Gambaran Reformasi TNI Dalam UU TNI

Page 1

Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

sebuah analisis kebijakan di Indonesia, tim Imparsial, the Indonesian Human Rights Monitor Desember 2004


Daftar Isi

Daftar Isi

Hal II

Bab I

Pendahuluan

Hal 1

Bab II

Catatan RUU TNI

Hal 3

Bab III

Analisis Komparasi: TNI Dulu hingga Kini

Hal 11

Bab IV

UU TNI: Reformasi Setengah Hati

Hal 22

Bab V

Kesimpulan dan Rekomendasi

Hal 26

Sumber bacaan

Hal 27


Bab I

Pendahuluan Pemerintah pada 30 Juni 2004 mengajukan RUU TNI ke DPR. RUU ini banyak melahirkan pertanyaan dan spekulasi politik karena masa pembahasannya praktis hanya 45 hari, ditambah lagi dengan konsentrasi nasional saat itu tercurah pada pemilihan presiden tahap II. Salah satu dampak dari wacana RUU ini adalah terpojoknya Presiden Megawati yang juga salah seorang calon presiden pada Pemilu putaran kedua. Dampak ini akhirnya juga mengingatkan publik bahwa calon presiden yang lain, Jenderal (purn) Soesilo Bambang Yudoyono, juga setali tiga uang. Soalnya, ia pun bermasalah karena ikut andil dalam masuknya beberapa pasal kontroversial, terutama tentang komando teritorial. Kemudian timbul pertanyaan, apa agenda menarik militer di wilayah politik, serta apakah proses pembentukan kontrol sipil atas militer telah melayang dari agenda politik nasional? RUU yang disambut secara kontroversial di kalangan publik itu akhirnya memang dibahas di DPR, dengan mengangkat beberapa perdebatan fundamental. Mulai dari persoalan hubungan Presiden dan DPR dengan TNI, sampai persoalan komando teritorial dan peran kekaryaan TNI. Isu-isu semacam ini tampaknya tidak saja dominan dalam pembahasan RUU TNI, tapi selalu berulang ketika terjadi perdebatan mengenai bagaimana TNI harus ditempatkan sebagai satuan militer, bukan sebagai subyek politik. Sebagai sebuah produk politik – terlepas dari apakah akan berubah atau tidak dalam pembahasan DPR – RUU TNI perlu dilihat sebagai sebuah gagasan politik yang menempatkan TNI dalam posisi dan latar sejarah pertarungan politik Indonesia. Pasalnya, kontroversi mengenai bagaimana TNI harus diatur bukankah hal baru. Kontroversi ini lebih diwarnai oleh perdebatan mengenai kecenderungan status quo terhadap posisi TNI yang kemudian dipahami publik sebagai upaya pengembalian posisi TNI pada kerangka politik Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal (purn) TNI Soeharto. Di arena publik kita juga menyaksikan secara terbuka bagaimana perdebatan RUU ini menghadapkan sebagian kalangan masyarakat sipil dengan kalangan TNI secara diametral. Sebagai institusi non-politik, TNI justru menjadi agen utama yang bertarung secara politik untuk RUU ini. Kondisi ini menjadi aneh mengingat RUU ini diajukan oleh Pemerintahan sipil dan dalam ruang lingkup sistem demokrasi yang sangat terbuka. Ujungnya memang dapat ditebak, bahwa RUU ini merupakan pertarungan politik TNI ketimbang pertarungan konseptual antara kekuatan-kekuatan sipil dalam menata sistem pertahanan. Tulisan ini tidak hanya dimaksudkan untuk menguraikan berbagai kelemahan di dalam RUU TNI, tetapi juga lebih bertujuan untuk mencari jawaban dan makna mengapa RUU semacam ini lahir. Jawaban itu diupayakan dicari dari sejarah berbagai produk hukum di republik ini, serta menemukan model dan latar politik yang dipertahankan dalam RUU TNI. Hal ini menjadi penting untuk memahami hambatan utama dalam upaya perubahan


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

politik nasional, khususnya yang berkaitan dengan TNI, dan seperti apa ancaman rezim yang dicoba dihidupkan atau dipertahankan oleh gagasan RUU ini. Selain itu, juga penting untuk mencari ukuran atau barometer pencapaian perubahan politik nasional, khususnya dalam menarik militer dari wilayah politik serta membangun kontrol sipil atas militer, atau dalam menghadapi tantangan konkrit yang justru datang dari kalangan militer. Metode penulisan ini menggunakan kerangka analisis komparatif terhadap berbagai produk hukum dalam sejarah Indonesia. Kerangka ini dimaksudkan untuk mengukur hubungan pertarungan politik masa lalu dan kini yang berkaitan dengan posisi militer. Perbandingan yang bersifat normatif ini akan membantu memahami watak berbagai subyek politik yang membentuknya. Pada bagian akhir pembahasan, tulisan ini mencoba menyikapi secara kritis beberapa persoalan mendasar yang tetap dipertahankan dalam UU TNI. Kendati telah mengalami beberapa perubahan mendasar, namun RUU TNI yang telah disahkan menjadi UU TNI pada 30 September 2004 itu masih memberi peluang bagi TNI untuk berpolitik dan dapat bertindak secara otonom.

2


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

Bab II

Catatan RUU TNI A. Kritik terhadap RUU TNI Munculnya RUU TNI yang bersamaan dengan proses Pemilu 2004 telah membawa kerumitan dan kekhawatiran tersendiri bagi keberlangsungan proses transisi demokrasi. Di tengah lemahnya konsolidasi sipil dalam menata kehidupan berpolitik yang demokratis – tidak hanya sebatas prosedural – RUU TNI hadir dengan berbagai kelemahannya, dan cenderung ingin mengembalikan peran dan fungsi TNI seperti masa lalu. Berikut beberapa kelemahan dan permasalahan dalam RUU TNI. 1. Ketiadaan Prinsip Supremasi Sipil a. RUU TNI telah menempatkan institusi TNI menjadi kesatuan yang otonom yang dapat bertindak tanpa harus ada keputusan dari otoritas politik. Dengan mengatasnamakan tugas pokok yang berkaitan dengan pembinaan teritorial (Pasal 8 ayat 2), TNI dapat bertindak tanpa harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari otoritas politik, karena tugas pokok TNI yang fungsinya pembinaan teritorial itu tidak diatur dalam Undang-Undang Pertahanan. Padahal, tugas-tugas TNI yang meliputi tugas pokok TNI dan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang) sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No. 3/2002 baru dapat dilaksanakan bila ada keputusan dari otoritas politik. Dengan adanya tugas pokok TNI dalam pembinaan teritorial, bisa saja TNI menyatakan bahwa keinginannya untuk menyelesaikan konflik Aceh–Ambon–Poso atau konflik perburuhan–sengketa tanah merupakan bagian dari tugas pokok TNI dalam pembinaan teritorial, dalam rangka kemanunggalan TNI dengan rakyat. TNI merasa berhak melaksanakan operasi militer atau turut campur dalam persoalan tersebut tanpa harus ada keputusan dari otoritas politik. b. Keinginan untuk memberi ruang bagi TNI agar dapat bekerja sama dengan lembaga, badan serta instansi di dalam negeri (Pasal 64) adalah keinginan yang akan cenderung menempatkan TNI sebagai institusi yang otonom yang dapat bertindak sebagai pelaku politik maupun pelaku ekonomi. Kewenangan kerja sama tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik-praktik penyimpangan yang dilakukan TNI, seperti pernah terjadi dalam kasus kerjasama TNI-AL dengan Pemda untuk pengadaan kapal yang akan digunakan TNI-AL, kasus pengadaan peralatan intelejen dari Pemda DKI untuk Kodam Jaya, dan lain-lain. Seharusnya sebagai alat pertahanan negara, tugas-tugas kerja sama dengan lembaga, badan dan instansi di dalam negeri dilakukan oleh Departemen Pertahanan, bukan oleh TNI sebagaimana tercermin dalam UU Pertahanan khususnya Pasal 16 point 7.

3


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

2. Tidak Mencerminkan Keharusan Membangun TNI yang Profesional tetapi Justru Melemahkannya a. Konsep jati diri TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 sama sekali tidak mencerminkan keharusan untuk membangun militer yang profesional. Konsep tersebut lebih bersifat jargonis dan bermakna politis. Konsep jati diri TNI seharusnya lebih bervisi ke depan serta dapat mendefinisikan dan meletakkan institusi TNI sebagai institusi yang profesional dalam bidangnya. b. Banyaknya markas besar TNI telah mengakibatkan sulitnya membangun satu kesatuan organisasi TNI yang dapat bekerja secara efektif dan efisien (Pasal 13). Adanya markas besar di masing-masing angkatan telah melemahkan upaya TNI untuk melaksanakan koordinasi yang efektif dalam menjaga wilayah pertahanan negara. Seolah-olah penjagaan pertahanan negara dilakukan oleh masing-masing angkatan dan dikaplingkapling sesuai dengan ancaman masing-masing. Padahal hubungan antar angkatan dalam menghadapi ancaman seharusnya terintegratif dan tidak terpisah serta disesuaikan dengan arah perencanaan sistem pertahanan dan kebijakan pertahanan negara. Perlu dipikirkan arah pembangunan integrated armed forces yang memang menjadi arah pengembangan sistem pertahanan modern, sebagaimana tercermin dalam UU No. 3/2002 khususnya Pasal 5 yang menyatakan bahwa “Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah NKRI sebagai satu kesatuan pertahanan.� c. Proses pengangkatan Panglima TNI yang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan DPR cenderung melemahkan profesionalisme TNI (Pasal 14). Proses pengangkatan panglima TNI yang harus mendapat persetujuan DPR telah menggiring TNI, khususnya perwira tinggi TNI, untuk lebih mendekatkan dirinya kepada partai politik agar didukung menjadi Panglima TNI oleh perwakilannya di DPR. Kondisi ini cenderung mendorong posisi TNI, khususnya perwira tinggi TNI, untuk lebih berorientasi politik, ketimbang lebih berorientasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional. Proses pengangkatan tersebut telah menjadikan jabatan Panglima TNI menjadi jabatan politis. Upaya mengangkat panglima TNI cenderung menjadi komoditas politik parpol dan TNI, yang masing-masing pihak harus memberi kontribusi secara timbal balik. TNI, khususnya perwira tinggi TNI, akan melakukan kerja-kerja ataupun kontribusi lainnya untuk kepentingan parpol yang didekatinya. Sebagai timbal baliknya, partai politik melalui perwakilannya di parlemen akan lebih berupaya memilih Panglima TNI secara subyektif dengan tolak ukur kepentingan yang diperoleh parpolnya. Dengan demikian, pemilihan Panglima TNI bukan diukur secara obyektif, dengan melihat track record dan kompetensi calon. Proses pengangkatan Panglima TNI seharusnya langsung dipilih oleh Presiden. DPR hanya bertugas sebatas melakukan evaluasi terhadap Presiden dan Menteri Pertahanan yang berkaitan dengan tugas-tugas TNI dan Panglima TNI. Keinginan untuk merubah mekanisme pengangkatan Panglima TNI ini tentu harus mengkaji ulang terlebih dahulu Tap MPR No. VI dan VII tahun 2000 dan UU No. 3 tahun 2002, yang di dalamnya mengatur bahwa mekanisme pengangkatan TNI masih harus mendapat persetujuan DPR. 3. Memberi Justifikasi dan Ruang bagi TNI untuk Berpolitik

