Penyunting/ Raka Ibrahim & Fahmi Nur Ichsan Tim Penulis/ Fadlia Hana Firman Suryani Justian Darmawan Maulida Raviola Muhammad Hisbullah Amrie Tata Letak/ Leonhard Bartolomeus
ISBN: 978-602-71743-1-3
Dituliskan dan diterbitkan oleh: Perkumpulan Pamflet Generasi Jl. Mimosa IV Blok E-17, Komplek Buncit Indah, Pejaten Barat Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12510 www.pamflet.or.id E-mail: pamfletindonesia@gmail.com
Buku ini dibagi dengan lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercialShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0)
POST-EVENT
RE(i)NOVASI MEMORI
PROLOG /
MENGGALI MAKNA BARU Mengapa istilah ‘Hak Asasi Manusia’ kerap terasa begitu jauh, sekaligus juga begitu dekat bagi banyak anak muda? Mereka belajar tentang HAM di sekolah, mereka mendengarnya sehari-hari di berita dan media, tetapi mereka sulit mengaitkan konsep HAM dengan kehidupan mereka sehari-hari. Fakta ini kami peroleh melalui penelitian mengenai pengetahuan dan pemahaman HAM terhadap 300 responden anak muda pelajar SMA dan SMK di Jakarta, Bandung dan Palu pada tahun 2014 lalu. Mayoritas pelajar yang menjadi responden tersebut hanya mengetahui HAM sebatas definisi yang diajarkan di sekolah, namun tidak memahami makna HAM yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Mereka juga kesulitan untuk membedakan antara pelanggaran HAM dan tindakan kriminal. Selain itu, hanya 53% responden yang masih percaya pemerintah dapat menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia, sementara 25% dari mereka tidak percaya pemerintah mampu menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Bagi kami, rasa percaya maupun tidak percaya dapat menjadi kekuatan. Keduanya menjadi energi yang dapat diarahkan untuk mengajak anak muda berbuat sesuatu — mereka yang percaya pemerintah semestinya bisa menuntut, sementara yang tidak percaya pemerintah semestinya bisa turut serta dalam penyelesaian dengan cara-cara alternatif. Sayangnya, hingga kini upaya-upaya untuk melibatkan anak muda dalam kampanye isu HAM kerap melihat anak muda sebagai kelompok yang tidak atau belum tahu, sehingga mereka perlu diberi tahu apa yang penting, apa yang baik, dan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Anak muda lebih banyak dilibatkan sebagai bagian dari massa, dengan narasi “perjuangan HAM” yang berjarak dengan keseharian mereka. Sejak Maret 2015, Pamflet menjadi bagian dari gugus kerja Pendidikan Publik di Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), gabungan dari berbagai organisasi dan individu yang mendukung perjuangan dan penegakan HAM di Indonesia. Keterlibatan kami di dalam koalisi ini turut membuat kami merefleksikan tantangan dari gerakan masyarakat sipil di Indonesia dalam mengkampanyekan isu HAM di Indonesia, salah satunya ketika berhadapan dengan anak muda sebagai “audiens”-nya. Pertama adalah terputusnya narasi tentang peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dan kaitannya dengan kehidupan di saat ini. Masa lalu adalah petunjuk bagi masa depan, tapi bagaimana dengan masa sekarang? Bagaimana pelanggaran HAM masa lalu mampu menjelaskan fenomena kekerasan dan fundamentalisme yang terjadi di masa sekarang, misalnya? Apa hubungan antara militer, kekuatan politik, dan konflik sumber daya alam yang kita hadapi hari ini? Dan apa yang bisa membuat anak muda tergerak dengan begitu berlimpahnya konflik di dalam hidup mereka hari ini?
i
Re(i)novasi Memori
Kedua adalah bagaimana menjembatani kampanye HAM yang lekat dengan citra aktivisme “gaya lama”. Tentu, anak muda perlu tahu ada orang-orang seperti Munir, Marsinah atau wartawan Udin, namun anak muda tidak perlu menjadi aktivis untuk membicarakan HAM di lingkungan mereka. HAM tidak selalu harus dibicarakan di dalam gedung parlemen, di jalan raya ketika demonstrasi, atau dibaca di headline koran. HAM juga bisa dibicarakan di Instagram atau chat group di LINE. HAM bisa diperdebatkan bersama sahabat atau pacar, bahkan dikritisi bersama orang tua di rumah. Membicarakan tantangan-tantangan ini di dalam lingkaran kami sendiri lewat serangkaian proses diskusi serius dan tak serius, kami sampai kepada sebuah pertanyaan: alih-alih menyampaikan tentang mengapa kasus HAM harus diselesaikan, lantas frustrasi karena anak muda seolah-olah tidak peduli, mengapa kita tidak membiarkan anak muda menentukan narasi “perjuangan” mereka sendiri? Ide kompetisi Re(i)novasi Memori lahir setelah serangkaian diskusi tersebut, juga bersama KKPK. Kompetisi ini tidak hanya bertujuan mengajak anak muda menginterpretasikan kembali kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang terkumpul dalam buku Menemukan Kembali Indonesia, namun juga mengajak mereka secara aktif dan kreatif menjadi “aktivis” gaya baru — mendefinisikan masalah, mengartikulasikannya dalam karya, kemudian merencanakan kampanye bagi kelompok-kelompok strategis di sekitar mereka. Melalui ketentuan karya berupa meme, lagu, ilustrasi, film pendek, esai foto dan campaign kit, lebih dari 150 karya terkumpul dari pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka adalah anak-anak muda yang sehari-hari update status di media sosial namun tergerak untuk “menemukan” dan “menampilkan kembali” sosok Marsinah, Munir dan Udin, serta tergerak untuk menyampaikannya kepada anak-anak muda lainnya. Apakah renovasi dan inovasi anak muda terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM ini dapat menjadi suatu titik arah gerak baru perjuangan untuk isu pelanggaran HAM di Indonesia? Buku ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan mendokumentasikan kembali keseluruhan proses, serta wawasan-wawasan menarik yang kami temui ketika bertemu dan berdialog dengan anak-anak muda dari berbagai daerah di Indonesia selama rangkaian kegiatan Re(i)novasi Memori. Paling tidak, kami berharap dengan adanya kegiatan ini, anak muda dapat berpikir lebih kritis tentang kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia, mampu memunculkan pemaknaan-pemaknaan baru atas peristiwa dan dampak dari peristiwa pelanggaran HAM terhadap Indonesia hari ini, serta menjadi bagian penting yang mendukung perjuangan kemanusiaan di Indonesia sekarang dan nanti. Maulida Raviola Koordinator Umum Pamflet
Re(i)novasi Memori
ii
PROLOG /
APA ITU RE(I)NOVASI MEMORI?
Pada pertengahan tahun 2015, Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) bersama Pamflet menyelenggarakan kompetisi Re(i)novasi Memori: Suara Masa Lalu, Petunjuk Masa Depan, yang mengajak anak-anak muda Indonesia untuk memaknai kembali kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah terjadi di Indonesia. Kompetisi ini dibuka pada 24 Maret 2015, yang sekaligus diperingati sebagai Hari Hak atas Kebenaran (International Right to Truth Day) dan ditutup dua bulan kemudian pada 20 Mei 2015. Kami mengajak anak muda dari seluruh Indonesia untuk mengirimkan karya kreatif berbentuk komik, meme, lagu, video, esai foto, film pendek, dan ilustrasi yang dibuat berdasarkan penuturan penyintas dalam buku Menemukan Kembali Indonesia. Karya-karya tersebut kemudian ditampilkan dalam galeri online (kompetisi.kkpk.org) untuk disebarluaskan oleh para peserta kompetisi. Kompetisi ini diadakan agar kami, anak muda Indonesia, dapat merenovasi pemahaman dan pemaknaan kita tentang peristiwa pelanggaran HAM, melakukan inovasi dalam bentuk karya-karya kreatif dari memori tentang pelanggaran HAM, serta memperkeras suara-suara korban pelanggaran HAM yang masih diabaikan oleh negara. Bagi kami, suara-suara dari masa lalu inilah yang akan menjadi petunjuk masa depan kita.
iii
Re(i)novasi Memori
DAFTAR ISI PROLOG/ MENGGALI MAKNA BARU
i
PROLOG/ APA ITU RE(I)NOVASI MEMORI?
ii
DAFTAR ISI (IV)
iv
DARI MONOPOLI KE TOBAT MASSAL: ANAK MUDA DAN MEMORI KOLEKTIF TENTANG KEKERASAN “I’LL TELL YOU A STORY”: PROFIL 20 BESAR KARYA RE(I)NOVASI MEMORI MENOLAK MANUT: CERITA 3 JUARA DALAM MENGKAMPANYEKAN HAM KEPADA ANAK MUDA KEBERANIAN YANG MENULAR: CATATAN JURI DAN CERITA DARI ROADSHOW RE(I)NOVASI MEMORI EPILOG: MEREKA YANG ADA, DAN (SEMESTINYA) BERLIPAT GANDA
2 8 40 62 72
Re(i)novasi Memori
iv
“Bagi gerakan sosial, yang paling penting adalah memahami apa yang berubah dan apa yang tidak, dan mengapa semua itu dapat terjadi.� -Hilmar Farid-
1
Re(i)novasi Memori
1 DARI MONOPOLI KE TOBAT MASSAL: ANAK MUDA DAN MEMORI KOLEKTIF TENTANG KEKERASAN
Re(i)novasi Memori
2
ROADSHOW & PROMOSI Segera setelah kompetisi dibuka pada 24 Maret 2015, kami membentuk tim yang kemudian berangkat secara paralel untuk berkunjung ke beberapa kota yang kami anggap menarik, memiliki potensi untuk membuat kompetisi ini viral¸ dan tentunya memiliki jejaring yang kuat. Kota-kota tersebut antara lain adalah Jakarta, di mana kami bekerja sama dengan ruangrupa, di Yogyakarta dengan Ketjilbergerak, Ambon dengan Humanum, dan Bandung dengan Common Room. Tak hanya mengenalkan Kompetisi Re(i)novasi Memori, kami juga tak ingin melewatkan kesempatan untuk memetakan berbagai masalah yang dialami anak muda di tiap kota lewat diskusi terbatas dengan anak muda dari beragam komunitas, juga dengan individu merdeka yang peduli pada hak asasi manusia.
