Kabar
hal 5
Bahaya Ketertutupan Informasi s Gas Liar Muncul di Ketapang s
Opini
hal 6 - 7
Hilangnya Hak Publik Atas Informasi Lapindo
D
Desa Siring Barat Kecamatan Porong terletak tak lebih dari 50 meter dari tanggul lumpur Lapindo, praktis hanya dibatasi Jalan Raya Porong. Dari pusat semburan, Desa Siring Barat berjarak kurang dari 500 meter. Di sinilah Astuti tinggal. Pada 5 Januari 2009 lalu, Astuti mendengar suara keras. Perempuan 45 tahun ini saat itu sedang berada di rumah saudara, yang persis terletak di belakang rumah. Hanya setelah beberapa detik, Astuti menyadari suara itu bersumber dari rumahnya sendiri.
bahaya di sekitar rumah mereka, bahkan di dalam rumah mereka? Informasi yang diberikan pihak otoritas setempat pun simpang siur. “Kawasan Siring Barat masih layak ditempati. Munculnya semburan dan bubble dengan kandungan gas belum berbahaya,” kata Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Achmad
Hak atas Informasi
Korban Lumpur Lapindo
Begitu bergerak menuju pusat suara, pagi sekira pukul 08.00 itu, Astuti menyaksikan kamar yang biasa ia tinggali bersama suaminya, Sulkan, telah runtuh. Tinggal puing-puing. Amblesan tanah (land subsidence) sebagai dampak lumpur yang terus meluap dari dalam tanah telah mengakibatkan ambruknya rumah Astuti. Meski tidak siap atas peristiwa ini, Astuti selamat, persis karena keberuntungan. Ya, keberuntungan. Sebab, bagaimana mungkin siap jika pejabat pemerintahan tak menyediakan sistem peringatan dini, early warning system (EWS), di kawasan berisiko ini? Jika warga tidak diberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang kondisi Kanal | Edisi 10 | 2009
Zulkarnain kepada warga setempat. “Asal warga berhati-hati,” imbuh Zulkarnain. Sementara, Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham menyatakan, Siring Barat “tidak layak huni”. Analisis Tim Pemantau Gas, Fergaco Indonesia, juga menunjukkan Siring Barat sebagai kawasan berbahaya. “Kadar gas yang mudah terbakar di perumahan warga sudah mencapai 77 persen. Kondisi itu menunjukkan sudah tidak aman,” kata Dodie Ernawan, anggota tim Fergaco Indonesia, kepada Antara. Toh, pemerintah tetap tak memberikan informasi yang jelas kepada warga. Padahal ini bisa berakibat fatal: warga bisa sewaktu-waktu tewas terkena runtuhan tanah atau terbakar gas berbahaya. Berbagai Sektor
Penyumbatan akses publik atas informasi dalam Kasus Lumpur Lapindo ini terjadi di berbagai sektor. Tidak saja informasi soal resiko di sekitar tanggul penahan lumpur yang ditutup-tutupi, informasi soal skala dan kuantitas korban semburan pun tidak diketahui secara pasti. Publik tidak diberitahu berapa persisnya
1
jumlah korban kini, berapa keluarga, berapa jiwa, berapa desa, dan seterusnya. BPLS tidak pernah mempublikasikan data tersebut. Bahkan, badan yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur ini tidak memiliki website resmi. Di sisi lain, pihak PT Lapindo Brantas Inc. senantiasa mendominasi pasokan informasi ke publik. PT Minarak Lapindo Jaya memiliki website yang selalu menampilkan angka korban yang mereka sudah bayarkan ganti rugi. Jelas, informasi ini menguntungkan Lapindo. Dan publik, warga korban sendiri? Tetap tidak tahu angka korban yang sebenarnya. Di sektor kesehatan, publik maupun warga korban sendiri juga tidak diberikan informasi atas kondisi sesungguhnya. Orang yang hidup di Porong dan sekitarnya sudah tentu merasakan bau menyengat yang luar biasa. Tapi, Pemerintah melalui Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim justru mengatakan kualitas baku mutu udara (KBMU) di sekitar luapan lumpur Lapindo “masih berada di bawah ambang batas”. Menurut pernyataan yang dikutip Antara itu, kesimpulan tersebut diperoleh Bapedal setelah melakukan pengujian pada Mei 2008 di Desa Siring Barat RT 12 RW 2 Porong. Padahal kenyataannya, orang mudah terkena gangguan pernafasan. Lihat saja, setelah adanya semburan lumpur, penderita gangguan pernafasan meningkat drastis bahkan hingga dua kali lipat. Data