tradisi yang didasarkan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian ini bukan hanya berkembang di Jawa, tetapi juga dapat ditemukan di daerah lain di Indonesia, seperti mapalus di Minahasa, huyula di Gorontalo, mapaluse di Sangihe Talaud, moposad di Bolaang Mongondow, dan beberapa istilah lain yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Tradisi ini berkembang dalam sebuah institusi yang ada di masyarakat. Dalam masyarakat di daerah pedesaan, keberadaan institusi ini menjadi basis dalam kehidupan bersama. Prinsip memberi pada anggota yang kekurangan, membantu yang sedang terkena musibah atau kemalangan diyakini sebagai sebuah nilai dasar yang mampu menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat pedesaan, karena nilai tersebut menjiwai hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa peran institusi sosial dalam melayani anggota masyarakat, khususnya anggota masyarakat yang menyandang masalah sosial masih sangat terbatas dan sifatnya masih insidentil. Institusi sosial yang menjadi embrio bagi sistem jaminan sosial tradisional adalah perkumpulan atau kerukunan-kerukunan yang memiliki kegiatan pokok mengurusi pengumpulan dana kematian yang mempunyai lingkup yang sangat terbatas (lingkungan RT, RW atau dusun/kampung). Sedangkan untuk masalah sosial lainnya, belum ada institusi sosial yang menanganinya, kalaupun ada

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

masih sangat terbatas. Institusi lain yang sering dijumpai dalam masyarakat pedesaan adalah jimpitan (iuran rutin yang dibayarkan oleh warga masyarakat yang biasanya dalam bentuk beras atau uang yang dilakukan pada waktu ronda malam). Materi atau dana yang terkumpul biasanya dipakai untuk keperluan bersama seperti untuk membiayai pembangunan di tingkat lokal, masih sangat jarang aliran dana yang diorientasikan untuk kegiatan kesejahteraan sosial. Padahal, lembaga sosial di tingkat lokal tersebut mempunyai potensi untuk menangani masalah kesejahteraan sosial apabila diberdayakan dengan baik. Berbeda dengan kondisi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan, lembaga sosial yang mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan sosial biasanya tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas untuk mengelola dan memfasilitasi jaminan sosial bagi anggota masyarakatnya. Tidak seperti bentukbentuk jaminan sosial sebagaimana yang ada dalam masyarakat modern. Strategi desentralisasi dapat dilakukan dalam jangka panjang. Pemerintah atau negara dapat merumuskan kerangka regulasi yang jelas, Lembaga swasta atau privat dapat mengisi gap atau kekosongan apabila diperlukan10. Sementara lembagalembaga sosial lainnya dapat memberikan kontribusi di antara peran yang dilakukan oleh negara dan swasta. Sementara itu, selama ini program-program peningkatan kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh pemerintah cenderung dilakukan dengan membentuk lembaga baru yang terkadang tidak mempunyai basis yang mengakar di masyarakat dan orientasi kegiatannya lebih bersifat �keproyekan� sehingga ketika “proyek’ tersebut berakhir maka berakhir pula kegiatan tersebut. Ada satu program yang dikembangkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan yang secara konseptual cukup 10

Sonke Schmidt, Social Security In Developing Countries : basic Tenets and fields of State Intervention, in Social (In)Security and Poverty, As Global Issues, Conference in Preparation of the UN World Summit on Social Development, Copenhagen, Maastricht, 4&5 March 1994, page 95.

245


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

246

bagus, namun masih belum mencapai target sebagaimana yang diharapkan. Program tersebut menggunakan pendekatan Tridaya (ekonomi, sosial dan fisik). Dalam pendekatan sosial lebih diorientasikan pada pemberdayaan potensi yang ada dalam masyarakat untuk menangani upaya kesejahteraan sosial. Salah satu program di bidang sosial, dilakukan dengan memberikan dana stimulan yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat setempat melalui lembaga yang dikembangkan di tingkat lokal. Pada awalnya, umumnya yang terjadi di beberapa daerah dipakai untuk menyantuni orang jompo, anak drop out sekolah, fakir miskin, dan anak yatim piatu. Namun demikian, program tersebut di beberapa daerah di Jawa juga belum dapat berjalan secara berkesinambungan. Salah satu kekurangan dari berbagai macam program yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh pemerintah adalah belum terintegrasikannya lembaga lokal yang sebenarnya sudah ada dan berkembang dalam masyarakat. Bahkan ada kecenderungan lembaga-lembaga sosial yang sebenarnya mempunyai potensi untuk menangani kegiatan kesejahteraan sosial menjadi tidak berkembang atau mati. Berangkat dari kondisi tersebut, kiranya sudah saatnya strategi pembangunan di bidang kesejahteraan sosial dalam masyarakat desa perlu mempertimbangkan dan melibatkan keberadaan lembaga sosial di tingkat lokal. Strategi ini dapat dilakukan dengan memberdayakan potensi lembaga sosial lokal dengan berbagai macam aktivitas seperti pelatihan ataupun pendampingan. Strategi ini dapat berhasil apabila ada dukungan dari pemerintah baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Pemerintah daerah perlu mengembangkan program-program yang berorientasi pada pengembangan kapasitas kelembagaan bagi lembaga sosial di tingkat lokal. Sedangkan pemerintah pusat perlu mengembangkan pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial sebagai satu kesatuan dan tidak terpisahkan.

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

Sistem Jaminan Sosial bagi Masyarakat Desa Selaras dengan implementasi otonomi daerah, maka pemerintah pusat sebenarnya perlu mendelegasikan kepada masing-masing daerah untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial di daerah. Selain akan meringankan beban yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat, maka penyelenggaraan sistem jaminan sosial akan lebih dapat menyesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah. Dengan demikian, program jaminan sosial akan berbeda-beda di masing-masing daerah tergantung pada prioritas kebutuhan/persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, karena pada dasarnya implementasi otonomi daerah pada hakekatnya dimaksudkan untuk membuka peluang bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial secara merata kepada segenap lapisan masyarakat. Pengembangan sistem jaminan sosial di daerah perlu diintegrasikan dengan pembangunan ekonomi daerah dan berbagai program bantuan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial hendaknya perlu dilihat sebagai satu kesatuan. Selama ini, pandangan yang berkembang seolah-olah hanya pembangunan ekonomi saja yang akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Implikasi yang muncul adalah pelaksanaan program-program jaminan sosial yang masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Melalui terintegrasinya sistem jaminan sosial dengan pembangunan ekonomi dan program bantuan sosial diharapkan penyelenggarannya akan lebih efisien dan terarah. Pengembangan sistem jaminan sosial di daerah, pada hakekatnya berkaitan dengan kemampuan untuk memobilisasi dana secara berkelanjutan. Sesuai dengan karakteristik masyarakat pedesaan yang masih mempunyai ikatan sosial yang relatif masih kuat, maka sistem jaminan sosial hendaknya didasarkan pada prinsipsolidaritas sosialdiantara para pesertanya, sehingga setiap peserta ikut berperan sesuai dengan kemampuannya untuk

247


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

248

memenuhi kebutuhan kesejahteraan sosial. Sistem jaminan sosial merupakan mekanisme untuk memberi fungsi sosial dana-dana dari masyarakat yang mampu, tanpa merugikan masyarakat yang mampu itu sendiri, antara lain melalui mekanisme asuransi sosial. Dengan kata lain, sistem jaminan sosial merupakan instrumen mobilisasi dana masyarakat untuk membiayai kesejahteraan masyarakat, dan sistem ini menghendaki pendekatan yang komprehensif dimana penyelenggaraan kesejahteraan bagi orang miskin sebaiknya harus diintegrasikan dengan penyelenggaraan kesejahteraan bagi orang yang tidak miskin. Dalam rangka melaksanakan program jaminan sosial di daerah agar terarah dan tepat sasaran, maka perlu mempertimbangkan aspek sosial, ekonomis maupun politis. Pertimbangan sosial mencakup aspek-aspek kondisi sosial dan karakteristik budaya masyarakat setempat. Pertimbangan ekonomis menyangkut keberlanjutaan masing-masing program. Sedangkan pertimbangan politis terutama menyangkut penerimaan masyarakat, pengaturan, dan penegakan hukum serta keterkaitannya dengan berbagai sektor. Namun demikian, dalam kaitannya dengan pertimbangan politis ini, hendaklah dihindari pertimbangan politik yang berlebihan sebab hal tersebut justru akan menghambat implementasi dari sistem jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial yang diselenggarakan hendaknya mencakup berbagai bidang baik jaminan sosial dalam bidang kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan sosial hari tua dan kematian dan korban bencana. Selain itu tidak menutup kemungkinan adalah program jaminan pengangguran dan tunjangan keluarga. Mengingat jumlah pengangguran pada masyarakat desa saat ini cukup besar, maka pemberian jaminan sosial terhadap para penganggur menjadi sangat strategis untuk diselenggarakan. Jaminan sosial yang diberikan pada kelompok ini dapat berupa pemberian kesempatan kerja (padat karya) sebagaimana pernah dilakukan pada masa Orde Baru, ataupun pemberian pelatihan yang berorientasi pada peningkatan pendapatan (income generat-

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

ing) bagi tenaga kerja setengah pengangguran. Bidang jaminan sosial ini hendaknya dibuat secara bertahap, dengan mempertimbangkan urgensi kemanfaatan serta perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Belajar dari kegagalan berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, seperti program IDT, KUT, JPS, BLT dan program-program sejenis lainnya, hendaknya mendorong pemerintah daerah untuk mencari alternatif program baru yang lebih relevan. Selain sering salah sasaran dan banyak kredit macet, maka bantuan dana yang diberikan cenderung banyak yang digunakan untuk kepentingan konsumtif. Berbagai bantuan sosial tersebut, sebenarnya akan lebih efisien dan bermanfaat ketika disalurkan dengan mekanisme sistem jaminan sosial yang berbasis pada lembaga di tingkat lokal. Meskipun masih sangat terbatas, model semacam ini sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi dengan mengandalkan berbagai kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Model ini mengisyaratkan pentingnya penguatan lembaga sosial di tingkat masyarakat agar mempunyai kepedulian terhadap penanganan masalah sosial-ekonomi dasar kemampuannya sendiri melalui sebuah sistem jaminan sosial yang dikelola oleh dan untuk masyarakat. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggabungkagn dana-dana yang dikumpulkan oleh masyarakat dengan dana alokasi bantuan sosial yang dikelola oleh pemerintah (dana-dana pemerintah yang sebelumnya dialokasikan dalam bentuk-bentuk program bantuan kredit), yang kemudian dikonversikan sebagai iuran sistem jaminan sosial bagi masyarakat yang tidak mampu. Dana ini dapat dikelola oleh sebuah lembaga yang dikembangkan di tingkat daerah (lembaga semacam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang berfungsi untuk mengelola dana jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Implementasi model tersebut dapat dilakukan melalui lembagalembaga sosial yang ada di setiap desa. Mekanisme ini tentunya

249


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

akan lebih banyak membantu masyarakat ketika menghadapi resikoresiko ekonomi yang tidak terduga. Pada sisi lain, sistem jaminan sosial memungkinkan pemberian perlindungan terhadap masyarakat secara berkelanjutan. Hal ini tentunya, berlainan dengan berbagai program bantuan dari pemerintah, seperti program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program-program lain yang cenderung bersifat insidental.

250

Penutup Dalam kehidupan masyarakat yang serba tidak menentu seperti yang terjadi pada saat ini, jaminan sosial dapat menjadi sebuah kebijakan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Sistem jaminan sosial yang kuat dan mendapat dukungan dari berbagai pihak akan dapat memberikan perlindungan dan jaminan kepastian kelangsungan kehidupan masyarakat, khususnya bagi kelompok masyarakat yang rentan terhadap perubahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk menciptakan sistem jaminan sosial yang kuat dan efektif, pemerintah harus berperan lebih dominan, terutama dalam merumuskan kebijakan yang lebih makro – kebijakan pembangunan sosial yang terintegrasikan dengan pembangunan ekonomi. Tanpa itu semua, sebaik apapun kebijakansosial tidak akan efektif. Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai otoritas yang lebih besar untuk mengatur kebijakan pembangunan. Kebijakan pembangunan sosial di daerah harus menjadi bagian integral dengan pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bapel) dituntut untuk lebih kreatif dalam memanfaatkan potensi masyarakat guna mewujudkan jaminan sosial yang kuat yang berbasis pada potensi lokal. Melalui pendekatan tersebut, diharapkan program jaminan sosial akan dapat berkembang dan berkesinambungan. Dalam konteks ini, keputusan politik pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan program jaminan sosial, mengingat program jaminan sosial di tingkat masyarakat

Pembangunan Sosial Melalui Jaminan Sosial

tidak mungkin berhasil tanpa dukungan politikdan dukungan dana dari pemerintah daerah. Sumber-sumber dana yang dapat dimobilisir untuk mendukung program jaminan sosial dapat digali dari masyarakat maupun dari pemerintah melalui alokasi dana dari APBD yang proporsional. Pada tataran praksis, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan lembaga lokal dan memberdayakan masyarakat melalui pelatihan dan pendampingan (advokasi) terhadap lembaga-lembaga di tingkat lokal yang mempunyai potensi untuk mengelola jaminan sosial yang ada dalam masyarakat. Tanpa adanya komitmen pemerintah untuk berpihak pada masyarakat miskin, niscaya keadilan dan kesejahteraan sosial dapat diciptakan.

251


Bab 7 Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Desa

Gagasan “membawa perencanaan pembangunan ke desa� ini muncul sebagai refleksi atas distorsi dan kegagalan sistem perencanaan partisipatif. Keberadaan regulasi yang menjamin bekerjanya sistem perencanaan dan penganggaran partisipatif, ternyata belum mampu menyediakan ruang partisipasi rakyat (desa) dalam makna sesungguhnya. Dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah, pendekatan partisipasi masih terpinggirkan oleh derasnya arus pendekatan teknokrasi dan politik. Penerbitan suatu regulasi alih-alih menjernihkan kerumitan rute penyusunan perencanaan dan penganggaran, justeru kehadirannya terkadang tumpang tindih atau tidak sinkron dengan regulasi yang lain. Implikasinya bagi pemerintah daerah semakin tidak jelas dalam memastikan rujukan hukumnya, termasuk bias dalam menerapkan pendekatan teknokrasi, pendekatan politik dan pendekatan partisipasi. Dalam sistem distortif seperti ini, status rakyat (desa) masih tetap berstatus


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

254

sebagai penonton, menjadi obyek perencanaan dan terus dibajak suaranya oleh para elit (capture by elite). Pendekatan partisipasi hanya dipakai untuk prosedur proses perencanaan, terkait dengan program dan besaran anggaran tetap menjadi domainnya teknokrasibirokrasisertapolitiknyalegislatif.Sepertiapadeskripsi persoalan distorsi dalam perencanaan dan penganggaran partisipatif ini di daerah? Bagaimana merealisasikan gagasan untuk “membawa perencanaan pembangunan ke desa” di tengah praktik distortif perencanaan pembangunan daerah? Untuk menunjukkan persoalan perencanaan pembangunan yang terus terjadi di daerah sampai saat ini, beberapa suara orang desa yang terekam dalam penelitian Tim IRE berikut ini mungkin bisa mewakilinya. Sekitar dua tahun yang lalu, warga yang mayoritas etnis dayak di Desa Perjiwa Kabupaten Kutai Kertanegara, menyaksikan “drama pembangunan” yang menyakitkan. Secara tiba-tiba, aparat pemerintah desa dan perwakilan sebuah perusahaan tambang, mendatangi warga desa satu per satu. Mereka datang untuk urusan pembebasan tanah, yang segera akan dikeruk untuk mendapatkan batu bara. Warga Desa Perjiwa tentu faham, kalau tanah mereka menyimpan batu bara. Tetapi mengapa mereka tidak diajak merencanakan pengambilan dan pengelolaan batu bara itu? Kesal dan marah, tetapi mereka tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan tanahnya ke perusahaan tambang. Setelah dua tahun berlalu, mereka tetap warga Perjiwa yang miskin, meski dollar di depan mata dan negara kaya menyelimutinya. Wajah kesal dan marah pun diperlihatkan oleh Sardjono di ujung tenggara Kabupaten Gunungkidul. Tokoh Desa Songbanyu ini geram terhadap perilaku negara dan investor. Desa Songbanyu yang memiliki pantai Sadeng dan sarang burung walet ini ternyata tidak bisa berbuat banyak kecuali hanya menjadi penonton pembangunan. Lalu lalang investor memanen sarang walet dan mengangkut hasil tangkapan ikan laut di pantai Sadeng, hanya meninggalkan bau ikan dan debu kendaraan. Wacana otonomi desa yang beberapa kali dia

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

dengar dari orang kota, tidak ada gambaran dalam kesehariannya di desa. Gugatan Sardjono pun meledak, “jika otonomi desa itu ada, mengapa kami hanya menonton ikan laut dan sarang burung walet yang setiap hari diangkut ke kota?” Mata hatinya terasa perih ketika harus menerawang balik mengingat kehidupan para leluhurnya yang menjalani hidup di desanya dengan gemah ripah loh jinawi, thukul kang sarwo tinandur, tatatiti tentrem,karta raharja.1 Persoalan perencanaan pembangunan seperti apa yang bisa ditunjukkan dari penggalan kisah menyedihkan dua desa di Jawa dan luar Jawa tersebut? Kisah itu menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya publik (tambang batu bara, sarang burung walet, potensi ikan laut), rakyat lokal (desa) tidak diberi ruang untuk berpartisipasi (memperjuangkan kepentingannya dan menegosiasikan gagasannya). Fenomena ini menegaskan bahwa ruang partisipasi dalam perencanaan pembangunan di level lokal hanyalah semu, yang berarti kepentingan pemerintah masih mendominasi arah dan orientasi pembangunan. Jika ditarik ke dalam konsepsi pendekatan partisipasi yang mengartikan adanya ruang publik terbuka dan adil, fenomena di Desa Perjiwa dan Desa Songbanyu tersebut menunjukkan adanya ruang publik yang tertutup dan tidak adil. Kisah desa yang menjadi penonton atas eksplorasi resorsis publik miliknya, desa yang terus menerus menjadi obyek kebijakan kabupaten dan supra kabupaten, serta kisah suara orang desa yang dibajak oleh kepentingan para elit desa dan supra desa juga ditemukan di daerah lain. Syarifudin yang tinggal di Desa Momundowu Kabupaten Konawe mengisahkan tentang dibuangnya suara orang desa dalam perencanaan pembangunan daerah. Kejengkelan H. Marlin dan Sukanah di Kabupaten Lombok Timur yang mempersoalkan dominannya Tuan Guru dalam proses perencanaan pembangunan desa, menambah kisah terlumatnya suara orang desa. Dominasi Tuan Guru di Lombok Timur merupakan representasi praktik 1

Idiom Jawa ini sering dipakai untuk menggambarkan romantisme desa yang tanahnya subur, tanaman tumbuh hijau, relasi sosial yang teratur , aman dan harmoninya selalu terjaga.

