Memahami Hukum Pers

Page 1


Memahami Hukum Pers Panduan untuk Jurnalis

LBH Pers Padang Yayasan TIFA



Syoď€ ardi Bachyul Jb Roni Saputra Andika D. Khagen

Memahami Hukum Pers

LBH Pers Padang Yayasan TIFA


Memahami Hukum Pers Penulis: Syofiardi Bachyul Jb Roni Saputra Andika D. Khagen Editor: Syofiardi Bachyul Jb Desain dan Tata Letak: Rafi’i Hidayatullah Nazari Cover: Rafi’i Hidayatullah Nazari Cetakan Pertama: Februari 2013 ISBN: Diterbitkan oleh:

Jalan Andalas Raya No. 29 Blk 31 Padang Telp. 0751-20166/085263433231 Fax. 0751-20166 Kode Pos 25000 Email: padanglbhpers@gmail.com Penerbitan Buku Ini Sebagian Didukung oleh:


Daftar Isi Pengantar LBH Pers Padang iii Bab 1 Pendahuluan 1 Bab 2 Selintas Sejarah Perjuangan Kebebasan Pers di Indonesia 11 Era Orde Lama 13 Era Orda Baru 19 Era Reformasi 28 Memaknai Kebebasan Pers 38 Kekerasan dan Kriminalisasi Pers Masih Terjadi 43 Bab 3 Pers dan Aturan yang Mengancam 49 Ancaman KUHP 52 Ancaman dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana 61 Ancaman KUHPerdata 61 Ancaman dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) 63 Ancaman dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers 69 Ancaman dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran 70 Ancaman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 Tentang Pornograď€ 72 Ancaman dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara 73

i |158


Ancaman Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konik Sosial 75 Ancaman dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik 76 Ancaman dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum 77 Ancaman dalam Undang-Undang No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 78 Rancangan Undang-Undang yang Mengancam 79 Bab 4 Bekerja di Jalan yang Benar Pertanggungjawaban Hukum Bekerja Sesuai Kode Etik Uraian Kode Etik Jurnalistik Menjadikan KEJ ke Kode Perilaku Kelebihan dan Kekurangan UU Pers

85 88 89 89 95 107

Lampiran 110 Lampiran 1: UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers 112 Lampiran 2: Kode Etik Jurnalistik 130 Lampiran 3: Standar Perlindungan Wartawan 136 Lampiran 4: Keterangan Ahli Dewan Pers 138 Lampiran 5: Pedoman Pemberitaan Media Siber 142 Lampiran 6: MoU Dewan Pers dengan Kepolisian Republik Indonesia 147 Lampiran 7: SEMA No. 13 Tahun 2008 154

ii |158


Pengantar LBH Pers Padang

S

ejarah pengaturan terhadap pers di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, berdasarkan dokumen perundang-undangan yang ada, pertama kali Pers diatur melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia (PNPS) No. 6 Tahun 1963 Tentang Pembinaan Pers, selanjutnya pada tahun 1966, MPRS menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 Tentang Pembinaan Pers, pada tahun 1996 Presiden Soekarno mensahkan Undang-undang nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pers. Pada Tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pers. Pada Tahun 1982 Presiden Soeharto mensahkan UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 4 tahun 1967. iii |158


Pengaturan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah saat itu ternyata tidak bertujuan untuk memberikan kemerdekaan terhadap pers, melainkan ruang geraknya semakin dibatasi. Banyak media yang diberangus, dan izin terbitnya dicabut. Bergulirnya reformasi di Indonesia diikuti juga dengan reformasi dalam pengaturan pers. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia), dan Undang-Undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, dinyatakan tidak berlaku. Diganti dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang disahkan pada 23 September 1999 oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. iv |158


Lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menjadi penanda dari kemerdekaan Pers di Indonesia, bahkan disebutkan di dalamnya bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai Hak Asasi Manusia. Secara tegas dinyatakan terhadap Pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Memberikan kemandirian terhadap Pers untuk berkembang tanpa campur tangan pemerintah dan memberikan perlindungan hukum bagi Pers dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Namun dalam pelaksanaannya keberadaan Undang-undang ini belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan Pers, hal ini terlihat dengan masih tingginya tingkat kekerasan terhadap jurnalis, masih banyak kriminalisasi terhadap pers, dan masih adanya penyensoran terhadap berita-berita pers serta munculnya gugatan-gugatan hukum terhadap media dengan nilai gugatan yang selangit. Undang-Undang Pers pun tidak pernah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku penganiayaan, penggerudukan kantor media pers, bahkan pembunuhan jurnalis. Untuk pertama kali Undang-Undang tersebut digunakan ketika Pengadilan Militer I-03 Padang menyidangkan perkara kekerasan terhadap 7 (tujuh) jurnalis yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang anggota Batalion Marinir Pertahanan Pangakalan II Teluk Bayur Padang pada Desember 2012. Salah satu penyebabnya karena masih kurangnya pemahaman masyarakat, aparat penegak hukum dan Juv |158


rnalis akan Undang-Undang Pers itu sendiri serta keengganan dari aparat penegak hukum menggunakan UndangUndang tersebut untuk menjerat pelaku tindak pidana terhadap Pers. Parahnya, Pemerintah pun berusaha untuk mengkebiri kemerdekaan pers dengan melahirkan Undang-Undang baru yang semakin mengancam kemerdekaan. Sebut saja misalnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Undang Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornogra, Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konik Sosial serta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Untuk itu, LBH Pers Padang dalam buku ini menyajikan hukum-hukum yang terkait dengan pers yang ada di Indonesia yang dimulai dengan sejarah perjuangan kemerdekaan pers, aturan-aturan hukum yang mengancam kemerdekaan pers dan aturan hukum yang perlu dipahami oleh Jurnalis dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik sehingga terhindar dari jerat hukum. Terima kasih kami ucapkan kepada kawan-kawan yang telah bersedia untuk berbagi waktu untuk berdiskusi, memberikan masukan dan memberikan bahan-bahan sehingga LBH Pers Padang dapat menyelesaiakan pembuatan buku “Memahami Hukum Pers”, terkhusus kepada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Aliansi Jur-

vi |158


nalis Independen (AJI) Kota Padang dan Koalisi Wartawan Anti Kekerasan (KOAK) Sumbar. Terakhir, kami ucapkan terima kasih kepada Yayasan TIFA, yang telah mendukung penerbitan buku ini sehingga buku ini bisa ditulis dan dicetak. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi panduan bagi Jurnalis.

Padang, 21 Januari 2012 Hormat Kami, LBH Pers Padang Roni Saputra, S.H. Pjs. Direktur

vii |158


viii |158


BAB I

Pendahuluan

K

etua Mahkamah Konstitusi Profesor Mahfud MD mengeluarkan pernyataan “membesarkan hati” kalangan pers pada 2012. Mahfud tanpa basa-basi mengatakan bahwa pilar demokrasi yang tersisa saat ini hanya peranan pers.1 Mahfud membandingkan pers sebagai satu dari empat pilar demokrasi dengan tiga pilar lainnya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.“Untuk ketiganya selain pers, saat ini sudah entah macam mana, makanya saya katakan, pilar demokrasi saat ini hanya tinggal peranan pers,” katanya. Mahfud menyodorkan contoh nasib KPK (Komi1

Berita ini dimuat Antaranews.com dengan judul “Mahfud MD: Pilar Demokrasi Tersisa Hanya Pers”, Sabtu, 1 Desember 2012. Berita ini dari acara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mendatangkan Mahfud MD sebagai pembicara. Sebelumnya Mahfud juga menyampaikan hal yang sama pada beberapa acara.


Memahami Hukum Pers

si Pemberantasan Korupsi) yang di ujung tanduk “diganyang” tiga pilar lainnya, tapi akhirnya selamat karena sorotan pers. Walaupun berada di luar sistem politik formal, menurut Mahfud, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik, dan sekaligus menjadi alat kontrol sosial.Karena itu, kebebasan pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara. Terkait pentingnya kebebasan pers dalam menciptakan dan menjaga demokrasi, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ko Annan mengatakan bahwa media massa dunia kini berperan utama dalam memajukan kebebasan dan pertukaran informasi dan gagasan dalam skala global. Kebebasan itu, katanya, merupakan syarat utama bagi demokratisasi, pembangunan, dan perdamaian. Bahkan kebebasan informasi merupakan investasi melawan –dan mencegah lahirnya kembali—tirani.2 Di Indonesia, meski pers menjadi “pilar harapan” demokrasi, pilar itu tetap menjadi pilar yang tak senantiasa dapat terlindungi dengan kuat, dengan kualitas yang konstan. Sebagaimana sebuah pilar dari demokrasi di sebuah negara yang harus diperjuangkan terus-menerus, pers juga memiliki lawannya sendiri. 2

Wawancara The World Association of Newspapers dengan Ko Annan (Surosi, 2001).

2 |158


Pendahuluan

Pers memiliki lawan eksternal dan internal yang terus mengancam kebebasannya. Baik kasus per kasus, maupun melalui sebuah sistem (sistemik!) yang cukup masif seperti kekuatan rezim dengan regulasinya. Baik melalui kekerasan ď€ sik (penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap jurnalis), maupun nonď€ sik melalui regulasi, kebijakan, dan tindakan baik eksternal maupun internal. Salah satu ancaman nonď€ sik internal dewasa ini adalah permodalan. Ancaman ini semakin nyata ketika pers nasional benar-benar menjadi produk industri yang mengutamakan kekuatan modal. Mahfud MD, misalnya, juga menyorot hal ini. Menurutnya, sejumlah pemilik media sudah mulai mengancam kebebasan pers. Sebagai bukti ancaman itu, terjadi praktek yang lazim di sejumlah media bahwa pemilik modal bisa mencampuri kebijakan editorial di ruang redaksi. Padahal campur tangan tersebut bisa mempengaruhi pemberitaan.3 Terjunnya pemilik sejumlah media ke dunia politik dan menjadi pemimpin parpol seperti Aburizal Bakrie (bos grup Viva), Surya Paloh (grup Media), dan Hary Tanoesoedibjo (grup MNC) menjadi tantangan serius jurnalis (dan redaksi) yang bekerja di media-media koorporasi

3

Mahfud MD menyampaikan pendapatnya dalam beberapa acara, di antaranya pada diskusi panel Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) di Jakarta, Minggu 2 Desember 2012 (Tempo.co, Minggu, 2 Desember 2012).

3 |158


Memahami Hukum Pers

tersebut untuk bebas dari tekanan. 4 Dua kutipan Mahfud tentang pers Indonesia di atas adalah satu fragmen tentang perjalanan pers Indonesia dari era Kolonial hingga kini. Rentetan panjang peran pers ikut membangun tatanan masyarakat modern Indonesia, dari perjuangan menuju industri dengan diwarnai “pertempuran” terhadap berbagai rezim untuk akhirnya memancangkan “pilar kekuasaan” dalam demokrasi. Yang tak kalah menarik dari perjuangan kebebasan pers di Indonesia adalah kaitannya dengan hukum sebagai bagian utama dari jaminan bebebasan. Tumbuh dari tradisi pers Kolonial yang penuh pengekangan dari kekuasaan, pers Indonesia di era Kemerdekaan selalu dibayangi (bahkan mengalami) pengekangan kebebasan dengan terminologi yang menjadi momok: “bredel”. Kondisi ini mirip hukum pidana kita yang tak pernah lepas dari KUHP produk Kolonial Belanda, watak dan jiwa penguasanya juga tidak pernah sepenuhnya lepas dari pengaruh kolonial yang ingin berkuasa penuh tanpa kontrol kuat publik yang dominan diwakili pers, bahkan lebih. 4

Hary Tanoesoedibjo resmi bergabung dengan Partai NasDem dengan jabatan ketua dewan pakar pada 9 Oktober 2011. Pada 21 Januari 2013 ia resmi keluar dari NasDem karena perbedaan pendapat dengan Surya Paloh. Namun Hary mengatakan akan tetap melanjutkan kegiatan politiknya. Dalam jumpa pers di Jakarta, 27 Januari 2013 Hary mengatakan ada tiga pilihan yang akan dilakukannya: (1) mendirikan organisasi massa; (2) bergabung dengan partai politik yang sudah ada untuk Pemilu 2014, atau; (3) membentuk partai baru untuk Pemilu 2019 (Merdeka.com, “Tiga Langkah Politik Hary Tanoe”, Senin, 21 Januari 2013).

4 |158


Pendahuluan

Sebagai contoh, revisi KUHP melalui Rancangan KUHP yang kini sedang diproses pemerintah, alih-alih mengurangi atau menghapus jerat pidana pers (delik pers), justru bertambah hampir dua kali lipat. Kondisi lain, sekarang misalnya, kebebasan pers telah dijamin melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Namun kebebasan itu tidak terjamin 100 persen dari segi hukum. Dalam prakteknya, sejumlah jurnalis dan perusahaan media tetap diseret ke pengadilan dengan menggunakan aturan di luar undang-undang “lex specialis”5 ini, terutama KUHP produk Kolonial Belanda. Sejumlah undang-undang baru (dan rancangan undang-undang) juga muncul mengancam kebebasan pers. Undang-Undang Pers sendiri bahkan hampir tidak dipakai dalam kasus hukum yang berhubungan dengan pers, termasuk dalam kasus penganiayaan terhadap jurnalis dan penggerudukan kantor media. Setelah diberlakukan lebih 13 tahun, UU No.40/1999 Tetang Pers tidak pernah digunakan untuk menjerat pelaku penganiayaan, penggerudukan kantor media pers, bahkan pembunuhan jurnalis. Dipakainya UU No.40/1999 dalam 5

Lex specialis derogat legi generalisadalah salah satu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum (Hukumonline.com). Dalam kasus gugatan terhadap pers sejak UU No.40/1999 diberlakukanterjadi perbedaan penafsiran antara hakim dan jaksa tentang UU No.40/1999 sebagai “lex specialis”, namun dalam beberapa kasus Mahkamah Agung mengeluarkan vonis berdasakan UU No.40/1999 sebagai “lex specialis”.

5 |158


Memahami Hukum Pers

kasus penganiyaan yang dilakukan tiga anggota Batalyon Marinir Pertahanan Pangakalan II Teluk Bayur terhadap 7 jurnalis Padang di Pengadilan Militer I-03 Padang yang sidangnya dimulai Desember 2012 merupakan yang pertama di Indonesia.6 UU No. 40/1999 juga rawan “dikebiri” tiga pilar lain, terutama legislatif dan eksekutif. UU No. 40/1999 meski pada dasarnya menjamin kebebasan pers (dengan menghilangkan izin penerbitan, pembredelan terkait isi, kebebasan jurnalis untuk berorganisasi, dan dewan pers yang independen) merupakan “produk buru-buru” dan kurang melibatkan ahli hukum. Ia lahir dari kondisi “lebih baik buru-buru dan kurang sempurna tapi kebebasan pers terjamin daripada sebaliknya”. Ketua Dewan Pers Bagir Manan pada Pelatihan Keterangan Ahli Dewan Pers di Makassar, 11 Mei 2011 mengatakan, UU No.40/1999 memiliki banyak kelemahan, namun Dewan Pers enggan mengajukan perubahan karena khawatir UU Pers baru nanti akan lebih buruk, khususnya terkait kebebasan pers. “Saya khawatir dengan sistem perpolitikan saat ini sehingga UU Pers baru akan semakin mengekang kebebasan pers,” kata Bagir.7 Pada acara yang sama, pakar hukum pidana Universitas Hasanuddin Makassar, Dr. H. Andi Abu Ayyub Saleh, SH. MH menilai bahwa UU No.40/1999 memiliki lima 6 7

Pendampingan jurnalis dilakukan LBH Pers Padang. Gatra.com, “Bagir: UU Pers Banyak Kelemahan”, 11 Mei 2011.

6 |158


Pendahuluan

kekurangan utama yang perlu diperbaiki agar tidak membingungkan penegak hukum. Lima kekurangan yang harus diperbaiki itu adalah: (1) harus ada pemisahan yang tegas terkait mana yang masuk kategori delik pers dan mana yang bukan delik pers; (2) harus dipertegas keberadaan (materiil sphere) dari UU tersebut, apakah sebagai UU Tindak Pidana Umum atau Tindak Pidana Khusus, karena penanganannya akan berbeda; (3) Tidak jelas apakah pidana umum atau khusus, dan bisa dikategorikan sebagai UU administrasi saja, seperti UU Kepegawaian; (4) perlu dipertegas apakah delik pers itu adalah delik aduan atau delik umum (laporan delik) karena masa penuntutannya akan berbeda dan apakah dapat ditarik atau tidak, dan pertanggungjawaban pidananya harus dipertegas apakah perorangan atau korporasi, dan; (5) UU 40/1999 membuat diskriminasi dalam pemidanaan karena kalau orang nonpers yang melanggarnya maka hukumannya adalah kurungan dan denda (Pasal 18 Ayat 1), sedangkan orang pers hanya hukuman denda saja (Pasal 18 Ayat 2 dan 3).8 Celah kurang sempurna ini memberi peluang munculnya upaya revisi dari sejumlah pihak. Namun kalangan pers lebih memilih menunda karena kondisi legislatif dan eksekutif yang paling berwenang mengubah sebuah undang-undang masih rawan mengancam kebebasan. Salah satu ancaman itu muncul dari pendapat bahwa “pers Indonesia kebablasan” alias “terlalu bebas” sehing8

Erabaru.net, “Lima Kekurangan UU Pers”, Jumat, 13 Mei 2011.

7 |158


Memahami Hukum Pers

ga “(terlalu) tidak bertanggung jawab”. Artinya, ada pihak yang akan berupaya membuat pers di Indonesia “jangan terlalu bebas”. Dalam kondisi ini bisalah kita sebut bahwa jaminan kebebasan pers di Indonesia baru sebatas undang-undang yang gampang diubah sebaliknya, yaitu menjadi kurang bebas, bahkan tidak bebas. Ini berbeda dengan negara yang demokrasinya sudah mapan seperti Amerika Serikat. Dari segi hierarki perundangan, jaminan kebebasan pers di Amerika Serikat jauh lebih kuat. Di Amerika Serikat pers dijamin melalui undang-undang dasar (The First Amendment to the United States Constitution yang diratikasi pada 1791). Amandemen Pertama ini menjamin bahwa kongres dilarang (salah satunya) membuat regulasi yang membatasi kebebasan pers.9 Bandingkan dengan undang-undang dasar kita, yaitu UUD 1945 yang telah diamandemen. Melalui Pasal 28, Pasal 28E Ayat (2) dan (3), serta Pasal 28F pers tidak disebut secara khusus, tapi masuk dalam jaminan kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir. Kondisi seperti ini harus disadari kalangan pers, se9

Lilhat Quick, Amanda C, World Press Encyclopedia: a Survey of Press Systems Worldwide, Volume 2 N-Z, Second Edition,Gale, USA: 2003, halaman 1034. Amandemen pertama itu berbunyi: “Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or the press, or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for redress of grievances.”