Puskesmas Porong menunjukkan, angka pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada 2005-2006 berada pada kisaran 20-25 ribu kasus. Pada 2007, angka itu melonjak hingga 50 ribu kasus! Lalu, soal ganti rugi, berapa sebenarnya total ganti rugi yang harus dibayar Lapindo? Berapa yang sudah terbayarkan dan berapa yang belum? Di sini publik juga senantiasa disuguhi informasi dari sisi Lapindo saja. Pemerintah? BPLS tidak mempublikasikan informasi yang bisa diakses sewaktu-waktu. Informasi selalu dikendalikan Lapindo, sementara warga korban dibiarkan tanpa “amunisi”. Sehingga wajar jika warga korban mudah diombang-ambingkan, mudah dipaksakan memilih skema ganti rugi yang disodorkan Lapindo. Jika menengok ke belakang, warga awalnya menuntut pembayaran ganti rugi langsung 100 persen. Tetapi Lapindo menolak. Gubernur Jatim saat itu, Imam Utomo, malah menilai tuntutan ini tidak masuk akal. Ketika ditanya wartawan di Surabaya, Utomo mengatakan, pihaknya telah dihubungi Nirwan Bakrie. “Dia (Nirwan) bilang Lapindo hanya mampu membayar 20 persen di awal, sisanya saat kontrak mau selesai. Siapa yang punya duit sebesar itu?” ujar Utomo. Diterbitkan oleh Kanal Korban Lapindo Penanggung Jawab Mujtaba Hamdi (Lapis Budaya Indonesia) Sidang Redaksi Mujtaba Hamdi, Winarko, Rahman Seblat, Jambore C, Imam Shofwan Reporter A. Novik, Ahmad S Nizar Desain & Fotografi Rahman Seblat Alamat Jl KusumaBangsa 36 Gedang Porong Sidoarjo Telp. 0343-851823 Website www.korbanlapindo.net Email kontak[at]korbanlapindo.net Didukung oleh Lapis Budaya Indonesia dan Yayasan Tifa
2
Di kemudian hari, ketika tiba saatnya untuk melunasi sisa 80 persen, Lapindo berkilah lagi. Kali ini, krisis keuangan global dijadikan alasan. Pada 3 Desember 2008, akhirnya Lapindo mengatakan hanya bisa membayar cicilan per bulan 30 juta. Tapi ini pun tak ditepati, dan Lapindo mengatakan hanya bisa mengangsur 15 juta per bulan. “Saat ini dengan keadaan krisis, maksimal (kemampuan kami) per bulan 40 miliar,” kata General Manager PT Minarak Lapindo Jaya Imam Agustino saat itu. Padahal, Lapindo sendiri telah mendapat dana dari klaim asuransi, dengan nilai sedikitnya US$ 25 juta. Begitu pula, Lapindo juga memperoleh dana dari Santos. Sampai 2007 saja, Santos dalam laporan akhir tahunnya menyebutkan telah mengucurkan sedikitnya US$ 72 juta khusus untuk penanganan dampak semburan lumpur. Krisis global jelas tidak bisa melepaskan Lapindo dari tanggung jawab melunasi ganti rugi sesuai aturan. Anehnya, tanpa mempublikasikan data posisi keuangan maupun perolehan dana yang diterima dari berbagai pihak, Lapindo memutuskan membayar ganti rugi dengan cara cicilan. Lebih aneh lagi, Pemerintah diam dan bahkan menguatkan pernyataan Lapindo, juga tanpa mengumumkan data keuangan Lapindo yang terlaporkan kepada Pemerintah sendiri. Dijamin Konstitusi
Fakta-fakta tersebut menunjukkan hak warga atas informasi terang-terangan dilanggar, dan berakibat lenyapnya hak-hak lainnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun mengakui, hak atas informasi merupakan salah satu hak dasar yang paling dilanggar dalam kasus Lapindo ini. Melalui salah satu harian nasional, Syafruddin Ngulma Simeuleu, komisioner yang mengetuai Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo mengatakan, dalam kasus Lumpur Lapindo diduga telah terjadi 18 bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Dan yang paling awal disebut adalah hak atas informasi. Padahal, hak atas informasi ini dijamin utuh oleh Konstitusi. Pasal 28 F UUD 1945 bilang, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Jaminan serupa juga tercantum dalam UU Nomor 39 tentang HAM pasal 14. Lantas, apa yang bisa dilakukan terhadap berbagai pelanggaran hak atas informasi di atas? Sudah tentu, kita harus merebut kembali hak kita sendiri, hak konstitusional kita. Kita tidak bisa lagi menerima bahwa informasi mengenai keberlangsungan hidup kita dikuasai hanya oleh pihak yang kuat. Informasi-informasi yang disumbat dan ditutup-tutupi itu harus bisa kita akses. Dan kita sebenarnya sudah memiliki bekal UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-Undang ini telah Kanal | Edisi 10 | 2009