255


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

256

pembajakan oleh elit desa (capture by elite). Begitu pun yang menimpa orang desa di Solok Sumatera Barat. Dominannya para ninik mamak, cerdik pandai dan ulama dalam perencanaan pembangunan Nagari Kinari, menyebabkan suara anak nagari setempat (orang desa) menjadi senyap tak bersuara. Desa-desa di Sumba Timur NTT pun tetap dijadikan obyek kebijakan kabupaten, meski Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM) yang didisain kabupaten bernuansa pemihakan kepada desa. Bahkan yang terjadi di Kabupaten Sumenep, suara orang desa tersandera oleh dominannya Klebun (kepala desa) dalam banyak hal tentang pembangunan desa. Rekaman suara beberapa desa tersebut memperlihatkan bahwa sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran yang telah memasukkan pendekatan partisipasi, ternyata masih menimbulkan distorsi. Distorsi tersebut muncul sebagai dampak dari kerangka hukum yang masih membingungkan. Selain itu distorsi juga terjadi karena pemakaian basis argumentasi yang bias dalam penerapan pendekatan partisipasi. Munculnya distorsi juga karena pemahaman konsepsi partisipasi yang tidak tuntas di kalangan birokrasi, politisi dan masyarakat sipil. Implikasi dari adanya distorsi-distorsi tersebut bagi desa adalah serangan penundukan yang datangnya secara sistematis, baik dari luar desa maupun dari para penghuninya sendiri. Penundukan yang dilakukan oleh orang dari luar desa dapat melalui pemaksaan sah berupa regulasi negara, kebijakan maupun program pembangunan pemerintah supradesa, atau pun berbagai kegiatan yang memakai skema bantuan. Orang luar desa yang menggenggam modal pun bisa menundukkan desa melalui institusi negara, regulasinya, programnya atau pun alat – alat kekuasaannya. Dalam perspektif marxian, kondisi desa seperti inilah yang selalu dikhawatirkan, karena negara yang menguasainya pada dasarnya hanya merepresentasikan kelas borjuasi kapitalis. Penundukan desa yang dilakukan oleh orang dalam, pada prinsipnya adalah bentuk

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

penyanderaan atau pembungkaman suara politik ekonomi desa yang justeru dilakukan oleh para elitnya, baik formal maupun non formal. Perilaku elit desa ini pada intinya hanyalah upaya mereka menggapai rente ekonomi, politik dan sosial dari negara, investor dan warga di sekitarnya2. Kita akhirnya mengetahui bahwa praktik perencanaan pembangunan sejauh ini lebih menonjolkan aspek teknokrasibirokratis yang rumit, dimana hanyalah kalangan birokrasi yang lebih memahami dan berketerampilan. Kita pun juga memahami bahwa perencanaan pembangunan selama ini ternyata tetap berwatak oligarkhis dan elitis, yang menyebabkan pembangunan serta pelayanan publik di level lokal mengalami involusi.Pendek kata, praktik perencanaan pembangunan yang dipraktikkan selama ini justeru bertubrukan dengan prinsip-prinsip demokrasi representatif3. Mengapa praktik perencanaan partisipatif belum nyambung dengan prinsip-prinsip demokrasi? Menjawab pertanyaan ini adalah menunjukkan bukti kegagalan demokrasi representatif dalam memerankan partai politik, lembaga perwakilan dan prosedur pemilihan sebagai media partisipasi warga dalam pengelolaan negara. Regulasi dan sistem perencanaan partisipasi yang dieksperimentasikan selama lima tahun ini mengasumsikan dapat terselenggara melalui lembaga dan mekanisme perwakilan. Kebijakan pembangunan nasional mendapatkan partisipasi warga dari DPR dan mekanisme Musrenbang yang berjenjang dari desa ke Jakarta. Perencanaan pembangunan daerah juga mempercayakan partisipasi warga 2

3

Penundukan oleh elite desa ini terasa sekali melalui rekaman hasil penelitian Tim IRE (2005) di Lombok Timur (aktornya Tuan Guru), di Solok Sumbar (para aktornya niniak mamak, cerdik pandai, alim ulama), dan di Sumenep (dilakukan oleh Klebun). Kisah penundukkan para elit kepada warga miskin juga dikemukakan oleh John Gaventa dalam ilustrasinya mengenai proposisi “menghubungkan rakyat dengan kelembagaan” yang dia peroleh kisahnya dari hasil studi Voices of the Poor. Lebih jelas mengenai tulisan John Gaventa ini, lihat dalam Gaventa, John.2005. “Enam Proposisi menuju Tata Pemerintahan Daerah Partisipatoris”, dalam Bahagijo dan Tagatora, Orde Partisipasi, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa. Penjelasan mengenai model-model perencanaan pembangunan yang selaras dengan desentralisasi dan demokrasi maupun yang bertubrukan, bisa dibaca lebih lanjut dalam buku “Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa” yang diterbitkan oleh IRE Yogyakarta (2005: 37-50).

257


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

258

melalui DPRD dan mekanisme Musrenbang dusun, desa, kecamatan dan kabupaten. Semua kandas. Karena lembaga dan mekanisme partisipasi yang dijalankan melalui logika demokrasi representatif mengalami pembajakan, reduksi dan distorsi yang dilakukan oleh para teknokrat dan politisi. Dalam pengertian ini berarti sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang berpijak dalam logika demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan, rentan terhadap kegagalan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa persoalan distorsi perencanaan partisipatifadalah persoalan penerapan sistem demokrasi. Persoalan sistem demokrasi juga berimplikasi pada sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Tanpa sistem demokrasi yang tepat dan kuat dalam mempraktikkan desentralisasi dan otonomi daerah, rakyat desa hanyalah korban dari “perayaan kemenangan elit daerah”. Penerapan sistem demokrasi yang tepat dan kuat pun tanpa sistem desentralisasi dan otonomi daerah hanya akan melestarikan jarak antara negara dengan rakyatnya. Oleh karena itu, kami meyakini bahwa sistem desentralisasi harus berdampingan hidup dengan demokrasi. Sehingga untuk kepentingan perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah yang partisipatif, harus memastikan dulu konsepsi tentang relasi desa-kabupaten. Pijakan kami dalam konsepsi relasi tersebut adalah ajaran desentralisasi, otonomi dan demokrasi lokal (desa). Konsepsi itu mengajarkan desentralisasi politik, desentralisasi pembangunan dan desentralisasi keuangan guna menyambung relasi desakabupaten, (IRE, 2005). Bingkai relasi desa-kabupaten ini harus clearterlebih dahulu, sehingga kita bisa melangkah mantap memasuki ranah kewenangan pembangunan kabupaten dan desa. Pengalaman desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan gambaran bahwa daerah telah memiliki keleluasaan menjalankan perencanaan pembangunan daerah. Regulasi pusat yang mengatur perencanaan pembangunan pun secara jelas telah memberi ruang bagi daerah. Jika ditelusuri dari berubahnya watak negara dalam mendisain perencanaan pembangunan ini, setidaknya diketemu-

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

kan dua penjelasan. Pertama, perubahan itu sebagai efek lanjutan dari diterapkannya sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam analisis ini, jika kebijakan radikal desentralisasi dan otonomi daerah kita fahami sebagai “akal-akalan” pemerintah pusat kepada daerah karena ketika itu pusat menghadapi krisis politik dan ekonomi, maka perubahan sistem perencanaan pembangun juga tidak lebih hanya sebagai “pelepas dahaga” di masa eforia demokrasi4. Kedua, perubahan sistem perencanaan pembangunan (partisipatif) yang terjadi merupakan rentetan dari tekanan “Program Penyesuaian Struktural” (Structural Adjusment Programme) yang dibawa oleh IMF pasca penandatanganan letter of Intent yang dilakukan Soeharto pada medio tahun 1997. Tekanan global ini memang mendikte negara ini untuk menerapkan prinsip-prinsip trasparansi danpartisipasi dalam segala hal, termasuk partisisipasi dalam perencanaan pem-bangunan. Jika dua penjelasan ini benar adanya, pertanyaan menarik untuk dielaborasi lebih dalam lagi adalah; Sejauh mana kerangka hukum dan sistem perencanaan pembangunan partisipatif itu memihak kepada kepentingan rakyat? Apakah kerangka hukum dan sistem perencanaan pembangunan partisipatif memberikan keuntungan bagi desa? Pertanyaan ini pada dasarnya untuk menunjukan bahwa kerangka hukum dan sistem perencanaan pembangunan partisipatif telah mengalami kegagalan dalam mewujudkan target subtantifnya. Berangkat dari kegagalan inilah kami menawarkan gagasan tentang village self planning atau membawa (kembali) perencanaan pembangunan ke desa.

4

Kebijakan radikal desentralisasi dan otonomi daerah oleh Pratikno, (2003; 27-45) dipahami sebagai pilihan yang tidak pernah final atau bisa dibaca sebagai suatu spekulasi yang dilakukan pemerintah pusat di tengah tekanan krisis politik dan ekonomi serta ancaman dari daerah. Implikasi dari pemahaman seperti ini adalah sistem politik demokrasi, sistem pemerintahan desentralisasi dan otonomi daerah sangat rentan terhadap subyektifitas pemerintah pusat yang pada akhirnya nanti bisa diputar balik kembali ke sistem yang lebih menjamin kepentingan politik ekonomi mereka. Terbitnya UU No 32/2004 yang menarik kembali prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah menjadi bukti dari pemahaman di atas.

259


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

260

Regulasi dan Sistem Perencanaan Partisipatif Upaya intervensi pemerintah pusat melalui perangkat regulasi dalam mengkampanyekan pendekatan partisipatif, ternyata tetap mengkandaskan nasib rakyat desa untuk tetap dijadikan obyek teknokrasi dan politik perencanaan maupun penganggaran daerah. Kita pun kemudian dipaksa untuk merefleksikan wacana people centered development dan community based development. Wacana ini merupakan paradigma baru perencanaan pembangunan, yang turunannya adalah model perencanaan bottom up planning dan participatory planning. Secara prinsip paradigma baru ini menempatkan masyarakat sipil sebagai aktor utama dalam suatu proses perencanaan pembangunan dan penganggarannya. Hal ini menegaskan bahwa formulasi kebijakan publik yang partisipatif ini berlangsung dalam ruang masyarakat sipil, dimana dalam ruang ini mereka leluasa mengorganisir partisipasi, mengagregasi kepentingan, menentukan preferensi dan menetapkan delegasi maupun mekanisme monitoring dan evaluasi. Sedangkan peran pemerintah dan legislatif lebih banyak pada fungsi fasilitasi data, informasi, dan asistensi teknis serta menjalankan mandat keputusan sesuai dengan kesepakatan. Dalam konsepsi ini sebenarnya yang dipentingkan dalam pendekatan partisipasi adalah kemauan pemerintah untuk memberikan ruang publik kepada rakyat atau desa secara terbuka dan adil sehingga memungkinkan keleluasaan dan kemandirian dalam pembangunan bisa tercipta, (Suhirman, 2005;144). Sistem perencanaan partisipatif (participatory planning) yang meletakkan kebutuhan rakyat sebagai fokus pembangunan (people centered development), semakin mendapat legitimasi dalam sistem tata pemerintahan Indonesia. Legitimasi itu nampak nyata melalui dukungan regulasi yang bermunculan dalam dua tahun terakhir. Dalam kajian mengenai kerangka hukum perencanaan dan penganggaran partisipatif, Suhirman (2005; 124) menemukan empat (4) regulasi yang menopang sistem perencanaan pembangunan partisipatif sejauh ini, yaitu :

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

1. UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (terutama pasal 17-20) 2. UU No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (terutama pasal 21-27) 3. UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (terutama pasal 150-154 dan 179-199) 4. UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Dana Pemerintah Pusat dengan Daerah (terutama pasal 66-68) Regulasi-regulasi di atas diformulasikan dari lembaga yang berbeda, yang berarti berbeda pula dalam semangat pengaturannya. Regulasi keuangan negara (UU No 17/2003) diformulasikan oleh departemen keuangan untuk menjamin terselengaranya profesionalitas penggunaan anggaran negara. Regulasi sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) diformulasikan oleh Bappenas untuk menciptakan mekanisme perencanaan pembangunan yang optimum dalam pengelolaan sumber daya publik. Sedangkan dua regulasi terakhir yakni UU No 32/2004 dan UU No 33/2004 diformulasikan oleh Depdagri untuk memastikan proses integrasi perencanaan model bottom up planning dari desa sampai ke pusat. Temuan kajian yang dilakukan oleh Suhirman (2005; 126128), menunjukkan bahwa antara UU No 25/2004 dengan UU No 32/2004 ada beberapa hal yang tidak sinkron. Pertama, mengenai status hukum dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Menurut UU No 25/2004 status hukum RPJMD cukup ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, namun UU No 32/2004 memerintahkan agar status hukum RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Daerah. Perbedaan dalam perintah hukum ini, memicu konflik penafsiran antara kepala daerah dengan DPRD. Kedua, perbedaan dalam mendefinisikan RKPD. Menurut UU No 25/2004 RKPD merupakan Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang cukup ditetapkan dengan Peraturan Kepala daerah. Sedangkan RKPD menurut UU No 32/2004 diartikan sebagai Rencana Kerja

261


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Pembangunan daerah yang menuntut penetapan hukumnya dalam bentuk Perda. Perbedaan dalam mendifiniskan dan konskuensi pengaturannya ini jelas akan memicu konflik antara kepala daerah dengan DPRD. Terlebih jika dikaitkan dengan fakta selama ini bahwa suatu peraturan identik dengan proyek penganggaran, maka bisa dipastikan medan konflik semakin terbuka dengan adanya sumbu pemicu yang nampak jelas ini. Ketiga, wilayah pengaturan tata cara penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah. Menurut pasal 27 ayat 2 UU No 25/2004, tatacara penyusunan dokumen RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra-SKPD dan Renja-SKPD diatur lebih rinci lagi oleh pemerintah daerah, karena pemerintah pusat melalui PP hanya akan mengatur tatacara penyusunan dokumen perencanaan pusat. Perintah berbeda diberikan oleh UU No 32/2004 (pasal 154), dimana semua tahapan, tatacara penyusunan, pengendalian dan evaluasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP). Namun perintah itu ternyata tidak dijalankan, karena PP No 72/ 2005 tentang desa (terutama pasal 63-66 tentang perencanaan pembangunan desa) tidak rinci dalam mengatur tahapan maupun tatacara penyusunan dokumen perencanaan pembangunan desa. Selain merunut beberapa hal yang tidak sinkron antar regulasi seperti di atas,5 untukkepentingan suatu analisis kebijakan dapat pula merunut riwayat pengaturannya (munculnya regulasi). Sistem perencanaan pembangunan orde baru yang sentralistis dan top down sandaran hukum terakhirnya memakai Permendagri No 9/1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D). Permendagri ini menerjemahkan perintah UU No 5/1974 Tentang pemerintah Daerah, Keppres dan Kepmendagri tentang pembentukan Bappeda. Payung hukum ini masih terus dipakai oleh rejim Habibie dan Abdurrahman Wahid, dan baru berubah haluan 5

262

Tentang sketsa kerancuan diantara 4 kerangka hukum ini, secara mendalam dapat ditemukan dalam tulisan Suhirman di buku Orde Partisipasi (2005), dalam Majalah Lesung (2005) dan tulisannya dalam makalah yang disampaikan di forum Lokakarya Nasional kebijakan partisipatif untuk pelayanan publik di Solo Tahun 2005.

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

ketika era Megawati mengeluarkan UU No 17/2003 Tentang Keuangan Negara. Regulasi keuangan negara ini menjadi titik balik sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran, karena dalam pasal 17-20 regulasi ini mengatur rute penganggaran daerah yang harus dimulai dari merumuskan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) kemudian dijadikan rujukan untuk Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan berakhir pada ditetapkannya dokumen APBD. Arah subtansi penganggaran daerah ini tidak sinkron lagi dengan arah perencanaan pembangunan yang diatur melalui Permendagri No 9/1982. Oleh karena itu, untuk mengisi kevakuman payung hukum yang koheren dengan kerangka hukum keuangan negara, Mendagri Hari Sabarno mengeluarkan SE Mendagri Nomer 050/987/SJ tertanggal 5 Mei 2003 perihal Pedoman Penyelenggaraan forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif. Meski telah mengusung semangat demokrasi, partisipasi, kemitraan, transparansi dan akuntabilitas (sesuai semangat UU No 17/2003), dalam implementasinya gagasan ini banyak mengalami reduksi makna dan bahkan beragam distorsi. Sampai kemudian Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Mendagri bersepakat mengeluarkan SE Bersama No.1354/M.PPN/03/ 2004, 050/744/SJ perihal Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah. SE Bersama ini muncul sebagai respon pemerintah pusat terhadap suarasuara daerah yang masih simpang siur dalam menempuh rute perencanaan pembangunan, perencanaan kerja pemerintah dan perencanaan penganggarannya. Karena derajat hukum SE Bersama ini lemah, padahal tuntutan payung hukum perencanaan pembangunan dan penganggaran banyak disuarakan daerah, maka keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah pada bulan Agustus 2004, yang kemudian disusul dengan terbitnya UU No 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pada bulan Oktober 2004. Seolah kejar setoran, UU No 32/2004 tentang

263


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

264

Pemerintahan Daerah dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Pemerintahan Daerah yang notabenenya menggantikan regulasi otonomi daerah (UU No 221999 dan UU No 25/1999), ditetapkan pula oleh Presiden Megawati di bulan Oktober 20054. Sampai dengan berakhirnya pemerintahan Megawati, perencanaan pembangunan dan panganggaran daerah telah ditopang oleh 4 kerangka hukum. Dengan demikian pemerintahan SBY-Kalla ini tinggal menerbitkan regulasi teknis melalui PP, Keppres, Permendagri dan regulasi daerah. Namun karena terjadi tarik menarik antara kepentingan pusat dengan daerah, regulasi teknis yang dibutuhkan tidak kunjung terbit. Pihak Mendagri justeru rajin mengeluarkan SE yang sifatnya hanya merespon secara parsial mengenai pemberdayaan masyarakat desa, peralihan sekretaris desa yang akan diisi oleh PNS, tuntutan ADD dan penegasan posisi netral kepala desa dalam Pilkadal. Muara tarik menarik ini berakhir pada akhir tahun 2005 dengan ditetapkannya PP No 72/2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah (PP) ini relatif komplit menjawab ketidakpastian payung hukum mengenai desa, termasuk juga persoalan perencanaan pembangunan desa (Pasal 63-66) dan Alokasi Dana Desa (Pasal 68 ayat 1 huruf c). Merunut kelahiran kerangka hukum tentang sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran seperti dialurkan di atas, penting sebagai bahan analisis kebijakan perencanaan pembangunan. Analisis lebih diarahkan untuk melacak basis argumentasi yang dipakai dalam memformulasikan kebijakan. Jika melihat runutan kelahiran kebijakan regulasi seperti diulas di depan, nampak sekali bahwa titik balik perubahan justeru dimulai dari terbitnya SE Mendagri No 050/987/SJ. Meski Surat Edaran (SE) bukan instrumen hukum yang wajib dipatuhi, namun subtansi dalam SE Mendagri No 050/987/SJ ini benarbenar mengoreksi subtansi Permendagri No 9/1982 yang mencerminkan model perencanaan terpusat (top down planning).

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

Subtansi SE Mendagri tersebut tidak sekedar melegalkan model bottom up planning, namun lebih jauh lagi mendorong dipraktekkannya model participatory planning untuk menembus distorsi pembangunan yang selama ini terjadi. Ada dua basis argumentasi yang bisa dicandera dari kemunculan gagasan perencanaan pembangunan partisipatif ini. Pertama, argumentasi yang basisnya dibangun atas tekanan dari skenario global tentang good governance (mensyaratkan partisipasi, transparansi dan akuntabilitas). Argumentasi ini terasa sekali karena yang memunculkan gagasan ini adalah Departemen Dalam Negeri yang pada saat itu masih menjalankan sistem perencanaan pembangunan model P5D sesuai Permendagri No 9/1982. Kedua, argumentasi kebijakan tersebut berbasis tuntutan dari suara-suara daerah yang menghendaki desentralisasi pembangunan. Sistem pemerintahan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata memunculkan kesadaran orang daerah akan pentingnya suatu perencanaan pembangunan yang partisipatif, berbasis kebutuhan daerah dalam skema people centered development 6. Bagaimana implikasi dari dua basis argumentasi tersebut terhadap jalannya perencanaan pembangunan dan penganggaran partisipatif di daerah? Meski teks normatif dokumen hukum dan sistem perencanaan yang ditawarkan telah membuka ruang partisipasi publik, faktor kuatnya mindset pendekatan teknobirokratis dan politik akhirnya meninggalkan prinsip-prinsip partisipatif. Kalangan birokrasi baik di Bappeda maupun Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masih menganggap bahwa dalam menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran yang dipentingkan proses teknokrasinya di kalangan mereka dan para ahli, bukan proses partisipasi yang melelahkan dan dianggap 6

Jika dua basis argumentasi kebijakan perencanaan pembangunan partisipatif ini diletakkan dalam konteks teori kebijakan publik, penjelasan Merilee S. Grindle dan John W. Thomas (1991; 96) dalam bukunya “Public choices and Policy Change� meletakkan dua argumentasi seperti itu dalam empat kriteria pilihan untuk formulasi kebijakan. Empat kriteria yang berpengaruh dalam argumentasi kebijakan itu adalah tekanan internasional,pertimbangan stabilitas politik, implikasi birokrasi dan pertimbangan teknis adminsitrasi. Dua argumentasi dalam SE Mendagri itu termasuk dalam empat kriteria pilihan kebijakan model Grindle dan Thomas.