8 |158


perti jurnalis, perusahaan pers, pemilik modal, dan bagian usaha. Kesadaran merupakan langkah awal dalam mempertahankan kebebasan pers. Di satu sisi, kalangan pers, terutama jurnalis yang notabene bertanggung jawab terhadap isi, mesti berjalan pada koridor etika profesional sehingga tidak dinilai “kebablasan�. Tindakan yang profesional (diukur dari penerapan Kode Etik Jurnalistik) juga akan menjauhkan suara minor publik terhadap pers. Kebebasan mesti dijalankan orang-orang yang beretika. Di sisi lain, kalangan pers juga harus tetap mampu bekerja profesional di tengah ancaman dari produk hukum lain. Setidaknya ada 36 pasal dari KUHP dan undang-undang di Indonesia yang bisa menjerat jurnalis dalam bekerja dan perusahaan media-nya. Seperti kata Sang Proklamator Dr. Mohammad Hatta, mendayung di antara dua karang, seorang jurnalis mesti bekerja profesional yang salah satu komponennya adalah beretika dan mempelajari ancaman tersebut dengan memahami hukum yang terkait dengan pers, agar selamat. Agar pers Indonesia tetap bebas dan Indonesia yang demokratis tetap terjaga.*

9 |158


10 |158


BAB II

Selintas Perjuangan Kebebasan Pers di Indonesia

D

ua bulan setelah Indonesia merdeka, pada Oktober 1945 tokoh kemerdekaan Amir Sjarifoeddin10 menegaskan betapa penting nya kemerdekaan pers di Indonesia. Ia mengatakan, “Pikiran masyarakat umum (public opinion) itulah sendi dasar Pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tidak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat, melainkan hanya mewakili pikiran dari beberapa

10

Amir Sjarifoeddin Harahap adalah Menteri Penerangan RI pertama (2 September 1945-12 Maret 1946). Ia juga pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia kedua (3 Juli 1947-29 Januari 1948), dan Menteri Pertahanan ketiga (14 November 1945-29 Januari 1948). Amir lahir di Medan, Sumatera Utara pada 27 April 1907, sebelum meninggal aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terlibat Peristiwa Madiun 1948 yang membuat ia ditangkap dan tewas ditembak Polisi Militer pada 19 Desember 1948.


Memahami Hukum Pers

orang berkuasa saja”.11 Namun dalam perjalanan republik ini, jaminan dan kondisi kebebasan pers tidak seperti yang dipikirkan Amir Sjarifuddin. Kebebasan pers justru penuh kekangan, setidaknya dua rezim yang lama berkuasa di Indonesia, Soekarno dan Soeharto, penuh “darah” pembredelan media pers. Watak rezim yang otoriter lebih memilih membungkam kemerdekaan pers dan mesti direbut melalui gerakan reformasi sipil pada 1998. Sejarah hukum pers di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh hukum pers zaman Kolonial Belanda. Meski semangat baru kebebasan berekpresi muncul setelah Indonesia merdeka yang dijamin melalui Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, juga melalui Pasal 19 ketika UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) 195012 berlaku, namun kehidupan pers secara hukum tetap tidak sepenuhnya bebas hingga terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Hantu yang paling mengancam kebebasan pers di Indonesia adalah “bredel” atau penghentian terbit. Kata “bredel” berasal dari aturan zaman Kolonial Belanda yang bernama Persbreidel-Ordonanntie. Persbreidel-Ordonanntie 11

Seperti disampaikan Atmakusumah Asraatmadja dalam dalam seminar “The Media and the Government in Search of Solution” yang diadakan UNESCO di Jakarta, 23-24 Maret 1999. Dikutip dari UNESCO, Media dan Pemerintah: Mencari Jalan Keluar, Jakarta: 1999 halaman 5. 12

Pasal 19 UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) 1950 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengemukakan pendapat”.

12 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

ditetapkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 7 September 1931 melalui Staatsblad 1931 Nomor 394 dan Staatsblad 193 Nomor 44 yang tujuan utamanya memberangus pers pergerakan yang anti kolonial dengan alasan “mengganggu ketertiban umum”.

Era Orde Lama Pada awal kemerdekaan pers menjadi mitra bagi pemerintah dalam mencari kebenaran, mempertahankan kemerdekaan, dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah. Secara struktural, pers Indonesia tumbuh dengan baik, setiap warga negara dapat menerbitkan surat kabar tanpa adanya batasan, perizinan, dan semacamnya dari penguasa. Sebagaimana dikutip oleh Smith dalam Sullivian (1967), “Pada tahun 1948 Indonesia menerbitkan 45 surat kabar dengan oplah 227 ribu sehari. Ditempat yang tidak ada surat kabar, orang Indonesia menerbitkan surat kabar stensilan”13. Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia yang diterbitkan SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) mencatat, pada era revolusi sik tersebut di beberapa daerah terbit beberapa surat kabar Indonesia. Di Jawa terbit beberapa surat kabar, seperti Berita Indonesia, Mimbar Oemoem, Sinar Deli, Berjuang, Islam 13

Smith, Edward C, 1986, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia (Terjemahan), Jakarta, Pustaka Grati, Hal: 73

13 |158


Memahami Hukum Pers

Berjuang,. Di Sumatera Tengah (Sumatera Barat, Riau dan Jambi), terbit Berjuang, Oetoesan Soematera, Pedoman Kita, Detik, Kedaulatan Rakyat dan Tjahaya Padang. Di Palembang terbit surat kabar Warta Berita, dan Soeara Rakyat. Di Medan terbit Soeloeh Merdeka. Sedangkan di Jakarta, terbit surat kabar Merdeka, Rakyat, dan Soeara Oemoem. Di Bandung terbit Pewarta Oemoem, di Jogyakarta terbit beberapa surat kabar seperti Kedaulatan Rakyat, Soeara Merdeka, Suara Rakyat dan di Semarang Sinar Baru. Untuk konsumsi tentara Inggris/India dan kalangan yang berbahasa Inggris dan Belanda, diterbitkan mingguan Free Indonesia yang dipimpin Abdul Madjid dan penerbitan berkala Vrijjheidyang disebarkan cuma-cuma di Medan. Pada 9 Februari 1946 lahir organisasi wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pada awal menempatkan posisi sebagai organisasi kejuangan bersama dengan organisasi lainnya. Pada masa tersebut, NKRI (Negara Kesatuan Repubik Indonesia) yang berusia muda mengintervensi –bahkan mensubordinatkan– organisasi wartawan PWI, tetapi untuk satu tujuan; kemerdekaan.14 Menurut Hanif Hoesin, kondisi diatas tidak berarti pemerintah mengekang kebebasan pers. Ketika Belanda kembali ke Indonesia dengan peme14

Togi Simanjuntak, 1995, Wartawan Terpasung-intervensi Negara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta, Hal: 15

14 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

rintahan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) yang membonceng tentara Sekutu, kehidupan pers Indonesia mengalami tekanan dari Sekutu dan NICA. Saat itu pers Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai pers perjuangan yang fokus mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah. Dampaknya, 19 April 1946 di Jakarta Polisi NICA melakukan penggerebekan terhadap berita APB (Arabian Press Board) yang kemudian berubah menjadi Asian Press Board. Pemimpin APB, Dza Shahab ditangkap dan APB dilarang menyiarkan berita apapun terutama mengenai gerakan-gerakan TNI. Wartawan “republiken�(pendukung Republik Indonesia) yang bekerja di daerah pendudukan diintimidasi dan digeledah dengan dalih kolaborasi. Di Surabaya wartawan yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda menyingkir ke pedalaman dan disana mereka meneruskan perjuangan membela republik. Di Medan tekanan terhadap pers dilakukan Sekutu dengan membredel Pewarta Deli, memenjarakan wartawan A.O Lubis dan Rahmat pimpinan percetakan Syarikat Tapanoeli. Redaksi Mimbar Oemoem A.Wahab ditahan dan alat-alat radionya di-beslagoleh Inggris. Demikian pula halnya percetakan Soeloeh Merdekadisita Inggris pada 4 Juli 1946. Di Sumatera Tengah, percetakan Oetoesan Soematra dihancurkan Sekutu hingga penerbitan terhenti akhir 1946. Saat Agresi Belanda I, Tjahaya Padang berhenti terbit karena pimpinan dan karyawannya ditawan Belanda ber-

15 |158


Memahami Hukum Pers

samaan dengan ditembak mati Wali Kota Padang Bagindo Azis Chan sebagai pendiri Tjahaya Padang. Sedangkan di Palembang, kantor surat kabar Obor Rakjat menjadi sasaran penembakan Belanda. Kondisi pers pada era ini tidak dapat dikatakan sebagai berada dalam sistem pers otoritarian, karena meski berada dalam keadaan berbagai bentuk tekanan oleh pemerintah Belanda, pers telah menempatkan diri sebagai pers perjuangan. Pada 1 Januari 1950 Indonesia memberlakukan UUD RIS hasil dari Konferensi Meja Bundar. Berdasarkan konstitusi Indonesia terpecah menjadi beberapa negara federal dan kondisi pers masih berada dalam tekanan. Walaupun dalam konstitusi(UUD RIS/ Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat) sudah ada jaminan untuk kemerdekaan pers.15 Namun pada saat itu belum ada undangundang sebagai pelaksana dari pasal yang ada di dalam konstitusi tersebut. Sedangkan pasal-pasal karet “hatzaai artikelen� KUHP dan Presbreidel-ordonantie 1931 masih tetap berlaku. Dalam batas-batas hukum tersebut, pers Indonesia masih tetap melakukan fungsinya, namun tidak lagi semata-mata mengobarkan semangat perjuangan, tetapi sudah melaksanakan fungsi kontrol sosial terhadap kekuasaan. UUD RIS yang hanya berlaku satu tahun kemudian di15

Pasal 7 UUD RIS berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.�

16 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

ganti dengan UUD Sementara dengan Sistem Pemerintahan Parlementer yang liberal, mengadopsi sistem pemerintahan negara-negara Anglo Saxon. Perkembangan kebebasan pers pada era ini dapat dikatakan dalam masa yang sangat baik, termasuk perkembangan ď€ sik. Pada 1950 – 1953, surat kabar berkembang menjadi 75 penerbitan dengan oplah 630.000 eksemplar. Pada saat ini mulai terbit surat kabar partai politik dan surat kabar partisan. Satu tonggak sejarah bagi kebebasan pers pada era Kabinet Parlementer ini adalah dicabutnya Presbreidelordonantie – 1931 dengan UU No. 23 Tahun 1954, karena bertentangan dengan pasal 19 juncto Pasal 33 UUD Sementara RI. Pers sebagai lembaga kontrol sosialyang legal terhadap kekuasan amat berfungsi dalam menjaga penguasa agar tidak menyalahgunakan atau melanggar batasbatas kekuasaan. Pada 14 Maret 1957 Presiden Soekarno mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya (SOB) yang berlaku seluruh Indonesia, sehubungan dengan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perdjuangan Rakjat Semesta) di Sulawesi. Sistem pemerintahan menjadi demokrasi terpimpin yang menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter. Kedudukan serta fungsi pers diarahkan penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi Terpimpin dan suara-suara pers yang bernada melawan harus dibungkam. Berbagai batasan dilakukan penguasa terhadap ke-

17 |158


Memahami Hukum Pers

merdekaan pers, termasuk diantaranya melakukan sensor atas informasi ke luar negeri. Jack Russel, koresponden United Press dikecam penguasa, karena United Press mengkritik Soekarno sebagai pimpinan. Selama 1957 terjadi peningkatan signikan terhadap tindakan anti pers oleh penguasa, tercatat 125 kali tindakan pembatasan kebebasan pers. Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya Mochtar Lubis dipenjara selama sembilan tahun hampir terus-menerus karena disangka terlibat “Komplotan Zulkii Lubis”. Pada 1 Oktober 1958 Penguasa Perang Daerah Djakarta Jaya (Peperda Jaya) mengeluarkan ketentuan bahwa seluruh penerbitan surat kabar dan majalah wajib mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Walaupun surat kabar dapat terbit, akan tetapi harus mengikuti kehendak penguasa dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas. “Sejak 1 Oktober 1958 sejarah pers Indonesia memasuki periode hitam,” kata Muchtar Lubis sebagaimana dikutip Smith16. Hal serupa diikuti Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) melalui melalui Peraturan Peperti No.10/1960 Tentang Izin Penerbitan Surat kabar dan Majalah. Peraturan yang beralaku seluruh Indonesia ini mewajibkan penerbitan pers memiliki Surat Izin Terbit. Pada 1960 secara resmi Menteri Peneranganmelegalisasi ke16

Smith, Edward C, 1986, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia (Terjemahan), Pustaka Grati, Jakarta, Hal. 178.

18 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

tentuan tentang SIT dan untuk mendapatkan SIT semua penerbitan harus menandatangani persetujuan atas 19 pasal pernyataan. Pernyataan tersebut adalah janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan majalah yang berupa ancaman seandainya mereka diberi SIT. Hal ini dilakukan oleh penguasa untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi17. Janji penerbit ini selanjutnya merupakan senjata bagi penguasa dalam melakukan pembredelan pers yang tidak sepaham dengan kekuasaan. Beberapa suratkabar yang dicabut SIT-nya oleh Menpen sebagai konsekuensi dari ‘janji’ tersebut antara lain: Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star Weekly. Sedangkan Harian Abadi menghentikan penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani 19 persyaratan tersebut.

Era Orde Baru Pada awal Orde Baru menjanjikan kemerdekaan pers dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Dalam konsiderannya menyebutkan bahwa pers harus mencerminkan kehidupan demokrasi, dengan demikian berbagai ketentuan pers yang bertentangan akhirnya dicabut, salah satu17

Togi Simanjuntak, 1995, Wartawan Terpasung-Intervensi Negara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta, Hal. 22.

19 |158


Memahami Hukum Pers

nya adalah mencabut Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1963 Tanggal 15 Mei 1963 Tentang Pembinaan Pers yang mewajibkan Idzin Terbit untuk setiap penerbitan surat kabar dan majalah (Idzin Terbit diatur oleh Menteri Penerangan). Namun ternyata kenyataanya tidak demikian, Satrio Saptohadi menyebutkan UU tersebut tidak lebih dari cek kosong dan tetap membelenggu kemerdekaan pers. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 memang memberikan kemerdekaan terhadap pers, hal itu dapat ditemukan dalam Pasal 4 berbunyi, “Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan�, namun untuk penerbitan pers harus memiliki surat izin terbit.18 Pada masa Orde Baru tingkat perekonomian mulai membaik dan membawa konsekuensi meningkatnya tindakan korupsi dikalangan pemerintah. Kejadian-kejadian tersebut menjadi lahan bagi kalangan pers Indonesia untuk melakukan fungsi sosial kontrol�. Salah satu fenomenal adalah dibongkarnya kasus korupsi Pertamina oleh surat kabar Indonesia Raya pimpinan Muchtar Lubis. Beberapa masalah yang disorot pers adalah:Menguatnya posisi militer dalam pemerintaan, perbedaan sosial yang semakin jauh, perkembangan ekonomi dan keadilan sosial, masalah korupsi, dan campur tangan pemerintah yang terlalu jauh terhadap masalah kemasyarakatan, dan hubungan

18

Lihat ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966.

20 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

keluarga presiden dengan beberapa pengusaha besar.19 Keberanian pers membongkar masalah seputar Pemerintahan Soeharto, korupsi, dan masalah sosial membuat pemerintah memperketat aturan pers. Pada 1970 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1970 Pemerintahmempertegas keberadaan Dewan Pers yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No.5Tahun 1967 sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No.11 Tahun 1966. Salah satuwewenang Dewan Pers adalah “Memberi pertimbangan kepada Badan/Instansi Pemerintahlainnya mengenai kebijakan penindakan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar UUNo.11 Tahun 1966”. Keluarnya ketentuan ini mengarah kepada upaya penguasa untuk mereduksi kebebasan persyang dinilai penguasa “terlalu bebas”. Hal ini selanjutnya menjadikontrovesial dalam implementasi kebebasan pers di Indonesia, karena saran danpertimbangan Dewan Pers digunakan penguasa sebagai justikasi terhadap berbagai tindakan yang dilakukan dalam menekan kebebasan pers di Indonesia, walaupun dilakukan denganmengingkari Pasal 4 Undang-Undang No.11 Tahun1966 dan Pasal 28 UUD 1945. Meski ada undang-undang yang menjamin pers, namun pembredelan media tetap saja terjadi. Aturan hanya berganti baju, namun substansinya tetap saja menindas kemerdekaan pers jika memuat tulisan yang dianggap meng19

Togi Sumanjuntak, , 1995, Wartawan Terpasung-intervensi Negara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta, Hal: 77

21 |158


Memahami Hukum Pers

hina Kepala Negara dan keluarga. Surat Ijin Terbit media dicabut dan pemimpin redaksinya dituntut ke pengadilan. Setahun kemudian, 1973, harian Sinar Harapan dilarang terbit selama seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.20 Pada 1974 meledaklah peristiwa Malari dan dijadikan salah satu justiď€ kasi oleh rezim Soeharto untuk membredel 12 surat kabar dengan pencabutan Surat Izin Terbit sekaligus Surat Izin Cetak oleh Pelaksanaan Chusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban (Laksus Pamkopkamtib). Media yang dibredel di antaranya: Nusantara, Kami, Indonesia Raya, The Jakarta Times,Wenang, Pemuda Indonesia, Pedoman, dan majalah mingguan Ekspres (Jakarta), harian Suluh Berita (Surabaya), Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang). Pembredelan berlanjut pada 1978 dimana tujuh surat kabar di Jakarta dibekukan izinnya untuk sementara waktu oleh pemerintah, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore karena memuat berita mengenai aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai Presiden. Pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu setelah menerbitkan berita peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jur20

Soebagijo I.N, 1977, Sejarah Pers Indonesia, Dewan Pers, Jakarta, Hal: 181

22 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

nal Ekuin dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi “off the record”. Pada Januari 1984 majalah Expo juga dibredel setelah menerbitkan tulisan “Seratus Milyader Indonesia”. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”. Pada 14 Februari 1984 akibat menulis editorial “Mencari Golongan Miskin” dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul “Eben Menemui Pak Harto”,majalah Topik akhirnya dibredel. Bulan Mei 1984 majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial. Pada 9 Oktober 1986 harian Sinar Harapan dilarang terbit. Menteri Penerangan era Harmoko kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/PER/ MENPEN/1984 Tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers pada 31 Oktober 1984. Peraturan ini mewajibkan penerbitkan pers mengantongi SIUPP dan SIUPP tersebut dapat dibatalkan sewaktu-waktu Era SIUPP memperpanjang daftar pemberedelan dengan korban di antaranya harian Prioritas (koran milik Surya Paloh yang kemudian berganti nama menjadi harian Media Indonesia), tabloid Monitor (setelah diprotes kalangan Islam akibat menurunkan hasil jajak pendapat yang

23 |158


Memahami Hukum Pers

menempatkan Nabi Muhammad tokoh tidak begitu popular), majalah Senang, hingga terakhir pada 21 Juni 1994 Pemerintah membredel majalah Tempo, Editor, dan tabloid DeTIK. Selain melakukan pembredelan terhadap media, Pemerintah Soeharto berhasil merumuskan sistem pers yang baru yang disebut dengan Pers Pancasila dengan konsep pers pembangunan yang secara resmi dirumuskan dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo. Rumusan tersebut berbunyi: “Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.� Berbagai upaya pembatasan yang dilakukan pemerintahdan ABRI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan dwi fungsinya yang juga berwenang mengurus sipil selain militer, menciptakan ketakutan wartawan un-

24 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

tuk menulis, bahkan era ini dikenal dengan “budaya telepon”. Budaya telepon untuk mencegah wartawan menulis laporan tertentu yang tidak disukai oleh pemerintah. Selain itu budaya kunjungan ke media juga mulai lazim digunakan oleh kalangan militer dan pemerintah untuk memberikan informasi penting dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk penyensoran ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eumistis (memperhalus) untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin “pintar” untuk melakukan sensor sendiri (self censorship) dan umumnya memuat “talkingnews” atau berita kutipan ucapan penjabat. Bahkan Kantor Berita Antara menambah unsur berita 5W + 1H menjadi +S (What, Who, Where, When, Why + How + Security). Unsur S ini tentu saja tidak dikenal di negara maju pencipta 5W+1H.21 Di era rezim Soeharto, pers Indonesia juga mulai beralih dari “pers perjuangan” menjadi “pers industri dan mencicipi buah keuntungan nansial. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan keuntungan besar dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan nansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya 21

Rumus berita ala Antara ini disampaikan Kepala Biro Antara Palembang pada Pelatihan Penerbitan Kampus Tingkat Pengelola Wilayah A (se-Sumatra dan DKI-Jaya) di Universitas Sriwijaya, Palembang, 4-7 April 1994.