disahkan pada 30 April 2008 dan akan berlaku pada 30 April 2010. Namun karena hak ini dijamin Konstitusi maka publik berhak meminta sejumlah dokumen publik yang ada dalam penguasaan pemerintah, partai politik, lembaga negara, universitas, LSM, organisasi masyarakat, dan lembaga lainnya yang menerima sumbangan masyarakat maupun sumbangan luar negeri yang didefinisikan sebagai badan publik.
untuk menuntut hak, dan dalam konteks komunitas adanya akses informasi bisa menjadi early warning system terhadap bahaya kelaparan, wabah penyakit, dan berbagai ancaman lainnya. Informasi Publik
Lantas, informasi apa saja yang menjadi hak kita? Kita sesungguhnya berhak memperoleh setiap informasi publik. Manfaat Informasi Segera setelah UU KIP disahkan oleh Sidang Dalam UU KIP, informasi didefinisikan begini, Paripurna DPR RI, Dewan Pengawas LBH Pers Bayu “Informasi adalah keterangan, pernyataan, Wicaksono menurunkan tulisan soal contoh-contoh gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, kerugian tidak diperolehnya informasi dan manfaat hak makna, pesan, baik data, fakta maupun atas informasi. Dalam artikel yang dipublikasikan Koran penjelasannya yang dapat dilihat, didengar dan Tempo 10 April 2008 itu, Wicaksono mencontohkan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan kasus terbunuhnya aktivis hak asasi Munir dalam format sesuai dengan perkembangan teknologi penerbangannya ke Belanda. Pada 6 September 2006, informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun Suciwati, janda almarhum Munir, menggugat PT Garuda non elektrik.” Sedangkan, informasi publik adalah, Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Gugatan “Informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, perdata ini dilayangkan karena beberapa informasi yang dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik diminta tidak diberikan oleh PT Garuda Indonesia,” tulis yang berkaitan dengan penyelenggara dan Wicaksono. Perusahaan publik milik negara ini seolah penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara menyembunyikan informasi dengan alasan yang tak dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang jelas. sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi Ketertutupan informasi itu juga dilakukan secara lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.” institusional. Institusi yang tidak memberikan keterangan Istilah “badan publik” di situ mencakup lembaga yang dibutuhkan istri korban adalah Departemen Luar eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi Negeri dan Kepolisian terkait hasil otopsi almarhum dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Munir. Tapi Suciwati terus mendesak agar informasi negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber diberikan. “Hak-hak saya sebagai istri dan keluarga dari APBN/APBD, organisasi non pemerintah sepanjang Munir untuk memperoleh informasi harus dipenuhi,” ujar sebagian atau seluruh dananya bersumber APBN/ Suciwati dalam sebuah wawancara dengan majalah APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri. Tempo. Akhirnya, dokumen itu diberikan dan kemudian Dalam kasus lumpur Lapindo, seluruh informasi terbukti hasil otopsi menunjukkan korban meninggal publik terkait kasus ini adalah hak publik, yang bisa karena diracun arsenik. diperoleh warga korban sendiri. Warga bisa meminta Wicaksono, masih dalam tulisan yang sama, juga informasi atau dokumen mengenai, misalnya: s Data korban menurut BPLS yang harus iberikan menjelaskan perbedaan Cina dan India dalam hubungannya dengan akses informasi. Kedua negara ganti rugi dan juga bantuan sosial dari Lapindo tersebut memiliki jumlah penduduk besar dengan maupun Pemerintah. s Data hasil pengawasan BPLS mengenai berapa penghasilan rendah. Di India, sekalipun penghasilan ratarata penduduknya rendah, tidak