265


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

266

bertele-tele. Sikap ortodoksi kalangan birokrasi seperti ini masih banyak terjadi di daerah. Salah satunya seperti diketemukan tim IRE di Kabupaten Gunungkidul. Dalam menjalankan Musrenbang dari level dusun, desa sampai dengan Musrenbang di tingkat kabupaten, partisipasi warga dimaknai dalam bentuk formal prosedural. Partisipasi formal prosedural yang dipraktikkan meyakini bahwa kalau Musrenbang digelar dengan menghadirkan seluruh stakehoders maka bobot dokumen perencanaan yang dihasilkan bisa dikatakan partisipatif. Padahal sering sekali hasil-hasil Musrenbang desa ketika dibawa ke Musrenbang kecamatan menjadi hilang tidak dibahas, karena yang muncul dalam pembahasan Musrenbang kecamatan adalah pikiran camat, para delegasi desa, SKPD kecamatan dan juga anggota DPRD dari Dapel setempat yang menjadi tamu kehormatan. Suara orang desa dari Gunungkidul berikut ini menarik dicermati, “saya kalau diundang Musrenbang ke kantor desa malas datang karena musyawarahnya dikuasai para pamong dan tokohmasyarakat. Sudah begitu tidak jelas apakah yang diusulkan nanti mendapat pendanaan dari kabupaten atau justeru lenyap tidak jelas nasibnya.Tetapi jikadiundang olehfasilitaor desaproyek P2KP saya pasti datang, karena musyawarahnya mau mendengar suara orang kecil dan pendanaannya sudah pasti ada dan nominalnya juga diketahui.� Suara ini memperlihatkan dis-trust orang desa pada mekanisme perencanaan dan penganggaran melalui Musrenbang yang dijalankan pemerintah, tetapi sebaliknya dia mempercayai mekanisme perencanaan dan penganggaran yang dijalankan oleh World Bank melalui proyek P2KP. Inti persoalan bagi orang desa seperti ini adalah keterbukaan dan keadilan dalam proses musyawarah, serta adanya kepastian perencanaan dan penganggaran. Tidak hanya di level desa, reduksi dan distorsi partisipasi juga terjadi dalam Musrenbang di level kabupaten. Kejadian mislink antara hasil Musrenbang desa, kecamatan dengan yang dibahas di Musrenbang kabupaten setiap tahunnya selalu terjadi. Bukannya tanpa disadari, beberapa penelitian dan studi

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

yang menemukan persoalan mislink ini sudah banyak dilakukan, tetapi rekomendasi tersebut tidak dijalankan. Kusutnya praktik perencanaan dan penganggaran daerah yang bolak-balik setiap tahun tidak kunjung berubah seperti terjadi di Gunungkidul ini, terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor regulasi yang masih tidak sinkron dan konsisten antara regulasi satu dengan lainnya. Jika UU No 25/2004 dan UU No 32/2004 secara jelas telah membuka ruang partisipasi dalam prose penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran, UU No 17/2003 justru tidak jelas mengatur mengenai partisipasi. Regulasi keuangan negara ini lebih berorientasi pada proses tekno-birokratisnya yang sering dijadikan pijakan para birokrat untuk meninggalkan proses partisipasi. Di lain pihak, perbedaan pengaturan antara UU N0 25/2004 dan UU No 32/2004 semakin membingungkan daerah. Kalau mengikuti UU No 25/2004 proses perencanaan dan penganggran daerah cenderung menjadi domainnya eksekutif, tetapi menurut UU No32/2004 proses perencanaan daerah itu menjadi domainnya eksekutif dan legislatif. Sementara itu prinsip perencanaan partisipasi meyakini bahwa proses perencanaan dan penganggaran menjadi domainnya masyarakat sipil. Mana yang mau diikuti? Kedua, pendekatan partisipasi yang terperangkap dalam sistem perencanaan sektoral dan terintegrasi secara nasional. Sistem perencanaan pembangunan nasional yang didisain oleh UU No 25/2004 telah mengintrodusir pendekatan partisipatoris, berbasis keruangan (spatial) dan menempatkan dalam kerangka otonomi daerah. Tetapi disisi lain, disain perencanaan yang disusun oleh UU No32/2004 masih cenderung sektoral dan mengintegrasikan proses perencanaan daerah kepada pemerintah pusat. Hal ini yang menjadi “celah� pemerintah untuk terus menerus memerankan kapasitas teknokrasinya secara sektoral di tengah arus pendekatan partisipatoris yang memihak pada perencanaan secara keruangan (spatial). 267


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

268

Berbagai Distorsi Perencanaan Daerah Desentralisasi masih jauh dari optimal. Tujuan perbaikan pelayanan publik dan kesejahteraan masih jauh dari optimal, antara lain karena anggaran daerah sebagian besar dikonsumsi oleh pejabat dan birokrasi daerah. Meski di atas kertas perencanaan daerah bersifat desentralistik (dari bawah) dan partisipatif melalui wadah Musrenbang, tetapi praktiknya tidak mencerminkan prinsip-prinsip itu. Belajar pada pengalaman ada sejumlah keterbatasan dan distorsi dalam perencanaan dari bawah yang justru membuat desentralisasi, partisipasi dan otonomi desa tidak bermakna. Pertama, fokus pembangunan desa hanya sekadar pembangunan sarana fisik, yang berarti bahwa perencanaan yang berjalan di tingkat desa kurang partisipatif dan responsif terhadap berbagai kebutuhan masyarakat di luar sarana fisik. Target atau capaian membangun desa dalam orientasi pembangunan fisik dikarenakan indikator kemajuan desa yang diukur oleh pemerintah supradesa berdasarkan kriteria kelengkapan sarana, prasarana infrastruktur dan kelengkapan administrasi di desa. Artinya, desa dikatakan maju oleh pemerintah bila desa menjadi institusi yang tunduk untuk kepanjangan kepentingan birokrasi dan memperlancar proyek-proyek pembangunan fisik. Kedua, perencanaan pembangunan di tingkat desa masih belum partisipatif karena rendahnya partisipasi masyarakat desa dalam menentukan kebijakan pembangunan. Peran elite desa yang mengklaim mewakili aspirasi masyarakat masih mendominasi kekuatan dalam menentukan kebijakan pembangunan desa. Pola interaksi antara masyarakat sipil dalam partisipasinya untuk menentukan kebijakan pembangunan masih bias satu arah, dimana budaya ewuh pakewuh dan patron-client masih terasa menjadi patologi sosial. Sekarang istilah partisipasi stakeholders begitu populer diadopsi oleh pemerintah sebagai sebuah pendekatan partisipatif dalam pembangunan. Di desa, istilah itu juga cukup akrabdiungkapkan para elite desa.Tetapi stakeholdersyang terlibat dalam perencanaan pembangunan masih berkutat pada aktor

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

pemerintahan desa dan lembaga-lembaga formal di tingkat desa (lurah, BPD, PKK, LPMD, RT, dan RW). Keterlibatan organisasiorganisasi sektoral, organisasi kemasyarakatan yang lain, dan kelompok perempuan masih sangat terbatas. Ketiga, proses pelembagaan demokrasi di desa dalam melaksanakan kebijakan pembangunan masih lemah walaupun kepemimpinan kekuasaan di desa telah mengalami proses demokratisasi. Adanya BPD di desa sebagai mitra kerja pemerintah desa masih belum bisa bekerja secara optimal, efektif dan efisien. Lemahnya pelembagaan demokrasi di desa lebih cenderung disebabkan keterpustusan hubungan antara lembaga pengambil kebijakan (pemerintah desa dan BPD) pada masyarakat yang diwakilinya sehingga pada sisi akuntabilitas publik dan transparansi, kebijakan ini sulit untuk dipertangunggjawabkan secara terbuka pada masyarakat. Selain itu, hubungan antara pemerintah desa dan Baperdes masih diwarnai oleh konflik antar personal akibat dendam politik masa lalu yang diperankan kembali dalam arena pemerintahan desa. Keempat, terjadinya distorsi penentuan skala prioritas pembangunan baik di level desa maupun di kabupaten. Dalam praktiknya sering terjadi benturan antara kebutuhan masyarakat desa, keinginan elite desa yang terfokus pada pembangunan fisik dan kehendak kabupaten yang sudah direncanakan lebih dulu dalam dalam propeda. Lebih celaka lagi, distorsi prioritas pembangunan sering terjadi karena agenda pembangunan hanya merupakan jabaran dari kehendak populis seorang bupati. Kelima, proses perencanaan dari bawah selalu terdistorsi oleh gejala proseduralisme. Artinya perencanaan partisipatif yang bertingkat dari bawah memang tidak dihayati dan dilaksanakan secara otentik dan bermakna atau “murni dan konsekuen�, melainkan hanya prosedur yang harus dilewati. Sebagai prosedur formal, perencanaan dari bawah sebenarnya hanya sebagai alat justifikasi untuk menunjukkan kepada publik bahwa perencanaan pembangunan yang dilalui oleh pemerintah kabupaten telah

269


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

270

berangkat dari bawah (dari desa) dan melibatkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi sebenarnya adalah perencanaan yang tidak naik (mboten up) ke kabupaten, dan program-program kabupaten yang turun ke desa ternyata juga tidak mengalami pemerataan. Banyak desa yang kecewa karena setiap tahun membuat perencanaan tetapi ternyata programnya tidak turun. Akibatnya di banyak desa skema perencanaan tahunan itu cenderung diabaikan oleh masyarakat desa ketika Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang secara riil membawa program dan dana langsung masuk ke desa, tanpa melalui skema perencanaan daerah. Keenam, keterbatasan dan kemampuan desa dalam melaksanakan pembiayaan pembangunan. Adanya politik anggaran pembangunan yang ditetapkan Kabupaten terhadap desa masih bersifat bias kepentingaan politik pembangunan dan kebaikan hati para elite Kabupaten. Indikator yang bisa digunakan untuk mengukur bias politik Kabupaten adalah ditetapkannya perda No. 16 Tahun 2000 tentang APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) pada pasal 3 ayat 3 dinyatakan bahwa APBDes disusun selambat-lambatnya 30 hari setelah ditetapkannya APBD. Ketentuan ini secara jelas tidak membuka proses partisipasi dalam menentukan politik anggaran pembangunan di tingkat kabupaten. Proses penyusunan APBDes yang dilakukan setelah penetapan APBD menyebabkan perencanaan pembangunan desa mengalami “ketergantungan� yang kuat terhadap kabupaten. Ketujuh, perencanaan dari bawah yang memadukan pendekatan sektoral dan pendekatan spasial sungguh fatal. Output perencanaan daerah sebenarnya bias sektoral, yang dikuasai oleh dinas-dinas teknis kabupaten, tetapi proses perencanaannya ditempuh melalui pendekatan spasial dari desa. Proses ini mempunyai problem pada level skala. Skala kemampuan masyarakat desa tentu hanya sebatas pada yurisdiksi desa yang setiap hari mereka lihat. Masyarakat desa tentu tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk menjangkau masalah dan data

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

tentang isu-isu sektoral yang lebih besar di luar jangkauan kewenangan desa. Karena itu perencanaan daerah yang bias sektoral sebenarnya bukan berangkat dari partisipasi masyarakat desa, melainkan dirumuskan secara teknokratis oleh Bappeda dan Dinas-dinas teknis. Akar masalah dari semua ini adalah ketidakjelasan pembagian kewenangan kabupaten dan desa, sekaligus desa belum ditempatkan sebagai entitas yang mengelola sendiri perencanaan pembangunan. Dengan kalimat lain, sejauh ini kita baru mengenal perencanaan daerah, tetapi belum mengenal perencanaan desa yang berhenti di level desa. Kedelapan, idealisme perencanaan dari bawah juga terdistorsi oleh tradisi klientelisme, patronase atau hubungan-hubungan personal melalui lobby yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka. Relasi personal yang terjalin antar elite desa, khususnya kepala desa dengan beberapa pejabat di tingkat kabupaten telah membuka peluang terjadinya transaksi proyekproyek pembangunan atau mekanisme tawar menawar antar personal di antara mereka yang kemudian ditindaklanjuti dengan menetapkan kebijakan proyek-proyek pembangunan pemerintah daerah melalui institusi dimana para elite ini bekerja di wilayahnya masing-masing. Faktor lainnya adalah kekuatan inisiatif dan lobby kebijakan yang dimiliki personal kepala desa yang mampu melampaui batas kemampuan, kompetensi dan kompetisi dengan kepala desa lainnya. Artinya, ada kepala desa yang memliki kemampuan lobby kuat untuk berkompetisi mendapatkan proyek pembangunan diluar mekanisme formal kebijakan pembangunan. Hilangnya usulan desa untuk memperoleh program bantuan pembangunan dari pihak kabupaten atau pemerintah pusat sebenarnya ada dua alasan. Pertama, karena sistem atau mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang tidak partisipatif, di mana sebenarnya pada tingkat desa hingga kecamatan, mekanisme usulan pembangunan sudah bisa dikatakan partisipatif, namun pada tingkat Musrenbang di Kabupaten, suara desa dalam mengajukan usulan proyek pembangunan seakan-akan menguap dan tidak ada

271


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

272

jejaknya. Di tingkat Musrenbangda, usulan yang lebih dominan dan lebih banyak diterima adalah usulan sektoral atau usulan dari dinas/instansi terkait langsung dengan proyek-proyek pembangunan. Dinas/instansi bisa mempunyai peran ganda, salah satu sisi sebagai perencana program atau proyek-proyek pembangunan, tetapi pada sisi lainnya dinas/instansi bisa menjadi pelaksana proyek-proyek pembangunan sekaligus eksekutor untuk mengevaluasinya. Peran ganda inilah yang memungkinkan terjadinya pemenangan kompetisi antara usulan sektoral/Dinas dengan usulan desa. Namun pada prakteknya, usulan pembangunan lebih banyak didominasi oleh Dinas/instansi pemerintah daerah. Kedua, desa dan masyarakat desa tetap dijadikan sebagai ajang proyek bantuan pembangunan, dimana pemerintah sengaja meletakkan desa pada posisi intstitusi yang “tidak mampu� melaksakan pembangunan. Alasan menempatkan desa sebagai intstitusi yang tidak mampu sebenarnya hanyalah klaim pemerintah kabupaten untuk tetap memiliki alasan mendominasi desa dan mencengkeram desa. Posisi desa sebagai institusi yang kalah telah memantapkan “ketergantungan� desa terhadap kabupaten. Desa dalam posisi ini adalah sebagai sebuah entitas administratif yang perlu didengarkan saja dan dilibatkan sebatas kelengkapan formalitas prosedural perencanaan pembangunan yang ada di tingkat Kabupaten. Mekanisme pelibatan desa hanya sebatas di Musrenbang Kecamatan, namun ketika memasuki tahap di tingkat Kabupaten, suara, akses dan kontrol desa terhadap usulan yang masuk ke arena Musrenbang tidak bisa mereka akses dengan baik., artinya pada sisi partisipasi, akuntabilitas publik dan transparansi perencanaan pembangunan masih jauh dari standar kelayakan. Masyarakat desa dan pemerintah desa selama ini ketika menjalankan mekanisme perencanaan pembangunan daerah hanya sebatas mengajukan daftar usulan keinginan. Atau lebih tepatnya dikatakan proses partisipasi pembangunan yang ditekankan dan diamanatkan dalam UU hanya sebatas mekanisme

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

keterlibatan. Semangat partisipasi, akuntabilitas publik dan transparansi kebijakan pembangunan secara tegas tidak diikuti dengan semangat desentralisasi, dimana masyarakat dan pemerintah desa secara tegas diberi hak dan wewenang untuk merencanakan pembangunan hingga melakukan kontrol terhadap pembangunan yang ada di desa maupun di tingkat Kabupaten. Perencanaan Desa Bagian tulisan yang disampaikan di atas memperlihatkan bahwa ruang perencanaan dan penganggaran daerah yang telah memakai pendekatan partisipatoris dan menempatkan secara otonom (decentralized planning), ternyata masih disandera oleh pemikiran-pemikiran tekno-birokratis yang sektoral dan sentralistis. Penyenderaan ini menjadi penyebab direduksinya prinsip-prinsip partisipasi dan juga terdistorsinya mekanisme perencanaan dan penganggaran yang partisipatif. Implikasi penyenderaan ini bagi desa adalah hilangnya kesempatan untuk merencanakan pembangunan dan memperoleh anggaran yang pasti untuk desa. Jalan keluar dari sandera tekno-birokratis ini harus ditempuh dengan cara merebut ruang perencanaan pembangunan dan penganggaran agar kembali memihak ke desa. Kerangka konsep perencanaan terdesentralisasi (decentralized planning) atau perencanaan devolutif pada prinsipnya menjalankan mekanisme perencanaan secara keruangan (spatial planning). Dalam spatial planning ini masing-masing daerah otonom mendapatkan keleluasaan, kemandirian dan jaminan penganggaran untuk merencanakan pengelolaan sumber daya publik yang dimilikinya. Dalam pengertian seperti ini yang telah menikmati spatial planning adalah kabupaten/kota, terutama selama era otonomi daerah seperti sekarang ini. Kenikmatan dalam menjalankan spatial planning ini seharusnya dibagi juga kepada desa, namun selama ini praktiknya kabupaten tidak berbagi “kenikmatan� kepada desa. Yang dilakukan kabupaten malah menyandera desa dalam proses perencanaan dan penganggaran,

273


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

sebagaimana dulu di era orde baru dia diperlakukan yang sama oleh pemerintah propinsi dan pusat. Mengapa kabupaten dapat menyendera desa? Pertama, karena desa masih dipersepsikan sebagai domain kekuasaan kabupaten. Cara pandang ini merupakan bagian dari pemikiran yang menempatkan otonomi daerah berhenti di kabupaten, tidak dilanjutkan ke desa. Meski desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom, namun keberadaannya tetap di bawah kekuasaan NKRI (dalam hal ini kabupaten)7. UU No 25/2004 pun meletakkan desa dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah sebagai subordinasi dari kabupaten. Artinya, setelah orang desa selesai bermusyawarah mengenai perencanaan pembangunan desanya, hasilnya mesti “diperiksakan” dan “diserahkan nasibnya” kepada budi baik orang-orang di kabupaten. Inilah yang menyebabkan perencanaan daerah/perencanaan terdesentralisasi yang dijalankan kabupaten tidak membawa perbaikan secara signifikan bagi desa. Kedua, fragmentasi dan hegemoni yang dialami orang desa. Di tengah kaburnya posisi desa di era otonomi daerah ini, orang desa pun mengalami fragmentasi dan hegemoni yang hebat dalam menanggapi perilaku kabupaten. Alih-alih bernegosiasi dan memperjuangkan kepentingan desa, dalam banyak kasus orang desa justeru larut dalam skema bantuan dan stimulan yang dilancarkan kabupaten. Kondisi desa yang seperti ini menjadi lunak untuk terus menerus disandera kabupaten, sehingga masa depan desa ada dalam genggaman kabupaten. Dua kondisi yang tengah dialami desa ini harus segera diakhiri. Pengalaman Nagari Koto Gadang yang berhasil menemukan kedaulatannya, memiliki keleluasaan dan kemandirian untuk memikirkan sumberdaya nagarinya, menjadi pelajaran yang harus diikuti oleh orang-orang desa dan kabupaten. Meski pun ada yang ditolak dari cara bersikap Nagari Koto Gadang, yaitu sikapnya yang mandiri dalam arti kesendirian dan membiarkan tidak berperannya negara. Bagi IRE, konsepsi kemandirian desa bukan berarti kesendirian dalam 274

7

Periksa kembali UU No 32/2004 Bab I Pasal 1 mengenai difinsi desa.

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

mengelola sumber daya publiknya yang menegasikan peran negara, tetapi kemandirian dalam arti memiliki kedaulatan, keleluasaan dan kepastian memiliki dukungan panganggaran untuk mengelola sumber daya publiknya. Pengertian inilah yang kami maksudkan sebagai desentralisasi dan otonomi desa, termasuk pemahaman mengenai perencanaan desa secara mandiri (village self planning). Kalau demikian pengertiannya, lalu kepada siapa ruang perencanaan pembangunan dan penganggaran desa itu kita rebut? Seperti ditegaskan di depan, dalam era perencanaan devolutif seperti sekarang ini yang baru “menikmati” adalah kabupaten. Oleh karena kita meletakkan pengertian perencanaan devolutif itu adalah perencanaan daerah dan juga perencanaan desa, maka ruang perencanaan desa itu harus direbut dari genggaman tangan kabupaten. Mengapa kepada kabupaten? Sebab semua regulasi tentang sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah (UU No 17/2003, UU No 25/2004, UU No 32/2004, UU No 33/2004) mempercayakan nasib desa kepada kabupaten. Desa menjadi memiliki kemandirian ataukah sebaliknya menjadi desa yang selalu tersandera, itu karena ulah kabupaten. Momentum untuk merebut ruang perencanaan dan penganggaran desa dari kabupaten menjadi terbuka luas seiring dengan dipastikannya desa mendapatkan alokasi dana desa dari minamal 10 persen DAU yang diterima kabupaten. Kepastian ini diperoleh melalui PP No 72/2005 terutama pasal 68 ayat 1 huruf c, “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa”. Melalui skema ADD yang telah jelas payung hukum dan disainnya ini, gagasan membawa (kembali) perencanaan pembangunan ke desa bisa direalisasikan oleh kabupaten maupun desa. Desa bisa dikatakan memiliki otonomi bila dia mempunyai kewenangan dan keleluasaan penuh merencanakan pembangunan sesuai dengan otoritas dan yurisdiksi yang dibagi melalui

275


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

desentralisasi politik. Otonomi pembangunan ini bisa terjadi bila ada devolusi perencanaan desa, yakni perencanaan yang berhenti di desa (village self planning). Perencanaan desa bukanlah perencanaan daerah yang berada di desa, melainkan sebagai sebuah sistem perencanaan yang berhenti di tingkat desa atau dikelola sendiri (self-planning) oleh desa serta berbasis pada masyarakat setempat. Perencanaan desa ini tentu bukan prakarsa yang prematur tetapi berangkat dari konteks bottom up planning yang bermasalah, serta mempunyai sejumlah tujuan. Pertama, memotong mata rantai prosedur perencanaan bertingkat (bottom up) yang sarat dengan distorsi dan manipulasi yang justru tidak memberdayakan desa. Kedua, membawa perencanaan betul-betul dekat pada masyarakat di desa sehingga agenda pembangunan desa menjadi lebih partisipatif dan reponsif pada kebutuhan masyarakat. Ketiga, membuat proses subsidiarity dalam pembangunan bekerja di level desa, sehingga bisa memperkuat tanggungjawab, membuka proses pembelajaran dan membangkitkan prakarsa-potensi lokal. Keempat, devolusi perencanaan desa akan lebih efektif menempa keleluasaan, kapasitas dan kemandirian desa dalam menjalankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kelima, membuat kepastian pelayanan publik dan pemerataan pembangunan sampai ke level desa yang dekat dengan rakyat. Keenam, menciptakanproduktivitas, efisiensidan efektivitas pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan desa. Dalam konteks ini kami mengusulkan model atau format perencanaan desa yang mengandung sejumlah ciri khas:

