Editor : Siti Aminah, SH.
Kontributor : Tandiono Bawor Purbaya, SH. Hendro Agung Wibowo, SH. Siti Rakhma Mary Herwati, SH. Sukarman, A.Md. Agus Suprihanto, SH. Slamet Hariyanto,SH. Yunianto, S.Sos Slamet Riyadi Skolastika Tyrama
Foto-foto Dokumentasi LBH Semarang
Alamat Penerbit LBH SEMARANG Jl. Parang Kembang No. 14 Perumnas Tlogosari – Semarang 50196 Telp (024) 6710687, Fax (024) 6710495 E-mail : lbhsmg@indosat.net.id
Yayasan Tifa
( ii )
“Berkaca Pada Kemuraman,Laporan HAM 2005” atau “Hukum yang Terhukum, laporan bantuan hukum 2005, maka tahun ini kami lebih bersikap optimis, dan hal ini kami ekspresikan lewat katakata “Perjuangan Belum Selesai” untuk laporan HAM 2006 dan “Menembus Tembok……” untuk laporan bantuan hukumnya.
Menembus Tembok……. Sebuah Pengantar Penerbitan laporan bantuan hukum tahun 2006, merupakan salah satu bentuk transaparansi dan pertanggungjawaban LBH Semarang terhadap masyarakat Jawa Tengah, khususnya mitra LBH Semarang. Sebagai pertanggungjawaban publik, buku ini menyajikan laporan kasus-kasus yang mendapatkan bantuan hukum LBH Semarang, kerja-kerja pemantauan lembaga peradilan, pemantauan pelanggaran HAM dan pendidikan untuk komunitas korban. Lantas, apa yang membedakan laporan tahun 2006 ini dengan tahuntahun sebelumnya ?! Jawabannya adalah SIKAP OPTIMIS !!!. Jika di tahun-tahun sebelumnya kami memberikan judul yang terkesan pesimis bahkan fatalis seperti
( iii )
Hal tersebut tentunya tidak didasarkan ‘agar berbeda’ dari tahun sebelumnya. Melainkan didasarkan pada refleksi kerja LBH Semarang sendiri. Pada tahun 2006 ini, dalam memberikan bantuan hukum, mendapatkan pengalaman yang baik dalam penyelesaian kasus. Tahun ini 2 kasus besar yang ditanggani telah selesai yaitu Kasus Jayengaten dan Kasus Sindu dan Iwan. Demikian halnya kemenangan-kemenangan kecil dalam kasus-kasus yang menimpa masyarakat miskin seperti perdamaian Ny.Sri Soemarmi dan PT.KAI, ganti kerugian untuk longsor Papandayan, dan yang lainnya. Senyum Asti yang akhirnya bisa sekolah karena dibebaskan biaya SPI-nya, Tawa kebebasan di wajah Ibu Ds yang mengakhiri mimpi buruk perkawinannya, kegembiraan Helen karena rumahnya dapat ditempati, napas lega bagi keluarga Paryono, Kepuasan warga Batursari dengan berhentinya oknum penyunat dana BLT dan keberhasilan advokasi kebijakan untuk PKL Baiturahman dalam Perda No.11 Kota Semarang telah menimbulkan harapan baru, BAHWA layanan bantuan hukum yang kami berikan tidaklah sia-sia. Dan penangganan kasus-kasus tersebut melalui cara ‘menembus tembok’ dalam artian kami menggunakan aturan main dan mencoba memahami tembok-tembok lawan, baik birokrasi maupun pengadilan. Dengan tetap berpegang teguh
( iv )
pada etika PBH, LBH Semarang hanya memainkan peran control terhadap fungsi penyelenggara Negara. Tindakan yang bersifat administrasi, seperti pengiriman surat klarifikasi ternyata telah mampu mendorong aparat birokrasi menjalankan tugas dan fungsinya. Walau tahun 2006 diwarnai keberhasilankeberhasilan, tapi tidak bisa dipungkiri buah yang kami petik merupakan hasil kerja satu dan dua tahun ke belakang. Khususnya kasus-kasus struktural. Seperti Kasus Jayengaten (2004), ataupun Iwan dan Sindu (2005). Masih terdapat banyak PR bagi kami untuk menyelesaikan kasuskasus yang lain. Seperti sengketa agraria berbasis perkebunan, yang kami harap bisa direalisasikan oleh pemerintah sesuai janjinya dengan Program Program Pembaharuan Agraria Nasional. Sedangkan harapan yang sama terhimpun pula kepada proses legislasi RUU KUHP, Revisi UU Kehutanan dan RUU Bantuan Hukum agar lebih demokratis, dan menjamin akses keadilan bagi semua. Harapanharapan inilah yang harus kami jaga, dan kami perjuangkan untuk mewujud. Dan langkah awalnya dengan sikap optimis ini, karena kami yakin UCAPAN ADALAH DOA. Penyusunan buku laporan tahunan ini, merupakan hasil kerja keras seluruh PBH yang terdiri dari seluruh relawan, staff, dan karryawan LBH Semarang yang telah bekerja melampaui kewajibannya. Mas Karman, Slamet, Agus, dan MuhNur sebagai garda terdepan yang memungkinkan kita menyaksikan senyum kebahagiaan para mitra, Hendro dan Rahma yang mengkoordinasikan kerja-kerja kantor, Mba Ama
( v )
dan Mas Slamet yang menjadi pendukung setiap proses dan Mas Yuyun yang rapi menyimpan dokumen-dokumen pelaporan. Untuk semuanya kami mengucapkan terimakasih, dan secara khusus kepada Siti Aminah yang telah menyusun dan melakukan pengeditan di sela-sela kerja-kerja lainnya, kawan Fajar dan Unggul atas kerepotan untuk menyegerakan penerbitannya. Juga ucapan Selamat berjuang kepada kawan Agus yang di akhir tahun ini mendapatkan kesempatan belajar dan harus meninggalkan LBH Semarang. Ucapan terimakasih juga harus diberikan kepada seluruh organisasi rakyat, organisasi mahasiswa, komite-komite perjuangan, NGO, Lembaga Donor, Advokat, Para Alumni dan Kaum akademisi progresif, dan individu-individu yang selama ini berjuang bersisian bersama LBH Semarang. Terakhir sekali buku ini selain didedikasikan kepada para korban dan masyarakat mitra LBH Semarang. Mudah-mudahan kita dapat memberikan langkah awal yang baik bagi negeri ini. Amien. Semarang, Desember 2006
Tandiono Bawor Purbaya, S.H. Direktur
( vi )
DAFTAR ISI Kata Pengantar ………………………………………............. Daftar Isi ……………………………………………………………….
iii vii
BAB I PENDAHULUAN A. Sekilas LBH Semarang ………………………………….. B. Visi dan Misi LBH Semarang …………………………. C. Kapasitas Program kerja tahun 2006 ………….. 1. Konsultasi Hukum ……………………………………. 2. Pelayanan Bantuan Hukum Struktural …… 3. Pendidikan Hukum ………………………………….. 4. Pemantauan Lembaga Peradilan ……………. 5. Reformasi Kebijakan ……………………………….. 6. Informasi dan Dokumentasi ……………………. D. Sumber Daya Organisasi ………………………………. 1. Sumber Daya Manusia …………………………….. 2. Sumber Dana Kelembagaan …………………….
1 1 4 4 4 6 6 7 7 8 8 8
BAB II KONSULTASI HUKUM BAGI MASYARAKAT MARGINAL TAHUN 2006 A. Standar Layanan Bantuan Hukum ……………….. 13 1. Kriteria Klien/Mitra ………………………………….. 13 2. Proses Layanan Bantuan Hukum ……………. 13 B. Konsultasi Hukum Tahun 2006 …………………….. 16
( vii )
C. Profil Penerima Manfaat Konsultasi Hukum tahun 2006 ................................................
19
BAB III BANTUAN HUKUM STRUKTURAL (BHS) BAGI MASYARAKAT MARGINAL TAHUN 2006
27
A. Pelayanan BHS Di Dalam Peradilan 1. Kasus Pidana dengan Terdakwa Sindu dan Iwan .................................................... 2. Permohonan Peninjauan Kembali atas Sengketa Tanah di Kampung Jayengaten .. 3. Kasus Perdata Ny. Sri Hadi Sumarliningsih vs PT KAI …………………………………………………… 4. Kasus Perdata Ny. Siti Soemarmi vs PT KAI 5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) a.n Ny. DS …………………………………………………. 6. Kasus Perdata Ny. DS vs HP ................... 7. Kasus Pidana dengan Tersangka 9 orang Warga Keji ........................................... 8. Kasus Pidana Dengan Terdakwa Ny. Wakirah 9. Kasus Tewasnya Nurhadi di Hutan Negeri 10. Kasus Penangkapan terhadap Pedamping Dalam Eksekusi Tanah Cakrawala Baru .... B. Pelayanan BHS Di Luar Peradilan 1. Pembangunan Tower di Gempol Sewu …… 2. Mediasi Warga Jayenganten Vs Hotel Gumaya ……………………………………………………. 3. Advokasi Penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Semarang ………………………….. 4. Mediasi Kasus Hak Keluarga Penjaga Malam di DPU Kota Semarang .......................... 5. Advokasi Korban SUTET di Desa Sidomulyo Kebumen ............................................. 6. Advokasi Hak-Hak Tenaga Kerja Harian Lepas (TPHL) Kebersihan Pasar Johar ...... 7. Mediasi Kasus Longsor di Jalan Papandayan 8. Langkah Administrasi Pemenuhan Hak Konsumen Perumahan ……………………………..
( viii )
27 29 31 32 34 35 36 37 39 41 43 43 45 51 54 56 59 61 62
9. Advokasi Hak Atas Pendidikan di Kota Semarang ……………………………………………….. 10. Pembentukan Forum Petani Hutan Jawa Tengah ............................................... 11. Aksi Damai Menggugat Kebijakan Perhutani 12. Advokasi dan Kampanye Upah Layak di Semarang ………………………………………………… 13. Advokasi Dana BLT di Batursari-Demak ... BAB IV PEMANTAUAN PERADILAN A. Diskusi Kepolisian ...................................... B. Pemantauan Kinerja Kejaksaan ................... 1. Jejak Rekam 2 (dua) Jaksa Penuntut Umum 2. Komisi Daerah Pemberantasan Korupsi ….. C. Pemantauan Kinerja Pengadilan ……………………. 1. Eksaminasi Publik Putusan Pidana Percobaan a.n Terdakwa Mardijo ............ 2. Jejak Rekam Aparat Penegak Hukum di PT Jawa Tengah ................................ D. Masyarakat Anti Mafia Peradilan 1. Mengkritisi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) .................................................... 2. Mengkritisi kinerja Komisi Yudisial (KY) ..... E. Pemantauan PPHI ………………………………………….. BAB V PEMANTAUAN DAN ADVOKASI PELANGGARAN HAM A. Pemantauan Pelanggaran HAM 2006 …………… 1. Gambaran Umum Pelanggaran HAM 2006 2. Pelanggaran HAM terhadap Petani/Petani Hutan ………………………………………………………. 3. Pelanggaran Hak atas Lingkungan yang baik dan sehat .................................... 4. Pelanggaran HAM terhadap Kaum Buruh .. 5. Pelanggaran HAM terhadap Kaum Miskin Kota …………………………………………………………. B. Advokasi Pelanggaran HAM 1. Pelanggaran HAM Berat Kasus Talangsari Lampung di Jawa Tengah ......................
( ix )
64 65 66
2. Pelanggaran Hak Sipol (Fair Trial) kasus Iwan dan Sindu .................................... 104 3. Kriminalisasi terhadap Human Rights Defender dan Women Rights Defender …………………… 106 C. Peringatan Hari HAM 2006 ..........................
109
68
71 72 72 73 76 76 79
79 81 83
BAB VI PENDIDIKAN MASYARAKAT DAN REFORMASI KEBIJAKAN A. Pendidikan Bagi Buruh ………………………………….. 1. Labour Law Course for Trade Unionist …… 2. Pelatihan PPHI …………………………………………. 3. Refleksi dan Penguatan 1 Tahun PPHI …… B. Pendidikan Bagi Kelompok Perempuan ………. 1. Pelatihan Paralegal Buruh Migran ………….. 2. Pendidikan Kesadaran Jender ………………… C. Pendidikan Bagi Kelompok Miskin Kota ……….. 1. Pelatihan Fair Trial dan Anti Mafia Peradilan 2. Pelatihan Mengkritisi APBD dengan IDEA D. Reformasi Kebijakan …………………………………….. 1. RUU KUHP ………………………………………………… 2. UU 41/1999 tentang Kehutanan …………….. 3. RUU Bantuan Hukum ………………………………. Lampiran 1 Terbitan LBH Semarang 2006 ………… Lampiran 2 Kontributor Penulisan ……………………..
87 87 87 90 93 94 98
101
( x )
113 113 114 114 115 115 116 116 116 118 119 119 120 121 123 128
Gedung ini dimaksudkan sebagai monument pertama di Indonesia bagi perjuangan menegakkan hukum kebenaran dan keadilan yang sama bagi semua orang tanpa membeda-bedakan suku, agama, asal keturunan, keyakinan politik maupun latar belakang social dan budaya Dari sini para pembela dan pemikir bantuan hukum akan berjuang dengan jujur ikhlas dan tanpa pamrih serta seia sekata dengan mayoritas bangsa yang papa untuk tidak saja membela perkara-perkara yang menyangkut kepentingan rakyat tapi juga ikut merombak tatanan yang menyebabkan mereka terus menerus terbelakang, miskin, tertindas dan terlupakan Dari sini pula akan dikembangkan pikiranpikiran yang berani konstruktif dan bertanggungjawab hingga menjadi perlambang kebebasan berpikir, kebebasan menyatakan pendapat dan awal dari bangkitnya kaum miskin menuntut pelaksanaan hak yang sama dalam hukum dan keadilan di bumi pertiwi Indonesia Tulisan Prasasti di Halaman Gedung YLBHI
( xi )
( xii )
Arena keterkaitan secara struktural tersebut di atas, upaya penegakan keadilan hukum dan penghapusan kendala-kendalanya harus dilakukan berbarengan dan sejalan secara proporsional dan kontekstual dengan penegakan keadilan dan penghapusan kendala-kendala terkait dalam bidang-bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya; Maka didasarkan kesadaran tersebut di atas, pemberian bantuan hukum bukanlah sekedar sikap dan tindakan kedermawanan tetapi lebih dari itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kerangka upaya pembebasan manusia Indonesia dari setiap bentuk penindasan yang meniadakan rasa dan wujud kehadiran keadilan yang utuh, beradab dan berprikemanusiaan.
BAB I PENDAHULUAN A. Sekilas LBH Semarang LBH Semarang berdiri pada 20 Mei 1978 dengan nama LBH Peradin yang kemudian berafiliasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI] pada tahun 1985, selanjutnya bernama LBH SEMARANG.
Saat ini LBH Semarang lebih mengkonsentrasikan pada penanganan kasus-kasus struktural yang berbasiskan pada beberapa isu, seperti pertanahan dan lingkungan hidup, perburuhan, korban kebijakan kota atau masyarakat miskin kota. Semua isu ini di back up dalam kerangka hak-hak sipil dan politik serta ekonomi, sosial dan budaya. Langkah ini dilakukan melalui proses litigasi [penanganan kasus] dan non litigasi [pendidikan dan pengorganisasian.
B. VISI DAN MISI
Pendirian lembaga ini didasarkan kepada kesadaran bahwa sesungguhnya hak untuk mendapatkan dan menikmati keadilan adalah hak setiap insan dan karena itu penegakannya, harus terus diusahakan dalam suatu upaya berkesinambungan membangun suatu sistem masyarakat hukum yang beradab dan berperikemanusian secara demokratis, dan di lain pihak, setiap kendala yang menghalanginya harus dihapuskan. Keadilan hukum sebagai salah-satu pilar utama dari masyarakat hukum dimaksud yang secara bersama-sama dengan keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan sosial dan keadilan [toleransi] budaya menopang dan membentuk keadilan struktural yang utuh saling melengkapi.
VISI 1. Terwujudnya suatu suatu sistem masyarakat hukum yang terbina di atas tatanan hubungan sosial yang adil dan beradab/berperikemanusiaan secara demokratis (A just, humane and democratic socio-legal system);
( 1 )
( 2 )
LBH Semarang, seharusnya telah melakukan Rencana Strategis Kelembagaan pada tahun 2005, namun keterbatasan yang ada menyebabkan proses tersebut belum dapat dilaksanakan. Dengan demikian, untuk tahun 2006 LBH Semarang mengikuti visi dan misi YLBHI sebagai berikut :
2. Terwujudnya suatu sistem hukum dan administrasi yang mampu menyediakan tata-cara (prosedur-prosedur) dan lembaga-lembaga melalui mana setiap pihak dapat memperoleh dan menikmati keadilan hukum (A fair and transparent institutionalized legal-administrative system); 3. Terwujudnya suatu sistem ekonomi, politik dan budaya yang membuka akses bagi setiap pihak untuk turut menentukan setiap keputusan yang berkenaan dengan kepentingan mereka dan memastikan bahwa keseluruhan sistem itu tetap menghormati dan menjunjung tinggi HAM (An open political-economic system with a culture that fully respects human rights). MISI Agar Visi tersebut di atas dapat terwujud, akan melaksanakan seperangkat kegiatan misi berikut ini: 1. Menanamkan, menumbuhkan dan menyebarluaskan nilai-nilai negara hukum yang berkeadilan, demokratis serta menjungjung tinggi HAM kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali; 2. Menanamkan, menumbuhkan sikap kemandirian serta memberdayakan potensi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin sedemikian rupa sehingga mereka mampu merumuskan, menyatakan, memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka baik secara individual maupun secara kolektif; 3. Mengembangkan sistem, lembaga-lembaga serta instrumen-instrumen pendukung untuk meningkatkan efektifitas upaya-upaya pemenuhan hak-hak lapisan masyarakat yang lemah dan miskin; 4. Memelopori, mendorong, mendampingi dan mendukung program pembentukan hukum, penegakan keadilan hukum dan pembaharuan hukum nasional sesuai dengan Konstitusi yang
( 3 )
berlaku dan Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 5. Memajukan dan mengembangkan programprogram yang mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial-ekonomi, budaya dan jender, utamanya bagi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin.
C. Kapasitas Program 1. Konsultasi Hukum Konsultasi hukum bagi masyarakat miskin dan buta hukum menjadi program layanan utama LBH Semarang. Untuk program ini, LBH Semarang memiliki 3 Advokat dan 3 PBH berpendidikan ilmu hukum. Untuk tahun 2006 ini terjadi peningkatan penerimaan kasus sebesar 8,1 % yaitu dari 131 konsultasi menjadi 164 konsultasi (data per Nopember 2006). Konsultasi hukum ini menjadi pintu masuk bagi pemberian bantuan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi. Demikianhlanya untuk kasus BHS yang diperoleh melalui proses investigasi, pendidikan maupun rujukan, harus melalui konsultasi terlebih dahulu untuk tertib administrasi 2. Program Bantuan Hukum Struktural Dalam memberikan Bantuan Hukum Struktural ini, LBH Semarang membagi program kerjanya secara fungsional ke dalam divisi-divisi, yaitu :
a. Divisi Nelayan, Lingkungan Hidup
Masyarakat
Pesisir
dan
Divisi ini bertanggungjawab untuk melakukan pengorganisasian di tingkat basis nelayan, masyarakat pesisir dan komunitas korban perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Proses pengorganisasian dilakukan bersamaan dengan
( 4 )
pendidikan rakyat, kampanye, advokasi dan penangganan kasus. Sampai dengan tahun 2006,telah berhasil memfasilitasi terbentuknya Formakoli (Forum Masyarakat Korban Lingkungan), dan bersama-sama dengan Layar Nusantara telah mendorong keberadan Kelompok Petani Perempuan Srikandi, dan Kelompok remaja nelayan perempuan Nelayan Mestika Bahari.
Pengorganisasian dilakukan bersamaan dengan pendidikan massa, kampanye, advokasi dan penangganan kasus. Divisi ini telah memfasilitasi pembentukan paguyuban PKL di 7 (tujuh) wilayah di Semarang, yang tergabung dalam Organisasi Rakyat (OR) PPKLS (Paguyuban PKL Semarang)
3. Pendidikan Hukum
b. Divisi Petani Divisi ini bertanggungjawab untuk melakukan pengorganisasian di tingkat basis petani khususnya petani perkebunan dan hutan. Proses pengorganisasian dilakukan bersamaan dengan pendidikan massa, kampanye, advokasi dan penangganan kasus. Divisi ini bekerjasama dengan Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja) yang menjadi wadah berorganisasi petani di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Dan tahun 2006 ini, divisi petani memperluas bantuan hukum ke subyek petani hutan/petani di pinggir hutan dan telah memfasilitasi pembentukan FPHJT (Forum Petani Hutan Jawa Tengah). c. Divisi Buruh Divisi ini bertanggungjawab untuk melakukan pengorganisasian di tingkat basis buruh. Proses pengorganisasian dilakukan bersamaan dengan pendidikan massa, kampanye, advokasi dan penangganan kasus. Untuk tahun 2006 ini, Divisi buruh berkerjasama dan memfasilitasi GERBANG (Gerakan Buruh Semarang) d. Divisi Miskin Kota Divisi termuda di LBH Semarang dibentuk tahun 2002 sebagai bentuk renspon terhadap pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang menimpa Kaum Miskin Kota di Semarang. Dalam kerjanya divisi ini bertanggung jawab untuk melakukan pengorganisasian di tingkat basis Miskin Kota dengan fokus kerja sampai saat ini Pedagang Kaki Lima.
( 5 )
Selain kerja-kerja pengorganisasian dan advokasi kasus di tingkat divisi, LBH Semarang melaksanakan program-program yang mendukung terpenuhinya visi dan misi lembaga. Terkait dengan proses pemberian bantuan hukum struktural dan pembaharuan lembaga peradilan, LBH Semarang pada tahun 2006 memiliki program yaitu : 1. Pendidikan Paralegal Buruh Migran Kelompok Perempuan Srikandi Demak;
untuk
2. Pendidikan Fair Trial dan Anti Mafia Peradilan bagi kelompok Miskin Kota] 3. Pelatihan PPHI bagi Buruh 4. Pendidikan kesadaran jender bagi remaja Nelayan Perempuan Mestika Bahari, Demak 5. Pelatihan Mengkritisi Anggaran dalam APBD bagi kelompok miskin kota 4. Pemantauan Lembaga Peradilan Sebagai bentuk komitmen untuk mendorong reformasi hukum, LBH Semarang sejak 1 (satu) tahun lalu instens melakukan Pemantauan lembaga peradilan. Jika pada tahun sebelumnya menekankan pada kampanye anti mafia peradilan, untuk tahun ini lebih menekankan pada jejak rekam dan pemantauan kinerja pengadilan. Sedankan untuk kampanye anti mafia peradilan diintegrasikan pada program pendidikan kepada masyarkat.
( 6 )
5. Reformasi Kebijakan Untuk tahun 2006, LBH Semarang bersama KRHN, Huma melakukan serangkaian workshop untuk mengkritisi RUU yaitu : 1. 2. 3. 4.
Tindak Pidana Keamanan Negara dalam RUU KUHP Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam RUU KUHP Revisi UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Advokasi Raperda Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Semarang.
Selain itu di dalam upaya mendorong penegakan dan penghormatan HAM oleh negara maka LBH Semarang menjadi anggota Panitia RAN HAM Propinsi Jawa Tengah.
D. Sumber Daya Organisasi 1. Sumber Daya Manusia Hingga saat ini, LBH Semarang didukung oleh 5 orang staf yang masing-masing memiliki kemampuan kepengacaraan [advokat], pengorganisasian rakyat [Community Organizer], Mediasi [ADR], Investigasi dan Kampanye. Dalam proses kaderisasi, LBH Semarang mengembangkan pola rekruitmen kader melalui program Relawan. Perekrutan dilakukan melalui proses Karya Latihan Bantuan Hukum [KALABAHU] yang diadakan 2 tahun sekali. Untuk mendukung aktivitas advokasi LBH Semarang, terdapat 4 orang karyawan yang membidangi Keuangan, Administrasi, Indok, dan Office Boy. Kesemua dari Pengabdi Bantuan Hukum [PBH] di LBH Semarang bekerja secara penuh waktu.
6. Program Informasi dan Dokumentasi Kerja-kerja divisi pada umumnya informasi. Untuk memiliki kegiatan 1).
pada khususnya, maupun lembaga didukung ketersediaan data dan program ini LBH Semarang telah berupa
Perpustakaan Perpustakaan memiliki 3666 koleksi terdiri buku, makalah, kliping, dokumentasi kasus dan lainlain yang telah tersistematis dengan sistem komputerisasi.
2).
Penerbitan Dari hasil kerja divisi dan kerja-kerja informasi dan dokumentasi LBH Semarang dituangkan dalam bentuk penerbitan baik yang sifatnya reguler maupun insidental. Terbitan rutin LBH Semarang berbentuk buletin dengan nama Kritis dengan slogan Setia Pada Fakta. Buletin ini sudah terbit semenjak 1998, dan untuk tahun 2006 hanya dapat terbit untuk 5 (lima) edisi yang penerbitannya di bantu oleh yayasan Tifa.
( 7 )
Secara organisasi LBH strukturnya sebagai berikut : Direktur
:
Ka. Bidang Operasional Ka. Bidang Program Staf / Pembela Umum Staf Program
:
Relawan Program Keuangan Administrasi Office Boy
: : : :
:
Semarang
membagi
Tandiono Bawor Purbaya, S.H. [Advokat] Hendro Agung Wibowo, S.H. [Advokat] Siti Rakhma Mary Herwati, S.H. [Advokat]
: :
Sukarman, A.Md Slamet Haryanto,SH M.Nur, SH Skolastika Tirama Nureka Yunianto A., S.Sos Slamet Riyadi
2. Sumber Dana Kelembagaan Sampai saat ini, LBH Semarang mendapatkan bantuan dana hibah untuk program dari Yayasan TIFA –
( 8 )
Jakarta. Selain itu LBH Semarang untuk aktivitas lainnya menjadi lembaga mitra dari HuMa, KP2KKN dan KRHN. Untuk melepaskan ketergantungan pada hibah lembaga donor, LBH Semarang telah melakukan upayaupaya ke arah kemandirian lembaga. Sehingga selain hibah dari lembaga donor, sumber dana kelembagaan berasal dari : 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Koperasi Dana Publik Biaya Pendaftaran Klien Jasa Pelayanan Data Pustaka dan Dokumentasi Unit Usaha “Mitra LBH Event Organizer” Unit Usaha “Mitra LBH Property”
terhadap dana-dana tersebut akan menimbulkan ’konflik kepentingan’ dengan kelompok-kelompok masyarakat miskin yang selama ini berjuang bersama LBH Semarang. Alamat: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Jl. Parang Kembang No. 4, Perumahan Tlogosari Semarang 50196 - Jawa Tengah Tlp. +62 24 6710687, 6710495, Fax. +62 24 6710495 Email: lbhsmg@indosat.net.id
Perlu juga dilaporkan keberadaan kotak donasi. Keberadaan kotak ini semenjak diadakan (maret 2006) sampai September 2006 telah menghasilkan Rp. 718.000,- (Tujuh Ratus Delapan belas Ribu Rupiah) Sampai saat ini LBH Semarang memutuskan menolak dana yang berasal dari APBD Propinsi Jawa Tengah maupun APBD Kota Semarang. Hal ini didasarkan pada penilaian bahwa proses penyaluran dana APBD tidak bersifat transparan, partisipatif dan akuntabel; dan kasus-kasus struktural yang dialami buruh, nelayan, petani dan miskin kota tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintahan propinsi Jawa Tengah dan pemerintah kota Semarang, dan LBH Semarang harus berpihak kepada kepentingan masyarakat miskin, penerimaan dana APBD akan menimbulkan ‘konflik kepentingan’ dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada LBH sendiri. Selain terhadap dana APBD, LBH Semarang juga menolak dana-dana dari lembaga-lembaga pemberi hutang seperti Word Bank. Sikap ini didasarakan atas kesadaran bahwa hutang menjadi salah satu alat bagi kaum modal terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat di negra-negara miskin. Penerimaan
( 9 )
( 10 )
Kalau cermin Tak lagi punya arti Pecahkan BERKEPING-KEPING Kita berkaca di riak gelombang Dan sebut satu kata “HAKKU !!”