AMBON
“Perlu diketahui bahwa Ambon pernah mengalami konflik sosial pada 1999. Kini, setelah lebih dari sepuluh tahun konflik berlalu, masyarakat kota Ambon terpisah secara geografis berdasarkan agama. Komunitas Kristen berada di belahan Selatan pulau Ambon, sedangkan komunitas Muslim berada di Utara.�
3
Re(i)novasi Memori
“Masalah pemerataan pembangunan di Ambon menjadi sorotan, terutama di sektor pendidikan. Daerah Manusela (Pulau Seram) hanya memiliki 1 sekolah dengan 1 guru yang harus menangani 6 kelas tingkat dasar.�
“Setiap 19 Januari, Festival Orang Basudara digelar di Gong Perdamaian Dunia, Ambon untuk memperingati konflik yang pecah di tanggal yang sama pada 1999. Dalam festival ini, musik sawat (dari kelompok Muslim) dan musik totobuang (dari kelompok Kristen) dipadukan untuk mencerminkan harapan perdamaian dari kedua kelompok kepercayaan tersebut.�
Re(i)novasi Memori
4
JAKARTA
“Terdapat kasus monopoli penggunaan air oleh perusahaan Palem, Citra, dan SGA (perusahaan air minum swasta) di wilayah Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat yang mengakibatkan sumber air warga di wilayah RT 007 dan RW 002 di daerah tersebut kering.”
“Terjadi masalah perebutan kepemimpinan masjid di daerah Cengkareng, Jakarta Barat antara kelompok Muhammadiyah dan kelompok Ansor. Sengketa ini bahkan sudah dilaporkan ke Komnas HAM.”
5
Re(i)novasi Memori
BANDUNG
“Muncul sentimen anti-Tionghoa dan gerakan ekstremis Islam pada anak muda di Bandung. Keduanya dijalankan melalui jalur seni (konser musik, kampanye musisi, dan pembuatan kaos) sehingga menjaring lebih banyak massa dan membentuk opini di kalangan masyarakat yang lebih luas.”
“Fenomena ‘tobat massal’ yang dilakukan musisi dari beberapa band kawakan (seperti Pure Saturday atau band indie lainnya) membuat anak muda di Bandung terpapar ide anti-Syi’ah dan ide ekstremis lainnya.”
“Terdapat 2 tipe massa yang ada di Bandung: (1) pendukung Ridwan Kamil yang menganggap ia bercitra baik dan inspiratif, dan (2) yang tidak mendukung Ridwan Kamil karena menganggap kampanyenya hanya bersifat kosmetik.”
Re(i)novasi Memori
6
“Kalau teman-temanmu tanya, kenapa bapakmu dicari-cari polisi, jawab saja: karena bapakku orang berani.� -Wiji Thukul-
7
Re(i)novasi Memori
2 “I’LL TELL YOU A STORY”* PROFIL 20 BESAR KARYA RE(I)NOVASI MEMORI
*) Diambil dari lirik lagu Don’t Let Them Be karya Asanilta Fahda, finalis asal Bandung.
Re(i)novasi Memori
8
KOMPETISI & PENJURIAN Dalam waktu dua bulan dibukanya kompetisi, kami mendapat kiriman lebih dari 150 karya dari anak muda di seluruh Indonesia. Karya yang dikirim didominasi oleh meme dan ilustrasi, namun beragam karya berupa lagu, video, komik dan film pendek juga menghiasi galeri online kompetisi.kkpk.org. Meski kami menjadikan buku Menemukan Kembali Indonesia sebagai acuan utama untuk karya yang akan dikirim peserta, banyak pengirim mengangkat kisah-kisah lokal dan mengambil sudut pandang yang di luar dugaan kami: mulai dari karya film pendek yang menyoroti konflik agama di Ambon, hingga meme jenaka yang memparodikan apatisme pemerintah terhadap pelanggaran HAM. Ragam karya yang masuk membantu kami mengukur secara tidak langsung bagaimana anak muda (atau setidaknya anak muda yang mengirimkan karya) menyikapi dan memandang isu hak asasi manusia. Ada yang penuh dengan kemarahan dan pesimisme, ada pula yang menanggapinya dengan santai dan jenaka. Selama dua bulan kompetisi, kami terus menikmati dikagetkan oleh mereka.
Para juri yang terdiri dari Nancy Sunarno (KKPK), Kartika Jahja (Musisi), Reza “Komikazer� Mustar (Komikus), Chairun Nissa (Sutradara), dan Khairul Insani (Pekerja Kreatif) lantas menyeleksi karya-karya yang masuk melalui dua tahap. Pada tahap pertama, karya yang masuk dipilah menjadi 20 karya terbaik yang dinilai berdasarkan ide, eksplorasi tema, serta penyampaian pesan. Tahap kedua penjurian kemudian dilakukan pada 20 karya terbaik yang lolos sebagai finalis kompetisi. Sebelum tahap kedua dimulai, para finalis diberikan materi dalam coaching clinic mengenai kampanye kreatif dan isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Setelah itu, para peserta diminta mengembangkan karya mereka menjadi kampanye kreatif yang dapat disebarluaskan ke publik. Ide kampanye inilah yang kemudian diseleksi lagi oleh juri untuk menentukan pemenang kompetisi.
9
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
10
KARYA TERPILIH
KE DEPANNYA MAU BAGAIMANA? Irsyad Pratama & Dwi Irma
Film pendek berjudul “Ke Depannya Mau Bagaimana?� berisi perasaan dan pendapat beberapa narasumber dan seorang korban pelanggaran HAM masa lalu. Pelanggaran HAM masa lalu, terutama yang terjadi setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965, telah menelan banyak korban yang tidak bersalah. Salah satunya sosok Asman Yodjodolo yang pada saat itu merupakan seorang guru di salah satu desa terpencil di Sulawesi Tengah. Beliau yang saat itu sedang mengajar tibatiba ditangkap oleh beberapa tentara, dibawa ke Palu, dan diinterogasi tentang hal yang sebenarnya ia tidak ketahui. Keterlibatannya dalam beberapa organisasi, termasuk Organisasi Pelajar pada saat itu, membuat beliau dicurigai sehingga ia ditangkap. Beliau beserta beberapa korban lainnya dipaksa untuk bekerja rodi di kantor-kantor pemerintah dan militer, serta jalan dan jembatan. Beliau menceritakan sedikit pengalaman beliau dalam film ini. Di akhir film, para narasumber memberi pendapat mereka tentang apa yang harus dilakukan agar kasus serupa tak terulang di masa depan.
13
Re(i)novasi Memori
Tim ini awalnya hanya beranggotakan 3 orang. Setelah karya ini dinyatakan masuk 20 Besar Re(i)novasi Memori, anggota mereka bertambah jadi 5 orang. Tim ini beranggotakan Irsyad Pratama, Anonimus, Basetmo (nama samaran), Chiriku (nama samaran), dan terakhir anggota tambahan yaitu Dwi Irma. Masing-masing bertugas menggagas ide cerita film, menentukan pertanyaan yang diajukan ke narasumber, pengambilan gambar dan penyuntingan, fasilitator, dan mempresentasikan karya.
WANI PIRO? Ali Ridho
Karya ini saya dedikasikan bagi para korban pelanggaran HAM 1998. Saya ingin menyuarakan kembali sesuatu yang mestinya lebih diperhatikan oleh pemerintah melalui filosofi “Wani piro?” dipadukan dengan karakter meme Willy Wonka. Wani piro berarti sesuatu yang mustahil dilakukan kecuali dengan menyertakan uang. Lalu ada Willy Wonka, seorang karakter yang “nyinyir” atau menyindir. Melalui karya ini, saya berharap minimal masyarakat “melek” kembali soal kasus yang telah dilupakan ini.
Nama saya Ali Ridho. Lahir pada tanggal 3 April tahun 1996 di kota Pasuruan. Tumbuh dan besar di salah satu kota kecil di Kabupaten Pasuruan, Bangil. Menempuh pendidikan dari TK hingga SMA di kota tersebut. Sekarang tinggal di perantauan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di jurusan Psikologi, Universitas Negeri Malang. Punya impian menjadi seorang psikolog. Pesan saya untuk Pamflet: “Jangan berhenti berkarya!”
Re(i)novasi Memori
14
15
Re(i)novasi Memori
WIJI THUKUL Abdi Rahman
Saya mengetahui kompetisi Re(i)novasi Memori dari Facebook. Jujur, saya tertarik dengan hadiahnya. Setelah saya cek situsnya ternyata temanya tentang HAM. Saya memilih kategori komik dan mengambil tema pejuang HAM Wiji Thukul, dan mencari referensi mengenai beliau dari internet serta buku Menemukan Kembali Indonesia. Awalnya, saya cukup kesulitan mengenai cerita apa yang bisa diangkat dari kisah penghilangan paksa Wiji Thukul. Kemudian, terlintas di pikiran kenapa tidak menceritakan realitas anak muda saat ini beserta sikap mereka dalam menanggapi isu HAM di sekitar? Akhirnya saya membuat komik pendek tentang anak muda yang kesal karena tembok rumahnya ditempeli poster Wiji Thukul, tanpa ada rasa peduli dan rasa ingin tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi sehingga poster-poster semacam itu ditempel di ruang publik. Saya menggambar komik ini di kertas berukuran A4 dengan drawing pen, semuanya serba manual dan hasilnya saya scan. Setelah dikirim, saya baru sadar kalau ternyata hasil scan-nya agak miring
Nama saya Abdi Rahman. Saya anak pertama dari 3 bersaudara, lahir di Banjarmasin, 23 Oktober 1992. Saya lulus sekolah menengah atas pada 2009 dan tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah karena alasan biaya. Setelah lulus, saya memilih mengikuti pelatihan-pelatihan pengembangan diri, dan saat ini saya bekerja sebagai admin di sebuah tempat usaha yang bergerak di bidang jasa. Saya suka menggambar di waktu luang saya dan tertarik dengan isu-isu sosial. Saya belajar mengangkat isu-isu tersebut secara ringan ke dalam gambar, meme dan komik strip.
Re(i)novasi Memori
16
ESAI FOTO: BERAKHIR TANDA TANYA Andriawan Marselino & Raihanda Dwimart Mangawe
17
FOTO 1
FOTO 2
FOTO 3
FOTO 4
Re(i)novasi Memori
FOTO 1
Lapas, atau Lembaga Permasyarakatan - sering disebut juga Rumah Tahanan – merupakan salah satu fasilitas Negara yang berfungsi sebagai tempat penahanan para narapidana. Siapa sangka, Lapas Maesa Palu pernah menjadi tempat penahanan para korban pelanggaran HAM masa lalu di kota Palu. Tampak pula seorang pengendara sepeda motor yang lewat di depan bangunan lapas. Kelihatannya pengendara motor tersebut cuek saat melintas, seolah-olah tidak tahu dan lupa dengan kasus yang pernah terjadi. Masyarakat saja lupa, bagaimana dengan pemerintah?