276

1. Perencanaan desa merupakan sistem perencanaan sendiri (self-planning) yang meng-cover urusan-urusan pembangunan dan pemerintahan yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab (domain) desa. Sebagai contoh adalah kewenangan mengelola jalan kampung, penerangan desa, sampah, keamanan kampung, drainase, kuburan, pengelolaan air lahan pertanian, pengelolaan unit

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

pengelolaan jasa alat mesin pertanian, fasilitasi organisasi tani desa, pengembangan badan usaha milik desa, pemberdayaan lembaga kemasyarakatan, dan masih banyak lagi. Jika kewenangan bidang-bidang pembangunan dan pemerintahan ini sudah dibagi kepada desa, maka selanjutnya desa berwenang membuat sendiri perencanaan atas pengelolaan bidang-bidang itu. 2. Kewenangan yang sudah dibagi ke desa, dan kemudian dicover dengan perencanaan desa, membutuhkan dukungan dana alokasi desa (ADD) dari kabupaten. Ini bukan meminta-minta atau membuat ketergantungan, tetapi ADD merupakan hak desa dan kewajiban kabupaten, yang digunakan untuk membiayai perencanaan pembangunan desa. 3. Perencanaan desa dibuat dalam bentuk rencana strategis sebagai rencana jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan. 4. Perencanaan desa merupakan sistem yang terpadu dan dibuat sistem budgeter (budgetary system) di desa melalui skema APBDes. Artinya, kecuali perencanaan sektoral kabupaten maupun pelaksanaan tugas-tugas pembantuan (yang menjadi domain pemerintah supradesa), programprogram pembangunan yang bersifat spasial dan berbasis desa sebaiknya diintegrasikan secara terpadu dalam perencanaan desa dan dana program-program itu dimasukkan ke dalam APBDes (budgetary system). Integrasi secara terpadu ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama, menghindari terjadinya “dualisme� perencanaan dan pengelolaan pembangunan, sebagaimana desa mengelola perencanaan rutin serta agenda pembangunan lainnya (PPK, PEMP, P2MD, P3DT, dan lain-lain) yang berada di luar sistem anggaran desa. Dalam praktiknya perencanaan rutin justru sering terbengkalai karena kurang memiliki kepastian dana, sementara program-program luar itu memasok dana yang lebih besar dan lebih pasti. Kedua, desa akan lebih

277


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

fokus merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. 5. Perencanaan desa dikelola untuk merespons secara dekatlangsung berbagai kebutuhan masyarakat desa serta diproses secara partisipatif. Forum Musrenbangdes, LPMD, RT, RW, kelompok tani, kelompok perempuan, karang taruna, kelompok keagamaan an lain-lain merupakan arena yang nyata untuk mewadahi proses perencanaan partisipatif di desa. Di internal desa, partisipasi pembangunan mensyaratkan adanya pelembagaan yang demokratis dalam struktur pengambilan kebijakan desa. Kinerja lembaga eksekutif (pemerintah desa) dan lembaga legislatif desa (BPD) hendaknya diatur dalam sebuah relasi yang mampu mendorong proses demokrasi di desa. Begitu pula peran masyarakat sipil di desa tetap saja diberikan arena untuk mengembangkan suara, akses dan kontrol mereka terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan desa. 6. Perencanaan desa tidak perlu dibawa atau diusulkan naik ke atas, misalnya untuk memperoleh persetujuan. Rakorbang di kabupaten tidak lagi digunakan untuk menilai, menyeleksi atau menyetujui usulan dari desa. Dalam konteks perencanaan desa, kabupaten bertugas melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi. 7. Tanggungjawab perencanaan desa diletakkan di tingkat desa, bukan kepada kabupaten. Desa cukup menyampaikan dokumen-dokumen perencanaan dan pelaksanaannya kepada kabupaten sebagai bahan untuk melakukan pembinaan, fasilitasi dan supervisi.

278

Jika sebagian domain pembangunan daerah didevolusikan ke desa, yang kemudian menjadi domain perencanaan desa, apakah perencanaan daerah tidak diperlukan lagi untuk mengcover desa? Perencanaan desa sebenarnya hanya memindahkan sebagian kecil domain perencanaan daerah, agar perencanaan desa lebih efektif, responsif dan parsifipatif. Bagaimanapun domain

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

perencanaan desa jauh lebih kecil ketimbang domain perenanaan daerah karena perbedaan kewenangan dan kapasitas. Perencanaan daerah tetap bisa menggunakan skema perencanaan sektoral dan perencanaan terpadu, yang keduanya tetap dikelola dengan proses bottom up dan partisipatif. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik strategis yang tidak mampu dicover oleh perencanaan desa bisa diajukan desa agar masuk menjadi perencanaan daerah. Dalam konteks ini, kecamatan bisa berperan lebih optimal, terutama melakukan koordinasi perencanaan daerah yang melibatkan partisipasi desa dan untuk penentuan skala prioritas. Usulan kecamatan yang berbasis desa ini dibawa ke musrenbangda di tingkat kabupaten. Musrenbang kabupaten, seperti biasanya, dimaksudkan untuk menentukan skala prioritas dan rencana tahunan, yang tentu saja harus diproses secara partisipatif dan transparan agar tidak terjadi distorsi dan manipulasi. Musrenbangda kabupaten menjadi media utama konsultasi publik bagi segenap pelaku pembangunan daerah untuk menetapkan program dan kegiatan daerah serta rekomendasi kebijakan guna mendukung implementasi program/kegiatan tahun anggaran berikutnya. Kegiatan musrenbangda sendiri bisa dibagi menjadi dua tahapan, yaitu par-musrenbangda dan kegiatan musrenbangda sendiri. Kegiatan pra-musrenbangda bertujuan untuk melakukan inventarisasi, verifikasi, pengolahan dan penyajian informasi atas usulan berbagai sumber dari musrenbang kecamatan sehingga menjadi dokumen pendukung yang layak untuk dibahas dalam musrenbangda kabupaten. Sementara mengenai penguatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan desa dan perencanaan daerah, maka kami mengusulkan sejumlah skema, yaitu melalui skema Musrenbang dan skema perencanaan sektoral. Musrenbang tahunan atau lima tahunan memang penting dan sebagai jalur utama untuk mengambil keputusan akhir tentang perencanaan desa dan APBDes. Tetapi Musrenbang selalu bersifat korporatis (tunggal dan hanya melibatkan institusi formal yang diakui negara), kurang

279


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

280

mencakup isu-isu sektoral yang lebih luas, serta tidak cukup mencakup segmen-segmen masyarakat secara partisipatif. Kami sama sekali tidak ingin meniadakan Musrenbang formal di aras desa, tetapi agar arena itu menjadi lebih bermakna, maka pelaksanaan Musrenbang desa kami introdusir dengan model rembug desa. Model rembug desa adalah mekanisme musyawarah rakyat desa yang berakar dari tradisi desa masa lalu. Kami meyakini bahwa model rembug desa akan menjamin representasi segmen masyarakat yang terlibat, alur pelaksanaan Musrenbangdes, agenda yang dimusyawarahkan, dan cara mengelola forum. Fokus utama inisiasi model rembug desa ini adalah untuk memastikan berlangsungnya perencanaan desa secara partisipatif, transparan dan akuntabel. Artinya, Musrenbang desa formal yang selama ini terjadi lebih banyak mengagendakan perencanaan daerah dan berlangsung kurang partisipatif. Upaya kami memisahkan perencanaan desa dan perencanaan daerah dapat ditempuh melalui dua skema pengembangan proto constituency group (PCG). Pertama, skema pengembangan proto constituency group (PCG) berbasis spasial. Skema ini akan kami eksperimentasikan melalui pilot project model rembug desa di beberapa desa (3-4 desa) di suatu daerah pemilihan terpilih. Model rembug desa akan kami tawarkan kepada pemerintah desa, BPD, dan kelompok masyarakat sipil desa untuk diadopsi menjadi model pelaksanaan Musrenbang desa. Pasca Musrenbang desa tersebut nanti dibentuk kelompok kerja, yang beranggautakan perwakilan dari elemen masyarakat desa yang hadir di forum tersebut. Kelompok desa inilah yang kami sebut sebagai proto constituency group (PCG) berbasis spasial. Kedua, skema pengembangan proto constituency group (PCG) berbasis sektoral. Skema ini akan kami eksperimentasikan melalui pengorganisiran organisasi-organisasi sektoral di tingkat kabupaten. Mereka akan kami fasilitasi untuk bertemu dan membentuk forum antar organisasi sektoral. Forum sektoral inilah yang akan kami dorong sebagai proto constituency group (PCG)

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

berbasis sektoral. Dalam forum sektoral ini terdiri dari perwakilan organisasi sektor yang eksis di kabupaten Bantul dan Kebumen. Forum sektoral inilah yang akan kami dorong untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Penganggaran Pembangunan Desa Sejauh ini ada berbagai skema keuangan (pendanaan) untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan desa, yakni skema bantuan sebagai bentuk stimulan kepada desa, skema akselerasi untuk percepatan pembangunan desa, skema swadaya masyarakat dan skema alokasi dana desa (ADD). Skema akselerasi sangat dibutuhkan untuk mempercepat berbagai bentuk investasi pembangunan desa, tetapi yang lebih fundamental desa membutuhkan alokasi dana desa (ADD), sebab keuangan desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari desentralisasi dan otonomi. Dengan skema desentralisasi, desa tentu mempunyai “hak� atas uang (hasil kekayaan, pajak, dan retribusi) yang dikelola pemerintah, sekaligus mempunyai kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan dan mengelola keuangan secara otonom. Desentralisasi juga menganjurkan tentang perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Keuangan yang dikelola itu menurut skema desentralisasi digunakan untuk membiayai kewenangan dan tanggungjawab pemerintah desa dalam mengatur dan mengurus desa. Kombinasi antara bantuan-stimulan dan swadaya masyarakat menjadi sumber utama penganggaran pembangunan desa. Istilah subsidi dan bantuan terlalu menonjol yang mencerminkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan. Daerah dan desa tidak mempunyai hak dan otoritas yang memadai atas uang dikumpulkan oleh pemerintah pusat, kecuali hanya menerima “baik budi� dari pemerintah. Meski timpang, bantuan untuk daerah tetap ada formula baku yang digunakan, misalnya Inpres Dati I dan Inpres Dati II (sebagai bentuk bantuan umum) bervariasi sesuai dengan jumlah perkapita atau jumlah penduduk daerah. Sedangkan bantuan untuk desa tidak mempunyai for-

281


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

282

mula seperti formula untuk bantuan daerah. Sebelum UU No. 5/1979 lahir, pemerintah pusat sudah menyalurkan Inpres Bantuan Desa secara merata kepada setiap dan seluruh desa, mulai dari angka 100 ribu rupiah pada tahun 1969 hingga 10 juta rupiah pada tahun 1999. Jika daerah menerima SDO untuk gaji pegawai, desa tidak memperoleh subsidi. Penghasilan perangkat desa selalu mengandalkan hasil kekayaan desa yang jumlahnya sangat terbatas. Memang ada bentuk-bentuk lain subsidi dari pusat dan daerah kepada desa, tetapi tidak ada dasar pijakan kebijakan yang memadai dan sejauh ini tidak ada data yang memadai untuk disajikan. Desa di masa Orde Baru sebenarnya juga memperoleh “sebagian� kecil dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tetapi ini bukan formula bagi hasil melainkan hanya sekadar ongkos (biaya) penarikan PBB yang dibayarkan kepada perangkat desa, sehingga tidak masuk dalam APPKD. Orang-orang yang berhaluan romantis-lokalis, bahkan kalangan yang antinegara, sangat senang dengan kekuatan swadaya masyarakat. Bagi mereka, swadaya masyarakat merupakan bukti nyata bahwa desa mempunyai “otonomi asli� atau betul-betul mandiri alias tidak tergantung pada negara. Orang yang lain bilang bahwa swadaya merupakan bentuk konkret modal sosial, sebuah aset utama yang dimiliki kaum marginal. Kalangan yang antinegara pun berujar bahwa swadaya masyarakat merupakan wujud nyata model pembangunan yang berbasis masyarakat (community based development), sebuah model alternatif atas pembangunan yang dipimpin negara (state led development) maupun pembangunan yang digerakkan pasar (market driven development). Kalau kami berpendapat lain. Swadaya justru menimbulkan balada dan jeratan, seperti pedang bermata dua, keduanya samasama membunuh, yakni membunuh negara dan masyarakat. Membunuh negara artinya menyingkirkan peran dan tanggungjawab negara dalam mengurus pelayanan publik. Membunuh masyarakat artinya swadaya merupakan bentuk eksploitasi terhadap masyarakat, jika tidak bisa dibilang sebagai bentuk pemiskinan.

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

Mengapa demikian? Setiap komunitas pasti punya modal sosial dalam bentuk organisasi, kerjasama dan solidaritas untuk menjaga ketahanan lokal. Di pedesaan Jawa misalnya, dikenal istilah sambatan sebagai bentuk kerjasama atau tolong-menolong untuk keperluan privat, serta gotong-royong sebagai bentuk kerjasama untuk mengurus keperluan bersama (keamanan, kebersihan, lingkungan, dll). Tetapi sejak republik ini menggalakkan pembangunan, pemerintah mulai memperkenalkan istilah swadaya untuk memanfaatkan sekaligus mengambil alih tradisi gotong-royong itu guna mendukung proyek-proyek pembangunan. Dengan alasan keterbatasan dana, pemerintah tidak perlu bertanggungjawab mengurus jalan desa/kampung, melainkan diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah juga punya alasan bahwa menanggung pembiayaan jalan desa/kampung seratus persen berarti menciptakan kemalasan dan ketergantungan masyarakat. Karena itu pemerintah menciptakan skema stimulan dan swadaya. Bantuan stimulan umumnya bernilai lebih sedikit ketimbang kontribusi swadaya masyarakat. Anehnya komposisi yang eksploitatif ini dianggap pemerintah sebagai sebuah keberhasilan pembangunan. Uang negara bukan tidak cukup untuk mengurus jalan kampung yang dekat dengan komunitas. Kesalahan dasarnya terletak pada kebijakan (pembangunan dan keuangan) yang bias: lebih condong ke kota ketimbang ke desa, konsentrasi ke sektoral ketimbang spasial, pembesaran pada pembangunan ekonomi ketimbang pembangunan sosial dan pelayanan publik, serta alokasi dana jauh lebih besar pada kebutuhan birokrasi negara ketimbang masyarakat. Mari kita lihat data. Di Indonesia dikenal pembagian jalan yang hirarkhis, yakni jalan negara yang dibiayai oleh APBN, jalan provinsi dibiayai APBD provinsi, dan jalan kabupaten dibiayai APBD kabupaten. Penerimaan APBN dan APBD bersumber pada devisa, pajak dan retribusi. Lalu juga ada jalan desa yang dibiayai dengan APBDes, yang sebagian besar penerimaannya berasal dari

283


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

284

swadaya masyarakat langsung. Fakta juga menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen APBD digunakan untuk membiayai belanja kepala daerah, DPRD dan jajaran birokrasi daerah, sedangkan masyarakat memperoleh kurang dari 40 persen. Berdasarkan perhitungan kasar, para punggawa yang berjumlah sekitar 3% (dari total penduduk) mengkonsumsi 60% APBD, sedangkan 97% warga hanya mengkonsumsi 40%. Data itu memperlihatkan bahwa negara adalah untuk negara. Negara bukan untuk masyarakat. Negara mencakup pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kalau berbicara anggaran, negara menganggap desa dan masyarakat adalah komponen lain di luar APBN dan APBD. “APBD itu sangat terbatas untuk membiayai kebutuhan kabupaten, kok diminta sebagian oleh desa”, demikian ungkap seorang pejabat kabupaten suatu ketika. Tetapi kalau berbicara politik, negara sangat berkepentingan menciptakan dominasi dan kontrol atas masyarakat dan desa. Apalagi para politisi yang selalu rajin berkunjung dari komunitas ke komunitas atau dari desa ke desa, si saat menjelang pesta demokrasi. Di aras lokal, swadaya menciptakan konstruksi sosial yang timpang antara elite dan massa, sekaligus membangun kebudayaan politik yang hegemonik. Para elite lokal umumnya mengajarkan tentang kesabaran, kepatuhan dan kerelaan berkorban untuk kepentingan bersama, kepada warga biasa. Mereka selalu menyerukan tentang arti penting swadaya masyarakat dalam pembangunan sebagai bentuk partisipasi dan kerelaan berkorban untuk keperluan bernegara dan bermasyarakat. Mereka punya ajaran-ajaran itu, seraya memobilisasi masyarakat, karena umumnya hidup mereka lebih mapan ketimbang warga biasa. Proses pendidikan politik yang hegemonik ini menciptakan struktur kesadaran bahwa swadaya merupakan bentuk kewajiban yang lumrah, meski dibalik itu terdapat eksploitasi yang serius. Mobilisasi dukungan swadaya di aras lokal sebenarnya tidak berjalan secara mulus dan otentik. Kebanyakan warga merasa

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

terpaksa dalam membayar swadaya, agar mereka tetap dianggap sebagai warga yang lumrah dalam bermasyarakat. Jika mereka tidak bersedia mendukung swadaya maka akan dituding sebagai orang yang tidak lumrah oleh pemimpin dan tokoh masyarakat. Tidak banyak pihak yang memandang kritis terhadap swadaya masyarakat. Beberapa bulan lalu kami pernah berdiskusi dengan Bupati Gunungkidul, Suharto, yang ternyata peka terhadap persoalan eksploitasi atas swadaya masyarakat. Berikut ini tuturnya: “Di Gunungkidul pendekatan stimulan kami cermati justru memberatkan rakyat desa. Semakin banyak stimulan yang diberikan ke desa, maka semakin berat beban rakyat desa. Rakyat akan menjual gaplek atau barang lain untuk mengimbangi stimulan. Masalahnya terletak pada kesenjangan antara kota-desa dan antara sektoral-wilayah. Pembangunan lebih berorientasi pada sektor dan lebih banyak di kota. Karena itu, mulai sekarang, kami sudah mencanangkan keseimbangan pembangunan. Desa kami perhatikan secara serius. ADD akan kami berikan kepada desa sebagai bentuk alokasi yang menjadi hak desa dan insentif kepada desa”. Pelajaran buruk mengenai swadaya masyarakat itu mau tidak mau mengharuskan pembaharuan relasi negara dan masyarakat dalam pembangunan, pelayanan publik dan penganggaran. Kita memiliki negara (state) tetapi miskin kenegaraan (stateness), ada government tetapi miskin governance. Pemerintah sangat senang dan lihai “mengatur” dengan cara membuat banyak peraturan, tetapi gagal dalam “mengurus” pembangunan dan pelayanan publik untuk kesejahteraan. Dengan kalimat lain, pemerintah kaya akan “peraturan”, tetapi miskin “kebijakan”. Setiap hari pemerintah mengeluarkan perizinan dan surat-surat resmi (IMB, izin usaha, regristrasi organisasi, nomor wajib pajak, KTP, SIM, SBKRI, akta kelahiran, dan lain-lain) yang harus dimiliki warga untuk keperluan pengendalian, tetapi terlampau miskin dalam menjalankan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Selain itu, pembangunan desa juga membutuhkan desentralisasi keuangan ke desa, selain didukung dengan program-program

285


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

286

akselerasi dari atas. Desentralisasi keuangan desa yang dicitakan adalah penyerahan keuangan yang dimiliki kabupaten kepada desa beserta wewenang pengelolaannya. Kampanye mempraktekkan desentralisasi keuangan desa, sebenarnya bisa juga dimaknai sebagai momentum untuk menata keuangan desa agar lebih akuntabel, responsif, transparan dan partisipatif. Momentum ini kongruen dengan dorongan desentralisasi desa yang juga kencang disuarakan. Desentralisasi desa adalah momentum orang desa berkonsolidasi dan membangun kesadaran masyarakat untuk mandiri (berotonomi). Konsolidasi desa dijalankan untuk menata kelembagaan demokrasi desa dan inventarisasi potensi-potensi desa. Penataan kelembagaan dan inventarisasi potensi desa, bermakna strategis dalam rangka menjemput desentralisasi keuangan yang akan diberikan oleh pemerintah kabupaten. Apa konskuensinya? Konskuensinya bagi pemerintah desa, harus mau melibatkan stakeholders desa dalam proses politik anggararan desa. Pelibatan stakeholders ini penting sebagai manifestasi dari pemahaman bahwa persoalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) merupakan public goods desa yang membutuhkan suatu kebijakan publik dari otoritas desa. Cita-cita ideal tadi dapat terpenuhi, ketika desa memiliki sumber keuangan yang jelas dan pasti. Sumber keuangan bisa didapatkan dari internal potensi desa (mengelola tanah kas desa, sumber daya alam desa, pungutan desa/pologoro) dan dari eksternal desa (bantuan keuangan pemerintah, bagi hasil, dana perimbangan). Dengan sumber keuangan yang jelas dan ditambah dengan kewenangan yang leluasa untuk mengelolanya, aspek pelayanan serta kesejahteraan rakyat desa akan lebih terjamin. Namun persoalannya adalah sumber keuangan mereka (PADes) rata-rata kecil, hanya mampu untuk operasional pemerintahan sehari-hari. Sementara sumber pendapatan dari bantuan keuangan atau transfer dana dari pemerintah kabupaten tidak pasti, jumlah dan waktunya. Dilema seperti inilah yang kemudian menempatkan metode ADD itu mendesak dijalankan oleh