pernah terjadi kelaparan jumlah ganti rugi yang telah diselesaikan oleh massal. Tapi di Cina, kelaparan massal kerap terjadi. Lapindo. s Dokumen rencana Lapindo menuntaskan hingga Apa yang membuat beda? “India memiliki keterbukaan informasi,” tulis Wicaksono merujuk pemikiran Amartya 100 persen ganti rugi keseluruhan korban. s Dokumen mengenai klaim asuransi Lapindo dan Sen, peraih Nobel Ekonomi 1988. Dengan keterbukaan informasi, bahaya kelaparan dana yang diterimanya. s Data resmi kondisi kesehatan di wilayah dapat menjadi alert dan kemudian bisa dicegah. “Kegagalan panen,” lanjut Wicaksono, “bisa langsung terdampak maupun luar peta terdampak. s Laporan Pertanggungjawaban Kerja BPLS diwartakan sebelum terjadi kematian massal akibat kekurangan makanan di sebuah desa.” Mengacu Sheilla selama kasus ini berlangsung. s Dokumen Rencana BPLS untuk menuntaskan Coronel, dalam jurnal Development Dialogue, Wicaksono juga menunjukkan bagaimana kelaparan penyelesaian kasus lumpur Lapindo, anggaran, yang terjadi di sebuah desa di Cina karena tidak adanya dan jenis bantuan atau tindakan yang akan keterbukaan informasi. diambil. s Data resmi skema penyelesaian bantuan Ringkasnya, terpenuhinya hak atas informasi akan memberikan kita pengetahuan apa yang harus kita pendidikan bagi anak-anak korban lumpur lakukan untuk memenuhi hak-hak kita lainnya. Tanpa Lapindo. s Data resmi mengenai informasi keuangan informasi yang cukup, warga tidak dapat berbuat banyak Kanal | Edisi 10 | 2009
3
s
pemerintah yang membuktikan pemerintah tidak sanggup membayar dana talangan bagi penyelesaian ganti rugi warga korban lumpur Lapindo. Dokumen kontrak karya antara Pemerintah dan Lapindo yang menunjukkan pembagian tanggung jawab antara Pemerintah dan Lapindo.
Daftar ini masih bisa diperpanjang sejauh warga korban maupun publik memerlukan. Informasi tersebut akan menjadi landasan penting bagi korban untuk melakukan tuntutan hak-hak, termasuk bantuan sosial dan penyelesaian ganti rugi. Dalam hal ini, korban berhak meminta tanggapan dari Pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hakhak asasi korban, tak terkecuali hak atas informasi. Meminta Informasi
UU KIP menandaskan, warga korban maupun publik berhak memperoleh setiap informasi publik dengan cepat dan tepat, biaya ringan dan cara sederhana. Warga korban maupun publik bisa melakukan tahapantahapan seperti berikut. Pertama, warga dapat membuat surat permintaan informasi yang berisi permintaan informasi yang disebutkan di atas satu persatu. Setiap surat berisi satu permintaan atas satu dokumen publik. Permintaan informasi juga dapat dilakukan bersamasama dengan korban yang lain. Namun surat tetap ditulis masing-masing tetapi dokumen yang diminta tetap sama. Kedua, permintaan tersebut dikirimkan ke BPLS, misalnya, atau dapat diantar langsung. Surat itu ditujukan untuk Pimpinan BPLS atau bagian humasnya. Jangan lupa meminta tanda terima atas surat, dan tanyakan kapan balasan atas surat ini bisa diperoleh, dan kepada siapa meminta balasan surat ini, juga nomor telepon yang bisa dihubungi untuk menanyakan balasan atas permintaan informasi ini. Jika dibutuhkan alasan, maka sebutkan alasannya adalah dokumen publik itu berguna untuk korban meminta hak-haknya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Ketiga, tanyakan sesuai waktu yang dijanjikan oleh mereka. Menurut UU KIP, waktu permintaan maksimal 10 hari dengan perpanjangan 7 hari kerja untuk bisa direspon oleh badan publik. Selama 17 hari mintalah konfirmasi mengenai permintaan informasi anda. Jika korban membutuhkan bantuan untuk melakukan permintaan informasi, korban bisa meminta bantuan organisasi masyarakat sipil setempat, misalnya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim. Organisasi tersebut dan jaringannya bisa membantu melakukan pembuatan surat maupun proses lanjutan setelah permintaan
4
informasi ditolak, misalnya, dan membantu melakukan analisa informasi yang berhasil diperoleh. Permintaan Ditolak?