FOTO 2
FOTO 3
Ini merupakan salah satu hasil kerja para korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka dipaksa membuat parit yang dalam dan panjang seperti ini. Parit ini cukup sempit, namun memiliki kedalaman sekitar 110 cm. Di sinilah keringat dan darah mereka mengalir di masa lalu. Merupakan salah satu jalan terpanjang di Sulawesi Tengah. Ruas jalan ini melintasi 3 Kabupaten-Kota di Sulawesi Tengah, yaitu Kabupaten Sigi, Kota Palu, dan Kabupaten Parigi Moutong. Ruas jalan ini merupakan salah satu hasil karya para korban pelanggaran HAM masa lalu. Setiap hari, mereka bekerja tanpa imbalan, bahkan tidak mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan layak. Tak jarang, setelah mereka menyelesaikan pekerjaan jalan ini, mereka dibunuh. Darah dan keringat mereka mungkin kini juga sudah tertutup oleh aspal jalan. Kini, kasus mereka malah “disembunyikan” oleh para pemegang kekuasaan. Apakah ini “rasa terima kasih” yang layak mereka terima?
FOTO 4
Bicara soal makam, yang terbesit dalam benak kita adalah tempat yang angker dan mengerikan. Makam ini merupakan representasi tempat pemakaman masyarakat di Palu. Diyakini masyarakat, dahulu, – sebelum makam ini berubah menjadi kompleks pemakaman Tionghoa - ada beberapa korban pelanggaran HAM masa lalu yang dimakamkan di pemakaman ini, namun tidak diketahui pasti identitasnya.
Andriawan Marselino mengerjakan karya esai foto ini bersama dengan Raihanda Dwimart Mangawe. Mereka berdua bermukim di Palu, dan tengah menempuh studi di SMA Labschool Universitas Tadulako, Palu.
Re(i)novasi Memori
18
PRIDE Anzi Matta
Beberapa negara Asia punya sejarah panjang dengan pasukan militernya—salah satunya Indonesia dengan pasukan militernya yang pernah tenar, TNI (atau dulu disebut ABRI). Militer pernah memiliki pengaruh besar dalam negara, bahkan turut berpartisipasi dalam sistem pemerintahan kenegaraan. Dulu kita mengenal konsep Dwifungsi ABRI, di mana militer memiliki dua peran atau status sebagai militer dan masyarakat sipil. Ini membuat militer kerap campur tangan dalam segala hal. Umumnya, ketika seseorang memasuki dunia militer, mereka tidak lagi bersikap sebagai nation builder. Tapi ada faktor lain, yaitu rasa hormat, kebanggaan, dan lainnya. Karya ini sendiri dibuat menggunakan pensil di atas kertas, kemudian melalui proses finishing dengan Adobe Photoshop.
19
Re(i)novasi Memori
Saat ini saya bekerja di salah satu perusahaan marketing communication, serta sebagai illustrator dan penulis lepas. Bersekolah Psikologi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Memiliki minat besar di isu sosial-politik dan bidang lainnya.
Come on over, I’ll tell you a story Of a man who tried to speak his mind They wouldn’t let him, no, they tried to get him, so The next day his body was found Come on over, I’ll tell you a story Of a woman victimized and attacked All the terrors she’d seen and the terrors she’d felt No, her husband wouldn’t even take her back Don’t let there be Another tragedy Don’t let them down Make them be sound Come on over, I’ll tell you a story That happened in 1998 Young people fought for their hopes and they fought for their dreams But one day they were taken away Nobody knew where they’d gone Their families waited so long But some couldn’t even make it back home Don’t let them be Another memory Don’t let them down Let them be found Don’t let there be Another tragedy Don’t let them down Make them be sound And if you listen closely you’ll hear these unheard voices Come on over, I’ll tell you a story....
Re(i)novasi Memori
20
DON’T LET THEM BE Asanilta Fahda
Terinspirasi oleh lomba Reinovasi Memori, Nilta, Neyssa, dan Budi mengumpulkan beberapa kisah pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia dan menyusunnya dalam sebuah lagu berjudul Don’t Let Them Be. Mereka lalu berkumpul dan merekam lagunya bersama, dengan Nilta di vokal, Neyssa di piano & backing vocal, serta Budi di biola. Hasil rekaman ini lalu di-mixing, diunggah ke Soundcloud, dan disebarluaskan. Lagu mereka dapat didengarkan di tautan: https://soundcloud.com/asanilta/dont-let-them-be
Asanilta Fahda (Nilta), Neyssa Nathania (Neyssa), dan Budiono Adisantosa (Budi) adalah tiga mahasiswa dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB. Berangkat dari kegemaran mereka dalam bidang musik, mereka membentuk sebuah band bersama beberapa teman lainnya yang juga memiliki keinginan untuk berkarya bersama. Nilta lahir di Bandung, 25 November 1994. Sejak SMP, ia senang bernyanyi dan menulis lagu dengan berbagai macam tema, mulai dari lagu cintacintaan hingga lagu yang mengangkat isu-isu di Indonesia. Saat ini ia belajar Informatika di ITB. (http://soundcloud.com/asanilta) Neyssa, mahasiswi Sistem dan Teknologi Informasi ITB, lahir di Jakarta tanggal 13 Februari 1995 dan sudah mulai belajar musik klasik sejak kecil. Kini, ia gemar berkarya di bidang musik pop dan jazz dengan berlatih vokal, piano dan gitar. Ia sering merekam cover lagu dan terkadang juga membuat lagu sendiri. (http://soundcloud.com/lillyducky) Budi lahir di Jakarta tanggal 15 Januari 1996 namun besar di Bandung, dan kini merupakan mahasiswa Telekomunikasi ITB. Ia sudah belajar biola sejak umur 6 tahun tetapi tidak pernah mengikuti sekolah musik formal. Ia menggeluti permainan biola dalam berbagai macam genre, termasuk klasik, pop, hip hop, dan EDM. (http://soundcloud.com/budiono-adisantosa)
21
Re(i)novasi Memori
TERBELENGGU DALAM GELAP Hero Setiawan
Seorang perempuan muda dengan ekspresi marah dan dililit seekor ular merupakan penggambaran dari betapa merananya nasib perempuan pada masa pemerintahan Orde Baru. Karya saya dibuat dengan warna hitam putih agar memunculkan kesan suram. Kesaksian Christina Sumarmiati menjadi inspirasi dalam pembuatan karya ini. Tak lupa saya cantumkan petikan kisah kesaksian beliau agar gambar tersebut dapat bicara tentang kebenarannya.
Hero Setiawan adalah seorang mahasiswa akuntansi yang nyasar jadi desainer grafis. Ia lahir di Bengkulu, pada 19 Mei 1993, dan saat ini berdomisili di Bintaro, Tangerang Selatan.
Re(i)novasi Memori
22
SANG TERTINDAS
NUR
Rizca Ayu & Yunan Helmi
Rizca Ayu & Yunan Helmi
Di manakah ayahku? Dibunuh tentaramu
Masihkah harus kita terlambat lagi
Di manakah ibuku? Akhirnya jual itu Begitulah hasilnya, ulah para penguasa Di manakah bukuku? Aku tak punya buku Di manakah penaku? Nanti aku diburu Begitulah hasilnya, ulah para penguasa Jika aku bisa memilih? Lebih baik ku dipenjara Setelah kuhabisi, mereka satu persatu, aku tak peduli Bisa jadi begitulah perasaannya, setiap jiwa yang kau renggut segala haknya Namun kita punya nurani, tak sama denganmu... Di manakah asaku? Jika semua telah hancur
Setelah semua hilang tak kan kembali Satu persatu nyawa ditembak mati Satu persatu hancur dihantam besi Tak peduli apa agama dan negaranya Hak asasi manusia tetaplah sama saja Lenyapkanlah sudah semua! Sampai tiada tersisa Namun hadapi kami manusia, yang punya nurani, tak kan mati Karena mati satu saja, pasti tumbuh seribu Nurani adalah cahaya-Nya, tak kan pernah hilang selamanya Aku nurani, kita nurani Tak akan mundur meski selangkah kaki Melawan lawan yang menindas tertindas
Di manakah hidupku? Tuhan sandaran hidup
Ide adalah proyek musik dari Rizca Ayu dan Yunan Helmi, yang sebelumnya bermain di band bernama Phi. Lagu-lagu mereka banyak menyuarakan kegelisahan mereka mengenai isu kemanusiaan dan sosial. Salah satu lagu mereka, Telepon Kaleng, menjadi soundtrack dari film berjudul Samudra.
23
Re(i)novasi Memori
TIDAK TAHU APA-APA Irsyad Pratama
Meme ini menceritakan seseorang yang simpati kepada korban yang ditangkap secara semena-mena tanpa mengetahui kenapa dia ditangkap. Ini keadaan korban Pelanggaran HAM tahun 19651966 yang pada saat itu dituduh dan ditangkap secara semena-mena tanpa bukti dan proses hukum yang jelas. Ini jelas tindakan yang sangat tidak adil serta melanggar hak asasi korban. Setiap orang berhak mendapat praduga tidak bersalah dan perlindungan hukum yang adil. Kita perlu menyadari bahwa semua orang punya hak, agar ke depannya hal seperti itu tidak terjadi lagi.
Moh. Irsyad Pratama lahir di Palu pada 14 November 1997. Sekarang ia adalah siswa kelas XII di SMAN Model Terpadu Madani. Dia tertarik dengan berbagai isu kenegaraan dan anak muda, dan juga aktif dalam beberapa organisasi baik di sekolah seperti MPK dan Dewan Ambalan Pramuka, maupun di luar sekolah seperti Pengurus Ikatan Alumni PCTA Sulteng dan Pengurus IKA SMPN Model Terpadu Madani. Saat ini sedang menggemari Anime Jepang dan merupakan anggota ALPA (Anime Lovers Palu).