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

pemerintah kabupaten. Metode ADD memiliki makna dan arah tujuan serta manfaat yang lebih reformatif dalam kerangka relasi kabupaten dengan desa. Kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah tampaknya memberikan momentum dan pelajaran yang sangat berharga. Pelajaran penting pertama adalah meluasnya kritik dan tinjauan terhadap konsep “bantuan”, terutama yang mengalir ke desa. Bantuan mengandung ketidakjelasan, ibarat sedekah, yang tergantung pada “kebaikan hati” pemerintah yang memberi bantuan. Bantuan tidak menegaskan “kewajiban” pemerintah dan “hak” desa. Karena itu wacana yang tersebar luas adalah menggantikan konsep “bantuan” menjadi “alokasi”. Kalangan NGO, termasuk FPPM, ketika melakukan advokasi revisi UU No. 22/1999, mengusulkan perubahan klausul bantuan menjadi alokasi. Konsep alokasi memberikan batas-batas yang jelas dan tegas tentang “kewajiban” pemerintah dan “hak” desa. Belajar dari pengalaman ini, sekaligus mereplikasi Dana Alokasi Umum (DAU), beberapa kabupaten mengambil prakarsa kebijakan Alokasi Dana Desa. Kabupaten Solok adalah perintis yang memperkenalkan model Alokasi Dana Umum untuk Nagari (DAUN), kemudian disusul oleh beberapa kabupaten lainnya. Metode ADD yang selama 4 tahun terakhir dijalankan oleh beberapa kabupaten, dimaknai dari berbagai sudut pandang. Hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) tentang ADD pada tahun 2004 ini berhasil mengidentifikasi beberapa temuan. Kabupaten Lima Puluh Kota misalnya, menempatkan makna ADD sebagai instrumen untuk mengembalikan romantisme pengelolaan nagari (self governing community) di masa lalu. Ada juga kabupaten yang memaknai ADD dalam konteks menjalankan semangat desentralisasi dan otonomi daerah (misalnya Kabupaten Magelang, Tuban, Selayar). Eksperimentasi yang dilakukan oleh Kabupaten Jayapura lain lagi, perimbangan dana kepada desa/ kampung dijalankan melalui konsep Program Pemberdayaan

287


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

288

Distrik/kecamatan (PPD), yaitu memberikan transfer dana sebesar Rp 1 Milyar kepada setiap distrik/kecamatan. Kebijakan PPD ini dimaknai dalam kerangka otonomi khusus Papua yang ingin mewujudkan masyarakat yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasarnya itu oleh Kabupaten Jayapura dijalankan melalui mekanisme local self planning yang berbasis di tingkat distrik/ kecamatan (Sutoro Eko dan Ismail, 2004). Berbagai pemaknaan kebijakan ADD yang telah dijalankan, sesungguhnya memiliki tujuan besar yang kurang lebih sama, yaitu merombak ortodoksi pemerintah kabupaten dalam memberikan kewenangan, pelayananan dan bantuan keuangan kepada pemerintahan di level bawahnya (desa). Pola kebijakan pemerintahan kabupaten yang semula dominan dan sentralistis, melalui metode ADD ini berubah menjadi partisipatif, responsif dan dijalankan melalui asas desentralisasi. Melalui ADD ini diharapkan desa mendapatkan “barokah� dari desentralisasi, yaitu memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangan desa, membelanjakan, mengelola, dan mengawasinya. Keleluasaan yang diperolehnya ini diharapkan pula akan mewujudkan kualitas pelayanan publik yang lebih baik dan menstimulasi tercapainya kesejahteraan rakyat desa. Dengan tujuan seperti ini, ada beberapa manfaat dari pelaksanaan metode ADD yang bisa dikemukakan. Pertama, pengurangan disparitas kapasitas keuangan antar desa. Sebagaimana halnya dengan manfaat yang diperoleh kabupaten melalui metode DAU, maka desa pun melalui ADD ini diharapkan memiliki kapasitas keuangan yang kuat sehingga disparitas/kesenjangan kapasitas keuangan antar desa bisa diminimalisir. Disparitas kapasitas keuangan ini menjadi realitas yang terjadi di banyak kabupaten, sehingga berdampak kepada kesenjangan pelayanan publik yang diterima oleh rakyat di masing-masing desa. Untuk meminimalisir disparitas ini, maka dalam metode ADD yang dijalankan pemerintah kabupaten, idealnya ada suatu formulasi yang mencerminkan alokasi dana

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

yang bersifat pemerataan (standar minimal pemberihan dana kepada desa) dan alokasi dana yang mencerminkan rasa keadilan (sesuai dengan indikator variabel yang dimiliki). Melalui aspek alokasi dana minimal dan variabel ini, kapasitas keuangan masingmasing desa tidak akan mengalami kesenjangan yang lebar. Kedua, pemerataan pelayanan publik. Rentang wilayah suatu kabupaten yang begitu luas, sering menjadi persoalan dalam memberikan pelayanan kepada publik. Pada masa pemerintahan Orde Baru atau kebijakan pemerintahan kabupaten kepada desa yang masih sentralistis, persoalan cakupan wilayah yang luas ini menyebabkan pelayanan publik yang bias kota. Desa-desa yang jauh dari pusat kota kabupaten jauh pula aksesnya terhadap fasilitas pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi dan pasar. Pada sisi yang lain, rentang wilayah yang luas dan metode sentralisasi di tingkat pemerintah akan menimbulkan biaya operasional tinggi, baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Pelayanan di bidang catatan sipil (akte kelahiran, kematian, perpindahan) misalnya, harus dikelola oleh pemerintah kabupaten dan kecamatan yang disamping memerlukan biaya administrasi serta transportasi yang cukup tinggi,hasil catatan/registrasisering tidakakurat danbahkan tidak reliable bagi perencanaan pembangunan daerah maupun nasional. Melalui ADD ini diharapkan desa akan membangun fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan pasar di tingkat lokal desa sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Artinya kalau suatu desa tidak memerlukan sekolahan SD/SMP/SMA karena bergabung dengan beberapa desa lainnya, desa bersangkutan mengalihkan penyediaan fasilitas yang lainnya atau untuk meningkatkan pelayanan publik yang bersifat non fisik. Kedekatan pelayanan dengan kebutuhan publik ini bisa memecah persoalan inefisiensi dan efektifitas anggaran pemerintah yang selama ini banyak menguap untuk urusan birokrasi. Melalui ADD inipun sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk merombak kewenangan negara dalam hal catatan sipil. Kebijakan pemerintah

289


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

290

Kabupaten Lima Puluh Kota yang menyerahkan pengurusan KTP dan pernikahan kepada pemerintahan lokal (nagari), dapat menjadi bahan diskursus reformasi catatan sipil di Indonesia. Ketiga, memperluas ruang partisipasi. Kebijakan pemerintahan yang state centered approach diyakini oleh banyak ahli kebijakan publik sebagai penyebab miskinnya partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan. Partisipasi masyarakat muncul ketika contect and content kebijakan berdekatan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat serta prosesnya memberikan ruang luas bagi partisipasi publik. Metode ADD yang menyerahkan pemanfaatan dan pengelolaan-nya kepada masyarakat desa, memang sengaja menghendaki keterlibatan/ partisipasi masyarakat desa di dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan desa. Melalui ADD, kebijakan pelayanan publik didisain menggunakan society centered approach, dimana proses kebijakan datang dari masyarakat bukan darinegara lagi.Prosespartisipasiselama inisering direduksi maknanya oleh negara, seperti dalam proses perencanaan pembangunan dan RAPBD, dimana masyarakat dilibatkan dalam prosedur Musrenbang dusun sampai kabupaten, tetapi pada saat penentuan program dan alokasi anggaran peran serta partisipasi masyarakat ditiadakan. Teknis prosedural partisipasi diciptakan, namun aspek subtansi yang strategis partisipasi ditinggalkan. Ke depan, ADD harus dapat menjawab tantangan perencanaan pembangunan yang bisa memverifikasi masalah internalitas desa dan eksternalitas desa. Dalam konteks ini gagasan mengenai pendekatan keruangan (spacial planning approach), prinsip subsidiaritas dan perencanaan mandiri di tingkal lokal (local self planning) menemukan relevansinya. Bisa dikatakan bahwa ADD menjadi salah satu alternatif untuk mengurai stagnasi partisipasi dalam perencanaan pembangunan di daerah. Keempat, menjamin transparasi dan akuntabilitas. Pengelolaan anggaran daerah dan desa selama ini ditempatkan dalam suatu wilayah yang tabu dan sakral bagi publik. Pandangan

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

ini jelas merupakan konstruksi politik dari negara yang totaliter. Dalam era demokratisasi dan otonomi daerah, persoalan anggaran publik merupakan poin krusial bagi negara. Negara tidak lagi menempatkan anggaran publik dalam wilayah sakral yang tak terjangkau, tetapi harus meletakkan secara transparan kepada publik. Transparansi anggaran ini tidak hanya untuk APBD tetapi juga untuk APBDes. Sumber pendapatan APBD dari mana dan dibelanjakan untuk apa saja. Demikian juga apakah APBDes telah mencantumkan sumber pendapatan dari perimbangan dana kabupaten (ADD), PADes, bantuan keuangan lainnya dan kemana saja anggaran itu didistribusikan. Mekanisme transparansi dapat ditempuh melalui pelibatan seluruh stakeholders desa dalam setiap tahapan proses perencanaan APBDes atau pun bisa ditempuh melalui publikasi secara luas dokumentasi proses perencanaan mendapatkan sumber keuangan desa dan arah distribusi yang akan dilakukan. Melalui keterbukaan sikap otoritas pemerintahan desa dan dokumen anggaran yang menjadi milik publik ini, diharapkan menjadi mekanisme kontrol publik terhadap pemerintahan. Mekanisme kontrol inilah yang akan menggirng bagi siapa pun yang mengelola anggaran publik dapat dimintai akuntabilitasnya. Kelima, sebagai prakarsa untuk kemandirian desa. Kemandirian desa akan cepat terwujud melalui kapasitas keuangan desa yang kuat, mampu memberikan pelayanan yang mendekati kebutuhan publik, membuka ruang partisipasi dalam proses kebijakannya, serta menciptakan kondisi governance yang terbuka dan akuntabel. Atau bisa disimpulkan bahwa kemandirian desa atau otonomi desa akan terwujud ketika pemerintah kabupaten mau dan mampu membuat kebijakan keuangan desa melalui metode ADD yang adil, transparan, menjamin tercapainya desentralisasi dan otonomi desa.

291


Bab 8 Pemberdayaan Masyarakat Desa Pembangunan desa yang berkelanjutan juga harus menyentuh manusia, rakyat dan masyarakat. Sentuhan terhadap manusia inilah yang disebut dengan pemberdayaan. Di Indonesia, pemberdayaan menjadi istilah mutakhir yang menggantikan pembinaan dan pengembangan masyarakat. Bab ini akan mengupas makna dan relevansi pemberdayaan masyarakat tersebut. Sebelum masuk kesana, akan diawali dulu dengan potret ketidakberdayaan masyarakat desa. Potret Ketidakberdayaan Secara ekonomi politik dan budaya, masyarakat desa tidak berdaya. Siapa kelompok masyarakat grass root atau kelompok yang termarginalkan tersebut? Pada umumnya mereka adalah kelompok yang miskin secara ekonomis, seperti: petani, buruh, nelayan, pedagang kecil dan sejenisnya. Kemiskinan ekonomis mereka terkait dengan kemiskinan struktural dan budaya kemiskinan yang mereka kembangkan. Selain itu, kaum perempuan di desa juga menjadi salah satu bagian kelompok yang tidak berdaya.


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

294

Kelompok-kelompok masyarakat tersebut nyaris tidak pernah terakomodasi gagasan, kepentingan, dan kebutuhannya. Mereka tidak memiliki akses terhadap pembuatan keputusan di desa, akses terhadap pelayanan sosial, akses terhadap anggaran dan lain sebagainya. Keseharian mereka disibukkan dengan dunia mereka sendiri yang sulit dan melelahkan. Akibatnya, mereka terbiasa diam saja (culture of silent) atas segala yang terjadi berkaitan dengan pengelolaan desa. Mereka pun tidak memiliki kepedulian untuk mengontrol berbagai hal yang sebenarnya berkaitan dengan kehidupan mereka. Pendek kata, kelompok marginal ini tidak memiliki acces-voice-control. Proses erosi,involusi dan marginalisasi budaya desa merupakan ancaman serius bagi masa depan orang desa. Erosi budaya desa adalah lunturnya budaya lokal karena munculnya budaya baru, tetapi keberadaan dari budaya baru itu belum bisa diterima sepenuhnya dan bahkan bisa mendistorsi bekerjanya budaya lama untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya. Sementara itu, involusi diartikan mandegnya proses evolusi budaya secara linear yang membawa perubahan tranformatif ke arah yang lebih baik dan mampu menjawab masalah-masalah baru yang lebih kompleks. Adapun marginalisasi artinya keberadaan budaya lokal tidak lagi menjadi sebuah kekuatan untuk memberdayakan, melainkan justru menjadi beban bagi orang desa untuk melestarikan. Negaranisasi, kapitalisasi, globalisasi, materialisasi maupun liberalisasi yang masuk ke desa telah menimbulkan krisis budaya orang desa, yakni menimbulkan budaya ketidakberdayaan atau budaya kemiskinan. Menurut teori budaya kemiskinan, orang menjadi miskin karena mentalitas budayannya seperti boros, tidak bervisi kedepan, bertingkahlaku emosional daripada rasional, bermental meminta, fatalistik dan berbagai atribut yang menyebabkan mereka tidak mempunyai kemandirian, kerja keras dan dapat diajak bekerjasama untuk meningkatkan kemajuan sosial-ekonomi. Oscar Lewis, pencetus teori budaya kemiskinan pada tahun 1950-an, tidak memungkiri kebenaran kemiskinan

Pemberdayaan Masyarakat Desa

struktural. Dalam kajian Lewis, kemiskinan budaya muncul dari teralienasinya orang-orang di lingkungan slum dan getto dari kehidupan kota yang dikendalikan oleh kelas menengah di perkotaan. Alineasi sosial-budaya itu telah membentuk sub-kultur kaum slum yang tipikal sehingga berbeda dengan sub-kultur kaum menengah perkotaan yang bersifat modernis. Kemiskinan budaya merupakan bagian dari sub-kultur kaum miskin di daerah perkotaan, dan sub-kultur ini tereproduksi terus menerus sehingga menjadi suatu orientasi nilai dan mentalitas hidup orang miskin dari generasi ke generasi walaupun secara material mereka mungkin penghasilannya relatif lebih baik. Pelajaran yang dipetik dari kerangka berpikir Lewis itu adalah “meningkatkan kesejahteraan orang miskin tidak akan berhasil jika mentalitas miskinnya tidak dirombak�. Kalaupun pendapatannya naik, kaum miskin akan tetap konsumtif. Bahkan program itu akan terancam gagal karena mungkin mereka akan berperilaku oportunitis negatif dengan menghabiskan dana bantuan dan mungkin menggelapkannya. Pelajaran yang lainnya adalah “jika sekedar memberi uang kepada kaum miskin, maka justru akan menjadikan mereka semakin suka bergantung, dan pada gilirannya akan merampok�. Berbeda dengan kaum miskin di perkotaan, kaum miskin di pedesaan tidak mengalami alineasi sosial-budaya. Namun penyebab kemiskinan masih dapat juga dikaitkan dengan mentalitas budaya karena secara teoritik kebudayaan muncul dan dikembangkan oleh manusia untuk memecahkan masalah. Kaum miskin dengan keterbatasan material dan akses dalam ruang publik pasti mempunyai suatu cara-cara tertentu baik yang bersifat simbolik maupun empiris yang dapat menyebabkan mereka tetap survive atau berakibat mereka tetap miskin. Dalam kehidupan petani di Asia Tenggara, misalnya, budaya menghamba menjadi cara petani memperoleh kesempatan bekerja dari petani kaya dan santunan dari mereka di saat menderita. Mentalitas budaya kaum miskin yang menyebabkan mereka terjerumus dalam kemiskinan patut dicermati ketika akan menggalang program pemberdayaan ekonomi. Para praktisi

295


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

296

bahkan sudah menemukan formula. Pertama, kemiskinan telah menyebabkan kaum miskin tidak berdaya untuk berjuang sendiri mengatasi kemiskinan, sehingga dalam meningkatkan kesejahteraannya mereka patut didampingi dan dilindungi. Formula ini dilakukan oleh pemerintah dan LSM dengan cara tidak hanya memberikan bantuan modal, tetapi bantuan pengetahuan dan ketrampilan serta berbagai regulasi yang memberikan akses yang mudah bagi mereka untuk memperoleh kredit, bahan baku dan pasar. Formula itu dipilih karena mereka telah lama terbiasa dengan budaya bergantung dan cenderung bersikap konservatif dan sangat hati-hati dalam menyikapi plihan hidup yang baru guna menghadapi resiko. Dalam bahasa James Scott, mentalitas mereka itu sama seperti petani miskin di Asia tenggara yang menekankan pada “dahulukan selamat� (safety first) sehingga mereka cenderung menolak setiap inovasi yang dapat membawa risiko besar. Bertahan dengan sauana miskin lebih disukai daripada jatuh melarat. Kedua, para praktisi menyadari pentingnya modal sosial bagi penguatan kaum miskin karena modal sosial yang baik dapat menunjang kesejahteraan kaum miskin di kiemudian hari. Modal sosial adalah jaringan sosial sesama kaum miskin untuk bahumembahu mengentaskan kemiskinan dengan memanfaatkan solidaritas sosial untuk mengatasi keterbatasan modal material. Grameen Bank menginisiai penguatan modal sosial kaum miskin di Banglades dengan membentuk kelompok kaum miskin untuk bersama-sama memecahkan kemiskinan: kredit dari Grameen Bank dapat dikelola dengan baik oleh setiap anggota karena dikenakan aturan bahwa anggota yang menunggak kredit akan menyebabkan anggota yang lain sulit mendapatkan kredit serta bantuan yteknis lainnya. Formula kedua ini satu sisi untuk memnfaatkan secara positif kebiayaan orang miskin saling berbantung dengan sesamanya, dan sisi lain menghilangkan budaya oportunis negatif pada diri individu kaum miskin yang karena didesak oleh kemiskinan sehingga berani mengorbankan

Pemberdayaan Masyarakat Desa

kepercayaan dari pihak luar. Para peneliti world Bank kini merekomendasikan penguatan modal sosial karena dapat menjamin kredit yang mereka cucurkan dapat kembali dan berbuah dengan baik. Ketiga, para praktisi menyadari tentang kuatnya sistem sosial-kultur lokal sebagai kekuatan yang mengontrol perilaku orang miskin, sehingga program pemberdayaan harus mampu merombaknya. Di Bangladesh, sistem sosial-kultur lokal itu tereproduksi di dalam faksi-faksi keagamaan. Orang-orang miskin menemukan dunianya dengan cara menceburkan diri ke dalam faksi-faksinya, dan mereka itu begitu fanatisnya dengan faskinya. McGregor menemukan orang miskin enggan mengambil kredit murah dari pemerintah karena akan kehilangan patron dari faksinya yang menyediakan modal dan pemasaran kerajinannya. Orang miskin mau berkorban tenaga dan uangnya demi kebesaran faksinya. Sementara itu, ada faksi yang memanfaatkan kredit bukan untuk kepentingan ekonomi tetapi jutsru untuk menggalang kebesaran faksinya walaupun anggotanya rata-rata miskin. Fenomena di atas memperlihatkan bahwa orang miskin telah menggunakan cara-cara yang bersifat simbolik dan sosial untuk mengatasi atau melupakan kemiskinan yang dideritanya.. Persoalan kemiskinan sebagai produk dari sistem sosiokultural lokal nampaknya masih relevan untuk dicarikan solusinya mengingat kaum miskin berada dalam hegemoni sistem sosialkultural lokal.Mereka sejaklahir telahmenginternalisasikan sistem sosial dan kultural lokal sehingga alam pikirannya tidak pernah kritis dengannya. Dewasa ini, masih begitu banyak kaum miskin di pedesaan Jawa. Walaupun kemiskinan struktural pasti menjadi penyebab utama dari kemiskinan yang mereka derita, tetapi kemiskinan budaya juga sangat relevan untuk menjelaskan mengapa mereka tidak bangkit melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Selama orang desa masih memahami bahwa kemiskinan adalah cobaan yang harus diterima dengan sabar, mengutamakan mengikat pinggang daripada kerja keras dan