Korban Lapindo sendiri barangkali sudah terlalu sering mengalami penolakan ketika meminta informasi tertentu secara lisan, misalnya soal kapan ganti rugi dicairkan. Jika permintaan informasi di atas juga ditolak, atau tidak ada jawaban dan sudah ditanyakan langsung, upaya hukum bahkan bisa ditempuh. Walhi Jatim dan jaringannya dapat membantu proses hukum ini untuk korban lumpur Lapindo. Sebagai ilustrasi, upaya hukum soal merek susu tercemar bisa disebutkan di sini. Februari 2008 lalu, para orangtua yang memiliki balita diresahkan oleh hasil penelitian yang mengatakan sejumlah merek susu formula telah terkontaminasi bakteri. Penelitian tersebut dilakukan oleh tim dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Menteri Kesehatan, dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Karena nama-nama susu tercemar itu tidak diumumkan, para orangtua tidak bisa memilih merek susu apa bagi balita mereka. “Mungkin keresahan dan kebingungan itu tidak terlalu berlebihan jika pemerintah maupun pihak IPB mengumumkan secara resmi nama-nama susu yang tercemar bakteri,� ujar Ny Wiwin, warga Kota Bogor, kepada Sinar Harapan. Menghadapi situasi ini, David ML Tobing, salah satu orangtua yang mencemaskan kesehatan balitanya, mengajukan gugatan hukum. Tobing melayangkan gugatan terhadap tim peneliti dari BPOM, Menteri Kesehatan, dan IPB. Tobing menggugat agar ketiga institusi tersebut mempublikasikan hasil penelitian mereka. Pada 20 Agustus 2008, Ketua Majelis Hakim Reno Listowo mengabulkan gugatan tersebut. Pertimbangannya, perbuatan ketiga institusi tersebut yang tidak mengumumkan merek susu tercemar kepada publik perbuatan melawan hukum seperti didalilkan Pasal 1365 KUH Perdata. “Tindakan menutup-nutupi informasi adalah perbuatan melawan hukum,� ujar Reno Listowo sebagaimana dikutip Kompas. Tak ayal, dalam kasus Lapindo, sebagaimana diutarakan di awal tulisan ini, tindakan menutup-nutupi informasi telah menciptakan tidak hanya keresahan, melainkan kerugian, di berbagai sektor. Publik dan warga korban bisa melayangkan gugatan terhadap badan-badan publik yang menghalang-halangi akses informasi mengenai kasus yang berlarut-larut hampir tiga tahun ini. [Mujtaba Hamdi/Tanti Budi Suryani]
Kanal | Edisi 10 | 2009
Bahaya Ketertutupan Informasi
S
ejumlah komponen masyarakat sipil mendiskusikan problem ketertutupan informasi kasus lumpur Lapindo. Diskusi meja bundar (roundtable discussion) ini dilaksanakan di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Sabtu (28/2). “Ketertutupan informasi ini hampir merata di semua level,” kata Mujtaba Hamdi dari Lapis Budaya. Soal ganti rugi, misalnya, warga tiba-tiba hanya tahu Lapindo tidak mampu bayar. Sementara, Lapindo tidak pernah mengumumkan kekayaan mereka. Pemerintah juga tidak mempublikasikan posisi keuangan Lapindo yang terlaporkan ke pihaknya. Di level lain, berbagai bahaya di sekitar lumpur juga tidak diinformasikan ke warga. “Bahkan 5 Januari kemarin, ada rumah warga ambrol, dan sebelumnya tidak ada informasi apapun tentang bahaya,” imbuh Mujtaba. Bambang Catur