Puisi (nn) di dinding ruang Direktur LBH Makassar
( 11 )
( 12 )
informasi yang harus diisi yaitu 1) pekerjaan pokok dan tambahan, 2) harta yang dimiliki, dan 3) Jumlah keluarga yang ditanggung. Jika ketiga komponen tersebut tidak memungkinkan mereka untuk membayar jasa Advokat dan biaya transportasi, maka secara formal yang bersangkutan memenuhi syarat. Jika tenaga dan dana tunjangan perkara cukup maka dengan sendirinya dapat dilayani. Namun jika tenaga saja yang ada, maka diterima dengan syarat yang menanggung biaya transportasi adalah pencari keadilan. Sedangkan jika tidak tidak ada tenaga/SDM dan dana tunjangan perkara tidak cukup, maka klien dibantu dan dipantau untuk menyelesaikan kasusnya secara mandiri.
1) Kriteria Tidak Mampu Kriteria tidak mampu dapat ditunjukkan dengan surat keterangan tidak mampu secara ekonomi yang dengan sendirinya yang bersangkutan berhak untuk dilayani. Namun untuk tidak menyulitkan, criteria ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan calon klien untuk membayar seorang Advokat. Untuk menilai criteria ini, dalam formulir pendaftaran klien terdapat
2) Kriteria Buta Hukum Kriteria buta hukum dapat dikumulatifkan dengan kriteria tidak mampu, maupun dialternatifkan. Jika calon klien secara formal tidak memenuhi syarat (mampu secara ekonomi), tetapi secara material layak dibela maka yang bersangkutan berhak mendapatkan pelayanan hukum. Kriteria ini digormulasikan berdasarkan sifat konflik dan derajat ketidakadilan yang dirasakan kelompok masyarakat yang dikandung oleh kasus itu. Karena istilah buta hukum (law ignorant) ini belum operasional, maka berdasarkan pengalaman penangganan kasus diindentifikasikan kasus-kasus yang mengandung hajat hidup orang banyak atau sering pula disebut dengan kasus-kasus structural digunakan 10 (sepuluh) criteria yaitu : a. Hak untuk berorganisasi b. Hak untuk bebas dari prilaku kejam dan sewenang-wenang c. Hak untuk memperoleh informasi yang benar dari lembaga publik d. Hak untuk memperoleh kedudukan yang sama bagi perempuan e. Hak untuk memperoleh upah yang layak f. Hak untuk mempertahankan sumberdaya
( 13 )
( 14 )
BAB II KONSULTASI HUKUM TAHUN 2006 A.
Standar Layanan Bantuan Hukum
1.
Kriteria Klien/Mitra
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dibangun salah satunya adalah untuk memberikan bantuan hukum gratis kepada orang miskin (tidak mampu) dan buta hukum. Berbeda dengan Kantor Hukum/Advokat, pemberian bantuan hukum lebih didasarkan pada pencapaian visi dan misi lembaga. Sehingga terdapat kriteria khusus suatu kasus dapat ditanggani oleh LBH Semarang.
Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat h. Hak untuk memperoleh informasi yang jujur mengenai mutu barang/jasa i. Hak untuk bebas dari rasa takut. j. Hak untuk mendapatkan pendidikan k. Hak perumahan l. Hak untuk mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi manusiaan. g.
e.
2. Proses Layanan Bantuan Hukum f. a.
b.
c.
d.
Mitra/klien mendaftarkan diri dan mengisi Formulir Data Klien, pada bagian administrasi. Formulir ini merupakan data awal yang harus diisi dengan jujur, dan menjadi dasar pertimbangan LBH Semarang dalam memberikan bantuan hukum; Mitra/klien akan mendapatkan jasa hukum dari PBH LBH Semarang, dan mitra dapat berkonsultasi mengenai perkara yang dialami; PBH akan melakukan koordinasi dengan Kepala Operasional untuk menentukan diterima/tidak kasus tersebut. Jika kasus bersifat individual, dan memenuhi criteria tidak mampu, setelah konsultasi mitra direkomendasikan untuk : Ditanggani untuk kasus individual yang memenuhi criteria tidak mampu, buta hukum, kasus dapat membawa perubahan bagi sistem hukum dan terdapat tenaga /SDM yang cukup; Diselesaikan oleh mitra sendiri dengan tetap berkonsultasi dengan PBH untuk setiap langkah hukumnya; Dirujuk kepada LSM yang khusus menanggani perkara tersebut. Misalkan : Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dirujuk kepada LSM Perempuan,
( 15 )
g.
Kasus Korupsi ke KP2KKN, Kasus Konsumen ke LP2K, dll Dirujuk kepada kantor Advokat alumni LBH Semarang jika klien/mitra tidak memenuhi syarat formal (tidak mampu) Jika kasus bersifat massal, struktural, berdampak luas dan tidak mampu secara ekonomi, hukum dan politik, PBH akan mengkoordinasikan dengan Kepala Operasional yang selanjutnya akan dibahas dalam Rapat Operasional diterima/tidaknya kasus; Setelah pemberian jasa konsultasi, mitra diminta membayar jasa sebesar Rp. 20.000,- untuk pertamakalinya. Dana ini merupakan ikatan dan hanya diminta satu kali saja, untuk proses konsultasi dan penangganan selanjutnya mitra tidak dikenai biaya apapun. Jika mitra memiliki kemampuan secara ekonomi, namun kasusnya memenuhi kriteria 10 hak, maka mitra diminta membayar biaya registrasi perkara di pengadilan dan/atau membantu biaya transportasi.
B. Konsultasi Hukum Tahun 2006 1. Pofil Masalah Hukum LBH Semarang telah menerima 164 konsultasi hukum dari masyarakat. Berdasarkan jenis masalah hukum yang dikonsultasikan masalah perdata menempati peringkat tertingggi yaitu 74 kasus (45 %), diikuti 34 kasus pidana (20%), 23 kasus Tanah/perumahan (14%), 22 kasus perkawinan (13%), 15 kasus perburuhan (9%), 6 kasus Lingkungan (5 % ) dan hak sipil dan politik, hak pendidikan dan hak ekonomi masing-masing 2 kasus (1%) sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini :
( 16 )
Tabel 1 Jenis Masalah Hukum Pendidikan
Hak Ekonomi
1% Sipol
Pidana
1%
19%
Perdata
Perkawinan
42%
12%
Perburuhan 8%
dan/atau lambannya penyelesaian suatu kasus. Untuk indikasi adanya mafia peradilan dan/atau lambannya penyelesaian kasus, LBH Semarang sebagai langkah awal melakukan tindakan administratif berupa pengiriman surat klarifikasi ke instansi yang bersangkutan. Tindakan ini dilakukan pula terhadap kasus-kasus, dimana warganegara berhadapan dengan penyelenggara negara. Sedangkan untuk kasus tanah dan lingkungan, LBH semarang melakukan proses pengorganisasian, pendidikan hukum kritis untuk korban, pembentukan organisasi rakyat, dan melakukan advokasi penangganan kasus.
Lingkungan 3% tanah/rumahn 13%
Nampak kasus yang paling banyak dikonsultasikan merupakan masalah perdata dan pidana. Untuk permasalahan perdata, kasus yang dikonsultasikan terkait dengan hutang piutang, wan prestasi, dan pewarisan. Sedangkan untuk kasus pidana, terkait dengan hak-hak warganegara baik sebagai saksi maupun tersangka dalam sistem peradilan pidana, kasus-kasus perdata yang dipidanakan dengan sangkaan penipuan dan penggelapan. Sedangkan untuk kasus perburuhan, masih terkait dengan pemenuhan hak-hak normatif buruh. Yang menarik hak ini menjadi permasalahan yang dialami seorang WNA berkebangsaan Inggris yang di PHK sebagai penerjemah.
Tingginya kasus perdata dan pidana menunjukkan masih kurangnya pengetahuan hukum setiap warganegara atas hak keperdataannya (hukum keluarga,benda dan perjanjian), dan hak-haknya dalam sistem peradilan pidana. Asumsi ini seharusnya menjadi bagian dari rencana program pendidikan hukum, yang tidak hanya ditujukan kepada kasus-kasus struktural, tapi diarahkan pula pada peningkatan pengetahuan warganegara atas hak keperdataan dan hak dalam simtem peradilan pidana. Tabel 2 Perbandingan Masalah Hukum 2005-2006 80 74
70 60 50 40
20
22
10
12
34 30 23 19
17 15
6 3
4 0
0
3 0
2 0
2
2 1 Pendidikan
Konsumen
KDRT
Dating Violence
Pidana
Lingkungan Hidup
Pertanahan
Buruh Migran
Perburuhan
Perdata
( 17 )
34
30
Perkawinan
Dari 164 kasus yang dikonsultasikan, tidak seluruh kasus ditanggani LBH Semarang. Untuk kasus-kasus perdata seperti hutang piutang, pewarisan maupun konsultasi untuk mendapatkan nasehat hukum, LBH Semarang menjadi konsultan hukum, dan melakukan pemantauan terhadap langkah hukum klien. Untuk kasus pidana, umumnya klien yang datang baik sebagai korban, saksi maupun terdakwa membutuhkan informasi tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi persidangan, hak-hak sebagai terdakwa/tersangka, pungutan liar
Jenis Masalah
2005
2006
J
( 18 )
Jika dibandingkan dengan penerimaan kasus pada tahun 2005, maka secara umum terdapat kenaikan 25 % untuk konsultasi hukum ke LBH Semarang. Hal ini dapat diasumsikan meningkatnya kepercayaan masyarakat atas layanan konsultasi yang diberikan. Masalah hukum yang mengalami kenaikan mencolok adalah masalah hukum perdata sebesar 117 % yaitu dari 34 kasus menjadi 74 kasus, kasus perkawinan sebesar 83% yaitu dari 12 kasus menjadi 22 kasus. Untuk kasus lainnya tidak terdapat kenaikan yang mencolok. C. Profil Penerima Manfaat Klien yang datang ke LBH Semarang, sebagian besar berasal dari Kota Semarang yaitu 131 kasus atau hampir 79,%, sedangkan sisanya berasal dari kota- kota di Jawa Tengah seperti Kendal, Demak, Solo, Kebumen, Blora, Pati, Tegal, Pekalongan dan Batang sebanyak 33 kasus atau sebesar 21 %. Hal ini dapat dipahami dengan letak geografis LBH Semarang yang berada di ibukota Propinsi sehingga lebih mudah diakses, dan lebih murah dari sisi transportasinya. Sedangkan untuk masyarakat di luar Kota Semarang melakukan konsultasi biasanya karena telah memiliki hubungan sebelumnya dengan LBH Semarang dalam kasus-kasus bantuan hukum struktural, maupun rekomendasi dari mitra-mitra LBH Semarang di wilayah tersebut. Dengan demikian untuk konsultasi hukum, penerima manfaat konsultasi hukum adalah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, Purwodadi, Demak, Kudus dan Batang.
Tabel 3 Konsultasi Hukum Berdasarkan Asal Kota
150 100 Kota Asal 50 0 Semarang
Luar Semarang Jumlah (n=164)
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang jauh antara laki-laki dan perempuan. Penerima manfaat sebagian besar adalah laki-laki 96 konsultasi atau sebesar 58,5,25% dan sisanya 68 konsultasi atau sebesar 41,5% adalah perempuan. Demikian pula kasus yang dikonsultasikan tidak memperlihatkan streotiping suatu jenis kelamin tertentu. Kasus perkawinan yang biasanya perempuan sebagai pihak yang meminta bantuan hukum, ternyata laki-laki baik dalam posisi tergugat maupun penggugat meminta konsultasi perkawinan.
Tabel 4 : Konsultasi Berdasarkan Jenis Kelamin 100 96
68
50 0
Laki-laki
Perempuan
Jenis Kelamin
( 19 )
( 20 )
Dan untuk melihat apakah layanan konsultasi ini telah tepat sasaran, dapat dilihat dari tingkat pendidikan klien yang datang. Dari 164 kasus konsultasi, berasal dari klien yang tidak bersekolah sampai yang memiliki tingkat pendidikan S-1. Yang terbesar berasal dari tingkat pendidikan SMA yaitu 69 kasus (42%) dan S-1 (Universitas) yaitu 34 konsultasi (21%), diikuti SMP 23 konsultasi (14%), Akademi 12 konsultasi (7,3%), SD 10 konsultasi (6,9%) dan Tidak sekolah 14 konsultasi (8,5%) sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini.
sebesar 16 konsultasi atau 9,6%, Pekerja Informal sebesar 11 konsultasi atau 6,7%, Pegawai Negeri Sipil sebanyak 6 konsultasi (3,6%) dan Petani hanya 3 konsultasi atau 1,8 %
Tabel 6 Jenis Pekerjaan Klien 60 50
Tabel 5 Klien Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tidak diisi/Tdk Bekerja Swasta
55
Ibu Rumah Tangga Buruh
48
40 30
lain-lain Tidak sekolah SD 3% 3% 6%
20
16 18 11
Universitas SMP
22%
10
15%
6
3
0 Akademi
Pegawai Negeri Sipil Pekerja Informal Petani
8%
SMA 43%
Dari tingkat pendidikan, nampak bahwa layanan ini lebih banyak diakses oleh masyarakat dengan pendidikan SMA dan Universitas. Hal ini dapat diasumsikan bahwa layanan ini lebih banyak diakses oleh kalangan menengah yang memiliki telah kesadaran hukum dan kesadaran untuk mempertahankan hak-haknya.
Yang menarik terdapat 50 klien yang tidak mengisi pekerjaan dan jumlah penghasilan. Hal ini tidak digali lebih lanjut, tapi dapat diasumsikan bahwa klien tidak bekerja, atau bekerja tidak beraturan (tidak tetap). Sedangkan berdasarkan jumlah penghasilan, konsultasi dilakukan oleh sebagian besar masyarakat berpenghasilan antara Rp. 350.001,- - Rp. 1.000.000,yaitu sebanyak klien 57 klien (34,7%), 50 klien tidak berpenghasilan / tidak diisi, 25 klien (30,5%) berpenghasilan Rp. 1.000.000,- Rp. 2.000.000,-, 23 klien (14,2%) berpenghasilan berpenghasilan Rp. 100.000,- Rp. 350.000,- , dan 5 klien ( 3%) berpenghasilan diatas Rp. 2.000.000,- , seperti terlihat dalam tabel berikut :
Namun dari jenis pekerjaan, pihak swastalah yang menempati peringkat tertinggi yaitu 55 konsultasi atau sebesar 33,5% diikuti pekerjaan yang dikosongkan/tidak diisi sebanyak 48 konsultasi atau 29%, Ibu rumah tangga
( 21 )
( 22 )
Tabel 7 Klien Berdasarkan Jumlah Penghasilan
Penghasilan 100 - 350 350 rb - 1 ribu jt
1- 2 jt
diatas 2 jt Tidak diisi
Orang lain untuk 21 konsultasi (12,5%) dan untuk kepentingan kelompok terdiri dari 33 konsultasi (13,54%). Untuk kepentingan kelompok dari 33 konsultasi mewakili 652 orang. Sehingga total penerima manfaat tahun 2006, adalah berjumlah 793 orang. Dengan demikian penerima manfaat terbesar adalah kelompok/komunitas. Hal ini memperlihatkan konsep BHS LBH Semarang yang lebih menanggani kasus-kasus publik telah dikenal baik oleh masyarakat di Jawa Tengah.
Berdasarkan tingkat penghasilan, maka penerima layanan konsultasi didominasi oleh masyarakat yang berpenghasilan dibawah Rp. 1.000.000,-/bulan atau secara keseluruhan mencapai 89 % dari klien yang datang. Dengan demikian dilihat dari jumlah penghasilan, layanan konsultasi ini telah memenuhi criteria “tidak mampu� yang diasumsikan dengan rentang Upah Minimal Kota tertinggi di Jawa Tengah sebesar Rp. 585.500,-.
Tabel 8 Penerima Manfaat 800
652
Sendiri = 120 konsultasi
600 Orang Lain = 29 konsultasi
400 200
120 21
0 Penerim a manfaat
Kelom pok = 33 konsultasi untuk 422 orang
Dan penerima manfaat dari konsultasi hukum ini, terdiri dari 3 kelompok kepentingan yaitu bertindak untuk kepentingan sendiri untuk 120 konsultasi (73,95%),
( 23 )
( 24 )
WABAH (menyambut 17-8-1999) ………………………………………………… ……… Hukum telah digerogoti wabah, kering airmata Raksasa ekonomi mengunyah buruh dan petani Pecahan-pecahan cermin berserakan di depan penguasa Muka badut memancarkan nurani busuk Angin kencang bertiup di istana Tutupkan pintu dan jendela Wabah kekuasaan merajalela Dari ngutil hingga upeti Lewat intimidasi maupun tembak mati Meskipun reformasi Ketika hukum sudah digerogoti wabah, kering airmata Bangkit monster memangsa harkat manusia Menghantar merah putih tengadahkan kepala Beranjak dari akar rumput hingga ke nirwana Dinapasi Indonesia Raya, mengema Menyampaikan salam kepada bangsa Rebut merdeka !!!
Puisi karya PUTU OKA SUKANTA Dicuplik dari buku kumpulan cerpen dan puisi Putu Oka Sukanta berjudul “Di Atas Siang, Di Bawah Malam; Sketsa Perempuan & Renungan Seorang Eks Tapol”. Penulis adalah salah seorang Survivor dari Peristiwa 1965, dirampas kemerdekaan dan kebebasan berekpresinya atas tuduhan menjadi anggota LEKRA tanpa proses peradilan. Saat ini mengabdikan diri sebagai terapis bagi ODHA/OHIDA
( 25 )
( 26 )
keduanya kekerasan dan penyiksaan berlangsung selama 7 hari 7 malam. Pelaku kekerasan dan penyiksaan adalah Aparat Kepolisian Polres Semarang Timur.
BAB III BANTUAN HUKUM STRUKTURAL (BHS) BAGI MASYARAKAT MARGINAL TAHUN 2006 A. Pelayanan BHS di dalam Peradilan 1. Kasus Sindu dan Iwan1 Penembakan terhadap seorang ibu muda (Sherly) yang terjadi di kawasan kios pasar ikan, ditengah misteri kasus ini polisi menangkap dan menahan Sindu dan Iwan. Keduanya disangka sebagai pelaku penembakan. Mereka mengalami Kekerasan (Violence), dan Penyiksaan (Torture) sejak keduanya ditangkap aparat kepolisian pada hari Kamis, 6 Oktober 2005. Menurut perhitungan 1
Kasus ini telah didokumentasikan dalam bentuk buku berjudul “ Memecah Kebisuan (unfair Trial pada kejahatan Warungan); Siti Aminah dan Agus Suprihanto (ed), LBH Semarang, 2006 dan secara lengkap pula dapat pula dibaca dalam Pledoi (pembelaan) berjudul “Orang Miskin Juga Manusia�, LBH Semarang, Semarang, 2006
( 27 )
Bukti-bukti kekerasan dan penyiksaan telah menyebabkan : luka di seluruh tubuh, dan yang masih tersisa adalah bekas luka tembak di kaki Iwan dan Sindu, luka di bagian atas kepala Iwan, 1 (satu) gigi seri Iwan yang patah, buku-buku tangan Sindu yang membengkak, isi staples di telinga Sindu dan 1 (satu) peluru masih bersarang di kaki Iwan. Dan penyiksaan ini tidak saja meninggalkan luka secara fisik tetapi trauma untuk berhadapan dengan aparat kepolisian atau menjalani pemeriksaan, hal ini nampak dari upaya keduanya untuk bunuh diri.
Bantuan Hukum dari LBH Semarang Untuk penanganan kasus ini, LBH Semarang membentuk dua tim, yaitu litigasi dan non litigasi. Tim litigasi dengan tugas utama mendampingi dan melakukan pembelaan maksimal terdiri dari 4 orang Advokat yaitu Tandiono Bawor Purbaya,SH; Hendro Agung Wibowo, SH; Siti Rakhma MH, SH dan Siti Aminah, SH. Sedangkan tim non litigasi bertugas sebagai petugas lapangan, menyiapkan data-data, dan pendokumentasian proses penanganan kasus. Tim ini terdiri dari Slamet Haryanto, Agus Suprihanto, SH, Eko, dan Dody Setiadi. Kasus ini merupakan kasus pidana di luar kasus-kasus pidana yang bersifat politis atau kasus-kasus pidana terkait dengan kriminalisasi pada masyarakat yang memperjuangkan haknya bersama LBH Semarang. Kasus ini selanjutnya diarahkan dan dijadikan entry point untuk memenuhi hak-hak tersangka/terdakwa atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial). Disamping melakukan upaya litigasi di persidangan, LBH Semarang mendesak pemenuhan hak kesehatan para Terdakwa untuk mengoperasi peluru di kaki Iwan. Namun
( 28 )
belum berhasil karena membentur rumitnya dinding birokrasi. Mengkomunikasikan kemungkinan melaporkan pelanggaran disiplin kepada Propam, dan kampanye fair trial di media massa. Dari keseluruhan upaya tersebut, ternyata majelis hakim lebih menitikberatkan pada keadilan formal, yaitu bukti yang terungkap. Sehingga keduanya dipidana atas perbuatan yang tidak mereka lakukan. Sindu Pradana dijatuhi vonis 10 tahun penjara, dan Iwan Supriyanto dijatuhi vonis 1 tahun 6 bulan. Hukuman 10 tahun terhadap Sindu dikuatkan oleh Pengadilan tinggi Jawa Tengah pada desember 2006. Sindu mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, sementara Iwan belum mendapat keputusan atas usahanya banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah.
Hakim memutus 21 warga terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penyerobotan tanah, dipidana dengan pidana denda Rp. 10.000 dan meninggalkan tanah sengketa. Atas putusan ini, warga melalui LBH Semarang melakukan Kasasi. Permohonan kasasi untuk Terdakwa Abdul Hadi bin Gunadi ditolak, sementara untuk 20 orang terdakwa lainnya belum mendapatkan keputusan. Setelah melalui berbagai bentuk negosiasi dengan Kejaksaan Negeri, akhirnya Kejaksaan Negeri melakukan eksekusi terhadap tanah yang ditempati Abdul Hadi bin Gunadi, sedangkan untuk bangunan menjadi milik Abdul Hadi bin Gunadi. Eksekusi yang diwarnai penolakan warga berakhir dengan penyegelan rumah. Eksekusi ini menjadikan Abdul Hadi bin Gunadi, kehilangan tempat tinggalnya.
2. Permohonan Peninjauan Kembali atas Sengketa Tanah di Kampung Jayengaten
Bantuan Hukum dari LBH Semarang
Kasus sengketa tanah antara 21 warga Jayengaten dan Hendra Sugiarto memasuki tahapan baru. Kasus yang didasarkan pada sewa menyewa tanah milik Tasripin seorang pribumi terkaya di Semarang pada zamannya. Tanah di kampung ini kemudian menjadi sengketa ketika ahli waris Tasripin menjual tanah kepada Hendra Sugiarto untuk perluasan pembangunan Hotel Gumaya tanpa sepengetahuan warga. Warga sebagai penyewa tidak mendapatkan ganti rugi atas peralihan kepemilikan tanah dan kepemilikan rumah. Setelah pada tahun 2005, gugatan PTUN diajukan warga atas penerbitan IMB Hotel Gumaya, dan sebaliknya Hendra melalui Kuasa Hukumnya, Sebastian B Soediono, S.H memberikan somasi pada warga untuk mengosongkan kampung. Somasi ini ditindaklanjuti dengan melaporkan warga ke Polwiltabes Semarang dengan tuduhan penyerobotan tanah. Dalam proses persidangan 21 warga didakwa telah melanggar pasal 6 (1) a Undang-undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Memasuki Tanah Orang Lain Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya. LBH mendampingi ke-21 tersangka selaku kuasa hukum. Dan
( 29 )
Secara hukum, melalui LBH Semarang, Abdul Hadi melakukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK). Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1594.K/Pid/2005 jo putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 602/Pid/C/V/2005/PN. Smg, didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut : 1) Adanya suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, yaitu menilai permohonan kasasi sebagai kasus PTUN, padahal permohonan diajukan atas kasus pidana; 2) Mahkamah Agung kurang dalam pertimbangannya, karena tidak memeriksa terlebih dahulu pokok perkara yang dimohonkan kasasi. Dengan diajukan PK atas nama Abdul Hadi, maka sampai saat ini masih belum ada keputusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.
( 30 )
3. Kasus Perdata Ny. Sri Hadi Sumarliningsih vs PT KAI Perumahan golongan III milik PT. Kereta Api Daop IV Semarang yang ditempati oleh para pensiunan pegawai PT. Kereta Api, telah menjadi sengketa semenjak tahun 2000. Sengketa ini disebabkan para pensiunan yang menempati perumahan tersebut diminta untuk meninggalkan atau mengosongkan rumah. Pada dasarnya para pensiunan berkeinginan untuk membeli rumah. Hal ini didasakan pada ketentuan yang memperbolehkan para pemukim perumahan golongan III membeli rumah yang telah mereka tempati. Untuk merealisasikannya, mereka mengajukan surat kepada Menteri BUMN dan Menteri Keuangan Republik Indonesia. Permohonan ini telah disetujui dan diperbolehkan untuk membeli rumah golongan III milik PT. Kereta Api. Persetujuan tersebut dikeluarkannya dengan Instruksi Menteri BUMN Namun Instruksi Menteri BUMN tidak dijalankan oleh Direksi PT. Kereta Api Pusat yang berada di Bandung. Alasannya PT. KAI belum menginventarisir asset – asset milik PT. Kereta Api. Tetapi dalam perkembangannya PT. Kereta Api Daop IV Semarang telah melakukan penjualan aset tersebut kepada pemodal besar untuk digunakan sebagai Ruko. Alhasil para pensiunan diminta untuk pindah dan keluar dari rumah yang selama ini telah mereka tempati. Seperti rumah Sri Hadi Sumarliningsih. yang ditempati semenjak 1 Maret 1982. Setelah melalui berbagai surat menyurat akhirnya Ny. Sri Hadi Sumarliningsih digugat oleh PT. Kereta Api Dasar gugatannya adalah bahwa mereka telah menempati rumah atau asset milik PT. Kereta Api.
diwakili oleh kuasa hukumnya Siti Rakhma MH, SH dkk [LBH Semarang], bersama-sama mengajukan permohonan untuk upaya perdamaian dengan menggunakan mediator. Permohonan ini disetujui majelis hakim Bordi Hartono, SH, Moeryono, SH dan A. Silalah, SH karena merupakan kewajiban hakim untuk diselesaikan dengan upaya perdamaian sesuai pasal 130 HIR dan PERMA No.2 tahun 2003. Namun sebelum sampai dalam tahap mediasi pihak tergugat Sri Hadi Sumarliningsih mencabut kuasanya dari LBH Semarang pada tanggal 19 Januari 2006. Sebagai anggota FORSOS, ternyata FORSOS telah mempercayakan kepada Team Advokasi SEPUR-NKA yang beralamat di Jl. Kusbini No.49 Yogyakarta untuk menjadi kuasa hukum tergugat. Dengan pencabutan kuasa, dengan sendirinya LBH Semarang menghentikan bantuan hukum yang diberikan.