297


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

298

melakukan protes sosial, memandang kejayaan ekonomi adalah takdir dan ujian, maka sulit kemiskinan struktural menjadi suatu kesadaran kristis bagi kaum miskin. Belajar kebudayaan adalah membuat kristis terhadap pikiran dan tingkahlaku budayanya sendiri yang mengantarkan pada pencerahan. Budaya kemiskinan (ketidakberdayaan) dalam masyarakat desa bisa kita temukan dalam bentuk cara pandang orang luar maupun cara pandang mereka sendiri yang tidak berdaya terhadap berbagai sisi kehidupan. Pertama, cara pandang pragmatis. Banyak orang mengatakan secara pragmatis dan dangkal bahwa orang desa tidak butuh politik, demokrasi dan otonomi, melainkan hanya butuh pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan (SPP). Orang desa tidak butuh politik, tapi butuh sembako. Politik, demokrasi dan otonomi daerah hanya wacana yang didramatisir oleh kalangan kelas menengah kota. Sejauh mana logika dan cara pandang pragmatis ini bisa dipertanggungjawabkan? SPP tentu menjadi kebutuhan dasar setiap orang. Tetapi seakan-akan SPP hanya merupakan persoalan sinterklas dan derma yang bekerja di ruang hampa politik. SPP adalah persoalan politik, persoalan kebijakan. Beras mengandung nilai politik. Indonesia sebenarnya merupakan negeri yang kaya-raya untuk memenuhi SPP bagi rakyatnya, tetapi persoalan ketimpangan yang tidak memungkinkan pembagian SPP secara merata. Para ekonom misalnya, menghitung bahwa 20% rakyat Indonesia menguasai 80% kekayaan sementara 80% rakyat Indonesia hanya bisa menikmati 20% kekayaan. Otonomi daerah sebenarnya dimaksudkan untuk menjawab ketimpangan tersebut. Tetapi sayangnya, kekayaan di daerah dikuasai dan dikorup oleh segelintir elite lokal. Otonomi daerah tidak didukung demnokrasi yang baik, sehingga memindahkan korupsi ke daerah dan memperpanjang kesulitan pemenuhan kebutuhan SPP rakyat daerah. Pemerintah tidak mempunyai komitmen dan kebijakan politik yang demokratis untuk menjawab kebutuhan SPP rakyat Indonesia. Karena itu persoalan politik, demokrasi dan otonomi daerah

Pemberdayaan Masyarakat Desa

bukanlah wacana yang didramatisir oleh kelas menengah kota, tetapi sebagai rangkaian komitmen, kebijakan politik dan gerakan bersama untuk mendukung pemenuhan SPP rakyat. Demokrasi sebenarnya bukanlah sesuatu yang ngayawara bagi orang desa, tetapi menjadi sesuatu yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari (everyday life) masyarakat desa. Selama era reformasi, kita menyaksikan begitu maraknya protes masyarakat terhadap kepala desa bermasalah. Mereka menuntut supaya kepala desa lebih bertanggungjawab, memperhatikan nasib rakyat, tidak korup, tidak makan uang rakyat dan lain-lain. Semua tuntutan itu adalah nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi. Di kampung dalam arena RT, kebiasaan demokrasi dipraktikkan (meski tidak sempurna) dengan kebiasaan pelaporan, rembugan, keterbukaan dan sebagainya. Ketika ada masalah muncul, warga masyarakat menuntut agar para pengurus RT selalu berembug dengan warga, mengelola dana secara transparan, dan mempertanggungjawabkan keuangan yang telah digunakan. Kedua, budaya ketergantungan. Secara empirik budaya ketergantungan menjadi cirikhas yang menonjol di desa. Setiap pejabat pemerintah yang datang ke desa pasti akan dimintai bantuan. Kalau Bupati datang misalnya, para pamong desa dan masyarakat sangat sibuk menghias diri, menggelar “karpet merah� dan mengeluarkan sebanyak mungkin bondho desa untuk pasugatan. Apa yang dilakukan ini tentu butuh dana yang tidak sedikit. Setelah berdialog masyarakat desa akan meminta daftar bantuan pada bupati. Kenapa harus meminta bantuan, kenapa dana yang digunakan untuk upacara itu tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri? Para pamong desa bisa tersinggung kalau desanya dikatakan miskin, karena kemiskinan ini bisa menjadi indikator kegagalan kinerja pamong. Tetapi kalau tahu akan ada bantuan, seperti IDT dan KUT misalnya, para pamong akan cepat melaporkan kondisi masyarakat yang serba kekurangan dan perlu memperoleh bantuan. “Daftar kemiskinan� akan disiapkan

299


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

dengan baik, serta memasukkan keluarga (rumah tangga) yang sebenarnya tidak tergolong sebagai keluarga miskin. Perliku ini yang sering membuat program bantuan, mulai dari IDT, KUT, JPKM maupun BLT (yang sekarang tengah berjalan) sering “salah sasaran”. Dengan demikian, isu kemiskinan desa selalu dimanipulasi menjadi komoditas politik, termasuk sebagai senjata untuk meminta bantuan. Di sisi lain, setiap kampus yang menggelar kuliah kerja nyata di desa, pasti elite desa selalu mengajukan sekian banyak “daftar kebutuhan” agar memperoleh bantuan dari para mahasiswa KKN. Para pemong desa juga sering meminta pada perguruan tinggi, agar membawa KKN ke desanya. Kebiasaan inilah yang membuat KKN menjadi karitatif, tidak peka pada krisis sosial, dan menciptakan ketergantungan. Kalau LSM datang, masyarakat desa pasti meminta bantuan dan bimbingan secara berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. LSM, seperti halnya kampus, karena “iba”, malah keliru dalam menempuh jalan, yakni mengambil alih peran masyarakat, sehingga memelihara ketergantungan masyarakat desa pada orang luar.

300

Tentang Pemberdayaan Istilah pemberdayaan (empowerment) menjadi sangat populer akhir-akhir ini menggantikan istilah pembangunan (development), seolah-olah pembangunan adalah sesuatu yang jahat dan pemberdayaan merupakan obat mujarab untuk menyembuhkan kejahatan pembangunan. Kondisi ini dilatarbelakangi kegagalan konsepsi pembangunan, yang pada awalnya berorientasi pada pembangunan ekonomi, dalam menjawab problema kemiskinan di beberapa negara sedang berkembang. Ketika development dianggap gagal, maka orang menjadi alergi menggunakan terminologi ini dan digantikan dengan empowerment. Ketika di era 80-an David Corten menyampaikan gagasannya tentang pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development/PCD), orang sudah terlanjur benci

Pemberdayaan Masyarakat Desa

dengan segala sesuatu yang berbau development, sehingga ide Corten ini tidak bertahan dan digantikan oleh empowerment. Padahal, konsepsi Corten tentang PCD ini sangat berdekatan dengan ide empowerment. Bagi John Friedman (1992), empowerment bukan lawan dari development melainkan salah satu varian dari pembangunan yang disebutnya sebagai alternative development. Tetapi, konsep Friedman tentang pembangunan alternatif juga didasari kegagalan pembangunan model pertumbuhan ekonomi dalam pengentasan kemiskinan maupun keberlanjutan lngkungan. Pemberdayaan mencakup dua aspek, to give or authority to dan to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, pemberdayaan dimaknai sebagai upaya memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan dan mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sementara dalam pengertian yang kedua, pemberdayaan dimaknai sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Empowerment juga dapat mudah dimaknai dari kata power yang melekat di dalamnya. Power sebagai “kekuasaan” terkait dengan pengertian pertama dan power dalam arti “kekuataan” terkait dengan pengertian kedua. Jikalau empowerment dimaknai sebagai upaya mendelegasikan otoritas/kekuasaan pada pihak lain berarti sebelum kegiatan pemberdayaan dilakukan ada monopoli kekuasaan pada seseorang atau sekelompok orang sehingga perlu dilakukan redistribusi kekuasaan agar masingmasig pihak berdaya atau memiliki posisi tawar (bargaining position) yang setara. Seiring dengan proses ini, perlu dilakukan pula peningkatan kapasitas, baik capacity maupun institutional building, agar masyarakat makin berdaya. Konsep pemberdayaan dapat ditelusuri kembali pada gerakan hak-hak sipil dan feminis (Riger, 1981; Swift dan Levin, 1987), pada ideologi aksi sosial 1960-an (Alinsky, 1971), pada pandangan menolong-diri sendiri 1970-an (Gutierrez, 1990; Gibson, 1991; Eng et al., 1992; Wallerstein, 1992; Rissel, 1994), dan pada filsafat pendidikan (Freire, 1970; 1973; 1996). Pada tahun 1980-an konsep

301


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

302

tersebut diangkat lebih jauh sebagai sebuah teori pokok psikologi masyarakat (misal Rappaport, 1981; Chavis dan Wandersman, 1990). Pemberdayaan menjadi penting bagi psikologi masyarakat karena ia mengakui pribadi sebagai seorang warga negara dalam sebuah lingkungan sosial juga politik. Pada tahun 1990-an ide pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian dari gerakan umum yang sedang tumbuh ke arah kontrol warga negara yang lebih besar pada banyak bidang kehidupan: kedokteran, pendidikan kesehatan, gerakan self-help, lingkungan fisik, panti asuhan, dan sebagainya (misal Israel etal., 1994;Rissel, 1994). Tidak ada sebuah pengertian maupun model tunggal pemberdayaan. Pemberdayaan dipahami sangat berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks kelembagaan, politik, dan sosial-budayanya. Ada yang memahami pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Ada pihak lain yang menegaskan bahwa pemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga masyarakat secara bersama-sama pada sebuah kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karena itu membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas. Ada juga yang memahami pemberdayaan secara makro sebagai upaya mengurangi ketidakmerataan dengan memperluas kemampuan manusia (melalui, misalnya, pendidikan dasar umum dan pemeliharaan kesehatan, bersama dengan perencanaan yang cukup memadai bagi perlindungan masyarakat) dan memperbaiki distribusi modal-modal yang nyata (misal lahan dan akses terhadap modal). Pendekatan semacam ini membawa kemungkinan meningkatkan the poverty-reducing development effectivenessofgrowth-inducingpoliciesdaninvestasi. Pemberdayaan masyarakat menurut Zimmerman dan Rappaport (1988) berarti self and political efficacy, kompetensi

Pemberdayaan Masyarakat Desa

yang dirasakan, locus kontrol, dan keinginan untuk mengkontrol. Karakteristik ini adalah unsur-unsur pemberdayaan masyarakat, yang dalam studi ini disempurnakan dengan karakteristik berikut: Pemberdayaan masyarakat berarti pencapaian pemerataan sumberdaya (Katz, 1984; Rappaport et al., 1984; Rissel, 1994), kemampuan mengidentifikasi persoalan dalam masyarakat dan solusinya (Braithwaite, 1989), partisipasi yang meningkat dalam kegiatan masyarakat (Chavis dan Wandersman, 1990; Florin dan Wandersman, 1992), tingkat pemberdayaan psikologi yang meningkat di kalangan anggota masyarakat (Wallerstein, 1992), perbaikan mata pencaharian sebagai akibat kegiatan masyarakat (Chavis dan Wandersman, 1992), rasa masyarakat yang lebih kuat diantara anggota masyarakat (Chavis dan Wandersman, 1990), kemampuan untuk membuat analisis kritis tentang dunia (Wallerstein, 1992), identifikasi diri mereka sendiri (dengan orang lain) sebagai anggota masyarakat (Wallerstein, 1992), perbaikan kualitas hidup masyarakat dan keadilan sosial(Wallerstein,1992), tindakan politik(Rissel, 1994; Minkler, 1994) yang berarti tindakan politik dalam kesehatan, dan kemampuan mengorganisir diri mereka sendiri untuk mengelola persoalan masyarakat, prakarsa dan partisipasi dalam pembuatan keputusan juga dalam perencanaan atau komite lainnya, keberhasilan dalam redistribusi sumberdaya atau dalam pembuatan keputusan (Rissel, 1994), juga kontrol atas kesehatan (Zimmerman, 1990b) dan nasib (Wallerstein, 1992). Menurut Zimmerman (1990b) masyarakat mempunyai kontrol atas kesehatan ketika orang telah belajarbagaimana mengelola waktu, mengorganisir diri mereka sendiri dan mengidentifikasi penyedia sumberdaya, (bagiamana) bekerja dengan orang lain untuk tujuan umum, dan (bagaimana) memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan. Pemberdayaan juga menyatakan partisipasi yang lebih besar dalam proses pembangunan. Terdapat kesepakatan penting bahwa pendekatan semacam itu memberi ruang kaum miskin

303


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

304

lebih bebas membuat keputusan ekonomis, meningkatkan efektivitas pembangunan di tingkat lokal dipandang dari segi perencanaan, pelaksanaan, dan hasil. Suatu pemogokan khusus contoh dari akibat positif memberdayakan masyarakat dalam cara ini datang dari Cina. Dua perbaikan utama Cina, gerakan Wirausaha Desa & Perkotaan dan Sistem Pertanggungjawaban Rumah tangga, meningkatkan keikutsertaan dan kebebasan penduduk miskin untuk membuat pilihan ekonomis di daerah pedesaan, melepaskan kekuatan wirausaha orang-orang Cina dan dengan demikian membantu Cina mencapai pertumbuhan keberpihakan kepada orang miskin (pro-poor) yang cepat. Jumlah penduduk miskin di Cina pedesaan turun dari 250 juta pada tahun 1979, tahun pertama perbaikan, menjadi 34 juta pada tahun 1990, dengan kurang lebih setengah dari penurunan itu terjadi antara tahun 1978 dan 1985. Pemberdayaan merupakan nilai hakiki; dan juga memiliki nilai instrumental. Pemberdayaan bersangkut paut (relevant) pada tingkat perseorangan dan kolektif, dan boleh jadi (berhubungan dengan) ekonomi, sosial atau politik. Karena itu, John Friedmann (1992) mengidentifikasi pemberdayaan dalam tiga cakupan: sosial, psikologis dan politik. Istilah pemberdayaan dapat digunakan untuk mensifati hubungan dalam rumah tangga atau antara penduduk miskin dan pelaku lain pada tingkat global. Terdapat perbedaan-perbedaan gender yang penting dalam penyebab, bentuk, dan akibat dari pemberdayaan atau ketidakberdayaan. Karenanya, jelas terdapat banyak definisi pemberdayaan yang mungkin, termasuk definisi hak-hak dasar. Dalam pengertian paling luas, pemberdayaan merupakan perluasan kebebasan akan pilihan dan tindakan. Ini berarti peningkatan kekuasaan seseorang, pengendalian sumber daya dan keputusan yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Ketika masyarakat mengadakan pilihan nyata, mereka menambah meningkatnya pengendalian hidup mereka. Pilihan penduduk miskin sangat dibatasi baik oleh dua-duanya kekurangan modal

Pemberdayaan Masyarakat Desa

dan ketidakberdayaan mereka merundingkan hubungan yang lebih baik bagi diri mereka dengan berbagai macam lembaga, formal dan informal dua-duanya. Atas dasar ini, Deepa Narayan (2002) dari Bank Dunia mendefinisikan pemberdayaan merupakan perluasan modal dan kemampuan (assets and capabilities) penduduk miskin untuk ambil bagian, berunding dengan, mempengaruhi, mengawasi, dan menguasai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab yang mempengaruhi hidup mereka. Usahausaha yang berhasil untuk memberdayakan penduduk miskin, meningkatkan kebebasan mereka atas pilihan dan tindakan dalam keadaan yang berbeda, sering memakai empat unsur: askses terhadap informasi, keterlibatan dan keikutsertaan, pertanggungjawaban dan kemampuan organisasi lokal. Belajar dari peta di atas, kami memahami pemberdayaan (masyarakat desa) dengan beberapa cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan. Kedua, titik pijak pemberdayaan adalah kekuasaan (power), sebagai jawaban atas ketidakberdayaan (powerless) masyarakat. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini berasumsi bahwa kekuasaan sebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah.

305


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian diatas. Kekuasan tidak vakum dan terisolasi, kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti itu, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah, jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi denga cara apapun; dan (2) bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis (Edi Suharto, 2005). Dilihat dari perspektif kekuasaan, pemberdayaan bertujuan meningkatkan kekuasaan kelompok-kelompok yang lemah atau tidak beruntung (Jim Ife, 1995). Pemberdayaan adalah sebuah proses yang membuat orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadina serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekannkan bahwa orang memperoleh ketrampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dfan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parros, 1994). Pemberdayaan menunjukkan pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987). Pemberdayaan adalah suatu cara mengarahkan rakyat, organisasi dan komunitas agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984). Menurut Jim Ife (1995: 61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan aktor atas: 

306

Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.

Pemberdayaan Masyarakat Desa

Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan kehendaknya.  Ide atau gagasan: kamampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum secara bebas dan tanpa tekanan.  Lembaga-lembaga: kemmapuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan.  Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber sumber formal, informal dan kemasyarakatan.  Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang dan jasa.  Reproduksi: kemampuan mengelola proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Dengan berpijak pada perspektif kekuasan, pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khusunya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja “bebas untuk” (freedom for) mengemukakan pendapat atau bebas berorganisasi, melainkan juga “bebas dari” (freedom from) kelaparan, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkunkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) partisipasi (voice, akses dan kontrol) dalam proses pemerintahan (governance), pembangunan, maupun keputusan-keputusan (baik dari komunitas maupun negara) yang mempengaruhi mereka. Ketiga, pemberdayaan terbentang dari proses sampai visi ideal. Dari sisi proses, masyarakat sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensikreasi, memperkuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. Dari 

307


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

308

sisi visi ideal, proses tersebut hendak mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice, akses dan kontrol terhadap lingkungan, komunitas, sumberdaya dan relasi sosial-politik dengan negara. Proses untuk mencapai visi ideal tersebut harus tumbuh dari bawah dan dari dalam masyarakat sendiri. Namun, masalahnya, dalam kondisi struktural yang timpang masyarakat sulit sekali membangun kekuatan dari dalam dan dari bawah, sehingga membutuhkan “intervensi� dari luar. Hadirnya pihak luar (pemerintah, NGOs, organisasi masyarakat sipil, organisasi agama, perguruan tinggi, dan lain-lain) ke komunitas bukanlah mendikte, menggurui, atau menentukan, melainkan bertindak sebagai fasilitator (katalisator) yang memudahkan, menggerakkan, mengorganisir, menghubungkan, memberi ruang, mendorong, membangkitkan dan seterusnya. Hubungan antara komunitas dengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya, saling menghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuh berkembang secara bersama-sama. Keempat, pemberdayaan terbentang dari level psikologispersonal (anggota masyarakat) sampai ke level struktural masyarakat secara kolektif. Zimmerman dan Rappaport membagi pemberdayaan pada tingkat psikologi dan masyarakat. Pemberdayaan psikologi meliputi dimensi kepribadian (personality dimension), pemahaman (cognitive dimension), dorongan (motivational dimension), dan keadaan (contextual dimension). Dimensi personalitas pemberdayaan didefinisikan sebagai kepercayaan diri dan self-efficacy yang diperkuat, locus kontrol internal (menunjuk pada harapan seseorang bahwa dia dapat menggunakan kontrol terhadap lingkungannya), kontrol kesempatan (terdiri dari gagasan bahwa sesuatu bukan merupakan akibat dari kesempatan tetapi hasil dari tindakan individu sendiri, yang dia dapat mengkontrolnya), keyakinan orang lain sangat kuat (yang dalam studi ini termasuk perasaan menjadi lebih kuat dalam sebuah kelompok atau sebuah masyarakat daripada sendirian), ideologi

Pemberdayaan Masyarakat Desa

kontrol (terdiri dari gagasan bahwa orang pada umumnya dan terutama diri sendiri dapat mempengaruhi sistem sosial dan politik). Definisi dimensi personalitas pemberdayaan psikologi disempurnakan dalam studi ini dengan karakteristik seperti rasa empati dan variabel emosi lain (misal rasa pemenuhan hidup, belajar untuk mengetahui diri sendiri melalui partisipasi dalam kehidupan kelompok dan masyarakat) (Wallerstein, 1992). Dimensi kognitif pemberdayaan psikologi yang didefinisikan oleh Zimmerman dan Rappaport (1988) meliputi self-efficacy (terdiri dari keyakinan mampu mengorganisir dan melaksanakan jalannya tindakan yang diperlukan untuk menghadapi situasi prospektif dan yakin mampu mengatur motivasi seseorang, proses pemikiran, tahap-tahap emosi dan lingkungan sosial juga pencapaian perilaku, juga keyakinan pada kemampuan seseorang mengatasi kesulitan-kesulitan yang melekat dalam mencapai tingkat pencapaian perilaku khusus), harapan self-and political efficacy (terdiri dari keyakinan bahwa orang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mencapai tujuan termasuk perbaikan keahlian dan pengetahuan yang dirasakan melalui partisipasi dalamtindakanmasyarakat),politicalefficacy (terdiridarikeyakinan bahwa adalah mungkin untuk mempengaruhi proses politik dan pembuatan keputusan masyarakat) dan rasa political efficacy (meliputi perasaan bahwa tindakan politik individu sungguh mempunyai, atau dapat mempunyai, pengaruh kuat pada proses politik, yaitu, bahwa ia bermanfaat untuk melakukan kewajiban sipil orang. Ia adalah perasaan bahwa perubahan politik dan sosial adalah mungkin, dan bahwa warga negara perorangan dapat memainkan peran dalam mengadakan perubahan ini). Dimensi motivasi meliputi keinginan untuk mengkontrol lingkungan, kewajiban sipil atau rasa keharusan sipil yang terdiri dari keyakinan bahwa orang harus ikut serta dalam proses politik sebagai sebuah pertanggungjawaban terhadap orang lain. Ia adalah perasaan bahwa diri sendiri dan orang lain harus ikut serta dalam proses politik, tanpa memperhatikan apakah aktivitas politik itu