Re(i)novasi Memori
24
25
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
26
“NAGANAMO: CUKUP SUDAH, CUKUP KAMI, JANGAN ANAK CUCU LAGI!” Jefrianto
PKI, Komunis, dan Kiri adalah tiga kata hantu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Mereka yang pernah merasakan hidup di zaman Orde Baru pasti awam dengan kata itu. Bahaya laten, pengkhianat, dan kudeta pasti jadi kata selanjutnya. Di Karumba, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, terletak kuburan korban pembantaian 1965-66. Semula tak ada yang tahu siapa gerangan yang berada di dalamnya. Mereka menyebutnya dengan sebutan “Dayo nu PKI”. Kuburannya tak bernisan seperti kuburan pada umumnya. Ia hanya gundukan tanah dengan batu di kedua ujungnya. Kemudian datanglah kabar dari para penyintas. Asman Yodjodolo (72) mengatakan bahwa si pemilik kuburan bernama S. Baka. Ia orang Kulawi yang dituduh sebagai anggota PKI. Ia kemudian ditangkap, dipenjara dan jadi pekerja paksa di jalan Palu-Parigi. Kerja berat, makan jarang, dan istirahat kurang, akhirnya perlahan-lahan membunuh S. Baka. Itu bukan maunya. Itu kemauan Bapak Jenderal yang suka tersenyum. S. Baka lebih beruntung nampaknya. Empat kawannya lebih naas nasibnya. Jika pusara S. Baka diketahui letaknya, lain hal dengan empat kawannya. Mereka mungkin berpusara, mungkin tidak. Kalaupun berpusara, tak ada yang tahu di mana letaknya. Waktu mungkin takkan bisa lagi terulang. Namun peristiwa yang sama tak boleh berulang. Naganamo! Cukup Mereka! Jangan Anak Cucu Mereka!
Jefrianto lahir di Lombonga, sebuah desa kecil di Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala pada tanggal 11 Desember 1990. Saat ini, ia tengah dalam proses penyelesaian studi di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako. Pernah menjabat sebagai Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengkaderan di Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se Indonesia periode 2011-2013. Pernah menjadi duta Sulawesi Tengah di Indonesian Youth Conference 2012 dan Indonesian Movement Conference 2013. Saat ini aktif sebagai pegiat HAM di Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulawesi Tengah (SKPHAM Sulteng) dan menekuni hobi jurnalistik di Harian Umum Mercusuar. Tulisan-tulisannya dapat dilihat di www.jefriantogie.blogspot.com. Dapat dihubungi di 085255969357 dan jefryhistory@gmail.com
27
Re(i)novasi Memori
KEMBALIKAN HUTAN KAMI Marky Josan
Marky Jo mengerjakan karya ‘Kembalikan Hutan Kami’ secara berkelompok saat roadshow Re(i) novasi Memori di Kota Ambon. Karya yang mereka buat terinspirasi dari hutan adat Cirompang yang beralih fungsi menjadi hutan produksi. Implikasi atas perubahan ini berdampak pada akses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan semakin terbatas. Pada tahun 2003, hutan produksi beralih menjadi hutan konservasi, sebagai perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Ketika seluruh tanah tersebut dijadikan hutan konservasi yang berarti masyarakat tidak bisa lagi mengelolanya, masyarakatÂpun masih tetap dikenai pajak walau dengan cara halus, yaitu memberikan sumbangan yang dikumpulkan oleh Ketua Rukun Tetangga, yang kenyataannya kemudian diserahkan kepada pihak Taman Nasional.
Marky Josan lahir pada tanggal 31 Oktober 1998. Kini, Jo, begitu ia akrab disapa, tengah menempuh studi di SMA Negeri 5 Ambon. Jo juga menjadi relawan di Humanum, organisasi sosial di Ambon.
Re(i)novasi Memori
28
MENOLAK LUPA MUNIR Maskub Wicaksono Karya ini saya angkat dari kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib, yang diracun dalam perjalanannya menuju Amsterdam pada 7 September 2004. “Menolak Lupa, Pejuang HAM jadi Korban HAM, Munir yang gila atau Negeri ini yang gila?” adalah kalimat yang saya tulis dalam poster ini. Karena aktivitasnya yang mengadvokasi korbankorban penculikan dan kekerasan yang terjadi di rezim Orde Baru, ia mendapat berbagai teror dan ancaman pembunuhan, salah satunya dari pihak militer yang merasa “terganggu dan terancam” jika masyarakat tahu kejahatan-kejahatan mereka. Pada 7 September 2004, ia dibunuh. Diduga kuat, operasi badan intelijen terlibat. Namun atas dasar apa ia harus dibunuh? Apakah salah jika seseorang bertindak benar dan tinggi jiwa kemanusiaannya? Apakah yang ia lakukan dapat merugikan negeri ini? Jika memang ya, dalam hal apakah negeri ini dirugikan? Yang ingin saya sampaikan kepada publik melalui poster ini adalah: “Sampai kapan orang yang benar dan kritis dianggap berbahaya dan harus dimusnahkan?”
29
Re(i)novasi Memori
Nama saya Maskub Wicaksono. Kini, saya tengah menempuh studi di jurusan Komunikasi Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta. Sejak tahun 2014, saya menjadi relawan di yayasan yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan sosial. Lewat karya ‘Menolak Lupa Munir’, saya ingin mengajak anak muda memahami isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
DIBUNUH KARENA BERITA Faqihuddien Abi Utomo Bagaimana kronologi saat Fuad Muhammad Syafrudin, atau yang kita kenal sebagai Udin, dihabisi nyawanya oleh seorang oknum hanya garagara berita? Isu macam apa yang sering diangkat selama Udin menjadi wartawan Harian Bernas, Yogyakarta? Bagaimana tanggapan publik atas kematiannya? Apa yang bisa diteladani dari sosok Udin oleh generasi muda sekarang dan generasigenerasi setelahnya? Dan yang tak kalah penting: mengapa Udin pantas selalu kita kenang serta suarakan terus agar kasusnya bisa tuntas? Rumah Produksi HUMA bekerja sama dengan EPIC Media berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam film pendek berjudul Dibunuh Karena Berita. Selamat menonton dan menyebarluaskan. Semoga para pejuang HAM di negeri ini menjadi martir dan keberaniannya mengungkap kebenaran-kebenaran di luar sana akan selalu menginspirasi.
Akhmad Muawal Hasan, Didik Soedarsana, dan Faqihuddien Abi Utomo tergabung dalam Rumah Produksi HUMA. Kami mengajak orang-orang, khususnya anak muda, untuk melihat masalah kemanusiaan. Masih banyak masalah kemanusian di kalangan akar rumput yang harus diketahui manusia lainnya, agar tidak lantas dilupakan. Pada kompetisi ini, Rumah Produksi Huma diwakili oleh Faqihuddien Abi Utomo.
Re(i)novasi Memori
30
PERJALANAN HIDUP SEORANG AKTIVIS Rian Winardi
Suatu hari, saya pernah ikut sebuah demo yang diselenggakaran oleh organisasi kampus. Keesokan harinya setelah demo, seorang teman kampus tiba-tiba menyapa saya, “Ciee, kemarin masuk TV saat demo. Sudah jadi aktivis kampus ya sekarang?” Saya berpikir, gampang sekali rupanya memperoleh gelar aktivis. Cukup ikut demo, gelar aktivis sudah tertempel. Menurut saya menjadi aktivis itu tidak enak. Sekarang, orang yang dianggap aktivis sering jadi bulan-bulanan, biasanya di media sosial. Dianggap sok kritis lah, banyak omong lah, tukang protes lah, atau apalah. Untung, saya tinggal di zaman yang lebih enak. Para aktivis yang hidup sebelum tahun 2000-an, hanya tersisa sedikit. Rata-rata sudah dihilangkan. Ada yang dihilangkan jiwa dan raganya, ada yang dihilangkan jiwa kritisnya. Tapi, seperti kata pepatah: “Mati satu, tumbuh seribu!”
31
Re(i)novasi Memori
MENOLAK LUPA Rian Winardi
Seorang teman pernah berkata “Untuk apa sih mengingat-ingat kasus-kasus gituan, toh sudah berlalu juga. Lagi pula gak ada untungnya mikirin kasus kaya gitu�. Memang sih mengingat masa lalu itu gak ada enaknya. Apalagi masa lalu yang kelam. Tapi, bukankah masa lalu bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk memperbaiki masa depan? Gambar ini saya buat hanya untuk mengingatkan kita semua untuk tidak melupakan begitu saja kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu. Selama ini kita sudah mulai melupakan mereka yang telah berjuang untuk masa depan kita. Kita sudah mulai lupa mengucapkan “Terima Kasih� kepada mereka yang berjuang untuk masa depan Indonesia. Mereka yang telah berjuang agar Indonesia kedepannya menjadi Negara yang lebih baik. Lantas, kenapa kita dengan mudah melupakan mereka?
Rian Winardi. Terlahir berjenis kelamin laki-laki di sebuah kota kecil bernama Singkawang. Rian merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Cita-citanya menjadi dokter hewan satwa liar di Indonesia. Untuk menwujudkan cita-cita tersebut, Rian merantau ke Pulau Dewata untuk menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Rian selalu mengisi waktu luangnya dengan mempelajari hal-hal baru yang tidak ditemukannya di dalam kampus. Untuk mengenal Rian lebih jauh, silahkan kontak Rian.winardi@gmail. com. Mungkin kita bisa ngopi bareng di pinggir Pantai Kuta.
Re(i)novasi Memori
32
DI MANAKAH HAM? Vita Fauzia
Ilustrasi ini ingin mewakili perasaan para perempuan korban pelanggaran HAM. Wajah yang dilukai dan separuh dikuliti adalah simbol dari keadaan para korban yang dilukai fisik maupun psikisnya. Meski menganga luka di sana-sini, matanya tetap mampu menatap ke depan. Seperti para korban yang memiliki keberanian untuk memberi kesaksian atas apa yang mereka alami dan tetap memperjuangkan hak mereka.
Vita Fauzia lahir dan besar di Lumajang, kota kecil nan damai di kaki gunung Semeru. Mulai akrab dengan desain grafis semenjak duduk di bangku SMAN 2 Lumajang. Saat ini sedang merantau di ibukota untuk menuntut ilmu sebagai mahasiswa kedinasan di STIS.
33
Re(i)novasi Memori
MENOLAK LUPA Vita Fauzia
Di komik ini, dua tokoh anak muda sedang mengobrol saat senggang. Ternyata, obrolan santai ini menjurus kepada sesuatu yang agaknya jarang dipedulikan oleh anak muda hari ini. Yakni, pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan Poso. Penggorokan yang terjadi di Aceh dan aksi pemotongan tubuh korban di Palu ini sama-sama dilakukan oleh oknum militer. Sebenarnya masih banyak kejadian mengerikan lain yang pernah dan masih terjadi. Masih segar ingatan kita atas pelanggaran HAM berat di kota kecil Lumajang, yang dialami oleh petani bernama Salim Kancil. Dengan aksi menolak lupa ini, diharapkan tindakan brutal serupa takkan terulang lagi.