4


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

a. Konsep jati diri TNI sebagaimana termaktub dalam Pasal 2, sebenarnya lebih bersifat jargonis yang bermakna politis. Konsep ini adalah bagian dari upaya justifikasi TNI untuk tetap mempertahankan kehendaknya untuk berpolitik. Dalam konteks negara yang demokratis, hubungan TNI dengan rakyat tidak bersifat manunggal dan menyatu, karena hubungan TNI dengan rakyat dibatasi oleh keberadaan otoritas politik. TNI tidak bisa dan tidak boleh menyamakan dirinya seperti otoritas politik atau seperti partai politik yang hubungannya langsung dengan rakyat. Sebagai alat pertahanan negara, hubungan TNI dan rakyat yang berkaitan dengan pembelaan negara atau tugas lain TNI hanya bisa dilakukan bila ada keputusan dari otoritas politik. Hal ini merupakan syarat dalam membangun sistem kenegaraan yang demokratis, yang mengharuskan adanya garis batas yang jelas dan tegas antara TNI dan politik. b. Kedudukan TNI yang langsung di bawah presiden telah memberi ruang bagi TNI untuk berpolitik (Pasal 4). Dengan kedudukannya yang sejajar dengan Kabinet, TNI dapat turut campur dalam menentukan kebijakan politik negara, yang sebenarnya murni menjadi kewenangan pemerintah. Sebagai alat pertahanan negara, TNI seharusnya hanya menjalankan saja keputusan pemerintahan, seperti diatur dalam Pasal 10 UU No. 3/2002 (TNI bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara), bukan turut menentukan kebijakan pertahanan negara. Yang berhak merepresentasikan TNI dalam ikut serta merumuskan penentuan kebijakan pertahanan negara adalah Departemen Pertahanan sebagai institusi yang membawahi TNI, seperti diatur dalam Pasal 16 UU No. 3/2002. Selain itu, bila TNI ingin mewarnai kebijakan, dapat dilakukan melalui panglima TNI yang berkedudukan sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU No. 3/2002. 4. Mengurangi dan Mengambil Alih Kewenangan Presiden a. Pasal 4 RUU TNI telah mengurangi kewenangan Presiden dalam mengendalikan institusi TNI. Pasal ini menggabungkan dua hal yang berbeda yakni antara penggunaan kekuatan dengan kedudukan TNI dengan Presiden. Dengan demikian, pasal ini cenderung ambigu dan cenderung membatasi otoritas politik dalam upayanya mengontrol TNI. Berdasarkan pasal tersebut, TNI hanya berada di bawah kendali Presiden bila berkaitan dengan penggunaan kekuatan (gunkuat). Sedangkan dalam hal “pembinaan� dan “pembangunan� kekuatan (binkuat dan bangkuat) tidak menjadi urusan yang harus dikendalikan presiden. Padahal sebagai alat pertahanan negara, TNI sesungguhnya dikendalikan oleh otoritas politik, baik itu pengendalian yang berkaitan dengan gunkuat maupun dengan binkuat dan bangkuat. b. RUU TNI telah mengambil alih kewenangan yang seharusnya dimiliki Presiden dan kemudian diserahkan kepada Panglima TNI. Hal ini terlihat dari adanya kewenangan yang diberikan kepada Panglima TNI untuk menyelenggarakan komponen cadangan dan komponen pendukung guna dimobilisasi dalam operasi militer, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 poin j dan k RUU TNI. Padahal kewenangan menyelenggarakan komponen cadangan dan pendukung tersebut otoritasnya dipegang oleh Presiden, sebagaimana tercermin dalam UU No. 3/2002.

5


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Selain itu, pengambilalihan kewenangan Presiden untuk selanjutnya diserahkan kepada panglima TNI juga terdapat dalam Pasal 20 RUU TNI. Hal itu terlihat dari adanya kewenangan yang diberikan kepada Panglima TNI untuk mengerahkan kekuatan TNI. Padahal, kewenangan pengerahan kekuatan TNI hanya dimiliki oleh Presiden, sedangkan Panglima TNI hanya memiliki kewenangan menggunaan kekuatan TNI, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Pertahanan No. 3/2002. 5. Menimbulkan Tumpang Tindih Fungsi dan Tugas antara TNI-Polri Dengan dilegitimasinya fungsi pembinaan teritorial TNI di dalam RUU TNI (Pasal 8 ayat 2), akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan struktur antara TNI dan Polisi yang berkaitan dengan pengamanan dalam negeri. Dengan tafsir yang luas tentang fungsinya dalam “mewujudkan kemanunggalan TNI dengan rakyat” dan “tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan”, maka TNI dapat menafsirkan bahwa ancaman yang sifatnya domestik merupakan bagian dari tugas pokok TNI dalam melakukan “pembinaan teritorial”. Padahal, bila mengacu kepada UU Pertahanan dan Kepolisian, fungsi keamanan dalam negeri kewenangannya ada di tangan Polisi, dan TNI hanya berfungsi dalam bidang pertahanan. TNI hanya boleh menjaga keamanan dalam negeri jika diminta oleh otoritas politik atas nama tugas perbantuan. 6. Melegalkan Struktur Teritorial TNI dan Fungsi Kekaryaan TNI (Dwifungsi TNI) a. Dengan dijadikannya pembinaan teritorial sebagai bagian tugas pokok TNI (Pasal 8 ayat 2 khusunya Pasal 9 point d), maka secara tidak langsung struktur teritorial TNI akan menjadi struktur yang permanen. Karena, selama ini salah satu tugas komando teritorial (Koter) tersebut adalah melaksanakan pembinaan teritorial. Struktur teritorial seharusnya tidak untuk dipermanenkan dan dilembagakan, karena struktur teritorial merupakan bagian dari konteks gelar pasukan yang kebutuhannya disesuaikan dengan timbulnya ancaman terhadap negara yang sifatnya dinamis dan selalu berubah. Pembakuan Koter akan mempersulit pengembangan postur pertahanan yang sesuai dengan tantangan keamanan nasional dan kebutuhan pertahanan. Pembakuan tersebut, mengakibatkan kemampuan pertahanan Indonesia tidak akan pernah beranjak maju ke arah yang lebih modern. b. Pasal 45 secara jelas-jelas dan terang-terangan ingin mengembalikan peran kekaryaan TNI yang merupakan bagian dari konsep Dwi Fungsi TNI yang dahulu sudah dihapus. Pasal ini memberikan legitimasi bagi prajurit aktif untuk dapat menduduki jabatanjabatan struktural, baik dalam departemen maupun kelembagaan lain di bawah departemen, seperti jabatan di dalam kabinet yang memiliki departemen maupun tidak, pemerintahan daerah baik di tingkat I ataupun II, dan jabatan lainnya. Seharusnya prajurit aktif hanya boleh menjabat di Departemen Pertahanan. 7. Menimbulkan Kerancuan di dalam Tugas-tugas TNI a. RUU TNI tidak dapat mengatur dan membedakan tugas-tugas yang seharusnya di lakukan TNI, apakah itu tugas pokok ataukah tugas perbantuan TNI (Pasal 8 ayat 2). Tugas pokok TNI adalah mempertahankan kedaulatan negara melalui operasi militer untuk perang, sedangkan operasi militer selain perang bukanlah tugas pokok TNI, melainkan tugas perbantuan TNI. Itupun pelaksanaan kedua tugas tersebut baru dapat 6


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

dilakukan bila ada keputusan dari otoritas politik dalam bentuk kebijakan pertahanan negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 3/2002, khususnya Pasal 10 ayat 3 . b. Pelaksanaan pembinaan teritorial (Pasal 8 ayat 2) bukanlah bagian dari tugas pokok TNI dan seharusnya tidak diatur dalam undang-undang, karena tugas pembinaan teritorial selayaknya diatur dalam kebijakan Departemen Pertahanan. Selain itu pembinaan tersebut harus mengacu kepada perencanaan sistem pertahanan negara, khususnya dalam hal pengembangan kekuatan TNI. Upaya untuk mempermanenkan pembinaan teritorial di dalam undang-undang akan menimbulkan kekacauan dalam perencanaan pertahanan negara. 8. Menimbulkan Peluang Terjadinya Kontradiksi antara TNI dan Departemen Pertahanan Adanya kewenangan bagi TNI untuk memberikan pertimbangan kepada Dephan cenderung mengakibatkan terjadinya peluang kontradiski antara Departemen Pertahanan dan TNI (Pasal 16 point g, h dan i). Kontradiksi itu bisa muncul bila di antara kedua institusi tersebut terjadi perbedaan pandangan dan konsep yang berkaitan dengan penentuan kebijakan pertahanan, pemenuhan kebutuhan TNI dan komponen pertahanan lainnya, dan perencanaan strategis pengelolaaan sumber daya nasional (poin g, h dan i). Posisi TNI yang dapat memberikan pertimbangan kepada menteri sebenarnya telah menempatkan TNI untuk dapat juga menentukan arah kebijakan pertahanan. Sehingga kata pertimbangan di dalam pasal ini telah membuat TNI memiliki daya tawar terhadap Kabinet, khususnya menteri pertahanan. Sebagai alat pertahanan negara, fungsi TNI seharusnya hanya untuk melaksanakan tugastugas yang diembannya sebagaimana diatur oleh undang-undang dan sesuai dengan perencanaan pertahanan negara yang tertuang dalam kebijakan pertahanan negara. Panglima TNI sebenarnya dapat mewarnai kebijakan pertahanan negara melalui kedudukannya di dalam Dewan Pertahanan Nasional yang dipimpin Presiden dan dengan tugas sebatas memberikan nasihat kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU No. 3/2002. 9. Tumpang Tindih Pengaturan Anggaran TNI dan Ketiadaan Pengaturan untuk Membatasi Bisnis-bisnis TNI a. Aturan tentang pembiayaan TNI dalam anggaran pertahanan negara di dalam APBN sebaiknya tidak usah diatur dalam Pasal 63 RUU ini. Pengaturan tentang pembiayaan pertahanan negara telah diatur dalam UU No. 3/2002, khususnya pasal 25, dan juga telah diatur di dalam setiap penentuan kebijakan anggaran belanja negara yang setiap tahun selalu berubah. b. Aturan tentang pembiayaan TNI seharusnya lebih difokuskan pada masalah pengaturan tentang praktik-praktik bisnis yang dilakukan oleh TNI. Sudah seharusnya di dalam RUU TNI ini, bisnis-bisnis yang dilakukan oleh TNI dibatasi atau dihapuskan serta segera diambil alih Negara. Sebagai alat pertahanan negara dan dalam upaya membentuk militer yang profesional, sudah seharusnya TNI hanya bekerja dalam bidang yang memang menjadi kompetensinya dengan mengacu pada Tap MPR No. VIdan VII 2000 yang menyatakan bahwa tugas TNI adalah menjaga wilayah pertahanan negara. Dengan