4. Kasus Perdata Ny. Siti Soemarmi vs PT KAI Tidak berbeda dengan kasus antara antara Ny. Sri Hadi Sumarliningsih dengan PT KAI daop IV Semarang, hal yang sama menimpa pula RR. Siti Soemarmi. Sengketa ini disebabkan karena Ny. Siti Soemarmi menempati dan berkeinginan untuk membeli rumah yang berada di Jl. Imam Bonjol No. 119. Hak untuk menempati rumah tersebut berdasarkan Surat Direksi PT. KA No. A.60 / JB.310 / U.5 – 2004 tertanggal 16 Juli 2004 tentang Tarif Sewa Rumah Dinas PT. KA [ PT. KA Pusat Bandung ]. Berdasarkan Surat Direksi tersebut maka para pensiunan dan janda / duda pensiunan mendapatkan perjanjian baru, dengan kewajiban mereka harus membayar sewa rumah negara yang ditempati.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang menjadi kuasa hukum Tergugat Ny. Sri Hadi Sumarliningsih. Pada persidangan pertama, kedua belah pihak yaitu penggugat diwakili oleh kuasa hukumnya Syamsul Hidayat, SH dan Tergugat yang
Untuk merealisasikan keinginan tersebut, Ibu Siti Soemarni sudah mengajukan permohonan kepada pihakpihak yang berwenang. Terlebih ada Instruksi Menteri Badan Usaha Milik Negara nomor : 02/M.MBU 2002
( 31 )
( 32 )
tertanggal 4 September 2002 pada point Menginstruksikan diktum Kedua hal.2 menyatakan bahwa Penjualan Rumah Dinas kepada penghuni sah, diberikan keringanan harga jual secara regressive proportional. Dalam hal penghuni sah dimaksud tidak berminat membeli rumah dinas dengan cara tersebut, maka dalam waktu 3 [tiga] bulan sejak diterima pemberitahuan rencana penjualan rumah dinas tersebu, rumah dinas dimaksud dapat dijual kepada bukan penghuni dengan prosedur lelang. Dan berdasarkan dasar hukum tersebut ibu Siti Soemarmi tidak merasa keberatan untuk membeli dan juga telah melakukan haknya dengan melayangkan surat permohonan kepada instansi terkait. Setelah melalui berbagai lika-liku negoisasi dengan berbagai pihak namun gagal. Akhirnya PT. KAI memilih jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ibu Siti Soemarni digugat oleh PT. Kereta Api melalui kuasa hukumnya Syamsul Hidayat, SH.
Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang menjadi kuasa hukum Tergugat Ny. Siti Soemarmi. Pada persidangan pertama, kedua belah pihak yaitu penggugat diwakili oleh kuasa hukumnya Syamsul Hidayat, SH dan Tergugat yang diwakili oleh kuasa hukumnya Siti Rakhma MH, SH dkk [ LBH Semarang ].Kedua belah pihak dengan bersama-sama mengajukan permohonan untuk upaya perdamaian dengan menggunakan mediator sesuai dengan pasal 130 HIR dan PERMA No 2 tahun 2003. Namun demikian permohonan menggunakan Perma No 2 /2003 tersebut tidak disetujui oleh hakim. Majelis hakim Edi Sudarmuhono, SH, Mulyanto, SH dan Sudarmawatiningsih, SH hanya memerintahkan upaya perdamaian dilakukan terlebih dahulu sesuai HIR. Hasil akhir dari negoisasi tersebut adalah, kedua pihak sepakat dengan nilai Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah ) sebagai bentuk kompensai kepada Ny.Siti Soemarmi. Pada tanggal 27 januari 2006 kesepakatan
( 33 )
dibuatkan akta perjanjian di hadapan Notaris Mohammad Thurman, SH dan selanjutnya disampaikan dihadapan majelis hakim. Perkara perdata No.247/Pdt.G/2005/ PN.Smg tersebut selesai dan diputus dengan jalan perdamaian.
5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) a.n Ny. DS Ny. DS (29) dan HP (35) telah melangsungkan pernikahan selama 10 tahun dan dikaruniai seorang anak perempuan. Konflik rumah tangga keduanya dimulai sejak tahun 1999 ketika keduanya bekerja sekantor di Semarang. HP kerap menggoda perempuan bawahannya (pelecehan seksual). Teguran terhadap prilakunya dibalas dengan marah-marah dan berkata kasar. Perkataan kasar meningkat menjadi kekerasan fisik. Tepatnya pada tahun 2004, HP memukul bagian belakang kepala dengan tangan. Kekerasan terus terjadi, dan puncaknya pada Senin tanggal 19 Desember 2005, HP melakukan kekerasan dengan cara menyeret, menjambak rambut, menduduki dan menginjak kaki Ny. DS, yang mengakibatkan luka-luka pada tubuhnya. Setelah Kejadian, Ny.DS mengungsi ke rumah kawannya. Sorenya ia melapor ke kantor Polres Semarang Timur. Di Polres ia disarankan untuk tidak tinggal serumah dengan suaminya. Polisi kemudian memanggil HP untuk dimintai keterangan. Dalam pemeriksaan, HP menyangkal laporan Ny.DS, dan sebaliknya menuduh Ny.DS dengan perkataan tidak menyenangkan. Ny. DS diminta membayar Rp. 300.000,- sebagai biaya administrasi ketika melapor. Namun laporan KDRT No.Pol: A/LP/178/XII/2005/Reskrim tersebut tidak kunjung ditindaklanjuti. Bahkan pada tanggal 23 Januari 2006, HP melaporkan bahwa istrinya telah dilarikan seseorang. Dan karena laporan tersebut, beberapa orang yang membantu
( 34 )
menyelamatkannya diperiksa oleh polisi dengan tuduhan melarikan isteri orang lain. Bantuan Hukum Yang Diberikan Pengabaian hak korban KDRT dan adanya mafia peradilan, menjadikan kasus ini ditanggani LBH Semarang. LBH Semarang mengirim surat tertanggal 2 Maret 2006 No: 024/SK/LBHSmg/III/2006 kepada Kapolres Semarang Timur yang berisi permohonan informasi mengenai tindak lanjut dari laporan KDRT. Atas upaya ini, kasus KDRT berjalan dan dapat diadili. Akhirnya pada 6 Juli 2006, perkara pidana ini mulai disidangkan di PN Semarang. HP ditahan oleh JPU sejak bulan Juni 2006 di LP Kedungpane Semarang. Di dalam persidangan, DS menghadirkan saksi-saksi yang mengetahui secara langsung peristiwa tersebut, dan telah memberikan pertolongan kepadanya. Akhirnya Majelis Hakim memutuskan HP bersalah dan divonis 5 bulan penjara karena terbukti telah melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
mendatanginya. Tergugat mengatakan akan keluar dari LP pada tanggal 6 November 2006. Tetapi panggilan tersebut telah dinyatakan patut oleh hakim. Selanjutnya Tergugat akan dipanggil kembali setelah keluar dari penjara, dengan ditujukan ke alamat rumahnya di Karangjati Ungaran. Dalam sidang pertama ini, Hakim berusaha melakukan upaya damai. Penggugat ditawari untuk berdamai dengan Tergugat dan Hakim menganjurkan supaya Pergugat mau membatalkan niatnya untuk bercerai. Terhadap anjuran Hakim tersebut, Penggugat menyatakan menolak dan tetap pada niatnya semula untuk bercerai. Akhirnya sidang ditunda sampai pada tanggal 30 November 2006. Kembali pada persidangan ke dua, Tergugat kembali tidak datang walau telah dipanggil secara patut. Akhirnya hakim memutuskan akan melanjutkan persidangan untuk memutus gugatan cerai ini pada Januari 2007.
7. 6. Kasus Perdata Ny. DS vs HP Berdasarkan putusan peradilan yang menjatuhkan pidana kepada HP, selanjutnya Ny. DS mengajukan gugatan cerai. Gugatan cerai didaftarkan melalui Pengadilan Agama Semarang di Jl. Ronggolawe Semarang pada tanggal 27 September 2006 dengan nomor perkara No. 159/Pdt/PA/Smg. Bantuan Hukum Yang Diberikan LBH Semarang bertindak sebagai kuasa hukum penggugat. Pada tanggal 9 Oktober 2006, Ny. DS menerima panggilan sidang pertama yang dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2006. Tergugat yang masih berada di LP Kedungpane Semarang menyatakan tidak akan datang ke pengadilan. Hakim Ketua mengatakan kepada Penggugat bahwa Tergugat telah diundang secara patut melalui juru sita di LP Kedungpane Semarang. Tetapi yang bersangkutan tidak mau menandatangani surat panggilan pengadilan dan tidak mau
( 35 )
Kasus Pidana dengan Tersangka 9 orang Warga Desa Keji
Kasus hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) ini berawal dari sengketa masyarakat Dusun Setoyo – Desa Keji – Kecamatan Ungaran – Kabupaten Semarang dengan PT Hortindo Pratama Indah (PT HPI) berawal dari pengambilalihan sepihak tanah garapan petani oleh PT HPI. Para petani menuntut tanah mereka untuk dikembalikan. Dan resiko perjuangan ini adalah di kriminalisasikannya para pimpinan organisasi tani di Desa Keji, dengan sangkaan perusakan jalan. Upaya advokasi tanah sengketa petani pengarap dengan PT HIP, beralih ke penangganan kriminalisasi masyarakat Desa Keji. Penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Polsekta Ungaran menjadikan kasus ini mengantung. Para tersangka dipanggil untuk pemeriksaan, jika para petani dan organisasi tani mulai melakukan aktivitas
( 36 )
perlawanan. Dan ketika aktivitas perlawanan mengendur, kasus dibiarkan tidak berjalan.
Bantuan Hukum Yang Diberikan Hingga saat ini ke sembilan warga tersebut perkaranya tidak di tindaklanjuti sama sekali. Hal ini merupakan pelanggaran Fair Trial khususnya pelanggaran hak-hak tersangka yang bertentangan dengan KUHAP. Pelanggaran yang terjadi yaitu dalam melakukan pemeriksaan tidak menyampaikan surat panggilan. Padahal berdasarkan Pasal 112 ayat (1) KUHAP, surat pemanggilan harus memperhatikan tenggang waktu yang wajar dan layak, atau surat panggilan harus disampaikan selambat-lambatnya tiga (3) hari sebelum tanggal hadir yang telah ditentukan dalam surat panggilan, hal ini juga sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 152 ayat (2) dan pasal 227 ayat (1) KUHAP. Para tersangka baru menerima surat panggilan tersebut sehari sebelum pemeriksaan dilakukan pada tanggal 22 September 2005 melalui pihak perkebunan (mandor) PT Hortindo Pratama Indah. Sehingga dengan demikian panggilan tersebut tidak memenuhi syarat atau tidak sah.
8. Kasus Pidana Dengan Terdakwa Ny. Wakirah Selasa tanggal 11 April 2006 sekira pukul 21.00 WIB, dalam keadaan mabuk dan marah-marah, Sudarminto (suami/korban) membakar pakaian milik Ny.Wakirah dan anak-anaknya serta radio tape yang ada di rumah. Wakirah hanya diam dan mencoba memadamkan api dan menyembunyikan sisa-sisa pakaian yang ada. Sang suami mengancamnya akan membakar rumah mereka. Dan suaminyapun mengancam akan membunuh dirinya, anak-anaknya dan ibunya. Ketika ia memberanikan diri untuk bertanyapun, pukulan dan seretan yang ia terima. Setelah puas melampiaskan kemarahannya dengan memeluk botol minuman keras, suaminyapun tertidur;
( 37 )
Rabu tanggal 12 April 2006 sekira pukul 04.00 WIB, Wakirah membangunkan Suaminya untuk menyadarkan agar tidak marah. Ia tidur di sisinya, namun ia disiku, maka ia pindah ke ujung tempat tidur. Wakirah memangku kaki suaminya, dan mulai memijit-mijit, dengan harapan reda kemarahannya. Namun usahanya tidak berhasil, ia ditendang sampai terjerembab. Wakirah bereaksi melawan dengan mengambil batu dan melemparkannya. Sang suami bangun dan akan mencekiknya, anaknya bangun untuk melerai namun iapun terjatuh. Di tengah suasana gelap, karena lampu dimatikan, sang suami terus memburunya, Wakirah mengambil besi di depan pintu dan dengan menyebut Allahu Akbar.......Allahu Akbar.......Allahu Akbar, ia memukulkan besi ke arah kepala suaminya sebanyak 3 (tiga) kali mengenai kening dan bagian belakang kepala korban. Dan akibat pukulan suaminya tewas. Sebagai konsekuensinya, Wakirah dimajukan ke persidangan dengan dakwaan berlapis yaitu DAKWAAN KESATU Primair Pasal 338 KUHP, Subsidair Pasal 351 ayat (3) KUHP atau DAKWAAN KEDUA, Primair Pasal 44 (3) Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2004, Subsidair Pasal 44 (2) Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2004.
Bantuan Hukum Yang Diberikan Bersama LRC KJHAM dan LBH APIK Semarang, LBH Semarang memberikan bantuan hukum. Kasus ini sendiri merupakan satu dari kasus kekerasan yang dilakukan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kepada pelaku KDRT yang mengakibatkan kematian. Walau dalam persidangan kali ini, Wakirah duduk sebagai Terdakwa, namun pada dasarnya ia adalah korban KDRT. Selama 25 tahun dari 26 tahun usia perkawinannya, ia telah menjadi korban KDRT dengan berbagai bentuknya seperti kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi maupun seksual. Sampai saat ini Ny.Wakirah sedang menunggu tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum.
( 38 )
9. Kasus Tewasnya Nurhadi di Hutan Negeri Selasa tanggal 13 Juni 2006, di Desa Karanganyar Penthuk, Pilang, Randublatung, Kabupaten Blora Nurhadi (35) tewas di Hutan Negara tepatnya di RPH Kedungsambi, BKPH Beran, KPH Randublatung. Penyebabnya diduga dianiaya oleh petugas pengamanan hutan. Menurut hasil investigasi Lidah Tani kejadian ini berawal ketika 3 orang tetangga korban yang berangkat ke hutan untuk mengambil kayu. Setelah kayu ditebang, 3 orang tadi kemudian membawa kayu itu keluar hutan. Ditengah perjalanan pulang, ketiga orang tersebut bertemu dengan korban yang hendak mencari rumput dengan sabit sebagai alatnya. Korban masuk sendiri ke hutan, ditengah perjalanan korban bertemu dengan empat orang waker ( Petugas Pengaman Hutan). Korban digertak oleh keempat orang waker, kemudian korban lari dan kemudian dikejar setelah tertangkap kemudian keempat waker ini diduga mengeroyok korban. Korban masih sempat lari, dengan tetap dikejar oleh Waker. Nurhadi akhirnya sampai ke pagar batas antara hutan dan desa berupa tanaman, di dekat pagar itulah Nurhadi korban menghembuskan nafas terakhirnya.
kekerasan terhadap petani hutan. Hal ini terlihat dari data dalam rentang 28 Juli 1998 sampai 13 Juni 2006 telah terjadi penembakan dan penganiayaan terhadap 7 orang petani. Dan dari hasil investigasi diduga Nurhadi tewas karena dianiaya oleh Waker. Namun demikian hasil invetigasi ini tidak menemukan saksi yang melihat secara langsung proses penganiayaan terhadap korban, meskipun rangkaian keterangan para saksi menerangkan bahwa korban saat ditemukan sudah dalam keadaan meninggal dunia. Para saksipun ada yang mendengar waker yang bercerita sendiri telah melakukan penganiayaan, maupun saksi yang dimintai air putih untuk memberikan pertolongan pertama pada Nurhadi. Namun keseluruhan saksi tidak bersedia memberikan kesaksiannya, karena takut dan lemahnya posisi petani pinggir hutan yang sangat mudah disebut sebagai pencuri kayu.
Bantuan Hukum Yang Diberikan Berdasar informasi bahwa telah terjadi penganiayaan terhadap petani pinggir hutan dan peristiwa ini terkait dengan Operasi Hutan Lestari. LBH Semarang pada tanggal 17-19 Juni 2006 segera melakukan investigasi. Hal ini terkait dengan wilayah hutan Blora yang rawan
Pada tanggal 3 Juli 2006, keluarga korban dengan didampingi oleh Lidah Tani Blora, bersama dengan beberapa pendamping dari Yogyakarta melapor ke LBH Semarang. Pengaduan ini menarik juga perhatian media. Berdasarkan pengaduan dan surat kuasa dari keluarga, pada tanggal 7 Juli 2006 dengan surat No: 093/SK/LBH/Smg/VII/2006 LBH Semarang melakukan klarifikasi kepada Kapolres Blora yang memiliki kewenangan dalam menangani kasus ini. Klarifikasi ini mempertanyakan perkembangan penanganan kasus dan meminta salinan hasil otopsi saudara Nurhadi untuk di berikan pada keluarga korban. Setelah selama kurang lebih 10 hari tanpa ada kejelasan maka pada 16 – 18 Juli 2006 LBH Semarang dan keluarga melakukan klarifikasi langsung kepada Polres Blora. Di Polres, Keluarga dan kuasa hukumnya dipertemukan dengan Soeharto sebagai Staff Kanit Serse selaku penanggung jawab penyelesaian kasus ini. Dari pertemuan tersebut didapatkan informasi sebagai berikut : pertama Bahwa ternyata status dari saudara Nurhadi bin Sadir adalah sebagai tersangka kasus pencurian kayu jati di dalam petak 93 RPH Kedungsambi, BKPH Beran, KRPH Randublatung,
( 39 )
( 40 )
Nurhadi kemudian di bawa dua orang waker memakai sepeda motor ke Sinderan Beran [kantor BKPH Beran]. Selanjutnya dibawa ke Puskesmas Wulung dan kemudian di bawa ke RSU Blora, untuk diotopsi. Jenazah korban diterima oleh keluarga korban pada hari rabu dini hari, tanggal 14 Juni 2006 Pukul 01.00 wib. dani dimakamkan keesokan paginya.
bersama tiga orang temannya. Kedua Bahwa Polisi juga telah memeriksa lima (5) orang saksi, yaitu petugas petugas KPH Randublatung dan juga memeriksa saksi Saudari Sumirah binti Mukarto, umur 40 tahun, pekerjaan Tani, alamat Dk. Balongkare Desa Pilang, Kec. Randublatung. Selain itu kami diperbolehkan mencatat hasil otopsi Berdasarkan hasil Visum Et Repertum Nomor : 335/52/VI/2006 tanggal 20 Juni 2006 dari Puskesmas randublatung dan Visum Et Repertum Nomor : 445/1161/2006 tanggal 20 Juni 2006 dari BRSD Blora, serta hasil pemeriksaan patologi Anatomi RSU Dr. Kariadi Semarang tanggal 20 Juli 2006 tidak ditemukan adanya penganiayaan atau kekerasan. Bahwa sampai saat ini dari hassil pengolahan TKP, pemeriksaan saksi dan penyelidikan, penyidik memproses kasus tersebut dengan tersangka atas nama Nurhadi bin Sadir, dan selanjutnya akan dilakukan penghentian penyidikan demi hokum karena tersangka meninggal dunia, tetapi apabila dikemudian hari ditemukan adanya bukti-bukti baru maka kasus dapat dilakukan penyidikan kembali.
10. Kasus Penangkapan HRD Dalam Eksekusi Tanah Cakrawala Baru Kasus ini berawal dari sengketa tanah antara 220 KK warga Cakrawala baru, Kelurahan Gisikdrono, Semarang Barat dengan 3 pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah tersebut. Mereka adalah PD Muhamadiyah (diwakili oleh Harminto), DR Nelwan, dan Sidik. Klaim tersebut didasarkan atas pengakuan adanya sertifikat. Pada umumnya warga cakrawala baru membeli lahan garapan pada seseorang. Dan mereka tidak mengetahui tentang status hukum tanah yang sudah dibeli. Pembelian tanah tersebut di dasarkan karena murahnya harga tanah. Sebagai alat bukti hanya terdapat kuitansi pembayaran.
( 41 )
Di sisi lain, semenjak 1999 – an, tiga orang yang mengklaim sebagai pemilik sudah berusaha untuk mengambil kembali tanah tersebut. Namun karena situasi politik dan partai yang berkuasa, khususnya ditingkatan lokal. Maka upaya dilakukan kembali setelah terjadinya perubahan politik hasil pemilu 2004 dan pasca pemilihan Kepala Daerah. Pemilik meminta bantuan kepada pemerintah Kota Semarang untuk mengosongkan tanah Cakrawala Baru. Setelah melalui berbagai macam negoisasi, dan berbagai macam ketegangan upaya ini gagal. Maka kemudian Pemerintah kota Semarang melalui Satpol PP dan Polisi berniat mengosongkan tanah dengan cara mengusir warga meninggalkan rumahnya. Secara hukum Pemerintah Kota mengeluarkan SK untuk melakukan pengosongan yang juga memberikan kesempatan kepada warga untuk pindah dan mengosongkan rumah sampai 28 Maret 2006. Secara fisik pengusiran ini dilakukan pada 29 Maret 2006 dengan mengunakan 4 buah buldoser, dan ribuan aparat gabungan yang juga melibatkan beberapa kelompokkelompok sipil bayaran. Upaya ini dihalang-halangi warga dengan cara duduk di depan jalan kampung, menaiki alat berat dan mengusir supir. Yang terjadi kemudian adalah sebuah adu kekuatan yang tidak seimbang. Dalam eksekusi tersebut Polwiltabes Semarang melakukan penangkapan terhadap aktifis dari PRD, LMND, FNPBI dan SRMK bersama 4 orang warga Kp Cakrawala Baru.
Bantuan Hukum Yang Diberikan Keseluruhan pendamping dan warga yang ditangkap berjumlah 14 (empat belas) Menurut keterangan 14 warga dan pendamping yang ditangkap, sebelum melakukan eksekusi perwakilan warga Cakrawala dan pendamping mencoba untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah kota Semarang. Pada waktu itu pemerintah kota Semarang mau melakukan negosiasi, dan diwakili Wakil Walikota Semarang, Mahfud Ali, didampingi Sumarmo. Dalam negosiasi, warga Cakrawala menuntut
( 42 )
antara lain pertama adalah pembentukan tim independent untuk menyelesaikan kasus Cakrawala, kedua pembebasan Bambang Darmono (pimpinan warga yang pada hari itu juga sedang disidang di PN Semarang atas dakwaan penghasutan). Warga keempat meminta kaum buruh di Semarang untuk mengadukan perusahaan yang belum membayar upah sesuai UMK 2006. Tuntutan ini disampaikan dalam aksi-aksi demontrasi dengan melibatkan 5000 buruh se-kota Semarang sepanjang bulan Sepetember – Nopember 2006. Aksi ini digunakan pula sebagai ajang kampanye perubahan cara pandang Upah Minimum menjadi Upah Layak.
B. Pelayanan BHS di Luar Peradilan 1. Pembangunan Tower di Gempol Sewu
Sengketa ini disebabkan perjanjian sewa menyewa tanah bondho desa antara PT Excel Comindo Pratama dengan Pemerintah Desa Gempolsewu, yang tidak partisipatif dan transparan. Akibatnya munculnya dua kelompok yang saling berseberangan. Kelompok pertama adalah kelompok yang tidak menyetujui dibangunnya tower, dengan mengatasnamakan FPM ( Forum Pencerahan Masyarakat ), kelompok ini meminta pihak desa membatalkan rencana PT Excel Comindo Pratama membangun tower. Penolakan ini ditentang keras beberapa warga Gempolsewu yang mengatasnamakan FPG ( Forum Peduli Pembangunan Gempolsewu ). FPM ( Forum Pencerahan Masyarakat ). Pro dan kontra ini tidak berhasil diselesaikan dalam rapat desa, maupun pertemuan yang difasilitasi Kapolsek Rawasari. Akhirnya 7 orang perwakilan FPM mengadukan kasus ini di Fraksi PPP DPRD Jawa Tengah. Selanjutnya pada tanggal 12 September 2006, dengan menggunakan
( 43 )
truk terbuka, sekitar 300 orang warga yang tergabung dalam FPM melakukan aksi di DPRD Kabupaten Kendal. Hasilnya Kepala Bawasda Kabupaten Kendal, H Zainal Abidin,S.H.MKn berjanji akan membentuk tim penyelidik, mengenai sanksi terhadap Kepala Desa akan diserahkan kepada Bupati Kendal, tentunya berdasarkan laporan hasil penyelidikan. Setelah melakukan aksi di DPRD Kabupaten Kendal, pada tanggal 13 September 2006, sebanyak 3 orang warga Gempolsewu mengalami kekerasan. Mawardi dan Ferry S Faudzi terpaksa dirawat di RSI Kendal sedangkan Waryono terpaksa bersembunyi di rumah saudaranya karena ketakutan. Berdasarkan keterangan korban, pelaku kekerasan tersebut diduga dilakukan oleh MHP ( inisial ) salah satu kubu yang menolak pembangunan Tower.
Bantuan Hukum dari LBH Semarang Pemukulan terhadap 3 warga Gempolsewu dilaporkan ke Polres Kendal, namun tidak diberikan Tanda Penerimaan Laporan oleh Petugas. Setelah laporan penganiayaan tersebut, justru banyak warga yang dipanggil oleh Polres Kendal. Beberapa warga yang mendapat panggilan dari Polres Kendal adalah Sobirin, Mugiyarto, Muhammad, dan Sumaryadi yang dipanggil pada tanggal 14 September 2006. Warga lainnya yaitu Ahmadi, Thamrin, dan Amirudin dipanggil pada tanggal 15 September 2006, dan terakhir Muh. Nasro, Latifah, dan Cariyo dipanggil pada tanggal 21 September 2006. Pemanggilan terkait dengan sangkaan terjadinya pemalsuan tanda tangan warga yang menolak pembangunan tower. Warga merasa heran dengan sikap Polres Kendal, yang lebih serius untuk mengusut kasus pemalsuan data atau tanda tangan yang dituduhkan terhadap beberapa warga yang menandatangani penolakan pembangunan tower.
( 44 )
Kelambanan pengusutan atas laporan penganiayaan ini membuat warga gerah. Maka pada tanggal 19 September 2006, 7 orang perwakilan dari FPM meminta bantuan kepada LBH Semarang.