25 |158


Memahami Hukum Pers

yang menjadi prioritas pers Indonesia adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita. Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagi pers dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiap waktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers, apalagi waktu itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteria untuk mendapat SIUPP tidak jelas dan menjadi rahasia umum, kalangan yang dekat dengan kekuasaan sajalah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehingga muncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikan pers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan) pada akhir 1980-an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertas perizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melalui sistem lisensi inilah negara (pemerintah) menguasai “ruang publik�, bukan saja media massa harus mendapat izin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuan publik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat izin. Upaya-upaya untuk mematikan kemerdekaan pers juga dilakukan dengan cara memangkas demokrasi secara luas, salah satunya adalah dengan melakukan penetapan wadah tunggal organisasi wartawan dan penerbit pers, untuk organisasi wartawan yang dikukuhkan adalah PWI dan untuk penerbit pers adalah SPS. Upaya-upaya pembungkaman pun dilakukan dengan memberikan bantuan dan dukungan fasilitas kepada media, namun dengan menetap-

26 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

kan beberapa persyaratan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:(1) Media tidak boleh menyinggung keluarga Suharto; (2) Media tidak boleh menyinggungDwi Fungsi ABRI; dan (3) Media tidak boleh menulis hal-hal yang berkaitan dengan masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Di era Soeharto, setidaknya dapat disimpulkan kondisi pers saat itu sangat tidak merdeka. Ada tiga faktor penghambat, yaitu: adanya sistem perizinan (SIUPP) terhadap pers, adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan, dan adanya praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Terkait dengan organisasi wartawan di Indonesia, sejak zaman Indonesia berdiri hingga pemerintahan Soeharto, Indonesia hanya mengenal satu organisasi yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Negara terkadang menggunakan PWI untuk merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkan hak, melindungi, dan meningkatkan profesinya. . Pemerintahan Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadap pers melalui tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran dan pembredelan. Namun kontrol yang paling efektif justru dilakukan oleh orang pers sendiri, melalui Dewan Pers dan PWI. Kondisi yang menarik untuk dicermati sebagai bentuk perlawanan pers terhadap kekuatan pemerintah adalah pada 21 Juni 1994, ratusan wartawan bergabung dengan ma27 |158


Memahami Hukum Pers

hasiswa dan aktivis NGO melakukan demonstrasi setelah pemerintah melakukan pembredelan terhadap tiga media terkemuka Indonesia, yaitu Tempo, Editor, dan DeTIK. Sebagai satu-satunya organisasi wartawan, ternyata PWI tidak memprotes tindakan pembredelan itu dan malah “bisa memahami� tindakan yang diambil oleh rezim saat itu. Tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh PWI beberapa wartawan dan kolomnis pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan terbentuknya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai sikap “penolakan terhadap wadah tunggal profesi wartawan� dan organisasi alternatif bagi wartawan. Sebagai organisasi alternatif AJI akhirnya menerbitkan media alternatif tanpa SIUPP, majalah Independen, sebagai bentuk penolakan keras terhadap politik perizinan Orde Soeharto. Selain Independen mucul banyak media alternatif tanpa SIUPP sebagai bentuk penyebaran informasi, seperti Kabar dari Pijar, media kampus dan buletin terbitan NGO. Salah satu laporan investigatif Independen yang mendapat reaksi besar adalah Edisi 10 yang terbit menjelang Hari Pers Nasional 1995 yang isinya mengungkap kepemilikan saham-saham Menteri Penerangan (Harmoko) dan keluarganya dibeberapa media.

Era Reformasi Tumbangnya rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada tuntutan perubahan 28 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

yang fundamental. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu tuntutan yang berembus sangat kuat, termasuk penjaminan kemerdekaan pers. Pada awal pemerintahan Kabinet Reformasi, Menteri Penerangan Yunus Yosď€ ah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang membuka peluang kemerdekaan dan kebebasan pers dengan mencabut berbagai macam ketentuan rezim penindasan terhadap kebebasan pers, diantaranya; (1) Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP); (2) SK. Menpen No.214A/Kep/ Menpen/1984 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan; (3) mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan. Periode Mei 1998 – Agustus 1999 pemerintah mengeluarkan lebih kurang 1.600 SIUPP, dibandingkan era Soeharto yang selama 32 tahun menjabat hanya mengeluarkan 241 perizinan. Wilayah penerbitan perspun tidak hanya berada di pusat, tetapi meluas hingga kabupaten dan kota di Indonesia. Upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan pers dilakukan hingga mendesak MPR untuk mengeluarkan ketetapan yang menjamin kemerdekaan pers. Pada 13 November 1998 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang mencantumkan pasal-pasal mengenai hak kemerdekaan menyatakan pikiran, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, serta hak atas kebebasan informasi, termasuk hak “mencari, memperoleh, memiliki, 29 |158


Memahami Hukum Pers

menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal 42 TAP MPR tersebut menegaskan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tersebut “dijamin dan dilindungi” serta perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia itu adalah “tanggung jawab Pemerintah”. Berikutnya, 23 November 1998 sekumpulan wartawan dan penyokong kebebasan pers, antara lain Rosihan Anwar, Atmakusumah, S.Leo Batubara, hakim Benjamin Mangkudilaga, dan aktivis LSM membentuk Komite Kebebasan Pers dengan misi memperjuangkan jaminan dan perlindungan atas kebebasan pers. Perjuangan untuk mendapatkan “pengakuan” kemerdekaan pers akhirnya berhasil dengan disahkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers pada 23 September 1999. Dengan lahirnya undang-undang tersebut sistem lisensi atau izin penerbitan pers dihapus dan Dewan Pers sepenuhnya bebas dari dominasi dan intervensi pemerintah. Dalam UU Pers tersebut dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4) dan terhadap pers nasional tidak lagi diadakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran (Pasal 4 Ayat (2). Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak agar wartawan dapat melindungi sumber informasi dengan cara

30 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

menolak menyebutkan identitas sumber informasi, kecuali Hak Tolak gugur apabila demi kepentingan dan ketertiban umum, keselamatan negara yang dinyatakan oleh pengadilan. Kebebasan pers yang diperjuangkan begitu lama dan berakhir dengan adanya pengakuan secara resmi oleh pemerintah melalui undang-undang juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme.Banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornogras). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat diseret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konrmasi atau wawancara kepada tiga gur tersebut. Pada akhirnya kebebasan pers banyak dikecam publik sebagai “kebablasan” dan tidak menghargai etika pers, terutama tabloid-tabloid yang baru muncul. Sebagai reaksi atas kebablasan itu muncul jurnal pengawas media (media wacht). Pada saat itu Indonesia belum mempunyai lem-

31 |158


Memahami Hukum Pers

baga yang mampu pengawasi etika pers dan Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol tidak bisa berfungsi karena kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersama— yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999. Dalam Bab V Pasal 15UU No. 40/1999 Tentang Pers, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers baru yang beranggotakan wakilwakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan 9 (sembilan) nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003 yang disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keppres Nomor 96/M Tahun 2000. Dewan Pers tersebut terdiri dari: unsur wartawan Goenawan Mohamad, R.H. Siregar, S.H., dan 32 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

Atang Ruswita; unsur perusahaan pers Drs. Jakob Oetama, Surya Paloh, H. Azkarmin Zaini (dari kalangan televisi), dan Zainal Abidin Suryokusumo (dari kalangan radio); unsur masyarakat, yaitu pakar di bidangnya, Atmakusumah Astraatmadja dan Benjamin Mangkoedilaga, S.H. Dewan Pers diketuai oleh Atmakusumah Astraatmadja dengan wakil ketua R.H. Siregar. Dengan kelahiran Undang-Undang yang pro terhadap kemerdekaan pers tidak berarti pers di Indonesia memang bebas dalam melakukan kegiatan jurnalismenya, budaya pembredelan dan tekanan pemerintah mulai beralih tekanan massa dan mengkriminalkan pers serta gugatan terhadap pers. Sampai April 1999 terdapat setidaknya 47 kasus intimidasi dan kekerasan ď€ sik terhadap wartawan. Dan selama 2004 setidaknya tercatat 5 (lima) kasus delik pers (tuntutan melalui jalur hukum), yaitu: 1. Pimpinan Redaksi Harian Rakyat Merdeka divonis lima bulan dengan 10 bulan masa percobaan dengan tuduhan mencemarkan nama baik dan melanggar Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 310 ayat (1) KUHP (9 September 2003). 2. Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan dengan tuduhan melanggar Pasal 137 Ayat (1) KUHP tentang penyebarluasan penghinaan terhadap Presiden (27 Oktober 2003). 3. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menolak gugatan Hazmi Tholib terhadap enam media 33 |158


Memahami Hukum Pers

dan dua orang tergugat dari DPRD Jawa Barat. Penolakan disebabkan penggugat tidak memakai UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sebelum mengajukan gugatan (5 Mei 2004). 4. Sebanyak 44 mantan anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999 – 2004 yang diduga melakukan korupsi Rp9,8 miliar melaporkan harian Suara Merdeka ke polisi karena dianggap menď€ tnah dan diusulkan untuk dijerat dengan Pasal 310 Ayat (1) dan Ayat (2), jo Pasal 311 Ayat (1) KUHP (28 Agustus 2004). 5. Pada 6 September 2004 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus gugatan Tommy Winata terhadap Pimpinan Redaksi dan dua orang wartawan Majalah Tempo, pembacaan vonis ditunda sampai dengan 16 September 2004. Dalam kasus ini muncul kontroversi dalam penerapan hukum, jaksa menuntut dengan Pasal 310 KUHP, sedangkan pembela menginginkan digunakan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

34 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

Perjalanan Produk Hukum yang Mengatur Pers di Indonesia Sejak Zaman Kolonial PersbreidelOrdonanntie (1931)

Persbreidel-Ordonanntie (Peraturan dalam Staatsblad 1931 Nr 394) Ditetapkan: Gubernur Jenderal Hindia Belanda 7 September 1931. Isi: Aturan yang memberi kekuasaan kepada Badan Eksekutif (Gouverneur-Generaal) untuk melarang dicetak, dikeluarkan dan disebarkan surat-kabar dan majalah, jikau dianggapnya mengganggu ketertiban dan keamanan umum. Penanggung jawab redaksi tidak diberi kesempatan untuk membela diri melalui pengadilan.

Pencabutan PersbreidelOrdonanntie (1954)

Undang-Undang Pencabutan “Persbreidel-Ordonanntie (UU No.23 Tahun 1954) Ditetapkan: Presiden RI Sukarno, 12 Juli 1954. Isi: Pencabutan Ordonnantie 7 September 1931 (Staatsblad 1931 No. 394 jo. Staatsblad 1932 No. 44, “Persbreidel Irdonnantie�) Alasan pencabutan: Karena tidak sesuai dengan dasar negara RI, yaitu negara demokrasi yang bercorak negarahukum dan Pasal 19 UUD Sementara yang tegas dan penuh mengakui kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dari setiap orang.

Wajib SIT di DKI Jaya (1958)

Pada 1 Oktober 1958 semua surat kabar dan majalah harus didaftarkan kepada Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya (Peperda Jaya) untuk memperoleh Surat Izin Terbit (SIT).

Wajib SIT seluruh Indonesia (1960)

Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) No.10/1960 Tentang Izin Penerbitan Surat Kabar dan Majalah.

Wajib SIT oleh Menteri Penerangan (1960)

Peraturan Menteri Penerangan RI No. 03/1969 Tentang Surat Izin Terbit (SIT). Untuk mendapatkan SIT semua penerbitan harus menandatangani persetujuan atas 19 pasal pernyataan.

35 |158


Memahami Hukum Pers

Bisa “Diamankan” Melalui Penpres Pengamanan Barang Cetakan (1963)

Wajib Izin Terbit Melalui Perpres (1963)

Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 Tentang Pengamanan Terhadap BarangBarang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum pada 23 April 1963. Bertujuan mengamankan jalannya revolusi, member kewenangan pada Menteri Jaksa Agung melarang beredarnya barang cetakan (termasuk surat kabar harian, majalah, dan penerbitan berkala) yang dianggap mengganggu ketertiban umum.

Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1963 Tanggal 15 Mei 1963 Tentang Pembinaan Pers. Pasal 6 mewajibkan surat kabar dan majalah mendapatkan Izin Terbit dan larangan bagi yang tidak memiliki.

Surat Izin Cetak oleh Laksus Kopkamtib (1965-1977)

Penerbitan pers membutuhkan izin ganda, selain pemerintah juga pihak militer dengan diberlakukannya Surat Izin Cetak (SIC) sejak Oktober 1965yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib (Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan dan Ketertiban). SIC diwajibkan setelah pecah Gerakan 30 September 1965.Jika sebuah penerbitan bermasalah, SIC-nya bisa dicabut yang mengakibatkan SIT-nya juga akan dicabut pemerintah. Aturan SIC dihentikan pada 3 Mei 1977.

Wajib Membela Pancasila Melalui UU Ketentuan Pokok Pers (1966)

Presiden Sukarno mengeluarkan UU No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers 12 Desember 1966. Pada Pasal 4 ditegaskan “Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan.” Mengatur pembentukan Dewan Pers, namun diketuai oleh Menteri Penerangan. Juga pada Pasal 12 menyebutkan, jika dianggap perlu, Pemerintah memberikan bantuan kepada Pers Nasional berupa fasilitas-fasilitas untuk terjaminnya kehidupan dan penghidupan pers. Undang-Undang ini juga menegaskan “Tidak diperlukan Surat izin Terbit” [Pasal 8 Ayat (2)]

36 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

Pencabutan Penpres Pengamanan Barang Cetakan (1967)

Kembali Mengharuskan Surat Izin Terbit (1969) PWI dan SPS Organisasi Tunggal Dikukuhkan Pemerintah (1975) Peraturan Menpen Tentang SIUPP (1984)

Undang-Undang Pemberlakuan SIUPP (1982)

Presiden Sukarno mengesahkan UU No. 4 Tahun 1967 Tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers pada 6 Mei 1967. UU ini berisi pencabutan Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum, khususnya mengenai bulletin-bulletin, surat-surat kabar harian, majalahmajalah dan penerbitan-penerbitan berkala. Peraturan Menteri Penerangan No. 03/PER/Menpen/1969 yang mengharuskan SIT (Surat Izin Terbit). Ini bertentangann dengan UU No. 11/1966 yang menegaskan tidak diperlukan SIT. Menteri Penerangan RI Mashuri SH mengeluarkan Surat Keputusan No. 47/KEP/MENPEN/1975 Tentang pengukuhan PWI dan SPS sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia.

Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang KetentuanKetentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SK. Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP. Presiden Soeharto mengeluarkan UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1967 pada 20 September 1982. Angka 13 Ayat (5) UU ini mengatur “Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.�

37 |158


Memahami Hukum Pers

Pengurangan Syarat SIUPP dan Penghapusan PWI Sebagai Organisasi Tunggal (1998)

Menteri Penerangan Junus Yosď€ ah mengeluarkan Permenpen No. 1 Tahun 1998 yang mencabut Permenpen No.01/ Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan SK. Menpen No.214A/ Kep/Menpen/1984 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, pada 6 Juni 1998. Ia merevisi dari 16 syarat menjadi 3 syarat dengan proses singkat 2-3 hari dan tanpa mengenal pembatalan SIUPP. Yosď€ ah juga mencabut Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 47 Tahun 1975 yang menetapkan Persatuan Wartawan Indonesia sebagai satu-satunya organisasi bagi wartawan di Indonesia yang diakui oleh pemerintah.

Lahirnya UU Pers (23 September 1999)

Pemerintah BJ Habibie menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers pada 23 September 1999. Undang-Undang ini menegaskan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran dan wartawan bebas memilih organisasi wartawan, serta pembentukan Dewan Pers independen. UU ini mencabut UU No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang mengatur SIUPP.