7


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

demikian, TNI tidak boleh dan tidak bisa melakukan tugas di luar bidangnya, dalam hal ini memiliki dan mengelola bisnis. 10. Memperkuat Proses Lingkaran Impunity dan Memberi Ruang Terjadinya Pelanggaran HAM a. Pasal 8 ayat 2 RUU TNI yang memperbolehkan TNI bertindak tanpa ada keputusan dari otoritas politik dengan mengatasnamakan pembinaan teritorial bisa berkonsekuensi pada tiadanya pertanggungjawaban otoritas politik terhadap tugas yang dilakukan TNI, terlebih lagi bila TNI melakukan penyimpangan dalam tugasnya. Otoritas politik dapat mengelak terhadap tindakan dan penyimpangan yang dilakukan TNI, dengan alasan bahwa tindakan dan penyimpangan tersebut bukan atas keputusan dari otoritas politik, melainkan atas kehendak TNI sendiri dengan mengatasnamakan pembinaan teritorial. Kondisi ini tentu akan mengancam posisi masyarakat yang menjadi korban dari tindakan penyimpangan yang dilakukan TNI, serta membuka peluang terjadinya proses impunity terhadap penyimpangan yang dilakukan. b. Banyaknya pasal yang lemah dalam RUU TNI dan dilegalkannya peran komando teritorial dengan mengatasnamakan pembinaan teritorial, serta kembalinya TNI turut campur dalam permasalahan domestik tanpa harus mendapatkan persetujuan otoritas politik, memberikan peluang besar bagi TNI untuk kembali menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Sudah barang tentu kecenderungannya akan menjurus ke arah terjadinya pelanggaran HAM. 11. Mencampur-adukkan Pengaturan tentang Institusi TNI dan Keprajuritan Pasal 21 - 62 Bab V tentang keprajuritan sebaiknya dihapus, karena bab ini seharusnya diatur tersendiri dalam undang-undang tentang keprajuritan, yang isinya mengatur masalah proses penerimaan prajurit, kesejahteraan prajurit, sumpah prajurit, dan masalah lain yang terkait dengan keprajuritan. Sebelum ada undang-undang keprajuritan yang baru, untuk sementara waktu pengaturan keprajuritan dapat mengacu pada UU Keprajuritan No. 2/1988.

B. Respon Elit Politik terhadap RUU TNI Dengan alasan memberikan kesempatan terakhir kepada Fraksi TNI/Polri, DPR akhirnya membahas RUU TNI yang diajukan oleh Pemerintah. Dengan batas waktu yang sangat minim, DPR menetapkan jadwal kerja pembahasan RUU TNI agar dapat selesai dan segera disahkan sebelum masa jabatan DPR periode 1999-2004 berakhir. Sikap tergesa-gesa anggota DPR untuk membahas dan mengesahkan RUU TNI tersebut terang saja disambut dengan penolakan berbagai komponen masyarakat. Alasan penolakan tidak hanya didasarkan pada sempitnya waktu pembahasan RUU TNI di DPR, tetapi juga karena banyaknya pasal bermasalah dalam RUU TNI yang berpotensi mengembalikan fungsi sosial-politik TNI (Dwi Fungsi).

8


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

Sikap Awal Elit Politik terhadap RUU TNI No 1

2

3

Elit Politik Megawati Soekarnoputri (Presiden RI) Amri Fuad Hasan, Wakil Ketua Komisi I DPR Marsekal Muda Pieter L.D. Wattimena (Dirjen Kuathan)

Sikap Mendukung RUU TNI dengan mengajukannya kepada DPR pada 30 Juni 2004. Menyatakan dukungan terhadap pembahasan RUU TNI, dengan alasan untuk memberi kesempatan terakhir kali kepada Fraksi TNI. Meminta agar Rancangan UU TNI dibahas oleh DPR periode sekarang karena sudah menjadi amanat konstitusi. Penangguhan pembahasan hingga terbentuknya DPR periode 2004-2009 dinilainya tidak tepat.

Sumber Kompas, 16 Agustus 2004. Media Indonesia Online, 3 Agustus 2004.

TEMPO Interaktif, Senin, 19 Juli 2004.

Pengamat militer CSIS, Dr. Kusnanto Anggoro, menangkap kesan bahwa RUU TNI anti profesionalisme. Menurutnya, dengan materi RUU yang ada, TNI tak bisa menjadi profesional dan sistem pertahanan Indonesia tidak pernah bisa dimodernisasi.1 Sementara itu, Koalisi Rakyat Tolak RUU TNI yang terdiri dari gabungan 30 LSM-Mahasiswa, menyatakan bahwa RUU TNI dapat menjadi dasar hukum bagi penguatan Koter, padahal pada praktiknya Koter sering kali menjadi backing pemilik modal atau pengusaha. Dengan demikian, Koter selayaknya tidak untuk dilegalisasi di dalam RUU TNI dan seharusnya dihapuskan.2 Adanya reaksi masyarakat terhadap RUU TNI, justru disikapi secara keras dan negatif oleh pejabat teras TNI. Kepala Staf AD misalnya menuding bahwa munculnya penolakan masyarakat terhadap pembahasan RUU TNI merupakan indikasi adanya skenario atau intervensi asing yang ingin memecah belah bangsa Indonesia hingga menjadi bangsa yang lemah.3 Sebaliknya, semakin menguatnya penolakan masyarakat terhadap RUU TNI, telah mendorong terjadinya pergeseran sikap elit politik, khususya anggota DPR. Pergeseran tersebut mengarah pada perubahan sikap yang semula menerima dan mendukung RUU TNI, tetapi kemudian balik mengkritik dan menolaknya. Beberapa elit politik mulai bersikap lunak, tidak memaksakan diri, dan mencoba lebih bersikap hati-hati dalam menanggapi tuntutan masyarakat mengenai RUU TNI. Hal itu dapat dilihat dalam pandangan dan penilaian beberapa Fraksi di DPR terhadap RUU TNI yang secara kritis dan tegas menolak adanya sejumlah pasal bermasalah.

1

Kompas, 03 Agustus 2004. Kompas, 30 Juli 2004. 3 Kompas, 27 Juli 2004. 2

9


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Sikap Fraksi DPR terhadap RUU TNI pada 23 Agustus 2004 Fraksi PDI-P Golkar PPP PKB Reform TNI/Polisi

Fungsi Teritorial TNI Menolak Belum Diputuskan Menolak Menolak Belum Diputuskan Setuju

TNI di bawah Menteri Pertahanan Setuju Setuju Setuju Setuju Setuju Menolak

Kekaryaan dalam Birokrasi Harus mengundurkan diri Harus mengundurkan diri Harus mengundurkan diri Harus mengundurkan diri Menolak Setuju

Sumber: the Jakarta Post, 24 Agustus 2004.

Berubah-ubahnya sikap elit politik seperti di atas, dari semula menerima dan mendukung kemudian mengkritik dan menolak RUU TNI, merupakan bukti sikap elit politik yang oportunis. Sikap awal elite politik yang mendukung pembahasan RUU TNI dengan alasan memberi kesempatan terakhir kepada Fraksi TNI/Polri adalah argumentasi yang mengandung cacat, karena telah menempatkan pembahasan RUU TNI sebagai insentif politik bagi TNI/Polri yang segera akan meninggalkan DPR. Seharusnya pembahasan RUU TNI lebih didasarkan pada adanya kepentingan otoritas politik untuk membangun istitusi TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional dalam kerangka sistem politik demokrasi. Adanya perubahan sikap tersebut menjadi gambaran lemahnya otoritas politik dalam menata TNI lebih profesional dan sekaligus menunjukan bahwa elit politik sipil cenderung berpotensi melibatkan kembali militer ke dalam wilayah politik . Di sisi lain, munculnya resistensi TNI seperti ditunjukkan oleh KSAD dalam menanggapai reaksireaksi masyarakat terhadap RUU TNI, menjadi bukti bahwa TNI sesungguhnya memiliki kepentingan terhadap rumusan awal RUU TNI yang diajukan oleh Pemerintah ke DPR.