Berdasarkan laporan tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengirimkan surat kepada Kapolres Kendal untuk menanyakan perkembangan kasus sekaligus meminta mengusutnya secara lebih serius. Sampai saat ini pelaku kekerasan yang dilakukan terhadap warga Gempolsewu yaitu Mawardi, Waryono dan Fery F Faudzi, yang diduga dilakukan oleh MH P belum ditangkap. Pada waktu FPM menanyakan perkembangan kasus penganiayaan ini, Salah satu Serse Polres Kendal mengatakan bahwa MHP sudah masuk dalam berkas DPO (Daftar Pencarian Orang). Atas jawaban tersebut FPM meminta kepada Kapolres Kendal untuk menyebarkan selebaran pencarian orang yang disertai foto pelaku Kekerasan. Melihat permintaan FPM, Polres Kendal belum bisa memenuhinya, hal ini dikarenakan belum mempunyai foto pelaku. Kasus ini masih berjalan dan dalam pemantauan LBH Semarang dan masyrakat. 2. Mediasi Warga Jayenganten Vs Hotel Gumaya
Sengketa antara warga Kp. Jayengaten dan Hendra Sugiarto/ Hotel Gumaya menjadi agenda advokasi LBH Semarang selama dua tahun berturut-turut. Advokasi dilakukan diantaranya dengan mengajukan Gugatan Pembatalan IMB yang mendahului Amdal melalui PTUN, dan advokasi terhadap 21 orang warga Kp. Jayengaten yang didakwa melakukan tindak pidana ringan penyerobotan tanah, satu orang dengan tindak pidana penganiayaan ringan. Dalam proses hukum tersebut pihak warga di dalam posisi yang dikalahkan. Sebagai bahan refleksi dan langkah advokasi selanjutnya, maka LBH Semarang dan masyarakat bersepakat untuk
( 45 )
mengusahakan sebuah eksaminasi terhadap putusanputusan tersebut. Eksaminasi ditawarkan kepada pihak-pihak yang tidak terlibat dalam kasus ini dan biasa melakukan eksaminasi publik atau kelompok-kelompok pemerhati lingkungan. Dan pihak PSEP UNIKA Soegijopranoto menyatakan kesediannya, walau tidak dalam bentuk eksaminasi, tetapi dalam bentuk Gelar Kasus Jayengaten, yang membahasnya dari berbagai sudut keilmuan. Acara ini terlaksana pada tanggal 28 Maret 2006. Kajian yang dilakukan dari berbagai sudut pandang oleh ahli-ahli dari UNIKA Soegijapranata, ternyata tidak netral, positivistik, dan memojokkan masyarakat. Namun di dalam forum tersebut LBH Semarang dan masyarakat menyatakan tertarik untuk melakukan proses mediasi dengan pihak Hendra Sugiarto.
Mediasi oleh UNIKA Ketertarikan masyarakat ini bukanlah suatu persetujuan atau penunjukan terhadap tim UNIKA, karena prasyarat mediasi didasarkan atas kesukarelaan para pihak, dan penunjukan mediator harus diterima dan disetujui oleh para pihak yang bersengketa. Selain mediator tersebut harus benar-benar netral. Untuk mempersiapkan diri di dalam menghadapi proses mediasi, LBH Semarang mengundang Wiwik Awiati sebagai praktisi dan pakar mediasi untuk bersilahturahmi dan bertukar pandangan dengan masyarakat. Beberapa hari setelah didakannya diskusi publik, dari pihak PSEP UNIKA Soegijapranoto, hadir ke LBH Semarang dan menyatakan bahwa UNIKA Soegijapranoto sudah membentuk tim mediator. Tim ini sudah melakukan pendekatan kepada pihak Hendra Sugiarto, dan mendapatkan persetujuan dari Hendra Soegiarto selaku mediator dalam proses mediasi tersebut. Tim UNIKA juga meyakinkan LBH Semarang dalam proses ini Hendra Sugiarta menunjukkan itikad baiknya untuk
( 46 )
penyelesaian sengketa. Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa pihak Hendra Sugiarta menyatakan bahwa waktu akan melihat apakah dia orang baik atau buruk. Pihak LBH Semarang di dalam komitmennya untuk tidak semata-mata menangani kasus, tetapi juga membangun kesadaran politik dan hak masyarakat menyatakan bukan kewenangan LBH Semarang untuk menyetujui proses mediasi dan menentukan mediator. Proses ini harus diserahkan kembali kepada masyarakat. LBH Semarang bersedia memfasilitasi tim Unika bertemu masyarakat, dan menerangkan kemungkinan penolakan keberadaan tim UNIKA sebagai mediator, akibat dari diskusi publik yang diadakan sebelumnya. Tim UNIKA menjamin bahwa mediasi ini sifatnya tertutup dan tidak melibatkan pihak lain. Atas fasilitasi LBH Semarang, maka tim UNIKA mengadakan pertemuan dengan masyarakat. Pertemuan pertama dilakukan, namun tim UNIKA menghadirkan seorang tidak dikenal, baik oleh LBH maupun masyarakat. Kehadiran pihak ketiga tidak dikenal ini dikomplain LBH Semarang, dan tim UNIKA menyatakan meminta maaf atas kejadian tersebut. Di dalam pertemuan-pertemuan antara masyarakat dengan Tim UNIKA, tidak pernah terjadi kesepakatan. Hal ini disebabkan masyarakat tidak menyetujui tawaran pihak UNIKA untuk menggunakan taksiran nilai rumah hasil tim independen yang ditunjuk tim UNIKA, sebagai dasar tawar menawar harga/tali asih/ganti kerugian. Masyarakat menginginkan nilai kerugian didasarkan pada kondisi obyektif saat ini di mana masyarakat sudah dirugikan baik material maupun imaterial akibat ulah Hendra Sugiarta. Masyarakat juga tidak menyetujui syarat-syarat tertulis yang dinyatakan oleh Tim Unika sebagai aturan mediasi. Syarat-syarat tertulis ini harus ditandatangani masyarakat yang menunjuk dan menyerahkan beberapa hal prinsip kepada pihak UNIKA.
( 47 )
Di waktu yang bersamaan beberapa advokat berkomunikasi dengan pihak Hendra Sugiarta. Informasi yang didapatkan bahwa pihak Hendra Sugiarta tidak pernah menunjuk siapapun sebagai mediator. Dan pihak Hendra Sugiarta beritikad baik untuk menyelesaikan sengketa ini. Itikad ini dibuktikan dengan start awal untuk tawaran ganti kerugian yang cukup tinggi, meskipun tanpa menyebutkan nominalnya.
Bantuan Hukum dari LBH Semarang Dengan kondisi semakin banyaknya pihak yang turut bermain berdasarkan kepentingan masing-masing, tanpa melibatkan masyarakat korban secara partisipatif. Maka LBH Semarang bersama masyarakat memutuskan mempersempit ruang hadirnya pihak-pihak yang akan memperkeruh suasana. Akhirnya untuk penyelesaian kasus ini maka menghadaplah para pihak ini ke wakil Walikota Semarang Machfud Ali, SH, MSI untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah kota di dalam penyelesaian sengketa ini. LBH Semarang dan masyarakat sepakat untuk menunjuk Wakil Walikota selaku mediator. Penunjukkan ini didasarkan alasan bahwa meskipun pemerintah kota adalah pihak yang terlibat di dalam sengketa ini, namun demikian berdasar pengalaman di dalam beberapa proses mediasi, pejabat publik mempunyai otoritas politik yang kuat. Dan rupanya pihak Hendra Sugiarta juga menginginkan Wawali selaku mediator penyelesaian kasus ini. Selanjutnya disepakati pertemuan pada tanggal 24 April 2006, sebagai pertemuan awal untuk melakukan mediasi. Di dalam pertemuan iini kemudian di kemukakan komitmen masing-masing pihak untuk menyelesaikan sengketa ini dengan baik, dalam proses ini masingmasing pihak akan menahan diri. Bahkan pihak Hendra Sugiarta melangkah lebih jauh dengan menyatakan persyaratan-persyaratan, yaitu apabila sepakat pada nila kerugian tertentu maka wargta harus mencabut Kasasi ke
( 48 )
MA atas kasus penyerobotan tanah. Namun hal ini tidak diperhatikan oleh warga karena pertemuan hanya menyepakati komitmen-komitmen awal. Selanjutnya diusulkan kepada mediator untuk melakukan perundingan melalui amplop tertutup. Yaitu pihak mediatorlah yang aktif mengkomunikasikan tawar menawar ganti kerugian antara kedua belah pihak.
tawaran tersebut belum disepakati oleh tim 7 yang dipercaya masyarakat untuk mewakili warga. Alasan penolakannya adalah pertama karena Oktober tersebut masih bulan Ramadhan, sehingga warga memilih berkonsentrasi pada ibadah, kedua team 7 Jayenggaten akan menjajaki dulu sejauh mana keseriusan Hendra Sugiharta menyelesaikan masalah Jayenggaten.
Dari hasil rapat, pihak warga menawarkan harga Rp. 2.000.000,00/m2 untuk melihat seberapa jauh itikad pihak Hendra Soegiarta, seperti yang dikemukakan oleh Tim Unika dan sejawat advokat. Di dalam perkembangannya, dari informasi yang di saampaikan oleh mediator, pihak Hendra menawar mulai dari harga yang paling rendah dan akhirnya ke nilai Rp. 1.000.000,00/m2. Ini diperkuat dengan di bayarnya ganti kerugian salah seorang warga (tidak tergabung di dalam perjuangan warga Jayengaten secara keseluruhan), senilai RP.1000.000.00. Tawaran nominal, sama dengan yang ditawarkan sebelum terjadinya proses kriminalisasi. Tawaran ini mengecewakan warga. Sehingga warga tetap bersikukuh pada nilai yang ditawarkan. Tawar menawar ini deadlock, bahkan di dalam suatu pertemuan dengan mediator dan beberapa saksi, Hendra menyatakan kalau menawar dua juta rupiah, silahkan dibeli. Atas tantangan ini masyarakat sudah siap menerima tawaran tersebut, dan menjajagi kemungkinan masuknya lembaga keuangan Bank/non-Bank untuk bermitra dalam pembiayaan pembelian tanah. Namun tiba-tiba tantangan dibatalkan, dan proses mediasi terhenti, karena masing-masing pihak berada di posisi masing-masing.
Setelah Idul Fitri perundingan dimulai kembali. Sebelumnya diadakan rapat-rapat antara tim 7, warga dan LBH Semarang untuk menentukan kesepakatan mengenai nilai nominal yang ditawarkan masyarakat. Rapat terakhir dilakukan pada 3 November 2006, meskipun berjalan alot, akhirnya warga menyepakati nilai nominal Rp.1.200.000/m2. Pada tanggal 4 November 2006 pukul 11.00 WIB LBH Semarang, team 7 Jayenggaten dan Pihak Hendra mengadakan pertemuan untuk membahas butir-butir kesepakatan perjanjian yang akan dituangkan dalam akta perjanjian. Point-point penting akta perjanjian tersebut diantaranya ; pertama nilai nominal ganti kerugian adalah Rp.1.200.000/m2, kedua jatuh tempo pembongkaran 30 hari, ketiga pembayaran 50%, sisa 50% setelah dibongkar bangunan rumah, keempat pencabutan berkas kasasi.
Akhir Mediasi Jayenggaten Di saat Mediasi Jayenggaten yang dilakukan oleh Pemkot Semarang mengalami kebuntuan, muncul tawaran perundingan ulang dari pihak Hendra Sugiarta. Tawaran ini disertai naiknya nilai ganti kerugian yang diberikan, yaitu sebesar Rp.1.050.000/meter. Tawaran ini secara bertahap naik sampai Rp.1.150.000/meter. Namun
Alhasil perkembangan penyelesaian kasus Jayenggaten yang akhirnya memilih jalur mediasi membuahkan hasil. Pada hari Senin, 6 November 2006 tepat pukul 10.00 wib warga Jayenggaten yang didampingi Kuasa Hukum LBH Semarang dan Hendra Sugiharta yang didampingi Kuasa Hukum Sebastian, SH menandatangani Akta Perjanjian Perdamaian. Penandatanganan Akta Perjanjian tersebut diketahui oleh Ketua RT.001 [ Harris Kurniawan ], Ketua RW.007 [ Mardzuki ], Kepala Kelurahan Kembangsari [ Ali Sopyan ] serta wakil Walikota Semarang [ H.Machfudz Ali, SH,Msi ]. Akta perjanjian yang ditandatangani adalah seperti yang disebutkan di atas, kecuali klausul pencabutan memori kasasi di hapus. Dan secara informal,
( 49 )
( 50 )
diberikan perpanjangan selama 30 hari kepada warga untuk membongkar rumahnya. Sementara Nurhadi yang rumahnya sempat dieksekusi, akhirnya permasalahan dan nasibnya juga dapat diselesaikan dengan baik.
3.
Advokasi Penggusuran (PKL) di Kota Semarang
Pedagang
Kaki
Lima
Permasalahan penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) di wilayah Kota Semarang didasarkan pada kebijakan Pemerintah Kota. Penertiban ini dilakukan dengan menggunakan legitimasi Perda No.11 tahun 2000 tentang Pembinaan dan Penertiban Pedagang Kaki Lima dan SK Walikota No.511.3/16 tentang Lahan Lokasi Pedagang Kaki Lima. Peraturan ini sangat merugikan kaum miskin kota karena wilayah yang telah ditempati menjadi daerah larangan bagi PKL. Diantaranya PKL di sepanjang Jalan Pandanaran, Jalan Pemuda, Jalan Gajahmada, Jalan Kaligawe, Jalan Pudak Payung dan Kawasan Simpang Lima, Jalan Thamrin, Jalan Imam Bardjo. Dalam 9 bulan terakhir LBH Semarang bersama Paguyuban Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) melakukan advokasi terhadap penggusuran PKL di beberapa tempat di kota Semarang yaitu : 1) Paguyuban PKL “ Mandiri “ Pemuda Semarang ; 2) Paguyuban PKL “ Ngupoyo Upo “ Kaligawe Semarang ; 3) Paguyuban PKL Baiturahman Semarang ; 4) Paguyuban PKL Imam Bardjo ; 5) Paguyuban PKL “ Ngudi Urip “ Gajahmada ; 6) Paguyuban PKL “ Bina karya “ Thamrin dan 7) PKL Jalan Klipang.
penawaran konsep penataan PKL, Keempat prosedur administrasi ke berbagai pihak terkait. Audiensi dilakukan dengan cara melakukan dialog dengan struktur pemerintahan kota Semarang dimulai dari tingkat Kelurahan, Kecamatan, Dinas Pasar, Satpol PP dan Wakil Walikota Semarang. Pertama kali dilakukan pada Maret 2005, dan pada audensi tersebut seluruh pedagang kaki lima menyatakan menolak penggusuran PKL di wilayah Kota Semarang. Adanya desakkan ini membuahkan hasil yang berkesesuaian yaitu tidak digusurnya para PKL. Namun hal ini tidak berlangsung lama, penggusuran kembali terjadi pada bulan Januari – September tahun 2006. PKL yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Kaki Lima Semarang [ PPKLS ] kembali melakukan tekanan kepada pihak Pemerintah Kota dengan melakukan Audiensi ke beberapa pihak. Antara lain ke Kelurahan dimasing – masing wilayah, ke Kecamatan-kecamatan yaitu Kecamatan Genuk, Semarang Tengah, Semarang Selatan, Semarang Timur, Semarang Utara dan Dinas Pasar Kota Semarang serta Pemkot Semarang Cq. Wakil Walikota Semarang. Aksi massa digunakan setelah tidak adanya tanggapan yang baik terhadap tuntutan PKL. Kordinasi untuk melakukan protes inilah yang melahirkan Paguyuban Pedagang Kaki Lima Semarang [ PPKLS ]. Setelah terbentuknya organisasi, maka dilakukanlah aksi massa ke Pemkot Semarang. Sayangnya aksi tersebut hanya ditemui pejabat yang tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.
Bantuan Hukum dari LBH Semarang Untuk menyelesaikan kasus penggusuran PKL di Semarang, Divisi Miskin Perkotaan LBH Semarang menggunakan kerangka advokasi Non Litigasi. Pilihan ini dinilai masih efektif dalam menyelesaikan masalah. Kerangka advokasi non litigasi yang dilakukan yaitu ; Pertama audiensi, Kedua aksi massa, Ketiga
Penawaran konsep penataan PKL oleh PPKLS diajukan pada Juli 2006 kepada Pemerintah Kota Semarang melalui Wakil Walikota Semarang [ H. Mahfudz Ali, SH. Msi ]. Penyampaian konsep tersebut dihadiri oleh Kepala Dinas Pasar Kota Semarang [ Tommy Y. Said ], Staff Dinas Pasar [ Amir ] dan Satpol PP Kota Semarang [
( 51 )
( 52 )
Sumarjo, Winarso ]. Konsep tertulis di terima oleh Wakil Walikota Semarang, kemudian disampaikan kepada Dinas Pasar Kota Semarang untuk dipelajari. Sedangkan penggunaan prosedur administrasi dilakukan kepada pihak – pihak terkait yaitu Pemerintah Kota Semarang dan Bank Dunia untuk kasus penggusuran Paguyuban PKL “ Ngupoyo Upo “ Kaligawe. Hal ini dilakukan untuk mengklarifikasi hal - hal yang terkait dengan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang. Sedangkan untuk Bank Dunia dikarenakan pembiayaan pembangunan dilakukan oleh Bank Dunia. Tanggapan Bank Dunia untuk pembebasan lahan pembangunan Jalan Kaligawe diberikan uang ganti rugi pembebasan. Selanjutnya pihak yang dirugikan diminta untuk menghubungi SRIP dan Bina Marga Jateng
Kondisi PKL di Kota Semarang No
Paguyuban
Jumlah
Ukuran
1.
Paguyuban PKL Pandanaran
60
1 x 1,5 m
2.
Paguyuban PKL Ngupoyo Upo, Kaligawe
60
3 x
3.
PPKL Baiturahman
65
3 x
4
PKL Klipang
3
3 x
5.
PPKL Bina Karya Thamrin PJT (Paguyuban jok Thamrin) PPKL Mandiri
45
1 x
30
1 x 1,5 m
Status Quo
65
2,5 x 1,5
Status Quo
6. 7.
( 53 )
Status Penguasaan
Peruntukan lahan sesuai SK walikota dan PKL belum mendapatkan surat ijin dasaran 2 m direlokasi dan mendapatkan penempatan baru dan dibangunkan kios-kios 4 m wilayah dasaran dimasukkan ke dalam SK Walikota. 4 m mendapat dukungan masyarakat 1,5 m status Quo
Pemuda
8.
PPKL Ngudi urip Gajah Mada 9. PPKL Imam Bardjo 10 Paguyuban pedagang Poci Simpang Lima
60
m (stempel 45) 2 x 4m (Makanan – 20) 3x 3m Status Quo
30
3 x2m
27
3x2m
belum ada penempatan ijin berjualan di malam minggu, Hari lain di JL Pandanaran
4. Mediasi Kasus Hak Keluarga Penjaga Malam di DPU Kota Semarang Priyono adalah seorang penjaga malam kantor DPU Kota Semarang.Ia tidak pernah menerima gaji dari instansi tempatnya bekerja. Ia mendapatkan tempat untuk berteduh dan bermukim walaupun hanya berukuran kecil. Keberadaan Priyono didalam rumah tersebut mengantikan mertuanya, PNS di DPU Kota Semarang sebagai teknisi alat – alat berat milik DPU Kota, sekaligus sebagai penjaga kantor. Karena rumah sudah tidak layak ditempati, pada tahun 2001 Kel.Priyono melakukan renovasi rumah dengan biaya sendiri sebesar Rp. 5.000.000,-. Perbaikan rumah tersebut mendapat ijin dan sepengetahuan dari Sutrisno, selaku Kepala Seksi Pengairan. Nasib Priyono menjadi tidak menentu, ketika pada 1 Maret 2006 Priyono dan Sri Suyati mendapatkan surat dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum [ DPU ] Kota Semarang. Isinya meminta mereka menghadap ke Kantor DPU Kota Semarang. Dalam pertemuan tersebut mereka diminta untuk meninggalkan rumah tersebut, paling lambat akhir bulan April 2006. Alasannya gudang dan
( 54 )
bengkel tersebut akan dibongkar dan direnovasi. Karena mendadak dan tidak ada persiapan, maka Priyono dan Sri Suyati menolak pindah. Penolakan Priyono, membuat dirinya dipanggil pihak DPU Kota. Menurut Priyono jika DPU memaksanya pindah, dia minta ganti kerugian karena selama ini sudah memelihara dan merenovasi rumah tersebut.
Bantuan Hukum dari LBH Semarang LBH Semarang mendampingi Priyono dan Sri Suryati untuk melakukan langkah – langkah non litigasi. Yaitu melakukan audiensi kepada pihak – pihak terkait yaitu Wakil Walikota Semarang [ H. Mahfudz Ali, SH, Msi ] dan Kepala DPU Kota Semarang [ diwakili Ka.sie Pembangunan, Sutrisno ]. Audiensi dengan wakil Walikota Semarang dilakukan pada Maret 2006. Dalam pertemuan tersebut Priyono menyampaikan rencana pihak DPU Kota Semarang yang akan melakukan renovasi bekas kantor DPU, menyampaikan kasus posisi, sejarah keberadaannya di kantor tersebut, dan harapannya selaku korban nantinya. Sedangkan audiensi dengan pihak Kepala Seksi Pembangunan DPU Kota Semarang, Priyono beserta PBH LBH Semarang menyampaikan secara lisan maupun tertulis bahwa permasalahan ini sudah disampaikan kepada pihak Wakil walikota Semarang, meminta kepala seksi pembangunan DPU Kota Semarang memperhatikan nasib Priyono dan harapan penyelesaian masalah ini. Harapan tersebut adalah terkait dengan hak ganti rugi atas renovasi bangunan yang ditempati selama bekerja jika ia digusur / tidak boleh lagi disana. Hasil advokasi yang dilakukan sampai dengan ditulisnya laporan ini adalah Priyono dan Sri Suyati masih menempati rumah tersebut. Posisi Priyono selaku penjaga malam juga tetap meskipun tidak digaji. Keberadaan Paryono dan Sri Suyati di tempat itu juga
( 55 )
mendapat dukungan dari pihak- pihak yang selama ini memanfaatkan tempat tersebut, dan mendapatkan jasa dari keluarga Priyono.
5. Advokasi Korban SUTET di Desa Sidomulyo Kebumen Kasus ini berawal dari PT PLN-Proyek Pembangkit dan jaringan tenaga listrik wilayah Jateng dan DIY, yang telah membangun jaringan SUTET antara Pedan-Tasikmalaya. Di Wilayah Kabupaten Kebumen, jaringan SUTET 500 KV membentang di 5 desa, yaitu Desa Tegalsari, Desa Sugihwaras, Desa Tepakiyang, Desa Wajasari dan Desa Sidomulyo. Di Wilayah Kecamatan Adimulyo, khususnya desa Sidomulyo jaringan SYTET ini terbentang diatas lahan milik masyarakat seluas 27.271,5 M2. jumlah penduduk yang menjadi korban sebanyak 67 KK, terdiri dari 23 KK pemilik rumah dan 44 KK adalah pemilik Sawah. Dari 5 desa yang dilalui oleh kabel jaringan SUTET sudah menerima ganti rugi sebesar Rp 5.000/meter persegi, akan tetapi dari jumlah yang diberikan oleh PLN tersebut warga hanya menerima Rp 2.000/meter persegi. Sebesar Rp 3.000 ”menguap”, hingga saat ini kasus ini sedang diusut oleh Polres Kebumen. Seluruh korban yang rumahnya dilalui oleh jalur SUTET tersebut menyesalkan pemotongan ini, dan mempertanyakan PLN yang tidak memberikan ganti rugi tersebut secara langsung. Selain pembagian ganti rugi yang tidak transparan tersebut, warga Desa Sidomulyo menyesalkan kebijakan PLN yang tidak mensosialisasikan dampak SUTET. Sebelum jalur SUTET ini terlairi listrik, banyak warga yang tidak tahu tentang dampak yang ditimbulkan. Akan tetapi setelah kabel jaringan SUTET teraliri listrik, banyak warga yang tinggal dibawah kabel SUTET merasa ketakutan. Ketakutan ini disebabkan karena adanya
( 56 )
percikan api, suara gemuruh dan beberapa barang rumah tangga yang didapati teraliri oleh listrik.
Bantuan Hukum dari LBH Semarang Pada awalnya penduduk 5 desa tersebut membentuk organisasi yang bernama PORDAS, dengan dikoordinator Kyai Rahmat. Melalui organisasi ini diharapkan menjadi wadah perjuangan masyarakat. Namun dalam perjalanannya organisasi tersebut pecah, karena perbedaan tuntutan yang harus diperjuangkan. Karena hal itu warga Sidomulyo memisahkan diri dan membentuk kepengurusan sendiri. Nama organisasi tersebut masih memakai nama PORDAS, tetapi hanya khusus memperjuangkan warga desa Sidomulyo. Perjuangan warga Desa Sidomulyo bukan ganti rugi seperti tuntutan 4 desa lainnya, melainkan relokasi atau dipindahkannya jaringan SUTET dari wilayah desa Sidomulyo. Untuk memperjuangkan tuntutan ini warga Sidomulyo melakukan negosiasi dengan pihak PT PLN Pembangkit dan Jaringan Listrik Jateng dan DIY. Pada tanggal 28 Agustus 2006, warga desa Sidomulyo ditemui oleh jajaran direksi PT PLN, diantaranya adalah Bapak Misman, Bapak Suparyono dan Bapak Yen Guntoro. Dalam audiensi tersebut tidak ada kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini dikarenakan jajaran direksi tidak mempunyai kebijakan untuk memutuskan, dalam pertemuan ini jajaran direksi menyarankan agar warga Sidomulyo menemui langsung manager proyek SUTET Pedan Tasikmalaya secara langsung. Sesuai rekomendasi, akhirnya pada tanggal 11 September 2006 warga desa Sidomulyo kembali ke Semarang untuk menemui manager proyek SUTET, yaitu Bambang Supriyanto. Dalam pertemuan tersebut, Bambang Supriyanto mengatakan kecil kemungkinan tuntutan masyarakat dapat terealisasikan. Disamping itu
( 57 )
sudah ada Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi tentang jumlah ganti rugi yang sudah ditetapkan, sehingga pihak PLN tidak bisa memberikan ganti rugi lebih dari SK tersebut. Namun dalam pertemuan tersebut PT PLN mau melakukan negosiasi ulang dengan syaratnya harus difasilitasi oleh muspika, baik aparat dari Desa ataupun kecamatan. Berdasarkan syarat tersebut akhirnya warga melakukan pendekatan dengan Kepala Desa Sidomulyo. Warga meminta Kepala Desa untuk menfasilitasi pertemuan sekaligus menjadi mediatornya. Upaya ini akhirnya gagal, karena Kepala Desa tidak mau menjadi mediator. Akhirnya pada tanggal 18 September 2006, warga kembali ke Semarang untuk melakukan audiensi dengan DPRD Jawa Tengah. Audiensi ditemui oleh Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah berserta anggota komisi D lainnya. Dalam audiensi tersebut warga meminta Komisi D DPRD Jawa Tengah menfasilitasi pertemuan dengan pihak PT PLN sekaligus meminta Komisi D DPRD Jawa Tengah sebagai mediatornya. Hasil dari pertemuan tersebut Komisi D DPRD Jawa Tengah akan memanggil Pihak PT PLN terlebih dahulu, baru kemudian akan menfasilitasi pertemuan antara masyarakat, PT PLN dan eksekutif yang terkait dengan kebijakan pembangunan SUTET. Hingga saat ini janji Komisi D DPRD Jawa Tengah untuk mempertemukan dengan seluruh stake holders belum terealisasikan. Pada tanggal 26 September 2006, warga Sidomulyo kembali mendatangi PT PLN di Candisari Semarang, pada waktu pertemuan tersebut warga ditemui secara langsung oleh manager Proyek, Ir Bambang Supriyanto. Dan tidak berbeda jauh dengan pertemuan sebelumnya, PT PLN tidak mau menyelesaikan kasus ini tanpa adanya peran dari desa muspida desa Sidomulyo
Perkembangan terakhir
( 58 )
DPRD Jawa Tengah yang berjanji untuk menyelesaikan kasus ini dengan cara mediasi tak kunjung terealisasikan. Hingga akhirnya pada tanggal 26 September 2006, warga Sidomulyo mengirimkan surat ke Komisi Obudsman di Jakarta. Dalam suratnya tersebut warga meminta Komisi Ombudsman sebagai mediator dalam proses penyelesaian kasus ini. Paska pengiriman surat tersebut, akhirnya pada tanggal 19 Oktober 2006, Komisi Ombudmans menindaklanjuti dengan melakukan inventarisasi data ke Sidomulyo.