Nusantara dari Walhi Jatim menuturkan, ketertutupan informasi soal pemboran sumursumur gas merambah juga di wilayah lain, tidak hanya Sidoarjo. “Jadi, publik tidak banyak tahu bahwa wilayah Jatim Utara sudah dibor semua, ataupun akan ada sumur baru di Jatim Selatan,” ujar Catur. Pemboran itu dilakukan di wilayah padat huni, sehingga sangat berbahaya. Tapi publik tidak pernah diberitahu, dan Pemerintah cenderung menutup-nutupi. “Betapa kemudian informasi yang sangat strategis tidak bisa diakses,” kata Catur. Analisis Catur ini didukung Munir, aktivis lingkungan dari Forum Warga Peduli Kenjeran. “Informasi yang tidak diketahui publik, Lapindo tidak hanya di Porong, tapi ada juga di wilayah lain, 47 sumur. Wilayah padat huni. Ini kan berbahaya,” ujarnya. Joeni Arianto Kurniawan, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), menambahkan, ketertutupan informasi di kasus Lapindo ini sangat parah. “Memang aneh, ya, bagaimana mungkin saya punya lingkungan, saya punya rumah, tapi kemudian di halaman sebelah saya mau diapa-apain saya tidak tahu. Tiba-tiba rumah saya ambrol begitu saja,” ujar Joeni. Bagi Joeni, problem ini sudah ada sejak sebelum pemboran Lapindo dimulai. Berbagai permasalahan hukum juga ditutup-tutupi, sejak perizinan eksploitasi gas hingga penanganan semburan lumpur. “Ini skandal,” tandas Joeni. Bagi relawan yang sehari-hari hidup bersama korban Lapindo, problem ketiadaan informasi bagi warga sangat terasa. Ahmad Novik, warga asal Jatirejo yang kini aktif sebagai relawan pusat informasi Kanal, menuturkan bahwa sejak awal masyarakat setempat tidak pernah diberitahu keberadaan Lapindo. “Semua tidak diketahui warga. Soal tanah yang diperuntukkan pemboran, warga tidak tahu. Tahunya untuk peternakan. Warga juga tidak Kanal | Edisi 10 | 2009
tahu adanya aktifitas pemboran. Baru tahu setelah muncul semburan lumpur,” kisah Novik. Begitu semburan muncul, warga pun tidak diberitahu adanya bahaya, sehingga tidak siap jika terjadi sesuatu. Rere Christanto, salah seorang relawan, mengungkapkan, dalam penanganan bencana, termasuk bencana akibat kesalahan manusia macam semburan lumpur Lapindo ini, kata kuncinya adalah siaga. “Hampir tidak mungkin kita omong kesiapsiagaan tanpa ada informasi,” ujar Rere. Baginya, informasi adalah titik tolak. Selain itu, Rere juga mengeluhkan, warga korban sendiri tidak bisa mengakses informasi di pemerintahan soal tanah mereka. “Menurut saya ini aneh. Orang mau tahu luas tanahnya sendiri tidak bisa,” ucap Rere. Senada dengan Rere, advokat dari Lembaga Hukum dan Keadilan HAM Indonesia (LHKI) Subagyo mengomentari jujur, “Kalau bicara right to know dalam pelaksanannya di Indonesia, kita bisa berkesimpulan Indonesia adalah negara terbelakang.” Dengan sungguhsungguh, Cak Bagyo memaparkan bagaimana meski dalam Konstitusi, hak untuk tahu dijamin, tapi kebanyakan kebijakan justru membatasi hak tersebut. Imam Shofwan, jurnalis asal Pantau yang juga relawan Kanal, memperlihatkan adanya ketidakseimbangan informasi antara warga, pemerintah desa, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Imam mengusulkan agar forum mengidentifikasi sumbatan-sumbatan informasi di berbagai level itu. Sehingga, strategi untuk menuntut kembali hak atas informasi bisa dirancang. Forum pun kemudian melakukan analisis atas bentuk-bentuk informasi yang ditutup-ditutupi dalam kasus Lapindo. Forum menyepakati untuk menindaklanjuti dengan melakukan tuntutan bersama atas informasi yang teridentifikasi tersebut. [ba]