10


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

Bab III

Analisis Komparasi: TNI Dulu hingga Kini

A. Sejarah Politik-Hukum TNI Dalam catatan berbagai produk hukum yang dibuat sejak Republik ini berdiri, tarikmenarik posisi TNI dalam politik nasional berhubungan secara langsung dengan situasi politik kontekstual dan besarnya desakan keterlibatan TNI di dalam politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa dilegalisasinya kehendak TNI berpolitik dalam kebijakan masa lalu adalah hasil dorongan otoritas politik di satu sisi dan desakan TNI di sisi lain. Jadi bukan hal aneh jika saat inipun RUU TNI – yang hampir di setiap pasalnya bermasalah dan memberikan legitimasi baru bagi TNI untuk berpolitik – merupakan hasil dorongan pemerintahan sipil dan TNI. Dalam konteks inilah menjadi penting untuk kembali melihat sejarah politik-hukum TNI, baik yang berupa kebijakan hukum, doktrin, maupun konsep-konsep yang sering dituangkan dalam pidato-pidato perwira tinggi TNI. Hal ini berguna untuk menemukan model dan latar politik yang dicoba dipertahankan oleh gagasan RUU TNI. Ada empat persoalan mendasar dalam sejarah politik-hukum TNI yang harus dilihat kemunculan dan perkembangannya. Empat hal itu dalam sejarah militer Indonesia telah menjadi landasan yang memperkuat politik-ekonomi militer, yakni konsep manunggal dengan rakyat, fungsi kekaryaan, pembinaan teritorial-komando teritorial, dan bisnis militer. . a. Konsep Manunggal dengan Rakyat Konsep “manunggal dengan rakyat”, “tentara rakyat”, atau ”tentara pejuang” yang telah menjadi ciri khas jati diri TNI, lahir dari tafsir TNI atas perjuangannya di masa kemerdekaan. Kelahiran TNI di masa revolusi fisik (yang awalnya adalah Tentara Keamanan Rakyat/TKR) kemudian memberi watak dan kepribadian tersendiri pada angkatan perang Indonesia yang dilahirkan dari dan oleh rakyat.4 Secara formal, konsep jati diri TNI tersebut kemudian dituangkan dan menjadi salah satu bagian dari Doktrin Ubaya Cakti yang ditetapkan dalam Seminar Angkatan Darat I di Bandung, April 1965. Dalam doktrin itu disebutkan bahwa jati diri dan citra diri mereka adalah sebagai “anak revolusi, tentara rakyat, tentara pejuang” dan kekuatan “progresif revolusioner” yang salah satu tugasnya adalah membela sang saka merah putih hingga titik darah penghabisan, serta menjadi suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan militer yang berperan sebagai alat revolusi, alat demokrasi, dan alat kekuasaan negara.”5 4

Hidayat Mukmin, TNI dalam Politik Luar Negeri, Jakarta, Sinar Harapan, hal 43. Dikepungnya TNI-AD oleh Soekarno yang didukung PKI telah menjadi alasan dasar dilaksanakannya Seminar AD I di Bandung yang kemudian menghasilkan doktrin Tri Ubaya Cakti. Lihat dalam Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwi-Fungsi ABRI, Jakarta, Aksara Karunia, hal. 58-61. 5

11


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Kelahiran doktrin ini muncul saat politik militer/TNI-AD menguat, yakni pasca deklarasi “jalan tengah” oleh Nasution pada 1958 dan digunakannya kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada 1959 yang di dalamnya memberikan landasan konstitusional bagi peran politik militer. Wajar jika doktrin ini kemudian menjadi doktrin yang memperkokoh dan merinci peran politik tentara, yang sebelumnya telah dikemukakan Nasution di Magelang melalui konsep “Jalan Tengah”. Selanjutnya, konsep ABRI sebagai tentara rakyat juga dituangkan dalam Memorandum No. 9/TUG/1966 yang mendefinisikan istilah TNI sebagai berikut: “dalam arti yang luas TNI tidak hanya identik dengan ABRI saja, melainkan mencakup seluruh rakyat Indonesia yang berjuang………”.6 Konsep jati diri TNI itu kemudian menjadi sebuah konsep yang baku dan terus dipertahankan oleh tentara hingga kini. Beberapa kebijakan politik telah menjadikan konsep “tentara rakyat” dan “manunggal dengan rakyat” sebagai dasar TNI untuk berpolitik. Mislanya, Tap MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN mengukuhkan bahwa Dwi Fungsi merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Di antara bunyinya adalah “ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara”. Dalam perkembangannya, konsep “tentara rakyat” 7 “tentara pejuang” dan “manunggal dengan rakyat” telah menjadi pembenaran atas semua tindakan dan perilaku militer untuk masuk ke dalam wilayah politik ataupun bisnis. Seluruh pembenaran terhadap peran militer ini adalah bagian dari historical legitimacy TNI dalam politik.8 Definisi Jati diri TNI ini kemudian menjadi dasar bahwa TNI mempunyai hak bahkan wajib untuk berpolitik, dan menjadi prinsip dasar yang memperkokoh Dwi Fungsi ABRI. b. Fungsi Kekaryaan (Dwi Fungsi TNI) Fungsi kekaryaan TNI adalah bentuk tindak lanjut atau materialisasi dari fungsi TNI sebagai kekuatan sosial politik. Peran Sospol atau dwifungsi TNI tersebut mengacu kepada konsep “Jalan Tengah” seperti diungkapkan Nasution di Magelang pada 1958. Dalam perkembangannya doktrin ini telah berhasil menempatkan prajurit-prajurit aktif duduk hampir di seluruh lembaga-lembaga departemen dan non-departemen. Kendati diformalkan pada 1958, fungsi kekaryaan TNI sebenarnya telah dijalankan sejak 1957. Dalam keadaan darurat perang, sejumlah perwira militer saat itu sudah menduduki

6

Dephankam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Hankamneg; buku III, Dephankam, 1989, hal. 185. 7 Konsep bahwa TNI adalah tentara rakyat dan tentara pejuang yang membawa bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan dan terus menjadi komponen utama yang mempertahankan kemerdekaan adalah konsep yang patut dipertanyakan kembali. Sebab di pihak lain sejarah mengatakan bahwa penyerahan kedaulatan terjadi setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Hag, Belanda pada 1949. Dengan demikian pada dasarnya kemerdekaan yang hanya direbut dengan perang itu tidak terjadi, karena kalau terjadi maka orang seperti Kartosuwiryo-lah yang sesungguhnya pahlawan, karena dia tidak melakukan desersi, membangkang dan menolak meninggalkan Jawa barat. Lihat Daniel Separingga, “Politik Militer Indonesia dan Kolonialisme Internal” dalam Anas Machfudz dan Jaleswari Pramodhawardani, Military Without Militarism: Suara dari Daerah, Jakarta, Puslitbang Kemasyarakatan dan Kewilayahan LIPI, 2001, hal 143. 8 . Ibid, hal. 143.

12


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

jabatan-jabatan sipil, termasuk tiga orang yang menjadi menteri dalam Kabinet Karya bentukan Soekarno pada 9 April 1957.9 Pelibatan militer untuk masuk ke dalam wilayah sipil semakin diperkuat ketika Soekarno dalam pidatonya di Dewan Konstituante Bandung pada 22 April 1959 mengatakan, “ABRI merupakan golongan fungsional yang telah berjasa di masa lalu, sehingga wajar bila mereka duduk di dalam DPR akan datang.” Secara yuridis, pengakuan fungsi kekaryaan tersebut kembali diperkuat dan dilegalisasi ketika Nasution bersama masa pemuda serta anggota golongan karya lainnya yang dimobilisasi oleh tentara berhasil mendesak Presiden Soekarno mendeklarasikan berlakunya kembali UUD 1945.10 Kesediaan Soekarno itu di satu sisi telah menjadi momentum dan dasar bagi TNI bahwa fungsi sosial politik (sospol) TNI telah mendapat landasan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 45 yang membolehkan golongan fungsional11 untuk duduk di MPR. Dengan demikian, Dekrit Presiden 1959 telah memberikan legalitas yang lebih kuat bagi keterlibatan politik militer. Di sisi lain, dekrit merupakan cerminan dari semakin kuatnya kerjasama Soekarno 12 dengan militer yang sebelumnya telah dilakukan ketika ia berpidato di depan Dewan Konstituante pada November 1958. Relasi Soekarno-militer terus ditindaklanjuti dan dibarengi dengan terbentuknya sistem demokrasi yang terpimpin. Soekarno ketika itu menjadikan tentara sebagai salah satu pilar kekuatan yang menopang rezim terpimpinnya. Tidak heran bila saat itu konsep Dwifungsi kembali diperkuat melalui Tap MPRS No. II/MPRS/1960 dan lebih diperkokoh pada awal Orde Baru melalui Tap MPRS No. XXIV/MPRS/1966. Semasa pemerintahan Orde Baru, fungsi sospol TNI tetap dipertahankan. Bahkan kemudian diperkuat melalui pencantumannya dalam Tap MPR tentang GBHN Bab IV mengenai Pola Umum Pelita, dan sejak Tap MPR No. IV/1978 tentang GBHN dalam Bab II.13 Kendati fungsi sospol ABRI sudah memiliki landasan hukum yang cukup kuat, pemerintah masih menganggap perlu untuk mengaturnya secara eksplisit dalam undangundang. Barulah pada 1982 fungsi ABRI sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial (politik) diatur dalam UU No. 20 tahun 1982, khususnya tercantum dalam Pasal 26 dan 28. 9

Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang kemudian mendorong Nasution berani mengungkapkan Konsep “Jalan Tengah”-nya di Magelang pada November 1958. Dengan demikian pidato “Jalan Tengah” Nasution sesungguhnya hanya menjadi pembenaran terlibatnya tentara dalam urusan-urusan sipil. 10 Salim Said, Op.cit, hal. 40. 11 Mengacu kepada UU No. 80 tahun 1958, salah satu golongan fungsional tersebut adalah ABRI. Lihat dalam Soebijono dkk, Dwi fungsi ABRI, Yogyakarta, UGM Press, hal. 48. 12 Kendati beberapa pengamat menyatakan bahwa Soekarno sebenarnya ragu-ragu untuk melakukan dekrit dengan alasan ketidakmampuannya dalam mengontrol militer, namun fakta-fakta sebelumnya – penarikan militer duduk dalam kementerian, duduk dalam Dewan Nasional, pidatonya di Dewan Konstituante April 1959 – dan fakta sesudahnya – terbentuknya demokrasi yang terpimpin – mmenjadi bukti bahwa Soekarno juga berkepentingan terhadap Dekrit yang dilakukannya. 13 Ibid, hal. 48.