Tanpa disadari dan diketahui bahwa pada tahun 1997 Walikotamadya Tingkat II Semarang Soetrisno Suharto selaku Kepala Daerah Tingkat II mengeluarkan Surat pemberhentian Penugasan nomor 880/1368 kepada 85 TPHL yang pada tahun 1994 diangkat. Namun dasar pemberhentian adalah bahwa 85 TPHL tersebut telah mengundurkan diri. Dan ketika dikros cek oleh para TPHL ternyata tidak pernah ada yang mengundurkan diri.
Terakhir kalinya, pada tanggal 10 Nopember 2006 Komisi Ombudsman juga datang ke PT PLN Unit Jateng & DIY di Semarang, dalam pertemuan tersebut Komisi Ombudsman menyampaikan kepada PT PLN bahwa warga Sidomulyo sudah mengirimkan surat permintaan kepada komisi Ombudsman agar mau menjadi mediator. Dengan adanya surat permintaan tersebut diharapkan PT PLN mau menyelesaikan kasus ini. Hingga tulisan ini dibuat, Komisi Ombusman belum berhasil mempertemukan antara warga Sidomulyo dengan PT PLN Unit Jateng dan DIY. (Sukarman/LH)
Hingga tahun 2001 sampai 2004 pengelolaan kebersihan diserahkan kembali oleh pihak ketiga yaitu Puskoppas Jateng Suwanto selaku ketua dengan Surat Perjanjian Nomor 660.2/006/Th.2001. dengan diserahkannya pengelolaan kebersihan pasar Johar tersebut kepihak III maka para TPHL tersebut dijadikan sebagai karyawannya. Kemudian kontrak kerja antara Pemerintah Kota Semarang dan Puskoppas Jateng diperpanjang kembali dengan surat perjanjian nomor 660.2/028/Th.2005 sampai lima tahun kedepan yaitu tahun 2009. Mantan TPHL menuntut kejelasan status sebagai TPHL, gaji yang telah diberikan oleh pihak ketiga tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan sarana prasarana kebersihan yang harus disediakan TPHL sendiri.
6. Advokasi Hak-Hak Tenaga Kerja Harian Lepas (TPHL) Kebersihan Pasar Johar
Bantuan Hukum dari LBH Semarang
Pada 1984 sampai 1989 pengelolaan kebersihan di pasar Johar dikelola oleh Dinas Pasar Kota Semarang. Secara hukum petugas kebersihan melalui SK Walikota dipekerjakan sebagai Tenaga Pekerja Harian Lepas [ TPHL ]. Pada tahun 1994 Walikotamadya Tingkat II Semarang mengeluarkan Surat Penugasan Nomor 814.2/04616 yang mana berisi bahwa Pemerintah Kota Semarang menugaskan 85 orang sebagai Tenaga Pekerja Harian Lepas [TPHL] untuk menangani kebersihan di pasar Johar sampai Masa bakti TPHL tersebut sampai tahun 1995. Kondisi ini berjalan, walau pengelolaan kebersihan kerap berpindah tangan ke pihak ketiga.
( 59 )
LBH Semarang mendampingi para mantan TPHL melakukan audiensi baik ke DPRD Semarang maupun di Pemkot Semarang. Audiensi ini dilakukan pertama dalam rangka meminta kejelasan dari pihak III sebagai pengelola kebersihan di pasar Johar, kedua dalam rangka menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Kota Semarang dan mengali data – data dari pihak III maupun Pemkot sendiri. Sampai sekarang belum ada hasil yang cukup signifikan dalam penyelesaian kasus TPHL. Hal ini dikarenakan tidak ada tindakan dari Pemerintah Kota Semarang maupun DPRD Semarang untuk mengurai benang kusut kasus TPHL kebersihan pasar Johar.
( 60 )
7. Mediasi Kasus Longsor di Jalan Papandayan PT Kartina Adi Wijaya merupakan salah satu dari Perusahaan yang mempunyai usaha properti, selain Green Hill. Kasus ini berawal ketika PT Kartina Adi Wijaya, pada tahun 2001 mengembangkan usahanya dengan mengurug lahan seluas kurang lebih 1 Ha di daerah Papandayan. Lahan tersebut dibuat kavling berukuran 100 m2 yang dijual ke konsumen. Pada waktu mengurug lahan, PT Kartina Adi Wijaya membangun talud setinggi 10 s/d 15 meter, karena lahan merupakan jurang sehingga harus disejajarkan dengan lahan yang ada di sekitarnya. Pengurukan ini memiliki potensi konflik lingkungan, yaitu : 1) Penutupan jalan; 2) Pengurugan sungai; dan 3) Pencemaran Sendang; Potensi konflik ini terjadi pada bulan oktober 2005 yaitu talud yang dibangun oleh PT Kartina Adi Wijaya mengalami keretakan. Keretakan tersebut telah dinformasikan oleh Widodo kepada PT Kartina Adi Wijaya, namun tidak ditindaklanjuti. Karena lahan yang belum mapan dan keadaan cuaca yang selalu hujan, akhirnya pada hari Sabtu, 25 Februari 2006, pukul 01.00 Wib, talud milik PT Kartina Adi Wijaya longsor. Akibatnya rumah Suharto yang ditempati oleh Widodo mengalami kerusakan yang parah, dan perabotan milik Widodo tertimbun tanah longsor. Kerugian yang dialami oleh Widodo ditaksir sebesar Rp. 5.080.000,- (Lima Juta delapan Puluh Ribu Rupiah).
Bantuan Hukum dari LBH Semarang Pada Senin, 6 Maret 2006, korban mengadukan kasusnya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Pengaduan ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan melakukan investigasi dan menginventarisir kerugian korban. Pada Selasa 7 Maret 2006, dengan didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang melakukan
( 61 )
audiensi kepada Wakil Walikota Semarang, Mahfud Ali, S.H.Msi. Dalam audiensi tersebut Wakil Walikota Semarang bersedia untuk mengkomunikasikan ke pihak PT Kartina Adi Wijaya. Namun ternyata pengaduan ini tidak mendapatkan renspon dari pihak PT Kartina Adi Wijaya. Selanjutnya korban mengadukan kasusnya dengan mengirimkan surat kepada Walikota Semarang, Sukawi Sutarip. Pada Kamis, 16 Maret 2006, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang melakukan komunikasi dengan PT Kartina Adi Wijaya, yang selanjutnya disepakati PT Kartina Adi Wijaya akan melakukan pertemuan dengan korban pada hari Jum’at 17 Maret 2006. Ternyata pada hari Jum’at 17 Maret 2006, PT Kartina Adi Wijaya mengantarkan uang ganti kerugian sebesar Rp 4.000.000,- dan menyatakan kesanggupan untuk membuat sumur bor. Korban akhirnya mau menerima ganti rugi yang diberikan oleh pihak PT Kartina Adi Wijaya. Dengan demikian kasus ini dianggap selesai.
8. Kasus Pemenuhan Hak Konsumen Perumahan Helen Intania Surayda memilih Perumnas Pucang Gading sebagai pilihan rumah tinggalnya. Pada awalnya ia mendapatkan layanan yang cukup baik. Management pemasaran memberikan informasi terkait dengan kredit perumahan. Dari informasi yang didapat selanjutnya ia membayar uang muka sebesar Rp. 5.000.000,- untuk rumah tipe 29 di Jalan Kebun Permai II / 39. Dan pada 25 November 2005 melalui Perumnas Pucang Gading oleh Bank BTN Cab. Peterongan Semarang membuat Perjanjian Akad Kredit Perumnas Pucang Gading. Di kantor Bank BTN ia menandatangani ;1) Akta Perjanjian Akad Kredit antara Helen Intania [ debitur ] dengan direktur Bank BTN Cab.Peterongan Semarang [ kreditur ]; 2) Perjanjian Hak Tanggungan dari Helen Intania [ debitur ] kepada Bank BTN Cab.Peterongan Semarang.
( 62 )
Namun ternyata fasilitas perumahan yang didapatnya tidak sesuai dengan kesepakatan sebagaimana diperjanjikan. Fasilitas berupa 2 pintu kamar, 1 pintu kamar mandi, listri 450 watt dan PDAM belum ada dan struktur bangunan yang telah rusak. Selanjutnya pada tanggal 9 Desember 2005 ia mengajukan komplain kepada pihak Penjual dalam hal ini Perum Perumnas Regional V Cab. Semarang II Pucang Gading. Namun sampai dengan Januari 2006 debitur pihak Perumnas Pucang Gading tidak menindaklanjuti komplain tersebut dan hanya menyatakan sedang diajukan ke pihak Perumnas Regional V Semarang. Untuk mempertanyakan hal ini ia harus bolak balik ke Perumnas Pucang Gading, dan menemui banyak pihak. Namun hasilnya sama yaitu belum ada tanggapan dari Perumnas Regional V Semarang.
Bantuan Hukum dari LBH Semarang Karena terjadi saling lempar kewenangan antara PDAM dengan Perumnas, antara PLN dengan Perumnas, maka pada tanggal 11 April 2006 ia mengadukan permasalahannya kepada pihak LBH Semarang. LBH Semarang selanjutnya menempuh langkah administrasi yaitu melayangkan surat klarifikasi kepada pihak perumnas Pucang Gading pada tanggal 16 Mei 2006. Langkah administrasi yang dilakukan, untuk mengklarifikasi permasalahan Wan Prestasi yang telah dilakukan pihak Perumnas Pucang Gading kepada pembeli / konsumennya. Langkah ini mendapat renspon positif dari pihak Perumnas. Pada tanggal 23 – 24 Mei 2006 pihak Perumnas Pucang Gading melakukan perbaikan rumah yaitu pemasangan 2 pintu kamar, 1 pintu kamar mandi dan 1 (satu) pintu utama/depan. Dan Helen diminta untuk menandatangi berita acara perbaikan rumah. Selanjutnya pada Juni 2006 PDAM Kab. Demak
( 63 )
melakukan pemasangan PDAM dengan biaya tukang sebesar Rp. 50.000,- Dan pertengahan bulan Juni 2006 PT.PLN APJ Semarang Timur melakukan pemasangan jaringan baru dengan tegangan 900 Watt. Dan pihak perumnas menjawab surat klarifikasi LBH Semarang bahwa pihaknya telah memenuhi hak-hak konsumennya. Dengan langkah ini ternyata telah menghasilkan penyelesaian yang baik diantara kedua belah pihak.
9. Advokasi Hak Atas Pendidikan Ibu SB memiliki 5 orang anak, 3 diantaranya masih sekolah. As (15) kelas III SMP dan akan memasuki SMA. Keluarga ini pada saat yang bersamaan harus menanggung biaya pendidikan 3 orang anaknya. Ternyata nilai As cukup baik dan ia diterima di MAN I Kota Semarang. Pada saat mengisi formulir pendaftaran, terdapat lembar formulir yang menyatakan bahwa peserta bersedia memberikan uang SPI sejumlah (1) 1.000.000,- (2) 1.500.000,- (3). 2.000.000,- yang harus dilunasi bersamaan dengan pendaftaran ulang. Jika tidak melunasi, maka dianggap mengundurkan diri. Pada saat itu Ibu SB mengisi pilihan pertama dengan pertimbangan belum tentu diterima, dan mungkin bisa diangsur. Pada hari Jumat, 30 Juni 2006 bersama anaknya mendaftar ulang. Pada saat itu ia hanya memiliki uang Rp. 500.000,- untuk membayar biaya paket pendidikan dan seragam. Tetapi ia menemukan kenyataan, orangtua yang menyatakan keberatan atas SPI dan meminta keringanan akhirnya memilih mengundurkan diri. Ia menjadi sedih karena seharusnya As berhak masuk ke sekolah itu. Sementara untuk menyiapkan uang Rp. 1.500.000,- dalam satu hari adalah hal yang sulit. Karena iapun harus memikirkan biaya kenaikan kelas anakanaknya yang lain. Akhirnya Ibu Bakdi mengadukan permasalahan ini ke LBH Semarang dan kemudian dikordinasikan bersama Patiro.
( 64 )
Bantuan Hukum dari LBH Semarang
11. Aksi Damai Menggugat Kebijakan Perhutani
LBH Semarang dan Patiro keesokan mendampingi Ibu SB menemui Kepala Sekolah dan menjelaskan bahwa Ibu SB tidak mampu untuk membayar biaya SPI sebagaimana ditentukan pihak sekolah. Terlebih ternyata pihak sekolah telah mendapatkan dana bantuan dari APBN, Depag dan APBD Kota. Dan SK Walikota Semarang Nomor 422.4/165/2006 tentang Sumbangan Pengembangan Institusi Pendidikan untuk Peserta Didik Baru Pada Sekolah Tinggi Negeri Di Kota Semarang juga telah menetapkan bahwa bagi orang tua/wali peserta didik yang tergolong keluarga miskin dapat dibebaskan dari Sumbangan Pengembangan Institusi [SPI] dengan membuktikan Kartu Subsidi Langsung Tunai [SLT], kartu askes miskin dan kartu Gakin. Saat bernegosiasi pihak sekolah percaya setelah ditunjukkan kartu GAKIN. Akhirnya As dibebaskan dari SPI, dan hanya membayar biaya seragam dan paket pendidikan sebesar Rp. 350.000,-.
10. Pembentukan Forum Petani Hutan Jawa Tengah Diawali Workshop Multi Pihak tentang Illegal Logging dan UU No. 41/1999 yang diselenggarakan LBH Semarang dan HuMA ,30 orang petani hutan/pinggir hutan di kabupaten Batang, kebumen, Banyumas, Kudus, dan Kendal mendeklarasikan pembentukan Forum Petani Hutan Jawa Tengah. Selain pembentukan organisasi tersebut acara ini juga membahas persoalan-persoalan hutan dan persoalan masyarakat yang berada disekitar hutan. Secara khusus forum ini membahas masalah Operasi Hutan lestari dan dampaknya terhadap masyarakat.
Sebanyak 12.000 anggota petani/nelayan anggota FP2NBP yang berasal dari Kabupaten Batang dan Pekalongan menempuh jarak 120 Km melakukan Aksi Damai Petani di kantor Perhutani Unit I Jateng dan kantor DPRD Prop Jateng. Tujuan aksi untuk meminta perlindungan hak garap atas penggarapan tanah yang bersengketa dengan Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pihak Perhutani khususnya KPH Kendal dan KPH Pekalongan Timur selama mendekati musim penghujan terus menerus melakukan intimidasi dengan berbagai cara untuk melakukan pengusiran petani penggarap dari lahan garapannya, dengan memaksakan kehendak dengan konsep penanaman tanaman produksi. Adapun konflik agraria yang sedang diupayakan untuk mendapat penyelesaian sebagai berikut;
( 65 )
( 66 )
1. Peseduluran Petani Penggarap PT. Tratak (P4T) Vs. PT. Tratak Meliputi desa : Cepoko, kambangan, Wedisari, dan Wonomerto 2. Paguyuban Petani Sido Maju Sigayam (P2SMS) Vs. Perum Perhutani Jateng Meliputi desa : Sigayam dan Premas 3. Paguyuban Petani Tri Tunggal Sejahtera (PT3S) Vs. Perum Perhutani Jateng Meliputi desa : Sengon, Gondang dan Kuripan 4. Paguyuban Petani gringging Sari Makmur (P2GSM) Vs. Perum Perhutani Jateng. Meliputi desa : Gringgingsari dan Ujungsari 5. Paguyuban Masyarakat Gunung kamulyan (PMGK) Vs. Pt. Pagilaran UGM. Meliputi desa : Pagilaran, Kalisari, Gondang, dan Bismo 6. Paguyuban Petani Sido Dadi (P2SD) Vs. PT Segayung Meliputi desa : Sembojo, Batiombo, Posong, dan Wonosegoro 7. Paguyuban Petani Jati Rejo (P2JR) Vs. PT. Simbangjati Bahagia Meliputi desa : Simbang Jati, Kenconorejo, pancer, Centhong, Wonorejo, dan Ponowareng 8. Paguyuban Petani Barokah Donowangun Keprok (P2BDK) Vs. PT.PN IX Jalotiga Pekalongan 9. Paguyuban Petani Mesoyi (P2M) Vs. PT.PN IX Jalotiga Pekalongan Meliputi desa : Mesoyi, Sibantal, Buntu, Makamdowo, dan Gumant 10. Paguyuban Petani randusari (P2R) Vs. PT.PN IX Jalotiga Pekalongan
kaum pemodal dan penguasa. Maka gerakan massa juga menjadi pilihan perjuangan selanjutnya untuk menuntut hak atas tanah garapan. Aksi ini melibatkan solidaritas dari LBH Semarang, Pewarta Yogya, Serikat Mahasiswa Indonesia, FPPI, Solidaritas Perjuangan Petani Temanggung, Ortaja. Didukung tim kesenian dari pesisiran Pantai Utara Jawa dan Magelang. Hasil aksi damai ini Untuk sengketa pertanahan, pihak perhutani akan membentuk Tim Penyelesaian Sengketa Peratanahan, sedangkan untuk sengketa penggelolaan hutan Perhutani menawarkan konsep PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)
12.
Advokasi dan Kampanye Upah Layak di Semarang
Pada Jumat 15 September 2006, Gerakan Buruh Semarang (GERBANG) menyelenggarakan konferensi Pers. Konferensi pers dihadiri perwakilan dari Serikat pekerja/buruh diantaranya SPN PT BITRATEX, SPN PT.SAE APPAREL, SPN PT. SPD, SPN PT. RODEO, BPP FSBI, FARKES, DPD SPN, dan SPMI. Konferensi pers yang bertempat di Kantor LBH Semarang ini dimaksudkan untuk menuntut kenaikan UMK 2007 sesuai dengan KHL (Kebutuhan Hidup layak).
Konflik agraria sebagai perebutan sumber daya alam akan mengalami kebuntuan jika hanya mengandalkan pada penyelesaian kasus lewat proses hukum legal formal. Hukum sebagai produk politik disadari oleh organisasi selama ini banyak menghambat dalam proses penyelesaian kasus. Karena hukum lebih berpihak kepada
KHL didasarkan hasil survey terhadap 7 kebutuhan pokok dan 67 sub butir,pada tahun 2004 kebutuhan upah layak adalah Rp. 951.275. Sedangkan UMP 2005 sebesar Rp. 586.000. Untuk tahun 2006, berdasarkan hasil survey, kebutuhan upah layak adalah RP. 1.019.000,- Gerbang dalam konferensi pressnya menuntut: pertama Walikota Semarang mengusulkan besaran upah buruh sesuai hasil survey Gerbang; Kedua meminta dewan pengupahan kota Semarang menkaji ulang usulan sebesar Rp. 665.456,-; ketiga meminta disnaker Kota Semarang, untuk mengumumkan perusahaan yang belum melaksanakan ketentuan UMK tahun 2006; keempat meminta kaum buruh di Semarang untuk mengadukan
( 67 )
( 68 )
perusahaan yang belum membayar upah sesuai UMK 2006. Tuntutan ini disampaikan dalam aksi-aksi demontrasi dengan melibatkan 5000 buruh se-kota Semarang sepanjang bulan Sepetember – Nopember 2006. Aksi ini digunakan pula sebagai ajang kampanye perubahan cara pandang Upah Minimum menjadi Upah Layak.
13. Advokasi Dana BLT di Batursari-Demak
Pada tahap pertama dan kedua pencairan BLT di Desa Batursari Kabupaten Demak disampaikan melalui aparat desa dan bisa diambil di kantor POS terdekat. Namun karena warga yang mendapatkan BLT adalah janda-janda dan berpendidikan rendah, Kondisi ini dimanfaatkan oleh Pamong Desa Batursari Kabupaten Demak. Yaitu melakukan pemotongan yang diperoleh para janda. Nilai nominal potongan sampai Rp.100.000 perorang. Bahkan janda yang sudah meninggal, dana tersebut diambil oleh pamong desa. Prilaku tersebut akhirnya membuat warga menjadi marah. Kemarahan ini diluapkan dalam bentuk permintaan pencopotan pamong desa. Namun pencopotan tersebut tidak disetujui oleh camat karena dianggap tidak melanggar ketentuan hukum dan bukan tindak pidana. Dengan adanya statement tersebut pamong desa semakin berani dan tidak memperdulikan reaksi warga.
desa. Sehingga secara normative pamong desa yang berada di desa Batursari merupakan perangkat desa yang menjalankan pemerintahan ditingkat aparat pemerintah desa atau kelurahan. Dan didalam Bab VIII Perda No.2 tahun 2004 tentang Larangan juga telah dijelaskan beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan oleh pamong desa setempat yaitu ; Pasal 45 (b) menyalahgunakan wewenang, Pasal 45 (f) menerima hadiah dan atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga, bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan sebagai pamong desa, Pasal 45 (i) melakukan pemungutan yang tidak sah dalam bentuk apapun.Dan sanksi yang dapat dijatuhkan secara bertahap. Bertahap disini bahwa pamong desa tersebut mendapatkan tegoran pertama, kedua dan ketiga. Jika tegoran ketiga tidak diindahkan oleh pamong desa tersebut maka Lurah Desa dengan persetujuan BPD memberhentikannya dan kemudian dimintakan pengesahan Camat. Selanjutnya LBH Semarang bersama warga Desa Batursari membicarakan permasalahan ini. Warga menyatakan akan melakukan aksi menuntut pamong desa tersebut mundur dari jabatannya dan diberhentikan. Dan tak lama, pamong desa menyampaikan kepada salah satu warga dan akan mengundurkan diri. Selang beberapa hari kemudian Pamong Desa tersebut secara tertulis menyatakan pengunduran diri kepada Bupati Kabupaten Demak dan ditembusakan ke Kecamatan dan Kepala Desa Batursari serta warga Kp.Ndoro Rt.01 Rw.X.
Bantuan Hukum Dari LBH Semarang Berdasarkan hasil analisa hukum LBH Semarang bahwa menurut Pasal 1g Perda No.2 Tahun 2004 Pamong Desa diartikan sebagai pejabat pemerintah desa yang membantu tugas-tugas lurah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan
( 69 )
( 70 )
kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian KAPOLRI. Namun demikian dengan segala kelemahan yang ada Kompolnas harus mampu mengemban harapan masyarakat tersebut, dengan melakukan tindakan-tindakan proaktif. Salah satunya adalah menyerap aspirasi masyarakat berkait dengan kinerja kepolisian.
B. Pemantauan Kinerja Kejaksaan
BAB IV PEMANTAUAN LEMBAGA PERADILAN
A.
1. Jejak Rekam 2 (dua) Jaksa Penuntut Umum Salah satu alat untuk menilai produk-produk di dalam system peradilan adalah Tracking atau melakukan rekam jejak terhadap Aparat Penegak hukum. Dengan melakukan tracking akan diketahui rekam jejak perilaku (track record) aparat penegak hukum. Akan lebih baik tracking dilakukan bersama eksaminasi terhadap produkproduk yang sudah dihasilkan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Diskusi Kepolisian
Pada 4 Oktober 2006,LBH Semarang bersama Central Java Police Watch mengadakan diskusi bertema Profil Polisi Masa Depan dan Kompolnas. Diskusi dihadiri kurang lebih 20 orang terdiri dari pihak Polri, media dan masyarakat sipil. Menghadirkan Novel Ali salah seorang anggota Kompolnas, dalam paparannya pembicara menyatakan bahwa saat ini tugas Polri semakin berat. Fungsi perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum yang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan menjadi tantangan POLRI pasca pemisahannya dengan TNI. Apalagi ditengah-tengah sorotan masyarakat atas kinerja dan citra POLRI saat ini.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang bekerja sama dengan KP2KKN Jawa Tengah dengan didukung oleh kemitraan melakukan tracking terhadap 2 orang jaksa dari Kejaksaan Negeri Semarang. Tracking ini dilakukan selama awal Maret sampai dengan akhir Agustus 2006. Adanya informasi awal tentang keterlibatan dari jaksa dalam mafia peradilan merupakan salah satu faktor tracking tersebut dilakukan. Program ini merupakan kelanjutan dari tracking 6 jaksa yang dilakukan tahun lalu.Sehingga jaksa yang sudah ditracking berjumlah 8 orang. Jumlah yang kecil jika dibandingkan jumlah Jaksa di Kota Semarang. Namun demikian, upaya ini harus terus menerus dilakukan. Karena tidak boleh ada kata ’mundur’ untuk pemberantasan mafia peradilan.