Departemen Penerangan Dibubarkan (26 Oktober 1999)

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membubarkan Departemen Penerangan melalui Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999. Ini tonggak kemerdekaan pers di Indonesia karena sejak pemerintahan terbentuk Departemen Penerangan selalu berperan sebagai pengatur pers. sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Memaknai Kebebasan Pers Dalam Bahasa Inggris kebebasan pers disebut dengan freedom of the press yang diartikan sebagai hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, pencetakan, dan penerbit-

38 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

kan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Kebebasan pers merupakan perwujudan dari kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebesan untuk menceritakan suatu peristiwa. Atau kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan pikiran dengan cara menyampaikan suatu informasi kepada massa dalam semua kondisi. Kode Etik Jurnalistik mendeď€ nisikan kebebasan pers sebagai kebebasan seseorang untuk menulis apa yang dia mau dan menyebarluaskannya melalui koran, buku, atau media cetak lain, untuk dikonsumsi secara umum. Jika mengikuti pendapat Karl Kraus maka kebebasan perstidak boleh dibatasi oleh wilayah kekuasaan Negara. Pers bebas melintasi batas kedaulatan Negara tanpa hambatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sistem hukum. Di Indonesia selain diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, kemerdekaan pers juga telah menjadi Hak Asasi Manusia yang diakui dan diatur dalam konstitusi22 Jika mengikuti pola pikir Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, maka kemerdekaan ataukebebasan 22

Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang�. Pasal 28F UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia�

39 |158


Memahami Hukum Pers

pers merupakan hak asasi warga negara yang merupakan perwujudandari kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Selain itu kemerdekaan pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena itu kebebasan pers menjadi salah satu alat ukur untuk melihat kualitas demokrasi. Dalam menjalankan kebebasan pers bukan berarti tanpa batas. Keberadaan Undang-Undang Pers menjadi salah satu rambu-rambu bagi pelaksanaan kemerdekaan pers itu sendiri.Selain itu lapisan kedua dari batasan kebebasan pers itu adalah Kode Etik Jurnalistik. Dengan demikian jelaslah sebenarnya batasan dalam memaknai kemerdekaan atau kebebasan pers di Indonesia. Pelaksanaan kebebasan perspun tidak dapat dipisahkan dari tanggungjawab pers kepada masyarakat. Untuk mempertegas tanggung jawab pers tersebut pada 1949 Commission on the Freedom of the Press yang diketuai Robert Hutchins mengajukan lima persyaratan, yaitu:23 1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna; 2. Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertu23

Jhon C. Merril, 1997, Journalism Ethics-Philosophical Doundations for News Media, St. Marthin’s Press, New York, dalam Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2005, Jurnalistik, Teori dan Praktik. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 20-21

40 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

karan komentar dan kritik; 3. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat; 4. Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuantujuan dan nilai-nilai masyarakat; 5. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat. Terkait dengan kebebasan pers, Freedom House telah merumuskan konsep kebebasan pers dengan menggunakan standar Article 19 of Universal Declarationsof Human Rigths:“Everyone has the rights to freedom of opinion and expression; this rughts includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive, and impart information and ideas through any media regardless of frontiers�.Tingkat kebebasan pers pada setiap negara dapat dikategotikan atas tiga hal, yaitu; 1. Lingkungan hukum, berkaitan dengan peraturan yang dapat mempengaruhi pemberitaan media massa seperti kecenderungan pemerintah yang menggunakan hukum dan lembanga-lembaga hukum untuk membatasi media; 2. Lingkungan politik, tingkat kontrol politik pada pemberitaan media massa. Termasuk dalam katerori ini adalah independensi editorial media milik swasta dan milik pemerintah, akses terhadap informasi be41 |158


Memahami Hukum Pers

serta narasumbernya, lembaga sensor dan atau intimidasi terhadap wartawan oleh negara atau orang lain, termasuk penahanan sewenang-wenang dan acaman lainnya; 3. Lingkungan ekonomi, termasuk stuktur pemilikan media, transparansi, konsentrasi, kepemilikan, biaya untuk mengembangkan media seperti biaya produksi, distribusi, pemotongan pajak iklan, atau subsidi dari pemerintah atau swasta, dampak korupsi dan penyuapan, dan tingkat situasi ekonomi dari satu negara yang mempengaruhi perkembangan media. Berdasarkan kategori yang dibuat oleh Freedom House diatas terlihat bahwa sistem media di suatu Negara mencerminkan sistem pemerintahan yang dianut. Di Indonesia misalnya, sistem pemerintahan mengalami perubahan juga mengakibatkan perubahan dalam kebebasan pers. Pada saat sistem pemerintahan dalam keadaan mapan, penguasa akan mereduksi bahkanmenghilangkan kebebasan pers secara struktural. Pembatasan kebebasan pers dilakukan penguasa melalui berbagai cara, termasuk dengan berbagai peraturan perundangan. Hal initerjadi pada era Demokrasi Terpimpin oleh rezim Orde Lama dan 20 tahun menjelangreformasi oleh rezim Orde Baru. Pada kedua era ini, pers Indonesia terkungkung dalampaham “Otoritarian�. Kebebasan pers yang terjadi pada era Reformasi adalah kebebasan struktural seiring denganperubahan sistem pemer42 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

intahan. Perubahan sistem pemerintahan tersebut sedikit banyaknyadipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini cenderung menganutpaham “Liberiarian”. Menurut Reporters Without Borders (RWB)24, indeks kebebasan pers di Indonesia menurun pada 2011 menjadi 146 dari 179 negara. Sebelumnya pada 2010 Indonesia menempati posisi rangking 117 dan pada 2009 di rangking 100. Penurunan itu terjadi karena tindakan tentara di Papua Barat yang menyebabkan dua wartawan terbunuh dan terjadi penyerangan terhadap wartawan sebanyak 18 kali. Inilah alasan utama terjadinya penurunan peringkat indeks kebebasan pers di Indonesia.

Kekerasan dan Kriminalisasi Pers Masih Terjadi Walaupun jaminan kemerdekaan terhadap pers sudah diberikan oleh konstitusi dan undang-undang, namun ternyata tindakan kekerasan, kriminalisasi, gugatan hukum, penyensoran, intimidasi, perusakan alat-alat peliputan masih saja terjadi. Jaminan yang diberikan oleh un-

24

Adalah organisasi non pemerintah internasional yang melakukan penelitian mengenai dan mendukung kebebasan pers. Walaupun kecil, RWB telah diakui karena sering menerbitkan laporan mengenai kebebasan pers. RWB menyatakan bahwa mereka terilhami oleh Article 19 dari Universal Declaration of Human Rights 1948, yang mengatakan bahwa semua orang memiliki “hak kebebasan berpendapat dan berekspresi” dan juga hak untuk “mencari, menerima, dan memberikan” informasi dan ide “tanpa batas”. Hal ini telah ditegaskan oleh beberapa perjanjian dan deklarasi di seluruh dunia.

43 |158


Memahami Hukum Pers

dang-undang tidak diikuti oleh tindakan kongkret oleh negara (pemerintah dan aparat penegak hukum). Dari data yang dirilis oleh AJI Indonesia sejak 2006 sampai 2012 menjadi bukti bahwa ancaman terhadap kemerdekaan pers masih saja terjadi. Selama kurun 2006 sampai 2012 tercatat terjadi 385 kasus kekerasan terhadap pers di Indonesia. Tindakan kekerasan tersebut beragam, mulai dari yang dilakukan aparat pemerintah, aparat penegak hukum, ormas, sampai oleh masyarakat sipil. Mirisnya, dari berbagai kejadian yang mengancam kemerdekaan pers, terlihat negara cenderung diam dan tidak bertindak. Namun dibalik itu bentuk perlawan oleh wartawan, organisasi wartawan, dan masyarakat peduli pers sudah kembali menguat, hal ini dapat dilihat dari semakin gencarnya aksi-aksi solidaritas yang dilakukan atas tindakan kekerasan yang dialami oleh wartawan di daerah lain. Sebagai contoh, kasus kekerasan terhadap wartawan di Padang yang dilakukan oleh anggota marinir pada 29 Mei 2012 ketika melakukan peliputan pembongkaran kafe “mesum� di kelurahan Gates, Bungus. Sehari setelahnya terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan mulai dari Aceh sampai Indonesia Bagian Timur dan bahkan aksi itu dilakukan beberapa hari, hingga akhirnya 11 orang anggota marinir ditahan oleh POM AL Padang dan empat orang diantaranya disidangkan di Peradilan Militer I-03 Padang dengan menggunakan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Dengan solidaritas pekerjapers yang sudah 44 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

mulai terbangun cukup baik, maka akan menjadi modal untuk memperjuangkan kemerdekaan pers yang sebenarnya. Berdasarkan data yang dirilis oleh AJI Indonesia tindakan kekerasan berupa penyerangan secara ď€ sik menempati urutan teratas, jika diakumulasikan sejak 2006 sampai dengan 2012, setidaknya terdapat 148 kasus. Kategori kekedua terbanyak yaitu intimidasi dan teror terhadap wartawan dengan 67 kasus, selanjutnya kategori pengusiran saat melakukan peliputan sebanyak 49 kasus. Kasus penyensoran pun walau sudah dilarang oleh undangundang, ternyata sejak 2006 sampai dengan 2012 tercatat sebanyak 22 kasus. Kategori selanjutnya yang cukup banyak terjadi adalah gugatan hukum terhadap media massa dengan jumlah 31 kasus.

Kasus Kekerasan dan Kriminalisasi Terhadap Pers 2006-2012 No 1 2

KASUS/KATEGORI1 Pembunuhan Pengusiran dan larangan meliput

JUMLAH KASUS PERTAHUN 2008 2009 2010 2011

2006

2007

2012

1

1

-

1

2

1

-

2

12

9

4

7

8

7

3

Sensor

4

5

3

2

3

3

12

4

Serangan ď€ sik (Penganiayaan dan Pemukulan)

29

26

21

20

17

17

18

5

Serangan peretas web

-

-

-

-

-

-

1

45 |158


Memahami Hukum Pers

6

Perusakan dan perampasan alat peliputan

-

-

-

-

2

3

10

7

Ancaman/ intimidasi dan teror

6

12

18

-

6

10

15

8

Demonstrasi dan pengerahan massa

-

-

1

3

2

2

3

9

Perusakan kantor

-

-

-

4

2

-

10

Ditemukan tewas secara misterius

-

-

-

-

3

-

-

11

Tuntutan dan gugatan hukum

7

9

6

7

-

2

-

12

Penyanderaan dan penculikan

1

-

1

2

-

1

-

13

Pelecehan

3

6

-

1

-

-

-

14

Penjara

1

4

-

-

-

-

-

54

75

59

40 52 49 56 sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Jumlah kasus

Tidak kalah penting untuk diperhatikan ke depan adalah ancaman dari aturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah. Khususnya KUHPidana dengan banyak pasal karet dan pasal yang mengancam kemerdekaan pers, KUHPerdata, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Intelijen, dan RUU Keamanan Nasional. Karena satuhal yang harus diingat bahwa sampai saat ini aparat penegak hukum lebih 46 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

memilih untuk “menyingkirkan� Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dalam memproses laporan terkait dengan delik Pers.

47 |158


Memahami Hukum Pers

48 |158


BAB III

Pers dan Aturan yang Mengancam

M

eski pengekangan pers berakhir di era Reformasi dengan berlakunya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menjamin kebebasan menerbitkan media pers dan penghapusan bredel, namun ancaman kriminalisasi pers tetap berlanjut karena sejumlah produk hukum, terutama KUHP (Kitab UndangUndang Hukup Pidana) masih bisa dipakai untuk menyeret pekerja pers, terutama jurnalis, ke meja hijau. Sejumlah produk hukum baru dan rancangan undang-undang juga mengancam pers. Para pekerja pers bisa terkena delik pers. Delik pers dapat dideď€ nisikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaarfeit) yang dilakukan dengan atau menggunakan pers. Dengan kata lain, delik pers dapat diartikan sebagai perbuatan pidana, baik kejahatan ataupun pelanggaran


Memahami Hukum Pers

yang dilakukan dengan atau menggunakan pers.25 Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media pers, seperti individu, perusahaan, dan kelompok, langsung menuntut penanggung jawab media bersangkutan secara hukum. Jurnalis yang menulis berita dan pemimpin redaksi yang bertanggung jawab bisa divonis penjara, bahkan perusahaan pers-nya bisa didenda dengan nilai yang dapat membangkrutkan. Pasal-pasal dalam KUHP yang merupakan produk peninggalan Kolonial Belanda selalu digunakan dalam menuntut jurnalis dan medianya. Belakangan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (terkenal sebagai UU ITE) berpotensi mengancam karena media pers sudah umum menggunakan media online (situs berita). Pada 14 Maret 2006, Dewan Pers mencatat setidaknya 18 undang-undang dan 6 rancangan undang-undang berpotensi menghambat atau mengekang kebebasan pers. Januari 2013 ini tiga rancangan sudah disahkan menjadi undang-undang, yaitu UU Intelejen Negara, UU Keterbukaan Informasi Publik, dan UU Pornogra. 26 Berikut produk hukum penting yang mengancam dan 25

R. Soebijakto, Delik Pers: Suatu Pengantar, Jakarta: IND-Hill, 1990, halaman 1 seperti dikutip dari Eriyanto dan Anggara, Kebebasan Pers dalam Rancangan KUHP, AJI dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta: 2007 halaman 3. 26

“Penguatan Peran Dewan Pers” dalam buku Prol Dewan Pers 2007-2010, Dewan Pers, Jakarta: November 2008 halaman 27.

50 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

dapat menjerat jurnalis dan media secara hukum:

• KUHP (sebanyak 36 pasal).27 • Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Pera• • • • • • • • •

turan Hukum Pidana (Pasal XIV dan Pasal XV). KUHPerdata. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Undang Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornogra. Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara. Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konik Sosial. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

27

Lihat Departemen Penerangan RI, Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Jakarta: 1998 (Cetakan Ketiga) dan Hinca IP Pandjaitan, Delik Hukum, KUHP & Peraturan yang Mengancam Kebebasan Pers, Makalah Workshop Advokasi dan Perlindungan Terhadap Jurnalis SEAPA di Hotel Santika, Jakarta, 27-30 April 2001. Direktur Eksekutif LBH Pers Jakarta Hendrayana menyebutkan lebih banyak, yaitu 61 pasal yang mengancam kebebasan pers dalam KUHP. Pernyataan Hendrayana dikutip dari berita Republika.co.id, “61 Pasal KUHP Dinilai Mengancam Kebebasan Pers”, Kamis, 18 Februari 2010.

51 |158


Memahami Hukum Pers

• Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian beberapa rancangan undang-undang hingga Januari 2013 yang dapat menjerat jurnalis dan media:

• Rancangan KUHP • Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional • Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara Ancaman KUHP KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) adalah hukum produk Kolonial Belanda yang menjadi pegangan utama para penegak hukum di Indonesia hingga kini. KUHP mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan secara resmi di Indonesia melalui Titah Raja (Koninklijk Besluit Nomor 33) pada 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan 1 Januari 1918. Ada 36 pasal dalam KUHP yang bisa mempidanakan pers, menjadikan seorang jurnalis seperti seorang kriminal yang divonis hukuman penjara dan denda. Pasal-pasal tersebut dijabarkan melalui tabel berikut:28

28

Sebagian tabel diambil dari Lukas Luwarso dan Solahudin, Menghindari Jerat Hukum, Panduan untuk Wartawan, SEAPA, Jakarta: 2003, halaman 61, 64, dan 67 dan sebagian lain disarikan dari KUHP. Untuk kalimat pasal yang lebih lengkap dan jelas disarankan untuk membaca langsung KUHP.

52 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

Tabel Pasal-Pasal Pembocoran Rahasia Negara dan Hankam Negara dalam KUHP Pasal

Ringkasan Isi Pasal

Ancaman Pidana Maksimal

112

Mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keteranganketerangannya yang diketahui harus dirahasiakan untuk kepentingan negara atau sengaja memberitahukan atau memberikan kepada negara asing

7 tahun

113 Ayat (1)

Mengumumkan, memberitahukan, atau menyerahkan kepada orang tak berwenang mengetahui, surat, peta, rencana, gambar atau benda bersifat rahasia dan bersangkutan dengan pertahanan keamanan Indonesia terhadap serangan dari luar, yang ada padanya atau diketahui olehnya

4 tahun

113 Ayat (2)

Jika surat-surat atau bendabenda ada pada yang bersalah, atau pengetahuannya tentang iyu karena pencariannya

Pidana dapat ditambah sepertiga dari Ayat (1) sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Tabel Pasal-Pasal Penghinaan Terhadap Pejabat dalam KUHP Pasal

Ringkasan Isi Pasal

Ancaman Pidana Maksimal

134

Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden

6 tahun atau denda paling banyak Rp4.500

53 |158


Memahami Hukum Pers

137

Menyiarkan, mempertontonkan atau menempel tulisan atau gambar yang menghina presiden dan wakil presiden

1 tahun 4 bulan atau denda Rp4.500

142

Menghina raja atau kepala negara sahabat

5 tahun atau denda Rp4.500

143

Menghina dengan sengaja pejabat wakil negara asing

5 tahun atau denda Rp4.500

144

207

208

Menyiarkan, mempertontonkan atau menempel tulisan atau gambar yang menghina raja atau kepala negara sahabat Menghina dengan lisan atau tulisan kekuasaan yang ada Menyiarkan, mempertontonkan atau menempel tulisan atau gambar yang menghina kekuasaan

9 bulan atau denda Rp4.500

1 tahun 6 bulan

4 bulan atau denda Rp4.500 sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Tabel Pasal-Pasal Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum dalam KUHP Pasal

Ringkasan Isi Pasal

Ancaman Pidana Maksimal

154

Menyatakan permusuhan, kebencian kepada pemerintah

7 tahun atau denda Rp4.500

155

Menyiarkan, mempertontonkan, menempelkan materi yang melawan pemerintah

4 tahun atau denda Rp4.500

156

Menyatakan permusuhan di muka umum, atau menyebarkan kebencian pada golongan, suku, agama

5 tahun

54 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

157

Menyiarkan, mempertontonkan, menempelkan surat atau gambar yang isinya menyatakan permusuhan, kebencian, penghinaan golongan, suku, agama

2 tahun 6 bulan atau denda Rp4.500

160

Di depan umum lisan maupun tulisan melawan kekuasaan umum atau tak menuruti undang-undang

6 tahun atau denda Rp4.500

161

Menyiarkan, mempertontonkan, menempelkan surat atau gambar yang isinya menyatakan melawan penguasa umum atau tak menuruti undang-undang

4 tahun atau denda Rp4.500

sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Tabel Pasal-Pasal Penawaran Tindak Pidana dalam KUHP Pasal

Ringkasan Isi Pasal

Ancaman Pidana Maksimal

162

Di muka umum dengan lisan dan tulisan menawarkan memberikan keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana

9 bulan atau denda Rp4.500

163 Ayat (1)

Menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penawaran untuk member keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana dengan maksud supaya penawaran itu diketahui umum

4 bulan 2 minggu atau denda Rp4.500

55 |158


Memahami Hukum Pers

Tabel Pasal-Pasal Pelanggaran Asusila dalam KUHP Pasal

282 Ayat (1)

282 Ayat (2)

Ancaman Pidana Maksimal

Ringkasan Isi Pasal Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempel di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya Jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar, atau benda itu melanggar kesusilaan

1 tahun 6 bulan atau denda Rp6.500

9 bulan atau denda Rp4.500

2 tahun 8 bulan atau denda Rp75.000 sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Kalau yang bersalah dalam ayat (1) sebagai pencarian atau kebiasaan

Tabel Pasal-Pasal Penghinaan Umum dalam KUHP Pasal

Ringkasan Isi Pasal

Ancaman Pidana Maksimal

310 ayat 1

Merusak kehormatan atau nama baik seseorang

9 bulan atau denda Rp4.500

310 ayat 2

Merusak kehormatan atau nama baik seseorang melalui tulisan atau gambar

1 tahun 4 bulan atau denda Rp4.500

311

Fitnah dengan tulisan dan tak mampu membuktikan

4 tahun

315

Mengghina lewat tulisan di depan umum, atau di hadapan orangnya, atau mengirimkan tulisan di depan orang yang dinista

4 bulan 2 minggu atau denda Rp4.500

56 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

316

Khusus penghinaan terhadap pegawai negeri

Ditambah 1/3 dari hukuman yang di atas

320

Menista orang sudah mati

4 bulan 2 minggu atau denda Rp4.500

321

Menyiarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan, atau gambar orang yang sudah mati

1 bulan 2 minggu atau denda Rp4.500

sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Tabel Pasal-Pasal Pelanggaran Hak Ingkar dalam KUHP Pasal

Ringkasan Isi Pasal

Ancaman Pidana Maksimal

Pasal 322 Ayat (1)

Sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik sekarang maupun dahulu

9 bulan atau denda Rp9.000

sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Tabel Pasal-Pasal Penadahan Penerbitan dan Percetakan dalam KUHP Ancaman Pidana Maksimal

Pasal

Ringkasan Isi Pasal

483 dan 484

Menerbitkan suatu tulisan atau suatu gambar yang karena sifatnya dapat diancam dengan pidana

Penjara 1 tahun 4 bulan atau kurungan 1 tahun atau denda Rp4.500 sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

57 |158


Memahami Hukum Pers

Tabel Pasal-Pasal Pengulangan Kejahatan dalam KUHP Pasal

488

Ringkasan Isi Pasal

Ancaman Pidana Maksimal

Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484 jika yang bersalah ketika Dapat ditambah sepmelakukan kejahatan belum lewat 5 ertiga tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara. sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Tabel Pasal-Pasal Pelanggaran Ketertiban Umum dalam KUHP Pasal

Ringkasan Isi Pasal

Ancaman Pidana Maksimal

519 bis

(1) Mengumumkan isi apa yang ditangkap lewat pesawat radio yang dipakai olehnya atau di bawah pengurusnya, yang sepatutnya diduganya tidak untuk dia atau diumumkan maupun diberitahukan kepada orang lain. (2) Mengumumkan berita yang ditangkap lewat pesawat penerima radio, jika ia sendiri, maupun orang dari mana berita itu diterimanya, tidak berwenang untuk itu.