Menyenangi cerpen dan sesekali menulis, salah satu tulisannya pernah dimuat di koran. Sedang vakum dari dunia blogging, tapi tetap menekuni hobi di bidang desain dan juga belajar musik serta ilustrasi. Tertarik pada isu-isu sosial dan aktif terlibat dalam lembaga Media Kampus STIS dan komunitas Vespa. Mulai mendalami isu HAM setelah mengikuti workshop Seni dan HAM yang merupakan rangkaian acara Re(i)novasi Memori.
Re(i)novasi Memori
34
ADAPTASI HORMAT SI JENDERAL Yasmin Jamilah
Ada banyak cerita yang saya dapatkan sebagai seorang ‘anak kolong’ (sebutan untuk anak tentara). Walaupun ayah saya tidak pernah bekerja di garis depan, ayah saya bekerja sebagai akuntan di rumah sakit militer di Cimahi. Sewaktu kecil, Bapak sering membawa saya ke kantor karena tidak ada orang yang mengurus saya di rumah. Sewaktu itu pula, saya jadi mengenal beberapa teman-teman bapak, yang semuanya merupakan anggota TNI. Bapak sering mengajak teman-temannya untuk singgah ke rumah sepulang kerja. Dari perbincangan sore-sore Bapak dengan teman-temannya, saya menangkap satu hal — ada semacam sentimen di antara para anggota TNI, sentimen yang membuat mereka merasa lebih baik dari warga sipil karena pangkat dan jabatan yang mereka miliki. Seragam loreng-loreng dan baret yang mereka pakai sesekali seakan-akan meningkatkan derajat mereka. Saya tidak tahu apa yang membuat para TNI sangat bangga dengan kesatuan mereka. Bangga dengan jabatan Kopral, Sersan, Letnan, Kapten, Mayor, dan Kolonel mereka.
35
Re(i)novasi Memori
Bapak dan teman-temannya kebetulan golongan dengan pangkat menengah — hanya sekedar Kapten dan Mayor di kesatuan, namun mereka tetap menjunjung tinggi harga diri mereka. Saya tidak mau membuat generalisasi mengenai para anggota TNI, namun saya kadang gerah melihat kelakuan mereka. Para TNI yang pangkatnya masih ‘rendahan’ (baca: Kopral atau Sersan) sering menggoda remaja perempuan yang lewat, memberikan cat call yang menurut saya sama sekali tidak pantas untuk dilakukan oleh mereka. Para TNI yang pangkatnya menengah seperti Bapak dan teman-temannya sering ugal-ugalan di jalan dengan seragam loreng-loreng, seolah-olah sengaja mencibir Polisi Lalu Lintas yang sudah pasti tidak akan berani menilang orang berseragam TNI. Saya jengkel. Sebal. Saat saya melayangkan protes pada Bapak, beliau hanya tertawa. Saat kelas 11, saya mengikuti acara Latihan Kepemimpinan yang disebut sebagai Solo Camp. Kami dilatih bersama para tentara, kebanyakan Sersan, di lereng gunung yang dingin dan lembap. Hampir setiap hari hujan mengguyur camp. Pelatihan selama tiga hari itu memberikan bekas pada saya. Kami dibuat duduk di bawah guyuran hujan dan petir, sekedar diberikan penjelasan mengenai materi membuat simpul. Kami disuruh berguling di tanah becek dan penuh lumpur sebagai hukuman karena minum tanpa izin. Di balik ‘penyiksaan’ yang mereka lakukan, mereka juga tak pernah lupa memberikan pembenaran kenapa tindakan yang mereka lakukan selalu benar. Para Pelatih (julukan kami untuk sersan-sersan itu) mengenalkan satu slogan pada kami, “badai pasti berlanjut”, sebuah slogan yang membuat kami belajar untuk sigap. Di balik rehat-rehat yang diberikan oleh pimpinan pelatih, saya berhasil diskusi dengan seorang pelatih, seorang Sersan asal Cianjur yang dulunya pernah dilatih di kesatuan Bapak. Status saya sebagai anak kolong mempermudah saya untuk menanyakan banyak hal yang mengganggu pikiran saya. Dari diskusi tersebut, pertanyaan saya malah meluas— mengapa para TNI mesti bersikap angkuh dan sentimental? Saat diskusi berakhir, saya mengambil foto si pelatih. Ia meniru pose khas Soeharto semasa masih menjabat sebagai anggota TNI. Foto tersebut saya kirimkan untuk KKPK pada bulan Mei/Juni lalu. (saya lupa tepatnya kapan). Hingga hari ini saya belum berhasil menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan saya. Entah saya yang terlalu malas untuk mencari, atau saya yang terlalu lelah karena pertanyaan ini sudah mengganggu saya lama sekali. Yang jelas, saya berharap semoga sentimen para TNI ini tidak membuat mereka ‘lupa diri’ seperti dulu, seperti saat pangkat dan kekuasaan mereka menggerogoti struktur politik Tanah Air.
Yasmin Jamilah adalah mahasiswa tingkat satu Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia yang tengah merintis karir sebagai football analyst di sebuah platform sepakbola terkemuka. Semasa SMA, ia sering menghabiskan waktunya untuk diskusi sejarah dan politik bersama Petrik Matanasi. Sedikit-sedikit menggemari fotografi. Karya fotonya yang dikirimkan ke KKPK merupakan salah satu hasil dari jepretan isengnya saat SMA. Yasmin bisa dihubungi melalui e-mail, yasjamilah@gmail.com.
Re(i)novasi Memori
36
TAHAP COACHING CLINIC Setelah penutupan kompetisi, para juri yang terdiri dari Nancy Sunarno (Aktivis HAM), Reza “Azer� Mustar (Komikus), Chairun Nissa (Sutradara), Chairul Insani (Pekerja kreatif), dan Kartika Jahja (Musisi) memilih 20 karya kreatif terbaik dari 156 karya yang masuk. Peserta yang membuat 20 karya terbaik ini terpilih untuk mengikuti coaching clinic dan presentasi pengembangan karya untuk memilih tiga pemenang Kompetisi Re(i)novasi Memori 2015. Para peserta dari berbagai daerah seperti Ambon, Banjarmasin, Bandung, dan berbagai kota lain kemudian dikumpulkan di Kota Pelajar, Yogyakarta. Sayangnya, hanya 16 peserta yang berkesempatan hadir untuk mengikuti coaching clinic. Alhasil, 4 karya yang sebelumnya dipilih oleh para juri dinyatakan gugur karena sesi presentasi karya akan menjadi salah satu unsur penilaian. Dalam presentasi yang dilakukan, para peserta diminta untuk mengembangkan karya yang telah mereka buat untuk digunakan sebagai bahan kampanye penuntasan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Untuk mampu mengembangkan karya kreatif yang telah dimiliki sebelumnya, para peserta coaching clinic diberikan berbagai materi seputar kampanye kreatif, strategi dalam melakukan kampanye kreatif yang diisi oleh para juri dan juga Digie Sigit (seniman). Para peserta juga diberikan kesempatan untuk konsultasi pengembangan karya dengan para juri dan pemateri. Tak ketinggalan, para peserta juga diberikan berbagai materi seputar pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Coaching clinic kali ini juga mengajak organisasi penyintas, Kiprah Perempuan, agar para peserta dapat mengobrol langsung dengan penyintas dan mengetahui berbagai peristiwa masa lalu secara lebih komprehensif. Presentasi pengembangan karya yang dilakukan para peserta sangatlah menarik, mulai dari membuat serial komik tentang pelanggaran HAM masa lalu, konser mini bertema hak asasi manusia, hingga membuka warung kopi yang mempromosikan isu hak asasi manusia. Dari sekian banyak ide menarik, juri akhirnya jatuh hati pada kampanye Ogah Move On dari Yasmin Jamilah, Ngomik Maksa dari Abdi Rahman, dan Bukan di Dapur dari Anzi Matta. Selain memberikan hadiah uang untuk para pemenang, Pamflet dan KKPK juga menyediakan dana terbatas untuk mewujudkan kampanye mereka. Dalam menjalankan kampanye, ketiga pemenang didampingi oleh tiga orang mentor, yakni Kartika Jahja (musisi) untuk kampanye Bukan di Dapur dari Anzi Matta, Reza “Komikazer� Mustar (komikus) untuk kampanye Ngomik Maksa dari Abdi Rahman, dan Asep Topan (kurator) untuk kampanye Ogah Move On dari Yasmin Jamilah.
37
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
38
“Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?� -Pramoedya Ananta Toer-
39
Re(i)novasi Memori
3 MENOLAK MANUT: CERITA 3 JUARA DALAM MENGKAMPANYEKAN HAM KEPADA ANAK MUDA
Re(i)novasi Memori
40
BUKAN DI DAPUR Anzi Matta
Berangkat dari observasinya bahwa ideologi militer cenderung merumahkan perempuan dan berujung pada kekerasan, Bukan di Dapur membahas hak-hak perempuan yang seolah terpinggirkan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Selain rutin mengadakan pemutaran film, diskusi, dan kopi darat, Bukan di Dapur juga aktif dalam bentuk grup LINE beranggotakan ratusan orang dari berbagai kota, di mana mereka berdiskusi soal kasus pelanggaran HAM masa lalu, isu gender dan seksualitas, hingga percintaan. Kampanye ini juga menghasilkan situs bukandidapur.tumblr.com, di mana semua orang diajak untuk mengirimkan tulisan, ilustrasi, mixtape, dan testimoni mereka terkait isu pelanggaran HAM dan kekerasan pada perempuan.
41
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
42
43
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
44
45
Re(i)novasi Memori
REFLEKSI KAMPANYE / Kampanye berjalan dengan cukup lancar. Apalagi, Bukan di Dapur mendapat dukungan dari Komnas Perempuan dan beberapa komunitas lokal. Beberapa komunitas lokal setempat yang terlibat tidak hanya aktif di isu gender, tapi juga di berbagai isu sosial lain seperti pendidikan. Antusiasme anak-anak muda dalam kampanye Bukan di Dapur dapat dilihat dengan aktif saat mereka berdiskusi dan mengirimkan karya mereka untuk zine dan blog Bukan di Dapur. Kami juga mengadakan pemutaran film Persepolis dan Prostitutes of God by VICE, yang memantik diskusi yang cukup aktif. Saat ini, Bukan di Dapur masih berjalan. Bahkan kemarin, kami sempat membantu menangani sebuah kasus kekerasan. Bukan Di Dapur juga aktif di grup LINE dengan anggota lebih dari 100 orang, yang rutin mendiskusikan berbagai isu sosial. Berdasarkan testimoni pada diskusi organik hingga grup online, para peserta mengatakan bahwa diskusi yang dilakukan seharihari membantu mengubah cara berpikir mereka, khususnya mereka yang bersekolah dengan sistem pendidikan yang “manut� (menurut saja) dan tak memberi banyak pilihan, sehingga mereka sulit untuk membuka pandangan pada hal-hal di luar pelajaran. Banyak anak-anak muda mulai sadar, bahkan melakukan aksiaksi untuk melakukan perlawanan terhadap pelanggaran HAM. Saya selalu percaya dan saya ulangi kepada anggota diskusi, bahwa mengubah pikiran adalah landasan untuk mengubah politik.