Harapan besar masyarakat ini juga berimbas terhadap keberadaan Komisi Kepolisian Nasional. Padahal Kompolnas di dalam undang-undang mengerucut ke atas yaitu membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan POLRI, serta memberikan pertimbangan
• Metode tracking Ada dua cara yang digunakan dalam melakukan tracking, yaitu Pertama dengan mengggunakan metode terbuka. Cara ini digunakan untuk mendapatkan data-data
( 71 )
( 72 )
personal yang sifatnya formal. misalnya data personal, meliputi riwayat pendidikan dan riwayat pekerjaan, istri dan keluarga, serta dimana mereka bekerja, dan berapa penghasilannya Data-data ini diperoleh dari tempat jaksa tersebut beraktifitas, yaitu di Kejaksaan Negeri Semarang, atau lingkungan sosial wilayah kerjanya. Kedua dengan menggunakan metode tertutup, misalnya dengan melakukan pembuntutan/mengikuti kemana obyek tracking beraktifitas, mulai dari rumah, kantor hingga lingkungan diluar wilayah kerjanya. Termasuk untuk memperoleh data-data yang sifatnya sensitif seperti kekayaan dan dari mana kekayaan tersebut diperoleh. Data-data yang dimaksud, termasuk juga jaringan, relasi dari obyek tracking. Selain data-data personal, tracker juga harus mampu mendapatkan kasuskasus yang pernah ditangani, khususnya kasus-kasus yang kontroversial dan juga indikasi terjadinya Mafia peradilan. Data yang berhasil masuk untuk selanjutnya diserahkan kepada jaringan kerja yang secara khusus dapat menginput ke dalam sistem pengawasan internal maupun eksternal Jaksa. Dari hasil tracking ini, kita bisa menganalisa apakah seorang Jaksa patut diduga terlibat mafia peradilan. 2. Komisi Daerah Pemberantasan Korupsi Berkaitan dengan pengawasan lembaga peradilan, untuk membangun gerakan anti mafia peradilan, bersama sejumlah elemen masyarakat sipil yaitu Pattiro Semarang, Griya Asa, LRC KJHAM, KAMMI Jateng, ICMI Jateng, dan BEM UNDIP membentuk aliansi taktis dengan nama Komisi Daerah Pemberantasan Korupsi (KOMDA-PK). Koalisi ini ditujukan untuk melakukan kontrol terhadap macetnya berbagai kasus korupsi di Kejaksaan Negeri Semarang. Terkait momentum pelantikan dan serah terima jabatan Kajari Semarang pada tanggal 15 Nopember 2006 yaitu dari Soedibjo (Menjadi Asintel Kajati Jatim) kepada M
( 73 )
Farela SH (sebelumnya bertugas di Kajari Cibinong). Pasca pelantikan Komda-PK menyampaikan 10 PR yang harus diselesaikan oleh Kajari baru ini. Pensikapan yang dilakukan oleh KOMDA PK ini sebagai tindak lanjut dari langkah yang dilakukan Aliansi Masyarakat Anti Mafia Peradilan (LBH Semarang, Patiro, LRC KJHAM, Griya ASA, ormas Mahasiswa ) atas skandal �Bandeng Gate� di Kejaksaan Negeri Semarang. Skandal ini terjadi pada Agustus 2006, yaitu dugaan adanya pemerasan uang senilai Rp. 25 juta dan dua doos bandeng presto yang dilakukan oleh Kajari pada waktu itu (Soedibyo) terhadap Direktur PDAM Kota Semarang. Berdasar keterangan media uang dan bandeng tersebut akan diberikan kepada penyidik KPK, untuk kasus dugaan korupsi di PDAM Kota Semarang. Pada aksi tersebut, koalisi menilai bahwa sistem peradilan sebagai benteng keadilan bagi masyarakat, tidak bisa menunjukkan perubahan. Meskipun telah banyak dana dan anggaran telah digunakan. Kondisi seperti umum terjadi di setiap wilayah Negara Republik Indonesia. Tidak luput pula Kota Semarang selaku Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah. Dari data-data terdapat PRPR pemberantasan korupsi yang belum terselesaikan oleh sistem peradilan, khususnya di dalam lingkup Kejaksaan Negeri Semarang yaitu : No Kasus 1 Dobel Anggaran di APBD Tahun Anggaran 2003. 2 Pelanggaran batas besarnya biaya penunjang kegiatan DPRD pada APBD 2003 3 Dobel Anggaran di
Kerugian negara Pelaku Rp 2.330.337.000 DPRD
Keterangan Pelanggaran PP No 110 Tahun 2000 dan Perda No 5 tahun 2001
Rp 2.115.832.000 DPRD
Pelanggaran terhadap PP No 110 Tahun 2000
Rp 3.275.070.000 DPRD
Pelanggaran terhadap PP No
( 74 )
APBD Tahun Anggaran 2004 4
5
6
7
8
9
110 Tahun 2000 dan Perda No 5 Tahun 2001. Pembelian Rp 3.000.000.000 Pemkot Ada perbedaan gedung BDNI dan DPRD nilai anggaran antara yang dianggarkan dalam APBD 2003, SK Persetujuan DPRD, daftar Pinjaman Daerah, dan LPJ Walikota. Korupsi buku Rp 6.800.000.000 Pemkot Penyerahan ajar pengadaan jasa pencetakan buku tanpa melalui proses tender dan kualitas buku yang tidak sesuai dengan rencana. Beasiswa Fiktif Rp Pemkot Penyaluran dana 40.000.000.000 dan PDI beasiswa yang Perjuangan melawan aturan dan adanya daftar penerima beasiswa fiktif. Pelanggaran Rp 370.484.260 Pemkot Pelanggaran terhadap PP No batas untuk Biaya 109 Tahun 2000 Penunjang Operasional Walikota dan Wakil Walikota pada APBD 2003 Penunjukan 26 Belum dihitung Pemkot Pelanggaran pryek secara terhadap aturan langsung Pengadaan Barang dan Jasa, Keppres No 80 Tahun 2003 Pembebasan Rp 540 juta lebih Panitia pemberian ganti Tanah Masjid Pembebas rugi terhadap Agung Jawa an tanah tanah yang Tengah [MAJT bersertifikat fiktif
( 75 )
] 10 Bandeng Gate
Rp.25.000.000 + 2 bungkus bandeng presto
Kajari Semarang lama
ada indikasi telah melakukan percobaan pemerasan
Dengan melihat data – data yang telah diperoleh tersebut maka Komisi Daerah Pemberantasan Korupsi [ KOMDA – PK ] menuntut kepada Kejaksaan Negeri Semarang untuk: 1. Menuntaskan segala bentuk kasus – kasus yang masuk dan mandeg atau tidak ada kejelasannya didalam Kejaksaan Negeri Semarang tanpa terkecuali 2. Mempublikasikan secara transparan hasil kerja Kejaksaan Negeri Semarang terhadap kasus – kasus yang mandeg atau tidak ada kejelasannya kepada masyarakat umum. Aksi ini dilakukan untuk mengingatkan aparat penegak hukum untuk segera menyelesaikan tunggakantunggakan kasusnya. Aksi ini ditujukan pula agar masyarakat sipil di Jawa Tengah, tidak putus asa dan terus melakukan kontrol terhadap kinerja aparat penegak hukum. Karena hanya dengan kontrol yang kuat sajalah, mafia peradilan dapat kita lawan.
C. Pemantauan Kinerja Pengadilan 1. Eksaminasi Publik Putusan Pidana Percobaan a.n Terdakwa Mardijo Pengadilan sebagai benteng terakhir peradilan sudah mengalami kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Mafia peradilan sudah menggurita sedemikian rupa dan menyebabkan hilangnya akses masyarakat miskin terhadap keadilan. Untuk itulah pengadilan dan lembaga peradilan lainnya harus diawasi dan dikontrol. Salah satu upaya kontrol yang dilakukan adalah dengan melakukan eksaminasi terhadap putusan-putusan pengadilan.
( 76 )
Eksamminasi berarti adalah pemeriksaan, dalam konteks eksaminasi produk pengadilan, berarti melakukan pemeriksaan terhadap produk-produk pengadilan itu sendiri. Mulai dari Surat Dakwaan, SuratTuntutan maupun putusan hakim. Biasanya eksaminasi dilakukan ketika ada suatu produk peradilan yang diduga kuat bertentangan dengan kaedah hukum atau norma-norma dan rasa keadilan yang berlaku di masyarakat. Eksaminasi juga dilakukan ketika ada dugaan terjadinya Kolusi Korupsi & Nepotisme, biasanya hal-hal semacam ini selalu mendapatkan perhatian publik. Sebagai salah satu bentuk tanggungjawab di dalam mengawal reformasi hukum khususnya di dalam sistem peradlan, maka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang bekerja sama dengan KP2KKN ( Komite Penyelidikan dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan dukungan dari kemitraan melakukan eksaminasi terhadap putusan 240/Pid.B/2005/PN.SMG dengan terdakwa Mardidjo. Eksaminasi ini merupakan kelanjutan dari program pemantauan kasus yang sama, yang dilakukan tahun yang lalu.
Alasan untuk dilakukannya eksaminasi adalah ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang memutus terdakwa korupsi uang APBD Jawa Tengah dengan vonis percobaan dengan masa percobaan selama 2 tahun. Padahal diketahui dalam kasus ini Negara dirugikan sebesar Rp 14,8 milyar • Tujuan eksaminasi Tujuan melakukan eksaminasi adalah: Pertama untuk melakukan pengujian secara ilmiah, apakah putusan hakim Pengadilan Negeri Semarang sudah sesuai dengan kaedah penerapan hukum, prinsip-prinsip hukum materiil maupun formil. Kedua mendorong masyarakat Jawa Tengah untuk melakukan kontrol terhadap kinerja peradilan, khususnya terhadap putusan-putusan kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat.
( 77 )
Ketiga, Mendorong penegak hukum khususnya hakim Pengadilan Negeri Semarang untuk meningkatkan integritas, kredibilitas, dan profesionalitasnya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, agar tidak menjadi putusan yang kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat. • Anggota Tim eksaminator Untuk menjaga agar hasil penilaian majelis eksaminasi dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, maka LBH Semarang dan KP2KKN membentuk majelis eksaminasi yang independent, berlatar belakang hukum dan mempunyai pengalaman serta berkiprah dalam mengkritisi permasalahan-permaslahan hukum. Majelis eksaminasi terdiri dari : 1. Sahlan Said, SH., Ketua majelis eksaminasi (mantan Hakim di PN Yogyakarta.) 2. Rahmat Bowo Suharto, S.H.M.Hum anggota Majelis eksaminasi (Dekan Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang) 3. Jony Simanjutak, SH., anggota Najelis Eksaminasi (Advokat ATMA) • Berkas yang dieksaminasi Eksaminasi ini lebih dititikberatkan terhadap putusan PN Semarang yang menvonis terdakwa Mardijo dengan hukuman percobaan selama 2 tahun. dalam berkas putusan oleh hakim PN Semarang tersebut, para eksaminator juga mengkritisi tentang pertimbangan putusan, pemeriksaan di persidangan, Dakwaan dan Tuntutan oleh Kejaksaan Negeri Semarang, Eksepsi dan pertimbangan hukuman percobaan. • Pemaparan dan Publikasi Kepada Masyarakat Hasil eksaminasi disosialisasikan kepada masyarakat Jawa Tengah melalui diskusi publik. Diskusi publik ini dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 2006. Narasumber dalam diskusi publik tersebut terdiri dari : Sahlan Said (Ketua Majelis eksaminasi) memaparkan hasil eksaminasi, Asep Rahmat Fajar dari Staff Komisi Yudicial
( 78 )
dan Emerson Junto dari ICW Jakarta. Hasil diskusi publik dan berkas eksaminasi tersebut di terbitkan dengan judul HUKUMAN PERCOBAAN KASUS KORUPSI – Eksaminasi Publik PERKARA No. 240/Pid.B/2005/PN.SMG.Bertepatan dengan pelaksanaan diskusi public, di media massa diberitakan bahwa majelis hakim pengadilan tinggi Semarang membatalkan putusan hukum percobaan yang dijatuhkan oleh majelis hakim PN Semarang.
2. Jejak Rekam Penegak Hukum di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah Jejak rekam dilakukan terhadap sejumlah hakim di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kontrol dan pengawasan terhadap institusi pengadilan. Untuk jejak rekam di PT Jawa Tengah merupakan bentuk kerjasama LBH Semarang dan Komisi Yudisial.
D. Masyarakat Anti Mafia Peradilan 1.
kami muat pernyataan sikap forum masyarakat untuk Peradilan Bersih. Kami sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam forum masyarakat untuk peradilan bersih, terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 tentang permohonan pengujian Undang-undang NO. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, menyampaikan sikap sebagai berikut : 1. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan pengujian UUKY dan UU Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh 31 Hakim Agung. 2. Bahwa di dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian besar permohonan para pemohon yaitu a. definisi hakim b. pengawasan hakim yang dilakukan oleh KY 3. Bahwa terkait dengan definisi hakim, MK di dalam amar putusannya menyebutkan bahwasanya hakim yang menjadi obyek pengawasan KY adalah hakim di peradilan tingkat pertama hingga yang tertinggi yakni Mahkamah Agung, sedangkan hakim konstitusi tidak. 4. Bahwa terkait dengan pengawasan hakim, MK di dalam amr putusannya menyebutkan pelaksanaan wewenang pengawasan KY yang diatur di dalam UU KY bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Mengkritisi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial telah menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Pada tatanan penegakan hukum, hal ini menjadi langkah mundur dalam upaya memberantas mafia peradilan. Terkait dengan itu sejumlah elemen masyarakat yang menamakan diri Forum Masyarakat Untuk Peradilan Bersih dan LBH Semaran ikut serta dalam forum ini. Forum ini mengkonsolidasikan diri untuk mensikapi putusan MK tersebut. Dan salah satu bentuknya adalah dengan melakukan aksi ke DPR RI dan ditemui oleh DPD, FPP (Lukman Hakim Saifudin), FPDI (Permadi, dkk). Sebagai bentuk komitmen LBH Semarang Forum Masyarakat Untuk Peradilan Bersih, untuk terus menolak dan mengkampanyekan anti mafia peradilan, berikut
Berdasarkan beberapa hal di atas, kami menyatakan sikap sebagai berikut : 1. Putusan MK yang mencabut fungsi pengawasan KY merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi yakni pasal 24 B UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
( 79 )
( 80 )
2. Putusan MK yang mencabut fungsi pengawasan KY merupakan salah satu bentuk legitimasi mafia peradilan 3. Putusan MK tersebut merupakan tirani konstitusi dan bentuk arogansi dari hakim konstitusi 4. Mendesak DPR untuk mempercepat proses pembahasan revisi UUKY, UUMA, UU MK, UU Kekuasaan kehakiman, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
2. Mengkritisi kinerja Komisi Yudisial (KY) Reformasi hukum melalui reformasi peradilan selama ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Upayaupaya yang dilakukan oleh banyak kalangan belum menunjukkan hasil yang maksimal. Usaha untuk mewujudkan “sapu yang bersih� dari dalam institusi pengadilan tampaknya mendapatkan hambatan yang berat. Sementara usaha membersihkan dari luar tampaknya juga berjalan sangat alot . Dimulai dari pengkebirian fungsi Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan pengawasan. Meskipun dari peraturan yang ada masih dimungkinkan peluang untuk melakukan perubahan, yaitu dengan melakukan proses seleksi hakim agung yang dilakukan oleh KY. Sebuah harapan yang cukup tinggi. Namun demikian kemudian di dalam proses seleksi tersebut kelompok masyarakat sipil merasa bahwa ada kecenderungan calon-calon hakim agung yang diloloskan KY ke DPRD belumlah sesuai harapan. Untuk itulah pada 10 November 2006, di kantor KontraS, beberapa lembaga dan individu melakukan siaran pers bersama untuk mengkritisi hal ini. Di bawah ini dimuat secara lengkap siaran pers yang berjudul Proses Seleksi Calon Hakim Agung STANDAR PENILAIAN KY DIRAGUKAN
telah diajukan ke DPR RI pada Senini, 6 November lalu. Namun yang sangat disayangkan, ternyata KY masih meloloskan caloncalon yang secara kualitas, integritas, dan visi dan misi dalam melakukan reformasi MA masih diragukan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa standar penilaian yang dilakukan oleh KY menjadi patut dipertanyakan. Masih lolosnya calon-calon yang antara lain berstatus tersangka korupsi, mengunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi, menerima dana muspida, dan melakukan perbuatan tercela menunjukkan bahwa KY menerapkan standart yang rendah untuk menlai integritas seorang calon. Hal lain menunjukkan bahwa KY telah bersikap kompromis terhadap tidak berintegritasnya dan tidak bermartabatnya seorang calon. Untuk memilih hakim yang benar-benar agung, maka penilaian mengenai ntegritas dari calon haruslah menjadi prioritas utama. Karena yang dibutuhkan utuk melakukan perubahan MA termasuk membersihkan mafia peradilan saat ini adalah hakim agung yang tidak memiliki cacat dari sisi integritas. Bagaimana mungkin bisa berharap agar calon hakim agung mampu melakukan perubahan di MA jika dari sisi integritasnya sendiri diragukan. Tidak hanya dari soal integritas, patut juga dipertanyakan mengenai standar penilaian KY terhadap kualitas dari calon. Dari hasil proses seleksi wawancara yang dlakukan olh KY juga terlihat bahwa sebagian besar dari calon memiliki persoalan secara kualitas. Sebagain besar calon hakim agung ternyata tidak cukup menguasai secara baik mengenai teori dan atau praktek hokum. Namun lagi-lagi kelemahan ini tetap ditolerir oleh KY dan selanjutya meloloskan para calon.
Setelah melakukan proses seleksi yang panjang dan memakan biaya sekitar Rp. 2 Miliar, Komisi Yudisial (KY) akhirnya meloloskan 6 nama calon hakim Agung yang
Bagaimana mungkin orang-orang tersebut diharapkan mampu memberikan putusan yang berkualitas jika orang tersebut tidak memilik kualitas. Sebab putusan pengadilan yang berkualitas hanya lahir dari seorang
( 81 )
( 82 )
hakim yang berkualitas.Oleh karena itu, maka kami mendesak pada : Komisi Yudisial Melakukan evaluasi dan memperbaiki proses seleksi calon hakim agung dengan menetapkan standar penilaian yang tinggi khususnya terhadap aspek integritas, kualitas, profsionalitas seorang calon hakim agung. DPR RI khususnya komisi III DPR RI Secara aktif melakukan investigasi terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi yudisial dan mendorong masyarakat untuk aktif memberikan masukkan mengenai track record calon. Menerapkan standar penilaian yang tinggi dan hanya memilih calon hakim agung yang benarbenar bersih, berintegritas, berkualitas, professional, serta memilik visi dan misi melakukan reformasi di MA.
bagaimana aturan yang tertulis berjalan tanpa melihat latar belakang munculnya aturan tersebut. Sehingga yang terjadi buruh hanya mem “beo�, seharusnya PPHI diberi warna perlindungan kepada buruh yang selama ini sebagai pihak yang tertindas dan terpinggirkan. Kedua, kemampuan beracara. Gugatan dari buruh selesai dengan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Hal ini tidak lepas dari kapasitas buruh dalam merumuskan fakta hukum dan melakukan analisa hukum, dan menuangkannya bentuk dalam gugatan. Demikianhalnya kemampuan untuk tehnis beracara di muka persidangan (menghadirkan saksi, bergumentasi dan tehnik bertanya pada saksi) Ketiga, kentalnya “mafia� peradilan. Dalam prakteknya buruh yang berperkara dimintai uang oleh oknum-oknum pegawai pengadilan dan ada pula buruh yang justru memberikannya dengan alasan agar proses yang mereka jalani tidak terhambat atau dirugikan.
E. Pemantauan PPHI UU No. 02 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sudah berlaku [PPHI] efektif. Buruh akhirnya dipaksa berhadapan dengan Pengusaha dalam sebuah mekanisme penyelesaian sengketa hak, kewajiban dan pemutusan hubungan kerja [PHK]. Pada dasarnya UU ini sendiri menjadi bagian dari berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadikan negara mengingkari kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada kaum buruh, dan menyerahkan pemenuhan hak dan kewajiban pada mekanisme pasar. Berdasarkan hasil pemantauan terhadap proses PPHI, terdapat catatan-catatan yaitu Pertama; proses peradilan berjalan menurut kaidah formalitasnya semata, dalam arti cara pandang terhadap kententuan dalam UU Perburuhan bersifat legal-positivis. Buruh dan/atau serikat buruh hanya mengikuti
( 83 )
( 84 )
Kami tiada dapat dibungkam Patah pena kami Mulut kami gantinya Sumpal mulut kami Hati kami teriak suara Meski tak terdengar siapa. Bunuh kami Cita – cita kami akan terus ngumandang Puisi kanak-kanak Bawor Di buat antara tanggal 19 Desember – 25 Desember 1989
( 85 )
( 86 )
Proses ratifikasi yang dilakukan sebuah negara membawa konsekwensi untuk dapat memenuhi, menghormati/ menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia. Namun tidak serta merta negara penandatangan konvensi dapat memenuhi hak-hak yang telah ditentukan. Bentuk pelanggaran yang dilakukan negara dapat berupa tindakan langsung (acts of comission) maupun pembiaran (acts of omission). Pengabaian ini nampak dari lahiirnya berbagai peraturan/kebijakan yang tidak bersesuaian dengan prinsip-prinsip HAM, kriminalisasi terhadap Pekerja HAM dan pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi.
BAB V PEMANTAUAN DAN ADVOKASI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A. Pemantauan Pelanggaran HAM 2006 1. Gambaran Umum Pelanggaran HAM 2006 Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat dan inheren pada manusia, bukanlah pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun. Pengakuan atas adanya hak-hak manusia itu sendiri dalam kebutuhannya yang tak kunjung berakhir untuk memperoleh imbangan yang jelas, namun juga luwes, antara kekuasaan atau kewenangan para pengelola pemerintahan dan kebebasan rakyat atau warga yang menjadi sumber kedaulatan. Wacana menghasilkan berbagai kategori hak, yaitu hak sipil dan politik, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yang selanjutnya melahirkan konvensi sipol dan konvensi ekosoc.
( 87 )
Pengabaian kian nyata terjadi manakala keberhasilan pejabat pemerintahan lebih sering ditentukan oleh prestasi di bidang-bidang kamtibmas dan pembangunan indrastrukur,daripada prestasinya di bidang penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia. Kebijakan untuk mensukseskan pembangunan, diwacanakan bahwa pembangunan menuntut manusia untuk berkorban dan tidak mendahulukan hak-hak individualnya (betapapun asasinya hak-hak itu). Dalam pelaksanaan misi pembangunan seperti ini pemerintah mensyaratkan agar kegiatan-kegiatan politik dihentikan dengan pernyataannya bahwa "politik no, pembangunan yes", lebih-lebih manakala untuk maksud itu stabilitas nasional lebih banyak diartikan sebagai tiadanya gangguan. Hal ini pula yang nampak dari hasil pemantauan HAM yang dilakukan LBH Semarang. Pihak penguasa baik secara langsung maupun tidak langsung telah melakukan pengabaian, khususnya terkait dengan pemenuhan hakhak bidang ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan yang berupa tindakan langsung, terdapat dalam pelanggaran terhadap hak-hak tersangka/terdakwa yang merupakan kategori hak-hak sipil dan politik. Terkait dengan BHS yang diberikan LBH Semarang, pengabaian dari penyelenggara negara nampak dari lambannya penyelesaian kasus-kasus terkait pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya yang dialami oleh kaum
( 88 )
tani, buruh, miskin kota maupun korban pelanggaran atas hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Dalam pemantauan pelanggaran HAM, LBH Semarang masih menggunakan pendekatan subyek yang paling dirugikan. Hal ini sesuai pembagian divisi dan konsentrasi pengorganisasian dan pendidikan hukum kritis. Sehingga pelanggaran pada subyek dapat masuk ke dalam berbagai kategori hak.
Lingkungan Hidup dan Miskin Kota yang memperluas pemantauan ke seluruh Jawa Tengah. Sedangkan untuk tanah dan petani meningkat dengan adanya penambahan indikator yaitu pembebasan lahan sebagai bagian dari kasus yang dipantau.
Untuk tahun 2006, terdapat 314 kasus pelanggaran HAM. Dibandingkan dengan tahun 2005, dengan 184 kasus pelanggaran, maka terdapat kenaikan pelanggaran sebesar 70,65%. Kenaikan pelanggaran ini, terkait dengan meningkatnya pelanggaran hak atas lingkungan yang baik dan sehat, sebesar 200% yang berkontribusi terhadap pelanggaran HAM secara umum. Kenaikan pelanggaran terjadi pula untuk pelanggaran HAM terhadap kaum miskin kota, yaitu sebesar 100%, untuk petani dan tanah terdapat kenaikan 95,34 % Sedangkan untuk pelanggaran terhadap buruh, terdapat penurunan. Hal ini nampak dalam diagram berikut :
Pelanggaran HAM terhadap petani/petani hutan terkait dengan hak untuk mendapatkan/mempertahankan sumber daya alam, hak untuk tinggal, hak katas tanah, hak atas ganti rugi dan ha katas penghidupan yang layak. Pelanggaran dibagi dalam 3 kategori kasus yaitu Konflik agraria berbasis perkebunan (Perkebunan), konflik agraria berbasis hutan (hutan) dan Pembebasan lahan, yang masing-masing sebagai berikut :
Tabel Perbandingan Pelanggaran HAM 2004 - 2006 140 120 100 80 60 40 20 0 2004
2005 Petani/Tanah Lingkungan
Kenaikan pelanggaran HAM pemantauan yang dilakukan
( 89 )
2006 Buruh Miskin Kota
tersebut, dikarenakan khususnya oleh Divisi
2. Pelanggaran HAM terhadap Petani/Petani Hutan
Kasus Perkebunan Hutan Pembebasan Tanah Jumlah
Jumlah 37 16 18 71
Untuk konflik agraria berbasis hutan, di Jawa Tengah terdapat pelanggaran HAM yang harus diperhatikan. Pada Januari – Februari 2006, Perhutani dibantu Polda Jateng dan aparat kepolisian di daerah mengadakan Operasi Hutan Lestari (OHL). OHL ini dilakukan untuk mengatasi pencurian atau penjarahan kayu yang terjadi di dalam kawasan hutan. Lebih dari 500 orang di Jawa Tengah ditangkap karena terlibat illegal logging selama OHL ini dilakukan, dan karena dipandang sukses, OHL ini dilanjutkan dengan OHLTB (Operasi Hutan Lestari Tanpa Batas). Namun dalam prakteknya, OHL ini ternyata tidak hanya menangkap para cukong kayu besar dan kecil, namun
( 90 )
juga menangkap para petani hutan. Kasus penangkapan petani hutan yang mencuat ke permukaan adalah penangkapan 2 orang petani hutan di Desa Ketenger, Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas. Kedua orang ini ditangkap oleh aparat Polres Banyumas berkaitan dengan kayu yang ditemukan saat penggeledahan di rumah mereka dengan tuduhan melanggar pasal 50 ayat 3 huruf f jo pasal 78 ayat 5 dan pasal 50 ayat 3 huruf h jo pasal 78 ayat 7 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Padahal selama ini kedua orang tersebut mengikuti program Perhutani yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan menjadi anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Bahkan di Blora, Nurhadi seorang petani ditemukan tewas dengan dugaan dianiaya petugas pengamanan hutan. Dan catatan Lidah Tani Blora, memperlihatkan bahwa dalam rentang 28 Juli 1998 sampai 13 Juni 2006 telah terjadi penembakan dan penganiayaan terhadap 7 orang petani. Konflik-konflik yang berkaitan dengan wilayah hutan tidak jelas penyelesaiannya. Meskipun berkaitan dengan persoalan tanah, namun penyelesaian sengketa pertanahan di wilayah yang ditetapkan sebagai hutan diserahkan sepenuhnya kepada Dinas Kehutanan dan Perhutani selaku pelaksana teknis. Untuk kasus tanah berbasis perkebunan, pada tahun 2005, LBH Semarang mencatat ada 36 kasus dan untuk tahun 2006 ini terdapat penambahan kasus yaitu kasus tanah PT. Rumpun Sari Kaligintung melawan PT. Rumpun Sari Kaligintung. Konflik ini adalah bagian dari konflik perkebunan di masa lalu yang sampai sekarang belum terselesaikan. Pihak yang berkonflik adalah petani berhadapan dengan perkebunan negara (PTPN), perkebunan swasta-termasuk militer-.
Tengah telah dibentuk “Tim Penyelesaian Konflik Pertanahan� yang dibentuk Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Tim ini terfokus pada penyelesaian konflik perkebunan. Namun keberadaan tim ini tak dapat diharapkan karena model penyelesaian ditarik ke arah pola kemitraan, yang jauh dari akar persoalan bagi petani , dan tim ini belum bergerak di lapangan sehingga tidak dapat memberikan rekomendasi yang tegas. Akibatnya penyelesaian kasus menjadi terkatung-katung. Harapan penyelesaian konflik terbuka dengan pencanangan Program Reforma Agraria, oleh BPN Pusat khususnya untuk tanah-tanah terlantar atau tanah yang tidak diusahakan secara aktif oleh pemiliknya. Di akhir tahun 2006, BPN Pusat merencanakan untuk melakukan redistribusi tanah seluas 8, 15 juta ha di Indonesia. Walau belum jelas mekanisme program ini, LBH Semarang bekerjasama dengan Organisasi Tani Jawa Tengah (ORTAJA) tengah berusaha mendorong proses redistribusi tanah ini, dengan mendata tanah-tanah obyek redistribusi dan sengketa yang berada di wilayah Jawa Tengah. Sedangka rencana pembebasan tanah yang akan/masih menimbulkan persoalan di tahun 2007 yaitu Pembebasan tanah untuk jalan tol Semarang-Solo, Pembebasan tanah untuk proyek PLTU Kartini Jepara dan Pembebasan tanah untuk proyek tol koridor Semarang – Cirebon. Agenda inipun harus dipantau, agar potensi pelanggaran HAM tidak terjadi di tahun 2007.