13


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Sikap pemerintahan Orde Baru yang tetap mempertahankan konsep sospol ABRI mencerminkan bahwa Soeharto juga memiliki kepentingan untuk melibatkan TNI masuk lebih jauh ke dalam wilayah politik. Tujuannya agar TNI dapat menjadi pilar kekuatan yang menopang rezim otoritarian yang dibentuknya. Selama kepemimpinan Soeharto terbukti bahwa TNI telah menjadi instrumen kontrol yang efektif dalam meredam kebebasan asasi rakyat. Dilegalisasinya peran sospol politik TNI di masa Orde Baru mendorong terjadinya invansi militer yang semakin deras ke dalam wilayah yang semula menjadi domain kaum sipil. Jabatan-jabatan dalam pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di daerah, semakin lama semakin banyak yang jatuh ke tangan militer. Pada 1977, misalnya, 53,5% jabatan tinggi negara diduduki tentara. Kemudian pada 1981, dalam laporannya pada rapat pimpinan ABRI di Ambon, Kepala Staf Kekaryaan Hankam, Letjen TNI M. Kharis Suhud menyebutkan bahwa ada 8.025 anggota ABRI yang ditugas-karyakan di posisiposisi strategis. Di antaranya ada yang menjabat duta besar, konsul jenderal, gubernur, bupati, sekjen di berbagai departemen, dirjen, irjen, kepala lembaga, asisten menteri dan sekretaris menteri.14 Pada masa pemerintahan Orde Baru, dominasi TNI dari tahun ke tahun terus bertambah dan merambah hampir di semua struktur kenegaraan dan birokrasi sipil. Dominasi ini baru berkurang setelah rezim Soeharto runtuh. c. Komando Teritorial (Koter) dan Pembinaan Teritorial (Binter) Lahirnya konsep teritorial TNI memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kelahirannya, nilai-nilai yang membentuk jati diri tentara, dan doktrin yang dianutnya. Sebagai lembaga yang lahir di masa awal kemerdekaan dan di tengah keharusan menangkal ancaman, baik yang datang dari dalam (pemberontakan) maupun dari luar (agresi militer), TNI membentuk struktur komando teritorial yang difungsikan sebagai bagian dari strategi militer, yang menempatkan perang gerilya sebagai strategi utamanya. Secara formal, proses institusionalisasi Koter mulai diatur melalui Perintah Operasional No. 1 November 1948 dengan membentuk Tujuh Tentara dan Teritorial (7T dan T), yang di dalamnya terdiri dari Korem dan Kodim. Perintah tersebut dikeluarkan menjelang serangan Belanda pada 1948.15 Pada 1957 hingga 1958, T&T diubah namanya menjadi Komando Daerah Militer (Kodam) yang terdiri dari 16 Kodam dan dilengkapi dengan Pembentukan perwira Distrik Militer dan Bintara Order Distrik Militer (SK No.KPTS/7318/1960). 16 Kendati konsep T&T diganti dengan model Kodam, namun fungsinya tetap sama, yakni komando-komando dengan kewenangan pembinaan teritorial yang luas. Proses intitusionalisasi Koter sebagai bagian dari perang gerilya sebenarnya hanya diperuntukkan sementara dan sifatnya tentatif. Namun seiring dengan menguatnya politik militer/TNI-AD pada1958-1959, yang ditandai dengan konsep “Jalan Tengah� sebagai dasar fungsi sospol TNI (Dwi Fungsi TNI) serta berhasilnya tentara mendesak Soekarno 14

Salim Said, Op. Cit., hal. 94. M. Riefqi Muna dkk., Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan Nasional, Jakarta, The Ridep Institute, hal. 22. 16 Lihat: Ibid hal.23 dan Cornelis Cornelis Lay dkk., Restrukturisasi Pertahanan Negara, Jakarta, Logos, hal. 1. 15

14


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

untuk melakukan Dekrit 5 Juli 1959,17 sifat dan tujuan konsep teritorial mulai bergeser. Konsep tersebut yang awalnya hanya tentatif, sifatnya menjadi permanen dengan ditandai terbentuknya doktrin perang teritorial TNI pada 1960-an. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep teritorial dilegalkan pada 15 September 1961 melalui SK Mabes AD No. D/MP/355/52. Sebagai pengembangan doktrin perang teritorial, pada 1962 Seskoad berhasil membentuk doktrin perang wilayah dan pembinaan wilayah yang terus dikembangkan sampai 1963.18 Sejalan dengan pengembangan doktrindoktrin tersebut, aparat teritorial juga disempurnakan dan disesuaikan dengan organisasi pemerintahan sipil terbaru. Di bawah Korem dan Kodim, dibentuk lagi Komando Rayon Militer (Koramil) yang berada di tingkat kecamatan. Sementara aparat militer terbawah adalah Bintara Pembina Desa atau Babinsa yang wilayah kerjanya di tingkat kelurahan dan desa. Menurut Guy J. Pauker,19 doktrin perang teritorial dan pembinaan teritorial mencakup lebih dari sekedar kebijakan pertahanan dalam pengertian militer murni. Implikasinya adalah mengatur hubungan sipil militer, bahkan merupakan sebuah filsafat politik yang mengarah pada memberi legitimasi makin pentingnya peran politik yang direncanakan akan dimainkan oleh perwira militer dalam segala sektor kehidupan publik di Indonesia. 20 Salah satu konsekuensi dari doktrin tersebut, demikian menurut Pauker, adalah keputusan TNI mendukung pemerintahan otoriter rezim Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno, yakni suatu rezim yang memberi kesempatan legal bagi tentara memainkan peran politik.21 Dengan doktrin tersebut, TNI akhirnya menciptakan sebuah pola baru hubungan sipilmiliter dalam semua tingkat pemerintahan, dari pusat hingga ke tingkat paling bawah. Upaya untuk mengembangkan doktrin perang teritorial oleh para perwira di Seskoad, menurut Pauker adalah upaya untuk “memformulasikan sebuah filsafat pemerintahan berdasarkan konsep militer mengenai hubungan sipil dan militer�.22 Pada masa Orde Baru konsep teritorial tidak diubah, bahkan justru menjadi salah satu bagian infrastruktur yang menopang rezim otoritarian Soeharto. Struktur serta unsurunsur teritorial di tingkat Kodam sampai Koramil dibebani tugas sospol, di antaranya melakukan seleksi calon bupati sampai lurah, penempatan anggota ABRI pada jabatanjabatan pemerintahan daerah, mendorong masyarakat agar memilih Golkar dalam Pemilu, dan menjadi salah satu penentu dalam memutuskan kebijakan-kebijakan di daerah melalui peran pimpinan Koter di dalam Muspida. Selain itu, Koter telah menjadi alat kekerasan yang bersifat legal untuk dijadikan alternatif utama dalam resolusi konflik dan penyelesaian berbagai persoalan sosial, seperti sengketa perburuhan, pertanahan, dan sebagainya.

17

Dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan kembalinya konstitusi negara pada UUD 1945, secara otomatis fungsi sosial politik TNI memiliki landasan konstitusional. 18 Riefqi Muna dkk., Op. Cit., hal. 24 dan Cornelis Lay, Op.cit, hal.1. 19 Guy J. Pauker adalah peneliti peran politik militer Indonesia yang juga konsultan pada Departemen Pertahanan AS. 20 Salim Said, Op. Cit., hal. 49. 21 Ibid, hal. 49. 22 Ibid, hal. 50.

15


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Praktek pelaksanaan konsep Koter dalam kenyataannya berjalan secara eksesif, terutama dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM, macetnya pengembangan demokrasi, dan keterlibatan TNI yang sangat intensif dalam berbagai aktivitas ekonomi.23 Sementara itu dari sudut pertahanan, konsep Koter telah memperkecil kemungkinan pengembangan doktrin dan strategi yang diperlukan sebagai dasar bagi pengembangan sistem pertahanan yang handal dan profesional. Stagnasi pengembangan doktrin dan strategi membawa implikasi pada penyusunan postur pertahanan yang heavy AD, sementara realitas obyektif perkembangan ancaman justru bercorak maritime-based threat. 24 Dominasi TNI-AD dan matra darat telah mematikan social capital angkatan lainnya dan sekaligus melahirkan persoalan psikologis yang tidak sehat dalam hubungan antar angkatan. Dari pengalaman Orde Baru dan fakta-fakta yang terjadi, Koter ternyata lebih banyak bertugas atau berkaitan dengan urusan-urusan politik daripada pertahanan. Dalam aspek pertahanan pun, Koter telah menimbulkan masalah lain dan sudah tidak relevan lagi untuk digunakan ketika Indonesia sedang dalam keadaan aman dan tidak lagi menghadapi perang gerilya, serta tidak menggunakan perang gerilya sebagai tumpuan strategi pertahanannya. Koter sesungguhnya hanya efektif untuk menghadapi ancaman yang sifatnya insurgency, dan itupun sebenarnya tidak harus menggunakan Koter. Adanya operasi militer di Aceh adalah bukti bahwa Koter tidak lagi efektif untuk menghadapi ancaman pemberontakan bersenjata yang datangnya dari dalam. Dalam konteks Aceh, penghancuran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidaklah menggunakan Koter, tetapi lebih banyak bertumpu kepada pasukan-pasukan yang dideployment dari luar Aceh yang sifatnya cepat, seperti Kostrad, Kopasus, dan batalyon tempur lainnya. Kalaupun Koter digunakan untuk merebut hati rakyat sebagaimana maksud prinsip dasarnya, di Aceh kenyataannya justru terbalik. Dalam praktiknya, Koter di Aceh telah menimbulkan masalah baru yang cenderung menimbulkan sikap antipati rakyat terhadap TNI-Pemerintah. Dengan demikian argumentasi mempertahankan Koter dengan alasan pertahanan adalah alasan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Upaya untuk tetap mempertahankan Koter sebenarnya lebih bernuansa merebut wilayah politik. d. Bisnis Militer Keterlibatan militer dalam bidang ekonomi tidak terlepas dari peran ganda yang diperankan militer Indonesia, yang dikenal secara umum dengan Dwi Fungsi ABRI.25 Terdapat dua aspek yang menonjol dalam tubuh militer, seperti tercermin dalam doktrin Dwi Fungsi ABRI yang pertama kali dipatenkan oleh Jenderal TNI A.H. Nasution. Pertama, peran militer sebagai sebuah kekuatan pertahanan dan keamanan, dan kedua peran strategis yang berkaitan dengan kekaryaan. Bidang kekaryaan ini meliputi dua

23

Cornelis Lay dkk., Op. Cit., hal. 4. Ibid. 25 Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi dan Pengaruhnya terhdap Pembentukan Rezim Otoriter, Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 1998, hal. 103. 24