—Anzi Matta
Re(i)novasi Memori
46
NGOMIKMAKSA Abdi Rahman Untuk kampanyenya, Abdi memutuskan untuk membuat kompetisi menggambar komik bertema isu pelanggaran HAM untuk komikus-komikus lokal yang aktif melalui media sosial Instagram di kotanya, Banjarmasin. Kampanye yang bertajuk Ngomikmaksa ini kemudian mempertemukan Abdi dengan para peserta. Melalui pertemuan mereka yang rutin sepanjang berjalannya kompetisi, mereka mulai mengobrol mengenai isu-isu pelanggaran HAM masa lalu, dan berkolaborasi untuk mengangkat isu tersebut - serta berbagai topik lainnya - dalam bentuk komik. Setelah kompetisi usai, Abdi mengubah akun Instagram @ngomikmaksa menjadi serial komik dengan tiga karakter utama: Lovi, Jass, dan Matta. Melalui ketiga karakter tersebut, Abdi menyampaikan selorohan dan sindirannya tentang berbagai isu pelanggaran HAM secara jenaka.
47
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
48
49
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
50
51
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
52
REFLEKSI KAMPANYE / Saya benar-benar tidak menyangka karya saya bisa lolos seleksi dan jadi salah satu pemenang kompetisi ini. Sebagai kelanjutan dari kompetisi ini, saya diminta melakukan kampanye di kota saya dan diberi dana hibah unutuk menjalankan kampanye tersebut. Dan seperti impian yang terwujud, saya akhirnya bertemu dengan salah satu idola saya, Reza Mustar (@komikazer) dan di-mentor olehnya. Sesuai proposal yang saya buat, saya membuat sebuah kompetisi komik yang bertemakan HAM secara umum. Sasarannya adalah anak muda di Banjarmasin yang aktif menggunakan media sosial, terutama Instagram. Saya membuat akun bernama @ngomikmaksa untuk menampung karya yang masuk. Seiring berjalannya kompetisi ini, saya mengadakan beberapa kali pertemuan dengan para peserta, dan dari perbincangan kami saya menyimpulkan bahwa pandangan mereka terhadap pelanggaran HAM masa lalu mulai berubah. Bahkan ada yang berbagi cerita tentang bagaimana proses mereka membuat komik mendapat pertentangan dari orang tuanya karena mengangkat tema pembantaian 1965 dan PKI. Tema PKI memang masih sensitif untuk dibicarakan, termasuk juga di Banjarmasin. Kompetisi ini sudah berakhir dan mengambil 3 karya terbaik yang dipilih oleh Azer dan saya. Selama menjalankan kampanye ini, saya bertemu orangorang baik yang pro maupun kontra terhadap isu HAM yang diangkat. Beruntung, saya juga mendapat teman-teman yang memiliki pemikiran terbuka dan membantu saya baik di kehidupan nyata maupun dunia maya. Dari kampanye ini, saya belajar bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bisa dilakukan lewat seni. Menggambar adalah melawan! Hingga sekarang, akun @ngomikmaksa masih saya gunakan untuk berkarya dan berpropaganda.
—Abdi Rahman
53
Re(i)novasi Memori
OGAH MOVE ON Yasmin Jamilah Melihat masih banyak stigma-stigma yang ditempelkan rezim Orde Baru masih dijadikan sumber pengetahuan anak muda, Yasmin kemudian menggagas kampanye Ogah Move On. Kampanye ini banyak membahas penyelewengan sejarah yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Yasmin mengajak anak muda mencari sumber-sumber alternatif lain lewat akun Instagram @ogahmoveon. Tak hanya kampanye online, Yasmin juga melakukan kunjungan ke Kota Hujan, Bogor.
Re(i)novasi Memori
54
SI BAPAK Kalau Si Bapak punya Instagram, mungkin begini isinya. Dalam kurun waktu 1996-1998, terdapat 14 aktivis penggiat hak masyarakat yang diculik oleh Tim Mawar. Tim Mawar ini adalah sekelompok tentara Kopassus dengan Prabowo Subianto sebagai pentolannya. Hingga hari ini, keadilan merupakan hal yang mewah bagi keluarga korban penculikan.
55
Re(i)novasi Memori
PETRUS Yang jomblo balik ke zaman Orde Baru aja deh, kan ada penembakan misterius. Kali aja enggak jomblo lagi. Eh, maaf salah fokus. Penembakan misterius yang ada di zaman Orde Baru bukannya dimaksudkan untuk menyatakan cinta, melainkan sebaliknya! Penembakan misterius adalah misi rahasia pemerintah Orde Baru untuk mengurangi tingkat kriminalitas pada tahun 1983-1985. Prosedurnya juga bisa dibilang sederhana: orang yang mengacau akan ditangkap lalu ditembak. Petrus ini ternyata lumayan beringas. Pada 1983-1985, sekitar seribu orang tewas akibat pembunuhan tanpa melalui proses pengadilan ini. Selain ditembak, para korban bisa saja dicekik atau diikat dengan tali tambang hingga tewas. Referensi bacaan lebih lanjut mengenai Petrus: http://historia.id/modern/petrus-kisah-gelap-orba
Re(i)novasi Memori
56
CENDANA DAN UANG KKN Silahkan di-interpretasi sendiri deh, saya takut terjerat pasal penghinaan.
57
Re(i)novasi Memori
REFLEKSI KAMPANYE / Pelanggaran HAM merupakan isu yang underrated di Indonesia. Isu mengenai pelanggaran HAM hanya sesekali muncul di media massa, dan biasanya tidak pernah ‘tayang’ untuk waktu yang lama. Bagi kalangan anak muda, isu-isu terkait dengan HAM biasanya didapat secara formal melalui pelajaran PKN, yang notabene pelajaran yang dianggap ‘membosankan’ bagi sebagian besar anak muda. Hal yang berkaitan dengan HAM menjadi sesuatu yang hanya mereka bicarakan menjelang ulangan atau ujian semester mata pelajaran PKn. Idealnya, kampanye yang saya gagas dapat memberikan sedikit pencerahan mengenai isuisu HAM pada kalangan muda. Kampanye saya memang lebih menitikberatkan pada isu miskonsepsi sejarah, namun hal-hal yang berkenaan dengan HAM juga senantiasa tersisip pada miskonsepsi sejarah. Saya menyasar kalangan muda melalui komik-komik strip (semula hendak menggunakan media yang lain, misalnya meme dan komik), yang saya anggap sedang ‘in’ di kalangan anak muda. Saya kemudian membagikan beberapa komik strip tersebut melalui Instagram, media sosial yang sangat happening dan kerap kali menentukan eksistensi kalangan muda. Saya rasa, ada urgensi mengenai pemahaman isu HAM dan ‘pelurusan sejarah’ untuk kalangan
Re(i)novasi Memori
58
muda. Di balik memudarnya kesadaran politik dan sikap apatis kalangan muda, ada generasi ‘tua’ yang patut disalahkan. Generasi tua yang telah membiarkan pemerintah Orde Baru menanamkan konsep-konsep kurang tepat mengenai sejarah Indonesia pada rezim sebelumnya. Ada banyak stereotip yang menghantui pelaku sejarah Indonesia, terutama pelaku sejarah yang terlibat pada G30S. Selama brainstorming materi kampanye, saya berdiskusi dengan dua orang narasumber yang menurut saya sangat relevan — Petrik Matanasi, sejarawan lulusan UNY yang kini rajin menulis buku sejarah Indonesia yang kemudian ia sebar secara gratis, serta Hotman Ali ‘Tigor’ Siregar, aktivis lulusan Teknik Mesin Universitas Trisakti yang ikut memperjuangkan Reformasi pada tahun 98. Di balik brainstorming melalui multichat dan yang pertemuan-pertemuan menyenangkan, perspektif saya sebagai seorang ‘anak kolong’ (sebutan untuk anak tentara) mengenai rezim Orde Baru mulai berubah. Perubahan perspektif itu saya ibaratkan sebagai desperate moment, karena saya merasa sangat nelangsa saat mengetahui bahwa apa yang saya percayai selama ini salah. Saya membentuk kampanye saya dengan harapan mampu memberikan para audiens saya desperate moment yang sama. Saya tak tahan lagi. Saya mulai bergerak. Saat awal masuk kuliah, saya sempat menawarkan ilustrasi-ilustrasi kampanye
59
Re(i)novasi Memori
saya secara cuma-cuma untuk diterbitkan di majalah kampus. Sayang, hingga hari ini ilustrasi saya belum sempat diturunkan. Walau begitu, saya masih terus berharap supaya ilustrasiilustrasi tersebut bisa segera turun cetak. Saat roadshow Re(i)novasi Memori hadir di Bandung, saya merasa sedikit lega. Alasannya sederhana: roadshow tersebut dihadiri cukup banyak mahasiswa (yang saya harap datang karena memang curious, bukan sekedar ingin mencari snack gratis) dari berbagai universitas di Bandung dan sekitarnya. Mendengarkan penjelasan berbagai narasumber yang paham benar soal isu HAM dan sejarah tentu menjadi oase bagi mereka. Alangkah menyenangkannya kalau acara serupa dapat digagas dan diadakan secara berkala. Tak perlu mewahmewah, cukup dilakukan sambil duduk-duduk santai di taman kampus, atau di perpustakaan kampus. Saya harus akui kalau kampanye yang saya gagas di Instagram sebagai proyek yang kurang berhasil, namun saya bermimpi dapat menggagas ‘ngobrol pintar’ di kampus saya. Doakan saya! —Yasmin Jamilah
Re(i)novasi Memori
60
“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.� -Tan Malaka-
61
Re(i)novasi Memori
4 KEBERANIAN YANG MENULAR: CATATAN JURI DAN CERITA DARI ROADSHOW RE(I)NOVASI MEMORI
Re(i)novasi Memori
62
ROADSHOW PASCA KOMPETISI Sepanjang berjalannya kampanye dari ketiga pemenang kompetisi, mereka menemui kendala dan persoalan yang kemudian mereka siasati dengan cara masing-masing. Mulai dari berhadapan dengan orang tua yang bertanya-tanya tentang isi kampanye mereka, menggalang dukungan dari teman-teman di sekelilingnya, sampai sekedar menjaga konsistensi, tidak semua kampanye berjalan mulus dan sesuai rencana. Namun, kampanye mereka selalu berhasil menuai reaksi dan memantik diskusi - baik dengan mentor yang terus membantu mereka memantau perkembangan kampanye, dengan rekan yang menanggapi kampanye mereka secara negatif, maupun teman-teman yang sekedar ingin tahu dan ikut berpendapat. Untuk terus merawat semangat diskusi ini, sekaligus menandai ‘berakhirnya’ afiliasi kami dengan kampanye mereka di Re(i)novasi Memori, Pamflet dan KKPK bekerjasama dengan para pemenang dan komunitas lokal untuk mengunjungi kota-kota mereka dalam rangkaian Roadshow Re(i)novasi Memori. Dalam roadshow ini, kami mengadakan serangkaian diskusi bertema Anak Muda dan HAM, dengan mengundang pembicara yang direkomendasikan oleh komunitas lokal dan pemenang kompetisi. Dimulai dengan kunjungan secara serentak di Banjarmasin dan Magelang pada 3 Oktober 2015, rangkaian acara ini berakhir pada 23 Oktober 2015 di Co-Op Space Universitas Parahyangan, Bandung. Tidak semua acara berjalan mulus. Di Magelang, misalnya, acara diskusi nyaris dilarang oleh aparat lokal karena mengangkat isu pelanggaran HAM masa lalu - sementara isu tersebut masih sensitif dibicarakan di Magelang yang dikenal sebagai kota tentara. Namun, setelah bernegosiasi dengan aparat, acara berlanjut sesuai rencana. Di keempat kota yang kami datangkan, para komunitas lokal dan pembicara yang hadir selalu memberikan temuan dan sudut pandang baru - termasuk otokritik terhadap gerakan di tingkat lokal, celetukan santai, dan diskusi yang seru dan tidak terduga. Meski bertolak dari tema besar anak muda dan HAM, kami memberi kebebasan bagi panitia lokal dan pemenang untuk merumuskan sudut pandang yang ingin digali lebih lanjut dalam diskusi tersebut. Roadshow ini juga memberi kami kesempatan untuk mengevaluasi jalannya kampanye dengan para pemenang, dan menggali ide-ide mereka untuk melanjutkan dan mengembangkan kampanye mereka - meski tanpa dukungan dari Pamflet dan KKPK.