Terhadap kasus-kasus tanah perkebunan ini, telah dilakukan serangkaian advokasi oleh LBH Semarang bersama organisasi petani. Upaya ini berjalan lamban, terkait tidak adanya komitmen pemerintah. Di Jawa
( 91 )
( 92 )
3. Pelanggaran Hak atas Lingkungan yang dan sehat
baik
Tabel Pelanggaran Hak Atas Lingkungan yang Baik dan Sehat Tahun 2006
36
LAIN-LAIN
33
PENCEMARAN
adanya AMDAL serta ijin IMB,SPID dalam kasus penambangan galian C; ketiga ; tidak dilibatkannya masyarakat korban, keempat tidak adanya sanksi hukum yang diberikan. Ketentuan sanksi pidana, perdata dan administrasi tidak secara tegas ditegakkan, dan kelima; aparat penegak hukum hanya menunggu “bola”, pengaduan dari masyarakat, walaupun pelanggaran masyarakat seharusnya aparat penegak hukum,khususnya kepolisian mempunyai kwajiban untuk melakukan pengusutan kasus lingkungan
11
TOWER BTS
4. Pelanggaran HAM terhadap Kaum Buruh 28
GALIAN C
16
SUTET
0
5
10
SUTET
15
GALIAN C
20
TOWER BTS
25
PENCEMARAN
30
35
40
LAIN-LAIN
Berdasarkan monitoring dan data base divisi Nelayan Masyarakat pesisir dan Lingkungan Hidup LBH Semarang, ada 125 kasus lingkungan, yang terdiri dari kasus SUTET sebanyak 16 kasus, pencemaran 33 kasus,Penambangan Galian C 28 kasus,pembangunan tower BTS 11 kasus serta kasus-kasus lainnya sebanyak 36 kasus. Untuk kota Semarang yang merupakan ibu kota propinsi Jawa Tengah ada 35 kasus. Untuk masyarkat yang menjadi korban hak atas lingkungan terdapat 13.673 KK Terdapat beberapa faktor penyebab muncul pelanggaran hak atas lingkungan yaitu pertama; adanya pandangan bahwa pembangunan dianggap mempunyai keuntungan yang bersifat positif , misalnya penyerapan tenaga kerja, tapi di sisi lain juga berdampak negatif terhadap lingkungan, misalnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Pemrakarsa atau perusahaan memandang bahwa biaya perlindungan lingkungan,seperti pembuatan IPAL hanya akan menambah biaya, kedua; pelunakan untuk mengeluarkan ijin yang tidak prosedural Tidak
( 93 )
Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi warga negaranya, khususnya hak-hak buruh dinyatakan dalam Pasal 28 D ayat (2) Amandemen UUD yaitu : “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Dan bentuk perlindungan hukum lain adalah konvenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Diantaranya adalah Pasal 6, 7 dan 8 dimana disebutkan bahwa negara mengakui hak atas pekerjaan yang layak, menikmati kondisi kerja yang adil dan baik terutama masalah pengupahan untuk pekerjaan yang sama tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, keselamatan dan kesehatan kerja, perbaikan kedudukan, jam kerja, serta menjamin kebebasan setiap orang untuk membentuk dan bergabung dalam serikat buruh. Untuk ini negara dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak tersebut. Dan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menjadi undang-undang untuk mengaplikasikan jaminan UUD dan Konvensi ekosoc. Seperti dalam Pasal 67 memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh yang mengalami cacat tubuh, Pasal 68 – 75 perlindungan kepada buruh anak, Pasal 76 kepada pekerja/buruh perempuan, Pasal 77 -85 perlindungan terhadap jam kerja, lembur, cuti tahunan, haid, melahirkan dan menyusui, gugur kandungan, melaksanakan ibadah, Pasal 88 – 98 , perlindungan
( 94 )
untuk upah yang layak. Pasal 99 – 101 memberikan perlindungan untuk jaminan kesehatan dan kesejahteraan bagi pekerja/buruh. Bahkan negara juga telah memberikan sanksi hukum bagi pelaku pelanggaran hak-hak buruh sebagaimana diatas baik itu yang berupa sanksi administratif maupun pidana kurungan. Hak-hak tersebut merupakan hak normatif bagi buruh, yang wajib dipenuhi pihak pengusaha.
Tuntutan Buruh Meminta pesangon sesuai aturan
Dipekerjakan kembali
Respon Perusahaan
Jumlah
- Tidak ada respon - Dibayarkan secara bertahap
10 Kasus
- Perusahaan tidak jadi memPHK - Perusahaan tidak akan mencabut kebijakan tentang PHK - Memprioritaskan penduduk lokal untuk bekerja di perusahaan
3 Kasus
- Tidak ada respon Gaji selama dirumahkan
- Tidak ada respon
1 Kasus
- Tidak ada respon - Menyepakati untuk memberikan Jamsostek
- Meminta untuk membicarakannya dengan pihak personalia - Memberikannya secara bertahap
6 Kasus
- Mengabulkan tuntutan buruh Menuntut bantuan Jamsostek
Aksi 5000 buruh Gerbang menuntut Upah Layak (doc.LBH Semarang)
Berdasarkan hasil monitoring Divisi Perburuhan LBH Semarang terdapat 65 kasus pemogokan buruh di Jawa Tengah. Hal ini menjadi cermin bahwa belum ada perubahan signifikan terhadap nasib buruh. Hal ini mengacu pada data pemogokan tahun 2005 yaitu 66 kasus. Artinya bahwa tindakan-tindakan yang diambil pemerintah belum efektif memberikan perlindungan untuk pemenuhan hak-hak buruh, dan cermin ketidaktegasan dalam mengambil tindakan terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran hak-hak normatif. Berikut bentuk tuntutan buruh, dan renspon preusan dalam 65 kasus pemogokan buruh.
( 95 )
Kejelasan status
Dibayarkan gaji yang tertunda
Menuntut upah sesuai UMK
- Tidak ada respon
1 Kasus
- Tidak respon karena secara teknis perusahaan sudah bangkrut - Perusahaan hanya akan mengakui status masa kerja 50 % misalnya pekerja yang sudah bekerja selama 12 tahun hanya 6 Kasus diakui 6 tahun - Apa yang dituduhkan bahwa perusahaan tidak memperhatikan buruh tidak sepenuhnya benar - Perusahaan tidak jadi memPHK - Bahwa belum ada transfer dari kantor pusat - Menolak untuk memberikan pembayaran gaji 6 Kasus - Belum bisa diberikan karena masih ada masalah internal di jakarta [kantor pusat] - Tidak ada respon - Perusahaan akan membayar 12 Kasus mulai bulan februari - Menyepakati tuntutan buruh
( 96 )
- Tidak ada respon - Meminta untuk membicarakannya dengan pihak personalia - Pembayaran sesuai dengan kesepakatan tahun 2001 - Tidak ada respon Kenaikan UMK - Mengabulkan tuntutan buruh - Tidak respon karena secara Menuntut upah cuti teknis perusahaan sudah haid bangkrut - Tidak respon karena secara Menuntut upah teknis perusahaan sudah bangkrut dibayar tepat waktu - Tidak ada respon - Kondisi perusahaan sedang sepi Menuntut uang dan berjanji akan tunggu selama tidak mempekerjakan buruh kembali dipekerjakan - Tidak ada respon - Tidak ada respon - Memberikan tuntutan buruh Menuntut uang sesuai kemampuan perusahaan transport - Uang transport hanya diberikan bagi buruh yang tidak ikut jemputan - Tidak respon karena secara teknis perusahaan sudah bangkrut Diberikan upah - Membicarakannya dengan pihak lembur personalia - Menyepakatinya sesuai aturan yang ada - Tidak ada respon - Menyepakatinya sesuai aturan yang ada - Meminta untuk Dipenuhinya hakmembicarakannya dengan pihak hak cuti [haid, personalia hamil, tahunan] - Memberikan tuntutan buruh - Mengabulkan tuntutan buruh - Tidak ada respon - Tidak ada respon Diberikan THR membayar sesuai - Bersedia dengan aturan Libur tetap digaji - Tidak ada respon - Dikembalikan menjadi lima hari Pengurangan kerja dan pengurangan uang Hari/Jam Kerja transport
( 97 )
Menolak SK mutasi Perbaikan sarana ibadah 8 Kasus 2 Kasus
3 Kasus
Penggantian manajemen Menolak kebijakan manajemen Menentang rencana kenaikan TDL Menolak revisi UU Ketenagakerjaan
- Menunggu kebijakan dari pusat bisa memberikan - Tidak keterangan - Tidak ada respon - Mengabulkan tuntutan buruh - Akan dibicarakan dengan pihakpihak yang terkait - Perusahaan tidak akan mencabut kebijakan memPHK buruh - Melihat sejauhmana kebijakan tersebut berlaku efektir - Tidak ada respon - Tidak ada respon
2 Kasus 1 Kasus 3 Kasus
2 Kasus
1 Kasus 15 Kasus
2 Kasus
2 Kasus
5 Kasus
6 Kasus
2 Kasus 2 Kasus 1 Kasus
Salah satu faktor tidak maksimalnya jaminan perlindungan hak-hak normatif buruh ini, karena negara justru membuat peraturan yang mementahkan kembali jaminan hak-hak normatif tersebut. Peraturan tersebut hรกdala UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial [UU PPHI]. UU ini menjadikan kewajiban dan hak para pihak masih dapat disengketakan sebagai sengketa hak dalam mekanisme PPHI. Secara riil, kaum buruh tidak siap dan tidak memiliki posisi yang sama dengan pihak preusan. Sehingga mekanisme inipun berpotensi melanggar hak buruh sendiri.
5. Pelanggaran HAM terhadap Kaum Miskin Kota Rencana Pembangunan Jangka Panjang [RPJP], Rencana Pembangunan Jangka Menengah [ RPJM] Daerah serta Rencana Kerja Pemerintah [RKP] yang dilakukan Pemerintah Daerah merupakan paramater keberhasilan suatu daerah. Parameter lain adalah kemajuan dalam bidang pembangunan infrastruktur. Rencana Pembangunan yang mengacu pada kepentingan pemodal dengan asumsi hanya pemodal yang mendatangkan PAD [pendapatan asli daerah]. Dampak dari RJP dan RKP ini
( 98 )
terhadap kaum miskin pinggiran kota adalah hilangnya akses kaum miskin kota atas tata ruang kota. Hal ini diwujudkan dalam bentuk penggusuran pemukiman kumuh, penggusuran PKL dan pemaksaan pemindahan. Kaum Miskin Kota (KMK) seperti Pedagang Kaki Lima [ PKL ], Pekerja Sex Komersial [ PSK ], Tukang Becak dan pekerja sektor informal memiliki jaminan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.Jaminan ini terdapat dalam DUHAM, UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Tabel Pelanggaran Hak terhadap Miskin Kota
70 60 50 40
Pemukiman
30
Pekerjaan
20
Antara lain Pasal 11 UU No. 39 tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Berarti siapun memiliki hak untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya, termasuk pekerjaan yang layak. Selanjutnya Pasal 36 [ 2 dan 3 ] menjamin tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang – wenang dan secara melawan hukum, dan hak milik mempunyai fungsi sosial . Dengan demkian KMK tidak bisa begitu saja dirampas akan hak miliknya [ rumah/alat produksi/pekerjaannya ]. Dari hasil monitoring dan penanganan kasus maka Divisi Miskin Perkotaan LBH Semarang terdapat 68 kasus pelanggaran HAM di 27 Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. Pelanggaran tersebut dalam terdiri dari pelanggaran hak atas pemukiman/perumahan dan pelanggaran atas pekerjaan dan penghasilan yang layak, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut :
10 0 2006
Pelanggaran hak atas perumahan selama tahun 2006, telah menggusur 5.305 rumah KMK di Semarang dan Solo. Untuk hak perumahan ini, 3 kasus penggusuran dilakukan terhadap hunian liar –garis miring oleh penulisdan 1 kasus terhadap pemukiman warga di Cakrawala Baru yang diklaim oleh 3 orang pemilik tanah. Sedangkan 1 kasus masih bersifat rencana, yaitu pemukiman warga Sambirejo terkait pembangunan jalan ke Mesjid Agung Jawa Tengah. Rencana ini dapat menjadi potensi pelanggaran hak, jika tidak ada pembicaraan antara warga dan Pemkot Semarang. Untuk pelanggaran hak atas perumahan ini, negara yang seharusnya menjamin pemenuhan hak, tidak memberikan jalan keluar akibat hilangnya tempat tinggal KMK. Kasus pengusuran di Cakrawala Baru, perkembangan terakhir warga diberikan uang untuk kontrak rumah atau dicarikan tempat tinggal. Sedangkan untuk pelangaran hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagian besar menimpa PKL. Pelangaran tersebut dalam bentuk penertiban (penggusuran), pembatasan waktu berdagang, pembongkaran tenda dan lapak, larangan berjualan, penggosongan kios, penggusuran pasar tradisional, pembatasan jumlah PKL, penutupan akses dan
( 99 )
( 100 )
pemindahan lokasi. Fenomena yang muncul di tahun 2006, maraknya pendirian pasar modern seperti mall,hypermarket telah menyebabkan PKL dipinggirkan bahwa diusir dari kawasan mall/hypermarket yang menjadi awal tempat PKL berdagang. Dan PKL direlokasi ke tempat yang tidak memungkinkan usahanya berkembang. Hal ini memperlihatkan kebijakan pemerintah daerah yang tidak adil dalam mengatur tata kota dan sumber daya yang dimiliki.
B.
Advokasi Pelanggaran HAM
1.
Pelanggaran HAM Kasus Talangsari Lampung
Sampai penghujung tahun 2007 ini, Tuntutan korban persistiwa Talangsari Lampung untuk pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc belum terwujud. Untuk mewujudkannya para korban mengggalang dukungan untuk mendesak pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc, baik di tingkatan nasional maupun lokal. Di tingkat nasional para korban mendesak Presiden RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan DPR RI untuk segera merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. Pada tanggal 8 Februari 2007, baik korban yang berada di Solo maupun Lampung memperingat tragedi tersebut dengan aksi di Komisi Nasional hak Asasi Manusia. Pada saat itu, korban ditemui oleh 2 orang anggota Komnas HAM yaitu Zoemrotin dan Roeswiyati Saputra. Dalam pertemuan tersebut, Komnas HAM berjanji untuk menyelesaikan penyelidikannya hingga April 2006.
korban untuk ikut serta mendesak dibentuknya pengadilan HAM Ad Hoc dengan mengirim surat desakan kepada Presiden, DPR RI dan Komnas Ham. Hal yang sama dilakukan oleh PBNU dan KWI ( Konferensi WaliWali Gereja ) Pada hari kamis 9 Februari 2006, korban peristiwa Talangsari Lampung kembali mendatangi gedung DPR RI. Para korban di temui oleh beberapa anggota Komisi III DPR RRI, salah satunya adalah Nursyahbani Katjasungkana. Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa tersebut, menyatakan akan mendorong Komisi III untuk segera merekomendasikan diadakannya pengadilan HAM Ad Hoc. Namun hal tersebut menunggu hasil kerja investigasi yang dilakukan oleh KPP HAM Talangsari di Komnas HAM. Terkait adanya upaya untuk menghalang-halangi korban supaya tidak berangkat ke Jakarta. Kontras Jakarta mengirimkan surat kepada Kapolri, Jendral (Pol) Soetanto, dalam Suratnya Kontras meminta Kapolri untuk mengintruksikan agar Kapolda Jateng dan Lampung untuk memberikan perlindungan para Saksi dan korban yang mengetahui peristiwa Talangsari Lampung. Upaya korban di Jawa Tengah Di propinsi Jawa Tengah, masyarakat pada umumnya tidak mengetahui peristiwa yang terjadi pada tanggal 6 & 7 Februari 1989. Tim Advokasi yang melakukan pendampingan terhadap korban, khsusnya yang berada di Solo melakukan penggalangan untuk mendukung pengungkapan kasus melalui Pengadilan Ham Ad Hoc. Salah satunya dengan cara melakukan diskusi publik.
Pada hari yang sama, tepatnya 8 Februari 2006, korban yang berada di Solo dan Lampung mendatangi kantor PBNU dan PP Muhammadiyah. PP Muhammadiyah, melalui Dien Samsoedin menyatakan siap untuk mendukung pengungkapan kasus Talangsari- Lampung. Bahkan,PP Muhammadiyah mengabulkan permintaan
Pada tanggal 19 Desember 2005, korban dan pendamping mengadakan diskusi publik sekaligus memperingati Hari HAM 2005, bertempat di Aula Muhammadiyah Surakarta. Hadir sebagai narasumber adalah ibu Widaningsing yang mewakili korban untuk menyampaikan kesaksiannya, kemudian yang kedua adalah Fraksi PKS dan PAN serta Usman Hamid dari
( 101 )
( 102 )
Kontras. Hal yang sama juga dilakukan di Sukoharjo bertempat. Di rumah makan Istana Hapsari, hadir dalam diskusi tersebut Purwoko yang mewakili korban, bapak Falah dari NU serta Idria F selaku Wakil Operasional Kontras Jakarta. Bahkan dalam diskusi tersebut para peserta diskusi melakukan dukungan dengan melakukan tanda tangan yang kemudian dikirimkan ke Presiden RI, Komnas Ham dan DPR RI. Pada tanggal 11 April 2006, Tim Advokasi yang terdiri dari LBH Semarang, LPH Yaphi Surakarta, Lekads, Kompip, SARI dan SpekHAM bersama dengan korban melakukan audiensi dengan DPRD Surakarta. Pada audiensi tersebut ditemui oleh Ketua DPRD Surakarta, Faried Badres bersama anggota DPRD lainnya. Akan tetapi pada waktu itu institusi DPRD tidak berani mengeluarkan surat dukungan pengungkapan kasus yang dikirimkan kepada Presiden, Komnas Ham dan DPR Ri. Mengenai hal tersebut akan dikembalikan kepada masing-masing Fraksi di DPRD Surakarta. Hanya dari Fraksi PAN dan Fraksi PKS yang berani mengeluarkan surat sesuai dengan permintaan korban, hal inipun dikeluarkan seminggu setelah melakukan audiesi, tepatnya tanggal 18 April 2006 Para korban dan pendamping juga melakukan penggalangan di DPRD Jawa Tengah. Pada tanggal 11 April 2006, korban dan pendamping melakukan audiensi dengan Fraksi-fraksi di DPRD Jawa Tengah. Dari beberapa Fraksi yang ada di DPRD Jawa Tengah, Hanya fraksi PDIP, Fraksi PAN dan Fraksi PKS yang hari itu juga membuat surat dukungan dan langsung dikirimkan ke Presiden RI, DPR RI dan Komnas HAM jakarta.
tanggal 5 Mei 2006, Sekda Jateng selaku ketua Panitian RAN HAM memenuhi permintaan korban dengan mengirimkan surat kepada Presiden,Komnas Ham dan DPR RI. 2.
Pelanggaran Hak Sipol (Fair Trial) Sindu dan Iwan Dalam upaya untuk melindungi hak-hak asasi manusia dari kemungkinan ancaman dan pelanggaran oleh penguasa, DUHAM PBB menekankan tentang pentingnya kelembagaan peradilan yang bebas dan merdeka. Lembaga peradilan yang bebas itu diharapkan mampu melakukan pemeriksaan dan penilaian yang obyektif atas kasus-kasus sengketa hak yang dihadapkan kepadanya. Bahkan dalam kasus pidana, Pasal 10 DUHAM menyatakan : �Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya.� Dan secara khusus hak-hak Tersangka ini terdapat dalam Pasal 9 – 15 Konvensi Hak Sipil dan Politik yang menjadi prinsipprinsip pelaksanaan Fair Trial (peradilan yang adil dan tidak memihak)
Pada tanggal 17 April 2006, korban didampingi LBH Semarang dan PMII melakukan audiensi kepada Panitia RAN HAM Jateng. Audiensi ini pun juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu meminta Panitia RAN HAM jateng untuk mewujudkan dukungan dengan mengirimkan surat kepada Presiden,Komnas Ham dan DPR RI. Pada waktu itu Panitia RAN Ham Jateng belum bisa memenuhi permintaan korban. Baru kemudian pada
Pada kasus penembakan seorang ibu muda terjadi di kawasan kios pasar menjadikan Sindu dan Iwan sebagai tersangka penembakan. Sejak penangkapan keduanya mendapatkan Kekerasan (Violence), dan Penyiksaan (Torture) yang berlangsung selama 7 hari 7 malam. Pola kekerasan (violence) dan Penyiksaan (Torture) yang dialami sebagai berikut : 1) Dipukul menggunakan tangan kosong 2) Ditendang 3) Dipukul dengan menggunakan alat yaitu kunci roda mobil, golok pada sisi tumpul, kayu, staples besar, kursi, gitar kecil, popor senapan dan menjalin (batang rotan) 4) Mata ditutup lakban
( 103 )
( 104 )
5) Ditembak pada bagian kaki 6) Tidak mendapatkan makan dan minum selama 3 hari 3 malam 7) Diludahi pada mulut ketika meminta minum 8) Mulut disumpal popor senapan 9) Ditodong senjata api di dada 10) Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan 11) Bekas luka hanya dilakban 12) Lidi dimasukkan ke dalam lubang luka tembak 13) Telinga distaples 14) Dilempar 15) Diseret 16) Jempol kaki diinjak kaki kursi yang diatasnya duduki aparat kepolisian 17) Pemaksaan penandatangganan BAP dan suratsurat lainnya 18) Intimidasi akan dibunuh/ditembak mati jika menyangkal di persidangan Bukti-bukti kekerasan dan penyiksaan telah menyebabkan : luka di seluruh tubuh, dan yang masih tersisa adalah bekas luka tembak di kaki Iwan dan Sindu, luka di bagian atas kepala Iwan, 1 (satu) gigi seri Iwan yang patah, buku-buku tangan Sindu yang membengkak, isi staples di telinga Sindu dan 1 (satu) peluru masih bersarang di kaki Iwan. Dan penyiksaan ini tidak saja meninggalkan luka secara fisik tetapi trauma untuk berhadapan dengan aparat kepolisian atau menjalani pemeriksaan, hal ini nampak dari upaya keduanya untuk bunuh diri.
6. Pelanggaran atas Hak Atas pelayanan Kesehatan 7. Pelanggaran atas Akses untuk mendapatkan Saksi 8. Pelanggaran Asas Presumption of Innocence Upaya maksimal telah dilakukan LBH Semarang di jalur litigasi dan kampanye. Pada putusan pidana a.n Sindu Pradana majelis hakim sependapat bahwa keterangan yang diberikan Sindu Pradana karena adanya kekerasan dan penyiksaan. Dan upaya penegakan HAM akan dilakukan di tahun 2007.
3.
Kriminalisasi terhadap Human Rights Defender dan Women Rights Defender
Pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi tren pada sistem politik pada masa yang disebut sebagai orde baru. Dibawah pemerintahan Soeharto, banyak sekali peristiwa pelanggaran HAM dengan dalih Subversi. Mulai dari peristiwa 65, menyusul kemudian peristiwa tanjung priok, 27 Juli , issue dukun santet, hingga pada akhir pemerintahan Soeharto harus memakan korban puluhan aktivis pro-demokrasi yang dihilangkan secara paksa. Seperti Wiji Thukul (aktivis Jaker), dan Suyat (Mahasiswa Unisri). Dan penghilangan paksa ini tidak ada upaya penyelesaian yang kongkrit.
Selama proses peradilan, telah terjadi pelanggaran hakhak tersangka/terdakwa dalam bentuk : 1. Kekerasan (violence) dan Penyiksaan (Torture) pada Tersangka 2. Kekerasan (violence) dan Penyiksaan (Torture) pada Pihak Ketiga/ Saksi 3. Pelanggaran Hak Atas Bantuan Hukum 4. Pelanggaran Asas Non Self Incrimination 5. Penahanan Sewenang- Wenang
Era reformasi memberikan angin segar akan mimpi untuk perubahan. Turunnya Soeharto sebagai icon “Penjahat Kemanusiaan� menjadi titik awal perubahan iklim politik. Dibawah pemerintahan Gus Dur, sejumlah kasus kejahatan kemanusiaan dimasa orde baru coba dibuka kembali. Namun hal ini tidak ditindaklanjuti pada masa pemerintahan Megawati, dan SBY.. Masyarakat mulai mempertanyakan tentang kredibilitas dan konsistensi dari Negara atas perlindungan terhadap para Pekerja/Pengabdi HAM atau Human Rights Defender. Dalam kegelisahan ini seorang HRD yang gencar melakukan investigasi dan mengkampanyekan tentang kejahatan kemanusiaan tewas dalam penerbangan Garuda. Tewasnya Munir, menjadi symbol bahwa HRD
( 105 )
( 106 )
tindakan
•
HRD sendiri diartikan sebagai mereka yang bekerja (baik secara individu atau dalam kelompok) demi perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia. Mereka tidak hanya para kativis LSM bidang HAM, tapi termasuk pula mereka yang melaksanakan profesinya demi memajukan HAM di Indonesia. Seperti Advokat, wartawan, guru, buruh, petani dsb. Setiap orang memiliki hak untuk melakukan semua kegiatan yang bertujuan membela dan memajukan hak asasi manusia, dan SEHARUSNYA mendapatkan jaminan perlindungan.
• •
akan terus menerus berhadapan kekerasan, terror dan kematian.
dengan
Tindak Kekerasan terhadap HRD/WHRD sampai saat ini terus berlangsung. Tidak hanya di aras nasional yang menjadikan Munir sebagai korban, namun di aras lokal HRD mengalami teror/intimidasi serupa. Bukan lagi menggunakan “3 B” (Bunuh,Bui dan Buang), melainkan menggunakan pola baru dalam melemahkan perjuangan HAM, yang bersifat lebih sistematis dan meluas. Kriminalisasi, menjadi pola melemahkan perjuangan HAM. Berdasarkan pemantauan LBH Semarang pada tahun 2005, terdapat 26 orang HRD yang dikriminalisasi dengan sangkaan beragam mulai dari Perbuatan Tidak Menyenangkan, Tindak Pidana Perusakan, Pencemaran Nama Baik, Penghasutan sampai dengan Penyerobotan Tanah. Dan untuk tahun 2006, LBH Semarang mengadvokasi 14 HRD yang dikriminalisasikan karena mendampingi penggusuran tanah di Cakrawala Baru dan 1 WHRD, yang melakukan pendampingan dan menjadi kuasa hukum korban pelecehan seksual yang dikriminalisasikan dengan sangkaan pencemaran nama baik. Tabel Kriminalisasi terhadap HRD dan WHRD tahun 2006 No 1
Nama Alex Agung Priatmoko
•
Sangkaan 160 KUHP (penghasutan)
( 107 )
Keterangan Pendamping
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
15
Supardi Pujo Legowo Bagas Ardiyanto Yuli Kurniasih Sunu Wiwit Fajar Prasetyo Teguh Samudara Gempita Agus Nur Sodiq Darmawan iskandar Muhammad Djoko Purnomo Subsianto M BambangSusilo Sugiyanto Yoppy Benard Mambrasar
Evarisan, SH
212 (melakukan perlawanan kepada pejabat) 216 335 perbuatan tidak menyenangkan Idem
warga
Idem
PRD
Idem
Pendamping
Idem
KPK PRD
Idem
Pendamping
Idem
Pendamping
Idem
Pendamping
Idem Idem Idem
warga Pendamping warga
Idem
warga
Idem
Warga
Idem
SRMK
Primer Pasal 317 ayat (1) Jo Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 311 ayat (1) Advokat, LRC Subsidair Pasal 335 KJHAM ayat (1) ke-2 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP
Pemeriksaan yang dilakukan secara maraton terhadap 14 pendamping dan warga Cakrawala Baru dilakukan secara marathon. Namun dalam batas waktu penangkapan, yaitu 1 x 24 jam, akhirnya Penyidik Polwiltabes Semarang para tersangka dilepaskan. Sampai saat ini
( 108 )
Polwiltabers tidak melakukan pemanggilan kembali. Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengkapan yang dilakukan polisi merupakan straegi pemerintah kota Semarang dan kepolisian untuk mempermudah melakukan eksekusi pemukiman warga Cakrawala Baru.