5
Gas Liar Muncul di Ketapang
Tiga gelembung gas liar muncul di Ketapang, Tanggulangin, Sidoarjo. Gelembung gas atau bubble gas ini muncul di pinggir dan tengah sungai Ketapang, tak jauh dari RT 08/03 dan di depan rumah Suharjo (39 tahun), warga RT 08. Dua bulan sebelumnya, warga RT 09 dan 08 mulai mencium
bau gas namun sumbernya baru dikethaui setelah warga Ketapang terkena banjir sejak Selasa (24/2). “Sudah ada dua bulan, ada air jadi kelihatan,� tutur Agus Setiawan (28 tahun), warga RT 03 Ketapang. Warga menjadikan gas liar ini sebagai mainan. Semburan di pinggir kali diberi kaleng roti yang dilubangi, lalu api bisa dinyalakan di atasnya. Warga Ketapang berkumpul menyaksikan pertunjukan baru ini. Mereka tak tahu betul bahaya gas-gas liar ini. Gas serupa juga muncul di Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, Besuki dan Mindi. Di Jatirejo Barat, beberapa waktu lalu beberapa orang harus dilarikan ke rumah sakit, karena menghirup gas yang tak berbau itu. Ketua RT 8 Ahmad Sofa sudah melaporkan kejadian ini kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), dan hari Jumat (27/2) beberapa orang BPLS ditemani sekretaris desa Ketapang mendatangi lokasi. Menurut Suharjo, setelah menengok lokasi semburan selama setengah jam, BPLS menyatakan tempat tersebut masih aman. Suharjo mendengar informasi tersebut dari obrolan petugas BPLS dengan sekretaris desa. Secara langsung, informasi tentang seberapa berbahayanya semburan gas ini terhadap kehidupan warga belum disampaikan pada warga. [mam]
Hilangnya Hak Publik atas Informasi Lapindo Firdaus Cahyadi
Setelah gagal memenuhi kesepakatan yang dibuat pada awal Desember 2008, Lapindo kembali membuat janji baru kepada korban lumpur. Dengan alasan mengalami krisis, PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) kembali berjanji akan membayar Rp 15 juta per keluarga per bulan. Bahkan sebelumnya, untuk meyakinkan bahwa PT MLJ sedang mengalami krisis, Vice President PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla, seperti yang ditulis Koran Tempo (20 Februari), mengaku aset perusahaannya kini tersisa kurang dari Rp 100 miliar. Celakanya, pemerintah untuk kesekian kalinya percaya begitu saja kepada alasan krisis keuangan yang dikemukakan oleh Lapindo. Padahal selama ini Lapindo belum pernah mempublikasi hasil audit mengenai asset-asetnya ke publik. Pihak Lapindo berkilah bahwa uang yang dimilikinya bukan uang negara, sehingga tidak ada kewajiban untuk mempublikasinya. Mungkin Lapindo lupa bahwa informasi terhadap audit tersebut sangat penting untuk menyelesaikan persoalan dengan korban lumpur secara lebih adil.