Kurungan 3 bulan atau Rp15.000

58 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

533

Mempertunjukkan, menempelkan memperdengarkan di tempat untuk lalulintas umum dengan terang-terangan, menawarkan kepada anak di bawah 17 tahun, tulisan dan gambar mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja, atau memperdengarkan tulisan, menawarkan suami, menawarkan kepada anak di bawah 17 tahun.

Kurungan 2 bulan atau denda Rp3.000

535

Terang-terangan mempertunjukkan sarana untuk menggugurkan kandungan atau menyiarkan tulisan

Kurungan 3 bulan atau denda Rp4.500

sumber: Hasil Riset AJI Indonesia

Pasal-pasal dalam KUHP sudah banyak digunakan untuk menjerat wartawan di pengadilan, terutama menyangkut pencemaran nama baik, penghinaan, kabar bohong, ď€ tnah, dan pornograď€ . Beberapa contoh kasus29: (1)

Kasus Indonesia Raya: Pada Agustus 1945 Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya (Jakarta) Mochtar Lubis dipenjara 9 tahun atas artikelnya tentang korupsi yang merajalela di lingkungan pejabat pemerintah. Mochtar didakwa dengan Pasal 154 (perasaan bermusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah) dan pasal 207 (menghina penguasa atau badan umum) KUHP.

29

Sebagian besar contoh diambil dari Abdul Manan (ed), Pencemaran Nama Baik di Asia Tenggara, AJI Indonesia, Jakarta: 2008.

59 |158


Memahami Hukum Pers

(2)

(3)

(4)

60 |158

Meski Mochtar dibebaskan Hakim Abdul Razak Malelo, namun ia tetap ditahan Polisi Militer yang menunggu di luar pengadilan. Kasus Rakyat Merdeka: Redaktur harian Rakyat Merdeka (Jakarta) Supratman dihukum 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan (17 Oktober 2003). Ia divonis bersalah dalam kasus penghinaan dengan memuat foto Ketua umum Partai Golkar Akbar Tandjung. Sebelumnya Supratman juga dihukum percobaan 6 bulan dalam kasus lain, penghinaan terhadap Presiden Megawati Soekarno Putri atas berita berjudul “Mulut Mega Bau Solar!” pada Februari 2003. Kasus Radar Djogja: Mahkamah Agung pada 13 Januari 2006 menghukum Pemimpin Redaksi harian Radar Djogja (Yogyakarta), Risan Bima Wijaya, 6 bulan penjara (ia dipenjara sejak 10 Desember 2007). Laporan berita edisi Mei hingga Oktober 2002 dianggap oleh penerbit harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Soemadi Martono Wonohito telah memtnah dirinya. Kasus Tempo Vs Tomy Winata: Bermula dari majalah Tempo memuat laporan kebakaran pasar Tanah Abang, Jakarta dengan judul “Ada Tomy di Tenabang?” Tomy, pengusaha dan bos Arta Graha, menganggap berita itu tnah dengan menyebutnya sebagai “pemulung besar” dan orang di balik kebakaran Pasar Tanah Abang. Tak han-


Pers dan Aturan yang Mengancam

ya sejumlah anak buahnya menggeruduk kantor Tempo, Tomy juga menggugat Tempo dengan dua kasus pidana dan sekaligus empat perdata dengan tersangka Pemimpin Redaksi Tempo Bambang Harymurti dan jurnalis yang terlibat dalam proses berita, Iskandar Ali dan Ahmad Tauk pada 2004. Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta memvonis ketiga jurnalis Tempo bersalah dengan hanya Bambang sebagai penanggung jawab divonis 1 tahun penjara. Namun Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung membebaskan Tempo.

Ancaman dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 dan pasal 15 juga sering digunakan mempidanakan jurnalis atas alasan “menyiarkan berita bohong”, “menerbitkan keonaran”, “kabar tidak pasti, dan “kabar berlebihan”. Seringkali pasal-pasal Peraturan Hukum Pidana digunakan seiring dengan KUHP, misalnya dalam kasus Tempo versus Tomy Winata terhadap berita “Ada Tomy di Tenabang?”

Ancaman dalam KUHPerdata Pasal-pasal KUHPerdata juga sering digunakan pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan pers. Ada beberapa pasal mengatur penghinaan yang dapat menjerat pekerja pers dalam KUHPerdata, yaitu Pasal 1365, 1366, dan Pasal 1372 -1380. 61 |158


Memahami Hukum Pers

Beberapa kasus pers yang digugat perdata: (1)

(2)

(3)

(4)

Harian Koran Tempo dan Majalah Tempo pada 2003 digugat pengusaha Marimutu Sinivasan bersama 18 perusahaanya yang tergabung dalam Grup Texmaco atas sejumlah berita yang dinilai bertujuan melakukan pembunuhan karakter. Majalah Tempo selain digugat pidana juga digugat secara perdata oleh Tomy Winata atas berita berjudul “Ada Tomy di Tenabang” pada 2003. Tomy Winata juga menggugat perdata PT Tempo Inti Media Tbk dan wartawan Tempo Ahmad Tauk atas selebaran kronologis “penyerbuan” pendukung Tomy Winata ke kantor Tempo yang dituduh menghina karena kronologis tersebut juga dimuat detikcom pada Juli 2003. Tomy Winata juga menggugat redaktur senior Tempo Goenawan Mohamad atas kutipan ucapannya di Koran Tempo 12 Maret 2003, “….Ini untuk menjaga agar Republik Indonesia jangan sampai jatuh ke tangan preman”.30 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA

Pasal 14 (1) Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, 30

Dikutip dari Edi Susanto, dkk, Hukum Pers di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: 2010.

62 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun. (2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun. Pasal 15 Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.

Ancaman dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Sejak diberlakukan pada 21 April 2008 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah mengantarkan sejumlah orang sebagai tersangka dan divonis bersalah, yang terkenal adalah kasus surat elektronik Prita Mulyasari yang mengeritik layanan Rumah Sakit Omni Internasional. Prita, seorang ibu rumah tangga di Jakarta akhirnya divonis Mahkamah Agung dengan hukuman 6 bulan penjara dengan 1 tahun masa percobaan pada 30 Juni 2011. Kasus Prita menimbulkan simpati publik dengan pengumpulan koin untuk Prita dari seluruh Indonesia. Kasus lain yang dijerat dengan UU ITE adalah penyanyi Ariel Peterpan dalam kasus penyebaran video pornonya dengan artis Luna Maya dan Alexander Aan (Alex), 63 |158


Memahami Hukum Pers

seorang pegawai muda di Badan Perencaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Dharmasraya juga dihukum Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung dan Pengadilan Tinggi Padang dalam kasus penghinaan terhadap Agama Islam melalui Facebook. Alex yang terkenal dengan “kasus Ateis� divonis Pengadilan Negeri Muaro 2,5 tahun penjara dan denda Rp 100juta pada 14 Juni 2012. Pengadilan Tinggi Padang kemudian memperkuat putusan Pengadilan Negeri dalam sidang banding pada 8 Agustus 2012. Pengacaranya Alexander mengajukan kasasi dan kini (Januari 2013) kasusnya di tangan Mahkamah Agung. UU ITE menjerat melalui Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 28. Denda untuk pelanggaran Pasal 27 dan Pasal 28 adalah penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar. Pasal 27 menjerat atas pelanggaran kesusilaan, penghinaan dan pencemaran nama baik. Sedangkan Pasal 28 menjerat tentang berita bohong yang merugikan dalam transaksi elektronik, dan tindakan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sejak menjadi Rancangan, UU ITE sudah diprotes kalangan pers (termasuk Dewan Pers) sebagai peraturan yang mengancam kebebasan pers. Media pers yang berkembang ke arah media online dengan menjamurnya media pers online dan media cetak yang juga disiarkan melalui situs web

64 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

dikhawatirkan akan ikut terjerat kedua pasal ini. AJI Indonesia, misalnya, menilai Pasal 27 UU ITE berpotensi menghancurkan kebebasan pers, khususnya media online. Ketua Dewan Pers Profesor Ichlasul Amal dalam acara silaturahmi dengan kalangan media pers di Palembang, 18 April 2008 mengkhawatirkan pemberlakukan UU ITE bisa membatasi kebebasan pers. Undang-undang tersebut dapat dipergunakan aparat hukum untuk menjerat wartawan, bahkan dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar, serta wartawan dapat langsung ditahan.31 Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring membantah UU ITE mengancam kebebasan pers dengan mengatakan bahwa pers tidak bisa “dibredel” karena harus ada etika dan tidak boleh memtnah orang.32 Meski pengadilan belum pernah memvonis jurnalis dan media dengan UU ITE, namun beberapa berita menyampaikan pihak yang dirugikan oleh pemberitaan media online mengancam akan menjerat jurnalis dengan undang-undang tersebut. Misalnya Pemuda Pancasila di Bo31

Harian Sriwijaya Pos, “Jangan Semena-mena Jerat Pers”. Penulis mendapatkan berita ini dari sebuah blog yang menyebut sumbernya dari Harian Sripo, namun tidak berhasil mengecek ke sumber aslinya. 32

Berita Detikcom memuat wawancara dengan Tifatul Sembiring pada berita berjudul “Bahagia Prita Bebas: Menkominfo Bantah UU ITE Ancam Kebebasan Pers”, Selasa, 29 Desember 2009 Pukul 14:44 WIB. Namun pada berita ini istilah “bredel” kurang tepat, karena paling tepat “dikriminal” atau “kriminalisasi pers” sehingga apakah UU ITE bisa digunakan untuk pers (dan jurnalis) tidak terjawab.

65 |158


Memahami Hukum Pers

gor melaporkan harian Radar Bogor ke polisi atas dugaan pelanggaran UU ITE atas pencemaran nama baik lewat berita berjudul “Dunia Kecam PP� pada 11 Oktober 2012. Pada vonis Alexander Aan di Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung, 14 Juni 2012, Ketua Majelis Hakim Eka Prasetya Budi Dharma menyebutkan bahwa salah satu tindakan Alexander Aan dinyatakan bersalah melanggar Pasal 28 Ayat (2) UU ITE adalah karena Alexander bukan wartawan. Pendapat hakim ini menyimpulkan bahwa jika Alexander adalah seorang wartawan maka perbuatannya tidak dapat dikenai UU ITE. Tetapi ini pendapat seorang hakim yang tidak memberikan jaminan dalam setiap kasus bahwa jurnalis dan media pers tidak masuk dalam jeratan UU ITE ketika tidak ada ketentuan hukum dalam hal ini. Dalam diskusi tentang UU ITE yang diselenggarakan Dewan Pers di Jakarta, 7 April 2008, Atmakusumah Astraatmadja menilai pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan (Pasal 27 dan Pasal 28) tersebut mengingatkan pada haatzai artikelen di KUHP, pasal-pasal karet produk kolonial, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, perancang UU ITE tidak mengikuti perkembangan hukum internasional. Sedikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran, dari hukum pidana menjadi hukum perdata. 66 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

Beberapa negara bahkan menghapus sama sekali ketentuan hukum penyebaran kebencian dan penghinaan karena dianggap sulit dibuktikan atau sangat subyektif. Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE juga berpotensi mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronika (di internet), terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian. Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat polisi dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, yang dianggap melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam UU ITE. Dalam acara yang sama, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika Edmon Makarim menilai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak dapat dikenakan untuk pers, karenaUU ITE sama sekali tidak menyinggung atau menyebutkan pers, selain itu pers telah dilindungi UU Pers. Namun, pernyataan tersebut disangsikan kalangan pers, mengingat aparat hukum cenderung mengabaikan UU Pers.33 Kementerian Komunikasi dan Informatika memprioritaskan akan merevisi UU ITE pada 2013. Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo Gatot S Dewa Broto menyebutkan bahwa revisi terutama pada pasal 27 ayat 2 tentang pencemaran nama baik dan pidana 6 tahun de33

Siaran Pers Dewan Pers, “Ancam Kemerdekaan Pers, UU ITE Perlu Direvisi�, Senin 7 April 2008 pukul 11:34:38 (www.dewanpers.or.id).

67 |158


Memahami Hukum Pers

ngan denda Rp1 miliar yang dinilai sebagian kalangan terlalu berat. Denda ini juga terlalu berat dibanding ancaman KUHP dalam pidana sama (pencemaran nama baik) dengan ancaman hanya 9 bulan penjara.34

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Yang Mengancam Pers BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG Pasal 27 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal 28 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 34

Kompas.com, “Kemenkominfo Prioritaskan Revisi UU ITE Tahun Ini�, Rabu, 16 Januari 2013, Pukul 11.53 WIB.

68 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ancaman dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Meski menjamin kebebasan pers, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers masih mengandung sejumlah pasal yang dapat menghambat, atau setidaknya mengganggu, kebebasan pers. Atmakusumah mencontohkan, ada pasal-pasal yang dapat mengakibatkan konsekuensi hukum yang merugikan kebebasan pers, padahal pasal-pasal itu diambil dari ketentuan normative dalam kode etik jurnalistik yang lazimnya “hanya” menimbulkan konsekuensi moral.35 Pidana terhadap pengelola pers dan jurnalis dalam UU Pers terdapat pada Pasal 5, pasal 9, Pasal 12, dan Pa35

Atmakusumah, “Hukum dan Dewan Pers untuk Menyelesaikan Konik Pemberitaan”, dalam Maskun Iskandar dan Atmakusumah, Panduan Jurnalistik Praktis, Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta: Desember 2006 halaman 135.

69 |158


Memahami Hukum Pers

sal 13. Pasal 5 ayat (1) “mengancam� jika pers nasional tidak menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, atau ayat (2) tidak melayani hak jawab, maka dapat dipidana denda maksimal Rp500 juta. Denda yang sama juga berlaku untuk Pasal 13; jika perusahaan iklan memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Selain itu, jika memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, serta memuat peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 jika tidak diikuti bisa mempidanakan pemilik perusahaan pers dengan denda maksimal Rp 100juta. Itu jika perusahaan tersebut tidak berbentuk badan hukum Indonesia, atau tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Ancaman dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Berbeda dengan pers cetak, pers elektronik (televisi dan radio) diatur khusus melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Undang-undang ini dinilai

70 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

cukup menjamin kebebasan pers, namun memiliki 7 pasal ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar untuk radio dan 5 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar untuk penyiaran televisi. Untuk beberapa pasal lainnya dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp500 juta untuk penyiaran radio dan penjara 2 tahun dan Rp5 miliar untuk televisi. Sedangkan khusus pelanggaran Pasal 46 ayat (10), “Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan� dapat dipidana denda Rp200 juta untuk radio dan Rp2 miliar untuk televisi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 5 1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. 2. Pers wajib melayani Hak Jawab. 3. Pers wajib melayani Hak Tolak. BAB IV PERUSAHAAN PERS Pasal 9 1. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. 2. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia Pasal 12 Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

71 |158


Memahami Hukum Pers

Pasal 13 Perusahaan iklan dilarang memuat iklan : a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 18 1. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). 2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).

Ancaman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 Tentang Pornografi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pornogra ketika menjadi rancangan diprotes sejumlah kalangan karena mengabaikan kebhinnekaan Indonesia dengan membuat sebuah undang-undang yang mengeneralisasi batasan yang disebut “pornogra”. Pada masyarakat tradisional Papua, Bali, dan Mentawai, misalnya perempuannya biasa tidak memakai penutup dada. Sejumlah patung dan relif kelamin dan senggama yang dibuat pra Islam juga terdapat di Indonesia, misalnya patung kelamin di Candi Cetho (sekarang ditutup) di Karanganyar dan patung-patung tua yang telanjang di Nias. Bagaimana dengan gambar-gambar perempuan tak berpenutup dada yang dipotret Zaman Kolonial. 72 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

Bagaimana pers Indonesia memuat foto-foto tersebut? Bagaimana pula dengan foto-foto dan video para artis luar negeri yang setengah telanjang, pertunjukan Miss Universe, dan acara fashion show. Bagaimana memberitakan, tulisan apalagi foto dan video, seni pertunjukan, seni lukis, dan seni patung yang telanjang, setengah telanjang, dan terlihat membangkitkan berahi sebagai bagian ekspresi seniman, seperti karya instalasi seniman di Biennale X Yog yakarta yang membuat patung kelamin di taman simpang tiga Demangan yang kemudian dibongkar Satpol Pamong Praja 11 Desember 2009? Undang-undang ini secara tidak langsung juga mengancam kebebasan pers Indonesia dalam memberitakan seni, kebudayaan, dan sejarah dengan memakai ukuran awam. Juga membatasi ruang gerak dalam menampilkan gambar ilustrasi tubuh.

Ancaman dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara dinilai dapat mengancam jurnalis dalam bekerja karena tidak ada batasan tegas tentang yang disebut dengan rahasia intelejen, sehingga bisa multitafsir, misalnya tentang tindakan “membahayakan pertahanan dan keamanan negara� atau “merugikan ketahanan ekonomi nasional�. Padahal Jurnalis dan perusahaan media bisa masuk kategori Pasal 26 Undang-Undang tersebut, yang berbu73 |158


Memahami Hukum Pers

nyi “Setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/ atau membocorkan Rahasia Intelejen. Ancaman hukumnya untuk yang sengaja adalah penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta, sedangkan untuk yang lalai penjara 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp300 juta. Ancaman ini bisa melumpuhkan kerja pers untuk lebih menggali persoalan yang dihadapi negara dan melaksanakan fungsi kontrol sosial.” Ketua Dewan Pers Bagir Manan menilai pasal-pasal dalam Undang-Undang Intelijen Negara berpotensi mengancam demokrasi dan kebebasan, yakni tidak mengatur secara terperinci tentang kategori rahasia intelijen yang menjadi bagian dari rahasia negara. Selain itu istilah “wewenang penggalian informasi” sebagaimana diatur dalam Pasal 31 bersifat multitafsir dan “karet” karena tidak dijelaskan dengan terperinci mengenai penjelasan dan denisi kata tersebut. Selain itu, kata Bagir, ada pasal yang berpotensi mengganggu keterbukaan informasi publik, di antaranya pasal yang mengatur soal penyadapan. Pasal ini multitafsir karena bisa menghalangi kebebasan berdemokrasi.36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penangan Konik Sosial

Pasal 26 Dalam Status Keadaan Konik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat 36

“UU Intelejen Berpotensi Ancam Kebebasan Pers”, suarakarya-online. com, Jumat, 21 Oktober 2011.