C. Peringatan Hari HAM 2006 Hadir 800 orang dari berbagai usia, golongan, status social, agama dan ideology. Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi pengikat yang menembus sekat-sekat ideology, keyakinan agama, politik, suku, maupun jenis kelamin. Hal ini nampak dari Peringatan Hari HAM tahun 2006 yang dilaksanakan oleh para korban pelanggaran HAM di Jawa Tengah. Secara bersama mereka bertemu dalam satu kepentingan bersama, yaitu ditangganinya pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia. Secara partisipatif, dan bergotong-royong, seluruh elemen dapat duduk bersama dan mengelar serangkaian kegiatan peringatan HAM 2006. Dan secara mandiri pula menggalang dana public untuk pelaksanaan kegiatan. Mereka memandang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia cenderung dipengaruhi oleh pihak internasional yang merupakan Imperialis dari Negara dunia ketiga. Hal ini harus dihentikan mengingat ketergantungan dunia ketiga khususnya Indonesia kepada pihak Imperialis sulit untuk dihindarkan, apabila ketergantungan tersebut berlanjut maka akan terjadi pelanggaran HAM yang akan sejajar dengan peristiwa-peristiwa di Negara-negara Timur Tengah. Ratifikasi yang telah berlaku di Indonesia maupun aturan-aturan nasional tidak berjalan efektif karena masih terdapat pengekangan dan lemahnya penegakan dari pihak yang menjadi representasi dari rakyat. Lemahnya penegakan tersebut terutama dalam hak untuk mendapatkan akses pendidikan dan ekonomi yang baik, hak berketuhanan (memeluk keyakinan), hak mengemukakan pendapat dan hak asasi manusia lainnya yang seharusnya mendasari pemikiran secara khusus dari
( 109 )
pemerintah SBY-JK (Soesilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla) pada saat ini. Keterkaitan antara moral dan hati nurani telah hilang dari pemerintah Indonesia dan penegak hukum Negara ini. Oleh karena itu melalui peringatan HAM pelanggaran-pelanggaran HAM harus dipandang dalam konteks “PEMBEBASAN NASIONAL DARI IMPERIALIS. Tujuan kegiatan ini adalah (1) Memperingati hari HAM International dengan semangat PEMBEBASAN NASIONAL DARI IMPERIALIS serta perjuangan dalam mewujudkan masyarakat yang adil secara sosial dan sejahtera secara ekonomi, demokratis secara politis dan partisipatif secara budaya; (2) Mempublikasikan data-data pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warganya.(3) Menuntut pemerintah untuk menegakan HAM di Indonesia sesuai dengan aturan-aturan HAM nasional maupun international, dan (4) Menyatukan visi dan misi diantara korban-korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Agenda Kegiatan, peringatan hari HAM ini terdiri dari Pameran Foto dan Pemutaran Video korban ketidakadilan pemerintah dalam penegakan HAM, Silaturahmi dan Mobilisasi Korban ketidakadilan pemerintah dalam penegakan HAM, dan Panggung Rakyat dan Musik Rakyat. Terlibat secara bersama dalam aksi ini Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB) Semarang, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC KJHAM), Partai Rakyat Demokratis (PRD) Semarang, Serikat Pengamen Indonesia (SPI) Semarang, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Semarang, Jema’at Ahmadiyah Indonesia Cabang Semarang, Persatuan Pedagang Kaki Lima (PKL) Semarang, Komunitas Kebudayaan Rakyat (KOBAR) Fajar Merah, Griya ASA PKBI, PATTIRO, SRMK (Serikat Rakyat Miskin Kota) DPK Semarang dan Central Java Police Watch (JPW).
( 110 )
Pengetahuan Itu Merupakan Kebutuhan Seperti Halnya Kebutuhan Makan Makan Untuk Hidupnya. Karena Pengetahuan Menjadi Dasar Perbuatan, Maka Orang Berbuat Sesuatu Tentu Menurut Pengetahuannya. Apabila Pengetahuannya Kalangkabut, Perbuatannya Pasti Kalang Kabut Juga. Apabila Pengetahuannya Teratur Tertib, Perbuatannya Pasti Teratur Teratur Tertib Pula. Pula.
(KI Ageng Suryo Mentaram)
( 111 )
( 112 )
memberikan peningkatan kemampuan melakukan advokasi, difasilitasi oleh Surya dari TURC, dengan narasumber dari berbagai pihak, diantaranya LBH Semarang, FSBI dan Gerbang.
BAB VI PENDIDIKAN MASYARAKAT DAN REFORMASI KEBIJAKAN
A. Pendidikan Bagi Buruh 1. Labour Law Course for Trade Unionist Pada tanggal 8 – 11 Juni 2006, Divisi Buruh LBH Semarang bekerjasama dengan TURC menyelenggarakan Kuliah Hukum Perburuhan Bagi Aktivis Serikat Buruh (Labour Law Course for Trade Unionist). Kuliah yang diselenggarakan selama 3 hari berlangsung di Wisma Gaya Bandungan. Acara ini diikuti oleh 34 aktivis Serikat Buruh diantaranya berasal dari FSBI, Gerbang, KSB Yasanti, FSB Pantura, Serbuk, Pastoral Buruh dan Kawasan (PBK), Serikat Buruh PAN, SPN, SP Pantura, SBMS, SB Perintis, SB LS, FSBK, SBSK Goro, SBSK Budi Jaya, SBSK Berdi Jaya, ORI Kabupaten Semarang dan LBH Semarang. Acara yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan hukum perburuhan dan
( 113 )
2. Pelatihan PPHI PPHI itu awal mulanya muncul karena ada desakan dari pihak pengusaha khususnya untuk memperbaiki mekanisme yang telah ada, yangi dianggap campur tangan pemerintah terlalu besar. Pemerintah mengakomodirnya melalui Undang-undang 2 tahun 2004, sebagai bagian dari pelaksanaan UU 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang PPHI sempat ditolak oleh kaum buruh karena dengan konsep PPHI ini, pengusaha dan buruh berhadapan secara langsung di pengadilan. Posisi yang tidak seimbang antara buruh dan pengusaha, akan menjadii legalisasi tidak dipenuhi hakhak buruh. Hal ini dikarena kontrol dan mekanisme pengawasan baik internal dan eksternal di pengadilan tidak berjalan. Kekuatan modal-lah yang menjadikan satu kasus menang/kalah. Maka untuk menghadapi efektifnya mekanisme PPHI inii LBH Semarang bekerjasama dengan Gerbang (Gerakan Buruh Semarang) menyelenggarakan Pelatihan PPHI di Pengadilan. Acara dilaksanakan di PT Bitratex pada tanggal 7 April 2006 diikuti oleh 24 orang. Peserta berasal dari perwakilan PT Rodeo, PT Indoplast, Sai Aparel, PT Sandratek, Gerbang Timur, PT SPADA, Bitratex, PT Amor Abadi, dan Gerbang Tengah. Acara ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan melakukan advokasi buruh terkait dengan berlakunya PPHI. Dan hal yang sama dilakukan pula bersama FSBSK Surakarta pada bulan Oktober 2006, di Tawang mangu. 3. Refleksi dan Penguatan 1 tahun PPHI Sebagai tindak lanjut dari pelatihan PPHI, pemantauan dan penangganan kasus sengketa perburuhan, LBH Semarang memfasilitasi Serikat Buruh (SB) di Kota
( 114 )
Semarang untuk melakukan refleksi 1 tahun PPHI. Dalam refleksi ini terungkap bahwa terdapat kelemahan kaum buruh dalam menghadapi proses persidangan PPHI yaitu pertama, tidak memahami latarbelakang UU PPHI, sehingga cenderung membenarkan aturan-aturan yang tertulis dan tidak kritis untuk melakukan perubahan melalui upaya mempengaruhi keputusan hakim; kedua, masih melakukan tindakan “suap� terhadap aparat pengadilan. Hal ini tidak sinergis dengan gerakan untuk melawan korupsi di pengadilan; dan ketiga, lemahnya kemampuan beracara di persidangan, seperti penyusunan gugatan, pembuktian dan penyampaian argumentasi. Refleksi yang dilakukan pada 1 Nopember 2006 ini selanjutnya menyepakati agar setiap elemen saling menguatkan satu sama dan meningkatkan kualitas dalam mekanisme PPHI.
B. Pendidikan Bagi Komunitas Perempuan
Dengan menggunakan pola on site training, dalam pelatihan ini hadir narasumber dan fasilitator dari LRC KJHAM dan LBH Semarang.
2. Pelatihan Kesadaran Jender Perbedaan jender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender (gender inequalities). Persoalannya kemudian, ternyata perbedaan jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan jender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan menyebabkan ketidakadilan jender dapat dilihat melalui berbagai perwujudannya. Salah satunya adalah Kekerasan Seksual, baik dalam bentuk perkosaan, pelecehan seksual maupun Kekerasan Dalam Pacaran (Dating Violence)
1. Pelatihan Paralegal Buruh Migrant Adanya kasus perkosaan yang menimpa seorang anak (remaja) di Desa Morodemak menimbulkan kegelisahan di kalangan remaja perempuan. Kegelisahan tersebut disebabkan kesadaran adanya bentuk ketidakadilan dan belum adanya kemampuan dan ketrampilan untuk membantu korban. Atas dasar bisa berbuat lebih banyak, Kelompok Perempuan Nelayan Mestika Bahari mengajukan diadakannya peningkatan kesadaran jender bagi remaja. LBH Semarang, Layar Nusantara dan KIKIS memfasilitasi pelatihan ini yang dikemas dalam bentuk on site training dengan mendatangkan narasumber dari LRC KJHAM dan difasilitasi oleh Layar nusantara.
Kemiskinan menjadi salah satu factor terjadinya migrasi, termasuk menjadi buruh migrant. Desa Morodemak, sebagai desa nelayan berada di garis kemiskinan. Penghasilan sebagai nelayan tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, tingkat pendidikan dan kesempatan tidak memungkinkan mereka dapat terserap pabrik-pabrik industri. Dengan harapan mendapatkan upah yang tinggi, telah mendorong perempuanperempuan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Kelompok Petani Perempuan Srikandi, yang menilai semakin banyak perempuan di desanya yang menjadi TKW, namun tidak memahami prosedur dan jaminan perlindungan hakhaknya. Atas dasar kebutuhan inilah, LBH Semarang bekerjasama dengan Tifa memfasilitasi pelatihan paralegal bagi Kelompok Petani Perempuan Srikandi. Harapannya para peserta dapat menjadi paralegal bagi perempuan di desa Morodemak yang akan menjadi TKW.
Salah satu penyebab tumbuh dan menguatnya mafia peradilan adalah karena kelemahan lembaga pegawas dan ketiadaan acuan atau standar yang memadai untuk
( 115 )
( 116 )
C. Pendidikan Bagi Kaum Miskin Kota 1. Pelatihan Fair Trial dan Anti Mafia peradilan
melakukan pengawasan. Para pelaku mafia peradilan senantiasa berlindung di balik klaim otoritas independensi lembaganya, apakah itu yang dimiliki kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga permasyarakatan maupun advokat. Hal ini nampak pada belum dimilikinya Kode Etik Profesi Jaksa yang komprehensif, Belum adanya Standar Minimum Jaksa sebagai acuan pola rekruitmen dan pembinaan jaksa sebagai pihak yang merepresentasikan negara. Demikian halnya, MA sampai saat ini tidak memiliki suatu pedoman perilaku hakim, dan sistem pengawasan perilaku hakim. Bahkan pembentukan organ pengawasan baru di Mahkamah Agung RI yaitu Ketua Muda Pengawasan dan Badan Pengawasan, tidak dibarengi dengan pengaturan yang memadai mengenai mekanisme pengawasan perilaku hakim, maka lembaga baru tersebut tidak dapat bekerja secara efektif. Walau telah terdapat upaya –upaya pembaharuan di kedua lembaga tersebut, namun yang tidak kalah penting dalam pemberantasan mafia peradilan adalah membangun budaya anti korupsi, melalui pendidikan dan meningkatkan peran serta masyarakat . Peranserta masyarakat diakui memiliki peran penting dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini diakui dalam Konvensi PBB melawan korupsi 2003 (UN Convention Against Corruption,2003) dan dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 sendiri. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pengawasan yang dilakukan haruslah pengawasan yang berbasiskan masyarakat. Basis masyarakat dimaksud adalah mereka yang berkepentingan langsung terhadap issu ini yaitu korban. Termasuk di dalamnya kelompok rentan. Pengawasan yang dilakukan bukanlah sesuatu yang langsung jadi, melainkan melalui proses pendidikan, penyadaran, dan perubahan budaya hukum guna melawan mafia peradilan.
( 117 )
Kelompok miskin kota (KMK) seperti PKL, PSK sangat rentan terhadap jeratan mafia peradilan, khsususnya Satpol PP. Proses Penertiban (=penggusuran) ditentukan oleh tawarmenawar, demikianhalnya pengambilan barang rampasan. Dan sebagai orang miskin, kelompok ini karena kemiskinan berpotensi berinteraksi/terlibat dalam peradilan pidana. Untuk itu LBH Semarang bersama PPKLS menyelenggarakan pendidikan yang dikemas dengan tema “SINAU BARENG PKL�. 2. Pelatihan Mengkritisi APBD Proses Perencanaan Pembangunan Daerah harus melibatkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Surat Keputusan [ SK ] Walikota Semarang No.130.2 / 339 tahun 2000 tentang Penyerahan Sebagian Tugas Dinas Tata Bangunan, Dinas Kebersihan, Dinas Pertamanan dan Pemakaman, UPTD Pengelolaan PKL kepada kelurahan, diatur BAHWA pembagian retribusi :10 % ke Kelurahan, 5 % ke Kecamatan, 2 % ke Dinas Pasar dan 83 % ke Pemerintah Kota Semarang. Penarikan retribusi tersebut mengharuskan adanya kegiatan pembinaan PKL. Penarikan retribusi PKL yang cukup besar, ternyata tidak terdapat program untuk kepentingan PKL. Justru PKL selalu terancam digusur dan direlokasi. Alokasi dana APBD yang berasal dari retribusi PKL harus dipantau karena tidak ditujuakn untuk kepentingan publik [ seperti ; pembinaan PKL ]. Dengan latar belakang demikian dan bertujuan untuk membantu PKL memahami substansi dan cara kerja anggaran; memahami mekanisme pengelolaan dana publik dalam anggaran; dan memberikan pemahaman kepada peserta untuk melakukan advokasi anggaran berkaitan dengan pemenuhan hak – hak ekonomi, sosial dan budaya. LBH Semarang, Paguyuban Pedagang Kaki Lima Semarang [
( 118 )
PPKLS ] LADANG [ Laboratorium Analisis dan Advokasi Anggaran ] IDEA [ Institute For Development and Economic Analysis ] menyelenggarakan pelatihan pada hari Kamis-Sabtu/24-26 Agustus 2006. Adapun untuk peserta berasal dari Pengurus Paguyuban Pedagang Kaki Lima Semarang [ PPKLS ] Paguyuban PKL “ Masjid Baiturahman “ Paguyuban Citra Land Simpang Lima [ PCLSL ] Paguyuban Pedagang dan Jasa Stempel “ Mandiri “ Pemuda [ PPJS “ mandiri “ ] Paguyuban PKL “ Bina Karya “ Paguyuban PKL “ Ngudi Urip “ Paguyuban PKL “ Ngupoyo Upo “dan Paguyuban PKL “ Pahlawan “ dan “ Taman KB “ D. Reformasi Kebijakan 1. RUU KUHP Sejak tahun anggaran 1981/1982, Pemerintah telah secara serius menyusun konsep KUHP. Konsep I diserahkan pada tanggal 13 Maret 1982 pada Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Dasar-dasar untuk konsep ke-1 ini diletakkan oleh Mr.Roeslan saleh, sayangnya konsep ke-1 ini terlupakan pada masa Menteri Kehakiman Oetojo Usman. Dan baru diingat kembali pada masa Menteri Kehakiman Muladi dan Yusri Ilya Mahendra. Pada masa inilah terbit konsep ke-2 RUU KUHP pada tahun 1999/2000, dan konsep ke-3 pada tahun 2004. Setelah 39 tahun sejak Prof.Sudarto menyusun konsep-1, RUU KUHP ini diajukan ke DPR RI untuk dibahas. Rentang waktu yang cukup lama dan perubahan yang terjadi di bidang hukum, ilmu kriminologi dan HAM menjadikan RUU KUHP menimbulkan pro kontra dalam masyarakat.
terhadap Negara dan Pembocoran Rahasia Negara (pasal 226-227), Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (pasal 262-263), Penghinaan Terhadap Kepala Negara Sahabat (pasal 269-270-271), Penghinaan terhadap Pemerintah (pasal 284-285), Penghinaan terhadap Golongan Penduduk (pasal 287), Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum (pasal 288-289), Penghasutan untuk Melakukan Tindak Pidana (pasal 290dan Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara (pasal 400-401). Sedangkan bekerjasama dengan HuMA, LBH Semarang menyelenggarakan serangkaian workshop RUU KUHP untuk pasal-pasal terkait Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan kejahatan korporasi.
LBH Semarang sebagai anggota KRHN menyelenggarakan serangkaian workshop guna mensosialisasikan RUU KUHP dan menjaring aspirasi masyarakat. Dengan KRHN, dikritisi Pasal-pasal tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (pasal 209-210), Peniadaan dan Penggantian Ideologi Pancasila (pasal 212), Pertahanan Negara (pasal 218), Pengkhianatan
2. REVISI UU 41/1999 tentang Kehutanan LBH Semarang sebagai salah satu dari enam partner kerja HUMA semenjak tahun 2004 melakukan advokasi untuk perubahan UU 41/1999. keberadaan UU ini tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat, bahkan cenderung untuk menyingkirkan masyarakat pinggiran hutan. Padahal kelompok inilah yang paling menjadi korban dari berbagai kebijakan Negara di bidang kehutanan dan tindak kejahatan lain di wilayah hutan. Dalam konteks melakukan advokasi inilah LBH Semarang sudah melakukan: 1. Diskusi tingkat kampong di Kebumen (kerjasama dengan Setam), Batang (kerjasama dengan FP2NBP-Ortaja), Kendal (kerjasama dengan FPPKOrtaja), Kudus (kerjasama dengan MRC-UMK), dan Banyumas (kerjasama dengan Kompleet) 2. WorkShop ilegal Logging (Kritisi Operasi Hutan Lestari) di Semarang 3. Siaran radio dan kampanye di Banyumas (Kompleet), Pekalongan (ORI-Patiro Pekalongan), Blora (Lidah Tani) dan di Semarang. 4. Analisa dan pengkritisan berbagai peraturan perundang-undangan yang dilakukan bersama Koalisi untuk Perubahan UU 41/1999
( 119 )
( 120 )
5. Audensi ke berbagai pihak untuk mendorong pengkritisan UU ini antara lain ke DPD.. 3. RUU Bantuan Hukum Hak Asasi Manusia saat ini telah diadopsi di dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang menjamin pemenuhan, dan penghormatan HAM. Salah satunya terdapat dalam pasal 28 D ayat (1) Amademen Kedua UUD 1945 yang menjamin setiap orang mempunyai hak untuk perlindungan, jaminan dan persamaan di depan hukum. Perlindungan hukum ditujukan agar setiap orang dilindungi dari tindakantindakan di luar hukum yang dapat menghalangi mereka untuk menikmati hak-haknya. Jaminan hukum dimaksud bahwa hukum merupakan alat untuk melindungi Hak Azasi Manusia (HAM), dan persamaan di depan hukum dimaksud bahwa setiap orang harus memiliki hak untuk menerima perlakuan yang sama di dalam hal keadilan, hukum, pemerintahan dan bidang lainnya.
untuk merealisasikan adanya UU Bantuan Hukum. LBH semarang sendiri telah terlibat sejak awal perumusan RUU Bantuan Hukum, dan terakhir menyelengarakan Workshop untuk mensosialisasikan dan mengkritisi RUU Bantuan Hukum pada 6 Desember 2006 dengan menghadirkan Afridal Dami (direktur LBH Aceh), Siti Rakhma MH (LBH Semarang), Beny D. Setianto (FH UNIKA), dan Djunaidi (IKADIN) sebgai pembicara . Diharapkan tahun mendatang RUU ini dapat diajukan ke DPR RI.
Pemberian hak atas bantuan hukum kepada masyarakat miskin merupakan implemantasi dari akses masyarakat terhadap keadilan. YLBHI didirikan pada tahun 1971 dengan gagasan untuk memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hakhaknya, terutama rakyat miskin dan pelanggaran atas hak-hak asasi mereka. Lahirnya UU Advokat menjadikan hak atas bantuan hokum sulit diakses masyarakat miskin. Sedangkan YLBHI dengan 115 pengacara public dan jumlah 57 karyawan (data per Juli 2003), berbanding jumlah penduduk miskin sebesar 39,05 juta (BPS,2006), MAKA 1 orang pengacara publik akan melayani 339.565 masyarakat miskin. Dengan demikian hanya sedikit warga negara Indonesia yang terpenuhi hak atas bantuan hukum. Atas dasar kesadaran itulah, YLBHI menawarkan pentingnya UU Bantuan Hukum. Untuk mencapainya, sepanjang 2006 dilaksanakan penelitian, penyusunan naskah akademik, perumusan dan serangkaian workshop
( 121 )
( 122 )
Lampiran 1 Terbitan LBH Semarang 2006
Panduan Melawan Mafia Peradilan, oleh Siti Aminah, SH; Kata Pengantar Dwi Saputra SH. Kerjasama antara LBH Semarang, KP2KKN dan Kemitraan;
KEBIJAKAN PERBURUHAN DI INDONESIA Kerjasama LBH Semarang dan Badan Penerbit FSBI
( 123 )
Memecahkan Kebisuan (Mengungkap Unfair Trial Dalam Kejahatan Warungan). Editor Siti Aminah,SH; Agus Suprihanto, SH. Kerjasama LBH Semarang dan Yayasan Tifa PERJUANGAN BELUM SELESAI (LAPORAN HAM JAWA TENGAH 2006) Ed. Siti Rahma MH,SH; Kerjasama LBH Semarang dan Yayasan Tifa
( 124 )
Hukuman Percobaan dalam kasus korupsi, Ed Dwi Saputra, SH, Kerjasama LBH Semarang, KP2KKN, dan Kemitraan
38 September 2006 Tanah Milik Siapa ?
Khusus Agustus 2006 Sisi Lain Indonesia
39 Oktober 2006 Gonjang-ganjing UMK
( 125 )
( 126 )
Lampiran 2
Kontibutor Penulisan 40 November 2006 Masih Adakah Keadilan ?
41 Desember 2006 Masihkah ada ASA
( 127 )
Tandiono Bawor Purbaya, SH, Menjadi PBH LBH Semarang sejak lulus dari FH UNDIP di tahun 1998. Memulainya sebagai volunteer di Divisi Buruh, sejak tahun 2005 dipercaya menjadi Direktur LBH Semarang. Dalam kesehariannya berpenampilan bersahaja, dan memiliki ide-ide yang sulit untuk ditulisnya. Namun ia telah berhasil merefleksikan pengalaman advokasinya dalam 2 buku yaitu “Bermain Kayu Pembangunan” dan “Nelayan, Meninggalkan Titik Nol”. Secara khusus, penggemar buku ini memiliki ketrampilan dalam ADR. Bapak dari seorang anak ini percaya bahwa kalau mau, pasti BISA !!! Hendro Agung Wibowo, SH, laki-laki bertubuh subur ini menjadi PBH LBH Semarang sejak lulus dari USM. Ia memulainya sebagai volunter di Divisi Buruh dan saat ini menjabat sebagai Kepala Operasional sekaligus merangkap sebagai Koki di kantor LBH. Sempat mengalami pahit getir diupah seperti buruh selama 1 tahun di Ungaran. Pengalaman dalam melakukan pendidikan terhadap buruh direfleksikan dengan menulis buku Hak-Hak Buruh yang menjadi buku pegangan dalam diskusi-diskusi kaum buruh. Sebagai Advokat Publik, ia menjadi salah satu advokat yang paling diandalkan dalam penangganan kasus.
( 128 )
Siti Rakhma Mary Herwati,SH adalah satusatunya perempuan di jajaran pimpinan dan PBH LBH Semarang. Alumnus UNDIP ini sejak awal telah memilih Petani sebagai mitra pengabdiannya. Tak mengherankan ia memahami permasalahan hukum dan konflik agraria dengan sangat matang. Banyak judul buku yang sudah dihasilkan dari hasil renungan pengabdiannya. Selain itu ia adalah salah satu advokat andalan LBH Semarang, yang pantang menyerah terhadap segala perilaku mafia aparat penegak hukum Saat ini ia menempuh pendidikan S-2 dari Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA. Perempuan yang memiliki hoby teater ini secara tidak langsung menjadi ibu bagi LBH Semarang, dan mbokne serta mbakyu bagi kawan-kawannya petani. Sukarman, A.Md, adalah sosok yang luar biasa di LBH Semarang. Memulai bergabung sebagai penjaga malam, dan kemudian berproses menjadi staff lingkungan hidup, nelayan dan masyarakat pesisir. Kemauan keras dibuktikannya pula dengan melanjutkan pendidikan S-1 Ilmu Hukum di UNISBANK. Mempunyai keahlian khusus di bidang ilmu dan hukum lingkungan. Pembawaannya yang law profile, membuat bapak satu anak ini dapat diterima berbagai kalangan.
( 129 )
Slamet Hariyanto, SH lulusan UNISULLA ini menjadi PBH di Divisi Miskin Kota LBH Semarang. Aktivitasnya tidak jauh dari advokasi penggusuran PKL dan KMK lainnya, hingga ia sangat memahami peraturan daerah dan seluk beluk lainnya tentang PKL. Secara khusus ia memiliki ketrampilan dalam melakukan analisa APBD, yang membantunya dalam advokasi kebijakan. Walau dekat dengan kekuasaan, ia tetap merupakan sosok yang setia dan bgersahaja terhadap nilainilai perjuangan LBH dan kode etik PBH, seperti kesetiaannya pada calon pasangan hidupnya. Agus Suprihanto, SH adalah laki-laki yang pendiam ini menjadi PBH di Divisi Tanah/Petani. Ia menjadi garda terdepan dalam advokasi konflik agraria, dan rajin untuk belajar semua hal, kapasitasnya di dalam pendokumentasian sudah dituang kan dalam satu buku tentang fair trial. Saat ini ia mendapatkan kesempatan Beasiswa double degree di Magister Ilmu Politik UNDIP yang membutuhkan konsentrasi. Sehingga di tahun 2007, ia tidak bersama LBH Semarang.
Muhnur, SH adalah PBH termuda di LBH Semarang. Dengan julukan MN DM, Saat ini menjadi PBH di Divisi Buruh. Alumnus USM ini tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian Advokat, dan sebagai PBH Termuda ia cukup cepat belajar dan rajin untuk tebar pesona. Hal ini terlihat dari kerajinannya untuk menuliskan ide-idenya.
( 130 )
Yuniarto, S.Sos atau biasa dipanggil Yuyun, menjadi karyawan LBH Semarang sejak tahun 1996, menyelesaikan S-1 FISIP UNTAG dengan predikat Cumlaude dan kini menjadi administrasi dan pengelola perpustakaan LBH Semarang dan mengelola Koperasi Simpan Pinjam. Laki-laki lajang ini merupakan sosok yang taat beribadah dan berpegang teguh pada keyakinannya.
Slamet Riyadi, adalah karyawan yang paling senior di LBH Semarang. Selain menjalankan tugas-tugasnya, laki-laki yang bisa melihat dunia lain ini menjadi “orangtua” bagi PBH LBH Semarang. Kehliannya dalam mencari Seafood berpasangan dengan sang ‘chief’ Hendro menjadikan suasana LBH Semarang menjadi keluarga yang hangat . Scholastika Tirama, biasa dipanggil Mba Ama adalah karyawan bidang keuangan. Bertugas mengelola keuangan LBH Semarang di tengah rumit proses pertanggungjawaban keuangan dan minimnya dana. Perempuan lajang ini memiliki jiwa enteurpeurnership dan sama seperti yang lainnya ia bersemangat untuk melanjutkan pendidikan.
( 131 )