63
Re(i)novasi Memori
JAKARTA Menggandeng komunitas Cinta Indonesia, diskusi diadakan di Conclave, Jakarta Selatan. Narasumber dalam diskusi ini adalah Lilik HS dari Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Inyah Wahid dari Postive Movement, dan The Stone Heads, peserta Kompetisi Re(i)novasi Memori.
“Karya-karya seperti lagu, sajak, dan sebagainya mungkin enggak punya efek langsung. Tapi, karya itu bisa jadi pengingat bahwa negara kita pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.” The Stoneheads, Peserta Kompetisi Re(i)novasi Memori 2015
“Kalau kalian ingin mengubah kondisi HAM di Indonesia, mulai cari tahu, baca, kemudian tanyakan dan kritisi.” Anita Wahid, Komunitas Positive Movement
Re(i)novasi Memori
64
MAGELANG
“Anak muda harus berkumpul dengan anak muda lainnya guna menumbuhkan sikap berani karena berani itu menular.” Eko Prasetyo, Penulis buku “Orang Miskin Dilarang Sakit”
Acara diskusi anak muda dan hak asasi manusia diselenggarakan di Syang Art Space bekerjasama dengan Project In Collective. Narasumber pada diskusi ini adalah Eko Prasetyo, penulis buku ‘Orang Miskin Dilarang Sakit’, dan Anzi Matta, salah satu pemenang Kompetisi Re(i)novasi Memori.
65
Re(i)novasi Memori
BANJARMASIN
“Tidak hanya dengan membuat komik dan poster, masih banyak media untuk menyampaikan pesan bisa dengan musik. Bikin sekreatif mungkin, jangan takut-takut.” Deden, Mahasiswa Banjarmasin
“Cari informasi dari lebih banyak sumber. Jangan sungkan untuk mencari tahu.” Abdi Rahman, Salah satu pemenang Kompetisi Re(i)novasi Memori 2015
Bekerjasama dengan AR Project, diskusi anak muda dan hak asasi manusia diselenggrakan di Rumah Makan Mie Kering Begadang. Narasumber pada diskusi ini adalah Abdi Rahman, salah satu pemenang Kompetisi Re(i)novasi Memori dan penggagas kampanye @ngomikmaksa beserta tiga pemenang Kompetisi yang diadakan oleh @ngomikmaksa, yaitu Gusti, Deden, dan Rezky.
Re(i)novasi Memori
66
BANDUNG
“Dari tadi kita terus menerus bicara soal ‘Melawan Lupa’. Percuma bicara soal melawan lupa, kalau kita sekarang sudah lupa melawan!” Seorang peserta diskusi
“Aktivis mahasiswa harus punya kesadaran di luar kampusnya sendiri. Mereka harus bikin gerakan yang nyata di masyarakat.” Herry “Ucok” Sutresna, musisi
“Dalam sebuah aksi pembakaran buku Kiri yang dilakukan organisasi yang mengaku anti-Komunis, orator mereka berteriak: ‘Kita harus membakar buku Das Kapital karena buku ini mengajarkan anak muda jadi kapitalis!’ Mereka bahkan tidak mengerti apa yang mereka benci dan lawan!” Syaldi Sahude, Aktivis HAM
Diskusi bertema Seni Sebagai Media Perlawanan diadakan di Co-op Space, Universitas Parahyangan Bandung, bekerjasama dengan Media Parahyangan. Narasumber dalam diskusi ini adalah Syaldi Sahude (aktivis HAM), Herry “Ucok” Sutresna (musisi), dan Wanggi Hoed (seniman)
67
Re(i)novasi Memori
CATATAN JURI
Kartika Jahja, musisi.
“Tidak jarang saya mendengar keluhan rekanrekan seusia saya tentang anak muda zaman sekarang. ‘Anak zaman sekarang apatis,’ ‘Mahasiswa zaman sekarang enggak seperti zaman 98.’ Pola pikir semacam ini - yang meromantisasi masa kejayaannya sendiri dan meremehkan generasi berikutnya - selalu membuat saya risih. Anak muda dan remaja zaman sekarang punya tekanan yang berbeda dengan kita, punya keuntungan yang berbeda pula dengan kita. Persoalan yang mereka hadapi berbeda, cara mereka menyikapinya pun sangat berbeda. Dalam mengedukasi anak muda tentang sebuah isu – baik itu HAM maupun isu lainnya – kecenderungan kita adalah menceramahi mereka dan memaksa mereka untuk memandang isu tersebut dari kacamata kita. Metode yang sama dan diulang-ulang tentu akan memberikan hasil yang sama pula. Tak ada yang baru. Tapi saat isu yang sama disampaikan oleh anak muda, dengan pendekatan yang ia pilih dan sudut pandang yang ia anggap menarik, maka hasilnya akan sangat berbeda. Kalau kita mau menurunkan ego, justru kita yang bisa belajar banyak dari mereka. Dalam Re(i)novasi Memori, saya justru mendapat banyak ide-ide segar dari kawan-kawan finalis. Mendapat sudut pandang baru terhadap masalah yang saya dan kawan-kawan juri lainnya pikir sudah ditilik dari berbagai sisi. Re(i)novasi Memori berhasil memudakan dan menyegarkan isu lama. Isu yang sebenarnya masih amat sangat relevan, namun memerlukan bungkusan baru. Sebab memang sudah semestinya kita menyerahkan tongkat estafet ini ke generasi berikutnya, yang akan membawa tongkat ini ke arah yang mereka pilih.”
Re(i)novasi Memori
68
“Yang menarik dari proses Re(i)novasi Memori ini, kita bisa mencari dan mendapat pelaku karya (seniman) muda dari berbagai daerah, sehingga tidak terfokus di kota-kota besar saja.” Reza “Komikazer” Mustar komikus.
Chaerun Nissa, sutradara.
“Re(i)novasi Memori adalah kompetisi yang melihat beraneka ragam kegelisahan pemudapemudi yang disampaikan melalui karya mereka. Meskipun ada yang berpola ‘aktivis’, ada juga yang lebih pop dan update dengan media sosialnya. Mengikuti kompetisi ini sudah menunjukkan bahwa mereka tidak ingin melupakan sejarah. Selain itu, pertemuan mereka dengan para korban memungkinkan mereka mendapat inspirasi baru dalam membuat karya. Selama penjurian, saya menemukan beberapa karya yang berangkat dari sudut pandang korban. Sebagai generasi yang tidak lahir pada zaman Orde Baru, bagaimana cara mereka menempatkan diri sebagai korban? Kenapa perspektif korban itu yang mereka pilih? Selain itu, dengan berbagai macam latar belakang juri, proses penjurian ada berbagai perspektif yang terlibat untuk memutuskan karya mana yang berpotensi.”