6
Kanal | Edisi 10 | 2009
Pemerintah, yang memiliki mandat untuk melindungi keselamatan rakyat, wajib memaksa Lapindo mempublikasi hasil audit mengenai aset-asetnya tersebut. Selama hasil audit tersebut belum dipublikasi, terlalu naif rasanya untuk percaya begitu saja bahwa PT MLJ sedang mengalami krisis keuangan. Betapa tidak, seperti ditulis dalam buku berjudul Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Huni, di luar sumur migas Banjar Panji 1 (BJP-1) yang ditenggelamkan lumpur panas, PT Lapindo ternyata masih menguasai 48 sumur migas (minyak dan gas) di blok Brantas, yang meliputi Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan. Selain itu, Lapindo ternyata juga sudah mendapatkan klaim pembayaran asuransi atas sumur BJP-1 pada 2006. Nah, dari fakta di atas, pertanyaannya kemudian tentu saja adalah mungkinkah aset Lapindo kurang dari Rp 100 miliar. Hak publik atas informasi yang benar dalam kasus Lapindo ini tampaknya secara sistematis dihilangkan. Bukan hanya mengenai aset Lapindo yang terkait dengan persoalan ganti rugi. Namun, sudah sejak awal eksplorasi di blok Brantas, hak publik atas informasi juga terusmenerus diabaikan. Pada saat penentuan lokasi eksplorasi, misalnya, publik tidak pernah diberi informasi mengenai risiko kecelakaan industri migas dengan kondisi geologis di wilayah Porong, Sidoarjo. Publik pun tidak pernah diberi informasi bahwa sebenarnya penentuan lokasi sumur migas Lapindo tidak sesuai dengan ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia. Ketentuan Standar Nasional Nomor 136910-2002 itu menyebutkan bahwa sumur pengeboran migas harus dialokasikan sekurangkurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan, atau tempat-tempat lain yang berpotensi menimbulkan sumber nyala api. Sementara itu, sumur BJP-1 hanya berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana publik, dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Setelah semburan lumpur panas keluar, hak publik atas informasi semakin diabaikan. Semua informasi yang terkait dengan kandungan racun lumpur Lapindo beserta dampak buruknya seakan hilang ditelan bumi. Namun, yang justru muncul di ruang publik adalah komentar pejabat yang cenderung menyesatkan informasi. Mayjen TNI Syamsul Mapparepa, yang pada saat menjabat menjadi Panglima Kodam Brawijaya, misalnya, pernah Kanal | Edisi 10 | 2009
mengatakan bahwa lumpur Lapindo yang berwarna kehitam-hitaman tersebut tidak mengandung racun. Bahkan salah seorang pejabat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) berani menjamin bahwa lumpur Lapindo tidak berbahaya. Padahal peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Dwi Andreas Santosa, menemukan kandungan logam berat berupa cadmium (Cd), chromium (Cr), arsen, merkuri, serta kandungan bakteri patogen (pembawa bibit penyakit) seperti Coliform, Salmonella, dan Staphylococcus aureus dalam lumpur Lapindo di atas ambang batas yang dipersyaratkan. Bukan hanya air dan lumpur yang mengandung racun, lumpur Lapindo juga dinilai telah menyebabkan polusi udara di kawasan Porong dan sekitarnya. Bahkan, terkait dengan semburan lumpur Lapindo, dalam rekomendasinya Gubernur Jawa Timur pada Maret 2008 telah menyebutkan bahwa kandungan hidrokarbon di udara telah mencapai 55 ribu ppm. Padahal ambang batas normalnya hanya 0,24 ppm. Hal itu kemudian diperkuat oleh temuan Walhi Jawa Timur pada Oktober 2008 perihal adanya peningkatan jumlah orang yang menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) di Porong. Pada 2006, saat muncul semburan lumpur Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, namun pada 2008 meningkat menjadi 46 ribu orang. Sayangnya, informasi yang dapat mengancam keselamatan warga itu seperti tidak dinilai penting oleh pemerintah. Hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah atas informasi tersebut. Padahal informasi itu sebenarnya dapat digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan darurat guna menyelamatkan warga. Disembunyikannya informasi yang berkaitan dengan dampak buruk lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia jelas bukan sebuah kebetulan, melainkan sebuah kesengajaan agar korban lumpur dan warga Porong lainnya tidak menuntut ganti rugi di luar mekanisme jual-beli aset fisik. Dari uraian di atas, sudah mulai terlihat bahwa apa pun mekanisme yang dibuat untuk menyelesaikan kasus Lapindo ini akan selalu jauh dari kata adil bila hak publik atas informasi mengenai kasus ini selalu dihilangkan. Dengan sebuah informasi yang benar mengenai kasus ini, akan diketahui dengan mudah ganti rugi seperti apa yang harusnya diterima oleh korban dan siapa sebenarnya pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya semburan lumpur itu.
*) Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia Artikel ini pernah dimuat Koran Tempo, 28 Februari 2009
7
Foto: Rahman
Pelatihan
“Ngeblog�
8
Bertempat di posko bersama, Desa Gedang, difasilitasi relawan dari Yayasan Air Putih, beberapa remaja korban lumpur Lapindo belajar membuat blog pribadi. Mereka membuat ilustrasi foto, menulis kisah mereka sendiri, dan menelola alamat blog di situs penyedia blog gratiis.
Kanal | Edisi 10 | 2009