309


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

310

dilihat sebagai bermanfaat atau efektif. Ia meliputi perhatian terhadap kepentingan umum dan rasa terhubungkan dengan orang lain dan rasa kepentingan dan maksud sebab akibat. Dimensi kontekstual meliputi keterlibatan orang dalam tindakan kolektif (Rappaport, 1985) untuk melakukan kontrol dalam lingkungan sosial dan politik, persepsi tentang kemampuan orang untuk mempunyai pengaruh ekologi dan budaya (Zimmerman, 1990b), kesadaran budaya seseorang yang meningkat (Zimmerman, 1990b; Wallerstein, 1992; Israel et al., 1994), dan kesadaran tentang persoalan masyarakat yang meningkat (Freire, 1970; Hart dan Bond, 1995). Tabel 7.1 menampilkan pemetaan pemberdayaan dari dua sisi: dimensi (yang terbagi menjadi psikologis dan struktural) dan level (personal dan masyarakat). Pemberdayaan psikologis-personal berarti mengembangkan pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi, motivasi, kreasi, dan kontrol diri individu. Pemberdayaan struktural-personal berarti membangkitkan kesadaran kritis individu terhadap struktur sosial-politik yang timpang serta kapasitas individu untuk menganalisis lingkungan kehidupan yang mempengaruhi dirinya. Pemberdayaan psikologis-masyarakat berarti menumbuhkan rasa memiliki, gotong rotong, mutual trust, kemitraan, kebersamaan, solidaritas sosial dan visi kolektif masyarakat. Sedangkan pemberdayaan struktural-masyarakat berarti mengorganisir masyarakat untuk tindakan kolektif serta penguatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan. Kami menganggap pemberdayaan dari sisi strukturalmasyarakat merupakan arena pemberdayaan yang paling krusial. Mengapa? Kami yakin betul bahwa pemberdayaan tidak bisa hanya diletakkan pada kemampuan dan mental diri individu, tetapi harus diletakkan pada konteks relasi kekuasaan yang lebih besar, dimana setiap individu berada di dalamnya. Mengikuti pendapat Margot Breton (1994), realitas obyektif pemberdayaan merujuk pada kondisi struktural yang mempengaruhi alokasi kekuasaan dan

Pemberdayaan Masyarakat Desa

pembagian akses sumberdaya di dalam masyarakat. Dia juga mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level individu (persepsi, kesadaran dan pencerahan), memang penting, tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif pemberdayaan: perubahan kondisi sosial. “Setiap individu tidak bisa mengembangkan kamampuan dirinya karena dalam masyarakat terjadi pembagian kerja yang semu, relasi yang subordinatif, dan ketimpangan sosial�, demikian tulis Heller (1994: 185). Bahkan James Herrick (1995) menegaskan bahwa pemberdayaan yang menekankan pada pencerahan dan emansipasi individu tidak cukup memadai memfasilitas pengembangan kondisi sosial alternatif. Tabel 7.1 Dimensi dan level pemberdayaan Level/Dimensi Personal

Psikologis Mengembangkan pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi, motivasi, kreasi, dan kontrol diri.

Masyarakat

Menumbuhkan rasa memiliki, gotong rotong, mutual trust, kemitraan, kebersamaan, solidaritas sosial dan visi kolektif masyarakat.

Struktural Mendongkrak atau merebut kekuasaan, membangkitkan kesadaran kritis individu terhadap struktur sosial-politik yang timpang serta kapasitas individu untuk menganalisis lingkungan kehidupan yang mempengaruhi dirinya. Mengorganisir masyarakat untuk tindakan kolektif serta penguatan partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan.

Sumber: Sutoro Eko, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: APMD Press, 2004).

Pendekatan yang kami pakai untuk membuat pemetaan pemberdayaan di atas terutama diilhami oleh karya Freire, Zimmerman, Rappaport, Wallerstein, Rissel, Chavis, dan Minkler et al. Alat dan indikator pengukuran dikembangkan terutama dengan referensi pada Zimmerman dan Rappaport, yang juga penting dalam pengertian pemberdayaan sebagai sebuah proses

311


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

312

yang terdiri dari aspek psikologi dan aspek masyarakat, duaduanya. Penyesuaian pemberdayaan terhadap pendidikan kesehatan dan peningkatan kesehatan bersandar terutama pada karya Wallerstein. Model pemberdayaan dan tahap-tahap pengembanganya didasarkan pada Rissel, pengakuan rasa masyarakat sebagai sebuah katalis pemberdayaan pada Chavis, dan penerapan metodologi Freire dalam settings pemeliharan kesehatan pada Minkler et al. Definisi Zimmerman dan dan Rappaport tentang pemberdayaan dipilih sebagai dasar mendefinisikan pemberdayaan dalam studi ini. Definisi Zimmerman dan Rappaport kemudian dilengkapi oleh karakteristik pemberdayaan yang dikemukakan oleh beberapa pengarang lain. Menurut Zimmerman dan Rappaport pemberdayaan adalah sebuah konsepsi yang menghubungkan kekuatan dan kompetensi individu, natural helping systems, dan perilaku proaktif terhadap permasalahan kebijakan sosial dan perubahan sosial. Pemberdayaan adalah sebuah proses, yang dengan proses itu, individu maupun komunitas memperoleh penguasaan dan kontrol atas hidup mereka sendiri dan partisipasi demokratis dalam kehidupan masyarakat mereka. Berdasarkan skema itu, pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik dan kompetensi partisipatif (Edi Suharto, 2005). Untuk mengetahui foks dan tujuan pemberdayaan secara operasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang atau komunitas berdaya atau tidak. Dengan cara ini kita dapay melihat ketika sebuah program pemberdayaan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Keberhasilan pemberdayan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan meraka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan akses kesejahteraan dan kemampuan kultur dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu:

Pemberdayaan Masyarakat Desa

‘kekuasaan di dalam’ (power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over) dan ‘kekuasaan dengan (power with). Berikut ini sejumlah indikator pemberdayaan: 1. Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian. 2. Kemampuan membeli komoditas kecil: kemampuan individu untuk membeli barang-baranmg kebutuhan keluarga seharihari (beras, minyak goring, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, shampo, rokok, bedak). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika ia dapat membeli barang-barang dengan menggunakan uangnya sendiri. 3. Kemampuan membeli komoditas besar: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator diatas, point tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika ia dapat membeli dengan uangnya sendiri. 4. Terlibat dalam membuat keputusan-keputusan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami/istri mengenai keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk ternak, memperoleh kredit usaha. 5. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak, mertua) yang mengambil uang , tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya, yang melarang mempunyai anak, atau melarang bekerja di luar rumah. 313


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

6. Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan, seorang anggota DPRD setempat, nama presiden, mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris. 7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya terhadap suami yang memukul isteri; isteri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah. 8. Jaminan ekonomi dan kotribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, aset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya (Edi Suharto, 2005). Pemberdayaan Sebagai Komoditas Demam pemberdayaan melanda di mana-mana. Pemerintah yang semula selalu mengumandangkan jargon-jargon pembangunan, ikut-ikutan putar haluan ke istilah pemberdayaan, baik di level kelembagaan maupun program. Nomenklatur lembaga-lembaga pemerintah yang dahulunya berbunyi pembangunan diganti dengan pemberdayaan. Secara kebetulan, keduanya berawalan huruf “P� sehingga mempermudah perubahannya tanpa mengganti singkatannya. Sebagai contoh, Balai Pembangunan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negeri, sekarang telah diubah menjadi Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa. Di Desa, lembaga Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) diubah menjadi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga. Tetapi, apakah perubahan nama kelembagaan ini diiukti dengan perubahan secara substansial terhadap paradigma dan tata kelola atas kinerja lembaga-lembaga pemerintah?. Jawabannya bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, bagaimana pemerintah 314

Pemberdayaan Masyarakat Desa

memaknai konsep pemberdayaan; dan kedua, bagaimana lembagalembaga tersebut dikelola oleh pemerintah. Ada berbagai macam pemaknaan konsep pemberdayaan oleh pemerintah. Pemerintah Kota Yogyakarta, menggabungkan kegiatan pemberdayaan dengan kesejahteraan sosial dengan mewadahinya dalam Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat. Dari dinas ini kita memperoleh pembelajaran bahwa pemberdayaan masih dipahami sebatas upaya peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat. Pemberdayaan ditempuh dengan cara memberi kesejahteraan pada masyarakat, dan selama ini peningkatan kesejahteraan senantiasa dikaitkan dengan kegiatan charity. Dalam konteks ini, masyarakat yang telah sejahtera secara ekonomis berarti telah berdaya. Padahal, kalau kita kembalikan pada makna hakiki dari pemberdayaan, persoalannya tidak sebatas pada perut saja, tetapi bagaimana masyarakat memiliki acces-voice-dan control. Kebijakan kelembagaan yang lebih kontroversial lagi ditempuh oleh Pemda Kulonprogo Yogyakarta yang menggabungkan Dinas Kependudukan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kantor Catatan Sipil, dan BKKBN menjadi satu wadah Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat. Entah bagaimana jalan pikiran segenap jajaran eksekutif dan legislatif di kabupaten ini dengan kebijakan ini. Kalau alasannya adalah debirokratisasi, mengapa pilihan penggabungan beberapa unit pemerintahan ini demikian anehnya, menggabungkan kegiatan-kegiatan keadminitrasian penduduk dengan pemberdayaan masyarakat. Di tingkat provinsi, DPRD Provinsi Sumatera Selatan dalam sidang paripurna pada tanggal 21 Nopember 2005 memutuskan terbentuknya Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Badan ini dibentuk dengan maksud untuk lebih memudahkan koordinasi dengan Kabupaten/Kota tentang pemberdayaan masyarakat desa yang meliputi koordinasi di bidang kebijaksanaan pelaksanaan

315


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

316

ketahanan masyarakat, sosial budaya masyarakat, usaha ekonomi masyarakat, pemanfaatan sumber daya alam, pemanfaatan teknologi tepat guna dan lain sebagainya yang menyangkut kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Sekali lagi kita melihat tidak adanya kajian bahwa persoalan ketidakberdayaan masyarakat desa adalah masalah struktural. Euforia pemberdayaan juga melanda program-program pemerintah. Sebagaimana telah disinggung di atas, Kabupaten Kutai Kertanegara (Kuker) Kalimantan Timur memiliki program Gerbang Dayaku yang merupakan singkatan dari “Gerakan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Kutai Kertanegara�. Isu Pemberdayaan yang diusung dalam program ini ternyata hanya sebatas jargon yang populer di level nasional namun kenyataan lapangan belum memberdayakan masyarakat Kuker. Di level pedesaan, isu kelembagaan terkait dengan pemberdayaan dapat ditinjau dari perubahan nama lembaga korporatis di desa. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) diganti dengan Lembaga Pemberdayaan Masyrakat Desa (LPMD) dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) diganti dengan Pemberdayaan Kesejahteran Keluarga (PKK). Tetapi sekali lagi, apakah perubahan nama dengan mengakomodasi konsep pemberdayaan ini juga dapat memberdayakan masyarakat desa ?. Di desa, lembaga kemasyarakatan yang diakui oleh pemerintah desa adalah lembaga-lembaga korporatis negara ini. Dalam Perda Kabupaten Sleman Nomor 3 tahun 2004 disebutkan bahwa jenis lembaga kemasyarakatan desa adalah: LPMD, PKK, dan Karang Taruna. Di Kabupaten Jombang, berdasarkan Perda Nomor 16 tahun 2002 lembaga-lembaga yang digolongkan pada lembaga kemasyarakatan desa adalah PKK, Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dan Gerakan Pembinaan Generasi Muda (GPGM). Dari kedua contoh Perda Kabupaten ini dapat diketahui bahwa pemerintah masih sebatas mengakui keberadaan lembagalembaga korporatis yang sebenarnya telah terbukti gagal dalam memberdayakan masyarakat desa.

Pemberdayaan Masyarakat Desa

Pengalaman masa lalu membuktikan bahwa lembaga korporatis negara hanya menjadi ajang kumpul-kumpul warga desa, tanpa banyak memberi andil pada kedewasaan politik warga. Kaum muda desa yang idealnya menjadi agen perubahan di desa karena pemikiran-pemikiran mereka yang progresif, justru mengalami depolitisasi dalam wadah Karang Taruna. Mereka terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang bernuansa fun seperti olah raga, rekreasi, dan lain sejenisnya. Kalau toh ada variasi kegiatan lain, tidak pernah menyentuh ranah politik. Hal yang sama dialami oleh kaum perempuan desa dalam wadah PKK. Di tengah gencarnya wacana dan aksi pemberdayaan perempuan, ibu-ibu justru dijejali dengan semangat domestifikasi perempuan. Bagimana tidak, kegiatan PKK senantiasa berkutat di seputar rumah tangga dan dapur, seperti penyuluhan cara perawatan rumah, kursus memasak dan lain sejenisnya yang pada intinya mendidik kaum perempuan desa untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibentuk sebagai media partisipasi dan aspirasi masyarakat desa, khususnya dalam pembangunan desa, ternyata juga lebih kuat orientasinya pada pemerintah daripada ke warga desa. Kepala desa ex oficio ketua LKMD menjadi masalah yang paling krusial. Belum lagi hak prerogatif Kades dalam menentukan anggota LKMD berakibat kepengurusan LKMD diisi oleh orang-orang yang secara politis sejalan dengan Kades sehingga tidak muncul dinamika dan perdebatan dalam merumuskan pembangunan desa. Para elit LKMD-lah yang mendominasi keputusan-keputusan yang terkait dengan pembangunan desa, warga desa hanya Dalam realitasnya, lembaga-lembaga kemasyarakatan di desa dapat berbentuk : (a)forum Desa, (b)organisasi-organisasi profesi dan kegemaran di desa, (c) lembaga-lembaga adat dan lembagalembaga sosial budaya serta keagamaan, (d) perkumpulanperkumpulan, (e) cabang atau unit organisasi lain di luar desa, (f)sebutan -sebutan lain yang diakui oleh masyarakat desa.

317


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

Lembaga yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat ini memiliki energi yang ampuh sebagai wahana pemberdayaan masyarakat. Namun sayang, pemerintah hanya memandang sebelah mata, lembaga korporatis negara selalu diutamakan. Alokasi dana kelembagaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) ditujukan ke sana. Padahal, dari tiga contoh di atas menunjukkan bahwa lembaga korporatis negara sebenarnya tidak berorientasi pada pemberdayaan masyarakat desa.

318

Partisipasi Masyarakat Pemberdayaan dalam konteks pemerintahan dan pembangunan desa yang paling konkret adalah partisipasi masyarakat.Partisipasiadalahpersoalanrelasikekuasaan,ataurelasi ekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance, yakni relasi antara negara (pemerintah) dan masyarakat (rakyat). Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being (Sutoro Eko, 2004). Partisipasi dalam governance berhubungan kuat dengan gagasan mengenai pembuatan-keputusan interaktif, di mana warga, pengguna, kelompok kepentingan dan organisasi publik dan swasta yang mempunyai risiko dalam sebuah keputusan dilibatkan dalam persiapannya. Ia dimaksudkan menciptakan dukungan bagi usulan kebijakan, memperbaiki kualitas keputusan dengan mengerahkan keahlian dan pengetahuan eksternal, dan meningkatkan legitimasi keputusan demokratis (Klijn dan Koppenjan 2000). Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan,

Pemberdayaan Masyarakat Desa

dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi hanya menabur pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Partisipasi yang dimaksudkan dalam hal ini bukan hanya keterlibatan warga masyarakat dalam pemilihan kepala desa dan pemilu setiap lima tahun sekali. Partisipasi pada konteks ini adalah keterlibatan warga masyarakat secara aktif terkait dengan pembangunan dan pemerintahan desa. Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat (Deepa Narayan, 2002). Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya. Secara substantifpartisipasi mencakup tigahal.Pertama,suara (voice) setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik dan akses pada arus informasi. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga atau elemenelemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah. Di desa, sebenarnya banyak arena politik yang menjadi tempat partisipasi. Musbangdes, misalnya, menjadi arena strategis bagi

319


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

320

partisipasi karena proses perencanaan pembangunan itu merupakan arena interaksi antara pemerintah desa, BPD, lembaga-lembaga desa dan masyarakat dalam mengambil keputusan politik. Namun, seperti diuraikan dalam bab sebelumnya, Musbangdes selalu didominasi oleh elite dan kurang partisipatif. Karena itu kami mengusulkan beberapa agenda penting untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam Musbangdes beserta pelaksanaan dan evaluasinya. Pertama, mendorong kesadaran dan kapasitas kritis berbagai organisasi lokal terhadap isu-isu pemerintahan dan pembangunan, termasuk Musbangdes. Kesadaaran dan kapasitas kritis tentu bisa ditempa melalui pembalajaran lokal, sebelum warga masuk ke dalam forum warga, misalnya melalui diskusi di setiap ruang publik yang ada (warung, pos kamling, sungai, sawah, hutan, dan sebagainya). Di Sumatara Barat, misalnya, warung (lapau) selalu digunakan sebagai tempat bagi warga untuk mendiskusikan masalah-masalah publik, atau untuk melihat pemerintah di siang hari dan membicarakan pemerintah di malam hari. Kedua, memahami dan meneliti konteks politik dan kultural yang di dalamnya partisipasi terjadi. Partisipasi tidak dapat terjadi dalam sebuah ruangan hampa, tetapi pembangunan dan kemajuannya akan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang melekat pada konteks. Oleh karena itu, waktu seharusnya dibuat tersedia, pada permulaan perencanaan, membutuhkan upaya identifikasi dan anilisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses. Dalam hal ini, terutama untuk para katalis partisipasi, sebuah analisis stakeholder adalah sebuah langkah pertama yang sangat berguna. Ketiga, akses dan arus informasi yang terbuka merupakan rujukan pengetahuan bagi warga untuk berpartipasi. Yang paling dasar informasi memberi pasokan pengetahuan untuk berpartisipasi. Informasi adalah kekuatan. Warga yang berpengetahuan adalah lebih berpendidikan untuk mengambil keuntungan kesempatan, mengakses pelayanan, menggunakan

Pemberdayaan Masyarakat Desa

hak-haknya, berunding dengan efektif, membuat pelaku pemerintah dan non-negara bertanggung jawab (accountable). Tanpa informasi yang bersangkut paut (relevant), tepat pada waktunya, dan tersajikan dalam bentuk yang dapat dipahami, tidak mungkin bagi warga desa mengambil tindakan efektif. Yang lebih advanced partisipasi akan jauh lebih kuat dan bermakna, bahkan menghindari stigma “asal bunyi”, jika ditopang oleh informasi yang memadai. Bagaimanapun partisipasi bukan hanya persoalan “siapa” yang dilibatkan, atau “bagaimana” proses dan mekanisme partisipasi, tetapi juga harus mencakup “apa” yang akan dibawa dalam berpartisipasi. Keterbukaan informasi itu memang tidak mudah, karena pemegang kebijakan biasanya enggan berbagi informasi secara transparan. Karena itu dibutuhkan katalis-katalis lokal, termasuk BPD dan tokoh masyarakat, yang proaktif menjembatani arus informasi antara warga dan pemerintah desa. Keempat, proses yang bersifat deliberatif dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penguasaan dan keterampilan menggunakan berbagai metode dan teknikpartisipasi. Metode partisipasi yang efektif, yang sesuai dengan kebutuhan situasi, sangat diperlukan agar partisipasi yangberjalanmenjadisuatuprosesyangkreatif,produktifdansekaligus memberdayakan. Proses yang deliberatif dan inklusif juga menuntut perubahan peran perencana dan policy analist, atau para katalis komunitas menjadi lebih sebagai perantara, negosiator dan mediator. Mereka harus memahami masalah dan melihat peluang untuk masa depan melalui pandangan multipihak. Tantangan yang terbesar dalam prosespartisipasiadalahbagaimana suaramereka yangtertinggal dapat didengar dan mempengaruhi keputusan yang diambil. Kelima, dalam tahap persiapan perencanaan program, harus secara jelas dipahami bahwa proses partisipatif tidak perlu mengikuti petunjuk struktural dan linear. Partisipasi tidak harus dilihat hanya sebagai sebuah input ke dalam sebuah program atau kebijakan, tetapi sebagai sebuah prinsip operasional mendalam yang seharusnya menyokong semua kegiatan. Partisipasi

321


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

harus hakiki terhadap pembangunan dan tidak hanya sebuah kegiatan yang digunakan dari waktu ke waktu untuk membangkitkan kepentingan beneficiaries.