16


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

aspek penting dalam rentang keterlibatan politik ekonomi militer Indonesia, yakni kekaryaan di bidang sosial-ekonomi dan kekaryaan di bidang sosial-politik. Seiring siklus perubahan suhu politik, keterlibatan militer dalam ranah ekonomi selalu paralel dengan adagium: demi kesejahteraan prajurit dan untuk menutupi anggaran militer yang hanya 30% dari APBN, sebagaimana halnya adagium demi stabilitas nasional maka keterlibatan militer di ranah sosial-politik menjadi sah. Bisnis militer yang telah berlangsung sejak lama itu sering dilakukan dengan sangat terbuka dan dianggap sebagai kewajaran. Bisnis militer tidak dianggap sebagai sebuah penyalahgunaan wewenang karena merupakan praktik dan perilaku ekonomi di luar kewajaran, tetapi dianggap sebagai sebuah keterpaksaan yang dapat ditolerir. Secara historis, aktivitas ekonomi tentara telah dimulai sekitar tahun 1950-an, yaitu sejak A.H. Nasution membenarkan tujuh institusi tentara dan teritorium (T dan T) ketika itu untuk menghimpun logistik sendiri. Menurut catatan Richard Robison, aktivitas mereka terbatas hanya pada "pengadaan barang secara illegal� yang meliputi “pemasukan secara paksa berbagai macam peralatan barang-barang transportasi dan pengerahan jasa tenaga kerja dari para petani�.26 Sebelum terorganisasi secara mapan dan masih dalam konteks perang gerilya, kegiatan mereka bersifat ilegal yang dikenal dengan penyelundupanpenyelundupan candu. Cara ini lebih diprioritaskan oleh para komandan lapangan (warlord) untuk meningkatkan pendapatan guna pengadaan persenjataan. Bahkan sejak periode kolonial Belanda di Jawa, pajak perdagangan dari bisnis candu menjadi salah satu sumber devisa pemerintah kolonial.27 Tanda-tanda untuk membuat bisnis tentara menjadi formal dimulai sejak Ibnu Sutowo menjabat Kepala Staf Teritorium II di Sumatera Selatan pada 1949. Saat itu, Ibnu Sutowo berhasil mengkoordinir pengelolaan tambang emas di Rejang Lebong Tandai untuk keperluan perjuangan militer, yang kemudian mengantarkannya menduduki jabatan Direktur Utama PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (EMTSU) pada 10 Desember 1957. Perusahaan tersebut merupakan cikal bakal PT Pertamina yang berlokasi di Plaju dan Sei Gerong. Proses formalisasi bisnis militer kemudian terjadi bersamaan dengan keluarnya Surat Keputusan KSAD saat itu, Letjen. A.H. Nasution. Ia dengan mengatasnamakan Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu), pada 3 Juni 1959 mengeluarkan keputusan dengan nomor: Prt/Peperpu/040/1059 yang isinya melarang semua kegiatan politik untuk sementara. Keputusan itu diambil ketika Soekarno berada di luar negeri. Akibatnya, terjadi perubahan konstalasi politik yang tajam pada 1959. Kekuasaan parlemen dan partai politik makin melemah, sementara pengaruh militer semakin luas dan menguat. 28 Adanya kasus penahanan dan tuntutan pemecatan Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja, S.H. karena berusaha membongkar kasus penyelundupan dan korupsi yang dilakukan perwira AD29, merupakan pertanda makin menguatnya kekuatan politikekonomi militer dan jaringan bisnis militer di Indonesia.

26

Ibid. Lihat: James R. Rush, Opium to Java, Yogyakarta, Mata Bangsa, 2000. 28 Moch. Nurhasim (Ed.), Praktek-praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia, Burma, Filipina, dan Korea Selatan, Jakarta, The Ridep Institute, 2003, hal. 20. 29 Herbert Feith, Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2001, hal. 76. 27

17


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Kegiatan bisnis militer Indonesia hingga dewasa ini bisa dibagi ke dalam empat kategori, yakni: (1) koperasi dan yayasan, dengan titik berat untuk kesejahteraan prajurit; (2) unit bisnis; (3) bisnis yang dijalankan oleh lembaga-lembaga nirlaba; dan (4) “pengaruh dan kemudahan”, yang dalam prakteknya berada di luar struktur bisnis formal TNI.30 Dalam catatan Faisal H. Basri, tidak satu pun dari keempat jenis keterlibatan militer dalam bisnis yang tidak berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia karena menerapkan praktek perburuan rente (rent seeking) yang sudah menggejala secara umum. Penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh militer setelah era nasionalisasi, semakin membesar dan menggurita pada masa Orde Baru. Para perwira militer baik tinggi maupun menengah, semakin banyak ditempatkan dalam perusahaan-perusahaan negara. Dalam tulisannya Arif Yulianto mencatat bahwa sejak 1970-1980 ada sekitar 11 BUMN dengan status khusus dan persero yang jabatan terasnya “dihuni” perwira tinggi AD, mulai dari direktur hingga presiden komisaris 31 yang berkat hasil nasionalisasi terbagi dalam beberapa kriteria. Kriteria tersebut mencakup perusahaan-perusahaan BUMN yang masuk generasi pertama, kedua dan ketiga. Sementara generasi keempat BUMN didorong oleh “gelombang deregulasi, globalisasi dan swastanisasi”. Pada generasi ini sifat dan “status hukumnya kabur, tidak jelas dan ambivalen”. Bila ditilik dari aspek-aspek makro ekonomi Indonesia, lingkup keterlibatan militer dalam bidang bisnis di era Orde Baru berkaitan erat dengan model teknokratisme dan birokratisme yang bersifat otoritarian sebagai konsekuensi dari bentuk sistem pemerintahan pretorian.32 Pasca pemerintahan Orde Baru, kegiatan bisnis militer masih terus berjalan, terutama yayasan-yayasan dan koperasi militer (induk, pusat, dan primer koperasi). Kegiatan bisnis di berbagai yayasan dikelola oleh mantan perwira tinggi (purnawirawan) militer. Sedangkan kegiatan bisnis dalam induk, pusat dan primer koperasi masih dikelola oleh para perwira dinas militer aktif. Keberadaan koperasi-koperasi militer ini sejatinya dikelola secara profesional dari pusat sampai satuan-satuan di daerah, dengan tujuan membantu kesejahteraan prajurit, baik dalam memenuhi kebetuhan pokok maupun pendidikan putra-putri anggotanya. Namun demikian tujuan tersebut masih jauh dari harapan para prajurit, terutama di tingkat bawah.33 Sikap tidak tegas pemerintah (otoritas politik) dalam mengontrol bisnis TNI merupakan faktor utama penyebab terus berlangsungnya bisnis TNI. Padahal, telah ada sinyal yang 30

Faisal H. Basri, “ABRI dan Bisnis”, dalam Anas Machfudz dan Jaleswari Pramodhawardani, Military Without Militarism: Suara dari Daerah, Jakarta, Puslitbang Kemasyarakatan dan Kewilayahan LIPI, 2001, hal. 280. 31 BUMN-BUMN yang “dihuni” TNI-AD pada 1970-1980 yaitu: Bank Indonesia, BNI 46, Bank Bumi Daya, Bank Exim, Bank Tabungan Negara, Taspen, Asurasnsi Jiwasraya, Asuransi Kerugian Jasa Raharja, Percetakan uang RI, Perusahaan Daerah Industri Batam, dan Asuransi Jasa Indonesia. Lihat dalam Arif Yulianto, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru; Di tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 583-586. 32 Untuk penjelasan lebih komprehensif seputar pertarungan dan kolaborasi antara teknokratisme dan birokratisme dalam bisnis di era Orde Baru, Lihat dalam Iswandi, Op. Cit., hal. 106-134. 33 Di lingkungan militer terdapat beberapa badan usaha, seperti yayasan dan koperasi. TNI-AD memiliki Yayasan Eka Kartika Paksi yag didirikan pada 1972 dan memiliki 26 PT, 22 perusahaan di bawah kendali PT Tri Usaha Bakti, dan 4 perusahaan berdiri sendiri dan Induk, Pusat dan Primer Koperasi TNI-AD. TNI AL memiliki Yayasan Bhumyamca yang didirikan pada 1964 dan memiliki 15 perusahaan dan Induk, Pusat dan Primer Koperasi TNI-AL. Sementara TNI-AU memiliki Yayasan Adi Upaya yang memiliki 17 perusahaan dan Induk, Pusat dan Koperasi TNI-AU. Untuk selengkapnya lihat Indria Samego et. al., Bila ABRI Berbisnis, Bandung, Penerbit Mizan, 1998.

18


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

menyatakan bahwa bisnis militer dilarang, sebagaimana disebutkan dalam PP No. 6 Tahun 1974, ditambah dengan instruksi Menhankam/Pangab M. Yusuf dan kemudian dipertegas lagi dengan larangan yang dikeluarkan Jenderal Eddy Sudrajat pada 1997.34 Kurang beraninya pemerintah melakukan perubahan yang mendasar menyebabkan implementasi larangan-larangan itu tidak digubris sama sekali. Hal ini juga dipengaruhi oleh situasi politik di masa transisi, karena otoritas pemerintah sipil tidak difungsikan secara maksimal untuk mengontrol TNI, di samping otoritas pemerintah sipil masih membutuhkan dukungan TNI. Karenanya, ketegasan pemerintah sipil sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk mengakhiri bisnis TNI. Namun faktanya, dengan lahirnya UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, justru secara implisit melegalkan bisnis TNI. Hal ini dimungkinkan oleh adanya klausul tentang bisnis yang dilakukan melalui yayasan, dengan penyertaan 25% dari total kekayaan yayasan.35 Kesulitan mengontrol maupun mengakhiri bisnis TNI terkait dengan kenyataan bahwa sebagian struktur bisnis TNI juga terkait dengan struktur teritorial TNI yang ada sekarang ini. Pada praktiknya, hubungan bisnis dengan struktur komando tampak dari dua fungsi komandan bagi prajurit TNI. Di samping sebagai komandan lapangan yang berkaitan dengan instruksi langsung kepada prajurit, komandan juga mempunyai tanggung jawab atas kesejahteraan prajurit. Kedua hal itu memang sulit untuk dipisahkan, padahal seharusnya tanggung jawab kedua adalah tanggung jawab pemerintah dan negara. Berdasarkan uraian di atas, sejarah telah menunjukkan bahwa keempat persoalan tersebut telah menjadi landasan dan dasar politik-ekonomi militer. Kehadiran doktrin-doktrin dan kebijakan yang muncul di tengah menguatnya politik militer, telah memberi tempat istimewa bagi militer dalam sejarah politik Indonesia. Militer tidak hanya berhasil mendominasi hampir semua sektor kehidupan masyarakat dan pemerintahan, tetapi juga telah menjadi institusi yang menopang terbentuknya rezim politik otoritarian. Namun demikian, masuknya TNI ke wilayah politik juga tidak bisa dilepaskan dari adanya peranan otoritas politik. Baik di masa Soekarno ataupun Soeharto, otoritas politik memiliki kepentingan untuk melibatkan militer ke wilayah politik, dengan tujuan untuk dijadikan salah satu pilar yang menopang rezim otoritarian yang dibentuknya. Itulah yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin dan pemerintahan Orde Baru. Menjadi sesuatu yang penting dan wajar untuk memastikan bahwa sejarah politik militer di masa lalu tidak boleh berulang kembali di masa depan. Caranya adalah tidak memasukkan dan melegalkan kembali keempat persoalan tersebut dalam regulasi dan kebijakan politik pemerintah, khususnya berkaitan dengan kebijakan yang mengatur tentang institusi TNI.