74 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

melakukan: a. pembatasan dan penutupan kawasan Konik untuk sementara waktu; b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu; c. penempatan orang di luar kawasan Konik untuk sementara waktu; dan d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konik atau keluar dari kawasan Konik untuk sementara waktu. Pasal 27 Dalam Status Keadaan Konik skala provinsi gubernur dapat melakukan: a. pembatasan dan penutupan kawasan Konik untuk sementara waktu; b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu; c. penempatan orang di luar kawasan Konik untuk sementara waktu; dan d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konik atau keluar dari kawasan Konik untuk sementara waktu. Pasal 28 Dalam Status Keadaan Konik skala nasional Presiden dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan keamanan untuk melakukan: a. pembatasan dan penutupan kawasan Konik untuk sementara waktu; b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu; c. penempatan orang di luar kawasan Konik untuk sementara waktu; dan d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konik atau keluar dari kawasan Konik untuk sementara waktu.

Ancaman dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial Sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konik Sosial ini disahkan, AJI Indonesia pernah memprotes rancangan undang-undang pada tiga pasal yang sekarang menjadi Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 yang berisi larangan orang memasuki kawasan atau keluar kawasan konik. Menurut AJI pembatasan tersebut wewenang sepihak tanpa pengecualian bagi pembela hak asasi manusia dan 75 |158


Memahami Hukum Pers

jurnalis mengancam kebebasa pers dan menghambat kinerja jurnalis untuk mencari kebenaran fakta. Padahal hasil kerja jurnalis tersebut bisa membantu meredam konik. 37

Ancaman Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sebenarnya diperlukan karena akan banyak membantu kerja pers, karena ada jaminan penyelenggara pemerintah untuk memberikan informasi publik, sehingga informasi yang lebih berkualitas bisa diakses ke publik. Tapi kenyataannya undang-undang ini memiliki pasal-pasal dengan ancaman pidana bagi pengguna yang dianggap menyalahgunakan Informasi Publik dengan ancaman 1 tahun penjara dan/ atau paling banyak Rp10 juta. Ada juga Pasal 54 dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda Rp20 juta bagi setiap orang (termasuk jurnalis) yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/ atau memperoleh dan/ atau memberikan informasi yang dikecualikan. Di antara yang dikecualikan tersebut adalah “rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti” dan “rencana awal investasi asing”. Alih-alih memperkuat posisi jurnalis dan media pers, justru jeratan pidana yang mengancam Jurnalis, terutama dalam melakukan investigasi kasus penyelewengan di ka-

37

Siaran pers AJI, Selasa, 10 April 2012.

76 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

langanan pemerintah sipil dan militer.

Ancaman Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga mengancam kebebebasan pers, terutama Pasal 98 dan Pasal 99. Keterlibatan pers dalam pemilu menyangkut dua hal, iklan kampanye dan pemberitaan pemilu, terutama saat kampanye. Terkait dua hal tersebut UU Pemilu berusaha menciptakan keterlibatan media pers yang adil dan berimbang, sehingga pers tidak ditunggangi di satu sisi dan tidak merugikan peserta pemilu lainnya di sisi lain. Namun aturan yang muncul di UU Pemilu justru membingungkan dan bahkan juga mengancam pers dengan sanksi hingga pencabutan izin dan pembekuan kegiatan pemberitaan seperti tercantum pada Pasal 99 poin e dan f. Ini jelas sangat bertentangan dengan UU No. 40/1999 Tentang Pers. Aturan yang membingungkan pada keharusan media cetak dan lembaga penyiaran “adil dan berimbang� kepada seluruh peserta Pemilu ketika menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye [Pasal 91 ayat (2)]. Kemudian juga adil dan seimbang menyediakan halaman (cetak) dan waktu (penyiaran) untuk pemuatan berita dan wawancara, serta pemasangan iklan (Pasal 97).

77 |158


Memahami Hukum Pers

Jika yang dimaksud “adil dan seimbang” adalah berita yang sama banyak atau semua peserta diberitakan jelas sangat sulit, karena berdasarkan pengalaman Pemilu ada partai besar memenuhi semua jadwal kampanye dengan juru kampanye tokoh bernilai berita tinggi dan ada partai kecil tidak melakukan kampanye atau melakukan kampanye tidak menarik. Jika melakukan pendekatan berita bahwa yang “penting” dan “menarik” adalah utama maka pemberitaan bisa terlihat tidak adil dan seimbang. Belum lagi keterbatasan tenaga jurnalis yang meliput di satu media bisa mengakibatkan seluruh kegiatan kampanye tidak terliput tanpa maksud redaksi seperti itu. Pasal lain yang juga dapat mengancam pers adalah Pasal 269 jika kampanye di luar jadwal.

Ancaman dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden memuat pasal yang berhubungan dengan pers mirip dengan UU Pemilu yang juga berisi ancaman sanksi hingga pencabutan izin dan pembekuan kegiatan pemberitaan. Masih ada beberapa undang-undang lain yang terkait dengan pers dan bahkan juga mengancam kemerdekaan pers, di antaranya Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Anti Mo-

78 |158


Pers dan Aturan yang Mengancam

nopoli, Undang-Undang Keadaan Bahaya (yang sekarang dalam proses revisi), dan Undang-Undang Penodaan Agama.

Rancangan Undang-Undang yang Mengancam Setidaknya ada enam rancangan undang-undang baru yang sedang diproses pemerintah berpotensi mengancam kemerdekaan pers, yaitu Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Rahasia Negara, RUU Keamanan Nasional, RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi, RUU Konvergensi Telematika, dan Revisi UU Penyiaran Nomor 32/2002. Rancangan KUHP merupakan yang paling mengancam, karena lebih berbahaya dari KUHP bikinan Kolonial Belanda yang sekarang dipakai. Dewan Pers mencatat dalam Rancangan KUHP terdapat 63 pasal yang dapat mempidana pekerja pers, naik hampir dua kali lipat dari KUHP warisan Kolonial Belanda yang “hanya” memuat ancaman pidana pers (delik pers) 35 pasal. Apalagi, ancaman hukuman Rancangan KUHP menjadi 20 tahun yang sebelumnya dalam KUHP “hanya” 7 tahun.38 Dewan Pers melalui Memorandum pada 3 Mei 2005 (era Ketua Dewan Pers Profesor Ichlasul Amal) berjudul “RUU KUHP Mengancam Kebebasan Pers dan 38

Seperti disampaikan Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo, Atmakusumah Astraatmadja dalam “Diskusi Etika dan Penulisan untuk Media Massa” di Bogor, 14 November 2008(Suaramerdeka.com, “Revisi KUHP Ancam Kebebasan Pers”, 17 November 2008).

79 |158


Memahami Hukum Pers

Berekspresi” menyebutkan, sejumlah ketentuan hukum yang diatur dalam RUU KUHP telah menyimpang dari semangat reformasi dan mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Upaya membangun sistem yang lebih terbuka dan demokratis, yang dilakukan tujuh tahun terakhir, berpotensi mengalami kemunduran, jika RUU KUHP disahkan tanpa melalui proses pengkajian secara kritis.39 RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional paling banyak menimbulkan aksi demonstrasi dan protes, tidak hanya dari kalangan pers tapi juga aktivis NGO dan mahasiswa. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengatakan, RUU Keamanan Nasional mengancam hakhak sipil yang berarti Indonesia kembali ke era Orde Baru Dalam dalam RUU tersebut terdapat beberapa pasal yang akan merugikan hak rakyat kecil. Menurut Megawati, Indonesia yang sudah melalui masa Reformasi akan kembali ke zaman Orde Baru yang penuh represivitas jika UU Kamnas tersebut diterapkan. Ada jerat-jerat yang produknya mirip pada zaman Orde Baru, mengecilkan ruang hak-hak sipil, padahal sekarang era reformasi. 40 Meski tidak spesik mengatur pers, RUU Keamanan Nasional berpotensi membatasi ruang gerak pers karena

39

Memorandum Dewan Pers No. 05/M-DP/V/2005, “RUU KUHP Mengancam Kebebasan Pers dan Berekspresi”, Jakarta, 3 Mei 2005. 40

Suaramerdeka.com, “Megawati: UU Kamnas Mirip Jerat Orba”, 1 Oktober 2012.

80 |158


Selintas Perjuangan Pers di Indonesia

pengertian suatu tindakan dapat mengancam keamanan nasional dari segi politik, sosial, budaya, dan ideologi sangat luas dan multitafsir. Sedangkan RUU Rahasia Negara yang diusulkan Kementerian Pertahanan secara substantif bertentangan dengan UU No. 14/ 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Melalui RUU ini, negara memiliki kuasa untuk menentukan materi-materi apa yang dikelompokkan sebagai rahasia dan bukan rahasia dan kebebasan pers terancam karena pers bisa dikontrol negara. 41 Akhirnya menarik dikutip pendapat Alain Modoux, Asisten Direktur Jenderal UNESCO untuk Program Kemerdekaan Berpendapat, Demokrasi dan Perdamaian, “Semakin besar rintangan yang dihadapkan terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan selanjutnya kebebasan pers, maka suatu masyarakat akan semakin dikendalikan oleh kekerasan dan bukannya oleh suatu rasa keadilan. Suatu kedamaian tidak dapat dicapai tanpa adanya keadilan, seperti juga tidak ada keadilan yang bisa dimiliki tanpa adanya kemerdekaan menyatakan pendapat dan kebebasan.”42

41

Penilaian ini disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Eko Maryadi seperti dikutip Okezone.com, “Sembilan Peraturan Baru Ancam Kebebasan pers”, 28 Desember 2011. 42

UNESCO, Media dan Pemerintah: Mencari Jalan Keluar, Jakarta: 1999, halaman 2.

81 |158


Memahami Hukum Pers

82 |158


BAB IV

Bekerja di Jalan yang Benar

M

eski banyak peraturan perundang-undangan masih mengancam kebebasan pers di Indonesia, namun sejak keluarnya Undang-Undang No.40/1999 Tentang Pers penerbitan media tidak memerlukan izin dan tidak ada lagi ancaman pembredelan dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Ancaman justru beralih kepada tuntutan hukum dari pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan, selain ancaman kekerasan ď€ sik terhadap jurnalis dan media. Maraknya tuntutan hukum secara pidana dan perdana terhadap pers di era Reformasi memunculkan inisiatif Dewan Pers untuk menguatkan peran Hak Jawab dan Mediasi Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa pers sebelum ke pengadilan. Setidaknya dalam lima tahun terakhir


Memahami Hukum Pers

banyak kasus keberatan dan gugatan terhadap pers hanya sampai ke Dewan Pers. Salah satu alasan adalah, menyelesaikan sengketa pers melalui mekanisme Hak Jawab dan Mediasi Dewan Pers jauh lebih singkat dan murah dibanding langsung menggugat ke pengadilan. Proses di pengadilan membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga memiliki kekuatan hukum tetap dan kedua pihak mengeluarkan dana tidak sedikit untuk membayar pengacara dan biaya hukum lainnya. Bandingkan dengan mediasi Dewan Pers yang paling lama hanya 2,5 bulan. Gugatan menyangkut delik pers biasanya mengenai delik penghinaan, delik kabar bohong, delik pornogra, dan delik haatzai artikelen (penyebaran rasa kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah). Namun dari banyak gugatan terhadap pers sejak UU No.40/1999 Tentang pers diberlakukan tersebut , umumnya karena pemberitaan yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Sebagai contoh berita-berita ala harian Rakyat Merdeka, Jakarta pada 2003 yang sensasional sehingga berbuntut gugatan ke pengadilan. Rakyat Merdeka menjadikan judul pendapat atau teriakan orang biasa menjadi headline halaman 1, di antaranya, “Hari Ini Istananya Didemo Ribuan Orang: Mulut Mega Bau Solar!” (6 Januari 2003) “Mega Disuruh Joget Asereje” (16 Januari 2003), dan “Mega Lintah Darat!” (8 Januari 2003), “Mega Lebih Ganas Dari Sumanto” (30 Januari 2003), dan “Indonesia Bu-

84 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

kan Bali Doang: Mega Cuma Sekelas Bupati� (4 Februari 2003.)43 Pertanyaannya apakah berita-berita ini fakta. Mungkin ada yang menganggap apa yang dikatakan narasumber atau demonstran yang berteriak adalah sebuah fakta. Itu benar, karena telah terjadi seseorang mengatakan sesuatu pada suatu waktu. Tapi, apakah yang dikatakan orang itu adalah fakta? Ini yang perlu dicek kebenarannya oleh jurnalis agar ucapan yang dikutip tidak bohong dan tidak opini. Apakah benar mulut Presiden Megawati Soekarnoputri berbau solar? Apakah benar Megawati lebih ganas dari Soemanto yang telah memakan mayat? Apakah Megawati lintah darat? Apa bukti semua itu? Contoh lain adalah kasus yang dialami majalah Tempo pada 2012. Tempo menulis 5 halaman berita berjudul “Jurus Berkelit Menghindari Utang� tentang pengusaha Gunawan Jusuf pada edisi 26 Maret 2012. Tempo yang menggunakan data keimigrasian akhirnya dibantah pihak Gunawan bahwa tidak ada bukti ia memiliki utang, sesuai keputusan pengadilan tinggi Singapura dan Hongkong. Dewan Pers pada 19 September 2012 menyatakan Tempo bersalah melanggar empat kode etik jurnalistik, yaitu pelanggaran atas kewajiban wartawan Indonesia untuk menguji informasi, tidak membuat berita yang berimbang, mencampur adukan fakta dan opini yang menghaki43

Lukas Luwarso, Kebebasan Pers dan Ancaman Hukum, Dewan Pers, Jakarta: 2005.

85 |158


Memahami Hukum Pers

mi, dan tidak menerapkan asa praduga tak bersalah. Dewan Pers memerintahkan Tempo untuk meminta maaf kepada Gunawan Jusuf sebagai pengadu dan meminta maaf kepada pembaca karena terbukti melanggar empat kode etik tersebut. 44 Dari banyak kasus pers di Indonesia, sebagian besar bermula dari penerapan kode etik yang tidak standar. Padahal wartawan sebagai seorang profesional harus bekerja sesuai etik profesinya. International Center of Journalists45 menyebutkan, wartawan yang patuh pada standar profesi, yang berusaha menghasilkan pelaporan yang akurat dengan cara yang etis, pasti memperoleh kepuasan profesional. Mereka juga memperoleh kepercayaan dari pembaca dan penonton mereka. Surat kabar, stasiun TV atau stasiun radio yang dapat dipercaya dan diandalkan mempunyai peluang sangat besar untuk sukses secara komersial. Jadi, selain dorongan moral untuk mempraktikkan jurnalisme yang beretika, ada pendorong ekonomis juga. Akhirnya, pemerintah akan cenderung kurang menerapkan standar pada media jika wartawan sendiri berpegang pada standar etika yang tinggi. Selain itu, hal yang mendasar adalah kebebasan pers tanpa penerapan etika yang tinggi sebagai tanggung jawab pers “menguasai” informasi publik, sama dengan “ke44

Sindoradio.com, “Vonis untuk Majalah Tempo”, 4 Oktober 2012.

45

Dikutip dari edisi terjemahan Indonesia, Budi Prayitno (penerjemah), Etika Jurnalisme, Debat Global, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta: Juni 2006, halaman 3.

86 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

bablasan� yang ujungnya akan merugikan publik sendiri. Karena itu, berdasarkan pengalaman kasus-kasus hukum terhadap pers tersebut, agar terhindar dari jerat hukum upaya pertama yang harus dilakukan jurnalis dan perusahaan pers adalah “bekerja di jalan yang benar� secara profesional sesuai etika jurnalistik. Karya jurnalistik yang lahir dengan prosedur kerja profesional sesuai etika jurnalistik termasuk pertama dijadikan pertimbangan dalam perkara pers.

Dalam buku panduan penanganan perkara pers, Tim LBH Pers Jakarta menyebutkan tiga unsur dalam menentukan kesalahan pemberitaan, selain unsur-unsur delik, adalah46: 1. Kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik. Suatu berita dikatakan salah bukan hanya karena melanggar undangundang, tapi juga karena melanggar Kode Etik Jurnalistik. Maka sebelum diperiksa pelanggaran terhadap undang-undang, harus terlebih dulu diperiksa apakah suatu berita melanggar kode etik. 2. Kepatuhan pada pedoman perilaku penyiaran (untuk media siar). Untuk media penyiaran (televisi dan radio) juga diatur oleh Pedoman Perilakku Penyiaran. Pedoman ini bisa menjadi tolok ukur apakah suatu berita radio atau televisi melanggar hukum atau tidak. 3. Kepatuhan pada standar kerja jurnalistik. Kerja jurnalistik dituntut professional. Untuk itu suatu pemberita-

46

Tim LBH Pers, Proses Penanganan Perkara Pers: Panduan Bagi Penegak Hukum Polisi, Jakasa, dan Hakim, LBH Pers, Jakarta: 2009, halaman 5-6.

87 |158


Memahami Hukum Pers

an yang salah harus terlebih dulu dilihat apakah standar kerja yang lazim bagi profesional telah dilakukan oleh jurnalis yang didakwa melakukan pelanggaran hukum. Bisa juga ditambahkan: 4. Kepatuhan pada Pedoman Pemberitaan Media Siber (khusus untuk media online). Pedoman ini bisa menjadi tolok ukur apakah suatu berita media online melanggar hukum atau tidak.

Pertanggungjawaban Hukum Jika pemberitaan digugat, siapa saja yang diminta pertanggungjawabannya secara hukum? Lukas Luwarso dan Solahuddin (2011)47 menyebutkan bahwa dalam KUHP ada empat golongan pelaku tindak pidana, baik pelaku kejahatan maupun pelanggaran:

1. 2. 3. 4.

Pleger (orang yang melakukan). Doen Plegen (orang yang menyuruh melakukan). Medepleger (orang yang turut melakukan). Uitlokker (orang yang membujuk melakukan).

Artinya, jika sebuah berita digugat pihak lain, maka orang-orang yang terlibat dalam proses munculnya berita tersebut bisa menjadi tersangka, mulai dari proses perencanaan di redaksi, penugasan, peliputan, penulisan, pengeditan, dan pihak berwenang memutuskan berita tersebut dicetak atau tidak. Artinya, mulai dari wartawan yang meliput, redaktur, redaktur pelaksana yang terlibat, 47

Lukas Luwarso dan Solahuddin, Advokasi Jurnalis, SEAPA, Jakarta: Agustus 2001, halaman 9.