322

Pemberdayaan Dari Sisi Budaya Aspek budaya juga penting untuk diberdayakan. budaya merupakan sumber nilai, etos, moral dan pengetahuan yang tertanam dalam sistem simbol, bahasa, ideologi, tradisi dan adatistiadat dan menjadi acuan masyarakatnya di dalam bersikap dan bertingkahlaku sosial-politik dan ekonomi. Oleh karena itu, perlu mengkaji dan merevitalisasi nilai-nilai budaya desa agar sejalan dan bahkan mempercepat agenda pemberdayaan masyarakat desa di bidang sosial-politik dan ekonomi. Sebagai identitas kolektif, budaya merupakan sumberdaya masyarakat yang bisa dipakai sebagai kekuatan bersama untuk mengembangkan modal sosial yang handal guna mencapai kemandirian masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Di sisi lain, budaya desa sedang mengalami proses kemunduran sehingga mengancam eksistensi orang desa di berbagai bidang kehidupan. Kini budaya desa didorong untuk memasuki proses perubahan dari budaya lokal ke global, budaya agraris ke industri dan budaya tradisional ke modern, tetapi gejala yang muncul bukan subuah proses kemajuan melainkan kemunduruan yang disebut sebagai erosi, involusi dan marginalisasi budaya. Akibatnya, orang desa pun mengalami keterpurukan. Di bidang ekonomi, orang desa dekat dengan kemiskinan, mempunyai prinsip ekonomi moral tetapi tidak bisa membawa kemajuan ekonomi. Di bidang sosial, solidaritas orang desa yang tinggi kemudian merapuh, dan diikuti dengan meningkatnya kekerasan horizontal yang mengancam nilai-nilai kesetiakawanan. Di bidang politik, orang desa hampir selalu menjadi komoditas politik, tetapi tidak bisa memiliki akses dan kontrol yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ada beberapa agenda strategis yang terkait dengan pemberdayaan budaya masyarakat desa. Pertama, pengembangan

Pemberdayaan Masyarakat Desa

wacana kritis. Agenda ini mengajak orang desa untuk mencermati berbagai sisi positif dan negatif, kekurangan dan kelebihan atas berbagai praktik budaya yang menentukan posisi mereka dalam kehidupan sosial-politik dan ekonomi. Dengan wacana kritis ini orang desa memiliki kesadaran kritis tentang budaya lokal yang sepatutnya direvitalisasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka di dalam menyonsong perubahan politik, sosial dan ekonomi. Sebaliknya,mereka jugabisa memilikikesadaran kritis tentang budaya lokal yang harus ditinggalkan, dan menyeleksi budaya baru dari luar yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pengembangan wacana kritis itu dapat dilakukan dengan mencermati kemrosotan hidup orang desa di bidang sosial, politik dan ekonomi, dan mempertanyakan sumber masalahnya yang berkaitan dengan praktik-praktik budaya yang dijalankan dan ketidakberdayaan untuk meninggalkan praktik-praktik budaya tersebut. Dengan demikian, maka orang desa diajak untuk mencermati pentingnya reformasi budaya sebagai jalan keluar untuk keluar dari kemerosotan hidup. Kedua, pengembangan institusi dan media pembelajaran budaya desa yang handal. Selama ini kegagalan orang desa merevitalisasi budaya lokal berkaitan dengan lemahnya institusi yang mereka miliki. Dalam tradisinya mereka biasanya belajar budaya secara informal dengan menggunakan tradisi lesan melalui media kesenian rakyat dan interaksi sosial keseharian di dalam keluarga dan komunitas. Mereka belajar melalui praktik hidup dan dalam jangka panjang proses internalisasi terbentuk. Namun demikian, dengan derasnya arus budaya dari luar lambat atau cepat mereka juga mengenal dan bisa menerimanya. Arus budaya dari luar itu ditanamkan dan dilembagakan melalui institusi dan media massa yang bersifat formal seperti sekolah, media cetak dan elektronik. Pembelajaran budaya seperti itu nampaknya bisa bekerja secara efektif. Oleh karena itu, sudah saatnya para pembaharu desa melembagakan pengembangan budaya desa secara formal. Langkah strategis yang bisa dilakukan antara lain sebagai berikut.Pertama:

323


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

mendokumentasikan dan menyebarluaskan secara tertulis dan visual mengenai berbagai bentuk budaya lokal yang memiliki kearifan yang tinggi. Kedua: mengembangkan mata pelajaran dfi sekolah tentang kearifan budaya lokal. Ketiga: pengembangan forum di aras komunitas yang bergerak untuk merevitalisasi budaya lokal yang kearifannya tinggi. Ketiga, revitalisasibudaya. Revitalisasi budayatidak berarti menghidupkan kembali secara utuh budaya lama orang desa tersebut, melainkan mererproduksinya sesuai dengan konteks kekinian. Dengan demikian, revitalisasi nilai egalitarian dan ekonomi moral, misalnya tidak berhenti pada praktik gotongroyong, melainkan harus dikembangkan ke arah usaha yang lebih menjawab kemiskinan dan lemahnya suara orang desa terhadap kebijakan negaradan perluasan pasar. Revitalisasi kearifan ekologis misalnya tidak mengembalikan praktik perladangan yang sudah tidak adaptif lagi pada masa kini karena rusaknya ekosistem, melainkan pada pengembangan prinsipnya yang dapat dituangkan dalam konsep hutan kerakyatan. Revitalisasi budaya sebagai suatu reproduksi budaya lama agar lebih handal untuk menjawab kehidupan kekinian dapat mengarah pada berbagai bentuk. Pertama, peningkatan fungsi positif suatu praktik budaya desa. Sebagai contoh upacara bersih desa diikuti dengan festival kesenian rakyat, pasar desa, rembug desa dan sebaginya. Dengan multi fungsi ini maka akan terjadi akumulasi kekuatan tradisi budaya tersebut. Kedua, peningkatan fungsi budaya desa menuju kemandirian masyarakat. Budaya dapat dipahami sebagai praktik produksi dan konsumsi, sehingga mengembalikan budaya desa sama artinya meningkatkan kemandirian masyarakat dalam berproduksi dan berkonsumsi. Berbagai bentuk makanan desa jika dihidupkan sama artinya mengembalikan pengetahuan lokal yang fungsional untuk membendung kebiasaan konsumsi produk makanan dari luar sehingga terwujudlah peluang menuju kemandirian ekonomi. 324

Pemberdayaan Masyarakat Desa

Ketiga, peningkatan dan tranformasi fungsi budaya desa sebagai kekuatan kolektif dan modal sosial. Mendorong spirit egalitarian menjadi gotong-royong, dan praktik gotongroyong yang bergerak pada pembangunan fisik ke pembangunan ekonomi merupakan upaya mewujudukan budaya desa sebagai modal sosial yang produktif. Langkah itu misalnya dilakukan dengan melembagakan kegiatan arisan, usaha ekonomi koperasi. Keempat, meningkatkan identitas dan kebanggaan atas budaya desa. Marginalisasi budaya desa terjadi ketika orang desa terasing dengan budayannya. Oleh karena itu revitalisasi budaya dimulai juga dengan mendorong semua pihak bisa menikmati dan mengapresiasi budaya mereka. Langkah seperti ini misalnya dilakukan dengan mengadakan lomba apresiasi dan inovasi budaya desa, dan festival rakyat. Keduanya akan menumbuhkan kepercayaan dan kebanggan orang desa danterhadap budayannya. Bahkan festival rakyat itu bisa membangun kebersamaan dan membuka akses bagi segala lapisan untuk menikmati, menginternalisasikan dan dan mempromosikan produk budaya mereka ke publik yang luas. Contoh pesta dan festival rakyat ini misalnya tradisi karapan sapi di Madura dan festifal Reog di Ponorogo Jawa Timur yang memberikan nilai tambah bagi kepercayaan diri masyarakat lokal memanfaaatkan budayanya untuk membangun identitas dan corak ekonomi kerakyatannya.

325


Daftar Pustaka Antlov, Hans. 2002. Negara Dalam Desa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. Antlov, Hans dan Sven Cederroth (eds.), 2002. Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Arai, Susan. 1997, “Empowerment: From the Theoritical to the Personal”, Journal of Leisurability, Vol. ,24, No. 1, Winter. Arifin, Bustanul. 2005a, “Kendala dan Solusi Alternatif Revitalisasi Pertanian”, Kompas, 16 Juli. Arifin, Bustanul. 2005b, Ekonomi Kelembagaan Pangan, Jakarta: LP3ES. Ashley, C. and D Carney. 1999, Sustainable Livelihoods: Lessons from Early Experience, London: DFID. Bachrach, P. and Botwinick, A., 1992. Power and Empowerment. Philadelphia: Temple University Press. Bachriadi, Dianto. (dkk) 1997, Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaharuan Agraria di Indonesia “Reformasi Agraria”, Jakarta: Konsursium Pembaharuan Agraria dan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bachriadi, Dianto dkk (ed). 1997, Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Bandung: KPA dan FE UI. Bachriadi, Dianto. 1998, Merana di Tengah Kelimpahan: Pelanggaran HAM Pada Industri Pertambangan di Indonesia, Jakarta: ELSAM. Baswir, Revrisond. 2004. Drama Ekonomi Indonesia. Belajar dari Kegagalan Orde Baru, Yogyakarta: Kreasi wacana. Bebbington, A., 1999. Capitals and Capabilities: A Framework


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

328

for Analysing Peasant Viability, Rural Livelihoods and Poverty. World Development, 27. Carney, D. (ed.) (1998), Sustainable Rural livelihoods: What Contribution Can We Make? London: DFID. Chamber, Robert. 1987, Pembangunan Desa Dari Belakang, Jakarta: LP3ES. Chamber, Robert. 1995, “Poverty and Livelihood”, IDS Discussion Papers, 347. Chamber, Robert dan Gordon Conway 1992, Sustainable Rural Livelihood: Practical Concepts for the 21th Centrury, IDS Discussion Papers, 296. Craig, G. and Mayo, M. (eds), (1995), Community Empowerment, London: Zed Books. Dewayanti, Ratih dan Erna Ermawanti Chotim. 2004. Marjinalisasi Dan Eksploitasi Perempuan Usaha Mikro di Pedesaan Jawa. Bandung: Akatiga. DFID 1999, Sustainable Livelihoods Guidance Sheets, London: DFID Dwipayana, AAGN dan Sutoro Eko (eds.) 2003, Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta: IRE Press. Eko, Sutoro. 2004 Reformasi Politik Dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: APMD Press. Eko, Sutoro. 2005, Menggantang Asap?: Kritik dan Refleksi Gerakan Kembali ke Nagari, Yogyakarta: IRE Press. Eko, Sutoro. (ed.) 2005. Manifesto Pembaharuan Desa, Yogyakarta: APMD Press. FAO, 1984. Studies on Agrarian Reform and Rural Poverty, Rome: FAO. Fauzi, Noer. 1999. Petani & Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist dan KPA Friedmann, J. 1992, Empowerment: The Politics of Alternative Development, Cambridge MA & Oxford UK: Blackwell. Freire, P. 1970, Pedagogy of the Oppresed, New York: The Continuum Publishing.

Daftar Pustaka

Freire, P. 1973, Education for Critical Consciousness, New York: Seabury Press. Florus, paulus dan Edi Peterbang. 1999. Panen Bencana Kelapa Sawit. Pontianak: Institute Dayakologi. Fukuyama, Francis. (1995), Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, New York: The Free Press. Fukuyama, Francis. 2005. The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Sosial Order, terjemahan Goncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gaventa, John. 2005. “Enam Proposisi menuju Tata Pemerintahan Daerah Partisipatoris”, dalam Bahagijo dan Tagatora, Orde Partisipasi, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa. Geertz, Clifford. 1976. “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. George, Vic and Paul Wilding. 1992, Ideologi dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Gibson, CH. 1991, “A Concept Analysis of Empowerment”, Journal of Advanced Nurse, 16. Grindle, Merilee S. and. Thomas, John W., 1991, Public choices and Policy Change: The Political Economy of Reform in Developing Countries, Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, Page 96. Hart, Gillian, A Turton, and B. White (1989). “Ļntroduction” in G. Hart, A. Turton and B. White, eds. Agrarian Transformations,Local ProcessandtheStateinSoutheast Asia. Berkely: University of California Press. Haryono, Timbul. 1999.”Sang Hyang Wates dan Sang Hyang Kulumpang: Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuno”. Humaniora.. Hayami, Y dan Masao Kikuchi. 1983. Asian Village at the Crossroads. Tokyo: University of Tokyo Press. Hudayana, Bambang.1996. The Impact of Green Revolution on

329


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

330

Livestock Raising. A Thesis. Canberra: Faculty of Arts, Australian National University. Husken, Frans. 1998, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Sejarah Diferensiasi Sosialdi Jawa, 1830-1980,Jakarta: Grasindo International Forum on Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangam. Yogyakarta: Cindelaras. Ife, Jim. 1995, Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practise, Australia: Longman. IRE, 2003, Pembaharuan Pemerintahan Desa, Yogyakarta: IRE Press. IRE, 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press. Irianto, Gatot. 2004, “Destruksi Sistemis Sektor Pertanian”, Kompas, 11 Juni Jhatami, Hira dan Lutfiyah Hanin. 1999.”Petani dan Pertanian di Era WTO. Wacana. No. IV: 60-75. Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984, Desa, Jakarta: Balai Pustaka. Konsorsium Pembaruan Agraria, (2001), Konsep Pembaruan Agraria: Sebuah Strategi Pembangunan Yang Berorientasikan Pada Kesejahteraan Rakyat, Bandung: KPA. Korten, David C. 1988, “Kerangka Kerja Perencanaan Untuk Pembangunan Yang Berpusat-Pada-Rakyat”, dalam David C. Korten dan Sjahrir, (eds.), Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Korten, David C. dan Sjahrir, (eds.) (1988), Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Korten, David. C. (1990), Getting to the 21st Century, Connecticut: Kumarian Press, Inc. Koesoema, Bambang Warih. 2005. Indonesia: Jejak “Neo Liberal”

Daftar Pustaka

dan Krisis Ekonomi (makalah). Lehmann, D. (ed.), 1974, Agrarian Reform and Agrarian Reformism, London: Faber& Faber. Lipton, M. 1974, “Toward a Theory of Land Reform”, dalam David Lehmann (ed.), Agrarian Reform and Agrarian Reformism, London: Faber& Faber. Lipton, M. 1977, Why Poor People Stay Poor: A Study of Urban Bias in World Development, Cambridge: Harvard UniversityPress. Lucas, Anton dan Carol Warren 2000, Pembaruan Agraria Dalam Era Reformasi”, dalam Chris Manning dan Peter van Diermen (eds.), Indonesia di Tengah Transisi: Aspekaspek Sosial Reformasi dan Krisis, Yogyakarta: LKiS. Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial: Perspektif Pembgangunan Dalam Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Diperta Departemen Agama RI. Mubyarto, (1982), Moral Ekonomi Pancasila, Jakarta: Yayasan Idayu. Mubyarto (2002), “Reformasi Agraria: Menuju Pertanian Berkelanjutan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. I, No. 8, Oktober. Mubyarto (2003b), “Tantangan Ilmu Ekonomi Dalam Menanggulangi Kemiskinan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Maret. Mubyarto (2003c), “Mengembangkan Ekonomi Rakyat Sebagai Landasan Ekonomi Pancasila”, Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun II, No. 8, November. Narayan, Deepa, et. al. (2000), Voice of the Poor, Washington D.C: World Bank. Narayan, Deepa. et. al. (2002), Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook, Washington D.C: PREM World Bank. Nelson, N dan Susan Wright, (eds.) (1995), Power and Participatory Development: Theory and Practice, London: In-

331


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

332

termediate Technology Publications. Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002. Penderds, C.M.L. 1984. Bojonegoro 1900-1942. a Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia. Jakara: Gunung Agung. Priyadi, Sugeng. 2001. “Perdikan Cahyana”. Humaniora. Vol. XIII. No. 1/2001. Hal.: 98-99. Pratikno, 2003, “Desentralisasi, Pilihan yang Tidak Pernah Final”, dalam Jim Schiller (Eds.), Jalan terjal Reformasi Lokal: dinamika Politik di Indonesia, Yogyakarta: Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Putnam, Robert. 1993, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, Princeton: Princeton University Press. Rappaport, J. 1981, “ In Praise of Paradox: A Social Policy of Empowerment Over Prevention”, American Journal of Community Psychology, 9. Rappaport, J. 1985, “The Power of Empowerment Language, JournalofSocialPolicy,16. Rappaport, J. 1987, “The Term of Empowerment/Exemplar of Prevention: Toward a Theory for Community Psychology”, American Journal of Community Psychology, 15. Rappaport, J. C. Swift dan R. Hess 1984, Studies in Empowerment: Steps Toward Understanding and Action, New York: Hawoth. Rauch, Theo., Matthias Bartels dan Albert Engel, 1998, Regional Rural Development: A Regional Response to Rural Poverty, Wiesbaden: GTZ dan BMZ. Reid, Norman, 1999. “Community Empowerment: A New Approach for Rural Development”, Rural Development Perspectives,vol.14,no.1 Riger, S. 1981, “Toward A Community Psychology of Empowerment”, Community Psychology Newsletter, 14.

Daftar Pustaka

Rissel, C. (1994), “Empowerment: The Holy Grail of Health Promotion”, Journal of Health Promotion, 9. Sahdan, Gregorius (ed.), (2005), Transformasi Ekonomi-Politik Desa, Yogyakarta: APMD Press. Sahlins, Marshall. 1974. Stone Age Economics. London: Tavistock Publication. Saefuddin, Asep dkk, 2003. Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Saragih, Bungaran. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan, Kumpulan pemikiran, Bogor: Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB. Schmidt, Sonke. 1994, Social Security In Developing Countries : Basic Tenets and Fields of State Intervention, in Social (In)Security and Poverty, As Global Issues, Conference in Preparation of the UN World Summit on Social Development, Copenhagen, Maastricht, 4&5 March 1994 Scott, James C. 1980. Moral Ekonomi Petani.Pemberontakan Petani di Asia Tenggara Jakarta: LP3ES Sen, Amartya. 1999, Development as Freedom. New York: Knopf Books. Setiawan, Bonnie. 2003. “Antara Doba dan Cancun: Cengkeraman Neoliberal pada tubuh WTO. Dalam I Wibowo dan Francis Wahono (eds.) Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras. Shepherd, A. 1998. Sustainable Rural Development, Macmillan Press, London. Singh, Naresh dan Vangile Titi, 1995, (eds.), Empowerment Towards Sustainable Development, Halifax: Fernwood and Zed. Sinukaban, Naik. 2005, “Revitalisasi Pembangunan Pertanian”, Kompas, 14 Juni. Soemardjan, Selo. 1992, “Otonomi Desa: Apakah Itu?”, Jurnal

333


Pembangunan yang Meminggirkan Desa

334

Ilmu-ilmu Sosial, No. 2. Subandriyo, Toto. (2005), “Revitalisasi Pe(r)tani(an)”, Kompas, 10 Juni. Sumawinata, Sarbini. (2004), Politik Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suharto, Asep. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama. Suhartono. 19991.”Agroindustri dan Petani: Multi Pajak di Vorstenlanden 1850-1900”, Prisma. April 1991: 1526. Tjokrowinoto, Moeljarto. (1987), Politik Pembangunan, Yogyakarta: Tiara Wacana. Tjondronegoro, Sediono M. P. dan Gunawan Wiradi et,al.1993. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa”. Jakarta: Yayasan Obor. Torquist, Olle. “Notes on the State and Rural Change in Rural Java”, dalam Arief Budiman (ed). State and Civil Society in Indonesia. Clyton: Monash University. Wahono, Francis. 1999.”Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi.” Wacana. No. IV:9-46. Wijardjo, Boedi dan Herlambang Perdana, 2001, Reklaiming dan Kedaultan Rakyat, YLBHI dan Raca Institute, Juli. Wilk, Ricard. 1996. Economies & Culture. Foundation Economic Anthropology. Colorado: Westview Press. Wolf, Eric. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Atropologis. Jakarta: Rajawali. Wolf, Eric, 2002. Pathways of Power, Building an Anthropology of the Modern World. London: University of California Press. Wulandari, D, dkk. 2000. Kisah-Kisah Perjuangan Hak Rakyat Atas Tanah ”Di Atas Tanah Kami, Kami bebas Menentukan”. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.

Daftar Pustaka

Zakaria, Yando. (dkk.), 2001, Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria. ELSAM dan LAPPERA, Yogyakarta. Zakaria, Yando. 2001, Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Orde Baru, Jakarta: ELSAM. Zakaria, Yando. 2004, Merebut Negara, Yogyakarta: Karsa dan LAPERA Pustaka Utama. Zimmerman, MA 1990a, “Toward a Theory of Learned Hopefulness: A Structural Model Analysis of Participation and Empowerment”, Journal of Personality, 1. Zimmerman, MA 1990b, “Taking Aim on Empowerment Research: On the Distinction Between Individual and Psychological Concepts”, American Journal of Community Psychology,18. Zimmerman, MA dan J. Rappaport 1988, “Citizen Participation, Perceived Control and Psychological Empowerment”, American Journal of Community Psychology, 16

335



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.