34

Arif Yulianto, Ibid, hal. 588. Kompas, 26 November 2002. Lihat pula: Muh. Nurhasim (ed), Praktik-praktik Bisnis Militer, Jakarta, Ridep, 2003. 35

19


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

B. Analisis Komparasi RUU TNI dengan Sejarah Politik-Hukum TNI Munculnya kembali tiga persoalan dasar tentang TNI, yakni mengenai Jati Diri (Pasal 2), Fungsi Kekaryaan (Pasal 45), Pembinaan Teritorial - Komando Teritorial (Pasal 8), yang dilegitimasi RUU TNI, dan satu hal lain yakni tentang larangan TNI berbisnis yang justru tidak diatur oleh RUU TNI, adalah cerminan menguatnya kembali politik-ekonomi militer. Sebagaimana terjadi di masa lalu, perdebatan dan dilegalisasinya empat persoalan tersebut, hadir ketika politik militer mulai menguat pada akhir 1950-an dan awal 1960-an yang terus dipertahankan hingga 1998. Perbedaannya, dahulu penguatan peran politikekonomi tentara dilegitimasi secara terpisah melalui doktrin dan kebijakan yang berbedabeda, tetapi kini kehendak berpolitik tentara digabung menjadi satu paket di dalam RUU TNI . Gagasan untuk tetap mempertahankan RUU TNI dan permasalahan yang terdapat di dalamnya adalah cerminan bahwa RUU TNI tidak dapat memberikan kepastian bahwa sejarah politik militer di masa lalu tidak akan terulang kembali. Artinya, RUU TNI juga tidak dapat memberikan jaminan bahwa sistem politik yang otoritarian tidak akan kembali terjadi di masa depan. Sebagaimana kita lihat di masa lalu, diformalkannya dan dipertahankannya empat persoalan di atas – baik di dalam doktrin maupun kebijakan politik – selalu diikuti dengan lahirnya model serta rezim politik yang kecenderungannya adalah otoritarian, seperti tercermin pada masa Demokrasi Terpimpin dan pemerintahan Orde Baru. Dalam konteks itulah RUU TNI dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan proses transisi demokrasi di Indonesia. Terlepas dari diubah atau tidaknya RUU TNI, draft yang telah disahkan pemerintahan Megawati tersebut menjadi cerminan bahwa di satu sisi otoritas politik juga memiliki kepentingan untuk melibatkan kembali TNI ke dalam wilayah politik. Ini adalah pengulangan masa lalu, ketika Presiden Soekarno menarik militer masuk ke wilayah politik pada akhir 1950-an dan awal 1960-an guna menopang Demokrasi Terpimpinnya.36 Kini Megawati melakukan model serupa dengan tujuan berbeda. Di akhir masa jabatannya, dan di tengah kepentingannya untuk memenangkan Pemilu 2004, Megawati berusaha menarik militer masuk ke dalam wilayah politik melalui pengesahan RUU TNI. Di sisi lain, kita melihat bahwa kehendak TNI untuk kembali berpolitik akan selalu ada dan telah menjadi wataknya. Hal itu ditunjukkan dengan sikap pemimpin TNI yang menyatakan bahwa adanya sejumlah kalangan yang menolak RUU TNI merupakan indikasi campur tangan asing yang ingin memecah belah bangsa.37 Sikap itu diperkuat dengan bersikukuhnya Fraksi TNI untuk mempertahankan empat persoalan mendasar di atas. Wajar jika kemudian muncul pertanyaan: apakah adanya empat persoalan di atas yang dilegitimasi dalam RUU TNI sebenarnya juga merupakan bagian dari keinginan TNI untuk mempertahankan model politik yang sama seperti masa lalu? Ataukah membangun model politik baru tetapi dengan bangunan dan fondasi yang sama, dengan tujuan untuk 36

Kendati akhirnya pada akhir 1960-an Soekarno tidak dapat lagi mengendalikan militer dan akhirnya ditumbangkan oleh militer sendiri pada 1966. 37 Suara Pembaruan, 27 Juli 2004.

20


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

kembali masuk ke dalam ruang-ruang politik baru guna mendapatkan keistimewaan serta keuntungan tertentu, baik dalam kaitannya dengan persoalan politik, bisnis, jabatan, maupun kepentingan lainnya?

21


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Bab IV

UU TNI: Reformasi Setengah Hati

Disahkannya draft RUU TNI menjadi UU pada akhir masa sidang DPR periode 19992004 telah menimbulkan permasalahan tersendiri di dalam mendorong reformasi TNI. Kendati sudah mengalami beberapa perubahan mendasar, namun UU TNI masih menyisakan kendala dalam upaya menata TNI agar lebih profesional. Adanya ketidaktegasan dalam beberapa pasal, UU TNI tetap saja memberi ruang bagi TNI untuk berpolitik dan dapat bertindak secara otonom. UU TNI yang telah disahkan cenderung bersifat kompromistis, ambigu dan setengah hati dalam upaya mendorong reformasi TNI.

Kritik terhadap UU TNI Pasal 3 UU TNI yang tidak tegas mengatur tentang kedudukan TNI telah memberikan ruang bagi TNI untuk berpolitik. Dengan kedudukan yang sejajar dengan Kabinet, maka Panglima TNI dapat turut campur dalam menentukan kebijakan politik. Pengaturan tentang pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 3 sebenarnya telah diatur dalam Pasal 17 dan 19 UU TNI, dan juga telah diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Pertahanan Negara. Berkaitan dengan ayat 2 Pasal 3 itu, sesungguhnya fungsi tersebut selama ini telah dilakukan oleh Departemen Pertahanan dan secara implisit pelaksanaannya mengacu kepada UU No. 3/2002, khususnya dalam Pasal 16. Lebih lanjut, kendati dalam penjelasan Pasal 3 itu menyebutkan bahwa pemerintahan di masa depan sebaiknya mengintegrasikan TNI dengan Departemen Pertahanan, hal itu bukan berarti memberikan kewajiban bagi pemerintahan mendatang untuk meletakkan TNI di bawah Departemen Pertahanan. Seharusnya, Pasal tentang kedudukan TNI ini mengatur dan menegaskan bahwa kedudukan TNI tidak boleh lagi berada langsung di bawah Presiden, tetapi harus berada di bawah Departemen Pertahanan. Bila TNI ingin mewarnai kebijakan pertahanan negara maka Panglima TNI dapat memberi masukan dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional sebagaimana diatur Pasal 15 UU No. 3/2002. Undang-Undang TNI juga belum sepenuhnya menghapuskan fungsi kekaryaan. Masih diperbolehkannya militer aktif untuk duduk di dalam Kementerian Politik dan Keamanan, BIN dan Badan Narkotika Nasional (Pasal 47 ayat 2) adalah bukti bahwa upaya untuk menjadikan TNI menjadi tentara yang profesional sifatnya masih setengah hati. Di masa depan, selayaknya prajurit aktif tidak boleh lagi duduk di dalam jabatan yang memang bukan kompetensinya.

22


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

Pasal 70 UU TNI yang terlalu umum dan memperbolehkan TNI bekerja sama dengan lembaga di dalam dan luar negeri tentu dapat melegalisasi praktik-praktik penyimpangan yang dilakukan oleh TNI. Misalnya seperti ditunjukkan dalam kasus kerja sama pengadaan kapal oleh Pemda untuk TNI-AL dan kasus pengadaan peralatan intelejen dari Pemda DKI untuk Kodam jaya. Sebagai alat pertahanan negara, seharusnya TNI hanya bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara, sedangkan yang melakukan fungsi kerja sama dengan lembaga di dalam maupun luar negeri seharusnya dilakukan oleh Departemen Pertahanan, sebagaimana diatur dalam UU Pertahanan Negara, khususnya dalam Pasal 16 point 7. Undang-Undang TNI juga belum sepenuhnya menjadikan prinsip profesionalitas sebagai prinsip dasar pembentukan UU TNI. Masih adanya proses pengangkatan Panglima TNI yang harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 13), cenderung melemahkan profesionalisme TNI. Proses pengangkatan tersebut telah menggiring TNI, khususnya perwira tinggi TNI, untuk lebih mendekatkan dirinya kepada partai politik, agar didukung menjadi Panglima oleh perwakilan parpol di DPR. Kondisi ini cenderung menempatkan posisi TNI, khususnya perwira tinggi TNI, untuk lebih berorientasi politik, ketimbang lebih berorientasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional. Proses pengangkatan Panglima TNI yang harus mendapatkan persetujuan parlemen telah menjadikan jabatan Panglima TNI menjadi jabatan politis. Upaya untuk mengangkat panglima TNI hanya menjadi komoditas politik parpol dan TNI, yang masing-masing pihak harus memberikan kontribusi secara timbal balik. TNI, khususnya perwira tinggi TNI, akan melakukan kerja-kerja untuk partai politik ataupun kontribusi lainnya terhadap parpol yang didekatinya. Sebagai timbal baliknya, partai politik melalui perwakilannya di parlemen akan lebih berupaya memilih Panglima TNI secara subyektif dengan tolak ukur kepentingan yang diperoleh parpolnya. Dengan demikian, pemilihan Panglima TNI bukan diukur secara obyektif, dengan melihat track record dan kompetensi calon. Proses pengangkatan Panglima TNI seharusnya langsung dipilih oleh Presiden. Tugas DPR hanya sebatas melakukan evaluasi terhadap Presiden dan Menteri Pertahanan yang berkaitan dengan tugas-tugas TNI dan Panglima TNI. Keinginan untuk merubah mekanisme pengangkatan Panglima TNI ini tentu harus mengkaji ulang terlebih dahulu Tap MPR No. VI dan VII tahun 2000 dan UU No. 3/2002 serta Undang-Undang TNI sendiri. Lebih lanjut, banyaknya markas besar TNI telah mengakibatkan sulitnya membangun satu kesatuan organisasi TNI yang dapat bekerja secara efektif dan efisien (Pasal 12). Adanya markas besar di masing-masing angkatan telah melemahkan koordinasi yang efektif dalam upaya menjaga pertahanan negara. Seolah-olah penjagaan pertahanan negara dilakukan oleh masing-masing angkatan saja dan dikapling-kapling sesuai dengan ancaman masing-masing. Hubungan antar angkatan dalam menghadapi ancaman seharusnya terintegrasi dan tidak terpisah serta disesuaikan dengan arah perencanaan sistem pertahanan dan kebijakan pertahanan negara. Perlu dipikirkan arah pembangunan integrated arm forces yang memang menjadi arah pengembangan sistem pertahahanan modern. Hal ini juga tercermin dalam UU No. 3/2002 khususnya Pasal 5, yang menyatakan bahwa “Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah NKRI sebagai satu kesatuan pertahanan.� 23