88 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

hingga pemimpin redaksi akan diminta pertanggungjawabannya.

Bekerja Sesuai Kode Etik Kode etik untuk jurnalis yang berlaku di Indonesia sekarang adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disusun sejumlah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers pada 14 Maret 2006. KEJ ini penggunaanya ditetapkan Dewan Pers melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik. KEJ berisi 11 pasal dengan penafsiran. Berikut komponen dan uraian isi KEJ dan untuk teks yang lengkap baca Kode Etik Jurnalistik pada bagian lampiran buku ini.

Uraian Kode Etik Jurnalistik Pasal

Penafsiran dan Keterangan

Pasal 1 Bersikap independen

Memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nuarani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Menghasilkan berita yang akurat

Dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

Menghasilkan berita yang berimbang

Semua pihak (yang terkait dengan berita) mendapat kesempatan setara.

Tidak beritikad buruk

Tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

89 |158


Memahami Hukum Pers

Menempuh caracara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik

a. Menunjukkan identitas diri kepada narasumber (memperlihatkan Kartu Pers atau surat tugas dari redaksi) b. Menghormati hak privasi (pers tidak memasuki urusan pribadi seseorang, kecuali terkait dengan kepentingan publik) c. Tidak menyuap (tidak boleh membayar narasumber) d. Menghasilkan berita yang faktual (sesuai fakta yang terjadi) dan jelas sumbernya. e. Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tetang sumber dan ditampilkan secara berimbang. f. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara. g. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. h. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik (misalnya tidak menunjukkan identitas diri).

Pasal 3 Selalu menguji informasi

Melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

Memberitakan secara berimbang

Memberikan ruang atau waktu memberitaan kepada masingmasing pihak secara proporsional.

Tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi

Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi (pandangan teoritis atau penafsiran) wartawan atas fakta.

Menerapkan asas praduga tak bersalah

Prinsip tidak menghakimi seseorang (seperti: sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap memvonis seseorang bersalah, pers tidak boleh menulis orang tersebut “seakan-akan� sudah bersalah).

Pasal 4

90 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

Tidak membuat berita bohong

Sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Tidak membuat berita ď€ tnah

Tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

Tidak membuat berita sadis

Kejam dan tidak mengenal belas kasihan (jangan merekonstruksi atau menggambarkan dengan detil suatu peristiwa sadis).

Tidak membuat berita cabul

Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, graď€ s atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

Pasal 5 Tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila Tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan Pasal 6 Tidak menyalahgunakan profesi

Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak (nama, nama keluarga, pekerjaan orang tua yang spesiď€ k, alamat rumah, sekolah, atribut yang sering digunakan, dsb).

Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

91 |158


Memahami Hukum Pers

Tidak menerima suap

Segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi (termasuk tidak boleh menerima “amplop� meskipun beritanya sudah dimuat)

Pasal 7 Memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya

Menghargai ketentuan embargo

Menghargai informasi latar belakang Menghargai “off the record� sesuai kesepakatan Pasal 8

92 |158

Hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya (termasuk ketika diminta polisi).

Penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber (misalnya: boleh disiarkan setelah pukul 6 sore ketika informasi diberikan pukul 7 pagi).

Segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. Segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.


Bekerja di Jalan yang Benar

Tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka terhadap seseorang Tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa Tidak merendahkan martabat orang lemah

Anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

Pembedaan perlakuan.

Tidak merendahkan martabat orang miskin Tidak merendahkan martabat orang sakit Tidak merendahkan martabat orang cacat jiwa Tidak merendahkan martabat orang cacat jasmani Pasal 9

93 |158


Memahami Hukum Pers

Menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Menghormati hak narasumber melalui sikap menahan diri dan berhati-hati. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10 Segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita keliru dan tidak akurat‌ ‌ disertai permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa

Tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

Disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11 Melayani hak jawab secara proporsional

Hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Melayani hak koreksi secara proporsional

hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki (jika berita dimuat dua kolom di halaman satu bagian bawah, maka hak jawab dan atau koreksi ditempatkan pada tempat sama pada edisi berikutnya).

Menjadikan Kode Etik Jurnalistik ke Kode Perilaku Meski memiliki penafsiran, Kode Etik Jurnalistik terkadang masih sulit dipahami sebagian jurnalis dalam praktek sehari-hari. Agar mudah dipahami, berikut pen94 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

jabaran ke kode perilaku, apa yang mesti dilakukan.

Independen Jurnalis dan ruang redaksi yang memproduksi karya jurnalistik (termasuk opini seperti tajuk rencana, analisis berita, karikatur, dan pojok) harus independen atau bebas dari pengaruh dan tekanan pihak luar. Ia (dan mereka) harus memiliki nurani sendiri dalam bersikap sebagai penguat netralitas dan objektivitas. Karena itu jurnalis dan redaksi tidak boleh dibayar di luar kerja profesionalnya dan ditekan pihak lain, termasuk pemilik perusahaan (pemilik modal). Ini mirip seorang dokter yang tidak boleh didikte dalam mendiagnosa pasien atau memilih pasien oleh manajemen atau pemilik rumah sakit. Setidaknya independensi jurnalis dan ruang redaksi akan dinilai dari “aď€ liasiâ€? dan produk jurnalistik yang dihasilkan oleh publik. Seorang jurnalis yang juga menjadi anggota partai, bahkan pengurus partai, terang-terangan pro ideologi dan agama tertentu, menjadi tim sukses calon presiden atau kepala daerah, menjadi pengacara, akan “dicurigaiâ€? independensinya dan akan sulit bersikap independen. Media yang tidak independen juga akan terlihat dan tersirat pro terhadap partai tertentu, calon kepala daerah tertentu, pro agama tertentu, pro kepada etnis tertentu, dan sebagainya.

95 |158


Memahami Hukum Pers

Niat yang Baik Jurnalis harus memiliki niat yang baik menggunakan profesinya. Gaya wartawan lama seperti cowboy, “Nanti saya hantam dengan berita baru tahu” tidak boleh terjadi. Kebanggaan menjadi jurnalis dimulai dari niat yang baik untuk membantu manusia kearah kehidupan yang lebih baik melalui informasi yang benar dan menguak kebenaran, sehingga “yang benar” menang. Niat seorang jurnalis akan bisa terdistorsi jika ia tidak independen, misalnya menjadi organ atau pendukung partai atau menjadikan iklan sebagai “panglima”.

Selalu Mencari Kebenaran Kebenaran memiliki banyak muka, kebenaran punya banyak sisi, jadi tidak ada kebenaran yang absolut. Fakta adalah salah satu menuju kebenaran, dan akan ada fakta-fakta yang lain. Sebaliknya, ksi bukanlah kebenaran (benar terjadi) meski seringkali mengandung kebenaran juga. Kebenaran tidak melulu keluar dari penceramah agama dan bukan berarti tidak ada pada pelaku kejahatan dan asusila. Karena itu seorang jurnalis harus mengutamakan pencarian kebenaran di manapun tempatnya. Sikap alergi terhadap sesuatu adalah musuh pencarian kebenaran. Karena itu dalam bekerja jurnalis harus berimbang, mencari informasi dari pihak manapun yang terkait dalam topik liputan. Dalam kaitan ini pula jurnalis dan redaksi harus segera

96 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

meralat dan minta maaf jika informasi yang disampaikannya diketahui keliru. Ralat dan maaf harus segera diberikan meskipun belum ada pihak yang memprotes. Ralat dan benar adalah bagian terpenting menuju kebenaran informasi.

Menghormati Perbedaan Jurnalis harus menjunjung tinggi perbedaan dan harus melawan pihak-pihak yang tidak mentolerir perbedaan dan tidak menghargai pihak lain. Dalam konik agama dan etnis, misalnya, jurnalis harus menempatkan posisi seperti “wasit” dalam pertandingan sepakbola. Ia tidak boleh memihak kepada salah satu “kesebelasan”, meski ia juga seagama atau seetnis dengan salah satu yang bertikai. Jika ia memihak maka pihak lain akan memprotes dan tidak mempercayai keobjektifan dan keadilannya. “Penonton” pun tidak akan mempercayainya sebagai penengah persoalan. Pemihakan jurnalis kepada satu pihak dalam sebuah konik akan menyebabkan semakin menjauhkan karya jurnalistiknya dari proses mencari kebenaran. Pemihakan juga bisa berimplikasi kepada menutup informasi dari pihak yang tidak disukai dan hanya menerima informasi dari pihak yang disukai. Ini jelas akan merugikan banyak pihak dan melahirkan karya yang tidak proporsional atau seimbang. Selain itu, jurnalis juga harus mengedepankan sikap 97 |158


Memahami Hukum Pers

manusiawi, yaitu menghargai siapapun meski ia lemah, jelek, miskin, cacat jasmani, cacat jiwa, dan sakit.

Asas Praduga Tak bersalah Jurnalis sering memberitakan orang (who), termasuk dalam kasus hukum, asusila, perbedaan pandangan, agama, seksual, dan sebagainya. Seperti kebanyakan orang yang langsung dan gampang mengalamatkan “dugaan salah”, jurnalis tidak boleh seperti itu. Ini termasuk dalam kasus hukum, misalnya kasus korupsi, yang menimpa seseorang. Dalam kasus hukum seorang terdakwa dinyatakan bersalah jika memiliki kekutan hukum tetap (vonis Mahkamah Agung). Meski ia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri ia belum bisa disebut bersalah. Jurnalis harus menghormati itu.

Patuh pada Aturan Profesional dan Menjaga Kesopanan Memperlihatkan identitas ketika meliput (memakai Kartu Pers) adalah tindakan profesional. Tidak jarang jurnalis mengalami kekerasan di lapangan, terutama ketika terjadi konik, dan pelaku kekerasan seperti aparat keamanan berdalih tidak mengetahui korban adalah seorang jurnalis. Jurnalis juga tidak boleh “menabrak” privasi seseorang, kecuali orang itu ingin privasinya diekspos untuk publik. Di Indonesia ada fenomena “berita-berita” infotainment yang memberitakan privasi selebiriti yang tidak ada 98 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

hubungan dengan kepentingan publik (“menarik” dengan “penting” belum tentu sama). Berita kawin-cerai, pacaran, dekat dengan seseorang, dan perebutan anak para selebritis adalah “berita” khas infotainment. Karena alasan ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak pekerja infotainmen adalah jurnalis. Berpakaian sopan dan bersikap sopan saat meliput dan menghadapi narasumber juga bagian dari profesionalisme. Meliput acara resmi dengan mengenakan sandal dan pakaian tak pantas adalah sikap kurang profesional yang bisa menimbulkan persoalan, misalnya dilarang masuk ke tempat acara. Padahal tindakan pelarangan ini ujung-ujungnya bisa diprotes jurnalis karena dianggap menghambat kebebasan pers. Selain itu, ada prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh jurnalis/pers. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kesembilan elemen tersebut adalah:

1. Kewajiban pertama Jurnalisme adalah pada kebenaran Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, na99 |158


Memahami Hukum Pers

mun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau ď€ losoď€ s. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain. Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah-- tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.

2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens) Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus 100 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik. Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan nansial majikan mereka.

3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, ksi, atau seni, adalah disiplin verikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya. Disiplin verikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari ban-

101 |158


Memahami Hukum Pers

yak pihak. Disiplin veriď€ kasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitasâ€? dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita. Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, veriď€ kasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi. Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecen102 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

derungan media untuk menerapkan ketentuan “jarak” yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu. Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.

5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri. Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang 103 |158


Memahami Hukum Pers

untuk benar-benar melayani kepentingan umum. Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari public Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap. Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan veriď€ kasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik. Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak

104 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demograď€ s yang menarik sebagai sasaran iklan.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun. Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisme.

8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif. Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita. 105 |158


Memahami Hukum Pers

9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa. Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan ( fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu. Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya. Dalam perkembangan, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambah elemen ke-10 yaitu: Warga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita; Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi seka106 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

dar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.

Kelebihan dan Kekurangan Undang-Undang No.40/1999 Tentang Pers Undang-Undang No.40/1999 Tentang Pers memiliki kelebihan, di antaranya: menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara [Pasal 4 ayat (1)], tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran [Pasal 4 ayat (2)], diakui fungsinya sebagai kontrol sosial [Pasal 3 ayat (1)] dan lembaga ekonomi [Pasal 4 ayat (2)], mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi [Pasal 4 ayat (3)], wartawan mempunyai hak tolak di depan hukum [Pasal 4 ayat (4)], dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum (pasal 8), jaminan siapa saja berhak mendirikan perusahaan pers [Pasal 9 ayat (1)], bebas memilih organisasi wartawan [Pasal 7 ayat (1)], membentuk Dewan Pers Independen [Pasal 15 ayat (1)]. Kekurangan UU No. 40/1999 Tentang Pers di antaranya kasus pers tetap memiliki celah dapat dibawa ke pengadilan karena ketidaktegasan isi pasal. Ini termuat dalam Pasal 5 ayat (2) Pers wajib melayani Hak Jawab. 107 |158


Memahami Hukum Pers

Edy Susanto dkk 48 menyebutkan kontroversi pidana pers menyangkut mekanisme penyelesaian, apakah melalui peradilan pidana dulu atau melalui hak jawab terlebih dulu. Mengenai Hal ini ada dua pendapat: kalangan pers dan bukan pers. Kalangan pers menyebut dalam UU Pers sudah diatur yaitu melalui Hak Jawab, jika tidak selesai melalui mediasi Dewan Pers. Jika tidak melalui kedua mekanisme tadi tapi langsung ke pengadilan maka melanggar UU Pers. Sedangkan pihak lain, misalnya ada hakim yang menilai pasal “Pers wajib melayani hak jawab� tersebut dapat digunakan dan dapat tidak oleh yang dirugikan, karena namanya hak dan bukan kewajiban. Menurut Edy dkk, kekisruhan tersebut karena pasal tersebut tidak tegas. Karena itu, jika ingin melindungi pers secara keseluruhan, maka sebaiknya UU Pers diamandemen dengan membuat pasal yang secara tegas mengatur mengenai bagaimana mekanisme yang lebih baik untuk menjaga tidak terjadinya kesalahan persepsi tersebut. Jika ingin melindungi pers maka dalam Pasal 5 sebaiknya dipertegas bahwa tidak pidana terhadap pers hanya dapat diterapkan jika sudah dilakukan Hak Jawab dan Mediasi dengan Dewan Pers atau dengan kata lain, tidak ada tindak pidana pers sebelum dilakukan Hak Jawab dan Mediasi dengan Dewan Pers. 48

Edy Susanto dkk, Hukum Pers di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: 2010 halaman 232

108 |158


Bekerja di Jalan yang Benar

Meski begitu, Dewan Pers melakukan langkah dengan mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Polridalam penegakan hukum dan perlindungan kemerdekaan pers. MoU ini ditandatangi oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCL sebagai Ketua Dewan Pers Indonesia dengan Jenderal Polisi Drs. Timur Pradopo selaku Kapolri bertepatan dengan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2012. MoUmemuat kesepakatan dalam 11 Bab dan 12 Pasal. MoU ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyelidikan, penyidikan dan penyelesaian dugaan terjadi tindak pidana akibat pemberitaan pers, serta memperjelas mekanisme pemberian bantuan Dewan Pers kepada Polri terkait dengan memberikan keterangan sebagai ahli. Salah satu poin penting adalah kesepahaman mendahulukan penggunaan UU No. 40/1999 Tentang pers dalam perkara pers sebelum menerapkan peraturan perundang-undangan lainnya.*

109 |158


Memahami Hukum Pers

110 |158


Lampiran


Memahami Hukum Pers

Lampiran 1: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. Menimbang :bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapata sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin; b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa; c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun; d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 112 |158


Lampiran

sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undangundang tentang Pers; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan : 1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan graď€ k maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. 2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. 3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani me113 |158


Memahami Hukum Pers

4. 5. 6. 7. 8.

9. 10. 11.

12.

13.

14.

114 |158

dia cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.


Lampiran

BAB II ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS Pasal 2 Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 3 1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. 2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal 4 1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. 2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. 5. Pasal 5 1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. 2. Pers wajib melayani Hak Jawab. 3. Pers wajib melayani Hak Tolak. Pasal 6 Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, 115 |158


Memahami Hukum Pers

serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran; BAB III WARTAWAN Pasal 7 1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan. 2. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Pasal 8 Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. BAB IV PERUSAHAAN PERS Pasal 9 1. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. 2. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 10 Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. Pasal 11 Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pasal 12 Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamt dan penang116 |158


Lampiran

gung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. Pasal 13 Perusahaan iklan dilarang memuat iklan : a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; b. b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. Pasal 14 Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita. BAB V DEWAN PERS Pasal 15 1. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. 2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasuskasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; 117 |158


Memahami Hukum Pers

3.

4. 5. 6. 7.

e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; g. mendata perusahaan pers; Anggota Dewan Pers terdiri dari : a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers; Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota. Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari : a. organisasi pers; b. perusahaan pers; c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat. BAB VI PERS ASING

Pasal 16 Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

118 |158


Lampiran

BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 17 1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. 2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa : a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 18 1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). 2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). 3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).

119 |158


Memahami Hukum Pers

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 1. Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini. 2. Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambatlambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undangundang ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Pada saat undang-undang ini mulai berlaku : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia); 2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai bu120 |158


Lampiran

letin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala; Dinyatakan tidak berlaku. Pasal 21 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 23 September 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BACHARUDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 September 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd ULADI Salinan sesuai dengan aslinya. SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II PR Edy Sudibyo

121 |158


Memahami Hukum Pers

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS I. UMUM Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undangundang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud. Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan men122 |158


Lampiran

geluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah�. Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara. Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip 123 |158


Memahami Hukum Pers

ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Pasal 4 Ayat 1 Yang dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara� adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers. Ayat 2 Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku. Ayat 3 Cukup jelas Ayat 4 Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan indentitas sumber informasi. Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan 124 |158


Lampiran

dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Pasal 5 Ayat 1 Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Ayat 2 Cukup jelas Ayat 3 Cukup jelas Pasal 6 Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib. Pasal 7 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Yang dimaksud dengan “Kode Etik Jurnalistik� adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “perlindungan hukum� adalah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melak125 |158


Memahami Hukum Pers

sanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 9 Ayat 1 Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja sesuai dengan Hak Asasi Manusia, termasuk mendirikan perusahaan pers sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers. Ayat 2 Cukup jelas Pasal 10 Yang dimaksud dengan “bentuk kesejahteraan lainnya� adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers. Pasal 11 Penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak mencapai saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 12 Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara : 126 |158


Lampiran

a. media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan; b. media elektronik menyiarkan nama, alamat, dan penanggungjawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik; c. media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan. Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. Yang dimaksud dengan “penanggung jawab� adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana pengamat ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ayat 1 Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Ayat 2 Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Ayat 3 127 |158


Memahami Hukum Pers

Cukup jelas Ayat 4 Cukup jelas Ayat 5 Cukup jelas Ayat 6 Cukup jelas Ayat 7 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Untuk melaksanakan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga atau organisasi pemantau media (media watch). Pasal 18 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 12. Ayat 3 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas 128 |158


Lampiran

Pasal 21 Cukup jelas Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3887

129 |158


Memahami Hukum Pers

Lampiran 2: Kode Etik Jurnalistik Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik: Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Pasal 2 130 |158


Lampiran

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran Cara-cara yang profesional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, ď€ tnah, sadis, dan cabul. 131 |158


Memahami Hukum Pers

Penafsiran a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, graď€ s atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun 132 |158


Lampiran

keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan 133 |158


Memahami Hukum Pers

permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006 (Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan PersNomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia: 1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Abdul Manan 2.