69
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
70
“Rekonsiliasi bukan cuma salam-salaman di antara elit. Rekonsiliasi harus melewati proses pendidikan dan dialog publik yang akan memunculkan sebuah kesadaran baru di kehidupan masyarakat.� -Kamala Chandrakirana, Koordinator KKPK-
5 EPILOG: MEREKA YANG ADA, DAN (SEMESTINYA) BERLIPAT GANDA
Re(i)novasi Memori
72
Anak muda belakangan ini lekat dengan citra apatis. Dianggap tak peduli pada isu kemanusiaan, tumpul, tak punya rasa empati, dan terlalu pragmatis untuk benarbenar bergerak dan mengubah keadaan. Namun, ketimbang buru-buru mengamininya, rasanya perlu untuk menggali lebih lanjut mengapa anggapan tersebut bisa muncul. Terkadang kita lupa bahwa anak muda saat ini berada dalam posisi unik. Mereka anakanak zaman baru yang tidak merasa memiliki hutang sejarah. Mereka belum lahir ketika ratusan ribu rakyat tak bersalah dibantai, dipenjara, dan direbut kemanusiaannya pada tahun 1965-66. Mereka tidak pernah harus menonton Penumpasan Pengkhianatan G-30S/PKI, atau mengikuti program wajib Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Generasi ini lahir dan tumbuh dewasa di era demokrasi dengan akses informasi yang luas dan deras. Represi besar-besaran ala Orde Baru – dan konsekuensinya, euforia massal Reformasi – tidak pernah mereka rasakan. Mereka terbiasa dengan kenyamanan yang hadir dari demokrasi: kebebasan untuk bergerak, kebebasan untuk berpendapat, kebebasan untuk berinteraksi secara terbuka dan menyampaikan kritik. Persoalannya, jika generasi ini sama sekali terputus dari memori kolektif sejarah, bagaimana cara menjembatani mereka dengan kasus-kasus yang terjadi jauh sebelum mereka lahir? Yang lebih genting lagi: bagaimana cara kita menyebarkan pemahaman mengenai hak asasi manusia dan demokrasi, agar kasus-kasus tersebut tidak terulang kembali? Institusi pendidikan kita bukannya tidak mencoba untuk mengangkat hak asasi manusia dan demokrasi dalam kurikulum. Istilah-istilah seperti ‘hak asasi manusia’, ‘demokrasi’, ‘kemanusiaan’, dan sebagainya tidak asing di telinga mereka. Namun, pemahaman mereka mengenai hak asasi manusia dan demokrasi terbatas pada apa yang diajarkan di mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Pamflet, Demos & TIFA, 2014). Ketika HAM dan demokrasi disajikan secara kaku dan terlampau teoritis, wajar jika anak muda lantas merasa hak asasi manusia tidak relevan dengan kehidupannya sehari-hari. Salah satu responden dalam riset kami – seorang siswa SMA berusia 17 tahun – bahkan berseloroh bahwa “tidak ada gunanya” mencari tahu soal isu-isu HAM, demokrasi, dan politik. Toh, isu tersebut tak berhubungan dengan kesehariannya dan mereka “enggak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya.” Kita harusnya terganggu dengan fenomena ini. Ada yang salah jika di era keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat, dan demokrasi, anak muda justru semakin merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah keadaan. Menyalahkan anak muda zaman sekarang yang ogah “turun ke jalan” dan gagal melanjutkan “perjuangan generasi pendahulunya” memang lebih mudah dilakukan. Padahal, yang lebih genting untuk dilakukan adalah bereksperimen dan mengevaluasi pendekatan kita pada anak muda. Saat lanskap yang dihadapi sudah jauh berbeda, tentu tidak masuk akal bila kita terus memaksakan kehendak kita dan mengulang-ulang taktik yang sejatinya sudah usang. ****
73
Re(i)novasi Memori
Pada tahun 2014, 96% pengguna Internet di Indonesia memiliki akun Facebook, 84% memiliki akun Twitter, dan 83% memiliki akun Google+ (Global Web Index, 2014). Tidak ada satupun negara di dunia di mana para netizen-nya begitu aktif secara persentase di media sosial. Bangkitnya media sosial membuat pola konsumsi dan perilaku anak muda – sebagai konsumen terbesar Internet – berubah total. Anak muda kian giat membentuk jejaring sosialnya masing-masing (APJII & Puskakom UI, 2014), dan membentuk ceruk-ceruk kecil berisi kawan-kawan yang aktif beropini dan berdebat. Dalam ceruk inilah anak muda mulai mengaktualisasi diri. Kita tidak lagi bisa betul-betul menangkap perhatian anak muda jika kita masih bersikeras berbicara secara satu arah. Anak muda tidak cukup dicekoki teori-teori mengenai HAM dan romantisme aktivis generasi sebelumnya. Mereka ingin berinteraksi, menyampaikan pendapat, didengarkan, dan menciptakan pemaknaan-pemaknaan baru. Kesadaran inilah yang mendorong kami untuk memulai Re(i)novasi Memori. Berbekal buku Menemukan Kembali Indonesia yang berisi wawancara mendalam dengan para penyintas kasus pelanggaran HAM masa lalu, kami mengajak anak muda untuk memaknai ulang kasus-kasus tersebut dengan cara mereka sendiri. Pada mulanya, sempat ada kekhawatiran bahwa karya-karya yang masuk akan tetap mencerminkan perspektif sejarah Orde Baru – yang jelas tidak berpihak pada korban. Namun, setelah kompetisi ditutup dan lebih dari 150 karya masuk, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Kami mendapat begitu banyak karya yang berakar dari kenyataan generasi sekarang: anak muda yang tumbuh dari titik nol sejarah, dan mulai penasaran dengan asal muasalnya sendiri. Mereka tak segan mengangkat konteks lokal yang sangat khas, mengeksplorasi identitasnya sebagai individu dan anak muda, dan berbagi cerita serta sudut pandang yang subtil, unik, dan sama sekali tidak kami duga. Karya yang dikirim oleh ketiga pemenang kompetisi menunjukkan kecenderungan itu dengan baik. Yasmin Jamilah, seorang anak tentara, menangkap sisa-sisa sikap militer yang seolah meninggikan dirinya dari masyarakat lewat esai fotonya. Gestur hormat sang tentara, yang meniru salam hormat Soeharto, dianggapnya sebagai bukti pola pikir tersebut masih bertahan. Komik Abdi Rahman mengisahkan anak muda yang melihat poster Wiji Thukul ditempel di sebuah dinding. Tanpa ada sedikitpun rasa peduli dan penasaran, anak muda yang bahkan tak mengenal sosok Wiji Thukul itu merobek poster tersebut dan berjalan menjauh. Sedangkan Anzi Matta, yang juga tumbuh di keluarga tentara, merekam elemen kebanggaan diri dan kekuasaan seorang tentara yang seringkali berujung pada perbuatan yang semena-mena. Karya mereka tidak hanya berisi slogan bombastis dan teori, melainkan berangkat dari apa yang mereka ketahui dan alami. Kampanye yang kemudian mereka jalani juga berangkat dari kesadaran tersebut. Abdi menggerakkan komikus muda di kotanya, Banjarmasin, lewat kompetisi komik yang ia selenggarakan, Ngomikmaksa. Para komikus muda Banjarmasin diajak membuat karya mengenai berbagai isu hak asasi manusia, kopi darat dan mengobrol dengan rutin, dan pemenangnya diberikan hadiah uang serta alat gambar. Setelah kompetisi kecil ini usai,
Re(i)novasi Memori
74
Abdi mengubah arah kampanyenya di media sosial dan menciptakan tiga karakter untuk menyuarakan kegelisahannya lewat komik strip yang singkat, berantakan, dan minta ampun jenakanya. Anzi membuka situs Tumblr kolaboratif Bukan di Dapur, di mana anak muda dari berbagai latar belakang diundang untuk berbagi karya mengenai isu gender, hak perempuan, dan pelanggaran HAM masa lalu. Observasinya bahwa ideologi militer seringkali digunakan untuk mendomestifikasi dan meminggirkan perempuan mendorong Anzi untuk memulai Bukan di Dapur. Selain melalui situs kolaboratif tersebut, Anzi juga menjangkau anak muda lewat diskusi dan pemutaran film, serta mengelola sebuah grup di media sosial LINE. Sementara, Yasmin menggunakan tagar #OgahMoveOn untuk mengajak anak muda tidak melupakan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, sekaligus mengkritik pihak-pihak tertentu yang menurutnya ogah ‘move on’ dari kungkungan pola pikir Orde Baru. Ketiga pemenang terus mendapat pendampingan dari Pamflet dan mentor untuk mengembangkan wacana dan strategi kampanye mereka. Setiap karya yang mereka unggah mendapat respon beragam, dan kami kagum dengan kemampuan mereka untuk memfasilitasi obrolan tersebut di kolom komentar, akun media sosial, serta lewat karyakarya mereka berikutnya. Strategi kampanye yang berkembang juga menunjukkan pemahaman mereka tentang anak muda dan lingkungan tempat mereka berkarya. Abdi, misalnya, tak hanya mengiming-imingi hadiah uang untuk pemenang kompetisi komik HAM. Dengan memberikan hadiah utama alat gambar, ia juga memastikan bahwa komikus yang menang tidak hanya terpapar pada isu HAM, namun memiliki bekal untuk terus berkarya. Kampanye mereka tidak sepenuhnya lancar. Wacana dan pemikiran yang mereka angkat menuai pro dan kontra. Mereka harus berhadapan dengan teman-teman yang skeptis, menjelaskan kampanye mereka ke orang tua, bahkan – dalam berjalannya rangkaian diskusi pasca kompetisi – berurusan dengan aparat yang curiga dengan isi kampanye. Yang menjadi sorotan utama bagi kami adalah proses dan pembelajaran yang terjadi sepanjang kampanye mereka. Kami belajar bersama dengan mereka, bereksperimen bersama mereka, dan mendapat banyak sudut pandang baru tentang anak muda yang belum tentu akan kami dapat jika kami melakukan kampanye secara satu arah. Bukan masalah besar bagi kami bahwa kampanye mereka tidak berjalan dengan sempurna. Re(i)novasi Memori ingin menunjukkan bahwa perubahan tidak harus muncul dari menara gading. Anak muda yang biasa-biasa saja juga bisa membuat perubahan, jika kita mau memberi mereka peluang. Belajarlah bersama mereka, bergeraklah bersama mereka, dan biarkan mereka memantik perubahan dengan cara mereka masing-masing. Barulah kita bisa benar-benar bilang, bahwa kita bergerak mengutip Hilmar Farid - “bukan pada himpunan angan-angan.”
75
Re(i)novasi Memori
Re(i)novasi Memori
76
TERIMA KASIH KEPADA: Ambon Bergerak AR Project Cinta.Id Common Room Humanum ketjilbergerak KIPER (Kiprah Perempuan) Koperasi Keluarga Besar Mahasiswa Katolik Unpar Media Parahyangan Pemuda FM Project In Collective ruangrupa Syarikat Indonesia Albertus Patti Alit Ambara Asep Topan Digie Sigit Eko Prasetyo Inayah Wahid Lilik HS Novita Anakotta Pipit Ambarminah Rudy Fofid Vivi Marantika Juri Re(i)novasi Memori: Kartika Jahja Muhammad Reza (Azer) Chairun Nissa Chairul Insan Nancy Sunarno Seluruh peserta Kompetisi Re(i)novasi Memori Pemenang Kompetisi Re(i)novasi Memori yang sudah berhasil melaksanakan kampanye di daerah masing-masing: Yasmin Jamilah Abdi Rahman Anzi Matta
77
Re(i)novasi Memori
KKPK (Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran) adalah aliansi dari berbagai organisasi dan individu yang mendukung perjuangan dan penegakan HAM serta mendorong pertanggungjawaban Negara untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM.
PAMFLET Pamflet adalah organisasi nirlaba yang dibentuk oleh anak muda, berfokus pada aksi pergerakan anak muda, serta mendorong munculnya inisiatif baru bagi perubahan di bidang sosial dan budaya. Pamflet dibentuk untuk mendukung pergerakan anak muda di Indonesia dan mengelola pengetahuan anak muda.
Re(i)novasi Memori
78