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Selain itu, terjadinya kasus pengunduran diri Panglima TNI dan tidak adanya aturan hukum yang menegaskan bahwa Panglima TNI tidak boleh melakukan pengunduran diri selama masa tugasnya adalah bukti bahwa UU TNI memiliki kelemahan. UU TNI seharusnya menegaskan dan mencantumkan aturan bahwa Panglima TNI tidak boleh dan tidak bisa melakukan pengunduran diri selama masa tugasnya. Jabatan panglima TNI bukanlah jabatan politik, sehingga Panglima TNI tidak boleh, tidak bisa, dan tidak memiliki hak untuk melakukan pengunduran diri selama masa tugasnya. Sebagai alat pertahanan negara, penentuan berhenti atau tidaknya Panglima TNI hanya bisa dilakukan oleh otoritas politik, bukan oleh Panglima TNI sendiri. Tidak adanya aturan di dalam UU TNI yang menegaskan bahwa Panglima TNI tidak boleh melakukan pengunduran diri selama masa tugasnya bisa menjadi dasar tawar-menawar politik antara TNI dengan otoritas politik. Namun demikian, adanya larangan prajurit aktif untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis, bisnis, menjadi anggota partai politik, dan menjadi anggota legislatif dan jabatan politis lainnya (Pasal 39) adalah langkah yang tepat dan patut didukung. Tetapi larangan tersebut tidak akan menjadi kuat dan akan sia-sia saja bila tidak diikuti dengan adanya pemberian sanksi hukum bagi mereka yang melanggar. Sudah seharusnya larangan seperti termaktub dalam Pasal 39 harus disertai dengan ketentuan hukum yang mengatur tentang sanksi hukum bagi prajurit yang melanggar. Tentang Komando Teritorial dan Bisnis TNI Adalah salah dan tidak benar bila anggota parlemen dan media massa menyatakan bahwa dengan adanya UU TNI maka struktur Komando Teritorial (Koter) akan dihapuskan. Benar bahwa dalam UU TNI fungsi pembinaan teritorial yang merupakan dasar legalisasi Koter telah dihapuskan. Namun dengan dihapuskannya Pembinaan Teritorial (Binter), bukan berarti struktur Koter otomatis akan dibubarkan. UU TNI hanya mengatur secara implisit soal Komando Teritorial, dan itu tercermin dalam Pasal 11 UU TNI tentang postur pertahanan negara. Apa yang kemudian dijelaskan di dalam penjelasan Pasal 11 sifatnya hanyalah peringatan bagi TNI bahwa penggelaran kekuatan TNI tidak boleh memberi peluang bagi kepentingan politik praktis dan tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Dengan demikian, Koter yang merupakan bagian dari konteks gelar pasukan sebenarnya tidak memiliki jaminan hukum yang kuat untuk dihapuskan. Dalam konteks inilah sudah seharusnya pemerintah mendatang segera membentuk kebijakan politik yang berkaitan dengan pengkajian ulang dan penghapusan Koter serta menggantikannya dengan konsep lain. Karena, baik dalam konteks politik, keamanan maupun pertahanan, struktur Koter sudah tidak relevan lagi untuk digunakan. Dalam konteks politik, struktur Koter (dari Kodam sampai Koramil) selama ini telah menjadi bagian yang memperkuat bisnis-bisnis militer dan juga menjadi institusi yang terkadang berperan dalam berbagai bentuk pelanggaran HAM di beberapa daerah. Dalam konteks keamanan, struktur Koter telah menimbulkan tumpang tindih dengan fungsi dan struktur kepolisan. Sesuai mandat Tap MPR No. VI dan VII tahun 2000 – yang di dalamnya mengatur pemisahan TNI dan Polri serta pemberian kewenangan 24


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

kepada Polisi untuk menjaga wilayah keamanan, dan kewenangan TNI untuk menjaga wilayah pertahanan, maka secara otomatis struktur Koter yang selama ini lebih banyak digunakan untuk menjaga keamanan dalam negeri sudah tidak relevan untuk digunakan dan dipertahankan. Dalam konteks pertahanan, struktur Koter sesungguhnya hanya dimiliki oleh TNI-AD yang mengacu kepada doktrin Operasi Teritorial tahun 1960 dan dipergunakan sebelumnya sebagai bagian dari strategi perang gerilya. Sementara saat ini Indonesia sedang dalam keadaan aman dan tidak lagi menghadapi perang gerilya serta tidak menggunakan perang gerilya sebagai tumpuan strategi pertahanan. Dengan demikian, saat ini sesungguhnya Koter tidak relevan lagi untuk digunakan. Lebih jauh, Koter sesungguhnya hanya efektif untuk menghadapi ancaman yang sifatnya insurgency, dan itupun sebenarnya tidak harus menggunakan Koter. Adanya operasi militer di Aceh adalah bukti bahwa Koter tidak lagi efektif untuk digunakan dalam menghadapi ancaman pemberontakan bersenjata yang datangnya dari dalam. Dalam konteks Aceh, penghancuran GAM kenyataannya tidak menggunakan Koter, tetapi lebih banyak menggunakan pasukan-pasukan yang di deployment dari luar Aceh yang sifatnya cepat, seperti Kostrad, Kopasus, dan batalyon tempur lainnya. Di Aceh, Koter yang semula diniatkan untuk merebut hati rakyat – sebagaimana dimaksudkan oleh prinsip dasarnya – kenyataannya justru terbalik. Koter di Aceh dalam praktiknya telah menimbulkan masalah tersendiri, yang cenderung menimbulkan sikap antipati rakyat terhadap TNI-Pemerintah. Di sisi lain, adanya pasal yang memandatkan kepada pemerintahan mendatang untuk mengambil alih seluruh bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI dalam jangka waktu lima tahun adalah langkah yang patut didukung dan segera diimplementasikan. Di antaranya dengan segera menginventarisasi dan mengaudit bisnis-bisnis yang dikelola TNI, membentuk kebijakan yang berkaitan dengan proses pengambilalihan bisnis-bisnis TNI, serta membatasi TNI untuk tidak menjual aset-aset bisnis yang dikelolanya, sebagai bentuk tindak lanjut dan realisasi dari Pasal 76 UU TNI.

25


Gambaran Reformasi TNI dalam Pengesahan UU TNI

Bab V

Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Terlepas dari gagalnya TNI melalui Fraksi TNI dalam mendorong kembalinya fungsi kekaryaan TNI, fungsi pembinaan teritorial TNI dan persoalan lainnya, namun dorongan tersebut dapat menjadi cermin bahwa TNI masih memiliki kehendak untuk berpolitik. Persoalannya hanyalah ada atau tidaknya peluang bagi TNI untuk berpolitik. 2. Sebagai aktor dominan pelaku pelanggaran HAM, sudah seharunya TNI ditempatkan pada fungsi dan posisi yang tepat, yakni hanya ditugaskan untuk menjaga wilayah pertahanan negara. Penempatan TNI di luar bidangnya itu justru akan memberi ruang bagi TNI untuk berpolitik dan berbisnis yang cenderung menimbulkan berbagai macam bentuk pelanggaran HAM. 3. Kendati sudah mengalami perubahan yang mendasar sejak draft awal, namun UU TNI masih dapat memberi peluang bagi TNI untuk berpolitik. Kedudukan Panglima TNI yang masih sejajar dengan kabinet, dapat memberi peluang bagi TNI untuk turut campur dalam menentukan kebijakan politik negara. Selain itu UU TNI juga masih memberi peluang kepada TNI untuk dapat bertindak secara otonom, yakni dengan dilegalisasinya kewenangan TNI untuk melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri. 4. Reformasi TNI seharusnya tidak dilakukan dengan setengah hati, tetapi harus dilanjutkan dan dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah mendatang dengan melakukan revisi terhadap UU TNI dan sesegera mungkin mengimplementasikan apa yang telah dimandatkan oleh UU. 5. Reformasi TNI juga harus dilanjutkan dengan pembentukan regulasi yang terkait dan telah dimandatkan oleh UU TNI maupun UU Pertahanan. Antara lain regulasi tentang tugas perbantuan, regulasi tentang komponen pendukung dan komponen cadangan, serta regulasi-regulasi lainnya. 6. Reformasi TNI juga harus ditindaklanjuti dan dibarengi dengan memaksimalkan fungsi kontrol otoritas politik terhadap TNI, dan bukan malah sebaliknya: otoritas politik berusaha kembali melibatkan atau membiarkan TNI masuk ke wilayah politik.

26


Laporan Analisis Kebijakan Imparsial

Sumber Bacaan Aribowo, dkk. Restrukturisasi Koter, Surabaya: Kelompok kerja demokrasi dan pengembangan HAM, Unair. Departemen Pertahanan 1989, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Hankamneg (Buku III), Jakarta. Draft RUU TNI dan UU TNI No. 34/tahun 2004, dapat dilihat di http://www.imparsial.org Feith, Herbert, 2001, Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Karim, Muhammad Rusli. 1989, Peran ABRI dalam Politik, Jakarta: CV Haji Masagung. Lay, Cornelis, dkk. 2002, Restrukturisasi Pertahanan Negara, Jakarta: Logos. Machfudz, Anas S. dan Jaleswari Pramodhawardhani (Ed.). 2001, Military Without Militarism, Jakarta: PMB-LIPI. Mukmin, Hidayat. 1991, TNI dalam Politik Luar Negeri, Jakarta: Sinar Harapan. Muhaimin, Yahya A. 1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: UGM Press. Muna, M. Riefqi, dkk. 2002, Likuidasi Komando Teritorial, Jakarta: The Ridep Institute. Nurhasim, Moch. (Ed.). 2003, Praktik-praktik Bisnis Militer, Jakarta: The Ridep Institute. Rush, James R, 2000, Opium to Java, Yogyakarta, Mata Bangsa. Said, Salim. 2002, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Jakarta: Aksara Karunia. Soebijono, dkk. 1993, Dwifungsi ABRI, Yogyakarta: UGM Press. Sundhaussen, Ulf. 1988, Politik Militer Indonesia, Jakarta: LP3ES. Widoyoko, Danang, dkk. 2002, Bisnis Militer Mencari Legitimasi, Jakarta: ICW. Widjajanto, Andi (Ed.). 2004, Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Propatria. Yulianto, Arif. 2002, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Rajawali Pers.

27


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.