134 |158

Aliansi Wartawan Independen (AWI); Alex Sutejo


Lampiran

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.

Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI); Uni Z Lubis Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI); OK. Syahyan Budiwahyu Asosiasi Wartawan Kota (AWK); Dasmir Ali Malayoe Federasi Serikat Pewarta; Masfendi Gabungan Wartawan Indonesia (GWI); Fowa’a Hia Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI); RE Hermawan S Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI); Syahril Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI); Bekti Nugroho Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAP HAMBA); Boyke M. Nainggolan Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI); Kasmarios SmHk Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI); M. Suprapto Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI); Sakata Barus Komite Wartawan Indonesia (KWI); Herman Sanggam Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI); A.M. Syarifuddin Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI); Hans Max Kawengian Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI); Hasnul Amar Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI); Ismed Hasan Putro\ Persatuan Wartawan Indonesia (PWI); Wina Armada Sukardi Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI); Andi A. Mallarangan Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK); Jaja Suparja Ramli Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI); Ramses Ramona S. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI); Ev. Robinson Togap Siagian Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI); Rusli Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat; Mahtum Mastoem Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS); Laode Hazirun Serikat Wartawan Indonesia (SWI); Daniel Chandra Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII); Gunarso Kusumodiningrat

135 |158


Memahami Hukum Pers

Lampiran 3: STANDAR PERLINDUNGAN PROFESI WARTAWAN Kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dihilangkan dan harus dihormati. Rakyat Indonesia telah memilih dan berketetapan hati melindungi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat itu dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat dan bagian penting dari kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat. Wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu Standar Perlindungan Profesi Wartawan ini dibuat: 1. Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi; 2. Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan memperoleh perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa; 3. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun; 4. Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran; 5. Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya 136 |158


Lampiran

dan atau konik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya; 6. Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konik bersenjata, wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera, disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh; 7. Dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili oleh penanggungjawabnya; 8. Dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggungjawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi; 9. Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku. Jakarta, 25 April 2008 (Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, lembaga terkait, serta Dewan Pers di Jakarta, 25 April 2008. Sebelum disahkan, draft Standar Perlindungan Profesi Wartawan telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawanâ€?)

137 |158


Memahami Hukum Pers

Lampiran 4: Keterangan Ahli Dewan Pers Untuk melaksanakan tugas dan fungsi Dewan Pers sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan melaksanakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 13 tanggal 30 Desember 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, berlaku Pedoman Dewan Pers tentang Keterangan Ahli dari Dewan Pers sebagai berikut: 1. Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk memperjelas sebuah perkara pada semua tingkatan proses hukum. 2. Ahli dari Dewan Pers adalah seorang yang memiliki keahlian khusus yang memberikan keterangan sesuai keahliannya atas nama Dewan Pers. 3. Ahli dari Dewan Pers berasal dari: a. Anggota Dewan Pers. b. Mantan Anggota Dewan Pers. c. Ketua atau anggota dewan kehormatan organisasi pers serta orang yang dipilih atau ditunjuk secara resmi oleh Dewan Pers yang telah memiliki Sertiď€ kat Ahli yang dikeluarkan Dewan Pers. 4. Ahli dari Dewan Pers bersedia dan memenuhi persyaratan: a. Mendukung dan menjaga kemerdekaan pers. b. Memakai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai pedoman, baik ď€ losoď€ maupun teknis pengaturannya, antara lain, menolak kriminalisasi karya jurnalistik dan denda yang tidak proporsional.

138 |158


Lampiran

c. Mempunyai pendapat tentang kemerdekaan pers yang sesuai dengan Dewan Pers. d. Memiliki keahlian di bidang pers dan atau bidang lainnya yang terkait dengan proses pemeriksaan perkara. e. Memiliki integritas pribadi di bidang keahliannya. f.

Bersikap adil (sense of fairness) dan obyektif (sense of objectivity).

5. Ahli dari Dewan Pers dapat memberikan keterangan dalam perkara hukum pidana, perdata maupun bidang hukum lain. 6. Ahli dari Dewan Pers dalam menjalankan tugasnya dilengkapi dengan surat tugas resmi dari Dewan Pers yang ditandatangani oleh Ketua dan atau Wakil Ketua Dewan Pers. 7. Ahli dari Dewan Pers tidak boleh memiliki konik kepentingan dengan perkara. Rapat Pleno menentukan ada atau tidaknya konik kepentingan itu. 8. Dalam suatu perkara dapat dihadirkan lebih dari satu Ahli dari Dewan Pers. 9. Ahli dari Dewan Pers tidak dapat memberikan keterangan untuk dua pihak atau lebih sekaligus yang berlawanan dalam perkara yang sama. 10. Semua pihak dalam perkara yang terkait dengan pelaksanaan kemerdekaan pers dapat mengajukan permintaan Ahli dari Dewan Pers. a. Permintaan Ahli dari Dewan Pers diajukan kepada Dewan Pers. b. Dewan Pers dapat mengabulkan atau menolak pengajuan permintaan Ahli berdasarkan pertimbangan

139 |158


Memahami Hukum Pers

untuk menjaga kemerdekaan pers melalui Rapat Pleno atau rapat yang khusus membahas untuk itu. c. Ketua dan atau Wakil Ketua menetapkan penunjukan Ahli dari Dewan Pers. 11. Anggota Dewan Pers yang memberikan keterangan dalam kedudukan pribadi dan bukan sebagai ahli dari Dewan Pers diatur sebagai berikut: a. Sebelum memberikan keterangan harus menyatakan secara tegas dan terbuka bahwa keterangannya bukanlah dalam kedudukan sebagai Ahli dari Dewan Pers dan karena itu tidak mewakili Dewan Pers. b. Memberikan keterangan yang sesuai dengan prinsip dan sikap Dewan Pers, antara lain mendukung dan menjaga kemerdekaan pers dan memakai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai pedoman, baik dari segi ď€ losoď€ snya maupun dari teknis pengaturannya. c. Anggota Dewan Pers yang memberikan keterangan dalam kedudukan pribadi tetapi keterangannya tidak sesuai dengan prinsip dan sikap Dewan Pers, akan diberikan sanksi sesuai Statuta Dewan Pers dan Dewan Pers wajib membuat surat kepada hakim bahwa keterangan yang bersangkutan bukan pendapat Dewan Pers. 12. Dewan Pers menyelenggarakan pendidikan dan latihan khusus tentang Ahli dari Dewan Pers untuk ketua atau anggota dewan kehormatan organisasi pers serta orang yang dipilih secara resmi oleh Dewan Pers. 13. Pada prinsipnya pembiayaan Ahli dari Dewan Pers ditanggung oleh Dewan Pers. Bantuan dari pihak ketiga untuk pembiayaan Ahli dapat diterima dengan ketentuan dilakukan secara transparan dan diketahui oleh Ketua atau Wakil Ketua Dewan Pers. Atas dasar itu Ketua atau Wakil Ketua Dewan 140 |158


Lampiran

Pers dapat memutuskan menerima atau menolak bantuan tersebut. 14. Proses keterangan ahli dari Dewan Pers sedapat mungkin didokumentasikan. Pengaturannya pendokumentasian dilakukan oleh sekretariat Dewan Pers dengan pengawasan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers. Ketiadaan pendokumentasian tidak menghilangkan keabsahan keterangan ahli dari Dewan Pers. (Ditetapkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 10/Peraturan-DP/X/2009 tentang Keterangan Ahli Dewan Pers)

141 |158


Memahami Hukum Pers

Lampiran 5: Pedoman Pemberitaan Media Siber Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers. Media siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Untuk itu Dewan Pers bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman Pemberitaan Media Siber sebagai berikut: 1. Ruang Lingkup a. Media Siber adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers. b. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content) adalah segala isi yang dibuat dan atau dipublikasikan oleh pengguna media siber, antara lain, artikel, gambar, komentar, suara, video dan berbagai bentuk unggahan yang melekat pada media siber, seperti blog, forum, komentar pembaca atau pemirsa, dan bentuk lain. 2. Veriď€ kasi dan keberimbangan berita a. Pada prinsipnya setiap berita harus melalui veriď€ kasi. b. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan veriď€ kasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan. c. Ketentuan dalam butir (a) di atas dikecualikan, dengan syarat: 1) Berita benar-benar mengandung kepentingan 142 |158


Lampiran

3.

publik yang bersifat mendesak; 2) Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten; 3) Subyek berita yang harus dikonrmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai; 4) Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring. d. Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verikasi, dan setelah verikasi didapatkan, hasil verikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverikasi. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content) a. Media siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi Buatan Pengguna yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yang ditempatkan secara terang dan jelas. b. Media siber mewajibkan setiap pengguna untuk melakukan registrasi keanggotaan dan melakukan proses log-in terlebih dahulu untuk dapat mempublikasikan semua bentuk Isi Buatan Pengguna. Ketentuan mengenai log-in akan diatur lebih lanjut. c. Dalam registrasi tersebut, media siber mewajibkan pengguna memberi persetujuan tertulis bahwa Isi Buatan Pengguna yang dipublikasikan: 1) Tidak memuat isi bohong, tnah, sadis dan cabul; 2) Tidak memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan; 143 |158


Memahami Hukum Pers

4.

3) Tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani. d. Media siber memiliki kewenangan mutlak untuk mengedit atau menghapus Isi Buatan Pengguna yang bertentangan dengan butir (c). e. Media siber wajib menyediakan mekanisme pengaduan Isi Buatan Pengguna yang dinilai melanggar ketentuan pada butir (c). Mekanisme tersebut harus disediakan di tempat yang dengan mudah dapat diakses pengguna. f. Media siber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan koreksi setiap Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan dan melanggar ketentuan butir (c), sesegera mungkin secara proporsional selambatlambatnya 2 x 24 jam setelah pengaduan diterima. g. Media siber yang telah memenuhi ketentuan pada butir (a), (b), (c), dan (f) tidak dibebani tanggung jawab atas masalah yang ditimbulkan akibat pemuatan isi yang melanggar ketentuan pada butir (c). h. Media siber bertanggung jawab atas Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan bila tidak mengambil tindakan koreksi setelah batas waktu sebagaimana tersebut pada butir (f). Ralat, Koreksi, dan Hak Jawab a. Ralat, koreksi, dan hak jawab mengacu pada UndangUndang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Hak Jawab yang ditetapkan Dewan Pers. b. Ralat, koreksi dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang diralat, dikoreksi atau yang diberi hak jawab. c. Di setiap berita ralat, koreksi, dan hak jawab wajib dicantumkan waktu pemuatan ralat, koreksi, dan atau hak jawab tersebut. d. Bila suatu berita media siber tertentu disebarluaskan media siber lain, maka: 1) Tanggung jawab media siber pembuat berita ter-

144 |158


Lampiran

5.

6.

7.

batas pada berita yang dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang berada di bawah otoritas teknisnya; 2) Koreksi berita yang dilakukan oleh sebuah media siber, juga harus dilakukan oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber yang dikoreksi itu; 3) Media yang menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan tidak melakukan koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber pemilik dan atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh atas semua akibat hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu. e. Sesuai dengan Undang-Undang Pers, media siber yang tidak melayani hak jawab dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (Lima ratus juta rupiah). Pencabutan Berita a. Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers. b. Media siber lain wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut. c. Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik. Iklan a. Media siber wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan. b. Setiap berita/artikel/isi yang merupakan iklan dan atau isi berbayar wajib mencantumkan keterangan ”advertorial”, ”iklan”, ”ads”, ”sponsored”, atau kata lain yang menjelaskan bahwa berita/artikel/isi tersebut adalah iklan. Hak Cipta Media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana dia145 |158


Memahami Hukum Pers

tur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencantuman Pedoman Media siber wajib mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini di medianya secara terang dan jelas. 9. Sengketa Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini diselesaikan oleh Dewan Pers. Jakarta, 3 Februari 2012 (Pedoman ini ditandatangani oleh Dewan Pers dan komunitas pers di Jakarta, 3 Februari 2012). 8.

146 |158


Lampiran

Lampiran 6: MoU Dewan Pers Dengan Kepolisian Republik Indonesia

147 |158


Memahami Hukum Pers

148 |158


Lampiran

149 |158


Memahami Hukum Pers

150 |158


Lampiran

151 |158


Memahami Hukum Pers

152 |158


Lampiran

153 |158


Lampiran 7: SEMA No. 13 Tahun 2008

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 30 Desember 2008 Nomor : 14/Bua.6/Hs/SP/XII/2008 Kepada Yth, 1. Sdr. Ketua Pengadilan Tinggi 2. Sdr. Ketua Pengadilan Negeri di – Seluruh Indonesia SURAT EDARAN Nomor: 13 Tahun 2008 TENTANG MEMINTA KETERANGAN SAKSI AHLI Sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan yang berhubungan dengan delik Pers, maka untuk memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Undang-Undang Pers, maka Hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli dibidang Pers. Oleh karena itu dalam penanganan/pemeriksaan perkaraperkara yang terkait dengan delik Pers hendaknya Majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk Pers tersebut secara teori dan praktek. Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana 154 |158


mestinya. a.n KETUA MAHKAMAH AGUNG – RI WAKIL KETUA MAHKAMAH AGUNG-RI BIDANG NON YUDISIAL

DR. HARIFIN. A. TUMPA, S.H., M.H.

Tembusan: Kepada. Yth 1. Para Ketua Muda Mahkamah Agung- RI 2. Para Hakim Agung pada Mahkamah Agung-RI 3. Panitia Mahkamah Agung-RI 4. Dewan Pers Catt: di: salin ulang dari SEMA No. 13 Tahun 2008

155 |158


Daftar Pustaka Buku Departemen Penerangan RI, Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Jakarta: 1998. Dewan Pers, “Penguatan Peran Dewan Pers” dalam Prol Dewan Pers 2007-2010, Jakarta: November 2008. Dewan Pers, Prol Dewan Pers 2007-2010, Jakarta: November 2008. Eriyanto dan Anggara, Kebebasan Pers dalam Rancangan KUHP, AJI dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta: 2007. Faisol, Ahmad, dkk (penyusun), Keterbukaan Informasi Publik, Buku Pegangan untuk Jurnalis, ISAI-TIFA, Jakarta: Oktober 2008. Gasma, Misbahuddin (ed), Jaringan Represi Terhadap Berita, Rekaman Kasus Tempo vs Tomy Winata, LBH Pers, Jakarta: Juni 2005. Iskandar, Maskun dan Atmakusumah (editor), Panduan Jurnalistik Praktis, Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta: Desember 2006. Luwarso, Lukas (editor), Kompetensi Wartawan: Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, Dewan Pers, Jakarta: Oktober 2005. Luwarso, Lukas dan Solahuddin, Advokasi Jurnalis, SEAPA, Jakarta: Agustus 2001. Luwarso, Lukas dan Solahuddin, Menghindari Jerat Hukum, Panduan untuk Wartawan, SEAPA, Jakarta: April 2003. Luwarso, Lukas, Kebebasan Pers dan Ancaman Hukum, Dewan Pers, Jakarta: 2005. Manan, Abdul (editor), Pencemaran Nama Baik di Asia Tenggara, AJI Indonesia, Jakarta: 2008. 156 |158


Pandjaitan, Hinca IP, Delik Hukum, KUHP & Peraturan yang Mengancam Kebebasan Pers, Makalah untuk Workshop dan Perlindungan Terhadap Jurnalis SEAPA di Hotel Santika, Jakarta, 27-30 April 2001. Prayitno, Budi (penerjemah), Etika Jurnalisme, Debat Global, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta: Juni 2006. Quick, Amanda C, World Press Encyclopedia: a Survey of Press Systems Worldwide, Volume 2 N-Z, Second Edition,Gale, USA: 2003. RUU KUHP Mengancam Kebebasan Pers dan Berekspresi”, Memorandum Dewan Pers, Jakarta 3 Mei 2005. Soerjoatmodjo, Gita W. Laksmini, Menyelesaikan Perkara Tanpa Prahara, Penggunaan UU Pers No. 40/99 dalam Perkara Pers, AJI Indonesia, Jakarta: 2005. Sukardi, Wina Armada, Cara Mudah Memahami Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Pers, Dewan Pers, Jakarta: 2008. Susanto, Edy dkk, Hukum Pers di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: 2010. Suwitra, Andi “Dinamika Kehidupan Pers di Indonesia pada Tahun 1950-1965: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Nasional”, Sosiohumanika No. 1 2008. 267. Tim LBH Pers, Proses Penanganan Perkara Pers, Panduan Bagi Penegak Hukum Polisi, Jaksa dan Hakim, LBH Pers, Jakarta: 2009. Tjandraningsih, Christine (penerjemah), Dekriminalisasi Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik, AJI Indonesia, Jakarta: Juli 2005. UNESCO, Media dan Pemerintah: Mencari Jalan Keluar, Jakarta: 1999. Media Antaranews.com, “Mahfud MD: Pilar Demokrasi Tersisa Hanya Pers”, Sabtu, 1 Desember 2012. 157 |158


Erabaru.net, “Lima Kekurangan UU Pers”, 13 Mei 2011. Dewanpers.or.id, “Siaran Pers Dewan Pers: Ancam Kemerdekaan Pers, UU ITE Perlu Direvisi”, 7 April 2008 Gatra.com, “Bagir: UU Pers Banyak Kelemahan”, 11 Mei 2011. Gatra.com, “Bagir: UU Pers Banyak Kelemahan”, 11 Mei 2011. Kompas.com, “Kemenkominfo Prioritaskan Revisi UU ITE Tahun Ini”, 16 Januari 2013. Okezone.com, “Sembilan Peraturan Baru Ancam Kebebasan pers”, 28 Desember 2011. Republika.co.id, “61 Pasal KUHP Dinilai Mengancam Kebebasan Pers”, 18 Februari 2010. Sindoradio.com, “Vonis untuk Majalah Tempo”, 4 Oktober 2012. Sriwijaya Pos, “Jangan Semena-mena Jerat Pers” (tanpa tanggal). Suarakarya-online.com, ”UU Intelejen Berpotensi Ancam Kebebasan Pers”, 21 Oktober 2011. Suaramerdeka.com, “Megawati: UU Kamnas Mirip Jerat Orba”, 1 Oktober 2012. Suaramerdeka.com, “Megawati: UU Kamnas Mirip Jerat Orba”, 1 Oktober 2012. Suaramerdeka.com, “Revisi KUHP Ancam Kebebasan Pers”, 17 November 2008. Tempo.co, “Mahfud Md: Pemilik Media Mengancam Kebebasan Pers”, 2 Desember 2012.

158 |158


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.